al dakhil dalam tafsir mafatih al ghaib
TRANSCRIPT
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
1/28
1
ABSTRAK:
AL-DAKHIL DALAM TAFSIR MAFATIH AL-GHAIB
Setiap mufassir dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan sosio-kulturnya. Menurut
catatan sejarah, abad ke 5 H merupakan puncak perdebatan pemikiran di dunia lslam. Dimanaperdebatan antar aliran kalam tumbuh subur, dan hal ini terus memberikan pengaruh negatif pada
perkembangan pemikiran selanjutnya. Pada akhir abad ke 6 H posisi politik dan peradaban umatlslam mengalami kemunduran akibat hancurnya Dinasti Abbasiyah, serangan Tartar dan Perang
Salib. Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi pemikiran Fakhruddin al-Razi sehingga
mendorong beliau untuk mensistematisasi dogma kalam, berusaha membangkitkan kembali posisipolitik dan peradaban umat lslam dengan membangkitkan semangat keilmuan. Usahanya itu
tercermin dalam karya besarnya Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib, sebagai wujudkepeduliannya atas nasib umat lslam waktu itu. Keluasan al-Razi dalam berbagai disiplin ilmu dan
maksudnya yang mulia untuk membangkitkan semangat keilmuan di kalangan umat lslam tersebut
mengakibatkan karya tafsirnya itu terkesan keluar dari konteks tafsir itu sendiri. Penilalaian
, yang dituduhkan kepada Tafsiral-KabiratauMafatih al-Ghaib sepertiini beredar di kalangan ahli tafsir.Penelitian ini bertujuan untuk membedakan penjelasan al-Razi yang termasuk tafsir dan
bukan tafsir dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, yang selanjutnya dinamai al-Dakhil dan al-Ashil,sehingga dapat diketahui jenis dan bentuk al-Dakhil tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan cara content analisis, yaitu menganalisis tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi kemudian membandingkannya dengan tafsir lain yang bisa
dijadikan pegangan (al-Ashil).
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya unsur-unsur al-Dakhil dalam tafsir al-Razi, baik
al-dakhil al-naqli maupun al-dakhil al- rayi. Diantara bentuk al-Dakhil al-Naqli adalah:Penggunaan riwayat israiliyat baik yang dikomentari maupun yang dibiarkan tanpa komentar,
penggunaan hadits dlaif, baik yang marfu, mauquf dan maqthu, bahkan riwayat-riwayat tersebut
sering dikutif dengan tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya secara utuh.
Sedangkan diantara bentuk al-Dakhil al-Rayi adalah pemaksaan pembahasan kalam secara panjang lebar
hampir di tiap ayat, meliputi perdebatan kalam antara aliran Asyariah yang selalu dibelanya dengan aliran Mutazilah yangmenjadi lawannya, meskipun terkadang dhalir ayat tersebut tidak terkait langsung dengan pemikiran kalam yang
diperdebatkannya. Argumentasi-argumentasi logika sangat mewarnai penafsiran al-Razi. Hampir seluruh disiplin ilmu, baik
ilmu-ilmu keagamaan yang sudah berkembang saat itu seperti ilmu kalam, ilmu Fikih, ilmu Tasawuf, ilmu Bahasa, dan
Filsafat, maupun ilmu-ilmu baru seperti ilmu Astronomi dan ilmu-ilmu Alam lainnya dijadikan pisau analisis untuk
memahami al-Quran. Hal inilah yang menjadikan tafsir tersebut memiliki kelebihan dibanding karya tafsir lainnya.
Meskipun keluasan pembahasan dari berbagai disiplin ilmu tadi menjadikannya terkesan kabur dari konteks tafsir, sehingga
untuk bisa menangkap makna dan kandungan tafsir ayat al-Quran di balik pembahasannya yang luas menuntut kejelian
dan kesunguhan.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
2/28
2
KRITIK METODOLOGI TAFSIR
(Studi al-Dakhil dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib
Karya Fakhruddin al-Razi)
Pendahuluan
Upaya untuk memahami pesan-pesan al-Quran sudah dimulai sejak masa
Rasulullah SAW dimana beliau sendiri sebagai mubayyin-nya. Pada masa ini tidak
terdapat perbedaan dalam upaya memahami kandungan makna ayat al-Quran,
karena referensi utama sebagai mubayyin masih ada sehingga para sahabat dapat
bertanya langsung kepada Rasulullah.
Perbedaan penafsiran mulai muncul setelah Rasulullah wafat, dan terus
berkembang seiring rentang waktu yang menjauh dari masa Rasul. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: Kecerdasan, pengetahuan, entitas
kehidupan, sosio kultural, doktrin teologis dan normatif.
Para mufassir telah berupaya untuk menggali makna al-Quran dengan
berbagai metode dan pendekatan yang dimilikinya, dengan merujuk kepada
sumber-sumber penafsiran yang ada. Yang dimaksud sumber-sumber tafsir
adalah, sumber-sumber yang dikutip mufassir dan diletakkannya dalam tafsir
mereka, terlepas dari pandangan mereka dalam menafsirkan al-Quran. Terdapat
empat macam sumber penafsiran yaitu: al-Qur'an, Hadits, ijtihad mufassir, dan
cerita-cerita Israiliyyat1. Berdasarkan sumbernya tersebut di atas, dikenal dua jenis
tafsir yaitu tafsir bi al-ma'tsurdan tafsir bi al-ra'y.
Penggunaan riwayat-riwayat yang lemah bahkan maudlu serta
pengutipan riwayat israiliyat oleh sebagian mufassir sebagai salah satu sumber
1Al-Baghdadi, Nazharatun fi tafsir al-'Ashri li al-Qur'an al-Karim, terj. Abu Laila dan
Muhammad Tohir (Bandung : al-Ma'arif, 1988), h. 29-35.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
3/28
3
penafsiran al-Quran, sejak pengkodifikasian tafsir sampai sekarang,
memperkaya khazanah kepustakaan kitab-kitab tafsir dengan intensitas yang
cukup beragam, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Persoalan israiliyat
menjadi isu penting bagi para mufassir modern. Persoalannya tidak hanya
berkaitan dengan aspek teologis semata yang memandang bahwa islam adalah
agama sempurna sehingga tidak perlu lagi merujuk pada ajaran-ajaran Yahudi dan
Nasrani, dan tidak juga karena statemen al-Quran yang menyatakan bahwa kedua
kelompok tersebut yakni Yahudi dan Nasrani telah melakukan penyimpangan
(Tahrif) terhadap kitab suci mereka, tetapi juga karena israiliyat pada umumnya
berisi khurafat-khurafat yang merusak akidah umat islam. Menyadari akan
bahayanya, Muhammad Abduh sangat gencar mengkritik kebiasaan ulama tafsir
yang biasa menggunakan cerita israiliyyat sebagai sumber penafsiran al-Quran.
Dalam nada yang lebih keras, Saltut menuduh bahwa israiliyyat telah
menghalangi umat islam menemukan petunjuk al-Quran.
Pada perkembangan berikutnya, masalah-masalah yang timbul dalam
tafsir tidak lagi dapat dijawab oleh hadits-hadits atau riwayat yang ada, sehingga
tafsir bi al-matsur dipandang tidak lagi relevan karena kurang bisa memberikan
jawaban terhadap masalah kehidupan yang semakin berkembang dan kompleks
Berdasarkan pandangan tersebut, maka penggunaan pemikiran (ray)
sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Quran. Penafsiran semacam ini
kemudian dikenal dengan tafsir bi al-ra'y. Hal ini mendapat dorongan yang lebih
kuat dari luar, ketika umat lslam terpecah-pecah ke dalam berbagai aliran teologi,
fiqih, dan tasawuf, sehingga tidak jarang perdebatan aliran-aliran tersebut masuk
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
4/28
4
kedalam tafsir. Di samping itu wawasan para mufasir tentang ilmu pengetahuan
pun sering mewarnai tafsir al-Quran. Hal ini dapat dilihat dalam tafsirMafatih al-
Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. Sebagai tafsir yang didominasi oleh al-ra'y
namun tetap berpegang pada riwayat, Mafatih al-Ghaib mampu mengungkapkan
makna dan kandungan al-Quran bahkan memuat hal-hal lainnya yang tidak
terkait langsung dengan al-Quran seperti perdebatan teologi, pembahasan ilmu-
ilmu kealaman, dan lain-lain.
Keluasan al-Razi dalam berbagai disiplin ilmu dan maksudnya yang mulia
untuk membangkitkan semangat keilmuan di kalangan umat lslam tersebut
mengakibatkan karya tafsirnya itu terkesan keluar dari konteks tafsir itu sendiri.
Penilalaian , yang dituduhkan kepada Tafsir al-Kabir atau
Mafatih al-Ghaib seperti ini beredar di kalangan ahli tafsir.
Penilaian para ulama seperti itu mengindikasikan akan adanya unsur-unsur
al-Dakhil dalam tafsir al-Razi. Penggunaan riwayat israiliyat sebagai rujukan
tafsir, baik yang dikomentari maupun yang dibiarkan tanpa komentar, banyak
terdapat dalam tafsir al-Razi, seperti ketika menafsirkan kisah tentang para Nabi,
kisah umat terdahulu, tanda-tanda kiamat, kisah yajuj Majuj, Kisah Harut dan
Marut, dan kisah-kisah lainnya.
Lahirnya disiplin ilmu al-Dakhil diharapkan mampu membersihkan tafsir
al-Quran dari unsur-unsur yang menjauhkan terbukanya pesan al-Quran tadi.
Perkembangan Metodologi Tafsir
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
5/28
5
Ada dua sumber yang banyak dibicarakan oleh para ulama tafsir yakni;
matsur dan maqul. Dalam konteks ini, sumber penafsiran al-Quran berarti
informasi tafsir yang diambil dari sumber terdahulu. Para ulama tafsir membatasi
maksud sumbermatsurdengan informasi tafsir yang diterima dari Nabi, sahabat
dan tabiin. Definisi ini dilontarkan oleh banyak ulama diantaranya oleh Abu Hay
al-Farmawi. Sementara itu Muhammad Ali al-Shabuni mengatakan bahwa sumber
tafsirmatsuradalah rujukan tafsir yang diambil dari Nabi Muhammad saw, dan
para sahabat saja dengan tidak memasukkan dari tabiin.
Sedangkan tafsir bil rayi adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir yang telah menguasai bahasa Arab dan
metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti
asbab al-nuzul, nasikh mansukh, dan sebagainya. Al-Farmawi mendefinisikan
tafsir bil rayi sebagai penafsiran al-Quran dengan ijtihad setelah mufasir
tersebut mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara
dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
Basuni Faudah mengatakan bahwa banyak aliran dan ragam cara untuk
memahami alquran. Masing-masing orang menafsirkan alquran berdasarkan
kehendak hawa nafsunya untuk memenuhi kepentingan madzhabnya. Selain itu,
muncul pula kitab-kitab tafsir yang hanya dimaksudkan untuk melayani astu
cabang ilmu saja dengan mengorbankan kepentingan alquran. Sebagian mufasir
mencurahkan perhatiaanya pada masalah-masalah nahwu (gramatika) dan
kebahasaan, padahal bahasa dan gramatika tidak lain hanya merupakan alat untuk
memahami maksud yang dikehendaki Allah. Begitu pula para mutakallimun
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
6/28
6
berupaya untuk menitikberatkan penafsiran pada masalah yang terkait dengan
kalam.
Perkataan Faudah diatas mengindikasikan bahwa pada tiap corak tafsir
terdapat al-Dakhil, sehingga harus diteliti kembali kelayakan penafsiran terbut
agar tidak jauh menyimpang dari apa yang dikehendaki dari kandungan alquran.
Penelitian khusus tentang segala sesuatu yang terdapat dalam tafsir
Mafatih al-Ghaib selain tafsir itu sendiri belum ada. Sesuatu di luar tafsir inilah
yang kemudian di sebut al- Dakhil fi al-tafsir.
Istilah al- Dakhil fi al-tafsir sendiri mulai dikembangkan di Jamiat al-
Azhar Mesir oleh Dr. Ibrahim Abdurrahman khalifah. Pemikirannya tersebut
masih tertuang dalam bentuk diktat yang berjudul al- Dakhil fi al-Tafsir dan
menjadi muqarrar di Fakultas Ushuluddin Jamiat al-Azhar Mesir. Bersamaan
dengan beliau adalah Abdul Wahab Fayid, yang kebetulan menjadi lawan
pemikiran Ibrahim Khalifah, dengan judul yang sama yaitu al- Dakhil fi al-Tafsir
al-Quran al-Karim.
Dalam kenyataannya, penggunaan riwayat dan ra'y sebagai sumber
penafsiran senantiasa terjadi dalam sebuah karya tafsir. Sangat jarang tafsir yang
hanya menggunakan riwayat tanpa menggunakan ra'y dan begitu juga sebaliknya.
Mafatih al-Ghaib sebagai tafsir yang dikelompokkan kedalam tafsir bi al- ray
tetap saja menggunakan riwayat sebagai salah satu rujukan penafsirannya.
Padahal penggunaan ke dua sumber tafsir tersebut belum pasti tepat dan benar,
sehingga peluang terjadinya al- Dakhil dalam riwayat dan dalam ra'y bisa terjadi
dalam semua tafsir, termasuk dalam tafsir Mafatih al-Ghaib.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
7/28
7
Al-Dakhil fi al-Tafsir
Berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ahli, dapat
disimpulkan bahwa tafsir, takwil, dan terjemah adalah merupakan usaha nalar atau
ijtihad manusia untuk memahami dan menyingkapkan kandungan makna dan
nilai-nilai al-Quran.
Tumbuhnya unsur-unsur yang kemudian diistilahkan dengan al-Dakhil
mulai terjadi pada tafsir masa Tabiin. Tafsir pada masa tabiin memiliki ciri khas
sebagai berikut:
1) Tafsir periode tabiin pada umumnya belum ada yang tertulis dan senantiasadipengaruhi oleh kajian-kajian keilmuan dan riwayat-riwayat yang menjadi
ciri khusus identitas madrasah tempat mereka belajar, seperti mufasir Mekkah
dari Ibn Abbas sedangkan mufasir Iraq dari Ibn Masud.
2) Masuknya riwayat-riwayat israiliyyat dari tokoh ahlul kitab yang masukislam. Meskipun riwayat tersebut tidak berkaitan dengan masalah akidah,
tetapi lebih berkaitan dengan penjelasan masalah asal mula kejadian, rahasia
di balik wujud dan qishah umat terdahulu yang bersipat mujmal dalam al-
Quran. Diantara tokoh muslim dari ahlul kitab yang menjadi sumber
israiliyyat adalah Abdullah ibn Salam, Kaab al- Akhbar, Wahab ibn
Munabbih, Abdul Malik ibn Abdul Aziz Ibn Juraij.
3) Timbulnya pertentangan dan perselisihan pendapat seputar tafsir ayat yangberkaitan dengan akidah.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
8/28
8
Berdasarkan pengertian bahasa, kata al- Dakhil dalam tafsir berarti suatu
aib dan kerusakan yang tersembunyi dan hakikatnya samar yang disisipkan di
dalam tafsir al-Quran. Akibat kesamaran tersebut, usaha untuk mengetahui dan
mengungkapkannya membutuhkan suatu penelitian. Ibrahim Khalifah dan Hasyim
Nayil menulis pengertian al-dakhil sebagai berikut:
"
."
Berdasarkan kandungan makna kebahasaan, pengertian al- Dakhil
dalam tafsir adalah suatu kecacatan dan kesalahan yang tidak
diungkapkan secara jelas dan terdapat di sela-sela tafsir al-Quran al-Karim. Akibat kerahasiaan (ksamaran) aib tersebut, maka usaha untuk
mengungkapkannya membutuhkan suatu pemikiran yang serius.
Sedangkan definisi al- Dakhil dalam tafsir menurut istilah adalah:
" ."
Al- Dakhil dalam tafsir adalah penafsiran al-Quran dengan riwayat (al-
matsur) yang tidak sahih, atau penafsiran al-Quran dengan riwayat sahih
tetapi tidak memenuhi syarat-syarat untuk diterima (ghair maqbul), atau
juga penafsiran al-Quran dengan nalar yang salah.
Menurut Abdul Wahab Fayid seperti yang dikutip oleh Ibrahim Nayil, al-
Dakhil dalam tafsir adalah:
"
."
Lebih jelas lagi pengertian yang diungkapkan oleh Sayid Mursy Ibrahim
al-Buyumy seperti yang dikutif oleh Ibrahim Nayil. Menurutnya al-Dakhil adalah:
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
9/28
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
10/28
10
yang mengutarakannya adalah sahabat yang dikenal sebagai sahabat yang
sering menjadikan cerita israiliyat sebagai sumber informasi dan periwayatan.
Pendapat sahabat seperti ini dikelompokkan dalam al-dakhiil al- naqli dengan
dua syarat, yaitu: Pertama, tidak adanya ayat al-Quran atau hadits sahih yang
sesuai atau senada dengan riwayat tersebut; Kedua, riwayat israiliyat tersebut
bertentangan dengan al-Quran dan hadits sahih. Sebaliknya, jika riwayat
tersebut sesuai dengan al-Quran atau dengan hadits sahih maka penafsiran
dengan riwayat tersebut termasuk ke dalam al-ashiil al- naqli.
4. Menafsirkan al-Quran dengan pendapat sahabat yang kontradiktif denganpendapat sahabat yang lain, sedang pertentangan tersebut sangat kontras dan
tidak dapat dikompromikan atau ditarjih.
5. Menafsirkan al-Quran dengan pendapat tabiin yang tidak valid, sepertimenafsirkan al- Quran dengan hadits maqthu yang dipalsukan atas nama
tabiin atau sanad hadits tersebut dhaif.
6. Menafsirkan al-Quran dengan hadits maqthu yang matannya bersumber padariwayat israiliyyat.
7. Menafsirkan al-Quran dengan riwayat yang bertentangan dengan salah satubentukal-ashiil al-naqli dari keempat bentukal-ashiil al- naqli yang pertama,
sedangkan kontradiksinya sangat kontras dan tidak dapat dikompromikan.
8.
Menafsirkan al-Quran dengan riwayat dari salah satu bentuk al-ashiil al-
naqli ketiga terakhir yang bertentangan dengan nalar.
9. Menafsirkan al- Quran dengan riwayat yang bertentangan dengan penafsiranyang lebih kuat dari salah satu bentukal-ashiil al- naqli.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
11/28
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
12/28
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
13/28
13
2. Riwayat yang bersumber dari Al-Hasan, bahwa setelah Ayub as ditimpamusibat selama 7 tahun 7 bulan.
3. Riwayat yang bersumber dari Dhahak dan Muqatil. Menurutnya, Ayubditimpa musibat selama 7 tahun 7 bulan 7 hari dan 7 jam.
4. Wahab ibn Munabbih menuturkan bahwa untuk mendapatkan makananterpaksa istri Ayub as menjual (qarn) rambutnya untuk ditukar dengan roti.
Ketika Ayub as mengetahuinya maka Ayub berkata,
5. Menurut Ismail al- Sudy, ada tiga alasan yang menjadi penyebab perkataanAyub as , yaitu: Pertama, perkataan kedua
temannya yang meragukan keihlasan perbuatan Ayub; Kedua, perbuatan
istrinya yang mau menjual rambutnya demi mendapatkan makanan
sehingga penampilannya menyerupai laki-laki dan hal ini dilakukan atas
godaan iblis; Ketiga, ketika istrinya mengatakan perbuatan yang telah
dilakukannya.
6. Diceritakan bahwa setiap ulat yang jatuh dari pahanya, Ayub selalumenempatkannya kembali pada tempatnya dan berkata, Allah telah
menjadikanku sebagai makanan begimu. sehingga ulat tersebut
menggigitnya kembali menyebabkan rasa sakit yang sangat. Ketika itulah
Ayub berkata,
Kesahihan riwayat Ibn Syihab diatas yang lengkapnya diriwayatkan oleh
Ibn Abi Hatim dengan rangkaian sanad diterima dari Ibn Syihab al-Zuhri dari
Anas ibn Malik ra. dari Nabi saw. telah disangkal oleh para Muhaditsin.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
14/28
14
Meskipun Ibn Hajar menilai sanad tersebut merupakan yang paling sahih, namun
para ulama menyatakan bahwa penisbatan pernyataan tersebut kepada Nabi saw
merupakan perbuatan sebagian para pemalsu hadits yang selalu memanfaatkan
rangkaian sanad untuk memperkuat matan, atau merupakan kesalahan sebagian
rawi hadits. Padahal kesahihan sanad tersebut tidak dapat mengingkari kenyataan
bahwa kisah tersebut merupakan cerita dan bualan israiliyat yang semuanya
bersumber dari Wahab ibn Munabih yang tidak didukung oleh dalil aqli dan naqli.
Bahkan Ibn Katsir berkomentar, .2
Menurut Ibrahim Nayil, semua riwayat yang menceritakan kisah Ayub as
di atas merupakan dakhilat mardudat sebab semua nabi terhindar dari penyakit
yang dapat mengurangi martabat kemanusiaan sehingga mereka diasingkan oleh
umatnya, seperti penyakit lepra yang menyebarkan bau tidak enak.3
Dengan tegas al-Alamah Muhamad al-Dasuki menyatakan, Segala
sesuatu yang dapat mengurangi martabat kenabian, seperti penyakit lepra dan
corob, mustahil menimpa para nabi.4
Begitu pula mengenai lamanya penyakit atau musibah yang menimpa
Ayub as, tidak ada riwayat sahih yang menerangkan hal tersebut. Imam al-
Qurthubi menuturkan pendapat Ibn al-Arabi, Tidak ada satu khabar sahih pun
yang menerangkan lamanya musibah Ayub as.5
Contoh lain penggunaan riwayat Israiliyat adalah penafsiran al-Razi
tentang Kisah Ratu Bilqis dalam QS. Al-Naml ayat 44.
2Abu Syuhbah, Loc.Cit, hal. 279
3Nayil, Loc.cit, hal. 198.
4Al-Dasuki, Hasyiah al-Alamah Muahamad al-Dasuki ala Syarh Umm al-Barahin li Syaikh
Muhamad al-Sanusi, Dar al-Kutub al-Arabiah al-Kubra, hal, 186.5 Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Quran, Jilid 11, hal. 327.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
15/28
15
Al-Razi mengutip cerita yang menerangkan alasan Nabi Sulaiman as
membangun istana kaca di atas air, yaitu disamping untuk membuktikan
keagungan dan kenabiaannya, juga agar beliau dapat mengetahui keadaan Ratu
Bilqis. Menurut riwayat yang dikutif al-Razi, Hal ini dilakukan karena beliau
mendengar cerita Jin yang menyatakan bahawa kaki Ratu Bilqis dipenuhi bulu
dan menyerupai kaki keledai. Hal ini dilakukan Jin agar Nabi Sulaiman tidak jadi
menikahi Bilqis. Jika Sulaiman mehirkan keturunan dari Bilqis, Jin khawatir
mereka akan tetap berada di bawah kekuasaan keturunan Sulaiman.
Riwayat ini menurut Ibrahim Nayil, termasuk al-Dakhil yang mesti
ditolak. Selain itu tidak ada satu khabar sahih pun yang menjelaskan apakah Nabi
Sulaiman menikahi Bilqis atau tidak.6
Dan menurut Ibn Katsir, semua informasi
dalam konteks ini bersumber dari ahli kitab, seperti Wahab ibn Munabbih dan
Kaab al-Akhbar yang diberi keleluasaan oleh Allah untuk meriwayatkan cerita-
cerita menarik dan asing, baik yang masih asli maupun yang sudah berubah,
kepada umat islam. Tetapi Allah memberikan informasi lain yang lebih kuat dan
bermanfaat sehingga umat islam tidak perlu lagi memperhatikan cerita-cerita
tersebut.7
Riwayat Israiliyat lain yang dipakai sumber penafsiran al-Razi dapat
ditemukan dalam penafsirannya tentang Kisah Nabi Ibrahim as. Dalam QS.
Ibrahim ayat 68-69; Kisah Nabi Sholih as dalam QS. Al-Araf ayat 73; Kisah
tentang Nabi Musa as dalam QS. Al-Qshshash ayat 31; Jumlah Tukang sihir
Firaun dalam QS.Thaha ayat 65; Kisah Dua Anak Adam dalamQS. Al-Maidah
6Al-Nayil, Loc. Cit. hal. 178-179
7 Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Karim, Jilid 3, hal. 366
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
16/28
16
ayat 27; Kisah Nabi Idris as dalam QS Maryam ayat 56-57; Kisah Ashab al-
Kahfi; Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir; Kisah Dzul Qarnain; Kisah Yajuj wa
Majuj; Kisah Nabi Isa as dalam QS. Al-Maidah ayat 115;
2. Al-Dakhil dalam bentuk penafsiran dengan Hadits Dlaif
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib terdapat penafsiran dengan menggunakan
Hadits Dlaif. Diantara contoh al-Dakhil al-Naqli dalam bentuk penafsiran dengan
menggunakan Hadits Dlaif adalah:
a. Penafsiran ayat tentang munculnya binatang sebagai tanda akan terjadinya
kiamat yaitu QS. Al-Naml ayat 82.
Menurut al-Razi ayat ini menerangkan tanda akan terjadinya kiamat, yaitu
munculnya seekor binatang. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan kehadiran
binatang tersebut, yaitu:
1. Disebutkan dalam sebuah Hadits, bahwa tinggi binatang tersebut adalah enamhasta. Diriwayatkan lagi bahwa kepalanya mencapai awan. Diterima dari Abi
Hurairah bahwa jarak antara dua tanduknya sepanjang dua Farsakh (mil).
2. Diriwayatkan bahwa binatang tersebut tingginya empat kali manusia, berbuludan bertanduk. Menurut Ibn Juraij, Kepala binatang tersebut seperti kepala
sapi jantang, matanya seperti mata babi, telinganya seperti telinga gajah,
tanduknya seperti tanduk unta, dadanya seperti dada singa, kulitnya seperti
kulit harimau, perutnya seperti perut sapi, ekornya seperti ekor kambing, dan
telapak kakinya seperti telapak kaki unta.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
17/28
17
3. Menurut Ali ra, binatang tersebut muncul selama tiga hari sedangkanmanusia tidak berani keluar rumah kecuali sepertiga jumlah manusia.
Menurut Hasan al-Bashri, Binatang tersebut tidak muncul dengan sempurna
kecuali setelah tiga hari.
4. Rasulullah saw ditanya mengenai tempat keluarnya binatang tersebut. Beliaumenjawab, Binatang itu keluar dari mesjid yang paling besar, sebagai
penghormatan terhadap al- Masjid al-Haram. Diriwayatkan lagi bahwa ia
keluar dari Bukit Shafa dan berbicara dengan Bahasa Arab sambil membawa
tongkat Nabi Musa dan cincin Nabi Sulaiman. Kemudian binatang tersebut
memukul muka orang beriman tepat antara dua matanya yang mengakibatkan
wajah orang tersebut menjadi bercahaya (terang), berbeda dengan wajah orang
kafir yang berubah menjadi hitam setelah dipukul telinganya.
5. Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa ia muncul sebanyak tiga kali, yaitu:Pertama muncul dan menetap di pinggir kota Yaman; Kemudian muncul dan
menetap lama di pegunungan; Kemudian yang terakhir muncul dari antara
tiang tepat di rumah Bani Makhzum yaitu sebelah kanan al- Masjid al-Haram,
sehingga sebagian orang melarikan diri dan sebagian lagi tetap tinggal di
dalam mesjid.8
Komentar al-Razi tentang kisah di atas:
Ketahuilah bahwa tidak ada keterangan yang jelas dalam alquran
mengenai hal ini, jika informasi tentang hal tersebut benar- benar dari
8 Al-Razi, Ibid, Juz. 23, hal. 217-218.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
18/28
18
Rasul saw maka dapat diterima, tetapi jika tidak maka informasi tersebut
jangan dihiraukan.
3. Al-Dakhil dalam bentuk Penafsiran dengan Hadits Mauquf yang
berlawanan dengan Hadits Mauquf lainnya dan tidak dapat dikompromikan
Hadits Mauquf adalah hadits yang bersumber dari sahabat. Al-Razi biasa
menyebut hadits mauquf dengan istilah Atsar. Diantara contoh penafsiran dengan
menggunakan Atsar dan termasuk al-Dakhil al-Naqli adalah penafsiran al-Quran
surat al-Anbiya ayat 37.
Dalam ayat ini al-Razi mengungkapkan dua pendapat berbeda mengenai
tafsir kata . Pendapat pertama menyatakan behwa maksud kata disini
adalah spesies manusia, artinya manusia secara keseluruhan. Pendapat inilah yang
dipegang oleh al-Razi sesuai komentarnya:
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa kata diatas tertuju
pada manusia tertentu. Menurut pendapat Mujahid, Said ibn Jubair, Ikrimah, al-
Sudy, al-Kalaby, Muqatil, dan al-Dhahak, maksud kata adalah Adam as.
Pendapat ini didasarkan pada riwayat Ibn Juraij dan al-Laits ibn Sulaim dari
Mujahid, bahwa ia berkata:
.
.
Setelah beres segala urusan penciptaan, maka Allah menciptakan Adampada akhir hari Jumat. Ketika ruh baru memasuki kepalanya dan belum
sampai ke bawah, Adam berkata, Ya Rabbi, percepatlah penciptaanku
sebelum terbenamnya matahari. Menurut Laits, gara-gara perkataan
inilah turun firman Allah .
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
19/28
19
,
,
Diriwayatkan dari al-Sudiy, bahwa ketika ruh memasuki kepala, tiba-tiba Adam
bersin. Kemudian Malaikat menyuruhnya untuk mengucapkan alhamdulillah.Adam pun mengucapkannya dan dijawab oleh malaikat dengan ucapan .
Ketika ruh memasuki matanya, adam melihat-lihat buah-buahan surga.
Kemudian ketika ruh memasuki perutnya, Adam merasa lapar ingin makanan,
dan ia pun lompat mengambil buah surga sebelum ruh memasuki kedua kakinya.
Peristiwa inilah yang mengakibatkan keturunannya bersifat tergesa-gesa.
Adapun menurut Ibn Abas yang diriwayatkan oleh Atha, kata
dalam ayat tersebut ditujukan kepada al-Nadhar ibn al-Harits.9
2.Al- Dakhil al-Rayi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib
Ada beberapa bentukAl- Dakhil al-Rayi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib,
diantaranya:
1. Pemaksaan pemikiran Kalam
Sesuai kapasitasnya sebagai teolog, tafsir yang dikembangkan al-Razi
lebih banyak diwarnai pembahasan dan perdebatan kalam. Hampir tiap ayat
digiring dalam perdebatan kalam, terutama perdebatan antara Jabari dan Qodari,
dan antara Mutazili dan Asyari, padahal tidak semua ayat alquran terkait
langsung dengan pembahasan yang digiring oleh al-Razi. Misalnya, ada ayat yang
langsung terkait dengan masalah kalam Allah seperti alquran surat al-Zuhruf ayat
2,10
sehingga pembahasan tentang itu akan dianggap tepat, tetapi al-Razi
memaksakan perdebatan itu dalam ayat lain yang secara dlahir tidak terkait
9Al-Razi, Ibid, juz.22, hal. 171
10
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
20/28
20
dengan masalah kalam Allah, seperti QS. Al-Araf ayat 54. Tentunya argumentasi
yang dianggap kuat adalah argumentasi yang dipegang oleh pengikut Asyari. Hal
ini karena al-Razi adalah dikenal sebagai salah seorang ulama yang membela
paham Asyari. Argumentasi dan pemikiran Asyari yang dipegang dalam tafsir
ini sering dibahasakan dengan istilahAshabuna.
2. Pemaksaan pemikiran Tasawuf
Al-Razi berusaha menggiring makna ayat kedalam pembahasan tasawuf
dengan menampilkan rahasia-rahasia yang terkandung di balik ayat, seperti ketika
menafsirkan Surat al-Fatihah, al-Razi memaparkan rahasia-rahasia yang
terkandung di dalam surat tersebut. Diantara rahasia Surat al-Fatihah yang
termasuk unsur al-Dakhil dalam tafsir, yaitu ketika menafsirkan ayat:
.
Dalam permasalahan pertama sub ke lima, al-Razi mengungkapkan
beberapa rahasia atau makna batin (lathaif) yang terkandung ayat di atas dan
termasuk unsur al-Dakhil, yaitu:
a. Pada rahasia pertama, menurut al-Razi, bahwa merupakan jalanyang benar baik dalam keyakinan maupun dalam amal ibadah. Ada tiga alasan
merupakan jalan keyakinan dan amal yang benar, yaitu:
Pertama, Orang yang berlebihan dalam mensucikan (tanzih) akan mengingkari
sifat-sifat Tuhan, sedangkan orang yang berlebihan dalam menetapkan sifat
akan terjerumus kepada tasybih dan tajsim. Adapun jalan
keyakinan yang terbebas dari unsur tasybih dan pengingkaran sifat Tuhan;
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
21/28
21
Kedua, orang yang menyakini bahwa semua perbuatan manusia berasal dari
manusia itu sendiri maka ia terjerumus kepada paham qadariah, sedangkan
jika meyakini bahwa manusia sama sekali tidak melakukan perbuatan ia
terjerumus kepada paham jabariah padahal kedua paham tersebut merupakan
paham yang menyimpang. Adapun , menetapkan perbuatan
dilakukan manusia sambil mengakui bahwa semuanya itu merupakan
keputusan Allah; dan ketiga, dalam amal ibadah, orang yang
berlebihan dalam perbuatan syahwaniah akan terjerumus kedalam kejahatan
(dosa), sedangkan orang yang tidak melakukan suatu pekerjaan akan statis.
Adapun amal , melahirkan kehati-hatian. Amal
melahirkan keberanian, bukan pengecut dan sembrono.
b. Pada rahasia ketiga, bahwa menurut sebagian ulama, Allah menyempurnakankata dengan ayat . Ini menunjukkan bahwa
tidak ada jalan dan cara bagi seorang murid untuk dapat sampai kepada
maqam al-hidaya dan al-mukasyafat, kecuali ia mengikuti seorang guru yang
membimbingnya dari jalan yang menyimpang dan menjauhkannya dari
kesesatan dan penyimpangan tersebut. Hal ini karena kebanyakan manusia
berada dalam kekurangan, akalnya tidak cukup untuk dapat melihat kebenaran
(al-haq) dan membedakannya dari yang salah. Dengan demikian, guna
mencapai derajat kebahagiaan dan naik kemaqam kesempurnaan, mesti ada
orang sempurna yang dapat diikuti oleh orang yang kurang tadi, sehingga
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
22/28
22
kekurangan akal tersebut diperkuat oleh cahaya akal orang sempurna
tersebut.11
Dalam masalah kedua, a-Razi menyatakan, bahwa setelah menetapkan
masalah ketuhanan, kemudian Allah memerintahkan untuk membenahi tiga
tahapan kesempurnaan manusia, yaitu: pertama Maqam al-Syaria,tyaitu dengan
melakukan amal perbuatan jawarih, inilah yang dimaksud dengan ayat ;
KeduaMaqam al-Thariqat,yaitu perpindahan dari alam syahadah ke alam ghaib,
sehingga terlihat bahwa alam syahadah seakan akan tunduk ke alam ghaib, inilah
maksud ayat ; dan ketiga Maqam al-Haqiqat, yaitu melepaskan seluruh
ketergantungan dengan alam syahadah, semua urusan hanya di tangan Allah,
inilah maksud ayat .12
3. Pemaksaan argumentasi akal
Selain sebagai seorang teolog, al-Razi dikenal sebagai filusuf. Hal ini
mengakibatkan tafsirnya banyak diwarnai argumentasi-argumentasi akal. Padahal
terkadang argumentasi tersebut tidak dapat menambah kejelasan makna dan
kandungan alquran. Diantara contoh al-Dakhil dalam bentuk ini adalah penafsiran
kata dalam ayat:
13
Dalam masalah keempat, al-Razi menuturkan bahwa Allah menjadikan
bumi terhampar dan dapat didiami ( ) seperti yang terkandung dalam ayat-
11
Al-Razi,Ibid, Juz 1, hal. 189-190.12
Al-Razi, Ibid, hal. 191-192.13 QS. Al-Baqarah : 22
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
23/28
23
ayat lainnya. Kemudian al-Razi mengajukan empat syarat agar bumi ini dapat
terhampar, yaitu:14
Syarat Pertama adalah keadaan bumi harus diam tidak bergerak, baikgerakan vertikal ( turun-naik ) maupun memutar. Jika bumi bergerak
turunnaik maka bumi kehilangan grafitasinya sehingga manusia akan
melayang-layang. Hal ini karena bumi lebih berat dibanding manusia,
sedangkan sesuatu yang lebih berat akan akan lebih cepat turun dibanding
sesuatu yang lebih ringan. Sedangkan jika bumi bergerak memutar maka
manusia akan jalan di tempat, manusia tidak akan sampai ke tujuannya.
Hal ini karena perputaran bumi lebih cepat dibanding jalan manusia. Maka
semua gerakan itu mangakibatkan bumi tidak dapat dimanfaatkan oleh
manusia.
Syarat kedua adalah keadaan bumi tidak terlalu keras sekeras batu. Jikasekeras batu, akan menyakitkan badan ketika ditiduri dan berjalan, bumi
susah ditanami, dan manusia tidak akan dapat membangun karena susah
untuk menggali sesuai keinginannya. Begitu pula bumi tidak terlalu
lembek selembek air, sebab manusia akan terbenam kedalamnya.
Syarat ketiga adalah keadaan bumi tidak terlalu lembut dan tipis, karenasesuatu yang tipis tidak akan dapat menahan cahaya bintang dan matahari
sehingga bumi akan menjadi dingin. Dengan demikian Allah pun
menjadikan bumi sebagai debu yang dapat menahan cahaya sehingga
dapat didiami oleh makhluk hidup.
14 Al-Razi, Ibid, Juz 2, hal. 113-114
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
24/28
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
25/28
25
Menurutnya ayat ini mempunyai enam permasalahan, yaitu:
1. Perbuatan Allah Swt tidak didasarkan atas satu kepentingan. Karena kalauAllah mempunyai kepentingan, maka Dia tidak sempurna dalam dzat-Nya;
sedangkan hal itu mustahil bagi Allah.
2. Ayat ini menjadi dalil para Fuqaha bahwa hukum asal pemanfaatan adalah al-ibahat(boleh).
3. Dengan demikian diperbolehkan untuk memanfaatkan kekayaan dankandungan bumi.
4. Allah tidak membutuhkan sesuatu, karena kalau membutuhkan sesuatu makasemua perbuatan-Nya pun pasti diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-Nya itu
dan bukan untuk kepentingan yang lain-Nya (untuk makhluk-Nya).
5. Ayat ini menunjukkan keberadaan 7 macam langit. Tetapi maksud langitmenurut al-Razi dalam ayat tersebut adalah bintang dan planet. Ketujuh langit
tersebut adalah sama seperti keyakinan ashab al-haiat, yaitu: Planet terdekat
dengan bumi adalah Qamar (bulan), diatasnya ada Atharid (Merkurius),
kemudian Zahrah (Venus), Syams (Matahari), Murikh (Mars), Musytary
(Jupiter), dan Zuhal (Saturnus). Kemudian al-Razi menjelaskan secara
panjang lebar mengenai posisi dan pergerakan masing-masing planet tersebut
disertai pendapat para ahli. Pada akhirnya, al-Razi mengakui bahwa jumlah
tersebut masih mungkin untuk bertambah karena penggunaan redaksi al-Saba
dalam ayat tersebut tidak menafikan untuk adanya tambahan.15
15 Al-Razi, Ibid, Juz 2. hal. 169-173
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
26/28
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
27/28
27
sangat dipengaruhi pendapat al-Syafii. Sedangkan dalam bidang kalam, tafsir ini
sangat diwarnai aliran Asariyah.
Penelitian ini menunjukkan adanya unsur-unsur al-Dakhil dalam tafsir al-
Razi, baik al-dakhil al-naqli maupun al-dakhil al- rayi. Diantara bentuk al-Dakhil
al-Naqli adalah: Penggunaan riwayat israiliyat baik yang dikomentari maupun
yang dibiarkan tanpa komentar, penggunaan hadits dlaif, baik yang marfu,
mauquf dan maqthu, bahkan riwayat-riwayat tersebut sering dikutif dengan tanpa
menyebutkan rangkaian sanadnya secara utuh.
Sedangkan diantara bentuk al-Dakhil al-Rayi adalah pemaksaan
pembahasan kalam secara panjang lebar hampir di tiap ayat, meliputi perdebatan
kalam antara aliran Asyariah yang selalu dibelanya dengan aliran Mutazilah
yang menjadi lawannya, meskipun terkadang dhahir ayat tersebut tidak terkait
langsung dengan pemikiran kalam yang diperdebatkannya. Argumentasi-
argumentasi logika sangat mewarnai penafsiran al-Razi. Hampir seluruh disiplin
ilmu, baik ilmu-ilmu keagamaan yang sudah berkembang saat itu seperti ilmu
kalam, ilmu Fikih, ilmu Tasawuf, ilmu Bahasa, dan Filsafat, maupun ilmu-ilmu
baru seperti ilmu Astronomi dan ilmu-ilmu Alam lainnya dijadikan pisau analisis
untuk memahami al-Quran. Hal inilah yang menjadikan tafsir tersebut memiliki
kelebihan dibanding karya tafsir lainnya. Meskipun keluasan pembahasan dari
berbagai disiplin ilmu tadi menjadikannya terkesan kabur dari konteks tafsir,
sehingga untuk bisa menangkap makna dan kandungan tafsir ayat al-Quran di
balik pembahasannya yang luas menuntut kejelian dan kesunguhan.
-
7/28/2019 Al Dakhil Dalam Tafsir Mafatih Al Ghaib
28/28
28