akuntansi pajak-curang restitusi ppn

99
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG SKRIPSI ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA Diajukan oleh: ARISNA HENDRAWAN NPM: 04460004173 AJUN AKUNTAN Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2002 Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sains Terapan Akuntansi Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2006

Upload: rahma-fitri

Post on 02-Dec-2015

793 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG

SKRIPSI

ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA

Diajukan oleh: ARISNA HENDRAWAN

NPM: 04460004173

AJUN AKUNTAN Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Tahun 2002

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat

Guna Mencapai Gelar Sains Terapan Akuntansi Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Tahun 2006

Page 2: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI NAMA : ARISNA HENDRAWAN

NPM : 04460004173

BIDANG SKRIPSI : PERPAJAKAN

JUDUL SKRIPSI :

ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA

Mengetahui Menyetujui

Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Suyono Salamun, Ph. D NIP 060052727

Dosen Pembimbing,

Dr. F. Zebua, MM.

ii

Page 3: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG

PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF NAMA : ARISNA HENDRAWAN

NPM : 04460004173

BIDANG SKRIPSI : PERPAJAKAN

JUDUL SKRIPSI :

ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA

Jakarta,

1. …………………………………………………. (Ketua Penguji)

2. …………………………………………………. (Anggota Penguji/Pembimbing)

3. …………………………………………………. (Anggota Penguji)

iii

Page 4: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa

melimpahkan rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul “ANALISIS KECURANGAN

RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA” dapat

diselesaikan guna memenuhi sebagian dari syarat-syarat lulus program Diploma IV pada

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan

untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada

semua pihak yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya untuk membantu penulis

dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta. Almarhum dan Almarhumah yang telah

membesarkan, mengasuh, dan membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab

dan rasa kasih sayang.

2. Bapak Suyono Salamun, Ph.D. selaku Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

3. Bapak Dr. F Zebua, MM selaku dosen pembimbing materi skripsi yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing penulis secara langsung.

4. Bapak Bambang Yuli Istanto, SE. selaku dosen pembimbing teknis yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

iv

Page 5: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

5. Seluruh dosen dan widyaiswara yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan

bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan di Sekolah Tinggi

Akuntansi Negara.

6. Ibut dan Yoyok, adik-adikku yang selalu memberi semangat dan perhatian, serta

seluruh rekan-rekan semuanya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang

telah membantu baik secara moral maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Dan hanya kepada Allah SWT kita berharap.

Tangerang, Mei 2006

Penulis

Arisna Hendrawan

v

Page 6: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ......................................................................

LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF ...........................

KATA PENGANTAR .................................................................................................

DAFTAR ISI ................................................................................................................

ii

iii

iv

vi

BAB I.

BAB II.

PENDAHULUAN ...................................................................................

A. Latar Belakang Masalah .....................................................................

B. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................................

D. Metodologi Penelitian ........................................................................

E. Sistematika Penulisan ........................................................................

LANDASAN TEORI ......................................................................

A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai ..............................

B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ..............................

C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai ............................................

1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai .........................................

2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai ..................

3. Dasar Pengenaan Pajak .................................................................

4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ......................

5. Faktur Pajak ......................................... .........................................

6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai ...................

7. Sanksi Administrasi dan Pidana ....................................................

1

1

3

3

5

5

8

8

10

11

11

15

16

17

18

20

21

vi

Page 7: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

BAB III.

BAB IV.

BAB V.

MEKANISME PENGKREDITAN DAN KECURANGAN

RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI .................................

A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak ..........................................................

B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai ..........................

C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ......

D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ...........

PEMBAHASAN ....................................................................................

A. Tinjauan Penerapan Atas Asas Pemungutan Pajak ............................

1. Asas Equality .................................................................................

2. Asas Certainty ...............................................................................

3. Asas Convenience .........................................................................

4. Asas Efficiency ..............................................................................

B. Analisis dan Pembahasan ...................................................................

1. Sebab-sebab Munculnya Kecurangan Restitusi Pajak

Pertambahan Nilai ....................................................... ...............

2. Akibat Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai ...............

3. Pencegahan dan Penanganannya ..................................................

SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………....

A. Simpulan ............................................................................................

B. Saran …………………………………………………………….......

25

25

27

30

33

45

45

46

49

53

56

59

59

70

78

88

88

90

DAFTAR PUSTAKA .

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .

vii

Page 8: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Salah satu permasalahan utama dalam pelaksanaan pembangunan adalah

tersedianya dana. Dalam sistem kenegaraan yang modern, pajak merupakan tulang

punggung pembiayaan pelaksanaan pembangunan. Pajak juga sangat berperan dalam

menggerakkan roda-roda perekonomian secara makro, yaitu sebagai stimulus fiskal yang

terkait dengan iklim investasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kestabilan

perekonomian. Sebagai wujud dari kemandirian bangsa, sudah seharusnya masyarakat

sebagai Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya, sebagai kewajiban kenegaraan,

dalam pembiayaan negara untuk pembangunan nasional.

Mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia telah diatur melalui

undang-undang perpajakan. Melalui reformasi perpajakan sejak tahun 1983 dan disusul

dengan perubahan-perubahan lainnya dalam undang-undang perpajakan, sistem

perpajakan Indonesia telah berubah dari sistem official assessment menjadi sistem self

assessment. Dalam sistem self assessment ini Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk

menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang, serta

melaporkan kewajiban perpajakannya. Penerapan sistem ini bukan berarti Wajib Pajak

diberi kebebasan penuh untuk memenuhi kewajiban perpajakan sesuai kehendaknya

sebab dalam undang-undang perpajakan juga telah diatur mekanisme pengawasan bagi

1

Page 9: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

2

Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar. Pemberian

kesempatan kepada Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakan melalui sistem self

assessment ini diharapkan akan semakin meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib

Pajak sehingga penerimaan negara diharapkan semakin meningkat.

Disamping meningkatkan penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan,

setiap tahun pasti terdapat kasus dimana Wajib Pajak memohon pengembalian atas pajak

yang lebih bayar atau sering disebut restitusi, terutama di bidang Pajak Pertambahan

Nilai. Wajib Pajak mempunyai hak atas restitusi karena adanya kelebihan pembayaran

pajak yang telah disetor ke kas negara dan diharapkan dengan hasil dari restitusi tersebut

akan dapat membantu arus kas usahanya.

Bagi Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat yang sah untuk pengembalian

kelebihan pajak sudah seharusnya segera dikabulkan permohonan restitusinya karena

disamping pertimbangan ekonomi Wajib Pajak, hal ini merupakan kewajiban bagi negara

untuk memenuhinya. Permasalahan yang timbul adalah adanya upaya kecurangan atas

restitusi-restitusi Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Kasus-kasus kecurangan restitusi ini

tentu saja sangat merugikan negara karena seharusnya pajak yang direstitusikan dapat

digunakan sebagai biaya pembangunan.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan untuk Tahun Anggaran 1999/2000

menunjukkan adanya kecurangan dalam kasus restitusi Pajak Pertambahan Nilai sebesar

Page 10: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

3

Rp 642,11 Milyar.1 Kerugian negara tersebut baru berdasarkan sampel saja karena tidak

semua Kantor Pelayanan Pajak dan semua restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang telah

dikeluarkan oleh fiskus diperiksa. Dapat dibayangkan kerugian negara akibat adanya

kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang sangat besar, dan belum termasuk

jenis pajak yang lainnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, skripsi ini berusaha untuk menganalisis

kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan mencoba untuk memberikan

saran-saran alternatif pencegahan dan upaya penanganannya.

B. Ruang Lingkup Penelitian

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kecurangan restitusi

Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam

upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bagaimana peraturan perpajakan

memandang permasalahan ini akan diuraikan oleh penulis tetapi sebelumnya akan

diuraikan mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai dan mekanisme

kompensasi serta restitusi Pajak Pertambahan Nilai.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara ringkas, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui

penulisan skripsi ini, adalah:

1Badan Pemeriksa Keuangan, Hasil Pemeriksaan Atas Pemberian Restitusi Pajak

(Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2003), hal. 3.

Page 11: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

4

1. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kecurangan dalam restitusi Pajak

Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan

penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan

Nilai

b. Untuk mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari kecurangan dalam restitusi

Pajak Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan

penggunaan Faktur Pajak.

c. Mencari alternatif cara untuk menanggulangi kecurangan dalam restitusi Pajak

Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam

upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai.

d. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mahasiswa Program Diploma IV

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

2. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

langsung maupun tidak langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan

mengenai adanya kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya

penyimpangan penggunaan Faktur Pajak.

Page 12: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

5

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dalam

bidang perpajakan khususnya Pajak Pertambahan Nilai.

c. Sebagai sarana pelatihan bagi penulis untuk menulis suatu karya ilmiah yang baik

dan benar.

D. Metodologi Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian ilmiah tinjauan kepustakaan

yang bersifat deskriptif berdasarkan data sekunder dengan mencoba memberikan

gambaran mengenai permasalahan yang dibahas. Disamping itu juga digunakan

pendekatan normatif dimana penulis akan mencoba memberikan saran-saran yang

diharapkan dapat membantu pemecahan permasalahan yang ada.

E. Sistematika Penelititan

Dalam rangka pembahasan dan pemberian gambaran yang lebih sistematis, skripsi

ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari beberapa subbab yang akan

diuraikan sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, ruang lingkup penelitian,

tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan untuk

memperoleh bahan penulisan skripsi ini, serta sistematika pembahasan yang

menggambarkan secara garis besar/pokok-pokok permasalahan yang ditulis

secara menyeluruh.

Page 13: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

6

BAB II. LANDASAN TEORI

Untuk mendukung dan memperkuat pembahasan yang akan dilakukan, bab ini

akan menguraikan dasar-dasar teori yang akan digunakan sebagai pembahasan

permasalahan yang meliputi pengertian dan sejarah Pajak Pertambahan Nilai,

asas-asas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dan konsep dasar Pajak

Pertambahan Nilai.

BAB III. MEKANISME PENGKREDITAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN

KECURANGAN RESTITUSI PPN

Pada bab ini akan diuraikan secara garis besar kebijakan dan perlakuan

perpajakan terhadap mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai serta

mekanisme kompensasi dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bab ini juga

akan mencoba memberikan kasus-kasus kecurangan restitusi Pajak

Pertambahan Nilai, tetapi sebelum menguraikan hal-hal tersebut akan

diberikan gambaran tentang konsep mengenai Faktur Pajak dan jenis-jenis

Faktur Pajak.

BAB IV. PEMBAHASAN

Bab ini berisi tinjauan dari segi asas pemungutan pajak serta analisis dan

pembahasan mengenai sebab-sebab timbulnya kecurangan restitusi Pajak

Pertambahan NilaI, akibat, serta alternatif pencegahan dan penanganannya.

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan permasalahan yang

Page 14: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

7

telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan beberapa saran-saran perbaikan

yang diharapkan dapat bermanfaat.

Page 15: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai

1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai

Terdapat beberapa pengertian Pajak Pertambahan Nilai, antara lain disebutkan

bahwa “Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan terhadap

pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di

setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan

memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.”2

Sementara itu, Columbia Encyclopedia menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan

Nilai adalah “a tax levy imposed on business at all levels of the manufacture and

production of a good or service and based on the increase in price, or value, provided by

each level.”3

2. Sejarah Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia merupakan pengganti dari produk

sebelumnya yang berlaku yaitu Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan

2 Muhammad Rusjdi, PPN dan PPnBM (Jakarta: PT Indeks, 2004), hal. 01-1. 3Columbia Encyclopedia, edisi keenam 2005 (Columbia University Press, 2005)

diunduh dari http://www.encyclopedia.com/html/v1/valueadd.asp per tanggal 16 Januari 2006.

8

Page 16: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

9

Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1951 dan ditetapkan menjadi undang-undang

oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 1953.4

Sejak tanggal 1 April 1985 pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan

Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya tetap disebut Undang-undang Pajak

Pertambahan Nilai 1984). Latar belakang penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak

Pertambahan Nilai adalah:

a. Dalam pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951 telah terjadi banyak

perubahan fundamental baik yang bersifat sebagai penyempurnaan maupun

tambahan. Sebagai akibatnya, hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.

b. Mekanisme pemungutan Pajak Penjualan berdasarkan Undang-undang Pajak

Penjualan 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak pengenaan pajak

berganda. Keadaan ini mendorong Wajib Pajak untuk berusaha menghindar dari

pengenaan pajak bahkan kalau perlu menyelundupkan pajak.

c. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan

pajak, yaitu untuk pengusaha tertentu diterapkan self assessment system sedangkan

untuk kelompok pengusaha lainnya digunakan official assessment system. Keadaan

ini sangat menyulitkan pengawasan pelaksanaannya.

4Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 15.

Page 17: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

10

d. Dampak dari pengenaan pajak berganda membuat Pajak Penjualan menjadi tidak

netral baik terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional

karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah beban pajak yang dipikul oleh

konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan

diekspor.

e. Variasi tarif yang cukup banyak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya

sehingga cukup besar pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.5

B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the

Wealth of Nations, asas pemungutan pajak dinamakannya “The Four Maxims”.6 Asas

pemungutan pajak tersebut juga harus dipenuhi dalam pemungutan Pajak Pertambahan

Nilai, yaitu:

1. Asas Equality

Asas ini mengemukakan bahwa pembagian tekanan pajak di antara masing-masing

subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang

dengan penghasilan yang dinikmatinya, di bawah perlindungan pemerintah.

Dalam asas ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara

sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak

5Ibid., hal. 15. 6Erly Suandy, Hukum Pajak, edisi ke-2 (Revisi) (Jakarta: Penerbit Salemba Empat,

2002), hal. 27.

Page 18: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

11

yang sama.

2. Asas Certainty

Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus pasti (certain) dan tidak mengenal

kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah

mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu

pembayarannya.

3. Asas Convenience

Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini menetapkan bahwa pajak hendaknya

dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya

dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.

4. Asas Efficiency

Asas ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-

hematnya dan jangan sekali-kali biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajaknya.

C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai

1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai

Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai antara lain:7

a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung.

Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat

dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang sebagai berikut:

7Untung Sukardji, op.cit., hal. 19.

Page 19: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

12

1) Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak

yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.

2) Sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara

tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang ini

membawa konsekuensi filosofis bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila

pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual

atau pengusaha kena pajak, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak

tersebut ke kas negara.

b. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Objektif

Yang dimaksud Pajak Objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya

kewajiban pajak yang ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya tatbestand.

Tatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan

pajak (disebut juga objek pajak). Oleh karena itu, faktor subjektif subjek pajak tidak

ikut menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai.

c. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Multi Stage Tax

Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan

pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. Setiap penyerahan barang

yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan kemudian di

tingkat pedagang besar dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat

pedagang eceran dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Page 20: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

13

d. Pajak Pertambahan Nilai Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Dihitung

Menggunakan Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method.

Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan

hasil perhitungan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ke kepada

Pengusaha Kena Pajak lain (disebut Pajak Masukan) dengan Pajak Pertambahan Nilai

yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa (disebut Pajak Keluaran). Metode ini

dinamakan metode pengurangan tidak langsung (Indirect Subtraction Method). Pajak

yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar

ke kas negara dinamakan kredit pajak, oleh karena itu metode ini dinamakan juga

metode pengkreditan (credit method). Untuk memastikan bahwa jumlah Pajak

Masukan dan Pajak Keluaran yang tercatat benar, diperlukan dokumen penunjang

sebagai alat bukti yaitu Faktur Pajak (tax invoice) sehingga metode ini disebut metode

faktur (invoice method).

Sebagai konsekuensi dari metode pengkreditan, untuk menghitung Pajak

Pertambahan Nilai yang terutang maka pada setiap penyerahan barang atau jasa yang

menjadi objek pajak (Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak), Pengusaha Kena

Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti

pemungutan pajak. Di pihak lain, bagi pembeli, penerima jasa, atau importir

merupakan bukti pembayaran pajak. Berdasarkan Faktur Pajak inilah akan dihitung

jumlah pajak yang terutang dalam satu masa pajak yang wajib dibayar ke kas negara.

Page 21: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

14

e. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri.

Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya

dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang

dilakukan di dalam negeri. Pajak atas konsumsi sebagai tujuan akhir Pajak

Pertambahan Nilai mempunyai maksud mengenakan pajak atas pengeluaran untuk

konsumsi (a tax consumption expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan

maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan pemerintah.

f. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral.

Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor, yaitu:

1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa.

2) Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tempat tujuan (destination principle)

dalam pemungutannya.

Pajak Pertambahan Nilai mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu:

1) Prinsip tempat asal (origin principle).

Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa Pajak Pertambahan Nilai

dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi.

2) Prinsip tempat tujuan (destination principle).

Berdasarkan prinsip tempat tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat

barang atau jasa dikonsumsi.

g. Pajak Pertambahan Nilai tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda.

Kemungkinan pengenaan pajak berganda dapat dihindari sebanyak mungkin

Page 22: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

15

karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambahnya saja.

2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai

Beberapa kelebihan dan kelemahan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan

karateristiknya:8

a. Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai.

1) Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.

2) Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri.

3) Pajak Pertambahan Nilai sangat membantu likuiditas perusahaan.

4) Ditinjau dari sumber pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai tidak

membebani konsumen selaku pemikul pajak sehingga memudahkan untuk

memungutnya.

b. Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai.

1) Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung

lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun Wajib Pajak.

2) Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif menimbulkan

dampak regresif, yaitu:

a) Semakin besar tingkat kemampuan konsumen maka semakin ringan beban

pajaknya, dan sebaliknya;

b) Semakin rendah tingkat kemampuan konsumen maka semakin berat beban

pajaknya.

8Ibid., hal. 29.

Page 23: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

16

3) Pajak Pertambahan Nilai sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.

4) Pajak Pertambahan Nilai menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh

administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan

kewajiban perpajakannya.

3. Dasar Pengenaan Pajak

Dasar Pengenaan Pajak digunakan untuk menentukan besarnya Pajak Pertambahan

Nilai yang terutang dengan mengalikannya dengan tarif yang berlaku. Terdapat beberapa

Dasar Pengenaan Pajak, yaitu:9

a. Harga Jual

Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau

seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak

termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai

1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

b. Penggantian

Penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau

seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak

termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai

1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

c. Nilai Impor

Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang, yang menjadi

9Ibid., hal. 263.

Page 24: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

17

dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan

berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor

Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang

Pajak Pertambahan Nilai 1984.

d. Nilai Ekspor

Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang,

termasuk biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir.

e. Nilai Lain

Nilai Lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan

Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenuhi

kriteria tertentu.

4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas “Nilai Tambah” (added value) dari Barang

Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak.

Sedangkan “Nilai Tambah” adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya

produksi atau distribusi dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana,

nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual

dengan harga beli dagangan.

Page 25: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

18

Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas Nilai Tambah

tersebut, dikenal tiga metode yaitu:10

a. Addition Method

Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai dihitung dari penjumlahan seluruh

unsur Nilai Tambah dikalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku.

b. Substraction Method

Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dari selisih

antara harga penjualan dengan harga pembelian, dikalikan tarif Pajak Pertambahan

Nilai yang berlaku.

c. Credit method

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang merupakan hasil pengurangan antara Pajak

Pertambahan Nilai yang dipungut oleh pengusaha pada saat ia melakukan penjualan

(Pajak Keluaran) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat ia

melakukan pembelian (Pajak Masukan).

Dari ketiga metode tersebut, Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menganut “Credit

Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method.”

5. Faktur Pajak

a. Pengertian Faktur Pajak

Sesuai dengan Pasal 1 Nomor 23 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984,

definsi Faktur Pajak adalah: bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena

10Ibid., hal.32

Page 26: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

19

Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena

Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan

oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

b. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar

oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau

penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak

berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar

Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau

penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak. 11

c. Faktur Pajak Fiktif

Faktur Pajak Fiktif adalah Faktur Pajak yang dibuat tanpa adanya penyerahan

Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.12 Nama/jenis barang/jasa yang menjadi

objek transaksi, jumlah dan harga yang ada di dalam faktur serta jumlah Pajak

Pertambahan Nilai yang dipungut semuanya fiktif.

11Muhammad Rusjdi, op.cit., hal. 09-1. 12Almuden Situmorang, “Faktur Pajak Fiktif Siapa yang Terlibat?”, Berita Pajak,

Nomor 1333, hal.45-48.

Page 27: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

20

d. Faktur Pajak Sebagai Alat Pengawasan

Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menjelaskan

bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan

Barang Kena Pajak dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak tersebut

kemudian dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak

dikukuhkan.

Faktur Pajak menunjukkan pertanggungjawaban pajak dari penjual dan bukti

utama bagi pembeli untuk mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang harus

dibayarnya. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengawasi besarnya

Pajak Keluaran dan Pajak Masukan Pengusaha Kena Pajak melalui sarana Faktur

Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa.

6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai

Dalam hal terjadi kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, Wajib Pajak

mempunyai hak untuk mengkompensasi atau merestitusi kelebihan Pajak Masukan

tersebut. Hak tersebut dapat dipergunakan dengan mengajukan permohonan tertulis

kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha

Kena Pajak dikukuhkan.

Kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Keputusan Direktur

Jenderal Pajak Nomor Kep-160/PJ.21/2001 adalah:

a. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Page 28: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

21

b. Dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, disamping kelebihan

Pajak Masukan sebagaiman dimaksud dalam huruf a, juga Pajak Penjualan atas

Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Mewah yang diekspor

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Pajak Pertambahan

Nilai 1984.

7. Sanksi Administrasi dan Pidana

Berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Undang-undang Perubahan

Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang

Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengatur ketentuan sanksi dan/atau denda administrasi

dan sanksi pidana yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai.

a. Sanksi dan/atau Denda Administrasi

1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a Undang-undang Perubahan

Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikenakan

sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan

selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen), jumlah

pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi

administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari Pajak

Page 29: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

22

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

yang tidak atau kurang dibayar.

3) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan

yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka

waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau

Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan

pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan

yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan

sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah

pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan

berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat

Pemberitahuan itu.

4) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum

dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Perubahan

Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terhadap

ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan,

apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran

perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah

pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar

2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

Page 30: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

23

5) Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan

Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa

denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

6) Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat

Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)

dari Dasar Pengenaan Pajak.

7) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat

atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi

selengkapnya Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar

2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

b. Sanksi Pidana

1) Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga

dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2

(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak

Page 31: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

24

Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau

b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak

benar atau tidak lengkap;

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali

jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan

atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka

mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4

(empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan

oleh Wajib Pajak.

Page 32: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

BAB III

MEKANISME PENGKREDITAN DAN KECURANGAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak

Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 pada

prinsipnya pajak terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa

Kena Pajak. Ketentuan ini tidak mempersoalkan mengenai pembayaran, sehingga prinsip

timbulnya utang pajak dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah

prinsip akrual. Pada saat timbul utang pajak, maka pajak tersebut wajib dipungut oleh

Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.

Sarana untuk melakukan kewajiban memungut tersebut adalah Faktur Pajak. Faktur

Pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai:

1. bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

2. bukti pembayaran pajak ditinjau dari pihak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak;

3. sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.13

Pasal 13 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menyebutkan bahwa

terdapat tiga jenis Faktur Pajak, yaitu:

13Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 ), hal.220.

25

Page 33: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

26

1. Faktur Pajak Standar

Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan

oleh peraturan perundang-undangan (yaitu Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak

Pertambahan Nilai 1984).

Direktur Jenderal Pajak juga dapat menentukan dokumen-dokumen tertentu yang

diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar dalam rangka lebih memberikan kemudahan

dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Dokumen-dokumen tersebut

antara lain:

a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;

b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;

c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;

d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;

e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi; f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Deliverry Bill, yang

dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan

Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan; i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.14

2. Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar yang memuat lebih dari satu

14Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-

312/PJ./2001 tentang Perubahan Atas KEP-522/PJ./2000 tentang Dokumen-dokumen Tertentu yang Diperlakukan Sebagai Faktur Pajak Standar, tanggal 23 April 2001.

Page 34: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

27

transaksi dalam satu Masa Pajak untuk pelanggan yang sama.

3. Faktur Pajak Sederhana

Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak yang dibuat sebagai bukti pemungutan

pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir

atau kepada pembeli/penerima jasa dengan identitas tidak lengkap.

B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai

1. Prinsip dasar pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai atau lebih sering disebut

pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Pajak Pertambahan

Nilai 1984 secara garis besar sebagai berikut:

a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk

Masa Pajak yang sama. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa

Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.

b. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak

Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus

dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak

Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka

selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau

dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

c. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang dibayar untuk

perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan

langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak. Meskipun

Page 35: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

28

berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan penyerahan kena

pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak Masukan tersebut

tidak dapat dikreditkan.

2. Persyaratan Umum Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

a. Memenuhi persyaratan formal.

Persyaratan formal tersebut yaitu :

1) Tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang

diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan. Faktur Pajak yang secara material dapat dikreditkan

menjadi tidak dapat dikreditkan apabila tercantum dalam Faktur Pajak Standar

yang cara pengisiannya tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan;

2) Apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan

dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama karena Faktur Pajaknya

belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam Surat

Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak yang

bersangkutan, maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum atau

terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya

paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang

bersangkutan sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-undang

Pajak Pertambahan Nilai 1984 jo Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

Page 36: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

29

143 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983

tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan sepanjang belum dibebankan

sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

b. Memenuhi persyaratan material.

Persyaratan material material tersebut yaitu:

1) Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena

pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) jo ayat (8) Undang-undang

Pajak Pertambahan Nilai 1984. Kegiatan usaha yang dilakukan dalam rangka

penyerahan kena pajak antara lain kegiatan produksi, manajemen, distribusi,

dan pemasaran;

2) Belum dibebankan sebagai biaya. Pada hakikatnya pengkreditan Pajak

Masukan sama dengan upaya untuk memperoleh kembali Pajak Pertambahan

Nilai yang telah dibayar. Dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak

Masukan maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat meminta

restitusi dari negara. Apabila Pajak Masukan ini telah dibebankan sebagai

biaya, maka Pajak Masukan ini menjadi unsur harga jual barang dagangan

sehingga akan diperoleh kembali dari pembeli. Oleh karena itu apabila Pajak

Masukan yang dapat dikreditkan telah dibebankan sebagai biaya maka Pajak

Masukan yang telah dibebankan sebagai biaya ini tidak boleh dikreditkan.

Page 37: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

30

C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan hasil pengkreditan Pajak Masukan dapat menyebabkan terjadinya

kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi karena:

1. Jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran dalam suatu Masa

Pajak yang dapat disebabkan oleh:

a. Pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang dilakukan

sebelum usaha dimulai atau pada awal usaha dimulai.

b. Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak.

c. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena

Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

d. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena

Pajak sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang dananya berasal dari

bantuan luar negeri baik berupa hibah maupun pinjaman.

e. Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah

lebih lanjut kepada Enterport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE).

f. Penyerahan Barang Kena Pajak berupa bahan baku atau bahan pembantu dan/atau

Jasa Kena Pajak kepada Perusahaan Eksportir Tertentu (PET).

2. Kemungkinan adanya kekeliruan pembayaran pajak karena terjadi kesalahan

pemungutan atau pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Dalam kasus ini

yang berhak mengajukan restitusi adalah pembeli Barang Kena Pajak atau penerima

Jasa Kena Pajak sepanjang Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya

Page 38: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

31

atau belum dikreditkan jika pembeli/penerima jasa tersebut adalah Pengusaha Kena

Pajak.

Terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut Wajib Pajak dapat memilih untuk

melakukan kompensasi atau restitusi atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai

tersebut. Mekanisme untuk melakukan kompensasi dan restitusi sebagai berikut:

1. Mekanisme Kompensasi Pajak Pertambahan Nilai

Atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan kompensasi

terhadap kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai tersebut ke Masa Pajak berikutnya (di-

offset ke Masa Pajak berikutnya).

Mekanisme kompensasi atas Pajak Pertambahan Nilai lebih sederhana

dibandingkan dengan mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai yaitu dilakukan oleh

Pengusaha Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat

Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atau melalui permintaan tertulis dan

disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak

dikukuhkan.

2. Mekanisme Restitusi Pajak Pertambahan Nilai

Mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Keputusan Direktur

Jenderal Pajak Nomor KEP-160/PJ./2001 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan

Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

dengan mekanisme sebagai berikut:

Page 39: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

32

a. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak disampaikan oleh Pengusaha

Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat Pemberitahuan

Masa Pajak Pertambahan Nilai atau dengan surat tersendiri, dan dilampiri dengan

bukti-bukti dan atau dokumen yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak

dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena

Pajak dikukuhkan.

b. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditentukan 1 (satu)

permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak dan dapat dilakukan permohonan restitusi

pada setiap akhir Masa Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-

undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

c. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan

pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Pengusaha Kena

Pajak yang melakukan kegiatan tertentu (ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak

dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai) harus

menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat:

1) 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya permohonan, kecuali permohonan yang

penyelesaiannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak;

2) 12 (dua belas) bulan sejak saat diterimanya permohonan sepanjang penyelesaian

atas permohonannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak.

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas telah lewat, Direktur Jenderal

Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, maka permohonan pengembalian

Page 40: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

33

kelebihan pembayaran pajak yang diajukan dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan

Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah

jangka waktu tersebut berakhir.

D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai

Secara umum, kasus kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dilakukan

melalui penyalahgunaan Faktur Pajak dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan

terhadap Pajak Keluaran. Oleh karena itu penyalahgunaan ini dapat ditinjau dari sudut

pandang Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan dan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran.

1. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan

Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan (selanjutnya disebut Faktur

Pajak Masukan) dalam Pajak Pertambahan Nilai dapat berupa pelaporan secara tidak

benar semua unsur dalam Faktur Pajak atau hanya sebagian saja. Umumnya

penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan ini dilakukan dalam rangka restitusi atas

kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan

ini antara lain:

a. Melakukan Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif

Wajib Pajak dalam usahanya memperbesar Pajak Masukan diantaranya melakukan

transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif. Dalam hal ini asumsi yang digunakan

adalah Wajib Pajak telah mengetahui bagaimana mekanisme proses penyelesaian restitusi

di Kantor Pelayanan Pajak dimana dalam pemeriksaan untuk restitusi salah satunya

adalah prosedur konfirmasi terhadap kebenaran Pajak Masukan secara on-line. Sehingga

Page 41: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

34

mau tidak mau Wajib Pajak tersebut mencoba mengakalinya dengan kegiatan seperti ini.

Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang

memohon restitusi dengan cara mendirikan perusahaan fiktif tetapi juga dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak baik dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama

maupun tidak sama. Diperlukan administrasi yang baik dalam rangka permohonan

restitusi agar usaha dari Pengusaha Kena Pajak ini lancar.

Pengusaha Kena Pajak fiktif ini bertindak seolah-olah sebagai penjual kepada

Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi dan atas transaksi penjualannya juga

dibuatkan Faktur Pajak serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai di Kantor Pelayanan Pajak tempat dikukuhkan. Dalam kenyatannya

sebenarnya tidak pernah dilakukan penjualan barang secara nyata. Jadi hanya pencatatan

atas transaksi penjualan tetapi barang tidak pernah diserahkan bahkan tidak ada.

Administrasi dari kedua belah pihak harus sangat rapi agar usaha memohon restitusi ini

dapat berjalan dengan lancar. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sesuai dengan tujuannya

untuk memohon restitusi biasanya hanya berdiri untuk beberapa saat dan selanjutnya

akan bubar atau menghilang agar dalam melakukan usahanya lebih aman.

Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat agar terjadi Pajak

Masukan yang besar bagi Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi sehingga atas

kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai pembelian tersebut dapat dimintakan restitusi.

Meskipun dapat dimintakan kompensasi tetapi biasanya Pengusaha Kena Pajak seperti ini

cenderung memohon restitusi atas kelebihan bayar yang fiktif ini.

Page 42: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

35

b. Transaksi Fiktif

Transaksi fiktif terjadi karena adanya kerja sama antar Pengusaha Kena Pajak.

Dalam kasus ini hampir sama dengan kasus Pengusaha Kena Pajak fiktif hanya saja yang

fiktif adalah transaksi penjualan. Kedua pihak Pengusaha Kena Pajak yang melakukan

transaksi merupakan Pengusaha Kena Pajak yang benar-benar dikukuhkan sebagai

Pengusaha Kena Pajak dan dalam melakukan transaksi penjualan juga dibuatkan Faktur

Pajak, hanya saja barang yang tercantum dalam Faktur Pajak sebenarnya tidak ada atau

tidak dijual. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan ini biasanya tidak berdiri

hanya sementara waktu dan bisa dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang sudah lama

dikukuhkan.

Transaksi fiktif biasanya berupa transaksi barang yang berkaitan langsung dengan

usaha Pengusaha Kena Pajak tersebut. Dalam transaksi fiktif ini, Pengusaha Kena Pajak

yang menjual membuat Faktur Pajak berkolusi dengan Pengusaha Kena Pajak yang

memperoleh Faktur Pajak tersebut dengan maksud untuk memperoleh imbalan. Atau

dengan kata lain Pengusaha Kena Pajak penjual menjual Faktur Pajak yang berisi

transaksi fiktif kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya (sebagai Pengusaha Kena Pajak

pembeli) yang mana akan digunakan sebagai Faktur Pajak Masukan.

Pengusaha Kena Pajak yang membeli Faktur Pajak tersebut kemudian

menggunakannya dengan maksud agar jumlah Pajak Masukan bisa lebih besar daripada

Pajak Keluaran sehingga dapat dimintakan restitusi. Selain untuk keperluan restitusi,

transaksi fiktif ini juga dilakukan untuk keperluan kompensasi dengan Pajak Keluaran

Page 43: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

36

yang besar jumlahnya. Hal ini akan lebih sulit diketahui karena Pengusaha Kena Pajak

akan tetap menyetorkan kelebihan pajak yang dipungut walaupun jumlahnya sangat kecil.

c. Faktur Pajak Fiktif

Penggunaan Faktur Pajak fiktif atau Faktur Pajak yang dipalsukan atau diubah

isinya baik nilai transaksi maupun nilai Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut biasanya

dilakukan bukan untuk melakukan restitusi. Pihak Direktorat Jenderal Pajak biasanya

menemukan Faktur Pajak fiktif ini setelah dilakukan konfirmasi dan klarifikasi dalam

pemeriksaan dan biasanya Pengusaha Kena Pajak pembuat Faktur Pajak yang diubah

isinya tidak mengetahui mengenai hal tersebut.

Penyalahgunaan dengan menggunakan Faktur Pajak fiktif ini sulit diketahui tanpa

dilakukan penelitian atau pemeriksaan yang seksama. Kesulitan yang terjadi karena

keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak seperti nama Pengusaha Kena Pajak,

Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan nomor seri

Faktur Pajak adalah benar. Hanya saja isinya telah diubah tanpa sepengetahuan

Pengusaha Kena Pajak yang membuatnya.

Dalam melakukan penyalahgunaan ini Pengusaha Kena Pajak berusaha

menghindari pemeriksaan material seperti bila memohon restitusi. Mengkreditkan Faktur

Pajak Masukan fiktif dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut (Faktur Pajak

Keluaran) akan menguntungkan Pengusaha Kena Pajak karena tidak perlu menyetorkan

Pajak Pertambahan Nilai yang sebenarnya. Isi dari Faktur Pajak Masukan telah

disesuaikan dengan peredaran usaha Pengusaha Kena Pajak dan berapa Pajak

Page 44: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

37

Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor sehingga jumlah yang harus disetor dapat

ditekan sekecil mungkin. Setoran ini tetap perlu dilakukan untuk menghindari kecurigaan

fiskus dan menghindari pemeriksaan material.

d. Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembelian dari penjual yang belum

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak akan memperoleh Faktur Pajak atas

pembelian yang dilakukannya. Hal ini akan mengakibatkan penjualan yang dilakukan

oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut akan menimbulkan Pajak Keluaran yang harus

disetor.

Salah satu cara untuk mengurangi jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus

disetor adalah dengan membuat transaksi pembelian dari pengusaha non Pengusaha Kena

Pajak seolah-olah melakukan pembelian dari Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kena

Pajak tersebut akan melengkapi pembeliannya dengan Faktur Pajak fiktif yang dibuat

dengan sengaja untuk tujuan di atas.

Penjual yang bukan Pengusaha Kena Pajak tersebut dibuat seolah-olah sebagai

Pengusaha Kena Pajak dalam Faktur Pajak fiktif tersebut dan jenis barang yang dijual

dibuat seolah-olah sebagai Barang Kena Pajak sehingga telah dipungut Pajak Masukan-

nya. Seperti halnya dengan penyalahgunaan Faktur Pajak fiktif pada huruf c sebelumnya,

biasanya untuk transaksi dengan penjual non Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan untuk

memperkecil jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor dan bukan untuk

memohon restitusi karena akan sangat berisiko bagi Pengusaha Kena Pajak tersebut.

Page 45: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

38

e. Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha

Banyak pengusaha yang mempunyai lebih dari satu perusahaan yang sejenis dan

berdiri sendiri dalam satu kelompok usaha serta biasanya tidak semuanya dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sengaja dilakukan untuk meminimalkan jumlah

Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh kelompok usaha tersebut.

Penyalahgunaan yang dilakukan adalah jika terdapat transaksi pembelian maka

akan ditangani oleh perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pada saat melakukan transaksi penjualan, penjualan akan dilakukan oleh semua

perusahaan dalam satu kelompok usaha tersebut dan calon pembeli akan ditanya apakah

bersedia atau tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Jika calon pembeli bersedia

dipungut Pajak Pertambahan Nilai maka transaksi akan dilakukan oleh perusahaan yang

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan dibuatkan Faktur Pajak. Jika calon

pembeli tidak bersedia dipungut Pajak Pertambahan Nilai maka faktur penjualan akan

dibuat oleh perusahaan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sehingga

tidak perlu dibuat Faktur Pajak.

Dalam kasus penyalahgunaan ini Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya

dipungut dan disetor dapat diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan dari

pihak pembeli. Jika ditinjau dari sudut pandang Pajak Penghasilan, besar kemungkinan

terjadi transfer pricing dalam kasus satu kelompok usaha ini.

2. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran

Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran (selanjutnya disebut Faktur

Page 46: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

39

Pajak Keluaran) selalu berkaitan dengan Faktur Pajak Masukan. Penyalahgunaan Faktur

Pajak Keluaran berkaitan dengan pelaporan Pajak Keluaran yang tidak benar.

a. Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif

Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

dengan tarif 0% (nol persen) dan guna keperluan pengkreditan Pajak Masukan maka atas

ekspor tetap dibuat Faktur Pajak Keluaran. Penyalahgunaan Faktur Pajak ini umumnya

dilakukan dalam rangka restitusi, jika dilihat secara sepintas kasus penyalahgunaan ini

hampir sama dengan kasus L/C fiktif yang terjadi di perbankan Indonesia.

Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan ekspor fiktif disertai dengan dokumen-

dokumen yang diperlukan (biasanya asli tetapi palsu) kemudian melakukan permohonan

restitusi kepada Kantor Pelayanan Pajak. Pengusaha Kena Pajak ini sebelumnya telah

memperoleh Faktur Pajak Masukan yang biasanya juga telah dipalsukan terlebih dahulu

seperti kasus-kasus penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan pada bagian sebelumnya.

Beberapa kemungkinan indikasi adanya manipulasi restitusi melalui mekanisme

ekspor (fiktif) ini antara lain:

1) Tempat dihasilkan Barang Kena Pajak, tempat kedudukan Pengusaha Kena Pajak,

dan tempat melakukan ekspor berbeda-beda dan terkadang agak aneh. Sebagai contoh

Pengusaha Kena Pajak berkedudukan di Jakarta kemudian membeli barang-barang di

Semarang dan kemudian mengekspornya melalui pelabuhan di Surabaya padahal di

Surabaya tidak terdapat kantor cabang atau pabrik dari si Pengusaha Kena Pajak.

Page 47: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

40

2) Barang-barang yang diekspor merupakan jenis barang yang pada umumnya

diproduksi oleh para pengusaha kecil atau pengrajin yang bukan merupakan

Pengusaha Kena Pajak. Seperti halnya kondisi penyelewengan Faktur Pajak Masukan

melalui transaksi dengan pengusaha yang Non Pengusaha Kena Pajak, maka apabila

pengusaha tersebut mengajukan restitusi atas Faktur Pajak Masukan dimana memuat

jenis barang yang dibeli (dari pengusaha kecil) tersebut ada kemungkinan Faktur

Pajak tersebut juga diperoleh melalui jual beli Faktur Pajak.

3) Barang yang diekspor merupakan barang yang termasuk dalam kategori Non Laporan

Pemeriksaan Surveyor Ekspor (LPSE).

4) Jenis dan uraian barang yang dilaporkan dalam PEB tidak spesifik.

b. Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

Perusahaan yang menjadi rekanan pemerintah, baik dalam penyediaan barang

maupun jasa mensyaratkan perusahaan sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Atas barang dan jasa yang diterima oleh pemerintah, pemerintah akan langsung

memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa

Kena Pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara. Kewajiban seperti ini seharusnya

dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sendiri tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 16A

Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, kewajiban ini dilakukan oleh Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai.

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau

instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,

Page 48: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

41

dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang

Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah,

badan, atau instansi Pemerintah tersebut. Pemungutan yang dilakukan oleh Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai mempunyai tujuan untuk mengamankan penerimaan negara dari

Pajak Pertambahan Nilai.

Pengusaha yang menjadi rekanan pemerintah dan mempunyai kontrak kerja

dan/atau menerima pembayaran dari pemerintah akan biasanya akan mempunyai

kelebihan jika tidak mempunyai penghasilan dari pihak lain. Diantara pengusaha ini ada

yang dengan sengaja tidak meminta kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas

Pajak Masukan pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Hal ini

disebabkan pengusaha akan berurusan dengan fiskus dan khawatir akan mengakibatkan

efek samping yang lebih buruk bagi pengusaha tersebut.

Jalan keluar yang biasanya dilakukan oleh para pengusaha tersebut adalah sesedikit

mungkin mempunyai Pajak Masukan atau membuat Pajak Keluaran fiktif. Mengurangi

Pajak Keluaran dengan jalan melakukan pembelian tanpa Pajak Pertambahan Nilai sangat

berisiko pada kewajiban Pajak Penghasilan. Jika dilakukan pemeriksaan Pajak

Penghasilan maka pemeriksa akan menolak mengakui pembelian tanpa Pajak

Pertambahan Nilai sebagai biaya. Hal tersebut dikarenakan pembelian barang hasil

olahan/pabrikan akan terutang Pajak Pertambahan Nilai. Tidak diakuinya biaya akan

mengakibatkan bertambahnya jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayar sebagai

akibat pemeriksaan tersebut.

Page 49: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

42

Pengusaha cenderung untuk membuat Faktur Pajak Keluaran fiktif sehingga tidak

terjadi kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai. Kemudian atas Faktur Pajak Keluaran

fiktif tersebut sengaja diperjualbelikan kepada Pengusaha Kena Pajak lain yang berminat

dan juga mempunyai itikad yang tidak baik seperti untuk melakukan restitusi fiktif.

Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atas semua Faktur Pajak

Keluaran yang dibuat termasuk Faktur Pajak Keluaran fiktif akan dilaporkan seluruhnya

sehingga tidak mengundang kecurigaan dari fiskus. Fiskus biasanya akan menaruh

perhatian yang lebih besar terhadap Pajak Masukan daripada Pajak Keluaran sehingga

penelitian diutamakan pada Faktur Pajak Masukan dibandingkan Faktur Pajak Keluaran.

Penghasilan fiktif dari transaksi yang dikeluarkan Faktur Pajak Keluaran fiktif ini

diatur sedemikian rupa biaya-biayanya sehingga akan mengakibatkan laba yang kecil dan

jumlah Pajak Penghasilan pengusaha tersebut otomatis juga akan berkurang. Bagi

pengusaha tersebut ada dua keuntungan yaitu dari sisi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penghasilan dimana jumlah pajak yang harus disetor ke Kas Negara akan semakin kecil.

c. Pembuatan Faktur Pajak Ganda

Penyalahgunaan Faktur Pajak Keluaran yang dilakukan dengan membuat Faktur

Pajak ganda merupakan hal yang sering ditemui di lapangan. Inti dari pembuatan Faktur

Pajak ganda yaitu terhadap beberapa penjualan akan dibuatkan beberapa Faktur Pajak

dengan nomor seri yang sama. Perbedaannya hanya terdapat dalam informasi dari

pembeli.

Hal ini biasanya dilakukan atas penjualan yang mempunyai jumlah yang sama

Page 50: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

43

dalam Masa Pajak yang sama pula. Biasanya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang

menghasilkan barang hasil pabrikan masal, bukan atas dasar pesanan.

Pembeli tidak menyadari bahwa Faktur Pajak yang diterimanya sama dengan

pembeli yang lain karena faktur tersebut asli. Pembeli akan melaporkan Faktur Pajak

tersebut sebagai Faktur Pajak Masukan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai. Laporan tersebut jarang menimbulkan kecurigaan fiskus. Meskipun

fiskus melakukan konfirmasi terhadap nomor seri Faktur Pajak dan jumlahnya tidak akan

ditemui keganjilan. Keganjilan baru akan ditemui jika Kantor Pelayanan Pajak pembeli

melakukan konfirmasi terhadap Faktur Pajak Masukan sebagai akibat pembelian tersebut.

Penjual yang membuat Faktur Pajak Keluaran ganda tersebut akan memilih salah

satu dari beberapa Faktur Pajak yang bernomor sama untuk dilaporkan sementara yang

lainnya tidak dilaporkan dan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

nomor seri Faktur Pajak yang dilaporkan akan urut.

d. Tidak Membuat Faktur Pajak

Penyalahgunaan Faktur Pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai dengan tidak

membuat Faktur Pajak merupakan hal yang sering terjadi. Pengusaha yang melakukan

penyalahgunaan ini biasanya didasari niat pribadi dan juga desakan dari pembeli yang

tidak ingin dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

Biasanya Penjual tetap memungut Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli tetapi

tidak memberikan Faktur Pajak kepada pembeli. Jika pembeli menginginkan dibuatkan

Faktur Pajak maka penjual akan membuatkan Faktur Pajak, jika tidak menginginkan

Page 51: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

44

maka tidak akan dibuat. Disamping itu, pembeli terkadang tidak mengerti bahwa atas

pembelian tersebut telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai tetapi tidak dilaporkan oleh

penjual. Pembeli yang tidak mengerti peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai Pajak Pertambahan Nilai akan menganggap tidak terjadi sesuatu yang

menyimpang dari ketentuan.

Page 52: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Penerapan Atas Asas Pemungutan Pajak

Seperti telah disebutkan dalam Bab II bahwa dalam pemungutan Pajak

Pertambahan Nilai maka asas-asas pemungutan pajak juga harus dipenuhi, hal ini

dikarenakan agar pemungutan pajak tersebut sesuai dengan tujuan dan tidak membebani

Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban atas pembayaran pajak yang dipungut tersebut.

Adam Smith membagi asas pemungutan pajak tersebut menjadi empat asas

pemungutan pajak atau lebih sering dikenal dengan nama “The Four Maxims”. Meskipun

demikian terdapat beberapa ahli ekonomi yang kurang setuju terhadap ”The Four

Maxims” ini seperti David Ricardo.15 Tetapi karena asas-asas pemungutan pajak ini telah

lama dipakai sebagai dasar dalam pemungutan pajak di berbagai negara dan masih

relevan penggunaannya maka pembahasan mengenai asas pemungutan pajak dalam

hubungannya dengan permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini menggunakan asas

pemungutan pajak menurut Adam Smith tersebut.

Subbab ini akan mencoba menguraikan bagaimana penerapan atas asas pemungutan

pajak tersebut khususnya terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan dikaitkan dengan kondisi

15David Ricardo, On the Principles of Political Economy and Taxation, Bab

12,(1871) diunduh dari http://www.hard-loans.com/Principles%20Ch%2012.htm per tanggal 20 April 2006.

45

Page 53: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

46

mengenai penyalahgunaan Faktur Pajak utamanya dalam memohon pengembalian

kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.

1. Asas Equality

Asas ini mengatur bahwa pengenaan pajak terhadap subjek pajak harus seimbang

dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah

perlindungan pemerintah. Asas ini juga menerangkan bahwa tidak diperbolehkan suatu

negara mengadakan diskriminasi diantara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang

sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.

Jika kita tarik kesimpulan maka pemungutan pajak harus mencerminkan adanya

keadilan dalam pelaksanaannya, yaitu terhadap Wajib Pajak yang mempunyai

penghasilan lebih banyak harus dikenakan pajak dengan jumlah yang lebih besar

dibandingkan dengan Wajib Pajak yang jumlah penghasilannya lebih sedikit. Hal ini

menunjukkan bahwa faktor subjektif keadaan dari Wajib Pajak menjadi faktor yang

utama dalam penentuan besarnya pajak yang harus dibayar.

Dibandingkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan pajak objektif

dimana timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif (tatbestand, keadaan,

peristiwa, perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak) maka asas ini lebih cenderung

kepada pajak yang bersifat subjektif seperti Pajak Penghasilan yang lebih menekankan

Page 54: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

47

pada faktor subjektif daripada faktor objektif dari Wajib Pajak. Menurut Nadia Werner16,

asas pemungutan pajak dari Adam Smith ini pada saat dikembangkan saat itu lebih

ditekankan terhadap pajak terhadap barang mewah (di Indonesia disebut Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah) dan pajak atas sewa tanah dimana kondisi perekonomian yang tidak

sekompleks saat ini.

Perbedaan kedua jenis pajak ini (Pajak Penghasilan merupakan pajak subjektif) pula

yang menyebabkan Pajak Pertambahan Nilai menimbulkan dampak regresif karena tidak

memperhatikan keadaan subjektif dari subjek pajak yaitu semakin besar tingkat

kemampuan konsumen maka semakin ringan beban pajaknya, dan sebaliknya semakin

rendah tingkat kemampuan konsumen maka semakin berat beban pajaknya.

Meskipun prinsip dasarnya sedikit berbeda tetapi terdapat beberapa hal yang

menghubungkan keberadaan asas ini dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Keadilan dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yaitu dilakukannya pemungutan

terhadap pihak yang menikmati dari barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

(yaitu Barang Kena Pajak).

Jika pihak yang menikmati tersebut merupakan Pengusaha Kena Pajak dan Barang

Kena Pajak yang dibeli digunakan untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan

kegiatan usahanya maka terhadap Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut kepada

Pengusaha Kena Pajak tersebut (Pajak Masukan) dapat dilakukan pengurangan terhadap

16Nadia Werner, Adam Smith’s Recommendation on Taxation, (Banneker Center,

2005) diunduh dari http://www.progress.org/banneker/adam.html per tanggal 20 April 2006.

Page 55: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

48

Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut (Pajak

Keluaran) dan harus disetor ke Kas Negara (Prinsip Pengkreditan Pajak Masukan).

Sehingga Pengusaha Kena Pajak tidak akan terbebani dengan jumlah pajak yang besar

yang harus dibayarkan karena terlebih dahulu Pengusaha Kena Pajak dapat melakukan

pengkreditan Pajak Masukan.

Asas equality (asas keadilan) dapat pula dihubungkan dengan adanya kelebihan

pembayaran pajak. Dalam hal ini apabila terjadi kelebihan pembayaran Pajak

Pertambahan Nilai maka Pengusaha Kena Pajak dapat memohon pengembalian kelebihan

pembayaran pajak (restitusi). Hal ini merupakan penerapan dari asas keadilan dalam

pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Asas keadilan ini tidak hanya adil bagi pihak Wajib Pajak (Pengusaha Kena Pajak

yang memohon restitusi) tetapi juga adil bagi negara (Pemerintah selaku penyelenggara

negara) sesuai dengan penggunaan asas-asas pemungutan ini dalam tujuan negara dalam

memungut pajak. Keadilan harus berlaku bagi kedua pihak, jika Pengusaha Kena Pajak

memohon restitusi dimana dari hasil restitusi tersebut dapat digunakan untuk membiayai

kegiatan usahanya maka pemerintah harus segera memberikannya sesuai dengan tata cara

yang berlaku.

Sebaliknya pemerintah juga berhak untuk mengetahui berapa jumlah pajak yang

sebenarnya harus dibayar oleh Wajib Pajak tersebut, apakah sudah sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jika kedua pihak saling mengerti dan

mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku tanpa merugikan satu sama lain

Page 56: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

49

maka kasus-kasus penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka restitusi sebenarnya tidak

perlu terjadi.

Ditinjau dari asas keadilan, penyalahgunaan Faktur Pajak terjadi kemungkinan

karena pemerintah sering berlaku tidak adil (seperti adanya kemudahan bagi Pengusaha

Kena Pajak yang diistimewakan dalam proses restitusi) dalam melakukan pelayanan

terhadap para Wajib Pajak. Disamping itu sering terdapat celah (loop holes) dalam

ketentuan perundang-undangan yang memang sengaja dimanfaatkan oleh para Pengusaha

Kena Pajak nakal untuk merugikan keuangan negara.

2. Asas Certainty

Asas ini memiliki pengertian bahwa pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus

terang (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian

hukum yang dipentingkan adalah mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga

ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

Agar ketentuan mengenai pemungutan pajak lebih jelas cara pelaksanaannya, maka

diperlukan suatu kepastian (hukum). Di Indonesia, pajak dipungut berdasarkan Pasal 23

ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Segala pajak untuk

kegunaan Kas Negara berdasarkan Undang-undang”. Pasal inilah yang melandasi

dibuatnya beberapa Undang-undang Perpajakan yang masih berlaku hingga saat ini.

Dalam hubungannya dengan Pajak Pertambahan Nilai, maka berlaku ketentuan

Undang-undang Nomor 16 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut

Page 57: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

50

Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) sebagai ketentuan formal

dalam pemungutan pajak. Sedangkan untuk ketentuan material Pajak Pertambahan Nilai

menggunakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yaitu Undang-undang

Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang

Mewah (disebut juga Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984).

Apabila dalam ketentuan material tidak diatur ketentuan tersendiri mengenai suatu

ketentuan tertentu maka kita mengacu kembali kepada ketentuan material, seperti

misalnya ketentuan mengenai sanksi dan/atau denda administrasi serta sanksi pidana

yang tidak diatur dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 maka kita

mengacu kepada ketentuan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 secara tegas telah mengatur

mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu

pembayarannya seperti yang paling diutamakan dalam asas certainty ini. Oleh karena itu

asas ini telah dipenuhi dalam rangka pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Dua hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana asas certainty ini

dihubungkan dengan proses restitusi dan juga penyalahgunaan Faktur Pajak. Proses

restitusi merupakan hak dari Wajib Pajak untuk memperoleh kembali uang yang telah

disetorkannya ke Kas Negara dikarenakan adanya kelebihan pembayaran pajak, oleh

karena itu sudah seharusnya negara memberikan hak dari Wajib Pajak tersebut sesuai

Page 58: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

51

dengan ketentuan yang berlaku.

Apabila Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan yang diperlukan baik formal

maupun material dan hasil pemeriksaan terhadap permohonan restitusi dari Wajib Pajak

adalah benar adanya maka sudah sepatutnya negara segera memberikan hak Wajib Pajak

tersebut tanpa harus ada upaya untuk membuat lebih lama atau menyusahkan Wajib

Pajak. Kepastian hukum dalam restitusi ini sebenarnya sudah diwadahi dalam peraturan

pelaksanaan dilapangan yaitu melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-

160/PJ./2001 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Meskipun sudah ada kepastian dalam proses restitusi ini tetapi terkadang tidak

semua Wajib Pajak mengerti mengenai ketentuan ini, disamping itu terdapat beberapa hal

yang membingungkan Wajib Pajak terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.

Contohnya adalah mengenai tidak diaturnya secara tegas mengenai jangka waktu

penyelesaian permohonan restitusi yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak Kriteria

Tertentu.

Asas kepastian hukum ini juga diperlukan oleh Wajib Pajak dalam menentukan

apakah akan memperoleh imbalan bunga jika jangka waktu penyelesaian restitusi yang

diajukannya lebih lama dari ketentuan yang berlaku. Sedangkan bagi pihak Kantor

Pelayanan Pajak sendiri merupakan sebagai alat pengawasan agar jangka waktu

penyelesaian tidak melebihi ketentuan yang berlaku sehingga juga tidak merugikan

keuangan negara.

Page 59: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

52

Salah satu kepastian yang berkaitan dengan proses restitusi yang cukup menarik

adalah apakah hasil pemeriksaan yang memberikan koreksi terhadap permohonan

restitusi Wajib Pajak adalah sesuai atau tidak dengan ketentuan perundang-undangan. Hal

ini juga menjadi salah satu kepastian hukum yang harus diberikan oleh negara, koreksi

yang dilakukan oleh fiskus harus benar dan tidak dibuat-buat. Wajib Pajak yang baik

tentu saja akan merasa sangat dirugikan dengan koreksi yang tidak jelas dan mengada-

ada bahkan terkadang fiskus sengaja melakukan hal ini hanya untuk memohon imbalan

atau gratifikasi.

Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan.

Berkaitan dengan asas certainty, penyalahgunaan Faktur Pajak sangat bertentangan dan

tidak dibenarkan secara hukum. Karena secara jelas telah diatur dalam Undang-undang

Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam

pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dimana sarana untuk memungutnya adalah Faktur

Pajak tersebut. Oleh karena itu kepastian hukum bagi pihak-pihak yang

menyalahgunakan Faktur Pajak tersebut harus secara tegas dilaksanakan.

Hal-hal mengenai sanksi dan/atau denda administrasi serta sanksi pidana mengenai

penyalahgunaan Faktur Pajak ini telah diatur secara tegas dalam Undang-undang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana

kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan Faktur Pajak ini apakah

sudah sesuai atau belum. Pihak-pihak yang menyalahgunakan Faktur Pajak bisa berasal

dari Wajib Pajak yang sengaja melakukannya atau dari oknum fiskus sendiri yang dengan

Page 60: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

53

sengaja membantu kemudahan pelaksanaan restitusi fiktif ini. Karena itu hukuman bagi

pihak-pihak yang menyalahgunakan harus sesuai dengan ketentuan dan dilaksanakan

dengan tegas.

3. Asas Convenience

Teknik pemungutan pajak ini menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada

saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik

diterimanya penghasilan yang bersangkutan. Asas convenience ini sangat berkaitan

dengan asas yang terakhir yaitu asas efficiency. Asas ini memberi pengertian bagaimana

agar pemungutan pajak dapat dilaksanakan pada saat yang tepat sehingga akan

memberikan hasil yang maksimal.

Berkaitan dengan asas convenience ini, sesuai dengan Pasal 11 Undang-undang

Pajak Pertambahan Nilai 1984 telah diatur mengenai saat terutangnya pajak. Saat

terutangnya pajak ini sangat diperlukan untuk menentukan saat Pengusaha Kena Pajak

melaksanakan kewajiban melunasi utang pajaknya.

Pajak Pertambahan Nilai menganut ajaran material dalam menentukan timbulnya

utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang menentukan demikian. Atau

timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya

suatu keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Ajaran

material dianut oleh suatu jenis pajak yang mekanisme pemungutan pajaknya

menggunakan sistem self assessment. Mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

menggunakan sistem ini, sehingga timbulnya utang pajak ditentukan berdasarkan ajaran

Page 61: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

54

material.

Seperti telah disebutkan bahwa asas ini menginginkan agar pemungutan pajak

dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat yang paling baik bagi Wajib Pajak dimana saat

yang sesuai tersebut adalah pada saat diterimanya penghasilan oleh Wajib Pajak. Secara

implisit, asas ini cenderung menekankan kepada jenis pajak subjektif daripada jenis pajak

objektif.

Meskipun demikian kita dapat mengambil esensinya yaitu pemungutan pajak

dilakukan pada saat yang tepat. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ditentukan

berdasarkan saat terutangnya pajak, oleh karena itu Wajib Pajak yang harus membayar

Pajak Pertambahan Nilai karena menikmati Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak

seharusnya sudah mengerti konsekuensi atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa

Kena Pajak yang akan menimbulkan adanya utang pajak.

Atas utang pajak ini harus segera dipungut sesuai dengan mekanisme pemungutan

Pajak Pertambahan Nilai. Bagi Pengusaha Kena Pajak mungkin hal ini dapat diberikan

kemudahan dengan menggunakan prinsip pengkreditan Pajak Masukan sebelum

mengetahui berapa jumlah pajak yang seharusnya disetor ke Kas Negara. Tetapi bagi

konsumen akhir yang bukan Pengusaha Kena Pajak hal ini merupakan konsekuensi dari

menggunakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dimana akan dipungut kepadanya

Pajak Pertambahan Nilai.

Prinsip pengkreditan Pajak Masukan merupakan salah satu cara sesuai dengan asas

convenience ini. Dimana pada tiap tingkat produksi sampai dengan konsumsi akan

Page 62: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

55

dikenakan pajak, dan pajak tersebut dipungut pada saat yang tepat yaitu pada saat

terutang pajak tersebut harus segera dipungut.

Salah satu cara lain untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan asas

ini adalah dengan melalui pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut Pajak

Pertambahan Nilai. Disamping sesuai dengan tujuan dalam asas convenience ini,

pemungutan melalui Pemungut Pajak Pertambahan Nilai ini dimaksudkan untuk

mengamankan penerimaan pajak dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun

demikian pemungutan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut Pajak Pertambahan

Nilai masih saja menimbulkan penyalahgunaan dalam rangka untuk restitusi atau

kompensasi Pajak Pertambahan Nilai.

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebenarnya sudah diberikan kemudahan

dengan melalui sistem self assessment dan saat terutangnya pajak hingga saat

pembayaran pajak yang sangat jelas aturannya. Prinsip pengkreditan Pajak Masukan

merupakan salah satu kemudahan untuk memperingan beban Pajak Pertambahan Nilai

dari Pengusaha Kena Pajak, tetapi tetap saja terdapat penyalahgunaan Faktur Pajak dalam

rangka restitusi maupun kompensasi. Jika dihubungkan dengan asas ini, hal ini

sebenarnya disebabkan oleh keengganan pihak-pihak tertentu untuk menyetorkan

pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sudah menjadi sesuatu yang jamak jika Wajib Pajak selalu ingin agar beban

pajaknya lebih ringan bahkan jika perlu tidak membayar pajak yang sudah menjadi

kewajibannya. Begitu pula dengan Pengusaha Kena Pajak yang dengan sengaja

Page 63: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

56

menyalahgunakan Faktur Pajak untuk tujuan restitusi atau kompensasi, mereka justru

tidak ingin membayar kewajiban pajaknya dan bahkan malah merugikan keuangan

negara dengan memohon restitusi fiktif atau kompensasi fiktif tersebut.

4. Asas Efficiency

Asas ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-

hematnya dan jangan sekali-kali biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajaknya.

Asas ini sangat dipengaruhi oleh pandangan ekonomi liberal pada saat itu dimana dengan

biaya yang seminimal mungkin untuk memperoleh hasil yang maksimal.

Pokok permasalahan asas efficiency (asas efisiensi) ini adalah bagaimana membuat

suatu administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan mudah baik bagi pihak fiskus

maupun Wajib Pajak. Jika administrasi perpajakan yang rumit dan bertele-tele akan

menimbulkan banyak penyimpangan baik dari pihak Wajib Pajak maupun adanya oknum

fiskus yang mencoba bermain didalamnya.

Oleh karena itu, jika dilihat dari sektor Pajak Pertambahan Nilai maka sudah

seharusnya administrasi dari pihak fiskus harus efisien. Hal ini menjadi suatu kewajiban

agar suatu proses restitusi sebagai contoh tidak memakan terlalu lama dan sesuai dengan

jangka waktu yang telah ditetapkan. Jangka waktu penyelesaian restitusi harus sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan karena negara juga mempunyai kewajiban jika

adanya keterlambatan penyelesaian yaitu pemberian imbalan bunga.

Penyederhanaan proses agar tercapai adanya efisiensi dalam Pajak Pertambahan

Nilai khususnya sangat diperlukan. Penyederhanaan proses ini bukan berarti

Page 64: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

57

menghilangkan prosedur yang telah ditentukan tetapi bekerja sesuai dengan prosedur dan

meminimalkan adanya manipulasi dalam restitusi.

Jika kita lihat secara keseluruhan terhadap asas pemungutan pajak dalam “The Four

Maxims” maka terdapat beberapa perbedaan antara asas tersebut dengan pemungutan

Pajak Pertambahan Nilai terutama dalam asas equality. Tetapi ini bukan menjadi suatu

masalah yang besar, karena asas-asas tersebut secara keseluruhan masih dapat digunakan.

Masih berkaitan antara asas-asas pemungutan pajak dengan Pajak Pertambahan

Nilai, disamping untuk mengamankan penerimaan negara melalui penghindaran pajak,

Everett Gross menyebutkan bahwa sudah seharusnya pemungutan pajak juga memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:17

a. Economic neutrality,

Pajak harus bersifat netral dan tidak menimbulkan distorsi dalam kehidupan ekonomi

dalam suatu negara.

b. Efficiency,

Seperti halnya dengan asas efficiency dari The Four Maxims, pajak yang dipungut

harus mengeluarkan biaya yang seminimal mungkin tetapi dengan tambahan bahwa

pengenaan pajak terhadap suatu objek pajak tidak boleh mengganggu permintaan dan

penawaran pasar terhadap objek pajak tersebut.

17 Everett Gross, How to Separate Smart and Dumb Taxes, (Nebraska: Everett

Gross, 2004) diunduh dari http://www.progress.org/2004/gross06.htm per tanggal 24 April 2006.

Page 65: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

58

c. Equity,

Prinsip ini merupakan pusat dari segala perencanaan pemungutan pajak. Perencanaan

dalam pemungutan pajak harus adil dan sampai pada tingkat mana dapat disesuaikan

dengan prinsip yang lain.

d. Administrability,

Bagaimana suatu pajak dapat diadministrasikan dengan mudah dan juga dalam hal

pemungutannya. Pajak yang menimbulkan distorsi dalam kehidupan ekonomi tidak

akan efisien dan dapat menimbulkan berbagai efek samping lainnya seperti

penghindaran pajak, ketidakadilan, dan biaya untuk pemeriksaan yang akan menjadi

lebih besar.

e. Simplicity,

Semakin kompleks suatu peraturan perpajakan, maka akan ditemukan celah-celah

(loopholes) untuk melakukan penyimpangan, menimbulkan ketidakadilan, dan

membuat biaya administrasi semakin besar.

f. Stability,

Prinsip ini mempunyai arti kemampuan pajak untuk menghadapi berbagai perubahan

kehidupan ekonomi yang sering terjadi

g. Sufficiency

Prinsip ini menekankan bagaimana menilai suatu jenis pajak akan menghasilkan

penerimaan bagi negara yang sangat potensial.

Page 66: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

59

B. Analisis dan Pembahasan

1. Sebab-sebab Munculnya Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai

Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan suatu tindakan kejahatan dan dapat

dikenakan sanksi pidana. Tindakan kejahatan didasari atas adanya niat dan kesempatan.

Niat berasal dari diri Wajib Pajak atau dorongan dari pihak lain sedangkan kesempatan

timbul karena adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan serta kejadian

atau perbuatan berulang-ulang yang tidak diketahui.

Selama kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi begitu banyak tindakan

penyalahgunaan Faktur Pajak ini terutama dalam rangka memohon restitusi.

Penyalahgunaan Faktur Pajak terjadi berulang kali dan di tempat yang berbeda dan

menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Hal ini membuktikan bahwa sistem

administrasi Kantor Pelayanan Pajak utamanya seksi Pajak Pertambahan Nilai kurang

tertata dengan baik. Menurut Direktur Pemeriksan, Penyelidikan, dan Penyidikan Pajak

Direktorat Jenderal Pajak, Gunadi, banyaknya kasus restitusi pajak terjadi karena tiga hal,

yakni transparansi keuangan perusahaan wajib pajak, moral pengusaha wajib pajak, dan

integritas petugas pajak.18

Uraian berikut ini mencoba membahas sebab-sebab munculnya kecurangan restitusi

Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan melalui penyalahgunaan Faktur Pajak sesuai

dengan kondisi yang sering terjadi seperti yang diuraikan pada Bab III.

18Majalah Trust, “Restitusi Tanpa Transaksi,” Majalah Trust, 2, No.35 (Tanggal 31

Mei-6 Juni 2004)

Page 67: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

60

a. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan

1) Melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif

Beberapa sebab terjadinya penyalahgunaan Faktur Pajak dengan melakukan

transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif, yaitu:

a) Pengusaha Kena Pajak merasa keberatan untuk menyetor Pajak Pertambahan

Nilai yang telah dipungut dan/atau ingin memperoleh jumlah restitusi yang

lebih besar daripada yang seharusnya.

b) Adanya penelitian yang kurang mendalam terhadap Surat Pemberitahuan

Masa Pajak Pertambahan Nilai terutama untuk Pajak Masukan selama

Pengusaha Kena Pajak tidak memohon restitusi.

c) Pengusaha Kena Pajak mengetahui bagaimana sistem administrasi dalam

rangka restitusi. Hal ini biasanya dilakukan kerjasama dengan konsultan pajak

dan oknum fiskus yang memberitahukan celah mana saja yang bisa ditembus,

terutama dalam sistem konfirmasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan.

Sehingga pembuatan perusahaan fiktif untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak fiktif dapat berjalan dengan baik.

d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus dalam proses restitusi. Misalnya

memberikan bantuan untuk mempercepat proses restitusi dengan tidak

melakukan konfirmasi terhadap semua Faktur Pajak Masukan sehingga proses

restitusi dapat berjalan dengan cepat dan meminimalisasi terbongkarnya

kejahatan ini.

Page 68: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

61

e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh

Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga

Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang

mengantisipasinya.

f) Ancaman hukuman yang kurang berat terhadap penyalahgunaan jenis ini yaitu

ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4

(empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi.

2) Transaksi Fiktif

Penyebab penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini hampir sama dengan jenis yang

sebelumnya yaitu antara lain:

a) Pengusaha Kena Pajak merasa keberatan untuk menyetor Pajak Pertambahan

Nilai yang telah dipungut dan/atau ingin memperoleh jumlah restitusi yang

lebih besar daripada yang seharusnya.

b) Terdapat Pengusaha Kena Pajak lain yang mau diajak kerjasama untuk

membuat Faktur Pajak yang sebenarnya tidak pernah terjadi transaksi antara

penjual dan pembeli.

c) Penelitian yang kurang mendalam terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai terutama untuk Pajak Masukan selama Pengusaha Kena

Pajak tidak memohon restitusi dan terhadap daftar lampiran pembelian juga

tidak dilakukan penelitian secara seksama.

d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus untuk memperlancar proses restitusi.

Page 69: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

62

e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh

Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga

Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang

mengantisipasinya.

f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan

tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada

yang diancamkan dalam perundang-undangan.

3) Faktur Pajak Fiktif

Terdapat beberapa kesamaan penyebab penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini

dengan kedua jenis sebelumnya, yaitu:

a) Adanya niat dan kesempatan yang dilakukan oleh pengusaha untuk

melakukan kejahatan perpajakan ini.

b) Faktur Pajak yang yang diterima atas pembelian barang dan/atau jasa mudah

untuk dibuat sendiri tanpa sepengetahuan Pengusaha Kena Pajak pembuat

Faktur Pajak yang asli.

c) Pengusaha Kena Pajak mengetahui dengan baik mengenai prosedur penelitian

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan pemeriksaan dalam

rangka restitusi.

d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus yang dengan sengaja ingin

memperoleh imbalan atau gratifikasi.

Page 70: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

63

e) Kurangnya sosialisasi mengenai beberapa jenis penyalahgunaan Faktur Pajak

oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain

sehingga Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan

kurang mengantisipasinya.

f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan

tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada

yang diancamkan dalam perundang-undangan.

4) Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak

Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini memiliki latar belakang antara lain:

a) Pengusaha Kena Pajak berniat mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang

seharusnya disetor. Transaksi pembelian dari penjual non Pengusaha Kena

Pajak tidak akan dibuatkan Faktur Pajak, oleh karena itu Pengusaha Kena

Pajak sengaja membuat Faktur Pajak fiktif (Pajak Masukan) untuk dikreditkan

dengan Pajak Keluaran sehingga jumlah yang seharusnya disetor lebih sedikit.

b) Pengusaha Kena Pajak mengetahui bahwa terhadap Surat Pemberitahuan

Masa Pajak Pertambahan Nilai yang kurang bayar dengan jumlah yang sedikit

tidak akan diteliti secara mendalam.

c) Kemudahan dalam membuat Faktur Pajak fiktif, baik dengan membuat sendiri

maupun bekerja sama dengan Pengusaha Kena Pajak lain.

d) Adanya kerjasama dengan oknum fiskus yang dengan sengaja ingin

memperoleh imbalan atau gratifikasi.

Page 71: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

64

e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh

Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga

Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang

mengantisipasinya.

f) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan

tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada

yang diancamkan dalam perundang-undangan.

5) Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak dengan

melalui cara transaksi dalam satu kelompok usaha dapat dikarenakan oleh

beberapa alasan, antara lain:

a) Pengusaha Kena Pajak berniat mengurangi Pajak Pertambahan Nilai yang

seharusnya disetor bahkan jika bisa tidak menyetor Pajak Pertambahan Nilai

ke Kas Negara.

b) Terdapat banyak pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang

tidak menginginkan terhadap Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

yang mereka beli dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

c) Pengawasan terhadap pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang kurang ketat

karena untuk usaha yang sama terkadang tidak semua perusahaan dikukuhkan

menjadi Pengusaha Kena Pajak. Biasanya atas permohonan Wajib Pajak

sendiri baru dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Page 72: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

65

d) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh

Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga

Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang

mengantisipasinya.

e) Pengusaha Kena Pajak menganggap ancaman hukuman pidana yang diberikan

tidak terlalu berat. Biasanya hukuman yang dijatuhkan lebih rendah daripada

yang diancamkan dalam perundang-undangan.

b. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran

1) Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif

Kegiatan ekspor fiktif dilakukan dengan sebab antara lain:

a) Pengusaha Kena Pajak ingin memperoleh kembali Pajak Masukan yang telah

dipungut pada saat pembelian. Hal ini disebabkan terhadap ekspor dikenakan

tarif 0% (nol persen) sehingga Pajak Masukan akan lebih besar daripada Pajak

Keluaran dan dapat menimbulkan kelebihan bayar pajak.

b) Adanya kerjasama dengan instansi terkait lain seperti pihak Bea dan Cukai,

Departemen Perdagangan, bank, Kantor Pelayanan Pajak dan pihak-pihak lain

yang terkait guna memperoleh dokumen asli tetapi palsu berkaitan dengan

kegiatan ekspor yang sengaja digunakan untuk permohonan restitusi.

Penyalahgunaan Faktur Pajak dengan melakukan kegiatan ekspor fiktif ini

memerlukan administrasi yang baik dan kompleks dari Pengusaha Kena Pajak

karena banyak berkaitan dengan banyak pihak dan dokumen yang harus disiapkan

Page 73: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

66

oleh karena itu mungkin tidak terlalu banyak penyalahgunaan jenis ini.

2) Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

Penyebab mengapa terjadi penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini antara lain:

a) Banyak Wajib Pajak yang hanya mengandalkan penghasilannya dari proyek

pemerintah sehingga sering menimbulkan kelebihan Pajak Masukan.

Terhadap kelebihan Pajak Masukan ini, Pengusaha Kena Pajak enggan untuk

memperoleh kembali kelebihan bayar Pajak Masukan tersebut dikarenakan

anggapan proses yang akan terlalu lama dan biaya yang akan jauh lebih besar

jika memohon restitusi.

b) Wajib Pajak merasa takut terhadap adanya pemeriksaan terhadap kegiatan

usahanya karena fiskus akan mengetahui keadaan Wajib Pajak yang

sebenarnya dan akan menimbulkan biaya yang lebih besar.

c) Adanya Pengusaha Kena Pajak lain yang mau membeli Faktur Pajak Keluaran

fiktif yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut.

d) Proses pembuatan Faktur Pajak Keluaran relatif mudah dan sederhana dan

tidak diperlukan pengetahuan lebih dalam Pajak Pertambahan Nilai.

e) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh

Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga

Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang

mengantisipasinya.

Page 74: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

67

3) Pembuatan Faktur Pajak Ganda

Pembuatan Faktur Pajak Keluaran ganda merupakan perbuatan yang sengaja

dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sendiri. Terdapat beberapa sebab mengapa

dilakukan pembuatan Faktur Pajak ganda, antara lain:

a) Pengusaha Kena Pajak sengaja ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-

besarnya dari Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut olehnya dan tidak

disetorkan ke Kas Negara.

b) Pengetahuan yang cukup dari Pengusaha Kena Pajak mengenai prosedur

administrasi dari Pajak Pertambahan Nilai.

c) Kurangnya sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh

Direktorat Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga

Kantor Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang

mengantisipasinya.

d) Ancaman hukuman yang tidak terlalu berat dan sering adanya negosiasi antara

Pengusaha Kena Pajak dengan oknum fiskus untuk melancarkan usaha ini.

4) Tidak Membuat Faktur Pajak

Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak disebabkan oleh beberapa

faktor, antara lain:

a) Niat dari Pengusaha Kena Pajak untuk memperoleh keuntungan bagi diri

Pengusaha Kena Pajak sendiri. Hal ini dilakukan kepada konsumen yang tidak

mengerti mengenai Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak

Page 75: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

68

memungut Pajak Pertambahan Nilai dari konsumen tetapi tidak dibuatkan

Faktur Pajak dan konsumen sendiri tidak mengetahui mengenai haknya.

b) Banyak konsumen yang merasa senang jika atas pembelian yang

dilakukannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Terutama jika

konsumen tersebut bukan Pengusaha Kena Pajak maka sangat ingin

menghindari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

c) Pengawasan yang kurang dari Direktorat Jenderal Pajak dan Kurangnya

sosialisasi mengenai jenis penyalahgunaan Faktur Pajak oleh Direktorat

Jenderal Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak yang lain sehingga Kantor

Pelayanan Pajak di wilayah lain terlambat mengetahui dan kurang

mengantisipasinya.

d) Ancaman hukuman yang tidak terlalu berat dan sering adanya negosiasi antara

Pengusaha Kena Pajak dengan oknum fiskus untuk melancarkan usaha ini.

Dari beberapa sebab-sebab penyalahgunaan Faktur Pajak di atas maka akan dapat

kita tarik suatu kesimpulan mengenai sebab-sebab penyalahgunaan Faktur Pajak, antara

lain:

a. Lemahnya pengawasan terhadap Wajib Pajak, baik pada saat Wajib Pajak mulai

dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak maupun setelah Wajib Pajak menjadi

Pengusaha Kena Pajak. Hal ini yang menyebabkan Wajib Pajak menyalahgunakan

Faktur Pajak dalam rangka memohon restitusi maupun kompensasi.

Page 76: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

69

b. Kerja sama antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak lain yang dengan sengaja

menyalahgunakan Faktur Pajak untuk memohon restitusi maupun kompensasi. Pihak-

pihak lain tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak lain baik yang fiktif maupun tidak

fiktif, konsultan pajak, dan oknum fiskus sendiri.

c. Pengetahuan dari Wajib Pajak yang dibantu oleh konsultan pajak maupun oknum

fiskus yang dengan sengaja memberitahukan mengenai celah yang dapat ditembus

dalam memohon restitusi. Hal ini terutama berhubungan dengan sistem konfirmasi

Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang masih terdapat kelemahan. Misalnya

penyalahgunaan dengan membuat Pengusaha Kena Pajak fiktif, mereka sengaja

mendirikan suatu perusahaan untuk sementara waktu dengan maksud untuk

melakukan restitusi fiktif.

Perusahaan ini juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan juga Nomor

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang tercatat di administrasi Kantor Pelayanan

Pajak. Hal ini dilakukan karena sistem konfirmasi yang sekarang dilakukan sudah on-

line antar Kantor Pelayanan Pajak dan sudah banyak diketahui oleh Pengusaha Kena

Pajak. Sehingga mereka sengaja mendirikan perusahaan fiktif ini agar proses

konfirmasi berjalan lancar.

d. Fiskus yang tidak profesional dalam pekerjaannya. Permohonan restitusi sengaja

dibuat sebagai ajang bagi oknum fiskus untuk meminta imbalan atau gratifikasi.

Page 77: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

70

Sudah menjadi rahasia umum jika hasil dari restitusi akan dicairkan maka fiskus akan

meminta bagian dari hasil restitusi tersebut.19

e. Pemeriksaan umumnya diutamakan kepada pemeriksaan terhadap Surat

Pemberitahuan Masa pada akhir tahun pajak dimana beban pemeriksaan sangat besar

sehingga ketelitian dalam pemeriksaan sering kurang mendalam. Disamping itu,

pemeriksaan hanya dilakukan jika terdapat permohonan restitusi, kalaupun tidak

biasanya bersamaan dengan pemeriksaan segala jenis pajak terhadap Wajib Pajak

yang telah memenuhi kriteria tertentu.

Banyak kemungkinan akan lolosnya restitusi fiktif jika fiskus tidak melakukan

pemeriksaan terutama terhadap Wajib Pajak yang mempunyai peredaran usaha yang

sangat fluktuatif jika hanya mengandalkan pemeriksaan pada akhir tahun atau secara

bersamaan dengan jenis pajak yang lain.

2. Akibat Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai

Secara umum akibat dari kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dapat

dikelompokkan dalam beberapa kelompok antara lain:

a. Bidang Keuangan Negara

Adanya penyalahgunaan Faktur Pajak sangat merugikan keuangan negara dengan

berkurangnya jumlah penerimaan negara dari sektor pajak khususnya jenis Pajak

Pertambahan Nilai.

19Tri Wibowo, Studi Pelaksanaan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia,

2005, (Jakarta: Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional, 2005 ), hal. 6.

Page 78: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

71

b. Bidang Ekonomi

Penyalahgunaan Faktur Pajak merupakan salah satu jenis kejahatan, hal ini akan

sangat mempengaruhi persaingan yang sehat dalam dunia usaha karena adanya

keunggulan biaya dari pengusaha dengan menggunakan cara yang tidak sehat

tersebut.

Seperti telah disebutkan sebelumnya kebijakan ekonomi dari pemerintah haruslah

jelas agara tidak menimbulkan adanya kejahatan-kejahatan dalam bidang perpajakan

khususnya Pajak Pertambahan Nilai, oleh karena itu penyalahgunaan Faktur Pajak

secara tidak langsung juga dapat menimbulkan kurang lancarnya perputaran roda

perekonomian dan langkanya modal karena pengusaha akan berusaha

menyembunyikan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan yang dilakukannya.

c. Bidang Psikologis Wajib Pajak

Wajib Pajak yang terbiasa melakukan kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak ini dan

tidak diketahui oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak akan terbiasa untuk

melakukannya lagi dan terbiasa untuk melanggar ketentuan perundang-undangan.

Sedangkan akibat dari penyalahgunaan Faktur Pajak secara khusus dari setiap

penyalahgunaan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan

1) Melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif

Akibat yang ditimbulkan dari kegiatan melakukan transaksi dengan Pengusaha

Kena Pajak Fiktif adalah:

Page 79: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

72

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Faktur

Pajak Masukan fiktif akan mengurangi besarnya Pajak Pertambahan Nilai

yang seharusnya disetor. Jika Pengusaha Kena Pajak melakukan restitusi

dengan Faktur Pajak fiktif maka kerugian negara akan menjadi lebih besar.

b) Perusahaan yang melakukan kegiatan ini akan mempunyai biaya tambahan

dari penjual fiktif. Biaya ini (biasanya disarukan ke dalam suatu jenis biaya)

akan mengurangi laba dari pengusaha yang juga akan mengakibatkan jumlah

Pajak Penghasilan yang seharusnya disetor menjadi berkurang. Hal ini

mengakibatkan kerugian negara selain dari sektor Pajak Pertambahan Nilai

juga berasal dari sektor Pajak Penghasilan.

c) Terlambatnya antisipasi dari pihak Direktorat Jenderal Pajak serta hukuman

yang ringan akan mengakibatkan pengusaha lain juga mencoba untuk

melakukan kegiatan yang sama.

d) Semakin banyak pengusaha yang melakukan kegiatan ini berarti juga akan

menambah jumlah oknum-oknum fiskus yang terlibat kolusi. Hal ini akan

membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang. Untuk itu

pemerintah (khususnya Direktorat Jenderal Pajak) perlu lebih meningkatkan

pengawasan terhadap pegawainya karena yang terlibat sering tidak hanya

oknum fiskus di tingkat pelaksana tetapi juga atasan dari oknum fiskus

tersebut.

e) Kelemahan dibidang peraturan dan kurangnya penegakan hukum dibidang

Page 80: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

73

perpajakan akan mengakibatkan masyarakat menganggap pemerintah tidak

tegas dan kurang berwibawa khususnya dalam dunia usaha.

f) Dengan adanya penyalahgunaan ini akan mengakibatkan pengawasan yang

lebih ketat dan dapat menimbulkan beban administrasi tambahan bagi Wajib

Pajak, tidak hanya Wajib Pajak yang melakukan penyalahgunaan tetapi juga

bagi Wajib Pajak yang termasuk patuh.

2) Transaksi Fiktif

Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini menimbulkan beberapa akibat, yaitu:

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak

Pertambahan Nilai.

b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan

mengalami penurunan karena adanya upaya untuk membuat laporan yang

tidak benar.

c) Pengusaha yang telah berhasil untuk melakukan kegiatan ini akan cenderung

untuk mengulanginya dan bagi pengusaha lain akan mencoba untuk

melakukannya.

d) Bertambahnya jumlah oknum fiskus yang terlibat dalam kejahatan perpajakan.

e) Berkurangnya wibawa pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah.

f) Pemerintah akan cenderung memandang Wajib Pajak dengan sikap curiga

karena sistem Self Assessment yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya

Page 81: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

74

telah disalahgunakan.

3) Faktur Pajak Fiktif

Akibat dari kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini adalah:

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak

Pertambahan Nilai karena adanya kompensasi dan/atau restitusi dengan

menggunakan Faktur Pajak fiktif.

b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan

mengalami penurunan karena adanya Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar

pengenaan Pajak Penghasilan berkurang.

c) Pengusaha yang melakukan kejahatan ini semakin banyak dan jumlah Faktur

Pajak Masukan fiktif juga semakin besar akibat kurangnya pengawasan dari

fiskus.

d) Kepercayaan fiskus kepada Wajib Pajak dalam menerapkan sistem Self

Assessment pada umumnya menurun.

e) Pengusaha Kena Pajak yang Faktur Pajaknya dipalsukan akan menderita

kerugian yang sangat besar. Kerugian tersebut dapat berupa pencemaran nama

baik dan adanya kecurigaan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini akan

menyulitkan bagi Pengusaha Kena Pajak karena kemungkinan besar akan

diperiksa dan bisa dilakukan penyidikan.

4) Transaksi dengan Penjual Non Pengusaha Kena Pajak

Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini mempunyai beberapa akibat, yaitu:

Page 82: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

75

a) Penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai akan

mengalami penurunan. Pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena

Pajak secara tidak sah dan tidak benar akan mengakibatkan berkurangnya

Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya disetor.

b) Penerimaan negara dari sektor pajak khusunya Pajak Penghasilan secara tidak

langsung juga akan berkurang. Hal ini karena pembelian yang menggunakan

Faktur Pajak Masukan fiktif tersebut akan dijadikan biaya yang menyebabkan

berkurangnya Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak yang

berkurangnya tentu akan mengurangi besarnya Pajak Penghasilan yang

disetorkan ke Kas Negara.

5) Transaksi dalam Satu Kelompok Usaha

Penyalahgunaan Faktur Pajak dalam transaksi dalam satu kelompok usaha

mempunyai beberapa akibat, yaitu:

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak

Pertambahan Nilai.

b) Penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan pun akan

mengalami penurunan karena adanya upaya untuk membuat laporan yang

tidak benar dengan membuat perencanaan pajak yang cenderung

menggelapkan pajak melalui mekanisme transfer pricing..

c) Berkurangnya wibawa pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah.

Page 83: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

76

d) Pemerintah akan cenderung memandang Wajib Pajak dengan sikap curiga

karena sistem Self Assessment yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya

telah disalahgunakan.

b. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran

1) Melakukan Kegiatan Ekspor Fiktif

Kegiatan ini mengakibatkan beberapa hal, yaitu:

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak

Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi jika restitusi fiktif yang diajukan

dikabulkan permohonannya.

b) Tidak ada devisa yang masuk bagi negara karena ekspor yang dilakukan tidak

benar-benar terjadi.

c) Adanya upaya manipulasi untuk jenis pajak yang lain seperti Pajak

Penghasilan dengan membuat pelaporan yang tidak benar agar jumlah pajak

yang seharusnya disetor tidak besar. Hal ini dilakukan karena pengusaha

tersebut tentu saja tidak ingin mengalami kerugian bagi usahanya akibat

adanya kewajiban perpajakan.

2) Pemungutan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

Penyalahgunaan Faktur Pajak jenis ini mempunyai beberapa akibat, antara lain:

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak

Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengkreditan Pajak

Page 84: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

77

Pertambahan Nilai yang tidak benar dengan menggunakan Faktur Pajak

Keluaran fiktif.

b) Penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak Penghasilan juga akan

mengalami penurunan karena adanya pelaporan yang tidak benar atau adanya

rekayasa dalam laporan keuangan Wajib Pajak.

c) Kecenderungan Wajib Pajak akan melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak

dengan cara yang sama untuk waktu yang akan datang dengan tujuan

menghindari adanya pemeriksaan dan memperkecil jumlah pajak yang

seharusnya disetor ke Kas Negara.

3) Pembuatan Faktur Pajak Ganda

Kegiatan Pengusaha Kena Pajak dengan membuat Faktur Pajak ganda akan

mengakibatkan beberapa hal, antara lain:

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak

Pertambahan Nilai. Hal ini dapat terjadi karena adanya Pajak Pertambahan

Nilai yang telah dipungut dalam pnejualan yang dilakukan pengusaha tidak

dilaporkan dan tidak disetorkan ke Kas Negara.

b) Dengan membuat Faktur Pajak Keluaran Ganda, pengusaha dengan sendirinya

akan menyembunyikan penjualan yang sebenarnya yang berarti mengurangi

peredaran usaha pengusaha. Berkurangnya peredaran usaha ini akan

mengakibatkan Pajak Penghasilan yang seharusnya disetor akan berkurang

dan akan mengurangi penerimaan negara.

Page 85: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

78

c) Kurangnya pengawasan akan mengakibatkan kejahatan serupa sering terjadi,

khususnya Wajib Pajak dengan produk massal.

4) Tidak Membuat Faktur Pajak

Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak akan mengakibatkan

beberapa hal, yaitu:

a) Berkurangnya penerimaan negara dari sektor pajak khususnya Pajak

Pertambahan Nilai. Jika Faktur Pajak Keluaran tidak dibuat, maka dengan

sendirinya tidak akan ada Pajak Pertambahan Nilai yang disetorkan ke Kas

Negara dan penerimaan negara pun akan berkurang.

b) Pajak Penghasilan pengusaha tersebut akan berkurang karena peredaran usaha

yang sebenarnya tidak dilaporkan dengan benar. Hal ini tentu saja

mengakibatkan penerimaan negara dari sektor pajak jenis Pajak Penghasilan

akan berkurang.

c) Bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli maka tidak dapat mengkreditkan Pajak

Masukan yang sebenarnya telah dipungut karena tidak memiliki Faktur Pajak

Masukan.

3. Pencegahan dan Penanganannya

Setelah pembahasan mengenai penyebab timbulnya kecurangan restitusi Pajak

Pertambahan Nilai dan juga mengetahui akibat-akibat yang mungkin dapat ditimbulkan

dari kecurangan tersebut, pada pembahasan kali ini penulis mencoba untuk mencari

Page 86: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

79

alternatif pencegahan dan penanganan kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai

melalui penyalahgunaan Faktur Pajak.

Alternatif pencegahan dan penanganan ini dibahas secara keseluruhan untuk semua

jenis penyalahgunaan Faktur Pajak. Beberapa alternatif pencegahan dan penanganan yang

coba diberikan penulis antara lain:

a. Pengukuhan Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak harus dilaksanakan dengan

ketat dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Meskipun saat ini Nomor

Pokok Pengusaha Kena Pajak sama dengan Nomor Pokok Wajib Pajak tetapi

pemberiannya harus selektif dan ketat. Hal ini agar tidak timbul banyak Pengusaha

Kena Pajak tetapi mereka tidak aktif, mereka hanya aktif pada tahun-tahun awal

berdirinya perusahaan. Peningkatan Pengusaha Kena Pajak haruslah diiringi dengan

peningkatan penerimaan negara dari pajak jenis Pajak Pertambahan Nilai, hal ini

sesuai dengan asas efficiency dalam Four Maxims dari Adam Smith.

b. Perlunya peningkatan pengawasan terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak

baik yang skalanya kecil, menengah, atau besar. Pengawasan ini dapat dilakukan baik

melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi.

Kegiatan ekstensifikasi sesuai dengan sasaran yaitu mencari yang tersembunyi untuk

mengamankan penerimaan negara.20 Kegiatan ini dapat dilakukan antara lain dengan

melakukan penjaringan Pengusaha Kena Pajak baru. Sedangkan kegiatan intensifikasi

20Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-

178/PJ/2004 tentang “Cetak Biru (Blue Print) Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2001 sampai dengan 2010, tanggal 22 Desember 2004.

Page 87: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

80

dilakukan untuk mengungkapkan suatu kondisi yang tidak jujur.21 Kegiatan ini dapat

dilakukan antara lain dengan:

1. Pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai indikasi

melakukan kegiatan penyalahgunaan Faktur Pajak baik penyalahgunaan Faktur

Pajak Masukan maupun Faktur Pajak Keluaran dalam rangka memohon restitusi

maupun kompensasi Pajak Pertambahan Nilai. Perlu ditekankan apakah barang-

barang dalam Faktur Pajak benar-benar dijual dengan melakukan pemeriksaan

kepada catatan bukti penyerahan barang dan tidak hanya dengan konfirmasi.

Dengan kata lain dilakukan pemeriksaan secara acak terhadap Pajak Keluaran

disamping Pajak Masukan yang sudah sering biasa dilakukan dalam pemeriksaan

Pajak Pertambahan Nilai.

2. Penelitian dan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan

usahanya sangat fluktuatif dan mempunyai deviasi sangat besar terlebih jika

Pengusaha Kena Pajak tersebut memohon restitusi atau kompensasi. Pemeriksaan

terhadap Wajib Pajak yang melakukan kompensasi terus-menerus disamping yang

sering memohon restitusi juga harus dilakukan karena potensi penyimpangan

terhadap Wajib Pajak yang melakukan kompensasi tersebut juga sama besarnya.

Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang sering melakukan kompensasi tersebut

juga harus memperhatikan tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan

21Ibid.

Page 88: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

81

dari Wajib Pajak terhadap jenis pajak lainnya seperti Pajak Penghasilan Pasal 21,

Pasal 23, dan Pasal 25 serta Pajak Bumi dan Bangunan.

3. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang sering menjadi rekanan pemerintah perlu

dilakukan equalisasi antara Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 25 dengan Pajak

Pertambahan Nilai yang terutang, perlu dinilai kewajaran apakah jumlah Pajak

Pertambahan Nilai yang disetor ke Kas Negara sudah benar. Hal ini terutama

terhadap Pengusaha Kena Pajak di daerah, karena penyalahgunaan sering terjadi.

4. Kebanyakan proses penyelesaian permohonan restitusi hanya dilakukan melalui

Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) dimana kegiatan PSK ini hanya lebih

bersifat penelitian bukan pemeriksaan yang mendalam. Oleh karena itu perlu

dilakukan pemeriksaan yang lebih mendalam misalnya dengan melakukan

Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) agar hasil pemeriksaan lebih akurat dan

dapat mengetahui ada tidaknya kecurangan yang dilakukan Wajib Pajak.

5. Pemeriksaan tidak hanya dilakukan pada masa-masa akhir pada suatu tahun pajak

seperti yang sudah sering dilakukan karena beban pemeriksaan pada akhir tahun

pajak sangat berat dan hal ini akan mempermudah Pengusaha Kena Pajak untuk

melakukan penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka memohon restitusi atau

kompensasi.

6. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang tergabung dalam satu kelompok usaha

untuk mencari adanya kemungkinan penyelundupan pajak baik Pajak

Pertambahan Nilai maupun Pajak Penghasilan.

Page 89: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

82

7. Pemeriksaan terhadap permohonan restitusi melalui mekanisme ekspor perlu lebih

mendalam karena hal ini berkaitan dengan dokumen yang harus diperiksa yang

lebih banyak dan kompleks. Kebenaran dokumen ekspor yang dilampirkan harus

diperiksa kebenarannya dengan melakukan konfirmasi dengan pihak yang

berkaitan. Beberapa dokumen ekspor yang harus dilakukan pemeriksaan adalah

PEB, Letter of Credit (L/C), Bill of Lading (B/L), Price List, Packing List,

Dokumen Surveyor, Surat Sertifikasi dari Departemen Perdagangan atau

Departemen Perindustrian atau Departemen Kehutanan, Nota Kredit dari Bank,

Invoice, Kontrak Penjualan, Kuota, dan Biaya Muat untuk menguji kebenaran

transaksi ekspor.

c. Pada bab II telah disebutkan bahwa Faktur Pajak dapat digunakan sebagai alat

pengawasan dalam penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini sangatlah penting

karena Faktur Pajak merupakan sarana utama dalam mekanisme pengkreditan Pajak

Pertambahan Nilai dan sebagai alat kelengkapan untuk memohon restitusi atau

kompensasi.

Kebenaran material dalam Faktur Pajak sangat penting, oleh karena itu pengawasan

dimulai dari proses penerimaan sampai dengan proses perekaman agar data yang

dimasukkan ke dalam sistem perpajakan benar-benar valid. Kantor Pelayanan Pajak

terutama seksi Pajak Pertambahan Nilai sering menggunakan tenaga honorer untuk

melakukan perekaman Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, hal ini

dapat juga menjadi salah satu penyebab adanya penyalahgunaan dalam rangka

Page 90: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

83

restitusi, harus ada pengawasan terutama pemberian login dan password kepada

tenaga honorer itu. Sebab hal ini juga menyangkut kerahasiaan negara dan juga

kerahasiaan negara menjaga data dari Wajib Pajak.

Dengan data yang valid akan mempermudah dalam melakukan proses konfirmasi

terhadap kebenaran Faktur Pajak jika terdapat permohonan restitusi atau kompensasi

dari Pengusaha Kena Pajak sehingga jangka waktu penyelesaian dapat segera

terpenuhi.

d. Sistem konfirmasi Pajak Keluaran dan Pajak Masukan di Direktorat Jenderal Pajak

sekarang ini sudah dilakukan secara langsung antar Kantor Pelayanan Pajak (on-line

system). Hal ini sudah menjadi suatu kebutuhan dimana dengan sistem teknologi

informasi yang berkembang pesat maka kegiatan konfirmasi juga dapat lebih

dipercepat.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan sistem konfirmasi Pajak Keluaran

dan Pajak Masukan secara on-line ini benar-benar sudah dioptimalkan? Sekarang ini

data yang direkam hanyalah untuk Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah diatas

Rp 200.000,00 sedangkan yang wajib dilakukan konfirmasi dalam rangka restitusi

adalah Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah di atas Rp 500.000,00.

Hal ini tentu akan menimbulkan pemborosan dalam space kapasitas penyimpanan

data karena Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah antara Rp 200.000,00 sampai

dengan Rp 500.000,00 tidak akan dikonfirmasi. Belum lagi jika Pengusaha Kena

Pajak sengaja memecah nilai nominal Pajak Pertambahan Nilai menjadi di bawah

Page 91: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

84

Rp 200.000,00 sehingga tidak akan terekam dalam sistem dan jika Pengusaha Kena

Pajak tersebut melakukan restitusi atau kompensasi tentu dengan mudah akan

terlewatkan karena banyak data yang tidak terekam. Oleh karena itu sebaiknya perlu

kebijakan yang sama antara jumlah yang direkam dengan jumlah yang

dikonfirmasikan.

Salah satu cara untuk memudahkan perekaman sekarang ini adalah penggunaan

media elektronik sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan

Nilai terutama untuk Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai volume transaksi

sangat besar (atau disebut e-filling) dimana otomatis dari hasil pembukuan Pengusaha

Kena Pajak akan masuk ke dalam lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai.

Hal ini akan sangat membantu fiskus dan meminimalisasi adanya penyalahgunaan

Faktur Pajak dan mempercepat pencarian data serta memudahkan administrasi. Tetapi

tidak semua Pengusaha Kena Pajak terkomputerisasi pembukuannya bahkan yang

sudah terkomputerisasi terkadang tidak sinkron dengan komputer di Kantor

Pelayanan Pajak.

Oleh karena itu sebaiknya pihak Direktorat Jenderal Pajak membuat program

perekaman Surat Pemberitahuan Masa dan dibagikan secara gratis kepada para

Pengusaha Kena Pajak serta cara penggunaannya. Program ini juga harus disertai alat

kontrol agar Pengusaha Kena Pajak yang akan menyalahgunakan Faktur Pajak tidak

dapat melakukannya.

Page 92: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

85

Selain proses konfirmasi terkadang perlu dilakukan proses klarifikasi jika jawaban

konfirmasi menunjukkan ketidaklengkapan, sebaiknya hal ini juga dapat dilakukan

secara on-line karena dalam praktik sering proses klarifikasi ini memakan waktu yang

lama sehingga terkadang jangka waktu penyelesaian restitusi atau kompensasi

menjadi sempit atau terlampaui.

e. Pengawasan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pelaporan Surat

Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai-nya melalui sistem e-filing karena

bukan tidak mungkin dapat terjadi penyalahgunaan melalui sistem ini. Harus terdapat

pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap sistem ini, karena di masa yang

akan datang akan banyak Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan sistem ini dan

untuk mencegah adanya kebocoran penerimaan negara.

f. Banyak kasus penyalahgunaan Faktur Pajak melibatkan fiskus baik dalam rangka

administrasi maupun pada saat pemeriksaan. Hal ini menunjukkan mental yang tidak

baik dari fiskus dan akan semakin mengurangi kepercayaan dari masyarakat kepada

fiskus yang sudah bersikap antipati sebelumnya.

Oleh karena itu, profesionalisme fiskus dalam melaksanakan pekerjaannya harus

ditingkatkan. Kontak langsung dengan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak

sebisa mungkin dikurangi dan hanya untuk pembahasan yang penting saja, hal ini

agar independensi fiskus tetap terjaga dan tidak terpengaruh dalam pengambilan

keputusan baik untuk pekerjaan saat ini maupun untuk masa yang akan datang.

Page 93: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

86

g. Hampir setiap tahun terjadi penyalahgunaan Faktur Pajak baik dalam rangka restitusi

maupun kompensasi. Kejadian yang lebih sering terjadi dan sering diekspos oleh

media kebanyakan adalah kasus restitusi fiktif dengan jumlah yang sangat besar.

Jumlah ini akan bertambah besar jika tidak adanya kerjasama antar Kantor Pelayanan

Pajak untuk menangulangi permasalahan ini dan mengamankan penerimaan negara

dari sektor Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu perlu segera dilakukan

penyebarluasan informasi mengenai adanya tindak kejahatan ini dan modus operandi

yang sering dilakukan.

Meskipun restitusi fiktif lebih sering diberitakan sangat merugikan keuangan negara

tetapi kompensasi fiktif juga sangat perlu diwaspadai karena bukannya tidak mungkin

jumlah kompensasi fiktif bisa sama besar dengan restitusi fiktif. Walaupun uang

negara tidak masuk ke kantong Pengusaha Kena Pajak nakal tetapi hal ini sama saja

merugikan keuangan negara karena seharusnya penerimaan negara bertambah.

h. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap kejahatan penyalahgunaan Faktur Pajak.

Hal ini untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sanksi

hukuman yang telah diatur harus ditegakkan baik kepada Pengusaha Kena Pajak yang

melakukan tindakan kejahatan maupun kepada fiskus yang ikut serta memberikan

kemudahan terhadap penyalahgunaan ini. Meskipun penegakan hukum di Indonesia

dengan adil merupakan hal yang sangat sulit tapi hal ini menjadi suatu kewajiban.

Berkaitan dengan tindakan kejahatan menyalahgunakan Faktur Pajak maupun jenis

kejahatan perpajakan lainnya sebaiknya dikenakan sanksi hukuman yang berlapis

Page 94: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

87

agar membuat jera para pelakunya dan mencegah adanya perbuatan yang sama

dikemudian hari.

Pengenaan hukuman berkaitan dengan kejahatan perpajakan dapat pula dikenakan

sanksi hukuman yang berlapis yaitu selain melalui Undang-undang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur mengenai sanksi dan/atau denda

administrasi serta sanksi pidana, dapat juga dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-

undang Korupsi karena kejahatan perpajakan merupakan tindakan yang merugikan

keuangan negara.

Page 95: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah:

1. Kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai melalui penyalahgunaan Faktur Pajak

merupakan salah satu kejahatan perpajakan. Kejahatan perpajakan timbul karena

adanya niat dan kesempatan. Niat berasal dari diri Wajib Pajak atau dorongan dari

pihak lain sedangkan kesempatan timbul karena adanya kelemahan dalam peraturan

perundang-undangan serta kejadian atau perbuatan berulang-ulang yang tidak

diketahui.

2. Kejahatan perpajakan khususnya penyalahgunaan Faktur Pajak dalam restitusi Pajak

Pertambahan Nilai umumnya melibatkan beberapa pihak. Salah satunya seringkali

melibatkan oknum-oknum fiskus untuk memperlancar kegiatannya. Keterlibatan dari

oknum-oknum fiskus tersebut dapat secara langsung terlibat dengan kegiatan

Pengusaha Kena Pajak untuk menyalahgunakan Faktur Pajak atau melalui pemberian

saran, bantuan administrasi, memperlancar dan mempermudah proses restitusi

maupun kompensasi (dari proses penelitian, pemeriksaan, sampai dengan pencairan

restitusi Pajak Pertambahan Nilai). Pemberian informasi oleh oknum fiskus mengenai

kelemahan sistem konfirmasi juga dapat dijadikan sarana untuk memudahkan adanya

manipulasi restitusi.

88

Page 96: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

89

3. Proses konfirmasi sebagai pendukung utama dalam rangka pemeriksaan untuk

restitusi Pajak Pertambahan Nilai kurang dioptimalkan penggunaannya. Kurang

optimalnya proses konfirmasi bisa dikarenakan data yang sering tidak lengkap atau

karena kualitas sumber daya manusia yang berbeda-beda untuk tiap kantor yang

menyebabkan proses konfirmasi juga klarifikasi berjalan kurang lancar.

4. Kerugian negara yang diakibatkan kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai

melalui penyalahgunaan Faktur Pajak sangat besar. Bahkan lebih besar dari jumlah

yang tercantum dalam Faktur Pajak fiktif. Kerugian negara ini tidak hanya dari jenis

Pajak Pertambahan Nilai tetapi juga jenis Pajak Penghasilan. Dengan tarif progresif

yang diterapkan untuk Pajak Penghasilan bukan tidak mungkin kerugian negara dari

jenis pajak ini lebih besar dari Pajak Pertambahan Nilai yang hanya menerapkan tarif

tunggal 10%.

5. Ancaman sanksi hukuman terhadap kejahatan perpajakan yang terkadang dalam

penerapannya lebih ringan membuat para pelaku cenderung untuk mengulanginya.

Penegakan hukum terhadap pelaku kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai

yang diekspos keluar biasanya hanya yang menyangkut restitusi fiktif yang

jumlahnya besar. Jarang sekali adanya kasus kompensasi fiktif yang diungkapkan,

karena bukan tidak mungkin kasus restitusi fiktif yang terkadang diungkapkan

hanyalah puncak gunung es dari berbagai macam kasus kejahatan perpajakan.

6. Profesionalisme dari fiskus sering menjadi pertanyaan masyarakat terutama berkaitan

dengan restitusi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa restitusi menjadi salah satu

Page 97: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

90

sumber utama bagi oknum fiskus untuk meminta imbalan atau gratifikasi. Jika ingin

proses penyelesaian restitusi dipercepat maka biasanya oknum fiskus akan meminta

imbalan untuk proses tersebut. Hal ini merupakan sumber dari salah satu

penyalahgunaan Faktur Pajak dalam rangka proses restitusi.

B. Saran

Saran yang penulis coba berikan dari pembahasan mengenai permasalahan

penyalahgunaan Faktur Pajak ini antara lain:

1. Adanya persamaan pandangan untuk setiap Kantor Pelayanan Pajak dalam penerapan

sistem konfirmasi Faktur Pajak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak

Nomor KEP-754/PJ.2001 tanggal 26 Desember 2001 mengenai Tata Cara

Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.

Sistem konfirmasi Faktur Pajak ini juga harus lebih dioptimalkan penggunaannya

agar dapat lebih memuaskan semua pihak dan utamanya dapat mengamankan

penerimaan negara. Perlu juga diatur sanksi yang diberikan apabila tidak dipenuhinya

ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ.2001

tanggal 26 Desember 2001, sehingga akan lebih meningkatkan ketertiban

pelaksanaannya.

2. Penyuluhan Pajak Pertambahan Nilai khususnya mengenai permasalahan restitusi

Pajak Pertambahan Nilai perlu lebih ditingkatkan agar Wajib Pajak lebih mengerti

mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Hal ini perlu

Page 98: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

91

dilakukan agar Wajib Pajak lebih nyaman dalam memohon restitusi sehingga

penyalahgunaan Faktur Pajak dapat diminimalisasi dan dihilangkan.

3. Penggalian potensi perpajakan khususnya pengukuhan Wajib Pajak sebagai

Pengusaha Kena Pajak perlu dilakukan dengan hati-hati dan ditingkatkan. Hal ini

dilakukan dengan maksud agar penerimaan negara dapat lebih meningkat tetapi juga

tidak terjadi kebocoran seperti adanya restitusi fiktif. Oleh karena itu pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan secara selektif dan hati-hati untuk

menghindari adanya kebocoran.

4. Pengamanan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut Pajak

Pertambahan Nilai dapat dilakukan dengan memberikan data yang akurat dan valid

mengenai transaksi yang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22

telah dipungut. Pajak Penghasilan Pasal 22 ini dapat digunakan sebagai data

pembanding apakah Pajak Pertambahan Nilai yang dilaporkan telah sesuai dengan

kondisi yang sebenarnya.

5. Pemeriksaan pajak khususnya yang berkaitan dengan restitusi agar lebih profesional.

Hal ini perlu karena restitusi merupakan salah satu sumber utama kebocoran

penerimaan negara. Semua prosedur pemeriksaan harus dilakukan dengan benar dan

dilakukan oleh fiskus yang mempunyai cukup pengetahuan.

6. Penegakan hukuman disiplin terhadap oknum fiskus yang melakukan kejahatan

perpajakan harus dilakukan dengan tegas oleh Direktorat Jenderal Pajak sehingga

menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan yang berniat melakukannya.

Page 99: Akuntansi Pajak-curang Restitusi Ppn

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

Tempat/Tanggal Lahir

Agama

Alamat

Nama Ibu

Nama Ayah

Pendidikan

Pengalaman Kerja

:

:

:

:

:

:

:

Arisna Hendrawan

Jombang, 29 Oktober 1973

Islam

Jalan Basuki Rahmad Gg II No. 4 Rt 4/1

Jabon, Kab. Jombang

Surmini (Almh.)

Soebowo (Alm.)

1. D IV Akuntansi, 2004-2006

2. Ajun Akuntan dengan Kurikulum Khusus, 2002

3. Pembantu Akuntan, 1998

4. Prodip III Keuangan Spesialisasi Anggaran, 1996

5. SMA Negeri II Jombang, 1992

6. SMP Negeri I Jombang, 1989

7. SD Negeri Kepanjen II Jombang, 1986

1. Pelaksana KPP Padang Sidempuan (1996 s.d. 1997)

2. Pelaksana KPP Surabaya Krembangan (1998 s.d. 2000)

3. Pelaksana KPP Palembang Ilir Barat (2002 s.d. 2004)