akuntansi keprilakuan
DESCRIPTION
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARANTRANSCRIPT
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA
PERIMBANGAN TERHADAP PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN
ANGGARAN
(Studi Kasus Pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Selatan)
PROPOSAL SKRIPSI – AKUNTANSI KEPERILAKUAN
Disusun Oleh:
DEWI LARASWATI (A31112282)
A. NURUL ILMI (A31112283)
ERNIYANTI BIANTONG (A31112302)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.........................................................................................2
D. Manfaat Penelitian.......................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
A. Landasan Teori.............................................................................................4
1. Teori Keagenan........................................................................................4
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)...............................................................5
3. Dana Alokasi Umum (DAU)...................................................................5
4. Dana Alokasi Khusus (DAK)..................................................................6
5. Dana Bagi Hasil (DBH)...........................................................................6
6. Belanja Modal..........................................................................................7
7. Hubungan Keagenan dengan Penganggaran Sektor Publik.....................7
8. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia
.................................................................................................................8
B. Penelitian Terdahulu....................................................................................8
C. Kerangka Pemikiran.....................................................................................9
D. Hipotesis.......................................................................................................9
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................10
A. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional...........................................10
1. Definisi Konseptual...............................................................................11
a. Variabel Terikat................................................................................11
ii
b. Variabel Bebas..................................................................................11
2. Definisi Operasional..............................................................................12
a. Pendapatan Asli Daerah....................................................................12
b. Dana Alokasi Umum.........................................................................12
c. Dana Alokasi Khusus........................................................................12
d. Dana Bagi Hasil................................................................................13
e. Belanja Modal...................................................................................13
B. Populasi dan Sampel..................................................................................13
C. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................13
D. Skala Pengukuran.......................................................................................13
E. Uji Kualitas Data........................................................................................14
1. Uji Validitas...........................................................................................14
2. Uji Reliabilitas.......................................................................................14
F. Metode Analisis Data.................................................................................14
1. Uji Multikolonieritas.............................................................................14
2. Uji Heteroskdastisitas............................................................................14
3. Uji Normalitas.......................................................................................14
4. Uji Regresi Linier Berganda..................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap daerah diberikan kewenangan tersendiri untuk mengurus rumah
tangganya sendiri termasuk dalam aspek keuangan, tentunya tetap dengan
sedikit bantuan dari pemerintah pusat. Ketentuan ini diatur dalam Undang-
Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang
kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004.
Dengan adanya otoritas bagi daerah otonom berimplikasi pada
perubahan yang terjalin antara pemerintah daerah sebagai pelaksana
pembangunan (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
pengawas pelaksanaan pembangunan oleh eksekutif (legislatif). Kewenangan
yang diberikan kepada legislatif menyebabkan keunggulan posisi legislatif
terhadap eksekutif yang mengakibatkan munculnya tekanan dari pihak
legislatif terhadap pihak eksekutif dalam penyusunan anggaran.
Dalam perspektif keagenan, proses proses penyelenggaraan
pemerintah daerah dapat dilihat dari hubungan yang terjadi pada DPRD-
Pemerintah Daerah-Masyarakat. Menurut Halim dan Abdullah (2006),
eksekutif merupakan agen dan legislatif merupakan principal, sementara dari
perspektif hubungan antara legislatif dan rakyat sebagai pemilih, pemilih
merupakan prinsipal, sedangkan legislatif adalah agen.
Permasalahan yang selanjutnya timbul adalah dalam prosesnya,
masing-masing pihak, baik pihak agen maupun prinsipal akan selalu berusaha
untuk memaksimalkan utilitasnya masing-masing. Hal ini dipertegas oleh
Jaya (2006) yang menyatakan bahwa kemungkinan sumber daya
disalahgunakan disebabkan oleh agen yang melepaskan tanggung jawabnya
tanpa sepengetahuan prinsipal. Sedangkan prinsipal yang memiliki kekuasan
yang lebih dapat bertindak semena-mena terkait dengan penetapan
pengalokasian sumber daya tersebut. Hal ini menyebabkan perilaku
oportunistik pada kedua pihak, baik agen maupun prinsipal.
1
Dari sisi pihak legislatif sebagai agen dari rakyat, pihak legislatif
harus senantiasa mendahulukan kepetingan rakyat, namun hal ini seringkali
berbeda pada kenyataannya. Minimya informasi yang tersedia untuk rakyat
mengenai proses pengalokasian anggaran dapat mendorong perilaku
sewenang-wenang legislatif yang lebih unggul dalam akses informasi
dibandingkan rakyat yang berdampak pada kecenderungan legislatif untuk
menyusun anggaran sesuai dengan kepentingan pribadi atau golongannya,
Garamfalvi (1997) menyebut ini sebagai political corruption, yang dalam
proses penyusunan anggaran korupsi dilakukan dengan cara mengalihkan
alokasi sumber daya publik untuk mencapai keuntungan pribadi atau
golongan.
Menurut Nurlan (2008), pelaksanaan otonomi daerah diniliai tidak
hanya dari seberapa besar daerah akan memperoleh dana perimbangan, tetapi
juga dari sejauh mana instrumen atau sistem pengelolaan keuangan daerah
mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional,
transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab. Legislatif yang memiliki
kewenangan yang lebih sesuai dengan amanah oleh undang-undang
memunculkan kekuatan yang lebih besar terhadap eksekutif sebagai
pelaksana pembangunan. Pemahaman eksekutif terhadap birokrasi dan
administrasi, serta seluruh aturan dan perundang-undangan yang
melandasinya ditunjang hubungan langsung dengan masyarakat yang telah
berlangsung dalam waktu lama mengakibatkan penguasaan informasi
eksekutif lebih baik dari pada legislatif (Maria, 2009). Akibatnya, dengan
keunggulan akses yang lebih yang dimilikinya, eksekutif akan berusaha untuk
mempertahankan eksistensinya.
Mauro (1998) menemukan bahwa berkaitan dengan kepentingan
legislatif, maka anggaran akan lebih banyak dialokasikan untuk proyek-
proyek yang mudah dikorupsi.
Hal ini dipertegas oleh Keefer & Khemani (2003) yang menemukan
bahwa pengalokasian anggaran akan lebih banyak diarahkan untuk proyek
infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan janji
2
legislatif kepada pemilihnya. Karena itu legislatif akan merekomendasi
eksekutif untuk menaikkan alokasi pada sektor-sektor yang mendukung
kepentingannya dan mengusulkan pengurangan alokasi anggaran untuk
pendidikan, kesehatan, dan belanja publik lainya yang tidak bersifat job
programs dan targetable. Preferensi legislatif ini memiliki tiga kemungkinan
konsekuensi pada alokasi anggaran untuk sektor lain, yaitu : (1) mengurangi
alokasi untuk belanja lain apabila jumlah belanja secara keseluruhan tidak
bertambah, (2) tidak merubah alokasi sektor lain jika jumlah belanja
bertambah, atau (3) kombinasi keduanya, yakni alokasi untuk sektor lain
berkurang walaupun jumlah belanja secara keseluruhan bertambah (Abdullah
dan Asmara, 2006).
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumber dana yang
digunakan dalam belanja dan pembiayaan daerah, antara lain berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan yang meliputi Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil
(DBH).
Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti merasa perlu menggali lebih
jauh mengenai pengaruh pendapatan asli daerah dan dana perimbangan
terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran khususnya pada
Pemerintah Kota Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik rumusan masalah, yaitu:
1. Apakah perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif
terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten dan
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan?
2. Apakah perubahanDana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif
terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten dan
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan?
C. Tujuan Penelitian
3
Merujuk pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin
dicapai adalah:
1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh perubahan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran di
Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh perubahan Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran di
Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun diharapkan penelitian ini memiliki manfaat bagi aspek
maupun pihak terkait, yaitu:
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, terkhusus kajian akuntansi sektor publik terkait dengan
teori agensi..
2. Bagi Pemerintah Kota Makassar
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan bahan evaluasi bagi
Pemerintah Kota Makassar dalam memahami perilaku oportunistik
penyusun anggaran.
3. Bagi penelitian yang akan datang.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian
terkait di masa yang akan datang, terutama penelitian yang berkaitan
dengan mengenai pengaruh sumber-sumber anggaran ke dalam anggaran
belanja modal.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Keagenan
Menurut Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan menyatakan
bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan (kontrak) yang
terjadi antara dua pihak, yaitu antara prinsipal dan agen, dimana prinsipal
memiliki otoritas untuk melimpahkan wewenangnya kepada agen untuk
membuat keputusan atas nama prinsipal. Meskipun teori keagenan
merupakan persetujuan yang terjadi antara dua pihak, namun tidak tertutup
kemungkinan terdapat perbedaan kepentingan antara agen dan principal
sehingga mungkin saja pihak agen tidak memaksimalkan tindakan yang
terbaik untuk kepentingan principal semata. Scott (2000) dalam Bangun
(2009) menyatakan bahwa teori keagenan merupakan bagian dari game
theory yang mempelajari suatu model kontraktual yang memotivasi agen
dalam bertindak bagi prinsipal saat kepentingan agen mungkin saja
berseberangan dengan kepentingan prinsipal. Hubungan antara agen
maupun prinsipal tertuang dalam kontrak kerja yang telah disepakati
sebelumnya, prinsipal mendelegasikan pertanggungjawaban terhadap
pengambilan keputusan kepada agen.
Realitanya, pelimpahan kuasa oleh prinsipal kepada agen tidak
jarang menimbulkan polekmik karena tujuan prinsipal kontradiktif dengan
tujuan pribadi agen. Dengan otoritas yang dimilikinya, manajemen bisa
saja mengambil tindakan untuk kepentingan pribadi dan
mengesampingkan keentingan principal. Hal ini bisa dicetuskan oleh
adanya asimetri informasi (asymmetric information) di mana terdapat
perbedaan informasi yang dimiliki oleh pihak prinsipal dan agen.
Mursalim (2005) dalam Bangun (2009) menyatakan bahwa ketimpangan
informasi yang dimiliki keduanya, di mana pihak agen lebih leluasa dalam
5
mengakses informasi sehingga memungkinkan pengambilan tindakan-
tindakan hanya untuk memaksimalkan utilitas golongannya. Sedangkan
bagi prinsipal akan mengalami kesulitan dalam mengontrol dan mengawai
secara efektif tindakan menyimpang yang dilakukan oleh manajemen
karena minimnya informasi bagi mereka.
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber pembiayaan yang diperoleh pemerintah daerah adalah
PAD yang digunakan dalam membangun infrastruktur daerah. PAD
berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan dan PAD lain-lain yang dianggap sah.
Berangkat dari hal tersebut, masa desentralisasi seperti sekarang ini
menjadi momen yang menuntut pemerintah daerah masing-masing untuk
mengembangkan dan meningkatkan PAD-nya. Hal ini dapat dicapai
dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki yang bertujuan untuk
membiayai segala kegiatan pembangunan infrastruktur maupun sarana dan
prasarana daerah melalui alokasi belanja pada APBD.
3. Dana Alokasi Umum (DAU)
Pembiayaan pemerataan keuangan antar daerah dalam rangka
membiayai kebutuhan pengeluaran pelaksanaan desentralisasi berasal dari
DAU yang merupakan bagian dari APBN. Pengalihan wewenang
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berimbas pada adanya dana
alokasi umum atau dana perimbangan keuangan. Hal ini menyebabkan
terjadinya transfer yang cukup masiv dalam APBN dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah.
4. Hubungan Keagenan dengan Penganggaran Sektor Publik
Teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi
merupakan akar dari teori keagenan yang mendeskripsikan hubungan
antara prinsipal dan agen, serta susunan kontraktual antara dua atau lebih
6
individu, kelompok, ataupun organisasi. Salah satu pihak (principal)
membuat suatu kontrak dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa
agen akan bertindak bekerja sesuai keinginan prinsipal.
Meskipun pemerintah daerah diberikan mandat oleh pemerintah
pusat dalam mengatur sendiri keuangannya, namun pemerintah daerah
maupun pemerintah harus menyadari sepenuhnya bahwa uang yang
dikelola tersebut adalah milik rakyat seutuhnya sehingga harus benar-
benar dimanfaatkan unruk kepentingan rakyat. Merujuk pada hal tersebut,
maka kucuran dana oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus
dialokasikan pada sektor-sektor yang concern pada kepentingan publik
yang mendorong pemasukan daerah. Untuk mengawasi kinerja pemerintah
sebagai agent, maka rakyat sebagai principal memberikan amanah kepada
DPR. Teori keagenan dapat menjelaskan hubungan antara prinsipal dan
agen terkait penganggaran sektor publik.
5. Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di
Indonesia
Pada awalnya, dalam menyusun APBD, mula-mula dibuat kontrak
kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum
APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang selanjutnya akan menjadi
panduan dan pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan
anggaran belanja. Perancangan APBD oleh pihak eksekutif membuat
berlandaskan pada Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon
Anggaran yang kemudian dilimpahkan kepada pihak legislatif untuk
ditelaah dan dibahas secara bersama-sama sebelum dirumuskan menjadi
Peraturan Daerah (Perda). Dalam sudut pandang keagenan, hal tersebut
adalah bentuk kontrak (incomplete contract) yang merupakan senjata bagi
legislatif dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif yang
melakukan pelaksanaan anggaran.
6. Oportunisme Penyusun Anggaran dalam Penganggaran
7
Menurut Garamvalvi (1997) politisi menggunakan pengaruh dan
kekuasaan yang ada pada mereka untuk menentukan alokasi sumberdaya,
yang akan memberikan keuntungan pribadi bagi mereka. Karena itu
mereka akan memanfaatkan posisinya untuk memperoleh rente. Persoalan
akan semakin parah saat tidak ada institusi formal yang berfungsi
mengawasi kinerja legislatif.
Martinez-Vasquez et al. (2006) menyatakan bahwa political
corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan
kedudukan mereka demi keuntungan pribadi, ataupun kalangan dekat
mereka. Misalnya, dengan mengalokasikan belanja untuk barang-barang
khusus dan berteknologi tinggi karena merupakan belanja yang mudah
dikorupsi sebab tidak banyak orang yang memahami barang tersebut
(Mauro, 1998).
Insentif korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah menurut
Martinez-Vazquez et al. (2006) adalah kurangnya standar etika dan moral,
kemungkinan terdeteksi yang rendah, pengawasan dan sanksi yang lemah,
atau ketidak cukupan gaji dan insentif lainnya. Dikatakan pula seorang
politisi yang berpengaruh cenderung mendukung proyek tertentu bukan
karena prioritas atas kegiatan tersebut, tetapi karena suap yang akan
diperoleh atau keuntungan untuk dirinya sendiri.
Hasil penelitian Tanzi & Davoodi (1997) juga memberi bukti
tentang perilaku oportunistik politisi dalam pembuatan keputusan investasi
publik. Karena keputusan untuk alokasi belanja modal berpotensi
mendatangkan keuntungan, para politisi membuat keputusan-keputusan
terkait dengan (1) besaran anggaran investasi publik, (2) komposisi
anggaran investasi publik tersebut, (3) pemilihan proyek-proyek khusus
dan alokasinya, dan (4) besaran rancangan setiap proyek investasi publik.
Keputusan tersebut terkait dengan pemberian kontrak kepada pihak luar,
yang dapat menghasilkan aliran rente berupa komisi. Padahal seharusnya
legislatif membela kepentingan masyarakat yang diwakilinya dengan
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masayarakat dalam
8
pengalokasian anggaran. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa
pendidikan
dan kesehatan merupakan bentuk pelayanan publik yang paling mendasar
dan karenanya menjadi fokus utama pembelaan legislatif di pemerintahan.
Namun, belanja untuk pendidikan dan kesehatan bukanlah area yang dapat
memberikan peluang untuk korupsi sehingga anggaran pendidikan,
kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro,1998).
Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja
pemerintah membuka peluang untuk lucrative opportunities, karena itu
akan dipilih belanja barang atau pelayanan untuk program-program dan
kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain. Hasil penelitian ini
menguatkan hasil penelitian Tanzi & Davoodi (1997) yang
mengemukakan bahwa untuk investasi publik lebih disukai legislatif
karena dapat memberikan komisi lebih besar dari pada belanja untuk
pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Dengan kata lain preferensi
legislatif mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan rente
lebih besar dan memiliki dampak politik jangka panjang.
Kecenderungan legislatif memiliki preferensi atas alokasi yang
mengandung lucrative opportunities, mendorong legislatif untuk
merekomendasi eksekutif agar menaikkan alokasi pada sektor-sektor yang
mendukung kepentingannya ataupun yang akan mendatangkan keuntungan
pada jangka panjang misalnya berkaitan dengan kepentingan pemilihan
legislatif yang akan datang, dan cenderung mengusulkan pengurangan atas
alokasi untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja publik lainnya yang tidak
bersifat job programs dan targetable. Preferensi legislatif ini memiliki 3
(tiga) kemungkinan konsekuensi pada alokasi untuk belanja sektor lain,
yakni: (1) mengurangi alokasi untuk belanja lain apabila jumlah belanja
secara keseluruhan tidak bertambah; (2) tidak merubah alokasi belanja
sektor lain jika jumlah belanja secara keseluruhan bertambah; atau (3)
kombinasi keduanya, yakni alokasi belanja untuk sektor lain berkurang
9
walaupun jumlah belanja secara keseluruhan bertambah (Abdullah dan
Asmara, 2006).
B. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Judul
Penelitian
Peneliti Variabel Hasil
Pengaruh
PAD, DAU,
DAK, dan
DBH
Terhadap
Pengalokasian
Belanja
Modal
Arbie
Gugus
Wandira
(2013)
Variabel
Dependen:
Belanja
Modal
Variabel
Independen:
PAD, DAU,
DAK, DBH
1. Tidak terdapat pengaruh
yang signifikan antara
variabel PAD terhadap
Belanja Modal.
2. Terdapat pengaruh
negatif yang signifikan
antara variabel DAU
terhadap Belanja Modal.
3. Terdapat pengaruh yang
signifikan antara variabel
DAK terhadap Belanja
Modal.
4. Terdapat pengaruh yang
signifikan antara variabel
DBH terhadap Belanja
Modal.
5. Secara simultan variabel
PAD, DAU, DAK dan
DBH berpengaruh
signifikan terhadap
Belanja Modal.
Perilaku
Oportunistik
Legislatif
Abdullah
Dan
Asmara
Variabel
dependen:
Perilaku
Persamaan regresi satu dan
dua menunjukkan bahwa
perubahan Pendapatan Asli
10
Dalam
Penganggaran
Daerah: Bukti
Empiris atas
Aplikasi
Agency
Theory di
Sektor
Publik
(2006) oportunistik
legislatif
dalam
penganggaran.
Variabel
independen:
Pendapatan
Asli Daerah
(PAD)
Vaiabel
kontrol:
jenis dan letak
pemerintah
daerah.
Daerah (PAD) berpengaruh
signifikan terhadap perilaku
oportunistik legislatif pada
derajat sigifikansi 5%.
Pengaruh
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pendapatan
Asli Daerah,
dan Dana
alokasi umum
terhadap
pengalokasian
belanja modal
Darwanto
dan Yulia
Mustikasari
(2007)
Variabel
Dependen:
Belanja
modal.
Variabel
Independen:
pertubuhan
ekonomi,
pendapatan
asli daerah,
dana alokasi
umum.
Variabel pertumbuhan
ekonomi, pendapatan asli
daerah, dan dana alokasi
umum berpengaruh
signifikan terhadap variabel
belanja modal.
Perilaku
Oportunistik
Legislatif
Dalam
Penganggaran
Florensia
Theresia
Maria
(2009)
Variabel
Dependen:
Perilaku
oportunistik
legislatif
Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dan Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran
(SiLPA) berpengaruh
signifikan terhadap perilaku
11
Daerah: Bukti
Empiris atas
Aplikasi
Agency
Theory di
Sektor Publik
Variabel
Independen:
Pendapatan
Asli Daerah
(PAD) dan
Sisa Lebih
Perhitungan
Anggaran
(SiLPA)
oportunistik legislatif.
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1
D. Hipotesis
Hipotesis penelitian yang dapat disimpulkan sesuai dengan kerangka
pemikiran yang disajikan sebelumnya, adalah sebagai berikut:
H1: Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran di Pemerintah Kota Makassar.
12
Pendapatan Asli Daerah (PAD
Dana Alokasi Umum (DAU)
Perilaku Oportunistik
Penyusun Anggaran
H2: Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap perilaku
oportunistik penyusun anggaran di Pemerintah Kota Makassar.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional
1. Definisi Konseptual
Definisi konseptual adalah penarikan batasan yang menjelaskan
alur pikir dalam penelitian.
a. Variabel Terikat
Variabel terikat (dependent variable) merupakan variabel
yang bergantung dan tidak dapat lepas dari variabel bebas karena
dipengaruhi oleh variabel bebas itu sendiri. Variabel terikat dalam
penelitian ini, yaitu Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
(OPA).
1) Perilaku oportunistik yaitu perilaku yang berusaha mencapai
keinginan dengan segala cara bahkan dengan cara yang ilegal
sekalipun, dapat menyebabkan hubungan prinsipal-agen yang
terjadi dalam suatu kontrak akhirnya mengarah pada terjadinya
adverse selection (menyembunyikan informasi) dan moral
hazard (penyalahgunaan wewenang).
b. Variabel Bebas
Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang
menjadi impresi dan dapat mengubah variabel terikat. Variabel bebas
dalam penelitian ini, yaitu dana perimbangan.
1) Pendapatan Asli Daerah adalah sumber pembiayaan yang
diperoleh pemerintah daerah dan digunakan dalam membangun
infrastruktur daerah.
2) Dana Alokasi Umum merupakan sumber pembiayaan yang
berasal dari APBN untuk pemerataan keuangan antar daerah
dalam rangka membiayai kebutuhan pengeluaran pelaksanaan
desentralisasi.
14
2. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penarikan batasan yang lebih
menjelaskan ciri-ciri spesifik yang substantif yang mengarahkan pada
pengumpulan, pengolahan, dan analisis data.
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah. Cara mengukur PAD adalah dengan
menggunakan perubahan PAD adalah perubahan naik atau turunnya
PAD dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1)
(Maria, 2009).
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari
APBN untuk pemerataan keuangan antar daerah dalam rangka
membiayai kebutuhan pengeluaran pelaksanaan desentralisasi. Cara
mengukur DAU adalah dengan menggunakan perubahan DAU
adalah perubahan naik atau turunnya DAU dari APBD tahun
berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Maria, 2009)
c. Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
Perilaku oportunistik yaitu perilaku yang berusaha mencapai
keinginan dengan segala cara bahkan dengan cara yang ilegal
sekalipun, dapat menyebabkan hubungan prinsipal-agen yang terjadi
dalam suatu kontrak akhirnya mengarah pada terjadinya adverse
selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard
(penyalahgunaan wewenang). Ada dua tahap pengukuran OPA, yaitu
(Abdullah dan Asmara, 2006):
1) Menghitung spread anggaran pendidikan (Pdk), spread
anggaran kesehatan (Kes), spread anggaran pekerjaan umum
(PU), spread anggaran belanja pegawai tidak langsung
(Peg). Perhitungan spread () = APBD tahun berjalan (t) –
APBD tahun sebelumnya (t-1)
15
2) Mengakumulasikan spread anggaran pendidikan (Pdk),
spread anggaran kesehatan (Kes), spread anggaran pekerjaan
umum (PU), spread anggaran belanja pegawai tidak langsung
(Peg). Perhitungan OPA = Pdk + Kes + PU + Peg
Keterangan:
Pdk : perubahan turun atau berkurangnya anggaran bidang
pendidikan
Kes : perubahan turun atau berkurangnya anggaran bidang
kesehatan
PU : perubahan meningkatnya anggaran bidang pekerjaan
umum (infrastruktur)
Peg : perubahan meningkatnya anggaran belanja pegawai
tidak langsung.
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten / Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan yang meliputi:
Kab. BantaengKab. BarruKab. BoneKab. BulukumbaKab. EnrekangKab. GowaKab. JenepontoKab. LuwuKab. Luwu UtaraKab. MarosKab. Pangkajene dan KepulauanKab. PinrangKab. SelayarKab. Sidenreng RappangKab. SinjaiKab. SoppengKab. TakalarKab. Tana Toraja
16
Kab. WajoKota Pare-PareKota MakassarKota PalopoKab. Luwu Timur
C. Jenis dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa Laporan
APBD dan Laporan APBD berdasarkan Urusan Kabupaten / Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2007, 2008, 2009, 2010, 2012, 2013, dan 2014 yang
terdiri dari data PAD, DAU dan spread anggaran belanja.
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk kebutuhan penelitian ini, data dan infotmasi yang digunakan
dalam penelitian ini diperoleh dengan cara:
1. Studi Kepustakaan
Dengan mengumpulkan literatur terkait teori agensi yang
bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal imiah, dan hasil penelitian
terdahulu. Selain itu, data APBD Kabupaten / Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007, 2008, 2009, 2010, 2012, 2013, dan 2014 yang
diambil dari situs Dirjen Perimbangan Keuangan.
2. Deskriptif Kualitatif
Yaitu dengan menganalisis, mengolah data serta menjelaskan
sesuai dengan data yang diperoleh.
E. Metode Analisis Data
Analisis data adalah kegiatan yang memproses dan menganalisa data
yang telah terkumpul sebelumnya. Dalam penelitian ini, terdapat tiga tahapan
dalam menganilis data, yaitu Uji Regresi Linier Berganda.
1. Uji Regresi Linier Berganda
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan, dan hipotesis dari
penelitian metode regresi linier berganda antara variabel dependen, yaitu
17
perilaku oportunistik penyusun anggaran, dengan variabel independen,
yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU),
maka hubungan antar variabel digambarkan sebagai berikut:
Y = α + b1X1 + b2X2 + e
Keterangan:
Y = Variabel Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
b1X1 = Variabel Pendapatan Asli Daerah
b2X2 = Variabel Dana Alokasi Umum
18
BAB IV
HASIL DAN ANALIS
A. Statistik Deskriptif
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 23 Kabupaten dan Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan. Deskripsi data di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut. Nilai perubahan PAD (PPAD) terkecil adalah (Rp 116.000.000) dan
terbesar Rp 58.048.000.000 dengan rata-rata sebesar Rp 8.282.000.000 dan
simpangan baku sebesar Rp 11.917.000.000. Nilai perubahan DAU terkecil
adalah (Rp 2.452.000.000) dan terbesar adalah Rp 45.732.000.000 dengan
rata-rata sebesar Rp 27.800.000.000 dan simpangan baku sebesar Rp
9.716.000.000. Sedangkan untuk OPA, nilai minimum adalah (Rp
332.000.000) dan maksimum adalah Rp 167.744.000.000 dengan rata-rata
sebesar Rp 71.100.000.000 dan simpangan baku sebesar Rp 34.950.000.000.
B. Analisis Regresi
19
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
OPA 23 -332 167744 71100 34950.383
PPAD 23 -116 58048 8281.77 11916.711
PDAU 23 -2452 45732 27800 9716.029
Valid N (listwise) 23
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.B Std. Error Beta
1 (Constant) 15908.949 15011.671 1.060 .302
PPAD 1.390 .468 .474 2.971 .008
PDAU 1.570 .574 .436 2.736 .013
a. Dependent Variable: OPA
Persamaan regresinya adalah sebagai berikut:
Y = α + b1X1 + b2X2 + e
Y = 15908.949 + 1390X1 + 1570X2
Persamaan regresi di atas menunjukkan bahwa PAD (PPAD) dan
DAU (PDAU) berpengaruh signifikan terhadap perilaku oportunistik
penyusun anggaran (OPA), PAD (PPAD) pada tingkat signifikansi 0,8% dan
DAU (PDAU) pad tingkat signifikansi 1%.
Koefisien regresi pada variabel independen PPAD sebesar 1390
menunjukkan bahwa setiap perubahanPAD sebesar Rp 1 akan menyebabkan
perubahan pengalokasian pada anggaran pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum, dan belanja pegawai sebesar Rp 1.390.000.000 yang berarti
penurunan pada pengalokasian anggaran pendidikan dan kesehatan dan
peningkatan pada pengalokasian anggaran pekerjaan umum (infrastruktur)
dan belanja pegawai tidak langsung.
Koefisien regresi pada variabel independen PDAU sebesar 1570
menunjukkan bahwa setiap perubahan DAU sebesar Rp 1 akan menyebabkan
perubahan pengalokasian pada anggaran pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum, dan belanja pegawai sebesar Rp 1.570.000.000 yang berarti
penurunan pada pengalokasian anggaran pendidikan dan kesehatan dan
peningkatan pada pengalokasian anggaran pekerjaan umum (infrastruktur)
dan belanja pegawai tidak langsung.
BAB V
20
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perubahan PAD
dan DAU berpengaruh signifikan terhadap perilaku oportunistik penyusun
anggaran pada Kabupatan / Kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
21
http://daenggassing.com/2014/01/09/makassar-dan-ekonomi-yang-tumbuh/
https://devionyit.wordpress.com/2012/09/18/variabel-bebas-terikat-dan-kontrol/
http://eprints.undip.ac.id/26741/1/Skripsi_Full_Text%28_r%29.pdf
http://eprints.undip.ac.id/29461/1/Skripsi003.pdf
http://eprints.undip.ac.id/29478/1/Skripsi001.pdf
http://id.scribd.com/doc/135088334/Laporan-Realisasi-Anggaran-Kota-Makassar-
2012#scribd
http://jaasyahputra.blogspot.com/2012/10/pengertian-variabel-jenis-jenis-
variable.html
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/aaj/article/view/1158/1137
https://sdoriza.wordpress.com/2010/04/02/definisi-konseptual-variabel-definisi-
operasional-variabel/
http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=479
http://www.slideshare.net/metrosanita/dana-alokasi-khusus-dak
22