aktivitas antibakteri ekstrak air kelopak bunga rosela (hibiscus sabdariffa l.) terhadap pertumbuhan...
DESCRIPTION
ktiTRANSCRIPT
KARYA TULIS ILMIAH
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR KELOPAK BUNGA
ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN
BAKTERI Staphylococcus aureus DENGAN METODE DILUSI
Penulis
MOH. ARIF HAKIM JAMHARI
NIM: 010911123
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2011
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR KELOPAK BUNGA
ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN
BAKTERI Staphylococcus aureus DENGAN METODE DILUSI
Karya Tulis Ilmiah
Untuk memenuhi persyaratan modul penelitian
Dalam Program Studi Pendidikan Dokter
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Penulis
MOH. ARIF HAKIM JAMHARI
NIM: 010911123
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
Tanggal 24 Januari 2012
LEMBAR PERSETUJUAN
Telah setuju untuk diujikan
Pembimbing I
Dr. Eko Budi Koendhori, dr., M.Kes NIP: 19640904199203 1 004
Pembimbing II
Sri Purwaningsih, dr., M.Kes NIP: 19710113199802 2 001
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penulisan karya ilmiah ini dengan judul “Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air
Kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus dengan Metode Dilusi” merupakan salah satu syarat untuk
memenuhi persyaratan modul penelitian dalam program studi pendidikan dokter pada
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada:
1. Dr. Eko Budi Koendhori, dr., M.Kes selaku dosen pembimbing pertama yang dengan
sabar membimbing, mengarahkan serta memberikan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
2. Sri Purwaningsih, dr., M.Kes selaku dosen pembimbing kedua yang dengan sabar
membimbing, mengarahkan serta memberikan dorongan kepada penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
3. Prof. Dr. H. Fasich, Apt selaku Rektor Universitas Airlangga Surabaya, atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program studi pendidikan
dokter.
4. Prof. Dr. Agung Pranoto . dr., M.Kes., Sp.PD, K-EMD, FINASIM selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti program studi pendidikan dokter.
5. Prof. Dr. N. Margarita R., dr., Sp.AnKIC selaku koordinator Modul Integrasi KBK
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti penulisan karya tulis ilmiah ini.
6. Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr., MS selaku Penanggung Jawab Modul Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti penulisan karya tulis ilmiah ini.
7. Ibu dan ayah penulis Siti Sholihah dan Suwandi atas segala dukungan, bimbingan, doa
dan kasih sayang yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
tulis ilmiah ini.
8. Paman dan Bibiku, M. Abdan Al Hamidy dan Uswatun khasanah atas segala
dukungan, bimbingan, doa dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis
selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
9. Teman – temanku Abdurrahman, Arif Ismudianto, I Made Chandra, Eric Robbin L,
Mustain Khomarullah, Danar Rianto, M. Faruk, M. Iqbal dan lain- lain yang selalu
memabantu dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT berkenan melimpahkan karunia-Nya sebagai balasan atas
bantuan baik yang telah diberikan. Dan semoga pula, karya tulis ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Surabaya, 24 Januari 2012
Penulis,
Moh Arif Hakim Jamhari
RINGKASAN
Staphylococcus aureus merupakan salah satu patogen yang sering didapat pada sampel
klinik dan sering menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi oleh Staphylococcus aureus.
menjadi sulit untuk diobati sejak berkembangnya resistensi antimikroba pada isolat
tersebut. Hal ini berhubungan dengan penggunaan antibiotik yang tidak rasional sehingga
meningkatkan angka kesakitan, angka kematian, lama perawatan dan biaya
pengobatan.Sehingga masyarakat mulai tertarik untuk memanfaatkan tanaman tradisional
sebagai obat, salah satunya kelopak bunga rosella. Kelopak bunga rosella diduga dapat
memberikan efek antimikroba karena memiliki kandungan zat aktif berupa Saponin,
Tanin dan Flavonoida yang diduga memiliki efek antibakteri dengan cara merusak
membran sitoplasma.
Penelitian ini ingin membuktikan efek antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus dengan
menggunakan randomized post test controlled design. Metode yang dipakai adalah dilusi
tabung dengan 8 konsentrasi ekstrakair kelopak bunga rosella: 12.5 gram/ml, 6.25
gram/ml, 3.125 gram/ml, 1.56 gram/ml, 0.78 gram/ml, 0,39 gram/ml, 0,195 gram/ml,
0,097 gram/ml dan 2 kontrol (kontrol bahan dan kontrol kuman). Setiap tabung diamati
kekeruhannya, kemudian dibandingkan dengan kontrol untuk menentukan KHM.
Analisis data menggunakan analisis secara analitik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat aktifitas antimikroba ekstrak air
kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa) terhadap pertumbuhan Staphylococcus
aureus dimulai dengan konsentrasi 1,56 gram/ml. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa) memiliki efek antimikroba
terhadap Staphylococcus aureus.
ABSTRAK
Staphylococcus aureus is a pathogen that is often obtained in clinical samples and
frequent cause of nosocomial infections. Infection by Staphylococcus aureus. Becomes
difficult to treat since the development of antimicrobial resistance in these isolates. This
is related to the irrational use of antibiotics thereby increasing morbidity, mortality,
length of treatment and cost of treatment. So that people began wanting to make use of
traditional plants as medicine, one of rosella flower petals. Rosella flower petals could be
expected to provide an antimicrobial effect because it has a content of active substance in
the form of Saponin, Tannins and flavonoids are thought to have antibacterial effects by
damaging the cytoplasmic membrane.
This study wants to prove the antimicrobial effects of aqueous extract of petals rosella
(Hibiscus sabdariffa) on the growth of Staphylococcus aureus by using a controlled
randomized post test design. The method used is the dilution tube with 8 concentrations
of roselle petals ekstrakair: 12.5 g / ml, 6:25 g / ml, 3125 g / ml, 1:56 g / ml, 0.78 g / ml,
0.39 g / ml, 0.195 g / ml , 0.097 g / ml and 2 control (control of materials and control
germs). Each tube was observed turbidity, then compared with controls to determine the
KHM. Data analysis using analysis analytically.
The results of this study indicate that there is an antimicrobial activity of water extract of
flower petals rosella (Hibiscus sabdariffa) on the growth of Staphylococcus aureus
begins with a concentration of 1.56 g / ml. So it can be concluded that water extract of
flower petals rosella (Hibiscus sabdariffa) has antimicrobial effects against
Staphylococcus aureus.
Keywords: Ekstrak air kelopak bunga rosella, Staphylococcus aureus,
DAFTAR ISI
Sampul Dalam............................................................................................................. i
Prasyarat Gelar……………………………………………………………………… ii
Lembar Persetujuan..................................................................................................... iii
Ucapan Terimah Kasih................................................................................................ iv
Ringkasan.............................................................................................................. vi
Abstrak................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI........................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL.......................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................
DAFTAR SINGKATAN...........................................................................................
xii
xiii
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian................................................................................................. 4
1.3.1 Tujuan Umum.................................................................................................... 4
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian...............................................................................................
1.4.1 Manfaat Akademik……………………………………………………………
1.4.2 Manfaat Aplikatif ( Praktis )…………………………………………………..
4
4
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 6
2.1 Staphylococcus aureus…………………………………………………………………
2.1.1 Klasifikasi…………………………………………………………………….
2.1.2 Morfologi dan Karakteristik…………………………………………………..
2.1.3 Struktur Antigen………………………………………………………………
2.1.4 Toksin dan Enzim…………………………………………………………….
2.1.5 Epidemiologi…………………………………………………………………
2.1.6 Patogenesis……………………………………………………………………
2.1.7 Gambaran Klinis Infeksi Staphylococcus aureus…………………………………
6
6
7
7
8
9
10
12
2.1.8 Pengobatan Staphylococcus aureus…………………………………………………
2.1.9 Resistensi Antibiotik………………………………………………………….
2.2 Uraian Tanaman………………………................................................................
13
14
16
2.2.1 Klasifikasi Tanaman.......................................................................................... 16
2.2.2 Morfologi Tanaman........................................................................................... 16
2.2.3 Khasiat dan Kegunaan Tanaman….................................................................... 18
2.2.4 Kandungan Kimia Tanaman………….............................................................. 19
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN.......... 22
3.1 Kerangka Kosep.................................................................................................... 22
3.2 Penjelasan Kerangka Konsep................................................................................ 23
3.3 Hipotesis Penelitian............................................................................................... 23
BAB 4 METODE PENELITIAN............................................................................ 24
4.1 Jenis Penelitian..................................................................................................... 24
4.2 Rancangan Penelitian............................................................................................ 24
4.3 Sampel, Jumlah Replikasi, dan Teknik Pengelompokan Sampel......................... 27
4.4 Variabel Penelitian................................................................................................ 28
4.5 Bahan Penelitian................................................................................................... 29
4.6 Instrumen Penelitian............................................................................................. 30
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................................ 30
4.8 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data.................................................... 31
4.9 Cara Mengolah dan Analisis Data........................................................................ 33
BAB 5 HASIL PENELITIAN............................................................................. 34
5.1 Hasil Penelitian……………............................................................................ 34
5.2 Analisis Hasil Penelitian……............................................................................ 35
BAB 6 PEMBAHASAN…….............................................................................. 37
6.1 Aktivitas Antimikroba Ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa
L.)................................................................................................................
37
BAB 7 PENUTUP……....................................................................................... 41
7.1 Kesimpulan…………………........................................................................... 41
7.2 Saran…………………….…............................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA……....................................................................................... 42
LAMPIRAN...............................................................................................................
.
47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Staphylococcus aureus electron micrograph.......................................... 7
Gambar 2.2 Hibiscus sabdariffa L. var. sabdariffa L. ............................................... 17
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ............................................................................. 22
Gambar 4.1 Skema Penelitian.................................................................................... 24
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi minyak esensial Hibiscus sabdariffa L…….......................... 20
Tabel 2.2 Distribusi berbagai macam fitokimia di bagian yang berbeda dari
tumbuhan Hibiscus sabdariffa………………………………………………
21
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 2 Tumbuhan Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) ........................... 48
Lampiran 3 Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Kering....................... 48
Lampiran 4 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus…………………………………………………… 48
Lampiran 5 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus…………………………………………………… 49
Lampiran 6 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus…………………………………………………… 49
Lampiran 1 Jadwal Kegiatan.................................................................................. 47
DAFTAR SINGKATAN
CFU = Colony Forming Unit
KHM = Konsentrasi Hambat Minimal
MIC = Minimum Inhibitory Conceration
MRSA = Methisilin Resisten Staphilococcus aureus
PBP = Protein pengikat Penisilin
TSST = Toksin Sindroma Syok Toksik
TSS = Toxin Shock Syndrom
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang dari
waktu ke waktu terus berkembang. terutama di daerah tropis, seperti Indonesia. Infeksi
merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain atau dari hewan
ke manusia (Jawetz et al., 2007). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh empat kelompok
besar mikroorganisme, yaitu bakteri, jamur, virus, dan parasit. Organisme-organisme
tersebut dapat menyerang seluruh tubuh manusia atau sebagian daripadanya. (Jawetz et
al., 2001). Salah satu contoh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi adalah
Staphylococcus aureus.
Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Staphylococcus aureus
bersifat koagulase positif, yang membedakannya dari spesies lain. Hampir setiap orang
pernah mengalami berbagai infeksi Staphylococcus aureus selama hidupnya, dari
keracunan makanan yang berat atau infeksi kulit yang kecil, sampai infeksi yang tidak
bisa disembuhkan (Jawetz et al., 2001). Hal itu terjadi karena Staphylococcus aureus
dapat menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma, supurasi, pembentukan abses, infeksi
piogenik, sampai septikimia yang fatal. Selain itu, Staphylococcus aureus merupakan
bakteri yang cepat menjadi resisten terhadap banyak zat antibiotik khususnya penisillin
dan menyebabkan masalah pengobatan yang sulit karena hampir semua isolat
Staphylococcus aureus memproduksi enzim β-laktamase. (Jawetz et al., 2007). Bahkan
sebagian isolat S. aureus resisten terhadap metisilin. Resistensi tersebut dimediasi melalui
mec operon , bagian dari kromosom mec kaset staphylococcal (SCC mec). Resistensi ini
diberikan oleh gen Meca, gen yang dikode untuk diubah oleh protein pengikat penisilin
(PBP2a atau PBP2 ') yang memiliki afinitas yang lebih rendah untuk mengikat β-laktam
(penisilin , sefalosporin, dan carbapenems ), sehingga menjadikan Staphylococcus aureus
resisten terhadap semua antibiotik tipe β-laktam serta mengurangi penggunaan antibiotik
terhadap infeksi MRSA (Deurenberg, 2006). Akhirnya, resistensi ini menyebabkan
penyakit akibat Staphylococcus aureus semakin sulit untuk ditanggulangi.
Salah satu penyebab resistensi di Indonesia adalah tidak disiplinnya pasien, yang
rata-rata berpendidikan rendah, yang jika sudah merasa sembuh enggan untuk
melanjutkan meminum obat. Penulis berpendapat keengganan mereka karena mereka
takut akan efek samping antibiotik-antibiotik kimia yang diberikan dokter. Padahal
bakteri dalam tubuh mereka belum sepenuhnya dibunuh. Oleh karena itu penggunaan
obat-obatan alami, yang telah dipercaya masyarakat Indonesia, dapat memberikan
alternatif terhadap masalah ini.
Selain itu keadaan perekonomian indonesia yang dilanda krisis ekonomi sejak
beberapa tahun lalu, menyebabkan naiknya berbagai harga bahan pokok maupun obat-
obatan. Sehingga masyarakat banyak yang merasa kesulitan untuk mendapatkan obat-
obatan dengan harga yang relatif murah dan aman dikonsumsi. Hal ini tentu berbeda,
apabila kita menggunakan obat tradisional yang merupakan hasil atau olahan dari alam
yang harga murah bahkan tidak perlu membeli.
Berdasarkan pengalaman emperis turun-temurun banyak sekali jenis tanaman obat
di Indonesia yang mampu memproduksi antibakteri. Salah satu diantaranya adalah
tanaman Rosella(Hibiscus sabdariffa) yang mulai popular dikonsumsi masyarakat
sebagai tanaman obat. Rosella(Hibiscus sabdariffa) yang merupakan anggota famili
Malvaceae. Tanaman perdu ini tingginya dapat mencapai 3-5 meter. Jika telah dewasa,
tanaman ini mengeluarkan bunga yang berwarna merah (Steenis, 1997). Pada tahun 1962
Abdul Aziz Sharaf dari Sudan Research Unit, Institute of African and Asian Studies,
membuktikan bahwa kelopak bunga rosela merah mempunyai beberapa khasiat, salah
satunya sebagai antibakteri (Morton, 1974) dan pada tahun 2007 berhasil dibuktikan pula
bahwa ekstrak methanol kelopak rosella memperlihatkan aktivitas antibakteri dengan
minimum inhibitory concentration (MIC) 0,30 ± 0,2-1,30 ± 0,2 mg/ml terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Olaleye, 2007).
Ekstrak etanol yang terkandung dalam kelopak bunga rosella ini, juga mempunyai
efek letal (mematikan) terhadap Staphylococcus aureus. Dimana, nilai kesetaraan 1 mg
aktivitas ekstrak etanol bunga Rosella (Hisbiscus sabdariffa L.) terhadap tetrasiklin
hidroklorida sebesar 0.000056 mg (Rostinawati, 2009). Selain itu, ekstrak kelopak bunga
Rosella (Hisbiscus sabdariffa L.) juga mempunyai efek antipiretik, antikolestrol,
antioksidan, antikanker, antifungi, antiparasit dan antibakteri (Ali et al., 2005).
Dari beberapa penelitian yang disebutkan, dapat disimpulkan bahwa ekstrak
kelopak bunga rosella mempunyai efek antibakteri terhadap Staphylococcus aureus.
Namun, penelitian-penelitian tersebut menggunakan reagen yang cukup mahal dan
dengan prosedur yang terlalu rumit bagi orang awam. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian terhadap kelopak bunga rosella dengan reagen yang murah, mudah diperoleh,
tidak berbahaya,dan dengan prosedur yang mudah dilakukan bagi masyarakat.
Sehubungan dengan hal di atas, maka akan dilakukan penelitian aktivitas
antimikroba ekstrak air kelopak Rosella(Hibiscus sabdariffa) terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dengan metode dilusi. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan ekstrak air kelopak rosella karena biaya pembuatan ekstrak air murah dan
tidak berbahaya. Selain itu, prosedurnya mudah dilakukan oleh masyarakat
umum.Penelitian mengenai efek pemberian ekstrak air kelopak Rosella(Hibiscus
sabdariffa) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode dilusi belum pernah
dilakukan. Dari penelusuran berbagai literatur, hingga saat ini belum ditemukan efek
ekstrak air kelopak Rosella(Hibiscus sabdariffa) terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ekstrak air kelopak Rosella(Hibiscus sabdariffa) memiliki aktivitas
antimikroba terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode dilusi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui potensi efek antimikroba dari ekstrak air kelopak
Rosella(Hibiscus sabdariffa) terhadap bakteri Staphylococcus aureus
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui kosentrasi terkecil ekstrak air kelopak Rosella(hibiscus
sabdariffa) yang dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus dengan metode
dilusi
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Akademik
Memberikan informasi ilmiah tentang kosentrasi terkecil ekstrak air kelopak
Rosella(hibiscus sabdariffa) yang dapat menghambat bakteri Staphylococcus
aureus dengan metode dilusi, sehingga dapat digunakan sebagai dasar penelitian
lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat Aplikatif (Praktis)
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar pengembangan terapi untuk infeksi
oleh bakteri Staphylococcus aureus.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Staphylococcus aureus
Staphylococcus berasal dari kata Yunani yaitu ”staphyle” yang berarti
sekelompok anggur. Bakteri ini umumnya hidup pada kulit dan membran
mukosa manusia. Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri yang paling
penting dalam menyebabkan infeksi pada manusia. Hampir setiap orang akan
mengalami beberapa tipe infeksi S. aureus sepanjang hidupnya, dari infeksi kulit
ringan, keracunan makanan, sampai infeksi berat (Jawetz et al., 1996; Joklik,
1984).
2.1.1 Klasifikasi
Staphylococus aureus memiliki klasifikasi sebagai berikut (Todar, 2011):
Dunia : Prokariota
Divisi : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Family : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus
Terdapat 23 spesies Staphylococcus dan dua belas diantaranya merupakan
flora normal bagi manusia dan yang terpenting secara klinis ada tiga spesies
yaitu S. aureus, S. pidermidis, S. saprophyticus. Ciri utama yang paling mudah
dan penting untuk membedakan antara S. aureus dengan spesies Staphylococcus
lainnya yaitu produksi enzim koagulase, enzim yang dapat menggumpalkan
plasma. Sekitar 97% S. aureus yang diisolasi menghasilkan enzim ini (Jawetz, et
al., 1996).
2.1.2 Morfologi dan karakteristik
S. aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk bola dengan garis
tengah sekitar 1 μm, tidak bergerak, tidak membentuk spora, tersusun dalam
kelompok tidak beraturan, dan menghasilkan katalase positif. Bakteri ini tahan
pada suhu 500C, dan pada lingkungan dengan konsentrasi garam yang tinggi,
mudah membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25 C). Koloni S. aureus pada
perbenihan padat berbentuk bundar, halus menonjol, dan berwarna abu-abu
sampai kuning emas tua (Joklik, 1984).
Gambaran S. aureus secara mikroskopik dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.1 Staphylococcus aureus Electron micrograph (Todar, 2011)
2.1.3 Struktur Antigen
Staphylococcus mengandung polisakarida dan protein yang bersifat
antigen yang merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel.
Peptidoglikan, suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit yang
terangkai, merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel. Struktur antigen yang
diproduksi oleh S. aureus diantaranya (Jawetz, et al., 2007):
1. Asam teikoat merupakan polimer gliserol berikatan dengan peptidoglikan dan
menjadi bersifat antigenik.
2. Protein A merupakan komponen dinding sel kebanyakan strain S. aureus dan
merupakan reagen penting dalam imunologi dan teknologi diagnostic
laboratorium.
2.1.4 Toksin dan Enzim
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui pembentukan zat
ekstraselular yang dibentuk yaitu berupa toksin dan enzim. Toksin dan enzim ini
akan menyebabkan penyakit menyebar luas ke dalam jaringan. Beberapa toksin
dan enzim yang dihasilkan oleh S. aureus antara lain (Jawetz et al., 2007;
Wannet et al., 2005) :
1. Katalase, merupakan suatu enzim yang dihasilkan oleh S. aureus yang dapat
mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Tes katalase dapat
membedakan antara Stapylococcus dengan Streptococcus yang menunjukkan
hasil negatif untuk Streptococcus.
2. Koagulase, merupakan suatu enzim yang dapat menggumpalkan plasma. Hasil
koagulase ini dianggap sinonim dengan potensial patogenik invasif .
3. Enzim lain yang dihasilkan yaitu hialuronidase. Enzim ini yang
mempermudah penyebaran bakteri dalam menginvasi suatu penyakit
sehingga disebut faktor penyebar. Selain itu juga, dihasilkan stafilokinase
yang mengakibatkan fibrinosis tetapi kerjanya lebih lambat daripada
streptokinase, proteinase, dan β laktamase.
4. Eksotoksin, meliputi beberapa toksin yang mematikan jika disuntikkan pada
hewan, menyebabkan nekrosis pada kulit, dan mengandung hemolisin yang
dapat larut dan dipisahkan dengan elektroforesis.
5. Leukosidin, merupakan suatu toksin yang dapat mematikan sel-sel darah putih
apabila toksin tersebut masuk ke dalam jaringan.
6. Toksin eksfoliatif meliputi sekurangnya dua protein yang mengakibatkan
pengelupasan menyeluruh pada sindroma kulit lepuh. Antibodi spesifik dapat
melindungi terhadap kerja toksin eksfoliatif ini.
7. Toksin Sindroma Syok Toksik (TSST-1) dapat menstimulasi pelepasan sitokin
dan memiliki efek langsung juga terhadap sel endotel. Pada sel endotel toksin
ini menyebabkan kebocoran kapiler, hipotensi, demam dan syok. Gen TSST-
1 ditemukan pada 20 % isolat S. aureus.
8. Enterotoksin merupakan superantigens seperti TSST-1, yang tahan panas dan tahan
terhadap aksi enzim usus sehingga menjadi penyebab paling penting dari keracunan
makanan. Enterotoksin tersebut diproduksi ketika Staphylococcus aureus tumbuh
dalam makanan karbohidrat dan protein. Konsumsi 25 g hasil enterotoksin B dapat
menyebabkan muntah dan diare. Pengaruh emetik enterotoksin tersebut adalah hasil
dari stimulasi sistem saraf pusat (muntah tengah) setelah toksin bereaksi pada
reseptor saraf di dalam usus.
2.1.5 Epidemiologi
Epidemi di rumah sakit yang disebabkan oleh S. aureus merupakan
masalah yang sering terjadi berulang. Terjadinya wabah biasanya berhubungan
dengan pasien yang telah menjalani pembedahan atau tindakan invasif lainnya.
Sumber wabah dapat berasal dari pasien dengan infeksi S. aureus yang terbuka
atau tertutup, menyebar ke pasien lain melalui perantaraan udara tapi biasanya
melalui tangan paramedis. S. aureus sebagai flora normal kulit sering
menimbulkan infeksi pada luka bedah karena berpindah dari tempat semestinya
ke organ atau jaringan lainnya (Kluytmans et al, 1997).
2.1.6 Patogenesis
S. aureus dapat menyebabkan terjadinya berbagai jenis infeksi mulai dari
infeksi kulit ringan, keracunan makanan sampai dengan infeksi sistemik. Infeksi
kulit yang biasanya disebabkan oleh S. aureus yaitu impetigo, selulitis,
folikulitis, abses. S. aureus menyebabkan keracunan makanan karena adanya
enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus yang terdapat pada makanan yang
tercemar. Gejala yang muncul akibat keracunan makanan ini yaitu sakit kepala,
mual, muntah, disertai diare yang muncul setelah empat sampai lima jam
mengkonsumsi makanan tersebut (Salmenlina, 2002).
Enterotoksin lain yaitu Toksin Syok Sindroma Toksik (TSST-1) yang
dihasilkan S. aureus juga dapat menyebabkan penyakit Toxic Shock Syndrom
(TSS). Enterotoksin ini dapat tumbuh di tampon sehingga dapat memasuki
aliran darah dan menyebabkan gejala TSS. Gejala yang muncul antara lain
demam tinggi, muka memerah, pengelupasan kulit, dan hipotensi. TSS
merupakan penyakit yang serius yang dapat menyebabkan pembusukan jaringan
(Salyers & Dixie, 1994; Salmenlina, 2002).
Infeksi sistemik dapat terjadi karena bakteri masuk ke dalam darah, dan
berkembang menjadi bakteremia. Di dalam sirkulasi darah, bakteri dapat meluas
ke berbagai bagian tubuh dan menyebabkan infeksi. Infeksi yang dapat terjadi
yaitu endokarditis, osteomielitis, sindrom kulit melepuh, pneumonia (Ontengco
et al., 2003). Osteomielitis merupakan infeksi yang terjadi pada tulang yang
sedang tumbuh, biasanya terjadi pada anak-anak. Infeksi ini disebabkan karena
adanya infeksi pada saat pembedahan tulang sehingga bakteri dapat berpenetrasi
melalui luka yang terbentuk dan secara langsung menginfeksi tulang yang
terluka. Berbeda dengan osteomielitis, endokarditis disebabkan karena bakteri
masuk melalui penggunaan obat secara intravena atau penggunaan cateter yang
kemudian masuk ke dalam aliran darah dan menginfeksi sel endotel
(Salmenlina, 2002; Juuti, 2004). Bakteri dapat menempel dan merusak daerah
endotelium, atau secara langsung masuk ke sel endotel melalui fagositosis
sehingga menyebabkan pelepasan respon inflamasi yang ditandai dengan
demam yang tinggi (Todar, 2011).
Infeksi lainnya yaitu sindrom kulit melepuh yang disebabkan oleh toksin
eksfoliatif. Toksin ini menyebabkan lapisan kulit luar mengelupas. Biasanya
risiko terjadinya meningkat pada anak-anak karena memiliki antibodi pelindung
yang lemah terhadap eksotoksin dan enterotoksin yang merespon terjadinya
sindrom klinik tersebut. Pneumonia jarang terjadi namun jika terjadi akan
menyebabkan kerusakan sel paru-paru yang dapat berakibat kematian (Juuti,
2004).
Berbagai infeksi yang disebabkan oleh S. aureus dimediasi oleh factor
virulen dan respon imun sel inang. Secara umum bakteri menempel ke jaringan
sel inang kemudian berkoloni dan menginfeksi. Selanjutnya bertahan, tumbuh,
dan mengembangkan infeksi berdasarkan kemampuan bakteri untuk melawan
peertahanan tubuh sel inang. Respons sel inang dimediasi oleh leukosit yang
diperoleh dari ekspresi molekul adhesi pada sel endotel Komponen dinding sel
dari S. aureus yaitu peptidoglikan dan asam teikoat, memacu pelepasan sitokin
Leukosit dan faktor sel inang lainnya dapat dirusak secara lokal oleh toksin yang
dihasilkan oleh bakteri tersebut. Selain itu adanya protein yang terdapat pada
bakteri mengakibatkan respon anti inflamasi. Protein ini juga menghambat
sekresi leukosit sel inang dengan cara berinteraksi langsung dengan protein sel
inang, dan fibrinogen. Apabila tubuh tidak cukup berhasil mengatasi infeksi
tersebut maka akan terjadi inflamasi lokal (Todar, 2011).
2.1.7 Gambaran klinis infeksi Staphylococcus aureus
Infeksi Staphylococcus aureus lokal tampak sebagai jerawat, infeksi
folikel rambut atau abses. Terdapat reaksi inflamasi yang kuat, terlokalisir dan
nyeri yang mengalami supurasi sentral dan sembuh dengan cepat jika pus
dikeluarkan (di drainase).
Infeksi Staphylococcus aureus dapat juga bersal dari kontaminasi lansung
dari luka, misalnya pasca operasi infeksi Staphylococcus aureus atau infeksi
yang menyertai trauma (osteomielitis kronik setelah patah tulang terbuka,
meningitis yang menyertai patah tulang tengkorak).
Jika S. aureus menyebar dan terjadi bakterimia, maka bisa terjadi
endokarditis, osteomielitis hematogenus akut, meningitis atau infeksi paru-paru.
Manifestasi klinik mirip dengan yang tampak pada infeksi sistemik.
Keracunan makanan menyebabkan enterotoksin stafilokokal dengan
periode inkubasi yang pendek (1-8 jam) yang ditandai dengan gejala klinis:
mual hebat, muntah dan diare, tanpa disertai demam dan dapat sembuh sendiri.
Sindroma syok toksik dimanifestasikan oleh demam tinggi yang terjadi
tiba-tiba,muntah, diare, mialgia, ruam, bentuk scarlet ( scarlatiniform rash ) dan
hipotensi dengan gagal jantung dan gagal ginjal pada kasus yang sangat berat
(Jawetz et al., 2001).
2.1.8 Pengobatan S. aureus
Pengobatan infeksi S. aureus biasanya menggunakan antibiotik turunan penisilin
seperti metisilin, dan oksasilin. Obat golongan penisilin tersebut berdifusi luas sepanjang
jaringan tubuh, tetapi penetrasi ke dalam otak buruk, kecuali bila meningen meradang.
Setelah suntikan intramaskular, kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 15-30 menit
dan obat cepat diekskresi (sebagian besar tidak dirubah) oleh ginjal. Waktu paruh
eliminasi (t ⅟ 2) normalnya 30 menit, tetapi lebih panjang sampai sekitar 10 jam pada
anuria.
Namun sebagian besar strain S. aureus ditemukan telah resisten terhadap
antibiotik penisilin sehingga antibiotik turunan penisilin sudah jarang
digunakan. Pemilihan antibiotik lain yang sekarang digunakan untuk mengobati
S. aureus yang telah resisten terhadap turunan penisilin yaitu vankomisin dan
teikoplanin. Kedua antibiotik ini digunakan sebagai pilihan utama dalam
mengobati infeksi yang disebabkan oleh MRSA. Vankomisin sendiri adalah
antibiotik bakterisidal yang tidak diabsorpsi secara oral. Vankomisin bekerja
dengan menghambat pembentukan peptidoglikan dan aktif melawan sebagian
besar organisme Gram positif. Vankomisin intravena sangat penting untuk terapi
pasien dengan septikemi atau endokarditis akibat strain Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap metisilin (Neal, 2002).
Selain kedua antibiotik tersebut, juga digunakan klindamisin,
sulfametoksazole, trimetoprim, dan gentamisin sebagai pilihan lain untuk
mengobati infeksi S. aureus yang telah resisten (Lowy, 2003).
2.1.9 Resistensi Antibiotik
Sebagian besar galur S. aureus yang berasal dari rumah sakit diketahui
telah resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Hal ini dapat disebabkan karena
S. aureus mampu mengkode enzim β-lactam dari antibiotik yang dapat
memediasi terjadinya resistensi terhadap beberapa antibiotik.
Beberapa antibiotik yang telah resisten terhadap MRSA yaitu:
1. Penisilin
Saat ini diketahui lebih dari 90 isolat S. aureus memproduksi penisilinase.
Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin dimediasi oleh blaZ. Gen ini
mengkode enzim yang disintesis ketika Staphylococcus diberikan antibiotik
β- lactam. Enzim ini mampu menghidrolisis cincin β-lactam, yang
menyebabkan terjadinya inaktivasi β-lactam (Lowy, 2003).
2. Metisilin
Resistensi metisilin terjadi karena adanya perubahan protein pengikat
penisilin (PBP). Hal ini disebabkan karena gen mecA mengkode 78 –kDa
penicillin pengikat protein 2a (PBP2a) yang memiliki afinitas yang kecil
terhadap semua antibiotik β-lactam. Hal ini memudahkan S. aureus bertahan
pada konsentrasi yang tinggi dari zat tersebut, resistensi terhadap metisilin
menyebabkan resistensi terhadap semua agen β-lactam, termasuk
cephalosporin (Juuti, 2004).
3. Kuinolon
Fluorokuinolon pertama kali dikenalkan untuk pengobatan infeksi bakteri
gram positif pada tahun 1980. Resistensi terhadap fluorokuinolon sangat cepat
dibandingkan dengan resisten terhadap metisilin. Hal ini menyebabkan
kemampun fluorokuinolon sebagai anti bakteri menurun. Resistensi terhadap
fluorokuinolon berkembang sebagai hasil mutasi kromosomal spontan dalam
target terhadap antibiotik atau dengan induksi pompa effluks berbagai obat
( Lowy, 2003).
4. Vankomisin
Vankomisin menjadi meningkat penggunaannya untuk mengobati Infeksi
yang disebabkan oleh MRSA. Pada tahun 1997, laporan pertama vankomisin
Intermediet Resisten S. aureus, dilaporkan di Jepang, dan berkembang di
negara lain. Penurunan sensitifitas vankomisin terhadap S. aureus terjadi
karena adanya perubahan dalam biosintesis peptidoglikan bakteri tersebut
(Lowy, 2003).
5. Kloramfenikol
Resistensi terhadap kloramfenikol disebabkan karena adanya enzim yang
menginaktivasi kloramfenikol dengan mengkatalisis proses asilasi terhadap
gugus hidroksi dalam kloramfenikol menggunakan donor gugus etil berupa
asetil koenzim A. Akibatnya dihasilkan derivat asetoksi kloramfenikol yang
tidak mampu berikatan dengan ribosom bakteri (Lowy, 2003).
2.2. Uraian Tanaman
Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelopak bunga rosela
(Hibiscus sabdariffa L.). Uraian tanaman rosela meliputi klasifikasi tanaman, deskripsi
tanaman, khasiat dan kegunaan tanaman, dan kandungan kimia tanaman.
2.2.1 Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi dari kelopak bunga rosella
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Malvales
Suku : Malvaceae
Marga : Hibiscus
Jenis : Hibiscus sabdariffa L. (sinonim: Hibiscus digitatus)
Varietas : Hibiscus sabdariffa L. var. sabdariffa L.
Hibiscus sabdariffa L. var. ultissima Wester (Mardiah dkk, 2009).
2.2.2 Morfologi Tanaman
Rosela merupakan herba tahunan yang bisa mencapai ketinggian 0,5 sampai 3
meter. Batangnya bulat, tegak, berkayu, dan berwarna merah. Daunnya tunggal,
berbentuk bulat telur, pertulangan menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi, pangkal
berlekuk. Panjang daun 6 sampai 15 cm dan lebarnya 5 sampai 8 cm. Tangkai daun bulat
berwarna hijau, dengan panjang 4 sampai 7 cm (Steenes, 2002).
Bunga rosela yang keluar dari ketiak daun merupakan bunga tunggal, artinya pada
setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8 sampai 11 helai
kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm, pangkalnya saling berlekatan, dan berwarna
merah(Steenes, 2002). Kelopak bunga rosela ini sering dianggap sebagai bunga oleh
masyarakat. Bagian inilah yang sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan
minuman(Mardiah dkk, 2009).
Mahkota bunga berbentuk corong, terdiri dari 5 helaian, panjangnya 3 sampai 5 cm.
Tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran
pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm. Putiknya berbentuk
tabung, berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk kotak kerucut, berambut,
terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan
panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua
berubah menjadi abu-abu (Steenes, 2002).
Gambar 2.2 Hibiscus sabdariffa L. var. sabdariffa L.
2.2.3 Khasiat dan Kegunaan Tanaman
Di Indonesia, penggunaan rosela di bidang kesehatan memang belum begitu
popular. Namun akhir-akhir ini, minuman berbahan rosela mulai banyak dikenal sebagai
minuman kesehatan. Bahan minuman dari rosela yang berbentuk seperti teh celup juga
sudah dapat diperoleh di pasar swalayan. Produk tersebut sebagian besar diperoleh dari
luar negeri. Di negara-negara lain, pemanfaatan dan khasiat rosela dalam dunia
pengobatan sudah tidak asing lagi (Mardiah dkk, 2009).
Di India, Afrika, dan Meksiko, seluruh bagian tanaman rosela berfungsi sebagai
obat tradisional. Daun atau kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mampu
menurunkan tekanan darah (efek hipotensif) yang tidak berbeda nyata dengan pemberian
captopril 50 mg/hari. Rosela terstandar tersebut dibuat dari 10 g kelopak kering dan 0,52
L air (Herrera and Arellano, 2004).
Pemanfaatan tanaman rosela ini berkaitan dengan fungsinya sebagai antiseptik,
aprodisiak (meningkatkan gairah seksual), astringen, demulcent (menetralisir asam
lambung), diuretik, purgatif, anthelmintic, refrigerant (efek mendinginkan), resolvent,
sedatif, tonik, serta mengobati kanker, batuk, dyspepsia, dysuria, demam, hangover
(kembung perut), hipertensi, neurosis, sariawan, dan mencegah penyakit hati (Mardiah
dkk, 2009). Kelopak bunga rosela dapat digunakan untuk mencegah perkembangan
atherosclerosis dan komplikasi kardiovaskuler akibat diabetes (Farombi dan Ige, 2007).
Di antara banyak khasiatnya, kelopak bunga rosela diunggulkan sebagai antikanker,
antihipertensi, dan antidiabetes (Mardiah dkk, 2009).
2.2.4 Kandungan Kimia Tanaman
Karakteristik fisikokimia bunga rosela telah diteliti dan diketahui memiliki vitamin
C yang tinggi dengan kadungan gula yang rendah. Asam suksinat dan asam oksalat
merupakan dua asam organik yang dominan pada rosela. Tumbuhan rosela juga diketahui
memiliki asam askorbat yang lebih tinggi dari pada jeruk dan mangga (Wong et al, 2002
dalam Fasoyiro et al, 2005).
Fitokonstituen yang ditemukan dalam ekstrak bunga rosela yaitu flavonoid,
polisakarida dan asam organik, yang berpengaruh terhadap aktivitas farmakologinya
(Daffallah & Mustafa, 1996 dalam Hussaini et al., 2004 ). Bunga rosela diketahui
memiliki asam sitrat, tanin dan glukosida seperti delfinidin-3-monoglukosida dan
delfinidin yang pada konsentrasi tinggi bersifat toksik bagi jaringan hewan dan manusia
(Ojokoh et al., 2002; Morton, 1987).
Kelopak bunga rosela juga mengandung alkaloid, L-ascorbic acid, anisaldehid,
antosianin, beta karoten, protocathecuic acid, beta sitosterol, asam sitrat, galaktosa,
polifenol, cyaniding-3-rutinoside, mukopolisakarida, pektin, polisakarida, asam stearat,
dan lilin (Hirunpanich et al., 2005).
Selain itu, kandungan penting yang terdapat pada kelopak bunga rosella adalah
pigmen antosianin yang membentuk flavonoid yang berperan sebagai antioksidan.
Flavonoid rosela terdiri flavanols dan pigmen antosianin. Antosianin pada kelopak bunga
rosela berada dalam bentuk glukosida yang terdiri dari cyanidin-3-sambubioside,
delphinidin-3-glucose, dan delphinidin-3-sambubioside. Sementara itu, flavonols terdiri
dari gossypetin, hibiscetin, dan quercetia (Mardiah dkk., 2009).
Tabel 2.1 Komposisi minyak esensial Hibiscus sabdariffa L.(Zang dan Wang, 2007)
Zat gizi lain yang tak kalah penting terkandung dalam kelopak bunga rosela adalah
kalsium, niasin, riboflavin, dan besi yang cukup tinggi. Kandungan besi pada kelopak
segar rosela dapat mencapai 8, 98 mg/100 g. Selain itu, kelopak bunga rosela
mengandung 1,12% protein, 12% serat kasar, 21,89 mg/100 g sodium, vitamin C, dan
vitamin A (Mardiah dkk, 2009). Serta ada sekitar 18 asam amino yang diperlukan tubuh
terdapat dalam kelopak bunga rosela, termasuk arginin dan lisin yang berperan dalam
peremajaan sel tubuh (Mardiah dkk., 2009).
Sedangkan untuk distribusi kandungan fitokomia dari berbagai bagian tumbuhan
Hibiscus sabdariffa dapat di lihat di tabel berikut.
Tabel 2.2 Distribusi berbagai macam fitokimia di bagian yang berbeda dari tumbuhan
Hibiscus sabdariffa (Mungole dan Chaturvedi, 2011)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka konseptual
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Hibiscus sabdariffa L.
Ekstrak air kelopak bunga Hibiscus sabdariffa L.
Uji dilusi pada bakteri Staphylococcus aureus
Protein-protein struktural dan
fungsional penting pada bakteri
Staphylococcus aureus terdenaturasi
efek antimikroba terhadap bakteri
Staphylococcus aureus
Kosentrasi Hambat Minimum
(KHM)
3.2. Penjelasan Kerangka Konsep
Penggunaan obat tradisional saat ini semakin luas di kalangan masyarakat.
Salah satunya yang digunakan adalah bunga rosela(Hibiscus sabdariffa L.).
Berdasarkan data-data yang diperoleh ditemukan banyak kandungan aktif dalam
bunga rosela yang dapat dipergunakan sebagai antimikroba diantaranya
alkaloid, flavonoid, saponin, dan polifenol. Sehingga peneliti mengusulkan
penggunaan bunga rosella sebagai obat antibakteri alternatif untuk mengobati
penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Salah satu bakteri yang
saat ini sering menimbulkan infeksi di rumah sakit adalah Staphylococcus
aureus. S. aureus merupakan flora normal kulit yang paling sering menimbulkan
infeksi pada luka bedah karena berpindah dari tempat semestinya ke organ atau
jaringan lainnya (Kluytmans et al., 1997).
Pengujian kelopak bunga rosela ini dibuat dalam bentuk ekstrak air. Ekstrak air
ini dibagi menjadi beberapa konsentrasi yang nantinya diuji dengan metode dilusi cair.
Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran antimikroba pada medium
cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji antimikroba pada kadar terkecil
yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai
Konsentrasi Hambat Minimal(KHM). Evaluasi dilakukan untuk mengetahui aktivitas
ekstrak air bunga rosella dapat berguna sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus.
3.3. Hipotesis Penelitian
Pemberian ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibsiscus sabdariffa L.) dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium yaitu penelitian uji
aktivitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in-vitro menggunakan
metode dilusi.
4.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode randomized post test
controlled design. Secara skematis, rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 4.1 Skema penelitian
R S
K2
T7
T6
K1
T8
T5
T1
T2
T3
T4
B2
A7
A6
B1
A8
A5
A1
A3
A4
A2
Keterangan :
S : sampel bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
R : ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) hasil ekstrak air
K1 : tabung kontrol 1 yaitu berisi ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L.)yang digunakan sebagai kontrol negatif
K2 : tabung kontrol 2 yaitu berisi medium cair yang telah ditanam dengan koloni
Staphylococcus aureus yang digunakan sebagai kontrol positif
T1 : tabung perlakuan 1 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 12,5%
T2 : tabung perlakuan 2 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 6,25%
T3 : tabung perlakuan 3 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 3,125%
T4 : tabung perlakuan 4 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 1,56%
T5 : tabung perlakuan 5 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,78%
T6 : tabung perlakuan 6 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,39%
T7 : tabung perlakuan 7 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,195%
T8 : tabung perlakuan 8 yaitu pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada
medium cair yang telah ditambah dengan ekstrak air kelopak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)sehingga kosentrasinya 0,097%
B1 : pengamatan pertumbuhan bakteri pada tabung kontrol 1 setelah inkubasi dalam
suhu 37ºC selama 24 jam
B2 : pengamatan pertumbuhan bakteri pada tabung kontrol 2 setelah inkubasi dalam
suhu 37ºC selama 24 jam
A1 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 1 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
A2 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 2 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
A3 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 3 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
A4 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 4 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
A5 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 5 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
A6 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 6 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
A7 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 7 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
A8 : pengamatan pertumbuhan kuman pada tabung perlakuan 8 setelah inkubasi
dalam suhu 37ºC selama 24 jam
4.3 Sampel, Jumlah Replikasi, dan Teknik Pengelompokan Sampel
4.3.1 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.).
4.3.2 Jumlah replikasi
Jumlah replikasi ditentukan dengan menggunakan rumus Federer (Steel and Torri,
1989):
(t-1)(r-1) = 15
t = jumlah kelompok perlakuan yang diteliti
r = jumlah replikasi
Pada penelitian ini jumlah kelompok perlakuan yang diteliti sebanyak 8 tabung, sehingga
jumlah replikasi yang harus dilakukan adalah:
(8-1)(r-1) = 15
r-1 = 2
r = 3 (jumlah replikasi pada penelitian ini minimal 3 kali)
4.3.3 Teknik pengelompokan sampel
Pengelompokan sampel menggunakan teknik total random sampling dari kelopak
bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)yang tumbuh di Kediri, Jawa Timur.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel bebas
Kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) pada tiap-tiap
tabung yang telah ditanami bakteri Staphylococcus aureus.
Variabel tergantung
Pertumbuhan bakteri pada tiap-tiap tabung yang telah diberi ekstrak air kelopak
bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dengan kosentrasi yang berbeda.
Variabel kontrol
1. spesies Hibiscus sabdariffa L.
2. temperatur inkubasi kultur bakteri Staphylococcus aureus
3. temperatur inkubasi uji kepekaan secara dilusi
4. waktu inkubasi uji kepekaan secara dilusi
Definisi Operasional Variabel
Variabel bebas
Kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah besarnya
kadar bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pelarut, yang diukur dalam satuan
gram persen(g%). Diketahui berdasarkan perbandingan berat buah dengan pelarut, skala
data rasio.
Variabel tergantung
Kekeruhan dari tabung reaksi yang telah ditambahkan ekstrak air kelopak bunga
Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) , menunjukkan bahwa semakin jernih medium maka
semakin besar penghambatan pertumbuhan kuman.
Variabel kontrol
1 Spesies Hibiscus sabdariffa L. adalah satu jenis individu buah Hibiscus sabdariffa
L., diketahui berdasarkan pengamatan secara visual, skala data nominal.
2 Temperatur inkubasi bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro adalah skala
yang menunjukan seberapa besar gaya kinetik zat-zat dalam lingkungan inkubasi
bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro, yang diukur dalam satuan ºC,
diketahui berdasarkan pengamatan visual pada termometer, skala data interval.
3 Temperatur inkubasi uji kepekaan secara dilusi adalah skala yang menunjukan
seberapa besar gaya kinetik zat-zat dalam lingkungan inkubasi tabung perlakuan
yang telah diberi perlakuan, yang diukur dalam satuan ºC, diketahui berdasarkan
pengamatan visual pada termometer, skala data interval.
4 Waktu inkubasi uji kepekaan secara dilusi adalah lamanya inkubasi tabung
perlakuan setelah diberi perlakuan, yang diukur dalam satuan jam, diketahui
berdasarkan pengamatan visual pada jam dinding, skala data rasio.
4.5 Bahan Penelitian
1. Bunga Rosella (Hibiscus sabdaiffa L.)
2. Aquadest
3. Koloni bakteri Staphylococcus aureus
4. Muller Hinton Broth:
1 Meat infussion 6 gram
2 Casein Hydrolysate 17,5 gram
3 Starch 1,5 gram
4 Aquadest 1000 ml
5 pH 7,4
5. Nutrient Agar:
1 Pepton 5 gram
2 Yeast extract 2 gram
3 Sodium chloride 5 gram
4 Agar 5 gram
5 Aquadest 1000 ml
6 pH 7,4
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen di bawah ini memiliki reliabilitas dan validitas yang cukup baik, serta
lazim digunakan untuk penelitian.
1 Beker glass
2 Pemanas spirtus
3 Tabung reaksi
4 Sengkelit
5 Yellow tape
6 Pipet ependorf
7 Penyaring sari buah
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.7.1 Lokasi
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium
Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
4.7.2 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan selama 6 bulan pada bulan Juni-Desember 2011
4.8 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
4.8.1 Mempersiapkan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
1. Menyiapkan bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebanyak 50 gram lalu dicuci
hingga bersih.
2. Memotong bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) kecil-kecil dan merajangnya.
3. 50 gram hasil rajangan dimasukkan ke dalam tempat ekstraksi kemudian ditambah
200 ml aquadest steril untuk membuat ekstrak air dengan konsentrasi 25 gram/ml.
4. Didiamkan beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya dan
sesekali diaduk.
5. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kain flannel atau kertas saring untuk
menghilangkan ampas dan sampai airnya tidak menetes lagi.
4.8.2 Mempersiapkan koloni bakteri Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus dibiakkan terlebih dahulu pada media Nutrient
Agar dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam
4.8.3 Langkah-langkah pengambilan dan pengumpulan data
Uji aktivitas antimikroba menggunakan metode dilusi. Dengan metode ini dapat
diketahui konsentrasi hambat minimal (KHM) yaitu konsentrasi terkecil yang masih
mampu menghambat pertumbuhan kuman dan kosentrasi bunuh minimal (KBM) yaitu
kosentrasi terkecil yang dapat membunuh kuman. Langkah- langkah penelitian:
1. Menyiapkan ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)dengan
kosentrasi 25 gram/ml yang nantinya akan diencerkan secara serial.
2. Membuat suspensi kuman. Stok yang sudah ada dikultur terlebih dahulu sehingga
didapatkan pertumbuhan yang sehat (tumbuh subur dan pada fase pertumbuhan
logaritma atau tidak mengalami mutasi ataupun fase lag atau mati). Suspensi uji
awal dibuat setara dengan kekeruhan 0,5 Mc Farland (kekeruhan campuran
Barium chlorida 1,175% dan H2SO4 1%) atau sebanding dengan jumlah bakteri
1,5x108 CFU/ml (CFU: Colony forming Unit) atau 250-300 koloni dalam media
padat. Diambil beberapa koloni bakteri lalu ditipiskan atau diencerkan dengan
larutan isotonis (PBS atau PZ) sehingga konsentrasi sesuai dengan konsentrsi 0,5
Mc Farland.(Lab.Mikrobiologi Fk UNAIR, 2009)
3. Dalam uji dilusi ini disediakan sebanyak 10 tabung percobaan dengan label T-1-
T-8, dan K1-K2.
4. Tabung T-1: Tabung diisi dengan medium cair steril dan ekstrak air kelopak
bunga Rosella(Hibiscus sabdariffa L.) kosentrasi 25 gram/ml dengan volume 1:1.
Antara medium dan ekstrak air dicampurkan, sehingga didapatkan kosentrasi
ekstrak air kelopak bunga Rosella(Hibiscus sabdariffa L.) pada tabung T-1
sebesar 12,5gram/ml. Lalu diambil setengah bagian campuran antara medium cair
dan ekstrak air dari tabung ini untuk dimasukkan ke dalam tabung T-2.
5. Tabung T-2: Campuran yang diambil dari tabung T-1 dimasukkan ke dalam
tabung T-2 lalu ditambahkan medium cair steril dengan perbandingan volume
campuran dari tabung T-1 dengan medium cair steril sebesar 1:1. Campur dengan
baik sehingga didapatkan kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella(Hibiscus
sabdariffa L.) pada tabung T-2 sebesar 6,25 gram/ml. Lalu diambil setengah
bagian untuk dimasukkan ke tabung T-3.
6. Langkah diatas dilanjutkan berturut-turut hingga tabung T-8, setelah dicampur
dan didapatkan kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella(Hibiscus sabdariffa
L.) pada tabung T-8 sebesar 0,097 gram/ml. Lalu diambil setengah bagian untuk
dibuang agar volume tabung T-8 sama dengan tabung yang lain.
7. Menambahkan suspensi kuman kedalam setiap tabung
8. Tabung K-1: merupakan kontrol, hanya diisi dengan ekstrak air kelopak bunga
Rosella(Hibiscus sabdariffa L.) hingga volume yang sama dengan tabung yang
lain
9. Tabung K-2: merupakan kontrol, diisi medium cair yang telah ditambah suspensi
kuman
10. Menginkubasi semua tabung selama 24 jam dalam suhu 37ºC
11. Menentukan kosentrasi hambat minimum (KHM) yaitu dengan melihat tabung
mana yang masih jernih. Kosentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella(Hibiscus
sabdariffa L.) terkecil pada tabung yang jernih, merupakan kosentrasi hambat
minimum (KHM). Observasi ini dilakukan secara visual.
4.9 Cara Mengolah dan Analisis Data
Data pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dari kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan diuji statistic dengan deskriptif dan dianalisis secara analitik.
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1 Hasil Penelitian
Ekstrak air kelopak bunga rosela yang digunakan dalam penelitian ini diujikan
dengan metode dilusi terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Sedangkan konsentrasi
ekstrak yang digunakan adalah 12,5 gram/ml, 6,25 gram/ml, 3,125 gram/ml, 1,56
gram/ml, 0.79 gram/ml, 0.39 gram/ml, 0,195 gram/ml, dan 0,097 gram/ml,. Hasil uji
dilusi ( Konsentrasi hambat minimal (KHM)) dengan ekstrak air kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Replikasi pertama
Tabel 5.1 : Hasil uji dilusi KHM dengan ekstrak air kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) dalam berbagai konsentrasi pada replikasi pertama
Nama Tabung Pertumbuhan Kuman (kekeruhan)
K+ +
K- -
T1 (12,5 gram/ml) -
T2 (6,25 gram/ml) -
T3 (3,125 gram/ml) -
T4 (1,56 gram/ml) -
T5 (0.78 gram/ml) +
T6 (0,39 gram/ml) +
T7 (0,195 gram/ml) +
T8 (0.097 gram/ml) +
Replikasi kedua
Tabel 5.2 : Hasil uji dilusi KHM dengan ekstrak air kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) dalam berbagai konsentrasi pada replikasi kedua
Nama Tabung Pertumbuhan Kuman (kekeruhan)
K+ +
K- -
T1 (12,5 gram/ml) -
T2 (6,25 gram/ml) -
T3 (3,125 gram/ml) -
T4 (1,56 gram/ml) -
T5 (0.78 gram/ml) +
T6 (0,39 gram/ml) +
T7 (0,195 gram/ml) +
T8 (0.097 gram/ml) +
Replikasi ketiga
Tabel 5.3 : Hasil uji dilusi KHM dengan ekstrak air kelopak bunga rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) dalam berbagai konsentrasi pada replikasi ketiga
Nama Tabung Pertumbuhan Kuman (kekeruhan)
K+ +
K- -
T1 (12,5 gram/ml) -
T2 (6,25 gram/ml) -
T3 (3,125 gram/ml) -
T4 (1,56 gram/ml) -
T5 (0.78 gram/ml) +
T6 (0,39 gram/ml) +
T7 (0,195 gram/ml) +
T8 (0.097 gram/ml) +
5.2 Analisis Hasil Penelitian
Pada percobaan pertama, didapatkan hasil bahwa ekstrak air kelopak bunga
rosella(Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba dimulai kadar 1,56
simplisia gram/ml terhadap kuman Staphylococcus aureus. Hal tersebut dapat dilihat dari
hasil uji dilusi untuk menentukan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) yang
menunjukkan perubahan medium menjadi lebih jernih dimulai dari tabung keempat (T4)
yang memiliki konsentrasi ekstrak air kelopak bunga rosella sebesar 1.56 gram
simplisia/ml hingga tabung ke-1 (T1) yang memiliki konsentrasi 12,5 gram simplisia/ml.
Sedangkan pada variabel kontrol didapatkan perubahan medium menjadi lebih
keruh pada kontrol (+) yang merupakan kontrol pertumbuhan kuman di dalam media dan
didapatkan perubahan medium menjadi lebih jernih pada kontrol (-) yang berisi bahan
ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.).
Hasil uji dilusi yang sama juga didapatkan pada replikasi ke-2 dan ke-3, yang
didapatkan perubahan medium menjadi lebih jernih yang dimulai dari tabung T4 hingga
T1, kontrol (-) dan terdapat perubahan medium menjadi lebih keruh pada kontrol (+).
Untuk memastikan pertumbuhan kuman kontaminan pada ekstrak yang telah
dibuat, dilakukan penanaman di media nutrient agar plate. Dan hasilnya tidak didapatkan
pertumbuhan bakteri pada agar plate.
Selain itu, untuk memastikan pertumbuhan kuman pada uji dilusi, dari semua
tabung uji dilusi replikasi ke-1 tidak didapatkan pertumbuhan kuman setelah dilakukan
penanaman di agar plate. Dan dalam penanaman kontrol (+) didapatkan pertumbuhan
beberapa kuman dalam agar plate. Sedangkan pada penanaman plate kontrol (-) tidak
didapatkan koloni kuman.
BAB 6
PEMBAHASAN
Penelitian mengenai kandungan antimikroba dari ekstrak air kelopak bunga
rosella(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ini
dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada
bulan Agustus 2011. Penelitian dilakukan secara uji eksperimental dengan menggunakan
metode dilusi yaitu metode yang dapat dipakai untuk mengukur Konsentrasi Hambat
Minimal suatu bahan antimikroba dengan cara mengamati perubahan kekeruhan dari
campuran medium, ekstrak air, dan bakteri yang ditanam di dalam tabung. Ekstrak air
dibuat dari bahan ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.) yang
pembuatannya dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Farmasi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
6.1 Aktivitas Antimikroba Ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.)
Penelitian Uji Aktivitas antimikroba ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) dimulai dengan pembuatan simplisia kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) dengan cara dikeringkan ditempat yang teduh dan tidak terkena sinar
matahari. Sedangkan pembuatan ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa
L.) sebesar 25 gram simplisia/ml dilakukan dengan cara merendam simplisia kelopak
bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) seberat 50 gram di dalam 200 ml aquabidest
selama tujuh hari. Setiap harinya, rendaman tersebut dikocok selama 2 menit. Setelah
tujuh hari, rendaman tersebut diperas dengan kain flannel dan disaring dengan millipore.
Ekstrak kemudian dicampurkan bersama media tanam dengan perbandingan 1:1 sehingga
diperoleh konsentrasi ekstrak tertinggi 12,5 gram/ml. Sedangkan untuk tabung-tabung
selanjutnya dilakukan penambahan media tanam dari campuran ekstrak ditambah dengan
media tanam sebelumnya. Penelitian dilaksanakan selama 3 kali replikasi. Penentuan
jumlah replikasi tersebut berdasarkan rumus dari Freeder (Steel and Torri, 1989).
Sesuai hasil yang disajikan dalam tabel 5.1, pada penelitian kali ini didapatkan
perubahan medium menjadi lebih jernih pada tabung keempat sampai tabung kesatu yang
telah ditanami bakteri Staphylococcus aureus kecuali pada tabung kelima, keenam,
ketujuh, kedelapan, dan kontrol positif (K+). Hal tersebut dapat diartikan bahwa ekstrak
air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba yang
dimulai dengan kadar 1,56 gram/ml. Selain itu, pada kontrol negatif, tidak adanya
perubahan kekeruhan menandakan bahwa ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) tidak mengalami kontaminasi. Hal tersebut juga dibuktikan dengan
penanaman ekstrak yang telah dibuat di media nutrient agar plate. Dan hasilnya tidak
didapatkan pertumbuhan bakteri pada agar plate.
Hasil yang sama juga didapatkan pada replikasi ke-2 dan ke-3, yang disajikan
dalam tabel 5.2 dan 5.3. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa medium berubah menjadi
lebih jernih yang dimulai dari tabung ke-4 hingga tabung ke-1. sedangkan pada tabung
dengan tanda K+, tabung ke-5, tabung ke-6, tabung ke-7, dan tabung ke-8, terjadi
perubahan kekeruhan. Hal tersebut dapat juga diartikan bahwa ekstrak air kelopak bunga
rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas antimikroba terhadap bakteri
Staphylococcus aureus yang dimulai dengan kadar 1.56 gram/ml.
Bahan aktif dalam ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) yang
diduga memiliki efek antibakteri adalah Saponin, Tanin dan Flavonoida (Badreldin dkk,
2005). Saponin akan membentuk kompleks dengan protein dan dinding sel sehingga
berakibat terjadinya denaturasi protein dan rusaknya dinding sel (Dzen dkk, 2003). Tanin
akan mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan rusaknya
membran sel (Akiyama dkk, 2001). Sedangkan Flavonoida diduga memiliki efek
antibakteri melalui kemampuannya membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler
dan polisakarida. Selain itu, sifat lipofilik flavonoid mungkin juga akan merusak
membran sel bakteri karena membran sel mengandung lipid sehingga memungkinkan
senyawa tersebut melewati membran (Cowan, 1999)
Metode ekstraksi yang dipakai pada penelitian ini masih bersifat kasar sehingga
tidak dapat diketahui secara pasti bahan aktif antibakteri apa saja yang terkandung di
dalam ekstrak tersebut. Selain itu, prosentase bahan aktif dari hasil ekstrak juga tidak
diketahui. Namun, kita dapat memperkirakan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
juga akan meningkatkan konsentrasi bahan aktif antibakteri dalam hubungannya dengan
penurunan pertumbuhan koloni bakteri.
Penelitian mengenai ekstrak tanaman kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa
L.) yang memiliki efek antibakteri terhadap Staphylococcus aureus juga pernah dilakukan
sebelumnya. Namun, pelarut dan metode yang digunakan berbeda yaitu dengan pelarut n-
Heksan, Etil Asetat, dan Etanol 70%. Pada penelitian tersebut didapatkan Konsentrasi
Bunuh Minimum ekstrak etil asetat adalah 25 gram/ml; 50 gram/ml; 100 gram/ml, KBM
ekstrak etanol 70 % terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 adalah 50 gram/ml;
100 gram/ml dan tidak didapat Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari ekstrak
nheksan. Dalam penelitian tersebut tidak didapat luas daerah hambat dari ekstrak n-
heksan terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923, luas daerah hambat rata-rata dari
ekstrak etil asetat adalah 7,67 mm (25 gram/ml); 11,33 mm (50 gram/ml); 20,33 mm (75
gram/ml); 26,67 mm (100 gram/ml). Dan luas daerah hambat rata-rata dari ekstrak etanol
70 % adalah 8,33 mm (50 gram/ml); 11 mm (75 gram/ml); 16 mm (100 gram/ml). Dari
ketiga ekstrak tersebut yang paling efektif terhadap aktivitas antibakteri adalah ekstrak
etil asetat yang mempunyai daya bunuh terbesar pada konsentrasi 25 gram/ml
(Samsumaharto dan Sari, 2009). Berdasarkan penelitian tersebut, konsentrasi ekstrak
yang digunakan pada penelitian ini sebesar 25 gram/ml.
Aplikasi klinis yang mungkin dari penelitian ini adalah penggunaan ekstrak air
kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) secara topikal untuk pengobatan infeksi
Staphylococcus aureus pada kulit. Sedangkan penggunaan secara sistemik masih
memerlukan penelitian lebih lanjut yaitu penelitian in vivo pada hewan coba yang
kemudian dilanjutkan dengan uji klinik fase I, II, III, dan IV. Penelitian in vivo pada
hewan coba dan uji klinik fase I, II, III, dan IV diperlukan untuk menentukan dosis terapi,
dosis toksik, dan efek samping yang mungkin timbul dari pemakaian ekstrak daun anting-
anting. Studi toksisitas pada hewan coba terdiri dari 3 uji toksisitas yaitu uji toksisitas
akut, toksisitas jangka panjang, dan toksisitas khusus. Walaupun uji farmakologi-
toksikologi pada hewan coba memberikan data yang berharga, namun untuk memastikan
efeknya pada manusia perlu dilakukan uji klinik (Setyabudi,2001)
Badreldin H. Ali, Naser Al Wabel and Gerald Blunden, 2005, Phytochemical,
Pharmacological and Toxicological Aspects of Hibiscus sabdariffa L.: A Rev
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan:
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak air kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktifitas
antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang dimulai
dengan kadar 1.56 gram/ml.
7.2 Saran:
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aktifitas antimikroba ekstrak air kelopak
bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus secara in vivo
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aktifitas antimikroba ekstrak air kelopak
bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus yang aplikatif di masyarakat.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui zat aktif yang terkandung dalam
ekstrak air kelopak bunga rosella(Hibiscus sabdariffa L.) yang mempunyai efek daya
hambat terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
DAFTAR PUSTAKA
Akiyama H. Kazuyasu Fujii, Osamu Yamasaki, Takashi Oono and Keiji Iwatsuki, 2001,
Antibacterial action of several tannin against Staphylococcus aureus, t of
Dermatology, Okayama University Graduate School of Medicine and
Dentistry,Shikata-cho 2-5-1, Okayama 700-8558, Japan, 2001
Ali, Badreldin H., Naser Al Wabel, Gerald Blunden. 2005. Phytochemical,
Pharmacological and Toxicological Aspects of Hibiscus sabdariffa L.: A Review.
Phytother. Research 19, pp. 369–375, URL:
http://ipac.kacst.edu.sa/eDoc/2006/158385_1.pdf .Retrieved: May 19, 2011.
Cowan MM , 1999, Plants products as antimicrobial agents. Clin. Microbiol. Rev. 12:
564-582.
Deurenberg, R. H. C. Vink, S. Kalenic, A. W. Friedrich, C. A. Bruggeman, E. E.
Stobberingh. 2006. The molecular evolution of methicillin-resistant
Staphylococcus aureus. URL:
http://www.chem.pg.gda.pl/Katedry/Mikrobiologia/gronkowce3.pdf. Retrieved:
May 30, 2011.
Farombi, E.O., Ige, O.O. 2007. Hypolipidemic and Antioxidant effects of ethanolic
extract from dried calyx of Hibiscus sabdariffa in alloxaninduced diabetic rats.
Fundam Clin Pharmacol 21(6): pp.601-609. URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18034661. Retrieved: June 15, 2011.
Fasoyiro, S.B., O.A. Ashaye, A. Adeola, and F.O. Samuel. 2005. Chemical storability of
fruit-Flavoured (Hibiscus sabdariffa L) Drinks. World Journal of Agricultural
Science. 1(2) : pp.165-168. URL: http://idosi.org/wjas/wjas1(2)/11.pdf. Retrieved:
May 26, 2011.
Herrera, A., Arellano, S. Flores, Romero, M.A. Chaves, Soto, J. Tortoriello. 2004.
Effectiveness and tolerability of a standardized extract from Hibiscus sabdariffa in
patients with mild to moderate hypertension: a controlled and randomized clinical
trial. Phytomedicine 11: pp. 375–382. URL:
http://www.sld.cu/galerias/pdf/sitios/mednat/hibiscus_sabdariffa___efecto_antihip
ertensivo.pdf. Retrieved: June 15, 2011.
Hirunpanich, V., Utaipat A, Noppawan, P. M., Nuntavan, B., Hitoshi, S., Angkana, H.,
Chuthamanee, S. 2005. Antioxidant effect of aqueous extracts from dried calyx of
Hibiscus sabdariffa linn (roselle) in vitro using rat low-density lipoprotein (LDL).
Bio. Pharm. Bull. 28(3): pp.481- 484. URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15744073. Retrieved: June 15, 2011.
Husaini, D.C., O.E. Orisakwe, D.N. Akunyili, A.A. Njan, D.D. Akumka, and O. O.
Udemezue. 2004. Subchronic Administration of Nigerian Species of Aqueos
Extract of Hibiscuss Sabdariffa Calyx in Rats did not Produce Cardiotoxicity.
European Bulletin of Drug Research. 12: pp. 1-5.
Jawetz, Melnick, and Adelberg’s. 1996. Medical Microbiology,16th Ed. United States of
America: Mc Graw-Hill Companies Inc.
Jawetz, Melnick, and Adelberg’s. 2001. Medical Microbiology Twenty Second Ed.
United States of America: Mc Graw-Hill Companies Inc.
Jawetz, Melnick, and Adelberg’s. 2007. Medical Microbiology Twenty fourth Ed. United
States of America: Mc Graw-Hill Companies Inc.
Joklik,Willet, Amos, 1984, Zinsser Microbiology Eighteenth ed.,London: Prentice-
Hall,inc., pp.444-460
Juuti, K. 2004. Surface protein Pls of methicillin-resistant Staphylococcus aureus role in
adhesion, invasion and pathogenesis, and evolutionary aspects. [Disertation].
Helinski: Department of Biological and Environmental Sciences Faculty of
Biosciences. pp. 61-63. URL:
http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/bio/bioja/vk/juuti/surfacep.pdf. Retrieved: june
07, 2011.
Kluytmans, Jan. Alex van Belkum. And Henri Verbrugh. 1997. Nasal Carriage of
Staphylococcus aureus: Epidemiology, Underlying Mechanisms, and Associated
Risks. Clinical Microbilogy Reviews 10(3). pp. 505–520. URL:
doi:10.1016/S0006-3207(03)00146-0. PMC 172932. PMID 9227864.
http://cmr.asm.org/cgi/pmidlookup?view=long&pmid=9227864. Retrieved: june
07, 2011.
Lowy, F. 2003. Antimicrobial resistance: the example of Staphylococcus aureus. J Clinic
Invest. 111(9): pp.1265-1273. URL:
http://biology-
web.nmsu.edu/gustafson/Gustafson/Manuscripts%20in%20preparation/Intrinsic%
20Antibacterial%20resistance/1265.pdf. Retrieved: june 07, 2011.
Mardiah., Sawarni, H., R. W. Ashadi., A. Rahayu. 2009. Budi Daya dan Pengolahan
Rosela si Merah Segudang Manfaat. Cetakan 1. Jakarta: Agromedia Pustaka
Morton, Julia F,. 1974. Renewed Interest in Rosella (Hibiscus sandariffa L.) The Long –
Forgetten “Florida Cranberry”URL:
http://www.fshs.org/Proceedings/Password%20Protected/1974%20Vol.%2087/415
-425%20%28MORTON%29.pdf . Retrieved: May 29, 2011.
Mungole, Arvind and Alka Chaturvedi. 2011. Hibiscus sabdariffa L. A Rich Source of
Secondary Metabolites. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review
and Research. 6(1): pp.83-87. URL: www.globalresearchonline.net. Retrieved:
May 11, 2011.
Neal, M.J., 2002, Medical Pharmacology at a Glance Fourth Ed.,Australia : Blackwell
Science Ltd. pp.82-83
Ojokoh, O.A. 2006. Roselle (Hibiscuss Sabdariffa) Calyx Diet and Hispatological
Changes in Liver Albino Rats. Pakistan Journal of Nutrition. 5(2): pp.110-113.
Olaleye, M.T., 2007. Cytotoxicity and antibacterial activity of methanolic extract of
Hibiscus sabdariffa. J. Med. Plant. Res., 1(1): pp.9-13.URL:
http://www.academicjournals.org/JMPR/PDF/Pdf2007/Aug/Olaleye.pdf.
Retrieved: May 29, 2011
Ongtengco, D. C., L. A. Baltazar, R. S Santiago, R. R Matias, and C. A. Isaac. 2003.
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus isolates from Filipino patients (1999-
2003). Phil J Microbiol Infect Dis. 17(1): pp.4-8\. URL:
http://www.psmid.org.ph/vol33/vol33num3topic4.pdf. . Retrieved: june 07, 2011.
Rostinawati, Tina. 2009. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Rosella (Hibiscus
Sabdariffa L.) Terhadap Escherichia coli, Salmonella typhi dan Staphylococcus
aureus dengan Metode Difusi Agar. [Penelitian Mandiri]. Jatinangor : Fakultas
Farmasi Universitas Padjadjaran .URL:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2011/02/aktivitas_antibakteri_ekstrak_etanol_bunga_rosella.pdf.
Retrieved: May 19, 2011.
Salmenlina, S. 2002. Molecular epidemiology of methicillin-resistant Staphylococcus
aureus in Finland. [Disertation]. Helsinki: The National Public Health Institute.
pp. 88-92. URL:
http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/kansa/vk/salmenlinna/molecula.pdf.
Retrieved: june 07, 2011.
Samsumaharto R.A. and Sari Y.E.N.I.,2009, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-Heksan,
Etil Asetat,Dan Etanol 70 % Daun Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923,Fakultas Ilmu Kesehatan; Fakultas Farmasi
Universitas Setia Budi Surakarta, Surakarta, 2009
Setiabudy,R. dan H.S.Gan, Vincent., 1995, “Farmakologi dan Terapi : Pengantar
Antimikroba “, Edisi 4, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm: 560-562, 571-580
Steel, Robert G D and Torrie, 1977, James H. Principles and Procedures of Statistics: A
Biometrical Approach, New York: McGraw, 1960.
Steenis, C.G.G.J. van. 1997. Flora 7th ed. Jakarta: PT Pradnya Paramita. pp, 282-283
Todar, K. 2011. Staphylococcus.URL: http://www.textbookofbacteriology.net/staph.html.
Retrieved: june 07, 2011.
Wannet, W. J., E. Spalburg, M. O. Heck, N. Pluster, E. Tiemersma, and R.J. Willem.
2005. Emergence of virulent methicillin-Resistant Staphylococcus aureus strains
carrying panton-valentine leucocidin genes in the Netherlands. J Clin Microbiol.
pp. 3341–3345. URL: http://jcm.asm.org/cgi/reprint/43/7/3341.pdf. Retrieved:
june 07, 2011.
Zhang, Yan-Ni dan Zhe-Zhi Wang. 2007. Essential Oil Composition of Hibiscus
sabdariffa From Yunnan, China. Chemistry of Natural Compounds, 43(6): pp.714-
715. URL: http://www.springerlink.com/content/q1705118gk4854tu/. Retrieved:
june 07, 2011 .
LAMPIRAN
Lampiran 1
JADWAL KEGIATAN
Tahap Penelitian
Bulan
Juli Agustus September Oktober November Desember
1.Pengajuan proposal
2. Persiapan :
- Administrasi
-Pengumpulan data
3. Pelaksanaan
- Pelaksanaan
- Analisis data
4.Penyusunan laporan
Lampiran 2 Tumbuhan Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Lampiran 3 Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Kering
Lampiran 4 Hasil Replikasi I Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus
Lampiran 5 Hasil Replikasi II Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus
Lampiran 6 Hasil Replikasi III Uji Dilusi Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus