akreditasi kemenristekdikti no....
TRANSCRIPT
ISSN : 0215-0824 e-ISSN : 2527-4414
Akreditasi KEMENRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018
Volume 30, Nomor 2, Desember 2019
Bul. Littro Vol. 30 No. 2 hlm. 59-115 Bogor,
Desember 2019
ISSN 0215-0824
e-ISSN : 2527-4414
ISSN : 0215-0824 e-ISSN : 2527-4414
Akreditasi KEMENRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018
Volume 30, Nomor 2, Desember 2019
Penanggung Jawab
Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dewan Redaksi
Ketua merangkap Anggota Dr. Otih Rostiana, M.Sc (Pemuliaan dan Genetika
Tanaman)
Anggota
Prof. Dr. Supriadi (Fitopatologi)
Dr. Ir. Ireng Darwati (Fisiologi)
Dr. Ir. Dono Wahyuno (Fitopatologi)
Ir. Ekwasita Rini Pribadi (Sosial Ekonomi)
Dr. Siswanto (Entomologi)
Dr. Gusmaini, M.Si (Fisiologi)
Redaksi Pelaksana
Dra. Nur Maslahah, M.Si.
Hera Nurhayati, SP.
Eko Hamidi
Efiana, S.Mn
Tini Nurcahaya, S.Kom (IT Support)
Alamat
Jalan Tentara Pelajar No. 3 Cimanggu, Bogor 16111
Telp. (0251) 8321879 - Fax. (0251) 8327010
E-mail : [email protected]
Website : http://balittro.litbang.pertanian.go.id
URL : http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultro
Sumber Dana
DIPA Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
TA. 2019
ISSN : 0215-0824
e-ISSN : 2527-4414
BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
terbit dua nomor setiap volume dalam satu tahun (Mei dan Desember) memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian
tentang tanaman rempah dan obat yang belum pernah dipublikasikan
MITRA BESTARI
Prof. Dr. Ir. Agus Kardinan, M.Sc (Entomologi-
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Indonesia), (h-index : 6)
Prof. Dr. Ir. Deciyanto Soetopo (Entomology-
Indonesia Center for Estate Crops
Research and Development, Indonesia),
(h-index : 6)
Dr. Endah Retno Palupi (Biology Reproductive
Plant-Bogor Agricultural University,
Indonesian), (ID Scopus : 6506616270)
Dr. Ir. Eny Widajati, MS, (Seed Technology),
Bogor Agricultural University, Indonesia,
(h-index: 5),
Dr. Devi Rusmin (Seed Technologist-Indonesian
Spices and Medicinal Crops Research
Institute, Indonesia), (H-Index : 8)
Dr. Dodin Koswanudin (Epidemiologist-
Indonesian Center For Biotechnology and
Genetic Resources Research and
Development, Indonesia), (H-Index : 2)
Prof. Dr. Dwinardi Apriyanto (Ilmu Hama-
University Bengkulu, Indonesia), (Scopus
ID : 6507231035)
Prof. Dr. Ir. Dyah Iswantini (Biokimia-Institut
Pertanian Bogor, Indonesia), (ID Scopus :
6505944957)
Dr. Edi Santoso, SP., MSi (Ekofisiologi-
Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Faperta IPB, Indonesia)
Prof. Dr. Ir. Elna Karmawati (Entomologi-Center
for Estate Crops Research and
Development, Indonesia, (Scopus ID :
26531334600)
Dr. Hagus Tarno, Agr.Sc (Entomologi-Universitas
Brawijaya, Indonesia), (Scopus ID :
36163526900; h-index : 2)
Dr. I Ketut Ardana, (Agricultural Economy -
Indonesian Center for Estate Crops
Research and Development, Indonesian),
(h-index: 3)
Dr. Ir. I Made Samudera (Entomologi Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Biotek-
nologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian)
Prof. Dr. Ir. I Wayan Laba (Entomologi-Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Indonesia), (h-index : 6)
Dr. Ifa Manzila, M.Si. (Epidemiologist-Indonesian
Center for Biotechnology and Genetic
Resources Research and Development,
Indonesia), (h-index : 4)
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. (Silviculture-
Southeast Asian Regional Centre for
Tropical Biology), (ID Scopus :
6603222376)
Dr. Irmanida Batubara, M.Si. (Natural Product
Chemistry-Center of Tropical Biofarmaka
Bogor Agriculture Institute, Indonesia),
(Scopus Id : 26031903000)
Dr. Ir. Ladiyani Retno Widowati, MSc,
(Indonesian Center for Biotechnology and
Genetic Resources Research and
Development, Indonesia)
Dr. Lisnawita (Fitopatologi-Universitas Sumatera
Utara, Indonesia), (Scopus ID:
55780066800)
Dr. Ir. Muhamad Yunus, M.Si (Plant Breeding-
Indonesian Center for Biotechnology and
Genetic Resources Research and
Development, Indonesia)
Prof. Dr. Nanik Setyowati (Budidaya Tanaman-
Universitas Bengkulu, Indonesia), (ID
Scopus : 57189367022)
Dr. Neni Rostini (Pemulia Tanaman-Universitas
Padjadjaran Bandung, Indonesia), (h-
index : 5)
Dr. Ir. Nurliani Bermawie (Pemuliaan-Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Indonesia), (Scopus ID ; 55993158700; h-
index : 1)
Dr. Ratu Safitri, MS (Mikrobiologi-Universitas
Padjajaran Bandung, Indonesia), (ID
Scopus : 6506729561)
Prof. Dr. Ir. Risfaheri, M.Si (Teknologi
Pascapanen-Indonesian Center for
Agricultural Postharvest Research and
Development, Indonesia)
Dr. Rita Noveriza (Virologi - Indonesian Spices
and Medicinal Crops Research Institute,
Indonesian), (ID Scopus : 55734904600)
Prof. Dr. Ir. Rosihan Rosman, MS (Ekofisiologi-
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Indonesia)
Dr. Ir. Siswanto, M.Phil, (Entomologi-Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebun-
an, Indonesia, Indonesia)
Dr. Sri Yuliani (Teknologi pascapanen-Indonesian
Center for Agricultural Postharvest
Research and Development, Indonesia),
(Scopus ID : 9844293200 / h-Index : 6)
Prof. Ir. Totok Agung Dwi Haryanto, M.P, Ph.D
(Plant Breeding-University of Jenderal
Soedirman, Indonesia), (Scopus ID :
6506751630)
Ir. Usman Daras, M.Agr.Sc (Budidaya Tanaman-
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Indonesia), (Scopus ID :
56429655600; h-index : 2)
Dr. Yudiwanti (Pemulia Tanaman-Institut
Pertanian Bogor, Indonesia), (h-index : 2)
Dr. Yulin Lestari (Kimia-Institut Pertanian Bogor,
Indonesia), (ID Scopus : 35107494200)
Dr. Yuyu Suryasari (Biologi Molekuler-Pusat
Penelitian dan Pengembangan Biologi-
LIPI, Indonesia), (Scopus ID :
6503885123)
Dr. Ir. Widodo, M.S (Mikology - Bogor
Agricultural University, Indonesian), (ID
Scopus : 56502046800)
ISSN : 0215-0824
e-ISSN : 2527-4414
Akreditasi KEMENRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018
Volume 30, Nomor 2, Desember 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Buletin Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat Volume 30, Nomor 2, untuk tahun 2019 dapat diselesaikan. Buletin ini berisi 5 artikel yang terdiri
dari berbagai bidang masalah dan disiplin ilmu pada Tanaman Rempah dan Obat. Artikel pertama Effect of
Citronella Nano Biopesticide Against Mosaic Virus and Its Vector on Patchouli. Artikel kedua adalah
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor Berdasarkan Marka Morfologi. Artikel ke
tiga menyajikan Pengaruh Tingkat Kemasakan dan Media Perkecambahan terhadap Viabilitas Benih
Cengkeh Zanzibar. Artikel keempat Efek Formula Minyak Atsiri dan Para Menthane Diol terhadap
Mortalitas dan Penghambatan Bertelur Wereng Cokelat. Artikel kelima adalah Formula Ekstrak Bonggol
Pisang Kepok Kuning (Musa acuminata x Musa balbisiana) sebagai Antiinflamasi
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua penulis yang sudah mengisi Buletin Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Bul. Littro) dan kepada semua pihak yang sudah membantu, sehingga Bul.
Littro dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Akhir kata semoga artikel dalam Bul. Littro ini bermanfaat,
khususnya bagi yang memerlukan.
Ketua Dewan Redaksi
Dr. Otih Rostiana, M.Sc
ISSN : 0215-0824
e-ISSN : 2527-4414
Akreditasi KEMENRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018
Volume 30, Nomor 2, Desember 2019
DAFTAR ISI
Effect of Citronella Nano Biopesticide Against Mosaic Virus and Its Vector on Patchouli
Rita Noveriza, Maya Mariana, Tri Lestari Mardiningsih, and Sri Yuliani
59-68
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor Berdasarkan Marka
Morfologi
Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana
69-80
Pengaruh Tingkat Kemasakan dan Media Perkecambahan terhadap Viabilitas Benih
Cengkeh Zanzibar
Rian Virvian Hidayat R. Pelealu, Eny Widajati, dan Faiza C. Suwarno
81-89
Efek Formula Minyak Atsiri dan Para Menthane Diol terhadap Mortalitas dan
Penghambatan Bertelur Wereng Cokelat
Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun
90-99
Formula Ekstrak Bonggol Pisang Kepok Kuning (Musa acuminata x Musa balbisiana)
sebagai Antiinflamasi
Desy Muliana Wenas, Lisana Sidqi Aliya, dan Wisma Merry Anjani
100-110
Indek Penulis 111-111
Indek Abstrak 112-115
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Agency for Agricultural Research and Development
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
Indonesian Center for Estate Crops Research and Development
Bogor, Indonesia
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 59 - 68
* Alamat Korespondensi : [email protected]
DOI : http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v30n2.2019.59-68
0215-0824/2527-4414 @ 2017 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)
Accreditation Number : KEMENRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 59
EFFECT OF CITRONELLA NANO BIOPESTICIDE AGAINST MOSAIC VIRUS
AND ITS VECTOR ON PATCHOULI
Pengaruh Nano Biopestisida Citronella terhadap Virus Mosaik dan Vektornya
pada Tanaman Nilam
Rita Noveriza1)
, Maya Mariana1)
, Tri Lestari Mardiningsih1)
, and Sri Yuliani2)
1) Indonesian Spices and Medicinal Crops Research Institute
Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111 Indonesia 2)
Indonesian Center for Agricultural Post Harvest Research and Development
Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16124 Indonesia
INFO ARTIKEL ABSTRACT/ABSTRAK
Article history: Diterima: 04 Maret 2019
Direvisi: 24 Oktober 2019
Disetujui: 03 Desember 2019
The mosaic disease declines production and oil quality of patchouli. Antiviral-based
citronella oil has been formulated using a spontaneous emulsification technique
(nanotechnology). The previous result of the greenhouse trial showed the formula at
1-1.5 % concentrations suppressed the development of virus of about 82.5 %. The
field-scale tests is necessary to be performed to validate the effectiveness of
citronella nano biopesticide (CNB) against the mosaic virus and its vector on
patchouli. The study was conducted in patchouli plantation at two locations
(Pandeglang, Banten and Manoko, West Java). The research was arranged in a
Randomized Completed Block Design (RCBD) with 6 treatments and 10
replications, each replication consisted of 50 plants. The treatments were formula of
CNB at the concentration of (1) 0.5 %, (2) 1 %, (3) 1.5 %, (4) 2 %, (5) insecticide
(deltamethrin 0.2 %), and (6) control. The results showed that CNB formula at 1 %
concentration with a monthly application effectively suppressed the development of
mosaic disease in patchouli plants, and at 2 % concentration to control rolled-leaf
aphid. The lowest intensity of mosaic disease (at 1 % concentration) was in Banten
(23.12 %) and in West Java (18.35 %), while in control ranged from 26.31-44.94 %
(Banten) and 19.60-23.12 % (West Java). Efficacy Index (EI) in Banten ranged from
12.12-48.55 % and in West Java was 6.38-20.63 %. The lowest intensity of aphid
attack was showed by insecticide and CNB at 2 % concentration. The EI of CNB
was 35.33 % (Banten) and 51.71 % (West Java) respectively.
Key words:
Pogostemon cablin; nano-technology; virucide
Kata kunci: Pogostemon cablin; nano
teknologi; virusida
Penyakit mosaik menyebabkan penurunan produksi dan kualitas minyak nilam.
Formula anti virus berbasis minyak serai wangi dengan menggunakan teknik
pengemulsi spontan (teknologi nano) yang diuji pada skala rumah kaca
menunjukkan formula biopestisida nano serai wangi pada konsentrasi 1-1,5 %
menekan perkembangan virus 82,5 %. Validasi formula skala lapangan diperlukan
untuk mendapatkan konsentrasi biopestisida nano sitronela (BNS) yang paling
sesuai untuk mengendalikan virus mosaik dan vektornya pada tanaman nilam.
Penelitian telah dilakukan di dua lokasi penanaman nilam (Pandeglang, Banten dan
Manoko, Jawa Barat). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 10 ulangan, 50 tanaman/plot. Perlakuan
yang diuji adalah formula BNS pada konsentrasi (1) 0,5 %, (2) 1 %, (3) 1,5 %, (4) 2
%, (5) insektisida sintetik (deltamethrin 0,2 %) dan (6) kontrol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa formula nano biopestisida dari minyak serai wangi pada
konsentrasi 1 % yang diaplikasikan setiap bulan efektif menekan perkembangan
penyakit mosaik pada tanaman nilam, sedangkan konsentrasi yang efektif untuk
pucuk daun menggulung akibat serangan kutu adalah 2 %. Intensitas penyakit
mosaik terendah (1 %) adalah di Banten (23,12 %) dan di Jawa Barat (18,35 %),
Effect of Citronella Nano Biopesticide Against Mosaic Virus ... (Rita Noveriza, Maya Mariana, Tri Lestari Mardiningsih and Sri Yuliani)
60
sedangkan pada kontrol berkisar antara 26,31-44,94 % (Banten) dan 19,60-
23,12 % (Jawa Barat). Tingkat efektivitas (TE) di Banten berkisar antara 12,12-
48,55 % dan di Jawa Barat berkisar antara 6,38-20,63 %. Intensitas serangan kutu
paling rendah ditunjukkan oleh perlakuan insektisida dan nano biopestisida minyak
serai wangi pada konsentrasi 2 %. Tingkat efektivitas nano biopestisida minyak
serai wangi adalah 35,33 % (Banten) dan 51,71 % (Jawa Barat).
INTRODUCTION
The mosaic disease of patchouli has been
developing very fast, and within three years period,
the disease had spread to the central producing
patchouli in Sumatera, Java, and Sulawesi due to
vegetatively-cutting multiplication system of
patchouli. In 2013, the existence of a viral
infection of patchouli plantation was reported in
Cicurug, Manoko, and Cijeruk, West Java, caused
by Potyvirus, Potexvirus, Cucumber Mosaic Virus
(CMV) and Fabavirus (Miftakhurohmah et al.
2013). In 2015, there was also a report on
Potyvirus and Fabavirus infection in Banten
(Mariana dan Noveriza 2015). In addition, the
mosaic disease has also been found in patchouli
cultivation in Southeast Sulawesi (Taufik et al.
2012; (Taufik et al. 2014). Therefore, the use of
virus-free seeds and early detection methods for
patchouli seeds are the main concerns.
Furthermore, the handling of mosaic disease-free
patchouli seeds and its vector is essential
(Noveriza 2016).
Biological control comprises of various
technologies, e.g. the use of botanical pesticide.
Many kinds of plant species and techniques have
been used in the production of botanical pesticides
(Tiilikkala et al. 2011) for plant protection.
Mariana dan Noveriza (2013) reported that
citronella oil at 1.2 % concentration was able to
suppress the development of Potyvirus (89.78 %)
in the patchouli plant. This suggested that
citronella oil can reduce the population of
Potyvirus above 80 %, whereas clove oil at 1 %
concentration could suppress the mosaic virus up
to 45 % (Noveriza et al. 2016). Formulation of
citronella oil has been conducted by using the
method of spontaneous emulsification technique.
The result of the greenhouse scale study showed
the formula of citronella nano biopesticide at the
concentrations of 1-1.5 % repressed the
development of virus of about 82.5 %; while
citronella oil in the regular form was only 65-70 %
(Noveriza et al. 2017). Validation in the field is
important to obtain the effective and efficient
concentration to control mosaic disease in
patchouli. This research was aimed to obtain the
effective concentration of citronella nano
biopesticide to control the mosaic virus and its
vector on patchouli plant in the field.
MATERIALS AND METHODS
The field trials were located at two
patchouli plantations at (1) Babakan Kalanganyar
Village, Pandeglang, Banten; and (2) Manoko,
Lembang, West Java (Figure 1). The research were
arranged in a Randomized Completed Block
Design (RCBD) with 6 treatments and 10
replications, each replication consisted of 50
plants.
Preparation of patchouli plant material
The patchouli plant used was the
Sidikalang variety from Seeds Production
Management Unit of Indonesian Spices and
Medicinal Crops Research Institute (ISMCRI),
Bogor (Figure 2). Nano biopesticide formula with
a standard particle size of citronella oil 100-200
nm has been made in the Plant Protection
Laboratory of the ISMCRI using spontaneous
emulsification techniques. Patchouli seedlings
were propagated following the patchouli
propagation SOP (GAP on Patchouli, Minister of
Agriculture Regulation No 138-2014). One month-
old patchouli seedlings were then transplanted to
the field.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 59 - 68
61
Nano biopesticide formula application in the
field
The formula of citronella nano biopesticide
(volume 50-100 ml) was sprayed to the whole
patchouli plant every month during 6 months. The
treatments were four concentrations of nano
biopesticide of citronella, (0.5 %, 1 %, 1.5 %, and
2 %), synthetic insecticide (deltamethrin as active
ingredient) at 0.2 % concentration as positive
control and without pesticide as negative control.
Data collection
The incidence of mosaic disease was
recorded every month. The percentage of disease
incidence was calculated by counting the total
number of infected plants divided by the total
Figure 1. Patchouli planting in Babakan Kalanganyar Village, Pandeglang District, Pandeglang Regency, Banten
(a) and in Cikahuripan Village, Lembang District, West Bandung Regency, West Java (b) in mid-May
2017.
Gambar 1. Penanaman nilam di Desa Babakan Kalanganyar, Kecamatan Pandeglang, Kabupaten Pandeglang,
Banten (a) dan di Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (b)
pada pertengahan bulan Mei 2017.
Figure 2. Patchouli seeds of Sidikalang varieties that are 1 month old and after being sprayed with citronella nano
biopesticides (a), citronella nano biopesticide (b).
Gambar 2. Benih nilam varietas Sidikalang yang berumur 1 bulan dan setelah disemprot nano biopestisida serai
wangi (a), nano biopestisida citronella yang digunakan (b).
Effect of Citronella Nano Biopesticide Against Mosaic Virus ... (Rita Noveriza, Maya Mariana, Tri Lestari Mardiningsih and Sri Yuliani)
62
number of plants multiplied by 100 (Akram dan
Naimuddin 2016).
The intensity of the mosaic disease was
conducted every month by observing the mosaic
symptoms appeared in each plant which were then
categorized following the score as presented in
Table 1. Disease intensity was calculated using the
formula as follows (Strange 2008):
I = Disease intensity/Intensitas penyakit.
ni = the number of plants in each category/jumlah
tanaman pada setiap kategori serangan.
vi = the scale value of each category/nilai skala pada setiap kategori serangan.
Z = the scale value of the highest category/nilai skala
pada kategori serangan tertinggi.
N = the number of plants observed/jumlah tanaman yang diamati.
Incidence of aphids attacks was conducted
every month by observing the rolled leaf due to
aphids attack. The percentage of aphid attack was
calculated by counting the total number of
damaged plants divided by the total number of
plants multiplied by 100 (Asare-Bediako et al.
2014).
Damage intensity (%) was conducted
every month by observing each plant which
showed roll leaf symptom and then scored as
presented in Table 2. The percentage of damage
intensity was calculated following (Pustika et al.
2012) formula.
%100x
Nxz
vnIP
IP = damage intensity (%)/intensitas serangan. n = number of affected plants by category (score 0, 1, 2,
3, 4)/jumlah tanaman yang terserang (skor 0, 1, 2,
3, 4). v = scale value (score) of each category/skala nilai pada
setiap kategori.
z = scale value (score) of the highest attack
category/skala nilai pada serangan tertinggi. N = total number of plants observed (n0 + n1 +.. +
n6)/jumlah tanaman yang diamati.
Efficacy level of nano biopesticide formula
against mosaic disease and aphid A. gossypii was
calculated following (Harni dan Baharuddin 2014).
EI = The effectiveness of the nano biopesticide formula
(%)/Efektivitas formula biopestisida nano (%).
Ca = Percentage of crops damage in control plot after
nano biopesticide application/Persentase kerusakan tanaman di petak kontrol setelah aplikasi
biopestisida nano.
Ta = Percentage of crops damage in treated plots after
nano biopesticides application/Persentase kerusakan tanaman di petak yang dirawat setelah
aplikasi biopestisida nano.
Formula tested was considered effective if the value of the
level of efficacy (EI) was ≥ 30 %/Formula yang diuji dianggap efektif jika nilai tingkat kemanjuran (EI) ≥ 30%.
Loss of yield was observed by weighing
fresh and dry weight of patchouli plants harvested
at 6 months after planting.
Table 1. Scores and description mosaic symptoms on
patchouli.
Tabel 1. Skor dan deskripsi gejala mosaik pada nilam.
Scores Description of mosaic symptoms
0 Plants are healthy, no symptom/
Tanaman sehat, tidak ada gejala.
1 Mild, striped symptoms on some parts of
the leaves and chlorosis/Gejala ringan,
belang pada beberapa bagian daun dan
klorosis.
2 Medium, symptomatic plants 15-25 %/
Sedang, tanaman simptomatik 15-25 %.
3 Heavy, symptomatic plants > 50 % and
plant malformations/Berat, tanaman
bergejala >50 % dan malformasi
tanaman.
Source : (Asare-Bediako et al. 2014) modified.
Sumber: (Asare-Bediako et al. 2014) dimodifikasi.
Table 2. Category and criteria for aphids attack.
Tabel 2. Kategori dan kriteria serangan kutu daun.
Category Criteria
0
1
2
3
4
X = 0
0 ≤ X ≤ 25
25 ≤ X ≤ 50
50 ≤ X ≤ 75
75 ≤ X ≤ 100
No damage/Tidak ada
kerusakan.
Light damage/Kerusak-
an ringan.
Moderate damage/
Kerusakan sedang.
Heavy damage/
Kerusakan parah.
Very heavy damage/
Kerusakan yang sangat
berat.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 59 - 68
63
RESULTS AND DISCUSSION
Mosaic disease and vector incidence
At both study sites, the lowest average
percentage of mosaic disease incidence was at 1 %
concentration (Figure 3). Therefore, 1 %
concentration was the most effective concentration
to suppress the development of mosaic disease in
the field. The results of Potyvirus detection with
the serology method showed that viral
concentration in the patchouli leaf sample from
Pandeglang (Banten) was higher than from
Manoko (West Java) (data were not shown). The
Potyvirus has been detected at high concentration
within the plant tissue since June 2017.
The average rolled leaf percentage due to
aphid attack on both study sites indicated that the
lowest one, other than insecticide, was shown at
2% concentration (Figure 4). The aphid attack was
higher in West Java than Banten, the opposite to
mosaic virus incidence.
DISEASE INTENSITY AFTER TREATMENT
In Pandeglang (Banten), the lowest
intensity of mosaic disease was indicated at 1 %
concentration with the efficacy level ranged from
12.12 to 48.55 % (Figure 5). However in Manoko
(West Java), there was no significant difference
between the treatment of 1 % concentration and
control, although it was significantly different from
other treatments. The efficacy level ranged from
6.38-20.63 % (Figure 6).
Harni dan Baharuddin (2014) stated that
the efficacy levels of biopesticides above 30 %
have been affirmed effective. Therefore, the
citronella nano biopesticide was effective for
controlling mosaic disease in patchouli plants
after 5 times applications (at 1 % concentration),
especially in the areas with high disease incidence.
Essential oils of some plants were antiviral, with
Figure 3. The disease incidence of mosaic disease in
the two study sites from May until
October 2017. Note : 1 = nano biopes-
ticide at 0.5 % concentration; 2 = 1 %;
3 = 1.5 %; 4 = 2 %; 5 = insecticide (Delta-
methrin) 0.2 %; 6 = without treatment
(control).
Gambar 3. Kejadian penyakit mosaik di dua lokasi
penelitian dari Mei hingga Oktober 2017.
Keterangan : 1 = konsentrasi nano
biopestisida 0,5 %; 2 = 1 %; 3 = 1,5 %;
4 = 2 %; 5 = insektisida (Deltamethrin) 0,2
%; 6 = tanpa perlakuan (kontrol).
Figure 4. Percentage of rolled leaf due to aphid
attack at two study sites from May until
October 2017. Note : 1 = nano biopes-
ticide at 0.5 % concentration; 2 = 1 %; 3 =
1.5 %; 4 = 2 %; 5 = insecticide (Delta-
methrin) 0.2 %; 6 = without treatment
(control).
Gambar 4. Persentase daun menggulung akibat
serangan kutu di dua lokasi penelitian dari
Mei hingga Oktober 2017. Keterangan : 1
= konsentrasi nano biopestisida 0,5 %; 2
= 1 %; 3 = 1,5 %; 4 = 2 %; 5 = insek-
tisida (Deltamethrin) 0,2 %; 6 = tanpa
perlakuan (kontrol).
Effect of Citronella Nano Biopesticide Against Mosaic Virus ... (Rita Noveriza, Maya Mariana, Tri Lestari Mardiningsih and Sri Yuliani)
64
direct mechanisms by inactivating the virus
(Meneses et al. 2009). It also induced plant
resistance to viruses as well as enhancing plant
growth (Wang dan Fan 2014); Venkatesan et al.
2012).
INTENSITY OF APHID ATTACK AFTER
TREATMENT
In Pandeglang (Banten), the lowest
intensity of the leaf roller attack (aphid) was
indicated by 2 % concentration of nano
biopesticide and insecticide treatments (Figure 7)
with efficacy level of 35.33 %. The similar result
also occurred in Manoko (West Java) (Figure 8)
with the efficacy level 51.71 %. Based on the
statistical analysis, Deltametrin treatment was
significantly different to control at 1.5 %, and 2 %
concentrations. Gibson et al. (1982) revealed
deltamethrin could reduce the transmission of
persistent, semi-persistent and non-persistent
viruses by Myzus persicae (aphid) in greenhouses
and in the field.
Figure 5. Percentage of mosaic disease intensity in Pandeglang-Banten from May-October 2017. Note : 1 = nano
biopesticide at 0.5 % concentration; 2 = 1 %; 3 = 1.5 %; 4 = 2 %; 5 = insecticide (Deltamethrin) 0.2 %;
6 = without treatment (control).
Gambar 5. Intensitas persentase penyakit mosaik di Pandeglang-Banten dari Mei-Oktober 2017. Keterangan : 1 =
konsentrasi nano biopestisida 0,5 %; 2 = 1 %; 3 = 1,5 %; 4 = 2 %; 5 = insektisida (Deltamethrin) 0,2
%; 6 = tanpa perlakuan (kontrol).
Figure 6. Percentage of mosaic disease intensity in Manoko-West Java from May-October 2017. Note : 1 = nano
biopesticide at 0.5 % concentration; 2 = 1 %; 3 = 1.5 %; 4 = 2 %; 5 = insecticide (Deltamethrin) 0.2 %;
6 = without treatment (control).
Gambar 6. Intensitas persentase penyakit mosaik di Manoko-Jawa Barat dari Mei-Oktober 2017. Keterangan : 1 =
konsentrasi nano biopestisida 0,5 %; 2 = 1 %; 3 = 1,5 %; 4 = 2 %; 5 = insektisida (Deltamethrin) 0,2
%; 6 = tanpa perlakuan (kontrol).
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 59 - 68
65
PLANT PRODUCTION
In Manoko, the highest dry weight of plant
was obtain at 1 % concentration application of
citronella nano biopesticides (294.91 g/plant), and
higher than 1.5 % concentration (272.62 g/plant),
but there were no siginicantly different. However,
the percentage of dead plant was found lower at 1
% treatment than at 1.5 % (Table 3). The
application of 1 % citronella nano biopesticide on
patchouli plants can avoid yield losses of patchouli
22.73-43.27 %, harvested at 6 months after
planting.
In Pandeglang, the highest dry weight of
plant was found at insecticide treatment (49.33
g/plant). The low yield in Pandeglang was due to
the high incidence and intensity of mosaic disease,
compounded by the infection of budok disease and
bacterial wilt. In addition, the planting season in
Pandeglang was also started at the beginning of the
dry season, due to the prolonged dry season.
Patchouli was very sensitive to drought, as
indicated by the high percentage of plant deaths in
control treatment (86.8 %). Nevertheless, the data
of plant production were still be able to collect in
the first harvest (6 months after planting).
Figure 7. Percentage intensity of leaf roller attack (aphid) in Pandeglang-Banten from May-October 2017. Note : 1
= nano biopes-ticide at 0.5 % concentration; 2 = 1 %; 3 = 1.5 %; 4 = 2 %; 5 = insecticide (Deltamethrin)
0.2 %; 6 = without treatment (control).
Gambar 7. Persentase intensitas serangan rol daun (kutu) di Pandeglang-Banten dari Mei-Oktober 2017.
Keterangan : 1 = konsen-trasi nano biopestisida 0,5 %; 2 = 1 %; 3 = 1,5 %; 4 = 2 %; 5 = insektisida
(Delta-methrin) 0,2 %; 6 = tanpa perlakuan (kontrol).
Figure 8. Intensity of leaf roller attack (aphid) in Manoko-West Java from May-October 2017. Note : 1 = nano
biopesticide at 0.5 % concentration; 2 = 1 %; 3 = 1.5 %; 4 = 2 %; 5 = insecticide (Deltamethrin) 0.2 %;
6 = without treatment (control).
Gambar 8. Persentase intensitas serangan peng-gulung daun (kutudaun) di Manoko-Jawa Barat dari Mei-Oktober
2017. Keterang-an: 1 = konsentrasi nano biopestisida 0,5 %; 2 = 1 %; 3 = 1,5 %; 4 = 2 %;
5 = insektisida (Deltamethrin) 0,2 %; 6 = tanpa perlakuan (kontrol).
Effect of Citronella Nano Biopesticide Against Mosaic Virus ... (Rita Noveriza, Maya Mariana, Tri Lestari Mardiningsih and Sri Yuliani)
66
The 1 % concentration of citronella nano
biopesticide was the most effective concentration
to suppress the intensity of mosaic disease attack
on patchouli. The result was similar to the green
house study on Chenopodium amaranticolor,
where 1-1.5 % concetration could inhibit the
Potyvirus population in the tested plants (Noveriza
et al. 2016; 2017). Meneses et al. (2009) stated that
the essential oil of Lippia alba, L. origanoides,
Oreganum vulgare and Artemisia vulgaris were
also efective as antiviral. However, the mechanism
was merely different, e.g. to kill the virus directly
and inactivate the virus. Furthermore, fraction and
subfraction of essential oils from Cymbopogon
nardus were reported to be more effective in
protecting cells against the entry of virus particles
into inoculated cells than other phases in the viral
replication (Aini et al. 2006). Therefore, protecting
patchouli plants from viral infections is better than
controlling infected plants. Thus, the plant
protection using nano biopesticide can be done in
the nursery.
The rolled leaf shoot caused by aphid
attack could be suppressed with the application of
citronella nano biopesticide at 2 % concentration.
Geraniol and citronella caused a reduction in some
biochemical parameters, such as protein and sugars
(A Guedes et al. 2018). Moreover, citronellal
compounds were known to act as an antifeedant
and repellent insecticides, as well as terpene
compounds, which was suspected to influence the
proliferation of insects (Usmiati et al. 2005; Koul
et al. 2008; Zaridah et al. 2003; Hierro et al.
2004).
The results of this study indicated that
there was no correlation between the high damage
patchouli plants by aphids attack with the high
intensity of mosaic disease (Figure 2), because the
aphids transmitted the virus in a non-persistent
manner. Alegbejo dan Abo (2002) stated there was
a positive correlation between the number of
winged aphids captured in the field with the
occurrence of Pepper veinal mottle virus (PVMV).
However, in this study, no winged aphis was
observed, although it was estimated that the aphids
population in one rolled shoot leaf was 176.7. The
life cycle of Aphis gossypii ranged from 9.5-21.5
days with the number of offspring borned by one
imago ranging from 12-46 aphids (Mardiningsih
dan Soetopo 1999).
The main concern in the spread and
transmission of the mosaic virus was plant material
that was not virus free and the source of virus
inoculums in the field. Thus, the application of
Table 3. The percentage of dead plants and yield of patchouli at the first harvest (6 months after planting) in two
locations.
Tabel 3. Persentase tanaman yang mati dan produksi terna tanaman nilam pada panen pertama (6 bulan setelah
tanam) di dua lokasi.
Treatment
Manoko-West Java Pandeglang-Banten
Fresh
weight
(kg/plot)*
Dry
weight
(kg/plot)*
Dead
plants
(%)
Dry weight
(g/plant)
Fresh
weight
(kg/plot)*
Dry
weight
(kg/plot)*
Dead
plants
(%)
Dry
weight
(g/plant)
1 133.46 66.16 21.8 169.21 bc 29.10 8.30 52.2 34.73
2 270.36 129.17 12.4 294.91 a 16.30 4.80 67.2 29.27
3 208.92 106.05 22.2 272.62 a 22.90 5.10 59.0 24.88
4 137.12 61.44 17.0 148.05 c 30.80 8.60 43.4 30.39
5 189.02 73.28 13.6 169.63 bc 49.10 14.80 40.0 49.33
6 288.48 99.81 15.0 234.85 ab 6.30 1.60 86.8 24.24
CV 34.41
Note : The number followed by the same letter in the same column were not significantly different at LSD 5 %. 1 = nano biopesticide at 0.5 % concentration; 2 = 1 %; 3 = 1.5 %; 4 = 2 %; 5 = insecticide (Deltamethrin) 0.2 %;
6 = without treatment (control).
* plot size was 120 m2.
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD 5 %. 1 = konsentrasi nano biopestisida 0,5 %; 2 = 1 %; 3 = 1,5 %; 4 = 2 %; 5 = insektisida (Deltamethrin) 0,2 %;
6 = tanpa perlakuan (kontrol).
* ukuran plot 120 m2
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 59 - 68
67
insecticides and the eradication of infected plants
were not enough to reduce the virus spread
(Fajinmi 2013). Therefore, it is necessary to
provide active ingredients which possess antiviral
efficacy, such as citronella nano biopesticides.
The incidence of the mosaic disease was
higher in Pandeglang (155 m asl) than in Manoko
(1200 m asl). Dahal (1992) reported that the
epidemic viral infections usually occurred in the
lowlands (around 250 m asl) and decreased at the
higher altitudes (> 1500 m asl). Fajinmi (2011)
also revealed that ecological characteristics, plant
vegetation (the number of secondary host plants)
and the warm humid climate influenced the
incidence and severity of viral infections
(Potyvirus).
CONCLUSION
Nano biopesticide formula from citronella
oil at 1 % concentration which were applied every
month, effectively suppressed the development of
mosaic disease in patchouli plants. Further, at 2%
concentration, the formula found to be effective to
control aphids attack. The efficacy index (EI) of
the formula was 12.12-48.55 % in Pandeglang and
6.38-20.63 % in Manoko.
ACKNOWLEDGMENT
The authors would like to thank Mr.
Sumarno (Agricultural Extension Officer in
Pandeglang), Siti Nuryanih, Zulhisnain,
Sutrasman, Siti Riffiah, Edi Armadi and Endang
Sugandi (ISMCRI) for their assistant in the field.
The research was funded by the SMARTD project
of IAARD 2017. A part of this paper has been
presented at the International Conference of
Essential Oil (ICEO) in Malang-Indonesia on
October 11-12, 2017.
REFERENCES
A Guedes, C., Wanderley-Teixeira, V., Dos Santos
Cruz, G., De Andrade Dutra, K., Jose
Cavalcanti Lapa Neto, C., AC Teixeira, A. &
V De Oliveira, J. (2018) Effect of Geraniol
and Citronellal Compounds on Biochemical
and Reproductive Parameters of Spodoptera
frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae). Journal
of Crop Protection. 7 (3), 293-302.
Aini, M.N.N., Said, M.I., Nazlina, I., Hanina, M.N.
& Ahmad, I.B. (2006) Screening for Antiviral
Activity of Sweet Lemongrass (Cymbopogon
nardus (L.) Rendle) Fraction. Journal of
Biological Sciences. 6 (3), Asian Network for
Scientific Information, 507-510.
Akram & Naimuddin (2016) Management of
Mungbean Yellow Mosaic Disease and Effect
on Grain Yield. Indian Journal of Plant
Protection. 44 (1), 127-131.
Alegbejo, M.D. & Abo, M.E. (2002) Ecology,
Epidemiology and Control of Pepper Veinal
Mottle Virus (PVMV), Genus Potyvirus in
West Africa. Journal of Sustainable
Agriculture. 20 (2), 5-16.
doi:10.1300/J064v20n02_03.
Asare-Bediako, E., Addo-Quaye, A. & Bi-Kusi, A.
(2014) Comparative Efficacy of
Phytopesticides in the Management of
Podagrica spp and Mosaic Disease on Okra
(Abelmoschus esculentus L.). American
Journal of Experimental Agriculture. 4 (8),
879-889.
a Potyvirus-like Disease of Zucchini squash in
Nepal. Tropical Pest Management. 38 (2),
144-151. doi:10.1080/09670879209371672.
Fajinmi, A.A. (2011) Agro-ecological Incidence
and Severity of Pepper Veinal Mottle Virus
(PVMV), Genus Potyvirus Family
Potyviridae, on Cultivated Pepper (Capsicum
annum L.) in Nigeria. Archives of
Phytopathology and Plant Protection. 44 (4),
307-319. doi:10.1080/03235400903145335.
Fajinmi, A.A. (2013) Pepper Veinal Mottle Virus,
a Potyvirus of Pepper Under Tropical
Conditions. International Journal of
Vegetable Science. 19 (2), 150-156.
doi:10.1080/19315260.2012.687439.
Gibson, R.W., Rice, A.D. & Sawicki, R.M. (1982)
Effects of the Pyrethroid Deltamethrin on the
Acquisition and Inoculation of Viruses by
Myzus persicae. Annals of Applied Biology.
100 (1), 49-54. doi:10.1111/j.1744-
7348.1982.tb07190.x.
Harni, R. & Baharuddin (2014) Kefektifan Minyak
Cengkeh, Seraiwangi dan Ekstrak Bawang
Putih terhadap Penyakit Vascular Streak
Dieback (Ceratobasidium theobromae) pada
Kakao. Jurnal Tanaman Industri dan
Penyegar. 1 (3), 167-174.
Effect of Citronella Nano Biopesticide Against Mosaic Virus ... (Rita Noveriza, Maya Mariana, Tri Lestari Mardiningsih and Sri Yuliani)
68
Hierro, I., Valero, A., Perez, P., Gonzalez, P.,
Cabo, M.M., Montilla, M.P. & Navarro, M.C.
(2004) Action of Different Monoterpenic
Compounds Against Anisakis Simplex SIL,
Larvae. Phytomedicine. 11 (1), 77-82.
Koul, O., Walia, S. & Dhaliwal, G.S. (2008)
Essential Oils as Green Pesticides: Potential
and Constraints. Biopesticides International. 4
(1), 63-84.
Mardiningsih, T.L. & Soetopo, D. (1999) Biologi
Aphis gossypii pada Tanaman Nilam dan
Preperensinya pada beberapa Tanaman
Rempah dan Obat. In: Prosiding Seminar
Biologi Menuju Milenium III. Yogyakarta, 20
November 1999, pp. 29-38.
Mariana, M. & Noveriza, R. (2015) Deteksi Virus
pada Pertanaman Nilam di Pandeglang,
Banten. Warta Balittro. 32 (64), 5-6.
Mariana, M. & Noveriza, R. (2013) Potensi
Minyak Atsiri untuk Mengendalikan
Potyvirus pada Tanaman Nilam. Jurnal
Fitopatologi Indonesia. 9 (1), 53-58.
doi:10.14692/jfi.9.2.53.
Meneses, R., Ocazionez, R.E., Martinez, J.R. &
Stashenko, E.E. (2009) Inhibitory Effect of
Essential Oils Obtained from Plants Grown in
Colombia on Yellow Fever Virus Replication
In Vitro. Annals of Clinical Microbiology and
Antimicrobials. 8 (8), 1-8. doi:10.1186/1476-
0711-8-8.
Miftakhurohmah, Suastika, G. & Damayanti, T.A.
(2013) Deteksi Secara Serologi dan Molekuler
Beberapa Jenis Virus yang Berasosiasi dengan
Penyakit Mosaik Tanaman Nilam
(Pogostemon cablin Benth). Jurnal Penelitian
Tanaman Industri. 19 (3), 130-138.
Noveriza, R. (2016) Current Status of Mosaic
Disease on Patchouli and Its Control.
Perspektif. 15 (2), 87-95.
doi:10.21082/psp.v15n2.2016.87-95.
Noveriza, R., Mardiningsih, T.L., Miftakhurohmah
& Mariana, M. (2016) Antiviral Effect of
Clove Oil Combined with Citronella Oil to
Control Mosaic Disease and its Vector on
Patchouli Plant. In: Djiwanti,S.R. et al. {eds.).
In: lnnovation on Biotic ond Abiotic Stress
Management to Maintain Productivity ol
Spice Crops in lndonesia. IAARD Press, pp.
91-96.
Noveriza, R., Mariana, M. & Yuliani, S. (2017)
Keefektifan Formula Nanoemulsi Minyak
Serai Wangi Terhadap Potyvirus Penyebab
Penyakit Mosaik pada Tanaman Nilam.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. 28 (1), 47-56.
doi:10.21082/bullittro.v28n1.2017.47-56.
Pustika, A., Budiarty, S., Bekti, U.B., Anshori, A.
& Srihartanto, E. (2012) Populasi dan
Intensitas Serangan Hama pada beberapa
Varietas Kedelai di Lahan Kering Gunung
Kidul. In: Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Aneka kacang dan Umbi. pp. 265-
271.
Strange, A.W. (2008) Intoduction to Plant
Pathology. New York (US): John Wiley and
Sons Ltd.
Taufik, M., Hasan, A., Khaeruni, A., Gusnawaty,
H.S. & Mamma, S. (2014) Deteksi Potyvirus
pada Nilam (Pogostemon cablin (Blanco)
Benth) dengan Teknik ELISA di Sulawesi
Tenggara. Jurnal Agroteknos. 4 (1), 53-57.
Taufik, M., Hasan, A. & Noveriza, R. (2012)
Informasi Baru: Keberadaan Penyakit Virus
pada Tanaman Nilam di Sulawesi Tenggara.
In: Seminar Nasional PFI Komda Sultra dan
Jurusan Agroteknologi Unhalu, 22-23 Mei
2012 di Hotel Attaya Kendari. pp. 1-4.
Tiilikkala, K., Lindqvist, I., Hagner, M., Setala, H.
& Perdikis, D. (2011) Use of Botanical
Pesticides in Modern Plant Protection. In:
Pesticides in the Modern World. pp. 260-272.
Usmiati, S., Nurdjannah, N. & Yuliani, S. (2005)
Limbah Penyulingan Sereh Wangi dan Nilam
sebagai Insektisida Pengusir Lalat Rumah
(Musca domestica). Journal of Agroindustrial
Technology. 15 (1), 10-16.
Venkatesan, S., Radjacommare, R., Nakkeeran, S.
& Chandrasekaran, A. (2012) Effect of
Biocontrol Agent, Plant Extracts and Safe
Chemical in Suppression of Mungbean
Yellow Mosaic Virus (MYMV) in Black
Gram (Vigna mungo). Archives of
Phytopathology and Plant Protection. 43 (1),
59-72. doi:10.1080/03235400701652508.
Wang, C. & Fan, Y. (2014) Eugenol Enhance the
Resistance of Tomato Against Tomato Yellow
Leaf Curl Virus. Journal of the Science of
Food and Agriculture. 94 (4), 677-682.
Zaridah, M.Z., Nor Azah, M.A., Abu Said, A. &
Mohd Faridz, Z.P. (2003) Larvicidal
Properties of Citronellal and Cymbopogon
nardus Essential Oils from Two Different
Localities. Trop Biomed. 20 (2), 169-174.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 69 - 80
* Alamat Korespondensi : [email protected]
DOI : http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v30n2.2019.69-80
0215-0824/2527-4414 @ 2017 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)
Accreditation Number : KEMENRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 69
HUBUNGAN KEKERABATAN PALA POPULASI TIDORE, TERNATE, DAN
BOGOR BERDASARKAN MARKA MORFOLOGI
The Relationship of Nutmeg Populations from Tidore, Ternate, and Bogor Based on
Morphological Marker
Tias Arlianti1,3)
, Desta Wirnas2)
, Sobir2)
, dan Otih Rostiana3)
1) Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor 2)
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Jalan Meranti, Kampus IPB, Darmaga Bogor 16680 3)
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor 1611
INFO ARTIKEL ABSTRAK/ABSTRACT
Article history:
Diterima: 8 August 2019
Direvisi: 18 October 2019
Disetujui: 23 December 2019
Pala Banda (Myristica fragrans) adalah salah satu komoditas rempah utama
Indonesia. Pusat asal dan keragaman genetik pala ada di Kepulauan Maluku,
Maluku Utara, Siau, serta Papua, sedangkan Bogor termasuk salah satu wilayah
pengembangan terluas di Jawa Barat. Karakter keragaman pala Bogor belum banyak
dipelajari, padahal informasi ini penting untuk pembentukan varietas lokal dan
pemenuhan kebutuhan benih. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaman dan
hubungan kekerabatan populasi pala Tidore, Ternate, dan Bogor. Percobaan
dilakukan di delapan lokasi, yaitu Tidore (Gurabunga dan Jaya), Ternate
(Marikurubu) dan Bogor (Cigombong, Ciawi, Leuwisadeng, Sukajadi, dan
Tamansari) sejak November 2017 sampai dengan Desember 2018. Bahan penelitian
yang digunakan adalah 46 aksesi pala berumur 8-30 tahun yang pertumbuhannya
baik dan jelas asal-usulnya. Pengamatan menggunakan metode observasi langsung
pada karakter habitus, daun, buah, biji, fuli, dan bunga berdasarkan deskriptor
tanaman buah tropis IPGRI. Kemiripan antar aksesi dihitung menggunakan jarak
Gower. Hasil penelitian menunjukkan keragaman karakter morfologi terlihat pada
bentuk buah, bentuk pangkal dan ujung buah, warna buah dan bentuk pohon. Tebal
fuli merupakan karakter dengan nilai keragaman terbesar (50,38 %). Keragaman
morfologi intra populasi umumnya rendah kecuali pada karakter buah dan berat fuli.
Kekerabatan populasi pala Bogor lebih dekat dengan Ternate dibandingkan Tidore.
Tingkat kemiripan populasi pala Bogor dengan populasi Ternate mencapai 60 %,
sementara kemiripan dengan pala Tidore 46 %. Hubungan kekerabatan antara lima
populasi pala Bogor sangat dekat. Populasi Leuwisadeng, Tamansari dan Sukajadi
adalah populasi pala Bogor yang memiliki hubungan kekerabatan dan tingkat
kemiripan tertinggi, rata-rata sebesar 80 %.
Kata kunci: Myristica fragrans; fenotipe;
kemiripan genetik;
keragaman
Keywords:
Myristica fragrans;
phenotype; genetic similarity; diversity
Banda Nutmeg (Myristica fragrans), is one of Indonesia's main spices commodities.
Maluku Island, North Maluku, Siau, and Papua are the center of origins and center
of nutmeg diversity; whereas, Bogor is the largest nutmeg cultivation area in West
Java. The diversity and relationship between Bogor nutmeg with Maluku nutmeg
have not been studied, even though it is crucial for local varieties selection and
seeds provision. The study aimed to determine the diversity and relationship of
nutmegs from Tidore, Ternate, and Bogor. The experiment was conducted in eight
locations: Tidore (Gurabunga and Jaya), Ternate (Marikurubu), and Bogor
(Cigombong, Ciawi, Leuwisadeng, Sukajadi, and Tamansari) from November
2017 - December 2018. Materials used were 46 nutmeg accessions of 8-30 year old
plants with good growth and known of their origin. The experiments were
performed using direct observation methods on habitus, leaf, fruit, seed, mace, and
flower followed IPGRI descriptor. The results showed that qualitative diversity was
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor ... (Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana)
70
observed in the fruit shape, shape of fruit-based and fruit-tip, fruit color, and tree
shape. Mace thickness was the most substantial diversity for the quantitative
character (50.38 %). The difference within intra-population in all aspects observed
was low, except for the fruit character and mace weight. The genetic relatedness of
the Bogor population was closer to Ternate (60 %) than Tidore (46 %). The genetic
relationship amongst five Bogor populations found to be very close. Further,
Leuwisadeng, Tamansari, and Sukajadi populations were found to have the highest
genetic relationship and similarity (80 %).
PENDAHULUAN
Pala merupakan salah satu komoditas
rempah utama Indonesia, selain lada, cengkeh, dan
kayumanis (Marzuki et al. 2008). Bagian tanaman
pala yang memiliki nilai ekonomi adalah biji,
buah, dan fuli yang digunakan dalam berbagai
industri minuman, makanan, farmasi, dan kosmetik
(Rahadian 2009). Ekspor pala Indonesia berupa
biji, fuli, dan produk turunan fuli menguasai pasar
dunia berturut-turut sebesar 36, 83, dan 54 %
(Trade Map 2018). Volume ekspor pala dari
Indonesia ke pasar Eropa meningkat dalam lima
tahun terakhir, yaitu dari 12.849 ton (2012)
menjadi 19.936 ton (2017) (Kementan 2017). Hal
ini perlu diantisipasi dengan penyediaan bahan
baku bermutu dan berkelanjutan untuk mencegah
penolakan ekspor pala Indonesia di pasar dunia.
Peningkatan kualitas biji dan fuli pala merupakan
target utama dalam budidaya tanaman pala (Arief
et al. 2015). Salah satu aspek yang dapat
menurunkan kualitas pala Indonesia adalah
campuran jenis/varietas, mengingat di Indonesia
terdapat berbagai jenis pala dengan mutu beragam.
Indonesia merupakan pusat asal (center of
origin) dan pusat keragaman genetik (center of
diversity) pala (Purseglove et al. 1981; Weiss
2002). Species pala yang telah banyak dibudidaya-
kan dan dimanfaatkan di Indonesia adalah
Myristica succedanea Warb., M. argentea Reinw,
dan M. fragrans Houtt (Heyne 1987). M. fragrans
atau lebih dikenal sebagai Pala Banda, paling
banyak dibudidayakan karena bernilai ekonomi
tinggi dengan kandungan minyak atsiri dan
myristisin lebih tinggi dibandingkan spesies lain.
Pala Banda telah menyebar luas ke berbagai
tempat, seperti Grenada, Penang Malaysia, Sri
Lanka, dan Kerala India. Di Indonesia, Pala Banda
telah dikembangkan secara komersial di Bengkulu,
Aceh, Lampung, Sumatera Barat, dan Pulau Jawa.
Kabupaten Bogor adalah salah satu sentra
budidaya pala di Jawa Barat. Berdasarkan data
statistik Kementan (2018), Kabupaten Bogor
merupakan kabupaten dengan areal pertanaman
dan penghasil pala terbesar di Jawa Barat, yaitu
seluas 1.696 hektar. Areal tanaman produktif
seluas 963 hektar dengan produksi 490 ton dan
rata-rata produktivitas sebesar 508,98 kg.ha-1
.
Pala Bogor memiliki bentuk daun obovat-
lanset, bentuk buah bulat atau bulat-oval, biji bulat
atau membulat, dan kandungan minyak atsiri biji
muda 13,83 % (Kementan 2019). Berdasarkan
hasil penelusuran di beberapa lokasi pengembang-
an pala di Kabupaten Bogor, diketahui bahwa pala
Bogor berkembang sejak era kolonial Belanda
dengan asal usul benih dari Indonesia Timur,
kemungkinan dari Maluku. Pala Banda asal Tidore,
Maluku Utara memiliki karakter antara lain bentuk
daun obovat, warna buah merah kecoklatan, bentuk
buah bulat dan warna fuli merah darah (Kementan
2009b). Sementara Pala Banda asal Ternate,
memiliki karakter daun obovat, bentuk buah bulat
(Kementan 2009a). Berdasarkan data tersebut, Pala
Bogor memiliki beberapa kemiripan sifat fenotip
dengan Pala Banda asal Maluku, tetapi juga
terdapat beberapa perbedaan. Hal ini kemungkinan
telah terjadi adaptasi terhadap lingkungan tumbuh
yang baru sehingga terbentuk ekotipe baru, yang
menghasilkan karakter morfologi yang berbeda
serta keragaman pada populasi Pala Bogor,
mengingat pala juga diperbanyak secara generatif
dengan biji. Namun, tingkat keragaman dan
kekerabatan antar populasi Pala Bogor belum
diketahui.
Sumberdaya genetik pala yang besar,
termasuk Pala Banda ditemukan terutama di
Kepulauan Maluku, Maluku Utara, Siau, serta
Papua (Arrijani 2005; Anandararaj et al. 2005;
Peter 2001). Pala Banda yang telah menyebar di
berbagai daerah diperkirakan berasal dari Maluku,
yang kemudian beradaptasi dengan kondisi
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 69 - 80
71
lingkungan setempat. Marzuki (2007) menyatakan
bahwa perbedaan ekotipe tumbuh mengakibatkan
terdapat sifat-sifat morfologi yang cenderung
berubah sesuai ekotipe. Pala Banda di daerah
budidaya seperti Sumatra, Aceh, dan Jawa
kemungkinan memiliki karakteristik khusus yang
berbeda dengan pala di Maluku. Keragaman pala
yang ada di luar Maluku belum banyak diteliti,
termasuk di wilayah Jawa Barat, diantaranya Pala
Bogor. Karakterisasi keragaman penting dilakukan
terutama untuk pembentukan varietas lokal dan
pemenuhan kebutuhan benih.
Di dalam penelitian ini, keragaman dan
kekerabatan populasi pala Bogor dianalisis dan
dibandingkan dengan pala dari daerah asalnya,
Maluku yaitu dengan pala Tidore, dan Ternate.
Deteksi keragaman dan hubungan kekerabatan
dapat dilakukan dengan menggunakan penanda
genetik, salah satunya adalah marka morfologi.
Karakterisasi sifat morfologi merupakan cara
determinasi yang paling mudah dan cepat untuk
menilai sifat agronomi dan klasifikasi taksonomi
tanaman. Pengamatan karakter morfologi harus
mengikuti metode yang valid dan sistematis
(Tjitrosoepomo 2001). Keragaman genetik pala
berdasarkan penanda morfologi pada satu wilayah
telah banyak diteliti (Risliawati 2007; Soeroso
2012; Bermawie et al. 2015; Robert et al. 2015).
Penelitian bertujuan mengetahui keragamaan dan
kekerabatan populasi pala Tidore, Ternate dan
Bogor. Informasi yang diperoleh dapat dimanfaat-
kan dalam program pengembangan pala.
BAHAN DAN METODE
Bahan tanaman
Penelitian dilakukan sejak November 2017
sampai dengan Desember 2018 di delapan lokasi
(Tabel 1) dan di Laboratorium Pemuliaan
Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat (Balittro). Bahan tanaman yang digunakan
adalah 46 aksesi pala yang dipilih berdasarkan
metode purposive random sampling dengan
kriteria kisaran umur 8-30 tahun, telah berbuah,
bebas penyakit dan benih diketahui jelas asal
usulnya.
Pengamatan karakter morfologi
Karakter morfologi yang digunakan
sebagai penciri tanaman mengacu pada Tropical
Fruits Descriptors (IPGRI 1980; Marzuki 2007;
Tjitrosoepomo 2001). Pengamatan dilakukan
menggunakan metode observasi langsung pada 41
parameter yang meliputi karakter habitus, daun,
buah, biji dan fuli. Data habitus diperoleh dari
masing-masing pohon; daun dari 10 sampel daun
yang telah terbuka sempurna dan dipilih secara
acak pada tiap pohon; buah, biji dan fuli dari 10
Tabel 1. Kode, lokasi asal, ketinggian tempat, jumlah tanaman dan kisaran umur aksesi pala.
Table 1. The code, origin, altitude, number of plant, and the plant age of nutmeg accessions.
Kode
Aksesi Kelurahan Kecamatan Kabupaten/Kota Provinsi
Ketinggian
tempat
(m dpl)
Jumlah
tanaman
Kisaran
umur
(tahun)
TG Gurabunga Tidore Tidore Kepulauan Maluku Utara 700 7 15-30
TJ Jaya Tidore Utara Tidore Kepulauan Maluku Utara 500 5 15-25
R Marikurubu Ternate Tengah Ternate Maluku Utara 215 8 15-25
BL Leuwisadeng Leuwisadeng Bogor Jawa Barat 470 7 15-30
BT Tamansari Tamansari Bogor Jawa Barat 576 4 8-15
BP Sukajadi Tamansari Bogor Jawa Barat 556 3 8-15
BC Ciawi Ciawi Bogor Jawa Barat 518 6 8-12 CG Cigombong Cigombong Bogor Jawa Barat 578 6 8-10
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor ... (Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana)
72
sampel buah pada masing-masing pohon yang
memiliki tingkat kematangan dan ukuran yang
seragam.
Analisis data
Data kuantitatif dianalisis dengan
menghitung nilai rataan, maksimum dan minimum,
simpangan baku dan koefisien keragaman (KK).
Analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif.
Keragaman karakter kualitatif populasi dihitung
berdasarkan presentasi jumlah aksesi dalam
populasi yang memenuhi karakter yang diamati
(Suratman dan Setyawan 2000). Pengolahan data
kuantitatif dan kualitatif dilakukan dengan
menggunakan software MINITAB 17. Tingkat
kekerabatan antar populasi dihitung menggunakan
analisis gerombol dengan program PBSTAT.
Kemiripan antar populasi dihitung menggunakan
jarak Gower dan penggerombolan dilakukan
dengan metode agglomerative UPGMA
(Unweighted Pair Group Method with Arithmetic
Mean). Karakteristik aksesi dalam suatu gerombol
memiliki tingkat kemiripan yang tinggi (Mattjik
dan Sumertajaya 2011). Semakin kecil jarak
Gower maka kemiripan antar aksesi semakin
tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman karakter kualitatif
Hasil pengamatan pada 21 karakter
kualitatif memperlihatkan seluruh populasi
memiliki kesamaan bentuk ujung daun
(meruncing), bentuk pangkal daun (runcing),
karakter tulang daun bagian atas (datar) serta vigor
tanaman (kekar). Keragaman karakter kualitatif
terlihat pada bentuk pohon, bentuk daun, bentuk
buah, bentuk ujung dan pangkal buah, serta warna
buah (Gambar 1).
Pengamatan karakter kualitatif pada
tingkat intra populasi memperlihatkan keragaman
pada populasi dan karakter tertentu. Populasi
Gurabunga (TG) dan Jaya (TJ) memiliki
keragaman karakter bentuk pangkal buah dan
bentuk ujung buah (Gambar 2). Keragaman warna
buah masak juga terlihat pada populasi Gurabunga
(TG), dimana terdapat warna buah kuning
keemasan dan coklat. Penelitian Soeroso (2012)
menyatakan bahwa aksesi pala dari Patani dan
Tidore memiliki variasi tinggi dalam karakter
bentuk buah, warna buah tua dan bentuk biji.
Gambar 1. Histogram karakter kuantitatif pada 46 aksesi pala populasi Tidore, Ternate, dan Bogor.
Figure 1. The histogram of quantitative characters of 46 nutmeg accesions from Tidore, Ternate, and Bogor
populations.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 69 - 80
73
Seluruh populasi memperlihatkan
keragaman pada karakter bentuk buah, kecuali
populasi Jaya (TJ) yang didominasi oleh bentuk
buah oblat dan populasi Marikurubu (R) dengan
bentuk buah oval. Populasi Leuwisadeng (BL),
Tamansari (BT) dan Ciawi (BC) memiliki bentuk
buah oval atau bulat, sama dengan karakteristik
varietas lokal Bogor (Kementan 2019). Keragaman
karakter yang terbentuk pada satu lokasi, meskipun
diperkirakan satu spesies sangat mungkin terjadi
karena sifat dioecious. Pala merupakan tanaman
dioecious (Flach 1966; Ackerly et al. 1990;
Sharma dan Armstrong 2013) dimana bunga jantan
dan betina terdapat pada pohon yang berbeda,
dengan sistem penyerbukan silang, meskipun ada
tanaman pala jantan pala jantan yang mampu
menghasilkan buah (Flach 1966).
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Keterangan/Note : TG = Gurabunga-Tidore BT = Tamansari-Bogor
BC = Ciawi-Bogor
BP = Sukajadi-Bogor
BC = Cigombong-Bogor
TJ = Jaya-Tidore
R = Marikurubu-Ternate
BL= Leuwisadeng-Bogor
Gambar 2. Keragaman karakter kualitatif pala populasi Tidore, Ternate dan Bogor : (a) bentuk pohon, (b) bentuk
daun, (c) bentuk pangkal buah, (d) bentuk ujung buah, (e) bentuk buah, dan (f) warna buah.
Figure 2. The diversity of qualitative characters in the nutmeg population from Tidore, Ternate, and Bogor : (a) tree
shape, (b) leaf shape, (c) fruit-base shape, (d) fruit-tip shape, (e) fruit shape, (f) fruit color.
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor ... (Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana)
74
Keragaman kuantitatif
Hasil analisis data memperlihatkan
koefisien keragaman (KK) dari 20 karakter
kuantitatif yang diamati berkisar antara 8,28 -
50,38 % (Tabel 2). Tingkat keragaman suatu
populasi dapat diduga dengan menggunakan nilai
KK. Menurut Suratman dan Setyawan (2000),
kategori tingkat keragaman berdasarkan nilai KK
terbagi empat yaitu rendah (0-25 %), sedang (21,1-
50 %), tinggi (50,1-75 %), dan sangat tinggi (75,1-
100 %). Berdasarkan kategori tersebut, tebal fuli
merupakan karakter dengan tingkat keragaman
tinggi (50,38 %). Panjang daun, lebar kanopi, tebal
daun dan lebar daun merupakan karakter dengan
tingkat keragaman sedang (Tabel 2).
Karakter produksi seperti panjang biji,
bobot biji, bobot buah, tebal daging buah dan
bobot fuli juga termasuk dalam kategori tingkat
sedang. Panjang ujung daun, panjang buah,
diameter buah, panjang tangkai buah termasuk
dalam kategori rendah (8,28-22,04), artinya
seluruh populasi menunjukkan nilai seragam pada
keempat karakter tersebut (Tabel 2). Keragaman
morfologi yang tinggi merupakan materi dasar
yang penting dalam kegiatan pemuliaan terutama
untuk penentuan pohon induk terpilih (Crowder
2010)
Tingkat keragaman karakter kuantitatif
intra populasi berdasarkan nilai KK pada setiap
populasi menunjukkan, keragaman tiap populasi
termasuk dalam kategori sedang atau rendah.
Dengan kata lain, aksesi dalam satu populasi
cenderung memiliki kisaran nilai karakter
kuantitatif yang sama. Karakter kuantitatif sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga tanaman
yang berada pada satu lingkungan, kemungkinan
akan memperlihatkan kisaran nilai kuantitatif yang
sama.
Keragaman intra populasi yang tinggi
terutama terdapat pada karakter tebal fuli, dengan
nilai KK tiap populasi berkisar 19,1-57,52
(Tabel 3). Populasi Leuwisadeng, Sukajadi dan
Ciawi memiliki keragaman bobot fuli yang tinggi.
Sementara populasi Jaya, Tamansari, Marikurubu
dan Cigombong termasuk dalam kategori sedang.
Populasi Gurabunga, Jaya dan Ciawi memiliki KK
dengan kisaran sedang dan tinggi pada karakter
produksi (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan
bahwa keragaman intra populasi pada empat lokasi
tersebut cukup tinggi.
Tabel 2. Nilai rataan, ragam dan koefisien keragaman (KK) aksesi pala populasi Tidore, Ternate, dan Bogor.
Table 2. The mean, variance, and coefficient of variation (CV) of the nutmeg populations from Tidore, Ternate, and
Bogor.
No Parameter pengamatan Rataan Ragam KK
1. Kanopi (m) 9,31±3,25 10,57 34,92
2. Lingkar batang (m) 1,13±0,38 0,15 33,79
3. Panjang daun (cm) 11,99±4,15 17,23 34,61
4. Lebar daun (cm) 4,83±2,01 4,05 41,66
5. Rasio panjang/lebar daun 2,80±1,02 1,05 36,54
6. Panjang ujung/daun (cm) 1,26±0,28 0,08 22,04
7. Panjang tangkai daun (cm) 1,32±0,38 0,14 28,90
8. Tebal daun (mm) 0,29±0,10 0,01 35,88
9. Panjang tangkai buah (cm) 1,62 ±0,35 0,12 21,35
10. Diameter buah (cm) 47,35±5,69 32,33 12,01
11. Panjang buah (cm) 53,4±5,62 31,55 10,52
12. Bobot buah/butir (g) 63,09±19,75 389,95 31,30
13. Tebal daging buah (cm) 9,14±3,29 10,85 36,06
14. Rasio panjang/diameter buah 1,13±0,09 0,01 8,28
15. Panjang biji (cm) 27,07±7,31 53,45 27,01
16. Diameter biji (cm) 22,73±4,77 22,76 20,99
17. Rasio panjang/diameter biji 1,20±0,22 0,05 18,55
18. Bobot biji/butir (g) 9,80±2,76 7,60 28,13
19. Berat fuli (g) 1,56±0,78 0,60 49,89
20. Tebal fuli (g) 0,77±0,39 0,15 50,38
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 69 - 80
75
Hubungan kekerabatan aksesi pala populasi
Tidore, Ternate dan Bogor
Hasil analisa pengelompokan berdasarkan
29 karakter kuantitatif dan kualitatif disajikan pada
Gambar 3. Delapan populasi yang diamati terbagi
menjadi dua kelompok pada koefisien
ketidakmiripan 0,55. Kelompok I terdiri atas
populasi Tidore, yaitu Gurabunga (TG) dan Jaya
(TJ). Kelompok II terdiri atas populasi Ternate (R)
dan Bogor (BL, BT, BC, BP dan CG).
Karakteristik pembeda kedua kelompok terutama
pada warna dan tekstur daun serta warna dan tektur
buah masak. Aksesi pada kelompok I memiliki
warna daun kecoklatan dengan tekstur kasar dan
warna buah masak coklat dengan tekstur berbulu.
Aksesi pada kelompok II memiliki warna daun
hijau dengan tektur permukaan daun sedang sam-
sedang sampai licin dan warna buah masak kuning
keemasan sampai kuning kehijauan (Tabel 4).
Tabel 3. Nilai rataan dan koefisien keragaman (KK) aksesi pala pada tiap populasi Tidore, Ternate, dan Bogor.
Table 3. The mean and coefficient of variation (CV) of nutmeg accessions within each population of Tidore, Ternate,
and Bogor.
Lokasi Bobot fuli (g) Tebal fuli (mm) Bobot biji (g) Rasio biji Tangkai buah (cm)
Rataan KK Rataan KK Rataan KK Rataan KK Rataan KK
Gurabunga 2,91± 0,56 19,10 1,45 ± 0,31 21,67 13,99± 3,24 23,18 1,41± 0,36 25,74 1,82± 0,07 3,94
Jaya 2,01± 0,53 26,39 1,02± 0,28 27,08 10,21± 0,88 8,57 1,29± 0,04 3,01 1,94± 0,57 29,37
Marikurubu 1,36± 0,32 23,49 0,76± 0,05 6,49 8,69± 1,24 14,25 0,96± 0,07 7,51 1,78± 0,08 4,43
Leuwisadeng 1,11± 0,48 42,82 0,66± 0,19 28,54 9,93± 2,00 20,43 1,16± 0,05 4,07 1,55± 0,22 14,04
Tamansari 1,44± 0,40 27,48 0,68± 0,11 16,51 10,39± 0,81 7,83 1,23± 0,06 4,97 1,60± 0,08 5,05
Sukajadi 1,05± 0,53 49,89 0,65± 0,15 23,75 7,39± 1,99 26,97 1,40± 0,29 20,7 1,77± 0,39 22,05
Ciawi 0,86± 0,49 57,52 0,36± 0,17 46,00 6,81± 1,78 26,18 1,16± 0,03 2,87 1,06± 0,23 22,00
Cigombong 1,42± 0,31 21,67 0,44± 0,12 27,54 9,73± 1,30 13,33 1,17± 0,22 18,4 1,51± 0,14 9,22
Keterangan/Note : TG = Gurabunga-Tidore BT = Tamansari-Bogor
BC = Ciawi-Bogor
BP = Sukajadi-Bogor
BC = Cigombong-Bogor
TJ = Jaya-Tidore
R = Marikurubu-Ternate
BL= Leuwisadeng-Bogor
Gambar 3. Dendrogram delapan populasi Pala Tidore, Ternate, dan Bogor berdasarkan 29 karakter morfologi.
Figure 3. The dendogram of the eight nutmeg populations from Tidore, Ternate, and Bogor based on the 29
morphological characters.
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor ... (Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana)
76
Santoso (2002) menyatakan bahwa
penentuan jumlah gerombol pada dasarnya bebas,
tetapi empat gerombol pada banyak kasus adalah
pilihan yang tepat. Kedelapan populasi pada
koefisien ketidakmiripan 0,25 terbagi menjadi 4
kelompok (Gambar 3). Kelompok I adalah
populasi Tidore (TG dan TJ). Kelompok II dan III
masing-masing hanya terdiri atas satu populasi,
yaitu Ternate (R) di kelompok II dan Cigombong
(CG) pada kelompok III. Kelompok IV terdiri atas
populasi Leuwisadeng, Tamansari, Sukajadi dan
Ciawi (BL, BT, BP, dan BC). Populasi Cigombong
(CG) membentuk kelompok sendiri diantara
populasi Bogor yang lain, terutama karena
perbedaan bentuk tangkai buah. Aksesi
Cigombong (CG) memiliki karakteristik buah
seperti buah anggur dengan 2-4 buah per tangkai
(Gambar 4).
Berdasarkan nilai koefisien kemiripan,
kelima populasi Pala Bogor memiliki nilai
kemiripan berkisar antara 0,33-0,573 dengan
populasi pala Tidore (TG dan TJ) (Tabel 5).
Tabel 4. Karakter morfologi aksesi pala kelompok I dan II.
Table 4. The morphological characters of nutmeg accessions of groups I and II.
Karakter Kelompok I
(populasi Tidore)
Kelompok II
(populasi Ternate dan Bogor)
Bentuk kanopi Piramid Piramid, oblong, bulat
Warna daun Hijau kecoklatan Hijau
Sudut cabang utama Intermediate Intermediate – menyebar
Tekstur permukaan daun kasar, berbulu Datar – licin
Warna buah Kuning kecoklatan – coklat Kuning kehijauan – kuning keemasan
Tekstur kulit buah Kasar berbulu Sedang
Warna fuli Merah darah Merah
Warna biji Coklat kehitaman Coklat
Panjang daun 14,4–18,7 cm 3,4–14 cm
Lebar daun 5,38–8,63 cm 0,77 6,17 cm
Tebal daun 0,35–0,46 mm 0,12–0,35 mm
Tebal fuli 0,58–1,65 mm 0,21–0,82 mm
Panjang tangkai daun 1,51–2,55 mm 0,46–1,49 mm
Gambar 4. Karakteristik buah aksesi pala populasi Cigombong, Bogor.
Figure 4. The fruit characteristic of nutmeg accession from Cigombong population, Bogor.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 69 - 80
77
Populasi Bogor yang memiliki tingkat kemiripan
tertinggi dengan populasi Tidore adalah
Leuwisadeng (BT) dan Jaya (TJ), dengan nilai
kemiripan mencapai 0,573 (Tabel 5) atau setara
dengan 60 %. Populasi Sukajadi (BP) dan
Gurabunga (TG) merupakan populasi dengan nilai
kemiripan terkecil, yaitu 0,329 yang menandakan
bahwa perbedaan antara kedua populasi tersebut
mencapai 70 %. Rata-rata koefisien kemiripan
kelima populasi Bogor (BL, BT, BC, BP, dan CG)
dengan populasi Tidore (TG dan TJ) adalah 0,46
(Tabel 5).
Kemiripan populasi pala Bogor (BL, BT,
BC, BP, dan CG) dengan Ternate (R) berkisar
antara 0,505-0,663 (Tabel 5). Populasi Leuwi-
sadeng (BL) merupakan populasi yang memiliki
tingkat kemiripan paling besar dengan populasi
Ternate (R), sebaliknya Cigombong (CG) adalah
populasi Bogor yang paling berbeda dengan
populasi Ternate (R). Rata-rata kemiripan seluruh
populasi Bogor (BL, BT, BC, BP, dan CG) dengan
Ternate (R) adalah sekitar 0,60. Sementara itu,
antara populasi Tidore (TG dan TJ) dengan
Ternate (R) memiliki koefisien kemiripan sekitar
0,40 atau setara dengan 40 %.
Kelima populasi Bogor memiliki nilai
koefisien kemiripan satu sama lain berkisar antara
0,784-0,878, dengan rata-rata kemiripan 82 %
(Tabel 5). Nilai koefisien kemiripan tersebut
mendekati satu, dengan kata lain tingkat kemiripan
antara kelima populasi Bogor sangat tinggi,
terutama antara populasi Leuwisadeng (BL),
Tamansari (BT), dan Sukajadi (BP). Populasi pala
Leuwisadeng (BL) dan Tamansari (BT) merupakan
populasi yang memiliki koefisien kemiripan
tertinggi diantara seluruh populasi, yaitu 0,878 atau
setara dengan 90 % (Tabel 5). Hal ini kemung-
kinan disebabkan oleh kesamaan asal benih yang
digunakan pada lokasi tersebut. Hasil analisa yang
sama juga terlihat pada dua populasi pala Tidore
(TG dan TJ) yang memiliki nilai koefisien
kemiripan tinggi, yaitu 0,799. Populasi yang
berada dalam satu lingkungan cenderung memiliki
kekerabatan yang dekat dan tingkat kemiripan
yang tinggi.
Populasi Ternate memiliki tingkat
kemiripan lebih besar dengan Pala Bogor,
dibandingkan dengan Pala Tidore. Beberapa faktor
yang mempengaruhi keragaman genetik suatu
populasi antara lain perbedaan kondisi alam, letak
geografis, lingkungan, jumlah populasi, cara
reproduksi dan seleksi alam. Populasi Pala Ternate
dan Tidore meskipun keduanya terletak di
Kepulauan Maluku, tetapi memiliki lingkungan
tumbuh yang berbeda. Populasi Tidore (Gurabunga
dan Jaya) tumbuh di daerah berbukit dengan
ketinggian sekitar 500-700 m dpl, sementara
populasi Ternate (Marikurubu) tumbuh di area
yang datar dengan ketinggian sekitar 300 m dpl.
Kondisi lingkungan tumbuh populasi Ternate
memiliki kemiripan dengan populasi Pala Bogor.
Menurut Syukur et al. (2015) variasi fenotipik
pada sifat kualitatif hanya sedikit dipengaruhi oleh
lingkungan, sedangkan sifat kuantitatif sebaliknya
Tabel 5. Nilai koefisien kemiripan delapan populasi Pala Tidore, Ternate dan Bogor berdasarkan marka morfologi.
Table 5. The similarity coefficient value of the eight nutmeg populations from Tidore, Ternate, and Bogor based on
the morphological markers.
BL BT BC BP CG TG TJ
BL
BT 0,878
BC 0,847 0,818
BP 0,785 0,771 0,777
CG 0,784 0,760 0,727 0,737
TG 0,438 0,495 0,442 0,329 0,394
TJ 0,505 0,573 0,460 0,432 0,524 0,799
R 0,663 0,657 0,618 0,557 0,505 0,391 0,419
Keterangan/Note : TG = Gurabunga-Tidore BT = Tamansari-Bogor
BC = Ciawi-Bogor
BP = Sukajadi-Bogor
BC = Cigombong-Bogor
TJ = Jaya-Tidore
R = Marikurubu-Ternate
BL= Leuwisadeng-Bogor
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor ... (Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana)
78
dan sebagian besar dikendalikan oleh banyak gen
atau poligenik. Tingkat kemiripan yang tinggi
antara populasi Ternate dan Bogor diduga, selain
karena lingkungan, juga karena faktor genetik.
Hubungan kekerabatan antar populasi atau
aksesi dapat dilihat dari nilai koefisien kemiripan
yang dimiliki. Menurut Indhirawati et al. (2015)
semakin kecil nilai koefisien kemiripan genetik
(mendekati 0) maka hubungan kekerabatan akan
semakin jauh atau semakin jauh jarak genetiknya.
Berdasarkan kriteria tersebut, populasi Pala Bogor
memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat
dengan populasi Pala Tidore dan Ternate, dengan
nilai rata-rata koefisien kemiripannya mendekati
satu. Populasi Pala Bogor memiliki hubungan
kekerabatan yang lebih dekat dengan Ternate
dibandingkan dengan populasi Tidore. Kemiripan
populasi Pala Bogor dengan Ternate mencapai
60% sementara tingkat kemiripan dengan populasi
Tidore hanya mencapai 46%. Apabila hubungan
kekerabatan ini dikaitkan dengan asal-usul Pala
Bogor, Pala Ternate lebih berpeluang diasumsikan
sebagai asal Pala Bogor, karena memiliki jarak
genetik yang lebih dekat daripada populasi Pala
Tidore.
Kemiripan antar kelima populasi Pala
Bogor sangat besar, dengan nilai mendekati satu.
Berdasarkan analisa tersebut, antara populasi Pala
Bogor memiliki hubungan kekerabatan dan jarak
genetik yang dekat. Kekerabatan yang dekat
tersebut mengindikasikan tingkat keseragaman
genetik antara populasi Pala Bogor yang diamati
cukup tinggi. Hubungan kekerabatan dan
kemiripan yang tinggi terutama terlihat pada tiga
populasi, yaitu Leuwisadeng, Tamansari, dan
Sukajadi dengan nilai kemiripan rata-rata 80% dan
keragaman intra populasi berkisar antara rendah
sampai sedang. Hal ini mengindikasikan ketiga
populasi tersebut memiliki keseragaman yang
tinggi, baik antar populasi maupun intra populasi.
Keseragaman yang tinggi akan sangat mendukung
nilai jual maupun mutu produk yang dihasilkan.
Berdasarkan karakteristik tersebut, populasi pala di
ketiga lokasi tersebut berpotensi dikembangkan
lebih lanjut terutama untuk wilayah Kabupaten
Bogor, serta daerah lain dengan iklim dan
agroekologi yang sama.
KESIMPULAN
Keragaman karakter morfologi pada
populasi Pala Tidore, Ternate, dan Bogor terlihat
pada bentuk buah, bentuk pangkal buah, bentuk
ujung buah, warna buah, dan bentuk pohon. Tebal
fuli merupakan karakter dengan nilai KK terbesar
(50,38 %), sedangkan keragaman dalam populasi
bernilai tinggi ditunjukkan oleh karakter kuantitatif
bobot fuli. Populasi Pala Bogor memiliki
hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan
populasi Pala Ternate (60 %) dibandingkan
dengan Tidore (46 %). Kelima populasi Pala
Bogor memiliki hubungan kekerabatan antar
populasi yang sangat dekat, dengan tingkat
kemiripan tertinggi (80 %) pada populasi
Leuwisadeng, Tamansari dan Sukajadi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Tisa Nuraeni dan Suryatna yang telah membantu
pelaksanaan penelitian di laboratorium dan lapang,
serta semua pihak yang telah membantu sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Penulis
juga menyampaikan terimakasih kepada Badan
Litbang Pertanian yang telah mendanai Penelitian
melalui Kegiatan KP4S/Proyek SMART-D, atas
nama Dr. Otih Rostiana, M.Sc.
DAFTAR PUSTAKA
Ackerly, D.D., Rankin-De-Merona, J.M. &
Rodrigues, W.A. (1990) Tree Densities And
Sex Rations In Breeding Populations Of
Dioecious Central Amazonian Myristicaceae.
Journal of Tropical Ecology. 6 (2),
Cambridge University Press, 239-248.
Anandararaj, M., Devasahayam, S., Zacharia, T.J.,
Krishnamoorthy, B., Mathew, P.A. & Rema,
J. (2005) Nutmeg (Extension Pamphlet).
Publisher V.A. Parthasarathy. Director.
Indian Institute of Species Research. England.
Arief, R.., Firdaus, A.. & Asnawi, R. (2015)
Potensi Pengolahan Daging Buah Pala
menjadi Aneka Produk Olahan Bernilai
Ekonomi Tinggi. Buletin Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. 26 (2), 165-174.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 69 - 80
79
Arrijani (2005) Biologi dan Konservasi Marga
Myristica di Indonesia. Biodiversitas Journal
of Biological Diversity. 6 (2), 147-151. DOI
10.13057/biodiv/d060216.
Bermawie, N., Makmun, Purwiyanti, S. &
Lukman, W. (2015) Keragaman Hasil
Morfologi Dan Mutu Plasma Nutfah Di KP.
Cicurug. In: Prosiding Seminar Teknologi
Budidaya Cengkeh,Lada Dan Pala. Indonesia
Agency for Agricultural Research and
Development (IAARD Press). Bogor 5-6
November 2015, pp. 239-250.
Crowder, L.V. (2010) Genetika Tumbuhan.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press.
Flach, M. (1966) Nutmeg Cultivation and Its Sex
Problems. Wageningen (NL): Meded
Landbouwhogeschool, Landbouwhogeschool.
Heyne, K. (1987) Tumbuhan Berguna Indonesia
Edisi 1. Jakarta (ID): Badan Litbang
Departemen Kehutanan.
Indhirawati, R., Purwantoro, A. & Basunanda, P.
(2015) Karakterisasi Morfologi dan Molekuler
Jagung Berondong Strowbery dan Kuning
(Zea mays L kelompok everta). Vegetalika. 4
(1), 102–114. DOI:10.22146/veg.6427.
IPGRI, I.P.G.R.I. (1980) Tropical Fruits
Descriptor. Bangkok [TH]: IBPGR Southeast
Asia Regional Committee.
Kementan (2009a) Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 4061/KPTS/SR.120/12/2009 tentang
Pelepasan Varietas Ternate I sebagai Varietas
Unggul Tanaman Pala. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.
Kementan (2009b) Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 4062/KPTS/SR.120/12/2009 tentang
Pelepasan Varietas Tidore I sebagai Varietas
Unggul Tanaman Pala. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.
Kementan (2017) Statistik Perkebunan Indonesia
Komoditas Pala 2017-2019. Jakarta (ID):
Kementrian Pertanian.
Kementan (2018) Statistik Perkebunan Indonesia
Komoditas Pala 2017-2019. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.
Kementan (2019) Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 22/KPTS/KB.020/2/2019 tentang
Pelepasan Varietas Nurpakuan Agribun
sebagai Varietas Unggul Tanaman Pala.
Jakarta (ID): Kementan.
Marzuki, I. (2007) Studi Morfo-Ekotipe Dan
Karakterisasi Minyak Atsiri, Isozim Dan
DNA Pala Banda (Mysristica fragrans Houtt)
Maluku. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Marzuki, I., Uluputty, M.R., Aziz, S.A. &
Surahman, M. (2008) Karakterisasi
Morfoekotipe dan Proksimat Pala Banda
(Myristica fragrans Houtt.). Bul. Agron36. 36
(2), 146-152. DOI:10.24831/jai.v36i2.20505.
Mattjik, A.A. & Sumertajaya, I.M. (2011) Sidik
Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS.
Bogor (ID): IPB Press.
Peter, K.V. (2001) Herbs and Spices. Woodhead
Publishing Limited and CRC Press LLC.
Cambridge.
Purseglove, J.W., Brown, E.G., Green, C.L. &
Robbins, S.R.J. (1981) Spices. New York:
Longman.
Rahadian, D.D. (2009) Pengaruh Ekstrak Biji Pala
(Myristica fragrans Houtt) Dosis 7,5 mg/25 gr
BB Terhadap Waktu Induksi Tidur dan Lama
Waktu Tidur Mencit BALB/C yang di Induksi
Thiopental. Fakultas Kedokteran. Universitas
Dipenogoro.
Risliawati, A. (2007) Karakterisasi dan Analisis
Hubungan Kekerabatan 27 Aksesi Pala
(Myristica Spp.). Bogor: Institut Pertaniana
Bogor.
Runtunuwu, S., Rogi, J.E., Pamandungan, dan
Yefta, Pertanian Peternakan Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Kepulauan Sangihe, D.
& Pertanian Unsrat Manado Alamat, F. (2015)
Keragaman Buah Pala (Myristica Fragrans
Houtt) Di Kabupaten Kepulauan Sangihe Dan
Kabupaten Sitaro. 21 (3), 118-126.
Santoso, S. (2002) Statistik Multivariete: Konsep
dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta (ID): Elex
Media Komputindo.
Sharma, M. V & Armstrong, J.E. (2013)
Pollination of Myristica and other Nutmegs in
Natural Populations. Tropical Conservation
Science. 6 (5), 595–607.
DOI:10.1177/194008291300600502.
Soeroso, S. (2012) Pala (Myrystica spp.) Maluku
Utara Berdasarkan Keragaman Morfologi,
Kandungan Atsiri, Pendugaan Seks Tanaman
dan Analisis Marka SSR. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Hubungan Kekerabatan Pala Populasi Tidore, Ternate, dan Bogor ... (Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana)
80
Suratman, Priyanto, D. & Setyawan, A.D. (2000)
Analisis Keragaman Genus Ipomoea
Berdasarkan Karakter Morfologi.
Biodiversitas. 1 (2), 72-79.
Syukur, M., Sriani, S. & Rahmi, Y. (2015) Teknik
Pemuliaan Tanaman (Edisi Revisi). Jakarta
(ID). Penebar Swadaya.
Tjitrosoepomo, G. (2001) Morfologi Tumbuhan.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press.
Trade, M. (2018) List Of Exortes For Selected
Production 2014. 0908. Nutmeg.
http://www.trademap.org/Country_SelProduct
Country.aspx?nvpm.2018.
Weiss, E.A. (2002) Spices Crops. New York: CABI
Publishing.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 81 - 89
* Alamat Korespondensi : [email protected]
DOI : http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v30n2.2019.81-89
0215-0824/2527-4414 @ 2017 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)
Accreditation Kemenristekdikti Number : 30/E/KPT/2018 81
PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN DAN MEDIA PERKECAMBAHAN
TERHADAP VIABILITAS BENIH CENGKEH ZANZIBAR
Determination of Physiologycal Maturity and Effect of Germination Media on Zanzibar Clove
Seeds Viability
Rian Virvian Hidayat R. Pelealu1)
, Eny Widajati2)
, dan Faiza C. Suwarno2)
1) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Jalan Raya Dramaga, Kampus Dramaga,Bogor
2) Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor
Jalan Meranti, Kampus Dramaga, Bogor
INFO ARTIKEL ABSTRAK/ABSTRACT
Article history: Diterima: 31 Januari 2019
Direvisi: 06 Mei 2019
Disetujui: 01 April 2020
Rendahnya mutu benih cengkeh berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas
cengkeh nasional di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat
masak fisiologis dan pengaruh media perkecambahan terhadap viabilitas benih
cengkeh. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyimpanan dan Pengujian
Mutu Benih dan Kebun Percobaan Leuwikopo, Bogor sejak Oktober 2017 sampai
Desember 2018. Bahan yang digunakan adalah benih cengkeh Zanzibar dari pohon
berumur ≥ 10 tahun. Benih berasal dari kebun rakyat Kabupaten Tolitoli, Sulawesi
Tengah. Penelitian menggunakan rancangan split plot, empat ulangan. Petak utama
adalah empat tingkat kemasakan benih berdasarkan warna buah yaitu hijau
kemerahan, merah muda, merah dan merah tua. Anak petak adalah tiga jenis media
perkecambahan yaitu pasir, kokopit dan zeolit, sehingga terdapat 12 perlakuan.
Setiap satuan percobaan terdiri atas 40 butir benih untuk uji daya berkecambah, dan
5 butir benih untuk uji kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase
viabilitas benih cengkeh tidak dipengaruhi oleh tingkat masak benih berdasarkan
warna buah, tetapi dipengaruhi oleh media perkecambahan. Karakteristik mutu
fisiologis benih cengkeh yang baik adalah memiliki bobot kering benih 2,70 g, daya
berkecambah 100 %, indeks vigor 73,75 %, dan kecepatan tumbuh 1,19 % etmal-1
.
Di antara tiga jenis media perkecambahan yang diuji (pasir, kokopit, dan zeolit),
media pasir merupakan media perkecambahan terbaik untuk benih cengkeh, dan
dapat direkomendasikan kepada produsen benih.
Kata kunci:
Syzygium aromaticum; media perkecambahan; cengkeh
Zanzibar
Keywords:
Syzygium aromaticum;
germination media; Zanzibar clove
Low seeds quality of the clove tree may attribute to the low national productivity of
cloves in Indonesia. The study aimed to determine the level of physiological fruit
maturity and the effect of germination media on the viability of clove seeds. The
study was performed at the Leuwikopo Seeds Storage and Quality Testing
Laboratory and Leuwikopo Research Installation, Bogor, in October 2017 to
December 2018. The material used was the Zanzibar clove seeds from ≥ 10 years
old trees. The clove seeds obtained from a farmer’s plantation in Tolitoli District,
Central Sulawesi. The study arranged in a split-plot design, with four replications,
with the main plot was four levels of seed viability based on fruit colors: reddish-
green, pink, red, and dark red. The subplots were three types of germination media,
namely sand, cocopeat, and zeolite. Thus, there were twelve treatments. Each plot
consisted of 40 seeds for germination test and five seeds for water content
determination. The results showed that the percentage of clove seeds viability
negatively influenced by the level of fruit maturity based on the color of the fruit but
was affected by the germination media. Good physiological quality of clove seeds
characterized by dry seed weight of 2.70 g, 100 % germination rate, vigor index of
Pengaruh Tingkat Kemasakan dan Media Perkecambahan ... (Rian Virvian Hidayat R. Pelealu, Eny Widajati, dan Faiza C. Suwarno)
82
73.75 %, and growth rate of 1.19 % etmal-1
. Among the three types of germination
media tested (sand, cocopeat, and zeolite), sand was the best germination media for
clove seeds. Hence it is recommended to seeds producer.
PENDAHULUAN
Produktivitas rata-rata cengkeh{Syzygium
aromaticum (L.) Merr. & L.M. Perry}Indonesia
saat ini masih rendah yaitu sebesar 425 kg.ha-1
(DITJENBUN 2016) atau sekitar 2,1-2,7 kg/pohon
dari potensinya sebesar 572 kg.ha-1
atau sekitar
2,8-3,7 kg/pohon (Ruhnayat dan Wahyudi 2012).
Produksi tanaman sangat ditentukan oleh
penggunaan varietas unggul dan benih bermutu.
Mutu benih ditentukan secara fisik, fisiologis dan
genetik. Mutu fisiologis benih terbaik diperoleh
pada saat benih memasuki fase masak fisiologis
yang diindikasikan oleh bobot kering dan vigor
maksimum. Masak fisiologis benih cengkeh
sebelumnya ditentukan berdasarkan umur setelah
antesis yang ditandai dengan tingginya nilai daya
berkecambah (Setyaharni 1987). Namun,
penggunaan umur setelah antesis sebagai indikator
masak fisiologis sangat tidak efektif karena waktu
antesis bunga tidak serempak pada setiap tangkai
dan antar tangkai bunga. Waktu berbunga yang
tidak serempak menghasilkan buah yang tidak
seragam tingkat kemasakannya, sehinga diperlukan
metode lain untuk menentukan masak fisiologis
benih. Menurut Yuniarti et al. (2016) fase masak
fisiologis benih selain dapat ditentukan
menggunakan indikator umur setelah antesis, juga
dapat ditentukan menggunakan indikator ukuran
dan warna buah. Warna buah sebagai indikator
masak fisiologis benih yang ditandai dengan nilai
daya berkecambah yang tinggi, telah digunakan
dan terbukti efektif pada benih salam (Setyowati
dan Fadli 2015), kopi (Ichsan et al. 2013) dan
kakao (Kusumastuti 2013).
Benih dengan vigor tinggi ditandai dengan
bobot kering maksimum, perkecambahan yang
seragam serta memiliki kecepatan tumbuh yang
tinggi. Bobot kering benih ditentukan dengan
metode oven. Perkecambahan benih ditentukan
berdasarkan jumlah kecambah normal pada
hitungan hari pertama dan kedua. Selama ini,
rujukan pengujian daya berkecambah benih
cengkeh belum menentukan hitungan hari pertama
dan kedua (ISTA 2014). Oleh karena itu,
penentuan metode uji daya berkecambah benih
cengkeh perlu dilakukan. Hasil penelitian pada
benih jamblang menunjukkan bahwa hitungan hari
pertama dan kedua ditetapkan pada hari ke-32 dan
ke-83 setelah benih dikecambahkan (Indraeni
2017).
Pengujian daya berkecambah benih
membutuhkan lingkungan yang optimum serta
dapat diulangi pada tempat atau daerah berbeda
dengan hasil yang sama sehingga betul-betul
menggambarkan mutu suatu lot benih. Media yang
memiliki karakter fisik seperti porositas, aerasi dan
drainase yang baik merupakan faktor penting lain
keberhasilan pengujian daya berkecambah suatu
lot benih. Hal tersebut dikarenakan setiap benih
memiliki respon berbeda terhadap media
perkecambahan (Bahri dan Saukani 2017).
Penggunaan media perkecambahan yang sesuai
telah banyak dilaporkan sebelumnya dan terbukti
efektif, diantaranya penggunaan media pasir pada
benih pala (Febriyan dan Widajati 2015) dan benih
jamblang (Indraeni 2017), media kokopit pada
benih aren (Rofik dan Murniati 2008) serta media
zeolit pada benih duku (Hartati et al. 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan masak
fisiologis benih cengkeh dan media
perkecambahan yang tepat untuk pengujian
viabilitas benih cengkeh.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Penyimpanan dan Pengujian Mutu Benih dan di
Kebun Percobaan Leuwikopo, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor, sejak Oktober 2017
sampai Desember 2018. Bahan yang digunakan
adalah benih cengkeh Zanzibar dari pohon
berumur ≥ 10 tahun. Benih berasal dari kebun
rakyat Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah.
Penelitian menggunakan rancangan split
plot. Petak utama adalah tingkat kemasakan benih
berdasarkan warna buah cengkeh yaitu 1) merah
hijau, 2) merah muda, 3) merah dan 4) merah tua.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 81 - 89
83
Anak petak adalah jenis media perkecambahan
yaitu a) pasir, b) kokopit dan c) zeolit. Rancangan
terdiri atas 12 kombinasi perlakuan dengan empat
ulangan sehingga terdapat 48 satuan percobaan.
Setiap satuan percobaan terdiri atas 40 butir benih
untuk uji daya berkecambah dan 5 butir benih
untuk uji kadar air.
Benih diseleksi berdasarkan warna buah
(Gambar 1). Benih merah hijau ditentukan saat
warna merah cerah telah mencapai ¼-½ dari
ukuran panjang buah (Gambar 1a). Benih merah
muda saat warna merah cerah telah menutupi
seluruh atau minimal tiga per empat permukaan
buah (Gambar 1b). Benih merah ditentukan saat
seluruh permukaan buah yang berwarna merah
cerah berubah menjadi merah tua (Gambar 1c).
Benih merah tua ditentukan saat warna merah tua
pada buah telah berubah menjadi berwarna merah
gelap keungu-unguan dengan tekstur daging buah
lembek (Gambar 1d).
Buah dikupas pada air mengalir untuk
menghilangkan lendir pada benih, kemudian benih
disortasi berdasarkan kualitas kesehatan dan
keseragaman ukuran benih. Benih sehat adalah
benih tanpa cacat fisik dan tidak ditemukan bintik-
bintik hitam pada permukaan benih, panjang benih
1,8-2,2 cm dengan bobot basah sebesar 0,8-1,2 g.
Benih direndam dalam larutan fungisida berbahan
aktif Mankozeb dengan dosis 3 g.l-1
selama 2
menit, setelah itu ditiriskan selama 5 menit.
Pengecambahan benih dilakukan di rumah kaca
menggunakan boks plastik berukuran 35 x 30 x
12 cm.
Masing-masing media tanam dimasukkan
ke dalam wadah boks plastik hingga mencapai
ketebalan 10 cm dari dasar wadah. Boks plastik
diletakkan di atas rak bambu dengan ketinggian
80 cm dari permukaan tanah. Benih ditanam pada
media tanam dengan posisi melintang, radikula
menghadap ke bawah, kemudian ditimbun kembali
hingga sebagian besar bagian benih tertutup media
tanam. Penyiraman dilakukan setiap hari dan
penyemprotan fungisida berbahan aktif Mankozeb
dengan dosis 3 g.l-1
, dilakukan seminggu sekali
atau disesuaikan dengan berat ringannya serangan
cendawan pada benih.
Pengujian kadar air (KA) benih dilakukan
sebelum pengecambahan benih. Benih diiris tipis
menggunakan cutter dengan ketebalan
± 0,3-0,4 cm. Kadar air benih diukur menggunakan
metode oven pada suhu oven 103±2 0C selama
17±1 jam. Pengujian viabilitas benih dilakukan
dengan menghitung jumlah kecambah normal
setiap hari hingga periode 50 hari setelah tanam
(HST). Tolok ukur viabilitas benih yang diamati
adalah penentuan hari pengamatan pertama dan
terakhir, uji daya berkecambah, daya berkecambah
benih (DB), potensi tumbuh maksimum (PTM),
indeks vigor (IV) dan kecepatan tumbuh (KCT).
Analisis data dilakukan dengan uji F, apabila
berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut
menggunakan uji Least Significant Difference
(LSD) pada taraf 5 %.
Kadar air benih (KA)
Kadar air diukur dengan menggunakan
metode oven suhu rendah konstan (103±2°C)
selama (17±1) jam. Setiap ulangan terdiri atas 5 g
benih. Kadar air benih dihitung dengan rumus:
(a) (b) (c) (d)
Gambar 1. Penentuan tingkat kemasakan benih cengkeh Zanzibar berdasarkan warna buah (a) merah hijau; (b) merah
muda; (c) merah; (d) merah tua.
Figure 1. Zanzibar seeds clove maturity based on fruit colours (a) reddish green; (b) pink; (c) red; (d) dark red.
Pengaruh Tingkat Kemasakan dan Media Perkecambahan ... (Rian Virvian Hidayat R. Pelealu, Eny Widajati, dan Faiza C. Suwarno)
84
5
5
5
PAGE \* MERGEFORMAT
KA (%) M2 - M3
x 100 % M2 – M1
Keterangan/Note :
M1 = Bobot cawan + tutup (g)/Weight of cup + cup lid (g).
M2 = Bobot benih + M1 sebelum dioven (g)/Seeds
weight + M1 before drying in the oven (g).
M3 = Bobot benih + M1 setelah dioven (g)/Seeds weight + M1 after drying in the oven (g).
First count dan final count
First count atau hitungan pertama
ditentukan saat persentase kecambah normal per
hari (etmal) mencapai maksimum. Final count atau
hitungan kedua ditentukan saat persentase
kecambah normal per hari tidak lagi menunjukkan
pertambahan (akumulasi). Pada penelitian ini first
count benih cengkeh ditentukan melalui
pencapaian first count tercepat dari masing-masing
kombinasi benih dan media terbaik. Sementara itu,
final count ditentukan dengan melihat pencapaian
final count terlambat dari masing-masing
kombinasi benih dan media terbaik. Hal ini
dimaksudkan agar penetapan hasil perkecambahan
ditentukan berdasarkan kondisi benih dan
lingkungan paling optimum dan pengujian dapat
dilakukan kembali pada waktu dan tempat berbeda
dengan hasil yang sama.
Daya berkecambah (DB)
Daya berkecambah benih diukur
berdasarkan persentase kecambah normal pada hari
ke-47 setelah tanam.
Potensi tumbuh maksimum (PTM)
Potensi tumbuh maksimum diperoleh
dengan menghitung persentase jumlah benih yang
berkecambah, baik berkecambah normal dan
abnormal.
Indeks vigor (IV)
Indeks Vigor dihitung berdasarkan
persentase jumlah kecambah normal pada hari
ke-28 setelah tanam.
Kecepatan tumbuh (KCT)
Kecepatan tumbuh diamati setiap hari
sampai dengan hari ke-47 dengan menghitung
persentase kecambah normal dan periode waktu
pengamatan (etmal). Rumus yang digunakan dalam
menentukan kecepatan tumbuh adalah sebagai
berikut :
KCT =
tn
N
t ∑ n=0
Keterangan/Note : N = Persentase kecambah normal/normal sprouts
percentage.
t = Periode waktu perkecambahan (etmal = 24
jam)/germination period (etmal = 24 hours). tn = Waktu akhir pengamatan/the last day of observation
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar air benih
Kadar air merupakan salah satu indikator
masak fisiologis benih. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar air benih cengkeh
mengalami penurunan seiring bertambahnya
tingkat kemasakan benih (Gambar 2). Penurunan
kadar air dari benih berwarna merah hijau ke
merah tua sebesar 12 %.
Penentuan kecambah normal dan hari
pengamatan uji daya berkecambah
Kecambah normal benih cengkeh pada
penelitian ini ditentukan berdasarkan kelengkapan
struktur esensial kecambah yaitu akar primer dan
sekunder, kotiledon, hipokotil, epikotil dan
plumula dengan panjang kecambah dari pangkal
akar minimal 4 kali panjang benih (Gambar 3).
Gambar 2. Kadar air benih cengkeh Zanzibar pada
berbagai tingkat kemasakan buah.
Figure 2. The water content of Zanzibar seeds clove
at different level of fruits maturity.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 81 - 89
85
Tingkat masak benih berdasarkan warna
buah tidak berpengaruh terhadap hitungan pertama
perkecambahan. Sebaliknya, media perkecam-
bahan memberikan pengaruh nyata terhadap
hitungan pertama perkecambahan. Media pasir dan
zeolit menghasilkan hitungan pertama
perkecambahan yang sama dan nyata lebih cepat
dibanding media kokopit (Tabel 1). Benih yang
berasal dari buah berwarna merah hijau dan merah
yang ditanam pada media pasir menghasilkan
hitungan kedua yang nyata lebih cepat dibanding
benih yang ditanam pada media kokopit dan media
zeolit (Tabel 2). Berdasarkan data tersebut media
pasir merupakan media terbaik untuk
perkecambahan benih cengkeh. Pertumbuhan
untuk mencapai kecambah normal paling cepat
Keterangan/Note : 1. plumula/plumule
2. daun muda/young leaf 3. epikotil/epicotyl
4. kotiledon/cotyledon 5. hipokotil/hypocotyl
6. akar primer/primary roots
7. akar sekunder/secondary roots
Gambar 3. Struktur kecambah normal, abnormal dan benih mati cengkeh Zanzibar pada 27 hari setelah tanam.
Figure 3. The structure of normal sprout, abnormal sprout and dead seeds of Zanzibar clove at 27 days after
planting.
Tabel 1 Pengaruh media perkecambahan terhadap hitungan hari pertama daya berkecambah benih cengkeh Zanzibar.
Table 1. Effect of germination media to the first count of Zanzibar seeds clove germination.
Media Perkecambahan
Pasir Zeolit Kokopit
Hari setelah tanam
28,125 b 28,8125 b 31,3125 a
Keterangan/Note : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji lanjut LSD
5%./Numbers followed by same letter in the same rows were not significantly different at 5% LSD.
Tabel 2. Pengaruh tingkat kemasakan benih dan media perkecambahan terhadap hitungan hari kedua daya
berkecambah benih cengkeh Zanzibar
Table 2. Effect of seeds maturity level and germination media to the final count of Zanzibar seeds clove germination.
Media
Benih
Merah hijau Merah muda Merah Merah tua
hari setelah tanam
Pasir 37,25 c 41,25 a 33,00 c 37,25 b
Kokopit 47,00 a 42,00 a 46,75 a 47,25 a
Zeolit 41,00 b 38,75 b 36,00 b 39,50 b
KK/CV (%) 4,25
Pengaruh Tingkat Kemasakan dan Media Perkecambahan ... (Rian Virvian Hidayat R. Pelealu, Eny Widajati, dan Faiza C. Suwarno)
86
yaitu hari ke-28 setelah tanam pada media pasir
(Tabel 1), sehingga ditentukan sebagai hari
pertama pengamatan uji daya berkecambah dan
hitungan kedua yaitu pada 41 HST (Tabel 2).
Penentuan masak fisiologis benih
Penentuan tingkat masak fisiologis dapat
dievaluasi dengan mengamati bobot kering benih,
daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum dan
vigor benih. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
bobot kering benih pada polong merah muda,
merah dan merah tua tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata secara statistik. Bobot kering
benih tertinggi ditunjukkan oleh benih berwarna
merah yaitu rata-rata 2,67 g, sedangkan terendah
pada benih berwarna merah hijau (Gambar 4).
Benih pada semua tingkat kemasakan yang
dikecambahkan dengan media pasir dan zeolit
menghasilkan potensi tumbuh maksimum
mencapai 100 %. Benih yang ditanam pada media
kokopit menghasilkan potensi tumbuh maksimum
dan daya berkecambah benih yang nyata lebih
rendah dibanding media pasir dan zeolit (Tabel 3).
Menurut Tresniawati et al. (2014) benih
kemiri sunan yang telah masuk fase awal 26
sampai dengan 28 MSA (minggu setelah antesis)
memiliki daya berkecambah yang tidak berbeda
nyata yaitu masing-masing sebesar 52 dan 60 %.
Hasil pengujian mengindikasikan bahwa buah
cengkeh berwarna merah hijau dan merah muda
telah berada pada fase awal pemasakan benih,
dimana benih telah mampu tumbuh menjadi
Gambar 4. Bobot kering benih cengkeh pada berbagai tingkat kemasakan buah.
Figure 4. Dry weight of seeds clove at different level of fruits maturity.
Tabel 3. Pengaruh tingkat kemasakan benih dan media perkecambahan terhadap viabilitas benih cengkeh Zanzibar.
Table 3. Effect of seeds maturity levels and germination media to Zanzibar clove seeds viability.
Media
Tingkat kemasakan
Merah hijau Merah muda Merah Merah tua
---------- Daya berkecambah (%)----------
Pasir 98,13±1,73 a 95,00±0,50 a 98,13±5,73 a 98,75±0,92 a
Kokopit 85,63±0,60 b 87,50±29,17 b 94,38±0,23 b 90,63±0,23 b
Zeolit 96,88±0,56 a 97,50±0,17 a 100,00±0,00 a 98,75±2,08 a
KK/CV (%) 2,86
---------- Potensi tumbuh maksimum (%) ----------
Pasir 100,00±0,00 a 100,00±0,00 a 100,00±0,00 a 100,00±0,00 a
Kokopit 86,88±0,40 b 90,00±4,67 b 98,13±0,40 a 93,75±37,50 b
Zeolit 100,00±0,00 a 100,00±0,00 a 100,00±0,00 a 100,00±0,00 a
KK/CV (%) 2,51
Keterangan/Note :
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji lanjut LSD
5 %/Numbers followed by same letter in the same columns were not significantly different at 5% LSD.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 81 - 89
87
kecambah meskipun bobot kering, daya
berkecambah dan potensi tumbuh maksimum
benih belum mencapai maksimum. Hal ini
menandakan bahwa struktur embrio benih telah
terbentuk meski belum sempurna sehingga
memungkinkan benih untuk berkecambah.
Media pasir dan zeolit merupakan media
yang sesuai untuk perkecambahan benih cengkeh
(Tabel 3). Daya berkecambah dan potensi tumbuh
maksimum yang tinggi pada kombinasi dengan
masing-masing benih menunjukkan bahwa media
pasir dan zeolit mampu menyediakan air dan
oksigen dalam jumlah cukup untuk mendukung
perkembangan benih menjadi kecambah normal.
Pada penelitian Rofik dan Murniati (2008) media
pasir merupakan media tanam terbaik untuk
perkecambahan benih aren dibandingkan media
lainnya dan menghasilkan daya berkecambah
sebesar 88,33 %. Penggunaan media zeolit pada
perkecambahan benih duku memberikan hasil yang
nyata lebih baik yaitu sebesar 83,6 %
(Hartati et al. 2001). Kualitas aerasi dan drainase
yang baik pada media perkecambahan
memudahkan benih mendapatkan air dan udara
dalam jumlah yang cukup (Ciptaningtyas dan
Suhardiyanto 2016), serta menjaga kelembaban
lingkungan tumbuh akar tetap optimal selama
proses perkecambahan (Rusmin et al. 2014).
Kombinasi media kokopit dengan benih
berumur lebih muda yaitu benih merah hijau dan
merah muda menghasilkan daya berkecambah dan
potensi tumbuh maksimum nyata lebih rendah. Hal
yang sama juga dapat dilihat pada benih yang lebih
tua. Hal ini menunjukkan bahwa media kokopit
kurang sesuai untuk perkecambahan benih
cengkeh. Menurut Soepardi (1983) media
perkecambahan memiliki pori makro yang akan
diisi udara dan pori mikro yang akan diisi air.
Semakin kuat daya ikat dan daya tahan media
terhadap air, semakin lembab dan lama air
bertahan pada media. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa kapasitas media kokopit
dalam menahan air sebesar 14,7 kali dari bobot
keringnya (Sutater, T., Suciantini & R 1998) dan
daya simpan air sebesar 695,4 %
(Hasriani et al. 2013). Semakin lama waktu
pengamatan dan penyiraman dilakukan semakin
besar dan lama air terikat dan tertahan didalam
pori-pori media kokopit. Kemampuan media
kokopit mengikat dan menahan air yang sangat
kuat diduga menyebabkan lingkungan
perkembangan akar benih cengkeh menjadi lembab
dan kekurangan oksigen akibat jenuh air. Pada
kondisi sangat lembab perkembangan benih
menjadi kecambah akan terganggu yaitu
perkembangan kecambah melambat, menjadi
kecambah abnormal hingga sebagian atau seluruh
benih mati akibat kekurangan suplai oksigen pada
akar dan serangan patogen.
Benih dari semua tingkat kemasakan buah
yang ditanam pada media pasir menghasilkan nilai
indeks vigor dan kecepatan tumbuh yang nyata
lebih tinggi dibandingkan benih yang ditanam pada
media zeolit dan kokopit. Benih yang berasal dari
tingkat masak buah berwarna merah yang
dikecambahkan pada media pasir menghasilkan
nilai indeks vigor dan kecepatan tumbuh yang
paling tinggi (Tabel 4).
Benih masak fisiologis ditandai dengan
vigor benih maksimum. Menurut Sadjad (1994)
indeks vigor dan kecepatan tumbuh merupakan
tolok ukur vigor benih yang lebih sensitif untuk
menilai tingkat viabilitas dibandingkan viabilitas
potensial dan viabilitas total. Hasil analisis vigor
benih ini menguatkan hasil analisis viabilitas
potensial dan viabilitas total sebelumnya. Benih
masak fisiologis memiliki embrio yang telah
terbentuk sempurna dan cadangan makanan
maksimum untuk mendukung proses metabolisme
dan perkembangan struktur penting dalam benih
yaitu akar, hipokotil, epikotil dan plumula hingga
menjadi kecambah normal (Mello et al. 2010).
Sementara benih belum masak fisiologis belum
memiliki cadangan makanan yang cukup sehingga
proses perkecambahan lebih lambat tercermin dari
nilai kecepatan tumbuh benih dan indeks vigor
yang lebih rendah. Benih lewat masak fisiologis
juga akan mengalami proses perkecambahan yang
lebih lambat. Hal ini dimungkinkan karena deraan
cuaca lapang saat di pohon induknya (Pramono
and Rustam 2017; Shaban 2013). Hasil penelitian
Baharudin (2011) juga menunjukkan bahwa benih
kakao hibrida TSH 858 x Sca 6 dan ICS 60 x Sca 6
yang dipanen lewat masak fisiologis nyata
mengalami penurunan daya berkecambah, indeks
vigor dan kecepatan tumbuh. Berdasarkan hasil
pengamatan daya berkecambah, indeks vigor dan
kecepatan tumbuh benih maka panen benih
Pengaruh Tingkat Kemasakan dan Media Perkecambahan ... (Rian Virvian Hidayat R. Pelealu, Eny Widajati, dan Faiza C. Suwarno)
88
cengkeh Zanzibar yang tepat adalah pada saat buah
berwarna merah. Media pasir merupakan media
yang tepat untuk perkecambahan benih cengkeh.
KESIMPULAN
Masak fisiologis benih cengkeh Zanzibar
yang tepat ditentukan pada saat buah berwarna
merah berdasarkan nilai indeks vigor (73,75 %)
dan kecepatan tumbuh (1,19 % etmal-1
), bobot
kering benih (26,7 g) dan daya berkecambah (100
%). Pengamatan pertama pada uji daya
berkecambah benih dilakukan pada 28 hari setelah
tanam (HST) dan pengamatan ke dua dilakukan
pada 41 HST. Pasir adalah media perkecambahan
yang paling tepat untuk benih cengkeh.
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin (2011) Peningkatan Mutu Benih dan
Bibit Kakao Hibrida (Theobroma cacao L.)
dengan Pendekatan Fisiologi dan Biologi.
Repository IPB.
Bahri, S. & Saukani (2017) Pengaruh Ukuran Biji
dan Media Tanam Terhadap Perkecambahan
dan Pertumbuhan Bibit Karet (Hevea
brasiliensis Muell. Arg.). Jurnal Penelitian
Agrosamudra. 4 (1), 10-22.
Ciptaningtyas, D. & Suhardiyanto, H. (2016) Sifat
Thermo-Fisik Arang Sekam. Jurnal Teknotan.
10 (2), 1-6.
Ditjenbun, D.J.P. (2016) Statistik Perkebunan
Indonesia;cengkeh 2015-2017. Jakarta (ID).
Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan.
Febriyan, D.G. & Widajati, E. (2015) Pengaruh
Teknik Skarifikasi Fisik dan Media
Perkecambahan terhadap Daya Berkecambah
Benih Pala (Myristica fragrans). Buletin
Agrohorti. 3 (1), 71-78.
doi:10.29244/agrob.3.1.71-78.
Hartati, U., C Suwarno, F. & Suwardi (2001)
Pengaruh Zeolit Terhadap Perkecambahan
Benih Duku (Lansium domesticum Correa).
Repositori IPB, pp. 1-7.
Hasriani, Kalsim, D.K. & Sukendro, A. (2013)
Kajian Serbuk Sabut Kelapa (Cocopeat)
sebagai Media Tanam. IPB Press, (1992), pp.
1-7.
Ichsan, C.N.I.N., Hereri, A.I. & Budiarti, L. (2013)
Kajian Warna Buah dan Ukuran Benih
Terhadap Viabilitas Benih Koi Arabika
(Coffea arabica L.) Varietas Gayo 1. Jurnal
Floratek. 8 (2), 110-117.
Indraeni, M.N. (2017) Karakterisasi,
Pengembangan Metode Uji dan Daya Simpan
Benih Jamblang (Syzygium cumini (L.) Skeels.
Repositori IPB.
ISTA (2014) International Rules for Seed Testing.
The International Seed Testing Association
(ISTA) Zurichstr 50. CH-8303 Basserdorf. 1
Januari. Switzerland.
Kusumastuti, C.T. (2013) Tingkat Kemasakan dan
Letak Buah pada Tanaman Pengaruhnya
Tabel 4. Pengaruh tingkat kemasakan benih dan media perkecambahan terhadap vigor benih cengkeh Zanzibar.
Table 4. Seeds clove vigor on various seeds maturity levels and germination media to Zanzibar clove seeds vigor.
Media Tingkat Kemasakan
Merah hijau Merah muda Merah Merah tua
---------- Indeks Vigor (%) ----------
Pasir 54,38±2,56 a 56,25±7,42 a 73,75±9,58 a 63,13±3,06 a
Kokopit 43,13±2,73 c 45,63±1,90 c 47,50±4,33 c 45,63±12,56 c
Zeolit 51,25±2,25 b 53,13±2,06 b 57,50±4,33 b 55,00±2,83 b
KK/CV (%) 7,80
---------- Kecepatan Tumbuh (% KN etmal-1
) ----------
Pasir 1,05±0,00 a 0,92±0,00 a 1,19±0,00 a 1,04±0,00 a
Kokopit 0,73±0,00 c 0,77±0,00 c 0,88±0,00 c 0,78±0,00 c
Zeolit 0,95±0,00 b 1,01±0,00 b 1,11±0,00 b 1,00±0,00 b
KK/CV (%) 4,72
Keterangan/Note :
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji lanjut LSD
5 %/Numbers followed by same letter in the same columns were not significantly different at 5 % LSD.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 81 - 89
89
terhadap Hasil dan Mutu Benih Kakao
(Theobroma cacao L.). Agro UPY. 5 (1), 38-
48.
Mello, J.I. de O., Barbedo, C.J., Salatino, A. &
Figueiredo-Ribeiro, R. de C.L. (2010) Reserve
Carbohydrates and Lipids from the Seeds of
Four Tropical Tree Species with Different
Sensitivity to Desiccation. Brazilian Archives
of Biology and Technology. 53 (4), 883-889.
doi:10.1590/S1516-89132010000400019.
Pramono, A.A. & Rustam, E. (2017) Perubahan
Kondisi Fisik, Fisiologis dan Biokimia Benih
Michelia Champaca pada berbagai Tingkat
Kemasakan. Prosiding Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 3 (3),
368-375. doi:10.13057/psnmbi/m030313.
Rofik, A. & Murniati, E. (2008) Pengaruh
Perlakuan Deoperkulasi Benih dan Media
Perkecambahan untuk Meningkatkan
Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata
(Wurmb.) Merr.). Jurnal Agronomi Indonesia.
36 (1), 33-40. doi:10.24831/jai.v36i1.1342.
Ruhnayat, A. & Wahyudi, A. (2012) Petunjuk
Teknis Pembenihan Tanamancengkeh
(Eugenia aromaticum).
Rusmin, D., Suwarno, F.C., Darwati, I. & Ilyas, S.
(2014) Pengaruh Suhu dan Media
Perkecambahan terhadap Viabilitas dan Vigor
Benih Purwoceng untuk Menentukan Metode
Pengujian Benih. Buletin Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. 2545-52 (1), 45-52.
Sadjad, S. (1994) Kuantifikasi Metabolisme Benih.
In: Jakarta, PT. Widiasarana Indonesia.
Setyaharni, E. (1987) Pengaruh Tingkat
Kemasakan Benih, Media dan Kondisi Ruang
Terhadap Viabilitas Benihcengkeh (Eugenia
caryohyllus (Sreng.) Bullock et arrison)
Selama Periode Konservasi. Repositori IPB,
pp. 1-93.
Setyowati, N. & Fadli, A. (2015) Penentuan
Tingkat Kematangan Buah Salam (Syzgium
polyanthum (wight) walpers) sebagai Benih
dengan Uji Kecambah dan Vigor Biji. Jurnal
Pusbindiklat Lipi. 1 (1), 1-8.
Shaban, M. (2013) Biochemical Aspects of Protein
Changes in Seed Physiology and Germination.
Intl J Adv Biol Biomed Res. 1 (8), 885-898.
Soepardi, G. (1983) Sifat dan Ciri Tanah.
Repositori IPB.
Sutater, T., Suciantini & R, T. (1998) Serbuk Sabut
Kelapa sebagai Media Tanam Krisan dalam
Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis
Kelapa. In: Prosiding Konferensi Nasional
Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri, pp. 23-300.
Tresniawati, C., Murniati, E. 9& Widajati, E.
(2014) Perubahan Fisik, Fisiologi dan
Biokimia Selama Pemasakan Benih dan Studi
Rekalsitransi Benih Kemiri Sunan. J. Agron.
Indonesia. 42 (1), 74-79.
doi:10.24831/jai.v42i1.8157.
Yuniarti, N., Kurniaty, R., Danu, N.F. & Siregar,
N. (2016) Mutu Fisik, Fisiologis dan
Kandungan Biokimia Benih Trema (Trema
orientalis Linn. Blume) berdasarkan Tingkat
Kemasakan Buah. Jurnal Perbenihan Tanaman
Hutan. 4 (2), 53-65.
doi:10.20886/bptpth.2016.4.2.53-65.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 90 - 99
* Alamat Korespondensi : [email protected]
DOI : http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v30n2.2019.90-99 0215-0824/2527-4414 @ 2017 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)
90 Accreditation Kemenristekdikti Number : 30/E/KPT/2018
EFEK FORMULA MINYAK ATSIRI DAN PARA MENTHANE DIOL TERHADAP
MORTALITAS DAN PENGHAMBATAN BERTELUR WERENG COKELAT
The Effect of Essential Oil Formula and Para Menthane Diol on Mortality and
Oviposition Deterrent of Brown Planthopper
Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
INFO ARTIKEL ABSTRAK/ABSTRACT
Article history: Diterima: 11 April 2019
Direvisi: 19 Juli 2019
Disetujui: 18 Maret 2020
Minyak cengkih, serai wangi, dan serai dapur dikenal sebagai insektisida nabati.
Formula campuran minyak atsiri dan senyawa tunggal minyak atsiri diharapkan
dapat meningkatkan keefektifan insektisida nabati. Percobaan ini bertujuan untuk
menguji efek dari campuran minyak atsiri dan formula para-menthane-3,8-diol
(PMD) dalam menghambat kemampuan bertelur dan mortalitas wereng cokelat.
Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Bogor. Formula yang diuji adalah minyak cengkih + serai wangi (1: 1), minyak
cengkih + serai dapur (1: 1), minyak atsiri tunggal, bahan pembawa formula minyak
atsiri (campuran tween 80, terpentin, dan surfaktan), serta formula PMD dan bahan
pembawa (pengemulsi, alkohol 96 %, dan surfaktan). Aplikasi formula dilakukan
secara kontak pada serangga uji. Parameter pengamatan adalah jumlah telur yang
diletakkan dan mortalitas wereng cokelat dewasa dan nimfa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa formula insektisida nabati yang diaplikasikan secara kontak
terhadap larva dan wereng cokelat dewasa menyebabkan tingkat kematian yang
tidak berbeda secara signifikan dibanding kontrol dan insektisida sintetis. Uji residu
tanaman, mortalitas nimfa pada perlakuan minyak atsiri tidak berbeda nyata dari
kontrol dan insektisida. Formula minyak cengkih + serai wangi yang disemprotkan
langsung pada serangga dan melalui tanaman tidak berbeda nyata dibandingkan
dengan perlakuan insektisida sintetik, walaupun efektivitas formula minyak cengkih
+ serai wangi lebih lambat. Kemanjuran formula minyak cengkih + serai wangi
terhadap peletakan telur berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan insektisida
sintetis, yaitu lebih sedikit telur yang diletakkan. Formuka PMD kurang efektif dari
formula minyak cengkih + serai wangi terhadap nimfa dan kematian dewasa
wereng cokelat. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi aktivitas formula
minyak cengkih + serai wangi di lapangan.
Kata kunci:
Insektisida botani; minyak cengkih; minyak serai dapur;
minyak serai wangi;
Nilaparvata lugens Stal
Keywords:
Botanical insecticide; clove oil; citronella oil;
lemongrass oil; Nilaparvata
lugens Stal
Essential oils such as clove, lemongrass, and citronella are known as botanical
insecticides. Mixed-essential oils and a single compound of the oil itself may
increase its efficacy. The experiment aimed to examine the effect of the essential oil
mixture and para-menthane-3,8-diol (PMD) formulas in inhibiting of the egg-laying
and mortality of brown planthopper. The study conducted at the greenhouse of
Indonesian Spices and Medicinal Crops Research Institute, Bogor. The formula
tested were clove+citronella oils (1:1), clove+lemongrass oils (1:1), the single
essential oil, solvent materials (a mixture of tween 80, Turpentine, and surfactant),
PMD-solvent substances (emulsifier, alcohol 96%, and surfactant). A contact
application was applied to the insect. Observation parameters were egg numbers
laid and brown planthopper adult and nymph mortalities. The result of the insect
contact application method showed that adult mortality was not significantly
different compare with control and synthetic insecticide. Based on the plant residue
test, nymph mortality due to clove oil + citronella oils were not significantly
Pengaruh Formulasi Minyak Atsiri dan Para Menthane Diol Terhadap Mortalitas ... (Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun)
91
different from control and insecticide. Meanwhile, based on the insect and plant
spray test, adult mortality on clove oil + citronella was not differently significant
from the synthetic insecticide. However, the effectiveness of clove+lemongrass oils
was slower. The efficacy of the oil formula to the egg laid was significantly
different from the synthetic insecticide treatment, i.e., fewer eggs laid. PMD was
less effective than the essential oil formula on the nymphs and adult mortalities of
brown planthopper. Further field evaluations of the clove oil + citronella formulas
are required.
PENDAHULUAN
Wereng cokelat (Nilaparvata lugens Stal)
merupakan hama penting pada tanaman padi.
Hama ini menyebabkan kerusakan dengan cara
mengisap cairan floem, menyebabkan munculnya
gejala hopperburn dan menularkan penyakit virus
kerdil rumput (VKR) dan virus kerdil hampa
(VKH) (Jena & Kim 2010). Pada tahun 2005 dan
2008, Cina melaporkan kehilangan hasil 2,7 juta
ton padi karena serangan wereng cokelat, hal yang
serupa juga terjadi di Vietnam, sebanyak 0,4 juta
ton kehilangan hasil yang disebabkan karena virus
VKR dan VKH (Brar et al. 2010).
Pengendalian wereng cokelat selama ini
dilakukan dengan menggunakan insektisida
sintetis. Untuk mengurangi dampak negatif yang
ditimbulkan akibat penggunaan insektisida sintetis
yang tidak bijaksana maka perlu cara lain untuk
mengendalikan hama, salah satunya dengan
menggunakan insektisida nabati. Pengendalian
dengan menggunakan insektisida nabati mimba
dapat menghambat ketahanan hidup nimfa dan
imago betina wereng cokelat. Aplikasi pestisida
berbahan dasar mimba pada awal musim tanam
padi ketika wereng dalam stadia nimfa muda akan
memberikan pengendalian yang efektif. Nimfa
wereng muda rentan terhadap mimba, efek mimba
yang rendah pada musuh alami mengurangi resiko
resurjensi jika digunakan pada awal musim tanam
padi (Senthil-Nathan et al. 2009). Ekstrak metanol
akar kering Euphorbia kansui, juga menunjukkan
aktivitas pestisida terhadap wereng cokelat (Dang
et al. 2010).
Tanaman atsiri menghasilkan senyawa
metabolit sekunder yang toksik bagi serangga,
menghambat peneluran dan makan, penolakan dan
ketertarikan serangga dari ordo Lepidoptera,
Coleoptera, Isoptera, dan Hemiptera (Khater
2012).
Minyak serai wangi dengan konsentrasi
satu persen yang diaplikasikan secara langsung ke
tubuh ulat bulu Gempinis menyebabkan mortalitas
sebesar 82 % (Adnyana et al. 2012) pada
konsentrasi 0,5 % yang disemprotkan pada
tanaman padi menghambat peletakan telur wereng
cokelat sebesar 57,66 % (Hashifah et al. 2017).
Minyak serai dapur dengan konsentrasi 0,5 % yang
diaplikasikan secara langsung ke tubuh ulat bulu
Gempinis menyebabkan mortalitas sebesar 90 %
(Adnyana et al. 2012). Minyak ini pada
konsentrasi 0,2 % juga mempunyai aktivitas
repelen terhadap populasi imago wereng cokelat
sebesar 87 % sampai dengan 120 menit setelah
perlakuan. Selain itu, minyak serai dapur juga
menyebabkan mortalitas sebesar 60 % pada satu
hari dan 88 % pada sepuluh hari setelah perlakuan
(Sainath 2016).
Minyak cengkih yang diberikan melalui
pakan menghambat pertumbuhan larva
Trichoplusia ni dan menyebabkan mortalitas
T. unipuncta. Pada metode penyemprotan, minyak
cengkih toksik terhadap Trichoplusia ni. Minyak
cengkih dengan bahan aktif eugenol 60 %
mempunyai daya kerja sebagai racun syaraf
(Akhtar et al. 2008).
Campuran minyak serai wangi, minyak
cengkih, dan minyak jarak yang diaplikasikan pada
pertanaman kakao mengurangi kehilangan hasil
yang disebabkan oleh penggerek buah kakao
(Willis et al. 2013). Mardiningsih & Balfas (2017)
menyatakan bahwa campuran minyak cengkih
dengan minyak serai wangi (CSW), dan campuran
minyak cengkih dengan minyak serai dapur (CSD)
menyebabkan mortalitas baik pada nimfa maupun
imago Helopeltis antonii. Campuran CSD dan
CSW (1:1) mengurangi jumlah telur yang
diletakkan 46,56 - 60 atau sekitar 18 % lebih tinggi
dibandingkan pada perlakuan minyak atsiri (MA)
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 90 - 99
92
tunggal (Mardiningsih & Balfas 2017).
Pencampuran beberapa jenis insektisida nabati
juga akan lebih memperlambat munculnya
ketahanan serangga hama (Dadang & Prijono
2008).
Selain minyak serai wangi yang masih
berbentuk alami, ada juga komponen dari minyak
serai wangi, yaitu para menthane diol (PMD).
Para-menthane-3,8-diol bersifat sebagai penolak
serangga, beraroma mirip dengan mentol dan
memiliki rasa dingin (Leffingwell 2001). Secara
alami, PMD adalah suatu senyawa hasil sintesis
dari sitronelal yang diisolasi dari minyak serai
wangi. Selain itu, PMD juga dapat disintesis oleh
reaksi Prins dari sitronelal (Drapeau et al. 2011).
Senyawa p-menthane-3, 8-diol juga ditemukan di
dalam buah-buahan. Para-menthane-3,8-diol yang
berasal dari pohon karet beraroma lemon Australia
menyebabkan toksisitas akut terhadap lalat hewan
(Stomoxys calcitrans L.) dan lalat rumah (Musca
domestica L.) (Zhu et al. 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi pengaruh formula minyak atsiri
tunggal maupun campuran dan para menthane diol
terhadap mortalitas nimfa dan imago, serta
penghambatan peneluran wereng cokelat di rumah
kaca.
BAHAN DAN METODE
Persiapan tanaman padi dan wereng cokelat
Penelitian dilakukan di rumah kaca
Balittro sejak Januari 2017 sampai Desember
2018. Tanaman padi varietas Ciherang digunakan
sebagai inang serangga uji wereng cokelat. Biji
padi disemai pada media tanah basah dan diberi
pupuk kandang di dalam pot. Serangga uji
diperoleh dari pertanaman padi di Bogor dan
dipelihara pada bibit padi umur 1-1,5 bulan hingga
berkembang dan diperoleh nimfa (serangga pra
dewasa) dan imago (serangga dewasa) dalam
jumlah yang cukup untuk digunakan uji mortalitas.
Sebagian nimfa dipelihara hingga menjadi imago
untuk dikawinkan, selanjutnya 5 pasang wereng
cokelat dewasa yang telah kopulasi digunakan
untuk pengujian mortalitas imago dan
penghambatan peneluran.
Formulasi minyak atsiri
Minyak atsiri yang digunakan adalah
campuran minyak cengkih dan minyak serai wangi
(1:1), campuran minyak cengkih dan minyak serai
dapur (1:1), minyak serai wangi, minyak serai
dapur, minyak cengkih, dan bahan pelarut dan
pengemulsi (terpentin, tween 80, dan teepol).
Minyak atsiri diperoleh dengan cara disuling.
Minyak daun cengkih diperoleh dari petani
penyuling di Leuwiliang, minyak batang serai
dapur dari petani penyuling di Cianjur, dan minyak
daun serai wangi dari Kebun Percobaan Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Manoko,
Lembang, Jawa Barat. Komposisi formula adalah
30 % minyak atsiri, tween 80 sebanyak 10 %, tepol
1 %, dan terpentin 59 %. Selain itu, juga diuji
pengaruh para menthane diol (PMD) 70 % dan
bahan pelarut serta pengemulsi yang terdiri atas
alkohol 95 % dan tepol. PMD diperoleh dari
PT Indesso Aromatik, dibuat dari sitronellal hasil
isolasi dari minyak serai wangi, dilanjutkan dengan
reaksi sintesis menjadi PMD. Formula tersebut
diencerkan dan konsentrasi yang digunakan dalam
pengujian adalah 10 ml.l-1
.
1. Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada
serangga
Penelitian disusun dalam rancangan acak
kelompok dengan 10 perlakuan dan diulang
sebanyak tiga kali. Perlakuan yang diujikan adalah
campuran minyak cengkih dengan minyak serai
wangi (1:1), campuran minyak cengkih dengan
minyak serai dapur (1:1), minyak serai wangi,
minyak serai dapur, minyak cengkih, bahan pelarut
dan pengemulsi, serta PMD. Sebagai pembanding
digunakan insektisida sintetis (imidakloprid
konsentrasi 2 ml.l-1
) dan kontrol.
Pengujian dilakukan dengan penyemprotan
serangga uji (Dadang & Prijono 2008), yaitu
menyemprot 10 nimfa instar 4 berumur 1-2 hari
dengan bahan larutan yang diuji masing-masing
dengan volume semprot sebanyak 1,5 ml.
Sebanyak 2 batang tanaman padi diletakkan dalam
kurungan yang digunakan untuk memelihara nimfa
yang telah diperlakukan. Pengamatan mortalitas
dilakukan setiap hari selama empat hari. Pengujian
Pengaruh Formulasi Minyak Atsiri dan Para Menthane Diol Terhadap Mortalitas ... (Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun)
93
dengan cara yang sama dilakukan pada 5 pasang
serangga uji imago wereng cokelat berumur 3 hari.
2. Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada
tanaman
Penelitian disusun dalam rancangan acak
kelompok dengan 10 perlakuan dan diulang
sebanyak tiga kali. Sebagai perlakuan ialah
campuran minyak cengkih dengan minyak serai
wangi (1:1), campuran minyak cengkih dengan
minyak serai dapur (1:1), minyak serai wangi,
minyak serai dapur, minyak cengkih, bahan pelarut
dan pengemulsi serta PMD, imidakloprid dengan
konsentrasi 2 ml.l-1
digunakan sebagai
pembanding, dan kontrol yang diaplikasi dengan
air.
Pengujian dilakukan dengan metode residu
pada daun (Dadang & Prijono 2008), yaitu
2 batang tanaman yang sudah disemprot dengan
volume aplikasi 1,5 ml per tanaman, tanaman
ditutup dengan kurungan plastik lalu diinfestasi
nimfa atau imago wereng cokelat pada unit
percobaan yang terpisah. Pengamatan mortalitas
nimfa dan imago wereng cokelat yang sudah
diinfestasikan pada tanaman padi tersebut
dilakukan setiap hari selama empat hari.
3. Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada
serangga dan tanaman
Perlakuan ini merupakan kombinasi dari
perlakuan sebelumnya, yaitu aplikasi
penyemprotan pada serangga dan penyemprotan
pada tanaman. Nimfa atau imago dengan unit
percobaan yang terpisah diinfestasikan pada
2 batang tanaman padi yang telah disediakan lalu
diaplikasi dengan formula yang diujikan.
Pengujian ini terdiri dari 10 perlakuan termasuk
insektisida sintetis dan kontrol. Volume aplikasi
yang digunakan, yaitu 3,0 ml yang terdiri atas
1,5 ml larutan digunakan untuk menyemprot
serangga dan 1,5 ml larutan digunakan untuk
menyemprot tanaman. Jumlah ulangan dan
parameter pengamatan yang dilakukan sama
seperti pada dua pengujian sebelumnya.
4. Penghambatan peneluran wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada
tanaman dan imago
Penelitian disusun dalam rancangan acak
kelompok dengan 10 perlakuan, sama seperti
metode sebelumnya dan diulang sebanyak tiga
kali.
4a. Penyemprotan imago
Pengujian penghambatan peneluran pada
imago dilakukan sama dengan pada pengujian
aplikasi kontak. Pengujian dilakukan dengan
penyemprotan 10 imago dengan volume semprot
sebanyak 1,5 ml (Dadang & Prijono 2008).
Sebanyak 2 batang tanaman padi yang diletakkan
dalam kurungan digunakan untuk memelihara
nimfa yang telah diperlakukan. Pengamatan jumlah
telur yang diletakkan dilakukan setiap dua hari
selama empat hari. Jumlah total telur yang
dihasilkan dilakukan dengan cara memindahkan
serangga yang sudah diperlakukan pada tanaman
padi lain yang belum diperlakukan. Penghitungan
telur dilakukan dengan cara membongkar tanaman,
dibawa ke laboratorium, merobek jaringan
tanaman, kemudian jumlah telur yang diletakkan
dihitung di bawah mikroskop.
4b. Efek residu pada tanaman
Pengujian terhadap penghambatan
peneluran (oviposition deterrent) berdasarkan pada
metode efek residu pada tanaman (Dadang dan
Prijono 2008); yaitu menyemprot tanaman padi
dengan bahan larutan yang diuji dengan volume
semprot 1,5 ml, dikeringanginkan, 2 batang
tanaman dikurung dengan kurungan plastik yang
pada bagian atasnya diberi kain kasa, kemudian
dimasukkan 5 pasang imago. Setelah dua hari,
tanaman padi dibongkar dan dihitung jumlah
telurnya. Imago dipindahkan dan dikurung pada
tanaman padi yang juga sudah diperlakukan. Dua
hari kemudian, tanaman dibongkar, dibawa ke
laboratorium, jaringan tanaman dirobek, dan
dihitung jumlah telur yang diletakkan dan diamati.
Pemindahan imago dan penghitungan telur
dilakukan berulang setiap dua hari hingga imago-
imago tersebut mati.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 90 - 99
94
4c. Pengujian penghambatan oviposisi wereng
cokelat betina
Pengujian terhadap penghambatan
peneluran dengan aplikasi kontak + residu pada
tanaman. Perlakuan yang diujikan seperti pada
percobaan mortalitas imago wereng cokelat
dengan aplikasi kontak + residu pada tanaman.
Setelah dua hari, 2 batang tanaman padi dibongkar
dan dihitung jumlah telurnya. Serangga
dipindahkan dan dikurung pada tanaman padi yang
juga sudah diperlakukan. Dua hari kemudian,
tanaman dibongkar, dibawa ke laboratorium,
jaringan tanaman dirobek, dan dihitung jumlah
telur yang diletakkan. Pengujian tersebut dilakukan
hingga imago mati.
Analisis data
Data dianalisis dengan ANOVA
menggunakan piranti lunak SAS. Pembandingan
rata-rata dilakukan dengan menggunakan
Duncan’s Multiple Range Test pada tingkat 0,05.
Persentase repelensi efektif (ER) untuk masing-
masing minyak atsiri dihitung dengan rumus
Setiawati et al. (2011):
ER (%) = ((NC-NT) x 100%) x NC-1
Keterangan/Note:
ER = persentase efektivitas repelensi/percent
effective repellency, NC = jumlah telur pada kontrol (+pengemulsi)/
numbers of control egg (+emulsifier). NT = jumlah telur pada perlakuan/numbers of
treated egg..
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada serangga
Sampai empat hari setelah perlakuan,
insektisida nabati campuran minyak cengkih +
serai wangi dan minyak cengkih + serai dapur
lebih tinggi dalam menyebabkan mortalitas nimfa
dibandingkan perlakuan minyak atsiri tunggal,
yaitu minyak cengkih dan PMD, berbeda nyata
dengan bahan pelarut, pengemulsi dan kontrol.
Imago wereng cokelat relatif lebih tahan terhadap
semua insektisida yang diujikan (Tabel 1).
Mortalitas wereng cokelat pada perlakuan
beberapa minyak atsiri lebih tinggi daripada
insektisida imidakloprid, tetapi tidak berbeda nyata
secara statistik. Penelitian sebelumnya juga
didapatkan bahwa perlakuan cengkih + serai wangi
1:1 dalam pengemulsi 0,5 % sampai dengan tiga
hari setelah perlakuan menyebabkan mortalitas H.
antonii tertinggi (Mardiningsih & Balfas 2017).
PMD merupakan senyawa yang sudah diisolasi
dari minyak serai wangi sehingga kandungan
senyawa ini lebih tinggi dibanding pada minyak
serai wangi yang alami. PMD toksik terhadap
nimfa wereng cokelat. PMD yang berasal dari
minyak lemon eucalyptus, Corymbia citriodora
juga dilaporkan toksik terhadap nimfa Ixodes
ricinus yang berguna untuk pengendalian tungau
(Elmhalli et al. 2009). PMD dapat diperoleh antara
lain dengan cara destilasi daun Eucalyptus
citroidora atau modifikasi kimia dari sitronellal,
tersedia dari tanaman-tanaman genus Cymbopogon
(Dell 2010). Efektivitas PMD terhadap mortalitas
wereng cokelat, lebih rendah dibanding formula
campuran minyak atsiri. Hal ini dapat dilihat dari
nilai mortalitasnya yang lebih rendah.
Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada tanaman
Empat hari setelah perlakuan menunjukkan
bahwa campuran minyak cengkih + serai dapur
dan campuran minyak cengkih + serai wangi lebih
baik dalam menyebabkan mortalitas nimfa
dibandingkan perlakuan minyak atsiri tunggal,
yaitu minyak cengkih, serai dapur, serai wangi dan
PMD, berbeda nyata dengan bahan pembawa dan
kontrol (Tabel 2). Campuran minyak cengkih +
serai wangi (CSW) menyebabkan mortalitas imago
wereng cokelat tertinggi, mortalitas perlakuan
minyak cengkih + serai dapur sama dengan
perlakuan PMD. Bahan pembawa MA dan PMD
juga memengaruhi mortalitas imago. Hal ini dapat
dilihat mortalitas imagonya yang berbeda nyata
dengan kontrol. Hasil ini sejalan dengan yang telah
dilakukan oleh (Mardiningsih & Ma’mun 2017)
yang menunjukkan bahwa mortalitas imago
H. antonii tertinggi pada perlakuan cengkih + serai
wangi (CSW) diikuti oleh perlakuan cengkih +
serai dapur (CSD).
Pengaruh Formulasi Minyak Atsiri dan Para Menthane Diol Terhadap Mortalitas ... (Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun)
95
Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada serangga
dan tanaman
Hasil pengujian minyak atsiri (MA) dan
para menthane diol (PMD) menunjukkan morta-
litas nimfa wereng cokelat, tertinggi pada perlaku-
an PMD, diikuti perlakuan cengkih + serai wangi
(CSW) serta cengkih + serai dapur (CSD).
Mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan PMD
tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan CSW,
CSD, serai wangi, dan serai dapur (Tabel 3).
Mortalitas imago pada minyak cengkih +
serai wangi adalah yang tertinggi dari insektisida
nabati yang diuji, tetapi, tidak berbeda nyata
Tabel 1. Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat (%) dengan perlakuan formula minyak atsiri dan PMD dengan
cara aplikasi langsung pada nimfa dan imago.
Table 1. The mortality of nymphs and adults of brown planthopper (%) with spray application on the nymphs and
adults.
Perlakuan
Mortalitas nimfa Mortalitas imago
Hari setelah aplikasi Hari setelah aplikasi
1 2 3 4 1 2 3 4
Minyak cengkih dan serai wangi* 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 70,0 ab 76,7 a 76,7 a 83,3 a
Minyak cengkih dan serai dapur* 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 66,7 ab 70,0 a 73,3 a 80,0 a
Minyak serai wangi* 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 43,3 bc 46,7 b 46,7 b 60,0 b
Minyak serai dapur* 100,0 a 100,0 a 100,0 a 100,0 a 36,7 c 36,7 bc 46,7 b 50,0 bc
Minyak cengkih* 83,3 b 83,3 b 83,3 b 86,7 b 16,7 d 30,0 bc 30,0 b 36,7 c
Para menthane diol (PMD)* 96,7 a 96,7 a 96,7 a 96,7 ab 23,3 cd 30,0 bc 33,3 b 36,7 c
Bahan pelarut dan pengemulsi
minyak atsiri (MA)*
26,7 d 26,7 d 26,7 d 26,7 d 0,0 e 0,0 d 6,7 cd 13,3 d
Bahan pelarut dan pengemulsi
minyak atsiri (PMD)*
73,3 c 73,3 c 73,3 c 73,3 c 3,3 e 3,3 d 10,0 c 16,7 d
Imidakloprid# 90,0 ab 93,3 ab 93,3 ab 93,3 ab 86,7 a 93,3 a 93,3 a 93,3 a
Kontrol (air) 0,0 e 0,0 e 0,0 e 0,0 e 0,0 e 0,0 d 0,0 d 3,3 e
KK/CV (%) 3,8 3,9 3,9 3,96 23,2 14,6 18,1 10,6
Catatan/Note : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5 %/Numbers followed
by the same letters in the same column are not significantly different at DMRT 5 %.
*Konsentrasi 10 ml.l-1/* Concentration 2 ml.l-1
Data ditransformasi dengan/Data were transformed by𝑦 = 𝑎𝑟𝑐 𝑥 + 0,5
Tabel 2. Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat (%) pada perlakuan aplikasi pada tanaman.
Table 2. The mortality of nymph and adults of brown planthopper (%)with spray application on the plants.
Perlakuan
Mortalitas nimfa Mortalitas imago
Hari setelah aplikasi Hari setelah aplikasi
1 2 3 4 1 2 3 4
Minyak cengkih dan serai wangi* 43,3 ab 46,7 abc 46,7 b 50,0 ab 10,0 bc 36,7 bc 53,3 a 60,0 b
Minyak cengkih dan serai dapur* 50,0 ab 53,3 ab 53,3 ab 56,7 a 16,7 bc 43,3 bc 53,3 a 56,7 bc
Minyak serai wangi* 40,0 abc 43,3 abc 43,3 abc 43,3 abc 3,3 bc 30,0 cd 43,3 ab 43,3 bcd
Minyak serai dapur* 16,7 cde 23,3 cd 26,7 cd 26,7 cd 3,3 bc 13,3 e 26,7 abc 40,0 cd
Minyak cengkih* 16,7 cde 16,7 de 20,0 d 20,0 d 0,0 c 16,7 de 30,0 abc 33,3 d
Para menthane diol (PMD)* 26,7 bcd 30,0 bcd 30,0 bcd 30,0 bcd 33,3 abc 50,0 ab 53,3 a 56,7 bc
Bahan pelarut dan pengemulsi
minyak atsiri (MA)*
3,3 fg 3,3 ef 3,3 e 3,3 e 3,3 bc 13,3 e 16,7 bc 36,7 d
Bahan pelarut dan pengemulsi
minyak atsiri (PMD)*
6,7 efg 20,0 cd 20,0 d 20,0 d 0,0 c 6,7 e 20,0 abc 33,3 d
Imidakloprid# 60,0 a 66,7 a 66,7 a 66,7 a 63,3 a 66,7 a 86,7 ab 96,7 a
Kontrol (air) 0,0 g 0,0 f 0,0 e 0,0 e 0,0 c 0,0 f 6,7 c 16,7 e
KK/CV (%) 27,2 26,0 19,0 17,5 75,2 20,3 33,4 11,0
Catatan/Note :
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5 %/Numbers followed
by the same letters in the same column are not significantly different at DMRT 5 %.
*Konsentrasi 10 ml.l-1/* Concentration 2 ml.l-1
Data ditransformasi dengan/Data were transformed by𝑦 = 𝑎𝑟𝑐 𝑥 + 0,5
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 90 - 99
96
dengan PMD, campuran minyak cengkih + serai
dapur, dan serai wangi (Tabel 3). Banyak tanaman
minyak atsiri dan unsur terpenoid utamanya
bersifat neurotoksik terhadap serangga dan tungau
serta aktif secara perilaku pada konsentrasi
sublethal (Isman et al. 2011). Beberapa penolak
nyamuk termasuk p-menthane-3,8-diol dari mentha
sebagai bahan aktif, dan sitronelal juga digunakan
dalam obat nyamuk (Reina et al. 2010).
Perlakuan bahan pelarut dan pengemulsi
PMD yang digunakan dalam formula tidak
memengaruhi mortalitas nimfa wereng cokelat,
mortalitas nimfa pada perlakuan bahan pelarut dan
pengemulsi PMD tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Perlakuan bahan pelarut dan pengemulsi
yang digunakan dalam formula tidak
mempengaruhi mortalitas imago wereng cokelat,
mortalitas imago pada perlakuan bahan pelarut dan
pengemulsitidak berbeda nyata dengan kontrol.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Mardiningsih &
Ma’mun (2017). Pada pengujian minyak atsiri
terhadap H. antonii, mortalitas imago pada bahan
pelarut dan pengemulsi tidak berbeda nyata dengan
kontrol.
Penghambatan peneluran wereng cokelat
dengan aplikasi penyemprotan pada imago,
tanaman dan imago beserta tanamannya
Perlakuan campuran minyak cengkih + serai wangi
dan campuran minyak cengkih + serai dapur lebih
banyak dalam menghambat peneluran
dibandingkan perlakuan minyak atsiri tunggal dan
PMD, baik pada aplikasi kontak, residu pada
tanaman, dan kontak + residu pada tanaman
(Tabel 4). Minyak serai wangi dan cengkih lebih
banyak menghambat peneluran dibandingkan
dengan minyak serai dapur + cengkih dan para
menthane diol pada perlakuan aplikasi langsung
imago serangga uji. Pola yang sama juga
ditunjukkan pada perlakuan aplikasi formula pada
tanaman inang, tetapi dengan jumlah telur yang
dihasilkan lebih banyak daripada perlakuan
aplikasi pada serangga. Sampai dengan empat hari
setelah perlakuan, campuran cengkih dengan
minyak serai dapur (CSD) menghambat peneluran
(oviposisi) paling tinggi dibandingkan perlakuan
lain, dengan nilai tertinggi, yaitu 53,2 %.
Walaupun perlakuan CSD menghambat peneluran
paling tinggi, akan tetapi tidak berbeda nyata
Tabel 3. Mortalitas nimfa dan imago wereng cokelat (%) pada perlakuan aplikasi pada serangga dan tanaman.
Table 3. The mortality of brown planthopper and adults (%) with spray application on the insects and the plants.
Perlakuan
Mortalitas nimfa Mortalitas imago
Hari setelah aplikasi Hari setelah aplikasi
1 2 3 1 2 3 4
Minyak cengkih dan serai
wangi* 60,0 ab 63,3 ab 63,3 ab
60,0 b 66,7 ab 66,7 ab 66,7 ab
Minyak cengkih dan serai
dapur* 56,7 ab 56,7 ab 56,7 ab
50,0 bc 50,0 bc 50,0 bc 50,0 abc
Minyak serai wangi* 40,0 bc 43,3 abc 43,3 abc 40,0 bcd 40,0 c 40,0 c 40,0 bc
Minyak serai dapur* 40,0 bc 43,3 bc 43,3 bc 26,7 d 33,3 c 33,3 c 33,3 c Minyak cengkih* 30,0 c 30,0 c 30,0 c 33,3 cd 36,7 c 36,7 c 36,7 c
Para menthane diol (PMD)* 66,7 a 66,7 a 66,7 a 30,0 d 46,7 c 46,7 c 56,7 abc
Bahan pelarut dan
pengemulsi minyak astri (MA)*
3,3 d 6,7 d 6,7 d
0,0 e 0,0 d 0,0 d 0,0 d
Bahan pelarut dan
pengemulsi minyak astri
(PMD)*
0,0 d 0,0 e 0,0 e
3,3 e 6,7 d 6,7 d 10,0 d
Imidakloprid# - - - 86,7 a 90,0 a 90,0 a 90,0 a
Kontrol (air) 0,0 d 0,0 e 0,0 e 0,0 e 0,0 d 0,0 d 0,0 d
KK/CV (%) 18,8 17,9 17,9 19,2 18,6 18,6 15,9
Catatan/Note :
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5 %/Numbers followed by the same letters in the same column are not significantly different at DMRT 5 %.
*Konsentrasi 10 ml.l-1/* Konsentrasi 2 ml.l-1
Data ditransformasi dengan/Data were transformed by𝑦 = 𝑎𝑟𝑐 𝑥 + 0,5
Pengaruh Formulasi Minyak Atsiri dan Para Menthane Diol Terhadap Mortalitas ... (Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun)
97
dengan perlakuan CSW dan PMD. Bahan pelarut/
pengemulsi mempengaruhi penghambatan
peneluran (oviposisi). Hal ini dapat dilihat dari
jumlah telur yang berbeda nyata dengan perlakuan
kontrol (Tabel 4). Campuran minyak serai wangi
dengan cengkih lebih banyak menghambat
peneluran dibandingkan dengan minyak serai
dapur dengan cengkih serta PMD pada perlakuan
aplikasi ke imago dan tanaman secara bersamaan.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai repelensi efektif
(72,8 %) (Tabel 4). Mardiningsih & Balfas (2017)
juga menyebutkan pada perlakuan CSW 1:1 dalam
pengemulsi 0,5 % menghambat peneluran
H. antonii tertinggi. Hasil pengujian sebelumnya
perlakuan CSW 1:1 pada konsentrasi 10 ml.l-1
memberikan penghambatan peneluran H. antonii
lebih tinggi 60,2% dibanding hasil uji saat ini,
yaitu 51,9%. Akan tetapi, pada penelitian
sebelumnya perlakuan CSD 1:1 pada konsentrasi
10 ml.l-1
memberikan penghambatan peneluran
lebih rendah (46,6%) terhadap H. antonii
dibanding hasil yang diperoleh saat ini (53,2 %)
terhadap wereng cokelat (Mardiningsih & Ma’mun
2017). Hal ini diduga karena perbedaan respon
serangga sasaran yang dipakai dalam pengujian,
berbeda famili meskipun keduanya dari ordo
Hemiptera. H. antonii tergolong dalam famili
Miridae, sedangkan wereng cokelat adalah
Delphacidae (Kalshoven 1981). Pada perlakuan
CSW dan CSD jumlah telur yang diletakkan tidak
berbeda nyata. Hal ini juga dijumpai pada
pengujian sebelumnya (Mardiningsih & Ma’mun
2017). Dari tiga metode tersebut terlihat bahwa
CSW lebih banyak menghambat peneluran karena
nilai ER nya tertinggi pada dua metode, yaitu
aplikasi penyemprotan pada imago dan imago
beserta tanamannya.
Minyak cengkih bersifat toksik terhadap
kumbang Acanthoscelides obtectus (Coleoptera:
Bruchidae) dengan LD50 43,6 uL.kg-1
kacang,
menurunkan laju pertumbuhan A. obtectus, dan
menunda munculnya A. obtectus (Jumbo et al.
2014). Pemanfaatan serai wangi juga dilakukan
dengan cara ditanam secara tumpang sari dengan
tanaman lain. Hasil pengujian dengan
menggunakan tanaman perangkap cabai
Tabel 4. Jumlah telur wereng cokelat yang diletakkan pada tanaman padi var. Ciherang setelah perlakuan formula
minyak atsiri, dan PMD dengan cara aplikasi pada imago, tanaman serta aplikasi pada imago dengan
tanaman.
Table 4. The number of eggs laid by brown planthopper with spray application on the adults, plant and both adults
and the plants.
Perlakuan
Jumlah telur pada aplikasi
semprot imago (butir)
Jumlah telur pada aplikasi
semprot tanaman (butir)
Jumlah telur pada aplikasi
semprot imago & tanaman
(butir)
Hari ER
Hari ER
Hari ER 2 4 2 4 2 4
Minyak cengkih dan serai wangi* 30,0 e 52,0 ef 86,4 96,0 e 147,0 d 51,9 12,3 e 56,7 e 72,8
Minyak cengkih dan serai dapur* 20,7 e 103,3 def 72,9 77,7 e 143,0 d 53,2 15,3 e 75,0 de 63,9
Minyak serai wangi* 86,3 d 163,0 cde 57,3 140,7 cd 252,0 c 17,5 32, 7 de 122,7 cd 41,0
Minyak serai dapur* 56,0 d 177,0 cde 53,6 162,3 c 287,3 c 5, 9 32, 7 de 134,3 cd 35,4
Minyak cengkih* 109,0 cd 202,0 bcd 47,0 166,7 c 282,0 c 7,6 46, 7 cd 173,3 bc 16, 7
Para menthane diol (PMD)* 131,3 cd 141,0 de 59,7 109,0 de 214,0 cd 47,5 42, 0 cd 100,0 bc 50,9
Bahan pelarut dan pengemulsi
minyak atsiri (MA)*
274,0 ab 381,3 ab - 180,0 c 305,3 bc - 100, 7 ab 208,0 ab -
Bahan pelarut dan pengemulsi
minyak atsiri (PMD)*
191,0 bc 349, 7 ab - 277,3 b 407,3 b - 58, 0 bc 204,0 ab -
Imidakloprid# 11,0 e 22, 7 f 95,3 15,3 f 38,3 e 93,2 0,0 f 4, 7 f 98,4
Kontrol (air) 351, 7 a 481, 7 a - 372, 7 a 564,7 a - 147,0 a 283,7 a -
KK/CV (%) 18,6 24,6 10,2 10,6 19,6 15,6
Catatan/Note :
Catatan/Note: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5 %/ Numbers followed by the same letters in the same column are not significantly different at DMRT 5.%.
ER = Persentasi repelensi efektif/ Effective repellency percentage.
*Konsentrasi 10 ml.l-1/Concentration of 10 ml.l-1 # Konsentrasi 2 ml.l-1/Concentration of 2 ml.l-1.
Data ditransformasi dengan 𝑦 = 𝑎𝑟𝑐 𝑥 + 0,5/Data were transformed by 𝑦 = 𝑎𝑟𝑐 𝑥 + 0,5.
(-) tidak ada nilai, karena dipakai untuk menghitung nilai efikasi/there is no value, because it is used to calculate the efficacy value.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 90 - 99
98
varietas‘SP Hot 77’dan tanaman repelen (serai
wangi) yang ditanam di antara tanaman cabai,
dapat menurunkan serangan lalat buah (Amalia et
al. 2014). Minyak atsiri bekerja secara kontak,
knockdown, toksisitas fumigan, dan aksi perilaku
sublethal, yaitu penghambatan dan penolakan
(Isman et al. 2011). Dari hasil penelitian tersebut,
terbukti bahwa minyak atsiri bersifat toksik dan
dapat menghambat peneluran serangga (Khater
2012).
Mortalitas nimfa dan imago pada
perlakuan CSW dan CSD pada semua metode
aplikasi yang diujikan menunjukkan tidak berbeda
nyata dengan perlakuan insektisida sintetis
(imidakloprid) diakhir pengamatan, tetapi berbeda
nyata di awal pengamatan. Kemampuan CSW dan
CSD lebih lambat dibanding imidakloprid dalam
menyebabkan mortalitas nimfa dan imago
wereng cokelat. Proses kerja insektisida sintetis
diketahui lebih cepat dibanding insektisida nabati.
Walaupun para menthane diol merupakan senyawa
yang sudah diisolasi dari sitronellal ternyata
keefektivannya lebih rendah dibandingkan formula
campuran. Dibandingkan dengan para menthane
diol, perlakuan formula pencampuran dua jenis
minyak atsiri, yaitu campuran cengkih + serai
wangi, serta campuran cengkih + serai dapur, pada
sebagian besar metode meningkatkan daya
insektisidalnya. Hal ini menunjukkan formula
campuran yang terdiri atas lebih dari satu senyawa
lebih efektif dibanding formula tunggal.
Pencampuran bahan ekstrak tanaman dapat
menaikkan keamanan konsumen (Isman 2014).
Selain itu, pencampuran bahan ekstrak tanaman
dapat meningkatkan keefektivannya terhadap hama
yang resisten dan yang peka (Akhtar et al. 2009).
Dengan mencampur bahan tanaman untuk
pengendalian hama dapat mengurangi
ketergantungan pada penggunaan satu jenis bahan
tanaman. Untuk mengetahui keefektivan formula
campuran dan PMD diperlukan uji lanjut di lapang.
KESIMPULAN
Formula campuran cengkih + serai wangi
dan cengkih + serai dapur lebih efektif dalam
meningkatkan angka mortalitas nimfa, mortalitas
imago, dan penghambatan peneluran wereng
cokelat pada metode aplikasi kontak, residu pada
tanaman maupun metode aplikasi kontak + residu
dibandingkan PMD. Hal ini menunjukkan formula
campuran yang terdiri lebih dari satu senyawa
lebih efektif dibanding formula tunggal. Untuk
menguji keefektivan formula campuran minyak
atsiri dan PMD perlu dilakukan percobaan lapang
pada tanaman padi varietas Ciherang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Sdr. Endang Sugandi yang telah memberi bantuan
teknis dalam pelaksanaan penelitian ini. Penelitian
ini dibiayai dari dana mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I., Sumiartha, K. & Sudiarta, I. (2012)
Efikasi Pestisida Nabati Minyak Atsiri
Tanaman Tropis terhadap Mortalitas Ulat
Bulu Gempinis. E-Jurnal Agroekoteknologi
Tropika. 1, 1-11.
Akhtar, Y., Shikano, I. & Isman, M. (2009)
Topical Application of a Plant Extract to
Different Life Stages of Trichoplusia ni fails
to Influence Feeding Oviposition Behaviour.
Entomol. Exp. Appl. 132, 275-282.
doi:10.1111/j.1570-7458.2009.00895.x.
Akhtar, Y., Yeoung, Y. & Isman, M. (2008)
Comparative Bioactivity of Selected Extracts
from Meliaceae and Some Commercial
Botanical Insecticides against Two Noctuid
Caterpillars, Trichoplusia ni and Pseudaletia
unipuncta. Phytochem. Rev.7 (0), 77-88.
Amalia, H., Dadang & Prijono, D. (2014) Effect of
Mulches, Botanical Insecticides, and Traps
Against Fruit Flies Infestation and of Chili
(Capsicum annum). J. ISSAAS. 20 (2), 11-18.
Brar, D.S., Virk, P.S., Jena, K.K., & Khush, G.S.
(2010) Breeding for Resistance to
Planthoppers in Rice. Planthopper : New
Threats to the Sustainability of Intensive Rice
Production Systems in Asia. pp. 401-427.
Dadang & Prijono, D. (2008) Insektisida Nabati:
Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan.
Bogor, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dell, I. (2010) Composition Containing P-mthane-
3,8-dioland its use as an Insect Repellent. In:
Pengaruh Formulasi Minyak Atsiri dan Para Menthane Diol Terhadap Mortalitas ... (Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun)
99
Composition Containing P-methane-3,8-
dioland its use as an insect repellent.
Drapeau, J., Rossano, M., Touraud, D., Obermayr,
U., Geier, M., Rose, A. & Kunz, W. (2011)
Green Synthesis of para-Menthane-3,8-diol
from Eucalyptus citriodora: Application for
Repellent Products. Comptes Rendus Chimie.
14 (7-8), 629-635.
doi:10.1016/j.crci.2011.02.008.
Elmhalli, F. H., Palsson, K., Orberg, J. & Jaenson
T.G.T. (2009) Acaricidal Effects of
Corymbiacitriodora Oil Containing para-
menthane-3,8-diol Against Nymphs of Ixodes
ricinus (Acari: Ixodidae). Experimental and
Applied Acarology. 43 (8), 251-262.
Isman, M. (2014)Botanical Insecticides: A global
Perspective in Biopesticide. State The Art and
The Future Opportunities. In : ACS
Symposium Series. Washington DC, pp. 21-
30.
Isman, M., Miresmailli, S. & Machial, C. (2011)
Commercial Opportunities for Pesticides
Based on Plant Essential Oils in Agriculture,
Industry, and Consumer Products. Phytochem.
Rev.10 (0), 197-204.
Jena, K. & Kim, S.-M. (2010) Current Status of
Brown Planthopper (BPH) Resistance and
Genetics. Rice. 3, 161-171.
Jumbo, L., Faroni, L. & Oliveria, E. (2014)
Potential use of Clove and Cinnamon
Essential Oils to Control the Bean Weevil,
Acanthoscelides obtectus Say, in Small
Storage Units. Industrial Crops & Products.
6, 27-34.
Kalshoven, L. (1981) Pests of Crops in Indonesia.
Jakarta, PT Ichtiar Baru Van-Hoeve.
Khater, H. (2012) Prospects of Botanical
Biopesticides in Insect Pest Management.
Pharmacologia. 3. 3 (12), 641-656.
Le Dang, Q., Choi, Y.H., Choi, G.J., Jang, K.S.,
Park, M.S., Park, N.J., Lim, C.H., Kim, H.,
Ngoc,L.H. &Kim, J.C. (2010) Pesticidal
Activity of Ingenane Diterpenes Isolated from
Euphorbia kansui Against Nilaparvata lugens
and Tetranychus urticae. J. Asia Pac.
Entomol. 13, 51-54.
Leffingwell, J. (2001) Cool without Menthol &
Cooler tan Menthol and Cooling Compounds
as Insect Repellents. Leffingwell &
Associates.
Mardiningsih, T. & Balfas, R. (2017) Effect of
Essential Oil Combination on Mortalities and
Oviposition Deterrents of Crocidolomia
pavonana and Helopeltis antonii. Bul. Littro.
28 (1), 75-88.
Mardiningsih, T. & Ma’mun (2017) The Effect of
Essential Oil Formulas on Mortality and
Oviposition Deterrent of Helopeltis antonii
Sign. Bul. Littro. 28 (2), 171-180.
Reina, M., Diaz, C. & Fraga, B. (2010) Natural
Product-Bades Biopesticides for Insect
Control. In : Comprehensive Natural Products
II: Chemistry and Biology. pp. 237-263.
Sainath, G. (2016) Bio-efficacy of Tree Seed Oils
and Essential Oils Against Brown
Planthopper, Nilaparvata lugens (Stal.)
Thesis. p. 99.
Senthil-Nathan, S., Choi, M.Y., Paik, C.H., Seo,
H.Y. & Kalaivani, K. (2009) Toxicity and
Physiological Effects of Neem Pesticides
Applied to Rice on the Nilaparvata lugens
Stal, the Brown Planthopper. Entomology and
Environmental Safety. 72, 1707-1713.
doi:10.1016/j.ecoenv.2009.04.024.
Setiawati, W., Murtiningsih, R. & Hasyim, A.
(2011) Laboratory and Field Evaluation of
Essential Oils from Cymbopogon nardus as
Oviposition Deterrent and Ovicidal Activities
against Helicoverpa armigera Hubner on
Chili Pepper. Indonesia Journal of
Agricultural Science. 12 (1), 9-16.
Willis, M., Rohimatun, Laba, I., & Nurjanani
(2013) Control of Cocoa Pod Borer
(Conopomorpha cramerella) and Cocoa Pod
Sucker (Helopeltis sp.) Using Essential Oil-
Base Insecticides. Proceedings of the
International Seminar on Spices. Medicinal
and Aromatic Plants (SMAPs). Indonesia
Agency for Agricultural Research and
Development (IAARD). 115-120.
Zhu, J.J., Zeng, X.P., Berkebile, D., Du, H.J.,
Tong, Y. & Qian, K. (2009) Efficacy and
Safety of Catnip (Nepeta cataria) as a Novel
Filth Fly Repellent. Medical and Veterinary
Entomology. 23, 209-216.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 100 - 110
* Alamat Korespondensi : [email protected]
DOI : . http://dx.doi.org/10.21082/bullittro.v30n2.2019.100-110 0215-0824/2527-4414 @ 2017 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
This is an open access article under the CC BY-NC-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/)
100 Accreditation Kemenristekdikti Number : 30/E/KPT/2018
FORMULA EKSTRAK BONGGOL PISANG KEPOK KUNING (Musa acuminata x
Musa balbisiana) SEBAGAI ANTIINFLAMASI
Yellow Kepok Banana (Musa acuminata x Musa balbisiana) Corm Extracts As Antiinflamation
Desy Muliana Wenas, Lisana Sidqi Aliya dan Wisma Merry Anjani
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Jalan Moh. Kahfi II, Bhumi Srengseng Indah, Jagakarsa, Jakarta 12630
INFO ARTIKEL ABSTRAK/ABSTRACT
Article history: Diterima: 04 Maret 2019
Direvisi: 19 Juli 2019
Disetujui: 26 Maret 2020
Pisang mempunyai banyak jenis dan manfaatnya. Salah satunya adalah pisang
kepok kuning. Batang, pelepah daun, dan bonggol dari pisang ini memiliki
kandungan fitokimia berkhasiat obat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efek
formula ekstrak bonggol pisang kepok kuning sebagai antiinflamasi. Bonggol
pisang kepok kuning dipotong menjadi berukuran 0,3 x 1 x 3 cm, dikeringkan di
dalam oven bersuhu 60 °C selama 6 jam, kemudian dibuat serbuk berukuran
40 mesh. Serbuk bonggol pisang diekstraksi menggunakan etanol 70 % dengan
teknik maserasi selama 24 jam sebanyak 3 kali. Pengujian antiinflamasi dilakukan
pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Sebanyak 24 ekor tikus putih dibagi
menjadi enam kelompok perlakuan, yaitu konsentrasi formula ekstrak (10, 15, dan
20 %), kontrol positif (salep komersial), kontrol negatif, dan kontrol normal
(pemberian luka tanpa diberi formula apa pun). Rancangan penelitian yang
digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL), diulang sebanyak 4 kali, dan
data dianalisis menggunakan ANOVA dan Post Hoc Uji Games Howell. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa formula ekstrak bonggol pisang kepok kuning
memiliki potensi penyembuhan luka (antiinflamasi). Formula ekstrak 20 % dapat
mempercepat penyembuhan luka dalam sehari dibandingkan formula 10 % dan
15 %. Kecepatan tersebut ditunjukkan dengan penyembuhan luka tanpa bekas luka
dari formula ekstrak 20 % yang terjadi lebih awal dibandingkan dengan formula
lainnya. Aktivitas formula 20 % sebanding dengan kontrol positif salep komersial.
Aktivitas antiinflamasi dari formula salep bonggol pisang kepok kuning berkaitan
dengan kandungan senyawa saponin, flavonoid, dan tanin. Hasil penelitian
mengindikasikan bahwa ekstrak bonggol pisang kepok kuning berpotensi
dikembangkan sebagai obat antiinflamasi.
Kata kunci:
Fitokimia; maserasi; penyembuh luka
Keywords:
Maceration; phytochemicals;
wound healing
Bananas have many types and benefits. One of them is the Yellow Kepok Banana.
Banana stem, leaf midrib, and corm contain phytochemicals compound as
medicinal properties. The study aimed to determine the effect of the yellow kepok
banana corm extract formula as an anti-inflammatory. Banana corm was cut into
0.3 x 1 x 3 cm pieces, dried in the oven with temperature 60 °C for 6 hours, then
made 40 mesh powder. The powder extracted using 70 % ethanol by maceration
technique for 24 hours, repeated three times. Anti-inflammatory testing was carried
out on male Sprague Dawley white rats. A total of 24 white rats were divided into
six treatment groups, consists of different concentrations of the extract (10, 15, and
20 %), positive control (commercial ointment), negative control, and a normal
control (giving a wound without being given any formula). The experiment was
designed as a randomized complete, with four replications, data were analyzed
using ANOVA and the Post Hoc Games Howell Test. The results showed that the
yellow kepok banana extract formula had the potential for wound healing. The 20
% extract formula can accelerate wound healing in a day than the 10 and 15 %
formulas. The speed is shown by wound healing without scars from the 20 %
Formula Ekstrak Bonggol Pisang Kepok Kuning ... (Desy Muliana Wenas, Lisana Sidqi Aliya dan Wisma Merry Anjani)
101
extract formula, which occurs earlier than other formulas. The anti-inflammatory
activity of the 20 % formula was comparable to the positive control of commercial
ointment. The anti-inflammatory activity of the yellow kepok banana ointment
formula is related to the compound of saponins, flavonoids, and tannins. The results
indicate that the yellow kepok banana corm extract has the potential to be
developed as an anti-inflammatory drug.
PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu tumbuhan
yang terdistribusi secara luas di Indonesia, dengan
berbagai jenis atau kultivar dan manfaatnya.
Bagian yang dimanfaatkan umumnya adalah buah
untuk konsumsi dan daun sebagai alat pembungkus
makanan. Selain itu, pisang juga dimanfaatkan
sebagai obat tradisional untuk berbagai penyakit,
antara lain diare, diabetes, lesi usus, maupun
disentri (Lakshmi et al. 2014). Masyarakat Desa
Trunyan, Bali menggunakan getah batang semu
pisang untuk mengobati luka (Fakhriani 2015).
Bagian lain yang belum banyak dimanfaatkan
adalah bonggolnya, padahal potensi bonggol
pisang sangat besar mengingat setelah panen
banggol selalu dibuang, dan jumlahnya sangat
banyak. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak
etanol bonggol pisang mengandung senyawa
flavonoid, glikosida, terpenoid dan tanin
(Venkatesh et al. 2013). Tanin, flavonoid dan
saponin dari ekstrak pelepah pisang berfungsi
sebagai antibakteri dan dapat membantu
pertumbuhan sel baru pada luka (Priosoeryanto
et al. 2007).
Salah satu jenis pisang yang sering
dikonsumsi oleh masyarakat tetapi bukan pisang
yang langsung dimakan (plantain), sehingga harus
diolah terlebih dahulu adalah pisang kepok kuning
(Musa paradisiaca var. balbisiana Colla.),
memiliki diameter bonggol (0,54 m) dan tinggi
(3,75 m), lebih besar dari jenis-jenis pisang lainnya
(Sariamanah et al. 2016).
Penelitian pada pisang kepok menunjukkan
bahwa ekstrak bonggol pisang memiliki aktivitas
antimikroba lebih tinggi dibandingkan ekstrak
pelepahnya (Azizah 2016). Hal tersebut sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Ningsih et al. 2013) yang menyatakan bahwa
aktivitas antibakteri ekstrak bonggol pisang kepok
kuning lebih tinggi dibandingkan akar, pelepah/
batang, bunga, dan buahnya (Ningsih et al. 2013).
Oleh karena itu, bonggol pisang memiliki potensi
aktivitas antibakteri dibandingkan bagian lain dari
pisang.
Kemampuan penyembuhan luka dengan
memanfaatkan ekstrak getah pelepah pisang kepok
sudah pernah diteliti dan terbukti menyembuhkan
luka pada tikus (Khairunnisa et al. 2018). Selain
mempercepat penyembuhan luka, bonggol pisang
dapat membantu perbaikan struktur kulit yang
rusak tanpa bekas luka serta meningkatkan
revitalisasi jaringan epidermis, pembentukan
fibroblas dan infiltrasi sel radang pada daerah luka
sehingga dapat dikembangkan menjadi kosmetik
(Takeo et al. 2015). Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui efek formula ekstrak bonggol
pisang kepok kuning sebagai antiinflamasi yang
dapat menyembuhkan luka sayat tanpa disertai
inflamasi (peradangan).
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan sejak Maret
sampai Oktober 2018 di laboratorium Fakultas
Farmasi Institut Sains dan Teknologi Nasional
(ISTN), Jakarta. Tahapan penelitian terdiri atas
(a) penyiapan simplisia bonggol pisang,
(b) ekstraksi serbuk bonggol pisang dengan
maserasi, (c) skrining fitokimia dari serbuk dan
ekstrak kental, (d) pembuatan formula ekstrak
bonggol pisang, (e) penyiapan hewan uji, dan
(f) pengujian aktivitas antiinflamasi formula.
Penyiapan simplisia bonggol pisang
Tanaman pisang kepok kuning (Musa
acuminata x Musa balbisiana) yang digunakan
yaitu tanaman yang berusia satu tahun dan telah
berbuah, tanaman berasal dari kebun petani di Jati
Asih, Jonggol, Jawa Barat. Bagian bonggol (umbi/
batang sejati) diambil dari bagian bawah batang
pisang kemudian dibuang akar-akarnya dan dicuci
dengan air sampai bersih. Bonggol dipotong
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 100 - 110
102
dengan alat khusus sehingga diperoleh potongan-
potongan berukuran 0,3 x 1x 3 cm. Selanjutnya,
potongan bonggol pisang dikeringkan di dalam
oven bersuhu 60 °C selama 6 jam kemudian dibuat
serbuk berukuran 40 mesh.
Ekstraksi serbuk bonggol pisang
Esktraksi dilakukan dengan cara maserasi
menggunakan etanol 70 %. Serbuk kering bonggol
pisang kepok kuning ditimbang sebanyak 500 g
kemudian dimaserasi dalam satu liter etanol 70 %
selama tiga hari pada suhu ruangan. Maserasi
dilakukan sebanyak dua kali. Setelah kedua proses
maserasi selesai maka hasil maserat dicampurkan
kemudian disaring sebanyak dua kali. Penyaringan
pertama menggunakan kapas dan penyaringan
kedua menggunakan kertas saring berdiameter
20 cm berukuran mess 270 (ukuran pori-pori
50 µm). Hasil maserat berupa ekstrak berwarna
jernih atau mendekati jernih ditampung ke dalam
wadah gelas berwarna gelap dan tertutup, serta
terhindar dari cahaya matahari langsung.
Selanjutnya, maserat dipekatkan dengan vacum
rotary evaporator pada suhu 45 ºC hingga
diperoleh ekstrak kental etanol 70 % (Tiwari
et al. 2011).
Skrining fitokimia
Uji fitokimia dari serbuk dan ekstrak
bonggol pisang kepok kuning dilakukan terhadap
senyawa flavomoid, saponin, tannin, dan alkaloid.
Pengujian flavonoid dilakukan dengan metode
Farnsworth (1966). Sebanyak 2 g serbuk kering
bonggol pisang atau 4 mg ekstrak bonggol pisang
dimasukkan ke dalam gelas piala, ditambahkan
100 ml akuades panas, kemudian dididihkan
selama 5 menit. Larutan disaring dengan kertas
saring, kemudian filtrat yang diperoleh digunakan
sebagai larutan uji. Sebanyak 5 ml larutan uji
bonggol pisang dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, kemudian ditambahkan 1 ml larutan NaNO2
5 %, dan 1ml AlCl3 10 %. Selanjutnya, larutan
dikocok dan ditambahkan 2 ml NaOH 1M melalui
dinding tabung dan larutan di dalam tabung
dibiarkan hingga memisah. Terbentuknya lapisan
berwarna merah menunjukkan adanya senyawa
flavonoid (Wardani 2013).
Pengujian senyawa saponin dilakukan
dengan metode Farnsworth (1966). Sebanyak
10 ml larutan uji (yang diperoleh dari skrining
flavonoid) dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
dikocok secara vertikal selama 10 detik, lalu
dibiarkan selama 10 menit, selanjutnya
ditambahkan satu tetes HCl 1 %. Terbentuknya
busa yang stabil dalam tabung reaksi,
menunjukkan adanya senyawa saponin (Wardani
2013).
Pengujian senyawa tanin dilakukan dengan
metode Farnsworth (1966). Sebanyak 2 g serbuk
atau 4 mg ekstrak dicampur dengan 100 ml air,
dididihkan selama 15 menit, kemudian didinginkan
dan disaring dengan kertas saring ke dalam filtrat
yang diperoleh kemudian ditambahkan larutan ferri
(lll) klorida 1 %. Terbentuknya warna biru tua atau
hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa
tanin (Fransworth) (Wardani 2013).
Pengujian alkaloid dilakukan dengan
metode Harborne (1987). Sebanyak 2 g serbuk dan
4 mg ekstrak bonggol dimasukkan ke dalam
wadah, ditambahkan amoniak 25 % sebanyak 5 ml,
kemudian ditambahkan 20 ml kloroform sampai
massa bahan uji terendam. Campuran diaduk dan
dipanaskan di atas penangas air dan disaring.
Selanjutnya, filtrat diuapkan sampai setengahnya,
lalu dituang ke dalam tabung reaksi, dan
ditambahkan asam klorida 2 N. Kemudian larutan
dikocok dan dibiarkan hingga membentuk dua
lapisan. Lapisan jernih yang terbentuk diambil dan
dimasukkan ke dalam tiga tabung reaksi dengan
jumlah yang sama. Pada tabung reaksi I
ditambahkan pereaksi Mayer, pada tabung II
ditambahkan pereaksi Bouchardat, dan pada
tabung II ditambahkan pereaksi Dragendorff.
Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan putih pada tabung yang
berisi pereaksi Mayer, endapan coklat pada
pereaksi Bouchardat, dan endapan merah bata
pada pereaksi Dragendorff (Harborne 1987).
Pembuatan formula ekstrak bonggol pisang
kepok kuning
Dibuat 5 macam formula salep ekstrak
bonggol pisang kepok kuning yang mengandung
bahan aktif ekstrak dan bahan pembawa lainnya
(Tabel 1). Sebanyak 20 g formula sediaan salep
Formula Ekstrak Bonggol Pisang Kepok Kuning ... (Desy Muliana Wenas, Lisana Sidqi Aliya dan Wisma Merry Anjani)
103
ekstrak bonggol pisang kepok kuning yang
masing-masing mengandung ekstrak 10, 15, dan
20 %. Salep tersebut digunakan untuk dua kali
pemakaian dalam sehari selama 10 hari
pengamatan. Vaselin album dan adeps lanae
dicampur terlebih dahulu secara homogen di dalam
mortar. Ekstrak etanol 70 % bonggol pisang kepok
kuning ditambahkan ke dalam mortar dan diaduk
hingga homogen, lalu ditambahkan vaselin album
dan adeps lanae ke dalam mortar, kemudian diaduk
hingga homogen dan dikemas di dalam wadah.
Uji aktivitas antiinflamasi
Hewan uji yang digunakan pada pengujian
antiinflamasi adalah tikus putih jantan galur
Sprague Dawley sebanyak 24 ekor dalam kondisi
sehat, dengan berat badan 150-200 g. Tikus
diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7 hari agar
tikus dapat beradaptasi pada lingkungannya,
selama diadaptasikan tikus diberikan makan dan
minum pada pagi dan sore hari. Hewan uji dicukur
di bagian punggung dan dibersihkan dengan
alkohol 70 %. Kulit pada punggung tikus disayat
dengan pisau bedah dengan panjang luka sayat
1 cm, kedalaman 0,2 cm sejajar tulang vertebrae,
berjarak 5 cm dari telinga (Rupina et al. 2016).
Tikus tersebut dibagi dalam 6 kelompok masing-
masing terdiri atas 4 ekor dengan menggunakan
teknik random sampling. Kelompok I diberi
perlakuan formula ekstrak bonggol pisang kepok
kuning 10 %, kelompok II diberi formula ekstrak
bonggol pisang kepok kuning 15 %, kelompok III
diberi formula ekstrak bonggol pisang kepok
kuning 20 %, kelompok IV sebagai kontrol positif,
kelompok V diberi formula basis sebagai kontrol
negatif dan kelompok VI tidak diberikan perlakuan
sebagai kelompok normal. Parameter yang diukur
adalah panjang luka. Setiap tikus dibuat luka sayat,
dan masing-masing diberikan perlakuan (kecuali
tikus kelompok normal yang luka sayatnya tidak
diberikan perlakuan apa pun). Saat pembuatan luka
sayat dianggap sebagai hari ke-0. Panjang luka
diukur setiap hari dari hari pertama sampai hari ke-
10.
Analisis data
Hasil pengukuran panjang luka dihitung
rata-rata, serta persentase penyembuhan luka.
Selanjutnya dilakukan analisis statistik secara
ANOVA (Analysis of Variance) dan Uji Post Hoc.
Analisis statistik dilakukan dengan bantuan
software SPSS 22.0.
Evaluasi formula salep ekstrak bonggol pisang
kepok kuning
Pengujian karakteristik formula salep
dilakukan terhadap sifat organoleptik, homo-
genitas, pH, daya lekat, dan daya sebar. Pengujian
organoleptik dilakukan dengan mengamati sediaan
dari bentuk, bau, rasa dan warna.
Pengujian homogenitas dilakukan dengan
cara mengoleskan sediaan pada sekeping kaca atau
bahan transparan lain yang cocok dan dapat
menunjukkan susunan yang homogen. Sediaan
salep yang homogen ditandai dengan tidak
terdapatnya gumpalan pada hasil pengolesan,
struktur yang rata dan memiliki warna yang
seragam dari titik awal pengolesan sampai titik
akhir pengolesan. Sediaan salep yang diuji diambil
pada tiga tempat yaitu bagian atas, tengah dan
bawah dari wadah salep (Depkes 1979).
Tabel 1. Komposisi formula salep dari ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning.
Table 1. Composition of ointment formula containing kepok kuning banana corm ethanol extract.
Bahan F1 (10 %) F2 (15 %) F3 (20 %) F4 (+) F5 (-)
EBK 2 3 4 - -
Adeps lanae 3 3 3 - 3
Vaseline album 15 14 13 - 17
Salep Komersial - - - 20 -
Keterangan/Note:
F1: Salep ekstrak 10 %, F2: Salep ekstrak 15 %, F3: Salep ekstrak 20 %, F4 (kontrol positif) : Salep yang mengandung Povidone
Iodine, F5 (kontrol negatif): Salep basis. EBK: Ekstrak Etanol Bonggol Pisang Kepok kuning/F1: Ointment extract 10 %, F2: Ointment extract 15 %, F3: Ointment extract 20 %, F4 (positive control): Ointment containing Povidone Iodine, F5 (negative
control): Base ointment. EBK: Yellow Kepok Banana Corm Ethanol Extract.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 100 - 110
104
Pengujian pH sediaan dilakukan dengan
menimbang salep sebanyak 0,5 g dan diencerkan
dengan 5 ml akuades dan diuji menggunakan
kertas lakmus. Perubahan warna pada kertas
lakmus dibandingkan dengan warna standar.
Pengujian daya lekat dilakukan dengan
cara menimbang 1 g sediaan yang diletakkan pada
salah satu permukaan kaca objek dengan ukuran
25,4 x 76,2 mm kemudian kaca objek ditutup
dengan permukaan kaca objek yang lain. Kaca
objek ditindih dengan beban 1 kg selama 5 menit.
Kaca objek yang terhimpit kemudian dipasang
pada alat uji daya lekat bersamaan dengan
pemberian beban 80 g pada alat uji daya lekat,
waktu ketika gelas objek saling terlepas dicatat.
Daya lekat sediaan yang baik tidak kurang dari
4 detik (Dara 2012).
Pengujian daya sebar dilakukan dengan
meletakkan sebanyak 0,5 g sediaan diatas kaca
bulat yang berdiameter 15 cm, kemudian kaca
lainnya diletakkan diatasnya dan dibiarkan selama
1 menit. Diameter sebar sediaan diukur. Setelah
itu, ditambahkan 200 g beban tambahan ke bagian
atas kaca bulat yang menimpa sediaan dan
didiamkan selama satu menit, kemudian diukur
diameter sebar yang telah konstan. Syarat diameter
daya sebar sediaan yang baik antara 5-7 cm (Garg
et al. 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identitas tanaman pisang
Hasil determinasi yang dilakukan oleh
LIPI Cibinong terhadap pisang kepok kuning yang
digunakan dalam percobaan ini adalah Musa
acuminata x Musa balbisiana ABB, Famili
Musaceae. Bentuk buah dan bonggol dari pisang
kepok kuning dapat dilihat pada Gambar 1.
Skrining fitokimia
Skrining fitokimia dari serbuk maupun
ekstrak bonggol pisang kepok kuning
menunjukkan adanya kandungan senyawa saponin,
flavonoid, dan tanin (Tabel 2). Uji alkaloid pada
ekstrak dan serbuk ekstrak bonggol pisang kepok
kuning menunjukkan bahwa tidak terdapat
endapan kuning pada pereaksi Mayer, endapan
coklat pada pereaksi Bouchardat, dan endapan
merah bata pada pereaksi Dragendorff, berarti
serbuk dan ekstrak pisang kepok kuning tidak
mengandung senyawa alkaloid. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang menunjukkan bahwa
ekstrak etanol kulit buah pisang kepok kuning
mengandung senyawa flavonoid, tanin dan saponin
(Saraswati 2015). Begitu pula dengan ekstrak
etanol bonggol pisang nangka (Musa paradisiaca
(a) (b)
Gambar 1. Pisang kepok kuning (Musa acuminata x Musa balbisiana ABB). (a). Buah pisang; (b). Bonggol pisang.
Figure 1 Yellow kepok banana (Musa acuminata x Musa balbisiana ABB). (a). Banana fruit; (b). Banana corm.
Formula Ekstrak Bonggol Pisang Kepok Kuning ... (Desy Muliana Wenas, Lisana Sidqi Aliya dan Wisma Merry Anjani)
105
formatypicaatu) yang juga me ngandung senyawa
flavonoid, tanin dan saponin (Hilma et al. 2016).
Karakteristik sediaan salep
Hasil uji organoleptik pada sediaan salep
ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning
menunjukkan bahwa ekstrak bonggol pisang kepok
memiliki ciri khas beraroma manis, rasa pahit, dan
bentuk yang padat (Tabel 3), serta berwarna coklat
tua (Gambar 2).
Hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa
semua formula salep homogen, yang ditandai
dengan tidak adanya butiran kasar atau partikel
yang bergerombol pada gelas objek dan semuanya
menyebar secara merata. Suatu sediaan salep harus
homogen dan merata agar tidak menimbulkan
iritasi dan terdistribusi merata ketika digunakan
(Anief 1997).
Formula ekstrak etanol bonggol pisang
kepok kuning memiliki nilai pH yang sesuai
Tabel 2. Sifat fitokimia serbuk dan ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning.
Table 2. Phytochemical properties of yellow kepok banana corm powder and ethanol extract.
Senyawa fitokimia Hasil pengamatan Serbuk Ekstrak
Flavonoid Terdapat endapan berwarna merah +++ +++
Tanin Terbentuk warna biru tua + +
Saponin Terbentuk busa yang stabil ++ ++
Alkaloid : Mayer
Bouchardat
Dragendorff
Tidak terdapat endapan kuning
Tidak terdapat endapan coklat
Tidak terdapat endapan merah bata
-
-
Keterangan/Note : + Hasil positif, - Hasil negatif/+ Positive results, - Negative results.
Tabel 3. Evaluasi organoleptik dan homogenitas salep formula ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning.
Table 3. Organoleptic evaluation and homogeneity of the yellow kapok banana corm ethanol extract formula.
Formula Warna Aroma Rasa Bentuk Homogenitas
F1 Coklat Tua Manis Pahit Padat Homogen
F2 Coklat Tua Manis Pahit Padat Homogen
F3 Coklat Tua Manis Pahit Padat Homogen
F4 Coklat Tua Manis Pahit Padat Homogen
F5 Putih Tidak berbau Pahit Padat Homogen
Keterangan/Note:
F1 : Formula mengandung 10 % ekstrak/The formula contains 10 % extract. F2 : Formula mengandung 15 % ekstrak/The formula contains 15 % extract.
F3 : Formula mengandung 20 % ekstrak/The formula contains 20 % extract.
F4 : Salep komersial (kontrol positif)/Commercial ointment (positive control).
F5 : Formula mengandung basis (kontrol negatif)/Formula containing base (negative control.
Gambar 2. Salep formula ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning 20 %.
Figure 2. Ointment of yellow kepok banana containing 20 % corm-ethanol extract.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 100 - 110
106
dengan persyaratan pH sediaan topikal yaitu 4,5-
6,5 (Tranggono & Latifah 2007) sehingga salep
ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning aman
untuk digunakan, karena jika pH terlalu asam dapat
menyebabkan iritasi kulit sedangkan pH yang
terlalu basa dapat membuat kulit bersisik. Uji daya
lekat menunjukkan bahwa formula ekstrak etanol
bonggol pisang kepok kuning memerlukan waktu
>4 detik, untuk melekat pada kulit. Hal tersebut
dikarenakan basisnya adalah hidrokarbon sehingga
waktu daya lekatnya lebih lama karena konsistensi
formula salep yang padat.
Uji daya sebar sediaan dilakukan untuk
melihat kemampuan sediaan yang menyebar pada
kulit dimana sebaiknya sediaan memiliki daya
sebar yang baik untuk menjamin kepuasan
pengguna. Semakin luas membran tempat sediaan
menyebar maka koefisien difusi makin besar yang
mengakibatkan difusi senyawa aktif pun semakin
meningkat, sehingga semakin besar daya sebar
suatu sediaan maka semakin baik (Hasyim et al.
2012). Syarat diameter daya sebar sediaan yang
baik antara 5-7 cm (Garg et al. 2002).
Aktivitas antiinflamasi
Proses penyembuhan dimulai pada hari
ke-2 dengan proses penyembuhan yang paling
besar pada kelompok 3 (konsentrasi ekstrak 20 %).
Pada hari ke-7, kelompok 3 menunjukkan
penyembuhan terbaik dengan penyembuhan kulit
mencapai 100 % (Gambar 3). Kelompok tikus
lainnya juga mengalami kesembuhan luka 100 %
pada hari ke-8, kecuali kelompok normal yang
masih menunjukkan adanya luka (4,75 mm). Pada
hari ke-10, kelompok normal belum sembuh
sempurna dan panjang luka mencapai 3 mm
(Gambar 4). Hal tersebut terjadi karena meskipun
luka pada tikus kelompok normal tidak diberi
perlakuan, namun tikus tersebut mempunyai
kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya (Pongsipulung 2012).
Sebelum dilakukan uji ANOVA, terlebih
dahulu dilakukan uji homogenitas menggunakan
uji Levene terhadap data persentase penyembuhan
luka pada hewan uji. Bila data memenuhi syarat uji
homogenitas (homogen), maka uji yang digunakan
dalam Post Hoc adalah Bonferroni. Bila data tidak
homogen, maka data uji yang digunakan adalah uji
Games Howel. Data pada hari pertama tidak
dihitung, dikarenakan nilai panjang luka konstan
atau tidak berubah.
Hasil uji Levene menunjukkan beberapa
data panjang luka pada beberapa hari pengamatan
tidak homogen. Hal tersebut dikarenakan nilai p
pada uji Levene < 0,05 pada hari ke-2, hari ke-6
sampai hari ke-10, sehingga uji Post Hoc yang
digunakan ialah uji Games Howell. Sedangkan
hasil uji ANOVA terhadap rata-rata panjang luka
(a) (b)
Gambar 3. Penampakan luka pada hewan uji setelah diberi salep formula ekstrak bonggol pisang kepok kuning 20 %,
(a) Luka tikus hari pertama, (b) Luka tikus hari ke-7.
Figure 3 Wound appearance after being treated with 20 % extract ointment of yellow kepok banana corm,
(a) Wound on the first day, (b) Wound on the 7th day.
Formula Ekstrak Bonggol Pisang Kepok Kuning ... (Desy Muliana Wenas, Lisana Sidqi Aliya dan Wisma Merry Anjani)
107
pada 10 hari pengamatan menunjukkan nilai F
sebesar 15,141 dengan nilai p 0,000 < 0,05; artinya
pengaruh masing-masing perlakuan terhadap rata-
rata panjang luka pada 10 hari pengamatan terbukti
secara bermakna.
Berdasarkan uji Games Howell, perbedaan
yang bermakna terdapat pada data panjang luka
antara kelompok positif dengan ekstrak 20 %,
kelompok negatif dengan ekstrak 20 %, ekstrak
10 % dengan ekstrak 20 %, dan ekstrak 15 %
dengan ekstrak 20 %. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
penyembuhan luka pada hari ke-2 sampai hari
ke-10. Luka pada seluruh tikus pada hari ke-2
mulai mengalami proses penyembuhan (kecuali
kelompok normal dan kontrol negatif yang mulai
proses penyembuhan pada hari ke-3), yaitu
sebanyak 15 % pada F1 dan 18 % pada F2. Proses
penutupan luka terjadi pada tahap pertama yaitu
fase inflamasi. Fase inflamasi merupakan tahap
pertama dari penyembuhan luka. Berdasarkan hasil
rata-rata panjang luka pada masing-masing
perlakuan per hari (Gambar 4) dapat disimpulkan
bahwa ekstrak bonggol pisang kepok kuning 20 %
(F3) menunjukkan penyembuhan luka terbaik.
Luka sembuh tanpa ada bekas luka pada hari ke-8
ditunjukkan oleh seluruh kelompok tikus kecuali
kelompok tikus normal (dimana lukanya tidak
diberi perlakuan apapun) masih memiliki rata-rata
panjang luka sebesar 3 mm pada hari ke-10.
Salep ekstrak bonggol pisang kepok
kuning 10 % mampu menurunkan panjang luka
1,239 mm/hari, penurunan panjang luka dengan
salep komersial sebagai kontrol positif adalah
1,347 mm/hari sedangkan tanpa diberikan salep
penurunan panjang luka adalah 0,836 mm/hari.
Salep ekstrak bonggol pisang kepok kuning 10 %
mampu meningkatkan penyembuhan 12,45 %/hari,
peningkatan penyembuhan dengan salep komersial
sebagai kontrol positif adalah 13,18 %/hari dan
salep basis (kontrol negatif) 13,49 %/hari,
sedangkan tanpa diberikan salep, penyembuhan
luka lebih lambat yaitu 8,376 %/hari.
Fase inflamasi terlihat pada hari ke-2 dan
berakhir sekitar 3 hingga 4 hari, pada fase tersebut
muncul peradangan dan kemerahan, lalu terjadi
peristiwa hemostatis yang dibantu oleh benang-
benang fibrin. Fase proliferasi terjadi saat fibroblas
menghasilkan kolagen. Kolagen tersebut
membantu mengembalikan kekuatan jaringan kulit
dan mempercepat penyembuhan luka. Tahap
terakhir yaitu pada fase maturasi dimana pada fase
ini sudah terlihat jaringan kulit yang baru
(Sugiaman 2011).
Gambar 4. Hubungan antara waktu penyembuhan dengan panjang luka tikus putih jantan galur
Sprague Dawley pada berbagai perlakuan formula ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning.
Figure 4 Relationship between healing time and wound length of Sprague Dawley male-white rats
treated with formula of yellow kepok banana corm ethanol extract
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 100 - 110
108
Perlakuan formula ke-3 (ekstrak 20 %)
pada hari ke-7 penyembuhan luka sudah mencapai
100 %, sedangkan luka yang diberi perlakuan F1
(ekstrak 10 %) dan F2 (ekstrak 15 %) mengalami
kesembuhan tanpa bekas luka pada hari ke-8.
Persentase kesembuhan sebesar 100 % untuk
ketiga formula tersebut menunjukkan bahwa
formula ekstrak etanol bonggol pisang kepok
kuning memiliki aktivitas penyembuhan luka
sayat. Formula ekstrak etanol bonggol pisang
kepok kuning mengandung zat aktif yang mampu
meningkatkan aliran darah ke daerah luka dan juga
dapat menstimulasi fibroblas sebagai respon untuk
penyembuhan luka (Dewi 2018).
Luka pada tikus kelompok kontrol negatif
(F5) yang hanya dioles dengan basis hidrokarbon
(adeps lanae dan vaselin album) menunjukkan
penyembuhan luka yang hampir sama dengan
kontrol positif (F4), namun perbedaannya terlihat
pada F4 yaitu awal penyembuhan lukanya dimulai
pada hari ke-2, sedangkan F5 baru memulai
penyembuhan lukanya pada hari ke-3. Kelompok
tikus dengan formula ekstrak (F1-F3) memiliki
tingkat penyembuhan yang lebih baik (95-100 %)
daripada kelompok tikus dengan formula kontrol
positif (F4) pada hari ke-7, yaitu sebesar 90 %.
Komposisi yang terdapat pada salep komersial
yaitu povidon iodine yang memiliki zat aktif yang
dapat membantu proses penyembuhan luka sayat
dengan cepat. Luka yang diberikan formula basis
(F5) mengalami proses penyembuhan lebih cepat
dibandingkan luka yang tidak diberi perlakuan
apapun (kelompok normal). Hal tersebut dapat
dilihat dari persentase penyembuhan luka pada
kelompok tikus F5 (kontrol negatif) pada hari ke-7
sebesar 85 % dan luka sembuh tanpa bekas
(100 %) pada hari ke-8, sedangkan persentasi
penyembuhan luka pada kelompok tikus normal di
hari ke-10 baru mencapai 70 %. Hal tersebut
dikarenakan basis sediaan tersebut yaitu campuran
vaseline album dan adeps lanae dapat menarik
lebih banyak air sehingga luka tertutupi dari
bakteri, kemudian cepat kering dan tidak
membusuk (Andrie & Sihombing 2017).
Mekanisme penyembuhan luka pada
ekstrak bonggol pisang kepok kuning dapat berasal
dari kandungan flavonoid, tanin dan saponin.
Flavonoid diketahui mampu meningkatkan
proliferasi fibroblas sehingga dapat mempercepat
proses penyembuhan luka (Aslam et al. 2018).
Flavonoid juga memiliki sifat astringent dan
aktivitas antimikroba sehingga berperan dalam
kontraksi luka dan mempercepat proses epitelisasi
(Ambiga et al. 2007). Tanin berperan dalam proses
pembekuan darah, sehingga darah beku akan
mengakumulasi jaringan fibroblas serta mencegah
infeksi yang diakibatkan oleh bakteri yang terdapat
di sekitar area luka. Saponin dapat menyebabkan
tekanan permukaan sel menurun dan membuat sel
lisis (Matasyoh et al. 2014).
Gambar 5. Hubungan antara waktu dengan persentase penyembuhan luka tikus putih jantan galur Sprague Dawley
pada berbagai perlakuan formula ekstrak etanol bonggol pisang kepok kuning.
Figure 5 Relationship between time and percentage of healing of Sprague Dawley male-white rats treated
with formula of yellow kepok banana corm ethanol extract
Formula Ekstrak Bonggol Pisang Kepok Kuning ... (Desy Muliana Wenas, Lisana Sidqi Aliya dan Wisma Merry Anjani)
109
KESIMPULAN
Formula salep mengandung 20 % ekstrak
etanol bonggol pisang kepok kuning memiliki
aktivitas penyembuhan luka paling cepat pada
tikus uji dibandingkan dengan formula ekstrak 10
dan 15 %. Aktivitas formula 20 % sebanding
dengan kontrol positif salep komersial. Aktivitas
antiinflamasi dari formula salep bonggol pisang
kepok kuning berkaitan dengan kandungan
senyawa saponin, flavonoid, dan tanin. Hasil
penelitian mengindikasikan bahwa ekstrak bonggol
pisang kepok kuning berpotensi dikembangkan
sebagai obat antiinflamasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Kemenristek Dikti Republik Indonesia
yang telah menyediakan dana Hibah Penelitian
Dosen Pemula tahun anggaran 2018 kepada
Fakultas Farmasi, Institut Sains dan Teknologi,
Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Ambiga, S., Narayanan, R., Gowri, D., Sukumar,
D. & Madhavan, S. (2007) Evaluation of
Wound Healing Activity of Flavonoids from
Ipomoea carnea Jacq. Ancient science of life.
26 (3), 45-51.
Andrie, M. & Sihombing, D. (2017) Efektivitas
Sediaan Salep yang Mengandung Ekstrak Ikan
Gabus (Channa striata) pada Proses
Penyembuhan Luka Akut Stadium II Terbuka
pada Tikus Jantan Galur Wistar. Pharm Sci
Res. 2407-2354.
Anief, M. (1997) Ilmu Meracik Obat: Teori dan
Praktik. Gadjah Mada University Press.
Aslam, M.S., Ahmad, M.S., Riaz, H., Raza, S.A.,
Hussain, S., Qureshi, O.S., Maria, P.,
Hamzah, Z. & Javed, O. (2018) Role of
Flavonoids as Wound Healing Agent.
Phytochemicals-Source of Antioxidants and
Role in Disease Prevention, pp. 95-102.
doi:dx.doi.org/10.5772/intechopen.79179.
Azizah, N.G. (2016) Analisis Ekstrak Batang dan
Akar Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.)
dalam Menghambat Pertumbuhan Candida
albicans. Skripsi. Universitas Hasanuddin
Makassar.
Dara, R.S. (2012) Pengaruh Perbedaan Jenis Basis
Hidrofil Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Salep
Anti Jerawat Ekstrak Daun Sirih (Piper betle
L.). Universitas Sebelas Maret.
Depkes. (1979) Farmakope Indonesia. Edisi III.
Jakarta, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Dewi, P.S. (2018) Efektifitas Ekstrak Lidah Buaya
Terhadap Jumlah Sel Fibroblast pada Proses
Penyembuhan Luka Incisi Marmut. Intisari
Sains Medis. 9 (3), 51-54.
doi:10.15562/ism.v9i3.272.
Fakhriani, D.K. (2015) Kajian Etnobotani
Tanaman Pisang (Musa sp.) di Desa
Bulucenrana Kecamatan Pitu Riawa
Kabupaten Sidrap. UIN Alauddin Makassar.
Farnsworth, N.R. (1966) Biological and
Phytochemical Screening of Plants. Journal of
Pharmaceutical Science. 151 (3712), 874-875.
doi:10.1126/science.151.3712.874.
Garg, A., Aggarwal, D., Garg, S. & Singla, A.K.
(2002) Spreading of Semisolid Formulations:
An Update. Pharmaceutical Technology. 84-
105.
Harborne, J.B. (1987) Metode Fitokimia: Penuntun
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Hasyim, N., Pare, K.L. & Kurniati, A. (2012)
Formulasi dan Uji Efektivitas Gel Luka Bakar
Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe
pinnata) pada Kelinci (Oryctolagus
cuniculus). Majalah Farmasi dan
Farmakologi. 16 (2), 89-94.
Hilma, R., Nurianti, S. & Fadli, H. (2016)
Aktivitas Antioksidan dan Toksisitas Ekstrak
Etanol Bonggol Pisang Nangka (Musa
paradisiaca formatypicaatu). In: Proceeding
of 1th Celscitech-UMRI 2016. 1(9), Riau,
LP2M-UMRI, pp. 55-61.
Khairunnisa, S.F., Ningtyas, A.A., Haykal, S.A. &
Sari, M. (2018) Getah Pohon Pisang (Musa
paradisiaca) pada Penyembuhan Luka Soket
Pasca Pencabutan Gigi. Jurnal Kedokteran
Gigi. 30 (3), 108-113.
doi:10.24198/jkg.v30i3.18528.
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 30 No. 2, 2019 : 100 - 110
110
Lakshmi, V., Agarwal, S.K., Ansari, J.A., Mahdi,
A.A. & Srivastava, A.K. (2014) Antidiabetic
Potential of Musa paradisiaca in
Streptozotocin-induced Diabetic Rats. The
Journal of Phytopharmacology JPHYTO. 3
(32), 77-81.
Matasyoh, L.G., Murigi, H.M. & Matasyoh, J.C.
(2014) Antimicrobial Assay and Phyto-
chemical Analysis of Solanum nigrum
Complex Growing in Kenya. African Journal
of Microbiologi Research. 8 (50), 3923-3930.
doi:10.5897/A AJMR2014.7133.
Ningsih, A.P., Nurmiati & Agustien, A. (2013) Uji
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kental Tanaman
Pisang Kepok Kuning (Musa paradisiaca
Linn.) terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Jurnal Biologi Universitas
Andalas. 2 (3), 207-213.
Pongsipulung, G.R. (2012) Formulasi dan
Pengujian Salep Ekstrak Bonggol Pisang
Ambon (Musa paradisiaca var. sapientum L.).
Pharmacon. 1 (2), 1-7.
Priosoeryanto, B.P., Putriyanda, N., Listyanti, A.
R., Juniantita, V., Wientarsih, I., Prasetyo,
B.F. & Tiuria, R. (2007) The Effect of Ambon
Banana Stem Sap (Musa paradisiaca forma
typica) On The Acceleration of Wound
Healing Process in Mice (Mus musculus
albinus). Journal of Agriculture and Rural
Development in the Tropics and Subtropics.
German Institute for Tropical and Subtropical
Agriculture, pp. 1-194.
Rupina, W., Trianto, H.F. & Fitrianingrum, I.
(2016) Efek Salep Ekstrak Etanol 70% Daun
Karamunting terhadap Re-epitelisasi Luka
Insisi Kulit Tikus Wistar. eJournal
Kedokteran Indonesia. 4 (1), 26-30.
doi:10.23886/ejki.4.5905.26-30.
Saraswati, F.N. (2015) Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Etanol 96% Limbah Kulit Pisang
Kepok Kuning (Musa balbisiana) Terhadap
Bakteri Penyebab Jerawat (Staphylococcus
epidermidis, Staphylococcus aureus, dan
Propionibacterium acne). UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Sariamanah, W.O.S., Munir, A. & Agriansyah, A.
(2016) Karakteristik Morfologi Tanaman
Pisang (Musa paradisiaca L.) di Kelurahan
Tobimeita Kecamatan Abeli Kota Kendari.
Jurnal Ampibi.1 (3), 32-41.
Sugiaman, V.K. (2011) Peningkatan Penyembuhan
Luka di Mukosa Oral Melalui Pemberian Aloe
Vera (Linn.) secara Topikal. Maranatha
Journal of Medicine and Health. 11 (1), 70-
79.
Takeo, M., Lee, W. & Ito, M. (2015) Wound
Healing and Skin Regeneration. Cold Spring
Harbor Perspectives in Medicine. 5 (1), 1-12.
doi:10.1101/cshperspect.a023267.
Tiwari, P.K., Kaur, M. & Kaur, H. (2011)
Phytochemical Screening and Extraction: A
Review. Internationale Pharmaceutica
Sciencia.1 (6), 98-106.
doi:10.1002/hep.29375.
Tranggono, R.I. & Latifah, F. (2007) Buku
Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
Djajadisastra, J. Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama.
Venkatesh, R., Krisna, V., Krishnamurthy, G.K.,
Pradeepa, K. & Kumar, S.R.S.(2013)
Antibacterial Activity of Ethanol Extract of
Musa paradisiaca cv. Puttabale and Musa
acuminate CV. Grand Naine. Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research. 6 (2),
167-170.
Wardani, S.P.W. (2013) Uji Biolarvasida Fraksi
Etanol Kulit Batang Karet India (Ficus
elastica Nois ex Blume) Terhadap Larva
Nyamuk Anopheles aconitus dan Aedes
aegypti serta Skrining Fitokimia. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
111
BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Volume 30, 2019
INDEKS SUBJEK
Agens hayati, 35, 36, 37, 40, 41, 42, 43, 44
Analisis sensitivitas, 11, 13, 14, 20, 22
Azadirachta indica, 11, 12, 22, 23
Azadirachta indica, 27, 28, 33, 34
Biji, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,
23, 24, 25, 26
Bioinsektisida, 1, 2
Biopestisida, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
21, 22, 23, 24, 25, 26
Cengkeh Zanzibar, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 88
Centella asiatica, 47, 48, 55, 56
Community structures, 47, 49
Daya tular horizontal, 1, 6, 7
Efektivitas penghambatan, 27
Enterobacter, 35, 42, 43, 44, 45
Fenol, 27, 29, 32, 33
Fenotipe, 69
Fitokimia, 100, 101, 102, 104, 105, 109, 110
Kelayakan finansial, 16, 12, 13, 14, 15, 16, 19,
20, 22
Kemiripan genetik, 69, 78
Keragaman, 69, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 80
Maserasi, 100, 101, 102
Media perkecambahan, 81, 82, 83, 87, 88, 89
Microorganism, 47, 48, 52, 56
Mortalitas, 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9
Myristica fragrans, 69, 79
Nano-technology, 59
Penyembuh luka, 100
Plant organs, 47, 50, 51, 52, 53, 54, 55
Pogostemon cablin, 35, 36, 44, 45, 46
Pogostemon cablin, 59, 68 Spodoptera litura, 27, 34
Synchytrium pogostemonis, 35, 36, 46
Syzygium aromaticum, 81, 82
Virucide, 59
Wereng coklat, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10
INDEKS PENGARANG
Aliya, Lisana Sidqi, 100
Anjani, Wisma Merry, 100
Arlianti, Tias, 69
Budiawan, 27
Indrayanti, Reni, 35
Kardinan, Agus, 1
Listiana, Novia, 35
Mardiningsih, Tri Lestari, 59
Mariana, Maya, 59
Noveriza, Rita, 59
Pelealu, Rian Virvian Hidayat R., 81
Pramasari, Dwi Ajias, 11
Prianto, Arief Heru, 11, 27
Radiastuti, Nani, 47
Rakhmaniar, Amelia, 47
Roostika, Ika, 47
Rostiana, Otih, 69
Simanjuntak, Partomuan, 27
Sobir, 69
Sukamto, 35
Susilowati, Dwi Ningsih, 47
Suwarno, Faiza C., 81
Tarigan, Nurbetti, 1
Wahyono, Tri Eko, 1
Wahyuno, Dono, 35
Wenas, Desy Muliana, 100
Widajati, Eny, 81
Wirnas, Desta, 69
Yuliani, Sri, 59
Yulizar, Yoki, 27
Indeks Subjek, Indeks Pengarang, dan Indeks Mitra Bestari
177
112
ABSTRAK
ISSN : 0215-0824 E-ISSN : 257-4414 Volume 30, 2019
UDC 632.95
Agus Kardinan, Tri Eko Wahyono, dan Nurbetti Tarigan
(KEEFEKTIFAN PIRETRUM, MIMBA, Beauveria bassiana, DAN
Metarhizium anisopliae TERHADAP WERENG COKLAT (Nilaparva
lugens Stal.))
THE EFFECTIVENESS OF PYRETHRUM, NEEM, Beauveria
bassiana AND Metarhizium anisopliae AGAINST BROWN PLANT
HOPPER (Nilaparvata lugens Stal.)
Bul. Littro. Vol. 30, No. 1, 2019, 1-10
Wereng coklat merupakan masalah dalam budidaya tanaman padi
karena sering mengakibatkan gagal panen. Pengendalian dengan
insektisida sintetis berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keefektifan
insektisida nabati (piretrum dan mimba) dan insektisida hayati
(Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae) terhadap wereng
coklat. Penelitian dilakukan di Rumah Kaca Entomologi Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor tahun 2017. Penelitian
terdiri atas 2 kegiatan yaitu efektifitas insektisida nabati dan hayati
terhadap mortalitas wereng coklat dan penularan insektisida hayati
secara horizontal. Formula insektisida nabati yang diuji adalah (1)
piretrum I (5 ml.l-1 air ), (2) piretrum II (5 ml.l-1 air ), (3) mimba I (20
ml.l-1 air ), (4) mimba II (20 ml.l-1 air ), (5) insektisida sintetis
(karbosulfan) (2 ml.l-1 air ) dan (6) kontrol (air). Perlakuan insektisida
hayati yang diuji adalah (1) Bb (semprot, 2,5 ml/tanaman), (2) Bb
(granul, 5 g/pot), (3) Ma (semprot, 2,5 ml/tanaman), (4) Ma (granul, 5
g/pot) dan (5) kontrol. Perlakuan daya tular horizontal terdiri atas
perbandingan wereng terinfeksi : sehat yaitu 1 : 10; 2 : 10; 3 : 10; 4 : 10.
Insektisida nabati piretrum dan mimba dapat menekan populasi wereng
coklat berturut turut 85-87 % dan 60-70 %. B. bassiana mampu
menekan populasi wereng sekitar 18,2 %, lebih baik dari M. anisopliae
(5,6 %). Aplikasi dengan penyemprotan lebih baik dari bentuk granul.
Penggunaan insektisida hayati tidak menunjukkan daya tular horizontal
pada wereng sehat. Insektisida nabati (piretrum dan mimba) lebih
prospektif dalam mengendalikan wereng coklat daripada insektisida
hayati (B. bassiana dan M. anisopliae).
Kata kunci: Bioinsektisida; daya tular horizontal; mortalitas; wereng
coklat
UDC 632.95
Dwi Ajias Pramasari dan A. Heru Prianto
(KELAYAKAN FINANSIAL PRODUKSI BIOPESTISIDA BIJI
MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) DENGAN METODE
PENGEPRESAN ULIR)
FINANCIAL FEASIBILITY STUDY OF NEEM (Azadirachta indica
A. Juss) SEED BASED-BIOPESTICIDES PRODUCTION WITH
SCREW PRESS METHOD
Bul. Littro. Vol. 30, No. 1, 2019, 11-26
Biji mimba merupakan salah satu bahan baku biopestisida berprospek
baik, karena mengandung minyak dengan bioaktif limnoid. Salah satu
metode untuk memperoleh minyak dari biji mimba yaitu dengan
metode pengepresan ulir. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
kelayakan finansial usaha produksi biopestisida dari biji mimba yang
diaplikasikan pada skala industri dengan memperhatikan diagram alir
proses produksinya. Analisa kelayakan finansial pada penelitian ini
dilakukan dengan pendekatan NPV, IRR, Payback Period dan
Profitability Index. Analisa kelayakan finansial menunjukkan usaha
biopestisida memiliki nilai NPV Rp 3.026.193.872,00; IRR 46,90 %,
Payback Period 2 tahun 1 bulan, dan Profitability Index 2,40.
Berdasarkan keempat kriteria kelayakan tersebut, usaha pembuatan
biopestisida berbasis minyak mimba dengan metode pengepresan ulir,
layak untuk dikembangkan. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa
perubahan harga bahan baku dari biji mimba dan harga jual produk
biopestisida sangat mempengaruhi kelayakan usaha biopestisida dari
biji mimba dengan metode pengepresan ulir. Analisis kelayakan usaha
ini diharapkan dapat dijadikan acuan awal untuk mengembangkan
potensi biji mimba sebagai biopestisida.
Kata kunci: Azadirachta indica; analisis sensitivitas; biji; biopestisida;
kelayakan finansial
UDC 632.951
Arief Heru Prianto, Budiawan, Yoki Yulizar, dan Partomuan Simanjuntak
(PENGARUH SINERGI AZADIRACHTIN DAN KOMPONEN MINOR DALAM MINYAK BIJI MIMBA TERHADAP AKTIVITAS
ANTIFEEDANT Spodoptera litura)
THE SYNERGY EFFECT OF AZADIRACHTIN AND MINOR COMPONENTS OF NEEM SEED OIL ON ANTIFEEDANT ACTIVITY OF
Spodoptera litura
Bul. Littro. Vol. 30, No. 1, 2019, 27-34
Aktivitas azadirachtin sebagai antifeedant terhadap serangga dari minyak mimba (Azadirachta indica A.Juss) diduga bersinergi dengan komponen
minor di dalam minyak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kandungan komponen minor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pengaruh
sinergi dengan komponen utama minyak biji mimba yaitu azadirachtin dalam aktivitas antifeedant Spodoptera litura. Minyak biji mimba
difraksinasi dengan n-heksan, etil asetat, dan air. Aktivitas antifeedant dari tiga fraksi minyak biji mimba dievaluasi terhadap larva S. litura instar
ke-4. Bioassay dilakukan dengan menggunakan uji choice leaf disc dengan konsentrasi fraksi 2,5; 5; 10, dan 20 % (v/v). Konsentrasi dalam semua
fraksi menunjukkan kandungan azadirachtin yang sama, sehingga aktivitas antifeedant menunjukkan efek komponen minor dalam fraksi. Aktivitas
terbaik diperoleh pada perlakuan fraksi air (84-100%). Analisis probit aktivitas antifeedant dari semua fraksi menunjukkan bahwa fraksi air
memiliki efektivitas penghambatan terbaik (EI50) yaitu 1,0 %. Komponen minor di dalam fraksi air didominasi senyawa fenol (48,5 %) yang
diduga bersinergi dengan komponen utama azadirachtin dalam meningkatkan aktivitas antifeedant S. litura. Hasil ini mengindikasikan senyawa
fenol di dalam fraksi air minyak mimba berperan meningkatkan aktivitas antifeedant azadirachtin terhadap S. litura.
Kata kunci: Azadirachta indica; Spodop-tera litura; efektivitas penghambatan; fenol
113
UDC 633.85
Sukamto, Novia Listiana, Reni Indrayanti, dan Dono Wahyuno
(ISOLASI DAN KARAKTERISASI POTENSI ISOLAT BAKTERI
RIZOSFIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUDOK
PADA TANAMAN NILAM)
ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF POTENTIAL
ISOLATES OF RHIZOSPHERE BACTERIA TO CONTROL BUDOK
DISEASE IN PATCHOULI PLANT
Bul. Littro. Vol. 30, No. 1, 2019, 35-46
Synchytrium pogostemonis, patogen penyebab penyakit budok,
merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam produksi tanaman
nilam di Indonesia. Petani nilam biasanya mengendalikan penyakit
budok dengan fungisida kimia yang dapat berdampak buruk karena
mencemari lingkungan dan menimbulkan gangguan pada ekosistem
pertanian. Oleh karena itu, perlu dicari cara pengendalian yang ramah
lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengisolasi dan
mengevaluasi isolat rizobakteria dari akar tanaman nilam dan lada, serta
pengaruhnya terhadap jamur model (Fusarium oxysporum f.sp. vanillae,
F. solani, Sclerotium rolfsii). Beberapa isolat rizobakteri yang potensial
diuji untuk mengendalikan penyakit budok pada skala pot. Selanjutnya,
isolat paling potensial diidentifikasi secara molekuler. Selain itu, jenis
senyawa yang bersifat antijamur dianalisis dengan metode GC-MS.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa 26 dari 100 isolat rizobakteri yang
diperoleh dapat menghambat pertumbuhan F. oxysporum, F. solani, dan
S. rolfsii. Empat isolat rizobakteri (RL13-A, RL31-A, RL35-A, RL32-
B) menunjukkan penghambatan yang kuat (>40 %) terhadap tiga jamur
patogen yang diuji. Hasil pada percobaan dalam polibag menunjukkan
bahwa isolat rizobakteri RL35-A, PS9, RL13-A, RL32-B, RL31-A
dapat menekan secara nyata penyakit budok sebesar 84,01; 76,00;
65,99; 43,99; dan 21,98%. Isolat RL35-A memiliki daya antagonis yang
paling kuat dibandingkan dengan isolat lainnya. Berdasarkan analisis
molekular 16S rDNA, isolat RL35-A berkerabat dekat dengan
Enterobacter sp. (99 %). Senyawa antibiotik yang diekstraksi dari
kultur RL35-A teridentifikasi sebagai fenol, 2,6-dimetoksi (Canola)
berdasarkan analisis GC-MS. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri
Enterobacter sp. dapat dikembangkan sebagai agens hayati untuk
pengendalian penyakit budok pada tanaman nilam.
Kata kunci: Pogostemon cablin; agens hayati; Synchytrium pogos-
temonis, Enterobacter
UDC 633.88
Dwi Ningsih Susilowati1), Amelia Rakhmaniar2), Nani Radiastuti 2) dan
Ika Roostika1)
(DIVERSITY OF ENDOPHYTIC FUNGI IN THE ROOT, LEAF,
STOLON AND PETIOLE OF ASIATIC PENNYWORT (Centella
asiatica))
KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT PADA AKAR, DAUN,
STOLON DAN TANGKAI DAUN PEGAGAN (Centella asiatica)
Bul. Littro. Vol. 30, No. 1, 2019, 47-58
Endophytic fungi live in healthy tissues of many plants, including in
medicinal plant such as Asiatic pennywort (Centella asiatica). These
fungi exist in different parts of the plant as symbionts. The study
aimed to isolate endophytic fungi from various parts of Asiatic
pennywort of Malaysia accession and characterize their nature. Three
individual plants of Asiatic pennywort (3 months-old) were obtained
from the Sringanis Medicinal Garden in Bogor. The endophytes were
isolated on Malt Extract Agar. The community structures of the
endophytes were analyzed based on their diversity, colonization,
dominance index, and relative frequency of occurrence of the isolated
endophytic fungi. A total of 78 isolates have been obtained from three
individual plants and clustered into 22 morphotypes consisted of
18 morphotypes of Ascomycota and 4 morphotypes of Basidiomycota
divisions. The stolons harbored more endophytes (22.9 %) followed by
leaf (16.7 %), root (11.8 %), and petiole (7.6 %). The diversity index
was classified as medium category with the highest result (1.91) was
found in the root, followed by leaf (1.79), stolon (1.75), and petiole
(1.29). The most dominant endophytes were identified as
Ceratobasidium sp., Colletotrichum sp, and Fusarium sp.
Ceratobasidium sp. has the highest dominance index (0.02). UPGMA
cluster analysis grouped the endophytic fungi into distinct clusters
based on the plant parts origin. This study implied that stolon was the
the most suitable part of Asiatic pennywort for isolating endophytic
fungi. Further study is required to examine the role of the endophytic
fungi to produce secondary metabolites in Asiatic pennywort.
Key words: Centella asiatica; community structures; microorganism;
plant organs
UDC 633.85
Rita Noveriza, Maya Mariana, Tri Lestari Mardiningsih, and Sri Yuliani
(EFFECT OF CITRONELLA NANO BIOPESTICIDE AGAINST MOSAIC VIRUS AND ITS VECTOR ON PATCHOULI)
PENGARUH NANO BIOPESTISIDA CITRONELLA TERHADAP VIRUS MOSAIK DAN VEKTORNYA PADA TANAMAN NILAM
Bul. Littro. Vol. 30, No. 2, 2019, 59-68
The mosaic disease declines production and oil quality of patchouli. Antiviral-based citronella oil has been formulated using a spontaneous
emulsification technique (nanotechnology). The previous result of the greenhouse trial showed the formula at 1-1.5 % concentrations suppressed
the development of virus of about 82.5 %. The field-scale tests is necessary to be performed to validate the effectiveness of citronella nano
biopesticide (CNB) against the mosaic virus and its vector on patchouli. The study was conducted in patchouli plantation at two locations
(Pandeglang, Banten and Manoko, West Java). The research was arranged in a Randomized Completed Block Design (RCBD) with 6 treatments
and 10 replications, each replication consisted of 50 plants. The treatments were formula of CNB at the concentration of (1) 0.5 %, (2) 1 %,
(3) 1.5 %, (4) 2 %, (5) insecticide (deltamethrin 0.2 %), and (6) control. The results showed that CNB formula at 1 % concentration with a
monthly application effectively suppressed the development of mosaic disease in patchouli plants, and at 2 % concentration to control rolled-leaf
aphid. The lowest intensity of mosaic disease (at 1 % concentration) was in Banten (23.12 %) and in West Java (18.35 %), while in control ranged
from 26.31-44.94 % (Banten) and 19.60-23.12 % (West Java). Efficacy Index (EI) in Banten ranged from 12.12-48.55 % and in West Java was
6.38-20.63 %. The lowest intensity of aphid attack was showed by insecticide and CNB at 2 % concentration. The EI of CNB was 35.33 %
(Banten) and 51.71 % (West Java) respectively.
Key words: Pogostemon cablin; nano-technology; virucide
114
UDC 633.834
Tias Arlianti, Desta Wirnas, Sobir, dan Otih Rostiana
(HUBUNGAN KEKERABATAN PALA POPULASI TIDORE,
TERNATE, DAN BOGOR BERDASARKAN MARKA
MORFOLOGI)
THE RELATIONSHIP OF NUTMEG POPULATIONS FROM
TIDORE, TERNATE, AND BOGOR BASED ON
MORPHOLOGICAL MARKER
Bul. Littro. Vol. 30, No. 2, 2019, 69-80
Pala Banda (Myristica fragrans) adalah salah satu komoditas rempah
utama Indonesia. Pusat asal dan keragaman genetik pala ada di
Kepulauan Maluku, Maluku Utara, Siau, serta Papua, sedangkan Bogor
termasuk salah satu wilayah pengembangan terluas di Jawa Barat.
Karakter keragaman pala Bogor belum banyak dipelajari, padahal
informasi ini penting untuk pembentukan varietas lokal dan pemenuhan
kebutuhan benih. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaman dan
hubungan kekerabatan populasi pala Tidore, Ternate, dan Bogor.
Percobaan dilakukan di delapan lokasi, yaitu Tidore (Gurabunga dan
Jaya), Ternate (Marikurubu) dan Bogor (Cigombong, Ciawi,
Leuwisadeng, Sukajadi, dan Tamansari) sejak November 2017 sampai
dengan Desember 2018. Bahan penelitian yang digunakan adalah 46
aksesi pala berumur 8-30 tahun yang pertumbuhannya baik dan jelas
asal-usulnya. Pengamatan menggunakan metode observasi langsung
pada karakter habitus, daun, buah, biji, fuli, dan bunga berdasarkan
deskriptor tanaman buah tropis IPGRI. Kemiripan antar aksesi dihitung
menggunakan jarak Gower. Hasil penelitian menunjukkan keragaman
karakter morfologi terlihat pada bentuk buah, bentuk pangkal dan ujung
buah, warna buah dan bentuk pohon. Tebal fuli merupakan karakter
dengan nilai keragaman terbesar (50,38 %). Keragaman morfologi intra
populasi umumnya rendah kecuali pada karakter buah dan berat fuli.
Kekerabatan populasi pala Bogor lebih dekat dengan Ternate
dibandingkan Tidore. Tingkat kemiripan populasi pala Bogor dengan
populasi Ternate mencapai 60 %, sementara kemiripan dengan pala
Tidore 46 %. Hubungan kekerabatan antara lima populasi pala Bogor
sangat dekat. Populasi Leuwisadeng, Tamansari dan Sukajadi adalah
populasi pala Bogor yang memiliki hubungan kekerabatan dan tingkat
kemiripan tertinggi, rata-rata sebesar 80 %.
Kata kunci: Myristica fragrans; fenotipe; kemiripan genetik; keragaman
UDC 633.832
Rian Virvian Hidayat R. Pelealu, Eny Widajati, dan Faiza C. Suwarno
(PENGARUH TINGKAT KEMASAKAN DAN MEDIA
PERKECAMBAHAN TERHADAP VIABILITAS BENIH
CENGKEH ZANZIBAR)
DETERMINATION OF PHYSIOLOGYCAL MATURITY AND
EFFECT OF GERMINATION MEDIA ON ZANZIBAR CLOVE
SEEDS VIABILITY
Bul. Littro. Vol. 30, No. 2, 2019, 81-89
Rendahnya mutu benih cengkeh berkontribusi terhadap rendahnya
produktivitas cengkeh nasional di Indonesia. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan tingkat masak fisiologis dan pengaruh media
perkecambahan terhadap viabilitas benih cengkeh. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Penyimpanan dan Pengujian Mutu
Benih dan Kebun Percobaan Leuwikopo, Bogor sejak Oktober 2017
sampai Desember 2018. Bahan yang digunakan adalah benih cengkeh
Zanzibar dari pohon berumur ≥ 10 tahun. Benih berasal dari kebun
rakyat Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Penelitian menggunakan
rancangan split plot, empat ulangan. Petak utama adalah empat tingkat
kemasakan benih berdasarkan warna buah yaitu hijau kemerahan,
merah muda, merah dan merah tua. Anak petak adalah tiga jenis
media perkecambahan yaitu pasir, kokopit dan zeolit, sehingga
terdapat 12 perlakuan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 40 butir
benih untuk uji daya berkecambah, dan 5 butir benih untuk uji kadar
air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase viabilitas benih
cengkeh tidak dipengaruhi oleh tingkat masak benih berdasarkan
warna buah, tetapi dipengaruhi oleh media perkecambahan.
Karakteristik mutu fisiologis benih cengkeh yang baik adalah memiliki
bobot kering benih 2,70 g, daya berkecambah 100 %, indeks vigor
73,75 %, dan kecepatan tumbuh 1,19 % etmal-1. Di antara tiga jenis
media perkecambahan yang diuji (pasir, kokopit, dan zeolit), media
pasir merupakan media perkecambahan terbaik untuk benih cengkeh,
dan dapat direkomendasikan kepada produsen benih.
Kata kunci: Syzygium aromaticum; media perkecambahan; cengkeh
Zanzibar
UDC 632.95
Tri Lestari Mardiningsih, Rismayani, dan Ma’mun
(EFEK FORMULA MINYAK ATSIRI DAN PARA MENTHANE DIOL TERHADAP MORTALITAS DAN PENGHAMBATAN BERTELUR
WERENG COKELAT)
THE EFFECT OF ESSENTIAL OIL FORMULA AND PARA MENTHANE DIOL ON MORTALITY AND OVIPOSITION DETERRENT OF
BROWN PLANTHOPPER
Bul. Littro. Vol. 30, No. 2, 2019, 90-99
Minyak cengkih, serai wangi, dan serai dapur dikenal sebagai insektisida nabati. Formula campuran minyak atsiri dan senyawa tunggal minyak
atsiri diharapkan dapat meningkatkan keefektifan insektisida nabati. Percobaan ini bertujuan untuk menguji efek dari campuran minyak atsiri dan
formula para-menthane-3,8-diol (PMD) dalam menghambat kemampuan bertelur dan mortalitas wereng cokelat. Penelitian dilakukan di rumah
kaca Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Formula yang diuji adalah minyak cengkih + serai wangi (1: 1), minyak cengkih + serai
dapur (1: 1), minyak atsiri tunggal, bahan pembawa formula minyak atsiri (campuran tween 80, terpentin, dan surfaktan), serta formula PMD dan
bahan pembawa (pengemulsi, alkohol 96 %, dan surfaktan). Aplikasi formula dilakukan secara kontak pada serangga uji. Parameter pengamatan
adalah jumlah telur yang diletakkan dan mortalitas wereng cokelat dewasa dan nimfa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula insektisida
nabati yang diaplikasikan secara kontak terhadap larva dan wereng cokelat dewasa menyebabkan tingkat kematian yang tidak berbeda secara
signifikan dibanding kontrol dan insektisida sintetis. Uji residu tanaman, mortalitas nimfa pada perlakuan minyak atsiri tidak berbeda nyata dari
kontrol dan insektisida. Formula minyak cengkih + serai wangi yang disemprotkan langsung pada serangga dan melalui tanaman tidak berbeda
nyata dibandingkan dengan perlakuan insektisida sintetik, walaupun efektivitas formula minyak cengkih + serai wangi lebih lambat. Kemanjuran
formula minyak cengkih + serai wangi terhadap peletakan telur berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan insektisida sintetis, yaitu lebih
sedikit telur yang diletakkan. Formuka PMD kurang efektif dari formula minyak cengkih + serai wangi terhadap nimfa dan kematian dewasa
wereng cokelat. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi aktivitas formula minyak cengkih + serai wangi di lapangan.
Kata kunci: Insektisida botani; minyak cengkih; minyak serai dapur; minyak serai wangi; Nilaparvata lugens Stal
115
UDC 632.6
Desy Muliana Wenas*, Lisana Sidqi Aliya dan Wisma Merry Anjani
(FORMULA EKSTRAK BONGGOL PISANG KEPOK KUNING (Musa acuminata x Musa balbisiana) SEBAGAI ANTIINFLAMASI)
YELLOW KEPOK BANANA (Musa acuminata x Musa balbisiana) CORM EXTRACTS AS ANTIINFLAMATION
Bul. Littro. Vol. 30, No. 2, 2019, 100-110
Pisang mempunyai banyak jenis dan manfaatnya. Salah satunya adalah pisang kepok kuning. Batang, pelepah daun, dan bonggol dari pisang ini
memiliki kandungan fitokimia berkhasiat obat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efek formula ekstrak bonggol pisang kepok kuning sebagai
antiinflamasi. Bonggol pisang kepok kuning dipotong menjadi berukuran 0,3 x 1 x 3 cm, dikeringkan di dalam oven bersuhu 60 °c selama 6 jam,
kemudian dibuat serbuk berukuran 40 mesh. Serbuk bonggol pisang diekstraksi menggunakan etanol 70 % dengan teknik maserasi selama 24 jam
sebanyak 3 kali. Pengujian antiinflamasi dilakukan pada tikus putih jantan galur sprague dawley. Sebanyak 24 ekor tikus putih dibagi menjadi
enam kelompok perlakuan, yaitu konsentrasi formula ekstrak (10, 15, dan 20 %), kontrol positif (salep komersial), kontrol negatif, dan kontrol
normal (pemberian luka tanpa diberi formula apa pun). Rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap (ral), diulang
sebanyak 4 kali, dan data dianalisis menggunakan anova dan post hoc uji games howell. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula ekstrak
bonggol pisang kepok kuning memiliki potensi penyembuhan luka (antiinflamasi). Formula ekstrak 20 % dapat mempercepat penyembuhan luka
dalam sehari dibandingkan formula 10 % dan 15 %. Kecepatan tersebut ditunjukkan dengan penyembuhan luka tanpa bekas luka dari formula
ekstrak 20 % yang terjadi lebih awal dibandingkan dengan formula lainnya. Aktivitas formula 20 % sebanding dengan kontrol positif salep
komersial. Aktivitas antiinflamasi dari formula salep bonggol pisang kepok kuning berkaitan dengan kandungan senyawa saponin, flavonoid, dan
tanin. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa ekstrak bonggol pisang kepok kuning berpotensi dikembangkan sebagai obat antiinflamasi.
Kata kunci: Fitokimia; maserasi; penyembuh luka
Kami Ucapkan Terimakasih dan Penghargaan Setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Volume 30, Nomor 2, Desember 2019
Dr. Devi Rusmin (Seed Technologist-Indonesian Spices and Medicinal Crops
Research Institute, Indonesia)
Dr. Dodin Koswanudin (Epidemiologist-Indonesian Center For Biotechnology and Genetic Resources
Research and Development, Indonesia)
Dr. Ifa Manzila, M.Si. (Epidemiologist-Indonesian Center for Biotechnology and Genetic Resources
Research and Development, Indonesia)
Dr. Irmanida Batubara, M.Si. (Natural Product Chemistry-Center of Tropical Biofarmaka Bogor
Agriculture Institute, Indonesia)
Dr. Yudiwanti (Plant Breeding-Bogor Agricultural University, Indonesia)
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN
OBAT adalah publikasi ilmiah primer yang diterbitkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Jurnal ini
memuat hasil penelitian primer terkait komoditas rempah, obat
dan aromatik yang belum pernah diterbitkan pada media
apapun.
Pengajuan Naskah
Naskah yang diajukan belum pernah diterbitkan atau tidak
sedang dalam proses evaluasi pada media lain; telah
mendapat persetujuan tim penulis (dilampirkan ethical
statement), sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap
naskah. Penerbit tidak bertanggung jawab terhadap klaim atau
permintaan konpensasi terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan isi naskah.
Naskah dikirim berupa softcopy atau file elektronik melalui
aplikasi e-jurnal dengan terlebih dahulu Registrasi pada URL
http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bultro dan
melampirkan surat pengantar dari kepala unit kerja penulis
kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
sebagai Supplementary File. Tembusan surat dialamatkan
kepada Redaksi Pelaksana Buletin LITTRO, Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, Jalan Tentara Pelajar No. 3,
Bogor 16111, Telp. (0251) 8321879, Fax. (0251) 8327010,
E-mail: [email protected]
Setiap naskah yang diajukan wajib mengikuti format dalam
pedoman penulisan dan template for author. Naskah yang
formatnya tidak sesuai dengan pedoman tidak akan diproses
dan akan dikembalikan kepada penulis untuk disesuaikan
dengan format. Setiap naskah yang diajukan diketik pada
kertas HVS A4 pada satu permukaan halaman, batas margin 2
cm di semua sisi kertas, bentuk huruf Times New Roman,
ukuran font 11, dua spasi, sedangkan tabel dan gambar
berukuran font 9, satu spasi. Setiap halaman diberi nomor
secara berurutan, pada sisi kanan bawah, jumlah halaman
maksimal 17 lembar (termasuk tabel dan gambar). Penulis
wajib mengikuti kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik
dan benar serta sesuai dengan Pedoman Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Penyiapan Naskah
Buletin LITTRO memuat artikel dalam bahasa Indonesia
maupun Inggris. Pemakaian istilah agar mengikuti Pedoman
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Naskah dalam
bahasa Inggris mengikuti English (U.S).
Naskah disusun dengan urutan: Judul, Penulis dan Institusi
penulis, Abstrak, Kata kunci, Abstract, Key words,
Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan,
Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (apabila diperlukan),
Daftar Pustaka dan Lampiran bila diperlukan.
Judul:
Singkat, jelas, menggambarkan isi naskah, dan informatif
(tidak lebih dari 15 kata), ditulis dalam bahasa Indonesia
(seluruhnya huruf kapital) dan bahasa Inggris (huruf kapital
hanya awal kalimat, miring). Nama latin tanaman/ hewan yang
sudah dikenal luas tidak menjadi bagian kata dalam judul.
Penulis dan Institusi penulis: Nama ditulis lengkap,
tidak disingkat, tanpa gelar, ditulis kapital untuk setiap
permulaan kata dan nama penulis pertama merupakan
penulis utama. Penulis korenspondensi atau penulis utama
mencantumkan alamat email pribadi (corres-ponding
author). Nama penulis untuk korespondensi diberi garis
bawah. Nama dan alamat institusi dilengkapi dengan
nama jalan, kode pos dan nama kota. Apabila penulis
lebih dari satu dan alamatnya berbeda, maka alamat setiap
penulis dicantumkan. Keterangan alamat penulis dengan
angka bentuk superscript bila penulis lebih dari satu
institusi.
Abstrak: Merupakan inti sari dari seluruh tulisan, yang
meliputi latar belakang, tujuan, metode (dilengkapi tempat dan
waktu), hasil penelitian, kesimpulan, implikasi, saran, atau
tindak lanjut (optional). Abstrak disajikan dalam Bahasa
Indonesia dan Inggris maksimal 250 kata (Jenis Times New
Roman, ukuran font 11, satu spasi). Abstract Bahasa Inggris
memenuhi kaidah standar dan sudah dicek dengan Grammarly
atau sistem lainnya.
Kata kunci: Dipilih kata yang mudah ditelusuri (maksimal 5
kata kunci terdiri atas kata atau kata gabungan yang
menunjukkan inti dari naskah). Diurutkan berdasarkan abjad,
nama latin ditulis di awal (tanpa author) dan tidak ada di
dalam judul serta ditulis dengan huruf kecil kecuali nama
genus kapital. Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
Pendahuluan: Memuat latar belakang, perumusan masalah
yang akan dipecahkan, sitasi pustaka yang relevan, dan tujuan.
Pernyataan tujuan ditulis jelas pada paragraf terakhir.
Menggunakan program Mendeley (http://www.mendeley.com)
dengan Style University of Worcester-Harvard.
Bahan dan Metode: Meliputi tempat dan waktu, rancangan
percobaan, cara pelaksanaan dan metode analisis secara jelas
(dibuat sub bab), sehingga peneliti lain dapat mengulangi
penelitian tersebut. Penulisan judul sub bab dengan Huruf
Kapital pada awal kalimat dengan font tebal. Penelitian
lapangan dilengkapi dengan data agroekologi misalnya :
ketinggian tempat, jenis tanah, curah dan hari hujan, tipe iklim
dan analisis tanah (untuk penelitian pemupukan), Asal
perolehan benih/mikroba/hewan uji dll disebutkan, parameter
pengamatan diuraikan berikut analisis statistik.
Hasil dan Pembahasan: Hasil dikemukakan secara jelas, bila
perlu dengan tabel, grafik, diagram, foto, lukisan/ gambar, dan
ilustrasi. Dibuat beberapa sub bab sesuai topik informasi.
Penulisan judul sub bab dengan huruf kapital pada awal
kalimat dengan font tebal. Pembahasan mengulas data dan
menjelaskan kaitannya dengan tujuan dan hipotesis serta saran
pemecahan terhadap masalah yang dikemukakan. Hasil
dikemukakan terlebih dahulu kemudian dibahas, disusun
dalam satu bab.
1. Judul tabel singkat, jelas dan mandiri ditulis dalam
bahasa Indonesia dan Inggris. Tabel diberi nomor urut
sesuai dengan keterangan di dalam teks. Keterangan
tabel diletakkan di bawah tabel. Tabel yang merupakan
hasil sitasi harus disebutkan sumbernya. Tabel yang
berisi data hasil analisis statistik harus menyertakan
tingkat kepercayaan dan dilengkapi KK, notasi beda
nyata dalam huruf kecil.
2. Judul gambar dan grafik singkat, jelas dan mandiri ditulis
dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Penulisan judul
Gambar dengan huruf Kapital pada awal kalimat.
Gambar diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di
dalam teks sesuai penjelasannya. Data grafik agar
dilampirkan dan dibuat dengan menggunakan Micro-soft
Excel. Gambar berupa foto hitam putih atau berwarna
ditampilkan dengan kontras apabila diperlukan. Gambar
yang merupakan hasil sitasi harus disebutkan sumbernya.
Gambar yang berupa fungsi hasil analisis statistik
mencantumkan nilai r2/ R2 dan tingkat kepercayaan.
Notasi fungsi grafik harus lengkap (aksis x dan y).
3. Sistem penulisan desimal menggunakan koma (,) bukan
titik (.), maksimal dua angka di belakang koma
4. Jumlah halaman tabel dan gambar tidak melebihi 30%
dari jumlah halaman artikel.
Kesimpulan: Merupakan sintesis dari hasil dan pembahasan
secara singkat namun jelas dan menjawab tujuan, hipotesis
serta temuan lain selama penelitian. Ditulis dalam bentuk
narasi, satu paragraf. Dilengkapi implikasi, saran, atau tindak
lanjut dari hasil penelitian.
Ucapan Terima Kasih: Ditujukan kepada mereka yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan kegiatan dan
pendanaan. Ditulis nama orang [dengan gelar] dan atau nama
institusi, serta jenis kontribusinya.
Daftar Pustaka: Disusun secara alfabetis dan memuat nama
pengarang, tahun, judul tulisan, judul terbitan atau majalah,
volume, nomor seri serta halaman dan kota terbit. Pustaka
yang diunduh dari website harus dirilis oleh institusi resmi
(bukan blog atau komunitas), dicantumkan alamat website
dan tanggal mengunduh. Pustaka minimal 11 buah, jumlah
pustaka primer ≥ 80%, terkini (10 tahun terakhir). Manajemen
sitasi dan pustaka menggunakan Mendeley dengan Style
University of Worcester-Harvard.
Contoh Penulisan Sumber (ambil contoh dari Mndeley) :
Jurnal:
Bauerle, T.L., Richards, J.H., Smart, D.R. & Eissenstat, D.M.
(2008) Importance of Internal Hydraulic Redistribution for
Prolonging the Lifespan of Roots in Dry Soil. Plant, Cell and
Environment. 31 (2), 177–186. doi:10.1111/j.1365-
3040.2007.01749.x.
Idris, H dan Nurmansyah (2015) Efektivitas Ekstrak Etanol
beberapa Tanaman Obat sebagai Bahan Baku Fungisida
Nabati untuk Mengendalikan Colletotrichum gloesporioides.
Bul Littro 26(2): 117-124.
doi:10.21082/bullittro.v26n2.2015.117-124
Buku:
Ilyas, S. (2012) Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor, IPB Press.
Amelia, F. (2009) Analisis Daya Saing Jahe Indonesia di Pasar
Internasional. Dept. Ilmu Ekonomi, Fak. Ekonomi dan
Manajemen, IPB. 116 hlm.
Artikel dalam Buku:
Upreti, K.K. & Sharma, M. (2016) Role of Plant Growth
Regulators in Abiotic Stress Tolerance. In: Rao,N.S. et al.
(eds.) Abiotic Stress Physiology of Horticultural Crops. India,
pp.19–46. doi:10.1007/978-81-322-2725-0.
Weiss, R. (1984) Experimental Biology and Assay of RNA
Tumor Viruses. Dalam : Weiss R., Teich N. Varmus H.,
Coffin J.(ed). RNA Tumor Viruses. Vol. 1, New York : Cold
Spring Harbor Laboratory. p. 209-260
Prosiding:
Lebaudy, A., Vavasseur, A., Hosy, E., Dreyer, I., Leonhardt,
N., Thibaud, J.-B., Véry, A.-A., Simonneau, T. & Sentenac, H.
(2008) Plant Adaptation to Fluctuating Environment and
Biomass Production Are Strongly Dependent on Guard Cell
Potassium Channels.In: Chrispeels,M. (ed.) Proceedings of
the National Academy of Sciences of the United States of
America. 105 (13), The National Academy of Sciences,
pp.5271–5276. doi:10.1073/pnas.0709732105.
Riajaya, P.D. dan F.T. Kadarwati (2010) Keragaan Produksi
Biji Jarak Pagar IP-1 Umur Tiga Tahun pada berbagai
Ketersediaan Air Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional V.
Inovasi Teknologi dan Cluster Pioneer Menuju DME Berbasis
Jarak Pagar. Tunggal Mandiri Publ. Malang. hlm.151-157.
Kutipan Paten :
Nama Penemu paten, kata “penemu”; Lembaga pemegang
paten. Tanggal publikasi paten (tanggal, bulan, tahun). Nama
barang atau proses yang dipatenkan. Nomor paten.
Muchtadi, T.R., penemu; Institut Pertanian Bogor. 9 Maret
1993. Suatu Proses mencegah Penurunan Beta Karoten pada
Minyak Sawit. ID 0 002 569.
Penulisan Nama Penulis :
Jika nama penulis pertama lebih dari satu kata maka
penulisannya dibalik:
J.C. Smith ditulis Smith, J.C.
F.W. Day Jr. ditulis Day, F.W. Jr.
A.B. Toll III ditulis Toll, A.B., III
E.C. Bate-Smith ditulis Bate-Smith, E.C.
Richard C. De Long ditulis De Long, R.C.
A.J. de Lorenzo ditulis de Lorenzo, A.J.
James M. van der Veen ditulis van der Veen, J.M.
Nama penulis dari China, untuk publikasi ilmiah China ditulis
tanpa dibalik:
Chan Tai-Chen ditulis Chan, T-C.
Lin Ke-Sheng ditulis Lin, K-S.
Dalam publikasi ilmiah Amerika dan Inggris, nama China
tetap ditulis dibalik:
L. Ying Chang ditulis Chang, Y.L
His Fam Fu ditulis Fu, H.F.
Contoh Naskah Siap Cetak (Proof draft)
Contoh naskah siap cetak akan dikirim melalui email kepada
penulis korespondensi untuk ditelaah secara seksama.
Koreksian dari penulis harus dikembalikan kepada Redaksi
Pelaksana Buletin Littro dua hari setelah e-mail diterima.
Contoh Penulisan dalam Teks
BUKAN SATUAN INTERNATIONAL
Angka satu digit
tiga ulangan
empat varietas
lima bulan
satu tahun
Angka dua digit
10 perlakuan
10 polibag
12 bulan
12 bulan
SATUAN INTERNATIONAL
Angka satu digit
1 ml
2 m
2 kg atau ... (ton)
5 menit
5 detik
5 °C
1 atm
5 ha atau ... m²
6 %
Angka dua digit
12 l
10 m
12 kg
10 detik
15 °C
25 ha
10 %
Penulisan dua jenis satuan dalam satu kata
kg per ha ditulis kg.ha-1
kg per m2 ditulis kg.m-2
10 tanaman per ha ditulis 10 tanaman/ha
10 g per tanaman ditulis 10 g/tanaman