akar

6
AKAR-AKAR EMPATI DITULIS OLEH ARIES MUSNANDAR SELASA, 11 OKTOBER 2011 08:00 Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. Empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup self-awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri, makin terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh, ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang lain. Cikal bakal empati dapat ditemu-kenali ketika bayi dalam kegelisahan mendengar suara tangis bayi lainnya. Sejak usia sekitar satu tahun, anak mulai menyadari bahwa penderitaan orang lain bukanlah penderitaannya sendiri, dan mulai pada usia tersebut hingga dua setengah tahun, anak mengejahwantahkan "peniruan motorik", yaitu tindakan meniru secara motorik penderitaan psikologis orang lain untuk makin memahami apa yang dirasakan oleh orang lain yang menderita itu. Sejak usia dua setengah tahun, anak makin menunjukkan perbedaan kepekaan terhadap kegelisahaan emosional orang lain. Tumbuh-kembang empati terkait dengan cara orang tua mendisiplinkan anak mereka dan terkait pula dengan kesempatan yang anak dapatkan untuk menyaksikan reaksi empatik orang lain di hadapan orang-orang yang mengalami penderitaan psikologis. Pendisiplinan yang dilakukan dengan mengajak anak memperhatikan penderitaan psikologis yang terjadi sebagai akibat perilakunya yang salah, akan menumbuh- kembangkan keprihatinan empatik anak itu. Pengalaman penyetalaan emosional (attunement) berulang yang terjadi di tengah hubungan orang tua dan anak, akan memberikan perasaan pada anak bahwa dirinya diterima, ditanggapi dengan

Upload: sri-nurhayati

Post on 06-Dec-2015

16 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

akar

TRANSCRIPT

Page 1: AKAR

AKAR-AKAR EMPATI

DITULIS OLEH ARIES MUSNANDAR   SELASA, 11 OKTOBER 2011 08:00

Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. Empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup self-awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri, makin terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh, ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang lain.

Cikal bakal empati dapat ditemu-kenali ketika bayi dalam kegelisahan mendengar suara tangis bayi lainnya. Sejak usia sekitar satu tahun, anak mulai menyadari bahwa penderitaan orang lain bukanlah penderitaannya sendiri, dan mulai pada usia tersebut hingga dua setengah tahun, anak mengejahwantahkan "peniruan motorik", yaitu tindakan meniru secara motorik penderitaan psikologis orang lain untuk makin memahami apa yang dirasakan oleh orang lain yang menderita itu. Sejak usia dua setengah tahun, anak makin menunjukkan perbedaan kepekaan terhadap kegelisahaan emosional orang lain. Tumbuh-kembang empati terkait dengan cara orang tua mendisiplinkan anak mereka dan terkait pula dengan kesempatan yang anak dapatkan untuk menyaksikan reaksi empatik orang lain di hadapan orang-orang yang mengalami penderitaan psikologis. Pendisiplinan yang dilakukan dengan mengajak anak memperhatikan penderitaan psikologis yang terjadi sebagai akibat perilakunya yang salah, akan menumbuh-kembangkan keprihatinan empatik anak itu.

Pengalaman penyetalaan emosional (attunement) berulang yang terjadi di tengah hubungan orang tua dan anak, akan memberikan perasaan pada anak bahwa dirinya diterima, ditanggapi dengan tepat, dan secara emosional terkait tepat dengan orang tuanya. Sebaliknya, pengalaman ketidak-selarasan emosional berulang akan mendorong anak untuk tidak mengekspresikan bahkan tidak merasakan emosinya.Keselarasan emosional tidak diperagakan dengan sekedar menirukan apa yang dilakukan bayi atau anak. Ia diwujudkan dengan menampilkan kembali perasaan-perasaan mendalam bayi atau anak itu. Hubungan klien-konselor/terapist dijalin untuk memberikan kembali pengalaman keselarasan emosional kepada klien. Dalam kajian psikoanalisis, penghadiran kembali pengalaman keselarasan emosional ini oleh terapist/konselor terhadap kliennya disebut miroring. Kerusakan bagian kanan lobus frontalis menyebabkan manusia tidak bisa memahami pesan emosional yang dibawa oleh kata-kata, kendatipun makna kata-kata itu bisa ia mengerti. Penelitian penting Leslie Brothers menunjukkan peran amygdala dan asosiasi-asosiasinya dengan cortex visualis sebagai landasan biologi empati atau komunikasi perasaan. Perwujudan empati memerlukan tubuh yang tenang, yang memungkinkan tanda-tanda perasaan yang halus dari orang lain diungkap oleh otak.

Martin Hoffman menegaskan bahwa akar-akar moralitas terdapat dalam empati, karena empati

Page 2: AKAR

terkait dengan pertimbangan moral ketika manusia menghadapi dilema calon korban, yaitu mereka yang sedang dalam kesakitan, bahaya, atau kekurangan. Sejak usia dua tahun, ketika anak sudah bisa menyadari bahwa dirinya bukanlah orang lain, ia makin bisa berempati. Pada akhir masa kanak-kanak, empati meluas dan bisa terarah ke penderitaan kelompok. Pada masa remaja kemampuan empati bertumbuh kembang menjadi keyakinan untuk meringankan penderitaan dan mengurangi ketidak-adilan. Ini semua melandasi tindakan altruistik manusia yang memiliki empati.

Ketiadaan empati atau "terbunuhnya" empati memunculkan kehidupan para psikopat, pemerkosa, penganiaya anak, dan para penjahat berat lainnya. Kekerasan rumah tangga yang sering terjadi juga disebabkan rendahnya empati pelaku yang melakukan kekerasan tersebut terhadap korban. Ketidakmampuan orang-orang itu untuk merasakan penderitaan korban-korban mereka menyebabkan mereka membohongi diri sendiri dengan dalih-dalih yang makin mendorong perilaku kriminal mereka. Mereka justru memandang orang lain lewat lensa fantasi jahat mereka sendiri, bukan melihat dengan empati untuk merasakan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh korban mereka.

Mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya melatih dan mengembangkan empati sedini mungkin pada individu perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, rumah tangga merupakan institusi utama dan pertama yang penting bagi pengembangan empati. Dalam konteks ini peran orangtua yang memiliki tanggapan empatik di lingkungan keluarganya sendiri sangat dibutuhkan.

PEMBAHASANGoleman mengetengahkan semacam biopsikososiogenesis empati (tinjauan tentang kemunculan dan tumbuh-kembang empati pada perspektif biologis, psikologis, sosial). Bahasan akar-akar empati oleh Goleman tidak dilakukan pada perspektif konseling atau psikoterapi, tetapi lebih mengetengahkan empati sebagai nilai kemanusiaan. Dalam kajian konseling dan psikoterapi betapa ditegaskan pentingnya peran empati. Keefektifan proses konseling tak dapat di pungkiri antara lain ditentukan oleh kemampuan empati konselor atau psikoterapis.

Kemampuan empati tidak hanya sebatas merasakan bagaimana perasaan orang lain, tetapi juga memerlukan kemampuan mengartikulasikan perasaan tersebut, sehingga orang lain merasa dipahami (Blatner, 2002). Tidak semua individu mampu melakukan komunikasi yang diwarnai empati, walau hal ini dapat dipelajari. Melatih anak untuk sedini mungkin mengembangkan kemampuan empati, akan mencegah pandangan stereotype / prasangka terhadap orang atau kelompok lain. Demikian pula halnya dalam dunia pendidikan, peran para guru sebagai model juga membantu siswa belajar perilaku empati. Salah satu cara dari berbagai teknik yang ada untuk mengembangkan kemampuan empati adalah dengan teknik bermain peran. Role play atau bermain peran dinilai sebagai teknik yang efektif dan akan membantu anak membentuk pemahaman yang lebih dalam dan fleksibel (Harris, 1990), misal bagaimana rasanya berada pada posisi sebagai orangtua, guru, teman yang dikucilkan. Termasuk dalam konteks ini adalah latihan berdebat pro-kontra di Amerika. Peserta debat saling bergantian mengambil satu peran yang pro dan kemudian berperan dalam posisi kontra atas satu topik tertentu. Dalam berkomunikasi dengan siswa, hendaknya guru

Page 3: AKAR

menampakkan kepedulian terhadap siswa sebagai individu. Hal ini akan membantu mengembangkan sikap positif terhadap belajar, dan pendekatan positif terhadap guru serta siswa lain (Gallagher, Bagin & Moore, 2005).

Pendidikan dan pelatihan konselor yang benar dan berhasil tidak sekedar membekali para pesertanya dengan kepiawaian akademik yang mungkin membantu meningkatkan empati kognitif mereka, melainkan juga mengoreksi dan memperbaiki defisiensi empati peserta, serta merawat dalam kerangka menumbuh-kembangkan kemampuan empati emosional para pesertanya (Trusty, Ng & Wattis, 2005). Pada perspektif kesadaran multikultural yang semakin diperlukan di tengah pendidikan, pelatihan, penelitian dan praktik konseling masa kini, pendidikan-pelatihan konselor perlu mengejawantahkan berbagai upaya di antaranya:  Pencurahan pengalaman penyetalaan emosional (attunement) hari demi hari. Praktik pendisiplinan yang berpretensi mengajak individu memahami penderitaan psikologis orang lain serta; Penampakan berulang teladan tanggapan empatik yang tepat terhadap orang lain yang memerlukanKetiga upaya pokok diatas itu perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi pada setiap pendidkan-pelatihan para calon konselor agar iklim relasi ini dapat berperan korektif terhadap kemungkinan defisiensi empati pada para calon konselor serta berperan menumbuhkembangkan kemampuan empati setiap calon konselor.

Empati sangat dibutuhkan dalam relasi terapeutik. Bahkan dalam terapi client centered, iklim terapi yang diwarnai empati menjadi syarat utama yang akan memberi efek mendukung bagi tumbuhnya konsep diri positif pada klien atau konseli, sehingga konseli dapat mengatasi persoalannya sendiri. Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya melatih dan mengembangkan empati di keluarga-keluarga, sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya perlu dilakukan sedini mungkin. Suatu penelitian yang dilakukan Britton dan Fuendeling (2005) menemukan bahwa rendahnya kepedulian orangtua terhadap anak berkorelasi dengan perilaku antisosial anak. Semakin tinggi kepedulian orangtua, semakin baik kemampuan adaptasi dan empati anak. Namun, para orangtua yang overprotektif justru akan melemahkan kedua kemampuan (adaptasi dan empati) tersebut.

Hal yang juga penting diungkap dalam konteks peningkatan mutu empati seseorang adalah berlatih menampakkan ekspresi-ekspresi atau isyarat-isyarat non-verbal yang membuat orang lain merasa dimengerti dan diterima, karena kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang lain. Pemahaman seperti ini membuat hubungan antar individu terjalin dengan baik. Dalam kepustakaan konseling ditegaskan tentang keefektifan konseling (counseling effectiveness) lebih ditentukan dari kecakapan konselor. Oleh karena itu, peran empati cukup esensial yang diakui dalam teori-teori konseling, sehingga empati yang diwujud-nyatakan dalam praktik konseling selama ini merupakan suatu keniscayaan untuk ditumbuh-kembangkan secara sistemis di dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat kita.---oo0oo---

Page 4: AKAR

DAFTAR RUJUKAN

Blatner, A (2002), Using Role Playing in Teaching Empathy, http//www.blatner.com/adam/pdntbk

Britton, P.C,. Fuendling, J.M. (2005). The Relations Among Varieties of Adult Attachment and The Components of Empathy. The JournaL OF Social Psychology, October 2005, vol 145

Gallagher, D.R., Bagin, F., Moore, E.H.(2005). The School and Community Relations, Boston: Pearson Education, Inc.

Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books

Harris, P. (1996). Violence and The School. Hawker Brownlow, Ed.

Trusty, J., Ng, K.M., Watts, R.E. (2005). Model of effects of adult attachment on emotional empathy of counseling students. Journal of Counseling and Development, 83 (1), 66-77