advokasi perencanaan & penganggaran pro-poor: kasus kebumen dan bantul

10
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus Mendorong Penganggaran Yang Pro-Poor dan Demokratis : Belajar Dari Keterlibatan Kritis Kelompok Masyarakat Sipil GAMPIL Kebumen dan REWANG Bantul Ashari Cahyo Edi 1, Dina Mariana 2 , 1 Peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta 2 Peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta [email protected], [email protected] Abstrak Makalah ini berusaha menyoroti bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam proses penganggaran di dalam kebijakan pembangunan di Kabupaten Bantul dan Kebumen. Kajian ini dianggap penting karena, di samping bahwa penganggaran bersifat sangat politis dan prosesnya demikian tertutup, di dua daerah tersebut telah memiliki perda partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Di dua daerah tersebut juga telah lahir jaringan masyarakat sipil—LSM, Ormas, kelompok masyarakat sektoral dan kewilayahan, serta organisasi kemahasiswaan—yang aktif mengawal jalannya proses penganggaran: Rewang (Rembug Warga Peduli Anggaran) di Bantul dan Gampil (Gabungan Masyarakat Sipil) di Kebumen. Temuan di lapangan memperlihatkan, terdapat peningkatan yang positif dalam hal keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran. Peran aktif NGOs dan organisasi sosial lainnya turut membantu keterlibatan aktif masyarakat. Beberapa dampak positif lainnya adalah semakin meningkatnya angka melek anggaran (budget liteacy) di masyarakat, beserta semakin meningkatnya kesadaran pentingnya pengetahuan terhadap anggaran pembangunan: bahwa anggaran adalah hak mereka (rights), demikian juga mengetahui proses penganggaran, dan memastikan bahwa kebijakan tersebut ditujukan bagi kepentingan mereka. Hambatan tentu saja masih ada. Utamanya, karena meningkatnya partisipasi masyarakat ternyata belum cukup menjadi pemicu bagi keterbukaan pemerintah. Perspektif zero-sum game rupanya masih melingkupi mindset pemerintah daerah, sehingga partisipasi, keterbukaan, dan keterlibatan masyarakat masih diterima sebagai penghambat, misalnya, bagi efisiensi proses penganggaran dan pengambilan keputusan maupun rival kebijakan. Dari sini, dapat ditarik pelajaran penting, sekaligus tantangan bagi kita, yaitu, bagaimana memperkuat perspektif semua pihak bahwa partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran pada khususnya, dan pembangunan pada umumnya, justru memberikan insentif: mengarahkan keputusan kebijakan pembangunan dan penganggaran untuk dapat menjawab persoalan masyarakat. Makalah ini fokus pada pola partisipasi masyarakat, cakupannya, hambatannya, dan beberapa tawaran alternatif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penganggaran, sekaligus juga bagaimana meyakinkan berbagai bahwa partisipasi dapat memberikan insentif bagi kebijakan penganggaran dan pembangunan. Keywords: Transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan pro poor budgeting. Konteks Yang Mengharuskan Mengapa berpartisipasi dalam proses penganggaran penting? Pertama, kebutuhan untuk menjawab peroblem tingginya tingkat kemiskinan dan banyaknya kelompok masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan dari “kue” anggaran publik. Tingkat kemiskinan masih tinggi seiring dengan seringnya goncangan yang diderita warga karena kenaikan BBM, sementara skema jaminan sosial sebagai “peredam kejut” belum terlembaga dan merata ke semua lapisan masyarakat. Anggaran pro orang miskin penting untuk pembangunan kesejahteraan.

Upload: ashari-edi

Post on 22-Mar-2016

217 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Seminar Nasional Keberlanjutan Partisipasi dalam Pembangunan, Urban Regional Development Institute, German Technical Cooperation, Bangda Depdagri, 2008

TRANSCRIPT

Page 1: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Mendorong Penganggaran Yang Pro-Poor dan Demokratis :Belajar Dari Keterlibatan Kritis Kelompok Masyarakat Sipil GAMPIL

Kebumen dan REWANG Bantul

Ashari Cahyo Edi1, Dina Mariana2,1Peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta2Peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta

[email protected], [email protected]

Abstrak

Makalah ini berusaha menyoroti bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam prosespenganggaran di dalam kebijakan pembangunan di Kabupaten Bantul dan Kebumen. Kajian inidianggap penting karena, di samping bahwa penganggaran bersifat sangat politis danprosesnya demikian tertutup, di dua daerah tersebut telah memiliki perda partisipasi,transparansi, dan akuntabilitas. Di dua daerah tersebut juga telah lahir jaringan masyarakatsipil—LSM, Ormas, kelompok masyarakat sektoral dan kewilayahan, serta organisasikemahasiswaan—yang aktif mengawal jalannya proses penganggaran: Rewang (RembugWarga Peduli Anggaran) di Bantul dan Gampil (Gabungan Masyarakat Sipil) di Kebumen.Temuan di lapangan memperlihatkan, terdapat peningkatan yang positif dalam halketerlibatan masyarakat dalam proses penganggaran. Peran aktif NGOs dan organisasi sosiallainnya turut membantu keterlibatan aktif masyarakat. Beberapa dampak positif lainnyaadalah semakin meningkatnya angka melek anggaran (budget liteacy) di masyarakat, besertasemakin meningkatnya kesadaran pentingnya pengetahuan terhadap anggaran pembangunan:bahwa anggaran adalah hak mereka (rights), demikian juga mengetahui prosespenganggaran, dan memastikan bahwa kebijakan tersebut ditujukan bagi kepentinganmereka. Hambatan tentu saja masih ada. Utamanya, karena meningkatnya partisipasimasyarakat ternyata belum cukup menjadi pemicu bagi keterbukaan pemerintah. Perspektifzero-sum game rupanya masih melingkupi mindset pemerintah daerah, sehingga partisipasi,keterbukaan, dan keterlibatan masyarakat masih diterima sebagai penghambat, misalnya,bagi efisiensi proses penganggaran dan pengambilan keputusan maupun rival kebijakan. Darisini, dapat ditarik pelajaran penting, sekaligus tantangan bagi kita, yaitu, bagaimanamemperkuat perspektif semua pihak bahwa partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalamproses penganggaran pada khususnya, dan pembangunan pada umumnya, justru memberikaninsentif: mengarahkan keputusan kebijakan pembangunan dan penganggaran untukdapat menjawab persoalan masyarakat. Makalah ini fokus pada pola partisipasi masyarakat,cakupannya, hambatannya, dan beberapa tawaran alternatif untuk meningkatkan partisipasimasyarakat dalam penganggaran, sekaligus juga bagaimana meyakinkan berbagai bahwapartisipasi dapat memberikan insentif bagi kebijakan penganggaran dan pembangunan.

Keywords: Transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan pro poor budgeting.

Konteks Yang MengharuskanMengapa berpartisipasi dalam proses penganggaran penting?Pertama, kebutuhan untuk menjawab peroblem tingginya tingkat kemiskinan dan

banyaknya kelompok masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan dari “kue” anggaranpublik. Tingkat kemiskinan masih tinggi seiring dengan seringnya goncangan yang dideritawarga karena kenaikan BBM, sementara skema jaminan sosial sebagai “peredam kejut” belumterlembaga dan merata ke semua lapisan masyarakat. Anggaran pro orang miskin pentinguntuk pembangunan kesejahteraan.

Page 2: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

113

Kedua, di tengah keterbatasan anggaran, selama ini belanja anggaran daerah masihbelum diprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat (miskin) dan belum secaramaksimal ditujukan untuk peningkatan kualitas dan daya cakup pelayanan publik ke semualapisan masyarakat, terutama yang sebelumnya termarjinalkan. Cara pandang terhadap APBDbersifat residual. Yang terjadi, pemerintah daerah di banyak tempat justru mengutamakanbelanja tidak langsung (birokrasi dan elit sebagai beneficiary) dan sisanya (residu) baru untukpembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Banyak daerah belum memenuhimengalokasikan secara cukup untuk sektor yang berhubungan dengan hak-hak dasarwarganya seperti pendidikan, kesehatan, dan sektor lain yang terkait dengan jaminankesejahteraan.

Ketiga, kuatnya kecenderungan birokrasi untuk memaksimalkan alokasi anggaran untukdirinya sendiri. Lay (2005: 27) merujuk Dunlvey (1991), menyebut istilah “bureu-shaping”yakni kecenderungan bahwa birokrat berupaya memaksimalkan alokasi anggaran untukorganisasinya sendiri. Para birokrat terlibat aktif dalam perebutan anggaran—yangmemunculkan fenomena “egoisme sektoral”—tetapi alpa terhadap kebutuhan publikkebanyakan. Kecenderungan ini berdampak, antara lain, disintegrasi program internalpemerintah di mana satu dinas saling overlapping, atau jika pun berbeda tidak signifikan.Seorang birokrat di Kebumen pernah berujar, suatu dinas mendapatkan alokasi angaranbukan karena programnya sesuai kebutuhan, melainkan hanya karena dinas tersebut terlanjurdibentuk dan “birokratnya membutuhkan proyek”. Bahkan, guna menambah porsi alokasiuntuk organisasi dan personilnya, birokrasi tak segan menggunting belanja tidak langsung(untuk pembangunan dan pelayanan publik) sebagai honorarium.

Jika diringkas, berpartisipasi dalam penganggaran sedemikian penting dilakukan karenaadanya pemandangan paradoksal di atas: di satu sisi ada kebutuhan mendesakpenanggulangan kemiskinan dan anggaran terbatas, namun di sisi lain birokrasi menempatkanalokasi anggaran untuk publik secara residual dan cenderung memaksimalkan anggaran publikuntuk dirinya sendiri. Resources dan needs tidak bertemu.

Dorongan lain bagi partisipasi anggaran juga muncul dari konteks politik. Pertama,kebijakan desentralisasi. Sejak lama desentralisasi digadang-gadang baik oleh donor maupunteoretisi sebagai panacea bagi keburukan sentralisasi: (i) mendekatkan pelayanan publik lebihdekat ke masyarakat sebab birokrat di level lokal lebih mengenal budaya dan kebutuhanwarga; (ii) memupus jarak politik sebab proses kebijakan menjadi sedemikian dekat sehinggamudah diakses dan dipengaruhi publik. Jika relasi warga negara dengan legislatif daneksekutif (representative institutions) dalam sentralisasi dikritik terlalu jauh, makadesentralisasi menjanjikan sebaliknya.

Kedua, konteks decentralized governance. Desentralisasi juga membawa konsekuensiberupa perubahan model tata kelola (governance) yang semakin memungkinkan institusi nonnegara berinetraksi dengan institusi negara (Pierre & Peters, 2000: 88). Pendekatan lamayang tertutup dengan hanya pemerintah sebagai aktor dominan, dinilai oleh aktor-aktor diluar negara (masyarakat sipil dan sektor swasta) menjadi biang malapraktik administrasi,kebijakan yang tidak aspiratif, serta sistem yang rentan dibajak oleh rent seekers atau aparatpenjual rente. Titik beratnya pada bagaimana negara bisa secara luas menjalankan peranpengaturan dan fasilitasi terhadap aktor-aktor penting lain di masyarakat. Karena itu, filosofidasar dari governance mencakup nilai kesetaraan, kooperasi, akomodasi, toleransi, sertapembentukan konsensus di antara sektor negara, privat dan masyarakat sipil (UNDP, 1997).Konteks desentralisasi maupun governance mengisyaratkan bahwa tata kelola pemerintahanbukan semata proses penggunaan otoritas negara terhadap rakyat tapi juga penggunaan hak-hak rakyat di hadapan negara (Santoso, 2003). Corak relasi diidealkan tidak lagi melulumenggunakan instrumen kebijakan yang koersif, kendati negara masih menjadi pusat darikekuasaan politik. Implikasinya, sharing power tidak hanya di antara level organisasi padalembaga negara, melainkan juga memberikan akses voice terhadap societal actors di dlaamproses kebijakan (Rondinelli & Cheema, 2007: 10-18). Partisipasi, dengan demikian, semakintegas sebagai bagian inheren dalam citizenships. Publik tak semata citizen state melainkanpunya atribut citizenships—a concept that describes an individual and his or her relationship(rights and obligations) to the state. Adanya hak-hak politik warga negara ditujukan untuk

Page 3: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

114

melindungi dan mempromosikan kemampuan rakyat untuk mempengaruhi kebijakan,pengaturan, struktur, dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Dari konteks desentralisasi dan governance di aspek politik, dan penanggulangankemiskinan di aras ekonomi dan kesejahteraan, tulisan ini dalam memotret partisipasi wargadalam proses penganggaran mendudukan partisipasi sebagai hak (rights), yang dioperasikandalam kerangka (democratic) co-governance. Co-governance, menurut Gaventa (2006: 15)yang merujuk Ackerman (2004: 447), merupakan bentuk partisipasi di mana warga terlibatlangsung dengan lembaga negara (eksekutif dan legislatif) di dalam proses dan penentuansubstansi kebijakan. Inovasi co-governance ini menurut Stoker (2006: 187), merujuk bestpracitces Participatory Budgeting di Porto Alegre, Brazil, “not one-off opportunities to engagecitizens but on-going ooportunities to take apart in decicion making”. Namun denganprosesnya yang panjang mengikuti alur penganggaran daerah, demikian Stoker (2006: 188-189) model partisipasi dalam co-gocernance ini membutuhkan komitmen baik dari wargamaupun pemegang otoritas publik. Negara dibutuhkan komitmennya untuk memfasilitasipartisipasi warga baik dalam hal menyadarkan benefits partisipasi kendati time consuming;komitmen keterbukaan untuk memberikan dokumen anggaran; hingga komitmen untuk dudukbersama warga mengingat proses penganggaran bersifat sangat politis dan teknokratis.

Makalah ini akan mengupas praktik partisipasi oleh kelompok masyarakat sipil di Bantuldan Kebumen. Sebelumnya, ada beberapa hal penting kenapa kami mengangkat dua daerahini sebagai studi kasus. Pertama, kedua daerah tersebut selama ini dikenal sebagai salah satu“pelari cepat” dalam governnace reforms, setidaknya sebagaimana yang dikampanyekan olehmedia massa. Bantul dan Kebumen termausk dua dari 14 kabupaten di Indoesia yang terpilihmenjalankan Program “Initiative for Local Governance Reform” Bank Dunia (Program PrakarsaPembaharuan Tata Pemerintahan Daerah atau P2TPD) pada tahun 2002. Ringkasnya, daerahmendapat tawaran skema investasi tapi dengan syarat harus membuat regulasi yangmenjamin partisipasi dan transparansi. Gagasan program P2TPD adalah mereformasipemerintah lokal agar memiliki tata kelola pemerintahan yang akuntabel dengan memfasilitasipartisipasi warga di dalam proses kebijakan publik. Hasilnya, di Kebumen lahir PERDA No 53Tahun 2004 Tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan Publik dan di Bantullahir Perda PERDA No 7 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi Publik.

Kedua, di kedua Kabupaten itu telah terbentuk dua kelompok masyarakat sipil (KMS).Yakni Rembug Warga Peduli Anggaran (REWANG-Bantul) dan Gabungan Masyarakat Sipil(GAMPIL-Kebumen).1 Selama 21 bulan sejak 2006-2008, dengan didampingi Institute forResearch and Empowerment sebagai NGO Technical Asistance, dua KMS yang merupakanjaringan NGO, CBO, ormas, organisasi mahasiswa, kelompok masyarakat sektoral, dansejumlah warga desa (spatial based) tersebut, aktif mengorganisir diri dan membangunkapasitas, untuk kemudian terlibat aktif dalam proses perencanaan, penganggaran, hinggatracking belanja daerah dan evaluasi pelayanan publik (survey). Tentu saja, untukkepentingan makalah ini, kami hanya akan mencuplik praktik partisipasi dalam prosesipenganggaran.

Dengan asumsi telah terjadi reformasi di aras state, seiring lahirnya jaminan partisipasidan transparansi dari dua perda tersebut, menjadi menarik memotret praktik berikut dinamikadari parisipasi kedua KMS di dua kabupaten tersebut. Tulisan ini dimulai dengan membahaspenganggaran dari kerangka normatif dan praksis, guna mengidentifikasi masalah bawaan didalam penganggaran di Bantul dan Kebumen. Sebagai respon terhadap problem yang ada,bagian kedua membahas praktik partisipasi KMS REWANG dan GAMPIL berkit capaiannya.Hambatan dan tantangan partitipasi warga tersebut—terutama resistensi stakeholderpemerintah dan lemahnya jaminan regulasi—kami paparkan di bagian ketiga. Terkahir,beranjak dari dampak positif dan masih adanya tantangan partisipasi, kami mengajukansejumlah gagasan sebagai alternatif solusi.

1 Kini REWANG beranggotakan 10 organisasi antara lain BKM Mitra Mandiri, KODAMA, Radio Swarakota, KIPP, LSKP,APIKRI, Yayasan Projotamasari, Geenhill, JAMBUL, dan PALUMA. Sedangkan GAMPIL kini beranggotakan LSM Tanah Air,IPNU, IPPNU, SMAPI, PMII, PPB, FPPKS, BKM P2KP, For B, LSM Brain.

Page 4: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

115

I. Kondisi Existing Penganggaran di Dua DaerahTahapan

Secara normatif, tahapan penganggaran dimulai dari perumusan rancangan KUA-PPASyang disusun oleh Kepala Daerah dan dibantu Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).2

KUA-PPAS ini kemudian dibahas di Panitia Anggaran Legislatif. Tahap berikutnya adalahpembahasan anggaran oleh Panggar DPRD.

Dalam praktiknya, fase-fase penganggaran itu memiliki kelemahan bawaan sejak dariaspek regulasinya. Regulasi yang ada membuat relasi antar masyarakat, legislatif, daneksekutif timpang di mana yang aktor terakhir memegang peran dominan. Dalam konteksrelasi eksekutif-legislatif, Permendagri 59/2007 yang sebenarnya merevisi Permendagri No13/2006, masih mempersempit ruang gerak anggota DPRD lantaran otoritas pembahasananggaran hanya dimiliki Panggar DPRD. Komisi-komisi di tak punya kesempatan membahasrancangan RKA SKPD. Alhasil, fungsi dan hak anggaran DPRD jadi lemah. Padahal, jika takterlibat, komisi sulit melakukan kontrol terutama perihal konsistensi APBD dengan KUA PPA.3

Peran Aktor Dalam Pembahasan APBDAktor Peran dalam pembahasan APBD

Bupati Menyusun rancangan KUA dan PPAS berdasarkanRKPD dan pedoman penyusunan APBD dan diajukanke DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni.

Membuat rancangan Perda dan menyampaikankepada DPRD paling lambat minggu pertama bulanOktober.

TAPD Membantu kepala daerah menyusun rancangan KUAdan PPAS yang diajukan kepada kepala daerah palinglambat minggu pertama bulan Juni.

Menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerahtentang pedoman penyusunan RKA-SKPD yangditerbitkan paling lambat awal bulan Agustus.

Melakukan pembahasan RKA-SKPD.KepalaSKPD

Menyusun RKA-SKPD dan RKA-PPKD.

PanggarDPRD

Melakukan pembahasan terhadap rancangan KUA dan PPASyang diajukan oleh TAPD.

Fraksi diDPRD

Tidak terdapat peran fraksi secara khusus dalampembahasan anggaran, dan ini tergantung dari tatib DPRD.

Komisi-Komisi diDPRD

Tidak terdapat peran komisi secara khusus dalampembahasan anggaran dan ini tergantung pada tatib DPRD.

MasyarakatSipil

Masyarakat terlibat dari proses penyusunan dan penetapanAPBD (di tingkat eksekutif dan legislatif).

Sumber : Diolah dari pelaksanaan PBET di Bantul dan Kebumen.

Peran politik DPRD yang tereduksi ini berpotensi semakin menjauhkan peluang wargadalam keterlibatannya menentukan kebijakan alokasi anggaran, sebab warga umumnya lebihmudah menyampaikan keluhannya ketimbang ke eksekutif. Persoalan transparansi pun setalitiga uang, pengaturannya juga masih belum mantab. Permendagri No 59/2007 Pasal 116 Ayat(4a) menyatakan, "Untuk memenuhi asas transparansi, kepala daerah wajibmenginformasikan substansi Perda APBD kepada masyarakat yang telah diundangkan dalam

2 KUA adalah Kebijakan Umum Anggaran. Sedangkan PPAS adalah Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara. Otoritas yangmenyusunnya, diatur dalam Pasal 83 dan 84 Permendagri 59 Tahun 2007

3 Argumen ini dinyatakan Yuna Farhan, aktivis Jaringan Kerja Advokasi Anggaran Indonesia (Jangkar), FITRA. “Permendagri59/2007 Pangkas Peran DPRD”, www.inilah.com, berita tanggal 19 Februari 2008.

Page 5: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

116

lembaran daerah." Karena tak secara eksplisit menyatakan dokumen apa yang harusdiinformasikan, pasal ini berpotensi tidak mampu menjamin warga, untuk mengaksesdokumen tertentu yang justeru merupakan kunci dalam mempraktikkan penganggaran yangbaik.4 Persepsi antara pemerintah daerah dan masyarakat bisa berbeda terhadap pasaltersebut. Bagi pemerintah daerah, pengumuman ringkasan APBD bisa saja dianggap telahmemenuhi amanat Permendagri tersebut. Dokumen kunci seperti RKA dan DPA SKPD yangsangat informatif, malah tidak diperlihatkan atau tidak bisa diakses oleh publik. Permendagriini juga tidak secara khusus mengatur peluang partisipasi warga—mengabaikan UU No. 10Tahun 2004.

Di tengah kelemahan legal framework penganggaran ini, nature penganggaran yangbersifat politis semakin tak terkontrol. Seperti halnya di daerah lain, pembahasan RAPBD diBantul dan Kebumen menjadi arena transaksi politik antara eksekutif dengan legislatif. Trikmengulur prosesi tahapan penganggaran adalah salah satu upaya bargaining politik yang acapterjadi. Sejatinya, Permendagri No 59/2007 mengamanatkan bahwa rancangan KUA-PPASdirumuskan dengan berpedoman pada RKPD. Periode waktu untuk merancang dan membahasdokumen ini telah diatur dengan ketat. Menurut permendagri ini, rancangan KUA PPASdiserahkan TAPD ke DPRD pada medio Juni untuk dibahas smapai akhir Juli. Selainmemberikan jadwal perancangan dan pembahasan RKA SKPD, waktu pembahasan RAPBDjuga mendapat porsi waktu yang cukup panjang. Dimulai di minggu pertama Oktober hinggaproses penetapan APBD pada 31 Desember. Dari sini tampak, Permendagri No 59/2007 telahsedemikian rupa mengatur waktu agar Panggar DPRD bisa menjaring aspirasi masyarakat.Tapi faktanya, eksekutif sengaja mengulur waktu agar DPRD tak punya cukup waktu dalammebahas dokumen penganggaran baik KUA maupun RAPBD.

Hal ini, sebagai contoh, bisa kita lihat dari proses penganggaran di Bantul. Ketika DPRDmeminta Eksekutif lebih cepat membuat draf, respon yang muncul justru tidak tepat.Eksekutif bekerja super kilat hingga masyarakat tak punya cukup waktu menelisik danmemberi input dokumen RAPBD. Parahnya, kendati sepi partisipasi, Sekda Bantul Drs. GendutSudarto, MMA di banyak kesempatan malah membanggakan Bantul sebagai salah satu daerahtercepat yang menyelesaikan pembahasan APBD. Lain Bantul, lain Kebumen. Panggar DPRD diKabupaten Kebumen kadang sengaja mengulur waktu agar lebih leluasa menyerap aspirasidari lebih banyak masyarakat. Pernah dalam suatu sidang pleno DPRD, Bupati Rustriningsihmerasa kecewa terhadap jumlah kehadiran anggota dewan dalam sidang pleno pembahasanAPBD.5 Praktik transaksi seperti ini—kendati merupakan nature dari politik—bisa membuatfrustasi dan distrust masyarakat kepada proses dan institusi. Karena itu, baik Rewang maupunGampil mengupayakan untuk lebih memaksimalkan peran warga di dalam prosesyangdidominasi elit di dua lembaga tersebut.

Jika DPRD saja sulit mengontrol, posisi masyarakat lebih tidak menguntungkan lagi.Dalam penyusunan KUA-PPAS, TAPD boleh dikata menutup rapat pintu partisipasi. Angin segarsedikit masuk ketika DPRD membahas KUA. Walapun kerangka regulasi yang ada tidak tegasmengatur, DPRD terkadang membuka ruang keterlibatan. Dan ketika ruang partisipasidibukan, tanpa membuang peluang masyarakat kerap hadir dan memberi input. Ruangpartisipasi lebih lebar lagi ketika penganggaran memasuki pembahasan RAPBD di DPRD.Idealnya, sesuai UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ada jaminan partisipasi masyarakat dalam pembuatan seperti Peraturan Daerah(Perda) tentang APBD.

Bicara soal ruang partisipasi, di dalam Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang PedomanPenyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008 sebenarnyajuga sudah diatur jelas bahwa penyusunan APBD mensyaratkan 6 prinsip yakni: partisipasimasyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran,efisiensi dan efektivitas anggaran, serta taat azas. Selain itu, seperti telah disebut di atas, UUNo. 10 Tahun 2004 yakni Pasal 53 sudah menjamin keterlibatan masyarakat dalam

4 Nurhidayat, ”Mencermati Permendagri 59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah”, Jawa Pos, November 17,2007.

5 Suara Merdeka, 29 Januari 2007.

Page 6: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

117

pembahasan Perda. Bagian penjelasan UU ini memberikan kesempatan kepada tata tertibDPRD untuk memberikan hak bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembahasan Perda.Termasuk, tentu saja, Raperda APBD.

Praktiknya, peluang dalam regulasi nasional tersebut nyaris tak ditindaklanjuti. Malahan,banyak daerah justru lebih taat—terlalu patuh dan bahkan tergantung—kepada peraturanteknis dari suatu kementerian. Kesannya, pemda lebih memperhatikan tuntutan yang bersifatadministratif-akuntasi (upward oriented) yang menentukan absah tidaknya rancangandokumen anggaran daripada mematuhi amanat memfasilitasi partisipasi.

II. Praktik Partisipasi Penganggaran oleh REWANG dan BantulMenempa Kapasitas

Selain bersifat politis, nature dari penganggaran adalah teknokratis. Pihak DPRD maupunPemerintah kerap meragukan: “apakah LSM mampu? Apakah warga mampu membuatmenelaah APBD?” Bukan saja mengedepankan tuntutan, masyarakat juga perlumengedepankan kapasitas teknokratis agar mampu berpartisipasi secara substansial.Ringkasnya, partisipasi GAMPIL dan REWANG sebagai advokasi atas hak-hak masyarakatdalam APBD adalah kerja politik sekaligus kerja teknokratik. REWANG dan GAMPIL berupayaterlibat dan mempengaruhi tiap tahapan penganggaran dengan membawa substasi kebijakan(Court et al, 2007). Ini penting, sebab partisipasi dalam pendekatan co-governance beradadalam konteks “prtisipasi yang diundang” atau invited space dalam istilah Cornwall & Coelho(2005) seperti konsultasi maupun hearing yang resmi disediakan oleh DPRD yang kerap masihbutuh diperdalam agar hasilnya maksimal.

Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan GAMPIL dan REWANG adalah memperkuatkapasitas. Melalui serangkaian workshop dan training, para pegiat GAMPIL dan REWANG men-charging kesadaran perihal posisi, peran warga, dalam kaitannya dengan hak-haknyaterhadap APBD. Kesadaran ini penting sebagai bagian dari upaya ideologisasi terhadap konsephubungan negara dan masyarakat warga. Masyarakat umum masih beranggapan bahwaanggaran negara adalah milik negara. Setelah kesadaran dimiliki, warga membutuhkanketerampilan untuk membaca dan menganalisis dokumen anggaran. Bagi orang kebanyakan,membaca dokumen anggaran bisa menjadi pekerjaan yang sangat menyiksa: ukurankertasnya besar, halamannya tebal, lengkap dengan angka dan rumus matematis. Terlalusering dokumen anggaran tidak menyediakan, bahkan, sedikit tabel ringkasan, penjelasankonteks historis, atau panduan sederhana yang mudah membantu orang awam memahaminya(Fundar, IBP, IHRIP, 2004).6

Kedua, setelah menempa kapasitas, GAMPIL dan REWANG membangun basis datasebagai substansi partisipasi (evidence based). Analisis anggaran bukan semata untukmengenali apa yang telah dan sedang dilakukan pemerintah, tetapi menjangkau pula pilihan-pilihan prioritas yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Karena itu, analisis anggaranmemerlukan dasar semangat pro poor, pro gender, serta prinsip kepatutan, efisiensi, danefektivitas. Dalam skema pro poor budgeting, misalnya, warga dilatih untuk bisa mengetahuikomponen sumber pendapatan dan alokasi belanja guna menilai keberpihakan APBD kepadakaum miskin. Sumber pendapatan yang mengandalkan pemasukan dari masyarakat (pajakrakyat, retribusi usaha kecil, retribusi RSUD, dan lain-lain), misalnya, tidak masuk kategoripro poor. Namun jika alokasi belanja diarahkan untuk menjawab kebutuhan dasar wargamiskin melalui pelayanan dasar (infrastruktur, lingkungan, perumahan, air bersih, pendidikandan kesehatan) dan memberi kesempatan (akses) bagi mereka untuk meningkatkanproduksi, maka APBD tersebut bisa disebut pro poor. Prinsip lain untuk memeriksa dokumenanggaran adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Prinsip-prinsip tersebutdipergunakan untuk menilai proses penganggaran sejak pembahasan KUA PPAS, RKA SKPD,sampai penetapan APBD. Terhadap pendekatan anggaran pemda yang berbasis kinerja(performance based budget), warga dilatih menganalisis anggaran dengan menggunakanindikator yang merefleksikan kinerja setiap program dan kegiatan.Terlibat Pembahasan KUA

6 Fundar, IBP,IHRIP, Dignity Counts: A Guide to Using Budget Analysis to Advance Human Rights, 2004.

Page 7: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

118

Penyusunan KUA-PPAS merupakan tahapan awal penganggaran di mana GAMPIL danREWANG terlibat. Salah satu pengalaman REWANG adalah pembahasan KU APBD 2007. KetikaREWANG mengajukan diri untuk berpartisipasi. Panitia Khusus (Pansus) KUA DPRD Bantul punmengundang REWANG. Dibentuknya Pansu KUA ini oleh DPRD merupakan suatu terobosandalam menyerap aspirasi warga. Tahun-tahun sebelumnya Pansus semacam ini belum pernahdibentuk. REWANG kala itu mengusung isu pemenuhan hak dasar yakni pelayanan pendidikandan kesehatan gratis Di sektor pendidikan, rancangan KUA yang diajukan TAPD hanyamemberi porsi alokasi anggaran sebesar 16 persen, di bawah amanat konstitusi sebesar 20persen. Rewang pun mengusulkan agar porsinya dinaikkan. Ketua Pansus, Agus Effendi,menerima usulan Rewang dan membawanya ke rapat Panggar DPRD. Hasil akhirnya,dokumen KUA yang definitif menaruh angka 18 persen untuk sektor pendidikan atau naiksebesar 2 persen. Kecil namun berarti.

Sedangkan di Kabupaten Kebumen, pembahasan KU APBD 2007 berlangsung tertutup,hanya melibatkan TAPD dan Panggar DPRD. GAMPIL meminta agar pembahasan KUA dibukauntuk publik tapi tidak mendapat respon berarti. GAMPIL tetap mendekati DPRD danmengampanyekan partisipasi masyarakat. Usaha terus menerus ini akhirnya ditanggapi DPRD.Panggar DPRD Kebumen membahas KU APBD 2008 dengan mengundang elemen masyarakat.Satu diantaranya adalah GAMPIL.

Kendati ruang partisipasi dalam pembahasan KU APBD 2008 di dua daerah tersebut sudahdibuka, sayangnya belum ada kemauan baik dari legislatif untuk melembagakannya. Sehinggadi tahun mendatang, kiranya masyarakat harus tetap mendesak legislatif untuk membukaruang serupa.

Menganalisis RAPBD dan Menyusun Naskah Sanding APBDDi Tahun 2007 GAMPIL terlibat dalam pembahasan RAPBD. Salah satu item yang GAMPIL

soroti adalah ”Penataan lingkungan alun-alun kota Kebumen” yang menelan anggaran Rp. 2milyar. Ternyata, dari informasi yang didapat GAMPIL, program dan alokasi anggaran ini telahmengantongi persetujuan politik dari DPRD. Melihat kondisi sebagian besar masyarakat yangmasih tergolong miskin, GAMPIL tak sepakat dengan program ini. Gampil menyimpulkanPemda belum menyusun alokasi anggaran yang pro poor untuk sektor infrastruktur mengingatmasih ada wilayah Kebumen yang masih minim infrastrukturnya. Secara umum GAMPILmenilai alokasi anggaran infrastruktur lebih banyak diarahkan untukwilayah perkotaandibanding pedesaan. Namun dalam diskusi dengan DPRD Kebumen maupun eksekutif, kritisasitesebut hanya mendapat janji akan ditinjau ulang.

Langkah selanjutnya, dari serangkaian analisis terhadap sejumlah sektor, GAMPILmenyusun naskah sanding atas RAPBD 2007. Naskah sanding yang disusun meliputikonsistensi antar dokumen perencanaan, kepatutan, dan perbandingan antar komponenbelanja, serta penafsiran terhadap potensi pemborosan. Naskah sanding disusun secarasistematis ke dalam format performance budgeting, dengan struktur dan komponen yangsama dengan rancangan dokumen RAPBD 2007. Langkah penting yang dikedepankan GAMPILdalam analisisnya antara lain, pertama, membuat asumsi efisiensi dan efektivitas anggaran.Tujuan dari asumsi ini adalah supaya bisa melihat sejauh mana tingkat efisiensi anggarantelah terpenuhi. Melakukan efisiensi bisa dilakukan dengan asumsi mengurangi pos-posanggaran honor dalam proyek (misalnya, memotong honor pegawai sebesar 5 persen). Kedua,mengurangi pos-pos anggaran yang doble account. Ketiga, membandingkan harga barang danjasa yang ada dalam SHBJ dengan anggaran yang ada di pasar umum yang normal.

Praktik menganalisis APBD juga dilaksanakan REWANG. Fokus analisis REWANG yakniaspek inefisiensi anggaran, konsistensi, dan alokasi dari sisi penerima manfaat. Fokus yanghanya pada sisi penerima manfaat sja disebabkan data RKA yang sulit diakses. Dan tidaksemua anggaran SKPD bisa dibedah. Tercatat hanya dinas Pertanian, Kesehatan, Pendidikan,Disperindagkop dan Disparbud. Analisis dilakukan pada belanja langsung yang terdapat di unitorganisasi tertentu dengan memilahnya dalam 3 kategori: (1) fungsional pemenuhan haksecara tidak langsung) yang merupakan pengeluaran rutin bagi SKPD; (2) fungsional(Pemenuhan hak secara tidak langsung) untuk pelayanan publik yang sifatnya fisik namun

Page 8: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

119

penerima manfaat terbesar adalah SKPD; (3) Substansi pemenuhan hak untuk pelayananpublik yang sifatnya non fisik dan penerima manfaat yang terbesar adalah masyarakat.

Dari praktik analisis yang dilakukan, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dana yangdialokasikan langsung ke masyarakat masih sangat kecil. Sayangnya, belanja langsung yangkecil tersebut masih juga mengalir ke birokrasi dalam bentuk belanja dan honor pegawai.

Ketika hasil analisis disampaikan ke TAPD, respon yang muncul cukup menyakitkan.Sekda Bantul, Gendut Sudharto, meragukan hasil analisis Rewang. Sekda mengatakan bahwamenganalisis anggaran itu sangat sulit. Aturannya juga rumit. Ini menununjukkan pejabat initidak berusaha mengapresiasi apa yang telah dilakukan masyarakat. Sikap arogan dancenderung paranoid atas gerakan masyarakat sipil sangat berkebalikan dengan jargon yangselama ini dikumandangkan oleh pemerintah Kabupaten Bantul.

CapaianDihadapkan pada berbagai tantangan, sejauh ini partisipasi REWANG dan GAMPIL

memperoleh sejumlah capaian positif. Tentu saja, capaian ini memang masih sangat terbatas.Pertama, dari segi awareness. Masyarakat kini menjadi lebih percaya diri dan memahami

bahwa proses penganggaran bukanlah domain pemerintah. Warga menjadi tahu bahwa,secara hukum, sebenarnya regulasi menjamin partisipasi, kendati terjadi inkonsistensi antaraperaturan teknis dengan peraturan perundangan.

Kedua, semakin meningkatnya angka melek anggaran (budget liteacy) di masyarakat.Tentu saja, pengetahuan ini masih sangat dasar. Dan ke depan, sudah barang tentu birokrasiakan semakin lebih unggul lagi pengetahuannya terkait dengan perubahan regulasi—di manabirokrasi menjadi pihak yang pertama mengetahui dan memahami. Menjadi tantangan bagiwarga yang aktif di dua KMS tersebut untuk terus meningkatkan kapasitasnya.

Ketiga, dari segi output, terdapat perubahan kebijakan kendati itu sangat kecil. Pesanpentingnya, bagi warga, keterlibatan memberi dampak, dan keterlibatan dengan ketrampilanyang lebih baik akan berdampak lebih banyak (participations makes a difference). Bahwa adabenefits langsung kendati proses partisipasi model co-governance ini menyita waktu dantenaga.

III. Hambatan dan Tantangan Partisipasi PenganggaranPertama, legal framework partisipasi, transparansi, dan akses dokumen. Dari regulasi

yang ada, misalnya Permendagri 59, tidak jelas mengatur partisipasi warga. Bahkan, di perdapartisipasi masing-masing daerah, juga tidak secara ekplisit mengamanatkan hak warga untukmengakses dokumen inti anggaran. Sebaliknya, kedua perda itu justru “menjamin”pemerintah daerah untuk mengeksklusi informasi penting yang dibutuhkan warga. Misalnya,pemda hanya diwajibkan mempublikasikan ringkasan APBD. Tak mengherankan, ketikaREWANG dan GAMPIL meminta dokumen pelaksanaan anggaran, pemda kerap berdalih bahwadokumen tersebut adalah rahasia negara. REWANG dan GAMPIL REWANG sulit mengaksesdraf dokumen sebab dua perda tersebut menyatakan bahwa draf yang belum disahkan bukantermasuk dokumen publik. Padahal, semangat partisipasi yang diusung dua kelomponmasyarakat sipil adalah engaged di tiap tahapan di sepanjang proses penganggaran. REWANGdan GAMPIL memang menemukan sejumlah aktor strategis yang sebenarnya memahami misidan manfaat partisipasi. Dan memang, orang-orang ini kerap memberikan dokumen yang jikadiakses secara formal surat-menyurat tidak mungkin didapatkan. Hanya saja, relasi yangsifatnya personal ini tidak bermanfaat bagi reformasi sistemik. Dan jika person tersebut dimutasi, maka hilanglah kesempatan mengakses dokumen-dokumen inti tersebut.

Kedua, mindset yang keliru mengenai peran DPRD dan eksekutif sebagai institusirepresentatif. Seolah, eksekutif dan legislatif mengklaim: “sekali memilih, maka minggir danserahkan semuanya kepada kami”. Pandangan ini tampak, betapa Eksekutif dan Legislatif(terutama parpol pendukung Bupati) kerap mengatakan bahwa urusan anggaran danpenganggaran merupakan domain internal TAPD Eksekutif dan Panggar DPRD. Hal inisebenarnya keliru, sebab logika perwakilan adalah untuk memperjuangkan kepentingan yangdiwakili (Stoker, ). Dengan logika tersebut, yang seharusnya terjadi, menurut Stoker (2006),adalah proses pertukaran ide, gagasan, dan saling berkomunikasi secara terus menerus

Page 9: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

120

antara kedua pihak. Mindset ini yang membuat partisipasi dengan mudah diabaikan olehpemegang otoritas.

Ketiga, pemahaman yang keliru mengenai partisipasi. Para pegiat partisipasi anggaranmemiliki misi untuk membuat kinerja pemerintah lebih terarah, mencapai sasaran persoalan,dan terutama meningkatkan kualitas hidup warga yang selama ini gagal dijangkau oleh APBD.Bisa jadi ini merupakan warisan konteks adversarial era otoritarian di mana masyarakat sipilmemilih jalan konfrontasi terhadap negara. Pemahaman bahwa partisipasi memberi insentifberupa meningkatnya efektivitas alokasi anggaran dan meningkatnya legitimasi pemerintahdan legislatif di mata warga belum ada atau masih snagat minim.

Keempat, komitmen kepemimpinan. Di banyak kasus di Amerika Latin (Cheema, 2007)kepemimpinan menunjukkan peran sentral dalam inovasi tata kelola pemerintahan. SeminarIRE-Partnership 2007 juga menunjukkan bahwa inisiatif terobosan pelayanan publik diBanjarnegara, Kutai Timur, Boalemo juga dimotori oleh sosok para bupati yang visioner. Didua daerah tersebut, upaya pendekatan terhadap dua kepala daerah, Idham Samawi (Bantul)dan Rustriningsih (Kebumen) tak membawa perubahan di aras birokrasi. Dilihat dari substansidan masih belum partisipatifnya proses dan mekanisme penganggaran, tampak bahwaberbagai kebijakan populis di kedua kabupaten tersebut tidak memiliki roadmap dan skemabesar yang terarah.

IV. KesimpulanPendekatan partisipasi yang tidak konfrontatif namun “menempel” dan terlibat

langsung untuk memberi input guna mempengaruhi keputusan dalam proses penganggaran,sebagaimana disinggung sebelumnya, menunjukkan sejumlah capaian positif. Awareness,budget literacy, dan output perubahan kendati lebih bermakna bahwa “participation makes adifference”. Pendekatan co-governance menunjukkan menjadi alternatif di tengah pesimismemasyarakat terhadap perencanaan dan penganggaran daerah yang selama ini cenderungformalitas, di mana warga hanya diundang, disuruh usul, tanpa memberi ruang untukmengawal dan memperjuangkan usulannya tersebut. Namun di sisi lain, pemerintah di duadaerah yang sudah memiliki perda partisipasi tersebut tampak enggan dan resisten terhadappartisipasi masyarakat. Di sepanjang proses penganggaran, kuatnya kepentingan politikmenghambat peluang kolaborasi.

Penulis sangat tidak sepakat ketika pemerintah menolak substansi warga dengan alasantidak berkualitas. Sepakat dengan pendapat Stoker (2006), warga adalah para “amatir” dalamanggaran dan penganggaran. Amatir di sini tidak berkonotasi dengan seseorang yangsamasekali tidak paham apapun atau tak pernah mengikuti training atau jenis peningkatankapasitas yang lain. Amatir berimplikasi bahwa warga terlibat dalam proses penganggarankarena tertarik, terpanggil, secara sukarela, tidak digaji, dan semata memperjuangkan hakmereka (Stoker, 2006: 150). Menurut kami, pemda hendaknya memandang warga dalamkerangka ini. Kebanyakan dari mereka, selain para aktivis, adalah warga kebanyakan yangtidak setiap hari bergelut dengan urusan anggaran. Meskipun anggota REWANG dan GAMPILtak sepenuhnya masuk dalam kelompok amatir ini, sebab banyak anggota yang berprofesiaktivis dan dosen (profesional di bidang politik). Warga umumnya memilih konsentrasi sesuaidengan bidang hidupnya, misalnya petani memilih membahas isu pertanian dan turut hearingke dinas pertanian; pedagang memilih ke komisi perekonomian di DPRD dan turut berdiskusidengan Deperindakop; dan seterusnya.

Dari sana, ada poin yang kami tawarkan sebagai alternatif pengembangan partisipasipenganggaran. Pertama, perlunya perubahan pada desain, struktur, dan dukungan dari sistemsehingga warga biasa, “amatir” ini bisa terus terfasilitasi membangun ketrampilan dan terlibatberpartisipasi dalam proses penganggaran. Ide untuk membuat pansus yang khususmembahas KUA PPAS misalnya, sangat relasistis dan akan banyak memberi manfaat bagiwarga untuk menyampaikan aspirasinya. Kedua, perlunya untuk terus menciptakan danmelembagakan “democratic arenas” yang telah dibuka oleh masyarakat. Mulanya, arena inimerupakan ekspansi dari saluran formal yang kaku dan terbatas, semisal hearing maupunvisiting masyarakat ke DPRD maupun dinas pemerintah terkait. Ini penting untukmelembagakan celah partisipasi yang mungkin mulanya terjadi akibat relasi personal. Dua

Page 10: Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam PembangunanSub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

121

aspek tersebut menurut kami penting dikembangkan, agar benih aprtisipasi yang ditanamkanoleh GAMPIL dan REWANG bisa terus melembaga.

Tentu saja, Kerja-kerja partisipasi yang terlibat aktif bersama pemerintah dan DPRD—sebagai elit maupun lembaga—berpotensi memunculkan resiko suordinasi dan kooptasi.Micropolitics dalam partisipasi, demikian Cornwall dan Coelho (2005: 11) penting untukdiperhatikan. Sejarah interaksi antara negara dan masyarakat, budaya politik, tingkatkapasitas dan pengalaman terhadap seluk beluk teknokrasi dan politik penganggaran, sertakonfigurasi politik perlu diobservasi secara teliti agar kiprah masyarakat tak mudah dibajakuntuk kepentingan politik elit atau kelompok tertentu. Implikasinya, hal-hal di atas menuntutkonsolidasi internal kelompok masyarakat yang solid serta upaya capacity building secaraberlanjut.

Bibiliografi

Ackerman, John, “Co-Governance for Accountability: Beyond ‘Exit’ and ‘Voice’”, WorldDevelopment, Vol. 32, No. 3, pp. 447–463, 2004.

Cornwall, A and Schattan Coelho, V (eds), Spaces for Change? The politics of CitizenParticipation in New Democratic Arenas, London, Zed Books, 2007.

Court, Julius, et al, Policy Engagement: How Civil Society Can be More Effective, ODI-RAPID,2007

Fundar, IBP,IHRIP, Dignity Counts: A Guide to Using Budget Analysis to Advance HumanRights, 2004.

Gaventa, J, ‘Triumph, deficit or contestation? Deepening the “deepening democracy” debate’,IDS Working Paper 264 (Brighton: Institute of Development Studies, 2006).

Lay, Cornelis, “Negara, Sektor Publik, dan Governance”, dalam Ucuk Martanto dan HasrulHanif (eds) Seri Manajemen Sektor Publik, Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2005.

Stoker, Gerry, Why Politics Matters; Making Democracy Work, London: Palgrave MacMillan,2007.

Rondinelli, Denis A, Shabir Cheema (eds), Decentralizing Governance: Emerging Concepts,and Practices, Washington DC: Brookings Institution Press, 2007.

Peters, Guy & Jon Pierre, Governance, State, and Politics, NY: Macmillan, 2000.Santoso, Purwo, “Pengelolaan Negara, Mekanisme Pasar dan Dinamika Ekosistem: tiga

Medium Interaksi Pemerintahan”, Jurnal TRANSFORMASI, Volume1, No. 1, 2003.UNDP, Reconceptualising Governance; Discussion paper 2, Management Development and

Governance Divison Bureau for Policy and Programme Support, United NationsDevelopment Programme (NewYork, 1997).

Zamroni, Sunaji dan Zaenal Anwar, Menabur Benih Di Lahan Tandus (Yogyakarta: IRE Press,2008).