adsorpsi ammonium (nh4 ) pada zeolit … · berat yang hilang (loss of ... hingga filtrat mencapai...

12
Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010 Prosiding KIMIA FMIPA - ITS ADSORPSI AMMONIUM (NH 4 + ) PADA ZEOLIT BERKARBON DAN ZEOLIT A YANG DISINTESIS DARI ABU DASAR BATUBARA PT. IPMOMI PAITON DENGAN METODE BATCH Nurlailis Handayani *, Nurul Widiastuti, Ph.D 1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Pada penelitian ini, telah berhasil disintesis zeolit A dari abu dasar batubara melalui metode peleburan, sedangkan zeolit berkarbon disintesis dengan metode hidrotermal langsung. Penelitian ini terfokus pada efektifitas penghilangan ion amonium yang diadsorp dari limbah sintetik amonium dengan menggunakan adsorben zeolit A dan zeolit berkarbon yang disintesis dari abu dasar. Studi adsorpsi ini mencakup variasi waktu, konsentrasi, pH serta mempelajari kinetika adsorpsi dan isotherm adsorpsinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zeolit A mampu mengadsorpi amonium hingga 0,9391 mg/g dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 5 selama 240 menit. Sedangkan zeolit berkarbon mampu mengadsorpi amonium hingga 0,9789 mg/g dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 6 selama 480 menit. Kinetika adsorpsinya mengikuti model dua semu untuk semua adsorben. Isotherm adsorpsinya yang terbaik untuk zeolit berkarbon mengikuti model Freundlich, sedangkan zeolit A yaitu mengikuti model Temkin. Kata kunci: Zeolit A, Zeolit berkarbon, Adsorpsi ammonium, Kinetik, Isotherm Pendahuluan Ammonium adalah bentuk ion dari ammonia yang dalam perairan merupakan pencemar utama dari limbah pembakaran batubara, limbah buangan pabrik pupuk pestisida dan limbah pertanian. Ammonium ini berkontribusi untuk pemercepat terjadinya eutrofikasi pada danau dan sungai, pengurangan konsumsi oksigen dan keracunan pada ikan dalam perairan (Wang, 2008). Ammonium dalam bentuk molekulnya (ammonia) lebih beracun dalam perairan. Menurut Winckins (1976) dalam Poernomo (1988) menyebutkan bahwa ammonia pada kadar 0,45 mg/l menghambat laju pertumbuhan 50%, sedang pada kadar 1,29 mg/l sudah membunuh beberapa jenis udang. Kadar antara 0,05 – 0,2 mg/l sudah cukup menghambat pertumbuhan hewan aquatik pada umumnya. Menurut Poernomo (1988), kisaran optimum yang disarankan untuk kadar ammonium pada budidaya udang ditambak adalah 0 mg/l. Bahkan menurut Sawyer (1994), ammonia bebas didalam air dengan konsentrasi diatas 0,2 mg/l dapat menyebabkan kematian pada beberapa jenis ikan. Untuk faktor keamanan, National Research Council Committee telah mengeluarkan rekomendasi bahwa tidak diijinkannya kandungan ammonia lebih dari 0,2 mg/l dalam badan air. Namun baku mutu yang berlaku di Indonesia menurut PP No. 82 tahun 2001, bahwa batas maksimum kandungan ammonia dalam badan air kelas I adalah 0,5 mg/l. Sedangkan menurut KEPMEN LH No. 122 tahun 2004 tentang beban maksimum pencemaran limbah kegiatan industri khususnya adalah industri pupuk adalah 0,75 kg/ton untuk industri pupuk urea; 1,5 kg/ton untuk industri pupuk nitrogen lain dan 0,3 kg/ton untuk industri ammonia. Berbagai metode telah banyak dilakukan untuk menghilangkan ammonium ini antara lain melalui proses biologi seperti nitrifikasi/denitrifikasi yang mana ammonium dirubah secara biologi menjadi nitrit, nitrat dan akhirnya menjadi gas nitrogen. Cara lain yaitu dengan proses kimia-fisik seperti stripping, adsorbsi dan pertukaran ion (Metcalf dan Winkler, 1998). Metode pertukaran ion biasanya menggunakan resin organik, yang mana sangat selektif tetapi mahal. Sedangkan proses stripping membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannnya. Disisi lain, proses adsorpsi merupakan cara yang sangat mudah dan biaya yang relatif rendah untuk menghilangkan ammonium didalam limbah. Disisi lain, adanya limbah pembakaran batu bara berupa abu dasar yang menumpuk, sedangkan komponen terbesar dari kandungan abu dasar yaitu oksida-oksida silikon, alumunium, besi dan kalsium dan komponen kimia dari abu dasar sebagian besar berfasa amorf, yaitu sekitar 66 sampai 88% berat. Sementara itu, fasa kristalin * Corresponding author Phone : 087851139202 e-mail: [email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fak. MIPA,Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Upload: truongdieu

Post on 07-Jun-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

ADSORPSI AMMONIUM (NH4+) PADA ZEOLIT BERKARBON DAN

ZEOLIT A YANG DISINTESIS DARI ABU DASAR BATUBARA PT. IPMOMI PAITON DENGAN METODE BATCH

Nurlailis Handayani *, Nurul Widiastuti, Ph.D1

Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

ABSTRAK

Pada penelitian ini, telah berhasil disintesis zeolit A dari abu dasar batubara melalui metode

peleburan, sedangkan zeolit berkarbon disintesis dengan metode hidrotermal langsung. Penelitian ini terfokus pada efektifitas penghilangan ion amonium yang diadsorp dari limbah sintetik amonium dengan menggunakan adsorben zeolit A dan zeolit berkarbon yang disintesis dari abu dasar. Studi adsorpsi ini mencakup variasi waktu, konsentrasi, pH serta mempelajari kinetika adsorpsi dan isotherm adsorpsinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zeolit A mampu mengadsorpi amonium hingga 0,9391 mg/g dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 5 selama 240 menit. Sedangkan zeolit berkarbon mampu mengadsorpi amonium hingga 0,9789 mg/g dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 6 selama 480 menit. Kinetika adsorpsinya mengikuti model dua semu untuk semua adsorben. Isotherm adsorpsinya yang terbaik untuk zeolit berkarbon mengikuti model Freundlich, sedangkan zeolit A yaitu mengikuti model Temkin.

Kata kunci: Zeolit A, Zeolit berkarbon, Adsorpsi ammonium, Kinetik, Isotherm

Pendahuluan

Ammonium adalah bentuk ion dari ammonia yang dalam perairan merupakan pencemar utama dari limbah pembakaran batubara, limbah buangan pabrik pupuk pestisida dan limbah pertanian. Ammonium ini berkontribusi untuk pemercepat terjadinya eutrofikasi pada danau dan sungai, pengurangan konsumsi oksigen dan keracunan pada ikan dalam perairan (Wang, 2008). Ammonium dalam bentuk molekulnya (ammonia) lebih beracun dalam perairan.

Menurut Winckins (1976) dalam Poernomo (1988) menyebutkan bahwa ammonia pada kadar 0,45 mg/l menghambat laju pertumbuhan 50%, sedang pada kadar 1,29 mg/l sudah membunuh beberapa jenis udang. Kadar antara 0,05 – 0,2 mg/l sudah cukup menghambat pertumbuhan hewan aquatik pada umumnya. Menurut Poernomo (1988), kisaran optimum yang disarankan untuk kadar ammonium pada budidaya udang ditambak adalah 0 mg/l.

Bahkan menurut Sawyer (1994), ammonia bebas didalam air dengan konsentrasi diatas 0,2 mg/l dapat menyebabkan kematian pada beberapa jenis ikan. Untuk faktor keamanan, National Research Council Committee telah mengeluarkan rekomendasi bahwa tidak diijinkannya kandungan ammonia lebih dari 0,2 mg/l dalam badan air.

Namun baku mutu yang berlaku di Indonesia menurut PP No. 82 tahun 2001, bahwa batas maksimum kandungan ammonia dalam badan air kelas I adalah 0,5 mg/l. Sedangkan menurut KEPMEN LH No. 122 tahun 2004 tentang beban maksimum pencemaran limbah kegiatan industri khususnya adalah industri pupuk adalah 0,75 kg/ton untuk industri pupuk urea; 1,5 kg/ton untuk industri pupuk nitrogen lain dan 0,3 kg/ton untuk industri ammonia.

Berbagai metode telah banyak dilakukan untuk menghilangkan ammonium ini antara lain melalui proses biologi seperti nitrifikasi/denitrifikasi yang mana ammonium dirubah secara biologi menjadi nitrit, nitrat dan akhirnya menjadi gas nitrogen. Cara lain yaitu dengan proses kimia-fisik seperti stripping, adsorbsi dan pertukaran ion (Metcalf dan Winkler, 1998).

Metode pertukaran ion biasanya menggunakan resin organik, yang mana sangat selektif tetapi mahal. Sedangkan proses stripping membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannnya. Disisi lain, proses adsorpsi merupakan cara yang sangat mudah dan biaya yang relatif rendah untuk menghilangkan ammonium didalam limbah.

Disisi lain, adanya limbah pembakaran batu bara berupa abu dasar yang menumpuk, sedangkan komponen terbesar dari kandungan abu dasar yaitu oksida-oksida silikon, alumunium, besi dan kalsium dan komponen kimia dari abu dasar sebagian besar berfasa amorf, yaitu sekitar 66 sampai 88% berat. Sementara itu, fasa kristalin

* Corresponding author Phone : 087851139202 e-mail: [email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fak. MIPA,Institut Teknologi

Sepuluh Nopember, Surabaya.

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

utama adalah silika (SiO2) dan Alumina (Al2O3). Dengan komposisi kandungan tersebut, abu dasar memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai dasar pembuatan zeolit yang banyak digunakan sebagai penyaring molekul (molecular sieve), penukar kation serta katalis.

Sintesis zeolit dari beberapa bahan abu yang mengandung Si dan Al telah banyak dilakukan sebelumnya (Hollman dkk, 1999, Hui dan Chao, 2006, Molina dan Poole, 2004, Chandrasekar dkk, 2006). Penelitian terdahulu telah dilakukan oleh Yanti (2009) dan Londar (2009) mempelajari beberapa metode dan variabel yang mempelajari kondisi optimum untuk sintesis zeolit A dan zeolit berkarbon dari abu dasar dengan metode peleburan yang diikuti oleh hidrotermal dan metode hidrotermal langsung. Hasil dari penelitian Yanti (2009), menyebutkan kondisi optimum untuk sintesis zeolit A dengan metode peleburan diikuti hidrotermal adalah dilakukan pada suhu 100oC selama 12 jam. Sedangkan untuk sintesis zeolit berkarbon kondisi optimum yang dilaporkan Londar (2009) adalah dilakukan hidrotermal pada suhu 160oC selama 24 jam.

Metodologi

Abu dasar batubara yang digunakan pada penelitian ini berasal dari PT. IPMOMI Paiton Probolinggo. Struktur kristal dan mineralogi dari abu dasar telah dianalisa pada penelitian sebelumnya yang menggunakan abu dasar yang sama dengan X-ray Diffraction (XRD) dan komposisi kimia dianalisa menggunakan analisa X-ray Fluoroscene (XRF)(Yanti, 2009).

Sintesis Zeolit A dari abu dasar

Pada penelitian ini, zeolit A disintesis dari abu dasar menggunakan metode peleburan diikuti kristalisasi hidrotermal (Yanti, 2009). Pertama, dilakukan penghilangan kandungan air dalam abu dasar. Abu dasar batubara ditaruh didalam cawan porselen dan dipanaskan pada suhu 105 ºC dalam oven listrik selama 12 jam dan didinginkan dalam desikator. Abu dasar dihaluskan dan diayak dengan ukuran 60 mesh. Kemudian abu dasar dicampur dengan NaOH halus dengan perbandingan massa NaOH/abu dasar = 1,2 ke dalam stainles steel krusibel hingga rata dan didiamkan selama 30 menit. Campuran kemudian dipanaskan pada suhu 750ºC selama 1 jam dalam muffle furnace. Setelah peleburan, campuran didinginkan, digerus dan dibuat suspensi dengan penambahan 12 air deionisasi mL/g, campuran hasil peleburan diikuti oleh pengadukan dengan laju sekitar 600 rpm dan pemeraman (aging) selama 2 jam dalam botol polietilen pada suhu kamar. Selanjutnya campuran yang telah diperam tersebut disaring dan diambil supernatannya sebagai larutan

sumber Si dan Al. Residu dicuci dengan aquades sampai pH 9.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yanti, 2009 diketahui kandungan Si, Al dan Na dari supernatan. Dari hasil tersebut dibuat slurry berkomposisi molar relatif 3,165 Na2O : Al2O3 : 1,926 SiO2 : 128 H2O dengan penambahan larutan NaAl

2O-NaOH sebagai sumber Al untuk

mengatur rasio molar Si/Al yang sesuai untuk sintesis zeolit A.

Campuran (slurry) dan residu dimasukkan dalam autoklaf stainless steel yang tertutup rapat untuk kristalisasi hidrotermal pada suhu 100°C selama 12 jam. Setelah perlakuan hidrotermal, padatan hasil kristalisasi dipisahkan dari filtratnya, dicuci dengan air destilat sampai pH 9-10 dan dikeringkan pada suhu 105°C selama 24 jam kemudian ditimbang. Zeolit hasil sintesis dikarakterisasi dengan difraksi sinar-X (XRD) untuk mengidentifikasi fasa kristal serta kristalinitasnya dan morfologi permukaan ditentukan dengan SEM.

Sintesis zeolit berkarbon dari abu dasar

Zeolit berkarbon disintesis dari abu dasar menggunakan metode hidrotermal langsung. Kandungan karbon yang hilang ditambahkan kembali pada proses hidrotermal dengan penambahan karbon aktif sebanyak karbon total yang hilang akibat pembakaran sisa karbon dan pemanasan suhu tinggi (Londar dkk, 2009). Pertama, dilakukan penghilangan kandungan air dalam abu dasar. Abu dasar batubara dipanaskan pada suhu 105 ºC dalam oven listrik selama 12 jam dan didinginkan dalam desikator. Abu dasar dihaluskan dan diayak dengan ukuran 60 mesh. Selanjutnya dilakukan penghilangan karbon dalam abu dasar dengan cara kalsinasi pada suhu 800 ºC selama 4 jam dalam atmosfer udara dan didinginkan dalam desikator. Berat yang hilang akibat proses pemanasan ini dihitung sebagai LOI (loss of ignition). Berat yang hilang (loss of ignition) dinyatakan sebagai prosen berat dengan menggunakan rumus:

% LOI = x 100% (1)

dengan mo = massa sebelum dikalsinasi dan m1 = massa setelah dikalsinasi.

Setelah tahap penghilangan karbon, abu dasar direaksikan dengan NaOH, bubuk NaAlO2, karbon aktif sebanyak 11,5% (Londar dkk, 2009) dan air deionisasi hingga terbentuk perbandingan komposisi rasio molar 3,165 Na2O : Al2O3 : 1,926 SiO2 : 128 H2O. Campuran yang terbentuk kemudian di masukkan ke dalam reaktor hidrotermal yang sebelumnya telah diaduk dengan pengaduk magnet selama 24 jam. Setelah itu reaktor ditutup rapat dan dipanaskan di dalam oven bersuhu 160 ºC selama 24 jam. Larutan

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

disaring dan endapan dicuci dengan air destilat hingga filtrat mencapai pH 9-10. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 12 jam. Selanjutnya sampel dikarakterisasi dengan XRD dan SEM. Zeolit berkarbon hasil sintesis ini kemudian digunakan sebagai bahan adsorben untuk ion ammonium.

Studi Adsorpsi

Untuk menentukan waktu setimbang dilakukan prosedur percobaan sebagai berikut. Pertama, erlenmeyer disiapkan beberapa buah dan dimasukkan 50 ml larutan ammonium (NH4

+) dengan konsentrasi 10 mg/l. Kedalam masing-masing larutan dimasukkan adsorben sebanyak 0,5 g. Larutan diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 rpm dengan waktu yang divariasi dari 15-1440 menit pada suhu ruang (32oC). Untuk mempelajari efek dari konsentrasi awal dan adsorbsi isotherm, dilakukan variasi konsentrasi ammonium pada range 5-50 mg/l. Untuk menentukan pH optimum larutan terhadap proses adsorpsi ammonium (NH4

+), maka percobaan dilakukan dengan menambahkan adsorben sebanyak 0,5 g kedalam 50 ml larutan ammonium (NH4

+) dengan konsentrasi 10 mg/l. pH awal larutan divariasi dengan range pH 4-9. Pengaturan pH ini dengan penambahan HCl 0,1 M dan NaOH 0,1 M. Larutan diaduk dengan kecepatan pengadukan 300 rpm selama jam 4 jam untuk zeolit A dan 8 jam untuk zeolit berkarbon pada suhu ruang (32oC). Larutan disaring sampai jernih. Konsentrasi ammonium (NH4

+) yang tidak teradsorp diukur dengan alat Spektrofotometer UV-vis pada λ = 630 nm dengan menggunakan metode phenate (APHA, 1995). Morfologi adsorben sebelum dan setelah adsorpsi dilihat dengan menggunakan SEM.

Banyaknya kontaminan yang diserap dari larutan dinyatakan sebagai kapasitas penghilangan ammonium tiap unit berat dari zeolit (q) yaitu:

(2) Dimana, Co adalah konsentrasi awal

ammonium (mg/L), Ce konsentrasi kesetimbangan ammonium (mg/L), V adalah jumlah volume (L) dan m adalah massa zeolit (g). Efisiensi penghilangan ammonium dari larutan dihitung dari:

(3)

Analisa data kinetik dan isoterm adsorpsi

Lima model kinetik digunakan dalam mengamati proses adsorpsi kontaminan kedalam adsorben yaitu orde satu semu, orde dua semu, Bangham, model difusi intra-partikel dan Elovich. Data diproses dan dicocokkan dengan persamaan kinetik. Pertama, orde satu semu

adalah persamaan yang biasa digunakan untuk menggambarkan adsorpsi dan ditentukan dengan persamaan berikut:

(4) Dimana qt (mg/g) adalah jumlah adsorbat yang diserap pada waktu t (min), qe (mg/g) adalah kapasitas adsorpsi kesetimbangan (mg/g), dan kf (min-1) adalah konstanta laju model orde satu semu(min-1). Persamaan dapat diintegrasi dengan memakai kondisi-kondisi batas qt = 0 pada t = 0 dan qt=qt pada t=t, persamaan menjadi:

(5) Model orde dua semu dapat dinyatakan dalam

bentuk : (6)

dimana ks adalah konstanta laju model orde dua semu (dalam g/(mg min)). Setelah integrasi dan penggunaan kindisi-kondisi batas qt=0 pada t =0 dan qt=qt pada t=t, persamaan linier dapat diperoleh sebagai berikut :

(7)

Laju penyerapan awal, h (mg/g min) sedangkan t t → 0 dapat didefinisikan sebagai berikut :

(8) Laju adsorpsi awal (h), kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe) dan konstanta orde dua semu ks dapat ditentukan secara eksperimen dari slope dan intersep plot dari t/qt versus t.

Persamaan Bangham digunakan untuk mempelajari tahap waktu terjadinya sistem adsorpsi dan persamaannya digambarkan sebagai berikut:

(9) Dimana Co adalah konsentrasi awal adsorbat dalam larutan (mg/L), V adalah volume larutan (mL), m adalah berat adsorben per liter larutan (g/L), qt (mg/g) adalah jumlah adsorbat yang tertinggal pada waktu t, dan α (<1) dan ko adalah tetap/konstan.

Studi difusi intra partikel juga digunakan dalam studi kinetik ini. Rumus model intra-partikel dinyatakan sebagai berikut:

(10) dimana kid adalah konstanta laju difusi intra-partikel. Sebuah plot qt versus t1/2 akan didapatkan garis lurus dengan slope kid dan intersep C ketika mekanisme adsorpsi mengikuti proses difusi intra-partikel. Nilai intersep menandakan tentang ketebalan dari batas lapisan, yaitu luas intersep terbesar adalah efek batas lapisan.

Persamaan Elovich berasumsi bahwa permukaan padat sesungguhnya adalah sepenuhnya heterogen. Persamaan Elovich dapat dinyatakan sebagai:

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

(11) Integrasi persamaan diatas dan penggunaan kondisi awal qt = 0 pada t = 0 dan qt=qt, akan kita peroleh model Elovich:

(12) dimana α adalah laju adsorpsi awal (mg/(g min)) dan parameter β berhubungan dengan luas perrmukaan yang tertutup dan energi aktivasi (g/mg).

Sedangkan pada isoterm adsorpsi terkarakterisasi oleh nilai konstanta tertentu yang menggambarkan karakteristik permukaan, afinitas dari adsorben dan kapasitas adsorpsi dari adsorben. Untuk menggambarkan kesetimbangan adsorpsi, persamaan isoterm yang bermacam-macam telah digunakan seperti Langmuir, Freundlich dan model Tempkin.

Parameter Langmuir ditentukan dengan rumus berikut

(13) qmax (mg/L) dan K (L/mg) adalah kapasitas monolayer yang dicapai pada konsentrasi tinggi dan konstanta kesetimbangan, berturut-turut. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q menunjukkan jumlah yang diserap pada kesetimbangan (mg/g).

(14)

Parameter Freundlich ditentukan dengan rumus

(15) KF dan 1/n menunjukkan faktor kapasitas Freundlich dan parameter intensitas Freundlich, berturut-turut. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q menunjukkan jumlah yang diserap pada kesetimbangan (mg/g).

(16) Model isoterm Tempkin menjelaskan tentang

interaksi antara adsorben dengan adsorbatnya. Model ini menganggap adsorpsi pada semua molekul pada permukaan akan menurun linier dengan jumlah interaksi antara adsorbat dan adsorben dan adsorpsinya dikarakterisasi dengan energi sampai energinya maksimun. Parameter Tempkin ditentukan dengan rumus

(17) Model liniernya yaitu

(18) dimana

(19) A adalah plot dari qe versus ln Ce yang digunakan untuk menentukan konstanta isoterm Kt dan B1. Ce adalah konsentrasi kesetimbangan dalam larutan (mg/L) dan q mewakili jumlah kesetimbangan adsorpsi (mg/g). Kt adalah

konstanta kesetimbangan (L/mol) yang cocok digunakan untuk energi ikatan maksimum dan konstanta B1 berhubungan dengan bagian adsorpsi (Widiastuti dkk, 2009).

Hasil dan diskusi Sintesis zeolit A dan zeolit berkarbon dari abu dasar

Pada penelitian ini, zeolit A disintesis dari abu dasar dengan metode peleburan yang diikuti dengan kristalisasi hidrotermal. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Yanti (2009), diperoleh kondisi optimum pembuatan zeolit A pada kondisi hidrotermal pada suhu 100oC selama 12 jam dengan peleburan pada atmosfer udara pada suhu 750oC selama 1 jam. Kondisi tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk mensintesis zeolit A dengan abu dasar. Metode peleburan yang diikuti dengan kristalisasi hidrotermal ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu peleburan atau biasa disebut dengan reaksi fusi, pelarutan Si dan Al serta proses hidrotermal atau kristalisasi.

Selain itu pada penelitian ini dibahas juga sintesis zeolit berkarbon dari abu dasar PT IPMOMI Paiton. Metode yang digunakan adalah hidrotermal langsung dengan penambahan karbon aktif (Londar, 2009). Komposisi bahan dan kondisi pembuatan zeolit berkarbon pada penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian Londar (2009). Kondisi optimum yang diperoleh pada penelitian tersebut yang digunakan pada penelitian ini adalah kondisi hidrotermal pada suhu 160oC selama 24 jam dengan kalsinasi abu dasar pada suhu 800oC selama 4 jam. Kandungan karbon yang hilang ditambahkan kembali pada proses hidrotermal dengan penambahan karbon aktif sebanyak karbon total yang hilang akibat pembakaran sisa karbon dan pemanasan suhu tinggi.

Pada tahap peleburan dalam sintesis zeolit A ini, prinsipnya adalah mereaksikan bahan dasar dengan basa alkali dimana pada penelitian ini abu dasar direaksikan dengan NaOH dan dilebur pada suhu yang tinggi yaitu 750oC dalam stainles steel krusibel selama 1 jam. Menurut Querol (1997), aluminosilikat dalam abu dasar yang merupakan fasa amorf ini sangat reaktif terhadap alkali. Pada peleburan ini dihasilkan garam-garam aluminat dan silikat sebagai sumber Si dan Al untuk sintesis zeolit. Reaksi fusi yang terjadi antara komponen abu dasar SiO2 dan Al2O3 dengan NaOH adalah sebagai berikut;

Reaksi ini dijelaskan oleh Ojha, dkk

(2004) dalam reaksi fusi abu layang SiO2 dan

2NaOH(s) + Al2O3(s) fusi 2NaAlO2(s) + H2O(g) 2NaOH(s) + SiO2(s) Na2SiO3(s) + H2O(g) 10NaOH(s) + 2SiO2.3Al2O3(s) 2Na2SiO3(s) + 6NaAlO2(s) + O2(g)

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

Al2O3 dengan NaOH didalam penelitiannya. Hasil yang didapatkan dari perlakuan alkali fusi ini adalah produk hasil fusi yang disebut massa fusi. Massa fusi yang didapatkan pada penelitian ini berupa padatan berwarna cokelat keabu-abuan yang telah berubah dari warna awalnya yang hitam. Perubahan warna ini dapat dilihat pada Gambar 4.1 yang menunjukkan bahwa komponen abu dasar dengan NaOH telah mengalami reaksi peleburan dan telah berubah struktur menjadi garam alkali, yaitu natrium silikat dan aluminum silikat.

Setelah tahap peleburan dengan hasil natrium silikat dan natrium aluminumsilikat, tahap selanjutnya adalah melarutkan padatan leburan untuk mendapatkan ekstrak Si dan Al terlarut. Menurut Barrer (1982), zeolit dibuat dengan cara konvensional dari larutan gel silikat dan aluminasilikat. Pada penelitian untuk mendapatkan silikat dan aluminat terlarut, padatan leburan abu dasar yang mengandung garam natrium silikat dan natrium alumina silikat dihaluskan dan dilarutkan dalam aqua DM hingga konsentrasi NaOH sekitar 2M. Natrium silikat lebih mudah larut dalam air, sedangkan natrium aluminasilikat lebih mudah larut dalam larutan alkali. Campuran padatan ini di aduk selama 2 jam untuk mendapatkan campuran yang homogen dan sejumlah spesies Si dan Al yang terlarut . Proses pelarutan leburan abu dasar dengan air destilasi adalah sebagai berikut: Na2SiO3(s) + H2O(aq) Na2SiO3(aq) Na2AlSiO4(s) + H2O(aq) NaAl(OH)4(aq)

Campuran yang didapatkan disaring

dengan menggunakan kertas saring whatman no 41 dan corong buchner serta pompa vakum. Maka didapatkan residu serta filtrat. Filtrat yang didapatkan rata-rata sebesar 200 ml. Volume filtrat yang didapatkan tidak sama dengan volume air yang ditambahkan pada saat proses aging karena sebagian volume air tersebut terserap oleh padatan leburan selama proses. Filtrat yang didapat selanjutnya disebut ekstrak leburan yang mengandung spesies Si, Al dan Na yang akan digunakan sebagai gel awal (prekursor zeolit) pada proses selanjutnya yaitu perlakuan hidrotermal.

Pada proses kristalisasi zeolit A, preparasi gel dilakukan dengan pengaturan komposisi molar relatif 3,165 Na2O : Al2O3 : 1,926 SiO2 : 128 H2O (Robson, 2001). Pengaturan komposisi molar ini juga dilakukan pada sintesis zeolit berkarbon. Bedanya, pada sintesis zeolit berkarbon ini ditambahkan sebanyak 11,5 % karbon aktif yang telah hilang akibat pembakaran sisa karbon dan pemanasan suhu tinggi. Sehingga akan dihasilkan campuran zeolit yang masih mengandung karbon abu dasar (zeolit berkarbon).

Preparasi gel untuk sintesis zeolit A ini dari ekstrak leburan yang dicampur dengan larutan NaAlO2-NaOH sebagai sumber Al tambahannya sesuai dengan komposisi yang telah diatur diatas. Gel yang telah dipreparasi selanjutnya dikristalisasi menjadi kristal aluminosilikat (zeolit A) secara hidrotermal dalam autoklaf stainles steel. Penambahan residu ekstrak Si-Al juga dilakukan setelah penambahan NaAlO2 untuk mendapatkan zeolit A dengan kuantitas yang besar guna diaplikasikan sebagai adsorben, karena jika ekstrak saja yang digunakan sebagai prekursor zeolit maka zeolit yang dihasilkan memang murni zeolit A seperti yang diteliti oleh Yanti (2009) namun kuantitasnya sangat sedikit sehingga biayanya cukup mahal untuk memperoleh zeolit A sebagai adsorben, maka dilakukan penambahan residu dari ekstrak Si-Al .

Kristalisasi dilakukan pada suhu 100°C selama 12 jam. Seperti yang telah dilakukan oleh Yanti (2009) bahwa zeolit A dengan kapasitas tukar kation (KTK) terbesar telah berhasil disintesis dari abu dasar dengan suhu hidrotermal 100°C dan waktu hidrotermal 12 jam sehingga zeolit yang diperoleh diharapkan mampu menjadi adsorben yang efektif karena nilai KTK nya yang cukup tinggi.

Sedangkan pada zeolit berkarbon, campuran yang terbentuk dari hasil perbandingan rasio molar diatas dan disertai penambahan karbon kemudian dimasukkan dalam botol polietilen dan diaduk dengan magnetik stirer selama 24 jam. Setelah itu campuran dimasukkan dalam reaktor hidrotermal dan ditutup rapat kemudian dipanaskan di dalam oven dengan suhu hidrotermal 160oC selama 24 jam. Setelah itu, larutan disaring untuk memisahkan filtrat dan residu. Residu yang terbentuk berupa padatan yang kemudian dicuci dengan air destilat hingga filtrat pH 9-10. Padatan hasil pencucian ini kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100°C selama 12 jam untuk menghilangkan kadar air dan menjaga agar tidak melebihi suhu hidrotermal kristalisasi dan tidak merusak fasa zeolit yang telah terbentuk.

Proses kristalisasi yang berlangsung dapat ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut: NaOH(aq)+NaAl(OH)4(aq) + Na2SiO3(aq) SuhuKamar [Nax (AlO2)y (SiO2)z . NaOH . H2O](gel) Suhu 373,3oC Nap[(AlO2)p(SiO2)q]. h H2O (Kristal dalam suspensi)

Ojha dkk. (2004) Zeolit hasil sintesis pada penelitian ini

dianalisa menggunakan XRD dan SEM seperti dapat dilihat pada Gambar 1,2,3 dan 4. Pada Gambar 1. merupakan difraktogram hasil sintesis zeolit A. Hasil pencocokan puncak-puncak tersebut sesuai dengan Powder Diffraction File (PDF) yang diperoleh dari Data Base Joint

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS) 1997 dengan nomor seri PDF 39-0222 sebagai standar terbentuknya zeolit A. Zeolit A yang terbentuk tipe zeolit LTA [Na96(AlO2)96(SiO2)96.216H2O] dan memiliki sistem kristal kubik. Tipe zeolit A yang terbentuk serupa dengan zeolit A dari abu dasar melalui metode peleburan dan diikuti perlakuan hidrotermal yang dilaporkan oleh Yanti (2009) walaupun ada puncak zeolit Hidroksi-sodalit yang muncul pada 2θ = 13,9. Dengan demikian padatan yang terbentuk setelah perlakuan hidrotermal selama 12 jam merupakan zeolit fasa tunggal yaitu zeolit A.

Gambar 1. Difraktogram sinar-X dari Zeolit A hasil sintesis

Zeolit A ini juga dianalisa menggunakan SEM untuk mengetahui gambar morfologinya dan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mikrograf SEM hasil sintesis zeolit A (Yanti,2009).

Dari mikrograf SEM diatas, terlihat

bahwa bentuk zeolit A hasil sintesis adalah kubik. Gambar 3. menunjukkan tipe zeolit yang terbentuk adalah terutama tipe Analcim (PDF 43-0136) dan sejumlah Sodalit (PDF 43-0136). Sedangkan morfologi zeolit berkarbon hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 4. yang menunjukkan adanya bentuk persegi panjang atau balok yang dominan dan bentuk gumpalan bulat.

Kedua zeolit hasil sintesis ini kemudian digunakan sebagai adsorben untuk adsorbsi ammonium.

Gambar 3. Difraktogram hasil sintesis zeolit karbon (A = Analcim dan S = Sodalit)

Gambar 4. Mikrograf SEM hasil sintesis

zeolit berkarbon Studi Adsorpsi Penentuan waktu kontak optimum

Variasi waktu dilakukan untuk menentukan waktu setimbang dari adsorpsi. Dimana waktu setimbang ini merupakan kondisi maksimum adsorben untuk menyerap ammonium (NH4

+). Efek waktu kontak ammonium (NH4+)

dengan zeolit berkarbon dan zeolit A ditunjukkan oleh Gambar 5. yang menunjukkan penghilangan ion ammonium (NH4

+) oleh zeolit A dan zeolit berkarbon yang cukup cepat mulai 15 menit pertama kemudian lajunya meningkat secara signifikan pada menit-menit berikutnya, hingga tercapai laju yang konstan pada 240 menit untuk zeolit A dan 480 menit untuk zeolit berkarbon. Hal ini terjadi karena banyak sisi adsorben yang kosong sehingga kecenderungan larutan untuk terserap ke adsorben semakin tinggi dengan bertambahnya waktu kontak hingga tercapai waktu kesetimbangan (Karadag, 2006). Selama waktu kesetimbangan tersebut, amonium berhasil teradsorp pada zeolit A dan zeolit berkarbon berturut-turut sebesar 0,9391 mg/g dan 0,9789

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

mg/g.

Gambar 5. Hubungan waktu kontak (menit) dengan qe (mg/g). Kondisi proses: jumlah adsorben 0,5 gram, volume 50 ml, konsentrasi awal 10 mg/l, T=320C dan pH 6,5

Berdasarkan data kapasitas adsorpsi diatas dapat diketahui bahwa zeolit berkarbon memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar daripada zeolit A. Hal ini dikarenakan zeolit berkarbon memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan zeolit A karena keberadaan karbon dalam zeolit berkarbon tersebut. Hal ini didukung dengan data luas permukaan zeolit A oleh Yanti, 2009 yang melaporkan bahwa luas permukaan zeolit A sebesar 2,47 m2/g, sedangkan Londar, 2009 melaporkan bahwa luas permukaan zeolit berkarbon sebesar 105,99 m2/g. Luas permukaan yang besar ini diakibatkan oleh ukuran partikel yang sangat kecil yang mempengaruhi adsorpsi ion amonium (NH4

+) kedalam zeolit. Mekanisme penghilangan amonium menggunakan zeolit termasuk reaksi pertukaran ion dimana zeolit mempunyai muatan negatif akibat adanya perbedaan muatan antara Si4+ dengan Al3+. Muatan negatif ini muncul karena atom Al yang bervalensi 3 harus mengikat 4 atom oksigen yang lebih elektronegatif dalam kerangka zeolit. Dengan adanya muatan negatif ini maka zeolit mampu mengikat kation dengan ikatan yang lemah seperti kation Na dan Ca. Karena lemahnya ikatan inilah maka zeolit bersifat sebagai penukar kation yaitu kation Na atau Ca akan tergantikan posisinya dengan ion amonium (NH4

+). Adsorpsi kation amonium ini terjadi pada permukaan dengan gugus hidroksil pada zeolit dan kombinasi muatan positif dari kation amonium dan muatan negatif pada permukaan zeolit (Gates, 1992).

Penentuan konsentrasi awal larutan ammonium optimum

Variasi konsentrasi awal ini dilakukan untuk mengetahui pola penyerapan ion amonium (NH4

+) dengan zeolit A dan zeolit berkarbon. Hasil dari penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.8

Penyerapan ion amonium meningkat dengan meningkatnya konsentrasi awal ion amonium, kemudian konstan setelah tercapai

kesetimbangan. Efisiensi penghilangan amonium (NH4

+) oleh zeolit A dan zeolit berkarbon meningkat dengan meningkatnya konsentrasi awal amonium (NH4

+). Hasil ini seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Lebedynetz, dkk (2004); Inglezakis, dkk (2005) dan Sprinsky, dkk (2005) yang mengatakan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi awal amonium (NH4

+) akan memberikan daya dorong yang lebih besar pada sisi – sisi adsorben. Hasilnya amonium (NH4

+) akan berpindah (migrasi) dari permukaan luar ke dalam pori-pori zeolit A dan zeolit berkarbon yang berukuran mikro. Ion amonium (NH4

+) mampu bertukar kation tidak hanya pada permukaan luar zeolit tapi juga pada permukaan dalam zeolit. Kesetimbangan tercapai ketika semua pertukaran ion amonium (NH4

+) dan kation pada permukaan luar dan dalam zeolit telah tercapai. Dalam Gambar 4.8 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan amonium (NH4

+) maka lebih banyak amonium (NH4+) yang

tertukar atau terserap. Hasil penyerapan ion amonium (NH4

+) pada zeolit A dan zeolit berkarbon berturut-turut sebesar 3,2868 mg/g dan 2,9236 mg/g pada konsentrasi awal 35 mg/l.

Gambar 6. Hubungan konsentrasi awal dengan qe (mg/g) dengan konsentrasi awal (Co) = 5-50 mg/l. Kondisi proses: jumlah adsorben 0,5 gram, volume 50 ml, waktu kontak: 240 menit(4 jam) untuk zeolit A dan 480 menit (8 jam) untuk zeolit berkarbon, T=320C dan pH 6,5 Penentuan pH optimum

Variasi pH ini dilakukan untuk mengetahui kondisi pH yang optimum untuk penyerapan ammonium (NH4

+). pH berpengaruh kuat pada effisiensi penghilangan ammonium (NH4

+) menggunakan zeolit A dan zeolit berkarbon. Gambar 7. menunjukkan pengaruh pH terhadap kinerja zeolit A dan zeolit berkarbon pada pH 4-9 dengan konsentrasi ammonium (NH4

+) 10 mg/L. Kinerja zeolit A dan zeolit berkarbon berubah ketika pH divariasi dari 4 sampai 9. Effisiensi penghilangan ammonium (NH4

+) dengan menggunakan zeolit A dari pH 4 sampai 5 effisiensi penghilangan cenderung naik, kemudian turun mulai pH 6 sampai 9, sehingga puncak pH dengan efisiensi penghilangan terbesar

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

juga terjadi pada pH 5 sebesar 55,78%. Pada zeolit berkarbon, dari pH 4 sampai 6 effisiensi penghilangan cenderung naik, kemudian turun mulai pH 7 sampai 9, sehingga puncak pH dengan efisiensi penghilangan terbesar juga terjadi pada pH 6 sebesar 72,63%. Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. dibawah ini:

Gambar 7. Pengaruh pH larutan ammonium (NH4

+) dengan % ammonium yang teradsorp, waktu kontak 4 jam untuk adsorben zeolit A dan 8 jam untuk adsorben zeolit berkarbon. Kondisi proses: jumlah adsorbent 0,5 gram, volume 50 ml, T=320C dan konsentrasi 10 mg/l.

Penelitian yang dilakukan oleh Thornton (2007) dan Emerson (2006), juga menunjukkan hasil yang sama bahwa adsorpsi ion ammonium (NH4

+) menggunakan zeolit dimana kondisi pH yang optimum tercapai saat pH < 8. Peningkatan adsorpsi secara cepat ini berhubungan dengan pembentukan hidrokso yang berbeda dengan saat terjadi kenaikan pH larutan. Ammonia berada didalam air dalam dua bentuk yaitu berupa ion ammonium (NH4

+) atau non-ion ammonium (NH3), yang sesuai dengan persamaan berikut (Weatherley,2004): NH4

+ + OH− NH3 + H2O (20) NH3 + H3O+ NH4

+ + H2O (21) Keseimbangan ammonium dalam larutan

sangat dipengaruhi oleh pH (Hedstrom,2001). Hal ini menunjukkan bahwa hanya dalam bentuk ionnya, ammonium dapat dihilangkan dari larutan dengan pertukaran ion. Pada pH = 8 dan dibawahnya, kebanyakan ammonium berada dalam bentuk ionnya. Oleh karena itu sangat mungkin berasumsi bahwa kondisi-kondisi ini sangat baik untuk proses penghilangan ion ammonium (Thornton, 2007).

Diatas pH 8 kesetimbangan bergeser dengan cepat ke arah ammonium dalam bentuk bukan ionnya (NH3) dan dengan meningkatnya pH maka kurang baik untuk proses penghilangan ammonium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pH dibawah 8 akan meningkatkan jumlah ion hidrogen dalam larutan, sehingga menyediakan cukup banyak rongga - rongga untuk kompetisi terjadinya pertukaran (Koon,

et.al., 1975, Hankins, et.al., 2004, Hedstrom, et.al., 2001).

Berdasarkan Gambar 7. diatas, hal ini dapat dijelaskan dengan gambar 8. dibawah ini yang menunjukkan perilaku ammonia dalam larutan yaitu bahwa ammonia pada pH 5 sampai 7 berbentuk ion ammonium (NH4

+), yang merupakan spesies utama yang dapat membuat terjadinya pertukaran ion dengan kation-kation yang berada dalam zeolit. Sehingga pada kondisi ini effisiensi penghilangan ammonium tinggi. Tetapi pada pH 10 keatas dimana NH3 merupakan spesies dominannya, effisiensi penghilangan ammonium rendah. Hal ini berhubungan dengan kemampuan pertukaran ion dalam bentuk utama NH3 ini sangat rendah.

Gambar 8. Diagram perilaku ammonia dalam larutan (Widiastuti, 2009) Kinetika adsorpsi

Dari data hasil variasi waktu maka dapat ditentukan data model kinetika adsorpsinya. Hal ini akan sangat bermanfaat apabila adsorpsi ini diaplikasikan untuk sistem kolom dalam skala industri. Data kinetika dalam penelitian ini dianalisa dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 9. Nilai parameter adsorpsi kinetik dari lima model dirangkum dalam Tabel 1.

Dari data Gambar 9. dan Tabel 1. dapat diketahui bahwa adsorpsi ammonium (NH4

+) menggunakan zeolit A serta zeolit berkarbon mengikuti model orde dua semu. Hal ini dapat disimpulkan jenis modelnya sesuai dengan nilai R2 yang mendekati satu, dimana nilai R ini merupakan nilai koefisien korelasi dari grafik. Nilai R semakin mendekati satu memiliki data yang linier. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Lecheng Lei, dkk (2008).

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

Tabel 1. Ringkasan dari perhitungan kinetika adsorpsi

(a).

(b).

(c).

(d).

(e). Gambar 9. Analisa beberapa model kinetik, (a.) Model orde satu semu, (b.) Model orde dua semu, (c.) Model difusi intrapartikel (d.) Model elovich dan (e) Model bangham, Kondisi proses: jumlah adsorbent 0,5 gram, konsentrasi awal 10 mg/L, volume 50 ml, suhu 25°C , pH = 6,5 dan waktu kontak 4 jam untuk adsorben zeolit A dan 8 jam untuk adsorben zeolit berkarbon. Isoterm adsorpsi

Dari data hasil variasi konsentrasi maka dapat ditentukan data model isoterm adsorpsinya. Hal ini untuk mengetahui model isoterm dan untuk mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi. Setelah mengetahui jenis adsorpsi yang terjadi maka dapat diketahui ikatan yang terjadi. Data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah adsorben yang digunakan dapat diregenerasi ulang atau tidak. Data isoterm dalam penelitian ini dianalisa dengan beberapa model. Hasil dapat dilihat di Gambar 10. (a), (b), dan (c). Nilai

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

parameter adsorpsi isoterm dari tiga model dirangkum dalam Tabel 2.

(a)

(b)

(c)

Gambar 10. Kurva adsorpsi isotherm (a) Langmuir, (b) Freundlich dan (c) Temkin. Kondisi proses: jumlah adsorben 0,5 gram, volume 50 ml, t = 8 jam untuk zeolit A dan 4 jam untuk zeolit karbon, T=320C dan pH 6,5

Jika dilihat dari data koefisien korelasi maka dari semua grafik tersebut nilai R2

mendekati angka satu sehingga dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ammonium (NH4

+) menggunakan zeolit A mengikuti model Freundlich. Adsorpsi Freundlich merupakan adsorpsi yang terjadi karena adanya interaksi secara fisik yang terjadi antara adsorbat ( zat yang diserap ) dengan

Tabel 2. Ringkasan dari perhitungan isoterm adsorpsi

permukaan adsorben (zat yang menyerap ). Ketika permukaan adsorben sudah tertutupi adsorbat, adsorbat tidak hanya terserap pada lapisan atas/tunggal pada permukaan adsorben, tetapi juga pada lapisan kedua dan seterusnya hingga menghasilkan lapisan multi (multilayer). Hal ini karena lemahnya interaksi secara fisik yang terjadi, sehingga jika terjadi peningkatan suhu dan konsentrasi adsorpsi adsorbat pada adsorben juga akan meningkat dengan membentuk lapisan pertama, kedua dan seterusnya menghasilkan lapisan multilayer. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adsorpsi ammonium (NH4

+) menggunakan zeolit A termasuk jenis adsorpsi fisika. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben (Khartikeyan, 2004).

Gaya antar molekul adalah gaya tarik antara molekul-molekul fluida dengan permukaan padat, sedangkan gaya intermolekular adalah gaya tarik antar molekul-molekul fluida itu sendiri. Adsorpsi ini berlangsung cepat, dapat membentuk lapisan jamak (multilayer), dan dapat bereaksi balik (reversible), karena energi yang dibutuhkan relatif rendah. Energi aktivasi untuk terjadinya adsorpsi fisika biasanya adalah tidak lebih dari 1 kkal/gr-mol, sehingga gaya yang terjadi pada adsorpsi fisika termasuk lemah. Adsorpsi fisika dapat berlangsung di bawah temperatur kritis adsorbat yang relatif rendah

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

sehingga panas adsorpsi yang dilepaskan juga rendah yaitu sekitar 5-10 kkal/gr-mol gas, lebih rendah dari panas adsorpsi kimia.

Hasil model Freundlich ini sesuai dengan penelitian Qi Du, dkk (2005) yaitu adsorpsi ammonium (NH4

+) menggunakan zeolit. Gambar 4.13(c) merupakan gambar kurva isotherm model Tempkin. Jika dilihat dari data koefisien korelasi maka dari grafik tersebut nilai R2 mendekati angka satu sehingga dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ammonium (NH4

+) menggunakan zeolit A mengikuti model Tempkin. Nilai parameter adsorpsi isotherm dari tiga model dirangkum dalam Tabel 2. diatas Hasil SEM

Adapun hasil adsorpsi ammonium (NH4

+) dari zeolit A serta zeolit berkarbon dapat dilihat pada Gambar 11. yang merupakan mikrograf SEM sebelum dan sesudah terjadinya adsorpsi.

(a). (b).

(c). (d).

Gambar 11. Mikrograf SEM: (a) dan (b) berturut-turut adalah zeolit A dan zeolit karbon sebelum terjadinya adsorpsi. Sedangkan (c) dan (d) berturut-turut adalah zeolit A dan zeolit karbon setelah terjadinya adsorpsi.

Dari mikrograf SEM diatas

menunjukkan bahwa rongga-rongga yang mulanya masih kosong telah tertutupi oleh ammonium yang teradsorp kedalam zeolit A dan zeolit berkarbon. Zeolit ini digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan ammonium dalam larutan karena zeolit mempunyai muatan negatif akibat adanya perbedaan muatan antara Si 4+ dengan Al 3+. Muatan negatif ini muncul karena atom Al yang bervalensi 3 harus mengikat 4 atom oksigen yang lebih elektronegatif dalam kerangka zeolit. Dengan adanya muatan negatif ini maka

zeolit mampu mengikat kation dengan ikatan yang lemah seperti kation Na dan Ca. Karena lemahnya ikatan inilah maka zeolit bersifat sebagai penukar kation yaitu kation Na atau Ca akan tergantikan posisinya dengan ion ammonium (NH4

+). Hasil ini sesuai dengan bahasan pada variasi konsentrasi pada sub bab 3.2.2 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Abu dasar ditransformasi menjadi zeolit A dengan metode peleburan diikuti proses hidrotermal dan zeolit berkarbon dengan metode hidrotermal langsung. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zeolit A mampu mengadsorpi ammonium hingga 93,91% dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 5 selama 240 menit. Sedangkan zeolit berkarbon mampu mengadsorpi ammonium hingga 97,89% dengan konsentrasi 35 mg/l, pada pH 6 selama 480 menit. Ammonium dalam bentuk ion dapat dihilangkan dari larutan dengan pertukaran ion pada pH = 8 dan dibawahnya, karena kebanyakan ammonium pada pH tersebut berada dalam bentuk ionnya. Adsorpsi dengan menggunakan zeolit A serta zeolit berkarbon mengikuti model adsorpsi kinetik orde dua semu. Sedangkan untuk adsorbsi isotherm untuk zeolit A mengikuti model adsorpsi isotherm temkin, sedangkan zeolit berkarbon mengikuti model adsorpsi isotherm Freundlich.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Alloh SWT yang telah memberikan rahmat

dan hidayahNYA, 2. Orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas

segala doa dan dukungannya baik berupa material maupun spiritual

3. Ibu Nurul Widiastuti, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, arahan, pemahaman dan segala diskusi serta semua ilmu yang bermanfaat selama penyusunan tugas akhir,

4. Ibu Yulfi Zetra, M.Si selaku Koordinator Tugas Akhir dan dosen wali atas bantuan dan arahannya selama masa perkuliahan di Jurusan Kimia FMIPA ITS

5. Teman- teman dan seperjuangan tugas akhir sahabat- sahabat tercinta atas bantuan, semangat dan kerjasamanya

DAFTAR PUSTAKA A. Hedstrom, (2001), “Ion exchange of

ammonium in zeolites: a literature review”, J. Environ. Eng. Hal.673–681

Alfathoni, G. (2002), Rahasia untuk Mendapatkan Mutu Produk Karbon Aktif

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2009/2010

Prosiding KIMIA FMIPA - ITS

dengan Serapan Iodium diatas 1000MG/G. http://www.Tepatgunatek. Com. 20 Maret 2009

APHA, (1995) , Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, nineteenth ed., American Public Health Association, Washington, DC, USA, 1995

Barrer, R.M. (1982), “Hydrothermal Chemistry of Zeolites”, Academic Press Inc, London.

D. Karadag, Y. Koc, M. Turan, A. Armagan, (2006), “Removal of ammonium ion from aqueous solution using naturalTurkish clinoptilolite”, J. Hazard. Mater. B136, hal. 604–609.

Gates, Bruce C. (1992), “Catalytic Chemistry”, John Wiley and Sons Inc., New York

Hassett D.J. and Eylands K.E. (1999). "Mercury Capture on Coal Combustion Fly Ash" Fuel 78: 243-248.

H.J.Koon,W.J. Kaufmann, Ammonia removal from municipalwastewaters by ion exchange, J. WPCF 47 (3) (1975) 448–465.

Hollman G G, Steenbruggen G, Janssen-Jurkovicova M, (1999), “A two-step process for the synthesis of zeolites from coal fly ash”, Fuel, Vol. 78(10), P. 1225–1230.

Hui, K.S. dan Chao, C.Y.H. (2006), “Effects of step-change of synthesis temperature on synthesisof zeolite 4A from coal fly ash”, Microporous and Mesoporous Materials, vol 88 hal. 145–151.

Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N.M., (2004), Adsorption Dynamics and equilibrium Studies of Zn(II) onto Chitosan. Indian J. Chem. Sci.,116, 2, pp. 119-127

K.R. Emmerson, R.C. Russo, R.E. Luna, R.V. Thurston, (1981), “Aqueous ammonia equilibrium calculation: effect of pH and temperature”, Can. J. Fish Aquat. Sci. 32, hal 2379.

Londar, (2009), “Sintesis zeolit karbon dari abu dasar PT. IPMOMI Paiton dengan menggunakan metode hidrotermal langsung“, Senaki IV, Jurusan Kimia FMIPA ITS, Surabaya

Metcalf and Winkler, M.A, (1998), Wastewater Engineering—Treatment and Reuse, 4th ed., McGraw-Hill, New York vol. 2, Editorial McGraw Hill

M. Lebedynets, M. Sprynskyy, I. Sakhnyuk, R. Zbytniewski, R. Golembiewski, B. Buszewski, (2004), “Adsorption of ammonium ions onto a natural zeolite: Transcarpathian clinoptilolite”, Adsorption Science Technology 22, hal. 731–741.

Molina, A. dan Poole, C. (2004) “A Comparative Study Using Two Methods To Produce

Zeolites from Fly Ash”, Minerals Engineering, 17, p. 167–173

N.P. Hankins, S. Pliankarom, N. Hilal, R(2004) , “Removal of NH4

+ ion from NH4Cl solution using clinoptilolite: an equilibrium ion exchange study on the removal of NH4

+ ion from aqueous effluent using clinoptilolite”, Separation. Science Technology. 39 (15), hal. 3639–3663.

M. Sprynskyy, M. Lebedynets, A.P. Terzyk, P. Kowalczyk, J. Namiesnik, B. Buszewski, (2005), “Ammonium Sorption from aqueous solutions by the natural zeolite transcarpathian clinoptilolite studied under dynamic conditions”, Colloid Interface Sci. 284, hal. 408–415.

Querol, X., Moreno, N., Umana, J.C., Alastuey, A., Hernandez, E., Soler, A.L., Plana, F.,(2002), “Synthesis of Zeolites From Coal Fly Ash:An Overview”, International Journal of Coal Geology 50, hal. 413-423.

Sawyer, Clair N., McCarty, Perry L., dan Parkin, Gene, (1994), Chemistry for Environmental Engineering, 4th edition, Mc Graw- Hill Inc, New York

Thornton, A., et al. (2007), “Ammonium removal from solution using ion exchange on to Mesolite, an equilibrium study”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 147, hal. 883–889.

V.J. Inglezakis, (2005), “The concept of capacity in zeolite ion-exchange systems”, J. Colloid Interface Science. 281, hal 68–79.

Wang, C.F., Li, J.S., Wang, L.J. dan Sun, X.Y. (2008), “Influence of NaOH Concentrations on Synthesis of Pure-form Zeolite A from Fly Ash Using Two-Stage Method”, Journal of Hazardous Materials, Vol. 155, hal. 58–64.

Yanti, Yuli (2009), “ Sintesis zeolit A dan Zeolit Karbon Aktif dari Abu Dasar PLTU Paiton denga Metode Peleburan” Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.