adenomiosis

31
REVIEW ARTIKEL ADENOMIOSIS: SEBUAH TINJAUAN LITERATUR Lydia Garcia MD, Keith Isaacson MD ABSTRAK Adenomiosis sering dijumpai pada wanita di usia reproduktif, terlebih lagi pada mereka yang mengalami menorrhagia dan dysmenorrhea. Etiologi dan patofisiologi penyakit ini masih belum jelas hingga saat ini, meskipun begitu, berbagai perkembangan terbaru di bidang metode diagnostik dan berbagai penelitian tentang terapi telah banyak mengubah cara seorang klinisi menatalaksana adenomiosis. Tinjauan literatur dilakukan dengan menggunakan situs PubMed dan studi serat lintang terhadap terhadap literatur, laporan kasus, maupun penelitian, baik yang jenis prospektif maupun retrospektif sejak tahun 1998-2010. Penelitian ini memberikan penjelaqsan mengenai etiologi, diagnosis, prevalensi, faktor resiko, tanda dan gejala klinis serta penatalaksanaan adenomiosis. Seorang ahli patologi Jerman, Carl von Rokitamky pertama sekali emndeskripiskan adenomiosis di tahun 1860 saat beliau mengamati adanya kelenjar endometrium di lapisan miometrium, dan ia menyebutnya dengan nama ‘cystosarcoma adenoid uteri”. Barulah kemudian pada tahun 1921 lesi tersebut diketahui

Upload: andika-pradana

Post on 29-Nov-2015

487 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Adenomiosis

REVIEW ARTIKEL

ADENOMIOSIS: SEBUAH TINJAUAN LITERATUR

Lydia Garcia MD, Keith Isaacson MD

ABSTRAK

Adenomiosis sering dijumpai pada wanita di usia reproduktif, terlebih lagi pada mereka yang

mengalami menorrhagia dan dysmenorrhea. Etiologi dan patofisiologi penyakit ini masih

belum jelas hingga saat ini, meskipun begitu, berbagai perkembangan terbaru di bidang

metode diagnostik dan berbagai penelitian tentang terapi telah banyak mengubah cara

seorang klinisi menatalaksana adenomiosis. Tinjauan literatur dilakukan dengan

menggunakan situs PubMed dan studi serat lintang terhadap terhadap literatur, laporan kasus,

maupun penelitian, baik yang jenis prospektif maupun retrospektif sejak tahun 1998-2010.

Penelitian ini memberikan penjelaqsan mengenai etiologi, diagnosis, prevalensi, faktor

resiko, tanda dan gejala klinis serta penatalaksanaan adenomiosis.

Seorang ahli patologi Jerman, Carl von Rokitamky pertama sekali emndeskripiskan

adenomiosis di tahun 1860 saat beliau mengamati adanya kelenjar endometrium di lapisan

miometrium, dan ia menyebutnya dengan nama ‘cystosarcoma adenoid uteri”. Barulah

kemudian pada tahun 1921 lesi tersebut diketahui ternyata berasal dari implant endometrium

yang mengalami perluasan jaringan epitel, dimana saat itu adenomiosis dan endometriosis

masih belum dipisahkan penamaannya. Pada tahun 1950, Sampson mengajukan hipotesis

bahwa proses menstruasi retrograde dapat memudahkan membedakan adenomiosis dengan

endometriosis. Kemudian barulah pada tahun 1972, Bird dkk mencoba mendefinisikan

adenomiosis dengan jelas, dimana adenomiosis didefginiskan sebagai ‘invasi benign jaringan

endometrium ke miometrium, yang mengakibatkan pembesaran ukuran uterus, yang mana

secara mikroskopis merupakan suatu kelenjar endometrium ektopik dan non-neoplastik

dengan stroma yang dijkelilingi oleh miometrium yang menagalmi hipertrofi dan

hiperplasia’.

Page 2: Adenomiosis

Atas jasa peneliti-peneliti tersebutlah, saat ini berbagai perkembangan dalam metode

diagnostik dan terapi telah muncul. Ilmu kedokteran saat ini menyatakan bahwa tidak ada

metode pencegahan adenomiosis, namun begitu, histerektomi tidak lagi harus dilakukan guna

menegakkan diagnosis. Saat ini, diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan teknik

yang tidak terlalu invasif seperti USG dan MRI serta analisis spesimen sediaan jarinagn

melalui prosedur biopsi histeroskopi. Meskipun diagnosis penyakit ini sering dijumpai pada

wanita di usia 40 tahunan atau 50 tahunan yang memang mengeluhkan gejala, adenomiosis

sekali-sekali pada wanita usia muda yang mengeluhkan infertilitas atau mengeluhkan tanda

dan gejala dismenorrhea dan menorhagia. Menanggapi kenyataan bahwa adenomiosis sering

ditemukan pada wanita muda, maka teknik medis dan pembedahan baru perlu dicoba

ditemukan untuk menghindarkan keharusan menjalani histerektomi yang selama ini

merupakan standard prosedur. Penatalaksanaan medis yang tersedia saat ini meliputi pil

kontrasepsi oral, progestin, damarol, GnRH agonis, dan inhibitor aromatase. Prosedur

pembedahan invasif minimal memungkinkan pilihan terapi konservatif yang berupa ablasi

dan reseksi endometrium, eksisi laparoskopik dari adenomiosis, dan MRI dengan guidance

USG. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk merangkum prevalensi, etiologi, faktor

resiko, gambaran klinis, dan hasil akhir dari terapi medikal dan bedah dari adenomiosis.

Etiologi

Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di jaringan otot (miometrium)

uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih belum diketahui, setidak-tidaknya 4 teori sudah

pernah diajukan. Teori yang pertama dan yang paling populer adalah bahwa adenomiosis

dapat berkembang dari invaginasi jaringan endometrium di miometrium. Teori kedua

menyebutkan bahwa adenomiosis dapat berkembang secara de novo akibat sisa sisa dari

jaringan mullerian pluripotent. Teori ketiga menyebutkan bahwa adenomyosis terjadi karena

invaginasi dari lapisan basalis pada sistem limfatik intreamiometrium. Dalam tulisan ini,

penulis lebih condong pada teori yang lebih banyak diketahui umum seperti akan dijelaskan

berikut ini.

Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis terjadi sebagai akibat invaginasi

dari endometrioum basal ke miometrium. Invaginasi dapat terjadi karena lapisan miometrium

mengalami perlunakan akibat riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis

sebelumnya yang memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat

Page 3: Adenomiosis

sel-sel yang sudah mengalami cedera. Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya

fenomena immun menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur imunohistokimia

menunjukkan bahwa peningkatan jumlah makrofag akan mengaktivasi sel T dan sel B yang

kemudian akan meghasilkan antibodi dan menstimulasi keluarnya sitokin, yang pada

akhjirnya sitokin ini akan merubah struktur endomiometrial junction. Pencetus yang pasti dari

proses invaginasi itu sendiri tidaklah diketahui, meski demikian, diperkirakan pengaruh dari

hormon hona invrmon mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan

basal endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan hal ini ternyata

menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa

jaringan adenomyosis memiliki ekspresi reseptor estradiol yang lebih tinggi dibandingkan

endometrium yang memang berada di endometrium sebenarnya. Peningkatan respons

terhadap estrogen ini mempermudah terjaidnya proses invaginasi dan perluasan adenomiosis.

Sebagai tambahan, jaringan adenomiosis juga mengandung enzim aromatase dan enzim

estrogen sulfat yang menghasilkan estrogen untuk menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi

jaringan endometrium abnormal dan stromanya ke miometrium.

Teori kedua menyatakan bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur perubahan de novo sisa sisa

jaringan mullerian. Titik titik adenomiosis ekstrauterine sebagaimana yang dijumpai di

septum rektovaginal mendukung teori tersebut. Terlebih lagi penelitian mengenai properti

biologik dan proliveratif dari endometrium ektopik dan eutopik, masing m,asing memeiliki

karakteristik tersendiri. Matsumoto dkk mengamati bhwa endometrium ektopik yang

dijumpai pada kasus adenomiosis tidak memberikan respon terhadap perubahan hormonal

sebagaimana endomnterium eutopik. Perubahan sekretorik sangat jarang dijumpai, bahkan

sekalipun lapisan basalis dari endometrium yang sebenarnya tengah berada di fase sekretorik.

Jika dibandingkan dengan endometrium eutopik, jaringan ektopik tidak menunjukkan adanya

properti perubahan siklik yang menginduksi regulasi apopotosis protein seperti ekspresi bel-

2. Temuan ini menunjukkan adanya proliferasi konstan dari jaringan ektopik di dalam

miometrium, dan juga menunjukkan karakteristik biologik yang berbeda dibandingkan

endometrium eutopik.Penelitian lain juga membandingkan beragam faktor pertrumbuhan dan

sitokin seperti misalnya angiogenik growth factor, basic fibroblast growth factor, yang mana

mungkin memiliki kontribusi dalam patogenesis perdaraha uteris abnormal pada kasus

adenomiosis. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi yang berbeda beda pada jaringan

adenomiosis dibandingkan dengan jaringan endometrium eutopik, dan hal ini berarti sejalan

Page 4: Adenomiosis

dengan teori bahwa adenomiosis bukanlah berasal dari endopmetrium lapisan basala,

melainkan dari jalur de novo sendiri.

Teori ketiga, teori stem cell, didukung oleh fakta bahwa regenerasi endometrium dapat

diinduksi oleh stem cell yang berasal dari sumsum tulang. Temuan ini memiliki implikasi

yang potensial dalam hal menentukan etiologi endmetriosis dan adenomiosis. Studi

imunohistokimia terkini mengungkapkan adanya jarinagn endometrium tambahan di 4 wanita

yang menjalani prosedur transplantasi sumusm tulang dengan ketidaksesuaian antigen HLA

tunggal. Data ini menunjukkan stem sel yang berasal dari sumsum tulang memiliki peranan

daklam pertumbuhan jaringan endometrium yang baru. Maka dari itu, mungkin saja stem cell

tadi juga dapat menginduksi pertumbuhan oendometrium di jarinagn otot miometrium, dan

menyebabkan adenomiosis dengan proliferasi lokal kelenjar endmetrium dan stroma nya di

miometrium

DIAGNOSIS

Gejala klinis seperti menorhagia dan dismenorhea serat pembesaran uterus cukup

mengarahkan ke dugaan adenomiosis, diagnosis akan lebih pasti ditegakkan dengan analisis

jaringan histologi. Karena adanya jaringan endometrium yang proliferatif di dalam

miometrium, amak akan dijumpai gambaran hiperplasia sel otot polos, dan jjga hipertrofi,

yang menyebabkan pembesaran uterus secara global yang dapat diamati secara makroskopis.

Adenomiosis juga dapat muncul dalam bentuk fokal sbagai sel otot polos yang mengalami

penumpukan nodular, yang lazim dikenal sebagai adenomioma, dan dapat juga muncul dalam

bentuk massa polpoid dalam kavum endometrium.

Secara mikroskopis, adenomiosis menunjukkan adanya jarinagn endometrium di

miometrium. Adenomiosis cenderung merupakan suatu proses yang difus yang lebih sering

terjadi terutama di sebelah posterior., dan sekali kali di bagian abterior, dan jarang dijumpai

di di daerah sekitar cervix. Suatu reaksi hiperplasia otot polos sering dijumpai di sekitar

jarinagn endometrium ektopik. Diagnosis yang seragam yang didasari kriteria histologis

belum dapat dibuat. Misalnya, adenomiosis dapat saja didefinisikan sebagai keadaann

ditemuinya kelenjar endomnetrium di dalam miometrium dengan ukuran lebih besar dari 1

lapangan pandang kecil dari lapisan basalis endometrium. Definisi lain menyebutkan bahwa

adenomiosis ukurannya harus lebih dari 25% dari ketebalan miometrium (yang mana kriteria

Page 5: Adenomiosis

ini sering dipakai untuk wanit a postmenopause) atau adanya perluasan kelenjar lebih dari 1

sampai 3 nm dibawah lapisan endometrium. Belum ada suatu kriteria yang universal yang

menyepakati ketebalan minimal dari perluasan jaringan tersebut, namun kebanyakan studi

menyebutkan batasan 2,5 mm dibawah lapisan basalis. Karena perbedaan dalam standar

diagnosis, prevalensi adenomiosis jadi sangat berbeda beda di tiap tiap penelitian.

Diagnosis adenomiosis terutama ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari sediaan

histopatologis yang diambil melalui histerektomi. Meski begitu, beberapa studi menyatakan

bahwa biopsi miometrium sewaktu prosedur histeroskopi ataupun laparoskopi dapat juga

digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis. Diagnosis secara histeroskopi tidaklah

memberikan suatu temuan yang patognomonik untuk adenomiosis, meskipun sebagian bukti

menyebutkan bahwa endometrium yang bentuknya berlekuk lekuk disertai dengan gangguan

vaskularisasi dan lesi kistik yang berdarah berkaitan dengan keadaan ini. Histeroskopi

memang memungkinkan untuk melakukan proses biospi dengan menggunakan visualisasi

langsung untuk memperoleh diagnosis secara histologis. McCauland melakukan prosedur

histeroskopi pada 50 orang pasien yang kavum uterinya normal. Dilakukan biopsi dinding

posterior miometrium denghan menggunakan suatu elektroda loop berukuran 5 mm untik

mengambil spesimen 1,5 hingga 3 cm panjangnya dengan kedalaman penetrasi 6 mm.

Analissi patologi terhadalop sampel jaringan tersebut mendapati bahwa 66% dari spesimen

yang diteliti ternyata mengalami adenomiosis meskuiopun kavum uterinya normal dan juga

mengeluhkan menorhagia. Biopsi miometrium yang rutin selagi proses histeroskopi operatif

dapat berguna untuk merencanakan tatalaksana selanjutnya jika diagnosis telah ditegakkan.

Meski begitu diagosis mungkin saja terlewatkan jia ternyata adenomiosisinya terlalu

superfisial atau jarinagn adenomiosis bukan berada di tempat dilakukannya biopsi. Popp dkk

melakukan biopsi miometriuim dengan menggunakan jaruma yang dapat memotong secara

otomartis pada laproskopi 34 pasien, Perdarahan seringkali dijumpai pada tempat

dilakukannya biospi dan serngkali membutuhkan injesi larutan vasopresso untuk mengontrol

perdarahan. Sensitivitas secara keseluruhan masih rendah, berkisar antara 8 hingga 18,7%.

Biopsi acak yang dilakuakn pada utersu dengan karingan adenomiosis in vitro juga

mengkonfiormasi bahwa sensitivitas teknik ini m,asih rendah. Brosen dan Barker melakukan

8 percobaan pada 8 kasus biopsi jarum pada 27 kasus sediaan histerektomi., dimana angka

sensitivitasnya adalah berkisar dari 2,3% hingga 56%. Sensitivitas secara ukum bergantgung

pada jumlah biopsi dan kedalaman penetrasi jaringan adenomoisis. Masih dibutihkan lebih

Page 6: Adenomiosis

banyak poenelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengevaluasi peranan

biopsi miometrium dala mendiagnosis adenomiosis.

Walaupun diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis, beberapa teknik pencitraan

telah terbukti berguna untuk membanmtu menegakkan differensial diagnosis yaitu dengan

menggunakan USG dan MRI. Baik USG transvaginal dan transabdominal akan menunjukkan

jaringan adenomiosis sebagai suatu kantung kantung berukuran 1 hingga 7 mm berbentuk

bulat dan anekoik, distirsi dan memiliki tektur miometrium yang abnormal. nHAsl temuan

USG yang paling mengarahkan ke diagnosis adenomiosis adalah jika ditemukan miometrium

heterogen dengan batas yang tidak tegas. Temuan di MRI menunjukkan suatu uterus yang

membe3sar secara asimetris tanpa adanya leiomioma, penebalan zona junctional ke lapisan

otot hingga 40%. Zona junctyional adalah lapisan terdalam dari lapisan miometrium tang

tampak jelas pada mikroskop cahaya namu tidakmemiliki karakteristik hoistologis tersendiri.

Penebalan zona junctional pada MRI adalah sebagai akibat proliferasi miosit lapisan bawah

yang tidak terkoordinasi yang dikenal sebagai keadaan ‘hiperplasia zona junctional’. Hal ini

tidaklah merefleksikan deteksi adanya kelenjar endometrioum dan stromanya di otot, namun

hal ini menekankan bahwa teori yang menyatakan bahwa disrupsi zona junctional

meningkatkan resiko miometrium terhadap kejadian adenomiosis. Perubahan siklis akan

meningkatkan ketebalan zona junctional akibat perubahan hormon, dan oleh sebab inilah

MRI dapat digunakan untuk mendiagnosis pada wanita yang sudah menopause, dimana

kriteria yang digunakan adalah adanya 40% reasio zona junctional di ketebalan dinding

mimetrium, dan bhkan hanya iddasarkan pada ketebalam zona junctional nya saja.

Bazot dkk membandingkan akurasi metode pencitraan untuk mendiagnosis adenomiosis dan

mengkorelasikannya dengan hasil temuan histologisnya setelah dilakukan histerektomoi.

Penelitian mereka menyebutkan bahwa akurasi USG transabdominal masih rendah jika

dibandingkan dengan UISG transvaginal. Tingkat akurasi yang setara juga ditemui oada

perbandinagn akurasi USG transvaginal dengan MRI dimana hasilnya serupa jika tidak

dijumpai leiomioma. Jika dijumpai pula leiomioma maka baik USG maupun MRI sama

sama memiliki tingkat akurasi yang rendah, meski demikian, MRI masih sedikit lebih unggul

dibandingkan USG dalam hal sensitrivitas dan spesivisitas. Secara umum literatur

menyebutkan bahwa USG transvaginal memiliki sensitivitas 53% hingga 89% dan

spesivisitasnya 50% hingga 99% dalam hal diagnosis adenomiosis jika tidak disertai dengan

leiomioma. Tapi angka sensititasnya akan menurun sebesar 22% jika ternyata dijumpai pula

leiomioma, terlebih lagi jika ukuran miomanya lebih dari 300ml. Pada kasus kasus dimana

Page 7: Adenomiosis

leiomioma dijumpai bersamaan dengan adenomiosis, MRI ternyata memiliki senistivitas 67%

dan spesivisitas 82% jika ada leiomioma, dan angkanya meningkat menjadi sensitivitas 87%

dan spesivisitas 10-0% jika tidak disertai dengan leiomioma. Sebagai ringkasan, USG

transvaginal merupakan pilihan lini pertama yang cukup baik jika dilakukan oleh ahli yang

berpengalaman, sedangkan MRI memiliki keunggulan dalam hal jika adenomiosisnya disertai

debngan leiomima. Kombinasi dari kedua teknik tersebut akan meningkatkan sensitivitas

sebelum diagnosis operatif dibuat,

Epidemiologi

Karena diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis, angka insidensi yang pasti

tidaklah dapaty ditentukan. Dalam berbagai penelitian, prevalensinya berkisar antara 5 hingga

70%. Besarnya rentang ini mungkin dikarenakan oleh banyak faktor termasuk klasifikasi

diagnostik yang beragam, perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sampel biopsi dan

bias yang mungkin ntimbul dari hali patologinya sendiri karena mempertimbangkan

perjalanan penyakity pasien. Secara umum, rata rata frekluensi kejadian adenomiosis pada

histerektomi adalah sekitar 20 hingga 30%.

Penelitian klinis berkala telah menunjukkan peningkatan frekuensi kejadian adenomiosis

pada pasien multipara. Kehamilan mungkin akan meningkatkan resiko kejadian adenomiosis

karena terjadi anvasi alamiah trofoblas ke mniometrioum saat implabntasi. Sebagai

tambahan, jika dibandingkan dengan jaringan eutpik, jaringan adenomiosis memiliki rasio

jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak, yang mana penoingatan hormon selama

kehamilan mungkinn akan mengiduksi adenomiosis. Vercellini dkk mengamati bahwa

kejadian adenomiosis memang secara langsuing sangat berkaitan dengan kehamilan. Selain

itu Levgur dkk melaporkan pasien yang telah menjalani terminasi kehamilan melalui diatasi

dan kuretase mengalami angka kejadian yang tinggi dalam hal adenomiosis jika

dibanmdingkan dengan wanita yang tidak pernah menjalani terminasi kehamilan. Penelitian

ini membuka kemungkinan bahwa efek dari kehamilan terdahulu dalam hal patogenesis

penyakit ini tidak adapat diabaikan, namun angka pastinya masih belum dapat ditentukan.

Beberapa studi menyatakan bahwa trauma akibat operasi di pelvis dapat memicu invaginasi

jaringan adenomiosis. Parazzini dkk juga mengamati tingginya angka kejadian adenomiosis

pada mereka yang telah menkalani dilatasi dan kuretase. Meski demikian, maish terdapat bias

Page 8: Adenomiosis

dalam penelitian tersbeuit, apakah memang peningkatan resiko adenomiosis itu diosebabkan

oleh prosedur dilatasi kuretasenya ataukah adenomiosisnya disebabkan oleh fakta bahwa

wanita yang menjalani dilatasi kuretase biasanya mengalami hiperplasia jaringan nakiobat

keadaan hipoestrogen, yang pada akhirnya menyebabkan adenoimiosis. Studi lain

mentebuitkan tidak ada hubungan antara adenomiosis dengan riwayat operasi transpelvic

sebelumnya, ataupun Seksio Sesarea. Oleh karena itu, masih belum jelas apakah riwayat

operasi terdahulu merupakan faktor resiko signifikan untuk adenoimiosis.

Tujuh puluh persen hingga 80% adenomiosis dilaporkan pada wanita umur 40 tahuna atau 50

tahunan. Karena diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis, pervalensi akan

meningkat pada wanitya yang lebih tua, mungkin karena tingginya riwayat prosedur

histerektomiu pada kelompok wanita tersebut. Mungkin juga ghal ini idkarenakan paparan

estrogen yang semakin meningkat seiring dengan pertmabhan usia. Lima hingga 25 persen

kasus adenomiosis dijumpai pada pasien berumur kurangt dari 39 tahun dan hanya 5 persen

hiungga 10% saja yang dijumpai pada wanita usia lebih dari 60 tahun.

Meskipun insidensi adenomiosis pada wanita postmenopause cukup rendah, mungkin

insidensinya akan lebih tinggi padea kelompok wanita tua yang mengosumsi tamoxifen.

Tamoxifen adalah suatu senyawa estrogen sitetik lemah yang berikatan dengan reseptor

estrogen secara selektif dan dapat berperan sebagai agonis estrogen pada reseptornya yang

berada di sel endometrium. Karena jaringan endometrium ektopik extrauterine merupakan

tujuan dari stimulasi hormonal, maka jaringan adenomiosis dan endometriosis dapat muncul

atau reaktivasi kembali. Cohen dkk melaporkan 8 wanita postmenopause dengan kanker

payudara yang menjalani terapi dengan tamoxifen dean kemudian menjalani histerektomi

dengan diagnosis postoperativ adalah adenomiosis, menunjukkan angka insidensi yang lebih

tinggi pada wanita postmenopause yang menjalani terapi pada populasi kecil ini.

GEJALA KLINIS DAN PATOFISIOLOGI

Delapan puluh persen waniota dengan adenomiosis merupakan usia pertengahan. 50 persen

diantaranya menunjukkan gejala menorhagia, 30% menunjukkan gejala dismenorrhea, dan

20% menunjukkan gejala metorhagia. Hanya 18,7% pasien yang menunjukkan gejala

menorhagia dan dismenorhea yang signifikan. Gejala yang lebih jarang dijumpai adalah

dispareunia, dan nyeri panggul kronik. Karena sebanyak 80% wanita dengan adenomiosis

Page 9: Adenomiosis

juga memiliki penyakit panggul lain yang menyertai, seringkali sulit untuk menentukan

gejala manakah yang memang benar benar diakibatkan oleh adenomiosis. Sebagai tambahan,

sebanyak 35% kasus adenomiosis ditemukan secara tidak sengaja pada wanita yang sama

sekalio tidak mengeluhkan gejala gejala tersebut.

Mekanisme pasti mengenai bagaimana munculnya gejala adenomiosis masihlah belum jelas.

Meskipun demikian, ada beberapa teori yang dikemukakan. Sedikitnya ada 3 perubahan

patologis yang terjadi pada miometrium pasien yang jkemudian menimbulkan gejala

menorhagia. Fokus adenomiosis dapat mempengaruhi susunan otot otot normal di uterus, dan

karena itu, otot otot uterus jadi tidak dapat berkontraksi dengan optimal sewaktu menstruasi

sehingga munculnya perdarahan dalam jumlah yang lebih banyak. Distorsi dari lapisan

miometrium sebelah dalam pada zona junctional juga akan mempengaruhi kontraksi

mimetrium, orientasi, amplitudo dan frekuensi kontraksi, yang berakibat pada menorhagia,

karena lapisan miometrium subendometriumnya terlibat dalam modulasi kontraksi uterus di

sepanjang siklus menstruasi. Sebagai tambahan, adenomiosis dapat berakibat pada

pembesaran uterus dimana luas area permukaan endometrium jadi lebih luas, sehingga

berakiba pada menungkatnya aliran darah ke daerah tersebut. Lebih jauh lagi, jarinagn

adenomiosis ektopik tersebut mengandung sitokin sitokin seperti faktor pertimbuhan

angiogenik (basic fibroblast growth factor), yang dapat menjelaskan patogenesis dari gejhala

gejala yang muncul seperti menorhagia.

Menorhagia dapat menyebabkan ketidakstabilan uterus, atau dismenorhea, akibat stimulasi

dan edema jaringan endometrium di dalam miometrium. Nishida melakukan penelitian yang

bertujuan menguji hubungan antara temuan histologis adenomiosis dengan onset

dysmenorhea, serta mencoba menentukan jumlah infiltrasi kelenjar endometrium yang ada,

kedalam invasinya, dann huibungannya dengan keparahan gejala dismenorhea. Sebagai

tambahan, diperkirakan bahwa jarinagn adenomiosis mungkin memiliki karakteristik yang

sama dengan endometriosis, dimana endometrium ektopik tersebut memiliki reseptor

siklooksigenase 2 dalam jumlah yang sangat banyak. Jumlah reseptor yang sangat banyak ini

menyebabkan peningkatan pembentukan prostaglandin, dan mengakibatkan dismenorhea

berat dan nyeri panggul kronik.

Infertilitas tampaknya lebih jarang dikeluhkan pasien dengan adenomiosis karena biasanya

diagnosis adenomiosis lebih sering ditemui pada wanita usia 40 atau 50 tahunan, yang rata

rata sudah multipara. Meski demikian, karena saat ini semakin banyak wanita yang

Page 10: Adenomiosis

memutuskan untuk menunda momongan, adenomiosis mulai sering ditemui pada wanita usia

muda yang asimptomatik saat dilakukan opemeriksaan infertilitas. Masihlah belum jelas

apakah adenomiosis benar benar memiliki pengaruh terhadap kejadian infertilitas, ataukah

peningkatan kejadian adenomiosis akhir akhir ini sebenarnya disebabkan oleh peningkatan

kemajuan teknologi diagnsotik dengan radiologi. Dalam suatu penelitian prospektif, 26

pasien dengan infertilitas dan memiliki gejala dismenorhea serta menorhagia, hasil MRI

menunjukkan adanya adenomiosis pada 53,8% pasien.

Karena masih belum jelas apakah adenomiosis dapat menyebabkan gangguan pada kesuburan

atau tidak, muncullah beberapa teori yang menjelaskan bagaimana adenomiosis dapat

mengganggu fungsi reproduksi. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa adanya lapisan

abnormal endometrium dan miometrium ini menyebabkan gangguan pada implantasi.

Gangguan pada zona junctional juga dapat menyebabkan kontraktilitas yang abnormal, yang

akan mempengaruhi implantasi. Sungguhpun begitu, pasien dengan diagnosis adenomiosis

yang ditegakkan secara sonografi, dan kemudian menjalani terapi fertiklisasi invitro

menunjukan bahwa tidak ada perbedaan dalam kemampuan implantasi. Suatu teori lain

menyebutkan bahwa adenomiosis akan mengaktivasi sekelompok respons imun yang

berakibat pada perubahan iumunitas seluler dan humoral yang akan mengganggu fungsi

sperma dan perkembangan embrional. Sebagai tambahan, masih belum jelas apakah penyerta

kelainan ginekologi lainnya ,dan bukan adenoimiosisnya lah, yang sebenarnya menyebabkan

infertilitas. Endometriosis ditemui pada 6% sampai 22% pasien dengan adenomiosis, dan

mioma seringkali ditemukan bersamaan ada 35% hingga 55% pasien. Tidak ada terapi yang

dapat menolong pasien infertil dengan adenomiosis, namun begitu, beberapa penulis telah

mempublikasikan laporan kasus mengenai keberhasilan menjadi hamil setelah diterapiu

dengan agonis GnRH dan gejala menorhagia dan diusmenorhea juga mereda sementara.

PENATALAKSANAAN ADENOMIOSIS

Standar penatalaksanaan adenomiosis adalah histerektomi. Sungguhpun begitu, tantangan

yang muncul saat ini adalah bagaimana meredakan gejala pada wanita dengan menggunakan

terapi obat obatan konservatif, ataukah memilih terapi pembedahan untuk mempertahankan

fungsi fertilitas, dan menjadi masalah juga bagaimana melakukan operasi pada wanita yang

memiliki penyulit yang menyebabkan dirinya jadi tidak bisa menjalani operasi. Tidak ada

terapi obat obatan yang dapat meredakan gejala adenomiosis, dan pasien tetap diedukasi

Page 11: Adenomiosis

untuk bisa hamil. Terapi pengobatan dengan menggunakan terapi hormonal supresif seperti

penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang, progestin dosis tinggi, dan AKDR yang

mensejkresikan levonogestrel (LNG IUD), danazol dan agonis GnRH ternyata mampu

menginduksi pengecilan jaringan adenomiosisnya. Pilihan pilihan terapi ini, termasuk juga

terapi pembedahan akan didiskusikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Penggunaan Pil Kontrasepsi Oral dan Progestin

Meskipun belum ada studi acak ganda tersamar yang mencoba mengevaluasi penggunaan pil

kontrasepsi oral pada pasien dengan adenomiosis dengan dismenorhea dan menorhagia,

namun obat obatan tersaebuit dapat sedikit mengurangi keluhan. Peggunaan progestin dosis

tinggi seperti misalnya pil oral norethindrone asetat jangka panjang atau

medroxyprogesteron depo belum pernah diteliti sebagai terapi adenomiosis, namun begitu,

peranan mereka sebagai terapi supresi hormon dapat sedikit banyak memicu regresi jaringan

adenomiosis.

Levonergestrel AKDR

Sedian LNG AKDR (mirena) mensekresikan 20 ug levonorgesterel per harinya dan

merupkan terapi yang efektif dalam penatalaksanaan adenomiosis. Penggunaan LNG AKDR

berkaitan dengan proses desidualisasi endometrium untuk mengurangi perdarahan dan

diperkirakan juga bekerja langsung pada deposit jaringan adenomiosis dengan mendown

regulasikan reseptor estrogen. Hal ini pada kahirnya akan mengurangu ukuran fokusjaringan

adenomiosis, memperbaiki kontraktilitas uterus sehingga dapat mengurangi jumlah

kehilangan darah, mengurangi gejala dismenorhea dengan menurunkan produksi

prostaglandin dalam endometrium dan juga menginduksi amenorhea. Penelitian telah

menunjukkan bahwa penggunaan LNG AKDR berakibat pada perbaikan gejala menorhagia

dan dismenorhea dan perubahan radiologis pada uterus yang mengalami adenomiosis. Namun

begitu, tak satupun dari studi tersebut yang merupakan studi acak tersamar ganda, dan pasien

dalam studi tersebut tidak di follow up sampai waktu dilepaskannya AKDR. Terapi dengan

LNG AKDFR mungkin cukup bermanfaat pada wanita yang menginginkan memiliki

keturunan pasca terapi.

Page 12: Adenomiosis

Sheng dkk melakukan penelitian tentang manfaat LNG AKDR setelah m enggunaan selama

36 bulan pada 94 wabnita dengan dismenorhea sedang hingga berat yang diakibatkan oleh

adenomiosis dengan menggunakan trans vaginal USG. Keluhan nyeri diukur dengan

menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dan ternyata hasilnya berkurang dari awalnya

skornya adalah 77,9 menjadi 11,8 dimana 25% pasien melaporkan terjaid amenorhea.

Volume uterus berkurang secara signifikan, dari 115,8 ml menjadi 94,5 ml, dan begitu juga

dengan kadar Ca 125. Secara umum, tingkat kepuasan dan keberhasilan terapi ini adalah

72,5%.

Bragheto dkk melakukan penelitian pada 29 wanita dengan menorhagia yang diakibatkan

adxenomiosis dan didiagnosis dengan MRI yang kemudian menjalani terapi dengan AKDR

Minera selama 3 hingga 6 bulan. Setelah 6 bulan terapi, terjadi pengurangan yang signifikan

sebesar 24,2% pada ketevbalan zona junctional, namun tidak dijumpai pengecilan ukuran

uterus. 23 orang wanita tersebut menyatakan penurunan derajat nyeri yang mereka rasakan

dan kesemua sampel menyatakan perdarahan yang mereka alami berkurang, 27% diantaranya

menyatakan mengalami amenorhea.

Fedele dkk melakukan pemeriksaan pada 25 orang wanita dengang keluhan menorhagia

akibat adenomiosis yang didiagnosis dengan trans vaginal USG dan menjalani terapi dengan

mengguankan AKDR Minera selama 1 tahun. Dilakukan follow up pada 23 wanita, dan

hasilnya menunjukkan penurunan ukuran uterus dari 948 ml menjadi 914 ml, penurunan

kejadian kehilangan darah, dan peningkatan yang bermakna pada kadar Hemoglobin, yaitu

dari 10,1 menjadi 12,5, begitu juga pada serum ferritin, dari 27 menjadi 82. Pada follow up

selama 1 tahun pertama semua sampe penelitian memperlihatkan penurunan kejadian

perdarahan, dimana hanya 2 orang waniya yang mengalami amenorhea. Satu hal yang harus

diperhatikan dari AKDR adalah ada 1 oprang sampel yang meminta agar AKDR nya dilepas

karena justru mengalami perdarahan tak teratur yang terus menerus. Efek samping dari teknik

ini meliputi perdarahan lucutan, nyeri kepala, nyeri payudara, jerawat dan penambahan berat

badan.

Danazol

Danazol, yang merupakan derivat androgen 19-nortestosterone yang memiliki efek seperti

progestin, akan menginduksi inhibisi langsung enzim enzim di ovarium yang bertanggung

Page 13: Adenomiosis

jawab dalam hal produksi estrogen dan sekresi kelenjkar pituitari gonadotrofin. Pengalaman

dengan penggunaan terapi sistemik pada pasien dengan adenomiosis masih sangat terbatas.

Hal ini mungkin dikarenakan profil efek samping obat, yang meliputi penambahan berat

badan, keram otot, pengecuilan ukuran payudara, akne, hisutisme, kulit berminyak penurunan

kadar HDL, peningkatan enzim hati, hot flash, perubahan mood, depresi, dan perubahan

suara. Setelah terapi sistemik dengan danazol, reseptoir estrigen akan berkurang, dan

menyebabkan pengecilan ukuran uterus dan perbaikan gejala.

Tekn ik baru dalam mengantarkan hormon tersebut telah memungkinkan danazol untuk

digunakan dengan lebih luas dan lebih disukai dengan efek samping yang lebih minimal,

yaitu dengan mmeberikan sedaan suntikan i.v dan AKDR. Igarashi meneliti 14 wanita yang

menggunakan AKDR yang mengandung Danazol 300-400 mg. Pada wanita weanita tersebut,

diagnosis adenomiosis ditegakkan secara radiologis dengan mengguinakan trans vaginal USG

dan MRI, yang mana mereka semuamengaluhkan gejala dismenoirhea, menorhagia maupun

infertilitas. 13 orang wanita tersebut menyatakan perbaikan dalam gejala dismenorhea

sedangkan 12 di antaranya menyatakan penurunan kejadian prdarahan. Hanyha 2 pasien yang

duikeluarkan dari penelitian. Konsentrasi danazol dalam serum masih tetap ada maskipun

kadarenya sudah tidak terdeteksi lagi, dan tidak dijumpai efek samping sistemik. Pengukuran

uterus tidak dilakukan pada penelitian ini. Setelah terapi AKDR danazol dihentika, 3 dari 4

wanita yang infertil tersebut jadi memiliki keturunan. Injeksi danazol via cervix juga berhasil

dicoba. Takebayashi dkk menginjeksikan danazol 10 mg ke cervix 22 orang pasien per 2

minggu sekali selama 12 minggu. Pada studi tersebut dijumpai 60% angtka perbaikan dalam

gejala sepeerti perdarahan, nyeri, dispareunia, dengan rata rata pengecilan ukuran uterus dari

334,6 cm2 menjadi 243,1 cm2. Tidak dijumpai efek samping dari penyuntikan hormon secara

lokal ini.

Agonis GnRH

Agonis GnRH akan berikatan dengan reseptornya yang berada di kelenjar pituitari, dan

berakibat pada terjadinya down reguklasi aktivitas GnRH. Akibatnya adalah terjadinya

keadaan meniopause secara medis yang masih reversibel. Terapi ini tidak efektif dalam

bentuk sediaan opral, dan diberikan dalam bertuk sediaan injeksi intramuskular maupun

subkutan, dapat juga diberikan sebagai nasal spray 2 kali sehari. Sediaan inibiasanya

digunakan hanya untuk periode singkat 3-6 bulan karena efek samping yang mungkin timbul

Page 14: Adenomiosis

meliputi hot flashes dan penurunan densitas mineral tulang. Kasus yang pertama kali

dilaporkan menggunakan sediaan ini pada pasien yang memang didiagnosis adenomiosis

secara biopsi terjaid pada tahuun 1991. Hasilnya menunjukkan pengecilan ukuran uterus daro

440 cm2 menjadi 150 cm2, dan terjadi amenorhea, serta gejala dismenorhea yang mereda.

Meski demikian, saat nantinya terapi dihentikan, gejala akan kembali muncuk dan ukuran

uterus kembali menjadi 420 cm2. Senada dengan hakl tersebit, banyak penelkitian yang

nenyatakan pengecilan ukuran uterus, amenorrhea serta berkurangnya rasa dismenorhea

dengan menggunakan sediaan ini selama 3-6 bulan. Dalam penelitian lain malah dikatakan

bahwa wanita yang telah mengalami infertiltas akibat adenomiosis, setelah diterapi dengan

sediaan ini, dapat menjadi hamil 6 bulan kemudian.

Aromatase Inhibitor

Ekspresi enzim aromatase inhibitor P450 telah banyak dijumpai pada implan jaringan

endometriosis. Enzim ini mengkonversi androgen menjadi estrogen. Dalam berbagai laporan

kasus dan studi penelitian, disebutkan bahwa pemberian aromatase inhibitor telah digunakan

sebagai terapi pada endometriosis berat. Dan efeknya adalah rasa nyeri yang nmereda. Meski

begitu, belum ada penelitian yang menguji peranannya untuk kasus adenomiosis

Histerektomi

Histerektomi merupakan pilihan pengobnatan adeniomiosis yang juga bernilai diagnostik.

Histerektomi dari vagina lebih disukai ketimbang histerektomi dari dinding abdomen,

berkaitan dengan angka kematian yang lebih rendah serta kemungkinan pulih yang lebih

cepat. Meski begitu, dalam suatu studi retrospektif yang melibatkan 1246 histerektomi

vaginal, 14 diangtaranya ternyata mengalami cidera kandung kemih. Penleiti kemudian

menyimpulkan bahwa alasan melaksanakan operasi masihlah belum jelas., namumn

kemungkinan hal ini berkaitan dengan fakta bahwa sulit untuk mengidentifikasi septum

supravagina dan bidang vesicovagina serta vesicocervix. Prosedur histerektomi laparoskopi

memungkinkan untuk mendiseksi area operasi tanpa menimbulkan cedera. Jika dibandingakn

dengan prosedur histerektomni dari vagina, maka angka kejadian cedera kandung kemih

justru banyak berkurang, namun resiko terhadap kejadian perlukaan uterus justru meningkat.

Prosedur ini juga lebih disukai ketimbang histerektomi vagianl karena rasa nyeri post op yang

ditimbulkan sangat lebih minimal.

Page 15: Adenomiosis

Ablasi Endometrium dan Reseksi

Ablasi endometrium telah lama digunakan sebagau terapi menorrhagia, termasuk juga pada

wanita dengan endometriosis yang telah memiliki anak dan tidak ingin punya anak lagi.

Tindakan ini idlakukan dengan menggunakan laser garnet yttrium, reseksi rollerball, ataupun

teknik ablasi global.

Salah satu penelitian terbesar yang mencoba mengevaluasi keberhasilan teknik reseksi

rollerball pada adenomioisis menunjukkan bahwa kedalaman fokus jaringan sangat berkaitan

dengan keberhasilan reseksi. Mc Causland melakukan teknik reseksi roleerball dengan

kedalaman jaringan mencapai 2-3 mm ke miometrium. Teknik ablasi yang lebih dalam lagi

biasanya tidak pernah dilakukan karena bahaya perdarahan yang lebih besar akibat robeknya

arteri yang berada di kedalaman 5 mm miometrium. Pada studi tersebut, untuk wanita yag

kedalaman adeniomiosisnya kurang dari 2 mm, tindakan ini berhasil dan mereka meyatakan

siklus haid yang kembali normal. Sementara untuk pasien yang kedalama adenomiosisnya

lebih dari 2 mm, hasilnyatidak terlaliu baik dan masih membutuhkan histerektomi juga. Pada

adenomiosis yang lebih dalam, kelenjar endometrium ektopik yang berada di dalam, dapat

tetap bertahan meskipun sekitarnya terluka, dan bahkan dapat berproliferasi pada area dimana

dilakukannya ablasi, sehingga mencetuskan perdarahan yang masif.

Ablasi endometrium global juga ternyata telah terbukti efektif pada wanita untuk megobati

perdarahan haid yang terlalu banyak akibat adenomiosis. Namun pada suatu studi retrospectif

yang melibatkan wanita yang didiagnosis adenomosis secara USG dan menjalani thermal

ballon serta ablasi radiofrekuensi, ternyata terjadi peningkatan resiko kegagalan sebesar 15

kali lipat dan tetap membutuhkan histerektomi atau ablasi ulangan.

Embolisiasi Arteri Uterina

Efektivitas dari tejknik embolisasi arteri uterina (EAU) dalam hala tata laksana adenomiosis

simptomatik masihlah kontroversil. Studi jangka panjang meniunjukkan angkan keberhasilan

yang beragam, yang mungkin dikarenakan olegh beragamnya agen pengemboli yang

digunakan serta dipengaruhi pula mioma uteri yang hadir bersamaan. Mioma cenderung

memiliki pembuluh darah yang besar besar yang tentunya memerlukan embolisasi yang

lkebih besar dengan agen pengemboli yang lebih besar pula, jika dibandinagkna dengan

kasus adenomiosis saja. Oleh sebab itu, studi menunjukkan angka kegagalan teknik ini yang

Page 16: Adenomiosis

cukup tinggi pada pasien dengan penyerta mioma uteri. Namun untuk diagnbosis

adenomiosis saja tanpa ada penyertt, tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Kim, dkk

mengadakan suatu penelitian retrospektif yang terbesar jumlah sampelnya melipuiti 54

wanita yang didiagnosis dengan adenoimiosis secara MRI tanpa ada mioma uteri dan

semuanaya menjalani terapai EAU. 57 persen sampel menyebutkan berkurangnya jumlah

darahj yang keluar serta rasa nyeri yang berkurang setelah 4,90 tahun kemusdian. Pada 4

orang pasien, angka kegagalan cukup tinggi dan 19 pasien mengalami relaps dalam 5 tahun

berikutnya sehingga tetap memerlukan histerektomi juga. Angka rata rata relaps adalah 17,3

tahun. Secara umum tingkat kepuasan pasien dengan teknik ini adalah 70 persen.

Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma

Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi fokus jaringan dapat

ditentukan dengan pasti. Tidak seperti miomectomy, tindakan ini agak lebih sulit dalam hal

menentukan luasnya lesi, mengekspos lesi, mennetukan batas serta kedalama invasi jaringan.

Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, mungkin saja dalam prosedur tersebut

jaringan adenomiosisnya masih tertinggal dan dengan begitu, sebagian jaringan mungkin

tidak akan tuntas dan dapat kambuh kembali. Oleh sebab iotu tingkat keberhasilan teknik ini

masih dibawah 50%. Tambahan terapi dengan menggunakan agonis GnRH pada teknik ini

selama 6 bulan setelah eksisi akan dapat menurunkan angka kekambuhan sebanyak 20% pada

2 tahun berikutnya.

Pada wanita yang ingin bisa hmail, eksisi dapat dilakukan jika miometrium tetap

dipertahankan dan pembentukan jaringan parut yang ada tidak mempengaruhi permukaan

tempat implantasi. Angka kejadian abortus spontan jadi lebih tinggi pada kelompok ini juka

dibandingkan dengan masyafrakat umum. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan oleh

pembentukan jaringan parut yang akan mempengaruhi kemampuan uterus untuk

mempertahankan isinya, Meski begitu, suatu studi memperlihatkan bahwa terapi konservatiof

dengan eksisi adenomioma dengan ukuran 55 mm masih dapat menginduksi kehamilan pada

70% kasus dengan disertai berkurangnya gejala menorhagia dan dismenorhea.

Elektrokoagulasi Miometrium

Page 17: Adenomiosis

Teknik elektrokoagulasi miometrium dapat dilakukan dengan menggunakan jarum unipolar

atau bipolar dengan memasukkan jarum ke ke miometrium yang terkena pada jaringan

adenomiosis. Prosedur inisedikit kurang akurat dibandingkan dengan eksisi bedah karena

konduksi elektrik pada jaringan abnormal tidak utuh, sehingga jaringan itu sendiri nantinya

sedikit lebih sulit diablasi. Prosedur ini tidak direkomendasikan pada wanita yang masih

ingin hamil karena dapat menurunkan kekuatan otot miometrium karena digantikan dengan

fokus adenomiosis dengan jaringanparut, dan oleh karena itu dapat meningkatkan resiko

ruptur uteri. Prosedur ini dapat dilakukan bersamaan dengan ablasi endometrium atau reseksi

atau bersamaan dengan terapi hormonal. Review dari literatur mengungkapkan bahwa angka

perbaikan gejala dari suatu penelitian mencapai 55% hingga 70% dan hasil yang lebih baik

lagi dijumpai pada pasien yang menjalani reseksi endomterial secara bersamaan dengan

prosedur ini.

Reduksi Miometrium

Reduksi miometrium untuk menatalaksana adenomiosis yang difus telah dilakukan pada

berbagai jumlah kasus. Jaringan yang cukup luas dari miometrium dibuang dengan teknik

laparoskopi atau dengan laparotomi. Insisi klasik dapat dilakukan dengan diseksi dari uterus

secara longitudinal dengan potongan midline, denga reseksi di bagian anterior dan posteruior

dari miometrium. Sauatu pendekatan baru adalah dengan menggunakan potongan transversal

berbentuk huruf H yang memungkinakna pembuangan jarinagnd alam jumlah yang cukuop

besar dengan area operasi yang luas. Dalam suatu studi, dibandingkan bentuk potongan insisi

H dengan insisi klasik midline, dimana perbaikan gejala ternyata lebih jelas terutama pada

insisi H, dan 2 wnaita dengan insisi tersebut dapat hamil secara spontan. Sementara untuk

insisi klasik beklum ditemukan keberhasilan kehamilan. Secara umum, reduksi miometrium

berakibat pada kemungkinan hamil yang lebih rendah karena berkurangnya kapasitas uterus

dan mengganggu fertilitas. Tanpa memperhitungkan jenis tipe insisinya, demarensi jaringana

denomiosis memang tetap sulit untuk dilakukan sehingga sebagian jaringan dapat tertinggal

dan menyebabkan kekambuhan.

Pembedahan Ultrasound dengan Guide MRI

Page 18: Adenomiosis

Teknik pembedahan ultrasound dengan guide MRI adalah suatu teknik noninvasif dengan

balsai jarinagn lunak ternyata berhasil mengurangi gejala dan meringankan penyakit

adenomiosis ini. Pada tahun 2004, prosedur ini telah disetujui oleh US Food and Drugs

Administration dalam hal pengobatan mioma. Ultrasound yang berurutan sengaa difokuskan

pada jaringan untuk melokalisasi jaringan yg lebih hangat, menyebabkan terjadinya koagulasi

thermal dan nekrosis pada area yang difokuskan tersebut. Pembedahan ultraosund dengan

menggunakan fokus tinggi dapat dilakukan sendirian, meskipun begitu, ketidakakuratan

mengidentifiksi daerah lesi berakibat pada hasil yang sanagt beragam dan tentunya agak

sedikit membahayakan kedaan umum pasien karena gelombang ultrasound akan menyebar

secara difus. Pembedahan ultrasound dengan guide MRI cukup membantuk untuk mengatasi

permasalahan ini karena posisi anatomis yang benar benar detail dapat tergambar dengan

MRI resolusi tinggi. Prosedur ini telah berhasuil dilakukan pada kasus mioma uteri dengan

angka perbaikan gejala klinis mencapai 75% pada 108 pasien. Review dari berbagai literatur

mengungkapkan angka komplikasi yang kecil pada populasi dengan angka sebesar 5% resiko

luka bakar, 0,9% resiko mengalami mual muntah pasca operasi sehingga membutuhkan

rawat inap, dan dilaporkan kasus kelumpuhan nervus sciaticus akibat absorpsi energi oleh

tulang dan berimbas pada saraf. Hanya ada 1 laporan kasus terjadi luka bakar berat yang

membutuihkan rawat inap. Prosedur non invasif ini mulai banyak digunakan sebgaia

alternatif terapi bagi pasien dengan adenomiosis. Terapi jaringan adenomiosis yang luas

mungkin sedikit lebih sulit dibandingkan dengan jaringan yang lebih kecil, dengan

pengurangan resiko perdarahan, diikuti dengan kehamilan tanpa komplikasi dan persalinan.

Ringkasan

Dari literatur diketahui bahwa prevalensi adenomiosis berkisar antara 5% hingga 70% wanita

yang simptomatik, dengan rata rata angkanya adalah 20-30 pada temuan histerektomi. Angka

prevalensi yang tinggi ini mungkin dikarenakan oleh klasifikasi diagnostik yang sangat

beragam, dan juga oleh karena junmlah sampel jaringan yang diperiksa untuk diagnosis.

Diagnosis konfirmasi dapast dilakukan hanya dengan menggunakan pemeriksaan hitologik

dari jaringan uterus. Meski demikian, baik MRI dan USG telah terbukti akurat dalam

menentukan keberadaan adenomiosisl; Telaah literatur mengungkapkan bahwa USG

transvaginal memiliki sensitivitas 53% hingga 890% dengan spesivisitas mencapai 50%

hingga 99%. Sedangkan MRI memiliki sensitivitas 88% hingga 93% dan spesifisitasnya 67%

Page 19: Adenomiosis

hingga 99%. Teknik imaging manapun memiliki tingkat akurasi yang rendah dalam

mendiagnosis adenomiosis jika memang mioma uteri dijumpai, akan tetapi MRI telah

terbukti lebih efektif dalam metode diagnosis jika berbarengan dengan mioma uteri.

Meskipun pemeriksaan USG dan MRI telah lahir sebagai teknologi yang cukup baik dalam

memberikan pencitraan, akan tgetapi masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk

menguji efektivitas klinisnya dan perlu pertimbangan ekonomni juga.

Beberapa teori telah muncul untuk mencoba menjelaskan etiologi adenomiosis dan saat ini

teori yang paling terkenal mengenai keadaan adenomiosis adalah bahwa keadaan ini

diakibatkan oleh invaginasi dari endometrium basalis ke miometrium. Beberapa penelitian

klinis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan frekuensi adenomiosis pada wanita multipara

yang mungkinndikarenakan oleh invasi alamiah dari sel trofoblas ke miometrium dan

menyebabkan invaginasi dan migrasi dari komponen lamina basalis. Resiko lain yang

meningkatkan kemungkinan ini adalah riwayat operasi pada uterus sebelumnya, dan hal ini

mendukung teori invaginasi karena jaringan yang telah mengalami trauma akan melemahkan

batas lamina tersebut.

Gejala paling utama dari adenomiosis adalah menorhagia dan dismenorhhea. Hal ini mungkin

dikarenakan oleh disrupsi dari jalinan otot uterus karena adanya fokus jaringan adenomiosis

yang menyebabkan dinergia dan ketidakmampuan dari uterus untuk berkontraksi secara

norma. Penatalaksanaan keadaan ini biasanya sangat bergantung pada keinginan pasien

apakah masih ingin hamil lagi atau tidak. Ada beragai terapi medikamentosa yang tersedia.

Meski begitu, kebanyakan obat tersebut baru diteliti hanya untuk penggunaan jangka pendek

saja. Efikasi dari penggunaan jangka panjang masihlah belum terbukti. Terapi

medikamnetosa yang paling menjanjikan berdasarkan literatur adalah AKDR LNG karena

kemampuan sediaan ini dalam menekan hormon sehingga meringankan gejala, dengan profil

yang lebih rendah dalam hal efek samping dan tetap memungkinkan wanita untuk

mempertahankan fertilitasnya, Sediaan AKDR LNG terlah terbukti menurunkan dan

menghilangkan gejala dismenorhea dan menurunkan gejala menorhagia, meningkatkan

hematokrit setelah hanya 3 bulan terapi. Pada wanita yang tidak lagi ingin memiliki anak,

prosedur bedah yang tidak terlalu invasif seperti ablasi endometrium dan reseksi telah

dibuktikan dapat meringankan gejala menorhhagia dengan rata rata angka kegagalan sebesar

20%. Angka kegagalan yang lebih tinggi dijumpai pada kasus dimana adenomiosis telah

menginvasi lebih dari 2,5 mm lamina basalis. Terapi bedah konservatif lainnya seperti eksisi

otot adenomiosis, reduksi dan elektrokoagulasi dapat dilakukan namun tidaklah seefektif

Page 20: Adenomiosis

histerektomi karena kesulitan dalam mengeksisi dan mengkoagulasi fokus jaringan secara

utuh. Hasil akhir dari segala prosedur ini telah menunjukkan angka keberhasilan menjadi

hamil yang cukup rendah akibat reduksi volume uterus dan jaringan parut, Teknik terbaru

seperti operasi sonografi dengan guidance MRI dan ambolisasi arteri uterina masih

membutuhkan studi lebih lanjut. Saat ini, histerektomi tetap menjadi standard terapi dalam

tatalaksana adenomiosis.