adenomiosis
TRANSCRIPT
REVIEW ARTIKEL
ADENOMIOSIS: SEBUAH TINJAUAN LITERATUR
Lydia Garcia MD, Keith Isaacson MD
ABSTRAK
Adenomiosis sering dijumpai pada wanita di usia reproduktif, terlebih lagi pada mereka yang
mengalami menorrhagia dan dysmenorrhea. Etiologi dan patofisiologi penyakit ini masih
belum jelas hingga saat ini, meskipun begitu, berbagai perkembangan terbaru di bidang
metode diagnostik dan berbagai penelitian tentang terapi telah banyak mengubah cara
seorang klinisi menatalaksana adenomiosis. Tinjauan literatur dilakukan dengan
menggunakan situs PubMed dan studi serat lintang terhadap terhadap literatur, laporan kasus,
maupun penelitian, baik yang jenis prospektif maupun retrospektif sejak tahun 1998-2010.
Penelitian ini memberikan penjelaqsan mengenai etiologi, diagnosis, prevalensi, faktor
resiko, tanda dan gejala klinis serta penatalaksanaan adenomiosis.
Seorang ahli patologi Jerman, Carl von Rokitamky pertama sekali emndeskripiskan
adenomiosis di tahun 1860 saat beliau mengamati adanya kelenjar endometrium di lapisan
miometrium, dan ia menyebutnya dengan nama ‘cystosarcoma adenoid uteri”. Barulah
kemudian pada tahun 1921 lesi tersebut diketahui ternyata berasal dari implant endometrium
yang mengalami perluasan jaringan epitel, dimana saat itu adenomiosis dan endometriosis
masih belum dipisahkan penamaannya. Pada tahun 1950, Sampson mengajukan hipotesis
bahwa proses menstruasi retrograde dapat memudahkan membedakan adenomiosis dengan
endometriosis. Kemudian barulah pada tahun 1972, Bird dkk mencoba mendefinisikan
adenomiosis dengan jelas, dimana adenomiosis didefginiskan sebagai ‘invasi benign jaringan
endometrium ke miometrium, yang mengakibatkan pembesaran ukuran uterus, yang mana
secara mikroskopis merupakan suatu kelenjar endometrium ektopik dan non-neoplastik
dengan stroma yang dijkelilingi oleh miometrium yang menagalmi hipertrofi dan
hiperplasia’.
Atas jasa peneliti-peneliti tersebutlah, saat ini berbagai perkembangan dalam metode
diagnostik dan terapi telah muncul. Ilmu kedokteran saat ini menyatakan bahwa tidak ada
metode pencegahan adenomiosis, namun begitu, histerektomi tidak lagi harus dilakukan guna
menegakkan diagnosis. Saat ini, diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan teknik
yang tidak terlalu invasif seperti USG dan MRI serta analisis spesimen sediaan jarinagn
melalui prosedur biopsi histeroskopi. Meskipun diagnosis penyakit ini sering dijumpai pada
wanita di usia 40 tahunan atau 50 tahunan yang memang mengeluhkan gejala, adenomiosis
sekali-sekali pada wanita usia muda yang mengeluhkan infertilitas atau mengeluhkan tanda
dan gejala dismenorrhea dan menorhagia. Menanggapi kenyataan bahwa adenomiosis sering
ditemukan pada wanita muda, maka teknik medis dan pembedahan baru perlu dicoba
ditemukan untuk menghindarkan keharusan menjalani histerektomi yang selama ini
merupakan standard prosedur. Penatalaksanaan medis yang tersedia saat ini meliputi pil
kontrasepsi oral, progestin, damarol, GnRH agonis, dan inhibitor aromatase. Prosedur
pembedahan invasif minimal memungkinkan pilihan terapi konservatif yang berupa ablasi
dan reseksi endometrium, eksisi laparoskopik dari adenomiosis, dan MRI dengan guidance
USG. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk merangkum prevalensi, etiologi, faktor
resiko, gambaran klinis, dan hasil akhir dari terapi medikal dan bedah dari adenomiosis.
Etiologi
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di jaringan otot (miometrium)
uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih belum diketahui, setidak-tidaknya 4 teori sudah
pernah diajukan. Teori yang pertama dan yang paling populer adalah bahwa adenomiosis
dapat berkembang dari invaginasi jaringan endometrium di miometrium. Teori kedua
menyebutkan bahwa adenomiosis dapat berkembang secara de novo akibat sisa sisa dari
jaringan mullerian pluripotent. Teori ketiga menyebutkan bahwa adenomyosis terjadi karena
invaginasi dari lapisan basalis pada sistem limfatik intreamiometrium. Dalam tulisan ini,
penulis lebih condong pada teori yang lebih banyak diketahui umum seperti akan dijelaskan
berikut ini.
Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis terjadi sebagai akibat invaginasi
dari endometrioum basal ke miometrium. Invaginasi dapat terjadi karena lapisan miometrium
mengalami perlunakan akibat riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis
sebelumnya yang memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat
sel-sel yang sudah mengalami cedera. Invaginasi sendiri juga dapat terjadi akibat adanya
fenomena immun menyimpang pada jaringan yang terlibat. Prosedur imunohistokimia
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah makrofag akan mengaktivasi sel T dan sel B yang
kemudian akan meghasilkan antibodi dan menstimulasi keluarnya sitokin, yang pada
akhjirnya sitokin ini akan merubah struktur endomiometrial junction. Pencetus yang pasti dari
proses invaginasi itu sendiri tidaklah diketahui, meski demikian, diperkirakan pengaruh dari
hormon hona invrmon mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan
basal endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan hal ini ternyata
menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
jaringan adenomyosis memiliki ekspresi reseptor estradiol yang lebih tinggi dibandingkan
endometrium yang memang berada di endometrium sebenarnya. Peningkatan respons
terhadap estrogen ini mempermudah terjaidnya proses invaginasi dan perluasan adenomiosis.
Sebagai tambahan, jaringan adenomiosis juga mengandung enzim aromatase dan enzim
estrogen sulfat yang menghasilkan estrogen untuk menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi
jaringan endometrium abnormal dan stromanya ke miometrium.
Teori kedua menyatakan bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur perubahan de novo sisa sisa
jaringan mullerian. Titik titik adenomiosis ekstrauterine sebagaimana yang dijumpai di
septum rektovaginal mendukung teori tersebut. Terlebih lagi penelitian mengenai properti
biologik dan proliveratif dari endometrium ektopik dan eutopik, masing m,asing memeiliki
karakteristik tersendiri. Matsumoto dkk mengamati bhwa endometrium ektopik yang
dijumpai pada kasus adenomiosis tidak memberikan respon terhadap perubahan hormonal
sebagaimana endomnterium eutopik. Perubahan sekretorik sangat jarang dijumpai, bahkan
sekalipun lapisan basalis dari endometrium yang sebenarnya tengah berada di fase sekretorik.
Jika dibandingkan dengan endometrium eutopik, jaringan ektopik tidak menunjukkan adanya
properti perubahan siklik yang menginduksi regulasi apopotosis protein seperti ekspresi bel-
2. Temuan ini menunjukkan adanya proliferasi konstan dari jaringan ektopik di dalam
miometrium, dan juga menunjukkan karakteristik biologik yang berbeda dibandingkan
endometrium eutopik.Penelitian lain juga membandingkan beragam faktor pertrumbuhan dan
sitokin seperti misalnya angiogenik growth factor, basic fibroblast growth factor, yang mana
mungkin memiliki kontribusi dalam patogenesis perdaraha uteris abnormal pada kasus
adenomiosis. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi yang berbeda beda pada jaringan
adenomiosis dibandingkan dengan jaringan endometrium eutopik, dan hal ini berarti sejalan
dengan teori bahwa adenomiosis bukanlah berasal dari endopmetrium lapisan basala,
melainkan dari jalur de novo sendiri.
Teori ketiga, teori stem cell, didukung oleh fakta bahwa regenerasi endometrium dapat
diinduksi oleh stem cell yang berasal dari sumsum tulang. Temuan ini memiliki implikasi
yang potensial dalam hal menentukan etiologi endmetriosis dan adenomiosis. Studi
imunohistokimia terkini mengungkapkan adanya jarinagn endometrium tambahan di 4 wanita
yang menjalani prosedur transplantasi sumusm tulang dengan ketidaksesuaian antigen HLA
tunggal. Data ini menunjukkan stem sel yang berasal dari sumsum tulang memiliki peranan
daklam pertumbuhan jaringan endometrium yang baru. Maka dari itu, mungkin saja stem cell
tadi juga dapat menginduksi pertumbuhan oendometrium di jarinagn otot miometrium, dan
menyebabkan adenomiosis dengan proliferasi lokal kelenjar endmetrium dan stroma nya di
miometrium
DIAGNOSIS
Gejala klinis seperti menorhagia dan dismenorhea serat pembesaran uterus cukup
mengarahkan ke dugaan adenomiosis, diagnosis akan lebih pasti ditegakkan dengan analisis
jaringan histologi. Karena adanya jaringan endometrium yang proliferatif di dalam
miometrium, amak akan dijumpai gambaran hiperplasia sel otot polos, dan jjga hipertrofi,
yang menyebabkan pembesaran uterus secara global yang dapat diamati secara makroskopis.
Adenomiosis juga dapat muncul dalam bentuk fokal sbagai sel otot polos yang mengalami
penumpukan nodular, yang lazim dikenal sebagai adenomioma, dan dapat juga muncul dalam
bentuk massa polpoid dalam kavum endometrium.
Secara mikroskopis, adenomiosis menunjukkan adanya jarinagn endometrium di
miometrium. Adenomiosis cenderung merupakan suatu proses yang difus yang lebih sering
terjadi terutama di sebelah posterior., dan sekali kali di bagian abterior, dan jarang dijumpai
di di daerah sekitar cervix. Suatu reaksi hiperplasia otot polos sering dijumpai di sekitar
jarinagn endometrium ektopik. Diagnosis yang seragam yang didasari kriteria histologis
belum dapat dibuat. Misalnya, adenomiosis dapat saja didefinisikan sebagai keadaann
ditemuinya kelenjar endomnetrium di dalam miometrium dengan ukuran lebih besar dari 1
lapangan pandang kecil dari lapisan basalis endometrium. Definisi lain menyebutkan bahwa
adenomiosis ukurannya harus lebih dari 25% dari ketebalan miometrium (yang mana kriteria
ini sering dipakai untuk wanit a postmenopause) atau adanya perluasan kelenjar lebih dari 1
sampai 3 nm dibawah lapisan endometrium. Belum ada suatu kriteria yang universal yang
menyepakati ketebalan minimal dari perluasan jaringan tersebut, namun kebanyakan studi
menyebutkan batasan 2,5 mm dibawah lapisan basalis. Karena perbedaan dalam standar
diagnosis, prevalensi adenomiosis jadi sangat berbeda beda di tiap tiap penelitian.
Diagnosis adenomiosis terutama ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari sediaan
histopatologis yang diambil melalui histerektomi. Meski begitu, beberapa studi menyatakan
bahwa biopsi miometrium sewaktu prosedur histeroskopi ataupun laparoskopi dapat juga
digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis. Diagnosis secara histeroskopi tidaklah
memberikan suatu temuan yang patognomonik untuk adenomiosis, meskipun sebagian bukti
menyebutkan bahwa endometrium yang bentuknya berlekuk lekuk disertai dengan gangguan
vaskularisasi dan lesi kistik yang berdarah berkaitan dengan keadaan ini. Histeroskopi
memang memungkinkan untuk melakukan proses biospi dengan menggunakan visualisasi
langsung untuk memperoleh diagnosis secara histologis. McCauland melakukan prosedur
histeroskopi pada 50 orang pasien yang kavum uterinya normal. Dilakukan biopsi dinding
posterior miometrium denghan menggunakan suatu elektroda loop berukuran 5 mm untik
mengambil spesimen 1,5 hingga 3 cm panjangnya dengan kedalaman penetrasi 6 mm.
Analissi patologi terhadalop sampel jaringan tersebut mendapati bahwa 66% dari spesimen
yang diteliti ternyata mengalami adenomiosis meskuiopun kavum uterinya normal dan juga
mengeluhkan menorhagia. Biopsi miometrium yang rutin selagi proses histeroskopi operatif
dapat berguna untuk merencanakan tatalaksana selanjutnya jika diagnosis telah ditegakkan.
Meski begitu diagosis mungkin saja terlewatkan jia ternyata adenomiosisinya terlalu
superfisial atau jarinagn adenomiosis bukan berada di tempat dilakukannya biopsi. Popp dkk
melakukan biopsi miometriuim dengan menggunakan jaruma yang dapat memotong secara
otomartis pada laproskopi 34 pasien, Perdarahan seringkali dijumpai pada tempat
dilakukannya biospi dan serngkali membutuhkan injesi larutan vasopresso untuk mengontrol
perdarahan. Sensitivitas secara keseluruhan masih rendah, berkisar antara 8 hingga 18,7%.
Biopsi acak yang dilakuakn pada utersu dengan karingan adenomiosis in vitro juga
mengkonfiormasi bahwa sensitivitas teknik ini m,asih rendah. Brosen dan Barker melakukan
8 percobaan pada 8 kasus biopsi jarum pada 27 kasus sediaan histerektomi., dimana angka
sensitivitasnya adalah berkisar dari 2,3% hingga 56%. Sensitivitas secara ukum bergantgung
pada jumlah biopsi dan kedalaman penetrasi jaringan adenomoisis. Masih dibutihkan lebih
banyak poenelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mengevaluasi peranan
biopsi miometrium dala mendiagnosis adenomiosis.
Walaupun diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis, beberapa teknik pencitraan
telah terbukti berguna untuk membanmtu menegakkan differensial diagnosis yaitu dengan
menggunakan USG dan MRI. Baik USG transvaginal dan transabdominal akan menunjukkan
jaringan adenomiosis sebagai suatu kantung kantung berukuran 1 hingga 7 mm berbentuk
bulat dan anekoik, distirsi dan memiliki tektur miometrium yang abnormal. nHAsl temuan
USG yang paling mengarahkan ke diagnosis adenomiosis adalah jika ditemukan miometrium
heterogen dengan batas yang tidak tegas. Temuan di MRI menunjukkan suatu uterus yang
membe3sar secara asimetris tanpa adanya leiomioma, penebalan zona junctional ke lapisan
otot hingga 40%. Zona junctyional adalah lapisan terdalam dari lapisan miometrium tang
tampak jelas pada mikroskop cahaya namu tidakmemiliki karakteristik hoistologis tersendiri.
Penebalan zona junctional pada MRI adalah sebagai akibat proliferasi miosit lapisan bawah
yang tidak terkoordinasi yang dikenal sebagai keadaan ‘hiperplasia zona junctional’. Hal ini
tidaklah merefleksikan deteksi adanya kelenjar endometrioum dan stromanya di otot, namun
hal ini menekankan bahwa teori yang menyatakan bahwa disrupsi zona junctional
meningkatkan resiko miometrium terhadap kejadian adenomiosis. Perubahan siklis akan
meningkatkan ketebalan zona junctional akibat perubahan hormon, dan oleh sebab inilah
MRI dapat digunakan untuk mendiagnosis pada wanita yang sudah menopause, dimana
kriteria yang digunakan adalah adanya 40% reasio zona junctional di ketebalan dinding
mimetrium, dan bhkan hanya iddasarkan pada ketebalam zona junctional nya saja.
Bazot dkk membandingkan akurasi metode pencitraan untuk mendiagnosis adenomiosis dan
mengkorelasikannya dengan hasil temuan histologisnya setelah dilakukan histerektomoi.
Penelitian mereka menyebutkan bahwa akurasi USG transabdominal masih rendah jika
dibandingkan dengan UISG transvaginal. Tingkat akurasi yang setara juga ditemui oada
perbandinagn akurasi USG transvaginal dengan MRI dimana hasilnya serupa jika tidak
dijumpai leiomioma. Jika dijumpai pula leiomioma maka baik USG maupun MRI sama
sama memiliki tingkat akurasi yang rendah, meski demikian, MRI masih sedikit lebih unggul
dibandingkan USG dalam hal sensitrivitas dan spesivisitas. Secara umum literatur
menyebutkan bahwa USG transvaginal memiliki sensitivitas 53% hingga 89% dan
spesivisitasnya 50% hingga 99% dalam hal diagnosis adenomiosis jika tidak disertai dengan
leiomioma. Tapi angka sensititasnya akan menurun sebesar 22% jika ternyata dijumpai pula
leiomioma, terlebih lagi jika ukuran miomanya lebih dari 300ml. Pada kasus kasus dimana
leiomioma dijumpai bersamaan dengan adenomiosis, MRI ternyata memiliki senistivitas 67%
dan spesivisitas 82% jika ada leiomioma, dan angkanya meningkat menjadi sensitivitas 87%
dan spesivisitas 10-0% jika tidak disertai dengan leiomioma. Sebagai ringkasan, USG
transvaginal merupakan pilihan lini pertama yang cukup baik jika dilakukan oleh ahli yang
berpengalaman, sedangkan MRI memiliki keunggulan dalam hal jika adenomiosisnya disertai
debngan leiomima. Kombinasi dari kedua teknik tersebut akan meningkatkan sensitivitas
sebelum diagnosis operatif dibuat,
Epidemiologi
Karena diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis, angka insidensi yang pasti
tidaklah dapaty ditentukan. Dalam berbagai penelitian, prevalensinya berkisar antara 5 hingga
70%. Besarnya rentang ini mungkin dikarenakan oleh banyak faktor termasuk klasifikasi
diagnostik yang beragam, perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sampel biopsi dan
bias yang mungkin ntimbul dari hali patologinya sendiri karena mempertimbangkan
perjalanan penyakity pasien. Secara umum, rata rata frekluensi kejadian adenomiosis pada
histerektomi adalah sekitar 20 hingga 30%.
Penelitian klinis berkala telah menunjukkan peningkatan frekuensi kejadian adenomiosis
pada pasien multipara. Kehamilan mungkin akan meningkatkan resiko kejadian adenomiosis
karena terjadi anvasi alamiah trofoblas ke mniometrioum saat implabntasi. Sebagai
tambahan, jika dibandingkan dengan jaringan eutpik, jaringan adenomiosis memiliki rasio
jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak, yang mana penoingatan hormon selama
kehamilan mungkinn akan mengiduksi adenomiosis. Vercellini dkk mengamati bahwa
kejadian adenomiosis memang secara langsuing sangat berkaitan dengan kehamilan. Selain
itu Levgur dkk melaporkan pasien yang telah menjalani terminasi kehamilan melalui diatasi
dan kuretase mengalami angka kejadian yang tinggi dalam hal adenomiosis jika
dibanmdingkan dengan wanita yang tidak pernah menjalani terminasi kehamilan. Penelitian
ini membuka kemungkinan bahwa efek dari kehamilan terdahulu dalam hal patogenesis
penyakit ini tidak adapat diabaikan, namun angka pastinya masih belum dapat ditentukan.
Beberapa studi menyatakan bahwa trauma akibat operasi di pelvis dapat memicu invaginasi
jaringan adenomiosis. Parazzini dkk juga mengamati tingginya angka kejadian adenomiosis
pada mereka yang telah menkalani dilatasi dan kuretase. Meski demikian, maish terdapat bias
dalam penelitian tersbeuit, apakah memang peningkatan resiko adenomiosis itu diosebabkan
oleh prosedur dilatasi kuretasenya ataukah adenomiosisnya disebabkan oleh fakta bahwa
wanita yang menjalani dilatasi kuretase biasanya mengalami hiperplasia jaringan nakiobat
keadaan hipoestrogen, yang pada akhirnya menyebabkan adenoimiosis. Studi lain
mentebuitkan tidak ada hubungan antara adenomiosis dengan riwayat operasi transpelvic
sebelumnya, ataupun Seksio Sesarea. Oleh karena itu, masih belum jelas apakah riwayat
operasi terdahulu merupakan faktor resiko signifikan untuk adenoimiosis.
Tujuh puluh persen hingga 80% adenomiosis dilaporkan pada wanita umur 40 tahuna atau 50
tahunan. Karena diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis, pervalensi akan
meningkat pada wanitya yang lebih tua, mungkin karena tingginya riwayat prosedur
histerektomiu pada kelompok wanita tersebut. Mungkin juga ghal ini idkarenakan paparan
estrogen yang semakin meningkat seiring dengan pertmabhan usia. Lima hingga 25 persen
kasus adenomiosis dijumpai pada pasien berumur kurangt dari 39 tahun dan hanya 5 persen
hiungga 10% saja yang dijumpai pada wanita usia lebih dari 60 tahun.
Meskipun insidensi adenomiosis pada wanita postmenopause cukup rendah, mungkin
insidensinya akan lebih tinggi padea kelompok wanita tua yang mengosumsi tamoxifen.
Tamoxifen adalah suatu senyawa estrogen sitetik lemah yang berikatan dengan reseptor
estrogen secara selektif dan dapat berperan sebagai agonis estrogen pada reseptornya yang
berada di sel endometrium. Karena jaringan endometrium ektopik extrauterine merupakan
tujuan dari stimulasi hormonal, maka jaringan adenomiosis dan endometriosis dapat muncul
atau reaktivasi kembali. Cohen dkk melaporkan 8 wanita postmenopause dengan kanker
payudara yang menjalani terapi dengan tamoxifen dean kemudian menjalani histerektomi
dengan diagnosis postoperativ adalah adenomiosis, menunjukkan angka insidensi yang lebih
tinggi pada wanita postmenopause yang menjalani terapi pada populasi kecil ini.
GEJALA KLINIS DAN PATOFISIOLOGI
Delapan puluh persen waniota dengan adenomiosis merupakan usia pertengahan. 50 persen
diantaranya menunjukkan gejala menorhagia, 30% menunjukkan gejala dismenorrhea, dan
20% menunjukkan gejala metorhagia. Hanya 18,7% pasien yang menunjukkan gejala
menorhagia dan dismenorhea yang signifikan. Gejala yang lebih jarang dijumpai adalah
dispareunia, dan nyeri panggul kronik. Karena sebanyak 80% wanita dengan adenomiosis
juga memiliki penyakit panggul lain yang menyertai, seringkali sulit untuk menentukan
gejala manakah yang memang benar benar diakibatkan oleh adenomiosis. Sebagai tambahan,
sebanyak 35% kasus adenomiosis ditemukan secara tidak sengaja pada wanita yang sama
sekalio tidak mengeluhkan gejala gejala tersebut.
Mekanisme pasti mengenai bagaimana munculnya gejala adenomiosis masihlah belum jelas.
Meskipun demikian, ada beberapa teori yang dikemukakan. Sedikitnya ada 3 perubahan
patologis yang terjadi pada miometrium pasien yang jkemudian menimbulkan gejala
menorhagia. Fokus adenomiosis dapat mempengaruhi susunan otot otot normal di uterus, dan
karena itu, otot otot uterus jadi tidak dapat berkontraksi dengan optimal sewaktu menstruasi
sehingga munculnya perdarahan dalam jumlah yang lebih banyak. Distorsi dari lapisan
miometrium sebelah dalam pada zona junctional juga akan mempengaruhi kontraksi
mimetrium, orientasi, amplitudo dan frekuensi kontraksi, yang berakibat pada menorhagia,
karena lapisan miometrium subendometriumnya terlibat dalam modulasi kontraksi uterus di
sepanjang siklus menstruasi. Sebagai tambahan, adenomiosis dapat berakibat pada
pembesaran uterus dimana luas area permukaan endometrium jadi lebih luas, sehingga
berakiba pada menungkatnya aliran darah ke daerah tersebut. Lebih jauh lagi, jarinagn
adenomiosis ektopik tersebut mengandung sitokin sitokin seperti faktor pertimbuhan
angiogenik (basic fibroblast growth factor), yang dapat menjelaskan patogenesis dari gejhala
gejala yang muncul seperti menorhagia.
Menorhagia dapat menyebabkan ketidakstabilan uterus, atau dismenorhea, akibat stimulasi
dan edema jaringan endometrium di dalam miometrium. Nishida melakukan penelitian yang
bertujuan menguji hubungan antara temuan histologis adenomiosis dengan onset
dysmenorhea, serta mencoba menentukan jumlah infiltrasi kelenjar endometrium yang ada,
kedalam invasinya, dann huibungannya dengan keparahan gejala dismenorhea. Sebagai
tambahan, diperkirakan bahwa jarinagn adenomiosis mungkin memiliki karakteristik yang
sama dengan endometriosis, dimana endometrium ektopik tersebut memiliki reseptor
siklooksigenase 2 dalam jumlah yang sangat banyak. Jumlah reseptor yang sangat banyak ini
menyebabkan peningkatan pembentukan prostaglandin, dan mengakibatkan dismenorhea
berat dan nyeri panggul kronik.
Infertilitas tampaknya lebih jarang dikeluhkan pasien dengan adenomiosis karena biasanya
diagnosis adenomiosis lebih sering ditemui pada wanita usia 40 atau 50 tahunan, yang rata
rata sudah multipara. Meski demikian, karena saat ini semakin banyak wanita yang
memutuskan untuk menunda momongan, adenomiosis mulai sering ditemui pada wanita usia
muda yang asimptomatik saat dilakukan opemeriksaan infertilitas. Masihlah belum jelas
apakah adenomiosis benar benar memiliki pengaruh terhadap kejadian infertilitas, ataukah
peningkatan kejadian adenomiosis akhir akhir ini sebenarnya disebabkan oleh peningkatan
kemajuan teknologi diagnsotik dengan radiologi. Dalam suatu penelitian prospektif, 26
pasien dengan infertilitas dan memiliki gejala dismenorhea serta menorhagia, hasil MRI
menunjukkan adanya adenomiosis pada 53,8% pasien.
Karena masih belum jelas apakah adenomiosis dapat menyebabkan gangguan pada kesuburan
atau tidak, muncullah beberapa teori yang menjelaskan bagaimana adenomiosis dapat
mengganggu fungsi reproduksi. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa adanya lapisan
abnormal endometrium dan miometrium ini menyebabkan gangguan pada implantasi.
Gangguan pada zona junctional juga dapat menyebabkan kontraktilitas yang abnormal, yang
akan mempengaruhi implantasi. Sungguhpun begitu, pasien dengan diagnosis adenomiosis
yang ditegakkan secara sonografi, dan kemudian menjalani terapi fertiklisasi invitro
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan dalam kemampuan implantasi. Suatu teori lain
menyebutkan bahwa adenomiosis akan mengaktivasi sekelompok respons imun yang
berakibat pada perubahan iumunitas seluler dan humoral yang akan mengganggu fungsi
sperma dan perkembangan embrional. Sebagai tambahan, masih belum jelas apakah penyerta
kelainan ginekologi lainnya ,dan bukan adenoimiosisnya lah, yang sebenarnya menyebabkan
infertilitas. Endometriosis ditemui pada 6% sampai 22% pasien dengan adenomiosis, dan
mioma seringkali ditemukan bersamaan ada 35% hingga 55% pasien. Tidak ada terapi yang
dapat menolong pasien infertil dengan adenomiosis, namun begitu, beberapa penulis telah
mempublikasikan laporan kasus mengenai keberhasilan menjadi hamil setelah diterapiu
dengan agonis GnRH dan gejala menorhagia dan diusmenorhea juga mereda sementara.
PENATALAKSANAAN ADENOMIOSIS
Standar penatalaksanaan adenomiosis adalah histerektomi. Sungguhpun begitu, tantangan
yang muncul saat ini adalah bagaimana meredakan gejala pada wanita dengan menggunakan
terapi obat obatan konservatif, ataukah memilih terapi pembedahan untuk mempertahankan
fungsi fertilitas, dan menjadi masalah juga bagaimana melakukan operasi pada wanita yang
memiliki penyulit yang menyebabkan dirinya jadi tidak bisa menjalani operasi. Tidak ada
terapi obat obatan yang dapat meredakan gejala adenomiosis, dan pasien tetap diedukasi
untuk bisa hamil. Terapi pengobatan dengan menggunakan terapi hormonal supresif seperti
penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang, progestin dosis tinggi, dan AKDR yang
mensejkresikan levonogestrel (LNG IUD), danazol dan agonis GnRH ternyata mampu
menginduksi pengecilan jaringan adenomiosisnya. Pilihan pilihan terapi ini, termasuk juga
terapi pembedahan akan didiskusikan lebih lanjut dalam tulisan ini.
Penggunaan Pil Kontrasepsi Oral dan Progestin
Meskipun belum ada studi acak ganda tersamar yang mencoba mengevaluasi penggunaan pil
kontrasepsi oral pada pasien dengan adenomiosis dengan dismenorhea dan menorhagia,
namun obat obatan tersaebuit dapat sedikit mengurangi keluhan. Peggunaan progestin dosis
tinggi seperti misalnya pil oral norethindrone asetat jangka panjang atau
medroxyprogesteron depo belum pernah diteliti sebagai terapi adenomiosis, namun begitu,
peranan mereka sebagai terapi supresi hormon dapat sedikit banyak memicu regresi jaringan
adenomiosis.
Levonergestrel AKDR
Sedian LNG AKDR (mirena) mensekresikan 20 ug levonorgesterel per harinya dan
merupkan terapi yang efektif dalam penatalaksanaan adenomiosis. Penggunaan LNG AKDR
berkaitan dengan proses desidualisasi endometrium untuk mengurangi perdarahan dan
diperkirakan juga bekerja langsung pada deposit jaringan adenomiosis dengan mendown
regulasikan reseptor estrogen. Hal ini pada kahirnya akan mengurangu ukuran fokusjaringan
adenomiosis, memperbaiki kontraktilitas uterus sehingga dapat mengurangi jumlah
kehilangan darah, mengurangi gejala dismenorhea dengan menurunkan produksi
prostaglandin dalam endometrium dan juga menginduksi amenorhea. Penelitian telah
menunjukkan bahwa penggunaan LNG AKDR berakibat pada perbaikan gejala menorhagia
dan dismenorhea dan perubahan radiologis pada uterus yang mengalami adenomiosis. Namun
begitu, tak satupun dari studi tersebut yang merupakan studi acak tersamar ganda, dan pasien
dalam studi tersebut tidak di follow up sampai waktu dilepaskannya AKDR. Terapi dengan
LNG AKDFR mungkin cukup bermanfaat pada wanita yang menginginkan memiliki
keturunan pasca terapi.
Sheng dkk melakukan penelitian tentang manfaat LNG AKDR setelah m enggunaan selama
36 bulan pada 94 wabnita dengan dismenorhea sedang hingga berat yang diakibatkan oleh
adenomiosis dengan menggunakan trans vaginal USG. Keluhan nyeri diukur dengan
menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dan ternyata hasilnya berkurang dari awalnya
skornya adalah 77,9 menjadi 11,8 dimana 25% pasien melaporkan terjaid amenorhea.
Volume uterus berkurang secara signifikan, dari 115,8 ml menjadi 94,5 ml, dan begitu juga
dengan kadar Ca 125. Secara umum, tingkat kepuasan dan keberhasilan terapi ini adalah
72,5%.
Bragheto dkk melakukan penelitian pada 29 wanita dengan menorhagia yang diakibatkan
adxenomiosis dan didiagnosis dengan MRI yang kemudian menjalani terapi dengan AKDR
Minera selama 3 hingga 6 bulan. Setelah 6 bulan terapi, terjadi pengurangan yang signifikan
sebesar 24,2% pada ketevbalan zona junctional, namun tidak dijumpai pengecilan ukuran
uterus. 23 orang wanita tersebut menyatakan penurunan derajat nyeri yang mereka rasakan
dan kesemua sampel menyatakan perdarahan yang mereka alami berkurang, 27% diantaranya
menyatakan mengalami amenorhea.
Fedele dkk melakukan pemeriksaan pada 25 orang wanita dengang keluhan menorhagia
akibat adenomiosis yang didiagnosis dengan trans vaginal USG dan menjalani terapi dengan
mengguankan AKDR Minera selama 1 tahun. Dilakukan follow up pada 23 wanita, dan
hasilnya menunjukkan penurunan ukuran uterus dari 948 ml menjadi 914 ml, penurunan
kejadian kehilangan darah, dan peningkatan yang bermakna pada kadar Hemoglobin, yaitu
dari 10,1 menjadi 12,5, begitu juga pada serum ferritin, dari 27 menjadi 82. Pada follow up
selama 1 tahun pertama semua sampe penelitian memperlihatkan penurunan kejadian
perdarahan, dimana hanya 2 orang waniya yang mengalami amenorhea. Satu hal yang harus
diperhatikan dari AKDR adalah ada 1 oprang sampel yang meminta agar AKDR nya dilepas
karena justru mengalami perdarahan tak teratur yang terus menerus. Efek samping dari teknik
ini meliputi perdarahan lucutan, nyeri kepala, nyeri payudara, jerawat dan penambahan berat
badan.
Danazol
Danazol, yang merupakan derivat androgen 19-nortestosterone yang memiliki efek seperti
progestin, akan menginduksi inhibisi langsung enzim enzim di ovarium yang bertanggung
jawab dalam hal produksi estrogen dan sekresi kelenjkar pituitari gonadotrofin. Pengalaman
dengan penggunaan terapi sistemik pada pasien dengan adenomiosis masih sangat terbatas.
Hal ini mungkin dikarenakan profil efek samping obat, yang meliputi penambahan berat
badan, keram otot, pengecuilan ukuran payudara, akne, hisutisme, kulit berminyak penurunan
kadar HDL, peningkatan enzim hati, hot flash, perubahan mood, depresi, dan perubahan
suara. Setelah terapi sistemik dengan danazol, reseptoir estrigen akan berkurang, dan
menyebabkan pengecilan ukuran uterus dan perbaikan gejala.
Tekn ik baru dalam mengantarkan hormon tersebut telah memungkinkan danazol untuk
digunakan dengan lebih luas dan lebih disukai dengan efek samping yang lebih minimal,
yaitu dengan mmeberikan sedaan suntikan i.v dan AKDR. Igarashi meneliti 14 wanita yang
menggunakan AKDR yang mengandung Danazol 300-400 mg. Pada wanita weanita tersebut,
diagnosis adenomiosis ditegakkan secara radiologis dengan mengguinakan trans vaginal USG
dan MRI, yang mana mereka semuamengaluhkan gejala dismenoirhea, menorhagia maupun
infertilitas. 13 orang wanita tersebut menyatakan perbaikan dalam gejala dismenorhea
sedangkan 12 di antaranya menyatakan penurunan kejadian prdarahan. Hanyha 2 pasien yang
duikeluarkan dari penelitian. Konsentrasi danazol dalam serum masih tetap ada maskipun
kadarenya sudah tidak terdeteksi lagi, dan tidak dijumpai efek samping sistemik. Pengukuran
uterus tidak dilakukan pada penelitian ini. Setelah terapi AKDR danazol dihentika, 3 dari 4
wanita yang infertil tersebut jadi memiliki keturunan. Injeksi danazol via cervix juga berhasil
dicoba. Takebayashi dkk menginjeksikan danazol 10 mg ke cervix 22 orang pasien per 2
minggu sekali selama 12 minggu. Pada studi tersebut dijumpai 60% angtka perbaikan dalam
gejala sepeerti perdarahan, nyeri, dispareunia, dengan rata rata pengecilan ukuran uterus dari
334,6 cm2 menjadi 243,1 cm2. Tidak dijumpai efek samping dari penyuntikan hormon secara
lokal ini.
Agonis GnRH
Agonis GnRH akan berikatan dengan reseptornya yang berada di kelenjar pituitari, dan
berakibat pada terjadinya down reguklasi aktivitas GnRH. Akibatnya adalah terjadinya
keadaan meniopause secara medis yang masih reversibel. Terapi ini tidak efektif dalam
bentuk sediaan opral, dan diberikan dalam bertuk sediaan injeksi intramuskular maupun
subkutan, dapat juga diberikan sebagai nasal spray 2 kali sehari. Sediaan inibiasanya
digunakan hanya untuk periode singkat 3-6 bulan karena efek samping yang mungkin timbul
meliputi hot flashes dan penurunan densitas mineral tulang. Kasus yang pertama kali
dilaporkan menggunakan sediaan ini pada pasien yang memang didiagnosis adenomiosis
secara biopsi terjaid pada tahuun 1991. Hasilnya menunjukkan pengecilan ukuran uterus daro
440 cm2 menjadi 150 cm2, dan terjadi amenorhea, serta gejala dismenorhea yang mereda.
Meski demikian, saat nantinya terapi dihentikan, gejala akan kembali muncuk dan ukuran
uterus kembali menjadi 420 cm2. Senada dengan hakl tersebit, banyak penelkitian yang
nenyatakan pengecilan ukuran uterus, amenorrhea serta berkurangnya rasa dismenorhea
dengan menggunakan sediaan ini selama 3-6 bulan. Dalam penelitian lain malah dikatakan
bahwa wanita yang telah mengalami infertiltas akibat adenomiosis, setelah diterapi dengan
sediaan ini, dapat menjadi hamil 6 bulan kemudian.
Aromatase Inhibitor
Ekspresi enzim aromatase inhibitor P450 telah banyak dijumpai pada implan jaringan
endometriosis. Enzim ini mengkonversi androgen menjadi estrogen. Dalam berbagai laporan
kasus dan studi penelitian, disebutkan bahwa pemberian aromatase inhibitor telah digunakan
sebagai terapi pada endometriosis berat. Dan efeknya adalah rasa nyeri yang nmereda. Meski
begitu, belum ada penelitian yang menguji peranannya untuk kasus adenomiosis
Histerektomi
Histerektomi merupakan pilihan pengobnatan adeniomiosis yang juga bernilai diagnostik.
Histerektomi dari vagina lebih disukai ketimbang histerektomi dari dinding abdomen,
berkaitan dengan angka kematian yang lebih rendah serta kemungkinan pulih yang lebih
cepat. Meski begitu, dalam suatu studi retrospektif yang melibatkan 1246 histerektomi
vaginal, 14 diangtaranya ternyata mengalami cidera kandung kemih. Penleiti kemudian
menyimpulkan bahwa alasan melaksanakan operasi masihlah belum jelas., namumn
kemungkinan hal ini berkaitan dengan fakta bahwa sulit untuk mengidentifikasi septum
supravagina dan bidang vesicovagina serta vesicocervix. Prosedur histerektomi laparoskopi
memungkinkan untuk mendiseksi area operasi tanpa menimbulkan cedera. Jika dibandingakn
dengan prosedur histerektomni dari vagina, maka angka kejadian cedera kandung kemih
justru banyak berkurang, namun resiko terhadap kejadian perlukaan uterus justru meningkat.
Prosedur ini juga lebih disukai ketimbang histerektomi vagianl karena rasa nyeri post op yang
ditimbulkan sangat lebih minimal.
Ablasi Endometrium dan Reseksi
Ablasi endometrium telah lama digunakan sebagau terapi menorrhagia, termasuk juga pada
wanita dengan endometriosis yang telah memiliki anak dan tidak ingin punya anak lagi.
Tindakan ini idlakukan dengan menggunakan laser garnet yttrium, reseksi rollerball, ataupun
teknik ablasi global.
Salah satu penelitian terbesar yang mencoba mengevaluasi keberhasilan teknik reseksi
rollerball pada adenomioisis menunjukkan bahwa kedalaman fokus jaringan sangat berkaitan
dengan keberhasilan reseksi. Mc Causland melakukan teknik reseksi roleerball dengan
kedalaman jaringan mencapai 2-3 mm ke miometrium. Teknik ablasi yang lebih dalam lagi
biasanya tidak pernah dilakukan karena bahaya perdarahan yang lebih besar akibat robeknya
arteri yang berada di kedalaman 5 mm miometrium. Pada studi tersebut, untuk wanita yag
kedalaman adeniomiosisnya kurang dari 2 mm, tindakan ini berhasil dan mereka meyatakan
siklus haid yang kembali normal. Sementara untuk pasien yang kedalama adenomiosisnya
lebih dari 2 mm, hasilnyatidak terlaliu baik dan masih membutuhkan histerektomi juga. Pada
adenomiosis yang lebih dalam, kelenjar endometrium ektopik yang berada di dalam, dapat
tetap bertahan meskipun sekitarnya terluka, dan bahkan dapat berproliferasi pada area dimana
dilakukannya ablasi, sehingga mencetuskan perdarahan yang masif.
Ablasi endometrium global juga ternyata telah terbukti efektif pada wanita untuk megobati
perdarahan haid yang terlalu banyak akibat adenomiosis. Namun pada suatu studi retrospectif
yang melibatkan wanita yang didiagnosis adenomosis secara USG dan menjalani thermal
ballon serta ablasi radiofrekuensi, ternyata terjadi peningkatan resiko kegagalan sebesar 15
kali lipat dan tetap membutuhkan histerektomi atau ablasi ulangan.
Embolisiasi Arteri Uterina
Efektivitas dari tejknik embolisasi arteri uterina (EAU) dalam hala tata laksana adenomiosis
simptomatik masihlah kontroversil. Studi jangka panjang meniunjukkan angkan keberhasilan
yang beragam, yang mungkin dikarenakan olegh beragamnya agen pengemboli yang
digunakan serta dipengaruhi pula mioma uteri yang hadir bersamaan. Mioma cenderung
memiliki pembuluh darah yang besar besar yang tentunya memerlukan embolisasi yang
lkebih besar dengan agen pengemboli yang lebih besar pula, jika dibandinagkna dengan
kasus adenomiosis saja. Oleh sebab itu, studi menunjukkan angka kegagalan teknik ini yang
cukup tinggi pada pasien dengan penyerta mioma uteri. Namun untuk diagnbosis
adenomiosis saja tanpa ada penyertt, tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Kim, dkk
mengadakan suatu penelitian retrospektif yang terbesar jumlah sampelnya melipuiti 54
wanita yang didiagnosis dengan adenoimiosis secara MRI tanpa ada mioma uteri dan
semuanaya menjalani terapai EAU. 57 persen sampel menyebutkan berkurangnya jumlah
darahj yang keluar serta rasa nyeri yang berkurang setelah 4,90 tahun kemusdian. Pada 4
orang pasien, angka kegagalan cukup tinggi dan 19 pasien mengalami relaps dalam 5 tahun
berikutnya sehingga tetap memerlukan histerektomi juga. Angka rata rata relaps adalah 17,3
tahun. Secara umum tingkat kepuasan pasien dengan teknik ini adalah 70 persen.
Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma
Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi fokus jaringan dapat
ditentukan dengan pasti. Tidak seperti miomectomy, tindakan ini agak lebih sulit dalam hal
menentukan luasnya lesi, mengekspos lesi, mennetukan batas serta kedalama invasi jaringan.
Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, mungkin saja dalam prosedur tersebut
jaringan adenomiosisnya masih tertinggal dan dengan begitu, sebagian jaringan mungkin
tidak akan tuntas dan dapat kambuh kembali. Oleh sebab iotu tingkat keberhasilan teknik ini
masih dibawah 50%. Tambahan terapi dengan menggunakan agonis GnRH pada teknik ini
selama 6 bulan setelah eksisi akan dapat menurunkan angka kekambuhan sebanyak 20% pada
2 tahun berikutnya.
Pada wanita yang ingin bisa hmail, eksisi dapat dilakukan jika miometrium tetap
dipertahankan dan pembentukan jaringan parut yang ada tidak mempengaruhi permukaan
tempat implantasi. Angka kejadian abortus spontan jadi lebih tinggi pada kelompok ini juka
dibandingkan dengan masyafrakat umum. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan oleh
pembentukan jaringan parut yang akan mempengaruhi kemampuan uterus untuk
mempertahankan isinya, Meski begitu, suatu studi memperlihatkan bahwa terapi konservatiof
dengan eksisi adenomioma dengan ukuran 55 mm masih dapat menginduksi kehamilan pada
70% kasus dengan disertai berkurangnya gejala menorhagia dan dismenorhea.
Elektrokoagulasi Miometrium
Teknik elektrokoagulasi miometrium dapat dilakukan dengan menggunakan jarum unipolar
atau bipolar dengan memasukkan jarum ke ke miometrium yang terkena pada jaringan
adenomiosis. Prosedur inisedikit kurang akurat dibandingkan dengan eksisi bedah karena
konduksi elektrik pada jaringan abnormal tidak utuh, sehingga jaringan itu sendiri nantinya
sedikit lebih sulit diablasi. Prosedur ini tidak direkomendasikan pada wanita yang masih
ingin hamil karena dapat menurunkan kekuatan otot miometrium karena digantikan dengan
fokus adenomiosis dengan jaringanparut, dan oleh karena itu dapat meningkatkan resiko
ruptur uteri. Prosedur ini dapat dilakukan bersamaan dengan ablasi endometrium atau reseksi
atau bersamaan dengan terapi hormonal. Review dari literatur mengungkapkan bahwa angka
perbaikan gejala dari suatu penelitian mencapai 55% hingga 70% dan hasil yang lebih baik
lagi dijumpai pada pasien yang menjalani reseksi endomterial secara bersamaan dengan
prosedur ini.
Reduksi Miometrium
Reduksi miometrium untuk menatalaksana adenomiosis yang difus telah dilakukan pada
berbagai jumlah kasus. Jaringan yang cukup luas dari miometrium dibuang dengan teknik
laparoskopi atau dengan laparotomi. Insisi klasik dapat dilakukan dengan diseksi dari uterus
secara longitudinal dengan potongan midline, denga reseksi di bagian anterior dan posteruior
dari miometrium. Sauatu pendekatan baru adalah dengan menggunakan potongan transversal
berbentuk huruf H yang memungkinakna pembuangan jarinagnd alam jumlah yang cukuop
besar dengan area operasi yang luas. Dalam suatu studi, dibandingkan bentuk potongan insisi
H dengan insisi klasik midline, dimana perbaikan gejala ternyata lebih jelas terutama pada
insisi H, dan 2 wnaita dengan insisi tersebut dapat hamil secara spontan. Sementara untuk
insisi klasik beklum ditemukan keberhasilan kehamilan. Secara umum, reduksi miometrium
berakibat pada kemungkinan hamil yang lebih rendah karena berkurangnya kapasitas uterus
dan mengganggu fertilitas. Tanpa memperhitungkan jenis tipe insisinya, demarensi jaringana
denomiosis memang tetap sulit untuk dilakukan sehingga sebagian jaringan dapat tertinggal
dan menyebabkan kekambuhan.
Pembedahan Ultrasound dengan Guide MRI
Teknik pembedahan ultrasound dengan guide MRI adalah suatu teknik noninvasif dengan
balsai jarinagn lunak ternyata berhasil mengurangi gejala dan meringankan penyakit
adenomiosis ini. Pada tahun 2004, prosedur ini telah disetujui oleh US Food and Drugs
Administration dalam hal pengobatan mioma. Ultrasound yang berurutan sengaa difokuskan
pada jaringan untuk melokalisasi jaringan yg lebih hangat, menyebabkan terjadinya koagulasi
thermal dan nekrosis pada area yang difokuskan tersebut. Pembedahan ultraosund dengan
menggunakan fokus tinggi dapat dilakukan sendirian, meskipun begitu, ketidakakuratan
mengidentifiksi daerah lesi berakibat pada hasil yang sanagt beragam dan tentunya agak
sedikit membahayakan kedaan umum pasien karena gelombang ultrasound akan menyebar
secara difus. Pembedahan ultrasound dengan guide MRI cukup membantuk untuk mengatasi
permasalahan ini karena posisi anatomis yang benar benar detail dapat tergambar dengan
MRI resolusi tinggi. Prosedur ini telah berhasuil dilakukan pada kasus mioma uteri dengan
angka perbaikan gejala klinis mencapai 75% pada 108 pasien. Review dari berbagai literatur
mengungkapkan angka komplikasi yang kecil pada populasi dengan angka sebesar 5% resiko
luka bakar, 0,9% resiko mengalami mual muntah pasca operasi sehingga membutuhkan
rawat inap, dan dilaporkan kasus kelumpuhan nervus sciaticus akibat absorpsi energi oleh
tulang dan berimbas pada saraf. Hanya ada 1 laporan kasus terjadi luka bakar berat yang
membutuihkan rawat inap. Prosedur non invasif ini mulai banyak digunakan sebgaia
alternatif terapi bagi pasien dengan adenomiosis. Terapi jaringan adenomiosis yang luas
mungkin sedikit lebih sulit dibandingkan dengan jaringan yang lebih kecil, dengan
pengurangan resiko perdarahan, diikuti dengan kehamilan tanpa komplikasi dan persalinan.
Ringkasan
Dari literatur diketahui bahwa prevalensi adenomiosis berkisar antara 5% hingga 70% wanita
yang simptomatik, dengan rata rata angkanya adalah 20-30 pada temuan histerektomi. Angka
prevalensi yang tinggi ini mungkin dikarenakan oleh klasifikasi diagnostik yang sangat
beragam, dan juga oleh karena junmlah sampel jaringan yang diperiksa untuk diagnosis.
Diagnosis konfirmasi dapast dilakukan hanya dengan menggunakan pemeriksaan hitologik
dari jaringan uterus. Meski demikian, baik MRI dan USG telah terbukti akurat dalam
menentukan keberadaan adenomiosisl; Telaah literatur mengungkapkan bahwa USG
transvaginal memiliki sensitivitas 53% hingga 890% dengan spesivisitas mencapai 50%
hingga 99%. Sedangkan MRI memiliki sensitivitas 88% hingga 93% dan spesifisitasnya 67%
hingga 99%. Teknik imaging manapun memiliki tingkat akurasi yang rendah dalam
mendiagnosis adenomiosis jika memang mioma uteri dijumpai, akan tetapi MRI telah
terbukti lebih efektif dalam metode diagnosis jika berbarengan dengan mioma uteri.
Meskipun pemeriksaan USG dan MRI telah lahir sebagai teknologi yang cukup baik dalam
memberikan pencitraan, akan tgetapi masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk
menguji efektivitas klinisnya dan perlu pertimbangan ekonomni juga.
Beberapa teori telah muncul untuk mencoba menjelaskan etiologi adenomiosis dan saat ini
teori yang paling terkenal mengenai keadaan adenomiosis adalah bahwa keadaan ini
diakibatkan oleh invaginasi dari endometrium basalis ke miometrium. Beberapa penelitian
klinis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan frekuensi adenomiosis pada wanita multipara
yang mungkinndikarenakan oleh invasi alamiah dari sel trofoblas ke miometrium dan
menyebabkan invaginasi dan migrasi dari komponen lamina basalis. Resiko lain yang
meningkatkan kemungkinan ini adalah riwayat operasi pada uterus sebelumnya, dan hal ini
mendukung teori invaginasi karena jaringan yang telah mengalami trauma akan melemahkan
batas lamina tersebut.
Gejala paling utama dari adenomiosis adalah menorhagia dan dismenorhhea. Hal ini mungkin
dikarenakan oleh disrupsi dari jalinan otot uterus karena adanya fokus jaringan adenomiosis
yang menyebabkan dinergia dan ketidakmampuan dari uterus untuk berkontraksi secara
norma. Penatalaksanaan keadaan ini biasanya sangat bergantung pada keinginan pasien
apakah masih ingin hamil lagi atau tidak. Ada beragai terapi medikamentosa yang tersedia.
Meski begitu, kebanyakan obat tersebut baru diteliti hanya untuk penggunaan jangka pendek
saja. Efikasi dari penggunaan jangka panjang masihlah belum terbukti. Terapi
medikamnetosa yang paling menjanjikan berdasarkan literatur adalah AKDR LNG karena
kemampuan sediaan ini dalam menekan hormon sehingga meringankan gejala, dengan profil
yang lebih rendah dalam hal efek samping dan tetap memungkinkan wanita untuk
mempertahankan fertilitasnya, Sediaan AKDR LNG terlah terbukti menurunkan dan
menghilangkan gejala dismenorhea dan menurunkan gejala menorhagia, meningkatkan
hematokrit setelah hanya 3 bulan terapi. Pada wanita yang tidak lagi ingin memiliki anak,
prosedur bedah yang tidak terlalu invasif seperti ablasi endometrium dan reseksi telah
dibuktikan dapat meringankan gejala menorhhagia dengan rata rata angka kegagalan sebesar
20%. Angka kegagalan yang lebih tinggi dijumpai pada kasus dimana adenomiosis telah
menginvasi lebih dari 2,5 mm lamina basalis. Terapi bedah konservatif lainnya seperti eksisi
otot adenomiosis, reduksi dan elektrokoagulasi dapat dilakukan namun tidaklah seefektif
histerektomi karena kesulitan dalam mengeksisi dan mengkoagulasi fokus jaringan secara
utuh. Hasil akhir dari segala prosedur ini telah menunjukkan angka keberhasilan menjadi
hamil yang cukup rendah akibat reduksi volume uterus dan jaringan parut, Teknik terbaru
seperti operasi sonografi dengan guidance MRI dan ambolisasi arteri uterina masih
membutuhkan studi lebih lanjut. Saat ini, histerektomi tetap menjadi standard terapi dalam
tatalaksana adenomiosis.