adat pantang (karya:makarina)

10
KEBERADAAN MARGA DI ACEH Di ibu kota kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Bandar Aceh Darussalam, misalnya, selain bermukim etnis (suku bangsa) Aceh dan beberapa etnis tempatan lainnya seperti: Gayo, Tamiang, Singkil, Alas, Kluet, Aneuk Jame, dan Simelu. Selain etnis tersebut, bermukim pula etnis-etnis imigran, seperti: Arab, India, Turki, Persia, Portugis, Jawa, Cina, Siam, Campa, Bugis, Melayu, Batak, dan Nias (Harun, 2009: 1). Salah satu etnis tempatan yang berada di Aceh yaitu Alas. Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara.Kata Alas berarti tikar (dalam bahasa alas).Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah Kutacane yang membentang datar seperti tikar di sela-sela bukit barisan. Suku Alas telah bermukim di Kutacane (Lembah Alas) jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana keadaan penduduknya saat itu telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang Bangsa Belanda yang bernama Radermacher (1781: 8). Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya islam ke Tanah Alas pada Tahun 1325, maka jelas penduduk Kutacane

Upload: makarina

Post on 21-Jun-2015

76 views

Category:

Education


8 download

DESCRIPTION

ARTIKEL

TRANSCRIPT

Page 1: Adat pantang (Karya:MAKARINA)

KEBERADAAN MARGA DI ACEH

Di ibu kota kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Bandar Aceh Darussalam,

misalnya, selain bermukim etnis (suku bangsa) Aceh dan beberapa etnis tempatan

lainnya seperti: Gayo, Tamiang, Singkil, Alas, Kluet, Aneuk Jame, dan Simelu.

Selain etnis tersebut, bermukim pula etnis-etnis imigran, seperti: Arab, India, Turki,

Persia, Portugis, Jawa, Cina, Siam, Campa, Bugis, Melayu, Batak, dan Nias (Harun,

2009: 1).

Salah satu etnis tempatan yang berada di Aceh yaitu Alas. Alas merupakan

salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara.Kata Alas berarti tikar

(dalam bahasa alas).Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah Kutacane yang

membentang datar seperti tikar di sela-sela bukit barisan.

Suku Alas telah bermukim di Kutacane (Lembah Alas) jauh sebelum

Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana keadaan penduduknya saat

itu telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang Bangsa Belanda

yang bernama Radermacher (1781: 8).

Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya islam ke Tanah Alas pada Tahun

1325, maka jelas penduduk Kutacane sudah ada walaupun masih bersifat nomaden

dengan menganut kepercayaan animisme (Effendy, 1960: 26), keberadaan marga di

Kutacane deperkuat dengan adanya keberadaan Raja dari Tanah Batak. Menurut

Lwabuchi (1994: 10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas dikenal

dengan nama Raja Lambing yaitu keturunan dari Raja Lotung atau dikenal dengan

cucu dari guru Tatae Bulan yang bersaudara kandung dengan Raja Sumba dari

samosir Tanah Batak.

Menurut (Akbar, 2004) suku Alas memiliki 25 marga, yaitu: Bangko, Deski,

Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian. Kemudian hadir lagi marga Acih,

Page 2: Adat pantang (Karya:MAKARINA)

Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin,

Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang, dan Marga Terigan.

Marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah,dan

seketurunan menurut garis bapak.Fungsi marga adalah sebagai landasan pokok dalam

masyarakat Batak, mengenai seluruh jenis hubungan antara pribadi dengan pribadi,

pribadi dengan golongan, golongan dengan golongan, dan lain-lain. Tujuan marga

adalah membina kekompakan dan solidaritas sesame anggota marga sebagai

keturunan dari satu leluhur, walaupun keturunan dari satu leluhur pada suatu ketika

mungkin akan terbagi atas marga-marga cabang, namun sebagai keluarga besar,

marga-marga cabang tersebut akan selalu mengingat kesatuannya dalam marga

induknya.

Setiap daerah mempunyai keunikan tersendiri, baik mengenai peradabannya,

cara hidupnya (kebiasaannya), pemikirannya, adat istiadatnya, maupun budayanya.

Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta “Buddhayah” yang merupakan bentuk

jamak dari kata “Budhi” yang berarti akal (budi). Dengan demikian, kebuayaan dapat

diartikan sebagai yang-hal yang bersangkutan dengan akal atau budi

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat, karena segala

sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki

oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian mulai

dari nilai, norma, ilmu pengetahuan maupun keseluruhan struktur-struktur sosial,

religius, pernyataan intelektual, artistik, dan kemampuan-kemampuan lain yang

didapat dari seseorang sebagai suatu anggota masyarakat.

Di dalam sebuah kebudayaan tentu ada adat istiadat yang di percaya dan ritual

yang sering dijalankan. Adat istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu negeri yang

mengikuti pasang naik dan pasang surutnya situasi masyarakat.Kelaziman ini pada

umumnya menyangkut kebiasaan-kebiasaan yang dianut dan dipercaya masyarakat

setempat.Kebiasaan adalah sesuatu yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang

Page 3: Adat pantang (Karya:MAKARINA)

secara periodik, dan kontinyu.Kebiasaan atau tradisi dapat pula diartikan sebagai

sesuatu yang dilakukan sejak lama dan menjadi bahagian dari kehidupan suatu

kelompok masyarakat dari generasi kegenerasi.

Keunikan yang ada pada suku Alas yang bermukim di Kutacane adalah

mereka memiliki marga.Keberadaan marga di Kutacane karena nenek moyang

mereka adalah berasal dari Tanah Batak.Salah satu adat istiadat Kutacane yang masih

dijalankan dan dipercaya samapi sekarang adalah mengenai ketidakbolehan menikah

dengan satu marga. Karena masyarakat setempat menganggap jika menikah dengan

satu marga sama artinya dengan menikahi saudara sedarah, uniknya adalah, meskipun

kita tidak pernah bertemu dan kenal dengan orang yang semarga tersebut, kita tetap

dianggap keluarga sedarah.

Keberagaman adat dan kepercayaan serta kebiasaan yang dilakukan

masyarakat terdapat dalam (Q.S Alhujarat, 49: 13), yaitu: “Hai manusia,

sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.

Pada dasarnya, kita semua adalah orang Aceh.Dari berbagai

keragaman budaya, etnis dan suku di Aceh, hal ini menunjukan

bahwa kerajaan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan

yang sudah sangat terbuka dan bercorak cosmopolitan, terutama

mulai masa Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636

(Memahami Orang Aceh, Dr. Mohd. Harun, M.Pd., 1:2009).

Berbagai etnis yang mendiami Aceh, bermacam-macam pula

adat yang terdapat di setiap suku yang yang terdapat disetiap

daerah yang ada di Aceh.Jika kita berbicara tentang adat, sudah

Page 4: Adat pantang (Karya:MAKARINA)

pastinya termasuk masalah esensial dalam kehidupan sosial orang

Aceh.

Bagi orang Aceh pada khususnya, adat bahkan dijadikan

salah satu pegangan hidup dan dianggap sebagai “pusaka” yang

diwariskan kepada generasi selanjutnya. Selain marga, ada lagi

keunikan lain yang menjadi tradisi yang berjalan samapi sekarang

ini, yaitu ketika masyarakat sedang melaksanakan pesta

pernikahan, semua anggota masyarakat akan turut andil dan

membantu berjalannya acara. Mulai dari pekekhjeken (masak-

memasak), antat takhuh (antar linto), sampai acara

nakhuhken.Pada saat nakhuhken, ada namanya begahen (tamu

undangan), di dalam acara ada alunan nada yang menyertai,

namanya malu canang.Canangnya biasanya disebut canang

situ.Kemudian, pada saat hendak berangkat untuk pamitan, ada

namanya melagam.Tangis dilo dilakukan pada saat seperempat

malam/ menjelang subuh.

Di dalam kegiatan pesta, biasanya ada pertunjukan.Seperti

mesekat, pelebet, landok alun, dan genggong.Acara mepakhuh

dilakukan malam hari ketika pihak perempuan sedang berada di

rumah pihak laki-laki.“dayang-dayang” yang dibawa ada ketue

bujang yang menjaga.Tapi pada zaman dahulu, acara mepahukh

tersebut dilakukan di tekhuh khumah (bawah kolong) tanpa harus

melihat siapa orangnya, dan bagaimana bentuk wajah orang

tersebut.Yang bisa di dengar hanya suara. Jika sang lelaki tertarik

pada wanita yang dipahurinya. Dia sendiri yang akan mencari tahu

dan langsung melamar si perempuan tersebut. Begitulah adat Alas

pada zaman dahulu, berjalan dengan aturan islam.

Page 5: Adat pantang (Karya:MAKARINA)

Di era globalisasi sekarang ini, aturan yang terdapat di dalam

adat tersebut, musnah begitu saja, seiring perkembangan

zaman.Adat yang ada pun bahkan terlupakan dan perlahan-lahan

menghilang. Untuk mendokumetasikannya sudah sangat sulit,

karena orang yang Berjaya di zamannya perlahan tapi pasti, pergi

ke pangkuan sang Maha kuasa. Yang menjadi permasalahnnya

adalah, adat mepahukh yang saya katakana tadi kini telah menjadi

ajang untuk berbuat maksiat, aturan sosial yang di buat sesuai

hukum islam telah hilang begitu saja. Karena hukum tak lagi

merekat dalam adat, maka MBA (married by aciden) pun terjadi.

Adat yang lain pun terhapus begitu saja, bahkan taka da yang kenal

seperti apa adat tersebut. Salah satu adat yang sampai sekarang

tak diketahui bagaimana rupa dan bentuknya adalah genggong.

Ini merupakan pelajaran bagi kita, bahwa jika suatu aturan

yang dibuat sesuai hukum islam itu dihapuskan, maka mala petaka

lah yang akan menghantui itu. Oleh sebab itulah kita harus

menjaga dan melestarikan adat yang ada sesuai dengan kaidahnya.

Pentingnya adat dalam kehidupan manusia perlu di

sosialisasikan. Jika yang mati itu adalah ia akan sirna tanpa bekas.

Hal ini karena adat merupakan suatu sistem aturan bersama yang

akan eksis jika dijalankan dengan benaroleh masyarkat

pendukungnya. Jika ia tidak dijalankan lagi, ia akan hilang sehingga

tidak tahu dicari dimana. Dengan kata lain, kalau manusia sudah

tidak mau mematuhinya lagi, adat itu lenyap dengan sendirinya.

Eksistensi adat tampak dalam perilaku masyarakat pendukungnya.

Bagi orang Aceh, adat bahkan dijadikan salah satu pegangan

hidup dan dianggap sebagai “pusaka” yang harus diwariskan

Page 6: Adat pantang (Karya:MAKARINA)

kepada generasi selanjutnya.Adat dalam hal ini diamsalkan sebagai

sebuah jembatan tradisonal yang memiliki pegangan. Meskipun

antara adat dan hukum tidak dapat dipisahkan, tetapi harus jelas

mana adat yang dimaksudkan itu, karena masih ada adat Aceh

yang bertentangan dengan hukum (islam). Ada empat macam adat

di Aceh secara umum, yaitu:

a. Adat tullah, yaitu aturan atau ketentuan yang didasarkan

pada hukum syariah yang bersumberkan al-quran dan

hadits.

b. Adat tunah, yaitu adat istiadat sebagai manifestasi dari

kanun (undang-undang) dan reusam (kebiasaan atau

tradisi di suatu tempat) yang mengatur kehidupan

masyarakat.

c. Adat muhakamah, yaitu adat yang di manifestasikan pada

asas musyawarah dan mufakat; dan

d. Adat jahiliyah, yaitu adat istiadat atau kebiasaan-

kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai ajaran islam,

tetapi masih dipertahankan oleh sebagian kecil

masyarakat.

Menjunjung adat berarti menghormati, mematuhi dan

menjalankan adat sesuai dengan norma-norma yang telah

disepakati bersama.Adat perlu dijunjung, karena adat dapat

mengikat seluruh komunitas yang mendukungnya.Di dalam suatu

adat tentu ada namanya pemangku adat. Pemangku adat dapat

dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:

1. Pemangku adat bidang eksekutif

Page 7: Adat pantang (Karya:MAKARINA)

Pemangku adat bidang eksekutif yang saya maksud adalah

pejabat negara atau institusi pemerintahan, dari tingkat tinggi

sampai tingkat terendah. Adapun struktur tersebut terdiri atas (a)

khaje (raja/ sultan), (b) panglime (panglima), (c) hulubalang

(uleebalang), (d) tengku (imam), (e) pengulu (keuchik), (Hasjmy,

1995:31-32 dalam buku memahami orang Aceh, Mod. Harun)

2. Pemangku adat bidang yudikatif

Yudikatif dimaksudkan sebagai lembaga pemerintahan yang

berhubungan dengan masalah hukum dan peradilan. Lembaga ini

dikenal di Aceh dengan nama mahkamah dan atau lembaga hukum

adat.

3. Pemangku adat bidang legislatif

Lembaga legislatif merupakan institusi yang bertugas

membuat dan mengesahkan undang-undang (adat

muhakamah).Undang-undang dan peraturan yang dihasilkan

lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan Aceh disebut kanun.