ada apa dengan kita

2
ADA APA DENGAN KITA….? - 31 Januari 2005 - 14:41 (Diposting oleh: Editor) Beberapa minggu belakangan ini ada yang menarik perhatian saya terjadi pada anak saya yang masih berumur dua setengah tahun, termasuk juga terjadi pada hampir semua anak usia sebayanya di sekitar tempat saya tinggal. Yaitu ‘mewabahnya’ lagu-lagu Peterpan dalam interaksi pergaulan mereka. Sesuatu yang cukup menarik untuk disimak pada dunia anak dewasa ini. Peterpan, seperti juga sebagian besar dari anda pasti tahu, adalah kelompok band yang terdiri dari enam pemuda usia duapuluhan. Dengan lagu-lagu berlirik dan berirama yang menurut saya cukup ‘cerdas’ untuk didengarkan dan dinikmati. Dengan target segmen adalah –tentunya- remaja usia belasan sampai usia dewasa tigapuluhan, bahkan sampai sebagian besar orangtua-orangtua mereka para remaja juga ikut suka. Tapi para balita juga ikut menikmati lantunan lagu mereka ? Saya terkadang sampai tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat anak saya dengan lagak seolah- olah memegang gitar menyanyikan lagu Peterpan keras-keras. Tidak ada satu pun kata-kata lirik lagu yang benar sih…tapi konsonan kata sudah terdengar benar dan irama yang hampir tidak sumbang. Minggu pagi kemarin saya pun tidak bisa menahan tawa saya ketika saya menaiki sepeda saya, sementara anak saya menaiki sepeda roda tiganya, bersepeda berkeliling kompleks perumahan tempat saya tinggal, tiba-tiba anak saya berhenti di depan rumah tetangga beberapa blok dari rumah saya. Hanya karena tetangga saya tadi –yang memang mempunyai anak usia belasan- membunyikan musik Peterpan cukup keras sehingga terdengar dari jalan. “Pah,…tunggu, berhenti dulu,…..ada suara Peterpan,…” seru anak saya dengan wajah serius sambil memberhentikan sepedanya. Dan sepanjang sisa lagu pun dia tetap berhenti duduk di sepedanya sambil bergumam mengikuti lagu sekenanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saya hanya mengambil kesimpulan bahwa, dimana telah tiba saatnya kita pada generasi dimana anak-anak kita tidak hanya ‘haus’ akan irama ‘Balonku ada Lima’ atau ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’, tapi mereka telah dapat menikmati kelok irama dan cengkok yang rada sedikit rumit bagi mereka. Sebenarnya kenikmatan nada seperti apa yang masuk ke telinga dan terolah oleh otak mereka para balita? Kita semua mungkin tak pernah ingat bagaimana kita dan apa yang kita rasakan saat kita balita dulu, sehingga kita mungkin tidak akan pernah mampu menjawab mengapa terjadi perubahan seperti ini. Karena seingat saya dulu, bahkan pada generasi adik saya ketika usia balita sekitar duapuluh-tahun yang lalu, tidak ada ketertarikan darinya terhadap musik pop-remaja saat itu. Tapi begitulah, saya melihat dari generasi ke generasi anak-anak kita menjalani dunia yang selalu berubah, sehingga menyebabkan apa yang menjadi ketertarikan mereka pun telah dan akan selalu berubah. Sehingga menurut saya akan sangat salah bila kita selalu merespon sama atas perilaku anak-anak kita seolah

Upload: muhammad-azhar-hadi

Post on 29-Jan-2016

228 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bacaan islami

TRANSCRIPT

Page 1: Ada Apa Dengan Kita

ADA APA DENGAN KITA….? - 31 Januari 2005 - 14:41   (Diposting oleh:

Editor)

Beberapa minggu belakangan ini ada yang menarik perhatian saya terjadi pada anak saya yang masih berumur dua setengah tahun, termasuk juga terjadi pada hampir semua anak usia sebayanya di sekitar tempat saya tinggal. Yaitu ‘mewabahnya’ lagu-lagu Peterpan dalam interaksi pergaulan mereka. Sesuatu yang cukup menarik untuk disimak pada dunia anak dewasa ini.

Peterpan, seperti juga sebagian besar dari anda pasti tahu, adalah kelompok band yang terdiri dari enam pemuda usia duapuluhan. Dengan lagu-lagu berlirik dan berirama yang menurut saya cukup ‘cerdas’ untuk didengarkan dan dinikmati. Dengan target segmen adalah –tentunya- remaja usia belasan sampai usia dewasa tigapuluhan, bahkan sampai sebagian besar orangtua-orangtua mereka para remaja juga ikut suka.

Tapi para balita juga ikut menikmati lantunan lagu mereka ? Saya terkadang sampai tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat anak saya dengan lagak seolah-olah memegang gitar menyanyikan lagu Peterpan keras-keras. Tidak ada satu pun kata-kata lirik lagu yang benar sih…tapi konsonan kata sudah terdengar benar dan irama yang hampir tidak sumbang.

Minggu pagi kemarin saya pun tidak bisa menahan tawa saya ketika saya menaiki sepeda saya, sementara anak saya menaiki sepeda roda tiganya, bersepeda berkeliling kompleks perumahan tempat saya tinggal, tiba-tiba anak saya berhenti di depan rumah tetangga beberapa blok dari rumah saya. Hanya karena tetangga saya tadi –yang memang mempunyai anak usia belasan- membunyikan musik Peterpan cukup keras sehingga terdengar dari jalan.

“Pah,…tunggu, berhenti dulu,…..ada suara Peterpan,…” seru anak saya dengan wajah serius sambil memberhentikan sepedanya. Dan sepanjang sisa lagu pun dia tetap berhenti duduk di sepedanya sambil bergumam mengikuti lagu sekenanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Saya hanya mengambil kesimpulan bahwa, dimana telah tiba saatnya kita pada generasi dimana anak-anak kita tidak hanya ‘haus’ akan irama ‘Balonku ada Lima’ atau ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’, tapi mereka telah dapat menikmati kelok irama dan cengkok yang rada sedikit rumit bagi mereka.

Sebenarnya kenikmatan nada seperti apa yang masuk ke telinga dan terolah oleh otak mereka para balita? Kita semua mungkin tak pernah ingat bagaimana kita dan apa yang kita rasakan saat kita balita dulu, sehingga kita mungkin tidak akan pernah mampu menjawab mengapa terjadi perubahan seperti ini. Karena seingat saya dulu, bahkan pada generasi adik saya ketika usia balita sekitar duapuluh-tahun yang lalu, tidak ada ketertarikan darinya terhadap musik pop-remaja saat itu.

Tapi begitulah, saya melihat dari generasi ke generasi anak-anak kita menjalani dunia yang selalu berubah, sehingga menyebabkan apa yang menjadi ketertarikan mereka pun telah dan akan selalu berubah. Sehingga menurut saya akan sangat salah bila kita selalu merespon sama atas perilaku anak-anak kita seolah menganggap sama bahwa apa yang terjadi atas kita dulu akan sama dengan pengalaman-pengalaman yang dialami anak-anak kita sekarang.

“Pa,…Danen pengin sekolah…”, ungkap anak saya suatu pagi dengan mimik muka serius. Sejenak saya cukup dibuat terkejut oleh permintaannya yang selama ini saya masih anggap absurd di alam pemikiran anak saya pada usianya sekarang ini.

Saya coba refleksikan dengan pengertian yang ada di kepala saya, sampai ujung-ujung simpul pengetahuan di otak saya masih belum juga saya dapatkan bagaimana anak seusia dia telah mengenal istilah ‘sekolah’, bahkan sampai dapat mengambil kesimpulan bahwa keadaan ber-‘sekolah’ adalah sesuatu yang menarik untuk dialami. Sesuatu yang mungkin saya tidak akan pernah tahu mengapa. Yang bisa saya lakukan adalah berusaha berempati untuk mengerti terhadap ketertarikan-ketertarikannya yang selalu membuat saya tak henti-hentinya untuk takjub.

Saya termasuk orang yang harus selalu bersukur, dimana waktu saya masih bisa saya kelola untuk dapat selalu mengalami kesaksian-kesaksian luarbiasa terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada anak

Page 2: Ada Apa Dengan Kita

saya. Yang bagaimana pun juga, sumber daya manusia anak-anak kita adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua sepenuhnya dalam memfasilitasi pengalaman-pengalaman baru mereka. Dengan harapan kita akan selalu bisa memahami ada apa dengan mereka.

Saya bisa membayangkan para orang tua yang karena keadaan, merasa tidak mampu untuk memilih sehingga harus memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk bisa bersama dengan anak-anak mereka. Tidak jarang teman-teman saya yang tekadang bercerita bagaimana dia harus berangkat bekerja sebelum anaknya bangun pagi dan baru tiba di rumah ketika anaknya sudah tidur.

Kalau Peterpan sempat mempertanyakan dalam lagunya “Ada apa denganmu..?”, dengan keadaan seperti ini sepertinya saya justru tidak bertanya tentang “Ada apa dengan anak-anak kita..?”, saya lebih suka bertanya …”ada apa dengan kita sebagai orang tua…?”…

25 Januari 2005Pitoyo AmrihBerdomisili di Solo