(activity daily living) makan dan minum pada anak cerebral palsy
TRANSCRIPT
PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
HUBUNGAN ANTARA RESPONSIVITAS ORANG TUA DENGAN KEMAMPUAN ADL
(ACTIVITY DAILY LIVING) MAKAN DAN MINUM PADA ANAK CEREBRAL PALSY TIPE
DIPLEGIAUSIA 8-11 TAHUN DI SLB D-D1 MUSTANG BANDUNG
SKRIPSIDiajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh
Sidang Sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung
OLEH:
UMMI HANI
1005000034
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
2005
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN ANTARA RESPONSIVITAS ORANG TUA DENGAN
KEMAMPUAN ADL ( ACTIVITY DAILY LIVING ) MAKAN DAN MINUM
PADA ANAK CEREBRAL PALSY TIPE DIPLEGIA
USIA 8-11 TAHUN DI SLB D-D1 MUSTANG BANDUNG
NAMA : UMMI HANI
NPM : 10050000034
Bandung, Oktober 2005
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
Menyetujui :
Sulisworo Kusdiyati, Dra. M.Si Lilim Halimah, BHSC, MHSPY
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui :
Agus Sofyandi Kahfi, Drs. M.Si
Dekan
ABSTRAK
UMMI HANI, Hubungan Antara Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum anak Cerebral Palsy Tipe Diplegia Usia 8-11 Tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung.
Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah di SLB D-D1 Mustang, sebanyak 80% siswanya yang mengalami kecacatan cerebral palsy tipe diplegia memiliki kemampuan ADL (Activity Daily Living) buruk khususnya untuk kegiatan makan dan minum walaupun telah memperoleh latihan ADL makan dan minum dalam terapi okupasi di sekolah. Kemampuan mereka semakin terlihat memburuk bahkan kembali menjadi nol ketika mereka masuk kembali ke sekolah setelah menempuh liburan panjang. Menurut terapis, hal ini disebabkan anak tidak melatih kemampuannya selama di rumah. Ketika di rumah, anak tidak terbiasa melakukan kegiatan makan dan minumnya sendiri seperti di sekolah. Orang tua lebih memilih memberikan bantuan penuh pada anaknya dengan cara menyiapkan peralatan makan dan minumnya, menyiapkan tempat cuci tangan sampai menyuapinya. Akibatnya latihan anak ketika di sekolah dalam melakukan kegiatan makan dan minum tidak terasah dengan baik. Selain kurang melatih anaknya ketika berada di rumah, orang tua juga kurang memberikan perhatian, kasih sayang dan penerimaan pada anaknya. Mereka kurang mencari tahu tentang bagaimana menghadapi anaknya yang mengalami cerebral palsy, jarang menghadiri forum konsultasi bulanan di sekolah selain itu mereka kurang menyediakan waktu untuk anak mencurahkan perasaannya dengan alasan sibuk dan lain sebagainya. Selain kasih sayang dan perhatian orang tua juga kurang menerima keberadaan anaknya yang mengalami cerebral palsy, mereka jarang mengikutsertakan anak dalam kegiatan di lingkungan sosialnya misalnya piknik, arisan dan sebagainya. Alasan orang tua tidak mengikutsertakan anak karena mereka khawatir anaknya malah akan merepotkan dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena keadaannya berbeda dengan orang normal lainnya. Perilaku orang tua dalam melatih anaknya di rumah dalam melakukan kegiatan sehari-harinya merupakan perilaku orang tua dalam memberikan dukungan mandiri pada anak, selain itu perhatian, kasih sayang dan penerimaan dari orang tua merupakan dukungan sosial yang diberikan oleh oran gtua pada anaknya. Dukungan mandiri dan dukungan social orang tua merupakan dua aspek dari responsivitas orang tua. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keeratan hubungan antara responsivitas orang tua dengan kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung. Sampel yang digunakan berjumlah 25 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu semua anak SD Mustang Bandung yang berusia 8-11 tahun dan mengalami kecacatan akibat cerebral palsy tipe diplegia, tinggal bersama orang tua. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh penulis untuk Responsivitas Orang Tua berdasarkan teori dari Trommsdorf, sedangkan untuk kemampuan ADL (Activity Daily Living) menggunakan alat ukur dari SLB yaitu tes ADL terapi okupasi untuk kegiatan makan dan minum.Data yang diperoleh dari penelitian ini bersifat ordinal. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman (rs) dengan taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh angka korelasi (rs) = 0,539 yang termasuk kedalam kategori sedang. Dari hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Anak Cerebral Palsy Usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung, artinya semakin tidak responsif orang tua maka semakin buruk kemampuan ADL (Activity Daily Living) anak Cerebral Palsy.
Motto:
“Sesungguhnya Sesudah Kesulitan Itu Ada Kemudahan”
Surat Alam Nasyrah (94 : 6)
Kupersembahkan karya sederhana ini,
untuk kedua orang tuaku, saudara-saudaraku
dan suamiku yang selalu setia menunggu
DAFTAR ISI
JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR MOTTO
KATA PENGANTAR
ABSTRAKS
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 9
1.3 Tujuan Penelitian 11
1.4 Kegunaan Penelitian 11
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cerebral Palsy 12
2.1.1 Definisi Cerebral Palsy 12
2.1.2 Karakteristik Cerebral Palsy 13
2.1.3 Penyebab Cerebral Palsy 18
2.1.4 Dampak Primer Cerebral Palsy 20
2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Anak Cerebral Palsy 21
2.1.6 Kebutuhan Khusus Anak Cerebral Palsy 23
2.2 Responsivitas Orang Tua 27
2.2.1 Definisi Responsivitas 28
2.2.2 Aspek-aspek Responsivitas 28
2.2.3 Responsivitas Orang Tua terhadap Anak Cerebral Palsy 30
2.3 Terapi Okupasi 36
2.3.1 Definisi Terapi Okupasi 36
2.3.2 Tujuan Terapi Okupasi 37
2.3.3 Peranan Terapi Okupasi 37
2.3.4 Macam dan Kegiatan Terapi Okupasi 38
2.3.4.1 ADL (Activity Daily Living) 38
2.3.4.2 Kemampuan ADL makan dan minum
Anak Cerebral Palsy 40
2.4 Kerangka Berpikir 43
2.4.1 Skema Kerangka Berpikir 51
2.5 Hipotesis 52
BAB 111 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian 53
3.2 Identifikasi Variabel 53
3.3 Operasionalisasi Variabel 54
3.4 Populasi dan Sampel 56
3.5 Alat Ukur 57
3.5.1 Alat Ukur Responsivitas Orang Tua 57
3.5.2 Alat Ukur Kemampuan ADL (Activity Daily Living)
Makan dan Minum 60
3.6 Uji Coba Alat Ukur 63
3.6.1 Uji Validitas 64
3.6.2 Uji Reliabilitas 65
3.7 Teknik Analisis 67
3.7.1 Uji Koefisien Korelasi Rank Spearman (rs) 67
3.7.2 Uji Signifikansi (rs) 69
3.7.3 Perhitungan Median 70
3.8 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 71
3.9 Hipotesis Statistik 74
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pengolahan Data 76
4.1.1 Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas
dengan Kemampuan ADL Makan dan Minum 77
4.1.2 Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas
(Dukungan Sosial) dengan Kemampuan ADL
Makan dan Minum 79
4.1.3 Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas
(Dukungan Mandiri) dengan Kemampuan ADL
Makan dan Minum 81
4.2 Hasil Perhitungan Berdasarkan Perhitungan Median 84
4.3 Pembahasan 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 97
5.2 Saran 98
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Validitas Alat Ukur Responsivitas Orang Tua
Lampiran 2 Uji Reliabilitas Alat Ukur Responsivitas Orang Tua
Lampiran 3 Uji Validitas Alat Ukur ADL (Activity Daily Living) Makan
dan Minum
Lampiran 4 Uji Reliabilitas Alat Ukur ADL (Activity Daily Living) Makan
dan Minum
Lampiran 5 Tabel P. Tabel Harga-harga Kritis rs Koefisien Korelasi Rank
Spearman
Lampiran 6 Data Mentah Responsivitas Orang Tua (X) serta Aspek-
aspeknya (X.1-X2) dan ADL (Activity Daily Living) Makan
dan Minum
Lampiran 7 Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang Tua
(X) dengan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
Lampiran 8 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang
Tua (X) dengan ADL (Activity Daily Living) Makan dan
Minum (Y)
Lampiran 9 Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang Tua
(Dukungan Sosial) (X1) dengan ADL (Activity Daily Living)
Makan dan Minum (Y)
Lampiran 10 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang
Tua (Dukungan Sosial) (X1) dengan ADL (Activity Daily
Living) Makan dan Minum (Y)
Lampiran 11 Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang Tua
(Dukungan Mandiri) (X2) dengan ADL (Activity Daily Living)
Makan dan Minum (Y)
Lampiran 12 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang
Tua (Dukungan Mandiri) (X2) dengan ADL Makan dan
Minum (Activity Daily Living) (Y)
Lampiran 13 Tabel B. Tabel Harga-harga Kritis
Lampiran 14 Data berdasarkan Perhitungan Median
Lampiran 15 Diagram Silang Tabulasi Median
Lampiran 16 Alat Ukur Responsivitas Orang Tua
Lampiran 25 Alat Ukur ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
DAFTAR TABEL
� Kisi-kisi Alat Ukur Responsivitas Orang Tua 57
� Kriteria Angka Korelasi berdasarkan Norma Guildford 64
� Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Responsivitas Orang Tua
dengan Kemampuan ADL Makan dan Minum 78
� Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Responsivitas Orang Tua
(Dukungan Sosial) dengan Kemampuan ADL Makan dan Minum 80
� Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Responsivitas Orang Tua
(Dukungan Mandiri) dengan Kemampuan ADL Makan dan Minum 82
� Perhitungan Median antara Responsivitas Orang Tua
dengan Kemampuan ADL Makan dan Minum 84
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak adalah buah hati yang sangat didambakan kehadirannya dalam
sebuah keluarga. Kehadiran anak dapat menumbuhkan harapan dalam diri
orang tua, untuk menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Namun
anak yang dilahirkan ke dunia ini tidak semuanya lahir dengan normal, ada
anak yang lahir dengan kondisi cacat, baik cacat fisik maupun cacat mental.
Untuk anak cacat, tingkat perkembangannya tidak sama dengan anak normal
hal ini karena mereka memiliki kekurangan yang membuat perkembangannya
terhambat. Karena perbedaan inilah maka pemerintah menyediakan sekolah
khusus bagi para anak penyandang cacat yang disebut SLB (Sekolah Luar
Biasa), sekolah ini mengupayakan agar anak penyandang cacat dapat
mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya, baik untuk membantu dirinya
sendiri (Self Help) atau untuk lingkungan sosialnya (Social Help). Di sekolah
ini anak-anak diberikan berbagai macam terapi untuk melatih perkembangan
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Di Indonesia, khususnya di Bandung banyak sekolah-sekolah yang
menangani anak-anak luar biasa, salah satunya SLB D-D1 Mustang, SLB ini
menangani anak-anak penyandang cacat ganda akibat adanya Cerebral Palsy.
Cerebral Palsy adalah suatu kelayuhan atau gangguan gerak dan sikap tubuh
1
yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada jaringan otak yang belum
dewasa yang terjadi pada saat sebelum, ketika atau setelah kelahiran
(Miller&Bachrach,1995:3). Di SLB D-D1 Mustang Bandung, sebagian besar
anak CP termasuk kedalam kelompok diplegia golongan sedang. Cerebral
palsy tipe diplegia merupakan bentuk cerebral palsy yang secara dominan
menyerang kedua kaki, sedangkan bagian kedua tangannya tidak terganggu
parah dibandingkan kedua kakinya (Miller&Bachrach,1995:137). Untuk
menangani anak-anak penderita CP ini maka di SLB D-D1 Mustang Bandung
diberikan sejumlah terapi yang berfungsi untuk menggali berbagai
kemampuan anak. Terapi yang diberikan yaitu terapi okupasi, terapi bicara
dan fisioterapi. Salah satu terapi yang berfungsi untuk melatih anak
melakukan aktivitas hidupnya sehari-hari yaitu terapi okupasi. Terapi okupasi
adalah penyembuhan yang bersifat pemulihan dari kondisi sakit, kondisi tuna,
kondisi tidak mampu menjadi kondisi mampu melalui kegiatan dan kesibukan
kerja (Depdikbud, 1985/1986:17). Salah satu fungsi terapi okupasi adalah
sebagai sarana pencegahan, maksudnya agar kelainan yang disandang anak
CP tidak menjadi semakin parah (terlokalisasikan). Selain itu fungsi yang lain
adalah sebagai sarana penyembuhan, yaitu upaya untuk meningkatkan dan
memfungsikan potensi secara maksimal dari otot syaraf sesuai dengan
fungsinya. Memang kelainan CP tidak mungkin disembuhkan atau dapat
menjadi normal kembali, namun dengan terapi okupasi dapat meningkatkan
kemampuan ke arah kondisi yang lebih baik (Salim, 1982: 148). Tujuan dari
2
terapi okupasi ini yaitu membantu pemulihan fisik , mental maupun sosial
secara optimal di bidang perawatan diri (Self Care), produktivitas atau kerja
(productivity) serta aktivitas yang bersifat rekreasi (leisure). Di SLB D-D1
Mustang terapi okupasi ini diberikan 1 minggu sekali dengan waktu 2 x 30
menit, pemberian terapinya dibatasi sampai batas SD dan SMP sedangkan
untuk tingkat SM (Sekolah Menengah) terapi ini tidak lagi diberikan.
Kegiatan terapi okupasi ini yaitu melatih kemampuan melakukan ADL
(Activity Daily Living) misalnya kegiatan: buang air kecil/besar, mengambil
kursi, berhias, makan dan minum, dll, PSA (Pre School Activities) misalnya
kegiatan: penggunaan alat sekolah, bermain, sosialisasi, dll, permainan dalam
olahraga dan seni yang bersifat rekreatif dan Crafts yaitu
kerajinan/keterampilan/prevocational.
Pelaksanaan terapi okupasi dapat dilakukan oleh ahli terapi okupasi,
guru terapi okupasi dan oleh orang tua. Di SLB Mustang pelaksanaan terapi
okupasi dilakukan oleh guru terapi. Di sekolah, anak melatih kemampuannya
dengan bimbingan dari guru terapi, selain di sekolah kemampuan anak pun
harus dilatih di rumah oleh orang tua yaitu dengan cara membiarkan anak
berusaha untuk melakukan aktivitas kehidupannya dengan mandiri sesuai
dengan kemampuan yang mereka miliki, karena dengan melakukan hal ini
berarti orang tua membantu pihak sekolah untuk menerapkan di rumah latihan
terapi yang diberikan di sekolah. Peran serta orang tua ini merupakan sesuatu
yang penting karena para orang tua tunadaksa banyak berperan dalam tugas-
3
tugas terapi okupasi. Pada hakikatnya, banyak macam dan bentuk serta corak
kegiatan terapi okupasi yang erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari
(bagi anak sendiri, dalam kebersamaannya dengan keluarga, dan dengan
lingkungannya). Terlebih-lebih kegiatan terapi okupasi banyak
mempergunakan aktivitas rumah tangga sebagai sarana dan objek. Dengan
demikian, kedudukan dan peranan orang tua dalam hubungannya dengan
kegiatan terapi okupasi sangat penting. Orang tua dan masyarakat pada
umumnya diharapkan berperan serta dalam kegiatan pelayanan terapi okupasi
ini, terutama pada saat anak tinggal dirumah. Dengan demikian, para orang
tua akan sangat berperan dalam membantu kelancaran dan keberhasilan usaha
terapi okupasi bagi anak-anak mereka. (Depdikbud, 1995/1996:27). Selain di
sekolah, waktu anak banyak dihabiskan di rumah sehingga responsivitas
orang tua sangat diharapkan dalam membantu sekolah mengupayakan
pemulihan kondisi anak.
Pihak sekolah merasa terapi okupasi yang diberikan khususnya untuk
latihan ADL makan dan minum hasilnya belum mencapai target yang
diharapkan, sampai saat ini sekitar 80% anak CP diplegia masih memiliki
kemampuan ADL makan dan minum buruk walaupun sudah diberikan terapi
di sekolah. Kemampuan mereka semakin memburuk setelah menghabiskan
waktu liburan panjang. Menurut terapis hal ini karena selama di rumah anak
tidak dilatih kemampuannya seperti yang dilakukan di sekolah. Di rumah,
anak terbiasa diberikan bantuan penuh dalam melakukan aktivitas
4
kehidupannya sehari-hari khususnya untuk makan dan minum. Orang tua
lebih memilih untuk memberikan bantuan pada anak karena mereka
menganggap anaknya tidak mampu melakukan aktivitas itu secara mandiri,
untuk kegiatan makan dan minum, orang tua lebih memilih menyiapkan
peralatan makan dan minumnya, menyiapkan tempat untuk mencuci
tangannya bahkan untuk makannya sekalipun orang tua masih menyuapi
anaknya. Hal ini tidak sesuai dengan kebiasaan mereka di sekolah, ketika di
sekolah anak diharuskan melakukan aktivitas makan dan minumnya sendiri
sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Dengan terbiasa
melakukannya sendiri maka anak akan tahu sampai mana kemampuannya dan
dia akan terus melatih kekuatan ototnya. Responsivitas yang diharapkan oleh
pihak sekolah dari orang tua ini kurang berjalan dengan baik. Sekolah
menyebutkan bahwa masih banyak orang tua yang tidak menerapkan latihan
terapi yang telah diajarkan di sekolah pada saat anak berada di rumah. Untuk
latihan makan dan minum, di sekolah anak dilatih untuk makan dan minum
sesuai dengan batas kemampuannya masing-masing, sebagai contoh untuk
anak yang tidak memiliki tangan dengan sempurna, anak ini akan diberikan
alat bantu berupa tangan sambungan agar ia dapat melakukan kegiatan makan
dengan lebih baik dan terapis berusaha agar anak dapat mengoptimalkan
kemampuannya dalam menggunakan alat bantu tersebut. Ketika di rumah,
orang tua lebih memilih untuk menyuapi anak dengan alasan takut lama,
berantakan dan lain sebagainya, selain itu juga orang tua masih menyiapkan
5
peralatan makan dan minum anak di meja makan dan tidak membiarkan anak
berusaha mencuci tangannya sendiri ke tempat cuci tangan. Akibatnya proses
latihan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari menjadi kurang. Dalam
hal ini orang tua kurang memberikan dukungan untuk mandiri pada anaknya.
Selain kurangnya dukungan untuk mandiri pada anak, keaktifan orang
tua dalam mencari tahu perkembangan anaknya pun masih sangat kurang,
menurut hasil wawancara dengan beberapa orang tua, kurangnya perhatian
mereka pada anaknya yang mengalami cerebral palsy ini di karenakan sibuk,
kesibukan orang tua tersebut beragam misalnya sibuk bekerja atau juga karena
sibuk mengurusi anak-anak yang lain di rumah. Pihak sekolah sebenarnya
pernah mengadakan forum konsultasi bulanan antara guru terapi dan orang
tua, dimana dalam forum ini orang tua dapat bebas bertanya mengenai apa
saja tentang perkembangan anaknya, bagaimana penerapan latihan praktis di
rumah, tujuan dari terapi dan terapi macam apa yang di berikan di sekolah.
Dalam forum yang diadakan sebulan sekali ini sesekali didatangkan ahli dari
luar misalnya dokter ahli saraf atau dokter anak yang siap menjawab semua
pertanyaan dari para orang tua. Namun, forum ini tidak lagi berjalan seperti
dulu karena pihak sekolah merasa hal ini tidak terlalu banyak memberikan
manfaat positif bagi kemajuan perkembangan anak. Orang tua kurang
memanfaatkan forum ini untuk mengetahui perkembangan anaknya secara
mendalam. Hal ini dibuktikan dengan jarangnya mereka bertanya dalam
forum, tidak rutin dalam menghadiri forum dan lain sebagainya.
6
Responsivitas orang tua dalam menanggapi forum ini masih dirasakan kurang.
Selain kurangnya perhatian, orang tua juga kurang meluangkan waktu bagi
anak untuk mencurahkan perasaannya, ketika ditanyakan pada orang tua hal
ini disebabkan kesibukan mereka yang menguras waktu cukup banyak,
mereka pun jarang mengikutsertakan anak dalam berbagai kegiatan di
lingkungannya misalnya piknik, arisan dan sebagainya dengan alasan takut
merepotkan dan mereka juga khawatir anaknya tidak mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Kurangnya perhatian, penerimaan dan kasih sayang
orang tua dalam menghadapi anaknya yang mengalami cerebral palsy ini
dapat semakin membuat anak CP merasa kurang percaya diri. Dengan
kurangnya rasa percaya diri anak membuat mereka semakin tidak berani
mencoba melakukan kegiatan-kegiatan yang menuntut kemampuan mereka.
Sehingga proses latihan pun menjadi terhambat.
Kurangnya responsivitas orang tua dalam menghadapi anaknya yang
mengalami cerebral palsy ini membuat proses pemulihan kondisi anak
menjadi sangat lambat, sampai saat ini pihak sekolah menyebutkan bahwa
perkembangan anak yang di nilai progresif hanya sekitar 20%, kemajuan ini
ditunjang oleh responsivitas orang tua pada anaknya yaitu dengan cara
mengkonsultasikan keadaan anak pada guru terapi pada setiap pertengahan
semester bahkan ada beberapa diantaranya yang berkonsultasi dengan guru
terapi pada jam istirahat sekolah. Dengan demikian laporan keadaan anak
tidak mereka ketahui pada akhir semester saja, namun perkembangannya
7
dapat dipantau terus menerus. Dengan adanya komunikasi di antara kedua
belah pihak maka informasi-informasi yang di butuhkan oleh sekolah
mengenai bagaimana keadaan anak di rumah dan informasi bagi orang tua
tentang bagaimana menerapkan latihan praktis di rumah dapat tersampaikan
dengan lancar. Sehingga orang tua dapat memahami latihan seperti apa yang
di berikan di sekolah, tujuan dari latihan tersebut dan bagaimana menerapkan
latihan praktis di rumah.
Sampai saat ini banyak orang tua yang tidak memahami apa itu terapi
okupasi, tujuan dari terapi itu sendiri dan bagaimana menerapkan latihan
praktis di rumah, yaitu dengan melatih anaknya untuk makan dan minum
sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak, mereka lebih memilih
membantu anak sepenuhnya dalam melakukan kegiatan sehari-hari dengan
alasan lebih cepat dan tidak merepotkan, padahal hal ini akan menghambat
proses pemulihan kondisi anak dan membuat anak terus menerus bergantung
pada bantuan dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Hubungan Antara Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL
(Activity Daily Living) Makan dan Minum anak Cerebral Palsy Tipe Diplegia
Usia 8-11 tahun Di SLB D-D1 Mustang Bandung.”
8
1. 2 Identifikasi Masalah
Seperti yang telah dikemukakan dalam latar belakang, dalam
penelitian ini yang akan dilihat adalah responsivitas orang tua terhadap
kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak cerebral
palsy tipe diplegia.
Cerebral Palsy tipe diplegia adalah suatu bentuk cerebral palsy yang
secara dominan menyerang kedua kaki, sedangkan bagian kedua tangannya
tidak terganggu parah dibandingkan kedua kakinya
(Miller&Bachrach,1995:137). Walaupun memiliki keterbatasan
dibandingkan anak normal lainnya namun anak CP tetap harus dapat
memaksimalkan kemampuannya, salah satunya kemampuan ADL makan dan
minum. Kegiatan ADL adalah kegiatan kehidupan sehari-hari, dalam kegiatan
ini anak dilatih untuk membantu dirinya sendiri agar dapat mandiri dan tidak
tergantung pada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Selain melatih
kemampuan ADL nya di sekolah, anak pun diharapkan melatih
kemampuannya di rumah. Dalam hal ini responsivitas orang tua dalam
memaksimalkan kemampuan anaknya sangat dibutuhkan. Responsivitas orang
tua adalah orang tua yang mengerti kebutuhan anak dan berespon sesuai
kebutuhan anak dengan tepat (Tormmsdorf 1993). Dapat dijelaskan disini
bahwa responsivitas merupakan suatu bentuk pengertian serta respon yang
diberikan oleh orang tua sesuai dengan kebutuhan anak pada masa
perkembangannya. Kebutuhan-kebutuhan yang muncul antara lain kebutuhan
9
anak untuk memperoleh dukungan sosial dan kebutuhan mandiri dalam arti
bahwa anak mencoba untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan cara
mengeksplorasi lingkungannya.
Dalam penelitian ini, responsivitas orang tua difokuskan pada
responsivitas orang tua dalam melatih kemampuan ADL makan dan minum
anak cerebral palsy. Resposivitas orang tua yang dimaksud yaitu dengan
memberikan dukungan sosial dan dukungan mandiri pada anak dalam
melakukan kegiatan sehari-harinya. Dukungan sosial yang diberikan yaitu
dengan cara memberikan perhatian, penerimaan terhadap kondisi anak dan
mencurahkan kasih sayang. Dimana dengan dukungan sosial ini diharapkan
orang tua dapat memberikan perasaan aman, nyaman dan percaya diri pada
anak sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan yang masih
dimilikinya secara optimal. Selain dukungan sosial, orang tua juga diharapkan
dapat memberikan dukungan mandiri pada anak yaitu dengan membiarkan
anak berusaha melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Namun pada
kenyataannya tidak semua orang tua dapat berlaku responsif pada anaknya
dan hal ini membuat kemampuan anak menjadi tidak berkembang secara
optimal.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui “Sejauh mana hubungan antara responsivitas orang tua dengan
kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak Cerebral
Palsy tipe diplegia usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung?”
10
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keeratan hubungan
antara responsivitas orang tua dengan kemampuan ADL (Activity Daily
Living) makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia usia 8-11 tahun di
SLB D-D1 Mustang, Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
Dari penelitian terhadap fenomena diatas, diharapkan dapat diperoleh
dua jenis kegunaan yaitu:
Kegunaan teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan
sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang dapat berfungsi sebagai
bahan informasi, terutama bagi mereka yang tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai anak cerebral palsy. Dimana anak cerebral palsy ini memiliki
karakteristik yang khas dibandingkan anak-anak lainnya.
Kegunaan praktis dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
informasi kepada orang tua bahwa responsivitas dalam menghadapi anaknya
yang mengalami cerebral palsy merupakan hal yang penting dan dibutuhkan.
Untuk pihak sekolah, kegunaan dari penelitian ini yaitu dapat membantu
menumbuhkan kesadaran orang tua sehingga pihak sekolah dapat
mengadakan kembali forum diskusi bulanan dan diharapkan setelah adanya
penelitian ini responsivitas orang tua pada forum diskusi bulanan akan
semakin baik.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 CEREBRAL PALSY
2.1.1 Definisi Cerebal Palsy
Pengertian CP ditinjau dari segi etiologi berasal dari dua kata, yaitu
kata “cerebral” yang berasal dari kata “cerebrum” yang berarti “otak”, dan
perkataan “palsy” yang berarti kekakuan. Memperhatikan arti peristilahan
cerebral palsy tersebut, maka secara harfiah istilah CP dapat berarti kekakuan
yang disebabkan oleh karena sebab-sebab yang terletak di dalam otak.
Cerebral Palsy adalah jenis kecacatan pada anak yang termasuk pada
golongan Tunadaksa (D). Banyak ahli yang mengemukakan tentang definisi
Cerebral Palsy (CP) ditinjau dari segi pathologis. Beberapa diantaranya yaitu:
“Cerebral Palsy adalah suatu kelayuhan atau gangguan gerak dan
sikap tubuh yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada jaringan otak yang
belum dewasa, kerusakan tersebut dapat terjadi sebelum lahir, saat kelahiran
atau setelah kelahiran ” (Miller&Bachrach,1995:3)
“Cacat Cerebral Palsy sebagai suatu cacat yang sifatnya gangguan-
gangguan atau kelainan-kelainan dari fungsi otot dan urat syaraf
((neuromuscular disorder) dan yang disebabkan oleh karena sebab-sebab yang
terletak di dalam otak.” (Soeharso yang dikutip oleh Salim (1982))
12
“Cerebral Palsy adalah berbagai perubahan yang abnormal pada organ
gerak atau fungsi motor sebagai akibat dari adanya kerusakan/cacat, luka atau
penyakit pada jaringan yang ada di dalam rongga tengkorak.” (American
Academy of Cerebral Palsy (AACP) dalam Viola E. Cardwell)
“Cerebral Palsy sebagai suatu kelainan pada organ gerak tubuh yang
ada hubungannya dengan kerusakan otak yang bersifat menetap.” (Winthrop
Phelp (dalam Ahmad Thoha Muslim, 1994))
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Cerebral Palsy adalah gangguan gerak atau kelainan dari fungsi otot dan urat
syaraf yang disebabkan karena adanya kerusakan pada jaringan otak yang
belum dewasa, dan gangguan ini sifatnya menetap.
2.1.2 Karakteristik Cerebral Palsy
Dari definisi yang telah disebutkan di atas dapat diketahui bahwa
kecacatan yang tergolong Cerebral Palsy sumber penyebabnya terletak di
dalam otak, baik oleh karena adanya kerusakan maupun karena adanya
kelainan atau gangguan-gangguan. Manifestasi dari kerusakan, gangguan atau
kelainan tersebut dapat bersifat tunggal (hanya satu macam) atau jamak (lebih
dari satu macam). Artinya ada anak CP yang menunjukkan karakteristik
adanya gangguan dalam satu anggota gerak, tetapi ada pula anak CP yang
menunjukkan karakteristik adanya gangguan gerak pada beberapa anggota
gerak. Tunggal atau jamaknya gangguan yang dialami setiap penyandang CP
13
sangat tergantung pada keluasan kerusakan ataupun letak kelainan di dalam
otak. Dapat juga terjadi kerusakan di dalam otak meliputi pusat-pusat dari
fungsi indera, akibatnya anak dapat mengalami kelainan pada indera
penglihatan, indera pendengaran, indera perasa dan sebagainya. Di samping
itu, kerusakan yang ada di dalam otak dapat juga terjadi pada pusat
kecerdasan anak, sehingga di samping anak mengalami kelainan gerakan juga
berkelainan mental. Beberapa ahli mengelompokkan jenis Cerebral Palsy
sesuai dengan karakteristiknya, seperti yang dikutip oleh Salim (1982:20-25):
Pengelompokkan Anak CP Berdasarkan Karakteristiknya
1. Karakteristik CP ditinjau dari jumlah anggota badan yang berkelainan
� Kelumpuhan pada satu anggota gerak / monoplegia
� Kelumpuhan pada dua anggota gerak / diplegia
� Kelumpuhan pada tiga anggota gerak / triplegia
� Kelumpuhan pada empat anggota gerak / quadriplegia
2. Karakteristik CP ditinjau dari gejala pergerakan otot
� Gerakan otot yang kaku (rigid)
� Ada kekejangan otot (spastik)
� Ada gerakan yang tidak disadari (athetoid)
� Ada gangguan koordinasi dan keseimbangan (ataxia)
� Ada gerakan gemetar (tremor)
� Gejala gangguan gerak campuran
14
Selain pengelompokkan tersebut, (Miller&Bachrach,1995:5)
mengelompokkan Cerebral Palsy ke dalam dua bagian berdasarkan tipe
gerakan dan bagian tubuh yang terserang, atau campuran dari keduanya:
1. Berdasarkan tipe gerakan
� Spastic : kaku
� Athetoid : ketidakmampuan mengontrol gerakan otot
� Hypotonic : kelayuhan/kelumpuhan
� Ataxia : masalah kurangnya koordinasi dan keseimbangan
2. Berdasarkan bagian tubuh yang terserang
� Hemiplegia : satu lengan dan satu kaki di satu sisi tubuh yang sama
� Diplegia : yang utama menyerang kedua kaki (tangan juga
termasuk)
� Quadriplegia : keempat bagian tubuh
Walaupun hampir semua anak cerebral palsy dapat di kelompokkan
menjadi hemiplegia, diplegia atau quadriplegia namun terdapat tumpang
tindih yang cukup signifikan dalam pengelompokkannya. Kadang-kadang kita
menemui bagian seperti paraplegia, double hemiplegia, triplegia dan
pentaplegia. Pengelompokkan ini juga berdasarkan pada bagian tubuh yang
terserang. Agar lebih mudah, bagaimanapun pembahasan mengenai anak
15
cerebral palsy didasarkan pada tiga kategori besar ini (hemiplegia, diplegia,
quadriplegia).
Selain karakteristik fisik yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat
juga karakteristik psikis anak Cerebral Palsy, menurut beberapa sumber yang
dikutip dalam Salim (1982:90-93) setidaknya ada tiga hal yang menyangkut
identifikasi psikis anak Cerebral Palsy, karakteristik tersebut adalah:
� Kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian seorang ahli bernama Eleanor Schonell, dapat
dinyatakan bahwa karakteristik kecerdasan anak CP adalah sebagian besar
memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal, dan sebagian yang lain
termasuk kelompok anak CP yang memiliki kecerdasan normal dan
supernormal. Presentase jumlah anak tersebut yaitu sebanyak 72% anak CP
memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal dan sebanyak 28-29% anak CP
memiliki tingkat kecerdasan normal dan supernormal.
� Kepribadian
Anak-anak CP kadang-kadang menunjukkan kelainan pada unsur-unsur
kepribadian. Hal ini sebagai akibat tidak langsung dari kecacatan fisik yang
dialami dan respon lingkungan terhadap keberadaanya. Hasil penelitian Glick
(dalam Viola E. Cardwell, t.th), menyatakan bahwa sekitar 20% anak CP
yang diteliti memiliki ciri kepribadian sebagai berikut:
16
1. Sikapnya yang tidak realistis
2. Perasaan tegang yang hebat
3. Ketidakmatangan yang dominant
4. Rasa takut yang berlebihan
5. Rasa rendah diri yang kuat
6. Toleransi yang sedikit terhadap kegagalan
7. Hambatan dalam hubungan interpersonal
8. Tidak adanya motivasi
� Perilaku
Pada proses pengidentifikasian perilaku anak CP, beberapa ahli merujuk
pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Hal-hal yang perlu
diidentifikasi antara lain:
1. Kemungkinan adanya gangguan persepsi dan berfikir
2. Kemungkinan adanya gangguan dalam pembentukan konsep
3. Kemungkinan adanya gangguan pada kemampuan untuk
mendengarkan/merespon suatu rangsang tertentu
4. Kemungkinan adanya sifat bingung, perhatian mudah teralihkan, atau
sulit konsentrasi
5. Kemungkinan adanya sifat tekun yang tidak wajar. Maksudnya bahwa
sebagian besar anak CP memiliki gangguan dalam memusatkan
perhatian pada suatu objek tertentu, namun kadang ada anak yang
17
dapat memusatkan perhatian dengan tekun, tetapi berlebihan sehingga
susah mengalihkan perhatian pada objek yang baru, sehingga respon
terhadap objek berikutnya masih sama dengan responnya terhadap
objek yang sebelumnya.
6. Kemungkinan adanya sifat susah menahan diri. Hal ini berkaitan
dengan kemungkinan spastisitas dan tremor yang disandang anak.
Aspek-aspek perilaku yang tersebut di atas, hampir dimiliki oleh semua
anak CP (Viola E. Cardwell, t.th yang dikutip dalam Pendidikan Bagi
Anak Cerebral Palsy, Salim 1982).
2.1.3 Penyebab Cerebral Palsy
Penyebab dari cerebral palsy masih belum dapat diketahui secara pasti,
namun beberapa ahli berpendapat bahwa perkembangan otak dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ketika janin terpengaruh oleh berbagai zat
kimia misalnya obat-obatan atau alkohol atau infeksi yang menyerang ibu
hamil maka hal ini akan membahayakan perkembangan otak janin. Apabila
ibu hamil menderita luka fisik yang cukup berat, otak janin dapat terpengaruh
juga, namun kasus ini jarang terjadi. Kelahiran yang premature atau
kurangnya berat bayi saat lahir dapat juga menjadi penyebab adanya
gangguan yang spesifik. (Miller&Bachrach,1995:8).
Menurut Viola E. Cardwell (Salim 1982:49-59), faktor-faktor
penyebab CP yang termasuk faktor pencetus , terbagi atas 3 macam menurut
18
saat terjadinya, yaitu faktor penyebab yang terjadi selama dalam kandungan,
saat kelahiran dan setelah kelahiran.
1. Faktor penyebab sebelum kelahiran:
� Kelainan herediter
� Kelainan bawaan
� Gangguan lingkungan pada saat kelahiran
� Anoxia
� Radiasi
� Substansi toxin dalam darah
� Diabetes sebelum mengandung
� Letak plasenta yang abnormal
� Malnutrisi
� Ketidakselarasan Rh antara ibu dan janin
2. Faktor penyebab yang terjadi saat kelahiran:
� Paranatal anoxia
� Pendarahan otak bayi
� Kelahiran dengan forcep
� Bayi dengan letak bokong (sunsang)
� Plasenta previa (gangguan letak plasenta pada bagian bawah
segmen uterus)
19
� Plasenta pecah mendadak (lepasnya plasenta dari dinding uterus
bukan pada saatnya)
� Pengaruh anestesi umum ataupun melalui sumsum tulang belakang
� Turunnya kandungan karena tertundanya kelahiran dengan kepala
terlebih dahulu
� Kelahiran prematur
� Saat melahirkan terlalu lama dan sulit
� Kelahiran yang kesekian kali
3. Faktor penyebab yang terjadi pada proses pertumbuhan dan
perkembangan:
� Penyakit infeksi
� Trauma
� Kecelakaan dan salah bentuk pembuluh darah
� Keracunan
� Anoxia
� Perkembangan yang terlambat
2.1.4 Dampak Primer Cerebral Palsy
Dalam Salim (1982:127) disebutkan bahwa dampak langsung/primer
dari gangguan akibat Cerebral Palsy adalah:
20
1. Adanya gangguan mobilitas atau ambulasi
Gangguan mobilitas atau ambulasi dapat diakibatkan oleh adanya
kelumpuhan dan/atau kekakuan anggota gerak tubuh terutama anggota gerak
bawah. Di samping itu gangguan mobilitas/ambulasi juga dapat diakibatkan
oleh adanya gangguan keseimbangan tubuh.
2. Adanya gangguan dalam ADL
Gangguan ADL yang terjadi pada anak CP terutama diakibatkan oleh
adanya gangguan koordinasi, spastisitas/rigiditas/fleksiditas tonus otot pada
anggota gerak tubuh. Di samping itu juga dapat diakibatkan oleh adanya
gangguan visuomotorik anak.
3. Adanya gangguan dalam komunikasi
komunikasi pada anak CP (terutama dalam komunikasi lisan)
dapat terjadi sebagai akibat dari adanya kelumpuhan pada otot-otot mulut
dab kelainan pada alat-alat bicara
4. Adanya gangguan fungsi mental
2.1.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Cerebral Palsy
1. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor penyebab yang berasal dari individu
itu sendiri. Seperti: kondisi intelegensi atau kecerdasan, fisik dan
sebagainya.
21
� Intelegensi
Salah satu aspek dari intelegensi adalah menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi lingkungan. Intelegensi yang dimiliki manusia
beragam tingkatannya, ada yang di atas rata-rata, ada yang rata-rata,
ada yang di bawah rata-rata atau rendah. Bagi individu yang
intelegensinya di atas rata-rata tentunya akan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, namun bagi mereka yang
intelegensinya rendah akan lebih lamban dan kurang dapat memahami
aturan serta sulit dalam penyesuaian diri.
� Fisik
Kondisi fisik yang dimaksud adalah tingkat kelainan yang ada pada
diri anak, misalnya keadaan cacat pada anggota tubuhnya, kurang
mendengar, kurang melihat atau cacat penglihatannya. Kelemahan
fisik ini merupakan salah satu hambatan untuk dapat melakukan
aktivitas dalam memenuhi kebutuhan maupun dalam melakukan
interaksi dengan lingkungannya. Dengan keterbatasan dan sikap
lingkungan yang kurang memberi dukungan,maka lingkungan yang
negatif ini akan menimbulkan rasa rendah diri, tidak percaya diri, dan
anak merasa tidak dihargai dan sebagainya.
22
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor penyebab yang bersumber dari
lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat luas.
Bagi anak yang mengalami Cerebral Palsy, lingkungan
keluarga yang membuatnya mandiri akan mempercepat proses
pemulihan kondisi kecacatannya, artinya orangtua di rumah yang
memiliki perilaku membiarkan anaknya mandiri dengan berusaha
melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dengan batas
kemampuan yang dimiliki, tentunya akan memudahkan anak untuk
berkembang secara progresif. Sebaliknya apabila orangtua bersikap
acuh tak acuh dan cenderung mengabaikan saran dari sekolah agar
anaknya dilatih di rumah untuk melakukan aktivitas kehidupannya
sehari-hari, maka anaknya akan semakin tergantung pada orang-orang
yang ada di sekitarnya, dan potensi yang masih dapat dioptimalkan
pada anak tersebut tidak akan tergali dengan baik. Sikap orangtua yang
lain yang dapat membantu proses pemulihan kondisi anak adalah
bagaimana orangtua memberikan kasih sayang, penerimaan dan
perhatian pada anaknya yang memiliki kelainan tersebut.
2.1.6 Kebutuhan Khusus Anak Cerebral Palsy
Dalam Salim (1982:136-139), kebutuhan perlakuan bagi anak CP
secara umum dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
23
1. Kebutuhan untuk memperoleh layanan medik, guna mengurangi
permasalahan yang dialami anak di bidang medis
Permasalahan anak CP di bidang medik yang menonjol adalah adanya
permasalahan yang berkaitan dengan syaraf otot dan permasalahan yang
berkaitan dengan sendi.
Permasalahan yang berkaitan dengan syaraf otot dapat berupa
hipertonus (seperti yang dialami anak CP tipe spastic), dan hipotonus (seperti
yang dialami anak CP yang mengalami flaksiditas pada anggota gerak atas
ataupun bawah). Selanjutnya permasalahan yang berkaitan dengan masalah
sendi yaitu masalah sendi panggul, lutut, tumit pada CP tipe diplegia, masalah
sendi panggul dan tulang belakang pada CP tipe quadriplegia, masalah
deformitas yang menetap pada sendi-sendi anggota gerak atas akibat adanya
kontraktur otot, dan lain-lain.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut, mereka
membutuhkan pelayanan medik, baik yang pelaksanaannya secara konservatif
maupun melalui tindakan operasi.
Pelayanan medik yang dilakukan secara konservatif dilakukan untuk
mencegah terjadinya kontraktur dan deformitas akibat adanya spastisitas dan
istirahat yang lama pada otak dan sendi, seperti pelemasan otot yang kaku,
peningkatan kekuatan otot yang lemah, peningkatan daya tahan dan
koordinasi gerak melalui program-program kegiatan dalam terapi fisik (physio
theraphy) atau melalui latihan gerak gerakan tertentu guna mencegah dan
24
mengurangi deformitas (otot dan sendi), serta memperluas ruang gerak sendi
tertentu.
Pelayanan medik yang dilakukan lewat operasi kadang juga
dibutuhkan oleh penyandang kelainan CP tipe tertentu, misalnya anak CP
yang anggota gerak bawahnya mengalami equinus deformitas. Atau operasi
pada anak CP yang mengalami tangan spastik (spastic hand) tindakan operasi
rekonstruksi dilakukan untuk memperbaiki fungsi tangan dalam hal
mengenggam dan membuka jari-jari tangannya. Pelayanan medik melalui
jalan operasi tentunya harus melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu
yang berkenaan dengan kondisi anak CP itu sendiri.
2. Kebutuhan untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna
mengurangi gangguan fungsi sebagai dampak dari adanya kelainan CP
Kebutuhan pelayanan rehabilitasi dimaksudkan untuk
memperbaiki kembali dan mengembangkan kemampuan fisik dan mental
anak, sehingga anak dapat mengatasi masalah yang timbul sebagai
konsekuensi dari kelainannya.
Pelaksanaan program rehabilitasi bagi anak CP memang termasuk
yang sangat rumit dibandingkan dengan penyandang kelainan jenis lain,
karena kelainan anak CP kebanyakan bersifat ganda. Itulah sebabnya,
penanganan program rehabilitasi anak CP memerlukan keterlibatan
berbagai ahli dari berbagai disiplin yang bekerja secara kooperatif sesuai
dengan kewenangan masing-masing.
25
Diantara permasalahan anak CP yang membutuhkan pelayanan
rehabilitasi adalah: masalah yang mengganggu aktivitas komunikasi anak
(terutama CP tipe spastik), masalah ADL (hampir pada semua tipe
kelainan CP), masalah mobilisasi, masalah psikologis dan sosial.
3. Kebutuhan untuk memperoleh pendidikan khusus.
Kelainan CP mengakibatkan perlunya pelayanan pendidikan yang
bersifat khusus, baik pendidikan akademis maupun pendidikan
keterampilan. Kebutuhan pelayanan pendidikan tidak berlaku bagi semua
anak CP (Soeharso, 1982) mengingat kelainan yang disandang kadang
sedemikian beratnya sehingga walaupun dididik mereka tidak akan
mengalami kemajuan. Anak-anak CP yang tergolong berat, pelayanan
yang mereka butuhkan adalah perawatan sepanjang hari, atau pelatihan
dalam ADL atau latihan keterampilan sederhana dan praktis. Selanjutnya
bagi anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus adalah mereka
yang memiliki kecerdasan sedikit di bawah normal, normal dan di atas
normal. Bagi anak-anak CP kelompok inipun pelayanan pendidikan
membutuhkan perlakuan-perlakuan khusus tertentu, berupa bimbingan-
bimbingan khusus dan/atau peralatan dan kegiatan tertentu yang memiliki
makna terapeutik.
Berdasarkan uraian tentang anak cerebral palsy di atas khususnya
mengenai kebutuhan khusus yang dimiliki oleh anak CP, maka diperlukan
26
penanganan khusus oleh berbagai ahli, guru terapi di sekolah dan juga
pemberian latihan praktis di rumah oleh orang tua. Mengingat waktu anak
banyak dihabiskan di rumah maka peran orang tua sangat penting dalam
mengupayakan pemulihan kondisi anak CP di rumah. Hal ini tidak
terlepas dari responsivitas orang tua pada anaknya yang mengalami
kelainan akibat cerebral palsy (CP).
2.2 Responsivitas orang tua
Teori mengenai responsivitas orang tua berdasar kepada teori
attachment dari Bowlby. Bowlby mempertegas penelitian yang dilakukan
oleh Mary Ainsworth pada beberapa anak. Hasil dari penelitian tersebut
yaitu “orang tua yang berespon dengan peka dan tepat terhadap tanda yang
diberikan oleh anak akan membentuk suatu securely attached dalam diri anak
tersebut, dan hal ini akan menumbuhkan keberanian anak untuk
mengeksplorasi lingkungannya, sehingga akan terbentuk kemandirian
(independent) pada diri anak”. Menurut Bowlby hal ini diakibatkan anak
tersebut telah membentuk suatu perasaan bahwa jika mereka membutuhkan
sesuatu, orang tua mereka akan selalu ada untuk memberikan perhatiannya,
melindunginya agar tidak “tersakiti” ketika dalam situasi yang “mengancam”,
oleh karenanya mereka dapat merasa tenang dan dapat mengeksplorasi dunia
(Crain,1992:52). Hal ini akan membentuk perasaan anak sampai mereka
besar bahwa mereka yakin orang tuanya “ada” dan dapat memberikan rasa
27
aman untuk dirinya sehingga hal ini dapat dijadikan modal bagi mereka untuk
mengeksplorasi lingkungannya. Perilaku orang tua yang dalam hal ini mampu
membentuk perasaan aman dalam diri anak dan dapat berespon sesuai dengan
kebutuhan anak pada masa perkembangannya berkaitan dengan istilah
responsivitas orang tua.
2.2.1 Definisi Responsivitas
Responsivitas orang tua adalah orang tua yang mengerti kebutuhan
anak dan dapat berespon sesuai kebutuhan anak dengan tepat (Trommsdorff,
1993). Dapat di jelaskan di sini bahwa responsivitas merupakan suatu bentuk
pengertian serta respon yang di berikan oleh orang tua sesuai dengan
kebutuhan anak pada masa perkembangannya.
2.2.2 Aspek-aspek Responsivitas
Kebutuhan-kebutuhan yang muncul antara lain: adanya kebutuhan
anak untuk memperoleh dukungan sosial dari orang lain dan kebutuhan untuk
mandiri dalam arti bahwa anak mencoba untuk melepaskan diri dari
keterikatan dengan cara mengeksplorasi lingkungannya.
1. kebutuhan untuk mendapat dukungan sosial
Anak memiliki kebutuhan akan keberadaan orang lain yang dapat
memberikannya kasih sayang, perhatian, perawatan dan menerima. Dalam
teori attachment kebutuhan ini di sebut dengan kebutuhan untuk memperoleh
28
dukungan sosial (social support). Jika orang lain atau orang tua responsif
terhadap kebutuhan kasih sayang, perhatian dan penerimaan maka anak
memiliki keyakinan bahwa orang tua akan siap berespon bila ia
membutuhkan. Keyakinan ini akan menimbulkan perasaan aman dalam diri
individu. Rasa aman ini penting karena akan mendasari proses yang akan di
alami oleh individu dalam tahap perkembangan selanjutnya (basic secure)
(Bowlby dalam Sarason 1983).
2. kebutuhan untuk memperoleh dukungan mandiri
Kebutuhan individu untuk mandiri mulai terlihat pada tahun ke-2
kehidupan. Masa ini merupakan usia dimulainya melepaskan diri dari
ketergantungan pada orang tua atau pengasuh utama, hal ini di wujudkan
dalam bentuk eksplorasi terhadap lingkungannya. Perkembangan motorik
individu akan mendukung tingkah laku eksplorasi anak terhadap
lingkungannya. Individu mulai mengenal orang lain selain pengasuhnya,
sebagai orang yang akan membantunya saat mengeksplorasi lingkungan dan
individu juga mulai belajar berjalan dan memanipulasi objek menurut
keinginannya.
Dalam konteks attachment kebutuhan untuk melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap orang tua atau pengasuh utama ini tidak terwujud
begitu saja tingkah laku eksplorasi. Untuk eksplorasi, individu harus memiliki
keberanian dan untuk memiliki keberanian harus di dasari perasaan aman
yang ada dalam diri individu (basic secure), karena anak yakin bahwa orang
29
tua akan berespon saat anak membutuhkannya. Keyakinan ini di peroleh
terhadap kebutuhannya untuk mendapatkan kepercayaan, ini diperoleh
terhadap kebutuhannya untuk memperoleh dukungan sosial yang lebih
menonjol pada taraf sebelumnya.
Keberanian anak di wujudkan dalam bentuk tingkah laku dalam
melakukan eksplorasi, namun untuk mengembangkan kemandirian individu,
orang tua harus berepon terhadap ekplorasi yang dilakukan individu.
Responsivitas orang tua atau pengasuh terhadap eksplorasi individu penting
untuk mempertahankan dan memunculkan kembali tingkah laku tersebut.
Dengan demikian tingkah laku eksplorasi di dukung dan kemandirian individu
dihargai oleh orang tua (freedom to explore).
2.2.3 Responsivitas Orang Tua Terhadap Anak Cerebral Palsy
Salah satu kebutuhan khusus anak cerebral palsy adalah memperoleh
pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi
sebagai dampak dari adanya kelainan tersebut. Upaya ini tidak hanya
dilakukan di sekolah atau di tempat terapi, namun juga dilakukan di rumah
dengan bimbingan orang tua. Dalam hal ini orang tua mempunyai peranan
yang sangat besar, karena sebagian besar waktu anak banyak dihabiskan di
rumah. Orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anaknya
dan bertindak secara tepat terhadap kebutuhannya. Hal ini berkaitan dengan
responsivitas orang tua terhadap anak.
30
Responsivitas orang tua yang di harapkan terhadap anaknya yang
mengalami cerebral palsy adalah dengan memberikan dukungan sosial dan
dukungan untuk mandiri. Dukungan ini sangat penting karena salah satu
kebutuhan khusus anak CP yaitu memperoleh pelayanan rehabilitasi,
permasalahan anak CP yang membutuhkan pelayanan rehabilitasi adalah
masalah yang mengganggu aktivitas komunikasi anak (terutama CP tipe
spastic), masalah ADL (hampir pada semua tipe kelainan CP), masalah
mobilisasi, masalah psikologis dan sosial.
Dukungan sosial dari orang tua yaitu berupa kasih sayang,
penerimaan, perhatian. Perhatian yaitu berusaha mencari informasi tentang
bagaimana menghadapi anaknya yang mengalami kelainan ini, bagaimana
latihan praktis yang harus dilakukan dirumah agar dapat membantu
mempercepat proses pemulihan kondisi anak, memberikan kasih sayang yaitu
dengan mencurahkan perasaan sayang dari seorang ibu kepada anak, sehingga
hal ini dapat menumbuhkan perasaan “aman” dalam diri anak. Selain
pemberian kasih sayang dan perhatian, orang tua juga diharapkan dapat
menerima keberadaan anaknya yang mengalami cerebral palsy ini, bentuk
penerimaan orang tua yaitu dapat berupa mengikutsertakan anak dalam
kegiatan sosial, memberikan pujian pada anaknya sehingga dengan hal ini
kepercayaan diri anak sedikit demi sedikit dapat tumbuh dengan baik.
Dengan dukungan sosial dari orang tua di harapkan anak penderita CP
dapat sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa percaya diri, yaitu percaya akan
31
kemampuan dan potensi yang mereka miliki, percaya akan kehadiran orang
tua yang selalu memberikannya dukungan apabila dirinya membutuhkan,
dimana hal ini akan menumbuhkan perasaan “aman” dan hal ini juga akan
menjadi modal bagi anak CP tersebut untuk mengeksplorasi potensi yang ada
dalam dirinya. Dengan rasa percaya diri ini anak CP akan berani mencoba
belajar melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari tentunya dengan
kemampuan yang ia miliki dan tidak tergantung pada orang-orang yang ada di
sekitarnya.
Selain memberikan dukungan sosial, orang tua juga di harapkan dapat
memberikan dukungan untuk mandiri pada anak, yaitu dengan membiarkan
anaknya mencoba melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari sesuai
dengan batas kemampuan yang ia miliki. Berdasarkan tahap perkembangan
fisiknya, pada usia ini anak CP sedang ada pada tahap mampu
mengembangkan kemampuan fisiknya secara optimal, seperti penggunaan
tangan, kedua kaki dan sebagainya. (Miller & Bachrach, 1995:179) sehingga
orang tua diharapkan mampu membantu anak mengoptimalkan kemampuan
yang dimilikinya secara maksimal. Misalnya untuk aktivitas makan, apabila
keterbatasan anak terletak di tangannya maka anak tersebut dapat
menggunakan alat bantu berupa tangan sambungan seperti yang terapis
berikan di sekolah, selain itu berkaitan dengan kondisi kecacatan anak,
apabila anak memiliki gangguan menelan atau yang lainnya maka aktivitas
makan ini dapat disesuaikan sedemikian rupa agar anak dapat melakukannya
32
dengan nyaman, misalnya dengan memilihkan jenis makanan yang cair
sehingga anak dapat dengan mudah menelan. Selain itu untuk minum, ada
gelas khusus yang disediakan untuk anak CP ini, yaitu dengan memberikan
gelas/cangkir yang terbuat dari plastik, sehingga ketika anak berlatih untuk
minum sendiri, cangkir yang dipegangnya tidak khawatir akan pecah apabila
jatuh karena cangkir tersebut terbuat dari plastik. Dengan melatih anaknya
melakukan aktivitasnya dengan mandiri maka orang tua membantu terapis
menerapkan terapi praktis di rumah, dimana hal ini tentu saja membantu
mempercepat proses pemulihan kondisi kemampuan anak.
Peran serta keluarga khususnya orang tua dapat memudahkan anak
dalam melatih kemampuannya yang masih bisa dioptimalkan. Menurut Salim
(1982:201-202)dalam pendidikan keluarga setidaknya ada 12 teknik yang
dapat dilakukan oleh orang tua ialah:
1. Memberi contoh dan menyuruh anak CP mencontohnya, baik dalam
tingkah laku maupun melalui dongeng-dongeng, misalnya untuk
kegiatan sehari-hari orang tua dapat memberi contoh cara memakai
baju, setelah memberikan contoh anak diminta untuk melakukannya.
2. Membiasakan anak berbuat dan bersikap yang baik, karena kebiasaan
dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak, misalnya dengan
berkata dengan sopan pada orang yang lebih tua.
3. Memberi dorongan dan motivasi, rangsangan dan penjelasan tertentu
kepada anak, agar timbul minat, semangat, kemauan dan usaha-usaha
33
positif lainnya. Misalnya dengan membelikan mainan yang dapat
merangsang kemampuan motorik halusnya seperti menyusun balok-
balok, manik-manik dan sebagainya.
4. Memberi penjelasan tertentu yang berguna untuk memperluas
pengalaman, memenuhi kebutuhan dan hasrat ingin tahu anak.
Misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan ke kebun binatang,
orang tua dapat bercerita tentang binatang-binatang yang ada dan
menjelaskan bagaimana mereka makan, berkembang biak dan
sebagainya.
5. Menyuruh dan melarang melakukan sesuatu. Misalnya dengan
membiasakan anak melakukan kegiatan ibadah secara rutin contohnya
sholat 5 waktu, dan melarang anak untuk melakukan perbuatan yang
dilarang oleh agama.
6. Mendiskusikan dengan anak walaupun masalahnya bagi orangtua
sangat sederhana, misalnya mendiskusikan tempat untuk berlibur.
7. Memberi tugas dan tanggung jawab walaupun hanya sekedar
membaca doa sebelum tidur. Tugas yang lain misalnya dengan
mengikutsertakan anak dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga,
tugas tersebut disesuaikan dengan kemampuan yang ia miliki. Dengan
diberikannya tugas sehari-hari maka anak akan belajar bertanggung
jawab.
34
8. Memberi bimbingan. Misalnya dengan memberi tahu cara yang benar
pada anak bagaimana cara mengancingkan baju.
9. Mengajak berbuat sesuatu walaupun kondisi kecacatannya
menghambat, akan tetapi orangtua perlu memulai dari hal yang ringan
dan yang telah dikuasai oleh anak. Misalnya untuk kegiatan makan,
orang tua dapat mengajak anak makan bersama-sama dengan anggota
keluarga yang lain dan ketika mencobanya anak dibiarkan melakukan
sesuai dengan kemampuan yang telah ia kuasai.
10. Memberi kesempatan kepada anak untuk mencoba sesuatu, walaupun
kegiatan itu sangat sederhana seperti melakukan gerak tertentu untuk
memperbaiki posisi/sikap tubuh. Misalnya dalam penggunaan kursi
roda, di sekolah anak selalu diingatkan untuk menaruh kakinya diatas
sadel kursi agar kursi tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga
anak akan lebih mudah melakukannya. Begitupun ketika dirumah,
orang tua sebaiknya mengingatkan pada anak apabila sikap kakinya
salah ketika menggunakan kursi roda. Sikap orang tua ini termasuk
pada penerapan praktis terapi okupasi di rumah.
11. Menciptakan situasi yang baik, meskipun orang tua sedang
menghadapi masalah sekalipun. Misalnya dengan tidak marah-marah
pada anak karena masalah yang sedang dihadapi orang tuanya.
35
12. Mengadakan pengawasan dan pengecekan atas tugas yang menjadi
tanggung jawab anak. Misalnya dengan melatih dan mengawasi anak
ketika sedang makan.
Selain pendidikan keluarga, anak CP juga memperoleh pendidikan di
sekolah, baik pendidikan yang bersifat akademis seperti matematika, bahasa
dsb maupun pendidikan non akademis seperti contohnya pemberian terapi
bicara, terapi fisiologis dan terapi okupasi. Dalam hal ini jenis terapi yang di
berikan oleh sekolah pada anak CP dalam melatih kemampuan melakukan
kegiatan sehari-harinya (ADL) yaitu terapi okupasi.
2.3 Terapi Okupasi
2.3.1 Definisi Terapi Okupasi
Terapi okupasi (occupational therapy) merupakan
pengobatan/penyembuhan/pemulihan kondisi anak melalui kegiatan dan
kesibukan kerja. (Salim, 1982: 148)
Terapi okupasi adalah penyembuhan yang bersifat pemulihan dari
kondisi sakit, kondisi tuna, kondisi tidak mampu menjadi kondisi mampu
melalui kegiatan dan kesibukan kerja (Depdikbud, 1985/1986: 17).
Dari definisi Salim,1982 dijelaskan bahwa terapi okupasi sebagai
sarana pencegahan, dimaksudkan agar kelainan yang disandang anak CP tidak
semakin parah (terlokalisasikan). Sedangkan terapi okupasi sebagai sarana
36
penyembuhan merupakan upaya meningkatkan dan memfungsikan potensi
secara maksimal dari otot syaraf sesuai dengan fungsinya. Memang kelainan
CP tidak mungkin tersembuhkan atau dapat menjadi normal kembali, namun
dengan terapi okupasi dapat meningkatkan kemampuan ke arah kondisi yang
lebih baik
2.3.2 Tujuan Terapi Okupasi
Tujuan dari terapi okupasi ini yaitu membantu pemulihan fisik ,
mental maupun sosial secara optimal di bidang perawatan diri (Self Care),
produktivitas atau kerja (productivity) serta aktivitas yang bersifat rekreasi
(leisure).
2.3.3 Peranan Terapi Okupasi
� Terapi okupasi sebagai sarana pencegahan
� Terapi okupasi sebagai sarana penyembuhan
� Terapi okupasi sebagai sarana penyesuaian diri
� Terapi okupasi sebagai sarana pengembangan kepribadian, pembawaan
dan kreativitas
� Terapi okupasi sebagai bekal hidup dalam masyarakat.
37
2.3.4 Macam dan Kegiatan Terapi
Kegiatan terapi okupasi ini yaitu melatih kemampuan melakukan ADL
(Activity Daily Living) misalnya kegiatan: buang air kecil/besar, mengambil
kursi, berhias, makan dan minum, dll, PSA (Pre School Activities) misalnya
kegiatan: penggunaan alat sekolah, bermain, sosialisasi, dll, permainan dalam
olahraga dan seni yang bersifat rekreatif dan Crafts yaitu
kerajinan/keterampilan/prevocational. Pada penelitian ini, kegiatan terapi
okupasi difokuskan pada aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL), yaitu
kegiatan makan dan minum.
2.3.4.1 ADL (Activity Daily Living)
Aktivitas kehidupan sehari-hari perlu didahulukan dalam penyusunan
program terapi okupasi. Melalui ADL ini akan dapat ditentukan beberapa
kondisi penderita, baik kekuatan ototnya, hambatan geraknya maupun
kesulitan koordinasinya.
Latihan-latihan fungsional yang diadakan harus diarahkan kepada 4
objek sasaran, yang kesemuanya tak dapat dipisah-pisahkan dan merupakan
suatu kesatuan, yaitu: pendayagunaan tangan semaksimal mungkin, berbicara
yang cukup dimengerti, mampu bergerak dan berpindah tempat, dan mampu
mengadakan hubungan dengan pihak luar dan lingkungan.
38
Ruang lingkup latihan ADL bagi anak CP antara lain (Bleck, EE,
Nagel D.A.,1982; John Umbreit, 1983; Kiphard Ej, 1990) adalah sebagai
berikut:
1. Kegiatan di tempat tidur
2. Kegiatan di kursi roda
3. Kegiatan bepergian
4. Kegiatan perawatan diri sendiri
5. Kegiatan berpakaian
6. Kegiatan berdiri dan duduk
7. Kegiatan berjalan
8. Kegiatan menyimpan
9. Kegiatan pergaulan
10. Kegiatan makan dan minum. Kegiatan makan dan minum ini
dilakukan bertahap yaitu di awali dari mulai anak duduk di atas kursi
menghadap meja makan sampai berdoa setelah selesai makan.
Pada penelitian ini, aktivitas kehidupan sehari-hari yang diteliti adalah
kegiatan makan dan minum. Sebelum melakukan bimbingan dan latihan
makan dan minum, terlebih dahulu diketahui pola dan cara makan anak-anak
normal. Apabila ada kelainan, kelainan itulah yang dijadikan dasar untuk
menentukan cara melatihnya. Alasan mengapa kegiatan makan dan minum ini
yang dijadikan pengukuran dalam penelitian karena secara keseluruhan dalam
39
terapi okupasi khususnya untuk ADL materi inilah yang paling ditekankan
pelatihannya.
2.3.4.2 Kemampuan ADL makan dan minum anak Cerebral Palsy tipe diplegia
Kemampuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari (ADL) makan dan
minum pada anak cerebral palsy tipe diplegia tidak terlepas dari kegiatan
motoriknya. Menurut para ahli dan terapis, pemberian latihan dan terapi pada
anak CP ini sebaiknya dilakukan sejak dini karena apabila terapi baru
dilakukan ketika anak sudah besar maka akan semakin sulit dan menyakitkan
dan tentunya hal ini akan memperlambat proses pemulihan kondisi anak.
Pendapat para ahli dan terapis mengenai pemberian terapi sejak dini
sejalan dengan teori perkembangan motorik dari Hurlock. Menurut Hurlock
(1993:156) masa kanak-kanak merupakan saat ideal untuk mempelajari
keterampilan motorik, hal ini dikarenakan pertama, tubuh anak lebih lentur
ketimbang tubuh remaja atau orang dewasa, sehingga anak lebih mudah
menerima semua pelajaran. Kedua, anak belum banyak memiliki keterampilan
yang akan berbenturan dengan keterampilan yang baru dipelajarinya, maka
bagi anak mempelajari keterampilan yang baru lebih mudah. Ketiga, secara
keseluruhan anak lebih berani pada waktu kecil ketimbang telah besar. Oleh
karena itu, mereka lebih berani mencoba sesuatu yang baru. Hal yang
demikian menimbulkan motivasi yang diperlukan untuk belajar. Keempat,
apabila para remaja dan orang dewasa merasa bosan melakukan pengulangan,
40
anak-anak menyenangi yang demikian. Oleh karena itu, anak bersedia
mengulangi suatu tindakan hingga pola otot terlatih untuk melakukannya
secara efektif. Kelima, karena anak memiliki tanggung jawab dan kewajiban
yang lebih kecil ketimbang yang akan mereka miliki pada waktu mereka
bertambah besar, maka mereka memiliki waktu yang lebih banyak untuk
belajar menguasai keterampilan ketimbang yang dimiliki remaja atau orang
dewasa.
Berdasarkan teori perkembangan dari Hurlock, ada beberapa hal yang
penting dalam mempelajari keterampilan motorik, yaitu:
1. Kesiapan belajar
Apabila pembelajaran itu dikaitkan dengan kesiapan belajar, maka
keterampilan yang dipelajari dengan waktu dan usaha yang sama oleh
orang yang sudah siap, akan lebih unggul ketimbang orang yang belum
siap untuk belajar.
2. Kesempatan belajar
Banyak anak yang tidak berkesempatan untuk mempelajari
keterampilan motorik karena hidup dalam lingkungan yang tidak
menyediakan kesempatan belajar atau karena orang tua takut hal yang
demikian akan melukai anaknya.
3. Kesempatan berpraktek
Anak harus diberi kesempatan untuk berpraktek sebanyak yang
diperlukan untuk menguasai suatu keterampilan. Meskipun demikian,
41
kualitas praktek jauh lebih penting ketimbang kuantitasnya. Jika anak
berpraktek dengan model sekali pukul hilang, maka akan berkembang
kebiasaan kegiatan yang jelek dan gerakan yang tidak efisien. Dalam hal
ini khususnya orang tua dapat secara konsisten melatih kemampuan
motorik anaknya di rumah.
4. Model yang baik
Karena dalam mempelajari keterampilan motorik, meniru suatu
model memainkan peran yang penting, maka untuk mempelajari suatu
keterampilan dengan baik anak harus dapat mencontoh model yang baik.
5. Bimbingan
Untuk dapat meniru suatu model dengan betul, anak membutuhkan
bimbingan. Bimbingan juga membantu anak membetulkan suatu
kesalahan sebelum kesalahan tersebut terlanjur dipelajari dengan baik
sehingga sulit dibetulkan kembali.
6. Motivasi
Motivasi belajar penting untuk mempertahankan minat dari
ketertinggalan. Untuk mempelajari keterampilan, sumber motivasi
umumadalah kepuasan pribadi yang diperoleh anak dari kegiatan tersebut,
kemandirian, dan gengsi yang diperoleh dari kelompok sebayanya, serta
kompensasi terhadap perasaan kurang mampu dalam bidang lain
khususnya dalam tugas sekolah.
42
7. Setiap keterampilan motorik harus dipelajari secara individu
Tidak ada hal-hal yang sifatnya umum perihal keterampilan tangan
dan keterampilan kaki. Melainkan, setiap jenis keterampilan mempunyai
perbedaan tertentu., sehingga setiap keterampilan harus dipelajari secara
individu. Sebagai contoh, memegang sendok untuk makan akan berbeda
dengan memegang crayon untuk mewarnai.
8. Keterampilan sebaiknya dipelajari satu demi satu
Dengan mencoba mempelajari berbagai mecam keterampilan
motorik secara serempak, khususnya apabila menggunakan kumpulan otot
yang sama, akan membingungkan anak dan akan menghasilkan
keterampilan yang jelek serta merupakan pemborosan waktu dan tenaga.
Apabila suatu keterampilan sudah dikuasai, maka keterampilan lain dapat
dipelajari tanpa menimbulkan kebingungan.
2.4 Kerangka pemikiran
Cerebral palsy adalah suatu kelayuhan atau gangguan gerak dan sikap
tubuh yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada jaringan otak yang belum
dewasa. Kerusakan pada jaringan otak ini dapat mempengaruhi sistem
motorik, kurangnya keseimbangan, kurangnya koordinasi, pola gerakan yang
abnormal atau kombinasi dari semua karakteristik ini
(Miller&Bachrach,1995:3).
43
Pada anak yang mengalami cerebral palsy tipe diplegia, kecacatan
yang terjadi lebih dominan menyerang kedua kakinya, sedangkan kedua
lengannya masih dapat dioptimalkan walaupun dalam keadaan kaku.
Walaupun memiliki keterbatasan dibandingkan dengan anak normal namun
anak-anak yang mengalami cerebral palsy tipe diplegia ini tetap harus dapat
berkembang sebagaimana individu-individu yang lain. Karena walaupun
mereka memiliki keterbatasan, mereka masih memiliki kemampuan atau
potensi yang dapat dikembangkan.
Dalam mengembangkan kemampuan anak cerebral palsy diplegia
dibutuhkan pendidikan khusus. Hal ini sesuai dengan salah satu kebutuhan
khusus anak CP yaitu memperoleh pendidikan khusus dan memperoleh
pelayanan rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi
sebagai dampak dari adanya kelainan CP (Salim, 1982: 136). Salah satu
bentuk pendidikan khusus yang diberikan yaitu terapi. Salah satu terapi yang
diberikan pada anak CP untuk melatih kemampuan melakukan kegiatan
sehari-harinya adalah terapi okupasi. Terapi okupasi adalah penyembuhan
yang bersifat pemulihan dari kondisi sakit, kondisi tuna, kondisi tidak mampu
menjadi kondisi mampu melalui kegiatan dan kesibukan kerja (Depdikbud,
1985/1986:17). Kegiatan terapi okupasi ini yaitu melatih kemampuan
melakukan ADL (Activity Daily Living) misalnya kegiatan: buang air
kecil/besar, mengambil kursi, berhias, makan dan minum, dll, PSA (Pre
School Activities) misalnya kegiatan: penggunaan alat sekolah, bermain,
44
sosialisasi, dll, permainan dalam olahraga dan seni yang bersifat rekreatif dan
Crafts yaitu kerajinan/keterampilan/prevocational. Dalam program terapi
okupasi ini, kegiatan sehari-hari (ADL) makan dan minum adalah kegiatan
yang paling di tekankan, karena tujuan dari kegiatan ini yaitu anak dapat
membantu dirinya sendiri (self help) dan tidak tergantung pada bantuan orang
lain. Melalui ADL ini akan dapat di tentukan beberapa kondisi penderita, baik
kekuatan ototnya, kelainan fungsi ototnya, hambatan geraknya maupun
kesulitan koordinasinya.
Pelaksanaan terapi tidak hanya dilakukan oleh guru terapi di sekolah
tetapi juga dapat dilakukan oleh orang tua di rumah. Guru terapi sangat
mengharapkan peran serta orang tua dalam melatih kemampuan anaknya di
rumah, khususnya untuk kegiatan ADL makan dan minum, apalagi kegiatan
ADL makan dan minum banyak mempergunakan aktivitas rumah tangga
sebagai sarana dan objek dan dari 24 jam sehari waktu anak banyak
dihabiskan bersama orang tuanya dirumah dibandingkan di sekolah.
Peran serta orang tua dalam menghadapi anaknya yang mengalami
cerebral palsy yaitu dengan memberikan dukungan berupa dukungan sosial
dan dukungan untuk mandiri. Orang tua dapat memberikan dukungan sosial
pada anak berupa kasih sayang, perhatian dan penerimaan. Kasih sayang dari
orang tua yaitu misalnya dengan meluangkan waktu untuk anak menceritakan
pengalamannya di sekolah atau dengan menemani anak melakukan kegiatan
yang disukainya. Perhatian dari orang tua yaitu dengan mencari informasi
45
mengenai apa itu cerebral palsy, bagaimana cara yang terbaik menanganinya,
bagaimana pemberian latihan praktis di rumah dan sebagainya. Dengan
mengetahui dengan jelas apa itu cerebral palsy dan bagaimana cara yang
terbaik dalam menangani anaknya tersebut di rumah maka orang tua akan tahu
dengan pasti bagaimana cara yang tepat mencapai pemulihan kondisi anaknya
tersebut. Selain memberikan perhatian dan kasih sayang bentuk dukungan
sosial yang lain yaitu dengan menerima kondisi anaknya yang mengalami
kecacatan akibat cerebral palsy. Bentuk penerimaan ini yaitu misalnya
dengan mengikutsertakan anak dengan kegiatan sosial di daerah tempat
tinggalnya atau kegiatan di sekolah, selain itu dengan memberikan pujian atas
apa yang dilakukan anaknya walaupun hal itu sangat ringan. Pemberian
dukungan sosial dari orang tua ini akan membuat anak merasa orang tuanya
“ada”, dan hal ini akan menimbulkan perasaan aman dalam diri individu. Rasa
aman ini penting karena akan mendasari proses yang akan di alami oleh
individu dalam tahap perkembangan selanjutnya (basic secure) (Bowlby
dalam Sarason 1983). Pemberian dukungan ini sangat penting karena
menurut Viola E. Cardwell dalam Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy
beberapa karakteristik kepribadian anak CP yaitu memiliki rasa rendah diri
yang kuat, memiliki rasa takut yang berlebihan, perasaan tegang yang hebat
dan tidak adanya motivasi. Dengan adanya dukungan sosial ini maka orang
tua dapat sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa percaya diri anak, dengan
rasa percaya diri ini pula anak akan berani mencoba melakukan sesuatu
46
sendiri berdasarkan kemampuannya, seperti misalnya kemampuan makan dan
minum sendiri. Keberanian anak ini akan menimbulkan sikap mandiri pada
anak dan ketergantungannya terhadap orang lain sedikit demi sedikit akan
berkurang.
Selain memberikan dukungan sosial pada anak, orang tua juga harus
memberikan dukungan untuk mandiri. Salah satu bentuk perilaku orang tua
yang membuat anaknya yang mengalami cerebral palsy menjadi mandiri
adalah dengan membiarkan anak mencoba melakukan aktivitas kehidupan
sehari-harinya (ADL) sendiri sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Hal
ini sangat penting, karena dengan ini berarti orang tua melatih kemampuan
anaknya untuk dapat membantu dirinya sendiri (self help) dan tidak
tergantung secara penuh pada orang lain. Dengan melatih anak di rumah
berarti orang tua membantu pihak sekolah menerapkan latihan ADL secara
praktis di rumah. Penerapan latihan ADL praktis di rumah yaitu dengan
melatih anak untuk mandiri dan aktif dalam melakukan aktivitas
kehidupannya sehari-hari. Hal ini sangat penting karena dengan ini berarti
orang tua membantu perkembangan sistem motorik anak, membantu kekuatan
ototnya, membantu anak melatih koordinasi tubuh dan keseimbangan badan.
Selain itu dengan membiasakan anak berusaha dan tidak tergantung pada
orang lain berarti orang tua telah memberikan kepercayaan bagi anak untuk
dapat mengeksplorasi lingkungannya berdasarkan kemampuan yang ia miliki,
dengan kepercayaan yang diberikan ini maka anak akan memiliki keberanian
47
untuk terus mencoba berusaha melakukan sesuatu bagi dirinya berdasarkan
kemampuan yang ia miliki.
Orang tua yang memberikan dukungan untuk mandiri dan dukungan
sosial bagi anaknya adalah orang tua yang responsif. Responsivitas orang tua
adalah orang tua yang mengerti kebutuhan anak dan berespon sesuai
kebutuhan anak dengan tepat (Tormmsdorf 1993). Dapat dijelaskan disini
bahwa responsivitas merupakan suatu bentuk pengertian serta respon yang
diberikan oleh orang tua sesuai dengan kebutuhan anak pada masa
perkembangannya. Dilihat dari tahap perkembangan anak cerebral palsy, usia
ini merupakan waktu dimana anak CP tersebut dapat mencapai kemampuan
fisiknya secara maksimum oleh karena itulah waktu ini merupakan suatu
kesempatan untuk melatih kemampuan anak secara maksimal
(Miller&Bachrach,1995:179). Responsivitas orang tua sangat di butuhkan
dalam hal ini. Di SLB D-D1 Mustang ini, banyak orang tua yang tidak
menyadari hal ini. Mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan anaknya
dengan membantu secara penuh aktivitas sehari-hari anak dengan alasan
supaya cepat, tidak berantakan dan lain sebagainya. Padahal tindakan ini tidak
tepat karena akan menghambat proses pemulihan kondisi anak, dan membuat
anak menjadi tergantung dengan bantuan dari orang- orang yang ada di
sekitarnya. Selain itu dengan terbiasa memperlakukan anak secara tidak
mandiri akan membuat anak tidak memiliki kepercayaan pada dirinya sendiri
bahwa dirinya mampu melakukan suatu kegiatan sendiri tanpa bantuan dari
48
orang lain. Hal ini akan membuat kemampuannya akan semakin tidak
berkembang dan motivasinya untuk berusaha melakukan kegiatan sehari-hari
dengan mandiri menjadi rendah.
Hal ini pula yang membuat hasil terapi okupasi khususnya untuk
latihan ADL makan dan minum yang telah diajarkan di sekolah hasilnya
belum memuaskan. Pihak sekolah menyebutkan, perkembangan anak yang di
nilai progresif hanya sekitar 20%. Untuk anak-anak yang berkembang secara
progresif ini di dukung oleh responsivitas orang tua dalam memantau
perkembangan anaknya dan juga melatih kemampuan anaknya di rumah.
Responsivitas orang tua tersebut yaitu dengan berkonsultasi pada guru terapi
tentang bagaimana keadaan anaknya, bagaimana kemajuan yang telah
dicapainya, apa yang harus mereka lakukan dalam menghadapi anaknya dsb.
Selain itu responsivitas orang tua dalam melatih kemampuan ADL anaknya di
rumah yaitu dengan membiarkan anak berusaha melakukan aktivitasnya
tersebut secara mandiri sesuai dengan batas kemampuan yang mereka miliki
tanpa banyak bantuan dari orang-orang yang ada disekitarnya, mengatur
posisi barang-barang di rumah agar anak merasa nyaman bergerak dalam
melatih kemampuan menggerakkan kakinya. Perhatian yang di berikan orang
tua dengan mencari informasi tentang seluk beluk perkembangan anaknya
merupakan dukungan sosial yang di berikan oleh orang tua pada anaknya.
Dengan mencari informasi tentang anaknya yang mengalami cerebral palsy
maka orang tua di harapkan dapat memenuhi kebutuhan anaknya dengan
49
tepat, yaitu salah satunya dengan memberikan dukungan untuk mandiri.
Dengan memberikan dukungan pada anak untuk mandiri dalam melakukan
aktivitas kehidupannya sehari-hari, berarti orang tua melatih kemampuan
ADL (Activity Daily Living) anak sehingga anak dapat membantu dirinya
sendiri tanpa banyak tergantung pada bantuan orang lain selain itu dengan
membiarkan anak berusaha melakukan aktivitas sehari-harinya dengan
mandiri maka kekuatan otot anak akan semakin terlatih. Sehingga lambat laun
kemampuan anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan semakin
membaik.
50
51
2.5 Hipotesis
Terdapat hubungan antara responsivitas orang tua dengan kemampuan
ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak cerebral palsy tipe
diplegia usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung. Hubungan tersebut
diuraikan sebagai berikut:
“Semakin tidak responsif orang tua maka semakin buruk kemampuan
ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak cerebral palsy tipe
diplegia”
52
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
sejauhmana hubungan antara responsivitas orang tua dengan kemampuan
ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak Cerebral Palsy tipe
diplegia usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung.
Secara spesifik metoda yang digunakan adalah correlational study
(penelitian korelasional) yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan
tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam satu populasi. Dalam
penelitian ini ingin diketahui tingkat hubungan dari dua variabel penelitian
yang telah ditetapkan.
3.2 Identifikasi Variabel
Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah:
a. Variabel pertama yaitu responsivitas orang tua
b. Variabel kedua yaitu kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan
dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia
53
3.3 Operasionalisasi Variabel
Responsivitas orang tua
Responsivitas orang tua adalah orang tua yang memberikan dukungan
untuk mandiri dan dukungan sosial pada anaknya. Dukungan untuk mandiri
pada anak dengan cara memberikan kesempatan pada anak untuk berusaha
melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari sendiri sesuai dengan
kemampuan yang ia miliki tanpa banyak bantuan dari orang tua maupun orang
lain yang ada di sekitarnya. Aktivitas kehidupan sehari-hari yang dimaksud
yaitu kegiatan makan dan minum. Untuk kegiatan makan dan minum, orang
tua yang responsif akan membiarkan anak berusaha menyiapkan peralatan
makan dan minumnya sendiri, mencuci tangannya sendiri serta makan dan
minum sendiri tanpa disuapi.
Selain memberikan dukungan untuk mandiri, orang tua yang responsif
juga memberikan dukungan sosial pada anak, yaitu dengan memberikan
perhatian yang cukup, menerima kondisi anak dan memberikan kasih sayang.
Perhatian di sini dapat diartikan bagaimana orang tua mencari informasi
mengenai perkembangan anaknya yang mengalami cerebral palsy, mencari
informasi bagaimana cara menerapkan di rumah ajaran terapi yang telah di
berikan di sekolah, membimbing anak ketika di rumah, memilihkan suasana
yang nyaman bagi anak serta mengecek dan mengawasi tugas/tanggung jawab
anak ketika berada di rumah. Selain perhatian, dukungan sosial orang tua yang
lain yaitu menerima keadaan anak yaitu dengan mengikutsertakan anak
54
dengan berbagai kegiatan di lingkungan sosialnya, baik lingkungan keluarga,
tempat tinggal dan lingkungan sekolahnya, memberikan pujian ketika anak
berusaha melakukan sesuatu hal yang positif serta memberikan kasih sayang
misalnya dengan meluangkan waktu untuk mendengarkan curahan hati anak,
menemani anak melakukan kegiatan yang disukainya, dan bertanya mengenai
hal-hal apa saja yang disukai anak.
Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
Kemampuan ADL (Activity Daily Living) anak cerebral palsy adalah
aktivitas kehidupan sehari-hari yaitu makan dan minum. Kegiatan makan dan
minum ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu dimulai dengan mencuci
tangan sebelum makan, memegang sendok dan garpu, memegang sendok
dengan tangan kanan/kiri, makan dengan menggunakan jari, memasukkan
nasi kemulut mengunakan tangan/sendok, mengunyah dan menelan nasi,
menutup sendok dan garpu setelah makan, mencuci tangan, memegang
gelas/cangkir, memegang gelas/cangkir ke mulut, meneguk air, menyimpan
kembali pada tempat semula, merapikan peralatan makan sampai berdoa
setelah selesai makan.
55
3.4 Populasi dan Sampel
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini diambil
sampel berjumlah 25 orang dari populasi orang tua dan murid SD SLB D-D1
Mustang Bandung yang berjumlah 63 orang. Adapun teknik yang digunakan
dalam pemilihan sampel ini adalah purposive sampling, artinya sampel yang
digunakan oleh peneliti berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
tertentu yang telah di tetapkan (Suharsimi, 1998:128). Pengelompokkan
sampel anak CP ini tidak bisa secara murni homogen karena menurut (Miller
& Bachrach 1995:161) disebutkan bahwa sangat sulit untuk
mengelompokkan sejumlah individu dengan keadaan faktor fungsional yang
berbeda ke dalam satu kategori yang spesifik. Hal ini akan selalu tumpang
tindih antara satu jenis kecacatan CP dengan jenis kecacatan CP yang lainnya
dan akan menimbulkan pendapat yang berbeda tentang diagnosa yang
diberikan. Karena keterbatasan ini maka penulis mengelompokkan subjek
yang akan dijadikan sampel berdasarkan karateristik sebagai berikut:
Untuk anak cerebral palsy:
� Tinggal bersama dengan orang tua
� Termasuk dalam kelompok tipe diplegia
� Anak SD Usia 8-11 tahun, pada usia ini anak CP ada pada tahap
mampu mengembangkan kemampuan fisiknya secara maksimal.
(Miller&Bachrach (1995:179))
56
Untuk orang tua:
� Memiliki anak cerebral palsy tipe diplegia usia 8-11 tahun.
3.5 Alat Ukur
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, digunakan alat ukur
sebagai berikut:
3.5.1 Alat Ukur Responsivitas
Pengukuran responsivitas dibuat berdasarkan method of summated
ratings dari Likert, yaitu berupa pernyataan-pernyataan yang diarahkan
kepada perilaku responsif orang tua. Alat ukur yang digunakan untuk
mengukur responsivitas orang tua dalam penelitian ini menggunakan kisi-kisi
kegiatan makan dan minum alat ukur ADL SLB D-D1 Mustang Bandung,
kisi-kisi ini digunakan sebagai pedoman menyusun item tentang bagaimana
orang tua memberikan dorongan mandiri pada anak khususnya untuk kegiatan
makan dan minum. alat ukur ini terdiri dari 81 item yang terdiri dari
pernyataan positif dan negatif. Responden diminta untuk memilih salah satu
dari 4 alternatif jawaban yaitu: Selalu (SL), Sering (SR), Jarang (JR), dan
Tidak Pernah (TP).
Adapun rincian mengenai aspek-aspek responsivitas orang tua sebagai
berikut:
57
No Aspek Sub Aspek Indikator Nomor Item 1
Dukungan
sosial
� Penerimaan
� Perhatian
� Kasih Sayang
1.Ayah/Ibu mengikutsertakan
anak dengan kegiatan sosial
(dilingkungan keluarga, rumah
dan sekolah)
2.Ayah/Ibu memberikan pujian
atas sesuatu yang anak lakukan
1.Ayah/Ibu mencari informasi
tentang cerebral palsy
2.Ayah/Ibu mencari informasi
tentang terapi okupasi
3Ayah/Ibu membimbing anak di
rumah
4.Ayah/Ibu memilihkan suasana
yang nyaman bagi anak di
rumah
5.Ayah/Ibu mengecek dan
mengawasi tugas/tanggung
jawab anak
1.Ayah/Ibu meluangkan waktu
untuk anak mengungkapkan
perasaannya
2.Ayah/Ibu bertanya mengenai hal
yang disukai anak
3.Ayah/Ibu menemani anak
melakukan kegiatan sehari-hari
30,59,68,2,60,69,
77,81,3,32,61
4,33
34,70,78,
6,35,63,71
7,8,37,9,38,
10,11,40
12,41,13,42,14
44,16,45
17,46
47,64,72,
79
19,65,73
20,49,66,74
58
2
Dukungan
mandiri
� Kemandirian
sebelum
aktivitas
makan dan
minum
� Kemandirian
saat aktivitas
makan dan
minum
� Kemandirian
setelah
aktivitas
makan dan
minum
1.Ayah/Ibu membiarkan anak
berusaha menyiapkan peralatan
makan dan minumnya sendiri
2.Ayah/Ibu mengajarkan pada
anak bagaimana posisi duduk
yang benar di meja makan
3.Ayah/Ibu memberikan
kesempatan pada anak untuk
mencuci tangannya sendiri
1.Ayah/Ibu membiarkan anak
berusaha menuangkan
makanannya sendiri ke piring
2.Ayah/Ibu membiarkan anak
berusaha menyuapkan
makanannya sendiri ke mulut
3.Ayah/Ibu membiarkan anak
berusaha menuangkan
minumannya sendiri ke dalam
gelas
4.Ayah/Ibu membiarkan anak
berusaha mengangkat gelasnya
sendiri
1.Ayah/Ibu membiarkan anaknya
berusaha mencuci tangannya
sendiri setelah makan
2.Merapikan peralatan makan
21,67,75
22,51
23
24,53
25,54
55
27
28
29,58
Keterangan : Nomor bercetak tipis : Item Positif
Nomor Bercetak tebal : Item Negatif
59
Cara Penskoran:
Pada tiap jawaban telah disediakan 4 alternatif jawaban, mulai dari
Selalu (SL), Sering (SR), Jarang (JR), Tidak Pernah (TP). Untuk item negatif
skor yang diberikan adalah sebagai berikut:
Selalu (SL) : 1
Sering (SR) : 2
Jarang (JR) : 3
Tidak Pernah : 4
Sedangkan untuk item positif skor yang diberikan adalah sebagai
berikut:
Selalu (SL) : 4
Sering (SR) : 3
Jarang (JR) : 2
Tidak Pernah : 1
3.5.2 Alat Ukur Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
Pengukuran kemampuan ADL anak cerebral palsy adalah dengan
mengukur salah satu dari kegiatan ADL. Dalam penelitian ini kegiatan ADL
yang diukur adalah kegiatan makan dan minum. Pengukuran yang dilakukan
yaitu dengan menilai satu persatu tahap kemampuan anak dalam kegiatan
makan dan minum. Kemampuan anak dinilai berdasarkan penilaian: Dapat
60
melaksanakan sendiri, dengan bantuan ringan, dengan bantuan penuh, hanya
ada respon saja, dan tidak ada respon. Batasan penilaian ini yaitu:
� Dapat melaksanakan sendiri: Anak dapat melakukan kegiatan makan
dan minum dari tahap awal sampai akhir tanpa bantuan dari orang lain
� Dengan bantuan ringan : Dalam melakukan tahap kegiatan makan dan
minum anak diberikan bantuan ringan dari orang lain, misalnya untuk
memegang sendok, terapis membantu anak dalam cara memegang
sendok, untuk seterusnya ketika anak tersebut sudah bisa memegang
sendok maka anak tersebut melanjutkan makannya sendiri
� Dengan bantuan penuh : Dalam melakukan kegiatan makan dan
minum dari tahap awal sampai akhir anak dibantu sepenuhnya oleh
terapis.
� Hanya ada respon saja : Anak hanya memberikan respon ketika
terapis memberikan instruksi untuk makan dan minum, respon tersebut
misalnya: menangis, menggelengkan kepala atau dengan
menengokkan kepala
� Tidak ada respon : Anak tidak memberikan respon apapun ketika
terapis memberikan instruksi untuk makan dan minum.
61
Pengukuran kemampuan ADL makan dan minum anak yaitu dengan
mengobservasi bersama terapis yang melakukan terapi okupasi pada materi
ADL anak cerebral palsy.
Adapun alat ukur ADL makan dan minum dari SLB D-D1 Mustang
Bandung, adalah sebagai berikut:
No Aktivitas yang dinilai
Dapat melaksanakan
sendiri
Dengan bantuan ringan
Dengan bantuan penuh
Hanya ada respon
Tidak ada respon
Skor 8 Skor 7 Skor 6 Skor 5 Skor 4
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13
Mencuci tangan sebelum makan Berdoa sebelum makan Memegang sendok garpu Memegang sendok dengan tangan kiri/kanan Makan dengan menggunakan jari tangan Memasukkan nasi ke mulut dengan menggunakan sendok Memasukkan nasi ke mulut menggunakan jari tangan Mengunyah dan menelan nasi Menutup sendok/garpu di atas piring setelah selesai makan Mencuci tangan pada tempat yang telah disediakan Memegang gelas/cangkir Mengangkat gelas/cangkir ke mulut Meneguk air
62
14 15 16
Menyimpan kembali pada meja/pada tempat semula Merapikan setelah selesai makan Berdoa setelah selesai makan
Cara penskoran:
Pada lembar tes terdapat lima kriteria yang mengukur tiap tahap
kemampuan anak dalam kegiatan makan dan minum, kriteria tersebut adalah:
Tidak ada respon sama sekali : 4
Hanya ada respon/kemauan : 5
Bantuan penuh : 6
Bantuan ringan : 7
Dapat melaksanakan sendiri : 8
Selanjutnya, tahap penskoran dapat dilakukan dengan cara menjumlahkan skor
tiap tahap kegiatan makan dan minum.
3.6 Uji Coba Alat Ukur
Suatu alat ukur yang baik harus memiliki validitas dan reliabilitas
yang teruji dengan norma. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
validitas dan reliabilitas alat ukur pada subjek yang akan di ukur. Pada
umumnya tanda-tanda yang dipergunakan untuk menyatakan validitas dan
reliabilitas suatu alat ukur adalah melalui perhitungan angka-angka koefisien
63
korelasi dari 0 sampai dengan 1,00. Kriteria yang digunakan untuk
menyeleksi item berdasarkan atas norma “Guilford” (dalam Muchkiar, 1992
: 197).
Nilai Tingkat Korelasi � 0,20 Sangat Rendah
0,21 – 0,40 Rendah 0,41 – 0,70 Sedang 0,71 – 0,90 Tinggi 0,91 – 1,00 Sangat Tinggi
3.6.1 Uji Validitas
Uji validitas adalah untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut
memiliki taraf kesesuaian dan ketetapan dalam melakukan penilaian atau
dengan kata lain apakah alat ukur tersebut sudah benar-benar mengukur apa
yang hendak diukur atau dinilai. Jadi suatu alat ukur dikatakan valid apabila
alat ukur tersebut mengukur apa yang hendak di ukur.
Untuk melihat derajat konsistensi digunakan teknik korelasi, yaitu
dengan mengkorelasikan antara skor keseluruhan subjek untuk item tersebut
dengan skor total item keseluruhan. Teknik korelasi yang digunakan yaitu
koefisien korelasi Rank Spearman. Alasan menggunakan teknik korelasi
tersebut karena data yang akan diperoleh melalui kedua alat ukur yang
digunakan berskala ordinal.
Untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut memiliki validitas, ada
beberapa langkah yang harus dilakukan.
64
1. Melakukan skoring dari hasil try out yang sudah dilakukan.
2. Kemudian dicari nilai validitasnya (dilakukan dengan menggunakan
bantuan SPSS 10,0).
3. Apabila nilai validitasnya lebih besar dari nilai tabel maka item tersebut
valid begitu juga sebaliknya apabila nilai validitasnya lebih kecil dari nilai
tabel maka item tersebut tidak valid. Untuk melihat tabel dipergunakan
tabel P (Tabel Harga-harga Kritis rs koefisien korelasi Rangking
Spearman).
Berdasarkan hasil uji coba alat ukur Responsivitas Orangtua terdapat
13 item yang tidak valid kemudian item yang tidak valid tersebut
ditolak/dihilangkan.
Sedangkan berdasarkan hasil uji coba alat ukur Kemampuan ADL
terdapat 1 item yang tidak valid kemudian item tersebut ditolak/dihilangkan.
3.6.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat
ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan, yang menunjukkan sejauhmana
hasil pengukuran tetap konsisten (Djamaludin Ancok, 1989 : 22).
Reliabilitas untuk mengetahui sejauhmana alat ukur yang digunakan tersebut
memiliki taraf ketelitian, kepercayaan, kekonstanan ataupun kestabilan.
65
Untuk menguji reliabilitas digunakan teknik belah dua (Split half).
Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut (Djamaludin
Ancok, 1989 : 25):
a. Hanya item-item yang diterima (valid) yang dikumpulkan untuk dihitung.
b. Bagi item menjadi dua bagian atau belahan. Untuk membelah alat ukur
dilakukan dengan teknik ganjil-genap. Item yang bernomor ganjil menjadi
belahan pertama dan item yang bernomor genap menjadi belahan kedua.
c. Skor untuk item-item belahan pertama dijumlahkan, demikian halnya
dengan skor item-item belahan kedua sehingga akan diperoleh dua
belahan skor total.
d. Korelasikan skor total belahan pertama dengan skor total belahan kedua
dengan menggunakan teknik korelasi Rank Spearman (dilakukan dengan
menggunakan bantuan SPSS 10,0).
e. Angka korelasi keseluruhan dicari dengan mengkoreksi angka korelasi
yang diperoleh kedalam rumus berikut:
tt
tots
ttss r
rr
��
1)(2
Keterangan:
rs tot = Angka reliabilitas keseluruhan item
rs tt = Angka korelasi belahan pertama dan belahan kedua.
66
Berdasarkan hasil uji coba alat ukur Responsivitas Orang tua diperoleh
nilai reliabilitas 0,972 berarti alat ukur ini memiliki taraf reliabilitas sangat
tinggi
Sedangkan berdasarkan hasil uji coba alat ukur Kemampuan ADL
diperoleh nilai reliabilitas 0,969 berarti alat ukur ini memiliki taraf reliabilitas
sangat tinggi.
3.7 Teknik Analisis
3.7.1 Uji Koefisien Korelasi Rank Spearman (rs)
Statistik uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi
Rank Spearman. Koefisien korelasi Rank Spearman digunakan untuk
mengukur seberapa besar korelasi antara dua variabel.
Dengan kata lain alasan menggunakan koefisien korelasi Rank
Spearman adalah:
1. Data yang akan diperoleh melalui kedua alat ukur yang digunakan
berskala ordinal.
2. Memiliki data berpasangan dalam satu unit pengamatan yaitu keluarga,
dimana subjek yang diamati adalah orang tua dan anak.
Adapun langkah-langkah perhitungan koefisien korelasi Rank
Spearman adalah sebagai berikut (Siegel, 1994 : 253-257)
67
1. Memberi rangking hasil skor pada variabel X (Responsivitas Orang Tua)
mulai 1 sampai N, juga hasil skor pada variabel Y (Activity Daily living
(ADL)) mulai 1 sampai N
2. Daftarkan N subjek, beri setiap subjek rangking pada variabel X
(Responsivitas Orang Tua) dan Variabel Y (Activity Daily living (ADL))
disebelah nama subjek.
3. Menentukan harga di untuk setiap subjek dengan mengurangkan rangking
Y (Activity Daily living (ADL)) pada rangking X (Responsivitas Orang
Tua), kemudian kuadratkan harga itu untuk menentukan harga di2 masing-
masing subjek
4. Menjumlahkan harga di2 untuk mendapatkan � di
2
5. Menghitung rs dengan ketentuan:
a. Apabila tidak terdapat data yang berangka sama, maka rumus yang
digunakan adalah:
NN
dir
N
is �
����3
1
261
Keterangan:
rs = Koefisien korelasi Rank Spearman
N = Total pengamatan
di2 = Beda antara dua pengamatan berpasangan
68
b. Apabila terdapat data yang berangka sama, maka perlu dilakukan koreksi
dengan menghitung faktor koreksi T, yaitu dengan rumus:
12
3 ttT ��
Keterangan:
t = Banyaknya observasi yang berangka sama pada suatu
ranking tertentu
c. Bila ranking yang berangka sama berjumlah banyak, maka rumus yang
digunakan dalam perhitungan adalah:
� �� � ���
�22
222
.2 yx
dyxr i
s
dimana:
�� ��
� xTNNx12
32
�� ��
� yTNNy12
32
3.7.2 Uji Signifikansi (rs)
Uji signifikansi ini digunakan untuk menentukan apakah variabel-
variabel berkorelasi (berhubungan). Signifikansi diuji dari rank yang
69
bersangkutan. Untuk sampel berjumlah besar (N � 10), uji signifikansi rs
tersebut menggunakan rumus sebagai berikut (Siegel, 1994 : 262-263):
s
s rNrt��
�1
2
Kriteria penolakan Ho jika t hit > t tabel, dengan taraf signifikansi � =
0,05 dan dk = N-2. Untuk melihat t tabel dipergunakan tabel B (Tabel Harga-
harga Kritis t) untuk tes satu sisi. Untuk mengetahui berapa presentase
variabel satu memberikan kontribusi terhadap variabel dua maka digunakan
Coeficient determination dengan rumus sebagai berikut:
%1002 �� srd
3.7.3 Perhitungan Median
Kriteria untuk menentukan penilaian positif negatifnya responsivitas
orang tua dan kemampuan ADL (Activity Daily Living) digunakan
perhitungan median, karena data berskala ordinal. Skor tinggi adalah bila skor
berada diatas median dan skor rendah apabila skor berada dibawah median
atau sama dengan median.
Ketentuan untuk perhitungan median adalah sebagai berikut (Sudjana,
1996 : 78) :
1. Tentukan nilai kumulatif yaitu jumlah nilai dari setiap responden untuk
semua item pernyataan
70
2. Susun data berdasarkan dari nilai yang terkecil sampai nilai yang terbesar
3. Jika banyaknya data berjumlah ganjil maka nilai median adalah nilai yang
paling tengah. Jika jumlahnya genap maka nilai median adalah nilai rata-
rata dua data yang paling tengah.
3.8 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap Persiapan
� Melakukan observasi awal di SLB D-D1 Mustang Bandung untuk
membicarakan masalah perizinan dan menemukan permasalahan yang
dihadapi oleh pihak sekolah khususnya bagian terapi okupasi tentang
kemampuan ADL (Activity Daily Living) anak-anak cerebral palsy.
� Melakukan studi kepustakaan
� Mempersiapkan surat izin yang diperlukan untuk melakukan
penelitian dari pihak Fakultas Psikologi UNISBA
� Menyusun usulan rancangan penelitian sesuai dengan masalah yang
akan diteliti
� Menetapkan populasi dan sampel penelitian, serta teknik sampling
yang akan digunakan
� Menetapkan design penelitian dan alat ukur yang akan digunakan
dalam penelitian
71
� Melakukan uji coba alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian
untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan
dalam penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan/Pengumpulan data
a. Pengumpulan data responsivitas orang tua
� Menemui bagian terapi okupasi untuk mendapatkan daftar nama
responden yang sesuai dengan karakteristik yang telah di tentukan
� Menemui responden dan memberikan penjelasan mengenai
maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan dan memohon
kesediaan subjek untuk dijadikan sebagai responden dalam
penelitian ini, kemudian mereka diberi petunjuk mengenai tata cara
pengisian kuesioner.
� Melaksanakan pengambilan data yaitu subjek diminta untuk
mengisi kuesioner yang telah disediakan dan dilakukan secara
individual
b. Pengumpulan data kemampuan ADL (Activity Daily Living) anak
cerebral palsy
� Menemui bagian terapi okupasi untuk mendapatkan data dari
responden yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan
72
� Memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian
yang dilakukan dan memohon kesediaan subjek untuk dijadikan
sebagai responden.
� Melakukan pengambilan data observasi kemampuan ADL (Activity
Daily Living) makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia
usia 8-11 tahun bersama terapis.
3. Tahap Pengolahan Data
� Mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh responden
� Melakukan skoring dengan menilai setiap hasil kuesioner yang
telah diisi oleh responden dan meranking data yang diperoleh pada
setiap alat ukur tersebut
� Menghitung, mentabulasikan data yang diperoleh, kemudian
memasukannya kedalam tabel data
� Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik
untuk menguji hipotesis penelitian dan korelasi antara variabel
penelitian.
4. Tahap Pembahasan
� Menginterpretasikan hasil analisis statistik yang dibahas
berdasarkan teori dan kerangka berpikir yang digunakan
73
� Merumuskan kesimpulan hasil penelitian dengan mengajukan
saran-saran yang ditujukan untuk perbaikan dan kesempurnaan
penelitian.
3.9 Hipotesis Statistik
Hipotesis penelitian yang telah disebutkan pada Bab II diturunkan
menjadi hipotesis statistik sebagai berikut:
� H 0 : rs � 0, Tidak ada hubungan yang positif antara Responsivitas Orang
Tua dengan kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
pada anak Cerebral Palsy tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1
Mustang Bandung.
� H 1 : rs > 0, Ada hubungan yang positif antara Responsivitas orang Tua
dengan kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum pada
anak Cerebral Palsy tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang
Bandung.
Dengan Sub Hipotesis sebagai berikut:
1. Dukungan Sosial
� H 0 : rs � 0, Tidak ada hubungan yang positif antara Responsivitas
Orang Tua dalam memberikan Dukungan Sosial dengan kemampuan
ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum pada anak Cerebral
Palsy tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung.
74
� H 1 : rs > 0, Ada hubungan yang positif antara Responsivitas orang
Tua dalam memberikan Dukungan Sosial dengan kemampuan ADL
(Activity Daily Living) Makan dan Minum pada anak Cerebral Palsy
tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung
2. Dukungan Mandiri
� H 0 : rs � 0, Tidak ada hubungan yang positif antara Responsivitas
Orang Tua dalam memberikan Dukungan untuk Mandiri dengan
kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum pada
anak Cerebral Palsy tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1
Mustang Bandung.
� H 1 : rs > 0, Ada hubungan yang positif antara Responsivitas orang
Tua dalam memberikan Dukungan untuk mandiri dengan kemampuan
ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum pada anak Cerebral
Palsy tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung
75
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana derajat
hubungan antara Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL (Activity
Daily Living) Makan dan Minum anak Cerebral Palsy Tipe Diplegia Usia 8-
11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung. Pada bab ini akan dibahas
mengenai hasil-hasil pengolahan data dilengkapi dengan pembahasan yang
didasari oleh hasil perhitungan statistik, pengujian hipotesis serta penjelasan-
penjelasan teoritis.
Perhitungan statistik yang digunakan adalah Uji Rank Spearman (rs),
yaitu melihat hubungan antara:
1. Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL (Activity Daily
Living) Makan dan Minum
2. Responsivitas Orang Tua dalam memberikan Dukungan Sosial dengan
Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
3. Responsivitas Orang Tua dalam memberikan Dukungan untuk Mandiri
dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
76
4.1 HASIL DAN PENGOLAHAN DATA
4.1.1 Uji Korelasi Rank Spearman Antara Responsivitas Orang Tua
dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan
Minum
a. Hipotesis Statistik
Ho : rs � 0 :
Tidak terdapat hubungan yang positif antara Responsivitas Orang
Tua dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan
Minum
H1 : rs > 0 :
Terdapat hubungan yang positif antara Responsivitas Orang Tua
dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
b. Kriteria Penolakan
Ho ditolak jika thit > ttab yang berarti H1 diterima
Ho diterima jika thit < ttab yang berarti H1 ditolak
Dengan taraf signifikansi � = 0,05 dan dk = N-2
77
c. Hasil Perhitungan
Tabel 4.1.1
Hasil uji korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang Tua dengan
Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
anak Cerebral Palsy tipe Diplegia
Kriteria Pengujian Tolak Ho jika thit > ttab
Dk = N-2 (lihat tabel B)
Variabel Hasil Uji Kesimpulan Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL
(Activity Daily Living) makan dan minum
rs = 0,539 thit = 3,069 ttab = 1,714
Ho ditolak, terdapat hubungan antara
responsivitas orang tua dengan kemampuan ADL
(Activity Daily Living) makan dan minum
d. Interpretasi dan Analisis Hasil Statistik
Berdasarkan hasil perhitungan (tabel 4.1.1) diperoleh thit > ttab
dengan taraf signifikansi 0,05 dan dk = 23 sehingga H0 ditolak dan H1
diterima dengan rs = 0,539 yang menurut tabel Guilford (dalam
Muchkiar, 1992 : 197) termasuk kedalam kriteria derajat korelasi
sedang. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan terdapat hubungan positif
antara Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL (Activity
Daily Living) Makan dan Minum anak Cerebral Palsy Tipe Diplegia
Usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung, artinya semakin
tidak responsif orang tua maka semakin buruk kemampuan ADL
makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia.
78
Responsivitas orang tua memberikan kontribusi sebesar 29,05%
terhadap kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum.
Hal ini menandakan masih ada variabel-variabel di luar responsivitas
orang tua yang memberikan kontribusi pada kemampuan ADL
(Activity Daily Living) makan dan minum anak cerebral palsy tipe
diplegia sebesar 70,95%.
4.1.2 Uji Korelasi Rank Spearman Antara Responsivitas Orang Tua
dalam memberikan Dukungan Sosial dengan Kemampuan ADL
(Activity Daily Living) Makan dan Minum
a. Hipotesis Statistik
Ho : rs � 0 :
Tidak terdapat hubungan yang positif antara Responsivitas
Orang Tua dalam memberikan Dukungan Sosial dengan
Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
H1 : rs > 0 :
Terdapat hubungan yang positif antara Responsivitas Orang
Tua dalam memberikan Dukungan Sosial dengan Kemampuan
ADL (Activity Daily Living) makan dan minum
b. Kriteria Penolakan
Ho ditolak jika thit > ttab yang berarti H1 diterima
Ho diterima jika thit < ttab yang berarti H1 ditolak
79
Dengan taraf signifikansi � = 0,05 dan dk = N-2
c. Hasil Perhitungan
Tabel 4.1.2
Hasil uji korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang Tua dalam
memberikan Dukungan Sosial dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living)
Makan dan Minum anak cerebral palsy Tipe Diplegia
Kriteria Pengujian Tolak Ho jika thit > ttab
Dk = N-2 (lihat tabel B)
Variabel Hasil Uji Kesimpulan Responsivitas Orang Tua
(Dukungan Sosial) dengan Kemampuan ADL
(Activity Daily Living) makan dan minum
rs = 0,490 thit = 2,696 ttab = 1,714
Ho ditolak, terdapat hubungan antara
responsivitas orang tua (dukungan sosial) dengan
kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan
minum
d. Interpretasi dan Analisis Hasil Statistik
Berdasarkan hasil perhitungan (tabel 4.1.2) diperoleh thit > ttab
dengan taraf signifikansi 0,05 dan dk = 23 sehingga H0 ditolak dan H1
diterima dengan rs = 0,490 yang menurut tabel Guilford (dalam
Muchkiar, 1992 : 197) termasuk kedalam kriteria derajat korelasi
sedang. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan terdapat hubungan positif
antara Responsivitas Orang Tua dalam memberikan Dukungan Sosial
dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum
anak Cerebral Palsy Tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1
80
Mustang Bandung, artinya semakin tidak responsif orang tua dalam
memberikan dukungan sosial maka semakin buruk kemampuan ADL
makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia.
Responsivitas orang tua dalam memberikan dukungan sosial
memberikan kontribusi sebesar 24,01% terhadap kemampuan ADL
(Activity Daily Living) makan dan minum. Hal ini menandakan masih
ada variabel-variabel di luar responsivitas orang tua dalam
memberikan Dukungan Sosial yang memberikan kontribusi pada
kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak
cerebral palsy tipe diplegia sebesar 75,99%.
4.1.3 Uji Korelasi Rank Spearman Antara Responsivitas Orang Tua
dalam memberikan Dukungan untuk Mandiri dengan
Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
a. Hipotesis Statistik
Ho : rs � 0 :
Tidak terdapat hubungan yang positif antara Responsivitas Orang
Tua dalam memberikan Dukungan untuk Mandiri dengan Kemampuan
ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
81
H1 : rs > 0 :
Terdapat hubungan yang positif antara Responsivitas Orang Tua
dalam memberikan Dukungan untuk Mandiri dengan Kemampuan
ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
b. Kriteria Penolakan
Ho ditolak jika thit > ttab yang berarti H1 diterima
Ho diterima jika thit < ttab yang berarti H1 ditolak
Dengan taraf signifikansi � = 0,05 dan dk = N-2
c. Hasil Perhitungan
Tabel 4.1.3
Hasil uji korelasi Responsivitas Orang Tua dalam memberikan Dukungan
untuk Mandiri dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan
Minum anak cerebral palsy Tipe Diplegia
Kriteria Pengujian Tolak Ho jika thit > ttab
Dk = N-2 (lihat tabel B)
Variabel Hasil Uji Kesimpulan Responsivitas Orang Tua
(Dukungan Mandiri) dengan Kemampuan ADL
(Activity Daily Living) makan dan minum
rs = 0,523 thit = 2,943 ttab = 1,714
Ho ditolak, terdapat hubungan antara
responsivitas orang tua (dukungan mandiri)
dengan kemampuan ADL (Activity Daily Living)
makan dan minum
82
d. Interpretasi dan Analisis Hasil Statistik
Berdasarkan hasil perhitungan (tabel 4.1.3) diperoleh thit > ttab
dengan taraf signifikansi 0,05 dan dk = 23 sehingga H0 ditolak dan H1
diterima dengan rs = 0,523 yang menurut tabel Guilford (dalam
Muchkiar, 1992 : 197) termasuk kedalam kriteria derajat korelasi
sedang. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan terdapat hubungan positif
antara Responsivitas Orang Tua dalam memberikan Dukungan untuk
Mandiri dengan Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan
Minum anak Cerebral Palsy tipe diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-
D1 Mustang Bandung, artinya semakin tidak responsif orang tua
dalam memberikan dukungan untuk mandiri maka semakin buruk
kemampuan ADL makan dan minum anak cerebral palsy tipe
diplegia.
Responsivitas orang tua dalam memberikan dukungan untuk
mandiri memberikan kontribusi sebesar 27,35% terhadap kemampuan
ADL (Activity Daily Living) makan dan minum. Hal ini menandakan
masih ada variabel-variabel di luar responsivitas orang tua dalam
memberikan dukungan untuk mandiri yang memberikan kontribusi
pada kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak
cerebral palsy tipe diplegia sebesar 72,65%.
83
4.2 HASIL PERHITUNGAN BERDASARKAN PERHITUNGAN
MEDIAN
Tabel 4.2
Responsivitas (X) Responsif Tdk responsif
TotalActivity Daily Living (Y)
F % F % F %Baik 6 24 1 4 7 28
Buruk 6 24 12 48 18 72Total 12 48 13 52 25 100
Tabel diatas memperlihatkan hubungan antara responsivitas orang tua
dengan kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum.
Berdasarkan hasil dapat terlihat bahwa dari 25 orang siswa SLB D-D1
Mustang Bandung yang berusia 8-11 tahun, diperoleh hasil sebagi berikut:
Dari 25 (100%) siswa, yang orang tuanya responsif dan kemampuan ADL
makan dan minum anaknya baik terdapat 6 (24 %) siswa, untuk anak yang
orang tuanya tidak responsif dan kemampuan ADL makan dan minum
anaknya buruk sebanyak 12 (48 %) siswa, sehingga dapat dikatakan bahwa
siswa yang orang tuanya tidak responsif akan cenderung memiliki
kemampuan ADL makan dan minum yang buruk pula. Sebaliknya, untuk
anak yang orang tuanya responsif maka kemampuan ADL makan dan minum
anaknya baik pula. Namun berdasarkan data hasil perhitungan statistik
terdapat 6 (24%) anak yang orang tuanya responsif namun kemampuan ADL
makan dan minum anaknya buruk, dan terdapat juga 1 (4%) anak yang orang
84
tuanya tidak responsif namun kemampuan ADL makan dan minum anaknya
baik.
4.3 PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di SLB D-D1 Mustang Bandung,
hubungan antara responsivitas orang tua dengan kemampuan ADL makan dan
minum anak cerebral palsy tipe diplegia memiliki korelasi yang positif yaitu
sebesar rs = 0,539 yang menurut tabel Guilford (dalam Muchkiar, 1992 : 197)
termasuk kedalam kriteria derajat korelasi sedang. Dari hasil tersebut dapat
dinyatakan terdapat hubungan positif antara Responsivitas Orang Tua dengan
Kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum anak Cerebral
Palsy Tipe Diplegia Usia 8-11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung, artinya
semakin tidak responsif orang tua maka semakin buruk kemampuan ADL
makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia.
Responsivitas orang tua memberikan kontribusi sebesar 29,05%
terhadap kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan dan minum. Hal ini
menandakan masih ada variabel-variabel di luar responsivitas orang tua yang
memberikan kontribusi pada kemampuan ADL (Activity Daily Living) makan
dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia sebesar 70,95%.
Orang tua yang tidak responsif adalah perilaku orang tua yang tidak
peka menangkap sinyal-sinyal kebutuhan anak, akibatnya mereka tidak
berespon secara tepat. Untuk orang tua anak CP, orang tua yang tidak
85
responsif yaitu kurang memberikan perhatian pada anaknya seperti tidak
mencari tahu tentang seluk beluk anak CP, bagaimana penanggulangannya
dan cara menghadapinya. Hal ini tidak dilakukan orang tua karena alasan
sibuk, tidak tahu dan sebagainya. Hal ini membuat mereka memperlakukan
anak berdasarkan penampakan fisiknya saja, mereka lebih memilih melayani
segala kebutuhan anak tanpa membiarkan anak berusaha menolong dirinya
sendiri, akibatnya anak menjadi tidak terbiasa melakukan segala sesuatu
dengan mandiri dan kemampuannya sama sekali tidak terlatih dengan baik.
Selain tidak memberikan perhatian dan membiasakan anak mandiri, orang tua
yang tidak responsif juga tidak mencurahkan kasih sayangnya pada anak,
seperti kurang meluangkan waktu untuk anak mengungkapkan perasaannya,
jarang menemani anak melakukan kegiatan yang disukainya sehingga hal ini
menimbulkan kedekatan yang kurang antara orang tua dan anak. Selain itu
orang tua yang tidak responsif tidak mampu menerima kondisi anak Mereka
jarang mengikutsertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial, jarang
memberikan pujian pada anak ketika anak telah berhasil melakukan sesuatu
hal yang positif. Hal ini akan semakin mempertajam rasa rendah diri pada
anak tersebut.
Sebaliknya untuk orang tua yang responsif, mereka memberikan
perhatian, kasih sayang dan menerima kondisi anak dengan segala
keterbatasannya. Mereka mencari tahu tentang berbagai hal mengenai CP dari
berbagai sumber dan tidak menyerahkan proses pemulihan kondisi anak
86
sepenuhnya pada sekolah. Selain itu orang tua yang responsif juga menemani
anak dalam melakukan kegiatan yang disukainya, mengikutsertakan anak
dalam berbagai kegiatan sosial karena mereka yakin anaknya mampu
menyesuaikan diri dengan anak-anak normal lainnya walaupun kondisinya
berbeda. Dengan memberikan perhatian, kasih sayang dan penerimaan, orang
tua telah memberikan rasa aman dan nyaman pada anak, dimana hal ini dapat
menjadi modal bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungannya dengan bebas
tanpa takut merasa terancam dan tersakiti. Karena mereka yakin bahwa orang
tuanya “ada” ketika mereka butuhkan. Selain itu orang tua yang responsif juga
memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan segala aktivitas
kehidupannya dengan mandiri, seperti kegiatan makan dan minum, mereka
tidak membiarkan anak terbiasa disuapi karena mereka tidak mau seumur
hidupnya anak tersebut bergantung pada orang-orang yang ada di
sekelilingnya.
Dari hasil penelitian juga tampak bahwa pada tiap aspek responsivitas
orang tua memberikan kontribusi yang berbeda-beda pada kemampuan ADL
(Activity Daily Living) makan dan minum. Untuk aspek dukungan mandiri
didapatkan nilai rs = 0,523 yang menunjukkan adanya hubungan positif yang
signifikan antara variabel responsivitas orang tua dalam memberikan
dukungan untuk mandiri dengan kemampuan ADL makan dan minum anak
CP tipe diplegia. Dengan demikian hipotesis penelitian yang diajukan dapat
diterima yaitu semakin tidak responsif orang tua dalam memberikan
87
dukungan mandiri maka semakin buruk kemampuan ADL makan dan minum
anak cerebral palsy tipe diplegia. Menurut klasifikasi hubungan yang
dikemukakan Guilford, bahwa nilai koefisien korelasi (rs) yang didapat dalam
penelitian ini termasuk dalam hubungan dengan derajat sedang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa responsivitas orang tua dalam memberikan dukungan
untuk mandiri memiliki hubungan yang signifikan dalam terbentuknya
kemampuan ADL makan dan minum anak CP tipe diplegia. Aspek dukungan
mandiri memberikan kontribusi sebesar 27,35% terhadap kemampuan ADL
makan dan minum anak CP tipe diplegia. Hal ini menunjukkan masih ada
faktor lain selain responsivitas orang tua dalam memberikan dukungan untuk
mandiri pada anak CP yang berperan pada kemampuan ADL makan dan
minum yaitu sebesar 72,65%.
Selain aspek dukungan mandiri, aspek lain yang juga berperan adalah
aspek dukungan sosial. Berdasarkan pengolahan data uji statistik korelasi
antara dukungan sosial orang tua dengan kemampuan ADL (Activity Daily
Living) makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia di SLB D-D1
Mustang Bandung, didapatkan nilai rs = 0,490 yang menunjukkan adanya
hubungan positif yang signifikan antara variabel responsivitas orang tua
dalam memberikan dukungan sosial dengan kemampuan ADL makan dan
minum anak CP diplegia. Dengan demikian hipotesis penelitian yang diajukan
dapat diterima yaitu semakin tidak responsif orang tua dalam memberikan
dukungan sosial maka semakin buruk kemampuan ADL makan dan minum
88
anak cerebral palsy tipe diplegia. Sebaliknya semakin responsif orang tua
dalam memberikan dukungan sosial maka semakin baik kemampuan ADL
makan dan minum anak CP tipe diplegia. Menurut klasifikasi hubungan yang
dikemukakan Guilford, bahwa nilai koefisien korelasi (rs) yang didapat dalam
penelitian ini termasuk dalam hubungan dengan derajat sedang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa responsivitas orang tua dalam memberikan dukungan
sosial memiliki hubungan yang signifikan dalam terbentuknya kemampuan
ADL makan dan minum anak CP tipe diplegia. Aspek dukungan sosial
memberikan kontribusi sebesar 24,01% terhadap kemampuan ADL makan
dan minum. Hal ini menunjukkan masih ada faktor lain selain responsivitas
orang tua dalam memberikan dukungan sosial pada anak CP yang berperan
pada kemampuan ADL makan dan minum yaitu sebesar 75,99%.
Orang tua yang tidak responsif tidak memberikan dukungan mandiri
pada anaknya, mereka tidak memberikan kesempatan pada anak untuk
berusaha melakukan aktivitas kehidupannya dengan mandiri sesuai dengan
kemampuan yang anak miliki, mereka lebih memilih untuk membantu dan
melayani segala keperluan anak karena mereka beranggapan bahwa anaknya
tidak mampu melakukan hal tersebut. Untuk kegiatan makan dan minum,
orang tua lebih memilih untuk menyiapkan piring dan gelas di meja makan
untuk anak tanpa membiarkan anak berusaha mengambilnya sendiri ketempat
piring selain itu orang tua masih menyuapi anak dengan alasan anaknya tidak
mampu malah akan membuat berantakan sehingga waktu makan menjadi
89
lama. Hal ini dibuktikan dari data kuesioner 25 orang responden, yang masih
menyediakan piring makan untuk anaknya yaitu Selalu 36% dan Sering 12%,
orang tua yang Selalu menuangkan makanan ke piring anaknya 36% dan 28%
menjawab Sering, dan untuk orang tua yang masih Selalu menyuapi anaknya
ketika makan sebanyak 32%. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak
orang tua yang masih kurang memberikan kesempatan kepada anaknya untuk
mencoba melakukan aktivitas kehidupannya sendiri. Dengan tidak
memberikan kesempatan pada anak untuk mencoba melakukan aktivitas
kehidupannya dengan mandiri maka anak menjadi tidak terbiasa
melakukannya sendiri, tidak terbiasa mengatasi kesulitan yang mereka hadapi
sehingga otot-otot nya menjadi kaku dan semakin sulit melakukan aktivitas
yang lainnya. Mereka menjadi semakin tergantung dengan orang tua dan
orang lain yang ada disekitarnya. Latihan kemampuan fisik pada anak CP usia
ini sangat penting, karena menurut Miller & Bachrach (1995:179) pada usia
ini anak CP sedang ada pada tahap perkembangan mampu mengembangkan
kemampuan fisiknya secara maksimal. Maka sangat disayangkan jika
kemampuan anak pada usia ini tidak dilatih semaksimal mungkin.
Orang tua yang tidak responsif pada anaknya kurang memberikan
dukungan sosial. Dukungan sosial ini yaitu memberikan perhatian,
mencurahkan kasih sayang dan menerima keberadaan anak dengan kondisi
kecacatannya. Orang tua yang tidak responsif kurang memberikan perhatian
pada anaknya, bentuk perhatian ini yaitu kurang mencari informasi tentang
90
anaknya yang mengalami kelainan cerebral palsy, kurang mencari informasi
tentang bagaimana cara menghadapi anaknya, kurang mencari informasi
tentang cara menerapkan latihan praktis di rumah sehingga mereka
memperlakukan anaknya sesuai dengan keadaan fisiknya yang cacat, mereka
beranggapan bahwa informasi tentang seluk beluk cerebral palsy cukup
mereka dapatkan dari sekolah saja sedangkan mereka hanya menghubungi
pihak sekolah hanya pada setiap akhir semester yaitu pada saat pembagian
raport, hal ini terbukti dari data kuesioner bahwa sebanyak 40% orang tua
masih berpikir bahwa informasi mengenai cerebral palsy cukup mereka
dapatkan dari guru terapi di sekolah saja, selain itu orang tua yang kurang
perhatian juga kurang membimbing anak ketika di rumah, kurang
memberikan suasana yang nyaman ketika anak berada di rumah dan kurang
mengecek dan mengawasi tugas/tanggung jawab anak ketika berada di rumah.
Hal ini dibuktikan dari data kuesioner bahwa 80% orang tua masih
membiarkan anak belajar sendiri dari lingkungan tentang bagaimana
melakukan kegiatan sehari-harinya, tanpa mereka bimbing di rumah, selain itu
40% orang tua masih membiarkan anaknya bergerak di rumah tanpa mengatur
posisi barang yang ada, hal ini akan menyulitkan anak untuk belajar bergerak
sehingga anak akan malas untuk melatih kemampuannya.
Selain perhatian, dukungan sosial yang lain yaitu kasih sayang dan
penerimaan. Orang tua yang tidak responsif kurang mencurahkan kasih
sayang pada anaknya, hal ini disebabkan karena kesibukan mereka. Karena
91
kesibukannya orang tua jarang meluangkan waktu bersama anaknya untuk
melakukan suatu aktivitas bersama, kurang meluangkan waktu untuk anak
mencurahkan segala perasaannya. Sehingga anak lebih sering mencurahkan
perasaannya pada orang lain, seperti kepada nenek atau teman-temannya. Hal
ini dibuktikan dari data kuesioner bahwa sebanyak 32% orang tua yang
membiarkan anak mencurahkan perasaannya pada orang lain dan tidak pada
orang tuanya sendiri. Selain itu juga orang tua yang kurang responsif kurang
menerima keberadaan anaknya yang cacat, sehingga mereka tidak pernah
mengikutsertakan anak dengan kegiatan di lingkungan sosialnya. Kegiatan di
lingkungan sosial misalnya arisan, piknik bersama dsb. Mereka hanya
mengikutsertakan anak untuk kegiatan pokoknya saja di sekolah yaitu belajar,
hal ini dibuktikan dari data kuesioner bahwa 70% orang tua hanya
mengikutsertakan anak dengan kegiatan pokoknya saja di sekolah yaitu
belajar. Alasan orang tua tidak mengikutsertakan anak dalam berbagai
kegiatan yang lain di luar belajar yaitu karena dianggap merepotkan, selain itu
alasan orang tua tidak mengikutsertakan anak dengan kegiatan di lingkungan
tempat tinggalnya karena mereka khawatir anaknya tidak mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena keadaan mereka yang tidak
sama dengan keadaan lingkungannya yang normal. Hal ini akan membuat
anak semakin terkucilkan, tidak berkembang dan menjadi tidak percaya diri.
Mereka semakin merasa keadaan lingkungan sekitar berbeda dengan keadaan
dirinya, mereka semakin memiliki rasa rendah diri yang kuat oleh karenanya
92
mereka akan semakin menarik diri dari lingkungannya. Hal ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Viola E. Cardwell dalam Salim (1982: 90-93)
bahwa salah satu karakteristik psikis anak CP adalah memiliki rasa rendah diri
yang kuat dan pada umumnya anak CP memiliki hambatan dalam hubungan
interpersonal.
Sebaliknya, orang tua yang responsif yaitu orang tua yang mampu
memenuhi kebutuhan anaknya sesuai dengan kebutuhan anak pada masa
perkembangannya. Pada penelitian ini resposivitas orang tua yaitu terhadap
anaknya yang mengalami kelainan cerebral palsy (CP) usia 8-11 tahun. Pada
usia ini anak CP memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuan
fisiknya secara maksimal. Oleh karena itu responsivitas orang tua yang
diharapkan yaitu dapat memberikan bimbingan dan latihan di rumah untuk
anaknya agar mampu melatih kemampuannya dengan optimal. Orang tua
yang responsif mampu memberikan kesempatan pada anaknya untuk mencoba
melakukan aktivitas kehidupannya dengan mandiri sesuai dengan
kemampuannya. Untuk aktivitas makan dan minum, mereka memberikan
kesempatan pada anak untuk menyiapkan peralatan makan dan minumnya
sendiri, membiarkan anak mencuci tanganya sendiri dan tidak menyuapi
anaknya ketika makan. Mereka memberikan kesempatan pada anak untuk
mencoba sampai sejauhmana kemampuannya sehingga hal ini akan membuat
anak mengetahui dan mengerti akan kemampuan dirinya. Selain itu anak akan
93
terbiasa melatih kemampuan otot-ototnya sehingga ototnya tidak menjadi
kaku.
Orang tua yang responsif juga memberikan dukungan sosial pada
anaknya, mereka memberikan perhatian, mencurahkan kasih sayang dan
menerima keberadaan anaknya. Kasih sayang yang diberikan orang tua yaitu
dengan meluangkan waktu untuk anak mencurahkan segala perasaannya,
bertanya mengenai hal-hal yang disukai anak, menemani anak dalam
melakukan kegiatan yang disukainya. Perhatian orang tua yaitu dengan
mencari tahu tentang segala sesuatu mengenai anak CP misalnya apa yang
dimaksud dengan cerebral palsy, bagaimana cara penyembuhan atau terapi
yang harus diberikan, cara membimbing anak di rumah, memilihkan suasana
yang nyaman bagi anak di rumah dan juga mengecek dan mengawasi
tugas/tanggung jawab anak di rumah, sehingga hal ini akan mempercepat dan
mempermudah proses pemulihan kondisi anak. Selain kasih sayang dan
perhatian bentuk dukungan sosial yang lain yaitu berupa penerimaan orang
tua pada anaknya yang mengalami kelainan cerebral palsy. Penerimaan ini
yaitu dengan mengikutsertakan anak dengan berbagai kegiatan di lingkungan
sosialnya, baik di lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal maupun di
sekolah serta dengan memberikan pujian apabila anak melakukan sesuatu
yang positif. Hal ini penting karena anak cerebral palsy yang secara umum
memiliki karakteristik mempunyai rasa rendah diri yang kuat, dengan adanya
94
dukungan ini diharapkan sedikit demi sedikit dapat menumbuhkan rasa
percaya diri atas kemampuan yang ada pada dalam dirinya.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.2, di SLB D-D1 Mustang
Bandung orang tua yang dinilai responsif dan kemampuan ADL makan dan
minum anaknya baik yaitu sebanyak 24%. Sedangkan untuk orang tua yang
resposivitasnya buruk dan kemampuan ADL makan dan minum anaknya
buruk sebesar 48%. Hal ini semakin membuktikan bahwa peran serta orang
tua dalam pemulihan kondisi anaknya memainkan peran yang sangat penting.
Walaupun demikian, berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisa dengan
perhitungan statistik, terdapat juga orang tua yang resposivitasnya baik dan
hasil kemampuan ADL makan dan minum anaknya buruk yaitu sebanyak
24%. Dari data hasil angket didapat bahwa responsivitas orang tua dari anak-
anak tersebut tidak seimbang antara dukungan sosial dengan dukungan
mandirinya, beberapa orang tua memang mencari informasi tentang cerebral
palsy, mengecek dan mengawasi kegiatan anak di rumah namun dilain pihak
mereka tidak memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan
aktivitas kehidupannya dengan mandiri, misalnya untuk kegiatan makan,
orang tua masih menyuapi anaknya dan menyiapkan beberapa peralatan
makan dan minumnya. Selain faktor kurangnya keseimbangan antara
dukungan sosial dan dukungan mandiri, motivasi anak dalam mengikuti terapi
okupasi ADL juga menentukan keberhasilan terapi tersebut. Berdasarkan teori
perkembangan motorik dari Hurlock, salah satu faktor yang mempengaruhi
95
anak dalam menguasai keterampilan motorik adalah motivasi selain faktor
bimbingan, kesempatan berpraktek dan sebagainya. Faktor motivasi anak
mempengaruhi cepat atau lambatnya anak dalam menguasai keterampilan
motorik. Untuk anak CP, mempelajari keterampilan ADL (Activity daily
Living) membutuhkan motivasi dan semangat, karena menurut terapis pada
mulanya setiap anak CP yang melatih kemampuan geraknya akan terasa sulit
dan sakit karena otot-ototnya yang mengalami kekakuan, namun lama
kelamaan rasa sakit ini akan hilang dan anak akan terbiasa menggerakkan
otot-ototnya.
Berdasarkan data hasil perhitungan statistik, selain terdapat orang tua
yang responsivitas orang tuanya baik dan kemampuan ADL anaknya buruk
terdapat juga anak yang kemampuan ADL nya baik namun responsivitas
orang tuanya buruk sebanyak 1 (4%) orang, menurut terapis hal ini
disebabkan juga karena anak tersebut memiliki motivasi dalam melatih
kemampuan ADL nya baik di rumah maupun di sekolah. Hal ini terlihat dari
jarangnya anak tersebut bolos sekolah, tidak cepat bosan melatih kemampuan
fisiknya di kelas terapi okupasi.
96
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan serta
pengujian hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan metode statistik,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif
antara Responsivitas Orang Tua dengan Kemampuan ADL (Activity Daily
Living) makan dan minum pada anak Cerebral Palsy tipe diplegia usia 8-
11 tahun di SLB D-D1 Mustang Bandung. Artinya perilaku orang tua
yang tidak responsif pada anaknya yang mengalami cerebral palsy
diplegia mempunyai hubungan yang signifikan dengan menurunnya
kemampuan ADL makan dan minum anak CP tersebut. Semakin tidak
responsif perlakuan orang tua maka semakin buruk kemampuan ADL
makan dan minum anaknya. Begitupun sebaliknya, semakin responsif
orang tua maka semakin baik kemampuan ADL makan dan minum
anaknya.
Dari 2 aspek dukungan dalam responsivitas orang tua, keduanya
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemampuan ADL makan
dan minum anak CP. Namun aspek dukungan mandiri merupakan aspek
yang mempunyai hubungan paling signifikan dengan kemampuan ADL
makan dan minum anak cerebral palsy tipe diplegia. Aspek dukungan
97
sosial walaupun memiliki nilai korelasi yang lebih rendah dibandingkan
aspek dukungan mandiri, akan tetapi memiliki korelasi yang signifikan
dengan kemampuan ADL makan dan minum anak CP diplegia. Artinya
bahwa dibandingkan dukungan mandiri, dukungan sosial ini memiliki
kontribusi yang lebih kecil dengan kemampuan ADL makan dan minum.
Data penelitian juga menunjukkan ada beberapa anak yang orang
tuanya responsif namun kemampuan ADL makan dan minum anaknya
buruk, hal ini disebabkan oleh faktor tidak seimbangnya responsivitas
orang tua dalam memberikan dukungan sosial dan dukungan untuk
mandiri. Selain itu, berdasarkan hasil data yang diperoleh terdapat juga
anak yang orang tuanya tidak responsif namun kemampuan ADL makan
dan minumnya baik, menurut terapis hal ini disebabkan faktor motivasi
dan semangat anak itu sendiri dalam melatih kemampuannya.
5.2 SARAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, ada
beberapa hal yang sekiranya perlu diperhatikan oleh para orang tua dan
guru-guru di sekolah dalam menghadapi anak cerebral palsy, yaitu:
1. Untuk orang tua diharapkan dapat menerapkan perilaku responsif pada
anaknya yang mengalami cacat cerebral palsy khususnya dalam
mengembangkan dan melatih kemampuan ADL (Activity Daily
Living) dirumah, responsivitas orang tua yang utama yaitu
98
memberikan dukungan untuk mandiri pada anaknya dengan cara
membiarkan anak berusaha untuk melakukan aktivitas kehidupan
sehari-harinya dengan mandiri. Selain itu orang tua juga diharapkan
memberikan dukungan berupa perhatian, misalnya dengan bertanya
langsung pada terapis tentang perkembangan anaknya secara kontinyu,
mencari sumber dari luar misalnya mencari tahu melalui buku-buku
tentang apa & bagaimana cara menangani anak CP sehingga orang tua
dapat lebih mengetahui karakter fisik maupun psikis anaknya yang
mengalami CP sekaligus bagaimana cara penerapan latihan praktis di
rumah, selain itu orang tua diharapkan dapat lebih mencurahkan kasih
sayang dan menerima keadaan anak dengan menjadikannya bagian
dalam lingkungan sosialnya. Perilaku orang tua yang resposif tersebut
harus seimbang, artinya pemberian dukungan mandiri dan dukungan
sosial dilakukan secara bersamaan untuk menunjang keberhasilan
pemulihan kondisi anak.
2. Untuk pihak sekolah adalah sebaiknya forum konsultasi bulanan yang
dahulu pernah diadakan sebaiknya kembali diaktifkan, hal ini akan
memperlancar komunikasi antara orang tua dan guru dalam
membicarakan tentang perkembangan anak cerebral palsy. Program
konsultasi bulanan tersebut sebaiknya dilakukan secara individual
karena dengan cara ini maka orang tua dapat secara bebas
99
berkonsultasi pada ahli yang didatangkan oleh pihak sekolah. Selain
itu akan lebih baik lagi apabila pihak sekolah mengadakan suatu
program konsultasi khusus yang bersifat formal bagi orang tua yang
sewaktu-waktu ingin berkonsultasi mengenai perkembangan anaknya.
Program ini tidak hanya dilaksanakan sebulan sekali namun 2 kali
seminggu, sehingga orang tua mempunyai waktu khusus apabila
membutuhkan informasi mengenai anaknya. Pada kesempatan ini juga
pihak sekolah bisa memberi informasi pada orang tua tentang
bagaimana berperilaku responsif pada anaknya yang mengalami
cerebral palsy.
100
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin Drs, MA. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Imawanto Andreas, 1996. Hubungan Antara Responsivitas Orang Tua dengan
Kreativitas Anak Usia 11-12 tahun di SDK BPPK, Bandung : Universitas
Kristen Maranatha.
Arikunto, Suharsimi Prof, Dr. 1998. Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka
Cipta.
Crain, William. 1985. Theories of Development. Third Edition. New Jersey :
Prentice Hall.
Depdikbud. 1985/1986. Pedoman Guru Terapi Okupasional Untuk Anak
Tunadaksa, Jakarta.
Hurlock, Elizabeth. 1993. Perkembangan Anak Jidil 1 dan 2 edisi keenam,
Jakarta: Erlangga.
Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik. Cetakan ke-7. Jakarta : Gramedia.
Miller, Freeman M.D & Bachrach, Steven J, M.D. 1995. Cerebral Palsy A
Complete Guide for Caregiving. London : The Join Hopkins Press. Ltd.
M.Kes, Salim Drs. A. 1996. Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Depdikbud.
Magdalena, Santi. 2002. Hubungan Antara Dukungan Sosial Orang Tua dengan
Kemampuan Berbicara pada Anak Autis Usia 2-4 tahun di Lembaga
Prananda, Bandung, Skripsi : Universitas Islam Bandung.
Lampiran - 1
Uji Validitas Alat Ukur Responsivitas Orang Tua (N = 25 dan � = 0,05 didapat rstab = 0,329)
No No NoItem
rshit Keterangan Item
rshit KeteranganItem
rshit Keterangan
1 0,040 Ditolak 28 0,428 Diterima 55 0,649 Diterima 2 0,569 Diterima 29 0,526 Diterima 56 0,226 Ditolak3 0,687 Diterima 30 0,782 Diterima 57 0,240 Ditolak4 0,529 Diterima 31 0,259 Ditolak 58 0,518 Diterima 5 0,289 Ditolak 32 0,465 Diterima 59 0,449 Diterima 6 0,520 Diterima 33 0,602 Diterima 60 0,364 Diterima 7 0,382 Diterima 34 0,428 Diterima 61 0,518 Diterima 8 0,462 Diterima 35 0,644 Diterima 62 -0,096 Ditolak9 0,714 Diterima 36 0,214 Ditolak 63 0,436 Diterima 10 0,702 Diterima 37 0,644 Diterima 64 0,822 Diterima 11 0,831 Diterima 38 0,762 Diterima 65 0,758 Diterima 12 0,731 Diterima 39 0,219 Ditolak 66 0,461 Diterima 13 0,439 Diterima 40 0,783 Diterima 67 0,676 Diterima 14 0,671 Diterima 41 0,514 Diterima 68 0,727 Diterima 15 0,171 Ditolak 42 0,603 Diterima 69 0,750 Diterima 16 0,345 Diterima 43 -0,084 Ditolak 70 0,537 Diterima 17 0,482 Diterima 44 0,764 Diterima 71 0,599 Diterima 18 0,075 Ditolak 45 0,429 Diterima 72 0,808 Diterima 19 0,665 Diterima 46 0,813 Diterima 73 0,663 Diterima 20 0,543 Diterima 47 0,831 Diterima 74 0,638 Diterima 21 0,489 Diterima 48 0,027 Ditolak 75 0,758 Diterima 22 0,690 Diterima 49 0,459 Diterima 76 0,020 Ditolak23 0,411 Diterima 50 0,183 Ditolak 77 0,707 Diterima 24 0,379 Diterima 51 0,510 Diterima 78 0,558 Diterima 25 0,613 Diterima 52 0,228 Ditolak 79 0,766 Diterima 26 0,173 Ditolak 53 0,659 Diterima 80 0,179 Ditolak27 0,702 Diterima 54 0,666 Diterima 81 0,770 Diterima
Lampiran - 2
Uji Reliabilitas Split Half Rank Spearman Alat Ukur Responsivitas Orang Tua
No Item Ganjil Item Genap No Item Ganjil Item Genap Subjek (X) (Y) Subjek (X) (Y)
1 81 76 14 49 482 87 89 15 77 733 61 56 16 86 884 101 107 17 54 595 77 80 18 80 716 116 110 19 63 727 106 98 20 101 1018 104 108 21 107 1049 49 44 22 67 6110 76 79 23 72 7211 89 81 24 86 7312 109 111 25 110 10313 100 92
rstt 2 (rstt) 1 + rstt rstot
0,946 1,892 1,946 0,972
Lampiran - 3
Uji Validitas Alat Ukur Activity Daily Living Makan dan Minum (N = 25 dan � = 0,05 didapat rstab = 0,329)
NoItem
rshit Keterangan
1 -0,299 Ditolak2 0,767 Diterima 3 0,487 Diterima 4 0,345 Diterima 5 0,665 Diterima 6 0,691 Diterima 7 0,772 Diterima 8 0,643 Diterima 9 0,782 Diterima
10 0,544 Diterima 11 0,427 Diterima 12 0,425 Diterima 13 0,511 Diterima 14 0,819 Diterima 15 0,678 Diterima 16 0,528 Diterima 17 0,447 Diterima
Lampiran - 4
Uji Reliabilitas Split Half Rank Spearman Alat Ukur Activity Daily Living Makan dan Minum
No Item Ganjil Item Genap No Item Ganjil Item Genap Subjek (X) (Y) Subjek (X) (Y)
1 46 46 14 45 432 45 46 15 48 463 46 47 16 51 494 45 43 17 40 425 46 45 18 46 466 47 46 19 48 487 49 48 20 51 518 48 48 21 51 519 45 45 22 48 4810 44 44 23 43 4411 45 44 24 50 5012 51 51 25 52 5113 47 46
rstt 2 (rstt) 1 + rstt rstot
0,940 1,880 1,940 0,969
Lampiran - 5
Tabel P. Tabel Tabel Harga-harga Kritis rsKoefisien Korelasi Ranking Spearman
Tingkat signifikansi (tes satu sisi) N.05 .01
4 1.0005 .900 1.0006 .829 .9437 .714 .8938 .643 .8339 .600 .78310 .564 .74612 .506 .71214 .456 .64516 .425 .60118 .399 .56420 .377 .53422 .359 .50824 .343 .48526 .329 .46528 .317 .44830 .306 .432
Sumber : Hoel, P.G. Elementary Statistics, John Wiley & Son, Inc., New York, 1960
Lampiran - 6
Data Mentah Responsivitas Orang Tua (X) serta Aspek-aspeknya (X.1 – X.2) dan Kemampuan Activity Daily Living Makan dan Minum (Y)
NoSubjek
X X.1 X.2 Y
1 157 135 22 922 176 147 29 913 117 104 13 934 208 185 23 885 157 135 22 916 226 197 29 937 204 179 25 978 212 190 22 969 93 81 12 90
10 155 133 22 8811 170 145 25 8912 220 186 34 10213 192 166 26 9314 97 82 15 8815 150 132 18 9416 174 144 30 10017 113 96 17 8218 151 131 20 9219 135 117 18 9620 202 177 25 10221 211 181 30 10222 128 105 23 9623 144 122 22 8724 159 137 22 10025 213 184 29 103
Lampiran - 7
Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas Orang Tua (X) dengan Kemampuan Activity Daily Living Makan dan Minum(Y)
NoSubjek
X Y
1 157 922 176 913 117 934 208 885 157 916 226 937 204 978 212 969 93 90
10 155 8811 170 8912 220 10213 192 9314 97 8815 150 9416 174 10017 113 8218 151 9219 135 9620 202 10221 211 10222 128 9623 144 8724 159 10025 213 103
Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antara Responsivitas dengan Kemampuan Activity Daily Living Makan dan Minum
Correlations
1,000 ,539**, ,003
25 25,539** 1,000,003 ,
25 25
Correlation CoefficientSig. (1-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (1-tailed)N
Responsivitas
Activity Daily Living
Spearman's rho
Responsivitas
ActivityDaily Living
Correlation is significant at the .01 level (1-tailed).**.
rs thit ttab d0,539 3,069 1,714 29,05
Lampiran - 8
Lampiran - 9
Uji Korelasi Rank Spearman antara Aspek Dukungan Sosial (X.1) Dengan Kemampuan Activity Daily Living Makan dan Minum (Y)
NoSubjek
X.1 Y
1 135 922 147 913 104 934 185 885 135 916 197 937 179 978 190 969 81 90
10 133 8811 145 8912 186 10213 166 9314 82 8815 132 9416 144 10017 96 8218 131 9219 117 9620 177 10221 181 10222 105 9623 122 8724 137 10025 184 103
Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antara Aspek Dukungan Sosial dengan Kemampuan Activity Daily Living Makan dan Minum
Correlations
1,000 ,490**, ,006
25 25,490** 1,000,006 ,
25 25
Correlation CoefficientSig. (1-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (1-tailed)N
Aspek Dukungan Sosial
Activity Daily Living
Spearman's rho
AspekDukungan
SosialActivity
Daily Living
Correlation is significant at the .01 level (1-tailed).**.
rs thit ttab d0,490 2,696 1,714 24,01
Lampiran - 10
Lampiran - 11
Uji Korelasi Rank Spearman antara Aspek Dukungan Mandiri (X.2) dengan Kemampuan Activity Daily Living Makan dan Minum (Y)
NoSubjek
X.2 Y
1 22 922 29 913 13 934 23 885 22 916 29 937 25 978 22 969 12 90
10 22 8811 25 8912 34 10213 26 9314 15 8815 18 9416 30 10017 17 8218 20 9219 18 9620 25 10221 30 10222 23 9623 22 8724 22 10025 29 103
Hasil Uji Korelasi Rank Spearman antara Aspek Dukungan Mandiri dengan Kemampuan Activity Daily Living Makan dan Minum
Correlations
1,000 ,523**, ,004
25 25,523** 1,000,004 ,
25 25
Correlation CoefficientSig. (1-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (1-tailed)N
Aspek Dukungan Mandiri
Activity Daily Living
Spearman's rho
AspekDukungan
MandiriActivity
Daily Living
Correlation is significant at the .01 level (1-tailed).**.
rs thit ttab d0,523 2,943 1,714 27,35
Lampiran - 12
Lampiran - 13
Tabel B. Tabel Harga-harga Kritis t*)
Tingkat signifikansi untuk tes satu-sisi
0.10 0.05 0.03 0.01 0.05 0.0005
Tingkat signifikansi untuk tes dua-sisi df
0.20 0.10 0.05 0.02 0.01 0.001
1 3.078 6.314 12.706 31.821 63.657 636.6192 1.886 2.920 4.303 6.965 9.925 31.5983 1.638 2.353 3.182 4.541 5.841 12.9414 1.533 2.132 2.776 3.747 4.604 8.6105 1.476 2.015 2.571 3.365 4.032 6.859
6 1.440 1.943 2.447 3.143 3.707 5.9597 1.415 1.895 2.365 2.998 3.499 5.4058 1.397 1.860 2.306 2.896 3.355 5.0419 1.383 1.833 2.262 2.821 3.250 4.781
10 1.372 1.812 2.228 2.764 3.169 4.587
11 1.363 1.796 2.201 2.718 3.106 4.43712 1.356 1.782 2.179 2.681 3.055 4.31813 1.350 1.771 2.160 2.650 3.012 4.22114 1.345 1.761 2.145 2.624 2.977 4.14015 1.341 1.753 2.131 2.602 2.947 4.073
16 1.337 1.746 2.120 2.583 2.921 4.01517 1.333 1.740 2.110 2.567 2.898 3.96518 1.330 1.734 2.101 2.552 2.878 3.92219 1.328 1.729 2.093 2.539 2.861 3.88320 1.325 1.725 2.086 2.528 2.845 3.850
21 1.323 1.721 2.080 2.518 2.831 3.81922 1.321 1.717 2.074 2.508 2.819 3.79223 1.319 1.714 2.069 2.500 2.807 3.76724 1.318 1.711 2.064 2.492 2.797 3.74525 1.316 1.708 2.060 2.485 2.787 3.725
26 1.315 1.706 2.056 2.479 2.779 3.70727 1.314 1.703 2.052 2.473 2.771 3.69028 1.313 1.701 2.048 2.467 2.763 3.67429 1.311 1.669 2.045 2.462 2.756 3.65930 1.310 1.697 2.042 2.457 2.750 3.646
40 1.303 1.684 2.031 2.423 2.704 3.55160 1.226 1.671 2.000 2.390 2.660 3.460
120 1.289 1.658 1.980 2.358 2.617 3.373 1.282 1.645 1.960 2.326 2.576 3.291
*) Tabel B diringkaskan dari tabel III dalam Fisher dan Yates : Statistical tables for biological, agricultural, and medical research, diterbitklan oleh Oliver and Boyd Ltd. Edinburgh.
Lampiran - 14
Data berdasarkan Perhitungan Median
Responsif Tdk resposif NilaiVariabelF % F % Median
Responsivitas (X) 12 48,00 13 52,00 160
Responsif Tdk responsif NilaiVariabelF % F % Median
Aspek Dukungan Sosial (X.1) 12 48,00 13 52,00 137,5
Responsif Tdk responsif NilaiVariabelF % F % Median
Aspek Dukungan Mandiri (X.2) 12 48,00 13 52,00 22,5
Baik Buruk NilaiVariabelF % F % Median
Activity Daily Living (Y) 7 28,00 18 72,00 96
Lampiran - 15
Diagram Silang Tabulasi Median
Responsivitas (X) Responsif Tdk responsif
TotalActivity Daily Living (Y)
F % F % F %Baik 6 24 1 4 7 28
Buruk 6 24 12 48 18 72Total 12 48 13 52 25 100
Lampiran - 16
RAHASIA
KETERANGAN PRIBADI
Nama Anak :
Jenis Kelamin :
Usia Ayah :
Pendidikan terakhir ayah :
Pekerjaan Ayah :
Usia Ibu :
Pendidikan terakhir ibu :
Pekerjaan Ibu :
PETUNJUK PENGISIAN
Pada halaman berikut Bapak/Ibu akan menemukan pernyataan-pernyataan tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku sikap Bapak/Ibu pada anak Bapak/Ibu yang
mengalami cerebral palsy. Tunjukkan seberapa sering Bapak/Ibu melakukan hal-hal yang
ada dalam kolom pernyataan.
Di bagian atas terdapat pernyataan, lalu di bagian bawah di sediakan 4 alternatif
jawaban, yaitu:
SL : Selalu Bapak/Ibu lakukan
SR : Sering Bapak/Ibu lakukan
J : Jarang Bapak/Ibu lakukan
TP : Tidak Pernah Bapak/Ibu lakukan
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan tanda silang (X) pada salah satu jawaban
dari 4 alternatif yang disediakan. Diharapkan tidak ada satu pernyataan pun yang
dikosongkan.
Lampiran - 17
Alat Ukur Responsivitas Orang Tua
1. Saya mengajak anak dalam mengikuti kegiatan di luar rumah, misalnya arisan
(SL) (SR) (J) (TP)
2. Pada saat makan bersama, anak saya ikut kumpul bersama di meja makan dengan
anggota keluarga yang lain
(SL) (SR) (J) (TP)
3. Saya mengikutsertakan anak dengan kegiatan ekstrakurikuler, misalnya pramuka
(SL) (SR) (J) (TP)
4. Ketika anak melakukan sesuatu hal positif walaupun hal itu sangat ringan saya
memujinya
(SL) (SR) (J) (TP)
5. Pada jam istirahat sekolah saya menanyakan kondisi perkembangan anak pada
guru terapi
(SL) (SR) (J) (TP)
6. Di luar sekolah, saya berkonsultasi pada seorang ahli tentang keadaan anak saya
(SL) (SR) (J) (TP)
7. Saya mencari tahu tentang apa itu terapi okupasi
(SL) (SR) (J) (TP)
8. Saya bisa menerapkan latihan praktis di rumah
(SL) (SR) (J) (TP)
9. Saya berusaha mencapai tujuan terapi okupasi
(SL) (SR) (J) (TP)
10. Ketika di rumah, saya mengajarkan pada anak bagaimana menggunakan roda
(SL) (SR) (J) (TP)
11. Saya memberikan contoh pada anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari
(contoh makan, dll) dimulai dari hal yang paling ringan
(SL) (SR) (J) (TP)
12. Ketika sedang menghadapi permasalahan dengan suami saya tidak menunjukkan
rasa marah saya pada anak-anak
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 18
13. Saya mengatur posisi barang-barang di rumah sedemikian rupa, agar anak saya
leluasa bergerak
(SL) (SR) (J) (TP)
14. Saya memilihkan jenis makanan tertentu yang memudahkan anak saya menelan
ketika makan
(SL) (SR) (J) (TP)
15. Karena keterbatasan kondisi anak, saya menyediakan peralatan makan yang
khusus untuk memudahkannya ketika makan sendiri
(SL) (SR) (J) (TP)
16. Saya membelikan mainan yang bermanfaat untuk mengasah kemampuan anak
saya
(SL) (SR) (J) (TP)
17. Apabila ada tugas rumah dari sekolah saya mengecek apakah tugas tersebut
dikerjakan atau tidak
(SL) (SR) (J) (TP)
18. Ketika anak pulang sekolah saya mendengarkan ceritanya tentang apa saja yang ia
lakukan di sekolah
(SL) (SR) (J) (TP)
19. Saya bertanya tentang makanan yang anak saya sukai
(SL) (SR) (J) (TP)
20. Saya mengantar anak ke sekolah
(SL) (SR) (J) (TP)
21. Saya memberikan kesempatan pada anak mengambil sendok sendiri ke tempat
sendok
(SL) (SR) (J) (TP)
22. Saya mengajarkan anak bagaimana duduk dengan wajar seperti anak normal
lainnya ketika makan di meja makan
(SL) (SR) (J) (TP)
23. Ketika akan makan dengan menggunakan tangan (tanpa sendok), saya
membiarkan anak berusaha mencuci tangannya sendiri ke tempat cuci tangan
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 19
24. Saya mengajarkan anak cara mengambil sayur dari mangkuk sayur
(SL) (SR) (J) (TP)
25. Ketika makan, saya membiarkan anak saya berusaha menyuapkan makanannya
sendiri
(SL) (SR) (J) (TP)
26. Ketika selesai makan, saya membiarkan anak berusaha menuangkan air
minumnya sendiri ke dalam gelas
(SL) (SR) (J) (TP)
27. Ketika minum, saya membiarkan anak berusaha mengangkat gelasnya sendiri ke
dalam mulut
(SL) (SR) (J) (TP)
28. Setelah selesai makan dengan menggunakan tangan (tanpa sendok), saya
membiarkan anak berusaha mencuci tangannya sendiri ke tempat cuci tangan
(SL) (SR) (J) (TP)
29. Saya membiarkan anak berusaha menyimpan piring kotor ke tempat cuci piring
(SL) (SR) (J) (TP)
30. Saya malu mengajak anak mengikuti kegiatan di luar rumah
(SL) (SR) (J) (TP)
31. Saat makan bersama, saya membiarkan anak untuk tidak kumpul bersama dengan
keluarga
(SL) (SR) (J) (TP)
32. Saya hanya mengikutsertakan anak dengan kegiatan pokoknya di sekolah yaitu
belajar
(SL) (SR) (J) (TP)
33. Saya tidak memberikan reaksi apapun juga ketika anak mencoba melakukan
sesuatu
(SL) (SR) (J) (TP)
34. Pada waktu luang selagi menunggu anak di sekolah saya menanyakan kondisi
kemajuan perkembangan anak pada guru terapi
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 20
35. Saya menyerahkan seluruh upaya pemulihan kondisi anak pada sekolah tanpa
berkonsultasi dengan ahli
(SL) (SR) (J) (TP)
36. Menurut saya, pengetahuan tentan terapi okupasi tidak penting karena anak sudah
diberikan terapi tersebut oleh guru-guru terapi di sekolah
(SL) (SR) (J) (TP)
37. Menurut saya, pemberian terapi praktis di rumah tidak perlu karena waktu yang
diberikan sekolah untuk terapi sudah cukup dalam melatih kemampuan anak
(SL) (SR) (J) (TP)
38. Menurut saya, yang paling bertanggung jawab dalam usaha mencapai tujuan
terapi adalah guru terapi di sekolah, karena tugasnya adalah melatih kemampuan
anak
(SL) (SR) (J) (TP)
39. Saya membebaskan cara duduk anak di kursi roda, yang penting kursi roda
tersebut dapat berjalan
(SL) (SR) (J) (TP)
40. Saya membiarkan anak belajar sendiri dari lingkungannya tentang bagaimana
melakukan kegiatan sehari-hari (contoh: makan,dll)
(SL) (SR) (J) (TP)
41. Ketika sedang menghadapi masalah, saya secara tidak sengaja marah pada anak
(SL) (SR) (J) (TP)
42. Saya membiarkan anak bergerak di rumah tanpa mengatur posisi barang-barang
yang ada
(SL) (SR) (J) (TP)
43. Anak saya makan makanan apa saja yang saya sediakan
(SL) (SR) (J) (TP)
44. Saya menyuapi anak ketika makan
(SL) (SR) (J) (TP)
45. Saya membelikan mainan yang disukai anak saya
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 21
46. Apabila ada tugas dari sekolah saya membiarkan anak mengerjakannya tanpa
campur tangan saya untuk mengawasinya
(SL) (SR) (J) (TP)
47. Kesibukan saya mengakibatkan waktu bertemu dengan anak sangat terbatas
(SL) (SR) (J) (TP)
48. Menurut saya, anak saya tidak boleh memilih milih makanan apa yang ia sukai
atau tidak karena ia harus menyukai jenis makanan apapun
(SL) (SR) (J) (TP)
49. Saya membiarkan anak diantar pembantu/pengasuhnya ke sekolah
(SL) (SR) (J) (TP)
50. Saya menyimpan sendok dekat piring di atas meja
(SL) (SR) (J) (TP)
51. Ketika makan saya membiarkan anak apabila tidak mau duduk dengan tegak di
kursi meja makan
(SL) (SR) (J) (TP)
52. Saya menyediakan mangkuk berisi air (kobokan) agar anak saya mudah mencuci
tangan
(SL) (SR) (J) (TP)
53. Ketika anak makan, saya menuangkan sayur/makanan ke piring anak saya
(SL) (SR) (J) (TP)
54. Saya menyuapi anak ketika makan
(SL) (SR) (J) (TP)
55. Saya menyediakan gelas berisi air minum untuk anak saya
(SL) (SR) (J) (TP)
56. Saya meminumkan anak dengan cara mengangkat gelasnya ke mulut
(SL) (SR) (J) (TP)
57. Saya menyimpan kobokan (mangkuk berisi air) di atas meja
(SL) (SR) (J) (TP)
58. Saya menyimpan piring bekas makan anak saya ke tempat cuci piring
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 22
59. Saya mengikutsertakan anak dalam kegiatan piknik bersama teman-teman di
lingkungan tempat tinggalnya
(SL) (SR) (J) (TP)
60. Saya membagi tugas rumah tangga pada semua anak saya termasuk pada anak
yang mengalami cerebral palsy
(SL) (SR) (J) (TP)
61. Saya mengikutsertakan anak dalam mengikuti kegiatan piknik bersama teman-
teman di sekolahnya
(SL) (SR) (J) (TP)
62. Saya menanyakan keadaan anak saya pada setiap akhir semester/pada saat
pembagian rapot
(SL) (SR) (J) (TP)
63. Saya mencari informasi tentang anak yang menderita cerebral palsy dengan
membaca dari buku-buku
(SL) (SR) (J) (TP)
64. Saya menghibur anak ketika dia sedang merasa kesal atau marah
(SL) (SR) (J) (TP)
65. Saya bertanya pada anak saya tentang mainan yang sedang ia sukai sekarang
(SL) (SR) (J) (TP)
66. Saya menemani anak melakukan olahraga yang disukainya, misalnya berenang
(SL) (SR) (J) (TP)
67. Saya membiarkan anak berusaha mengambil piring sendiri ke tempat piring
(SL) (SR) (J) (TP)
68. Ketika ada acara piknik bersama dengan teman-teman di lingkungan tempat
tinggal kami, saya memilih tidak mengajak anak saya karena khawatir
merepotkan di perjalanan
(SL) (SR) (J) (TP)
69. Saya membebaskan anak dari tugas rumah tangga karena dia tidak akan mampu
mengerjakannya
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 23
70. Saya berbagi cerita dengan orangtua-orangtua yang juga memiliki anak cerebral
palsy
(SL) (SR) (J) (TP)
71. Saya tidak memiliki cukup waktu untuk membaca buku tentang cerebral palsy
(SL) (SR) (J) (TP)
72. Ketika anak sedang merasa kesal atau marah, saya membiarkan anak
mengeluarkan perasaaannya pada orang lain, misalnya pada nenek atau
saudaranya
(SL) (SR) (J) (TP)
73. Menurut saya mainan untuk anak tidak terlalu penting, yang penting adalah
belajar
(SL) (SR) (J) (TP)
74. Anak saya melakukan olahraga yang disukainya tanpa saya temani
(SL) (SR) (J) (TP)
75. Saya menyediakan piring makan untuik anak saya di meja makan
(SL) (SR) (J) (TP)
76. Saya membiarkan anak berbaur dengan teman-teman seusianya pada saat ada
acara di lingkungan tempat tinggal
(SL) (SR) (J) (TP)
77. Saat menghadapi suatu permasalahan yang sederhana, saya mengajak anak
berdiskusi, misalnya memilih tempat berlibur
(SL) (SR) (J) (TP)
78. Menurut saya, informasi mengenai cerebral palsy cukup saya dapatkan dari guru
terapi di sekolah saja
(SL) (SR) (J) (TP)
79. Ketika anak sedang merasa kesal atau marah saya memilih untuk tidak tahu
menahu tentang permasalahannya
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 24
80. Saya tidak mengizinkan anak berbaur dengan teman-teman di lingkungan tempat
tinggal, karena saya khawatir dia tidak dapat menyesuaikan diri sebab kondisinya
berbeda dengan anak-anak normal lainnya
(SL) (SR) (J) (TP)
81. Saya tidak menyertakan anak dalam menghadapi permasalahan apapun di rumah
karena menurut saya dia tidak mampu mengerti
(SL) (SR) (J) (TP)
Lampiran - 25
Alat Ukur Kemampuan ADL (Activity Daily Living) Makan dan Minum
No Aktivitas yang dinilai Dapat melaksanakan
sendiri
Dengan bantuan ringan
Dengan bantuan penuh
Hanya ada respon
Tidak ada respon
Skor 8 Skor 7 Skor 6 Skor 5 Skor 4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11
12
1314
15
16
Mencuci tangan sebelum makan Berdoa sebelum makan Memegang sendok garpu Memegang sendok dengan tangan kiri/kanan Makan dengan menggunakan jari tangan Memasukkan nasi ke mulut dengan menggunakan sendok Memasukkan nasi ke mulut menggunakan jari tangan Mengunyah dan menelan nasi Menutup sendok/garpu di atas piring setelah selesai makan Mencuci tangan pada tempat yang telah disediakan Memegang gelas/cangkir Mengangkat gelas/cangkir ke mulut Meneguk air Menyimpan kembali pada meja/pada tempat semula Merapikan setelah selesai makan Berdoa setelah selesai makan