aceh tenggara

15
Kabupaten Aceh Tenggara Negara Indonesia Provinsi Aceh Hari jadi 26 Juni 1974 Pemerintahan Bupati Ir. H. Hasanuddin Beruh, M.M Wakil Bupati Ali Basrah Luas • Total 4.231.41 km 2 (1,633.76 mil²) Populasi (2010 [1] ) • Total 179.010 • Kepada tan 42/km 2 (110/sq mi) Demografi Agama Islam , Kristen Protestan , Kristen Katolik Suku Bangsa Suku Alas , Suku Gayo , Suku Batak , Suku Karo , Suku Singkil ,Suku Aceh , Suku Minangkabau ,Suku Jawa , Suku Sunda , Suku Mandailing , dan Suku Pak-pak Bahasa Bahasa Alas ,Bahasa Gayo ,Bahasa Singkil ,Bahasa Minangkabau ,Bahasa Batak ,Bahasa Karo ,Bahasa Aceh , Bahasa pak-pak , Bahasa Jawa , Bahasa Sunda , Bahasa Indonesia LPP % 1,13 Zona waktu WIB (UTC+7 ) Kode wilayah 0629 Plat BL

Upload: dedy-yuanda

Post on 24-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Aceh

TRANSCRIPT

Page 1: Aceh Tenggara

Kabupaten Aceh TenggaraNegara IndonesiaProvinsi AcehHari jadi 26 Juni 1974

Pemerintahan • Bupati Ir. H. Hasanuddin Beruh, M.M • Wakil Bupati

Ali Basrah

Luas • Total 4.231.41 km2 (1,633.76 mil²)

Populasi (2010[1]) • Total 179.010

 • Kepadatan 42/km2 (110/sq mi)Demografi

 • Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik

 • Suku Bangsa

Suku Alas, Suku Gayo, Suku Batak, Suku Karo, Suku Singkil,Suku Aceh, Suku Minangkabau,Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Mandailing, dan Suku Pak-pak

 • Bahasa

Bahasa Alas,Bahasa Gayo,Bahasa Singkil,Bahasa Minangkabau,Bahasa Batak,Bahasa Karo,Bahasa Aceh, Bahasa pak-pak, Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Indonesia

 • LPP % 1,13Zona waktu WIB (UTC+7)

Kode wilayah

0629

Plat kendaraan

BL

Situs web www.acehtenggarakab.go.id

Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Kabupaten ini berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Pada dasarnya wilayah Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi wisata alam, salah satu diantaranya adalah Sungai Alas yang sudah dikenal luas sebagai tempat olah raga Arung Sungai yang sangat menantang. Secara umum ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah ini termasuk Zona Pertanian. Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan. Dalam bidang Pertambangan, Aceh Tenggara memiliki deposit bahan galian golongan-C yang sangat beragam dan potensial dalam jumlah cadangannya.

Page 2: Aceh Tenggara

Daftar isi

1 Masyarakat 2 sejarah 3 Masa kesultanan Iskandar muda 4 Suku perantau 5 pemekaran 6 isu pemekaran provinsi ALA 7 Suku Alas 8 Batas wilayah 9 Referensi

o 9.1 Sumber o 9.2 Pranala luar

Masyarakat

Aceh tenggara lebih multikultural di banding aceh bagian tengah (Aceh tengah, bener meriah dan gayo lues) yakni di diami oleh lebih dari 3 suku yaitu: suku Alas sebagai suku tempatan di kabupaten ini di ikuti oleh suku singkil,Aceh,Karo,Batak,Gayo,Jawa,Minangkabau, Mandailing, Nias dan suku Aneuk Jamee.

Kabupaten ini memiliki suatu keunikan, di mana mempunyai masyarakat yang majemuk tetapi hampir tidak ada terdengar sama sekali kerusuhan yang melibatkan Sara(suku,Agama,dan Ras),masyarakatnya mampu menjaga perdamaian sampai saat ini.[rujukan?]

sejarah

kabupaten Aceh Tenggara adalah pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah,awal berdirinya kab,Agara(kabupaten Aceh tenggara) adalah di mulai ketika pada tgl 06-Desember-1957 terbentuk panitia tuntutan rakyat Alas dan Gayo Lues melalui sebuah rapat di sekolah Min prapat hulu yg di hadiri oleh 60 pemuka adat Alas dan Gayo lues, dan hasilnya adalah. :

1) Ibukota Aceh tengah di pindahkan dari Takengon ke kutacane.

2) jika tidak memungkinkan memindahkan ibukota ke Kutacane,maka kewedanan Alas dan gayo lues di jadikan satu kabupaten yg tidak terlepas dari Provinsi Aceh.

Atas tuntutan itu diadakanlah rapat raksasa di Kutacane yg di hadiri lebih dari 200.000 orang. Akhirnya pada tanggal 26-juni-1974 kab,Agara di resmikan oleh mentri dalam negeri H,Amir machmud sebagai kabupaten yg terlepas dari kabupaten Aceh tengah,sekaligus diangkatlah Bupati pertama yakni (Alm) H,syahadat.

Masa kesultanan Iskandar muda

Page 3: Aceh Tenggara

sebelum datangnya Pengaruh Kesultanan Aceh tanah Alas sudah mengenal yang namanya sistem Kerajaan yang di mulai dengan kerajaan mbatu bulan yang di dirikan oleh Raja lembing anak dari Raja lotung dari Tanah Samosir Laut yang di ikuti oleh berdirinya kerajaan Bambel, dan kerajaan mbiak moli. Berbeda dengan daerah inti Kesultanan Aceh Darussalam yang memimpin setiap Mukim adalah Ullebalang, Di Tanah Alas dan Gayo Lues tidak mengenal sistem Mukim melainkan Kejuruan yang masing-masing kejuruan di perintah oleh Geuchik yang langsung bertanggung jawab kepada Sultan di ibu kota kerajaan Banda Aceh. pada masa Sultan Iskandar Muda Tanah Alas di bagi menjadi Dua kejuruan yakni kejuruan Bambel dan Kejuruan Mbatu bulan yang masing-masing kejuruan telah mendapatakan Cap Sikureung dari Kesultanan Aceh Darussalam selain cap sekureung Sultan Iskandar Muda juga memberikan sebuah Bawar Pedang(sejenis Tongkat komando).

Suku perantau

yang di maksud suku Perantau adalah suku Minangkabau, bagi suku Alas etnik Minangkabau sudah tidak asing lagi bagi Tanah Alas, Bahkan menantu Raja Lembing pendiri kerajaan mbatu bulan adalah pria minang dari pariaman Yang bernama Raja dewa dia adalah penyiar Agama Islam yang pertama di Tanah Alas, untuk mempercepat proses pengislaman Rakyat Alas, Raja dewa dan Raja Lembing membuat suatu prastasti di daerah desa mbatu bulan sekarang, di mana Raja dewa akan menikahi putri sulung dari Raja lembing dan Raja lembing akan memberikan takhta kerajaan mbatu bulan ke Raja Dewa, Tetapi sayang keturunan Minangkabau di Tanah Alas harus berhenti di raja dewa, di akibatkan sistem adat Minangkabau, yang menarik garis keturunan dari Ibu.

Barulah pada zaman kemerdekaan Terjadi kembali Transmigrasi secara besar-besaran dari daerah Pariaman pesisir, permukiman Minang di Kabupaten Aceh Tenggara masih ada sampai sekarang terbukti dengan adanya Desa Trandam dengan populasi Terbesar di kab,Agara di ikuti Dengan Desa Pasar belakang, desa strak pisang, dan kota Kutacane.Suku perantau lainnya adalah suku Jawa yang sekarang bermukim di desa purwodadi, dan pada Akhir-akhir ini etnis pendatang bertambah kembali dengan datangnya Suku Sunda dari Provinsi Jawa Barat.

pemekaran

pada tanggal 10-April-2002 terjadi kembali pemekaran di tubuh Aceh tenggara yakni berdirinya kabupaten yang baru Kabupaten Gayo Lues dengan ibu kota Blangkejeren.Kabupaten baru ini menguasai hampir 57% wilayah induk yang lama yakni Kabupaten Aceh Tenggara, karna mempunyai daerah yg bergunung-gunung membuat kabupaten Gayo Lues menjadi kabupaten terisolasi di provinsi Aceh kabupaten baru ini amat tergantung dari suplai bahan-bahan pokok dari Kutacane sebagai kabupaten induknya yg lama. Titel sebagai penghasil Tembakau terbesar di Provinsi Aceh pun harus rela di berikan oleh Aceh tenggara kepada Kabupaten Gayo Lues, karena daerah penghasil Tembakau, Blangkejeren,Trangon, dan Rikit Gaib telah Masuk ke kabupaten baru ini.

isu pemekaran provinsi ALA

Page 4: Aceh Tenggara

Berbicara pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) sebenarnya berbicara soal aspirasi politik dan kehendak politik rakyat dan elit politik di daerah yang notabene dijamin UUD 1945.

Kovenan PBB tentang hak-hak sipil dan politik serta dalam MoU Helsinki itu sendiri sangat menghargai aspirasi politik yang berkembang. Menolak rencana pemekaran Provinsi ALA dan ABAS berarti secara tidak langsung pelanggaran MoU Helsinki itu sendiri.

Sebab dalam MoU Helsinki juga diatur tentang persoalan hak asasi manusia. Aspirasi pemekaran Provinsi ALA dan ABAS bagian dari persoalan HAM rakyat dan juga harus dihargai oleh semua kalangan masyarakat Aceh.

Motivasi utama pemekaran provinsi bukan dalam rangka menggagalkan MoU Helsinki. Pemekaran Provinsi ALA dan ABAS tetap memakai dasar wilayah dimekarkan yang sesuai 1 Juli 1956. Bukan wilayah lain serta ALA dan ABAS tetap berada dalam wilayah Aceh. Bahkan nama bakal calon provinsi baru ini saja masih mengandung unsur nama Aceh.

Ide pemekaran provinsi ini sudah dibawa ke DPR RI sejak paruh terakhir era 1990. Namun \'mentah\', tidak sempat masuk dalam Badan Musyawarah, badan berkompeten mengagendakan RUU apa saja yang akan digulirkan dalam satu triwulan periode kerja.

Oleh karena belum berhasil, dalam momen-momen terakhir periode DPR-RI 1999 - 2004, ide ini pun kembali diangkat. Namun lagi-lagi terkendala karena masa persidangan yang sudah harus diakhiri. Dan kembali bergulir di akhir periode 2004-2009.

Setidaknya ada sejumlah alasan mengapa ide pemekaran menggeliat. Alasan-alasan itu adalah jarak ke ibukota, prasarana ketinggalan, pelayanan sulit, diskriminasi, sulit menjadi pejabat teras provinsi dan demi kesejahteraan rakyat.

Alasan tersebut bisa disederhanakan menjadi dua faktor, demografis dan sosial. Sedangkan alasan kesejahteraan rakyat masih relatif, tergantung dari interes masing-masing. Faktor demografis, secara moral, tidak cukup kuat menjadi basis argumentasi pemekaran.

Walau undang-undang memungkinkan untuk itu, dalam hal ini pemerintah Aceh dengan seluruh jajaran atau dinas terkait dituntut mampu mencari jalan keluar membuka keterisolasian daerah terutama di wilayah ALA maupun ABAS.

Titik kritis ada pada faktor sosial. Tema-tema diskriminasi dan keterpinggirkan adalah tema-tema lama. Realitas ALA dan ABAS adalah realitas di mana kita telah gagal dalam cara memandang identitas kolektif. Ia tidak muncul dari ruang yang vacuum, tetapi pola interaksi sudah bertahun-tahun terbangun dan memasuki kisi-kisi kesadaran kita.

Kita tidak mampu mencarikan satu definisi tentang siapa yang disebut Aceh itu; karakternya, ciri-cirinya, dan sifatnya. Kegagalan itu menggiring kita untuk merasa \'lebih Aceh\' atau \'kurang Aceh\'.

Page 5: Aceh Tenggara

Dari sinilah masalah itu bermula. Mereka yang merasa lebih Aceh, merasa lebih berhak atas segala posisi (previlege) di pemerintahan atau status sosial apa saja, sementara yang dianggap kurang Aceh menjadi warga kelas dua. Mereka yang merasa lebih Aceh mendominasi, sementara mereka yang dianggap kurang Aceh tersubordinasi.

Ide memekarkan provinsi juga dilandasi adanya fakta bahwa telah terjadi etnosentrisme sempit selama ini dipraktikkan dan membuat kita terpecah-pecah. Alasan sosial ini, tentu tidak bisa dibebankan kepada pemerintah, kecuali dengan mengubah cara pandang terhadap kebersamaan dan kesetaraan.

Fenomena keterpinggirkan sebenarnya tidak hanya khas Aceh Tengah dan sekitarnya, tetapi juga dikonsumsi oleh warga Aceh di Meulaboh dan Tapaktuan, Simeulue, Singkil dan Tamiang. Mengentalnya konsolidasi identitas subetnik di kalangan masyarakat Gayo hanya akan terjadi bila mereka sudah tidak merasa seperti di rumah sendiri (fell like home).

Dalam manifestasi lanjutan, lahirlah harapan mewujudkan identitas dalam satu entitas politik bernama provinsi. Bila sudah seakut itu, maka saudara-saudara kita itu sudah tidak lagi merasa dirinya satu suku bersama dengan suku-suku lainnya yang mendiami dan membesarkan Aceh.

Dalam konteks Aceh, gejala ini dipandang sebagai hilangnya loyalitas suatu kelompok subetnik terhadap kesepakatan dan ikatan yang lebih besar. Perasaan atau kesan seperti itu dapat dirasakan, meskipun mungkin tidak terkatakan. Etnis Gayo, Alas, Singkil, Anuek Jamee, Simeulue, Kluet dan Tamiang dianggap sebagai \'orang kurang Aceh\' dibandingkan mereka di pesisir timur maupun Aceh Besar dan Pidie. Etnis minoritas mendiami pesisir barat selatan, bagian tengah Aceh menggunakan bahasa daerah berbeda.

Suku Alas

Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia dimana keadaan penduduk lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.

Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.

Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING yaitu keturunan dari RAJA LOTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATAE BULAN dari Samosir Tanah Batak, Tatae Bulan adalah saudara kandung dari RAJA SUMBA. Guru Tatae Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah merupakan orang tuanya Raja Borbor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempuyai tujuh orang

Page 6: Aceh Tenggara

anak yaitu, Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar atau yang dikenal dengan siampudan atau payampulan. Pandiangan merupakan moyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, Solin di Dairi, Sebayang di Tanah Karo, dan SELIAN di Tanah Alas, Keluet di Aceh Selatan.

Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim.

Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo.

Diperkirakan pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele) keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar diwilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).

Setelah Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri dari Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera yang diberinama ALAS dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27 yang bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia dan tempat lainnya.

Ada hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raje Lele) dengan putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum (Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Pada awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur (Pasai) sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang budaya matrealistik dari minang kabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetap keturunannya menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh Alas. Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang di kenal dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur. Raja sekedang menurut beberapa

Page 7: Aceh Tenggara

informasi pada awal kehadiranya di Tanah Alas adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA DEWA yang migran ke Tanah Alas. Raja Sekedang yang merupakan pertama sekali datang ke Tanah Alas diperkirakan ada pertengahan abad ke 13 yang lalu yaitu bernama NAZARUDIN yang dikenal dengan panggilan DATUK RAMBUT yang datang dari Pasai.

Pendatang berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh. Lalu terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang kelompok Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan Karo-Karo.

Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat.Marga

MARGA Menurut buku (Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr Thalib Akbar MSC 2004) adapun marga–marga etnis Alas yaitu : Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang dan marga Terigan. [sunting] Seni Tari

Adapun kesenian dari etnis suku Alas (Musyawarah Adat Alas dan Gayo, 2003) :

1. Tari Mesekat. 2. Pelabat. 3. Landok Alun. 4. Vokal Suku Alas. 5. Canang Situ. 6. Canang Buluh. 7. Genggong. 8. Oloi-olio. 9. Keketuk layakh. [sunting] Kerajinan.

Adapun kerajinan tradisional dari etnis alas seperti :

1. Nemet (mengayam daun rumbia). 2. Mbayu amak (tikar pandan). 4. Pande besi (pisau bekhemu). [sunting] Makanan Tradisonal.

Adapun makanan tradisional dari suku alas adalah :

1. Manuk labakh. 2. Ikan labakh. 3. Puket Megaukh. 4. Lepat bekhas. 5. Gelame. 6. Puket Megaluh. 7. Buah Khum-khum. 8. Ikan pacik kule. 9. Teukh Mandi. 10. Puket mekuah. 11. Tumpi. 12. godekhr. 13. puket sekuning. 14. cimpe. 15. getuk.

Sistem sosial masyarakat suku Alas

Lingkungan atau desa masyarakat Alas disebut sebagai Kute. Satu Kute terdiri dari satu atau lebih marga yang disebut merge. Satu keluarga hidup dalam satu rumah yang sangat besar, dimana keluarga besar ini semua harus tunduk pada otoritas orang yang paling tua. Masyarakat suku Alas adalah masyarakat patrilineal sehingga mereka mengukur garis keturunan dari keluarga Ayah atau pihak laki-laki.

Page 8: Aceh Tenggara

Budaya suku Alas menekankan pada dua jenis hukum, yakni diantaranya adalah:

1. Hukum agama Islam, yakni hukum yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi-Nya, sehingga tidak boleh diubah.

2. Hukum adat yang mencakup aturan yang dibuat oleh para tokoh masyarakat yang boleh diubah seiring waktu asalkan perubahan tidak bertentangan dengan hukum agama Islam.

Adat perkawinan suku Alas

Adat istiadat perkawinan suku Alas dari pertunangan hingga pernikahan membutuhkan waktu antara satu hingga tiga tahun karena masalah mahar yang umumnya sangat tinggi. Saat orang Alas menikah, umumnya tinggal di dekat keluarga suami. Setelah memiliki keturunan, keluarga muda ini lalu bergerak dan hidup terpisah dari orang tau atau disebut dengan jawe. Namun pasangan ini tetap berada dalam satu daerah yang sama dengan orang tuanya. Pernikahan poligami boleh dilakukan dalam masyarakat suku Alas asalkan perkawinan sebelumnya sudah menghasilkan satu keturunan atau tidak menghasilkan keturunan sama sekali.

Kepercayaan suku Alas

Meskipun suku Alas adalah pemeluk Islam, namun kebudayaan meminta tolomg kepada dukun masih dilakukan. Seringkali ada upacara untuk membuat tanaman pertanian makmur dan dilindungi dari wabah. Dukun yang ditunjuk membaca mantra lalu menggunakan ramuan ajaib yang terbuat dari daun dan bunga yang dianggap dapat menangkal malapetaka. Pengetahuan yang dimiliki didasarkan pada orang tua adat, dukun dan yang lain sebagainya. Namun dikarenakan sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam, maka suku Alas tidak mempercayai adanya dewa-dewa.

Kesenian khas suku Alas

Kesenian khas suku Alas adalah Dabol dan Sama Gayo. Persamaan keduanya adalah dimainkan oleh beberapa orang. Sedangkan perbedaannya adalah Dabol dipimpin oleh orang yang disebut sebagai Khalifah dengan iringan irama gendang. Sedangkan Sama Gayo dimainkan oleh pria dengan berbau kesenian seperti seni tari dan seni suara.

Demikian bahasan kami mengenai suku Alas, semoga bermanfaat. (iwan)

Upacara Kematian Suku Alas Aceh Tenggara

Upacara Keagamaan Ditulis oleh contributor

Suku Alas adalah sekelompok etnis yang bermukim di daerah Alas, Aceh Tenggara. Sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), ia  bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.

Page 9: Aceh Tenggara

Ukhang Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia. Keadaan penduduk lembah Alas tersebut telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781). Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.

Sisa-sisa kepercayaan animisme pada masyarakat adat, biasanya nampak dalam ritual atau upacara yang digelar. Dalam tulisan ini, kita akan mengetahui, apakah kepanatikan masyarakat suku Alas terhadap Islam, yang telah membuat mereka meninggalkan ke-Batak-an mereka, telah berlaku sama terhadap sisa-sisa keanimismeannya dalam upacara kematian?

Upacara adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat pendukungnya. Berfungsi mengukuhkan norma-norma sosial dan nilai-nilai luhur. Salah satu upacara tradisional yang masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara kematian. Banyak orang yang menganggap sepele terhadap upacara kematian. Orang lebih tertarik memperhatikan upacara daur hidup yang lain seperti upacara perkawinan. Padahal apabila kita amati dengan seksama, upacara kematian megandung nilai-nilai luhur yang pada akhir akan diwarisi oleh para penerus pendukung kebudayaan tersebut.

Upacara kematian dalam masyarakat suku Alas dibagi menjadi beberpa tahapan; masa mayat di Rumah adalah masa pelayatan, seleuruh kerabat diundang terutama sekali kerabat yang paling dekat yakni dua angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego (orang yang meninggal). Sebelum di bawa ke sungai, sebelum abad ke 20, warga Alas masih menggelar Seni ngeratap, menangisi mayat dan mengenang segala kebaikannya. Seni ngeratap ini merupakan kebudayaan Karo (juga masyarakat Batak lainnya) yang hari ini dilarang karena dianggap Syirik.

Proses Memandikan Mayat masyarakat Alas dilakukan di sungai, dengan kedalaman kira-kira 30 cm dan waktu mayat dipangku dapat mengenai air. Selanjutnya imam akan mengosoki mayat dengan air badar. Setelah semua dianggap bersih, barulah imam menyiram mayat dengan air sembilan. Fungsi air ini adalah sebagai air pembersih terakhir. Setelah selesai dimandikan, sebelum mayat diusung ke luar rumah anak-keluarga mengadakan mengkiran (menusuki) mayat melalui bawah usungan, agar mayat jangan teringat kepada anak dan keluarganya di dalam kubur nanti. Kemudian mayat disalati. Mayat kemudian dibawa ke tempat penguburan dengan diusung dalam peraran. Selanjutnya adalah proses Penguburan Mayat.

Masa Takziah, upacara ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut, yakni malam pertama hingga malam ketiga setelah upacara penguburan. Berikutnya adalah Masa Hari Ketujuh, upacara hari ketujuh dilaksanakan agak lebih besar dari upacara sebelumnya. Bagi mereka yang mampu biasanya dilakukan pemtongan kerbau atau sapi. Keluarga duka menyiapkan sirih undangan yang disebut pemanggo 7. Apabila

Page 10: Aceh Tenggara

kaum kerabat mendapat sirih pemanggo, ia sibuk mempersiapkan bahan bawaan untuk dipersembahkan kepada keluarga orang yang meningggal itu. Bahan bawaan berupa: limon satu lusin, kerotuum (nasi bungkus yang dibungkus dengan daun pisang yang bentuknya bulat panjang), lauk pauk satu susun (rantang), kelapa ala kadarnya, telur bebek, beras ala kadarnya, dan uang.

Pada pagi hari setelah malam ke tujuh, upacara penanaman batu digelar dengan dipimpin oleh seorang imam. Para peserta biasanya adalah kaum kerabat, namun ada pula warga kampung yang menghadirinya. Upacara dimulai dengan penyiraman kuburan dengan air yang telah disediakan. Penyiraman ini dilaksanakan oleh imam sebanyak tiga kali dari atas kuburan ( kepala ) sampai bawah (kaki) sambil membaca doa. Kemudian batu yang bagian atasnya telah dibungkus dengan kain putih dan disediakan dalam sebuah talam (tapesi) diambil oleh tengku imam serta ditanam di atas kuburan pada bagian kepala. Batu ditanam kira-kira setengah bagian dengan posisi batu yang tertutup kain berada di atas.

Pelaksanaan upacara malam ke empat puluh hari tidak berbeda dengan upacara malam ke tujuh, yakni dengan pembacaan samadiah yang dipimpin oleh imam dan diakhiri dengan pembacaan doa. Kemudian acara dilanjutkan dengan kenduri makan bersama. Seusai makan bersama berarti usai pula seluruh rangkaian upacara kematian pada masyarakat Alas.

Jika kita lihat dari rangkaian upacara kematian suku Alas, kita menemukan kesamaan dengan proses upacara kematian masyarakat Islam di jawa. Masih terdapat sisa keyakinan animisme dengan adanya mengkiran, dan Takziah atau Tahlilan. Maka tidak sepenuhnya ala Arab. Suku Alas dalam upacara kematian benar-benar seperti meninggalkan Ke-Batak-annya dengan dihapuskannya seni ngeratap. Kekhasan Suku Alas terdapat pada sistem kekerabatan yang sangat erat dengan sifat wajib datangnya kerabat yang paling dekat yakni dua angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego, juga adanya undangan sirih pemanggo 7demi menjaga keutuhan kekerabatan suku Alas.