abstrak penerapan perlindungan anak dalam · pdf fileanak sehingga anak tidak mengalami...
TRANSCRIPT
ABSTRAK
PENERAPAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERKAWINAN USIA ANAK
(STUDI KASUS DI DESA JEHEM, KECAMATAN TEMBUKU, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI)
Perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak anak yang mana telah melanggar ketentuan perlindungan anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (disingkat UU PA) namun bagi masyarakat Desa Jehem, dilakukannya perkawinan tersebut demi kepentingan yang terbaik bagi anak sehingga anak tidak mengalami penderitaan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah yang mendasari perkawinan usia anak dapat terjadi di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali dan Bagaimana penerapan perlindungan anak berdasarkan UU PA tetap dapat diterapkan meskipun perkawinan usia anak telah terjadi di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali?.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris yaitu penelitian hukum yang meneliti bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat dan adanya kesenjangan antara das solen dan das sein. Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian adalah terjadinya perkawinan usia anak di Desa Jehem adalah didasarkan pada kehamilan Bunga yang terjadi di luar perkawinan akibat hubungan yang dilakukannya dengan I Wayan C dan perkawinan dilakukan demi kepentingan terbaik bagi Bunga dan anak yang dikandungnya. Walaupun perkawinan telah dilakukan, UU PA tetap memandang Bunga sebagai korban sehingga penerapan perlindungan anak yang diterapkan berupa perlindungan khusus bagi Bunga dan pemidanaan terhadap I Wayan C atas tindak pidana persetubuhan yang telah dilakukan terhadap Bunga dan penerapan perlindungan anak tersebut sebagai fungsi control sosial UU PA yang bersifat represif dan preventif agar nantinya perkawinan usia anak yang serupa tidak terjadi lagi. Kata Kunci: Penerapan, Perlindungan Anak, Perkawinan Usia Anak, Desa Jehem, Bangli.
ABSTRACT
PENERAPAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERKAWINAN USIA ANAK
(STUDI KASUS DI DESA JEHEM, KECAMATAN TEMBUKU, KABUPATEN BANGLI, PROVINSI BALI)
Child marriages that occurred in the village of Jehem is a violation of children's rights which has violated the provisions of the protection of children in Act No. 23 of 2002 jo Law No. 35 of 2014 on the Amendment to Law Number 23 Year 2002 regarding Child protection (abbreviated UU PA). But for the villagers Jehem, did the marriage for the sake of the best interests of the child so that the child does not suffer. The problem here is why the implementation of child marriages can take place in the village of Jehem, District Tembuku, Bangli regency, Bali Province and How child protection practices in the implementation of child marriages in the village Jehem, District Tembuku, Bangli regency, Bali Province?. This research legal is used an empirical legal research methods. So the background of child marriages in the village Jehem is the act of intercourse committed by I Wayan C to Bunga resulting pregnancy outside marriage that later became the basis for the implementation of marriage. Although marriage as the best solution for both parties as well as the village community Jehem, the law looked Bunga as a victim so that the implementation of child protection should remain in place. Child protection laws as the legal umbrella of child protection to perform its function as a sosial control in providing protection to Bunga and conduct prevention so that later marriage age for admission of similar does not happen again. Keywords: Implemantation, child protection, child marriages, Village Jehem, Bangli.
RINGKASAN
Latar belakang penelitian tesis yang berjudul Penerapan Perlindungan Anak
Dalam Perkawinan Usia Anak (Studi Kasus Di Desa Jehem, Kecamatan
Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali) ini adalah adanya kasus perkawinan
usia anak yang terjadi di Desa Jehem yang mana pelaksanaan perkawinan usia
anak tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU Perkawinan) dan ketentuan dalam
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo UU No. 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
(selanjutnya disingkat UU PA) yaitu ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PA, Pasal 1
angka 2 UU PA, dan Pasal 26 ayat (1) UU PA. Sehingga dalam hal ini telah
terjadi kesenjangan antara das sollen dengan das sein. Maka rumusan masalah
dalam tesis ini adalah apakah hal-hal yang mendasari pelaksanaan perkawinan
usia anak di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali?
dan bagaimana penerapan perlindungan anak berdasarkan UU PA dapat
diterapkan meskipun perkawinan usia anak telah terjadi di Desa Jehem,
Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali?
Analisis terhadap kedua rumusan masalah tersebut di atas masing-masing
menggunakan teori dan konsep yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Teori
semi-autonomus sosial field oleh Sally Falk Moore dan konsep perlindungan anak
digunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama yaitu untuk menemukan
dasar pertimbangan dalam pelaksanaan perkawinan usia anak tersebut. Teori
semi-autonomus sosial field oleh Sally Falk Moore, konsep perlindungan anak,
konsep anak, konsep perlindungan Hukum dan konsep penegakan hukum
digunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua yaitu menganalisis
sekaligus mendeskripsikan penerapan perlindungan anak yang diterapkan
berdasarkan UU PA meskipun perkawinan usia anak telah diaksanakan. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris.
Tinjauan umum mengenai perlindungan anak dan perkawinan usia anak
diuraikan dalam BAB II yaitu : perlindungan anak dan perkawinan usia anak
diawali dengan konsep anak menurut ketentuan “Pasal 1 angka 1 UU PA yaitu
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan”. Selanjutnya pengertian perlindungan anak
dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UU PA yang menentukan bahwa,
“perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari batasan perlindungan anak
dalam Pasal 1 angka 2 UU PA maka perlindungan anak dapat juga diartikan
sebagai segala upaya yang ditujukan dan dilakukan untuk mencegah,
merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah
(child abuse), eksploitasi dan penelantaran sehingga dapat menjamin
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar baik secara fisik,
mental maupun sosial. Istilah baku bagi perkawinan usia anak dapat ditemukan
dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c yaitu istilah “perkawinan pada usia anak”. Namun,
dalam penjelasannya UU PA tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud
dengan perkawinan pada usia anak. Istilah perkawinan pada usia anak secara
umum dapat disamakan dengan istilah child marriage atau perkawinan usia anak.
Istilah Child marriage atau perkawinan usia anak ini menurut UNICEF secara
umum mengacu kepada sebuah perkawinan yang berada di bawah batas usia
minimum perkawinan atau perkawinan yang melibatkan satu atau dua pihak yang
masih berusia anak. Perkawinan usia anak menurut Mark Evenhuis dan Jenifer
Burn dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilakukan melalui hukum perdata,
agama, atau adat dan dengan atau tanpa pencatatan atau persetujuan resmi di mana
salah satu atau kedua pasangan adalah anak-anak di bawah usia 18 (delapan belas)
tahun.
Analisis terhadap rumusan masalah 1 diuraikan dalam BAB III maka
diperoleh bahwa: pelaksanaan perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem
didasarkan pada pertimbangan akan adanya kehamilan di luar perkawinan yang
dialami oleh Bunga sebagai akibat hubungan yang dilakukannya dengan I Wayan
C. Karena kehamilan tersebut maka demi kepentingan yang terbaik baik bagi
Bunga dan anak yang dikandungnya, prajuru desa Desa Jehem memutuskan
untuk menyetujui dan mengesahkan pelaksanaan perkawinan antara Bunga
dengan I Wayan C sehingga perkawinan usia anak terjadi di Desa Jehem.
Pelaksanaan perkawinan yang dilakukan dapat disebut sebagai bentuk reaksi adat
atas terjadinya kehamilan Bunga di luar perkawinan sekaligus sebagai bentuk
pertanggungjawaban I Wayan C atas kehamilan yang dialami oleh Bunga. Selain
itu, pelaksanaan perkawinan merupakan satu-satunya jalan untuk mencegah agar
bayi yang dikandung oleh Bunga tidak lahir di luar ikatan perkawinan yang sah
yang dapat mengakibatkan wilayah Desa Jehem menjadi tercemar secara niskala
(batiniah) atau menjadi leteh dan pelaksanaan perkawinan juga sebagai upaya
dalam melindungi Bunga dari dampak negatif akibat hamil di luar perkawinan.
Analisis terhadap rumusan masalah kedua diuraikan dalam BAB IV maka
diperoleh bahwa: penerapan perlindungan anak yang diterapkan dalam
perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem didasarkan pada adanya tindak
pidana yang mendahului perkawinan yaitu tindak pidana persetubuhan yang
mlenaggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU PA dan bukan didasarkan pada
pelaksanaan perkawinan usia anak. Maka penerapan perlindungan anak dalam
perkawinan usia anak di Desa Jehem diterapkan dengan memandang Bunga
sebagai korban dan I Wayan C sebagai pelaku. Walaupun perkawinan sudah
dilaksanakan dan Bunga dengan I Wayan C sudah berstatus suami-istri, penerapan
perlindungan anak yang dapat dibagi dua yaitu penegakan hukum atas tindak
pidana persetubuhan yang dilakukan I Wayan C terhadap Bunga dan pemberian
perlindungan khusus sebagai pemenuhan hak Bunga sebagai korban tindak pidana
tetap dilakukan. Hal tersebut dikarenakan perkawinan bukanlah salah satu bentuk
penghapusan pidana maupun alasan pemaaf suatu tindak pidana. Mekanisme
penerapan perlindungan anak dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 59, Pasal 64
dan pasal 69 UU PA. Tujuan dilakukannya penerapan perlindungan anak dalam
perkawinan usia anak di Desa Jehem bertujuan untuk melakukan kontrol sosial
terhadap kasus perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem sebagai tindakan
represif sekaligus preventif. Represif, melakukan penegakan hukum pidana ketika
adanya suatu perbuatan yang termasuk tindak pidana terhadap anak dan langsung
memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban. Preventif,
mencegah agar tidak terjadi penyelundupan-penyelundupan hukum atas
perlindungan anak serta mencegah agar kasus perkawinan usia anak yang serupa
tidak terjadi lagi.
Simpulan yang dapat ditarik dari uraian analisis tersebut di atas adalah
terjadinya pelaksanaan perkawinan usia anak di Desa Jehem didasarkan atas
adanya kehamilan Bunga di luar perkawinan dan perkawinan tersebut
dilaksanakan sebagai bentuk pertanggungjawaban I Wayan C terhadap kehamilan
Bunga. Penerapan perlindungan anak dalam kasus perkawinan usia anak di Desa
Jehem tetap dapat diterapkan meskipun perkawinan telah dilaksanakan karena
didasarkan pada adanya tindak pidana persetubuhan yang terjadi terhadap Bunga
sebelum dilakukannya perkawinan yang mana tindak pidana tersebut
mengakibatkan kehamilan pada Bunga sekaligus sebagai fungsi kontrol sosial UU
PA yang bersifat preventif dan represif terhadap masyarakat atas terjadinya
perkawinan usia anak tersebut untuk mencegah agar perkawinan yang serupa
tidak terjadi lagi di masa depan.
Saran yang dapat diberikan yaitu pemerintah khususnya pemerintah daerah
disarankan lebih aktif dalam mensosialisasikan UU PA dan membentuk program-
program pemerintah yang mendukung penyelenggaraan perlindungan anak
sehingga masyarakat tidak hanya tahu UU PA tetapi juga harus menyadari bahwa
perlindungan terhadap anak harus benar-benar diterapkan dan direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga perkawinan usia anak dapat dicegah dan
tidak terulang kembali.
DAFTAR ISI
Cover Depan……………………………………………………………... i Halaman Sampul Dalam………………………………………………..... ii
Halaman Persyaratan Gelar Magister…………………………………..... iii
Halaman Pengesahan Tesis……………………………………………… iv
Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis………………………………. v
Surat Pernyataan Bebas Plagiat………………………………………….. vi
Surat Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah………………………………... vii
Ucapan Terima Kasih…………………………………………………..... viii
Abstrak…………………………………………………………………… xi
Abstract………………………………………………………………................. xii
Ringkasan………..………………………………………………………. xiii
Daftar Isi………………………………………………………………..... xvii
BAB I PENDAHULUAN………..…………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Masalah……….……………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………. 8
1.3 Ruang Lingkup Masalah……………………………………… 8
1.4 Tujuan Penelitian……………………………………………….. 8
1.5 Manfaat Penelitian……………………………………………… 9
1.6 Orisinalitas Penelitian…………………………………………... 10
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir……………………… 12
1.7.1 Teori Semi-Autonomous Sosial Field……………………... 14
1.7.2 Konsep Perlindungan Hukum…………………………... 16
1.7.3 Konsep Penegakan Hukum……………………………... 17
1.7.4 Konsep Perlindungan Anak…………………………….. 19
1.7.5 Kerangka Berpikir………………………………………. 21
1.8 Metode Penelitian Hukum……………………………………… 22
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
DAN PERKAWINAN USIA ANAK…………………………….. 28
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak………………...... 28
2.1.1 Pengertian Anak……………………………………........ 28
2.1.2 Hak dan Kewajiban Anak………………………………. 30
2.1.3 Pengertian Perlindungan Anak…………………………. 32
2.2 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Usia Anak……………… 36
2.2.1 Pengertian Perkawinan………………………………….. 36
2.2.2 Pengertian dan Istilah Perkawinan Usia Anak………….. 40
BAB III PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA ANAK DI DESA
JEHEM, KECAMATAN TEMBUKU, KABUPATEN
BANGLI, PROVINSI BALI…………………..……………………. 48
3.1 Perkawinan Usia Anak yang Terjadi Di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali Dalam Perspektif Teori Semi-Autonomous Social Field ……………………………………...…………….......... 48
3.1.1 Masyarakat Hukum Adat Bali Sebagai Persekutuan Hukum yang Semi- Otonom…………………………………………. 48
3.1.2 Perkawinan Usia Anak Dalam Hukum Adat Bali………….. 55
3.1.3 Pelaksanaan Perkawinan Usia Anak Sebagai Bentuk Reaksi Adat Masyarakat Dalam Mencegah Timbulnya Akibat Atas Terjadinya Pelanggaran Hukum Adat yang Berlaku di Desa Jehem…………………………………….... 63
BAB IV PENERAPAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM KASUS
PERKAWINAN USIA ANAK DI DESA JEHEM,
KECAMATAN TEMBUKU, KABUPATEN BANGLI,
PROVINSI BALI……………………………………………………. 94
4.1 Ruang Lingkup Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak……….……………………… 94
4.2 Penerapan Perlindungan Anak Dalam Perkawinan Usia Anak yang Terjadi Di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali……………………………………100
4.3 Analisis Teori Semi-Autonomous Social Field Terhadap Penerapan Perlindungan Anak Dalam Perkawinan Usia Anak di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali .………………………................ 134
BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 138
5.1 Simpulan………………………………………………………... 138
5.2 Saran……………………………………………………………. 139
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 140
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………… 148
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Orisinalitas Penelitian…………………………………………. 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perlindungan terhadap anak merupakan hak setiap anak yang melekat secara
kodrati yang di bawanya sejak lahir. Tidak ada satu pihak pun yang berhak untuk
mencabut ataupun mengurangi hak tersebut baik dengan dalih apapun maupun
atas kepentingan siapa pun1. Anak adalah generasi penerus bangsa sekaligus masa
depan negara sehingga anak membutuhkan pembinaan dan bimbingan khusus agar
dapat mengembangkan fisik serta mental secara maksimal. Anak harus
mendapatkan hak-haknya sebagai anak untuk dapat mengembangkan kepribadian,
kreatifitas serta kecerdasan sesuai dengan minat dan bakat serta berhak
mendapatkan perlindungan sehingga perlindungan terhadap anak sangat
diperlukan.
Konvensi Tentang Hak-Hak Anak pada tahun 1989 diratifikasi melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on
The Rights of The Child dan secara otomatis Indonesia terikat secara moral, politis
dan yuridis untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Dua
belas tahun setelah ratifikasi, barulah dibentuk undang-undang yang khusus
mengatur tentang perlindungan anak sekaligus sebagai payung hukum
perlindungan anak di Indonesia. Sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam
memberikan perlindungan dan mewujudkan kesejahteraan anak sehingga hak-hak
1 Rika Saraswati, 2015, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 50
11
anak dapat terpenuhi, dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Menyesuaikan dengan perkembangan hukum
masyarakat maka undang-undang tersebut mengalami perubahan menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UU PA).
UU PA dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 memberikan batasan tentang anak
yaitu “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun,
termasuk anak yang masih di dalam kandungan”. Sehingga setiap orang yang
berusia di bawah 18 tahun dapat disebut sebagai anak termasuk anak yang belum
lahir. Memberikan perlindungan terhadap anak merupakan hal yang wajib
dilakukan sebab anak termasuk kelompok yang memiliki posisi yang rentan baik
dalam hukum maupun kehidupan sosial. Perlindungan anak menurut ketentuan
Pasal 1 angka 2 UU PA adalah “segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
Anak dan Hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Perlindungan anak yang diatur
dalam UU PA sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Konvensi Tentang Hak-Hak
Anak. Prinsip-prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 2 UU PA yang meliputi:
a. Prinsip non diskriminasi;
b. Prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; dan
d. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
12
Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak merupakan tanggung jawab
semua pihak baik itu dari negara, pemerintah, pemerintah daerah, penegak hukum,
masyarakat dan keluarga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 UU PA. Pasal
21s/d Pasal 24 UU PA mengatur tentang negara dan pemerintah berkewajiban dan
bertanggung jawab atas penyelenggaraan perlindungan anak dan wajib mengawasi
penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 25 UU PA mengatur tentang tanggung
jawab masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak secara optimal
dengan dibantu oleh organisasi kemasyarakatan, akademisi dan pemerhati anak.
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua dalam menjamin pemenuhan
perlidungan anak diatur dalam Pasal 26 UU PA.
Kewajiban memberikan perlindungan terhadap anak juga tidak dapat lepas
dari kewajiban dan tanggung jawab orang tua sebagai orang yang paling dekat
dengan anak. Orang tua memiliki peran yang penting dalam melindungi anak dari
segala hal yang dapat merugikan kehidupan anak dan hal yang dapat
menghilangkan semua hak-hak yang dimiliki anak. Peran orang tua tersebut diatur
dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU PA yaitu orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi Anak;
b. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat
dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti
pada Anak.
13
Salah satu kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah mencegah
perkawinan usia anak sebab dunia anak adalah dunia belajar dan bermain, bukan
dunia perkawinan yang membebankan tanggung jawab yang tidak sesuai dengan
usia dan tingkat kematangan fisik, mental, dan sosialnya dalam menjalani
kehidupan rumah tangga. Pencegahan yang dilakukan oleh orang tua agar jangan
sampai terjadi perkawinan usia anak dikarenakan perkawinan yang dilakukan
pada usia anak dapat menghilangkan segala hak-hak anak yang seharusnya anak
dapatkan saat masa pertumbuhan dan perkembangannya untuk menjadi dewasa.
UU PA sudah mencantumkan kewajiban orang tua untuk mencegah agar
perkawinan usia anak tidak terjadi namun demikian pada kenyataannya masih
banyak terjadinya perkawinan usia anak di Indonesia.
Praktek perkawinan usia anak yang terjadi di Indonesia bukan merupakan
permasalahan yang baru sebab perkawinan usia anak ini sudah banyak terjadi di
daerah perkotaan sampai dengan daerah pedesaan2. Perkawinan usia anak
merupakan masalah sosial dan ekonomi yang diperumit dengan tradisi dan budaya
dalam kelompok masyarakat tertentu. Stigma sosial mengenai perkawinan setelah
melewati masa pubertas yang dianggap aib pada kalangan tertentu, meningkatkan
pula angka kejadian perkawinan usia anak3. Letak geografis yang terpencil,
penafsiran agama yang konservatif, maupun praktek budaya yang mengizinkan
perkawinan usia anak menjadikan upaya penghapusan perkawinan usia anak
2 Aminullah dkk, 2012, Buku III: Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi di Indonesia: Akar Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah, Direktorat Analisis Dampak Kependudukan dan BKKBN, Jakarta, hlm.1. tersedia di https://digilib.bkkbn.go.id/index.php?p=show_detail&id=2191&keywords= diakses pada tanggal 10 September 2016. 3 Sisparyadi, 2013, Studi Kebijakan Pendewasaan Usia Kawin, Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 6.
14
mengalami tantangan yang berat sebab hal itu dikarenakan praktik perkawinan
usia anak berada dalam kungkungan budaya patriarki yang berkelindan pada
sruktur ekonomi, sosial dan juga politik4. Tak jarang pelaksanaan perkawinan usia
anak ini menjadi sorotan masyarakat umum sebab masyarakat sudah mulai
menyadari bahwa perkawinan usia anak seharusnya dapat dicegah dan tidak
terjadi. Hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan perkawinan usia anak yang sempat
menjadi perhatian publik yaitu perkawinan usia anak yang terjadi di Provinsi Bali
tepatnya di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli pada tahun
2013 lalu.
Perkawinan tersebut melibatkan pasangan yang memiliki perbedaan usia
terpaut sangat jauh yaitu I Wayan C (nama samaran) yang berusia 40 (empat
puluh) tahun dengan Bunga (nama samaran) yang berusia 14 (empat belas)
tahun5. Pelaksanaan perkawinan tersebut kemudian menjadi perhatian semua
pihak terutama para penegak hukum serta lembaga-lembaga yang menangani
masalah perlindungan anak sebab perkawinan tersebut dilakukan antara orang
dewasa dengan seorang anak yang masih di bawah umur. Perkawinan yang
dilakukan oleh Bunga dengan I Wayan C merupakan perkawinan pada usia anak
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) Huruf c UU PA.
Pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh I Wayan C dan Bunga telah
melanggar beberapa ketentuan dalam UU PA. Perkawinan usia anak tersebut telah
4 Sundari, Any, 2016, “Realitas Gadis Pantai Selatan Hari Ini (Kajian Kebijakan Perkawinan Anak di Gunung Kidul Yogyakarta)”, Jurnal Perempuan Vol.21 No.1 Februari 2016, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, hlm. 36. 5 Anonim, Rabu, 30 Januari 2013, “Polisi Belum Sikapi Kasus Pria Beristri Nikahi Siswi SD, Denpost , Denpasar, hlm.1, kol.4, tersedia di https://issuu.com/denpostnews/docs/dps_30_januari_2013 diakses pada tanggal 10 November 2015.
15
melanggar ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PA, Pasal 1 angka 2 UU PA Pasal 4 UU
PA dan Pasal 26 ayat (1) huruf c UU PA. Melihat adanya kasus perkawinan usia
anak yang terjadi di Desa Jehem dan melanggar ketentuan-ketentuan UU PA
dapat dikatakan bahwa telah terjadi kesenjangan antara das solen dengan das sein
yaitu kesenjangan yang terjadi antara norma hukum dengan kenyataan yang
terjadi. Kesenjangan tersebut terlihat dari pelaksanaan perkawinan yang mana usia
Bunga berada di bawah 18 (delapan belas) tahun yaitu 14 (empat belas) tahun
yang mana Bunga masih berstatus anak namun perkawinan tesebut tetap
dilaksanakan. Kesenjangan juga terlihat antara Pasal 1 angka 1 UU PA yang mana
Bunga masih berstatus seorang anak namun sudah melakukan perkawinan, Pasal 1
angka 2 UU PA menentukan bahwa perlindungan anak merupakan segala
kegiatan yang dapat melindungai anak serta menjamin terpenuhinya hak-hak anak
namun di sisi lain perkawinan yang dilakukan terhadap anak dapat mengakibatkan
anak kehilangan segala bentuk perlindungan atas hak-haknya sebagai anak
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PA dan kesenjangan yang paling terlihat
adalah antara ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf c UU PA bahwa salah satu
tanggung jawab dan kewajiban orang tua adalah mencegah agar jangan sampai
anak melakukan perkawinan pada usia anak tetapi kenyataannya perkawinan usia
anak telah terjadi di Desa Jehem.
UU PA mengharapkan agar perkawinan usia anak tidak terjadi dan anak
tidak menjadi korban akibat melakukan perkawinan pada usia anak namun
kenyataannya perkawinan usia anak tetap dapat terjadi walaupun UU PA telah
mengatur ketentuan yang seharusnya dapat mencegah terjadinya perkawinan usia
16
anak. Perkawinan usia anak seharusnya di cegah dan tidak terjadi sebab dengan
melakukan perkawinan, anak kehilangan hak-haknya sebagai anak akibat
berubahnya status dari seorang anak menjadi seorang suami atau istri6. Oleh
karena itu pelaksanaan perkawinan usia anak merupakan salah satu permasalahan
yang bersifat mendesak yang memerlukan perhatian lebih di samping kejahatan-
kejahatan terhadap anak lainnya.
Penelitian tesis ini dilakukan untuk menganalisis kasus perkawinan usia anak
yang terjadi di Desa Jehem yang mana perkawinan tersebut telah melanggar
beberapa ketentuan dalam UU PA khususnya melanggar ketentuan Pasal 26 ayat
(1) Huruf c UU PA yang mana menimbulkan das sollen dan das sein. Penelitian
ini dilakukan untuk mendeskripsikan sekaligus menganalisis hal-hal yang
mendasari pelaksanaan perkawinan terhadap Bunga di Desa Jehem dan untuk
mendeskripsikan sekaligus menganalisis penerapan perlindungan anak yang
diterapkan dalam perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem tersebut yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan UU PA. Berdasarkan uraian latar belakang
masalah di atas, judul penelitian tesis ini adalah “Penerapan Perlindungan Anak
Dalam Perkawinan Usia Anak (Studi Kasus di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku,
Kabupaten Bangli, Provinsi Bali).
6M.Ghufran HLM.Kordi K, 2015, Durhaka Terhadap Anak: Refleksi Mengenai Hak & Perlindungan Anak, Penerbit Pustaka Baru Press, Yogyakarta, hlm.151.
17
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini antara lain:
1. Apakah hal-hal yang mendasari pelaksanaan perkawinan usia anak di Desa
Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali?
2. Bagaimana penerapan perlindungan anak berdasarkan UU PA dapat
diterapkan meskipun perkawinan usia anak telah terjadi di Desa Jehem,
Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah dalam penelitian berguna sebagai pembatasan area
penelitian sehingga dapat menunjukkan secara pasti variabel-variabel mana yang
akan diteliti dan mana yang tidak7. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan sebelumnya, fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan sekaligus menganalisis hal-hal yang mendasari pelaksanaan
perkawinan terhadap anak dan penerapan perlindungan anak sesuai dengan
ketentuan dalam UU PA dalam perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem,
Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari dilakukannya penelitian ini adalah mendeskripsikan dan
menganilisis kasus perkawinan usia anak yang dilakukan oleh pasangan berbeda
7Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.41.
18
usia yang terjadi di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli,
Provinsi Bali.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hal-hal yang mendasari
pelaksanaan perkawinan terhadap Bunga yang masih berstatus anak di
Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali .
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis penerapan perlindungan
anak sebagaimana diatur dalam UU PA meskipun pelaksanaan
perkawinan usia anak telah terjadi di Desa Jehem, Kecamatan
Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dalam menambah
khasanah keilmuan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang
kajian hukum dan masyarakat.
1.5.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:
1. Hasil dari penelitian terhadap perkawinan usia anak dapat menjadi
masukan bagi pemerintah dan penegak hukum dalam mencegah dan
menanggulangi perkawinan usia anak.
2. Masyarakat menjadi tahu dan mengerti akan pentingnya memberikan
perlindungan terhadap anak sehingga untuk selanjutnya dapat
dilakukan pencegahan serta penanggulangan perkawinan usia anak.
19
1.6 Orisinalitas Penelitian
Permasalahan hukum tentang pelaksanaan perkawinan terhadap anak di
bawah umur atau perkawinan usia anak, pembahasannya sudah dilakukan sejak
adanya kesadaran terhadap pentingnya perlindungan hukum terhadap anak.
Pembahasan tersebut dilakukan dalam berbagai bentuk penelitian, baik dalam
bentuk makalah, artikel ilmiah, skripsi, tesis, disertasi maupun jurnal. Adapun
beberapa penelitian tesis yang juga mengangkat isu mengenai perkawinan usia
anak antara lain:
Nama/Tahun/ Universitas
Judul Penelitian
Rumusan Masalah Jenis Penelitian
Perbedaan
Linda Rahmita Panjaitan/2010
/Universitas Sumatera
Utara
Perkawinan Anak Di Bawah
umur Dan Akibat
Hukumnya
1. Bagaimana pengaturan tentang perkawinan anak
dibawah umur dalam sistem hukum di
Indonesia? 2. Apa akibat hukum
dari perkawinan anak dibawah umur?
3. Bagaimana sanksi terhadap
pelanggaran atas perkawinan anak dibawah umur?
Yuridis Normatif
Mengkaji pengaturan
perkawinan usia anak dalam
sistem hukum di Indonesia,
akibat hukum yang
ditimbulkan serta sanksi
yang dikenakan atas
pelanggaran yang dilakukan.
Astrina Primadewi
Yuwono/2008/Universitas Indonesia.
Perlindungan Hukum
Bagi Anak Dalam Hal Perkawinan Di Bawah
umur.
1. Bagaimana aplikasi perlindungan anak dalam perkawinan
dibawah umur menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002? 2. Faktor apa yang
menyebabkan terjadinya
Yuridis Normatif
Mengkaji factor-faktor yang
timbul dalam perkawinan usia
anak menurut UU No.1 Tahun
1974 dan Mengetahui
sejauh mana UU No.1 Tahun
20
perkawinan usia anak?
3. Dampak apa saja yang timbul dari perkawinan usia
anak terhadap anak-anak?
1974 dan UU No. 23 Tahun 2002 mengatur perlindungan
anak khususnya perlindungan
bagi anak yang mengalami eksploitasi
secara ekonomi. Widihartati
Setiasih/ 2011/Universit
as Muhammadiyah Surakarta
Perkawinan Dini Dalam Perspektif
Perlindungan Anak (Studi
Kasus Di Masyarakat Kecamatan
Bulu Kabupaten Temanggun
g
1. Faktor-faktor apa yang mendorong
terjadinya perkawinan dini dalam perspektif
perlindungan anak, di masyarakat
kecamatan Bulu, kabupaten
Temanggung? 2. Bagaimana dampak
yang dialami mereka yang melangsungkan perkawinan dini di
masyarakat kecamatan Bulu
kabupaten Temanggung?
3. Bagaimana perspektif
perlindungan anak terhadap anak yang
dilahirkan dari pasangan
perkawinan dini di masyarakat
kecamatan Bulu, kabupaten
Temanggung? 4. Bagaimana upaya
merubah dan menciptakan persepsi pada
masyarakat agar memahami tujuan perkawinan sesuai
dengan undangundang/
Yuridis Sosiologis
.
Mendeskripsikan faktor-faktor
pendorong terjadinya
perkawinan dini,
mendeskripsikan dampak
setelah dilakukan
perkawinan dini dan
mendeskripsikan upaya-upaya
untuk merubah/menciptakan persepsi
pada masyarakat
Desa Wonotirto, Kecamatan
Bulu, Kabupaten
Temanggung serta untuk
dapat memahami
tujuan perkawinan
sesuai dengan
21
peraturan yang ada, di masyarakat
kecamatan Bulu, kabupaten
Temanggung?
undan-undang terkait dengan
perspektif perlindungan
anak. Tabel 1. Orisinalitas Penelitian.
Perbedaan penelitian tesis ini dengan tesis-tesis tersebut di atas adalah
penelitian tesis ini dilakukan dengan cara studi kasus yaitu meneliti dan
menganalisis kasus perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem dengan
bertujuan untuk menemukan hal-hal yang mendasari pelaksanaan perkawinan usia
anak dan mendeskripsikan sekaligus menganalisis penerapan perlindungan yang
tetap dilakukan berdasarkan UU PA meskipun perkawinan usia anak telah terjadi
di Desa Jehem.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Landasan teoritis adalah uraian sistematis tentang teori yang berhubungan
dengan penelitian yang akan dilakukan dan sekaligus menjadi pisau analisis
terhadap permasalahan yang diteliti8. Mukti Fajar dan Yulianto memberikan
batasan pengertian teori adalah “suatu penjelasan yang berupaya untuk
menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga
merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah
penjelasan yang sifatnya umum9”, sedangkan batasan pengertian teori hukum
diberikan oleh Bernard Arief Sidharta yaitu
teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis 8Johnny Ibrahim, 2012,Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, hlm. 293-294. 9 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. hlm.134.
22
berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan kemasyarakatan10. Teori hukum adalah bagian dari studi tentang hukum yang tujuannya untuk
menjelaskan dan itu menunjukkan bahwa teori hukum dapat dikategorikan
menjadi teori hukum deskriptif yang tujuannya menerangkan hukum apa adanya
ataupun teori hukum normative yang tujuan utamanya adalah menerangkan
hukum yang seharusnya11. Teori hukum melihat dan melakukan analisis secara
interdisipliner (dari sisi luar hukum) yang membedakannya dengan dogmatik
hukum yang menganalisis hukum dari dalam hukum itu sendiri sehingga teori
hukum tidak hanya berhenti pada masalah-masalah yang dikaji oleh dogmatic
hukum tetapi juga mengkaji hukum dari sisi luar hukum untuk melihat bekerjanya
hukum dalam masyarakat.
Kegunaan teori hukum dalam penelitian hukum yaitu sebagai pisau analisis
yang dijadikan panduan dalam melakukan analisis dengan memberikan penilaian
(preskripsi) terhadap temuan fakta atau peristiwa hukum yang ada apakah sudah
sesuai dengan teori atau tidak sesuai dengan teori yang digunakan. Teori hukum
juga dapat digunakan untuk menjelaskan sekaligus menganalisis fakta dan
peristiwa hukum yang terjadi yang mana peristiwa hukum tersebut merupakan
10 Sidharta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.122. 11 Efendi,AAn, Poernomo, Freddy dan Ranuh, IG. NG Indra S, 2016, Teori Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.97.
23
masalah yang dikaji dalam suatu penelitian hukum12. Teori hukum yang
digunakan dalam penelitian hukum ini adalah teori Semi-Autonomous Sosial Field
dari Sally Falk Moore, konsep perlindungan anak, konsep perlindungan hukum
dan konsep penegakan hukum.
1.7.1. Teori Semi-Autonomous Sosial field Sally Falk Moore
Teori semi-autonomous sosial field dari Sally Falk Moore ini merupakan
salah satu teori yang membahas pluralisme hukum. Berhubungan dengan teorinya
tersebut, Sally Falk Moore mengatakan,
…in terms its semi-autonomy- the fact that it can generate rules and customs and symbol internally but that it is also vulnerable to rules and decisions and other forces emanating from the larger world by which it is surrounded. The semi-autonomous sosial field has rule making capacities and the means to induce or coerce compliance, but it is simultaneously set in a larger sosial matrix which can and does, affect and invade it, sometimes at the invintation of person inside it, sometimes at its own instance13.
Sally Falk Moore melihat bahwa bidang yang kecil dan untuk sebagian
otonom (semi-autonomy) itu dapat menghasilkan peraturan-peraturan dan adat
kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal di dalam, tapi di lain pihak bidang
tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan
kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang
sosial yang semi otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan
sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, tapi
sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan sosial yang lebih luas yang
terdapat dan memang dalam kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya,
12 Mukti Fajar dan Achmad Yulianto, op.cit., hlm. 150. 13 Moore, Sally Falk, 1983, Law as Process: An Anthropological Approach, Routledge & Kegan Paul, London, hlm. 55.
24
kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kadang atas kehendaknya
sendiri.
Berdasarkan uraian mengenai semi-autonomy tesebut di atas, Sally Falk
Moore kemudian memberikan definisi tentang the semi-autonomous sosial field
sebagai,
…it is defined and its boundaries identified not by organization (it may be a corporation group, it may not) but by processual characteristic, the fact that it can generate rules and coerce or induce compliance to them. Thus an arena which a number of corporate groups deal with each other may be a semi-autonomous sosial field. Also the corporate groups themselves may each constitute a semi-autonomous sosial field14.
Teori semi-autonomous sosial field pada intinya melihat bahwa suatu bidang
sosial dapat disebut sebagai semi-otonom bukan pada bentuk organisasinya tetapi
dilihat dari prosesual atau adanya proses yang terjadi secara berangsur yaitu fakta
bahwa ia memiliki kemampuan untuk menimbulkan dan membentuk aturan-
aturannya sendiri (self regulation) serta dapat memaksakan atau mendorong
ketaatan pada aturan-aturan yang mereka bentuk tersebut. Sisi lain aturan yang
diciptakan tersebut rentan terhadap aturan-aturan dan kekuatan dari luar yang
lebih besar dan mengelilinginya (dalam hal ini negara). Hal tersebut dikarenakan
hukum buatan negara yang berkuasa penuh bersifat hierarkis sehingga tidak ada
bidang sosial (kelompok masyarakat) dalam suatu negara yang benar-benar
otonom dalam sudut pandang hukum.
Teori semi-autonomous sosial field dari Sally Falk Moore ini digunakan
sebagai pisau analisis dalam menjawab kedua rumusan masalah dalam penelitian
14 Ibid., hlm. 57.
25
tesis ini yakni untuk mendeskripsikan dan menganalisis dasar pertimbangan yang
digunakan untuk melaksanakan perkawinan terhadap Bunga yang masih berstatus
sebagai seorang anak yang dilakukan menurut hukum adat Bali yang berlaku di
Desa Jehem dan penerapan perlindungan anak berdasarkan UU PA dalam
perkawinan usia anak tersebut.
1.7.2 Konsep Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum menurut Satjipto Rahardjo15 yaitu melindungi hak
asasi manusia (HAM) setiap orang dengan mengintegrasikannya ke dalam suatu
aturan hukum sehingga memberikan batasan dan perlindungan bagi masyarakat
untuk dapat menikmati hak-haknya. Salim HS dan Erlis Septiana
Nurbanimemberikan pengertian perlindungan hukum sebagai “upaya atau bentuk
pelayanan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum serta hal-hal yang
menjadi objek yang dilindungi”16. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam
konsep perlindungan hukum tersebut meliputi:
1. Wujud atau bentuk perlindungan atau tujuan perlindungan: hal ini dapat
ditemukan dalam setiap perundang-undangan yang mana antara undang-
undang yang satu dengan lainnya berbeda dalam memberikan
perlindungan hukum kepada subjek dan objek yang dilindungi.
2. Subjek hukum; dan
3. Objek perlindungan hukum17.
15Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, cetakan kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm.54. 16Salim HS dan Erlies Septiana Nurbana, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, cetakan keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,hlm.262. 17Ibid.
26
Berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian hukum ini,
perlindungan hukum yang akan dibahas yaitu penerapan perlindungan hukum
terhadap anak. Subjek perlindungan hukum dalam UU PA adalah Anak dan objek
perlindungan hukum dalam UU PA adalah hak-hak setiap anak. Apabila hak-hak
anak dilanggar maka anak berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU PA.
1.7.3 Konsep Penegakan Hukum
Istilah penegakan hukum dalam bahasa Inggris di sebut law enforcement dan
dalam bahasa Belanda di sebut rechtshandhaving. Pengertian law enforcement
dalam bahasa Indonesia selalu identik dengan penegakan hukum yang bersangkut
dengan hukum pidana saja sedangkan handhaving adalah pengawasan dan
penerapan (atau dengan ancaman) dengan penggunaan instrument administratif,
kepidanaan atau keperdataan untuk mencapai penataan ketentuan hukum serta
peraturan yang berlaku umum dan individual. Pengawasan (control) berarti
pengawasan pemerintah untuk ditaatinya pemberian peraturan yang sejajar dengan
penyidikan dalam hukum pidana18.
Andi Hamzah membagi dua jenis tindakan dalam proses penegakan hukum
yaitu tindakan preventif dan represif19. Tindakan preventif di sini merupakan
tindakan sebelum dilakukannya penegakan hukum secara represif seperti diadakan
negoisasi, persuasi dan supervisi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin
ditaati sedangkan tindakan represif adalah tindakan menerapkan hukum atau
instrumen sanksi ketika terjadi pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku. 18Andi Hamzah, 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.48. 19Ibid.
27
Penegakan hukum secara represif merupakan penegakan hukum dalam arti sempit
atau law enforcement sedangkan kedua fase tersebut baik tindakan preventif
maupun represif diartikan sebagai penegakan hukum secara luas
(rechthandhaving).
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan manfaat atau
berdayaguna bagi masyarakat. Masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan, meskipun demikian tidak dapat dipungkiri
bahwa apa yang dianggap berguna belum tentu adil, begitupun sebaliknya apa
yang dirasakan adil belum tentu berguna bagi masyarakat Penegakan hukum
dilakukan juga untuk memenuhi tujuan hukum yaitu untuk mewujudkan
ketertiban, keteraturan, kedamaian serta keadilan. Hukum juga bertujuan untuk
mengayomi, tidak hanya melindungi dalam arti pasif yakni hanya mencegah
tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja tetapi juga melindungi
secara aktif yang artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan
mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri terus menerus. Di samping
mewujudkan ketertiban dan keadilan, tugas hukum adalah menciptakan
keteraturan dan kepastian hukum sedangkan dalam mewujudkan kepastian
hukum, tugas hukum adalah untuk menciptakan, menegakkan, memelihara dan
mempertahankan keamanan serta ketertiban yang adil20.
Soerjono Soekanto memberikan pengertian penegakan hukum sebagai
“kegiatan yang menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindak sebagai
20Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, cetakan ketiga, Refika Aditama, Bandung. hlm. 87. (selanjutnya disebut Maidin Gultom I)
28
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian dalam masyarakat21”. Ada lima faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto antara lain:
1. Faktor hukumnya sendiri yang di batasi hanya Undang-Undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Sarana
atau fasilitas merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk
mendukung dalam proses penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
Diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.22.
1.7.4 Konsep Perlindungan Anak
Konsep perlindungan anak dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UU PA
yang menentukan bahwa, “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Melihat dari batasan perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 UU PA,
perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan dan
dilakukan untuk mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang 21Soerjono Soekanto, 2010, Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed.1, Cet.9, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm.5. 22 Ibid., hlm.9.
29
mengalami tindak perlakuan salah (child abuse), eksploitasi dan penelantaran
sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara
wajar baik secara fisik, mental maupun sosial.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan
komprehensif maka pemberian perlindungan kepada anak berdasarkan prinsip-
prinsip non-diskriminasi, kepentingan yang baik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Maidin Gultom mengemukakan bahwa “perlindungan anak adalah segala usaha
yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan
hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
baik fisik, mental dan sosial”23. Perlindungan anak juga merupakan perwujudan
keadilan sosial dalam masyarakat sehinggga perlindungan anak diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Perlindungan anak
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu perlindungan anak yang bersifat yuridis
dan perlindungan anak yang bersifat non-yuridis24. Perlindungan anak yang
bersifat yuridis meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam
bidang hukum keperdataan sedangkan perlindungan anak dalam bidang non-
yuridis meliputi perlindungan dalam bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang
pendidikan.
23Maidin Gultom, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”, cetakan keempat (Revisi), PT. Refika Aditama, Bandung, hlm.40. (selanjutnya disingkat Maidin Gultom II). 24Ibid., hlm.41.
30
HUKUM PERLINDUNGAN ANAK (UU PA)
1.7.5 Kerangka Berpikir
DAS SEIN Dalam pelaksanaannya atau kenyataannya perkawinan usia anak dilakukan terhadap anak yang masih berusia di bawah 18 tahun sebagaimana yang terjadi di Desa Jehem, Kec. Tembuku, kab.Bangli prov.Bali.
PENERAPAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM PERKAWINAN USIA ANAK (STUDI KASUS DI DESA JEHEM, KECAMATAN TEMBUKU, KABUPATEN
BANGLI, PROVINSI BALI)
2. Bagaimana penerapan perlindungan anak berdasarkan UU PA dapat diterapkan meskipun perkawinan usia anak telah terjadi di Desa Jehem, Kec. Tembuku, Kab. Bangli, Prov. Bali?
1. Apakah hal-hal yang mendasari pelaksanaan perkawinan usia anak di Desa Jehem, Kec. Tembuku, Kab.Bangli, Prov. Bali?
• Teori Semi Autonomous Social-Field (Sally Falk Moore).
• Konsep Perlindungan Anak • Konsep Perlindungan
Hukum • Konsep Penegakan Hukum
• Teori Semi Autonomous Social-Field (Sally Falk Moore).
• Konsep Perlindungan Anak
HASIL PENELITIAN
DAS SOLLEN
Pasal 26 ayat (1) huruf c UU PA menentukan bahwa orang
tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
31
1.8 Metode Penelitian Hukum
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Salah satu
ciri penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris beranjak dari adanya
kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan realita
pelaksanaannya dilapangan25. Penelitian hukum yang dilakukan dimulai dengan
mengkaji pengaturan mengenai perlindungan anak dan perkawinan usia anak
dalam sistem hukum Indonesia. Kemudian menganalisis ketentuan-ketentuan
hukum positif yang diberlakukan pada peristiwa hukum in concreto dalam kasus
perkawinan usia anak dan melakukan penelitian terhadap penerapan perlindungan
anak terhadap pelaksanaan perkawinan usia anak. Fokus dalam penelitian ini
adalah pelaksanaan perkawinan usia anak dan penerapan perlindungan anak dalam
perkawinan usia anak yang terjadi di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku,
Kabupaten Bangli yang mana perkawinan usia anak tersebut bertentangan dengan
prinsip serta ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UU PA.
1.8.2 Sifat Penelitian
Berdasarkan sifat dan tujuannya, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu penelitian yang sifatnya eksploratif (penjajakan atau penjelajahan),
penelitian yang sifatnya deskriptif, dan penelitian yang sifatnya eksplanatoris26.
Dari ketiga sifat penelitian hukum empiris tersebut di atas, sifat penelitian yang 25 Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2014, Pedoman Penulisan: Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, cetakan ke-2, Universitas Udayana, Denpasar, hlm.46. 26Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 52.
32
digunakan adalah sifat deskriptif yang sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu
mendeskripsikan dan menganalisis penerapan perlindungan anak dalam
pelaksanaan perkawinan usia anak.
1.8.3 Data dan Sumber Data
Data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder, yaitu:
1. Data Primer adalah data yang bersumber pada penelitian lapangan yaitu
suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu
baik dari responden, narasumber maupun informan;
2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber
pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah
terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum27.
Data primer di sini merupakan data asli yang bersumber langsung dari
lapangan yaitu bersumber dari responden, narasumber maupun informan.
Responden adalah seseorang atau individu yang akan memberikan respon
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dan merupakan orang yang
terkait langsung dengan data yang dibutuhkan28.Informan adalah orang atau
individu yang memberikan informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas
yang diketahuinya dan peneliti tidak dapat mengarahkan jawabannya sesuai
27Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, op.cit., hlm. 51. 28 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit., hlm.174.
33
kehendak peneliti29. Hal tersebut yang membedakan antara responden dengan
informan.
Data sekunder adalah bahan-bahan hukum yang terkait dengan permasalahan
yang diteliti. Bahan hukum dapat dibedakan menjadi tiga yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer
meliputi kaedah dasar yaitu UUD 1945, peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi dan hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Bahan hukum
sekunder meliputi rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, jurnal-jurnal
hukum dan buku-buku hukum. Bahan hukum tersier meliputi kamus hukum dan
ensiklopedia. Ketiga bahan hukum tersebut di atas akan di pergunakan untuk
menganalisis dan meneliti permasalahan dalam penelitian tesis ini.
Data primer yang di gunakan dalam penelitian ini adalah data yang di
dapatkan langsung dari informan dan responden yang ikut terlibat dalam
penerapan perlindungan anak dalam perkawinan usia anak di Desa Jehem antara
lain prajuru desa Desa Jehem, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak POLRES
Bangli, Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Bangli dan
Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Bali sedangkan responden yaitu istri
pertama pelaku dan keluarga Bunga. Data sekunder yang di gunakan adalah UU
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo UU No. 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai
data utama serta ditambahkan peraturan perundang-undangan lain yang masih
29 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit., ,hlm.175.
34
berkaitan dengan perlindungan anak dan bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan hukum yang diteliti.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian hukum
empiris ini yaitu teknik studi dokumen dan teknik wawancara.
1. Teknik Studi Dokumen.
Teknik ini merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum baik
normatif maupun empiris karenap penelitian hukum selalu bertolak dari premis
normatif30. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan
hukum yang relevan dengan permasalahan hukum yang diteliti serta Peraturan
Perundang-undangan yang terkait dengan perkawinan dan perlindungan anak.
2. Teknik Wawancara
Wawancara adalah bagian penting dalam suatu penelitian hukum terutama
dalam penelitian hukum empiris karena tanpa adanya wawancara peneliti akan
kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan menanyakan langsung
kepada responden, narasumber maupun informan31. Pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara ini akan dilakukan wawancara secara terarah
terhadap responden dan kepada informan maupun narasumber apabila diperlukan.
Teknik wawancara terarah (directive interview) merupakan teknik wawancara
yang menggunakan pengarahan dan struktur tertentu, yaitu:
1. Ada rencana pelaksanaan wawancara;
2. Mengatur daftar pertanyaan serta membatasi jawaban-jawaban; 30 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.68. 31 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit.,hlm.161.
35
3. Memperhatikan karakteristik pewawancara maupun yang diwawancarai;
4. Membatasi aspek-aspek masalah yang diperiksa;
5. Mempergunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih
dahulu32.
1.8.5 Pengolahan dan Analisis data.
Setelah terkumpulnya semua data, langkah selanjutnya yang akan dilakukan
adalah mengolah dan menganalisis semua data yang telah terkumpul. Analisis
data yang dilakukan oleh peneliti, biasanya melalui pendekatan kuantitatif dan
atau kualitatif. Pemilihan terhadap analisis data yang dilakukan hendaknya selalu
betumpu pada tipe dan tujuan penelitian serta sifat data yang terkumpulkan33.
Apabila data yang diperoleh kebanyakan bersifat pengukuran (angka-angka)
hendaknya dilakukan analisis secara kuantitatif, tetapi jika data yang dikumpulkan
tidak terkait dengan pengukuran maka dilakukan analisis secara kualitatif. Data
yang digunakan dalam penelitian tesis ini tidak terkait dengan pengukuran angka
dan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara maka dalam pengolahan
dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Pengolahan dan analisis data dalam
penelitian ini menggunakan model kualitatif karena sifat penelitian hukum ini
bersifat deskriptif.
Penelitian hukum empiris ini menggunakan analisis kualitatif karena
penelitian bersifat deskriptif, pengumpulan data bersifat non probability sampling
dan tidak melakukan pengukuran melalui kuesioner. Langkah pertama yang
32M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 112. 33Suratman dan HLM. Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung. hlm.145.
36
digunakan adalah dengan mengelompokkan data sesuai dengan jenisnya,
kemudian data yang dikelompokkan itu diklasifikasikan sesuai dengan perilaku
hukum masyarakat yang mempengaruhi keberlakuan suatu hukum. Kemudian
membangun teori dengan menganalisa fakta-fakta sosial dengan menjelaskannya
melalui bantuan hukum atau sebaliknya hukum itu dijelaskan melalui bantuan
fakta-fakta sosial yang ada dan berkembang di masyarakat34.
Teknik analisis pada dasarnya adalah analisis deskriptif, diawali dengan
mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut subaspek dan
selanjutnya melakukan interpretasi untuk memberikan makna terhadap tiap
subaspek dan hubungannya satu sama lain. Setelah itu, dilakukan analisis atau
intepretasi keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara aspek
yang satu dengan aspek yang lainnya dan dengan keseluruhan aspek yang menjadi
pokok permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga
memberikan hasil secara utuh35. Proses analisis dilakukan terus menerus sejak
pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga tahap analisis. Setelah
dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif,
kualitatif dan sistematis.
34 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, cetakan I, Mandar Maju, Bandung, hlm.173-174. 35Ibid.