abdul qadir afin kolly

Upload: taufik-ghockil-zlaluw

Post on 06-Jan-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

laporan kasus

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSJUNI 2015BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

REAKSI REVERSAL (MH TIPE BL)

Disusun Oleh:Abdul Qadir Afin Kolly, S.Ked10542 0245 10

Pembimbing:DR. dr. Sitti Musafirah, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2015BAB IPENDAHULUAN

Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.1 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan kusta masih terus diteliti. 1Endemic penyakit kusta menyebar pada seluruh benua, kecuali antartika. Di Amerika, hanya Kanada dan Chili yang tidak endemic, Texas dan Lousiana memiliki daerah yang berfokus endemic di United States. Pada sebagian besar daerah Selatan Eropa insidens penyakit kusta cukup rendah dan endemic pada daerah Pulau Pasifik. India merupakan beban dunia dengan insidens lepra sebanyak dua pertiga dari seluruh penderita lepra. 3Pada tahun 1990an prevalensi kusta turun hingga 90% karena pengobatan dengan Multi Drug Treatment (MDT). Pada seluruh populasi dilaporkan bahwa kusta secara umum lebih banyak laki-laki dibanding dengan perempuan dengan perbandingan 2:1. Pada umur pertengahan insiden tuberkuloid lebih sedikit dibandingkan dengan lepromatous, dan pada umur muda insidens lepromatous didapatkan lebih banyak. 3Kusta pada umumnya memberikan morfologi yang khas yaitu lesi yang diawali dengan bercak putih, bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita akan mengeluh kesemutan/baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota badan yang berlanjut pada kekakuan sendi. Rambut alis pun dapat rontok.4Pada penyakit kusta dapat terjadi reaksi kusta. Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Klasifikasi yang paling banyak digunakan dibagi menjadi 2 yaitu Eritema Nodosum leprosum (ENL) dan Reaksi Reversal. Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe Borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya Sistem Imunitas Seluler (SIS), sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. 1,2Berikut akan dilaporkan kasus mengenai Kusta pada pasien yang berobat ke Balai Pengobatan Kulit, Kelamin, dan Kosmetika Makassar

BAB IILAPORAN KASUS

Resume :Seorang perempuan berusia 44 tahun datang ke Balai Pengobatan Kulit dan Kelamin untuk mengontrol penyakitnya dengan keluhan berupa bercak bercak kemerahan di wajah (1 lesi) dan di leher (1 lesi) yang berbatas tegas yang berukuran plakat. Pasien tersebut berobat di Balai Kulit Pengobatan sejak tahun 1 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 24 juni 2014. Pasien telah mendapatkan terapi MDT, dan pada tanggal 16 januari 2015 timbul reaksi reversal berupa lesi menjadi udem dan menebal. Sehingga penanganan yang diberikanpun berubah sesuai dengan keadaan pasien. Pasien tidak memiliki alergi makanan apapun, riwayat keluhan yang sama dikeluarga disangkal oleh pasien. Pemeriksaan fisis didapatkan lesi bercak kemerahan sebanyak 2 lesi dengan ukuran plakat, hipostesi (+), penebalan saraf ulnaris (-), gangguan fungsi saraf (-), pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (+1). Pada tanggal 23 juni 2015 pasien telah menyelesaikan pengobatannya dan dinyatakan Released From treatment (RFT).

Status Presens :Pemeriksaan klinis : Keadaan umum : sakit (ringan/sedang/berat) Kesadaran (komposmentis/uncomposmentis ) STATUS DERMATOLOGISLokasi : Wajah dan leherUkuran : PlakatEfloresensi: Lesi eritematosa, berbatas tegas

Pemeriksaan Penunjang :Sensibilitas: raba, nyeri, (hipoestesi) daerah yang lesi.Saraf: palpasi saraf periferJumlah lesi : 2 lesi (1 wajah dan 1 lesi di leher )Nervus:nyeri tebalkonsistensiN. Ulnaris -/- -/- lunakLaboratorium: pewarnaan Ziehl Nielsen ditemukan BTA (+1)Diagnosis Banding:Psoriasis VulgarisErisipelasDiagnosisReaksi Reversal MH Tipe BL RFT MDT : 23 juni 2015Terapi yang telah diberikan pada pasien :1. Terapi sistemik Minum di depan petugas :R/ Rifampicin 600 mg tab / Bulan (300 mg + 300 mg ) 1 dd IIR/ Dapson 100 mg tab No I 1 dd IR/ Klofazimin 300 mg tab No I 1 dd IYang dibawa pulang :R/ Dapson 50 mg tab No XXVIII 1 dd IR/ Klofazimin 50 mg tab No XXVIII 1 dd IR/ Metilprednisolon 5 mg tabDengan catatan dosis pada rekam medis sebagai berikut ; Tanggal Dosis kortikosteroid yang diberikan :

10-11-201430 mg. 3-3-0

24-11-201430 mg. 3-3-0

08-12-201425 mg. 3-2-0

22-12-201420 mg. 2-2-0

02-01-201520 mg. 2-2-0

16-01-201520 mg. 2-2-0

26-01-201515 mg. 2-1-0

10-02-201510 mg. 2-0-0

10-03-20155 mg. 1-0-0

14-04-20155 mg. 1-0-0

04-05-20155 mg. 1-0-0

05-06-20155 mg. 1-0-0

Non Farmakologi:1. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan akan berlangsung lama, antara 6-9 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.2. Penyakit ini mengganggu saraf, sehingga pasien akan merasakan mati rasa, oleh karena itu disarankan agar pasien menghindari trauma agar tidak memungkinkan terjadinya infeksi lain, misalnya dengan cara : Menggunakan sepatu atau pelindung kaki yang berbahan aman dari trauma. Rajin membersihkan sepatu dari kerikil atau batu yang bisa masuk ke dalamnya.Prognosis1. Qou ad vitam : bonam1. Quo ad function: bonam1. Quo ad sanationam: bonam

BAB IIIPEMBAHASAN

Pada kasus ini untuk mendiagnosis kami melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Keluhan awal pasien berupa timbul bercak kemerahan pada wajah dan leher sebanyak 2 lesi yang tidak dirasakan gatal maupun nyeri. Keluhan ini sudah cukup lama dirasakan pasien dan baru sempat memeriksakan diri ke dokter. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana, yaitu : jarum, kapas, tabung reaksi, masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya . 1 Pada kasus ini sudah dilakukan pemeriksaan fisis menggunakan alat sederhana yaitu jarum dan kapas. Pasien kurang merasakan ketika dilakukan sentuhan pada lesi. Hal ini berarti adanya hipostesia pada lesi. Yang mendukung pada penyakit Morbus Hansen atau kusta. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kepustakaan berikut :Manifestasi klinik penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan. Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada : 51. Multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae1. Respon imun penderita terhadap kuman M. leprae1. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer 5Ada 3 tanda cardinal. Kalau salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta, yakni : 51. Lesi kulit anastesi2. Penebalan saraf perifer3. Ditemukannya M. Leprae (bakteriologis positif) 5Pemeriksaan penunjang yang didapatkan pada pasien ini adalah +1. Yang diambil dari cuping telinga kanan dan kiri serta lesi pada daerah leher. Pada buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dijelaskan bahwa Indeks Bakteri (IB) diberi nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 1. 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP1. 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP1. 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP1. 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP1. 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP1. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP 1Pada penyakit kusta, digunakan pula klasifikasi. Terdapat berbagai klasifikasi penyakit kusta sesuai dengan ilmu pengetahuan. Mulai dari klasifikasi Pre Manila, Manila, Pan Amerika, Havana, Madrid, Indian, Job dan Chacko, Ridley dan Jopling serta klasifikasi menurut WHO. 2Sampai saat ini klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi kusta dalam 5 tipe yaitu : 21. Tipe Tuberkuloid (TT)2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)3. Tipe Borderline (BB)4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)5. Tipe Lepromatous (LL)Pengobatan antibakteri untuk kusta sangat efektif, dengan tingkat kambuhan yang rendah sehingga perlu dilakukan selama berbulan-bulan.6 Sebab itulah terapi pada penyakit kusta cukup lama. Selama pengobatan pada bulan kelima dari fase pengobatan lesi pada pasien bertambah aktif, berupa lesi yang awalnya macula eritema menjadi lebih eritem dan bertambah luas. Sehingga pasien dinyatakan menderita reaksi kusta berupa Reaksi Reversal tipe BL tepatnya pada tanggal 10 november 2014. Hal ini sangat sesuai dengan kepustakaan yang dijelaskan sebagai berikut ;Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe Borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya Sistem Imunitas Seluler (SIS), sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula.1Gejala klinis dari reaksi reversal umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang singkat dan mendadak. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak timbul nodus dan terkadang ada jejak neuritis. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.1,4Diagnosis banding pada kasus ini lebih mengarah kepada psoriasis vulgaris dan erisepelas. Dibedakan dengan kusta bahwa pada psoriasis vulgaris berupa bercak bercak eritema dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih, serta transparan. Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner.Pada penyakit erisipelas kelainan kulit yang utama ialah eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas dan pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula. Penyakit ini didahului trauma. Pasien diberikan terapi MDT sesuai dengan tipenya yaitu BL yang menurut WHO termasuk dalam tipe MB dan diberikan regimen : 1,21. Rifampicin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan1. DDS 100 mg setiap hari1. Klofazimin (lampren) 300 mg setiap bulan dalam pengawasan, dilanjutkan 50 mg setiap hari dirumahSeluruhnya diberikan dalam 12 dosis selama 12-18 bulan dengan syarat bakterioskopis negatif. Apabila masih positif , pengobatan dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setiap 3 bulan. Penghentian pemberian obat lazim disebut Released From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Jika pemeriksaan bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru maka pasien dinyatakan bebas dari pengamatan atau Released From Control (RFC).1,2Golongan Sulfon merupakan derivate diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang memiliki sifat farmakologi yang sama. Mekanisme kerja sulfon sama dengan sulfonamide. Kedua golongan obat ini mempunyai spectrum antibakteri yang sama dan dapat dihambat aktivitasnya oleh PABA.8Rifampisin dapat menyebabkan resistensi pada penggunaan lama, sehingga perlu dikombinasi dengan obat lain. Seperti dapson yang sensitive terhadap M. Leprae dan klofazimin atau etionamid. Klofazimin merupakan turunan fenazin yang efektif terhadap basil lepra. Obat ini tidak hanya efektif untuk lepra jenis lepromatosis, tetapi juga memilki efek anti radang sehingga dapat mencegah eritema nodosum.8 Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.9 Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. 5,9Untuk penanganan pada reaksi reversal berupa kortikosteroid seperti prednisone yang diberikan 40 mg sehari cukup berhasil mengendalikan 85% kasus reaksi reversal. Yang kemudian dosisnya diturunkan secara perlahan-lahan. Adapun jadwal pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta-Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen Kesehatan Indonesia dapat dilihat pada skema berikut : 1, 2

Minggu pemberianDosis harian yang dianjurkan

Minggu 1-240 mg

Minggu 3-430 mg

Minggu 5-620 mg

Minggu 7-815 mg

Minggu 9-1010 mg

Minggu 11-125 mg

Dan pasien telah mendapatkan pengobatan MDT dan juga pengobatan kortikosteroid untuk reaksi reversalnya dan sekarang dinyatakan pasien RFT. Pasien dinyatakan RFT tepatnya pada tanggal 23 juni 2015. Sehingga pada pasien ini harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis kembali pada akhir pengobatannya dan melakukan pemeriksaan bakteriologis lagi nantinya setiap tahun selama 5 tahun untuk dinyatakan bahwa psaien ini RFC jika tidak ditemukan keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif. Komplikasi umum dari kusta timbul dari cedera saraf perifer, insufisiensi vena, atau jaringan parut. Sekitar seperempat sampai sepertiga dari pasien yang baru didiagnosis dengan penyakit kusta memiliki, atau akan akhirnya memiliki, beberapa kecacatan kronis sekunder ireversibel cedera saraf, biasanya dari tangan atau kaki, atau dari keterlibatan mata. 3Keratitis paparan dapat menyebabkan dari berbagai faktor termasuk mata kering, ketidakpekaan kornea, dan lagophthalmos. Keratitis ini dan lesi ruang anterior (termasuk keterlibatan iris, sclera atau saraf kornea) dapat menyebabkan kebutaan. 3Kecacatan pada tangan dan kaki. Kelemahan yang dikarenakan oleh hilangnya inervasi pada otot dapat menyebabkan kecacatan. Dikarenakan adanya luka dari benda tajam ataupun dari trauma panas dapat menyebabkan infeksi yang tidak dirasakan oleh pasien sehingga akan lebih memperburuk luka tersebut. 3 Prognosis bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun3.Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi. Vaksinasi berupa BCG yang dapat dikombinasi dengan M. Leprae Killed. 3

LAMPIRAN STATUS

IDENTITAS PASIENNama: Ny. SUmur: 44 TahunJenis Kelamin: PerempuanPendidikan : SMPSuku/ Bangsa: Gowa / IndonesiaAgama: IslamStatus : Sudah kawinAlamat: Jl. Malino km 26 Gowa Pekerjaan: Ibu Rumah TanggaTanggal Pemeriksaan: 25 juni 2015Anamnesis : AutoanamnesisKeluhan utama : Bercak kemerahan di wajah dan di leherAnamnesis terpimpin : Seorang perempuan berusia 44 tahun datang ke Balai Pengobatan Kulit dan Kelamin untuk mengontrol penyakitnya dengan keluhan berupa bercak bercak kemerahan di wajah (1 lesi) dan di leher (1 lesi) yang berbatas tegas yang berukuran plakat. Pasien tersebut berobat di Balai Kulit Pengobatan sejak tahun 1 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 24 juni 2014. Pasien telah mendapatkan terapi yang tepat, dan pada tanggal 16 januari 2015 timbul reaksi reversal disertai perpindahan tipe dari tipe BT kearah lepromatous yaitu tipe BL. Sehingga penanganan yang diberikanpun berubah sesuai dengan keadaan pasien. Pasien tidak memiliki alergi makanan apapun, riwayat keluhan yang sama dikeluarga disangkal oleh pasien. Pemeriksaan fisis didapatkan lesi bercak kemerahan sebanyak 2 lesi dengan ukuran plakat, hipostesi (+), penebalan saraf ulnaris (-), gangguan fungsi saraf (-), pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (+1). Pada tanggal 23 juni 2015 pasien telah menyelesaikan pengobatannya dan dinyatakan Released From treatment (RFT). DAFTAR PUSTAKA

1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88.2. Amirudin,Dali.M, dalam penyakit kusta sebuah pendekatan klinis. Wijaya agus (editor ) Brilian international. Surabaya : Fk Unhas. 2012. 3. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 1789-1796 )4. Siregar, R.S., Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta.2005. hal : 154-1635. Amirudin Dali M. Penyakit Kusta. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit. Harahap M (ed). Edisi 1 Jakarta : Penerbit Hipokrates. 2000; hal : 260-2706. Lockwood D.N.J. leprosy Burns Tony, Breathnach Stephen, Cox Neil, Griffi ths Christopher.Rooks Textbook of Dermatology eighth edition.Willey black weel .2010. P 32.1-32.207. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview, 28 Juni 2015. 8. Istiantoro Y.H, Setiabudi R. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Dalam : Farmakologi dan Terapi edisi kelima. Gunawan S.G, Seriabudi R, Elisabeth (editor). Badan Penerbit FKUI. Jakarta. 2011. hal : 633-635 9. Brown,Robin Graham,et al. Lecture Notes Dermatologi. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2005.,hal 23-5