a. work engagementeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5257/3/bab ii.pdf · 2019. 3. 15. · 14 adanya...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Work Engagement
1. Pengertian Work Engagement
Menurut Bakker (2011), work engagement merupakan keadaan
motivasional yang positif yang mengandung karakteristik vigor, dedication,
dan absorption. Vigor dikarakteristikkan sebagai level energi dan resiliensi
yang tinggi. Dedication dikarakteristikkan sebagai keterlibatan kuat yang
ditandai rasa antusias dan rasa bangga. Absorption dikarakteristik-kan dengan
berkonsentrasi dan terlibat penuh dalam pekerjaan. Individu yang memiliki
rasa keterikatan kerja memiliki dampak seperti rendahnya kecenderungan
meninggalkan organisasi sehingga organisasi akan merasa terjamin dengan
kehadiran dari pekerja (Bakker & Leiter, 2010). Menurut Federman (2009),
work engagement karyawan adalah derajat di mana seorang karyawan mampu
berkomitman pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut
ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lama masa bekerja. Menurut
Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam pekerjaan
dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya,
bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional
selama bekerja. Brown (dalam Robbins, 2003) memberikan definisi work
engagement yaitu dimana seorang karyawan dikatakan memiliki work
13
engagement dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat
mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan
menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi.
Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada
jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu.
Hewitt (dalam Daryono, 2008) mendefinisikan employee work
engagement sebagai sikap positif pegawai dan perusahaan (komitmen,
keterlibatan, dan keterikatan) terhadap nilai nilai budaya dan pencapaian
keberhasilan perusahaan. Menurut Wulandari dan Gustomo (2009), work
engagement bergerak melampaui kepuasan yang menggabungkan berbagai
persepsi karyawan yang secara kolektif menunjukkan kinerja yang tinggi,
komitmen, serta loyalitas. Schmidt (2004) mengartikan work engagement
sebagai gabungan antara kepuasan dan komitmen, dan kepuasan tersebut
mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap, sedangkan komitmen
lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik. Meskipun kepuasan dan
komitmen adalah dua elemen kunci, secara individu mereka tidak cukup untuk
menjamin work engagement, terdapat tema berulang yang menunjukkan work
engagement yang melibatkan pekerja yaitu “going extra mile” (akan bekerja
ekstra) dan mengupayakan sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang biasanya
diharapkan. Dalam jurnalnya, Puspita (2012) mengungkapkan pendapat
Bakker & Sallanova (2007) bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keterikatan kerja, yaitu: sumber daya kerja, sumber personal,
dan tuntutan kerja. Faktor lain yang memengaruhi keterikatan kerja adalah
14
adanya dukungan sosial yang diterima individu, baik berupa psikologis, fisik,
maupun finansial.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa work engagement
merupakan keadaan motivasional yang positif yang mengandung karakteristik
vigor, dedication, dan absorption. Sedangkan definisi operasional work
engagement dalam penelitian ini adalah sikap positif karyawan di mana
seorang karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan
melaksanakan peran kerjanya, bekerja serta mengekspresikan dirinya secara
fisik, kognitif dan emosional selama bekerja, yang juga mengandung
karakteristik vigor, dedication, dan absorption. Karyawan dengan work
engagement yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis pekerjaan yang
dilakukan dan benar-benar peduli dengan pekerjaan itu.
2. Aspek-aspek Work Engagement
Menurut Schaufeli, dkk. (2008) terdapat tiga dimensi work
engagement yaitu vigor, dedication, dan absorption. Berikut penjelasan lebih
lanjut dari aspek-aspek tersebut :
a. Vigor
Vigor dikarakteristikkan melalui level tinggi dari energi dan resiliensi
mental selama bekerja, ketulusan untuk memberikan usaha dalam suatu
pekerjaan, dan ketekunan walaupun berhadapan dengan berbagai macam
kesulitan.
15
b. Dedication
Dedication dikarakteristikkan lewat rasa signifikan dari antusiasme,
inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Istilah dedication mirip dengan
istilah involvement yang biasanya didefinisikan dalam istilah identifikasi
psikologis pekerjaan seseorang. Namun, setelah dilakukan pengumpulan
data secara kualitatif, dedication lebih mengacu pada suatu involvement
yang kuat atau selangkah lebih di depan daripada level identifikasi.
Dedication memiliki cakupan yang lebih luas tidak hanya mengacu pada
state keyakinan atau kognitif saja tetapi termasuk juga terhadap affective.
c. Absorption
Absorption dikarakteristikkan dengan konsentrasi yang penuh dan
mendalam dalam pekerjaan, ditandai dengan terasa cepatnya waktu
berlalu. Terabsorpsi penuh pada suatu pekerjaan mirip dengan apa yang
sering disebut “flow”, suatu state pengalaman optimal yang
dikarakteristikkan dengan perhatian, clear mind, mind and body unison,
effortless concentration, complete control, kurangnya kesadaran diri,
distorsi waktu dan kesenangan intrinsik. Bagaimanapun secara khusus
“flow” merupakan konsep yang lebih kompleks yang termasuk dalam
banyak aspek dan mengacu pada bagian khusus, pengalaman singkat
berbeda dengan engagement yang lebih pervasif dan persisten.
16
Menurut Macey, Schneider, Barbera & Young (dalam Mujiasih,
2012), work engagement mencakup 2 dimensi penting, yaitu:
a. Work engagement sebagai energi psikis
Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak dengan berada di
dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut.
Keterikatan kerjamerupakan tendangan fisik dari perendaman diri
dalam pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving),
penyerapan (absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan
(involvement).
b. Work engagement sebagai energi tingkah laku
Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Keterikatan
kerja terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa
hasil.
Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
- Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan
mengantisipasi kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan
mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan
organisasi.
- Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”,
mereka fokus pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara
konsisten mengenai kesuksesan organisasi.
17
- Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas
kemampuan yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang
penting bagi visi dan misi perusahaan.
- Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan
atau situasi yang membingungkan.
Dari kedua aspek-aspek dan dimensi tersebut, peneliti memilih
untuk menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Schaufeli, dkk.
sebagai indikator penelitian yaitu vigor, dedication, dan absorption.
Karena berdasarkan data awal, aspek-aspek tersebut yang muncul pada
perilaku ATC.
3. Faktor yang mempengaruhi Work Engagement
Albrecht (2010) dalam bukunya Handlbook of Employee
Engagement, menganalisis hasil penelitian cross sectional yang dilakukan
oleh Bakker dan Demerouti (2007) mengenai berbagai pendorong atau
cara meningkatkan engagement yang dapat digunakan juga dalam konsep
work engagement. Berbagai penelitian telah meneliti faktor-faktor yang
menjadi pendorong work engagement. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Job Characteristic
Kahn (1990) mengungkapkan bahwa kebermaknaan psikologis dapat
dicapai dari karakteristik tugas yang menyediakan pekerjaan
menantang, bervariasi, membutuhkan berbagai keterampilan,
kebebasan mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk
18
membuat suatu kontribusi yang penting. Hal ini sesuai dengan
karakteristik pekerjaan dari Hackman dan Oldham, yaitu skill variety,
task identity, task significance, autonomy, dan feedback. Menurut
Kahn, pekerja akan lebih engaged apabila disediakan pekerjaan yang
memiliki kelima karakteristik tersebut.
b. Perceived Organizational Support
Variabel yang penting dalam dukungan sosial adalah peresepsi
terhadap dukungan organisasi dan persepsi terhadap dukungan
supervisor. POS mengacu pada keyakinan umum bahwa organisasi
menghargai kontribusi mereka dan peduli akan kesejahteraan mereka.
Dasar dari penelitian dukungan organisasi adalah social exchange
theory (SET). SET merupakan norma timbal balik antara karyawan
dengan perusahaan, dimana ketika karyawan menerima sumber-
sumber yang penting dari organisasi, maka karyawan akan merasa
berkewajiban untuk membayar ataupun meresponnya dengan
kinerjanya terhadap organisasi. POS menciptakan sebuah kewajiban
karyawan untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan
membantu organisasi mencapai tujuannya sebagai balasannya
organisasi akan menghargai kontribusi karyawannya dan peduli
terhadap kesejahteraan karyawannya. POS dapat membawa pada hasil
yang postitif yaitu melalui engagement. Dengan kata lain, karyawan
yang memiliki POS yang tinggi, menjadi lebih engaged terhadap
pekerjaan dan organisasi karyawan sebagai bagian dari norma timbal
19
balik dari SET sehingga membantu organisasi untuk mencapai
tujuannya (Saks, 2006).
c. Reward and Recognition
Kahn (dalam Saks, 2006) mengungkapkan bahwa karyawan bervariasi
dalam engagement-nya sesuai dengan bagaimana fungsi karyawan
mempersepsikan keuntungan yang diterima dari perannya. Karyawan
akan lebih mungkin untuk engaged dalam pekerjaan sejauh mana
karyawan mempersepsikan jumlah yang lebih besar dari rewards dan
rekognisi bagi kinerja peran mereka.
d. Distributive Justice-Procedural Justice
Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah
keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan
terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan
mendistribusikan sumber daya yang ada. Ketika karyawan memiliki
persepsi yang tinggi terhadap keadilan organisasi, karyawan akan lebih
mungkin untuk merasa wajib adil untuk berperforma dalam peran
karyawan dengan memberikan diri karyawan sendiri melalui tingkat
engagement yang lebih besar (Saks, 2006).
e. Keterlibatan Dalam Pembuatan Keputusan
Sejauh mana karyawan merasa mampu menyuarakan ide, manajer
mendengar pandangan karyawannya dan menghargai kontribusi dari
karyawan, kesempatan karyawan untuk mengembangkan pekerjaan,
dan sejauh mana organisasi perhatian terhadap kesehatan dan
20
kesejahteraan karyawan akan meningkatkan engagement (Robinson,
2004).
f. Komunikasi
Perusahan harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Harus ada
komunikasi ke atas dan ke bawah dengan jalur komunikasi yang tepat
dalam organisasi. Jika karyawan diizinkan dalam memberikan
pembuatan keputusan dan benar-benar di dengar oleh pemimpinnya,
maka level engagement akan tinggi (Vazirani, 2007).
g. Kepemimpinan
Organisasi yang sukses menghargai setiap kualitas dan kontribusi
karyawan tanpa menghiraukan level pekerjaan karyawan (Vazirani,
2007). Pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi pengikutnya
untuk dapat mencapai tujuan organisasi. Pemimpin memiliki peran
penting dalam mengembangkan engagement dengan menunjukkan
karakteristik yang mendorong engagement, seperti mau berbagi visi
organisasi dan menjadi supportive (Taran, Shuck, Gutierrez, & Baralt,
2009).
h. Health and Safety
Penelitian telah mengindikasikan bahwa level engagement rendah jika
karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi
seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan
kesehatan dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).
21
i. Job Satisfaction
Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang
engaged. Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat
pekerjaan yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan
karir dimana hal tersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan
mereka dan otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007).
j. Kepercayaan dan Integritas
Karyawan yang mempercayai pemimpin-pemimpin di organisasi
karena pemimpin yang mengatur irama dari kebudayaan organisasi dan
menginspirasi kinerja dan komitmen yang tinggi akan mendorong
engagement. Kepercayaan yang tinggi pada manajer dan pemimpin-
pemimpin senior berhubungan dengan skor engagement yang tinggi
(Blessing White, 2010).
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, faktor yang paling
mempengaruhi work engagement pada penelitian ini adalah faktor
perceived organizational support, karena berdasarkan data awal jika
karyawan merasa dukungan dari organisasi kurang, akan berdampak
aspek-aspek dari work engagement karyawan. Oleh karena itu peneliti
memilih perceived organizational support untuk dijadikan variabel bebas
pada penelitian ini.
22
B. Perceived Organizational Support
1. Pengertian Perceived Organizational Support
Organizational Support Theory (OST; Eisenberger, Huntington,
Hutchison, & Sowa, 1986; Eisenberger & Stinglhamber, 2011; Shore & Shore,
1995) menyatakan bahwa “employees develop a general perception
concerning the extent to which the organization values their contributions and
cares about their well-being (Perceived Organizational Support, or POS)”.
Bila diartikan akan menjadi “karyawan akan mengembangkan sebuah persepsi
umum tentang bagaimana organisasi menghargai kontribusi dan peduli tentang
kesejahteraan karyawan (Perceived Organizational Support atau POS)”.
Pembentukan persepsi dukungan organisasi dimulai dari kecenderungan
karyawan memberi karakteristik manusia kepada organisasi (Eisenberger,
dkk., 1986). Pemberian karakteristik manusia ini terjadi karena karyawan
cenderung mengartikan perlakuan pengelola sumber daya manusia sebagai
perlakuan organisasi. Pemberian karakteristik manusia terhadap organisasi
membentuk ekspektasi karyawan akan timbal balik dari kontribusi yang telah
diberikan terhadap organisasi dan kepedulian organisasi akan kesejahteraan
karyawan (Eisenberger, dkk., 1986).
Persepsi dukungan organisasi atau Perceived Organizational Support
(POS) mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi
menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli pada kesejahteraannya
(Rhoades & Eisenberger, 2002). Jika karyawan menganggap bahwa dukungan
organisasi yang diterimanya tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan
23
keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas dirinya dan
kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap
organisasi tersebut. Hal tersebut yang juga akan meningkatkan komitmen pada
diri karyawan. Komitmen inilah yang pada akhirnya akan mendorong
karyawan untuk berusaha membantu organisasi mencapai tujuannya, dan
meningkatkan harapan bahwa performa kerja akan diperhatikan serta dihargai
oleh organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi Perceived
Organizational Support adalah persepsi karyawan mengenai sejauh mana
organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli pada
kesejahteraannya. Definisi operasional Perceived Organizational Support
dalam penelitian ini adalah pembentukan persepsi dukungan organisasi
dimulai dari kecenderungan karyawan memberi karakteristik manusia kepada
organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi
menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli pada kesejahteraannya.
Jika karyawan menganggap bahwa dukungan organisasi yang diterimanya
tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan keanggotaan sebagai
anggota organisasi ke dalam identitas dirinya dan kemudian mengembangkan
hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap organisasi tersebut.
24
2. Aspek-aspek Perceived Organizational Support
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rhoades dan Eisenberger
(2002) mengindikasikan bahwa 3 kategori utama dari perlakuan yang
dipersepsikan oleh karyawan memiliki hubungan dengan Perceived
Organizational Support. Ketiga kategori utama ini adalah sebagai berikut:
a. Keadilan
Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk menentukan
bagaimana mendistribusikan sumber daya di antara karyawan. (Greenberg,
dalam Rhoades & Eisenberger 2002). Shore dan Shore (dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002) menyatakan bahwa banyaknya kasus yang
berhubungan dengan keadilan dalam distribusi sumber daya memiliki efek
kumulatif yang kuat pada Perceived Organizational Support dimana hal
ini menunjukkan bahwa organisasi memiliki kepedulian terhadap
kesejahteraan karyawan. Cropanzo dan Greenberg (dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002) membagi keadilan prosedural menjadi aspek keadilan
struktural dan aspek sosial. Aspek struktural mencakup peraturan formal
dan keputusan mengenai karyawan. Sedangkan aspek sosial seringkali
disebut dengan keadilan interaksional yang meliputi bagaimana
memperlakukan karyawan dengan penghargaan terhadap martabat dan
penghormatan mereka.
b. Dukungan supervisor
Karyawan mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana atasan
menilai kontribusi karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan
25
(Kottke & Sharafinski, dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Karena
atasan bertindak sebagai agen dari organisasi yang memiliki tanggung
jawab untuk mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan, karyawan
pun melihat orientasi atasan sebagai indikasi adanya dukungan organisasi
(Levinson dkk., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).
c. Penghargaan Organisasi dan Kondisi Pekerjaan
Bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan ini adalah
sebagai berikut:
- Pelatihan.
Pelatihan dalam bekerja dilihat sebagai investasi pada karyawan yang
nantinya akan Perceived Organizational Support (Wayne dkk., dalam
Rhoades & Eisenberger, 2002).
- Gaji, pengakuan, dan promosi.
Sesuai dengan teori dukungan organisasi, kesempatan untuk
mendapatkan hadiah (gaji, pengakuan, dan promosi) akan
meningkatkan kontribusi karyawan dan akan meningkatkan Perceived
Organizational Support (Rhoades & Eisenberger, 2002).
- Keamanan dalam bekerja.
Adanya jaminan bahwa organisasi ingin mempertahankan
keanggotaan di masa depan memberikan indikasi yang kuat terhadap
Perceived Organizational Support (Griffith dkk., dalam Eisenberger
and Rhoades, 2002).
26
- Peran stressor. Stress mengacu pada ketidakmampuan individu
mengatasi tuntutan dari lingkungan. Stres terkait dengan tiga aspek
peran karyawan dalam organisasi yang berkorelasi negatif dengan
Perceived Organizational Support, yaitu: tuntutan yang melebihi
kemampuan karyawan bekerja dalam waktu tertentu (work-overload),
kurangnya informasi yang jelas tentang tanggung jawab pekerjaan
(role-ambiguity), dan adanya tanggung jawab yang saling
bertentangan (role-conflict) (Lazarus & Folkman, dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002).
Worley, Fuqua, dan Hellman (2009) menjelaskan bahwa terdapat dua
aspek dalam persepsi dukungan organisasi :
a. Keyakinan umum karyawan akan sejauhmana organisasi
menyadari dan menghargai kontribusi karyawan. Karyawan
menilai apresiasi organisasi akan kontribusi karyawan melalui
pemberian imbalan material oleh organisasi seperti gaji, jabatan,
imbalan, atau kompensasi dan keuntungan dalam bentuk lain.
b. Keyakinan karyawan akan kepedulian organisasi terhadap
kesejahteraan sosioemosional dari karyawan. Aspek persepsi
dukungan organisasi ini mencerminkan persepsi karyawan
terhadap peraturan organisasi dan aplikasinya terkait dengan
pemakaian waktu untuk hal personal dan hal yang berkaitan
dengan keluarga.
27
Peneliti memilih aspek-aspek yang dikemukakan oleh Rhoades &
Eisenberger untuk digunakan sebagai indikator di dalam alat ukur penelitian,
aspek-aspek tersebut adalah keadilan, dukungan supervisor, serta penghargaan
organisasi dan kondisi pekerjaan. Karena aspek-aspek tersebut yang juga
muncul dalam data awal penelitian.
C. Hubungan Antara Perceived Organizational Support dengan Work
Engagement
Saks (2006) berpendapat bahwa Perceived Organizational Support (POS)
dapat membawa pada hasil yang postitif yaitu melalui engagement. Dengan kata
lain, karyawan yang memiliki POS yang tinggi menjadi lebih engaged terhadap
pekerjaan dan organisasi sebagai bagian dari norma timbal balik dari social
exchange theory sehingga membantu organisasi untuk mencapai tujuannya.
Albrecht (2010) dalam bukunya Handbook of Employee Engagement,
menganalisis hasil penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Bakker dan
Demerouti (2007) mengenai berbagai pendorong atau cara meningkatkan
engagement yang dapat digunakan juga dalam konsep work engagement di
antaranya adalah Job Characteristic, Perceived Organizational Support, Reward
and recognition, kepemimpinan, komunikasi, job satisfaction, kepercayaan dan
intregitas. Menurut Rhoades & Eisenberger (2008), Perceived Organizational
Support merupakan teori dukungan organisasi yang beranggapan bahwa untuk
menentukan kesiapan organisasi memberikan rewards atas peningkatan kinerja
28
dan memenuhi kebutuhan sosioemosional, karyawan mengembangkan
kepercayaan bahwa organisasi menghargai konstribusi dan memperhatikan
kesejahteraan mereka.
Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), persepsi terhadap dukungan
organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi
menilai kontribusi dan peduli pada kesejahteraan karyawan. Dukungan organisasi
juga merupakan upaya untuk memberi penghargaan, perhatian, dan peningkatan
kesejahteraan kepada setiap karyawan sesuai dengan usaha yang diberikan bagi
organisasi. Pada dasarnya, dukungan organisasi senantiasa diharapkan oleh setiap
karyawan. Jika karyawan merasakan adanya dukungan dari organisasi yang sesuai
dengan norma, keinginan, dan harapannya, maka karyawan akan dengan
sendirinya memiliki komitmen dalam memenuhi kewajibannya pada organisasi
(Eisenberger, dkk., 2002).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rhoades dan Eisenberger (2002)
mengindikasikan bahwa 3 kategori utama dari perlakuan yang dipersepsikan oleh
karyawan memiliki hubungan dengan Perceived Organizational Support yaitu
keadilan, dukungan supervisor, serta penghargaan organisasi dan kondisi
pekerjaan. Keadilan prosedural menyangkut cara yang digunakan untuk
menentukan bagaimana mendistribusikan sumber daya di antara karyawan
(Greenberg, dalam Rhoades & Eisenberger 2002). Shore dan Shore (dalam
Rhoades & Eisenberger, 2002) menyatakan bahwa banyaknya kasus yang
berhubungan dengan keadilan dalam distribusi sumber daya memiliki efek
kumulatif yang kuat pada perceived organizational support di mana hal ini
29
menunjukkan bahwa organisasi memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan
karyawan. Cropanzo dan Greenberg (dalam Rhoades & Eisenberger, 2002)
membagi keadilan prosedural menjadi aspek keadilan struktural dan aspek sosial.
Aspek struktural mencakup peraturan formal dan keputusan mengenai karyawan.
Sedangkan aspek sosial seringkali disebut dengan keadilan interaksional yang
meliputi bagaimana memperlakukan karyawan dengan penghargaan terhadap
martabat dan penghormatan karyawan. Karyawan yang memiliki keterikatan
tentunya memiliki sense of belonging yang lebih besar terhadap perusahaan, sense
of belonging merupakan aspek penting dimana semakin peduli karyawan pada
organisasinya maka karyawan akan merasakan tingkat stress yang lebih tinggi jika
diperlakukan tidak adil (Cropanzo, dkk. 2007). Persepsi karyawan terhadap
keadilan perusahaan dapat mempengaruhi peran karyawan di dalam perusahaan
melalui level engagement nya. Menurut Maslach (2001), jika karyawan memiliki
persepsi positif terhadap keadilan perusahaan, akan muncul rasa harus
memberikan timbal balik dalam diri karyawan dengan memberikan usaha lebih
ketika bekerja melalui level engagement yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika
karyawan memiliki persepsi negatif terhadap keadilan perusahaan, akan
menyebabkan karyawan meninggalkan pekerjaannya dan berkurangnya peran
karyawan di dalam perusahaan. Persepsi yang positif terhadap keadilan
perusahaan dapat meningkatkan work engagement, sebaliknya persepsi negatif
terhadap keadilan perusahaan dapat menyebabkan burnout melalui level
engagement yang rendah.
30
Lebih lanjut, adalah kategori dukungan supervisor, karyawan
mengembangkan pandangan umum tentang sejauh mana atasan menilai kontribusi
karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan (Kottke & Sharafinski,
dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Hal ini dikarenakan atasan bertindak
sebagai agen dari organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan
dan mengevaluasi kinerja bawahan, karyawan pun melihat orientasi atasan
sebagai indikasi adanya dukungan organisasi (Levinson dkk., dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002). Menurut Eisenberger, dkk. (2002). Jika karyawan memiliki
persepsi yang positif terhadap dukungan supervisor maka hal tersebut akan
menghasilkan hubungan timbal balik di mana karyawan merasa terhubung secara
emosional dan berkewajiban untuk memberi timbal balik kepada supervisor dan
organisasi dengan memberikan lebih banyak kemampuannya melalui level
engagement yang tinggi. Sebaliknya, jika karyawan memiliki persepsi yang
negatif terhadap dukungan supervisor maka karyawan tidak merasa ada hubungan
baik dengan supervisor dan organisasi sehingga karyawan merasa tidak perlu
untuk memberikan banyak kemampuannya dan menyebabkan level engagement
yang rendah.
Kategori yang terakhir adalah penghargaan organisasi dan kondisi
pekerjaan, bentuk dari penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan ini adalah:
Pelatihan, pelatihan dalam bekerja dilihat sebagai investasi pada karyawan yang
nantinya akan Perceived Organizational Support (Wayne dkk., dalam Rhoades &
Eisenberger, 2002). Selanjutnya ada gaji, pengakuan, dan promosi. Sesuai dengan
teori dukungan organisasi, kesempatan untuk mendapatkan hadiah (gaji,
31
pengakuan, dan promosi) akan meningkatkan kontribusi karyawan dan akan
meningkatkan Perceived Organizational Support (Rhoades & Eisenberger, 2002).
Lalu ada keamanan dalam bekerja, adanya jaminan bahwa organisasi ingin
mempertahankan keanggotaan di masa depan memberikan indikasi yang kuat
terhadap Perceived Organizational Support (Griffith dkk., dalam Eisenberger and
Rhoades, 2002). Terakhir adalah peran stressor, stress mengacu pada
ketidakmampuan individu mengatasi tuntutan dari lingkungan. Stres terkait
dengan tiga aspek peran karyawan dalam organisasi yang berkorelasi negatif
dengan Perceived Organizational Support, yaitu: tuntutan yang melebihi
kemampuan karyawan bekerja dalam waktu tertentu (work-overload), kurangnya
informasi yang jelas tentang tanggung jawab pekerjaan (role-ambiguity), dan
adanya tanggung jawab yang saling bertentangan (role-conflict) (Lazarus &
Folkman, dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).
Robertson (2007) berpendapat bahwa karyawan yang terikat dengan
pekerjaannya akan menunjukkan antusiasme, hasrat yang nyata menenai
pekerjaannya dan untuk organisasi. Selain itu, karyawan juga akan menikmati
pekerjaan yang dilakukannya dan berkeinginan untuk memberikan segala bantuan
untuk dapat mensukseskan organisasi tempatnya bekerja. Ismainar (2015)
berpendapat bahwa bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagi
kebutuhan sosioemosional, seperti respect (penghargaan), caring (kepedulian),
dan tangiblebenefit (berupa gaji dan tunjangan kesehatan). Perasaan dihargai oleh
organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan akan approval
(persetujuan), esteem (penghargaan) dan affiliation (keanggotaan). Penilaian
32
positif dari organisasi juga meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha
dalam bekerja akan dihargai, sehingga karyawan akan memberikan perhatian yang
lebih atas penghargaan yang diterima dari atasan, maka dari itu dukungan
organisasi memberikan hasil positif untuk karyawan dan organisasi.
Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa dukungan organisasional
yang dirasakan adalah tingkat sampai dimana karyawan yakin organisasi
menghargai kontribusi dan peduli dengan kesejahteraan karyawan, kecuali jika
bagi karyawan manajemen tidak mendukung, karyawan dapat melihat tugas-tugas
tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan memperlihatkan hasil
kerja yang tidak efektif untuk organisasi. Dukungan organisasi dapat berdampak
pada peningkatan komitmen, kepuasan kerja dan mood yang positif, keterlibatan
kerja karyawan, performa kerja, keinginan untuk menetap dalam organisasi dan
menurunkan ketegangan dalam bekerja, serta menurunkan tingkat withdrawal
behavior, sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi (Rhoades &
Eisenberger, 2002).
Menurut Soekiman (2007) karyawan yang merasakan adanya sistem di
dalam perusahaan yang mendukung keberadaan karyawan sebagai anggota
organisasi dengan adanya bentuk kepedulian akan masa depan, kebutuhan
karyawan di dalam organisasi, karier, dan peningkatan sistem sumber daya
manusia akan meningkatkan komitmen karyawan melalui level engagement yang
lebih tinggi. Sebaliknya, karyawan yang merasa tidak adanya sistem di dalam
perusahaan yang mendukung keberadaan karyawan sebagai anggota organisasi
dengan adanya bentuk kepedulian akan masa depan, kebutuhan karyawan di
33
dalam organisasi, karier, dan peningkatan sistem sumber daya manusia maka
karyawan akan merasa tidak perlu berkomitmen tinggi terhadap perusahaan
sehingga menyebabkan level engagement karyawan rendah.
D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori tersebut, dapat dirumuskan hipotesis penelitian
ini adalah “ada hubungan positif antara perceived organizational support dengan
work engagement pada air traffic controller (ATC)”. Artinya, semakin positif
perceived organizational support maka semakin tinggi work engagement pada
ATC di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Sebaliknya, semakin negatif perceived
organizational support maka semakin rendah work engagement pada ATC di
bandara Soekarno-Hatta Jakarta.