a - welcome to fakultas hukum unsoed | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/bab...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Moeljatno yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut. Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana,
lebih lanjut Moeljatno mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu
diperhatikan :
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. ”Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”. 9
Mengenai pengertian tindak pidana A. Ridwan Halim menggunakan
istilah delik untuk menterjemahkan strafbaarfeit, dan mengartikannya
sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang. 10 Hazewinkel – Suringga memberikan suatu
rumusan yang bersifat umum mengenai strafbaarfeit yaitu suatu perilaku
manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan
9 Moeljatno, 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 34
10 Ridwan A. Halim, 1982. Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 31.
hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh
hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa
yang terdapat di dalamnya. 11
Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu
pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian
yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap
istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi
atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana
dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,
sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan
pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini
bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti
khusus sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan
sebagai ”hukuman”. 12
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan
”strafbaarfeit” untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit, sehingga
timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya
yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukakan oleh
Hamel dan Pompe.
11 Lamintang, 1984. Dasar - dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, hlm. 172
12 Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37.
7
Pendapat yang dikemukakan oleh Hamel tentang Strafbaarfeit adalah
sebagai berikut : Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. 13 Sedangkan
pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit adalah sebagai berikut :
Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang
sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku. 14
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sudarto bahwa untuk
mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi
seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan
memenuhi unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit). Hal ini sesuai dengan
pengertian tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu, yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian
pidana. 15
Unsur-unsur (strafbaarfeit) atau unsur-unsur tindak pidana menurut
Simons ialah :
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld );c. Melawan hukum (onrechtmatig);d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar
persoon). 16
13 Ibid., hlm. 38.14 Lamintang, 1984. Op.Cit . hlm. 173-174.15 Ibid., hlm. 36.16 Ibid., hlm. 32.
8
Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut di atas, Simons kemudian
membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit.
Bahwa yang dimaksud unsur obyektif adalah perbuatan orang, akibat yang
kelihatan dari perbuatan itu dan keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu. Sedangkan yang dimaksud unsur subyektif adalah orang yang mampu
bertanggung jawab dan adanya kesalahan (dolus atau culpa). Menurut Van
Hamel bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi :
a. Adanya perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum;
c. Dilakukan dengan kesalahan, dan
d. Patut di pidana. 17
Unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat Moeljatno sebagai
sarjana yang berpandangan dualistis mengemukakan sebagai berikut :
a. Moeljatno berpendapat:
“Untuk memungkinkan pemindahan secara wajar maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka, di samping itu pada seseorang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikenakan pemidanaan adalah harus dipenuhinya unsur-unsur dalam perbuatan pidana (criminal act) dan unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana (criminal responbility)”.
Unsur-unsur perbuatan pidana yaitu:
1) Perbuatan manusia;2) Yang memenuhi rumusan undang-undang (ini merupakan syarat
formil), dan3) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Unsur pertanggungjawaban pidana ialah :1) Kesalahan;
17 Ibid., hlm. 33.
9
2) Kemampuan bertanggung jawab.18
b. Menurut Sudarto : “Syarat pemidanaan meliputi syarat-syarat yang melekat pada perbuatan dan melekat pada orang, yaitu:1) Syarat melekat pada perbuatan
a) memenuhi rumusan undang-undangb) bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
2) Syarat melekat pada oranga) mampu bertanggung jawabb) dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)”. 19
Dikemukakan oleh Vrij bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap,
ialah bersifat melawan hukum dan kesalahan itu belumlah lengkap untuk
melakukann penuntutan pidana. Untuk dapat melakukan penuntutan pidana
harus ada unsur lain, sedangkan unsur dimaksud adalah ”unsur sub-sosial”
yaitu semacam kerusakan dalam ketertiban hukum (deuk in de rechtsorder).
Ada empat lingkungan yang terkena oleh suatu delik, yaitu :
a. Si pembuat sendiri : ada kerusakan
(ontwrichting) padanya;
b. Si korban: ada perasaan tidak puas;
c. Lingkungan terdekat: ada kehendak untuk
meniru berbuat jahat;
d. Masyarakat umum: perasaan cemas. 20
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada
umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-
unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur
”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
18 Ibid., hlm. 34-35.19 Ibid., hlm. 35-36.20 Ibid., hlm. 39.
10
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan
unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan. 21
Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP;
e. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah :
a. Sifat melanggar hukum;
b. Kualitas si pelaku;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 22
21 Lamintang, 1984. Dasar - dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung. hlm. 183.
22 Ibid., hlm. 184.
11
B. Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum (pidana) apabila dilihat dari suatu proses kebijakan
maka penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan
melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap formulasi, yaitu: tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat Undang-undang. Tahap ini disebut tahap legislatif.
2. Tahap aplikasi, yaitu : tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari dari kepolisian sampai tahap pengadilan. Tahap
kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu : tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh
aparat penegak hukum. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif
atau administratif. 23
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa
penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di
sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.24 Ditambahkan oleh Satjipto
Rahardjo, bahwa dengan berakhirnya pembuatan hukum sebagaimana telah
diuraikan di atas, proses hukum baru menyelesaikan satu tahap saja dari suatu
23 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegero, Semarang, hlm. 13-14.
24 Satjipto Rahardjo, Tanpa Tahun. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, hlm. 24.
12
perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan hukum masih
harus disusul oleh pelaksanaannya secara kongkrit dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum itu.25
Masih berkaitan dengan masalah penegakan hukum, Soerjono Soekanto
mengatakan :
“Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup”.26
Dikemukakan oleh Sudarto bahwa pada hakikatnya hukum itu untuk
mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang
diharuskan ataupun yang diperbolehkan dan sebagainya. Dengan demikian
menarik garis antara apa yang patuh hukum dan apa yang melawan hukum.
Hukum dapat mengkualifikasi sebagai sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum
atau mendiskualifikasinya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai
dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang
menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang
diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justeru perbuatan yang disebut
terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi
(onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi
(onrecht in potentie). Perhatian yang penggarapan perbuatan itulah yang
merupakan penegakan hukum. 27
25 Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 181.26 Soerjono Soekanto, 1983. Penegakan Hukum. Bina Cipta, Bandung. hlm. 13. 27 Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 111.
13
Selanjutnya Sudarto menyatakan bahwa kalau tata hukum dilihat secara
skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, ialah
sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem
penegakan hukum administrasi. Ketiga sistem penegakan hukum tersebut
masing-masing di dukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau
biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturannya
sendiri-sendiri pula. 28
Kalau dilihat secara fungsionil, maka sistem penegakan hukum itu
merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh
alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Adapun yang dimaksud
dengan “alat penegak hukum” itu biasanya hanyalah kepolisian, setidak-
tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang Kepolisian, dan Kejaksaan.
Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, maka penegakan
hukum itu menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi
pemerintah (bestuur), aparat eksekusi pidana. Bukankah mereka ini mempunyai
peranan dalam aktivitas guna mencegah dan mengatasi perbuatan yang melawan
hukum pada umumnya ? Penegakan hukum di bidang hukum pidana didukung
oleh alat perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan
hukum di bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksudkan di sini adalah
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang
peraturan-peraturan yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain ketentuan
hukum acara pidana, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang
tentang Kepolisian, Undang-undang tentang Kejaksaan. 29
28 Sudarto, 1986. Loc. cit.29 Ibid., hlm. 112.
14
Hukum pidana menurut Moeljatno, yaitu sebagai bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk :
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 30
Menurut Sudarto yang menyitir pendapat Mezger, hukum pidana dapat
didefinisikan sebagai: ”Aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa
pidana”. Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok kepada 2 (dua) hal, yaitu :
a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu;
b. Pidana.
ad. a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (Verbrechen atau crime). Oleh karena dalam “perbuatan jahat” ini harus ada orang yang melakukannya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.
ad. b. Pidana
Yang dimaksudkan dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Di
30 Moeljatno, 1987.Op. cit., hlm. 1.
15
dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP dan sebagainya.31
Di samping definisi tersebut di atas dapat dikemukakan definisi hukum
pidana oleh beberapa penulis seperti di bawah ini.
a. Menurut pendapat Simons, Hukum Pidana adalah :
1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati;
2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan
3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.
b. Menurut pendapat Van Hamel, Hukum Pidana adalah :
Keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara dalam
kewajibannya untuk menegakan hukum, yakni dengan melarang apa yang
bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa
(penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut). 32
Hukum pidana meteriel memuat aturan-aturan yang menetapkan dan
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang
memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan
mengenai pidana KUHP memuat aturan-aturan hukum pidana meteriel.
Hukum pidana formil mengatur bagaimana Negara dengan perantaraan alat-
alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.
Hukum pidana formil bisa juga disebut hukum acara pidana. H.I.R. memuat
aturan-aturan hukum pidana formil.33
C. Teori-teori Tentang Pemidanaan
31 Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana Jilid IA – IB. Fakultas Hukum, UNSOED, Purwokerto. hlm. 5
32 Sudarto, 1990/1991. Loc. Cit.33 Ibid., hlm. 6.
16
1. Teori Pemidanaan
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi
dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:
a. Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);
b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen);
c. Teori gabungan (verenigings teorieen).
Ad. a. Teori absolut
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum
est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya
kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes tujuan utama
(primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan
tuntutan keadilan” (to satisfy the clams of justice) sedangkan
pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. 34
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan
jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy
of Law” sebagai berikut:
“ … pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya)
34 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung. hlm. 10-11
17
pembunuh terakhir yang masih ada di dalam penjara harus di pidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”. 35
Jadi menurut pendapat Kant, pidana merupakan suatu
tuntutan kesusilaan. Kant, memandang pidana sebagai “Kategorische
Imperatief” yakni: seseorang harus di pidana oleh hakim karena ia
telah melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk
mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan
(uitdrukking van de gerechtigheid). 36
Dalam buku John Kalpan, teori retribution ini dibedakan
lagi menjadi dua teori, yaitu:
1) Teori pembalasan (the revenge theory), dan
2) Toeri penebusan dosa (the expiation theory).
Menurut John Kalpan kedua teori ini sebenarnya tidak
berbeda, tergantung dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan
pidana yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita
“menghutangkan sesuatu kepadanya” atau karena “ia berhutang
sesuatu kepada kita”. Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si
penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back)
sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat
“membayar kembali hutangnya” (the criminal pays back). 37
35 Muladi & Barda Nawawi Arief, Loc. cit.36 Ibid., hlm. 11-12.37 Ibid., hlm. 13.
18
Ad. b. Teori relatif
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak
mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J. Andenaes, teori
ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory
of social defence). Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut
teori aliran reduktif (the “redictive” point of view) karena dasar
pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan. Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut
golongan “Reducers” (Penganut teori reduktif).
Pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana,
tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan
(Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut
teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan
“quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan
“ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). 38
Beda ciri pokok atau karakteristik antara teori retributive dan
teori utilitarian dikemukakan secara terperinci oleh Karl. O.
Christiansen sebagai berikut :
1) Pada teori restribution :
38 Ibid., hlm. 16.
19
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
2) Pada teori utilitarian :
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 39
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa
dibedakan antara istilah prevensi special dan prevensi general atau
sering juga digunakan istilah “special deterrence” dan “general
deterrence”. Dengan prevensi special dimaksudkan pengaruh pidana
terhadap terpidana. Jadi pencegahaan kejahatan itu ingin dicapai oleh
pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak
melakukan pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana
itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi
39 Ibid., hlm. 16-17.
20
masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan
Reformation atau Rehabilitation Theory.
Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana
terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan
itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku
anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak
pidana. 40
Ad. c. Teori gabungan
Di samping pembagian secara tradisional teori-teori
pemidanaan seperti dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori
relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenigings
theorieen). Penulis yang pertama mengajukan teori gabungan ini
ialah Pellegrino Rossi (1787 – 1848). Pellegrino Rossi, selain tetap
menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya
pidana tidak boleh melampaui suatu pebalasan yang adil, namun
Pellegrino Rossi berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai
pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat
dan prevensi general. Penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa
pidana mengandung pelbagai kombinasi tujuan ialah Binding,
Merkel, Kohler, Richard Schmid dan Beling. 41
Teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pertahanan tata
terbit masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu adalah menjadi dasar
40 Ibid., hlm. 17-18.41 Ibid., hlm. 19.
21
dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu :
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhnya pidana tidak boleh
lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Pendukung dari teori gabungan yang lebih menitikberatkan pada
pembalasan ini didukung oleh Pompe, yang mempunyai pandangan
bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga
bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar supaya
kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.
Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat
bagi pertahanan tata tertib hukum di dalam masyarakat. 42
2. Tujuan Pemidanaan
Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan pemidanaan di
Indonesia adalah sebagai tahap formulatif dalam penegakan hukum yang erat
kaitannya dengan pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan
pembinaan narapidana sebagai tahap eksekusi dalam penegakan hukum. Salah
satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah dengan melihat
pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini KUHP. 43
42 Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 162
43 Barda Nawawi Arief, 1984. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy). Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. hlm. 34.
22
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis,
terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan
pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak
dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial.
Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil
dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan
dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa
diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. 44
Tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, adalah
sebagai berikut : ”Untuk menakut-nakuti orang agar orang tersebut jangan
sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general
preventive) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan
kejahatan agar di kemudian hari orang itu tidak melakukan lagi kejahatan”. 45
Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan
tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum
adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana
yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang
akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan
adalah :
a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);
44 Zainal Abidin, 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. ELSAM, Jakarta. hlm. 10
45 Andi Hamzah, 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 26.
23
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni :
1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna
2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. 46
Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori
restributif tujuan pemidanaan adalah :
a. Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.
b. Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sah atau tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe restributif ini disebut fairness.
c. Pemidanaan dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality. Termasuk ke dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalainnya. 47
Tipe restributif yang disebut vindicative tersebut di atas, termasuk ke
dalam kategori pembalasan. John Kalpan, dalam bukunya Criminal Justice
membagi teori restributif menjadi 2 (dua), yaitu :
a. The reverange theory (teori pebalasan)
b. The expiation theory (teori penebusan dosa). 48
46 Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 8347 Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar
Maju, Bandung. hlm. 83-8448 Muladi, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung. hlm. 13
24
Pembalasan mengandung arti hutang si penjahat telah dibayarkan
kembali (the criminalis paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung
arti si penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back). Jadi
pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kalpan, tergantung dari cara
orang berpikir pada saat menjatuhkan sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu
karena ”menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia berhutang
sesuatu kepada kita.
Sebaliknya Johannes Andenaes, menegaskan ”penebusan” tidak
sama dengan ”pembalasan dendam” (revange). Pembalasan berusaha
memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang
lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa lebih bertujuan
untuk memuaskan tuntutan keadilan. 49
D. Tindak Pidana Pencurian
1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Salah satu bentuk kejahatan yang tercantum dalam Bukum Kedua
KUHP adalah tindak pidana pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab
XXII Pasal 362 – 367 KUHP. Mengenai tindak pidana pencurian ini ada salah
satu pengkualifikasian dengan bentuk pencurian dengan pemberatan,
khususnya yang diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Pencurian secara
umum dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.50
49 Ibid., hlm. 14
25
Kaitannya dengan masalah kejahatan pencurian, di Indonesia mengenai
tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas 5 (lima)
macam pencurian :
a. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP)
Perumusan pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP yang
menyatakan sebagai berikut : ”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh
rupiah”. 51
Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka unsur-unsur tindak
pidana pencurian (biasa) adalah sebagai berikut :
1) Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur :
a) mengambil;
b) suatu barang;
c) yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
2) Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur :
a) dengan maksud;
b) untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri;
c) secara melawan hukum.
b. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
50 Lamintang, 1989. Delik – delik Khusus Kejahatan - kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru, Bandung, hlm. 1
51 Moeljatno, 1985. Op. cit. hlm. 128.
26
Istilah ”pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doktrinal
disebut sebagai ”pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang
dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan
cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat
dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian
biasa. Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan
pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan
tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur
tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan
membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.
Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP, maka
unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah :
1) Unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP
2) Unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHP yang meliputi :
a) Pencurian ternak (Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP);
b) Pencurian pada waktu ada kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHP);
c) Pencurian di waktu waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP);
d) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang yang bersekutu (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);
e) Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP).
c. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)
27
Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari
pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan
unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi
diperingan. Perumusan pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP
yang menyatakan :
”Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. 52
Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-
unsur dalam pencurian ringan adalah :
1) Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP);
2) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);
3) Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;
4) Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;
5) Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya; dan
6) Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.
d. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)
Jenis pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP lazim disebut
dengan istilah ”pencurian dengan kekerasan” atau populer dengan istilah
”curas”. Ketentuan Pasal 365 KUHP selengkapnya adalah sebagai berikut :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
52 Ibid., hlm. 129.
28
kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :ke-1 jika perbuatan dilakukan pada malam hari dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian seragam palsu;
ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkanmati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam point 1 dan 3. 53
e. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP)
Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini
merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun
korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal 367 KUHP
akan terjadi apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau
membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda isteri atau suaminya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami –
isteri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja
atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayannya, maka pencurian atau
membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat
53 Ibid., hlm. 130.
29
dilakukan penuntutan. Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh
suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain
(bukan sebagai anggota keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai
pembantu, maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan,
sekalipun tidak ada pengaduan.54
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian
Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut Lamintang, tindak
pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362
KUHP tersebut di atas itu terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif.
a. Unsur subyektif’met het oogmerk om het zich wederrehtelijk toe te eigenen’ atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum;
b. Unsur obyektif1) ’hij’ atau barangsiapa;2) ’wegnemen’ atau mengambil;3) ’eenig goed’ atau sesuatu benda;4) ’dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort’ atau yang sebagian
atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 55
Unsur-unsur tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363
KUHP. Seperti telah diketahui ’unsur obyektif pertama’ dari tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah ’hij’, yang lazim diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia dengan kata ’barangsiapa’. Kata ’hij’ tersebut
menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana
yang diatur dalam pasal tersebut maka karena bersalah telah melakukan tindak
pidana pencurian, ia dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
lima tahun atau pidana denda setingi-tingginya sembilan ratus rupiah. 56
54 Moeljatno, 1985. Loc. cit.55 Lamintang 1984. Op. cit., hlm. 1.56 Ibid., hlm. 8.
30
’Unsur obyektif yang kedua’ dari tindak pidana pencurian adalah
perbuatan ’mengambil’ dari tempat di mana barang tersebut terletak. Oleh
karena di dalam kata ’mengambil’ sudah tersimpul pengertian ’sengaja’ maka
undang-undang tidak menyebutkan ’dengan sengaja mengambil’. Kalau kita
mendengar kata ’mengambil’ maka pertama terpikir oleh kita adalah membawa
sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lain. Perbuatan ’mengambil’ tidak
cukup apabila si pelaku hanya memegang barangnya saja, akan tetapi si pelaku
harus melakukan suatu perbuatan sehingga barang yang dimaksud jatuh di
dalam kekuasaannya. 57
Kaitannya dengan unsur ’mengambil’, Moch. Anwar mengemukakan
pendapatnya tentang ’mengambil’ dari tindak pidana pencurian sebagai
berikut :
”Unsur ’mengambil’ mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan masyarakat. ’Mengambil’ pada mulanya diartikan memindahkan barang dari tempat semula ke tempat lain. Ini berarti membawa barang di bawah kekuasaannya yang nyata. Perbuatan ’mengambil’ berarti perbuatan yang mengakibatkan barang berada di bawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang itu berada di luar kekuasaan pemiliknya. Tetapi hal ini tidak selalu demikian, sehingga tidak perlu disertai akibat dilepaskannya dari kekuasaan pemilik”. 58
Mengenai pengertian unsur ’mengambil’ yang diberikan oleh
Lamintang, sebagai berikut :
”Perlu diketahui bahwa baik undang-undang maupun pembentuk undang-undang ternyata tidak pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang dimaksud dengan perbuatan ’mengambil’, sedangkan menurut pengertian sehari-hari kata ’mengambil’ itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti, yakni :a. mengambil dari tempat di mana suatu benda itu semula berada;b. mengambil suatu benda dari penguasaan orang lain.
57 Hermin Hediati Koeswadji, 1984. Op. Cit. hlm. 20.58 Moch. Anwar, 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (Jilid I). Alumni, Bandung.
hlm. 17.
31
Sehingga dapat dimengerti jika di dalam doktrin kemudian telah timbul berbagai pendapat tentang kata ’mengambil’ tersebut”. 59
Sarjana lain yang memberikan pengertian tentang perbuatan
’mengambil’ diantaranya adalah Simons, pengertiannya adalah sebagai
berikut : ”Mengambil itu ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam
penguasannya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah
kekuasaannya yang nyata, dengan kata lain, pada waktu pelaku melakukan
perbuatannya, benda tersebut harus belum berada dalam penguasannya”. 60
Karena tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu
adalah merupakan suatu ’tindak pidana formil’, maka tindak pidana tersebut
harus dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya yaitu segera setelah
pelaku tersebut melakukan perbuatan ’mengambil’ seperti yang dilarang untuk
dilakukan orang di dalam Pasal 362 KUHP. 61
’Unsur obyektif ketiga’ dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam
Pasal 362 KUHP itu ialah ’eenig goed’ atau ’suatu benda’. Kata ’goed’ atau
’benda’ itu oleh para pembentuk Kitab Undag-undang Hukum Pidana yang
berlaku di Indonesia dewasa ini, ternyata bukan hanya dipakai di dalam
rumusan Pasal 362 KUHP saja melainkan juga di dalam rumusan-rumusan dari
lain-lain tindak pidana, seperti pemerasan, penggelapan, penipuan,
pengrusakan, dan lain-lain. 62 Pada waktu Pasal 362 KUHP tertentu, orang
hanya bermaksud untuk mengartikan kata ’goed’ yang terdapat di dalam
59 Lamintang, 1989. Op. Cit. hlm. 12.60 Ibid. hlm. 13.61 Ibid. hlm. 1562 Ibid. hlm. 16.
32
rumusannya, semata-mata sebagai ’stoffelijk en reorend god’ atau sebagai
’sebagai benda yang berwujud dan menurut sifatnya dapat dipindahkan’. 63
Tentang pengertian ’barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain’ terhadap pengertian tersebut, Moch. Anwar mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut :
”Pengertian barang telah mengalami proses perkembangan. Dari arti barang yang berwujud menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari harta kekayaan. Semula barang ditafsirkan sebagai barang-barang yang berwujud dan dapat dipindahkan (barang bergerak). Tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap bagian dari harta benda seseorang. Dengan demikian barang itu harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi dari seseorang. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya sedangkan obyek pencurian, atau sebagain lagi adalah kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian, yaitu barang-barang dalam keadaan ’res nellius’ dan res derelictae’. 64
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan ’barang’ adalah segala
sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak). Bukan barang
yang tidak bergerak (onroerend goed), tetapi yang dapat bergerak (roerend
goed), karena dalam pencurian barang itu harus dapat dipindahkan. Pencurian
tidak dapat terjadi terhadap barang – barang yang tidak bergerak seperti tanah,
sawah, gedung, dan sebagainya. 65
Berkenaan dengan kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas,
Simons mengatakan bahwa ’Segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta
kekayaan (seseorang) yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi
obyek tindak pidana pencurian’. Dari kata-kata ’segala sesuatu yang
merupakan bagian dari harta kekayaan’ di atas dapat disimpulkan, bahwa dapat
63 Ibid. hlm. 17.64 Moch. Anwar, 1986. Op. cit. hlm 1865 R. Soesilo, 1984. Pokok - pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Delik-delik Khusus.
Politea, Bogor. hlm. 118
33
menjadi obyek tindak pidana pencurian itu hanyalah benda-benda yang ada
pemiliknya saja. 66
Moch. Anwar menjelaskan pengertian ’dengan maksud melawan
hukum’, istilah ini terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku
untuk memiliki barang secara melawan hukum. Melawan hukum di sini
diartikan sebagai perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau
kekuasaan sendiri dari pelaku. Pelaku harus sadar, bahwa yang diambilnya
adalah milik orang lain. 67 Lebih lanjut mengenai pengertian ’memiliki barang
bagi diri sendiri’ Moch. Anwar berpendapat sebagai berikut :
”Memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan ia bukanlah pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagai jenis perbuatan, yaitu menjual, memakai, memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukarkan, merubahnya, dan sebagainya. Pendeknya setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku seakan-akan pemilik, sedangkan ia bukan pemilik. Maksud untuk memiliki barang itu tidak perlu terlaksana, cukup apabila maksud itu ada. Meskipun barang itu belum sempat dipergunakan, misalnya sudah tertangkap dulu, karena kejahatan pencurian telah selesai terlaksana dengan selesainya perbuatan mengambil barang. 68
Sejalan dengan pendapat di atas, R. Soesilo mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut : ”Pengambilan harus dilakukan dengan maksud
hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum. ’Memiliki’ artinya
bertindak sebagai orang yang punya, sedangkan ’melawan hukum’ berarti tidak
berhak, bertentangan dengan hak orang lain, tidak minta ijin terlebih
dahulu”. 69 Kata-kata ’memiliki secara melawan hukum’ itu sendiri mempunyai
arti yang jauh lebih luas dari sekedar apa yang disebut ’zich toeeigenen’,
66 Lamintang, 1989. Op. cit. hlm. 21.67 Moch. Anwar, 1986. Op. cit. hlm. 19.68 Moch. Anwar, 1986. Loc. cit.69 R. Soesilo, 1984. Op. cit. hlm. 119.
34
karena termasuk dalam pengertiannya antara lain ialah ’cara’ untuk dapat
memiliki suatu barang. 70
3. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan
Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP
dinamakan pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerd diefstal). Wirjono
Prodjodikoro menerjemahkan dengan ”pencurian khusus” sebab pencurian
tersebut dilakukan dengan cara tertentu. Istilah yang dirasa tepat adalah yang
digunakan oleh R. Soesilo (dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) yaitu ”pencurian dengan pemberatan” sebab dari istilah tersebut
sekaligus dapat dilihat, bahwa karena sifatnya maka pencurian itu diperberat
ancaman pidananya. 71
Kata ”pencurian” dalam rumusan pencurian dengan kualifikasi seperti
yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP tersebut mempunyai
arti yang sama dengan kata ”pencurian” sebagai pencurian dalam bentuk pokok
yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, dengan demikian antara pencurian
dengan pemberatan dan pencurian biasa mempunyai unsur-unsur yang sama,
yaitu :
a. Unsur subyektifDengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.
b. Unsur obyektif 1) barangsiapa2) mengambil
c. Sebuah bendad. Yang sebagaian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 72
70 Lamintang, 1989. hlm. 31.71 Hermien Hediati Koeswadji, 1984. Op. cit. hlm. 25.72 Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 1.
35
Menurut Moch. Anwar, mengenai pencurian dengan pemberatan,
berpendapat sebagai berikut : ”Perumusan Pasal 363 ayat (1) KUHP
menunjukkan pencurian yang gequqlificeerd atas pencurian dalam bentuk
pokok sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP adalah karena hanya
disebut nama kejahatannya saja yaitu pencurian, ditambah unsur lain yang
memberatkan”. 73
Lebih lanjut tentang pencurian dengan pemberatan Sudradjat Bassar
mengemukakan bahwa ”Pencurian ini termasuk pencurian istimewa
maksudnya suatu pencurian dengan cara-cara bersifat lebih berat dan diancam
dengan hukuman yang maksimalnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman
penjara lima tahun”. 74
Karena mengenai kata ”pencurian” di dalam rumusan Pasal 363 KUHP
itu dipandang sudah cukup diartikan sebagai ”pencurian dalam bentuk pokok”,
maka untuk selanjutnya akan dibicarakan unsur-unsur selebihnya yang pada
umumnya merupakan ”unsur-unsur yang memberatkan”. Unsur-unsur yang
memberatkan pidana, dalam doktrin juga sering disebut sebagai
”strafverzwarevde omstandigheden” atau ”keadaan-keadaan yang
memberatkan pidana”. Keadaan-keadaan yang memberatkan pidana di dalam
putusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365
KUHP itu oleh Van Bemmelen dan Van Hattum disebut sebagai ”objectief
verzwarende omstandigheden” atau ”keadaan-keadaan yang memberatkan
secara obyektif”, yang berlaku bagi setiap ”peserta” dalam tindak pidana. 75
73 Moch. Anwar, 1989. Op. cit. hlm. 20. 74 Sudradjat Bassar, 1986. Op. Cit., hlm. 68.75 Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 48.
36
Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu juga
merupakan suatu ”gequalificeerde diefstal” atau suatu pencurian dengan
kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang
memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu
sesungguhnya hanyalah ”satu kejahatan” dan bukan ”dua kejahatan” yang
terdiri dari kejahatan ”pencurian” dan kejahatan ”pemakaian kekerasan
terhadap orang”, ataupun bukan merupakan suatu ”samenloop” dari kejahatan
”pencurian” dengan kejahatan ”pemakaian kekerasan terhadap orang”. 76
Kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ditujukan kepada orang-
orang, akan tetapi tidaklah perlu bahwa orang tersebut merupakan pemilik dari
benda yang akan dicuri atau telah dicuri. 77 Menurut pendapat Simons,
kekerasan itu tidaklah perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan
pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut tercaji ”sebelum”,
”selama” dan ”sesudah” pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang
dikatakan di dalam rumusan Pasal 365 ayat (1) KUHP, yaitu:
a. untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan;
b. jika kejahatan yang mereka lakukan itu ”o pheterdaad betrap” atau ”diketahui pada waktu sedang dilakukan”, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri;
c. untuk menjamin tetap dikuasainya benda yang telah mereka curi.78
Unsur-unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian
yang diatur dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP menurut Moch. Anwar adalah
sebagai berikut :
76 Ibid., hlm. 52.77 Ibid., hlm. 55.78 Lamintang, 1989. Loc. cit.
37
”Pencurian yang dirumuskan adalah Pasal 365 ayat (1) KUHP dengan disertai masalah-masalah yang memberatkan yaitu :ke-1 - pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup di
mana berdiri sebuah rumah:- di jalan umum;- di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
ke-2 dilakukan bersama-sama oleh 2 orang atau lebih;ke-3 yang bersalah memasuki tempat kejahatan dengan cara membongkar,
memanjat, anak kunci palsu,perintah palsu, pakaian jabatan palsu”. 79
Mengenai apa yang dimaksud dengan jalan umum sebagai salah satu
unsur yang terdapat dalam Pasal 365 ayat (2) sub 1 KUHP menurut R. Soesilo,
adalah sebagai berikut : ”Jalan umum adalah semua jalan, baik mlik
pemerintah maupun partikelir, asal dipergunakan untuk umum (siapa saja boleh
berjalan di situ). Dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP disebutkan apabila
perbuatan pencurian dengan kekerasan ini menimbulkan matinya orang. Dalam
ayat ini matinya orang lain merupakan akibat yang timbul karena penggunaan
kekerasan dan kematian di sini bukan dimaksudkan oleh si pembuat. Apabila
kematian itu dimaksud (diniati) oleh si pembuat maka ia dikenakan Pasal 339
KUHP. 80 Alasan memberatkan hukuman terhadap pencurian di jalan umum,
dikereta api yang sedang berjalan, mobil atau bus umum seperti termuat dalam
Pasal 365 ayat (2) KUHP adalah karena pada tempat-tempat tadi korban ttidak
mudah mendapat pertolongan dari orang lain. 81
Dengan melihat pengertian dan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
365 KUHP ini dapat dikatakan bahwa pasal tersebut merupakan pembatasan
antara delik harta benda (vermogens delict) dan delik terhadap nyawa (levens
delict). Lebih-lebih apabila kejahatan tersebut mengakibatkan matinya
79 Moch. Anwar, 1986. Op. cit., hlm. 27.80 R. Soesilo, 1986. Op. cit., hlm. 254.81 Sudradjat Bassar, 1986. Op. cit. hlm. 72.
38
seseorang yang menurut KUHP Indonesia diancam dengan hukuman mati,
sedangkan menurut WvS Nederland hanya ancaman penjara selama-lamanya
15 tahun. 82
82 Hermien Hediati Koeswadji, 1984. Op. cit., hlm. 44.
39