a - welcome to fakultas hukum unsoed | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/bab...

53
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1...............................................Penge rtian Tindak Pidana Menurut Moeljatno yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana, lebih lanjut Moeljatno mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan : a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. ”Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat

Upload: buitram

Post on 04-Apr-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Moeljatno yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar aturan tersebut. Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana,

lebih lanjut Moeljatno mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu

diperhatikan :

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. ”Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”. 9

Mengenai pengertian tindak pidana A. Ridwan Halim menggunakan

istilah delik untuk menterjemahkan strafbaarfeit, dan mengartikannya

sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang. 10 Hazewinkel – Suringga memberikan suatu

rumusan yang bersifat umum mengenai strafbaarfeit yaitu suatu perilaku

manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan

9 Moeljatno, 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 34

10 Ridwan A. Halim, 1982. Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 31.

Page 2: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh

hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa

yang terdapat di dalamnya. 11

Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu

pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian

yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap

istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi

atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana

dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,

sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan

pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini

bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti

khusus sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan

sebagai ”hukuman”. 12

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan

”strafbaarfeit” untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan

tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit, sehingga

timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya

yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukakan oleh

Hamel dan Pompe.

11 Lamintang, 1984. Dasar - dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, hlm. 172

12 Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37.

7

Page 3: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Pendapat yang dikemukakan oleh Hamel tentang Strafbaarfeit adalah

sebagai berikut : Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)

yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. 13 Sedangkan

pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit adalah sebagai berikut :

Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang

sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku. 14

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sudarto bahwa untuk

mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat

tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi

seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan

memenuhi unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit). Hal ini sesuai dengan

pengertian tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

tertentu, yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian

pidana. 15

Unsur-unsur (strafbaarfeit) atau unsur-unsur tindak pidana menurut

Simons ialah :

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld );c. Melawan hukum (onrechtmatig);d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar

persoon). 16

13 Ibid., hlm. 38.14 Lamintang, 1984. Op.Cit . hlm. 173-174.15 Ibid., hlm. 36.16 Ibid., hlm. 32.

8

Page 4: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut di atas, Simons kemudian

membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit.

Bahwa yang dimaksud unsur obyektif adalah perbuatan orang, akibat yang

kelihatan dari perbuatan itu dan keadaan tertentu yang menyertai perbuatan

itu. Sedangkan yang dimaksud unsur subyektif adalah orang yang mampu

bertanggung jawab dan adanya kesalahan (dolus atau culpa). Menurut Van

Hamel bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi :

a. Adanya perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum;

c. Dilakukan dengan kesalahan, dan

d. Patut di pidana. 17

Unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat Moeljatno sebagai

sarjana yang berpandangan dualistis mengemukakan sebagai berikut :

a. Moeljatno berpendapat:

“Untuk memungkinkan pemindahan secara wajar maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka, di samping itu pada seseorang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikenakan pemidanaan adalah harus dipenuhinya unsur-unsur dalam perbuatan pidana (criminal act) dan unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana (criminal responbility)”.

Unsur-unsur perbuatan pidana yaitu:

1) Perbuatan manusia;2) Yang memenuhi rumusan undang-undang (ini merupakan syarat

formil), dan3) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).

Unsur pertanggungjawaban pidana ialah :1) Kesalahan;

17 Ibid., hlm. 33.

9

Page 5: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

2) Kemampuan bertanggung jawab.18

b. Menurut Sudarto : “Syarat pemidanaan meliputi syarat-syarat yang melekat pada perbuatan dan melekat pada orang, yaitu:1) Syarat melekat pada perbuatan

a) memenuhi rumusan undang-undangb) bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)

2) Syarat melekat pada oranga) mampu bertanggung jawabb) dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)”. 19

Dikemukakan oleh Vrij bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap,

ialah bersifat melawan hukum dan kesalahan itu belumlah lengkap untuk

melakukann penuntutan pidana. Untuk dapat melakukan penuntutan pidana

harus ada unsur lain, sedangkan unsur dimaksud adalah ”unsur sub-sosial”

yaitu semacam kerusakan dalam ketertiban hukum (deuk in de rechtsorder).

Ada empat lingkungan yang terkena oleh suatu delik, yaitu :

a. Si pembuat sendiri : ada kerusakan

(ontwrichting) padanya;

b. Si korban: ada perasaan tidak puas;

c. Lingkungan terdekat: ada kehendak untuk

meniru berbuat jahat;

d. Masyarakat umum: perasaan cemas. 20

Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada

umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-

unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur

”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

18 Ibid., hlm. 34-35.19 Ibid., hlm. 35-36.20 Ibid., hlm. 39.

10

Page 6: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan

unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu

harus dilakukan. 21

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,

pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340

KUHP;

e. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah :

a. Sifat melanggar hukum;

b. Kualitas si pelaku;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 22

21 Lamintang, 1984. Dasar - dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung. hlm. 183.

22 Ibid., hlm. 184.

11

Page 7: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

B. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum (pidana) apabila dilihat dari suatu proses kebijakan

maka penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan

melalui beberapa tahap, yaitu :

1. Tahap formulasi, yaitu: tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan

pembuat Undang-undang. Tahap ini disebut tahap legislatif.

2. Tahap aplikasi, yaitu : tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat

penegak hukum mulai dari dari kepolisian sampai tahap pengadilan. Tahap

kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.

3. Tahap eksekusi, yaitu : tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh

aparat penegak hukum. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif

atau administratif. 23

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa

penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan

hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di

sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang

dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.24 Ditambahkan oleh Satjipto

Rahardjo, bahwa dengan berakhirnya pembuatan hukum sebagaimana telah

diuraikan di atas, proses hukum baru menyelesaikan satu tahap saja dari suatu

23 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegero, Semarang, hlm. 13-14.

24 Satjipto Rahardjo, Tanpa Tahun. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, hlm. 24.

12

Page 8: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan hukum masih

harus disusul oleh pelaksanaannya secara kongkrit dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum itu.25

Masih berkaitan dengan masalah penegakan hukum, Soerjono Soekanto

mengatakan :

“Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup”.26

Dikemukakan oleh Sudarto bahwa pada hakikatnya hukum itu untuk

mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang

diharuskan ataupun yang diperbolehkan dan sebagainya. Dengan demikian

menarik garis antara apa yang patuh hukum dan apa yang melawan hukum.

Hukum dapat mengkualifikasi sebagai sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum

atau mendiskualifikasinya sebagai melawan hukum. Perbuatan yang sesuai

dengan hukum tidak merupakan masalah dan tidak perlu dipersoalkan; yang

menjadi masalah ialah perbuatan yang melawan hukum. Bahkan yang

diperhatikan dan digarap oleh hukum ialah justeru perbuatan yang disebut

terakhir ini, baik perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi

(onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi

(onrecht in potentie). Perhatian yang penggarapan perbuatan itulah yang

merupakan penegakan hukum. 27

25 Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 181.26 Soerjono Soekanto, 1983. Penegakan Hukum. Bina Cipta, Bandung. hlm. 13. 27 Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 111.

13

Page 9: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Selanjutnya Sudarto menyatakan bahwa kalau tata hukum dilihat secara

skematis, maka dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum, ialah

sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem

penegakan hukum administrasi. Ketiga sistem penegakan hukum tersebut

masing-masing di dukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau

biasa disebut aparatur (alat) penegak hukum, yang mempunyai aturannya

sendiri-sendiri pula. 28

Kalau dilihat secara fungsionil, maka sistem penegakan hukum itu

merupakan suatu sistem aksi. Ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh

alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Adapun yang dimaksud

dengan “alat penegak hukum” itu biasanya hanyalah kepolisian, setidak-

tidaknya badan-badan yang mempunyai wewenang Kepolisian, dan Kejaksaan.

Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara luas, maka penegakan

hukum itu menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi

pemerintah (bestuur), aparat eksekusi pidana. Bukankah mereka ini mempunyai

peranan dalam aktivitas guna mencegah dan mengatasi perbuatan yang melawan

hukum pada umumnya ? Penegakan hukum di bidang hukum pidana didukung

oleh alat perlengkapan dan peraturan yang relatif lebih lengkap dari penegakan

hukum di bidang-bidang lainnya. Aparatur yang dimaksudkan di sini adalah

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan aparat eksekusi pidana, sedang

peraturan-peraturan yang dikatakan lebih lengkap ialah antara lain ketentuan

hukum acara pidana, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang

tentang Kepolisian, Undang-undang tentang Kejaksaan. 29

28 Sudarto, 1986. Loc. cit.29 Ibid., hlm. 112.

14

Page 10: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Hukum pidana menurut Moeljatno, yaitu sebagai bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar

dan aturan-aturan untuk :

a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 30

Menurut Sudarto yang menyitir pendapat Mezger, hukum pidana dapat

didefinisikan sebagai: ”Aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa

pidana”. Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok kepada 2 (dua) hal, yaitu :

a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu;

b. Pidana.

ad. a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (Verbrechen atau crime). Oleh karena dalam “perbuatan jahat” ini harus ada orang yang melakukannya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

ad. b. Pidana

Yang dimaksudkan dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Di

30 Moeljatno, 1987.Op. cit., hlm. 1.

15

Page 11: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP dan sebagainya.31

Di samping definisi tersebut di atas dapat dikemukakan definisi hukum

pidana oleh beberapa penulis seperti di bawah ini.

a. Menurut pendapat Simons, Hukum Pidana adalah :

1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati;

2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan

3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

b. Menurut pendapat Van Hamel, Hukum Pidana adalah :

Keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara dalam

kewajibannya untuk menegakan hukum, yakni dengan melarang apa yang

bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa

(penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut). 32

Hukum pidana meteriel memuat aturan-aturan yang menetapkan dan

merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang

memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan

mengenai pidana KUHP memuat aturan-aturan hukum pidana meteriel.

Hukum pidana formil mengatur bagaimana Negara dengan perantaraan alat-

alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.

Hukum pidana formil bisa juga disebut hukum acara pidana. H.I.R. memuat

aturan-aturan hukum pidana formil.33

C. Teori-teori Tentang Pemidanaan

31 Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana Jilid IA – IB. Fakultas Hukum, UNSOED, Purwokerto. hlm. 5

32 Sudarto, 1990/1991. Loc. Cit.33 Ibid., hlm. 6.

16

Page 12: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

1. Teori Pemidanaan

Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi

dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:

a. Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);

b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen);

c. Teori gabungan (verenigings teorieen).

Ad. a. Teori absolut

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum

est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar

pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya

kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes tujuan utama

(primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan

tuntutan keadilan” (to satisfy the clams of justice) sedangkan

pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. 34

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan

jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy

of Law” sebagai berikut:

“ … pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya)

34 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung. hlm. 10-11

17

Page 13: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

pembunuh terakhir yang masih ada di dalam penjara harus di pidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”. 35

Jadi menurut pendapat Kant, pidana merupakan suatu

tuntutan kesusilaan. Kant, memandang pidana sebagai “Kategorische

Imperatief” yakni: seseorang harus di pidana oleh hakim karena ia

telah melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk

mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan

(uitdrukking van de gerechtigheid). 36

Dalam buku John Kalpan, teori retribution ini dibedakan

lagi menjadi dua teori, yaitu:

1) Teori pembalasan (the revenge theory), dan

2) Toeri penebusan dosa (the expiation theory).

Menurut John Kalpan kedua teori ini sebenarnya tidak

berbeda, tergantung dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan

pidana yaitu apakah pidana itu dijatuhkan karena kita

“menghutangkan sesuatu kepadanya” atau karena “ia berhutang

sesuatu kepada kita”. Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si

penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid back)

sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat

“membayar kembali hutangnya” (the criminal pays back). 37

35 Muladi & Barda Nawawi Arief, Loc. cit.36 Ibid., hlm. 11-12.37 Ibid., hlm. 13.

18

Page 14: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Ad. b. Teori relatif

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan

tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak

mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi

kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J. Andenaes, teori

ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory

of social defence). Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut

teori aliran reduktif (the “redictive” point of view) karena dasar

pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi

frekuensi kejahatan. Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut

golongan “Reducers” (Penganut teori reduktif).

Pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana,

tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan

(Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut

teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan

“quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan

“ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). 38

Beda ciri pokok atau karakteristik antara teori retributive dan

teori utilitarian dikemukakan secara terperinci oleh Karl. O.

Christiansen sebagai berikut :

1) Pada teori restribution :

38 Ibid., hlm. 16.

19

Page 15: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2) Pada teori utilitarian :

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e. Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 39

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa

dibedakan antara istilah prevensi special dan prevensi general atau

sering juga digunakan istilah “special deterrence” dan “general

deterrence”. Dengan prevensi special dimaksudkan pengaruh pidana

terhadap terpidana. Jadi pencegahaan kejahatan itu ingin dicapai oleh

pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak

melakukan pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana

itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi

39 Ibid., hlm. 16-17.

20

Page 16: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan

Reformation atau Rehabilitation Theory.

Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana

terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan

itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku

anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak

pidana. 40

Ad. c. Teori gabungan

Di samping pembagian secara tradisional teori-teori

pemidanaan seperti dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori

relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenigings

theorieen). Penulis yang pertama mengajukan teori gabungan ini

ialah Pellegrino Rossi (1787 – 1848). Pellegrino Rossi, selain tetap

menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya

pidana tidak boleh melampaui suatu pebalasan yang adil, namun

Pellegrino Rossi berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai

pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat

dan prevensi general. Penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa

pidana mengandung pelbagai kombinasi tujuan ialah Binding,

Merkel, Kohler, Richard Schmid dan Beling. 41

Teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pertahanan tata

terbit masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu adalah menjadi dasar

40 Ibid., hlm. 17-18.41 Ibid., hlm. 19.

21

Page 17: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2

(dua), yaitu :

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan

itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk

dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhnya pidana tidak boleh

lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Pendukung dari teori gabungan yang lebih menitikberatkan pada

pembalasan ini didukung oleh Pompe, yang mempunyai pandangan

bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga

bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar supaya

kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.

Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat

bagi pertahanan tata tertib hukum di dalam masyarakat. 42

2. Tujuan Pemidanaan

Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan pemidanaan di

Indonesia adalah sebagai tahap formulatif dalam penegakan hukum yang erat

kaitannya dengan pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan

pembinaan narapidana sebagai tahap eksekusi dalam penegakan hukum. Salah

satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah dengan melihat

pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini KUHP. 43

42 Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 162

43 Barda Nawawi Arief, 1984. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy). Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. hlm. 34.

22

Page 18: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis,

terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan

pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak

dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial.

Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil

dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan

dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa

diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. 44

Tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, adalah

sebagai berikut : ”Untuk menakut-nakuti orang agar orang tersebut jangan

sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general

preventive) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan

kejahatan agar di kemudian hari orang itu tidak melakukan lagi kejahatan”. 45

Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan

tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum

adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana

yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang

akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan

adalah :

a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);

44 Zainal Abidin, 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. ELSAM, Jakarta. hlm. 10

45 Andi Hamzah, 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 26.

23

Page 19: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;

c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni :

1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna

2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. 46

Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori

restributif tujuan pemidanaan adalah :

a. Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.

b. Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sah atau tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe restributif ini disebut fairness.

c. Pemidanaan dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality. Termasuk ke dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalainnya. 47

Tipe restributif yang disebut vindicative tersebut di atas, termasuk ke

dalam kategori pembalasan. John Kalpan, dalam bukunya Criminal Justice

membagi teori restributif menjadi 2 (dua), yaitu :

a. The reverange theory (teori pebalasan)

b. The expiation theory (teori penebusan dosa). 48

46 Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 8347 Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar

Maju, Bandung. hlm. 83-8448 Muladi, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung. hlm. 13

24

Page 20: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Pembalasan mengandung arti hutang si penjahat telah dibayarkan

kembali (the criminalis paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung

arti si penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back). Jadi

pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kalpan, tergantung dari cara

orang berpikir pada saat menjatuhkan sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu

karena ”menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia berhutang

sesuatu kepada kita.

Sebaliknya Johannes Andenaes, menegaskan ”penebusan” tidak

sama dengan ”pembalasan dendam” (revange). Pembalasan berusaha

memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang

lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa lebih bertujuan

untuk memuaskan tuntutan keadilan. 49

D. Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Salah satu bentuk kejahatan yang tercantum dalam Bukum Kedua

KUHP adalah tindak pidana pencurian yang secara khusus diatur dalam Bab

XXII Pasal 362 – 367 KUHP. Mengenai tindak pidana pencurian ini ada salah

satu pengkualifikasian dengan bentuk pencurian dengan pemberatan,

khususnya yang diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Pencurian secara

umum dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.50

49 Ibid., hlm. 14

25

Page 21: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Kaitannya dengan masalah kejahatan pencurian, di Indonesia mengenai

tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas 5 (lima)

macam pencurian :

a. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP)

Perumusan pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP yang

menyatakan sebagai berikut : ”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang

seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk

dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana

penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh

rupiah”. 51

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, maka unsur-unsur tindak

pidana pencurian (biasa) adalah sebagai berikut :

1) Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur :

a) mengambil;

b) suatu barang;

c) yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

2) Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur :

a) dengan maksud;

b) untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri;

c) secara melawan hukum.

b. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)

50 Lamintang, 1989. Delik – delik Khusus Kejahatan - kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Cetakan Pertama, Sinar Baru, Bandung, hlm. 1

51 Moeljatno, 1985. Op. cit. hlm. 128.

26

Page 22: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Istilah ”pencurian dengan pemberatan” biasanya secara doktrinal

disebut sebagai ”pencurian yang dikualifikasikan”. Pencurian yang

dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan

cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat

dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian

biasa. Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan

pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan

tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur

tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan

membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP, maka

unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah :

1) Unsur-unsur pencurian Pasal 362 KUHP

2) Unsur yang memberatkan, dalam Pasal 363 KUHP yang meliputi :

a) Pencurian ternak (Pasal 363 ayat (1) ke-1 KUHP);

b) Pencurian pada waktu ada kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang (Pasal 363 ayat (1) ke-2 KUHP);

c) Pencurian di waktu waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak (Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP);

d) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang yang bersekutu (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);

e) Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu (Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP).

c. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP)

27

Page 23: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Pencurian ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari

pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan

unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi

diperingan. Perumusan pencurian ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP

yang menyatakan :

”Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan pasal 363 ke-4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari puluh lima rupiah, dikenai, karena pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. 52

Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-

unsur dalam pencurian ringan adalah :

1) Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP);

2) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP);

3) Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu;

4) Tidak dilakukan dalam sebuah rumah;

5) Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya; dan

6) Apabila harga barang yang dicurinya itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah.

d. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP)

Jenis pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP lazim disebut

dengan istilah ”pencurian dengan kekerasan” atau populer dengan istilah

”curas”. Ketentuan Pasal 365 KUHP selengkapnya adalah sebagai berikut :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman

52 Ibid., hlm. 129.

28

Page 24: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.

(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :ke-1 jika perbuatan dilakukan pada malam hari dalam sebuah rumah

atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian seragam palsu;

ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) Jika perbuatan mengakibatkanmati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam point 1 dan 3. 53

e. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP)

Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini

merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun

korbannya masih dalam satu keluarga. Pencurian dalam Pasal 367 KUHP

akan terjadi apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau

membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda isteri atau suaminya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 367 ayat (1) KUHP apabila suami –

isteri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang utuh, tidak terpisah meja

atau tempat tidur juga tidak terpisah harta kekayannya, maka pencurian atau

membantu pencurian yang dilakukan oleh mereka mutlak tidak dapat

53 Ibid., hlm. 130.

29

Page 25: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

dilakukan penuntutan. Tetapi apabila dalam pencurian yang dilakukan oleh

suami atau isteri terhadap harta benda isteri atau suami ada orang lain

(bukan sebagai anggota keluarga) baik sebagai pelaku maupun sebagai

pembantu, maka terhadap orang ini tetap dapat dilakukan penuntutan,

sekalipun tidak ada pengaduan.54

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian

Unsur-unsur tindak pidana pencurian menurut Lamintang, tindak

pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362

KUHP tersebut di atas itu terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif.

a. Unsur subyektif’met het oogmerk om het zich wederrehtelijk toe te eigenen’ atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum;

b. Unsur obyektif1) ’hij’ atau barangsiapa;2) ’wegnemen’ atau mengambil;3) ’eenig goed’ atau sesuatu benda;4) ’dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort’ atau yang sebagian

atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 55

Unsur-unsur tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363

KUHP. Seperti telah diketahui ’unsur obyektif pertama’ dari tindak pidana

yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu ialah ’hij’, yang lazim diterjemahkan

ke dalam Bahasa Indonesia dengan kata ’barangsiapa’. Kata ’hij’ tersebut

menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana

yang diatur dalam pasal tersebut maka karena bersalah telah melakukan tindak

pidana pencurian, ia dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya

lima tahun atau pidana denda setingi-tingginya sembilan ratus rupiah. 56

54 Moeljatno, 1985. Loc. cit.55 Lamintang 1984. Op. cit., hlm. 1.56 Ibid., hlm. 8.

30

Page 26: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

’Unsur obyektif yang kedua’ dari tindak pidana pencurian adalah

perbuatan ’mengambil’ dari tempat di mana barang tersebut terletak. Oleh

karena di dalam kata ’mengambil’ sudah tersimpul pengertian ’sengaja’ maka

undang-undang tidak menyebutkan ’dengan sengaja mengambil’. Kalau kita

mendengar kata ’mengambil’ maka pertama terpikir oleh kita adalah membawa

sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lain. Perbuatan ’mengambil’ tidak

cukup apabila si pelaku hanya memegang barangnya saja, akan tetapi si pelaku

harus melakukan suatu perbuatan sehingga barang yang dimaksud jatuh di

dalam kekuasaannya. 57

Kaitannya dengan unsur ’mengambil’, Moch. Anwar mengemukakan

pendapatnya tentang ’mengambil’ dari tindak pidana pencurian sebagai

berikut :

”Unsur ’mengambil’ mengalami berbagai penafsiran sesuai dengan perkembangan masyarakat. ’Mengambil’ pada mulanya diartikan memindahkan barang dari tempat semula ke tempat lain. Ini berarti membawa barang di bawah kekuasaannya yang nyata. Perbuatan ’mengambil’ berarti perbuatan yang mengakibatkan barang berada di bawah kekuasaan yang melakukan atau yang mengakibatkan barang itu berada di luar kekuasaan pemiliknya. Tetapi hal ini tidak selalu demikian, sehingga tidak perlu disertai akibat dilepaskannya dari kekuasaan pemilik”. 58

Mengenai pengertian unsur ’mengambil’ yang diberikan oleh

Lamintang, sebagai berikut :

”Perlu diketahui bahwa baik undang-undang maupun pembentuk undang-undang ternyata tidak pernah memberikan suatu penjelasan tentang yang dimaksud dengan perbuatan ’mengambil’, sedangkan menurut pengertian sehari-hari kata ’mengambil’ itu sendiri mempunyai lebih dari satu arti, yakni :a. mengambil dari tempat di mana suatu benda itu semula berada;b. mengambil suatu benda dari penguasaan orang lain.

57 Hermin Hediati Koeswadji, 1984. Op. Cit. hlm. 20.58 Moch. Anwar, 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (Jilid I). Alumni, Bandung.

hlm. 17.

31

Page 27: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Sehingga dapat dimengerti jika di dalam doktrin kemudian telah timbul berbagai pendapat tentang kata ’mengambil’ tersebut”. 59

Sarjana lain yang memberikan pengertian tentang perbuatan

’mengambil’ diantaranya adalah Simons, pengertiannya adalah sebagai

berikut : ”Mengambil itu ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam

penguasannya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah

kekuasaannya yang nyata, dengan kata lain, pada waktu pelaku melakukan

perbuatannya, benda tersebut harus belum berada dalam penguasannya”. 60

Karena tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP itu

adalah merupakan suatu ’tindak pidana formil’, maka tindak pidana tersebut

harus dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya yaitu segera setelah

pelaku tersebut melakukan perbuatan ’mengambil’ seperti yang dilarang untuk

dilakukan orang di dalam Pasal 362 KUHP. 61

’Unsur obyektif ketiga’ dari tindak pidana pencurian yang diatur dalam

Pasal 362 KUHP itu ialah ’eenig goed’ atau ’suatu benda’. Kata ’goed’ atau

’benda’ itu oleh para pembentuk Kitab Undag-undang Hukum Pidana yang

berlaku di Indonesia dewasa ini, ternyata bukan hanya dipakai di dalam

rumusan Pasal 362 KUHP saja melainkan juga di dalam rumusan-rumusan dari

lain-lain tindak pidana, seperti pemerasan, penggelapan, penipuan,

pengrusakan, dan lain-lain. 62 Pada waktu Pasal 362 KUHP tertentu, orang

hanya bermaksud untuk mengartikan kata ’goed’ yang terdapat di dalam

59 Lamintang, 1989. Op. Cit. hlm. 12.60 Ibid. hlm. 13.61 Ibid. hlm. 1562 Ibid. hlm. 16.

32

Page 28: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

rumusannya, semata-mata sebagai ’stoffelijk en reorend god’ atau sebagai

’sebagai benda yang berwujud dan menurut sifatnya dapat dipindahkan’. 63

Tentang pengertian ’barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

orang lain’ terhadap pengertian tersebut, Moch. Anwar mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut :

”Pengertian barang telah mengalami proses perkembangan. Dari arti barang yang berwujud menjadi setiap barang yang menjadi bagian dari harta kekayaan. Semula barang ditafsirkan sebagai barang-barang yang berwujud dan dapat dipindahkan (barang bergerak). Tetapi kemudian ditafsirkan sebagai setiap bagian dari harta benda seseorang. Dengan demikian barang itu harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai di dalam kehidupan ekonomi dari seseorang. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya sedangkan obyek pencurian, atau sebagain lagi adalah kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi obyek pencurian, yaitu barang-barang dalam keadaan ’res nellius’ dan res derelictae’. 64

Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan ’barang’ adalah segala

sesuatu yang berwujud, termasuk pula binatang (manusia tidak). Bukan barang

yang tidak bergerak (onroerend goed), tetapi yang dapat bergerak (roerend

goed), karena dalam pencurian barang itu harus dapat dipindahkan. Pencurian

tidak dapat terjadi terhadap barang – barang yang tidak bergerak seperti tanah,

sawah, gedung, dan sebagainya. 65

Berkenaan dengan kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas,

Simons mengatakan bahwa ’Segala sesuatu yang merupakan bagian dari harta

kekayaan (seseorang) yang dapat diambil (oleh orang lain) itu, dapat menjadi

obyek tindak pidana pencurian’. Dari kata-kata ’segala sesuatu yang

merupakan bagian dari harta kekayaan’ di atas dapat disimpulkan, bahwa dapat

63 Ibid. hlm. 17.64 Moch. Anwar, 1986. Op. cit. hlm 1865 R. Soesilo, 1984. Pokok - pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Delik-delik Khusus.

Politea, Bogor. hlm. 118

33

Page 29: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

menjadi obyek tindak pidana pencurian itu hanyalah benda-benda yang ada

pemiliknya saja. 66

Moch. Anwar menjelaskan pengertian ’dengan maksud melawan

hukum’, istilah ini terwujud dalam kehendak, keinginan atau tujuan dari pelaku

untuk memiliki barang secara melawan hukum. Melawan hukum di sini

diartikan sebagai perbuatan memiliki yang dikehendaki tanpa hak atau

kekuasaan sendiri dari pelaku. Pelaku harus sadar, bahwa yang diambilnya

adalah milik orang lain. 67 Lebih lanjut mengenai pengertian ’memiliki barang

bagi diri sendiri’ Moch. Anwar berpendapat sebagai berikut :

”Memiliki bagi diri sendiri adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang tersebut, melakukan tindakan atas barang itu seakan-akan pemiliknya, sedangkan ia bukanlah pemiliknya. Maksud memiliki barang bagi diri sendiri itu terwujud dalam berbagai jenis perbuatan, yaitu menjual, memakai, memberikan kepada orang lain, menggadaikan, menukarkan, merubahnya, dan sebagainya. Pendeknya setiap penggunaan atas barang yang dilakukan pelaku seakan-akan pemilik, sedangkan ia bukan pemilik. Maksud untuk memiliki barang itu tidak perlu terlaksana, cukup apabila maksud itu ada. Meskipun barang itu belum sempat dipergunakan, misalnya sudah tertangkap dulu, karena kejahatan pencurian telah selesai terlaksana dengan selesainya perbuatan mengambil barang. 68

Sejalan dengan pendapat di atas, R. Soesilo mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut : ”Pengambilan harus dilakukan dengan maksud

hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum. ’Memiliki’ artinya

bertindak sebagai orang yang punya, sedangkan ’melawan hukum’ berarti tidak

berhak, bertentangan dengan hak orang lain, tidak minta ijin terlebih

dahulu”. 69 Kata-kata ’memiliki secara melawan hukum’ itu sendiri mempunyai

arti yang jauh lebih luas dari sekedar apa yang disebut ’zich toeeigenen’,

66 Lamintang, 1989. Op. cit. hlm. 21.67 Moch. Anwar, 1986. Op. cit. hlm. 19.68 Moch. Anwar, 1986. Loc. cit.69 R. Soesilo, 1984. Op. cit. hlm. 119.

34

Page 30: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

karena termasuk dalam pengertiannya antara lain ialah ’cara’ untuk dapat

memiliki suatu barang. 70

3. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP

dinamakan pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerd diefstal). Wirjono

Prodjodikoro menerjemahkan dengan ”pencurian khusus” sebab pencurian

tersebut dilakukan dengan cara tertentu. Istilah yang dirasa tepat adalah yang

digunakan oleh R. Soesilo (dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum

Pidana) yaitu ”pencurian dengan pemberatan” sebab dari istilah tersebut

sekaligus dapat dilihat, bahwa karena sifatnya maka pencurian itu diperberat

ancaman pidananya. 71

Kata ”pencurian” dalam rumusan pencurian dengan kualifikasi seperti

yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP tersebut mempunyai

arti yang sama dengan kata ”pencurian” sebagai pencurian dalam bentuk pokok

yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, dengan demikian antara pencurian

dengan pemberatan dan pencurian biasa mempunyai unsur-unsur yang sama,

yaitu :

a. Unsur subyektifDengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.

b. Unsur obyektif 1) barangsiapa2) mengambil

c. Sebuah bendad. Yang sebagaian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 72

70 Lamintang, 1989. hlm. 31.71 Hermien Hediati Koeswadji, 1984. Op. cit. hlm. 25.72 Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 1.

35

Page 31: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Menurut Moch. Anwar, mengenai pencurian dengan pemberatan,

berpendapat sebagai berikut : ”Perumusan Pasal 363 ayat (1) KUHP

menunjukkan pencurian yang gequqlificeerd atas pencurian dalam bentuk

pokok sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP adalah karena hanya

disebut nama kejahatannya saja yaitu pencurian, ditambah unsur lain yang

memberatkan”. 73

Lebih lanjut tentang pencurian dengan pemberatan Sudradjat Bassar

mengemukakan bahwa ”Pencurian ini termasuk pencurian istimewa

maksudnya suatu pencurian dengan cara-cara bersifat lebih berat dan diancam

dengan hukuman yang maksimalnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman

penjara lima tahun”. 74

Karena mengenai kata ”pencurian” di dalam rumusan Pasal 363 KUHP

itu dipandang sudah cukup diartikan sebagai ”pencurian dalam bentuk pokok”,

maka untuk selanjutnya akan dibicarakan unsur-unsur selebihnya yang pada

umumnya merupakan ”unsur-unsur yang memberatkan”. Unsur-unsur yang

memberatkan pidana, dalam doktrin juga sering disebut sebagai

”strafverzwarevde omstandigheden” atau ”keadaan-keadaan yang

memberatkan pidana”. Keadaan-keadaan yang memberatkan pidana di dalam

putusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365

KUHP itu oleh Van Bemmelen dan Van Hattum disebut sebagai ”objectief

verzwarende omstandigheden” atau ”keadaan-keadaan yang memberatkan

secara obyektif”, yang berlaku bagi setiap ”peserta” dalam tindak pidana. 75

73 Moch. Anwar, 1989. Op. cit. hlm. 20. 74 Sudradjat Bassar, 1986. Op. Cit., hlm. 68.75 Lamintang 1989. Op. cit. hlm. 48.

36

Page 32: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu juga

merupakan suatu ”gequalificeerde diefstal” atau suatu pencurian dengan

kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang

memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP itu

sesungguhnya hanyalah ”satu kejahatan” dan bukan ”dua kejahatan” yang

terdiri dari kejahatan ”pencurian” dan kejahatan ”pemakaian kekerasan

terhadap orang”, ataupun bukan merupakan suatu ”samenloop” dari kejahatan

”pencurian” dengan kejahatan ”pemakaian kekerasan terhadap orang”. 76

Kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ditujukan kepada orang-

orang, akan tetapi tidaklah perlu bahwa orang tersebut merupakan pemilik dari

benda yang akan dicuri atau telah dicuri. 77 Menurut pendapat Simons,

kekerasan itu tidaklah perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan

pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut tercaji ”sebelum”,

”selama” dan ”sesudah” pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang

dikatakan di dalam rumusan Pasal 365 ayat (1) KUHP, yaitu:

a. untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan;

b. jika kejahatan yang mereka lakukan itu ”o pheterdaad betrap” atau ”diketahui pada waktu sedang dilakukan”, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kejahatan dapat melarikan diri;

c. untuk menjamin tetap dikuasainya benda yang telah mereka curi.78

Unsur-unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian

yang diatur dalam Pasal 365 ayat (2) KUHP menurut Moch. Anwar adalah

sebagai berikut :

76 Ibid., hlm. 52.77 Ibid., hlm. 55.78 Lamintang, 1989. Loc. cit.

37

Page 33: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

”Pencurian yang dirumuskan adalah Pasal 365 ayat (1) KUHP dengan disertai masalah-masalah yang memberatkan yaitu :ke-1 - pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup di

mana berdiri sebuah rumah:- di jalan umum;- di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

ke-2 dilakukan bersama-sama oleh 2 orang atau lebih;ke-3 yang bersalah memasuki tempat kejahatan dengan cara membongkar,

memanjat, anak kunci palsu,perintah palsu, pakaian jabatan palsu”. 79

Mengenai apa yang dimaksud dengan jalan umum sebagai salah satu

unsur yang terdapat dalam Pasal 365 ayat (2) sub 1 KUHP menurut R. Soesilo,

adalah sebagai berikut : ”Jalan umum adalah semua jalan, baik mlik

pemerintah maupun partikelir, asal dipergunakan untuk umum (siapa saja boleh

berjalan di situ). Dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP disebutkan apabila

perbuatan pencurian dengan kekerasan ini menimbulkan matinya orang. Dalam

ayat ini matinya orang lain merupakan akibat yang timbul karena penggunaan

kekerasan dan kematian di sini bukan dimaksudkan oleh si pembuat. Apabila

kematian itu dimaksud (diniati) oleh si pembuat maka ia dikenakan Pasal 339

KUHP. 80 Alasan memberatkan hukuman terhadap pencurian di jalan umum,

dikereta api yang sedang berjalan, mobil atau bus umum seperti termuat dalam

Pasal 365 ayat (2) KUHP adalah karena pada tempat-tempat tadi korban ttidak

mudah mendapat pertolongan dari orang lain. 81

Dengan melihat pengertian dan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal

365 KUHP ini dapat dikatakan bahwa pasal tersebut merupakan pembatasan

antara delik harta benda (vermogens delict) dan delik terhadap nyawa (levens

delict). Lebih-lebih apabila kejahatan tersebut mengakibatkan matinya

79 Moch. Anwar, 1986. Op. cit., hlm. 27.80 R. Soesilo, 1986. Op. cit., hlm. 254.81 Sudradjat Bassar, 1986. Op. cit. hlm. 72.

38

Page 34: A - Welcome to Fakultas Hukum UNSOED | …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Bab II.doc · Web viewTeori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen); Teori gabungan

seseorang yang menurut KUHP Indonesia diancam dengan hukuman mati,

sedangkan menurut WvS Nederland hanya ancaman penjara selama-lamanya

15 tahun. 82

82 Hermien Hediati Koeswadji, 1984. Op. cit., hlm. 44.

39