a r s i t e k t u r k o t a

9
A R S I T E K T U R K O T A (T E O R I dan/atau K O N S E P) Konsep/teori Normatif Teori normatif arsitektur kota (yang pada intinya bertujuan menyelesaikan masalah) menunjukkan hubungan antara aspek manusia beserta kebutuhannya (yang merupakan komponen non-fisik sebagai masalah yang harus diselesaikan) dengan konfigurasi komponen fisik-buatan kota (gagasan/ide arsitek/perancang yang berfungsi sebagai cara untuk menyelesaikan masalah). o Vitruvius “The Ten Books on Architecture” (Morgan, 1960). Kesehatan, keamanan, keselamatan, dan kesinambungan sumber makanan meru- pakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam membangun kota sejak satu abad sebelum masehi Manifestasi konsep-konsep dalam penempatan kota terhadap situasi geografis dan topografis, serta orientasi dan susunan bangunan kota ke dalam konfigurasi kota terutama dalam penerapan konsep “diagram angin” (Diagram of the Winds). o Broadbent, 1990. Dalam perkembangan teori arsitektur kota selanjutnya, penerapan konsep kesehatan lingkungan yang menjadi aturan perancangan kota ke dalam pengaturan infrastruktur kota (seperti penyediaan air bersih, sanitasi, dan drainasi) telah dikembangkan pada pertengahan abad sembilan belas. Demikian pula penerapan konsep keamanan yang dikemas dalam bentuk kota yang indah pada rancangan kota Paris telah diupayakan pada zaman Louis Napoleon oleh Baron Housman pada tahun 1855 sampai dengan tahun 1869 yang dikenal dengan nama “Housman’s Boulevardo Camilo Sitte (dalam Broadbent, 1990), Masalah keindahan berkembang lebih jauh pada periode selanjutnya, seperti konsep artistik planningo (Gaudet dalam Broadbent, 1990) Clasicism” yang dimanifestasikan dengan cara mengabstraksikan elemen plaza, jalan, dan public square melalui pemahaman terhadap keindahan (seni/arsitektur) komponen-komponen fisik-buatan arsitektur kota yang telah ada (pernah dibangun) sebelumnya sebagai patokan perancangan untuk mendapatkan kota yang indah. o Olmsted dan Burnham pada tahun 1893 (Broadbent, 1990) konsep “the City Beautiful” yang digunakan untuk merancang kota Chicago sebagai pusat komersiil dan pusat budaya diungkapkan pada rancangan bangunan-bangunan dan ruang di antara bangunan dengan menggunakan asas keindahan. o Ebenezer Howard pada tahun 1898 (Broadbent, 1990) Konsep “the Garden City” mencoba menyelesaikan masalah lingkungan, namun kurang mendapatkan hasil yang baik karena pendekatan yang kurang tepat, yaitu

Upload: agung-pratama

Post on 18-Jan-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

perencanaan perkotaan

TRANSCRIPT

Page 1: A r s i t e k t u r  k o t a

A R S I T E K T U R K O T A (T E O R I dan/atau K O N S E P) Konsep/teori Normatif

Teori normatif arsitektur kota (yang pada intinya bertujuan menyelesaikan masalah) menunjukkan hubungan antara aspek manusia beserta kebutuhannya (yang merupakan komponen non-fisik sebagai masalah yang harus diselesaikan) dengan konfigurasi komponen fisik-buatan kota (gagasan/ide arsitek/perancang yang berfungsi sebagai cara untuk menyelesaikan masalah).

o Vitruvius “The Ten Books on Architecture” (Morgan, 1960). Kesehatan, keamanan, keselamatan, dan kesinambungan sumber makanan meru-pakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam membangun kota sejak satu abad sebelum masehi

Manifestasi konsep-konsep dalam penempatan kota terhadap situasi geografis dan topografis, serta orientasi dan susunan bangunan kota ke dalam konfigurasi kota terutama dalam penerapan konsep “diagram angin” (Diagram of the Winds).

o Broadbent, 1990. Dalam perkembangan teori arsitektur kota selanjutnya, penerapan konsep kesehatan lingkungan yang menjadi aturan perancangan kota ke dalam pengaturan infrastruktur kota (seperti penyediaan air bersih, sanitasi, dan drainasi) telah dikembangkan pada pertengahan abad sembilan belas.

Demikian pula penerapan konsep keamanan yang dikemas dalam bentuk kota yang indah pada rancangan kota Paris telah diupayakan pada zaman Louis Napoleon oleh Baron Housman pada tahun 1855 sampai dengan tahun 1869 yang dikenal dengan nama “Housman’s Boulevard”

o Camilo Sitte (dalam Broadbent, 1990), Masalah keindahan berkembang lebih jauh pada periode selanjutnya, seperti konsep “artistik planning”

o (Gaudet dalam Broadbent, 1990) “Clasicism” yang dimanifestasikan dengan cara mengabstraksikan elemen plaza, jalan, dan public square melalui pemahaman terhadap keindahan (seni/arsitektur) komponen-komponen fisik-buatan arsitektur kota yang telah ada (pernah dibangun) sebelumnya sebagai patokan perancangan untuk mendapatkan kota yang indah.

o Olmsted dan Burnham pada tahun 1893 (Broadbent, 1990) konsep “the City Beautiful” yang digunakan untuk merancang kota Chicago sebagai pusat komersiil dan pusat budaya diungkapkan pada rancangan bangunan-bangunan dan ruang di antara bangunan dengan menggunakan asas keindahan.

o Ebenezer Howard pada tahun 1898 (Broadbent, 1990) Konsep “the Garden City” mencoba menyelesaikan masalah lingkungan, namun kurang mendapatkan hasil yang baik karena pendekatan yang kurang tepat, yaitu

Page 2: A r s i t e k t u r  k o t a

melalui upaya menciptakan hubungan tarik-menarik antara kota dengan desa yang direpresentasikan dengan garden (kebun) yang diletakkan pada bagian tengah dan pinggir kota yang dirancang dengan konfigurasi melingkar.

Jika mengacu pengertian lingkungan yang menyangkut aspek sosial, biotis dan abiotis, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Vitruvius dan konsep serupa yang berkembang pada pertengahan abad sembilanbelas sebenarnya dapat dipahami sebagai upaya menyelesaikan masalah lingkungan.

Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian masalah lingkungan telah dicoba dikembangkan cukup lama.

o Jane Jacobs pada tahun 1961 (Broadbent, 1990)

Konsep lain yang berkaitan dengan penyelesaian masalah lingkungan adalah “ideal environment” bagi kehidupan kota (urban living) melalui pengembangan jalan yang “lifely” (penuh dengan nuansa kehidupan). Masalah lingkungan yang sebenarnya ingin diselesaikan adalah suasana jalan yang tidak manusiawi bagi manusia khususnya para pejalan kaki, sehingga konsep ini bertujuan “membawa kembali” manusia berjalan secara nyaman.

o Simonds (1994)

mengembangkan konsep “Garden City” untuk abad 21 dalam bentuk yang lebih terpadu (comprehensive).

Waktu, tempat, dan budaya merupakan aspek-aspek yang dinyatakan mampu membentuk suatu kota agar dapat memiliki karakter yang ekspresif.

Pada bagian lain proteksi terhadap timbulnya masalah keselamatan dan keamanan kota, ketersediaan tempat tinggal (shelter), makanan, air, udara, lapangan pekerjaan, dan kualitas lingkungan merupakan komponen-komponen non-fisik yang mampu menghadirkan kota dengan fungsi yang baik.

Terselenggaranya perdagangan, hubungan sosial masyarakat, dan pemerintahan juga dipandang sebagai komponen nonfisik yang dapat menciptakan kota dengan fungsi baik.

Penciptaan/penyediaan pusat-pusat kota dan sub-sub pusat kota yang fungsional, serta penyediaan fasilitas bagi para penyandang cacat akan mampu menyajikan kota yang nyaman (convenient).

Ujud kota yang ekspresif, penyelesaian masalah yang tidak diinginkan seperti polusi, sosial, dan lalu lintas, serta adanya kesempatan (opportunity) melakukan konservasi alam akan dapat menghadirkan kota yang dapat dipahami secara rasional.

Kesemua itu akan menciptakan kota yang lengkap jika aspek ekonomi, politik, sosial, dan habitat manusia dapat diselesaikan dengan baik dalam rancangan sebuah kota.

Page 3: A r s i t e k t u r  k o t a

Konsep ini membawa pada keyakinan yang lebih mendalam bahwa komponen fisik-buatan akan berhasil (berfungsi) dengan baik jika komponen non-fisik dan komponen fisik-alam dapat terolah dengan baik.

Kemajuan zaman dan modernisasi juga dapat berakibat langsung terhadap perkembangan kota, khususnya yang berkaitan dengan prasarana jalan sebagai salah satu bagian dari komponen buatan.

Kondisi lalu lintas di kota yang semakin berkembang menjadi masalah serius yang harus ditangani dalam mengembangkan kota melalui rancangan.

o Clerence Stein (Broadbent, 1990) Konsep “Stein’s Neigbourhood” yang dikembangkan antara tahun 1926 sampai dengan tahun 1957.

o Le Corbusier (Broadbent, 1990) Konsep “Ville Radieuse” dan “Le Corbusier on the Street” yang dikembangkan antara tahun 1926 sampai dengan tahun 1946 merupakan konsep-konsep yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah lalu lintas yang ada di dalam kota.

Pengertian lalu lintas dipahami lebih esensial daripada sebagai perpindahan kendaraan dari satu tempat ke tempat lain, yaitu merupakan hubungan dan komunikasi antara manusia dengan manusia yang lain yang berada pada jarak tertentu dan relatif jauh.

Aplikasi konsep yang bertujuan menyelesaikan masalah lalu-lintas telah dimanifestasikan ke dalam bentuk pengolahan zoning (pemintakatan), blok-blok wilayah, sirkulasi, jalan, dan taman.

o Nicholas Tylor (Broadbent, 1990) Konsep yang dikembangkan pada tahun 1973 dan dikenal dengan nama “Village in the City” menganalogikan kota sebagai sebuah keluarga yang besar

Aspek-aspek kehidupan dalam satu keluarga seperti adanya strata manusia, kegiatan, kebutuhan hidup dan berkembang merupakan komponen nonfisik yang harus diwadahi/diselesaikan dalam rancangan sebuah kota.

Konsep maupun penerapan konsep ini ke dalam rancangan kota tampaknya tidak dapat berfungsi dengan baik karena rancangan kota yang diatur sedemikian rupa, seperti adanya bagian belakang dan bagian depan kota, pintu gerbang dan taman kota yang harus berada di bagian depan kota (seperti pada rumah tinggal), pemintakatan fungsi-fungsi ruang kota, serta penempatan parkir di bagian belakang kota, tidak dapat melayani fungsi-fungsi yang ada di dalam kota dengan baik.

Page 4: A r s i t e k t u r  k o t a

o Lynch (1987)

Nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia, termasuk nilai-nilai budaya merupakan komponen yang berfungsi sebagai tolok ukur untuk memahami kualitas arsitektur kota (rancangan kota), khususnya kualitas bentuk spatialnya (spatial form).

Konsep “Good City Form” merupakan pedoman dalam merancang sebuah kota berdasar pada pemahaman atas nilai-nilai di atas yang diturunkan ke dalam satu perangkat tolok ukur yang disebut “performance dimensions”.

Perangkat ini meliputi dimensi-dimensi vitalitas, sense, fit, access, kontrol, efisiensi, dan hukum.

Pengembangan nilai-nilai menjadi tolok ukur yang lebih kongkret, terjadi “pemaksaan” ketika dikembangkan batasan-batasan kualitas rancangan yang berupa “performance dimensions”.

Walaupun begitu, konsep ini tetap memperlihatkan adanya hubungan (sebab-akibat) yang erat antara nilai-nilai manusia dan budaya (sebagai komponen non-fisik) dengan komponen fisik-buatan melalui pengembangan tolok ukur rancangan.

o Alexander (dkk.1987) Perkembangan suatu kota, baik dalam arti arsitektur maupun yang lain, selalu melalui suatu proses yang berkesinambungan dan meliputi semua aspek yang ada dalam kehidupan kota.

Pengertian ini dipahami dan dikembangkan sebagai dasar teori perancangan urban yang menyatakan bahwa keseluruhan (wholeness) kota tidak dapat dipahami tanpa memahami proses (process) perkembangan kota.

Hal ini berarti bahwa perancangan suatu kota tidak hanya berhenti sampai dengan selesainya rancangan (blueprint), tetapi harus diikuti secara terus-menerus dalam suatu proses yang tidak selalu “ajeg” (tetap) dan sama.

Sementara itu, wholeness dalam konteks perancangan kota dapat diartikan sebagai keseluruhan aspek kehidupan kota yang menyebabkan suatu kota dapat hidup baik ataupun tidak baik. Hal ini berarti meliputi aspek-aspek nonfisik, fisik-alam, dan fisik-buatan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengembangan suatu kota merupakan interaksi antar aspek-aspek tersebut, yaitu interaksi antar komponen-komponen non-fisik, fisik-buatan, maupun fisik-alam dalam suatu proses yang tidak dapat diukur dalam satu satuan waktu yang tetap.

Adanya interaksi antar komponen merefleksikan adanya hubungan yang eksplisit antara komponen nonfisik, fisik-alam, dan fisik-buatan.

Page 5: A r s i t e k t u r  k o t a

o Boyer (1996) Teori preskriptif yang memandang bahwa merancang kota (atau tepatnya mengembangkan kota dalam konteks preservasi kota) semestinya tidak hanya mempertahankan bentuk-bentuk fisik masa lalu untuk kepentingan masa sekarang atau masa akan datang, dan memaksakan bentuk-bentuk tersebut untuk dikonser-vasi, melainkan harus mempelajari sejarahnya secara lebih dalam sehingga dapat dipahami hubungan antara pembentuk (yang mungkin tidak cukup kelihatan/ intangible) dengan bentuk-bentuk yang tampak (tangible).

Teori tersebut adalah “the city for collective memory”. Teori yang diperkenalkan oleh Boyer (1996) bertujuan memberikan kritik terhadap praktek preservasi historis (historic preservation), urban design, dan arsitektur pasca moderen (post modern architecture) sekaligus menyampaikan solusi bahwa memori dibalik yang tampak mesti dipahami agar tetap ada kesinambungan antara nilai masa lalu dengan nilai-nilai masa kini dan bahkan masa yang akan datang.

Teori ini berargumentasi mengenai pembangunan kota yang dilandasi oleh konsep dan model yang telah dirumuskan pada masa lalu sebagai seperangkat kenangan (memory).

Memori yang diinterpretasi atau dipahami bukan sekadar terhadap sesuatu yang dilihat dan dipahami sekilas (menurut pengetahuan masing-masing individu yang terbatas, termasuk arsiteknya, khususnya berkaitan dengan komponen fisik kota) oleh orang pada saat sedang akan membangun kota baru atau mengembangkan kota lama, tetapi memori yang digali lebih dalam terhadap hubungan antara yang “tampak” dengan yang “tidak tampak” (fisik dan non fisik).

Semua yang dipelajari melalui sejarah masa lampau tentu saja tidak dapat “dipaksakan” untuk ditampilkan semua pada masa sekarang; harus ada justifikasi yang dapat menghasilkan kultur baru.

Teori ini dirumuskan dengan mempelajari karakteristik perkembangan (tepatnya konservasi kota) pada tiga era berbeda yaitu era abad sembilan belas, awal duapuluh, dan sebelum tahun 1980an. Paling tidak ada tiga konsep mengenai arsitektur kota yang dirumuskan secara semi empiris yaitu “city as work of art”, “city as panorama”, dan “city as spectacle”.

Konsep city as work of art dirumuskan dari pemaknaan atas perkembangan kota yang dirancang pada era abad sembilan belas. Kota pada masa itu dirancang dengan konsep seperti gambar atau lukisan yang ada dalam pigura (frame). Frame yang dipahami sebagai kerangka yang membatasi dan menyatukan tatanan ruang (spatial order). Kerangka ini merupakan struktur pengikat karya seni yang mempunyai makna yang hanya dimiliki oleh dirinya (yaitu gambar tersebut atau dalam arti kiasan adalah kota tersebut).

Page 6: A r s i t e k t u r  k o t a

Sementara itu konsep city as panorama diangkat dengan memahami kota yang dibangun pada era awal abad ke duapuluh. Kota yang dilihat sebagai “anarchic visual arrangement” (gubahan visual yang anarkis) yang menampilkan panorama tanpa batas.

Kota yang ditata berdasarkan transformasi atas konsep “ruang dan waktu” yang menghasilkan pengalaman panoramik (terhadap orang yang melakukan perjalanan dalam kota) sepanjang perjalanan menyusuri bagian-bagian kota.

Pengalaman yang cenderung menghapus “traditional sense of pictorial enclosure as the cityscape” (sensasi tradisi yang berupa pelingkup dan bentang kota yang telah digambarkan dalam memori) dan mengubah atau mentransformasikannya menjadi konfigurasi yang dapat membangun impresi yang bersifat reflektif yang dijumpai dalam sejumlah suasana yang ada di dalam kota.

Konsep city as spectacle adalah kota yang dipahami sebagai “showcase” (ruang/kota yang dipakai untuk memamerkan barang-barang yang bagus dan saling bersaing).

Kota semacam ini berkembang pada era sebelum tahun 1980an. Boyer (1996) melihat sebagai kota moderen yang tak ada order (tatanan) sehingga menyebutnya sebagai “modern chaos”. Kota yang memang untuk dinikmati (kemewahannya) yang mungkin merupakan bagian dari tujuan, meskipun tidak disengaja secara eksplisit.

Melalui pemahaman terhadap tiga konsep tersebut, Boyer (1996) menjelaskan bahwa ketiganya mempunyai karakteristik sendiri-sendiri yang dapat dipandang sebagai memori atau pelajaran yang harus diperhitungkan.

Pengembangan sekaligus konservasi atas kota yang bersangkutan pada era yang berbeda (yang datang dibelakangnya) tidak dapat serta-merta diadopsi tanpa memahami latar belakang historis mengenai kejadian (fenomena) yang membangun konsep-konsep tersebut. Semua pelajaran (memory) tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan tidak hanya pelajaran yang dipahami oleh segelintir orang, melainkan pelajaran yang dipahami secara kolektif oleh sejumlah orang yang dalam bahasa sekarang sering disebut ”stake holders”.

o (Endrasworo, 2010) (Djuliati, 2000:12; dalam Prihatini, 2010). Seperangkat konsep yang berkembang dalam lingkungan kebudayaan Jawa, khususnya dalam sistem tata ruang Kerajaan Mataram adalah Kuthagara, Negaragung, dan Mancanegara.

Konsep-konsep ini diciptakan dalam kerangka membangun pandangan sekaligus perilaku yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, raja dengan rakyatnya, dan keraton dengan wilayah yang menjadi bagian-bagian dari kekuasaannya (Endrasworo, 2010).

Page 7: A r s i t e k t u r  k o t a

Sistem tata ruang Kerajaan Mataram merupakan tatanan ketataruangan yang ditetapkan oleh pemimpin tertinggi (dalam hal ini raja) atas dasar sejumlah pertimbangan oleh pelbagai pihak, termasuk para ahli yang dianggap permono (tajam dalam melihat dan berfikir serta memberi saran kepada raja).

Oleh karena itu sistem ini dapat dikategorikan sebagai teori normatif yang berasal dari tata kebudayaan yang disusun secara preskriptif dan dipraktekkan secara konsisten oleh pemimpin dan pendiri kerajaan beserta rakyatnya. Kuthagara adalah tempat tinggal (tempat kedudukan) raja atau pemimpin tertinggi pada suatu wilayah kekuasaan yang merepresentasikan pusat kehidupan (pancer urip).

Kuthagara ini juga disebut sebagai ”center for the universe” (Fakultas Sastra dan Kebudayaan, tanpa ada tahun penerbitan) yang diartikan kurang lebih sama dengan pancering urip atau pusat kehidupan atau penghidupan.

Di dalam kuthagara sebenarnya juga ada bagian yang disebut dengan center for the universe dalam konteks atau skala mikro yaitu ”Bangsal (pendopo) Kencana” yang menjadi tempat kedudukan raja pada waktu ada pisowanan (silaturahmi resmi antara rakyat, ponggawa, dan para pejabat keraton dengan raja).

Kuthagara terletak di bagian tengah atau pusat, sementara itu mengelilingi kuthagara adalah Negaragung yaitu wilayah inti kerajaan (Djuliati, 2000:12; dalam Prihatini, 2010).

Di dalam nagaragung terdapat area-area (atau juga wilayah-wilayah) yang disedi-akan untuk para pejabat dan kerabat keraton. Wilayah ini di bawah wewenang para wedana atau wedana njaba dan adipati atau demang. (jabatan-jabatan dan kepangkatan yang menguasai bagian-bagian wilayah keraton yang menjadi wilayah kekuasaan keraton/raja)

Negaragung merupakan bentuk penerapan kosmologi Jawa yang diderivasikan dalam konsep ”Pancabuwana” yang tetap meletakkan keraton sebagai pusat. Pancabuwana memuat ”keblat papat lima pancer” (empat keblat/arah yang di tengahnya ada sebuah pusat). Artinya buwana manusia selalu dilingkupi oleh empat aspek kehidupan yang di tengahnya terdapat keraton (kuthagara) sebagai pusat kehidupan.

Empat aspek kehidupan tersebut adalah Wisnu (merupakan fakta emanen) dengan posisi di sebelah timur kuthagara, Kala (sebagai fakta eksistensial) dengan posisi di sebelah selatan kuthagara (laut selatan), Sri (sebagai fakta transenden) dengan posisi di sebelah barat kuthagara, dan Narada (sebagai fakta esensial) dengan posisi di sebelah utara (gunung Merapi).

Keempat aspek kehidupan tersebut digambarkan dengan nagaragung brang wetan (seberang/sisi timur), brang kidul (seberang/sisi selatan), brang kulon (seberang/sisi barat), dan brang lor (seberang/sisi utara). (Endrasworo, 2010)

Di luar wilayah negaragung dalam lingkaran konsentrik luar adalah wilayah yang disebut mancanegara, yaitu wilayah pengaruh keraton yang umumnya diperintah oleh seorang bupati kepala daerah.

Page 8: A r s i t e k t u r  k o t a

Sejajar dengan mancanegara adalah jabarangkah (wilayah di luar lingkaran mancanegara) dan pesisiran (wilayah di area pantai/pesisir).

Suatu aspek yang sangat menarik adalah tugas para demang dan wedana, yaitu mengurusi semua pajak dan pelbagai urusan umum yang dipertanggung jawabkan oleh para ”patuh”, yaitu sentana (salah satu pangkat di sistem pemerintahan keraton) yang bertugas menerima laporan dari para wedana dan demang dalam bentuk pisowanan.

Meskipun tidak menggambarkan arsitektur kota secara eksplisit, namun sistem tata ruang Kerajaan Mataram diaplikasikan dengan konsisten, sehingga membentuk konfigurasi arsitektur dan lanskap yang dapat mewujudkan isi yang diwadahinya, yaitu konfigurasi konsentris yang mencerminkan empat aspek kehidupan (empat keblat) dengan satu pusat kehidupan (satu pancer), yang menggambarkan hubungan antara sesuatu yang intangible dengan yang tangible.

KUTHAGARA Tempat tinggal raja/pimpinan, Center for the

universe, Bangsal

NARADA Fakta esensial

Negara brang lor

WISNU Fakta emanen

Negara brang wetan

SRI Fakta transenden

Negara brang kulon

KALA Fakta

eksistensial

Negara brang kidul

NEGARAGUNG

MANCANEGARA Jabarangkah Pesisiran

Page 9: A r s i t e k t u r  k o t a

Uraian mengenai teori normatif arsitektur kota tampaknya dapat mempertajam pemahaman bahwa pada dasarnya teori normatif merupakan upaya mencari dan meningkatkan nilai arsitektur yang dapat dimiliki oleh suatu kota melalui penyelesaian masalah yang signifikan (sebagai komponen nonfisik maupun fisik-alam menurut konteks masing-masing kota) dengan cara-cara teknis dan prosedur merancang yang selalu dikembangkan untuk mengolah komponen fisik-buatan (artefak). Meskipun demikian, karena konteks kota selalu memiliki perbedaan antara satu kota dengan kota yang lain yang disebabkan oleh pelbagai aspek seperti alam, budaya, ekonomi, kebijakan yang bersifat setempat (lokal), maupun waktu yang berbeda, teori ini belum menunjukkan bukti yang dapat berlaku universal sehingga diperkirakan akan terjadi modifikasi cara-cara teknis dan prosedur merancang, atau bahkan muncul teori normatif yang lain atau teori baru yang hanya sesuai dengan konteks kota tertentu.