a. latar belakang masalah -...

44
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak dalam bernegara. Melalui proses pemungutan yang bersifat memaksa dan harus diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur sebagai dasar pengenaan, Negara memiliki dasar kewenangan memungut pajak kepada warganya. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ini merupakan dasar konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Semua pajak yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan undang-undang, sehingga pemungutan pajak di Indonesia mempunyai dasar hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya, karena semua pajak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 1 1 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Edisi I, Graha Ilmu, Cet. I Yogyakarta, 2010, h. 32.

Upload: dominh

Post on 01-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa

perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak

dalam bernegara. Melalui proses pemungutan yang bersifat memaksa dan

harus diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur sebagai dasar

pengenaan, Negara memiliki dasar kewenangan memungut pajak kepada

warganya. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

ini merupakan dasar konstitusional dari sistem pemungutan pajak di

Indonesia. Semua pajak yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan

undang-undang, sehingga pemungutan pajak di Indonesia mempunyai dasar

hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya, karena semua

pajak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disahkan oleh Presiden

Republik Indonesia.

Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan

terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-

peraturan yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali,

yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan

tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1

1 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan

Indonesia, Edisi I, Graha Ilmu, Cet. I Yogyakarta, 2010, h. 32.

Page 2: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

2

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan

undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung ditunjukkan

dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.2

Jadi, pemungutan pajak sendiri merupakan perwujudan dari pengabdian

dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama

melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan

negara dan pembangunan nasional.

Peningkatan potensi penerimaan pajak dapat dilakukan melalui

kebijakan intensifikasi pajak dan/atau ekstensifikasi pajak. Salah satu sumber

potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta

perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).3 BPHTB adalah pajak yang dikenakan

atas perolehan hak atas tanah atau bangunan. Yang menjadi

peristiwa/keadaan/perbuatan yang melahirkan kewajiban pembayaran pajak

adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau

badan.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan

salah satu jenis pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang

didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian

memperhatikan siapa yang menjadi subjek pajak. Wirawan B. Ilyas dan

2 Masdianto, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002, h. 1. 3 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori

dan Praktek, Edisi I, Cet. I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003, h. 6.

Page 3: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

3

Richard Burton menyatakan bahwa Obyek dari Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau

bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan

bangunan.4 Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena adanya

peralihan hak yang meliputi peristiwa hukum dan perbuatan hukum yang

terjadi antara orang atau badan hukum sebagai subyek hukum oleh Undang-

Undang dan peraturan hukum yang berlaku diberikan kewenangan untuk

memiliki hak atas tanah dan bangunan.

Dalam konteks hukum pajak, tindak pidana pajak diartikan suatu

peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang - undang pajak yang

dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat

dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan

sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum. Dalam Undang-undang

Perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana pajak.

Adanya tindak pidana perpajakan ini dapat dilihat dalam ketentuan UU

No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun

1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pelanggaran

terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang

menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi,

sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan

4 Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat,

Jakarta, 2004, h. 90.

Page 4: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

4

sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di

bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari,

mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji

kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam

rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.5

Dalam kepustakaan hukum disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

tindak pidana atau delik adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan sanksi pidana. Apabila ketentuan dilanggar berkaitan dengan

Undang-undang Perpajakan, disebut dengan yang tindak pidana pajak dan

pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana termasuk

yang diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata

pamungkas atau terakhir (ultimum remidium) yang akan diterapkan apabila

sanksi administrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan penegakkan

hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karenanya, tidak heran

apabila dalam Undang-undang Perpajakan juga mengatur ketentuan pidana.6

Terdapat berbagai perbuatan pidana atau tindak pidana atau

pelanggaran pajak yang dapat dikenakan sanksi pidana. Salah satu contoh

pelanggaran pajak yang pernah muncul di media massa dan menimbulkan

kerugian keuangan negara adalah kasus manipulasi Faktur Pajak Fiktif.

5 Jun Cai dan Amelia Tobing, Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, dalam

http://baltyra.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2016 6 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat. Jakarta,

2010, h. 154.

Page 5: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

5

Kasus ini terjadi karena Wajib Pajak terbukti menggunakan dokumen Faktur

Pajak tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Wajib Pajak

menerbitkan Faktur Pajak tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual

beli barang yang sebenarnya adalah fiktif. Penerbit Faktur Pajak yang tidak

diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan

negara dari sisi penerimaan pajak.7

Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 6 Tahun

1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun

2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, bahwa apabila

seseorang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau

dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali

jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sementara itu,

menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, walaupun pelakunya telah memenuhi unsur

merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, ancaman

hukumannya bervariasi karena Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

7 Ibid, h. 182.

Page 6: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

6

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri menganut sanksi

pidana minimum dan maksimum khusus.8

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagai hukum pidana khusus yang memuat tentang hukum

pidana formil dan materiil telah memadai sebagai perangkat hukum untuk

memberantas korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang-

undang tersebut berfungsi sebagai sarana prevensi mengingat ancaman

pidananya sangat berat sehingga dapat menakutkan orang untuk berbuat atau

melakukan tindak pidana korupsi lebih-lebih lagi apabila dalam

kenyataannya pengadilan telah menjatuhkan pidana yang berat kepada si

pelaku dalam berbagai kasus korupsi termasuk kasus pelanggaran pajak yang

salah satunya berupa penggelapan pajak bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan (BPHTB).

Lebih lanjut, dalam perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan, bagi pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima

pengalihan masing-masing telah ada ketentuan yang mengatur dan

menetapkan dalam peraturan yang berbeda mengenai kewajiban masing-

8 Ibid. h. 182.

Page 7: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

7

masing pihak dalam hal pembayaran. Tujuan adanya ketentuan ini adalah

agar dapat memaksimalkan penerimaan pajak bagi kas negara.9

Bagi pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan PPh

Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun

1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah,

terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2009. Sejak perubahan

Undang-undang No.28 Tahun 2009 ini, maka setiap pengalihan atas tanah

dan bangunan yang terjadi dalam tanah dan bangunan maka dikenakan pajak

PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan pajak bea perolehan

hak atas tanah dan bangunan. Sementara itu, bagi menerima pengalihan hak

atas tanah dan/atau bangunan dikenakan BPHTB.

Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan terhadap penghasilan dari

peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan (selanjutnya disebut PPh-PHTB)

merupakan objek Pajak Penghasilan. Kemudian, bagi pihak yang menerima

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan UU No. 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 85-94.

Dengan demikian dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dalam transaksi

atau peristiwa peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB

dikenakan hanya kepada pembeli atau penerima perolehan hak tanah dan/atau

bangunan.

9 Kartasapoetra G, Pajak Bumi dan Bangunan Prosedur dan Pelaksanaannya,

Bina Aksara, Jakarta, 1989, h. 10.

Page 8: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

8

Seiring dengan dinamika administrasi pemerintahan dari sentralisasi

menuju desentralisasi dengan adanya Otonomi Daerah, serta untuk

meningkatkan kemampuan daerah dalam pembiayaan kebutuhan

penyelenggaraan pemerintahannya, maka BPHTB kemudian dijadikan

sebagai salah satu komponen Pajak Daerah dengan dikeluarkannya Undang –

undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Selanjutnya masing-masing pemerintah daerah diberikan kewenangan

mengatur sendiri pemungutan BPHTB dan diwajibkan pengaturannya

melalui Peraturan Daerah. Adapun Perda yang mengatur dalam hal ini

terdapat dalam Perda Kota Semarang No. 2 Tahun 2011 Tentang BPHTB.

Selanjutnya dalam penelitian ini dititikberatkan pada Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu pajak yang dikenakan bagi pihak

atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut.

Perolehan hak atas tanah yang telah bersertifikat yang dilakukan para

pihak harus dibuat dengan menggunakan akta otentik dan dilakukan di

hadapan PPAT. Oleh karena peralihan hak atas tanah itu, merupakan salah

satu perbuatan hukum yang dibuat dengan akta otentik oleh PPAT, maka

salah satu kewajiban PPAT dalam pembuatan akta itu adalah memastikan

bahwa pembayaran BPHTB yang terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak

dengan memperlihatkan bukti Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (SSB), barulah pembuatan dan penandatanganan akta hibah

Page 9: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

9

tersebut dapat dilaksanakan, dan kewajiban PPAT melaporkan pembuatan

akta itu kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB)

(sekarang KPP Pratama) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah dan

atau bangunan dimaksud berada selambat-lambatnya adalah pada tanggal 10

bulan berikutnya.

BPHTB yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya

perolehan hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu

pembayaran pajak oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi

PPAT, dan Pejabat lelang Negara untuk menandatangani akta pemindahan

hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan

bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (Pasal 24 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2000) dan bagi PPAT dan pejabat lelang yang

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar Rp.

7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal

26 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000).

Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan

pembayaran pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban

penjual maupun pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan

dilakukan pada hari dan tanggal akta jual belinya ditandatangani oleh para

pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga kepastian pembayaran pajak

tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang bersangkutan

Page 10: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

10

dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut

kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank.

Dalam penelitian ini, terdapat transaksi jual beli tanah dan/atau

bangunan dimana pembayaran BPHTB nya dititipkan oleh penerima tanah

dan/atau bangunan kepada Notaris. Namun dalam kenyataannya, Notaris

yang telah menerima penitipan pembayaran BPHTB tersebut tidak pernah

melakukan pembayaran BPHTB ke Negara.

Sehubungan dengan ini, terdapat dugaan tindak pidana korupsi atas

pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB /

SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan

SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN

Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga

mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua

puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang dilakukan oleh

Pelaku 10

Dalam kasus ini, apabila diuraikan terdapat dua kemungkinan tindak

pidana yaitu :

a. Tindak pidana pemalsuan dokumen

b. Tindak pidana korupsi karena adanya dugaan tindakan yang merugikan

keuangan Negara.

10 Subdit III Ditreskrimsus Polda Jateng, Oktober 2014

Page 11: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

11

Bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, adalah

perbuatan melanggar hukum (korupsi) sebagaimana terdapat dalam Pasal 3

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang

dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara. Penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3

Undang -undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek

atau pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan

melawan hukum dalam Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Dalam Pasal 3 ini setiap orang meliputi orang atau korporasi,

khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak

termasuk pejabat atau pegawai negeri.

Delik korupsi penyalahgunaan wewenang terdapat dalam Pasal 3

Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999

Page 12: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

12

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang

dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara.

Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini tidak

ada unsur melawan hukum, hanya ada unsur menyalahgunakan kewenangan.

Namun, secara implisit penyalahgunaan wewenang inheren (sama) dengan

melawan hukum, sebab penyalahgunaan wewenang essensinya merupakan

perbuatan melawan hukum. Unsur melawan hukum merupakan gennya,

sementara penyalahgunaan wewenang adalah spesiesnya.

Penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 Undang-undang No. 20

Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek atau pelaku delik pejabat

atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan melawan hukum dalam

pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 3

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini setiap orang meliputi

Page 13: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

13

orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang

minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dalam rangka penulisan tesis dengan judul : PENGGELAPAN

PAJAK OLEH NOTARIS/PPAT DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Kapankah uang pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) dan PPh final sudah dikategorikan sebagai uang Negara,

sehingga bisa diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Korupsi?

2. Apakah PPAT yang tidak membayarkan uang titipan pembayaran

pajak BPHTB dan PPh final kepada Negara masuk sebagai Korupsi ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui sejak kapan uang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final dapat dikategorikan sebagai

uang negara.

Page 14: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

14

2. Untuk mengetahui mengenai pemenuhan unsur Tindak Pidana Korupsi

pada penyimpangan pembayaran uang titipan Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah:

1. Manfaat Teorities

a. Menambah kepustakaan dan dapat juga digunakan sebagai referensi

untuk penelitian yang sejenis.

b. Sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menganalisis mencari

kejelasan guna melengkapi pengetahuan dan menambah wawasan

penulis tentang tindak pidana khusus, yaitu korupsi khususnya

dalam hal pelanggaran pajak maupun penyalahgunaan wewenang

dalam jabatan oleh pejabat PPAT.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah

Memberikan informasi yang bermanfaat, yang dapat dijadikan acuan

bagi pengambil keputusan, terutama dalam menangani permasalahan

tindak pidana khusus, yaitu korupsi khususnya dalam hal pelanggaran

pajak berupa penggelapan BPHTB oleh Notaris/PPAT.

Page 15: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

15

b. Bagi Mahasiswa

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan

menganalisis terhadap kenyataan yang ada mengenai penanganan

permasalahan PPAT dalam melakukan pelanggaran atas tidak

dilakukannya penyerahan BPHTB ke kas Negara.

c. Bagi Masyarakat

Dapat menginformasikan hasil-hasil penelitian ini kepada

masyarakat luas sehingga Notaris lebih berhati – hati dalam menerima

uang titipan BPHTB dan PPh.

E. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini diperlukan suatu teori yang melandasi dari suatu

penelitian. Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti

“perenungan” yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan

realitas.11 Jadi teori adalah seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak

atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel

sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang

11 Soetandyo Wignjosoebroto dalam Salman Otje dan Susanto Anton, Teori

Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali menyebutkan bahwa teori

adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk

menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman. PT. Refika

Aditama, Bandung, 2004, h. 21.

Page 16: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

16

digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan

bagaimana hubungan antar variabel tersebut.12

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistimatiskan

penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar

penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab

pertanyaan. Artinya teori ini merupakan suatu penjelasan rasional yang

berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta

empiris untuk dapat dinyatakan benar.13

Setiap hukum tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan. Demikian

pula dengan hukum pajak. Terdapat berbagai teori untuk memberikan dasar

hukum kepada negara dalam memungut pajak dari rakyat. Adapun teori-teori

tersebut adalah sebagai berikut:14

1. Teori Timbulnya Hutang Pajak

Mengenai timbulnya utang pajak terdapat 2 (dua) teori yang saling

berbeda argumentasi karena sudut pandang yang dijadikan pokok analisis

yang berbeda. Perbedaan itu sebagai wacana terbaik dalam pengembangan

hukum pajak di masa kini dan di masa mendatang. Sebenarnya perbedaan itu

12 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia,

Yogyakarta, 1989, hlm 12-13, bandingkan dengan Koentjaraningrat, Metode-Metode

Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, h. 19. 13 M.Solly Lubis (I) Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994,

h. 80. 14 Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum Pajak. Bayumedia, Malang,

2006, h. 34.

Page 17: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

17

dikategorikan sebagai sumber hukum pajak, yakni terdapat (doktrin) di

kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat yakni pendapat (doktrin) di

kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat tersebut dapat disepakati

untuk diterima sebagai doktrin.

Kapan timbulnya hutang pajak, menurut Brotodihardja masih tetap

diperdebatkan, apakah karena undang-undang ataukah oleh tindakan fiskus.15

Lebih lanjut dikatakan bahwa:

Dalam hukum pajak tidaklah selalu dinyatakan dengan terang di dalam

undang-undangnya, pada saat manakah terjadi suatu utang pajak.

Melainkan dicurahkan semua perhatian kepada timbulnya keharusan

untuk membayarnya. Demikian itu adalah karena sehari-hari, saat yang

disebut terakhir ini jauh lebih penting16.

Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang

mendasarnya dan telah terpenuhinya atau terjadi suatu Taatbestand (sasaran

perpajakan), yang terdiri dari : keadaan-keadaan tertentu, peristiwa, dan atau

perbuatan tertentu. Tetapi yang sering terjadi ialah karena keadaan, seperti

pajak-pajak yang sangat penting yaitu atas suatu penghasilan atau kekayaan,

dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis Wajib Pajak yang bersangkutan

walaupun keadaan itu dalam kebanyakan hal timbulnya karena perbuatan-

perbuatannya. Tapi keadaan wajib pajak yang menimbulkan hutang pajak itu

sendiri. Adanya hutang pajak berhubungan dengan adanya kewajiban

masyarakat kepada Negara berdasarkan Undang – Undang.

15 Brotodihardja, Pengantar Hukum Pajak, Co. Bandung, 1995, h. 111 16 Ibid, h. 113

Page 18: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

18

Dengan demikian, dalam hutang pajak ini memiliki beberapa sifat,

antara lain :

a. Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau Fiskus;

b. Ditetapkan jangka waktu pelunasannya;

c. Jika terlambat bayar/kurang bayar, berakibat dikenakan sanksi;

d. Dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.

Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 (dua) ajaran yang

mengatur tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu:

a. Ajaran Formil.

Hutang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan

Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment

System.

Teori formil dipelopori oleh Steimmetz sebagaimana

dikemukakan oleh Muhammad Djafar Saidi bahwa timbulnya utang

pajak pada saat dikeluarkannya SKP oleh fiskus bukan karena undang-

undang pajak yang menentukannya.17 Dalam hal ini, diperlukan campur

tangan fiskus untuk menentukan jumlah utang pajak yang harus dibayar

oleh wajib pajak. Bentuk campur tangan fiskus adalah menerbitkan

SKP yang memuat jumlah utang pajak dan kalau perlu ada tambahan

sanksi administrasi. Begitu pula yang dikatakan oleh Bohari bahwa

17 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, PT. RajaGrafindo Persada:

Jakarta, 2007, h. 160

Page 19: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

19

penganut teori formil berpendapat bahwa utang pajak itu timbul karena

adanya ketetapan pajak oleh fiskus.18 Dengan demikian, meskipun

sudah dipenuhi adanya tatbestand, namun belum ada ketetapan pajak,

maka ini berarti belum ada utang pajak.

Senada dengan hal tersebut adalah Soemitro yang menyatakan

bahwa:

Teori formil beranggapan utang pajak timbul karena

undang-undang pajak pada saat dikeluarkan ketetapan pajak

oleh Direktoral Jendral Pajak. Jadi selama belum ada

ketetapan pajak, belum ada utang pajak walaupun syarat

subjektif dan syarat objektif telah dipenuhi. Keuntungan

dari teori ini, adalah karena pada saat utang pajak timbul,

sekaligus dapat diketahui dengan pasti berapa besarnya

utang pajak karena yang menentukan besarnya pajak itu

adalah Direktorat Jenderal Pajak yang menguasai ketentuan-

ketentuan undang-undang pajak. Kelemahan teori ini,

adalah besar sekali kemungkinannya utang pajak ditetapkan

tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.19

Dalam teori formil, surat ketetapan pajak memiliki fungsi,

diantaranya :

1) Menimbulkan utang pajak;

2) Dasar penagihan pajak;

3) Menentukan jumlah pajak yang terutang.

18 Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Ed. revisi. Cet. 5. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2004. h. 112). 19 Soemitro, Sistem Perpajakan, RajaGrafindo: Jakarta, 1988, h 3

Page 20: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

20

Jadi, selama belum ada surat ketetapan pajak, maka belum ada

utang pajak, walaupun syarat-syarat subjektif dan syarat objektif telah

terpenuhi.

Kelemahan teori formil ini yaitu besar sekali kemungkinan utang

pajak ditetapkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain

itu, teori formil tidak dapat diterapkan terhadap pajak tidak langsung

karena pajak tidak langsung tidak menggunakan surat ketetapan pajak.

Teori ini hanya diterapkan pada saat timbulnya utang pajak bumi dan

bangunan.

Contoh : hutang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus

menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Jadi, si A tidak mempunyai

kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus

belum menerbitkan SKP nya.

Teori ini sangat lemah karena banyak jenis pajak yang terutang

dan dibayar tidak perlu menunggu diterbitkannya surat ketetapan pajak,

misalnya bea materi, PPh pasal 21, dan lain-lain.

b. Ajaran Materiil

Hutang pajak timbul karena berlakunya undang – undang.

Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran

ini diterapkan pada Self Assessment System.

Page 21: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

21

Teori material yang dipelopori oleh Adriani menyatakan bahwa:

Timbulnya utang pajak adalah karena undang-undang saja, tanpa

diperlukan suatu perbedaan manusia (jadi sekalipun tidak dikeluarkan

surat ketetapan pajak oleh fiskus asalkan dipenuhi syarat atau terapat

suatu tatbestand. Sehingga tidak memerlukan campur tangan pihak

fiskus untuk menerbitkan surat ketetapan pajak.20

Selaku pengikut teori material adalah Soemitro yang mengatakan

kalau dianalisis lebih lanjut maka teori material itu mengelompokkan

bahwa utang pajak timbul dengan sendirinya karena undang-undang,

sebab dipenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.21 Dengan sendirinya

artinya, bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan

campur tangan atau perbuatan dari fiskus, asal syarat-syarat yang

ditentukan dalam undang-undang pajak telah dipenuhi. Dalam kaitan

teori material maka dikatakan oleh Muhammad Djafar Saidi, bahwa

teori material memandang SKP yang dikeluarkan oleh pejabat pajak

tidak menimbulkan utang pajak.22 Sebab utang pajak telah timbul

karena undang-undang pada saat dipenuhinya tatbestand. SKP hanya

berfungsi sebagai: (1). dasar penagihan pajak, dan (2). memuat jumlah

utang pajak termaksud sanksi administrasi.

20 Brotodihardjo, oP. cit 1995, h. 112 21 Soemitro, Op. Cit, h. 3. 22 Muhammad Djafar Saidi, Op. cit, h. 156

Page 22: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

22

Menurut teori materiil utang pajak timbul karena telah memenuhi

syarat subjektif dan objektif, sehingga tidak memerlukan campur

tangan pejabat pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak.

Keberadaan surat ketetapan pajak tidak menimbulkan utang pajak.

Jadi utang pajak timbul karena undang-undang pajak sendiri. Hal

ini terkait dengan Pasal 12 Ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa

“setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan

tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak”.

Contohnya : Syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh

di atas menurut Undang – Undang No. 19 Tahun 2000 tentang

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jika si A telah bertempat tinggal

atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua

belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas

PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu

menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut

faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-

Undang atau karena sasaran perpajakan, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-

keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa yang dapat

menimbulkan utang pajak’.

Page 23: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

23

Sebenarnya teori materi malah memberi keuntungan pada petugas

pajak. Petugas pajak hanya bertugas melakukan pemeriksaan untuk

menguji kepatuhan wajib pajak.

Kelemahan teori materiil adalah pada saat timbulnya utang pajak,

belum diketahui dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena

kebanyakan wajib pajak tidak memahami dan menguasai ketentuan

undang-undang pajak, sehingga kurang mampu menerapkannya.

Dengan demikian disimpulkan bahwa hutang pajak timbul jika

undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan telah

dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh

undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi

apabila keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang -undang

dipenuhi, keadaan ini berupa:

a. Perbuatan

b. Keadaan

c. Peristiwa

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang

menentukan dalam:

a. Pembayaran/penagihan pajak

b. Memasukkan surat keberatan

Page 24: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

24

c. Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu

kadaluwarsa

d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Pajak adalah penerimaan negara dari wajib pajak yang dapat

dipaksakan untuk wajib membayarnya menurut peraturan-

peraturan umum (undang–undang) dengan tidak mendapat prestasi

kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk

membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara

untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Sementara itu persoalan apakah (uang) BPHTB yang terhutang

apakah sudah dapat dikategorikan sebagai uang Negara atau bukan

dapat didekati dengan kemungkinan dua system yang lazim digunakan

menentukan pembukuan pendapatan, yaitu cash based system dan

accrual based system, atau kombinasi yang dikembangkan dari dua

system tersebut. Secara teoritik penerimaan negara dalam APBN dapat

dipisahkan menjadi beberapa sistem, yaitu :

1. Cash Based System

Basis kas (cash basis) menetapkan pengukuran atau pencatatan

transaksi ekonomi hanya dilakukan apabila transaksi tersebut

menimbulkan perubahan pada kas. Apabila transaksi tersebut

Page 25: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

25

belum menimbulkan perubahan pada kas maka transaksi tersebut

tidak dicatat.

2. Accrual Based System

Basis akrual (acrual basis) adalah dasar akuntansi yang mengakui

transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa

tersebut terjadi (dan bukan hanya pada saat kas atau setara kas

diterima atau dibayar ). Oleh karena itu, transaksi-transaksi dan

peristiwa-peristiwa dicatat dalam catatan akuntansi dan diakui

dalam laporan keuangan periode terjadinya.

3. Basis Kas Modifikasian (Modified Cash Basis)

Menurut butir (12) dan (13) lampiran XXIX (tentang kebijakan

akuntansi) Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 disebutkan

bahwa :

(12) basis/dasar kas modifikasian merupakan kombinasi dasar

accrual

(13) Transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas dibukukan

(dicatat atau dijurnal) pada saat uang diterima atau dibayar

(dasar kas). Pada akhir periode dilakukan penyesuaian

untuk mengakui transaksi dan kejadian dalam periode

berjalan meskipun penerimaan atau pengeluaran kas dari

transaksi dan kejadian dimaksud belum terealisir.

Page 26: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

26

Jadi, penerapan basis akuntansi ini menuntut Satuan Pemegang

Kas mencatat transaksi dengan basis kas selama tahun anggaran

dan melakukan penyesuaian pada akhir tahun anggaran

berdasarkan basis akrual.

4. Basis Akrual Modifikasian (Modified Accual Basis)

Basis akrual (modified acrual basis) modifikasian mencatat

transaksi dengan menggunakan basis kas untuk transaksi-transaksi

tertentu dan menggunakan basis akrual untuk sebagian besar

transaksi.23

Berdasarkan teori tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan

bahwa apabila pemerintah daerah menggunakan cash based system

(uang) BPHTB tersebut baru akan menjadi uang Negara ketika uang

tersebut telah secara riil diterima oleh Negara (baca : Pemerintah

Daerah setempat) dan telah dibukukan (menimbulkan perubahan pada

kas). Sementara itu, kalau system pembukuan Pemerintah Daerah

setempat menggunakan accrual based system, (uang) BPHTB telah

menjadi uang Negara pada saat taatsbestand ada, yaitu pada saat

peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut terjadi.

23 Abdul Halim, Op. cit, 2007, hal 47

Page 27: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

27

2. Teori Kewenangan PPAT

Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata

negara dan hukum administrasi negara. Ada banyak istilah dan definisi dari

kewenangan yang dikemukakan oleh pakar, diantaranya menurut P. Nicolai

dalam Ridwan HR., bahwa:

“Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan

tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang

dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup

mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan

tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan

tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk

melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu”.24

Menurut J.H.A. Logeman yang diterjemahkan oleh Makkatutu dan

Pangkerego (1948:160) bahwa menurut hukum tata negara positif, sesuai

sifatnya biasanya wewenang dijadikan sebagai kompetensi bagi jabatan-

jabatan tertentu misalnya wewenang untuk membuat peraturan bagi tujuan

tertentu, memberikan izin tertentu, memberikan pensiun, mengenakan suatu

pengenaan pajak dsb.25

Menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR. bahwa:

“Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan

kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk

berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus

bererti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan

dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan

untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri

24 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta ,

2006, h. 102. 25 Makkatutu dan Pangkerego, Op. cit, h. 160

Page 28: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

28

(zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti

kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana

mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan

pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara

keseluruhan”.26

Menurut Ridwan HR. bahwa “seiring dengan pilar utama negara

hukum, yaitu asas legalitas (legaliteisbeginsel atau het beginsel van

wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa

wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya

sumber wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan.

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan

mandat”.27

Indroharto menyatakan bahwa “pada atribusi terjadi pemberian

wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang

baru”.28 Lebih lanjut menurut Ridwan HR., legislator yang berkompeten

untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara

lain:

a. berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di

tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan

DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan

26 Ridwan HR. Op. cit, h. 102 27 Ibid, h. 103-104 28 Indroharto, 1993. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1993, h. 104.

Page 29: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

29

suatu undang-undang, dan tingkat daerah adalah DPRD dan

pemda yang melahirkan Peraturan Daerah;

b. bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang

berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang

mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan

wewenang-wewenang pemerintah kepada badan atau jabatan

tata usaha negara tertentu.29

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang

yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan

perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh

kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu

peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian teori-teori tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa pajak yang disetorkan pada kas negara seyogyanya digunakan untuk

mendukung pembangunan negara Indonesia demi mencapai kesejahteraan

masyarakatnya. Tetapi pada kenyataannya, penyetoran pajak oleh warga

negara Indonesia tidak sedikit yang disalahgunakan oleh oknum-oknum

tertentu baik dari pegawai perpajakan sendiri maupun dari pihak Wajib Pajak

untuk melakukan pelanggaran pajak, yang salah satunya berupa penggelapan

pajak BPHTB. Penuntutan penggelapan pajak ini dapat saja didasari dengan

peraturan di luar Undang-undang Perpajakan seperti Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila

29 Ridwan HR. Op. cit, h. 104-105

Page 30: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

30

perbuatan pidana pelanggaran pajak seperti penggelapan pajak telah

memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.

Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan negara,

baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan

administrasi pemerintahan. Melihat begitu besarnya peranan penerimaan

pajak bagi negara maka Undang-undang Perpajakan beberapa kali mengalami

perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan

sehingga tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikurangi dan diantisipasi.

Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi

penyelenggaraan negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime)

harus dapat dicegah dan diberantas. Sejalan dengan itu, setiap pelaku

kejahatan di bidang perpajakan harus dihukum dan hasil kejahatannya harus

disita oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.30

Tindak pidana korupsi dapat ditinjau sebagai pelanggaran Undang-

undang Perpajakan dengan menggunakan Undang-undang Nomor 7 Tahun

1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun

2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang jenis penghasilan

yang menjadi objek pajak dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983

30 Susno Duadji, Penggelapan Pajak Kejahatan Asal Praktik Pencucian Uang, 16

Oktober 2010 dalam http://www.susnoduadji.com./tulisan-susno/penggelapan-pajak-

kejahatan-asal-praktek-pencucian-uang, diunduh 23 November 2015

Page 31: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

31

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang

prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya.31 Sistem target

dalam pemungutan pajak dapat mendorong peningkatan penerimaan negara,

namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah krusial bilamana penerapan

target yang dimaksudkan hanya untuk memunculkan data subjektif. Kendati

data subjektif bukan data fiktif akan tetapi hal itu dapat digunakan untuk

mengelabui masyarakat dari keadaan dan kondisi riil penerimaan sektor

pajak.

Praktik menyimpang dalam upaya pencapaian target pajak akan

menjadi celah (loophole) yang memberi peluang bagi oknum petugas pajak,

wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana

melakukan tindak kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) seperti

penggelapan, penghindaran, penyimpangan, pemerasan dan pemalsuan

dokumen, yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan ilegal yang

sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya

menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan negara.32

Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan

bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak

31 Arles Ompusunggu, Gagasan Hukum, Artikel, Legal Opinion. Media Online

2010. Slamet Hariyanto dan Rekan: Adovokat, Konsultan Hukum dan Politik, Solusi UU

Pajak di Tengah Ironi Korupsi dalam http://gagasanhukum.wordpress.com diunduh 23

November 2015 32 Loc. Cit. Susno Duadji. 16 Oktober 2010.

Page 32: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

32

yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Dalam praktek

misalnya, Wajib Pajak hanya membayar lima puluh persen dari

kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya "dikantongi" oleh

oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang dua puluh lima persen lagi

yang disetorkan ke kas negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya

uang negara bisa mencapai tujuh puuh lima persen. Besar kemungkinan

bahwa terjadinya penggelapan pajak yang semakin luas menurut Jeffrey P.

Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah negara –negara yang

mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.33

Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara dan karenanya

aturan perpajakan pun di atur begitu lengkapnya, baik sekarang maupun sejak

zaman sebelum dilakukan Tax Reform dimana ketentuan-ketentuan itu sudah

diatur dalam KUHP pada pasal-pasal tertentu karena sektor perpajakan

diharap menyumbang finansial terbesar untuk Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN). Namun dalam realisasinya, terjadi pelanggaran

pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, aparat pajak maupun pihak ketiga

yang akibatnya dapat merugikan pendapatan dan keuangan negara.34

Oleh karena itu, pelanggaran pidana perpajakan dimungkinkan untuk

memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan penuntutannya dapat pula

33 Ibid 34 Mokhamad Khoirul Huda. Jurnal Ilmiah: Penegakan Hukum Pidana Terhadap

Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam www.google.co.id 2010, diunduh 23 November

2015

Page 33: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

33

didasari pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 36A ayat (4) Undang-

undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan dinyatakan:

Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri

secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya

memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau

menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi

dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 38 Undang-undang Nomor 6

Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16

tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dinyatakan:

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan

oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan

dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut

tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana.

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini

bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan

tindak pidana.

Penjelasan pada Pasal 38 di atas, secara jelas mengatur tentang dasar

hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek, aparat

penegak hukum lebih cenderung menerapkan ketentuan Undang–undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Page 34: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

34

terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan dimana

keadaan seperti ini menyalahi asas lex specialist derogat lex generalis.35

Berdasarkan pada asas lex specialist derogat lex generalis, semua

tindak pidana perpajakan seharusnya dijerat dengan ketentuan-ketentuan

dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana

mengingat sumber daya manusia (SDM) kita khususnya hakim dan jaksa

tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait

dengan sistem perpajakan.

Disisi lain, bahwa seseorang dikatakan secara hukum

bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat

dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Teori

tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung

jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan

Peraturan perundang-undangan. Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan

kewenangan dari wajib pajak bukan PPAT, namun dalam hal ini PPAT dapat

menyetorkan pajak BPHTB apabila nasabahnya menitipkan pembayaran

BPHTB tersebut kepada PPAT. Jadi PPAT disini sebagai orang yang

dipercaya oleh nasabahnya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Jadi dalam hal

ini penyetoran pajak BPHTB bukan merupakan kewenangan daripada Notaris

melainkan kewenangan dari wajib pajak itu sendiri.

35 Ibid

Page 35: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

35

Keberadaan PPAT senantiasa diperlukan masyarakat yang memerlukan

jasanya di bidang hukum. PPAT sebagai pejabat akta tanah harus dapat selalu

mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya

kepada masyarakat, PPAT dapat membantu memberikan jalan keluar yang

dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya.

Pembayaran BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak kepada PPAT

untuk disetor namun tidak disetorkan oleh PPAT maka perbuatan yang

dilakukan oleh PPAT tersebut dapat dikatakan telah melanggar peraturan

perundang-undangan dan tindak pidana penggelapan pajak BPHTB. PPAT

tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta tanah

tidak berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PPAT merupakan pejabat umum maka akta-akta yang dibuatnya juga

merupakan akta-akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Akta-akta otentik tersebut yaitu Akta jual beli, tukar menukar, akta hibah,

akta pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng), akta Pembagian hak

bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik,

Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan.

PPAT dilarang membuat akta otentik (akta jual beli) apabila ada hal-hal

seperti tercantum dalam Pasal 39 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah yaitu :

Page 36: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

36

(1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika :

a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik

atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan

sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang

diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di

Kantor Pertanahan; atau

b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak

disampaikan

Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan

yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai

bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal

24 ayat (2); dan

Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah

yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor

Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang

jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang

hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala

Desa / Kelurahan; atau

c. Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang

bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk

bertindak demikian; atau

d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu

surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan

hukum pemindahan hak;atau

e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh

izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin

tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku; atau

f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam

sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau

g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

Begitu pentingnya kedudukan PPAT dalam ikut serta membantu

Kantor Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah maka

Page 37: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

37

agar kegiatan pendaftaran tanah dapat berjalan dengan baik, kerja sama yang

baik dan harmonis antara Kantor Pertanahan dan PPAT mutlak diperlukan.

PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan terlebih dahulu sebelum

menjalankan jabatanya Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat (1) PP 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu :

(1) Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT

Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT

dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya

di daerah kerja PPAT yang bersangkutan

Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk

membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah

susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor

Pertanahan atas akta–akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari

kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.

Apakah kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dan akta yang

dibuatnya merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor

24 Tahun 1997 jo. PP Nomor 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum

yang berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik

dan Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang

menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum

dan bentuk akta otentik. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang

Page 38: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

38

jabatan Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur

tentang Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.

Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris

adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana

kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang

Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan

oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian

tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan

kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan

atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh

Undang-undang.

F. Metode Penelitian

Metode merupakan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu,

sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,

merumuskan dan menganalisis sampai dengan proses menyusun laporannya.

Penelitian ialah suatu kegiatan yang bersifat ilmiah dengan mempergunakan

pengetahuan yang didapatkan dari sumber-sumber primer yang bertujuan

untuk menemukan prinsip-prinsip umum yang sebelumnya belum pernah

Page 39: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

39

ada.36 Metode Penelitian adalah suatu proses, prinsip-prinsip dan tata cara

untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian,

yang merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji

kebenaran suatu pengetahuan, yang dilakukan dengan menggunakan metode-

metode ilmiah.37

Adapun penelitian ini menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penulisan tesis ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud

menggambarkan secara jelas tentang berbagai hal yang terkait dengan objek

yang diteliti, yaitu gambaran secara jelas mengenai penerapan kebijakan

peraturan perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi dalam pelanggaran

tidak dibayarkannya Pajak berupa BPHTB dan PPh oleh Notaris/PPAT.

2. Metode Pendekatan

Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini

penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (librabry based)

yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer

36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004), h. 1 37 Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid 1, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2000,

h. 4.

Page 40: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

40

dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah

suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika

keilmuwan hukum dari sisi normatifnya.38 Pendapat ini kemudian dipertegas

oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara

kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah

hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang

bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan ilmu hukum

(normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules tetapi

melihatnya sebagai suatu structured whole of system.39

Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut

penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Bahwa sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan

penelitian yang dilakukan penulis bahwa terhadap penggelapan pajak dalam

Tindak Pidana Korupsi Oleh PPAT/Notaris dalam proses peralihan hak atas

tanah dan bangunan, sehingga dibutuhkan penalaran dari aspek hukum

normatif, yang merupakan ciri khas hukum normatif.40 Jadi berdasarkan

uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif

38 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publising, Malang, 2008, h. 57. 39 Ibid. 40 Ibid, h. 127.

Page 41: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

41

yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum

yang diangkat.

3. Jenis Data dan Sumber

Secara umum jenis dan sumber data yang diperlukan dalam suatu

penelitian hukum terarah pada penelitian sumber data sekunder. Adapun

sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah.

a. Bahan Hukum Primer.

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

3) Undang – undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan

Negara.

4) Undang–undang Nomor 1 tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara.

5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000

tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.

6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

tentang Pajak Penghasilan.

Page 42: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

42

7) Undang-undang No.21 Tahun 1997 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

8) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

9) UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak

mempunyai kekuatan, dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari

bahan hukum primer.41 Dalam penulisan skripsi ini, bahan hukum

sekunder meliputi:

Buku-buku Ilmiah yang membahas tentang Perpajakan,

Tindak Pidana Pajak dan Pelanggaran Pajak.

Buku-buku Ilmiah yang membahas tentang Korupsi.

Karya-karya tulis, artikel-artikel, atau jurnal-jurnal ilmiah

lainnya yang membahas tentang pelanggaran pajak khususnya

mengenai pelanggaran atau tindak pidana perpajakan sebagai

tindak pidana korupsi.

41 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum. Fakultas

Hukum: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008, h. 13.

Page 43: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

43

Berita acara pemeriksaan di Polda Jateng berupa

penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan

bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak

BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan

hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng

Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab.

Semarang dan Bank BPD Jateng Cabang

Semarang. Untuk kepentingan penulisan ini maka nama-

nama tidak disebutkan dan diganti dengan sebutan

“Pelaku”, “Penjual”, “Pembeli I”, Pembeli II”, “Pemalsu”,

“Karyawan Pelaku I”, “Karyawan Pelaku II”.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum ini merupakan bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

bersumber dari kamus dan ensiklopedi.42

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin yaitu data

diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang berhubungan

dengan penulisan ini. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan

42 Ibid, h. 13.

Page 44: A. Latar Belakang Masalah - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/1/T2_322013035_BAB I.pdf · Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-u. ndang

44

Studi Kepustakaan, yaitu dengan mencari, menginventarisasi, mencatat, dan

mempelajari data primer dengan didukung oleh data sekunder.

Pengumpulan data dengan cara mengambil beberapa keterangan dari

literatur dan dokumentasi ataupun peraturan perundang-undangan lainnya

yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang dibahas, dan

diharapkan dapat memberikan solusi dari suatu permasalahan yang berkaitan

dengan permasalahan dalam penelitian ini.

5. Metode Analisa Data

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif,

yaitu penelitian yang akan memberikan gambaran atau lukisan secara

sistemati tentang penggelapan BPHTB dan PPh oleh Notaris/PPAT dikaitkan

dengan Tindak Pidana Korupsi, maka analisis yang digunakan adalah metode

normatif kualitatif. Analisis data melalui metode kualitatif adalah suatu tata

cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, dengan

menginventarisasi peraturan perundang-undangan, doktrin, dan yurisprudensi

yang kemudian akan dikaitkan dengan data yang telah diperoleh dari objek

yang diteliti sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga pada tahap akhir

dapat ditemukan hukum di dalam kenyataannya.