a. latar belakang masalah -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa
perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak
dalam bernegara. Melalui proses pemungutan yang bersifat memaksa dan
harus diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur sebagai dasar
pengenaan, Negara memiliki dasar kewenangan memungut pajak kepada
warganya. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
ini merupakan dasar konstitusional dari sistem pemungutan pajak di
Indonesia. Semua pajak yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan
undang-undang, sehingga pemungutan pajak di Indonesia mempunyai dasar
hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya, karena semua
pajak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disahkan oleh Presiden
Republik Indonesia.
Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan
terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali,
yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan
tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1
1 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan
Indonesia, Edisi I, Graha Ilmu, Cet. I Yogyakarta, 2010, h. 32.
2
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.2
Jadi, pemungutan pajak sendiri merupakan perwujudan dari pengabdian
dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional.
Peningkatan potensi penerimaan pajak dapat dilakukan melalui
kebijakan intensifikasi pajak dan/atau ekstensifikasi pajak. Salah satu sumber
potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta
perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).3 BPHTB adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah atau bangunan. Yang menjadi
peristiwa/keadaan/perbuatan yang melahirkan kewajiban pembayaran pajak
adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan
salah satu jenis pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang
didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian
memperhatikan siapa yang menjadi subjek pajak. Wirawan B. Ilyas dan
2 Masdianto, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002, h. 1. 3 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori
dan Praktek, Edisi I, Cet. I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003, h. 6.
3
Richard Burton menyatakan bahwa Obyek dari Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan
bangunan.4 Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena adanya
peralihan hak yang meliputi peristiwa hukum dan perbuatan hukum yang
terjadi antara orang atau badan hukum sebagai subyek hukum oleh Undang-
Undang dan peraturan hukum yang berlaku diberikan kewenangan untuk
memiliki hak atas tanah dan bangunan.
Dalam konteks hukum pajak, tindak pidana pajak diartikan suatu
peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang - undang pajak yang
dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan
sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum. Dalam Undang-undang
Perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana pajak.
Adanya tindak pidana perpajakan ini dapat dilihat dalam ketentuan UU
No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pelanggaran
terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang
menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi,
sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan
4 Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat,
Jakarta, 2004, h. 90.
4
sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di
bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari,
mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.5
Dalam kepustakaan hukum disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
tindak pidana atau delik adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan sanksi pidana. Apabila ketentuan dilanggar berkaitan dengan
Undang-undang Perpajakan, disebut dengan yang tindak pidana pajak dan
pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana termasuk
yang diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata
pamungkas atau terakhir (ultimum remidium) yang akan diterapkan apabila
sanksi administrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan penegakkan
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karenanya, tidak heran
apabila dalam Undang-undang Perpajakan juga mengatur ketentuan pidana.6
Terdapat berbagai perbuatan pidana atau tindak pidana atau
pelanggaran pajak yang dapat dikenakan sanksi pidana. Salah satu contoh
pelanggaran pajak yang pernah muncul di media massa dan menimbulkan
kerugian keuangan negara adalah kasus manipulasi Faktur Pajak Fiktif.
5 Jun Cai dan Amelia Tobing, Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, dalam
http://baltyra.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2016 6 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat. Jakarta,
2010, h. 154.
5
Kasus ini terjadi karena Wajib Pajak terbukti menggunakan dokumen Faktur
Pajak tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Wajib Pajak
menerbitkan Faktur Pajak tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual
beli barang yang sebenarnya adalah fiktif. Penerbit Faktur Pajak yang tidak
diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan
negara dari sisi penerimaan pajak.7
Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, bahwa apabila
seseorang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau
dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sementara itu,
menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, walaupun pelakunya telah memenuhi unsur
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, ancaman
hukumannya bervariasi karena Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
7 Ibid, h. 182.
6
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri menganut sanksi
pidana minimum dan maksimum khusus.8
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai hukum pidana khusus yang memuat tentang hukum
pidana formil dan materiil telah memadai sebagai perangkat hukum untuk
memberantas korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang-
undang tersebut berfungsi sebagai sarana prevensi mengingat ancaman
pidananya sangat berat sehingga dapat menakutkan orang untuk berbuat atau
melakukan tindak pidana korupsi lebih-lebih lagi apabila dalam
kenyataannya pengadilan telah menjatuhkan pidana yang berat kepada si
pelaku dalam berbagai kasus korupsi termasuk kasus pelanggaran pajak yang
salah satunya berupa penggelapan pajak bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB).
Lebih lanjut, dalam perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, bagi pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima
pengalihan masing-masing telah ada ketentuan yang mengatur dan
menetapkan dalam peraturan yang berbeda mengenai kewajiban masing-
8 Ibid. h. 182.
7
masing pihak dalam hal pembayaran. Tujuan adanya ketentuan ini adalah
agar dapat memaksimalkan penerimaan pajak bagi kas negara.9
Bagi pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan PPh
Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2009. Sejak perubahan
Undang-undang No.28 Tahun 2009 ini, maka setiap pengalihan atas tanah
dan bangunan yang terjadi dalam tanah dan bangunan maka dikenakan pajak
PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan pajak bea perolehan
hak atas tanah dan bangunan. Sementara itu, bagi menerima pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dikenakan BPHTB.
Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan terhadap penghasilan dari
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan (selanjutnya disebut PPh-PHTB)
merupakan objek Pajak Penghasilan. Kemudian, bagi pihak yang menerima
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan UU No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 85-94.
Dengan demikian dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dalam transaksi
atau peristiwa peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB
dikenakan hanya kepada pembeli atau penerima perolehan hak tanah dan/atau
bangunan.
9 Kartasapoetra G, Pajak Bumi dan Bangunan Prosedur dan Pelaksanaannya,
Bina Aksara, Jakarta, 1989, h. 10.
8
Seiring dengan dinamika administrasi pemerintahan dari sentralisasi
menuju desentralisasi dengan adanya Otonomi Daerah, serta untuk
meningkatkan kemampuan daerah dalam pembiayaan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahannya, maka BPHTB kemudian dijadikan
sebagai salah satu komponen Pajak Daerah dengan dikeluarkannya Undang –
undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Selanjutnya masing-masing pemerintah daerah diberikan kewenangan
mengatur sendiri pemungutan BPHTB dan diwajibkan pengaturannya
melalui Peraturan Daerah. Adapun Perda yang mengatur dalam hal ini
terdapat dalam Perda Kota Semarang No. 2 Tahun 2011 Tentang BPHTB.
Selanjutnya dalam penelitian ini dititikberatkan pada Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu pajak yang dikenakan bagi pihak
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut.
Perolehan hak atas tanah yang telah bersertifikat yang dilakukan para
pihak harus dibuat dengan menggunakan akta otentik dan dilakukan di
hadapan PPAT. Oleh karena peralihan hak atas tanah itu, merupakan salah
satu perbuatan hukum yang dibuat dengan akta otentik oleh PPAT, maka
salah satu kewajiban PPAT dalam pembuatan akta itu adalah memastikan
bahwa pembayaran BPHTB yang terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak
dengan memperlihatkan bukti Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (SSB), barulah pembuatan dan penandatanganan akta hibah
9
tersebut dapat dilaksanakan, dan kewajiban PPAT melaporkan pembuatan
akta itu kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB)
(sekarang KPP Pratama) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah dan
atau bangunan dimaksud berada selambat-lambatnya adalah pada tanggal 10
bulan berikutnya.
BPHTB yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya
perolehan hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu
pembayaran pajak oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi
PPAT, dan Pejabat lelang Negara untuk menandatangani akta pemindahan
hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (Pasal 24 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000) dan bagi PPAT dan pejabat lelang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar Rp.
7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal
26 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000).
Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan
pembayaran pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban
penjual maupun pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan
dilakukan pada hari dan tanggal akta jual belinya ditandatangani oleh para
pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga kepastian pembayaran pajak
tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang bersangkutan
10
dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut
kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank.
Dalam penelitian ini, terdapat transaksi jual beli tanah dan/atau
bangunan dimana pembayaran BPHTB nya dititipkan oleh penerima tanah
dan/atau bangunan kepada Notaris. Namun dalam kenyataannya, Notaris
yang telah menerima penitipan pembayaran BPHTB tersebut tidak pernah
melakukan pembayaran BPHTB ke Negara.
Sehubungan dengan ini, terdapat dugaan tindak pidana korupsi atas
pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB /
SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan
SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN
Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga
mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 (delapan ratus dua
puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang dilakukan oleh
Pelaku 10
Dalam kasus ini, apabila diuraikan terdapat dua kemungkinan tindak
pidana yaitu :
a. Tindak pidana pemalsuan dokumen
b. Tindak pidana korupsi karena adanya dugaan tindakan yang merugikan
keuangan Negara.
10 Subdit III Ditreskrimsus Polda Jateng, Oktober 2014
11
Bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, adalah
perbuatan melanggar hukum (korupsi) sebagaimana terdapat dalam Pasal 3
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3
Undang -undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek
atau pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan
melawan hukum dalam Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam Pasal 3 ini setiap orang meliputi orang atau korporasi,
khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak
termasuk pejabat atau pegawai negeri.
Delik korupsi penyalahgunaan wewenang terdapat dalam Pasal 3
Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999
12
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini tidak
ada unsur melawan hukum, hanya ada unsur menyalahgunakan kewenangan.
Namun, secara implisit penyalahgunaan wewenang inheren (sama) dengan
melawan hukum, sebab penyalahgunaan wewenang essensinya merupakan
perbuatan melawan hukum. Unsur melawan hukum merupakan gennya,
sementara penyalahgunaan wewenang adalah spesiesnya.
Penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 Undang-undang No. 20
Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek atau pelaku delik pejabat
atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan melawan hukum dalam
pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 3
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini setiap orang meliputi
13
orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang
minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dalam rangka penulisan tesis dengan judul : PENGGELAPAN
PAJAK OLEH NOTARIS/PPAT DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Kapankah uang pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan PPh final sudah dikategorikan sebagai uang Negara,
sehingga bisa diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Korupsi?
2. Apakah PPAT yang tidak membayarkan uang titipan pembayaran
pajak BPHTB dan PPh final kepada Negara masuk sebagai Korupsi ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejak kapan uang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final dapat dikategorikan sebagai
uang negara.
14
2. Untuk mengetahui mengenai pemenuhan unsur Tindak Pidana Korupsi
pada penyimpangan pembayaran uang titipan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah:
1. Manfaat Teorities
a. Menambah kepustakaan dan dapat juga digunakan sebagai referensi
untuk penelitian yang sejenis.
b. Sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menganalisis mencari
kejelasan guna melengkapi pengetahuan dan menambah wawasan
penulis tentang tindak pidana khusus, yaitu korupsi khususnya
dalam hal pelanggaran pajak maupun penyalahgunaan wewenang
dalam jabatan oleh pejabat PPAT.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah
Memberikan informasi yang bermanfaat, yang dapat dijadikan acuan
bagi pengambil keputusan, terutama dalam menangani permasalahan
tindak pidana khusus, yaitu korupsi khususnya dalam hal pelanggaran
pajak berupa penggelapan BPHTB oleh Notaris/PPAT.
15
b. Bagi Mahasiswa
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan
menganalisis terhadap kenyataan yang ada mengenai penanganan
permasalahan PPAT dalam melakukan pelanggaran atas tidak
dilakukannya penyerahan BPHTB ke kas Negara.
c. Bagi Masyarakat
Dapat menginformasikan hasil-hasil penelitian ini kepada
masyarakat luas sehingga Notaris lebih berhati – hati dalam menerima
uang titipan BPHTB dan PPh.
E. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini diperlukan suatu teori yang melandasi dari suatu
penelitian. Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti
“perenungan” yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan
realitas.11 Jadi teori adalah seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak
atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel
sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang
11 Soetandyo Wignjosoebroto dalam Salman Otje dan Susanto Anton, Teori
Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali menyebutkan bahwa teori
adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk
menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman. PT. Refika
Aditama, Bandung, 2004, h. 21.
16
digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan
bagaimana hubungan antar variabel tersebut.12
Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistimatiskan
penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar
penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab
pertanyaan. Artinya teori ini merupakan suatu penjelasan rasional yang
berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta
empiris untuk dapat dinyatakan benar.13
Setiap hukum tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan. Demikian
pula dengan hukum pajak. Terdapat berbagai teori untuk memberikan dasar
hukum kepada negara dalam memungut pajak dari rakyat. Adapun teori-teori
tersebut adalah sebagai berikut:14
1. Teori Timbulnya Hutang Pajak
Mengenai timbulnya utang pajak terdapat 2 (dua) teori yang saling
berbeda argumentasi karena sudut pandang yang dijadikan pokok analisis
yang berbeda. Perbedaan itu sebagai wacana terbaik dalam pengembangan
hukum pajak di masa kini dan di masa mendatang. Sebenarnya perbedaan itu
12 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia,
Yogyakarta, 1989, hlm 12-13, bandingkan dengan Koentjaraningrat, Metode-Metode
Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, h. 19. 13 M.Solly Lubis (I) Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994,
h. 80. 14 Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum Pajak. Bayumedia, Malang,
2006, h. 34.
17
dikategorikan sebagai sumber hukum pajak, yakni terdapat (doktrin) di
kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat yakni pendapat (doktrin) di
kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat tersebut dapat disepakati
untuk diterima sebagai doktrin.
Kapan timbulnya hutang pajak, menurut Brotodihardja masih tetap
diperdebatkan, apakah karena undang-undang ataukah oleh tindakan fiskus.15
Lebih lanjut dikatakan bahwa:
Dalam hukum pajak tidaklah selalu dinyatakan dengan terang di dalam
undang-undangnya, pada saat manakah terjadi suatu utang pajak.
Melainkan dicurahkan semua perhatian kepada timbulnya keharusan
untuk membayarnya. Demikian itu adalah karena sehari-hari, saat yang
disebut terakhir ini jauh lebih penting16.
Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang
mendasarnya dan telah terpenuhinya atau terjadi suatu Taatbestand (sasaran
perpajakan), yang terdiri dari : keadaan-keadaan tertentu, peristiwa, dan atau
perbuatan tertentu. Tetapi yang sering terjadi ialah karena keadaan, seperti
pajak-pajak yang sangat penting yaitu atas suatu penghasilan atau kekayaan,
dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis Wajib Pajak yang bersangkutan
walaupun keadaan itu dalam kebanyakan hal timbulnya karena perbuatan-
perbuatannya. Tapi keadaan wajib pajak yang menimbulkan hutang pajak itu
sendiri. Adanya hutang pajak berhubungan dengan adanya kewajiban
masyarakat kepada Negara berdasarkan Undang – Undang.
15 Brotodihardja, Pengantar Hukum Pajak, Co. Bandung, 1995, h. 111 16 Ibid, h. 113
18
Dengan demikian, dalam hutang pajak ini memiliki beberapa sifat,
antara lain :
a. Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau Fiskus;
b. Ditetapkan jangka waktu pelunasannya;
c. Jika terlambat bayar/kurang bayar, berakibat dikenakan sanksi;
d. Dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.
Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 (dua) ajaran yang
mengatur tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu:
a. Ajaran Formil.
Hutang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan
Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment
System.
Teori formil dipelopori oleh Steimmetz sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Djafar Saidi bahwa timbulnya utang
pajak pada saat dikeluarkannya SKP oleh fiskus bukan karena undang-
undang pajak yang menentukannya.17 Dalam hal ini, diperlukan campur
tangan fiskus untuk menentukan jumlah utang pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak. Bentuk campur tangan fiskus adalah menerbitkan
SKP yang memuat jumlah utang pajak dan kalau perlu ada tambahan
sanksi administrasi. Begitu pula yang dikatakan oleh Bohari bahwa
17 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, PT. RajaGrafindo Persada:
Jakarta, 2007, h. 160
19
penganut teori formil berpendapat bahwa utang pajak itu timbul karena
adanya ketetapan pajak oleh fiskus.18 Dengan demikian, meskipun
sudah dipenuhi adanya tatbestand, namun belum ada ketetapan pajak,
maka ini berarti belum ada utang pajak.
Senada dengan hal tersebut adalah Soemitro yang menyatakan
bahwa:
Teori formil beranggapan utang pajak timbul karena
undang-undang pajak pada saat dikeluarkan ketetapan pajak
oleh Direktoral Jendral Pajak. Jadi selama belum ada
ketetapan pajak, belum ada utang pajak walaupun syarat
subjektif dan syarat objektif telah dipenuhi. Keuntungan
dari teori ini, adalah karena pada saat utang pajak timbul,
sekaligus dapat diketahui dengan pasti berapa besarnya
utang pajak karena yang menentukan besarnya pajak itu
adalah Direktorat Jenderal Pajak yang menguasai ketentuan-
ketentuan undang-undang pajak. Kelemahan teori ini,
adalah besar sekali kemungkinannya utang pajak ditetapkan
tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.19
Dalam teori formil, surat ketetapan pajak memiliki fungsi,
diantaranya :
1) Menimbulkan utang pajak;
2) Dasar penagihan pajak;
3) Menentukan jumlah pajak yang terutang.
18 Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Ed. revisi. Cet. 5. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004. h. 112). 19 Soemitro, Sistem Perpajakan, RajaGrafindo: Jakarta, 1988, h 3
20
Jadi, selama belum ada surat ketetapan pajak, maka belum ada
utang pajak, walaupun syarat-syarat subjektif dan syarat objektif telah
terpenuhi.
Kelemahan teori formil ini yaitu besar sekali kemungkinan utang
pajak ditetapkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain
itu, teori formil tidak dapat diterapkan terhadap pajak tidak langsung
karena pajak tidak langsung tidak menggunakan surat ketetapan pajak.
Teori ini hanya diterapkan pada saat timbulnya utang pajak bumi dan
bangunan.
Contoh : hutang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Jadi, si A tidak mempunyai
kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus
belum menerbitkan SKP nya.
Teori ini sangat lemah karena banyak jenis pajak yang terutang
dan dibayar tidak perlu menunggu diterbitkannya surat ketetapan pajak,
misalnya bea materi, PPh pasal 21, dan lain-lain.
b. Ajaran Materiil
Hutang pajak timbul karena berlakunya undang – undang.
Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran
ini diterapkan pada Self Assessment System.
21
Teori material yang dipelopori oleh Adriani menyatakan bahwa:
Timbulnya utang pajak adalah karena undang-undang saja, tanpa
diperlukan suatu perbedaan manusia (jadi sekalipun tidak dikeluarkan
surat ketetapan pajak oleh fiskus asalkan dipenuhi syarat atau terapat
suatu tatbestand. Sehingga tidak memerlukan campur tangan pihak
fiskus untuk menerbitkan surat ketetapan pajak.20
Selaku pengikut teori material adalah Soemitro yang mengatakan
kalau dianalisis lebih lanjut maka teori material itu mengelompokkan
bahwa utang pajak timbul dengan sendirinya karena undang-undang,
sebab dipenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.21 Dengan sendirinya
artinya, bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan
campur tangan atau perbuatan dari fiskus, asal syarat-syarat yang
ditentukan dalam undang-undang pajak telah dipenuhi. Dalam kaitan
teori material maka dikatakan oleh Muhammad Djafar Saidi, bahwa
teori material memandang SKP yang dikeluarkan oleh pejabat pajak
tidak menimbulkan utang pajak.22 Sebab utang pajak telah timbul
karena undang-undang pada saat dipenuhinya tatbestand. SKP hanya
berfungsi sebagai: (1). dasar penagihan pajak, dan (2). memuat jumlah
utang pajak termaksud sanksi administrasi.
20 Brotodihardjo, oP. cit 1995, h. 112 21 Soemitro, Op. Cit, h. 3. 22 Muhammad Djafar Saidi, Op. cit, h. 156
22
Menurut teori materiil utang pajak timbul karena telah memenuhi
syarat subjektif dan objektif, sehingga tidak memerlukan campur
tangan pejabat pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak.
Keberadaan surat ketetapan pajak tidak menimbulkan utang pajak.
Jadi utang pajak timbul karena undang-undang pajak sendiri. Hal
ini terkait dengan Pasal 12 Ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa
“setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan
tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak”.
Contohnya : Syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh
di atas menurut Undang – Undang No. 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jika si A telah bertempat tinggal
atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua
belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas
PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu
menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut
faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-
Undang atau karena sasaran perpajakan, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-
keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa yang dapat
menimbulkan utang pajak’.
23
Sebenarnya teori materi malah memberi keuntungan pada petugas
pajak. Petugas pajak hanya bertugas melakukan pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan wajib pajak.
Kelemahan teori materiil adalah pada saat timbulnya utang pajak,
belum diketahui dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena
kebanyakan wajib pajak tidak memahami dan menguasai ketentuan
undang-undang pajak, sehingga kurang mampu menerapkannya.
Dengan demikian disimpulkan bahwa hutang pajak timbul jika
undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan telah
dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh
undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi
apabila keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang -undang
dipenuhi, keadaan ini berupa:
a. Perbuatan
b. Keadaan
c. Peristiwa
Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang
menentukan dalam:
a. Pembayaran/penagihan pajak
b. Memasukkan surat keberatan
24
c. Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu
kadaluwarsa
d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Pajak adalah penerimaan negara dari wajib pajak yang dapat
dipaksakan untuk wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan umum (undang–undang) dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sementara itu persoalan apakah (uang) BPHTB yang terhutang
apakah sudah dapat dikategorikan sebagai uang Negara atau bukan
dapat didekati dengan kemungkinan dua system yang lazim digunakan
menentukan pembukuan pendapatan, yaitu cash based system dan
accrual based system, atau kombinasi yang dikembangkan dari dua
system tersebut. Secara teoritik penerimaan negara dalam APBN dapat
dipisahkan menjadi beberapa sistem, yaitu :
1. Cash Based System
Basis kas (cash basis) menetapkan pengukuran atau pencatatan
transaksi ekonomi hanya dilakukan apabila transaksi tersebut
menimbulkan perubahan pada kas. Apabila transaksi tersebut
25
belum menimbulkan perubahan pada kas maka transaksi tersebut
tidak dicatat.
2. Accrual Based System
Basis akrual (acrual basis) adalah dasar akuntansi yang mengakui
transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa
tersebut terjadi (dan bukan hanya pada saat kas atau setara kas
diterima atau dibayar ). Oleh karena itu, transaksi-transaksi dan
peristiwa-peristiwa dicatat dalam catatan akuntansi dan diakui
dalam laporan keuangan periode terjadinya.
3. Basis Kas Modifikasian (Modified Cash Basis)
Menurut butir (12) dan (13) lampiran XXIX (tentang kebijakan
akuntansi) Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 disebutkan
bahwa :
(12) basis/dasar kas modifikasian merupakan kombinasi dasar
accrual
(13) Transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas dibukukan
(dicatat atau dijurnal) pada saat uang diterima atau dibayar
(dasar kas). Pada akhir periode dilakukan penyesuaian
untuk mengakui transaksi dan kejadian dalam periode
berjalan meskipun penerimaan atau pengeluaran kas dari
transaksi dan kejadian dimaksud belum terealisir.
26
Jadi, penerapan basis akuntansi ini menuntut Satuan Pemegang
Kas mencatat transaksi dengan basis kas selama tahun anggaran
dan melakukan penyesuaian pada akhir tahun anggaran
berdasarkan basis akrual.
4. Basis Akrual Modifikasian (Modified Accual Basis)
Basis akrual (modified acrual basis) modifikasian mencatat
transaksi dengan menggunakan basis kas untuk transaksi-transaksi
tertentu dan menggunakan basis akrual untuk sebagian besar
transaksi.23
Berdasarkan teori tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa apabila pemerintah daerah menggunakan cash based system
(uang) BPHTB tersebut baru akan menjadi uang Negara ketika uang
tersebut telah secara riil diterima oleh Negara (baca : Pemerintah
Daerah setempat) dan telah dibukukan (menimbulkan perubahan pada
kas). Sementara itu, kalau system pembukuan Pemerintah Daerah
setempat menggunakan accrual based system, (uang) BPHTB telah
menjadi uang Negara pada saat taatsbestand ada, yaitu pada saat
peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut terjadi.
23 Abdul Halim, Op. cit, 2007, hal 47
27
2. Teori Kewenangan PPAT
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata
negara dan hukum administrasi negara. Ada banyak istilah dan definisi dari
kewenangan yang dikemukakan oleh pakar, diantaranya menurut P. Nicolai
dalam Ridwan HR., bahwa:
“Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan
tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang
dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup
mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan
tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu”.24
Menurut J.H.A. Logeman yang diterjemahkan oleh Makkatutu dan
Pangkerego (1948:160) bahwa menurut hukum tata negara positif, sesuai
sifatnya biasanya wewenang dijadikan sebagai kompetensi bagi jabatan-
jabatan tertentu misalnya wewenang untuk membuat peraturan bagi tujuan
tertentu, memberikan izin tertentu, memberikan pensiun, mengenakan suatu
pengenaan pajak dsb.25
Menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR. bahwa:
“Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus
bererti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan
dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan
untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri
24 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta ,
2006, h. 102. 25 Makkatutu dan Pangkerego, Op. cit, h. 160
28
(zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti
kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana
mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan”.26
Menurut Ridwan HR. bahwa “seiring dengan pilar utama negara
hukum, yaitu asas legalitas (legaliteisbeginsel atau het beginsel van
wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa
wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya
sumber wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan.
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan
mandat”.27
Indroharto menyatakan bahwa “pada atribusi terjadi pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang
baru”.28 Lebih lanjut menurut Ridwan HR., legislator yang berkompeten
untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara
lain:
a. berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di
tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan
DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan
26 Ridwan HR. Op. cit, h. 102 27 Ibid, h. 103-104 28 Indroharto, 1993. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1993, h. 104.
29
suatu undang-undang, dan tingkat daerah adalah DPRD dan
pemda yang melahirkan Peraturan Daerah;
b. bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang
berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang
mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan
wewenang-wewenang pemerintah kepada badan atau jabatan
tata usaha negara tertentu.29
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang
yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh
kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian teori-teori tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa pajak yang disetorkan pada kas negara seyogyanya digunakan untuk
mendukung pembangunan negara Indonesia demi mencapai kesejahteraan
masyarakatnya. Tetapi pada kenyataannya, penyetoran pajak oleh warga
negara Indonesia tidak sedikit yang disalahgunakan oleh oknum-oknum
tertentu baik dari pegawai perpajakan sendiri maupun dari pihak Wajib Pajak
untuk melakukan pelanggaran pajak, yang salah satunya berupa penggelapan
pajak BPHTB. Penuntutan penggelapan pajak ini dapat saja didasari dengan
peraturan di luar Undang-undang Perpajakan seperti Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila
29 Ridwan HR. Op. cit, h. 104-105
30
perbuatan pidana pelanggaran pajak seperti penggelapan pajak telah
memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan negara,
baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan
administrasi pemerintahan. Melihat begitu besarnya peranan penerimaan
pajak bagi negara maka Undang-undang Perpajakan beberapa kali mengalami
perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan
sehingga tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikurangi dan diantisipasi.
Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi
penyelenggaraan negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime)
harus dapat dicegah dan diberantas. Sejalan dengan itu, setiap pelaku
kejahatan di bidang perpajakan harus dihukum dan hasil kejahatannya harus
disita oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.30
Tindak pidana korupsi dapat ditinjau sebagai pelanggaran Undang-
undang Perpajakan dengan menggunakan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang jenis penghasilan
yang menjadi objek pajak dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
30 Susno Duadji, Penggelapan Pajak Kejahatan Asal Praktik Pencucian Uang, 16
Oktober 2010 dalam http://www.susnoduadji.com./tulisan-susno/penggelapan-pajak-
kejahatan-asal-praktek-pencucian-uang, diunduh 23 November 2015
31
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang
prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya.31 Sistem target
dalam pemungutan pajak dapat mendorong peningkatan penerimaan negara,
namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah krusial bilamana penerapan
target yang dimaksudkan hanya untuk memunculkan data subjektif. Kendati
data subjektif bukan data fiktif akan tetapi hal itu dapat digunakan untuk
mengelabui masyarakat dari keadaan dan kondisi riil penerimaan sektor
pajak.
Praktik menyimpang dalam upaya pencapaian target pajak akan
menjadi celah (loophole) yang memberi peluang bagi oknum petugas pajak,
wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana
melakukan tindak kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) seperti
penggelapan, penghindaran, penyimpangan, pemerasan dan pemalsuan
dokumen, yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan ilegal yang
sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya
menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan negara.32
Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan
bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
31 Arles Ompusunggu, Gagasan Hukum, Artikel, Legal Opinion. Media Online
2010. Slamet Hariyanto dan Rekan: Adovokat, Konsultan Hukum dan Politik, Solusi UU
Pajak di Tengah Ironi Korupsi dalam http://gagasanhukum.wordpress.com diunduh 23
November 2015 32 Loc. Cit. Susno Duadji. 16 Oktober 2010.
32
yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Dalam praktek
misalnya, Wajib Pajak hanya membayar lima puluh persen dari
kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya "dikantongi" oleh
oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang dua puluh lima persen lagi
yang disetorkan ke kas negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya
uang negara bisa mencapai tujuh puuh lima persen. Besar kemungkinan
bahwa terjadinya penggelapan pajak yang semakin luas menurut Jeffrey P.
Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah negara –negara yang
mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.33
Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara dan karenanya
aturan perpajakan pun di atur begitu lengkapnya, baik sekarang maupun sejak
zaman sebelum dilakukan Tax Reform dimana ketentuan-ketentuan itu sudah
diatur dalam KUHP pada pasal-pasal tertentu karena sektor perpajakan
diharap menyumbang finansial terbesar untuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Namun dalam realisasinya, terjadi pelanggaran
pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, aparat pajak maupun pihak ketiga
yang akibatnya dapat merugikan pendapatan dan keuangan negara.34
Oleh karena itu, pelanggaran pidana perpajakan dimungkinkan untuk
memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan penuntutannya dapat pula
33 Ibid 34 Mokhamad Khoirul Huda. Jurnal Ilmiah: Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam www.google.co.id 2010, diunduh 23 November
2015
33
didasari pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 36A ayat (4) Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dinyatakan:
Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau
menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 38 Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16
tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dinyatakan:
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan
oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan
dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut
tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan
tindak pidana.
Penjelasan pada Pasal 38 di atas, secara jelas mengatur tentang dasar
hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek, aparat
penegak hukum lebih cenderung menerapkan ketentuan Undang–undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
34
terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan dimana
keadaan seperti ini menyalahi asas lex specialist derogat lex generalis.35
Berdasarkan pada asas lex specialist derogat lex generalis, semua
tindak pidana perpajakan seharusnya dijerat dengan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana
mengingat sumber daya manusia (SDM) kita khususnya hakim dan jaksa
tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait
dengan sistem perpajakan.
Disisi lain, bahwa seseorang dikatakan secara hukum
bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Teori
tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung
jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan
Peraturan perundang-undangan. Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan
kewenangan dari wajib pajak bukan PPAT, namun dalam hal ini PPAT dapat
menyetorkan pajak BPHTB apabila nasabahnya menitipkan pembayaran
BPHTB tersebut kepada PPAT. Jadi PPAT disini sebagai orang yang
dipercaya oleh nasabahnya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Jadi dalam hal
ini penyetoran pajak BPHTB bukan merupakan kewenangan daripada Notaris
melainkan kewenangan dari wajib pajak itu sendiri.
35 Ibid
35
Keberadaan PPAT senantiasa diperlukan masyarakat yang memerlukan
jasanya di bidang hukum. PPAT sebagai pejabat akta tanah harus dapat selalu
mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya
kepada masyarakat, PPAT dapat membantu memberikan jalan keluar yang
dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya.
Pembayaran BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak kepada PPAT
untuk disetor namun tidak disetorkan oleh PPAT maka perbuatan yang
dilakukan oleh PPAT tersebut dapat dikatakan telah melanggar peraturan
perundang-undangan dan tindak pidana penggelapan pajak BPHTB. PPAT
tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta tanah
tidak berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PPAT merupakan pejabat umum maka akta-akta yang dibuatnya juga
merupakan akta-akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Akta-akta otentik tersebut yaitu Akta jual beli, tukar menukar, akta hibah,
akta pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng), akta Pembagian hak
bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan.
PPAT dilarang membuat akta otentik (akta jual beli) apabila ada hal-hal
seperti tercantum dalam Pasal 39 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah yaitu :
36
(1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika :
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik
atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan
sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang
diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan; atau
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak
disampaikan
Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan
yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai
bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (2); dan
Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah
yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor
Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang
jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang
hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala
Desa / Kelurahan; atau
c. Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian; atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu
surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan
hukum pemindahan hak;atau
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh
izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin
tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku; atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam
sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Begitu pentingnya kedudukan PPAT dalam ikut serta membantu
Kantor Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah maka
37
agar kegiatan pendaftaran tanah dapat berjalan dengan baik, kerja sama yang
baik dan harmonis antara Kantor Pertanahan dan PPAT mutlak diperlukan.
PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan terlebih dahulu sebelum
menjalankan jabatanya Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat (1) PP 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu :
(1) Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT
Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT
dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
di daerah kerja PPAT yang bersangkutan
Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk
membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor
Pertanahan atas akta–akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari
kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
Apakah kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dan akta yang
dibuatnya merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor
24 Tahun 1997 jo. PP Nomor 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum
yang berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik
dan Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang
menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum
dan bentuk akta otentik. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
38
jabatan Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur
tentang Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.
Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris
adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana
kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh
Undang-undang.
F. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu,
sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,
merumuskan dan menganalisis sampai dengan proses menyusun laporannya.
Penelitian ialah suatu kegiatan yang bersifat ilmiah dengan mempergunakan
pengetahuan yang didapatkan dari sumber-sumber primer yang bertujuan
untuk menemukan prinsip-prinsip umum yang sebelumnya belum pernah
39
ada.36 Metode Penelitian adalah suatu proses, prinsip-prinsip dan tata cara
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian,
yang merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan, yang dilakukan dengan menggunakan metode-
metode ilmiah.37
Adapun penelitian ini menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penulisan tesis ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud
menggambarkan secara jelas tentang berbagai hal yang terkait dengan objek
yang diteliti, yaitu gambaran secara jelas mengenai penerapan kebijakan
peraturan perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi dalam pelanggaran
tidak dibayarkannya Pajak berupa BPHTB dan PPh oleh Notaris/PPAT.
2. Metode Pendekatan
Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini
penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (librabry based)
yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer
36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004), h. 1 37 Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid 1, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2000,
h. 4.
40
dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah
suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuwan hukum dari sisi normatifnya.38 Pendapat ini kemudian dipertegas
oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara
kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah
hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang
bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan ilmu hukum
(normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules tetapi
melihatnya sebagai suatu structured whole of system.39
Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut
penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Bahwa sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan
penelitian yang dilakukan penulis bahwa terhadap penggelapan pajak dalam
Tindak Pidana Korupsi Oleh PPAT/Notaris dalam proses peralihan hak atas
tanah dan bangunan, sehingga dibutuhkan penalaran dari aspek hukum
normatif, yang merupakan ciri khas hukum normatif.40 Jadi berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif
38 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publising, Malang, 2008, h. 57. 39 Ibid. 40 Ibid, h. 127.
41
yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum
yang diangkat.
3. Jenis Data dan Sumber
Secara umum jenis dan sumber data yang diperlukan dalam suatu
penelitian hukum terarah pada penelitian sumber data sekunder. Adapun
sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah.
a. Bahan Hukum Primer.
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
3) Undang – undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
4) Undang–undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.
6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan.
42
7) Undang-undang No.21 Tahun 1997 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
8) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9) UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak
mempunyai kekuatan, dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari
bahan hukum primer.41 Dalam penulisan skripsi ini, bahan hukum
sekunder meliputi:
Buku-buku Ilmiah yang membahas tentang Perpajakan,
Tindak Pidana Pajak dan Pelanggaran Pajak.
Buku-buku Ilmiah yang membahas tentang Korupsi.
Karya-karya tulis, artikel-artikel, atau jurnal-jurnal ilmiah
lainnya yang membahas tentang pelanggaran pajak khususnya
mengenai pelanggaran atau tindak pidana perpajakan sebagai
tindak pidana korupsi.
41 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum. Fakultas
Hukum: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008, h. 13.
43
Berita acara pemeriksaan di Polda Jateng berupa
penyidikan dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan
bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak
BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan
hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng
Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab.
Semarang dan Bank BPD Jateng Cabang
Semarang. Untuk kepentingan penulisan ini maka nama-
nama tidak disebutkan dan diganti dengan sebutan
“Pelaku”, “Penjual”, “Pembeli I”, Pembeli II”, “Pemalsu”,
“Karyawan Pelaku I”, “Karyawan Pelaku II”.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum ini merupakan bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
bersumber dari kamus dan ensiklopedi.42
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin yaitu data
diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang berhubungan
dengan penulisan ini. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan
42 Ibid, h. 13.
44
Studi Kepustakaan, yaitu dengan mencari, menginventarisasi, mencatat, dan
mempelajari data primer dengan didukung oleh data sekunder.
Pengumpulan data dengan cara mengambil beberapa keterangan dari
literatur dan dokumentasi ataupun peraturan perundang-undangan lainnya
yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang dibahas, dan
diharapkan dapat memberikan solusi dari suatu permasalahan yang berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini.
5. Metode Analisa Data
Mengingat penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif,
yaitu penelitian yang akan memberikan gambaran atau lukisan secara
sistemati tentang penggelapan BPHTB dan PPh oleh Notaris/PPAT dikaitkan
dengan Tindak Pidana Korupsi, maka analisis yang digunakan adalah metode
normatif kualitatif. Analisis data melalui metode kualitatif adalah suatu tata
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, dengan
menginventarisasi peraturan perundang-undangan, doktrin, dan yurisprudensi
yang kemudian akan dikaitkan dengan data yang telah diperoleh dari objek
yang diteliti sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga pada tahap akhir
dapat ditemukan hukum di dalam kenyataannya.