a. biografi syāh walî allāheprints.walisongo.ac.id/6757/4/085112006_bab3.pdf · (1131 h/1719 m)...

76
39 BAB III BIOGRAFI SYĀH WALÎ ALLĀH DAN PEMIKIRANNYA TENTANG IJTIHAD A. Biografi Syāh Walî Allāh 1. Kelahiran dan Pendidikan Nama Syāh Walî Allāh Ad-Dihlawî 22 begitu dikenal dalam jajaran para tokoh Pembaru Islam. Nama lengkapnya Ahmad bin „Abdurrahîm Qubuddîn ad-Dihlawî lahir di Delhi, India pada tanggal 4 Syawal 1114 H/21 Pebruari 1703 M dan wafat tanggal 19 Muharram 1176 H/10 Agustus 1762 M ketika pemerintahan Aurangzeb mendekati keruntuhan. Dia lebih dikenal dengan nana Walî Allāh, hal ini semata-mata diberikan karena kebaikan dan kesalehan yang dimilikinya. Ayahnya bernama „Abdurrahîm (1644 – 1718 M) adalah seorang sufi dan teolog ulama yang cukup masyhur di India. Dia adalah anggota pendiri dan guru dari Madrasah ar-Rahîmiah di Delhi. Sh Abd ar-Rahîm menyusun sebuah buku tentang hukum Islam yang terkenal, yaitu Fatawa-i-Alamgiri. (Rizvi, 1980:20 & Dahlan, et. al., 1996: 238-239). 23 Syāh Walî Allāh menerima pendidikan akademis dan spiritual dari ayahnya. Perjalanan ilmunya dimulai sejak usia 5 tahun di madrasah ar- Rahîmiyah yang didirikan dan dipimpin oleh ayahnya. Sejak usia 7 tahun 22 Gelar ad-Dihlawî diberikan karena ia berasal dari Delhi. Sebagian peneliti menyebutnya ad-Dahlawî. 23 Sebagaimana diakui oleh ad-Dihlawî sendiri bahwa nama Qubuddîn yang melekat pada dirinya adalah ilham ayahnya setelah berziarah ke makam Syaikh Qubuddîn al-Bakhtiarî al- Ka‟kî (w. 1236) seorang sufi di India, murid dari Khajā Muinuddîn seorang pendiri tarekat Chistia. (Karim, 2003: 96-7). Nasab ayahnya memiliki garis keturunan hingga „Umar Ibn Khaṭṭ āb, khalifah ke-II (581-644 H) dan Ibunya memiliki garis keturunan hingga Mūsā al- Każîm (w.183/799M), imam ke-7 golongan Syi‟ah Istnā Asyariyah (Dahlan, et. al., 1996:239).

Upload: dinhminh

Post on 27-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

39

BAB III

BIOGRAFI SYĀH WALÎ ALLĀH DAN PEMIKIRANNYA TENTANG

IJTIHAD

A. Biografi Syāh Walî Allāh

1. Kelahiran dan Pendidikan

Nama Syāh Walî Allāh Ad-Dihlawî22

begitu dikenal dalam jajaran

para tokoh Pembaru Islam. Nama lengkapnya Ahmad bin „Abdurrahîm

Quṭ buddîn ad-Dihlawî lahir di Delhi, India pada tanggal 4 Syawal 1114

H/21 Pebruari 1703 M dan wafat tanggal 19 Muharram 1176 H/10

Agustus 1762 M ketika pemerintahan Aurangzeb mendekati keruntuhan.

Dia lebih dikenal dengan nana Walî Allāh, hal ini semata-mata diberikan

karena kebaikan dan kesalehan yang dimilikinya. Ayahnya bernama

„Abdurrahîm (1644 – 1718 M) adalah seorang sufi dan teolog ulama yang

cukup masyhur di India. Dia adalah anggota pendiri dan guru dari

Madrasah ar-Rahîmiah di Delhi. Syāh „Abd ar-Rahîm menyusun sebuah

buku tentang hukum Islam yang terkenal, yaitu Fatawa-i-Alamgiri. (Rizvi,

1980:20 & Dahlan, et. al., 1996: 238-239).23

Syāh Walî Allāh menerima pendidikan akademis dan spiritual dari

ayahnya. Perjalanan ilmunya dimulai sejak usia 5 tahun di madrasah ar-

Rahîmiyah yang didirikan dan dipimpin oleh ayahnya. Sejak usia 7 tahun

22

Gelar ad-Dihlawî diberikan karena ia berasal dari Delhi. Sebagian peneliti menyebutnya

ad-Dahlawî. 23

Sebagaimana diakui oleh ad-Dihlawî sendiri bahwa nama Quṭ buddîn yang melekat pada

dirinya adalah ilham ayahnya setelah berziarah ke makam Syaikh Quṭ buddîn al-Bakhtiarî al-

Ka‟kî (w. 1236) seorang sufi di India, murid dari Khajā Mu‟inuddîn seorang pendiri tarekat

Chistia. (Karim, 2003: 96-7). Nasab ayahnya memiliki garis keturunan hingga „Umar Ibn

Khaṭ ṭ āb, khalifah ke-II (581-644 H) dan Ibunya memiliki garis keturunan hingga Mūsā al-

Każîm (w.183/799M), imam ke-7 golongan Syi‟ah Istnā Asy‟ariyah (Dahlan, et. al., 1996:239).

40

ia telah hafal al-Qur‟an 30 Juz dan memperoleh pengetahuan tentang

tafsir, hadis, spiritual, tasawuf,24

filsafat Islam, fiqih, ilmu kalam dan

politik dipelajarinya di madrasah tersebut hingga mencapai usia 16

tahunan. Kecerdasan otak yang dimilikinya membawa pada penguasaan

ilmu-ilmu tersebut dengan baik, sehingga ketika ayahnya meninggal dunia

(1131 H/1719 M) ia mengabdi sebagai tenaga pengajar. Pengabdiannya di

madrasah berlanjut hingga usia 29 tahun meskipun tetap ia melakukan

perjalanan ilmunya di luar India yaitu di Makkah dan Madinah bersamaan

dengan perjalanan hajinya selama 14 bulan hingga ia memperoleh ijazah

dalam bidang hadits (otoritas untuk meriwayatkan hadits) dari gurunya

yang bernama Abu Thahir bin Ibrahim al-Madani seorang ulama Madinah.

Selain al-Madani, ia juga mendapatkan pendidikan dari Taj ad-Din al-Qal‟i

al-Hanafi seorang mufti Mekkah yang telah menghasilkan banyak sajana

di bidang Hadits. Selama tinggal di Makkah bertepatan dengan

pendidikan Muhammad bin Abdul Wahab (1115 H/1703 M – 1201 H/1787

M) dari Najd (Dahlan, et.al., 1996:239, Rizvi, 1980:215, Ahmad,

1992:252).25

Pendidikan yang diperoleh dari ayahnya selama di Madrasah

24

Para wali Allah dan kaum sufi adalah golongan pertama yang berperan besar dalam

menyiarkan agama Islam di India sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah

mereka yang datang ke India. Di antara tokoh sufi yang terkenal adalah Abu Yazîd al-Bustamî (w.

872 M), Syah Sultan Rumî, Syaikh Abu Najîb Suhrawardî (1097-1162M) pendiri tarekat

Suhrawardiyah, Khaja Mu‟inuddîn (datang ke India tahun 1182) pendiri tarekat Chistia, Syaikh

Bahauddîn Zakaria, Syeikh Nuzamuddîn Aulia, Syaikh Fariduddîn Ganj e Shakar (1176-1269 M)

(Karim, 2003: 93-8). Ayah ad-Dihlawî mengikuti beberapa terekat yang berkembang di India

seperti Chistia, Naqsabandiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah dan lainnya. Ad-Dihlawî memperoleh

pendidikan tasawuf melalui jalur tarekat Naqsabandiyah dari ayahnya (Martin, ed. 2003: 730). 25

al-Arba’in adalah buku karya ad-Dihlawî yang berisi kumpulan hadits-hadits yang

diperoleh dari al-Madanî (http://www.al-rashad.com diakses tanggal 12 Mei 2009 jam 09.40

WIB). Ad-Dihlawî hidup sezaman dengan Muhammad Ibn ‟Abdul Wahāb sehingga banyak yang

41

ar-Rahîmiyah tampaknya lebih banyak mempengaruhi pemikiran ad-

Dihlawî di masa depannya, dan tidak menutup kemungkinan bahwa

pendidikan yang diperolehnya selama di Makkah juga turut berperan

dalam pemikirannya terutama dalam bidang fiqih dan hadits.

2. Kondisi Sosial Politik (kronologi menuju masa Syah Walî Allāh)

Tiga kerajaan besar abad pertengahan, selain Shafawiyah dan

Usmaniyah adalah Mughal yang termasuk imperium termuda dan

mengalami kemajuan yang cukup cepat. Imperium Mughal berada di

sebuah kota yang berkawasan di Asia Tengah. Islam diperkenalkan di anak

benua India dalam sebuah bentuk peradaban yang telah berkembang yang

diwarnai dengan budaya pertanian, urbanisasi, dan keagamaan yang

terorganisir secara mapan (Lapidus, 1999:671). Mughal bukanlah

imperium muslim pertama yang berpusat di Delhi-India, sebab

sebelumnya sebagian di daerah ini telah dikuasai oleh dinasti Umayah

pada masa al-Walîd di bawah pimpinan Muhammad Ibn Qāsim. Seperti

diterangkan oleh Mahmudunnasir (1981:163), pada fase disintegrasi,

dinasti Ghaznawi melakukan ekspansi kekuasaan di India dipimpin Sultan

Mahmūd tahun 1020 M, menaklukkan kerajaan Hindu, dan mengislamkan

sebagian masyarakatnya. Setelah dinasti Ghaznawi hancur, muncul dinasti

Khaljî (1296-1316) dan Tughlug (1320-1412) (Nasution, 1988:82).

Setelah kehancuran kesultanan Delhi, Imperium Mughal berdiri di

bawah pimpinan Akbar berusaha membentuk sebuah kultur Islam yang

menganggap pemikiran ad-Dihlawî dipengaruhi oleh Muhammad ‟Abdul Wahāb meskipun tidak

ada bukti bahwa mereka saling mempengaruhi (Dahlan, et.al., 1996:239).

42

didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan bangsa Persia dan bangsa

India, dan puncak dari pergumulan antara identitas Persi-Indian dan

Identitas Islam bagi negara dan masyarakat (Lapidus, 1999: 694). Mulai

dari awal sampai akhir kepemimpinan Akbar, imperium Mughal

mengambil sebuah pengalaman dari kesultanan Delhi sebelumnya,

ekspansi muslim ke wilayah-wilayah anak benua yang luas ini dapat

dilakukan karena ditunjang oleh sekelompok kecil aristrokasi militer dan

kepaduan ideologi dan kulturalnya. Berkat pengalaman-pengalaman masa

lalu, Akbar berusaha untuk menghapuskan perpecahan, menjaga

solidaritas antar muslim, dan untuk mengintegrasikan raja-raja Hindu ke

dalam jajaran elit pemerintahan. Akbar termasuk salah seorang yang

beridentitas muslim dan kosmopolitan, yang di atasnya dibangun bahasa

Persia dan India, kepustakaan dan seni, semua membentuk peradaban

Islam India yang baru (Ibid:677-8). Berbeda dengan sistem kesultanan

sebelumnya, imperium Mughal di bawah pemerintahan Akbar

mengembangkan sistem yang bersifat terbuka, dan mengehendaki

keterlibatan politik dengan raja-raja Hindu lokal. Keinginan Akbar ini

terkabul dengan mengintegrasikan dari berbagai unsur agama, budaya, dan

lain sebagainya.

Setelah pemerintahan Akbar berakhir, penguasa selanjutnya

diserahkan kepada putranya yang bernama Nuruddîn Muhammad Jahangir

Padsyah Ghazî (1605-1628 M). Kekuasaan Jahangir mulai diwarnai

dengan insiden kecil oleh beberapa daerah yang tidak mau mengakui

43

kedaulatan kaisar Jahangir. Tetapi Jahangir dapat menyelesaikan dengan

baik, meski ia harus mengambil jalur penumpasan seperti yang pernah

dilakukan ayahnya. Selanjutnya, kekuasaan Jahangir masih mampu

berkembang, khususnya perluasan daerah. Jahangir pernah mencapai

penaklukan daerah yang luar biasa, misalnya penaklukan Kangra. Benteng

Kangra terletak di bukit di sebelah timur laut Punjab. Benteng ini telah

lama menentang kekuasaan Akbar, dan Jahangir mendudukinya setelah 14

bulan mengepungnya. Akan tetapi, penaklukan ini menjadi tidak kekal,

dan orang-orang pegunungan yang suka berperang itu terus berjuang

hingga kematian Jahangir (Mahmudunnasir, 1988:362-365). Setelah

Jahangir meninggal, kekuasaan selanjutnya di teruskan oleh Shah Jahan

(1628-1658 M). Di akhir kekalahan Jahangir melawan Malik Ambar di

Deccan, Syah Jahan banyak dibantu mertuanya, Asaf Khan. Berbagai

upaya dan langkah-langkah strategis telah ditempuh Asaf Khan guna

menyelamatkan menantunya, Syah Jahan.

Kepemimpinan Syah Jahan sebagai pengisi tahta sementara yang

dipermaklumkan sebagai kaisar. Setelah naik tahta, gejolak pemerintahan

mulai terombang-ambing oleh beberapa daerah yang tidak sepakat

pengangkatan Syah Jahan. Perang perebutan tahta semakin meluas di

mana-mana. Pada tahun 1622 M disintegrasi kekuasaan mulai terjadi di

Kandahar yang dimotori oleh Syah Abbas II. Peperangan juga pernah

terjadi dengan bangsa Portugis, karena semula bangsa itu diberi

keleluasaan hubungan dengan Mughal. Peperangan ini terjadi ketika Jahan

44

tahu bahwa anak-anak warga Hughli Bengala banyak di culik bangsa

Portugis untuk dibaptis masuk agama Kristen. Apalagi orang-orang

Portugis tidak segan-segan melakukan perampokan. Kepemimpinan Syah

Jahan mulai menurun dengan sangat drastis akibat kekalahan yang sering

di alami. Akhirnya sampai pada titik kulminasi bagi Syah Jahan yang

ditandai dengan perebutan tahta yang tak berujung. Dalam bulan

Desember 1657 M Syah Jahan menderita sakit keras, dan semua anak laki-

laki segera terlibat dalam perang sesama saudara untuk merebutkan tahta

(Mahmudunnasir, 1988:365-369).

Kekuasaan Syah Jahan berakhir, kemudian digantikan Aurangzeb

(1658-1707 M) yang dinobatkan sebagai pemimpin tahta pada bulan Mei

1659 M, dengan mendapat gelar Abul Muzaffar Muhyiuddîn Muhammad

Aurangzeb Alamgir Padsyah Ghazi. Dengan suasana yang tidak menentu,

Aurangzeb melakukan perubahan-perubahan untuk meredam pertikaian

yang hampir tidak pernah berhenti. Aurangzeb berusaha mengatasi

berbagai persoalan dengan caranya sendiri (Mahmudunnasir, 1988: 369-

370). Puncak kesuksesan Aurangzeb adalah penguasaan daerah-daerah

yang sebelumnya tidak sempat ditaklukkan. Ia merebut Bengal Timur,

memperluas ke daerah Deccan dan menentramkan daerah perbatasan di

barat laut.

Corak kepemimpinan Aurangzeb dalam upaya untuk

menyelematkan eksistensi imperium Mughal tidak seperti yang

diharapkan, justru dalam batas-batas tertentu upaya yang dilakukan

45

Aurangzeb menimbulkan reaksi negatif dari kelompok yang diperlakukan

dengan kebijakan sepihak. Misalnya kaum non-muslim dibatasi atau

bahkan dilarang memasuki di area jabatan kepemerintahan. Pemberlakuan

pajak bagi non-muslim wajib dan jika mereka tidak menunaikannya

diperangi dengan paksa. Ia adalah orang pertama dalam sejarah imperium

Mughal, setelah Akbar yang mengakhiri konsiliasi Hindu digantikan

dengan kebijakan supremasi Islam (Lapidus, 1999: 711). Kemudian dalam

usaha mendakwahkan ajaran Islam, ia melakukan tindakan kekerasan yang

sangat bertentangan Islam itu sendiri. Berbeda dengan pendahulunya, ia

membangun aturan tentang hubungan dengan agama lain terutama Hindu.

Sebagai contoh adalah dengan menerapkan poll-tax yaitu pajak yang

ditetapkan bagi non muslim untuk mendapatkan hak pilih. Kebijakan lain

yaitu menyuruh perusakan tempat ibadah agama lain seperti kuil-kuil. Hal

ini menyebabkan terjadinya pemberontakan hebat dari kalangan Hindu

(Maryam, 2002: 186). Akhirnya pada tahun 1707 M., Aurangzeb

meninggal dan lambat laun kesultanan ini mengalami kemunduran

khususnya bagi eksistensi Islam di India. Umat Islam terpecah-pecah

dalam banyak kelompok dan paham, mereka saling bertikai serta masing-

masing kelompok sangat fanatik dalam membela pahamnya.

Pada periode Mughal, pengaruh tarekat Naqsabandiyah dan

Qadiriyah menggantikan pengaruh tarekat Suhrawardiyah dan Chistiyah.

Pengikut tarekat Naqsabandiyah mengembangkan sebuah disiplin spiritual

yang mengarah pada ”penglihatan” terhadap Allah, tetapi mereka juga

46

bersikeras akan pentingnya keterlibatan aktif dalam berbagai urusan

duniawi. Sejumlah Syaikh dari tarekat Naqsabandiyah berusaha terus-

menerus mewujudkan kesatuan di antara kaum muslim dengan mengklaim

diri sebagai ahli waris seluruh tradisi sufi. Raja Akbar, sebelum Aurangzeb

berkuasa, mendukung Tarikat Chistiyah yang mentoleransi beberapa

bentuk pemujaan yang dinamakan dîn ilahî atau agama ketuhanan yang

merupakan sintesa antara Hinduisme dan Islam. Dîn ilahî berpandangan

bahwa raja sebagai guru besar dari Tarikat Chistiyah. Tarikat ini dibentuk

berdasarkan pandangan religius pribadi sang guru pendiri dan kebaktian

pribadi para muridnya. Sementara itu, di Bengal dan Punjab umat muslim

turut memperingati berbagai perayaan Hindu, beribadah di beberapa

tempat suci Hindu, melaksanakan sesajen pada dewa-dewa Hindu dan

penyelenggarakan perkawinan dalam pola tradisi Hindu. Warga Hindu

yang memeluk Islam tetap mempertahankan unsur-unsur keyakinan dan

praktek lama mereka serta banyak warga Hindu mengeramatkan wali-wali

muslim tanpa mengubah indentitas meraka (Lapidus, 2000: 703-5).

Kondisi umat Islam pada periode imperium Mughal terdapat

sebuah kelompok Islam yang menekankan pada kepatuhan syari`ah.

Kelompok ini pada gilirannya mendapat julukan muslim syari’ah minded.

Dalam ide pemikirannya, mereka ingin memperjuangkan pemberlakuan

hukum Islam oleh negara dan penyerahan perkara warga Hindu kepada

pemerintahan Muslim dengan diskriminasi pajak dan sejumlah pembatasan

lainnya. Kelompok muslim syari’ah minded memahami masyarakat

47

muslim sebagai sebuah garis nasab dan garis kelas yang tidak linier

(terputus). Mereka mendefinisikan muslim berdasarkan keyakinan

individual terhadap Islam yang melampaui seluruh ikatan sosial dan

memandang manusia sederajat dan saling bersaudara dalam agama. Tokoh

yang mewakili kelompok muslim ini adalah Ahmad Sirhindi (1564-1624).

Seorang sufi agung asal India yang gagasannya membentuk fase kedua

atau mujaddidi dalam terekat Naqsabandiyah. Titik tekan ajaran Sirhindi

adalah kepatuhan syari`ah dan sunnah sebagai sarana untuk mencapai

realitas spiritual telah banyak diterima oleh golongan Naqsabandiyah. Ia

sebagai wakil juru bicara India atas sudut pandang syari‟ah. Bahkan ia

satu-satunya tokoh muslim sekaligus pemimpin tarekat yang berani

mengkritik kepemimpinan Akbar. Sikap Akbar yang terbuka, dianggap

bertentangan dengan ide keagamaan syari‟ah (Mujtahid, 2011: 4).

Setelah melakukan perjalanan ilmunya, pada tahun 1145 H/1732 M

Syāh Walî Allāh kembali ke Delhi, sementara kondisi sosial sedang

mengalami pergolakan antara kaum muslimin dan penganut Hindu.26

Pada

tahun 1737 M Maratha (penguasa Hindu) dapat dikalahkan oleh tentara

penguasa (Syah Abdali) di mana ad-Dihlawî sendiri ikut bertempur

melawan kekuatan Maratha di Panipat. Pada saat yang sama Niẓ ām al-

Mulk (kerajaan Islam) datang ke India pada bulan Juli 1937. Hal ini adalah

sesuatu yang diharapkan oleh Syāh Walî Allāh sebagai jalan untuk

26

Salah satu penyebab pergolakan ini adalah berulangkali terjadi invasi penguasa-penguasa

Islam ke India untuk merampas kekayaan rakyat India terutama saat invasi penaklukan Khiba oleh

Sultan Mahmud tahun 1017 M, sehingga masyarakat Hindu memusuhi orang-orang Islam yang

ada di sana (Karim: 105-6)

48

mewujudkan kebangkitan Islam di India (Dahlan, et. al., 1996:239, Rizvi,

1980:295). Syāh Walî Allāh yang lahir 1703-1762 M. mengalami masa-

masa krisis seperti ini. Pada masa ini paham Sunni dan Syi‟ah turut

mewarnai aliran keagamaan dalam Islam, di lain pihak permasalahan

akidah yang terjadi di kalangan umat Islam seperti takhayul, bid’ah dan

ḫ urafat dan permasalahan dalam bidang hukum Islam (fiqih) seperti

pertentangan antar madzhab yang disebabkan taqlid buta serta aliran

keagamaan seperti Sunnî dan Syi’ah telah menciptakan suatu kemunduran

umat Islam. Sementara itu dalam bidang tasawuf, pengaruh Hindu masih

mewarnai praktek-praktek religius di kalangan sufi (Rizvi, 1980: 248, 250,

270).27

Syah Walî Allāh merupakan penerus perjuangan Ahmad Sirhindi

dalam bidang syari‟ah. Dibandingkan dengan pemikiran Sirhindi, Syah

Walî Allāh sedikit agak moderat. Meskipun dalam beberapa hal ia terkesan

sama, tetapi ia banyak mengelaborasi pemikiran Sirhindi dengan

menggunakan jalur berfikir yang lebih bersifat dinamis-kreatif. Ia

termasuk orang yang berjasa besar bagi umat Islam di India dengan

upayanya melalui penerjemahan al-Qur`an. Ia menerjemahkan al-Qur`an

ke dalam dua bahasa, yaitu bahasa Urdu dan bahasa Persia. Gagasan ini

dilatarbelakangi bahwa salah satu sebab dari sekian persoalan yang

dihadapi umat Islam India adalah lemahnya perhatian dan pemahaman

kepada al-Qur`an.

27

Budaya Hindu yang telah ada berkembang dengan adanya toleransi penguasa Islam.

Maka tidak heran jika seni arsitektur, kesusastraan, seni musik maupun tradisi dan filsafat

berkembang dan berdampingan dengan muslim.

49

Syah Walî Allāh menekankan adanya argumen atau ijtihad sebagai

jalan untuk mengadapi hukum Islam terhadap kondisi lokal. Ia termasuk

orang yang menyadari adanya pluralisme, bahwa di India berkembang

sebuah naluri identitas muslim yang bersifat universal. Karena itu, ia

berpendapat bahwa hubungan antara penguasa Mughal dengan kehidupan

keagamaan muslim dapat terjadi dengan melalui pluralisme ini. Upaya

sang pemikir besar untuk kembali menyatukan umat Islam itu pun

berhasil. Keberhasilan ini melindungi kerajaan Islam dari kehancuran

(Khan dalam muslimphylosophy.com). Syāh Walî Allāh telah memelopori

gerakan Tajdîd wa al-Iṣ lāh yaitu gerakan pembaruan pada masyarakat

Islam agar mereka kembali kepada sumber-sumber ajaran Islam. Syāh

Walî Allāh menyadari bahwa umat Islam tengah dihadapkan pada jaman

modern yang di dalamnya ada tantangan serius mengenai masalah

pemahaman Islam.

3. Karya-Karya Syāh Walî Allāh

Syāh Walî Allāh merupakan tokoh pembaru yang sangat produktif.

Banyak sekali karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu antara lain:

a. Karya-karya yang ditulis sebelum 1143 H/ 1731

- Radd-î rawāfid sebuah karya terjemahan.

- Radd gawhar-î murād.

b. Karya-karya yang ditulis antara tahun 1145 H/ 1732 sampai

1151/1738-39 M :

50

- Al-Qoul al-Jamîl fi Sawā as-Sabîl, karya tentang kelompok-

kelompok sufi, kritik terhadap praktik sufi dan kepercayaan

Chistiya serta menjelaskan tentang bai’ah, awrād, dan aturan

dzikir.

- Fuyūd al-Haramain, sebuah otobiografi tentang kenangan dan

pengalaman spiritual yang diperoleh Syāh Walî Allāh di Makkah

dan Madinah.

- Ḥujjat al-Allāh al- Bāliġah, sebuah karya besar (magnum opus)

dalam bahasa Arab. Karya yang membahas aspek hadits, fiqih,

kalam dan alasan tentang hukum syari‟ah.

- Anfās al-’Ārifîn karya dalam bahasa persia tentang nenek

moyangnya terutama bapak dan pamannya.

- Ṣ owāriq al-Ma’rifah, Biografi Syaikh Abū al-Riḍ ā Muhammad

- Al-imdād fi Ma’aṭ ir al-Amjād, biografi hubungan yang lain Syāh

Walî Allāh.

- Al-Nabiẓ āt al-Abriziyyah fi al-Laṭ îfah al-’Aziziyyah, biografi

yang menceritakan leluhur Syaikh ‟Abd al-‟Azîz.

- Al-’Atiyah al-’Amdina fi Anfās al-Muhammadiyah, biografi Syaikh

Muhammad Phalti.

- Al-Insān al-’Ain fi Maṣ āyîh al-Haramain,biografi sufi dan ulama

Makkah dan Madinah.

- Al-Juz al-Latîf fi Tarjamah al-’Abd al-Ḍa’îf, otobiografi Syāh Walî

Allāh.

51

- Lamahāt, dalam bahasa persia yang berisi pembahasan tentang

wujud, realitas dan hubungan mistis tentang Tuhan dan Alam.

- Lama’āt, sufi.

- Alṭ āf al-Quds (Persia), sufisme.

- Hama’āt (Arab), sejarah perkembangan sufi dan praktik-

praktiknya.

- Fath ar-Rahmān (Persia), terjemahan al-Qur‟an.

- ’Atyab a-Naġm fi Madh Sayyid al-’Arab wa al-’Ajam, syair-syair

(kasidah) tentang pujian kepada Nabi Muhammad.

- Qasida-i Na’tiyya Hamziyya, syair-syair (kasidah) tentang Nabi

Muhammad.

c. Karya-karya yang ditulis dari tahun 1152 H/ 1739-40 sampai 1160 H/

1747 M.

- Al-Musawwā, penjelasan Syāh Walî Allāh terhadap kitab al-

Muwaṭ ṭ a’ karya Abū ‟Abd Allāh Mālik ibn Anās.

- Al-Intibāh fi Ŝalāsil Auliyā Allah wa Asānid Wariśi Rasūl Allah,

pembahasan tentang perbedaan-perbedaan kelompok sufi.

- Al-Fauz al-Kabīr fi Uṣ ūl al-Tafsīr, prinsip-prinsip penafsiran al-

Qur‟an dan pembahasan tentang nasîkh dan mansūkh.

- Muqaddimah Dār Fann-î Tarjama-î Qur’an, aturan dan petunjuk

penerjemahan al-Qur‟an.

- Tā’wil Ahādîś, relevansi hadits-hadits terhadap al-Qur‟an dan

interpretasinya.

52

- Qurrat al-’Ainain fi Tafāil al-Ṣ aikhain, pembahasan yang

berkaitan keunggulan dua khalifah pertama dan teori bahwa jiwa

mereka bercampur dengan cahaya yang berasal dari jiwa Nabi

Muhammad (Persia).

- Izālat al-Khafā ’an Khilāfat al-Khulafā’, pembahasan yang lebih

mendetail tentang keutamaan dua khalifah pertama dan bentuk-

bentuk perbedaan khalifah.

- Al-Khair al-Kaṭ îr, sebuah pembahasan tentang wujud dan

masalah-masalah tasawuf yang lain.

- Al-Budūr al-Bāziġah, ringkasan Hujjat Allāh al-bāliġah

- Sat’āt, risalah filsafat tasawuf

d. Karya-karya yang ditulis tahun 1160 H/ 1747 M sampai 1176 H/

1762M

- Sarf-i Mir, risalah singkat dalam bahasa Persia cara mengajar tata

bahasa Arab

- Al-Musaffa, penjelasan kitab al-Muwaṭ ṭ a dalam bahasa Persia.

- Al-Inṣ āf fi Bayān Asbāb al-Ikhtilāf, menjelaskan sebab-sebab

perbedaan yang terjadi di kalangan ulama fiqih dan kesalahpahaman

yang muncul di kalangan sahabat Nabi.

- ’Arba’ūna Hadîśan Musalsalatan bi al Isrāf fi Ḡ ālib Sanadihā, 40

hadits Nabi yang otentik.

- Al-Durr al-Tamin fi Mubaṣ arāti al-Nabî al-Amîn, koleksi ringkas

hadits-hadits Nabi.

53

- Al-Irsyād ilā Muhimmat ’Ilm al-Isnād, risalah tentang otoritas Hadits

- Ṣ arh Tarājam Ba’d Abwāb al-Bukharî, catatan terhadap beberapa bab

dalam kitab Sahîh al-Bukharî.

Karya-karya lain yang penting antara lain:

- ’Iqd al-Jayyîd fi Bayān Ahkām al-Ijtihād wa al-Taqlîd

- Kasyf al-Ḡ ain fi Ṣ arh Rubā’iyatîn (Persia), penjelasan terhadap kitab

Rubā’is karya Khajā Bāqi Billāh.

- Husn al-’Aqîdah, berkaitan dengan keyakinan Syāh Walî Allāh.

- Al-Faḍ l al-Mubîn fi Musalsal min Hadîś al-Nabî al-Amîn.

B. Konstruksi Gagasan Ijtihad Syāh Walî Allāh

Pada awal abad kebangkitan Islam, umat Islam memperlihatkan

semangat ijtihad yang tinggi dan didasarkan kepada keahlian di bidang

hukum Islam. Tiga setengah abad setelah wafatnya Rasulullah, merupakan

periode formatif bagi hukum Islam. Motor perkembangan dinamika hukum

Islam yang sangat pesat berada pada peran-peran para mujtahid yang sangat

memahami dan handal dalam bidang ini. Pernafsiran hukum Islam

berkembang dan bervariasi terutama ketika umat Islam bertemu dengan

berbagai bentuk budaya lokal, di saat Islam memasuki daerah-daerah yang

baru dibebaskan dari imperium Romawi dan Persia seperti Mesir, Syria dan

Irak. Setiap daerah itu mempunyai ragam kebudayaan tersendiri yang

berlainan dengan kondisi sosial di Hijaz, daerah Makkah dan Madinah (Rusli,

1999:xi-ii). Para mujtahid merumuskan metodologi ijtihad -atau yang dikenal

sebagai uṣ ūl fiqh- sebagai dasar untuk menggali makna-makna yang

54

terkandung dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi serta rahasia-rahasia hukum

yang tersirat di dalamnya. Metodologi tersebut memudahkan untuk

mengembangkan pemahaman terhadap sumber-sumber utama hukum Islam

baik dari segi kebahasaannya maupun subtansinya. Pengembangan hukum

Islam dari segi subtansinya lebih besar kapasitasnya dalam menampung

masalah-masalah baru.

Pada abad modern ini, umat Islam mendambakan kehidupan yang

lebih baik. Tatanan yang membuat kehidupan mereka lebih tenteram –kecuali

yang aturan yang sejalan dengan akidah- disadari sebagai sebuah

keniscayaan. Fenomena kajian Islam dan terlebih lagi hukum Islam yang

marak diberbagai tempat merupakan kanyataan bahwa hukum Islam masih

terus berkembang. Hukum Islam harus mampu melayani kebutuhan umat

Islam di abad modern. Dalam konteks inilah, Jhon L. Esposito menyatakan

bahwa pada saat ini seluruh gerakan besar keagamaan di wilayah Muslim

Asia Selatan mengklaim Syāh Walî Allāh sebagai bapak intelektual. Betapa

tidak, ia telah berkontribusi besar terhadap kehidupan intelektual, ekonomi,

sosial, politik, dan keagamaan masyarakat Muslim di India pada abad ke-18

M. Bahkan, hingga kini pemikiran dan gagasannya masih tetap hidup di hati

kaum Muslimin India.

Syāh Walî Allāh menghadapi kondisi sosial politik dan sosial

keagamaan yang sedang bergolak. Salah satu pemikirannya yang mengkritisi

persoalan politik bahwa di antara hal-hal yang menyebabkan kelemahan umat

Islam adalah perubahan sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem

55

kekhalifahan yang bersifat demokratis menjadi sistem kerajaan yang bersifat

otokratis. Sebagai solusinya adalah menghidupkan kembali sistem demokratis

yang pernah dipraktekkan oleh khulafā ar-rasyidîn. Persoalan sosial

keagamaan juga tidak luput dari kritikannya, ia menganggap bahwa

perpecahan yang ditimbulkan aliran-aliran dan madzhab-madzhab yang

berkembang dalam Islam, seperti pertentangan antara kelompok Sunnî dan

Syi’ah, antara kelompok sufi dan syari‟ah telah menyebabkan kelemahan

umat Islam. Oleh karenanya ia berusaha menciptakan suasana damai antar

aliran, golongan dan madzhab yang saling bertentangan tersebut. Menurut

Syāh Walî Allāh bahwa umat Islam di India banyak dipengaruhi oleh adat

istiadat dan ajaran-ajaran Hindu. Keyakinan umat Islam harus dibersihkan

dari hal-hal tersebut yaitu dengan cara kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits

(Nasution, 1992: 20-1).

Untuk menyelesaikan berbagai Persoalan sosial politik dan sosial

keagamaan yang ada, Syāh Walî Allāh mengembangkan prakarsa teoritis

yang sangat penting yaitu memperluas ijtihad (penetapan hukum melalui

upaya rasional). Pandangannya ini selaras dengan gagasan revolusioner

modern. Konstruksi gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh dibangun atas dua hal

pokok yaitu; pertama, Syari‟at harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan

keadaan ketika ia diturunkan atau diformulasikan. Kedua, syari‟at harus

disesuaikan dengan dunia kekinian yang terus berubah. Perkembangan

syari‟at harus merespon keadaan manusia yang mungkin berbeda dari satu

waktu ke waktu yang lain atau dari satu tempat ke tempat lainnya (Black,

56

2001: 454-5). Konsepsi dasar gagasan Syāh Walî Allāh bahwa perkembangan

syari‟at berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu dikembangkan dalam

konteks teori umum tentang perkembangan sosial.

Manusia memiliki sifat dan keadaan yang sama baik kebutuhan

makan, seksual maupun perlindungan dari kondisi lingkungan yang tidak

nyaman. Allah memberikan kepada manusia ilham untuk mengetahui

bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Tidak hanya

kepada manusia, Allah juga memberikan ilham kepada binatang tentang

bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelebihan ilham yang

diberikan oleh Allah kepada manusia dibandingkan dengan makhluk hidup

lainnya dan merupakan karakter dasar yang tidak dimiliki oleh makhluk lain,

yaitu;

a. Manusia memiliki ”pandangan bersama” (al-ra’î al-kullî), manusia

prilakunya berdasarkan nalar logis bukan tabiat semata, apa yang

dilakukannya memiliki tujuan untuk membentuk suatu sistem peradaban,

berbeda dengan binatang yang hanya terdorong kepada sebuah objek yang

bersifat indrawi atau yang bisa dibayangkan karena dorongan yang timbul

dari kodrat alamiah mereka, seperti lapar, haus dan nafsu. Kadang-kadang

manusia mengabdikan diri kepada keuntungan rasional dan bukan sesuatu

yang bersifat fisik. Untuk memperoleh keuntungan tersebut, mereka

melakukan usaha-usaha yang berorientasi pada pengakuan eksistensi dan

pengakuan secara khusus dari orang-orang disekitarnya

57

b. Keunggulan kedua yaitu adanya nilai estetika (keindahan). Perasaan

estetika yang ada pada manusia memotivasi mereka untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan yang lebih baik sesuai dengan keinginannya. Karena

itulah mereka berusaha untuk memperoleh pasangan hidup yang sesuai

dengan seleranya (secara fisik), makanan yang enak, pakaian yang bagus

dan tempat tinggal yang megah. Rasa keindahan ini tidak terdapat pada

binatang yang hanya menginginkan sesuatu untuk berbagai tuntutan dan

kebutuhan mereka.

c. Keunggulan ketiga adalah bahwa di antara manusia terdapat orang yang

berakal dan berkesadaran serta memiliki kemampuan untuk menciptakan

dan memilih pendukung-pendukung peradaban (irtifāqāt). Semantara itu

ada juga orang-orang yang menginginkan hal yang sama namun tidak

dapat melakukannya. Jadi, ketika mereka melihat dan mendengar pada

yang telah ditemukan oleh sebagian dari mereka yang memiliki

keunggulan, sebagian yang lain akan menerima dan mengikutinya. Pada

gilirannya akan membentuk tahapan peradaban dengan kondisi sosial yang

lebih teratur dan semakin majunya kapabilitas manusia untuk membentuk

kehidupan yang beradab (Syāh Walî Allāh, 2005: 83).28

Ketiga hal tersebut di atas tidak pernah ditemukan sama pada semua

masyarakat seiring dengan perbedaan bawaan dan pikiran mereka yang

menyebabkan masuknya padangan bersama, rasa keindangan (estetika) dan

penemuan berbagai pendukung peradaban yang kemudian diimitasi sebagai

28

Syāh Walî Allāh menyebut sifat manusia yang ketiga ini dengan takammul, yaitu

dorongan batin untuk memperoleh kesempurnaan pribadi. Penyebutan ini terdapat dalam karyanta

al-Budūr al-Bāzigah.

58

model.29

Ketiga karakter dasar manusia menjadi modal untuk menciptakan

kemungkinan-kemungkinan dalam pengalaman kehidupan mereka sebagai

usaha untuk memenuhi kebutuhannya.

Penggunanaan akal/nalar dalam perbincangan ijtihad memiliki

hubungan erat dengan karakter dasar manusia yang menjadi konsepsi dasar

gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh. Menurutnya, akal mengendalikan seluruh

indera manusia lainnya. Akal mampu memahami syariat secara lebih rasional

dan ketaatan terhadap syari‟at bukan semata-mata hanya merupakan perintah

Tuhan. Syāh Walî Allāh (2005:27) mengatakan:

”sebagian orang berpandangan bahwa penetapan atura-aturan ilahi itu

tidak melibatkan aspek kemaslahatan manusia dan bahwa sama sekali

tidak ada hubungan antara perbuatan-perbuatan manusia dan balasan

yang disediakan oleh Allah untuk mereka, dan bahwa Allah

membebankan kewajiban-kewajiban syari‟at itu seperti seorang tuan

yang ingin menguji ketaatan budaknya, sehingga ia memerintahkan

apapun yang ia kehendaki, seperti mengangkat sebongkah batu atau

menyentuh sebatang pohon, merupakan tindakan yang tidak ada

gunanya selain untuk menguji. Jika si budak itu menaati atau

membangkang perintahnya, maka ia akan memberikan balasan. Keliru

jika mereka beranggapan seperti itu.”

Syari‟at sebagaimana dipahami oleh Syāh Walî Allāh memiliki tujuan jelas

yaitu kemaslahatan manusia. Syāh Walî Allāh menggunakan akhirat sebagai

poin penjelasan atas hubungan antara eksistensi duniawi dan akhirat.

Baginya, syari‟at dilihat sebagai sebuah desakan alami kemanusiaan yang

harus terjadi dalam sejarah sebagai entitas yang berasal dari kehendak Allah

29

Karena perbedaan-perbedaan mereka dalam mengupayakan ketiga hal tersebut, Syāh

Walî Allāh (2005: 85) membagi pendukung peradaban (irtifāqāt) secara garis besar ke dalam dua

tingkatan. Tingkatan pertama, yaitu kelompok primitive yang hidup di pedalaman dan jauh dari

peradaban. Tingkatan kedua yaitu tingkatan orang-orang yang hidup di daerah perkotaan yang

telah memiliki sistem sosial lebih baik dengan tingkat kehidupan yang lebih kompleks.

59

karena Allah ingin melindungi makhluknya, manusia dan yang lain, baik

dalam kehidupan ini dan dari hukuman neraka. Melalui syari‟at, Allah juga

akan membalas tindakan individual di dunia dengan pahala yang tidak

terbatas di akhirat dan dengan demikian proses perkembangan masyarakat

Islam adalah memberi penjelasan dari Realitas Akhirat. Hal ini merupakan

konsekuensi alami dari utilitas besar atas tanggung jawab di dunia ini.

Syāh Walî Allāh (2005:27) mencontohkan syari‟at sholat, zakat dan

puasa sebagai berikut:

”kewajiban sholat disyariatkan untuk mengingat Allah dan

berkomunikasi secara langsung dan pribadi dengan-Nya, sebagaimana

firman Allah SWT., ”Dirikanlah sholat untuk mengingatku”30

juga

sebagai tindakan persiapan untuk kelak memandang Tuhan SWT. di

kehidupan yang akan datang”. Zakat disyariatkan agar manusia

terhidar dari sifat pelit yang hina dan agar kebutuhan orang miskin

terpenuhi. Puasa disyariatkan agar setiap muslim menyadari

kerendahan dirinya dan agar mereka senantiasa menundukkan jiwa”.

Syari‟at sholat, zakat dan puasa dipahami oleh Syāh Walî Allāh tidak hanya

berdimensi ketuhanan saja (kesholihan individu) selain sebagai bentuk

ketundukan makhluk kepada penciptanya sehingga memperoleh balasan

kebiakan di akhirat, tetapi juga berdimensi sosial (kesholihan sosial).

Pemahaman yang semacam ini menunjukan peran akal/ nalar dalam

memahami syari‟at sehingga dapat diketahui rahasia-rahasianya.

Konsepsi dasar yang meniscayakan adanya ijtihad diperkuat oleh

‟Asymawî (1992:50) yang menyatakan ada tiga hal pokok mengenai syari‟at

yaitu; 1) syari‟at menghendaki tegaknya masyarakat yang beragama dan

penerapannya tergantung pada bentuk masyarakat tersebut, 2) syari‟at ada

30

Q.S. Ṭ āhā (20): 14.

60

yang diturunkan karena ada sebab yang dikehendaki dan ada yang tidak ada

hubungan dengan suatu sebab, 3) syari‟at ada dalam rangka menegakkan

kemaslahatan umum suatu masyarakat, maka ada proses nasakh sebagai

upaya memperkuat perwujudan kemaslahatan tersebut. Oleh karena itu,

syari‟at senantiasa dapat menyesuaikan dengan kondisi-kondisi baru yang

terus berubah. Maka dari itu, syari‟at ditetapkan berdasarkan konteks zaman

dan kaum tertentu meskipun.

Berawal dari konsepsi dasar gagasan ijtihad menurut Syāh Walî Allāh,

maka perlu dijelaskan beberapa hal mengenai Ijtihad.

1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad31

secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh Syāh

Walî Allāh (1385 H: 3), yaitu:

حققخ اإلجتبد عي ب ف مال اىعيبء : إعتفشاغ اىجذ ف إدساك

ب اىششعخ أدىتباىتفصيخ, اىشاجعخ ميبتب اى أسثعخ أقغب : اىنتبة, األحن

اىغخ, اإلجبع, اىقبط.

”Hakikat ijtihad sebagaimana dipahami menurut pendapat pada ulama

adalah pengerahan seluruh kemampuan dalam rangka memperoleh

suatu hukum syari‟at dari dalil-dalilnya yang terperinci yang secara

umum berasal dari empat sumber yaitu al-kitab, as-sunnah, ijmā’ dan

qiyās”.

31

Terdapat dua istilah keislaman yang seakar dengan kata ijtihad, yakni jihād dan

mujāhadah. Perbincangan ijtihad biasa dipakai dalam kajian usul fiqih dan perbincangan

mengenai pemikiran Islam yang pengertiannya mengacu pada pengerahan kemampuan intelektual

secara optimal untuk mendapatkan suatu solusi hukum. sedangkan jihad biasa dipakai dalam

terminology fiqih yang pengertiannya lebih ditekankan pada pengerahan kemampuan fisik secara

maksimal dalam menegakkan agama Allah (al Furqon: 52).

فال تطع اىنبفش جبذ جبدا مجشا )اىفشقب(

61

Definisi di atas terdapat tiga unsur mengenai ijtihad, yaitu:

a. Pengerahan segala kemampuan, yang berarti ijtihad adalah upaya

jasmani, rohani, waktu, pikiran, tenaga bahkan biaya, sehingga bukan

usaha yang sederhana.

b. Seorang mujtahid, artinya bahwa ijtihad hanya dilakukan oleh orang

yang telah memiliki persyaratan tertentu untuk melakukan ijtihad.

c. Untuk memperoleh ketetapan suatu hukum syara’ artinya bahwa

capaian ijtihad adalah ketentuan hukum mengenai perbuatan manusia

yang berkaitan dengan pengamalan ajaran agama.

2. Syarat-syarat Ijtihad

Pemahaman merupakan suatu keniscayaan dalam berijtihad. Dalam

pemahaman itu sendiri dibutuhkan keahlian, sementara keahlian

membutuhkan persyaratan. Orang yang memiliki keahlian atau kepakaran

tertentu harus memenuhi syarat tertentu pula. Orang yang tidak memiliki

keahlian dalam bidang ijtihad, tentu tidak diperbolehkan melakukan

ijtihad. Seperti hanya seorang dokter, ia harus memiliki keahlian dibidang

pengobatan. Karena jika bukan seorang dokter dan tidak memiliki keahlian

untuk mengobati suatu penyakit, alih-alih ingin mengobati penyakit justru

yang terjadi bisa sebaliknya, membahayakan nyawa seseorang

(malpraktek). Seseorang yang memberikan fatwa agama sementara ia tidak

memiliki keahlian dengan memenuhi persyaratan obyektif yang telah

ditentukan oleh ulama, maka yang terjadi adalah fatwa yang keliru dan

bisa berakibat fatal, bukan menunjukkan tetapi menjerumuskan. Oleh

62

karena itu, untuk dapat melakukan ijtihad, apalagi menjadi mujtahid, harus

memiliki persyarat yang secara obyektif ilmiah telah ditentukan secara

simultan oleh para Ulama.

Syāh Walî Allāh (1965:3-4) merumuskan beberapa persyaratan

untuk melakukan ijtihad, yaitu:

a. Harus menguasai al-Qur‟an dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya.

Penguasaan terhadap al-Qur‟an maksudnya adalah hafal atau mungkin

hampir hafal seluruh ayat-ayat al-Qur‟an, terutama ayat-ayat yang

berkaitan dengan hukum. Sedang yang dimaksud dengan ilmu-ilmu

yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur‟an antara lain ilmu tentang

sebab-sebab turunnya ayat al-Qur‟an, ilmu nasiḥ dan mansuḥ , makkî

wa madanî dan sebagainya.

b. Menguasai ilmu hadits yang berkaitan dengan hukum dan ilmu-ilmu

yang berkaitan dengannya seperti ilmu asbāb al wurūd¸ ’Ilmu dirōyah

wa riwāyah dan sebagainya.

c. Mengetahui tempat-tempat terjadinya ijmā’ (kesepakatan) para ulama.

d. Mengetahui syarat-syarat qiyās

e. Mengetahui tatacara mengambil pendapat

f. Menguasai ilmu bahasa arab dan segala ilmu yang berkaitan

dengannya. Hal ini merupakan sesuatu keharusan juga, karena al-

Qur‟an dan as-Sunnah berbahasa arab.

g. Mengetahui profil periwayatan.

63

h. Dalam konteks ijtihad modern, maka diperlukan pengetahuan

mengenai ilmu fiqih maupun uṣ ūl fiqh beserta kaidah-kaidahnya.

Menurut al-Ghozalî, penguasaan terhadap kedua ilmu ini sangat

penting di samping penguasaan ilmu hadits dan bahasa arab.

3. Lapangan Ijtihad

Ijtihad merupakan usaha untuk menembus kawasan yang tak

terpikirkan. Oleh karena itu, banyak para intelektual maupun pakar hukum

(Islam) yang masih gamang dan tidak berani mengambil resiko dengan

ijtihad. Seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid

(kecakapan teknis dan kepiawaian metodologis) pun tetap memerlukan

nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan

diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat

jumhūr. Hal ini disebabkan adanya kesepakatan ulama mengenai batasan

ruang lingkup ijtihad. Meskipun ijtihad sebagai sebuah metode untuk

memperoleh solusi hukum, namun ia memiliki ruang lingkup yang

terbatas. Al-Ghazālî (tt: 354) menyatakan bahwa permasalahan-

permasalahan yang boleh dijadikan objek ijtihad adalah setiap hukum

syara’ yang tidak terdapat dalil qaṭ ’î yang menjelaskannya. Senada

dengan Al-Ghazālî, Syāh Walî Allāh (1965:5) juga membatasi ruang

lingkup ijtihad. Pembatasan ini berdasarkan penelitian yang dilakukannya

terhadap perbedaan-perbedaan pendapat (hasil ijtihad) yang terjadi di

64

kalangan para imam mujtahid, yang menurutnya bahwa perbedaan

pendapat tersebut berkisar pada permasalahan far’î (bukan qoth’î).32

Perbedaan yang terjadi dalam permasalahan yang bersifat far’î,

memiliki dua unsur, meliputi: Pertama, terjadi perbedaan karena solusi

hukum atas permasalahan yang dihadapi tidak disebutkan secara tegas di

dalam teks syara’ (nuṣ ūṣ as-syar’î). Ketidaktegasan teks menyebutkan

persoalan ini merupakan sebuah rahmat Allah bagi umatnya. Dengan

demikian, para mujtahid dapat dengan leluasa memberikan interpretasi dan

merealisasikannya sesuai dengan kehendak agama melalui proses ijtihad.

Kedua, terdapat teks-teks yang bersifat ẓ annî (mengandung kebenaran

relatif), baik yang ẓ annî dalam hal otentisitasnya, maupun ẓ annî dalam

hal pengertian yang sulit di pahami. Teks-teks hukum yang seperti ini

merupakan bidang garapan ijtihad.

Sedangkan teks-teks syar‟i yang tertutup kemungkinan

dilakukannya ijtihad adalah wilayah qoṭ ’iyah (pasti), misalnya dasar dan

pokok agama.

4. Peringkat Mujtahid

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ijtihad dalam konteks

perbincangan fiqih adalah upaya optimal seorang ahli fiqih untuk

mendapatkan solusi hukum terhadap suatu masalah yang digali dari dalil-

dalil sumbernya. Untuk dapat melakukan hal ini, ahli fiqih harus

32

Dalam penjelasan lebih lanjut Syāh Walî Allāh (1986: 88-9) menyatakan bahwa “yang

khaṣ (nash yang bersifat khusus) adalah mubayyan (sehingga tidak menerima lagi penjelasan);

bahwa ziyadah (tambahan) merupakan nasikh (penghapus hukum sebelumnya); bahwa „ām (nash

yang bersifat umum) adalah suatu nash yang qoth’î seperti halnya khaṣ .

65

menguasai syarat-syarat yang telah ditentukan. Maka, apabila seseorang

telah memenuhi syarat-syarat tersebut ia dapat melakukan ijtihad dan

disebut mujtahid. Namun sebaliknya, orang yang tidak menguasai syarat-

syarat ijtihad tersebut disebut muqallid yaitu mengikuti apa yang menjadi

hasil ijtihad imam mujtahid.

Syāh Walî Allāh (1965:4-5) membagi tingkatan mujtahid menjadi

tiga:

a. Mujtahid muṭ laq yaitu seorang mujtahid yang memiliki kemapanan

yurisprudensi, wawasan yang luas, keberanian, mampu melakukan

penggalian hukum dari dalil-dalil syar‟i. Mujtahid muṭ laq dibagi

menjadi dua:

1) Mustaqil

Mujtahid muṭ laq mustaqil adalah level mujtahid yang paling

tinggi. Pada level ini seorang mujtahid mampu memahami al-

Qur‟an, periwayatan hadits dengan berbagai cabang matan dan

sanadnya, mengetahui derajat para perawi, mengetahui kualitas

hadits, serta atsar para sahabat. Di samping itu, dia membuat

metologi ijtihad (uṣ ūl fiqh) sendiri tanpa meniru atau

mengadaptasi dari orang lain. Kemudian, dari hasil konsepnya itu,

dia melakukan ijtihad pada semua sisi kehidupan mulai dari urusan

tata cara bersuci (ṭ aharah) sampai urusan kenegaraan, yang

kemudian disusun menjadi kumpulan hasil ijtihad yang murni hasil

dari kesungguhan dirinya. Mujtahid muṭ laq mustaqil

66

merumuskan metodologi istinbāṭ hukum dan sistem

pengerjaannya, selain mereka juga menggunakannya untuk

berijtihad, di mana sistem dan hasil ijtihadnya kemudian dijadikan

rujukan oleh mujtahid di level bawahnya. Syāh Walî Allāh secara

khusus memasukkan beberapa ulama mujtahid yang masuk dalam

kelompok ini yaitu al-Imam Abu Hanîfah (80-150 H), al-Imam

Mālik (93-179H), al-Imam al-Syafi'i (150-204 H), al-Imam Ahmad

ibn Hanbal.

2) Muntasib

Aktifitas mujtahid muṭ laq mustaqil dapat diilustrasikan sebagai

golongan yang perhatiannya terpusat untuk mengetahui masalah-

masalah yang sudah dijawab oleh para mujtahid terdahulu melalui

dalil-dalilnya yang terperinci. Lalu melakukan kritikan sumber

pengambilan hukumnya dan mentarjîh satu pendapat atas pendapat

yang lain. Jika hasil tarjih/koreksi lebih banyak yang sesuai, maka

dikelompokkan sebagai aṣ hābul wujūh fî al mażhab (pendapat

yang bisa dipertimbangkan dalam suatu madzhab).

Pada level ini para mujtahid disebut muntasib karena mereka

melakukan intisab, yaitu berafiliasi kepada suatu mazhab tertentu.

Jadi mereka tidak menciptakan mazhab sendiri dalam arti tidak

merumuskan sistem ijtihad dan istibāṭ . Mereka adalah orang yang

datang belajar sistem itu hingga betul-betul menguasai sepenuhnya,

67

setelah itu mereka menjadi pengguna langsung untuk melakukan

berbagai ijtihad dalam masalah syari‟at.

b. Mujtahid fî al-Mażhab

Golongan ulama yang perhatiannya terpusat untuk mengatahui

masalah-masalah yang sering dipertanyakan, namun belum terjawab

oleh mujtahid sebelumnya. Kelompok mujtahid ini mengikuti prinsip-

prinsip dasar terhadap imam madzhabnya, yaitu dengan menerapkan

hukum suatu masalah pada masalah lain yang sepadan.

c. Mujtahid Fatwā yaitu seorang mujtahid yang dalam mengmluarkan

atau memberikan keputusan hukum (sebagai fatwa) selalu berusaha

menjaga madzhab dengan berusaha memahami, berpijak dan

diikutinya.33

Beberapa ulama yang dapat dikategorikan sebaga

mujtahid fatwā adalah Imam Nawawî dan al-Rofi‟î di lingkungan

Madzhab al-Syafi‟î.34

C. Sebab-sebab Kemunculan Gagasan Ijtihad

Syāh Walî Allāh menekankan pentingnya ijtihad, tanpa ijtihad adalah

mustahil dapat menemukan pengetahuan baru dalam memahami Al-Qur`an,

Sunnah dan berhasil dalam syari‟at. Dalam memahami al-Qur`an Syāh Walî

Allāh melakukan investigasi interpretif atas ayat-ayat Al-Qur`an dengan cara

33

Baca juga dalam Tajudin bin „Abdul Wahāb as-Subki, Jam’u al Jawami’, (ttp: Dār al

Ihyā al Kutūb al ‘ Arabiyah) Juz II, hlm. 38. 34

Di Indonesia terdapat ulama yang memiliki derajat mujtahid fatwā adalah Prof. Ibrahim

Hosen, Komisi Fatwa MUI tahun 1980 -2000. Bahkan beliau disetarakan dengan Imam Nawawî

dan al-Rofi‟î, dalam Asrori S. Karni Gatra 6 Mei 2009 dan 17 November 2001.

68

yang independen dari segala bentuk penafsiran dan yang secara natural

menekankan penggunaan rasio pada kebesaran Allah yang termanifestasi

dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang sedang dikaji.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Syāh Walî Allāh

menghadapi kondisi sosial politik yang kacau baik antara umat Islam dengan

non Islam maupun internal umat Islam seperti pertentang sunnî dan syi’î.

Kondisi menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai

bidang, baik agama, politik, ekonomi maupun sosial. Pada masa-masa yang

sarat dengan kericuhan yang dihadapi oleh Syāh Walî Allāh, ia memprakasai

suatu pendekatan baru terhadap pemikiran sosial politik Islam yang

didasarkan atas pandangan orisinal tentang evolusi sosial. Syāh Walî Allāh

mengkritik para sufi karena mementingkan peningkatan otoritas personal

mereka, mengkritik para ulama karena gemar menonjolkan keilmuan meraka,

serta mengecam para ulama militer yang suka mengambil untung dari dana

masyarakat tanpa mau bekerja keras untuk mendapatkannya (Black, 2006:

454).

Gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh muncul sebagai upaya untuk

menjembatani pengikut beberapa madzhab dalam masyarakat muslim India.

Hal ini dilakukan karena dua faktor; pertama, adanya konflik internal

masyarakat muslim India yang terjadi setelah kematian Aurangzeb yang

disertai praksis politiknya, mengakibatkan kerajaan Mogul terpecah-pecah.

Sementara para gubernur memerdekakan diri dan kaum Sikh mendirikan

kerajaan sendiri. Kodisi ini telah menghasilkan kollap-nya politik umat Islam.

69

Akhirnya, Syāh Walî Allāh memiliki gagasan bahwa untuk menyeselaikan

permasalahan yang komplek seperti itu harus dilakukan rekonsiliasi. Proyek

rekonsiliasi politik yang dilakukannya yaitu mengajak umat Islam untuk

mencontoh khulafā ar-rāsyidîn, mengembalikan sistem pemerintahan dari

kerajaan menjadi kekhalifahan. Sistem kekhalifahan yang dikehendaki Syāh

Walî Allāh berbeda dengan pemahaman pada umumnya. Syāh Walî Allāh

berusaha memadukan pendekatan sufistik dan ahli fiqih dengan cara memilah

antara kekhalifahan spiritual (baṭ inî) yang mengurusi perintah-perintah

agama, dan kekhalifahan politis (ẓ āhirî) yang bertugas untuk meningkatkan

pelaksanaan ajaran agama. Syāh Walî Allāh juga membuat perbedaan antara

khalifah dalam pengertian khusus (khāṣ ) dan khalifah umum (’ām).

Khalifah khusus hanya dipegang oleh Nabi dan dua khalifah pertama yang

(menurutnya) ditunjuk oleh Muhammad. Sedangkan khalifah selain tersebut

di atas adalah ’ām, yang semata-mata merupakan pemimpin muslim yang

baik. Faktor yang kedua yaitu adanya pertentangan Sunnî–Syi'î. Syāh Walî

Allāh mencoba memberikan apresiasi yang sama kepada semua madzhab.

Pemikirannya tentang khalifah khāṣ bahwa khalifah ini hanya dipegang oleh

Nabi dan dua orang yang (menurutnya) di tunjuk oleh nabi Muhammad.

Pandangan ini terkesan mendamaikan, karena tidak sesuai dengan konsep

Sunnî maupun Syi'ah. Apresiasi yang diberikan oleh Syāh Walî Allāh kepada

madzhab mengindikasikan sikapnya untuk memelihara tradisi (Black,

2001:460).

70

Selanjutnya, Syāh Walî Allāh (2005: 260-74) mengindentifikasi

perkembangan kecenderungan bermadzhab menjadi dua periode:

1. Periode sebelum abad keempat Hijriyah

Pada abad pertama dan kedua tidak semua masyarakat mengikuti

suatu madzhab. Masalah-masalah yang disepakati oleh kalangan umat

Islam dan kebanyakan mujtahid, maka mayoritas masyarakat hanya

bertaqlîd kepada pembawa syari‟at (Nabi saw.). Mereka mempelajari tata

cara berwudlu, mandi besar, zakat dan sebagainya dari orang tua mereka

atau guru-guru mereka, kemudian mempraktekkan sesuai yang

dipelajarinya. Jika muncul suatu masalah yang tidak biasa, mereka akan

meminta fatwa dari mufti mana saja yang mereka jumpai tanpa

mempertimbangkan madzhab.

Para ahli hadis dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi,

mereka menyandarkan pada hadits Nabi saw maupun tradisi para sahabat.

Selain kedua sumber tersebut, tidak ada sumber lain yang mereka gunakan

sebagai rujukan hukum. Mereka juga meriwayatkan sejumlah besar hadits

dan hadits-hadits shahih yang telah dipraktekkan oleh para fuqahā. Jika

seseorang tidak menemukan jawaban yang memuaskan mengenai suatu

permasalahan, karena adanya jawaban yang saling bertentangan dan tidak

adanya rujukan yang dipercaya tentang mana riwayat yang paling benar,

maka ia dapat merujuk kepada pendapat salah seorang fuqahā masa lalu.

Kemudian jika ia menemukan dua buah pendapat tentang suatu masalah

71

yang sama, maka ia dapat memilih pendapat yang lebih dapat dipercaya,

apakah itu pendapat yang berasal dari seorang Madinah atau Kufah.

Prosedur perolehan suatu ketetapan hukum sebagaimana dilakukan

oleh para ahli hadist, juga dilakukan oleh para ahli takhrîj. Mereka akan

melakukan prosedur tersebut ketika menghadapi masalah-masalah yang

kejelasannya tidak bisa mereka temukan. Jika belum juga mendapatkan

jawabannya, maka mereka akan melakukan penalaran bebas (ijtihad) di

dalam suatu mazhab sehingga kemudian mereka dikenal sebagai bagian

dari suatu madzhab tertentu.

Syāh Walî Allāh (1986: 69-70) membagi tingkatan ulama pada

periode ini menjadi dua kelompok besar yaitu:

a. Kelompok ulama yang tekun meneliti al-Qur‟an, as-Sunnah dan Atsar

sehingga dengan ketekunannya mereka mampu berfatwa, mampu

menjawab sebagian besar peristiwa yang terjadi. Kelompok ini

dinamakan juga dengan mujtahid.

b. Kelompok ulama yang menguasai al-Qur‟an dan as-Sunnah sehingga

mampu mengetahui pokok-pokok fiqih dan induk permasalahannya

dengan dalil-dalilnya yang terperinci disertai perolehan wawasan yang

baik dalam beberapa masalah yang lain. Ulama kelompok ini biasanya

memilih diam dalam permasalahan yang tidak dikuasainya.

2. Periode setelah abad keempat Hijriyah

Setelah periode tidak menyandarkan pada madzhab tertentu berlalu

(yaitu sebelum abad keempat Hijriah), terjadi perkembangan baru. Salah

72

satu perkembangan baru itu adalah terjadinya perselisihan dan perbedaan

pendapat dalam ilmu fiqih. Ketika periode khulafā ar-rāsyidîn berakhir,

kekhalifahan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Secara ilmiah

mereka tidak dipercaya untuk memberikan fatwa dan ketentuan hukum,

sehingga mereka meminta bantuan dari para fuqahā dan selalu

berhubungan dengan mereka dalam berbagai keadaan. Sementara itu, para

ulama lainnya tetap meyakini tradisi sebelumnya dan tetap memegang

kemurnian agama. Kedudukan ulama pada masa itu begitu tinggi di mata

masyarakat dan penguasa. Pada perkembangan selanjutnya, para ulama

tidak lagi menghindar dari penguasa, alih-alih menolak kedudukan,

mereka mengejar ilmu sehingga mendapatkan akses menuju kehormatan

dan kemuliaan diri serta kedudukan tinggi. Bahkan, beberapa di antara

mereka telah menyusun sejumlah karya dalam bidang teologi,

mengembangkan tanya jawab, penolakan dan penerimaan, serta

meletakkan dasar argumentasi. Permasalahan ini telah menarik minat

mereka, bahkan para penguasa dan khalifah mulai menyukai perdebatan

mengenai fiqih dan berusaha untuk menentukan mana yang lebih unggul

antara mazdhab as-Syāfi‟î dan Abū Hanîfah. Setelah itu, orang-orang

mulai meninggalkan teologi dan ilmu-ilmu mengenai sumber-sumber

keagamaan dan lebih tertarik untuk mendalami masalah-masalah yang

dipertentangkan (khilāfiyah), terutama antara madzhab as-Syāfi‟î dan Abū

Hanîfah, sementara terhadap madzhab yang lain sikap mereka toleran.

73

Pada periode ini, berkembang sikap taqlîd yang berlebihan yang

disebabkan oleh tiga hal yaitu;

a. Adanya persaingan antara para fuqahā dan terjadinya perselisihan di

antara mereka, sehingga ketika persaingan dalam urusan fatwa terjadi,

maka siapapun yang mengeluarkan fatwa akan ditentang oleh pengikut

madzhab yang berbeda.

b. Pada generasi ini, mereka hanya puas dengan bertaqlîd, sehingga jiwa

taqlîd menjangkiti hati mereka tanpa disadari. Adapun penyebabnya

antara lain; 1) persaingan dan perbenturan di antara sesama ulama fiqih,

2) adanya ketidakadilan hakim, ketika kebanyakan hakim telah bersikap

tidak adil, maka yang dapat diterima oleh kebanyakan orang adalah

pendapat imam madzhab yang mereka yakini, 3) kebodohan para

pemimpin masyarakat dan banyaknya masyarakat yang meminta

jawaban kepada ahli hukum yang tidak cakap.

c. Kebanyakan ulama pada generasi ini hanya memperdalam satu disiplin

ilmu tertentu. Di antara mereka ada yang memperdalam ilmu nama-

nama perawi hadits dan mengetahui tingkatan jarh dan ta’dîl, lalu

dilanjutkan dengan mempelajari sejarah. Di lain pihak, ada yang

memperdebatkan uṣ ūl fiqh, masing-masing menyusun kaidah berdebat

untuk kelompoknya, menyanggah lawan dalam mempertahankan

pendapat, membuat definisi dan mengelompokkan berbagi masalah.

Akibatnya, perdebatan dan perselisihan sering terjadi dan menyebabkan

kekacauan hingga mempengaruhi stabilitas politik pemerintahan.

74

Berdasarkan identifikasi kecenderungan bermadzhab sebagaimana

tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor utama terjadinya krisis umat Islam

adalah adanya taqlîd. Generasi ini yang oleh Syāh Walî Allāh disebut dengan

generasi taqlîd, generasi yang sepenuhnya bergantung pada taqlîd tanpa

membedakan antara yang benar dan yang salah dan tidak mempertimbangkan

argumen yang digunakan dalam pengambilan hukum (istinbāṭ al-ahkām).

Syāh Walî Allāh (1986: 97-8) mengutip pernyataan Ibn Ḥazm tentang

permasalahan taqlîd ini, yang menyatakan:

Taqlîd itu haram, siapapun tidak diperbolehkan mengikuti

pendapat seseorang selain Rasulullah saw., tanpa bukti, karena Allah

berfirman, ”ikutilah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu dan jangan mengikuti pelindung selain Dia” (QS.7:3), dan

”Jika dikatakan kepada mereka, ikutilah apa-apa yang telah

diturunkan oleh Allah kepadamu, mereka berkata kami hanya

mengikuti apa-apa yang kami dapati nenek moyang kami

melakukannya” (QS. 2: 170). Allah berfirman memuji orang-orang

yang tidak bertaqlîd, ”berikanlah kabar baik kepada hamba-hamba-

Ku yang mendengarkan nasihat dan mengikuti nasihat yang paling

baik. Orang-orang seperti itulah yang diberi petunjuk oleh Allah dan

orang-orang seperti itu yang mempunyai pemahaman” (QS. 39: 17-

18) dan Dia berfirman, ”jika kamu berbeda pendapat di antara kamu

sendiri mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika

kamu percaya kepada Allah dan hari penghabisan” (QS. 4:59)

Dengan demikian, sesungguhnya Allah, ketika terjadi perbedaan

pendapat tidak memperbolehkan manusia untuk merujuk kepada

seseorang selain kepada al-Qur‟an dan Sunnah. Di dalam ayat ini

ditegaskan bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat, Dia melarang

mereka untuk mengembalikan kepada pendapat siapapun karena itu

bukanlah al-Qur‟an dan Sunnah. Ijmā’ sahabat dari pertama sampai

terakhir dan ijmā’ para tabi‟in dari yang pertama sampai yang terakhir

menegaskan penolakan dan larangan kepada siapapun di antara

mereka untuk meniru pendapat orang yang semasa atau yang lebih

dulu dari mereka sehingga ia menerimanya bulat-bulat.

Karena itu harus diketahui bahwa barang siapa mengikuti

pendapat-pendapat Abū Hanîfah, Mālik, as-Syāfi‟î, atau Ahmad

secara total dan tidak mengesampingkan pendapat pengikut mereka,

atau pendapat seseorang yang mendukungnya dan tidak bersandar

kepada al-Qur‟an dan Sunnah kecuali untuk mendukung pendapat

75

orang tertentu maka bisa dipastikan bahwa ia telah menentang

kesepakatan seluruh umat Islam.

Lebih jauh Syāh Walî Allāh juga mengkritisi sikap para fuqahā yang

tidak mampu menemukan bukti untuk memperkuat pendapat imamnya,

padahal mereka menemukan kelemahan argumentasi imamnya, namun karena

adanya sikap taqlîd ini, mereka (fuqahā) mengabaikan pendapat orang lain

yang lebih kredibel. Syāh Walî Allāh (1986: 99-100) mengutip pendapat Izz

al-Dîn Ibn ‟Abd al-Salām yang berkata:

Sungguh mengherankan! Seorang fāqih melakukan taqlîd

menyetujui kelemahan sesuatu yang ia dapatkan dari imamnya, karena

ia tidak mendapatkan bukti-bukti yang memperkuat kelemahannya itu.

Alih-alih mencari bukti-bukti yang mendukung pendapatnya, ia

meniru keputusannya (imamnya) mengenai hal itu dan mengabaikan

pendapat orang yang kebenaran pendapatnya telah dibuktikan oleh al-

Qur‟an, Sunnah dan analogi yang benar. Hal itu ia lakukan karena

kesetiaannya yang kaku kepada imamnya. Sesungguhnya ia

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan makna al-Qur‟an dan

Sunnah yang nyata dan jelas. Ia membuat penafsiran yang keliru

untuk membela orang yang ia tiru.

Orang-orang telah terbiasa untuk menanyakan pendapat-

pendapat dari ulama mana pun yang kebetulan ia jumpai tanpa

memedulikan madzhab fiqih mereka dan si penanya pun tidak

mempersoalkannya, sehingga akhirnya bermunculan madzhab-

madzhab fiqih dan orang yang memilih salah satu madzhab untuk

diikuti adalah muqallid, orang yang bertaqlîd. Jadi salah seorang di

antara mereka akan mengikuti imamnya walaupun pendapatnya itu

jauh dari kebenaran tekstual (’adalah), menirunya dalam segala

pendapat yang ia kemukakan dan menganggapnya seakan-akan ia

seorang rasul utusan Allah.

Selain pendapat dari kedua ulama di atas, Syāh Walî Allāh juga

mengikuti pendapat Abū Syāmah35

dan al-Muzanî 36

yang berkaitan dengan

masalah taqlîd ini.

35

Abū Syāmah berkata ”merupakan suatu kewajiban bagi seseorang yang melibatkan diri

dalam fiqih untuk tidak membatasi dirinya pada suatu madzhab dan bahwa di dalam setiap

masalah ia harus berpegang kepada kesahihan, pandangan yang lebih dekat kepada petunjuk

76

Membandingkan permasalahan taqlîd sebagaimana diulas olah Syāh

Walî Allāh, al-Syaukanî (tt: 265) mengatakan:

(taqlîd) menurut istilah ialah mengamalkan ucapan orang lain tanpa

(mengetahui) alasannya. Dengan demikian, keluar (dari definisi

taqlîd) mengamalkan ucapan Rasulullah saw., mengamalkan ijmā’,

berpegang seorang awam kepada (fatwa) mufti) dan berpegangnya

seorang hakim kepada kesaksian yang adil, sesungguhnya pada yang

demikian terdapat argumentasi.

Atas dasar pengertian di atas, al-Syaukanî menyatakan bahwa ucapan

Nabi saw dan ijmā’ adalah dua alasan dan dalil agama yang menjadi landasan

hukum, karena itu mengamalkan keduanya bukan merupakan bentuk taqlîd.

Sedangkan berpegangnya hakim kepada ucapan saksi, karena hal itu memang

ditunjukkan oleh al-Qur‟an dan sunnah yang memerintahkan untuk

menegakkan kesaksian. Adapun berpegangnya orang awam kepada ucapan

mufti adalah didasarkan atas ijmā’ para ulama yang membolehkan demikian.

Dengan demikian, berpegang pada Sunnah, ijmā’, ucapan saksi bagi hakim

dan mengikuti fatwa seorang mufti bukanlah termasuk taklid bagi orang

awam. Namun, jika seseorang berpegang pada pendapat orang lain yang

bukan mufti dalam ahli agama, maka hal itu adalah taqlîd. Al-Syaukani

menjelaskan bahwa apabila seseorang bertanya mengenai suatu permasalahan

(dalālah) al Qur‟an dan Sunah. Hal ini akan menjadi mudah baginya jika ia mengetahui sebagian

besar kajian tradisional. Selain itu, hendaknya ia menghindari keberpihakan kepada suatu madzhab

dan tidak mempelajari cara-cara (agar terjadi) perbedaan pendapat”. (Syāh Walî Allāh, 1986: 101

) 36

al-Muzanî berkata: ”saya meringkas buku mengenai ajaran-ajaran as-Syāfi‟î dan makna-

makna dari pendapatnya agar siapapun yang menginginkannya bisa mempelajarinya dengan

mudah. Sementara itu, saya menghargai larangan untuk bertaqlîd kepada dirinya atau kepada

orang lain sehingga setiap orang bisa mempelajari segala sesuatu demi kepentingan agamanya dan

setiap orang harus berhati-hati. Maksudnya, saya memperingatkan siapapun yang ingin

mempelajari ajaran as-Syāfi‟î bahwa ia sendiri melarang taqlîd kepada dirinya atau kepada orang

lain”.(Syāh Walî Allāh, 1986: 102).

77

hukum kepada orang yang ahli hukum (syara’), dan ahli hukum tersebut

mencari solusi berdasarkan al-Qur‟an ataupun Sunnah, maka yang demikian

itu bukanlah taqlîd. Karena pada dasarnya yang disampaikan oleh ahli hukum

tersebut bersumber dari al-Qur‟an maupun Sunnah. Artinya bahwa yang

diikuti oleh orang awam bukanlah ulama tetapi al-Qur‟an atau Sunnah.

Sedangkan taklid, yaitu orang awam yang mengikuti pendapat seorang ulama,

akan tetapi yang disampaikan bukan atas dasar al-Qur‟an maupun Sunnah,

tetapi berasal dari fikiran mereka (Rusli, 1999: 107-8).

Ijtihad dan taqlîd merupakan dua hal yang sangat berkaitan, masing-

masing memiliki batasan-batasan. Syāh Walî Allāh dalam menyikapi kedua

hal tersebut sangat berhati-hati, terutama dalam hal persoalan taqlîd.

Mengapa demikian? kondisi sosial keagamaan yang dialami oleh Syāh Walî

Allāh lebih banyak didominasi oleh praktik taqlîd yang menyebabkan

kemunduran umat Islam. Sikap kehati-hatian Syāh Walî Allāh ini terlihat dari

penilaiannya terhadap hasil ijtihad ahli fiqih (fuqahā) dengan memberikan

rambu-rambu bahwa seorang fāqih belum tentu orang yang memperoleh

ilham dari Allah berupa hasil pemikiran fiqihnya sehingga membuat kita

yakin dan menaatinya. Mengikuti pendapat seorang ahli fiqih dikarenakan ia

mampu memahami dan mengetahui isi al-Qur‟an dan Sunnah. Namun

demikian, pendapat ahli fiqih mempunyai beberapa kemungkinan, yaitu; 1)

mengambil langsung dari al-Qur‟an dan Sunnah yang sudah jelas, 2)

menggali hukum dari kedua sumber tersebut melalui istinbāth, 3) mengenali

tanda-tanda bahwa hukum pada kasus A adalah berdasarkan ‟illat, misalnya,

78

lalu ia merasa mantap dengan hasil penelitiannya itu. Kemudian, masalah-

masalah sepadan yang tidak ada nashnya ia qiyāskan pada masalah-masalah

yang sudah ada nashnya (Syāh Walî Allāh, 1986: 101-2). Oleh karena itu,

dengan adanya kemungkinan-kemungkinan tersebut, tidak boleh melakukan

taqlîd begitu saja terhadap pendapat ahli fiqih.

Gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh lebih banyak didasarkan pada

adanya praktek taqlîd yang tidak terkendali37

. Ia mengkhawatirkan, tradisi

ilmiah yang biasa dilakukan oleh para imam mujtahid tidak lagi diikuti oleh

pengikutnya. Akibatnya, orang tidak lagi dapat membedakan mana yang

benar dan mana yang salah, mana yang merupakan hasil perdebatan dan mana

yang merupakan hasil istinbāth. Pada generasi ini seorang ahli fiqih hanya

orang yang mampu menghafal berbagai pendapat para pakar fiqih baik yang

kuat maupun yang lemah, tanpa ada koreksi. Demikian juga dengan para

pakar hadis yang hanya mampu menginventarisasi sejumlah hadits yang sahih

dan yang lemah. Menurutnya bahwa ijtihad harus terus ada dan dilakukan di

setiap masa. Bahkan ia mengutip pendapat as-Suyuṭ î38

bahwa ijtihad,

meskipun tingkatan mujtahidnya adalah muntasib (menginduk pada imam

madzhabnya) merupakan farḍ u kifayah yang harus ada di setiap generasi

37

Sebagian ahli fiqih ada yang hanya taqlîd pada (buku) hasil-hasil ijtihad ulama madzhab

yang dikodifikasikan oleh para pengikutnya. Model yang seperti ini akan mematikan tradisi

ilmiah, karena dapat menyebabkan mereka tidak mampu lagi membedakan mana pendapat yang

rājih mana yang lemah. Hal inilah yang disebut oleh Syāh Walî Allāh sebagai taqlîd mażmūm.

Sedangkan sebagian ahli fiqih yang lain, mereka tidak hanya bertaqlîd pada kodifikasi hasil ijtihad

ulama madzhab, namun juga metodologi ijtihadnya. Sehingga mereka mampu mengembangkan

analisi hukum secara lebih mendalam. Dalam hal ini Syāh Walî Allāh menyebutnya dengan taqlîd

maḫ mūd (Syāh Walî Allāh, 1936: 209-11). 38

Semangat ijtihad ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul ar-Raddu ’Ala Man

Akhlada ilā al-Arḍ i wa Jahila Anna al-Ijtihāda fî Kulli ’Aṣ rin Farḍ un (bantahan terhadap orang

yang mengabadikan taqlîd di bumi dan tidak tahu bahwa ijtihad di setiap masa adalah wajib).

79

hingga akhir zaman. Jika suatu generasi terjadi kekosongan mujtahid

muntasib, maka semuanya berdosa dan bermaksiat. Secara tegas ia juga

menyatakan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka (Syāh Walî Allāh, 1986:71-5).

D. Analisis Pemikiran Syāh Walî Allāh Tentang Ijtihad

Aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah

ruh yang menghidupkan Islam secara terus-menerus. Sejak semula, menurut

Amir Nuruddin (1991:21), memang Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang

baru, serta segar bagi realisasi dirinya, dan Islam senantiasa menemukan

bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika menampung kemaslahatan pada

tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan dapat diwujudkan

dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial untuk

selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah mapan. Oleh karena

kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum, maka sudah

menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi perubahan hukum

disebabkan karena berubahnya zaman dan keadaan, serta pengaruh dari

gejala-gejala kemasyarakatan.

Menurut Husain Hamid Hasan (1971:3-4) bahwa dasar dan landasan

syari‟at adalah hikmah dan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan

akhirat. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara

menyeluruh. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan ke tirani, dari

rahmat ke permusuhan, dari maslahat ke kebinasaan, dari hikmat ke kesia-

siaan atau kemuspraan, bukanlah termasuk syar‟iat dengan interpretasi

bagaimana pun juga. Pendapat ini mengikuti pandangan Imam Al-Ghazali

80

dalam kitabnya Al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Uṣ ūl (1983, I: 286) yang

memformulasikan tujuan kemaslahatan yang dimaksud dalam syari‟at itu

dalam kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk

memelihara tujuan-tujuan syara’. Artinya bahwa suatu kemaslahatan harus

seiring dengan tujuan syara’, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan

manusia. Maka, yang menjadi tolok ukur kemaslahatan itu adalah tujuan dan

kehendak syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.

Lebih jauh menurut Harun Nasution dalam Muh. Yunan Yusuf

(1985:19), Islam diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas oleh waktu

dan tempat tertentu. Al-Qur‟an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan

ajaran Islam yang dibawa Rasulullah adalah untuk seluruh umat manusia, di

mana pun mereka berada. Oleh sebab itu, Islam seyogyanya ditafsirkan secara

lebih fleksibel agar bisa diterima oleh setiap manusia di muka bumi secara

alamiah.

Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia

dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja dan tradisionalistis.

Ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam dituntut untuk dapat

menghadapinya. Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman inilah yang

selalu dipertanyakan oleh para pemikir muslim kontemporer. Dalam hal ini,

ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan segala

persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak masa awal Islam sampai pada

masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak

terdapat di dalam al-Qur‟an dan hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid.

81

Ijtihad merupakan cara untuk memahami makna-makna hukum yang

terkandung dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Petunjuk hukum yang terdapat di

dalam al-Qur‟an dan Sunnah sendiri, sebagaimana menurut Syāh Walî Allāh

(2005: 236-7), seringkali dijumpai premis suatu hukum itu disertai dengan

premis hukum yang lain, atau bisa jadi presmis suatu hukum tidak berlaku

tanpa adanya premis hukum yang lain. Fakta ini menunjukkan bahwa hukum

itu tergantung dari ‟illat (alasan yang melatarbelakanginya), rukun dan

syarat.

Pemahaman terhadap kandungan hukum yang terdapat dalam al-

Qur‟an dan sunnah, tidak mudah untuk dilakukan begitu saja. Alih-alih untuk

mendapatkan solusi hukum, yang terjadi justru kesesatan. Oleh karena itu,

Syāh Walî Allāh (2005: 237) menetapkan beberapa cara untuk melakukan hal

tersebut, yaitu; 1) memahami segala sesuatu yang dijelaskan oleh al-Qur‟an

dan Sunnah, 2) memahami tingkatan makna-makna yang ditunjukkan atau

dikisahkan oleh Nabi saw, 3) memahami tingkatan makna berikutnya yang

disebutkan oleh seorang sahabat sebagai penajaman syari‟at, 4) mengenali

tempat berlabuhnya (suatu hukum) dengan cara mempertimbangkan dan

mengembalikan suatu hukum kepada tujuan asal penetapannya di dalam satu

kasus yang sama. Perintah maupun larangan tidak begitu saja ditetapkan

melainkan ada tujuan tertentu. Hal-hal seperti suatu kuantitas tertentu

ditentukan, sedangkan kuantitas lain yang serupa tidak ditentukan

bilangannya, merupakan lahan untuk dilakukannya ijtihad.

82

Syāh Walî Allāh melakukan analisis teks sebagai upaya untuk

melestarikan ijtihad. Implikasinya terhadap ijtihad dalam bidang ibadah,

misalnya, adalah mengambil petunjuk al-Qur'an, Sunnah, ijmā’ dan qiyās

sebagai dasar menggali hukum. Berhubungan dengan ini Syāh Walî Allāh

menggunakan dalil umum nash. Jika terdapat pertentangan di antara beberapa

dalil maka menggunakan takhṣ îṣ untuk mempertemukannya. Kemudian

menggunakan petunjuk Hadits, dan kitab Hadits yang dinilai paling tinggi

adalah al-Muwaṭ ṭ a'. Selanjutnya mengambil ijmā’ dan qiyās. Terakhir bagi

seorang yang tidak mampu untuk ijtihad, dengan cara bermadzhab secara

kritis kepada madzhab empat. Dalam hal ini Syāh Walî Allāh menggunakan

metode menggabungkan beberapa pendapat madzhab empat atau mengambil

jalan tengah di antara perbedaan pendapat. Secara garis besar kerangka ijtihad

dapat di bagi menjadi dua, yaitu; Pertama, cara Syāh Walî Allāh untuk

menghasilkan suatu produk hukum, ia terlebih dahulu menganalisis sebab-

sebab perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam. Kedua¸ Syāh

Walî Allāh memahami suatu nash tidak hanya berdasarkan teks saja, namun

juga meneliti konteks (filsafat syari‟ah).

Syāh Walî Allāh menganalisis sebab-sebab perbedaan pendapat

(dalam memahami dalil-dalil syar‟i) yang terjadi di kalangan umat Islam

dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu;

1. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in

Pada zaman Rasulullah, sahabat melihat langsung segala hal yang

dilakukan oleh Rasulullah dan menirunya tanpa ada penjelasan dari Nabi

83

apakah rukun atau adab. Rasulullah melakukan wudlu, sholat, manasik haji

dan sebagainya, kemudian para sahabat juga melakukan hal yang sama

persis sesuai dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rasulullah.

Adakalanya Rasulullah dimintai fatwa oleh sahabat mengenai beberapa

persoalan kemudian beliau berfatwa, atau Rasulullah menyaksikan sesuatu

yang dilakukan oleh para sahabat kemudian Rasulullah memujinya jika

sesuatu itu baik. Secara global, segala prilaku Nabi saw. diikuti oleh para

sahabat, mereka menjaga, menghafal, memahami dan mengetahui arah

tujuan segala kasus melalui beberapa tanda yang menyertainya.

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat menyebar ke berbagai

negeri dan mereka menjadi panutan di negeri yang ditempatinya. Seiring

perkembangan kultul sosial, kasus dan permasalahan juga berkembang.

Oleh karena itu, mereka menjadi tumpuan segala macam pertanyaan.

Ketika sahabat dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka akan

memberi jawaban sesuai dengan hafalan dan kesiapan istinbāṭ mereka.

Jika tidak menemukan pemecahannya dari hadits yang dihafal atau nash

yang dapat di-istinbāṭ -kan, dia akan berijtihad dengan pendapatnya

sendiri. Ijtihad ini berdasarkan usaha mereka untuk mengetahui ’illat

hukum yang mendorong Rasulullah memutuskan suatu perkara dalam

nash-nash tertentu. Ketika proses istinbāṭ ini dilakukan oleh masih-

masing sahabat sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, maka disinilah

terjadi perbedaan pendapat.

84

Syāh Walî Allāh (1986: 23-30) menyebutkan beberapa hal yang

menjadi penyebab perbedaan pendapat tersebut, yaitu:

a. Perbedaan dalam menerima suatu putusan atau fatwa hukum dari

Rasulullah. Perbedaan ini terjadi jika seorang sahabat pernah

mendengar suatu putusan atau fatwa hukum dari Rasulullah sementara

yang lain tidak mengetahuinya sehingga dia berijtihad dengan

pendapatnya sendiri. Maka, hasil ijtihad yang dilakukan terdapat

beberapa kemungkinan, antara lain; 1) hasil ijtihadnya sesuai dengan

hadits, 2) terjadinya pertentangan antara hasil ijtihad dengan hadits

Nabi saw., namun hadits tampak lebih kuat, kemudian yang

bersangkutan menarik hasil ijtihadnya dan berpihak pada hadits, 3)

Hadits yang ada tidak mempunyai kekuatan, sehingga ijtihad tidak

ditinggalkan, sebaliknya hadits tersebut ditinggalkan. 4) tidak ada

satupun hadits yang diketahui oleh sabahat.

b. Perbedaan persepsi atas suatu perbuatan Rasulullah. Perbedaan ini

terjadi tatkala para sahabat melihat Rasulullah melakukan suatu

perbuatan, lalu sebagian menganggapnya sebagai suatu bentuk qurbah

(usaha pendekatan diri kepada Allah) dan sebagian yang lain

menganggapnya sebagai ibāhah (kebolehan).

c. Tingkat hafalan

Bahwa bisa jadi salah seorang sahabat lupa dengan hafalan haditsnya,

kemudian ketika hadits itu disampaikan atau didengar oleh sahabat lain

85

hadits tersebut dibantah dengan mengatakan bahwa sahabat yang

menyampaikan hadits tersebut mungkin lupa.

d. Perselisihan penalaran

Antara sahabat sangat dimungkinkan terjadi perselisihan penalaran atas

suatu hadits. Syāh Walî Allāh memberikan contoh hadits yang terdapat

perbedaan penalaran.

”Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‟Umar r.a dari Rasulullah

bahwa seorang mayit disiksa lantaran tangis dan ratapan

keluarganya. ‟Aisyah membatahnya, lalu menegaskan bahwa dia

salah dalam menerima hadits. Hadits yang sebenarnya adalah

bahwa Rasulullah melewati mayit seorang perempuan Yahudi yang

ditangisi keluarganya, lalu beliau bersabda:

إ أيب جن عيب إب تعزة ف قجش

Ibnu „Umar mengira bahwa siksaan tersebut lantaran tangisan

keluarganyam sehingga ia mengira bahwa hukum tersebut berlaku

umum untuk semua mayit” (1986: 29).39

Contoh yang disampaikan oleh Syāh Walî Allāh menunjukkan bahwa

satu hadits saja dapat menimbulkan penalaran yang berbeda di antara

para sahabat.

e. Perselisihan dalam memahami ‘illat hukum

‘Illat hukum menjadi dasar utama untuk melakukan istinbāṭ .

Perbedaan memahami illat hukum dalam suatu hadits, akan

menghasilkan hasil istinbāṭ yang berbeda pula. Syāh Walî Allāh

memberikan contoh sebagai berikut:

39

Disebutkan dalam Musnad Ahmad :

. فقبىت عبئشخ غفش اهلل ألث ش سعه اهلل صي اهلل عي عي ثقجش فقبه: إ زا ىعزة األ ثجنبء أي عي

اهلل تعبى قه )ال تضس اصسح صس أخش( عجذ اىيح ا , إ

86

“tetang berdiri sebab ada jenazah yang lewat. Sebagian sahabat

memandangnya untuk menghormati malaikat, sehingga ketentuan

itu meliputi mayit mukmin dan kafir. Sebagian sahabat

berpendangan bahwa itu dikarenakan kengerian kematian, sehingga

meliputi semua mayit. Sebagian lagi berpendapat, sewaktu

Rasulullah dilewati jenazah Yahudi, dia segera berdiri sebab takut

jenazah tersebut melebihi kepalanya, sehingga hal ini khusus untuk

mayit kafir” (1986: 29).

f. Perselisihan dalam mengkompromikan dua pendapat yang berbeda

Segala yang dilakukan Nabi baik ucapan mau perbuatan menjadi dasar

hukum Islam. Para sahabat dalam menghadapi berbagai persoalan,

tidak lepas dari hadits Nabi. Oleh karena masing-masing sahabat ada

yang memiliki pengalaman berbeda antara satu dengan yang lain

dalam melihat prilaku maupun ucapan Nabi, maka setelah Rasullah

wafat masing-masing sahabat memiliki pendapat yang berbeda. Usaha

untuk mengkompromikan pendapat yang berbeda-beda tersebut dapat

menimbulkan perbendaan pendapat.

Adapun contoh yang dikemukakan oleh Syāh Walî Allāh dalam kasus

ini adalah:

”Rasulullah melarang seseorang menghadap kiblat sewaktu ber-

istinjā’ (bersuci sesudah buang air besar maupun kecil).

Segolongan Sahabat memandang keumuman hukum ini dan tidak

ada penghapusan. Namun, Jābir melihat Nabi buang air kecil

menghadap kiblat setahun sebelum beliau wafat, sehingga ia

berpendapat bahwa tindakan Nabi yang terakhir ini sebagai nasakh

bagi larangan yang terdahulu. Ibnu ‟Umar melihat Nabi buang hajat

dengan membelakangi kiblat, menghadap ke Syām, sehingga ia

menolak perkataan kelompok pertama.

Beberapa orang berusaha mengkompromikan kedua riwayat

tersebut, sehingga asy-Sya‟bî dan lainnya berpendapat bahwa

larangan itu bersifat khusus, dalam arti khusus bagi istinjā’ di tanah

lapang. Jadi menurutnya, istinjā’ di dalam bangunan/ WC tidak

terkena larangan menghadap atau membelakangi kiblat” (1986: 30)

2. Perbedaan pendapat di kalangan pakar fiqih

87

Pada dasarnya, metode pengambilan hukum di kalangan ahli fiqih

itu sama, yaitu;

a. Berpegang pada hadits Nabi, baik yang musnad maupun yang mursal

dan beristidlāl (mengambil dalil dari beberapa ucapan sahabat dan

tabi‟in, dengan memahami bahwa pendapat sahabat dan tabi‟in itu ada

kalanya hadits yang dikutip dari Rasulullah yang diringkas menjadi

hadits-hadits mauquf.

b. Apabila terdapat perbedaan hadits dalam suatu permasalahan, maka

para tabi‟in berpedoman pada ucapan sahabat.

c. Jika terdapat perbedaan pendapat antara sahabat dan tabi‟in dalam

suatu persoalan, maka mengikuti madzhab penduduk setempat.

d. Jika penduduk suatu negara sepakat atas suatu masalah, maka mereka

akan memeganginya dengan teguh.

e. Jika para tabi‟in tidak mendapat jawaban masalah dari sumber-sumber

yang mereka kuasai, maka mereka akan berusaha mentakhrîj ucapan

sahabat dan meneliti beberapa indikasi dan tuntunan syara’nya.

Perbedaan yang terjadi dikalangan ulama fiqih ini terdapat pada

metode mereka dalam menempatkan sumber-sumber hukum Islam. Pada

periode ini terdapat empat pakar fiqih yang sangat terkenal yaitu Imam

Maliki, Imam Abū Hanîfah, Imam Syafi‟î dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.

3. Perbedaan pendapat antara ahli hadits dan ahli ra’yu

Ulama pada masa periode Sa‟id ibn al-Musayyab, Ibrāhîm, az-

Zuhrî, Malik dan Sufyān dan periode sesudahnya tidak menggunakan

88

ra’yu. Mereka takut berfatwa dan beristinbāṭ , kecuali dalam keadaan

terpaksa. Sebagaimana ucapan Ibnu ‟Umar kepada Jābir Ibn Ziyād :

”Engkau termasuk seorang faqih Bashrah. Oleh karena itu, jangan

engkau berfatwa kecuali dengan al-Qur‟an yang berbicara atau

sunnah yang ada. Kalau engkau sampai berbuat selain itu, maka

engkau rusak dan merusakkan”

Disebutkan pula sebuah atsar yang diriwayatkan oleh ad-Darimî;

”Asy-Sya‟bi ditanya, ”bagaimana sikap anda kalau ditanya tentang

suatu persoalan?”, ia menjawab, ”saya hadapi dengan segenap

kewaspadaan. Jika seseorang ditanya mengenai suatu masalah,

hendaknya ia berkata kepada kawannya: berilah fatwa mereka.

Begitu seterusnya, sampai kembali kepada orang pertama.”

Selanjutnya ia berkata, ”apa saja yang mereka ceritakan kepadamu

dari Rasulullah, terimalah. Namun apa saja yang mereka ucapkan

dengan menggunakan ra’yu-nya, buanglah di jamban” (Syāh Walî

Allāh, 1986: 46-47).

Pembukuan hadits dan atsar, penulisan sahîfah (lembaran) dan

naskah (hukum) bermunculan di berbagai negara (Islam) sehingga sedikit

sekali ahli riwayat yang tidak membukukan sahîfah dan naskah. Hal ini

sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi mereka. Sehingga

para tokoh pada waktu itu menjelajahi ke berbagai negara seperti Hijaz,

Syam, Irak, Mesir, Yaman dan Khurasan hanya untuk menghimpun kitab-

kitab, meneliti naskah-naskah, memperhatikan dan mempelajari hadits

gharîb dan ātsar yang jarang ditemukan. Maka, atas jasa mereka hadits

dan ātsar dapat terhimpun dengan baik. Mereka dapat mengemukakan

sanad hadits dalam jumlah yang cukup banyak sampai mencapi seratus

jalur bahkan lebih sehingga dapat mempermudah untuk melakukan

validasi hadits yang belum jelas. Di samping itu, mereka juga mampu

memahami dan mengetahui ke-gharib-an dan kemasyhuran setiap hadits,

89

muttabi’ dan syahidnya. Kejelian, ketelitian dan kesungguhan mereka

menghasilkan hadits-hadits yang dapat dipertanggungjawabkan

keshahihannya.

Generasi ahli hadits membangun kaidah-kaidah untuk memutuskan

suatu perkara hukum, yaitu:

a. Jika dalam suatu masalah ditemukan ayat al-Qur‟an yang

menerangkanya, mereka tidak akan mengambil dalil lain.

b. Jika ayat al-Qur‟an yang ada menunjukkan adanya berbagai

kemungkinan hukum, mereka akan menjadikan as-Sunnah sebagai

hakimnya.

c. Jika tidak menemukan ayat al-Qur‟an yang menerangkannya, mereka

akan mencari dalam Sunnah Nabi.

d. Jika di dalam as-Sunnah pun tidak terdapat solusinya, maka mereka

mengambil pendapat sahabat dan tabi‟in.

e. Mengambil pendapat mayoritas ahli fiqih

f. Mengambil dua pendapat sekaligus sebagai solusi hukum, jika

keduanya dipandang kuat.

g. Melihat keumuman al-Qur‟an dan as-sunnah, kemudian

menganalogikan masalah kepada kandungan al-Qur‟an ataupun

Sunnah.

Ra’yu (pemahaman subjektif) sebagai sebuah usaha untuk mencari

solusi hukum, juga dilakukan oleh ulama. Bahkan Ibn ‟Abbas jika ditanya

tentang masalah yang sudah dijelaskan di dalam al-Qur‟an, dia akan

90

menjelaskan dengannya. Kemudian, jika tidak dijelaskan oleh al-Qur‟an

namun sudah dijelaskan oleh Rasulullah, ia akan menjelaskannya. Jika

tidak dijelaskan oleh Rasulullah maka ia mencari apa yang pernah

diputuskan oleh Abu Bakar dan Umar, dan jika tidak dijelaskan oleh

keduan, ia akan menjawab dengan ra’yu-nya (Syāh Walî Allāh, 1986: 49)

Namun demikian penggunaan ra’yu sebagai solusi hukum, tidak

bisa dengan mudah diterima oleh ulama. Banyak ulama yang sangat

berhati-hati bahkan menolak penggunaan ra’yu tersebut. Ra’yu memiliki

kedudukan yang sangat lemah, sehingga pemahaman subyektif ini bisa

diterima maupun ditolak.

Ra’yu sering kali digunakan oleh para ulama fikih dalam menggali

suatu hukum berdasarkan al-Qur‟an maupun sunnah. Ra’yu merupakan

proses penalaran yang menyingkap ‟illat hukum yang terdapat dalam

suatu teks syar‟i. Kadang-kadang sebuah ungkapan teks syar‟i

mengandung isyarat dan petunjuk tentang tujuannya, di sini dibutuhkan

suatu penalaran yang tepat berdasarkan kaidah-kaidah yang sudah

ditentukan.

Perbedaan antara para ahli hadits dan ahli ra’yu sesungguhnya

tidak perlu menimbulkan kesenjangan yang jauh. Keduanya sama-sama

berusaha untuk mendapatkan solusi hukum demi kemasalahatan umat.

Maka, sikap Syāh Walî Allāh terhadap hal ini sebagaimana mengutip Abū

Sulaiman:

” Aku melihat ahli ilmu dewasa ini terbagi menjadi dua kubu: yaitu

kubu pendukung hadits dan atsar (ahli hadits) dan kubu pendukung

91

fiqih dan penalaran (ahli ra’yu). Masing-masing kubu ini sama-

sama dibutuhkan dan saling melengkapi untuk memahami maksud

syara’. Hadits laksana pondasi atau pokok, sedangkan fiqih laksana

bangunan atau cabang. Padahal setiap bangunan yang tidak

dibangun di atas pondasi yang kokoh akan cepat roboh. Setiap

pondasi yang tidak dilengkapi dan dipelihara pasti akan kosong dan

rusak. Saya memahami bahwa kedua kubu ini –meski dengan

kondisi saling bergesekan- saling membutuhkan satu sama lain, dan

memiliki keutamaannya masing-masing. Sayangnya, mereka justru

saling berjauhan dan tidak memperlihatkan sikap saling tolong

menolong dalam menegakkan kebenaran” (Syāh Walî Allāh,

1986:64).

Dengan mengutip pendapat Abu Sulaiman tersebut di atas

menunjukkan bahwa Syāh Walî Allāh lebih cenderung berada di tengah

antara dua pendapat yang sama-sama memiliki dasar yang kuat, selama

usaha yang dilakukan dalam rangka menegakkan kebenaran.

4. Perbedaan pendapat sesudah abad keempat hijriah

Sebelum abad ke empat hijriah, kelompok ulama dapat

digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

a. Kelompok ulama yang tekun meneliti al-Qur‟an, as-Sunnah dan Atsar

sehingga mampu berfatwa, mampu menjawab sebagian besar peristiwa

yang terjadi, kelompok ini disebut dengan ”mujtahid”.

b. Kelompok ulama yang menguasai al-Qur‟an dan Sunnah sehingga

mampu mengetahui pokok-pokok fiqih dan induk permasalahannya

dengan dalil-dalilnya yang terperinci disertai perolehan wawasan yang

baik dalam beberapa masalah lainnya (Syāh Walî Allāh, 1986:69-70).

Pada masa ini, perbedaan madzab tidak begitu menjadi perhatian

umat Islam. Karena ulama pada abad ke IV ini tidak memiliki

kecenderungan untuk bertaqlîd murni kepada satu madzhab saja, hal ini

92

disebabkan sudah mulai dirintis kegiatan takhrîj. Sementara itu, keadaan

orang awam tidak pula bertaqlîd buta ketika mereka menghadapi suatu

permasalahan. Mereka belajar tata cara berwudlu, sholat, mandi dan

masalah keagamaan lain kepada orang tua mereka ataupun tokoh-tokoh

setempat. Jika terdapat peristiwa ganjil, maka yang mereka lakukan adalah

langsung bertanya kepada mufti tanpa memandang madzhab mufti

tersebut.

Memasuki abad ke empat hijriah dan setelah, seiring dengan

berkembangnya madzhab, maka terjadi peristiwa-peristiwa yang dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

a. Perdebatan dan perselisihan dalam ilmu fiqih

Perselisihan ini berawal dari kecenderungan ulama terhadap

penguasa. Pada awalnya, para ulama adalah seorang yang mandiri dan

bebas. Ahli fiqih menjadi tumpuan para penguasa untuk meminta

fatwa hukum guna mengatasi segala permasalahan hukum yang di

hadapi. Namun demikian, tidak semua ulama ahli fiqih tertarik pada

kedudukan terhormat di lingkungan penguasa, beberapa di antara

mereka ada yang masih teguh dengan kebebasan dan kemandiriannya

dalam melakukan ijtihad tanpa di pengaruhi kepentingan penguasa.

Perdebatan masalah keagamaan sudah ada yaitu pada

persoalan ilmu kalam. Namun demikian, karena ilmu kalam tidak

memiliki peran strategis sebagai sarana untuk pembenaran

kepentingan penguasa, maka perdebatan itu kemudian menyentuh

93

kepada cabang ilmu agama yang lebih strategis untuk dijadikan alat

kepentingan kekuasaan. Fiqih memiliki peran besar dalam kekuasaan,

sehingga perdebatan tetang fiqih menjadi keniscayaan.

Semua imam madzhab memiliki keutamaan dan kelebihan

masing-masing. Hasil ijtihad yang dilakukan mereka memiliki dasar

yang kuat berdasarkan sumber-sumber hukum Islam yang utama,

yaitu al-Qur‟an dan Sunnah. Perbedaan metodologi para Imam

madzhab sesungguhnya tidak mendudukan mereka pada ”siapa yang

lebih unggul”. Namun, hal ini bisa terjadi tatkala membawa perbedaan

tersebut ke dalam wilayah politik. Ilmu kalam yang sedianya menjadi

inti perbedaan dan peselisihan, kini beralih kepada fiqih. Umat Islam

tidak lagi membahas masalah ilmu kalam, tetapi hanya menekuni

masalah khilafiyah antara as-Syafi‟î dan Abu Hanîfah. Bahkan, lebih

tragisnya mereka meremehkan pendapat Ahmad Ibn Hanbal, Sufyān,

Mālik dan madzhab lainnya.

Menurut Syāh Walî Allāh (1986: 88) menyatakan bahwa

perbedaan itu disebabkan oleh prinsip-prinsip yang mereka bangun

sendiri, terutama ketika mereka membandingkan antara as-Syafi‟i dan

Abu Hanifah. Lebih jauh Syāh Walî Allāh menyatakan :

”Menurut saya, pendapat yang menyatakan bahwa yang khāṣ

(nash yang bersifat khusus) adalah mubayyan (sehingga tidak

lagi menerima penjelasan); bahwa ziyādah (tambahan)

merupakan nasîkh (penghapus hukum sebelumnya); bahwa ’ām

(nash yang bersifat umum) adalah suatu nash yang qath’î seperti

halnya khāṣ ; bahwa tidak ada tarjîh lantaran banyaknya

perawi; bahwa tidak wajib mengamalkan hadits dari perawi

yang tidak ahli fiqih kalau kesempatan berpendapat tertutup;

94

bahwa syarat dan sifat tidak perlu dipertimbangkan sama sekali;

dan bahwa nada perintah (amr) hanya berkonsekuensi pada

adanya kewajiban dan contoh-contoh lainnya adalah prinsip-

prinsip yang mereka simpulkan sendiri dari perkataan imam.

Tidak ada riwayat kuat yang mengatakan bahwa prinsip-prinsip

itu disampaikan Abu Hanîfah dan para muridnya. Menjaga dan

berpegang pada prinsip-prinsip tersebut untuk menjawab sebuah

pertanyaan bukanlah hal yang dilakukan ulama-ulama terdahulu

dalam ber-istinbāṭ ”

Pernyataan Syāh Walî Allāh menunjukan bahwa sesungguhnya

perbedaan itu terjadi justru bukan dilakukan oleh para imam madzhab,

melainkan oleh orang-orang yang berusaha untuk mengetahui

metodologi istinbāṭ para imam madzhab. Namun demikian, hasil

usaha tersebut di kemudian hari menjadi semacam prinsip-prinsip

atau kaidah-kaidah semakin bias dipahami oleh umat Islam. Pada

akhirnya, secara tidak sadar hal itu menyebabkan terjadinya

perselisihan.

b. Berkembangnya Taqlîd

Pada masa ini40

umat Islam merasa puas dengan hanya

bertaqlîd saja, tanpa melakukan kritik atau penelaahan lebih dalam

atas pendapat para ulama fiqih. Menurut Syāh Walî Allāh (1986: 93-

6) terdapat beberapa hal yang menyebabkan rasa puas hanya dengan

bertaqlîd, antara lain:

1) Persaingan dan perbenturan di antara sesama ulama fiqih.

Persaingan ini terjadi dalam hal fatwa, setiap terjadi persaingan

40

Pada periode ini, ulama yang tidak tergolong sebagai mujtahid dikenal dengan sebutan

faqihi dan para generasi ini pula mulai muncul benih-benih kefanatikan. Sebenarnya, kebanyakan

perselisihan yang terjadi antara ulama fiqih hanyalah dalam mentakhrîj satu dari dua pendapat.

(Syāh Walî Allāh, 1986: 94)

95

fatwa di kalangan mereka, maka setiap orang yang berfatwa akan

ditentang dan ditolak oleh orang lain.

2) Penyelewengan para hakim

3) Kebodohan para pemimpin dan masyarakat yang terkadang

meminta fatwa hukum kepada orang yang tidak cakap, tidak

mengetahui hadits dan tata cara takhrîj.

Sebagai upaya untuk memahani syari‟at secara lebih komprehensif,

Syāh Walî Allāh berusaha untuk mengungkap rahasia-rahasia syari‟at. Allah

menurunkan syari‟at pada hakikatnya adalah untuk kebahagiaan manusia itu

sendiri. Allah membebankan kewajiban-kewajiban syari‟at memiliki

hubungan antara perbuatan dan balasan yang disediakan-Nya untuk manusia.

Maka, setiap tindakan manusia dinilai sesuai dengan niatnya dan gejalan

psikologis yang mendasari setiap tindakan.

Lebih jauh Syāh Walî Allāh (2005: 53-4) menjelaskan bahwa

sesungguhnya pembebanan kewajiban-kewajiban agama memiliki makna

batin. Ia mendasarkan pada surat al-Ahzāb 33: 72-73.

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,

bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul

amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan

dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat

96

zalim dan Amat bodoh. Sehingga Allah mengazab orang-orang

munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki

dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang

mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang”

Kata “amanat” dalam ayat tersebut adalah penerimaan komitmen untuk

mentaati perintah-perintah Allah yang meniscayakan mereka41

untuk

menghadapi risiko pahala dan hukuman berdasarkan ketaatan dan

kemaksiatan mereka. Dengan ditawarkannya amanat kepada mereka berarti

kemampuan mereka telah diperhitungkan dan mereka wajar menolak karena

merasa tidak layak dan tidak memiliki kapasitas untuk memikulnya.

Selanjutnya, bahwa kalimat “ia dholim dan bodoh” yang terdapat dalam

firman Allah di atas menurut Syāh Walî Allāh berfungsi sebagai penjelas,

karena seorang yang dholim sama dengan orang yang tidak adil, sedangkan

manusia dibebani kewajiban untuk berbuat adil, dan orang yang bodoh adalah

orang yang tidak berilmu, padahal manusia harus memiliki pengetahuan.

Malaikat dan binatang adalah makhluk Allah yang lain yang tidak dibebani

tugas ini. Hanya manusia yang layak menerima beban kewajiban-kewajiban

agama dan memiliki kapasitas untuk melakukannya karena manusia memiliki

kesempurnaan potensi. Kesempurnaan potensi tersebut ialah potensi

kemalaikatan dan potensi kebinatangan. Potensi kemalaikatan berkembang

dari emanasi ruh yang dikhususkan bagi manusia ke dalam ruh alamiah (ar-

rūh al-thabi’iyyah) yang mengalir ke seluruh tubuh dan tubuh itu menerima

emanasi tersebut dan tunduk kepadanya. Sedangkan potensi kebinatangan (al-

41

Langit, bumi dan sebagainya.

97

nafs al-hayawaniyah) berkembang dari jiwa hewani yang umum dimiliki

binatang.

Bagi umat Islam, Allah mewajibkan sholat, ibadah haji, puasa, zakat

dan kewajiban-kewajiban lainnya. Kewajiban-kewajiban tersebut memiliki

makna batin yang bertujuan untuk kebahagiaan dan kemaslahatan bagi umat

Islam itu sendiri. Rahasia ibadah haji disyari‟atkan adalah agar manusia

menghomati simbol-simbol Allah, sebagaimana firman Allah swt:

”sesungguhnya rumah yang pertama-tama dibangun untuk manusia

adalah di Bakkah al-Mukarromah” (Q.S Ali Imran 3: 96)

Hukum-hukum yang diterapkan dalam transaksi ekonomi (mu’āmalah) dan

lembaga perkawinan disyari‟atkan untuk menciptakan keadilan di antara

manusia. Demikian juga puasa diwajibkan dengan tujuan agar setiap muslim

menyadari kerendahan dirinya dan agar mereka senantiasa menudukkan jiwa,

sebagaimana firman Allah:

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu

menyucikan dirimu sendiri” (Q.S al Baqarah 2: 183)

Setiap kewajiban-kewajiban agama memiliki makna batin yang kadangkala

dijelaskan secara langsung oleh Nabi, kadangkala harus digali sendiri melalui

98

pemahaman yang mendalam. Kewajiban sholat dzuhur sebanyak empat

roka‟at memiliki makna batin sebagaimana dijelaskan oleh Nabi.

إب عبعخ تغتح فب أثاة اىغبء, فأحت أ صعذ ى فب عو

)سا اىتشز( صبىح

”Sholat dzuhur adalah waktu ketika pintu-pintu langit dibuka dan aku

menyukai jika perbuatan-perbuatan baik yang aku lakukan naik ke

langit pada waktu itu” 42

Nabi menjelaskan berbagai sebab lain dan hikmah yang terkandung dalam

berbagai kewajiban-kewajiban agama. Misalnya, tentang membasuh hidung

ketika berwudlu. Ketentuan membasuh hidung pada saat berwudlu ini ada

kaitanya dengan aktifitas tidur seseorang. Ketika seseorang tertidur, ia tidak

mengetahui apa yang ia sentuh, dan bahwa hidung adalah tempat bersemayam

setan ketika seseorang tengah terlelap tidur. Begitu juga larangan Nabi

tentang berhubungan seks ketika sedang haid karena akan membahayakan

bagi anak. (Syāh Walî Allāh, 2005: 27-8). Masih banyak kewajiban-

kewajiban Agama yang telah ditetapkan oleh Allah dengan makna batin

masing-masing.

Mencari sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dalam memahami

teks syar‟i dan mencari makna batin yang terdapat dalam ketentuan syari‟at

merupakan metode Syāh Walî Allāh untuk melakukan istinbāṭ al ahkām.

Untuk menyikapi hadits-hadits yang berbeda, Syāh Walî Allāh menggariskan

bahwa prinsip dasar yang digunakan adalah berusaha mengamalkan semua

42

Teks hadits tentang hal ini terdapat dalam sunan at-Tirmidzi I, hal. 297, no. 476 (bab

mengenai shalat tengah hari)

99

hadits kecuali jika terdapat pertentangan yang menghalangi pengamalan

hadits-hadits tersebut.

Pada dasarnya tidak mungkin ada pertentangan antara hadits-hadits

kecuali dari sudut pandang kita. Dengan demikian, jika ada dua hadits yang

tampaknya bertentang tentang suatu perbuatan Nabi, misalnya seorang

sahabat mengatakan bahwa Nabi saw. mengerjakan sesuatu dan sahabat lain

mengatakan bahwa Nabi saw. mengerjakan sesuatu yang lain, maka

sesungguhnya tidak ada pertentang antara keduanya. Kedua perbuatan

tersebut bisa dianggap sebagai perbuatan yang dibolehkan, yakni jika

keduanya termasuk kebiasaan umum dan tidak berkaitan dengan ajaran

agama. Pemahaman lain, bisa jadi bahwa salah satu dari kedua perbuatan itu

dianjurkan (mustahab) sedangkan yang lain kebolehan (mubāh), karena

perbuatan pertama menghasilkan kedekatan kepada Allah sedangkan yang

kedua tidak. Jika keduanya termasuk perbuatan ibadah, maka salah satu

perbuatan itu mungkin dianjurkan (nadb) atau diwajibkan dan perbuatan

lainnya termasuk pelengkap atau penyempurna bagi perbuatan lain (Syāh

Walî Allāh, 2005: 238).

Mengenai kemungkinan-kemungkinan ketentuan yang terdapat di

dalam suatu hadits, Syāh Walî Allāh (2005: 238) menyatakan:

”Para penghafal hadits di antara para sahabat telah membuat

pernyataan-pernyataan seperti itu mengenai berbagai tradisi Nabi,

seperti kebiasaannya mengerjakan sholat witir sebelas, sembilan atau

tujuh roka‟at; dan kebiasaannya mengerjakan sholat tahajud baik

dengan bacaan yang keras atau pelan. Berdasarkan prinsip-prinsip ini,

kita bisa memasukkan, sebagai contoh, masalah mengangkat tangan

dalam sholat, apakah setinggi telinga atau setinggi bahu, juga tentang

cara membaca tasyahud yang diriwayatkan dari ‟Umar, Ibn Mas‟ūd

100

dan Ibn ‟Abbās, juga mengenai sholat witir, apakah satu atau tiga

rokaat, dan mengenai do‟a iftitāh pada awal sholat dan do‟a doa di

pagi hari dan malam hari, serta ketetapan-ketetapan lainnya tentang

sebab-sebab dan waktu. Lalu jika memang terdapat dua buah hadits

(yang jelas-jelas bertentangan), maka bisa jadi bahwa kedua hadits itu

menunjukkan cara untuk mengatasi beberapa kesulitan jika didahului

oleh suatu kasus yang mengakibatkan (kesulitan) ini, seperti sifat-sifat

khusus kafarah dan besarnya pajak bagi orang yang memerangi

(Agama Allah) yang disebutkan dalam tradisi Nabi”

Pernyataan di atas menunjukan bahwa ketentuan hukum yang terdapat di

dalam suatu teks syar‟i memiliki banyak kemungkinan. Suatu atau dua teks

syar‟i tidak hanya dipahami berdasarkan apa yang tersurat saja, namun juga

harus mencari munāsabah (korelasi) dengan teks yang lain. Bisa jadi terdapat

alasan tersembunyi yang menggolongkan suatu perbuatan sebagai wajib atau

sunnah atau salah satu perbuatan dilakukan untuk suatu waktu dan perbuatan

lain untuk waktu yang lain, atau bahwa suatu kejadian mewajibkan sesuatu

sedangkan kejadian lain memberikan keringanan, sehingga untuk

memahaminya harus dipelajari secara mendalam.

Dengan demikian, maka terhadap hadits-hadits yang berbeda, dapat

pula diputuskan bahwa salah satu hadits dapat menunjukkan suatu peraturan

yang ditetapkan secara pasti (’azîmah), artinya bahwa kekuatan syari‟at

tampak jelas, sedangkan hadits lainnya dapat menunjukkan keringanan

(rukhṣ ah), yang dalam hal ini syari‟at mempertimbangkan adanya kesulitan.

Adapun cara-cara untuk menghadapi hadits-hadits yang berbeda

adalah dengan mereduksi setiap hadits ke dalam satu pola jika alasan

penetapan keduanya mengindikasikan ’illah yang jelas dan relevansinya

(dengan hukum) membuktikannya. Setelah itu, kedua hadits itu ditafsirkan

101

sebagai hadits yang memakruhkan suatu perbuatan atau menunjukkan

kebolehan sesuatu, dengan cara yang umum, jika hal itu mungkin dilakukan

atau ditafsirkan bahwa penekanan dalam hadits itu berfungsi sebagai faktor

pencegah jika hal ini telah didahului oleh perselisihan (Syāh Walî Allāh

(2005: 239).

Jika dua hadits termasuk dalam ruang lingkup fatwa (rekomendasi

hukum) mengenai suatu masalah, atau keputusan mengenai kasus tertentu dan

jika alasan hukumnya tampak jelas, sehingga bisa dibedakan keduanya, maka

keputusan yang diambil harus dibuat sesuai dengan alasan hukum (’illah)

tersebut. Misalnya, pertanyaan seorang pemuda kepada Nabi saw. mengenai

mencium (wanita) saat berpuasa dan Nabi saw. tidak melarangnya. Dalam

hadits lain, seorang tua bertanya mengenai hal yang sama dan Nabi saw.

melarangnya. Jika konteks salah satu hadits itu menunjukkan adanya

kebutuhan atau tuntutan terus menerus dari pihak penanya, atau

menggambarkan keinginan untuk mengurangi kesempurnaan suatu perbuatan,

atau sebagai pencegahan bagi seseorang yang bersikap terlalu keras pada

dirinya sendiri, maka keputusan yang diambil bisa didasarkan atas prinsip

penafsiran yang tegas (’azîmah) atau prinsip keringanan hukum (rukhṣ ah)43

(Syāh Walî Allāh (2005: 239).

Dapat pula ditemukan ada dua hadits yang mengemukakan solusi

kepada seseorang yang sedang berada dalam kesulitan, atau menunjukkan dua

hukuman bagi suatu kejahatan, atau dua macam kafarah bagi orang yang

43

Penafsiran tegas (’azîmah) menunjukkan adanya larangan tegas mencium, sedangkan

prinsip keringanan hukum (rukhṣ ah) membolehkan mencium.

102

melanggar sumpah, maka kedua hadits itu bisa dianggap shahih dan

keshahihan keduanya pun bisa dibatalkan. Berdasarkan prinsip inilah

persoalan tentang seorang wanita yang masa haidnya berlangsung lama

diputuskan. Kadang-kadang diputuskan bahwa ia harus mandi besar di antara

dua sholat dan kadang-kadang ia harus menghitung masa haid terakhir

sebagai standar lamanya haid untuk dirinya, atau riwayat yang lain

menjadikan hari-hari ketika darah keluar sangat banyak sebagai standar waktu

haid seseorang. Ia dapat memilih di antara kedua ketetapan itu, karena

lamanya haid yang biasa dialami dan karakter darah merupakan tanda-tanda

umum yang menunjukkan menstruasi (Syāh Walî Allāh (2005: 239).

Pada kasus lain, dapat ditemukan dua hadits yang tidak mungkin

dilakukan kompromi atau untuk saling menjelaskan satu sama lain. Hal ini

bisa disebabkan karena tidak ada salah satu hadits yang membatalkan atas

hadits yang lainnya. Maka, langkah-langkah yang ditempuh adalah memilih

salah satu hadits tersebut, baik dengan meneliti kualitas sanadnya, intuisi

hukum para perawinya, kekuatan mata rantai sanad kepada Nabi saw.,

keterlibatan para perawi di dalam masalah itu, atau dengan meneliti kualitas

matannya, seperti ketegasan dan kejelasannya, meneliti kesesuaian hukum itu

dan alasan pensyari‟atannya dengan syari‟at ilahi. Kemudian melihat

relevansi kekuatan alasan hukumnya dengan hukum-hukum yang

keefektifannya telah diakui, atau dengan melihat faktor luar misalnya hadits

103

tersebut diterima oleh lebih banyak orang yang berilmu44

(Syāh Walî Allāh

(2005: 239).

Beberapa penjelasan di atas menujukkan metode-metode Syāh Walî

Allāh dalam melakukan penggalian hukum yang bersumber dari hadits-

hadits.45

Metode-metode tersebut memiliki nuansa konsistensi dan

eklektisisme yang sangat kuat dalam menyikapi hadist-hadits yang berbeda.

Konsistensi ini ditunjukan dengan sikap Syāh Walî Allāh yang sangat kuat

dalam membela hadits-hadits Nabi saw., sedangkan eklektisisme ditunjukkan

pada sikapnya yang selalu berusaha untuk mengkompromikan dan menerima

hadits-hadits meskipun memiliki nuansa tendesi hukum yang berbeda-beda

dalam satu masalah.

Selanjutnya, Syāh Walî Allāh menyatakan bahwa sebab terjadinya

terhadap perbedaan pendapat dalam persoalan furu’iyyah ialah karena

perbedaan metode ijtihad. Perbedaan ini tidak hanya terjadi di kalangan

ulama abad IV Hijriyah, akan tetapi telah terjadi jauh pada masa sahabat dan

tabi‟in. Ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi‟in memiliki cara

yang berbeda dan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Ijtihad dilakukan dengan cara meneliti hadits-hadits Nabi saw., sehingga

ketetapan yang diperoleh sesuai dengan hadits.

44

Sangat dimungkinkan bahwa usaha untuk menemukan kualitas hadits atas dua hadits

yang bertentang dari berbagai segi tidak menghasilkan apapun. Jika demikian, jika terdapat

kontradiksi hadits yang tidak dapat dipertemukan atau diselesaikan dengan berbagai cara, kedua

hadits tersebut dianggatp tidak memiliki kekuatan. 45

Dalam hal hadits Syāh Walî Allāh sangat concern terhadap kitab al-muwaṭ ṭ a’ karya

Imam malik. Ia menyatakan”Imam Malik adalah orang yang paling menguasai dan terpercaya

dalam hal hadits-hadits ahli Madinah dengan sanad dari Rasulullah” (1986: 38).

104

2. Sangat mungkin muncul suatu masalah yang diperselisihkan oleh dua

sahabat, kemudian mereka menemukan hadits yang tingkat keshahihannya

cukup tinggi, sehingga salah seorang di antara mereka mencabut hasil

ijtihadnya.

3. Memegang hasil ijtihadnya sendiri dikarenakan hadits yang ditemukan

diragukan keshahihannya.

4. Dalam menetapkan sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi saw, ada yang

menafsirkannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah

(qurbah), dan ada yang menganggapnya sebagai perbuatan biasa (mubāh).

Pendapat para sahabat Nabi berbeda-beda dan setiap tabi‟in

mempelajari apa-apa yang mereka dapatkan dari para sahabat dengan cara-

cara tersebut. Aktifitas yang dilakukan oleh para tabi‟in ialah menghafal

hadits-hadits Nabi saw. dan pendapat para sahabat yang mereka dengar dan

mereka pikirkan, menggabungkan sumber-sumber yang berbeda-beda lalu

memilih beberapa pendapat untuk dijadikan pegangan. Demikian juga

perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama madzhab menjadi perhatian

Syāh Walî Allāh.

Sumber hukum Islam secara garis besar terdapat pada tiga entitas

yaitu al-Qur‟an, Sunnah dan ijtihad (dengan berbagai bentuknya). Perbedaan

pendapat terjadi pada entitas yang ketiga yaitu ijtihad. Ketika seorang ulama

melakukan ijtihad dengan bersumber pada al-Qur‟an dan Sunnah, belum tentu

menghasilkan keputusan yang sama. Ijtihad ulama ahli hadits akan berbeda

dengan ahli ra’yu. Ahli hadits lebih banyak berijtihad dengan meneliti hadits-

105

hadits yang dikumpulkannya, sedangkan ahli ra’yu akan melakukan takhrîj

berdasarkan prinsip yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, dalam hal ini

biasanya mereka membadingkan masalah-masalah yang sepadan dan

mengembalikannya pada satu prinsip tertentu tanpa meneliti hadits dan ātsar

yang berkaitan dengan masalah tersebut. Kompromi atas berbagai perbedaan

pendapat menjadi jalan tengah yang di tawarkan Syāh Walî Allāh (1986:61)

untuk menjawab berbagai persoalan. Boleh jadi hasil istinbāṭ ahkām antara

ahli hadits dengan ahli ra’yu (imam mujtahid/ ulama fiqih) berbeda, padahal

masing-masing memiliki dasar yang kokoh, oleh karena itu yang perlu

dilakukan dalam hal ini adalah dengan melakukan kompromi, mencocokkan

satu dengan yang lainnya, atau melengkapi kekurangan antara satu dengan

yang lainnya.

Determinasi Syāh Walî Allāh dalam menunjukkan sebab-sebab yang

terjadi di kalangan umat Islam dari baik pada masa sahabat, tabi‟in dan ulama

madzhab ini mengandung maksud bahwa sesungguhnya Syāh Walî Allāh

ingin menegaskan bahwa dalam ranah furu’iyyah yang didalamnya terkadung

tujuan syari‟at demi kemaslahan umat, ijtihad harus senantiasa dilakukan

sejalan dengan perkembangan jaman. Sikap ini tercermin dalam

pemikirannya mengenai hadits yang menyatakan bahwa eksistensi hadis

sangat penting, sebab seseorang tidak akan bisa mengetahui syariat dan

hukum-hukum Allah kecuali melalui hadis Nabi. Maka, untuk dapat

mengetahui syari‟at dan hukum Allah, ia membagi hadits ke dalam dua

kategori, yaitu risālah dan ghairu risālah.

106

Kategori pertama (risālah), yaitu hadis yang disampaikan dengan

jalan risalah (mā sabīluhū sabīlu tablīgh al-Risālah). Hadits ini muncul dari

diri Nabi sebagai pembawa risalah dan harus ditaati. Sebab bisa dikatakan

bahwa apa yang diterima Nabi pada kedudukan tersebut merupakan wahyu

atau juga ijtihad Nabi atas bimbingan wahyu. Adapun dasar yang dipakai

dalam merumuskan hal tersebut adalah QS. al-Hasyr ayat 7.

ب اتن اىشعه فخز ب ن ع فتا

“Apa yang diberikan Nabi kepadamu maka ambillah, dan apa yang ia

larang maka jauhilah” (QS. Al-Hasyr ayat 7)

Ada pun menurut Syāh Walî Allāh (2005: 223-4) jenis hadis yang masuk

dalam kategori risālah adalah sebagai berikut:

1. Ilmu-ilmu tentang hari akhirat dan keajaiban-keajaiban yang tidak dapat

dicapai oleh manusia biasa. Semua hal ini berdasarkan wahyu dari Allah.

2. Aturan-aturan syariat, batasan-batasan ibadah, dan masalah-masalah

irtifāqāt (peradaban manusia). Sebagian dari hal yang disebutkan

merupakan hasil wahyu yang diberikan Allah. Sementara sebagian yang

lain adalah hasil ijtihad Nabi Muhammad yang setingkat dengan wahyu,

sebab Allah melindungi beliau dari pemikiran yang salah.

3. Kebijakan-kebijakan praksis (hikam mursalah) dan kemaslahatan mutlak

yang Nabi tidak menetapkannya untuk waktu tertentu dan tidak pula

menentukan batasannya, seperti penjelasan Nabi tentang yang baik dan

buruk. Hal ini termasuk ijtihad Nabi, akan tetapi Allah sebelumnya telah

107

memberikan prinsip-prinsip irtifāqāt atau bisa dikatakan berdasarkan

bimbingan wahyu. Seperti penjelasan tentang baik dan buruk.

4. Keutamaan-keutamaan perbuatan dan sifat-sifat istimewa dari orang yang

berbuat kebajikan. Menurut Syāh Walî Allāh, sebagian dari hal ini

berdasar pada wahyu dan sebagian lainnya berdasarkan pada ijtihad Nabi.

Kategori kedua (ghairu risālah) adalah hadis yang tidak termasuk

dalam jalan penyampaian risalah (mā laisa min bāb tablīgh al-Risālah). Jika

Nabi saw. berada dalam posisi ini, maka tidak wajib ditaati, sebab

kapasitasnya adaah sebagai manusia biasa. Pengetahuan yang dimiliki Nabi

saw diperoleh melalui pengalaman. Syāh Walî Allāh menyandarkan

pendapatnya ini pada dua hadits Nabi saw.:

سأ ء ثش شتن إرا أ فخزا ث دن ء ثش شتن ب ثشش إرا أ ب أ إ

ب أ شلفئ ى فضت ف عقش زا قبه اى ح خ أ ب ثشش قبه عنش

“Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintah kalian dalam

urusan agama maka ambillah, dan jika aku memerintah sesuatu

menurut pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku hanyalah

manusia biasa.”46

اىي ع إرا حذثتن ىن ت ظب فيب تؤاخز ثبىظ ب ظ فئ إ

جو عض أمزة عي اىي فئ ى ئب فخزا ث ش

“Aku hanya membuat perkiraan, maka jangan kalian mencelaku

dengan pendapatku ini. Namun, jika aku memberitahumu tentang

sesuatu mengenai Allah, maka terimalah. Sebab aku tidak akan pernah

berdusta mengenai Allah Azza wa Jalla”47

46

Hadist ini penulis temukan di dalam buku Mirqāh al-Mafātîh Syarh Misykāh al-

Maṣ ābîh karya Ali Ibn Sulṭ an Muhammad al-Qārî, Beirut: Dār al-Fikr, 2002. Hadits ke 147. 47

Terdapat dalam Ṣ aḫ îh Muslim bi Syarh Nawawî, Kairo: Dār al-Khoir, 1996, hlm. 503.

108

Menurut Syāh Walî Allāh (2005:224), yang termasuk dalam kategori

ini adalah:

1. Ilmu-ilmu tentang pengobatan (medis), misalnya bekam.

2. Ilmu-ilmu yang didapatkan melalui pengalaman.

3. Segala hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan Nabi saw. dan bukan

masalah ibadah (ritual keagamaan), misalnya cara tidur Nabi saw.

4. Berbagai topik yang biasa Nabi bicarakan layaknya pembicaraan orang

kebanyakan, misalnya obrolan Zaid bin Tsābit dengan Nabi saw. tentang

makanan.

5. Segala hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya

juz’iyyah (temporal) dan bukan sebagai kebijakan yang berlaku selamanya

bagi seluruh umat, seperti hadis tentang ramal.

Ketika melakukan istinbāṭ al-ahkām, Syāh Walî Allāh senantiasa

mencari petunjuk-petunjuk lain yang terdapat di dalam hadits. Menurutnya,

bahwa ketika Nabi saw memahami alasan bagi suatu rangkaian perkataan

dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan tidak ada orang lain yang dalam

memahaminya selain diri Nabi karena bagitu halusnya ungkapan-ungkapan

yang digunakan dalam ayat-ayat itu dan sangat mungkin memunculkan

berbagai penafsiran, maka Nabi saw. memiliki kebebasan untuk menetapkan

hukum sesuai dengan pemahamannya. Sebagaimana terungkap dalam firman

Allah:

(751إ اىصفب اىشح شعبئش اهلل )اىجقشح:

109

Menurutnya, ayat tersebut di atas dipahami oleh Nabi bahwa al-ṣ afā harus

didahulukan dari pada al-marwā karena ada persesuaian. Sehingga

memunculkan pernyataan Nabi “Mulailah dengan apa-apa yang telah dimulai

oleh Allah”.

Kemudian firman Allah:

(71التغجذا ىيشظ ال ىيقش اعجذا هلل اىز خيق )فصيت:

(17فيب أفو قبه ال أحت األفي )األعب:

Kedua ayat di atas memiliki munāsabah yang berkaitan dengan anjuran untuk

melakukan sholat gerhana matahari dan gerhana bulan.

Sedangkan firman Allah:

(775)اىجقشح:هلل اىششق اىغشة

Ayat di atas dijadikan sebagai dasar kebolehan menghadap selain arah Kiblat

jika dalam keadaan darurat. Menurutnya, bahwa Nabi menetapkan

menghadap Kiblat merupakan kewajiban yang dapat dibebaskan bagi

seseorang dalam keadaan darurat. Misalnya, seseorang yang mencari arah

Kiblat pada malam hari yang gelap sehingga ia mungkin melakukan

kesalahan dan mengerjakan sholat dengan menghadap ke arah yang berbeda.

Syāh Walî Allāh mengangkat beberapa masalah furu’iyah dan

kemudian menetapkan solusinya. Tentang pengucapan takbir pada hari-hari

tasyrîq 48

, bilangan takbir pada sholat hari raya,49

pernikahan seseorang yang

48

Hari-hari tasyrîq ialah tiga hari setelah hari raya kurban. Pada hari-hari tersebut kalimat

Allahu Akbar diucapkan dengan keras dalam berbagai zikir. Para pengikut Hanafî dan Syafi‟î

menganggap perbuatan tersebut sebagai sunnah (dianjurkan). Para Malikî menganggapnya sebagai

anjuran (mandūb). (Al Jaziri, :355-357).

110

sedang melakukan ihrām,50

cara melakukan tasyāhud dan sebagainya.

Menurutnya, cara yang benar untuk menetapkan hukumnya adalah memilih

salah satu di antara kedua pendapat yang berbeda. Menurutnya, bahwa dalam

hal pensyari‟atan tidak terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat

lebih berkaitan dengan mana yang lebih benar. (2005:269). Berbeda dengan

masalah hukum ziarah kubur, Syāh Walî Allāh berpendapat bahwa ziarah

kubur yang tujuannya diluar ketentuan syar‟i seperti meminta terpenuhi

segala kebutuhannya jelas keharamannya, dan hal ini tidak ada perbedaan

pendapat sama sekali di kalangan ulama (1936: 45).

Sebagian kelompok membuat prinsip bahwa yang khāṣ (nash yang

bersifat khusus) adalah mubayyan (tidak menerima lagi penjelasan). Prinsip

ini tidak diterima oleh Syāh Walî Allāh.51

Dengan memegang prinsip ini,

maka ketika mereka mentakhrîj tindakan orang terdahulu dalam mengerjakan

sholat, sehubungan dengan firman Allah surat al-Hajj ayat 77:

49

Orang Kuffah biasa menambahkan kalimat takbir sampai tiga kali dalam setiap rakaat

sholat dan orang Madinah sampai tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat

kedua. Muṣ āffā, I, hlm. 178. Ini dapat dilihat dalam Hujjatullāh al-Bāliġah, II, Bab “Dua Hari

Raya”. Al-Syafi‟î juga mengatakan bahwa takbir harus diucapkan dengan keras dalam Idul Fitri,

sedangkan Abū Hanîfah tidak. 50

Ini tidak sah menurut al- Syafi‟î dan jumhur ulama, namun Abū Hanîfah

membolehkannya karena percaya bahwa Nabi Muhammad menikahi Maimunah pada waktu itu.

Syāh Walî Allāh cenderung pada pendapat untuk tidak mengumumkan pernikahan (Syāh Walî

Allāh, II, 2005: 59). 51

Prinsip tersebut dibuat oleh para pengikut Imam Abu Hanifah, meskipun Imam Abu

Hanifah sendiri tidak pernah mengatakan bahwa yang khāṣ adalah mubayyan. Prinsip tersebut

dibangun berdasarkan pemahaman para pengikutnya (Syāh Walî Allāh, 1986:89)

111

”Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu

mendapat kemenangan”.

Juga hadits Nabi:

ال تجضا صالح اىشجو حت ق ظش ف اىشمع اىغجد

“Tidah sah sholat seseorang sehingga meluruskan punggungnya dalam

ruku‟ dan sujud”

Berdasarkan prinsip yang khāṣ adalah mubayyan tersebut, mereka tidak

mewajibkan ṭ uma’ninah dalam ruku‟ dan sujud, sebab tidak menjadikan

hadits di atas sebagai penjelas dari surat al-Hajj. Bagi Syāh Walî Allāh, hadits

tersebut merupakan penjelas dari surat al-Hajj, oleh karena itu, ṭ uma’ninah

diwajibkan dalam ruku‟ dan sujud (Syāh Walî Allāh, 1986: 89).

Prinsip lain yang ditentang Syāh Walî Allāh adalah statemen bahwa

nash yang ‟ām adalah qath’î. Contoh penerapan prinsip ini ketika mentakhrîj

surat al-Muzammil ayat 20:

“...karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran..”

Jika memahami ayat ini dengan prinsip nash yang ‟ām adalah qath’î, maka

dalam ibadah sholat tidak diwajibkan membaca surat al-fātihah. Padahal ada

hadits Nabi yang menjelaskan kewajiban membaca surat al-fātihah di dalam

sholah.

ثفبتحخ اىنتبة )سا اىتشز( الصالح إال

“tidak sah shalat, kecuali dengan membaca surat al-fātihah”

112

Prinsip-prinsip dalam melakukan istinbāṭ al-ahkām yang dibangun

oleh Syāh Walî Allāh bersifat komprehensif dan kompromistis. Komprehensif

mengandung segala unsur baik sumber yang digunakan maupun metode

pengambilan hukumnya. Sedangkan kompromistis yaitu memadukan

beberapa pendapat yang berbeda kemudian mencari jalan tengah.

Ketika memahami konteks sejarah Islam, Syāh Walî Allāh (1936:13)

juga mendasarkan pemahamannya berdasarkan nash. Sebagai contoh adalah

tentang kekhalifahan, barangkali Syāh Walî Allāh satu-satunya seorang ulama

yang secara jelas mendefinisikan khalifah berdasarkan perannya. Ia membagi

khalifah menjadi dua yaitu khalîfah ẓ āhir dan khalîfah bāṭ in. Khalîfah

ẓ āhir memiliki peran untuk menegakkan jihad, hudūd, jināyah, pajak,

hukum. Peran untuk menegakkan ketentuan-ketentuan tersebut hanya bisa

dilakukan oleh seorang pemimpin yang adil. Khalîfah bāṭ in memikili peran

untuk memberikan pengajaran tentang al-Qur‟an, hikmah, nasehat-nasehat

kebaikan dan penguatan jiwa umat. Peran khalifah yang kedua ini hanya bisa

dilakukan oleh para ulama. Ia mendasarkan pada surat at-Taubah ayat 40:

“.. dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana”

Serta Surat al-Baqarah (2) ayat 129:

113

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan

mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau,

dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Quran) dan al-hikmah

(as-sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang

Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”

Atas dasar pembagian ini, Syāh Walî Allāh mengganggap bahwa setelah

wafatnya Nabi saw. sistem kekhalifahan (dalam konteks kenegaraan) yang

paling ideal adalah masa kekhalifahan empat sahabat. Keempat sahabat

tersebut mampu melaksanakan perannya sebagai khalîfah ẓ ōhir sekaligus

khalîfah bāṭ in.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat analisis bahwa Syāh Walî Allāh

memberikan apresiasi yang sama kepada semua madzhab, meskipun kadang-

kadang kemudian ia melakukan istinbāt sendiri. Apresiasi ini sekaligus

mengindikasikan sikapnya untuk memelihara tradisi. Madzhab-madzhab yang

berkembang merupakan manifestasi dari tradisi itu sendiri. Syāh Walî Allāh

menegaskan bahwa yang mampu memahami syari‟at Allah secara sempurna

hanyalah Nabi Muhammad saw. Setelah wafatnya Nabi, adalah generasi

Sahabat dan tabi‟in yang mampu melakukan penggalian hukum secara baik,

karena masa mereka yang masih dekat dengan masa Nabi. Setelah masa

sahabat dan tabi‟in selesai, munculkan generasi mujtahid yang memiliki

kemampuan dan ilmu untuk melakukan ijtihad dengan metodenya masing-

masing. Perbedaan metode ijtihad ini yang dalam perkembangan selanjutnya

114

menjadi madzhab. Sikap taqlîd yang berlebihan terhadap madzhab

menimbulkan perbedaan dan perselisihan yang berujung pada justifikasi

sepihak. Dalam hal ini Syāh Walî Allāh melakukan kontruksi motode ijtihad

yaitu dengan rekonsiliasi madzhab. Implikasinya, ketika ijtihad dilakukan

petunjuk yang digunakan adalah al-Qur'an, Sunnah dan ijtihad (ijmā’ &

qiyās)52

sebagai dasar menggali hukum. Dalil-dalil umum nash (al-Qur'an,

Sunnah) sebagai rujukan utama, jika terdapat perbedaan maka digunakan

takhṣ îṣ . Kemudian, jika terdapat perbedaan hasil ijtihad diantara para

ulama, maka dilakukan rekonsiliasi dan penelitian antara satu dengan yang

lain dan kemudian dilakukan takhrîj.

52

Syāh Walî Allāh cenderung mengambil pendapat yang menyatakan bahwa setelah al-

Qur‟an dan as-sunnah, ijma‟ dan Qiyas sebagai rujukan untuk menggali hukum Islam (Syāh Walî

Allāh, 1385:3).