a. biografi syāh walî allāheprints.walisongo.ac.id/6757/4/085112006_bab3.pdf · (1131 h/1719 m)...
TRANSCRIPT
39
BAB III
BIOGRAFI SYĀH WALÎ ALLĀH DAN PEMIKIRANNYA TENTANG
IJTIHAD
A. Biografi Syāh Walî Allāh
1. Kelahiran dan Pendidikan
Nama Syāh Walî Allāh Ad-Dihlawî22
begitu dikenal dalam jajaran
para tokoh Pembaru Islam. Nama lengkapnya Ahmad bin „Abdurrahîm
Quṭ buddîn ad-Dihlawî lahir di Delhi, India pada tanggal 4 Syawal 1114
H/21 Pebruari 1703 M dan wafat tanggal 19 Muharram 1176 H/10
Agustus 1762 M ketika pemerintahan Aurangzeb mendekati keruntuhan.
Dia lebih dikenal dengan nana Walî Allāh, hal ini semata-mata diberikan
karena kebaikan dan kesalehan yang dimilikinya. Ayahnya bernama
„Abdurrahîm (1644 – 1718 M) adalah seorang sufi dan teolog ulama yang
cukup masyhur di India. Dia adalah anggota pendiri dan guru dari
Madrasah ar-Rahîmiah di Delhi. Syāh „Abd ar-Rahîm menyusun sebuah
buku tentang hukum Islam yang terkenal, yaitu Fatawa-i-Alamgiri. (Rizvi,
1980:20 & Dahlan, et. al., 1996: 238-239).23
Syāh Walî Allāh menerima pendidikan akademis dan spiritual dari
ayahnya. Perjalanan ilmunya dimulai sejak usia 5 tahun di madrasah ar-
Rahîmiyah yang didirikan dan dipimpin oleh ayahnya. Sejak usia 7 tahun
22
Gelar ad-Dihlawî diberikan karena ia berasal dari Delhi. Sebagian peneliti menyebutnya
ad-Dahlawî. 23
Sebagaimana diakui oleh ad-Dihlawî sendiri bahwa nama Quṭ buddîn yang melekat pada
dirinya adalah ilham ayahnya setelah berziarah ke makam Syaikh Quṭ buddîn al-Bakhtiarî al-
Ka‟kî (w. 1236) seorang sufi di India, murid dari Khajā Mu‟inuddîn seorang pendiri tarekat
Chistia. (Karim, 2003: 96-7). Nasab ayahnya memiliki garis keturunan hingga „Umar Ibn
Khaṭ ṭ āb, khalifah ke-II (581-644 H) dan Ibunya memiliki garis keturunan hingga Mūsā al-
Każîm (w.183/799M), imam ke-7 golongan Syi‟ah Istnā Asy‟ariyah (Dahlan, et. al., 1996:239).
40
ia telah hafal al-Qur‟an 30 Juz dan memperoleh pengetahuan tentang
tafsir, hadis, spiritual, tasawuf,24
filsafat Islam, fiqih, ilmu kalam dan
politik dipelajarinya di madrasah tersebut hingga mencapai usia 16
tahunan. Kecerdasan otak yang dimilikinya membawa pada penguasaan
ilmu-ilmu tersebut dengan baik, sehingga ketika ayahnya meninggal dunia
(1131 H/1719 M) ia mengabdi sebagai tenaga pengajar. Pengabdiannya di
madrasah berlanjut hingga usia 29 tahun meskipun tetap ia melakukan
perjalanan ilmunya di luar India yaitu di Makkah dan Madinah bersamaan
dengan perjalanan hajinya selama 14 bulan hingga ia memperoleh ijazah
dalam bidang hadits (otoritas untuk meriwayatkan hadits) dari gurunya
yang bernama Abu Thahir bin Ibrahim al-Madani seorang ulama Madinah.
Selain al-Madani, ia juga mendapatkan pendidikan dari Taj ad-Din al-Qal‟i
al-Hanafi seorang mufti Mekkah yang telah menghasilkan banyak sajana
di bidang Hadits. Selama tinggal di Makkah bertepatan dengan
pendidikan Muhammad bin Abdul Wahab (1115 H/1703 M – 1201 H/1787
M) dari Najd (Dahlan, et.al., 1996:239, Rizvi, 1980:215, Ahmad,
1992:252).25
Pendidikan yang diperoleh dari ayahnya selama di Madrasah
24
Para wali Allah dan kaum sufi adalah golongan pertama yang berperan besar dalam
menyiarkan agama Islam di India sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah
mereka yang datang ke India. Di antara tokoh sufi yang terkenal adalah Abu Yazîd al-Bustamî (w.
872 M), Syah Sultan Rumî, Syaikh Abu Najîb Suhrawardî (1097-1162M) pendiri tarekat
Suhrawardiyah, Khaja Mu‟inuddîn (datang ke India tahun 1182) pendiri tarekat Chistia, Syaikh
Bahauddîn Zakaria, Syeikh Nuzamuddîn Aulia, Syaikh Fariduddîn Ganj e Shakar (1176-1269 M)
(Karim, 2003: 93-8). Ayah ad-Dihlawî mengikuti beberapa terekat yang berkembang di India
seperti Chistia, Naqsabandiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah dan lainnya. Ad-Dihlawî memperoleh
pendidikan tasawuf melalui jalur tarekat Naqsabandiyah dari ayahnya (Martin, ed. 2003: 730). 25
al-Arba’in adalah buku karya ad-Dihlawî yang berisi kumpulan hadits-hadits yang
diperoleh dari al-Madanî (http://www.al-rashad.com diakses tanggal 12 Mei 2009 jam 09.40
WIB). Ad-Dihlawî hidup sezaman dengan Muhammad Ibn ‟Abdul Wahāb sehingga banyak yang
41
ar-Rahîmiyah tampaknya lebih banyak mempengaruhi pemikiran ad-
Dihlawî di masa depannya, dan tidak menutup kemungkinan bahwa
pendidikan yang diperolehnya selama di Makkah juga turut berperan
dalam pemikirannya terutama dalam bidang fiqih dan hadits.
2. Kondisi Sosial Politik (kronologi menuju masa Syah Walî Allāh)
Tiga kerajaan besar abad pertengahan, selain Shafawiyah dan
Usmaniyah adalah Mughal yang termasuk imperium termuda dan
mengalami kemajuan yang cukup cepat. Imperium Mughal berada di
sebuah kota yang berkawasan di Asia Tengah. Islam diperkenalkan di anak
benua India dalam sebuah bentuk peradaban yang telah berkembang yang
diwarnai dengan budaya pertanian, urbanisasi, dan keagamaan yang
terorganisir secara mapan (Lapidus, 1999:671). Mughal bukanlah
imperium muslim pertama yang berpusat di Delhi-India, sebab
sebelumnya sebagian di daerah ini telah dikuasai oleh dinasti Umayah
pada masa al-Walîd di bawah pimpinan Muhammad Ibn Qāsim. Seperti
diterangkan oleh Mahmudunnasir (1981:163), pada fase disintegrasi,
dinasti Ghaznawi melakukan ekspansi kekuasaan di India dipimpin Sultan
Mahmūd tahun 1020 M, menaklukkan kerajaan Hindu, dan mengislamkan
sebagian masyarakatnya. Setelah dinasti Ghaznawi hancur, muncul dinasti
Khaljî (1296-1316) dan Tughlug (1320-1412) (Nasution, 1988:82).
Setelah kehancuran kesultanan Delhi, Imperium Mughal berdiri di
bawah pimpinan Akbar berusaha membentuk sebuah kultur Islam yang
menganggap pemikiran ad-Dihlawî dipengaruhi oleh Muhammad ‟Abdul Wahāb meskipun tidak
ada bukti bahwa mereka saling mempengaruhi (Dahlan, et.al., 1996:239).
42
didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan bangsa Persia dan bangsa
India, dan puncak dari pergumulan antara identitas Persi-Indian dan
Identitas Islam bagi negara dan masyarakat (Lapidus, 1999: 694). Mulai
dari awal sampai akhir kepemimpinan Akbar, imperium Mughal
mengambil sebuah pengalaman dari kesultanan Delhi sebelumnya,
ekspansi muslim ke wilayah-wilayah anak benua yang luas ini dapat
dilakukan karena ditunjang oleh sekelompok kecil aristrokasi militer dan
kepaduan ideologi dan kulturalnya. Berkat pengalaman-pengalaman masa
lalu, Akbar berusaha untuk menghapuskan perpecahan, menjaga
solidaritas antar muslim, dan untuk mengintegrasikan raja-raja Hindu ke
dalam jajaran elit pemerintahan. Akbar termasuk salah seorang yang
beridentitas muslim dan kosmopolitan, yang di atasnya dibangun bahasa
Persia dan India, kepustakaan dan seni, semua membentuk peradaban
Islam India yang baru (Ibid:677-8). Berbeda dengan sistem kesultanan
sebelumnya, imperium Mughal di bawah pemerintahan Akbar
mengembangkan sistem yang bersifat terbuka, dan mengehendaki
keterlibatan politik dengan raja-raja Hindu lokal. Keinginan Akbar ini
terkabul dengan mengintegrasikan dari berbagai unsur agama, budaya, dan
lain sebagainya.
Setelah pemerintahan Akbar berakhir, penguasa selanjutnya
diserahkan kepada putranya yang bernama Nuruddîn Muhammad Jahangir
Padsyah Ghazî (1605-1628 M). Kekuasaan Jahangir mulai diwarnai
dengan insiden kecil oleh beberapa daerah yang tidak mau mengakui
43
kedaulatan kaisar Jahangir. Tetapi Jahangir dapat menyelesaikan dengan
baik, meski ia harus mengambil jalur penumpasan seperti yang pernah
dilakukan ayahnya. Selanjutnya, kekuasaan Jahangir masih mampu
berkembang, khususnya perluasan daerah. Jahangir pernah mencapai
penaklukan daerah yang luar biasa, misalnya penaklukan Kangra. Benteng
Kangra terletak di bukit di sebelah timur laut Punjab. Benteng ini telah
lama menentang kekuasaan Akbar, dan Jahangir mendudukinya setelah 14
bulan mengepungnya. Akan tetapi, penaklukan ini menjadi tidak kekal,
dan orang-orang pegunungan yang suka berperang itu terus berjuang
hingga kematian Jahangir (Mahmudunnasir, 1988:362-365). Setelah
Jahangir meninggal, kekuasaan selanjutnya di teruskan oleh Shah Jahan
(1628-1658 M). Di akhir kekalahan Jahangir melawan Malik Ambar di
Deccan, Syah Jahan banyak dibantu mertuanya, Asaf Khan. Berbagai
upaya dan langkah-langkah strategis telah ditempuh Asaf Khan guna
menyelamatkan menantunya, Syah Jahan.
Kepemimpinan Syah Jahan sebagai pengisi tahta sementara yang
dipermaklumkan sebagai kaisar. Setelah naik tahta, gejolak pemerintahan
mulai terombang-ambing oleh beberapa daerah yang tidak sepakat
pengangkatan Syah Jahan. Perang perebutan tahta semakin meluas di
mana-mana. Pada tahun 1622 M disintegrasi kekuasaan mulai terjadi di
Kandahar yang dimotori oleh Syah Abbas II. Peperangan juga pernah
terjadi dengan bangsa Portugis, karena semula bangsa itu diberi
keleluasaan hubungan dengan Mughal. Peperangan ini terjadi ketika Jahan
44
tahu bahwa anak-anak warga Hughli Bengala banyak di culik bangsa
Portugis untuk dibaptis masuk agama Kristen. Apalagi orang-orang
Portugis tidak segan-segan melakukan perampokan. Kepemimpinan Syah
Jahan mulai menurun dengan sangat drastis akibat kekalahan yang sering
di alami. Akhirnya sampai pada titik kulminasi bagi Syah Jahan yang
ditandai dengan perebutan tahta yang tak berujung. Dalam bulan
Desember 1657 M Syah Jahan menderita sakit keras, dan semua anak laki-
laki segera terlibat dalam perang sesama saudara untuk merebutkan tahta
(Mahmudunnasir, 1988:365-369).
Kekuasaan Syah Jahan berakhir, kemudian digantikan Aurangzeb
(1658-1707 M) yang dinobatkan sebagai pemimpin tahta pada bulan Mei
1659 M, dengan mendapat gelar Abul Muzaffar Muhyiuddîn Muhammad
Aurangzeb Alamgir Padsyah Ghazi. Dengan suasana yang tidak menentu,
Aurangzeb melakukan perubahan-perubahan untuk meredam pertikaian
yang hampir tidak pernah berhenti. Aurangzeb berusaha mengatasi
berbagai persoalan dengan caranya sendiri (Mahmudunnasir, 1988: 369-
370). Puncak kesuksesan Aurangzeb adalah penguasaan daerah-daerah
yang sebelumnya tidak sempat ditaklukkan. Ia merebut Bengal Timur,
memperluas ke daerah Deccan dan menentramkan daerah perbatasan di
barat laut.
Corak kepemimpinan Aurangzeb dalam upaya untuk
menyelematkan eksistensi imperium Mughal tidak seperti yang
diharapkan, justru dalam batas-batas tertentu upaya yang dilakukan
45
Aurangzeb menimbulkan reaksi negatif dari kelompok yang diperlakukan
dengan kebijakan sepihak. Misalnya kaum non-muslim dibatasi atau
bahkan dilarang memasuki di area jabatan kepemerintahan. Pemberlakuan
pajak bagi non-muslim wajib dan jika mereka tidak menunaikannya
diperangi dengan paksa. Ia adalah orang pertama dalam sejarah imperium
Mughal, setelah Akbar yang mengakhiri konsiliasi Hindu digantikan
dengan kebijakan supremasi Islam (Lapidus, 1999: 711). Kemudian dalam
usaha mendakwahkan ajaran Islam, ia melakukan tindakan kekerasan yang
sangat bertentangan Islam itu sendiri. Berbeda dengan pendahulunya, ia
membangun aturan tentang hubungan dengan agama lain terutama Hindu.
Sebagai contoh adalah dengan menerapkan poll-tax yaitu pajak yang
ditetapkan bagi non muslim untuk mendapatkan hak pilih. Kebijakan lain
yaitu menyuruh perusakan tempat ibadah agama lain seperti kuil-kuil. Hal
ini menyebabkan terjadinya pemberontakan hebat dari kalangan Hindu
(Maryam, 2002: 186). Akhirnya pada tahun 1707 M., Aurangzeb
meninggal dan lambat laun kesultanan ini mengalami kemunduran
khususnya bagi eksistensi Islam di India. Umat Islam terpecah-pecah
dalam banyak kelompok dan paham, mereka saling bertikai serta masing-
masing kelompok sangat fanatik dalam membela pahamnya.
Pada periode Mughal, pengaruh tarekat Naqsabandiyah dan
Qadiriyah menggantikan pengaruh tarekat Suhrawardiyah dan Chistiyah.
Pengikut tarekat Naqsabandiyah mengembangkan sebuah disiplin spiritual
yang mengarah pada ”penglihatan” terhadap Allah, tetapi mereka juga
46
bersikeras akan pentingnya keterlibatan aktif dalam berbagai urusan
duniawi. Sejumlah Syaikh dari tarekat Naqsabandiyah berusaha terus-
menerus mewujudkan kesatuan di antara kaum muslim dengan mengklaim
diri sebagai ahli waris seluruh tradisi sufi. Raja Akbar, sebelum Aurangzeb
berkuasa, mendukung Tarikat Chistiyah yang mentoleransi beberapa
bentuk pemujaan yang dinamakan dîn ilahî atau agama ketuhanan yang
merupakan sintesa antara Hinduisme dan Islam. Dîn ilahî berpandangan
bahwa raja sebagai guru besar dari Tarikat Chistiyah. Tarikat ini dibentuk
berdasarkan pandangan religius pribadi sang guru pendiri dan kebaktian
pribadi para muridnya. Sementara itu, di Bengal dan Punjab umat muslim
turut memperingati berbagai perayaan Hindu, beribadah di beberapa
tempat suci Hindu, melaksanakan sesajen pada dewa-dewa Hindu dan
penyelenggarakan perkawinan dalam pola tradisi Hindu. Warga Hindu
yang memeluk Islam tetap mempertahankan unsur-unsur keyakinan dan
praktek lama mereka serta banyak warga Hindu mengeramatkan wali-wali
muslim tanpa mengubah indentitas meraka (Lapidus, 2000: 703-5).
Kondisi umat Islam pada periode imperium Mughal terdapat
sebuah kelompok Islam yang menekankan pada kepatuhan syari`ah.
Kelompok ini pada gilirannya mendapat julukan muslim syari’ah minded.
Dalam ide pemikirannya, mereka ingin memperjuangkan pemberlakuan
hukum Islam oleh negara dan penyerahan perkara warga Hindu kepada
pemerintahan Muslim dengan diskriminasi pajak dan sejumlah pembatasan
lainnya. Kelompok muslim syari’ah minded memahami masyarakat
47
muslim sebagai sebuah garis nasab dan garis kelas yang tidak linier
(terputus). Mereka mendefinisikan muslim berdasarkan keyakinan
individual terhadap Islam yang melampaui seluruh ikatan sosial dan
memandang manusia sederajat dan saling bersaudara dalam agama. Tokoh
yang mewakili kelompok muslim ini adalah Ahmad Sirhindi (1564-1624).
Seorang sufi agung asal India yang gagasannya membentuk fase kedua
atau mujaddidi dalam terekat Naqsabandiyah. Titik tekan ajaran Sirhindi
adalah kepatuhan syari`ah dan sunnah sebagai sarana untuk mencapai
realitas spiritual telah banyak diterima oleh golongan Naqsabandiyah. Ia
sebagai wakil juru bicara India atas sudut pandang syari‟ah. Bahkan ia
satu-satunya tokoh muslim sekaligus pemimpin tarekat yang berani
mengkritik kepemimpinan Akbar. Sikap Akbar yang terbuka, dianggap
bertentangan dengan ide keagamaan syari‟ah (Mujtahid, 2011: 4).
Setelah melakukan perjalanan ilmunya, pada tahun 1145 H/1732 M
Syāh Walî Allāh kembali ke Delhi, sementara kondisi sosial sedang
mengalami pergolakan antara kaum muslimin dan penganut Hindu.26
Pada
tahun 1737 M Maratha (penguasa Hindu) dapat dikalahkan oleh tentara
penguasa (Syah Abdali) di mana ad-Dihlawî sendiri ikut bertempur
melawan kekuatan Maratha di Panipat. Pada saat yang sama Niẓ ām al-
Mulk (kerajaan Islam) datang ke India pada bulan Juli 1937. Hal ini adalah
sesuatu yang diharapkan oleh Syāh Walî Allāh sebagai jalan untuk
26
Salah satu penyebab pergolakan ini adalah berulangkali terjadi invasi penguasa-penguasa
Islam ke India untuk merampas kekayaan rakyat India terutama saat invasi penaklukan Khiba oleh
Sultan Mahmud tahun 1017 M, sehingga masyarakat Hindu memusuhi orang-orang Islam yang
ada di sana (Karim: 105-6)
48
mewujudkan kebangkitan Islam di India (Dahlan, et. al., 1996:239, Rizvi,
1980:295). Syāh Walî Allāh yang lahir 1703-1762 M. mengalami masa-
masa krisis seperti ini. Pada masa ini paham Sunni dan Syi‟ah turut
mewarnai aliran keagamaan dalam Islam, di lain pihak permasalahan
akidah yang terjadi di kalangan umat Islam seperti takhayul, bid’ah dan
ḫ urafat dan permasalahan dalam bidang hukum Islam (fiqih) seperti
pertentangan antar madzhab yang disebabkan taqlid buta serta aliran
keagamaan seperti Sunnî dan Syi’ah telah menciptakan suatu kemunduran
umat Islam. Sementara itu dalam bidang tasawuf, pengaruh Hindu masih
mewarnai praktek-praktek religius di kalangan sufi (Rizvi, 1980: 248, 250,
270).27
Syah Walî Allāh merupakan penerus perjuangan Ahmad Sirhindi
dalam bidang syari‟ah. Dibandingkan dengan pemikiran Sirhindi, Syah
Walî Allāh sedikit agak moderat. Meskipun dalam beberapa hal ia terkesan
sama, tetapi ia banyak mengelaborasi pemikiran Sirhindi dengan
menggunakan jalur berfikir yang lebih bersifat dinamis-kreatif. Ia
termasuk orang yang berjasa besar bagi umat Islam di India dengan
upayanya melalui penerjemahan al-Qur`an. Ia menerjemahkan al-Qur`an
ke dalam dua bahasa, yaitu bahasa Urdu dan bahasa Persia. Gagasan ini
dilatarbelakangi bahwa salah satu sebab dari sekian persoalan yang
dihadapi umat Islam India adalah lemahnya perhatian dan pemahaman
kepada al-Qur`an.
27
Budaya Hindu yang telah ada berkembang dengan adanya toleransi penguasa Islam.
Maka tidak heran jika seni arsitektur, kesusastraan, seni musik maupun tradisi dan filsafat
berkembang dan berdampingan dengan muslim.
49
Syah Walî Allāh menekankan adanya argumen atau ijtihad sebagai
jalan untuk mengadapi hukum Islam terhadap kondisi lokal. Ia termasuk
orang yang menyadari adanya pluralisme, bahwa di India berkembang
sebuah naluri identitas muslim yang bersifat universal. Karena itu, ia
berpendapat bahwa hubungan antara penguasa Mughal dengan kehidupan
keagamaan muslim dapat terjadi dengan melalui pluralisme ini. Upaya
sang pemikir besar untuk kembali menyatukan umat Islam itu pun
berhasil. Keberhasilan ini melindungi kerajaan Islam dari kehancuran
(Khan dalam muslimphylosophy.com). Syāh Walî Allāh telah memelopori
gerakan Tajdîd wa al-Iṣ lāh yaitu gerakan pembaruan pada masyarakat
Islam agar mereka kembali kepada sumber-sumber ajaran Islam. Syāh
Walî Allāh menyadari bahwa umat Islam tengah dihadapkan pada jaman
modern yang di dalamnya ada tantangan serius mengenai masalah
pemahaman Islam.
3. Karya-Karya Syāh Walî Allāh
Syāh Walî Allāh merupakan tokoh pembaru yang sangat produktif.
Banyak sekali karya-karyanya dalam berbagai bidang ilmu antara lain:
a. Karya-karya yang ditulis sebelum 1143 H/ 1731
- Radd-î rawāfid sebuah karya terjemahan.
- Radd gawhar-î murād.
b. Karya-karya yang ditulis antara tahun 1145 H/ 1732 sampai
1151/1738-39 M :
50
- Al-Qoul al-Jamîl fi Sawā as-Sabîl, karya tentang kelompok-
kelompok sufi, kritik terhadap praktik sufi dan kepercayaan
Chistiya serta menjelaskan tentang bai’ah, awrād, dan aturan
dzikir.
- Fuyūd al-Haramain, sebuah otobiografi tentang kenangan dan
pengalaman spiritual yang diperoleh Syāh Walî Allāh di Makkah
dan Madinah.
- Ḥujjat al-Allāh al- Bāliġah, sebuah karya besar (magnum opus)
dalam bahasa Arab. Karya yang membahas aspek hadits, fiqih,
kalam dan alasan tentang hukum syari‟ah.
- Anfās al-’Ārifîn karya dalam bahasa persia tentang nenek
moyangnya terutama bapak dan pamannya.
- Ṣ owāriq al-Ma’rifah, Biografi Syaikh Abū al-Riḍ ā Muhammad
- Al-imdād fi Ma’aṭ ir al-Amjād, biografi hubungan yang lain Syāh
Walî Allāh.
- Al-Nabiẓ āt al-Abriziyyah fi al-Laṭ îfah al-’Aziziyyah, biografi
yang menceritakan leluhur Syaikh ‟Abd al-‟Azîz.
- Al-’Atiyah al-’Amdina fi Anfās al-Muhammadiyah, biografi Syaikh
Muhammad Phalti.
- Al-Insān al-’Ain fi Maṣ āyîh al-Haramain,biografi sufi dan ulama
Makkah dan Madinah.
- Al-Juz al-Latîf fi Tarjamah al-’Abd al-Ḍa’îf, otobiografi Syāh Walî
Allāh.
51
- Lamahāt, dalam bahasa persia yang berisi pembahasan tentang
wujud, realitas dan hubungan mistis tentang Tuhan dan Alam.
- Lama’āt, sufi.
- Alṭ āf al-Quds (Persia), sufisme.
- Hama’āt (Arab), sejarah perkembangan sufi dan praktik-
praktiknya.
- Fath ar-Rahmān (Persia), terjemahan al-Qur‟an.
- ’Atyab a-Naġm fi Madh Sayyid al-’Arab wa al-’Ajam, syair-syair
(kasidah) tentang pujian kepada Nabi Muhammad.
- Qasida-i Na’tiyya Hamziyya, syair-syair (kasidah) tentang Nabi
Muhammad.
c. Karya-karya yang ditulis dari tahun 1152 H/ 1739-40 sampai 1160 H/
1747 M.
- Al-Musawwā, penjelasan Syāh Walî Allāh terhadap kitab al-
Muwaṭ ṭ a’ karya Abū ‟Abd Allāh Mālik ibn Anās.
- Al-Intibāh fi Ŝalāsil Auliyā Allah wa Asānid Wariśi Rasūl Allah,
pembahasan tentang perbedaan-perbedaan kelompok sufi.
- Al-Fauz al-Kabīr fi Uṣ ūl al-Tafsīr, prinsip-prinsip penafsiran al-
Qur‟an dan pembahasan tentang nasîkh dan mansūkh.
- Muqaddimah Dār Fann-î Tarjama-î Qur’an, aturan dan petunjuk
penerjemahan al-Qur‟an.
- Tā’wil Ahādîś, relevansi hadits-hadits terhadap al-Qur‟an dan
interpretasinya.
52
- Qurrat al-’Ainain fi Tafāil al-Ṣ aikhain, pembahasan yang
berkaitan keunggulan dua khalifah pertama dan teori bahwa jiwa
mereka bercampur dengan cahaya yang berasal dari jiwa Nabi
Muhammad (Persia).
- Izālat al-Khafā ’an Khilāfat al-Khulafā’, pembahasan yang lebih
mendetail tentang keutamaan dua khalifah pertama dan bentuk-
bentuk perbedaan khalifah.
- Al-Khair al-Kaṭ îr, sebuah pembahasan tentang wujud dan
masalah-masalah tasawuf yang lain.
- Al-Budūr al-Bāziġah, ringkasan Hujjat Allāh al-bāliġah
- Sat’āt, risalah filsafat tasawuf
d. Karya-karya yang ditulis tahun 1160 H/ 1747 M sampai 1176 H/
1762M
- Sarf-i Mir, risalah singkat dalam bahasa Persia cara mengajar tata
bahasa Arab
- Al-Musaffa, penjelasan kitab al-Muwaṭ ṭ a dalam bahasa Persia.
- Al-Inṣ āf fi Bayān Asbāb al-Ikhtilāf, menjelaskan sebab-sebab
perbedaan yang terjadi di kalangan ulama fiqih dan kesalahpahaman
yang muncul di kalangan sahabat Nabi.
- ’Arba’ūna Hadîśan Musalsalatan bi al Isrāf fi Ḡ ālib Sanadihā, 40
hadits Nabi yang otentik.
- Al-Durr al-Tamin fi Mubaṣ arāti al-Nabî al-Amîn, koleksi ringkas
hadits-hadits Nabi.
53
- Al-Irsyād ilā Muhimmat ’Ilm al-Isnād, risalah tentang otoritas Hadits
- Ṣ arh Tarājam Ba’d Abwāb al-Bukharî, catatan terhadap beberapa bab
dalam kitab Sahîh al-Bukharî.
Karya-karya lain yang penting antara lain:
- ’Iqd al-Jayyîd fi Bayān Ahkām al-Ijtihād wa al-Taqlîd
- Kasyf al-Ḡ ain fi Ṣ arh Rubā’iyatîn (Persia), penjelasan terhadap kitab
Rubā’is karya Khajā Bāqi Billāh.
- Husn al-’Aqîdah, berkaitan dengan keyakinan Syāh Walî Allāh.
- Al-Faḍ l al-Mubîn fi Musalsal min Hadîś al-Nabî al-Amîn.
B. Konstruksi Gagasan Ijtihad Syāh Walî Allāh
Pada awal abad kebangkitan Islam, umat Islam memperlihatkan
semangat ijtihad yang tinggi dan didasarkan kepada keahlian di bidang
hukum Islam. Tiga setengah abad setelah wafatnya Rasulullah, merupakan
periode formatif bagi hukum Islam. Motor perkembangan dinamika hukum
Islam yang sangat pesat berada pada peran-peran para mujtahid yang sangat
memahami dan handal dalam bidang ini. Pernafsiran hukum Islam
berkembang dan bervariasi terutama ketika umat Islam bertemu dengan
berbagai bentuk budaya lokal, di saat Islam memasuki daerah-daerah yang
baru dibebaskan dari imperium Romawi dan Persia seperti Mesir, Syria dan
Irak. Setiap daerah itu mempunyai ragam kebudayaan tersendiri yang
berlainan dengan kondisi sosial di Hijaz, daerah Makkah dan Madinah (Rusli,
1999:xi-ii). Para mujtahid merumuskan metodologi ijtihad -atau yang dikenal
sebagai uṣ ūl fiqh- sebagai dasar untuk menggali makna-makna yang
54
terkandung dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi serta rahasia-rahasia hukum
yang tersirat di dalamnya. Metodologi tersebut memudahkan untuk
mengembangkan pemahaman terhadap sumber-sumber utama hukum Islam
baik dari segi kebahasaannya maupun subtansinya. Pengembangan hukum
Islam dari segi subtansinya lebih besar kapasitasnya dalam menampung
masalah-masalah baru.
Pada abad modern ini, umat Islam mendambakan kehidupan yang
lebih baik. Tatanan yang membuat kehidupan mereka lebih tenteram –kecuali
yang aturan yang sejalan dengan akidah- disadari sebagai sebuah
keniscayaan. Fenomena kajian Islam dan terlebih lagi hukum Islam yang
marak diberbagai tempat merupakan kanyataan bahwa hukum Islam masih
terus berkembang. Hukum Islam harus mampu melayani kebutuhan umat
Islam di abad modern. Dalam konteks inilah, Jhon L. Esposito menyatakan
bahwa pada saat ini seluruh gerakan besar keagamaan di wilayah Muslim
Asia Selatan mengklaim Syāh Walî Allāh sebagai bapak intelektual. Betapa
tidak, ia telah berkontribusi besar terhadap kehidupan intelektual, ekonomi,
sosial, politik, dan keagamaan masyarakat Muslim di India pada abad ke-18
M. Bahkan, hingga kini pemikiran dan gagasannya masih tetap hidup di hati
kaum Muslimin India.
Syāh Walî Allāh menghadapi kondisi sosial politik dan sosial
keagamaan yang sedang bergolak. Salah satu pemikirannya yang mengkritisi
persoalan politik bahwa di antara hal-hal yang menyebabkan kelemahan umat
Islam adalah perubahan sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem
55
kekhalifahan yang bersifat demokratis menjadi sistem kerajaan yang bersifat
otokratis. Sebagai solusinya adalah menghidupkan kembali sistem demokratis
yang pernah dipraktekkan oleh khulafā ar-rasyidîn. Persoalan sosial
keagamaan juga tidak luput dari kritikannya, ia menganggap bahwa
perpecahan yang ditimbulkan aliran-aliran dan madzhab-madzhab yang
berkembang dalam Islam, seperti pertentangan antara kelompok Sunnî dan
Syi’ah, antara kelompok sufi dan syari‟ah telah menyebabkan kelemahan
umat Islam. Oleh karenanya ia berusaha menciptakan suasana damai antar
aliran, golongan dan madzhab yang saling bertentangan tersebut. Menurut
Syāh Walî Allāh bahwa umat Islam di India banyak dipengaruhi oleh adat
istiadat dan ajaran-ajaran Hindu. Keyakinan umat Islam harus dibersihkan
dari hal-hal tersebut yaitu dengan cara kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits
(Nasution, 1992: 20-1).
Untuk menyelesaikan berbagai Persoalan sosial politik dan sosial
keagamaan yang ada, Syāh Walî Allāh mengembangkan prakarsa teoritis
yang sangat penting yaitu memperluas ijtihad (penetapan hukum melalui
upaya rasional). Pandangannya ini selaras dengan gagasan revolusioner
modern. Konstruksi gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh dibangun atas dua hal
pokok yaitu; pertama, Syari‟at harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan
keadaan ketika ia diturunkan atau diformulasikan. Kedua, syari‟at harus
disesuaikan dengan dunia kekinian yang terus berubah. Perkembangan
syari‟at harus merespon keadaan manusia yang mungkin berbeda dari satu
waktu ke waktu yang lain atau dari satu tempat ke tempat lainnya (Black,
56
2001: 454-5). Konsepsi dasar gagasan Syāh Walî Allāh bahwa perkembangan
syari‟at berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu dikembangkan dalam
konteks teori umum tentang perkembangan sosial.
Manusia memiliki sifat dan keadaan yang sama baik kebutuhan
makan, seksual maupun perlindungan dari kondisi lingkungan yang tidak
nyaman. Allah memberikan kepada manusia ilham untuk mengetahui
bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Tidak hanya
kepada manusia, Allah juga memberikan ilham kepada binatang tentang
bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelebihan ilham yang
diberikan oleh Allah kepada manusia dibandingkan dengan makhluk hidup
lainnya dan merupakan karakter dasar yang tidak dimiliki oleh makhluk lain,
yaitu;
a. Manusia memiliki ”pandangan bersama” (al-ra’î al-kullî), manusia
prilakunya berdasarkan nalar logis bukan tabiat semata, apa yang
dilakukannya memiliki tujuan untuk membentuk suatu sistem peradaban,
berbeda dengan binatang yang hanya terdorong kepada sebuah objek yang
bersifat indrawi atau yang bisa dibayangkan karena dorongan yang timbul
dari kodrat alamiah mereka, seperti lapar, haus dan nafsu. Kadang-kadang
manusia mengabdikan diri kepada keuntungan rasional dan bukan sesuatu
yang bersifat fisik. Untuk memperoleh keuntungan tersebut, mereka
melakukan usaha-usaha yang berorientasi pada pengakuan eksistensi dan
pengakuan secara khusus dari orang-orang disekitarnya
57
b. Keunggulan kedua yaitu adanya nilai estetika (keindahan). Perasaan
estetika yang ada pada manusia memotivasi mereka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang lebih baik sesuai dengan keinginannya. Karena
itulah mereka berusaha untuk memperoleh pasangan hidup yang sesuai
dengan seleranya (secara fisik), makanan yang enak, pakaian yang bagus
dan tempat tinggal yang megah. Rasa keindahan ini tidak terdapat pada
binatang yang hanya menginginkan sesuatu untuk berbagai tuntutan dan
kebutuhan mereka.
c. Keunggulan ketiga adalah bahwa di antara manusia terdapat orang yang
berakal dan berkesadaran serta memiliki kemampuan untuk menciptakan
dan memilih pendukung-pendukung peradaban (irtifāqāt). Semantara itu
ada juga orang-orang yang menginginkan hal yang sama namun tidak
dapat melakukannya. Jadi, ketika mereka melihat dan mendengar pada
yang telah ditemukan oleh sebagian dari mereka yang memiliki
keunggulan, sebagian yang lain akan menerima dan mengikutinya. Pada
gilirannya akan membentuk tahapan peradaban dengan kondisi sosial yang
lebih teratur dan semakin majunya kapabilitas manusia untuk membentuk
kehidupan yang beradab (Syāh Walî Allāh, 2005: 83).28
Ketiga hal tersebut di atas tidak pernah ditemukan sama pada semua
masyarakat seiring dengan perbedaan bawaan dan pikiran mereka yang
menyebabkan masuknya padangan bersama, rasa keindangan (estetika) dan
penemuan berbagai pendukung peradaban yang kemudian diimitasi sebagai
28
Syāh Walî Allāh menyebut sifat manusia yang ketiga ini dengan takammul, yaitu
dorongan batin untuk memperoleh kesempurnaan pribadi. Penyebutan ini terdapat dalam karyanta
al-Budūr al-Bāzigah.
58
model.29
Ketiga karakter dasar manusia menjadi modal untuk menciptakan
kemungkinan-kemungkinan dalam pengalaman kehidupan mereka sebagai
usaha untuk memenuhi kebutuhannya.
Penggunanaan akal/nalar dalam perbincangan ijtihad memiliki
hubungan erat dengan karakter dasar manusia yang menjadi konsepsi dasar
gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh. Menurutnya, akal mengendalikan seluruh
indera manusia lainnya. Akal mampu memahami syariat secara lebih rasional
dan ketaatan terhadap syari‟at bukan semata-mata hanya merupakan perintah
Tuhan. Syāh Walî Allāh (2005:27) mengatakan:
”sebagian orang berpandangan bahwa penetapan atura-aturan ilahi itu
tidak melibatkan aspek kemaslahatan manusia dan bahwa sama sekali
tidak ada hubungan antara perbuatan-perbuatan manusia dan balasan
yang disediakan oleh Allah untuk mereka, dan bahwa Allah
membebankan kewajiban-kewajiban syari‟at itu seperti seorang tuan
yang ingin menguji ketaatan budaknya, sehingga ia memerintahkan
apapun yang ia kehendaki, seperti mengangkat sebongkah batu atau
menyentuh sebatang pohon, merupakan tindakan yang tidak ada
gunanya selain untuk menguji. Jika si budak itu menaati atau
membangkang perintahnya, maka ia akan memberikan balasan. Keliru
jika mereka beranggapan seperti itu.”
Syari‟at sebagaimana dipahami oleh Syāh Walî Allāh memiliki tujuan jelas
yaitu kemaslahatan manusia. Syāh Walî Allāh menggunakan akhirat sebagai
poin penjelasan atas hubungan antara eksistensi duniawi dan akhirat.
Baginya, syari‟at dilihat sebagai sebuah desakan alami kemanusiaan yang
harus terjadi dalam sejarah sebagai entitas yang berasal dari kehendak Allah
29
Karena perbedaan-perbedaan mereka dalam mengupayakan ketiga hal tersebut, Syāh
Walî Allāh (2005: 85) membagi pendukung peradaban (irtifāqāt) secara garis besar ke dalam dua
tingkatan. Tingkatan pertama, yaitu kelompok primitive yang hidup di pedalaman dan jauh dari
peradaban. Tingkatan kedua yaitu tingkatan orang-orang yang hidup di daerah perkotaan yang
telah memiliki sistem sosial lebih baik dengan tingkat kehidupan yang lebih kompleks.
59
karena Allah ingin melindungi makhluknya, manusia dan yang lain, baik
dalam kehidupan ini dan dari hukuman neraka. Melalui syari‟at, Allah juga
akan membalas tindakan individual di dunia dengan pahala yang tidak
terbatas di akhirat dan dengan demikian proses perkembangan masyarakat
Islam adalah memberi penjelasan dari Realitas Akhirat. Hal ini merupakan
konsekuensi alami dari utilitas besar atas tanggung jawab di dunia ini.
Syāh Walî Allāh (2005:27) mencontohkan syari‟at sholat, zakat dan
puasa sebagai berikut:
”kewajiban sholat disyariatkan untuk mengingat Allah dan
berkomunikasi secara langsung dan pribadi dengan-Nya, sebagaimana
firman Allah SWT., ”Dirikanlah sholat untuk mengingatku”30
juga
sebagai tindakan persiapan untuk kelak memandang Tuhan SWT. di
kehidupan yang akan datang”. Zakat disyariatkan agar manusia
terhidar dari sifat pelit yang hina dan agar kebutuhan orang miskin
terpenuhi. Puasa disyariatkan agar setiap muslim menyadari
kerendahan dirinya dan agar mereka senantiasa menundukkan jiwa”.
Syari‟at sholat, zakat dan puasa dipahami oleh Syāh Walî Allāh tidak hanya
berdimensi ketuhanan saja (kesholihan individu) selain sebagai bentuk
ketundukan makhluk kepada penciptanya sehingga memperoleh balasan
kebiakan di akhirat, tetapi juga berdimensi sosial (kesholihan sosial).
Pemahaman yang semacam ini menunjukan peran akal/ nalar dalam
memahami syari‟at sehingga dapat diketahui rahasia-rahasianya.
Konsepsi dasar yang meniscayakan adanya ijtihad diperkuat oleh
‟Asymawî (1992:50) yang menyatakan ada tiga hal pokok mengenai syari‟at
yaitu; 1) syari‟at menghendaki tegaknya masyarakat yang beragama dan
penerapannya tergantung pada bentuk masyarakat tersebut, 2) syari‟at ada
30
Q.S. Ṭ āhā (20): 14.
60
yang diturunkan karena ada sebab yang dikehendaki dan ada yang tidak ada
hubungan dengan suatu sebab, 3) syari‟at ada dalam rangka menegakkan
kemaslahatan umum suatu masyarakat, maka ada proses nasakh sebagai
upaya memperkuat perwujudan kemaslahatan tersebut. Oleh karena itu,
syari‟at senantiasa dapat menyesuaikan dengan kondisi-kondisi baru yang
terus berubah. Maka dari itu, syari‟at ditetapkan berdasarkan konteks zaman
dan kaum tertentu meskipun.
Berawal dari konsepsi dasar gagasan ijtihad menurut Syāh Walî Allāh,
maka perlu dijelaskan beberapa hal mengenai Ijtihad.
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad31
secara terminologi sebagaimana dikemukakan oleh Syāh
Walî Allāh (1385 H: 3), yaitu:
حققخ اإلجتبد عي ب ف مال اىعيبء : إعتفشاغ اىجذ ف إدساك
ب اىششعخ أدىتباىتفصيخ, اىشاجعخ ميبتب اى أسثعخ أقغب : اىنتبة, األحن
اىغخ, اإلجبع, اىقبط.
”Hakikat ijtihad sebagaimana dipahami menurut pendapat pada ulama
adalah pengerahan seluruh kemampuan dalam rangka memperoleh
suatu hukum syari‟at dari dalil-dalilnya yang terperinci yang secara
umum berasal dari empat sumber yaitu al-kitab, as-sunnah, ijmā’ dan
qiyās”.
31
Terdapat dua istilah keislaman yang seakar dengan kata ijtihad, yakni jihād dan
mujāhadah. Perbincangan ijtihad biasa dipakai dalam kajian usul fiqih dan perbincangan
mengenai pemikiran Islam yang pengertiannya mengacu pada pengerahan kemampuan intelektual
secara optimal untuk mendapatkan suatu solusi hukum. sedangkan jihad biasa dipakai dalam
terminology fiqih yang pengertiannya lebih ditekankan pada pengerahan kemampuan fisik secara
maksimal dalam menegakkan agama Allah (al Furqon: 52).
فال تطع اىنبفش جبذ جبدا مجشا )اىفشقب(
61
Definisi di atas terdapat tiga unsur mengenai ijtihad, yaitu:
a. Pengerahan segala kemampuan, yang berarti ijtihad adalah upaya
jasmani, rohani, waktu, pikiran, tenaga bahkan biaya, sehingga bukan
usaha yang sederhana.
b. Seorang mujtahid, artinya bahwa ijtihad hanya dilakukan oleh orang
yang telah memiliki persyaratan tertentu untuk melakukan ijtihad.
c. Untuk memperoleh ketetapan suatu hukum syara’ artinya bahwa
capaian ijtihad adalah ketentuan hukum mengenai perbuatan manusia
yang berkaitan dengan pengamalan ajaran agama.
2. Syarat-syarat Ijtihad
Pemahaman merupakan suatu keniscayaan dalam berijtihad. Dalam
pemahaman itu sendiri dibutuhkan keahlian, sementara keahlian
membutuhkan persyaratan. Orang yang memiliki keahlian atau kepakaran
tertentu harus memenuhi syarat tertentu pula. Orang yang tidak memiliki
keahlian dalam bidang ijtihad, tentu tidak diperbolehkan melakukan
ijtihad. Seperti hanya seorang dokter, ia harus memiliki keahlian dibidang
pengobatan. Karena jika bukan seorang dokter dan tidak memiliki keahlian
untuk mengobati suatu penyakit, alih-alih ingin mengobati penyakit justru
yang terjadi bisa sebaliknya, membahayakan nyawa seseorang
(malpraktek). Seseorang yang memberikan fatwa agama sementara ia tidak
memiliki keahlian dengan memenuhi persyaratan obyektif yang telah
ditentukan oleh ulama, maka yang terjadi adalah fatwa yang keliru dan
bisa berakibat fatal, bukan menunjukkan tetapi menjerumuskan. Oleh
62
karena itu, untuk dapat melakukan ijtihad, apalagi menjadi mujtahid, harus
memiliki persyarat yang secara obyektif ilmiah telah ditentukan secara
simultan oleh para Ulama.
Syāh Walî Allāh (1965:3-4) merumuskan beberapa persyaratan
untuk melakukan ijtihad, yaitu:
a. Harus menguasai al-Qur‟an dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya.
Penguasaan terhadap al-Qur‟an maksudnya adalah hafal atau mungkin
hampir hafal seluruh ayat-ayat al-Qur‟an, terutama ayat-ayat yang
berkaitan dengan hukum. Sedang yang dimaksud dengan ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur‟an antara lain ilmu tentang
sebab-sebab turunnya ayat al-Qur‟an, ilmu nasiḥ dan mansuḥ , makkî
wa madanî dan sebagainya.
b. Menguasai ilmu hadits yang berkaitan dengan hukum dan ilmu-ilmu
yang berkaitan dengannya seperti ilmu asbāb al wurūd¸ ’Ilmu dirōyah
wa riwāyah dan sebagainya.
c. Mengetahui tempat-tempat terjadinya ijmā’ (kesepakatan) para ulama.
d. Mengetahui syarat-syarat qiyās
e. Mengetahui tatacara mengambil pendapat
f. Menguasai ilmu bahasa arab dan segala ilmu yang berkaitan
dengannya. Hal ini merupakan sesuatu keharusan juga, karena al-
Qur‟an dan as-Sunnah berbahasa arab.
g. Mengetahui profil periwayatan.
63
h. Dalam konteks ijtihad modern, maka diperlukan pengetahuan
mengenai ilmu fiqih maupun uṣ ūl fiqh beserta kaidah-kaidahnya.
Menurut al-Ghozalî, penguasaan terhadap kedua ilmu ini sangat
penting di samping penguasaan ilmu hadits dan bahasa arab.
3. Lapangan Ijtihad
Ijtihad merupakan usaha untuk menembus kawasan yang tak
terpikirkan. Oleh karena itu, banyak para intelektual maupun pakar hukum
(Islam) yang masih gamang dan tidak berani mengambil resiko dengan
ijtihad. Seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid
(kecakapan teknis dan kepiawaian metodologis) pun tetap memerlukan
nyali dan stamina untuk berijtihad. Ia setiap saat harus siap ditolak bahkan
diekskomunikasi kalau hasil ijtihadnya dianggap menyalahi pendapat
jumhūr. Hal ini disebabkan adanya kesepakatan ulama mengenai batasan
ruang lingkup ijtihad. Meskipun ijtihad sebagai sebuah metode untuk
memperoleh solusi hukum, namun ia memiliki ruang lingkup yang
terbatas. Al-Ghazālî (tt: 354) menyatakan bahwa permasalahan-
permasalahan yang boleh dijadikan objek ijtihad adalah setiap hukum
syara’ yang tidak terdapat dalil qaṭ ’î yang menjelaskannya. Senada
dengan Al-Ghazālî, Syāh Walî Allāh (1965:5) juga membatasi ruang
lingkup ijtihad. Pembatasan ini berdasarkan penelitian yang dilakukannya
terhadap perbedaan-perbedaan pendapat (hasil ijtihad) yang terjadi di
64
kalangan para imam mujtahid, yang menurutnya bahwa perbedaan
pendapat tersebut berkisar pada permasalahan far’î (bukan qoth’î).32
Perbedaan yang terjadi dalam permasalahan yang bersifat far’î,
memiliki dua unsur, meliputi: Pertama, terjadi perbedaan karena solusi
hukum atas permasalahan yang dihadapi tidak disebutkan secara tegas di
dalam teks syara’ (nuṣ ūṣ as-syar’î). Ketidaktegasan teks menyebutkan
persoalan ini merupakan sebuah rahmat Allah bagi umatnya. Dengan
demikian, para mujtahid dapat dengan leluasa memberikan interpretasi dan
merealisasikannya sesuai dengan kehendak agama melalui proses ijtihad.
Kedua, terdapat teks-teks yang bersifat ẓ annî (mengandung kebenaran
relatif), baik yang ẓ annî dalam hal otentisitasnya, maupun ẓ annî dalam
hal pengertian yang sulit di pahami. Teks-teks hukum yang seperti ini
merupakan bidang garapan ijtihad.
Sedangkan teks-teks syar‟i yang tertutup kemungkinan
dilakukannya ijtihad adalah wilayah qoṭ ’iyah (pasti), misalnya dasar dan
pokok agama.
4. Peringkat Mujtahid
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ijtihad dalam konteks
perbincangan fiqih adalah upaya optimal seorang ahli fiqih untuk
mendapatkan solusi hukum terhadap suatu masalah yang digali dari dalil-
dalil sumbernya. Untuk dapat melakukan hal ini, ahli fiqih harus
32
Dalam penjelasan lebih lanjut Syāh Walî Allāh (1986: 88-9) menyatakan bahwa “yang
khaṣ (nash yang bersifat khusus) adalah mubayyan (sehingga tidak menerima lagi penjelasan);
bahwa ziyadah (tambahan) merupakan nasikh (penghapus hukum sebelumnya); bahwa „ām (nash
yang bersifat umum) adalah suatu nash yang qoth’î seperti halnya khaṣ .
65
menguasai syarat-syarat yang telah ditentukan. Maka, apabila seseorang
telah memenuhi syarat-syarat tersebut ia dapat melakukan ijtihad dan
disebut mujtahid. Namun sebaliknya, orang yang tidak menguasai syarat-
syarat ijtihad tersebut disebut muqallid yaitu mengikuti apa yang menjadi
hasil ijtihad imam mujtahid.
Syāh Walî Allāh (1965:4-5) membagi tingkatan mujtahid menjadi
tiga:
a. Mujtahid muṭ laq yaitu seorang mujtahid yang memiliki kemapanan
yurisprudensi, wawasan yang luas, keberanian, mampu melakukan
penggalian hukum dari dalil-dalil syar‟i. Mujtahid muṭ laq dibagi
menjadi dua:
1) Mustaqil
Mujtahid muṭ laq mustaqil adalah level mujtahid yang paling
tinggi. Pada level ini seorang mujtahid mampu memahami al-
Qur‟an, periwayatan hadits dengan berbagai cabang matan dan
sanadnya, mengetahui derajat para perawi, mengetahui kualitas
hadits, serta atsar para sahabat. Di samping itu, dia membuat
metologi ijtihad (uṣ ūl fiqh) sendiri tanpa meniru atau
mengadaptasi dari orang lain. Kemudian, dari hasil konsepnya itu,
dia melakukan ijtihad pada semua sisi kehidupan mulai dari urusan
tata cara bersuci (ṭ aharah) sampai urusan kenegaraan, yang
kemudian disusun menjadi kumpulan hasil ijtihad yang murni hasil
dari kesungguhan dirinya. Mujtahid muṭ laq mustaqil
66
merumuskan metodologi istinbāṭ hukum dan sistem
pengerjaannya, selain mereka juga menggunakannya untuk
berijtihad, di mana sistem dan hasil ijtihadnya kemudian dijadikan
rujukan oleh mujtahid di level bawahnya. Syāh Walî Allāh secara
khusus memasukkan beberapa ulama mujtahid yang masuk dalam
kelompok ini yaitu al-Imam Abu Hanîfah (80-150 H), al-Imam
Mālik (93-179H), al-Imam al-Syafi'i (150-204 H), al-Imam Ahmad
ibn Hanbal.
2) Muntasib
Aktifitas mujtahid muṭ laq mustaqil dapat diilustrasikan sebagai
golongan yang perhatiannya terpusat untuk mengetahui masalah-
masalah yang sudah dijawab oleh para mujtahid terdahulu melalui
dalil-dalilnya yang terperinci. Lalu melakukan kritikan sumber
pengambilan hukumnya dan mentarjîh satu pendapat atas pendapat
yang lain. Jika hasil tarjih/koreksi lebih banyak yang sesuai, maka
dikelompokkan sebagai aṣ hābul wujūh fî al mażhab (pendapat
yang bisa dipertimbangkan dalam suatu madzhab).
Pada level ini para mujtahid disebut muntasib karena mereka
melakukan intisab, yaitu berafiliasi kepada suatu mazhab tertentu.
Jadi mereka tidak menciptakan mazhab sendiri dalam arti tidak
merumuskan sistem ijtihad dan istibāṭ . Mereka adalah orang yang
datang belajar sistem itu hingga betul-betul menguasai sepenuhnya,
67
setelah itu mereka menjadi pengguna langsung untuk melakukan
berbagai ijtihad dalam masalah syari‟at.
b. Mujtahid fî al-Mażhab
Golongan ulama yang perhatiannya terpusat untuk mengatahui
masalah-masalah yang sering dipertanyakan, namun belum terjawab
oleh mujtahid sebelumnya. Kelompok mujtahid ini mengikuti prinsip-
prinsip dasar terhadap imam madzhabnya, yaitu dengan menerapkan
hukum suatu masalah pada masalah lain yang sepadan.
c. Mujtahid Fatwā yaitu seorang mujtahid yang dalam mengmluarkan
atau memberikan keputusan hukum (sebagai fatwa) selalu berusaha
menjaga madzhab dengan berusaha memahami, berpijak dan
diikutinya.33
Beberapa ulama yang dapat dikategorikan sebaga
mujtahid fatwā adalah Imam Nawawî dan al-Rofi‟î di lingkungan
Madzhab al-Syafi‟î.34
C. Sebab-sebab Kemunculan Gagasan Ijtihad
Syāh Walî Allāh menekankan pentingnya ijtihad, tanpa ijtihad adalah
mustahil dapat menemukan pengetahuan baru dalam memahami Al-Qur`an,
Sunnah dan berhasil dalam syari‟at. Dalam memahami al-Qur`an Syāh Walî
Allāh melakukan investigasi interpretif atas ayat-ayat Al-Qur`an dengan cara
33
Baca juga dalam Tajudin bin „Abdul Wahāb as-Subki, Jam’u al Jawami’, (ttp: Dār al
Ihyā al Kutūb al ‘ Arabiyah) Juz II, hlm. 38. 34
Di Indonesia terdapat ulama yang memiliki derajat mujtahid fatwā adalah Prof. Ibrahim
Hosen, Komisi Fatwa MUI tahun 1980 -2000. Bahkan beliau disetarakan dengan Imam Nawawî
dan al-Rofi‟î, dalam Asrori S. Karni Gatra 6 Mei 2009 dan 17 November 2001.
68
yang independen dari segala bentuk penafsiran dan yang secara natural
menekankan penggunaan rasio pada kebesaran Allah yang termanifestasi
dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang sedang dikaji.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Syāh Walî Allāh
menghadapi kondisi sosial politik yang kacau baik antara umat Islam dengan
non Islam maupun internal umat Islam seperti pertentang sunnî dan syi’î.
Kondisi menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai
bidang, baik agama, politik, ekonomi maupun sosial. Pada masa-masa yang
sarat dengan kericuhan yang dihadapi oleh Syāh Walî Allāh, ia memprakasai
suatu pendekatan baru terhadap pemikiran sosial politik Islam yang
didasarkan atas pandangan orisinal tentang evolusi sosial. Syāh Walî Allāh
mengkritik para sufi karena mementingkan peningkatan otoritas personal
mereka, mengkritik para ulama karena gemar menonjolkan keilmuan meraka,
serta mengecam para ulama militer yang suka mengambil untung dari dana
masyarakat tanpa mau bekerja keras untuk mendapatkannya (Black, 2006:
454).
Gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh muncul sebagai upaya untuk
menjembatani pengikut beberapa madzhab dalam masyarakat muslim India.
Hal ini dilakukan karena dua faktor; pertama, adanya konflik internal
masyarakat muslim India yang terjadi setelah kematian Aurangzeb yang
disertai praksis politiknya, mengakibatkan kerajaan Mogul terpecah-pecah.
Sementara para gubernur memerdekakan diri dan kaum Sikh mendirikan
kerajaan sendiri. Kodisi ini telah menghasilkan kollap-nya politik umat Islam.
69
Akhirnya, Syāh Walî Allāh memiliki gagasan bahwa untuk menyeselaikan
permasalahan yang komplek seperti itu harus dilakukan rekonsiliasi. Proyek
rekonsiliasi politik yang dilakukannya yaitu mengajak umat Islam untuk
mencontoh khulafā ar-rāsyidîn, mengembalikan sistem pemerintahan dari
kerajaan menjadi kekhalifahan. Sistem kekhalifahan yang dikehendaki Syāh
Walî Allāh berbeda dengan pemahaman pada umumnya. Syāh Walî Allāh
berusaha memadukan pendekatan sufistik dan ahli fiqih dengan cara memilah
antara kekhalifahan spiritual (baṭ inî) yang mengurusi perintah-perintah
agama, dan kekhalifahan politis (ẓ āhirî) yang bertugas untuk meningkatkan
pelaksanaan ajaran agama. Syāh Walî Allāh juga membuat perbedaan antara
khalifah dalam pengertian khusus (khāṣ ) dan khalifah umum (’ām).
Khalifah khusus hanya dipegang oleh Nabi dan dua khalifah pertama yang
(menurutnya) ditunjuk oleh Muhammad. Sedangkan khalifah selain tersebut
di atas adalah ’ām, yang semata-mata merupakan pemimpin muslim yang
baik. Faktor yang kedua yaitu adanya pertentangan Sunnî–Syi'î. Syāh Walî
Allāh mencoba memberikan apresiasi yang sama kepada semua madzhab.
Pemikirannya tentang khalifah khāṣ bahwa khalifah ini hanya dipegang oleh
Nabi dan dua orang yang (menurutnya) di tunjuk oleh nabi Muhammad.
Pandangan ini terkesan mendamaikan, karena tidak sesuai dengan konsep
Sunnî maupun Syi'ah. Apresiasi yang diberikan oleh Syāh Walî Allāh kepada
madzhab mengindikasikan sikapnya untuk memelihara tradisi (Black,
2001:460).
70
Selanjutnya, Syāh Walî Allāh (2005: 260-74) mengindentifikasi
perkembangan kecenderungan bermadzhab menjadi dua periode:
1. Periode sebelum abad keempat Hijriyah
Pada abad pertama dan kedua tidak semua masyarakat mengikuti
suatu madzhab. Masalah-masalah yang disepakati oleh kalangan umat
Islam dan kebanyakan mujtahid, maka mayoritas masyarakat hanya
bertaqlîd kepada pembawa syari‟at (Nabi saw.). Mereka mempelajari tata
cara berwudlu, mandi besar, zakat dan sebagainya dari orang tua mereka
atau guru-guru mereka, kemudian mempraktekkan sesuai yang
dipelajarinya. Jika muncul suatu masalah yang tidak biasa, mereka akan
meminta fatwa dari mufti mana saja yang mereka jumpai tanpa
mempertimbangkan madzhab.
Para ahli hadis dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi,
mereka menyandarkan pada hadits Nabi saw maupun tradisi para sahabat.
Selain kedua sumber tersebut, tidak ada sumber lain yang mereka gunakan
sebagai rujukan hukum. Mereka juga meriwayatkan sejumlah besar hadits
dan hadits-hadits shahih yang telah dipraktekkan oleh para fuqahā. Jika
seseorang tidak menemukan jawaban yang memuaskan mengenai suatu
permasalahan, karena adanya jawaban yang saling bertentangan dan tidak
adanya rujukan yang dipercaya tentang mana riwayat yang paling benar,
maka ia dapat merujuk kepada pendapat salah seorang fuqahā masa lalu.
Kemudian jika ia menemukan dua buah pendapat tentang suatu masalah
71
yang sama, maka ia dapat memilih pendapat yang lebih dapat dipercaya,
apakah itu pendapat yang berasal dari seorang Madinah atau Kufah.
Prosedur perolehan suatu ketetapan hukum sebagaimana dilakukan
oleh para ahli hadist, juga dilakukan oleh para ahli takhrîj. Mereka akan
melakukan prosedur tersebut ketika menghadapi masalah-masalah yang
kejelasannya tidak bisa mereka temukan. Jika belum juga mendapatkan
jawabannya, maka mereka akan melakukan penalaran bebas (ijtihad) di
dalam suatu mazhab sehingga kemudian mereka dikenal sebagai bagian
dari suatu madzhab tertentu.
Syāh Walî Allāh (1986: 69-70) membagi tingkatan ulama pada
periode ini menjadi dua kelompok besar yaitu:
a. Kelompok ulama yang tekun meneliti al-Qur‟an, as-Sunnah dan Atsar
sehingga dengan ketekunannya mereka mampu berfatwa, mampu
menjawab sebagian besar peristiwa yang terjadi. Kelompok ini
dinamakan juga dengan mujtahid.
b. Kelompok ulama yang menguasai al-Qur‟an dan as-Sunnah sehingga
mampu mengetahui pokok-pokok fiqih dan induk permasalahannya
dengan dalil-dalilnya yang terperinci disertai perolehan wawasan yang
baik dalam beberapa masalah yang lain. Ulama kelompok ini biasanya
memilih diam dalam permasalahan yang tidak dikuasainya.
2. Periode setelah abad keempat Hijriyah
Setelah periode tidak menyandarkan pada madzhab tertentu berlalu
(yaitu sebelum abad keempat Hijriah), terjadi perkembangan baru. Salah
72
satu perkembangan baru itu adalah terjadinya perselisihan dan perbedaan
pendapat dalam ilmu fiqih. Ketika periode khulafā ar-rāsyidîn berakhir,
kekhalifahan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Secara ilmiah
mereka tidak dipercaya untuk memberikan fatwa dan ketentuan hukum,
sehingga mereka meminta bantuan dari para fuqahā dan selalu
berhubungan dengan mereka dalam berbagai keadaan. Sementara itu, para
ulama lainnya tetap meyakini tradisi sebelumnya dan tetap memegang
kemurnian agama. Kedudukan ulama pada masa itu begitu tinggi di mata
masyarakat dan penguasa. Pada perkembangan selanjutnya, para ulama
tidak lagi menghindar dari penguasa, alih-alih menolak kedudukan,
mereka mengejar ilmu sehingga mendapatkan akses menuju kehormatan
dan kemuliaan diri serta kedudukan tinggi. Bahkan, beberapa di antara
mereka telah menyusun sejumlah karya dalam bidang teologi,
mengembangkan tanya jawab, penolakan dan penerimaan, serta
meletakkan dasar argumentasi. Permasalahan ini telah menarik minat
mereka, bahkan para penguasa dan khalifah mulai menyukai perdebatan
mengenai fiqih dan berusaha untuk menentukan mana yang lebih unggul
antara mazdhab as-Syāfi‟î dan Abū Hanîfah. Setelah itu, orang-orang
mulai meninggalkan teologi dan ilmu-ilmu mengenai sumber-sumber
keagamaan dan lebih tertarik untuk mendalami masalah-masalah yang
dipertentangkan (khilāfiyah), terutama antara madzhab as-Syāfi‟î dan Abū
Hanîfah, sementara terhadap madzhab yang lain sikap mereka toleran.
73
Pada periode ini, berkembang sikap taqlîd yang berlebihan yang
disebabkan oleh tiga hal yaitu;
a. Adanya persaingan antara para fuqahā dan terjadinya perselisihan di
antara mereka, sehingga ketika persaingan dalam urusan fatwa terjadi,
maka siapapun yang mengeluarkan fatwa akan ditentang oleh pengikut
madzhab yang berbeda.
b. Pada generasi ini, mereka hanya puas dengan bertaqlîd, sehingga jiwa
taqlîd menjangkiti hati mereka tanpa disadari. Adapun penyebabnya
antara lain; 1) persaingan dan perbenturan di antara sesama ulama fiqih,
2) adanya ketidakadilan hakim, ketika kebanyakan hakim telah bersikap
tidak adil, maka yang dapat diterima oleh kebanyakan orang adalah
pendapat imam madzhab yang mereka yakini, 3) kebodohan para
pemimpin masyarakat dan banyaknya masyarakat yang meminta
jawaban kepada ahli hukum yang tidak cakap.
c. Kebanyakan ulama pada generasi ini hanya memperdalam satu disiplin
ilmu tertentu. Di antara mereka ada yang memperdalam ilmu nama-
nama perawi hadits dan mengetahui tingkatan jarh dan ta’dîl, lalu
dilanjutkan dengan mempelajari sejarah. Di lain pihak, ada yang
memperdebatkan uṣ ūl fiqh, masing-masing menyusun kaidah berdebat
untuk kelompoknya, menyanggah lawan dalam mempertahankan
pendapat, membuat definisi dan mengelompokkan berbagi masalah.
Akibatnya, perdebatan dan perselisihan sering terjadi dan menyebabkan
kekacauan hingga mempengaruhi stabilitas politik pemerintahan.
74
Berdasarkan identifikasi kecenderungan bermadzhab sebagaimana
tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor utama terjadinya krisis umat Islam
adalah adanya taqlîd. Generasi ini yang oleh Syāh Walî Allāh disebut dengan
generasi taqlîd, generasi yang sepenuhnya bergantung pada taqlîd tanpa
membedakan antara yang benar dan yang salah dan tidak mempertimbangkan
argumen yang digunakan dalam pengambilan hukum (istinbāṭ al-ahkām).
Syāh Walî Allāh (1986: 97-8) mengutip pernyataan Ibn Ḥazm tentang
permasalahan taqlîd ini, yang menyatakan:
Taqlîd itu haram, siapapun tidak diperbolehkan mengikuti
pendapat seseorang selain Rasulullah saw., tanpa bukti, karena Allah
berfirman, ”ikutilah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan jangan mengikuti pelindung selain Dia” (QS.7:3), dan
”Jika dikatakan kepada mereka, ikutilah apa-apa yang telah
diturunkan oleh Allah kepadamu, mereka berkata kami hanya
mengikuti apa-apa yang kami dapati nenek moyang kami
melakukannya” (QS. 2: 170). Allah berfirman memuji orang-orang
yang tidak bertaqlîd, ”berikanlah kabar baik kepada hamba-hamba-
Ku yang mendengarkan nasihat dan mengikuti nasihat yang paling
baik. Orang-orang seperti itulah yang diberi petunjuk oleh Allah dan
orang-orang seperti itu yang mempunyai pemahaman” (QS. 39: 17-
18) dan Dia berfirman, ”jika kamu berbeda pendapat di antara kamu
sendiri mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika
kamu percaya kepada Allah dan hari penghabisan” (QS. 4:59)
Dengan demikian, sesungguhnya Allah, ketika terjadi perbedaan
pendapat tidak memperbolehkan manusia untuk merujuk kepada
seseorang selain kepada al-Qur‟an dan Sunnah. Di dalam ayat ini
ditegaskan bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat, Dia melarang
mereka untuk mengembalikan kepada pendapat siapapun karena itu
bukanlah al-Qur‟an dan Sunnah. Ijmā’ sahabat dari pertama sampai
terakhir dan ijmā’ para tabi‟in dari yang pertama sampai yang terakhir
menegaskan penolakan dan larangan kepada siapapun di antara
mereka untuk meniru pendapat orang yang semasa atau yang lebih
dulu dari mereka sehingga ia menerimanya bulat-bulat.
Karena itu harus diketahui bahwa barang siapa mengikuti
pendapat-pendapat Abū Hanîfah, Mālik, as-Syāfi‟î, atau Ahmad
secara total dan tidak mengesampingkan pendapat pengikut mereka,
atau pendapat seseorang yang mendukungnya dan tidak bersandar
kepada al-Qur‟an dan Sunnah kecuali untuk mendukung pendapat
75
orang tertentu maka bisa dipastikan bahwa ia telah menentang
kesepakatan seluruh umat Islam.
Lebih jauh Syāh Walî Allāh juga mengkritisi sikap para fuqahā yang
tidak mampu menemukan bukti untuk memperkuat pendapat imamnya,
padahal mereka menemukan kelemahan argumentasi imamnya, namun karena
adanya sikap taqlîd ini, mereka (fuqahā) mengabaikan pendapat orang lain
yang lebih kredibel. Syāh Walî Allāh (1986: 99-100) mengutip pendapat Izz
al-Dîn Ibn ‟Abd al-Salām yang berkata:
Sungguh mengherankan! Seorang fāqih melakukan taqlîd
menyetujui kelemahan sesuatu yang ia dapatkan dari imamnya, karena
ia tidak mendapatkan bukti-bukti yang memperkuat kelemahannya itu.
Alih-alih mencari bukti-bukti yang mendukung pendapatnya, ia
meniru keputusannya (imamnya) mengenai hal itu dan mengabaikan
pendapat orang yang kebenaran pendapatnya telah dibuktikan oleh al-
Qur‟an, Sunnah dan analogi yang benar. Hal itu ia lakukan karena
kesetiaannya yang kaku kepada imamnya. Sesungguhnya ia
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan makna al-Qur‟an dan
Sunnah yang nyata dan jelas. Ia membuat penafsiran yang keliru
untuk membela orang yang ia tiru.
Orang-orang telah terbiasa untuk menanyakan pendapat-
pendapat dari ulama mana pun yang kebetulan ia jumpai tanpa
memedulikan madzhab fiqih mereka dan si penanya pun tidak
mempersoalkannya, sehingga akhirnya bermunculan madzhab-
madzhab fiqih dan orang yang memilih salah satu madzhab untuk
diikuti adalah muqallid, orang yang bertaqlîd. Jadi salah seorang di
antara mereka akan mengikuti imamnya walaupun pendapatnya itu
jauh dari kebenaran tekstual (’adalah), menirunya dalam segala
pendapat yang ia kemukakan dan menganggapnya seakan-akan ia
seorang rasul utusan Allah.
Selain pendapat dari kedua ulama di atas, Syāh Walî Allāh juga
mengikuti pendapat Abū Syāmah35
dan al-Muzanî 36
yang berkaitan dengan
masalah taqlîd ini.
35
Abū Syāmah berkata ”merupakan suatu kewajiban bagi seseorang yang melibatkan diri
dalam fiqih untuk tidak membatasi dirinya pada suatu madzhab dan bahwa di dalam setiap
masalah ia harus berpegang kepada kesahihan, pandangan yang lebih dekat kepada petunjuk
76
Membandingkan permasalahan taqlîd sebagaimana diulas olah Syāh
Walî Allāh, al-Syaukanî (tt: 265) mengatakan:
(taqlîd) menurut istilah ialah mengamalkan ucapan orang lain tanpa
(mengetahui) alasannya. Dengan demikian, keluar (dari definisi
taqlîd) mengamalkan ucapan Rasulullah saw., mengamalkan ijmā’,
berpegang seorang awam kepada (fatwa) mufti) dan berpegangnya
seorang hakim kepada kesaksian yang adil, sesungguhnya pada yang
demikian terdapat argumentasi.
Atas dasar pengertian di atas, al-Syaukanî menyatakan bahwa ucapan
Nabi saw dan ijmā’ adalah dua alasan dan dalil agama yang menjadi landasan
hukum, karena itu mengamalkan keduanya bukan merupakan bentuk taqlîd.
Sedangkan berpegangnya hakim kepada ucapan saksi, karena hal itu memang
ditunjukkan oleh al-Qur‟an dan sunnah yang memerintahkan untuk
menegakkan kesaksian. Adapun berpegangnya orang awam kepada ucapan
mufti adalah didasarkan atas ijmā’ para ulama yang membolehkan demikian.
Dengan demikian, berpegang pada Sunnah, ijmā’, ucapan saksi bagi hakim
dan mengikuti fatwa seorang mufti bukanlah termasuk taklid bagi orang
awam. Namun, jika seseorang berpegang pada pendapat orang lain yang
bukan mufti dalam ahli agama, maka hal itu adalah taqlîd. Al-Syaukani
menjelaskan bahwa apabila seseorang bertanya mengenai suatu permasalahan
(dalālah) al Qur‟an dan Sunah. Hal ini akan menjadi mudah baginya jika ia mengetahui sebagian
besar kajian tradisional. Selain itu, hendaknya ia menghindari keberpihakan kepada suatu madzhab
dan tidak mempelajari cara-cara (agar terjadi) perbedaan pendapat”. (Syāh Walî Allāh, 1986: 101
) 36
al-Muzanî berkata: ”saya meringkas buku mengenai ajaran-ajaran as-Syāfi‟î dan makna-
makna dari pendapatnya agar siapapun yang menginginkannya bisa mempelajarinya dengan
mudah. Sementara itu, saya menghargai larangan untuk bertaqlîd kepada dirinya atau kepada
orang lain sehingga setiap orang bisa mempelajari segala sesuatu demi kepentingan agamanya dan
setiap orang harus berhati-hati. Maksudnya, saya memperingatkan siapapun yang ingin
mempelajari ajaran as-Syāfi‟î bahwa ia sendiri melarang taqlîd kepada dirinya atau kepada orang
lain”.(Syāh Walî Allāh, 1986: 102).
77
hukum kepada orang yang ahli hukum (syara’), dan ahli hukum tersebut
mencari solusi berdasarkan al-Qur‟an ataupun Sunnah, maka yang demikian
itu bukanlah taqlîd. Karena pada dasarnya yang disampaikan oleh ahli hukum
tersebut bersumber dari al-Qur‟an maupun Sunnah. Artinya bahwa yang
diikuti oleh orang awam bukanlah ulama tetapi al-Qur‟an atau Sunnah.
Sedangkan taklid, yaitu orang awam yang mengikuti pendapat seorang ulama,
akan tetapi yang disampaikan bukan atas dasar al-Qur‟an maupun Sunnah,
tetapi berasal dari fikiran mereka (Rusli, 1999: 107-8).
Ijtihad dan taqlîd merupakan dua hal yang sangat berkaitan, masing-
masing memiliki batasan-batasan. Syāh Walî Allāh dalam menyikapi kedua
hal tersebut sangat berhati-hati, terutama dalam hal persoalan taqlîd.
Mengapa demikian? kondisi sosial keagamaan yang dialami oleh Syāh Walî
Allāh lebih banyak didominasi oleh praktik taqlîd yang menyebabkan
kemunduran umat Islam. Sikap kehati-hatian Syāh Walî Allāh ini terlihat dari
penilaiannya terhadap hasil ijtihad ahli fiqih (fuqahā) dengan memberikan
rambu-rambu bahwa seorang fāqih belum tentu orang yang memperoleh
ilham dari Allah berupa hasil pemikiran fiqihnya sehingga membuat kita
yakin dan menaatinya. Mengikuti pendapat seorang ahli fiqih dikarenakan ia
mampu memahami dan mengetahui isi al-Qur‟an dan Sunnah. Namun
demikian, pendapat ahli fiqih mempunyai beberapa kemungkinan, yaitu; 1)
mengambil langsung dari al-Qur‟an dan Sunnah yang sudah jelas, 2)
menggali hukum dari kedua sumber tersebut melalui istinbāth, 3) mengenali
tanda-tanda bahwa hukum pada kasus A adalah berdasarkan ‟illat, misalnya,
78
lalu ia merasa mantap dengan hasil penelitiannya itu. Kemudian, masalah-
masalah sepadan yang tidak ada nashnya ia qiyāskan pada masalah-masalah
yang sudah ada nashnya (Syāh Walî Allāh, 1986: 101-2). Oleh karena itu,
dengan adanya kemungkinan-kemungkinan tersebut, tidak boleh melakukan
taqlîd begitu saja terhadap pendapat ahli fiqih.
Gagasan ijtihad Syāh Walî Allāh lebih banyak didasarkan pada
adanya praktek taqlîd yang tidak terkendali37
. Ia mengkhawatirkan, tradisi
ilmiah yang biasa dilakukan oleh para imam mujtahid tidak lagi diikuti oleh
pengikutnya. Akibatnya, orang tidak lagi dapat membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang merupakan hasil perdebatan dan mana
yang merupakan hasil istinbāth. Pada generasi ini seorang ahli fiqih hanya
orang yang mampu menghafal berbagai pendapat para pakar fiqih baik yang
kuat maupun yang lemah, tanpa ada koreksi. Demikian juga dengan para
pakar hadis yang hanya mampu menginventarisasi sejumlah hadits yang sahih
dan yang lemah. Menurutnya bahwa ijtihad harus terus ada dan dilakukan di
setiap masa. Bahkan ia mengutip pendapat as-Suyuṭ î38
bahwa ijtihad,
meskipun tingkatan mujtahidnya adalah muntasib (menginduk pada imam
madzhabnya) merupakan farḍ u kifayah yang harus ada di setiap generasi
37
Sebagian ahli fiqih ada yang hanya taqlîd pada (buku) hasil-hasil ijtihad ulama madzhab
yang dikodifikasikan oleh para pengikutnya. Model yang seperti ini akan mematikan tradisi
ilmiah, karena dapat menyebabkan mereka tidak mampu lagi membedakan mana pendapat yang
rājih mana yang lemah. Hal inilah yang disebut oleh Syāh Walî Allāh sebagai taqlîd mażmūm.
Sedangkan sebagian ahli fiqih yang lain, mereka tidak hanya bertaqlîd pada kodifikasi hasil ijtihad
ulama madzhab, namun juga metodologi ijtihadnya. Sehingga mereka mampu mengembangkan
analisi hukum secara lebih mendalam. Dalam hal ini Syāh Walî Allāh menyebutnya dengan taqlîd
maḫ mūd (Syāh Walî Allāh, 1936: 209-11). 38
Semangat ijtihad ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul ar-Raddu ’Ala Man
Akhlada ilā al-Arḍ i wa Jahila Anna al-Ijtihāda fî Kulli ’Aṣ rin Farḍ un (bantahan terhadap orang
yang mengabadikan taqlîd di bumi dan tidak tahu bahwa ijtihad di setiap masa adalah wajib).
79
hingga akhir zaman. Jika suatu generasi terjadi kekosongan mujtahid
muntasib, maka semuanya berdosa dan bermaksiat. Secara tegas ia juga
menyatakan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka (Syāh Walî Allāh, 1986:71-5).
D. Analisis Pemikiran Syāh Walî Allāh Tentang Ijtihad
Aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah
ruh yang menghidupkan Islam secara terus-menerus. Sejak semula, menurut
Amir Nuruddin (1991:21), memang Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang
baru, serta segar bagi realisasi dirinya, dan Islam senantiasa menemukan
bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika menampung kemaslahatan pada
tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan dapat diwujudkan
dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial untuk
selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah mapan. Oleh karena
kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum, maka sudah
menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi perubahan hukum
disebabkan karena berubahnya zaman dan keadaan, serta pengaruh dari
gejala-gejala kemasyarakatan.
Menurut Husain Hamid Hasan (1971:3-4) bahwa dasar dan landasan
syari‟at adalah hikmah dan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara
menyeluruh. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan ke tirani, dari
rahmat ke permusuhan, dari maslahat ke kebinasaan, dari hikmat ke kesia-
siaan atau kemuspraan, bukanlah termasuk syar‟iat dengan interpretasi
bagaimana pun juga. Pendapat ini mengikuti pandangan Imam Al-Ghazali
80
dalam kitabnya Al-Mustasyfa fi ‘Ilm al-Uṣ ūl (1983, I: 286) yang
memformulasikan tujuan kemaslahatan yang dimaksud dalam syari‟at itu
dalam kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk
memelihara tujuan-tujuan syara’. Artinya bahwa suatu kemaslahatan harus
seiring dengan tujuan syara’, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan
manusia. Maka, yang menjadi tolok ukur kemaslahatan itu adalah tujuan dan
kehendak syara’, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia.
Lebih jauh menurut Harun Nasution dalam Muh. Yunan Yusuf
(1985:19), Islam diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas oleh waktu
dan tempat tertentu. Al-Qur‟an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan
ajaran Islam yang dibawa Rasulullah adalah untuk seluruh umat manusia, di
mana pun mereka berada. Oleh sebab itu, Islam seyogyanya ditafsirkan secara
lebih fleksibel agar bisa diterima oleh setiap manusia di muka bumi secara
alamiah.
Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia
dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja dan tradisionalistis.
Ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam dituntut untuk dapat
menghadapinya. Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman inilah yang
selalu dipertanyakan oleh para pemikir muslim kontemporer. Dalam hal ini,
ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan segala
persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak masa awal Islam sampai pada
masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak
terdapat di dalam al-Qur‟an dan hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid.
81
Ijtihad merupakan cara untuk memahami makna-makna hukum yang
terkandung dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Petunjuk hukum yang terdapat di
dalam al-Qur‟an dan Sunnah sendiri, sebagaimana menurut Syāh Walî Allāh
(2005: 236-7), seringkali dijumpai premis suatu hukum itu disertai dengan
premis hukum yang lain, atau bisa jadi presmis suatu hukum tidak berlaku
tanpa adanya premis hukum yang lain. Fakta ini menunjukkan bahwa hukum
itu tergantung dari ‟illat (alasan yang melatarbelakanginya), rukun dan
syarat.
Pemahaman terhadap kandungan hukum yang terdapat dalam al-
Qur‟an dan sunnah, tidak mudah untuk dilakukan begitu saja. Alih-alih untuk
mendapatkan solusi hukum, yang terjadi justru kesesatan. Oleh karena itu,
Syāh Walî Allāh (2005: 237) menetapkan beberapa cara untuk melakukan hal
tersebut, yaitu; 1) memahami segala sesuatu yang dijelaskan oleh al-Qur‟an
dan Sunnah, 2) memahami tingkatan makna-makna yang ditunjukkan atau
dikisahkan oleh Nabi saw, 3) memahami tingkatan makna berikutnya yang
disebutkan oleh seorang sahabat sebagai penajaman syari‟at, 4) mengenali
tempat berlabuhnya (suatu hukum) dengan cara mempertimbangkan dan
mengembalikan suatu hukum kepada tujuan asal penetapannya di dalam satu
kasus yang sama. Perintah maupun larangan tidak begitu saja ditetapkan
melainkan ada tujuan tertentu. Hal-hal seperti suatu kuantitas tertentu
ditentukan, sedangkan kuantitas lain yang serupa tidak ditentukan
bilangannya, merupakan lahan untuk dilakukannya ijtihad.
82
Syāh Walî Allāh melakukan analisis teks sebagai upaya untuk
melestarikan ijtihad. Implikasinya terhadap ijtihad dalam bidang ibadah,
misalnya, adalah mengambil petunjuk al-Qur'an, Sunnah, ijmā’ dan qiyās
sebagai dasar menggali hukum. Berhubungan dengan ini Syāh Walî Allāh
menggunakan dalil umum nash. Jika terdapat pertentangan di antara beberapa
dalil maka menggunakan takhṣ îṣ untuk mempertemukannya. Kemudian
menggunakan petunjuk Hadits, dan kitab Hadits yang dinilai paling tinggi
adalah al-Muwaṭ ṭ a'. Selanjutnya mengambil ijmā’ dan qiyās. Terakhir bagi
seorang yang tidak mampu untuk ijtihad, dengan cara bermadzhab secara
kritis kepada madzhab empat. Dalam hal ini Syāh Walî Allāh menggunakan
metode menggabungkan beberapa pendapat madzhab empat atau mengambil
jalan tengah di antara perbedaan pendapat. Secara garis besar kerangka ijtihad
dapat di bagi menjadi dua, yaitu; Pertama, cara Syāh Walî Allāh untuk
menghasilkan suatu produk hukum, ia terlebih dahulu menganalisis sebab-
sebab perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam. Kedua¸ Syāh
Walî Allāh memahami suatu nash tidak hanya berdasarkan teks saja, namun
juga meneliti konteks (filsafat syari‟ah).
Syāh Walî Allāh menganalisis sebab-sebab perbedaan pendapat
(dalam memahami dalil-dalil syar‟i) yang terjadi di kalangan umat Islam
dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu;
1. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in
Pada zaman Rasulullah, sahabat melihat langsung segala hal yang
dilakukan oleh Rasulullah dan menirunya tanpa ada penjelasan dari Nabi
83
apakah rukun atau adab. Rasulullah melakukan wudlu, sholat, manasik haji
dan sebagainya, kemudian para sahabat juga melakukan hal yang sama
persis sesuai dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rasulullah.
Adakalanya Rasulullah dimintai fatwa oleh sahabat mengenai beberapa
persoalan kemudian beliau berfatwa, atau Rasulullah menyaksikan sesuatu
yang dilakukan oleh para sahabat kemudian Rasulullah memujinya jika
sesuatu itu baik. Secara global, segala prilaku Nabi saw. diikuti oleh para
sahabat, mereka menjaga, menghafal, memahami dan mengetahui arah
tujuan segala kasus melalui beberapa tanda yang menyertainya.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat menyebar ke berbagai
negeri dan mereka menjadi panutan di negeri yang ditempatinya. Seiring
perkembangan kultul sosial, kasus dan permasalahan juga berkembang.
Oleh karena itu, mereka menjadi tumpuan segala macam pertanyaan.
Ketika sahabat dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka akan
memberi jawaban sesuai dengan hafalan dan kesiapan istinbāṭ mereka.
Jika tidak menemukan pemecahannya dari hadits yang dihafal atau nash
yang dapat di-istinbāṭ -kan, dia akan berijtihad dengan pendapatnya
sendiri. Ijtihad ini berdasarkan usaha mereka untuk mengetahui ’illat
hukum yang mendorong Rasulullah memutuskan suatu perkara dalam
nash-nash tertentu. Ketika proses istinbāṭ ini dilakukan oleh masih-
masing sahabat sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, maka disinilah
terjadi perbedaan pendapat.
84
Syāh Walî Allāh (1986: 23-30) menyebutkan beberapa hal yang
menjadi penyebab perbedaan pendapat tersebut, yaitu:
a. Perbedaan dalam menerima suatu putusan atau fatwa hukum dari
Rasulullah. Perbedaan ini terjadi jika seorang sahabat pernah
mendengar suatu putusan atau fatwa hukum dari Rasulullah sementara
yang lain tidak mengetahuinya sehingga dia berijtihad dengan
pendapatnya sendiri. Maka, hasil ijtihad yang dilakukan terdapat
beberapa kemungkinan, antara lain; 1) hasil ijtihadnya sesuai dengan
hadits, 2) terjadinya pertentangan antara hasil ijtihad dengan hadits
Nabi saw., namun hadits tampak lebih kuat, kemudian yang
bersangkutan menarik hasil ijtihadnya dan berpihak pada hadits, 3)
Hadits yang ada tidak mempunyai kekuatan, sehingga ijtihad tidak
ditinggalkan, sebaliknya hadits tersebut ditinggalkan. 4) tidak ada
satupun hadits yang diketahui oleh sabahat.
b. Perbedaan persepsi atas suatu perbuatan Rasulullah. Perbedaan ini
terjadi tatkala para sahabat melihat Rasulullah melakukan suatu
perbuatan, lalu sebagian menganggapnya sebagai suatu bentuk qurbah
(usaha pendekatan diri kepada Allah) dan sebagian yang lain
menganggapnya sebagai ibāhah (kebolehan).
c. Tingkat hafalan
Bahwa bisa jadi salah seorang sahabat lupa dengan hafalan haditsnya,
kemudian ketika hadits itu disampaikan atau didengar oleh sahabat lain
85
hadits tersebut dibantah dengan mengatakan bahwa sahabat yang
menyampaikan hadits tersebut mungkin lupa.
d. Perselisihan penalaran
Antara sahabat sangat dimungkinkan terjadi perselisihan penalaran atas
suatu hadits. Syāh Walî Allāh memberikan contoh hadits yang terdapat
perbedaan penalaran.
”Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‟Umar r.a dari Rasulullah
bahwa seorang mayit disiksa lantaran tangis dan ratapan
keluarganya. ‟Aisyah membatahnya, lalu menegaskan bahwa dia
salah dalam menerima hadits. Hadits yang sebenarnya adalah
bahwa Rasulullah melewati mayit seorang perempuan Yahudi yang
ditangisi keluarganya, lalu beliau bersabda:
إ أيب جن عيب إب تعزة ف قجش
Ibnu „Umar mengira bahwa siksaan tersebut lantaran tangisan
keluarganyam sehingga ia mengira bahwa hukum tersebut berlaku
umum untuk semua mayit” (1986: 29).39
Contoh yang disampaikan oleh Syāh Walî Allāh menunjukkan bahwa
satu hadits saja dapat menimbulkan penalaran yang berbeda di antara
para sahabat.
e. Perselisihan dalam memahami ‘illat hukum
‘Illat hukum menjadi dasar utama untuk melakukan istinbāṭ .
Perbedaan memahami illat hukum dalam suatu hadits, akan
menghasilkan hasil istinbāṭ yang berbeda pula. Syāh Walî Allāh
memberikan contoh sebagai berikut:
39
Disebutkan dalam Musnad Ahmad :
. فقبىت عبئشخ غفش اهلل ألث ش سعه اهلل صي اهلل عي عي ثقجش فقبه: إ زا ىعزة األ ثجنبء أي عي
اهلل تعبى قه )ال تضس اصسح صس أخش( عجذ اىيح ا , إ
86
“tetang berdiri sebab ada jenazah yang lewat. Sebagian sahabat
memandangnya untuk menghormati malaikat, sehingga ketentuan
itu meliputi mayit mukmin dan kafir. Sebagian sahabat
berpendangan bahwa itu dikarenakan kengerian kematian, sehingga
meliputi semua mayit. Sebagian lagi berpendapat, sewaktu
Rasulullah dilewati jenazah Yahudi, dia segera berdiri sebab takut
jenazah tersebut melebihi kepalanya, sehingga hal ini khusus untuk
mayit kafir” (1986: 29).
f. Perselisihan dalam mengkompromikan dua pendapat yang berbeda
Segala yang dilakukan Nabi baik ucapan mau perbuatan menjadi dasar
hukum Islam. Para sahabat dalam menghadapi berbagai persoalan,
tidak lepas dari hadits Nabi. Oleh karena masing-masing sahabat ada
yang memiliki pengalaman berbeda antara satu dengan yang lain
dalam melihat prilaku maupun ucapan Nabi, maka setelah Rasullah
wafat masing-masing sahabat memiliki pendapat yang berbeda. Usaha
untuk mengkompromikan pendapat yang berbeda-beda tersebut dapat
menimbulkan perbendaan pendapat.
Adapun contoh yang dikemukakan oleh Syāh Walî Allāh dalam kasus
ini adalah:
”Rasulullah melarang seseorang menghadap kiblat sewaktu ber-
istinjā’ (bersuci sesudah buang air besar maupun kecil).
Segolongan Sahabat memandang keumuman hukum ini dan tidak
ada penghapusan. Namun, Jābir melihat Nabi buang air kecil
menghadap kiblat setahun sebelum beliau wafat, sehingga ia
berpendapat bahwa tindakan Nabi yang terakhir ini sebagai nasakh
bagi larangan yang terdahulu. Ibnu ‟Umar melihat Nabi buang hajat
dengan membelakangi kiblat, menghadap ke Syām, sehingga ia
menolak perkataan kelompok pertama.
Beberapa orang berusaha mengkompromikan kedua riwayat
tersebut, sehingga asy-Sya‟bî dan lainnya berpendapat bahwa
larangan itu bersifat khusus, dalam arti khusus bagi istinjā’ di tanah
lapang. Jadi menurutnya, istinjā’ di dalam bangunan/ WC tidak
terkena larangan menghadap atau membelakangi kiblat” (1986: 30)
2. Perbedaan pendapat di kalangan pakar fiqih
87
Pada dasarnya, metode pengambilan hukum di kalangan ahli fiqih
itu sama, yaitu;
a. Berpegang pada hadits Nabi, baik yang musnad maupun yang mursal
dan beristidlāl (mengambil dalil dari beberapa ucapan sahabat dan
tabi‟in, dengan memahami bahwa pendapat sahabat dan tabi‟in itu ada
kalanya hadits yang dikutip dari Rasulullah yang diringkas menjadi
hadits-hadits mauquf.
b. Apabila terdapat perbedaan hadits dalam suatu permasalahan, maka
para tabi‟in berpedoman pada ucapan sahabat.
c. Jika terdapat perbedaan pendapat antara sahabat dan tabi‟in dalam
suatu persoalan, maka mengikuti madzhab penduduk setempat.
d. Jika penduduk suatu negara sepakat atas suatu masalah, maka mereka
akan memeganginya dengan teguh.
e. Jika para tabi‟in tidak mendapat jawaban masalah dari sumber-sumber
yang mereka kuasai, maka mereka akan berusaha mentakhrîj ucapan
sahabat dan meneliti beberapa indikasi dan tuntunan syara’nya.
Perbedaan yang terjadi dikalangan ulama fiqih ini terdapat pada
metode mereka dalam menempatkan sumber-sumber hukum Islam. Pada
periode ini terdapat empat pakar fiqih yang sangat terkenal yaitu Imam
Maliki, Imam Abū Hanîfah, Imam Syafi‟î dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.
3. Perbedaan pendapat antara ahli hadits dan ahli ra’yu
Ulama pada masa periode Sa‟id ibn al-Musayyab, Ibrāhîm, az-
Zuhrî, Malik dan Sufyān dan periode sesudahnya tidak menggunakan
88
ra’yu. Mereka takut berfatwa dan beristinbāṭ , kecuali dalam keadaan
terpaksa. Sebagaimana ucapan Ibnu ‟Umar kepada Jābir Ibn Ziyād :
”Engkau termasuk seorang faqih Bashrah. Oleh karena itu, jangan
engkau berfatwa kecuali dengan al-Qur‟an yang berbicara atau
sunnah yang ada. Kalau engkau sampai berbuat selain itu, maka
engkau rusak dan merusakkan”
Disebutkan pula sebuah atsar yang diriwayatkan oleh ad-Darimî;
”Asy-Sya‟bi ditanya, ”bagaimana sikap anda kalau ditanya tentang
suatu persoalan?”, ia menjawab, ”saya hadapi dengan segenap
kewaspadaan. Jika seseorang ditanya mengenai suatu masalah,
hendaknya ia berkata kepada kawannya: berilah fatwa mereka.
Begitu seterusnya, sampai kembali kepada orang pertama.”
Selanjutnya ia berkata, ”apa saja yang mereka ceritakan kepadamu
dari Rasulullah, terimalah. Namun apa saja yang mereka ucapkan
dengan menggunakan ra’yu-nya, buanglah di jamban” (Syāh Walî
Allāh, 1986: 46-47).
Pembukuan hadits dan atsar, penulisan sahîfah (lembaran) dan
naskah (hukum) bermunculan di berbagai negara (Islam) sehingga sedikit
sekali ahli riwayat yang tidak membukukan sahîfah dan naskah. Hal ini
sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi mereka. Sehingga
para tokoh pada waktu itu menjelajahi ke berbagai negara seperti Hijaz,
Syam, Irak, Mesir, Yaman dan Khurasan hanya untuk menghimpun kitab-
kitab, meneliti naskah-naskah, memperhatikan dan mempelajari hadits
gharîb dan ātsar yang jarang ditemukan. Maka, atas jasa mereka hadits
dan ātsar dapat terhimpun dengan baik. Mereka dapat mengemukakan
sanad hadits dalam jumlah yang cukup banyak sampai mencapi seratus
jalur bahkan lebih sehingga dapat mempermudah untuk melakukan
validasi hadits yang belum jelas. Di samping itu, mereka juga mampu
memahami dan mengetahui ke-gharib-an dan kemasyhuran setiap hadits,
89
muttabi’ dan syahidnya. Kejelian, ketelitian dan kesungguhan mereka
menghasilkan hadits-hadits yang dapat dipertanggungjawabkan
keshahihannya.
Generasi ahli hadits membangun kaidah-kaidah untuk memutuskan
suatu perkara hukum, yaitu:
a. Jika dalam suatu masalah ditemukan ayat al-Qur‟an yang
menerangkanya, mereka tidak akan mengambil dalil lain.
b. Jika ayat al-Qur‟an yang ada menunjukkan adanya berbagai
kemungkinan hukum, mereka akan menjadikan as-Sunnah sebagai
hakimnya.
c. Jika tidak menemukan ayat al-Qur‟an yang menerangkannya, mereka
akan mencari dalam Sunnah Nabi.
d. Jika di dalam as-Sunnah pun tidak terdapat solusinya, maka mereka
mengambil pendapat sahabat dan tabi‟in.
e. Mengambil pendapat mayoritas ahli fiqih
f. Mengambil dua pendapat sekaligus sebagai solusi hukum, jika
keduanya dipandang kuat.
g. Melihat keumuman al-Qur‟an dan as-sunnah, kemudian
menganalogikan masalah kepada kandungan al-Qur‟an ataupun
Sunnah.
Ra’yu (pemahaman subjektif) sebagai sebuah usaha untuk mencari
solusi hukum, juga dilakukan oleh ulama. Bahkan Ibn ‟Abbas jika ditanya
tentang masalah yang sudah dijelaskan di dalam al-Qur‟an, dia akan
90
menjelaskan dengannya. Kemudian, jika tidak dijelaskan oleh al-Qur‟an
namun sudah dijelaskan oleh Rasulullah, ia akan menjelaskannya. Jika
tidak dijelaskan oleh Rasulullah maka ia mencari apa yang pernah
diputuskan oleh Abu Bakar dan Umar, dan jika tidak dijelaskan oleh
keduan, ia akan menjawab dengan ra’yu-nya (Syāh Walî Allāh, 1986: 49)
Namun demikian penggunaan ra’yu sebagai solusi hukum, tidak
bisa dengan mudah diterima oleh ulama. Banyak ulama yang sangat
berhati-hati bahkan menolak penggunaan ra’yu tersebut. Ra’yu memiliki
kedudukan yang sangat lemah, sehingga pemahaman subyektif ini bisa
diterima maupun ditolak.
Ra’yu sering kali digunakan oleh para ulama fikih dalam menggali
suatu hukum berdasarkan al-Qur‟an maupun sunnah. Ra’yu merupakan
proses penalaran yang menyingkap ‟illat hukum yang terdapat dalam
suatu teks syar‟i. Kadang-kadang sebuah ungkapan teks syar‟i
mengandung isyarat dan petunjuk tentang tujuannya, di sini dibutuhkan
suatu penalaran yang tepat berdasarkan kaidah-kaidah yang sudah
ditentukan.
Perbedaan antara para ahli hadits dan ahli ra’yu sesungguhnya
tidak perlu menimbulkan kesenjangan yang jauh. Keduanya sama-sama
berusaha untuk mendapatkan solusi hukum demi kemasalahatan umat.
Maka, sikap Syāh Walî Allāh terhadap hal ini sebagaimana mengutip Abū
Sulaiman:
” Aku melihat ahli ilmu dewasa ini terbagi menjadi dua kubu: yaitu
kubu pendukung hadits dan atsar (ahli hadits) dan kubu pendukung
91
fiqih dan penalaran (ahli ra’yu). Masing-masing kubu ini sama-
sama dibutuhkan dan saling melengkapi untuk memahami maksud
syara’. Hadits laksana pondasi atau pokok, sedangkan fiqih laksana
bangunan atau cabang. Padahal setiap bangunan yang tidak
dibangun di atas pondasi yang kokoh akan cepat roboh. Setiap
pondasi yang tidak dilengkapi dan dipelihara pasti akan kosong dan
rusak. Saya memahami bahwa kedua kubu ini –meski dengan
kondisi saling bergesekan- saling membutuhkan satu sama lain, dan
memiliki keutamaannya masing-masing. Sayangnya, mereka justru
saling berjauhan dan tidak memperlihatkan sikap saling tolong
menolong dalam menegakkan kebenaran” (Syāh Walî Allāh,
1986:64).
Dengan mengutip pendapat Abu Sulaiman tersebut di atas
menunjukkan bahwa Syāh Walî Allāh lebih cenderung berada di tengah
antara dua pendapat yang sama-sama memiliki dasar yang kuat, selama
usaha yang dilakukan dalam rangka menegakkan kebenaran.
4. Perbedaan pendapat sesudah abad keempat hijriah
Sebelum abad ke empat hijriah, kelompok ulama dapat
digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a. Kelompok ulama yang tekun meneliti al-Qur‟an, as-Sunnah dan Atsar
sehingga mampu berfatwa, mampu menjawab sebagian besar peristiwa
yang terjadi, kelompok ini disebut dengan ”mujtahid”.
b. Kelompok ulama yang menguasai al-Qur‟an dan Sunnah sehingga
mampu mengetahui pokok-pokok fiqih dan induk permasalahannya
dengan dalil-dalilnya yang terperinci disertai perolehan wawasan yang
baik dalam beberapa masalah lainnya (Syāh Walî Allāh, 1986:69-70).
Pada masa ini, perbedaan madzab tidak begitu menjadi perhatian
umat Islam. Karena ulama pada abad ke IV ini tidak memiliki
kecenderungan untuk bertaqlîd murni kepada satu madzhab saja, hal ini
92
disebabkan sudah mulai dirintis kegiatan takhrîj. Sementara itu, keadaan
orang awam tidak pula bertaqlîd buta ketika mereka menghadapi suatu
permasalahan. Mereka belajar tata cara berwudlu, sholat, mandi dan
masalah keagamaan lain kepada orang tua mereka ataupun tokoh-tokoh
setempat. Jika terdapat peristiwa ganjil, maka yang mereka lakukan adalah
langsung bertanya kepada mufti tanpa memandang madzhab mufti
tersebut.
Memasuki abad ke empat hijriah dan setelah, seiring dengan
berkembangnya madzhab, maka terjadi peristiwa-peristiwa yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Perdebatan dan perselisihan dalam ilmu fiqih
Perselisihan ini berawal dari kecenderungan ulama terhadap
penguasa. Pada awalnya, para ulama adalah seorang yang mandiri dan
bebas. Ahli fiqih menjadi tumpuan para penguasa untuk meminta
fatwa hukum guna mengatasi segala permasalahan hukum yang di
hadapi. Namun demikian, tidak semua ulama ahli fiqih tertarik pada
kedudukan terhormat di lingkungan penguasa, beberapa di antara
mereka ada yang masih teguh dengan kebebasan dan kemandiriannya
dalam melakukan ijtihad tanpa di pengaruhi kepentingan penguasa.
Perdebatan masalah keagamaan sudah ada yaitu pada
persoalan ilmu kalam. Namun demikian, karena ilmu kalam tidak
memiliki peran strategis sebagai sarana untuk pembenaran
kepentingan penguasa, maka perdebatan itu kemudian menyentuh
93
kepada cabang ilmu agama yang lebih strategis untuk dijadikan alat
kepentingan kekuasaan. Fiqih memiliki peran besar dalam kekuasaan,
sehingga perdebatan tetang fiqih menjadi keniscayaan.
Semua imam madzhab memiliki keutamaan dan kelebihan
masing-masing. Hasil ijtihad yang dilakukan mereka memiliki dasar
yang kuat berdasarkan sumber-sumber hukum Islam yang utama,
yaitu al-Qur‟an dan Sunnah. Perbedaan metodologi para Imam
madzhab sesungguhnya tidak mendudukan mereka pada ”siapa yang
lebih unggul”. Namun, hal ini bisa terjadi tatkala membawa perbedaan
tersebut ke dalam wilayah politik. Ilmu kalam yang sedianya menjadi
inti perbedaan dan peselisihan, kini beralih kepada fiqih. Umat Islam
tidak lagi membahas masalah ilmu kalam, tetapi hanya menekuni
masalah khilafiyah antara as-Syafi‟î dan Abu Hanîfah. Bahkan, lebih
tragisnya mereka meremehkan pendapat Ahmad Ibn Hanbal, Sufyān,
Mālik dan madzhab lainnya.
Menurut Syāh Walî Allāh (1986: 88) menyatakan bahwa
perbedaan itu disebabkan oleh prinsip-prinsip yang mereka bangun
sendiri, terutama ketika mereka membandingkan antara as-Syafi‟i dan
Abu Hanifah. Lebih jauh Syāh Walî Allāh menyatakan :
”Menurut saya, pendapat yang menyatakan bahwa yang khāṣ
(nash yang bersifat khusus) adalah mubayyan (sehingga tidak
lagi menerima penjelasan); bahwa ziyādah (tambahan)
merupakan nasîkh (penghapus hukum sebelumnya); bahwa ’ām
(nash yang bersifat umum) adalah suatu nash yang qath’î seperti
halnya khāṣ ; bahwa tidak ada tarjîh lantaran banyaknya
perawi; bahwa tidak wajib mengamalkan hadits dari perawi
yang tidak ahli fiqih kalau kesempatan berpendapat tertutup;
94
bahwa syarat dan sifat tidak perlu dipertimbangkan sama sekali;
dan bahwa nada perintah (amr) hanya berkonsekuensi pada
adanya kewajiban dan contoh-contoh lainnya adalah prinsip-
prinsip yang mereka simpulkan sendiri dari perkataan imam.
Tidak ada riwayat kuat yang mengatakan bahwa prinsip-prinsip
itu disampaikan Abu Hanîfah dan para muridnya. Menjaga dan
berpegang pada prinsip-prinsip tersebut untuk menjawab sebuah
pertanyaan bukanlah hal yang dilakukan ulama-ulama terdahulu
dalam ber-istinbāṭ ”
Pernyataan Syāh Walî Allāh menunjukan bahwa sesungguhnya
perbedaan itu terjadi justru bukan dilakukan oleh para imam madzhab,
melainkan oleh orang-orang yang berusaha untuk mengetahui
metodologi istinbāṭ para imam madzhab. Namun demikian, hasil
usaha tersebut di kemudian hari menjadi semacam prinsip-prinsip
atau kaidah-kaidah semakin bias dipahami oleh umat Islam. Pada
akhirnya, secara tidak sadar hal itu menyebabkan terjadinya
perselisihan.
b. Berkembangnya Taqlîd
Pada masa ini40
umat Islam merasa puas dengan hanya
bertaqlîd saja, tanpa melakukan kritik atau penelaahan lebih dalam
atas pendapat para ulama fiqih. Menurut Syāh Walî Allāh (1986: 93-
6) terdapat beberapa hal yang menyebabkan rasa puas hanya dengan
bertaqlîd, antara lain:
1) Persaingan dan perbenturan di antara sesama ulama fiqih.
Persaingan ini terjadi dalam hal fatwa, setiap terjadi persaingan
40
Pada periode ini, ulama yang tidak tergolong sebagai mujtahid dikenal dengan sebutan
faqihi dan para generasi ini pula mulai muncul benih-benih kefanatikan. Sebenarnya, kebanyakan
perselisihan yang terjadi antara ulama fiqih hanyalah dalam mentakhrîj satu dari dua pendapat.
(Syāh Walî Allāh, 1986: 94)
95
fatwa di kalangan mereka, maka setiap orang yang berfatwa akan
ditentang dan ditolak oleh orang lain.
2) Penyelewengan para hakim
3) Kebodohan para pemimpin dan masyarakat yang terkadang
meminta fatwa hukum kepada orang yang tidak cakap, tidak
mengetahui hadits dan tata cara takhrîj.
Sebagai upaya untuk memahani syari‟at secara lebih komprehensif,
Syāh Walî Allāh berusaha untuk mengungkap rahasia-rahasia syari‟at. Allah
menurunkan syari‟at pada hakikatnya adalah untuk kebahagiaan manusia itu
sendiri. Allah membebankan kewajiban-kewajiban syari‟at memiliki
hubungan antara perbuatan dan balasan yang disediakan-Nya untuk manusia.
Maka, setiap tindakan manusia dinilai sesuai dengan niatnya dan gejalan
psikologis yang mendasari setiap tindakan.
Lebih jauh Syāh Walî Allāh (2005: 53-4) menjelaskan bahwa
sesungguhnya pembebanan kewajiban-kewajiban agama memiliki makna
batin. Ia mendasarkan pada surat al-Ahzāb 33: 72-73.
”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat
96
zalim dan Amat bodoh. Sehingga Allah mengazab orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki
dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”
Kata “amanat” dalam ayat tersebut adalah penerimaan komitmen untuk
mentaati perintah-perintah Allah yang meniscayakan mereka41
untuk
menghadapi risiko pahala dan hukuman berdasarkan ketaatan dan
kemaksiatan mereka. Dengan ditawarkannya amanat kepada mereka berarti
kemampuan mereka telah diperhitungkan dan mereka wajar menolak karena
merasa tidak layak dan tidak memiliki kapasitas untuk memikulnya.
Selanjutnya, bahwa kalimat “ia dholim dan bodoh” yang terdapat dalam
firman Allah di atas menurut Syāh Walî Allāh berfungsi sebagai penjelas,
karena seorang yang dholim sama dengan orang yang tidak adil, sedangkan
manusia dibebani kewajiban untuk berbuat adil, dan orang yang bodoh adalah
orang yang tidak berilmu, padahal manusia harus memiliki pengetahuan.
Malaikat dan binatang adalah makhluk Allah yang lain yang tidak dibebani
tugas ini. Hanya manusia yang layak menerima beban kewajiban-kewajiban
agama dan memiliki kapasitas untuk melakukannya karena manusia memiliki
kesempurnaan potensi. Kesempurnaan potensi tersebut ialah potensi
kemalaikatan dan potensi kebinatangan. Potensi kemalaikatan berkembang
dari emanasi ruh yang dikhususkan bagi manusia ke dalam ruh alamiah (ar-
rūh al-thabi’iyyah) yang mengalir ke seluruh tubuh dan tubuh itu menerima
emanasi tersebut dan tunduk kepadanya. Sedangkan potensi kebinatangan (al-
41
Langit, bumi dan sebagainya.
97
nafs al-hayawaniyah) berkembang dari jiwa hewani yang umum dimiliki
binatang.
Bagi umat Islam, Allah mewajibkan sholat, ibadah haji, puasa, zakat
dan kewajiban-kewajiban lainnya. Kewajiban-kewajiban tersebut memiliki
makna batin yang bertujuan untuk kebahagiaan dan kemaslahatan bagi umat
Islam itu sendiri. Rahasia ibadah haji disyari‟atkan adalah agar manusia
menghomati simbol-simbol Allah, sebagaimana firman Allah swt:
”sesungguhnya rumah yang pertama-tama dibangun untuk manusia
adalah di Bakkah al-Mukarromah” (Q.S Ali Imran 3: 96)
Hukum-hukum yang diterapkan dalam transaksi ekonomi (mu’āmalah) dan
lembaga perkawinan disyari‟atkan untuk menciptakan keadilan di antara
manusia. Demikian juga puasa diwajibkan dengan tujuan agar setiap muslim
menyadari kerendahan dirinya dan agar mereka senantiasa menudukkan jiwa,
sebagaimana firman Allah:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
menyucikan dirimu sendiri” (Q.S al Baqarah 2: 183)
Setiap kewajiban-kewajiban agama memiliki makna batin yang kadangkala
dijelaskan secara langsung oleh Nabi, kadangkala harus digali sendiri melalui
98
pemahaman yang mendalam. Kewajiban sholat dzuhur sebanyak empat
roka‟at memiliki makna batin sebagaimana dijelaskan oleh Nabi.
إب عبعخ تغتح فب أثاة اىغبء, فأحت أ صعذ ى فب عو
)سا اىتشز( صبىح
”Sholat dzuhur adalah waktu ketika pintu-pintu langit dibuka dan aku
menyukai jika perbuatan-perbuatan baik yang aku lakukan naik ke
langit pada waktu itu” 42
Nabi menjelaskan berbagai sebab lain dan hikmah yang terkandung dalam
berbagai kewajiban-kewajiban agama. Misalnya, tentang membasuh hidung
ketika berwudlu. Ketentuan membasuh hidung pada saat berwudlu ini ada
kaitanya dengan aktifitas tidur seseorang. Ketika seseorang tertidur, ia tidak
mengetahui apa yang ia sentuh, dan bahwa hidung adalah tempat bersemayam
setan ketika seseorang tengah terlelap tidur. Begitu juga larangan Nabi
tentang berhubungan seks ketika sedang haid karena akan membahayakan
bagi anak. (Syāh Walî Allāh, 2005: 27-8). Masih banyak kewajiban-
kewajiban Agama yang telah ditetapkan oleh Allah dengan makna batin
masing-masing.
Mencari sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dalam memahami
teks syar‟i dan mencari makna batin yang terdapat dalam ketentuan syari‟at
merupakan metode Syāh Walî Allāh untuk melakukan istinbāṭ al ahkām.
Untuk menyikapi hadits-hadits yang berbeda, Syāh Walî Allāh menggariskan
bahwa prinsip dasar yang digunakan adalah berusaha mengamalkan semua
42
Teks hadits tentang hal ini terdapat dalam sunan at-Tirmidzi I, hal. 297, no. 476 (bab
mengenai shalat tengah hari)
99
hadits kecuali jika terdapat pertentangan yang menghalangi pengamalan
hadits-hadits tersebut.
Pada dasarnya tidak mungkin ada pertentangan antara hadits-hadits
kecuali dari sudut pandang kita. Dengan demikian, jika ada dua hadits yang
tampaknya bertentang tentang suatu perbuatan Nabi, misalnya seorang
sahabat mengatakan bahwa Nabi saw. mengerjakan sesuatu dan sahabat lain
mengatakan bahwa Nabi saw. mengerjakan sesuatu yang lain, maka
sesungguhnya tidak ada pertentang antara keduanya. Kedua perbuatan
tersebut bisa dianggap sebagai perbuatan yang dibolehkan, yakni jika
keduanya termasuk kebiasaan umum dan tidak berkaitan dengan ajaran
agama. Pemahaman lain, bisa jadi bahwa salah satu dari kedua perbuatan itu
dianjurkan (mustahab) sedangkan yang lain kebolehan (mubāh), karena
perbuatan pertama menghasilkan kedekatan kepada Allah sedangkan yang
kedua tidak. Jika keduanya termasuk perbuatan ibadah, maka salah satu
perbuatan itu mungkin dianjurkan (nadb) atau diwajibkan dan perbuatan
lainnya termasuk pelengkap atau penyempurna bagi perbuatan lain (Syāh
Walî Allāh, 2005: 238).
Mengenai kemungkinan-kemungkinan ketentuan yang terdapat di
dalam suatu hadits, Syāh Walî Allāh (2005: 238) menyatakan:
”Para penghafal hadits di antara para sahabat telah membuat
pernyataan-pernyataan seperti itu mengenai berbagai tradisi Nabi,
seperti kebiasaannya mengerjakan sholat witir sebelas, sembilan atau
tujuh roka‟at; dan kebiasaannya mengerjakan sholat tahajud baik
dengan bacaan yang keras atau pelan. Berdasarkan prinsip-prinsip ini,
kita bisa memasukkan, sebagai contoh, masalah mengangkat tangan
dalam sholat, apakah setinggi telinga atau setinggi bahu, juga tentang
cara membaca tasyahud yang diriwayatkan dari ‟Umar, Ibn Mas‟ūd
100
dan Ibn ‟Abbās, juga mengenai sholat witir, apakah satu atau tiga
rokaat, dan mengenai do‟a iftitāh pada awal sholat dan do‟a doa di
pagi hari dan malam hari, serta ketetapan-ketetapan lainnya tentang
sebab-sebab dan waktu. Lalu jika memang terdapat dua buah hadits
(yang jelas-jelas bertentangan), maka bisa jadi bahwa kedua hadits itu
menunjukkan cara untuk mengatasi beberapa kesulitan jika didahului
oleh suatu kasus yang mengakibatkan (kesulitan) ini, seperti sifat-sifat
khusus kafarah dan besarnya pajak bagi orang yang memerangi
(Agama Allah) yang disebutkan dalam tradisi Nabi”
Pernyataan di atas menunjukan bahwa ketentuan hukum yang terdapat di
dalam suatu teks syar‟i memiliki banyak kemungkinan. Suatu atau dua teks
syar‟i tidak hanya dipahami berdasarkan apa yang tersurat saja, namun juga
harus mencari munāsabah (korelasi) dengan teks yang lain. Bisa jadi terdapat
alasan tersembunyi yang menggolongkan suatu perbuatan sebagai wajib atau
sunnah atau salah satu perbuatan dilakukan untuk suatu waktu dan perbuatan
lain untuk waktu yang lain, atau bahwa suatu kejadian mewajibkan sesuatu
sedangkan kejadian lain memberikan keringanan, sehingga untuk
memahaminya harus dipelajari secara mendalam.
Dengan demikian, maka terhadap hadits-hadits yang berbeda, dapat
pula diputuskan bahwa salah satu hadits dapat menunjukkan suatu peraturan
yang ditetapkan secara pasti (’azîmah), artinya bahwa kekuatan syari‟at
tampak jelas, sedangkan hadits lainnya dapat menunjukkan keringanan
(rukhṣ ah), yang dalam hal ini syari‟at mempertimbangkan adanya kesulitan.
Adapun cara-cara untuk menghadapi hadits-hadits yang berbeda
adalah dengan mereduksi setiap hadits ke dalam satu pola jika alasan
penetapan keduanya mengindikasikan ’illah yang jelas dan relevansinya
(dengan hukum) membuktikannya. Setelah itu, kedua hadits itu ditafsirkan
101
sebagai hadits yang memakruhkan suatu perbuatan atau menunjukkan
kebolehan sesuatu, dengan cara yang umum, jika hal itu mungkin dilakukan
atau ditafsirkan bahwa penekanan dalam hadits itu berfungsi sebagai faktor
pencegah jika hal ini telah didahului oleh perselisihan (Syāh Walî Allāh
(2005: 239).
Jika dua hadits termasuk dalam ruang lingkup fatwa (rekomendasi
hukum) mengenai suatu masalah, atau keputusan mengenai kasus tertentu dan
jika alasan hukumnya tampak jelas, sehingga bisa dibedakan keduanya, maka
keputusan yang diambil harus dibuat sesuai dengan alasan hukum (’illah)
tersebut. Misalnya, pertanyaan seorang pemuda kepada Nabi saw. mengenai
mencium (wanita) saat berpuasa dan Nabi saw. tidak melarangnya. Dalam
hadits lain, seorang tua bertanya mengenai hal yang sama dan Nabi saw.
melarangnya. Jika konteks salah satu hadits itu menunjukkan adanya
kebutuhan atau tuntutan terus menerus dari pihak penanya, atau
menggambarkan keinginan untuk mengurangi kesempurnaan suatu perbuatan,
atau sebagai pencegahan bagi seseorang yang bersikap terlalu keras pada
dirinya sendiri, maka keputusan yang diambil bisa didasarkan atas prinsip
penafsiran yang tegas (’azîmah) atau prinsip keringanan hukum (rukhṣ ah)43
(Syāh Walî Allāh (2005: 239).
Dapat pula ditemukan ada dua hadits yang mengemukakan solusi
kepada seseorang yang sedang berada dalam kesulitan, atau menunjukkan dua
hukuman bagi suatu kejahatan, atau dua macam kafarah bagi orang yang
43
Penafsiran tegas (’azîmah) menunjukkan adanya larangan tegas mencium, sedangkan
prinsip keringanan hukum (rukhṣ ah) membolehkan mencium.
102
melanggar sumpah, maka kedua hadits itu bisa dianggap shahih dan
keshahihan keduanya pun bisa dibatalkan. Berdasarkan prinsip inilah
persoalan tentang seorang wanita yang masa haidnya berlangsung lama
diputuskan. Kadang-kadang diputuskan bahwa ia harus mandi besar di antara
dua sholat dan kadang-kadang ia harus menghitung masa haid terakhir
sebagai standar lamanya haid untuk dirinya, atau riwayat yang lain
menjadikan hari-hari ketika darah keluar sangat banyak sebagai standar waktu
haid seseorang. Ia dapat memilih di antara kedua ketetapan itu, karena
lamanya haid yang biasa dialami dan karakter darah merupakan tanda-tanda
umum yang menunjukkan menstruasi (Syāh Walî Allāh (2005: 239).
Pada kasus lain, dapat ditemukan dua hadits yang tidak mungkin
dilakukan kompromi atau untuk saling menjelaskan satu sama lain. Hal ini
bisa disebabkan karena tidak ada salah satu hadits yang membatalkan atas
hadits yang lainnya. Maka, langkah-langkah yang ditempuh adalah memilih
salah satu hadits tersebut, baik dengan meneliti kualitas sanadnya, intuisi
hukum para perawinya, kekuatan mata rantai sanad kepada Nabi saw.,
keterlibatan para perawi di dalam masalah itu, atau dengan meneliti kualitas
matannya, seperti ketegasan dan kejelasannya, meneliti kesesuaian hukum itu
dan alasan pensyari‟atannya dengan syari‟at ilahi. Kemudian melihat
relevansi kekuatan alasan hukumnya dengan hukum-hukum yang
keefektifannya telah diakui, atau dengan melihat faktor luar misalnya hadits
103
tersebut diterima oleh lebih banyak orang yang berilmu44
(Syāh Walî Allāh
(2005: 239).
Beberapa penjelasan di atas menujukkan metode-metode Syāh Walî
Allāh dalam melakukan penggalian hukum yang bersumber dari hadits-
hadits.45
Metode-metode tersebut memiliki nuansa konsistensi dan
eklektisisme yang sangat kuat dalam menyikapi hadist-hadits yang berbeda.
Konsistensi ini ditunjukan dengan sikap Syāh Walî Allāh yang sangat kuat
dalam membela hadits-hadits Nabi saw., sedangkan eklektisisme ditunjukkan
pada sikapnya yang selalu berusaha untuk mengkompromikan dan menerima
hadits-hadits meskipun memiliki nuansa tendesi hukum yang berbeda-beda
dalam satu masalah.
Selanjutnya, Syāh Walî Allāh menyatakan bahwa sebab terjadinya
terhadap perbedaan pendapat dalam persoalan furu’iyyah ialah karena
perbedaan metode ijtihad. Perbedaan ini tidak hanya terjadi di kalangan
ulama abad IV Hijriyah, akan tetapi telah terjadi jauh pada masa sahabat dan
tabi‟in. Ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi‟in memiliki cara
yang berbeda dan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Ijtihad dilakukan dengan cara meneliti hadits-hadits Nabi saw., sehingga
ketetapan yang diperoleh sesuai dengan hadits.
44
Sangat dimungkinkan bahwa usaha untuk menemukan kualitas hadits atas dua hadits
yang bertentang dari berbagai segi tidak menghasilkan apapun. Jika demikian, jika terdapat
kontradiksi hadits yang tidak dapat dipertemukan atau diselesaikan dengan berbagai cara, kedua
hadits tersebut dianggatp tidak memiliki kekuatan. 45
Dalam hal hadits Syāh Walî Allāh sangat concern terhadap kitab al-muwaṭ ṭ a’ karya
Imam malik. Ia menyatakan”Imam Malik adalah orang yang paling menguasai dan terpercaya
dalam hal hadits-hadits ahli Madinah dengan sanad dari Rasulullah” (1986: 38).
104
2. Sangat mungkin muncul suatu masalah yang diperselisihkan oleh dua
sahabat, kemudian mereka menemukan hadits yang tingkat keshahihannya
cukup tinggi, sehingga salah seorang di antara mereka mencabut hasil
ijtihadnya.
3. Memegang hasil ijtihadnya sendiri dikarenakan hadits yang ditemukan
diragukan keshahihannya.
4. Dalam menetapkan sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi saw, ada yang
menafsirkannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
(qurbah), dan ada yang menganggapnya sebagai perbuatan biasa (mubāh).
Pendapat para sahabat Nabi berbeda-beda dan setiap tabi‟in
mempelajari apa-apa yang mereka dapatkan dari para sahabat dengan cara-
cara tersebut. Aktifitas yang dilakukan oleh para tabi‟in ialah menghafal
hadits-hadits Nabi saw. dan pendapat para sahabat yang mereka dengar dan
mereka pikirkan, menggabungkan sumber-sumber yang berbeda-beda lalu
memilih beberapa pendapat untuk dijadikan pegangan. Demikian juga
perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama madzhab menjadi perhatian
Syāh Walî Allāh.
Sumber hukum Islam secara garis besar terdapat pada tiga entitas
yaitu al-Qur‟an, Sunnah dan ijtihad (dengan berbagai bentuknya). Perbedaan
pendapat terjadi pada entitas yang ketiga yaitu ijtihad. Ketika seorang ulama
melakukan ijtihad dengan bersumber pada al-Qur‟an dan Sunnah, belum tentu
menghasilkan keputusan yang sama. Ijtihad ulama ahli hadits akan berbeda
dengan ahli ra’yu. Ahli hadits lebih banyak berijtihad dengan meneliti hadits-
105
hadits yang dikumpulkannya, sedangkan ahli ra’yu akan melakukan takhrîj
berdasarkan prinsip yang telah dibangun oleh ulama terdahulu, dalam hal ini
biasanya mereka membadingkan masalah-masalah yang sepadan dan
mengembalikannya pada satu prinsip tertentu tanpa meneliti hadits dan ātsar
yang berkaitan dengan masalah tersebut. Kompromi atas berbagai perbedaan
pendapat menjadi jalan tengah yang di tawarkan Syāh Walî Allāh (1986:61)
untuk menjawab berbagai persoalan. Boleh jadi hasil istinbāṭ ahkām antara
ahli hadits dengan ahli ra’yu (imam mujtahid/ ulama fiqih) berbeda, padahal
masing-masing memiliki dasar yang kokoh, oleh karena itu yang perlu
dilakukan dalam hal ini adalah dengan melakukan kompromi, mencocokkan
satu dengan yang lainnya, atau melengkapi kekurangan antara satu dengan
yang lainnya.
Determinasi Syāh Walî Allāh dalam menunjukkan sebab-sebab yang
terjadi di kalangan umat Islam dari baik pada masa sahabat, tabi‟in dan ulama
madzhab ini mengandung maksud bahwa sesungguhnya Syāh Walî Allāh
ingin menegaskan bahwa dalam ranah furu’iyyah yang didalamnya terkadung
tujuan syari‟at demi kemaslahan umat, ijtihad harus senantiasa dilakukan
sejalan dengan perkembangan jaman. Sikap ini tercermin dalam
pemikirannya mengenai hadits yang menyatakan bahwa eksistensi hadis
sangat penting, sebab seseorang tidak akan bisa mengetahui syariat dan
hukum-hukum Allah kecuali melalui hadis Nabi. Maka, untuk dapat
mengetahui syari‟at dan hukum Allah, ia membagi hadits ke dalam dua
kategori, yaitu risālah dan ghairu risālah.
106
Kategori pertama (risālah), yaitu hadis yang disampaikan dengan
jalan risalah (mā sabīluhū sabīlu tablīgh al-Risālah). Hadits ini muncul dari
diri Nabi sebagai pembawa risalah dan harus ditaati. Sebab bisa dikatakan
bahwa apa yang diterima Nabi pada kedudukan tersebut merupakan wahyu
atau juga ijtihad Nabi atas bimbingan wahyu. Adapun dasar yang dipakai
dalam merumuskan hal tersebut adalah QS. al-Hasyr ayat 7.
ب اتن اىشعه فخز ب ن ع فتا
“Apa yang diberikan Nabi kepadamu maka ambillah, dan apa yang ia
larang maka jauhilah” (QS. Al-Hasyr ayat 7)
Ada pun menurut Syāh Walî Allāh (2005: 223-4) jenis hadis yang masuk
dalam kategori risālah adalah sebagai berikut:
1. Ilmu-ilmu tentang hari akhirat dan keajaiban-keajaiban yang tidak dapat
dicapai oleh manusia biasa. Semua hal ini berdasarkan wahyu dari Allah.
2. Aturan-aturan syariat, batasan-batasan ibadah, dan masalah-masalah
irtifāqāt (peradaban manusia). Sebagian dari hal yang disebutkan
merupakan hasil wahyu yang diberikan Allah. Sementara sebagian yang
lain adalah hasil ijtihad Nabi Muhammad yang setingkat dengan wahyu,
sebab Allah melindungi beliau dari pemikiran yang salah.
3. Kebijakan-kebijakan praksis (hikam mursalah) dan kemaslahatan mutlak
yang Nabi tidak menetapkannya untuk waktu tertentu dan tidak pula
menentukan batasannya, seperti penjelasan Nabi tentang yang baik dan
buruk. Hal ini termasuk ijtihad Nabi, akan tetapi Allah sebelumnya telah
107
memberikan prinsip-prinsip irtifāqāt atau bisa dikatakan berdasarkan
bimbingan wahyu. Seperti penjelasan tentang baik dan buruk.
4. Keutamaan-keutamaan perbuatan dan sifat-sifat istimewa dari orang yang
berbuat kebajikan. Menurut Syāh Walî Allāh, sebagian dari hal ini
berdasar pada wahyu dan sebagian lainnya berdasarkan pada ijtihad Nabi.
Kategori kedua (ghairu risālah) adalah hadis yang tidak termasuk
dalam jalan penyampaian risalah (mā laisa min bāb tablīgh al-Risālah). Jika
Nabi saw. berada dalam posisi ini, maka tidak wajib ditaati, sebab
kapasitasnya adaah sebagai manusia biasa. Pengetahuan yang dimiliki Nabi
saw diperoleh melalui pengalaman. Syāh Walî Allāh menyandarkan
pendapatnya ini pada dua hadits Nabi saw.:
سأ ء ثش شتن إرا أ فخزا ث دن ء ثش شتن ب ثشش إرا أ ب أ إ
ب أ شلفئ ى فضت ف عقش زا قبه اى ح خ أ ب ثشش قبه عنش
“Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintah kalian dalam
urusan agama maka ambillah, dan jika aku memerintah sesuatu
menurut pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku hanyalah
manusia biasa.”46
اىي ع إرا حذثتن ىن ت ظب فيب تؤاخز ثبىظ ب ظ فئ إ
جو عض أمزة عي اىي فئ ى ئب فخزا ث ش
“Aku hanya membuat perkiraan, maka jangan kalian mencelaku
dengan pendapatku ini. Namun, jika aku memberitahumu tentang
sesuatu mengenai Allah, maka terimalah. Sebab aku tidak akan pernah
berdusta mengenai Allah Azza wa Jalla”47
46
Hadist ini penulis temukan di dalam buku Mirqāh al-Mafātîh Syarh Misykāh al-
Maṣ ābîh karya Ali Ibn Sulṭ an Muhammad al-Qārî, Beirut: Dār al-Fikr, 2002. Hadits ke 147. 47
Terdapat dalam Ṣ aḫ îh Muslim bi Syarh Nawawî, Kairo: Dār al-Khoir, 1996, hlm. 503.
108
Menurut Syāh Walî Allāh (2005:224), yang termasuk dalam kategori
ini adalah:
1. Ilmu-ilmu tentang pengobatan (medis), misalnya bekam.
2. Ilmu-ilmu yang didapatkan melalui pengalaman.
3. Segala hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan Nabi saw. dan bukan
masalah ibadah (ritual keagamaan), misalnya cara tidur Nabi saw.
4. Berbagai topik yang biasa Nabi bicarakan layaknya pembicaraan orang
kebanyakan, misalnya obrolan Zaid bin Tsābit dengan Nabi saw. tentang
makanan.
5. Segala hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya
juz’iyyah (temporal) dan bukan sebagai kebijakan yang berlaku selamanya
bagi seluruh umat, seperti hadis tentang ramal.
Ketika melakukan istinbāṭ al-ahkām, Syāh Walî Allāh senantiasa
mencari petunjuk-petunjuk lain yang terdapat di dalam hadits. Menurutnya,
bahwa ketika Nabi saw memahami alasan bagi suatu rangkaian perkataan
dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan tidak ada orang lain yang dalam
memahaminya selain diri Nabi karena bagitu halusnya ungkapan-ungkapan
yang digunakan dalam ayat-ayat itu dan sangat mungkin memunculkan
berbagai penafsiran, maka Nabi saw. memiliki kebebasan untuk menetapkan
hukum sesuai dengan pemahamannya. Sebagaimana terungkap dalam firman
Allah:
(751إ اىصفب اىشح شعبئش اهلل )اىجقشح:
109
Menurutnya, ayat tersebut di atas dipahami oleh Nabi bahwa al-ṣ afā harus
didahulukan dari pada al-marwā karena ada persesuaian. Sehingga
memunculkan pernyataan Nabi “Mulailah dengan apa-apa yang telah dimulai
oleh Allah”.
Kemudian firman Allah:
(71التغجذا ىيشظ ال ىيقش اعجذا هلل اىز خيق )فصيت:
(17فيب أفو قبه ال أحت األفي )األعب:
Kedua ayat di atas memiliki munāsabah yang berkaitan dengan anjuran untuk
melakukan sholat gerhana matahari dan gerhana bulan.
Sedangkan firman Allah:
(775)اىجقشح:هلل اىششق اىغشة
Ayat di atas dijadikan sebagai dasar kebolehan menghadap selain arah Kiblat
jika dalam keadaan darurat. Menurutnya, bahwa Nabi menetapkan
menghadap Kiblat merupakan kewajiban yang dapat dibebaskan bagi
seseorang dalam keadaan darurat. Misalnya, seseorang yang mencari arah
Kiblat pada malam hari yang gelap sehingga ia mungkin melakukan
kesalahan dan mengerjakan sholat dengan menghadap ke arah yang berbeda.
Syāh Walî Allāh mengangkat beberapa masalah furu’iyah dan
kemudian menetapkan solusinya. Tentang pengucapan takbir pada hari-hari
tasyrîq 48
, bilangan takbir pada sholat hari raya,49
pernikahan seseorang yang
48
Hari-hari tasyrîq ialah tiga hari setelah hari raya kurban. Pada hari-hari tersebut kalimat
Allahu Akbar diucapkan dengan keras dalam berbagai zikir. Para pengikut Hanafî dan Syafi‟î
menganggap perbuatan tersebut sebagai sunnah (dianjurkan). Para Malikî menganggapnya sebagai
anjuran (mandūb). (Al Jaziri, :355-357).
110
sedang melakukan ihrām,50
cara melakukan tasyāhud dan sebagainya.
Menurutnya, cara yang benar untuk menetapkan hukumnya adalah memilih
salah satu di antara kedua pendapat yang berbeda. Menurutnya, bahwa dalam
hal pensyari‟atan tidak terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat
lebih berkaitan dengan mana yang lebih benar. (2005:269). Berbeda dengan
masalah hukum ziarah kubur, Syāh Walî Allāh berpendapat bahwa ziarah
kubur yang tujuannya diluar ketentuan syar‟i seperti meminta terpenuhi
segala kebutuhannya jelas keharamannya, dan hal ini tidak ada perbedaan
pendapat sama sekali di kalangan ulama (1936: 45).
Sebagian kelompok membuat prinsip bahwa yang khāṣ (nash yang
bersifat khusus) adalah mubayyan (tidak menerima lagi penjelasan). Prinsip
ini tidak diterima oleh Syāh Walî Allāh.51
Dengan memegang prinsip ini,
maka ketika mereka mentakhrîj tindakan orang terdahulu dalam mengerjakan
sholat, sehubungan dengan firman Allah surat al-Hajj ayat 77:
49
Orang Kuffah biasa menambahkan kalimat takbir sampai tiga kali dalam setiap rakaat
sholat dan orang Madinah sampai tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat
kedua. Muṣ āffā, I, hlm. 178. Ini dapat dilihat dalam Hujjatullāh al-Bāliġah, II, Bab “Dua Hari
Raya”. Al-Syafi‟î juga mengatakan bahwa takbir harus diucapkan dengan keras dalam Idul Fitri,
sedangkan Abū Hanîfah tidak. 50
Ini tidak sah menurut al- Syafi‟î dan jumhur ulama, namun Abū Hanîfah
membolehkannya karena percaya bahwa Nabi Muhammad menikahi Maimunah pada waktu itu.
Syāh Walî Allāh cenderung pada pendapat untuk tidak mengumumkan pernikahan (Syāh Walî
Allāh, II, 2005: 59). 51
Prinsip tersebut dibuat oleh para pengikut Imam Abu Hanifah, meskipun Imam Abu
Hanifah sendiri tidak pernah mengatakan bahwa yang khāṣ adalah mubayyan. Prinsip tersebut
dibangun berdasarkan pemahaman para pengikutnya (Syāh Walî Allāh, 1986:89)
111
”Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan”.
Juga hadits Nabi:
ال تجضا صالح اىشجو حت ق ظش ف اىشمع اىغجد
“Tidah sah sholat seseorang sehingga meluruskan punggungnya dalam
ruku‟ dan sujud”
Berdasarkan prinsip yang khāṣ adalah mubayyan tersebut, mereka tidak
mewajibkan ṭ uma’ninah dalam ruku‟ dan sujud, sebab tidak menjadikan
hadits di atas sebagai penjelas dari surat al-Hajj. Bagi Syāh Walî Allāh, hadits
tersebut merupakan penjelas dari surat al-Hajj, oleh karena itu, ṭ uma’ninah
diwajibkan dalam ruku‟ dan sujud (Syāh Walî Allāh, 1986: 89).
Prinsip lain yang ditentang Syāh Walî Allāh adalah statemen bahwa
nash yang ‟ām adalah qath’î. Contoh penerapan prinsip ini ketika mentakhrîj
surat al-Muzammil ayat 20:
“...karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran..”
Jika memahami ayat ini dengan prinsip nash yang ‟ām adalah qath’î, maka
dalam ibadah sholat tidak diwajibkan membaca surat al-fātihah. Padahal ada
hadits Nabi yang menjelaskan kewajiban membaca surat al-fātihah di dalam
sholah.
ثفبتحخ اىنتبة )سا اىتشز( الصالح إال
“tidak sah shalat, kecuali dengan membaca surat al-fātihah”
112
Prinsip-prinsip dalam melakukan istinbāṭ al-ahkām yang dibangun
oleh Syāh Walî Allāh bersifat komprehensif dan kompromistis. Komprehensif
mengandung segala unsur baik sumber yang digunakan maupun metode
pengambilan hukumnya. Sedangkan kompromistis yaitu memadukan
beberapa pendapat yang berbeda kemudian mencari jalan tengah.
Ketika memahami konteks sejarah Islam, Syāh Walî Allāh (1936:13)
juga mendasarkan pemahamannya berdasarkan nash. Sebagai contoh adalah
tentang kekhalifahan, barangkali Syāh Walî Allāh satu-satunya seorang ulama
yang secara jelas mendefinisikan khalifah berdasarkan perannya. Ia membagi
khalifah menjadi dua yaitu khalîfah ẓ āhir dan khalîfah bāṭ in. Khalîfah
ẓ āhir memiliki peran untuk menegakkan jihad, hudūd, jināyah, pajak,
hukum. Peran untuk menegakkan ketentuan-ketentuan tersebut hanya bisa
dilakukan oleh seorang pemimpin yang adil. Khalîfah bāṭ in memikili peran
untuk memberikan pengajaran tentang al-Qur‟an, hikmah, nasehat-nasehat
kebaikan dan penguatan jiwa umat. Peran khalifah yang kedua ini hanya bisa
dilakukan oleh para ulama. Ia mendasarkan pada surat at-Taubah ayat 40:
“.. dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”
Serta Surat al-Baqarah (2) ayat 129:
113
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau,
dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Quran) dan al-hikmah
(as-sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”
Atas dasar pembagian ini, Syāh Walî Allāh mengganggap bahwa setelah
wafatnya Nabi saw. sistem kekhalifahan (dalam konteks kenegaraan) yang
paling ideal adalah masa kekhalifahan empat sahabat. Keempat sahabat
tersebut mampu melaksanakan perannya sebagai khalîfah ẓ ōhir sekaligus
khalîfah bāṭ in.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat analisis bahwa Syāh Walî Allāh
memberikan apresiasi yang sama kepada semua madzhab, meskipun kadang-
kadang kemudian ia melakukan istinbāt sendiri. Apresiasi ini sekaligus
mengindikasikan sikapnya untuk memelihara tradisi. Madzhab-madzhab yang
berkembang merupakan manifestasi dari tradisi itu sendiri. Syāh Walî Allāh
menegaskan bahwa yang mampu memahami syari‟at Allah secara sempurna
hanyalah Nabi Muhammad saw. Setelah wafatnya Nabi, adalah generasi
Sahabat dan tabi‟in yang mampu melakukan penggalian hukum secara baik,
karena masa mereka yang masih dekat dengan masa Nabi. Setelah masa
sahabat dan tabi‟in selesai, munculkan generasi mujtahid yang memiliki
kemampuan dan ilmu untuk melakukan ijtihad dengan metodenya masing-
masing. Perbedaan metode ijtihad ini yang dalam perkembangan selanjutnya
114
menjadi madzhab. Sikap taqlîd yang berlebihan terhadap madzhab
menimbulkan perbedaan dan perselisihan yang berujung pada justifikasi
sepihak. Dalam hal ini Syāh Walî Allāh melakukan kontruksi motode ijtihad
yaitu dengan rekonsiliasi madzhab. Implikasinya, ketika ijtihad dilakukan
petunjuk yang digunakan adalah al-Qur'an, Sunnah dan ijtihad (ijmā’ &
qiyās)52
sebagai dasar menggali hukum. Dalil-dalil umum nash (al-Qur'an,
Sunnah) sebagai rujukan utama, jika terdapat perbedaan maka digunakan
takhṣ îṣ . Kemudian, jika terdapat perbedaan hasil ijtihad diantara para
ulama, maka dilakukan rekonsiliasi dan penelitian antara satu dengan yang
lain dan kemudian dilakukan takhrîj.
52
Syāh Walî Allāh cenderung mengambil pendapat yang menyatakan bahwa setelah al-
Qur‟an dan as-sunnah, ijma‟ dan Qiyas sebagai rujukan untuk menggali hukum Islam (Syāh Walî
Allāh, 1385:3).