92820307 sindrom obstruksi post tb

4
1 SINDROM OBSTRUKSI POST TB PENDAHULUAN Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP Persahaba Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara 16%50%. Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri. Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom obstruksi pasca TB. SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1) menyebutnya emfisēma obstruksi kronik. Martin dan Hallet(2) menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin(3) menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha dan Bruckner(4) menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi; Tanuwtharja menyebutnya sirndrom obstruksi difus(5). Di Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT). PATOGENESIS Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada terjadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara(3). Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. Sedangkan Gaensler(5) dan Snider et al(8) menyatakan bahwa kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak menemukan perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam perkembangan emfisema. Gaensler dan Lindgren(5) berpendapat bahwa bronkitis kronis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi. Bell(11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan obstruksi(12). Baum(13), Crofton dan Douglas(14) menyatakan bahwa reaksi hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi spesifiknya sendiri. Hennes et al(15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak paru

Upload: angset

Post on 22-Jun-2015

128 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: 92820307 Sindrom Obstruksi Post Tb

1

SINDROM OBSTRUKSI POST TB

PENDAHULUAN

Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan berbagai

nama. Di Bagian Unit Paru RSUP Persahaba Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan

sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi

pada TB paru bervariasi antara 16%–50%. Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB

paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian

terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah

akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan

reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru

makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan

beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi

cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang

dapat dideteksi secara spirometri. Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom

obstruksi pasca TB.

SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB

Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai

nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1) menyebutnya emfisēma obstruksi kronik. Martin dan

Hallet(2) menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin(3)

menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha dan Bruckner(4) menyebutnya

sindrom ventilasi obstruksi; Tanuwtharja menyebutnya sirndrom obstruksi difus(5). Di Unit

Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis

sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita

bekas TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT).

PATOGENESIS

Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan

obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah

pada terjadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada

emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang

menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara(3). Emfisema kompensasi yang ditemukan

pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak

obstruktif. Sedangkan Gaensler(5) dan Snider et al(8) menyatakan bahwa kelainan obstruksi

pada TB paru tidak berasal dari emfisema kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak

menemukan perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada kasus TB dan non

TB, perubahan emfisema yang tidak merata lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai

efek lokal dalam perkembangan emfisema. Gaensler dan Lindgren(5) berpendapat bahwa

bronkitis kronis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema

obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat

daerah retraksi. Bell(11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari

mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema

dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan

bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan

obstruksi(12). Baum(13), Crofton dan Douglas(14) menyatakan bahwa reaksi hipersensitif

terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB yang mati sering tampak berupa

perubahan non spesifik yaitu peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi

spesifiknya sendiri. Hennes et al(15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak paru

Page 2: 92820307 Sindrom Obstruksi Post Tb

2

manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti terhadap jaringan yang rusak. Pada

emfisema mungkin timbul zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan

penting pada patogenesis emfisema. Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru

dengan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok, lama sakit, luas lesi telah

diteliti oleh beberapa peneliti(2,6–11,13) Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis

paru lanjut di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan obstruksi

berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit, tetapi tidak berhubungan dengan umur,

kebiasaan merokok, luas kelainan dan distribusi lesi(9). Pemeriksaan perubahan faal ventilasi

penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka pendek dengan tujuan khusus pada

gangguan obstruksi di RSUP Persahabatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan

positif antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan obstruksi pada

penderita TB paru maupun bekas TB paru bersifat ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel

ini merupakan akibat proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan bekas

TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di RSTP Cipaganti Bandung

mendapatkan sindrom obstruksi difus pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom

obstruksi ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mempunyai hubungan

dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak mempunyai hubungan dengan jenis kelamin

dan lama sakit(9). Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sindrom obstruksi

difus pada penderita TB adalah karena infeksi kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik

perseorangan, dapat menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya netrofil

ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini

menyebabkan beban proteolitik dan oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli

sehingga menimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari pemeriksaan

spirometri.

SISTIM IMUNITAS TUBUH

Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesifik dan nonspesifik(16,17)

(Gambar 1). Gambar 1. Sistem Imun(16) Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan

tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat

memberikan respon langsung terhadap antigen, sedangkan sistim imun spesifik

membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan

responnya(17,18). Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai daya proteksi

melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa sistim pertahanan tubuh yang spesifik

maupun nonspesifik(19–22). Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang

paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme(20,22). Makrofag ini penting dalam

sistim imun karena kemampuan memfagosit serta respon imunologiknya(20). Kemampuan

untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai sejumlah lisozim di

dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang

merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai reseptor terhadap

komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini meningkatkan kemampuan sel makrofag untuk

menghancurkan benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen(17,20,21). Selain

bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat mengeluarkan beberapa bahan yang

berguna untuk menarik dan mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam

reaksi inflamasi(20).

TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN

Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertamatama lekosit

polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan

hasil tapi tidak dapat menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil dapat

terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat perlindungan dari serangan antibodi

Page 3: 92820307 Sindrom Obstruksi Post Tb

3

yang bekerja ekstraseluler. Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera

mengalami lisis(18). Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh makrofag. Sel makrofag

aktif akan mengalami perubahan metabolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga

mampu memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang terpenting adalah hidrogen

peroksida (H2O2). Chaparas 1984(23) menerangkan bahwa mikobakterium tuberkulosis

mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melindunginya terhadap pengaruh luar yang

merusak dan juga mengaktifkan sistim imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang

jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan : • Penglepasan komponen toksik kuman ke

dalam jaringan • Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap

antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman

lebih lanjut. • Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak akan muncul

menimbulkan anergik dan prognosis jelek. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai

ketika makrofag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada

limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan

makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepaskan

interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan interleukin-2 yang

selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi

respon lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas

melalui peranan yang komplek dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB

progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis

jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi

mediatornya. Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis masih belum jelas,

salah satu adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Pada makrofag aktif,

metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida,

hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel

dan dinding sel, lalu bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen membunuh

hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan

makrofag, dengan demikian hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain.

Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggungjawab destruksi

matriks(24). Komponen utama yang membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri

dari : kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan mikrofibril),

proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah yang paling banyak jumlahnya dalam

janingan ikat paru(24). Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk matriks dinding

alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dani suatu molekul. Bila

kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu akan berubah.

Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel dan anti protease. Sel

neutrofil melepas beberapa protease yaitut(24,25) :

1) Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan protein janingan ikat lain sehingga

sanggup menghancurkan dinding alveoli.

2) Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama

elastase.

3) Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat

menimbulkan emfisema.

4) Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin aktivator merubah plasminogen

menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan

bekerja sama dengan elastase. Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti(25) :

a) Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara langsung merusak sel

terutama pneumosit I.

b) Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis.

c) Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun.

Page 4: 92820307 Sindrom Obstruksi Post Tb

4

Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk

jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka

yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru

menahun dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi secara spirometri.

KESIMPULAN

Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan

obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat kompleks;

kemungkinannya antara lain :

1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga dapat menimbulkan

reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru

makrofag aktif.

2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB.

3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan oksidasi akibat infeksi TB.

4) TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka

lama, akibatnya proses.proteolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga

destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan pant yang, menahun dan

mengakibatkan gangguan faal pant yang dapat dideteksi secara spirometri.

SARAN

Untuk mengetahui apakah pada sindrom obstruksi ditemui peradangan kronis maka

penulis enyarankan pemeriksaan hipereaktifitas bronkus.