9. bab i pendahuluan

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan issue yang menonjol dalam pengelolaan administrasi publik yang muncul sekitar dua dasa warsa yang lalu. Tuntutan kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan adalah sejalan dengan kemajuan tingkat pengetahuan serta pengaruh globalisasi. Di dalam rumusan Pasal 3 UU. Nomor 28 Tahun 1999, telah secara tegas dan limitatif diatur prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik atau lebih dikenal dengan istilah good governance. Kesemua prinsip-prinsip good governance harus menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangan penerimaan CPNS, khususnya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dimaksudkan, agar filosofi the right man on the right place (penempatan seseorang sesuai dengan keahliannya) 1

Upload: eko-ardianto

Post on 02-Jan-2016

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan issue yang

menonjol dalam pengelolaan administrasi publik yang muncul sekitar dua

dasa warsa yang lalu. Tuntutan kepada pemerintah untuk melaksanakan

penyelenggaraan pemerintahan adalah sejalan dengan kemajuan tingkat

pengetahuan serta pengaruh globalisasi.

Di dalam rumusan Pasal 3 UU. Nomor 28 Tahun 1999, telah secara

tegas dan limitatif diatur prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik atau lebih

dikenal dengan istilah good governance. Kesemua prinsip-prinsip good

governance harus menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam

menjalankan kewenangan penerimaan CPNS, khususnya prinsip

transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dimaksudkan, agar filosofi the right

man on the right place (penempatan seseorang sesuai dengan keahliannya)

tetap menjadi dasar pertimbangan dalam rangka penerimaan CPNS. Namun

tidak menutup kemungkinan penerimaan CPNS di daerah-daerah, dinilai

sangat sarat dengan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pada masa orde baru pengangkatan seorang aparat birokrasi

pemerintahan menghendaki profesionalisme dalam diri seorang pejabat.

Indikasi ini dapat dilihat pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan yang

1

dijabat oleh orang-orang profesional sesuai dengan potensi, dedikasi, dan

prestasi yang bersangkutan.

Di era reformasi, nuansa profesionalisme dalam sistem rekruitmen PNS

tuntutannya semakin tinggi. Konsep teori “The Right Man on The Right

Place” ingin diwujudkan dan menjadi agenda reformasi dan birokrasi

pemerintahan. Aplikasinya, dilakukanlah perubahan peraturan

penyelenggaraan pemerintah daerah dengan menetapkan Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi daerah yang

nyata, luas dan bertanggungjawab dan dapat menjamin perkembangan dan

pembangunan daerah.

Dan sebagaimana diamanatkan dalam Penjelasan Undang – Undang

Nomor 8 Tahun 1974; Jo. Undang – Undang Dasar Nomor 43 Tahun 1999

tentang pokok – pokok kepegawaian bahwa diperlukan Pegawai Negeri yang

berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung

jawab dalam penyelesaian tugas pemerintahan dan pembangunan, serta

bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pekerjaan PNS saat ini diminati oleh sebagian besar pencari kerja. Di

Indonesia menjadi seorang PNS bisa jadi sebuah impian untuk hampir

semua pencari kerja. PNS sangat menarik karena adanya kepastian seperti

gaji, keberlangsungan pekerjaan, dan pensiunan.

2

Di dalam organisasi birokrasi tidak hanya terdapat Pegawai Negeri Sipil

yang memberikan pelayanan kepada masyarakat tetapi terdapat pegawai

honorer yang membantu PNS dalam melaksanakan tugas birokrasi. Tenaga

honorer menurut PP No 48 tahun 2005 Jo. PP 43 tahun 2007 tentang

Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS adalah seseorang yang

diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain dalam

pemerintahan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu pada isntansi

pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN/APBD.

Eksistensi pegawai honorer daerah diakui secara formal dalam UU No.

43 tahun 1999 tentang perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Kepegawaian pasal 2 ayat (3) dan diimplementasikan dalam

struktur sumber daya aparatur Indonesia, yang berfungsi membantu

pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan pada masyarakat

khususnya di daerah. Belum adanya sistem pengelolaan pegawai honorer

daerah secara nasional, telah mendorong pemerintah daerah berinisiatif

mengangkat pegawai honorer daerah dengan alasan kebutuhan unit kerja

walaupun rekruitmennya dilakukan tanpa mekanisme standar seleksi yang

benar.

Besarnya animo masyarakat bekerja jadi honorer tidak terlepas dari

pola pikir yang menjadikan honorer sebagai daftar tunggu untuk menjadi

PNS. Hal ini disebabkan PNS dianggap memiliki jaminan hidup dan

3

kemapanan. Dengan pekerjaan ringan dan mendapatkan gaji tiap bulan serta

tunjangan pensiun memberikan rasa aman bagi PNS.

Setelah munculnya PP No. 48 Tahun 2005 jo PP No. 43 tahun 2007

tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS, praktis banyak

masyarakat dalam usia kerja rela menjadi tenaga honorer. Masuk menjadi

tenaga honorer dengan honor yang sangat sedikit bahkan cenderung tidak

manusiawi dan berada jauh dibawah UMR rela dijalani dengan harapan

suatu saat dapat diangkat menjadi PNS dengan mempertimbangkan masa

kerja dan pengabdian mereka. 

Seiring dengan kebijaksanaan pemerintah sesuai dengan PP No. 43

tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS,

mendorong pemerintah Kabupaten Barru instansi terkait untuk melakukan

rekruitmen CPNS sesuai dengan mekanisme yang termuat dalam peraturan

pemerintah tersebut. Di dalam PP No. 43 Tahun 2007 tersebut. Di atur

sejumlah persyaratan, kriteria, sistem dan prosedur (mekanisme)

pelaksanaann rekruitmen CPNS yang menjadi pedoman atau petunjuk teknis

pelaksanaan bagi instansi terkait khususnya BKD baik itu untuk tenaga

honorer kategori 1 maupun kategori 2. Tenaga honorer Kategori 1

merupakan tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai oleh Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah sedangkan tenaga honorer kategori 2 merupakan tenaga honorer

yang penghasilannya tidak dibiayai oleh APBN/APBD.

4

Dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS harus disertai

dengan pelaksanaan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagai upaya

mewujudkan Good Governance di Indonesia. Transparansi (Krina, 2003:14)

adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang

untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan , yakni

informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta

hasil-hasil yang dicapai. Sedangkan akuntabilitas (Mardiasmo, 2009:18)

merupakan pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang

dilakukan.

Realitas yang terjadi selama proses pelaksanaan rekruitmen honorer

menjadi CPNS di beberapa wilayah, dimana sejumlah ketentuan

pelaksanaan yang telah diatur dalan PP No. 43 Tahun 2007 seharusnya

dipedomani/dijalankan oleh pihak-pihak yang terkait langsung dalam proses

penerimaan CPNS namum dalam kenyataannya kurang optimal. Hal ini

terlihat dalam beberapa praktek pelaksanaannya di beberapa wilayah di

Indonesia dimana terdapat beberapa hal yang seharusnya ditransparansikan

dan dilaksanakan secara akuntabel sebagaimana tuntunan peraturan

pemerintah diatas namun justru cenderung disalah artikan dan tidak

dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab. Di samping itu,

beberapa persyaratan seperti usia CPNS honorer dan masa pengabdian

dipolitisir oleh pemerintah daerah. Selain itu, ada pula permasalahan

5

mengenai ketidaksesuaian antara latar pendidikan tenaga honorer dengan

unit kerja mereka.

Di Kabupaten Barru, dari sekitar 53 tenaga honorer kategori 1 yang

diloloskan oleh Badan Kepegawaian Daerah untuk diusulkan ke pemerintah

pusat, ada 18 tenaga honorer yang dinyatakan lolos menjadi CPNS pada

tahap verifikasi pertama dan setelah diverifikasi ulang ternyata tenaga

honorer yang tersisa sebanyak 17 orang. Diperlukan keterbukaan perihal

tenaga honorer yang memenuhi kriteria dan yang tidak tidak memenuhi

kriteria. Mengenai prosedur pengangkatan CPNS ini dibutuhkan pelaksanaan

prinsip transparansi dan akuntabilitas karena tidak menutup kemungkinan

penerimaan CPNS di daerah-daerah, dinilai sangat sarat dengan perbuatan

korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan pengangkatan tenaga

honorer menjadi CPNS yang terkhusus pada tenaga honorer kategori 1 (K1)

di Kabupaten Barru dengan Judul “Implementasi Prinsip Good

Governance dalam Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS di

Kabupaten Barru”

6

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat

ditetapkan suatu masalah pokok, yaitu:

1. Bagaimana implementasi prinsip transparansi dalam pengangkatan

tenaga honorer kategori 1 menjadi CPNS di Kabupaten Barru?

2. Bagaimana implementasi prinsip akuntabilitas dalam pengangkatan

tenaga honorer kategori 1 menjadi CPNS di Kabupaten Barru?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui implementasi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam

pengangkatan tenaga honorer kategori 1 menjadi CPNS di Kabupaten Barru.

1.4. Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan memiliki

manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat akademis:

a. Sebagai salah satu kontribusi pemikiran ilmiah dalam

melengkapi kajian yang mengarah pada pengembangan ilmu

pengetahuan terutama ilmu pemerintahan.

b. Sebagai salah satu bahan referensi bagi para peneliti lainnya

yang berminat mengenai masalah-masalah pengangkatan

tenaga honorer menjadi CPNS.

7

2. Manfaat praktis:

Sebagai bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi pihak

pemerintah Kabupaten Barru agar kedepannya lebih baik dalam

proses pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS.

1.5. Kerangka Konsep

1.5.1. Konsep Implementasi

Secara harfiah implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan.

Untuk lebih jelasnya, implementasi dapat diartikan sebagai suatu usaha

atau kegiatan berkesinambungan yang dilakukan untuk mewujudkan

rencana atau program menjadi kenyataan. Bernadine R. Wijaya &

Susilo Supardo dalam Harbani Pasolong (2011:57), mengatakan bahwa

implemetasi adalah proses mentransformasikan suatu rencana ke

dalam praktik. Implementasi pada dasarnya operasionalisasi dari

berbagai aktivitas guna mencapai suatu tujuan.

Sejalan dengan pendapat Hinggi dalam Harbani Pasolong

(2011:57) yang mendefinisikan implementasi sebagai rangkuman dari

berbagai kegiatan yang di dalamnya sumber daya manusia

menggunakan sumber daya yang lain untuk mencapai sasaran strategi.

1.5.2. Konsep Good Governance

World Bank dan OECF dalam Rahardjo Adisasmita (2011:23)

mensinonimkan Good Governance dengan penyelenggaraan

manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang

8

sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah

alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik

secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran

serta penciptaan legal and political frameworks (kerangka dasar hokum

dan politik) bagi tumbuhnya kewiraswastaan.

UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good

governance, meliputi: partisipasi,rule of law, transparansi, responsive,

consensus orientation, equity, efisien dan efektif, akuntabilitas dan

strategic vision.

1.5.3. Implementasi Prinsip Good Governance

Dalam proses pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dalam

penelitian ini akan ditinjau melalui dua prinsip Good Governance, yaitu

prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Krina (2003:13) mendefinisikan transparansi sebagai prinsip yang

menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh

informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan , yakni informasi

tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil –

hasil yang dicapai.

Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan.

Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi

mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau

publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan

9

persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat

beradsarkan preferensi public.

Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu: (1) salah satu wujud

pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan (2) upaya

peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan

pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi,

korupsi dan nepotisme (KKN).

Agus Dwiyanto (2006:80) mendefinisikan transparansi sebagai

penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya

kemudahan di dalam memperoleh informasi-informasi yang akurat dan

memadai. Dari pengertian tersebut dijelaskan bahwa transparansi tidak

hanya sekedar menyediakan informasi tentang penyelenggaraan

pemerintahan, namun harus disertai dengan kemudahan bagi

masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut.

Pelaksanaan prinsip transparansi pemerintahan paling tidak dapat

diukur melalui sejumlah indikator sebagai berikut:

a. Adanya sistem keterbukaan dan standarisasi yang jelas dan

mudah dipahami dari semua proses-proses penyelenggaraan

pemerintahan.

10

b. Adanya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan

publik tentang proses-proses dalam penyelenggaraan

pemerintahan.

c. Adanya mekanisme pelaporan maupun penyebaran informasi

penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan

penyelenggaraan pemerintahan.

Konsep akuntabilitas menurut Taliziduhu Ndraha (2003:85)

berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban

sendiri dapat dijelasakan dari adanya wewenang. Wewenang di sini

berarti kekuasaan yang sah. Menurut Krina (2003:9) akuntabilitas

adalah prinsip yang menjamin setiap kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh

pelaku kepada pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan.

Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dituntut di

semua tahap mulai dari penyusunan program kegiatan, pembiayaan,

pelaksanaan, dan evaluasinya, maupun hasil dan dampaknya. Untuk

mengukur akuntabilitas pemerintahan secara objektif perlu adanya

standar dan indikator yang jelas untuk mengukur pelaksanaan

penyelenggaraan pemerintahan. Indikator dari prinsip akuntabilitas

dapat dilihat dari:

a. Adanya mekanisme pelaporan atas kinerja kepada instansi

pihak yang berwenang.

11

b. Pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan didasarkan atas

peraturan hukum yang berlaku, memiliki prosedur serta standar

yang jelas.

c. Adanya tindak lanjut pengaduan.

1.5.4.Tenaga Honorer dalam PP No. 48 tahun 2005 jo. PP No.43

Tahun 2007

Eksistensi pegawai honorer daerah diakui secara formal dalam

UU No. 43 tahun 1999 tentang perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974

tentang Pokok-pokok Kepegawaian pasal 2 ayat (3) dan

diimplementasikan dalam struktur sumber daya aparatur Indonesia,

yang berfungsi membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan

pelayanan pada masyarakat khususnya di daerah.

Tenaga honorer menurut PP No 48/2005 jo PP 43/2007 Tentang

Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS adalah seseorang yang

diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain dalam

pemerintahan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu pada isntansi

pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN/APBD.

Penghasilan tenaga honorer dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah

penghasilan pokok yang secara tegas tercantum dalam alokasi

belanja pegawai/upah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

12

Dalam hal penghasilan tenaga honorer tidak secara tegas

tercantum dalam alokasi belanja pegawai/upah pada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah, maka tenaga honorer tersebut tidak termasuk

dalam pengertian dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Misalnya,

dana bantuan operasional sekolah, bantuan atau subsidi untuk

kegiatan/ pembinaan yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,

atau yang dibiayai dari retribusi.

Tenaga Honorer yang penghasilannya dibiayai oleh APBN/APBD

dikategorikan sebagai tenaga honorer kategori 1, sedangkan

tenaga honorer yang penghasilannya tidak dibiayai oleh

APBN/APBD dikategorikan sebagai tenaga honorer kategori 2.

Setelah dijelaskan mengenai prinsip transparansi dan akuntabilitas,

maka prinsip tersebut akan dikaitkan dengan PP No. 43 tahun 2007

tentang pengangkatan tenaga honorer kategori 1 menjadi CPNS.

13

Untuk lebih jelasnya maka dapat disusun suatu Kerangka konsep

yang dijabarkan melalui skema berikut:

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual

14

Persyaratan Pengangkatan Tenaga honorer menjadi

CPNS berdasarkan PP No.43 Tahun 2007:

Usia

masa kerja

sumber penghasilan

Implementasi Prinsip Good Governance dalam pengangkatan

tenaga honorer

Indikator transparansi:keterbukaan dan kejelasan standarisasi mekanisme pertanyaanmekanisme pelaporanIndikator akuntabilitas:mekanisme pelaporan kinerjaberdasarkan peraturan hukum

tindak lanjut pengaduan

CPNS

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi

Selatan khususnya dalam lingkungan Badan Kepegawaian Daerah

Kabupaten Barru.

1.6.2. Tipe dan Dasar Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif

dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai

masalah-masalah yang diteliti, menginterpretasikan dan menjelaskan

data secara sistematis.

Dasar penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang

menfokuskan masalah pada pelaksanaan prinsip transparansi dan

akuntabilitas dalam pengangkatan tenaga honorer kategori 1 menjadi

CPNS.

1.6.3. Informan

Informan dalam penelitian ini terdiri dari seluruh komponen atau

bagian yang terlibat dalam proses pengangkatan tenaga honorer

kategori 1 menjadi CPNS. Adapun informan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Kepala Badan Kepegawaian Daerah

Kepala Bidang Pengembangan dan Pelatihan Pegawai

Staf bidang Pengembangan dan Pelatihan Pegawai

15

Tenaga honorer yang lulus

Tenaga honorer yang tidak lulus

1.6.4. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer

dan data sekunder antara lain:

a. Data Primer, data yang diperoleh dari hasil wawancara yang

penulis lakukan serta pengamatan secara langsung terhadap

informan.

b. Data sekunder, data yang diperoleh dari dokumen-dokumen,

catatan-catatan, laporan-laporan maupun arsip-arsip resmi, yang

dapat mendukung kelengkapan data primer.

1.6.5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang akurat, relevan, dan dapat

dipertangggungjawabkan maka penulis menggunakan beberapa teknik

dalam pengumpulan data karena masing-masing mempunyai kelebihan

dan kekurangan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu :

a. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan

pengamatan langsung objek penelitian.

b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dimana peneliti

secara langsung mengadakan tanya jawab dengan informan

yang telah ditentukan.

16

c. Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca

buku, majalah, surat kabar, dokumen-dokumen, undang-

undang dan media informasi lain yang ada hubungannya

dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS.

1.6.6. Analisis Data

Di dalam penelitian ini, untuk menganalisis data yang telah

dikumpulkan dan diseleksi digunakan teknik analisis data deskriptif-

kualitatif, yaitu data-data yang telah dihimpun dan dikumpulkan baik

primer maupun sekunder selanjutnya disusun, dianalisis,

diinterpretasikan untuk kemudian dapat diambil kesimpulan sebagai

jawaban atas masalah yang diteliti.

1.7. Definisi Operasional

Untuk memberikan suatu pemahaman agar memudahkan penelitian ini

maka disusun definisi operasional sebagai berikut:

1. Implementasi transparansi yang dimaksud adalah pelaksanaan prinsip

transparansi/keterbukaan dalam pengangkatan tenaga honorer kategori

1 menjadi CPNS di Kabupaten Barru. Adapun indikator-indikator dalam

prinsip transparansi yaitu:

a. Adanya sistem keterbukaan dan standarisasi yang jelas dan mudah

dipahami dari semua proses penyelenggaraan pengangkatan tenaga

honorer kategori 1 menjadi CPNS.

17

b. Adanya pemahaman akan peraturan/persyaratan atau mekanisme

yang memfasilitasi pertanyaan tentang proses pengangkatan tenaga

honorer kategori 1 menjadi CPNS.

c. Adanya mekanisme pelaporan maupun penyebaran informasi

penyimpangan tindakan aparat dalam penyelenggaraan

pengangkatan tenaga honorer kategori 1 menjadi CPNS.

2. Implementasi akuntabilitas yang dimaksud adalah pelaksanaan prinsip

akuntabilitas dalam pengangkatan tenaga honorer kategori 1 menjadi

CPNS di Kabupaten Barru. Adapun indikator dalam prinsip ini adalah:

a. Adanya mekanisme pelaporan atas kinerja pengangkatan tenaga

honorer kategori 1 menjadi CPNS kepada instansi pihak yang

berwenang.

b. Pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer kategori 1 menjadi

CPNS didasarkan atas peraturan hukum yang berlaku.

c. Adanya mekanisme tindak lanjut pengaduan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 sebagai perubahan

pertama PP Nomor 48 tahun 2005 menjelaskan bahwa tenaga honorer

adalah adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina

kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan

tugas-tugas tertentu pada isntansi pemerintah atau yang penghasilannya

menjadi beban APBN/APBD.

18

Persyaratan pengangkatan tenaga honorer kategori 1 adalah sebagai

berikut:

a. Usia paling tinggi 46 tahun dan paling rendah 19 tahun pada 1

Januari 2006;

b. Mempunyai masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1

(satu) tahun pada 31 Desember 2005, dan sampai saat

pengangkatan CPNS masih bekerja secara terus-menerus;

c. Penghasilannya dibiayai dari APBN/APBD.

19