89561093 trauma pelvis final
DESCRIPTION
...TRANSCRIPT
-
TRAUMA PELVIS
PEMBIMBING:
DR dr. Fachri A T , SpB, SpOT(K) FICS
OLEH :
Unedo Meidi H.S
BAGIAN ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG
2008
-
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Trauma Pelvis
Oleh : Unedo M.H.S
Bagian : Bedah Umum
Semester : 4
Bandung, Maret 2008
Menyetujui, Mengetahui,Pembimbing Kepala Bagian Orthopedi dan Traumatologi
DR. dr. Fachri A. T, SpB, SpOT (K) FICS Prof. DR. dr. Darmadji SpB, SpOT(K) FICS
-
PENDAHULUAN
Fraktur pada pelvis terjadi akibat trauma tumpul dan berhubungan dengan
angka mortalitas antara 6% sampai 50%. Walaupun hanya terjadi pada 5% trauma,
penderita biasanya mempunyai angka ISS (injury severity score) yang tinggi dan
sering juga terdapat trauma mayor di organ lain, karena kekuatan yang dibutuhkan
untuk terjadinya fraktur pelvis cukup signifikan. Sebagai contoh, insidensi robekan
aorta thoracalis meningkat secara signifikan pada pasien dengan fraktur pelvis
terutama tipe AP kompresi.
Pada pasien dengan trauma pelvis dapat terjadi hemodinamik yang tidak stabil,
dan dibutuhkan tim dari berbagai disiplin ilmu. Status hemodinamik awal pada pasien
dengan fraktur pelvis adalah faktor prediksi utama yang dihubungkan dengan
kematian. Fangio P,et al (2005) mempublikasikan pada penelitiannya bahwa angka
kematian pada pasien dengan hemodinamik stabil adalah 3,4% yang dibandingkan
dengan yang hemodinamik tidak stabil adalah sebesar 42%.
Karena trauma multipel biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur pelvis,
hipotensi yang terjadi belum tentu berasal dari fraktur pelvis yang terjadi. Walaupun
demikian, pada pasien fraktur pelvis yang meninggal, perdarahan pelvis terjadi pada
50% pasien yang meninggal. Pasien dengan fraktur pelvis mempunyai 4 daerah
potensial perdarahan hebat, yaitu :
1. Permukaan tulang yang fraktur
2. Trauma pada arteri di pelvis
3. Trauma pada plexus venosus pelvis
4. Sumber dari luar pelvis
II. ANATOMI PELVIS
Hubungan antara tulang pelvis dan vaskularisasinya menjelaskan mengapa
sering terjadi perdarahan pada fraktur pelvis.
a Tulang dan ligament.Tulang pelvis adalah struktur seperti cincin yang terdiri dari 3 tulang yang
bersatu yaitu 1 tulang sacrum dan 2 tulang innominata. Tiap tulang inominata
-
terbentuk dari 3 tulang, yaitu ilium, ischium, dan pubis. Tulang inominata bergabung
dengan sacrum di posterior pada 2 sacroiliac (SI) joint. Pada daerah anterior bergabung pada simfisis pubis. Tanpa adanya ligamentum pada struktur ini, cincin
pelvis tidak akan mencapai stabilitasnya. Aspek posterior pelvis distabilisasi oleh
ligamentum yang sangat kuat.(Fig 1A).
Ligamentum ini menghubungkan sacrum dengan tulang inominata. Stabilitas
yang diberikan SI ligamen posterior harus dapat menahan kekuatan weight-bearing
-
yang ditransmisikan melalui SI ligamen ke ekstremitas bawah. Simfisis berfungsi
sebagai penopang saat weight-bearing untuk
mempertahankan struktur cincin pelvis. Ligamentum posterior SI dibagi
menjadi komponen yang pendek dan panjang. Komponen pendek berjalan oblique
dari posterior sacrum ke spina iliaca posterior superior dan posterior inferior.
Komponen panjang berjalan longitudinal dari aspek lateral sacrum ke spina iliaca
posterior superior dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberous.
Pada sisi anterior, SI joint dilingkupi oleh struktur ligamen lemah yang pipih dan
tipis (Fig 1B) yang berjalan dari ilium ke sacrum. Struktur ini memberikan stabilitas
yang minimal, yang berfungsi sebagai kapsul yang melingkupi SI joint dan
memisahkannya dari isi cavum pelvis. Hampir semua struktur yang ada pada SI joint
adalah struktur yang kuat. Pada posisi tegak, berat dari bagian atas tubuh
mendorong sacrum ke bawah antara iliac wings dan menyebabkan 580 rotasi
dorsoventral.
Tulang inominata bergerak ke belakang dan ke bawah dimana pada saat yang
bersamaan rami pubis bergerak ke atas. Reduksi yang tepat dan pengembalian
morfologi dari SI joint tidaklah terlalu penting karena kontak erat antara permukaan
artikular tidak terjadi pada keadaan normal.
Simfisis pubis terdiri dari 2 permukaan kartilago hialin yang saling berhadapan.
Permukaan ini dilingkupi dan dikelilingi oleh jaringan fibrosa yang cukup tebal.
Simfisis didorong inferior oleh otot yang berinsersi pada ligamentum arcuatum. Posisi
yang paling tebal adalah pada sisi superior dan anterior.
Beberapa ligamen berjalan dari spine ke pelvis. Ligamentum iliolumbaris
mengamankan pelvis ke vertebra lumbalis. Ligamentum ini berasal dari processus
transversus L4 dan L5 dan berinsersi pada posterior dari crista iliaca. Ligamentum
lumbosacral berjalan dari processus L5 ke ala sacrum. Ligamentum ini membentuk
pegangan yang kuat dan menempel pada akar N.spinalis L5.
b Otot-otot
Pelvis yang intak membentuk 2 area anatomis mayor. False pelvis dan true
pelvis dipisahkan oleh pinggir pelvis, atau garis iliopectineal yang berjalan dari
promontorium sacralis sepanjang perbatasan antara ilium dan ischium ke ramus
-
pubis. Tidak ada struktur mayor yang melewati pinggiran ini. Diatasnya false pelvis
(greater pelvis) berisi ala sacral dan iliac wings, membentuk bagian dari rongga
abdomen. Bagian dalam false pelvis dilingkupi oleh otot iliopsoas. True pelvis (lesser
pelvis) terletak dibawah pinggir pelvis. Dinding lateralnya terdiri dari pubis, ischium
dan sebuah segitiga kecil dari ilium. Termasuk didalamnya foramen obturatorium,
yang ditutupi oleh otot dab membran, dan terbuka di bagian superior dan medial
untuk jalan dari nervus obturator dan pembuluh darah. Obturator internus berasal
dari membran dan melingkari lesser sciatic notch dan menempel pada ujung
proximal femur. Tendon obturator internus adalah struktur yang penting karena
berfungsi sebagai penanda untuk akses ke columna posterior.
Otot piriformis berorigin dari aspek lateral dari sacrum dan adalah penanda
untuk menemukan nervus sciaticus. Biasanya, nervus sciatic meninggalkan pelvis
diatas otot piriformis dan memasuki greater sciatic notch. Kadang-kadang sisi
peroneal berjalan diatas dan melewati piriformis. Dasar dari true pelvis terdiri dari
coccyx, otot coccygeal dan levator ani, urethra, genitalia dan rectum. Semuanya
melewati struktur ini.
c. Pleksus syaraf
Plexus lumbosacralcoccygeus dibentuk oleh rami anterior T12 s/d S4 (fig 2),
yang paling penting adalah L4 s/d S1. Syaraf lumbalis L4 dan L5 memasuki true
pelvis dari false pelvis, dimana nervus sacral adalah bagian dari true pelvis. Syaraf
L4 berjalan antara L5 dan SI joint dan bergabung dengan L5 untuk membentuk
truncus lumbosacralis pada promontorium sacralis (12 mm dari garis joint). Syaraf L5
berjarak 2 cm dari SI joint dan keluar dari foramen intervertebralis. Syaraf sacralis
melewati foramen sacralis dan bergabung dengan pleksusnya. Beberapa cabang
menuju otot mayor dalam pelvis. Nervus glutealis superior dan inferior berjalan
ventral ke piriformis dan memasuki pelvis melalui greater sciatic notch. Nervus
pudendalis (S2,3 dan 4) mempersyarafi otot sfingter pelvis dan dapat terkena pada
fraktur pelvis. (Fig 3)
-
d. Suplai darah arteriSuplai darah major pada pelvis didapat dari a. hipogastrica (cabang iliaca
interna). Arteri hipogastric terdapat pada level SI joint (Fig 4).
-
Arteri yang berasal dari hipogastric, awalnya berjalan bersama-sama sampai
ke lengkungan posterior pelvis dan saling beranastomosis, membentuk hubungan
kolateral. A glutealis superior adalah cabang terbesar. Karena berasal dari
lengkungan kanan dari a hipogastrica dan mempunyai proteksi otot yang sedikit,
maka arteri ini mudah sekali terkena pada fraktur dari lengkungan pelvis posterior.
Cabang obturator dan pudendal interna paling sering terkena pada fraktur ramus
pubis.
e. Drainase vena
Sistem drainase vena pada pelvis juga mepunyai cabang kolateral yang
sangat banyak, dengan tanpa valve sehingga dapat terjadi aliran balik. (Fig 5) Vena
terbentuk dengan plexus yang besar yang terdapat pada dinding pelvis. Karena
dinding vena ini relatif tipis, vena ini tidak dapat berkontraksi sebagai respon
terhadap cedera. Plexus venosus pelvis bersifat ekstensif, sehingga dapat
memberikan perdarahan yang signifikan bila terjadi disrupsi, walaupun tekanan vena
normal.
III. PATOFISIOLOGI PERDARAHAN RETROPERITONEAL PADA FRAKTUR PELVIS
Susunan anatomi yang sedemikian rupa dari ateri dan vena menjelaskan
frekuensi dan besarnya perdarahan yang terjadi pada fraktur pelvis. Tanpa
melakukan angiografi, tidak mungkin untuk mengetahui secara klinis apakah
perdarahan retroperitoneal disebabkan kerusakan arteri, vena ataupun kapiler.
Kebanyakan dari hematoma pada pelvis, biasanya berasal dari sistem vena dan
tertahan oleh peritoneum yang intak. Mekanisme hemostatik normal menyebabkan
terjadinya hematoma, walaupun sebagian terus meluas dan menyebabkan syok
hemorhagik, mungkin juga pada perdarahan akibat kerusakan arteri.
Hematom arteri atau vena dari retroperitoneal dapat mengimbibisi ke
mesenterium intestinal dan membuat gejala klinik akut abdomen. Hematoma dapat
juga menjalar ke anterior dan menuju dinding abdomen, dan mengecewakan
-
operator laparotomi dan diagnostik peritoneal lavage karena memberikan hasil positif
palsu. Hematom retroperitoneal juga bisa robek melalui peritoneum menuju rongga
abdomen, yang menghilangkan efek tamponade.
Pasien fraktur pelvis dengan hipotensi mempunyai angka mortalitas 50%.
Perdarahan dari fraktur pelvis yang berasal dari laserasi dari vaskularisasi pelvis dan
terkumpul pada rongga retroperitoneal, tapi terlihat sebagai perdarahan dapat terjadi
dari sumsum tulang yang fraktur (terutama pada orang tua dengan tulang yang
rapuh). Koagulopati adalah salah satu sebab dari perdarahan retroperitoneal dan
harus selalu dipertimbangkan bila pasien tidak memeberikan respon dengan
resusitasi.
IV. SISTEM GENITOURINARIUS
Komponen mayor dari sistem genitourinarius yang terlibat dalam trauma
pelvis adalah kandung kemih dan urethra. Kandung kemih terletak di superior dari
dasar pelvis (otot coccygeal dan levator ani). Otot ini terletak di atas ligamentum.
Fascia dari lantai pelvis mobile dan jarang.
Pada laki-laki, prostat berada antara kandung kemih dan lantai pelvis dan
ditutupi oleh membran yang cukup tebal. Urethra melalui prostat dan keluar dibawah
lantai pelvis. Arteri, vena dan nervus pudendal (S2-4) berhubungan dengan pasase
urethra menembus difragma urogenitale, dan nervus otonom pelvis (S2-4) yang
bertanggung jawab pada mekanisme ereksi pada laki-laki.
Perbatasan antara prostat dan lantai pelvis sangat kuat seperti juga urethra
pars membranosa. Titik lemah pada area ini adalah urethra dibawah diafragma
pelvis dalam pars bulbosa. Ketika kandung kemih dalam keadaan penuh dan ditekan
dengan kekuatan yang besar, dapat terjadi ruptur urethra pada laki-laki ( paling
sering pada pars bulbosa) dibawah lantai pelvis. Kadang-kadang, dapat juga terjadi
ruptur urethra pars membranacea di atas lantai pelvis. Pada wanita, cedera urethra
terjadi paling sering terjadi dekat bladder neck.
Kontinensi urine tergantung pada sfingter eksterna (otot lurik) pada urethra
pars membranaceus (midurethra pada perempuan) dan pada bladder neck (otot
polos) pada laki-laki dan perempuan. Pemahaman tentang anatomi pelvis akan
meningkatkan kewaspadaan dalam mengenali perdarahan retroperitoneal, juga
-
cedera yang mengenai sistem genitourinarius dan gastrointestinal.
V. MANAGEMEN AWAL a Prehosital care
Penilaian prehospital dilakukan oleh paramedic yang dilatih untuk mengenali
cedera pelvis yang tidak stabil dari mekanisme cedera dan pemeriksaan fisik.
Deformitas anggota gerak bawah tanpa fraktur tulang panjang dan struktur pelvis
yang mobile yang dikonfirmasi dengan kompresi manual pada pelvis memberikan
pentunjuk fisik untuk sebuah cedera pelvis. Jika cedera seperti itu timbul pada fase
prehospital, dan diberikan stabilisasi seperti PASG(pneumatic antishock garment),
vacuum splint, atau ikat pinggang untuk stabilisasi pelvis yang terbaru dapat
mencegah syok hipovolemik dan dapat menyelamatkan nyawa.
Alat PASG banyak terjadi komplikasi seperti kapasitas ventilasi yang menurun,
compartment sindrom pada ekstremitas, dan hipotensi saat melepaskan alat.
Primary Survey
Penilaian pada penderita trauma dimulai dengan evaluasi gangguan yang
mengancam kehidupan yang berhubungan dengan trauma pelvis. Pendekatan
secara tim yang termasuk Bedah umum trauma, bedah orthopaedi, intensivist,
radiologist intervensi, dan bila diperlukan, bedah urologi dan atau bedah syaraf
adalah anggota tim yang penting untuk managemen optimal dari pasien trauma ini.
Pada pasien dengan fraktur pelvis harus dicurigai juga adanya trauma lain
seperti, cedera kepala berat, trauma thorax, aorta, dan cedera abdomen dan yang
paling sering, cedera vascular retroperitoneal yang disebabkan fraktur pelvis.
Mekanisme cedera dapat dipakai sebagai prediksi beratnya fraktur pelvis.
Cedera dengan energi yang lemah yang terjadi akibat jatuh dari ketinggian
rendah (1 m) dapat terjadi pada pasien tua, atau pasien dengan osteoporosis.
Fraktur pelvisnya sendiri bisa tidak stabil, tapi pada pasien ini banyak masalah
cedera lainnya, seperti traumatic brain injury (TBI) terutama bila mendapat terapi
antikoagulan atau pengobatan dengan antiplatelet.
Cedera low-energy dapat terisolasi, tetapi mekanisme high-energy biasanya
berhubungan dengan pertimbangan lain, termasuk perdarahan pada 75 % pada
-
pasien, cedera urogenital pada 12 % pasien (Lee.J,et al, 2000), dan cedera plexus
lumbosacral pada 8 % pasien (Cornwall, et al, 2000). Angka kejadian ruptur aorta
adalah 8 kali lebih banyak pada fraktur pelvis high-energy daripada trauma tumpul
abdomen secara keseluruhan. Angka kematian pada grup high-energy berkisar
antara 15 -25 %.
Cedera high-energy biasanya disebabkan kecelakaan sepedamotor, sepeda,
atau jatuh dari ketinggian (Ertell, 2001). Pasien ini biasanya tidak sadar atau
diintubasi sehingga memerlukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menilai stabilitas
pelvis dan juga cedera lainnya. Enampuluh sampai delapan puluh persen pasien
dengan fraktur pelvis high-energy juga terkena cedera muskuloskeletal lain
(Demetriades, 2002)
V. TRAUMA PELVIS SECARA UMUM
Prioritas resusitasi seperti pada ATLS, harus dilakukan untuk meyakinkan
pasien telah stabil. Prioritas harus dipertimbangkan dalam menangani airway,
brathing, dan sirkulai. Ahli bedah trauma dan orthopaedi harus terlibat dalam primary
survey dan managemen inisial pada pasien dengan fraktur pelvis untuk
mengoptimalisasikan pengambilan keputusan. Harus dilakukan pemeriksaan pelvis
yang teliti dan cepat sehingga setiap tanda instabilitas dapat ditemukan dan dapat
direncanakan pengobatan yang cepat dan tepat.
VI. AKSES SIRKULASI, EVALUASI, DAN KONTROL PERDARAHAN
Setelah airway dan breathing distabilisasi, haruslah dikejar kontrol sirkulasi
(terutama bila terjadi syok hipovolemik). Yang paling penting adalah penentuan
tempat dari perdarahan dan mengontrolnya. Pemasangan 2 buah iv line besar (no
14-16) harus dipasang di ekstremitas atas pada pasien dengan trauma pelvis atau
abdomen. Penggunaan ekstremitas bawah sebagai tempat IV line tidak
direkomendasikan pada traumapelvis atau abdomen karena cairan yang diinfuskan
mungkin tidak akan memasuki sirkulasi sentral karena adanya kemungkinan
kerusakan pada vena pelvis atau vena cava inferior.
Selanjutnya, dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan pelvic binder (Fig
-
6) untuk melakukan tamponade dari perdarahan pelvis, terutama pada trauma
dengan fraktur yang open book. Walaupun ada resiko kecil secara teoritis bahwa
elemen posterior akan terbuka dengan teknik ini, namun pevic binder dirancang
untuk memberikan tekanan yang tetap pada elemen posterior sekaligus menutup
kerusakan diastase pada anterior. Harus dilakukan foto pelvis sebelum dan sesudah
pemasangan sebagai kontrol. (Fig 7)
-
Pada keadaan dimana pelvic binder tidak tersedia, sebuah metode simpel
untuk mengikat pelvis dapat dilakukan dengan mengikat secara sirkumferensial
pelvis dengan sprei atau kain yang kuat. Kain kemudian diikat dengan kuat ke
anterior dengan ujungnya difiksasi dengan klem. (Fig 8)
-
Adalah penting untuk tidak mengikat kain dengan simpul di anterior karena
dapat memberikan tekanan yang berlebihan dan dapat menyebabkan kerusakan
kulit. Keuntungan dari kain ini adalah dapat dilakukan angiografi (dengan
pembolongan kain) dan bila diperlukan laparotomi, kain dapat diturunkan ke panggul.
Pelvic binder adalah alat yang temporer sebelum dilakukan fiksasi eksterna
dan atau angiografi iliaca interna dan atau repair definitif pelvis. Pada pasien dengan
fraktur vertikal yang tidak stabil, traksi pada femoral distal (contoh, Steinman) pin
harus dipasang untuk menurunkan hemipelvis (Fig 8B)
Sangat direkomendasikan telah dipasang iv akses dan cairan inisial telah
dimasukkan sebelum dilakukan pelepasan pelvic binder atau alat PASG, karena
hipotensi yang signifikan sering terjadi pada saat ini.
Secara bersamaan, volume yang cukup harus diberikan sesuai dengan
keadaan klinis pasien. Dapat diterapkan rumus 1 ml kehilangan darah diganti dengan
3 ml kristaloid, atau menurut ATLS diberikan 2 L kristaloid sebagai cairan inisial. Jika
didapatkan respon yang baik, pemberian kristaloid maintenance harus diberikan
sambil menunggu darah.
Pada pasien dengan respon transien atau no response, dimasukkan lagi 2 L
kristaloid dan kemudian dimasukkan darah O negatif tanpa crossmatch (biasanya
dengan PRBC) secara cepat. Keadaan ini membutuhkan kontrol perdarahan
secepatnya. Pasien ini terus membutuhkan cairan yang banyak dan masif secara
terus menerus. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan terjadinya suatu dilutional
coagulopathy. Infus Trombosit atau FFP harus segera disiapkan. Dengan rule of
thumb, 2-4 unit FFP dan 5-6 unit trombosit diperlukan untuk setiap 5-10 unit PRBC
yang dimasukkan. Sebagai tambahan, cryoprecipitate dan recombinant activated
faktor VII juga diperlukan pada kondisi seperti ini.
VII. RESUSITASI, DISABILITAS DAN EKSPOSUR
Monitoring yang tepat pada respon pasien terhadap resustasi adalah sangat
penting. Perfusi ke perifer dapat dilihat dari capillary refill, bentuk pulsasi, warna kulit,
dan temperatur tubuh. Metode monitoring yang lebih spesifik memerlukan kateter
urine untuk mencata urine output (target 0,5ml/kg/menit) dan akses arterial untuk
-
mengukur tekanan arteri dan pemeriksaan analisa gas darah secara berkala. Status
volume dapat diketahui dari metode monitoring ini dan dapat ditambah dengan
pemeriksaan central venous pressure (CVP). Perdarahan yang masih berlangsung
dapat dimonitor melalui pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit. Mengenai kadar
laktat, masih menjadi perdebatan apakah termasuk indikasi untuk menentukan status
resusitasi.
Monitoring suhu tubuh (core body temperatur) sangat penting dalam
pemberian cairan berjumlah banyak dan terus menerus. Darah dan kristaloid
biasanya lebih dingin dari suhu ruangan. Volume yang besar selama resusitasi
membuat pasien menjadi dingin dan menambahkan efek syok hipovolemik sebagai
faktor lingkungan. Menghangatkan cairan intravena dan darah diperlukan untuk
mempertahankan suhu tubuh setidaknya pada 32 C s/d 35 C. Lebih dianjurkan untuk
mencapai suhu normal 37 C. Suhu yang lebih rendah menyebabkan problem
koagulasi, fibrilasi ventrikel, angka infeksi surgical yang tinggi dan gangguan asam
basa.
Gastrik tube harus dimasukan melalui nasal kecuali ada fraktur basis cranium.
Kateterisasi urine digunakan untuk melakukan dekompresi sebelum dilakukan
diagnostic peritoneal lavage (DPL) atau laparotomi dilakukan.
Sebelum dilakukan kateterisasi pada laki-laki harus diperiksa adanya
perdarahan dari meatus urethra, adanya hematom skrotum, dan pemeriksaan
palpasi prostat. Pada perempuan, dilakukan pemeriksaan vagina seperti inspeksi
meatus pada pria. Jika pada pemeriksaan diatas didapatkan hal-hal tersebut, maka
diperkirakan adanya cedera uretra, dan kateterisasi uretra harus ditangguhkan
sampai dilakukan retrograd urethrogram pada pasien stabil, atau dilakukan
katetrisasi kandung kemih suprapubic sementara pada pasien yang tidak stabil.
Telah dilaporkan bahwa pada 57% laki-laki dengan cedera uretra akibat fraktur pelvis
tidak memberikan gejala klasik. Urethrografi dilakukan setelah hemodinamik pasien
stabil (Marvin, 2000).
VIII. GRADING DARI FRAKTUR PELVIS
Berbagai klasifikasi pada fraktur pelvis telah ada dan sangat kompleks.
-
Kalsifikasi anatomis dari Letournel dan Judet menggambarkan area dimana tulang
pelvis biasanya patah dan berguna untuk mengkategorikan fraktur secara anatomis
(Fig 9) tapi tidak memberikan gambaran mengenai mekanisme cedera.
Sebuah pemahaman tentang pola fraktur dan mekanisme cedera sangatlah
penting. Young and Burgess menggambarkan klasifikasi berdasarkan mekanisme
cedera. Sistem ini dibuat untuk memberikan traumatologis dapat memperkirakan
cedera berat lain yang menyertai pada pelvis dan abdomen (Burgess, 1990). (Fig 10)
-
Terdapat 3 mekanisme cedera mayor menurut Young and Burgess, yaitu :
a. Cedera kompresi lateral. Tabrakan dari arah lateral dapat mengakibatkan berbagai macam cedera, tergantung dari kekuatan tabrakan yang terjadi.
a. Tipe AI (impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama
(ipsilateral)cedera yang stabil.
b. Tipe AII (impaksi sakral dengan fraktur iliac wing ipsilateral atau
terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis)
c. Tipe AIII (sama dengan tipe An dengan tambahan cedera rotasional
eksterna dengan SI joint kontralateral dan fraktur ramus pubis
b. Kompresi anteroposterior, yang dihasilkan oleh gaya dari anterior ke
-
posterior yang mengakibatkan terbukanya pelvis.
a. Tipe BI (diastasis simfisis 2,5 cm dengan terbukanya SI joint tapi
tidak terdapat instabilitas vertikal)
c. Tipe BIII(Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis dengan
kemungkinan adanya pergeseran vertikal)
c. Vertically unstable atau shear injury, Hemipelvis yang tidak stabil atau disebut juga dengan fraktur malgaigne.
Terdapat pula klasifikasi lain, namun yang terpenting adalah pengertian dari pola
fraktur, mekanisme dan stabilitasnya.
IX. EVALUASI DIAGNOSTIK DAN RENCANA TERAPI
Secondary survey ( fraktur pelvis)
Klasifikasi dari fraktur mungkin tidak dapat diketahui pada primary survey.
Setelah pasien diperiksa dan semua cdedera yang mengancam kehidupan telah
diatasi, resusitasi dilanjutkan sambil melakukan secondary survey. Pada tahapan ini
work up trauma dan evaluasi yang lebih teliti dari fraktur pelvis dilakukan ( dengan
staging dari cedera signifikan lain)
Harus diperhatikan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, instabilitas pelvis,
termasuk deformitas dari ekstremitas bawah tanpa fraktur tulang panjang, biasanya
terdapat perbedaan panjang tungkai (leg length discrepancy) yang membuat
pemendekan atau rotasi eksternal/internal, tergantung dari cederanya.
Pembengkakan dan kontusi yang masif di daerah flank, paha atau pantat dengan
adanya hematom atau perdarahan adalah tanda dari adanya perdarahan banyak dari
fraktur pelvis atau struktur yang berdekatan.
Semua luka terbuka yang terdapat pada lipat paha atau perineum harus
dicurigai sebagai fraktur pelvis yang terbuka, dan diperiksa secara teliti besarnya
luka, keadaan tulang dan sendi, dan kontaminasi luka. Colok dubur ( dan colok
vagina pada perempuan) adalah penting untuk menghilangkan kecurigaan sebuah
-
fraktur pelvis yang terbuka. Inspeksi dari permukaan posterior pelvis dilakukan saat
dilakukan log-rolled pada pasien untuk melihat keadaan belakang tubuhnya. Palpasi
dari aspek posterior pelvis, mungkin dapat memperlihatkan hematom yang luas, soft
tissue de-gloving, sebuah gap pada daerah fraktur atau dislokasi dari SI joint.
McCormick et.al, 2003 mempelihatkan bahwa adanya nyeri tekan yang didapatkan
dari palpasi daerah posterior pelvis dapat mendeteksi adanya cedera dari cincin
posterior ( sensitivitas 98% dan spesifitas 94%). Demikian pula palpasi dari simfisis
dapat mendeteksi adanya gap. Tanda dari potensial instabilitas memperkuat
kecurigaan adanya fraktur pelvis terbuka, hematom skrotalis, dan cedera syaraf
plexus lumbosacralis (Bootlang, 2003). Walaupun jarang, fraktur terbuka pelvis (Fig
11A) adalah cedera yang sangat berat, membutuhkan transfusi darah yang masif,
dan colostomy.(Fig 11B)
-
Brenneman et al., 1997, menunjukkan bahwa fraktur pelvis terbuka terjadi
terutama pada pasien muda (umur rata-rata 30 tahun untuk fraktur terbuka dan 39
tahun pada fraktur tertutup, p= 0,001
Fraktur terbuka juga biasanya terjadi akibat kecelakaan motor (27% terbuka, 6
% tertutup) dan mempunyai disrupsi cincin pelvis yang tidak stabil (45% terbuka 25
% tertutup). Fraktur pelvis terbuka memerlukan darah yang lebih banyak daripada
yang tertutup, keduanya pada hari pertama (16 unit pada fraktur terbuka dan 25
%pada fraktur tertutup) dan selama dalam perawatan di rumah sakit ( 29 unit pada
fraktur terbuka dan 9 unit pada fraktur tertutup)
Kolostomi untuk diversi diperlukan untuk semua luka di perineal dan
perirectal, terutama untuk mencegah terjadinya infeksi pelvis seperti osteomyelitis.
Disabilitas kronis juga menjadi komplikasi pada fraktur terbuka, terutama pada
masalah fisiologi dan fungsional (Brenneman et al., 1997).
X. EVALUASI RADIOLOGIS DAN MODALITAS IMAGING LAIN
Seperti telah dijelaskan, fiksasi eksterna (Fig 11B)dapat dipasang segera,
tergantung dari stabilitasnya, letak rumah sakit, dan pengalaman institusi. Pada
rumah sakit dengan fasilitas angiografi yang dapat dipergunakan pada keadaan
emergensi untuk melakukan resusitasi, maka angiografi harus dilakukan sebelum
fiksasi eksterna. Sebaliknya bila angiografi tidak dapat dilakukan segera, fiksasi
eksterna dapat dilakukan segera sambil menunggu kedatangan ahli radiologi
intervensi. Pada keadaan ini, pemasangan fiksasi eksterna dapat dimengerti. Pada
pasien dengan perdarahan dan hemodinamik yang tidak stabil(Pasien dengan FAST
atau DPL yang (-) dan thoraks foto yang tidak menunjukkan adanya hematotoraks)
angiografi pelvis harus dilakukan segera.
Foto rutin pelvis tidak diperlukan pada pasien yang asimptomatis, sadar,
pasien trauma tumpul abdomen dengan pemeriksaan pelvis yang normal. Walaupun
demikian, dokter harus melakukan foto AP pelvis sedini mungkin pada pasien yang
dilakukan resusitasi dengan trauma tumpul berat yang simptomatik atau terdapat
hipestesi. Beberapa fraktur sakral dan disrupsi SI jointdapat terlihat pada gambaran
pelvis AP. Untuk melihat kelainan tersebut, perlu dilakukan proyeksi inlet dan outlet.
-
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk fraktur cincin pelvis termasuk Pelvis
AP, inlet view, dan outlet view. (Fig 12)
Pemeriksaan pelvis AP dilakukan sebagai foto rutin pada pasien trauma (Fig
12A). Inlet view dilakukan dengan memberikan sinar dari 40 derajat kaudal (Fig 12B)
dan outlet view diambil dengan sinar 20 35 derajat dari arah cephal pada laki-laki
dan 30-45 derajat pada perempuan.
Pada foto pelvis PA, penilaian dari seluruh cincin anterior termasuk adanya
fraktur ramus dan atau sifisial diastasis adalah penting. Foto ini juga memberikan
informasi mengenai lokasi fraktur, pola fraktur, dan displacement secara
keseluruhan. Foto ini juga dapat dipergunakan untuk melihat adanya fraktur
acetabular, fraktur panggul, atau fraktur avulsi dari processus transversus dari
vertebra L5, sebuah tanda dari fraktur pelvis yang tidak stabil.
Inlet view juga dapat dipegunakan untuk menilai hubungan anterior.posterior
antara sacrum dengan ilium. Tepi pelvis jiga dilihat termasuk garis iliopectineal dan
ramus pubis. Cedera pada posterior (fraktur sakral dan disrupsi SI joint) juga dapat
dilihat dengan foto ini. Adanya rotasi juga dapat diidentifikasi bila simfisis tidak
segaris dengan processus spinosus.
Foto outlet view dapat digunakan untuk menilai pergeseran hemipelvis, dan
dapat mengidentifikasi migrasi superior dan atau rotasi dari hemipelvis. LLD (leg
-
length discrepancy) dapat juga dinilai. Foramina sacralis dapat terlihat baik dengan
foto ini
Fraktur acetabular yang melibatkan socket dari panggul bukanlah fraktur
pelvis. Fraktur acetabulum biasanya terjadi pada pasien muda sebagai hasil dari
cedera berdaya tinggi. Atau bisa timbul pada pasien berusia tua dari sebuah cedera
berdaya rendah seperti terjatuh. Fraktur ini dapat dihubungkan dengan cedera cincin
pelvis, dislokasi panggul, atau fraktur femoral head.
Pemeriksaan radiologis untuk fraktur acetabulum adalah dengan pemeriksaan
pelvis AP dan oblique 45 derajat, yang dikenal dengan Judet view (Fig 13)
Ada 6 landmark yang dapat dilihat pada foto AP. Termasuk didalamnya garis
iliopectineal (merepresentasikan columna anterior), garis ilioischial
(merepresntasikan posterior), tepi anterior, tepi posterior, teardrop, dan atap.
Pengertian yang mendalam mengenai anatomi acetabulum diperlukan untuk
memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk fraktur ini.
CT (Computed tomography) scan harus dilakukan. Slices 3mm melalui
acetabulum memberikan gambaran yang adekuat untuk kebanyakan pola fraktur. CT
scan digunakan untuk menentukan klasifikasi atau untuk mengkonfirmasi fraktur,
menilai femoral head yang mungkin terkena akibat cedera dan melihat adanya
fragment intraartikuler. CT scan 3 dimensi tidak diperlukan untuk menentukan
klasifikasi dari fraktur.
Kategorisasi yang umum untuk sebuah fraktur acetabular adalah klasifikasi Letournel
(tabel1)
-
Klasifikasi ini memisahkan fraktur menjadi 5 tipe fraktur.
Yang termasuk simpel fraktur :
1. fraktur dinding posterior
2. fraktur dinding anterior
3. fraktur columa posterior
4. fraktur columna anterior
5. fraktur transverse
Dan keadaan yang berhubungan, yaitu :
1. Columna posterior dan dinding posterior
2. dinding posterior dan transverse
3. Kedua columna
4. T-type
5. hemitransverse posterior dan anterior
Pengobatan dilakukan berdasarkan kesesuaian artikuler dan stabilitas sendi.
Secara umum, kebanyakan fraktur acetabular yang displaced memerlukan reduksi
terbuka dan fiksasi internal (ORIF). Pengobatan non operatif dilakukan pada fraktur
yang tidak displaced dengan join yang stabil. Ada beberapa pola fraktur sekunder
yang mengenai segmen artikular yang menempel dimana head femoral sesuai
dengan acetabulum namun segemen ini sering ke medial dan proximal.
Pengobatan inisial dari fraktur acetabulum adalah traksi, jika head femoral
terletak lebih medial atau jika terjadi dislokasi panggul. Pin traksi dipasang pada
-
distal femur bila tidak ada fraktur di tempat tersebut. Bila terdapat fraktur, pin traksi
dapat dipasang pada proximal tibia. Harus dipastikan tidak ada ligamentum dari knee
joint yang terkena pin traksi pada pemasangan di proximal tibia.
CT scan adalah imaging rutin untuk fraktur pelvis. Protokol standar adalah
dengan potongan 3 mm atau kurang pada pelvis termasuk acetabulum. CT lebih
akurat daripada foto polos untuk adanya fraktur, lokasi fraktur, dan pola fraktur.
Setelah ditemukan adanya fraktur pada foto polos, pasien harus diperiksa dengan
CT scan pelvis untuk mengklasifikasi fraktur dan merencanakan fiskasi. (Fig 14)
CT scan dapat juga melihat adanya cedera pelvis dan struktur abdomen
-
(contoh kandung kencing) sebagai tambahan dari cedera acetabulum dan head/
neck femoral. Tanda radiologis dari ketidakstabilan pelvis adalah displacement
kompleks posterior SI > 5 mm, adanya gap fraktur posterior ( kebalikan dari impaksi),
dan fraktur avulsi dari spina iliaca posterior, sacrum, tuberositas ishiadica, atau
processus transversus dari vertebra L5. Penelitian terakhir menyatakan bahwa CT
scan dapat mendiagnosa semua cedera yang terlihat pada foto AP, tetapi CT scan
sering dilakukan setelah jam pertama dari evaluasi dan pengobatan.
Sumber perdarahan yang sering adalah :
1. Sumber dari eksternal ( contoh dari laserasi kulit kepala)
2. Intra torasic ( contoh hematotoraks)
3. Intraabdominal ( diketahui dari pemeriksaan FAST)
4. Dari ekstremitas besar ( contoh fraktur femur)
5. Perdarahan retroperitoneal, seperti yang terjadi pada fraktur pelvis.
Setelah kemungkinan 4 penyebab pertama dapat disingkirkan, harus dicurigai
perdarahan berasal dari retroperitoneum (yang sering berhubungan dengan fraktur
pelvis)
Dari fraktur pelvis sendiri dapat diperkirakan sumbernya dari :
1. Permukaan tulang yang patah
2. Plexus vena pelvis
3. Cedera arteri pelvis
Penyebab tersering dari perdarahan pelvis yang terus menerus adalah dari
kerusakan pada plexus venosus pelvis posgerior. Perdarahan dari arteri besar
seperti a. iliaca komunis, eksterna dan interna adalah sumberpotensial lain yang
menyebabkan perdarahan. Cedera pada pembuluh besar biasanya perdarahannya
bersifat masif dan hilangnya pulsasi ke distal. Tingkat keberatan dari perdarahan
menentukan cara penanganan yang tepat. Kerusakan a glutealis superior dapat
terjadi bila fraktur mengenai greater sciatic notch.
XI. MEMBEDAKAN PERDARAHAN INTRAPERITONEAL DAN RETROPERITONEAL
Protokol standar pada ahli bedah trauma dan ortopaedi sangat optimal untuk
membedakan perdarahan intraperitoneal dangan retroperitoneal. Pada pasien yang
-
baru mengalami cedera, pemeriksaan fisik abdominal tidak dapat dipercaya. Karena
itu, untuk menentukan secara cepat apakah ada perdarahan intra abdominal
dilakukan pemeriksaan FAST, atau DPL, atau CT, pemeriksaan mana saja yang
dapat dikerjakan segera. Tujuan utama dalam mengendalikan perdarahan pelvis
adalah menstabilkan fraktur yang tidak stabil. Stabilisasi dari cedera pelvis
mencegah peningkatan volume retroperitoneal, dan juga menurunkan kehilangan
darah oleh tamponade dari pembuluh yang berdarah.
XII. STABILISASI PELVIS
Sebagai tambahan selain pelvis binder atau teknik pembebatan pelvis yang
telah dibahas sebelumnya, masih ada teknik yang telah dilakukan sebelumnya untuk
stabilisasi disrupsi pelvis. Yang paling tua adalah penggunaan PASG. Baju yang
dapat menggembung ini diletakkan pada ekstremitas bawah dan sekitar pelvis dan
abdomen, dan digembungkan sampai tekanan darah stabil. Baju ini bekerja dengan
cara meningkatkan resistensi darah perifer. Pada keadaan dimana terjadi fraktur
pelvis, komponen yang terletak di abdomen bekerja sebagai pneumatic splint dan
menurunkan pergerakan dari fraktur pelvis. Hal ini mencegah terjadinya disrupsi
yang lebih berat dan merusak pembekuan darah yang telah terjadi.
Pada saat ini, PASG hanya direkomendasikan untuk stabilisasi cepat
perdarahan pelvis yang masif sebelum penderita dibawa ke rumah sakit untuk
perawatan definitif. Penggunaan skeletal traksi yang dipasang melalui tungkai yang
terkena cedera cukup efektif untuk mengontrol perdarahan vena. Sebuah pin traksi
Steinman dipasang di regio supracondyler femur atau tuberculum tibialis, dan traksi
dengan beban 25-35 lb diberikan. Teknik ini menarik hemipelvis yang displaced ke
posisi yang lebih anatomis yang sekaligus membantu managemen nyerinya dengan
stabilisasi. Hal ini juga mengontrol perdarahan dengan mengefektifkan tamponade.
Rotasi internal dari ekstremitas bawahmenutup diastase anterior pelvis, bila
struktur ligamentum posterior masih terdapat kontinuitas. Posisi ini dapat
dipertahankan dengan mengikat kedua tungkai terotasi interna pada lutut dan ankle.
Akhirnya, setiap alat yang dapat mengikat seluruh bagian pelvis seperti pelvic binder
dapat mentamponade perdarahan. Tetapi, intervensi ini harus dilakukan sesegera
mungkin ( dalam 20-30 menit) untuk mempertahankan volume darah sistemik.
-
Pasien dengan hemodinamik stabil tidak memerlukan stabilisasi sementara kecuali
bila pergerakan dari fraktur pelvis dapat mengakibatkan perdarahan berulang.
Waktu dari pemakaian stabilisasi pelvis segera ini harus dilakukan setelah
konsultasi dengan dokter bedah trauma dan dokter yang bertanggung jawab dengan
resusitasinya Sebelum memasang fiksator, foto Pelvis AP harus dibuat dan dinilai.
Foto ini dapat menunjukkan beberapa tanda cedera yang potensial untuk terjadi
perdarahan. Cedera kompresi lateral biasanya mempunyai fraktur horisontal atau
buckle-type pada rami dengan tanda cedera crushing anterior sakral jika diperhatikan
garis arcuata antara sakral promontorium dan garis iliopectineal. (fig 15)
Sebuah garis vertikal yang ditarik dari garis tengah sakrum juga dapat
menunjukkan pergeseran yang signifikan dari pelvis yang bisa terjadi oada cedera
kompresi lateral tipe 3.
Sebuah cedera pada quadrilateral plate atau fraktur acetabular transversal juga
mengindikasikan adanya cedera lateral. Cedera kompresi lateral tidak dapat diterapi
dengan fiskasi eksterna. Cedera AP biasanya dikenali dari adanya fraktur vertikal
melalui rami yang cenderung untuk terpisah tapi tidak tergeser secara vertikal.
Fraktur sepanjang iliac wing atau pada area acetabular posterior juga menandakan
adanya cedera kompresi AP. Pergeseran posterior dari hemipelvis dapat diduga
dengan penggunaan garis arkuata sakral kedua. Pergeseran vertikal dapat dikenali
dari pergeseran lebih dari 1 cm dari SI joint posterior, dengan gap yang terjadi pada
sakrum, dengan kesan bahwa pelvis melebar, atau dengan suatu fraktur avulsi dari
sakrum. Ahli trauma harus melihat bahwa fraktur kompresi lateral (Fig 16) biasanya
-
berhubungan dengan cedera intraabdominal berat dan cedera kepala, seperti pada
cedera robekan vertikal. Tetapi, cedera kompresi AP yang tidak stabil dan cedera
komplit tidak stabil lainnya mempunyai resiko besar terjadinya perdarahan
retroperitoneal daripada perdarahan intraabdomen (Panetta, 1985). Fraktur tidak
stabil AP dan vertical sheer, sangat baik bila dilakukan fiksasi eksterna bila harus
dilakukan stabilisasi. Pin traksi yang terpasang di femur distal pada pelvis yang satu
sisi dengan instabilitas vertikal dapat dilakukan bersama dengan fiksasi eksterna.
Kontraindikasi dari fiksasi eksterna adalah fraktur iliac wing dan instabilitas posterior
yang terlihat jelas (adanya gap fraktur).
Keputusan dapat dipandu dengan respon pasien terhadap resusitasi. Pada
kasus dengan test negatif untuk perdarahan intraabdominal pada pasien dengan
syok hipovolemik berlanjut dan disrupsi pelvis mayor, angiografi harus dilakukan dan
dipasang fiksasi eksterna. Masih kontroversial apakah pasien dengan hemodinamik
tidak stabil harus dilakukan stabilisasi pelvis dengan fiksasi eksterna sebelum
angiografi. Penelitian tentang keuntungan dilakukan fiksasi eksterna sebelum
dilakukan angiografi menunjukkan hanya 10 % pasien dengan fraktur pelvis
mengalami perdarahan arteri setelah dilakukan embolisasi (Cook, 2002), lalu
mayoritas pasien lebih baik dilakukan stabilisasi sebagai terapi awal (Starr, 2002).
Fiksasi eksterna dapat dilakukan dengan cepat dan aman, walaupun di ruang
emergensi. Jika memungkinkan, fiksator dapat dilakukan di ruang angiografi sebelum
dilakukan angiogram, dengan menggunakan fasilitas imaging yang ada. Pada
beberapa keadaan, waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan pemeriksaan
angiografi lebih lama daripada pemasangan fiksasi eksterna. Pada keadaan
tersebut, fiksasi dapat dilakukan sambil menunggu. Pada beberapa center terdapat
angiografi yang siap pakai. Pada center tersebut telah dilaporkan hasil yang lebih
baik bila dilakukan angiografi sebelum fiksasi eksterna (Velmahos, 2002). Dengan
pemeriksaan angiografi kita akan mengetahui tempat perdarahan dan dapat
menentukan apakah terapi embolisasi perlu dilakukan.
Jika hasil FAST atau DPL positif dan pasien berespon sementara dengan
resusitasi, laparotomi harus dilakukan untuk menilai cedera abdomen dengan
terpasang pelvic binder, tetapi diposisikan pada level panggul; atau, dilakukan
pemasangan fiksasi eksterna selama persiapan operasi abdomen (Boulanger, 2000).
Setelah terapi perdarahan abdomen, perdarahan yang masih berlangsung harus
-
dilakukan packing retroperitoneal pada pelvis dan dilakukan fiksasi eksterna. Packing
pelvis tidak akan bermanfaat bila tidak dilakukan imobilisasi pelvis. Jika FAST atau
DPL positif namun pasien dengan hemodinamik stabil, stabilisasi harus dilakukan
sebelum laparotomi. Laparotomi dapat dilakukan dan perdarahan intraabdomen
dapat dikontrol. Jika perdarahan berlanjut, dilutional coagulopathy harus disingkirkan
atau diterapi, dan angiografi kemudian dilakukan.
Pasien yang tidak berespon terhadap resusitasi dan pada pemeriksaan tidak
terdapat perdarahan intraabdomen, maka dicurigai perdarahan dari pembuluh darah
berkaliber besar. Harus dilakukan angiografi untuk mengetahui sumber dan apakah
embolisasi dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan, tergantung kaliber dari
pembuluh darah yang terkena. Jika memungkinkan, stabilisasi pelvis dilakukan
sebelum angiografi.
Dengan pemeriksaan perdarahan intraabdomen yang positif dan tidak
berespon pada resusitasi, maka harus dilakukan laparotomi eksplorasi dan stabilisasi
pelvis. Jika pada laparotomi didapatkan hematom retroperitoneal yang ekspanding
(meluas)maka harus dilakukan packing pada area presacral dan sisi posterior
simfisis pubis. Agar efektif, harus dilakukan reduksi yang dapat dilakukan dengan
traksi dan manipulasi pelvis dengan C-Clamp atau fiksator yang dipandu dengan
palpasi jari atau visualisasi dengan pendekatan transperitoneal. Jika pasien masih
mengalami hipotensi setelah dilakukan terapi ini, angiografi harus dilakukan
secepatnya. Semua pembuluh dengan bekuan darah harus diterapi dengan
embolisasi untuk mencegah perdarahan akibat bekuan diabsorbsi atau terlepas.
Pada fraktur pelvis terbuka yang berdarah melalui luka terbuka, packing pada daerah
tersebut harus dilakukan untuk mengontrol perdarahan dengan bersamaan dilakukan
stabilisasi dengan pemakaian alat satabilisasi eksternal.
XIII. Embolisasi Angiografi dari perdarahan pembuluh pelvis (retroperitoneal)
Angiografi diagnostik dan terapi pada pasien dengan perdarahan pelvis cukup
sulit dan memerlukan keahlian khusus. Embolisasi selektif adalah cara yang paling
efektif untuk mengontrol perdarahan dari arteri berdiameter kecil (kurang dari 3mm).
Angiografi dapat dilakukan untuk perdarahan pembuluh darah besar yang terlokalisir,
tapi hanya bila waktu dan stabilitas hemodinamik memungkinkan. Penundaan pada
-
resusitasi dan pengobatan dapat terjadi bila respon time angiografi lambat atau ahli
angiografi tidak berpengalaman. Embolisasi arteriografi hampir 100 % dapat
menghentikan perdarahan dan menyelamatkan nyawa bila dilakukan dalam 3 jam
setelah trauma (Stephens, 1999). Bagian radiologi harus memiliki peralatan yang
dibutuhkan , seorang raidologis intervensi, dan staf yang siap setiap saat untuk
melakukan angiografi dan embolisasi emergensi.
Pada persiapan untuk pasien dengan multipel traum, alat angiografi harus
disiapkan lengkap dengan anestesi dan peralatan monitoring, atau dilakukan di
kamar operasi. Beberapa center trauma menemukan bahwa hasil lebih baik bila
anggota tim trauma dan ahli anestesi hadir saat dilakukan angiografi (Smyth, 1999;
Velmahos, 2002).
Jika pasien dengan fraktur pelvis telah distabilisasi dan dapat dilakukan CT
scan, harus dilakukan dengan kontras. Pasien dengan ekstravasasi kontras yang
positif, mempunyai kemungkinan 40:1 adanya perdarahan arteri yang signifikan yang
memerlukan embolisasi. Karena itu, pasien yang mempunyai potensi perdarahan
arteri atau berespon transien terhadap resusitasi harus dilakukan CT scan dengan
kontras secara dini untuk melihat adanya perdarahan arterial. Dengan imaging
tersebut dapat dilakukan kontrol perdarahan yang lebih dini (Burgess, 1990; Donner,
2000).
XIV. Terapi Definitif setelah Kontrol Perdarahan
Setelah pasien distabilisasi, penilaian selanjutnya pada struktir intraperitoneal
lain harus dilakukan. Jika ada fraktur yang tidak stabil, uretrografi harus dilakukan
pada pasien laki-laki. Teknik ini dilakukan dengan memasang kateter kaliber kecil ke
meatus uretra, balon dikembangkan, dan dilakukan penyuntikan 25 35 ml dari
bahan radioopak untuk melihat gambaran uretra. Jika tidak terdapat kebocoran
kateter berkaliber besar dimasukkan. Lebih baik foto pelvis dilakukan dengan oblique
agar uretra terisi seluruhnya. Tetapi, pada banyak situasi, hal ini sulit dilakukan dan
cukup dilakukan foto AP standar. Setelah dilakukan uretrografi, cistogram harus
dilakukan dengan mengisi kandung kemih dengan cairan kontras sebanyak 400ml
dan dilakukan pemotretan, atau bila tersedia dilakukan CT cystogram. Setelah
dilakukan evakuasi cairan, foto postvoiding dilakukan untuk menentukan apakah ada
-
ruptur kandung kemih ekstraperitoneal. (Fig 17)
Jika pada pemeriksaan ini tidak diketahui sebab hematuri, sebuah pielogram
intravenous harus dilakukan, atau lebih baik bila dilakukan CT abdomen dan pelvis
dengan kontras. Pada pasien perempuan, uretrografi tidak banyak membantu dan
biasanya tidak dilakukan. Dengan pemeriksaan fisik yang teliti, termasuk
pemeriksaan vagina, dilakukan sebelum pemasangan kateter, walaupun demikian
cedera vagina lolos dari diagnosa sebanyak 50 % kasus (Horstman, 1991; Deck,
2000; Doner, 2000).
Pemeriksaan neurologic yang teliti harus dilakukan pada cedera plexus
lumbosacral. Pengambilan keputusan terapi danaspek medikolegal mengharuskan
pemeriksaan ini (Cornwall,2000).
Fraktur terbuka pelvis dihubungkan dengan 5 % mortalitas. Kematian dini
biasanya diakibatkan perdarahan yang tidak terkontrol, dan kematian lanjut terjadi
akibat sepsis dan komplikasi lainnya. Semua luka harus dievaluasi dengan baik.
Luka yang terjadi pada aspek anterior pelvis atau pada daerah flank biasanya relatif
bersih dan dapat diterapi seperti fraktur terbuka lain. Tetapi luka di daerah bokong
dan inguinal dan luka lain pada daerah perianal membutuhkan penanganan khusus
(Fig 11), karena biasanya terkontaminasi dengan isi rektum. Fraktur pelvis mungkin
melibatkan rektum, perineal atau bokong yang membutuhkan irigasi dan debridemen
sebelum dilakukan fiksasi eksterna. Secara umum, colostomy diversi harus dilakukan
pada pasien dengan luka terbuka yang ekstensif di daerah perineal atau luka terbuka
di posterior pelvis (Rout, 2002). Fraktur terbuka pelvis yang tidak melibatkan area ini
dan relatif bersih, cukup dilakukan debridemen dan diteruskan dengan prosedur
fiksasi yang dibutuhkan (Biffl, 2001).
-
Foto pelvis AP, inlet dan outlet mengidentifikasi cedera pada tulang penting.
Pelvis AP akan mengidentifikasi kebanyakan fraktur pelvis dan dislokasi, tapi sering
tidak memperlihatkan derajat pergeseran tulang. Pada foto ini simfisis pubis secara
normal mempunyai lebar tidak lebih dari 5 mm dan perbedaan kecil 1 atau 2 mm dari
ramus pubis kiri dan kanan adalah normal. Adanya overlapping pada simfisis pubis
adalah tidak normal dan adalah hasil dari cedera crushing yang berat. Normalnya
lebar SI joint kira-kira 2 4 mm.
Hanya pada foto AP, dokter dapat melihat derajat rotasi pelvis yang
diakibatkan teknik dan posisi fiksasi dengan adanya asimetris dan ukuran foramen
obturatorium kanan dan kiri dan iliac wings. Diastasis dari SI joint juga dapat
menyebabkan asimetrisitas dari kedua foramen obrutatorium dan iliac wing. Bila
terdapat displacement menjadi eksternal rotasi, iliac wing sisi yang terkena terlihat
lebih lebar, dan spina ilaca anterior menjadi lebih menonjol. Fraktur avulsi dari
processus transversus L5 dengan ligamen iliolumbaris sering disertai dengan
disrupsi SI joint atau fraktur vertikal sakral yang adalah petunjuk penting adanya
cedera posterior.
Pada masa yang akan datang fiksasi pada fraktur pelvis akan terus
berkembang. Dengan teknik minimal invasif, menurunkan komplikasi dibandingkan
dengan teknik terbuka seperti wound dehiscense (luka yang tidak menyembuh),
kehilangan darah dan menempatkan pasien pada posisi pembedahan (Bellabarba,
2006). Seperti contohnya, pengobatan cedera cincin pelvis tipe B kompresi lateral
dengan fiksasi eksterna dan distraksi anterior sangat efektif dan lebih simpel dan
metode yang minimal invasif. Waktu pembedahan dan perdarahan akan lebih
minimal.
Pembedahan dengan panduan CT telah dilaporkan sebagai tambahan pada
pengobatan fraktur pelvis (Blake-Toker, 2001). Teknik percutaneus telah banyak
berkembang pada pengobatan cedera cincin pelvis tanpa komplikasi yang potensial.
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah cedera neurovascular.
Protokol untuk stabilisasi inisial dan imobilisasi dini dengan managemen yang tepat
tentang cairan dan vasopressor banyak dikembangkan. Studi retrospektif banyak
mendukung hal ini, namun penelitian prospektif dengan sampel besar yang
randomized masih diperlukan dalam hal ini.
-
XIV. KESIMPULAN
Managemen fraktur pelvis yang makin maju telah memperbaiki hasil
pengobatan. Pada awal tahun 1980, pengenalan CT scan dan arteriografi dengan
embolisasi dan teknik fiksasi eksterna. Setelah lebih dari 25 tahun, modalitas
semakin rumit sehingga pengambilan keputusan fiksasi awal, mobilisasi awal, dan
profilaksis tromboemboli tekah dilakukan sebisa mungkin pada pasien. Dibutuhkan
pemahaman anatomi dan fisiologi yang baik untuk dapat mengerti tentang
pengelolaan dan managemen fraktur pelvis, terutama yang mengancam kehidupan.
Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama tim yang baik untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang terbaik untuk pasien trauma yang berat seperti pada fraktur pelvis.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz, AK et. al. Pelvic trauma in Trauma, Volume 1: Emergency Resuscitation, Perioperative, Anesthesia, Surgical Management and Trauma, William C Wilson et. al, Chapter 28, Page 533-550, Informa, HEALTHCARE, USA, 2007
2. Flint, Lewis et. al. Special Interdisciplinary Problem: Pelvic Fracture in Trauma contemporary Principles and therapy, Chapter 45, page 524-536, Lippincot William and Wilkins, 2008.
3. Jackson Lee Pelvic fractures and general surgeon in Trauma Management by Demetrios Demetriades, Chapter 43, Page 450-457, Landes Bioscience, 2000