83918989-filologi-sebagai-ilmu-bantu-ilmu-sejarah.docx
TRANSCRIPT
Filologi sebagai Ilmu Bantu Ilmu Sejarah
Naskah-naskah Nusantara yang oleh pendukungnya dipandang berisi
teks sejarah jumlahnya cukup banyak, misalnya Negarakretagama,
Pararaton (Jawa Kuna), Babad Tanah Jawi, Babad Dipenegara (Jawa Baru),
Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Aceh, dan Hikayat Banjar
(Melayu). Suntingan naskah-naskah jenis ini, terutama yang melalui proses
pengkajian filologis, dapat dimanfaatkan sebagai sumber sejarah setelah
diuji berdasarkan sumber-sumber lain (sumber asing, prasasti, dan
sebagainya) atau setelah diketahui sifat-sifatnya. Biasanya bagian yang
bersifat historis hanyalah bagian-bagian yang melukiskan peristiwa-peristiwa
yang sezaman dengan penulisnya. Itupun banyak yang penyajiannya
diperhalus, yaitu apabila peristiwanya dipandang dapat mengurangi nama
baik raja yang sedang berkuasa. Meskipun demikian, teks-teks semacam itu
sangat bermanfaat untuk melengkapi informasi sejarah yang terdapat di
dalam sumber-sumber lain, misalnya batu nisan, prasasti, dan candi.
Informasi sejarah dalam batu nisan Sultan Malikus-Salih di Samudra Pasai
(Aceh) tidak akan berbicara banyak sekiranya tidak ditemukan naskah
Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu.
Ilmu sejatrah dapat juga memanfaatkan suntingan teks jenis lain,
bukan jenis sastra sejarah, khususnya teks-teks lama yang dapat
memberikan informasi lukisan kehidupan masyarakat yang jarang ditemukan
dalam sumber-sumber sejarah di luar sastra. Dalam sastra Melayu, misalnya
Hikayat Abdullah, banyak memberikan kritik tajam terhadap kehidupan
feodal. Dalam sastra undang-undang Melayu, juga dapat kita gali gambaran
kehidupan masyarakat. Dalam sastra Jawa, terdapat Serat Wicara Keras.
Seperti yang terlihat dari arti judulnya, ‘bicara keras’, teks ini memberikan
kritik tajam terhadap kehidupan masyarakat Surakarta pada waktu itu.
Filologi sebagai Ilmu Bantu Ilmu Hukum Adat
Manfaat filologi bagi ilmu bantu hukum adat, seperti bagi ilmu-ilmu
yang lain, ialah terutama dalam penyediaan teks. Banyak naskah nusantara
yang merekah adat istiada seperti yan telah beberapa kali ditemukan dalam
pembicaraan yang lalu. Selain itu, dalam khazanah sastra Nusantara
terdapat teks yang memang dimaksudkan sebagai hukum, yang dalam
masyarakat Melayu disebut dengan istilah ‘undang-undang’, di Jawa dikenal
istilah angger-angger. Apa yang disebut ‘undang-undang’ dalam sastra
Melayu berbeda dengan yang ada dalam masyarakat kita sekarang. Undang-
undang dalam masyarakat melayu sebetulnya merupakan adat yang
berbentuk dalam masyarakat dalam peredaran masa, bukan peraturan yang
seluruhnya dibuat oleh raja sebagai penguasa. Penulisannya baru dilakukan
kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian peraturan hukum oleh raja
atau ada pengaruh dunia Barat. Contoh undang-undang dalam sastra Melayu
: Undang-undang Negeri Malaka (dikenal juga dengan nama Risalah Hukum
Kanun atau Hukum Kanon) dan Undang-undang Minangkabau; dalam sastra
Jawa: Raja Niti, Praniti Raja, Kapa-kapa, Surya Ngalam, Nawala Pradata, dan
Angger Sadasa. Kecuali sastra undang-undang, dalam sastra lama Melayu
terdapat teks yang disebut dengan istilah ‘adat’, misalnya Adat Raja-raja
Melayu. Tersedianya teks-teks semacam ini akan sangat berguna bagi ilmu-
ilmu adat.