821

40
ISSN 0215 - 8250 DETERMINASI BEBERAPA FAKTOR AFEKTIF YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN BELAJAR MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA oleh A.A.I.N. Marhaeni Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha Jln. A. Yani No. 67 Singaraja ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri determinasi beberapa faktor afektif yang mempengaruhi keberhasilan belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha, dan mengungkap bagaimana secara psikologis faktor-faktor tersebut dirasakan oleh mahasiswa. Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil 2007/2008 dan melibatkan 100 orang mahasiswa sebagai sampel. Rancangan penelitian menggunakan mixed methods untuk pengumpulan data dan analisisnya. Metode kuantitatif dengan uji t __________________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008 733

Upload: yopimuhyi

Post on 13-Sep-2015

219 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bv

TRANSCRIPT

Determinasi Beberapa Faktor Afektif yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar

PAGE 733ISSN 0215 - 8250

DETERMINASI BEBERAPA FAKTOR AFEKTIF YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN BELAJAR MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHAolehA.A.I.N. MarhaeniJurusan Pendidikan Bahasa Inggris

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha

Jln. A. Yani No. 67 Singaraja

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri determinasi beberapa faktor afektif yang mempengaruhi keberhasilan belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha, dan mengungkap bagaimana secara psikologis faktor-faktor tersebut dirasakan oleh mahasiswa. Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil 2007/2008 dan melibatkan 100 orang mahasiswa sebagai sampel. Rancangan penelitian menggunakan mixed methods untuk pengumpulan data dan analisisnya. Metode kuantitatif dengan uji t dilakukan untuk menentukan determinasi setiap faktor afektif dalam membedakan antara mahasiswa yang berprestasi tinggi dengan mahasiswa yang berprestasi rendah. Metode kualitatif dilakukan melalui Focused Group Discussion dan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan tingkat anxiety dan learned helplessness mahasiswa berprestasi tinggi lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa berprestasi rendah, sementara tingkat self efficacy, locus of control, interest, dan integrativeness mahasiswa berprestasi tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa berprestasi rendah, dan perbedaan ini dibuktikan signifikan. Secara psikologis, faktor-faktor afektif telah mempengaruhi cara pandang mahasiswa terhadap belajar Bahasa Inggris. Untuk mahasiswa berprestasi tinggi, anxiety dan learned helplessness bukanlah hal yang merugikan karena tingkatnya yang rendah; justru tingkat yang rendah ini mendorong belajar; sedangkan self efficacy, locus of control, interest, dan integrativeness dirasakan sebagai modal besar keberhasilan mereka. Namun, tidak demikian halnya yang terasakan pada mahasiswa berprestasi rendah, yang cenderung lebih dipengaruhi oleh rasa cemas dan rasa tidak berdaya yang tinggi.

Kata kunci : faktor-faktor afektif, keberhasilan belajar, Bahasa InggrisABSTRACT

The study aimed at investigating the determination of some affective factors which influenced the achievement of the English Education students of Undiksha; and uncovering how, psychologically, those factors were felt by the students. The study was done at the odd semester of the 2007/2008 academic year, involving one-hundred students of the English Education Department Undiksha as the sample. The study applied mixed methods of data collection and analysis. Quantitative method using t test was applied to determine the level of determination of the affective factors upon above average and low average students, respectively. Qualitative method was applied through Focused Group Discussion and descriptive analysis. The results of the anlysis show that the level of anxiety and learned helplessness of the above average students is lower than of the below average ones; while the level of self efficacy, locus of control, interest, dan integrativeness of the above average students is higher than of the below average ones. For the above average students, low level of anxiety and learned helplessness supports learning, and high level of self-efficacy, locus of control, interest, dan integrativeness is a big modality for their success. The below average students, however, tend to be stucked by high level of anxiety and learned helplessness which hinder their learning.Key words : affective factors, learning achievement, English1. Pendahuluan

Berbagai kajian mengenai bagaimana orang belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah banyak dilakukan dan ditulis. Kawasan yang disebut dengan educational psychology ini bertujuan utama untuk mengkaji bagaimana caranya mencapai keberhasilan dalam belajar. Berbagai komponen pembelajaran yang ada seperti materi, strategi, media, dan guru pada dasarnya dapat diseragamkan. Namun, yang unik adalah individu yang belajar. Dengan penyeragaman komponen-komponen di atas, toh keberhasilan belajar individu selalu bervariasi.

Kajian-kajian tentang karakteristik pebelajar menunjukkan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang perbedaan individu (individual differences). Khusus untuk belajar bahasa asing/bahasa kedua, Gardner (2001) menyebutkan dua faktor utama individu yang sangat menentukan, yaitu bakat dan motivasi. Bakat dan motivasi setiap individu berbeda-beda, dan hal inilah yang mempengaruhi keberhasilan mengakuisisi bahasa target tersebut. Selanjutnya Gardner mengatakan bahwa faktor yang dapat berubah adalah motivasi; oleh karena itu motivasi sangat penting diperhatikan.

Motivasi berasal dari kata motif, yaitu suatu potensi yang ada pada individu yang sifatnya laten atau potensi yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman; dan motivasi adalah kondisi yang muncul dalam diri individu yang disebabkan oleh interaksi antara motif dengan kejadian-kejadian yang diamati oleh individu sehingga mendorong mengaktifkan perilaku menjadi suatu tindakan nyata (Marhaeni, 2005). Berbagai pengalaman menimbulkan kesan psikologis atau afektif tertentu yang menentukan motivasi. Elliot (2000) mengatakan terdapat sejumlah faktor afektif yang dapat mempengaruhi motivasi, seperti kecemasan, dan rasa percaya diri.

Pada prinsipnya, setiap proses pembelajaran diharapkan dapat berhasil secara optimal, yaitu ditandai dengan hasil belajar yang tinggi. Namun, pengamatan terhadap hasil belajar mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja menunjukkan adanya variasi. Masih banyak mahasiswa yang belum mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan ukuran IPK, banyak yang masih memiliki IPK di bawah 2,5. Sementara itu banyak pula yang berhasil mencapai IPK lebih dari 3,0. Dilihat dari kualitas input yang mana telah terseleksi secara ketat, mestinya hasil belajar mereka tinggi. Faktor latar belakang ekonomi juga relatif bukan penyebab karena beban finansial kuliah di Undiksha Singaraja relatif kecil dibandingkan penghasilan rerata orang tua mahasiswa yang pegawai negeri.

Sejauh ini, kajian-kajian tentang proses belajar L2 menyebutkan bahwa faktor afektif berperan sangat signifikan; hingga Krashen (1987) menetapkannya sebagai salah satu hipotesis/prediktor keberhasilan dalam SLA Theory yang diajukannya. Krashen mengatakan bahwa faktor input kebahasaan merupakan faktor terpenting (input hypothesis), tetapi faktor-faktor afektif merupakan filter (affective filter hypothesis) yang memungkinkan input tersebut termanfaatkan atau tidak dalam proses belajar. Jadi, faktor-faktor afektif berperan sebagai penentu akuisisi input. Dulay dan Burt (Krashen, 1987) menggambarkan peran filter afektif sebagai berikut.

Dulay dan Burt menjelaskan bahwa filter afektif berperan dalam menghalangi input digunakan dalam pemerolehan bahasa. Halangan filter tersebut berupa berbagai kendala yang terjadi dalam operasional LAD, yaitu alat-alat pemerolehan bahasa. Seseorang dengan sikap yang optimal (positif) diduga memiliki filter afektif yang rendah sehingga input dapat digunakan dengan baik untuk meningkatkan pemerolehan bahasa.

Berdasarkan rasional di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui determinasi faktor-faktor afektif terhadap keberhasilan belajar mahasiswa yang mencapai hasil belajar tinggi maupun rendah pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja, dan mendeskripsikan peran faktor afektif dalam menentukan hasil belajar mahasiswa.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Ganesha pada semester ganjil tahun akademik 2007/2008. Populasi adalah semua mahasiswa yang berjumlah 371 orang. Sampel penelitian diambil secara stratified, proporsional random sampling. Pengelompokan mahasiswa berdasarkan Index Prestasi Kumulatif (IPK) untuk mata kuliah disciplinary content subjects dan pedagogical content subjects. Mata-mata kuliah umum dan pedagogi umum tidak dimasukkan dalam penghitungan IPK. Dua puluh tujuh prosen dari populasi diambil sebagai sampel; yaitu asing-masing 13,5 prosen mahasiswa dari kelompok IPK tinggi (3,0 ke atas) dan IPK rendah (2,5 ke bawah) dipilih secara acak.

Dalam penelitian ini, variabel terikat adalah hasil belajar mahasiswa yang dilihat dari IPKnya. Variabel terikat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu IPK tinggi (3,0 ke atas) dan IPK rendah (2,5 ke bawah). Variabel bebas ada enam buah faktor afektif, yaitu . integrativeness, learned helplessness, self-efficacy, locus of control, interest dan anxiety. Konstelasi variabel digambarkan sebagai berikut.

Keterangan:

X1: Anxiety

X5: Learned HelplessnessX2: Self-Efficacy

X6: IntegrativenessX3: Interest

Y1: IPK TinggiX4: Locus of Control

Y2: IPK Rendah

Pada hakikatnya, penelitian ini merupakan penelitian ex-post facto yaitu pengambilan data apa adanya tanpa ada perlakuan khusus terhadap sampel sebelum data diambil. Untuk menjawab tujuan penelitian, digunakan rancangan kombinasi antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penggunaan kombinasi antara metode kualitatif dan kuantitatif (sering disebut mixed methods (Brannen, 1992), atau metode campuran) didasari oleh hakikat dan tujuan penelitian dimana diperlukan data dan analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. (1) Pemilihan sampel penelitian, (2) Kajian teoretis dan empiris mengenai faktor-faktor afektif untuk ditetapkan sebagai variabel penelitian, setelah ditetapkan sejumlah variabel afektif, dikembangkan sebuah kuesioner untuk setiap variabel, (3) kuesioner dikenakan kepada sampel, (4) hasil kuesioner dianalisis untuk mengetahui determinasi faktor-faktor afektif tersebut terhadap keberhasilan belajar, (5) Focus Group Discussion (FGD) untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor afektif tersebut berperan dalam menentukan keberhasilan belajar mahasiswa, dan (6) pengambilan simpulan.Untuk mendapatkan data tentang faktor-faktor afektif yang mempengaruhi hasil belajar, instrumen yang digunakan adalah kuesioner, dan pedoman FGD. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap, yaitu pertama, dilakukan kajian teori dan empirik untuk mendapatkan faktor-faktor afektif yang berpengaruh pada keberhasilan belajar mahasiswa. Dari kajian yang dilakukan, ditetapkan enam faktor afektif utama untuk diteliti, yaitu integrativeness (kelekatan terhadap penutur asli bahasa yang dipelajari serta budayanya), learned helplessness (rasa tak berdaya akibat dari kegagalan yang pernah dialami), self-efficacy (rasa percaya pada kemampuan diri yang dapat menimbulkan prestasi), locus of control (kemampuan untuk mengontrol hal-hal yang mendukung dan tidak mendukung upaya mencapai tujuan), interest (minat terhadap Bahasa Inggris), dan anxiety (kecemasan).Masing-masing kuesioner divalidasi secara teoretik (validitas konstruk) melalui penilaian ahli dan dihitung dengan rumus dari Gregory (1996), dan validasi empirik melalui ujicoba lapangan/empirik untuk menentukan validitas dan reliabilitas instrumen.. Kedua, disebarkan kuesioner terhadap semua sampel penelitian. Untuk menghindari bias hasil penelitian, pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengumpulkan semua sampel sekaligus dan mereka menjawab semua kuesioner dalam waktu yang bersamaan. Ketiga, dilakukan Focus Group Discussion (FGD). Berupa pemberian pertanyaan kepada suatu kelompok yang telah dikumpulkan untuk keperluan tertentu. FGD dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pedoman FGD yang dikembangkan dari hasil uji hipotesis data kuesioner. Dalam FGD, sampel dibagi kedalam kelompok-kelompok kecil dengan seorang fasilitator. Sesuai dengan karakteristik data yang dikumpulkan, analisis data dilakukan dalam dua tahap. Pertama, analisis kuantitatif menggunakan metode statistik (untuk menjawab rumusan masalah pertama, kedua, dan ketiga) yang dilakukan dengan uji t dan dibantu dengan program SPSS 10.1 for windows. Kedua, analisis deskriptif kualitatif terhadap data hasil FGD. 3. Hasil Penelitian dan PembahasanBerdasarkan analisis deskriptif terhadap data kuesioner, diperoleh hasil sebagai berikut.Tabel 01 : Statistik Deskriptif Enam Variabel AfektifNo.VariabelKelompok Hasil Belajar (dari IPK)Jumlah sampelRerataDeviasi Standar

1AnxietyTinggi50131.080010.0911

Rendah50121.360010.7072

2Self-EfficacyTinggi50119.620013.3231

Rendah50105.820010.1794

3InterestTinggi50109.4200 16.6146

Rendah5091.960013.6082

4Locus of ControlTinggi50129.400013.9591

Rendah50120.68009.5028

5Learned HelplessnessTinggi5063.46009.5708

Rendah5075.300011.7963

6IntegrativenessTinggi50128.68009.9682

Rendah50110.600012.7487

Tabel di atas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan rerata antara kelompok hasil belajar tinggi dengan rendah, pada keenam variabel dimana rerata untuk variabel anxiety dan learned helplessness lebih kecil pada kelompok hasil belajar tinggi, sedangkan rerata untuk keempat variabel lainnya lebih kecil pada kelompok hasil belajar rendah.Selanjutnya, setelah uji normalitas dilakukan pada data, peneliti melakukan uji-t untuk menguji hipotesis adanya perbedaan rerata antarkedua kelompok pada masing- masing variabel. Uji-t dilakukan dengan bantuan SPSS 10.1 for Windows. Hasil uji-t untuk keenam variabel dapat dilihat pada tabel di bawah berikut.

Tabel 02 : Hasil Uji Hipotesis

No.VariabelKelompok Hasil BelajarTest Value 0

tdbSig. padaRerata Kelompok

1.AnxietyTinggi91.85149.000131.0800

Rendah80.14749.000121.3600

2.Self-EfficacyTinggi63.48749.000119.6200

Rendah73.50749.000105.8200

3.InterestTinggi47.78449.000109.4200

Rendah46.56849.00091.9600

Rendah61.34449.000110.6000

4.Locus of ControlTinggi65.54849.000129.4000

Rendah89.79849.000120.6822

5.Learned HelplessnessTinggi46.88549.00063.4600

Rendah45.13749.00075.3000

6.Integrativeness Tinggi91.28149.000128.6800

Hasil uji t di atas menunjukkan bahwa untuk keenam variabel afektif, terjadi perbedaan yang signifikan antara mahasiswa yang mencapai hasil belajar tinggi dengan mahasiswa yang mencapai hasil belajar rendah. Hal ini berarti bahwa adanya perbedaan rerata pada kedua kelompok pada setiap variabel adalah berarti (signifikan), dengan kata lain, bahwa ada pengaruh variabel afektif terhadap hasil belajar mahasiswa. Secara lebih rinci, dapat dilihat dari reratanya, bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi, reratanya lebih kecil untuk variabel anxiety dan learned helplessness namun lebih besar untuk empat variabel lainnya; dibandingkan dengan mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Selanjutnya hasil uji hipotesis ini dipadukan dengan hasil FGD, dan dibahas berikut ini.(1) Anxiety

Mahasiswa dengan hasil belajar tinggi ditemukan memiliki tingkat anxiety yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan siswa dengan hasil belajar rendah. Sementara itu, melalui FGD terungkap bahwa kedua kelompok mengalami kecemasan dalam belajar, tetapi ada perbedaan dalam bentuk dan tingkat kecemasan pada kedua kelompok mahasiswa. Kedua kelompok mahasiswa menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gugup, cemas, tidak nyaman dan khawatir jika dihadapkan pada situasi seperti: menemui dosen, tes yang tiba-tiba, peraturan baru yang mengharuskan mereka untuk berbahasa Inggris di dalam kampus, dan pertanyaan dari dosen yang diajukan secara tiba-tiba. Namun, perbedaannya adalah bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi dapat dengan lebih cepat kembali berkonsentrasi. Bagi mereka, kecemasan justru memacu untuk melakukan tugas-tugas dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Sebaliknya, mahasiswa dengan hasil belajar rendah cenderung putus asa dan merasa tidak berdaya. Temuan ini sejalan dengan hipotesis Krashen (dalam Schuts 200) yang menyatakan bahwa tingkat kecemasan yang rendah menyebabkan mahasiswa memiliki persiapan yang lebih baik untuk dapat mencapai sukses dalam pemerolehan bahasa kedua. Hal ini juga ditegaskan dalam hukum Yerkes-Dodson yang menyatakan bahwa tingkat kecemasan yang relatif rendah hingga sedang berdampak konstruktif; namun, kecemasan tingkat tinggi cenderung destruktif dan non-adaptif (Elliot, 2000). (2) Self-efficacySelf-efficacy didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan yang mempengaruhi kesuksesan ataupun kegagalan seseorang. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa rerata mahasiswa dengan hasil belajar tinggi lebih tinggi dalam merespon kuesioner self-efficacy, dibandingkan dengan mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Selanjutnya, melalui FGD terungkap bahwa kelompok hasil belajar tinggi memiliki self-efficacy yang lebih tinggi daripada kelompok hasil belajar rendah. Bandura (1994) menyatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi cara orang berpikir, merasakan, memotivasi diri mereka, dan bagaimana bertindak. Banyak penelitian tentang self-efficacy, seperti yang dilakukan oleh Pajares dan Schunk (2002), yang menunjukkan bahwa self-efficacy mempengaruhi motivasi akademik, belajar, dan prestasi. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Marhaeni (2005) menyatakan bahwa self-efficacy berperan dalam mendorong kesiapan mahasiswa menilai kemampuannya sendiri (self-evaluation).Dalam penelitian ini, kelompok dengan hasil belajar tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan hasil belajar rendah. Jika dipandang dari teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, prestasi belajar mereka dipengaruhi oleh faktor self-efficacy, yang mengarahkan mereka untuk mengatribusi keberhasilan atau kegagalan mereka dalam belajar, pada kurangnya usaha dan rendahnya kemampuan. Seorang individu dengan self-efficacy yang tinggi cenderung untuk percaya bahwa kemampuan yang ia miliki akan tercermin melalui performa mereka dalam proses belajar. Mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Saat memperoleh keberhasilan dalam belajar, mereka percaya bahwa hal itu disebabkan oleh kerasnya usaha dan kegigihan, karena itu mereka merasa mampu melakukan tugas sulit karena itu bukan ancaman, melainkan tantangan. Kelompok ini mengaku senang bila mereka mendapatkan bantuan dari orang lain, belajar dari kesalahan, saat menemukan ide-ide yang cemerlang, dan merasa bahwa Bahasa Inggris adalah pilihan terbaik. Tidak sama halnya dengan orang-orang yang memiliki self-efficacy yang rendah. Mereka menganggap bahwa tugas sulit yang mereka temui dalam proses belajar adalah suatu ancaman. Mereka tidak percaya pada diri mereka sendiri, dan itulah sebabnya mengapa mereka tidak melakukan usaha yang keras untuk meraih sukses. Hal yang lebih buruk adalah bahwa kelompok ini mengaku pesimis dan gampang menyerah saat mereka menghadapi kesulitan.(3) InterestDari hasil yang diperoleh melalui kuesioner, ditemukan bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi menunjukkan tingkat interest (minat) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan hasil belajar rendah. Selanjutnya, hasil FGD menunjukkan bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi merasakan bahasa Inggris sangat penting manfaatnya sebagai jembatan untuk memperoleh hidup yang lebih baik di masa depan, sedangkan kelompok dengan hasil belajar rendah merasa bahwa bahasa Inggris penting untuk mempersiapkan diri mereka dalam era globalisasi. Lebih jauh, mahasiswa dengan hasil belajar tinggi menjelaskan bahwa mereka meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dengan cara belajar terus dan menjadi pembelajar yang baik. Kelompok ini mengatakan bahwa Bahasa Inggris sangat menarik perhatian mereka, fun, dan menantang. Mereka merasakan lebih berkualitas dengan kemampuan berbahasa Inggris yang baik, dan merasa dapat berpartisipasi dalam dunia yang luas ini dengan kemampuan tersebut. Di lain pihak, mahasiswa dengan hasil belajar rendah mengatakan merasa menjadi lebih baik jika mau belajar Bahasa Inggris, meskipun bukan Bahasa Inggris satu-satunya tiket ke masa depan. Sulitnya belajar Bahasa Inggris membuat mereka merasa terbebani dalam belajar.Hasil-hasil di atas sejalan dengan teori yang menyatakan minat sebagai suatu karakteristik yang terungkapkan melalui hubungan seseorang dengan suatu aktivitas atau objek (Elliot, 2000). Minat terjadi bilamana kebutuhan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan yang dituntut oleh suatu aktivitas atau objek. Jadi, seseorang akan memiliki minat yang tinggi terhadap suatu tugas jika tugas tersebut dapat memuaskan kebutuhannya, menantang kemampuannya untuk berkembang, dan tuntutan itu merupakan latihan bagi kapasitas yang dimilikinya.(4) Locus of controlDari analisis terhadap data yang diperoleh melalui kuesioner, ditemukan bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi menunjukkan tingkat locus of control yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok rendah. Temuan ini sejalan dengan Rotter (dalam Elliot, 2000) yang menyatakan bahwa locus of control adalah kecenderungan seorang individu untuk menghubungkan hasil dari tindakan yang diambilnya baik sukses maupun gagal, kepada faktor-faktor internal dan eksternal. Sukanta (2007) yang meneliti pengaruh locus of control terhadap kreativitas siswa mengatakan bahwa locus of control siswa sangat mempengaruhi prestasi belajar mereka. Sedangkan Nuryata (2006) dalam penelitiannya tentang pengaruh job sheet terhadap prestasi belajar siswa yang dipandang dari segi locus of control, menyatakan bahwa semakin dominannya locus of control internal pada diri siswa akan mengakibatkan prestasi belajar yang semakin tinggi pula.

Bahwa faktor internal lebih menentukan tinggi rendahnya locus of control terungkap pada sesi FGD. Mahasiswa dengan hasil belajar tinggi mengatakan bahwa keberhasilan terletak pada kemampuan, pengetahuan, usaha, dan dukungan, sedangkan mahasiswa dengan hasil belajar rendah mengatakan bahwa pengalaman adalah faktor paling menentukan keberhasilan belajar. Berhasil tidaknya dalam hidup sangat tergantung pada nasib setiap orang, terlepas dari sukses tidaknya mereka dalam studi.

Kedua kelompok sependapat bahwa mereka telah melakukan usaha yang maksimal selama kuliah. Namun kelompok tinggi merasa bahwa bila mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas, mereka merasa takut, cemas, sedih, stres, panik, karena itu mereka berusaha untuk bertanya pada teman atau dosen, dan belajar lebih giat lagi. Di pihak lain, kelompok rendah mengatakan bila mengalami kesulitan dalam tugas, mereka cenderung menjadi malas dan menyerah, seringkali merasa jengkel dengan tugas-tugas yang sulit. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan hasil belajar dipengaruhi oleh perbedaan tingkat locus of control, dan hasil ini terbukti juga dari bagaimana mahasiswa mengekspresikan dirinya yang mencerminkan locus of controlnya.(5) Learned HelplessnessLearned helplessness adalah perasaan menyerah dengan cepat yang disebabkan karena kegagalan yang dialami sebelumnya. Kegagalan tersebut membuat orang learned helplessness selalu berfikir akan gagal terus, sehingga mereka cepat menyerah dengan tantangan yang datang padanya. Dari analisis hasil kuesioner ditemukan bahwa tingkat learned helplessness pada mahasiswa dengan hasil belajar tinggi lebih rendah daripada tingkat learned helplessness pada mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi memiliki tingkat frustrasi dan frekwensi menyerah lebih rendah daripada mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Temuan ini sejalan dengan pendapat Elliot (2000) yang menyatakan bahwa learned helplessness sebagai salahsatu aspek yang mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar bahasa kedua. Elliot menyatakan bahwa aspek ini menempatkan individu pada kondisi frustrasi dan mereka akan menyerah dengan begitu saja setelah kegagalan yang berulang. Dalam penelitian ini, kondisi frustrasi digambarkan dengan kondisi dimana seseorang belajar untuk mempercayai bahwa dia putus asa, mempercayai bahwa dia tidak memiliki kontrol pada situasi yang dihadapi, dan apapun yang dia lakukan adalah sia-sia. Gambaran keadaan tersebut ditemukan tinggi pada mahasiswa dengan hasil belajar rendah, namun rendah pada mahasiswa dengan hasil belajar tinggi.

Temuan ini juga sejalan dengan Deiner dan Dweck (dalam Slavin, 2006) yang menyatakan bahwa learned helplessness mempengaruhi aktivitas siswa dalam mempelajari sesuatu khususnya bahasa kedua. Siswa yang berada pada kondisi learned helplessness yang tinggi tidak akan berusaha melakukan hal-hal dengan lebih baik. Mereka enggan berusaha karena mereka memiliki persepsi bahwa mereka hanya akan berakhir pada kegagalan. Kondisi seperti ini berpengaruh pada prestasi.Untuk mengungkap bagaimana learned helplessness dirasakan oleh mahasiswa, mereka ditanya mengenai sikap mereka terhadap kegagagalan. Hasil FGD menunjukkan bahwa secara umum, mahasiswa memandang bahwa kegagalan adalah cambuk untuk menjadi lebih baik. Kedua kelompok mahasiswa menyatakan bahwa kegagalan di masa lalu merupakan hal yang dapat memotivasi mereka untuk melakukan perbaikan di masa yang akan datang. Kedua kelompok tidak menganggap kegagalan sebagai penghambat untuk melakukan perbaikan dalam bidang prestasi. Tentang school experience (pengalaman di sekolah) seperti presentasi, beberapa mahasiswa menyatakan bahwa mereka merasa cukup gugup saat diminta untuk melakukan presentasi terutama jika diminta secara tiba-tiba. Pertamanya mereka merasa kaget, namun berusaha melakukan presentasi dengan meminta waktu untuk mempersiapkan diri dan kemudian mempresentasikan materi sebaik yang dapat mereka usahakan. Yang menarik, dari kelompok mahasiswa dengan hasil belajar rendah terungkap bahwa mereka cenderung menyerah dan menolak untuk melakukan presentasi karena merasa tidak mampu untuk melakukannya. (6) IntegrativenessHasil kuesioner integrativeness menunjukkan bahwa pada mahasiswa dengan hasil belajar tinggi tingkat integrativenessnya tinggi, sementara tingkat integrativeness pada mahasiswa dengan hasil belajar rendah ditemukan rendah. Gardner (2001) menyatakan bahwa Integrativeness merefleksikan ketertarikan alami dalam belajar bahasa kedua dengan tujuan dapat lebih dekat secara psikologis pada komunitas bahasa lain. Tingkat integrativeness yang rendah mengindikasikan ketidaktertarikan dalam mempelajari bahasa kedua, sementara tingkat yang tinggi mengindikasikan ketertarikan. Hal ini berarti bahwa saat seseorang memiliki tingkat integrativeness yang tinggi, akan ada kesempatan yang lebih besar bagi dia untuk meraih sukses dalam pemerolehan bahasa kedua. Sebaliknya, seseorang memiliki tingkat integrativeness yang rendah, kesempatan untuk meraih sukses dalam pemerolehan bahasa kedua akan lebih kecil.

Dari kegiatan FGD ditemukan bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi dan mahasiswa dengan hasil belajar rendah memiliki tingkat integrativeness yang berbeda. Dari beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, terungkap bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi memiliki keterbukaan terhadap komunitas dan budaya Inggris. Mereka mengatakan bahwa kesempatan untuk dapat berbicara dengan pembicara asli Bahasa Inggris merupakan impian dan hal yang paling mereka tunggu-tunggu dalam proses pembelajaran Bahasa Inggris. Mereka percaya bahwa berkomunikasi dengan penutur asli, dapat meningkatkan motivasi mereka dalam belajar Bahasa Inggris. Mereka tidak khawatir dalam berkomunikasi dengan penutur asli, walaupun pasti akan ada kesulitan-kesulitan dalam berkomunikasi seperti aksen Bahasa Inggris, dan perbedaan budaya. Mereka anggap itu sebagai tantangan dalam mempelajari Bahasa Inggris. Beberapa dari mereka bahkan berangan-angan untuk bisa pergi ke negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai native language atau first language. Bahkan ada yang berangan-angan memiliki aksen penutur asli. Tentang perbedaan budaya, mahasiswa dengan hasil belajar tinggi menilai ini sebagai hal yang patut dipelajari atau diketahui. Mereka beranggapan bahwa mempelajari budaya lain merupakan hal yang menarik, namun hal ini bukan berarti mereka akan mengadopsi semua budaya Inggris, mereka mengatakan bahwa mereka harus memilih budaya yang mana yang cocok diterapkan dan memberi pengaruh positif bagi diri mereka dan lingkungan.

Dari jawaban mahasiswa dengan hasil belajar rendah, terungkap bahwa tingkat keterbukaan mereka terhadap komunitas dan budaya Inggris tidak setinggi mahasiswa dengan hasil belajar tinggi. Hal ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, antusiasme dan partisipasi mereka rendah dalam menjawab pertanyaan peneliti. Hal ini menunjukkan bahwa ketertarikan mereka terhadap bahasa, komunitas dan budaya asing rendah. Kedua, respon mereka menunjukkan kekhawatiran saat mereka berbicara dengan penutur asli Bahasa Inggris karena aksen yang sulit dipahami. Mereka mengatakan bahwa berkomunikasi dengan penutur asli sebagai hal yang biasa saja, dalam arti, tidak perlu dikejar dan disengaja hanya untuk lebih mengenal mereka. Tentang latar belakang budaya penutur asli Bahasa Inggris, mahasiswa berprestasi rendah kurang lebih memiliki pendapat sama dengan mahasiswa berprestasi tinggi. Kedua kelompok berpikir bahwa mereka harus memilih dan menyesuaikan budaya apa yang cocok bagi mereka terutama yang sesuai dengan budaya timur. Namun, dorongan rasa ingin tahu dan lebih mengenal budaya asing tampak lebih tinggi pada kelompok hasil belajar tinggi.Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara psikologis, faktor-faktor afektif tersebut mempengaruhi mahasiswa dalam belajar Bahasa Inggris. Untuk mahasiswa dengan hasil belajar tinggi, anxiety dan learned helplessness bukanlah hal yang merugikan karena tingkatnya yang rendah; justru tingkat yang rendah ini mendorong belajar; sedangkan self efficacy, locus of control, interest, dan integrativeness dirasakan sebagai modal besar keberhasilan mereka. Sebaliknya, mahasiswa dengan hasil belajar rendah cenderung lebih dipengaruhi oleh rasa cemas dan tidak berdaya yang tinggi.4. Penutup Dari temuan penelitian dan pembahasan yang dilakukan, disimpulkan bahwa, terdapat perbedaan yang signifikan tingkat afeksi antara mahasiswa dengan hasil belajar tinggi dengan mahasiswa dengan hasil belajar rendah; dimana tingkat kecemasan (anxiety) dan learned helplessness mahasiswa dengan hasil belajar tinggi lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Sementara itu, tingkat self efficacy, locus of control, interest, dan integrativeness mahasiswa dengan hasil belajar tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Secara psikologis, ada perbedaan cara menyikapi hal-hal yang terkait dengan Bahasa Inggris. Mahasiswa dengan hasil belajar tinggi cenderung merasakan, dan selanjutnya merespon, secara baik ekspose terhadap Bahasa Inggris dan budayanya. Mahasiswa kelompok ini secara sadar dan tidak sadar menerima dan menghayati hal-hal yang terkait dengan Bahasa Inggris. Terasakan bahwa terjadi kondisi psikologis yang kondusif dalam ekspose tersebut sehingga proses belajar mereka pun berlangsung dengan efektif. Hal-hal psikologis yang terungkap dalam penelitian ini adalah kesadaran akan manfaat Bahasa Inggris, kebanggaan menguasai Bahasa Inggris, dan pemahaman yang baik tentang budaya dan masyarakat pemakai Bahasa Inggris. Pada mahasiswa dengan hasil belajar rendah, secara psikologis terasakan ada tekanan yang tidak kondusif bagi belajar mereka, antara lain berupa perasaan adanya perbedaan budaya antara mereka dengan masyarakat penutur asli Bahasa Inggris sehingga sulit bagi mereka memahami dan menyesuaikan diri dengan budaya asing tersebut. Mahasiswa kelompok ini merasakan kesulitan belajar karena menganggap bahwa apa yang dipelajari adalah sesuatu yang asing, meskipun mereka menyadari manfaat dari belajar Bahasa Inggris bagi masa depan mereka. Namun, penekanan pada perbedaan latar belakang, kekurangterbukaan, bahkan resistansi pada masyarakat dan budaya penutur asli Bahasa Inggris menyebabkan mahasiswa kelompok ini memandang belajar Bahasa Inggris semata-mata untuk tujuan instrumental, yaitu memperoleh pekerjaan dengan lebih mudah dan yang lebih baik.DAFTAR PUSTAKABandura, Albert. 1996. Banduras Social Cognitive Theory. http://www.google.co.id/search?q=Bandura+selfefficacy&hl=en&start=10&sa=NBandura, A. 1994Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of human behavior (Vol. 4, pp. 71-81). New York: Academic Press. (Reprinted in H. Friedman [Ed.], Encyclopedia of mental health. San Diego: Academic Press, 1998).

Brannen, J. (Ed.). 1992. Mixing Methods, Qualitative and Quantitative Research. Sydney: Avebury.Elliott, S.N. et al. 2000. Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Boston: Mc.Graw Hill.

Gall, M.D, et al. 2003. Educational Research an introduction. USA: Allyn and Bacon, Inc.Gardner, R.C. 2000. Correlation, Causation, Motivation and Second Language Acquisition : http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3711/ is_200002/ai_n8894168/pg_12Gardner, R.C. 2001. Language Learning Motivation: The Student, the Teacher, and the Researcher. http://publish.uwo.ca/~gardner/ GardnerPublicLecture1.pdf.Gregory, R. J. 2000. Psychological Testing History, Principles, and Application. Illinois: Allyn & Bacon.Krashen, S.D. 1987. Principles and Practice in Second Language Acquisition. New Jersey: Prentice-Hall International.

Krashen, Stephen. D. 2005. Second language Acquisition. http://wikipedia.en.SLA.htmlMarhaeni, AAIN. 2005. Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi Berprestasi Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (disertasi). Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Mitchell, R., and Myles, F. 1998. The Effect of Affective Factors.New York, NY: Oxford University Press. http://eslpundit.com/tesol/the-effect-of-affective-factorsNeill, J. 2006. What is Locus of Control? www.google.com/ locusofcontrol.htmlNuryata, I Made. 2006. Pengaruh Metode Pemecahan Masalah dan Penggunaan Job Sheet Terhadap Hasil Belajar Siswa MK Ditinjau dari Locus of Control dan Dengan Memperhatikan Bakat Berpikir Mekanik Siswa. Unpublished Thesis. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja. Pajares, F. 1996. A Review of Educational Research: Self-efficacy Beliefs in Academic Settings. Atlanta: Emory University. http://www.positivepractices.com/Efficacy/SelfEfficacy.htmlPajares, F. and Schunk, D. H. 2002. In J. Arosnson (Ed). Improving Academic Achievement. New York: Academic Press. http://www.google.co.id/search?q=Pajares+and+Schunk,+self-efficacy&hl=en&start=30&sa=N.

Slavin, R. A. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. USA: Allyn & Bacon Pearsons Education, Inc

Sukanta, I Ketut. 2007. Analisis Determinasi Locus of Control, Pola Asuh Orang Tua dan Nilai Sosio Kultural Terhadap Kreativitas Siswa SMA Negeri di Kabuapaten Gianyar. (tesis). Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha.

Tuckman, B.W. & Sexton, J. 1999. A Tripartite Model of Motivation for Achievement: Attitude/Drive/Strategy makalah disampaikan dalam symposium Motivational Factors Affecting Student Achievement Current Perspectives. Boston: Annual Meeting of the APA.

Input

Filter

LAD

Acquired

competence

OPERATIONAL OF THE

AFFECTIVE FILTER

Y2

X6

X5

X4

X3

X2

Y1

X1

PAGE __________________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008