703-2987-1-pb

Upload: ivanaregin

Post on 07-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

  • PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU SEBAGAI SUMBER KARBON

    UNTUK MEMPRODUKSI BIOPLASTIK POLIHIDROKSI ALKANOAT (PHA)

    OLEH Ralstonia eutropha PADA SISTIM KULTIVASI FED BATCH

    K. Syamsu*, A.M. Fauzi, L. Hartoto, A. Suryani, N. Atifah Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan

    Bioteknologi IPB , PO Box 1, Darmaga, Bogor.

    Abstract The objective of this resarch has been to examine the utilization of hydrolysed sago starch as main substrate to produce PHA by Ralstonia eutropha using fed batch cultivation method. The results show that the hydrolysed sago starch can be used as carbon source for the production of PHA by Ralstonia eutropha. A higher formation and accumulation of PHA can be achieved through feeding of hydrolysed sago starch in a fedbatch cultivation method. The best treatment can increase the specific product yield up to 76.54% and product concentration up to 3.72 g/L.

    Kata kunci : Bioplastik, PHA (Poli hidroksi alkanoat), PHB (Poli hidroksi butirat), Ralstonia eutropha, hidrolisat pati sagu, metode kultivasi fed batch (semi sinambung).

    1. PENDAHULUAN

    Pembuangan produk-produk plastik dan bahan-bahan polimer berbasis petrokimia pada akhir penggunaannya telah menyebabkan problem lingkungan yang serius. Hal ini berkaitan dengan sifat bahan-bahan tersebut yang tidak dapat atau sangat sulit didegradasi secara biologis oleh mikroba yang ada secara alami di lingkungan. Di sisi lain, petrokimia sebagai bahan baku plastik konvensional merupakan sumber daya alam yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui (unrenewable), sehingga diperlukan usaha pencarian alternative penggantinya Sejalan dengan meningkatnya kepedulian akan kelestarian alam dan kualitas lingkungan, maka perlu dicari bahan baku plastik alternatif dari bahan yang dapat diperbaharui (renewable) dan dapat didegradasi secara biologis. Poly--hydroxyalkanoates (PHA) merupakan salah satu poliester yang paling menjanjikan. Kekuatan dan kekerasannya baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Poliester ini juga resisten terhadap kelembaban dan memiliki permeabilitas oksigen yang sangat rendah (van Wegen et al., 1998).

    Poliester-poliester PHA telah mendapat perhatian besar dari dunia industri sebagai plastik alami yang dapat didegradasi secara biologis dan kompatibel untuk kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang jahit pada operasi bedah, bahan sekali pakai (disposable products), hingga bahan-bahan kemasan. Dari berbagai tipe PHA, satu jenis yang paling umum dan memiliki sifat termoplastik yang baik adalah poly--hydroxy butirate (PHB). PHB bahkan sering dibandingkan dengan polipropilen karena sifat-sifat fisiknya yang mirip. Meskipun PHB lebih rapuh dan lebih sensitif terhadap pelarut dibandingkan poliester komersial, namun PHB memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap radiasi UV dan bersifat biodegradabel. Meskipun PHA umumnya dan PHB khususnya menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk berbagai aplikasi, namun komersialisasinya masih menghadapi kendala ekonomi. Biaya produksinya masih jauh lebih tinggi dibandingkan biaya produksi produk plastik yang berbasis petrokimia. Penurunan biaya produksi dapat diupayakan melalui penggunaan substrat kultivasi yang lebih murah, pengembangan strain-strain bakteri yang lebih baik, proses kultivasi yang

    _________________________________________________________________________________

    Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu...............( K. Syamsu., A.M. Fauzi., L. Hartoto., A. Suryani., N. Atifah) 17

  • lebih produktif dan efisien, dan proses recovery yang lebih ekonomis. Salah satu kandidat bahan baku murah dan terbaharukan yang melimpah di Indonesia adalah sagu. Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal sagu seluas 1,5% dan 0,2% dari total areal sagu dunia (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Menurut Yudohusodo (2003) di dalam Pikiran Rakyat (25/10/2003) dari sejuta hektar lahan sagu yang dimiliki, baru 20% yang dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia. Pati sagu sebagai hasil ekstraksi batang empulur sagu dapat dihidrolisis menjadi komponen lebih sederhana seperti glukosa sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbon yang murah bagi kultivasi PHA. Pemanfaatan sagu sebagai bahan baku media kultivasi PHA diharapkan dapat menurunkan biaya produksi PHA sekaligus meningkatkan nilai tambah sagu. Bakteri Ralstonia eutropha telah diketahui sebagai salah satu jenis bakteri Gram negatif unggul penghasil PHA yang sesuai ditumbuhkan pada media mengandung glukosa (Lee et al., 1999) dengan faktor pembatas fosfat (Ryu et al., 1997) atau nitrogen, fosfor dan oksigen (Klem dalam Robinson et al, 2000). Oleh karena itu R. eutropha diduga akan dapat tumbuh baik pada hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon. Untuk meningkatkan efisiensi proses kultivasi, Syamsu et al (2003), telah melakukan serangkaian kajian optimasi produksi PHA dengan sistem kultivasi curah (batch) menggunakan hidrolisat minyak kelapa sawit sebagai sumber karbon dan menggunakan pelarut sodium hipoklorit untuk mengisolasi PHA. Hasil penelitian Syamsu et al (2003) mengindikasikan bahwa pertumbuhan sel atau biomassa optimal berlangsung pada kondisi nutrisi (dalam hal ini karbon dan nitrogen) yang seimbang, sedangkan pembentukan PHA distimulasi oleh ketidak seimbangan nutrisi. Temuan ini mengarah kepada hipotesa bahwa akumulasi PHA tertinggi akan diperoleh melalui pembatasan nutrisi induktif setelah tercapai produksi biomassa yang maksimum. Dengan demikian optimasi lebih lanjut pembentukan PHA dilakukan melalui strategi kultivasi dua tahap menggunakan sistim kultivasi fedbatch. Tahap pertama ditujukan untuk memaksimumkan pembentukan biomassa menggunakan nutrisi seimbang pada sistim batch, sedangkan tahap kedua ditujukan untuk memaksimumkan

    pembentukan PHA melalui pembatasan nutrisi induktif melalui pengumpanan sumber karbon berlebih dan/atau pembatasan aerasi pada sistim fedbatch.

    2. BAHAN DAN METODE

    2.1. Kajian Kinetika Pertumbuhan R. eutropha secara Batch

    Ralstonia eutropha IAM 12368 diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Cellular Biosciences, the University of Tokyo, Japan. R. eutropha ditumbuhkan secara batch pada skala bioreaktor (kapasitas 2 L, volume kerja 1 L) selama 96 jam, pH 6,9, aerasi 0,2 vvm, suhu 34oC dengan konsentrasi total gula hidrolisat pati sagu 30 g/L. Sumber nitrogen yang digunakan adalah (NH4)2HPO4 dengan jumlah tertentu sehingga diperoleh C/N rasio sebesar 10:1 (Syamsu et al, 2003). Bahan-bahan lain dalam media kultivasi per liter adalah 5,8 g K2HPO4, 3,7 g KH2PO4, 10 ml larutan MgSO4 0,1 M dan 1 ml larutan mikroelemen. Untuk mengetahui pola pertumbuhan sel dan pola konsumsi gula, parameter bobot biomassa kering (g/L) dan total gula sisa (g/L) diamati setiap selang waktu 12 jam. Rendemen dan konsentrasi PHA dalam sel dievaluasi pada akhir kultivasi.

    2.2. Produksi PHA secara Fed-Batch

    Pada tahap ini diamati pengaruh pengumpanan substrat (sumber karbon maupun media lengkap) dan/atau pembatasan aerasi pada saat mikroba berada diujung fase logaritmik/memasuki tahap stasioner terhadap rendemen PHA yang dihasilkan pada akhir kultivasi. Produksi PHA secara fed-batch dilakukan pada bioreaktor skala 2 liter dengan volume awal media 1 liter. Komposisi media awal dan kondisi kultivasi yang digunakan sama dengan pada tahap sebelumnya. Strategi pengumpanan larutan stok dilakukan berdasarkan Hahn et al. (1995). Pada saat mikroba diperkirakan memasuki fase pertumbuhan stasioner maka ke dalam bioreaktor diumpankan larutan stok dengan laju dilusi tertentu dan/atau pembatasan aerasi.

    Perlakuan substrat umpan yang digunakan pada tahap ini terdiri dari empat macam, yaitu (1) media lengkap (komposisi sama dengan media pada tahap batch); (2) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi total gula 300 g/L; (3) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi total gula 300 g/L + MgSO4.7H2O 8.57 g/L; (4) pengumpanan larutan stok hidrolisat sagu 300 g/L + MgSO4.7H2O 8.57 g/L + (NH4)2HPO4 sehingga rasio C/N 10:1.

    _________________________________________________________________________________

    18 Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 9 No. 1 April 2007 Hlm. 17-21

  • Pengamatan dilakukan pada akhir kultivasi yang meliputi bobot biamassa kering (g/L) dan analisa konsentrasi PHA (g/L media). Rendemen PHA (g PHA/g sel kering) dihitung berdasarkan data bobot kering biomasa dan konsentrasi produk PHA yang dihasilkan. PHA diperoleh dengan metode NaOH digestion.

    3. HASIL DAN PEMBAHASAN

    3.1. Kajian Kinetika Pertumbuhan R. eutropha secara Batch

    R. eutropha ditumbuhkan secara batch pada bioreaktor berkapasitas 2 L, volume kerja 1 L selama 96 jam. Pola pertumbuhan dan konsumsi substrat dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil

    penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan R. eutropha pada substrat hidrolisat pati sagu dengan konsentrasi gula 30 g/L dan rasio C/N 10:1 mulai memasuki fase stasioner pada jam ke-48 (Gambar 1) dengan 0.046/jam. Informasi tersebut penting untuk menentukan waktu pengumpanan dan kecepatan pengumpanan pada tahap kultivasi fed batch. Pada akhir kultivasi dihasilkan biomassa dengan konsentrasi 4.41 g/L dan PHA dengan konsentrasi 1.44 g/L atau 32.65 % dari bobot biomassa. Rendemen biomassa yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi, Y x/s = 0.148 g sel/g gula dan nilai S/So (penggunaan substrat hingga akhir kultivasi) mencapai 99%.

    Gambar 1. Kurva pertumbuhan dan pola konsumsi substrat oleh R. eutropha pada kultivasi batch (skala fermentor 2 L) dengan konsentrasi gula 30 g/L, rasio C/N 10:1

    3.2. Produksi PHA secara Fed-Batch

    Pada tahap ini, pengumpanan substrat dan/atau pembatasan aerasi dilakukan mulai jam ke-48. Hipotesa yang mau diuji adalah apakah pengumpanan sumber karbon dan pembatasan nutrisi esensial lainnya (nitrogen, oksigen, fosfat) pada fase stasioner akan dapat menginduksi akumulasi PHA. Dugaan awal ini didasarkan pada fenomena bahwa akumulasi PHA secara signifikan terjadi pada saat konsentrasi karbon berlebih dan nutrisi esensial lainnya terbatas. Strategi pengumpanan substrat dikembangkan untuk menjaga konsentrasi sumber karbon agar tetap berada dalam rentang yang optimal bagi

    akumulasi PHA (Kessler et al. dalam Babel and Steinbchel, 2001).

    Perlakuan yang telah dicobakan pada tahap ini adalah (1) pengumpanan dengan media lengkap dengan komposisi dan volume sama dengan pada tahap batch (F1), (2) pengumpanan larutan stok hidrolisat sagu (F2), (3) pengumpanan larutan stok hidrolisat sagu+MgSO4.7H2O (sebagai elemen kofaktor)(F3). (4) pengumpanan larutan stok hidrolisat sagu+MgSO4.7H2O+(NH4)2HPO4 (F4). Sebagai pembanding digunakan kultivasi batch (kontrol) dan pembatasan aerasi pada fase stasioner tanpa pengumpanan substrat baru (Ao). Perbandingan konsentrasi sel, konsentrasi PHA dan rendemen

    0,00

    1,00

    2,00

    3,00

    4,00

    5,00

    0 12 24 36 48 60 72 84 96

    Waktu (jam)

    Kon

    sen

    tras

    i sel

    ke

    ring

    (g/L

    )

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    Kon

    sen

    tras

    i gu

    la si

    sa (g/

    L)

    Pertumbuhan sell

    Konsentrasi gula sisa

    _________________________________________________________________________________

    Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu...............( K. Syamsu., A.M. Fauzi, L. Hartoto, A. Suryani, N. Atifah) 19

  • PHA selengkapnya untuk setiap perlakuan, diringkaskan pada Tabel 1 berikut ini.

    Tabel 1. Rendemen PHB R. eutropha pada fermentasi batch dan fed batch dengan dan tanpa pembatasan aerasi

    Perlakuan Konsentrasi sel dalam

    media (g/L) Konsentrasi PHA (g/L)

    Rendemen PHA dalam sel

    (%b/b) Batch (kontrol) 4,41 0,32 1,44 0,27 32.65 6.56

    Batch Ao 3,40 0,39 1,81 0,57 51,1512,32

    Fed batch F1 F2 F3 F4

    3,34 0,11 4.86 0,14 3,67 0,28 4,58 0,24

    2,15 0,03 3,72 0,24 2,12 0,05 1.85 0.06

    64,37 2.30 76.54 5.41 57.77 4.61 40.39 2.49

    Keterangan :

    Ao: Aerasi di-nol-kan mulai jam ke-48, tanpa pengumpanan F1 : Umpan media lengkap seperti media awal batch F2 : Media pengumpan hidrolisat sagu F3 : Media pengumpan hidrolisat sagu + MgSO4.7H2O F4 : Media pengumpan hidrolisat sagu + (NH4)2HPO4 + MgSO4.7H2O

    4. KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil evaluasi rendemen PHA yang dihasilkan pada akhir kultivasi (Tabel 1), terdapat kecenderungan bahwa perlakuan pengumpanan substrat maupun pembatasan aerasi dapat menginduksi akumulasi PHA sehingga konsentrasi PHA dalam sel meningkat. Hal ini terjadi karena ketidakseimbangan unsur-unsur dalam media, dimana terjadi kelebihan sumber karbon namun terdapat keterbatasan nitrogen, fosfat maupun oksigen. Dibandingkan dengan kontrol (kultivasi batch), pengumpanan sumber karbon saja pada awal fase stasioner (F2) menunjukkan hasil yang terbaik, yaitu meningkatkan rendemen PHA yang semula 32,65 % (pada kultivasi batch) menjadi 76,54% (peningkatan menjadi lebih dari 2 kali lipat) dan konsentrasi PHA dari 1,44 g/L menjadi 3,72 g/L (peningkatan menjadi lebih dari dua kali lipat). Selain itu, konsentrasi biomassa/sel juga meningkat dari 4.41 g/l menjadi 4.86 g/L. (110% dari konsentrasi biomassa/sel semula).

    Dibandingkan penelitian Tanaka et al. (1993) yang menggunakan metode kultur dua tahap dan melibatkan Lactococcus lactis IO-1 dan R. eutropha untuk menghasilkan PHB dari xilosa, rendemen PHA yang dihasilkan pada penelitian ini (76.54%) lebih besar dari pada yang dihasilkan Tanaka et al (55%).

    Kim et al. (1994) memproduksi PHB dari Alcaligenes eutrophus dengan teknik kultur fed-batch secara otomatis dengan pembatasan amonium. Konsentrasi glukosa pada kultur dikontrol pada kisaran 10-20 g/L berdasarkan data gas keluar yang diperoleh dari spektrometer massa dan dengan menggunakan analisator glukosa secara on line. Rendemen PHB maksimal yang dapat dicapai pada penelitian ini juga sebesar 76% dari berat kering sel. Namun hasil penelitian ini lebih rendah dari Ryu et al. (1997) yang memperoleh rendemen sampai 80% mengggunakankan Alcalegenes eutrophus dalam bioreaktor 60 L dengan pembatas fosfat pada kultivasi fed batch densitas tinggi.

    Hasil penelitian ini telah membuktikan hipotesa bahwa hidrolisat sagu dapat digunakan sebagai sumber karbon. Akumulasi PHA yang lebih banyak akan diperoleh melalui pembatasan nutrisi induktif setelah tercapai produksi biomassa yang maksimum. Dengan demikian strategi kultivasi fed batch dua tahap dimana tahap pertama (batch) ditujukan untuk memaksimumkan pembentukan biomassa menggunakan nutrisi seimbang, sedangkan tahap kedua ditujukan untuk memaksimumkan pembentukan produk melalui pembatasan nutrisi induktif dengan pengumpanan sumber karbon berlebih dan/atau pembatasan aerasi, terbukti dapat meningkatkan perolehan dan rendemen PHA.

    _________________________________________________________________________________

    20 Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 9 No. 1 April 2007 Hlm. 17-21

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abner, L. dan Miftahorrahman. 2002. Keragaan Industri Sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No.1. Juni 2002.

    Hahn, S.K., Y.K. Chang dan S.Y. Lee. 1995. Recovery and characterization of poly (3-hydroxybutyric acid) synthesized in Alcaligenes eutrophus and recombinant Escherichia coli. Applied and Environmental Microbiology 61(1):34-39. Januari 1995.

    Kessler, B., R. Weisthuis, B. Witholt dan G. Eggink. 2001. Production of microbial polyester: fermentation and downstream processes. In : Babel, W. and A. Steinbchel (Eds.). Biopolyester : Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

    Kim B.S., S.C. Lee, S.Y Lee, H.N. Chang, Y.K. Chang dan S.I. Woo. 1994. Production of poly(3-Hydroxybutyric acid) by fed-batch culture of Alcaligenes eutrophus with glucose concentration control. Biotechnology Bioengineering. 43:892-898.

    Klem, J.K. 1999. Alcaligenes. In: R.K. Robinson, C.A. Batt, P.P. Patel. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. 2000. Academic Press, London, UK.

    Lee, S.Y., J. Choi, K. Han dan J.Y. Song. 1999. Removal of endotoxin during purification of poly(3-hydroxybutyrate) from gram-negative bacteria. Applied and Environmental Microbiology 65(6):2762-2764, Juni 1999.

    Ryu, H.W., S.K. Hahn, Y.K. Chang dan H.N. Chang. 1997. Production of poly(3-hydroxybutyrate) by high cell density fed-batch culture of Alcaligenes eutrophus with phosphate limitation. Biotechnology & Bioengineering 55:28-32.

    Syamsu, K., A. Suryani., A.M. Fauzi., dan Wicaksono, B.W.D. 2003. Optimasi Produksi, Karakterisasi, Applikasi, dan Pengujian Biodegradaasi Bioplastik yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Laporan Hibah Bersaing Perguruan Tinggi X, Departmen Pendidikan Nasional (2002-2003).

    Tanaka, K., K.Katamune dan A. Ishizaki. 1993. Fermentative production of poly--hydroxybutyric acid from xylose by a two-stage culture method employing Lactococcus lactis IO-1 and Alcaligenes eutrophus. Biotechnology Letters 15(12):1217-1222.

    Van Wegen, R.J., Y. Ling, APJ. Middelberg. 1998. Industrial production of polyhydroxyalkanoates using Eschericia coli: an economic analysis. Trans IchemE, vol 76, Part A, pp 417-426.

    _________________________________________________________________________________

    Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu...............( K. Syamsu., A.M. Fauzi, L. Hartoto, A. Suryani, N. Atifah) 21