7 pilihan forum arbitrase dalam sengketa komersial untuk penegakan keadilan

379
iv UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wata’ala, Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Atas perkenan serta izin Allah Subhanahu Wata’ala, Disertasi yang mengusung tema Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, akhirnya selesai disusun. Tema di atas, penulis angkat untuk diteliti dalam rangka penulisan disertasi tatkala negeri ini dihimpit berbagai masalah yang cukup berat. Di antaranya: tatkala penegakan hukum dirasakan orang sangat carut-marut, ketika disiplin orang-orang hanya menjadi harapan, pada saat kejujuran sudah dianggap aneh, tatkala kebenaran tertukar dengan “merasa benar,” tatkala “keadilan” hanya menjadi ungkapan, tatkala kehidupan dunia dianggap lebih baik dari kehidupan akhirat, dan tatkala bermegah-megah dengan harta dan pengikut telah melalaikan manusia dari taat kepada Allah. “Keadilan” hanya menjadi ungkapan memang bukan “isapan jempol,” karena pengadilan malah dianggap paling pintar dalam memutar-balikan keadilan. Keadaan itu bahkan telah menjadi rahasia publik di negeri ini. Betapa mahalnya harga sebuah keadilan terlebih untuk si miskin. Betapa mengerikannya tatkala hakim harus berlindung di balik kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” namun tidak mampu berlaku adil. Dalam kaitan itu pula penelitian serta kajian terhadap pilihan forum arbitrase dalam menyelesaikan sengketa untuk penegakan keadilan menginspirasi penulis untuk menyusun disertasi ini. Kajian ini penulis lakukan karena ternyata forum arbitrase merupakan wahana tersembunyi yang belum banyak dikenal orang namun telah menyediakan diri untuk membantu menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi orang-orang. Di

Upload: thaifah-ratna-hidayati

Post on 26-Jun-2015

1.298 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wata’ala, Raja Yang

Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang

Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki

Segala Keagungan. Atas perkenan serta izin Allah Subhanahu Wata’ala,

Disertasi yang mengusung tema Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa

Komersial Untuk Penegakan Keadilan, akhirnya selesai disusun.

Tema di atas, penulis angkat untuk diteliti dalam rangka penulisan

disertasi tatkala negeri ini dihimpit berbagai masalah yang cukup berat. Di

antaranya: tatkala penegakan hukum dirasakan orang sangat carut-marut,

ketika disiplin orang-orang hanya menjadi harapan, pada saat kejujuran sudah

dianggap aneh, tatkala kebenaran tertukar dengan “merasa benar,” tatkala

“keadilan” hanya menjadi ungkapan, tatkala kehidupan dunia dianggap lebih

baik dari kehidupan akhirat, dan tatkala bermegah-megah dengan harta dan

pengikut telah melalaikan manusia dari taat kepada Allah. “Keadilan” hanya

menjadi ungkapan memang bukan “isapan jempol,” karena pengadilan malah

dianggap paling pintar dalam memutar-balikan keadilan. Keadaan itu bahkan

telah menjadi rahasia publik di negeri ini. Betapa mahalnya harga sebuah

keadilan terlebih untuk si miskin. Betapa mengerikannya tatkala hakim harus

berlindung di balik kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa” namun tidak mampu berlaku adil.

Dalam kaitan itu pula penelitian serta kajian terhadap pilihan forum

arbitrase dalam menyelesaikan sengketa untuk penegakan keadilan

menginspirasi penulis untuk menyusun disertasi ini. Kajian ini penulis

lakukan karena ternyata forum arbitrase merupakan wahana tersembunyi

yang belum banyak dikenal orang namun telah menyediakan diri untuk

membantu menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi orang-orang. Di

Page 2: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

v

sini, di forum arbitrase ini, secercah harapan untuk memperolehan keadilan

yang di sana-sini semakin susah untuk didapat masih ditunggu banyak orang.

Namun sayang, tidak setiap permasalahan orang-orang dapat dihadapkan

kepada forum arbitrase untuk meminta keadilan, karena kewenangan arbitrase

untuk itu sangat terbatas dan dibatasi.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan doa

restu maupun dukungan motivasi serta aliran dana selama menyusun disertasi

ini. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala berkenan membalas kebajikan

berbagai pihak itu dengan balasan pahala yang berlipat ganda.

Pertama, terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada

yang amat terpelajar Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,S.H., yang semasa beliau

menjadi Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas

Diponegoro, telah berkenan menerima penulis untuk menjadi peserta program

S3.

Kedua, kepada Prof. Dr. I.S. Susanto, S.H. almarhum yang amat

terpelajar yang di sela-sela kesibukan beliau sebagai Sekretaris Program

Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, beliau berkenan

meluangkan waktu untuk membimbing penulis. Kini tatkala disertasi ini

selesai disusun dan siap untuk diajukan ke hadapan dewan penguji, pada hari

Jumat, 26 September 2003 beliau telah dipanggil menghadap untuk selama-

lamanya ke haribaan Allah Yang Maha Kuasa. Penulis hanya mampu

memanjatkan doa ke hadirat-NYA, semoga Prof. Dr. I.S. Susanto, S.H.,

diterima amal-ibadah serta Iman-Islamnya, diampuni segala dosa dan

kekhilafannya, serta di alam Baqa beliau mendapat nikmat qubur. Kemudian

untuk segenap keluarga beliau, semoga Allah SWT menganugrahkan

kesabaran dan keteguhan Iman dalam menerima ujian ini.

Page 3: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

vi

Ketiga, terima kasih ingin disampaikan kepada yang amat terpelajar

Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, S.H., yang di sela-sela kesibukan beliau sebagai

Ketua Muda Mahkamah Agung RI, beliau masih berkenan membimbing dan

menerima penulis, baik di Mahkamah Agung maupun di kediaman beliau di

Jakarta untuk dapat berkonsultasi mengenai penulisan maupun materi

disertasi ini.

Keempat, terima kasih penulis sampaikan juga kepada yang amat

terpelajar Prof. Dr. Hj. Esmi Warassih Pujirahayu,S.H.,M.S., yang dengan

telaten telah membimbing penulis sekaligus memahamkan penulis mengenai

seluk beluk metodologi penelitian dan penulisan serta teori-teori ilmu sosial

yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini. Di tengah-tengah kesibukan

beliau sebagai Rektor Universitas Pekalongan, beliau juga masih berkenan

menerima penulis di Kantor beliau maupun di kediaman beliau di Pekalongan

untuk membimbing dan menerima konsultasi penulis. Demikian pula tatkala

beliau memberikan kuliah pada Program Pascasarjana Universitas Islam

Bandung, penulis selalu diberi kesempatan untuk dapat berkonsultasi dengan

beliau. Banyak hal yang penulis peroleh dari beliau, baik berupa nasihat-

nasihat keilmuan serta moral akademik, nasihat tentang ke-Islaman, juga

sejumlah literatur yang diperlukan penulis dalam menunjang penulisan

disertasi ini.

Kelima, terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada yang amat

terpelajar Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA yang telah dengan tulus

memberikan dasar-dasar teoretis mengenai metodologi penelitian hukum,

sehingga memberikan pencerahan kepada penulis dalam membekali penulis

untuk melakukan penelitian dalam rangka menulis disertasi ini.

Keenam, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, baik yang

langsung mengampu mata kuliah yang penulis ikuti selama menjadi peserta

Page 4: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

vii

program studi ilmu hukum, maupun yang memberikan masukan untuk

penyempurnaan naskah sejak Ujian Kualifikasi, kemudian ketika Seminar

Proposal Penelitian, dan tatkala Seminar Hasil Penelitian Disertasi. Segala

bentuk masukan, nasihat, dan kritik beliau telah sangat bermanfaat dalam

rangka penyusunan disertasi ini. Oleh karena itu, kepada yang amat terpelajar

Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H., Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.,

Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA., saya sangat mengucapkan terima

kasih. Kepada para Guru Besar yang amat terpelajar yang telah melakukan

penelaahan Disertasi penulis pada Ujian Kelayakan Disertasi penulis, yaitu:

Yang amat terpelajar Prof. Ronny Hanitijo Soemitro,S.H., Prof. IGN

Sugangga,S.H., dan Prof. Dr. Moempeoeni Moelatingsih Martojo, S.H,

disampaikan terima kasih atas segala nasihat serta segala impresinya ketika

memeriksa Disertasi penulis pada Ujian Kelayakan. Kepada Prof. Dr. Nindyo

Pramono,S.H.,M.S. dari Universitas Gadjah Mada sebagai penguji eksternal,

penulis menghaturkan terima kasih.

Ketujuh, terima kasih hendak penulis sampaikan pula kepada yang

amat terpelajar Prof. Ir. H. Eko Budiardjo, M.Sc., Rektor Universitas

Diponegoro Semarang beserta seluruh staf dan jajarannya, atas berbagai

fasilitas kemudahan yang memungkinkan penulis mengikuti program ini

dengan baik dan lancar. Rektor Undip ini sangat piawai berpuisi dengan

sambutannya yang kas penuh canda ria namun bermakna amat dalam karena

sarat dengan nasihat. Dalam kaitan itu pula penulis mengucapkan terima

kasih yang amat dalam kepada beliau atas nasihat yang demikian menyentuh

pada sambutan penutupan Ujian Promosi penulis.

Kedelapan, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang

amat terpelajar Prof. Dr. Soeharjo Hadisaputro, dr., Sp.PD-KT, Direktur

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Demikian pula

Page 5: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

viii

kepada seluruh staf beliau yang telah memberikan pelayanan, kemudahan,

dan fasilitas, sehingga memperlancar penulis dalam menyelesaikan studi.

Kesembilan, kepada Prof. Dr. Muladi, S.H., yang tatkala penulis

memasuki tahap Ujian Pra Promosi, beliau telah dikukuhkan sebagai Ketua

Program Doktor Ilmu Hukum, dan ketika penulis mengikuti kuliah beliau

mengampu mata kuliah Transformasi Global, penulis ucapkan terima kasih.

Juga kepada seluruh jajaran staf Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana

Universitas Diponegoro, sejak kepemimpinan yang amat terpelajar Prof. Dr.

Satjipto Rahardjo,S.H., kemudian dilanjutkan oleh Prof. Dr. I.S. Susanto,

S.H. (alm) yang sejak tahun 1999 memfasilitasi penulis dalam menempuh

program studi ini. Kepada yang amat terpelajar Prof. Dr. Moempoeni

Moelatingsih Martojo,S.H., sebagai Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro, juga seluruh staf Program Doktor Ilmu Hukum,

mbak Supadmi, mbak Alvi Rachmawati, mbak Diah Susanto, mas Mintarno,

mas Jumadi, dan mas Juli, yang telah dengan cara dan bidangnya masing-

masing memberikan layanan administratif dengan ramah, gesit, dan penuh

rasa kekeluargaan sehingga penulis dan juga peserta lainnya sangat merasa

puas. Boleh jadi selama saya menjadi mahasiswa (S1, S2, dan S3) serta

menjadi guru di berbagai perguruan tinggi, baru saya jumpai di Program

Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, yang para staf

administratif-nya mampu memperlakukan para mahasiswa sebagai “raja”

yang mesti dilayani keperluannya. Sungguh saya sangat terkesan.

Kesepuluh, terima kasih juga disampaikan kepada seluruh Staf

Program Pascasarjana, Mas Aji, mbak Heni, Ibu Uun dan seluruh staf yang

telah membantu kelancaran proses studi penulis pada program Doktor Ilmu

Hukum Undip ini. Terutama pada segala bentuk upaya dan perhatian yang

sangat intensif tatkala penulis menghadapi Ujian Pra Promosi. Oleh karena

itu, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih

Page 6: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

ix

yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu

kelancaran urusan penulis.

Kesebelas, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kang Uus,

staf pada Direktorat Jenderal Pendirikan Tinggi Departemen Pendidikan

Nasional dan juga Drs. Encep Sudirjo, S.Pd., M.Pd., Dosen Universitas

Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sahabat sekaligus teman diskusi

penulis untuk metodologi penelitian. Kepada mereka berdua penulis sangat

berterima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan pada awal-awal

penulis memasuki program S3 di Universitas Diponegoro. Semoga Allah

Yang Maha Pemurah membalas segala kebaikan mereka.

Keduabelas, terima kasih secara khusus juga ingin penulis

sampaikan kepada Prof. H. Abdullah Himendra Wargahadibrata, dr., Sp An-

KIC, Rektor Universitas Padjadjaran Bandung, atas izin dari beliau penulis

dapat melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro ini. Juga kepada Prof. Dr. Tanwir J. Mukawi, dr, SpPA, ketika

saya megajukan permohonan izin untuk melanjutkan studi ini beliau sedang

memangku jabatan Pembantu Rektor I Universitas Padjadjaran. Ucapan

terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. H. Man S. Sastrawidjaja,

S.H.,S.U., Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Atas izin dari

beliau saya dapat menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro Semarang.

Last but not least, penghargaan dan rasa hormat tentu saja saya harus

sampaikan kepada ayahanda penulis, Almarhum Sueb Nana Suryana, yang

telah mengasuh, membimbing, serta mendidik penulis dengan disiplin kuat

untuk terus belajar dan atas restu dari beliaulah penulis menerima tawaran

Ny. Retnowulan Sutantio,S.H., Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Jawa

Barat di Bandung untuk menjadi asisten beliau di Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 1982 yang lalu. Sejak saat itu

Page 7: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

x

sampai sekarang penulis tetap istiqamah mengabdi sebagai seorang guru pada

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Penghargaan dan rasa

hormat, penulis sampaikan juga kepada ibunda penulis Ny. Djasiti, yang di

hari tua beliau sebagai seorang pensiunan guru tetap menasihati dan

mendoakan penulis untuk tetap menjadi orang yang selalu berhati-hati dalam

menjalani hidup dan kehidupan ini. Tanpa kasih sayang dan didikan ibunda

tentu saja saya tidak akan menjadi orang seperti sekarang ini. Untuk jasa

beliau saya berdoa ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, semoga beliau

senantiasa dianugerahi rasa syukur untuk tetap mampu beribadah dalam

keadaan sehat jasmani dan ruhani seraya menapaki hari-hari di usia tuanya

sambil mengasuh dan membimbing cucu-cucu dan cicit beliau.

Kepada family saya di Negeri Belanda, Keluarga Jose Soehaja di

Delft, kemudian Keluarga Tommy S. Patty di Den Haag. Sejak penulis

melakukan studi dan Sandwich Programme di Leiden tahun 1990 dan 1997,

perhatian dan kasih sayang mereka telah sangat penulis rasakan dan terima.

Bahkan atas segala bantuan materiil maupun dorongan moril yang diberikan

menjelang penulis menyelesaikan studi Doktor pada PDIH Undip ini. Atas

semuanya itu penulis sangat berhutang budi dan mengucapkan terima kasih.

Penulis sangat gembira karena keluarga Jose Soehaja dari Delft dapat

menghadiri pada waktu Ujian Terbuka Promosi Doktor penulis.

Kepada teman-teman Angkatan V Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro Semarang diucapkan terima kasih yang setulus-

tulusnya atas kehangatan serta persahabatan dalam kebersamaannya,

menjalani suka dan duka selama satu tahun di kelas, termasuk ketika tour ke

Bali yang sangat mengesankan itu. Ucapan terima kasih secara khusus

disampaikan juga kepada sahabat karib penulis, Aang Batara Winarnu

Panornari Pardede, S.H. beserta keluarganya, penulis sangat berterima kasih

Page 8: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

xi

yang tak terhingga serta penulis selalu mendoakan semoga mereka tetap sehat

dan dikaruniai kebahagiaan selalu oleh Allah Subahanau Wata’ala.

Paling akhir, dengan penuh rasa rasa syukur, ucapan terima kasih

serta penghargaan yang tulus ini pun ingin disampaikan kepada isteri penulis

tercinta, Dra. Ella Dewi Laraswati, yang dengan segala doa serta daya

upayanya tak henti-henti memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan

sekolahnya. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua anakku tercinta

Risa Dewi Angganiawati dan Anggiani Dewi Rahmawati yang dengan

penuh pengertian dan caranya masing-masing membantu serta memberi

inspirasi kepada ayahnya untuk segera menyelesaikan disertasinya. Oleh

karena selama bertahun-tahun mereka terpaksa harus merelakan “tersita”

haknya untuk memperoleh perhatian yang semestinya. Selayaknya ucapan

terima kasih dan penghargaan yang tulus ini disampaikan pula kepada

ayahanda mertua penulis, Bapak R. Suyud dan ibunda mertua Ny. O.

Rochaeni atas doa restu yang selalu menyertai penulis dalam menapaki

perjalanan hidup ini.

Kepada seluruh karib kerabat, handai taulan, serta relasi yang tidak

mungkin saya sebutkan satu persatu, penulis juga mengucapkan terima kasih

atas segala doa restu serta dukungannya. Penulis menyadari disertasi ini

masih sangat tidak sempurna. Ibarat kata pepatah: “tak ada gading yang tak

retak”; Kalau tak retak maka bukan gading namanya. Oleh sebab itu, saran

dan kritik dari berbagai pihak untuk memperbaiki kekurangan disertasi ini,

penulis terima dengan senang hati.

Bandung, 30 Januari 2004

Penulis,

������������

Page 9: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

PILIHAN FORUM ARBITRASE

DALAM SENGKETA KOMERSIAL

UNTUK PENEGAKAN KEADILAN

Dr. EMAN SUPARMAN, S.H.,M.H.

Page 10: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

xix

DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................... iv Abstrak .............................................................................................................. xi Abstract.. ........................................................................................................... xii Ringkasan ......................................................................................................... xiii Daftar Isi .......................................................................................................... xix Daftar Ragaan ................................................................................................. xxi Daftar Singkatan .............................................................................................. xxii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan ....................................................... 1 B. Perumusan Masalah ...................................................................... 21 C. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 23 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 62 E. Pendekatan Studi ........................................................................... 66 F. Metode Penelitian ......................................................................... 73 G. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan ........................ 89

BAB II PILIHAN FORUM ARBITRASE SEBAGAI TEMPAT PENYELESAIAN SENGKETA BERKEADILAN ............. 105

A. Tujuan Pilihan Forum Arbitrase dan Keadilan .................... 109 B. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi Hakim Pengadilan Negeri .............................. 123 C. Pilihan Forum Arbitrase Sebagai Fenomena Penyelesaian sengketa ......................................................... 139

BAB III SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA KOMERSIAL DI DALAM FORUM ARBITRASE ................................... 148

A. Pihak-Pihak Berperkara dalam Forum Arbitrase ................... 148 B. Sengketa yang dapat Diklaim Melalui Forum Arbitrase ......... 159 C. Struktur dan Proses Penyelesaian Sengketa lewat Arbitrase .. 164

1. Arbitrase Institusional ....................................................... 173 2. Arbitrase Ad hoc ............................................................... 178

D. Keadilan Menurut Pihak-pihak Bersengketa .......................... 182

Page 11: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

xx

BAB IV PILIHAN FORUM ARBITRASE, BUDAYA HUKUM, DAN KEADILAN ................................................................. 195

A. Pilihan Forum Arbitrase dan Budaya Hukum di Indonesia .... 194 B. Faktor Internal Pengadilan Negeri dan Pilihan Forum Arbitrase ................................................................................. 212 C. Kewenangan Eksekutorial Forum Arbitrase untuk Putusan Final dan Mengikat serta Dilema Perolehan Keadilan ........... 228 D. Perspektif Historis dan Futuristik Arbitrase sebagai Model Penyelesaian Sengketa Berkeadilan …………....................... 239

BAB V EKSEKUSI PUTUSAN FORUM ARBITRASE GAMBARAN DILEMA PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA ......... 268

A. Makna dan Kekuatan Putusan Menurut Pengadilan Negeri Serta Para Pihak Bersengketa .................................................... 267 1. Kekuatan Mengikat ............................................................... 276 2. Kekuatan Pembuktian ........................................................... 278 3. Kekuatan Eksekutorial ......................................................... 280

B. Interpretasi, Koreksi, dan Pergeseran Makna Putusan Arbitrase ................................................................................... 283 C. Diskresi Hakim dalam Masalah Eksekuatur Putusan Arbitrase .................................................................................... 291 D. Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Penegakan Keadilan .......... 303

BAB VI P E N U T U P ........................................................................... 333

A. Simpulan ................................................................................. 333 B. Rekomendasi ........................................................................... 340

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 344

Page 12: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

xxiii

DAFTAR RAGAAN

1. Three types of law menurut Philippe Nonet & Philip Selznick; 41.

2. Hierarchy of Types of Dispute Resolution menurut Gerald Turkel; 60.

3. Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif ; 81

4. Prinsip-prinsip dalam Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase; 169.

5. Pemohon tidak hadir dan Upaya perdamaian; 170.

6. Perubahan dan Penambahan Tuntutan & Jangka Waktu Penyelesaian; 171.

7. Pemeriksaan Saksi dan Saksi Ahli; 172.

Page 13: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

xxiv

DAFTAR SINGKATAN AAA American Arbitration Association ADR Alternative Dispute Resolution AFTA ASEAN Free Trade Area AJM Access to Justice Movement APS Alternatif Penyelesaian Sengketa BANI Badan Arbitrase Nasional Indonesia BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal B.W. Burgerlijk Wetboek CLS Critical Legal Studies HAG Hukum Antar Golongan HIR het Herziene Indonesisch Reglement HPI Hukum Perdata Internasional ICC International Chamber of Commerce ICSID International Centre for Settelement of Investment Disputes I.S. Indische Staatsregeling KADIN Kamar Dagang dan Industri KNY Konvensi New York KPN Ketua Pengadilan Negeri KUHP Kitab Undang-undang Hukum Perdata LCIA London Court of International Arbitration MA-RI Mahkamah Agung Republik Indonesia NAFTA North American Free Trade Agreement PERMA PeraturanMahkamah Agung PPA Peraturan Prosedur Arbitrase PPAT Pejabat Pembuat Akte Tanah R.O. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid Der

Justitie in Indonesie RvJ Raad van Justitie S.A. Saksi Ahli SAW Sholallohu Alaihi Wassalam SEC Single European Community SWT Subhanahu Wata’ala UAR UNCITRAL Arbitration Rules UNCITRAL United Nations Commission on International Trade Law WvK Wetboek van Koophandel

Page 14: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

IHWAL PENULIS

Eman Suparman, lahir dan dibesarkan di Kuningan, 23 April 1959. Usai menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (1970), Sekolah Menengah Pertama Negeri (1973), dan Sekolah Menengah Atas Negeri (1976) kesemuanya di Kuningan Jawa Barat, kemudian melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran Bandung. Pendidikan universiternya diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, jurusan Hukum Perdata, lulus tahun 1982. Pada tahun 1985 melanjutkan pendidikan S2 pada Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan bidang kajian Hukum Acara Perdata, dan lulus sebagai Magister Hukum pada tahun 1988 dengan Tesis “Keharusan Mewakilkan Dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan.” Pada tahun 1990/1991 dalam rangka “Sandwich Programme” memperoleh kesempatan studi lanjutan, penelitian, dan studi perbandingan untuk bidang kajian Hukum Perdata Internasional dan Hukum Arbitrase di Rijksuniversiteit Leiden, The Netherlands. Dilanjutkan sebagai “Visiting Scholar for the European Council Session at Strasborough, France (1991).” Awal 1997 atas stipend ABWPP & Associates kembali menjadi “Visiting Scholar at “de Hoge Raad der Nederlanden”; The Hague, The Netherlands (March 1997); Visiting Academic and Research Programme, organised by The Departement of Law The University of Nottingham, UK. (April 1997); Visiting at “The 7th Annual Writers” Festival Prague ’97 at Franz Kafka Centre on Prague’s Old Town Square, Prague, Czech Republic (April 1997). Tahun 1999, mengikuti S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang dan lulus sebagai Doktor Ilmu Hukum pada bulan Februari 2004 dengan Disertasi bertajuk “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan.” Pengabdiannya sebagai pendidik pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung diawali sejak tahun 1983 dan mengampu mata kuliah Hukum Acara Perdata, Hukum Perselisihan, dan Praktik Penanganan Perkara Perdata. Di samping melakukan berbagai Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, juga menulis Buku, di antaranya: (1) INTISARI HUKUM WARIS INDONESIA, diterbitkan CV Mandar Maju, Bandung, 1995. (2) HUKUM DAN BIROKRASI (sebagai salah satu penulis), diterbitkan Walisongo Reseach Institute, Semarang, April 2001. Sejak masih mahasiswa kegiatan ilmiah berupa menulis artikel hukum dalam media cetak telah banyak dilakukan. Oleh karena itu, kini sejumlah artikel ilmiah juga telah ditulis dalam Jurnal Terakreditasi Nasional. Dari pernikahannya dengan Dra. Ella Dewi Laraswati dikaruniai 2 (dua) orang putri. (1) Risa Dewi Angganiawati (Sarjana Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung) dan (2) Anggiani Dewi Rahmawati (Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung).

Page 15: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

iii

KATA PENGANTAR

Buku yang sedang Anda baca ini pada mulanya adalah sebuah disertasi

penulis yang telah berhasil dipertahankan di hadapan Sidang Terbuka Senat Guru

Besar Universitas Diponegoro, pada tanggal 16 Februari 2004 dengan wibawa

Rektor Universitas Diponegoro Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc.

Dorongan dari berbagai pihak agar disertasi tersebut dapat dibaca khalayak

yang lebih luas, memotivasi penulis untuk mencari serta menghubungi penerbit yang

diharapkan berkenan menerima naskah disertasi tersebut untuk diterbitkan. Pilihan

jatuh kepada PT. Tatanusa yang penulis kenal. Oleh karena itu, ucapan terima kasih

disampaikan kepada PT. Tatanusa yang memberikan sambutan positip dan telah

bersedia untuk menerbitkan naskah disertasi tersebut.

Bagi para Mahasiswa S1 dan S2 Ilmu Hukum yang sedang mengikuti

perkuliahan Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (HKI 615), Hukum

Alternatif Penyelesaian Perselisihan (ADR) [HKB 674], dan mata kuliah

Arbitrase & Penyelesaian Sengketa Alternatif (S1), disarankan memiliki jurnal

yang secara periodik menyajikan mengenai topik tersebut sebagai pendamping buku

ini. Demikian pula kepada para Mahasiswa S3 Ilmu Hukum yang sedang mengikuti

perkuliahan Hukum Penyelesaian Sengketa Perniagaan (HKD 813) buku ini

semoga dapat membantu anda dalam menemukan masalah yang sedang ditelusuri.

Kiranya buku ini dapat menjadi salah satu sumbangsih penulis kepada

khazanah hukum Indonesia, khususnya bagi perkembangan hukum arbitrase sebagai

salah satu forum tempat penyelesaian sengketa yang lebih berkeadilan serta

bermartabat. Menyadari sepenuh hati akan segala kekurangan buku ini, untuk itu

segala kritik dan saran dari pembaca, insya Allah akan sangat dihargai.

Last but not least, kepada semua pihak yang telah memungkinkan

diterbitkannya buku ini, penulis mengucapkan terima kasih.

Taruna Parahiangan, Bandung, 13 April 2004

����������������������������

��������������������������������������������

Page 16: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

��

����������������������� ������������ �� ����������� � ��������������

�� � ���

����������� ������������������������ ���!� ����"���� ����������� ���

����� ���!� ����"������ ������� �� ������� ����� �#���

������$%������

����������������������������������������������������& ������� � � � �

��'� ����������!�������� (������� � ����������������)����* +��,� �'+����

� � � ����-�'��* +����������+����� � �� �������������* +��-���+����

��

��

��

Page 17: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

2

&���!�����. '�� ����

/0 ����"���� ����� � ������������������������� �"�������� �������������"����� �����������' '�������"��� ����������

���������1���2���3��

�/& #�#� ��� �+��& ������

& ������ �+��& � �������� ���"���& #�#� ��� �+��& � ������3�

��

Page 18: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini

berlangsung demikian pesat. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam

kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang

cukup mendasar terhadap pranata1 maupun lembaga2 hukum. Implikasi

terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat

norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian

pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan

melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya

1 Kendati pada dataran perundang-undangan primer kita tidak dapat melihat terjadinya

perubahan besar, tetapi pada dataran yang lebih rendah perubahan tersebut berlangsung dengan intensif. Paket-paket deregulasi tidak terjadi melalui undang-undang, melainkan lewat keputusan-keputusan pemerintah. Keadaan tersebut menarik untuk diikuti oleh karena kita tidak tahu sudah sampai seberapa jauh sebenarnya efek dari perkembangan di tingkat bawah itu mempengaruhi penataan hukum nasional. Lihat Satjipto Rahardjo, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”; dalam Problema Globalisasi – Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000, h. [3-19] 13.

2 Sementara itu implikasi terhadap lembaga hukum tampak antara lain dari persepsi pihak-pihak pelaku bisnis terhadap lembaga pengadilan yang dianggap kurang mampu memenuhi harapan mereka. Fakta tersebut dapat disimak dari pernyataan berikut ini: “…Ternyata dalam perkembangnnya, penyelesaian sengketa menggunakan Pengadilan dihinggapi formalitas yang berlebihan, tidak efisien dan efektif, mahal, perilaku hakim yang memihak, dan hasil putusan hakim yang seringkali mengecewakan pencari keadilan. Puncak dari kekecewaan tersebut telah menyebabkan masyarakat tidak menaruh hormat, yang kemudian menimbulkan krisis kewibawaan dan kepercayaan pada pengadilan.” Lihat Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual; Disertasi, Semarang: PDIH, 2002, h. 4.

Page 19: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

2

dilakukan melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang

sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan

baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.3

Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap

lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan4 yang dianggap tidak

profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen,

bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral5 dalam menjalankan

profesinya. Akibatnya, lembaga pengadilan yang secara konkret mengemban

3 Lihat Normin S. Pakpahan, “Pembaharuan Hukum di Bidang Kegiatan Ekonomi.”

Makalah pada Temu Karya Hukum Perseroan dan Arbitrase; Jakarta, 22-23 Januari 1991, h. [29-37] 31. “...Yang disebut hukum nasional dalam era globalisasi di samping mengandung “local characteristics” seperti Ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan internasional (international trends) yang diakui oleh masyarakat dunia yang beradab. Yang menjadi masalah adalah sampai berapa jauh kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional, baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum, maupun kesadaran hukum.” Lihat, Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997, h. 63.

4 “Pengadilan” yang kadang-kadang juga disebut “Badan Peradilan” memiliki makna ganda. Pertama, berarti organisasi (lembaga) pengadilan; Kedua, berarti “suatu proses kerja dari unsur-unsur yang ada di dalam organisasi pengadilan itu dalam rangka memeriksa dan menjatuhkan putusan hukum”. Sedangkan kata “Pengadilan” (dalam arti: lembaga) juga berarti badan yang oleh penguasa dengan tegas diberi tugas untuk memeriksa pengaduan tentang gangguan hak (hukum) atau memeriksa gugatan dan badan itu memberi putusan hukum. Jadi “Pengadilan” atau “Badan Peradilan” adalah badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun untuk pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting”. Lihat Sudikno Mertokusumo, “Sistem Peradilan di Indonesia”; JURNAL HUKUM, No. 9, Vo. 4, 1997, h. [1-8], 2.

5 “Secara jujur harus diakui, impresi ihwal buruknya kondisi peradilan di Indonesia sebagian besar disebabkan pengadilan Indonesia yang tidak memiliki independensi, sehingga mengancam integritasnya sebagai penjaga tegaknya rule of law. Jika dipilah-pilah, persoalan tentang independensi peradilan yang dihadapi saat ini, terdiri atas masalah: kemadirian hakim (bebas dari campur tangan eksekutif), integritas (moral

Page 20: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

3

tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa,

mengadili, serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dianggap

sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.6

Gambaran tentang kondisi pengadilan semacam itulah yang selama ini

dipahami oleh kalangan pengusaha, terutama pengusaha asing yang berbisnis

di Indonesia. Di samping itu masih ditambah pula dengan kondisi objektif

lainnya dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan, yaitu bahwa

menyelesaikan sengketa melalui pengadilan di Indonesia sesungguhnya

merupakan rangkaian yang sangat panjang7 dari sebuah proses upaya

pencarian keadilan. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila kalangan dunia

usaha, terutama pengusaha asing, yang senantiasa mengupayakan segala

urusan dengan serba cepat,8 ketika menghadapi sengketa akan berusaha

para hakim), dan profesionalisme. Lihat Mas Achmad Santosa, “Independensi Peradilan dan TAP MPR RI No. X/MPR/1998”; Kompas, 11 Januari 1999.

6 Adi Sulistiyono, Mengembangkan… Op. Cit., h. 4 - dst. 7 “…Sebagai akibatnya maka proses persidangan dari sebuah perkara hingga terbitnya

putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat berlangsung hingga enam tahun. Selain lambat, putusan hakim juga sering dinilai kontradiktif dan tidak jarang putusan hakim itu tidak dapat dieksekusi.” Lihat HP Panggabean, Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan; Kompas, 23 April 1999.

8 Pengadilan terdiri atas berbagai instansi atau tingkatan. Diperolehnya putusan pada tingkat pertama, belum berarti sengketa tersebut selesai, karena pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut masih dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Bahkan bila masih belum merasa puas juga dengan putusan banding, yang bersangkutan masih dapat melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Tak ada jaminan dari pihak mana pun bahwa penyelesaian sengketa pada setiap tingkatan pengadilan itu akan berlangsung dengan cepat. Apabila semua tingkatan peradilan itu dapat selesai ditempuh dalam jangka waktu satu tahun enam bulan (yang berarti: satu instansi enam bulan), maka itu sudah dapat dikatakan sangat cepat. Ditambah lagi dengan sejumlah tunggakan (kongesti) perkara-perkara yang menyebabkan penyelesaian perkara di pengadilan semakin lamban. Lihat R. Subekti, Arbitrase Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981, h. 4.

Page 21: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

4

memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka lebih

dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis.9 Forum penyelesaian

sengketa dimaksud biasanya memiliki karakteristik: (i) menjamin kerahasiaan

materi sengketa; (ii) para pihak yang bersengketa mempunyai kedaulatan

untuk menetapkan arbiter, tempat prosedur beracara, dan materi hukum; (iii)

melibatkan pakar-pakar (arbiter) yang ahli dalam bidangnya; (iv) prosedurnya

sederhana dan cepat; dan (v) putusan forum tersebut merupakan putusan yang

terakhir serta mengikat (final and binding). Di samping itu, faktor yang

tidak kalah penting adalah putusan dari forum tersebut, baik sengaja

maupun tidak sengaja, sama sekali tidak terpublikasikan10 kepada khalayak

secara luas tanpa ijin para pihak yang bersengketa. Adapun forum

penyelesaian sengketa yang karakteristiknya semacam itu tidak lain adalah

forum arbitrase (arbitration).11

9 Lihat Adi Sulistiyono, Mengembangkan…Op. Cit., h. 88. 10 Berbeda dengan asas yang dianut oleh pengadilan dalam memutus sengketa, yakni

pemeriksaan perkara dan pembacaan putusan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, sedangkan pemeriksaan yang dianut oleh forum arbitrase (arbitration institution) menganut asas pintu tertutup, sehingga ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) sebagai Badan Arbitrase Bank Dunia di dalam Rules of Procedure for Arbitration Proceedings (Arbitration Rules) pasal 48 ayat (4) menentukan: “The Centre shall not publish the award without the consent of the parties. The Centre may, however, include in its publication excerpts of the legal rules applied by the Tribunal.” Baca ICSID Basic Documents, Washington DC, 1985, h. 83.

11 Arbitration, “is a method for settling controversies or disputes whereby an unofficial third party hears and considers arguments and determines an equitable settlement.”; Lihat Peter J. Dorman (eds), Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976, h. 19. Arbitrase yang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Berdasarkan Penjelasan Umum UU Nomor 30

Page 22: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

5

Sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar

pengadilan, forum arbitrase bukan sesuatu yang baru dalam sistem

penyelesaian sengketa hukum di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang

menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama

diatur dalam sistem hukum di Indonesia.12 Bahkan pada kurun awal

kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan

para usahawan.13

Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting

sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan.

Bahkan meningkatnya peranan arbitrase pun bersamaan dengan

Tahun 1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Oleh karena itu, arbitrase menurut UU tersebut bukan merupakan salah satu dari ADR, melainkan sebuah metode penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga di luar pengadilan umum.

12 Meski tidak dijumpai kasus sengketa yang pernah diputus oleh forum arbitrase sebelum Indonesia merdeka, namun kaidah umum tentang arbitrase ketika itu telah merupakan bagian dari Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Raad van Justitie (RvJ) di masa kolonial Belanda, yakni dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) S. 1847 No. 52 jo S. 1849 No. 63. Kaidah tersebut terdapat dalam pasal-pasal 615-651 Rv. Pasal 615 ayat (1) Rv antara lain menentukan: “Ieder kan de geschillen omtrent de regter waarover hij de vrije beschikking heeft, aan de uitspraak van scheidsmannen onderwerpen”. (“Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”). R. Subekti, Loc. Cit., h. 39.

13 Salah satu buktinya adalah ketika itu ada diantara perkumpulan para pedagang yang memiliki panitia arbitrase sendiri. Dapat dikemukakan di sini, misalnya: Panitia Arbitrase dari Organisasi Exporteur Hasil Bumi Indonesia, disingkat O.E.H.I. Nama ini diketahui dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1/1959 Pem. Put. Wst. tanggal 5 September 1959, Putusan Wasit dalam perkara antara Indonesia Cotton Trading Co. Ltd. lawan Firma Rayun; dalam Majalah Hukum dan Masyarakat No. 1-2-3 Tahun 1962, hlm. 164. Periksa, Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992, h. 71.

Page 23: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

6

meningkatnya transaksi niaga, baik nasional maupun internasional.

Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi niaga, baik

nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi menimbulkan

sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau aktivitas

komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau

sengketa komersial14 (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial).

Demikian luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek

kegiatan bisnis. Oleh sebab itu, dalam rangka penulisan disertasi ini, sengketa

komersial tidak ditetapkan secara spesifik. Sengketa komersial dimaksud

diambil secara random (acak) dari kasus yang ada berdasarkan kebututuhan

kajian ini. Bahkan sengketa komersial dimaksud tidak ditentukan berdasarkan

jenis objek sengketanya maupun ragam kontrak bisnisnya.

Sengketa komersial di dalam penulisan disertasi ini semata-mata

dikaji berdasarkan perbedaan subjek-subjek sengketanya, sehingga hanya

dibedakan atas dua prototipe sengketa komersial. Pertama, sengketa

14 Seperti dapat disimak dari “The United Nations Commission on International Trade

Law” (UNCITRAL Arbitration Rules atau disingkat UAR Model Law on International Commercial Arbitration, June 21, 1985) istilah “komersial” dapat dibaca sebagai berikut: “The term ‘commercial’ should be given a wide interpretation so as to cover matters arising from all relationships of a commercial nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions; any trade transactions for the supply or exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or passanger by air,sea, rail or road.” Periksa, Alan Redfern & Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration. London: Sweet & Maxwell, 1991, h. 21.

Page 24: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

7

komersial domestik, yaitu sengketa yang terjadi antara subjek-subjek atau

para pihak orang Indonesia yang melakukan kontrak bisnis satu sama lain,

dan objek sengketanya terletak di dalam negeri. Kedua, sengketa komersial

internasional (international commercial disputes),15 yaitu sengketa yang

melibatkan pihak-pihak atau subjek-subjek asing, baik individu maupun

lembaga swasta yang berlainan kewarganegaraan, sengketa tersebut terjadi

dari kontrak16 bisnis internasional.

Berdasarkan perspektif cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua

prototipe sengketa tersebut di muka adakalanya juga memiliki perbedaan.

Sengketa komersial domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat

dipastikan subjek-subjek sengketanya cenderung membawa sengketa mereka

untuk diselesaikan di pengadilan negeri. Memilih forum arbitrase untuk

menyelesaikan sengketa komersial tipe yang pertama belum menjadi bagian

15 “International disputes covers not only disputes between states as such, but also other

cases that have come within the ambit of international regulation, being certain categories of disputes between states on the one hand, and individuals, bodies corporate, and non-state entities on the other". Jadi suatu sengketa tergolong internasional bilamana menyangkut: (i) negara dengan negara; (ii) negara di satu pihak dengan individu di lain pihak; (iii) negara dengan organisasi atau badan hukum (bodies corporate); dan (iv) antara lembaga swasta atau individu satu sama lain. Semuanya itu sepanjang berada dalam lingkup pengaturan internasional. Atau sepanjang menyangkut pihak-pihak yang berlainan kebangsaannya. Lihat J.G. Starke, Introduction to International Law. Ninth Edition, 1984, h. 463.

16 Kontrak internasional dalam pengertian ini, adalah "... contracts with elements in two or more nation-states. Such contracts may be between states, between a state and a private party, or exclusively between private parties..." Lihat Hans Smit et al., International Contracts. Parker School of Foreign and Comparative Law, Columbia University, Matthew Bender, 1981, h. 4.

Page 25: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

8

dari perilaku para pihak domestik.17 Sementara itu memilih forum arbitrase

umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam rangka menyelesaikan sengketa

komersial internasional. Dari pembacaan beberapa literatur diketahui bahwa

praktik pada beberapa negara maju menunjukkan bahwa untuk

mempersiapkan penyelesaian sengketa tipe kedua itu hampir setiap kontrak

bisnis internasional mencantumkan klausula18 pemilihan forum arbitrase.

Bahkan dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase ini, A.J. van den

Berg secara ekstrim menyebutkan bahwa "...bevat ongeveer 90 % van de

internationale contracten een arbitraal beding."19 Untuk kasus negara-

negara lain sinyalemen tersebut mungkin saja benar seperti itu. Namun

belum dapat dipastikan apakah keadaan di Indonesia juga semacam itu. Oleh

17 Di Indonesia kehadiran Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ternyata belum

mampu merangsang pelaku bisnis yang bersengketa untuk memberikan kepercayaan pada lembaga arbitrase. Keadaan tersebut dapat disaksikan dari data yang ada di BANI, sejak tahun 1979 sampai dengan tahun 2001 ternyata hanya terdapat 211 kasus yang masuk. Dari 211 kasus tersebut yang berhasil diputus sebanyak 129 kasus. Kemudian yang dicabut atau batal (tanpa diketahui alasannya) sebanyak 58 kasus, dan yang dalam proses administrasi atau ditunda sebanyak 24 kasus. Data di atas diperoleh dari BANI pada tanggal 15 Juli 2002. Bdgk. Adi Sulistiyono, Mengembangkan…Op. Cit., h. 89.

18 “Millions of contracts, insurance policies, leases, franchise and employment agreement, and other business and personal arrangements include arbitration clause. Such clauses bind the parties to arbitrate disputes that may arise over the meaning or application of the language in the contract.” Lihat Robert Coulson, Business Arbitration – What You Need to Know. (revised third edition), New York: AAA, 1987, h. 9.

19 Lihat A.J. van den Berg et al., Arbitrage Recht. W.E.J. Tjeenk Willink - Zwolle, 1988, h.137; Sudargo Gautama seakan memperkuat sinyalemen di atas dengan menyebutkan: “…Menurut kenyataan kontrak-kontrak dagang Internasional hampir seluruhnya memuat suatu klausula arbitrase. Arbitrase memang sengaja telah dipilih oleh mereka yang berkecimpung dalam perdagangan internasional karena mereka umumnya “kurang mempercayai” badan-badan peradilan negara-negara berkembang, termasuk juga sistem hukum dan peradilan di Indonesia.” Lihat S. Gautama, Masalah-Masalah Baru HPI. Alumni, 1984, h. 45-46. Cf., The Hon. Mr. Justice KERR, “International Arb. v. Litigation”; The Journal of Business Law. 1980, h. 165.

Page 26: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

9

karena adakalanya juga, kontrak bisnis internasional yang disepakati oleh

pengusaha swasta asing dengan pengusaha swasta Indonesia tidak

mencantumkan klausula arbitrase sebagaimana lazimnya.

Kalau pun pilihan-pilihan untuk menyelesaikan sengketa komersial

internasional itu diarahkan kepada forum arbitrase dengan jalan

mencantumkan klausula arbitrase di dalam kontrak bisnis, boleh jadi hal itu

karena pihak-pihak dihadapkan kepada pilihan yang tidak mudah.20 Di

samping itu, seandainya yang dikehendaki oleh para pihak itu tidak sekedar

penyelesaian sengketa melainkan para pihak juga menghendaki adanya

putusan yang mengikat dari penyelesaian sengketa tersebut, maka pilihan

tentu tidak akan diarahkan kepada penyelesaian sengketa alternatif yang

tergolong non-adjudicatory procedures.21 Oleh karena penyelesaian

20 Sejak zaman Orde Baru, sistem hukum dan peradilan di Indonesia memang dianggap

kurang dapat memberikan rasa keadilan kepada pihak-pihak yang bersengketa. Hal demikian sangat dirasakan oleh pihak-pihak terlebih lagi oleh pihak asing manakala berperkara di pengadilan di Indonesia. Kondisi semacam itu ditambah pula oleh informasi yang kurang bertanggung jawab yang sengaja atau tidak disampaikan oleh sejumlah pihak yang memiliki keterkaitan dengan pihak asing yang bersengketa di Indonesia. Bahkan disinyalir “…ada sejumlah kantor konsultan hukum di Indonesia yang tidak segan-segan memberi advis hukum kepada pengacara di luar negeri dengan membeberkan keadaan yang dianggap kurang memadai dari sistem hukum dan peradilan di Indonesia. Lebih dari itu bahkan ada sementara kantor konsultan hukum yang mengatakan: “…di Indonesia fihak asing tidak akan mendapatkan peradilan yang baik. Pilihan jurisdiksi peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta dianggap sebagai kurang memberikan kepastian bagi pihak luar negeri”. Lihat S.Gautama, Masalah-Masalah Baru Hukum Perdata Internasional. Bandung:Alumni, 1984, h. 46-47.

21 Serupa dengan Negotiation, Mediation, Conciliation, sebagai cara alternatif penyelesaian sengketa, di dalam penyelesaian sengketa internasional juga dikenal cara-cara yang termasuk dalam Non-Adjudicatory procedures diantaranya adalah Enquiry, Good Offices, dan UN involvement. Lihat David H. Ott, “Peaceful Settlement of Disputes”; dalam Public International Law in the Modern World. London: The Bath Press, 1987, h. 333-335.

Page 27: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

10

sengketa alternatif semacam negosiasi, mediasi, dan konsiliasi sudah jelas

tidak dapat menghasilkan putusan (award) yang mengikat para pihak.

Memang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif yang paling

sederhana dan biasanya prosesnya juga paling cepat adalah melalui

negosiasi22 di antara para pihak atau para penasihat (adviser) mereka. Bahkan

negosiasi di antara para pihak dianggap paling mendekati penyelesaian

sengketa secara damai, karena para pihak sendiri yang paling mengetahui

kekuatan serta kelemahan dari kasus mereka masing-masing. Apabila

mereka memerlukan nasihat mengenai sengketa yang dihadapi, mereka selalu

dapat meminta nasihat dari para konsultan hukum (lawyers), para akuntan,

para ahli teknik (engineers), maupun ahli-ahli yang lainnya. Namun

demikian, negosiasi sangat memerlukan sikap yang netral serta objektif di

samping tentu saja kehendak untuk berkompromi. Di samping itu, negosiasi

selalu mungkin untuk dilakukan, bahkan setelah metode penyelesaian

sengketa yang lain dijalankan.

22 Negosiasi (negotiation), termasuk ke dalam kelompok non-adjudicatory methods of

settlement, secara esensial negosiasi berarti pertukaran pendapat dan usul antar pihak sengketa untuk mencari kemungkinan tercapainya penyelesaian sengketa secara damai. Negosiasi tergolong metode yang paling tua yang dikenal di dalam hubungan internasional. Metode ini pun diterima secara universal dan yang paling umum dipakai untuk menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi merupakan suatu proses yang di dalamnya secara eksplisit diajukan usul secara nyata untuk tercapainya suatu persetujuan. Negosiasi melibatkan diskusi langsung antar pihak sengketa. Periksa, Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990, h. 108.

Page 28: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

11

Namun demikian, meski secara teoretis negosiasi memang tergolong

cara penyelesaian sengketa komersial yang dianggap paling sederhana dan

paling cepat, akan tetapi seperti dikemukakan di atas, kadang-kadang para

pihak menghendaki agar sengketa mereka diputus oleh lembaga yang

putusannya mengikat. Oleh karena itu, para pihak biasanya akan menempuh

jalan lain, baik melalui pengadilan atau bahkan secara khusus memilih

penyelesaian lewat forum arbitrase.

Sesungguhnya persoalan penyelesaian sengketa bagi para pelaku

bisnis, itu bukan merupakan fokus utama perhatian mereka. Sejak awal tujuan

mereka memang berbisnis dan sama sekali bukan untuk bersengketa.

Perhatian utama para pelaku bisnis adalah pada pemenuhan prestasi atau

pelaksanaan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak dan bukan pada

sengketa maupun upaya penyelesaiannya.

Akan tetapi, di dalam kehidupan ini, apalagi dalam interaksi bisnis,

kadang-kadang sesuatu peristiwa yang tidak diduga terjadi dan sama sekali

tidak dapat dihindari. Apabila dari peristiwa itu kemudian berkembang

menjadi suatu pertikaian tentang berbagai masalah bisnis dan semakin

kompleks, apalagi sudah menyangkut hal-hal yang sangat substansial dalam

interaksi mereka, maka perselisihan semacam itu tidak dapat dibiarkan. Oleh

karena itu, tatkala timbul keadaan semacam itu sebagai akibat dari

pelaksanaan hak dan kewajiban mereka, pada umumnya mereka terlebih

Page 29: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

12

dahulu akan membawa hal tersebut untuk dibahas bersama penasihat hukum

(lawyer) mereka. Dalam pembicaraan tersebut tentu saja termasuk

menentukan di mana sengketa tersebut hendak diselesaikan.

Demikian pula ketika awal kesepakatan bisnis dibuat dan kontrak

bisnis disepakati, pada umumnya para pelaku bisnis tidak secara khusus

memikirkan untuk memilih forum penyelesaian sengketa. Bagi mereka

klausula penyelesaian sengketa yang dituangkan di dalam setiap kontrak

bisnis, bukanlah sesuatu yang terlalu dipersoalkan, sehingga hal itu seringkali

dianggap sebagai sesuatu yang ada secara “built-in” di dalam setiap kontrak

dan tidak harus selalu merupakan kehendak dari para pihak.

Anggapan tersebut memperoleh pembenaran dari sejumlah konsultan

hukum pengusaha yang dipilih sebagai informan dalam penelitian ini. Bahwa

sejak kontrak bisnis disepakati, untuk menentukan klausula penyelesaian

sengketa, pelaku bisnis senantiasa menyerahkan kepada konsultan hukumnya.

Walaupun hal itu tidak berarti para pelaku usaha tidak memiliki kehendak

untuk memilih forum lain sebagai tempat menyelesaikan sengketa selain

pengadilan negeri, namun setidaknya merupakan indikasi bahwa terhadap

persoalan di luar persoalan bisnis, acapkali para pengusaha tidak hendak

terlalu jauh mencampuri. Dengan demikian forum mana pun yang dipilih dan

dijadikan sebagai klausula penyelesaian sengketa di dalam kontrak, bagi

Page 30: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

13

pihak-pihak materil,23 dalam hal ini para pengusaha, hampir tidak ada

masalah. Yang paling utama bagi mereka sesungguhnya adalah tidak

terganggunya kegiatan bisnis oleh berbagai perselisihan di antara mereka.

Pada umumnya para pengusaha hanya menghendaki agar sengketa yang

dihadapi dengan mitra usahanya tidak menyebabkan terganggunya kegiatan

bisnis mereka. Mereka juga tidak ingin bila kasus sengketa yang melibatkan

dirinya terbuka luas diketahui pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan,

sehingga berakibat tidak menguntungkan aktivitas bisnisnya.

Mengingat komitmen dan orientasi para pengusaha itu semata-mata

terhadap profit dan bukan pada sengketa atau pun proses penyelesaiannya,

maka menjadi tugas para konsultannya untuk memberitahu apa yang

seharusnya dan sebaiknya dilakukan. Salah satu tugas yang dilakukan

konsultan hukum pengusaha tentu saja memberi informasi tentang berbagai

hal kepada kliennya secara baik dan benar. Demikian pula dalam konteks

penyelesaian sengketa bisnis yang akan atau sedang dihadapi. Para konsultan

tentu akan dan harus berusaha untuk meyakinkan kliennya agar menempuh

upaya yang relatif lebih kecil risiko24 bisnisnya. Bila memilih pengadilan

23 Pihak materiil dalam perkara adalah orang yang mempunyai kepentingan langsung di

dalam perkara bersangkutan, baik sebagai claimant (orang yang membuat tuntutan/penggugat) maupun sebagai respondent (orang yang dijadikan sebagai tertuntut/tergugat). Periksa, Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1985 h. 47-48. Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika, 2001, h. 132-133.

24 Secara etimologi, “risiko” adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Periksa, Kamus Besar Bahasa

Page 31: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

14

sebagai tempat penyelesaian sengketa dianggap oleh para pelaku bisnis

memiliki risiko bisnis yang besar, maka memilih arbitrase untuk

menyelesaikan sengketa bisnis dianggap memiliki risiko bisnis relatif lebih

kecil. Itulah yang kemudian dikenal secara umum bahwa mekanisme

penyelesaian sengketa lewat arbitrase dianggap memiliki keunggulan.25

Namun demikian, memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan

sengketa bisnis dengan asumsi lebih menguntungkan karena arbitrase

memiliki keunggulan dan risiko bisnisnya relatif lebih kecil, faktanya belum

tentu selalu demikian. Ambil contoh satu hal saja, berkenaan dengan

putusan arbitrase. Sebagaimana diketahui bahwa forum arbitrase tidak

memiliki “kewenangan publik” untuk dapat mengeksekusi sendiri setiap

putusan yang dijatuhkannya. Dengan demikian, suatu putusan arbitrase, di

mana pun putusan tersebut dijatuhkan, akan selalu tidak memiliki “titel

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 751. Jadi yang dimaksud dengan risiko bisnis dalam konteks pembahasan pilihan forum penyelesaian sengketa di muka adalah: akibat yang merugikan atau membahayakan kegiatan bisnis yang akan dialami oleh pihak-pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung sebagai pelaku bisnis, apabila mereka keliru menentukan pilihan forum dalam rangka menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi.

25 Keunggulan arbitrase di antaranya: (i) para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri yang dipercayai memiliki integritas (integer =utuh/keutuhan pribadi), kejujuran, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing (namun demikian, sama sekali tidak mewakili pihak yang memilihnya). Artinya, orang tersebut adalah independen dan bukan penasihat hukumnya; (ii) proses pemeriksaan sengketa dalam majelis arbitrase itu konfidensial, sehingga menjamin rahasia serta tidak ada publisitas yang tidak dikehendaki; (iii) tata cara arbitrase lebih informal dibandingkan dengan beracara di pengadilan, sehingga hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah proses penyelesaian sengketa tidak harus terganggu seperti halnya jika penyelesaian sengketa dilakukan lewat pengadilan dengan segala formalitas

Page 32: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

15

eksekutorial” (executoriale titel)26 sebelum putusan tersebut diserahkan dan

didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.27

Bahkan untuk putusan arbitrase internasional ditentukan setelah putusan

tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada

Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan baru dapat dilaksanakan di

Indonesia setelah memperoleh eksekuatur (exequatur)28 dari Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.29

Berbicara mengenai keterlibatan pengadilan negeri di dalam rangkaian

proses arbitrase tidak sekedar menyangkut persoalan eksekuatur untuk

kepentingan eksekusi putusan arbitrase. Bahkan pengadilan negeri terlibat di

dalam rangkaian proses arbitrase sejak awal sampai dengan pelaksanaan

putusan. Artinya kewenangan pengadilan negeri tidak sekedar sebagai

penerima pendaftaran dan pemberi eksekuatur, melainkan juga menunjuk

arbiter atau majelis arbitrase,30 apabila para pihak tidak dapat mencapai

kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang

beracaranya. H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Fikahati Aneska-BANI, 2002, h. 63-64.

26 Titel eksekutorial adalah alas hak eksekutorial, tulisan yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita. Putusan yang mempunyai kekuatan pasti (kracht van gewijsde).

27 Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999. 28 “Adalah pernyataan dapat dilaksanakan suatu keputusan pengadilan; khusus pernyataan

setuju dengan pelaksanaan keputusan (fiat executie), dari Ketua Pengadilan Negeri atas putusan wasit.” Lihat N.E. Algra et al., Fockema Andreae – Kamus Istilah Hukum. Bandung: Binacipta, 1977, h. 129.

29 Pasal 67 ayat (1) juncto Pasal 66 huruf ‘d’ UU Nomor 30 Tahun 1999. 30 Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999.

Page 33: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

16

dibuat mengenai pengangkatan arbiter. Demikian pula dalam suatu arbitrase

ad hoc, setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa

orang arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua

Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang atau lebih arbiter.31

Di dalam praktik, pihak yang dikabulkan tuntutannya atau penasihat

hukumnya biasanya memasukkan putusan arbitrase untuk didaftarkan

berdasarkan surat kuasa dari para arbitrator. Surat kuasa yang memberi

kewenangan kepada pihak yang dikabulkan tuntutannya atau penasihat

hukumnya untuk mendaftarkan putusan arbitrase itu biasanya sudah

termasuk di dalam putusan. Namun demikian, menurut Hukum Indonesia,

surat kuasa untuk keperluan tersebut harus berisi kata-kata yang tegas yang

menyatakan luas lingkup dari kewenangan yang didelegasikan oleh para

arbiter kepada pihak yang menang atau penasihat hukumnya.

Apabila pihak yang harus melaksanakan putusan arbitrase tidak

bersedia melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat

memerintahkan agar pihak yang bersangkutan melaksanakan putusan

arbitrase dimaksud atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.32

Akan tetapi sebelum Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan untuk

melaksanakan putusan, terlebih dahulu memeriksa apakah putusan arbitrase

31 Pasal 13 ayat (2). 32 Pasal 61 UU Nomor 30 tahun 1999.

Page 34: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

17

dimaksud memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5, serta tidak bertentangan

dengan kesusilaan, dan ketertiban umum.33 Dalam hal putusan arbitrase

tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (2),

Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan putusan dan

terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak ada upaya hukum

apa pun.34

Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase

nasional yang didaftarkan untuk dilaksanakan, menunjukkan bahwa jumlah

putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan pada tahun 1999 menjadi

hanya enam putusan saja pada tahun 2001, walaupun perintah pelaksanaan

diberikan sembilan kali pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali pada

tahun 2000 dan 2001.35 Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa yang

berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.36

Berkaitan dengan persoalan pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase, terutama putusan arbitrase internasional di Indonesia, sejak dahulu

33 Pasal 62 ayat (2). 34 Pasal 62 ayat (3). 35 Mulyana, et al., “Indonesia’s New Framework For International Arbitration: A Critical

Assessment of the Law and Its Application by the Court”; Mealey’s International Arbitration Report. January, 2002, h. (1-32) 23.

36 Pasal 65 UU No. 30/1999.

Page 35: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

18

tidak pernah ada kepastian hukum.37 Padahal sejak Indonesia meratifikasi

Konvensi New York 1958,38 sejak saat itu pula banyak pihak menaruh

harapan jika putusan arbitrase asing akan dapat dilaksanakan di Indonesia.

Namun faktanya permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase

asing selalu kandas dan ditolak. Putusan berikut ini merupakan salah satu

contoh kasus yang permohonan pelaksanaannya ditolak oleh Mahkamah

Agung. Secara ringkas, kronologis penolakan tersebut dapat disimak berikut

ini:

London Arbitration Awards No. 1950, tanggal 12 Juli 1978, kasus

antara PT Nizwar Jakarta vs Navigation Maritime Bulgare, varna, Blvd.

Chervenoermeiski. Putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi melalui

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dengan penetapan No.2288/1979 P.,

tanggal 10 Juni 1981 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan

permohonan pemohon. Artinya putusan Arbitrase London itu dapat

dieksekusi. Namun demikian PT Nizwar Jakarta selaku termohon eksekusi

mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Melalui putusannya Nomor 2944

K/Pdt/1983 Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan arbitrase asing

37 Sejak dasawarsa delapan puluhan, tatkala arbitrase sebagai salah satu forum tempat

penyelesaian sengketa, mulai populer digunakan oleh kalangan pengusaha sebagai forum alternatif di luar pengadilan negeri, sampai dengan tahun 1990, tatkala diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990, persoalan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, keadaannya masih tidak menentu.

38 Dengan instrumen ratifikasi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981.

Page 36: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

19

seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Di antara alasan penolakan

Mahkamah Agung, sehingga putusan arbitrase London itu tidak dapat

dilaksanakan ketika itu, antara lain karena belum atau tidak ada peraturan

pelaksanaan (implementing regulation) untuk Konvensi New York 1958.39

Bila dibandingkan dengan keadaan di waktu yang lalu, setelah

undang-undang arbitrase diundangkan pun, berkenaan dengan mekanisme,

serta prosedur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional

tampaknya masih sama saja dengan keadaan tatkala masih berlaku Peraturan

Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990.40 Kalau pun ada yang

berbeda, sesungguhnya perbedaan itu tidak memiliki arti. Oleh karena itu,

39 Pada dasarnya untuk Konvensi New York 1958 yang disahkan oleh Pemerintah RI

dengan instrumen ratifikasi berupa Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada prinsipnya tidak perlu “implementing regulation”. Namun demikian pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2944 K/Pdt/1983 antara lain menyebutkan: “Bahwa selanjutnya mengenai Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang mengesahkan ‘Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards’ sesuai dengan praktik hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, kepada pengadilan negeri yang mana ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia”. Lihat S. Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 112-113. Bdgk. Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001, h. 40.

40 Ketika itu berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung PERMA Nomor 1 Tahun 1990, putusan arbitrase asing hanya diakui serta dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di suatu negara yang bersama-sama dengan Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaannya didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas); (ii) putusan-putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam

Page 37: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

20

seandainya maksud para pihak melakukan pilihan forum arbitrase hanya

didasari oleh asumsi karena arbitrase memiliki keunggulan dan terjamin dari

publisitas yang kurang menguntungkan, alasan itu saja belum cukup. Fakta

di muka cukup membuktikan bahwa, putusan arbitrase belum mandiri,

belum final, dan belum mengikat.

Bukti bahwa putusan arbitrase belum mandiri, dapat ditengok dari

ketentuan mengenai “…putusan arbitrase terlebih dahulu harus diserahkan

dan didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri,” dengan ancaman sanksi

“…tidak dipenuhinya ketentuan dalam pasal 59 ayat (1) berakibat putusan

arbitrase tidak dapat dilaksanakan.”41 Norma tersebut tidak hanya menjadi

bukti bahwa putusan arbitrase belum mandiri, namun sekaligus secara tegas

telah mensubordinasikan putusan arbitrase terhadap kewenangan pengadilan

negeri. Kemudian, putusan arbitrase juga ternyata masih “belum final”.

Buktinya: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan secara

sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”42

Hakikat dari ketentuan itu sebenarnya merupakan upaya hukum yang

diberikan kepada pihak yang bersengketa dalam forum arbitrase, tatkala

ruang lingkup Hukum Dagang; (iii) putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; (iv) setelah memperoleh exequatur dari Mahkamah Agung RI.

41 Pasal 59 ayat (1) juncto ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999.

Page 38: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

21

pihak lawannya tidak secara sukarela melaksanakan putusan yang telah

dijatuhkan. Apalagi bila diperhatikan ketentuan berikutnya,43 akan tampak

sekali betapa putusan arbitrase itu baru dapat dilaksanakan setelah putusan

arbitrase itu dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri. Artinya, dalam

keadaan salah satu pihak tidak secara sukarela melaksanakan putusan

arbitrase, maka forum arbitrase sebagai pemutus sama sekali tidak memiliki

kewenangan apa pun untuk dapat memaksakan putusan yang dijatuhkannya

agar dapat dilaksanakan oleh pihak yang menolak untuk melaksanakannya.

B. Perumusan Masalah

Ketika kondisi lembaga peradilan semakin mengalami krisis

kepercayaan dan krisis kewibawaan dari masyarakat, kajian tentang pilihan

forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial memiliki alasan

yang memadai untuk dilakukan. Untuk itu tema studi dalam rangka

penyusunan disertasi ini adalah Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa

Komersial untuk Penegakan Keadilan.

Terdapat tiga permasalahan yang hendak dikaji melalui penulisan

disertasi ini, yaitu: Pertama, apakah benar forum arbitrase dipilih untuk

menyelesaikan sengketa komersial oleh kalangan bisnis atas dasar alasan

42 Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999. 43 Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan

sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Lihat, Pasal 64 UU No. 30/1999.

Page 39: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

22

agar materi sengketa dan para pihak terjamin kerahasiaannya serta

putusannya dianggap lebih memuaskan bila dibandingkan dengan putusan

pengadilan? Kedua, benarkah terdapat faktor-faktor internal dari pengadilan

negeri yang selama ini dianggap kurang menguntungkan oleh komunitas

pelaku bisnis sehingga mereka lebih suka memilih forum arbitrase untuk

menyelesaikan sengketa mereka? Ketiga, benarkah putusan forum arbitrase

itu bersifat final dan mengikat para pihak karena tidak mengenal upaya

hukum banding dan kasasi, sehingga melalui forum arbitrase para pihak

dapat lebih cepat memperoleh hak yang dituntutnya bila dibandingkan

dengan menuntut hak melalui pengadilan negeri?

Bertolak dari ketiga masalah di muka, studi ini dapat diproyeksikan

dalam masalah utama sebagai berikut:

Mungkinkah forum arbitrase di masa depan dapat dikembangkan sebagai salah satu forum khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersial di luar pengadilan negeri yang memiliki kewenangan publik untuk mengeksekusi putusannya, sehingga putusan arbitrase lebih mencerminkan penegakan keadilan substansial yang bermartabat?

Page 40: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

23

C. Kerangka Pemikiran

Sebagai suatu fenomena sosial, sengketa atau konflik44 akan selalu

dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan bermasyarakat.45 Dalam

setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana

sengketa ditangani. Sengketa tidak hanya dapat diatasi dengan jalan

mengajukannya ke forum pengadilan, melainkan terdapat aneka ragam cara

yang dapat ditempuh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa.46 Dalam

menyelesaikan sengketa, masyarakat dapat menempuh berbagai cara, baik

44 “Konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu interaksi yang

bersifat antagonistis (berlawanan, bertentangan atau berseberangan). Konflik terjadi karena perbedaan, kesenjangan, dan kelangkaan kekuasaan, perbedaan atau kelangkaan posisi sosial dan posisi sumberdaya atau disebabkan sistem nilai dan penilaian yang berbeda secara ekstrim." Lihat Kusnadi et al., Teori dan Manajemen Konflik (Tradisional, Kontemporer & Islam). Malang: Taroda, 2001, h. 11.

45 Georg Simmel antara lain mengungkapkan: “…the individual does not attain the unity of his personality exclusively by an exhaustive harmonization,… On the contrary, contradiction and conflict not only precede this unity but are operative in it.” Lihat, Valerine J.L.Kriekhoff, “Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”; dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, h. 224. Sementara itu Schuyt memperkenalkan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang terbagi dalam 6 (enam) sub kategori, yaitu: Kelompok Pertama, Penyelesaian sepihak (penyerahan sementara, menghindarkan diri/meninggalkan, penyerahan); Kelompok kedua, Dikelola sendiri (dengan undian, kesepakatan, perundingan); Kelompok ketiga, Pra-juridis (pemakaian jasa penengah, sidang/musyawarah, perdamaian, pengaduan); Kelompok keempat, Juridis normatif (proses pidana, proses perdata, proses administratif, sidang pengadilan, proses singkat, arbitrase); Kelompok kelima, Juridis-politis (bertahap tanpa kekerasan, tindakan politik dan aksi sosial, pembentukan keputusan legislatif, penyelesaian melalui saluran pemerintah); Kelompok keenam, Penyelesaian dengan kekerasan (kekerasan). Lihat dalam Ronny Hanitijo Soemitro, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik.” Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1993, h. 26-30.

46 Kebudayaan manusia untuk menampung, mengatasi atau menyelesaikan sengketa-sengketa dapat terdiri atas: (1) Membiarkan saja (lumping it), (2) Mengelak (avoidance), (3) Paksaan (coercion), (4) Perundingan (negotiation), (5) Mediasi (mediation), (6) Arbitrase (arbitration), (7) Peradilan (adjudication). Periksa T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam

Page 41: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

24

melalui forum formal yang telah disediakan oleh negara, seperti halnya

pengadilan, atau melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh

negara.47 Dalam hubungan dengan aneka ragam cara yang dapat ditempuh

manusia untuk menyelesaikan sengketa di atas, terdapat beberapa teori yang

dapat digunakan sebagai sarana melakukan kajian berkaitan dengan hal

tersebut. Menurut teori voluntaristik dari aksi (voluntaristic theory of action)

dari Talcott Parsons,48 individu selaku aktor memiliki cara-cara tertentu

untuk mencapai tujuannya. Aktor mengejar tujuan dalam situasi dimana

norma-norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk

mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap

cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih.

Kemampuan itulah yang oleh Parsons disebut sebagai voluntarism. Dalam

pengertian lain, voluntarism adalah kemampuan individu melakukan tindakan

dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia

dalam rangka mencapai tujuannya.

Antropologi Hukum”; di dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum…Ibid., h. 210-212.

47 Dalam bahasa A.J. van den Berg, pengadilan disebut dengan “overheidsrechtspraak” (peradilan pemerintah) dan hakimnya disebut “overheidsrechter” (hakim pemerintah), karena baik lembaga maupun hakimnya secara resmi disediakan oleh negara. Sedangkan forum yang tidak resmi disediakan oleh negara, misalnya forum arbitrase disebut dengan “particuliere rechtspraak” (peradilan swasta). Lihat A.J. van den Berg, Arbitrage…Op. Cit., h. 7.

48 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Penyadur: Alimandan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 48-49. Bdgk. Soerjono Soekanto, Talcott Parsons – Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV Rajawali, 1986, h. 25-27.

Page 42: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

25

Berdasarkan pada teori Parsons tersebut, manusia selaku aktor

adalah pelaku aktif, kreatif, dan evaluatif serta mempunyai kemampuan

menilai dan memilih alternatif tindakan, meskipun kondisi dan norma serta

situasi penting lain kesemuanya membatasi kebebasan aktor. Oleh karena itu,

tindakan melakukan pilihan forum untuk menyelesaikan sengketa di luar

pengadilan pemerintah, merupakan ekspresi kemauan bebas dari aktor dalam

memilih berbagai alternatif tindakan dalam rangka mencapai tujuannya.

Di samping itu, memilih forum untuk menyelesaikan sengketa di luar

pengadilan pada dasarnya merupakan hasil dari interaksi sosial dalam

masyarakat yang terjadi berdasarkan penafsiran fenomenologi, yaitu

berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas

proses mekanik dan otomatik. Selain itu tentu saja pilihan forum

penyelesaian sengketa merupakan salah satu bentuk keterlibatan langsung

manusia sebagai anggota masyarakat dalam pelaksanaan hukum. Sedangkan

keterlibatan manusia dalam pelaksanaan hukum memperlihatkan adanya

hubungan antara budaya dan hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan

sikap, ide-ide, nilai-nilai seseorang terhadap hukum di dalam masyarakat.49

Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat

tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan

pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi budaya hukum

49 Op. Cit., h. 11.

Page 43: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

26

menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat

yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan

hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.50 Budaya hukum sebagai

sesuatu yang menjadi buah pikiran dan keyakinan manusia, keadaannya tidak

statis melainkan berubah-ubah mengikuti perubahan dalam masyarakat.51

Dengan demikian yang disebut budaya hukum itu tidak lain adalah

keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh

tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Oleh

karena itu, budaya hukum tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen

tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas. Akan tetapi diartikan

sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut

sikap yang mempengaruhi hukum. Jadi termasuk rasa respek atau tidak

respek kepada hukum, kesediaan orang untuk menggunakan pengadilan, atau

tidak menggunakan pengadilan52 (karena lebih memilih cara-cara informal

untuk menyelesaikan sengketa), dan juga sikap-sikap serta tuntutan-tuntutan

50 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1986, h. 51. 51 Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction; Hukum Amerika sebuah

Pengantar, (alih bahasa: Wishnu Basuki). Jakarta: Tatanusa, 2001, h. 173. 52 “Di negara-negara berkembang, pengadilan adakalanya dianggap perpanjangan tangan

kekuasaan, bahkan di beberapa negara pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusannya dianggap telah memihak yang mendatangkan ketidakadilan. Alasan-alasan budaya, menyebabkan masyarakat cenderung mengesampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul di antara mereka.” Lihat, Erman Rajagukguk, ‘Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan’ dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 4, Okt. 2000, h. 1-15 [1-2].

Page 44: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

27

pada hukum yang diajukan oleh kelompok etnik, ras, agama, dan kelas-kelas

sosial yang berbeda.53

Budaya hukum54 bukan merupakan budaya pribadi, melainkan budaya

menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan

perilaku. Untuk itu sebagaimana diutarakan di muka, kesepakatan dalam

penyelesaian suatu perselisihan hukum tidak terlepas dari pola orientasi

hukum yang umum dalam masyarakat,55 yang merupakan pencerminan

budaya hukum, yaitu pencerminan dari nilai-nilai budaya mengenai hukum

dan keadilan yang dirasakan masyarakat, yang dikehendaki, dan dibenarkan

oleh masyarakat bersangkutan.56

Apabila dua orang atau dua pihak bersengketa mengenai sesuatu hal

atau sesuatu kepentingan, kemudian mereka mencari penyelesaian melalui

53 Lawrence M. Friedman, ”On Legal Development”. Rutgers Law Review, (alih bahasa:

Rachmadi Djoko Soemadio), 1969, h. 27-30. 54 “Budaya hukum merupakan kekuatan dalam masyarakat yang pada akhirnya akan

menentukan bagaimana hukum itu diterima dan dijalankan di situ. Kekuatan tersebut berakar pada tradisi, pada sistem nilai-nilai yang dianut, yang pada akhirnya menentukan sikap dan perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan hukumnya.” Lihat dalam Satjipto Rahardjo, “Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum”; Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII. Jakarta BPHN, Juli 1997, h. 1-13, [3].

55 Masyarakat Timur seperti Cina dan Jepang, secara tradisional tidak suka pada pengadilan. Pengadilan dianggap sebagai tempat orang-orang jahat, yang tidak mematuhi hukum. Secara tradisional orang-orang Cina dan Jepang amat segan untuk membawa sengketa-sengketa perdata mereka ke depan pengadilan. Lihat, Erman Rajagukguk, Op. Cit. h. 1-2.

56 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 53. Di samping itu untuk menjaga harmoni serta karena alasan-alasan praktis, penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti arbitrase, dan juga forum non litigasi seperti: negosiasi, mediasi, dan konsiliasi semakin berkembang di Amerika Serikat maupun di Jepang. Lihat, Linda R. Singer, Settling Disputes - Conflict Resolution in Business, Families, and The Legal System. San Fransisco, 1994, dalam Erman Rajagukguk, Op. Cit., h. 2.

Page 45: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

28

institusi hukum di luar pengadilan, artinya pihak-pihak bersangkutan

memiliki persepsi tertentu terhadap institusi hukum itu. Di samping karena

keyakinannya, tuntutannya, serta dorongan kepentingan, masih terdapat

faktor-faktor lain, seperti harapan dan juga penilaian positif terhadap institusi

yang dipilih tersebut.57 Oleh karena menyelesaikan sengketa di luar proses

pengadilan hasilnya dianggap lebih memenuhi rasa keadilan bagi para

pemilihnya, sehingga memilih forum penyelesaian sengketa merupakan

asumsi fundamental, yakni apa yang dianggap adil dan tidak oleh

masyarakat, sehingga memilih forum merupakan komponen substansif dari

budaya hukum.58

Tercapainya kesepakatan dalam penyelesaian suatu sengketa hukum

tidak terlepas dari pola orientasi hukum yang umum dalam masyarakat, yang

merupakan pencerminan budaya hukum. Yaitu pencerminan dari nilai-nilai

budaya mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan masyarakat, yang

dikehendaki, dan dibenarkan oleh masyarakat bersangkutan.59 Oleh karena

budaya hukum itu meliputi orientasi pribadi yang berlatar belakang pada

pengetahuan dan pengalaman seseorang yang menyebabkan adanya

57 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., h. 167. 58 Esmi Warassih, Op. Cit., h. 11-12. “Budaya hukum berhubungan dengan sikap dan

perilaku. Dapat disaksikan betapa budaya hukum dan perilaku hukum menjadi faktor penentu yang penting, sehingga dapat dikemukakan bahwa ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat atau negara tidak berakar pada hukum dan perundang-undangan, melainkan juga pada perilaku substansial dari warga negara di situ. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Peningkatan Wibawa Hukum…” Op. Cit., h. 1-3.

59 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 53.

Page 46: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

29

penilaian, sehingga ia menyetujui atau menolak, atau mendiamkan peristiwa-

peristiwa hukum yang terjadi. Disebabkan hal di atas, penilaian dan persepsi

pihak-pihak dalam masyarakat tentang adil atau tidak adil, menguntungkan

atau tidak dari proses penyelesaian sengketa lewat pilihan forum merupakan

pencerminan budaya hukum masyarakat.

Di samping merupakan pencerminan budaya hukum masyarakat,

tindakan manusia untuk melakukan pilihan forum penyelesaian sengketa

erat kaitannya dengan persoalan perilaku dan keyakinan individu yang

melakukannya. Untuk itu masih dalam konteks pilihan forum ini, dapat pula

disebutkan teori tindakan beralasan (theory of reason action) dari Icek Ajzen

dan Martin Fishbein, yang kemudian dimodifikasi sendiri oleh Ajzen dengan

nama teori perilaku terencana (theory of planned behavior).

Menurut teori perilaku terencana, di antara berbagai keyakinan yang

akhirnya akan menentukan intensi dan perilaku tertentu adalah keyakinan

mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan.

Keyakinan itu dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang

bersangkutan di masa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tak

langsung mengenai perilaku itu umpama melihat pengalaman teman atau

orang lain yang pernah melakukannya.60 Di samping berbagai faktor penting

seperti hakikat stimulus itu sendiri, latar belakang pengalaman individu,

Page 47: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

30

motivasi, status kepribadian, dan sebagainya, memang sikap individu ikut

memegang peranan dalam menentukan bagaimanakah perilaku seseorang di

lingkungannya. Pada gilirannya, lingkungan secara timbal balik akan

mempengaruhi sikap dan perilaku. Interaksi antara situasi lingkungan dengan

sikap, dengan berbagai faktor di dalam maupun di luar diri individu akan

membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk

perilaku seseorang.61

Namun memang, perilaku manusia itu tidaklah sederhana untuk

dipahami dan diprediksikan. Begitu banyak faktor, internal dan eksternal dari

dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi

perilaku manusia. Adapun tampilan teori perilaku terencana di atas

dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa pada dasarnya perilaku manusia

itu tidak secara mekanik dan deterministik akan tetapi reaksi manusia masih

lebih terikat pada hukum-hukum stimulus-respons yang berlaku.62 Oleh

karena itu, teori psikologi mengenai perilaku63 manusia juga memiliki

60 Saifuddin Azwar, Sikap Manusia - Teori dan Pengukurannya. (edisi kedua),

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h. 11-13. 61 Ibid., h. 14 62 Ibid., h. 14-15. 63 Berkenaan dengan perilaku dan keyakinan manusia dapatlah disimak dasar psikologis

dari hukum berikut ini: “…Dalam diri manusia terdapat tiga hasrat atau nafsu, yaitu hasrat yang individualistis (egoistis atau atomistis), hasrat yang kolektivistis (transpersonal atau organis), dan hasrat yang bersifat mengatur atau menjaga keseimbangan. Hasrat yang individualistis dan hasrat yang kolektivistis selalu saling bertentangan dan bertolak belakang, sehingga hidup ini akan selalu merupakan pertentangan terus menerus yang tajam antara dua hasrat tersebut. Oleh karena itu, dalam diri manusia juga ada hasrat yang bersifat mengatur atau mengkompromikan. Hasrat ketiga itu bersifat mengatur atau menjaga keseimbangan, sehingga kedua hasrat

Page 48: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

31

relevansi dalam rangka memahami tindakan manusia untuk melakukan

pilihan forum penyelesaian sengketa.

Mencarikan penyelesaian sengketa atau konflik di dalam masyarakat,

dengan hanya menggunakan pendekatan ilmu hukum semata-mata untuk

mengadakan analisis dan evaluasi kerapkali tidak memadai. Untuk itu maka

menggunakan pendekatan yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial terutama

sosiologi diharapkan dapat memberikan penjelasan dan cara pemecahannya.

Hal itu disebabkan hukum merupakan abstraksi dari interelasi dan interaksi

sosial yang dinamis.64 Salah satu pendekatan yang relevan dengan konteks

penulisan disertasi ini adalah pendekatan konflik. Pandangan para penganut

pendekatan konflik bertolak pangkal dari anggapan dasar bahwa konflik

merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Sedangkan setiap

masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang tidak pernah

berakhir. Setiap unsur dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan

untuk terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. Oleh karena

itu, menurut penganut pendekatan konflik, dalam setiap masyarakat selalu

terdapat konflik antara kepentingan pihak yang memiliki kekuasaan

yang saling bertentangan itu dapat dikendalikan. Hasrat yang bersifat mengatur itu menciptakan keserasian dan bersifat sintetis serta merupakan dasar psikologis dari hukum.”Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum…Op. Cit., h. 27-28.

64 Lihat, Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni, 1985, h. 20-37.

Page 49: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

32

otoritatif,65 yaitu kepentingan untuk memelihara dan mengukuhkan status

quo pola hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan golongan yang

tidak memiliki kekuasaan otoritatif. Itulah sebabnya mengapa para penganut

pendekatan konflik yakin bahwa konflik merupakan gejala kemasyarakatan

yang selalu melekat pada kehidupan setiap masyarakat.

Seiring dengan pendekatan konflik di muka, maka salah satu teori

sosial yang digunakan sebagai sarana analisis hasil penelitian ini adalah

Teori Konflik dari Ralf Dahrendorf. Menurut Teori Konflik, masyarakat

senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan

yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen memberikan

sumbangan terhadap disintegrasi sosial,66 sementara itu keteraturan yang

terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau

pemaksaan kekuasaan67 dari atas oleh golongan yang berkuasa. Kekuasaan

65 “Pembagian wewenang (authority) yang tidak merata mengakibatkan timbulnya dua

kategori sosial di dalam masyarakat, yaitu golongan yang memiliki wewenang dan golongan yang tidak memiliki wewenang. Pembagian wewenang yang bersifat dikotomis demikian itu dianggap oleh para penganut pendekatan konflik menjadi sumber terjadinya konflik-konflik sosial, karena menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan secara substansial maupun berlawanan dalam arahnya.” Ronny Hanitijo Soemitro, Loc. Cit., h. 27.

66 Lihat, George Ritzer, Sosiologi.. Op. Cit., h. 25-26. Bdgk. Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Routledge & Kegan Paul, 1959. Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Ali Mandan, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri. Jakarta: CV Rajawali, 1986, h. 197-198.

67 “Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan dan mereka yang memegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo. Dahrendorf mengatakan hal itu merupakan kepentingan objektif, yang terbentuk di dalam peran-peran itu sendiri, bersamaan dengan kepentingan atau fungsi dari semua peran dalam mepertahankan organisasi itu sebagai keseluruhan Lihat, Ian Craib, Modern Social Theory: from Parson to Habermas (Teori-Teori Sosial Modern: dari Parson sampai

Page 50: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

33

dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan posisi

bawah dalam setiap struktur. Oleh karena itu, Dahrendorf menyebut

masyarakat sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa

(imperatively coordinated association).68 Dunia sosial karenanya distruktur

ke dalam kelompok-kelompok yang secara potensial mengandung konflik.

Dahrendorf69 membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe.

Pertama, Kelompok semu (quasi-group) yaitu kumpulan dari para pemegang

kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk

karena munculnya kelompok kepentingan. Kedua, Kelompok kepentingan

(interest group) terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok

kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan, serta

anggota yang jelas. Kelompok kepentingan itulah yang menjadi sumber

nyata terjadinya konflik di dalam masyarakat.

Pada kasus penelitian tentang pilihan forum arbitrase dalam sengketa

komersial ini, kedua tipe kelompok yang dibedakan Dahrendorf di muka

dipastikan kedua kelompok tersebut merupakan bagian dari adanya konflik.

Pertama konflik yang terjadi di antara anggota komunitas kelompok

kepentingan (interest group) satu sama lain. Dalam hal ini para pelaku bisnis

Habermas); Penerjemah: Paul S. Baut dan T. Effendi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, h. 92-94.

68 Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik...Op. Cit., h. 204. 69 George Ritzer, Sosiologi.. Op. Cit., h. 27.

Page 51: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

34

yang memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial,

mereka merupakan bagian dari konflik antar kelompok kepentingan yang

masing-masing memperjuangkan kepentingan dalam bisnisnya untuk

menyelesaikan pertikaian di antara mereka.

Selanjutnya ketika putusan arbitrase telah diperoleh dan akan

dimohonkan pelaksanaan, potensi konflik terjadi di dalam kelompok semu.

Konflik kewenangan terjadi antara badan arbitrase sebagai pemutus sengketa

dengan pengadilan negeri sebagai pemberi eksekuatur. Hal itu sulit untuk

dihindarkan karena secara normatif eksplisit diatur sebelum putusan badan

arbitrase dilaksanakan, terlebih dahulu lembar asli atau salinan otentik

putusan arbitrase harus diserahkan dan didaftarkan kepada Panitera

Pengadilan Negeri.

Memilih forum arbitrase dalam rangka menegakkan keadilan pada

hakikatnya merupakan upaya untuk menegakkan ide-ide serta konsep-konsep

yang notabene adalah abstrak. Oleh karena itu, penegakan keadilan adalah

mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide

itu pada dasarnya merupakan hakikat dari penegakan hukum. Apabila

berbicara mengenai perwujudan ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan,

maka sebetulnya sudah memasuki bidang manajemen (management).70

Dalam suasana yang demikian maka peranan serta kehadiran organisasi

Page 52: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

35

dalam penyelenggaraan hukum dewasa ini merupakan keniscayaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Satjipto Rahardjo,71 problema-

problema yang ada sekarang ini tidak bisa disamakan dengan yang terjadi

pada 100 tahun yang lalu ketika tingkat perkembangan sosial masih

sederhana, kehidupan hukum pun masih bersifat intim, dan lebih personal.

Sedangkan sekarang ini, beragam problema sudah menjadi makin besar,

melibatkan sejumlah banyak orang, tugas-tugas yang harus dilaksanakan

juga semakin menggunung, maka dibutuhkan suatu cara penanganan

bersama. Kalau suatu kegiatan sudah melibatkan kompleksitas yang begitu

tinggi dan jumlah orang begitu banyak, maka tidak bisa lain kecuali harus

menjalankannya dalam konteks organisasi. Apabila sudah berbicara

mengenai organisasi, tentu hal pokok yang dipikirkan adalah bagaimana

organisasi itu harus berjalan dengan baik. Sebagaimana telah diutarakan di

muka, apabila pembicaraan sudah memasuki persoalan menyangkut suatu

proses dalam orgaisasi berarti merupakan kegiatan manajemen. Dalam kaitan

ini, Schrode & Voich,72 mengartikan manajemen sebagai “seperangkat

kegiatan atau suatu proses untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan

penggunaan sumber-sumber daya dengan maksud untuk mencapai tujuan

70 Lihat, Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: suatu tinjauan sosiologis.

Bandung: Sinar Baru, TT, h. 15. 71 Ibid., h. 16. 72 Satjipto Rahardjo, Loc. Cit.,

Page 53: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

36

organisasi melalui orang-orang, teknik-teknik, dan informasi serta dijalankan

dalam kerangka suatu struktur organisasi.”

Begitu pula dalam rangka mewujudkan hukum dan keadilan sebagai

ide-ide yang abstrak, ternyata dibutuhkan suatu organisasi yang cukup

kompleks. Negara harus campur tangan dalam mewujudkan hukum yang

abstrak itu dan harus mengadakan berbagai macam badan untuk keperluan

tersebut, sehingga dikenal ada Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian,

Pemasyarakatan, dan juga Badan Perundang-undangan. Melalui organisasi

serta proses-proses yang berlangsung di dalamnya, masyarakat menerima

perwujudan dari tujuan-tujuan hukum. Keadilan, misalnya, kini tidak lagi

merupakan konsep yang abstrak, melainkan benar-benar diberikan kepada

anggota masyarakat dalam bentuk pensahan sesuatu aksi tertentu. Demikian

pula kepastian hukum dapat terwujud melalui putusan-putusan hakim yang

menolak tindakan-tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh anggota

masyarakat. Oleh karena itu, membicarakan hukum dalam konteks organisasi

membuka pintu bagi pengkajian tentang bagaimana lembaga hukum yang

diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakkan hukum itu bekerja.

Pertanyaan lebih lanjut: Mengapa pengorganisasian itu demikian

penting? Menurut J. Winardi,73 “organisasi efektif, dilaksanakan melalui apa

73 J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 20-21.

Page 54: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

37

yang dinamakan “Sinergisme” (Synergism), dimana anggota-anggota sesuatu

organisasi, mengkombinasikan upaya mereka secara kolektif guna

melaksanakan tugas-tugas yang akan jauh melampaui jumlah dari upaya-

upaya individual mereka. Sinergi dicapai melalui pengintegrasian tugas-

tugas yang terspesialisasi.” Atas dasar hal tersebut, maka efektivitas

organisasi terjadi bila tujuan yang dibuat oleh organisasi tersebut tercapai

dengan memperimbangkan faktor-faktor efisien, keseimbangan hubungan

antar organisasi dan lingkungannya, serta kesiapan organisasi itu

menghadapi perubahan.74

Dalam kaitannya dengan pembahasan mengenai organisasi dan

pengorganisasian penegakan hukum, pengadilan sebagai salah satu lembaga

pemutus konflik dalam perkembangannya hampir tidak mungkin

menghindari terjadi konflik kewenangan dengan lembaga pemutus konflik

lainnya. Apabila hal tersebut dihubungkan dengan pandangan kontemporer,

konflik bukan saja sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, melainkan ia

merupakan suatu kondisi yang perlu untuk orang-orang dan organisasi-

organisasi supaya mereka dapat bersikap adaptif terhadap perubahan.

Tingkat perubahan tertentu diperlukan bagi ketahanan dan pertumbuhan

keorganisasian, sehingga dalam hubungan ini konflik dapat bermanfaat

74 Ginung Pratidina, “Manajemen Konflik dalam Menigkatkan Efektivitas Organisasi;”

dalam Wawasan Tridharma Nomor 10 Tahun XV Mei 2003, h. 4.

Page 55: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

38

sebagai sebuah elemen yang menunjang perubahan tersebut.75 Mengingat

konflik itu pun memiliki peranan yang potensial yang bermanfaat, maka

menurut pandangan kontemporer, konflik itu perlu di-”manaje.”

Manajemen konflik (conflict management) mengandung arti bahwa

konflik dapat memainkan peranan dalam rangka upaya pencapaian sasaran-

sasaran secara efisien serta efektif. Konflik sebaiknya tidak sekedar

dihindari, dikurangi atau diatasi, melainkan konflik perlu dimanaje.

Memanaje konflik dapat mengandung arti “secara aktif mencari konflik,

atau menciptakan secara positif kondisi-kondisi yang menyebabkan

timbulnya konflik.”76 Marry Parker Follett,77 seorang pakar manajemen

terkenal pada zamannya pernah mengajukan konsep pemikiran tentang tiga

macam cara pokok untuk menghadapi dan menangani konflik, yakni melalui:

- dominasi (domination);

- kompromis (compromise); dan

- integrasi (integration).

75 J. Winardi, Teori... Loc. Cit., h. 273. 76 Pandangan demikian cukup banyak penganutnya, di antaranya Stephen Robbins dalam

bukunya “Managing Organizational Conflict: A Non-Traditional Approach.” Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J., 1974; antara lain menyebutkan “...Managing conflict may mean stimulating and creating it as well as diminishing or channeling it.” Lihat dalam J. Winardi, Teori... Loc. Cit., h. 275.

77 Lihat dalam J. Winardi, Teori... Loc. Cit., h. 288-289. Bdgk., William Hendricks, How to Manage Conflict; Bagaimana Mengelola Konflik (Penerjemah: Arif Santoso). Jakarta: Bumi Aksara, 2001, h. 54-55.

Page 56: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

39

‘Dominasi’ merupakan sebuah gaya yang digunakan oleh seorang

yang beroperasi dari posisi kekuasaan tertentu. Dewasa ini dominasi

dinamakan gaya “menang-kalah” (the win-lose style), dan gaya ini diakui

memiliki kelemahan-kelemahan. Adapun ‘kompromis’ memiliki makna

sebagaimana dikenal dewasa ini. Sedangkan ‘integrasi’ sangat mendekati

pandangan modern tentang manajemen konflik. Konsep pemikiran

‘integrasi’ selaras dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan gaya

manajemen konflik “menang-menang” (win-win conflict management

style).78

Meskipun demikian memilih forum arbitrase yang diyakini sebagai

model penyelesaian konflik yang win-win solution dalam praktiknya tidak

jarang justru menimbulkan konflik kewenangan antara pengadilan negeri

dengan arbitrase. Akan tetapi konflik semacam itu apabila dihubungkan

dengan teori manajemen konflik di muka, konflik kewenangan tersebut tidak

selalu berdampak negatif. Berdasarkan pemikiran kontemporer tentang

manajemen konflik bahwa konflik dapat juga fungsional yang dapat

dimanfaatkan, sehingga mengacu pada pemikiran tersebut konflik yang

terjadi dalam konteks pilihan forum tentu tidak selamanya berkonotasi

78 Penyelasain konflik menang-menang umumnya dicapai melalui konfrontasi isu dan

penggunaan penyelesaian persoalan untuk melakukan rekonsiliasi perbedaan. Jika pihak-pihak yang berkonflik sama-sama sangat kuat dan sangat sulit untuk dijatuhkan dan masing-masing pihak secara terus menerus mempertahankan untuk tidak mau mengalah sedikit pun, maka penyelesaian yang terbaik adalah kedua belah pihak

Page 57: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

40

negatif. Bahkan menurut pandangan interaksionis dalam manajemen konflik,

konflik tidak selalu bekonotasi negatif karena dalam beberapa kasus

kehadiran konflik seringkali menyebabkan perubahan ke arah perbaikan.

Konflik yang fungsional dapat dimanfaatkan untuk memprakarsai pencarian

cara-cara baru yang lebih baik karena seringkali perubahan yang diinginkan

terjadi setelah terlebih dahulu timbul konflik.79 Untuk itu maka konflik

kewenangan antara pengadilan negeri dengan arbitrase berdasarkan teori

manajemen konflik harus dipandang sebagai konflik yang fungsional yang

diharapkan akan membawa perubahan paradigma dalam penyelesaian

sengketa. Perubahan yang diharapkan terutama adalah adanya kesetaraan

kompetensi antara berbagai model penyelesaian sengketa yang ada dengan

kompetensi yang dimiliki oleh lembaga pengadilan.

Pada sisi yang lain, berdasarkan telaah sifat atau karakter produk

hukum, pilihan forum untuk menyelesaikan sengketa terjadi tidak semata-

mata merupakan refleksi budaya hukum masyarakat serta perilaku dan

keyakinan individu anggota masyarakat. Hal itu juga berkaitan cukup erat

dengan sifat atau karakter produk hukum sebagaimana dikemukakan oleh

Phillippe Nonet dan Philip Selznick.80 Dalam hubungan ini, Nonet dan

berbagi keinginan yang diharapkan secara proporsional. Lihat Kusnadi et al., Teori dan Manajemen Konflik. Malang: Taroda, 2001, h. 60.

79 Ginung Pratidina, “Manajemen Konflik....” Wawasan... Op. Cit., h. 4-5. 80 Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive

Law. New York: Harper & Row, 1978, h. 14-16.

Page 58: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

41

Selznick mengajukan suatu teori yang bertujuan untuk menjelaskan

hubungan sistematik dalam hukum dan konfigurasi-konfigurasi khusus

dimana hubungan-hubungan dalam hukum itu terjadi.81 Selengkapnya hal

tersebut dapat disimak pada ragaan 1 berikut ini.

Ragaan 1

Three Types of Law 82 _________________________________________________________________

Repressive Law Autonomous Law Responsive Law ENDS OF LAW Order Legitimation Competence LEGITIMACY Social defence and Procedural fairness Substantial justice raison d’etat RULES Crude and detailed Elaborate; held to bind Subordinated to prin- but only weakly rulers as well as ruled ciple and policy binding on rule makers REASONING Ad hoc; expedient Strict adherence to legal Purposive;enlarge-

and particularistic authority; vulnerable to ment of cognitive formalism and legalism competence

DISCRETION Pervasive; opportu- Confined by rules; narrow Expanded, but ac- nistic delegation countable to purpose COERCION Extensive; weakly Controlled by legal re- Positive search for restrained straints alternatives, e.g., in- centives, self-sus- taining systems of obligations MORALITY Communal morality; Institutional morality; Civil morality; “mo- Legal moralism: i.e., preoccopied with rality of coopera- “morality of con- the integrity of legal tion” straint” process

81 Nonet dan Selznick membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dalam

masyarakat, yaitu: (1) Hukum represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif; (2) Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menetralisasikan represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri; dan (3) Hukum responsif, yaitu hukum sebagai suatu sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, “Gambaran tentang Fungsi-fungsi Hukum di Dalam Masyarakat, Sebagai Hasil Tinjauan terhadap Hukum dari Beberapa Perspektif”; dalam Masalah-Masalah Hukum Nomor 5 Tahun 1991, h. 41-46 [44-45].

82 Lihat Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society ...Op. Cit., h. 16.

Page 59: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

42

POLITICS Law subordinated Law “independent” of Legal and political to power politics politics; separation of aspirations inte- powers grated; blending of powers EXPECTATIONS Unconditional; dis- Legally justified rule Disobedience as- OF OBEDIENCE obedience per se departures, e.g., to test sessed in light of

punished as defiance validity of statutes of substantive harms; orders perceived as raising issues of legitimacy

PARTICIPATION Submissive compli- Access limited by es- Access enlarged by ance; criticism as tablished procedures; integration of legal disloyalty emergence of legal cri- and social advocacy ticism.

Selama beberapa dasawarsa karakter produk hukum represif atau

menindas telah menjadi salah satu identitas dari Pemerintahan Orde Baru di

Indonesia. Bahkan kondisi tersebut telah menempatkan peran dan fungsi

hukum termasuk lembaga peradilan sebagai supporting system untuk

tercapainya stabilitas politik dan tujuan pembangunan. Sebagai akibat dari

cara pandang atau persepsi yang dominan terhadap peran dan fungsi hakim

seperti itu maka lembaga yudikatif bersifat kaku, kurang terbuka, serta

kurang tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat karena secara

sepihak hukum merupakan pantulan persepsi sosial dan kepentingan para

pengambil kebijakan dan dengan demikian hakim (kekuasaan kehakiman)

harus tunduk pada kebijakan semacam itu. Dalam konstelasi seperti itu sulit

diharapkan hakim berani untuk mengambil keputusan yang berbeda dari

ketentuan yang dicantumkan dalam produk hukum dan perundang-

Page 60: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

43

undangan83 pada saat menghadapi kasus-kasus konkret di pengadilan. Hakim

pada dasarnya adalah bagian dari aparatur pemerintahan. Oleh karena itu,

fungsi serta peran yang dijalankan kekuasaan kehakiman diorientasikan pada

upaya untuk mendukung dan mensukseskan program-program pembangunan

yang ditetapkan pemerintah atau eksekutif.84

Seperti dapat diketahui dari tabel karakteristik hukum yang

menindas85 dan hukum yang otonom, ketertiban merupakan tujuan dari tata

hukum, sehingga untuk mempertahankan ketertiban maka tuntutan-tuntutan

dan pertimbangan-pertimbangan lain dikesampingkan. Padahal di samping

ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan, yang

berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.86

83 Padahal sesungguhnya penegakan hukum yang baik itu tidak sekedar ditentukan oleh

substansi perundang-undangannya, melainkan lebih banyak ditentukan oleh “kultur hukum” (sebagaimana didefinisikan Lawrence M. Friedman: yakni mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara bertindak, dan cara berfikir dari seseorang yang bertalian dengan segala hal yang berbau hukum), warga masyarakat maupun para penegak hukum dan penguasanya.” Lihat, Achmad Ali, “Bercermin pada Penegakan Hukum Jepang”; Kompas, 15 April 2002.

84 Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta: Elsam, 1997, h. 56-57.

85 Nonet dan Selznick mencoba menjelaskan, bagaimana sampai terjadi suatu pemerintah terjatuh kepada pola penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas. Bahwa penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan suatu tatanan politik tertentu (in the formative stages of political society). Pada saat seperti itu tujuan utama adalah menciptakan ketertiban dalam masyarakat; tujuan yang hendak dicapai dengan usaha apa pun.Philippe Nonet & Philip Selznick, Op. Cit., h. 29-52. Bdgk. Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985, h. 75.

86 Mochtar Kusumaatmadja, “Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional”; dalam PADJADJARAN (Majalah Ilmu Hukum & Pengetahuan Masyarakat), Jilid III, Nomor 1, September 1970, h. 5-16 [7].

Page 61: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

44

Sedangkan pada karakteristik hukum yang menindas atau represif ketertiban

adalah merupakan substansi tujuan, maka ketertiban itulah yang menjadi

pokok perhatian, sedangkan persoalan tentang cara-cara untuk mencapainya,

terdorong ke belakang. Akibat dari ketertiban sebagai substansi tujuan

hukum, maka di masa lalu tampak sekali integrasi yang kuat antara hukum

dan politik, sebagaimana disebutkan di dalam ragaan dari Nonet bahwa

“hukum ditundukkan kepada politik kekuasaan” (law subordinated to power

politics).87

Dalam konstelasi dan konstruksi seperti itu, bolehlah secara bebas

dikatakan di sini bahwa hukum di Indonesia dalam perkembangannya di

akhir abad ke-20 ini benar-benar secara sempurna menjadi government social

control dan berfungsi sebagai tool of social engineering. Walhasil, hukum

perundang-undangan sepanjang sejarah perkembangan pemerintahan Orde

Baru telah menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi

(secara formal-yuridis), dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan,

87 Namun setelah komunitas politik tersusun dengan baik, maka keleluasaan untuk

menggunakan kekuasaan pun menjadi semakin terbatas, karena orang sekarang akan selalu menanyakan dan mempersoalkan alasan dan dasar-dasar penggunaan kekuasaan tersebut. Perburuan legitimasi (the quest for legitimacy) itu menunjukkan ciri-ciri perkembangan ke arah perkembangan hukum yang otonom. Pada saat keadaan seperti itu tercapai, maka dapat dikatakan telah terjadi pemisahan antara hukum dan politik. Politik sekarang tidak lagi mendominasi hukum, dan hukum pun tidak lagi ditundukkan di bawah politik. Lihat, Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran…Op. Cit., h. 78.

Page 62: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

45

asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang

sesungguhnya hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam.88

Oleh karena itu, tidak terlalu mengherankan apabila pada masa

karakter hukum sedemikian represif serta badan peradilan ditundukkan pada

politik kekuasaan, dan tatkala tujuan hukum semata-mata ketertiban, maka

muncul fenomena untuk memilih forum lain sebagai alternatif untuk tidak

menyelesaikan sengketa lewat pengadilan negeri. Kondisi tersebut kemudian

menjadi salah satu indikator bahwa pada kalangan pencari keadilan telah

muncul fenomena ketidaksediaan untuk menggunakan pengadilan dalam

rangka proses penyelesaian sengketa.

Namun demikian, seiring dengan perkembangan dan perubahan sosial

yang terjadi dalam masyarakat, dewasa ini karakter produk hukum telah

bergeser ke arah perkembangan hukum yang otonom (autonomous law).89

Hukum telah diupayakan untuk bebas dari politik, dalam arti terdapat

pemisahan kekuasaan, demikian pula tujuan hukum bukan lagi semata-mata

88 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional – Dinamika

Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 247.

89 “…Law is institutionally autonomous to the extent that its rules are applied by specialized institutions whose main task is adjudications. Thus, the distinction between state and society is complemented by a contrast within the state itself among legislation, administration, and adjudication.” Lihat, Roberto M. Unger, Law in Modern Society – Toward a Criticism of Social Theory. London: The Free Press, 1976, h. 53. “Hukum yang mandiri berarti hukum itu berlaku bagi pihak yang mengeluarkan hukum itu maupun bagi pihak terhadap siapa hukum itu semula ditujukan.” Lihat juga, Charles Himawan, “Ekonomi dan Hukum Rintangan Potensial;” dalam Kompas, 10-08-2001.

Page 63: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

46

ketertiban, melainkan legitimasi. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri kalau

hingga saat ini masih dapat dijumpai sisa-sisa produk hukum yang masih

berkarakter represif, umpamanya masih didapati adanya undang-undang

yang tetap saja mencitrakan bahwa tujuan hukum itu semata-mata ketertiban.

Sebagai contoh, norma positif mengenai “pengakuan dan pelaksanaan

putusan forum arbitrase internasional.” Secara eksplisit norma itu masih

menentukan,“…Putusan Arbitrase Internasional…hanya dapat dilaksanakan

di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan

ketertiban umum.” 90 Sementara itu kriteria dan makna mengenai ketertiban

umum itu sendiri sama sekali tidak pernah ditemukan penjelasannya secara

rinci. Mengingat tidak adanya pedoman yang jelas dan tegas mengenai

kriteria ketertiban umum, maka dalam rangka memperlancar mekanisme dan

proses pelaksanaan putusan arbitrase internasional (international arbitration

award) agar persoalan ketertiban umum tidak selalu menjadi faktor

penghambat (barrier) untuk dieksekusinya putusan arbitrase internasional di

Indonesia, sesungguhnya hakim pada pengadilan yang ditunjuk sebagai

eksekutor putusan arbitrase tersebut dimungkinkan untuk melakukan

tindakan diskresi (discretion). Diskresi yang dimaksud bermakna sebagai:

“...Kemerdekaan dan/atau otoritas/kewenangan untuk membuat

keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat/sesuai

90 Pasal 66 huruf ‘c’ UU No. 30/1999.

Page 64: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

47

dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana

dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang

memungkinkan.”91

Sementara itu yang dimaksud dengan diskresi hakim (judicial

discretion) menurut Aharon Barak92 adalah ”the power the law gives the

judge to choose among several alternatives, each of them being lawful or

to choose among a number of lawful option.”

Oleh karena itu, ketika seorang hakim harus mempertimbangkan

dalam rangka memutus diberikan tidaknya eksekuatur terhadap suatu

putusan arbitrase internasional yang meminta untuk dieksekusi di Indonesia,

apakah putusan itu bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak berada

pada konteks kajian diskresi hakim (judicial discretion). Diskresi hakim

untuk kondisi semacam itu, menurut Barak tergolong pada tipe “the

application of a given norm” karena menyangkut “the choice among a

number of alternative ways of applying a norm to a given set of facts.” 93

91 Lihat, Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: BP-UNDIP, 2000, h. 12. 92 “…these options may refer to three matters. The first is the fact. Judicial discretion

chooses from among the set of facts those that it deems necessary for making a decision in the conflict. The second area is the application of a given norm. Judicial discretion selects from among the different methods of application that the norm provides the one that it finds appropriate. The third area of discretion chooses from among the normative possibilities the option that it deems appropriate.” Lihat, Aharon Barak, Judicial Discretion. New York: Yale University Press, 1989, h. 12-13.

93 “…Frequently, a legal norm gives the judge the power to choose among different courses of action that are fixed in its framework. This grant of authority may be explicit, as when the norm is actually phrased in terms of discretion. The grant may also be implicit, such as when the norm refers to a standard (for example, negligence

Page 65: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

48

Berdasarkan pemahaman terhadap hal di atas dan mengingat bahwa norma

hukum itu merupakan sesuatu yang abstrak, maka hanya hakim pengadilan

yang memiliki otoritas/kewenangan untuk menerjemahkan94 atau

menafsirkan setiap norma hukum yang akan diterapkan pada kasus-kasus

yang dihadapkan padanya. Dalam konteks pelaksanaan putusan arbitrase

internasional di Indonesia, diskresi hakim muncul dalam hal-hal tatkala

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pemberi eksekuatur terhadap

putusan arbitrase internasional harus mempertimbangkan penerapan norma

hukum berkenaan dengan ketertiban umum95 sebagai salah satu syarat agar

putusan arbitrase internasional tersebut dapat dipertimbangkan untuk

dilaksanakan di Indonesia.

Masih berkaitan dengan konteks pembahasan teori tentang pilihan

forum penyelesaian sengketa, H.L.A. Hart mengemukakan teori berkenaan

dengan penegakan hukum dan penyelesaian sengketa, yang didasarkan pada

pembedaan masyarakat secara dikotomis melalui struktur kehidupan

or reasonableness) or to a goal (such as the defense of the state, public order, the best interests of the child).” Ibid., h. 14.

94 Berkaitan dengan persoalan penafsiran atas norma-norma hukum, Justice Sussman mengemukakan sebagaimana dikutip Barak di dalam Bukunya: “The law is an abstract norm and only the judgment of the court translates the rule of the legislature into an obligatory act that is enforced on the public. The judge gives the law its real and concrete form. Therefore one can say that the statute ultimately crystallizes in the shape the judge gives it.” Aharon Barak, Loc. Cit., h. 14.

95 Periksa Pasal 66 huruf ‘c’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Page 66: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

49

normatifnya. Kedua tatanan normatif masyarakat tersebut adalah: Primary

rules of obligation dan Secondary rules of obligation.96

Masyarakat yang berada pada peringkat primary rules of obligation,

ditandai dengan kondisi seperti berikut: (1) komuniti kecil, (2) didasarkan

pada ikatan kekerabatan, (3) memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan

(4) berada di tengah-tengah lingkungan yang stabil. Dalam kondisi seperti

itu masyarakatnya tidak mengenal peraturan terperinci, hanya mengenal

standar tingkah laku, dan tidak ada diferensiasi dan spesialisasi badan-badan

penegak hukum. Penyelesaian sengketa pada masyarakat semacam ini relatif

masih sangat sederhana. Hal itu disebabkan masyarakatnya berupa

komunitas kecil yang didasarkan atas kekerabatan, sehingga mekanisme

kontrol sosial yang ada telah dapat menjalankan fungsinya secara efektif.97

Sedangkan pada masyarakat dengan peringkat secondary rules of

obligation, masyarakatnya mempunyai kehidupan terbuka, luas, dan

kompleks. Kondisi tersebut menandai lahirnya dunia hukum dan

ditinggalkannya dunia pra hukum, bersamaan dengan munculnya tiga macam

kaidah, yaitu: (1) rules of recognition, (2) rules of change, dan (3) rules of

adjudication. Masing-masing kaidah (rules) tersebut memegang otoritas

96 H.L.A. Hart, The Concept of Law. London: Oxford University Press, 1972, h. 89-96.

Bdgk. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum – Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru, TT, h. 43-45.

97 Esmi Warassih Pujirahayu, “Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum”; dalam Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1995, h. 20.

Page 67: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

50

untuk menentukan apa yang merupakan hukum, bagaimana mengubahnya,

dan bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Berdasarkan teori yang

dikemukakan Hart di muka, maka masyarakat yang berada pada peringkat

secondary rules of obligation itu tergolong masyarakat yang modern.98

Berkaitan dengan teori yang dikemukakan Hart di atas, pada pihak

lain, Daniel S. Lev99 dalam tinjauannya mengenai kultur hukum di Indonesia,

memperhatikan bahwa cara-cara penyelesaian konflik mempunyai

karakteristiknya sendiri disebabkan adanya dukungan nilai-nilai tertentu.

Satuan masyarakat yang kecil-kecil yang di dalamnya hubungan tatap muka

lebih menonjol cenderung menekankan pada penyelesaian perselisihan

secara kekeluargaan (konsiliasi) dan kompromi (penyelesaian perselisihan

melalui jalan tengah). Sebaliknya, hubungan yang tidak akrab menjadikan

keputusan pihak ketiga dengan status resmi adalah lebih tepat. Padahal dalam

masyarakat manapun sebenarnya banyak sengketa diselesaikan sendiri oleh

orang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada di

sekitarnya.100 Oleh karena itu, dalam suatu masyarakat ada berbagai pilihan

98 Adapun salah satu ciri penegakan hukum dalam masyarakat modern yang dianggap

menonjol adalah sifat birokratisnya, sebab penegakan hukum birokratis ini merupakan jawaban masyarakat modern dalam menghadapi tantangan untuk dapat membuat keputusan dengan tingkat rasionalitas maksimal dalam pengambilan keputusan serta efisiensi kerja yang berjalan secara otomatis. Lihat dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat., Bandung: Angkasa, 1981, h. 74.

99 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990, h. 156.

100 T.O. Ihromi (ed), Antropologi dan Hukum…Op. Cit., h. 16.

Page 68: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

51

yang tersedia bagi orang-orang yang mempunyai keluhan untuk

menyelesaikan masalahnya. Jadi, tidak benar semua sengketa dapat

diselesaikan dengan satu jenis pemecahan. Bahkan hasil penelitian

Gluckman yang meneliti tentang sistem hukum dari orang Lozi di Afrika

(kini menjadi Zambia), diketahui bahwa jenis-jenis relasi antara orang-orang

bersengketa banyak pengaruhnya pada cara penyelesaian sengketa yang

dipilih.101

Demikian juga pada berbagai masyarakat adat di Indonesia, dapat

dijumpai beragam proses penyelesaian sengketa.102 Di Minangkabau

misalnya, terdapat berbagai lembaga yang dapat menangani sengketa yang

mendapat kewenangannya dari adat atau suatu sistem aturan Minangkabau

yang normatif serta kebiasaan.103 Jika terjadi sengketa-sengketa antara

101 Hubungan antara orang yang bersengketa bisa saja bersifat apa yang disebut simpleks

yaitu mereka yang mempunyai hanya satu jenis hubungan, hubungan majikan pekerja, misalnya, atau bersifat multipleks, yaitu mempunyai hubungan yang beragam-ragam misalnya dengan tetangga, pada saat yang sama juga berhubungan sebagai keluarga. Bila terjadi sengketa maka hubungan yang simpleks, pemecahan yang tidak memungkinkan lagi dilanjutkannya hubungan yang semula dapat saja ditempuh. Pada hubungan yang simpleks, cara adjudikasi misalnya akan dapat ditempuh, karena tidak membahayakan hubungan-hubungan sosial yang lebih luas. Sedangkan pada hubungan yang multipleks pilihan yang pada umumnya akan ditempuh adalah pemecahan masalah yang masih memungkinkan hubungan-hubungan yang multipleks itu berlanjut, misalnya dengan negosiasi, dimana kompromi akan menonjol. Lihat, T.O. Ihromi, “Beberapa Catatan Mengenai Metode…”; dalam T.O. Ihromi (ed) Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai…Op. Cit., h. 194-213 [212].

102 Di daerah Toraja, warga masyarakat biasanya pertama-tama mengajukan sengketa kepada suatu dewan yang disebut hadat yang sejak dahulu telah berfungsi untuk menyelesaikan sengketa. Lihat, T.O. Ihromi, Antropologi dan …Op. Cit., h. 17-18.

103 Keebet von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Grasindo, 2000, h. 64.

Page 69: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

52

penduduk pada masyarakat di pedesaan, jarang sekali mereka membawa

masalah tersebut ke pengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka yang

bersengketa dengan senang hati dan lebih suka membawanya ke forum-

forum atau lembaga-lembaga yang tersedia pada masyarakat di pedesaan

untuk diselesaikan secara damai.104 Salah satu keuntungan penyelesaian

perselisihan oleh pihak-pihak yang berselisih itu sendiri ialah bahwa

perhatian pihak ketiga penyelesai perkara yang tidak berpihak (impersonal)

dapat diabaikan.

Sementara itu, di Jawa dan Bali kecenderungan memilih konsiliasi

adalah bersifat memaksa dan merupakan nilai yang merata dalam

masyarakat. Dengan perasaan relativisme yang mendalam atau yang menurut

istilah Anderson, tenggang rasa (tolerance)105 gaya penyelesaian perselisihan

yang dianjurkan oleh nilai-nilai tersebut adalah gaya yang dalam istilah

hukum lebih memperhatikan prosedur daripada substansinya. Bahkan Lev

mengakui bahwa “kecenderungan budaya untuk berkompromi bila timbul

perselisihan pribadi tetap kuat dan sama sekali tidak terbatas pada orang-

104 HMG. Ohorella & H.Aminuddin Salle, “Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada

Masyarakat di Pedesaan Sulawesi Selatan;” dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h. 105-120 [106].

105 Orang Jawa cenderung sangat hati-hati dalam hubungan pribadi, menaruh perhatian kepada orang lain, diplomatis, menahan diri, dan hormat kepada kedudukan sosial. Mereka berupaya keras menghindarkan perselisihan pribadi, dan bila hal terjadi, menutupinya dengan cara yang halus dalam hubungan sosial, menunggu didapatkannya penyelesaian yang paling tidak merugikan dan tidak mempermalukan. Lihat, Daniel S. Lev, Hukum dan…Op. Cit., h. 158-159.

Page 70: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

53

orang-orang desa saja. Nilai seperti itu meresap hampir pada semua lapisan

masyarakat Jawa.”106

Akan tetapi perubahan besar yang terjadi dalam sejarah peradaban

manusia, telah menyebabkan munculnya negara dan hukum modern sekitar

dua ratus tahun yang lalu. Akibatnya, hukum modern itulah yang kini

mendominasi dan dipakai di dunia termasuk Indonesia.107 Hukum modern

memiliki ciri di antaranya bersifat tertulis, universal, bersifat teritorial,

formal, dan rasional. Pola penegakan hukum modern ini antara lain ditandai

dengan adanya diferensiasi dan spesialisasi fungsi-fungsi penegakan hukum,

yang pada gilirannya menyebabkan dibentuknya badan-badan khusus, seperti

kepolisian, pengadilan, dan sebagainya. Keadaan tersebut telah membawa

akibat semakin memudarnya nilai-nilai musyawarah yang diyakini

masyarakat untuk menyelesaikan sengketa.108 Dalam kaitan itu Satjipto

Rahardjo menyatakan, “Memang tak dapat disangkal bahwa musyawarah

untuk mufakat itu merupakan sebagian dari kekayaan kebudayaan kita.

Namun di dalam konteks masyarakat yang menjadi semakin terbuka dan

106 Daniel S. Lev, Hukum..Loc. Cit., h. 161. 107 Lihat Satjipto Rahardjo, ”Supremasi Hukum yang Benar;” Kompas, 6 Juni 2002;

“Hukum modern ini mengharuskan adanya struktur, format, dan prosedur yang keras (rigid).” “…Birokratisasi penegakan hukum sebagai ciri dari pola penegakan hukum modern yang menonjol, menyebabkan penegakan hukum lalu merupakan jaringan jabatan-jabatan yang cukup kompleks. Pola penegakan hukum birokratis ini merupakan jawaban masyarakat modern terhadap tantangan untuk mengambil keputusan dengan tingkat rasionalitas maksimal.” Lihat pula, Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan…Op. Cit., h. 45-46.

108 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma…Op. Cit., h. 19.

Page 71: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

54

individualistis serta pengorganisasian masyarakat secara modern rasional,

maka pranata tersebut masih membutuhkan penyempurnaan secara

kelembagaan serta penghayatan oleh masyarakat Indonesia sendiri.”109

Sementara itu menurut Chambliss & Seidman,110 terdapat dua unsur yang

merupakan faktor yang turut menentukan dalam hubungannya dengan

pranata yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk menyelesaikan sengketa-

sengketa di antara para anggotanya, yaitu:

Pertama, tujuan yang hendak dicapai oleh penyelesaian sengketa

itu. Bila tujuan yang hendak dicapai adalah untuk merukunkan para pihak

sehingga mereka selanjutnya dapat hidup bersama kembali dengan baik

sesudah penyelesaian sengketa, maka penekanannya akan lebih diletakan

pada cara-cara mediasi dan kompromi. Sebaliknya, bila tujuannya untuk

melakukan penerapan peraturan, maka cara penyelesaian yang bersifat

birokratis akan lebih banyak dipakai.

Kedua, tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat.

Semakin tinggi tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat,

semakin besar pula perbedaan kepentingan dan nilai-nilai yang terdapat di

situ. Dalam keadaan demikian, maka lapisan atau golongan yang dominan

109 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat..Op. Cit., h. 52. 110 William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law, Order and Power. Reading,

Massachusetts: Addison-Westley, 1971, h. 33-34, Bdgk. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat…Loc. Cit., h. 52-54.

Page 72: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

55

akan mencoba untuk mempertahankan kelebihannya dengan cara

memaksakan berlakunya peraturan yang menjamin kedudukannya. Berbeda

dengan keadaan pada masyarakat sederhana, yang tingkat pemakaian

teknologi dan pembagian kerja di dalamnya masih rendah, kesepakatan nilai-

nilai masih mudah dicapai. Dalam keadaan ini, perukunan merupakan pola

penyelesaian sengketa yang cocok.

Dihubungkan dengan kedua unsur yang dikemukakan Chambliss &

Seidman di atas, dapat dikatakan bahwa dewasa ini masyarakat Indonesia

telah berada pada tingkat pelapisan yang tinggi dan lebih kompleks, sehingga

kecenderungannya ada pada penerapan peraturan-peraturan. Keadaan

tersebut menimbulkan perilaku masyarakat untuk melakukan gugat

menggugat melalui pengadilan dalam upaya penyelesaian sengketa.

Dikaji dari sudut perspektif organisasi, perilaku gugat menggugat

melalui pengadilan tersebut memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan

persoalan beban pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pengadilan.111

Akibatnya terjadi kelambanan proses peradilan, sehingga sejak perkara mulai

disidangkan sampai dengan terbitnya putusan hakim yang memiliki kekuatan

hukum tetap – dapat berlangsung hingga enam tahun. Bahkan masalahnya

111 Dalam hubungan ini Lawrence M, Friedman mengatakan, bahwa “…sekalipun

persoalan yang dihadapi oleh pengadilan itu bukan merupakan sesuatu yang baru, akan tetapi apabila jumlahnya terlalu banyak, maka lembaga pengadilan akan menghadapi suatu krisis.” Lihat Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan…Op. Cit., h. 87-88.

Page 73: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

56

tidak sampai di situ, selain lambat, putusan hakim juga sering dinilai

kontradiktif serta tidak jarang putusan hakim tidak dapat dieksekusi.112

Berkenaan dengan hal di atas, Friedman113 mengemukakan beberapa

pengaruh yang ditimbulkan akibat meningkatnya jumlah penduduk,

kemakmuran, serta industri-industri komersial terhadap pengadilan, sehingga

penanganan masalah di luar sidang pengadilan merupakan salah satu cara

yang dapat ditempuh tatkala pengadilan menghadapi krisis kepercayaan dan

krisis kewibawaan. Salah satu langkah yang disebutnya adalah

pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien di luar sistem

pengadilan yang berlaku. Oleh karena itu, pendekatan penyelesaian sengketa

melalui konsiliasi dan arbitrase memiliki sumber dukungan lain di samping

kecenderungan budaya. Sejak tahun 1983 upaya ke arah pengadaan

pengaturan mengenai arbitrase114 telah dilakukan, meski baru tahun 1999

112 Sebagai contoh, kasus sengketa tanah Henoch Hebe Ohee melawan Gubernur Irian

Jaya sudah berlangsung sejak tahun 1991. Pengadilan Negeri Jayapura telah memutuskan agar Gubernur Irian jaya membayar ganti rugi Rp 18,6 milyar kepada Ohee. Akan tetapi sampai dengan tahun 1999 putusan hakim pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) belum bisa dieksekusi. Lihat “Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan;” dalam Kompas, 23 April 1999.

113 Lihat Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan…Op. Cit., h. 88. 114 Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang

Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, melalui Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan – Proyek ELIPS, sejak tahun 1991 diantaranya dalam rangka melakukan pembaharuan hukum perseroan dan hukum arbitrase dalam rangka mengganti peraturan yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan perekonomian masyarakat yang amat pesat. Oleh karena itu, kedua hukum yang sangat dominan dalam menunjang perkembangan perekonomian dalam masyarakat dapat diwujudkan.Lihat, Muhammad Abduh, Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. (Kerjasama antara Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Page 74: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

57

dapat disahkan dan diundangkan.115 Adapun tujuan utama dari Undang-

undang arbitrase tersebut adalah menyediakan payung hukum bagi

penyelesaian sengketa bisnis di luar forum pengadilan.116

Namun untuk mengembangkan serta membangun model penyelesaian

sengketa di luar pengadilan melalui arbitrase jelas sekali bukan merupakan

proses yang mudah. Sejumlah faktor sangat signifikan berpengaruh terhadap

pengembangan arbitrase.117 Oleh karena itu, walaupun diyakini penyelesaian

sengketa melalui arbitrase lebih menguntungkan, namun disebabkan faktor-

faktor yang berpengaruh itu, maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase

belum dapat berkembang di Indonesia. Untuk itu perlu upaya-upaya

membangun kepercayaan serta minat masyarakat terutama kalangan

pengusaha agar bersedia menggunakan forum arbitrase dalam menyelesaikan

sengketa bisnis mereka. Membangun kepercayaan berarti mengubah perilaku

Yayasan Pusat Pengkajian Hukum); dalam Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase, Jakarta: 22-23 Januari 1991.

115 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disahkan dan diundangkan pada tanggal 12 Agustus 1999.

116 “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober-November 2002, h. 3.

117 (i) Penyelesaian sengketa lewat arbitrase harus didasarkan pada prinsip solusi menang-menang (win-win solution), bukan menang kalah (win-loose), tanpa sikap tersebut penyelesaian sengketa tidak berarti apa-apa, bahkan dapat gagal; (ii) Pihak yang kalah harus mau secara sukarela untuk mengeksekusi putusan, jika tidak, eksekusi harus melibatkan pengadilan; (iii) Pihak yang kalah pada arbitrase cenderung mengajukan banding ke pengadilan, padahal putusan arbitrase bersifat mengikat dan final; (iv) Pihak yang kalah juga sering meminta pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan; (v) Sering pula para pihak yang sebelumnya telah menerima adanya klausula arbitrase di dalam kontrak, tetapi ketika terjadi perselisihan, salah satu pihak mengajukan perkara itu ke pengadilan; dan (vi) Pengadilan sendiri seringkali tidak konsisten menyikapi

Page 75: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

58

manusia, dan lebih tinggi lagi mengubah kultur. Mengubah perilaku dan

kultur itu merupakan pekerjaan yang berat dan memerlukan waktu yang

panjang.118

Hal tersebut di atas perlu mendapat perhatian, karena perilaku

masyarakat bisnis dalam menyelesaikan sengketa acapkali berada di luar

bingkai yang dikemukakan oleh sejumlah pakar.119 Sementara para ahli

mengaitkan antara struktur dan pelapisan masyarakat dengan pola

penyelesaian sengketa di dalamnya. Dalam konteks semacam itu, mestinya

masyarakat bisnis menurut katagori Chambliss & Seidman, terletak pada

tingkat pelapisan sosial yang tinggi dan lebih kompleks. Sedangkan menurut

tesisnya Hart masyarakat bisnis sejatinya berada pada peringkat secondary

rules of obligation, yang ditandai dengan kehidupan masyarakat yang

terbuka, luas, dan kompleks. Pada kondisi struktur masyarakat semacam itu

semestinya kecenderungan penyelesaian sengketa berada pada penerapan

peraturan melalui lembaga pengadilan. Seperti halnya yang dikemukakan

Yehezkel Dror, bahwa tindakan-tindakan di dalam masyarakat yang semata-

mata bersifat instrumental seperti dalam kegiatan komersial, dengan nyata

sekali dapat menerima pengaruh dari peraturan-peraturan hukum yang baru

pilihan forum (jurisdiksi) arbitrase tersebut. Lihat, “Editorial”, Jurnal Hukum Bisnis…Op. Cit., h. 4.

118 Satjipto Rahardjo, “Mengubah Perilaku dan Kultur Polisi”; dalam Kompas, 1-7-2002. 119 Lihat, Adi Sulistiyono, Mengembangkan…Op. Cit., h. 24.

Page 76: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

59

dibandingkan dengan bidang-bidang kehidupan sosial yang erat

hubungannya dengan kepercayaan.120 Akan tetapi pada aras praksis,

realitanya terbukti berbeda dengan teorinya. Masyarakat bisnis kadang-

kadang tidak menyukai mekanisme penyelesaian sengketa yang terlalu

formal, rasional, serta birokratis. Pada masyarakat bisnis yang tergolong

masyarakat modern, justru muncul kecenderungan terjadinya privatisasi121

penyelesaian sengketa yang mengarah pada model win-win solution dan

bukan lagi menganut pola win-loose sebagaimana yang berlangsung pada

lembaga pengadilan.

Mekanisme penyelesaian sengketa pada masyarakat sebagaimana

disebutkan di muka bila dianalisis berdasarkan teori struktur masyarakat dari

Hart akan mendapatkan gambaran seperti berikut ini. Pada kondisi

masyarakat yang telah sampai pada tahap secondary rules of obligation

seperti sekarang ini, peranan pengadilan merupakan tumpuan utama, namun

demikian ketika pengadilan sedang mengalami krisis dan gagal menjalankan

tugas dan fungsinya, maka perangkat-perangkat yang ada pada tahapan

primary rules of obligation, seperti mediasi, konsiliasi, atau perangkat yang

120 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat…Op. Cit., h. 121. 121 Lihat Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya

terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober-November 2002, h. 5-15, [9].

Page 77: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

60

lain akan muncul menjadi alternatif.122 Sementara itu Gerald Turkel123

membuat klasifikasi mengenai tipe-tipe penyelesaian sengketa secara

hierarki atau berjenjang (Hierarchy of Dispute Resolution). Penjenjangan

dibuat dari tipe penyelesaian sengketa yang paling rasional informal dan

tidak berdasarkan hukum (the most informal and nonlegally rational type of

dispute resolution) sampai dengan tipe yang paling rasional formal dan

berdasarkan hukum (the most formal and legally rational type). Hal tersebut

dapat disimak pada ragaan 2 berikut ini.

Ragaan 2

Hierarchy of Types of Dispute Resolution 124

Informal, Nonlegally Rational Formal, Legally Rational

Negotiation Mediation Arbitration Litigation

Sumber: Gerald Turkel, Law and Society...(1996:208)

Dalam menyelesaikan sengketa, para pihak dapat menggunakan tipe-

tipe penyelesaian sebagaimana disebutkan di atas mulai dari tipe yang paling

informal sampai dengan tipe yang paling formal rasional. Oleh karena itu,

apabila negosiasi tidak berhasil untuk menyelesaikan sengketa, para pihak

dapat melanjutkan pada mediasi. Apabila mediasi juga tidak berhasil, mereka

122 Lihat, Adi Sulistiyono, Op. Cit., h. 26. 123 Gerald Turkel, Law and Society: Critical Approaches. Needham Heights: A Simon &

Schuster Company, 1996, h. 208. 124 Ibid., h. 208.

Page 78: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

61

dapat melanjutkan pada arbitrase. Akhirnya, apabila arbitrase pun tidak

berhasil, maka para pihak dapat melanjutkan kepada adjudikasi. Sebagai

tahap paling awal dalam hierarki penyelesaian sengketa, negosiasi dan

mediasi dilakukan dengan menggunakan metode dan interaksi yang

berlangsung secara informal, sukarela, serta didasarkan pada akal sehat.

Selanjutnya hierarki penyelesaian sengketa, bergerak ke arah arbitrase dan

kemudian litigasi dengan struktur yang lebih formal, baik peran maupun

prosedur, tidak berlangsung secara sukarela, dan lebih dibatasi oleh alasan-

alasan hukum serta alat-alat pembuktian. Oleh sebab itu, penyelesaian

sengketa menjadi lebih bersifat perlawanan, lebih terbuka kepada masyarakat

umum, dan semakin diatur oleh kaidah-kaidah hukum. Meskipun arbitrase

tergolong lebih formal bila dibandingkan dengan negosiasi dan mediasi,

namun Turkel menyatakan bahwa “...Arbitration does not have formal rules

of evidence and is not subject to technical legal rules. While the parties play

adversarial roles in the arbitration hearing, their communication is not

completely formal and controlled by legal procedure.”125

Berdasarkan seluruh uraian di muka, dapatlah dikemukakan bahwa

memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial di luar

pengadilan ternyata memiliki landasan teoritis serta legitimasi konseptual

125 Gerald Turkel, Law and Society...Loc. Cit., h. 215

Page 79: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

62

yang cukup memadai. Terlebih dalam kondisi pengadilan yang dirasakan

semakin tidak mampu mendengarkan persoalan bangsanya, sehingga

masyarakat kehilangan kepercayaan kepada lembaga pengadilan.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Idealnya setiap sengketa dalam kehidupan masyarakat mendapatkan

penyelesaian yang adil dan bermartabat. Namun faktanya tidak selalu

demikian, karena tidak setiap upaya manusia untuk menyelesaikan sengketa

berakhir dengan hasil yang memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak.

Penelitian mengenai pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa komersial

ini bertujuan antara lain untuk menemukan jawaban atas permasalahan

sebagaimana diuraikan di muka, sehingga diharapkan:

Pertama, dapat menjelaskan secara rinci dan mendalam mengenai

sejumlah alasan serta faktor-faktor yang mendorong munculnya fenomena

pilihan forum arbitrase dalam upaya menyelesaikan sengketa komersial,

khususnya pada kalangan bisnis. Dipahaminya alasan dan faktor pendorong

tersebut akan membantu untuk memahami tentang seberapa jauh putusan

forum arbitrase telah memuaskan rasa keadilan pihak-pihak yang

bersengketa di dalamnya.

Page 80: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

63

Kedua, melalui penelitian ini diharapkan pula dapat menjelaskan

kepada publik, baik ilmuwan hukum, kaum praktisi, maupun masyarakat

luas lainnya bahwa di dalam lembaga pengadilan itu ada sejumlah faktor

internal yang sangat tidak menguntungkan pihak-pihak yang bersengketa di

dalamnya. Apalagi bila yang bersengketa itu kalangan masyarakat bisnis

yang sangat menghargai waktu, mengutamakan efisiensi, dan tidak

menghendaki sejumlah formalitas yang bertele-tele. Faktor-faktor internal

dimaksud mungkin sebagai akibat dari hukum acara yang sangat imperatif

sehingga tidak mungkin dihindari atau mungkin juga karena sikap mental

dari sumberdaya manusia personil lembaga peradilan yang sangat kurang

baik dan bermoral rendah.

Ketiga, memperoleh sejumlah informasi dari berbagai kepustakaan

sumber maupun norma-norma yang menjelaskan bahwa putusan forum

arbitrase bersifat final dan mengikat bagi para pihaknya karena tidak

mengenal upaya hukum banding maupun kasasi. Berdasarkan informasi

tersebut diharapkan di masa depan forum arbitrase dapat dikembangkan

menjadi forum khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa komersial di

luar pengadilan. Akan tetapi dengan satu syarat, kepada forum arbitrase itu

harus diberikan kewenangan publik, sehingga dapat melakukan eksekusi

sendiri putusannya tanpa bantuan pengadilan negeri. Dengan demikian

Page 81: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

64

forum arbitrase diharapkan akan mampu menjadi forum yang dapat

menegakkan keadilan secara substansial.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini setidaknya memiliki dua kegunaan, yaitu (a)

kegunaan keilmuan atau kegunaan teoritis dan (b) kegunaan pragmatis atau

kegunaan praktis.

(a) Kegunaan keilmuan atau kegunaan teoritis

♦ Hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya konsep, metode,

maupun teori dalam studi hukum, khususnya bidang hukum penyelesaian

sengketa komersial.

♦ Pilihan forum arbitrase juga diharapkan mampu menembus dinding

pembatas yang selama ini membentuk citra seakan-akan hanya lembaga

pengadilan tempat sengketa diselesaikan dan tempat keadilan dapat

diperoleh.

♦ Hasil penelitian ini pun diharapkan menjadi salah satu sumber informasi

ilmiah yang dapat dijadikan bahan rujukan ketika pihak-pihak yang

bersengketa hendak melakukan pilihan forum atau pilihan yurisdiksi

untuk menyelesaikan sengketa mereka.

Page 82: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

65

(b) Kegunaan pragmatis atau kegunaan praktis

♦ Walaupun penelitian ini tidak dilakukan dalam rangka menyusun

kebijakan eksekutif maupun legislatif untuk menetapkan perundang-

undangan, namun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi

kontribusi terhadap upaya semua pihak yang menghendaki agar

penyelesaian sengketa komersial dilakukan oleh forum yang berbasis

kultural, sehingga pada gilirannya apa pun namanya forum tempat

sengketa komersial itu diselesaikan, diharapkan mampu menjawab

tuntututan kebutuhan masyarakat serta dapat memuaskan pihak-

pihak yang menggunakannya.

♦ Untuk itu penelitian tentang pilihan forum arbitrase dalam

penyelesaian sengketa komersial diharapkan merupakan salah satu

upaya untuk menemukan model alternatif penyelesaian sengketa di

luar format yang telah ada namun model tersebut lebih memiliki basis

kultural dengan mengutamakan mekanisme perdamaian atau

musyawarah ketimbang sebuah pertentangan.

♦ Dibukanya peluang untuk melakukan pilihan forum arbitrase bagi

sengketa-sengketa komersial, diharapkan akan mengurangi secara

signifikan beban menumpuknya perkara yang masuk untuk diputus

oleh lembaga peradilan. Bila beban perkara berkurang, pada

Page 83: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

66

gilirannya para hakim akan lebih fokus untuk menangani sengketa-

sengketa lainnya secara cermat dan bertanggung jawab, sehingga

keluarannya berupa putusan yang berkualitas serta dapat memenuhi

rasa keadilan substansial untuk para pencarinya.

E. Pendekatan Studi

Kajian mengenai pilihan forum arbitrase ini berada pada ranah

sosiologi hukum (sociology of law). Di sini hukum bukan dikonsepkan

sebagai normatif (rules), melainkan sesuatu yang nomologik atau sebagai

regularities yang menekankan pada realitas yang terjadi di alam pengalaman

dan/atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari. Di sini

hukum adalah perilaku-perilaku (atau aksi-aksi dan interaksi) manusia yang

secara aktual telah dan/atau yang secara potensial akan terpola.126 Oleh

karena pilihan forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa di luar

pengadilan negeri juga merupakan realitas sosial yang terkonstruksi dari

perilaku atau aksi dan interaksi pihak-pihak yang melakukannya, maka

pilihan forum merupakan realitas sosial yang terobservasi di alam

pengalaman indrawi yang empirik. Untuk itu maka kajian berikut ini hendak

126 Soetandyo Wignjosoebroto, “Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum

Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya”. Makalah. Semarang, TT, h. 13.

Page 84: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

67

menggunakan paradigma127 konstruktivisme, karena realitas merupakan

konstruksi sosial. Melalui pengamatan langsung kepada pelaku sosial dalam

setting kehidupan sehari-hari yang alamiah, sehingga mampu memahami dan

menafsirkan bagaimana pelaku pilihan forum yang bersangkutan mengelola

kepentingan mereka.

Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas

merupakan konstruksi sosial, ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi

mental, berdasarkan pengalaman sosial, dan tergantung pada orang yang

melakukannya.128 Sebagai konsekuensi metodologis dari penetapan

paradigma tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Critical Legal Studies (CLS).129 Adapun yang menjadi pertimbangan

sehingga menggunakan pendekatan CLS ini antara lain bertolak dari

pemahaman bahwa “baik dalam pembentukan hukum positif (in abstracto)

maupun dalam penerapannya (in concreto), hukum adalah hasil interpretasi

127 “…Seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik

tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Sementara itu, paradigma pencarian ilmu pengetahuan (discipline inquiry paradigm), yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan tertentu.” Lihat, Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, h. 33-34.

128 Ibid., h. 41. 129 Teori kritis di bidang hukum tersebut sangat relevan dipakai untuk mengkritik praktik

hukum di Indonesia. Banyak terjadi keanehan-keanehan dalam yurisprudensi liberal di Indonesia sekarang ini, yang oleh para pemimpin berhati nurani tinggi menyebutnya sebagai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Praktik hukum liberal di banyak negara sekarang ini sudah meninggalkan filsafat keadilan, baik oleh para yurisnya, para penuntut keadilannya, dan malahan telah digunakan secara semena-mena oleh “banyak

Page 85: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

68

yang tak pernah selesai dan amat berpotensi untuk mendistorsi

(menyimpangi) prosesnya sebagai logika formal.”130 Di samping itu karena

konteks kelahiran CLS itu sendiri memang datang dari pengalaman negara-

negara (dimana negara berperan secara minimal), tidak dominan seperti

Indonesia di masa Orde Baru. Oleh karena itu, tatkala penyelesaian sengketa

tidak lagi semata-mata merupakan monopoli institusi negara (baca:

pengadilan negeri) melainkan terbuka melalui pilihan forum di luar

pengadilan negeri, maka melalui kajian ini terbuka pula suatu opsi untuk

melakukan analisis kritis terhadap hukum dan proses penegakannya dengan

melihat relasi antara suatu doktrin hukum dengan realitas, dan kemudian

mengungkapkan kritiknya.

Oleh karena hukum dalam konteks pilihan forum ini dikonsepkan

sebagai perilaku-perilaku (atau aksi-aksi dan interaksi) dalam hal ini antara

para pihak atau para pelaku bisnis yang menghendaki sengketanya tidak

diputus oleh pengadilan negeri, maka teori yang digunakan dalam kajian ini

adalah interaksionisme simbolik (symbolic interactionism). Teori tersebut

memiliki pandangan bahwa “…kenyataan sosial mestinya didasarkan pada

definisi subjektif individu dan interpretasinya. Tindakan-tindakan individu

pihak”. Periksa, H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000, h. 206.

130 Ifdhal Kasim, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di Indonesia”; Jurnal Ilmu Sosial Transformatif WACANA, Edisi 6 Tahun II 2000, h. 21-33 (25-26).

Page 86: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

69

serta pola-pola interaksinya dibimbing atau diarahkan oleh definisi bersama

yang serupa, yang dibangun melalui suatu interpretasi.”131 Interaksionisme

simbolik menunjuk pada sifat khas dari interaksi antar manusia.

Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling

mendefinisikan tindakannya. Interaksi antar individu, di antarai oleh

penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk

saling memahami maksud dari tindakan masing-masing.132 Interaksi

simbolik mengejar makna di balik yang sensual, mencari fenomena yang

lebih esensial daripada sekedar gejala. Karena itu landasan filosofik dari

interaksi simbolik adalah phenomenologi.133

Penentuan pendekatan CLS dalam konteks pilihan forum arbitrase

untuk penyelesaian sengketa oleh kalangan pelaku bisnis, di samping karena

pilihan forum merupakan proses aplikasi hukum dalam kasus-kasus konkrit,

juga karena kajian hukum tidak lagi terbatas pada materi-materi primer dan

131 H.R. Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik–Perspektif Sosiologi Modern.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, h. 88-89. Bdgk. Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002, h. 65-66.

132 George Ritzer, Sosiologi ... Op. Cit., h. 52. 133 Pada awal perkembangannya interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang

perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan masyarakat atau kelompok. Karena itu, sementara ahli menilai bahwa interaksi simbolik hanya tepat diterapkan pada phenomena mikrososiologik atau pada perspektif psikologi sosial. Pada perkembangan selanjutnya interaksi simbolik juga mengembangkan studi pada perspektif sosiologiknya, sehingga kritik tersebut menjadi tidak tepat lagi, karena pendekatan mikrososiologik juga telah diterapkan. Proposisi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah: “perilaku dan interaksi manusia itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna dibalik yang sensual menjadi penting dalam interaksi simbolik”. Lihat, H. Noeng Muhadjir, Op. Cit., h. 183-184.

Page 87: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

70

sekunder hukum (seperti peraturan perundang-undangan, putusan hakim, dan

pendapat ahli hukum) tetapi juga mencakup konteks sosial-politik, ideologi,

ekonomi, dan nilai-nilai yang berada di luarnya.134 Menurut kalangan CLS,

hukum bukanlah ranah yang esoterik dari wacana moral, ekonomi, dan

politik pada umumnya. Oleh karena itu, melakukan analisis hukum tidak lagi

semata-mata bertumpu pada teks, tetapi harus diarahkan pada konteks

dimana hukum itu eksis, dan melihat hubungan kausal antara teks (doktrin

hukum) dengan realitas.135

Bertolak dari teori pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,

selanjutnya akan dilakukan analisis kausal mengenai doktrin dan institusi

legal tentang penyelesaian sengketa dalam hubungannya dengan penegakan

keadilan. Persoalan penegakan keadilan, adalah sesuatu yang sangat

mendasar. Oleh karena pengadilan negeri sebagai institusi formal milik

negara tempat sengketa diperiksa dan diputus, berindikasi tidak mampu

menjalankan amanah.136 Akibatnya, segala proses yang berlangsung di

134 Ifdhal Kasim, Op. Cit., h. 27-29. 135 Ibid., h. 28. “Oleh karena itu, dominasi pendidikan hukum dogmatik dalam pandangan

pemikir CLS (Studi Hukum Kritis) merupakan ganjalan utama yang harus dibongkar karena telah membelenggu kreativitas individual dalam menghadapi persoalan-persoalan khas negara di masa krisis, seperti Indonesia.” Lihat, Anom Surya Putra, “Manifesto Hukum Kritis – Teori Hukum Kritis, Dogmatika dan Praktik Hukum;” dalam Wacana – Edisi 6 – Tahun II 2000, h. 69-84.

136 Pengertian kata amanah disesuaikan dengan konteksnya dalam ayat-ayat Al Quran yang memuat kata itu. Pertama, kata amanah dikaitkan dengan larangan menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang benar; Kedua, kata amanah dikaitkan dengan keadilan atau pelaksanaan hukum secara adil; Ketiga, kata amanah dikaitkan dengan sifat khianat; Keempat, kata amanah dikaitkan dengan salah satu sifat manusia yang mampu memelihara kemantapan (stabil) rohaninya, tidak berkeluh kesah

Page 88: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

71

pengadilan dan keluarannya (output) berupa putusan dirasakan telah tidak

mampu memenuhi rasa keadilan terhadap para pencarinya.

Indikasi tersebut sekurang-kurangnya dapat dipahami melalui dua

faktor berikut ini: Pertama, putusan hakim pengadilan tidak mungkin dapat

memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga selalu akan

mencerminkan ada pihak yang kalah dan pihak yang menang.137 Kedua,

dalam realitas lembaga pengadilan tidak lagi semata-mata sebagai tempat

mencari keadilan tetapi juga menjadi ajang jual beli putusan, sehingga

putusan hakim seringkali sulit untuk diramalkan (unpredictable) dan tidak

mampu memberikan solusi secara adil pada pihak-pihak yang bersengketa

maupun mencerminkan rasa keadilan masyarakat.138

Terkait erat dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

yakni Critical Legal Studies (CLS), maka salah satu teori lainnya yang

digunakan dalam rangka penyelidikan tentang pilihan forum ini adalah teori

kritis. Dari sisi filsafat ilmu, teori kritis termasuk postpositivisme yang

bila ditimpa kesusahan, dan tidak melampaui batas ketika mendapat kesenangan; Kelima, kata amanah dipahami dalam pengertian yang sangat luas, baik sebagai tugas keagamaan maupun tugas kemanusiaan umumnya. Lihat Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1994, h. 133-134.

137 Memang ketika seorang hakim hendak menjatuhkan putusan, ia akan selalu berusaha agar putusannya nanti seberapa mungkin dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Namun hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali dalam hal putusan itu merupakan putusan perdamaian, dimana tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara… Op. Cit., h. 168-169. Lihat pula, Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2000, h. 192.

138 Lihat Adi Sulistiyono, Mengembangkan Op. Cit., h. 20.

Page 89: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

72

landasan filsafatnya sebagian phenomenologik dan sebagian lain realisme

metaphisik.

Patti Lather139 mengemukakan bahwa pendekatan teori kritis termasuk

pendekatan yang mencari makna di balik empirik, dan menolak valuefree.

Pendekatan teori kritis mempunyai komitmen yang tinggi kepada tata sosial

yang lebih adil. Dua asumsi dasar yang menjadi landasannya, yaitu: pertama,

ilmu sosial bukan sekedar memahami ketidakadilan dalam distribusi

kekuasaan dan distribusi resources, melainkan berupaya untuk membantu

menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan; kedua, pendekatan

teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo dan

membangun masyarakat yang lebih adil.

Tatkala banyak pihak menjadikan paradigma pemikiran hukum

dinyatakan netral, sedangkan politik memanfaatkannya untuk kepentingan

dirinya. Teori hukum liberal menyatakan bahwa hukum itu menggunakan

prinsip keputusan objektif, sedangkan politik menggunakan prinsip

keputusan subjektif. Oleh karena itu, realitas yang terjadi dalam kehidupan di

Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa praktik hukum tidak dapat

dipisahkan dari praktik politik.140

139 H. Noeng Muhadjir, Op. Cit., h. 196-197. Bdgk. Alan Hunt, “Kritisi Hukum: Apa yang

‘Kritis’ dalam Studi Hukum Kritis?” dalam Wacana Edisi 6–Tahun II 2000, h. 34-53. 140 H. Noeng Muhadjir, Loc. Cit., h. 207.

Page 90: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

73

Dari sudut pandang teori kritis, fenomena pilihan forum untuk

penyelesaian sengketa yang tumbuh dan berkembang pada komunitas

pengusaha, tentu dapat diberi makna sebagai salah satu wujud ketidaksediaan

(resistance) mereka terhadap lembaga pengadilan, karena dianggap praktik-

praktik hukum di dalamnya tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan

masyarakat. Maka kajian mengenai fenomena pilihan forum dimaksud, antara

lain dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori kritis. Oleh karena

teori kritis “mengkonstruk konsep keadilan setelah mencermati ketidakadilan

empirik.”141 Melalui mekanisme pilihan forum di luar pengadilan itulah

kemudian pihak-pihak berupaya untuk mencari dan menemukan keadilan

yang hilang. Namun demikian, masih perlu dikaji terus menerus, benarkah

upaya pencarian dan penegakan keadilan lewat pilihan forum itu dapat

direalisasikan di dalam kenyataan? Dalam konteks itu pula teori kritis

digunakan sebagai salah satu alat analisis hasil penelitian ini.

F. Metode Penelitian

1. Paradigma Penelitian dan Pendekatannya

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa penelitian mengenai

pilihan forum arbitrase dalam sengketa komersial untuk penegakan keadilan

termasuk dalam ranah sosiologi hukum (sociology of law) yang

141 Ibid., h. 208.

Page 91: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

74

mengkonsepkan hukum bukan sekali-kali normatif sebagai rules, melainkan

sesuatu yang nomologik sebagai regularities yang terjadi di alam empirik.

Oleh karena itu, untuk keperluan penelitian ini model paradigma

(paradigm)142 yang digunakan adalah naturalistik dengan metode

kualitatif.143

Ada sejumlah pertimbangan, sehingga metode kualitatif dipilih untuk

digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah: Pertama, studi tentang

pilihan forum144 arbitrase sumber datanya adalah manusia atau orang-

142 Thomas Kuhn mendefinisikan paradigma (paradigm) sebagai: ”...universally recognized

scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners”. Lihat, Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970, h. viii. Sedangkan Soetandyo Wignjosoebroto menyebutnya: Hasil pilihan yang tak perlu diperdebatkan lagi kebenarannya inilah yang dalam wacana-wacana akademik disebut ‘paradigma.’ Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, “Teori: Apakah itu? Sebuah Pengantar;” Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Semarang, 2002, h. 2. Dalam kaitan ini, Satjipto Rahardjo mengemukakan: “Paradigma adalah suatu konsep tentang hal-hal yang besar dan mendasar. Seringkali paradigma dipakai sebagai sinonim dari model”. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah;” Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998, h. 6. Sementara itu Liek Wilardjo mengatakan: “...Paradigma ialah model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.” Lihat, Liek Wilardjo, “Peran Paradigma dalam Perkembangan Ilmu;” Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998, h. 1. Masih ada diskusi lain tentang Paradigma, seperti dalam Erlyn Indarti, “Paradigma: Jati Diri Cendekia;” Makalah Diskusi Ilmiah Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang, 1 Desember 2000.

143 “Peneliti kualitatif memilih metode-metode kualitatif karena metode-metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas yang beragam dan saling berinteraksi...” Lihat A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003, h. 105.

144 Yang dimaksud forum dalam konteks pilihan forum arbitrase, merujuk pada lembaga atau badan, dan bukan pada kewenangannya. Oleh karena masalah kewenangan suatu forum atau lembaga itu terkait erat dengan persoalan jurisdiksi (jurisdiction). Jadi,

Page 92: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

75

orang,145 baik orang-orang yang merupakan pihak materiil maupun pihak

formal dalam pilihan forum penyelesaian sengketa, maupun pihak-pihak lain

yang dianggap tepat untuk dijadikan sebagai informan146 berkenaan dengan

studi yang dilakukan. Kedua, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa kajian

tentang pilihan forum untuk penegakan keadilan ini sangat relatif. Artinya,

setiap orang dapat melakukan pengamatan maupun penilaian terhadap

fenomena tersebut berdasarkan pandangannya masing-masing. Penelitian ini

tentu saja tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Oleh

karena, kebenaran yang dicari melalui penelitian kualitatif bukan kebenaran

mutlak. Kebenaran bergantung pada dunia realitas empirik dan konsensus

dalam masyarakat ilmuwan.147 Ketiga, penelitian naturalistik lebih

mengutamakan dan menaruh perhatian kepada pandangan responden

(mengutamakan perspektif emic). Dengan demikian, peneliti dapat belajar

pilihan forum, berarti “pilihan terhadap lembaga atau badan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam rangka mengajukan tuntutan pengembalian hak terhadap pihak yang dianggap telah melanggar dan/atau merugikan hak pihak yang mengajukan tuntutan”.

145 Penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Periksa: S. Nasution, Metode Penelitian …Op. Cit., h. 5. Di samping itu ada alasan lain mengapa penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Salah satu pertimbangannya adalah: karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk diketahui atau difahami. Lihat, Basrowi & Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif – Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia, 2002, h. 8.

146 Dalam penelitian ini orang yang dijadikan sebagai informan adalah para arbiter, para lawyer yang pernah menjadi kuasa hukum pihak-pihak materiil dalam pilihan forum penyelesaian sengketa, atau bahkan pihak-pihak yang mengorganisasikan institusi atau forum arbitrase.

147 S. Nasution, Metode …Op. Cit., h. 6.

Page 93: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

76

sangat banyak dari segenap pandangan maupun informasi yang diperoleh dari

responden dan/atau para informan di lapangan. Untuk mengkaji fenomena

pilihan forum penyelesaian sengketa, sejak semula telah disadari bahwa

pihak-pihak atau orang-orang yang menjadi subjek utama penelitian tidak

mudah untuk dijumpai, sehingga metode kualitatif inilah pilihan yang paling

mungkin untuk digunakan.

Disebabkan sifat dari subjek penelitian yang sedemikian, maka tidak

mungkin menentukan sampel secara ketat, karena tidak mudah pula untuk

menentukan populasi pelaku pilihan forum. Kondisi tersebut juga merupakan

alasan sehingga memilih metode kualitatif dalam kajian ini. Kebutuhan akan

informan sangat bergantung pada tujuan penelitian itu sendiri yang diketahui

dan ditentukan oleh peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian.

Meskipun demikian, untuk menjamin keabsahan data yang terkumpul dari

kemungkinan terkontaminasi oleh faktor-faktor subjektivitas peneliti, dalam

penelitian naturalistik dikenal adanya perangkat ‘pengawas’ yang dinamakan

triangulasi148 atas data yang dikumpulkan.

148 Adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar

data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin, membedakan empat macam teknik ini, yaitu: triangulasi dengan sumber, metode, penyidik, dan teori. Periksa, Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja Karya, 1989, h. 195.

Page 94: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

77

2. Unit Analisis149

Unit analisis untuk penelitian tentang pilihan forum arbitrase dalam

penyelesaian sengketa komersial ini adalah orang-orang atau pihak-pihak

dari kalangan pelaku usaha, khususnya orang-orang yang dalam

menyelesaikan sengketa komersial mereka melalui forum lain di luar

pengadilan. Seperti telah disebutkan di muka bahwa pihak-pihak itu dapat

terdiri atas pihak materiil, yakni orang yang berkepentingan langsung dalam

perkara, atau pihak formal, yaitu para lawyer atau advokat yang menjadi

kuasa hukum pihak materiil, atau mungkin juga para informan yang

dianggap kompeten memberikan informasi yang dikumpulkan.

Adapun objek penelitian dalam kajian ini adalah pilihan forum

penyelesaian sengketa di luar badan pengadilan sebagai suatu interaksi yang

dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Sedangkan sumber data yang dijadikan

sebagai sasaran pengumpulan informasi penelitian, selain orang-orang atau

pihak-pihak pelaku pilihan forum (sepanjang memungkinkan untuk

dilakukan),150 juga para arbiter, dan para informan lainnya yang dianggap

149 Adalah “…satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian yang menjadi

sasaran pengumpulan data”. Periksa, Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1998, h. 132-133.

150 Perlu diketahui bahwa orang-orang yang termasuk katagori pengusaha atau apa pun profesinya yang pernah menyelesaikan sengketa lewat forum lain di luar pengadilan, mereka tidak mau dihubungi. Alasan mereka, “kami” memilih forum di luar pengadilan justeru untuk menghindarkan publisitas atas proses penyelesaian sengketa kami kepada

Page 95: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

78

memiliki kompetensi untuk ditimba informasinya bagi pengumpulan data

dalam penelitian ini.

3. Pengumpulan Data151

Sebagai instrumen utama dalam penelitian ini, penulis melakukan

pengumpulan informasi melalui wawancara dan diskusi mendalam (indepth

interview) dengan para responden dan informan yang penentuannya

dilakukan melalui sampel bertujuan (purposive sample). Metode

pengumpulan data semacam itu dilakukan mengingat sumber datanya adalah

human resources, yaitu subjek-subjek sasaran penelitian yang terdiri atas

pihak-pihak pelaku pilihan forum dan/atau orang-orang yang memiliki

kompetensi berkenaan dengan persoalan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan.

Sementara itu penelusuran informasi dari sumber data yang bukan

manusia (non-human resources) juga dilakukan sekadar untuk melengkapi

informasi dari subjek-subjek sasaran penelitian. Sumber informasi yang

khalayak yang tidak berkepentingan yang pada akhirnya dapat mengganggu dan merugikan eksistensi hubungan dengan mitra bisnis kami. Demikian informasi yang diperoleh dari pihak-pihak yang dihubungi sebagai informan yang paling tidak pernah mengetahui proses penyelesaian sengketa pihak-pihak dimaksud. Pada tahap ini, peneliti mewawancarai informan (responden) yang menjadi sumber penelitian (menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya). Lihat, Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999, h. 32-33.

151 Kerja lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi dari para informan dilakukan penulis sejak bulan April 2002 sampai dengan akhir Agustus 2002.

Page 96: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

79

bukan manusia itu umumnya berupa bahan-bahan hukum primer yang terdiri

atas peraturan perundang-undangan dan putusan hakim (yurisprudensi).

4. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian naturalistik, data dikumpulkan oleh peneliti sendiri

secara pribadi. Oleh karena itu, pengumpulan informasi lebih banyak

bergantung pada diri peneliti sebagai alat pengumpul data.152 Namun

demikian pada pelaksanaannya, tentu saja peneliti sangat memerlukan alat

bantu dalam mengumpulkan informasi yang diperlukan. Alat bantu untuk

melakukan wawancara dengan para informan dibuat dalam bentuk “protokol

wawancara”. Alat tersebut dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka atau

tidak berstruktur. Model demikian sengaja dipilih dengan beberapa alasan153

berikut ini: Pertama, penulis menyadari bahwa para responden atau

informan yang digali informasinya termasuk katagori “orang penting”;

Meski penulis tidak dapat menemukan penjelasan lebih jauh tentang makna

‘orang penting’ tersebut, namun dalam pemahaman penulis setiap subjek

sasaran penelitian sebagai informan seyogianya diperlakukan sebagai orang

penting. Satu dan lain hal karena di samping sifat penelitian kualitatif ini

152 Lexy J. Moleong, Metodologi..Op. Cit., h. 21. Bdgk. S. Nasution, Metode…Op. Cit.,

h. 54. 153 Lexy J. Moleong, Loc. Cit., h. 152.

Page 97: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

80

yang lebih mengutamakan perspektif emic, juga setiap responden yang

terpilih tentu dianggap paling memiliki pengetahuan, mendalami situasi, dan

mengetahui informasi yang diperlukan oleh peneliti; Kedua, sebagai

peneliti, penulis hendak menanyakan perihal pilihan forum arbitrase sebagai

forum tempat penyelesaian sengketa secara lebih mendalam kepada seorang

informan yang dianggap sangat kompeten untuk mengungkapkan hal

tersebut; Ketiga, penulis amat tertarik untuk mengungkapkan maksud atau

penjelasan dari para responden yang melakukan pilihan forum di luar

pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa mereka.

Sebagai instrumen utama, peneliti merupakan sentral dari seluruh

aktivitas penelitian. Di samping sebagai perencana, sekaligus juga pelaksana

pengumpulan data atau informasi, yang melakukan analisis data, penafsir

data, dan pada akhirnya sebagai pelapor hasil penelitian. Oleh karena itu,

peneliti berusaha lebih peka serta sedapat mungkin menyesuaikan diri untuk

mampu berinteraksi dengan sumber data. Untuk itu, peneliti berupaya agar

lebih mampu memahami konteks data secara holistik, sehingga dapat

menemukan hal-hal baru.

Page 98: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

81

5. Analisis Data

Sebagaimana diketahui bahwa data yang dikumpulkan melalui aneka

macam cara dalam penelitian kualitatif (observasi, wawancara, intisari

dokumen, pita rekaman) berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka.154

Oleh karena itu, analisis data kualitatif juga tetap menggunakan kata-kata,

yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas. Menurut Matthew B.

Miles & A. Michael Huberman, yang dimaksud dengan “analisis” itu terdiri

atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data,

penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi). Ketiga alur kegiatan

tersebut dapat disimak dalam ragaan berikut ini:

Ragaan 3

Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif 155

154 Lihat, Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif

(Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press, 1992, h. 15-21. 155 Matthew B. Miles & A. Michael Huberman, Loc Cit., h. 20.

Pengumpulan data

Reduksi data

Penyajian data

Simpulan-simpulan: Penarikan/Verifikasi

Page 99: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

82

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan ini berlangsung

terus menerus selama kegiatan penelitian kualitatif ini berlangsung. Reduksi

data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan

cara sedemikian rupa hingga simpulan-simpulan finalnya dapat ditarik dan

diverifikasi.

Penyajian data, yang dimaksud adalah suatu “penyajian” sebagai

sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya

penarikan simpulan dan pengambilan tindakan. Melalui penyajian itulah kita

akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan

– lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan – berdasarkan atas

pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.

Menarik simpulan/verifikasi, kegiatan ketiga yang penting adalah

menarik simpulan dan verifikasi. Penarikan simpulan merupakan sebagian

dari suatu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Simpulan-simpulan juga

diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-makna yang muncul dari

data harus “diuji” kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni

yang merupakan validitasnya. Jika tidak demikian, maka akan merupakan

sesuatu yang terjadi dan yang tidak jelas kebenaran dan kegunaannya.

Page 100: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

83

6. Validitas Data

Dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan pilihan forum

penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang subjek-subjeknya terdiri atas

pihak-pihak eksklusif para pelaku bisnis, penulis menyadari sepenuhnya

bahwa metode kualitatif memiliki sejumlah kelemahan seperti halnya juga

metode penelitian yang lainnya. Di antara kelemahan yang acapkali

dipersoalkan dalam penelitian kualitatif terutama berkenaan dengan masalah-

masalah: validitas156 (kesahihan), reliabilitas157 (keandalan), dan

objektivitas158 dari data yang berhasil dikumpulkan dan diperoleh. Ketiga

masalah tersebut seringkali diusik persoalan keterpenuhannya. Akibatnya

hasil penelitian kualitatif tidak dipandang ilmiah oleh banyak ilmuwan

156 “Validitas, berkaitan dengan ukuran bahwa apa yang diamati oleh peneliti sesuai

dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia kenyataan.” S. Nasution, Op. Cit., h. 105. Validitas itu memang lebih abstrak dan lebih sulit diukur daripada reliabilitas. Oleh karena itu, untuk mengukur validitas suatu karya ilmiah harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa jenis validitas, yaitu: (i) validitas isi (content validity), (ii) validitas konstrak (construct validity), (iii) validitas antar budaya (cross-cultural validity), (iv) validitas internal dan eksternal (internal and external validity), (v) validitas prediktif (predictive validity), dan (vi) validitas muka (face validity). Periksa, Peter Hagul, “Reliabilitas dan Validitas”; dalam Masri Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982, h. 87-102 [96].

157 Sedangkan reliabilitas berkenaan dengan masalah “konsistensi” atau ketaatasasan pengukuran dan ukuran yang digunakan. Artinya, apakah penelitian itu dapat diulangi atau direplikasi oleh peneliti lain dan menemukan hasil yang sama bila ia menggunakan metode yang sama, sehingga dapat dipercaya. S. Nasution, Op. Cit., h. 108. Bdgk. Lexy J. Moleong, Op. Cit., h. 188.

158 Masalah objektivitas inilah tampaknya yang paling krusial di dalam penelitian kualitatif. Terdapat anggapan bahwa data hanya dapat dianggap objektif bila diperoleh berdasarkan kesamaan hasil pengamatan sejumlah peneliti dan dapat dicek kebenarannya oleh orang lain. S. Nasution, Loc. Cit., h. 110.

Page 101: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

84

sebagai karya ilmiah karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat159

tersebut di atas.

Meskipun demikian, secara metodologis sesungguhnya untuk peneliti

dalam penelitian kualitatif telah disediakan piranti teoritis yang dapat

digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Peneliti dipandu

untuk mengikuti serangkaian teknik metodologis untuk memeriksa keabsahan

data,160 sehingga informasi yang terkumpul pada penelitian kualitatif dapat

dibuktikan telah memenuhi syarat-syarat pokok dalam penilaian ilmiah.

Selama proses pengumpulan informasi dari sumber-sumber yang

ditentukan sebagai subjek sasaran penelitian, setidaknya beberapa teknik

telah dilakukan untuk memeriksa keabsahan data yang terkumpul. Satu di

antara teknik yang dilakukan adalah triangulasi. Triangulasi dengan sumber,

berupa membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan dengan persoalan pilihan forum, selalu penulis lakukan segera

setelah data wawancara diperoleh. Kemudian triangulasi dengan metode,

juga dilakukan dengan jalan mengecek derajat kepercayaan beberapa sumber

data dengan metode yang sama. Demikian pula triangulasi dengan

memanfaatkan peneliti, selama pengumpulan informasi dari sumbernya juga

159 Periksa S. Nasution, Op. Cit., h. 105. 160 Setidaknya terdapat 10 (sepuluh) jenis teknik pemeriksaan keabsahan data yang dapat

dilakukan peneliti, yaitu sebagai berikut: (1) perpanjangan keikutsertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3) triangulasi, (4) pengecekan sejawat, (5) kecukupan referensial, (6)

Page 102: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

85

penulis lakukan dengan jalan meminta bantuan teman penulis (asisten

penulis) di fakultas hukum, ia diminta bantuannya untuk melakukan

wawancara dengan materi yang serupa kepada para informan yang telah

pernah diwawancarai penulis sebelumnya.

Penggunaan teknik pemeriksaan sejawat melalui diskusi atau bertukar

pikiran dilakukan penulis secara berkala selama pengumpulan informasi.

Diskusi, tukar pikiran, dan sejenisnya itu dilakukan dengan rekan-rekan

sesama pengajar fakultas hukum, bahkan dengan sesama peserta program

meski berbeda kajian. Cara ini dilakukan terutama untuk memperoleh

koreksi, kritik, pertanyaan atau masukan dari rekan-rekan sesama pengkaji

hukum yang penulis manfaatkan untuk melengkapi informasi yang telah

terhimpun. Di samping itu semua, penulis juga melengkapi catatan lapangan

pengumpulan informasi dari para subjek sasaran penelitian dengan rekaman

wawancara161 yang dilakukan dalam bentuk cassette recorder (rekaman

dalam pita kaset) yang setiap saat dapat penulis putar untuk didengarkan

kembali.

kajian kasus negatif, (7) pengecekan anggota, (8) uraian rinci, (9) audit kebergantungan, (10) audit kepastian; Lihat Lexy J. Moleong, Op. Cit., h. 192-206.

161 Mendekati responden dan membina hubungan baik dengan responden untuk melaksanakan wawancara tidaklah mudah. Apabila dilihat secara sepintas, menemui seseorang untuk menanyakan tentang berbagai topik, nampaknya tidak sulit. Namun dalam kenyataannya komunikasi itu tidaklah sederhana. Komunikasi dalam wawancara sangat rumit, karena di sini berinteraksi dua kepribadian yaitu pewawancara dan responden. Karena itu dalam melaksanakan tugas wawancara, pewawancara harus selalu sadar bahwa dialah yang memerlukan dan bukan sebaliknya. Lihat, Irawati

Page 103: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

86

7. Sekitar Pengalaman Lapangan

Lebih kurang sebelas bulan sejak dilakukannya penelitian

pendahuluan, penulis ke sana ke mari dalam rangka mengumpulkan

sejumlah informasi berkaitan dengan masalah pilihan forum arbitrase

sebagai forum penyelesaian sengketa. Kesulitan dan kemudahan penulis

jumpai silih berganti selama pengumpulan informasi di berbagai tempat dan

dari berbagai orang yang menjadi sasaran penelitian. Suatu ketika penulis

menghadapi persoalan dalam pengumpulan informasi yang ternyata tidak

terlalu mudah untuk mengatasinya. Saat itu, tatkala penulis mengetahui

bahwa ternyata pihak-pihak materiil162 dalam penyelesaian sengketa melalui

forum arbitrase sama sekali tidak mungkin dapat ditemui untuk dijadikan

sebagai informan utama. Alasannya karena mereka tidak ingin diketahui

siapa pun, kecuali pihak-pihak yang menjadi kuasa hukumnya dan para ahli

yang diangkat sebagai panel wasit (arbiter) yang ditunjuk untuk menjadi

pemutus sengketa mereka.

Singarimbun, “Teknik Wawancara”; dalam Masri Singarimbun et al., Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982, h. [145-166] 152-153.

162 Pihak materiil dalam perkara adalah orang yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara bersangkutan, baik sebagai claimant (orang yang membuat tuntutan/penggugat) maupun sebagai respondent (orang yang dijadikan sebagai tertuntut/tergugat). Periksa Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara…Op. Cit., h. 47-48. Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika, 2001, h. 132-133.

Page 104: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

87

Atas dasar alasan tidak ingin diketahui siapa pun di antaranya para

pihak materiil melakukan pilihan forum di luar pengadilan negeri untuk

menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Tampaknya dengan cara itu

pula pihak-pihak materiil tersebut dapat berlindung di balik alasan

“confidential” untuk tidak diketahui atau dihubungi siapa pun dan bagi

kepentingan apa pun, termasuk untuk kepentingan pengumpulan informasi

penelitian. Akan tetapi, untuk tidak kehilangan kesempatan dalam

memperoleh informasi yang sedang ditelusuri, penulis mencari akal dengan

jalan mencari sumber informasi atau subjek-subjek sasaran penelitian

penggantinya. Adapun pihak-pihak yang paling mungkin untuk dipilih dan

dapat dijadikan pengganti sebagai sasaran penelitian dalam mengumpulkan

informasi tentang pilihan forum arbitrase sebagai tempat penyelesaian

sengketa di luar pengadilan adalah pihak formal, yaitu para lawyer atau

advokat yang pernah menjadi kuasa hukum pihak-pihak materiil, dan juga

para ahli yang pernah menjadi panel wasit atau arbiter yang pernah

menengahi serta memutuskan sengketa pihak-pihak dimaksud.

Dalam praktiknya upaya itu pun tidak terlalu mudah, karena tuntutan

kode etik serta kepentingan untuk melindungi kerahasiaan dan hak-hak

kliennya, pihak-pihak formal yang dipilih sebagai informan itu pun tidak

dapat bahkan tidak diperkenankan untuk menyampaikan informasi yang

sifatnya terlalu subjektif mengenai pihak-pihak materiil yang pernah

Page 105: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

88

diwakilinya. Sejauh pertanyaan penelitian yang diajukan sifatnya umum

berkenaan dengan pilihan forum penyelesaian sengketa, pada prinsipnya

para informan tidak keberatan untuk digali informasinya.

Demikian pula para informan dari kalangan ahli yang profesinya

sebagai wasit atau arbiter. Pada dasarnya mereka tidak berkeberatan

menjadi subjek sasaran pengumpulan informasi penelitian, sejauh kepada

mereka tidak diajukan pertanyaan mengenai kasus yang sedang atau pernah

ditanganinya dan pihak-pihak yang pernah atau sedang bersengketa. Untuk

alasan tersebut, penulis memahami posisi mereka para informan, sehingga

arah pertanyaan penelitian juga tidak bersifat subjektif tentang pihak-pihak

maupun substansi sengketanya.

Kepada penulis, para informan yang terpilih dan telah menjadi

sumber informasi dalam penelitian ini, berpesan dengan sangat, sebaiknya

identitas mereka tidak dimunculkan dalam penulisan laporan penelitian,

apalagi di dalam penulisan disertasi. Untuk hal tersebut, sepenuhnya penulis

dapat memahami. Di samping itu juga penulis tidak melihat urgensinya,

untuk menghadirkan identitas para informan secara jelas. Oleh karena bukan

itu pula yang dimaksud dengan paparan tentang keadaan sosial (social

setting) dari pihak-pihak pelaku pilihan forum.

Page 106: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

89

G. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan

Penulisan Disertasi ini direncanakan terdiri atas enam bab. Sebagai

satu kesatuan gagasan pemikiran, setiap bab diupayakan untuk memiliki

keterhubungan satu sama lain, sehingga secara keseluruhan muatan disertasi

ini akan merupakan satu jalinan makna yang diupayakan untuk menjadi satu

hasil kerja yang komprehensif dan utuh.

Bab I, sebagaimana lazimnya bab ini merupakan maket dari suatu

disertasi. Di dalamnya diawali oleh paparan mengenai ide dasar yang melatar

belakangi munculnya permasalahan sehingga mendorong untuk mengadakan

penelitian dalam rangka melakukan penulisan disertasi ini. Seperti telah

dipahami banyak pihak bahwa praktik penyelesaian sengketa komersial

melalui pengadilan negeri di Indonesia dirasakan sangat tidak

menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Banyak faktor yang

menjadi penyebab mengapa keadaannya seperti itu. Beberapa diantaranya: (i)

Untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga pengadilan harus mengikuti

berbagai formalitas beracara yang tidak jarang menyulitkan para pihak yang

bersengketa. (ii) Pemeriksaan perkara pada lembaga pengadilan

dimungkinkan upaya hukum kepada tingkat peradilan yang lebih tinggi,

sehingga untuk mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum

pasti (kracht van gewijsde) para pihak dapat menghabiskan waktu bertahun-

Page 107: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

90

tahun. (iii) Akibat berlarut-larutnya penyelesaian sengketa semacam itu,

upaya para pihak untuk memperoleh keadilan mungkin saja terbengkalai. (iv)

Disinyalir banyak pihak bahwa lembaga peradilan di Indonesia dewasa ini

semakin tidak amanah. Oleh karena itu, bagi masyarakat yang dalam

interaksi sosialnya berpotensi memiliki konflik namun tidak memiliki cukup

waktu untuk mengikuti liku-liku beracara pada lembaga pengadilan,

kemudian menciptakan budaya penyelesaian sengketa lewat pilihan forum.

Budaya penyelesaian sengketa semacam itu kini semakin terbuka peluang

maupun kesempatan untuk menggunakannya. Keadaan itu antara lain telah

menginspirasi untuk mengangkat tema utama disertasi “Pilihan Forum

Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan.”

Sebagaimana telah diutarakan, paparan awal pada bab sat ini tentang ‘Latar

Belakang Permasalahan,’ menyajikan uraian tentang fakta dan fenomena

yang diasumsikan merupakan latar belakang munculnya budaya melakukan

pilihan forum arbitrase dalam proses penyelesaian sengketa, khususnya

sengketa-sengketa komersial. Disertasi ini mencoba mengangkat tiga

permasalahan. Ketiganya terkait erat satu sama lain dan selanjutnya ketiga

permasalahan tersebut menjadi pengusung permasalahan utama. Adapun

permasalahan utamanya adalah: Mungkinkah forum arbitrase di masa depan

dapat dikembangkan sebagai salah satu forum khusus untuk menyelesaikan

sengketa-sengketa komersial di luar pengadilan negeri yang memiliki

Page 108: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

91

kewenangan publik untuk mengeksekusi putusannya, sehingga putusan

arbitrase lebih mencerminkan penegakan keadilan substansial yang

bermartabat? Untuk menghindari keleliruan para pembaca disertasi dalam

memahami pengertian dari sejumlah istilah yang muncul dalam penulisan

disertasi ini, di dalam bab satu ini pun penulis berusaha memberikan

penjelasan atas sejumlah istilah. Sebagai contoh, istilah ‘forum’, ‘arbitrase

(arbitration)’, ‘komersial’, ‘negosiasi’, ‘kontrak internasional’,

‘international disputes,’ ‘pengadilan (badan peradilan)’, ‘risiko,’ ‘pihak

materiil’, ‘titel eksekutorial’, ‘exequatur’, ‘budaya hukum,’ ‘diskresi

(discretion).’ Penjelasan atas sejumlah istilah tersebut memang tidak

dilakukan dalam satu sub bab tersendiri, melainkan dibuat pada catatan kaki.

Hal itu dilakukan atas dasar pertimbangan praktis ketika penulisan dan juga

membantu mempermudah pembaca ketika menjumpai istilah tersebut dapat

langsung menemukan uraiannya di dalam catatan kaki tersebut. Beberapa

teori yang digunakan, baik teori hukum maupun teori-teori sosial yang

dipinjam dalam rangka melakukan analisis atas temuan informasi hasil

penelitian disajikan di dalam bab satu ini. Pada bagian awal ini pula

dipaparkan mengenai tujuan serta kegunaan penelitian meski uraian tentang

hal ini dirasakan penulis sebagai terlalu ideal. Namun demikian, tanpa

bermaksud pesimis, penulis masih tetap memiliki harapan kiranya hasil-hasil

penelitian dalam rangka menyusun disertasi ini, kelak dapat bermanfaat dan

Page 109: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

92

dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang membawa kemaslahatan, khususnya

dalam pengembangan ilmu hukum maupun praktik hukum, terutama hukum

penyelesaian sengketa di Indonesia. Uraian mengenai metode penelitian

menyajikan paradigma, pendekatan studi dan metode yang digunakan dalam

melakukan pengumpulan informasi dari para informan sebagai subjek

sasaran penelitian. Menggunakan paradigma naturalistik dengan metode

kualitatifnya didasarkan pada pertimbangan sumber data atau informasi yang

dikumpulkan adalah sejumlah orang (manusia). Orang-orang itulah yang

digali informasi dan pandangannya, sehingga penulis sebagai peneliti

sepenuhnya mengutamakan dan menaruh perhatian terhadap apa pun

pandangan dan informasi yang diberikan oleh informan di lapangan. Atas

pertimbangan serta alasan untuk melakukan kritik terhadap praktik hukum di

Indonesia yang telah menunjukkan banyak keanehan-keanehan, sebagai tidak

sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, maka pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Critical Legal Studies (CLS).

Bab II, berisi paparan mengenai informasi yang dapat dijadikan titik

tolak dalam melakukan pembahasan serta analisis atas sejumlah masalah

dalam disertasi ini yang akan diuraikan pada bab-bab berikutnya. Bab ini

diberi judul “Pilihan Forum Arbitrase Sebagai Tempat Penyelesaian

Sengketa Berkeadilan.” Uraiannya diawali dengan sub bab mengenai

‘Tujuan Pilihan Forum dan Keadilan.’ Menyadari sepenuhnya bahwa untuk

Page 110: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

93

memahami tujuan pihak-pihak pelaku pilihan forum memang tidak mudah,

karena hampir sulit ditemukan dalam literatur hukum mana pun yang secara

eksplisit menguraikan hal tersebut. Untuk itu upaya yang dilakukan dalam

rangka menemukan jawaban tentang apa yang menjadi tujuan pihak-pihak

dalam melakukan pilihan forum antara lain dilakukan melalui penelusuran

atas sejumlah asumsi berdasarkan beberapa indikator berikut ini: (i) Para

pihak yang bersengketa, terutama pelaku bisnis menghendaki bentuk

penyelesaian sengketa yang berlangsung cepat, akurat, namun putusannya

lebih mencermikan rasa keadilan. Ekspektansi mengenai hal tersebut sulit

dapat diperoleh dari lembaga pengadilan; (ii) Para pelaku bisnis yang

menjadi pihak dalam sengketa menghendaki agar penyelesaian sengketanya

tidak menghambat atau menyebabkan terganggunya aktivitas bisnis mereka.

Oleh karena itu, para pelaku bisnis sangat tidak menyukai proses

penyelesaian sengketa yang berlarut-larut; dan (iii) Pelaku bisnis juga tidak

menghendaki bila putusan tentang penyelesaian sengketa dipublikasikan

secara luas kepada masyarakat. Oleh karena putusan penyelesaian sengketa

semacam itu sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan bisnis diantara

mereka. Putusan yang adil dan bermartabat dari setiap penyelesaian

sengketa merupakan harapan yang ditunggu setiap orang. Smith

menyatakan, keadilan adalah syarat niscaya bagi keberadaan dan

kelangsungan hidup masyarakat mana pun. Oleh karena itu, keadilan adalah

Page 111: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

94

keutamaan moral yang utama dan niscaya, dalam pengertian bahwa

masyarakat tidak mungkin ada tanpa keadilan. Mengamati fenomena

masyarakat pencari keadilan yang bergelut dengan persoalan penyelesaian

sengketa memang menarik dan senantiasa aktual untuk dikaji. Namun yang

tak kalah menariknya adalah mengamati fenomena lembaga pengadilan

yang dirasakan semakin tidak dapat berbuat banyak untuk mendatangkan

keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). Apabila

kondisi sedemikian itu terus berlangsung, dikhawatirkan pengadilan secara

perlahan-lahan menjadi lembaga yang disfungsional, yang akan berdampak

cukup luas. Dampak serius akan dirasakan apabila para investor asing

sama sekali enggan masuk ke Indonesia karena kondisi pengadilan tidak

lebih baik. Demikian pula para pengusaha domestik yang berpotensi

memiliki konflik sudah enggan untuk berperkara di pengadilan.

Keprihatinan terhadap kondisi pengadilan yang telah dianggap tidak

“reliable and credible” itu tidak hanya dirasakan oleh para pengusaha, baik

asing maupun domestik, namun masyarakat luas juga sudah mulai banyak

kehilangan kepercayaan kepada pengadilan Indonesia. Tidak mengherankan

apabila kemudian rakyat pencari keadilan beralih perhatian untuk

menyelesaikan konflik mereka tidak melalui pengadilan akan tetapi

memilihan forum selain pengadilan. Sub bab selanjutnya berjudul

‘Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi Hakim

Page 112: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

95

Pengadilan Negeri.’ Di sini disajikan uraian yang menggambarkan bahwa

pilihan forum ternyata membawa akibat terciptanya kompetensi pada forum

yang dipilih. Artinya apabila forum arbitrase yang dipilih sebagai tempat

sengketa diselesaikan, maka sengketa yang timbul akan ditarik keluar dari

yurisdiksi hakim pengadilan negeri dan akan menjadi kewenangan forum

arbitrase untuk memeriksa dan memutusnya. Sebagai konsekuensinya

pengadilan negeri menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa

bersangkutan. Akhirnya, sebagai penutup uraian bab dua disajikan sub bab

yang memaparkan mengenai ‘Pilihan Forum Arbitrase sebagai Fenomena

Penyelesaian Sengketa.’ Fakta menunjukkan bahwa lambannya proses

penyelesaian sengketa melalui pengadilan telah mendorong para pihak yang

berpotensi memiliki konflik dari interaksi sosialnya, untuk bersepakat

melakukan pilihan forum di luar pengadilan dalam rangka menyelesaikan

sengketa yang kemungkinan akan timbul di kemudian hari. Pactum de

compromittendo dan Acte van compromise (akta kompromis) adalah dua

cara yang secara teoretik dikenal dalam konteks pilihan forum arbitrase. Di

antara keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Memilih forum

dengan cara pactum de compromittendo bermakna, ketika para pihak

bersepakat memilih forum, sama sekali belum terjadi sengketa (disputes).

Kesepakatan dibuat dengan asumsi sengketa diantara para pihak benar-benar

akan terjadi di kemudian hari. Sedangkan pada akta kompromis, para pihak

Page 113: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

96

memilih forum ketika sengketa tersebut benar-benar sudah terjadi. Dengan

demikian akta kompromis pada dasarnya merupakan kebalikan dari pactum

de compromittendo.

Bab III, menggunakan judul “Subjek dan Objek Sengketa Komersial

di dalam Forum Arbitrase.” Pada bab ini dideskripsikan tentang keadaan

sosial (social setting) dari subjek-subjek sengketa yaitu pihak-pihak dalam

sengketa yang melakukan pilihan forum arbitrase dalam menyelesaikan

konflik mereka. Demikian pula objek sengketa komersial yang diselesaikan

lewat forum arbitrase. Objek sengketa dalam forum arbitrase yang dimaksud

adalah jenis sengketa atau konflik yang dalam praktik biasanya diperiksa

dan diputus oleh forum arbitrase. Oleh karena sejauh yang dapat diketahui,

tidak setiap jenis sengketa atau perselisihan lazim diperiksa dan diputus oleh

forum arbitrase. Ada sejumlah sengketa dalam bidang hukum tertentu yang

penyelesaiannya memang tidak lazim kalau pun di Indonesia tidak ada

larangan untuk membawa dan menyelesaikannya lewat forum arbitrase.

Umpamanya saja, sengketa dalam bidang hukum keluarga dan waris,

sengketa tentang perburuhan dan ketenagakerjaan, serta sengketa mengenai

perumahan. Ketiga jenis sengketa yang tersebut bukan hanya tidak lazim

diselesaikan lewat forum arbitrase, akan tetapi lebih didasarkan pada

pertimbangan bahwa untuk sengketa-sengketa tersebut telah disediakan

forum khusus untuk menyelesaikannya. Pengadilan Negeri dan/atau

Page 114: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

97

Pengadilan Agama adalah forum yang disediakan untuk sengketa Hukum

Keluarga dan Waris; Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat

dan/atau Daerah (P4P dan/atau P4D) adalah forum untuk menyelesaian

sengketa perburuhan dan ketenagakerjaan; dan sengketa perumahan

diselesaikan lewat panitia penyelesaian sengketa perumahan. Oleh karena

itu, sejauh dapat diketahui dari informasi yang terkumpul, untuk kasus di

Indonesia forum arbitrase hanya lazim menyelesaikan sengketa-sengketa

komersial. Seperti yang dinyatakan di dalam Undang-undang Arbitrase dan

APS, yaitu: “putusan arbitrase ...terbatas pada putusan yang menurut

ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum

perdagangan.” (Pasal 66 huruf ‘a’ dan ‘b’ UU Nomor 30 Tahun 1999).

Kemudian. di dalam sub bab selanjutnya diuraikan tentang ‘Struktur dan

Proses Penyelesaian Sengketa lewat Arbitrase.’ Seperti diketahui struktur

kelembagaan pengadilan dan arbitrase sangat berbeda. Demikian pula

mekanisme dan proses penyelesaian sengketa di dalamnya tentu saja

berlainan. Struktur penyelesaian sengketa pada forum arbitrase maksudnya

adalah cara bagaimana penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase itu

disusun, dirumuskan, dan dilangsungkan. Sedangkan proses penyelesaian

sengketa melalui arbitrase maksudnya adalah rangkaian tindakan melalui

fase-fase yang secara objektif sistematik mesti dilalui oleh para pihak

maupun para pemutus sengketa (para wasit/arbiter) sampai dengan diperoleh

Page 115: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

98

konklusi untuk menjatuhkan putusan. Dilihat dari struktur kelembagaan

badan peradilan negara terdiri atas dua tingkat, yaitu: (i) tingkat pertama

(original jurisdiction) dan (ii) tingkat banding (appellate jurisdiction).

Sedangkan forum arbitrase berdasarkan strukturnya terdiri atas dua jenis,

yaitu: (i) Arbitrase Institusional (arbitrase permanen) dan (ii) Arbitrase Ad

hoc (Arbitrase perorangan). Dari sudut mekanisme dan proses penyelesaian

sengketanya Laura Nader menyebut penyelesaian sengketa lewat lembaga

peradilan sebagai “winner takes all” yaitu “…the decision is that one party

is right and the other wrong.” Dengan kata lain mekanisme dan prosesnya

menggunakan pendekatan pertentangan yang mempertaruhkan win-loose.

Sedangkan mekanisme dan proses melalui forum arbitrase dalam istilah

Laura Nader sebagai “give a little, get a little”. Atau dengan kata lain

mekanisme dan proses arbitrase menggunakan pendekatan konsensus yang

mengarah pada posisi win-win. Bab ini diakhiri dengan sub bab yang

memaparkan tentang ‘Keadilan Menurut Pihak-pihak Bersengketa.’ Dalam

memaparkan persoalan ini penulis mengutip apa yang dikemukakan Esmi

Warassih dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum

Undip, antara lain: “Persoalan keadilan tidak pernah akan selesai secara

tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat

seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan

kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Persoalan

Page 116: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

99

keadilan merupakan masalah yang cukup rumit dan kompleks, sebab

menyangkut hubungan antar manusia dari segala aspek kehidupannya.

Setiap masyarakat dengan sistem sosial tertentu memiliki tolok ukur atau

pedoman yang berlainan satu sama lain dalam menentukan makna keadilan

bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, kita sulit menemukan rumusan keadilan

yang berlaku secara universal.” Begitu pula makna keadilan menurut para

pihak yang bersengketa. Masing-masing pihak memiliki tolok ukurnya

sendiri-sendiri, sehingga tidak mudah juga untuk menemukan makna

keadilan yang dapat diterima kedua belah pihak secara seimbang.

Bab IV, mengusung tema “Pilihan Forum Arbitrase, Budaya Hukum,

dan Keadilan.” Sebagian besar substansi bab ini merupakan deskripsi serta

analisis hasil penelitian. Diawali dengan sub bab yang memaparkan tentang

‘Pilihan Forum Arbitrase dan Budaya Hukum di Indonesia.’ Budaya hukum

dalam arti keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum,

termasuk di dalamnya rasa respek atau tidak respek kepada hukum,

kesediaan orang untuk menggunakan pengadilan atau tidak menggunakan

pengadilan. Oleh sebab itu, memilih arbitrase sebagai forum tempat

penyelesaian sengketa terkait erat dengan komponen substansif dari budaya

hukum yang terdiri atas asumsi-asumsi fundamental mengenai apa yang

dianggap adil dan tidak oleh masyarakat. Kondisi semacam itu tidak terlepas

dari faktor internal pengadilan sendiri yang selama ini telah dianggap dan

Page 117: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

100

dirasakan oleh para pencari keadilan sebagai sangat merugikan upayanya

dalam mencari dana menegakan keadilan. Untuk itu maka dalam sub bab

berikutnya diuraikan dan dianalisis tentang 'Faktor‘ Internal Pengadilan

Negeri dan Pilihan Forum Arbitrase.' Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh

informasi yang mengungkapkan bahwa faktor internal pengadilan negeri

terkait cukup erat dengan kecenderungan para pelaku bisnis untuk

melakukan pilihan forum arbitrase. Tidak hanya menyangkut persoalan

integritas, kejujuran, keahlian, dan profesionalisme aparatur pengadilan

yang diragukan oleh para pelaku bisnis untuk dapat menyelesaikan sengketa

mereka secara adil, tetapi yang paling krusial adalah sinyalemen terjadinya

“jual beli hukum” atau “jual beli putusan” yang biasa berlangsung di

pengadilan. Namun demikian, forum arbitrase tampaknya tetap saja

dikondisikan oleh Undang-undang sebagai forum yang tidak memiliki

kewenangan publik untuk mengeksekusi putusannya. Untuk menganalisis

masalah ini dalam sub bab berikutnya dibahas tentang ‘Kewenangan

Eksekutorial Forum Arbitrase untuk Putusan Final dan Mengikat serta

Dilema Perolehan Keadilan.’ Meski secara formal putusan arbitrase

dikatagorikan sebagai final dan mengikat (final and binding), namun dalam

kenyataannya karena forum arbitrase sama sekali tidak memiliki

kewenangan eksekutorial untuk melaksanakan putusannya sendiri, maka

pelaksanaan putusan arbitrase baik yang berasal dari dalam negeri (arbitrase

Page 118: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

101

nasional) maupun putusan arbitrase internasional masih diperlukan

penyerahan dana pendafatran putusan arbitrase kepada Pantera Pengadilan

Negeri. Ketentuan itu disertai ancaman sanksi bila penyerahan dan

pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dilakukan, maka putusan tersebut

tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, untuk menutup uraian pada bab

empat ini, disajikan mengenai ‘Perspektif Historis dan Futuristik Arbitrase

sebagai Model Penyelesaian Sengketa Berkeadilan.’ Maksud dari sub bab

ini antara lain hendak menyajikan sejumlah pemikiran tentang

kemungkinan-kemungkinan diberikannya kewenangan publik kepada forum

arbitrase, sehingga forum tersebut seperti halnya pengadilan dapat

melaksanakan putusan yang dijatuhkannya sendiri. Tidak seperti keadaan

sekarang dimana forum arbitrase masih bergantung pada exequatur yang

diberikan oleh pengadilan negeri.

Bab V, hendak menggambarkan betapa eksekusi putusan arbitrase

akan mencerminkan tentang kondisi penegakan keadilan di Indonesia. Oleh

karenanya, tema yang diangkat dalam bab ini adalah “Eksekusi Putusan

Forum Arbitrase Gambaran Dilema Penegakan Keadilan di Indonesia.” Sub

bab yang pertama, menyajikan tentang ‘Makna dan Kekuatan Putusan

Menurut Pengadilan Negeri serta Para Pihak Bersengketa’. Di sini hendak

dipaparkan tentang bagaimana sesungguhnya pengadilan memberikan

makna terhadap putusan dan bagaimana pula pihak-pihak bersengketa

Page 119: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

102

memberi makna terhadap putusan. Dikhawatirkan selama ini kedua belah

pihak, dalam hal ini pengadilan dan pihak-pihak bersengketa memaknai

putusan itu berlainan, sehingga terus menerus terjadi divergensi pemaknaan

yang tidak pernah akan bertemu pada satu titik persamaan makna. Atau

malah terjadi pergeseran makna dan status putusan, sehingga dalam sub bab

selanjutnya akan dikaji tentang ‘Interpretasi, Koreksi, dan Pergeseran

Makna Putusan Arbitrase.’ Seandainya memang terjadi pergeseran makna,

tentu harus dipahami seberapa jauh hal itu terjadi serta apa saja faktor

penyebabnya. Selanjutnya menyangkut persoalan pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia salah satu

syaratnya putusan arbitrase internasional itu ‘tidak bertentangan dengan

ketertiban umum.’ Tidak jarang syarat tersebut menjadi “barrier” bagi

putusan arbitrase internasional untuk dapat diakui dan dieksekusi di

Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks pembahasan mengenai hal ini,

sub bab ketiga dari bab lima ini bertema ‘Diskresi Hakim dalam Masalah

Eksekuatur Putusan Arbitrase.’ Di sini akan diuraikan tentang seberapa jauh

kewenangan/otoritas hakim pengadilan negeri pemberi eksekuatur dalam

konteks diskresi hakim pada waktu melakukan penafsiran (interpretasi) atas

kriteria ketertiban umum yang dipersyaratkan tersebut. Persoalannya apabila

pengadilan negeri menolak memberikan eksekuatur terhadap putusan

arbitrase internasional, maka putusan dimaksud tidak dapat diakui dan

Page 120: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

103

dieksekusi di Indonesia. Persoalan ini erat sekali kaitannya dengan masalah

penegakan keadilan. Untuk itu diakhir bab lima ini ditutup dengan sub bab

yang mengetengahkan tema ‘Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Penegakan

Keadilan.’ Di sini akan diuraikan betapa permohonan eksekusi putusan

arbitrase yang ditolak itu sama saja dengan tidak ditegakannya keadilan

yang telah diupayakan dengan susah paya oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam keadaan semacam itu yang dihadapi para pencari keadilan tidak lebih

dari sebuah dilema. Dilema dalam penegakan dan perolehan keadilan,

karena proses penyelesaian sengketa yang telah ditempuhnya di luar

pengadilan harus bermuara kembali di pengadilan. Dalam keadaan seperti

ini, pemohon eksekusi boleh jadi menghadapi pilihan yang amat sulit. Posisi

tawarnya sangat lemah, upayanya untuk mendapatkan keadilan kembali

terbentur pada otoritas pengadilan yang reputasi buruknya sudah amat

dikenal, sehingga tidak heran bila para pemohon eksekusi akhirnya bukan

memperoleh keadilan melainkan hanya sekedar memperoleh lembaran-

lembaran berkas putusan yang tidak memiliki nilai ekonomis apa pun.

Beberapa kasus yang sengketanya telah diputus oleh forum arbitrase namun

kemudian putusannya menemui hambatan tatkala dimintakan

pelaksanaannya di pengadilan negeri juga akan disajikan sekaligus dalam

rangka menutup seluruh uraian pada bab lima ini.

Page 121: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

104

Bagian terakhir dari disertasi ini adalah Bab VI, sebagai penutup dari

keseluruhan substansi disertasi setelah serangkaian pokok bahasan dikaji

serta dianalisis. Bab VI Penutup yang terdiri atas Simpulan serta

Rekomendasi. Informasi yang disajikan dalam paparan Simpulan akan

merupakan jawaban atas sejumlah permasalahan sebagaimana telah

dikemukakan pada bagian pertama. Sementara itu uraian tentang

Rekomendasi akan ditujukan baik kepada pihak-pihak yang berpotensi

memiliki konflik serta lazim menyelesaikan konfliknya pada forum di luar

pengadilan, maupun kepada badan peradilan sebagai pemegang otoritas

kewenangan publik sekaligus pelaku eksekusi putusan arbitrase.

Rekomendasi juga ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan

Rakyat sebagai pemegang otoritas dalam melakukan perubahan atau

amandemen terhadap undang-undang. Hal itu perlu dilakukan karena

ternyata sejumlah pasal di dalam Undang-undang Arbitrase dan APS

diketahui masih bersifat ambivalen, sehingga forum arbitrase tercitrakan

masih disubordinasikan terhadap kewenangan pengadilan negeri. Bahkan

lebih dari itu dijumpai adanya kaidah yang secara tegas memandulkan fungsi

dan peran arbitrase sebagai forum tempat penyelesaian sengketa.

Page 122: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

105

BAB II PILIHAN FORUM ARBITRASE SEBAGAI TEMPAT

PENYELESAIAN SENGKETA BERKEADILAN

Secara etimologi,163 kata forum memiliki beragam makna. Forum

dapat bermakna lembaga atau badan,164 dapat juga berarti sidang,165 bahkan

dalam konteks yang lain, forum memiliki makna tempat pertemuan untuk

bertukar pikiran secara bebas. Menyimak ragam makna istilah forum di

atas, dalam kaitannya dengan tema Bab II disertasi ini, kata forum dalam

‘Pilihan Forum Arbitrase sebagai Tempat Penyelesaian Sengketa

Berkeadilan,’ kiranya lebih mendekati makna lembaga atau badan atau dapat

pula berarti sidang beserta segenap kewenangan atau kompetensi yang

dimilikinya.

Sementara itu, membicarakan masalah kewenangan suatu forum atau

lembaga terkait erat dengan persoalan jurisdiksi (jurisdiction).166 Dalam

kaitan itu, pilihan forum berarti “pilihan terhadap jurisdiksi lembaga atau

163 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Etimologi adalah cabang ilmu bahasa yang

menyelidiki asal-usul kata serta perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna”. 164 “A court, specific court in which an action is brought” Sementara itu kata “action” pada

pengertian forum di atas berarti “A judicial remedy to enforce a right or to punish an offender; a lawsuit”.

165 Sidang dapat berarti pertemuan untuk membicarakan sesuatu; atau juga berarti dewan atau majelis.

166 Jurisdiction: “The extent of the legitimate authority of the court. The authority of the court. The right to decide a question properly presented to the court”. Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum (negara) terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Jurisdiksi juga meruakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum. Bdgk., Malcolm Shaw, International Law. London: Butterworths, 1986, h. 342.

Page 123: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

106

badan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, baik sendiri-

sendiri maupun bersama-sama dalam rangka mengajukan tuntutan

pengembalian hak terhadap pihak yang dianggap telah melanggar dan/atau

merugikan hak pihak yang mengajukan tuntutan”.

Pilihan forum atau pilihan hakim (Choice of forum, atau Choice of

court) kerapkali dapat dijumpai dalam yurisprudensi Hukum Antar

Golongan (HAG)167 maupun Hukum Perdata Internasional (HPI). Bahkan

di dalam HAG, pilihan forum atau pilihan hakim (Choice of court) ini tidak

jarang justru disalah-pahamkan dengan pilihan hukum (Choice of law),

padahal di antara keduanya memiliki arti serta maksud yang berlainan.

Dalam hubungan ini Sudargo Gautama168 mengemukakan, kesalah-pahaman

demikian terjadi karena hubungan yang demikian erat antara pilihan hakim

atau pilihan forum (Choice of court, Choice of forum) dengan pilihan hukum

(Choice of law).169 Contoh berikut ini berasal dari cabang HAG yang dapat

167 Cabang Ilmu Hukum Antar Golongan (HAG) ini, pada beberapa Fakultas Hukum

merupakan salah satu mata kuliah dengan nama “Hukum Perselisihan.” Cabang Ilmu Hukum ini adalah “khas Indonesia.” Dikatakan “khas”, oleh karena hanya dikenal di Indonesia sebagai salah satu negara bekas jajahan Belanda dan muncul sebagai akibat politik hukum Pemerintah Kolonial Belanda yang ketika itu melakukan pembagian golongan penduduk atau golongan rakyat (bevolkingsgroepen) seperti diketahui dari pasal 131 juncto 163 Indische Staatsregeling (I.S. Stb. 1855 No. 2). Lihat S. Gautama, Hukum Antar Tata Hukum. Bandung: Alumni, 1977, h. 8.

168 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Hukum yang Hidup. Bandung: Alumni, 1983, h. 53.

169 “Pilihan hukum (choice of law) sangat erat kaitannya dengan masalah pilihan forum atau pilihan yurisdiksi (choice of forum atau choice of jurisdiction). Kedua kata ini, forum dan yurisdiksi sering disamakan artinya dan penggunaannya sering dipertukarkan.” Lihat Setiawan, “Kontrak Bisnis Internasional Choice of Law &

Page 124: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

107

menggambarkan betapa kesalah-pahaman antara pilihan forum dengan

pilihan hukum sangat mudah terjadi: “Seseorang yang berasal dari golongan

rakyat Bumi Putera (Inlanders) hendak beracara perdata dengan memilih

tempat kediaman hukum (domisili) pada kantor Panitera Raad van Justitie

(RvJ).”170 Tindakan orang Bumi Putera tersebut telah disalah-pahamkan,

sehingga ia dianggap seolah-olah telah melakukan pilihan hukum ke arah

hukum yang biasanya sehari-hari diberlakukan oleh Raad van Justitie, yakni

hukum perdata tertulis BW (Burgerlijk Wetboek) dan WvK (Wetboek van

Koophandel).171 Padahal berdasarkan ketentuan pasal 131 juncto pasal 163

IS (Indische Staatsregeling),172 untuk orang-orang Bumi Putera tidak

berlaku hukum perdata tertulis BW maupun WvK, melainkan berlaku

hukum adatnya masing-masing.173 Dari contoh kasus di muka tampak jelas

Choice of Jurisdiction”; dalam Varia Peradilan, Tahun IX No. 107, Agustus 1994, h. 125-137 [125].

170 Pada masa Hindia Belanda, Raad van Justitie merupakan lembaga pengadilan atau hakim sehari-hari untuk orang-orang yang berasal dari golongan rakyat Eropa dan Timur Asing.

171 Sebagai contoh, umpamanya seseorang yang berasal dari golongan rakyat Bumi Putera memilih Raad van Justitie untuk keperluan penyelesaian konflik tertentu di antara mereka, maka dalam kasus yang demikian, dianggap orang Bumiputera tersebut secara diam-diam telah menghendaki pula bahwa hukum yang biasanya berlaku untuk golongan rakyat Eropa dan Timur Asing yaitu hukum perdata tertulis (BW dan WvK) adalah hukum yang berlaku terhadap mereka. Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional…Op. Cit., h. 52-53.

172 S. 1855 Nomor 2. 173 “...Kebijakan hukum Hindia Belanda pada paruh kedua abad ke 19 di antaranya

kebijakan untuk menghormati hak-hak kultural penduduk pribumi. Proyeksinya dalam perkembangan kebijakan hukum kolonial ialah, lebih dipilihnya cara untuk sedapat mungkin mempertimbangkan eksistensi kaidah-kaidah agama serta lembaga dan adat kebiasaan yang (masih) dianut rakyat pribumi, tanpa memandang agama atau kepercayaannya,...”. Lihat dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 8.

Page 125: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

108

betapa tipisnya batas antara pilihan forum dengan pilihan hukum. Bahkan

kesalah-pahaman antara pilihan forum dengan pilihan hukum dapat terjadi

boleh jadi karena kekeliruan penafsiran yang dilakukan oleh kalangan

hukum sendiri; Seperti dalam kasus orang Bumi Putera di atas, pihak RvJ

telah keliru membuat penafsiran terhadap maksud dari pihak atau orang

Bumi Putera yang telah melakukan pilihan domisili pada Panitera RvJ,

padahal belum tentu maksud orang Bumi Putera itu hendak melakukan

pilihan hukum terhadap BW atau WvK.

Sedangkan di dalam HPI yang dimaksud dengan pilihan hakim atau

pilihan forum (Choice of Court, Choice of forum) adalah pemilihan yang

dilakukan terhadap instansi peradilan atau instansi lain yang oleh para pihak

ditentukan sebagai instansi yang akan menangani sengketa mereka jika

terjadi di kemudian hari.174 Para pihak di dalam HPI dianggap memiliki

kebebasan untuk melakukan pilihan forum, sehingga pihak-pihak dapat atau

diperkenankan untuk menyimpangi kompetensi relatif175 badan pengadilan

174 “Para pihak di dalam suatu kontrak dapat menyepakati sebuah klausula yang isinya

menentukan bahwa, apabila di kemudian hari timbul sengketa dari substansi kontrak yang mereka sepakati tersebut, sengketa dimaksud akan dibawa untuk diselesaikan oleh sebuah lembaga peradilan yang mereka pilih selain pengadilan negeri di Indonesia. Pilihan dapat dilakukan terhadap lembaga tempat penyelesaian sengketa yang ada, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.” Lihat S. Gautama, Hukum Perdata Internasonal...Op. Cit., h. 53-54.

175 Yaitu kewenangan horisontal yang dimiliki oleh badan pengadilan yang sejenis untuk memeriksa dan memutus perkara gugatan atau tuntutan hak yang diajukan kepadanya berkaitan dengan wilayah hukum tempat tinggal tergugat atau dimana tergugat mempunyai alamat, atau berdomisili. Lihat, Ny. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997, h. 11. Bdgk.

Page 126: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

109

yang sesungguhnya secara relatif memiliki kewenangan untuk memeriksa

dan memutus sengketa mereka. Di dalam HPI pilihan forum umumnya

terbuka untuk perkara-perkara perdata dan/atau perkara dagang yang

memiliki karakter internasional (international nature),176 yang mungkin

terjadi di antara para pihak berkenaan dengan suatu hubungan hukum

tertentu.

A. Tujuan Pilihan Forum Arbitrase dan Keadilan

Sejauh ini belum pernah dijumpai kepustakaan hukum arbitrase yang

secara eksplisit menyebut mengenai tujuan orang-orang yang terlibat dalam

suatu sengketa bisnis memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan

sengketanya. Sebaliknya, yang dijumpai dari sejumlah literatur hukum

arbitrase justru alasan mengapa para pelaku bisnis memilih forum arbitrase

dan bukan tujuan memilih forum arbitrase. Padahal antara ‘alasan’177 dan

‘tujuan’ atau ‘maksud’ sesungguhnya memiliki makna yang sedikit

berlainan meskipun nuansanya memang tidak mudah untuk dibedakan

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1985, h. 60.

176 Suatu perkara dianggap “memiliki karakter internasional” atau international nature, apabila salah satu subjek hukumnya sebagai pihak atau objek hukum dalam perkara tersebut merupakan unsur asing atau unsur luar negeri (foreign element). Baca: S. Gautama, HPI Hukum Yang Hidup…Op.Cit., h.52. Bdgk. HPI Indonesia (Buku kedelapan). Bandung: Alumni, 1987, h. 233-237.

177 ‘Alasan’ artinya sesuatu hal yang menjadi pendorong untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Sedangkan ‘tujuan (maksud)’ adalah kehendak, kemauan, keinginan atau hasrat.

Page 127: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

110

secara jelas. Dari pembacaan atas sejumlah kepustakaan hukum abitrase,178

penulis mendapatkan informasi justru mengenai alasan dari orang-orang

memilih forum arbitrase dan sama sekali bukan mengenai tujuan.

Berbagai macam alasan mengapa orang-orang memilih forum arbitrase

sebagai cara penyelesaian sengketa secara privat di antaranya dapat

diketahui sebagai berikut:179

(i) Kebebasan, Kepercayaan, dan Keamanan;

Arbitrase pada umumnya menarik bagi para pengusaha, pedagang, dan

investor sebab arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang

sangat luas kepada mereka.

(ii) Keahlian (expertise);

Para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan yang lebih besar

pada keahlian arbiter mengenai persoalan yang disengketakan

dibandingkan dengan kepada pengadilan.

(iii) Cepat dan Hemat Biaya;

178 Literatur hukum arbitrase dimaksud dapat disebutkan diantaranya: Priyatna Abdurrasyid,

Arbitrase & APS. Jakarta: Fikahati Aneska, 2002; Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001; M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Rv, BANI Rules, ICSID, UNCITRAL Arb. Rules, NY Convention, PERMA 1 Th. 1990. Jakarta: Sinar Grafika, 2001; Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1986.

179 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia;” dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h. 19-42 [19-22].

Page 128: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

111

Sebagai suatu proses, arbitrase tidak terlalu formal sehingga

mekanismenya lebih fleksibel180 dibandingkan dengan prose litigasi di

pengadilan. Dengan demikian arbitrase proses pengambilan

keputusannya lebih cepat sehingga biaya penyelesaian sengketa relatif

lebih murah daripada litigasi, sebab untuk putusan arbitrase tidak ada

kemungkinan upaya hukum banding.

(iv) Bersifat Rahasia;

Oleh karena arbitrase lebih bersifat privat dan tertutup dibandingkan

pengadilan, pemeriksaan sengketa di dalam forum arbitrase bersifat

rahasia. Sifat itu melindungi para pihak dari publisitas181 yang

merugikan serta segala akibatnya, seperti kehilangan reputasi bisnis.

Sementara itu, publisitas dalam penyelesaian sengketa di pengadilan

negeri sulit dihindarkan karena pengadilan negeri terikat oleh asas ‘sifat

180 Bahwa forum selain pengadilan dianggap lebih fleksibel didasarkan pada asumsi yang

menyebutkan antara lain: (a) menyelesaikan sengketa melalui forum selain pengadilan lebih memberi keleluasaan dan kesempatan kepada para pihak untuk: memilih sendiri hakim (arbiter) yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai dengan jenis sengketa yang hendak diperiksa dan diselesaikan oleh forum dimaksud, sementara di pengadilan biasa memilih hakim sangat tidak mungkin dilakukan; (b) kemampuan serta keahlian arbiter tersebut akan sangat berpangaruh pada kecepatan dalam memahami isu-isu yang menonjol dari suatu sengketa, baik segi fakta maupun hukumnya, sehingga bagi para pihak hal itu akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan dalam penyelesaian sengketa mereka. (c) bila demikian adanya maka para pihak dapat menggantungkan harapan terhadap forum tersebut untuk memperoleh putusan yang pantas dan adil (fair and sensible award). Lihat. Alan Redfern & Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration. London: Sweet & Maxwell, 1991, h. 23.

181 S. Gautama, Arbitrase Dagang…Op. Cit., h. 197.

Page 129: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

112

terbukanya persidangan,’ yang memungkinkan setiap orang dapat hadir

dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan.

(v) Pertimbangan putusan arbitrase lebih bersifat privat;

Dalam mempertimbangkan penyelesaian sengketa privat, pengadilan

dan arbitrase sangat berbeda. Pengadilan adalah lembaga publik,

sehingga ketika menyelesaikan sengketa privat pun seringkali

memanfaatkan momentum penyelesaian sengketa privat untuk

mengutamakan kepentingan umum, sementara kepentingan privat

menjadi pertimbangan kedua. Sebaliknya, forum arbitrase merupakan

lembaga privat, oleh sebab itu para arbiter dalam mempertimbangkan

penyelesaian sengketa yang ditanganinya juga lebih bersifat privat

daripada bersifat publik/umum.

(vi) Kecenderungan yang Modern;

Dalam dunia perdagangan internasional, kecenderungan yang terlihat

adalah liberalisasi peraturan/undang-undang arbitrase untuk lebih

mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa

dagang melalui badan peradilan umum.182

(vii) Putusan Arbitrase Final dan Mengikat;

182 Gary Goodpaster et al, “Tinjauan…Op. Cit., h. 22. “Sebagai contoh saja, dalam kontrak-

kontrak penting antara pengusaha-pengusaha Indonesia dan pengusaha luar negeri seringkali dicantumkan klausula arbitrase, sebab sebagai pengusaha asing mereka kurang mengenal sistem hukum di Indonesia dan kurang paham akan formalitas acara

Page 130: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

113

Sesuai dengan kehendak dan niat dari para pihak pelaku bisnis yang

menghendaki putusan penyelesaian sengketa pada forum arbitrase

bersifat final dan mengikat (final and binding) kedua belah pihak.

Sedangkan putusan pengadilan masih terbuka berbagai upaya hukum,

sehingga untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap,

memerlukan waktu yang cukup lama.

Serangkaian alasan di muka dicoba untuk dipahami dalam kaitannya

dengan tujuan pihak-pihak memilih forum arbitrase sebagai jalur

penyelesaian sengketa. Diperoleh gambaran kiranya yang menjadi tujuan

memilih forum arbitrase antara lain: agar konflik yang sedang dihadapi

dapat diselesaikan dengan proses yang cepat, terjamin kerahasiaannya,

ditangani oleh arbiter atau wasit yang ahli dalam bidangnya, sehingga

sengketanya dapat diputuskan menurut keadilan dan kepatutan (ex aequo et

bono). Pada akhirnya, tujuan memilih forum arbitrase akan bermuara pada

tujuan akhir dalam penyelesaian sengketa yakni untuk mendapatkan

keadilan substansial yang lebih bermartabat, dan tidak sekadar memperoleh

keadilan formal yang tidak memiliki makna apa pun.

Namun demikian, berbicara masalah keadilan tidak hanya sangat sukar

melainkan juga sangat luas karena keadilan sangat beragam maknanya. Oleh

berperkara di pengadilan negeri di Indonesia.” Lihat S. Gautama, Arbitrase Dagang…Op. Cit., h. 196.

Page 131: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

114

karena itu, Majid Khadduri183 di dalam The Islamic Conception of Justice,

membahas keadilan dalam beberapa bab dengan judul-judul: Political

Justice, Theological Justice, Philosophical Justice, Legal Justice, Justice

among Nations, dan Social Justice. Sementara itu, di dalam Ensiklopedi

Hukum Islam, keadilan maknanya lebih dititikberatkan pada pengertian

“meletakkan sesuatu pada tempatnya.” Ibnu Qudamah, mengatakan bahwa

“keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata

karena takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala”.184 Adil dalam ajaran

Islam ada dua macam. Pertama, adil mutlak, yang tidak terikat. Manusia

sangat membutuhkan fungsi akal untuk mengetahui kebaikan atau keadilan

itu. Adil dalam konteks ini lebih dekat pada pengertian kebaikan atau

kebenaran. Oleh karena tidak terikat (mutlak), adil dalam pengertian ini

tidak pernah dihapuskan hukumnya sepanjang masa, dari satu syariat185 ke

syariat yang lain. Pelaksanaannya merupakan kewajiban, sehingga adil ini

183 “Secara harfiah kata adl (sebagai kata benda abstrak) berasal dari kata kerja adala yang

berarti: Pertama, meluruskan atau jujur; Kedua, menjauh, meninggalkan dari satu jalan salah menuju jalan yang benar; Ketiga, menjadi sama (to be equal or equivalent), menjadi sama atau sesuai (to be equal atau match) atau menyamakan; Keempat, membuat seimbang atau menyeimbangkan (to balance or counter balance) menimbang, atau dalam keadaan seimbang. Lihat Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas. Bandung: Asy Syaamil, 2001, h. 82-83.

184 Ensiklopedi Hukum Islam Buku I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, h. 25. 185 Syariat adalah segala tuntunan yang diberikan Allah SWT dan Rasul-Nya melalu

perkataan, perbuatan, dan takrir (ketetapan). Tuntunan itu menyangkut baik hubungan yang berkaitan dengan masalah akidah, maupun hukum-hukum perseorangan, hubungan manusia dengan Khalik, hubungan manusia dengan sesamanya, atau hubungan yang bertalian dengan etika pergaulan dan sikap terhadap diri sendiri dan atau orang lain. Lihat dalam Ensiklopedi Islam …; Op. Cit., h. 346.

Page 132: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

115

tidak sama dengan balas membalas. Kedua, adil yang hanya diketahui

melalui Al-Quran atau Hadis Nabi Muhammad SAW. Adil dalam pengertian

ini dalam perjalanan sejarah agama-agama Allah SWT dapat mengalami

perubahan atau penghapusan hukum karena ajaran agama yang baru.186

Adil adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam

rangka menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali, walaupun

akan merugikan dirinya sendiri. Secara terminologis, adil berarti

“mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari

segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak

berbeda satu sama lain.187 Pada sisi yang lain, John Rawls, di dalam A

Theory of Justice, mengkonsepkan keadilan sebagai fairness, yang

mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional

yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya

hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan

186 Suplemen Ensiklopedi Islam 1 A-K, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, h. 19. 187 Lihat Ensiklopedi Hukum Islam …; Op. Cit., h. 25. Pada bagian lain Esmi Warassih

mengemukakan: “…Persoalan keadilan tidak pernah akan selesai secara tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Persoalan keadilan yang terjadi dalam masyarakat tradisional akan berbeda dengan masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat yang telah maju, karena setiap masyarakat dengan sistem sosial tertentu memiliki tolok ukur atau pedoman dalam menentukan keadilan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, kita sulit menemukan rumusan keadilan yang berlaku secara universal.” Lihat dalam Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato…Op. Cit., h. 14.

Page 133: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

116

memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk

memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki.”188

Teori keadilan Rawls secara khusus merupakan kritik terhadap teori-

teori keadilan sebelumnya yang menurutnya telah gagal memberikan suatu

konsep keadilan yang tepat bagi kita. Kegagalan teori-teori terdahulu itu

disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi oleh utilitarisme

maupun intuisionisme. Sebagaimana dapat diketahui dari kata pengantar

buku A Theory of Justice, Rawls antara lain mengemukakan:189 “Secara

umum utilitarisme mengajarkan bahwa benar salahnya peraturan atau

tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari peraturan atau

tindakan tertentu yang dilakukan. Oleh karena itu, baik buruknya tindakan

manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi

tindakan tersebut bagi manusia. Sebagai teori yang oleh Ronald Dworkin

disebut goal-based theory, utilitarisme gagal untuk menjamin keadilan

sosial karena lebih mendahulukan asas manfaat (the good) hingga

melupakan asas hak (the right) yang merupakan aspek fundamental dari

prinsip-prinsip moral, khususnya prinsip keadilan. Agaknya pandangan

utilitarisme melalui pendekatan teleologis,190 berupaya menjembatani jurang

188 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986, h. 51. 189 Lihat Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi – Telaah Filsafat Politik John

Rawls. Yogyakarta: Kanisius, 2001, h. 21. 190 “Teori moral teleologis melihat hasil dari tindakan sebagai norma untuk menilai adil

tidaknya, atau baik buruknya suatu tindakan dari segi moral. Sedangkan teori moral

Page 134: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

117

antara prinsip hak (the right) dan prinsip manfaat (the good), namun dalam

praktiknya paham ini gagal memainkan perannya. Oleh karena apabila

utilitarisme tetap beranggapan bahwa kesejahteraan sosial dengan sendirinya

mengandaikan kesejahteraan anggota masyarakat sebagai individu, maka

muncul pertanyaan: Apa jaminannya bahwa peningkatan kesejahteraan

masyarakat sebagai keseluruhan akan dengan sendirinya mengangkat tingkat

kesejahteraan anggota masyarakat sebagai individu? Bisa saja terjadi, demi

manfaat yang lebih besar bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, hak

individu justru sengaja dikorbankan. Apabila demikian, maka utilitarisme

gagal menjamin setiap orang untuk mendapatkan apa yang seharusnya

menjadi haknya. Lebih dari itu, utilitarisme mengancam bahkan menyangkal

kebebasan individual, sehingga mengindikasikan bahwa utilitarisme gagal

memperlakukan setiap orang sebagai pribadi (person) yang mempunyai hak

untuk diperlakukan secara adil dan sama. Akibat kegagalan tersebut maka

utilitarisme tidak tepat apabila dijadikan sebagai basis untuk membangun

deontologis mengatakan bahwa kualitas moral tindakan tidak tergantung pada hasil dari tindakan, melainkan pada kualitas tindakan itu sendiri. Suatu tindakan akan dengan sendirinya dianggap baik atau buruk secara moral hanya karena tindakan itu dalam dirinya sendiri memang baik atau buruk secara moral. Jadi, keharusan moral menurut teori etika teleologis tergantung pada konsekuensi dari tindakan, sedangkan keharusan moral bagi etika deontologis ditentukan oleh hakikat dari tindakan itu sendiri.” Lihat dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 157-158.

Page 135: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

118

suatu konsep keadilan, karena tidak dapat memperjuangkan dan

menciptakan keadilan sosial.191

Bagi Rawls sikap dasar utilitarisme sungguh bertolak belakang dengan

prinsip keadilan sebagai fairness. Keadilan sebagai fairness menuntut bahwa

orang pertama-tama harus menerima prinsip kebebasan yang sama sebagai

basis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial. Dalam kalimat lain,

setiap keputusan sosial yang mempunyai akibat bagi semua anggota

masyarakat harus dibuat atas dasar hak (right-based weight) daripada atas

dasar manfaat (good-based weight).192 Berdasarkan argumen di muka,

Rawls hendak menegaskan bahwa keadilan sebagai fairness bermakna:

(i) prinsip hak dan kebebasan setiap orang harus mendapat prioritas

dibandingkan dengan prinsip manfaat;

191 “Keadilan sosial dalam arti keadilan yang pelaksanaannya tergantung pada struktur

proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis dalam masyarakat. Struktur-struktur itu merupakan struktur-struktur kekuasaan dalam dimensi-dimensi utama kehidupan masyarakat. Susunan struktur-struktur itu menentukan kedudukan masing-masing golongan sosial, apa yang mereka masukkan dan apa yang amereka peroleh dari proses-proses itu.” Lihat dalam Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1999, h. 332. Bdgk. Henry B. Veatch, Human Rights, Facts or Fancy. Baton Rouge and London: Lousiana State University Press, 1968, h. 55. Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 31.

192 “Right-based weight adalah pertimbangan yang didasarkan pada hak-hak tertentu, seperti hak atas suara hati yang bebas, sebagai dasar untuk mengambil keputusan, terutama keputusan-keputusan politik yang mempunyai dampak bagi kehidupan orang banyak. Sedangkan good-based weight adalah pertimbangan-pertimbangan yang mengambil sasaran-sasaran tertentu, misalnya manfaat yang sebesar-besarnya bagi jumlah masyarakat yang sebanyak-banyaknya, sebagai basis fundamental untuk mengambil keputusan.” Lihat Ronald Dworkin, “The Original Position;” dalam Reading Rawls, Critical Studies on Rawls’ A Theory of Justice; Norman Daniels (Ed.), Oxford: Basil Blackwell, 1975, h. 38-43; Sebagaimana dimuat pula dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 158.

Page 136: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

119

(ii) setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sifatnya tidak

dapat diganggu gugat dan secara mendasar dilindungi oleh prinsip

keadilan;193

(iii)hak dan kebebasan individual itu begitu mendasar, sehingga

keduanya tidak bisa dikorbankan meskipun pengorbanan seperti itu

dianggap penting demi manfaat sosial dan ekonomis yang lebih

besar.

Sedangkan terhadap teori intuisionisme, Rawls mengkritik karena

intuisionisme dianggap tidak memberi tempat memadai pada asas

rasionalitas. Dalam konteks keadilan, intuisionisme pada pokoknya

beranggapan bahwa kemampuan intuitif dapat membantu kita untuk

mengatasi problem keadilan. Pendekatan intuitif bisa menjadi sangat

problematis terutama karena beragamnya sudut pandang yang bisa

diterapkan dalam melihat suatu masalah. Menghadapi realitas seperti itu,

pendekatan intuitif terhadap suatu masalah, khususnya masalah keadilan,

pasti bukan jalan keluar yang memadai.194 Dalam proses pengambilan

keputusan (moral), intuisionisme lebih mengandalkan kemampuan intuisi

manusia. Oleh karena itu, pandangan ini juga tidak memadai apabila

193 Lihat John Rawls, A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University

Press, 1971, h. 28. Bdgk. Andre Ata Ujan, Keadilan dan...Loc.Cit., h. 32. 194 John Rawls, A Theory of...Op. Cit., h. 35-40. Bdgk. Andre Ata Ujan, Keadilan dan...

Op. Cit., h. 32.

Page 137: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

120

dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan, terutama pada waktu

terjadi konflik di antara norma-norma moral. Dalam perspektif ini juga,

pelbagai generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak didukung oleh

argumen yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya

pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan moral akan menjadi

subjektif atau kehilangan objektivitasnya.195

Belajar dari kegagalan teori-teori keadilan sebelumnya, Rawls merasa

tertantang untuk membangun sebuah teori keadilan yang mampu

menegakkan keadilan sosial dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan

secara objektif. Oleh karena itu, suatu teori keadilan yang memadai harus

dibentuk dengan pendekatan kontrak dalam hal ini prinsip-prinsip keadilan

yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil

kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat.

Berkaitan dengan hal tersebut di muka, pada Editor’s Foreword buku

Justice as Fairness – A Restatement, antara lain diutarakan: “According to

justice as fairness, the most reasonable principles of justice are those that

would be the object of mutual agreement by person under fair condition.

Justice as fairness thus develops a theory of justice from the idea of a social

195 Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 21.

Page 138: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

121

contract.” 196 Hanya melalui pendekatan kontrak itulah sebuah teori

keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan

kewajiban secara adil bagi semua orang. Dalam arti itulah keadilan bagi

Rawls adalah fairness.197 Artinya, tidak hanya mereka yang memiliki talenta

dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai

manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga sekaligus harus

membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan

prospek hidupnya. Oleh sebab itu, pertanggungjawaban moral atas

“kelebihan” dari mereka yang beruntung juga harus ditempatkan dalam

bingkai kepentingan kelompok orang yang kurang atau tidak memiliki

talenta dan kemampuan sebaik yang mereka miliki. Dalam arti itu, keadilan

sebagai fairness sangat menekankan asas resiprositas, tetapi pasti tidak

dalam arti simple reciprocity yang bermakna distribusi kekayaan dilakukan

tanpa melihat perbedaan-perbedaan objektif di antara anggota masyarakat.198

Keadilan adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan

terhadap objek di luar diri kita. Objek yang ada di luar diri kita ini adalah

manusia, sama dengan kita. Oleh karena itu, ukuran tersebut tak dapat

dilepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia atau kemanusiaan,

196 John Rawls, Justice as Fairness – A Restatement; (Edited by Erin Kelly).Cambridge,

Mass.: Harvard University Press, 2001, h. xi. 197 Andre Ata Ujan, Keadilan dan... Op. Cit., h. 22. 198 Andre Ata Ujan, Loc. Cit., h. 25.

Page 139: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

122

tentang konsep kita mengenai manusia.199 Persoalan keadilan memang

merupakan masalah yang cukup rumit dan kompleks, sebab menyangkut

hubungan antar manusia dari segala aspek kehidupannya. Pemahaman

keadilan menjadi lebih jelas, apabila terlebih dahulu kita memahami

hukum.200 Suatu pendapat mengatakan, bahwa hukum itu merupakan

mekanisme yang mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dan proses-proses di

dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan pendapat ini, maka

pengadilan pastilah merupakan lembaga yang terutama sekali menjadi

pendukung dari mekanisme itu. Di dalam lembaga itulah sengketa-sengketa

yang terdapat dalam masyarakat diselesaikan.”201 Sedangkan pekerjaan

untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan ke dalam bentuk-bentuk yang

konkrit sehingga diterima oleh masyarakat, merupakan pekerjaan penegak

hukum terutama para hakim. Hakim diharapkan memiliki kemampuan

menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam persoalan-persoalan yang

dihadapkan kepadanya melalui putusan-putusannya.202 Para hakim

hendaknya berani melihat undang-undang itu sebagai instrumen untuk

merumuskan keadilan bagi masyarakat dan bangsanya. Itu berarti, bahwa

hakim hendaknya senantiasa gelisah untuk menguji hukum yang ada, oleh

199 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum...Op. Cit., h. 51. 200 Esmi Warassih, “Pemberdayaan...”. Op. Cit., h. 16. 201 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung: Alumni,

1980, h. 106. 202 Esmi Warassih, “Pemberdayaan...” Op. Cit., h. 18.

Page 140: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

123

karena hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Manakala

pengadilan tidak mampu mendengarkan persoalan bangsanya, maka ia akan

menjadi suatu anomali, yang menyebabkan masyarakat kehilangan salah

satu lembaga yang penting yang menjadi simpul produktivitas proses-proses

dalam masyarakat.203 Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan realitas

persoalan penegakan dan perolehan keadilan melalui lembaga pengadilan,

tujuan pilihan forum arbitrase dalam rangka penyelesaian sengketa ini

memiliki sandaran teoritis maupun praksis yang sangat memadai.

B. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi

Hakim Pengadilan Negeri

Seperti telah disinggung di muka, bahwa pilihan forum arbitrase

memiliki kaitan yang cukup erat dengan ragam aktivitas perniagaan. Bahkan

aktivitas perdagangan antar bangsa yang semakin intensif dewasa ini sangat

diwarnai oleh semakin banyak kesepakatan yang dibuat dalam bentuk

kontrak internasional (international contracts). Menurut Hans Smith,204

kontrak internasional (international contracts) adalah: "...contracts with

203 Satjipto Rahardjo,“Rekonstruksi Strategi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan

Pengadilan yang Independen dan Berwibawa”; Makalah Seminar pada Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 28 Maret 2000, h. 2-4.

204 Lihat Hans Smit et al, International Contracts. Parker School of Foreign and Comparative Law, Columbia University, Matthew Bender, 1981, h. 4. Dalam kaitan ini kontrak-kontrak internasional yang dibuat antar negara tidak termasuk di dalam kajian

Page 141: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

124

elements in two or more nation-states. Such contracts may be between

states, between a state and a private party, or exclusively between private

parties."

Hukum Indonesia mengartikan kontrak serupa dengan perjanjian atau

persetujuan. Namun demikian, kontrak memiliki lingkup pengertian yang

lebih sempit karena hanya berarti perjanjian tertulis.205 Sedangkan

perjanjian atau persetujuan meliputi baik yang dibuat secara tertulis maupun

lisan. Dalam rangka memelihara sikap taat asas dalam penulisan Disertasi

ini, selanjutnya akan digunakan istilah kontrak untuk menyebut perjanjian206

tertulis. Ada sejumlah alasan dan pertimbangan mengapa istilah kontrak

relatif dianggap lebih tepat untuk digunakan apalagi dalam konteks

pembicaraan mengenai perjanjian yang melibatkan unsur asing (foreign

element) sebagai salah satu pihak di dalamnya. Alasan-alasan dimaksud

antara lain sebagai berikut:

� Baik kaidah hukum nasional maupun hukum internasional, menyebut

kontrak untuk perjanjian (agreement) yang dibuat secara tertulis oleh

pihak-pihak swasta (private parties);

Disertasi ini. Pembahasan akan dibatasi hanya berkenaan dengan kontrak-kontrak yang dibuat antar pihak-pihak swasta (private parties) satu sama lain.

205 R. Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979, h. 1. 206 Yaitu “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” Lihat R. Subekti, Loc. Cit.,

Page 142: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

125

� Untuk membedakan antara kontrak internasional207 dengan perjanjian

internasional (treaty),208 karena di antara keduanya memiliki

perbedaan makna yang sangat kontras;

� Merujuk pada rumusan dari Hans Smith, bahwa persetujuan

(agreement) antara dua pihak swasta atau lebih (exclusively between

private parties), yang berlainan kebangsaan disebut kontrak

internasional.

Sementara itu, hingga saat ini basis rujukan hukum kontrak di

Indonesia adalah Buku Ketiga BW (Burgerlijk Wetboek) atau KUH Perdata

tentang Perikatan. Seperti telah dimaklumi bahwa hukum kontrak di dalam

BW Indonesia menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak

(beginsel der contractsvrijheid).209 Berdasarkan asas tersebut para pihak

diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengadakan kontrak apa saja,

207 "...contracts with elements in two or more nation-states. Such contracts may be between

states, between a state and a private party, or exclusively between private parties. Hans Smith et al., International Contracts…Op. Cit., h. 4.

208 "Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara negara-negara, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, dan perjanjian antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.” Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978, h. 109-116.

209 Lihat R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni 1981, h. 16. “Sistem yang dianut BW adalah sistem terbuka. Artinya, para pihak dapat mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW atau WvK (KUHD) atau Undang-undang lainnya. Namun demikian ketentuan-ketentuan umum BW Buku III titel I sampai dengan IV masih tetap berlaku, misalnya mengenai sahnya perjanjian (Pasal 1320).” Lihat dalam Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahakamah Agung Indonesia. Bandung: Alumni, 1999, h. 3.

Page 143: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

126

asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.210 Atas dasar alasan

demikian, kaidah hukum di dalam Buku ketiga BW adalah "hukum

pelengkap" (optional law).211 Para pihak dimungkinkan untuk

mengesampingkan kaidah-kaidah hukum materiil tentang perikatan

sepanjang hal itu disepakati oleh mereka. Persoalan ini merupakan

konsekuensi dari pengakuan terhadap prinsip "pacta sunt servanda" 212

(perjanjian harus ditaati). Bahkan di dalam hukum internasional prinsip

“pacta sunt servanda” diakui amat fundamental, sehingga menjadi norma

imperatif dalam praktik perjanjian internasional.213

210 Lihat R. Subekti, Hukum Perjanjian…Op. Cit., h. 13. 211 “…Benar-benar pasal-pasal dari Hukum Perjanjian itu dapat dikatakan melengkapi

perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap, dan biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Biasanya mereka hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja, dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya.” Lihat R. Subekti, Hukum Perjanjian...Loc.Cit., h. 13.

212 "Pacta" berasal dari sebuah kata bahasa Latin "pactum" yang artinya perjanjian atau persetujuan (agreement). Dari kata pactum itu lahirlah ungkapan “pacta sunt servanda” yang berkembang dan diangkat menjadi kaidah hukum yang mengandung makna “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, oleh sebab itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (good faith). Di Indonesia, asas pacta sunt servanda dapat dijumpai dalam kaidah hukum, sebagaimana dapat diketahui dalam Hukum Perjanjian [Buku Ketiga BW Pasal 1338 ayat (1)], yaitu: ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Periksa M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari…Op. Cit., h. 87-88.

213 Perjanjian internasional dalam hal ini adalah perjanjian internasional menurut Viena Convention 1969 on The Law of Treaties, Lihat Budiono Kusumohamidjojo, Suatu studi terhadap aspek operasional Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986, hal. 15. Periksa pula Viena Convention on the law of treaties and international organization or between international organization., dalam International Legal Materials. Volume XXV, Number 3, May 1986, h. 543-592.

Page 144: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

127

Pada prinsipnya asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

tidak hanya memberikan kebebasan kepada para pihak untuk mengajukan

poin-poin menyangkut pokok kontrak, akan tetapi meliputi pula kebebasan

untuk menyepakati langkah penyelesaian sengketa. Oleh karena itu,

melakukan pilihan forum atau pilihan jurisdiksi di luar pengadilan untuk

menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi tergolong dalam ruang

lingkup asas kebebasan berkontrak. Pilihan forum atau pilihan jurisdiksi

dapat dilakukan dengan cara-cara:

(i) mencantumkan suatu klausula atau ketentuan yang merupakan

bagian dari substansi kontrak yang berisi kesepakatan tentang

pilihan forum arbitrase tertentu yang berwenang menyelesaikan

sengketa, atau

(ii) para pihak membuat kesepakatan tersendiri dalam suatu akte

terpisah dari kontrak utama yang ditandatangani oleh para

pihak setelah terjadi sengketa214 yang berisi kesepakatan untuk

menyelesaikan sengketa melalui forum arbitrase tertentu.

Di dalam arbitrase komersial internasional, pilihan forum atau pilihan

jurisdiksi sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak dinamakan

214 Klausula sebagaimana tersebut dalam poin (i) disebut pactum de compromitendo,

sedangkan akte sebagaimana tersebut dalam poin (ii) disebut acta compromis. Bandingkan dengan Pasal 1020 ayat (2) Vierde Boek van Nederland Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering; dalam MOJ de Folter et al., Burgerlijke Rechtsvordering en aanverwante Regelingen. Kluwer-Deventer, 1990, h. 198.

Page 145: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

128

perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate). Bahkan perjanjian arbitrase itu

merupakan dasar yang fundamental bagi para pihak yang menunjukkan

kehendaknya untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui forum arbitrase.

Oleh karena itu, perjanjian arbitrase seperti halnya perjanjian-perjanjian

yang lainnya, harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.215 Artinya,

kata sepakat216 dalam perjanjian arbitrase tidak boleh cacat atau tidak sah.

Terdapat dua macam perjanjian arbitrase. Pertama, "agreement to

submit future disputes to arbitration," atau lazim dinamakan klausula

arbitrase (arbitration clause)217 sebagai bagian tak terpisahkan dari kontrak

utama (principal agreement) para pihak. Kedua, "agreement to submit

existing disputes to arbitration" atau secara singkat disebut "submission

agreement."218

Bentuk yang pertama yakni klausula arbitrase (arbitration clause),

berkenaan dengan sengketa yang baru akan terjadi di kemudian hari. Oleh

sebab itu, rumusan klausula arbitrase tidak selalu dapat dibuat secara rinci,

215 Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya suatu perjanjian: (i) sepakat mereka yang

mengikatkan diri, (ii) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (iii) suatu hal tertentu, dan (iv) suatu sebab yang halal.

216 Kata sepakat dalam perjanjian arbitrase dianggap cacat apabila mengandung unsur-unsur kekeliruan (dwaling), paksaan (dwang), dan/atau adanya penipuan (bedrog); Lihat juga Pasal 1321 BW.

217 “...which deals with disputes which may arise in the future, does not usually go into too much detail, since it is not known what kind of disputes will arise and how they should best be handled.” Lihat, Alan Redfern, Law and Practice of... Op. Cit., h. 130.

218 “...deals with an existing dispute and can be tailored exactly to fit the circumstances and to provide in detail how the arbitral tribunal should deal with the dispute. A submission agreement may take the form of a brief agreement to submit an existing

Page 146: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

129

karena belum dapat diketahui sengketa apa yang kelak akan terjadi dan

belum diketahui pula bagaimana para pihak akan menyelesaikan sengketa

tersebut dengan cara yang paling baik. Bentuk ini disebut dengan pactum de

compromittendo. Sebaliknya, model yang kedua adalah submission

agreement, berkenaan dengan sengketa yang telah terjadi, sehingga rumusan

substansi agreement tersebut dapat disusun secara pasti dan rinci sesuai

dengan keadaan sengketanya, sekaligus pula dapat dirancang bagaimana

lembaga arbitrase akan menyelesaikan sengketa tersebut. Model yang kedua

ini dinamakan akta kompromis.219

Kedua bentuk perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate) di muka,

baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis pada dasarnya

memiliki tujuan serta konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian

arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut220 atau kewenangan mutlak

dispute to the procedures of an arbitral institution. Lihat, Alan Redfern, Law and... Loc. Cit., h. 130.

219 “Adalah perjanjian yang disepakati oleh para pihak bahwa perselisihan yang telah terjadi diantara mereka diselesaikan melalui forum arbitrase.” Syarat sahnya diatur dalam Pasal 618 Rv, diantaranya sebagai berikut: (i) pembuatan akta kompromis dilakukan setelah timbul sengketa; (ii) bentuknya harus akta tertulis, tidak boleh dengan persetujuan lisan; (iii) harus ditandatanagani oleh kedua belah pihak. Bila para pihak tidak dapat menandatangani, akta kompromis harus dibuat di depan notaris; (iv) isi akta kompromis harus terdiri atas: a) masalah yang disengketakan; b) nama dan tempat tinggal para pihak; c) nama dan tempat tinggal arbiter; dan d) jumlah arbiter yang ditunjuk, harus ganjil. Lihat dalam M. Yahya Harahap, Abitrase – Ditinjau... Op. Cit., h. 66-67.

220 “Mahkamah Agung berpendirian bahwa klausula arbitrase dengan sendirinya berbobot kompetensi absolut, sehingga yurisdiksi mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian, dengan sendirinya menurut hukum jatuh menjadi kewenangan absolut Mahkamah Arbitrase (arbitral tribunal). Oleh karena itu, setiap pengadilan menghadapi kasus gugatan yang seperti itu, ada atau tidak ada eksepsi, harus tunduk pada ketentuan Pasal

Page 147: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

130

forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak. Sebagai konsekuensi

hukumnya penyelesaian sengketa dimaksud akan ditarik keluar dari

yurisdiksi hakim pengadilan negeri dan selanjutnya menjadi kewenangan

forum arbitrase yang dipilih oleh para pihak. Sebaliknya pengadilan negeri

menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa bersangkutan. 221

Namun demikian, kompetensi absolut forum arbitrase itu dapat gugur

serta beralih kembali menjadi kompetensi pengadilan negeri apabila ternyata

memenuhi syarat sebagaimana ditentukan di dalam bagian terakhir artikel II

ayat (3) Konvensi New York (KNY).222 Artikel II ayat (3) KNY

selengkapnya dapat disimak berikut ini:

"The Court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless if finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed.”

134 HIR, dan menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili.” Lihat M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 87.

221 Lihat Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Dari Yurisprudensi MA pada waktu yang lalu, sebelum Indonesia memiliki Undang-undang Arbitrase dapat diberikan contoh antara lain: Putusan Mahkamah Agung Nomor 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Februari 1982 dalam kasus Ahju Forestry Company Ltd.; Putusan Mahkamah Agung Nomor 455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam kasus PT Asuransi Ramayana; dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 794 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam kasus PT Asuransi Royal Indrapura; Intermanual Himpunan Putusan Mahkamah Agung tentang Arbitrase. Mahkamah Agung, Proyek Yurisprudensi, 1989.

222 Indonesia mensahkan "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards" yang ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku tanggal 7 Juni 1959, dengan memakai instrumen ratifikasi berupa Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 LNRI Thn. 1981 No. 40.

Page 148: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

131

Kompetensi forum arbitrase sebagai akibat adanya pilihan jurisdiksi

melalui perjanjian arbitrase (agreement to arbitrate), baik melalui klausula

arbitrase (arbitration clause) maupun melalui submission agreement, secara

implisit diakui dan dinyatakan dalam artikel II ayat (3) KNY. Bahwa

pengadilan dari negara penandatangan konvensi harus merujuk para pihak

ke forum arbitrase, menunjukkan betapa akibat adanya pilihan forum

pengadilan negeri menjadi tidak berwenang memeriksa sengketa dimaksud,

kecuali apabila ternyata dapat dibuktikan bahwa "... the said agreement is

"null and void, inoperative or incapable of being performed".223 Namun

demikian kata-kata "the said agreement" dalam artikel II ayat (3) di atas,

ternyata tidak ditemukan penjelasannya. Apakah yang dimaksud dengan

agreement oleh konvensi adalah kesepakatan para pihak yang dituangkan

di dalam kontrak utama (main contract) yang di dalamnya termasuk memuat

klausula arbitrase (arbitration clause), ataukah yang dimaksud adalah

submission agreement yang dibuat secara terpisah dari kontrak utama.

Berdasarkan pembacaan lebih lanjut, tampaknya agreement

sebagaimana dimaksud dalam artikel II (3) KNY itu bukan agreement

dalam arti kontrak utama (main contract) sebagaimana disepakati para pihak,

223 A.J. van den Berg, menyatakan “The last part of Article II (3) provides that a

court must refer the parties to arbitration unless the arbitration agreement is "null and void, inoperative or incapable of being performed". Lihat dalam A.J. van den Berg, "The New York Arbitration Convention of 1958 – Towards a Uniform Judicial Interpretation. The Hague: TMC Asser Institute, 1981, h. 154.

Page 149: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

132

melainkan maksudnya adalah "agreement to arbitrate" atau perjanjian

arbitrase.224 Oleh karena dalam Undang-undang Arbitrase Indonesia yang

baru jelas disebutkan bahwa perjanjian arbitrase itu dapat berupa klausula

arbitrase (arbitration clause) atau perjanjian tersendiri yang dibuat setelah

terjadi sengketa (submission agreement). Atas dasar pemahaman tersebut

maka mungkin saja terjadi suatu kontrak utama (main contract) berlaku sah,

sedangkan perjanjian arbitrasenya (agreement to arbitrate) "null and void,

inoperative or incapable of being performed."

Null and void, dapat diinterpretasikan "... where the arbitration

agreement is affected by some invalidity right from the beginning. It would

then cover matters such as the lack of consent due to misrepresentation,

duress, fraud or undue influence".225 Sebagai contoh tidak adanya kehendak

yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua pihak. Dapat juga

terjadi karena adanya unsur paksaan (duress), penipuan (fraud), atau

penyalahgunaan keadaan (undue influence). Undue influence atau misbruik

van omstandigheden, dapat terdiri atas dua unsur, pertama, menimbulkan

kerugian yang sangat besar dan kedua, menyalahgunakan kesempatan.226

Kata "inoperative", diartikan bilamana "... the arbitration agreement

has ceased to have effect. The ceasing of effect of the arbitration agreement

224 Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Thn. 1999. 225 Lihat A.J. van den Berg, The New York.., Op. Cit., h. 156.

Page 150: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

133

may occur for a variety of reasons. One reason may be that the parties

have implicitly or explicitly revoked the agreement to arbitrate.227 Sebagai

contoh misalnya, sengketa yang sama di antara pihak-pihak yang sama

pula telah diputus oleh arbitrase atau telah diputus oleh suatu pengadilan

tertentu (res judicata atau nebis in idem). Oleh karenanya arbitration

agreement itu tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat.

Sedangkan kata-kata "incapable of being performed", diartikan

bilamana "... the arbitration cannot be effectively set into motion. This may

happen where the arbitral clause is too vaguely worded, or other terms of

the contract contradict the parties intention to arbitrate.228 Untuk hal ini

umpamanya perjanjian arbitrase disusun dalam kata-kata yang tidak jelas

atau tidak lengkap.

Berbicara mengenai masalah kompetensi atau kewenangan badan

peradilan untuk memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, bersangkut-

paut dengan norma hukum acara perdata. Persoalan kompetensi mengadili di

dalam hukum acara perdata berada pada ruang lingkup pembagian

kewenangan memeriksa perkara di antara badan peradilan yang tidak sejenis.

Hukum Acara Perdata di Indonesia menetapkan bahwa dalam hal-hal

terjadi perselisihan mengenai kewenangan mengadili atas suatu sengketa

226 Lihat Setiawan, Aneka Masalah...Op. Cit., h. 181. 227 A.J. van den Berg, Op. cit., h. 158. 228 Ibid,. h. 159.

Page 151: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

134

yang karena sesuatu sebab menjadi tidak masuk kewenangan pengadilan

negeri, maka pengadilan harus tunduk pada ketentuan pasal 134 HIR.229

Karenanya, hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk

mengadili. Ini berarti bahwa hakim karena jabatannya (ex officio) dapat

menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa sengketa yang

diajukan, meskipun tidak ada eksepsi230 (tangkisan) dari pihak lawan.

Namun demikian, keadaan tidak berwenangnya hakim pengadilan negeri

untuk memeriksa sengketa yang timbul dari suatu kontrak yang

mencantumkan klausula pilihan forum arbitrase tidak mutlak sama sekali.

Artinya, pada suatu ketika hakim pengadilan negeri akan kembali berwenang

atau berkompeten untuk memeriksa sengketa yang terjadi, dalam hal-hal

sebagai berikut:

(a) apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan forum;

(b) apabila sengketa yang timbul nyata-nyata di luar substansi kontrak;231

229 Pasal 134 HIR menyatakan: "Tetapi dalam hal perselisihan itu mengenai suatu

perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka setiap saat pemeriksaan perkara itu boleh dituntut, supaya hakim mengaku dirinya tidak berhak dan hakim sendiri wajib mengakui itu karena jabatannya."

230 Mengenai eksepsi dan kewenangan hakim dalam mengadili ini secara rinci lebih jauh dapat dibaca di dalam Buku: Hugenholtz/Heemskerk, Hoofdlijnen van Nederlands Burgerlijk Procesrecht - (Vijftiende druk). ‘s-Gravenhage: VUGA Uitgeverij B.V., 1988, h. 169-174.

231 Frans Liemena, “Klausula Arbitrase dihubungkan dengan Kompetensi Pengadilan Negeri”; dalam Varia Peradilan, Tahun III Nomor 29, Februari 1988, h. 188. Bdgk. Erman Rajagukguk, “Keputusan Pengadilan Mengenai Beberapa Masalah Arbitrase;” dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994, h. 75.

Page 152: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

135

(c) putusan yang dijatuhkan di luar kewenangan forum arbitrase atau

bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan yang berlaku,

sehingga hakim menganggap kausanya tidak halal.

Sedangkan apabila sengketa yang timbul itu sehubungan dengan

pelaksanaan kontrak, maka forum arbitrase yang dipilih itu tetap akan

memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa dimaksud.

Berkaitan dengan hal di atas, berikut ini dapat disimak putusan

pengadilan yang menggambarkan tentang kompetensi hakim pengadilan

negeri dalam kaitannya dengan klausula arbitrase. Putusan yang dimaksud

antara lain putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara,232 dalam kasus antara

PT Balapan Jaya (penggugat) dengan Ahju Forestry Ltd (tergugat). Di

dalam eksepsinya tergugat (Ahju Forestry Ltd.) antara lain menyatakan

bahwa: "...karena adanya arbitration clausule yang sudah disetujui kedua

belah pihak dan karenanya mengikat mereka sebagai Undang-undang

(Pasal 1338 BW), maka sengketa ini tidak dapat diperiksa oleh pengadilan

tetapi harus diselesaikan oleh forum arbitrase yang telah dimufakati dalam

perjanjian para pihak itu. Atas dasar itu pula Pengadilan Negeri Jakarta

Utara harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara

ini." Akan tetapi di dalam diktum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara,

232 Tanggal 18 Desember 1980, Nomor 113/1980.G.

Page 153: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

136

antara lain disebutkan: "menyatakan eksepsi tergugat, baik tentang

kompetensi absolut maupun kompetensi relatif tidak beralasan hukum,

karenanya ditolak."

Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 18 Desember 1980 Nomor

113/1980.G di atas. Dengan demikian Pengadilan Tinggi Jakarta,233 juga

menolak eksepsi tergugat/pembanding (Ahju Forestry Co.Ltd) mengenai

kompetensi absolut forum arbitrase. Sedangkan pada permohonan kasasi,

penggugat untuk kasasi dahulu tergugat/pembanding (Ahju Forestry

Co.Ltd.), mengajukan keberatan. Di dalam memori kasasinya antara lain

menyatakan bahwa: “Sesuai dengan pasal 15 Basic Agreement for Joint

Venture, para pihak telah mengadakan persetujuan bahwa setiap sengketa

yang timbul akan diselesaikan melalui forum arbitrase. Oleh karena itu,

putusan judex facti telah melanggar ketentuan mengenai kompetensi

absolut”.

Berdasarkan alasan kasasi tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan

permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi. Dalam

pertimbangannya, Mahkamah Agung antara lain menyatakan bahwa

“keberatan pemohon kasasi pada pokoknya dapat dibenarkan, judex facti

233 Tanggal 7 Mei 1981 Nomor 57/1981 P.T. Perdata, dalam Sudargo Gautama, Aneka

Masalah Hukum ...Op. Cit., h. 180.

Page 154: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

137

telah salah menerapkan hukum, sesuai eksepsi penggugat untuk

kasasi/tergugat asal, pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili

perkara ini.”234 Mahkamah Agung memutuskan235 (i) menerima permohonan

kasasi dari Ahju Forestry Co.Ltd.; (ii) membatalkan putusan Pengadilan

Tinggi Jakarta; dan (iii) menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara

tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut.

Demikian pula halnya dalam kasus PT Maskapai Asuransi Ramayana

vs. Sohandi Kawilarang,236 Mahkamah Agung juga telah membatalkan

putusan judex facti (Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi

Jakarta). Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung antara lain

menyatakan, bahwa polis asuransi kecelakaan tanggal 10 Agustus 1978

Nomor 210.PA/20.318, di bawah ketentuan umum dicantumkan (sub 7)

bahwa "pertikaian berkenaan dengan polis ini, diselesaikan dalam tingkat

tertinggi di Jakarta oleh 3 (tiga) orang juru pisah (arbiter)."237

Dengan demikian pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan

mengadili perkara ini sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 14 tahun 1970, khususnya memori penjelasan pasal tersebut.

Selanjutnya Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun hal itu tidak

234 Himpunan Putusan MA tentang Arbitrase; Op. Cit., h. 34. 235 Tanggal 22 Februari 1982 Nomor 2924 K/Sip/1981. Ibid., h. 185. 236 PT Asuransi Ramayana sebagai tergugat dalam konvensi pada Pengadilan Negeri

Jakarta Barat dengan putusan tanggal 2 Juli 1980 Nomor 333/1979; Putusan Banding Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 18 Nopember 1981 Nomor 236/1980.

Page 155: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

138

diajukan sebagai eksepsi oleh pihak tergugat namun berdasarkan pasal 134

HIR, hakim berwenang untuk menambahkan pertimbangan dan alasan

hukum secara jabatan.

Kemudian putusan yang serupa juga dapat dijumpai pada kasus PT

Asuransi Royal Indrapura.238 Mahkamah Agung di dalam pemeriksaan

kasasi terhadap kasus ini mengemukakan alasan antara lain, di dalam polis

tanggal 10 Agustus 1978 No. 49/00137/08, pada bagian bawah tentang

conditions diuraikan bahwa: “All differences arising out of this policy shall

be referred to the decision of an arbitrator to be appointed in writing by the

parties in difference or if they can not agree upon a single arbitrator".

Mahkamah Agung berpendapat, “seandainya para pihak hendak

menyimpang dari ketentuan polis tersebut, maka harus secara tegas

dikemukakan oleh para pihak pada waktu mengajukan gugatan di

pengadilan negeri.” Dari beberapa putusan Mahkamah Agung di muka,

diperoleh suatu gambaran bahwa pada dasarnya Mahkamah Agung

menganut prinsip pacta sunt servanda. Artinya, klausula arbitrase mengikat

secara mutlak terhadap para pihak yang membuatnya, sehingga klausula

arbitrase langsung melahirkan kompetensi absolut forum arbitrase sesuai

237 Putusan tersebut dimuat dalam Yurisprudensi Indonesia 3. Jakarta: Ichtiar Baru

Hoeve, 1990, h. 6. 238 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 14 Juli 1980 Nomor 869/1979.G.;

Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 4 Nopember 1981 Nomor 225/1980/PT. Perdata; Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Januari 1983, Nomor 794 K/Sip/1982.

Page 156: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

139

pilihan para pihak. Sikap Mahkamah Agung semacam itu dinyatakan pada

saat memeriksa dan memutus permohonan kasasi dari sengketa kontrak

yang gugatannya diajukan kepada pengadilan negeri sedangkan kontrak

bersangkutan mencantumkan klausula arbitrase.239

Sikap Mahkamah Agung yang dalam tingkat kasasi telah membatalkan

putusan judex facti yang telah mengabulkan gugatan penggugat, sedangkan

kontrak para pihak mencantumkan klausula arbitrase, merupakan bukti

bahwa badan peradilan tertinggi di Indonesia itu masih senantiasa

mengapresiasi kebebasan para pihak untuk melakukan pilihan forum.

C. Pilihan Forum Arbitrase sebagai Fenomena Penyelesaian Sengketa

Arbitrase sesungguhnya tidak termasuk bentuk alternatif penyelesaian

sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR) karena arbitrase

pada dasarnya tergolong kelompok Adjudicatory methods of settlement atau

adjudication,240 yang terdiri atas dua prototipe yakni litigasi di pengadilan

239 Bandingkan pula putusan Mahkamah Agung dalam perkara PT. Arpeni Pratama Ocean

Line melawan PT. Shorea Mas, Nomor 3179 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988; Lihat dalam Yurispudensi Indonesia 3. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1990, h. 103; Putusan tersebut juga mengenai ketidakwenangan pengadilan dalam hal adanya klausula arbitrase.

240 Menurut Goldberg, Sander & Roger, “Adjudication is a process in which disputans present proofs and arguments to a neutral third party who has the power to hand down a binding decision, generally based on objective standards”. Lihat Christian Buhring – Uhle, Arbitration and Mediation in International Business. The Hague: Kluwer Law International, 1996, h. 43. Bdgk. Sofyan Mukhtar, “Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa Perdata-Dagang (Dispute Resolution);” dalam Varia Peradilan No. 48, 1989, h. 126.

Page 157: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

140

(public adjudication) dan arbitrase (private adjudication). Sedangkan

metode ADR termasuk dalam kelompok non-adjudicatory methods of

settlement,241 yang meliputi mediasi (mediation) dan konsiliasi

(conciliation).242 Oleh karena itu, berbeda dengan arbitrase, mediasi dan

konsiliasi tidak dapat menghasilkan putusan yang mengikat yang dapat

dilaksanakan. Mediator tidak dapat memaksa para pihak untuk mencapai

penyelesaian; begitu pula konsiliator tidak memiliki kekuasaan untuk

menjatuhkan putusannya kepada para pihak.243

Persoalannya lalu mengapa arbitrase menjadi fenomena244 dalam

penyelesaian sengketa, sehingga orang memilih arbitrase sebagai forum bagi

penyelesaian sengketanya? Benarkah karena arbitrase berproses cepat dan

241 Meliputi negosiasi (negotiation), konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan lain-

lain. Lihat David H. Ott, Public International Law... Op. Cit., h. 333-334. Bdgk. Liem Lei Theng, “Court Connected ADR in Singapore;” Makalah Seminar Court Connected ADR, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 21 April 1999. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) memang bukan merupakan panacea yang mampu mengatasi semua sengketa. Lihat Arthur Mariot, “The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes;” dalam Asia Pacific Law Review, Vol. 1 Summer 1994, h. 1-19.

242 Menurut Hakim Manly O. Hudson, Conciliation “is a process of formulating proposals of settlement after an investigation of the facts and an effort to reconcile opposing contentions, the parties to the dispute being left free to accept or reject the proposals formulated.” Periksa, J.G. Starke, Introduction...Op. Cit., h. 489

243 Alan Redfern selanjutnya mengemukakan: “If the parties are seeking a decision on their dispute, as opposed to a negotiated settlement, then mediation or conciliation is not for them. Parties may try mediation or conciliation first and then, if this fails, resort to arbitration. Nor should the mediator or conciliator change his role and act as an arbitrator.” Lihat Alan Redfern et.al., Law and Practice...Op. Cit., h. 27.

244 Fenomena dalam arti fakta atau kenyataan yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Page 158: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

141

berbiaya murah? Ternyata bukan itu yang menjadi alasan utama.245 Yang

menjadi andalan pihak-pihak yang memilih arbitrase adalah justru kualitas

(quality) dari para arbiter berupa keahlian dalam bidang masing-masing

arbiter. Keahlian merupakan salah satu jaminan terhadap kepercayaan.

Tanpa ada kepercayaan, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan

baik.246 Demikian pula dengan lembaga pengadilan, sebagai lembaga tempat

menyelesaikan beragam sengketa di dalam masyarakat, pengadilan akan

dapat menjalankan tugas dengan baik apabila mendapat kepercayaan dari

pihak-pihak yang bersengketa.247 Pengadilan bukanlah diartikan semata-

mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang

abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan.” “Hal memberikan keadilan”

berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam

245 Banyak proses pemeriksaan arbitrase berlangsung bertahun-tahun lamanya dan tidak

perlu diherankan bahwa oleh karenanya memakan biaya yang cukup besar. Lihat Setiawan, “Klausula Arbitrase dalam Teori dan Praktek”; dalam Varia Peradilan Tahun IX No. 104, Mei 1994, h. 125-139 [127].

246 Forum arbitrase pada asasnya memiliki fungsi yang sama dengan lembaga peradilan. Keduanya merupakan pihak ketiga yang (seharusnya) tidak memihak. Kedua-duanya bersandar pada satu sendi pokok yang sama, yaitu kepercayaan. Tanpa adanya kepercayaan, kedua lembaga itu tidak akan dapat berfungsi dengan baik. Lihat Setiawan, “Kalusula ...Loc Cit., h. 128.

247 Satjipto Rahardjo mengemukakan: warga masyarakat bersedia untuk membawa perkara-perkaranya itu ke pengadilan, karena: (i) Percaya bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki; (ii) Percaya bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup, dan nilai-nilai utama lainnya; (iii) Percaya bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia; dan (iv) Percaya bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum. Periksa Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan. Bandung: Alumni, 1980, h. 106-107. Demikian pula Setiawan menyatakan: “...bahwa tiang utama lembaga peradilan adalah prinsip kepercayaan. Para pencari keadilan menyerahkan penyelesaian perkara kepada

Page 159: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

142

memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan, konkretnya

kepada yang mohon keadilan, apa yang menjadi haknya atau apa

hukumnya.248 Pengadilan berfungsi amat vital dalam menopang ide-ide

hukum (das sollen) menjadi kenyataan hukum (das sein). Oleh karena itu,

hakim sebagai aktor penegak hukum utama di pengadilan harus benar-benar

melakukan “konkretisasi hukum” dengan tetap memperhitungkan perasaan

keadilan masyarakat. Persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan kita

adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-

prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap

apa yang disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap

“keadilan masyarakat” (social justice).249 Hakim telah meninggalkan

pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-putusannya.

Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari

putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental “bau

formalisme-prosedural” ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga

pengadilan, karena percaya bahwa mereka akan memperoleh keadilan.” Lihat, Setiawan, Aneka Masalah Hukum...Op. Cit., h. 370.

248 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Bandung: Kilatmadju, 1971, h. 2.

249 “Oleh karena itu, kohesivitas (paduan) antara hukum positif dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat menjadi conditio sine qua non untuk menghindari keadaan dimana hukum ada di puncak menara gading yang jauh dari jangkauan pemahaman keadilan masyarakat.” Lihat, A. Ahsin Thohari, “Dari “Law Enforcement” ke “Justice Enforcement”, dalam Kompas, Rabu, 3 Juli 2002.

Page 160: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

143

masyarakat.” 250 Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari semakin

berkembang rasa tidak percaya dan sikap sinis masyarakat terhadap institusi

pengadilan.251

Ternyata keluhan terhadap lembaga peradilan tidak hanya menyangkut

perolehan keadilan semata sebagaimana diuraikan di muka, melainkan juga

berkaitan dengan proses peradilan yang lamban. Diakui oleh seorang hakim

agung bahwa “sebuah proses persidangan dapat berlangsung hingga enam

tahun sampai ada putusan hakim yang berkekuatan tetap.”252 Padahal

Mahkamah Agung sendiri sesungguhnya telah menyadari bahwa apabila

penyelesaian perkara lambat dapat berakibat: (i) menenggelamkan

kebenaran dan keadilan ke dalam lembah yang curam, sehingga sulit diraih

oleh masyarakat pencari keadilan; (ii) menimbulkan ketidakpastian

(uncertainty) yang berlarut-larut di antara para pihak yang berperkara, yang

membuat mereka berada dalam keresahan yang berkepanjangan; (iii) para

250 Achmad Ali, “Pengadilan yang yang tak Berkeadilan”; dalam Kompas, Jumat, 08 Juni

2001; Berkenaan dengan hal tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakan: “Sejak hukum modern memberi peluang besar terhadap berperannya faktor prosedur, atau formalitas, atau tata cara dalam proses hukum, perburuan terhadap keadilan menjadi semakin rumit. Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?” Lihat Satjipto Rahardjo,“Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif”; dalam Kompas, Sabtu, 12 Oktober 2002.

251 Masyarakat Indonesia kini cenderung menjadi “bad trust society.” Konsekuensi logisnya, menyebar dimana-mana perilaku kekerasan dan tindakan “main hakim sendiri.” Lihat Achmad Ali, “Pengadilan yang...Loc. Cit.,.

252 “Selain lambat, putusan hakim juga sering dinilai kontradiktif dan tidak jarang putusan hakim itu tidak dapat dieksekusi.” Pernyataan dari seorang Hakim Agung HP

Page 161: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

144

pihak yang berperkara mengalami kerugian ekonomis yang tidak sedikit,

sehingga keadaan semacam itu memberi kesan seolah-olah badan peradilan

telah menjadi alat kekuasaan yang berperan menghambat laju perkembangan

ekonomi sosial.253 Namun demikian, “kelambatan penyelesaian perkara

melalui pengadilan karena proses pemeriksaan yang berbelit dan formalistik,

itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan merupakan problema yang

menyeluruh di semua negara.”254

Oleh karena itu, agar sistem peradilan menjadi baik sehingga

memberikan jaminan untuk melahirkan putusan hakim yang benar-benar

dapat mentransformasikan ide keadilan, maka menurut Richard Meredith

Jackson255 dalam bukunya yang berjudul The Machinery of Justice in

England, ada tiga prasyarat utama bagi suatu (sistem) peradilan yang baik,

Panggabean, “Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan.” dalam Kompas, Jumat, 23 April 1999.

253 M. Yahya Harahap, “Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Perkara;” dalam Varia Peradilan Tahun XI No. 121, Oktober 1995, h. 100-119 [100].

254 Dicontohkannya, di Jepang yang dianggap sebagaia negara maju, proses penyelesaian perkara di peradilan Jepang sangat lama. Rata-rata memakan waktu 10 sampai dengan 15 tahun. Bahkan di tingkat pertama saja rata-rata 3 sampai 5 tahun. Di Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura, proses penyelesaian perkara melalui badan peradilan dianggap lama dan biayanya tinggi. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat. Di samping proses persidangan memakan waktu lama, kebanyakan masyarakat Amerika berpendapat, penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan perdata terkesan: (i) tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya; (ii) secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk berperkara di pengadilan; Lihat, M. Yahya Harahap, “ Citra Penegakan Hukum”; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 117, Juni 1995, h. 143-161 [149 -150]. “Pengadilan memang tidak didesain untuk melakukan pekerjaan yang efektif dan efisien. Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa dengan cara litigasi bisa bertahun-tahun. Bahkan sampai puluhan tahun.” Lihat pula, M. Yahya Harahap, “Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara;” dalam Kompas, 16 Juli 1999.

Page 162: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

145

yaitu: “...they have a known procedure, their behaviour is fairly predictable

and they are eminently respectable.” Akan tetapi ketiga prasyarat untuk

sistem peradilan yang baik itu pun mustahil dapat diwujudkan apabila

komponen lain dalam proses penegakan hukum tidak menunjang ke arah

upaya perbaikan sistem peradilan tersebut. Persoalannya, bukan semata-mata

lembaga pengadilan dan hakim yang menyebabkan perilaku dan proses

peradilan menjadi “unfair” serta “unpredictable,” melainkan juga

disebabkan oleh pihak-pihak lain yang langsung maupun tidak langsung

bersinggungan dengan proses hukum dan peradilan.256

Menghadapi realita proses penyelesaian perkara pada badan peradilan

sebagaimana diuraikan di atas, maka pencarian dan pelembagaan model-

model penyelesaian sengketa yang lain257 menjadi fenomena pada

masyarakat pencari keadilan. Demikian pula penggunaan arbitrase sebagai

bentuk lain dalam penyelesaian sengketa komersial pada dasarnya

merupakan konsekuensi logis dari realita yang berkembang. Di samping itu

juga karena arbitrase telah lebih populer dibandingkan model penyelesaian

255 Setiawan, “Putusan Hakim Sebagai Transformasi Ide Keadilan”; dalam Varia

Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992, h. 136-146 [146]. 256 Mereka yang langsung bersinggungan misalnya: jaksa, polisi, dan advokat. Sementara

pihak-pihak lain yang disinyalir berpotensi memberikan pengaruh seperti pihak militer, pejabat sipil, pengusaha, calo perkara, dan keluarga. Bahwa campur tangan pihak-pihak tersebut telah sedemikian jauh dan besar sehingga bukan mustahil kalau pengaruh jeleknya lebih besar terhadap proses penegakan hukum. Lihat“Lembaga Pengadilan, Toko Hukum, Pasar Hukum.” Di dalam Kompas, Senin, 15 Maret 1999.

Page 163: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

146

sengketa alternatif lainnya, serta mekanisme arbitrase dengan segala

kelemahan dan kelebihannya, paling mendekati proses berperkara di

pengadilan.258 Perbedaan arbitrase dengan proses di pengadilan di antaranya:

Pertama, arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi kebenaran dan

kepatutan (ex aequo et bono). Kedua, keahlian dan integritas yang dimiliki

arbiter yang harus merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga

arbiter dituntut harus mampu meyakinkan pihak-pihak yang berperkara

sebagai pihak yang bebas dan tidak memihak.259 Di sinilah antara lain letak

perbedaannya arbitrase dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan

negeri.

Walaupun penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase bukan suatu

hal baru di Indonesia, akan tetapi penggunaan arbitrase sebagai suatu metode

penyelesaian sengketa masih terbatas dalam bidang hukum perikatan,

khususnya dalam sengketa-sengketa komersial. Sedangkan pada negara-

257 Seperti bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa melalui Mediasi, Mini Trial,

Konsiliasi, Adjudication; Lihat M. Yahya Harahap, “Citra Penegakan...Op. Cit., h. 152-158.

258 Putusan yang diambil arbitrase langsung final dan mengikat, meski putusan arbitrase harus diserahkan dan didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri, namun pada dasarnya putusan arbitrase (arbitral award) terkandung kekuatan eksekutorial. Oleh karena apabila pihak yang kalah tidak menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, pihak yang menang dapat meminta eksekusi melalui pengadilan negeri. Sedangkan penyelesaian perkara melalui Mediasi, Mini Trial, Konsiliasi, dan Adjudikasi, tidak dapat meminta eksekusi melalui pengadilan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, para pihak dapat membuat kesepakatan dalam bentuk klausula, apabila Mediasi, Mini Trial, Konsiliasi, atau Adjudikasi gagal, maka Mediator, Konsiliator, dan Adjudikator, langsung bertindak sebagai Arbitrator. Lihat, M. Yahya Harahap, “Citra Penegakan...” Loc. Cit., h. 160.

259 Komar Kantaatmadja, Beberapa Permasalahan... Op. Cit., h. 67.

Page 164: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

147

negara lain, misalnya di Amerika Serikat, arbitrase telah dipakai sebagai

metode alternatif (alternative dispute resolution),260 dalam berbagai bidang.

Robert Coulson dalam bukunya Business Arbitration-What You Need to

Know, mengemukakan:”Many business disputes are resolved by

arbitration.”261 Di dalamnya disebutkan bidang-bidang apa saja yang

sengketanya dapat diselesaikan dengan menggunakan forum arbitrase.

Umpamanya, bidang industri konstruksi, industri logam, tekstil, asuransi,

dan juga perdagangan internasional. Bahkan tidak hanya itu, Coulson masih

menegaskan, "... Many thousands of other controversies are also

arbitrated...". Sebagai contoh disebutkan, “individual employee grievances,

partnership and private corporation problems, patent and licensing disputes,

and disagreement between author and publishers. Many cases originate

from the real estate industry, the securities industry, and from computer

disputes.” Lebih dari itu, sengketa dalam bidang hukum keluarga seperti

halnya perceraian (divorce settlement) juga dapat diselesaikan melalui

proses arbitrase.262

260 Steven C. Nelson, ”Alternatives to Litigation of International Disputes,” dalam The

International Lawyer, Vol. 23, No. 1, 1989, h. 187. 261 Lihat Robert Coulson, Business Arbitration-What You Need to Know., New York:

American Arbitration Association, 1987, h. 10. 262 Robert Coulson, Business Arbitration... Loc Cit., h. 11.

Page 165: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

148

BAB III SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA KOMERSIAL

DALAM FORUM ARBITRASE

A. Pihak-Pihak Berperkara dalam Forum Arbitrase

Pada dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses arbitrase tidak

berbeda dengan pihak-pihak dalam sengketa perdata pada umumnya di

pengadilan negeri, yaitu sekurang-kurangnya terdapat dua pihak. Yang

berbeda adalah persoalan istilah penyebutan pihak-pihak yang berperkara.

Para pihak263 dalam sengketa perdata pada pengadilan negeri disebut

penggugat dan tergugat. Sedangkan dalam proses pemeriksaan sengketa

pada forum arbitrase penyebutan pihak-pihak dalam perkara sedikit berbeda.

Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan dan standar,

baik dalam literatur maupun dalam arbitration rules. Sebutan untuk pihak

yang membuat tuntutan adalah “claimant” 264 sedangkan sebutan untuk

263 Dalam sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penggugat

(eiser, plaintiff) yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat (gedaagde, defendant). Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendirilah yang aktif bertindak sebagai pihak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, mereka ini merupakan pihak materiil, karena mereka mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan, tetapi sekaligus juga merupakan pihak formal, karena merekalah yang beracara di muka pengadilan. Mereka bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 47-48.

264 “Claimant” adalah seseorang yang membuat tuntutan yang lazim disebut penggugat atau “plaintiff. Dalam pengertian hukum, claimant sebagaimana disebut dalam Article 3 UNCITRAL Arbitration Rules:“The party initiating recourse to arbitration (hereinafter called the “claimant”) shall give to the other party (hereinafter called the “respondent”) a notice of arbitration. Lihat Alan Redfern et al, Law and

Page 166: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

149

pihak tertuntut adalah “respondent.” 265 Sementara itu di dalam Peraturan

Prosedur Arbitrase (PPA) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau

dikenal dengan BANI Rules, pihak-pihak yang bersengketa disebut dengan

istilah “pemohon”266 untuk “claimant” dan “termohon”267 untuk

“respondent.” Sesungguhnya penggunaan istilah-istilah “pemohon” dan

“termohon” dalam forum arbitrase kurang sejalan dengan sifat penyelesaian

perkara dalam forum arbitrase itu sendiri yang tergolong “jurisdictio

contentiosa.” 268 Oleh karena istilah pemohon dan termohon itu lebih tepat

digunakan untuk kasus-kasus yang sifatnya tidak mengandung sengketa atau

termasuk dalam “jurisdictio voluntaria.” 269 Walaupun sebenarnya istilah

sukarela untuk jurisdictio voluntaria itu pun kurang tepat, karena pada

dasarnya peradilan contentiosa pun sesungguhnya bersifat sukarela.

Bukankah ada tidaknya suatu perkara yang masuk untuk diperiksa di

Practice...Op. Cit., h. 690. Oleh karena itu, pihak yang mengambil inisiatif mengajukan tuntutan kepada seseorang melalui forum arbitrase dinamakan claimant. Lihat M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 133.

265 “Respondent”, adalah orang yang dituntut atau orang yang dijadikan sebagai tertuntut dan lazim disebut “tergugat.” Dari segi pengertian hukum “respondent” adalah pihak yang ditarik atau yang dijadikan sebagai tergugat oleh pihak yang menggugat dalam suatu proses pemeriksaan badan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan memutus suatu persengketaan. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Loc. Cit., h. 133.

266 Lihat Pasal 2 ayat (3) Peraturan Prosedur Arbitrase (PPA) BANI. 267 Lihat Pasal 7 ayat (1) PPA BANI. 268 Jurisdictio contentiosa yaitu “peradilan yang menyelesaikan perselisihan antara dua

pihak yang bertentangan pendirian dan kepentingan,” atau perkara yang mengandung sengketa. Lihat Fockema Andreae’s Rechtsgeleerd Handwoordenboek. Bandung: Binacipta, 1983, h. 228.

269 Jurisdictio voluntaria adalah peradilan sukarela yang tidak melakukan pekerjaan menyelesaikan atau memutuskan perkara. Fockema Andreae’s...Loc. Cit., h. 228.

Page 167: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

150

pengadilan itu pun terserah kepada pihak yang berkepentingan untuk

mengajukan atau tidak tuntutan haknya, baik berupa permohonan maupun

gugatan ke pengadilan. Artinya, diajukan tidaknya suatu tuntutan hak ke

pengadilan sepenuhnya terserah kepada pihak yang berkepentingan.270

Memang diakui bahwa arbitrase sendiri merupakan badan volunter,

karena sebagai lembaga swasta jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan

kesepakatan sukarela dari para pihak. Namun demikian, sekalipun kelahiran

atau eksistensi arbitrase bersifat volunter, sekali forum arbitrase lahir, forum

tersebut formal dan legal sebagai badan kuasa yang berwenang mutlak

untuk menyelesaikan dan memutus sengketa. Oleh karena itu, tidak tepat

juga untuk mengidentikkan sifat keberadaan volunternya dengan sifat

persengketaan. Sifat permasalahan persengketaan tetap saja berbobot

contentiosa, tidak berubah menjadi gugat yang berbobot volunter. Demikian

pula jika ditinjau dari segi doktrin dan tata tertib beracara, menggunakan

istilah pemohon dan termohon untuk menyebut para pihak dalam perkara

pada forum arbitrase sangat tidak sesuai. Penyebutan pihak-pihak dengan

istilah itu memberi kesan seolah-olah perkara yang diajukan kepada forum

arbitrase bersifat volunter dan putusan yang dapat dijatuhkan hanya bersifat

270 Pembedaan “peradilan sesungguhnya” dengan “peradilan volunter” disebabkan karena

perbuatan hakim dalam “peradilan volunter” lebih merupakan perbuatan di bidang administratif, sehingga putusannya merupakan satu penetapan (Pasal 236 HIR, 272 Rbg.). Bahwa yang termasuk peradilan volunter adalah semua perkara yang oleh

Page 168: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

151

“declaratoir.”271 Padahal arbitrase mempunyai wewenang penuh untuk

menjatuhkan putusan yang mengandung amar condemnatoir.272

Faktor lain yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak dalam

forum arbitrase menyangkut masalah kualifikasi cakap273 menurut hukum.

Mengingat forum arbitrase itu terbentuk atas dasar kesepakatan para pihak,

baik melalui “pactum de compromittendo” maupun “akta kompromis,”

maka sebelum menjadi claimant maupun respondent, pihak-pihak yang

hendak berperkara di hadapan forum arbitrase tentu saja harus tergolong

cakap untuk membuat suatu kontrak. Seseorang yang dianggap cakap

menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum apa pun, maka yang

undang-undang ditentukan harus diajukan dengan permohonan, sedang selebihnya termasuk peradilan contentiosa. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 4

271 Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contohnya: putusan yang menyatakan mengenai seorang anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Atau setiap putusan yang bersifat menolak gugatan tergolong putusan declaratoir. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Loc Cit., h. 189.

272 Putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Hukuman yang dimaksud di dalam putusan semacam ini hanya terjadi berhubungan dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang-undang, yang prestasinya terdiri atas: memberi, berbuat, dan tidak berbuat. Pada umumnya putusan condemnatoir itu berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op. Cit., h. 189. Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase Op. Cit., h. 133.

273 Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Hanya orang-orang yang secara eksplisit ditentukan oleh hukum saja yang tidak tergolong cakap menurut hukum, yaitu: (1) orang-orang yang belum dewasa, (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, (3) orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang yang menurut Undang-undang telah dilarang untuk membuat perjanjian tertentu. Lihat Pasal 1330 BW; dalam R. Subekti, Hukum Perjanjian...Op. Cit., h. 17.

Page 169: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

152

bersangkutan mutatis mutandis 274 akan tergolong cakap pula untuk menjadi

pihak dalam forum arbitrase.275 Artinya, setiap orang dewasa yang sehat

pikirannya serta tidak dikecualikan oleh undang-undang untuk melakukan

perbuatan hukum, maka orang tersebut dapat menjadi pihak di dalam

sengketa di depan forum arbitrase. Sama juga dengan pihak-pihak dalam

perkara perdata pada pengadilan negeri, di dalam forum arbitrase juga

dikenal ada istilah pihak materiil276 dan pihak formal.277

Proses penyelesaian sengketa di hadapan forum arbitrase bersifat

sangat tertutup dan rahasia, sehingga keberadaan pihak-pihak materiil tidak

dapat diketahui oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan langsung

dengan sengketa bersangkutan. Oleh karena itu, ketika proses penelitian ini

berlangsung dan pengumpulan informasi sedang dilakukan, pihak materiil

tidak pernah dapat dihubungi karena keberadaan mereka sangat rahasia

(confidential). Informasi untuk keperluan mendeskripsikan keadaan sosial

274 Mutatis mutandis (Lat): with necessary changes in points of detail. I.e., matters will

remain generally the same, with only substitutions of names and the like, such as would not distort anyof the substantive meaning. Lihat Peter J. Dorman, Running Press Dictionary...Op. Cit., h. 115.

275 “Parties are allowed to submit to arbitration any right of which they are qualified to dispose, or in other formulas, parties must be qualified to enter a contract, or to make promises, or to make settlements or to sell, or they must not be under some disability under the law.” Lihat Rene David, Arbitration in International Trade. Deventer: Kluwer Law Publishers, 1985, h. 174.

276 Adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 48.

277 Yaitu mereka yang beracara langsung di muka pengadilan, biasanya mereka bertindak untuk dan atas nama pihak materiil. Pihak formal ini bisa merangkap juga sebagai pihak materiil, namun biasa juga dia bukan pihak materiil melainkan orang yang menjadi kuasa hukum pihak materiil.

Page 170: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

153

(social setting) para pihak materiil yang bersengketa di hadapan forum

arbitrase, tidak pernah dapat diperoleh langsung dari pihak materiil. Oleh

sebab itu, sejumlah informasi yang diperlukan dari pihak materiil, akhirnya

hanya diperoleh dari pihak-pihak yang pernah menjadi pihak formal sebagai

kuasa hukum dari pihak materiil yang berkenan dijadikan sebagai informan

penelitian. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari para informan itulah

kemudian diketahui, tidak hanya subjek-subjek yang bersengketa pada

forum arbitrase, melainkan juga jenis sengketa yang lazim dibawa untuk

diselesaikan melalui forum arbitrase. Informasi tersebut menjadi salah satu

pemandu untuk memahami tentang asal-usul dari pihak-pihak materiil yang

bersengketa, sehingga dapat dipastikan kalangan mana saja yang paling

sering memanfaatkan arbitrase sebagai tempat menyelesaikan sengketa.

Indikator lain yang digunakan untuk memahami pihak-pihak materiil dalam

arbitrase adalah nilai atau besaran pokok sengketa. Meski tidak mutlak,

nilai atau besaran pokok sengketa dalam beberapa situasi dapat dijadikan

sebagai salah satu petunjuk untuk memahami identitas maupun stratifikasi

pihak-pihak materiil bersangkutan. Berbekal informasi yang disebutkan di

muka, selanjutnya dapat diketahui bahwa jenis sengketa yang lazim dan

paling banyak diselesaikan melalui forum arbitrase ternyata adalah sengketa

komersial (commercial dispute).278

Page 171: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

154

Mengamati informasi tentang nilai atau besaran pokok sengketa

juga telah memberikan gambaran betapa pihak-pihak yang melakukan

pilihan forum arbitrase ternyata sangat bervariasi. Pihak-pihak materiil bisa

seorang pengusaha besar, bisa juga pengusaha menengah atau bahkan

pengusaha kecil. Lebih dari itu, pihak materiil tidak hanya terdiri atas orang

perorangan (individu) melainkan bisa juga terdiri atas sekelompok orang

atau organisasi, atau badan usaha, dan bahkan negara sebagai badan hukum

publik. Sekadar gambaran dalam mendeskripsikan demikian beragamnya

pihak-pihak materiil dalam arbitrase, para informan mengilustrasikan bahwa

nilai perkara terkecil yang pernah diselesaikan lewat forum arbitrase bernilai

5 (lima) juta rupiah, dan nilai perkara terbesar sebesar 1,3 (satu koma tiga)

milyar dollar Amerika Serikat.

Informasi tersebut sekaligus menyangkal bahwa pilihan forum

arbitrase hanya dapat dilakukan oleh kalangan pengusaha dengan kapital

besar. Faktanya tidak demikian, pengusaha-pengusaha dengan kapital

278 “The term ‘commercial’ should be given a wide interpretation so as to cover matters

arising from all relationships of a commercial nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions; any trade transactions for the supply or exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or passanger by air,sea, rail or road.” Lihat, Alan Redfern et al., Law and Practice of...Op. Cit., h. 21. Maka yang dimaksud dengan sengketa komersial adalah setiap sengketa atau perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari hubungan yang bersifat komersial (arising from all relationships of a commercial nature).

Page 172: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

155

menengah atau bahkan kecil pun ternyata dapat pula memilih forum

arbitrase untuk menyelesaikan sengketa. Sebuah contoh dari Jawa Timur,

seorang pengusaha pabrik kerupuk di Sidoarjo di dalam suatu kontrak bisnis

pernah membuat kesepakatan untuk mencantumkan klausula pilihan forum

arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis dengan mitranya dari luar

negeri. Klausula arbitrase tersebut memilih forum Arbitrase ICC

(International Chamber of Commerce) yang berkedudukan di Paris

Perancis. Namun demikian, sengketa dagang tersebut akhirnya tidak jadi

diperiksa di sana karena faktor biaya yang terlalu mahal. Kasus di atas

menjadi salah satu bukti petunjuk, betapa pilihan forum arbitrase dapat

dilakukan oleh siapa saja bahkan dari kalangan pengusaha mana saja.

Seperti telah disebutkan di muka, tidak hanya para pelaku usaha

swasta yang dapat menjadi pihak dalam forum arbitrase, melainkan juga

negara sebagai badan hukum publik dapat menjadi pihak di depan forum

arbitrase. Arbitrase yang melibatkan negara sebagai pihak, dapat terdiri atas

dua kemungkinan, yakni (i) Arbitrase antar negara, yaitu apabila pihak-

pihaknya terdiri atas dua negara atau lebih; dan/atau (ii) Arbitrase yang

melibatkan negara sebagai salah satu pihaknya.

Jenis yang pertama, arbitrase antar negara, yaitu apabila suatu

negara berdaulat berhadapan dengan negara berdaulat lainnya sebagai

pihak-pihak dalam sengketa di hadapan forum arbitrase. Dalam kasus

Page 173: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

156

semacam itu biasanya forum arbitrase bukan dimaksudkan untuk

menyelesaikan persoalan yang sifatnya murni sengketa komersial,279

melainkan lebih merupakan sengketa publik internasional yang tidak dapat

diselesaikan melalui perdamaian bilateral. Sedangkan pada jenis yang

kedua, yakni arbitrase yang melibatkan negara sebagai salah satu pihak.

Biasanya forum arbitrase macam ini dilangsungkan ketika suatu negara

berdaulat di satu pihak berhadapan dengan perusahaan swasta280 di lain

pihak (biasanya pihak tersebut adalah perusahaan transnasional) di dalam

kasus sengketa penanaman modal.

Dalam hal negara berdaulat di satu pihak berhadapan dengan perusahaan

transnasional di lain pihak pada forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa

279 “Arbitrations between states are not usually concerned with purely commercial

disputes. Nevertheless, the practice followed in such arbitrations has had an important influence on the general development of the modern practice of international commercial arbitration.” Dalam kasus ini dicontohkan kasus yang terjadi antara Colombia dan Ecuador pada tahun 1907, sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase tersebut menyangkut masalah garis perbatasan diantara kedua negara berkenaan dengan keberadaan perjanjian dan perubahan yang ditetapkan oleh konvensi yang ditunjuk oleh para arbitrator. Lihat, Alan Redfern et al., Law and Practice of... Op. Cit., h. 40.

280 Perkara yang cukup terkenal untuk contoh Arbitrase ini adalah kasus antara Amco Asia Corporation, Pan American Development Limited and PT Amco Indonesia vs.

Republik Indonesia di hadapan Forum Arbitrase ICSID (International Center for the Settlement of Investment Dispute) di Washington. Kasus ini berkenaan dengan pencabutan lisensi penanaman modal Hotel Kartika Plaza Jakarta oleh Pemerintah Republik Indonesia. Akibat pencabutan lisensi tersebut, kemudian pada tanggal 15 Januari 1981 Pemerintah Indonesia dituntut oleh pihak investor di hadapan Forum Arbitrase ICSID. Pemeriksaan perkara tersebut memakan waktu tidak kurang dari 12 tahun. Sampai akhirnya pada tanggal 3 Desember 1992 dibuat putusan tingkat pemeriksaan keempat, hingga putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Lihat Sudargo Gautama, Arbitrase Bank Dunia tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia dan Jurisprudensi Indonesia dalam Perkara Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1994, h. 1.

Page 174: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

157

komersial, muncul permasalahan berkaitan dengan imunitas negara (state

immunity). Masalahnya adalah, apakah benar ketika suatu negara bertindak

sebagai pihak dalam suatu kontrak komersial, kemudian aktivitas komersial

tersebut mengecualikan berlakunya imunitas negara (state immunity)?281 Sebagai

konsekuensi logis dari keadaan itu maka negara berdaulat tersebut dapat

dituntut oleh pihak swasta dalam suatu forum arbitrase dalam rangka

penyelesaian sengketa komersial dimaksud. Untuk memahami masalah tersebut,

berikut ini dapat disimak Article 12 paragrap (1) “The European Convention on

State Immunity,” bukan sebagai kaidah imperatif melaikan sebagai norma hukum

internasional yang berlaku umum, meskipun konvensi tersebut sesungguhnya

tidak berlaku mengikat untuk Indonesia. Norma tersebut adalah sebagai berikut:

“Where a Contracting State has agreed in writing to submit to arbitration a dispute which has arisen or may arise out of a civil or commercial matter, that State may not claim immunity from the jurisdiction of a court of another Contracting State on the territory or according to the law of which the arbitration has taken or will take place in respect of any proceedings relating to: (a) the validity or interpretation of the arbitration agreement; (b) the arbitration procedure; (c) the setting aside of the award. Unless the arbitration agreement otherwise provides.” 282

Oleh karena itu, tatkala Republik Indonesia menjadi pihak

respondent di hadapan forum Arbitrase International Centre for Settlement

of Investment Disputes (ICSID) dengan claimant investor Amco Asia

281 Menurut C. Christoph H. Schreuer, “The vast majority of arbitration between States

and non-State partners envisaged here will deal with commercial activities. In fact, some of the provisions in the recent codifications treating arbitration as an exception to sovereign immunity explicitly restrict this effect to arbitration dealing with commersial claims.“Lihat, C. Christoph H. Schreuer, State Immunity: Some Recent Development. Cambridge: Grotius Publication, 1988, h. 68.

282 Periksa, C. Christoph H. Schreuer, State Immunity...Loc. Cit. h. 65.

Page 175: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

158

Corporation, Pan American Development Limited, dan PT Amco Indonesia

pada tanggal 15 Januari 1981,283 pihak Republik Indonesia telah

mengemukakan pendirian sebagai berikut:284

(i) “Mengenai consent (persetujuan) yang diberikan oleh suatu negara berdaulat untuk tunduk pada arbitrase menurut Konvensi itu harus ditafsirkan secara restriktif;

(ii) Kiranya jurisdiksi dari Dewan Arbitrase ICSID tidak dapat diperluas hingga mencakup suatu Badan Hukum yang mempunyai kewarganegaraan dari Negara peserta Konvensi yang sedang dalam sengketa sekarang ini. Dalam hal ini PT Amco Indonesia, adalah suatu Badan Hukum dan dapat dipandang berkewarganegaraan Indonesia pula secara hukum, hingga tidak dapat diajukan soal ini kepada arbitrase di muka ICSID; Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa karena “foreign control,” para pihak telah menyetujui bahwa Badan Hukum ini harus diperlakukan sebagai warga negara dari suatu negara peserta ICSID lain untuk maksud Konvensi ini (Pasal 25 ayat (2) sub b dari ICSID Convention). Pasal 9 dari Aplikasi Investasi yang telah diajukan pada BKPM tidak mengandung persetujuan secara jelas dari pihak RI untuk memperlakukan PT Amco sebagai warga negara dari negara lain;

(iii) Juga tidak diketemukan bukti secara formal dan nyata dalam klausula arbitrase berkenaan dengan negara peserta mana para pihak telah menyetujui untuk memperlakukan PT Amco sebagai warga negara asing.”

Namun demikian Dewan Arbitrase ICSID ternyata tidak menyetujui

pendirian pihak RI. Anggota Panel Arbitrase ICSID menyatakan

pendapatnya dengan mendasarkan pada prinsip pacta sunt servanda. Bahwa

Konvensi ICSID tidak seharusnya ditafsirkan secara restriktif tetapi harus

283 Sengketa tersebut timbul berkenaan dengan telah dicabutnya lisensi penanaman modal

oleh pejabat Ketua BKPM terhadap pihak investor dalam Hotel Kartika Plaza yakni Amco Asia Corporation. Lihat Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986, h. 1-2.

284 Sudargo Gautama, Indonesia dan... Loc Cit., h. 8-9.

Page 176: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

159

secara luas. Harus didasarkan atas prinsip “pacta sunt servanda” yang

dianggap sebagai prinsip yang dianut oleh semua sistem hukum, baik

hukum nasional maupun hukum internasional.285 Di samping itu juga setiap

Konvensi untuk mengadakan arbitrase harus ditafsirkan dan dilaksanakan

dengan itikad baik (good faith).286 Ini berarti bahwa semua konsekuensi dan

komitmen para pihak yang dianggap secara layak harus diperhatikan dan

diperhitungkan terlebih dahulu.

B. Sengketa yang dapat diklaim Melalui Forum Arbitrase Interaksi antar manusia yang berlangsung secara terus menerus

dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidup. Oleh

karena itu, menjadi sifat pembawaan setiap manusia untuk selalu hidup

dalam masyarakat, sebab manusia tidak mungkin hidup tanpa masyarakat,

dan sebaliknya masyarakat juga tidak mungkin ada tanpa manusia. Namun

demikian, mengingat kepentingan manusia itu sangat banyak dan beragam,

maka di dalam melakukan interaksi satu sama lain, manusia selalu

dihadapkan pada potensi-potensi untuk terjadi konflik287 atau sengketa. Hal

285 Lihat Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase...Op. Cit., h. 10. 286 “Not infrequently States enter into agreements to arbitrate in much the same way as

private parties, especially in the course of commercial dealings. Such agreements with non-State partners create certain expectations of good faith and cooperation.” Lihat, C. Christoph H. Schreuer, State Immunity...Op. Cit. h. 63.

287 “Conflict might be defined as a situation where the interests of two or more persons are opposed in a manner that makes it impossible for all of the respective interests to be

Page 177: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

160

itu dapat terjadi karena kepentingan manusia tidak jarang saling

bertentangan satu dengan yang lainnya. Potensi untuk terjadi konflik atau

sengketa antar manusia tentu saja tidak boleh dibiarkan berlangsung terus,

melainkan harus dicegah sebab konflik akan mengganggu keseimbangan

tatanan masyarakat. Oleh karena itu, ketika konflik terjadi dan

menyebabkan keseimbangan tatanan masyarakat terganggu, maka

keseimbangan yang terganggu itu harus dipulihkan kembali seperti keadaan

semula (restitutio in integrum).288

Sama seperti kepentingan hidup manusia, sengketa atau konflik juga

banyak ragamnya,289 demikian pula faktor yang menyebabkan terjadinya

maupun objek yang disengketakan. Masing-masing sengketa juga memiliki

karakteristik yang berbeda satu sama lain, sehingga adakalanya suatu

fully satisfied...” Lihat, Christian Buhring – Uhle, Arbitration and Mediation...Op. Cit., h. 218. Menurut Paul Wehr, dilihat dari segi proposisi sentral: (i) bahwa konflik merupakan pembawaan sejak lahir di dalam binatang sosial; (ii) bahwa konflik ditimbulkan oleh sifat masyarakat dan cara mereka dibentuk; (iii) bahwa konflik adalah disfungsi dalam sistem sosial dan sebuah gejala ketegangan patologis; (iv) bahwa konflik adalah ciri yang tidak terhindarkan dari kepentingan negara dalam kondisi anarki internasional; (v) bahwa konflik adalah hasil kesalahan persepsi dan komunikasi yang buruk; (vi) bahwa konflik adalah proses alami yang umum bagi semua masyarakat. Lihat Hugh Miall et al., Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 103.

288 Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986, h. 4. 289 Berdasarkan pelaku (actors); konflik atau sengketa dibedakan atas (a) sengketa antar

dua pihak dan sengketa antar banyak pihak, (b) sengketa antar perorangan dan sengketa antar kelompok, (c) sengketa antar organisasi dan sengketa di dalam organisasi, (d) sengketa yang langsung “direct conflicts” dan sengketa yang ditengahi oleh perantara atau perwakilan (conflicts mitigated by agents and representatives). Sedangkan berdasarkan kesadaran para pihak (consciousness of the parties) sengketa dapat dibedakan atas: sengketa yang nyata (manifest conflicts) dan sengketa yang tersembunyi (underlying conflicts). Lihat, Christian Buhring – Uhle, Arbitration and Mediation...Loc. Cit.,

Page 178: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

161

sengketa tertentu hanya dapat diselesaikan melalui lembaga tertentu pula.290

Artinya, tidak semua jenis sengketa dapat diselesaikan melalui satu bentuk

penyelesaian sengketa atau melalui lembaga yang sama. Bentuk

penyelesaian sengketa yang sangat dikenal dan sudah lama digunakan orang

adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Kekuasaan pengadilan

untuk menyelesaikan perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak

milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan

lainnya,291 kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan

lain292 untuk memeriksa dan memutusnya.

290 Sebagai contoh perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam menjadi

wewenang Pengadilan Agama (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975 juncto UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan); Sengketa perburuhan diselesaikan oleh P4D atau P4P; dan Perkara sewa menyewa rumah semula sepenuhnya menjadi wewenang Kepala Kantor Urusan Perumahan (PP 49 Tahun 1963). Kemudian dengan PP Nomor 55 Tahun 1981 tentang Perubahan atas PP Nomor 49 Tahun 1963 tentang hubungan sewa menyewa perumahan, khususnya mengenai penghentian hubungan sewa menyewa perumahan tanpa kata sepakat kedua belah pihak, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan negeri. Jadi sengketa khususnya mengenai penghentian sewa menyewa tanpa kata sepakat menjadi wewenang pengadilan negeri. Tetapi sengketa mengenai harga sewa masih tetap menjadi wewenang Panitia Perumahan. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 58.

291 Pasal 2 ayat (1) Reglement op de Rechterleijke Organisatie en het Beleid Der Justitie in Indonesie (RO) S. 1847 No. 23 jo 1848 No. 57. Selengkapnya Pasal 2 ayat (1) RO dapat disimak berikut ini: “De kennisneming en beslissing van alle geschillen over eigendom of daaruit voortspruitende regten, over schuldvorderingen of burgerlijke regten, en de toepassing van alle soort van wettig bepaalde straffen, zijn bij uitsluiting opgedragen aan de regterlijke magt, volgens de verdeelingen van regtsgebied, de regterlijke bevoegdheid, en de wijze bij dit reglement omschreven.”

292 Pengadilan lain yang dimaksud adalah bentuk penyelesaian sengketa maupun lembaga atau badan tempat menyelesaikan sengketa perdata selain pengadilan negeri. Seperti telah disebutkan, misalnya Pengadilan Agama untuk sengketa perdata di kalangan umat Islam, P4D atau P4P untuk sengketa perburuhan, dan Panitia Perumahan untuk sengketa mengenai harga sewa. Di samping itu masih ada lembaga lain seperti halnya lembaga arbitrase yang memang dapat dipilih oleh pihak-pihak di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa perdata atau sengketa dagang (komersial).

Page 179: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

162

Arbitrase sebagai bentuk penyelesaian sengketa pada dasarnya

serupa dengan penyelesaian sengketa lewat pengadilan negeri.

Menyelesaikan sengketa melalui pengadilan maupun melalui arbitrase,

kedua bentuk tersebut, merupakan adjudicatory methods dengan pendekatan

pertentangan (adversarial).293 Faktor yang menyebabkan kedua lembaga

tersebut berbeda adalah karena unsur yang melahirkan kompetensi dari

kedua lembaga itu juga berbeda. Kompetensi pengadilan lahir karena

ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan kompetensi arbitrase lahir

melalui kesepakatan para pihak yang memilih forum arbitrase tersebut.

Meskipun demikian, arbitrase tetap dianggap sebagai bentuk lain dari

ajudikasi, yakni ajudikasi privat.294 Meski di antara kedua lembaga

penyelesaian sengketa itu memiliki kemiripan, namun tidak semua sengketa

perdata yang dapat diselesaikan melalui pengadilan secara otomatis dapat

pula diselesaikan melalui arbitrase. Di Indonesia, sengketa yang dapat

diperiksa dan diselesaikan melalui arbitrase sangat limitatif. Undang-undang

Arbitrase Indonesia yang baru secara eksplisit menentukan jenis sengketa

293 Laura Nader menyebut bentuk ini dengan “winner takes all” yaitu “...the decision is

that one party is right and the other wrong.” Lihat, William J. Chambliss & Robert B. Seidman, Law, Order, and...Op. Cit., h. 28. Bdgk. Lon L. Fuller, “Sistem Perlawanan;” dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Jakarta: PT Tatanusa, 1996, h. 27. [27-37].

294 Para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, sehingga dapat menjamin baik kenetralan maupun keahlian yang dianggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut, sehingga tidak perlu merasa takut atau tidak yakin terhadap hukum substantif dari yurisdiksi

Page 180: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

163

yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu hanya sengketa di bidang

perdagangan (commercial law) dan mengenai hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa.295 Sedangkan sengketa yang menurut undang-undang tidak

dapat diadakan perdamaian, tidak dapat diselesaikan melalui forum

arbitrase.296

Berbeda dengan di negara lain,297 arbitrase telah digunakan untuk

menyelesaikan berbagai persengketaan. Tidak hanya sengketa yang terjadi

dalam bidang perdagangan atau bidang komersial, melainkan juga sengketa-

sengketa lainnya, umpamanya: sengketa dalam bidang industri konstruksi,

sengketa klaim asuransi, sengketa dalam bidang industri tekstil dan pakaian,

bahkan penyelesaian tentang perceraian (divorce settlement)298 juga dapat

tertentu. Lihat Gary Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa” dalam Felix O. Soebagijo et al. (eds), Arbitrase di Indonesia...Op. Cit., h. 7-8.

295 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. 296 Sengketa tersebut umumnya meliputi: hukum keluarga (family law), terutama yang

berkenaan dengan status sipil dan kemampuan seseorang; tentang pailit; penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Lihat M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan...” dalam Jurnal Hukum Bisnis...Op. Cit., h. 27. Lihat pula Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999.

297 Di Amerika Serikat misalnya, The American Arbitration Association (AAA) is a public service to encourage the use of arbitration and other techniques of voluntary dispute settlement. Bahkan menurut Robert Coulson, di Amerika Serikat: “Many thousands of cases are arbitrated each year. Arbitration is popular with the American people. Rather than being a system of “second-class justice,” it is the first choice of many people. Arbitration takes cases out of the courts. It saves public money. It puts the control of dispute settlement into the hands of the parties. Lihat Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 9.

298 “Marital separation agreements provide another example of the flexibility of arbitration.” Lihat, Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 11.

Page 181: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

164

dilakukan melalui arbitrase. Keadaan tersebut sama sekali tidak

dimungkinkan terjadi di Indonesia karena kaidah hukum arbitrase Indonesia

membatasi secara limitatif jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui

arbitrase, yaitu hanya sengketa di bidang perdagangan.

C. Struktur dan Proses Penyelesaian Sengketa lewat Arbitrase

Sebagai salah satu bentuk ajudikasi privat yang menggunakan

pendekatan pertentangan (adversarial), proses penyelesaian sengketa lewat

arbitrase juga memiliki kesamaan dengan proses yang harus ditempuh jika

melalui pengadilan. Akan tetapi struktur dalam arti susunan kelembagaan,

antara arbitrase dengan pengadilan memang sangat berlainan. Lembaga

pengadilan sebagai peradilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum

dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, berpuncak pada

Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.299 Sedangkan

arbitrase di samping tidak mengenal struktur kelembagaan yang berjenjang

semacam pengadilan, arbitrase juga bukan merupakan pelaksana kekuasaan

kehakiman, melainkan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa perdata

di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

299 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1 dan 2) Unadang-Undang Nomor 2 Tahun 1986

tentang Peradilan Umum, LN 1986 Nomor 20.

Page 182: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

165

dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.300 Pembedaan

arbitrase yang selama ini diketahui semata-mata untuk menunjukkan bahwa

secara struktural keberadaan arbitrase itu tidak berjenjang seperti pengadilan

melainkan masing-masing arbitrase berbeda bentuk satu sama lain. Oleh

karena itu, baik di dalam praktik maupun literatur dapat dijumpai

pembedaan bentuk301 arbitrase, yaitu: (i) arbitrase terlembaga (institutional

arbitration)302 dan (ii) arbitrase ad hoc.303 Pembedaan bentuk arbitrase

tersebut tidak bermakna struktural melainkan lebih bersifat fungsional.

Artinya eksistensi kedua bentuk arbitrase itu bukan saja tidak merupakan

struktur bertingkat seperti halnya pengadilan, melainkan secara fungsional

kedua bentuk arbitrase itu memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan

tujuan pembentukannya dalam rangka penyelesaian sengketa bidang

perdagangan maupun sengketa perdata pada umumnya.

300 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 301 “There are two main forms of arbitration available to the participants of international

commerce: Institutional arbitration and ad hoc arbitration.” Lihat, Julian D.M. Lew, Applicable Law in International Commercial Arbitration. Oceana Publication Inc. 1978, h. 19.

302 “An institutional arbitration is one which is administered by one of the many specialist arbitral institutions: amongst the better known are the American Arbitration Association (AAA), the International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), the London Court of International Arbitration (LCIA), the International Chamber of Commerce (ICC).” Lihat, Alan Redfern et. al., Law And ...Op. Cit., h. 13.

303 “An ad hoc arbitration is conducted under rules of procedure which are adopted for the purpose of the arbitration, normally after a dispute has arisen. These rules of procedure may be those drawn up by one of the non-commercial international organisations.” (The best known example is the UNCITRAL Arbitration Rules). Alan Redfern et. al., Law And...Loc. Cit., Lihat juga Pasal 6 ayat (9) UU No.30 Th. 1999.

Page 183: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

166

Sebagaimana telah disebutkan di muka, proses penyelesaian

sengketa melalui arbitrase tidak berbeda dengan berperkara melalui

pengadilan. Surat klaim pada forum arbitrase harus diajukan oleh claimant

dalam bentuk tertulis seperti halnya gugatan yang diajukan oleh penggugat

melalui pengadilan negeri. Bentuk tertulis304 itu merupakan syarat formal

yang harus dipenuhi oleh pihak claimant sebagai pihak materiil maupun

kuasa hukumnya sebagai pihak formal pada forum arbitrase. Oleh karena

itu, menyelesaikan sengketa pada forum arbitrase mirip dengan sistem

procureur (procureur stelling) sebagaimana dianut oleh Reglement op de

Burgerlijke Rechtsvordering (Rv)305 yang berlaku pada Raad van Justitie

(RvJ) pada waktu yang lalu. Setelah Raad van Justitie (RvJ) dihapuskan306

304 Oleh karena itu, mengajukan klaim secara lisan melalui forum arbitrase sama sekali

tidak dimungkinkan. Alasannya sangat logis, “karena baik pihak claimant maupun respondent umumnya adalah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis, sehingga dapat dipastikan kedua belah pihak yang bersengketa didukung oleh kemampuan dan kecerdasan yang sangat memadai.” Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitase...Op. Cit., h. 134.

305 “Verplichte procureurstelling merupakan asas pokok dalam beracara pada Raad van Justitie (RvJ) berdasarkan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv S. 1847 No. 52 jo S 1849 No. 63). Asas tersebut pada pokoknya mengharuskan bahkan mewajibkan para pihak yang berperkara untuk diwakili oleh seorang advokat atau procureur.” Lihat, Eman Suparman, “Keharusan Mewakilkan dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan”; Tesis S2, Yogyakarta: FPS-UGM, 1988.

306 Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951, LN Nomor 9, antara lain ditetapkan: penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan suasana Negara Kesatuan. Penghapusan pada pokoknya bermaksud mengadakan unifikasi itu meliputi: a) Mahkamah Justisi ("Hof van Justitie"); b) Apelraad; c) segala Pengadilan Negara dan Landgerecht gaya baru dan alat penuntut umumnya; d) Segala Pengadilan Magistraat. Setelah penghapusan badan-badan pengadilan tersebut di atas maka hanya Pengadilan Negeri sajalah yang berkuasa memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan segala perkara pidana, sehingga

Page 184: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

167

terjadilah unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara pada pengadilan negeri307

dan pengadilan tinggi di Indonesia. Akibat penghapusan tersebut, maka

hanya pengadilan negeri yang berkuasa memeriksa dan memutus dalam

peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan segala perkara pidana.

Demikian pula kemiripan dalam proses antara mengajukan claim

melalui arbitrase dengan gugatan melalui pengadilan, terjadi dalam gugatan

melalui Raad van Justitie (RvJ) menurut Rv, dan bukan dengan gugatan

melalui pengadilan negeri berdasarkan HIR. Oleh karena HIR sebagai

hukum acara pada pengadilan negeri sama sekali tidak menganut asas

verplichte procureurstelling sebagaimana dianut oleh Rv ketika masih

berlaku RvJ.

Sama seperti syarat formal suatu gugatan di pengadilan, surat claim

atau statement of claim di depan forum arbitrase, selain harus

mencantumkan identitas para pihak, juga harus memuat dalil konkrit tentang

adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan dari gugatan

dengan demikian Pengadilan Negeri adalah hakim sehari-hari biasa untuk seluruh penduduk RI. Lihat Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 86-87.

307 Hukum acara yang berlaku pada pengadilan negeri sampai saat ini adalah HIR (het Herziene Indonesisch Reglement). Ketentuan itu memang sudah sangat tua (diumumkan pada S. 1848-16 jo. 57, diumumkan lagi pada S. 1926-559, dan pada S. 1941-44). Sudah pasti dewasa ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan keadaan masyarakat Indonesia. Akan tetapi kenyataan menunjukkan demikian, bahkan Konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Perdata Indonesia yang disusun oleh Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan RUU Hukum Acara Perdata BPHN-Departemen Kehakiman, sejak 1984 sampai sekarang tidak jelas nasibnya, jangankan menjadi Undang-undang, sedangkan mendapat giliran untuk dibahas pun tidak.

Page 185: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

168

(fundamentum petendi atau posita), serta tuntutan atau petitum. Namun

terhadap substansi pokok tersebut dapat juga dicantumkan tambahan

proposal tentang: (i) jumlah arbiter yang akan ditunjuk (satu atau tiga)

orang, apabila mengenai hal ini belum disepakati dalam perjanjian; (ii)

penunjukan calon arbiter yang dikehendaki; (iii) atau proposal tentang

penyerahan penunjukan arbiter kepada arbitrase institusional yang

bersangkutan. Sebagai hukum formal yang memandu pihak-pihak dalam

melakukan penyelesaian sengketa pada forum arbitrase adalah Undang-

undang tentang Arbitrase dan APS.308 Untuk itu gambaran tentang struktur

dan rangkaian proses penyelesaian sengketa lewat arbitrase berikut ini akan

dipaparkan di dalam bentuk ragaan-ragaan. Masing-masing ragaan tersebut

yakni: Ragaan 3 prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa melalui

arbitrase; Ragaan 4 pemohon tidak hadir dan upaya perdamaian; Ragaan 5

perubahan dan penambahan tuntutan, serta jangka waktu penyelesaian;

Ragaan 6 pemeriksaan saksi dan saksi ahli.

308 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Page 186: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

169

INTERVENSI DIAJUKAN SEWAKTU PROSES

PENYELESAIAN BERJALAN

Ragaan 4 Prinsip-prinsip dalam Penyelesaian Sengketa

YANG DAPAT MELAKUKAN INTERVENSI

PEMERIKSAAN SECARA TERTUTUP

=PASAL 27=

MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA

=PASAL 28=

AUDI ALTERAM PARTEM

=PASAL29=

DAPAT DIWAKILI KUASA

=PASAL 29 (2)=

SYARAT INTERVENSI

KEBEBASAN MEMILIH RULE DICANTUMKAN DALAM

KLAUSULA

ARBITER BERWENANG MEMPERPANJANG JANGKA WAKTU

=PASAL33=

PASAL 48 MENENTUKAN BATAS WAKTU =TIME LIMIT=

APABILA ADA PILIHAN RULE, HARUS

MENENTUKAN HAL-HAL BERIKUT

� Sesuai dengan asas confidential semua proses bersifat : closure,

� Pemerksaan dan putusan tidak boleh dipublikasikan

� Prinsip : semua proses dengan bahasa Indonesia,

� Atas persetujuan arbiter dapat dipilih bahasa lain.

� Para pihak mempunyai hak dan kesempatan yang sama

→ Must give the same opportunity

� Pemberian kuasa dalam bentuk surat kuasa khusus.

1) Terdapat unsur kepentingan yang terkait 2) Disepakati oleh para pihak yang bersengketa, 3) Disetujui oleh arbiter atau Majelis Arbitrase.

� Boleh memilih rule manapun, � Asal tidak bertentangan dengan UU ini, � Apabila para pihak tidak memilih suatu rule,

pemeriksaan tunduk pada UU ini.

1) Time limit = jangka waktu penyelesaian, 2) Principle place = tempat diselenggarakan

arbitrase. → Bila tidak ada : arbitrase yang menentukan

� Paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrasi terbentuk.

� Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase.

a) Apabila diajukan p[ermohonan oleh salah satu pihak mengenai hak khusu tertentu,

b) Sebagai akibat ditetapkan putusan provisional, c) Dianggap perlu oleh arbiter

=PASAL; 30= MEMBUKA

SISTEM INTERVENSI

= PASAL 31 = BEBAS

MENENTUKAN CARA

ARBITRASE

BATAS WAKTU

PENYELESAIAN

BEBERAPA PRINSIP

PEMERIKSAAN

Page 187: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

170

Ragaan 5 Pemohon tidak hadir dan

TERMOHON TIDAK MEMBERI JAWABAN

=PASAL 41=

TERMOHON DAPAT MENGAJUKAN TUNTUTAN

BALASAN =PASAL 42=

TIDAK DATANG MENGHADAP

TANPA ALASAN YANG SAH

I. PEMOHON TIDAK HADIR : � SURAT TUNTUTAN

DIGUGURKAN TERMOHON TIDAK HADIR : � JATUHKAN PUTUSAN

VERSTEK

UU INI TIDAK MENGATUR VERZET TEGEN VERSTEK

PARA PIHAK DATANG MENGHADAP PADA HARI YANG

DITENTUKAN

UU INI MEMPERKENALKAN

PUTUSAN AKTA PERDAMAIAN =PASAL 45=

Bila dalam tempo 14 hari termohon tidak menyampaikan jawaban :

� Termohon dipanggil untuk menghadap persidangan

Tuntutan balasan = rekonpensi = counter claim � Pengajuan : dalam jawaban, selambat-lambatnya pada

sidang pertama, � Pemohon : diberi kesempatan untuk menanggapi, � Tata cara pemeriksaan : diperiksa dan diputuskan

bersama-sama dengan pokok sengketa

Lazim disebut : unreasonable default. � Pemohon tanpa alasan yang sah tidak datang

menghadap : (Ps. 43) • Sudah dipanggil dengan patut, tapi tidak datang, • Surat tuntutannya dinyatakan gugur, • Dan tugas arbiter : dianggap selesai :

� Apakah ini fakultatif atau imperatif ? � Rumusan Ps. 43 bersifat imperatif !

� Termohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap (Ps. 44) • Sudah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang,

� Lakukan panggilan sekali lagi, Dalam tempo 10 hari setelah pemanggilan kedua diterima, tanpa alasan yang sah tidak juga datang :

� Pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya termohon,

� Dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali tuntutan :

• Tidak beralasan, atau • Tidak berdasar hukum.

� Para pihak datang menghadap : Arbiter lebih dahulu mengusahakan perdamaian, � Bila tercapai perdamaian :

� Arbiter membuat : akta perdamaian. • Sifatnya final dan mengikat, • Dan memerintahkan para pihak untuk

memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.

� Bila tidak dilaksanakan dengan sukarela, dapat diminta eksekusi ke PN,

� Jadi akta perdamaian = enforceable = executable.

Page 188: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

171

Ragaan 6 Perubahan dan Penambahan Tuntutan &

Jangka Waktu Penyelesaian

= PASAL 46 = TIDAK TERCAPAI

PERDAMAIAN PROSES DILANJUTKAN

MEMERIKSA POKOK SENGKETA

=PASAL 47=

PENCABUTAN PERMOHONAN

ARBITRASE SERTA PERUBAHAN DAN

PENAMBAHAN TUNTUTAN

=PASAL 48=

BATAS JANGKA WAKTU PENYELESAIAN

SENGKETA =TIME LIMIT=

BILA USAHA PERDAMAIAN TIDAK TERCAPAI : � Lanjutkan pemeriksaan pokok perkara, � Pada kesempatan terakhir :

• Diberi hak kepada para pihak menjelaskan pendirian msing-masing = kesimpulan = secara tertulis,

• Tindakan dn hak itu dietai dengan pengjuabn bukti-bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya,

• Pengajuan tersebut disampaikan sesuai jangka waktu yang ditetapkan arbiter.

� Arbiter berhak meminta kepada para pihak : 1. Penjelasan tambahan secara tertulis (additional statement), 2. dokumen atau bukti lain yang dianggap perlu (additional evidence).

� harus disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter.

� Pemohon dapat mencabut permohonan arbitrase dengan syarat sebelum ada jawan dari Termohon,

� Apabila sudah ada jawan Termohon: • Pencabutan harus atas persetujuan Termohon. � Perubahan atau penambahan tuntutan.

� sebelum ada jawaban Termohon: dapat dilakukan Pemohon, � sesudah ada jawaban Termohon: hanya dapat diperbolehkan

atas persetujuan Termohon. � perubahan atau penambahan yang dibolehkan:

� hanya yang menyangkut: hal-hal yang bersifat fakta saja, � tidak boleh menyangkut: dasar-dasar hukum yang menjadi

dasar permohonan.

� Tujuan time limit = untuk menjamin kepastian jangka waktu penyelesaian arbitrase,

� Batas jangka waktunya = 180 hari dari tanggal pembentukan Majelis Arbitrase.

� dapat diperpanjang : prolongable. 1. atas persetujuan para pihak, 2. atas kewenangan arbiter atau Majelis Arbitrase berdasar Pasal 33:

a. apabila salah satu pihak mengajukan permohonan mengenai hal khusus tertentu (seperti permohonan provisi)

b. sebagai akibat dijatuhkan putusan provisi, c. bila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis untuk kepentingan

pemeriksaan.

Page 189: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

172

Ragaan 7 Pemeriksaan Saksi dan Saksi Ahli

� dapat atas peintah arbiter / Majelis, � atau permintaan para pihak, � jumlahnya: dapat seorang atau beberapa orang

saksi atau saksi ahli.

� dilakukan pada persidangan yang ditentukan, � memberi keterangan secara lisan = oral hearing. � sebelum memberi keterangan wajib

mengucapkan sumpah.

� Dibebankan kepada pihak yang berhak! � Bagaimana kalau atas perintah arbiter? siapa

yang memikul biaya? � Sebaiknya: dipikulkan kepada kedua belah pihak.

� atas perintah arbiter atau majelis arbitrase, atau, � atas permintaan para pihak.

� berbentuk keterangan tertulis, � mengenai persoalan khusus yang behubungan

dengan pokok sengketa.

Memberikan segala keterangan yang diminta dan diperlukan saksi ahli.

� Arbiter / majelis: meneruskan salinan keterangan S.A. kepada para pihak,

� para pihak berhak memberi tanggapan: • secara tertulis, • untuk disampaikan kepada arbiter.

� apabila ada hal yang kurang jelas dalam keterangan tersebut,

� para pihak yang berkepentingan dapat meminta agar saksi ahli yang bersangkutan: • didengar keterangannya di muka sidang • dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.

PASAL 49 PEMERIKSA

AN SAKSI DAN SAKSI AHLI

PASAL 50 TATA CARA PEMBERIAN KETERANGAN SAKSI

AHLI SECARA

TERTULIS

YANG DAPAT MEMINTA

PEMERIKSAAN

CARA PEMERIKSAAN

BIAYA PEMANGGILAN DAN PERJALANAN

PIHAK YANG DAPAT

MEMINTA

CARA PEMBERIAN

KETERANGAN

KEWAJIBAN PARA

PIHAK

PARA PIHAK BERHAK MEMBERI TANGGAPAN

SECARA TERTULIS

PARA PIHAK BERHAK MEMINTA

PENJELASAN SECARA LISAN DI

PERSIDANGAN ATAS KETERANGAN

TERTULIS SAKSI AHLI

Page 190: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

173

1. Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional adalah suatu badan atau lembaga yang

sengaja didirikan secara permanen309 sebagai sarana penyelesaian sengketa.

Lembaga tersebut ada yang didirikan dan merupakan bagian dari organ

pemerintah suatu negara tertentu namun ada pula yang sifatnya partikelir.

Arbitrase institusional partikelir biasanya didirikan oleh atau atas prakarsa

individu warganegara maupun kelompok individu, biasanya kalangan

pengusaha swasta. Lembaga arbitrase partikelir sudah tentu bukan

merupakan bagian dari organ atau institusi pemerintah, sehingga lembaga

tersebut biasanya terlepas dari campur tangan pemerintah suatu negara.

Biasanya setiap lembaga arbitrase diorganisasikan dengan

manajemen yang teratur oleh para ahli dalam berbagai bidang. Di samping

diorganisasikan secara teratur, arbitrase terlembaga ini pun umumnya

memiliki perangkat ketentuan hukum formal (set of rules of arbitration)

sendiri sebagai hukum acara dalam rangka proses dan prosedur

arbitrasenya.

Untuk memahami pengertian arbitrase institusional, berikut ini

pengertian arbitrase institusional sebagaimana dikemukakan Alan Redfern,

309 Article I ayat (2) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign

Arbitral Awards, menyebut arbitrase institusional ini dengan istilah "permanent arbitral bodies," sebagai kebalikan makna dari arbitrase ad hoc yang disebut dengan

Page 191: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

174

sebagai berikut: "An institutional arbitration is one which is administered

by one of the many specialist arbitral institutions under its own rules of

arbitration." 310

Tujuan pendirian lembaga arbitrase semacam itu biasanya diketahui

dari statuta lembaga tersebut. Secara umum tujuan pendirian arbitrase

institusional adalah dalam rangka menyediakan sarana penyelesaian

sengketa alternatif, di luar sarana penyelesaian sengketa konvensional yang

dikenal dengan pengadilan. Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI)

adalah salah satu contoh arbitrase institusional yang didirikan di Indonesia.

Berdasarkan anggaran dasarnya, BANI didirikan dengan tujuan

memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa

perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri, dan

keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat

internasional.311

Di Indonesia, sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui

arbitrase masih berkisar pada bidang hukum perikatan atau hukum kontrak.

Sedangkan pada negara-negara lain ternyata tidak hanya sengketa yang

termasuk bidang hukum perikatan yang dapat diselesaikan melalui

istilah "arbitrators appointed for each case." Bdgk. M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari:...Op.Cit.," h. 151.

310 Alan Redfern, Law and Practice... Op. Cit., h. 13. 311 Lihat pasal 1 Anggaran Dasar Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI); dalam R.

Subekti, Arbitrasi Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981, h. 51.

Page 192: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

175

arbitrase, melainkan juga sengketa-sengketa di dalam bidang hukum yang

lainnya. Seperti dikonstatir oleh Robert Coulson bahwa: "...Marital

separation agreements provide another example of the flexibility of

arbitration." 312 Hal itu berarti bahwa apabila para pihak menghendaki

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka masalah yang berada di

dalam cakupan hukum keluarga sekali pun dapat diselesaikan melalui

arbitrase.

Di muka telah disebutkan bahwa arbitrase institusional itu suatu

lembaga yang didirikan secara permanen.Yang dimaksud dengan permanen

di sini adalah selain dikelola dan diorganisasikan secara tetap,

keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Di samping itu keberadaan lembaga tersebut tidak hanya bergantung

kepada adanya sengketa. Artinya, apakah ada sengketa yang harus

diselesaikan atau tidak ada sengketa yang masuk, lembaga tersebut tetap

berdiri dan tidak akan bubar, bahkan setelah sengketa yang ditanganinya

telah selesai diputus sekali pun.

Seperti halnya suatu pengadilan nasional dari suatu negara, pada

dasarnya setiap arbitrase institusional selalu mempunyai hubungan dengan

312 Lihat Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 11.

Page 193: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

176

jurisdiksi313 suatu negara tertentu. Artinya, setiap arbitrase institusional

memiliki nasionalitas atau status kewarganegaraan dari suatu negara

tertentu. Sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor mengapa nasionalitas

suatu arbitrase institusional penting untuk diketahui. Julian D.M. Lew314

menyebutkan alasan-alasan tersebut yaitu: Pertama, untuk menentukan lex

arbitri, yaitu hukum yang mengatur tentang proses arbitrase dan hukum

yang menentukan pokok sengketa apakah yang harus dipertimbangkan

oleh para arbiter; Kedua, untuk menentukan pengadilan nasional negara

mana yang memiliki jurisdiksi terhadap arbitrase tersebut. Hal itu

penting karena pengadilan suatu negara pada dasarnya memiliki

kewenangan untuk mengawasi, bahkan bila perlu mencampuri proses

arbitrase yang berlangsung pada negara tersebut;315 dan Ketiga, untuk

mengetahui prosedur yang harus diikuti dalam rangka pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.

313 “Adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa

(hukum). Jurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan. Jurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum.” Lihat, Shaw, International Law; dalam H. Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Indternasional. Jakarta: Rajawali, 1991, h. 143.

314 Julian D.M. Lew, Applicable Law...Op. Cit., h. 13. 315 Dalam kaitan ini, Dr Johannes Trappe antara lain menyatakan: “Beside the fact that the

Court appoints an arbitrator for a party who fails to do so the Court may have functions to fulfil during the proceedings.” Lihat J. Martin Hunter, “Judicial assistance for the arbitrator;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987, h. 202.

Page 194: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

177

Mengapa hal itu dianggap penting? Oleh karena persoalan yang

seringkali terjadi dalam kaitannya dengan yang disebut terakhir itu adalah

menyangkut sulitnya pelaksanaan putusan arbitrase terutama putusan

arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri atau arbitrase internasional. Sudah

menjadi citra bahwa putusan arbitrase nasional (domestik) pelaksanaannya

relatif lebih mudah, bahkan hampir tidak ada masalah bila dibandingkan

dengan eksekusi putusan arbitrase internasional (foreign arbitral

awards).316 Walaupun demikian, untuk menentukan apakah suatu arbitrase

itu tergolong arbitrase nasional atau arbitrase internasional tidak selalu

mudah. Hal itu disebabkan banyak faktor yang turut menentukan. Sebagai

panduan dalam rangka memahami apakah sesuatu forum arbitrase itu

tergolong arbitrase nasional atau arbitrase internasional, serta dimana letak

perbedaannya, dapat disimak dari pengertian yang diberikan oleh Redfern

berikut ini: “…Domestic arbitrations usually take place between the

citizens or residents of the same state, as an alternative to proceedings

before the courts of law of that state.” 317

Dari rumusan di atas tampak bahwa faktor-faktor kebangsaan atau

tempat tinggal para pihak yang bersengketa antara lain menjadi indikasi

untuk menentukan apakah suatu arbitrase itu termasuk arbitrase nasional

316 Julian D.M. Lew, Applicable Law...Op. Cit., h. 13. 317 Alan Redfern et al., Law and Practice...Op. Cit., h. 14.

Page 195: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

178

atau arbitrase internasional. Beberapa faktor lain yang juga dapat dijadikan

indikasi untuk menentukan apakah suatu arbitrase termasuk arbitrase

nasional atau internasional antara lain: (i) pokok sengketa, (ii) kebangsaan

atau tempat tinggal para pihak dan para arbiternya, (iii) hukum yang

digunakan, dan (iv) tempat pemeriksaan arbitrase dilangsungkan. Berkaitan

dengan yang disebut terakhir yaitu tempat arbitrase dilangsungkan, ada

pendapat bahwa: “The arbitration may be totally domestic but for one

element, e.g. the place of arbitration.” 318

1. Arbitrase Ad Hoc

Sebagai bentuk alternatif dari arbitrase institusional adalah arbitrase

ad hoc. Dalam pengertian ini yang dimaksud dengan "arbitrase ad hoc

adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan atau tidak melalui suatu badan

atau lembaga arbitrase tertentu (institutional arbitration)." 319

Menurut Alan Redfern, arbitrase ad hoc adalah: "...arbitration

without designating any arbitral institution and without referring to any

318 Sebagai contoh umpamanya di dalam the English case International Tank and Pipe

SAK v. Kuwait Aviation Fuelling Co. KSC (1975). Para pihak di dalam kontrak tersebut adalah bangsa Kuwait, seluruh kontrak dibuat dan diberlakukan di Kuwait, akan tetapi di dalam kontrak ditetapkan bahwa arbitrase akan diselenggarakan di London berdasarkan ketentuan ICC Arbitration. Ternyata menurut Hukum Inggris (Arbitration Act 1950), pengadilan di Inggris memiliki yurisdiksi untuk melakukan campur tangan atas proses arbitrase tersebut. Lihat Julian D.M. Lew, Applicable Law... Op. Cit., h. 13 dan h. 38, Note No. 19.4.

319 E.J.Cohn, M. Domke, F. Eisemann (eds.), Handbook of Institutional Arbitration in international trade; Preface, h. v; Lihat dalam Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional...Op. Cit., h. 19.

Page 196: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

179

particular set of institutional rules."320 Sebagai bentuk lain dari arbitrase

institusional, arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang sifatnya tidak

permanen. Artinya, keberadaan atau eksistensi arbitrase tersebut sangat

bergantung pada kebutuhan pihak-pihak yang bertikai, yang menghendaki

penyelesaian sengketa mereka melalui arbitrase ad hoc tersebut. Pada

arbitrase ad hoc pihak-pihak yang bersengketa tidak hanya dapat bersepakat

untuk menyelesaikan sengketa, melainkan juga para pihak memiliki

kewenangan untuk mengendalikan setiap aspek dan prosedur penyelesaian

sengketa yang akan dilakukan. Dalam arbitrase ad hoc melakukan

pengangkatan arbiter atau para arbiter beserta segala kompetensinya juga

merupakan kewenangan pihak-pihak yang bersengketa. Tempat arbitrase

dilangsungkan juga dapat ditetapkan berdasarkan kehendak para pihak.

Mereka dapat memilih tempat arbitrase dilangsungkan pada tempat tinggal

atau tempat kediaman mereka atau dapat juga memilih tempat tinggal

arbiternya. Bahkan dapat juga memilih tempat lain yang bukan tempat

tinggal para pihak atau arbiter, melainkan tempat dimana asset yang

menjadi objek sengketa berada.

Demikian pula halnya di dalam menetapkan kaidah hukum yang

akan dipakai dalam menyelesaikan sengketa mereka, para pihak dapat

320 .Alan Redfern, Law and Practice...Op. Cit., h. 56.

Page 197: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

180

memilih peraturan prosedur arbitrase (rules of arbitral procedure) sesuai

dengan yang mereka kehendaki. Artinya, para pihak tidak terikat untuk

memakai peraturan prosedur arbitrase dari suatu arbitrase institusional

tertentu. Pilihan untuk menggunakan peraturan prosedur arbitrase dapat

dilakukan terhadap berbagai kaidah arbitrase. Umpamanya saja,

UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) sebagai kaidah hukum acara arbitrase

mereka. Perangkat kaidah UNCITRAL Arbitration Rules (UAR) tersebut

disediakan untuk dipergunakan dalam arbitrase ad hoc, karena UAR sendiri

tidak memiliki lembaga arbitrase (arbitral institution) tertentu.

Walaupun demikian apabila para pihak menghendaki, arbitrase ad

hoc dapat juga dilangsungkan pada salah satu arbitrase institusional

tertentu. Dalam hal demikian, para pihak tidak diharuskan memakai

perangkat kaidah arbitrase dari lembaga arbitrase tersebut, melainkan

dapat juga memilih kaidah arbitrase lain misalnya UNCITRAL Arbitration

Rules (UAR) sebagai kaidah hukum acara arbitrasenya. Demikian juga

para arbiter tidak memiliki kewajiban untuk memakai perangkat kaidah dari

lembaga arbitrase tersebut. Artinya lembaga arbitrase bersangkutan akan

mempergunakan kaidah arbitrase UNCITRAL Arbitration Rules (UAR)

yang telah dipilih para pihak. Arbitrase semacam itu disebut dengan

Page 198: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

181

arbitrase ad hoc yang diadministrasikan oleh lembaga arbitrase yang sudah

ada (administered ad hoc arbitration).321

Satu hal yang tidak dapat dilupakan bahwa kaidah arbitrase

UNCITRAL itu sifatnya optional, sehingga tidak ada kewajiban bagi siapa

pun yang hendak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase untuk

memakainya. Oleh karena itu, para pihak yang bersengketa bebas untuk

melakukan pilihan, apakah hendak memakai kaidah tersebut atau tidak.

Akan tetapi untuk penyelesaian sengketa pada arbitrase ad hoc, memakai

kaidah yang sifatnya optional seperti halnya kaidah arbitrase UNCITRAL

agaknya lebih tepat. Hal itu seperti juga dikonstatir oleh Alan Redfern,

bahwa: “However, it is not advisable to try to adopt or adapt institutional

rules (such as those of the ICC) for use in an ad hoc arbitration, since

such rules make constant reference to the institution concerned and will

not work properly or effectively without it.” 322 Hal itu disebabkan

perangkat ketentuan tersebut pada dasarnya hanya bersangkut-paut dengan

arbitrase institusional bersangkutan, sehingga kaidah tersebut belum tentu

dapat efektif dan cocok bila dipakai di dalam arbitrase ad hoc. Sebaliknya,

apabila para pihak dalam penyelesaian sengketa itu sama sekali tidak

melakukan pilihan hukum, maka dewan arbitrase akan memakai hukum

321 Lihat S. Gautama, Arbitrase Dagang...Op. Cit., h. 20. 322 Alan Redfern, Law and Practice...Op. Cit., h. 56.

Page 199: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

182

yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional

(HPI) yang dianggap berlaku menurut para arbiter.323

D. Keadilan Menurut Pihak-pihak Bersengketa

Keadilan berasal dari kata “adil” yang diambil dari Bahasa Arab

Adl.324 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil diberi arti tidak

323 S. Gautama, Perkembangan...Op. cit., h. 46. Bdgk. Art. 28 (2) UNCITRAL Model

Law on International Commercial Arbitration; as adopted by UNCITRAL on June 21, 1985, dalam Alan Redfern, Law and Practice...Op. Cit., h. 806. Art. 28 (2) antara lain disebutkan: "Failing any designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable."

324 Kata adl Bahasa Arab itu maknanya tidak dapat dilepaskan dari kandungan ayat-ayat suci Al Qur’an. Oleh karena itu meskipun arti keadilan itu beraneka ragam dan memiliki konteks masing-masing yang berbeda satu sama lain, akan tetapi sumber rujukannya sama yakni Al-Qur’an. Sekurang-kurangnya terdapat enam arti kata adil, seperti yang dapat disimak berikut ini: (i) Adil berarti tebusan, maksud dari tebusan di sini adalah suatu usaha penyeimbang atau upaya menyamakan sesuatu dengan yang lain. Arti tebusan di dalam ayat suci Al Qur’an (QS 2: 48 & 123 serta QS 6: 70) adalah akibat dari pelanggaran ketentuan hukum di dunia atau sebagai tebusan atas perbuatan manusia yang selama hidup di dunia mengabaikan peringatan Allah SWT. (ii) Adil berarti mempersamakan atau memperlakukan secara jujur, dapat disimak pada (QS 4: 3 & 129 serta QS 42:15). Adil dalam makna persamaan hak terlihat dalam pelaksanaan hukum, sehingga peran hakim menjadi sangat sentral dalam menegakkan keadilan. Al Maraghi seorang mufasir menegaskan “Seorang hakim harus menjunjung tinggi keadilan yang merupakan neraca keadilan. Keadilan harus berada di atas hawa nafsu dan kepentingan tertentu, di atas cinta dan permusuhan. Menjauhi keadilan adalah maksiat yang besar dan merusak sistem kemasyarakatan.” (iii) Adil berarti benar, dapat dijumpai dalam QS 2: 282 serta QS 4: 58 & 135. Adil dalam makna benar ini maksudnya menempatkan posisi keadilan di atas hak-hak individu maupun kepentingan kelompok, sehingga apa pun strata sosial seseorang, maka tidak boleh terjadi kepentingan pribadi mengorbankan prinsip kebenaran dan keadilan. (iv) Adil berarti seimbang atau sederhana, dalam arti seimbang inilah dimensi keadilan banyak diungkap dalam Al-Quran. Keseimbangan maksudnya baik seimbang lahiriah, yaitu dalam hal penciptaan manusia maupun seimbang dalam penciptaan alam semesta. Adil dalam makna ini dapat dijumpai dalam QS 82:7, QS 55:7, QS 25:67, QS 17:67, QS 6:141. (v) Adil berarti nilai atau harga, dalam pengertian ini nilai atau harga dianggap sebagai unsur penyeimbang yang melengkapi kewajiban manusia, ketika kewajiban itu tidak sempat tertunaikan. Seperti dapat disimak dari QS 5: 95, intinya denda berupa puasa yang jumlah harinya disesuaikan dengan nilai atau harga makanan yang harus diberikan kepada fakir miskin harus ditunaikan oleh seorang muslim yang membunuh

Page 200: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

183

berat sebelah (tidak memihak), berpihak kepada kebenaran, berbuat

sepatutnya (tidak sewenang-wenang).

Membicarakan persoalan keadilan tidak sekadar merupakan

persoalan hukum positip325 dan kajian filsafat,326 lebih dari itu, masalah

keadilan juga sebagai prinsip teologis.327 Artinya hakikat pembicaraan

mengenai keadilan tidak dapat dilepaskan dari sifat-sifat dan dasar-dasar

kepercayaan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Bahkan Al-Qur’an sebagai

wahyu dan mukjizat memberikan perhatian yang istimewa untuk

binatang ketika sedang ihram. (vi) Adil berarti meng-Esakan Allah, sikap pembenaran dan ketaatan kepada keesaan Allah SWT yang dilakukan seorang hamba sesungguhnya telah berbuat adil. Oleh karena Allah SWT juga telah menuntun manusia untuk berbuat adil, seperti dapat dijumpai dalam QS 16:90. Lihat M. Wildan Yahya, “Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an;” dalam Hikmah, Jurnal Ilmu Dakwah, Volume 1 – Nomor 2, Juli 2002, h. 156-166.

325 “Bahwa setiap orang yang karena kedudukan, fungsi atau perbuatannya memenuhi deskripsi yang dimaksud dalam suatu norma hukum akan diperlakukan menurut norma hukum itu. Sebagai contoh peraturan lalu lintas akan diberlakukan kepada setiap orang karena peraturan lalu lintas menyebut barangsiapa pemakai jalan. Oleh karena itu, siapa saja pemakai jalan akan dikenai aturan lalu lintas.” Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik – Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 81.

326 Di samping keadilan sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positip) terdapat juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus yang menentukan sikap manusia pada bidang tertentu. Thomas Aquinas membedakan keadilan menjadi tiga, yaitu: (i) keadilan distributif (iustitia distributiva), yaitu hal-hal yang harus dibagi menurut kesamaan geometris. Sebagai contoh hal-hal yang umum, seperti jabatan, pajak, dan sebagainya. (ii) keadilan tukar menukar (iustitia commutativa), ukuran keadilan ini bersifat aritmetris. Di sini berlaku suatu hak yang sungguh-sungguh, yakni hak milik (ius proprietatis). Prinsip dasar dalam keadilan ini adalah jangan merugikan orang, contoh jual beli; dan (iii) keadilan legal (iustitia legalis) ini menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan umum. Lihat Theo Huijbers OSC, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1984, h. 43, 76.

327 “Dalam medan pemikiran ilmiah Islam, benang hijau yang menghubungkan munculnya keadilan dalam masyarakat Islam secara ilmiah dan amaliah pertama-tama adalah Al Qur’an. Sebagai Kitab Agung Al Qur’an telah menaburkan benih-benih pemikiran keadilan pada sanubari dan jiwa manusia, kemudian menyirami dan menumbuhkannya

Page 201: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

184

terpeliharanya prinsip keadilan di dalam hukum relatif dan dalam perundang-

undangan. Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa tujuan diutusnya para

nabi pada dasarnya adalah untuk menegakkan sistem kemanusiaan dan

memimpin kehidupan manusia atas dasar keadilan.328

Hukum sebagaimana diterima dan dijalankan di negara-negara di

dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang

modern.329 Karakteristik yang menonjol pada hukum modern adalah dalam

cara-cara menerapkan keadilan dalam masyarakat. Pada sistem hukum

modern penerapan keadilan sangat menekankan pada struktur yang

birokratis. Dalam sistem hukum modern, penerapan keadilan ditandai oleh

suatu perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur yakni proses

pengalihan dari penerapan keadilan secara pribadi berpindah ke tangan

negara yang kemudian dilembagakan. Berdasarkan proses semacam itu

kemudian muncul istilah law enforcement (pelaksanaan atau penerapan

hukum) dan administration of justice (administrasi keadilan). Sesungguhnya

pembicaraan mengenai administrasi keadilan memang belum lazim

dilakukan di Indonesia, namun biasanya istilah administrasi keadilan dipakai

dalam bentuk pemikiran, filosifis, praktis, dan sosial.” Lihat, Mutadha Muthahhari, Keadilan Ilahi...Op. Cit., h. 34-35.

328 Untuk hal ini dapat disimak dari QS 57:25; Mutadha Muthahhari, Loc. Cit., h. 36. 329 Modernitas itu ditandai dengan ciri-ciri: (1) mempunyai bentuk tertulis; (2) hukum itu

berlaku untuk seluruh wilayah negara, meskipun tidak selalu demikian karena pada masa-masa yang lalu dalam suatu wilayah negara bisa berlaku berbagai macam hukum dengan otoritas yang bersaing. (3) Hukum merupakan instrumen yang dipakai secara

Page 202: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

185

dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum, khususnya yang dilakukan

melalui pengadilan.330 Bekerjanya pengadilan dalam hubungan dengan

proses penegakan keadilan, dalam praktik tidak berjalan secara otomatis

sebagaimana telah diatur berdasar prosedur-prosedur formal yang telah

ditentukan dalam hukum acara. Sejak awal keberadaan pengadilan dirancang

sebagai suatu institusi rasional dengan sekalian prosedur dan teknikalitasnya.

Hal itu mengandung makna, bagaimana pun seseorang berkeyakinan bahwa

suatu perkara serta keadilan ada pada dirinya, namun apabila yang

bersangkutan gagal memenuhi dan mengikuti ketentuan dalam proses

berperkara, orang tersebut akan dikalahkan oleh pihak lawan yang dengan

cerdik mampu memanfaatkan sekalian teknikalitas hukum.331 Oleh karena

itu, untuk memenangkan suatu perkara di depan pengadilan, tidak cukup

hanya mengandalkan posisi keadilan, melainkan harus siap “bertempur

secara hukum.”332 Itu berarti, keadilan tidak secara otomatis akan keluar atau

didapat begitu sengketa dimasukkan di pengadilan, melainkan harus

diupayakan sedemikian rupa melalui perjuangan panjang dengan tenaga dan

uang agar pihak berperkara tidak menjadi korban ketidakadilan. Bahwa

keadilan sebagai sebuah konsep belumlah lengkap apabila tugas dan

sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986, h. 178-179.

330 Satjipto Rahardjo, Loc. Cit., h. 217-218. 331 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 121. 332 Lihat Satjipto Rahardjo, “Dengan Determinasi”; dalam Kompas, 17 Oktober 1998.

Page 203: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

186

kewajiban, baik moral maupun legal konstitusional tidak terliput secara

integral. Hal itu penting untuk ditekankan karena stabilitas suatu masyarakat

yang ditata dengan baik terletak pada pengakuan dan kepastian pelaksanaan

hak dan kewajiban segenap warga secara seimbang. Menurut Rawls,333 ada

dua kewajiban natural yang sangat penting: (1) kewajiban untuk mendukung

dan mengembangkan institusi-institusi yang adil; dan (2) kewajiban natural

untuk saling menghargai.

Keadilan merupakan sebuah nilai primer bagi manusia, maka

kewajiban untuk selalu bersikap adil pada pokoknya menuntut bahwa

keadilan harus ditegakkan dengan menggunakan cara-cara yang adil pula.

Hal penting yang harus diperhatikan dalam kaitan tersebut adalah peringatan

Rawls untuk menghindarkan praktik-praktik yang tidak adil, sekalipun

dilakukan atas nama keadilan. Tegasnya, keadilan tidak boleh ditegakkan

dengan cara-cara yang tidak adil. Cara-cara yang tidak adil, meskipun

333 Lihat John Rawls, A Theory of...Op. Cit., h. 333-342. Sementara itu Andre Ata Ujan

memberikan komentar antara lain: “...Ketika berbicara mengenai kewajiban moral, Rawls menggunakan istilah ‘duty’ dan ketika berbicara mengenai kewajiban konstitusional, menggunakan istilah ‘obligation’. Rawls sendiri mengakui bahwa bisa saja ada hubungan antara kedua jenis kewajiban tersebut (kewajiban moral dan kewajiban legal atau konstitusional), namun keduanya tetap harus dibedakan. Hal itu mudah dimengerti karena sifat dasar keduanya memang berbeda, tidak hanya dari segi sumber, tetapi juga prinsip keberlakuannya berbeda. Keberlakuan kewajiban legal atau konstitusional dapat dipaksakan dari luar, sedangkan kewajiban moral tidak dapat diperlakukan seperti itu. Kewajiban moral menjadi kewajiban karena merupakan buah kesadaran dari person yang bersangkutan. Sedangkan kewajiban legal atau konstitusional berhubungan dengan kedudukan seseorang sebagai anggota masyarakat atau warga negara tertentu, dalam arti mengatur interaksi sosial di antara anggota masyarakat baik pada tingkat horizontal maupun vertikal.” Lihat Andre Ata Ujan, Keadilan dan...Op. Cit., h. 165.

Page 204: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

187

dilakukan atas nama keadilan, tetap saja bertentangan dengan esensi keadilan

itu sendiri. Oleh karena itu, kewajiban untuk bersikap adil patut diterima

sebagai sebuah tuntutan natural, meskipun tidak berarti adanya kesadaran

akan kewajiban natural seperti itu kemudian pelaksanaan hak dan kewajiban

akan dengan sendirinya berjalan mulus.

Keadilan sebagai fairness tidak akan pernah menjadi kenyataan

dalam kehidupan warga apabila tidak ada kesadaran luas akan pentingnya

saling menghargai sebagai sebuah nilai moral di antara anggota masyarakat.

Oleh sebab itu, sikap saling menghargai harus dapat dilihat juga sebagai

suatu kewajiban natural yang pengungkapannya menjadi bukti nyata dari

saling pengakuan di antara anggota masyarakat sebagai person moral. Rawls

menegaskan bahwa “setiap anggota masyarakat harus tunduk pada batasan-

batasan institusional, tetapi tidak ada tuntutan moral yang dapat dengan

begitu saja muncul dari fakta adanya lembaga-lembaga.” Rawls menyadari

dengan baik untuk tetap melihat perbedaan antara tuntutan-tuntutan moral di

satu pihak dengan tuntutan-tuntutan legal institusional di lain pihak. Oleh

karena itu, kendati memberi tekanan yang sangat kuat pada prinsip keadilan

dan sikap saling menghargai sebagai prinsip-prinsip moral yang harus

ditegakkan demi suatu kerjasama yang saling menguntungkan, namun Rawls

tetap percaya bahwa himbauan moral saja tidak mencukupi. Masih

dibutuhkan prinsip-prinsip legal institusional yang memang memiliki

Page 205: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

188

kekuatan “memaksa” individu dari luar untuk bisa bersikap adil dan

menghargai hak pihak lain. Untuk itu bisa dimengerti mengapa Rawls

menyebut dukungan dan kepatuhan pada lembaga-lembaga yang adil sebagai

suatu kewajiban natural manusia.334 Sebagai contoh umpamanya, seorang

hakim dapat saja menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam

menginterpretasikan hukum, namun tetap harus disadari bahwa apa yang

dilakukannya adalah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan institusional legal.

Yang dilakukan hakim di sini adalah menerapkan hukum, dan sejauh

penerapan ini memenuhi prinsip-prinsip keadilan, hakim mempunyai

kewajiban moral untuk tunduk pada hukum tersebut. Dalam kaitan ini Rawls

menegaskan bahwa seseorang dapat saja baik secara hukum, tetapi belum

tentu ia juga baik secara moral. Dari sudut hukum dapat dikatakan bahwa

suatu hukum dapat saja berlaku dan pada kenyataannya dijadikan perangkat

regulatif bagi warga masyarakat, tetapi hal itu tidaklah berarti bahwa hukum

tersebut dengan sendirinya adil.

Para “peziarah keadilan” sekarang harus menemukan kenyataan,

bahwa jalan masuk ke rumah keadilan atau ‘access to justice’ memang telah

menjadi semakin sempit. Tidak hanya dalam arti spasial, tetapi juga

ekonomis dan intelektual.335 Sedangkan keadilan merupakan suatu nilai

334 Andre Ata Ujan, Keadilan dan ...Op. Cit., h. 101, 165. 335 Penggunaan sistem peradilan modern sering dianggap sebagai penyebabnya, karena

sistem peradilan yang demikian sangat menekankan kepada format, formalitas,

Page 206: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

189

yang teramat tinggi kedudukannya dalam masyarakat, oleh karena itu, perlu

mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya bagi mereka yang mencarinya.336

Sepenuhnya disadari bahwa keadilan dan pemberian keadilan merupakan

masalah yang kompleks dan rumit. Manajemen keadilan yang bijaksana

tentu akan menanganinya sesuai dengan kompleksitas tersebut. Oleh sebab

itu, model Khadi-justiz sebagaimana disebut oleh Weber adalah suatu istilah

teknis yang menunjuk pada suatu bentuk administrasi keadilan yang tidak

berorientasi pada peraturan-peraturan hukum formal rasional. Para hakim

pada Khadi-justiz memutuskan atas dasar hukum yang substantif-rasional.337

Namun demikian, administrasi keadilan Khadi-justiz pada dewasa ini telah

digantikan oleh suatu lembaga yang diorganisasikan secara rasional.

Wewenang, susunan, serta prosedur kerjanya telah ditetapkan secara jelas,

prosedur, dan spesialisasi. Arsitektur pengadilan yang demikian itu menjadikan pengadilan kaku dan lamban karena sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, dan metodologi yang ketat. Orang tidak mempunyai pilihan lain, kecuali tahu hukum untuk dapat memasuki pintu keadilan tersebut. Bagi mereka yang tidak tahu hukum dapat memakai jasa advokat dengan membayar layanan profesi tersebut. Lihat Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif”; Kompas, Rabu, 5 April 1995.

336 Pada tahun 70-an (tujuh puluhan) dikenal ada gerakan yang bernama Access to Justice Movement (AJM), suatu gerakan yang bertujuan meringankan kerasnya sistem peradilan modern, sehingga pintu keadilan dapat dibuka lebih lebar dan lebih banyak pula orang yang dapat dilayani. Berkaitan dengan hal itu Weber juga menyinggung suatu persoalan yang cukup menarik dalam hubungannya dengan kecenderungan penegakan hukum yang semakin formal-rasional dan birokratis ini, yaitu bahwa perkembangan dari hukum modern juga menunjukkan tendensi yang anti-formalistis. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Membangun...;Ibid. Bdgk. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan...Op. Cit., h. 46.

337 Model Khadi-justiz bentuknya informal sehingga dapat menampung proses yang luwes, bertolak dari konsep ekspertis, serta ditangani oleh orang-orang yang punya integrity. Di samping itu, hukum yang substantif-rasional itu terdiri atas postulat-postulat etika, agama, politik, serta sarana-sarana lain yang diterima dan dipakai dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan... Op. Cit., h. 103-104.

Page 207: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

190

tegas, dan terinci. Lembaga pengganti yang dimaksud adalah badan peradilan

modern. Badan peradilan kini telah merupakan bagian dari suatu birokrasi

nasional. Usaha untuk memperoleh keadilan sekarang ini menjadi semakin

jauh dari masyarakat umum disebabkan karena persoalan yang bersifat teknis

hukum, prosedur, dan sebagainya. Oleh karena itu, akibat berbelit dan

berlikunya aturan formal yang harus dilalui di dalam badan peradilan, maka

keadilan dan kebenaran yang dicari sering hilang ditelan liku-liku formalitas.

Untuk menggambarkan betapa liku-liku formalitas berperkara di

dalam ruang sidang pengadilan itu telah menyebabkan terjadi distorsi dalam

lembaga peradilan, berikut ini dapat disimak ungkapan novelis Sidney

Sheldon338 antara lain: “Forum persidangan tidak ubahnya seperti

gelanggang aktor. Jaksa lebih cenderung melontarkan kalimat kebencian dan

kejijikan yang hina kepada terdakwa daripada mencari kebenaran dan

keadilan. Pembela lebih menutamakan kecerdikan bersilat lidah memutar

balik kenyataan yang bersifat menjebak daripada membela dan

mempertahankan kebenaran dan keadilan. Sedangkan hakim juga ikut-ikutan

bermain aktor, sehingga lupa akan fungsi utamanya untuk mencari,

338 Nyatanya kata kemenangan dalam suatu perkara bukan hanya cermin dalam praktik dan

budaya peradilan di Amerika. Di Indonesia juga kata “kemenangan” dalam berperkara telah membentuk opini dan budaya serta penghayatan kesadaran hukum masyarakat. Tidak hanya pada kalangan masyarakat bawah, melainkan juga di kalangan masyarakat elit. Yang dipertahankan dan diburu oleh masyarakat bukan lagi “keadilan,” melainkan “kemenangan.” Lihat M. Yahya Harahap, “Dua Sisi Putusan Hakim Tidak Adil Bagi Yang Kalah dan Adil Bagi Yang Menang”; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993, h. 102-111 [103].

Page 208: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

191

menemukan, dan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth

and justice). Walhasil, kata keadilan sering hanya dihormati dalam

pelanggarannya, sementara itu di dalam ruang sidang, baik jaksa penuntut

umum maupun pembela tidak mencari keadilan; pokok permainannya adalah

untuk menang.”

Bagi pihak yang menang perkara, merasa puas dan sangat setuju

terhadap putusan yang dijatuhkan meskipun putusan mengandung

ketidakadilan. Sebaliknya, bagi pihak yang kalah, putusan yang dijatuhkan

tetap dituduh tidak benar meskipun putusan yang bersangkutan benar-benar

adil. Seperti itulah kira-kira gambaran persepsi tentang keadilan menurut

pihak-pihak yang bersengketa. Bahkan gambaran itu pula yang

mencerminkan masyarakat pencari keadilan yang dihadapi oleh dunia

peradilan di Indonesia. Setiap kemenangan identik dengan keadilan,

sementara itu setiap kekalahan yang bagaimana pun adil dan manusiawi tetap

saja dianggap “zalim” dan “tidak adil.”

Meskipun demikian, merupakan tugas seorang hakim setelah

memeriksa perkara sengketa selanjutnya harus menjatuhkan putusan yang

mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Apa pun yang terjadi, hakim tidak

dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya telah diperiksa.

Bahkan apabila suatu perkara telah diajukan kepadanya, meski belum

Page 209: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

192

diperiksa, seorang hakim tidak wenang untuk menolak perkara tersebut.339

Dari seorang hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan

siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri

sengketa atau perkara.

Ketika hendak menjatuhkan putusan, seorang hakim selalu akan

berusaha agar putusannya seberapa mungkin dapat diterima oleh masyarakat,

setidak-tidaknya berusaha agar lingkungan orang yang akan dapat menerima

putusan itu seluas mungkin.340 Hakim akan merasa lebih lega apabila ia

dapat memuaskan semua pihak dengan putusannya. Meskipun demikian

hakim jarang sekali dapat memberi putusan yang saling memenangkan dan

mengalahkan kedua belah pihak. Oleh karena sudah menjadi kelaziman

dalam praktik hukum, hakim harus dan mesti menjatuhkan pilihan dalam

bentuk memenangkan salah satu pihak dan dengan sendirinya pula akan

mengalahkan pihak yang lain.

339 Periksa Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; L.N. Tahun 1999 Nomor 147. 340 Para pihak yang berperkara tentu saja yang terutama mendapat perhatian dari hakim,

karena ia harus menyelesaikan atau memutuskannya. Hakim harus memberi tanggapan terhadap tuntutan para pihak. Ia akan berusaha agar putusannya itu tepat dan tuntas. Secara objektif putusan yang tepat dan tuntas berarti akan dapat diterima bukan hanya oleh penggugat melainkan juga oleh tergugat. Hakim akan lebih puas apabila putusannya memenuhi keinginan dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Pada umumnya hal itu memang tidak mungkin terjadi, kecuali dalam hal putusan perdamaian, karena dalam putusan semacam itu tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan. Sedangkan pada putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir) dimana ada pihak yang dikalahkan dan ada pihak yang dimenangkan, pada umumnya pihak yang dikalahkan akan merasa tidak puas dan menganggap putusan tersebut tidak adil atau tidak tepat. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 168-169.

Page 210: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

193

Idealnya setiap putusan hakim yang dijatuhkan merupakan putusan

yang objektif dan berwibawa. Akan tetapi rasa keadilan pihak-pihak yang

bersengketa selalu sebaliknya, yakni sangat subjektif. Oleh karena itu, dalam

setiap sengketa yang diputuskan oleh hakim akan selalu dijumpai suatu

keadaan dimana yang dikalahkan akan merasa tidak puas dan menganggap

putusan tersebut tidak adil atau tidak tepat, dan sebaliknya, hanya pihak yang

dimenangkan oleh hakim yang akan merasa putusan tersebut adil dan tepat.

Page 211: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

194

BAB IV

PILIHAN FORUM ARBITRASE BUDAYA HUKUM DAN KEADILAN

A. Pilihan Forum Arbitrase dan Budaya Hukum di Indonesia Seperti telah diutarakan di muka bahwa proses penyelesaian

sengketa bisnis yang diupayakan pihak-pihak melalui forum lain di luar

pengadilan, merupakan realita perubahan kecenderungan manusia dalam

masyarakat yang harus diterima. Apabila selama ini mekanisme

penyelesaian sengketa mengikuti pola yang terstruktur melalui pengadilan

negeri, maka pilihan forum lebih mengedepankan kebebasan para pihak

dalam menetapkan bentuk lain dari proses yang serupa, namun melalui

mekanisme yang lebih sederhana dan diharapkan di dalam mekanisme

tersebut tidak terjadi distorsi pada penegakan hukum sehingga hasilnya

dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi

keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang

menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan

beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh

karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan

diberikan melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya

Page 212: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

195

cenderung berupa keadilan yang rasional. Oleh sebab itu, keadilan yang

diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis.341

Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti

banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa

maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam

bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja

pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang

bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat

terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan

kepada lembaga peradilan.

Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian hukum

serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas perdagangannya tatkala

terjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir terhadap kondisi

badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu.

Dilatarbelakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari

341 Keadilan birokratis adalah keadilan yang diperoleh melalui keputusan birokrasi yang

dirancang untuk melayani kepentingan umum dan didasarkan pada perangkat-perangkat peraturan yang rasional dan pasti. Sedangkan hukum itu sendiri tidak lain hanyalah berisi “janji.” Janji-janji kepada masyarakat yang diwujudkan melalui keputusan birokrasi. Sementara ide dasar hukum dan ketertiban adalah janji-janji untuk memberikan keadilan, yakni janji untuk memperbaiki mekanisme perubahan melalui hukum - terhadap alokasi ganjaran, struktur-struktur kesempatan, dan jalan masuk pada cara-cara kehidupan kita secara adil. Ini berarti bahwa lembaga peradilan mempunyai kewajiban untuk memberikan dan menjaga terwujudnya janji-janji hukum dan keadilan melalui keputusan-keputusan yang meliputi segala aspek kehidupan. Lihat I.S. Susanto, “Lembaga Peradilan dan Demokrasi”; Makalah pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 12-13 Nopember 1996, h. 3.

Page 213: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

196

komunitas bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memilih model

lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk penyelesaian yang

dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme pada badan

peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat memberikan

alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan

penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih

tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa

keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat.

Mengkritisi keadaan badan peradilan di Indonesia yang sudah seperti

itu, Satjipto Rahardjo342 berpendapat, untuk menyebarkan fora pemberian

keadilan tidak semestinya terkonsentrasi pada satu lembaga yang bernama

pengadilan. Marc Galanter memberikan tamsil yang sangat bagus, yaitu

hendaknya ada justice in many rooms.343 Gagasan Alternative Dispute

Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak gelombang gerakan Access to

Justice Movement (AJM), terutama gelombang ketiga yang menghendaki

adanya jalur alternatif di luar pengadilan negara.344 Masalahnya karena

342 Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif... Kompsa Op. Cit., 343 Lihat, Marc Galanter, “Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan

Masyarakat serta Hukum Rakyat:” dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah...Op. Cit., h. 94-138.

344 Kita harus mengkaji lembaga paradilan dalam konteks saingan-saingannya dan para mitranya. Untuk dapat melakukan hal itu, maka harus mengesampingkan perspektif “sentralisme hukum” yang telah biasa kita terapkan, yaitu sebuah gambaran dimana alat-alat perlengkapan negara (dan ajaran-ajaran mereka) menempati titik sentral dari kehidupan hukum dan memiliki kedudukan pengawasan yang hierarkis terhadap penata

Page 214: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

197

masyarakat dapat mengalami keadilan atau ketidakadilan bukan saja melalui

forum-forum yang disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui

lokasi-lokasi kegiatan primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat

berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, tempat bekerja,

kesepakatan bisnis, dan sebagainya (termasuk aneka latar penyelesaian

khusus yang berakar di lokasi-lokasi tersebut).

Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi

keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum

modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan

sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed)

dari luar.345 Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum

modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam

tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami

bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah

menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah

norma lain yang lebih rendah kedudukannya, seperti misalnya keluarga, korporasi, jaringan bisnis. Kebiasaan bahwa semua fenomena hukum senantiasa dikaitkan dengan negara oleh Griffiths dianggap “sebenarnya tidak mutlak” ...secara empiris tidak beralasan bahwa negara mempunyai tuntutan yang lebih dari bagian-bagian lain dari sistem untuk menjadi pusat dari seluruh fenomena hukum. Lihat, Marc Galanter, “Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan..; Antropologi...Loc. Cit., Bdgk. Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif”;...Kompas...Loc. Cit.,

345 Keadaan atau perkembangan seperti itu tidak hanya dialami oleh bangsa Indonesia, melainkan umumnya negara-negara di luar Eropa dan khususnya di Asia Timur, yang di dalam itu Indonesia termasuk. Keadaan seperti itu terjadi pula di Cina, Korea, Jepang, dan lain-lain. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari Kajian Sosio Kultural”; dalam Makalah Seminar Nasional – Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis, 27 Juli 2000, h. 5-6.

Page 215: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

198

kultural.346 Persoalannya, karena sistem hukum347 modern yang liberal itu

tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas

kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu.348

Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk

memberikan keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel

akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada yang tidak.349

346 Jepang merupakan kasus studi yang sangat menarik karena kemampuannya untuk

menggunakan dan menyerap hukum modern dan pada waktu yang sama menjaga kelangsungan tatanan sendiri. Masalahnya, bagaimana pun, hukum modern dan Rule of Law (ROL) mengandung muatan kultural Barat yang sangat kuat. Oleh karena itu, untuk menjadikan hukum modern suatu kaidah kultural bagi bangsa kita, diperlukan usaha terus menerus berupa suatu “internal cultural discourse and cross-cultural dialogue.” Satjipto Rahardjo, Loc. Cit.,

347 Berbicara mengenai sistem hukum, Adi Sulistiyono menguraikan bahwa, yang tertangkap dalam pikiran masyarakat adalah hukum positif yang berlaku di suatu negara, atau para legislator yang membuat undang-undang, atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pejabat hukum. Padahal sistem hukum tidak hanya berisi materi hukum, tetapi masih ada unsur lain yang selama ini kurang disadari oleh masyarakat. Lihat, Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma,...Op. Cit., h. 46.

348 Pikiran liberal ini berpusat pada kemerdekaan individu dengan menata suatu kehidupan dimana kemerdekaan individu tersebut dijamin keberadaan dan kelanjutan keberadaan tersebut. Nilai liberal, kemerdekaan individu, menjadi paradigma dalam sistem hukum. Hal tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Pelajaran itu adalah, bahwa sistem hukum liberal terutama dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”; dalam Makalah Seminar Nasional ‘Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi’, PDIH-Undip-Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000, h. 6-7.

349 Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 8. Sistem yang lebih mengunggulkan kemerdekaan individu daripada mencari kebenaran dan keadilan memakan banyak korban di Amerika Serikat dan salah satu perkara yang disebut-sebut sebagai perkara abad ini adalah Perkara O.J. Simpson yang diputus “not guilty.” Lihat, Alan M. Derschowitz, Reasonable Doubts. New York: Simon & Schuster, 1996, h. 42. Bahkan di Indonesia, fenomena “orang yang memiliki banyak uang dapat membeli kemenangan di pengadilan” telah menjadi rahasia bersama para pencari keadilan. Tawar menawar antara hakim pemutus dengan kuasa hukum pihak-pihak ketika putusan hendak dijatuhkan adalah cerita yang sangat memilukan sekaligus memalukan dalam proses penegakan keadilan. Oleh sebab itu, apa yang dipaparkan Galanter telah menjadi kenyataan di Indonesia. Lihat, Marc Galanter ,‘Why The “Haves” Come Out Ahead: Speculations on The Limits of Legal Change’; Law and Society, Fall 1974, h. 95-151.

Page 216: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

199

Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal

tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk

mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka

melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang atau

pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum

alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan

upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup.350 Hal itu

disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak

sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat liberal dalam hukum

dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan

menegakkan keadilan substansial (substantial justice).351

Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum modern di

Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang

350 Praktik hukum kita sekarang pada dasarnya masih didasarkan pada positivisme abad

ke-sembilanbelas, sedang filsafat yang ada di belakang adalah liberalisme atau pikiran hukum liberal. Filsafat hukum liberal bertumpu kepada perlindungan kebebasan dan kemerdekaan manusia. Sekalian konstruksi, asas, doktrin, disiapkan untuk menjaga, mengamankan dan melestarikan paradigma nilai tersebut. Persamaan di hadapan hukum menjadi pilar utama. Dalam perumusan secara positif maka tidak boleh ada peraturan yang memuat diskriminasi. Hanya sampai disitulah liberalisme menghantarkan masyarakat memasuki dunia hukum. Proses-proses hukum selanjutnya harus patuh menjunjung persamaan dan non-diskriminasi. Ini menjadi tugas penting dari hukum, tetapi lebih dari itu juga merupakan tugas satu-satunya. Dengan demikian filsafat hukum liberal menganggap bahwa tugasnya sudah selesai apabila sudah berhasil untuk mempertahankan dan menjaga paradigma nilai liberal tersebut. Apabila keadilan menjadi taruhan dalam hukum, maka filsafat hukum liberal beranggapan, bahwa dengan cara demikian itu keadilan sudah diberikan. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi... Op. Cit., h. 21-23.

351 Oleh karena itu, Soetandyo Wignjosoebroto antara lain menyatakan: “…transitional justice merupakan jalan tengah sebuah pendekatan win-win solution, sehingga

Page 217: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

200

didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan

kolonial di Hindia-Belanda.352 Padahal suatu peralihan dari status sebagai

bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu

momentum yang cukup krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-

Belanda, bangsa Indonesia tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya

dalam masalah penegakan, pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya,

melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan objek kontrol oleh hukum.

Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa Indonesia terlibat secara

penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari

pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan.353

Akibat berlangsungnya transplantasi sistem hukum354 asing (Eropa)

ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi yang otohton

‘kompromi’ tidak bisa dihindarkan.” Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, “Keadilan Komutatif, “win-win Solution,” dalam Kompas 25 Nopember 2000.

352 Kebijakan itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan de bewuste rechtspolitiek. Kebijakan untuk membina tata hukum kolonial secara sadar ini berefek di satu pihak mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak akan ikut mengupayakan diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh lapisan penduduk yang bermukim dan/atau berusaha di daerah jajahan. Kebijakan yang disebut de bewuste rechtspolitiek tersebut khususnya yang bertalian dengan langkah-langkah tindakan yang diambil para politisi eksponennya di bidang perundang-undangan, pemerintahan, dan pengadilan. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 19-20.

353 Lihat, Satjipto Rahardjo, “Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi”; Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia. Semarang, 12-13 Nopember 1996, h. 5-7.

354 Istilah “transplantasi sistem hukum” adalah sebutan yang digunakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto di dalam paparannya mengenai berlangsungnya proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 1-7.

Page 218: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

201

tersebut, maka ada konsekuensi yang mesti dipikul bangsa Indonesia ketika

harus terlibat penuh dalam penyelenggaraan hukum. Konsekuensi tersebut

berupa keniscayaan untuk membangun dan mengembangkan perilaku

hukum (legal behavior)355 baru dan budaya hukum untuk mendukung

perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan. Dalam kaitan itu, Satjipto

Rahardjo356 menyatakan, tidak mudah untuk mengubah perilaku hukum

bangsa Indonesia yang pernah dijajah menjadi bangsa yang merdeka, karena

waktu lima puluh tahun belum cukup untuk melakukan perubahan secara

sempurna.

Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu

tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum,

karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem

hukum. Di samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit357 menguraikan

unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:

1. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum,

yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas.

Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum.”

355 Perilaku hukum (legal behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan,

keputusan, perintah, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Lihat, Lawrence M. Friedman, American Law...Op. Cit., h. 280.

356 Satjipto Rahardjo, “Pendayagunaan Sosiologi Hukum...Op. Cit., h. 7. 357 Lihat, J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum; terjemahan Arief Sidharta.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, h. 140. Sementara itu John Henry Merryman mengungkapkan pengertian “A legal system, is an operating set of legal institution,

Page 219: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

202

2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-

organisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu

sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para

pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam

kerangka suatu organisasi atau lembaga.

3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan

perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem

makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun

dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem

hukum itu.

Sementara itu L.M. Friedman358 mengungkapkan tiga komponen dari

sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2)

substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum mempunyai

struktur,359 yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang

menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas:

jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa

serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga

procedures, and rules." Lihat, dalam The Civil Law Tradition. Stanford University Press, Stanford, California, 1969, h. 1.

358 Lawrence M. Friedman, The Legal System. New York: Russel Sage Foundation, 1975, h. 11-16. Bdgk. L.M. Friedman, American Law...Op. Cit., h. 6-11.

359 “Is its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process flowing within bounds.”

Page 220: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

203

mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi,360 yaitu aturan,

norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.

Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan

oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu – keputusan yang mereka

keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Ketiga, adalah kultur361 atau

budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum –

kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini pun

dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang

menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Selanjutnya Friedman362 merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap

dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut

sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun

negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga

kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari

budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu

tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem

hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik

360 ”The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions

should behave.” 361 “Legal culture refers to public knowledge of and attitudes and behavior patterns

toward the legal system. Do people feel and act as if courts are fair? When are they willing to use courts? What parts of the law do they consider legitimate? What do they know about the law in general? The term legal culture roughly describes attitudes about law, more or less analogous to the political culture.”

362 Lihat, Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 47-48.

Page 221: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

204

masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang

disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan

sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana

seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Friedman363 juga membedakan budaya hukum menjadi external and

internal legal culture. Menurut Esmi Warassih364 budaya hukum seorang

hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum

masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis

kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan

faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum

merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di

dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan, “penerapan suatu

sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan

masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang

berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi

pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh

anggota masyarakat itu sendiri.” 365 Mengacu pada pendapat tersebut, tidak

ada keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan sebagai tempat

363 The external legal culture is the legal culture of general population; the internal legal

culture is the legal culture of those members of society who perform specialized legal task. L.M. Friedman, The Legal...Op. Cit., h. 223.

364 Lihat, Esmi Warassih, “Pemberdayaan Masyarakat...Op. Cit., h. 11. 365 Esmi Warassih, Ibid., h. 12.

Page 222: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

205

penyelesaian sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai yang

hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah

diungkapkan di muka dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang

digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi366 sistem hukum asing

(Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia,

sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian

sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah

dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade367

sejak tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing

dalam tubuh kita.”

Bertolak dari serangkaian fakta di muka, tentu harus diakui sebab

bagaimana pun seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia telah

banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-

asas yang telah digariskan sejak lama sebelum kekuasaan kolonial tumbang.

366 Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., supra (catatan kaki no. 256). 367 “Di zaman pendudukan Jepang sistem peradilan Indonesia mengalami perubahan yang

revolusioner, yang pada pokoknya menuju kepada penyederhanaan dan peningkatan kecepatan jalannya peradilan sistem hakim tunggal dan penghapusan dualisme serta sifat koloialistis dari sistem peradilan pada waktu itu.” Lihat Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 25. Sementara itu Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan, “...Kontribusi paling penting yang diberikan oleh Jepang kepada sistem hukum Indonesia adalah dihapuskannya dualisme dalam tata peradilan. Kini hanya ada satu sistem peradilan saja untuk semua golongan penduduk (kecuali untuk orang-orang Jepang). Badan pengadilan tertinggi adalah Hooggerechtshof yang kini (maksudnya pada masa pendudukan Jepang: pen.) disebut Saikoo Hooin, dan kemudian berturut-turut adalah Raad van Justitie (Kootoo Hooin), Landraad (Tihoo Hooin), Landgerecht (Keizai Hooin), Regentschapsgerecht (Ken Hooin), dan Districtsgerecht (Gun Hooin). Residentiegerecht, yang pada masa kekuasaan Hindia Belanda mempunyai yurisdiksi

Page 223: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

206

Sementara itu budaya hukum para yuris yang mendukung beban kewajiban

membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiran-

pemikiran yang lateral dan menerobos.368 Selanjutnya Soetandyo

Wignjosoebroto369 menyatakan: “Berguru kepada guru-guru Belanda dalam

situasi kolonial, pemikiran para yuris nasional ini pun mau tak mau telah

diprakondisi oleh dotrin-doktrin yang telah ada. Para perencana dan para

pembina hukum nasional – juga sekalipun mereka itu mengaku bersitegak

sebagai eksponen hukum adat dan hukum Islam – adalah sesungguhnya

pakar-pakar yang terlanjur terdidik dalam tradisi hukum Belanda, dan

sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk berpikir dan bertindak

menurut alur-alur-alur tradisi ini, dan bergerak dengan modal sistem hukum

positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku

berdasarkan berbagai aturan peralihan).”

Padahal hukum yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang

yang tengah berubah lewat upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini

adalah hukum yang dapat berfungsi sebagai pembaharu, dan bukan sekadar

sebagai pengakomodasi perubahan seperti yang diimplisitkan dalam ajaran

khusus untuk mengadili perkara orang-orang Eropa saja, kemudian dihapuskan.” Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 184.

368 Soetandyo Wignjosoebroto, Ibid., h. 188. 369 Soetandyo Wignjosoebroto, Loc. Cit.,

Page 224: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

207

the sociological jurisprudence Roscoe Pound.370 Ditengarai oleh Robert

Seidman bahwa pengalaman hukum yang melahirkan institusi-institusi

hukum modern itu sesungguhnya cultural bound dalam konteks tradisi

hukum Barat. Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural

Barat ini nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai untuk

mengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada

umumnya di negeri-negeri berkembang non-Barat371 yang memiliki aset-

aset sosio-kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh

Robert B. Seidman sebagai the Law of the Nontransferability of law.372

370 Ajaran hukum Roscoe Pound tidak hanya mengukuhkan eksistensi the common law

system, dan kemudian juga tetap memperkuat pengakuan akan peran dan otonomi profesi hukum (yang mengkonsentrasikan aktivitasnya, di dalam fungsi peradilan yang terlindung dari berbagai kemungkinan intervensi politik). Akan tetapi juga mencabar dan mempertanyakan kemampuan ajaran the analytical jurisprudence atau die Reine Rechtslehre (yang kedua-duanya mendasari civil law system yang dianut di negeri-negeri Eropa Kontinental dan negeri-negeri bekas jajahannya) untuk secara progresif juga memutakhirkan hukum dan fungsinya di tengah-tengah perubahan kehidupan yang terjadi. Lihat, Soetandyo Wignyosoebroto, “Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP II;” Makalah disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, BPHN, Jakarta, 10-21 Juli 1995; dimuat dalam Majalah Hukum Trisaksi Edisi Khusus, TT, h. 37-44 [39].

371 Benturan antara sistem hukum modern dengan nilai-nilai budaya masyarakat semacam ini tidak hanya dialami dan terjadi di Indonesia, melainkan juga dialami oleh India dan juga Jepang. Lihat Marc Galanter, “Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India Modern;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II...Op. Cit., h. 146-191. Untuk kasus Jepang dapat diketahui dari paparan yang dilakukan oleh Dan Fenno Henderson. Lihat dalam Dan Fenno Henderson. “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II... Loc. Cit., h. 25-94.

372 Pada dasarnya memang tidak mudah untuk mentransfer begitu saja suatu sistem hukum tertentu, dalam hal ini sistem hukum modern, kepada masyarakat lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berlainan. Dalam kaitan ini Robert B. Seidman mengemukakan: “...a rule transferred from one culture to another simply cannot be

Page 225: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

208

Melengkapi uraian di muka, Esmi Warassih juga mengemukakan,

“Secara umum dapat dikatakan bahwa lapisan pengambil keputusan

umumnya menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang modern

rasional, sementara hal tersebut tidak selalu sejalan dengan kesiapan

masyarakat di dalam menerima sistem tersebut.” Oleh karena itu, dapat

dipahami jika penggunaan hukum modern beserta segenap institusi-institusi

hukumnya kemudian menimbulkan persoalan yang cukup krusial di dalam

masyarakat. Apalagi ketika lembaga pengadilan sebagai pranata dan

penyangga sistem hukum modern terbukti tidak mampu menjawab

tantangan perubahan yang tengah berlangsung di negara ini terutama dalam

tugasnya menegakkan dan mendistribusikan keadilan kepada masyarakat.

Pengalaman sesudah kemerdekaan, para pengusaha merasakan

betapa pengadilan tidak bersimpati terhadap masalah dan kebutuhan para

pengusaha. Menurut Daniel S. Lev373 perubahan sosial dan ekonomi yang

cukup luas juga menyebabkan perubahan dalam budaya hukum masyarakat.

Prosedur peradilan menjerakan para pengusaha untuk menggunakan

pengadilan. Berkaitan dengan hal itu, dikutipnya secara lengkap komentar

seorang advokat yang termasuk angkatan tua dari Bandung, yang

expected to induce the same sort of role-performance as it did in the place of ...origin.” Lihat, L.M. Friedman, The Legal System...Op. Cit., h. 195.

373 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik...Op. Cit., h.165.

Page 226: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

209

mengatakan: “...Para hakim dewasa ini kurang memahami hukum dan

kurang menaruh perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap untuk

perkara-perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan

tersebut terlalu panjang untuk dibaca. ...Maka terlepas dari tidak adanya rasa

senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi perusahaan yang saya

wakili untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan kecuali kalau hal itu

mutlak perlu. Dan tidak hanya pengadilan yang sulit, tetapi keseluruhan

prosesnya pun berliku-liku. Kita harus memberi uang tidak resmi kepada

panitera untuk memperoleh dokumen eksekusi bila putusan pada akhirnya

sudah dijatuhkan. Terlalu banyak saluran yang harus dilalui agar segala

sesuatunya dikerjakan, dan kesemuanya itu perlu biaya. Dalam semua

kontrak yang saya tulis untuk perusahaan klien saya, saya masukkan

klausula arbitrase sehingga terhindar dari urusan dengan pengadilan.”

Komentar di atas betapa pun menjukkan bahwa penghindaran

penyelesaian peselisihan melalui pengadilan di kalangan pelaku bisnis

tampaknya mempunyai sumber dukungan lain di samping kecenderungan

budaya. Arbitrase menjadi forum alternatif yang menjadi pilihan dan

tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis untuk menyelesaikan

sengketa mereka di luar pengadilan, karena para pelaku bisnis terutama yang

berasal dari negara-negara maju meyakini bahwa arbitrase mempunyai

Page 227: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

210

karakteristik yang sesuai dengan budaya bisnis. Seperti dikemukakan oleh

Robert Coulson:374

“Business executives are losing patience with judicial solutions that take years to achive results and that leave both parties exhausted by delays and legal expenses. Many people like what alternative dispute resolution can offer. They are finding that commercial arbitration and mediation are sensible ways to resolve business dispute.”

Pada dasarnya tidak ada pelaku bisnis yang hendak kehilangan

peluang berbisnis hanya karena menghadapi penyelesaian sengketa dengan

mitranya yang berlarut-larut di pengadilan. Oleh karena itu, walaupun

arbitrase sesungguhnya merupakan institusi penyelesaian sengketa yang

menggunakan pendekatan pertentangan (adversarial) dengan hasil win-lose

seperti juga pengadilan,375 akan tetapi arbitrase tetap dianggap berbeda

dengan pengadilan. Yang dianggap sebagai perbedaan cukup penting oleh

para pelaku bisnis antara arbitrase dengan pengadilan adalah, dalam

arbitrase mereka mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter yang

terdiri atas pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk memeriksa dan

374 Robert Coulson, Business Arbitration...Op. Cit., h. 32. 375 Di dalam literatur, arbitrase dikenal dengan sebutan “particuliere rechtspraak;” Lihat,

A.J. van den Berg et al., Arbitrage recht...Op. Cit., h. 7. Arbitrase adalah suatu bentuk peradilan, yaitu peradilan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dibebani kewajiban untuk melakukan peradilan oleh undang-undang. Alasan bahwa arbitrase adalah suatu bentuk peradilan karena arbitrase memenuhi ciri-ciri pengadilan sebagaimana dikemukakan oleh F.F. van der Haijden. Dalam tesisnya van der Haijden mengemukakan bahwa peradilan memiliki 4 (empat) ciri, yaitu: (1) there should be a settlement of a conflict; (2) the conflict must be decided on the basis of law; (3) it should be decided by a third party; (4) and the parties to the conflict should be bound by the decision. Lihat, Setiawan, Aneka Masalah Hukum...Op. Cit., h. 4.

Page 228: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

211

memutus sengketa mereka. Sedangkan kedaulatan para pihak semacam itu

sama sekali tidak mungkin diekspresikan di depan badan peradilan umum.

Namun demikian perkembangan dan penggunaan arbitrase sebagai

forum penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan di Indonesia masih

terhambat oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor penghambat tersebut

diungkapkan Adi Sulistiyono,376 sebagai berikut: (1) ketentuan hukum yang

mengatur masalah arbitrase377 di Indonesia belum banyak diketahui dan

dipahami oleh pelaku bisnis; (2) belum ada budaya arbitration minded di

kalangan pengusaha Indonesia; (3) banyak di antara mereka yang belum

berani membawa sengketa yang dialaminya keluar dari jalur ajudikasi

publik (baca: peradilan). Hal itu disebabkan selama ini mereka belum

mengetahui keberhasilan arbitrase atau BANI dalam menangani sengketa

bisnis; (4) profesionalitas dan kredibilitas arbiter, baik itu selaku pribadi

maupun dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia belum banyak

diketahui oleh para pelaku bisnis; (5) belum banyak konsultan hukum

Indonesia yang mau memperkenalkan/mengarahkan kliennya untuk

bersengketa melalui arbitrase; (6) tidak mudah membawa dan menyadarkan

376 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 90. 377 Sebagai perangkat normatif untuk memberikan rujukan dalam hal pihak-pihak

menghendaki untuk melakukan pilihan forum di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa, sejak tahun 1999 Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1999, LN RI Tahun 1999 Nomor 138.

Page 229: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

212

pihak-pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa melalui

arbitrase dengan itikad baik. Seringkali pihak-pihak telah sepakat membawa

sengketanya ke arbitrase, namun setelah sengketa tersebut diputuskan oleh

arbiter, pihak yang merasa kalah tidak mau secara sukarela melaksanakan

putusan tersebut; dan (7) hakim-hakim kurang memahami tentang masalah

arbitrase, sehingga seringkali suatu sengketa yang berdasarkan “klausula

arbitrase” seharusnya diselesaikan melalui arbitrase, namun pengadilan

negeri tetap saja menangani sengketa tersebut.

Menyimak tujuh faktor yang disinyalir sebagai penghambat

perkembangan arbitrase di Indonesia, maka bagaimana pun juga arbitrase

hanya bisa tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh kalangan para

usahawan itu sendiri. Pembuat Undang-undang telah cukup mengakomodasi

perangkat normanya. Pada akhirnya pilihan forum ke arah arbitrase hanya

akan bermanfaat dan memberi keuntungan dibandingkan dengan berperkara

di pengadilan, seandainya sejak semula sudah dapat ditentukan bahwa pihak

yang akan dikalahkan akan dengan sukarela menaati dan melaksanakan

putusan arbitrase tersebut.

B. Faktor Internal Pengadilan Negeri dan Pilihan Forum Arbitrase

Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk

mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal

Page 230: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

213

memberikan keadilan.” Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian

dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu

memberikan kepada yang bersangkutan – konkritnya kepada yang mohon

keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.378 Eksistensi

pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses

peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat,

tugas-tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan

masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan

oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya

menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.379

Jadi, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada

saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai

perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh,380 seorang hakim diharapkan

senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya

merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum

sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi

378 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan...Op. Cit., h. 2. 379 Kita sebaiknya menjadi lebih mengerti, bahwa teriakan supremasi hukum (the cry for

supremacy of law) itu adalah seruan ke arah pengadilan atau hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, sekarang kita tahu, bahwa apabila kita bicara tentang supremasi hukum, maka yang ada dalam pikiran kita adalah “keunggulan dari keadilan dan kejujuran.” Bukan undang-undang yang kita pikirkan tetapi keadilan itulah. Lihat, Satjipto Rahardjo, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang;” Kompas, Rabu, 24 Mei 2000.

380 Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru, 1979, h. 29.

Page 231: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

214

kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang

mengisi kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata

peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu: ‘perilaku.’ Undang-

undang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya

dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir

melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang.”381

Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum di

mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui

lembaga pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan kemerosotan

dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan

prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu

tempat mencari keadilan atau kemenangan?”382 Keadilan memang barang

yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha

yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi

pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang dirancang secara

spesifik bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad ke

delapan belas. Oleh karena itu, pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat

381 “Undang-undang tidak berisi petunjuk absolut yang tinggal dioperasikan oleh manusia,

melainkan ia memuat semacam ruang kebebasan yang tidak kecil. Apabila ruang kebebasan itu tidak ada, maka tentu tidak akan berbicara mengenai perilaku. Melalui perilaku inilah pengoperasian undang-undang tidak dijadikan medan dimana manusia menjadi tawanan undang-undang.” Lihat, Satjipto Rahardjo, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang;” Kompas, Kamis, 25 Mei 2000.

382 Satjipto Rahardjo, “Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif;” Kompas., Sabtu, 12 Oktober 2002...Op. Cit.

Page 232: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

215

mengadili secara substansial - seperti pada masa lampau ketika Khadi

Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules of

formally rational law,” melainkan kepada hukum substantif yang bertolak

dari postulat-postulat etika, religi, politik, dan lain-lain pertimbangan

kemanfaatan. Setelah menjadi institusi modern, pengadilan merupakan

penerapan dari prosedur yang ketat.383

Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan

fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka

menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau

badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting. Putusan tentang

keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu harus

di pengadilan.384 Oleh sebab itu, menegakkan dan menemukan keadilan

tidak semata-mata harus dilakukan melalui struktur formal lembaga

383 Menurut Weber, sebelum hadir negara modern, rasionalisasi belum masuk ke dalam

pengadilan, sehingga tidak ada perpecahan antara formal justice dengan substantial justice. Sementara itu pengadilan modern mempunyai arsitektur yang demikian formal-rasional sebagai bagian dari karakteristik hukum modern yang disebut tipe legal domination. Oleh karena itu, pengadilan muncul sebagai hasil rancangan artifisial yang rasional seperti yang kita kenal sekarang, sehingga berbicara tentang keadilan, dikenal terdapat dua macam, yaitu (i) keadilan substansial (substantial justice) dan (ii) keadilan formal (formal justice atau legal justice). Sedangkan pada masa lampau, pembedaan keadilan seperti itu tidak ada, oleh karena tidak ada peraturan yang kompleks yang mengatur bagaimana putusan pengadilan diberikan. Pada waktu itu mengadili adalah memberikan putusan secara substansial.” Lihat, Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, h. 134 -136.

384 Bahkan Jerold S. Auerbach antara lain mengatakan: “...As dissatisfaction with legal institutions increased during the early decades of the twentieth century, there was renewed interest in alternatives to litigation, especially conciliation and arbitration. Both were touted as speedy, inexpensive procedures to dispense with lawyers and

Page 233: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

216

pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak

lokasi, sehingga Marc Galanter385 mengungkapkan dengan sebutan “justice

in many rooms.” Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan

beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur

litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak

terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu

diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan

substansial. Padahal selama beberapa dekade masyarakat di sejumlah

negara,386 termasuk di Indonesia memberikan kepercayaan kepada lembaga

pengadilan untuk mengelola sengketa yang sedang dihadapi, dengan

harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan

eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan.387 Akan tetapi

faktanya lembaga pengadilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan

reduce the acrimonius, costly delay that suffused litigation.” Lihat Jerold S. Auerbach, Justice Without Law? New York: Oxford University Press, 1983, h. 96.

385 Marc Galanter, “Justice in Many Rooms”; dalam Maurio Cappelletti (ed), Access to Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute, 1981, h. 147-182.

386 Kecuali pada masyarakat Jepang, “penggunaan cara litigasi telah dicap sebagai salah secara moral, subversif, dan memberontak,” karena proses litigasi menghasilkan disorganisasi dari kelompok-kelompok sosial yang tradisional. Dalam proses litigasi kedua belah pihak berusaha untuk membenarkan posisinya berdasarkan standar objektif, dan dibuatnya putusan pengadilan berdasarkan hal itu cenderung untuk mengubah kepentingan situasional ke dalam kepentingan yang diteguhkan dengan kuat dan berdiri sendiri. Lihat, Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan...Buku II...Op. Cit., h. 99.

387 Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Page 234: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

217

masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor yang menyebabkan pengadilan

menjadi seperti itu.388

Adi Andojo Soetjipto,389 (mantan Ketua Muda Mahkamah Agung)

mengungkapkan sejumlah faktor-faktor yang menjadi indikasi betapa

kondisi buruk lembaga peradilan di Indonesia diawali oleh terpuruknya

moralitas para hakim. Berikut ini serangkaian indikasi dimaksud

sebagaimana disarikan dari paparan Adi Andojo dalam tulisannya, antara

lain: (i) untuk memperoleh jabatan hakim, seorang calon hakim telah

menggunakan jalan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya,

maka bisa diduga bahwa orang itu kelak setelah menjadi hakim juga akan

tidak punya pegangan etika. Kedaan itu akan merusak segala-galanya, baik

penegakan hukumnya maupun keadilannya, bahkan sistem peradilannya

akan runtuh; (ii) akibat hakim tidak lagi memegang etika, sehingga banyak

hakim yang mencari rezeki dari perkara yang ditanganinya; (iii) hakim telah

banyak yang lupa bahwa sesungguhnya mereka memiliki pegangan etika

yang sangat mendasar sebab dia dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia

dalam memberikan keadilan. Faktor ini barangkali merupakan faktor

388 Mardjono Reksodiputro, antara lain menyatakan bahwa “…ketidakpercayaan

masyarakat kepada pengadilan adalah salah satu kendala besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.” Lihat Mardjono Reksodiputro, “Pembaharuan Hukum Sebaiknya dari Pembenahan Peradilan.” dalam Kompas, 1 Mei 1999.

389 H. Adi Andojo Soetjipto, “Etika Profesi”; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993, h. 134 – 141.

Page 235: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

218

terpenting karena menyangkut ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Para hakim terikat oleh kewajiban moral kepada Tuhannya karena putusan

yang dihasilkannya berjudul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.” Apabila hakim mempermainkan keadilan, berarti dia

mempermainkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa serta

merendahkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya oleh Tuhan,

Negara, dan masyarakat.

Mencoba bangun dari keterpurukan dalam menegakkan hukum dan

keadilan, Satjipto Rahardjo,390 mengajak untuk menggunakan kecerdasan

spiritual. Oleh karena menjalankan hukum di Indonesia kini terancam

kedangkalan berpikir. Hal itu disebabkan orang lebih banyak membaca

huruf undang-undang daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang

lebih dalam. Sudah semestinya hal-hal berikut ini menjadi pemandu aparatur

yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai ujung

tombak pendistribusi keadilan kepada masyarakat. Pertama, berani mencari

jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara

menjalankan hukum yang “lama dan tradisional” yang jelas-jelas lebih

banyak melukai rasa keadilan; Kedua, kita semua dalam kapasitas masing-

masing (sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidik, dan lain-lain)

390 Lihat, Satjipto Rahardjo, “Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual;” dalam

Kompas, Senin, 30 Desember 2002.

Page 236: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

219

didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih

dalam. Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu?

Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja,

tetapi dengan perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan (compassion)

kepada bangsa kita yang sedang menderita.

Perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses

penegakan hukum dan keadilan terutama harus dimiliki oleh seorang hakim,

karena jabatan hakim menurut John P. Dawson391 adalah jabatan terhormat,

sehingga hakim merupakan anggota masyarakat setempat yang terkemuka

dan terhormat. Melekat pada predikatnya sebagai insan yang terhormat,

suatu keniscayaan bagi seorang hakim untuk memayungi dirinya dengan

“etika spiritual dan moral”392 dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil

Tuhan di dunia dalam memberikan keadilan. Etika spiritual dan moral ini

tercitrakan pada jiwa, semangat, dan nilai ‘mission sacre’ kemanusiaan.

391 John P. Dawson, “Peranan Hakim di Amerika Serikat;” dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Terjemahan Gregory Churchill. Jakarta: PT Tatanusa, 1996, h. 22.

392 “Perspektif etika spiritual dan moral dalam interaksi sosial kemanusiaan menjadi penting, ketika diniscayakan adanya upaya lain untuk merespon realitas dan dinamika kehidupan sosial kemanusiaan yang terus menerus mengalami erosi dan krisis yang berkepanjangan. ...Perspektif ini juga menjadi penting ketika dihadapkan kepada krisis sosial kemanusiaan yang makin serius dan mengemuka dalam berbagai krisis yang kompleks dan multidimensional. Segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, teknologi, kesehatan, maupun lingkungan hidup. Krisis-krisis tersebut merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual, yang terjadi di mana-mana secara global, dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.” Lihat, Hj. Ummu Salamah Musaddad, “Perspektif Etika

Page 237: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

220

Suatu keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci dari umat manusia

dalam mengaktualisasikan ‘sense of vision dan sense of mission

kekhilafahan ilahiyah manusia,’ yang terindikasikan dalam kehidupan

masyarakat yang demokratis (democratization), mampu menegakkan

keadilan dan hukum (law enforcement), memiliki kebanggaan diri baik

secara individual maupun kolektif (human dignity), toleran, sehingga dapat

menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), serta

mendasarkan diri pada kehidupan beragama.393

Bertolak dari paparan di muka, maka sulit untuk dibantah ketika

hakim tidak lagi menggunakan etika spiritual dan moral sebagai sandaran

vertikal sekaligus horizontal dalam pelaksanaan tugasnya, buktinya adalah

krisis telah melanda lembaga pengadilan. Akibat dari krisis yang cukup

serius yang dialami lembaga pengadilan, konsekuensi ikutan yang tidak

kalah seriusnya adalah surutnya kepercayaan dan hilangnya kewibawaan

pengadilan di mata masyarakat. Bahkan hasil pengumpulan informasi dari

para informan penelitian diketahui bahwa para pengusaha, terutama

pengusaha asing telah sedemikian merasa khawatir dan menganggap

pengadilan di Indonesia sangat diragukan independensinya dalam

memeriksa dan memutus suatu kasus. Mereka beranggapan peran

Spiritual dan Moral dalam Interaksi Sosial Kemanusiaan di Era Globalisasi;” dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar FISIP-Unpas, Bandung, 5 April 2003, h. 2-3.

393 Ibid., h. 4.

Page 238: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

221

pengadilan di Indonesia “tidak lagi sebagai tempat mencari keadilan,

melainkan sebagai tempat untuk mencari kemenangan dengan segala cara,

dan sebagai tempat jual beli putusan.”394

Keadaan semacam itu disikapi berbeda oleh para pengusaha

nasional. Hasil interview dengan para informan diketahui bahwa para

pengusaha nasional justru berpikir sebaliknya. Di mata pengusaha nasional

beracara di depan pengadilan negeri justru dapat mencari dan menciptakan

peluang-peluang untuk memenangkan perkara. Memanfaatkan kondisi

seperti itu mereka justru menggunakan kelemahan moralitas petugas,

termasuk para hakim yang mengangani sengketa mereka, untuk “bermain”

agar hakim yang memeriksa sengketa tersebut memenangkan sengketa yang

sedang diperiksa.

Berkaitan dengan sikap pengusaha asing sebagaimana telah

diutarakan di muka, para informan juga menjelaskan, sebenarnya sebelum

pengusaha asing itu menjalin hubungan bisnis dengan mitranya di

Indonesia, pada dasarnya mereka telah memiliki meski sedikit pengetahuan

tentang kondisi hukum dan pengadilan di Indonesia. Berbekal pengetahuan

mengenai hukum dan lembaga pengadilan di Indonesia yang sedikit itulah

394 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma...Op. Cit., h. 116.

Page 239: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

222

“deal” bisnis terjadi antar pengusaha asing dan pengusaha nasional. Ketika

kontrak bisnis disepakati, giliran menyepakati klausula penyelesaian

sengketa seringkali pengusaha asing yang justru memulai mendesakkan

keinginan kepada mitranya dari Indonesia agar tidak memilih pengadilan

negeri sebagai forum tempat penyelesaian sengketa bisnis mereka

seandainya terjadi di kemudian hari. Namun demikian, umumnya mereka

tidak mengemukakan alasan yang jelas perihal keinginannya tersebut,

sehingga diduga mereka sesungguhnya tidak mengetahui secara pasti apa

yang harus dijadikan alasan. Tampaknya hal itu terjadi semata-mata karena

pemahaman yang bersifat umum saja terhadap kondisi hukum dan peradilan

di Indonesia, kemudian para pengusaha asing itu kurang setuju dan selalu

merasa khawatir jika persoalan hukumnya yang timbul dari kontrak

bersangkutan akan diputus oleh hakim di Indonesia. Dalam kondisi yang

demikian, kemudian mereka lebih menyukai untuk memilih mekanisme

penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase di luar negeri daripada harus

beracara melalui pengadilan di Indonesia.

Lain lagi yang dikemukakan seorang lawyer pengusaha asing

sebagai informan. Menurutnya, setelah transaksi bisnis antar pihak-pihak

pengusaha nasional dan asing terjadi, dirinya sebagai lawyer mempunyai

kewajiban untuk menyampaikan segala sesuatu secara rinci dan benar,

termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa

Page 240: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

223

melalui pengadilan di Indonesia. Terutama bagi pihak asing, yang

bersangkutan harus memahami betul seluk beluk berperkara di pengadilan.

Oleh karena proses di pengadilan rangkaiannya panjang serta berjenjang.

Selesai pada tingkat pengadilan negeri, masih dimungkinkan upaya hukum

banding, kasasi, dan/atau kalau mungkin peninjauan kembali ke Mahkamah

Agung. Rangkaian proses tersebut memerlukan waktu yang sangat lama,

sehingga dapat dipastikan untuk memperoleh keadilan melalui lembaga

pengadilan juga memerlukan waktu yang sangat lama. Apalagi jika pihak-

pihak yang terlibat dalam sengketa terus menerus menggunakan haknya

untuk melakukan upaya hukum yang tersedia. Selain memerlukan waktu

yang lama, proses pemeriksaan perkara serta putusan pengadilan dilakukan

dalam sidang yang terbuka untuk umum, sehingga seluruh rangkaian

pemeriksaan perkara dapat dihadiri oleh masyarakat luas.

Setelah kondisi objektif berperkara pada lembaga peradilan

disampaikan untuk dipahami, biasanya pihak asing kemudian

menyampaikan alasan bahwa dia tidak mungkin membuang waktu berlama-

lama hanya untuk urusan penyelesaian pertikaian. Tujuan utama yang

bersangkutan adalah berbisnis serta mencari untung, sama sekali tidak untuk

bersengketa. Seandainya pun sengketa itu terpaksa terjadi di tengah

perjalanan bisnis dia, tentu saja tidak boleh menjadi penghambat aktivitas

Page 241: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

224

bisnis, karena siapa pun yang berbisnis termasuk dirinya sama sekali tidak

menghendaki terjadinya kerugian.

Berdasarkan informasi di muka, dapat dimengerti apabila kalangan

dunia usaha selalu menuntut segala sesuatu urusan diselesaikan dengan

serba cepat,395 dan mereka senantiasa berupaya mencari penyelesaian

sengketa yang tidak menyebabkan terganggunya aktivitas bisnis

bersangkutan. Sebagaimana diketahui forum ajudikasi di luar pengadilan

yang prosedur beracaranya lebih sederhana adalah arbitrase (arbitration).396

Maka tidak heran apabila arbitrase kemudian menjadi salah satu pilihan

395 Pengadilan terdiri atas berbagai instansi atau tingkatan. Diperolehnya putusan pada

tingkat pertama, belum berarti sengketa tersebut selesai, karena pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut masih dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi. Bahkan bila masih belum merasa puas dengan putusan banding, yang bersangkutan masih dapat melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Tak ada jaminan dari pihak mana pun bahwa penyelesaian sengketa pada setiap tingkatan pengadilan itu akan berlangsung dengan cepat. Apabila semua tingkatan peradilan itu dapat selesai ditempuh dalam jangka waktu satu tahun enam bulan (yang berarti: satu instansi enam bulan), maka itu sudah dapat dikatakan sangat cepat. Ditambah lagi dengan sejumlah tunggakan (kongesti) perkara-perkara yang menyebabkan penyelesaian perkara di pengadilan semakin lamban.

396 Arbitration, “is a method for settling controversies or disputes whereby an unofficial third party hears and considers arguments and determines an equitable settlement.”; Lihat Peter J. Dorman (eds), Running Press Dictionary...Op. Cit., h. 19. Lihat pula, Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern. (Sixth Edition). St. Paul Minn: West Publishing Co., 1990. Arbitrase yang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Berdasarkan Penjelasan Umum dari UU No. 30 Th. 1999, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Oleh karena itu, Arbitrase menurut UU tersebut bukan merupakan salah satu dari ADR, melainkan sebuah metode penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga di luar pengadilan umum.

Page 242: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

225

para pelaku bisnis untuk menyelesaikan dan memutusi sengketa yang terjadi

di antara mereka.

Namun demikian, prosedur arbitrase yang sederhana bukan satu-

satunya alasan pihak-pihak dalam memilih arbitrase. Masih ada unsur lain

yang juga menjadi bahan pertimbangan mereka dalam melakukan pilihan.

Di antara pertimbangan tersebut dapat disebutkan umpamanya: Dalam

menangani sengketa-sengketa perdata pada umumnya, termasuk sengketa

komersial, selama ini banyak pihak merasakan betapa lembaga pengadilan

dianggap terlalu sarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam

memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak

lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan

normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Sedangkan

seyogianya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu

menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh

kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-

undangan, karena hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong

undang-undang).397

Faktor yang lebih bersifat internal kelembagaan pengadilan negeri

itu, secara teoretis juga tidak dapat dilepaskan dari apa yang dikonsepkan

397 A. Ahsin Thohari, “Dari Law Enforcement ke Justice”...Kompas, 3-7-2002...Op. Cit.,

Bdgk. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakimandi Indonesia. Jakarta: ELSAM, 1997, h. 54.

Page 243: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

226

oleh Nonet dan Selznick398 mengenai tiga tipe hukum. Seperti diketahui,

dalam Tabel mengenai tipe hukum yang represif (represive law), hukum

ditempatkan di dalam matriks politik dan pemerintahan (law subsordinated

to power politics). Hukum represif memang bertujuan untuk

mempertahankan status-quo penguasa, yang kerapkali dikemukakan dengan

dalih untuk menjamin ketertiban. Aturan-aturan hukum represif keras dan

terperinci akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuat peraturan sendiri.

Hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh bersifat mutlak,

dan ketidak-patuhan dianggap sebagai penyimpangan sedangkan kritik

terhadap penguasa dianggap sebagai suatu ketidak-setiaan.399

Pada tipe hukum yang menindas atau represif tampak sekali

integrasi yang kuat antara hukum dan politik, dalam bentuk dibawahkannya

lembaga-lembaga hukum secara langsung kepada golongan elit

pemerintahan. Oleh karena itu, dalam konstelasi sedemikian, akan sangat

sulit diharapkan hakim berani untuk mengambil keputusan yang berbeda

dari ketentuan yang dicantumkan dalam produk hukum dan perundang-

undangan pada saat menghadapi kasus-kasus konkret di pengadilan. Hal itu

disebabkan hakim pada dasarnya adalah bagian dari aparatur pemerintahan.

398 Lihat, Philippe Nonet – Philip Selznick, Law and Society...Op. Cit., h. 16. 399 Lihat, Ronny Hanitijo Soemitro, “Beberapa Perspektif Mengenai Fungsi Hukum di

dalam Masyarakat;” dalam Masalah-Masalah Hukum, Nomor 10 Tahun 1993, h. 42.

Page 244: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

227

Fungsi serta peran yang dijalankan kekuasaan kehakiman diorientasikan

pada upaya untuk mendukung dan mensukseskan program-program yang

ditetapkan pemerintah atau eksekutif.

Realita lembaga pengadilan sebagaimana digambarkan di muka

semakin memperkuat alasan serta kecenderungan pihak-pihak yang

bersengketa untuk melakukan pilihan forum di luar pengadilan. Telah

semakin nyata pula kalau harapan untuk mendapatkan keadilan400 sangat

sulit diperoleh melalui pengadilan. Oleh karena hakim juga tidak memiliki

cukup keberanian untuk mengambil keputusan yang berbeda dengan

ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu

saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, sebab hakim dan

lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal. Sementara

itu, forum lain di luar pengadilan masih mungkin untuk diharapkan mampu

menegakkan keadilan substansial, ketimbang sekedar putusan formal yang

secara nyata tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan bagi kedua

belah pihak.

400 Pada umumnya keadilan merupakan penilaian yang hanya dilihat dari pihak yang

menerima perlakauan saja. Para justiciabelen (pencari keadilan) pada umumnya pihak yang dikalahkan dalam perkara perdata, menilai putusan hakim tidak adil. Demikian pula buruh atau karyawan yang diputuskan hubungan kerjanya merasa diperlakukan tidak adil oleh majikannya, juga dalam pencabutan hak atas tanah atau pemungutan pajak warganegara, yang bersangkutan merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintahnya. Jadi penilaian tentang keadilan itu pada umumnya hanya ditinjau dari

Page 245: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

228

C. Kewenangan Eksekutorial Forum Arbitrase untuk Putusan Final

dan Mengikat serta Dilema Perolehan Keadilan

Kewenangan eksekutorial pada dasarnya merupakan suatu

kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan negeri untuk melaksanakan atau

mengeksekusi suatu putusan hakim. Oleh karena itu, putusan hakim

mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa

yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.401

Dalam bidang hukum perdata eksekusi suatu putusan adalah tindakan

hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam

suatu perkara. Eksekusi merupakan tindakan lanjutan dari keseluruhan

proses pemeriksaan perkara dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari rangkaian proses beracara pada suatu pengadilan. Hakikat dari eksekusi

putusan hakim adalah realisasi dari kewajiban pihak yang ber-

sangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan

tersebut. Atau dengan kata lain, eksekusi adalah pelaksanaan isi putusan

pengadilan yang dilakukan secara paksa dengan bantuan dari pengadilan,

apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara suka rela.

Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan atau dieksekusi

dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Pada

satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986, h. 58.

401 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata ... Op. Cit., h. 211.

Page 246: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

229

asasnya hanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang pasti (kracht van gewijsde) yang dapat dieksekusi. Di samping telah

memperoleh kekuatan hukum yang pasti, putusan yang perlu dieksekusi

hanya putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu putusan hakim

yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi

prestasi. Adapun prestasi yang wajib dipenuhi dalam rangka pelaksanaan

putusan condemnatoir dapat terdiri atas memberi, berbuat, dan tidak

berbuat. Pada umumnya juga putusan condemnatoir itu berisi hukuman ter-

hadap pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang.402 Sedangkan

putusan hakim jenis lainnya yaitu yang bersifat constitutif dan yang bersifat

declaratoir pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti

tersebut di muka, karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu.

Seiring dengan uraian mengenai kewenangan eksekutorial dari

pengadilan negeri di muka, kajian yang hendak dilakukan berikut ini adalah

seberapa mungkin forum arbitrase dapat memiliki kewenangan eksekutorial

terhadap putusan yang dibuatnya sendiri sebagai suatu putusan yang final

dan mengikat. Persoalannya, akibat dari forum arbitrase tidak memiliki

kewenangan eksekutoral, perolehan keadilan selalu menjadi dilema yang

dihadapi pihak-pihak yang bersengketa.

402 Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit., h. 189.

Page 247: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

230

Berkaitan dengan pembahasan tentang kewenangan eksekutorial

forum arbitrase, hasil pengumpulan informasi dari para informan walau

dengan latar belakang mereka berlainan, namun ternyata sudut pandang para

informan mengenai hal itu diketahui senada. Menurut mereka, pada

dasarnya lembaga arbitrase tidak mungkin memiliki kewenangan untuk

mengeksekusi sendiri putusannya, karena forum arbitrase adalah lembaga

peradilan swasta, sehingga sejak awal arbitrase tidak pernah dilengkapi

dengan petugas yang bernama jurusita seperti halnya pengadilan negeri. Di

samping itu, secara normatif ketentuan perundang-undangan juga secara

eksplisit telah menetapkan bahwa: “Semua peradilan di wilayah Republik

Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-

undang.”403 Jadi meskipun arbitrase pada dewasa ini telah diatur dalam

sebuah undang-undang tersendiri, akan tetapi undang-undang tersebut sama

sekali tidak menetapkan lembaga arbitrase sebagai bentuk peradilan

negara.404 Arbitrase hanyalah sebuah cara yang dipilih oleh para pihak yang

bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Bahkan

sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase itu pun telah secara

limitatif disebutkan yaitu hanya sengketa perdata. Oleh karena itu, tidak

403 Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. 404 “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa” (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999).

Page 248: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

231

semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya

sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para

pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.

Fakta di muka meneguhkan pemahaman bahwa lembaga peradilan

yang ditetapkan sebagai badan peradilan negara juga telah secara eksplisit

ditegaskan dalam undang-undang.405 Atas dasar hal tersebut, maka sudah

jelas kiranya bahwa arbitrase hanya merupakan peradilan swasta yang akan

menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara

hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak untuk

sampai pada putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan

mengikat para pihak. Ketidaksejajaran arbitrase dengan pengadilan negeri

lebih ditegaskan lagi oleh norma berikut ini yang substansinya antara lain

mempersyaratkan dengan akibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan,

bahwa setiap putusan arbitrase nasional untuk dapat dieksekusi: “Dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan

diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan

dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan

Negeri.” 406

405 Periksa Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970. 406 Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999.

Page 249: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

232

Mencermati norma tersebut memberikan kesan demikian kuatnya

kepentingan lembaga peradilan negara untuk melakukan pengawasan

terhadap putusan arbitrase, bahkan terhadap putusan arbitrase nasional yang

hendak dieksekusi. Apalagi ketentuan tentang penyerahan dan pendaftaran

lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada Panitera

Pengadilan Negeri itu diikuti dengan ancaman sanksi, apabila tidak

dipenuhi, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Hal itu

menunjukkan betapa forum arbitrase sangat tidak mungkin memiliki

kewenangan eksekutorial sekalipun terhadap “putusan arbitrase yang

bersifat final dan mempunyai kekuatan tetap dan mengikat para pihak.” 407

Terhadap masalah ini, para hakim yang dipilih sebagai informan

umumnya berpendapat bahwa masalah penyerahan dan pendaftaran putusan

arbitrase sebelum dilaksanakan itu semata-mata merupakan bentuk

pengintegrasian antara putusan lembaga peradilan swasta terhadap alur

kompetensi badan peradilan negara. Bukti tersebut dikuatkan dengan “tidak

diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua

Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri,

final, dan mengikat.”408 Pengintegrasian putusan arbitrase terhadap alur

kompetensi badan peradilan negara melalui prosedur yang telah ditetapkan

407 Periksa Pasal 60 UU Nomor 30 Tahun 1999. 408 Periksa Penjelasan Pasal 62 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 1999.

Page 250: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

233

dimaksudkan agar output putusan meski berasal dari forum pemutus mana

pun, selama putusan tersebut dimintakan untuk dieksekusi di wilayah

hukum Indonesia, akan memiliki titel eksekutorial karena telah melewati

kewenangan publik yang satu yakni pengadilan negeri sebagai badan

peradilan negara. Namun demikian, terhadap ketentuan sanksi manakala

penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dilakukan, sehingga

berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan, para hakim sebagai

informan tidak memberikan tanggapan. Tanggapan justru diberikan oleh

kalangan advokat, melalui komentar dengan ekspresi sangat menyesalkan.

Mereka berpendapat, sesungguhnya aturan semacam itu dikhawatirkan akan

kembali menjadi hambatan terhadap upaya pihak-pihak yang bersengketa

untuk memperoleh keadilan. Oleh karena pada waktu yang lalu, kaidah

semacam itu telah terbukti menjadi kaidah yang sangat kontroversial.409

409 Kontroversi terjadi tatkala Indonesia belum mensahkan Konvensi New York 1958.

Ketika itu pernah ada putusan arbitrase yang meminta untuk dilaksanakan di Indonesia. Putusan tersebut dijatuhkan oleh arbiter di London tanggal 12 Juli 1978, kasus antara Navigation Maritime Bulgare vs. PT Nizwar Jakarta. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Ketetapan Nomor 2288/1979 P tanggal 10 Juni 1981, mengabulkan permohonan eksekusi tersebut. Dengan demikian, putusan arbitrase luar negeri itu dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri di Jakarta. Ketetapan pengadilan negeri itu merujuk pada Konvensi Jenewa tahun 1927, walaupun hal itu juga sempat menimbulkan kontroversi. Ternyata sebelum Keppres Nomor 34 tahun 1981 berlaku, sudah ada Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membenarkan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Akan tetapi Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pendirian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui Putusan MA Nomor 2994K/Pdt/1983 tanggal 29 November 1984, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut: “…Bahwa pada asasnya sesuai dengan yurisprudensi di Indonesia putusan pengadilan asing dan putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia kecuali kalau antara Republik Indonesia dan Negara Asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan pengadilan

Page 251: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

234

Ketika itu persoalan eksekuatur menjadi salah satu alat bagi pengadilan

untuk menolak sejumlah putusan arbitrase asing (foreign arbitral awards)

yang dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia.410 Akan tetapi, setelah

asing/putusan arbitrase asing. Oleh karena Putusan MA tersebut diucapkan setelah berlakunya Keppres No. 34 Tahun 1981, maka salah satu pertimbangan MA menyebutkan: "…selanjutnya mengenai Keppres Nomor 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai dengan praktik hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan hakim Arbitrase dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, kepada pengadilan negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima".

410 Di bawah ini dipaparkan beberapa putusan arbitrase asing yang pernah dimohonkan eksekusi di Indonesia, namun ditolak oleh pengadilan sebagai lembaga pemberi eksekuatur dengan berbagai alasan. Putusan tersebut di antaranya adalah:

i) Arbitration Awards dari Federation of Oils, Seed and Fats Associations Limited London, kasus antara PT Bakrie & Brothers vs Trading Corporation of Pakistan Limited, dimintakan fiat eksekusi melalui Pengadilan Jakarta Selatan, akan tetapi dengan Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 64/Pdt/G/1984/PN.Jkt.Sel, tanggal 1 November 1984 dinyatakan tidak dapat dilaksanakan. Penolakan PN Jak-Sel itu dikuatkan oleh Putusan PT DKI Jakarta No.512/PDT/1985/PT DKI, tanggal 23 Desember 1985. Kemudian Mahkamah Agung juga menguatkan putusan kedua pengadilan rendahan itu melalui Putusan MA No. 4231 K/Pdt/1986, tanggal 4 Mei 1988.

ii) London Arbitration Awards No. 1950, tanggal 12 Juli 1978, kasus antara PT Nizwar Jakarta vs Navigation Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski, dimintakan fiat eksekusi melalui PN Jakarta Pusat dan dengan penetapan No. 2288/1979 P., tanggal 10 Juni 1981 PN Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan pemohon. Artinya, putusan arbitrase London itu dapat dieksekusi. Namun demikian PT Nizwar Jakarta selaku termohon eksekusi mengajukan Kasasi ke MA. Melalui putusannya No.2944 K/Pdt/1983 Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan hakim arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.

iii) Awards of The Queen’s Counsel of The English Bar of London, tanggal 17 November 1989, kasus antara Y. Haryanto vs E.D. & F. Man (Sugar) Limited. Melalui Penetapan MA No.1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan exequatur dari E.D. & F. Man (Sugar) Ltd., selaku pemohon. Akan tetapi kemudian Y. Haryanto selaku termohon melakukan gugat balik kepada pihak E.D. & F. Man (Sugar) Ltd., maka dalam putusan Kasasi, MA kemudian meralat penetapannya sendiri dengan menyatakan melalui Putusan Kasasi No.1203 K/Pdt/1990,

Page 252: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

235

Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 berlaku, masalah

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, masih dibebani

syarat-syarat seperti pada waktu yang lalu. Walhasil keadaan serta perlakuan

terhadap putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar Indonesia sama sekali

tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan sebelum

Undang-undang Arbitrase diundangkan. Artinya, untuk dapat diakui dan

dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia, putusan arbitrase internasional

masih harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal

66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Di antara syarat-syarat tersebut

adalah: “Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di

Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban

umum. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan setelah

memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” 411

Pada dasarnya, baik putusan arbitrase nasional maupun putusan arbitrase

internasional telah diakui sebagai “putusan yang bersifat final412 dan

mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” (Pasal 66 UU

Nomor 30/1999). Akan tetapi sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh

tanggal 4 Desember 1991, bahwa penetapan Mahkamah Agung RI tanggal 1 Maret 1991 Nomor 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991 menjadi irrelevant untuk dilaksanakan.

411 Periksa Pasal 66 huruf c dan huruf d UU Nomor 30 Tahun 1999. 412 Penjelasan Pasal 60 UU Nomor 30 Tahun 1999 tegas menyebutkan “Putusan arbitrase

merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.”

Page 253: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

236

putusan arbitrase internasional untuk dapat diakui serta dilaksanakan di

wilayah hukum Republik Indonesia, mencitrakan putusan arbitrase

tersubordinasi pada kewenangan pengadilan negeri. Kondisi semacam itulah

yang sangat dirasakan tidak adil oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam

putusan tersebut. Tidak dimilikinya kewenangan eksekutorial oleh forum

arbitrase di Indonesia untuk dapat mengeksekusi putusannya sendiri sangat

menjadi dilema dalam memperoleh keadilan. Oleh karena bagi para pencari

keadilan selalu saja dihadapkan pada situasi yang sulit yang mengharuskan

orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak

menyenangkan atau tidak menguntungkan. Memilih berperkara pada

pengadilan negeri kondisinya sangat sulit diharapkan untuk mendapatkan

keadilan secara maksimal. Sementara memilih berperkara pada forum

arbitrase juga putusannya masih disubordinasikan terhadap kewenangan

pengadilan negeri, terutama apabila para pihak tidak melaksanakan putusan

arbitrase tersebut secara sukarela.

Persyaratan serupa ditetapkan pula untuk putusan arbitrase nasional

yang dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. Sebelum

memberikan perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan Negeri memeriksa

terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan

Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam melakukan pemeriksaan atas putusan arbitrase yang dimohonkan oleh

Page 254: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

237

salah satu pihak yang bersengketa tersebut Ketua Pengadilan Negeri tidak

memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Adapun yang

menjadi alasan tidak diperiksanya pertimbangan putusan arbitrase dimaksud

adalah agar putusan arbitrase benar-benar mandiri, final, dan mengikat.413

Sedangkan untuk putusan arbitrase internasional permohonan pelaksanaan

putusan dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan

kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal putusan

arbitrase internasional itu menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai

salah satu pihak, maka putusan tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah

memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung yang selanjutnya

dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rangkaian

keterlibatan kompetensi pengadilan negeri dalam proses pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional maupun

internasional, sesungguhnya menunjukkan betapa badan peradilan negara

masih menunjukkan kekuasaan yang cukup dominan dalam melakukan

seleksi terhadap tuntutan pelaksanaan hak yang diperoleh melalui putusan

arbitrase. Apabila putusan arbitrase terus menerus disubordinasikan terhadap

kompetensi pengadilan negeri, pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah

putusan arbitrase itu memiliki status “mandiri, final, dan mengikat.?”

413 Periksa Penjelasan Pasal 62 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999.

Page 255: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

238

Khusus mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, terkait

sangat erat dengan prinsip timbal balik atau resiprositas (reciprocity

principle).414 Prinsip tersebut merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi oleh

setiap negara dalam hukum perdata internasional. Berkaitan dengan prinsip

resiprositas atau timbal balik ini, Pemerintah Republik Indonesia

sesungguhnya telah menerima dan menggunakan ketika mengesahkan Kon-

vensi New York 1958. Konvensi yang selengkapnya bertajuk ”Convention

on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards,

ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku pada

tanggal 7 Juni 1959. Tatkala Pemerintah Indonesia mensahkan Konvensi

New York dengan instrumen ratifikasi berupa Keputusan Presiden Nomor 34

tahun 1981, Indonesia mengajukan dua pensyaratan (reservation) terhadap isi

414 Sebagai suatu doktrin, reciprocity juga merupakan dasar bagi yurisdiksi dalam rangka

pelaksanaan putusan hakim asing. Berdasarkan doktrin reciprocity, "... that international law required an equality of treatment in respect of judgments rendered by the enforcing forum and those rendered by the original forum and that the reciprocal need for protection of interests abroad by the nationals of the various countries could be enhanced...".Pada prinsipnya doktrin di atas dapat digambarkan sebagai berikut: Bahwa negara "X" akan mengakui dan melaksanakan putusan hakim yang dibuat atau berasal dari negara "Y", asal saja negara "Y" juga memperlakukan hal yang sama terhadap putusan hakim yang dibuat atau berasal dari negara "X". Di Inggris berlakunya doktrin timbal balik (reciprocity) sebagai dasar yurisdiksi dalam pelaksanaan putusan hakim asing, masih dibatasi. Inggris memberlakukan doktrin itu sebatas menyangkut kasus-kasus matrimonial. Sebagai contoh di dalam kasus Travers v. Holley ternyata pengadilan banding di Inggris telah mengakui putusan hakim tentang perceraian yang dijatuhkan di New South Wales, Australia. Kenyataan tersebut agaknya meyakinkan Caffrey, serta mendukung hasil penelitiannya, sehingga dia menyatakan bahwa "... as a jurisdictional basis to recognition or enforcement of foreign judgment is not really a satisfactory solution to the problem and,... it has in England been restricted to matrimonial causes...". Lihat, Bradford A. Caffrey, Enforcement of Foreign Judgments. Sydney:CCH Australia Limited, 1985, h. 50-53.

Page 256: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

239

ketentuan Konvensi New York Article I (3). Dua pensyaratan dimaksud

adalah: (i) pensyaratan timbal balik (reciprocity reservation) dan (ii)

pensyaratan komersial (commercial-reservation).

Sebagai konsekuensi diajukannya pensyaratan yang pertama yaitu

reciprocity reservation, bahwa negara yang bersangkutan baru akan

menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat

di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York. Apabila keputusan

tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut

tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi. Oleh karena itu, ketika Undang-

undang Nomor 30 Tahun 1999 masih menetapkan berbagai ketentuan dan

persyaratan dalam rangka pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase

internasional, maka tidak mustahil Indonesia akan dianggap melakukan

“International Wrong” serta menyalahi asas “Pacta Sunt Servanda” karena

dianggap tidak mematuhi janjinya sendiri terhadap negara-negara lain sebagai

sesama penandatangan Konvensi New York 1958.

D. Perspektif Historis dan Futuristik Arbitrase sebagai Model Penyelesaian Sengketa Berkeadilan

Arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa memiliki

perkembangan historis yang cukup panjang. Berdasarkan catatan sejarah

hukum, arbitrase telah diterapkan dalam bidang perjanjian sejak zaman

Page 257: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

240

purbakala. Para penulis mengkonstatir bahwa perjanjian Lagash-Umma

ribuan tahun sebelum Masehi415 misalnya, telah mengandung suatu klausula

arbitrase. Ketika itu arbitrase telah dipakai dalam makna yang serupa dengan

penggunaan arbitrase dewasa ini, yaitu dipakai untuk menyelesaikan

pertikaian akibat terjadinya pelanggaran perjanjian.Tidak berlebihan kiranya

seandainya para penulis mensinyalir bahwa arbitrase dapat menjadi salah

satu lembaga yang paling dihormati dalam kehidupan umat manusia.

Louis B. Sohn, 416 membuat paparan perkembangan arbitrase dan

membagi dalam dua periode zaman, yakni arbitrase zaman Yunani kuno

serta abad pertengahan di satu pihak dan arbitrase modern di pihak lain.

Fakta sejarah juga mencatat jika arbitrase telah dipraktikkan pada zaman

Yunani kuno sebagai cara untuk mencari keadilan.417 Akan tetapi tentu saja

arbitrase ketika itu masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Pada periode

tersebut arbitrase telah digunakan untuk menghindari terjadinya perang di

antara negara-negara kota, berdasarkan kesepakatan pihak-pihak, sengketa

415 Arthur Nussbaum, (Penyadur: Sam Suhaedi), Sejarah Hukum Internasional. h. 3.

Bdgk. Komar Kantaatmadja yang menyatakan "...kalau tidak bisa dikatakan bahwa arbitrase bermula dari sejarah terjadinya konflik antar manusia sendiri."; dalam “Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional”; Makalah Seminar Arbitrase 16 November 1988.

416 Lihat L.B. Sohn, “International Arbitration in Historical Perspective: Past and Present”; dalam International Arbitration: Past and Prospects, A Symposium to Commemorate the Centenary of the Birth of Prof. J.H.W. Verzijl (1888-1987), Utrecht, October 21, 1988, h. 8. Bdgk. E.K. Nantwi, The Enforcement of Inernational Judicial Decision and Arbitral Awards in Public International Law, Leiden: A.W. Sijthoff, 1966, h. 3.

417 Rene David, Arbitration in...Op. Cit., h. 102.

Page 258: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

241

yang timbul diselesaikan melalui arbitrase. Praktik penyelesaian sengketa

melalui arbitrase berlangsung pula pada zaman kejayaan Romawi. Bahkan

cara-cara demikian kemudian berkembang dan menyebar ke negara-negara

lainnya di Eropa. Dalam bentuk yang masih sederhana, arbitrase pada

umumnya mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut: Pertama, pihak-

pihak hanya akan membawa sengketa untuk diselesaikan melalui arbitrase

setelah sengketa tersebut terjadi. Sedangkan sebelum sengketa terjadi para

pihak tidak melakukan kesepakatan apa pun untuk menyelesaikan sengketa

melalui arbitrase; Kedua, Arbitrator atau arbiter yang dipilih adalah orang-

orang yang benar-benar dipercaya oleh para pihak. Biasanya kriteria yang

dipakai untuk menetapkan pilihan didasarkan pada hubungan atau ikatan

tertentu, misalnya sebagai sahabat atau karena hubungan dekat lainnya;

Ketiga, arbitrase digunakan untuk menyelesaikan sengketa di antara

kerabat, tetangga, atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang

berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.

Perkembangan konsep arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa

dalam skala yang lebih luas serta dalam lingkup internasional dengan bentuk

yang modern sebagaimana dikenal dewasa ini, diakui sejak ditandatangani

Page 259: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

242

Jay Treaty pada tahun 1794 antara Inggris dan Amerika Serikat.418

Kesepakatan yang dicapai oleh kedua negara dalam perjanjian tersebut

adalah mengenai penyelesaian sengketa perbatasan antara kedua wilayah

negara melalui arbitrase. Sejak periode itu arbitrase telah diupayakan untuk

diorganisasikan secara teratur. Sedangkan pada kurun waktu sebelumnya

arbitrase memang masih dalam keadaan belum teratur. Selanjutnya

dorongan baru ke arah diterimanya secara bertahap sejumlah ketentuan

dalam praktik arbitrase modern antara lain dijumpai dalam Alabama Claims

Arbitration tahun 1872. Sengketa itu pun berlangsung antara Amerika

Serikat dan Inggris. Dalam kasus tersebut pihak Amerika Serikat menuduh

bahwa Pemerintah Inggris telah bersalah melakukan berbagai pelanggaran

kewajiban untuk bersikap netral terhadap Pemerintah Konfederasi Amerika

Serikat selama Perang Sipil di Amerika. Pada mulanya Inggris menolak

untuk menyelesaikan kasus tersebut menggunakan arbitrase, akan tetapi

melalui Perjanjian Washington tahun 1871, akhirnya Inggris setuju untuk

menyelesaikan sengketa itu pada Komisi Tinggi Arbitrase dengan lima

orang arbitrator.419 Kemudian pada tahun 1899/1907 dengan The Hague

Convention for the Pacific Settlement of International Disputes, Permanent

418 Starke, Intoduction ...Op. Cit., h. 465. E.K. Nantwi, The Enforcement of...Op. Cit., h.

3-4.; Christine D. Gray, Judicial Remedies in International Law. New York, Oxford University Press, 1987, h. 5.

419 E.K. Nantwi, The Enforcement of...Op. cit., h. 5-6.

Page 260: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

243

Court of Arbitration didirikan.420 Pada perkembangan berikutnya, arbitrase

lantas menjadi salah satu cara penyelesaian pertikaian secara damai yang

diatur dalam pasal 33 Piagam PBB.421

Mengamati perkembangan serta penggunaan arbitrase dari masa ke

masa di muka, ternyata eksistensi arbitrase sebagai salah satu bentuk

ajudikasi yang menggunakan metode pertentangan (adversarial) telah lama

digunakan pihak-pihak untuk beragam kepentingan penyelesaian sengketa.

Artinya arbitrase terbukti memiliki fleksibilitas serta telah diyakini oleh

pihak-pihak yang menggunakannya, baik dalam proses pemeriksaan

sengketa maupun dalam cara memutus sengketa yang ditangani. Oleh

karena itu, tidak heran apabila Setiawan422 menyebutkan bahwa arbitrase

sangat populer di bidang perdagangan internasional. Dalam menghadapi

sengketa yang melibatkan unsur-unsur antar negara, para pedagang

umumnya cenderung menyerahkan penyelesaian sengketa kepada badan

arbitrase bisnis internasional. Menyerahkan penyelesaian sengketa dagang

internasional kepada arbitrase, para usahawan terhindar dari kesulitan-

420 Lihat article 20 The Hague Convention 1899, antara lain menyebutkan: "With the

object of facilitating an immediate recourse to arbitration for international differences, which it has not been possible to settle by diplomacy, the signatory Powers undertake to organize a Permanent Court of Arbitration,..."; Lihat, E.K. Nantwi, Loc. Cit., h. 8.

421 “Penyelesaian pertikaian secara damai di bawah Pasal 33 Piagam PBB itu pada dasarnya baru dapat ditempuh apabila telah dilakukan pemberitahuan tertulis disertai alasan-alasan kepada pihak lainnya dimana pihak lainnya mengajukan keberatan.” Lihat, Yudha Bhakti, “Pengertian Jus Cogen dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian”; Padjadjaran, Kuartal I – No. 1, Januari-Maret 1981, h. 49.

422 Setiawan, Aneka Masalah Hukum...Op. Cit., h. 2.

Page 261: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

244

kesulitan yang pada umumnya disebabkan oleh keawaman mereka terhadap

sistem hukum dan sistem peradilan suatu negara tertentu.

Seiring pula dengan hadirnya fenomena baru dalam hubungan bisnis

antar masyarakat bangsa-bangsa dalam bentuk semakin ramainya aktivitas

perdagangan internasional. Aktivitas masyarakat dunia dalam bidang

perdagangan internasional dewasa ini teridentifikasi dalam dua pola

hubungan. Pertama, pola hubungan perdagangan antara masyarakat negara

berkembang dengan masyarakat negara-negara industri; dan Kedua, pola

hubungan perdagangan diantara masyarakat negara-negara berkembang satu

sama lain.423 Bahkan melengkapi perkembangan pola hubungan

perdagangan dan hubungan ekonomi antar negara tersebut di muka, pada

dewasa ini pula telah terjadi pengelompokan negara-negara pada setiap

kawasan regional. Negara-negara tergabung dalam blok-blok perdagangan,

kawasan perdagangan bebas atau pasar tunggal. Umpamanya saja: North

American Free Trade Agreement (NAFTA), Single European Community

(SEC), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan lain-lain. Perkembangan

tersebut juga menyebabkan semakin terbukanya ekonomi bangsa-bangsa

423 Khusus mengenai pola perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara di

kawasan Asia-Pasifik, dibedakan ke dalam empat pola perdagangan, yakni: a) perdagangan dengan negara-negara industri; b) perdagangan antara negara-negara dalam kelompok ASEAN; c) perdagangan dengan negara-negara komunis; dan d) perdagangan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia-Pasifik. Lihat Sunarjati Hartono, "Legal Aspect of Indonesian Trade with other Countries in the Asian-Pacific"; dalam Padjadjaran, Special English Edition, 1984, h. 17.

Page 262: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

245

dalam hubungan yang saling tergantung (interdependensi), bahkan menjurus

kepada integrasi ekonomi dunia.424 Realitas masyarakat dunia yang

cenderung menjadi satu dan terbuka, terutama dalam bidang perdagangan

serta aktivitas bisnis pada umumnya merupakan bagian dari fenomena

globalisasi425 yang sedang dialami umat manusia sejak beberapa dekade

terakhir ini serta tidak mungkin dibendung.

Benturan kepentingan akibat interaksi manusia yang intensitasnya

semakin padat tak ayal lagi sulit dihindari. Keadaan semacam itu pun

berlangsung dalam lingkungan komunitas pelaku bisnis, sehingga berbagai

jenis sengketa dalam bidang komersial pun terjadi serta merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari aktivitas bisnis manusia di abad ini. Dalam

kondisi serta keberadaan sengketa antar manusia yang semakin bervariasi

seperti sekarang ini, pengadilan tidak lagi dapat diandalkan sebagai satu-

424 .Sambutan Menteri Muda Perdagangan RI pada Simposium Nasional tentang Aspek-

aspek Kerjasama Ekonomi antara negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA. Bandung, 1 Februari 1993.

425 Globalisasi adalah karakteristik hubungan antara penduduk bumi ini yang melampaui batas-batas konvensioal, seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut dunia telah dimampatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh.” Lihat Satjipto Rahardjo, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global;” dalam Perspektif, Vol. 2 No. 2, Juli 1997, h. 1. Dalam kaitan ini Djisman S. Simandjuntak mengatakan, “...dalam ekonomi dunia yang semakin terintegrasi ini, ekonomi-ekonomi yang sukses dalam dasawarsa terakhir adalah mereka yang berhasil mendorong dan mempertahankan ekspansi perdagangan yang cepat. Sukses pembangunan akan tetap sangat tergantung pada keberhasilan dalam persaingan di pasar global. Negara niaga kecil seperti Indonesia sangat berkepentingan dalam peletakan dan penerapan asas-asas dan aturan-aturan multilateral yang menjadi hakikat dari proses GATT.” Lihat Djisman S. Simandjuntak et al., GATT 1994 Peluang dan Tantangan – Dokumen dan Analisis. (Kumpulan Dokumen dan Analisis), Jakarta, 14 Juni 1994, h. 1.

Page 263: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

246

satunya sarana penyelesaian sengketa. Sedangkan masyarakat awam masih

beranggapan bahwa pengadilan merupakan satu-satunya tempat untuk

menyelesaikan sengketa. Bahkan sebagian besar masyarakat masih sangat

percaya terhadap pengadilan sebagai satu-satunya tempat untuk mencari dan

mendapatkan keadilan. Oleh sebab itu, mungkin juga tidak terlalu banyak

anggota masyarakat yang memahami kalau di luar pengadilan masih

terdapat cara-cara lain yang dapat dipilih dan dijadikan sebagai sarana untuk

menyelesaikan sengketa. Akan tetapi sungguh sangat disesalkan,

pemahaman serta kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan tidak

sebanding dengan fakta yang disajikan oleh pengadilan kepada masyarakat.

Terdapat dugaan bahwa pengadilan pada dewasa ini telah menyimpang dari

tugas utamanya dalam memberikan keadilan kepada setiap pencarinya.

Pengadilan dianggap bukan lagi semata-mata sebagai tempat mencari

keadilan, tetapi juga tempat mencari kemenangan. Keadaan demikian telah

menyebabkan pengadilan memperoleh stigma dari masyarakat sebagai

lembaga yang mengalami krisis teramat parah. Sehubungan dengan hal itu

Adi Sulistiyono426 menyebutkan beberapa penyebab terjadinya krisis dalam

sistem peradilan Indonesia. Penyebab tersebut di antaranya: (i) adanya

tekanan dari pihak luar terhadap pengadilan dalam memutus perkara; (ii)

rendahnya pengetahuan hakim dalam merespon perkembangan hukum; (iii)

426 Adi Sulistiyono, Mengembangkan...Op. Cit., h. 116.

Page 264: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

247

vonis hakim yang tidak bisa dipredisksi dan tidak mencerminkan keadilan

masyarakat; (iv) jual beli vonis hakim; (v) korupsi dan kolusi di lingkungan

pengadilan; (vi) lamanya pihak-pihak yang bersengketa mendapatkan

putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sampai sekarang krisis yang dialami lembaga pengadilan tersebut

belum bisa teratasi, bahkan banyak pakar yang kesulitan untuk memberikan

solusi karena parahnya krisis yang dialami. Tambahan pula disinyalir

sementara kalangan, krisis yang menimpa lembaga pengadilan disebabkan

rendahnya moralitas hakim sehingga kolusi dan korupsi berlangsung marak

di kalangan hakim. Akibatnya kualitas putusan hakim tidak lagi ditentukan

oleh fakta-fakta dan bukti-bukti materiil melainkan oleh besar kecilnya

jumlah uang yang dinegosiasikan tatkala putusan hendak dijatuhkan.

Keadaan tersebut tentu saja sangat membingungkan dan mencemaskan

pihak-pihak pencari keadilan.

Menyiasati kondisi lembaga pengadilan semacam itu dalam

konstelasi masyarakat global dewasa ini, sebenarnya banyak pilihan-pilihan

yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa di luar

pengadilan. Arbitrase misalnya, merupakan forum yang layak dipilih untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis, karena diyakini merupakan cara

yang cepat sekaligus kredibel yang menjamin kerahasiaan pihak-pihak yang

Page 265: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

248

bersengketa. Sayangnya, jalur arbitrase kerap dinodai oleh pihak-pihak yang

beriktikad buruk, terutama oleh pihak yang dikalahkan. Mereka yang

dikalahkan kerap meminta pengadilan untuk campur tangan, terutama saat

eksekusi. Padahal, arbitrase idealnya harus dibebaskan dari anasir

pengadilan.427 Masalahnya, seringkali pengadilan malah menganggap

arbitrase sebagai saingan yang mengambil lahan ketimbang sebagai mitra.

Akibat persepsi yang keliru dari pengadilan terhadap arbitrase semacam itu,

pengadilan tidak jarang sampai membatalkan putusan arbitrase. Memang

benar, secara normatif pengadilan memiliki kewenangan untuk

membatalkan putusan arbitrase.428 Namun, alasan pembatalan yang

ditentukan undang-undang dibatasi secara limitatif serta prosedur tertentu

yang harus dipenuhi oleh pengadilan. Memberikan komentar terhadap

persoalan pembatalan putusan arbitrase oleh pengadilan, Priyatna

Abdurrasyid429 menyatakan “salah satu penyebab mudahnya pengadilan

membatalkan putusan arbitrase karena ketidak-mengertian hakim terhadap

arbirase itu sendiri.” Padahal sesungguhnya lembaga arbitrase memiliki

427 Wawancara Hukumonline_com.htm dengan Priyatna Abdurrasyid: “99,9 % Hakim

Tidak Mengerti Arbitrase.” Jumat, 10 Januari 2003. 428 Periksa Pasal 70, 71, dan 72 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal semacam ini

pun terjadi juga di negara-negara Arab Timur Tengah. Seperti dapat disimak dari paparan Samir Saleh, bahwa: “A Considerable number of national laws relating to the enforcement of foreign awards require a foreign award to be embodied in a judgment. This does not encourage the enforcement of foreign awards.” Lihat Samir Saleh, “The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards in the states of the Arab Middle East;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems...Op. Cit., h. 351.

429 Wawancara Hukumonline_com.htm,... Op. Cit.,

Page 266: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

249

peran yang strategis untuk mengurangi tumpukan perkara430 di pengadilan.

Seharusnya, para hakim berusaha untuk memberi nasehat kepada para

pencari keadilan agar mereka memilih cara-cara lain untuk menyelesaikan

sengketa di luar pengadilan, sehingga perkara tidak menumpuk di

pengadilan. Meskipun hakim dalam memeriksa perkara perdata bersikap

pasif, namun sesungguhnya hakim secara normatif dibebani oleh undang-

undang untuk membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi

segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat, dan beaya ringan.431 Bahkan para pihak yang bersengketa

memiliki kebebasan untuk mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukan

ke pengadilan, baik berupa perdamaian atau pencabutan gugatan. Di

samping itu, penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian

atau melalui arbitrase juga diperbolehkan.432

430 Berdasarkan angka-angka berikut ini dapat disimak betapa penumpukan perkara yang

memerlukan penyelesaian sangat membebani kinerja hakim dan lembaga pengadilan. Perbandingan jumlah perkara masuk dan diputus, sejak tahun 1995-1999 terdapat 71089 perkara perdata yang harus diselesaikan. Jumlah tersebut kurang lebih 4 (empat) kali lebih banyak dari jumlah perkara pidana sebanyak 19258 perkara. Total tumpukan perkara perdata dan pidana sejak tahun 1995 sampai dengan 1999 sebanyak 90347 perkara. Artinya, 71089 perkara perdata (78,7 %) dan 19258 perkara pidana (21,3 %). Terhadap masalah tersebut, Ketua Muda MA, Paulus E. Lotulung mengibaratkan “jumlah perkara yang masuk setiap bulan bagaikan deret ukur, sedangkan produktivitas pemutusan perkaranya bagaikan deret hitung.” Lihat, J. Danny Zacharias, “Kinerja Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Pemberian Keadilan, Mampukah MARI Keluar dari Masa Kegelapan dan Bencana Berkelanjutan;” dalam Seminar Court Management di MA-RI dan Diskusi Buku Fungsi MA dalam Praktik Sehari-hari. Salatiga; FH-UKSW, 2001, h. 7.

431 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. 432 Periksa Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.

Page 267: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

250

Memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimana pun

sama, hukumnya sama, dan tidak mengenal perbatasan negara. Status para

pihak sama, para pihak berhak memilih arbiter, dapat memilih hukum yang

akan digunakan, maupun prosedur beracaranya. Sebagai konsekuensi dari

pilihan-pilihan tersebut, apabila para pihak telah sepakat untuk memilih cara

penyelesaian melalui arbitrase, maka kesepakatan tersebut harus dipenuhi.

Oleh karena itu, meminta pembatalan putusan arbitrase kepada pengadilan

negeri mengandung arti salah satu pihak melanggar janji. Pihak yang

melanggar janji tentu saja diragukan itikad baiknya. Sedangkan prinsip

bersengketa di hadapan arbitrase sifatnya itikad baik (good faith), non-

konfrontatif, dan kooperatif, sehingga setelah perkara diputus maka

kerjasama atau bisnis yang telah ada di antara para pihak dapat dilanjutkan

kembali.

Menerima permohonan pembatalan433 putusan arbitrase dari salah

satu pihak merupakan kewenangan pengadilan. Namun demikian Undang-

undang Arbitrase sama sekali tidak mengatur kewenangan pengadilan untuk

433 Putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan negeri apabila mengandung

unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 UU No. 30/1999, dapat diajukan permohonan pembatalan. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: (a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; (b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Page 268: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

251

membongkar perkara yang telah diputus oleh arbitrase.434 Oleh sebab itu,

kasus pembongkaran putusan arbitrase yang dimintakan pembatalan oleh

pihak yang kalah ke pengadilan lebih disebabkan hukum arbitrase kurang

dikenal, baik oleh hakim maupun oleh masyarakat. Bahkan di Mahkamah

Agung pun, hanya beberapa hakim agung saja yang menguasai arbitrase.

Berkenaan dengan hal tersebut, Priyatna Abdurrasyid menyebutkan 99,9 %

hakim tidak mengerti mengenai arbitrase, karena itu semestinya para hakim

di-upgrade agar mereka memahami arbitrase, sehingga tidak menganggap

arbitrase sebagai saingan atau mengambil lahan pengadilan. Berdasarkan

uraian tersebut serta merujuk pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 35 Tahun

1999, idealnya, upaya untuk menggunakan arbitrase sebagai salah satu cara

menyelesaikan sengketa di luar pengadilan juga seharusnya dinasihatkan

oleh hakim kepada para pencari keadilan, sehingga perkara tidak menumpuk

di pengadilan. Akan tetapi sungguh sangat disesalkan, jangankan menasihati

pihak-pihak untuk memilih arbitrase, sedangkan terhadap sengketa gugatan

dari perjanjian yang mencantumkan klausula arbitrase saja hakim

pengadilan seringkali tidak memperhatikan adanya klausula arbitrase dalam

perjanjian. Akibatnya, ketika gugatan diajukan ke pengadilan, hakim

434 Di Indonesia persoalannya berbeda. Putusan arbitrase yang dimintakan pembatalan oleh

salah satu pihak kepada pengadilan, perkaranya kemudian dibongkar. Bahkan ada anggota majelis arbitrase yang dipanggil dan diperiksa oleh pengadilan. Arbiter tersebut setelah putusan keluar, dia tidak berfungsi lagi, tidak mempunyai wewenang apa-apa lagi. Lihat, Hukumonline_com.htm;...Op. Cit.

Page 269: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

252

pengadilan merasa berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Padahal

kalau suatu perkara diajukan kepada hakim yang secara absolut tidak

wenang memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya

tidak wenang secara ex officio untuk memeriksanya, dan tidak tergantung

pada ada atau tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangan itu.

Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa

hakim tidak wenang memeriksa perkara tersebut.435

Dalam sistem peradilan di Indonesia, kedudukan arbitrase adalah

extra judicial atau peradilan semu (quasi judicial), sedangkan pengadilan

negeri (state court) berperan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

(judicial power). Oleh karena itu, meskipun undang-undang memberi

wewenang kepada arbitrase untuk menyelesaikan sengketa, hal itu tidak

mengubah status extra judicial yang melekat pada arbitrase. Akibatnya

walaupun ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-undang Arbitrase secara

eksplisit mengakui penerapan jurisdiksi arbitrase, tetapi menerapkan akibat

hukum (legal effect) yang digariskan Pasal 3 secara absolut, tidak selamanya

benar. Menurut M.Yahya Harahap,436 dalam memahami Pasal 3 Undang-

undang Arbitrase ada pendapat yang mengatakan: “asal dalam perjanjian

435 Lihat Pasal 134 HIR, Pasal 160 Rbg, Pasal 132 Rv. 436 M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian atas UU No.

30 Tahun 1999;” Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002, h. 17.

Page 270: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

253

terdapat klausula arbitrase, dengan sendirinya lahir kewenangan absolut

arbitrase untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari perjanjian,

tanpa mempedulikan jangkauan atau ruang lingkup sengketa yang disebut

dalam rumusan klausula arbitrase. Pendapat yang bercorak generalisasi dan

absolut itu adalah keliru atau tidak selamanya benar.” Mengapa demikian?

Oleh karena, baik di dalam teori maupun praktik arbitrase dikenal beberapa

format isi klausula arbitrase.437 Isi klausula arbitrase dapat dirumuskan

dalam dua bentuk, yaitu: pertama, bersifat umum,438 atau kedua, secara

rinci.439 Klausula arbitrase yang dirumuskan secara rinci juga dapat disusun

dalam dua bentuk yakni (i) terinci sekali secara menyeluruh dan/atau (ii)

437 “Yang dimaksud dengan isi klausula arbitrase adalah hal-hal yang boleh dicantumkan

dalam perjanjian arbitrase atau sampai sejauhmana rumusan yang dapat dicantumkan dan diperjanjikan.” Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 69.

438 Rumusan klausula arbitrase yang bersifat umum biasanya diawali dengan kata-kata “segala sengketa” atau “setiap sengketa” (All disputes or all differences atau any dispute or any difference). Isi klausula arbitrase yang bersifat umum juga dapat dirumuskan secara ringkas serta dapat dicantumkan baik dalam perjanjian arbitrase jenis pactum de compromittendo maupun dalam akta kompromis. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Loc. Cit., h. 70-71.

439 Jenis yang kedua ini, yakni kalusula arbitrase secara terinci, disebut juga bentuk terbatas atau parsial. Tergolong sebagai klausula arbitrase yang terinci sekali atau mendetail, apabila rumusan kalusula arbitrase itu mencantumkan semua aspek perjanjian. Hampir semua aspek dideskripsi satu persatu dalam klausula arbitrase, sengketa apa saja yang menjadi kewenangan arbitrase. Mulai dari masalah perselisihan yang akan terjadi, tentang keabsahan perjanjian, arti perjanjian, hak-hak dan kewajiban para pihak dalam apemenuhan perjanjian. Bentuk semacam ini disebut bercorak enumeratif. Sedangkan klausula secara terinci bentuk yang kedua adalah terinci mengenai pokok-pokoknya saja (terinci seperlunya) atau terbatas sekali, yaitu apabila klausula tersebut hanya merumuskan rincian pokok-pokok saja, seperlunya didasarkan pada ruang lingkup perjanjian pokok. Biasanya klausula hanya menyebut sengketa mengenai perbedaan penafsiran pelaksanaan perjanjian atau hanya terbatas mengenai sengketa pengakhiran perjanjian (temination of contract). M. Yahya Harahap, Arbitrase... Op.Cit., h. 71. Bdgk. M.Yahya Harahap,“Beberapa Catatan...;” Jurnal Hukum...Op. Cit., h. 17.

Page 271: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

254

terinci mengenai pokok-pokoknya saja. Masing-masing rumusan klausula

arbitrase tersebut di muka memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda

terhadap lahirnya jurisdiksi arbitrase. Oleh sebab itu, kaidah Pasal 3 dan

Pasal 11 Undang-undang Arbitrase tidak otomatis diterapkan secara

generalisasi dan absolut, karena tidak selalu atau belum tentu setiap

perjanjian arbitrase akan melahirkan jurisdiksi arbitrase. Semuanya sangat

tergantung pada apakah sengketa yang terjadi itu termasuk jenis sengketa

yang disebut dalam klausula atau tidak. Apabila sengketa yang terjadi

termasuk ruang lingkup yang disebut atau dirinci dalam klausula, maka

yang berwenang menyelesaikan adalah arbitrase. Sedangkan sebaliknya,

apabila sengketa yang terjadi itu berada di luar ruang lingkup klausula

arbitrase, maka yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa

tersebut adalah pengadilan negeri. Padahal pemahaman serta opini yang

terbentuk di masyarakat selama ini setiap klausula arbitrase otomatis

langsung mewujudkan jurisdiksi absolut arbitrase tanpa mempedulikan

bentuk klausula yang disepakati.

Pemahaman semacam itu tidak hanya terjadi pada masyarakat

kebanyakan, melainkan juga melanda praktik pengadilan. Ketika sengketa

yang terjadi dan berada di luar ruang lingkup kalusula arbitrase, diajukan ke

pengadilan negeri, ternyata pengadilan negeri mengabulkan eksepsi pihak

lawan dan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa

Page 272: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

255

dimaksud, atas alasan para pihak menyepakati klausula arbitrase dalam

perjanjian. Kenyataan yang dilukiskan tersebut merupakan bukti bahwa

hakim pengadilan negeri pun dapat saja membuat kesimpulan yang kurang

akurat terhadap maksud dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11. Hal itu

kemungkinan karena kedua pasal yang mengatur tentang eksistensi

jurisdiksi arbitrase dirumuskan terlalu umum tanpa diberikan penjelasan

yang cukup memadai. Oleh sebab itu, agar penerapan jurisdiksi yang lahir

karena klausula arbitrase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 dan Pasal

11 tidak menimbulkan permasalahan hukum, maka perlu diatur serta

dijelaskan batas-batas jurisdiksi arbitrase itu sesuai dengan rumusan

klausula. Tanpa pengaturan dan penjelasan mengenai batas-batas jurisdiksi

sebagaimana dikehendaki oleh kalusula, maka kekeliruan memberikan

interpretasi terhadap Pasal 3 dan Pasal 11 akan berlangsung terus.

Seperti telah dikemukakan, kedudukan arbitrase dalam sistem

peradilan di Indonesia tergolong extra judicial atau peradilan semu, namun

tata cara pemeriksaan sengketa pada arbitrase memiliki kemiripan dengan

tata cara di pengadilan. Sedangkan faktor yang membedakan adalah,

pengadilan mengedepankan metode pertentangan (adversarial), sehingga

para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang

kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad

baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak

Page 273: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

256

bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang

akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena itu, untuk

mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam menjalankan

tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan

kepastian hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan

sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar akses

keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan

normatif yang rigid.440 Untuk itu, maka model penyelesaian sengketa di luar

pengadilan semacam arbitrase seharusnya diberi kompetensi yang lebih

luas. Artinya, arbitrase jangan hanya diakui sebagai forum pemutus

sengketa, melainkan lebih dari itu, arbitrase juga seharusnya berwenang

penuh untuk mengeksekusi putusan yang dibuatnya. Apabila arbitrase

hanya diberi kewenangan limitatif semata-mata sebagai pemutus sengketa

tanpa memiliki kompetensi melakukan eksekusi terhadap putusan yang tidak

dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka dapat

dipastikan forum arbitrase bernasib sama dengan peradilan agama sebelum

lahir Undang-undang tentang Peradilan Agama.441 Padahal sebagai salah

440 Adi Sulistiyono, Mengembangkan...Op. Cit., h. 71. 441 “Sebelum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, status

Peradilan Agama tidak sejajar dengan Peradilan Umum, sehingga putusan pengadilan agama sebelum dieksekusi terlebih dahulu harus dikukuhkan atau memperoleh eksekuatur dari Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 telah menghapuskan hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama. Kemudian, untuk mematangkan kemandirian Peradilan Agama oleh Undang-

Page 274: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

257

satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, arbitrase telah

memperoleh otoritas sebagai forum pemutus sengketa meskipun sangat

limitatif, yakni “hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak

yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”442

Sebenarnya pendelegasian wewenang untuk menyelesaikan sengketa

kepada forum lain di luar pengadilan negeri telah berlangsung dalam

berbagai bidang. Hal itu disebabkan lembaga pengadilan selama ini memang

bukan satu-satunya institusi yang mampu menampung serta menyelesaikan

semua sengketa yang terjadi di dalam masyarakat. Beberapa contoh lembaga

penyelesaian sengketa di luar pengadilan negeri antara lain: badan

penyelesaian sengketa perumahan,443 badan penyelesaian sengketa pajak,444

lembaga penyelesaian sengketa lingkungan hidup,445 lembaga penyelesaian

segketa ketenagakerjaan,446 lembaga untuk menyelesaikan sengketa

kepailitan,447 lembaga penyelesaian sengketa pertanahan,448 badan

undang itu diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan Agama dapat melaksanakan keputusannya sendiri”. Periksa Penjelasan Umum point ke 6 UU No. 7/1989.

442 Periksa Pasal 5 ayat (1) UU No. 30/1999. 443 Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981, untuk menyelesaikan sengketa

tentang harga sewa perumahan menjadi kewenangan Kantor urusan Perumahan. 444 Lihat Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 445 Periksa Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Periksa juga,

PP. No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

446 Periksa Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. 447 Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 448 Periksa Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1

Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.

Page 275: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

258

penyelesaian sengketa konsumen,449 dan lembaga penyelesaian sengketa di

bidang perdagangan/bisnis/komersial.450

Lembaga-lembaga penyelesaian sengketa pada bidang-bidang tersebut

di atas meski keberadaannya tidak sepopuler pengadilan negeri, namun

secara resmi lembaga-lembaga itu memiliki otoritas serta diakui oleh hukum

dan negara sebagai bagian dari sistem hukum penyelesaian sengketa.

Sebagai contoh umpamanya, Penyelesaian Sengketa Pajak dilakukan oleh

Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14

Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.451 Bahkan Putusan Pengadilan Pajak

merupakan putusan dalam tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa

dan memutus sengketa pajak.452

Walaupun hukum telah mendelegasikan wewenang untuk

menyelesaikan sengketa kepada lembaga-lembaga selain pengadilan negeri

seperti halnya pada penyelesaian sengketa pajak, akan tetapi dalam

praktiknya akses masyarakat untuk memanfaatkan lembaga-lembaga

semacam itu masih belum optimal. Ada banyak faktor yang kemungkinan

menjadi penyebab. Satu di antara faktor penyebab tersebut kemungkinan

karena sosialisasi berkenaan dengan keberadaan serta fungsi lembaga-

449 Lihat, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 450 Periksa, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. 451 Lihat Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 452 Lihat Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002.

Page 276: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

259

lembaga dimaksud tidak cukup memadai. Akibatnya masyarakat tidak

cukup mengetahui keberadaan lembaga-lembaga tempat penyelesaian

sengketa selain pengadilan negeri.

Seperti halnya lembaga-lembaga penyelesaian sengketa di luar

pengadilan yang lainnya, arbitrase juga disinyalir kurang dikenal, baik oleh

hakim maupun oleh masyarakat. Bahkan, Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) sendiri yang berdiri sejak tahun 1977 kurang dikenal

sebagai alternatif untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.453

Padahal bersengketa melalui arbitrase sesungguhnya bisa cepat dan murah

bila dibandingkan dengan berperkara di pengadilan. Hal itu disebabkan

jangka waktu kerja majelis arbitrase dibatasi oleh undang-undang. Secara

normatif waktu penyelesaian sengketa juga secara eksplisit dibatasi, yaitu:

“...harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh)

hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.”454 Sedangkan

bersengketa pada badan peradilan biasa dapat memakan waktu sampai

puluhan tahun, bahkan sampai 20 tahun lebih. Para pengusaha tidak dapat

berdiam diri dengan menunggu putusan pengadilan, karena usahanya harus

berjalan terus. Apalagi dalam perdagangan internasional, pihak-pihak selalu

453 “Salah satu penyebab BANI tidak dikenal karena terdapat kode etik yang melarang

BANI memasang iklan untuk menawarkan jasa.” Lihat, Wawancara hukumonline_com.htm dengan Priyatna Abdurrasyid, 10 Januari 2003;....Op. Cit.,

454 Lihat, Pasal 48 ayat (1) UU No. 30/1999.

Page 277: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

260

menghendaki penyelesaian yang cepat. Mereka tidak dapat berbuat lain

kecuali mencari penyelesaian sengketa dengan tidak melalui pengadilan

biasa. Mengapa arbitrase? Oleh karena arbitrase tidak terikat berbagai

formalitas, walaupun tetap dalam batas-batas kewajaran hukum, kejujuran,

kebenaran, keadilan (putusan ex aequo et bono) seraya mampu memberikan

putusan yang adil dan dapat diterima oleh para pihak.455 Untuk kalangan

bisnis, fasilitas yang disediakan oleh hukum dan negara untuk

menyelesaikan sengketa di antara para pelaku bisnis merupakan faktor yang

sangat penting dalam rangka menjamin diperolehnya kepastian hukum.

Kepastian hukum merupakan perlindungan bagi orang yang mencari

keadilan dari tindakan sewenang-wenang, sehingga setiap orang yang

mencari keadilan akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkannya.

Namun demikian, dalam pemahaman para pelaku bisnis, hukum

senantiasa tercitrakan sebagai penghambat untuk terselenggaranya setiap

kegiatan ekonomi. Hal itu disebabkan hukum seringkali dinilai kaku dan

berbelit-belit, sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan kegiatan ekonomi

yang serba cepat. Oleh karena itu, untuk mendukung aktivitas para pelaku

ekonomi, hukum harus menjadi sarana yang mengarahkan berbagai kegiatan

ekonomi dan memasang rambu-rambu, jangan sampai pembangunan

455 Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia...;” dalam Juranl Hukum Bisnis Vol.

21, Oktober-November 2002;...Op. Cit., h. 9.

Page 278: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

261

ekonomi menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan keadilan.456 Oleh

karena menurut Smith,457 “keadilan justru mengontrol manusia untuk tidak

saling merugikan dan sebaliknya saling membantu. Keadilan adalah

prasyarat niscaya bagi berfungsinya relasi bisnis yang baik dan etis dalam

sistem ekonomi pasar bebas dan kondisi tersebut menjadi kondisi yang

memungkinkan berkembangnya bisnis yang baik.” Oleh sebab itu, menurut

T.D.Campbell dalam bukunya Adam Smith’s Science of Morals, antara lain

menyebutkan, “teori Smith tidak hanya menyatakan bahwa keadilan adalah

syarat niscaya bagi kelangsungan suatu masyarakat khusus tertentu,

melainkan bagi kelestarian masyarakat mana pun.”458 Masyarakat mana pun

sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum

faktor keadilan harus diperhatikan di samping faktor lainnya yakni kepastian

hukum dan kemanfaatan. Artinya, penegakan hukum memang harus adil,

meskipun hukum tidak identik dengan keadilan, sebab kalau dalam

penegakan hukum hanya memperhatikan salah satu unsur saja, misalnya

kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula

jika yang diperhatikan hanya kemanfaatan, maka kepastian hukum dan

456 Lihat, Ismail Saleh, “Sambutan Menteri Kehakiman RI pada Acara Temu Karya Hukum

Perusahaan dan Arbitrase;” Jakarta: 22 Januari 1991, h. 6. 457 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta:

Kanisius, 1996, h. 125. 458 Ibid., h. 125.

Page 279: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

262

keadilan dikorbankan, dan demikian selanjutnya.459 Oleh karena itu, ketiga

unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

Sebagai salah satu sarana penegakan hukum dalam hal terjadi

sengketa bisnis, arbitrase mungkin saja telah dapat memenuhi harapan

keadilan (melalui putusan ex aequo et bono). Akan tetapi apakah juga

putusan arbitrase telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum bagi

pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa, itu masih merupakan persoalan.

Persoalan tersebut akan sangat jelas apabila menyimak tata cara pelaksanaan

putusan arbitrase sebagai berikut:460 (i) arbiter dan kuasanya wajib

mendaftarkan asli atau salinan otentik putusan arbitrase di kantor

Pengadilan Negeri, dilengkapi asli atau salinan otentik pengangkatan

sebagai arbiter; (ii) pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan perintah

(exequatur) Ketua Pengadilan Negeri; (iii) sebelum pemberian exequatur

Ketua Pengadilan Negeri memeriksa dahulu hal-hal berkaitan dengan: a)

ada atau tidaknya perjanjian arbitrase bagi pihak-pihak; dan b) apakah

perjanjian arbitrase berada dalam lingkup hukum perdagangan dan

mengenai hak yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersangkutan.

Tidak dipenuhinya ketentuan mengenai penyerahan dan pendaftaran lembar

asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri

459 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum...Op. Cit., h. 131. 460 Periksa Pasal-Pasal 59, 61, 62 jo Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 30/1999.

Page 280: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

263

berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan [Pasal 59 ayat (4)

Undang-undang Arbitrase].

Rangkaian normatif tentang tata cara pelaksanaan putusan yang

harus dipenuhi sebelum putusan arbitrase dilaksanakan menunjukkan bahwa

sesungguhnya arbitrase masih dianggap tidak mandiri serta tidak sejajar

kedudukannya dengan pengadilan negeri, sehingga dianggap tidak matang

untuk dapat mengeksekusi putusannya sendiri. Betapa tidak, apabila

penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dipenuhi, maka

akibatnya putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Kaidah tersebut pada

dasarnya telah mengurangi kedudukan arbitrase seperti halnya kedudukan

pengadilan agama sebelum lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

Oleh karena itu, untuk menjamin diperolehnya kepastian hukum bagi para

pihak yang bersengketa pada forum arbitrase, norma yang terkesan

mensubordinasikan arbitrase dari pengadilan negeri harus dihapuskan dari

undang-undang arbitrase. Perubahan atau amandemen terhadap Undang-

undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan sesuatu yang tidak dapat

dihindarkan. Hal itu disebabkan terdapat beberapa pasal di dalam undang-

undang tersebut yang dianggap “memandulkan”461 peran dan fungsi

461 Paulus E. Lotulung (Ketua Muda Mahkamah Agung) antara lain menunjuk Pasal 70

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai pasal yang disebutnya sebagai “memandulkan forum arbitrase”. Pasal tersebut antara lain tentang Pembatalan Putusan Arbitrase. “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur

Page 281: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

264

arbitrase. Norma semacam itu tidak bisa lain kecuali harus diubah dan

diganti. Oleh karena itu, kondisi ambivalensi normatif yang tercipta dari

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 harus segera diakhiri. Di samping

itu, Surat Ketua Mahkamah Agung yang ditujukan kepada seluruh Ketua

Pengadilan Negeri agar para KPN dapat menghormati putusan arbitrase

dalam rangka proses pelaksanaan putusan arbitrase dimaksud. Namun

demikian, kebijakan yang ditempuh Ketua MA tersebut sesungguhnya

apabila dikaji dari aspek independensi badan peradilan rendahan

sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat mengganggu kemandirian

para hakim. Akan tetapi upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung

sebagai otoritas lembaga yudikatif tersebut antara lain agar para ketua

pengadilan negeri dapat menghormati serta membantu dalam proses

pelaksanaan putusan arbitrase.

Selanjutnya, upaya lain yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan

adalah sosialisasi tentang eksistensi badan arbitrase sebagai salah satu forum

tempat penyelesaian sengketa. Sosialisasi merupakan keniscayaan yang

tidak dapat ditunda-tunda. Hal itu disebabkan, selama ini harus diakui

bahwa keberadaan forum arbitrase tidak banyak diketahui publik, sehingga

sebagai berikut:…”. Untuk itu upaya pembatalan yang dilakukan oleh para pihak dalam arbitrase selama ini di dalam praktik telah banyak ditolak oleh Mahkamah Agung. Hal itu dilakukan dalam rangka memberikan tempat dan mengharagai eksistensi forum arbitrase sebagai badan yang telah memutus sengketa para pihak tersebut.

Page 282: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

265

upaya penyebarluasan informasi mengenai arbitrase dalam rangka

memperkenalkan peran dan fungsi forum tersebut perlu dilakukan lebih

gencar serta lebih intensif lagi.

Memberikan kompetensi terhadap badan arbitrase dalam

melaksanakan putusannya sendiri, sehingga arbitrase menjadi forum yang

mandiri, sejajar dengan badan peradilan, matang, dan berkompeten adalah

conditio sine qua non apabila hendak menjadikan badan arbitrase di

Indonesia sebagai badan penyelesaian sengketa bisnis yang berprospek

internasional. Oleh karena pada abad mendatang interaksi bisnis antar

bangsa telah dirancang untuk tidak lagi tersekat oleh berbagai rintangan

(barrier), baik berupa batas-batas teritorial, norma-norma perdagangan,

maupun rintangan berupa tarif. Sebagai konsekuensi dari keadaan semacam

itu maka terjadinya konflik antar pelaku bisnis pun akan semakin sulit

dihindarkan. Dalam konstelasi dunia bisnis seperti itu maka sangat

mendesak untuk memberi status mandiri dan kompeten terhadap badan

arbitrase agar dapat melaksanakan putusannya tanpa bantuan pengadilan

negeri. Dalam rangka itu semua, yang harus diupayakan adalah melakukan

amandemen perubahan terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terutama berkenaan

dengan pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional

maupun arbitrase internasional. Pemberian status mandiri terhadap arbitrase

Page 283: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

266

akan membawa konsekuensi hukum yang amat luas. Arbitrase yang telah

memiliki karakter berbeda dengan pengadilan negeri serta prosedur

penyelesaian sengketa yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, akan

menjadi lembaga penyelesaian sengketa komersial yang lebih diminati oleh

para pencari keadilan dari kalangan bisnis karena akan lebih mampu

memenuhi tuntutan mereka. Lebih-lebih lagi kalangan bisnis atau usaha

komersial internasional, karena sampai saat ini “tidak ada badan pengadilan

yang dapat memeriksa sengketa komersial internasional yang dapat

diandalkan dan efektif.”462 Apabila demikian, tidak diragukan kalau

lembaga arbitrase di masa-masa yang akan datang akan menjadi model

penyelesaian sengketa komersial yang lebih berkeadilan, sekaligus

menjamin kepastian hukum, serta betul-betul bermanfaat bagi penggunanya

karena prosesnya yang cepat dan beayanya yang murah. Hal itu berarti pula

arbitrase sebagai salah satu lembaga pelaksana hukum akan mampu

merealisasikan ketiga unsur dalam penegakan hukum yang harus

diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan secara

proporsional seimbang.

462 Lihat Priyatna Abdurrasyid, “Pengusaha Indonesia...” dalam Jurnal Hukum Bisnis

Vol. 21...Op. Cit., h. 9.

Page 284: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

267

BAB V EKSEKUSI PUTUSAN FORUM ARBITRASE

GAMBARAN DILEMA PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA

A. Makna dan Kekuatan Putusan Menurut Pengadilan Negeri Serta Para Pihak Bersengketa

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan

kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata

cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Setiap perkara perdata yang

diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan tujuannya untuk

mendapatkan penyelesaian. Oleh karena itu, setiap pemeriksaan perkara

akan diakhiri dengan suatu putusan. Namun demikian putusan dijatuhkan

belum berarti persoalan telah selesai. Putusan atas pemeriksaan perkara

perdata selanjutnya harus dapat dilaksanakan (dieksekusi). Hal itu penting,

oleh karena suatu putusan tidak memiliki arti sama sekali apabila tidak

dapat dilaksanakan.

Hakikat dari eksekusi putusan adalah realisasi kewajiban pihak yang

bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam putusan

tersebut. Eksekusi dengan kata lain berarti pula pelaksanaan isi putusan

hakim yang dilakukan secara paksa dengan bantuan pengadilan, apabila

pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.

Page 285: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

268

Akan tetapi tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata

yang sesungguhnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Pada asasnya hanya

putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (kracht

van gewijsde) yang dapat dieksekusi. Selain telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, putusan yang dapat atau perlu dieksekusi hanya putusan-

putusan yang bersifat condemnatoir,463 yaitu putusan hakim yang bersifat

menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Sedangkan

putusan hakim jenis lain, seperti putusan yang bersifat constitutif 464 dan

yang bersifat declaratoir465 pada umumnya tidak dapat atau tidak perlu

dilaksanakan dalam arti seperti putusan yang bersifat condemnatoir, oleh

karena kedua putusan di muka tidak menetapkan hak atas suatu prestasi

tertentu. Adapun prestasi yang wajib dipenuhi dalam rangka eksekusi

putusan yang bersifat condemnatoir dapat terdiri atas memberi, berbuat,

dan tidak berbuat. Di samping itu juga pada umumnya putusan

condemnatoir berisi hukuman terhadap pihak yang dikalahkan untuk

membayar sejumlah uang.

463 Lihat, Ny. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara...Op. Cit., h. 122. 464 Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan

hukum. Contoh putusan constitutif misalnya: pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 189.

465 Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap putusan yang menolak gugatan merupakan putusan declaratoir. Ibid,. h. 189-190

Page 286: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

269

Baik putusan hakim maupun putusan arbitrase pada dasarnya

memiliki makna yang tidak jauh berbeda. Putusan hakim “adalah

pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang

untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.”466 Yang

disebut putusan bukan hanya yang diucapkan, melainkan juga pernyataan

yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim

di persidangan. Putusan yang diucapkan secara lisan di persidangan disebut

uitspraak, sedangkan yang dituangkan dalam bentuk tertulis disebut vonnis.

Pada prinsipnya baik putusan yang diucapkan (uitspraak) maupun yang

tertulis (vonnis) satu sama lain substansinya tidak boleh berbeda. Apabila

ternyata ada perbedaan antara yang diucapkan dengan yang tertulis, maka

yang dianggap sah adalah putusan yang diucapkan. Kedua jenis putusan

tersebut di dalam kepustakaan hukum Belanda dikenal dengan sebutan

vonnis dan gewijsde. Vonnis merupakan sebutan untuk putusan yang belum

mempunyai kekuatan hukum tetap atau dalam beberapa hal disebut juga

voorlopig gewijsde, terhadap putusan semacam ini masih tersedia upaya

hukum biasa. Sedangkan gewijsde adalah putusan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap yang dalam beberapa kepustakaan disebut juga

466 Sudikno Mertokusumo, Loc. cit., h. 172.

Page 287: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

270

uiterlijk gewijsde, untuk putusan semacam ini hanya tersedia upaya hukum

khusus atau upaya hukum istimewa.467

Adapun putusan arbitrase atau ‘arbitral awards’:

“Means a final award which disposes of all issues submitted to the arbitral tribunal and any other decision of the arbitral tribunal which finally determines any question of substance or the question of its competence or any other question of procedure but, in the later case, only if the arbitral tribunal terms its decision an award.” 468

Baik putusan hakim maupun putusan arbitrase (arbitral awards)

kedua jenis putusan itu mengenal yang dinamakan putusan akhir

(eindvonnis) dan putusan yang bukan putusan akhir atau putusan sela

(tussenvonnis),469 sering pula disebut putusan antara. Perbedaan prinsipal

antara putusan hakim dengan putusan arbitrase terletak pada sifat dan cara-

467 Yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan atau kekhilafan

yang terjadi dalam suatu putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Jenis upaya hukum ini terdiri atas peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet).

468 Lihat Alan Redfern et al., Law and Practice...Op. Cit., h. 359. 469 Putusan sela (tussenvonnis) atau putusan antara adalah putusan yang diucapkan di

dalam persidangan, namun tidak dibuat secara terpisah melainkan ditulis di dalam berita acara persidangan yang berfungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Beberapa jenis putusan sela antara lain sebagai berikut: (i) Putusan praeparatoir yaitu putusan yang diucapkan sebagai persiapan putusan akhir tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkra atau putusan akhir. Contohnya, putusan untuk menggabungkan dua perkara atau putusan untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi; (ii) Putusan interlocutoir yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya: perintah untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Namun berbeda dengan putusan praeparatoir yang memiliki sifat tidak mempengaruhi putusan akhir, sedangkan putusan interlocutoir dapat mempengaruhi putusan akhir; (iii) Putusan insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yaitu suatu peristiwa yang menghentikan prosedur beracara. Umpamanya, putusan yang membolehkan seseorang untuk ikut serta di dalam perkara (baik vrijwaring, voeging, maupun tussenkomst). (iv) Putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

Page 288: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

271

cara putusan tersebut dibuat. Di samping itu, perbedaan di antara kedua

jenis putusan itu disebabkan terdapat perbedaan asas yang dianut oleh

masing-masing lembaga tempat kedua putusan tersebut dijatuhkan. Sifat

serta asas pemeriksaan sengketa pada arbitrase adalah close-door and

confidential, sehingga seluruh rangkaian serta proses pemeriksaan sengketa

oleh arbiter sampai dengan putusan diucapkan berlangsung dalam sidang

yang bersifat tertutup, karena itu pula putusan arbitrase tidak boleh

dipublikasikan (shall be closed to the public). Sedangkan asas yang dianut

dalam pemeriksaan perkara di pengadilan adalah terbuka untuk umum,

sehingga putusan hakim harus diucapkan dalam sidang yang dinyatakan

terbuka untuk umum. Apabila putusan hakim diucapkan dalam sidang yang

tidak dinyatakan terbuka untuk umum, berarti putusan itu tidak sah dan

tidak mempunyai kekuatan hukum, bahkan dapat berakibat putusan itu batal

menurut hukum.

Selain sifat dan prosedur menjatuhkan putusan hakim dengan

putusan arbitrase itu berlainan, ternyata status serta eksistensi kedua putusan

itu pun de jure dan de facto dibedakan. Buktinya, di satu pihak secara

normatif (de jure) - undang-undang mengakui putusan arbitrase sebagai

putusan yang telah memiliki status dan kekuatan hukum setara dengan

putusan hakim. Hal tersebut seperti dapat disaksikan dari kaidah yang

Page 289: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

272

mengatur tentang substansi dan sistematika putusan arbitrase,470 yang

menetapkan hal-hal yang harus dimuat dalam putusan arbitrase sama dengan

putusan hakim.471 Namun di lain pihak, kenyataan dalam praktik (de facto),

perbedaan perlakuan terhadap putusan arbitrase mulai tampak diketahui

ketika putusan arbitrase hendak dieksekusi. Sejumlah syarat normatif yang

imperatif masih harus diikuti dalam rangka eksekusi putusan arbitrase.

Apalagi dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara

sukarela. Padahal disadari atau pun tidak, akibat adanya ketentuan semacam

itu, undang-undang arbitrase dapat dianggap mengukuhkan ambivalensi

norma, karena terbukti menerapkan standar ganda terhadap putusan

arbitrase terutama menyangkut syarat-syarat dan prosedur pelaksanaan

putusan.

Perlakuan ambivalen terhadap putusan arbitrase seharusnya tidak

terjadi apabila secara cermat mengamati substansi Pasal 54 ayat (1) Undang-

470 Pasal 54 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 berisi ketentuan: Putusan arbitrase harus

memuat: (a) kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”; (b) nama lengkap dan alamat para pihak; (c) uraian singkat sengketa; (d) pendirian para pihak; (e) nama lengkap dan alamat arbiter; (f) pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; (g) pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; (h) amar putusan; (i) tempat dan tanggal putusan; dan (j) tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

471 Lihat ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam Pasal-pasal berikut ini: 183, 184, 187 HIR (194, 195, 198 Rbg), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 23 UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan juga Pasal 61 Rv. Suatu putusan hakim terdiri atas 4 (empat) bagian yaitu: (1) kepala putusan, (2) identitas para pihak, (3) pertimbangan, dan (4) amar atau dictum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op.Cit., h. 182-188.

Page 290: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

273

undang Arbitrase. Dari norma tersebut sesungguhnya sudah jelas bahwa

tidak ada alasan untuk membedakan putusan arbitrase dengan putusan

hakim. Hal itu disebabkan: Pertama, semua unsur yang disyaratkan untuk

substansi dan sistematika putusan arbitrase ditetapkan sama dengan unsur-

unsur yang disyaratkan juga untuk putusan hakim. Kedua, putusan arbitrase

bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para

pihak. Artinya, putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau

peninjauan kembali.472 Namun pada sisi yang lain, sejumlah norma hukum

dalam undang-undang arbitrase masih berisi kaidah yang mencitrakan

adanya ketergantungan putusan arbitrase terhadap kewenangan pengadilan

negeri. Kesan tersebut demikian kuat, lebih-lebih apabila menelusuri muatan

norma dalam Pasal-pasal 59 sampai dengan 64 untuk putusan arbitrase

nasional dan Pasal-pasal 65 sampai dengan 69 untuk putusan arbitrase

internasional. Bahkan Undang-undang arbitrase telah memberi kewenangan

kepada pengadilan negeri sebagai satu-satunya lembaga yang kompeten

untuk menerima permohonan dan memutus pembatalan putusan arbitrase

yang diajukan oleh para pihak. Kaidah semacam itu tidak dapat dinafikan

telah menjadi salah satu indikator yang nyata-nyata menempatkan putusan

arbitrase sebagai subordinasi dari kompetensi pengadilan negeri.

472 Lihat Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 dan Penjelasannya.

Page 291: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

274

Berdasarkan fakta tersebut di muka, tidak dapat dipungkiri jika

ternyata kaidah hukum arbitrase telah menciptakan prakondisi yang kurang

menguntungkan untuk putusan arbitrase. Oleh karena norma hukum

arbitrase telah memungkinkan pengadilan negeri dengan pihak-pihak yang

bersengketa berbeda sudut pandang atau pemahaman mengenai status serta

eksistensi putusan arbitrase. Dari satu segi, para pihak yang bersengketa

akan memahami putusan arbitrase sebagai putusan yang bersifat final dan

mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat mereka. Aturan itu

bermakna, dilaksanakan atau tidak putusan arbitrase secara sukarela oleh

para pihak, mestinya merupakan urusan mereka yang bersengketa serta

forum arbitrase sebagai pemutus. Mestinya tidak harus melibatkan perintah

Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena perintah Ketua Pengadilan Negeri

sebagai syarat normatif dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan

arbitrase secara sukarela, bermakna putusan arbitrase belum final dan belum

mengikat para pihak.

Sedangkan pada sisi lain, ketentuan mengenai penyerahan dan

pendaftaran lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada

Panitera Pengadilan Negeri sebelum putusan dilaksanakan, menjadi salah

satu alasan bagi pengadilan negeri untuk tetap merasa memiliki kewenangan

dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan

tetap beranggapan bahwa putusan arbitrase belum memiliki titel

Page 292: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

275

eksekutorial. Secara tidak langsung, ketentuan itu pun telah menempatkan

putusan arbitrase sebagai putusan yang tidak mandiri. Akibatnya putusan

arbitrase dikondisikan sebagai putusan yang berketergantungan terhadap

kewenangan pengadilan negeri. Oleh karena itu, ambivalensi normatif yang

terjadi dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana

dipaparkan di muka, tak ayal lagi membawa dampak pada pemaknaan yang

beragam terhadap kaidah hukum arbitrase.Tentu saja melakukan interpretasi

terhadap kaidah hukum bukan sesuatu yang dilarang. Namun apabila

disebabkan norma yang ambivalen berakibat terjadi ambiguitas terhadap

status putusan arbitrase, mestinya hal itu tidak dibiarkan berlangsung terus

menerus. Masalahnya, disadari atau pun tidak keadaan tersebut akan

membawa konsekuensi terhadap persoalan kepastian hukum serta derajat

kepercayaan para pencari keadilan yang hendak menggunakan arbitrase

sebagai forum penyelesaian sengketa.

Pada dataran teoritis, setiap putusan hakim termasuk di dalamnya

putusan arbitrase, pada prinsipnya mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan,

yaitu: (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan

eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Masing-masing kekuatan

putusan dimaksud dapat disimak dalam paparan berikut ini.

Page 293: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

276

1. Kekuatan Mengikat

Setiap putusan, baik putusan hakim maupun putusan arbitrase pada

dasarnya merupakan hukum yang mengikat semata-mata terhadap para

pihak yang bersangkutan.473 Artinya, putusan hakim menentukan hukum

yang konkret bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu peristiwa yang konkret

pula. Seperti halnya kaidah hukum, maka suatu putusan hakim yang telah

dijatuhkan harus dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak

boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Oleh karena itu, untuk

menaati suatu putusan dapat dipaksakan melalui lembaga eksekusi. Secara

teoretis para pihak terikat terhadap putusan memiliki dua arti, yaitu: arti

positif dan arti negatif.474 Arti positif atau het positieve gezag van gewijsde

maksudnya, segala apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar,

sehingga pembuktian lawan tidak dimungkinkan: res judicata pro veritate

habetur.475 Putusan hakim itu dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi

suatu tuntutan lain.476 Sedangkan arti negatif atau het negatieve gezag van

gewijsde dari kekuatan mengikat suatu putusan maksudnya, bahwa hakim

473 Lihat, Pasal 1917 ayat (1) BW juncto Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999. 474 Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 177. 475 “An adjudicated matter. A matter decided on its merits by a competent court. The

judgment is conclusive unless reversed on appeal.” Dictionary of ...Op. Cit., h. 144. 476 Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan

umpamanya bahwa seseorang adalah pemilik sah atas rumah sengketa, dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menuntut pembayaran sewa terhadap orang yang selama ini menempati rumah tersebut. Lihat, Setiawan, “Putusan Hakim...” dalam Varia Peradilan Th. VII No. 80, Mei 1992, ...Op. Cit., h. 138.

Page 294: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

277

tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para

pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Artinya, putusan

hakim (dalam perkara perdata) yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap, sekali diperoleh menutup kemungkinan bagi para pihak untuk

penuntutan selanjutnya.477

Di muka telah disebutkan bahwa putusan hakim merupakan hukum

yang mengikat para pihak, maka putusan hakim senyatanya berfungsi

sebagai sumber hukum. Putusan hakim dapat memuat kaidah hukum yang

sebelumnya tidak tercantum dalam ketentuan perundang-undangan tertentu.

Oleh karena itu, menurut Setiawan,478 putusan hakim dapat memperluas

daya jangkau berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tertentu.

Sebaliknya, putusan hakim juga dapat mempersempit daya berlakunya suatu

kaidah perundang-undangan tertentu (rechtsverfijning).479 Dalam

menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau

477 Sedangkan di dalam hukum pidana hal itu dinamakan dengan asas ne bis in idem,

sebagaimana dapat diketahui dari Pasal 76 KUHPidana, yaitu: “...Seseorang tidak dapat diadili kedua kalinya dalam perkara yang sama.” Lihat Setiawan, “Putusan Hakim..;” Ibid., h. 137.

478 Lihat, Setiawan, “Publikasi Putusan Hakim”; dalam Varia Peradilan Tahun VIII Nomor 95, Agustus 1993, h. 116-117.

479 Sebagai contoh penyempitan hukum adalah pengertian perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 BW yang luas lingkupnya dipersempit sehingga menjadi apa yang kita jumpai dalam yurisprudensi antara lain putusan HR 19 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum vs. Cohen. Contoh lain misalnya, bahwa undang-undang tidak menjelaskan apakah kerugian harus diganti juga oleh yang dirugikan yang ikut bersalah menyebabkan kerugian (Pasal 1365 BW). Akan tetapi yurisprudensi menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan ini hanya dapat menuntut sebagian dari kerugian yang diakibatkan olehnya. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum...Op. Cit., h. 150-151.

Page 295: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

278

penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat

umum. Hal itu semua semakin menunjukkan betapa hukum bukanlah suatu

hal yang statis, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Senyatanya hukum itu berkembang di luar kodifikasi, sehingga tatkala suatu

peraturan dituangkan dalam bentuk tertulis (kodifikasi), maka pada saat itu

pula hukum telah ketinggalan zaman. Oleh sebab itu, suatu undang-undang

sebagai kodifikasi hanya dapat dipahami melalui perkembangan dari

perubahan maknanya melalui yurisprudensi. Lebih-lebih apabila yang

dihadapi adalah undang-undang yang telah berumur puluhan atau bahkan

ratusan tahun seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek). Dalam konteks semacam ini tentu saja menjadi tugas hakim

dalam penegakan hukum untuk melakukan interpretasi historis atau

penafsiran sejarah, baik dalam pengertian sejarah hukum (rechtshistoris)

maupun sejarah undang-undang (wetshistoris).

2. Kekuatan Pembuktian

Putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dibuat sesuai

dengan peraturan hukum yang berlaku merupakan akta otentik.480 Oleh

480 “Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi

wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap diantara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari akta.” Lihat Pasal 165 HIR, 1868 BW, 285 Rbg.

Page 296: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

279

karena itu, putusan memberikan pembuktian terhadap apa yang dinyatakan

sebagai peristiwa-peristiwa (feitelijke voorgevallen) dalam putusan tersebut.

Di dalam hukum pembuktian, dari suatu putusan bermakna telah diperoleh

suatu kepastian hukum tentang sesuatu peristiwa sebagaimana dinyatakan

dalam putusan dimaksud. Sebagai akta otentik, putusan dimaksudkan untuk

dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak. Terhadap pihak ketiga,

putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun mempunyai kekuatan

pembuktian.

Selain sebagai akta otentik, suatu putusan dapat juga dianggap

sebagai sumber persangkaan (vermoedens)481 tentang kebenaran materiil

dari apa yang diterangkan oleh para saksi atau apa yang diakui oleh para

pihak. Putusan merupakan persangkaan bahwa isi putusan itu benar, sebab

yang diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate

habetur).482 Sebagai akta otentik putusan merupakan bukti yang cukup atau

bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, para ahli warisnya, serta

orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka. Namun demikian akta

otentik juga masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan yang kuat.483 Jadi,

481 Lihat Pasal 1916 ayat (2) no. 3 BW . “Persangkaan-persangkaan semacam itu

diantaranya: ‘kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak.’

482 Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op. Cit., h. 181. 483 “Umpamanya, apabila dalam suatu akta notaris, pada minuut (akta asli) yang disimpan

oleh notaris, terdapat tanda tangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut dapat dibuktikan, maka gugurlah kekuatan bukti akta notaris tersebut.” Lihat Ny. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara...Op. Cit., h. 66.

Page 297: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

280

para pihak dalam keterikatan pada isi putusan yang telah diperoleh, masih

dapat atau masih dimungkinkan untuk mengajukan suatu perkara baru pada

forum penyelesaian sengketa mana pun.

3. Kekuatan Eksekutorial

Pada dasarnya hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap yang dapat dieksekusi. Putusan semacam itulah yang

termasuk kategori memiliki kekuatan eksekutorial (executoriale kracht) atau

kekuatan untuk dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan

tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisasikan. Masalahnya,

kekuatan mengikat suatu putusan belum memiliki arti apa pun bagi pihak-

pihak yang bersangkutan apabila putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.

Eksekusi merupakan tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan

bantuan alat-alat negara dalam rangka menjalankan putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Tindakan paksa tersebut baru akan

dipilih apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi

putusan secara sukarela. Sedangkan apabila pihak yang kalah bersedia

menaati isi putusan secara sukarela maka tindakan eksekusi tidak dilakukan.

Persoalan selanjutnya adalah, apa yang menjadi persyaratan bagi

suatu putusan untuk memperoleh kekuatan eksekutorial (executoriale

kracht)? Secara normatif setiap putusan, baik putusan pengadilan maupun

Page 298: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

281

arbitrase harus memuat kepala putusan484 yang berbunyi: “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kepala putusan itulah yang

memberi kekuatan eksekutorial terhadap putusan. Tidak hanya putusan

pengadilan atau putusan arbitrase, bahkan akta notariil seperti halnya grose

akta hipotik (grose akta van hypotheek) dan grose akta pengakuan hutang

(notarieele schuldbrieven)485 harus berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan

484 Untuk putusan pengadilan, periksa Pasal 4 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999. Sedangkan

untuk putusan arbitrase, periksa Pasal 54 UU No. 30 Tahun 1999. Untuk akta notariil seperti grose akta hipotik dan grose akta pengakuan hutang diatur di dalam Pasal 224 HIR.

485 Grose akta hipotik dan grose akta pengakuan hutang, kedua jenis akta notariil tersebut memiliki perbedaan pokok serta masing-masing berdiri sendiri dan sama sekali tidak boleh dicampur aduk. Perbedaan diantara keduanya terletak pada hal-hal berikut ini: Pertama, dokumen yang melengkapi keabsahan kedua akta itu berlainan; pada grose akta pengakuan hutang, keabsahan serta sifat asesor dari dokumen yang melengkapi akta ini lebih sederhana dan hanya diperlukan dua jenis dokumen, yaitu: (1) dokumen perjanjian pokok; (2) pernyataan pengakuan hutang oleh pihak debitur yang dituangkan dalam bentuk akta notaris. Sedangkan pada grose akta hipotik diperlukan 4 (empat) atau paling sedikit 3 (tiga) dokumen yang melengkapi keabsahannya. Ketiga dokumen tersebut adalah: (1) dokumen perjanjian pinjaman hutang/kredit sebagai dokumen pokok yang ditandatangani oleh debitur dan kreditur. Bentuk dokumen ini bebas, dapat berbentuk akta otentik atau akta di bawah tangan; (2) perjanjian kuasa memasang hipotik. Perjanjian ini dapat disatukan sekaligus dalam akta perjanjian hutang/kredit apabila bentuknya akta otentik (akta notaris). Sedangkan apabila perjanjian hutang/kredit tidak dituangkan dalam bentuk akta otentik, maka perjanjian kuasa memasang hipotik mutlak harus terpisah dan berdiri sendiri di luar perjanjian hutang. (3) dokumen akta pemasangan hipotik. Sebagai akta resmi (gerechtelijke akte) tentang penetapan hipotik dibuat oleh pejabat yang berwenang. Akta ini pun harus mencantumkan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” agar akta pemasangan hipotik sebagai grose akta memiliki kekuatan eksekutorial. Harus dibuat dihadapan PPAT (bisa Camat atau Notaris). Minut atau lembar asli akta hipotik disimpan oleh PPAT, sedangkan lembar kedua berupa salinan (grose) dikeluarkan satu lembar diserahkan kepada pihak kreditur sebagai bukti penetapan hipotik. (4) Sertifikat hipotik; ini melalui proses, akta hipotik, sertifikat hak tanah, dan dokumen lain (akta perjanjian hutang, kuasa memasang hipotik) disampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah/Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kota) yang bersangkutan untuk didaftarkan dan pendaftarannya dalam Buku Tanah.

Kedua, Prosedur untuk grose akta pengakuan hutang lebih sederhana, tidak memerlukan pensertifikatan dan pendaftaran di kantor pendaftaran tanah, sedangkan untuk grose akta hipotik harus didaftarkan dalam register umum sebagaimana

Page 299: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

282

Ketuhanan Yang Maha Esa.” 486 Kepala akta tersebut merupakan syarat

yang mesti ada agar akta notariil di muka memiliki nilai kekuatan sama

dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kekuatan eksekutorial selain dimiliki oleh putusan pengadilan dan

putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum tetap serta grose akta

notariil yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa,” juga dimiliki oleh akta perdamaian.487 Akta perdamaian

sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) HIR yang dibuat di

persidangan juga mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan seperti putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedudukan sejajar antara

akta perdamaian dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap ini

membawa konsekuensi hukum terhadap akta perdamaian itu sendiri.

Konsekuensi tersebut yaitu apabila salah satu pihak ingkar untuk menepati

ditentukan dalam Pasal 1179 BW jo Pasal 22 ayat (3) PP No. 10/1961. Ketiga, berbeda dalam persoalan hak yang melekat atas benda jaminan. Hak hipotik yang diberikan debitur kepada kreditur tetap melekat pada benda yang bersangkutan di tangan siapa pun benda itu berada. Artinya, hak hipotik kreditur tidak lepas/tanggal, sekali pun debitur (pemilik) menjual atau memindahkannya kepada pihak ketiga. Keempat, Berbeda beayanya; Untuk grose akta pengakuan hutang tidak diperlukan beaya pendaftaran akta, hanya ada beaya akta notaris. Sedangkan untuk grose akta hipotik oleh karena dituntut formalitas prosedur pendaftaran, maka diperlukan beaya berupa: materai, honor PPAT, dan beaya pendaftaran. Lihat M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1988, h. 198-216.

486 Periksa Pasal 224 HIR (Pasal 258 Rbg). 487 Salah satu bukti bahwa akta perdamaian yang dibuat di dalam sidang memiliki kekuatan

seperti putusan hakim, dapat diketahui dari Pasal 1858 ayat (1) BW: “Segala perdamaian di antara para pihak mempunyai suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan.”

Page 300: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

283

isi yang dirumuskan dalam akta perdamaian, maka pihak lain dapat

mengajukan permintaan eksekusi ke pengadilan.

B. Interpretasi, Koreksi, dan Pergeseran Makna Putusan Arbitrase

Sebagaimana telah diutarakan di muka, bahwa status putusan

arbitrase secara normatif sudah jelas yakni “bersifat final, mempunyai

kekuatan hukum tetap, serta mengikat para pihak.” 488 Oleh karena itu,

putusan arbitrase tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding,489 kasasi,

maupun peninjauan kembali. Akan tetapi di dalam praktik, salah satu pihak

dalam sengketa diberi peluang untuk mengajukan permintaan interpretasi

(interpretation)490 serta koreksi (correction)491 atas putusan arbitrase kepada

kepada forum yang menjatuhkan putusan tersebut.

Interpretasi putusan arbitrase dapat dimintakan oleh salah satu pihak

apabila putusan yang dijatuhkan mengandung ketidakjelasan arti, maksud,

488 Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase. 489 Kecuali menurut ketentuan Pasal 641 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

(Rv) S. 1847 No. 52 jo 1849 No. 63. Rv sebagai ketentuan hukum acara perdata yang dahulu berlaku pada Raad van Justitie (RvJ) untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan orang Eropa, di dalamnya mengatur perihal perwasitan atau arbitrase memperkenankan banding kepada Hooggerechtshof untuk putusan-putusan arbitrase (de uitspraken van scheidsmannen atau putusan-putusan wasit).

490 Seperti dapat dibaca dari Art. 50 (1) ICSID Convention: “If any dispute shall arise between the parties as to the meaning or scope of an award, either party may request interpretation of the award by an application in writing addressed to the Secretary-General.” Bahkan secara rinci tentang bagaimana permohonan interpretasi, revisi, dan pembatalan putusan arbitrase itu diajukan dapat diketahui dalam Rule 50 ICSID Rules of Procedure for the Institution of Conciliation and Arbitration Proceedings (1965).

491 “Many developed systems of national law permit the correction of minor clerical or typographical errors in awards, either at the request of one or both of the parties or

Page 301: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

284

atau menimbulkan perbedaan penafsiran di antara para pihak. Permohonan

interpretasi harus diajukan secara tertulis kepada secretary-general,492 serta

apabila dimungkinkan permohonan dimasukkan kepada forum arbitrase

yang menjatuhkan putusan tersebut.493 Sedangkan koreksi (correction) atau

revisi atas putusan (revision of the award) dapat diminta oleh salah satu

pihak yang bersengketa “...on the ground of discovery of some fact of such a

nature as decisively to affect the award....” 494 Ketentuan mengenai

permintaan koreksi putusan serupa itu dapat pula dijumpai di dalam United

Nations Commission on International Trade Law Arbitration Rules

(UNCITRAL Arbitration Rules).495 Masalah koreksi atau revisi putusan

arbitrase, sesungguhnya tidak dapat dianggap sepele. Oleh karena mungkin

by the arbitral tribunal on its own initiative.” Lihat, Alan Redfern et al., Law and Practice...Op. Cit., h. 373.

492 Lihat, Rule 50 – ICSID Rules of Procedure. 493 Lihat, Article 50 (2) ICSID Convention. 494 Lihat, Article 51 (1) ICSID Convention. 495 Article 36 (1) UNCITRAL Arbtration Rules tentang Correction of the Award antara lain

menyebutkan: “...either party, with notice to the other party, may request the arbitral tribunal to correct in the award any errors in computation, any clerical or typographical errors, or any errors of similar nature. The arbitral tribunal may within thirty days after the communication of the award make such corrections on its own initiative.” Memperhatikan substansi norma tentang koreksi putusan di dalam Art. 51 ICSID dan Art. 36 UNCITRAL Arbitration Rules, dapat dipahami bahwa koreksi atau revisi terhadap putusan arbitrase dapat dimintakan oleh salah satu pihak apabila putusan diketahui mengandung kesalahan atau kekeliruan (error) mengenai: (i) errors in computation (kesalahan perhitungan jumlah atau salah taksir) (ii) any clerical or typographical errors (salah penulisan kata atau salah pengetikan); dan (iii) or any errors of similar nature (atau kesalahan yang sama sifatnya dengan kesalahan yang disebut terdahulu). Bahkan Mahkamah Arbitrase atas inisiatif sendiri memiliki wewenang secara ex officio untuk melakukan koreksi walau tanpa ada permintaan dari salah satu pihak yang bersengketa. Hal itu dapat dilakukan sekiranya Mahkamah Arbitrase menyadari ada kesalahan-kesalahan dimaksud. Lihat, Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 268-269.

Page 302: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

285

saja terjadi salah satu pihak menemukan kesalahan di dalam putusan yang

secara meyakinkan sangat mempengaruhi isi putusan. Dalam keadaan

semacam itu salah satu pihak dapat menjadikan kesalahan dalam putusan

sebagai dasar untuk mengajukan koreksi. Kaidah hukum arbitrase mengatur

tentang permohonan untuk melakukan koreksi putusan yang dapat diajukan

kepada arbiter atau majelis arbitrase dalam waktu paling lama 14 (empat

belas) hari setelah putusan diterima oleh para pihak.496 Sedangkan mengenai

interpretasi putusan (interpretation of the award), kaidah hukum arbitrase

sama sekali tidak mengatur.

Berdasarkan penelusuran informasi, diketahui ternyata tidak semua

peraturan prosedur arbitrase (rules of arbitral procedure) mengatur

mengenai interpretasi putusan. Sebagai contoh Rv, BANI Rules, serta

Undang-undang Arbitrase Noor 30 Tahun 1999 tidak mengatur masalah

interpretasi putusan. Sedangkan BANI Rules dan Undang-undang Arbitrase

juga tidak membuka peluang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan

banding, kasasi, maupun peninjauan kembali untuk putusan arbitrase.

Putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap

serta mengikat para pihak itu apabila ternyata mengandung kesalahan atau

kekeliruan (error) diberi jalan keluar melalui permohonan koreksi putusan

yang dapat diajukan para pihak. Hal itu amat penting, terutama apabila salah

496 Periksa, Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999.

Page 303: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

286

satu pihak yang bersengketa menemukan kesalahan di dalam putusan yang

secara meyakinkan sangat mempengaruhi isi putusan.

BANI Rules menyediakan norma yang dapat digunakan oleh

termohon (respondent) untuk mengajukan perlawanan (request for

opposition).497 Perlawanan dapat diajukan terhadap putusan yang

mengabulkan tuntutan pemohon (claimant) yang dijatuhkan dalam

pemeriksaan tanpa dihadiri termohon (respondent). Sedangkan Undang-

undang Arbitrase selain memberi kesempatan para pihak untuk mengajukan

permohonan koreksi terhadap kekeliruan dalam putusan,498 para pihak juga

dimungkinkan untuk mengajukan pembatalan putusan (annulment of an

arbitration award).499 Permohonan pembatalan harus diajukan secara

tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri. Terhadap putusan pengadilan

negeri mengenai pembatalan putusan arbitrase itulah permohonan banding

497 Perlawanan diajukan dengan cara yang sama seperti yang berlaku untuk mengajukan

permohonan untuk mengadakan arbitrase, kecuali bahwa tidak perlu membayar beaya-beaya pendaftaran dan administrasi/pemeriksaan; [Lihat, Pasal 12 ayat (3) BANI Rules]. Perlawanan diajukan termohon dalam waktu empat belas hari setelah putusan diberitahukan kepadanya; [Pasal 12 ayat (2) BANI Rules].

498 Lihat, Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999. 499 Permohonan pembatalan putusan arbitrase (annulment of an arbitration award) dapat

diajukan para pihak, apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 Undang-undang Arbitrase, yaitu: (a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; (b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; (c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri; [Lihat, Pasal 72 ayat (1) UU Arbitrase].

Page 304: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

287

dapat diajukan ke Mahkamah Agung yang akan memutus dalam tingkat

pertama dan terakhir.

Di samping pengaturan yang memperlakukan putusan arbitrase

semacam itu, di dalam praktik berkembang pula bentuk-bentuk pemaknaan

atau penafsiran terhadap putusan arbitrase berdasarkan sudut pandang

masing-masing pihak. Hal itu berkembang karena tanpa disadari undang-

undang arbitrase telah menghadirkan ambiguitas dalam arti pemberian

makna atau penafsiran yang lebih dari satu terhadap status putusan arbitrase.

Betapa tidak, pada satu sisi putusan arbitrase tegas dinyatakan “bersifat

final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak.”

Susunan serta isi putusan arbitrase pun ditentukan sama dengan susunan dan

isi putusan hakim. Bahkan putusan arbitrase pun harus memuat kepala

putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.” Maka sebenarnya tidak ada keraguan lagi terhadap putusan

arbitrase yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase berdasarkan

ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, telah

mempunyai kekuatan eksekutorial.

Berdasarkan unsur-unsur yang disebutkan di muka, tidak dapat

dipungkiri kalau putusan arbitrase sesungguhnya telah memiliki kedudukan

sejajar serta kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim. Namun

demikian, pada sisi lain norma hukum arbitrase juga menganut standar

Page 305: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

288

ganda. Putusan arbitrase yang telah jelas kedudukan, status keberadaan,

serta kekuatan hukumnya, secara tegas diposisikan sebagai putusan yang

masih sangat tergantung pada kewenangan pengadilan negeri. Sejumlah

indikasi mengenai hal tersebut sangat mudah dijumpai dalam undang-

undang arbitrase. Beberapa diantaranya sebagai berikut. Pertama, putusan

arbitrase nasional maupun internasional yang hendak dilaksanakan,

disyaratkan terlebih dahulu lembar asli atau salinan otentik putusan tersebut

untuk diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera

Pengadilan Negeri. Khusus untuk putusan arbitrase internasional hal itu

harus dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua, putusan

arbitrase nasional yang tidak memenuhi ketentuan penyerahan dan

pendaftaran putusan, berakibat putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Ketiga, putusan arbitrase nasional yang tidak dilaksanakan secara sukarela

oleh para pihak, putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak. Keempat, khusus

untuk putusan arbitrase internasional, putusan dapat dilaksanakan di

Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat.

Menyimak keempat indikator di muka tidak ada keraguan sama

sekali kalau putusan arbitrase secara normatif sesungguhnya telah

ditempatkan dalam posisi tidak sejajar dengan putusan hakim. Itu berarti

Page 306: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

289

kaidah hukum arbitrase telah mengukuhkan ambivalensi norma. Disadari

atau tidak norma semacam itu telah membawa akibat yang cukup serius

terhadap status hukum serta eksistensi putusan arbitrase. Oleh karena di satu

sisi, para pihak yang bersengketa menganggap putusan arbitrase sebagai

putusan yang final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat

mereka. Sangat wajar dan beralasan apabila pihak-pihak menganggap

putusan semacam itu telah memiliki kekuatan eksekutorial atau kekuatan

untuk dieksekusi. Sedangkan pengadilan negeri menguji putusan arbitrase

dengan menggunakan keempat indikator seperti yang diutarakan di muka.

Hasilnya, telah dapat diduga, yaitu bahwa putusan arbitrase untuk dapat

dieksekusi masih memerlukan keterlibatan kewenangan pengadilan negeri.

Perbedaan sudut padang antara pihak-pihak bersengketa dengan

pihak pengadilan seperti itu akan terus menerus merupakan suatu divergensi

sikap yang tidak pernah akan berakhir. Oleh karena itu, untuk menciptakan

kedua kubu pandangan menjadi konvergen, perlu diupayakan solusi terbaik

melalui cara-cara normatif pula, sebab kondisi itu pun tercipta sebagai

akibat norma yang ambivalen. Upaya yang harus dilakukan dan sekaligus

juga harus dipositifkan di dalam undang-undang arbitrase di antaranya:

(i) Forum arbitrase harus dikukuhkan kemadirian serta kewenangannya

sebagai salah satu lembaga pemeriksa dan pemutus sengketa

komersial atau sengketa perdagangan di luar lembaga pengadilan

Page 307: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

290

negeri. Akan tetapi upaya tersebut hendaknya tidak dilakukan

separuh hati sebagaimana yang telah terjadi.

(ii) Berbagai anasir yang dapat mengurangi kedudukan serta wibawa

forum arbitrase semestinya dihapuskan. Oleh karena itu, sudah

saatnya dependensi forum arbitrase terhadap kompetensi pengadilan

negeri dilepaskan sama sekali, sebab hal tersebut langsung atau pun

tidak telah berdampak sangat merugikan eksistensi forum arbitrase

sendiri.

(iii) Terhadap sejumlah pasal di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun

1999 yang telah mencitrakan forum arbitrase tersubordinasikan di

bawah kewenangan pengadilan merupakan conditio sine qua non

untuk dilakukan perubahan atau amandemen. Demikian pula

terhadap pasal yang nyata-nyata telah memandulkan peran dan

fungsi forum arbitrase. Pasal-pasal dimaksud antara lain dapat

disebutkan berikut ini: Pasal 59 ayat (1 sampai dengan 5), Pasal 61,

Pasal 62 ayat (1 sampai dengan 3), Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65,

Pasal 66 huruf d, Pasal 67 ayat (1 dan 2), Pasal 68 ayat (1 sampai

dengan 3), Pasal 69 ayat(1), Pasal 70, pasal 71, dan Pasal 72.

(iv) Putusan arbitrase yang dijatuhkan dimana pun, baik nasional maupun

internasional seyogianya tidak harus didaftarkan dan diserahkan atau

dimintakan eksekuatur dari pengadilan negeri. Persoalannya, cara-

Page 308: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

291

cara tersebut telah sangat jelas membuktikan bahwa kewenangan

pengadilan negeri untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap

mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, terkesan telah

mensubordinasikan putusan-putusan arbitrase di bawah kompetensi

pengadilan negeri.

C. Diskresi Hakim dalam Masalah Eksekuatur Putusan Arbitrase

Sebagaimana diketahui bahwa diskresi (discretion) adalah suatu

istilah dalam konteks pelaksanaan kebijaksanaan (policy) yang memiliki

multi makna. Lawrence M. Friedman,500 antara lain mengemukakan

“Discretion commonly refers to a case where a person, subject to a rule,

has power to choose between alternative courses of action.” Oleh karena

itu, diskresi merupakan fenomena yang amat penting dan fundamental,

terutama di dalam hal implementasi kebijaksanaan pemerintah. Dalam

kaitan itu Jeffery Jowell mengatakan:“Discretion as the room for decisional

manoeuvre possessed by a decision maker.” 501

Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada prinsipnya

adalah anggota birokrasi badan peradilan yang diberi kebebasan dalam

500 “Discretion is a term with many meaning.” Lihat, Lawrence M. Friedman, The

Legal...Op. Cit., h. 32. 501 Lihat, Esmi Warassih, ‘Kegunaan Telaah “Kebijaksanaan Publik” Terhadap Peranan

Hukum di dalam Masyarakat Dewasa ini (Sebuah Pengantar); dalam Masalah-Masalah Hukum No. 11 Tahun 1994, h. 23.

Page 309: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

292

mengekspresikan kewenangannya. Namun kebebasan tersebut sifatnya tidak

mutlak, karena kekuasaan kehakiman juga dipengaruhi oleh sistem

pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya.502 Di

Indonesia, sampai dengan tahun 1999, hakim berada di dalam alur birokrasi

peradilan yang secara hirarkis kewenangannya cukup unik. Dikatakan unik

karena penanganan kekuasaan kehakiman dilakukan secara dualisme

hirarkis. Di satu sisi hirarki badan peradilan berpuncak pada Mahkamah

Agung, yang melakukan pembinaan teknis yustisi kepada para hakim

pengadilan-pengadilan rendahan. Sedangkan pada sisi lain, tugas pembinaan

bidang organisatoris, administratif, dan finansial (keuangan) badan

peradilan dilakukan oleh Departemen Kehakiman. Keadaan tersebut secara

normatif sekarang telah diubah melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun

1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perubahan

tersebut dapat diketahui melalui norma berikut: “Badan-badan peradilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara organisatoris,

administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah

Agung.” 503 Itu berarti Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 merupakan

tonggak sejarah yang membawa perubahan birokrasi badan peradilan dari

502 Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum...Op. Cit., h. 113-114. 503 Lihat Pasal 11 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999.

Page 310: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

293

sistem hirarki dualisme pada masa yang lalu menuju sistem hirarki monisme

di masa mendatang.

Akan tetapi perubahan yang cukup mendasar terhadap birokrasi

badan peradilan tidak serta merta mengubah status para hakim sebagai

bagian dari birokrasi peradilan. Artinya, baik dalam sistem hirarki dualisme

maupun hirarki monisme, status hakim tetap merupakan aparat birokrasi.504

Oleh karena itu, hakim adalah birokrat yang menjalankan tugas-tugas negara

dalam organisasi kekuasaan kehakiman. Dalam menjalankan aktivitasnya,

para birokrat mempunyai suatu kebebasan untuk membuat kebijaksanaan

tertentu yang mengenai aspek yuridis disebut sebagai “freies ermessen”

atau “pouvoir discretionnaire.” 505 Berkenaan dengan hal tersebut, Francis

E. Rauke506 dalam bukunya ”Bureaucracy, Politics and Public Policy,”

menggambarkan bahwa: “Discretion refers to the ability of an

administrator to choose among alternative to decide in effect law the

policies of the government should be implemented in spesific case.” Jadi,

kewenangan yang dimiliki seorang hakim untuk melakukan pilihan dalam

memutuskan berdasarkan kebijaksanaan tertentu ketika menangani kasus-

504 Yahya Muhaimin, dalam bukunya “Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru”

(1990:23), merumuskan birokrasi sebagai “keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah dan mereka yang menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.” Lihat dalam Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, h. 144.

505 Esmi Warassih, ‘Kegunaan Telaah...Op. Cit., h. 23. 506 Esmi Warassih, Loc. Cit.,

Page 311: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

294

kasus yang dihadapkan kepadanya, dinamakan kewenangan diskresioner

hakim (diskresi hakim). Kewenangan diskresioner bermakna: “Kewenangan

untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang

dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang

dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala

pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan.” 507 Berkaitan dengan

pembahasan mengenai diskresi hakim, kemudian muncul pertanyaan,

benarkah pemberian eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional

tergolong diskresi hakim?

Eksekuatur (exequatur) itu sendiri berarti penetapan yang

dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (KPN) yang berisi perintah

eksekusi agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan. Undang-undang

Arbitrase menunjuk KPN Jakarta Pusat sebagai pejabat yang memiliki

kewenangan untuk mengeluarkan penetapan eksekuatur terhadap putusan

arbitrase internasional yang akan dieksekusi di Indonesia. Berdasarkan

makna eksekuatur tersebut, dapat dipahami betapa kewenangan yang

diberikan undang-undang kepada KPN demikian besar dalam menentukan

suatu putusan arbitrase internasional dapat atau tidak dieksekusi. Bahkan

KPN seakan memiliki kewenangan penuh untuk menilai benar atau tidak

507 Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

2000, h. 12.

Page 312: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

295

suatu putusan arbitrase yang dijatuhkan. Dalam rangka melaksanakan

kewenangan, fungsi, serta tanggung jawab semacam itu, maka para hakim,

teristimewa KPN Jakarta Pusat sebagai pejabat yang berwenang memberi

eksekuatur, dituntut untuk memiliki wawasan serta pemahaman yang

komprehensif mengenai ruang lingkup permasalahan hukum arbitrase.

Seandainya sinyalemen Priyatna Abdurrasyid bahwa 99,9 persen

hakim tidak mengerti mengenai hukum arbitrase itu benar adanya, maka

akan sangat berdampak tidak menguntungkan terhadap pihak-pihak yang

bersengketa pada forum arbitrase asing. Oleh karena apabila hakim atau

KPN kurang atau bahkan tidak menguasai dengan saksama kaidah hukum

arbitrase, akan sulit untuk dapat melaksanakan kewenangan diskresioner

dalam memberikan eksekuatur. Dampaknya, putusan arbitrase internasional

akan sulit memperoleh eksekuatur di Indonesia, sehingga bagi setiap hakim

lebih-lebih KPN Jakarta Pusat sebagai pemegang otoritas eksekuatur

merupakan conditio sine qua non untuk benar-benar menguasai serta

memahami kaidah hukum arbitrase secara utuh menyeluruh.

Aharon Barak508 menyebut kewenangan diskresioner seorang hakim

dengan istilah “judicial discretion,” yaitu “the power given to the judge to

508 “…these options may refer to three matters. The first is the fact. Judicial discretion

chooses from among the set of facts those that it deems necessary for making a decision in the conflict. The second area is the application of a given norm. Judicial discretion selects from among the different methods of application that the norm provides the one that it finds appropriate. The third area of discretion chooses from

Page 313: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

296

choose from among a number of possibilities, each of them lawful in the

context of the system.” Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa para

hakim dalam menjalankan tugas-tugas judicial diberi kekuasaan (power)

dan kewenangan (authority) untuk melakukan pilihan terhadap sejumlah

alternatif dalam menerapkan norma di antara berbagai kemungkinan.

Selanjutnya Barak509 mengatakan: ”the power the law gives the judge to

choose among several alternatives, each of them being lawful or to choose

among a number of lawful options.” Adapun yang dimaksud dengan

“options” dalam pernyataan itu pada prinsipnya merujuk pada tiga

persoalan,510 yaitu: Pertama, ”Judicial discretion chooses from among the

set of facts those that it deems necessary for making a decision in the

conflict.” Kedua, “Judicial discretion selects from among the different

methods of application that the norm provides the one that it finds

appropriate.” Ketiga,“Judicial discretion chooses from among the

normative possibilities the option that it deems appropriate.” Jadi, objek

diskresi hakim pada prinsipnya meliputi fakta, kemudian penerapan norma,

serta norma itu sendiri. Berdasarkan ketiga faktor di muka, maka

among the normative possibilities the option that it deems appropriate.” Lihat, Aharon Barak, Judicial Discretion. New York: Yale University Press, 1989, h. 12-13.

509 Lihat, Aharon Barak, Judicial... Op. Cit., h. 7 & 12. 510 Loc. Cit., h. 13.

Page 314: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

297

pemberian eksekuatur terhadap putusan arbitrase termasuk ke dalam opsi

kedua yakni berkenaan dengan penerapan norma terhadap fakta.

Adapun hakikat pemberian eksekuatur adalah berupa penelitian

saksama mengenai putusan arbitrase apakah putusan tersebut sudah benar,

tepat, dan tidak mengandung cacat yuridis. Dalam melaksanakan fungsi

serta kewenangan tersebut, agar tidak bertindak melampaui batas, otoritas

KPN dibatasi oleh rambu-rambu sebagai berikut:511

1) Bahwa pemberian eksekuatur itu bukan pemeriksaan banding,

sehingga KPN tidak memiliki hak atau kewenangan untuk

meneliti dan memeriksa ulang sengketa secara keseluruhan;

2) Pemberian eksekuatur juga bukan merupakan tindakan fungsi

pengawasan. Dalam kaitan ini, KPN tidak berwenang menilai

kecakapan dan kredibilitas anggota arbiter. KPN juga tidak

berwenang memberi tafsiran, mengoreksi atau merevisi putusan;

3) Kewenangan penelitian dalam rangka memberikan eksekuatur

bersifat formal. Artinya, KPN pada prinsipnya tidak dibenarkan

menilai dan meneliti materi putusan yang akan memberi kesan

sebagai pemeriksaan banding atau kasasi.

511 Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 306-308.

Page 315: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

298

Seperti telah diutarakan bahwa pada prinsipnya dalam pemberian

eksekuatur KPN tidak berwenang memeriksa dan menilai benar tidaknya

materi putusan arbitrase. Akan tetapi, terhadap prinsip tersebut dikenal ada

pengecualian. Setidaknya ada dua hal yang dikecualikan, sehingga dalam

rangka melakukan penelitian pemberian eksekuatur KPN Jakarta Pusat

boleh menilai segi-segi materi putusan arbitrase. Pertama, apakah materi

putusan arbitrase tidak melampaui batas yang dibenarkan hukum dan

perundang-undangan. Kedua, apakah putusan arbitrase tersebut tidak

bertentangan dengan ketertiban umum (public policy).512

Materi putusan arbitrase dianggap melampaui batas yang dibenarkan

hukum dan perundang-undangan apabila forum arbitrase telah memeriksa

dan memutus kasus-kasus sengketa yang secara mutlak tidak termasuk

jurisdiksi arbitrase. Sedangkan Undang-undang Arbitrase telah secara

limitatif menetapkan sengketa yang termasuk dalam jurisdiksi arbitrase.

Sengketa tersebut “...hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai

hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” 513 Oleh karena itu, di luar jenis

512 Article V (2) New York Convention 1958, antara lain menyebutkan: “The recognition

and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that: (b) The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.”

513 Periksa Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999. Bandingkan dengan yang ditetapkan dalam Article 1 (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial

Page 316: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

299

sengketa yang disebutkan dalam undang-undang arbitrase, kewenangan

memeriksa dan memutus sengketa tersebut mutlak merupakan jurisdiksi

pengadilan. Berikut ini beberapa contoh sengketa yang menurut hukum

Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase:514 (i) pembatalan

perkawinan, (ii) pemisahan harta kekayaan, (iii) perceraian, (iv) pemisahan

meja dan tempat tidur, (v) keabsahan anak, (vi) pembuktian anak sah.

Apabila terjadi perjanjian arbitrase menyangkut bidang-bidang tersebut,

akibatnya perjanjian arbitrase semacam itu diancam batal demi hukum (null

and void). Dalam hal materi putusan arbitrase menyangkut salah satu bidang

yang disebutkan di muka, maka dalam rangka pemberian eksekuatur, KPN

Jakarta Pusat dapat melakukan penelitian bidang formal sekaligus materiil

karena putusan arbitrase dimaksud telah mengandung pelanggaran hukum

materiil.

Berkaitan dengan persoalan ketertiban umum (public policy), KPN

Jakarta Pusat dalam konteks pemberian eksekuatur juga dapat menilai

materi putusan arbitrase. Penilaian dilakukan terhadap setiap putusan

arbitrase internasional yang dimintakan untuk dieksekusi di Indonesia,

apakah putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak.

Arbitration: “This Law applies to international commercial arbitration, subject to any agreement to force between this Sate and any other State or States.”

514 Pasal-Pasal 85, 186, 207, 233, 250, 261 BW dan Pasal 25 jo Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 22 PP No. 9 Tahun 1975, jo Pasal 66 ayat (1) dan Pasal 75 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989. Lihat, M. Yahya Harahap, Arbitrase...Op. Cit., h. 321.

Page 317: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

300

Sebagaimana diketahui istilah ketertiban umum (public policy) memiliki

banyak makna.515 Meskipun ketertiban umum merupakan asas yang bersifat

universal tetapi di berbagai negara penyebutannya dikenal dengan berbagai

macam istilah.516 Tidak hanya penyebutan istilah yang beraneka ragam,

bahkan ukuran nilai ketertiban umum antara satu bangsa dengan bangsa lain

juga sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak ada makna ketertiban umum

yang pasti tetap berlaku untuk segala zaman dan waktu. Melainkan faktor

tempat dan waktu juga sangat berpengaruh terhadap konsep ketertiban

umum. Berkaitan dengan hal tersebut, Kollewijn517 dalam disertasinya

mengutarakan antara lain sebagai berikut: “Zo bleek het ten slotte niet

mogelijk het recht van openbare orde te bepalen. Wij konden konstateren

wanneer en op welke wijze theoretici en rechters zich op de openbare orde

beriepen, maar konden de inhoud der openbare orde niet definieren.”

515 Ketertiban umum memiliki makna yang sangat beragam, seperti dapat disimak berikut

ini: “(i) ketertiban umum diartikan sebagai ketertiban dan kesejahteraan, keamanan; (ii) ketertiban umum sebagai pasangan dari istilah “kesusilaan baik” (goede zeden) seperti diketahui dari Pasal 1337 BW; (iii) ketertiban umum diartikan pula sebagai ketertiban hukum (rechtsorde); (iv) dalam beberapa hal ketertiban umum juga bermakna keadilan; (v) dan kadang-kadang diartikan pula bahwa hakim diwajibkan mempergunakan pasal-pasal Undang-undang tertentu.” Lihat, Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional; (HPI) Buku Ke 4. Bandung: Alumni, 1989, h. 56-57.

516 Belanda menyebut istilah ketertiban umum dengan “openbare orde”, Perancis memakai istilah “ordre public,” Jerman menyebut dengan istilah “Vorbehaltklausel,” sedangkan negara-negara Anglo Saxon memakai istilah “public policy,” Italia menyebut dengan istilah “ordine publico,” dan Spanyol memakai istilah “orden publico.” Baca, Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional (HPI); Buku ke 4... Loc. Cit., h. 3.

517 R.D. Kollewijn, “Het beginsel der openbare orde in het international privaatrecht.” Dissertasi, Leiden, 1917; dalam Sudargo Gautama, HPI-Buku ke 4...Loc. Cit., h. 138.

Page 318: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

301

Adalah tidak mungkin memastikan hukum yang bersifat ketertiban umum.

Hanya mungkin untuk mengkonstatir mengenai kapan dan dengan cara

bagaimana para sarjana serta para hakim mempergunakan ketertiban umum,

sedangkan substansi ketertiban umum itu sendiri tidak dapat dirumuskan.

Konsep ketertiban umum itu memang tidak pasti serta latent adanya,

selalu berubah-ubah menurut penentuan serta apresiasi hakim yang harus

melaksanakannya. Oleh karena itu pula, Kollewijn sebagaimana dikutip

Gautama selanjutnya mengatakan bahwa “hakim tidak mempergunakan

ketertiban umum karena suatu ketentuan hukum dari negaranya bersifat

ketertiban umum, melainkan karena ia (hakim) menganggap ketertiban

umum harus dipergunakan, maka hakim menyebutkan kaidah bersangkutan

bersifat ketertiban umum.”518 Dari konteks pernyataan tersebut tampak

sekali betapa peran hakim demikian besar dalam penentuan substansi

ketertiban umum.

Jadi, kewenangan menilai suatu putusan arbitrase internasional

apakah dianggap bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, termasuk

dalam kewenangan seorang hakim yang tergolong kewenangan diskresioner

518 S. Gautama mengutip pernyataan Kollewijn antara lain sebagai berikut: “Niet omdat

een rechtsbepaling van zijn staat van openbare orde was, paste de rechter haar toe, maar omdat hij haar, op welke grond dan ook toepasselijk achtte, noemde hij haar van openbare orde.” Lihat, S. Gautama, HPI; Buku ke 4...Op. Cit., h. 137.

Page 319: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

302

(judicial discretion). Kewenangan semacam itu menurut Aharon Barak519

tergolong pada “the application of a given norm” karena menyangkut “the

choice among a number of alternative ways of applying a norm to a given

set of facts.” Hal tersebut disebabkan norma hukum merupakan sesuatu

yang abstrak, sehingga hanya hakim pengadilan yang memiliki otoritas atau

kewenangan untuk menerjemahkan520 atau menafsirkan setiap norma yang

akan diterapkan pada kasus-kasus yang dihadapkan kepadanya. Maka di

dalam menentukan isi dan makna ketertiban umum secara konkret

berdasarkan peristiwa demi peristiwa, peran hakim521 demikian besar.

Bahkan dalam menjalankan kewenangan diskresioner tersebut, acapkali

kewenangan hakim tidak mudah diduga. Hal itu pernah terjadi dalam kasus

pemberian eksekuatur terhadap Putusan Badan Arbitrase Gula “The Council

of The Refined Sugar Association” yang berkedudukan di London dalam

sengketa antara Yani Haryanto (importir Indonesia) lawan E.D. & F. MAN

519 “…Frequently, a legal norm gives the judge the power to choose among different

courses of action that are fixed in its framework. This grant of authority may be explicit, as when the norm is actually phrased in terms of discretion. The grant may also be implicit, such as when the norm refers to a stand ard (for example, negligence or reasonableness) or to a goal (such as the defense of the state, public order, the best interests of the child).” Lihat, Aharon Barak, Judicial...Op. Cit., h. 14.

520 Berkaitan dengan persoalan penafsiran atas norma-norma hukum, Justice Sussman mengemukakan sebagaimana dikutip Barak di dalam Bukunya: “The law is an abstract norm and only the judgment of the court translates the rule of the legislature into an obligatory act that is enforced on the public. The judge gives the law its real and concrete form. Therefore one can say that the statute ultimately crystallizes in the shape the judge gives it.” Aharon Barak, Loc. Cit., h. 14.

521 “The judge has wide discretion in this respect...” S. Gautama, HPI; Buku ke 4... Op. Cit., h. 140.

Page 320: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

303

Sugar Ltd. London.522 Akan tetapi, penetapan eksekuatur tersebut tidak

lama kemudian dibatalkan.

Kasus tersebut cukup menarik serta mendapat perhatian karena

Mahkamah Agung dinilai tidak konsisten dan Hukum Indonesia gampang

bergoyang.523 Pada awalnya MA mengabulkan permohonan eksekuatur

terhadap putusan arbitrase asing dalam kasus kontrak dagang internasional

jual beli gula pasir itu, akan tetapi ternyata kemudian melalui putusan kasasi

MA membatalkan penetapan tersebut. Majelis Hakim Agung yang

menangani kasus tersebut menggunakan alasan ketertiban umum di

Indonesia sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase asing dimaksud.

Selengkapnya alasan itu dapat disimak berikut ini, “..karena ternyata

putusan didasarkan kepada kontrak yang mempunyai causa yang dilarang di

Indonesia, sehingga bertentangan dengan Ketertiban Hukum di Indonesia,

maka putusan tersebut tidak mempunyai daya mengikat.”524

D. Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Penegakan Keadilan

Eksekusi putusan arbitrase merupakan elemen yang amat penting

dalam keseluruhan rangkaian proses penyelesaian sengketa melalui forum

522 Selengkapnya kasus posisi dari sengketa ini dapat dibaca dalam “Pembatalan Kontrak

Dagang Internasional Dewan Arbitrase Dikesampingkan;” dalam Varia Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992, h. 5-43.

523 ‘Mahkamah Agung Meralat Gengsi;’ dalam Tempo, 21 Maret 1992, h. 28. 524 “Pembatalan...”; Varia Peradilan...Op. Cit., h. 12. Bdgk. Huala Adolf, “Pembatalan

Putusan Arbitrase Asing;” dalam Kompas, Jumat, 29 Mei 1992.

Page 321: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

304

arbitrase. Oleh karena yang lebih penting bagi pencari keadilan bukan

sekedar minta putusan yang seadil-adilnya, melainkan putusan tersebut

dapat dilaksanakan apabila perkaranya dimenangkan. Apa artinya sebuah

putusan bagi seseorang yang dimenangkan, tetapi kemudian tidak dapat

dieksekusi. Hanya akan dikatakan menang di atas kertas. Dalam praktik,

eksekusi putusan arbitrase, terutama yang dibuat di luar negeri, sejak dahulu

selalu menghadapi hambatan. Sejumlah faktor diyakini menjadi penyebab,

sehingga permohonan eksekusi putusan arbitrase asing tidak pernah

mencerminkan penegakan keadilan. Beranjak dari fenomena tersebut,

melakukan kajian mengenai eksekusi putusan arbitrase dalam kerangka

penegakan keadilan dipandang masih cukup relevan serta tetap menarik

sampai sekarang ini.

Analisis mengenai hal itu akan dilakukan melalui tiga pembabakan.

Pertama, periode sebelum Indonesia mengesahkan “Convention on the

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.” Kemudian

Kedua, periode setelah Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981

tentang pengesahan Konvensi tersebut di atas, disusul dengan keluar

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tatacara

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Ketiga, periode sesudah berlaku

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Page 322: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

305

Penyelesaian Sengketa. Mengingat pada periode pertama terkait dengan

suatu masa ketika Tata Hukum di Indonesia masih dalam situasi kebijakan

hukum kolonial Belanda, maka dalam memaparkan periode itu tentu tidak

dapat dihindari akan bersinggungan dengan kaidah hukum yang berasal dari

masa Hindia Belanda.

1) Periode Sebelum Mengesahkan Konvensi New York

Lembaga arbitrase dikenal di Indonesia sejak masa kolonial Belanda.

Pengaturan arbitrase pada masa itu merupakan bagian dari hukum acara

perdata untuk Raad van Justitie yang diatur dalam Reglement op de

Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).525 Akan tetapi Rv sama sekali tidak

menyebut tentang arbitrase asing, sehingga tidak dikenal kaidah yang

mengatur pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase asing. Putusan arbitrase

asing analog dengan putusan hakim asing. Sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 436 Rv pada asasnya putusan hakim asing tidak dapat dieksekusi di

wilayah Indonesia, sehingga putusan arbitrase asing juga tidak dapat

dimohonkan eksekusi di wilayah Indonesia. Pada dekade delapan puluhan

pernah terjadi polemik antara Asikin Kusumah Atmadja ketika itu sebagai

Ketua Muda MA di satu pihak dengan Sudargo Gautama di lain pihak. Pada

525 Pasal 615 – 651 RV atau Reglement op de Rechtsvordering, atau judul lengkapnya

Reglement op de burgerlijke rechtsvordering voor de raden van justitie op Java en

Page 323: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

306

tahun 1927 Pemerintah Belanda menandatangani Konvensi Jenewa tentang

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri. Berdasarakan asas

konkordansi konvensi tersebut juga berlaku di wilayah Hindia Belanda.

Berlakunya konvensi itu setelah Indonesia merdeka kemudian menjadi

polemik kedua tokoh di muka. Asikin Kusumah Atmadja mempertanyakan,

apakah dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat dipakai

Voorzieningen voor Indonesie ter uitvoering van het verdrag nopens de

tenuitvoerlegging van in het buitenland gewezen scheidsrechterlijke

uitspraken van Sept. 1927; (KB van 17 Dec. 1932 No. 82); S. 1933 – 132 jo

133? Konvensi Jenewa yang berlaku secara nyata pada tanggal 28 April

1933 itu setelah Indonesia merdeka tidak berlaku lagi. Alasannya, Republik

Indonesia tidak pernah menyatakan secara tegas dan aktif untuk tetap terikat

pada konvensi tersebut.526 Sedangkan pada pihak lain, Sudargo Gautama

berpendapat bahwa Konvensi Jenewa 1927 masih berlaku untuk Indonesia.

Argumen yang dikemukakan Sudargo antara lain sebagai berikut:527

“...Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pasal peralihan telah dinyatakan bahwa berkenaan dengan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RI dihubungkan dengan Peraturan Presiden Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 zaman Yogyakarta, maka persetujuan-persetujuan internasional yang berlaku untuk wilayah RI pada saat penyerahan kedaulatan, tetap akan berlaku untuk RI. Dalam

het hooggerechtshof van Indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java en Madura - S. 1847 –52 jo 1849 – 63.

526 Asikin Kusumah Atmadja, “Konvensi/Ratifikasi dan Eksekusi Putusan Arbitrase;” Makalah Seminar Sehari. Kerjasama antara ALTRI-KADIN-BANI, Jakarta, 16 Nopember 1988, h. 2-4.

527 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986, h. 68.

Page 324: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

307

hal ini Konvensi Jenewa yang tercakup dalam Staatsblad 1933 No. 132 juga masih harus dianggap berlaku, kecuali apabila RI telah menyatakan secara tegas untuk tidak berlaku.”

Sebagai sintesa dari dua pendapat tokoh di muka, R. Subekti528

menyatakan: “sukar bagi pengadilan kita untuk memberlakukan konvensi

dalam soal pelaksanaan putusan arbitrase asing.” Alasan beliau didasari oleh

adanya pendirian Departemen Luar Negeri RI yang menyebut bahwa

perjanjian-perjanjian internasional yang dulu diadakan oleh Pemerintah

Hindia Belanda, tidak otomatis beralih kepada RI. Akan tetapi harus secara

tegas diperbaharui melalui pernyataan yang tegas (stelsel aktif).

Polemik di atas berimplikasi pada dataran praksis. Seperti dapat

disimak pada kasus berikut ini: London Arbitration Awards No. 1950,

tanggal 12 Juli 1978, kasus antara PT Nizwar Jakarta vs Navigation

Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski. Putusan arbitrase

tersebut dimintakan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Melalui Penetapan No.2288/1979 P., tanggal 10 Juni 1981 Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan pemohon. Artinya

putusan Arbitrase London itu dapat dieksekusi, sehingga PT Nizwar Jakarta

harus melaksanakan Putusan Arbitrase London Nomor 1950, tanggal 12 Juli

1978. Menanggapi penetapan PN Jakarta Pusat itu PT Nizwar selaku

528 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981, h. 29.

Page 325: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

308

termohon eksekusi mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Meski

menolak permohonan kasasi itu karena pemohon tidak mengajukan memori

kasasi, namun MA menyatakan bahwa permohonan pelaksanaan putusan

arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima.

Pertanyaannya kemudian, mengapa permohonan fiat eksekusi putusan

arbitrase London itu dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetapi

kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung?

Hal itu diduga terjadi di samping karena PN Jakarta Pusat dengan MA

berbeda sudut pandang, juga karena kedua institusi pemutus itu merujuk

instrumen hukum yang berlainan sebagai landasan pemutus. Ketika

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan yang

mengabulkan permohonan fiat eksekusi pihak Navigation Maritime

Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski, Indonesia belum mengesahkan

Konvensi New York 1958.529 Maka, salah satu pertimbangan PN Jakarta

Pusat menyebutkan Konvensi Jenewa 1927 masih berlaku, sehingga putusan

arbitrase yang diucapkan di London 12 Juli 1978 dapat dilaksanakan di

Indonesia. Selanjutnya menghukum PT Nizwar Jakarta untuk membayar

jumlah tertentu kepada Navigation Maritime Bulgare. Sementara itu,

pengesahan Konvensi New York dilakukan oleh Pemerintah RI dengan

529 Penetapan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan fiat eksekusi pemohon Navigation

Maritime Bulgare, varna, Blvd. Chervenoermeiski, dikeluarkan tanggal 10 Juni 1981.

Page 326: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

309

instrumen ratifikasi Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada

tanggal 5 Agustus 1981. Sedangkan ketika MA menerima permohonan

kasasi PT Nizwar Jakarta yang ditolak karena tidak mengajukan memori

kasasi, terjadi setelah Pemerintah RI mengesahkan Konvensi New York.

Maka pertimbangan MA dalam putusan Nomor 2944 K/Pdt/1983 tanggal 20

Agustus 1984, MA telah menyebut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun

1981 dan lampirannya tentang pengesahan “Convention on the Recognition

and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” masih harus ada peraturan

pelaksanaannya.530 Apabila dihubungkan dengan pendapat Asikin Kusumah

Atmadja di muka, sesungguhnya pendirian MA tidak berubah dan tetap

konsisten. Sejak semula Asikin Kusumah Atmadja, baik selaku pribadi

maupun sebagai Ketua Muda MA telah berpendirian bahwa Konvensi

Jenewa 1927 tidak berlaku lagi di Indonesia. Oleh karena itu, putusan

arbitrase asing tidak dapat dieksekusi di Indonesia. Jadi, ketika MA menolak

permohonan fiat eksekusi tentu saja tidak mengherankan. Kebetulan pula

Asikin Kusumah Atmadja ditunjuk sebagai Ketua Sidang Majelis Hakim

yang memeriksa dan memutus kasus tersebut.

530 Lihat, Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam...Op. Cit., h. 287-288.

Page 327: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

310

2) Periode setelah Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981

Setelah Pemerintah RI mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres)

Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengesahan Konvensi New York 1958,

banyak pihak menggantungkan harapan dengan disahkan konvensi tersebut

putusan arbitrase asing akan dapat dilaksanakan di Indonesia.531 Harapan

tersebut kiranya tidak berlebihan karena konvensi itu tegas menyebutkan

bahwa setiap negara penandatangan konvensi akan mengakui dan

melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat di negara lain yang bersama-

sama Indonesia terikat dalam Konvensi New York 1958. Di samping itu,

salah satu pensyaratan (reservation) yang dibuat Pemerintah RI sebagai

lampiran Keppres 34/1981 antara lain menyatakan “...The Government of

Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of

reciprocity, to the recognition and enforcement of awards made only in the

territory of another Contracting State...”. Oleh karena itu, sesungguhnya

telah cukup bagi Indonesia untuk dapat mengakui serta melaksanakan

putusan arbitrase asing. Namun demikian, praktik masih menunjukkan

sebaliknya. Seperti telah disebutkan di muka, Mahkamah Agung dalam

pertimbangan putusan perkara PT Nizwar menyatakan bahwa Keppres

531 “...many people believed that when Indonesia become a party to the New York

Convention a foreign arbitral award would be enforceable in Indonesia.” Lihat, Mulyana, et al., “Indonesia’s New Framework...”; dalam Mealey’s International Arbitration Report...Op. Cit., h. 23.

Page 328: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

311

34/1981 dan lampirannya tentang pengesahan “Convention on the

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” masih harus ada

peraturan pelaksanaannya. Apakah permohonan eksekusi putusan arbitrase

asing itu dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, kepada

pengadilan negeri yang mana ataukah diajukan melalui Mahkamah Agung.

Maksudnya untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak

mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di

Indonesia.

Tindakan ratifikasi Konvensi New York 1958 belum memberikan

jalan keluar dari masalah yang selama ini menghambat pelaksanaan putusan

arbitrase asing di Indonesia. Persoalan tersebut tetap tidak jelas sampai

dengan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun

1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.532 Sebagai

kaidah hukum acara, Perma No. 1/1990 antara lain menetapkan bahwa yang

diberi wewenang yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan

putusan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Artinya, pengadilan negeri yang relatif kompeten menangani masalah

tersebut adalah PN Jakarta Pusat. Oleh karena itu, putusan arbitrase asing

dapat dimintakan pelaksanaan setelah putusan tersebut dideponir di

Kepaniteraan PN Jakarta Pusat. Selanjutnya PN Jakarta Pusat dalam waktu

532 Ditetapkan tanggal 1 Maret 1990.

Page 329: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

312

selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterima

permohonan tersebut, mengirimkan berkas permohonan eksekusi itu kepada

Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung untuk memperoleh exequatur.

Setelah MA memberikan exequatur, pelaksanaan selanjutnya diserahkan

kepada KPN Jakarta Pusat. Apabila pelaksanaan putusan harus dilakukan di

wilayah hukum lain, maka putusan yang telah memperoleh exequatur

selanjutnya akan diserahkan kepada pengadilan negeri yang relatif

kompeten untuk melaksanakan putusan itu sesuai dengan pasal 195 HIR/206

ayat (2) Rbg.

Dalam periode ini juga dapat disaksikan paling tidak ada dua

putusan arbitrase asing yang ditolak permohonan eksekuaturnya untuk

pelaksanaan putusan tersebut oleh pengadilan negeri di Indonesia. Kedua

putusan tersebut adalah (1) Putusan Arbitrase London dalam perkara antara

Trading Corporation of Pakistan Ltd, melawan PT Bakrie & Brothers. (2)

Putusan Arbitrase London dalam kasus antara E.D. & F.MAN (SUGAR)

Ltd., melawan Yani Haryanto. Uraian tentang kasus posisi untuk putusan

yang pertama dapat disimak sebagai berikut:533

533 Uraian serta isi putusan selengkapnya sejak Pengadilan Negeri sampai dengan Mahkamah Agung dapat disimak di dalam Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam...Op. Cit., h. 289-319.

Page 330: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

313

Perkara antara Trading Corporation of Pakistan Ltd, pemohon

kasasi dahulu terbantah/pembanding melawan PT Bakrie & Brothers,

termohon kasasi dahulu pembantah/terbanding. Sengketa antara kedua belah

pihak telah diputus oleh Arbitrase dari Federation of Oils, Seeds and Fate

Association Ltd London No. 2282 tanggal 8 September 1981.

Putusan arbitrase tersebut kemudian oleh terbantah diajukan

permohonan eksekusinya melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Tanggal 13 Februari 1984 PN Jakarta Selatan mengeluarkan Ketetapan No.

22/48/JS/1983 untuk pendaftaran dan pelaksanaan Award of Arbitration dari

Federation of Oils, Seed and Fats Associations Limited No. 2282 tanggal 8

September 1981. Terhadap Ketetapan PN Jakarta Selatan itu pembantah,

dalam hal ini PT Bakrie & Brothers telah melakukan bantahan. Inti

bantahan didasarkan pada hal-hal antara lain sebagai berikut: (i) dalam

kasus ini negara-negara yang bersangkutan (Contracting States) adalah

Pakistan dan Indonesia, bukan Inggris dan Indonesia; (ii) prosedur

pengambilan putusan oleh badan arbitrase tersebut tidak mengindahkan rasa

keadilan dan kepatutan. Pembantah selaku pihak yang disebut pihak penjual

tidak didengar dan tidak diberi kesempatan membela diri mengapa

pelaksanaan kontrak sampai gagal.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan Nomor

64/Pdt/G/1984/PN.Jkt.Sel, mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:

Page 331: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

314

(i) majelis menganggap bahwa pembantah telah berhasil membuktikan dalil-

dalilnya dan karena itu harus dikabulkan; (ii) karena bantahan dikabulkan,

maka putusan Arbitrase London Nomor 2282 tersebut di atas harus

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk dieksekusi. Putusan PN

Jakarta Selatan itu kemudian dimohonkan Banding ke Pengadilan Tinggi

DKI Jakarta. Dalam putusan Nomor 512/PDT/1985/PT DKI, tanggal 23

Desember 1985 Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan PN Jakarta

Selatan tanggal 1 Nopember 1984 No. 64/Pdt/G/1984/PN.Jkt.Sel yang

dibanding tersebut.

Terbantah/pembanding, dalam hal ini Trading Corporation of

Pakistan Ltd., kemudian mengajukan kasasi atas putusan PT DKI tersebut di

atas. Dalam putusan Nomor 4231 K/Pdt/1986 tanggal 4 Mei 1988, Ketua

Sidang Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus

kasus tersebut mempertimbangkan antara lain: “bahwa berdasarkan apa

yang dipertimbangkan, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan

judex facti dalam perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau undang-

undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi:

Trading Corporation of Pakistan Limited tersebut harus ditolak.”

Memperhatikan rangkaian kasus di atas, dapatlah dipahami betapa banyak

faktor yang terkait dengan kemungkinan dapat atau tidaknya suatu putusan

arbitrase asing dilaksanakan di Indonesia. Oleh sebab itu, ternyata Peraturan

Page 332: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

315

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 sebagai peraturan pelaksanaan dari

Keppres 34/1981 dan lampirannya juga belum dapat menciptakan proses

dan prosedur yang sederhana dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase

asing di Indonesia.

Kasus berikut ini cukup heboh dan terkenal disebabkan oleh dua

faktor. Pertama, Mahkamah Agung untuk pertama kalinya memberikan

eksekuatur terhadap putusan arbitrase asing sejak MA mengeluarkan

PERMA 1/1990. Kedua, dalam waktu yang tidak terlalu lama penetapan

MA tentang pemberian eksekuatur itu kemudian dibatalkan sendiri melalui

putusan kasasi. Kasus ini dikenal dengan sebutan “Kasus Gula” karena

objek sengketa tersebut memang mengenai jual beli gula. Selengkapnya

rangkaian perjalanan permohonan eksekusi putusan arbitrase London dalam

perkara antara E.D. & F.MAN (SUGAR) Ltd., melawan Yani Haryanto,

dapat disimak berikut ini.

Pada tahun 1982 pengusaha Indonesia Yani Haryanto bertindak

sebagai pembeli mengadakan perjanjian jual beli gula dengan eksportir

Inggris E.D. & F, Man Sugar Ltd. Sugar quay London, sebagai penjual.

Perjanjian tersebut dituangkan dalam dua bentuk kontrak dagang, yaitu:

1) Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982

untuk jual beli gula sebanyak 300.000 metrik ton;

Page 333: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

316

2) Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Maret 1982

untuk jual beli gula sebanyak 100.000 metrik ton.

Kedua kontrak tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada

bulan Februari dan Maret 1982. Dalam kedua kontrak di atas para pihak

bersepakat bahwa segala sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian

jual beli gula ini, kedua belah pihak sepakat diselesaikan oleh suatu “Dewan

Arbitrase Gula” atau yang disebut “The Council of the Refened Sugar

Association” yang berkedudukan di London berdasarkan ketentuan dalam

The Rules of the Refened – Sugar Association Relating to Arbitration.

Pelaksanaan kontrak ternyata mengalami kegagalan karena Yani

Haryanto menolak melaksanakan perjanjian jual beli tersebut dengan alasan

bahwa import gula itu merupakan kewenangan BULOG (Badan Urusan

Logistik). Sedangkan perorangan tidak dibenarkan melakukan import gula.

Larangan itu tertuang di dalam (i) Keputusan Presiden (Keppres) No. 43

Tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971 tentang Kebijaksanaan Pemerintah dalam

bidang pengadaan beras, gula, dan lain-lain oleh BULOG; (ii) Keppres No.

39 Tahun 1978. Ketika perjanjian disepakati kedua belah pihak tidak

mengetahui kedua Keppres tersebut dan baru diketahui setelah perjanjian

hendak dilaksanakan. Atas dasar hal itu maka Yani Haryanto membatalkan

kedua perjanjian jual beli gula yang telah disepakatinya.

Page 334: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

317

Akibat tindakan Yani Haryanto membatalkan perjanjian jual beli

yang telah disepakati, maka E.D. & F. Man Sugar Ltd. sebagai pihak

eksportir gula di London menuntut ganti kerugian. Sengketa ini di Inggris

ditangani oleh The English High Court London. Kemudian The English

Court of Appeal London yang memberi putusan bahwa sesuai dengan

kontrak yang disepakati, maka yang berwenang menyelesaikan sengketa ini

adalah Dewan Arbitrase Gula yang disebut The Council of the Refened

Sugar Association di London. Walaupun penyelesaian sengketa itu

diperintahkan untuk diajukan kepada Dewan Arbitrase Gula tersebut tetapi

tidak sempat diajukan.

Pada pihak lain Yani Haryanto (sebagai Penggugat) mengajukan

gugatan perdata kepada E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (sebagai

Tergugat) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan

pelaksanaan perjanjian jual beli gula dimaksud. Dalil yang dikemukakan

Penggugat di dalam gugatan antara lain: “Karena ada larangan dari

pemerintah mengenai import gula oleh perorangan, artinya perjanjian jual

beli gula tersebut mengandung causa/sebab yang dilarang oleh peraturan,

sehingga menjadi batal demi hukum.”

Setelah melalui rangkaian pemeriksaan dan pembuktian, akhirnya

PN Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor 499/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST.

memutuskan memenangkan Yani Haryanto selaku Penggugat dan

Page 335: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

318

membatalkan dengan segala akibat hukumnya Contract for White Sugar No.

7458, tanggal 12 Februari 1982 dan Contract for White Sugar No. 7527,

tanggal 23 Maret 1982.

Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Jakarta telah menjatuhkan

putusan dalam perkara antara E.D. & F. Man Sugar Ltd., London

(Pembanding semula Tergugat) melawan Yani Haryanto (Terbanding

semula Penggugat). Melalui putusan No. 486/Pdt/1989/PT.DKI, tanggal 14

Oktober 1989 Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta

Pusat tanggal 29 Juni 1989 No. 499/Pdt/G/1988/PN.Jkt.Pst. yang

dimohonkan banding tersebut.

Tidak puas terhadap kedua putusan pengadilan rendahan

sebelumnya, E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (Pembanding semula

Tergugat) mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada

dasarnya Mahkamah Agung memberikan putusan No. 1205 K/Pdt/1990,

tanggal 4 Desember 1991 yang intinya menolak permohonan kasasi yang

diajukan oleh E.D. & F. Man Sugar Ltd., London.

Penolakan MA terhadap kasasi di atas barangkali tidak terlalu

istimewa. Yang menarik untuk dicermati adalah lima pertimbangan putusan

tersebut yang diakui sendiri oleh MA “pertimbangan dalam perkara ini

walaupun berlebihan,” antara lain sebagai berikut:

Page 336: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

319

� Mahkamah Agung mengaitkan masalah ini dengan Penetapan

Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991,

tanggal 1 Maret 1991, yang meskipun dalam perkara ini tidak

disinggung, akan tetapi hal tersebut bertalian erat dengan perkara

tersebut;

� Bahwa Penetapan tersebut di atas mengenai mengabulkan

permohonan exequatur terhadap putusan The Queen’s Council of

the English Bar di London, 17 November 1989;

� Bahwa suatu Penetapan exequatur hanya bersifat prima facie,

jadi penetapan tersebut tidak merupakan penilaian hukum

terhadap isi dari perjanjian yang dibuat;

� Bahwa suatu Penetapan exequatur ini hanya memberikan titel

eksekutorial bagi Putusan Arbitrase Asing tersebut, yang

pelaksanaannya tunduk kepada Hukum Acara di Indonesia;

� Bahwa karena itu, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung

dalam perkara ini, maka Penetapan Mahkamah Agung RI No.

1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991 tanggal 1 Maret 1991, menjadi

irrelevant untuk dilaksanakan.

Lima pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut di atas telah

menimbulkan berbagai komentar yang kontroversi pada berbagai kalangan

di masyarakat. Kontroversi terjadi terutama disebabkan oleh Penetapan

Page 337: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

320

Mahkamah Agung RI No. 1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret

1991, yang mengabulkan permohonan exequatur terhadap putusan The

Queen’s Council of the English Bar di London, 17 November 1989. Pada

awalnya penetapan itu disambut gembira oleh sejumlah kalangan sebagai

“sebuah keputusan berani di bidang hukum perdata yang telah diambil oleh

Mahkamah Agung.”534 Komentar yang bernada optimis berdatangan

ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA). Oleh karena dalam catatan

sejarah hukum perdata Indonesia, penetapan exequatur dari MA untuk

putusan arbitrase asing terhitung yang pertama kalinya. Setidaknya sejak

MA membuat peraturan tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing,

PERMA 1/1990, tanggal 1 Maret 1990. Menyusul Penetapan Mahkamah

Agung RI No. 1/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991 yang

mengabulkan permohonan exequatur, Wakil Ketua MA Purwoto S.

Gandasubrata535 mengemukakan pendapat bahwa, “Pelaksanaan putusan

arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dalam hal ini

tata hukum dan kepentingan nasional Indonesia.” Bagaimana pun hasilnya

nanti, putusan tersebut setidaknya menaikkan citra peradilan Indonesia di

534 “Gengsi Baru Mahkamah Agung;” dalam Tempo Nomor 2 Tahun XXII, 14 Maret

1992. 535 Tempo...Loc. Cit.,

Page 338: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

321

mata internasional. Penetapan itu juga sekaligus menunjukkan keseriusan

Indonesia sebagai anggota Konvensi New York 1958.

Akan tetapi ternyata tonggak baru MA sekaligus gengsi baru

pengadilan Indonesia itu tidak berumur lama. Putusan kasasi dalam kasus

E.D. & F. Man Sugar Ltd., London melawan Yani Haryanto di atas telah

memupuskan harapan pihak asing untuk dapat memperoleh hak-hak yang

telah diperjuangkan berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan berkontrak. Oleh

sebab itu tak pelak lagi putusan di atas mengundang komentar beragam dan

umumnya bernada mengkritik. Umpamanya, Tempo536 mengulas hal itu

dengan headline ”Mahkamah Agung Meralat Gengsi.” Di dalam ulasan

Tempo itu bahkan Wakil Ketua BANI, HJR Abubakar537 juga mengaku

tidak habis pikir atas putusan kasasi itu. Beliau mengatakan, “kalau sudah

dikeluarkan penetapan, berarti MA sudah menilai keputusan arbitrase asing

itu bisa dilaksanakan karena tak bertentangan dengan tata hukum

Indonesia.” Berbeda dengan komentar yang lain, Sudargo Gautama justru

berpendapat sebaliknya. Menurut Gautama “keputusan itu sudah tepat,

sebab kedua kontrak itu memang sudah dibatalkan oleh pengadilan di sini.

Lagi pula proses persidangan arbitrase di London tidak memenuhi

536 “Mahkamah Agung Meralat Gengsi;” dalam Tempo Nomor 3 Tahun XXII, 21 Maret

1992. 537 Tempo,...Loc. Cit.,

Page 339: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

322

persyaratan Konvensi New York 1958. Pihak Haryanto tidak pernah diberi

kesempatan untuk membela diri. Jadi, memang tidak ada yang dapat

dieksekusi.”

Sebagai Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Ali Said berpendapat

bahwa “penetapan exequatur itu menurut kuasa hukum Man mestinya tak

bisa dibanding apalagi kasasi – tidak berbeda dengan keputusan sela saja.

Oleh karena itu, adanya keputusan kasasi dengan sendirinya penetapan

exequatur sebelumnya tidak dapat dilaksanakan.”538 Kontroversi mengenai

pelaksanaan putusan arbitrase asing itu bagaimana pun telah mencitrakan

betapa pilihan forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase belum

berpihak pada penegakan keadilan. Apabila demikian faktanya, benar apa

yang dikatakan Rene David bahwa: It may happen hoewever that the loser

does not accept the award which has been rendered. He may contest the

validity of the award,... It is then necessary to go to a court; the losing

party may go to court to have the award set aside or reformed.539

Padahal bagi pihak-pihak yang bersengketa tidak terkecuali pihak

asing, dapat dilaksanakannya putusan yang telah diperoleh, sama dengan

memperoleh jaminan kepastian hukum atas hak-hak yang dituntut. Ini

538 Tempo,...Loc. Cit., 539 Rene David, Arbitration in International Trade. Kluwer Law Taxation Publisher,

1985, h. 361.

Page 340: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

323

merupakan masalah esensial, oleh karena bagi siapa pun, memakai metode

penyelesaian sengketa apa pun, dan dimana pun sengketa itu diputus, tidak

ada artinya sama sekali apabila tidak ada ada jaminan kepastian hukum

untuk merealisasikan hak-hak yang diperoleh. Bukan kemenangan semu di

atas kertas yang dicari pihak-pihak yang bersengketa, melainkan diperoleh

kembali hak yang mereka perjuangkan.

3) Periode sesudah berlaku Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS

tentu saja berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1

Tahun 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Akan

tetapi dalam beberapa hal substansi UU Arbitrase ternyata masih

mengukuhkan materi hukum yang berasal dari PERMA 1/1990. Ketentuan

tersebut di antaranya, Pasal 66 UU Abitrase substansinya sama persis

dengan Pasal 3 PERMA 1/1990. Kemudian Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase

juga sama dengan Pasal 5 ayat (4) PERMA 1/1990. Selebihnya tentu saja

UU Arbitrase mengatur lebih luas dan komprehensif, sehingga sangat

berbeda dengan PERMA 1/1990. Namun demikian perbedaan prinsipal di

antara keduanya tampak pada pengaturan tentang otoritas pemberi

eksekuatur. Menurut PERMA 1/1990 yang berwenang memberi eksekuatur

adalah Mahkamah Agung, sedangkan di dalam Undang-undang Arbitrase

Page 341: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

324

adalah KPN Jakarta Pusat. Dikecualikan apabila Republik Indonesia

menjadi salah satu pihak dalam sengketa, maka eksekuatur tetap merupakan

kewenangan Mahkamah Agung. Pengecualian tersebut sama sekali tidak

diatur di dalam PERMA 1/1990.

Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa pembuat Undang-undang

Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi eksekuatur

menggantikan Mahkamah Agung? Tidak dijumpai jawaban otentik dari

risalah penyusunan Undang-undang mengenai hal itu. Akan tetapi menurut

keterangan dari para informan diperoleh informasi yang cukup relevan

dalam konteks alasan penunjukan tersebut.

Para informan mengemukakan bahwa “hakim pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat diyakini sebagai figur yang sangat berpengalaman serta

memiliki kemampuan handal dalam menangani berbagai kasus yang

bernuansa transnasional termasuk dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase

asing, bila dibandingkan dengan para hakim di pengadilan lain di

Indonesia.”540 Kondisi semacam itu antara lain disebabkan karakter wilayah

Jakarta Pusat yang unik sekaligus rumit. Sebagai bagian dari Ibu Kota

Negara RI, wilayah Jakarta Pusat memiliki kompleksitas permasalahan,

skala aktivitas masyarakat yang sangat bervariasi dan berakselerasi tinggi,

540 Informasi ini diperoleh dari sejumlah informan. Diantaranya kalangan praktisi hukum

termasuk mantan hakim dan yang lainnya dari kalangan akademisi yang juga sebagai praktisi hukum) di Jakarta.

Page 342: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

325

serta populasi yang multi etnik dengan segala dinamikanya. Alasan itu

menurut para informan diperkirakan merupakan salah satu pertimbangan,

sehingga pembuat Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat

sebagai otoritas pemberi eksekuatur untuk pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase asing.

Sesudah berlaku UU Arbitrase 30/1999, permohonan eksekuatur

putusan arbitrase asing ternyata masih menjumpai beberapa hambatan,

sehingga hasilnya belum banyak berbeda dengan keadaan sebelumnya.

Permohonan eksekuatur di dalam praktik masih tidak mudah untuk

dikabulkan. Akibatnya, secara umum pelaksanaan putusan arbitrase baik

putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase internasional masih

sangat jarang terjadi. Hasil penelitian yang diadakan di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase

nasional yang didaftarkan untuk dilaksanakan, menunjukkan bahwa jumlah

putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan pada tahun 1999 menjadi

hanya enam putusan saja pada tahun 2001, walaupun perintah pelaksanaan

diberikan sembilan kali pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali pada

tahun 2000 dan 2001.541 Untuk mengetahui betapa susahnya putusan

arbitrase asing memperoleh eksekuatur dari pengadilan, paparan berikut ini

merupakan salah satu contohnya.

541 Mulyana, Loc. Cit.,

Page 343: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

326

Kasus antara Bankers Trust Company and Bankers Trust

International PLC (together BT) vs. PT Mayora Indah Tbk. (Mayora)542

mengenai“currency and interest rate swap transactions based on the

International Swaps and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement

tertanggal 25 April 1997. Sengketa tersebut diputus oleh arbitrator London

pada tahun 1999 berdasarkan the Rules of the London Court of International

Arbitration (“LCIA”) dan BT dimenangkan. Putusan tersebut menghukum

PT Mayora untuk membayar sejumlah uang kepada BT. Ketika permohonan

pelaksanaan putusan arbitrase London diajukan oleh pihak BT, Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk melaksanakan putusan

tersebut. Alasan penolakan disebutkan karena BT dan PT Mayora dalam

sengketa yang sama sedang dalam proses pada Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan (Putusan No. 46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999 yang

memenangkan PT Mayora). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan

bahwa dalam praktik pengadilan, acara pelaksanaan dari putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal ini putusan arbitrase asing)

harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, KPN Jakarta

Pusat menyatakan bahwa “apabila putusan arbitrase yang dibuat di London

542 Ibid., h. 26.

Page 344: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

327

dilaksanakan sementara masih menunggu putusan PN Jakarta Selatan, maka

hal itu dapat menghapuskan perjanjian pokok para pihak.” Berdasarkan

fakta tersebut, putusan arbitrase internasional akan membingungkan dan

akan bertentangan dengan ketertiban umum.

Setelah PT Mayora dimenangkan, BT kemudian mengajukan kasasi

ke Mahkamah Agung mengenai penetapan KPN Jakarta Pusat. Penetapan

Mahkamah Agung No. 02K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 tanggal 5 September

2000 menguatkan Penetapan KPN Jakarta Pusat tersebut dan menolak untuk

melaksanakan putusan arbitrase asing yang dimohonkan oleh BT.

Mahkamah Agung menyatakan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase asing

harus ditunda sampai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebaliknya, hal itu akan bertentangan

dengan tertib hukum acara.

Kesimpulan dari Mahkamah Agung akan dianggap sebagai putusan

yang tepat apabila kedua kasus antara pihak-pihak yang sama berkenaan

dengan sengketa yang sama dan tunduk pada jurisdiksi pengadilan. Dalam

keadaan seperti itu, putusan pengadilan akan mempunyai kekuatan hukum

tetap dan harus ditunda sampai dengan putusan pengadilan dalam kasus

yang sedang diperiksa juga mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan

pada kasus di atas, para pihak membuat perjanjian arbitrase, sehingga

pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa tersebut

Page 345: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

328

karena pengadilan tidak memiliki jurisdiksi. Namun demikian, di Indonesia,

beracara di depan pengadilan dengan maksud untuk membatalkan perjanjian

yang di dalamnya memuat klausula arbitrase sering digunakan sebagai taktik

untuk membatalkan proses arbitrase, dan membatalkan pembayaran ganti

kerugian atau kompensasi.543

Berkaitan dengan hal di atas, penelitian yang dilakukan pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002 mengenai jumlah

putusan arbitrase asing yang didaftarkan untuk dilaksanakan antara tahun

1999-2001 menunjukkan hasil seperti berikut: Pada tahun 1999 enam

permohonan pendaftaran putusan arbitrase asing telah diajukan dan tidak

satu pun eksekuatur diberikan. Kemudian pada tahun 2000 terdapat dua

permohonan pendaftaran yang diajukan hanya satu yang memperoleh

eksekuatur. Sedangkan pada tahun 2001 jumlah permohonan pendaftaran

bertambah menjadi empat meskipun hanya tiga eksekuatur yang

diberikan.544

Seluruh rangkaian cerita dan fakta mengenai permohonan eksekuatur

untuk melaksanakan putusan arbitrase asing, memberi bukti bahwa ternyata

hukum arbitrase positif masih menyisakan celah-celah yang memungkinkan

543 Dikemukakan Mulyana, bahwa: “...The attitude of Indonesian courts to entertain such

lawsuits has been one of the major concerns of the international community in the operation of the legal system in Indonesia.” dalam Mulyana, Loc. Cit., h. 27.

544 Ibid., h. 27.

Page 346: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

329

terjadinya konflik. Satu di antara penyebabnya antara lain karena undang-

undang arbitrase menganut standar ganda dalam memperlakukan putusan

arbitrase. Indikator tersebut dengan mudah dapat diketahui. Pertama,

terhadap putusan arbitrase nasional, di satu pihak diakui sebagai putusan

yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat

para pihak.545 Akan tetapi, untuk melaksanakan putusan arbitrase nasional,

undang-undang menentukan sejumlah persyaratan dengan ancaman sanksi

bahwa putusan tidak dapat dilaksanakan bila syarat yang ditentukan tidak

dipenuhi. Bahkan apabila para pihak tidak melaksanakan putusan secara

sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua

Pengadilan Negeri. Kedua, untuk putusan arbitrase internasional lebih

banyak lagi persyaratan yang ditentukan. Bahkan dari sejumlah syarat

tersebut mengesankan putusan arbitrase internasional sama sekali tidak

memiliki titel eksekutorial sebelum memperoleh eksekuatur dari KPN

Jakarta Pusat. Sedangkan idealnya suatu putusan yang bersifat final,

mempunyai kekuatan hukum tetap, serta mengikat para pihak, dalam

keadaan apa pun harus dapat dieksekusi sendiri tanpa melibatkan institusi

lain kecuali lembaga yang menjatuhkan putusan tersebut. Di samping itu,

hukum arbitrase terkesan diskriminatif terhadap putusan arbitrase

dibandingkan dengan putusan hakim. Oleh karena itu, sesungguhnya

545 Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999..

Page 347: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

330

putusan arbitrase itu belum merupakan putusan final, karena tidak memiliki

titel eksekutorial, dan tidak mandiri, sehingga status putusan arbitrase sama

sekali tidak sejajar dengan putusan hakim.

Kedua persoalan di muka merupakan konsekuensi yang harus diterima

sebagai akibat undang-undang arbitrase menentukan keterlibatan pengadilan

negeri terhadap proses dan putusan arbitrase yang demikian luas. Suka atau

pun tidak, fakta di atas harus diterima karena keterlibatan pengadilan

nasional dalam masalah eksekusi putusan arbitrase pada banyak negara juga

merupakan keniscayaan. Seperti yang dikemukakan Christoph H.

Schreuer546 bahwa: Perhaps the most important aspect of the supportive

role of domestic courts towards arbitration is the enforcement of awards.

...It is only at the last stage, when it comes to enforcement, that the

victorious litigant ultimately depends on the authority of domestic courts.

Walhasil, hampir tidak mungkin putusan arbitrase internasional dapat diakui

serta dieksekusi di Indonesia tanpa memperoleh dukungan kompetensi

pengadilan negeri.

Dihubungkan dengan teori tentang karakteristik produk hukum dari

Nonet, Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 dapat

dikategorikan ke dalam model hukum represif. Bukan tanpa alasan, karena

546 C. Christoph H. Schreuer, State Immunity: Some Recent Developments. Cambridge:

Grotius Publications Limited, 1988, h. 75.

Page 348: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

331

baik kaidah hukum arbitrase maupun lembaga pengadilan sebagai

instrumen dalam pelaksanaan putusan arbitrase masih diarahkan pada

tujuan untuk menjamin ketertiban. Bukti tersebut secara eksplisit tampak

bahwa “Putusan arbitrase internasional ...hanya dapat dilaksanakan di

Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan

ketertiban umum.” 547 Kaidah hukum itu juga masih mencitrakan hukum

tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh bersifat mutlak, dan

ketidak-patuhan dianggap sebagai suatu penyimpangan. Bukti lainnya:

“Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah

memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” 548

Ketentuan tentang eksekuatur juga merupakan kaidah imperatif atau aturan

yang bersifat memaksa (dwingend recht) yang sama sekali tidak mungkin

disimpangi. Mengabaikan permohonan eksekuatur berarti putusan arbitrase

asing tidak mungkin dapat dieksekusi.

Dalam konstelasi serta konstruksi semacam itu secara bebas dapat

diungkapkan bahwa norma hukum arbitrase masih menjadi government

social control. Hukum perundang-undangan menjadi kekuatan kontrol di

tangan pemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis) yang tidak

merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang

547 Pasal 66 huruf (c) UU No. 30/1999. 548 Pasal 66 huruf (d) UU No. 30/1999.

Page 349: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

332

sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam kesadaran

hukum masyarakat awam.549 Ketertiban merupakan tujuan hukum, sehingga

untuk mempertahankan ketertiban maka tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-

pertimbangan lain di kesampingkan. Padahal di samping ketertiban, tujuan

lain dari hukum adalah tercapainya keadilan.

549 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial...Op. Cit., h. 247.

Page 350: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

333

BAB VI PENUTUP

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Sebagai uraian penutup dari seluruh rangkaian pembahasan yang telah

dikemukakan pada bab-bab terdahulu, berikut ini akan diketengahkan simpulan

serta rekomendasi. Berdasarkan analisis serta interpretasi terhadap hasil studi

yang dilakukan mengenai pilihan forum arbitrase dalam sengketa komersial

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Memilih forum di luar pengadilan negeri untuk menyelesaikan sengketa

komersial dalam bidang perdagangan pada dasarnya merupakan bagian

dari kebebasan para pihak dalam membuat kesepakatan mengenai

berbagai objek perjanjian. Kesepakatan memilih forum dapat dilakukan

melalui dua cara. (i) sebelum terjadi sengketa dan dicantumkan dalam

perjanjian pokok, dinamakan pactum de compromittendo; atau (ii)

sesudah terjadi sengketa, dibuat dalam bentuk tertulis terpisah dari

perjanjian pokok, disebut akta kompromis. Akan tetapi, menurut hukum

Indonesia, tidak setiap sengketa dapat diselesaikan melalui forum

arbitrase yang dipilih para pihak. Sengketa-sengketa di luar sengketa

perdagangan atau sengketa komersial bukan merupakan jurisdiksi forum

Page 351: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

334

arbitrase. Hal itu yang membedakan dengan keadaan di negara maju

seperti Amerika Serikat. Di negara itu, berbagai macam sengketa dengan

latar belakang hukum yang berbeda-beda sekalipun pada prinsipnya

dapat diselesaikan melalui arbitrase. Walhasil, tidak hanya sengketa

bisnis atau komersial yang dapat dibawa ke forum arbitrase.

Untuk kalangan pengusaha yang tidak ingin sengketa mereka diketahui

banyak orang, memilih forum arbitrase diakui memberikan jaminan

kerahasiaan terhadap para pihak, baik selama proses pemeriksaan

berlangsung bahkan sampai dengan setelah putusan dijatuhkan. Lebih

dari itu, arbitrase diakui sebagai model penyelesaian sengketa yang

mengedepankan pencapaian keadilan dengan pendekatan konsensus dan

mendasarkan pada kepentingan para pihak dalam rangka mencapai win-

win solution. Akan tetapi di balik semua kelebihan arbitrase, ternyata

ada satu hal yang sangat tidak memuaskan para pihak dari seluruh

rangkaian proses arbitrase. Ketidak-puasan para pihak dalam proses

arbitrase terutama pada saat pelaksanaan (eksekusi) putusan.

Pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional apalagi

putusan arbitrase internasional, di Indonesia selalu menghadapi kesulitan

dan hambatan. Kesulitan serta hambatan untuk melaksanakan putusan

arbitrase disebabkan antara lain karena norma hukum yang ambivalen.

Di satu pihak, arbitrase diakui sebagai salah satu model penyelesaian

Page 352: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

335

sengketa di luar pengadilan. Akan tetapi di lain pihak, badan peradilan

terkesan belum sepenuhnya memberikan kewenangan dalam

menyelesaikan sengketa komersial kepada forum arbitrase. Oleh karena

itu, peran pengadilan masih sangat dominan dalam keseluruhan proses

arbitrase. Sejak penentuan arbiter sampai dengan pelaksanaan putusan

arbitrase, jurisdiksi pengadilan sangat menentukan. Jurisdiksi pengadilan

semacam itu bahkan dipositifkan melalui aturan yang bersifat imperatif

(dwingend recht). Sebagai konsekuensi dari keadaan tersebut, putusan

arbitrase dianggap belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, tidak

mandiri, belum memiliki titel eksekutorial, dan belum merupakan

putusan final. Salah satunya tegas dinyatakan dalam penjelasan undang-

undang arbitrase bahwa “putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan

eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi

(executoir) dari pengadilan.”

2. Sejak beberapa dasawarsa yang lalu pengadilan negeri di Indonesia telah

dipercaya dan digunakan oleh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa

dalam rangka mendapatkan keadilan (keadilan distributif). Pendekatan

yang digunakan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa bersifat

pertentangan (adversarial), berdasarkan aturan normatif, sangat formal,

rasional, serta birokratis, sehingga hasilnya berupa putusan yang

Page 353: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

336

menggambarkan win-lose-solution. Meskipun demikian, sebagian besar

perkara yang terjadi di masyarakat tetap mengalir ke pengadilan untuk

diperiksa dan diputus dalam rangka memperoleh penyelesaian yang adil.

Hal itu disebabkan jumlah serta sebaran pengadilan yang hampir merata

di seluruh pelosok daerah di tanah air. Akan tetapi seiring perkembangan

masyarakat, lalu lintas perdagangan dan dunia usaha nasional maupun

internasional, serta perkembangan hukum itu sendiri, rasio jumlah

perkara yang harus diselesaikan oleh pengadilan semakin tidak

sebanding dengan kapasitas serta kemampuan pengadilan untuk

menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang masuk. Di samping

faktor eksternal semacam itu, ada juga faktor internal pengadilan yang

menyebabkan masyarakat menilai pengadilan serta sumberdaya

manusianya semakin tidak berpihak kepada tuntutan rasa keadilan

masyarakat. Para hakim di Indonesia selama beberapa dekade telah

menjadi bagian hegemoni pegawai negeri sipil yang dikondisikan untuk

mendukung kepentingan politik pihak yang berkuasa. Bahkan sampai

kini disinyalir hakim-hakim di Indonesia masih rentan terhadap upaya

penyuapan, sehingga putusan yang dikeluarkan pengadilan sulit

diramalkan, acapkali memihak penguasa atau orang kaya yang pada

akhirnya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Pengadilan

telah menjadi tempat mencari kemenangan hukum walaupun dengan

Page 354: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

337

cara yang bertentangan dengan hukum. Pada gilirannya kepercayaan

masyarakat terhadap lembaga pengadilan semakin tipis, karena

penyelesaian sengketa di pengadilan telah menjauhkan pihak-pihak yang

bersengketa dari nilai-nilai keadilan. Kondisi pengadilan semacam itu

tentu saja sangat tidak menguntungkan, apalagi bagi kalangan pebisnis

yang perfectionist tentu tidak menghendaki aktivitasnya tersita untuk

mengurusi sengketa yang penyelesaiannya sulit diprediksi karena

prosesnya berlarut-larut tanpa kepastian waktu. Oleh karena itu, apabila

pengusaha menghadapi sengketa, tentu saja akan memilih cara-cara yang

lebih sederhana prosedurnya serta ditentukan secara limitatif waktu

penyelesaiannya. Model semacam itu antara lain adalah arbitrase,

meskipun pada waktu putusan arbitrase hendak dieksekusi harus

menghadapi birokrasi jurisdiksi pengadilan. Padahal memilih arbitrase

pada mulanya untuk menghindari mekanisme penyelesaian sengketa di

pengadilan yang memerlukan waktu bertahun-tahun.

3. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan

mengikat para pihak sesungguhnya merupakan konsep normatif yang

harus diwujudkan (ius constituendum) dan sama sekali belum

merupakan norma yang nyatanya telah terwujud (ius constitutum).

Faktanya, putusan arbitrase, baik nasional maupun internasional dalam

Page 355: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

338

aras praktik hukum di Indonesia senyatanya belum merupakan putusan

final, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, dan tidak mandiri. Jadi,

walaupun secara normatif eksplisit ditentukan bahwa putusan arbitrase

tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan kasasi, namun bukan

itu indikator penentunya. Idealnya, putusan arbitrase yang dikatakan

final dan mengikat itu sekaligus juga memiliki kekuatan eksekutorial,

sehingga putusan tersebut benar-benar mandiri dan tidak dikondisikan

dependen terhadap kewenangan pengadilan negeri. Selama putusan

arbitrase masih harus dideponir dan digantungkan kepada eksekuatur

pengadilan negeri ketika hendak dilaksanakan, maka selama itu pula

tidak layak putusan arbitrase disebut sebagai putusan yang final dan

mengikat apalagi mandiri. Pengertian itulah yang secara sadar telah

disesatkan oleh pembuat undang-undang arbitrase dengan maksud yang

tidak dijelaskan. Akibatnya, pihak-pihak yang pada mulanya memilih

forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dengan harapan akan

mendapatkan keadilan, akhirnya, malang tak boleh ditolak, mujur tak

boleh diraih, keadilan yang digapai pun kandas lagi di pengadilan. Nasib

putusan arbitrase internasional bahkan lebih tidak menentu. Tidak hanya

disebabkan syarat normatif yang ketat dan kaku dari norma hukum yang

masih berkarakter represif, tetapi juga diperparah lagi oleh sikap pihak

yang dikalahkan dalam putusan arbitrase internasional tersebut. Dalam

Page 356: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

339

hal pihak termohon eksekusi itu warga negara Indonesia, sering

melakukan tindakan yang kurang terpuji. Dari kasus-kasus yang

dipaparkan pada pembahasan mengenai eksekusi putusan arbitrase di

muka, diketahui bahwa pihak warga negara Indonesia yang dikalahkan

dalam arbitrase internasional sering mengambil upaya lain. Di

antaranya, “acara gugatan yang diajukan pihak yang dikalahkan dalam

putusan arbitrase internasional melalui pengadilan negeri untuk

membatalkan kontrak yang di dalamnya mencantumkan klausula

arbitrase, telah sering digunakan sebagai taktik untuk membatalkan

proses arbitrase dan menghindari kewajiban membayar ganti kerugian

atau kompensasi.”

Berdasarkan tiga paparan simpulan di muka dapat diproyeksikan seperti

berikut ini: Forum arbitrase hanya mungkin menjadi salah satu forum

khusus yang mandiri di masa depan untuk menyelesaikan sengketa-

sengketa komersial di luar pengadilan, apabila ada kemauan politik dari

pemerintah dan pembuat undang-undang. Kemauan politik (political

will) dimaksud terutama berupa support atau dukungan terhadap

arbitrase dalam maknanya yang luas. Badan peradilan hendaknya tidak

hanya melakukan fungsi “pengawasan,” yang kaku dengan aturan formal

yang ketat. Dukungan lembaga peradilan hendaknya lebih diwujudkan

dalam bentuk penghormatan dari para hakim terhadap putusan arbitrase

Page 357: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

340

sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, tanpa

harus diintegrasikan ke dalam alur lembaga peradilan untuk memperoleh

eksekuatur. Agar dengan demikian, forum arbitrase baik de jure maupun

de facto menjadi forum yang mandiri serta sejajar dengan pengadilan.

Dalam hal para pihak tidak secara sukarela melaksanakan putusan

arbitrase dimaksud, seyogianya kewenangan untuk mendesak pihak-

pihak agar mau melaksanakan putusan tersebut dikembalikan kepada

forum arbitrase yang memutus sengketanya. Demikian pula, untuk

putusan arbitrase internasional, kewenangan untuk memberikan perintah

pelaksanaan seyogianya dimiliki oleh lembaga arbitrase nasional, bukan

lagi oleh pengadilan negeri.

B. Rekomendasi

1. Arbitrase pada dasarnya memiliki perbedaan prinsipal dengan jenis

penyelesaian sengketa alternatif. Oleh karena model penyelesaian

sengketa alternatif seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi,

tergolong non-adjudicatory procedures, sedangkan arbitrase termasuk

dalam kelompok adjudicatory procedures. Pada dasarnya dalam

menyelesaikan sengketa, arbitrase menggunakan metode pertentangan

(adversarial), sehingga arbitrase diakui sebagai model ajudikasi semu.

Untuk membedakan arbitrase dengan model penyelesaian sengketa

Page 358: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

341

alternatif, disarankan agar arbitrase tidak disebut sebagai metode

alternatif penyelesaian sengketa. Persoalannya, arbitrase sangat

berbeda dengan metode penyelesaian sengketa alternatif. Negosiasi,

mediasi, dan konsiliasi sebagai metode penyelesaian sengketa

alternatif tidak dapat menghasilkan putusan, sedangkan arbitrase

sebagai ajudikasi semu di akhir pemeriksaan sengketa menghasilkan

suatu putusan (award). Alasan lain yang membedakan adalah,

arbitrase dapat berlangsung secara ad hoc dan dapat pula terlembaga

(institusional), sedangkan metode penyelesaian sengketa alternatif

tidak dapat diformat menjadi terlembaga.

2. Apabila arbitrase hendak dikembangkan sebagai salah satu forum

khusus yang mandiri dan berwibawa dalam menyelesaikan sengketa-

sengketa komersial di luar pengadilan, disarankan agar keberadaan

atau eksistensi forum arbitrase, baik ad hoc maupun institusional perlu

dilakukan upaya “sosialisasi” secara intensif. Tanpa upaya semacam

itu sulit diharapkan forum arbitrase dapat dikenal secara luas dalam

waktu yang relatif cepat. Hal itu disebabkan keberadaan arbitrase tidak

menyebar secara meluas seperti halnya badan peradilan negara. Oleh

karena itu, dukungan dari para hakim pengadilan rendahan di seluruh

wilayah Indonesia merupakan conditio sine qua non dalam

Page 359: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

342

mensosialisasikan forum arbitrase ini. Hendaknya para hakim dibekali

pemahaman yang cukup memadai tentang arbitrase, sehingga tidak ada

lagi kesan dari para hakim bahwa forum arbitrase merupakan

kompetitor bagi pengadilan negeri yang dianggap mengambil lahan

dalam penyelesaian sengketa. Sebaliknya, para hakim pengadilan

rendahan semestinya membantu para pencari keadilan dengan jalan

memberi advis untuk memilih forum arbitrase dalam upaya

mendistribusikan penyelesaian sengketa. Upaya demikian diharapkan

dapat membawa manfaat, sehingga pada tingkat kasasi diharapkan

tidak terjadi kongesti atau timbunan perkara yang harus diselesaikan

oleh Mahkamah Agung.

3. Di sadari maupun tidak oleh pembuatnya, Undang-undang Arbitrase

Nomor 30 Tahun 1999 secara nyata di dalamnya terdapat ambivalensi

norma. Untuk mengakhiri kondisi semacam itu tidak ada cara lain

kecuali terhadap undang-undang tersebut harus dilakukan koreksi

dalam bentuk perubahan atau diamandemen. Tanpa melakukan hal itu,

sulit kiranya untuk mengupayakan kedudukan forum arbitrase

sebagaimana yang diharapkan yakni: mandiri serta kompeten untuk

mendesak para pihak dalam memaksakan pelaksanaan putusan.

Page 360: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

343

4. Di samping upaya koreksi terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun

1999 dalam bentuk amandemen, perlu pula diatur secara tegas

mengenai standar efektivitas penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Oleh karena walalaupun sebenarnya undang-undang tersebut telah

secara eksplisit mengatur jangka waktu pemeriksaan sengketa harus

diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari

sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk; [Pasal 48 ayat (1)]. Akan

tetapi faktanya putusan yang telah diperoleh tidak mudah untuk

dieksekusi.

5. Hendakanya pada masa-masa yang akan datang, substansi undang-

undang tidak lagi memuat rumusan pasal yang tidak konsisten

(istiqomah) seperti yang terjadi di dalam undang-undang arbitrase di

atas. Tidak konsisten karena, di satu pihak putusan arbitrase dikatakan

sebagai bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan

mengikat para pihak. Akan tetapi di lain pihak, putusan arbitrase tidak

dapat dilaksanakan jika kewajiban mendaftarkan dan menyerahkan

putusan ke pengadilan negeri tidak dipenuhi.

Page 361: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

344

DAFTAR PUSTAKA

ABDUH, Muhammad, Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta: 22-23 Januari 1991.

ABDURRASYID, Priyatna, “99,9 % Hakim Tidak Mengerti Arbitrase.” dalam Wawancara Hukumonline_com.htm, Jumat, 10 Januari 2003.

____________, “Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober-November 2002.

____________, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa–suatu pengantar. Jakarta: Fikahati Aneska-BANI, 2002.

ADOLF, Huala, “Pembatalan Putusan Arbitrase Asing;” dalam Kompas, Jumat, 29 Mei 1992.

____________, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: Rajawali Pres, 1991.

ALGRA, N.E., et al., Fockema Andreae’s Rechtsgeleerd Handwoordenboek. Bandung: Binacipta, 1983.

ALI, Achmad, “Pengadilan yang yang tak Berkeadilan;” dalam Kompas, Jumat, 08 Juni 2001.

____________, “Bercermin pada Penegakan Hukum Jepang;” Kompas, 15 April 2002.

ALWASILAH, A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif; Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Pustaka Jaya, 2003.

ARIKUNTO, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

ATMADJA, Asikin Kusumah, “Konvensi/Ratifikasi dan Eksekusi Putusan Arbitrase;” Makalah Seminar Sehari. Kerjasama antara ALTRI-KADIN-BANI, Jakarta, 16 Nopember 1988.

AUERBACH, Jerold S., Justice Without Law? New York: Oxford University Press, 1983.

AZWAR, Saifuddin, Sikap Manusia - Teori dan Pengukurannya. (edisi kedua), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

BARAK, Aharon, Judicial Discretion. New York: Yale University Press, 1989.

Page 362: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

345

BASROWI & Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif – Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia, 2002.

BECKMANN, Keebet von Benda, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Grasindo, 2000.

___________-F. von Benda, “Dari Hukum manusia Primitif sampai ke Penelaahan Sosio-Hukum Masyarakat-masyarakat Kompleks;” dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum – Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

BERNINI, Giorgio & Albert Jan Van den Berg, “The enforcement of arbitral awards against a state: the problem of immunity from execution;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.

BERG, A. J. van den et al., Arbitrage Recht. W.E.J. Tjeenk Willink - Zwolle, 1988.

____________, "The New York Arbitration Convention of 1958 – Towards a Uniform Judicial Interpretation. The Hague: TMC Asser Institute, 1981.

BHAKTI, Yudha, “Pengertian Jus Cogen dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian”; Padjadjaran, Kuartal I – No. 1, Januari-Maret 1981.

BLACK, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern. (Sixth Edition). St. Paul Minn: West Publishing Co., 1990.

BLAU, Peter M. & Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Jakarta: UI Press, 1987.

BOCKSTIEGEL, Karl-Heinz, “States in international arbitral process;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.

_____________, Arbitration and State Enterprises; Survey on the National and International State of Law and Practice. Dordrecht: Kluwer Publishers, 1989.

BRUGGINK, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum; terjemahan Arief Sidharta. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

CAFFREY, Bradford A., Enforcement of Foreign Judgments. Sydney:CCH Australia Limited, 1985.

CAMPBELL, Tom, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Page 363: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

346

CHAMBLISS, William J. & Robert B. Seidman, Law, Order and Power. Reading, Massachusetts: Addison-Westley, 1971.

COHN, E., M. Domke, F. Eisemann (eds.), Handbook of Institutional Arbitration in international trade; Preface, dalam Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1986.

COULSON, Robert, Business Arbitration – What You Need to Know. (revised third edition), New York: American Arbitration Association, 1987.

CRAIB, Ian, Modern Social Theory: from Parson to Habermas (Teori-Teori Sosial Modern: dari Parson sampai Habermas); Penerjemah: Paul S. Baut dan T. Effendi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

DAHRENDORF, Ralf, Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Routledge & Kegan Paul, 1959.

DANIM, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002.

DAVID, Rene, Arbitration in International Trade. Deventer: Kluwer Law Publishers, 1985.

DAWSON, John P., “Peranan Hakim di Amerika Serikat;” dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Terjemahan Gregory Churchill. Jakarta: PT Tatanusa, 1996.

DERSCHOWITZ, Alan M., Reasonable Doubts. New York: Simon & Schuster, 1996, h. 42. Marc Galanter ,‘Why The “Haves” Come Out Ahead: Speculations on The Limits of Legal Change’; Law and Society, Fall 1974.

DJIWANDONO, Sudradjat, Sambutan Menteri Muda Perdagangan RI pada Simposium Nasional tentang Aspek-aspek Kerjasama Ekonomi antara negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA. Bandung, 1 Februari 1993.

DOBSON, Paul, and Clive M. Schmitthoff, Charlesworth’s Business Law. London: Sweet & Maxwell, 1991.

DORMAN, Peter J.(eds), Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976.

DWORKIN, Ronald, “The Original Position;” dalam Reading Rawls, Critical Studies on Rawls’ A Theory of Justice; Norman Daniels (Ed.), Oxford: Basil Blackwell, 1975, dalam Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi – Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Page 364: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

347

ENGELBRECHT, W.A.,et. al., De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Voorlopige Grondwet van de Republiek Indonesie. Leiden: A.W. Sijthoff Uitgeversmij N.V., 1956.

FAISAL, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999.

FOLTER, MOJ de, et al., Burgerlijke Rechtsvordering en aanverwante Regelingen. Kluwer-Deventer, 1990.

FRIEDMAN, Lawrence M., ”On Legal Development”. Rutgers Law Review, (alih bahasa: Rachmadi Djoko Soemadio), 1969.

____________, American Law an Introduction; Hukum Amerika sebuah Pengantar, (alih bahasa: Wishnu Basuki). Jakarta: Tatanusa, 2001.

____________, The Legal System. New York: Russel Sage Foundation, 1975.

FULLER, Lon L., “Sistem Perlawanan;” dalam Harold J. Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat. Jakarta: PT Tatanusa, 1996.

GALANTER, Marc,‘Why The “Haves” Come Out Ahead: Speculations on The Limits of Legal Change’; Law and Society, Fall 1974.

____________, “Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India Modern;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

____________, “Justice in Many Rooms”; dalam Maurio Cappelletti (ed), Access to Justice and The Welfare State. Italy: European University Institute, 1981.

____________, “Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat serta Hukum Rakyat:” dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

GAUTAMA, Sudargo, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1985.

____________, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku keempat). Bandung: Alumni, 1989.

____________, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku kedelapan). Bandung: Alumni, 1987.

____________, Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1986.

____________, Hukum Perdata Internasional Hukum yang Hidup. Bandung: Alumni, 1983.

Page 365: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

348

____________, Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni, 1986.

____________, Hukum Antar Tata Hukum. Bandung: Alumni, 1977. ____________, Masalah-Masalah Baru Hukum Perdata Internasional.

Bandung:Alumni, 1984. ____________, Arbitrase Bank Dunia tentang Penanaman Modal

Asing di Indonesia dan Jurisprudensi Indonesia dalam Perkara Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1994.

GOODPASTER, Gary, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa” dalam Felix O. Soebagijo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.

GRAY, Christine D., Judicial Remedies in International Law. New York, Oxford University Press, 1987.

HADIKUSUMA, Hilman, Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1986.

HAGUL, Peter, “Reliabilitas dan Validitas”; dalam Masri Singarimbun & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982.

HARAHAP, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1988.

____________, “ Citra Penegakan Hukum”; dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 117, Juni 1995.

____________, “Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara;” dalam Kompas, 16 Juli 1999.

____________, “Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian atas UU No. 30 Tahun 1999;” Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002.

____________, “Dua Sisi Putusan Hakim Tidak Adil Bagi Yang Kalah dan Adil Bagi Yang Menang”; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993.

____________, “Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Perkara;” dalam Varia Peradilan Tahun XI No. 121, Oktober 1995.

____________, Arbitrase Ditinjau dari: Rv, BANI Rules, ICSID, UNCITRAL Arb. Rules, NY Convention, PERMA 1 Th. 1990. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

____________, “Tempat Arbitrase Islam dalam Hukum Nasional;” dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994.

HARMAN, Benny K., Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta: Elsam, 1997.

Page 366: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

349

HART, H.L.A., The Concept of Law. London: Oxford University Press, 1972.

HARTONO, Sunarjati, "Legal Aspect of Indonesian Trade with other Countries in the Asian-Pacific"; dalam Padjadjaran, Special English Edition, 1984.

_________________, Serba-Serbi tentang Arbitrase Dagang Internasional; dalam Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta: 22-23 Januari 1991.

_________________, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20. Bandung: Alumni, 1994.

HATTA, Sri Gambir Melati, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahakamah Agung Indonesia. Bandung: Alumni, 1999.

HENDERSON, Dan Fenno, “Modernisasi Hukum dan Politik di Jepang;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto (eds), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

HENDRICKS, William, How to Manage Conflict; Bagaimana Mengelola Konflik (Penerjemah: Arif Santoso). Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

HIMAWAN, Charles, “Ekonomi dan Hukum Rintangan Potensial;” dalam Kompas, 10-08-2001.

HUIJBERS, Theo OSC, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 1984.

HUGENHOLTZ/Heemskerk, Hoofdlijnen van Nederlands Burgerlijk Procesrecht - (Vijftiende druk). ‘s-Gravenhage: VUGA Uitgeverij B.V., 1988.

HUNT, Alan, “Kritisi Hukum: Apa yang ‘Kritis’ dalam Studi Hukum Kritis?” dalam Wacana Edisi 6 – Tahun II 2000.

HUNTER, J. Martin H., “Judicial Assistance for the arbitrator;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.

IHROMI, T.O., “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Antropologi Hukum”; dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum – Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

Page 367: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

350

INDARTI, Erlyn, Diskresi Polisi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.

____________, “Paradigma: Jati Diri Cendekia;” Makalah Diskusi Ilmiah Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang, 1 Desember 2000.

IRIANTO, Heru & Burhan Bungin, “Pokok-Pokok Penting tentang Wawancara;” dalam Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif- Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali, 2001.

JATIM, Fatmah, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia;” dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.

KANTAATMADJA, Komar, “Beberapa Permasalahan Arbitrase Internasional”; Makalah Seminar Arbitrase 16 November 1988.

KASIM., Ifdhal, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di Indonesia”; Jurnal Ilmu Sosial Transformatif WACANA, Edisi 6 Tahun II 2000.

KAWASHIMA, Takeyoshi, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer;” dalam AAG Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial - Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

KERAF, A. Sonny, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

________________, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

KERR, The Hon. Mr. Justice, “International Arb. v. Litigation”; The Journal of Business Law. 1980.

KOLLEWIJN, R.D., “Het beginsel der openbare orde in het international privaatrecht.” Dissertasi, Leiden, 1917; dalam Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional-Buku ke 4. Bandung: Alumni, 1989.

KOENTJARANINGRAT, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.

KRIEKHOFF, Valerine J.L., “Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”; dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.

KUHN, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.

KUSNADI et al., Teori dan Manajemen Konflik (Tradisional, Kontemporer & Islam). Malang: Taroda, 2001.

Page 368: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

351

KUSUMAATMADJA, Mochtar, “Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional”; dalam PADJADJARAN (Majalah Ilmu Hukum & Pengetahuan Masyarakat), Jilid III, Nomor 1, September 1970.

____________, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978.

KUSUMOHAMIDJOJO, Budiono, Suatu studi terhadap aspek operasional Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986.

LEV, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990.

____________, “Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di Indonesia;” dalam A.A.G.Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial - Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

LEW, Julian D.M., Applicable Law in International Commercial Arbitration. Oceana Publication Inc., 1978.

____________, Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.

LIEMENA, Frans, “Klausula Arbitrase dihubungkan dengan Kompetensi Pengadilan Negeri”; dalam Varia Peradilan, Tahun III Nomor 29, Februari 1988.

LOMBARD, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1, 2, dan 3. Jakarta: Gramedia, 1996.

LOTULUNG, Paulus Effendie, “Kemandirian dan Independensi Peradilan;” Makalah Seminar Nasional Reformasi Sistem Peradilan dalam Menanggulangi Mafia Peradilan di Indonesia. Semarang: FH UNDIP, 6 Maret 1999.

LUBIS, T. Mulya, “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Mitos atau Realitas;” dalam Kompas, 16 Oktober 1989.

MANAN, Bagir, “Reformasi Mahkamah Agung;” dalam Kompas, 14 Nopember 1999.

MANDAN, Ali, Konflik dan Konflik Dalam Masyarakat Industri. Jakarta: CV Rajawali, 1986.

MARIOT, Arthur, “The Role of ADR in the Settlement of Commercial Disputes;” dalam Asia Pacific Law Review, Vol. 1 Summer 1994.

MEREDITH, Richard Jackson, The Machinery of Justice in England; dalam Setiawan, “Putusan Hakim Sebagai Transformasi Ide Keadilan”; Varia Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992

MERILLLS, J.G., International Dispute Settlement. London: Sweet & Maxwell, 1994.

Page 369: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

352

MERRYMAN, John Henry, The Civil Law Tradition. Stanford University Press, Stanford, California, 1969.

MERTOKUSUMO, Sudikno, “Sistem Peradilan di Indonesia”; JURNAL HUKUM, No. 9, Vo. 4, 1997.

____________, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1993.

____________, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Bandung: Kilatmadju, 1971.

____________, Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1986. MIALL, Hugh, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Resolusi Damai

Konflik Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. MILES, Matthew B. & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif;

(Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press, 1992. MOLEONG, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja

Karya, 1989. MUHADJIR, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:

Rake Sarasin, 2000. MUHAIMIN, Yahya, “Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru”

(1990:23); dalam Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

MUKHTAR, Sofyan, “Mekanisme Alternatif Bagi Penyelesaian Sengketa Perdata-Dagang (Dispute Resolution);” dalam Varia Peradilan No. 48, 1989.

MULADI, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.

MULYANA, et al., “Indonesia’s New Framework For International Arbitration: A Critical Assessment of the Law and Its Application by the Court”; Mealey’s International Arbitration Report. January, 2002.

MUSADDAD, Hj. Ummu Salamah, “Perspektif Etika Spiritual dan Moral dalam Interaksi Sosial Kemanusiaan di Era Globalisasi;” dalam Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar FISIP-Unpas, Bandung, 5 April 2003.

MUTHAHHARI, Mutadha, Keadilan Ilahi – Asas Pandangan Dunia Islam. Bandung: Mizan, 1992.

NANTWI, E.K., The Enforcement of Inernational Judicial Decision and Arbitral Awards in Public International Law, Leiden: A.W. Sijthoff, 1966.

Page 370: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

353

NASUTION, S., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1996.

NASIKUN, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

NELSON, Steven C., Alternatives to Litigation of International Disputes, The International Lawyer, Vol. 23, No. 1, 1989.

NONET, Philippe & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. New York: Harper & Row, 1978.

NUSSBAUM, Arthur, (Penyadur: Sam Suhaedi), Sejarah Hukum Internasional. TT.

OHORELLA, HMG. & H.Aminuddin Salle, “Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan Sulawesi Selatan;” dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk (eds), Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.

OTT, David H., “Peaceful Settlement of Disputes”; dalam Public International Law in the Modern World. London: The Bath Press, 1987.

PAKPAHAN, Normin S., “Pembaharuan Hukum di Bidang Kegiatan Ekonomi.” Makalah pada Temu Karya Hukum Perseroan dan Arbitrase; Jakarta, 22-23 Januari 1991.

PANGGABEAN, HP, “Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan.” dalam Kompas, Jumat, 23 April 1999.

PETERS, A.A.G & Koesriani Siswosoebroto, “Hukum dan Kebudayaan;” dalam A.A.G Peters & Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial - Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.

PRATIDINA, Ginung, “Manajemen Konflik dalam Menigkatkan Efektivitas Organisasi;” dalam Wawasan Tridharma Nomor 10 Tahun XV Mei 2003.

PUTRA, Anom Surya, “Manifesto Hukum Kritis – Teori Hukum Kritis, Dogmatika dan Praktik Hukum;” dalam Wacana – Edisi 6 – Tahun II 2000.

RAHARDJO, Satjipto, ”Supremasi Hukum yang Benar;” Kompas, 6 Juni 2002.

____________, “Dengan Determinasi”; dalam Kompas, 17 Oktober 1998.

____________, Hukum dan Masyarakat., Bandung: Angkasa, 1981. ____________, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1986. ____________, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung:

Alumni, 1980.

Page 371: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

354

____________, “Membangun Keadilan Alternatif”; Kompas, Rabu, 5 April 1995.

____________, “Mengubah Perilaku dan Kultur Polisi”; dalam Kompas, 1 Juli 2002.

____________, “Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual;” dalam Kompas, Senin, 30 Desember 2002.

____________, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”; dalam Problema Globalisasi – Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000.

____________, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global;” dalam Perspektif, Vol. 2 No. 2, Juli 1997.

____________, “Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi”; Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia. Semarang, 12-13 Nopember 1996.

____________, “Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum”; Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII. Jakarta BPHN, Juli 1997.

____________, ”Pengadilan dan Publiknya;” Forum Keadilan No. 11, 15 September 1994.

____________, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi”; dalam Makalah Seminar Nasional ‘Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi’, PDIH-Undip-Angkatan V, Semarang, Sabtu, 22 Juli 2000.

____________, “Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi dari Kajian Sosio Kultural”; dalam Makalah Seminar Nasional – Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis, 27 Juli 2000.

____________, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang;” Kompas, Rabu, 24 Mei 2000.

____________, “Tidak Menjadi Tawanan Undang-undang;” Kompas, Kamis, 25 Mei 2000.

____________, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985.

____________, Masalah Penegakan Hukum: suatu tinjauan sosiologis. Bandung: Sinar Baru, TT.

____________, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002.

Page 372: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

355

____________,“Indonesia Butuh Keadilan yang Progresif”; dalam Kompas, Sabtu, 12 Oktober 2002.

____________,“Rekonstruksi Strategi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa”; Makalah Seminar pada Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 28 Maret 2000.

____________, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah;” Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998.

RAJAGUKGUK, Erman, “Keputusan Pengadilan Mengenai Beberapa Masalah Arbitrase;” dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994.

____________, ‘Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan’ dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 4, Okt. 2000.

____________, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2001.

RAWLS, John, A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971.

____________, Justice as Fairness – A Restatement; (Edited by Erin Kelly).Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001.

REDFERN, Alan & Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration. London: Sweet & Maxwell, 1991.

REKSODIPUTRO, Mardjono, “Pembaharuan Hukum Sebaiknya dari Pembenahan Peradilan;” dalam Kompas, 1 Mei 1999.

RITZER, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

RIVAI, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

ROBBINS, Stephen, “Managing Organizational Conflict: A Non-Traditional Approach.” Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J., 1974.

SALEH, Ismail, “Sambutan Menteri Kehakiman RI pada Acara Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase;” Jakarta: 22 Januari 1991.

SALEH, Roeslan, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru, 1979.

SALEH, Samir, “The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards in the states of the Arab Middle East;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.

Page 373: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

356

SALIM, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

SANTOSA, Mas Achmad, “Independensi Peradilan dan TAP MPR RI No. X/MPR/1998”; Kompas, 11 Januari 1999.

_______________, “Court Connected ADR in Indonesia, Urgensi dan Prasyarat Pengembangannya;” Makalah Seminar Nasional Court Connected-ADR. Jakarta: Departemen Kehakiman, 21 April 1999.

SANTOSO, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam – Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas. Bandung: Asy Syaamil, 2001.

SCHREUER, C. Christoph H., State Immunity: Some Recent Development. Cambridge: Grotius Publication, 1988.

SCHMITTHOFF, Clive M., “Finality of arbitral awards and judicial review;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.

SETIAWAN, “Klausula Arbitrase dalam Teori dan Praktek”; dalam Varia Peradilan Tahun IX No. 104, Mei 1994.

____________, “Kontrak Bisnis Internasional Choice of Law & Choice of Jurisdiction”; dalam Varia Peradilan, Tahun IX No. 107, Agustus 1994.

____________, “Publikasi Putusan Hakim”; dalam Varia Peradilan Tahun VIII Nomor 95, Agustus 1993.

____________, “Putusan Hakim Sebagai Transformasi Ide Keadilan”; dalam Varia Peradilan Tahun VII No. 80, Mei 1992.

____________, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992.

____________, Arbitrase Internasional Dalam Yurisprudensi Indonesia Suatu Kajian Prospektif; dalam Serangkaian Pembahasan bagi Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia. Temu Karya Hukum Perusahaan dan Arbitrase; Kantor Menko Ekuin dan Wasbang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta: 22-23 Januari 1991.

____________, “Perdagangan dan Hukum: Beberapa Pemikiran Tentang Reformasi Hukum Bisnis;” Makalah Seminar Implikasi Reformasi Hukum Bisnis Terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta: Program Magister Manajemen UI, 21 April 1998.

SIDHARTA, Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2000.

Page 374: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

357

__________, “Paradigma Ilmu Hukum Indonesia Dalam Perspektif Positivis;” Makalah Simposium Nasional Ilmu Hukum tentang Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. Semarang, 10 Februari 1998.

SIMANDJUNTAK, Djisman S. et al., GATT 1994 Peluang dan Tantangan – Dokumen dan Analisis. (Kumpulan Dokumen dan Analisis), Jakarta: TP, 14 Juni 1994.

SINGARIMBUN, Irawati, “Teknik Wawancara”; dalam Masri Singarimbun et al., Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, 1982.

SINGER, Linda R., Settling Disputes - Conflict Resolution in Business, Families, and The Legal System. San Fransisco, 1994, dalam Erman Rajagukguk, “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan;” dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 2 No. 4, Okt. 2000.

SIREGAR, Bismar, “Pandangan Hakim terhadap Putusan Arbitrase;” dalam Abdul Rahman Saleh et al., Arbitrase Islam Di Indonesia. Jakarta: BAMUI & Bank Muamalat, 1994.

SMIT, Hans et al, International Contracts. Parker School of Foreign and Comparative Law, Columbia University, Matthew Bender, 1981.

SOEKANTO, Soerjono, Talcott Parsons – Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV Rajawali, 1986.

___________, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1987.

___________, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali, 1990.

SOEMITRO, Ronny Hanitijo, “Beberapa Perspektif Mengenai Fungsi Hukum di dalam Masyarakat;” dalam Masalah-Masalah Hukum, Nomor 10 Tahun 1993.

____________, “Gambaran tentang Fungsi-fungsi Hukum di Dalam Masyarakat, Sebagai Hasil Tinjauan terhadap Hukum dari Beberapa Perspektif”; dalam Masalah-Masalah Hukum Nomor 5 Tahun 1991.

____________, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik.” Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1993.

____________, Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Alumni, 1985. SOEPRAPTO, Riyadi H.R., Interaksionisme Simbolik–Perspektif

Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. SOETJIPTO, Adi Andojo, “Etika Profesi”; dalam Varia Peradilan,

Tahun VIII, Nomor 95, Agustus 1993.

Page 375: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

358

__________, “Jumlah 60 Orang Hakim Agung Tidak Rasional;” Kompas, 7 April 2000.

SOETOPRAWIRO, Koerniatmanto, Pemerintahan & Peradilan di Indonesia (Asal-usul & Perkembangannya). Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

SOHN, L.B., “International Arbitration in Historical Perspective: Past and Present”; dalam International Arbitration: Past and Prospects, A Symposium to Commemorate the Centenary of the Birth of Prof. J.H.W. Verzijl (1888-1987), Utrecht, October 21, 1988.

STARKE, J.G., Introduction to International Law. Ninth Edition, 1984, SUBEKTI, R., Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1979. ___________, Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni 1981. ___________, Arbitrasi Perdagangan. Bandung: Binacipta, 1981. ___________, Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Bandung: Alumni,

1980. SULISTIYONO, Adi, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian

Sengketa Non-Litigasi dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual; Disertasi, Semarang: PDIH, 2002.

SUPARMAN, Eman, “Keharusan Mewakilkan dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan”; Tesis S2, Yogyakarta: FPS-UGM, 1988.

SURYABRATA, Sumadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali, 1983.

SUSANTO, I.S., “Lembaga Peradilan dan Demokrasi”; Makalah pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 12-13 Nopember 1996.

SUSENO, Franz Magnis, Etika Politik – Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

SUTANTIO, Ny. Retnowulan, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997.

THENG, Liem Lei, “Court Connected ADR in Singapore;” Makalah Seminar Court Connected ADR, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 21 April 1999.

THOHARI, A. Ahsin, “Dari “Law Enforcement” ke “Justice Enforcement”, dalam Kompas, Rabu, 3 Juli 2002.

TSANI, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990.

Page 376: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

359

TURKEL, Gerald, Law and Society: Critical Approaches. Needham Heights: A Simon & Schuster Company, 1996.

UHLE, Christian Buhring, Arbitration and Mediation in International Business. The Hague: Kluwer Law International, 1996.

UJAN, Andre Ata, Keadilan dan Demokrasi – Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

UNGER, Roberto M., Law in Modern Society – Toward a Criticism of Social Theory. London: The Free Press, 1976.

______________, Gerakan Studi Hukum Kritis; (Penerjemah: Ifdhal Kasim). Jakarta: ELSAM, 1999.

VEATCH, Henry B., Human Rights, Facts or Fancy. Baton Rouge and London: Lousiana State University Press, 1968.

WARASSIH, Esmi, ‘Kegunaan Telaah “Kebijaksanaan Publik” Terhadap Peranan Hukum di dalam Masyarakat Dewasa ini (Sebuah Pengantar); dalam Masalah-Masalah Hukum No. 11 Tahun 1994.

____________, “Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum”; dalam Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1995.

____________, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Hukum UNDIP - Semarang, 14 April 2001.

WIGNJOSOEBROTO, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional – Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

____________, “Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya”. Makalah. Semarang, TT.

____________, “Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP II;” Makalah disampaikan pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional Dalam PJP II, BPHN, Jakarta, 10-21 Juli 1995; dalam Majalah Hukum Trisaksi Edisi Khusus, TT.

____________, “Teori: Apakah itu? Sebuah Pengantar;” Bahan Kuliah Teori Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Semarang, 2002.

_____________, “Keadilan Komutatif, “win-win Solution,” dalam Kompas 25 Nopember 2000.

_____________, “Fenomena Cq Realitas Sosial sebagai Objek Kajian Ilmu (Sains) Sosial;” dalam Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif-

Page 377: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

360

Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali, 2001.

WIJOYANTO, Bambang, “Reformasi Hukum di Mahkamah Agung;”

Kompas, 25 Oktober 1999. WILARDJO, Liek, “Peran Paradigma dalam Perkembangan Ilmu;”

Makalah dalam Simposium Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia. PDIH Undip, Semarang, 10 Februari 1998.

WINARDI, J., Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

YAHYA, M. Wildan, “Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an;” dalam Hikmah, Jurnal Ilmu Dakwah, Volume 1 – Nomor 2, Juli 2002.

ZACHARIAS, J. Danny, “Kinerja Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Pemberian Keadilan, Mampukah MARI Keluar dari Masa Kegelapan dan Bencana Berkelanjutan;” dalam Seminar Court Management di MA-RI dan Diskusi Buku Fungsi MA dalam Praktik Sehari-hari. Salatiga; FH-UKSW, 2001.

Kompas, “Negara Hukum Tanpa Moral dan Tanpa Disiplin.” 23 Februari

1996. Kompas, “Kerusakan Kehidupan Hukum Sudah Serius.” 16 April 1998. Kompas, “Wajah Pengadilan Semakin Lebam.” 6 Maret 1999. Kompas, “Lembaga Pengadilan, Toko Hukum, Pasar Hukum.” 15 Maret

1999. Kompas, “Kelambanan Proses Peradilan Dikeluhkan.” 23 April 1999. Kompas, “Pembaharuan hukum Sebaiknya dari Pembenahan Peradilan.” 1

Mei 1999. Kompas, “Penegakan Hukum Jalan di Tempat.” 8 Mei 1999. Kompas,”Kualitas Aparat Penegak Hukum Memprihatinkan.” 24 Mei

1999. Kompas, “Menegakkan Hukum.” 14 Juni 1999. Kompas, “Ternyata tak Gampang Membersihkan Pengadilan.” 15 Juli

1999. Kompas, “Sebuah Sandiwara Penegakan Hukum.” 13 Oktober 1999. Kompas, “Jangan Lagi Jadikan Hukum sebagai Komoditas.” 25 Oktober

1999. Kompas, “MA Menyimpan Potensi Bahaya.” 2 November 1999. Kompas, “Mengubah Cara-cara Penyelesaian Hukum.” 16 November

1999. Kompas, “Mental Tangguh dalam Penegakan Hukum.” 9 Desember 1999.

Page 378: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

361

Kompas, “Pengadilan yang Mengusik Rasa Keadilan.” 13 Januari 2000. Kompas, “Mahkamah Agung Bukan Menara Gading.” 21 Februari 2000. Kompas, “Mahkamah Agung di Tengah Arus Reformasi.” 7 Maret 2000. Kompas, “Sekali Lagi Perihal Membangun Mahkamah Agung yang

Berwibawa.” 13 Maret 2000. Kompas, “Ketika Hukum tidak Lagi Berbunyi.” 13 Maret 2000. Kompas, “Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum.” 19 Juni 2000. Kompas, “Menguji Ketajaman Pedang Keadilan.” 4 September 2000. Kompas, “Terapkan “Transitional Justice.” 24 Oktober 2000. Kompas, “Pembersihan Pengadilan Belum Terwujud.” 3 November 2001. Kompas, “Rawa-rawa Hukum Indonesia.” 15 Juli 2002. Media Indonesia, “Terus terang, Sulit Hadapi Mafia Peradilan.” 30

Desember 2002 Tempo, “Gengsi Baru Mahkamah Agung.” Nomor 2 Tahun XXII, 14

Maret 1992. Tempo, “Mahkamah Agung Meralat Gengsi.” Nomor 3 Tahun XXII, 21

Maret 1992. Jurnal Hukum Bisnis, “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”,

Volume 21, Oktober-November 2002. Varia Peradilan, “Pembatalan Kontrak Dagang Internasional Dewan

Arbitrase Dikesampingkan;” Tahun VII No. 80, Mei 1992. Forum Keadilan, “Dagang Hukum di Pengadilan.” No. 11, 17 September

1992. Majalah Hukum dan Masyarakat, No. 1-2-3 Tahun 1962. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering voor de raden van justitie op

Java en het hooggerechtshof van Indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java en Madura (Rv) S. 1847 No. 52 jo 1849 No. 63. Rv sebagai ketentuan hukum acara perdata yang dahulu berlaku pada Raad van Justitie (RvJ) untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan orang Eropa.

ICSID Basic Documents, Washington DC, 1985. Viena Convention on the law of treaties and international organization

or between international organization., dalam International Legal Materials. Volume XXV, Number 3, May 1986.

Mahkamah Agung RI, Intermanual Himpunan Putusan Mahkamah Agung tentang Arbitrase. Proyek Yurisprudensi, 1989.

Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Indonesia 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1990.

Suplemen Ensiklopedi Islam 1 A-K, Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1993. Ensiklopedi Islam 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1994.

Page 379: 7 Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan

362

Ensiklopedi Hukum Islam Buku I, Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1996. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.

________________, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981, tentang Sewa Menyewa.

________________,Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanann Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

________________,Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

________________,Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

________________,Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

________________,Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

________________,Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

________________, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

________________,Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

________________, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

________________, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981.

________________, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990.