69776833-sirosis-hepatis

14
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatis merupakan tahap akhir dari fibrosis hati yang mengakibatkan distorsi luas hati normal, ditandai dengan nodul regeneratif dikelilingi oleh jaringan fibrosis yang padat (Wolf, 2010). Secara klinis sirosis hepatis dibedakan menjadi sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepatis dekompensata. Sirosis hepatis merupakan penyakit yang banyak dijumpai, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Berdasarkan laporan kesehatan tahunan WHO tahun 2002, diketahui bahwa estimasi angka mortalitas penduduk di dunia akibat sirosis hepatis sebesar 1,4% (World Health Organization, 2004). Di negara maju, sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini (Sutadi, 2003). Penelitian Mary (2010) di Inggris menunjukkan insidensi dan prevalensi sirosis hepatis di Inggris meningkat 45%. Selama setahun sebanyak 25 % meninggal pada penderita sirosis dekompensata. Kematian pada subyek penderita sirosis kompensata dan dekompensata adalah 93 dan178 per 1000 1

Upload: habiby-habibaty-qolbi

Post on 09-Aug-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sirosis-hepatis

TRANSCRIPT

Page 1: 69776833-sirosis-hepatis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirosis hepatis merupakan tahap akhir dari fibrosis hati yang mengakibatkan

distorsi luas hati normal, ditandai dengan nodul regeneratif dikelilingi oleh

jaringan fibrosis yang padat (Wolf, 2010). Secara klinis sirosis hepatis dibedakan

menjadi sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepatis dekompensata.

Sirosis hepatis merupakan penyakit yang banyak dijumpai, baik di negara

maju maupun di negara berkembang. Berdasarkan laporan kesehatan tahunan

WHO tahun 2002, diketahui bahwa estimasi angka mortalitas penduduk di dunia

akibat sirosis hepatis sebesar 1,4% (World Health Organization, 2004). Di negara

maju, sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien

yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Di

seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar

25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini (Sutadi, 2003). Penelitian

Mary (2010) di Inggris menunjukkan insidensi dan prevalensi sirosis hepatis di

Inggris meningkat 45%. Selama setahun sebanyak 25 % meninggal pada penderita

sirosis dekompensata. Kematian pada subyek penderita sirosis kompensata dan

dekompensata adalah 93 dan178 per 1000 orang pertahun. Pada penderita sirosis

hepatis di Amerika Serikat, terjadi sekitar 35.000 kematian setiap tahunnya.

Sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan

bertanggung jawab atas 1,2% dari seluruh kematian. Setiap tahun, 2000 kematian

bertambah karena 2 penyakit ini. Hal ini dikaitkan dengan adanya komplikasi

sirosis yaitu fulminant hepatic failure (FHF) yang memiliki angka kematian 50-80

% kecuali jika dilakukan transplantasi hati (Wolf, 2010). Di Indonesia data

prevalensi sirosis hepatis didapat melalui laporan dari beberapa pusat pendidikan.

Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1 % dari

pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004).

Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819

pasien dari seluruh pasien penyakit di bagian penyakit dalam (Nurdjanah, 2007).

Menurut Hadi (2000) jumlah rata-rata penderita sirosis hepatis sekitar 3,4 % dari

1

Page 2: 69776833-sirosis-hepatis

total penderita penyakit hati dan berada di peringkat kedua sebagai faktor

penyebab penyakit hati, setelah hepatitis virus akut.

Komplikasi pada sirosis hepatis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas

penderita sirosis. Beberapa komplikasi sirosis yaitu asites, pendarahan varises

esofagus, ensefalopati hepatik, sindrom hepatorenal, sindroma hepatopulmoner,

dan karsinoma hepatoseluler.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi, patogenesis,

patofisiologi, tanda dan gejala, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan,

prognosis serta edukasi dari sirosis hepatis.

2

Page 3: 69776833-sirosis-hepatis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Sirosis hepatis merupakan keadaan yang menggambarkan akhir dari

perjalanan histologi pada berbagai macam penyakit hepar kronik. Istilah sirosis

pertama kali diperkenalkan oleh Laennec tahun 1826. Istilah ini diambil dari

bahasa Yunani yaitu scirrhus yang digunakan untuk mendeskripsikan permukaan

hepar yang berwarna oranye jika dilihat pada saat autopsi. Tapi karena arti kata

sirosis atau scirrhus banyak yang salah menafsirkannya akhirnya istilah ini

berubah artinya menjadi pengerasan. Berbagai bentuk dari kerusakan sel hepar

ditandai dengan adanya fibrosis. Fibrosis merupakan peningkatan deposisi

komponen matrix ekstraseluler (kolagen, glikoprotein, proteoglikan) di hepar.

Respon terhadap kerusakan sel hepar ini sering bersifat irreversibel. Secara

histologis sirosis merupakan proses yang difus pada hepar ditandai adanya

fibrotisasi dan konversi dari struktur arsitektur hepar normal menjadi struktur

nodul yang abnormal.

Progresi dari kerusakan sel hepar menuju sirosis dapat muncul dalam

beberapa minggu sampai dengan bertahun-tahun. Beberapa gejala yang timbul

dapat bervariasi mulai dari penurunan fungsi sintetik hati (koagulopati),

penurunan kemampuan hati untuk detoksifikasi (ensefalopati hepatic) sampai

hipertensi portal (perdarahan varises).

2.2 Epidemiologi

Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000

kematian per tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian

yang kesembilan di AS, dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian

di AS. Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hepatis di Indonesia,

berdasarkan diagnosis klinis, bahwa prevalensi sirosis hepatis yang dirawat di

bangsal penyakit dalam sekitar 3,6-8,4% di Jawa dan Sumatra, sedang di Sulawesi

dan Kalimantan di bawah 1 %. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis

adalah 3,5% dari seluruh yang dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata-rata

47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan pria dan

3

Page 4: 69776833-sirosis-hepatis

wanita adalah 2,1:1 dan usia rata-rata 44 tahun. Rentang usia 13-88 tahun,

fdengan kelompok terbanyak antara 40-50 tahun.

2.3 Klasifikasi dan etiologi

2.3.1 Klasifikasi Morfologi

a. Sirosis mikronoduler

Nodul yang berbentuk uniform, diameter kurang dari tiga milimeter dimana

penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemokromatosis, obstruksi bilier,

obstruksi venahepatika, pintasan jejuno-ileal sirosis pada anak india. Sirosi

mikronoduler sering berkembang menjadi sirosis makronoduler.

b. Sirosis makronoduler

Nodul bervariasi dengan diameter lebih dari tiga milimeter. Penyebabnya

antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, dan defisiensi α-1-antitripsin.

c. Kombinasi antara mikro dan makronoduler Sirosis hepatis jenis ini sering

ditemukan.

d. Sirosis bilier primer

2.3.2 Klasifikasi Etiologi

Klasifikasi ini lebih banyak digunakan dalam klinik.

2.4 Patogenesis

2.5 Patologi

Secara makroskopis, hati berbentuk besar atau kecil. Tetapi konsistensinya

selalu keras. Biopsi hati adalah metode untuk mendiagnosis sirosis secara pasti.

Secara histopatologis, semua bentuk sirosis ditandai oleh tiga temuan : (1) distorsi

berat arsitektur hati, (2) pembentukan jaringan parut akibat meningkatnya jaringan

4

Page 5: 69776833-sirosis-hepatis

fibrosa dan kolagen, (3) nodul-nodul regeneratif yang dikelilingi oleh jaringan

parut.

2.6 Gejala Klinis

Beberapa pasien dengan sirosis hepatis tidak menampakan gejala klinis pada

fase awal penyakit. Gejala-gejala yang nampak dapat disebabkan oleh dua hal,

yaitu kegagalan hepar dalam menjalankan fungsi nutrisi serta perubahan struktur

dan ukuran hepar yang disebabkan oleh proses fibrotisasi. Menurut Shrelock

secara klinis sirosis hati dibagi atas dua tipe, yaitu :

1. Sirosis kompensata atau sirosis laten

Gejala klinis yang dapat nampak adalah pireksia ringan, “spider” vaskular,

eritema palmaris atau epistaksis yang tidak dapat dijelaskan, edema pergelangan

kaki. Pembesaran hepar dan limpa merupakan tanda diagnosis yang bermanfaat

pada sirosis kompensata. Dispepsia flatulen dan salah cerna pagi hari yang samar-

samar bisa merupakan gambaran dini dari pasien sirosis alkoholik. Sebagai

konfirmasi dapat dilakukan tes biokimia dan jika perlu dapat dilakukan biopsi hati

aspirasi.

2. Sirosis dekompensata atau sirosis aktif

Gejala-gejala sirosis dekompensata lebih menonjol terutama bila timbul

komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta. Biasanya pasien sirosis

dekompensata datang dengan asites atau ikterus. Gejala-gejala yang nampak

adalah kelemahan, atrofi otot dan penurunan berat badan, hilangnya rambut

badan, gangguan tidur, demam ringan kontinu (37,5º-38ºC), gangguan pembekuan

darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih

berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan

mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai dengan

koma.

Sesuai dengan konsesus Baveno IV, sirosis hepatis dapat dibagi menjadi

empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, asites, dan perdarahan

varises.

- stadium I : tidak ada varises, tidak ada asites

- stadium II : varises, tanpa asites

- stadium III : asites dengan atau tanpa varises

5

Page 6: 69776833-sirosis-hepatis

- stadium IV : perdarahan dengan atau tanpa asites

2.7 Diagnosis

Penegakkan sirosis hepatis pada saat ini dengan anamnesa, pemeriksaan fisik,

laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati

atau periteneoskopi karena sulit membedakan hepatitis kronis aktif yang berat

dengan sirosis hepatis dini. Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala

tidak sulit dikarenakan hgejala dan tanda-tanda klinis sudah tampak dengan

adanya komplikasi.

1. Anamnesa

Dalam anamnesa guna untuk menegakkan diagnosa harus ditanyakan faktor

risiko terjadinya sirosis antara lain konsumsi alkohol jangka panjang, penggunaan

narkotik suntikan, juga adanya penyakit hati menahun. Pasien dengan hepatitis

virus B dan C mempunyai kemungkinan besar untuk mengidap sirosis.

2. Pemeriksaan fisik

3. pemeriksaan laboratorium

4. pemeriksaan endoskopi

5. pemeriksaan CT sca atau MRI dan USG

2.8 Penatalaksanaan

2.9 Prognosis

Prognosis sirosis dipengaruhi oleh etiologi, beratnya kerusakan, komplikasi, dan

penyakit lain yang menyertai. Pasien sirosis kompensata mempunyai harapan hidup

lebih lama, bila tidak berkembang menjadi sirosis dekompensata. Diperkirakan

sekitar sepuluh tahun harapan hidup pasien sirosis kompensata dengan 47%

sebaliknya pasien dengan sirosis dekompensata hanya 16% dengan harapan hidup

dalam waktu lima tahun. Indeks hati digunakan sebagai petunjuk menilai prognosis

pasien dengan hematemesis melena yang dapat pengobatan medik (tabel 1). Untuk

pasien sirosis hati yang direncanakan tindakan bedah, penilaian prognosis pasien

dilakukan dengan penilaian skor menurut Child-Turcotte-Pough (tabel 2),

sementara untuk penilaian pasien sirosis yang direncanakan transplantasi hati

6

Page 7: 69776833-sirosis-hepatis

menggunakan skor MELD (Model for End-Stage Liver Disease) atau PELD

(Pediatric End-stage Liver Disease (tabel 3).

Tabel 1. Indeks Hati

Pemeriksaan 0 1 21. albumin (g%) >3,6 3,0-3,5 <3,02. Bilirubun (mg

%)<2,0 2,0-3,0 >3,0

3. Gangguan kesadaran

- Minimal+

4. Asites - Minimal +1. Kegagalan

hati ringan = indeks hati 0-3

2. Kegagalan hati sedang

= indeks hati 4-6

3. Kegagalan hati berat

= indeks hati 7-10

Tabel 2. Klasifikasi Child-Turcotte-Pough

Klasifikasi CTP 1 poin 2 poin 3 poinBilirubin (mg/dl)

Pasien PBC & PSC

<2<4

2-34-10

>3>10

Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8PT memanjang >3,5 4-6 >6

INR <1,7 1,8-2,3 >2,3Asites (-) Sedikit atau

terkontrol obatSedang atau berat

Ensefalopati (-) 1-2 3-4Skor CTP : A= 5-6B= 7-9C = 10-15

Tabel 3. Skor MELD atau PELD

Skor MELD : 3,8 * log [bilirubin] +11,2 *log [INR] + 9,6 *[kreatinin]+6,4Interval Skor MELD = 6-40

2.10 Komplikasi

a. Edema dan asites

7

Page 8: 69776833-sirosis-hepatis

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee

GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed.

Philadelpia- London: Lee& Febiger, 1993;911-43.

2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,

2001;501-8.

3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK

http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm

4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology :

Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.

5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.

Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp

6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik

2003. Jakarta. Q-communication, 1997;6.

8

Page 9: 69776833-sirosis-hepatis

7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-

101

8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic

Anemia. Available in URL: HYPERLINK

http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/

9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds).

William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.

10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow

failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al

(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,

2005;190- 206.

11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).

Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey:

Humana Press, 2007 ;207-16.

12. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure

syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of

Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.

13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed.

New

York: Lange McGraw Hill, 2005.

14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds).

Current

Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill,

2007;510-11.

15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.

9