4.1. seting penelitianrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11744/4/t1_462008027_bab iv... ·...

82
33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Seting Penelitian 4.1.1. Gambaran Desa Poleganyara Secara topografis desa Poleganyara adalah desa yang terletak di kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, propinsi Sulawesi Tengah. Desa ini berada kurang lebih 3 km dari kecamatan Pamona Timur. Administrasi berpusat di kecamatan Pamona Timur. Adapun batas wilayahdesa Poleganyara sebelah utara berbatasan dengan desa Taripa, sebelah timur berbatasan dengan desa Tiu dengan luas wilayah 4.600 ha, di sebelah barat berbatasan dengan desa Didiri dan di sebelah selatan berbatasan dengan desa Kancu’u. Desa Poleganyara hanya memiliki satu wilayah yang dikepalai oleh kepala desa. Total penduduk desa Poleganyara berjumlah 1334 jiwa. Berdasarkan tingkat pendidikan, warga desa Poleganyara kebanyakan adalah tamatan SMP (24,28%), disusul SD (23,83%). Dilihat dari perkembangan tingkat pendidikan,penduduk desa Poleganyara memiliki keinginan

Upload: doanbao

Post on 12-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Seting Penelitian

4.1.1. Gambaran Desa Poleganyara

Secara topografis desa Poleganyara adalah desa

yang terletak di kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso,

propinsi Sulawesi Tengah. Desa ini berada kurang lebih 3 km

dari kecamatan Pamona Timur.

Administrasi berpusat di kecamatan Pamona Timur.

Adapun batas wilayahdesa Poleganyara sebelah utara

berbatasan dengan desa Taripa, sebelah timur berbatasan

dengan desa Tiu dengan luas wilayah 4.600 ha, di sebelah

barat berbatasan dengan desa Didiri dan di sebelah selatan

berbatasan dengan desa Kancu’u. Desa Poleganyara hanya

memiliki satu wilayah yang dikepalai oleh kepala desa. Total

penduduk desa Poleganyara berjumlah 1334 jiwa.

Berdasarkan tingkat pendidikan, warga desa

Poleganyara kebanyakan adalah tamatan SMP (24,28%),

disusul SD (23,83%). Dilihat dari perkembangan tingkat

pendidikan,penduduk desa Poleganyara memiliki keinginan

34

untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan adanya

lulusan S1 sebanyak 14 orang (1,04%).

Table 1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Penduduk

Satuan (orang) %

1. Belum Sekolah 165 12,36%

2. Tidak Tamat SD 232 17,39%

3. SD 318 23,83%

4. SMP 324 24,28%

5. SMA 276 20,68%

6. D1/D2 10 0,74%

7. D3 5 0,37%

8. S1 14 1,04%

Total 1334 100%

Sumber : Kantor kepala Desa Poleganyara, Kecamatan Pamona

Timur, Kabupaten Poso (2012)

4.1.2. Fasilitas kesehatan di Desa Poleganyara

Desa Poleganyara memiliki satu Puskesmas

Pembantu yang berada ditepi jalan utama,tepatnya ditengah

desa Poleganyara. Tenaga kesehatan di Puskesmas

Pembantu desa Poleganyara berjumlah satu orang yakni

perawat. Puskesmas pembantu di desa Poleganyara

merupakan cabang dari Puskesmas di kecamatan Pamona

Timur yang berjarak 4 km dari desa Poleganyara.

35

4.1.3. Profil Riset Partisipan Penelitian

Untuk mengetahui perilaku pencegahan rehipertensi

maka dilakukan wawancara atas pengalaman 30 orang

partisipan. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan

batasan umur karena fokus penelitian adalah untuk

mendeskripsikan perilaku pencegahan rehipertensi yang

dilakukan warga desa Poleganyara pada umumnya. Dari

hasil penelitian, pada dasarnya umur tidak mempengaruhi

perilaku pencegahan rehipertensi dilihat dari perilaku

pencegahan yang dilakukan setiap partisipan tidak jauh

berbeda antara satu dengan yang lain. Selain itu, jenis

pekerjaan dari 30 riset partisipan bebeda-beda namun

kebanyakan memiliki rutinitas yang sama dalam keseharian,

yakni pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik.

Pendidikan partisipan penelitian yaitu berpendidikan

S1 ada 1 orang, SMA/SPG berjumlah 10 orang, SMP

berjumlah 7 orang, SD berjumlah 12 orang. Berdsarkan hasil

penelitian, tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki oleh 30

riset partisipan tidak terlalu mempengaruhi secara signifikan

perilaku mereka dalam mencegah rehipertensi.

Pada bagian ini peneliti melakukan analisis data

berdasarkan hasil wawancara dan observasi,dengan

36

menentukan tema-tema dari setiap jawaban riset partisipan.

Setiap tema ini mendeskripsikan perilaku pencegahan

terhadap rehipertensi. Rehipertensi adalah pengulangan

hipertensi atau kambuhnya hipertensi. Tema perilaku

pencegahan rehipertensi ini yaitu upaya pengecekan

tekanan darah, pola konsumsi, pengendalian stres, pola

tidur, penggunaan ramuan tradisional dan obat medis,

merokok dan konsumsi minuman beralkohol.

37

Tabel 2. Profil Riset Partisipan Penelitian

No.

Identitas umur L/P Alamat Status Pernikahan

Pendidikan Terakhir

Pekerjaan Lama menderita hipertensi

Tekanan Darah Tinggi Terakhir (data Puskesmas dan Pustu (mmHg)

Tekanan darah (mmHg) saat wawancara

1 Ibu EG 49 tahun

P Poleganyara Menikah SPG Petani Sejak 2004 170/100 120/90

2 Ibu R 48 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2005 150/90 140/90

3 Bapak RT 50 tahun

L Poleganyara Menikah S1 Wiraswasta Sejak 1987 160/90 135/90

4 Ibu AG 46 tahun

P Poleganyara Menikah SPG PNS Sejak 2007 160/90 130/90

5 Ibu PT 54 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2006 180/90 120/80

6 Ibu AL 76 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2005 170/80 130/90

7 Ibu BT 51 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2007 150/90 140/80

8 Ibu RM 52 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 1992 170/90 120/80

38

9 Ibu S 43 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2006 150/90 130/80

10 Ibu IT 41 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2008 160/100 130/80

11 Bapak BK 44 tahun

L Poleganyara Menikah SD Wiraswasta Sejak 2011 140/90 130/90

12 Bapak IM 37 tahun

L Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2004 180/90 110/90

13 Bapak YT 66 tahun

L Poleganyara Menikah SMP Wiraswasta Sejak 2009 150/90 140/90

14 Ibu IG 56 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2005 180/90 120/90

15 Ibu JN 65 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Pensiunan Sejak 1980 150/80 150/90

16 Ibu UB 53 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2005 140/80 120/90

17 Ibu YP 57 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2005 160/80 130/80

18 Ibu HR 54 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2005 170/90 120/80

19 Ibu HB 41 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Wiraswasta Sejak 2000 140/100 135/90

20 Bapak WP 72 tahun

L Poleganyara Menikah SMA Pensiunan Sejak 1998 150/90 145/90

21 Ibu MH 54 tahun

P Poleganyara Menikah SPG PNS Sejak 1994 140/100 130/90

22 Ibu TE 52 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 1994 140/100 140/80

39

23 Ibu W 56 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2010 160/80 140/90

24 Ibu O 37 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Petani Sejak 2011 130/90 130/90

25 Ibu BM 55 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Wiraswasta Sejak 2011 150/100 135/90

26 Ibu SD 69 tahun

P Poleganyara Menikah SPG Petani Sejak 2004 150/90 120/90

27 Ibu TT 46 tahun

P Poleganyara Menikah SPG PNS Sejak 2012 140/90 140/90

28 Ibu NT 54 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2006 150/80 120/90

29 Bapak NY 78 tahun

L Poleganyara Menikah SMA Pensiunan Sejak 1967 150/90 150/90

30 Ibu RT 62 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2005 170/90 130/90

40

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Upaya PengecekanTekanan Darah

Upaya pengecekan tekanan darah merupakan usaha yang

dilakukan melalui pengukuran tekanan darah dengan tensimeter

untuk mengetahui nilai tekanan darah pada satu waktu.

a. Frekuensi dan Alasan

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 riset partisipan,

13 riset partisipan melakukan cek tekanan darah 2 atau 3 bulan

sekali atau hanya pada saat sakit. 1 riset partisipan hanya

melakukan cek tekanan darah saat sakit, setelah sakit meskipun

gejala hipertensi muncul, tidak dilakukan cek tekanan darah. 14

riset partisipan melakukan cek tekanan darah 1 sampai 3 kali

dalam 1 bulan,dan 2 partisipan lainnya rutin yaitu dengan

frekuensi yang lebih seringdimana partisipan pertama

melakukan cek tekanan darah setiap pagi sedangkan partisipan

kedua melakukan cek tekanan darah setiap dua hari sekali.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh riset partisipan

yakni mereka hanya melakukan pengukuran tekanan darah jika

muncul gejala hipertensi, dan sebaliknya jika tidak muncul gejala

tersebut maka tidak dilakukan pengukuran tekanan darah. Hal

ini dikemukakan oleh 13 riset partisipan, misalnya dalam

41

wawancara dengan ibu BT yang mengatakan: “Saya tensi nanti

sakit saja, kalau tidak, tidak ditensi. Bulan ini tidak ada pergi tensi, 2

bulan yang lalu ada, mungkin setiap dua bulan”” (P7,8). Pendapat

yang sama juga disampaikan oleh 14 riset partisipan yang lain,

dimana mereka melakukan pengukuran tekanan darah jika sakit.

Hanya saja 14 riset partisipan ini lebih sering melakukan

pengukuran tekanan darah karena gejala hipertensi yang sering

muncul dan tekanan darah yang tidak turun meskipun

merasakan gejala hipertensi yang tidak terlalu parah.

Ada 2 riset partisipan yang rutin melakukan pengukuran

tekanan darah karena, partisipan pertama sedang dalam

pengobatan paska stroke ringan, sedangkan partisipan kedua

memiliki alat tensimeter digital sendiri dirumah.

b. Tempat Pengukuran Tekanan darah

Pengukuran tekanan darah dilakukan oleh riset partisipan

dibeberapa tempat berbeda yakni, Puskesmas Taripa,

Puskesmas Pembantu, Rumah Bidan dan dirumah bagi yang

memiliki alat pengukuran tekanan darah sendiri.

Puskesmas pembantu terletak ditengah desa

Poleganyara yang memiliki 1 orang tenaga kesehatan yakni

seorang perawat. Karena letak tempat yang dekat dengan rumah

warga, Puskesmas Pembantu adalah tempat yang sering

42

dikunjungi oleh partisipan dalam melakukan pengukuran

tekanan darah. Puskesmas Taripa berada di Kecamatan yang

berjarak kurang lebih 4 km dari desa Polegayara, sehingga

jarang dikunjungi oleh riset partisipan karena letaknya yang jauh.

Puskesmas Taripa dikunjungi oleh partisipan jika akan bertemu

dokter. Selain itu, yang sering dikunjungi juga adalah Bidan desa

Kancu’u, berjarak agak jauh dari desa poleganyara kurang lebih

7 km. Secara keseluruhan, 30 riset partisipan pernah

mengunjungi tempat-tempat layanan kesehatan tersebut untuk

memeriksakan diri atau melakukan cek kesehatan.

c. Nilai Tekanan Darah

Berdasarkan pengakuan dari 30 riset partisipan,

mereka memiliki tekanan darah diatas 150/90 mmHg saat

pertama kali mendapat hipertensi, seperti pengakuan dari ibu

BM misalnya yang mengatakan: “Eh karna makan daging.

Biasanyakan cuma 90/80, pe tensi kamari 150/100. Kan banyak dia

naik itu to, dari yang biasa cuma 90 jadi 150, jadi tua pusing, kaget to.

Jadi sudah, dikase obat sama bidan Kancu. Ini lagi belum tau lagi ini

berapa, ada tensi itu, tunggu.”(P25,2). Nilai tekanan darah dari 30

riset partisipan saat mendapatkan hipertensi menurut JNC VII

yaitu 13 partisipan berada pada hipertensi derajat I yaitu 140-159

43

atau 90-99 (mmHg) dan 17 partisipan pada hipertensi derajat II

yaitu >160 atau >100 (mmHg).

Selain nilai tekanan darah yang disampaikan oleh riset

partisipan berdasarkan kejadian hipertensi yang sudah dialami,

peneliti melakukan pengukuran tekanan darah sebelum memulai

wawancara, dimana hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi

riset partisipan (RP) saat berlangsungnya wawancara. Berapa

beberapa kali juga peneliti melakukan pengukuran tekanan

darah sebanyak tiga kali dengan rentang waktu 1 bulan. Hal ini

dilakukan untuk memastikan nilai tekanan darah partisipan

setelah melalui proses perilaku pencegahan rehipertensi yang

telah dilakukan dan didapatkan kesimpulan sebagai berikut nilai

tekanan darah 30 RP adalah sebagai berikut: Normal yaitu<120

atau <80 (mmHg) dengan 1 partisipan dengan umur 37 tahun;

Prehipertensi yaitu 120-139 atau 80-89 (mmHg) 19 partisipan

kisaran umur 41-76 tahun dan hipertensi derajat 1 yaitu 140-159

atau 90-99 (mmHg) 9 partisipan kisaran umur 46-78 tahun. Dari

hasil pengukuran ini terlihat adanya perbedaan nilai tekanan

darah dari 30 partisipan dimana terjadi penurunan tingkat

tekanan darah dibandingkan dengan nilai tekanan darah saat

mendapatkan hipertensi.

44

4.2.2. Pola Konsumsi

Berdasarkan hasil penelitian, setiap riset partisipan paham

tentang pencegahan rehipertensi dalam hal membatasi pola

konsumsi beberapa bahan maupun jenis makanan yang paling sering

dapat memicu munculnya hipertensi. Setiap riset partisipan memiliki

pola konsumsi yang hampir sama dalam menjaga kestabilan tekanan

darah, hal ini berdasarkan informasi yang diterima oleh riset partisipan

baik melalui tenaga kesehatan maupun dari orang lain yaitu saling

berbagi informasi dengan sesama yang juga memiliki riwayat

hipertensi.

a. Konsumsi Garam

Penggunaan garam berlebih dapat memicu

meningkatnya tekanan darah. Setiap riset partisipan paham

bahwa dengan mengurangi jumlah garam yang dikonsumsi

dapat mencegah hipertensi. Ini terlihat dalam hasil wawancara

dimana 29 dari 30 riset partisipan mengurangi jumlah garam

yang dikonsumsi. Dari 29 riset partisipan tersebut, 3 riset

partisipan diantaranya terkadang tidak mengkonsumsi garam

sama sekali, khususnya ketika gejala hipertensi muncul, garam

tidak digunakan dalam makanan yang dikonsumsi. Setelah

tekanan darah kembali normal mereka kembali mengkonsumsi

garam.

45

Berdasarkan hasil wawancara dari 29 riset partisipan

yang mengurangi konsumsi garam, beberapa cara mengukur

garam dalam campuran makanan bergantung pada banyaknya

masakan yang dimasak. Dari 29 riset partisipan, 13 diantaranya

mengukur penggunaan garam dalam campuran masakan

dengan menggunakan ujung sendok makan. Ada 4 partisipan

mengukur konsumsi garam dengan menggunakan jari tangan. 5

riset partisipan lainnya mengatakan mengkonsumsi garam

dalam jumlah yang sedikit sejak mendapat hipertensi, tidak

memiliki takaran tetapi hanya membatasi dengan mengurangi

jumlah garam yang dikonsumsi. 7 riset partisipan yang terdiri dari

laki-laki mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi sudah

diatur jumlah garamnya karena biasanya mereka juga

mengingatkan kepada anggota keluarga yang memasak

makanan untuk mengurangi garam bahkan kadang diminta

untuk tidak menggunakan garam dalam masakan. hal yang

sama disampaikan juga oleh 7 anggota keluarga dari 7 riset

partisipan yang mengatakan bahwa selalu mengurangi takaran

garam dalam masakan rumah khususnya bagi anggota keluarga

yang memiliki hipertensi.

Ada 1 riset partisipan yang tidak mengurangi jumlah

konsumsi garam meskipun mempunyai hipertensi. Dalam

46

wawancara dengan riset partisipan ini yakni ibu O,

mengatakan:“Garam itu, masih ba garam hahaha, tidak bisa ma ade

tidak ba garam hahaha”(P24,18). Ibu O menyukai rasa asin,

namun ketika ditanya apakah itu mempengaruhi munculnya

hipertensi ibu O menjawab bahwa tekanan darah naik karena

makanan asin, tetapi menurut ibu O seperti dalam wawancara

berikut: “Ada juga, kalo berapa hari itu saya makan ba garam, ada

biasa dia muncul, pi tensi lagi so nae lagi. Tapi abis itu kalau diistirahat

akan tidak oh, turun pasti depe rasa sakit. Kan saya minum akan

ramuan juga to, bae saya rasa, tidak apa-apa, belum apa-apa yau.

Cumakan tidak diminta-minta sakit to.” (P24,20). Meskipun

konsumsi garam ini berpengaruh terhadap hipertensi, ibu O

mampu mengantisipasi setiap gejala hipertensi yang muncul

yang disebabkan konsumsi garam berlebih sehingga meskipun

memiliki hipertensi, tidak merubah pola konsumsi garam, dimana

masih tetap sama seperti sebelumnya.

b. Konsumsi MSG

MSG merupakan salah satu bahan makanan yang

menyebabkan hipertensi jika digunakan dalam jumlah

berlebih.Setiap riset partisipan memahami bahwa pentingnya

membatasi penggunaan MSG dalam campuran makanan demi

menjaga kestabilan tekanan darah.Penggunaan MSG oleh riset

47

partisipan berkurang bahkan ada riset partisipan yang tidak

menggunakan MSG sama sekali dalam campuran makanan, hal

ini dilakukan setelah riset partisipan memiliki riwayat tekanan

darah tinggi.

Jenis MSG yang sering digunakan adalah vitsin dan

masako. Bagi riset partisipan yang menggunakan vitsin dalam

masakan, takarannya sebanyak 1 bungkus kecil dan jika

menggunakan masako, untuk 1 bungkus dapat digunakan 4-6

kali pemakaian dalam memasak. Seperti dalam wawancara

dengan ibu T misalnya yang mengatakan: “1 bungkus masako itu

banyak to, saya biasa 1 bungkus itu 5-6 kali pake, jangan juga banyak

dipake tidak enak.” (P22,19).

Dari 30 riset partisipan, riset partisipan (46,67%) tidak

menggunakan MSG sama sekali dalam campuran makanan

yang diolah sendiri. sedangkan 16partisipan yang lain (53,33%)

menggunakan MSG.

Beberapa alasan riset partisipan tidak menggunakan

MSG karena tidak terbiasa menggunakannya dan tidak

menyukai rasa dari makanan jika menggunakan MSG sebagai

bahan campurannya, seperti dalam wawancara dengan ibu BT

yang mengatakan: “Ane penyedap rasa bere’e ku pa pake ungkari

owi, kuepe be mawongi se’e, ja ne’e mo kudika (Kalau penyedap rasa

48

tidak. Saya rasa tidak enak juga, jadi tidak usah saya taruh)”, hal

serupa juga disampaikan oleh 14 riset partisipan yang tidak

menyukai bumbu penyedap rasa untuk digunakan dalam

masakan karena tidak terbiasa maupun tidak menyukai rasa

masakan jika ditambahkan MSG.Ada 16 riset partisipan yang

masih menggunakan MSG sebagai penambah cita rasa dalam

masakan.

c. Konsumsi Daging

Mengurangi konsumsi daging sangat penting dalam

menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.

Berdasarkan hasil wawancara, jenis daging yang sering

dikonsumsi oleh riset partisipan adalah daging babi, daging sapi

dan daging ayam. Jenis daging ini yang umumnya sering

dikonsumsi penduduk desa Poleganyara.

Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang frekuensi

mengkonsumsi daging, 28 dari 30 riset partisipan mengatakan

jarang mengkonsumsi daging karena untuk mengkonsumsi

daging hanya didapatkan pada waktu tertentu, misalnya pada

acara pesta pernikahan, ibadah kolom (ibadah kelompok gereja)

atau padungku (acara pengucapan syukur desa atas hasil panen

yang diselenggarakan satu tahun sekali), seperti dalam

wawancara dengan ibu HB: “Mana daging mo di makan tidak ada.

49

Jarang-jarang kalo makan daging. Paling kalo ada acara, pesta bagitu,

padungku atau biasa ba evang baru makan daging babi atau sapi,

daging ayam juga.” (P18,13). Hal serupa juga disampaikan oleh

27 riset partisipan bahwa untuk mengkonsumsi daging jika ada

acara yang dilaksanakan baik itu acara kerohanian, pesta

pernikahan maupun acara syukuran desa. Sedangkan 2 riset

partisipan tidak memiliki frekuensi konsumsi daging karena sejak

mendapat hipertensi sudah berhenti mengkonsumsi daging.

Sebanyak 28 riset partisipan masih mengkonsumsi

daging dalam jumlah yang sedikit dalam artian membatasi

jumlah potongan daging yang dikonsumsi. Rata-rata mereka

mengkonsumsi daging sebanyak 4-5 potongan kecil setiap kali

makan, hal ini untuk mencegah rehipertensi.

Dari 28 riset partisipan yang masih mengkonsumsi

daging, beberapa riset partisipan yang mengkonsumsi 1 jenis

daging yaitu 5 riset partisipan hanya mengkonsumsi daging babi,

5 partisipan lainnya hanya mengkonsumsi daging ayam.

Beberapa partisipan yang mengkonsumsi 2 jenis daging

yaituada 9 riset partisipan yang mengkonsumsi daging babi dan

daging ayam dan 2 riset partisipan yang mengkonsumsi daging

babi dan daging sapi serta 1 riset partisipan yang mengkonsumsi

daging babi dan daging anjing. Untuk beberapa partisipan yang

50

mengkonsumsi 3 jenis daging yaitu 3 riset partisipan

mengkonsumsi daging babi, daging sapi dan daging ayam, dan

2 partisipan yang mengkonsumsi daging babi, daging sapi dan

daging anjing. Untuk partisipan yang mengkonsumsi 4 jenis

daging yaitu 1 partisipan masih mengkonsumsi daging ayam,

daging kelelawar daging anjing dan daging babi.

Alasan riset partisipan tidak mengkonsumsi daging

maupun mengurangi jumlah konsumsi daging karena pentingnya

untuk tetap menjaga tekanan darah agar tetap normal serta

untuk menghindari penyakit karena beberapa partisipan merasa

sakit yang sangat mengganggu dan tidak ingin merasakan lagi

gejala penyakit tersebut, seperti yang disampaikan oleh ibu NK

dalam wawancara: “saya tidak makan daging. Daging sapi, daging

babi, ikan lele saya tidak makan, paniki saya tidak makan, cuma daging

ayam, ikan mujair dan ikan laut saja yang saya makan. Sudah lama

dari kena penyakit itu bukan karena pantangan atau dokter larang

makan itu, tapi saya rasa sendiri lama saya pantangan makan tidak

pernah lagi kena kembali penyakit itu oh berarti betul. Karena bukan

orang lain yang rasa, saya yang rasa. Kesembuhannya saya yang

rasakan. Kalau paksa makan daging nanti kena lagi itu penyakit.”

(P8,26).

51

Dari 28 riset partisipan, terdapat2riset partisipan yang

masih mengkonsumsi daging namun melakukan tindakan

pencegahandengan membuat ramuan untuk diminum setelah

mengkonsumsi daging. Hal ini dilakukan oleh ibu MH yang dalam

wawancara mengatakan “Biasa daun balacai. Tapi biasa juga kalo

saya makan daging, tapi tidak juga kalo makan daging karena so

jarang. Tapi kalo saya makan, sebelum itu sa so bikin akan ramuan.”

(P21,6). Hal serupa juga dismpaikan oleh ibu S dengan

membuat ramuan dari daun balakama. Menurut mereka, cara ini

sangat membantu untuk mencegah rehipertensi yang

disebabkan konsumsi daging.

d. Konsumsi Sayuran

Perbanyak mengkonsumsi sayuran dapat mengurangi

risiko hipertensi serta menurunkan tekanan darah pada

penderita hipertensi.

Sayur merupakan jenis makanan yang sering dikonsumsi

oleh seluruh riset partisipan dan dikonsumsi setiap hari. Setiap

kali makan, sayuran menjadi pelengkap menu makanan

sedangkan lauk tidak didapat setiap hari dalam menu makanan,

dikarenakan letak desa yang jauh dari pasar. Namun biasanya

juga penduduk desa memanfaatkan sungai atau aliran air

disawah untuk memancing ikan, seperti dalam kutipan

52

wawancara dengan ibu UB yang mengatakan: “Kalo makan tiap

hari biasa saja, biasa makan sayur, ya sayur paku, katedo, labu siam,

sayur kacang, yang begitu-begitu. Ikan jarang-jarang, kecuali saya

punya anak itu biasa pulang bawa pancingan baru makan ikan, ikan

laut juga jarang-jarang, paling sering sayur itu tiap hari pasti

ada.”(P16,45). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset

partisipan yang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan disekitar

desa serta memanfaatkan sungai untuk mendapatkan ikan

dikarenakan keterbatasan sumber pemenuhan kebutuhan

makanan sehingga seluruh partisipan memiliki cara yang sama

dalam memenuhi kebutuhan konsumsi makanan.

Dari 30 riset partisipan kebanyakan mengkonsumsi

sayuran yang ditanam sendiri seperti kacang panjang, daun

kacang, terong, labu kuning, labu siam, selain itu juga jenis sayur

yang tumbuh didaerah sekitar desa seperti daun ubi (daun

singkong) atau sayur paku (pakis). Jenis sayuran daun singkong

dan pakis merupakan sayuran yang paling sering dikonsumsi

karena banyak tumbuh disekitar desa, maka setiap kali beberapa

partisipan yang kembali dari kebun atau sawah, mampir memetik

sayuran ini untuk dibawa pulang, seperti dalam wawancara

dengan ibu JN yang mengatakan: “Iyo hari-hari, eh daun ubi, sayur

paku, kangkung, itu saja. Biasa papa tua minta daun papaya atau

53

bunga papaya dicampur dengan sayur paku. Pa tua biasa kalo pulang

dari sawah so bawa pulang deng sayur dia pete dipinggir-pinggir kuala

itu.” (P15,14). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset

partisipan dimana mereka memanfaatkan tumbuhan seperti

daun singkong dan sayur paku yang banyak tumbuh disekitar

desa untuk memenuhi kebutuhan makanan setiap hari.

e. Konsumsi Buah-buahan

Mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung

vitamin dapat mengurangi risiko hipertensi. Di desa

Poleganyara, buah-buahan jarang ditemui untuk menjadi bahan

konsumsi setiap hari, terkecuali pada musim buah seperti

durian, rambutan, langsat dan manggis dapat dikonsumsi setiap

hari selama musim buah tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 riset

partisipan, buah-buahan termasuk yang jarang dikonsumsi. Dari

30 riset patisipan hanya 1 riset partisipan yang sering

mengkonsumsi buah seperti papaya dan pisang, bapak R.T

mengatakan bahwa setiap pulang dari sekolah, istri bapak R.T

membeli pisang atau papaya untuk dikonsumsi dirumah. 29 riset

partisipan yang lain jarang mengkonsumsi buah karena

biasanya menunggu buah matang dari pohonnya seperti

papaya dan pisang, sehingga konsumsi buah biasanya

54

seminggu sekali. Hal ini juga dikarenakan letak pasar yang jauh,

sehingga kebanyakan warga memilih menanam pohon buah

sendiri. Pohon pisang dan papaya banyak ditanam dihalaman

rumah atau kebun, sehigga untuk mendapatkannya cukup

mudah.

Dalam hubungannya dengan pencegahan rehipertensi,

1 riset partisipan bapak IM sering mengkonsumsi buah ketimun

jika gejala hipertensi muncul. Meskipun tidak tiap hari memiliki

persediaan ketimun, namun mengkonsumsi buah ini menjadi

kebiasaan untuk mencegah rehipertensi, seperti dalam kutipan

wawancara dengan bapak IM mengatakan: “Cuma waktu sakit itu

saja saya minum obat. So sembuh, saya tidak pake lagi. Ketimun saja.

Terakhir saya pake itu obat di Palu. Itu saja. Sekarang cuma makan-

makan ketimun. Kalo minum ramuan belum pernah, belum coba juga.

Tapi kalo saya makan ketimun enak saya rasa biar tekanan karena

abis itu saya istirahat.”

4.2.3. Pola Tidur

Sebanyak 24 riset partisipan memiliki jam tidur antara pukul

20.00 sampai 22.00. Keadaan desa yang sudah sepi jika malam

sehingga banyak warga yang memilih untuk cepat tidur. 4 riset

partisipan tidur pukul 23.00 atau diatas pukul 23.00, karena kebiasaan

55

menonton malam dan susah tidur. 2 riset partisipan lain berumur lebih

dari 60 tahun dan memiliki gangguan tidur. Yang pertama bapak WP

tidur pukul 21.00, terbangun pukul 00.00 kemudian tidur lagi dan

terbangun pukul 03.00. Sering terbangun ini disebabkan karena kaget

meskipun sudah tertidur pulas. Yang kedua bapak RT, memiliki

gangguan tidur karena memiliki penyakit maag, sehingga sering

terbangun pukul 01.00 atau 02.00. setelah itu bisa tidur kembali dan

bangun pukul 04.00. karena memiliki gangguan tidur, riset partisipan

ini sering tidur siang sebanyak 2 kali yaitu pukul 09.00 dan pukul

15.00.

Semua riset partisipan memiliki jam bangun tidur paling

terlambat pukul 06.00 pagi, hal ini merupakan kebiasaan sejak dulu.

Pekerjaan yang dimulai setiap pagi mengharuskan mereka untuk

bangun lebih awal untuk melakukan aktivitas dirumah terlebih dulu

sebelum melakukan pekerjaan harian. Dari 30 riset partisipan, 23 riset

partisipan bangun pagi pukul 05.00 dan 06.00, 6 riset partisipan

bangun pukul 03.00 dan 04.00 dan 1 riset partisipan terbangun pukul

01.00 atau 02.00 pagi karena memiliki penyakit maag.

Kualitas tidur merupakan rentang waktu antara tidur sampai

bangun tidur. Dari 30 partisipan, 21 patisipan memiliki jumlah waktu

tidur 7 sampai 8 jam, 6 partisipan memiliki jumlah waktu tidur 8,5

sampai 9 jam dan 3 partisipan memiliki jumlah tidur 5-6 jam.

56

Untuk tidur siang, 28 riset partisipan jarang tidur siang karena

pekerjaan yang dilakukan juga pada siang hari sehingga untuk

melepas lelah hanya dengan duduk-duduk atau berbaring ditempat

kerja untuk sekedar beristirahat. Seluruh riset partisipan hanya tidur

siang jika sedang sakit. Berbeda halnya dengan 2 riset partisipan

yang telah berumur lebih dari 60 tahun, mereka sering tidur siang

setiap harinya karena memiliki gangguan tidur saat malam. Bapak

W.P misalnya, tidur kembali pukul 11.00 dan biasanya tidur selama 1-

2 jam setelah melakukan kegiatan harian. Sedangkan bapak R.T tidur

siang sebanyak 2 kali yakni pukul 11.00 dan 15.00 namun lamanya

tidur tidak lebih dari 1 jam.

Adapun 28 riset partisipan lainnya memiliki gangguan tidur jika

sedang sakit sehingga tidur tidak nyenyak atau sering terbangun. Hal

lainnya disebabkan pula jika banyak pikiran sehingga pola tidur

terganggu seperti jam tidur akan terlambat dari biasanya.

57

Table 3. Pola Tidur

No. Responden Jam tidur malam Bangun Lama waktu tidur (jam)

Tidur siang

1 EG 21.00 05.30 8,5 Tidak tidur siang

2 R 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

3 R T Pukul 00.00 atau 01.00

06.00 5-6 Tidak tidur siang

4 AG Pukul 21.00 atau 22.00

05.30 7-8 Jarang tidur siang, kecuali sangat capek

5 PT 20.00 05.00 9 Tidak tidur siang

6 AL 20.00 3.30 7,5 Jarang tidur siang kecuali lelah.

7 BT 20.00 04.00 atau 05.00 7-8 Tidak tidur siang kecuali sakit

8 NK 23.00 05.00 6 Tidak tidur siang

9 S 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

10 IT 21.00 05.00 8 Tidur siang kecuali kelelahan

11 BK 22.00 05.00 atau 06.00 7-8 Tidak tidur siang karena kerja.

12 IM 22.00 05.00 atau 06.00 7-8 Tidak tidur siang

13 YT 21.00 06.00 9 Tidak tidur siang kecuali sakit.

14 IG 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang kecuali sakit

15 JN 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang hanya istirahat.

16 UB 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

17 Y 21.00 06.00 9 Tidak tidur siang

18 HR 23.00 06.00 7 Tidak tidur siang

19 HB 22.00 03.00 5 Tidak tidur siang kecuali sakit.

58

20 WP 22.00 05.00 7 Tidak tidur siang kecuali sedang sakit.

21 MH 20.00 05.00 9 Tidak tidur siang, hanya istirahat dengan duduk.

22 TE 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

23 W 21.00 05.00 8 Tidur siang kecuali sedang capek.

24 RO 22.00 06.00 8 Tidak tidur siang.

25 BM 22.00 06.00 8 Tidak tidur siang, hanya mengistirahatkan diri.

26 SD 21.00 03.00 atau 04.00 6-7 Tidak tidur siang

27 TT 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

28 NT 22.00 atau 23.00 06.00 7-8 Tidak tidur siang

29 NY 21.00 06.00 9 Tidur siang sehari 2 kali

30 RTB 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

59

4.2.4. Aktivitas Fisik

Setiap riset pastisipan memiliki aktivitas fisik yang berbeda,

hal ini dikarenakan jenis pekerjaan yang dimiliki setiap riset partisipan

berbeda juga. Bagi yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri

kebanyakan hanya melakukan aktivitas ditempat kerja yakni di

sekolah dan dirumah sebagai ibu rumah tangga, sedangkan yang

lainnya memiliki aktivitas dirumah dan dikebun atau sawah.

Ada 27 riset partisipan bekerja sebagai petani. mereka sering

melakukan aktivitas dikebun dan disawah. Aktivitas ini dilakukan

setiap hari karena menjadi sumber pendapatan dan selain itu juga

aktivitas fisik ini menurut partisipan sudah merupakan bagian dari

olahraga yaitu menggerakan anggota tubuh. 3 partisipan lainnya

memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil yang melakukan

aktivitas di sekolah dan dirumah sebagai ibu rumah tangga.

Aktivitas yang dilakukan bermacam-macam, ketika disawah

atau dikebun mereka bekerja membersihkan rumput-rumput, jalan air

yang mengairi sawah. Letak kebun dan sawah yang jauh dari rumah

ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 2-3 km. Bagi 2 riset

partisipan yang tidak lagi melakukan aktivitas dikebun atau sawah,

setelah melakukan aktivitas di sekolah, mereka memilih beraktivitas

dirumah dengan menanam dan merawat berbagai jenis tanaman

60

seperti rempah-rempah dan sayuran, dan melakukan pekerjaan

rumah seperti menyapu, membersihkan dalam rumah dan halaman

rumah, seperti dalam wawancara dengan ibu AG yang mengatakan:

“Hoi, so jarang, sudah tidak lagi karena sudah banyak pekerjaan lagi yang

mo diselesaikan di sekolah to. Kalau dulu saya rajin mamancing, pulang

sekolah abis ba masak, sudah mo pi kebun kalo dulu. Sekarang banyak

pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan dirumah. Biasa orang datang dirumah

mo ba ambe data kong tidak ada kita, sedangkan itu bapak so datang ambe

dan so musti secepatnya mo diurus. Makanya so jarang lagi saya keluar.

Paling kalo libur sekolah saja, itupun cuma satu atau dua kali saja. Pokoknya

ma ade ini kalo mo pi kebun jarang. Pekerjaan saja yang dipake ba olahraga,

rupa ba kasi bersih rumah, pokoknya samua pekerjaan rumah, halaman, itu

saja so rasa capek so berat, lumayan pake olahraga, makanya so tidak pigi

di kebun.” (P4,27). Kegiatan inipun menurut mereka sangat membantu

dalam menggerakan anggota tubuh.

Untuk melihat jenis aktivitas fisik yang menjadi rutinitas dari

setiap riset partisipan melalui jenis pekerjaannya, dapat dilihat dalam

table 4.

61

Table 4. Jenis Aktivitas Fisik.

No. Responden Pekerjaan Rumah Bekerja disawah Bekerja dikebun Bekerja di lahan sawit

1 EG √ √ √

2 R √ √ √

3 R T √ √

4 AG √

5 PT √ √ √

6 AL √

7 BT √ √

8 NK √ √

9 S √ √ √

10 IT √ √ √

11 BK √

12 IM √ √

13 YT √

14 IG √ √ √

15 JN √

16 UB √ √

17 Y √ √ √

18 HR √ √ √

19 HB √ √

20 WP √

21 MH √

22 TE √ √ √

23 W √ √

24 RO √ √ √

25 BM √ √

26 SD √

27 TT √

28 NT √ √

29 NY √

30 RT √ √

62

Table 4.memperlihatkan bahwa seluruh riset partisipan

memiliki pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik cukup besar yang

dapat mempengaruhi kondisi tubuh. Dari hasil wawancara, aktivitas

fisik yang dilakukan oleh seluruh riset partisipan berpengaruh positif

pada kondisi kesehatan tubuh. Sebaliknya, jika tidak melakukan

aktivitas fisik yaitu hanya berdiam diri atau melakukan aktivitas yang

tidak mengeluarkan keringat, mereka akan merasa sakit seperti

pegal-pegal karena kurangnya gerakan tubuh seperti hasil

wawancara dengan ibu HB yang mengatakan: “Tidak. Kalo istrahat ini

kan tidak kerja, tapi saya tidak bisa tidak kerja. Tetap ada saja mo dibuat.

Kalo so waktunya makan, pigi makan, ba kase bersih rumah. Semua dibuat.

Tidak mo saki bagitu. Biasa so dilupa itu sakit. Wancetu yau se’i to bere’e,

be bisa ku be’e molengko. Malahan kalo tidak buat apa-apa, itu saya rasa

tambah sakit.” (P18,11). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset

partisipan yang mengatakan bahwa aktivitas fisik memiliki pengaruh

yang baik bagi kesehatan tubuh. Sebaliknya jika hanya berdiam diri

tidak melakukan kegiatan fisik maka akan merasa seperti mau sakit.

4.2.5. Pengendalian Stres

Pengendalian stress merupakan cara yang dilakukan untuk

mengurangi beban pikiran atau mengontrol emosi yang bertujuan untuk

63

menenangkan pikiran jika terjadi suatu masalah. Melalui hasil

wawancara terhadap 30 riset partisipan, ditemukan cara

mengendalikan stress, yakni dengan menyibukan diri. Hal ini dilakukan

oleh semua riset partisipan untuk dapat mengalihkan dan merilekskan

pikiran selama beberapa waktu.

Dari hasil penelitian menurut 30 riset partisipan, pikiran sangat

berpengaruh terhadap munculnya suatu penyakit, khususnya terhadap

hipertensi, jika terlalu banyak beban pikiran dapat menimbulkan gejala-

gejala seperti pusing, sakit kepala, tegang batang leher yang dapat

mengakibatkan meningkatnya tekanan darah. Mengutip wawancara

dengan ibu YP misalnya, yang mengatakan: “Iyo, itu pokoknya saya, kalo

banyak dipikir pokoknya nae tekanan. Buat pantangan saya patangan

memang, kuat pantangan saya, cuma saya dari dokter, memang dibilang

dokter saya sampai bagini tekanan-tekanan cuma karna pikiran saja bukan

karna salah makan. Saya tidak makan daging, cuma sayur rebus saja.”

(P17,30). Hal serupa juga disampaikan oleh bapak RT yang

mengatakan: “Iyo bagitu, sampe sekarang. Soalnya to biasa juga kalo tidak

ada mama Ardi dirumah ada keluar begitu jadi biasa saya makan saja apa

yang ada to, biasa kalo ada yang ba acara lagi saya makan lagi. Bukan tidak

dimakan itu daging, kalo macam daging dicampur deng daun ubi bagitu to,

dimakan itu tapi sedikit-sedikit to. Hah, kemudian pikiran, biasa itu kalo terlalu

banyak dipikir to misalnya pekerjaan ini, ada beban pikiran pasti nae, hmm di

tensi kasana nae lagi itu, saya pernah itu karena memang berat betul yang

64

dipikir ini masalah, dulukan mengendalikan yang dipikir itu belum seperti

sekarang. lari sama mama mpado atau tidak ke Taripa.” (P3,9). Ini

menunjukan bahwa pikiran juga berpengaruh terhadap tekanan darah,

khususnya dengan orang yang memiliki hipertensi, pikiran yang berat

dapat dengan mudah langsung meningkatkan tekanan darah, sehingga

mengontrol pikiran dan emosi sangat penting untuk menjaga kestabilan

tekanan darah.

Beberapa cara yang dilakukan oleh riset partisipan dalam

mengontrol pikiran maupun emosi jika menghadapi suatu masalah

yakni, yang pertama meluapkan amarah jika terjadi suatu masalah. Hal

ini dilakukan oleh 24 riset partisipan, seperti dalam wawancara yang

dengan ibu EG misalnya, yang mengatakan: “Ba veto sampe puas,

soalnya kalo tidak abis, tidak enak saya rasa, jadi kase kaluar samua biar lega

to, enak hati tidak ada disimpan-simpan, pikiran juga, tidak ada dipikir-pikir.

Cuma paling tidak sampe 1 hari”. Hal serupa disampaikan juga oleh 24

partisipan bahwa dengan mengungkapkan emosi yang dirasakan

membantu melegakan hati sehingga tidak menjadi beban pikiran, hal

ini juga membantu menenangkan pikiran. Ada 6 riset partisipan memilih

diam dan melakukan aktivitas yang lain yaitu melakukan aktivitas fisik

seperti bekerja.

Untuk aktivitas yang berhubungan dengan pengendalian stress,

dari 30 riset partisipan hampir memiliki perilaku yang sama yaitu

65

menyibukan diri dengan melakukan aktivitas fisik, interaksi sosial dan

istirahat atau tidur. Untuk aktivitas fisik seperti melakukan pekerjaan

dirumah, dikebun atau sawah dan melakukan hobi seperti memancing,

hal ini membantu mengalihkan beban pikiran karena kegiatan berpusat

pada aktivitas fisik seperti yang dikatakan oleh ibu NT: “Kalo emosi juga

mo bikin banyak pikiran, tidak juga. Kemarin saya butuh uang 3 juta saya tidak

stres juga, yang penting dicari solusinya to. Kalo marah-marah juga tidak

terlalu. Cuma biasa yang bikin saya naik darah itu saya punya cucu yang

kembar itu malas mo mandi, dia itu. Tapi kalo so abis dikase mandi di kamar

mandi, sudah abis ulang kita pe marah yang penting dia mau mandi. Tapi kalo

mo ba veto-veto juga tidak. Pikiran itu pasti ada, tapi saya kalo sibuk, beh tidak

ingat lagi. So sibuk dengan cucu ba jaga, ba masak, pi kebun, setidaknya tidak

jadi beban begitu to kalo so ada dikerja“. Hal serupa juga disampaikan oleh

29 riset partisipan bahwa dengan melakukan kegiatan yang melibatkan

aktivitas fisik dapat mengalihkan pikiran-pikiran jika sedang mengalami

masalah tertentu.

Berinteraksi sosial yakni dengan teman atau tetangga

membantu juga dalam merilekskan pikiran karena dengan mengobrol

dapat membantu melupakan masalah untuk sementara waktu, seperti

hasil wawancara dengan ibu PT: “Tidak ada, tidak ada. Babacirita itu saja.

Kalo so lama-lama ba cirita so dilupa ulang itu to, itu emosi tadi. Saya yang

penting teman ba cerita saja, so tidak di ingat-ingat lagi itu yang dimarah tadi,

itu saja” (P5,57). Hal serupa juga disampaikan oleh 23 riset partisipan

66

lainnya dimana memiliki teman bercerita dapat mengurangi beban

emosi karena dapat membantu melupakan perasaan emosi tersebut

untuk sementara waktu.

Menenangkan pikiran juga dilakukan dengan Istirahat atau

hanya sekedar berbaring dikamar dan tidur, misalnya dalam

wawancara dengan Ibu S yang mengatakan “Dulu itu kalau marah skali

to, ba veto. Tapi abis itu sudah, puas kalo dikase kaluar samua itu jengkel, kalo

so begitu saya so maso kamar, ba guling-guling, atau tidak ada-ada saja yang

mo dibuat to macam kase bersih halaman, atau pigi dimuka situ ba cerita

dengan tetangga. Lama-lama dilupa juga apa yang dimarah akan tadi

hahaha.” (P26,29). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset partisipan

bahwa istirahat atau dengan berbaring dapat merilekskan pikiran-

pikiran.

Selain dari beberapa aktivitas diatas, ada 1 riset partisipan yang

menambahkan salah satu kegiatan dalam menenangkan pikiran yakni

dengan melakukan kegiatan spiritual seperti menyanyi lagu rohani dan

berdoa, seperti dikatakan ibu AG dalam wawancara: “Ya itu, saya

mending menyanyi-menyanyi kidung rohani itu, mo sementara ba apa saya

pasti menyanyi itu. Naik motor juga begitu. Bagitu kita pe cara kalo supaya

tenang-tenang pikiran ini. Kalo so dirumah ada masalah saya maso dikamar

itu baca Alkitab, berdoa, sebelumnya saya menyanyi-menyanyi dulu. Begitu

saja. Kalo emosi memang so itu salah satunya, ya yang penting saya so

keluarkan biar memang dengan menggebu-gebu kok hahaha. Urusan

67

tenangnya nanti abis itu, yang penting emosi sudah keluar.“ (P4,22). Menurut

ibu AG, aktivitas rohani seperti menyanyi dan berdoa sangat membantu

untuk menenangkan pikiran setelah meluapkan emosi.

4.2.6. Penggunaan Ramuan dan Obat Medis

Ramuan merupakan jenis obat yang berasal dari buah-buahan

maupun tumbuh-tumbuhan yang diolah sedemikian rupa kemudian

dikonsumsi jika muncul gejala suatu penyakit tertentu. Dalam

masyarakat desa Poleganyara, penggunaan ramuan dalam

mengobati penyakit tertentu lebih banyak digunakan dari pada obat

dokter. Dari 30 riset partisipan, 23 riset partisipan menggunakan

ramuan jika muncul gejala hipertensi sedangkan 7 riset partisipan

lainnya tidak menggunakan ramuan tetapi obat dokter sebagai

pengobatan hipertensi.

Dalam mengkonsumsi ramuan, takaran yang digunakan dan

frekuensi setiap kali minum ramuan berbeda-beda. Kebanyakan dari

riset partisipan menggunakan takaran sendiri dalam jumlah bahan

yang digunakan, namun jumlah yang diminum dalam ukuran yang

sama yakni 1 gelas sekali minum.

a. Ramuan

Jenis ramuan yang digunakan oleh riset patisipan ada

yang sama, ada pula yang berbeda dan setiap riset partisipan

68

yang mengkonsumsi ramuan sebagai pecegahan rehipertensi

menggunakan lebih dari satu jenis ramuan. Hal ini berdasarkan

jenis ramuan yang mudah didapatkan pada saat munculnya

gejala hipertensi.

Dari hasil penelitian terhadap 23 riset partisipan yang

mengkonsumsi ramuan, jenis ramuan yang digunakan adalah

daun balacai (daun jarak), daun sambiloto, balakama (daun

kemangi), daun papaya, mengkudu, daun salam, bawang putih,

daun sup, daun alpukat dan daun belimbing. Daun balacai dan

daun kemangi merupakan jenis ramuan yang paling sering

dikonsumsi oleh kebanyakan riset partisipan karena mudah

didapat dan mudah dalam pembuatan.

Cara Pembuatan

Dalam hasil wawancara, tidak semua riset partisipan

mengatakan cara pembuatan dari beberapa ramuan yang

pernah dikonsumsi dan hanya mengungkapkan cara

pembuatan dari jenis ramuan yang sering dikonsumsi yaitu

balacai, balakama, daun salam, sambiloto, daun belimbing,

daun papaya, daun sirsak, mengkudu.

Pada umumnya cara pembuatan ramuan oleh setiap

partisipan sama. Setiap jenis ramuan yang diketahui oleh 23

riset partisipan sebagai pencegahan rehipertensi diolah oleh

69

riset partisipan itu sendiri, namun ada beberapa riset

partisipan yang mendapat bantuan dari anggota keluarga

untuk membuat ramuan jika riset partisipan tidak mampu

membuatnya karena sedang sakit atau sedang mengalami

gejala penyakit yang terlalu berat.

Ada 2 riset partisipan memiliki perilaku tertentu

dalam mencegah rehipertensi selain mengkonsumsi ramuan

yaitu dengan memanfaatkan jenis bahan makanan tertentu

seperti bawang putih dan daun papaya. Bawang putih

digunakan lebih banyak dalam masakan seperti dalam

wawancara dengan bapak RT yang mengatakan:

“Sering.Jangankan itu kalo pusing-pusing saja minum obat. Hah,

tapi kebanyakan anu, biasa minum ramuan anu itu, apa ini, itu

rumput-rumput dimasak nah itu cepat juga. Biasa juga bawang

putih. Kalo saya ba masak itu saya kase banyak itu bawang putih.

Kan bawang putih juga kase turun tekanan juga to“ (P3,11). Daun

papaya dengan rasa pahit yang khas dipercaya juga dapat

menurunkan gejala hipertensi. Dilihat dalam wawancara

dengan bapak BK yang mengatakan : “Tidak ada saya kalo

pake ramuan. Saya itu biasa rebus daun papaya dengan dimakan

daun pepayanya. Kalau itu kita makan cepat sekali. Tapi kalau

lewat juga dimakan langsung turun talewat turun juga. Daun papaya

70

dia kan pahit, makanya bisa cuma direbus itu saya bisa makan, atau

dicampur disayur to. Begitu saja.”(P11,29). Menurut mereka hal

ini berpengaruh terhadap pencegahan rehipertensi, dimana

gejala hipertensi jarang muncul kembali.

71

Table 5. Cara Pembuatan Ramuan dan Frekuensi

No. Jenis Cara Pembuatan Frekuensi

1. Balakama

(kemangi)

Ambil daun balakama secukupnya, dicuci bersih kemudian, disiram

dengan air panas. Diamkan hingga hangat kemudian diminum.

1 gelas perhari

2 Daun balacai 3 lembar daun balacai, dicuci bersih, kemudian disiram dengan air panas,

diamkan hingga hangat kemudian diminum.

1-2 gelas perhari

3 Daun

sambiloto

Ambil 7 lembar daun sambiloto, dicuci bersih kemudian disiram dengan

air panas, diamkan hingga hangat kemudian diminum.

1 gelas perhari

4 Daun

belimbing

Ambil 7 lembar daun belimbing, cuci bersih kemudia direbus dengan 3

gelas air sampai mendidih.

1 gelas perhari

5 Daun salam Ambil 7 lembar daun salam, direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih

di perkirakan tinggal 1 gelas. Dinginkan kemudian diminum.

1 gelas perhari

6 Daun pepaya Ambil 3 daun papaya kuning yang telah jatuh, rebus sampai mendidih,

kemudian airnya diminum

1 gelas perhari

7 Daun sirsak daun sirsak, dicuci bersih kemudian direbus dengan 3 gelas air sampai

mendidih (diperkirakan tinggal 1 gelas)

1-2 gelas perhari

8 mengkudu Mengambil sari-sari mengkudu dengan cara diparut kemudian diminum 2-3 buah perhari

72

Frekuensi dan Alasan

Frekuensi mengkonsumsi ramuan dalam sehari diatur

oleh riset partisipan, sehingga frekuensi meminumnya ada

yang berbeda dan ada pula yang sama. Ramuan tersebut

hanya dikonsumsi ketika muncul gejala hipertensi sedangkan

jika gejala telah berkurang maka dihentikan mengkonsumsi

ramuan tersebut.

Frekuensi meminum ramuan tidak teratur karena

bergantung pada jenis ramuan yang diminum. Ada 1 jenis

ramuan yakni daun salam, yang jika diminum terlalu sering

dapat menurunkan darah secara siginifikan dan

menyebabkan darah rendah. Hal ini dialami oleh 2 riset

partisipan, seperti yang disampaikan oleh ibu R: “Iyo sama

khasiatnya itu no. Cuma kalo daun salam kalo talalu sering diminum

jadi tiba-tiba turun saya pe darah. Waktu itu kan saya pi ba priksa

di bidan kancu dia bilang, kenapa ini ibu biasanya darah tinggi

sakarang tinggal 80 tekanan darahnya ibu. Sa baru ingat o iyo ada

jojo daun salam owi. 4 hari berturut-turut waktu itu saya minum itu

ramuannya daun salam. Makanya memang musti dikase berenti

kalo so kurang depe sakit.” (P2,54). Hal yang sama juga

disampaikan oleh ibu O bahwa jika mengkonsumsi daun

salam terlalu sering dapat menurunkan tekanan darah secara

73

signifikan sehingga disarankan untuk menghentikan

konsumsi ramuan daun salam jika gejala hipertensi

berkurang. Frekuensi dari setiap ramuan dapat dilihat pada

table 4.4.

Takaran

Takaran yang dimaksud adalah banyaknya jumlah

bahan yang digunakan dalam pembuatan ramuan dan

ukuran banyaknya yang diminum dalam sekali konsumsi.

Takaran ini berbeda untuk beberapa partisipan, ada yang

jumlahnya sama, ada yang jumlahnya berbeda. Namun untuk

setiap ramuan yang dibuat, 23 riset partisipan memiliki

ukuran konsumsi yang sama yakni 1 gelas untuk satu kali

minum.

Table 6. Takaran Jenis Ramuan

No. Jenis Ramuan Takaran

1. Mengkudu 3 biji

2. Balakama ( daun kemangi) 1 genggam

3. Daun balacai 3-5 helai

4. Daun belimbing 7 helai

5. Daun sambiloto 7 lembar

Berdasarkan hasil wawancara dengan 12 riset

partisipan menyebutkan takaran yang digunakan untuk

membuat ramuan yakni untuk jenis mengkudu, balakama

74

(kemangi), daun balacai (daun jarak), daun belimbing dan

daun sambiloto. Banyaknya daun yang digunakan untuk

setiap ramuan harus berjumlah ganjil. Hal ini berdasarkan

kepercayaan dari setiap riset partisipan. Jumlah yang

digunakan adalah 3 helai daun, 5 helai daun, 7 helai daun

dan seterusnya. Namun dari 23 partisipan mengatakan

hanya menggunakan 3 atau 7 helai daun dalam pembuatan

ramuan, sedangkan untuk kemangi jumlahnya segenggam.

Jumlah ini tidak berpengaruh terhadap manfaat yang

didapatkan oleh riset partisipan karena pada umumnya hasil

yang didapatkan setelah mengkonsumsi ramuan, 23 riset

partisipan mengatakan bahwa perasaan setelah

mengkonsumsi ramuan baik dan sangat berpengaruh untuk

mengurangi gejala hipertensi yang muncul.

11 riset partisipan lainnya hanya menyebutkan jenis

dan cara pembuatan ramuan tanpa menyebutkan jumlah

bahan yang digunakan. Namun secara keseluruhan 23 riset

partisipan yang menggunakan ramuan memiliki cara yang

sama dalam proses pembuatan dan cara mengkonsumsinya.

75

a. Penggunaan Obat Medis dan Alasan

Dari 30 riset partisipan 7 riset partisipan hanya

mengkonsumsi obat sebagai pencegahan rehipertensi. Obat

yang sering diminum adalah katopril. Adapun alasan

penggunaan obat karena sudah terbiasa sejak dulu dan

merasa lebih baik setelah minum obat, seperti dalam

wawancara dengan ibu AL mengatakan: “Ane da puramo nu

pakuli, malai mo yaku. Karna be bisa ane bere’e. matu’a mo wance’i.

japodo pakuli. Maeka ku yaku ane rata ju’a se’i. ane ramuan bere’e,

biasa mo pai pakuli, lese kuepe.” (Kalo sudah mau habis obat,

langsung saya pergi. Karena saya tidak bisa kalau tidak obat. Sudah

tua begini hanya obat saja. Takut saya kalau penyakit ini kambuh.

Kalo ramuan tidak ada, minum obat saja karena so bagus juga

dengan obat saya rasa to).(P6,15).Hal serupa dikatakan oleh

bapak WP: “Minum obat saja. Tidak ada minum-minum ramuan.

Dari dulu so dengan obat soalnya to, jadi saya minum obat terus.”

Alasan lainnya yaitu karena tidak mampu mengkonsumsi

ramuan seperti yang dikatakan oleh ibu BT: “Bere’e japodo

pakuli setu. Ane re’e bara nja, ja pakuli ungkari Puskesmas. Ane

damanginu ramuan, be ku poli” (Tidak ada hanya obat itu saja. Ada

apa-apa saya obat dari Puskesmas saja. Kalau minum ramuan saya

tidak mampu) (P7,6). Hal serupa juga disampaikan oleh 6 riset

76

partisipan yang hanya menggunakan obat jika mengalami

hipertensi.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui

bahwa ketujuh riset partisipan bergantung pada obat karena

telah memiliki kepercayaan dan perasaan yang lebih baik jika

mengkonsumsi obat.

4.2.7. Merokok dan Alkohol

Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 riset partisipan,

terdapat 7 riset partisipan yang memiliki kebiasaan merokok sekaligus

konsumsi alkohol sedangkan 23 riset partisipan lainnya pernah

mengkonsumsi alkohol.

a. Merokok

Dari hasil penelitian kepada 30 riset partisipan, terdapat 7

partisipan yang hanya terdiri dari pria ini memiliki riwayat merokok.

Perilaku ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dengan

memiliki riwayat merokok yang cukup berat seperti menghabiskan

beberapa bungkus rokok dalam sehari, misalnya dalam

wawancara dengan bapak RT yang mengatakan: “Bukan tanya

berapa batang tanya berapa bungkus. HahahahhaPapa ade, ya

3bungkusan lah dulu itu 1 hari hahaha, pernah kiss dulu itu, mama ade

bli kan papa ade 10 slop to biasa. Tapi kalo kopi saya masih minum.

77

Saya tidak bisa tidak minum kopi, sakit saya punya kepala itu. Tapi saya

heran juga, saya dulu disuruh dokter merokok, waktu tekanan darahku

200. Saya ingat waktu saya mo pigi KKN to disuruh merokok.” (P3,56).

Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 riset partisipan,

mereka tidak lagi memiliki kebiasaan merokok sejak mendapat

hipertensi. Kebiasaan ini berhenti karena mereka menyadari akan

bahayanya terhadap kesehatan serta pengaruhnya terhadap

keuangan, seperti dalam wawancara berikut dengan bapak IM

yang memiliki pendapat yang sama dengan 6 riset partisipan

lainnya, mengatakan: “Kesehatan juga. Tapi memang so berenti

merokok karena sadar juga cuma abis doi disitu saja, sedangkan ini kerja

cari doi susah (sambil tertawa) depe mama juga so kase-kase larangan

to brenti jo merokok supaya sehat juga dirumah.” (P12,30).

Selain dari ketujuh riset partisipan yang memiliki riwayat

merokok, 23 riset partisipan lainnya yang tidak memiliki riwayat

merokok mempunyai pendapat tentang merokok dimana merokok

merupakan perilaku yang tidak baik dan mengganggu kesehatan

seperti wawancara dengan ibu AL yang mengatakan: “Nje, be lese.

Tidak bagus untuk kesehatan to, ngkaimu setu nanginu pa nu saguer.

Tapi saya tidak. Cuma laki-laki disini yang merokok to. Cuma itu, saya

sesak kalau ada asap rokok dirumah, makanya saya suruh dorang kalo

ba rokok sana di teras. Kalo saguer waktu masih muda pernah minum

tapi tidak banyak juga, ini tidak pernah lagi. So tidak kore lagi anu

78

wancetu.” (ah, tidak bagus untuk kesehatan, kakek yang masih minum

saguer. Tapi saya tidak. Hanya laki-laki disini yang merokok. Cuma saya

ssesak kalo ada asap rokok di rumah makanya saya suruh kalau ada

yang merokok di teras. Kalau saguer pernah minum waktu masih muda,

kalau sekarang tidak pernah lagi) (P6,34). Hal serupa juga

disampaikan oleh 22 riset partisipan yang mengatakan bahwa

merokok merupakan perilaku yang tidak baik dan mengganggu

kesehatan.

b. Konsumsi Alkohol

Ada 7 riset partisipan yang memiliki riwayat alkohol yang

telah berlangsung selama bertahun-tahun, namun setelah

mendapat hipertensi 7 riset partsipan tersebut telah mengurangi

konsumsi alkohol dimana mereka hanya mengkonsumsi alkohol

hanya dalam waktu tertentu seperti dalam acara keluarga,

syukuran desa dan Desember ketika natal. Banyaknya minuman

yang diminumpun dikurangi hanya 1-3 gelas.

Ada 4 riset partisipan yang terdiri dari wanita, masih

mengkonsumsi alkohol untuk membantu tidur maupun hanya

sekedar minum. Banyaknya minuman yang diminum hanya 1-3

gelas, seperti dalam wawancara dengan ibu AG yang

mengatakan: “2 atau 3 gelas so depe ukuran itu. Kalo so lebih dari itu,

so pusing saya, so dengan sakit kepala itu. Tapi tidak pernah lebih lagi.

79

Cukup 2 gelas saguer biasa saya minum cuma mo kase tidur saja.”

(P4,25). Hal serupa juga disampaikan oleh 3 riset partisipan yang

lain bahwa mengkonsumsi alkohol hanya untuk sekedar minum

dan membantu untuk dapat tidur. Konsumsi alkohol yang

dilakukan oleh 11 riset partisipan ini tidak mempengaruhi tekanan

darah secara signifikan karena mereka mampu mengontrol jumlah

minuman yang diminum. Berbeda halnya dengan 19 riset

partisipan lainnya yang tidak mengkonsumsi alkohol. Mereka

pernah mencoba sekali untuk minum alkohol jenis saguer namun

berhenti minum karena tidak menyukai rasa dari saguer.

Jenis alkohol yang sering dikonsumsi adalah bir dan

saguer. Bir hanya didapatkan dalam acara tertentu seperti natal,

sedangkan saguer merupakan jenis alkohol, berasal dari pohon

aren, diolah sendiri oleh beberapa penduduk desa yang dengan

mudah didapatkan sehingga saguer menjadi minuman yang

paling sering dikonsumsi.

80

4.2.8 Perubahan Perilaku

Pada umumnya penyakit hipertensi yang dialami oleh seluruh

partisipan disebabkan oleh perilaku yang dilakukan sejak masih muda.

Perilaku ini merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan

tanpa mengetahui konsekuensi dari perilaku tersebut, seperti yang

diungkapkan oleh bapak RT yang mengatakan “Paling tinggi 140 normal

130 pernah 150 waktu nae tekanan to karna makan coto sapi nah disitu saya

nae tekanan dengan sering juga itu lalu daging kambing. Tapi dulu kan tidak

ditahu to, ini so ditahu hahaha” (P3,25). Hal serupa juga disampaikan oleh

29 partisipan yang lain bahwa sebelumnya tidak mengetahui bahwa

mereka memiliki kebiasan yang dapat meningkatkan tekanan darah,

dimana umumnya sering mengkonsumsi makanan asin dan daging

yang dapat menyebabkan hipertensi.

Setelah mengetahui konsekuensi dari kebiasaan konsumsi yang

dilakukan, seluruh partisipan mengalami perubahan perilaku sebagai

respon untuk mengurangi rehipertensi. Tidak semua partisipan

menjelaskan tentang respon terhadap perubahan perilaku yang

dilakukan. Beberapa alasan perubahan perilaku ini terjadi karena

partisipan tidak ingin merasakan rasa sakit yang disebabkan oleh

peningkatan tekanan darah, seperti yang diungkapkan oleh ibu EG

mengatakan, “hahaa, itu lagi. Tapi kalo daging sapi, so tako-tako. Tapi kalo

daging babi tidak kalo saya. Saya so rasa betul itu daging sapi. Jangan coba-

81

coba. Pernah saya lupa huh tidak enak butul saya punya kepala ini, kandati

tidur nyenyak klo datang depe sakit itu ta bangun. So stop butul, kong musti

dicek itu daging memang yang mo dimakan” (P1,29). Hal serupa juga

disampaikan oleh 6 partisipan yang lain bahwa rasa sakit yang diderita

akibat hipertensi memberikan dampak psikis yakni rasa sakit yang

ditimbulkan dari penyakit hipertensi terus diingat oleh partisipan,

alasan lain yaitu keterbatasan aktivitas yang dapat mengganggu

pekerjaan. Selain itu, 3 partisipan lain menambahkan bahwa mereka

merasa takut jika sampai terkena stroke akibat tingginya tekanan

darah, seperti yang diungkapkan oleh ibu NK yang mengatakan

“Apalagi RW, jangan bilang mo makan, eeee, tidak saya tidak makan itu, tidak

mau. Makanya orang bilang nene Kede tidak makan daging yau? Saya bilang

orang tidak mo mati kalau tidak makan daging. So panyakit ini yang dijaga,

saya so rasa saya pe panyakit ini. Apalagi kalo tekanan bisa sampe stroke,

dulu kan begitu, huh, jangan sampe, so itu yang dijaga ini.” (P8,29). 4 lainya

mengungkapkan adanya keterbatasan aktivitas fisik jika sakit dan

pekerjaan menjadi terbengkalai, seperti yang diungkapkan oleh ibu NT

mengatakan, “Iyo, jadi memang kalo so rasa-rasa mo muncul lagi to, so ada

obat yang disimpan, saya so beli memang sama mama Pado itu. Oh musti

cepat dicegah itu, sabantar be’e bisa wo’u da molengko, be mewali ba nja

napowia” (jadi jika gejala muncul ada persediaan obat saya beli sama mama

Pado. Oh, harus cepat dicegah itu, nanti tidak bisa beraktivitas) (P28,8). 2

82

partisipan lainnya mengungkapkan bahwa pentingnya perubahan

perilaku untuk menjaga kesehatan karena partisipan memiliki penyakit

jantung sedangkan satu partisipan lain mengatakan bahwa pentingnya

hal tersebut agar masih bisa menikmati hidup.

Dari 30 partisipan, tidak semuanya mengungkapkan tentang

perubahan perilaku. ada 8 partisipan yang mengungkapkan tentang

perubahan perilaku didapatkan melalui pengetahuan yang dimiliki,

yakni pengetahuan yang didapatkan dari petugas kesehatan seperti

yang diungkapkan oleh ibu PT yang mengatakan “Ada juga, seperti

kurangi makan garam itu lalu dibilang dokter di Taripa, kurangi yang ba

baminyak, diperhatikan jam tidor jang talalu larut. Banyak pikiran, yang kayak

begitu di kasi tahu, so tahu jadi memang so musti dijaga betul to biar jangan

sakit lagi. Cuma biasa juga kalo disebabkan yang lain-lain rupa pikiran juga

biasa bisa muncul itu tekanan. Makanya diusahakan, itu yang sulit biasa to.”

(P5,66), selain itu 7 partisipan mengungkapkanbahwa pengetahuan

didapatkan dari sesamayakni melalui pengalaman orang lain dengan

penyakit hipertensi, seperti yang diungkapkan oleh ibu “Saya tidak rebus

o, Cuma saya kuca bagini (sambil memperagakan mengucek), cuci dengan

air dingin yang so masak sampe bersih, diperas, baru saya ramas ulang

dengan airpanas dengan depe getah itu, kan depe getah yang bikin cepat itu.

Kan nanti airnya ba putih-putih karna ada depe getah. Tua onal itu yang kasi

tahu saya, pas saya beking juga memang cocok, jadi bagus saya buat terus.”

(P2,8), hal serupa juga disampaikan oleh 6 partisipan yang lain, bahwa

83

mereka mendapatkan informasi melalui sesama yang sama-sama

memiliki hipertensi, biasanya ketika kumpul tetangga saling berbagi

informasi atau pertemuan dalam sebuah pesta pernikahan.

84

4.3. Pembahasan

Untuk menjawab tujuan penelitian dari perilaku pencegahan

rehipertensi di desa Poleganyara, peneliti menggunakan beberapa teori

untuk mendukung pembahasan riset partisipan yang terdiri dari 30

orang dimana dari hasil penelitian ini didapatkan perilaku mengenai

pencegahan rehipertensi.

4.3.1. Upaya Pengecekan Tekanan darah

Upaya pengecekan tekanan darah merupakan salah satu

pencegahan rehipertensi yang dapat dilakukan. Adapun upaya

pengecekan tekanan darah meliputi beberapa hal yakni frekuensi,

tempat dan nilai tekanan darah.

Frekuensi dilihat dengan seberapa sering penderita hipertensi

mengukur tekanan darah yang bertujuan agar penderita hipertensi

dapat mengetahui kondisi tekanan darahnya pada satu waktu. Dari

hasil penelitian, frekuensi ini dipengaruhi oleh seberapa sering

hipertensi kambuh, dalam artian bahwa frekuensi pengukuran

tekanan darah disesuaikan dengan saat munculnya gejala hipertensi.

Dari 30 riset partisipan, 28 partisipan mengakui frekuensi pengukuran

darah 1 sampai 3 bulan sekali sedangkan 2 riset partisipan lainnya

memiliki frekuensi yang lebih sering yakni satu atau dua hari sekali.

85

Dari frekuensi ini juga dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui

seberapa sering hipertensi muncul.

Tempat pengukuran tekanan darah dilakukan di pusat layanan

kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, maupun pada petugas

kesehatan yang memiliki alat untuk mengukur tekanan darah seperti

mantri dan bidan. Dari hasil penelitian, tempat pengukuran tidak

mempengaruhi pencegahan rehipertensi, hanya sebagai sarana

dalam melakukan pengecekan tekanan darah.

Dalam penelitian ini, nilai tekanan darah yang dimaksud

adalah berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh riset partisipan

saat awal mendapatkan hipertensi, yaitu berdasarkan pengakuan dari

setiap riset partisipan saat wawancara yang didukung dengan data

Puskesmas dan pengukuran nilai tekanan darah yang dilakukan oleh

peneliti sebelum memulai wawancara, dimana hal ini bertujuan untuk

melihat kondisi tekanan darah setelah riset partisipan melalui proses

tindakan pencegahan hipertensi yang telah dilakukan. Selain itu, nilai

tekanan darah ini sangat penting agar penderita hipertensi

mengetahui batasan nilai tekanan darah normal maupun tinggi.

Semua riset partisipan memiliki nilai tekanan darah yang

normal saat dilakukan pengukuran tekanan darah sebelum

dimulainya wawancara. Ini menunjukan bahwa adanya pengaruh dari

86

tindakan pencegahan hipertensiterhadap stabilnya kondisi tekanan

darah.

Berdasarkan hasil penelitian, upaya pengecekan tekanan

darah berpengaruh dalam pencegahan rehipertensi karena dengan

mengetahui nilai tekanan darah dapat mempengaruhi psikologis dari

penderita hipertensi. Menurut National Center for Chronic Disease

Prevention and Health Promotion(2015), pentingnya untuk mengukur

tekanan darah secara rutin karena tekanan darah tinggi dapat muncul

sewaktu-waktu tanpa peringatan mengenai tanda dan gejala yang

muncul. Untuk frekuensi dilakukannya pengukuran hanya jika

merasakan gejala hipertensi yang muncul.

4.3.2. Pola Konsumsi

Pola konsumsi merupakan kebiasaan dalam mengatur

makanan yang dikonsumsi setiap hari. Pada mereka yang memiliki

hipertensi, pola konsumsi ini mengalami perubahan yaitu dengan

membatasi bahan dan jenis makanan yang menurut mereka dapat

menyebabkan hipertensi. Adapun pola konsumsi yang didapatkan

dari hasil penelitian ini meliputi sayuran dan buah, daging serta

penggunan garam dan MSG. Penelitian menunjukan bahwa pola

konsumsi makanan seperti mengurangi konsumsi garam serta

87

meningkatkan konsumsi buah dan sayuran dapat mengurangi risiko

hipertensi (Lelong.et al, 2014).

a. Konsumsi Garam

Dari hasil penelitian, seluruh partisipan menyukai rasa asin

dalam mengkonsumsi makanan, dimana hal ini berlangsung

sebelum mendapatkan hipertensi. Setelah mendapatkan

hipertensi 29 dari 30 partisipan mengurangi takaran konsumsi

garam sedangkan 1 partisipan masih mengkonsumsi garam

seperti biasa tanpa mengurangi jumlah yang dikonsumsi.

Mengurangi konsumsi garam ini dilakukan secara terus

menerus hingga terbiasa, bahkan kadang 7 partisipan tidak

menggunakan garam sama sekali pada makanan yang

dikonsumsi. Menurunkan jumlah konsumsi garam ini dapat

menurunkan risiko hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Frisoli,TM., et.al. (2012) bahwa mengurangi

konsumsi garam dapat mengurangi risiko hipertensi dan penyakit

jantung lainnya serta membantu penderita hipertensi yang sedang

menjalani terapi pengobatan hipertensi untuk menjaga tekanan

darah tetap stabil.

b. Konsumsi MSG

MSG (monosodium glutamate) merupakan bumbu penyedap

rasa yang sering digunakan oleh partisipan sebagai campuran

88

bahan makanan. Adapun jenis MSG yang sering digunakan yaitu

masako dan vitsin, dimana semua partisipan pernah

menggunakannya dalam masakan dengan takaran yang berbeda-

beda, disesuaikan dengan banyak sedikitnya makanan yang

dimasak.

Dari hasil penelitian seluruh partisipan membatasi

penggunaan MSG dalam campuran masakan setelah

mendapatkan hipertensi. Dari 30 partisipan, 14 diantaranya tidak

lagi menggunakan MSG dalam masakan sedangkan 16 partisipan

lainnya masih menggunakan MSG sebagai pelengkap masakan

dengan takaran yang dikurangi. Ini bertujuan untuk menghindari

peningkatan tekanan darah.

Mengurangi atau menghindari penggunaan MSG dapat

membantu mencegah hipertensi. Pernyataan ini sesuai dengan

penelitian Bruce, Neal (2006) tentang adanya pengaruh MSG

dengan risiko peningkatan tekanan darah yang dapat

menyebabkan hipertensi dan sebaliknya, mengurangi

penggunaan MSG dapat menurunkan risiko hipertensi. Hal serupa

juga disampaikan oleh Shi, et al (2011), dalam penelitiannya pada

1227 pria dan wanita China yang mengkonsumsi MSG dalam

jumlah yang cukup banyak, secara signifikan meningkatkan

tekanan darah sistolik dan diastolik, khususnya pada wanita

89

peningkatan tekanan darah yang disebabkan MSG berlangsung

lebih cepat.

c. Konsumsi daging

Di desa Poleganyara, daging merupakan jenis makanan yang

cukup sering ditemui dalam acara-acara yang diadakan di desa

baik acara yang bersifat kerohanian maupun seperti pesta

pernikahan. Berbeda dalam mengkonsumsi dengan olahan

sendiri dirumah, daging jarang ditemukan dalam menu makanan

setiap hari, selain harganya yang cukup mahal,juga ketersediaan

daging yang hanya ditemukan pada waktu-waktu tertentu jika

dilakukan pemotongan, karena kebanyakan daging berasal dari

hasil ternak penduduk desa.

Frekuensi mengkonsumsi daging bisa mencapai satu atau

dua kali dalam seminggu. Hal ini dipengaruhi jika ada acara-acara

tertentu yang diselenggarakan di desa, meskipun terkadang juga

dalam beberapa minggu tidak mengkonsumsi daging, namun hal

ini biasanya jarang terjadi. Dalam penelitian ini, frekuensi

mengkonsumsi daging tidak memiliki pengaruh yang cukup

signifikan karena selain tidak dikonsumsi setiap hari, partisipan

lebih pada membatasi jumlah konsumsi daging.

Terdapat perbedaan jumlah konsumsi daging sebelum dan

setelah mendapat hipertensi. Dari hasil peneltian, partisipan lebih

90

membatasi jumlah konsumsi daging menjadi lebih sedikit

dibandingkan konsumsi daging sebelum menderita hipertensi

yang bertujuan untuk mencegah kambuhnya hipertensi.

Pengurangan jumlah konsumsi daging ini memberi dampak positif

dalam usaha mencegah hipertensi.Hal ini sejalan dengan

penelitian Miura,et.al (2004) bahwa mengurangi konsumsi daging

(kecuali ikan) dapat menurunkan risiko hipertensi.

Jenis daging yang sering dikonsumsi yaitu daging babi,

daging sapi, daging kelelawar, daging anjing dan daging ayam.

Menurut partisipan jenis daging ini dapat menyebabkan hipertensi

jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al (2008), bahwa daging

merah dapat meningkatkan risiko hipertensi (tidak termasuk jenis

unggas).

d. Konsumsi sayuran dan buah-buahan

Dari hasil penelitian, jenis makanan yang sering dikonsumsi

setiap hari merupakan jenis makanan yang mudah ditemukan.

Karena letak desa yang jauh dari pasar maka variasi jenis

makananpun terbatas. Jenis makanan yang paling banyak

dikonsumsi yaitu sayuran seperti daun singkong, kol, daun dan

bunga papaya, kacang panjang, buncis, labu siam, bayam, sawi,

kangkung, pakis, terong dan labu kuning. Sayuran terdapat dalam

91

menu makanan setiap hari, berbeda dengan lauk yang tidak dapat

disajikan setiap hari selain karena harganya yang cukup mahal,

juga letak desa yang jauh dari pasar menjadi kendala.

Konsumsi buah-buahan di desa Poleganyara termasuk

jarang karena kebanyakan buah-buahan didapatkan dari hasil

menanam, seperti ketimun, pisang, papaya, manggis, durian, dan

langsat.Meskipun tidak dapat ditemukan setiap hari, ketimun,

pisang dan papaya dapat dikonsumsi beberapa kali dalam

seminggu. Berbeda dengan manggis, durian dan langsat hanya

ditemukan dalam musim-musim tertentu yang hanya berbuah dua

kali dalam setahun. Namun pada musim tersebut buah-buahan

jenis ini dikonsumsi setiap hari. Kecuali durian, bagi penderita

hipertensi mereka menghindari konsumsi buah ini secara

berlebihan bahkan ada yang tidak lagi mengkonsumsi durian

sama sekali.

Perilaku mengkonsumsi sayuran hijau yang cukup sering

serta mengkonsumsi buah-buahan dapat membantu mencegah

hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Reddy dan Katan (2004) tentang diet, nutrisi serta pencegahan

hipertensi dan penyakit jantung, mengatakan bahwa buah dan

sayuran (termasuk beri, kacang-kacangan dan sayuran hijau)

memiliki kontribusi dalam kesehatan jantung termasuk

92

mengurangi risiko hipertensi karena mengandung fitonutrisi,

kalium dan serat.

4.3.3. Pola Tidur

Dari hasil penelitian, didapatkan pola tidur siang dan tidur

malam. Pola tidur dari setiap partisipan berbeda-beda, dimana hal ini

dipengaruhi oleh adanya gangguan seperti pikiran maupun kondisi

sakit yang menyebabkan terlambat tidur atau sering terbangun. Untuk

tidur siang, sebanyak 28 riset partisipan tidak tidur siang dikarenakan

adanya aktivitas disiang hari sedangkan 2 partisipan sering tidur siang

karena usia lanjut, dimana setiap malam sering mengalami gangguan

tidur sehingga siang hari sering merasa kantuk. Untuk tidur malam,

rentang waktu tidur yaitu pukul 20.00 sampai pukul 01.00.

Pola tidur menentukan kualitas tidur. Kualitas tidur merupakan

jumlah jam tidur yakni dari tidur malam sampai bangun pagi. Dari hasil

penelitian terhadap 30 partisipan didapatkan 21 patisipan memiliki

jumlah waktu tidur 7 sampai 8 jam, 6 partisipan memiliki jumlah waktu

tidur 8,5 sampai 9 jam dan 3 partisipan memiliki jumlah tidur 5-6 jam.

Dalam beberapa penelitian, kualitas tidur mempengaruhi

tekanan darah. Dalam hubungannya dengan hipertensi, menurut

Gottlieb, et.al 2006, kurang atau lebihnya jumlah jam tidur dapat

menyebabkan peningkatan tekanan darah, terlebih khusus jika tidur

93

kurang dari 6 jam dapat berisiko meningkatkan prevalensi hipertensi,

dimana normalnya kualitas tidur seseorang yaitu 7-8 jam. Hal serupa

juga disampaikan oleh Gangwisch (2014) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa adanya gangguan pada waktu dan durasi tidur

dapat meningkatkan tekanan darah, khususnya pada durasi tidur

yang pendek dapat menyebabkan hipertensi. Dengan demikian

pentingnya mengatur pola tidur untuk mendapatkan kualitas tidur

yang baik dapat membantu mengurangi risiko hipertensi.

4.3.4. Aktivitas fisik

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa aktivitas fisik tergantung

pada jenis pekerjaan partisipan. Pada umumnya semua partisipan

memiliki aktivitas fisik yang sama yakni memiliki kebun dan sawah

merupakan tempat dengan aktivitas fisik lebih banyak, selain dirumah.

Dari 30 partisipan, ada 22 partisipan memiliki pekerjaan

sebagai petani, 5 partisipan sebagai wiraswasta namun setelah itu

tetap bekerja dikebun dan sawah. 3 partisipan merupakan pegawai

negeri sipil yang berprofesi sebagai guru juga masih melakukan

kegiatan disawah dan kebun meskipun sudah tidak terlalu sering.

Aktivitas fisik yang dilakukan oleh partisipan menurut mereka

sudah mewakili kegiatan olahraga dimana aktivitas yang dilakukan

yaitu berjalan kaki ke kebun atau sawah yang berjarak 2 sampai 4 km

dari rumah, bekerja dikebun seperti memaras rumput, mencangkul

94

dan membersihkan jalan air. Setelah melakukan aktivitas ini, semua

partisipan merasakan manfaat yang baik terhadap tubuh dimana

meskipun lelah, partisipan merasa lebih sehat dan segar daripada

ketika tidak melakukan aktivitas seperti hanya duduk diam dirumah,

atau hanya melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang kecil yang tidak

sampai mengeluarkan keringat, tubuh terasa pegal atau seperti akan

merasa sakit.

Penelitian tentang aktivitas fisik seperti Fargard dan

Cornelissen (2006) tentang pengaruh latihan fisik (aerobik) dalam

mengontrol hipertensi pada pasien dengan hipertensi, yang

mengatakan bahwa adanya aktivitas fisik mengurangi faktor risiko

hipertensi dan latihan fisik merupakan terapi dasar dalam mencegah

dan mengontrol hipertensi. Hal serupa juga disampaikan oleh

Kokkinos, PF et.al (2008), yang menyebutkan bahwa meningkatkan

aktivitas fisik dengan intensitas dan durasi yang tepat dapat

mengurangi risiko hipertensi.

Penelitian lain tentang aktivitas fisik yakni berjalan kaki juga

dapat menurunkan tekanan darah. Park. S et al (2008) menemukan

bahwa akumulasi dari berjalan kaki selama 3 kali 10 menit dapat

menurunkan tekanan darah sistolik seseorang dengan prehipertensi

sebesar 4 mmHg. Selain itu, aktivitas fisik yang dilakukan dirumah

sebagai aktivitas keseharian seperti menyapu, mencuci, dan pekerjan

95

rumah lainnya serta berkebun dapat menurukan tekanan darah pada

penderita hipertensi (Padilla, J., et al, 2005).

4.3.5. Pengendalian stress

Pengendalian stress merupakan cara yang dilakukan dalam

mengendalikan diri dan mengontrol emosi. Dari hasil penelitian,

beberapa cara pegendalian stress:

a. Meluapkan emosi

Meluapkan emosi merupakan salah satu cara untuk

mengungkapkan atau mengekspresikan emosi yaitu marah.

Menurut 24 partisipan dari 30 riset partisipan, dengan

mengungkapkan emosi dapat membantu melegakan suasana hati

untuk mengurangi beban pikiran serta memberikan kepuasan

batin setelah mengungkapkan apa yang dirasakan.

Dalam hubungannya dengan hipertensi, meskipun dengan

mengungkapkan emosi dapat memberikan perasaan lega, namun

belum ditemukan bukti dapat mengurangi risiko hipertensi.

Beberapa penelitian mengungkapkan sebaliknya, Jennings dan

Heim (2011) mengatakan bahwa seseorang dengan hipertensi

memiliki peningkatan emosional setiap hari yang dapat

memberikan kontribusi dalam meningkatkan risiko hipertensi.

Penelitian lain juga menyebutkan tentang emosi, seperti yang

disampaikan oleh Lipp, Marilda. et al (2006) bahwa ekspresi

96

emosional merupakan bentuk ekspresi negatif yang dapat

meningkatkan tekanan darah dan risiko hipertensi. Namun

Marilda juga mengungkapkan dalam penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Mendes et al. (2003) bahwa ekspresi emosional

dapat juga menjadi ekspresi penuh semangat yang dapat

meningkatkan kesehatan psikologis. Dengan demikian,

meluapkan amarah sebagaiekspresi emosional masih

membutuhkan penelitian lebih lanjut dalam hubungannya dengan

hipertensi.

b. Aktivitas fisik

Dalam penelitian ini aktivitas fisik yang dimaksud sebagai

pengendali stres adalah kegiatan menyibukan diri seperti

melakukan pekerjaan rumah, atau beraktivitas di kebun atau

sawah dan melakukan hobi seperti memancing yang bertujuan

untuk mengalihkan perasaan emosianal jika sedang mengalami

suatu masalah. Hal ini diungkapkan oleh 30 partisipan yang

mengatakan bahwa dengan melakukan kegiatan fisik membantu

menenangkan emosi karena pikiran berpusat pada aktivitas yang

sedang dilakukan.

Stress memiliki pengaruh yang cukup bermakna pada

hipertensi, sehingga aktivitas fisik sebagai pengalihan stress

membantu dalam mengurangi risiko hipertensi. Pernyataan ini

97

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lamina, S dan

Okoye, GC (2012), yang menyebutkan adanya manfaat yang

cukup signifikan antara aktivitas fisik dalam hal ini aerobik yang

dilakukan secara teratur dengan status psikologis seseorang

dalam mengendalikan hipertensi.

Dalam penelitian ini belum ada penelitian yang

menyebutkan bahwa aktivitas fisik dalam bentuk pekerjaan

didalam maupun diluar rumah dapat mengalihkan stress sehingga

mengurangi risiko hipertensi. Penelitian yang ada lebih banyak

menyebutkan aktivitas fisik dalam bentuk olahraga teratur seperti

treadmill dan aerobik yang mempengaruhi hipertensi.

c. Interaksi sosial

Interaksi sosialdiwujudkan dengan cara saling membina

komunikasi antar sesama, baik dengan keluarga, teman dan

kerabat. Dari 30 partisipan, 24 partisipan mengungkapkan adanya

interaksi sosial ini dapat memberi ruang seseorang dalam

mengungkapkan apa yang dirasakan seperti tentang

permasalahan yang sedang dialami maupun sekedar sharing

dalam berbagi informasi-informasi, dimana hal ini bertujuan untuk

memberikan rasa lega dan sebagai pengalihan jika sedang

mengalami perasaan emosi.

98

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukadiyanto

(2010), menyatakan bahwa berbagi cerita (sharing) dengan orang

yang dicintai atau dengan keluarga merupakan sarana untuk

berkeluh kesah yang dapat mengurangi beban kepenatan

psikologis. Untuk itu, perlu adanya jalinan hubungan komunikasi

yang harmonis dalam rumah tangga agar terhindar dari potensi

terserang oleh stress.

d. Tidur

Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa dengan tidur

dapat mengurangi stress dan memberi kesempatan untuk

merilekskan pikiran dengan tidak terlalu memikirkan masalah

yang terjadi. Selain itu, hasil yang didapat setelah tidur, adanya

perubahan perasaan dengan merasa lebih baik dibanding

sebelumnya.

Menurut partisipan, tidur ini sering dilakukan jika sedang

mengalami suatu masalah baik itu tidur siang maupun tidur

malam. tidur siang hanya sebagai istirahat, namun tak jarang juga

jika sedang lelah maka bisa tidur nyenyak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Posen, (1995) dalam penelitiannya tentang stress

management for patient and physician yang mengatakan bahwa

tidur merupakan cara paling baik dalam mengurangi stress.

99

Menurut Posen, seseorang dengan keadaan stress, jika

mendapatkan tidur yang cukup dapat merasa lebih baik dan

memiliki perasaan yang lebih ringan dari sebelumnya serta

dengan mudah beradaptasi dengan kejadian-kejadian yang

dialami setiap hari. Posen juga menambahkan dalam

mengendalikan stress dengan tidur disarankan untuk tidur lebih

awal 30-60 menit sebelum jam tidur dan untuk tidur siang sebagai

istirahat atau waktu rileks disarankan hanya 5-20 menit perhari.

e. Aktivitas spiritual

Dari 30 riset partisipan, 2 partisipan mengemukakan

bahwa aktivitas spiritual merupakan salah satu cara untuk

menenangkan diri ketika menghadapi suatu masalah. Aktivitas

spiritual ini dalam bentuk mendengarkan dan menyanyikan lagu

pujian rohani, membaca alkitab dan berdoa yang dilakukan secara

pribadi didalam kamar.

Aktivitas spiritual ini membantu dalam mengendalikan

stress yang disebabkan oleh masalah-masalah yang muncul baik

dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun sosial. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamilton, et.al (2011) yang

berisi tentang menggunakan lagu religi dalam mengurangi stress

dimana lagu religi dapat memberikan gambaran rasa damai dan

terhibur serta kemampuan untuk bertahan. Penelitian lain juga

100

oleh Hamilton, et al (2013) tentang membaca alkitab sebagai

petunjuk, ketenangan dan kekuatan selama mengalami stres

pada orang Afrika-Amerika menyatakan bahwa mereka

menggunakan kitab injil sebagai cara untuk memiliki Tuhan

sebagai penolong, pelindung, untuk memuji dan bersyukur,

sebagai tempat untuk mengungkapkan sesuatu melalui doa.

4.3.6. Penggunaan Ramuan dan Obat Medis

Penggunaan ramuan dan obat medis merupakan pencegahan

rehipertensi dalam artian mengurang kambuhnya atau terulangnya

hipertensi.dari hasil penelitian, 23 dari 30 riset partisipan menggunaan

ramuan dalam mencegah rehipertensi sedangkan 7 partisipan lainnya

mengkonsumsi obat dokter.

a. Ramuan

Dalam masyarakat desa Poleganyara, menggunakan

ramuan yang diolah secara mandiri sudah menjadi kebiasaan

untuk mengobati jenis-jenis penyakit tertentu. Kebiasaan ini

dilakukan secara terus menerus karena adanya keyakinan bahwa

lebih baik mengkonsumsi yang alami daripada yang mengandung

kimia.

101

Penggunaan ramuan ini memberikan dampak positif

dalam mencegah rehipertensi seperti diungkapkan oleh 24

partisipan yang memanfaatkan ramuan sebagai alternatif untuk

mengobati hipertensi sehingga bisa mengurangi biaya berobat

karena bahan ramuan tersebut yang mudah didapat.

Dari hasil penelitian, jenis ramuan yang sering dikonsumsi

yaitu balakama (kemangi), daun balacai, daun sambiloto, daun

belimbing, daun papaya, daun sirsak dan mengkudu.

Kemangi

Balakama (kemangi) merupakan jenis tumbuhan yang

mudah didapatkan karena dapat tumbuh dimana saja.

Balakama ini umumnya dikenal sebagai pelengkap masakan

dan bisa juga digunakan sebagai lalapan.

Dari hasil penelitian, kemangi menjadi ramuan yang

paling sering dikonsumsi jika muncul hipertensi dan hasilnya

memberikan efek yang cukup baik dimana dengan

mengkonsumsi balakama, gejala hipertensi berkurang. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Umar, A., et al

(2010), yang mengatakan bahwa kemangi yang memiliki

nama latin Ocimum basilicum L dapat menurunkan hipertensi

karena terdapat kandungan betakaroten dan magnesium yang

dapat memelihara kesehatan jantung.

102

Daun balacai

Daun balacai atau daun jarakyang memiliki nama latin

Jatropha curcas merupakan salah satu jenis tumbuhan yang

sering digunakan oleh partisipan dalam membuat ramuan

untuk mengobati hipertensi. Cara pembuatannya cukup

sederhana dengan mengambil beberapa helai daun kemudian

disiram dengan air panas dan airnya diminum. manfaat dari

daun balacai ini dapat mengurangi gejala hipertensi yang

muncul.

Manfaat daun jarak dalam mengobati hipertensi ini

sesuai dengan penelitian Maira R Segura-Campos,et al (2013)

bahwa daun jarak sangat membantu sebagai terapi alternatif

hipertensi karena adanya peran Angiotensin I-converting

enzyme (ACE) dalam kandungan daun jarak yang mengatur

tekanan darah serta mengendalikan hipertensi.

Daun sambiloto

Tumbuhan sambiloto yang memiliki nama

latinAndrographis paniculata nees termasuk jenis tumbuhan

yang digunakan sebagai ramuan obat alternatif untuk

hipertensi. Dari 30 partisipan, hanya 1 partisipan yang

menggunakan daun sambiloto ini sebagai obat jika muncul

hipertensi, dengan cara pembuatan yang cukup disiram

103

dengan air panas sebanyak 7 helai daun kemudian airnya

diminum.

Dalam penelitian Awang, K et al (2012) mengatakan

bahwa zat yang terkandung dalam daun sambiloto yaitu 14-

deoxy-11, 12-dihydroandrographolide dan 14-

deoxyandrographolide yang memiliki kemapuan untuk

memperbesar pembuluh koroner dan aorta, dapat mendukung

penggunaan tumbuhan sambiloto sebagai obat tradisional

dalam mengobati gangguan kardiovaskular serta mengurangi

hipertensi.

Daun alpukat

Dari hasil penelitian, konsumsi daun alpukat

(Persea americana Mill)oleh beberapa partisipan

bermanfaat untuk menurunkan hipertensi. Ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Uswatun, (2014)

tentang kandungan kimia daun alpukat bahwa salah satu

cara kerja daun alpukat adalah dengan mengeluarkan

sejumlah cairan dan elektrolit maupun zat-zat yang

bersifat toksik. Dengan berkurangnya jumlah air dan

garam di dalam tubuh maka pembuluh darah akan longgar

sehingga tekanan darah perlahan-lahan mengalami

penurunan. Uswatun (2014), juga menyebutkan penelitian

104

sebelumnya tentang manfaat daun alpukat sebagai anti

hipertensi, yaitu dalam penelitian oleh Biopharmaca

Research Center (2013) mengatakan kandungan glikosida

pada daun alpukat dilaporkan memiliki aktivitas

menurunkan tekanan darah.

Daun belimbing

Didesa Poleganyara daun belimbing juga sering

dimanfaatkan untuk pengobatan khususnya hipertensi.

Pemanfaatannya sebagai ramuan tradisional untuk

mengobati hipertensi menjadi bahan yang sering

digunakan oleh partisipan. Cara pembuatannya sama

dengan cara-cara umumnya dengan merebus daun

belimbing kemudian airnya yang diminum sebagai obat.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hernani, et al(2009), yang menyatakan

bahwa hasil uji ekstrak daun belimbing wuluh memiliki efek

penurunan tekanan darah tinggi.

Daun salam

Penggunan daun salam sebagai terapi hipertensi

digunakan oleh 23 partisipan. Mereka mengatakan bahwa

ramuan rebusan daun salam memiliki efek yang bagus

dalam mengurangi gejala hipertensi yang muncul. hal ini

105

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saputra, VA

(2012) dalam skripsinya yang meneliti tentang pengaruh

rebusan air daun salam terhadap tekanan darah laki-laki

dewasa dimana hasil penelitian ini mengatakan bahwa

rebusan air daun salam dapat menurunkan tekanan darah

sistol dan diastol. Hal serupa juga disampaikan oleh

Hasanah, H (2014) yang mengungkapkan hal yang sama

tentang pengaruh rebusan daun salam dalam menurunkan

hipertensi.

Daun papaya

Bagi partisipan penggunaan daun papaya sebagai

ramuan herbal untuk terapi hipertensi masih jarang.

Kebanyakan hanya menggunakan daun papaya sebagai

sayuran untuk dikonsumsi.

Daun papaya yang digunakan sebagai ramuan

herbal untuk hipertensi adalah daun papaya yang sudah

berwarna kuning, rebusan airnya diminum. rasa yang agak

pekat membuat ramuan ini jarang dibuat untuk dikonsumsi

oleh partisipan.

Belum ada penelitian tentang manfaat daun

papaya berwarna kuning untuk terapi hipertensi. Penelitian

lainnya mengungkapkan tentang papaya sebagai

106

pencegahan hipertensi seperti memanfaatkan akar

papaya yang direbus kemudian diminum airnya (LIPI,

2009)

Daun sirsak

Bagi partisipan daun sirsak sering digunakan

sebagai pengobatan herbal hipertensi. Meskipun jenis

pohonnya yang termasuk jarang ditemui, daun sirsak

menjadi pilihan untuk dikonsumsi jika mendapatkan

hipertensi.

Menurut penelitian Taylor (2002), daun sirsak

termasuk jenis daun lanset yang memiliki permukaan licin

dan berwarna hijau gelap memiliki manfaat pengobatan

tradisional beberapa jenis penyakit termasuk hipertensi.

Mengkudu

Mengkudu merupakan jenis buah yang mudah

didapat di desa Poleganyara. Menurut 23 partisipan, buah

ini pernah diminum untuk mengobati hipertensi, namun

beberapa partisipan sudah jarang mengkonsumsi

mengkudu karena rasa pekat yang kurang enak membuat

buah ini menjadi pilihan yang jarang dikonsumsi jika

hipertensi kambuh.

107

Dari hasil penelitian, 23 partisipan mengungkapkan

bahwa mengkudu dapat mengurangi gejala hipertensi dan

menurunkan tekanan darah. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Muljati, R et al(2013) yang

mengatakan kandungan scopoletin dalam mengkudu,

mampu mengikat serotonin yang menjadi penyebab

penyempitan pembuluh darah yang mengakibatkan

peningkatan tekanan darah.

Selain yang disebutkan diatas, terdapat beberapa

jenis konsumsi lainnya yang dimanfaatkan sebagai dalam

menurunkan tekanan darah yaitu bawang putih, daun

pepaya dan buah ketimun. Bawang putih lebih banyak

digunakan sebagai campuran makanan seperti dalam

masakan sayuran, daun pepaya dikonsumsi sebagai

sayuran sedangkan ketimun hanya dikonsumsi mentah.

Penelitian menunjukan bahwa pemanfatan bawang

putih dalam bumbu masakan dapat mengurangi peluang

terkena hipertensi dengan jumlah konsumsi rata-rata 134

gram per bulan (Qidwai et al., 2000). Diperkirakan

mekanisme penurunan tekanan darah ini berhubungan

dengan vasodilatasi otot pembuluh darah yang

108

dipengaruhi senyawa yang terkandung dalam bawang

putih (Siegel et al., 1992).

Menurut partisipan dengan mengkonsumsi ketimun

dapat menurunkan tekanan darah, ini sesuai dengan

penelitian Kharisna, et al (2012) dimana hasil penelitian

menunjukan bahwa dengan mengkonsumsi ketimun (jus)

dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi

dimana terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan

pada kelompok eksperimen yang diteliti.

Belum ada penelitian sebelumnya yang mendukung

secara spesifik mengenai daun pepaya sebagai

antihipertesi. Penelitian yang ada menggunakan bagian

pepaya yang lain seperti dalam penelitian Elgadir et al,

2014 menemukan bahwa ekstrak buah pepaya mentah

mengandung zat antihipertensi. Yuliarti (2011) juga

mengungkapkan manfaat akar pepaya dalam menurunkan

hipertensi.

b. Obat medis

Ada 7 dari 30 partisipan menggunakan obat medis

sebagai pengobatan hipertensi. Jenis obat yang sering

diminum yaitu katopril. Menurut partisipan, penggunan

109

obat ini karena ketidakmampuan mengkonsumsi ramuan

yang memiliki rasa yang khas.

Hasil penelitian menunjukan bahwa katopril memiliki

efek yang baik sebagai obat hipertensi karena kandungan

angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor yaitu enzim

yang berperan dalam sistem tubuh, umumnya untuk

mengobati penyakit jantung termasuk hipertensi

(Carrasco, et al, 2009).

4.3.7 Merokok dan alkohol

Merokok dan konsumsi alkohol seringkali sudah menjadi

kebiasaan yang dilakukan sejak masa muda, khususnya pada laki-

laki hal ini paling sering ditemui. Dalam penelitian ini yaitu dari 30

partisipan, 7 partisipan yang terdiri dari laki-laki memiliki riwayat

merokok dan konsumsi alkohol yang telah dimulai sejak masa muda,

sedangkan 23 partisipan yang terdiri dari wanita tidak merokok namun

pernah mengkonsumsi alkohol.

Merokok dan alkohol merupakan salah satu faktor yang dapat

meningkatkan risiko hipertensi. Beberapa penelitian yang

berhubungan dengan faktor ini membenarkan bahwa ada hubungan

antara perilaku merokok dan konsumsi alkohol dengan tingkat

hipertensi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Briasoulis,

et.al(2012) tentang konsumsi alkohol dan risiko hipertensi pada pria

110

dan wanita dimana konsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan yakni

> 20 g/d dapat meningkatkan risiko hipertensi. Demikian halnya

dengan merokok menurut Thuy, A et al (2000) ada pengaruh yang

cukup signifikan antara merokok dengan hipertensi, dimana perilaku

merokok ini telah dilakukan sejak lama atau sudah bertahun-tahun

dan disarankan untuk dihentikan.

Dari hasil penelitian, 7 partisipan yang memilki kebiasaan

merokok tidak lagi merokok, dimana sejak mendapatkan hipertensi

ketujuh partisipan ini secara bertahap mengurangi kebiasaan

merokok sampai berhenti. Sama halnya dengan alkohol, 7 partisipan

pria mengurangi konsumsi alkohol. Meskipun jarang dikonsumsi,

namun terdapat perbedaan antara konsumsi alkohol sebelum

hipertensi dimana biasanya jumlah yang dikonsumsi berlebihan

sampai menyebabkan pusing dan mabuk dan setelah mendapatkan

hipertensi, jumlah yang dikonsumsi telah dibatasi yaitu 2-3 gelas kecil.

Untuk 23 partisipan perempuan, 19 diantaranya hanya pernah

mengkonsumsi sekali dan setelah itu tidak pernah lagi dikonsumsi

sedangkan 4 partisipan lain masih mengkonsumsi alkohol namun

jarang dan jumlah yang diminumpun tidak lebih dari 2 gelas.

Adapun faktor tentang alkohol ini tidak diketahui secara pasti

jumlah konsumsi alkohol untuk disesuaikan dengan penelitian

111

Briasoulis, et.al (2012) tentang jumlah konsumsi alkohol yang dapat

meningkatkan tekanan darah.

4.3.8 Perubahan Perilaku

Tindakan pencegahan rehipertensi dari setiap riset partisipan

melalui proses perubahan perilaku. Hasil penelitian menunjukan

adanya perubahan perilaku meskipun sudah berlangsung selama

bertahun-tahun namun perubahan perilaku kesehatan tersebut hanya

bersifat sementara. Hal ini terlihat dari masih munculnya rehipertensi

karena kebanyakan mereka masih kembali pada perilaku semula.

Teori perubahan perilaku kesehatan terkait hasil penelitian ini

yaitu pertama teori transtheorical (Prochasca dan Velicer, 1997)

dengan 6 tahap perubahan perilaku kesehatan dimana teori ini

dialami oleh seluruh riset partisipan. Mulai dari tahap

precontemplation yaitu riset partisipan belum mengetahui

konsekuensi dari perilaku mereka karena belum adanya informasi

kesehatan yang didapat berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan

yang sering dilakukan yang mempengaruhi tekanan darah, seperti

mengkonsumsi daging dan makanan asin yang sering menjadi

penyebab awal mendapat hipertensi dari seluruh riset partisipan.

Contemplation atau tahap perenungan dimana riset partisipan mulai

menyadari dampak dari perilaku atau kebiasaan terhadap kondisi

112

tekanan darah. Setiap partisipan mulai merenungkan pengaruhnya

terhadap biaya dan kondisi tubuh. Keterbatasan biaya dan

ketidakmampuan tubuh untuk bekerja menjadi salah satu motivasi

untuk merubah perilaku kesehatan. Preparation (persiapan), pada

tahap ini partisipan mulai mengumpulkan informasi baik dari petugas

kesehatan, sesama penderita hipertensi maupun media komunikasi

seperti cetak atau televisi untuk mempengaruhi perubahan perilaku

kesehatan. Kemudian hasil pada tahap persiapaan ini dilanjutkan

pada tahap action (tindakan) yaitu terjadi modifikasi perilaku yang

lebih spesifik. Dalam hasil penelitian ini, tindakan merupakan upaya

yang dilakukan untuk mencegah rehipertensi meliputi upaya

pengecekan tekanan darah (frekuensi pengecekan tekanan darah,

tempat pengukuran tekanan darah dan nilai tekanan darah), mengatur

pola konsumsi (garam, MSG, daging, sayuran dan buah-buahan),

pola tidur (jam tidur malam, tidur siang dan lamanya waktu tidur),

aktivitas fisik (dalam bentuk kegiatan fisik di rumah, sawah, dan

kebun), pengendalian stress (meluapkan emosi, aktivitas fisik,

interaksi sosial, tidur dan aktivits spiritual), penggunaan ramuan

tradisional dan obat medis (kemangi, daun jarak, sambiloto, daun

belimbing, daun salam, daun sirsak, daun papaya, mengkudu dan

obat medis yaitu katopril) serta merokok dan alkoho (Levine et al,

1993; Chang et al, 2003). Tindakan pencegahan ini juga merupakan

113

tahapan yang dilalui berikutnya yaitu maintenance (pemeliharaan)

sebagai bentuk pencegahan rehipertensi. Pada tahap ini dituntut

adanya kemampuan meningkatkan dan mempertahankan perubahan

perilaku untuk jangka waktu yang panjang. Proses ini pada riset

partisipan masih dalam proses penyesuaian, karena kebanyakan dari

partisipan masih kembali pada perilaku sebelumnya. Kesulitan untuk

mempertahankan perubahan perilaku biasanya dipengaruhi oleh

kebiasaan yang sudah membudaya, khususnya kebiasaan

mengkonsumsi daging yang meskipun jarang dikonsumsi namun

seringkali kemampuan untuk mengontrol jumlah konsumsi tidak bisa

dilakukan. Namun terdapat tindakan pencegahan oleh beberapa

partisipan melalui tindakan cepat mengantisipasi peningkatan

tekanan darah jika kebiasaan lama terulang. Seperti yang dilakukan

beberapa partisipan yaitu mengkonsumsi ramuan setelah

mengkonsumsi daging maupun makanan asin untuk mencegah

rehipertensi. Tahap terakhir yaitu termination dimana terjadi

perubahan perilaku yang efektif, dengan kata lain adanya komitmen

untuk tidak kembali pada perilaku sebelumnya. Pencapaian tahap ini

tidak berlaku pada seluruh partisipan dengan hipertensi serta untuk

semua tindakan pencegahan rehipertensi, hanya beberapa tindakan

tertentu yang secara signifikan berpengaruh pada pencegahan

rehipertensi seperti yang dilakukan oleh 2 riset partisipan yang secara

114

total berhenti mengkonsumsi daging sejak mendapat hipertensi

(kecuali jenis unggas) dan mengurangi jumlah konsumsi garam yang

dilakukan oleh 29 dari 30 riset partisipan.

Teori lain terkait hasil penelitian ini yaitu social cognitive theory

(teori kognitif sosial) dimana partisipan memperoleh pengetahuan dari

hasil mengamati perilaku orang lain dan juga adanya pengaruh

lingkungan dalam pengambilan keputusan untuk menerapkan perilaku

tersebut atau tidak (Hurst, 2003). Perilaku yang dilakukan partisipan

berdasarkan teori ini yaitu mencegah rehipertensi dengan

mengkonsumsi ramuan tradisional, dimana informasi didapatkan oleh

partisipan melalui orang lain yang menggunakan ramuan sebagai

pencegahan rehipertensi. Partisipan lain yang mengamati dan melihat

cara ini berhasil kemudian mengikuti cara tersebut. Hasil pengamatan

ini juga didukung oleh kondisi informan yang dalam keadaan sehat

dimana yang memberikan informasi juga sudah jarang mengalami

rehipertensi.