4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

80

Upload: ngotuyen

Post on 31-Dec-2016

244 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam MempromosikanPenyerapan dan Penyimpanan Karbon pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Makalah Diskusi Final

Maret, 2015

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia

Page 2: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam Mempromosikan Penyerapan dan Penyimpanan Karbon pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia Makalah Diskusi Akhir

March, 2015

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia

Page 3: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Ucapan Terima Kasih Makalah ini telah disiapkan oleh PT Pranata Energi Nusantara (PEN konsultan) bekerjasama dengan Pusat Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kebijakan (PKPPIM) di Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Program Dukungan Rendah Karbon pemerintah Inggris kepada Kementerian Keuangan yang dikelola oleh Paul Butarbutar. Pengerjaan ini dilaksanakan di PKPPIM dibawah kepemimpinan Kepala Pusat PKPPIM Dr. Syurkani Ishak Kasim dengan pengawasan manajemen oleh Dr. Syaifullah. Mitra utama di PKPPIM adalah Bp. Hageng Nugroho serta dukungan dari Ibu Windy Kurniasari dan Ibu Vina Damayanti.

Disclaimers

Makalah diskusi ini telah disiapkan melalui Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk tujuan pengembangan kebijakan dan pembahasan/diskusi. Pandangan yang diungkapkan dalam Makalah diskusi ini adalah dari penulis sendiri dan sama sekali tidak harus ditafsirkan sebagai cermin pandangan dari Kementerian Keuangan atau Pemerintah Indonesia"

Laporan dalam bahasa Indonesia ini merupakan terjemahan tidak sempurna dari laporan asli yang berbahasa Inggris, yang bertujuan untuk memudahkan diskusi dengan Kementerian Keuangan dan para pemangku kepentingan mengenai isi laporan. Terjemahan dengan kualitas yang lebih baik akan dilakukan apabila versi final dari laporan dalam bahasa Inggris telah tersedia dan Kementerian Keuangan berkeinginan untuk mempublikasikan laporan ini sebagai bahan referensi bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat yang lebih luas.

Dokumen ini mengandung penyataan pandangan kedepan yang mencerminkan harapan, perkiraan dan proyeksi sekarang dan tidak menjamin kejadian kedepan; dan tergatung pada risiko tertentu, ketidakpastian dan faktor-faktor lainnya, beberapa diantaranya diluar kemampuan kami dan sulit untuk diduga. Diantara faktor-faktor yang dapat mengakibatkan hasil yang sebenarnya berbeda secara material adalah keberhasilan dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan persetujuan; perolehan dari fasilitas serupa yang bersaing; kondisi ekonomi lokal dan umum; dan kejadian politik lokkal. Anda seharusnya tidak menempatkan ketergantungan yang tidak semestinya pada pernyataan pandangan kedepan ini. Pandangan ini didasarkan pada informasi yang kami peroleh yang berlaku hanya pada tanggal perolehannya. PENConsulting tidak berkewajiban untuk memperbaharui setiap pernyataan pandangan kedepanya secara publik, apakah sebagai hasil dari informasi yang baru, kejadian didepan atau lainnya.

Pertanyaan Terkait Laporan Ini

Jika ada pertanyaan mengenai laporan ini atau laporan-laporan lain dari Program LCS dapat diajukan melalui email: [email protected]

Page 4: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

DAFTAR SINGKATAN

ASME American Society of Mechanical Engineers API American Petroleum Institute BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (National Development

Planning Agency) BAU Business As Usual BKF Badan Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy Agency) CBM Coal Bed Methane CCS Carbon Capture and Storage (Penyerapan dan Penyimpanan Karbon - PPK) CNG Compressed Natural Gas CO2 Carbon Dioxide CTF Clean Technology Fund DFID UK Department for International Development DNPI Dewan Nasional Perubahan Iklim (National Council on Climate Change) ECBM Enhanced Coal Bed Methane EE Energy Efficiency EOR Enhanced Oil Recovery EPA Environmental Protection Agency FE Fossil Energy GHG Greenhouse Gas GRK Gas Rumah Kaca GOI Government of Indonesia GWP Global Warning Potential HFC Hydro-Fluoro Carbon HSE Health, Safety and Environment IPA Indonesian Petroleum Association IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change ISO International Organization for Standardization LCS UK Low Carbon Support LNG Liquid Natural Gas LPG Liquid Petroleum Gas LULUCF Land Utilization, Land Utilization Change, and Forest MAG Welding Metal Active Gas Welding MIG Welding Metal Inert Gas Welding MOF Ministry of Finance (Kementerian Keuangan) Mt Metric ton MVA Monitoring, Verification and Accounting (Pemantauan, Verifikasi dan

Akutansi) NAMA Nationally Appropriate Mitigation Action (Aksi Mitigasi Nasional Yang Layak) NOAA U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration OPML Oxford Policy Management Limited PIP Pusat Investasi Pemerintah (Government Investment Agency) PKPPIM Pusat Kebijakan dan Pendanaan Perubahan Iklim Multilateral PPK Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (Carbon Capture and Storage) UNFCC United Nations Framework Convention on Climate Change

ii

Page 5: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

DAFTAR ISI

DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................................... ii

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................... v

1. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Identifikasi Masalah ......................................................................................................... 3

1.3 Maksud dan Sasaran dari Kajian ini .............................................................................. 5

1.4 Metodologi Kajian ............................................................................................................ 6

2. BAB IIPRINSIP PENYERAPAN DAN PENYIMPANAN KARBON .............................. 11

2.1 Pembangkitan Gas Rumah Kaca ................................................................................. 12

2.2 Penyerapan dan Transportasi Karbon ......................................................................... 18

2.3 Penyimpanan CO2 ........................................................................................................ 20

2.4 Penggunaan CO2 .......................................................................................................... 21

2.5 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca ........................................................................ 25

2.6 Pro dan Kontra Terhadap Penyerapan dan Penyimpanan Karbon .......................... 28

3. KERANGKA PERATURAN, KEEKONOMIAN, DAN PENDANAAN PENYERAPAN DAN PENYIMPANAN KARBON ........................................................................................ 31

3.1 CO2 sebagai Sumber Daya atau Pencemaran .......................................................... 31

3.2 Tinjauan Regulasi PPK yang berlaku Internasional dan Kebiasaan Yang Baik ...... 32

3.3 Peraturan Tentang Emisi Gas Rumah Kaca di Industri Minyak dan Gas Indonesia 33

3.4 Peraturan tentang Penyerapan dan Penyimpanan serta Pemanfaatan Karbon Dioksida di Industri Minyak dan Gas Bumi Indonesia ........................................................... 37

3.5 Analisa Biaya dan Keuntungan CCS ........................................................................... 44

3.6 Pendanaan Proyek CCS dan Praktek Pendanaan Terbaik ....................................... 47

4. KAJIAN TERHADAP INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI INDONESIA .................. 50

4.1 Permasalahan Gas Rumah Kaca dalam Kegiatan Hulu Minyak dan Gas ............... 50

4.2 Masalah Gas Rumah Kaca di Industri Hilir Minyak dan Gas ..................................... 52

4.3 Standar Emisi CO2 ........................................................................................................ 61

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ......................................................................... 63

DAFTAR REFERENSI ........................................................................................................ 67

iii

Page 6: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1: Perkiraan Potensi Energi Terbarukan di Indonesia ............................................. 10

Tabel 2.1: Analisis Kekuatan Lapangan Penerapan PPK di Indonesia ................................ 29

Tabel 3.1: Contoh Kerangka Kerja Peraturan Internasional PPK......................................... 32

Tabel 3.2: Dasar Hukum Persediaan Gas Rumah Kaca di Indonesia .................................. 34

Tabel 3.3: Berbagai Sumber CO2 di Sumatera Selatan ...................................................... 42

Tabel 3.4: Daftar 20 Lapangan Minyak Teratas Dilihat dari Kedekatan dan Tahap Aliran untuk semua Kluster ........................................................................................................... 42

Tabel 3.5: Kekonomian Proyek Awal - Pilot Project PPK Merbau GGS ............................... 45

Tabel 3.6: Asumsi Biaya CO2 untuk Instalasi Pemprosesan Gas........................................ 47

Tabel 4.1: Potensi Sumber Gas Rumah Kaca di Kilang Minyak .......................................... 56

Tabel 4.2: Sumber Emisi Terbesar dari Kilang Minyak ........................................................ 57

Tabel 4.3: Estimasi Emisi Kilang Minyak Unit II Dumai, BAU .............................................. 58

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1: Diagram Skematik dari Kemungkinan Sistem PPK ........................................... 2

Gambar 1.2: Rantai Nilai PPK .............................................................................................. 3

Gambar 1.3: Proyeksi Pertumbuhan Armada Kendaraan Bermotor di Indonesia ................ 10

Gambar 2.1: Diagram Penyimpanan Karbon ....................................................................... 12

Gambar 2.2 Proyeksi Emisi CO2 Indonesia 2005 - 2030 .................................................... 13

Gambar 2.3: Emisi CO2 di Sektor Minyak dan Gas, ‘Business As Usual’ ............................ 14

Gambar 2.4: Skema Emisi Gas Rumah Kaca di Industri Minyak dan Gas Bumi .................. 16

Gambar 2.5: Skema Diagram Kemungkinan Sistem PPK ................................................... 18

Gambar 2.6: Opsi Penyimpanan Geologi untuk CO2 .......................................................... 21

Gambar 2.7: Perbandingan Fase Diagram CO2 (merah) dan Air (biru) Sebagai Sebuah Grafik Log-in Charge Dengan Titik Transisi pada 1 Atmosfer .............................................. 25

Gambar 3.1: Diagram Blok Kegiatan PPK dan Injeksi CO2 untuk EOR............................... 39

Gambar 4.1: Diagram Alir Blok Kilang Pertamina RU II – Dumai ..................................... 55

iv

Page 7: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk mencapai obyektif sendiri mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri and mengusulkan target 41% pengurangan pada tahun 2020 dengan bantuan internasioanl. Dari angka 26% pengurangan emisi Gas Rumah Kaca tersebut, 6% datang dari sektor energi.

Emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari sektor energi tergantung pada bauran energi yang arahnya sudah ditetapkan pada Kebijakan Energi Nasional oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 79, Tahun 2014.

# Bentuk Energi 2010 Tahun 2025

KEN 1 BBM 43.9% 25% 2 Gas Bumi 21.0% 22% 3 Batubara 30.7% 30% 4 Energi Baru & Terbarukan 4.4% 23% Total (MBOE) 113.1 3,200 Konservasi Energi 37.5%

Kontribusi emisi Gas Rumah Kaca dari sektor minyak dan gas bumi diperkirakan akan bertambah dari 122 Mt CO2 di tahun 2005 menjadi 137 Mt CO2 pada tahun 2030 per tahun, terutama dari tambahan kapasitas pengilangan yang akan datang. Sumber emisi CO2 lainnya di sektor minyak dan gas bumi adalah dari fasilitas hulu, termasuk penyalaan gas (gas flaring), produksi ikutan bersama gas alam, fasilitas pemrosesan gas, dan berbagai peralatan pembakaran yang digunakan pada kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi.

Teknologi Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (PPK) atau penyerapan dan pengasingan karbon telah diketahui sebagai satu cara yang paling efektif untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfir, terutama di sektor minyak dan gas bumi. CO2 yang diserap dapat disimpan secara lamadi akuiver lapangan minyak dan gas bumi pada kedalaman lebih dari 1,000 meter dan dapat dipergunakan untuk kegiatan Peningkatan Perolehan Minyak (Enhanced Oil Recovery atau EOR) dengan proses campur atau dorongan.

Ada tiga aspek dari kegiatan PPK:

1. Penyerapan – Pemisahan CO2 dari gas lainnya yang dihasilkan dari proses industri yang besar seperti pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan bahan bakar batubara atau Pembangkit Listrik Tenaga Gas, Minyak, Pengolahan Baja dan Pabrik Semen.

2. Pengangkutan – Setelah dipisahkan, gas CO2 ditekan dan diangkut lewat jaringan pipa, truk tangki, kapal atau cara lain ke suatu tempat untuk disimpan di bawah tanah

3. Penyimpanan – CO2 diinjeksikan jauh ke dalam formasi batuan dibawah tanah, sedalam satu kilometer atau lebih. Sudah dibuktikan penggunaan CO2 untuk proses

v

Page 8: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

EOR dan peningkatan produksi Coal Bed Methane tetapi bukan di Indonesia.tetapi bukan di Indonesia tetapi buktetapi bukan di Indonesiatetapi bukan di Indonesi

Depertemen Pengembangan Internasional dari Kerajaan Inggris telah mengkontrak Oxford Policy Management Ltd (OPML), yang selanjutnya menunjuk PT Pranata Energi Nusantara (PENConsulting) untuk melakukan suatu studi tentang kebijakan PPK dibawah supervisi Pusat Kebijakan Pendanaan Perubahan Iklim Multilateral (PKPPIM) dari Kementerian Keuangan dan UK Low Carbon Support. Maksud dan tujuan studi tersebut adalah:

1. Membuat evaluasi untung dan ruginya penggunaan teknologi PPK di sektor minyak dan gas bumi di Indonesia sebagai sarana untuk mitigasi emisi Gas Rumah Kaca dari industri energi;

2. Meninjau peraturan fiskal yang ada sekarang yang memberi dampak pada investasi PPK di industri minyak dan gas bumi; dan

3. Mengusulkan inisiatif kebijakan fiskal baru atau perubahan kebijakan fiskal kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk mendukung implementasi PPK guna mengurangi emisi Gas Rumah Kaca di industri minyak dan gas bumi untuk jangka menengah.

Sebuah “forced field analysis” telah dilakukan untuk mengevaluasi tekanan yang mendukung aplikasi PPK dan yang melawan PPK di Indonesia. Hasil evaluasi tersebut di tabulasikan sbb:

Kekuatan Pendukung PPK Kekuatan Penentang PPK

• Secara signifikan mengurangi emisi CO2 sebesar 80-90% dibandingkan pabrik tanpa PPK

• International mendukung dan bersedia untuk membiayai proyek-proyek PPK dan memberikan kredit karbon

• Ketersediaan laut dalam di Indonesia untuk penyimpanan CO2 di laut

• Adanya kemungkinan penggunaan yang potensial untuk peningkatan produksi gas metana batubara

• Adanya kemungkinan pemanfaatan ekonomi bagi industri yang menggunakan CO2

• Meningkatkan biaya produksi energi di pabrik berbahan bakar batubara sebesar 21-91% dengan adanya PPK

• Meningkatkan kebutuhan bahan bakar dan biaya sistem lainnya pada pembangkit berbahan bakar batubara sebesar 25-40%

• Teknologi PPK sangat mahal dan sebagian besar belum terbukti

• Belum ada penggunaan CO2 untuk EOR di Indonesia karena pembauran CO2 dengan minyak mentah Indonesia yang kurang baik dan ketidakcocokan reservoir migas yang relatif dangkal *)

• Belum ada penggunaan CO2 yang signifikan di pasar industri Indonesia saat ini

• Penyimpanan CO2 di laut dalam dapat menaikkan keasaman laut secara menonjol

• Membutuhkan studi geologi untuk mengetahui formasi geologi yang dalam yang sesuai untuk menampung penyimpanan *)

• Kegiatan seismic yang tinggi di Indonesia kurang memberikan jaminan keamanan penyimpanan CO2 di formasi geologi yang dalam karena dapat terjadi kebocoran

• Indonesia mempunyai potensi sumber energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi yang dapat

vi

Page 9: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Kekuatan Pendukung PPK Kekuatan Penentang PPK

dikembangkan lebih cepat dan lebih murah daripada pengeluaran untuk PPK guna mengurangi dampak gas rumah kaca

• Tidak ada peraturan perundangan yang membatasi dan memberikan stimulus untuk mengurangi emisi CO2 dan mempromosikan manfaat ekonomis dari pengurangan emisi Gas Rumah Kaca

Meskipun tekanan yang melawan aplikasi PPK di Indonesia pada saat ini jauh lebih kuat daripada tekanan yang mendukung penggunaan CCS, diusulkan agar studi lanjutan terus dilakukan di sektor minyak dan gas bumi di lingkungan sebagai berikut:

1. Membuat kajian tempat penyimpanan CO2 yang aman di dalam formasi geologis di sekitar fasilitas sumber emisi CO2.

2. Lakukan studi kelayakan untuk mengurangi emisi CO2 di salah satu kilang minyak (untuk awalnya) dengan memperbaiki efisiensi sistem pembakaran (tangki uap, pengapian, pembangkit listrik) atau memasang penyerapan, penyimpanan, pengisolasian karbon dan fasilitas pemanfaatan karbon.

3. Lakukan “audit karbon” untuk mengidentifikasi sumber emisi/produksi Gas Rumah Kaca yang potensial di lingkup industri minyak dan gas bumi hulu dan hilir dan skala urutan besarnya pengurangan emisi CO2 melalui PPK, efisiensi sistem pembakaran, dan/atau penggantian bahan bakar fosil dengan energi terbarukan.

4. Mengadvokasi kebijakan dan peraturan untuk mendukung pengurangan emisi Gas Rumah Kaca melalui penyusunan standar emisi Gas Rumah Kaca yang tepat dan proporsional dengan industri dan kepadatan penduduk di wilayah tertentu, mekanisme penghargaan dan penalti untuk ketaatan atau pelanggaran terhadap standar emisi Gas Rumah Kaca yang telah ditetapkan, dan pemberian stimulus untuk peningkatan efisiensi sistem pembakaran dan penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Terdapat juga penetapan standar efisiensi instalasi pengguna bahan bakar fosil.

Dalam memberikan advokasi kebijakan dan peraturan untuk mitigasi emisi karbon dioksida (CO2), pertanyaan yang timbul adalah apakah emisi CO2 itu adalah polutan atau sumber daya. CO2 adalah gas buang yang dihasilkan oleh setiap pembakaran bahan bakar.

Telah diketahui bahwa pembakaran bahan bakar fosil sejak Revolusi Industri yang dimulai pada tahun 1800-an, telah menaikkan kandungan CO2 di atmosfir dari 275 ppm (o,0275%) ke 375 ppm (0.0375%) dan menambah kenaikan suhu global yang tercatat sebesar 0.60C. Tambahan pula, emisi CO2 yang luar biasa berakhir di lautan. Lautan telah menyerap lebih dari 48% emisi CO2 darihasil pembakaran bahan bakar fosil sejak era 1800-an, meningkatkan keasaman lautan dengan peningkatan yang tecatat sebesar 0.1 ph. Dalam jumlah besar dan tidak dikontrol, CO2 dapat merusak kehidupan. Hal tersebut menjadikan CO2 adalah polutan.

Di lain pihak, CO2 dapat menjadi sumber daya yang bermanfaat untuk kehidupan tanaman dan manusia. Sejumlah besar dari CO2 dapat dimanfaatkan untuk EOR dan ECBM. CO2

vii

Page 10: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

dalam jumlah terbatas dipergunakan dalan industri makanan dan minuman, alat pendingin, pengelasan, racun api, dan industri kimia.

Mengingat naiknya keprihatinan tentang dampak emisi gas rumah kaca terhadap perubahan iklim, Indonesia sebaiknya membuat regulasi tentang standar batas emisi CO2 untuk semua peralatan dengan sistem pembakaran yang stasioner dan bergerak yang memproduksi CO2, dengan mempertimbangkan letak geografis dan teknologi terkini yang terkait dengan efisiensi pembakaran. Diatas batas standar emisi CO2 atau efisiensi instalasi, maka penalti yang tepat harus dikenakan; namun demikian emisi CO2 yang rendah atau efisiensi instalasi yang lebih tinggi harus diberi penghargaan. Standar ini dapat digunakan untuk mengembangkan tata niaga karbon di tingkat nasional maupun internasional. Standar ini dapat juga diperguanakan sebagai referensi untuk membuka inisiatif pengurangan karbon dan keekonomian karbon.

LEMIGAS telah melakukan sebuah studi tentang potensi PPK di seluruh provinsi Indonesia penghasil minyak dan gas bumi dan mengidentifikasi Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Tarakan mempunyai reservoir minyak dan gas bumi yang sudah terkuras sebagai tempat penyimpanan CO2 di akuiver dengan kedalaman diatas 1.000 meter. LEMIGAS merekomendasikan Provinsi Sumatera Selatan dipilih sebagai tempat dilakukannya proyek percontohan (pilot) untuk PPK karena adanya fasilitas penghasil CO2 yang cukup besar dan terletak di sekitar reservoir minyak dan gas bumi yang telah terkuras sebagai tempat penyimpanan CO2.

LEMIGAS lebih lanjut menyarankan sebuah proyek percontohan (pilot project) PPK dengan menggunakan Instalasi Pemprosesan Gas Merbau sebagai sumber CO2 yang akan diserap, jaringan pipa lokal yang sudah ada untuk transportasi CO2 dan beberapa lapangan minyak dan gas bumi terdekat sebagai tempat penyimpanan CO2 atau penggunaan CO2 untuk EOR. Apabila proyek percontohan ini berhasil, proyek ini dapat dikembangkan ke skala demonstrasi dan skala penuh untuk PPK dan EOR dengan menggunakan CO2.

Kalkulasi keekonomian proyek telah dilakukan untuk proyek percontohan ini, dengan asumsi 1 Mton CO2 diserap dari Merbau GGS.

Biaya yang diratakan untuk menyerap CO2 dari fasilitas pemrosesan gas tanpa EOR adalah US$ 28 /ton CO2 yang diserap dan disimpan. Biaya ini terdiri dari biaya kompresor dan pengeringan gas CO2 sebesar $ 11/t CO2 yang diserap, biaya jaringan pipa $11/t CO2 yang diserap dan biaya sumur injeksi $ 6/t CO2 yang diserap. Dengan penggunaan untuk EOR, biaya turun menjadi $ 22/t CO2, karena penyimpanan CO2 akan ditanggung oleh operator lapangan minyak dan gas bumi. Biaya kredit tersebut diterjemahkan pada harga minyak US$ 70/barel dengan $ 0.32/t CO2 / barel.

Biaya kapital untuk fasilitas penyerapan karbon dan jaringan pipa diperkirakan sekitar US$ 200 juta dengan biaya operasional $ 12 juta/tahun.

Sumber pendanaan untuk proyek percontohan PPK dari GGS Merbau harus ditanggung oleh Pemerintah dan institusi finansial melalui hubungan bilateral dan multilateral antar institusi terkait proyek perubahan iklim, badan kredit ekspor dan dana-dana pemerintah. Untuk penggunaan CO2 dalam EOR, biaya inkremantal untuk modal dan operasi dapat

viii

Page 11: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

ditanggung oleh operator lapangan melalui konsep pengembalian biaya (cost recovery) dalam skema Production Sharing Contract (PSC).

ICCTF didirikan pada tahun 2009 dibawah BAPPENAS untuk memfasilitasi akses untuk pendanaan dari sumber dana internasional untuk pembiayaan adaptasi dan mitigasi terkait perubahan iklim. ICCTF juga mendukung investasi untuk komunitas yang terkena dampak polusi yang kuat danmerencanaka untuk investasi pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Untuk implementasi proyek percontohan CCS di Merbau GGS, kami merekomendasikan untuk menugaskan pekerjaan tersebut kepada PT Perusahaah Gas Negara Tbk (PGN) untuk mengelola konstruksi dan operasi penyerapan CO2, pemprosesan menjadi gas CO2 jenuh, kompresi dan pemipaan ke lokasi penyimpanan CO2. PGN dapat mencari mitra yang kompeten dari negara penyumbang dana untuk melaksanakan enjiniring, pengadaan, dab konstruksi (EPC) untuk kenyerapan CO2 dan transportasinya melalui jaringan pipa.

Untuk implementasi CO2 dalam EOR, kami rekomendasikan menugaskan operator lapangan (dalam hal in PT Pertamina Tbk), yang selanjutnya dapat menunjuk unit bisnisnya yang tepat untuk melaksanakan pengembangan lapangan untuk injeksi CO2 guna EOR. Proyek ini dapat ditangani dengan pengaturan Production Sharing Contract (PSC) yang ada, dengan dukungan pinjaman lunak melalui perjanjian bilateral dengan institusi donor, seperti ADB, World Bank, dan lainnya. Dukungan program stimulan dapat diperkenalkan dengan amandemen PSC untuk proyek EOR pilot, demonstrasi dan skala penuh.

Suatu tinjauan tentang industri minyak dan gas bumi untuk menanggapi isu perubahan iklim dengan melakukan inisiatif lanjutan terkait pengaturan emisi gas rumah kaca dilakukan. Pada umumnya, emisi GHG di industri minyak dan gas bumi terutama dihasilkan dari proses pembakaran peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan produksi dan pengolahan minyak, pembakaran gas buang di kegiatan hulu maupun hilir, dan CO2 ikutan dengan produksi gas alam. Tinjauan ini mencakup:

1. Isu Gas Rumah Kaca di industri hulu minyak dan gas bumi;

2. Isu Gas Rumah Kaca di industri hilir minyak dan gas bumi, dengan diskusi khusus tentang Refinery Dumai;

3. Standar emisi CO2;

4. Proyek PPK potential di Industri Minyak dan Gas Bumi; dan

5. Pencegahan emisi CO2 di industri minyak dan gas bumi Indonesia.

Studi ini membuat konklusi bahwa pencegahan emisi Gas Rumah Kaca dengan pengembangan teknologi untuk mengganti energi fosil dengan energi terbarukan, maupun dengan implementasi peningkatan efisiensi energi di semua peralatan dan kegiatan pengolahan minyak akan lebih menarik keekonomiannya daripada membiarkan kenaikan emisi Gas Rumah Kaca, menyerapnya dan menyimpannya untuk waktu yang tidak ditentukan.

ix

Page 12: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

1. PENDAHULUAN

Departemen Pengembangan Internasional dari Kerajaan Inggris (UK DFID) telah menandatangani sebuah kontrak dengan Oxford Policy Management Ltd (OPML) yang kemudian menunjuk PT Pranata Energi Nusantara (PENCosnulting) untuk melakukan studi pengembangan kebijakan fiskal karbon rendah dibawah bimbingan Pusat Kebijakan dan Pendanaan Pergantian Iklim Multilateral (PKPPIM) pada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, dan UK Low Carbon Support Programme untuk Kementerian Keuangan.

Studi ini memfokuskan pada:

(i) Membuat evaluasi pros dan cons terhadap penggunaan teknologi CCS di industri minyak dan gas di Indonesia;

(ii) Meninjau ulang peraturan fiskal yang ada yang dapat memberi dampak pada impelementasi investasi CCS di industri minyak dan gas; dan

(iii) Mengusulkan, apabila dipandang tepat, inisiatif kebijakan fiskal baru atau perubahan pada kebijakan fiskal yang ada yang dapat dipertimbangkan oleh Menteri Keuangan untuk mendukung implementasi CCS sebagai sarana untuk mengurangi emisi GHG di industri minyak dan gas bumi Indonesia untuk jangka menengah.

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan emisi karbon dioksida (CO2) mendukung dampak Gas Rumah Kaca (GHG), yang mana apabila tidak diatur akan berdampak negatif terhadap lingkungan kita. Satu sumber utama emisi CO2 adalah dari pembakaran bahan bakar fosil, di unit-unit pembakaran yang besar, seperti pada pembangkit tenaga listrik, maupun sumber-sumber yang terdistribusi seperti kendaraan bermotor dan tungku-tungku api di perumahan maupun gedung-gedung komersial. Emisi CO2 juga dihasilkan dari proses-proses ekstraksi industri dan sumber daya, maupun dari pembakaran hutan selama pembebasan tanah.

Penyerapan dan penyimpanan karbon (CCS) atau penyerapan dan penyebaran karbon adalah proses penyerapan buangan karbon dioksida (CO2) dari sumber-sumber yang besar seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil, pengangkutannya ketempat penyimpanan, dan penyimpanannya di dalam formasi geologi dibawah tanah sehingga gas CO2 tersebut tidak lagi memasuki atmosfir.

Apabila diterapkan dengan baik, CCS akan memungkinkan penggunaan bahan bakar fosil dengan emisi CO2 yang rendah, dan hal ini mendukung pengurangan Gas Rumah Kaca (Green House Gas – GHG) dan dampak negatifnya.

Ada 3 (tiga) aspek dalam CCS (lihat Gambar 1.1 dan 1.2 sebagai gambaran):

1. Penyerapan – Pemisahan CO2 dari gas lainnya yang diproduksi pada proses industri yang besar seperti pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan gas alam, instalasi minyak dan gas bumi, pabrik baja dan pabrik semen;

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 1

Page 13: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

2. Pengangkutan – Sesudah dipisahkan, CO2 dikompres menjadi gas jenuh dan diangkut dengan pipa, truk, kapal atau cara lain menuju ketempat yang sesuai untuk penyimpanan secara geologis dibawah tanah; and

3. Penyimpanan – CO2 diinjeksikan jauh kedalam formasi batuan dibawah tanah, biasanya pada kedalaman 1 (satu) kilometer atau lebih.

Implementasi CCS di industri minyak dan gas bumi untuk mengurang emisi GHG merupakan peluang besar, terutama di Indonesia dimana profil sektor minyak dan gas bumi menunjukkan bahwa total emisi CO2 dengan skenario “business as usual” diperkirakan akan menaikkan emisi CO2 dalam jangka waktu menengah dari 122 Mt CO2 pada tahun 2005 ke 135 Mt CO2 pada tahun 2020, terutama diperhitungkan dari penambahan kapasitas pengolahan minyak yang diharapkan akan beroperasi (Dewan Nasional Perubahan Iklim: “Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca di Indonesia”) 5). Meskipun hal ini akan diimbangi dari penutupan lapangan-lapangan minyak dan gas yang sudah matang dan penggantian peralatan di instalasi dengan peralatan baru yang lebih efisien, emisi CO2 akan secara relatif konstan pada 137 Mt CO2 pada tahun 2030.

Gambar 1.1: Diagram Skematik dari Kemungkinan Sistem PPK

Sumber: IPCC Special Report, 2005 (http://www,ipcc.ch/pdf/special-report/srccs/srccs_wholereport.pdf)

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 2

Page 14: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 1.2: Rantai Nilai PPK

Sumber: SBC Energy Institute, Carbon Capture and Storage, January 2013

Catatan: Dalam estimasi untuk minyak dan gas bumi, sumber emisi termasuk kegiatan produksi, berikut pembakaran gas, dan pengolahan. Tidak termasuk adalah emisi terkait dengan kegiatan eksplorasi dan pengembangan cadangan minyak dan gas bumi, pengapalan, dan petro kimia. Juga tidak termasuk adalah emisi yang berhubungan dengan konsumsi final dari produk-produk petroleum oleh pemakai akhir. Untuk gas bumi, sumber emisi CO2 termasuk produksi dan pencairan gas bumi menjadi gas bumi cair (LNG).

Keterampilan teknis terkait dengan pemipaan dan fasilitas lepas pantai, konstruksi dibawah laut, keselamatan, kesehatan dan lingkungan (HSE), enjiniring sumur dan kegiatan dibawah permukaan tanah dapat menjadi bagian penting dari perkembangan PPK dimasa depan. Keterampilan ini terletak pada masing-masing perorangan dan organisasi pelayanan di sektor minyak dan gas bumi sekarang, yang semuanya dapat diperoleh dan semuanya mampu melaksanakan program PPK.

1.2 Identifikasi Masalah

Pemerintah Indonesia telah bertekat untuk mengambil kebijakan kearah Karbon-rendah: Pada Pertemuan G20 bulan September 2009, Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan tekat Negara Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebanyak 26% sebelum tahun 2020 dengan usaha sendiri, dan penurunan sampai 41% dapat dicapai sebelum tahun 2020 jika didukung pihak internasional. Pemerintah Indonesia juga sepakat dengan ikrar negara G20 untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 3

Page 15: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Selama dekade yang lalu, pemerintah telah banyak memberikan subsidi (yang terus membengkak) untuk tenaga listrik, bahan bakar dan LPG. Misalnya di tahun 2012 total subsidi yang diberikan adalah IDR 312.1 triliun (IDR 100.2 triliun untuk listrik, IDR 211.9 triliun untuk bahan bakar dan LPG). Besarnya subsidi ini setara dengan yang diberikan pada tahun 2013 (dengan subsidi sebesar ini menghendaki langkah menaikan harga minyak karena bertambahnya permintaan dan pelemahan IDR di tahun 2013). Sementara itu subsidi ini utamanya dikaitkan dengan penggunaan minyak, tetapi juga termasuk subsidi terhadap LPG dalam bentuk program konversi minyak tanah ke LPG; dan lebih jauh lagi adanya kebijakan pemerintah mengenai harga gas dalam negeri yang lebih rendah dari harga gas dunia.

Dalam rangka mengurangi subsidi bahan bakar minyak, Pemerintah Indonesia mengumumkan pada tanggal 18 November 2014 bahwa subsidi bahan bakar minyak akan dikurangi dengan menaikkan harga bensin (RON 88) dan diesel dari Rp 6.500/liter dan Rp 5.500/liter menjadi masing-masing Rp 8.500/liter dan Rp 7.500/liter.

Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 telah menetapkan beberapa target dari Kebijakan Energi Nasional Tahun 2005-2025. Target ini diantaranya menaikkan kontribusi energi gas menjadi paling sedikit 30% dari total semua energi campuran sebelum tahun 2025, sementara kondisi sekarang hanya berkisar antara 20-22% saja. Target kebijakan tahun 2025 adalah menaikkan penggunaan gas untuk tujuan ekonomi dan keamanan, dan mencari gas tambahan dari sumber-sumber yang tidak konvensional. Akhir-akhir ini permintaan konsumsi gas menyebabkan suplai produksi kepasar dalam negeri tumbuh terlalu besar, sehingga pencapaian target 2025 menjadi lebih menantang. Selanjutnya, beberapa instansi pemerintah ingin melihat target capaian penggunaan gas yang lebih tinggi dari 30% karena alasan fiskal, biaya lingkungan hidup karena minyak dan batu-bara. Dalam usaha untuk meraih target ini pemerintah memilih jalan untuk lebih memanfaatkan penggunaan gas, termasuk kemungkinan penggunaan instrumen fiskal untuk merangsang pertumbuhan di sektor gas.

Pada bulan Oktober 2014, Pemerintah Indonesia memberlakukan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014, yang menyatakan Kebijakan Energi Nasional yang baru untuk periode 2014-2050. Tujuan dari Kebijakan Energi Nasional ini adalah untuk memberi pedoman tentang arah dari pengelolaan energi nasional untuk mencapai kemandirian dan keamanan energi nasional guna mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Kebijakan Energi Nasional 2014-2050 yang berlaku sekarang menentukan target sbb:

Target penyediaan dan pemanfaatan energi primer dan final:

a. Penyediaan energi primer 2025 400 MTOE 2050 1.000 MTOE

b. Pemanfaatan Energi per kapita 2025 1.4 TOE 2050 3.2 TOE

c. Penyediaan Kapasitas Pembangkit 2025 115 GW 2050 430 GW

d. Penggunaan Listrik per Kapita 2025 2.500 kWh 2050 7.000 kWh

Untuk penyediaan dan pemanfaatan, target bauran energi adalah sbb:

a. Paradigma baru bahwa sumber energi adalah modal untuk pembangunan nasional;

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 4

Page 16: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

b. Elastisitas energi < 1% pada tahun 2025 sesuai dengan perkembangan ekonomi;

c. Intensitas energi pada tahun 2015 sebesar 85% dan mendekati 100% pada tahun 2020;

d. Penggunaan gas untuk rumah tangga mencapai 85%pada 2015;

e. Pemanfaatan bauran energi primer yang optimal:

i. Energi baru dan Terbarukan 2025 23% 2050 31%

ii. Bahan Bakar Minyak 2025 < 25% 2050 < 20%

iii. Batu bara 2025 > 30% 2050 > 25%

iv. Gas 2025 > 22% 2050 > 24%

Emisi Gas Rumah Kaca yang diakibatkan oleh sektor energi bergantung kepada bauran energi yang kecenderungannya telah dirancang sesuai target dari Kebijakan Energi Nasional seperti yang ditampilkan dalam tabel diatas.

Pada laporan awal Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), konsultan McKinsey and Company telah melaksanakan kajian untuk mengembangkan kurva biaya untuk pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, termasuk langkah penurunan Karbon sebagai salah satu opsi potensial dalam rangka memperkecil emisi gas CO2 keudara karena kegiatan manusia. Kajian ini menyebutkan bahwa total emisi dari sektor minyak dan gas di Indonesia dalam hal “Busines As Usual” diperkirakan meningkat tidak terlalu tinggi dari 122 MtCO2e di tahun 2005 menjadi 135 MtCO2e di tahun 2020, utamanya karena penambahan kapasitas kilang minyak yang segera akan dioperasikan. Tetapi, dalam jangka panjang, peningkatan emisi ini dapat tergantikan – karena sumur tua minyak dan gas ditutup dan digantikan dengan yang baru yang lebih efisien – sehingga tingkat emisi relatif tidak berubah pada kisaran 137 MtCO2e di tahun 2030.

1.3 Maksud dan Sasaran dari Kajian ini

Kajian mengenai kebijakan penyimpanan penyerapan karbon meliputi hal-hal berikut ini:

(i) Untuk mengkaji keuntungan dan kerugian pemanfaatan teknologi penyimpanan penyerapan karbon dalam industri minyak dan gas Indonesia sebagai cara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca pada industri energi;

(ii) Untuk mengulas regulasi fiskal yang ada yang memiliki dampak terhadap investasi penggunaan penyimpanan penyerapan karbon di industry minyak dan gas; dan

(iii) Untuk mengajukan inisiatif atau reformasi kebijakan baru fiskal kepada Kementrian Keuangan RI guna mendukung penggunaan penyerapan penyimpanan karbon untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca pada industri minyak untuk jangka waktu menengah.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 5

Page 17: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

1.4 Metodologi Kajian

Sebagai konsultan proses, PENConsulting akan bekerja erat dengan staf yang ditugaskan dari PKPPIM dan UK Low Carbon Support (LCS) sebagai tim dibawah pimpinan dan arahan PKPPIM. PKPPIM akan memberikan arahan kebijakan dan informasi penting serta data yang dibutuhkan oleh tim demi terlaksanakannya kajian ini secara efektif.

Tim akan berkonsultasi dengan instansi terkait dari pemerintah Indonesia dan semua pemangku kepentingan (stakeholder), diantaranya:

(i) PKPPIM; (ii) Unit terkait dibawah BKF; (iii) Dirjen Pajak di Kementerian Keuangan; (iv) Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI); (v) Bappenas; (vi) Kementerian Lingkungan; (vii) Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral, khususnya Dirjen Minyak dan

Gas, SKK Migas, dan LEMIGAS; (viii) Institusi/organisasi yang bergerak di bidang PPK; (ix) Institusi riset; (x) LSM yang tertarik/sipil; (xi) UKCCU dan rekan pengembangan lain yang bergerak dalam penyimpanan

penyerapan karbon di Indonesia (seperti World Bank, Asian Development Bank);

(xii) Produsen dan pengelola kilang minyak dan gas (setidaknya mengikutsertakan PERTAMINA, Shell, Chevron dan BP); dan

(xiii) Ikatan industri terkait seperti IPA. Konsultasi ini dapat berupa kelompok fokus diskusi (focus group discussion) atau wawancara satu-per-satu. PENConsulting akan mengembangkan dan memfasilitasi sesi diskusi kelompok.

Kajian kami akan dimulai dengan mengumpulkan informasi dan data yang relevan dari sumber Gas Rumah Kaca di hulu dan hilir sektor minyak dan gas. Kemudian kami lanjutkan dengan mengulas teknologi state-of-the-art PPK yang diaplikasikan pada sektor minyak dan gas; menganalisis biaya dan keuntungan dari penyimpanan penyerapan karbon yang dilaksanakan, dan pemanfaatan komersial dari CO2 seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) di pengeboran minyak dan gas, dan untuk proses industri lainnya. Berdasarkan manfaat PPK yang dapat kami ketahui pada sektor minyak dan gas, kami mengembangkan proposal mengenai kebijakan dan aturan yang dapat dilaksanakan dan dapat menarik investasi dan operasi yang dilakukan untuk PPK yang meliputi, dan tak terbatas hanya, kepada insentif fiskal dan bukan-fiskal, resiko yang mungkin timbul, dan penerapan ijin yang efektif.

Sepanjang kajian, kami akan menggunakan pendekatan analitis yang meliputi, dan tidak hanya terbatas kepada:

• Analisa sistem. Pada proses kajian sistem PPK pada industri minyak dan gas, kami akan fokus kepada maksud dan tujuan kajian, yaitu memperkecil emisi Gas Rumah Kaca, membuat PPK ataupun sistem sejenisnya dan membuat kebijakan yang akan mendukung usaha penurunan Gas Rumah Kaca secara efisien.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 6

Page 18: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

• Efisien Secara Ekonomi dan Teknologi. Kami akan mempertimbangkan Efisiensi Ekonomi pada reduksi Gas Rumah Kaca di industri minyak dan gas melalui PPK ataupun teknologi lainnya dengan biaya serendah mungkin. Kami juga akan mempertimbangkan efisiensi teknologi dengan sedikit pemakaian bahan bakar, ataupun memakai bahan bakar yang lebih bersih, stasiun pembangkit yang lebih efisien sehingga dapat memperkecil emisi Gas Rumah Kaca.

• Efisiensi Dinamis. Melalui pendekatan efisiensi dinamis, kami akan menganalisis keuntungan jangka pendek dan jangka panjang PPK, ataupun sistem alternatif lainnya, dengan mencari keseimbangan ekonomis antara jangka pendek (efisiensi statis) dan jangka panjang (fokus kepada memajukan riset dan pengembangan).

• Ekonomi Sikap. Kami akan menggali alasan yang memungkinkan Indonesia membuat keputusan yang kurang layak, misalnya penggunaan PPK untuk mereduksi emisi karbon, mengapa dan bagaimana keputusan tersebut tidak selalu mengikuti perkiraan model ekonomi.

• Persaingan antara keberadaan PPK terhadap pembatasan pasar, pengaturan harga dan monopoli BUMN

– Mempercepat penggunaan energi baru dan terbarukan dibanding dengan pembangkit dengan bahan bakar fosil;

– Peningkatan ajakan karbon rendah dan penetapan pajak karbon tinggi dibanding dengan peninjauan pembatasan tehnologi pembangkit yang berefisiensi rendah; dan

– Pertimbangkan untuk membentuk pasar karbon nasional/bilateral.

• Alternatif CCS

– Mempertinggi efisiensi rekayasa terhadap proses teknologi yang mereduksi emisi CO2 (boiler super-kritis);

– Penggunaan energi yang sedikit memproduksi emisi CO2 (lebih mendahulukan energi baru/terbarukan dibanding bahan bakar fosil dan gasifikasi);

• Hasil Terbaik Nyata. Kajian ini harus memberikan hasil terbaik berupa tindakan ataupun keputusan yang menyokong kepada satu atau lebih kebijakan objektif yang terukur, dalam hal biaya dan keuntungan yang ditimbulkan;

• Optimalisasi Anggaran. Kebijakan untuk melaksanakan CCS dan alternatif reduksi emisi CO2 haruslah setara dengan batasan Anggaran;

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 7

Page 19: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

• Memperbaiki Keterkaitan Institusi. Membuat kebijakan dan aturan dasar untuk mengatur koordinasi keterkaitan institusi diantara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder); dan

• Analisa Resiko. Kami akan mengidentifikasi resiko yang mungkin dihadapi dan memberikan panduan yang layak untuk mitigasi resiko yang disebabkan oleh pemilihan PPK ataupun alternatifnya untuk mereduksi emisi Gas Rumah Kaca pada industri minyak dan gas.

Selama pelaksanaan kajian ini PENConsulting akan membuat paling sedikit sebuah diskusi publik untuk semua pihak-pihak yang berkepentingan (Stakeholder), diinformasi secara luas dan terbuka untuk semua pihak mulai dari yang dipemerintahan dan dari sektor umum. Diskusi umum ini akan difokuskan pada konsep laporan akhir dan strategi yang diusulkan serta rekomendasi yang dibuat. Pertemuan diskusi akan ditangani oleh PKPPIM dan LCS.

Termasuk dalam peringkat 10 besar negara berkembang dunia, emisi CO2 yang dihasilkan sektor energidi Indonesia didominasi oleh sektor industri, pembangkit dan pengangkutan. Sektor energi adalah penghasil terbesar kedua emisi CO2 di Indonesia. Jika sektor energi Indonesia terus berjalan seperti kebiasaan yang berjalan selama ini, emisi Gas Rumah Kaca akan mendekati tiga kali lipat di tahun 2025.

Baru-baru ini Indonesia telah mengeluarkan Kertas Hijau atas Opsi Kebijakan Ekonomi dan Fiskal untuk Mitigasi Perubahan Iklim (Green Paper on Economic and Fiscal Policy Options for Climate Change Mitigation, Kementerian Keuangan, November 2009). Untuk sektor energi diusulkan hal-hal sebagai berikut:

(i) Pengenaan pajak/retribusi karbon terhadap pembangkit berbahan bakar fosil yang terhubung dengan pasar internasional, difasilitasi dengan negosiasi target “tidak merugi”, dan

(ii) Memperkenalkan ukuran tambahan terhadap insentif Efisiensi Energi dan pemanfaatan teknologi karbon rendah, contohnya adalah kebijakan strategis khusus untuk geothermal.

Prioritas cara reduksi Gas Rumah Kaca terpilih harus diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan; seperti investasi, program dan kebijakan. Lebih jauh lagi diluar tindakan khusus ini, Indonesia telah mengajukan tiga pesan selaras dengan pembangunan dan perubahan iklim:

1. Perubahan iklim tidak boleh sampai membebani yang miskin;

2. Investasi yang berhubungan dengan perubahan iklim harus selaras dengan tujuan pembangunan; dan

3. Bantuan perubahan iklim harus mengutamakan lanjutan dari komitmen pihak yang mendukung pembangunan terdahulu.

Dengan prioritas sebagai berikut:

1.4.1. Efisiensi Energi

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 8

Page 20: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

a. Kebanyakan pembangkit pada industri di Indonesia didasarkan sebagai pembangkit untuk kebutuhan sendiri, dan hampir semua industri memiliki fasilitas pembangkit diesel cadangan dengan unit generator yang terdedikasi untuk sendiri. Peningkatan efisiensi antara 30-40% dapat diperoleh bila pembangkit diesel dan generator cadangan ini ditingkatkan menjadi mikro-turbin, cogeneration canggih, dan/atau tri-generation (kombinasi panas, dingin dan daya). Unit generator diesel yang ada dapat juga di lengkapi dengan pembakaran tambahan berupa campuran bio-gas dengan diesel. Kelayakan dari proyek ini sangat bergantung kepada harga energi dan keandalan transmisi saluran daya. Penempatan alat pengukuran jejaring akan membuat cara ini mudah dilaksanakan dan berkembang pesat. Faktor-faktor ini harus diuji dengan seksama selama masa persiapan proyek.

b. Potensi peluang Efisiensi Energi dari sisi pembangkitan meliputi: renovasi pembangkit lama, peningkatan teknologi untuk unit geothermal yang ada, teknologi pengurangan kerugian jaringan transmisi dan distribusi listrik dengan menggunakan kombinasi canggih teknologi Jejaring Pintar (Smart Grid)dankawat penghantar;dan teknologi penyimpan energi canggih guna memaksimalkan pemanfaatan sumber energi terbarukan yang belum berjalan lancar.

c. Peluang Efisiensi Energi menjadi semakin menarik karena potensi reduksi Gas Rumah Kaca dan kemampuan untuk menyelesaikan proyek yang lebih cepat dibanding pemusatan pembangkit listrik besar, namun dilain pihak terdapat tantangan terkait harga energi yang terus melemah, kurangnya pengalaman proyek didalam negeri, dan terbatasnya bantuan keuangan dari bank komersial. Akan tetapi, rasionalisasi harga beberapa energi telah meningkatkan prospek Efisiensi Energi, sementara itu Pemerintah Indonesia telah bertekat untuk memperkecil dan pada akhirnya nanti akan menghilangkan subsidi di sektor energi dengan reformasi yang signifikan yang telah dilaksanakan pada akhir 2014.

1.4.2. Energi Terbarukan (RE)

Indonesia memiliki beragam sumber energi terbarukan yang berkapasitas besar. Seperti biomas, panas bumi, tenaga air, gas non-konvensional, matahari dan angin, yang relatif kurang dikembangkan. Perkiraan potensi daya yang dibangkitkan dari setiap sumber energi ini dirangkum dalam Tabel 1.1.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 9

Page 21: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Tabel 1.1: Perkiraan Potensi Energi Terbarukan di Indonesia Sumber Energi Potensi Kapasitas (MW,

kecuali ada catatan) a) Potensi Keluaran Daya

(TWh/tahun) b) Reduksi GHG

(MtCO2e/tahun) c)

Biomas 49.810 343 274,4 Panas Bumi 27.150 217 169,6 PLTA Besar 75.000 328 262,4

Matahari 4,8 kWh/m2/hari N/A N/A Angin (Pulau-Pulau di

Timur) 9.280 26 20,8

a) Potensi Energi Terbarukan dari Kementerian ESDM b) Faktor beban ketersediaan pembangkit: Biomas-70%; Panas Bumi – 90%; PLTA – 50%; Angin -30% c) Reduksi Gas Rumah Kaca dianggap sebanding dengan batu-bara 0,8 tCO2e/MWh.

1.4.3. Transportasi

Sektor transportasi di Indonesia merupakan penghasil signifikan emisi Gas Rumah Kaca karena besarnya konsumsi bahan bakar fosil. Transportasi darat memakai sekitar 88% energi primer di sektor ini. Tanpa tindakan nyata untuk menekan intensitas karbon pada sektor transportasi darat, emisi Gas Rumah Kaca di perkirakan akan menjadi dua kali lipat sebelum 10 tahun. Emisi ini secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu minyak bensin dan minyak diesel. Proyeksi masa depan emisi Gas Rumah Kaca akan memperihatinkan jika kecenderungan model distribusi transportasi dan efisiensi teknologi terus berjalan seperti sekarang ini.

Gambar 1.3: Proyeksi Pertumbuhan Armada Kendaraan Bermotor di Indonesia

Sumber: TNA 2009

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 10

Page 22: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

2. PRINSIP PENYERAPAN DAN PENYIMPANAN KARBON

Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (PPK) adalah pemisahan dan penangkapan karbon dioksida (CO2) dari emisi ke atmosfer dari proses industri, pengangkutannya dan penyimpanan CO2 secara permanen yang aman di dalam formasi geologi bawah tanah.

Dengan mencegah CO2 dari fasilitas industri skala besar memasuki atmosfer, PPK merupakan perangkat canggih untuk mengatasi perubahan iklim potensial. Penyimpanan geologi didefinisikan sebagai penempatan CO2 ke dalam formasi bawah permukaan sehingga akan tetap aman dan tersimpan selamanya. Lima jenis formasi geologi bawah tanah untuk penyimpanan karbon sedang diteliti, masing-masing dengan tantangan dan peluang yang unik, yaitu:

1. Formasi garam;

2. Reservoir Minyak dan Gas;

3. Area batu bara yang tidak ditambang;

4. Batuan serpih kaya organik; dan

5. Formasi basal.

Penyimpanan geologi untuk CO2 muncul dari fasilitas industri yang mengeluarkan CO2 dalam jumlah besar, terutama mereka yang membakar batubara, minyak, atau gas alam. Fasilitas ini termasuk pembangkit listrik, kilang minyak, fasilitas produksi minyak dan gas, pabrik pengolahan besi dan baja, pabrik semen, dan berbagai pabrik kimia. Dengan PPK, CO2 tidak dihilangkan dari atmosfer. Sebaliknya, CO2 yang seharusnya telah dilepaskan ke atmosfer ditangkap dan diinjeksikan ke dalam tanah. PPK memungkinkan industri untuk melanjutkan kegiatan dengan pengurangan gangguan, dan meminimalkan dampak industri terhadap perubahan iklim. Banyak studi menunjukkan bahwa PPK dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengurangi emisi CO2. Pengurangan emisi terbesar dicapai ketika semua opsi untuk mengurangi emisi CO2 dimanfaatkan, termasuk efisiensi energi, substitusi bahan bakar, sumber energi terbarukan dan PPK.

Proses PPK meliputi pemantauan, verifikasi, dan akuntansi/pembukuan (PVA) dan penilaian risiko di lokasi penyimpanan. Upaya PVA dapat difokuskan pada pengembangan dan penyebaran teknologi yang dapat memberikan perhitungan akurat menyangkut CO2 yang disimpan dan tingkat kepercayaan yang tinggi bahwa CO2 akan tetap tersimpan secara permanen. Aplikasi yang efektif dari teknologi PVA akan menjamin keamanan proyek penyimpanan, dan memberikan landasan untuk menetapkan pasar perdagangan kredit karbon untuk CO2yang disimpan ketika nantinya pasar ini berkembang. Penelitian Penilaian risiko difokuskan pada identifikasi dan kuantifikasi potensi risiko bagi manusia dan lingkungan yang terkait dengan penyimpanan karbon, dan membantu untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa risiko ini tetap rendah.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 11

Page 23: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 2.1: Diagram Penyimpanan Karbon

Sumber: SBC Energy Institute, Carbon Capture and Storage, January 2013

2.1 Pembangkitan Gas Rumah Kaca

Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia mencapai 1.6 miliar ton karbon dioksida pada tahun 2010, merupakan emisi Gas Rumah Kaca terbesar keenam di dunia, berdasarkan Laporan World Resources Institute yang diterbitkan pada bulan November 2014. Diproyeksikan bahwa total emisi Gas Rumah Kaca akan naik menjadi 2.6 miliar ton karbon dioksida pada tahun 2030. Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia merupakan kurang lebih 3% sampai 4% dari emisi Gas Rumah Kaca global.

Penelitian total emisi Gas Rumah Kaca yang dianalisa saat ini merupakan emisi dari delapan sektor, yaitu : penggunaan tanah, perubahan penggunaan tanah dan hutan (LULUCF), gambut, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, minyak dan gas, semen dan bangunan, yang merupakan gabungan penyumbang mayoritas emisi di Indonesia.

Emisi dari LULUCF sejauh ini merupakan penyumbang terbesar kepada emisi saat ini dan kedepan menurut proyeksi emisi kami sampai dengan 2030. Emisi dari tenaga listrik akan melewati sedikit sektor LULUCF di tahun 2030. LULUCF juga mewakili peluang terbesar untuk menekan emisi. Pertumbuhan emisi di tenaga listrik dan transportasi menunjukkan peluang disektor ini menjadi semakin penting di tahun mendatang, pilihan strategis jalur pengembangan harus dimulai dari sekarang.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 12

Page 24: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 2.2 Proyeksi Emisi CO2 Indonesia 2005 - 2030

Sumber:Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve, September 2014

2.1.1 Gas Rumah Kaca dari Sektor Minyak dan Gas

Emisi sektoral dari Sektor Minyak dan Gas diperkirakan meningkat 12 persen dari 122 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 137 MtCO2e pada tahun 2030 (DNPI: Kurva Pembiayaan Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia, Agustus 2010) 5).

Untuk minyak bumi, ruang lingkup analisa meliputi produksi (termasuk pembakaran gas) dan kegiatan pengilangan minyak. Sedangkan emisi terkait eksplorasi dan pengembangan cadangan minyak bumi, pengiriman, dan petrokimia dikecualikan. Analisis ini juga tidak termasuk emisi yang terkait dengan konsumsi produk minyak bumi oleh pengguna akhir.

Untuk gas alam, ruang lingkup analisis meliputi produksi dan pencairan gas alam menjadi gas alam cair (LNG).

Berdasarkan definisi tersebut, total emisi dari sektor minyak dan gas bumi Indonesia diperkirakan akan meningkat dalam jangka menengah dari 122 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 135 Mt CO2e pada tahun 2020, terutama karena penambahan kapasitas pengilangan yang diharapkan akan segera online. Namun, dalam jangka panjang, peningkatan emisi dari pengilangan diharapkan akan diimbangi dengan ditutupnya lapangan minyak dan gas yang sudah kurang menghasilkan dan diganti dengan yang lebih baru, yang lebih efisien - sehingga emisi tetap relatif konstan pada besaran 137 MtCO2e di tahun 2030.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 13

Page 25: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 2.3: Emisi CO2 di Sektor Minyak dan Gas, ‘Business As Usual’

Sumber: Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve, August 2010

2.1.1.1 Hulu

Produksi minyak Indonesia telah menurun untuk puluhan tahun dimana produksi minyak mentah berkisar setengahnya sejak pertengahan 1900-an (saat ini sekitar 800.000 barel/hari). Produksi minyak tahun depan akan naik sedikit karena tambahan produksi dari lapangan Banyu Urip di Jawa Tengah – Jawa Timur, yang sudah lama ditunggu. Namun kenaikan produksi ini tidak akan berkelanjutan selama tidak ada penemuan minyak baru. Dengan kecenderungan penurunan produksi, cadangan minyakn yang telah terbukti sebanyak 4.0 milyar barel akan habis pada awal tahun 2020an.

Pembakaran gas dan bahkan dalam beberapa kasus pembuangan gas ikutan tetap menjadi masalah di Indonesia. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa 25-30 persen dari semua kegiatan pembakaran gas di Asia Tenggara terjadi di dan di sekitar Indonesia, dan ini signifikan mengingat bahwa Indonesia hanya menyumbang sekitar 12 persen saja dari seluruh produksi minyak di wilayah tersebut. Namun, emisi pembakaran di Asia Tenggara telah menurun dengan cukup cepat; perkiraan saat ini dari Oceanic and Atmospheric Administration Nasional AS (NOAA) menunjukkan adanya penurunan sekitar 5 persen per tahun dari tahun 2000 sampai tahun 2004. Pada tahun 2005, tahun terakhir dimana data tersedia, pembakaran gas di Indonesia diperkirakan sekitar 3 miliar meter kubik (bcm) per tahun.

2.1.1.2 Midstream

Pencairan gas alam saat ini diperkirakan mencapai 44 bcm per tahun, dengan mayoritas hasilnya diekspor. Sebagian besar emisi terkait dengan LNG merupakan akibat dari kompresi gas dan kebocoran metana selama pengolahan dan pengangkutan gas. Estimasi Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 14

Page 26: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

saat ini menunjukkan penurunan volume LNG yang diproduksi selama 20 tahun ke depan dan hampir setengahnya pada tahun 2030, seperti yang diharapkan pembagian lebih besar akan dialihkan untuk konsumsi dalam negeri di mana kebutuhan untuk pencairan gas akan dikurangi.

2.1.1.3 Hilir

Kapasitas pengilangan di Indonesia tetap konstan selama beberapa tahun terakhir sekitar 1 juta barel per hari, terdiri atas Kilang Minyak Dumai 170.000 barel, Kilang Minyak Plaju 133.700 barel, Kilang Minyak Cilacap 348,000 barel, Kilang Minyak Balikpapan 60.000 barel, Kilang Minyak Balongan 125,000 barel, dan Kilang Minyak Kasim 10.000 barel. Semua kilang minyak di Indonesia dimiliki dan dioperasikan oleh BUMN Pertamina, yang telah mengumumkan rencana untuk melakukan penambahan kapasitas pengilangan sebesar 500.000 barel per hari dalam 5-10 tahun ke depan, meningkatkan kapasitas pengilangan total hingga 1,5 juta barel minyak per hari. Tambahan kapasitas yang direncanakan tersebut sudah diperhitungkan dalam analisa emisi saat ini.

2.1.2 Sumber Emisi di Sektor Minyak dan Gas

Emisi Gas Rumah Kaca dari industri minyak dan gas bumi mencakup semua kegiatan yang langsung berhubungan dengan produksi, pengilangan, pengangkutan, dan pemasaran minyak mentah dan gas alam serta produk kilang minyak yang terkait. Untuk keperluan laporan ini, hanya emisi CO2 dari sektor produksi dan pengolahan gas, serta pengilangan yang akan dievaluasi. Gambar 2.4 menunjukkan gambar skematik dari industri terkait. Segmen industri kunci termasuk:

1. Eksplorasi, produksi, dan pengolahan gas;

2. Transportasi dan distribusi;

3. Pengilangan; dan

4. Retail dan pemasaran.

Segmen tersebut adalah kegiatan langsung dalam industri minyak dan gas bumi yang memiliki potensi untuk memancarkan Gas Rumah Kaca. Perusahaan minyak yang terintegrasi juga mungkin memiliki operasi yang terkait dengan pembangkit energi (listrik, pembangkitan panas/uap, atau pendinginan), pertambangan dan mineral, produksi petrokimia, dan/atau penyerapan dan penyimpanan karbon secara geologi.

Emisi Gas Rumah Kaca di industri minyak dan gas bumi biasanya secara umum terjadi dari salah satu kelompok sumber berikut: i) sumber pembakaran, termasuk perangkat stasioner dan peralatan bergerak; ii) emisi proses dan sumber pembuangan; iii) sumber fugitive; dan iv) sumber tidak langsung. Beberapa perangkat, seperti kompresor, dapat mengeluarkan beberapa kelompok emisi - emisi kebocoran saat bertekanan, emisi pembuangan ketika tekanannya diturunkan pada saat pemeliharaan, dan emisi pembakaran dari mesin penggerak selama operasi normal. Daftar rinci dari jenis sumber emisi potensial yang terkait dengan masing-masing kelompok sumber tersebut dibahas lebih lanjut dalam Bab IV – Kajian Industri Minyak dan Gas Indonesia

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 15

Page 27: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 2.4: Skema Emisi Gas Rumah Kaca di Industri Minyak dan Gas Bumi

Sumber: Compendium of GHG of Emissions Methodologies for the Oil and Natural Gas Industry, August 2009

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 16

Page 28: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

2.1.2.1 Pembakaran

Pembakaran bahan bakar yang mengandung karbon dalam peralatan stasioner seperti mesin, tanur (burner), pemanas, ketel uap (boiler), suar api (flare), dan insinerator menghasilkan pembentukan CO2 akibat oksidasi karbon. Emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar dalam peralatan transportasi (misalnya, kapal, tongkang, kapal, gerbong, dan truk) termasuk yang diperhitungkan ke dalam inventori juga dikategorikan sebagai sumber pembakaran. Jumlah yang sangat kecil N2O dapat terbentuk selama pembakaran bahan bakar dengan terjadinya reaksi nitrogen dan oksigen. Metana juga akan dilepas pada gas buang akibat pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna.

2.1.2.2 Proses Emisi dan Sumber Pembuangan Gas

Sumber pembuangan gas terjadi ketika adanya pelepasan gas yang dihasilkan dari operasi normal, kegiatan pemeliharaan dan turn around, dan kejadian darurat non-rutin lainnya. Termasuk berbagai sumber-sumber seperti tanki penyimpan minyak mentah, kondensat, dan tangki penyimpanan produk minyak dan gas; blanket bahan bakar gas dari tanki air produksi atau tangki penyimpanan bahan kimia; sumber-sumber loading/ballasting/transit, dan rak bongkar-muat; serta peralatan seperti pompa injeksi kimia dan perangkat pneumatik yang melepaskan Gas Rumah Kaca (CH4 dan secara potensial CO2) sebagai bagian dari kegiatan operasi mereka.

Proses pembuangan gas, merupakan salah satu sub-kategori sumber pembuangan gas, didefinisikan sebagai sumber yang menghasilkan emisi sebagai hasil dari beberapa bentuk transformasi kimia atau hasil dari tahap pengolahan. Contoh sumber-sumber ini meliputi dehidrasi, gas sweetening, hydrogen plant (sering disebut sebagai steam reformer), naphtha reformer, catalytic cracking units, delayed Cokers, coke calciners, dan lain-lain. Sumber-sumber ini umumnya spesifik untuk setiap segmen industri tertentu.

Peralatan pembuangan tekanan (depressurizing equipment) untuk kegiatan pemeliharaan atau “turnaround” dapat mengakibatkan emisi gas buang. Demikian pula, emisi Gas Rumah Kaca mungkin timbul dari kegiatan startup peralatan atau dari pembilasan peralatan sebelum kembali diberikan tekanan. Contoh kegiatan pemeliharaan atau turnaround lainnya yang diklasifikasikan sebagai sumber pembuangan gas adalah workover sumur minyak, turn around kompresor, operasi pigging pipa, dan proses decoking pipa pemanas/pipa boiler.

Pelepasan gas lainnya yang dimasukkan sebagai sumber emisi gas buang adalah pelepasan gas non-rutin dari emergency atau pressure relieving equipment (PRV) seperti Emergency Shutdown (ESD) atau Emergency Safety Blowdowns (ESB), Pressure Relief Valve (PRV), dan Breakout/Surge Tanks

2.1.2.3 Sumber-Sumber Emisi Fugitive

Emisi Fugitive adalah pelepasan gas yang tidak disengaja dari komponen perpipaan dan kebocoran peralatan di permukaan seal, serta dari kebocoran pipa bawah tanah. Emisi Fugitive biasanya kebocoran dengan volume yang rendah dari fluida proses (gas atau cair) dari permukaan seal, seperti packing dan gasket, hasil dari keausan sambungan mekanik, sekat atau segel (seal), dan permukaan yang dari waktu ke waktu berputar. Jenis sumber emisi Fugitive spesifik meliputi berbagai komponen dan alat kelengkapan pipa seperti katup, flensa, seal pompa, seal kompresor, katup pelepas tekanan (PRVs), atau koneksi sampling.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 17

Page 29: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Emisi Fugitive juga mencakup sumber penguapan non-point seperti dari kolam pengolahan air limbah, kolam pembuangan dan isolasi (impoundments).

2.1.2.4 Sumber-Sumber Emisi Tidak Langsung

Emisi tidak langsung adalah emisi yang merupakan konsekuensi dari kegiatan perusahaan pelapor namun dihasilkan dari sumber-sumber yang dimiliki atau dikendalikan oleh pihak lain (IPIECA, 2003). Kategori ini meliputi emisi dari pembakaran bahan bakar hidrokarbon untuk menghasilkan listrik, panas, uap, atau pendinginan, di mana energi ini diimpor atau dibeli.

2.2 Penyerapan dan Transportasi Karbon

Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (PPK), adalah proses penangkapan limbah karbon dioksida (CO2) dari titik sumber besar, seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil, mengangkutnya ke sebuah lokasi penampungan, dan menyimpannya sehingga tidak akan memasuki atmosfer, biasanya di formasi geologi bawah tanah atau digunakan untuk keperluan EOR. Tujuannya adalah untuk mencegah pelepasan sejumlah besar CO2 ke atmosfer (dari penggunaan bahan bakar fosil di pembangkit listrik dan industri lainnya). Ini adalah cara yang potensial untuk mengurangi kontribusi emisi bahan bakar fosil terhadap pemanasan global dan pengasaman laut. Meskipun CO2 telah diinjeksikan ke dalam formasi geologi selama beberapa dekade untuk berbagai tujuan, termasuk meningkatkan perolehan minyak (EOR), penyimpanan jangka panjang CO2 di formasi geologi adalah sebuah konsep yang relatif baru.

Gambar 2.5: Skema Diagram Kemungkinan Sistem PPK

Sumber: IPCC Special Report, 2005 (http://www.ipcc.ch/pdf/special-reports/srccs/srccs_wholereport.pdf)

2.2.1 Penyerapan CO2

Penyerapan CO2 yang paling efektif mungkin dilakukan pada titik sumber, seperti fasilitas berbahan bakar fosil atau energi biomassa besar, industri dengan emisi CO2 besar, pengolahan gas alam, pabrik bahan bakar sintetis dan pabrik produksi hidrogen berbasis bahan bakar fosil. Ekstraksi CO2 (recovery) dari udara mungkin dilakukan, tapi sangat tidak praktis. Konsentrasi CO2 menurun secara cepat bergerak menjauhi titik sumber. Konsentrasi

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 18

Page 30: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

yang lebih rendah akan meningkatkan jumlah aliran massa yang harus diproses (per ton karbon dioksida yang diekstraksi).

Ada tiga jenis teknologi untuk menyerap CO2; yaitu pasca-pembakaran, pra-pembakaran, dan pembakaran oxyfuel;

2.2.1.1 Dalam penyerapan pasca pembakaran, CO2 disingkirkan setelah pembakaran bahan bakar fosil. Ini adalah skema yang akan diterapkan untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Di sini, karbon dioksida ditangkap dari gas buang pada pembangkit listrik atau titik sumber besar lainnya. Teknologi ini dipahami dengan baik dan saat ini digunakan juga dalam aplikasi industri lainnya, meskipun tidak pada skala yang sama seperti yang mungkin diperlukan dalam pembangkit listrik skala komersial.

2.2.1.2 Teknologi untuk pra-pembakaran secara luas diterapkan dalam industri pupuk, kimia, bahan bakar gas (H2, CH4), dan produksi listrik. Dalam kasus ini, bahan bakar fosil sebagian dioksidasi, misalnya dalam gasifier. Syngas yang dihasilkan (CO dan H2) dirubah menjadi CO2 dan H2. CO2 yang dihasilkan dapat diserap dari aliran gas buang yang relatif murni. H2 saat ini dapat digunakan sebagai bahan bakar, karbon dioksida akan dihilangkan sebelum pembakaran terjadi. Ada beberapa keuntungan dan kerugian bila dibandingkan dengan penyerapan karbon dioksida pasca-pembakaran konvensional. CO2 dihilangkan setelah pembakaran bahan bakar fosil, tapi sebelum gas buang diekspansi ke tekanan atmosfer. Skema ini diterapkan untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil baru, atau untuk pembangkit yang telah ada di mana re-powering merupakan pilihan. Penyerapan CO2 sebelum ekspansi, yaitu dari gas bertekanan, adalah standar di hampir semua proses penyerapan CO2 dari industri, dalam skala yang sama seperti yang diperlukan untuk pembangkit listrik.

2.2.1.3 Dalam pembakaran oxy-fuel, bahan bakar dibakar dalam oksigen sebagai pengganti udara. Untuk membatasi temperatur nyala yang dihasilkan ke tingkat biasa seperti pada saat pembakaran konvensional, gas buang dingin disirkulasikan kembali dan diinjeksikan ke dalam ruang pembakaran. Gas buang terdiri atas utamanya karbon dioksida dan uap air, dimana yang terakhir akan terkondensasi melalui proses pendinginan. Hasilnya adalah aliran karbon dioksida hampir murni yang dapat diangkut ke lokasi penyerapan dan disimpan. Proses pembangkitan listrik didasarkan pada pembakaran oxy-fuel kadang-kadang disebut sebagai siklus "emisi nol", karena CO2 yang diserap bukan fraksi CO2 yang dihilangkan dari aliran gas buang (seperti dalam kasus penyerapan sebelum dan sesudah pembakaran) tetapi dari aliran gas buang nya sendiri.

2.2.2 Transportasi CO2

Setelah penyerapan, CO2 harus diangkut ke lokasi penyimpanan yang sesuai. Hal ini dapat dilakukan dengan mentransportasikan nya melalui pipa, yang merupakan bentuk transportasi yang termurah.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 19

Page 31: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Transportasi CO2 dalam pipa adalah teknologi yang telah dikenal dan matang, dengan pengalaman yang cukup signifikan dengan telah digunakannya lebih dari 6 000 km pipa CO2 di Amerika Serikat. Ada juga pengalaman lain, meskipun terbatas, yaitu transportasi CO2 menggunakan pipa lepas pantai dalam proyek Snøhvit di Norwegia. Pedoman desain dan operasi dari pipa CO2, yang melengkapi standar teknis yang sudah ada untuk transportasi pipa fluida (seperti ISO 13623 dan ASME B31.4) dirilis pada tahun 2010 (DNV, 2010).

CO2 diangkut ke lapangan produksi minyak di mana ia kemudian diinjeksikan ke dalam lapangan yang lebih tua untuk mengekstraksi minyak. Injeksi CO2 untuk meningkatkan produksi minyak ini disebut Enhanced Oil Recovery (EOR) yang sudah digunakan saat ini.

Kapal dan tangki-truk juga bisa dimanfaatkan untuk mengangkut CO2 bila pipa tidak layak digunakan. Metode ini dapat digunakan untuk mengangkut CO2 untuk aplikasi lain.

2.3 Penyimpanan CO2

Berbagai bentuk untuk penyimpanan permanen CO2 telah dipahami. Bentuk ini termasuk penyimpanan gas di berbagai formasi geologi dalam (termasuk formasi garam dan lapangan gas yang sudah habis), dan penyimpanan CO2 solid dengan cara mereaksikan CO2 dengan oksida logam untuk menghasilkan karbonat yang stabil. Beberapa kemungkinan lokasi penyimpanan adalah:

1. Penyimpanan Geologi;

2. Penyimpanan Samudra/Lautan; dan

3. Penyimpanan Mineral.

2.3.1 Penyimpanan Geologi

Penyimpanan geologi CO2 melibatkan injeksi CO2 ke dalam formasi geologi yang sesuai, biasanya terletak antara satu sampai tiga kilometer di bawah permukaan tanah; juga melibatkan pemantauan selanjutnya dari CO2 yang diinjeksikan. Formasi geologi yang sesuai termasuk equifers garam, lapangan minyak dan gas yang sudah habis, lapangan minyak dengan potensi untuk dilakukannya EOR denganmetode injeksi CO2, dan lapisan batubara yang tidak dapat ditambang dengan potensi untuk meningkatkan perolehan gas metana batubara (coal-bed methane) (ECBM).

2.3.2 Penyimpanan Samudra/Lautan

Penyimpanan kedalam lautan adalah dengan membenamkan CO2 di kedalaman alami dari lautan. Saat ini tidak dianjurkan karena dampak pengasaman terhadap air laut jika terjadi kebocoran yang bisa membahayakan kehidupan ikan dan makhluk laut lainnya.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 20

Page 32: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 2.6: Opsi Penyimpanan Geologi untuk CO2

Sumber: IPCC Special Report, 2005 (http://www.ipcc.ch/pdf/special-reports/srccs/srccs_wholereport.pdf)

2.3.3 Penyimpanan Mineral

Dalam hal penyimpanan karbonasi mineral, CO2yang diserap direaksikan dengan bahan logam-oksida, sehingga membentuk karbonat yang sesuai dan produk sampingan yang dapat dijual, seperti silika misalnya. Mineral silikat alami dapat digunakan dalam proses artifisial yang menyerupai fenomena pelapukan alam, tetapi limbah industri alkali dapat dipertimbangkan juga. Produk karbonasi mineral secara alami membentuk padatan yang stabil yang akan menyediakan kapasitas penyimpanan pada skala waktu geologis. Selain itu, deposit magnesium dan kalsium silikat cukup memadai untuk membenahi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran semua sumber daya bahan bakar fosil. Setiap ton CO2 membutuhkan sekitar 1,6-3,7 ton batuan. Padatan berkarbonasi yang dihasilkan harus disimpan di lokasi yang sesuai dengan lingkungan.

2.4 Penggunaan CO2

Penggunakan dan upaya penggunaan kembali Karbon dioksida (CO2) difokuskan pada konversi CO2 untuk produk yang berguna dan bahan bakar yang dapat mengurangi emisi CO2 di daerah di mana penyimpanan geologi mungkin bukan merupakan solusi optimal. Ini termasuk:

2.4.1 Enhanced Oil/Gas Recovery – Injeksi CO2 ke lapangan minyak dan gas yang produksinya sudah menipis, untuk memaksimalkan jumlah CO2 yang dapat yang disimpan serta memaksimalkan produksi hidrokarbon. Karbon dioksida digunakan dalam enhanced oil recovery di mana diinjeksikan ke

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 21

Page 33: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

dalam atau berdekatan dengan sumur produksi minyak, biasanya dalam kondisi super kritis, bila telah bercampur dengan minyak. Pendekatan ini dapat meningkatkan perolehan kembali minyak, dengan cara mengurangi kejenuhan minyak residu, memberikan 7% sampai 23% tambahan untuk ekstraksi primer. CO2 berfungsi, baik sebagai zat penekan dan, bila dilarutkan ke dalam minyak mentah di bawah tanah, secara signifikan mengurangi viskositasnya, dan mengubah kimia permukaan yang memungkinkan minyak mengalir lebih cepat melalui reservoir ke sumur produksi.

2.4.2 Coal Bed Methane (CBM) recovery – Dalam meningkatkan perolehan kembali gas metana batubara, karbon dioksida akan dipompa ke dalam lapisan batubara untuk menggantikan metana. Sebagai pembanding, metode saat ini yang terutama menggunakan air untuk membuat lapisan batubara melepaskan metana yang terperangkap di dalamnya.

2.4.3 CO2 sebagai Bahan Baku – Menggunakan CO2 sebagai bahan baku untuk memproduksi bahan kimia (termasuk bahan bakar dan polimer) dan mencari aplikasi untuk produk akhir.

2.4.4 Penyimpanan CO2 Non-Geologi – Menggunakan CO2 dari aliran limbah untuk melumpuhkan CO2 secara permanen dengan memproduksi bahan padat yang stabil, baik berupa produk yang berguna secara nilai ekonomi atau bahan yang diproduksi secara murah. Pendekatan ini bisa dipandang sebagai metode penyimpanan karbon yang efektif.

2.4.5 Penyimpanan Tidak Langsung – Mendorong penyimpanan karbon secara tidak langsung dengan menghilangkan CO2 di udara (seperti meningkatkan fotosintesis) atau dengan meningkatkan asupan karbon dalam tumbuhan darat dan tanah.

2.4.6 Pemanfaatan Penggunan Air Produksi – Untuk air terproduksi yang berasal dari penyimpanan CO2 pada formasi garam, dikembangkan metode baru untuk mereaksikan CO2 dengan ion logam untuk membentuk karbonat kurang larut yang dapat dibuang; kemudian menemukan aplikasi yang bermanfaat untuk air desalinasi.

2.4.7 Konsep Terobosan – Mengembangkan aplikasi baru untuk CO2 yang akan membatasi emisinya ke udara dan pendekatan novel penggunaan mikroba yang mengkonsumsi CO2 dan bahan lainnya untuk menghasilkan produk yang berguna atau bahan bakar.

2.4.8 Proyek Pemanfaatan Karbon dari Energi Fosil - Proses atau konsep yang melaksanakan pengurangan CO2 harus memperhitungkan siklus hidup dari proses tersebut untuk memastikan bahwa CO2 tambahan yang dihasilkan tidak melampaui apa yang sudah dihilangkan dari atau dilepas ke atmosfer. Beberapa tantangan lain yang ada dalam menggunakan/menggunakan kembali CO2. Yang satu melibatkan bagaimana menentukan cara terbaik untuk memanfaatkan sumber energi, karena pengalihan CO2 menjadi bahan bakar dan bahan kimia akan memerlukan masukan energi. Dalam fotosintesis, energi surya adalah sumber energi nyata. Namun, untuk aplikasi energi surya serta pendekatan

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 22

Page 34: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

lain seperti proses kimia atau penggunaan mikroba, pertimbangan harus diberikan untuk bagaimana cara terbaik untuk memanfaatkan sumber energi matahari atau lainnya. Tantangan lain adalah untuk menemukan jalur reaksi baru, termasuk katalis baru dan enzim. Hal ini penting bagi berbagai pendekatan dalam menggunakan CO2 untuk membuat produk-produk baru, seperti polimer. Untuk beberapa reaksi ini terutama bila melibatkan sistem biologis, laju reaksi perlu disempurnakan.

2.4.9 Gas Inert - Salah satu penggunaan gas bertekanan yang paling umum adalah untuk sistem pneumatik dalam alat tekan portabel. Karbon dioksida juga digunakan sebagai atmosfer untuk pengelasan, meskipun dalam arc welding, gas ini bereaksi untuk mengoksidasi kebanyakan logam. Penggunaan CO2 dalam industri otomotif adalah biasa meskipun bukti yang signifikan bahwa pengelasan yang dilakukan dalam atmosfer karbon dioksida lebih rapuh daripada yang dikerjakan dalam atmosfer gas inert lainnya, dan sambungan las memburuk dari waktu ke waktu karena pembentukan asam karbonat. CO2 digunakan sebagai gas utama pengelasan karena jauh lebih murah daripada gas inert lainnya seperti argon atau helium. Ketika digunakan untuk pengelasan MIG, penggunaan CO2 terkadang disebut sebagai pengelasan MAG. Untuk Logam Aktif Gas, CO2 dapat bereaksi pada temperatur tinggi. Hal ini cenderung untuk menghasilkan kubangan lebih panas dari atmosfer yang benar-benar inert, meningkatkan karakteristik aliran; meskipun, hal ini mungkin karena reaksi atmosfer yang terjadi di lokasi kubangan. Ini biasanya kebalikan dari efek yang diinginkan saat pengelasan, karena cenderung merapuhkan lokasi kubangan, tetapi mungkin tidak menjadi masalah bagi pengelasan baja ringan secara umum, di mana duktilitas akhiradalah bukan menjadi pertimbangan utama.

Karbon dioksida digunakan dalam banyak produk konsumen yang membutuhkan gas bertekanan karena murah dan tidak mudah terbakar, dan karena dapat mengalami transisi fase dari gas ke cair pada suhu kamar ketika tekanan mencapai sekitar 60 bar (870 psi, 59 atm), yang memungkinkan lebih banyak karbon dioksida dapat dimuat dari yang seharusnya dalam wadah yang diberikan. Baju pelampung sering mengandung tabung karbon dioksida bertekanan agar dapat digembungkan dengan cepat. Kapsul aluminium CO2 juga dijual sebagai pasokan gas terkompresi untuk senapan angin, spidol paintball, menggembungkan ban sepeda, dan untuk membuat air berkarbonasi. Penguapan cepat karbon dioksida cair dapat digunakan untuk peledakan di tambang batu bara. Konsentrasi tinggi karbon dioksida juga dapat digunakan untuk membunuh hama.

2.4.10 Pemadam Api - Karbon dioksida mampu memadamkan lidah api, dan beberapa alat pemadam kebakaran, terutama yang dirancang untuk kebakaran listrik, mengandung karbon dioksida cair di bawah tekanan. Alat pemadam karbon dioksida bekerja dengan baik pada sejumlah kecil cairan yang mudah terbakar dan kebakaran listrik, tetapi tidak pada kebakaran biasa dari bahan yang mudah terbakar biasa, karena meskipun menyingkirkan oksigen, gas ini tidak mendinginkan zat yang terbakar secara

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 23

Page 35: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

signifikan dan ketika karbon dioksida menyebar, zat bebas untuk terbakar setelah terpapar lagi dengan oksigen di atmosfer. Karbon dioksida juga telah banyak digunakan sebagai bahan pemadam dalam sistem proteksi kebakaran tetap untuk penerapan di daerah bahaya tertentu dan banjir total di ruang yang dilindungi. Standar Organisasi Maritim Internasional juga mengakui sistem karbon dioksida untuk pencegahan bahaya kebakaran kapal dan kamar mesin. Sistem proteksi kebakaran berbasis karbon dioksida telah dikaitkan dengan beberapa kematian, karena dapat menyebabkan mati lemas dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Dalam sebuah penelitian, diidentifikasi sistem CO2 menyebabkan 51 insiden antara tahun 1975 sampai tanggal laporan, yang menyebabkan 72 orang tewas dan 145 luka-luka (US EPA: Carbon Dioxide as a Fire Suppressant; Examining the Risk, February 2000).

2.4.11 Oil Recovery - Karbon dioksida digunakan dalam enhanced oil recovery di mana ia diinjeksikan ke dalam atau berdekatan dengan sumur produksi minyak, biasanya dalam kondisi superkritis, bila telah bercampur dengan minyak. Pendekatan ini dapat meningkatkan perolehan kembali minyak asli dengan mengurangi kejenuhan minyak residu antara 7 persen hingga 23 persen tambahan untuk ekstraksi utama. Ia berfungsi baik sebagai zat penekan dan, bila dilarutkan ke dalam minyak mentah di bawah tanah, secara signifikan mengurangi viskositasnya, dan mengubah kimia permukaan yang memungkinkan minyak mengalir lebih cepat melalui reservoir ke sumur produksi. Di lapangan minyak yang matang, jaringan pipa panjang digunakan untuk membawa karbon dioksida ke titik injeksi.

2.4.12 Bio Transformasi menjadi Bahan Bakar - Suatu strain dari cyanobacterium yaitu Synechococcus elongatus telah dimodifikasi secara genetik oleh para peneliti untuk menghasilkan bahan bakar isobutyraldehyde dan isobutanol dari CO2 menggunakan fotosintesis.

2.4.13 Refrigeran/Pendingin - Karbon dioksida cair dan padat adalah refrigeran penting, terutama dalam industri makanan. Mereka digunakan pada saat transportasi dan penyimpanan es krim dan makanan beku lainnya. Karbon dioksida padat disebut "es kering" dan digunakan untuk pengiriman dalam jumlah sedikit di mana penggunaan peralatan pendingin dirasakan kurang praktis. Karbon dioksida padat selalu di bawah -78,5 ° C pada tekanan atmosfer biasa, tanpa menghiraukan suhu udara.

Karbon dioksida cair (nomenklatur industri R744 atau R-744) digunakan sebagai pendingin sebelum penemuan R-12 dan kemungkinan akan menikmati kebangkitan kembali karena adanya fakta bahwa R134a berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sifat fisiknya yang sangat menguntungkan untuk pendinginan, refrigerasi, dan tujuan pemanasan, serta memiliki kapasitas pendinginan volumetrik yang tinggi. Karena beroperasi pada tekanan hingga 130 bar (1880 psi), sistem CO2 memerlukan komponen yang sangat tahan, yang telah dikembangkan untuk produksi massal di berbagai sektor. Dalam bidang AC mobil, di lebih dari 90% dari semua kondisi mengemudi untuk lintang yang lebih tinggi dari 50 °, R744 beroperasi lebih efisien daripada sistem yang

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 24

Page 36: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

menggunakan R134a. Keuntungan lingkungannya (Potensial Pemanasan Global/GWP = 1, tidak menipiskan lapisan ozon, tidak beracun, tidak mudah terbakar) bisa membuat cairan karbon dioksida ini di masa depan sebagai pengganti HFC yang saat ini, antara lain digunakan sebagai pendingin di mobil, supermarket, dan pompa pemanas air. Coca-Cola telah menurunkan pendingin minuman berbasis CO2 dan Angkatan Darat AS tertarik pada teknologi pendinginan dan pemanasan dengan menggunakan CO2.

Industri otomotif global diperkirakan akan memutuskan tipe refrigeran generasi berikutnya untuk AC mobil. Penggunaan CO2 adalah salah satu pilihan yang dibahas.

Gambar 2.7: Perbandingan Fase Diagram CO2 (merah) dan Air (biru) Sebagai Sebuah Grafik Log-in Charge Dengan Titik Transisi pada 1 Atmosfer

2.5 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

2.5.1 Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca di Industri Minyak dan Gas

Pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di sektor minyak dan gas dapat dicapai antara lain dengan cara meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar minyak dan gas, penyerapan karbon, konservasi energi, pengurangan atau penghapusan gas flare dalam produksi dan operasi kilang minyak. Gas alam yang dihasilkan dari lapangan gas mungkin mengandung kontaminan, termasuk karbon dioksida (CO2), mulai kurang dari 10% sampai setinggi 70%, seperti gas alam yang dihasilkan dari lapangan gas Natuna. Di pabrik pengolahan gas alam, gas alam akan dimurnikan dari kontaminan untuk memenuhi standar kualitas untuk transportasi gas dalam pipa. Spesifikasi kandungan CO2 biasanya dibatasi sebesar 2 atau 3%. Sejumlah besar kandungan CO2 dapat diinjeksikan kembali ke sumur gas; sejumlah kecil CO2 dapat disebar ke dalam air atau udara.

Usaha komersial untuk penerapan potensi PPK dan pemanfaatan CO2 dalam industry minyak hulu dan hilir Indonesia harus ditinjau lebih lanjut dan diidentifikasikan. Sebagai

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 25

Page 37: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

contoh : sebuah studi yang dilaksanakan oleh PT Caltex Pacific Indonesia mengenai potensi penggunaan CO2 untuk EOR, sebagai bagian dari studi untuk metodologi EOR alternatif untuk lapangan Minas dan Duri di tahun 1970-an. Menunjukkan bahwa CO2 tidak kompatibel untuk aplikasi EOR di Indonesia karena karakteristik khusus dari minyak dan reservoir nya dan kondisi tekanan larut di reservoir dangkal.

Studi LEMIGAS, berdasarkan geologi dan evaluasi reservoir, menunjukkan bahwa ada potensi pelaksanaan PPK dan EOR CO2 di lapangan minyak yang sudah menipis, dengan sumber emisi CO2 dari berbagai industri di sekitarnya, di Sumatera Selatan. Sebagian reservoir, bagaimanapun, adalah berukuran kecil dan tersebar di area yang luas. Sebelum penerapan PPK skala penuh atau proyek CO2 EOR dilakukan, kesesuaian CO2 untuk disimpan dan / atau digunakan untuk EOR di Sumatera Selatan, reservoir lapangan minyak harus diuji di laboratorium. Jika tes laboratorium menunjukkan hasil yang baik, proyek percontohan ini perlu dikembangkan.

Shell Canada mempelopori Proyek Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (CCS) “Quest” di Alberta, Canada. Proyek Pasir Minyak Athabasca menghasilkan minyak berat atau bitumen 255.000 barel per hari, yang diangkut Instalasi Shell Upgrader untuk meningkatkan karakterisktik bitumen tersebut di Edmonoton, Alberta. Diperkirakan pada tahun 2015 Proyek Quest akan menyerap karbon dan menyimpannya dikedalaman bawah tanah sebesar 1 Juta-ton CO2 per tahun yang dihasilkan dari pemrosesan bitumen, mengurangi emisi CO2 sebesar 35%. Ruang penyimpanan CO2 adalah di akuiver garam di daratan pada kedalaman 2 kilometer (pada Batuan Basal Cambrian), yang terletak 65 kilometer dari sumber CO2.

Jumlah biaya Proyek Quest mencapai US$ 1.35 miliar. Pemerintah Canada dan Negara Bagian Alberta menginventasikan C$ 865 juta. Proyek ini juga mendapat dukungan dana C$ 120 juta dari Clean Energy Fund (sebuah pendanaan yang diciptakan oleh Pemerintah Canada untuk mendemostrasikan teknologi CCS). Pemerintah Alberta telah menawarkan untuk memberikan C$745 juta kepada proyek ini.

Menurut Peter Voster, Mantan Chief Executive Officer Royal Dutch Shell Plc “Kalau anda ingin mencapai tujuan perubahan iklim, CCS harus menjadi bagian solusinya”. Ditambahkannya: ”Sumber energi dengan CO2 rendah akan berkembang, namun di tahun 2050 diperkirakan dunia masih akan memerlukan bahan bakar fosil sebesar 65% dari kebutuhan energi dunia; dengan demikian CCS menjadi sangat penting dalam pengelolaan dampak perubahan iklim”. Indonesia telah mentargetkan dalam Kebijakan Energi Nasional 2014-2050 bahwa 69% dari bauran energi pada tahun 2050 adalah dari energi fosil.

Perkembangan teknologi terakhir menunjukkan CO2 dapat dipergunakan untuk meningkatkan perolehan gas metan dari lapisan batubara (Coal Bed Methane – CBM). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperki-rakan sumber daya CBM di Indonesia sebesar 453 TSCF, terdiri dari 250 TSCF di Sumatera Bagian Selatan dan Tengah dan 210 TSCF di Kalimantan Timur. Namun pengembangan CBM masih lamban.

2.5.2 Alternatif untuk Mengurangi/Meminimalkan Emisi Karbon

Sekitar tiga sampai empat tahun yang lalu, kadar CO2 global di atmosfer telah hampir melampaui rata-rata 390 ppm, atau meningkat sekitar 40% dari kadar pra-industri yakni 280 ppm. Ini merupakan total tertinggi dan akselerasi tercepat dari kadar CO2 di atmosfer dalam beberapa ratus tahun terakhir. Secara paralel, pemanasan dari sistem iklim, dibuktikan

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 26

Page 38: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

dengan meningkatnya suhu global rata-rata dan permukaan laut global rata-rata dan meningkatnya penyimpangan pola cuaca, konsisten dengan efek model peningkatan kadar CO2 di atmosfer yang dihasilkan dari emisi Gas Rumah Kaca antropogenik. Berdasarkan Perjanjian Cancun, negara-negara penandatangan sepakat tentang perlunya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca ke tingkat yang akan ditahan pada rata-rata peningkatan suhu global di bawah 2oC dibandingkan dengan tingkat pra-industri. Hal Ini akan dapat dicapai, kemungkinan besar dengan cara menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer antara 350 dan 400 ppm, sesuai dengan pemodelan iklim terbaru.

2.5.3 Mengurangi/Meminimalkan Emisi Karbon

Meskipun negara-negara maju sebagian besar bertanggung jawab terhadap sejarah emisi CO2 antropogenik, semua bangsa umumnya rentan terhadap dampak perubahan iklim. Untuk dapat berhasil membatasi dan secara signifikan mengurangi emisi di masa mendatang, negara-negara maju harus mengambil inisiatif, namun negara-negara berkembang juga harus mengambil langkah kuat untuk beralih ke ekonomi rendah karbon dan mengurangi emisi, serta dengan dukungan dari negara-negara maju dapat mengatasi hambatan utama yang dihadapi negara-negara berkembang saat ini yang menghambat mereka beralih ke ekonomi rendah karbon dan mengusahakan pengurangan emisi.

Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, banyak pemimpin dunia telah mengakui temuan ilmiah bahwa tidak ada solusi tunggal untuk mitigasi perubahan iklim; Oleh karena itu, portofolio teknologi pengurangan CO2 dan metode yang memenuhi kebutuhan masing-masing wilayah akan diperlukan untuk berhasil menghadapi meningkatnya emisi CO2.

Setiap bangsa memiliki profil emisi yang berbeda, dan sementara itu CO2 menyumbang lebih dari 75% dari emisi Gas Rumah Kaca antropogenik. Emisi berasal dari berbagai sektor, yang masing-masing harus melaksanakan metode untuk mengurangi emisi. Dari semua sektor, pasokan energi dan sektor industri merupakan penyumbang terbesar emisi CO2.

Selain perbaikan efisiensi dan meningkatkan penggunaan energi bersih, salah satu pilihan utama untuk membatasi emisi CO2 masa depan dari pasokan energi bahan bakar fosil adalah melakukan proyek PPK.

PPK adalah paket teknologi yang terintegrasi untuk menangkap dan mengangkut CO2 dari titik sumber utama (misalnya pembangkit listrik bahan bakarfosil, industri baja, semen, dan pabrik pupuk, dan fasilitas industri lainnya) ke lokasi penyimpanan di mana CO2 diinjeksikan ke sumur dan kemudian terperangkap dalam formasi geologi berpori jauh di bawah permukaan tanah.

Saat ini, teknologi individu untuk komponen yang digunakan dalam proyek PPK relatif matang terhadap kebanyakan teknologi energi bersih yang berkembang. Pemisahan dan penangkapan CO2 sudah banyak diterapkan pada skala komersial untuk digunakan dalam industri makanan dan minuman, serta industri lainnya; transportasi CO2 melalui pipa adalah industri yang sudah biasa di beberapa daerah; dan teknologi untuk pemilihan lokasi penyimpanan, injeksi, dan monitoring dikembangkan dengan baik di seluruh industri. Namun, integrasi skala pembangkit listrik dari semua teknologi yang meliputi proyek PPK masih dalam tahap pengembangan.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 27

Page 39: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Organisasi-organisasi internasional telah berulang kali mengutip PPK sebagai alat utama yang potensial untuk mencapai pengurangan emisi CO2. Dalam banyak proyeksi, penyebaran PPK memainkan peran besar dalam membatasi emisi CO2 dari negara maju maupun negara berkembang.

2.6 Pro dan Kontra Terhadap Penyerapan dan Penyimpanan Karbon

Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai metode untuk mengurangi emisi CO2, baik dengan cara menghindari pelepasan CO2 ke atmosfer, seperti dalam kasus PPK, atau meminimalkan emisi CO2 dalam proses industri melalui peningkatan efisiensi pembakaran atau pemanfaatan energi terbarukan, "analisis kekuatan lapangan" dilakukan untuk mengevaluasi “kekuatan" yang mendukung aplikasi PPK (pro) dan “kekuatan” yang menentang PPK (kontra) di Indonesia. Tabel 2.1 menunjukkan hasil analisis kekuatan lapangan, menunjukkan bahwa ada kekuatan yang lebih menentang aplikasi PPK di Indonesia saat ini.

Hal ini tidak diragukan lagi bahwa PPK adalah teknologi yang yang saat ini dikenal paling efektif untuk pengurangan emisi CO2 dari fasilitas pembakaran statis berbahan bakar fosil seperti batubara dan seluruh aplikasi bahan bakar fosil lainnya, namun masih menghadapi tantangan sebagai berikut: (i) biaya tinggi untuk menyerap dan menyediakan fasilitas transportasi CO2; (ii) konsumsi energi yang relatif tinggi; dan (iii) menemukan penyimpanan yang sesuai dan aman, termasuk menginjeksikan CO2 ke dalam formasi geologi untuk Enhanced Oil Recovery.

Meskipun kekuatan menentang aplikasi PPK di Indonesia saat ini jauh lebih kuat daripada kekuatan yang mendukung PPK, disarankan agar penelitian lebih lanjut terus dilakukan, dalam industri minyak dan gas, di bidang-bidang berikut:

1. Mengkaji lokasi penyimpanan CO2 yang aman dalam formasi geologi di sekitar fasilitas emiter besar CO2. Studi penyimpanan geologi CO2 dan EOR dengan injeksi CO2 pada lapangan minyak yang hampir habis di Sumatera Selatan oleh LEMIGAS untuk PERTAMINA, harus dilanjutkan sampai proyek percontohan dapat didefinisikan dan dieksekusi. Proyek percontohan ini akan memberikan pelajaran untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, teknologi dan dinamika dari proyek PPK, mengidentifikasikan kerangka peraturan dan mekanisme insentif yang perlu dikembangkan, dan menganalisis data biaya - manfaat untuk mengembangkan proyek PPK skala penuh atau mencari alternatif lain yang bisa diterapkan.

2. Melakukan studi kelayakan untuk mengurangi emisi CO2 di kilang yang dipilih (untuk memulai dengan) melalui peningkatan efisiensi pembakaran (boiler, tungku, pembangkit listrik) atau memasang fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon, fasilitas penyerapan, dan / atau pemanfaatan. Mengkaji kerangka peraturan serta stimulus fiskal dan non-fiskal yang mungkin diperlukan yang secara ekonomis dan secara signifikan dapat mengurangi emisi karbon di kilang.

3. Melakukan "audit karbon" untuk mengidentifikasi potensi emitter / produsen Gas Rumah Kaca dalam industri minyak dan gas hulu dan hilir, dan peraturan yang terkait besaran untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca melalui penerapan

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 28

Page 40: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

PPK, peningkatan efisiensi pembakaran, dan / atau mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan. Ini termasuk gas flare, Gas Rumah Kaca yang terkait dengan yang diproduksi dengan dan dipisahkan dari produksi gas alam, dan Gas Rumah Kaca yang dipancarkan dari fasilitas pendukung produksi (pembangkit listrik, pabrik uap, penukar panas, dan tungku).

4. Advokasi kebijakan dan peraturan untuk mempromosikan pengurangan emisi GRK melalui penetapan standar emisi GRK yang sesuai proporsional dengan industri dan kepadatan penduduk di daerah-daerah tertentu, penghargaan dan mekanisme hukuman untuk kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap standar emisi GRK yang ditetapkan, dan stimulus untuk perbaikan efisiensi pembakaran dan penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Harus ada juga penetapan standar untuk efisiensi pabrik yang menggunakan bahan bakar fosil.

Tabel 2.1: Analisis Kekuatan Lapangan Penerapan PPK di Indonesia Kekuatan Pendukung PPK Kekuatan Penentang PPK

• Secara signifikan mengurangi emisi CO2 sebesar 80-90% dibandingkan pabrik tanpa PPK

• International mendukung dan bersedia untuk membiayai proyek-proyek PPK dan memberikan kredit karbon

• Ketersediaan laut dalam di Indonesia untuk penyimpanan CO2 di laut

• Adanya kemungkinan penggunaan yang potensial untuk peningkatan produksi gas metana batubara

• Adanya kemungkinan pemanfaatan ekonomi bagi industri yang menggunakan CO2

• Meningkatkan biaya produksi energi di pabrik berbahan bakar batubara sebesar 21-91% dengan adanya PPK

• Meningkatkan kebutuhan bahan bakar dan biaya sistem lainnya pada pembangkit berbahan bakar batubara sebesar 25-40%

• Teknologi PPK sangat mahal dan sebagian besar belum terbukti

• Belum ada penggunaan CO2 untuk EOR di Indonesia karena pembauran CO2 dengan minyak mentah Indonesia yang kurang baik dan ketidakcocokan reservoir migas yang relatif dangkal *)

• Belum ada penggunaan CO2 yang signifikan di pasar industri Indonesia saat ini

• Penyimpanan CO2 di laut dalam dapat menaikkan keasaman laut secara menonjol

• Membutuhkan studi geologi untuk mengetahui formasi geologi yang dalam yang sesuai untuk menampung penyimpanan *)

• Kegiatan seismic yang tinggi di Indonesia kurang memberikan jaminan keamanan penyimpanan CO2 di formasi geologi yang dalam karena dapat terjadi kebocoran

• Indonesia mempunyai potensi sumber energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi yang dapat dikembangkan lebih cepat dan lebih murah daripada pengeluaran untuk PPK guna mengurangi dampak gas rumah kaca

• Tidak ada peraturan perundangan yang membatasi dan memberikan stimulus untuk mengurangi emisi CO2 dan mempromosikan manfaat ekonomis dari pengurangan emisi Gas Rumah Kaca

*) LEMIGAS telah melakukan studi tentang EOR yang menggunakan injeksi CO2 dan penyimpanan CO2 di lapangan minyak habis pakai milik Pertamina di Sumatera Selatan, Sebuah proyek percontohan mungkin diperlukanuntuk menentukan kelayakan sebuah EOR CO2 skala penuh (Lihat Studi:. "Lembar Kerja

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 29

Page 41: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Screening Potensi EORCO2 Sekuestrasi di Indonesia "oleh Usman Pasarai, et.al, Kontribusi Ilmiah Lemigas, Vol. 33 No.1, Mei 2010)

Indonesia sedang menghadapi krisis listrik dan energi antara tahun 2015 - 2018, dan tidak sanggup mengatasi penurunan efisiensi keseluruhan pabrik yang ada, apalagi investasi yang dibutuhkan untuk fasilitas PPK cukup besar. Meskipun proyek PPK skala penuh mungkin tidak akan dilakukan dalam waktu dekat, perlu diyakini bahwa PPK percontohan harus tetap dilakukan sebagai kurva belajar sebelum mempertimbangkan PPK berskala besar, jika dukungan keuangan sudah bisa disediakan.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 30

Page 42: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

3. KERANGKA PERATURAN, KEEKONOMIAN, DAN PENDANAAN PENYERAPAN DAN PENYIMPANAN

KARBON

3.1 CO2 sebagai Sumber Daya atau Pencemaran

Industri bahan bakar fosil menunjukkan bahwa karbon dioksida sangat penting baik untuk kehidupan tanaman dan kehidupan manusia. Maka, apakah salah, bila memberikan label untuk karbon dioksida sebagai polutan? Definisi pencemaran dalam kamus Webster adalah "untuk membuat secara fisik kotor atau tidak bersih: mengotori, kotor." Dengan definisi itu, karbon dioksida bukan merupakan polusi. Namun, Webster juga memiliki definisi: ". Mencemari (lingkungan) terutama dengan limbah buatan manusia". Karbon dioksida adalah gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai limbah buatan manusia. Seseorang dapat juga menjadikan kasus bahwa karbon dioksida mencemari lingkungan, karena peningkatan CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil telah merugikan kehidupan laut. Karbon dioksida, ketika dilarutkan dalam air laut, sangat mematikan bagi cangkang-rumah mikroorganisme yang merupakan bagian penting dari rantai makanan di beberapa daerah laut dingin.

Penambahan CO2 akan menurunkan pH dan membuat air terlalu asam bagi organisme untuk membangun cangkang mereka. Seperti yang telah dilaporkan dalam masalah pengasaman lautan, diamati adanya peningkatan dalam tingkat keasaman sebesar 0,1 unit pH selama 1 abad terakhir karena pembakaran bahan bakar fosil, dan diperkirakan pengasaman akan terus berlangsung dalam dekade mendatang. Hal ini bisa menyebabkan kematian besar dari kehidupan laut dan runtuhnya rantai makanan di wilayah laut tersebut. Berdasarkan argumen ini, slogan industri bahan bakar fosil, "Karbon dioksida: mereka menyebutnya polusi, kita menyebutnya hidup!" bisa dengan jujur diungkapkan sebagai berikut, "Karbon dioksida: Kami menyebutnya polusi, dan kami menyebutnya kematian." Seseorang hanya perlu melihat Planet Venus, untuk melihat bahwa terlalu banyak "kehidupan" bisa menjadi hal yang buruk. Disana, atmosfer dengan 96% karbon dioksida telah menciptakan efek neraka rumah kaca. Suhu 860 F di permukaan cukup panas untuk melelehkan timah. Tidak terlalu banyak kehidupan ada di sana.

Industri bahan bakar fosil menunjukkan bahwa pembakaran bahan bakar fosil telah membawa peningkatan dramatis dalam kekayaan dan kemakmuran dunia. Hal ini adalah suatu yang baik, dan kita tidak seharusnya merusak dasar ekonomi dunia melalui upaya ceroboh untuk mengurangi emisi CO2. Kita dapat memberikan kredit bagian yang baik dari hal menakjubkan di peradaban modern dengan ketersediaan bahan bakar fosil yang murah untuk kekuatan revolusi teknologi. Namun, kita tidak harus menghadapi semua dengan sedih tentang hal-hal mengagumkan yang telah dilakukan dengan menggunakan sumber energi yang tersedia dan tersisa untuk kita dari tanaman fosil masa lalu bumi. Setiap teknologi dapat membawa penderitaan yang mengerikan jika digunakan tidak secara bijaksana. Pertimbangkan bahwa bahan bakar fosil juga memungkinkan terjadinya kekejaman perang modern. Tank-tank dari blitzkrieg Hitler - dan pesawat yang telah menjatuhkan bom yang menewaskan jutaan orang tak bersalah abad terakhir ini - semua didukung oleh bahan bakar fosil. Polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil telah membunuh jutaan orang juga. Kita harus jujur baik mengenai pentingnya bahan bakar fosil, maupun bahaya yang ditimbulkan jika digunakan secara tidak bijaksana. Ancaman

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 31

Page 43: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

perubahan iklim akibat pembakaran bahan bakar fosil perlu ditangani dengan baik, sehingga kita dapat membuat keputusan yang bijaksana tentang masa depan teknologi energi ini. Kampanye iklan baru yang tidak benar dari industri bahan bakar fosil sangat berbahaya bagi tujuan tersebut.

Telah diketahui bahwa CO2 di atmosfer telah meningkat dari sekitar 275 ppm (0,0275%) menjadi 375 ppm (0,0375%) sejak Revolusi Industri dimulai pada tahun 1800-an. CO2 ekstra ini, yang ditambahkan ke atmosfer oleh pembakaran bahan bakar fosil, diamati telah memberikan kontribusi terhadap kenaikan suhu global sebesar 0,6 derajat C melalui efek Gas Rumah Kaca. Apa yang kurang diketahui, dan dibahas secara rinci dalam sebuah artikel di Scientific American yang disebut "Bahaya Pengasaman Laut" Maret 2006, adalah sejumlah besar CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil tertiup angin sampai di lautan. Lautan telah menyerap 48% dari semua CO2 yang dipancarkan sejak 1800, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Sabine et al. pada tahun 2004 di Science. Tanpa adanya tindakan terhadap lautan dalam menyerap begitu banyak limbah gas yang telah dipompa ke atmosfer, bumi secara serius akan menjadi sebuah planet yang hangat saat ini.

3.2 Tinjauan Regulasi PPK yang berlaku Internasional dan Kebiasaan Yang Baik

Contoh Kerangka Kerja (Tabel 3.1) mengusulkan prinsip-prinsip untuk mengatasi dua puluh sembilan isu utama yang terkait dengan pengaturan PPK, didasarkan pada hasil kerja negara penggerak awal seperti Australia, Eropa dan Amerika Serikat, untuk membantu pengembangan kerangka peraturan PPK nasional dan regional.

Untuk setiap isu, diberikan penjelasan demikian juga contoh bagaimana masalah tersebut ditangani dalam undang-undang yang ada. Untuk isu dasar atau "titik awal" mengenai penyimpanan CO₂, contoh teks legislasi juga disediakan, dimana negara-negara dan wilayah dapat memanfaatkan untuk mengembangkan kerangka regulasi PPK. Isu yang dibahas termasuk:

Tabel 3.1: Contoh Kerangka Kerja Peraturan Internasional PPK

1. Klasifikasi CO2 1. Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan

1. Langkah-langkah korektif dan tindakan perbaikan

2. Hak milik 3. Penyerapan CO₂ 4. Kewajiban selama periode proyek

5. Persaingan dengan pengguna lain dan isu hak-hak istimewa

6. Transportasi CO₂ 7. Otorisasi untuk penutupan situs penyimpanan

8. Perpindahan lintas batas dari CO₂

9. Lingkup kerangka kerja dan larangannya

10. Kewajiban selama periode pasca penutupan

11. Hukum internasional 12. Definisi dan terminologi 13. Kontribusi keuangan

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 32

Page 44: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

tentang perlindungan lingkungan laut

yang berlaku untuk pengaturan penyimpanan CO₂

untuk pengelolaan pasca-penutupan

14. Memberikan insentif PPK sebagai bagian dari strategi mitigasi perubahan iklim

15. Otorisasi kegiatan eksplorasi situs penyimpanan

16. Berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui fase demonstrasi

17. Melindungi kesehatan manusia

18. Mengatur kegiatan pemilihan lokasi dan karakterisasi

19. Kesiapan PPK

20. Komposisi aliran CO₂ 21. Otorisasi kegiatan penyimpanan

22. Menggunakan PPK untuk sumber berbasis biomassa

23. Peran analisis mengenai dampak lingkungan

24. Inspeksi proyek 25. Memahami peningkatan recovery hidrokarbon dengan PPK

26. Akses pihak ketiga untuk situs penyimpanan dan infrastruktur transportasi

27. Pemantauan, pelaporan dan verifikasi persyaratan

Sumber: International Energy Agency, CCS Model Regulatory Framework, 2010

3.3 Peraturan Tentang Emisi Gas Rumah Kaca di Industri Minyak dan Gas Indonesia

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengatur kegiatan industri minyak dan gas Indonesia. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2009, menggantikan PP 35 Tahun 2004, dan PP 30 Tahun 2009, menggantikan PP 36 Tahun 2004, mengatur masing-masing Kegiatan Hulu dan Hilir Minyak dan Gas Bumi. PP ini menyatakan bahwa operator kegiatan minyak dan gas hulu dan hilir wajib mengikuti dan mematuhi ketentuan keselamatan, kesehatan dan peraturan lingkungan yang berlaku. Oleh karena itu, dasar hukum pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di seluruh industri minyak dan gas di sesuaikan dengan undang-undang dan peraturan lingkungan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Menteri Lingkungan Hidup (MEA) telah mengeluarkan Peraturan No. 13/2009 tentang Standar Mutu Emisi Sumber Stationer di Kegiatan/Bisnis Minyak dan Gas, yang menetapkan maksimum emisi partikulat, karbon mono oksida, oksida nitrogen, dan sulfur oksida; namun tidak ada pembatasan standar untuk karbon dioksida.

Mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan Peraturan KLH No. 13/2009, Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan No. 12/2012 KLH, yang menyediakan pedoman untuk menghitung beban emisi kegiatan minyak dan gas, termasuk emisi CO2.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 33

Page 45: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Tabel 3.2: Dasar Hukum Persediaan Gas Rumah Kaca di Indonesia

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup / UNDP: "Komunikasi Nasional Indonesia ke 2", Lokakarya Inventarisasi gas rumah kaca di Asia ke 9, Phnom Pench, Kamboja, Juli 2011.

Peraturan Presiden No. 71.2011 telah dikeluarkan untk penyelenggaraan inventori Gas Rumah Kaca Nasional. Tujuan dari Peraturan Presiden No. 71/2011 adalah: (i) untuk memperoleh informasi secara berkala tentang tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi and penyerapan GRK, termasuk penyimpanan karbon di tingkat nasional, provinsi, dan daerah; dan (ii) untuk mencatat informasi pencapaian penurunan emisi GRK dari mitigasi nasional tentang perubahan iklim. Laporan hasil inventori nasional GRK dipergunakan untuk merumuskan kebijakan dan mengkaji implementasi kegiatan mitigasi perubahan iklim nasional, termasuk rencana aksi nasional terhadap aksi pengurangan emisi GRK. Peraturan ini menyatakan proses dan tata cara untuk melakukan inventori GRK dan kewajiban Menteri Lingkungan Hidup dan menteri-menteri lain terkait, gubernur, bupati dan walikota serta institusi lain terkait. Menteri Lingkungan Hidup bertanggung jawab untuk mengkoordinasi semua laporan dan menyerahkan laporan tahuan kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan. Inventori GRK dilakukan disumber emisi dan penyimpanannya, termasuk: (a) pertanian, kehutanan, lahan gambut dan penggunaan lahan lainnya; (b) penyediaan dan pemanfaatan energi: (1) pembangkit energi, (2) industri, (3) transportasi, (4) rumah tangga, (5) komersial, (6) pertanian, konstruksi, dan pertambangan; (c) proses industri dan pemanfaatan produk; (d) pengelolaan limbah.

1. Undang-Undang Nomor 6/1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang

Perubahan Iklim - Indonesia wajib secara berkala mengembangkan Komunikasi Nasional

yang dibiayai oleh pihak negara maju untuk Konvensi; GNG Persediaan merupakan bagian

dari Komunikasi Nasional.

2. Undang-Undang Nomor 31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika panggilan

untuk kebutuhan untuk mengembangkan Inventarisasi GRK untuk pengembangan kebijakan

perubahan iklim.

3. Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

menetapkan bahwa Pemerintah pada, tingkat provinsi dan kota nasional mengembangkan

Inventarisasi GRK.

4. Keputusan Presiden tentang Inventarisasi GRK Nasional (dalam proses):

a. Memberikan dasar hukum bagi semua kementerian / sektor untuk melakukan

inventarisasi GRK

b. Juga mengatur: (i) peran masing-masing kementerian dan pemerintah daerah; (ii)

inventarisasi GRK yang berkaitan dengan pelaksanaan NAMA dalam cara MRV; (iii)

penggunaan laporan inventarisasi GRK nasional

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 34

Page 46: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Namun demikian nampaknya pelaksanaan peraturan presiden ini kurang ditindak-lanjuti. Seyogyanya, setiap menteri terkait, gubernur, bupati/walikota mengeluarkan peraturan terkait dengan inventori nasional GRK. Dengan adanya invenotri nasional GRK, standar batasan emisi GRK yang tepat untuk setiapprovinsi dan kota-kota besar dapat ditetapkan dan menjadi landasan penentuan kebutuhan Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (CCS). Sebuah Peraturan Pemerintah tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup telah dirancang sejak 2013. Instrumen ekonomi ini mencakup: (i) rencana pengembangan dan kegiatan ekonomi; (ii) pendanaan lingkungan; dan (iii) insentif dan disinsentif. Rencana pengembangan dan kegiatan ekonomi mencakup persiapan Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (NSDALH) tahunan, yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Bruto Hijau (PDBH). Untuk memastikan keberlanjutan jasa-jasa lingkungan, pentuk jasa-jasa lingkungan dan internalisasi biaya lingkungan.raturan ini menyatakan kompensasi / imbalan. Tentang pendanaan lingkungan, rancangan peraturan ini menyatakan secara luas tujuan dan sumber pendanaan: (i) dana jaminan pemulihan linngkungan hidup; (ii) dana penaggulangan dan pemulihan lingkungan hidup; dan (iii) dana amanah/bantuan konservasi. Insentif dan disinsentif lingkungan diberikan dalam bentuk sebagai berikut:

a. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; b. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; c. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup; d. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan

hidup; e. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; f. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; g. pengembangan asuransi lingkungan hidup; h. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; dan i. penerapan sistem pengembalian dana daur ulang.

Draf Peraturan Pemerintah ini memberikan pernyataan umum tentang tipe insentif dan disinsentif tetapi tidak ada rincian pelaksanaannya, termasuk untuk penanggulangan emisi karbon dioksida. Mengingat urgensi untuk pengurangan emisi gas rumah kaca untuk meminimalkan dampak Perubahan Iklim, dianjurkan untuk mempertimbangkan penerbitan Peraturan Presiden untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk pengurangan gas rumah kaca dan sesuai tindakan mitigasi yang tepat di tingkat nasional sesuai dengan semangat dan hasil Peraturan Presiden No. 71/2011 tentang Inventory Gas Rumah Kaca nasional dan regional. Peraturan Presiden ini menjadi dasar untuk Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Lingkungan tentang Tindakan Mitigasi Nasional Indonesia sesuai pada emisi GRK, karena hal ini mencakup hal-hal terkait dengan lingkungan maupun keuangan yang mencakup insentif fiskal dan denda, pajak karbon, dan keekonomian karbon, tanpa menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang instrument ekonomi lingkungan.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 35

Page 47: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Peraturan Presiden tersebut dan Peraturan Bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Keuangan harus membahas masalah gas rumah kaca sebagai ditabulasikan dalam Kerangka Model pada ayat 3.2 dengan memperhatikan pada konteks Indonesia.

Secara khusus peraturan tersebut akan membahas, tetapi tidak terbatas pada, hal-hal berikut:

1. Target pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 dan seterusnya.

2. Pedoman masing-masing kementerian atau lembaga terkait dalam mitigasi emisi Gas Rumah Kaca untuk mempersiapkan rencana bergulir 5-10 tahunan (Lihat Peraturan Presiden No. 61, Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca).

3. Standar untuk batas emisi Gas Rumah Kaca untuk masing-masing peralatan stasioner dan mobile dengan pertimbangan dari sisi dampak kepadatan penduduk, kondisi geografis, dan ekonomi (Lihat Peraturan Presiden No. 71/2011 tentang Inventori GRK; Peraturan-Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13/2009 tentang Emisi Standar untuk Sumber Tak Bergerak di Usaha/Kegiatan Minyak dan Gas; No. 12/2012 tentang Pedoman untuk Perhitungan Beban Emisi di Industri Kegiatan Minyak dan Gas; dan No. 15/2013 tentang Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi Perubahan Iklim).

4. Mekanisme penalti dan penghargaan untuk ketidakpatuhan atau kepatuhan terhadap aturan Gas Rumah Kaca. Hal ini bisa dalam bentuk: (i) pajak karbon atau disinsentif karbon atau denda untuk pabrik yang tidak efisien atau pabrik dengan efisiensi di bawah ketentuan standar; (ii) kredit karbon atau insentif karbon untuk efisiensi pabrik di atas standar; (iii) fiskal dan insentif non-fiskal untuk memasang fasilitas penangkap karbon.

5. Ketentuan mengenai keharusan untuk melakukan audit energi dan audit Gas Rumah Kaca berkala (Lihat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 14/2012 tentang Manajemen Energi yang mencakup Audit Energi. Hal ini dapat diperluas dengan Audit Emisi Gas Rumah Kaca).

6. Sinkronisasi Peraturan - Peraturan Menteri yang berlaku, seperti Peraturan Menteri ESDM No. 14/2012 dan Menteri Lingkungan Hidup No. 15/2013.

7. Perdagangan karbon nasional atau bilateral sebagai pengganti Protokol Kyoto tentang CDM.

Pajak karbon atau penalti dan kredit karbon atau insentif adalah instrumen fiskal yang tidak boleh dikaitkan dengan undang-undangperpajakan. Ini adalah dana Pemerintah yang khusus disediakan untuk promosi dan pengurangan emisi GRK di tingkat nasional. Sumber dana bisa, namun tidak terbatas pada, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), denda karbon atau dana yang dikumpulkan dari sumber emisiGRKyang memancarkan GRK di luar standar yang telah ditetapkan, danhibah luar negeri yang tidak mengikat atau pinjaman lunak antar pemerintah. Insentif karbon dapat diberikan kepada entitas yang memenuhi atau melebihi standar emisi gas rumah kaca. Insentif karbon dapat diperdagangkan secara nasional atau digunakan untuk mengkompensasi denda karbon, dalam suatu entitas perusahaan atau anak perusahaannya.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 36

Page 48: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Untuk Indonesia, disarankan agar Pemerintah menetapkan Standar Emisi Gas Rumah Kaca untuk sumber Gas Rumah Kaca stasioner baru berbahan bakar minyak dan batubara yang digunakan dalam industri tertentu. Hal ini bisa berupa pembangkit listrik, ketel uap, tungku, dan pabrik pemurnian gas. Sumber Gas Rumah Kaca dari peralatan berbahan bakar gas dan energi terbarukan dianggap sebagai emitter gas rumah kaca yang rendah. Standar emisi Gas Rumah Kaca Indonesia harus ditentukan dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk daerah tertentu, kondisi geografis, teknologi yang tersedia, dan faktor ekonomi.

Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, mengusulkan batas emisi standar Gas Rumah Kaca 1.100 pon CO2 per MWh listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Standar ini dianggap berat oleh industri, karena tidak akan dapat dicapai tanpa penerapan teknologi PPK untuk menangkap 40% CO2 yang dihasilkan. (Congressional Research Service: "EPA Standar Emisi gas rumah kaca dari Pembangkit Listrik: Banyak Pertanyaan, Beberapa Jawaban", 15 November 2013).

Standar emisi Gas Rumah Kaca juga dapat dinyatakan dalam bentuk efisiensi pabrik. Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara rata-rata memiliki efisiensi 30-32%. Pembangkit listrik Batubara efisiensi tinggi seperti yang menggunakan ketel uap super kritis bisa mencapai efisiensi 38-40%. Pembangkit listrik batu bara kecil dengan kapasitas 7 sampai 20 MW memiliki efisiensi 20 sampai 22% dan relatif menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi dan karena itu seharusnya tidak lagi digunakan. Mereka harus diganti dengan pembakaran gas atau dengan sumber energi yang terbarukan.

3.4 Peraturan tentang Penyerapan dan Penyimpanan serta Pemanfaatan Karbon Dioksida di Industri Minyak dan Gas Bumi Indonesia

Laporan studi LEMIGAS tentang “Penentuan Potensi Penyerapan dan Penyimpanan Karbon di Asia Tenggara, Laporan Negara Indonesia”, yang memfokuskan pada evaluasi geologi dan reservoir minyak dan gas bumi yang terkuras di Sumatera Selatan, dan Studi ADB – Global CCS Institute tentang “Prospek untuk Penyerapan dan Penyimpanan Karbon di Asia Tenggara” menunjukkan bahwa terdapat potensi proyek PPK dan proyek EOR dengan menggunakan injeksi CO2 di provinsi Sumatera Selatan. Propinsi tersebut menawarkan: (i) Berbagai industri dengan emisi CO2 yang tinggi; seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil, kegiatan penambangan batubara, instalasi proses pengolahan gas alam, dan kilang minyak; (ii) lapangan minyak dan gas bumi yang sudah terkuras; (iii) fasilitas lapangan minyak di permukaan tanah; dan (iv) infrastuktur.

Pemilihan Propinsi Sumatera Selatan juga mempertimbangkan stabilitas geologis, karakteristik sumur, kepadatan penduduk yang rendah, dan adanya infrastruktur dipermukaan. Tambahan pula, Sumatera Selatan memiliki kekayaan lapisan batubara yang belum ditambang yang dapat mengahasilkan gas metan batubara (coal bed methane - CBM). Dengan menginjeksikan CO2 ke sumur-sumur CBM, produksi CBM dapat ditingkatkan dan CO2 dapat diserap menggantikan gas metan. Eksploitasi CBM di Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan dan prospek CBM untuk penyimpanan CO2 masih belum ada kepastian.

Meskipun LEMIGAS telah melakukan studi lengkap tentang potensi proyek-proyek CCS dan EOR dengan injeksi CO2 di Sumatera Selatan, termasuk merekomendasikan lapangan minyak PERTAMINA yang sudah terkuras sebagai daerah percontohan untuk proyek percontohan PPK dan EOR dengan injeksi CO2, namun masih ada hal-hal yang perlu

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 37

Page 49: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

diperhatikan sebelum sebuah proyek percontohan dapat ditetapkan dan direncanakan. Hal-hal ini termasuk antara lain, namun tidak terbatas pada:

a. Lapangan minyak dan gas di Sumatera Selatan terdiri atas lapangan-lapangan kecil dengan lapisan reservoir terpisah. Hal ini mengurangi efektivitas dan skala keekonomian untuk proyek EOR secara keseluruhan. Sebagian besar lapangan minyak dan gas bumi di Sumatera Selatan telah diserahkan kembali kepada Pemerintah.

b. Selain PERTAMINA, terdapat berbagai badan usaha yang mengoperasikan lapangan minyak dan gas di Sumatera Selatan, dengan termin dan kondisi kontrak yang berbeda. Lapangan-lapangan minyak dan gas bumi tertentu sudah ditinggalkan dan tidak beroperasi untuk beberapa waktu.

c. Integritas fasilitas di permukaan dan di bawah tanah perlu dievaluasi kembali untuk mengembangkan proyek percobaan (pilot) dan proyek skala penuh PPK dan EOR dengan injeksi CO2.

d. Sebelum percobaan di lapangan ditetapkan, percobaan di laboratorium untuk injektifitas CO2 untuk EOR perlu dilakukan dengan menggunakan contoh batuan dan minyak mentah serta simulasi kondisi reservoir. Hasil dari percobaan laboratorium ini akan menjadi spesifikasi dan perencanaan proyek percontohan yang memadai.

e. Lapangan minyak PERTAMINA yang dipilih sebagai tempat proyek percontohan yaitu MERBAU merupakan lapangan yang terlalu kecil dan tidak dapat memberikan data dan informasi yang cukup mewakili untuk memperluas proyek EOR dengan injeksi CO2. Ada beberapa lapangan di Sumatera Selatan yang dapat dipilih. Pemilihan lokasi proyek percontohan perlu mempertimbangkan lapangan yang terbaik untuk EOR dengan injeksi CO2, siapa yang sekarang mengoperasikan lapangan tersebut, status kontrak, dan siapa yang akan menanggung biaya dan risiko kegagalan.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 38

Page 50: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 3.1: Diagram Blok Kegiatan PPK dan Injeksi CO2 untuk EOR

Gambar 3.1 menunjukkan blok diagram sederhana dari kegiatan PPK dan EOR dengan injeksi CO2, seperti misalnya di Sumatera Selatan dimana CO2 diserap dari berbagai fasilitas, seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil, kilang minyak, proses pengilangan gas alam, dan instalsi gasifikasi batubara kandungan rendah (substitute natural gas –SNG plant), dan injeksi CO2 ke lapangan minyak dan gas untuk penyimpanan atau EOR dengan injeksi CO2.

3.4.1 Penyerapan CO2 dan Instalasi Proses Gas Alam

Tergantung pada kandungan CO2 dalam gas alam, ada beberapa proses penjernihan gas alam (menghilangkan H2S dan CO2) untuk mejadi gas yang dapat dialirkan ke pipa untuk bahan bakar:

1. Pelarut kimia;

2. Pelarut fisik; dan

3. Membran.

Proses penjernihan gas alam menggunakan berbagai alkanolamin (MEA, DEA, MDEA dsb) atau campuran dari bahan-bahan tersebut, adalah metoda yang paling sering dipakai. Apabila konsentrasi kandungan CO2 dalam gas alam tinggi, sistem membrane dapat lebih ekonomis. Pemakaian di industri dari membrane untuk menyerap CO2 dari gas alam dimulai sejak awal tahun 1980-an untuk unit kecil, dengan banyak parameter perencanaan yang tidak diketahui. Sekarang sudah menjadi teknologi yang matang dan memiliki keuntungan kompetitif daripada teknologi lainnya, termasuk penggunaan amine dalam kasus tertentu.

FASILITAS KILANG MINYAK

FAS. PENYERAPAN DAN PROSES CO2

FASILITAS PENERIMAAN CO2

FASILITAS CO2 EOR / SIMPAN CO2

FAS.PENYERAPAN DAN PROSES CO2

FASILITAS INFRASTRUKTUR

Penyerapan, pengolahan CO2 untuk transportasi melalui pipa, compression,

fasilitas kompresor CO2 Pembelian – Piemipaan – Penjualan CO2

Fasilitas Penerimaan CO2 1. Penyimpanan CO2 – GOI, penggunaan

EOR 2. Injeksi CO2 EOR – PERTAMINA/PSC

FASILITAS CO2 EOR /SIMPAN CO2

PIPA CO2

INSTALSI PROSES GAS BUMI

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 39

Page 51: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Keuntungan ini termasuk biaya kapital yang lebih rendah, instalasi mobil, biaya energi lebih rendah, dapat dipasang di daerah terpencil, seperti di lepas pantai, dan fleksibilitas tinggi. Dalam beberapa hal tambahan peralatan diperlukan, seperti kompresor dan/atau fasilitas dehidrasi untuk mengurangi kandungan air guna memenuhi peryaratan transporatasi gas. Teknologi pre-combustion, post combustion, atau oxy-fuel combustion dapat dilakukan untuk menyerap CO2 dari berbagai fasilitas penghasil CO2.

3.4.2 Transportasi CO2

CO2 dapat diangkut dalam tiga kondisi: gas, cair dan padat. Skala transportasi komersial dengan menggunakan tanki, pipa atau kapal dilakukan untuk karbon dioksida dalam bentuk gas dan cair.

Gas yang diangkut pada tekakan atmosfir memerlukan volume besar sehingga fasilitas yang sangat besar diperlukan. Gas akan memerlukan volume yang lebih kecil bila ditekan dan gas dengan tekanan tinggi diangkut melalui pipa. Volume dapat diperkecil dengan proses pencairan dan pemadatan atau hidrasi. Pencairan gas adalah teknologi untuk transporatsi gas dengan kapal yang sudah matang, seperti LPG dan LNG. Teknologi dan pengalaman yang sudah dimiliki inidapat dimanfaatkan untuk pengapalan CO2. Pemadatan gas memerlukan energi yang lebih besar daripada laternatif lainnya, dan kurang menarik dari segi biaya dan energi. Tiap teknologi yang sekarang dapat dipakai secara komersial saat inisudah dimanfaatkan untuk pengangkutan CO2.

Penelitian dan pengembangan hidrasi gas alam untuk menggantikan proses system LNG sedang dikembangkan, dan hasilnya mungkin dapat dipakai untuk pengangkutan CO2 melalui kapal laut. Pengangkutan gas melalui pipa dengan tekanan tinggi sudah dilakukan pada tekanan 10 dan 80 MPa.

3.4.3 Injeksi CO2 untuk Penyimpanan dan EOR

Injeksi CO2 untuk EOR dapat dilakukan melalui proses pelarutan dan non-pelarutan. Dalam proses pelarutan, CO2 bercampur dengan minyak, yang kemudian merubah karakteristik minyak dengan menurunkan viskositas, berat jenis dan saturasi minyak yang tersisa sehingga menaikkan mobilitas minyak. Dalam proses tidak larut, CO2 berfungsi mendorong minyak bumi ke sumur-sumur produksi seperti pada sistem injeksi air tanpa merubah sifat-sifat minyak.

Kedalaman reservoir untuk penyimpanan CO2 harus lebih dari 1,000 meter agar CO2 dapat dirubah menjadi cairan atau dalam kondisi superkritikal. Pada kondisi superkritikal (temperature 31.10C dan tekanan 72.9 atm), berat jenis CO2 menyerupai berat jenis minyak bumi sehingga dengan demikian dapat secara efektif mengisi rongga-rongga di batuan sedimentasi pada lapangan minyak dan gas bumi yang sudah terkuras.

LEMIGAS telah melakukan sebuah studi untuk menjaring lapangan-lapangan minyak dan gas di Landasan Sumatera Selatan untuk injeksi EOR dengan CO2 yang terlarut dan tidak terlarut dan untuk penyimpanan CO2. Garis besar hasil studi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sekitar 103 lapangan, terdiri atas 581 reservoar, telah dianalisa untuk memilih mana diantara lapangan-lapangan tersebut yang memenuhi criteria untuk injeksi

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 40

Page 52: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

CO2. Reservoar yang paling berhasil adalah dari formasi Talang Akar dan Baturaja.

2. Hasil penyaringan menunjukkan 18 lapangan sesuai untuk injeksi CO2 dengan proses non-pelarutan, 77 lapangan dengan proses pelarutan, dan 7 lapangan gagal dari penyaringan.

3. Kenaikan perolehan minyak dari EOR dengan injeksi CO2 sekitar 480.5 Juta Stok Barel.

4. Kapasitas penyimpanan CO2 sesudah perolehan minyak akhir dan tahap EOR diperkirakan 92 juta barel.

5. Data yang lebih rinci diperlukan untuk menghitung konsumsi CO2 di tiap lapangan dan strategi injeksi CO2.

Selanjutnya studi LEMIGAS memfokuskan pada sekuestrasi CO2 dan EOR di lapangan minyak dan gas bumi dalam radius 100 km dari Pendopo, di sebelah utara Palembang. Sebuah proyek gasifikasi batubara kalori rendah direncanakan akan dibangun di Pendopo untuk memproduksi “substitute natual gas” (SNG). Produksi CO2 akan dihasilkan dari instalasi ini yang harus dikelola dengan baik untuk pemanfaatannya dalam EOR dan penyimpanannya di lapangan minyak dan gas bumi di sekitarnya. Garis besar dan kesimpulan studi tersebut mencakup:

1. Berbagai sumber CO2 telah diidentifikasi dalam radius 100 km dari Pendopo;

2. Profile injeksi didefinisikan sebagai komulasi volume kotor CO2 yang diinjeksikan dibagai denganvolume penambahan produksi minyak sebagai hasil langsung injeksi CO2. Angkanya adalah 10.74 Msf/stb;

3. Dari 93 lapangan minyak, 20 lapangan mempunyai gravitas minyak antara 270 -480 API. Lapangan-lapangan minyak terdapat di tiga zona: utara, Tenggara dan Barat;

4. Lapangan A1 mempunyai ranking teratas menunjukkan bahwa lapangan ini cocok untuk EOR dengan injeksi CO2 dan penyimpanan CO2. Ranking kedua dan ketiga ditempati lapangan-lapangan minyak F dan E;

5. Kluster Barat dipilih untuk pengembangan awal pipa saluran karena kedekatannya dengan sumber CO2, kesediaan mitra usaha untuk melaksanakan EOR dengan injeksi CO2, dan lebih sedikitnya pengembangan infrasturktur yang harus dibangun pada awalproyek; dan

6. Potensi penyimpanan CO2 terbesar ada di Kluster Tenggara, 27 MtCO2. Total kapasitas seluruh Kluster mencapai 72 MtCO2 atau setara dengan kapasitas penyimpanan 4.5 MtCO2 per tahun untuk 13 tahun.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 41

Page 53: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Tabel 3.3: Berbagai Sumber CO2 di Sumatera Selatan

Source: Utomo P.Iskandar, LEMIGAS: The First In-depth Assessment of Carbon Capture Utilization and Sequestration for CO2 Management of South Sumatera SNG Plant

Tabel 3.4: Daftar 20 Lapangan Minyak Teratas Dilihat dari Kedekatan dan Tahap Aliran untuk semua Kluster

Sumber: Utomo P.Iskandar, LEMIGAS: The First In-depth Assessment of Carbon Capture Utilization and Sequestration for CO2 Management of South Sumatera SNG Plant

Sebelum memulai skala penuh EOR dengan injeksi CO2, disarankan untuk mengambil proyek percontohan (pilot project). Sebuah studi yang dilakukan LEMIGAS dibawah dukungan bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, BAPPENAS, dan Asia Development Bank tentang “Penentuan Potensi CCS di Asia Tenggara (Laporan Negara

CO2 Source Method CO2 (tons/year)

Power Plants (Multiple Sources) Fuel Combustion & Data Survey 2012 1,786,062

Petroleum Refinery (Single Source) Data Survey 2012 619,527

Gas Gathering Station (Single Source) Data Survey 2012 132,754

Cement Plant (Single Station) Data Survey 2012 500,760

Fertilizer Plant (Single Station) Data Survey 2012 2,506, 862

Low Rank Coal – Substitute Nat. Gas Data Survey 2012 4,500,000

Kluster On stream

Phase

Pering-kat La-pangan

Nama

La-pang

Jarak km Pendopo

OOIP

(MSTB)

Total CO2 Storage

(ton)

Add’l Oil Rec.

(MSTB)

Cum. Inj.

Per Phase

Mton/yr

Period Inj.

yr Tahun inj.

Utara 1 9 D5 48.3 237,946 3,130,974 11,897 1,68 10 1

5 D3 49.0 366,000 4,253,415 18,300 10

Utara 2 20 E8 62.9 43,210 713,691 2,161 3.02 10 3

2 F 69.7 273,300 865,347 32,796 10

11 H1 96.9 160,357 2,312,435 19,243 10

Utara 3 17 E1 70.2 92,550 1,239,534 11,106 0.83 10 4

8 D2 71.2 77,260 429,544 3,863 10

Barat 1 18 B 11.1 119,004 1,961,680 14,280 3.65 10 1

1 A1 13.8 902,405 18,441,682 45,120 10

4 D6 63.7 124,301 4,968,752 14,916 10

Barat 2 13 F9 80.7 25,910 729,936 3,109 0.17 10 2

Tenggara 1 15 D4 16.1 16,551 680,683 1,986 0.11 10 1

Tenggara 2 19 D 14.7 157,331 4,551,889 18,880 3.20 10 2

3 E 20.0 321,064 1,276,226 38,528 10

Tenggara 3 14 E10 36.6 96,000 1,600,541 11,520 0.64 10 3

Tenggara 4 12 H5 63.3 164,094 3,126,618 18,491 1.03 10 5

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 42

Page 54: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Indonesia), tertanggal September 2012, memberikan sebuah proposal untuk proyek pilot EOR dengan injeksi CO2 di Sumatera Selatan.

• Proposal proyek penyimpanan CO2 dan proyek percontohan EOR mengambil sumber gas CO2 dari Stasiun Pengumpul Gas Merbau (Merbau Gas Gathering Station – GGS) sebagai sumber CO2, dan lapangan-lapangan H1, F21, I2 dan I1, yang terletak sekitar 70 – 100 km dari GGS Merbau. GGS Merbau dapar mensuplai 0.15 megaton CO2 per tahun, yang cukup untuk komersialisasi operasi EOR dan lebih dari cukup untuk mensuplai proyek percontohan EOR dengan injeksi CO2 sebesar 50 – 100 tCO2/hari.

• Untuk proyek percontohan EOR dengan injeksi CO2, transportasi CO2 dapat dilakukan dengan truk atau kapal selama konstruksi jaringan pipa sedang dibangun dan hal ini dapat dipertanggung jawabkan untuk kapasitas rendah CO2.

3.4.4 Regulasi Yang Diperlukan untuk CCS dan EOR dengan Injeksi CO2

Untuk memungkinkan kegiatan Penyimpanan Karbon Dioksida and pemanfaatan CO2 untuk EOR sebagaimana disebut dalam paragraph diatas, kebijakan dan regulasi Penerintah dibutuhkan:

1. Standar Emisi Carbon Dioksida;

2. Penyerapan dan Pemprosesan CO2 Menjadi Gas Untuk Dialirkan Ke Pipa;

3. Transportasi Karbon Dioksida Melalui Jaringan Pipa Dan Truk;

4. Penyimpanan Carbon; dan

5. EOR Dengan Injeksi CO2.

Peraturan tentang Standar Emisi Karbon Dioksida atau Carbon Emission Standard (CES) telah dibicarakan pada Paragrap 3.3. Karena sumber emisi karbon tersebar meliputi kewenangan banyak kementerian, maka peraturan perundangan yang paling tepat adalah dalam bentuk Peraturan Presiden, dengan mengacu pada Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rancangan Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim; dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Inventori GRK. Peraturan perundangan ini diberlakukan hanya pada instalasi baru. Namun demikian fasilitas yang ada sekarang dan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan Standar Emisi Karbon Dioksida (SEK) hendaknya diberikan stimulus untuk membuat emisinya sejalan dengan SEK dalam waktu tertentu.

Penyerapan CO2 dan pemrosesannya menjadi gas CO2 untuk disalurkan ke jaringan pipa gas, pengangkutan darat dengan truk dan sarana transportasi gas lainnya perlu diatur dalam peraturan Menteri ESDM dengan memperhatikan Standar Emisi Karbon Dioksida. Pemprosesan gas CO2 dan transportasi gas melelui pipa perlu diatur dibawah pertauran Menteri ESDM, seperti peraturan tentang transportasi gas melalui pipa.

Selama ini tidak ada kepemilikan atas emsi CO2 diudara. Namun Pemerintah telah memutuskan untuk menyerap emisi CO2 dan menyimpannya sehingga Pemerintah dapat mengkalim kepemilikan CO2. Penyerapan dan penyaluran gas CO2 ke lapangan minyak

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 43

Page 55: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

dan gas bumi untuk dismpan dan diguanakan untuk EOR dengan injeksi CO2 dapat ditenderkan ke pihak ketiga. Fasilitas penghasil emisi CO2 yang memenuhi Standar Emisi Karbon Dioksida tidak seharusnya dibebani dengan biaya operasi untuk menyerap karbon dioksida dan fasilitas terkait lainnya, termasuk untuk mensuplai kebutuhan tenaga listrik, apabila mereka telah memenuhi standar limit CO2..

Model Production Sharing Contract pada dasarnya hanya mencakup produksi primer dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan tentang lingkungan yang berlaku., namun tidak ada standar limit untuk emisi CO2. Beberapa lapangan minyak dan gas menghasilkan gas ikutan dan gas alam yang dapat mengandung CO2 melebihi 20% berdasarkan berat. Sebelum disalurkan ke pipa sebagai bahan bakar, kandungan CO2 harus dikurangi hingga 2-3% untuk memenuhi kualitas gas dan gas CO2 yang diserap di instalasi pemurnian gas dibuang ke udara atau dicampur dengan air buangan.

Untuk penyimpanan CO2 di lapangan minyak dan gas bumi, Pemerintah dan operator terkait dapat membuat amandemen kontrak production sharing untuk mencakup injeksi CO2 guna penyimpanannya ke dalam reservoir di lapangan minyak dan gas bumi mereka. Amandemen Production Sharing Contract tersebut mencakup pengembalian biaya (cost recovery), liabilitas, dan termin dan kondisi lain terkait dengan operasi penyimpanan karbon.

Untuk pemanfaatan CO2 dalam kegiatan EOR, Pemerintah dan kontraktor production sharing dapat membuat amandemen kontrakt production sharing yang mencakup antara lain namun tidak terbatas pada harga CO2 pada titik transfer kepemilikan, spesifikasi CO2, pembagian hasil produksi (split) EOR, dan program insentiff lainnya. Kami tidak merekomendasikan EOR split didasarkan pada penambahan produksi minyak terhadap suatu garis dasar (base line), namun suatu split yang didasarkan atas produksi primer dan split lain yang didasarkan atas proyeksi perolehan EOR. Hal ini untuk menghindari perbedaan pendapat di dalam penetapan “base line” dikemudian hari. Sebagai contoh, untuk EOR di Lapangan Duri dengan sistem injeksi uap, 10% dari total produksi setelah di injeksi uap dianggap sebagai hasil produksi primer dan dikenakan rasio bagi hasil 88:12 dan 90% produksi adalah hasil injeksi uap dan dikenakan bagi hasil 85:15.

3.5 Analisa Biaya dan Keuntungan CCS

Studi yang dilakukan LEMIGAS dibawah dukungan Kementerian ESDM, BAPPENAS, dan Asian Development Bank tentang ““Determining the Potential for Carbon Capture and Storage in Southeast Asia (Indonesia Country Report)”, tertanggal September 2012, memberikan proposal untuk melakukan proyek percontohan EOR dengan injeksi CO2 di Sumatera Selatan dengan analisa keekonomian awal untuk CO2 dari MERBAU GGS ke lapangan minyak dan gas bumi disekitarnya.

Asumsi pokok dari analisa awal tersebut adalah sebagai berikut:

• Harga minyak USD 90/barel;

• Biaya pengangkatan minyak USD 10/barel;

• Biaya CO2 = USD 9 per barel;

• First Trance Petroleum 10% non-sharable;

• Bagian Pemerintah 0.7321;

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 44

Page 56: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

• Bagian Kontraktor PSC 0.2679;

• Domestic Market Obligation 25%;

• Domestic Market Obligation share 25%;

• Pajak 44%;

• Revenue perdagangan CO2 menjadi bagian Kontraktor PSC;

Hasil analisa keekonomian tersebut disampaikan pada tabel berikut:

Tabel 3.5: Kekonomian Proyek Awal - Pilot Project PPK Merbau GGS

NO PARAMETER UNIT BASE CASE (PSC)

PESSIMISTIC MODERATE OPTOMISTIC

1 a b c

CAPITAL EXPENDITURE Capital Non-Capital Total Expenditure

MUS$ MUS$ MUS$

11,825 3,563 15,388

32,223 9,754 41,977

133,959 40,551 174,510

2 a b

LIFTINGS Incremental Oil Oil Price

Mbbl US$/Bbl

5,000

90

5,000

90

5,000

90 3 a b

GROSS REVENUE First Tranche Petroleum Investment Credit

MUS$ MUS$ MUS$

450,000 45,000

0

450,000 45,000

0

450,000 45,000

0 4 GROSS REVENUE AFTER FTP MUS$ 405,000 405,000 405,000 5 a b c c e

COST RECOVERY Operating Cost 1. Lifting Cost 2. CO2 Price (US$/ton x Ton CO2 Inj. Depreciation Non Capital Total Cost Recovery CR/GR

MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ %

50,000 34,551 11,825 3,563 99,939 22.2

50,000 34,551 32,223 9,754 125,528

28.1

50,000 34,551 133,959 40,551 259,061

57.6 6 EQUITY TO BE SPLIT MUS$ 305,061 278,472 135,939 7 a b c d e f

INDONESIA SHARE GOI Share GOI Share from FTP Domestic Requirement Government Tax Entitlement Total Indonesia Share GOI/GR

MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ %

233,348 45,000 15,321 29,212 312,882

69.5

203,881 45,000 13,986 26,666 289,533

64.3

106,848 45,000 7,330

13,975 179,353

38.5 8 a b b c d e f g

CONTRACTOR SHARE Contractor Equity Share Contractor Equity Share from FTP Gross Domestic Requirement Domestic Requirement Adjustment Taxable Share Government Tax Entitlement Net Contractor Share Cont./GR

MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ MUS$ %

81,713

0 20,428 5,107 66,392 29,212 17,179

8.3

74,591

0 18,648 4,662 60,605 26,666 33,939

7.5

39,091

0 9,773 2,443

31,761 13,975 17,786

4.0 9 FISCAL CONDITION FTP 10%, No Shere

Investm. Credit 0% GOI: Cont 85:15

FTP 10%, No Shere Investm. Credit 0% GOI: Cont 85:15

FTP 10%, No Shere Investm. Credit 0% GOI: Cont 85:15

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 45

Page 57: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

NO PARAMETER UNIT BASE CASE (PSC)

PESSIMISTIC MODERATE OPTOMISTIC

DMO 25% DMO Fee 25% Tax 44%

DMO 25% DMO Fee 25% Tax 44%

DMO 25% DMO Fee 25% Tax 44%

10 REFERENCES Snovit CO2 Storage Project Cost Sleipner CO2 oper-ating cost

California Reservoir CO2 Storage Project Cost East Texas Reserv. CO2 Storage Proj. Cost Sleipner CO2 oper-ating cost

California Reservoir CO2 Storage Project Cost Sleipner CO2 oper-ating cost

Pessimistic = Low Capital Investment; Moderate = Mid Capital Investment; Optimistic = High Capital Investment

Sumber: LEMIGAS – “Determining the Potential for Carbon Capture and Storage in Southeast Asia – Indonesia Country Report”, September 2012

Analisa awal keekonomian menyimpulkan sebagai berikut:

1. Harga minyak yang lebih tinggi akan menaikkan bagian Kontraktor dan Bagian Pemerintah, sedangkan kenaikan EOR split dan Kredit Investasi hanya menaikkan Bagian Kontraktor. Dalam hal harga minyak rendah, Kontaktor sebagai pihak yang memberikan pendanaan akan mengalami sebagian besar kerugian;

2. Suatu ratio antara Net Bagian Kontraktor dan Bagian Pemerintah terhadap Revenue Bruto perlu diputuskan untuk membuat PPK proyek di Indonesia layak;

3. Paket Insentif 1992 yang memasukkan Kredit Investasi dan Paket Insentif 1994 untuk EOR dapat memberikan keuntungan pada pelaksanaan proyek PPK di Indonesia;

4. Analisa keekonomian ini menentukan nilai impas (break even point) keekonomian pada harga minyak USD 60/barel; dan

5. Diusulkan adanya kebijakan dan peraturan perundangan yang menghubungkan proyek PPK dengan sumber pendanaan dari luar.

Studi ini merekomendasikan tiga tahapan pengembangan komersial proyek PPK. Setelah proyek percontohan (pilot project) berhasil, dilakukan Proyek Demosntrasi sebelum dilakukan Proyek Komersial skala penuh dilakukan.

PILOT

Tahap I 50 – 100 ton CO2 per hari diinjeksikan kedala beberapa sumur secara kontinu selama satu bulan. Pengetahuan tentang kinerja reservoir untuk mendukung pendanaan dan mendesain Proyek Demonstrasi (Demonstration Project).

DEMONSTRATION

Tahap 2 Injeksi CO2 dalam jumlah besar ke banyak sumur selam beberapa tahun. 500 – 2,700 ton CO2 per hari atau lebih diinjeksikan ke sumur selama 10

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 46

Page 58: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

tahun. Konfirmasi untuk injeksi penyimpanan CO2 jangka panjang untuk dukungan pendanaan dan konstruksi sedikitnya satu (1) proyek penuh untuk opersai komersial.

KOMERSIAL

Tahap 3 Jumlah CO2 yang lebih besar dari beberapa sumber emisi CO2 disimpan di lebih banyak lokasi selama jangka waktu Panjang. 2,700 – 30,000 ton CO2 per hari diserap dan disimpan selama lebih 20 tahun. Menyerap dan menyimpan sejumlah CO2 untuk mengurang emisi CO2 secara substansial.

3.6 Pendanaan Proyek CCS dan Praktek Pendanaan Terbaik

Studi LEMIGAS tersebut juga memberikan suatu pandangan tentang biaya PPK yang terdiri atas:

1. Biaya Modal (Capital Cost – CAPEX), yang mencakup peralatan dan system untuk memisahkan, menekan, transportasi melalui pipa, injeksi dan monitor CO2 untuk jangka panjang tertentu di tempat penyimpanannya. Biaya ini juga termasuk biaya pemilik terkait dengan tanah yang harus dibeli, fasilitasi masalah legal, aplikasi perizinan, dan biaya pengembangan lainnya; dan

2. Biaya operasi dan pemeliharaan (OPEX) mengacu pada biaya yang terjadi selama produksi, transportasi, injeksi, monitoring. Termasuk juga didalamnya biaya bahan bakar, sumber daya manusia, biaya konsumpif dan biaya pemeliharaan. Biaya operasi dapat selanjutnya dirinci dalam tiga komponen: Biaya Tetap Operasi dan Pemeliharaan (FOM), Biaya Variabel Operasi dan Pemeliharaan (VOM) dan Biaya Bahan Bakar (FC).

Sumber CO2 disasumsikan Merbau GGS di daratan, dengan skala penuh proyek PPK pada ukuran nominal dari kasus pemprosesan gas CO2 sebesar 1 Mt CO2/tahun. Kapasitas ini mengimbangi ukruan yang direkomendasikan untuk sebuah unit demonstrasi. Biaya per unit proyek pilot dan proyek demonstrasi akan lebih tinggi karena pembatasan skala keekonomian.

Tabel 3.6 menunjukkan biaya modal dan opersiaonal untuk kasus pemprosesan gas.

Tabel 3.6: Asumsi Biaya CO2 untuk Instalasi Pemprosesan Gas

Biaya Modal Instalasi Carbon Capture $ MM 167

Jaringan Pipa

Panjang pipa, volume km, inch 150, 10

Biaya konstruksi pipa $/inch.km 51.300

Sumur injeksi di saline aquifer Jumlah 2

Biaya konstruksi off-shoe $ MM/well 7

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 47

Page 59: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Biaya pemeliharaan Penyimpanan $ MM/y-well 1

Biaya Operasi

CO2 compression power $ MM/year 5

Fixed OPEX $ MM/year 1

Variable OPEX $ MM/year -

Pipeline Maintenance $ MM/year 3

CO2 storage operating cost $ MM/year 3

Biaya total per tahun $ MM/year 12

Untuk biaya EOR, asumsi berikut digunakan untuk kasus dasar (base case):

1. Gravity/basis differentials, production, tax, royalties etc. $ 15/bbl

2. Depresiasi $7.50/bbl/well/lease

3. O& M $ 12 / bbl

4. Pre-tax margin yang dibutuhkan 40%

5. Ratio injeksi CO2 per barrel t=ambahan EOR: 0.32 t CO2/bbl

Studi ini mengasumsikan bahwa harga maximal yang produsen MIGAS mau membayar CO2 untuk EOR diberikan dengan rumusan berikut:

Keinginan Membayar CO2 untuk EOR [$ per ton CO2 yang diinjeksikan) =

[Poil – {Poil *PROFITPT} + Biaya EOR}] / Produk Yang di Injeksikan

Dimana:

1. Poil = harga pasar minyak ($/barel);

2. PROFITPT = Batas keuntungan sebelum pajak yang dibutuhkan produsen [%];

3. Biaya EOR = Biaya EOR [$/barel] yang diperoleh dari jumlah (a) Gravitasi/ basis diferensial, produksi, pajak, royalty; (b) depresiasi dan operasi; dan (c) pemeliharaan dari sumur;

4. Produk yang di injeksikan = produktivitas injeksi CO2 yang dibutuhkan per barel minyak yang diproduksi [ton CO2/barel];

Studi tersebut mengasumsikan 40% sebagai batas keuntungan sebelum pajak. Biaya EOR diambil US $ 35/barel. Tim studi menggunakan asumsi dibutuhkan 0.32 ton CO2 / barel produksi minyak dari EOR;

Biaya rata-rata utnuk penyerapan CO2 pada fasilitas pemurnian gas tanpa EOR adalah US$ 28/t CO2 yang diserap dan disimpan. Biaya rata-rata ini terdiri atas biaya-biaya kompresor dan pengeringan CO2 yang diserap $ 11/t CO2, pemipaan CO2 $ 11/t CO2 dan sumur injeksi $ 6/t CO2. Untuk EOR dengan injeksi CO2 biaya rata-rata tersebut turun menjadi $

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 48

Page 60: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

22/t CO2 karena biaya penyimpanan CO2 akan ditanggung oleh operator. Nilai kredit tersebut untk harga minyak $ 70/barel menjadi $ 0.32/t CO2/barel; and

Sumber pendanaan untuk Proyek Pilot CCS dari Merbau GGS hendaknya dapat diperoleh dari Pemerintah dan institusi keuangan, termasuk dana bantuan dari Pemerintah Indonesia melalui bilateral atau multi-lateral institusi terkait dengan proyek-proyek perubahan iklim, badan kredit ekspor, atau bantuan dana kesejahteraan. Untuk pemanfaatan CO2 dalam EOR, biaya modal incremental dan biaya operasi dapat dibebankan kepada operator lapangan dengan mekaisme “cost recovery” dibawah Production Sharing Contract.

Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang didirikan pada tahun 2009 untuk memfasilitasi akses terhadap pendanaan dari sumber dana internasional untuk biaya adaptasi terhadap perubahan iklim dan mitigasinya. ICCTF juga mendukung investasi untuk komunitas yang terkena dampak pencemaran lingkunan yang sangat parah dan berencana untuk berinvestasi pada kegiatan yang menghasilakan revenue.

Untuk implementasi PPK dari Merbau GGS, kami merekomendasikan untuk menugaskan PT Perusahaah Gas Negara (TBK) (PGN) untuk mengelola konstruksi dan operasi Penyerapan CO2, pemprosesan CO2 menjadi gas jenuh, kompresi gas CO2 dan pemipaannya ke lokasi penyimpanan CO2. PGN dapat mencari mitra yang kompeten dari negara (Negara-negara) pendana untuk melakukan Enjiniring, Pengadaan dan Konstruksi untuk penyerapan dan transportasi gas CO2 melalui pipa.

Untuk injeksi CO2 guna kebutuhan EOR, kami merekomendasikan untuk menugaskan operator lapangan, dalam hal ini PT PERTAMINA (Tbk) yang akan menugaskan unit bisnisnya untuk melakukan pengembangan lapangan untuk injeksi CO2 dalam kegiatan EOR. Proyek ini dapat disalurkan melalui pengaturan Kontrak Kerjasama (Prodution Sharing Contract) yang ada, dan didukung oleh perjanjian bilateral untuk mendapatkan pendanaan dengan bunga lunak dari ADB, World Bank, dan lain-lainnya. Program stimulus yang tepat dapat diperkenalkan dalam amandemen PSC untuk proyek pilot, demonstrasi maupun proyek EOR skala penuh.

Mekanisme stimulus yang sederhana dapat berupa kredit investasi sebagaimana diberlakukan pada perjanjian Production Sharing generasi kedua (sesudah tahun 1977). Kredit investasi tersebut dapat berupa persentase tertentu untuk biaya investasi modal yang lengsung diperlukan untuk pengembangan proyek, termasuk sumur, kepala sumur dan peralatan dibawah tanah, dan fasilitas injeksi dan produksi.

Mekanisme insentif tambahan didasarkan atas kenaikan produksi, yaitu produksi minyak diatas suatu garis dasar produksi (base line) yang telah disetujui bersama, yang merupakan produksi minyak primer (tanpa EOR). Incentive dapat berupa member harga minyak untuk memnuhi pasar domestik dengan harga minyak dunia, misalkan untuk 5 (lima) tahun pertama. Pengalaman menunjukkan bahwa negosiasi untuk mencapai persetujuan produksi dasar (base line) memerlukan waktu yang berkepanjangan dan biaya, sehingga menunda penyelesaian proyek.

Perlu dicatat bahwa berdasarkan cara-cara EOR yang sudah berhasil secara komersial, injeksi uap mempunyai peluang keberhasilan yang cukup tinggi, sistem pengalihan dengan pelarutan minyak dalam fluida tertentu dapat berhasil pada kondisi tertentu dan system injeksi CO2 (dengan metoda pelarutan atau miscible) masih suatu tanda Tanya, meskipun mempunayi potensi. Semua metodologi EOR adalah operasi dengan margin rendah dalam keadaan terbaik. Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 49

Page 61: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

4. KAJIAN TERHADAP INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI INDONESIA

Dalam menanggapi isu perubahan iklim, Industri Minyak dan Gas terus melakukan inisiatif dalam pengendalian Gas Rumah Kaca. Upaya yang dilakukan antara lain inventarisasi sumber emisi, dan perhitungan serta pelaporan secara berkala dari beban emisi Gas Rumah Kaca. Selain itu, inisiatif mitigasi perubahan iklim termasuk pengembangan energi baru dan terbarukan, konservasi energi, proyek mekanisme pembangunan bersih (CDM), teknologi produksi bersih, dan pengembangan produk untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Secara umum, emisi Gas Rumah Kaca terutama berasal dari peralatan yang digunakan dalam kegiatan produksi, pembakaran gas dalam kegiatan di hulu dan kilang minyak.

4.1 Permasalahan Gas Rumah Kaca dalam Kegiatan Hulu Minyak dan Gas

4.1.1 Pembakaran

Isu-isu Gas Rumah Kaca di industri hulu minyak dan gas di Indonesia terutama terkait dengan pembakaran gas dan dalam beberapa kasus pembuangan gas ikutan. Pembakaran gas masih tetap merupakan masalah.

Pengurangan langsung emisi gas rumah kaca dalam kegiatan usaha hulu dapat dicapai dengan mengurangi gas yang dibakar, dimana gas ikutan yang sebelumnya dibakar atau dibuang ke atmosfer sekarang dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik atau dikomersialkan melalui berbagai cara.

Perkiraan saat ini yang menunjukkan bahwa 25-30 persen dari semua kegiatan pembakaran di Asia Tenggara terjadi di dan sekitar Indonesia, adalah signifikan mengingat bahwa Indonesia hanya menyumbang sekitar 12 persen dari seluruh produksi minyak di wilayah tersebut. Namun, pembakaran emisi di Asia Tenggara telah menurun dengan cukup tajam; perkiraan Oceanic and Atmospheric Administration Nasional AS (NOAA) saat ini menunjukkan penurunan sekitar 5 persen per tahun dari tahun 2000 sampai 2004. Pada tahun 2005, data terbaru yang tersedia, menunjukkan bahwa pembakaran gas di Indonesia diperkirakan sekitar 2.3 miliar meter kubik (bcm) per tahun5).

Mengurangi pembakaran dengan menerapkan program tidak ada pembakaran (zero flaring) dapat mengurangi 2 MtCO2e dengan biaya relatif lebih tinggi 28 USD per ton CO2e. Pengurangan yang relatif kecil adalah hasil dari pengurangan signifikan emisi pembakaran yang telah diantisipasi dalam skenario bisnis-seperti-biasa (saat ini 5 persen per tahun). Dalam waktu dekat, penyerapan dan penyimpanan karbon dapat memberikan peluang pengurangan yang signifikan untuk sektor minyak bumi dan gas. Namun, penyebaran teknologi ini masih terbatas dan struktur biayanya belum diketahui.

4.1.2 Gas CO2 Ikutan Dalam Produksi Gas dan Minyak

Penanganan gas CO2 dalam jumlah besar berasal dari sumur-sumur baru yang terkait dengan produksi gas alam atau produksi minyak dan gas akan merupakan masalah di masa depan. Kandungan gas CO2 bervariasi dari lapangan ke lapangan. Di Sumatera Selatan kandungan CO2 dalam gas yang diproduksikan rata-rata berkisar antara 3 sampai 10%. Jumlah gas ikutan yang dibakar atau dibuang ke atmosfir relatif kecil. Di Riau kandungan CO2 dalam gas yang diproduksikan rata-rata 24%. Sarana pengolahan gas alam mengolah

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 50

Page 62: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

gas ikutan menjadi gas untuk bahan bakar dengan kandungan CO2 yang telah berkurang menjadi sekitar 3% melalui “amine process”. Di lapangan gas Natuna D Alpha kandungan CO2 diperkirakan 70%. Dalam rencana, gas akan diproses dalam “treating plant” dimana CO2 dipsahkan untuk diinjeksikan kembali kedalam reservoar.

4.1.3 Pemisahan Karbon dan Potensi CO2 untuk EOR

Industri hulu minyak di Indonesia memiliki kapasitas yang cukup besar untuk menyimpan CO2 dan menggunakan CO2 dalam operasi enhanced oil recovery (EOR) untuk menguras sisa minyak dalam reservoir. LEMIGAS, telah melakukan studi geologi dan reservoir mengenai potensi CO2 di Indonesia untuk dimanfaatkan dalam Enhanced Oil Recovery dan menyimpan Carbon yang telah dipisahkan. Studi ini menunjukkan bahwa Cekungan Sumatera Selatan mempunyai potensi reservoir minyak dan gas untuk CCS dan CO2 EOR usaha dengan yang ada dan dekat sumber CO2 masa depan dan infrastruktur pipa gas.

Penggunaan karbon dioksida (CO2) dalam enhanced oil recovery (EOR) untuk meningkatkan cadangan minyak yang dapat diproduksikan membuka peluang unik yang dapat memperpanjang penggunaan infrastruktur minyak dan gas yang ada sambil memberikan solusi meningkatnya permintaan bahan bakar fosil, perubahan iklim dan komitmen untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK). Pelaksanaan proyek-proyek tersebut membutuhkan penyelarasan kepentingan komersial sepanjang rantai nilai CO2 yang lengkap dan penciptaan insentif yang dapat melampaui batas-batas internasional.

Untuk mengatasi masalah-masalah ini diperlukan adanya dialog antara sektor industri minyak dengan tiga badan pemerintahan (keuangan, energi dan lingkungan). Parameter kunci yang menfasilitasi adalah harga minyak di pasar, harga CO2 yang diserahkan dan insentif yang diberikan oleh pemerintah. Jenis dan besarnya insentif inilah yang akan menarik para pihak untuk bersama-sama mewujudkannya sebanyak mungkin potensi tambahan minyak. Tidak ada solusi komersial lainnya yang memiliki potensi untuk mengurangi emisi CO2 sebanyak yang dipergunakan untuk EOR.

Untuk mendorong penggunaannya Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dalam kerangka Kontrak Bagi Hasil untuk mendorong penyerapanan CO2 dan penyimpanan untuk EOR. Mekanisme insentif dapat mengambil banyak bentuk. Dari pengalaman CO2 di Amerika Serikat selama 30 tahun terakhir, insentif telah dalam bentuk kredit pajak pemerintah federal dan tunjangan dari negara-negara khusus yang telah menciptakan insentif yang diperlukan untuk merintis produksi minyak tersier dengan CO2. Pemberian kredit pajak investasi 15% sampai 25% telah membantu mengurangi kesulitan investasi besar dan pembelian CO2 yang diperlukan sebelum tambahan produksi minyak dapat direalisasikan.

Di Indonesia, insentif dapat berbentuk kredit investasi dan/atau kenaikan produksi minyak, yang merupakan produksi diatas produksi dasar yang disepakati atau kurva penurunan. Sementara penerapan kurva ini sulit ditentukan untuk ladang minyak baru, mereka mudah dipahami dan sudah diberikan kepada pemerintah kepada ladang minyak yang ada. Selain itu, berdasarkan pengalaman Indonesia di tahun 1970 dan 1980-an, negosiasi untuk mencapai kesepakatan produksi dasar ini dapat memakan waktu dan mahal, yang mengakibatkan keterlambatan dalam memulai proyek. Ketidakkesepakatan tersebut mencakup berbagai isu, mulai dari metodologi, peralatan dan penentuan parameter reservoir, cadangan yang dapat diambil dan batas keekonomian.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 51

Page 63: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Singkatnya, terdapat tantangan untuk menggunakan CO2 dalam enhanced oil recovery di Indonesia. Tantangannya tampak jelas; untuk menghadapi biaya produksi tambahan, insentif harus diberikan untuk mengimbangi peningkatan biaya. Selain itu, posisi kompetitif industri minyak Indonesia telah menurun selama bertahun-tahun, terutama karena faktor-faktor komersial/bisnis dan bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa kecenderungan negatif akan berubah tanpa adanya perbaikan yang berarti dalam pengembalian modal investor. Hal ini bersama dengan adanya tindakan Pemerintah Indonesia dan waktu lama yang diperlukan untuk meningkatkan usaha oil recovery harus menjadi salah satu poin utama upaya perbaikan untuk mengumpulkan CO2 dan menyimpannya untuk EOR. Program yang juga penting adalah perbaikan iklim investasi untuk industri minyak, yang telah memburuk selama bertahun-tahun.

Perlu dicatat bahwa termin PSC Indonesia telah dirancang untuk produksi minyak primer dengan obyektif untuk memaksimalkan pendapatan Pemerintah. Termin PSC Indonesia sekarang termasuk membatasi perolehan biaya kembali per tahun tidak lebih dari 85% dari perolehan bruto dan keharusan kontraktor untuk mensuplai kebutuan pasar dalam negeri (domestic market) pada 10% harga pasar minyak. Pembatasan pengembalian biaya akan menyebabkan disinsentif untuk proyek EOR karena dibutuhkan modal awal yang cukup besar. Karena itu suatu insentif atau stimulus diperlukan untuk memperbaiki keekonomian proyek perolehan minyak tersier yang melibatkan proses yang lebih kompleks, memerlukan modal besar dan mempunyai risiko tinggi. Untuk Indonesia, kebutuhan untuk memaksimalkan perolehan minyak dengan aplikasi teknik peningkatan perolehan adalah kritis untuk mengimbangi upaya-upaya eksplorasi.

Proyek ekstaksi dan produksi sumber daya alam dapat mencakup biaya miliaran dolar dan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menghasilkan pengembalian modal. Indonesia tetap tergantung pada investasi asing agar supaya dapat mempromosikan pertumbuhan di sektor-sektor terkait dan dapat mengintegrasikan ke perekonomian global. Ketidakpastian atau dis-insentif yang tercipta dengan perubahan peraturan perundangan untuk menaikkan bagian Pemerintah di sektor sumber daya alam mungkin dapat menimbulkan masalah untuk investasi asing jangka panjang. Pemerintah harus berhati-hati terhadap anggapan sebagai tidak dapat diduga dan tidak dapat dipercaya. Sedikit perusahaan yang bersedia terlibat untuk investasi jangka panjang di Negara yang menawarkan iklim usaha yang tidak dapat diramalkan dimana kebijakan fiskal terus menerus berubah. Mengingat kegiatan sumber daya alam Indonesia diharapkan meningkat di puluhan tahun kedepan, stabilitas politik dan catatan konsistensi tatakelola yang baik, secara nasional dan di sektor sumber daya alam tidak dapat dilupakan dalam upaya mencapai keamanan pengembangan ekonomi jangka panjang yang menggairahkan.

Karena itu, stimulus ekonomi diperlukan untuk menarik modal berisiko guna mempromosikan kajian percobaan (pilot test) dan penerapan teknik EOR.

4.2 Masalah Gas Rumah Kaca di Industri Hilir Minyak dan Gas

Masalah Gas Rumah Kaca di industri hilir minyak dan gas terutama dalam hal pengembangan energi baru dan terbarukan, konservasi energi, proyek-proyek mekanisme pembangunan bersih (CDM project), teknologi produksi bersih, dan pengembangan produk untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 52

Page 64: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Sektor minyak dan gas memiliki kesempatan untuk mengurangi emisi sampai sebesar 30 persen pada tahun 2030 melalui upaya yang difokuskan di tiga bidang pengurangan emisi, yaitu: meningkatkan pemeliharaan dan pengendalian proses, program efisiensi energi, dan mengurangi pembakaran gas/flaring.

Peningkatan pemeliharaan dan pengendalian proses di subsektor produksi dan pengilanganminyak dapat menghasilkan pengurangan emisi paling sedikit 7 MtCO2e 5)danpositif net-profit(-103 USD per tCO2e), yang berarti adanya penghematan yang signifikan selama masa pengurangan emisi. Program khusus dalam hal ini termasuk program konservasi, program kesadaranenergi, dan langkah-langkah untuk mengurangi penumpukan kotoran di dalam pipa, optimasisumur dan tekanan separator, dan optimasi cadangan energi putar dari peralatan berputar.

Pelaksanaan program efisiensi energi dapat memberikan tambahan pengurangan emisi sebesar 27 MtCO2e dengan biaya negatif (untuk program efisiensi energi) atau biaya yang tidak terlalu tinggi (untuk implementasi unit cogeneration). Meskipun peningkatan efisiensi energi yang diidentifikasi dalam kategori ini membutuhkan biaya investasi yang tinggi, namun penghematan biaya operasional yang signifikan dapat diperoleh melalui pengurangankebutuhan energi.

Efisiensi dicapai melalui instalasi peralatan untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi emisi. Di kilang minyak, efisiensi penggunaan bahan bakar dan pengurangan pembakarangasdi flare adalah langkah yang diupayakan. Dalam kegiatan pemasaran, pengurangan emisi GRK dilakukan melalui penataan ulang fasilitas kilang dan pipa distribusi, serta perubahan pola distribusi menuju operasi yang lebih efisien dan pengurangan emisi GRK. Di Pertamina, Total pengurangan emisi GRK pada tahun 2012 adalah sebesar 512.337 ton CO2e.

4.2.1 Produk-Produk dengan Emisi Gas Rumah Kaca Rendah

Upaya PERTAMINA untuk secara tidak langsung mengurangi emisi gas rumah kaca juga mencakup pengembangan produk dengan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah dibandingkan dengan produk konvensional. Produk-produk unggulan Pertamina dengan tingkat emisi gas rumah kaca yang lebih rendah diantaranya paket konversi Minyak Tanah ke LPG 3kg yang memiliki pembakaran yang lebih bersih dari minyak tanah, Refrigerant Musicool, Produk Bahan Bakar Gas, Envogas dan Vigas yang lebih efisien dan lebih bersih daripada bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor, dan juga produk Biofuel.

4.2.2 Proyek-Proyek Langit Biru

Proyek Langit Biru memungkinkan Kilang PERTAMINA Unit Cilacap untuk menghasilkan lebih banyak komponen High Octane Mogas Component (HOMC) yang diperlukan untuk produksi bahan bakar dengan angka oktan92, dan juga mengurangi kandungan benzene ke tingkat yang dibutuhkan oleh standar emisi EURO IV. Proyek ini juga akan mengurangi impor HOMC yang digunakan untuk kebutuhan bahan bakar dalam negeri.

Proyek Langit Biru Cilacap mendapat persetujuan anggaran pada tahun 2011, diikuti oleh proses integrasi desain enjiniring dan tender EPC(Engineering, Procurement & konstruksi) pada tahun 2012. Pekerjaan EPC dijadwalkan mulai pada akhir tahun 2013, dan saat ini proyek masih berlangsung.Proyek Langit Biru Cilacap merupakan proyek kedua setelah dilakukannya proyek yang sama di Kilang Unit VI Balongan pada tahun 2005.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 53

Page 65: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

4.2.3 Potensi Proyek Gas Rumah Kaca di PERTAMINA Refinery Unit II (RU II) Dumai

Pertamina Refinery Unit II (RU II) Dumai terdiri dari 2 (dua) kilang, yaitu: Kilang Dumai dengan kapasitas 130.000 barel per hari dan Kilang Sei Pakning dengan kapasitas 50.000 barel per hari.

Kilang Dumai dibangun pada tahun 1969, memiliki 14 unit pengolahan dan dua unit penunjang. Kilang Dumai terdiri dari kilang lama dan kilang baru.

Kilang lama terdiri dari tiga unit proses, yaitu Unit Topping/ Unit Crude Distilling (CDU), Unit Naphtha Rerun (NRU), dan Unit Hydrobon Platforming (Platforming I).Kilang baru merupakan perluasan dari Kilang lama yang dibangun pada tahun 1981. Pengoperasiannya diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 16 Februari 1984. Kilangbaru terdiri dari 11 unit pengolahan, yaitu Unit High Vacuum (HVU), Unit Delayed Coking (DCU), Unit Hydrocracking(HCU), Unit Naphtha Hydrotreating (NHDTU), Unit CCR platforming, Unit Distillate Hydrotreating (DHDTU), Unit Amine & LPG Recovery, Hydrogen Plant, Nitrogen Plant, dan Sour Water System. Sedangkan dua unit penunjang produksi adalah : Instalasi Tanki dan Pengapalan, dan Unit Utilitas.

Sedangkan Kilang Sei Pakning terletak di tepi pantai Sungai Pakning dengan areal seluas 40 hektare. Kilang minyak ini dibangun pada November 1968 oleh Kontraktor REFICAN Ltd. (Refining Associates Canada Limited). Selesai dibangun dan mulai berproduksi pada bulan Desember tahun 1969. Pada awal beroperasi dengan kapasitas produksi 25.000 barel per hari. Pada September tahun 1975, seluruh operasi Kilang Sei Pakning beralih dari REFICAN kepada PERTAMINA.

Selanjutnya kilang ini mulai mengalami penyempurnaan secara bertahap sehingga kapasitas produksinya dapat lebih ditingkatkan lagi. Pada akhir tahun 1977 kapasitas produksi meningkat menjadi 35.000 barel per hari dan pada bulan April tahun 1980 naik menjadi 40.000 barel per hari. Kemudian mulai tahun 1982 kapasitas produksi mencapai kapasitas desainnya, yaitu 50.000 barel per hari. Bagian operasi Kilang Sungai Pakning terdiri atas: Unit Crude Distillation (CDU), Instalasi Tanki dan Pengapalan (ITP), Unit-Unit Utilitas, dan laboratorium.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 54

Page 66: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Gambar 4.1: Diagram Alir Blok Kilang Pertamina RU II – Dumai

4.2.3.1 Potensi Sumber Gas Rumah Kaca di Kilang Minyak

Tabel 4-1 memberikan daftar sumber-sumber emisi Gas Rumah Kaca yang potensial untuk segmen pengilangan minyak. Emisi Gas Rumah Kaca dari proses pengilangan minyak terutama berasal dari pembakaran bahan bakar untuk menyediakan energi yang dibutuhkan untuk proses pengilangan minyak. Emisi karbon dioksida dari boiler, pemanas proses/heater, turbin, flare, dan insinerator merupakan emisi Gas Rumah Kaca utama. Emisi nitrogen oksida juga dihasilkan dari sumber-sumber ini, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada emisi CO2.

Ketika sumber pembakaran adalah pembakaran gas alam atau bahan bakar gas kilang, kemungkinan ada juga sejumlah kecil emisi CH4yang tidak terbakar.Sistem gas alam, dan secara potensial sistem bahan bakar gas kilang, adalah satu-satunya aliran proses dalam kilang dengan potensi konsentrasi CH4yang signifikan. Emisi penguapan CH4 mungkin berasal dari pipa dan komponen yang terkait dengan sistem dan peralatan pembakaran yang dipanaskan oleh bahan bakar ini. Hasil dari studi API pada emisi penguapan dari sistem bahan bakar gas kilang minyak menunjukkan bahwa emisi ini tampaknya dapat diabaikan

Sejumlah pembuangan gas proses khusus juga dapat berkontribusi terhadap emisi Gas Rumah Kaca. Beberapa pembuangan gas proses yang potensial antara lain berasal dari regenerator fluid catalytic cracker (FCC) boiler CO, Cokers, ventilasi pabrik hidrogen, dan regenerasi katalis. Pembuangan gas dari FCC adalah sumber utama emisi CO2, meskipun mungkin ada sejumlah CH4yang tidak terbakar jika bahan bakar tambahan dibakar dalam boiler CO. Demikian juga pembuangan gas dari pabrik Hidrogen merupakan sumber utama emisi CO2, sebagaimana pelepasan gas dari regenerasi katalis lainnya.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 55

Page 67: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Tabel 4.1: Potensi Sumber Gas Rumah Kaca di Kilang Minyak KILANG MINYAK CO2 N2O CH4 SUMBER PEMBAKARAN–Peralatan Stasioner

Boilers/Pembangkit Uap X X X

Tungku/Heaters X X X

Pompa Pemadam Kebakaran X X X

Internalcombustion(IC)enginegenerators X X X

Pompa-pompa X X X Penggerak Reciprocatingcompressor X X X

Pembangkit turbin listrik X X X

Penggerak Turbine/centrifugalcompressor X X X

Flares X X X

Catalystandthermaloxidizers X

Incinerators X X X Cokecalciningkilns X X X

SUMBER PEMBAKARAN–Peralatan Bergerak

Kendaraan Perusahaan X X X

SUMBER TIDAK LANGSUNG

Impor isitrik X X X

Impor panas proses/uap X X X SUMBER PEMBUANGAN GAS –Unit Proses

Unit Sulfurrecovery X

Catalyticcracking X

Catalyticreforming X

Regenerasi Katalis X Steammethanereforming(hydrogenplants) X

Delayedcoking X

Flexi-coking X

Produksi Aspal X

Thermalcracking X

SUMBER PEMBUANGAN GAS –Lain-lain Storagetanks

Loadingracks

Pneumaticdevices

SUMBER PEMBUANGAN GAS–Pemeliharaan/Turnarounds

Compressorstarts

Equipment/processblowdowns

Heater/boilertubedecoking X

SUMBER PEMBUANGAN GAS–Aktivitas non-rutin

Emergencyshutdown(ESD)

Pressurereliefvalves(PRVs)

Firesuppression

SUMBER PENGUAPAN

Kebocoran sistem gas bakar X

Kebocoran peralatan lain

Sludge/solidshandling

Pengumpulan dan pengolahan air limbah X X

Pendingin udara/refrigerasi

Catatan: XMenunjukkan jika emisi CO2, CH4, atau N2O mungkin dihasilkan dari sumber tersebut.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 56

Page 68: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Sumber emisi terbesar adalah terkait dengan penggunaan energi, seperti ditunjukkan di dalam rincian yang diberikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2: Sumber Emisi Terbesar dari Kilang Minyak

Sumber: The Reduction of Greenhouse Gas Emission from the Oil Refining and Petrochemical Industry, AEA Technology, June 1999

1. Pengumpulan Data

Rencana awal adalah, data akan dikumpulkan melalui kunjungan langsung ke kilang. Namun, karena adanya kendala waktu untuk mendapatkan izin masuk kilang, kunjungan untuk mengumpulkan data secara langsung dari kilang Pertamina Dumai dan Sei Pakning tidak dapat dilakukan. Sebagai pengganti, untuk tujuan studi kasus ini, data yang diberikan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang disajikan di dalam Bab II akan digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan emisi Gas Rumah Kaca dari Kilang PERTAMINARU II Dumai yang disebutkan di atas.

2. Evaluasi Data

Berdasarkan data tersebut, kapasitas pengilangan minyak di Indonesia tetap konstan selama beberapa tahun terakhir yaitu : sekitar 1 juta barel per hari. Semua kilang minyak yang ada di Indonesia dimiliki dan dioperasikan oleh Pertamina, yang telah mengumumkan rencana penambahanan kapasitas sebesar 500.000 barel per hari dalam 5-10 tahun ke depan, yang berarti meningkatkan kapasitas pengilangan total hingga 1,5 juta barel minyak per hari. Asumsi rencana penambahan kapasitas ini, sudah dimasukkan dalam analisa emisi saat ini.

Emisi dari Kilang PERTAMINARU II Dumai diturunkan dari data yang disediakan ‘Indonesia’s Green House Abatement Cost Curve’ yang disiapkan oleh DNPI, dengan cara menentukan nilai emisi/barel. Selanjutnya, nilai emisi dari kilang RU II Dumai diperkirakan dari hasil perhitungan emisi/barel dan data faktor kapasitas kilang (180.000 barel per hari vs 1.050.000 Total barel per hari). Berikut tabulasi hasil perhitungannya:

Sumber Percentase Emisi CO2di Kilang Minyak

Pembakaran bahan bakar minyak dan gas di tungku dan boilers

65%

Regenerasi katalis cat cracker 16%

Flares <3%

Methane steam reforming untuk membuat hydrogen 2%

Incineration and effluent processes 1%

Impor listrik (55%) 13%

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 57

Page 69: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Tabel 4.3: Estimasi Emisi Kilang Minyak Unit II Dumai, BAU

4.2.3.2 Analisa Peluang untuk Peningkatan Efisiensi Energi/Pembakaran

Sebuah skenario dasar dikembangkan untuk memproyeksikan emisi industri saat ini hingga tahun 2030. Data Perkiraan untuk kilang PERTAMINA RU II Dumai menunjukkan peningkatan emisi dari 15,6 Mt CO2e/ tahun di tahun 2005 menjadi 21,3 Mt CO2e / tahun di tahun2030.

Untuk menguji dampak dari peningkatan efisiensi energi dan menyerapan/ penyimpanan CO2 emisi pada industri minyak dan gas, dua skenario dievaluasi sebagai varian pada skenario dasar. Skenario-skenario tersebut adalah sebagai berikut:

1. "Efisiensi energi" - difokuskan pada pengurangan yang dapat dicapai melalui pengurangan penggunaan energi, dengan konsekuensi penghematan biaya. Skenario ini mengasumsikan bahwa produk tetap memenuhi persyaratan dan standar lingkungan (misalnya emisi partikulat, dll); dan

2. "Maksimum pengurangan CO2" - di mana skenario penyerapan/penyimpanan CO2 ditambahkan di atasskenario "Efisiensi energi".

4.2.3.3 Pemilihan/Pendekatan Teknologi

4.2.3.3.1 Efisiensi Energi

Opsi untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dari kilang minyak antara lain:

3. Optimasi proses pengilangan;

4. Penggunaan sumber energi berbasis non-karbon;

5. Mengurangi kadar karbon di dalam bahan bakar;

6. Mengoptimalkan efisiensi panas dan produksi listrik dan penggunaannya; dan

7. Mengurangi jumlah pembakaran gas buang/flare.

Emisi Rata-Rata Emisi Kilang Unit II Dumai Peningkatan EmisiMtCO2e/yr MtCO2e/yr (%)

2005 91 15,6

2030 124 21,32,5

Peningkatan (2005 ~ 2030)

1,3

2025 121 20,7

8,6 2020 114 19,5

6,1

17,15,0

2015 105 18,0

Tahun

9,9 2010 100

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 58

Page 70: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Seperti ditunjukkan pada tabel 4-2, sumber emisi terbesar di kilang berasal dari pembakaran bahan bakar di tungku/furnace, boiler, dll (> 65% emisitotal). Dengan mengoptimalkan efisiensi pembakaran, konsumsi bahan bakar di tungku dapat dikurangi secara signifikan serta akan mengurangi emisi CO2.

Untuk kilang tua seperti RU II Dumai, cara untuk mengoptimalkan kondisi pembakaran dapat dilakukan dengan memantau sebagian besar tungku sekitar setiap tiga hari. Gas dari cerobongvasap dianalisa kandungan oksigen, CO dan CO2nya. Tingkat udara berlebih dan efisiensi pembakaran kemudian dihitung untuk setiap tungku.

Pengamatan yang paling penting adalah pada tingginya laju udara berlebih. Masalah pembakaran sendiri pada umumnya sama pada kebanyakan tungku di lapangan. Tampaknya, permasalahan dasar adalah pada 'ketidakstabilan' dari sistem bahan bakar gas. Tekanan bahan bakar gas yang berfluktuasi sedemikian rupa akan menyulitkan pengaturan laju aliran udara secara konsisten - pada tingkat laju udara rendah, ada risiko bahwa api akan dipaksa keluar dari celah antara pelat di dasar tungku. Oleh karena itu, laju udara yang tinggi akan dipertahankan untuk memastikan bahwa ada aliran udara ke atas dari bagian bawah tungku di setiap kondisi. Identifikasi solusi termasuk langkah-langkah untuk mengurangi fluktuasi dalam sistem bahan bakar gas, dan pemantauankondisi pembakaran secara terus menerus, dan pemantauangas secara reguler kondisi tekanan dan komposisi bahan bakarnya.

Potensi penghematan kilang dengan melakukan kontrol pembakaran yang tepat diperkirakan dapat meningkatkan efisiensi sekitar dua persen. Potensi penghematan berasal dari pengurangan konsumsi bahan bakar dan pencegahan emisi CO2.

Diperkirakan bahwa penghematan energi sebesar 20-30% dapat dicapai dengan melakukan reorganisasi jaringan penukar panas. Potensi penghematan lain diidentifikasikan dari unit distilasi, tanpa memerlukan tambahan biaya investasi.

Meningkatkan pemeliharaan dan pengendalian proses di subsektor produksi dan pengilangan minyak dapat menghasilkan pengurangan paling sedikit 7 MtCO2e dan positif net-profit(-103 USD per tCO2e), yang berarti adanya penghematan yang signifikan selama masa pengurangan emisi. Program khusus dalam hal ini termasuk program konservasi, program kesadaran energi, dan langkah-langkah untuk mengurangi penumpukan kotoran di dalam pipa, optimasisumur dan tekanan separator, dan optimasi cadangan energi putar dari peralatan berputar.

Pelaksanaan program efisiensi energi dapat memberikan tambahan pengurangan emisi sebesar 27 MtCO2e dengan biaya negatif (untuk program efisiensi energi) atau biaya yang tidak terlalu tinggi (untuk implementasi unit cogeneration). Meskipun peningkatan efisiensi energi yang diidentifikasi dalam kategori ini membutuhkan biaya investasi yang tinggi, penghematan biaya operasional yang signifikan dapat diperoleh melalui pengurangan kebutuhan energi.

Flare di kilang tua sering terlihat membakar sejumlah besar gas hidrokarbon, dan seringkali dengan nyala berdenyut yang menunjukkan adanya cairan hidrokarbon (kondensat) yang terbawa di pipa flare yang tidak terpisahkan dengan baik di unit proses; atau adanya sistem kompresor yang terhubung ke flare. Optimasi pemisahan cairan kondensat akan mengurangi emisi potensial dan flarehanya akan rutin membakar gas pilot saja.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 59

Page 71: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Mengurangi pembakaran gas di flare melalui pelaksanaan program zero-flarebisa memberikan pengurangan emisi sebesar 0,34 MtCO2e dengan biaya yang relatif tinggi yakni: 28 USD per tCO2e. Adapun pengurangan emisi yang relatif kecil tersebut adalah sebagai hasil dari antisipasi pengurangan yang signifikan dari emisi flare dalam skenario ‘business-as-usual’ (saat ini pengurangan emisinya sebesar 5 persen per tahun).

Kesempatan untuk mengurangi emisi sebanyak 30 persen pada tahun 2030 dapat dicapaimelalui upaya yang difokuskan di tiga bidang pengurangan emisi: meningkatkan pemeliharaan dan pengendalian proses; program efisiensi energi dan pengurangan pembakaran gas di flare.

4.2.3.3.2 Penyerapan dan Penyimpanan CO2 (PPK)

Penyerapan CO2 dengan teknik berbasis penyerapan (absorpsi) tampaknya menjadi pilihan yang layak untuk menangkap CO2 dari aliran gas buang dari kilang yang berasal dari pembangkit listrik, dari tungku proses (furnaces) dan ketel uap (boiler), dan dari regenerasi katalis. Konsentrasi CO2 yang tinggi ditemukan di off-gas proses steam reforming. Untuk sumber emisi ini yang relatif kecil dan konsentrasi tinggi, pemisahan cryogenic adalah pilihan yang menjanjikan.

Konsep Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (PPK) masih harus dibuktikan sampai batas tertentu. Semua langkah-langkah individual telah diterapkan dalam kegiatan komersial, sering untuk waktu yang lama dan sebagian dalam kombinasi dengan satu sama lain. Namun, penyimpanan abadi CO2adalah hal baru dan belum terbukti dalam praktek sebelumnya.

Ada beberapa ketidakpastian apakah dan bagaimana dapat dijamin bahwa CO2y ang diinjeksikan ke lapisan geologi dalam dan akuifer akan benar-benar tinggal di sana selama ribuan tahun. Hal ini hanya dapat diperkirakan dengan menggunakan model simulasi, dimaksimalkan dengan penerapan seperangkat kriteria yang ketat untuk pemilihan lokasi penyimpanan serta kriteria cara penutupan dan meninggalkan reservoir penyimpanannya. Ladang gas alam yang secara geologi intensif dieksplorasi, dan secara intrinsik ‘gas-tight’ peluangnya dapat lebih diprediksi dan kriteria-kriteria pemilihan lokasi penyimpanan dan lainnya dapat lebih mudah dipenuhi daripada lapisan akuifer.

Kurangnya bukti yang kuat dari sisi kelayakan, kehandalan dan keamanan konsep telah menarik perhatian publik dan menimbulkan keraguan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan untuk mengandalkan teknologi tersebut. Selain itu, potensi PPK mungkin tidak cukup untuk mencapaikeekonomian yang diharapkan dari pengurangan 80-95% emisi CO2 industri yang diperlukan dalam jangka waktu sampai dengan tahun 2050. Hal ini dikarenakan:

1. keterbatasan kapasitas reservoir penyimpanan geologi dalam yang cukup aman; dan

2. persaingan dengan sektor listrik untuk mendapatkan kapasitas penyimpanan.

4.2.3.3.3 Penggunaan CO2 Secara Langsung Di Lokasi Produksi

Sebagian besar penggunaan komersial dari CO2 dilakukan di lokasi dimana dia dihasilkan.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 60

Page 72: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

1. Sekitar sepertiga dari karbon dioksida yang dihasilkan sebagai produk samping dari pembangkitan hidrogen yang diperlukan untuk proses ammonia, digunakan untuk menghasilkan ureum (pupuk) dari ammonia;

2. Karbon dioksida yang dihasilkan selama proses peragian bir digunakan untuk karbonasi bir; dan

3. Karbon dioksida yang dihasilkan unit pembangkit listrik dan panas dari pabrik kaca rumah dan minuman ringan digunakan oleh masing-masing sebagai bahan bakudan untuk proses karbonasi minuman. CO2 dalam minuman berkarbonasi adalah CO2 yang sama yang disemburkan dari cerobong dan pembangkit listrik, dan menyebabkan pemanasan global. Bahkan, CO2 yang menimbulkan gelembung di minuman bersoda berasal dari pembangkit listrik yang sama. Gas CO2 dalam hal ini tidak dilepaskan ke atmosfer sebagai gas penyebab pemanasan global, tetapi diserap dari cerobong pembangkit listrik, kemudian dimurnikan dan dijual kepada pemasok pembuat botol dan minuman ringan lokal/nasional. Namun, ketika tutup botol dibuka, CO2 tetap akan terlepas ke atmosfer juga pada akhirnya.

Dalam hal karbon dioksida yang dihasilkan dari unit pembangkit panas, sangat penting untuk tetap menjalankan unit-unit tersebut meskipun di musim panas, hanya sekedar untuk tujuan menghasilkan karbon dioksida saja; dan

Di masa depan, penyerapan dan penyimpanan karbon dapat menawarkan peluang pengurangan yang signifikan untuk sektor minyak dan gas bumi. Namun, mengingat penyebaran teknologi ini masih terbatas dan struktur biayanya tinggi, proyek ini tidakdijamin dapat berjalan berdasarkan pendekatan ekonomi konvensional. Namun, contoh ini dapat digunakan untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam memenuhi target pengurangan emisi GRKsampai dengan 41% di tahun 2020 dengan menggunakan dana bantuan asing.

4.3 Standar Emisi CO2

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Menteri Lingkungan Hidup telah mengeluarkan Peraturan No. 13/2009 tentang Standar Mutu Emisi Sumber Stationary di Kegiatan/Bisnis Minyak dan Gas, yang menetapkan maksimum emisi yang diijinkan untuk partikulat, karbon mono oksida, oksida nitrogen, dan sulfur oksida; namun belum ada pembatasan standar untuk emiss karbon dioksida.

Syarat-syarat berikut telah digunakan secara luas untuk menentukan jumlah emisi GRK dengan menggunakan CO2 sebagai referensi untuk menggambarkan berapa besar potensi pemanasan global akibat emisi GRK dari masing-masing GRK, dan mungkin dapat juga digunakan untuk menentukan ambang batas standar emisi CO2.

Standar emisi adalah persyaratan yang menetapkan batas khusus untuk jumlah polutan yang bisa dilepas ke lingkungan. Kebanyakan standar emisi fokus pada pengaturan polutan yang dikeluarkan oleh mobil (kendaraan bermotor) dan kendaraan bertenaga lain, tetapi dapat juga untuk mengatur emisi dari industri, pembangkit listrik, peralatan kecil seperti mesin pemotong rumput dan generator diesel. Seringkali alternatif kebijakan mengenai standar emisi merujuk pada standar teknologi.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 61

Page 73: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

Standar kinerja emisi adalah batas yang ditetapkan sebagai ambang batas dimana diatas batas tersebut berbagai jenis teknologi pengendalian emisi mungkin diperlukan. Sementara ini, standar kinerja emisi telah digunakan untuk menentukan batas polutan biasa seperti nitrogen oksida dan belerang oksida (NOx dan SOx), teknik ini dapat digunakan untuk mengatur standar emisi Gas Rumah Kaca, terutama karbon dioksida (CO2). Di AS, ini diberikan dalam satuan pounds karbon dioksida per megawatt jam (lbs. CO2 / MWhr), dan kilogram CO2 / MWhr di tempat lain.

Karbon dioksida ekuivalen (KDE) dan Setara karbon dioksida (CO2e) adalah dua hal yang terkait tetapi berbeda untuk menggambarkan seberapa besar pemanasanglobal dapat disebabkan oleh suatu jenis dan jumlah tertentu emisi GRK, dengan menggunakan secara fungsional jumlah setara atau konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebagai referensi.

Kesetaraan Karbon dioksida adalah besaran yang menjelaskan, untuk campurandan jumlah tertentu GRK, jumlah CO2 yang akan memiliki potensi pemanasan global yang sama (GWP), bila diukur melalui skala waktu tertentu (umumnya, 100 tahun). Kesetaraan karbon dioksida mencerminkan integrasiwaktu kekuatan radiasi dari sejumlah emisi atau tingkat emisi GRK – yang mengalir ke atmosfer-daripada nilai sesaat kekuatan radiasi dari suatu konsentrasi GRK di atmosfer yang dijelaskan oleh CO2e.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 62

Page 74: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari kajian yang telah dilakukan, disimpulkan temuan-temuan sebagai berikut:

1. Total emisi CO2 dari sektor minyak dan gas di Indonesia dalam hal “Busines as Usual Case” menunjukkan pertumbuhan dalam tingkat sedang dari 122 Mt CO2e di tahun 2005 menjadi 135 Mt CO2e di tahun 2020, umumnya karena pertimbangan adanya penambahan kapasitas kilang penyulingan yang akan dibangun. Tetapi dalam jangka panjang, pertambahan emisi ini akan cenderung tidak menaik – karena kilang penyulingan tua akan ditutup dan diganti dengan kilang baru yang lebih efisien – sehingga kerapatan emisi cenderung tetap di tingkat 137 Mt CO2e pada tahun 2030.

2. Pada pertemuan G20 di bulan September 2009, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan tekat bangsa Indonesia untuk menekan emisi Gas Rumah Kaca sebanyak 26 persen sebelum tahun 2020 dengan usaha sendiri, dan mengusulkan target penurunan sebanyak 41 persen dengan bantuan internasional. Pemerintah Indonesia juga menyepakati ikrar G20 untuk menghilangkan subsidi bahan bakar fosil. Sokongan energi terhadap emisi CO2 diperkirakan sebesar 6%.

3. Keuntungan dan kerugian PPK menunjukkan bahwa penggunaan PPK dapat secara signifikan mengurangi emisi CO2 sekitar 80-90% dibanding dengan pembangkit tampa PPK. Akan tetapi pemakaian PPK juga menyebabkan (i) penambahan biaya untuk energi yang dihasilkan pada pembangkit listrik batu-bara dengan PPK sebanyak 21-91%; (ii) mempertinggi kebutuhan bahan bakar dan sistem biaya lainnya pada stasiun pembangkit batu bara sebanyak 25-40%; dan (iii) Teknologi PPK adalah sangat mahal dan umumnya belum terbukti andal.

4. Indonesia belum memiliki peraturan dan standar batasan terhadap emisi karbon.

5. Sumber emisi karbon pada industri minyak dan gas adalah: (i) CO2 yang dihasilkan dari pengeboran minyak dan gas alam; (ii) Kilang pemerosesan gas alam yang melepaskan sekitar 2-3% CO2 sebelum dikirim melalui saluran pipa gas; CO2 in terlepas ke udara bebas; (iii) Api bakaran gas yang dihasilkan oleh stasiun pengumpul atau kilang penyulingan; (iv) CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar di stasiun pembangkit litrik, tungku pembakar, dan boiler; (v) Fasilitas pembakan pada stasiun pembangkit listrik yang dipakai pada fasilitas produksi hulu.

6. Lapangan pengeboran minyak dan gas mempunyai banyak rongga penyimpan kosong untuk CO2 pada kedalaman lebih dari 1000 meter dan ini aman terhadap bahaya gempa. Kajian yang dilakukan oleh LEMIGAS menunjukkan bahwa rongga bekas sumur minyak dan gas di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan tarakan cocok untuk tempat penyimpan CO2.

7. CO2 sudah terbukti merupakan cairan yang sesuai untuk Enhanced Oil Recovery (EOR) di Amerika Serikat. Dalam bentuk senyawaan ataupun tidak, CO2 dapat digunakan untuk memproduksi Enhanced Coal Bed Methane (ECBM). LEMIGAS telah melalukan suatu kajian yang menyimpulkan bahwa provinsi Sumatera Selatan mempunyai potensi yang baik untuk pilot proyek CO2 EOR yang mana dapat dikembangkan menjadi proyek

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 63

Page 75: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

dengan taraf Percontohan ataupun Skala Penuh jika pilot proyek tersebut menunjukkan hasil yang baik. Pengembangan CMB di Indonesia masih berjalan dengan baik.

8. Kajian LEMIGAS menampilkan sebuah pilot proyek PPK dengan menggunakan GGS MERBAU sebagai sumber CO2 menggunakan saluran pipa dari ladang minyak disekitar yang dimanfaatkan sebagai penyimpan dingin. Pilot proyek in dapat ditingkatkan menjadi pemanfaatan EOR pada tingkat percontohan ataupun skala penuh.

9. Telaahan terhadap kilang penyulingan Dumai menunjukkan bahwa cara pengurangan emisi CO2 terbaik adalah dengan melakukan perbaikan secara berkesinambungan terhadap efisiensi pembakaran. Penyerapan CO2 bukanlah merupakan penyelesaian paling hemat karena tempat menyimpan karbon serapan biasanya berlokasi jauh. Penggunaan hasil CO2 serapan di-industri dapat dilakukan jika secara ekonomi dapat dipertanggung jawabkan.

10. Meskipun proyek PPK di Indonesia tidak menjamin hasil yang ekonomis, tetapi berdasarkan tekat Indonesia dengan dibantu negara internasional untuk mengurangi Gas Rumah kaca sebanyak 41% sebelum 2020, hal in ada baiknya bagi Indonesia untuk mempertimbangkan penggunaan proyek PPK pada industri minyak dan gas ataupun pada industri energi karena (a) tingginya pertumbuhan kebutuhan energi, khususnya pada stasiun pembangkit listrik batu bara; (b) Ketersediaan sumur tua/kosong minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan sebagai penyimpan CO2 yang baik; (c) Kecenderungan tingginya emisi Gas Rumah Kaca di seluruh dunia.

11. Studi LEMIGAS 6,7) menunjukkan bahwa lapangan minyak dan gas bumi yang sudah terkuras di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Tarakan adalah sesuai untuk penyimpanan CO2 dan kemungkinan juga untuk penggunaan CO2 dalam EOR. Studi tersebut mengidentifikasikan peluang proyek percontohan berdasarkan penyesuaian sumber – pembuangan antara teknologi penyerapan CO2 di sumbernya dan operasi penyimpanan dan/atau EOR secara operasi komersial. Studi ini merekomendasikan dua skala proyek komersial: berdasar proyek komersial EOR dibawah 2.700 t/hari, dan untuk lebih dari 2.700 t/hari penyimpanan di reservoir yang sudah terkuras, akuifer garam atau proyek EOR yang lebih besar .

12. LEMIGAS merekomeendasikan sebuah proyek percobaan, terdiri dari penyerapan CO2 dari Merbau GSS sebesar 1 Mt CO2/tahun, mengangkutnya melalui jaringan pipa atau truk, dan menyimpannya atau menggunakan CO2 untuk EOR di lapangan minyak di sekitarnya. Total CAPEX untuk fasilitas penyerapan CO2 US$ 167 juta; untuk jaringan pipa, sumur injeksi, dan fasilitas penyimpanan diatas tanah US$ 33 juta, dan OPEX US% 12 juta per tahun. LEMIGAS merekomendasikan mengoperasikan proyek percontohan tersebut untuk selama 7 tahun, sebelum dikembangkan menjadi proyek demonstrasi dan skala penuh.

13. Meskipun proyek PPK skala penuh tidak layak secara komersial, implementasi proyek pilot PPK dapat dipertanggung-jawabkan secara behavioral economics: (i) mengkonfirmasikan kelayakan menyimpan CO2 di reservoir di Sumatera Selatan; (ii) memperoleh pengalaman dan kecakapan dalam mengoperasikan sebuah proyek PPK yang melibatkan penyerapan CO2, transportasi, injeksi, pengukuran dan verifikasi proses penyimpanan CO2 dan penggunaan CO2 untuk EOR; (iii) pembelajaran dari

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 64

Page 76: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

berbagai tantangan, risiko, biaya, dan sumber pendanaan; (iv) memperoleh informasi untuk menyiapkan kerangka regulasi, kebijakan fiskal dn non-fiskal serta komunikasi yang diperlukan untuk pengembangan PPK yang lebih luas; (v) memenuhi tekad Indonesia untuk menurunkan Gas Rumah Kaca atas usaha sendiri sebesar 26% dan dengan bantuan internasional sebesar 41% dari sekarang di tahun 2020; dan (vi) mengantisipasi kenaikan Gas Rumah Kaca ketingkat kritikal karena Indonesia memproyeksikan penggunaan energi fosil sebagaimana ditargetkan dalam Ken=bijakan Energi Nasional.

14. Proyek percontohan (pilot) PPK akan member beban fiskal bagi emitor CO2 (industry) dan operator minyak dan gas, meskipun mereka dapat memperoleh manfaat dari tambahan perolehan minyak dari EOR. Maka perlu adanya kerangka kebijakan dan peraturan perundangan untuk mengimplemantasikan proyek PPK di tingkat nasional yang dapat menarik partisipasi internasional oleh pelaku bisnis/investor dan institusi sumber pendanaan internasional: (i) Peraturan Presiden untuk menetapkan standar limit emisi CO2, dengan denda untuk ketidak patuhan dan penghargaan untuk kepatuhan dengan kebijakan; (ii) Peraturan Presiden untuk Indonesia memulai gerakan efisiensi energi dan PPK proyek di industri sebagai gerakan nasional untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 50% pada tahun 2050, dimulai dengan implementasi proyek percontohan PPK di Sumatera Selatan yang diikuti denga proyek komersial PPK untuk skala demonstrasi dan skala penuh; (iii) Peraturan Meneteri Keuangan untuk memberikan insentif fiskal dan non-fiskal untuk meringankan bebean indusrti dalam meminimalisasi emisi Gas Rumah Kaca sesusai dengan standar limit emisi Gas Rumah Kaca; (iv) Peraturan Menteri ESDM untuk memberikan stimulus kepada industry minyak dan gas bumi untuk memulai proyek penyimpanan CO2 dan pemanfaatan CO2 untuk EOR di msaing-masing lapangan minyak dan gasnya.

Rekomendasi yang perlu dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah Indoesia harus mengeluarkan Peraturan Presiden berdasarkan kepada Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan Peraturan Presiden No. 61, Tahun 2011 tentang Rancangan Aksi Nasional pada Perubahan Iklim; nan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Inventori GRK untuk menetapkan ambang batas emisi CO2 untuk instalasi stasioner maupun peralatan yang dapat bergerak. Batasan batasan in harus didasarkan kepada (i) Teknologi mutakhir yang tersedia; (ii) Sasaran ekonomi; (iii) Kemampuan sendiri; dan (iv) pembangunan yang berkelanjutan.

2. Pengurangan Gas Rumah Kaca secara efektif melalui tindakan pencegahan haruslah didahulukan dibanding PPK. Hal in termasuk memberikan stimulasi ekonomi dan aturan pendukung terhadap perusaan jasa penyedia energi, mempercepat proyek energi terbarukan, pemanfaatan alat efisiensi energi dan konservasi energi, dan usaha penghematan energi.

3. Meskipun pilot proyek PPK dengan pengembangannya secara sempurna menjadi proyek PPK skala penuh belum tentu ekonomis dilaksanakan di Indonesia, dalam hal ke-ekonomiannya dan efisiensi teknologi, Indonesia dapat mempertimbangkan keuntungan jangka panjang dari memiliki pilot dan skala penuh proyek PPK yang sukses, dapat memanfaatkan bantuan keuangan secara bilateral dan multilateral dalam

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 65

Page 77: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

lingkup Dana Perobahan Iklim (Climate Change Funding) dari berbagai Negara maupun institusi.

4. Indonesia berencana untuk melipat gandakan kebutuhan energi sebelum tahun 2050, lebih dari 50% diantaranya berbahan bakar fosil, termasuk 30%-nya adalah batu-bara, dimana berpotensi menghasilkan emisi CO2 secara signifikan. Lebih lanjut, Indonesia merencanakan untuk memproduksi gas alam dengan kadar CO2 melebihi 70% dari ladang gas Natuna D-Alpha, meningkatkan produksi minyak dari yang sekarang sebesar 800,000 bopd menjadi lebih dari satu juta bopd, dan menaikkan kapasitas kilang penyulingan sebesar 50% sebelum 2025 – semua ini menghendaki pengurangan karbon secara efektif untuk memperkecil dampak dari Gas Rumah Kaca (Green House Gas). Hasil dari pilot proyek PPK adalah merupakan pelajaran berharga bagi pengembangan proyek PPK dimasa mendatang.

5. Untuk implementasi pilot proyek PPK Merbau GGS, direkomendasikan Pemerintah menugaskan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk mengelola konstruksi dan operasi fasilitas penyerapan CO2, pemprosesan CO2 menjadi gas jenuh dan pengangkutannya melalui pipa ke lapangan penyimpanan CO2. PGN dapat bermitra dengan perusahaan penyandang dana untuk menangani EPC dari penyerapan dan pengakutan carbon.

6. Untuk implementasi injeksi CO2 untuk EOR, di rekomendasikan agar Pemerintah menugaskan operator lapangan (dalam hal ini PT PERTAMINA Tbk), yang kemudian dapat menugaskan unit bisnisnya untuk pengembangan lapangan untuk proyek EOR dengan injeksi CO2. Proyek ini dapat ditangani dibawah mekanisme PSC yang ada, didukung oleh pinjaman lunak dengan bilateral agreement dengan institusi seperti ADB, World Bank, dan lain-lain. Program stimulus yang tepat perlu diperkenalkan melalui amandemen kontrak PSC untuk proyek pilot EO, skala demonstrasi dan skala penuh.

7. Peraturan menyangkut proyek PPK dan CO2 EOR haruslah dirumuskan oleh kementerian ESDM, dengan berkoordinasi dengna Kementerian Perindustrian, Kementerian Hutan dan Lingkungan Hidup, dan menteri-menteri teknis lainnya yang terkait guna merumuskan langkah-langkah penyerap CO2 mulai dari pembangkitan dan pemerosesan CO2 kedalam pipa gas jenuh dan pemompaan gas CO2 kedalam tempat penyimpan maupun ladang EOR.

8. Amandemen kontrak PSC yang sudah ada haruslah dilakukan antara PERTAMINA ataupun Operator minyak dan gas yang meliputi penerimaan CO2, pemampatan, dan pendistribusian CO2 kedalam sumur injeksi untuk penyimpanan atau peraturan EOR, insentif, dukungan internasional, membentuk formasi badan dana (Trust Funds).

9. Perkreditan untuk sistem perdagangan emisi CO2 harus dikembangkan untuk menggalakkan modal investasi yang tersedia, keahlian dan kursus terhadap daerah tertinggal, dengan demikian dapat mempercepat pelaksanaan tolok ukur efisiensi energi dalam skala lokal dan dunia.

10. Mempromosikan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca secara berkesinambungan melalui komunikasi publik dan pendidikan.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 66

Page 78: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

DAFTAR REFERENSI

1. American Petroleum Institute (API), “Compendium of Greenhouse Gas Emissions Methodologies for Oil and Gas Industry”, August, 2009.

2. AEA Technology, “The reduction of greenhouse gas emission from the oil refining and petrochemical industry”, June 1999.

3. IPCC Special Report, “Carbon Dioxide Capture and Storage”, 2005.

4. Pertamina. Presentasi Oil Refinery Process. Yogyakarta, Nov 10, 2012.

5. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), “Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve”, August 2010.

6. ADB - LEMIGAS: “Determining the Potential for Carbon Capture and Storage in South East Asia, Indonesia Country Report”, September 2012.

7. ADB – Global CCS Institute: “Prospects for Carbon Capture and Storage in SE Asia”, September 2013.

8. Judith Konigshofer, “Economic and Social Benefits of CCS, Global CCS Institute, November 2010.

9. Dr Retno Gumilang Dewi, National Expert on Indonesian GHG Inventory for Ministry of Environment and UNDP Indonesia, “Indonesia’s Second National Communication”, July 2011.

10. Sugihardjo, Usman, and Edward ML. Tobing: “Preliminary Carbon Utilization and Storage Screening of Oil Fields in South Sumatra Basin”, LEMIGAS Scientific Contributions Oil & Gas, Vol.35, No.2, August 2012 (pages 57-65).

11. Utomo P. Iskandar: “The First In-depth Assessment of Carbon Capture Utilization and Sequestration (CCUS) for CO2 Management of South Sumatra SNG Plant”, LEMIGAS Scientific Contributions Oil & Gas, Vol.36, No.2, August 2013 (pages 83-95).

12. Shell, CCS Fact Sheet 2014 and Quest CCS Project Fact Sheet.

13. Global CCS Institute, ASEAN Centre for Energy (ACE), ASEAN Forum on Coal, “ASEAN CCS Strategic Consideration”, June 2014.

14. Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency, “Guideline for Implementing Green House Gas Emission Reduction”, 2011.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 67

Page 79: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

15. CCXG/Global Forum on Environment: “Discussion Document – Indonesia’s National Mitigation Actions: Paving the Way towards NAMAs”, Seminar on MRV and Carbon Market, Paris March 2011.

16. Dr. Retno Gumilang Dewi: “Indonesia’s Second National Communication”, the 9th Workshop on GHG Inventories in Asia, July 2011.

17. Ministry of National Development Planning/Bappenas: “Guideline for Implementing Green House Gas Emission Reduction Action Plan, 2011.

18. U.S. Environmental Protection Agency (EPA): “Climate Change –Global Greenhouse Gas Emission Data, Sep 2013.

19. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 12/2012 tentang Pedoman Perhitungan Beban Emisi Kegiatan Industri Minyak dan Gas Bumi.

20. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13/2009 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi.

21. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7/2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Ketel Uap.

22. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 19/2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi.

23. Anton Wahjosoedibjo: “Pembangkit Listrik dan Lingkungan”, Bahan Lokakarya 2010.

24. Energy Information Agency, U.S. Department of Energy: “Carbon Emission in the Petroleum Refining Industry, May 2010.

25. International Energy Agency: “Carbon Capture and Storage – Model Regulatory Framework”, Nov 2010.

26. Adebola Ogunlade: “Carbon Capture and Storage: What Are the Legal and Regulatory imperatives”, University of Dundee, 2010.

27. Shalini Vajjhala, Jenny Gode, and Asbjorn Torvanger: “An International Regulatory Framework for the Risk Governance of Carbon Capture and Storage”, Resources for the Future, Jul 2007.

28. International risk Governance Council (IRGC): “Policy Brief – Regulation of Carbon Capture and Storage”.

29. M.J. Mace, Chris Hendriks, Rogier Coenrads: “Regulatory Challenges to the Implementation of Carbon Capture and Geological Storage within the European Union under EU and International Law”, Foundation for International Environmental Law and Development (Field), Feb 2007.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 68

Page 80: 4. kajian terhadap industri minyak dan gas bumi indonesia

Opsi Kebijakan Fiskal dalam mempromosikan Carbon Capture dan Storange pada Industri Minyak dan Gas di Indonesia

30. CCS Financing Overview – US, EU, Canada and Australia.

31. Climate Investment Funds: “Clean Technology Fund Investment Plan for Indonesia”,

April 2010.

32. Geologic Carbon Dioxide Storage – 11 Major Types of Geologic Storage Reservoir Classes.

33. Alison Baile: “Reducing Greenhouse Gas Emissions in British Columbia”, Energy Research Group (ERG) News, Volume 6, Number 8, Fall 1997.

34. Wikipedia, the Free Encyclopedia: “Carbon Dioxide”, Mar 2014.

35. Situmeang, Hardiv H., Dr.:”Potentila Development of CCS in Indonesia – Issues and Barriers, and CCS at the UNFCCC Negotiations”, 21st Annual Meeting and Confrerence, Inter-Pacific BarAssociation (IPBA), Kyoto, 22 April 2011.

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia 69