4. isi makalah

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu produk reformasi ketatanegaraan yang kita bangun setelah Perubahan Pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001 dan keempat pada tahun 2002 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang menjadi bagian Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 9 November 2001. Strategis dan mendasar karena sebagai norma dasar, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pijakan yang memberi kewenangan bagi setiap lembaga negara dalam menjalankan peranannya masing-masing. Menanggapi hal itu, pada tanggal 13 Agustus 2003 Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan langkah implementatif dalam merespon ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut. Mahkamah Konstitusi itu sendiri dibentuk dengan maksud mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land) benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Hukum modern, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu negara. 1

Upload: imamsyafei2

Post on 05-Jul-2015

384 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 4. isi makalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahSalah satu produk reformasi ketatanegaraan yang kita bangun setelah

Perubahan Pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001 dan keempat pada tahun 2002 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang menjadi bagian Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 9 November 2001. Strategis dan mendasar karena sebagai norma dasar, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pijakan yang memberi kewenangan bagi setiap lembaga negara dalam menjalankan peranannya masing-masing.

Menanggapi hal itu, pada tanggal 13 Agustus 2003 Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan langkah implementatif dalam merespon ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.

Mahkamah Konstitusi itu sendiri dibentuk dengan maksud mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land) benar-benar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Hukum modern, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu negara.

Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI yaitu Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama: UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua: pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.

Pada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah

1

Page 2: 4. isi makalah

2

menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.

Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang melainkan juga atas undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan :Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Sedangkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 berbunyi :(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.

Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, Mahkamah Konstitusi mempunyai lima kewenangan. Kelima kewenangan tersebut yakni: menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewajiban dalam memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dari kelima kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang banyak mendapat sorotan adalah pengujian atas konstitusionalitas undang-undang. Sebelum amandemen UUD 1945, lembaga yang mempunyai kewenangan dalam pengujian undang-undang terhadap UUD dan Ketetapan MPR adalah MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Page 3: 4. isi makalah

3

Ketentuan ini banyak dikritisi oleh berbagai pengamat karena bagaimana mungkin mengukur kenetralan dan objektivitas MPR menguji keputusannya sendiri bila bertentangan dengan UUD 1945. Pemberian kewenangan menguji undang-undang kepada MPR tentu saja menimbulkan persoalan dan menyalahi prinsip-prinsip hukum universal karena MPR adalah lembaga politik dan bukan lembaga hukum.

Seiring perkembangan, Mahkamah Konstitusi telah banyak memutus berbagai perkara yang menjadi kewenangannya. Namun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian (judicial review) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terhadap UUD. Salah satu perkara pengujian Perpu yang menjadi bahasan tulisan ini yakni terkait perkara pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap UUD 1945 dalam perkara Nomor 138/PUU-VII/2009, yang dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi karena Perpu memiliki tata urutan (hierarki) yang sederajat dengan undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;c. Peraturan Pemerintah;d. Peraturan Presiden;e. Peraturan Daerah.

Berdasarkan pasal tersebut, Perpu memiliki kedudukan yang sama dalam tata urutan (hierarki) dengan Undang-Undang. Sedangkan Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) dalam UUD 1945 yakni Pasal 22 dinyatakan :

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikutnya;

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Menurut Pasal 22 UUD 1945 di atas, bahwa suatu Perpu hanya bersifat sementara sampai DPR menyetujuinya menjadi UU, namun jika ditolak maka Perpu tersebut harus dicabut. Oleh karena itu, setiap Perpu yang dikeluarkan oleh

Page 4: 4. isi makalah

4

Presiden diharuskan segera diajukan ke DPR untuk mendapatkan legislative review.

Jika dilihat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) dan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tidak dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Sebab menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kalimat dalam Pasal 24C ayat (1) tersebut sangat jelas hanya menyebut Undang-Undang dan tidak menyebut Perpu. Seandainya Mahkamah Konstitusi diperbolehkan menguji Perpu tentu UUD menyebut secara eksplisit pembolehan tersebut, sebab secara formal UUD 1945 membedakan dan menempatkan secara berbeda penyebutan atau pengaturan antara UU dan Perpu; Undang-Undang diatur dalam Pasal 20 sedangkan Perpu diatur dalam Pasal 22.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 bahwa suatu Perpu perlu mendapat persetujuan DPR. Jika DPR menyetujuinya maka menjadi UU, namun jika ditolak maka Perpu tersebut harus dicabut. Ketentuan Pasal 22 ini menegaskan bahwa Perpu perlu diajukan ke DPR untuk dapat menjadi UU.

Kemudian berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Kewenangan yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD, tidak boleh menyimpang dari UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tertera dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji Undang-Undang terhadap UUD, apabila ditambah dengan menguji Perpu, maka dilaksanakan tidak menurut UUD, melainkan dilaksanakan menyimpang dari UUD.

B. Perumusan Masalah

Perubahan UUD 1945 berhasil menata kembali susunan negara Republik Indonesia menjadi negara hukum yang lebih demokratis dan berkeadilan. Kedaulatan rakyat yang tadinya dilaksanakan dengan supremasi MPR kini berubah menjadi supremasi konstitusi. Pemisahan kekuasaan dipertegas dengan menyempurnakan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi menandai era baru dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Berfungsi sebagai lembaga negara yang menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Kewenangannya secara tegas disebutkan di dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Page 5: 4. isi makalah

5

Seiring perkembangan, Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya yang secara eksplisit disebutkan di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji undang-undang terhadap UUD, tetapi juga menguji Perpu terhadap UUD. Menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, kedudukan undang-undang dan Perpu adalah sederajat yang disebabkan materi perpu adalah sama dengan undang-undang. Sehingga timbul penafsiran Perpu juga menjadi objek pengujian Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu sama sekali tidak secara eksplisit tercantum dalam UUD 1945 maupun undang-undang organik yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila Mahkamah Konstitusi diperbolehkan menguji Perpu, tentu UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit kewenangan tersebut. Karena secara formal UUD 1945 membedakan dan menempatkan secara berbeda penyebutan atau pengaturan antara undang-undang dan Perpu. Undang-undang diatur dalam Pasal 20 sedangkan Perpu diatur dalam Pasal 22.

Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, Perpu ditetapkan Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa dan perlu mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Apabila disetujui, maka Perpu tersebut menjadi undang-undang dan apabila tidak disetujui, maka Perpu tersebut harus dicabut. Artinya, selama produk hukum tersebut masih berbentuk Perpu, upaya kontrol hukum terhadap Perpu itu masih merupakan urusan DPR dan menjadi kewenangan DPR untuk melakukan legislative review.

Sedangkan undang-undang yang menjadi objek pengujian Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) adalah undang-undang seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 20 UUD 1945 dan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yakni peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden. Sedangkan Perpu adalah undang-undang dalam arti materiil (wet in materiel zin) yang dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah, sehingga Perpu bukanlah undang-undang seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 20 UUD 1945, Pasal 24C ayat (1) maupun Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Artinya, segala kegiatan kenegaraan harus berdasarkan UUD 1945. Kewenangan yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD, tidak boleh menyimpang dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi sudah memiliki batas-batas kewenangan yang telah diatur tegas di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, tidak untuk menguji peraturan lain termasuk Perpu. Apabila Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian perpu, maka Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya yang diatur secara tegas di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga dalam hal ini perlu adanya pengaturan yang tegas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 6: 4. isi makalah

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Yuridis Kewenangan Mahkamah Konstitusi1. Landasan Yuridis Wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Pemikiran mengenai pentingnya suatu peradilan konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.

Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang (UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung.

Di dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.

Menanggapi hal itu, pada tanggal 13 Agustus 2003 Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang merupakan langkah implementatif dalam merespon ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.

Mahkamah Konstitusi berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya

Page 7: 4. isi makalah

7

pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Beberapa pertimbangan dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah:

a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan;

b. Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Posisi Mahkamah Konstitusi adalah duduk berdampingan dengan Mahkamah Agung (constitutioneel hof), yang kedua-duanya mengemban fungsi peradilan. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan demikian Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang mempunyai

Page 8: 4. isi makalah

8

peranan untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan prinsip negara hukum, serta perlindungan terhadap hak-hak konstitusional.

Pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi secara khusus terdapat dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945 yang terdiri dari 6 ayat. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dinyatakan :

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.

Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, Mahkamah Konstitusi mempunyai lima kewenangan. Kelima kewenangan tersebut yakni: 1. Menguji undang-undang terhadap UUD; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3. Memutus pembubaran partai politik; 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan5. Kewajiban memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.Kemudian Pasal 24C ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) berbunyi:(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden;

(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi;

(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara;

(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Disamping di dalam ketentuan Pasal 24C tersebut, pengaturan tentang MK terdapat pula di dalam Pasal 7B UUD 1945. Ketentuan ini disusun dalam

Page 9: 4. isi makalah

9

kaitannya dengan proses impeachment, yaitu usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden yang diduga melakukan pelanggaran.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final untuk: a) Menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c) Memutus pembubaran partai politik; dan d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana

terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.

b) Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.

c) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

d) Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

e) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga ditegaskan:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Page 10: 4. isi makalah

10

c) memutus pembubaran partai politik;d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dane) kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

3) Susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

4) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal pelaksana UUD 1945, artinya melakukan pengawasan terhadap norma umum dan norma khusus yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945, juga pengawasan terhadap asas-asas, kaidah-kaidah umum dan kaidah-kaidah khusus bernegara atau menurut istilah Harjono yaitu pandangan ideologi bernegara yang tersirat dalam sistem demokrasi dan hak asasi manusia yang tercermin pada Pembukaan UUD 1945 melalui interpretasi atau penafsiran. Hal ini merupakan konsekuensi dari rumusan Pasal 1 Ayat (2) Perubahan UUD 1945 di mana kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Berarti UUD 1945 merupakan supremasi tertinggi di Indonesia.

B. Analisis Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangKekuasaan harus dibatasi agar tidak menyimpang. Di dalam konteks

kekuasaan penyelenggara negara, konstitusi yang pada hakekatnya merupakan suatu kontrak itu mendefinisikan batas kewenangan politik penyelenggaraan negara dan hak-hak kebebasan warga masyarakat sipil.

UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis merupakan landasan untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan hukum yang berkeadilan. Agar pelaksanaan dan penegakan hukum yang berdasarkan konstitusi dapat berjalan secara demokratis dan berkeadilan, maka dibutuhkan sendi-sendi konstitusional. Artinya, sekurang-kurangnya ada dua makna dari pengertian negara berdasarkan konstitusi, yaitu:

a. Adanya pengaturan mengenai batas-batas peran negara atau pemerintahan dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat.

b. Adanya jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah kelompok atau hak-hak sosial

Page 11: 4. isi makalah

11

sebagai hak asasi yang melekat secara alamiah pada setiap insan, baik secara pribadi maupun kelompok.

Perubahan konstitusi berhasil menata kembali susunan negara Republik Indonesia menjadi negara hukum yang lebih demokratis dan berkeadilan. Kedaulatan rakyat yang tadinya dilaksanakan dengan supremasi MPR kini berubah menjadi supremasi konstitusi. Pemisahan kekuasaan dipertegas dengan menyempurnakan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara. Pemberhentian Presiden kini tak lagi bisa dilakukan dengan semata keputusan politik, namun melalui serangkaian suatu proses yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebaliknya, UUD 1945 hasil perubahan juga menegaskan sistem Presidensial dimana Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR, sesuatu yang pernah terjadi di era Soekarno ketika membubarkan DPR dan Abdurrahman Wahid ketika membekukan MPR/DPR.

Perubahan yang lebih mendasar dilakukan melalui amandemen atas UUD 1945 yang mencakup perubahan tentang konsepsi negara hukum sehingga menjadi lebih terbuka daripada sekedar konsepsi rechtsstaat, menjadi negara hukum tanpa penyebutan istilah asing seperti rechtsstaat atau the rule of law (Pasal 1 Ayat (3)), perubahan lembaga kekuasaan kehakiman yang membentuk dua kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) ditambah satu lembaga negara yang tugasnya bukan di bidang kekuasaan kehakiman tetapi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yakni Komisi Yudisial (KY). Mahkamah Agung diletakkan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman dalam masalah-masalah umum atau peradilan konvensional ditambah dengan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan ketatanegaraan yang diberi kewenangan khusus dalam masalah-masalah ketatanegaraan tertentu.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 berbunyi :(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Page 12: 4. isi makalah

12

(2) Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.

Menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa kewenangan, satu diantaranya adalah kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD. Diberikannya kewenangan menguji undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi berawal dari pemikiran bahwa undang-undang adalah produk politik yang berpotensi digunakan sebagai instrumen politik untuk melanggengkan kekuasaan. Pengalaman masa lalu terutama di era Orde Baru menunjukkan, hukum perundangan digunakan sebagai instrumen politik yang tak saja merugikan namun juga menindas. Ketiadaan lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar menyebabkan tak ada jalan untuk menghentikan undang-undang yang inkonstitusional kecuali atas ‘kebaikan’ Presiden dan DPR melalui mekanisme legislative review. Perubahan UUD 1945 memungkinkan Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pengujian produk perundangan buatan kedua lembaga tersebut agar tidak saja terbentuk melalui prosedur dan cara yang demokratis namun juga memuat norma yang nomokratis.

Harus diakui bahwa kehadiran Mahkamah Konstitusi telah banyak memberi sumbangan bagi penyehatan sistem ketatanegaraan dan hukum di Indonesia. Diantara yang perlu diberi catatan khusus tentang kemajuan ketatanegaraan adalah performance, eksistensi dan prestasi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif baru. Pada masa lalu banyak sekali undang-undang yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan kuat melanggar UUD.

Dengan adanya Mahkamah Konstitusi semua undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat dimintakan judicial review untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dapat dikemukakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.

Namun dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang hanya sebatas menguji undang-undang terhadap UUD 1945, tetapi juga menguji Perpu terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyatakan dapat menguji Perpu dalam perkara pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap UUD 1945 dalam perkara Nomor 138/PUU-VII/2009.

Mengklaim bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu No. 4/2009) bertentangan dengan UUD 1945, 13 pengacara mengajukan uji formil maupun materiil Perpu a quo

Page 13: 4. isi makalah

13

kepada Mahkamah Konstitusi tertanggal 4 Oktober 2009, permohonan mana diregistrasi dengan nomor perkara 138/PUU-VII/2009 pada tanggal 21 Oktober 2009. Pemohon mendalilkan bahwa Perpu mempunyai kedudukan yang sama dalam tata urutan (hierarki) dengan undang-undang. Hal ini menurut pemohon dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang pada pokoknya menunjukkan bahwa kedudukan undang-undang dan Perpu adalah sejajar. Dengan demikian, menurut Pemohon, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah Konstitusi pula berwenang mengadili permohonan pengujian Perpu 4/2009 yang diajukan pemohon.

Menanggapi argumen pemohon ini, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa dasar hukum Perpu adalah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang” dan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah mendudukkan Perpu sejajar dengan undang-undang.

Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa ketentuan Pasal 22 berisi tiga hal yakni pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perpu, sebuah kewenangan yang hanya dapat digunakan dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Perpu tersebut harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya. Perpu, demikian Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang menurut Pasal 5 ayat (2) bertujuan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Diletakkannya pengaturan mengenai Perpu dalam Bab mengenai DPR dimana DPR memegang kekuasaan membentuk UU menunjukkan bahwa sesungguhnya materi Perpu adalah materi yang menurut UUD diatur oleh UU dan bukan materi yang melaksanakan UU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan materi Perpu bukanlah materi UUD. Lebih lanjut menurut Mahkamah Konstitusi, kondisi mendesak dan daruratlah yang membuat materi UU yang belum menjadi UU sesuai dengan tata cara yang berlaku dalam pembuatan UU, yakni dengan persetujuan bersama DPR dan Presiden, digunakan untuk mengisi kekosongan hukum. Ditempuhnya prosedur normal yakni pembahasan bersama DPR dan Presiden diyakini Mahkamah Konstitusi akan membutuhkan waktu yang lama sementara kebutuhan untuk mengisi kekosongan hukum telah mendesak dilakukan.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Perpu diperlukan dalam kondisi yang terbilang sebagai kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Kondisi kegentingan memaksa menurut Mahkamah Konstitusi terdiri dari tiga hal yakni pertama, ada keadaan yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang diperlukan tersebut belum ada, keadaan mana menimbulkan kekosongan hukum, atau ada UU namun tidak memadai. Ketiga, kekosongan

Page 14: 4. isi makalah

14

hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sementara kekosongan hukum yang ada mendesak kepastian untuk diselesaikan.

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa materi Perpu seharusnya diatur dalam UU, namun karena adanya kegentingan memaksa maka UUD memberikan hak pada Presiden untuk menetapkan Perpu. Hak ini tidak diberikan kepada DPR karena DPR akan memerlukan waktu lama untuk membahasnya mengingat DPR adalah lembaga perwakilan dimana keputusan ada pada anggota sehingga harus melalui rapat-rapat DPR, keadaan mana yang jika diikuti akan membutuhkan waktu lama untuk dapat disetujui.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru Perpu akan melahirkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, (c) akibat hukum baru. Norma hukum baru lahir begitu Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut sangat bergantung kepada DPR apakah akan menolak atau menerima Perpu. Namun meski DPR akan menjadi penentu diterima tidaknya Perpu, sebelum dibahas oleh DPR norma yang menjadi kandungan Perpu sah dan berlaku sebagai UU. Karena kekuatan mengikatnya sama dengan UU itulah maka Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji konstitusionalitas Perpu sebelum Perpu itu ditolak atau disetujui oleh DPR sebagai UU. Mahkamah Konstitusi juga berwenang menguji konstitusionalitas Perpu setelah adanya persetujuan DPR atas Perpu tersebut karena Perpu telah menjadi UU.

Terhadap putusan tersebut, terdapat hakim yang mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) yakni Hakim Konstitusi Moh. Mahfud M.D dan hakim yang mempunyai pendapat yang berbeda (dissenting opinion) yakni Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Hakim Konstitusi Mahfud MD yang pula menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa apabila dirunut dari original intent, tafsir historik, tafsir gramatik, dan logika hukum seharusnya MK tidak bisa melakukan uji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menurut Mahfud tidak menyebutkan Perpu sebagai salah satu produk hukum yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Jika Perpu memang diperbolehkan diuji oleh Mahkamah Konstitusi, sudah barang tentu ketentuan ini akan dijumpai dalam UUD 1945.

Mahfud mengakui bahwa muatan suatu Perpu mengatur materi muatan UU, hanya saja Perpu dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya adalah tergantung dari subjektifitas Presiden. Justru karena kegentingannya itulah Perpu berlaku sebagai UU, namun jika telah dibahas oleh DPR dan ditolak, maka Perpu tersebut dicabut atau dibatalkan. Jika Perpu tersebut disetujui, maka Perpu menjadi UU. Menurut logika hukum ini, kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait dengan hak uji terhadap Perpu baru ada apabila Perpu sudah diuji, dinilai, dan dibahas oleh DPR serta disetujui menjadi UU.

Mahfud mengatakan kajian akademik yang dilakukan di kampus-kampus pada tahun 2000-2001 mengenai judicial review Perpu oleh lembaga kehakiman yang pada intinya menganggap uji Perpu oleh lembaga kehakiman sebagai “perampasan” hak konstitusional DPR. Hal ini karena menurut UUD 1945 DPR

Page 15: 4. isi makalah

15

memiliki kewenangan untuk menilai suatu Perpu apakah akan ditingkatkan statusnya menjadi UU ataukah tidak. Kesamaan muatan Perpu dengan UU bukanlah alasan untuk membenarkan kewenangan menguji Perpu oleh lembaga kehakiman.

Berlainan dengan Hakim Konstitusi Moh. Mahfud M.D dan delapan hakim konstitusi yang lain, Hakim Konstitusi Muhammad Alim sebagai hakim yang memiliki pendapat berbeda pada intinya mengemukakan bahwa kewenangan untuk menguji Perpu oleh Mahkamah Konstitusi tidak pernah ada secara tegas tercantum dalam UUD 1945 maupun sumber hukum tata negara lainnya. Oleh karenanya, Muhammad Alim meyakini bahwa sesungguhnya Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak berwenang menguji Perpu. Ia menegaskan bahwa baik UUD 1945, UU Mahkamah Konstitusi, maupun UU Kekuasaan Kehakiman hanya menyebut “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.”

Selanjutnya Alim menghubungkan pendapat yang berbeda itu dengan Pasal 20 UUD 1945 yaitu kewenangan membentuk undang-undang dan Pasal 22A tentang kewenangan membuat Perpu yang sudah lebih dahulu ada daripada Pasal 24C ayat (1), namun Pasal 24C ayat (1) hanya menyebut menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.”

Alim mengatakan bahwa dalam konteks dirumuskannya Pasal 24C ayat (1), tata urutan perundangan Indonesia menurut Tap MPR No. III/MPR/Tahun 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan menempatkan Perpu di bawah Undang-Undang. Meskipun demikian, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 hanya memberi kewenangan untuk, “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Alim menggarisbawahi bahwa kewenangan menguji undang-undang (tanpa menyebut Perpu) terhadap UUD 1945 dan Perubahannya dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menurut Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No.III/MPR/Tahun 2000 merupakan kewenangan MPR lalu dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, hanya sebatas menguji undang-undang terhadap UUD 1945, tidak termasuk menguji Perpu, tidak pula termasuk menguji Tap MPR. Alim menyimpulkan, bahwa hal demikian dengan terang menunjukkan bahwa kewenangan menguji Perpu memang tidak diberikan oleh MPR kepada Mahkamah Konstitusi.

Alim berpendapat bahwa tidak disebutkannya Perpu sebagai produk hukum yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji dalam Pasal 24C ayat (1) 1945 adalah petunjuk bahwa pembuat UUD 1945 menyerahkan pengujian Perpu kepada DPR. Jika suatu Perpu telah dibahas oleh DPR pada sidang berikutnya dan disetujui menjadi UU sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, maka barulah kemudian Mahkamah Konstitusi berwenang menguji UU tersebut.

Pengujian Perpu terhadap UUD 1945 adalah sesuatu yang belum pernah terjadi dalam persidangan pengujian undang-undang terlebih mengingat kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu sama sekali tidak secara eksplisit tercantum dalam UUD 1945, maupun undang-undang organik yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 menyatakan

Page 16: 4. isi makalah

16

bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal yang pada pokoknya sama ditegaskan di dalam Pasal 10 ayat (1) butir a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa:

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik;d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Sedangkan Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik;d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dane. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut sama sekali tidak ditemukan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji perpu, dan hanya menyebutkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD.

Penafsiran dari original intent, tafsir historik, tafsir gramatik, dan logika hukum maka Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan judicial review atas Perpu terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kalimat dalam Pasal 24C ayat (1)

Page 17: 4. isi makalah

17

tersebut sangat jelas hanya menyebut undang-undang dan tidak menyebut Perpu. Apabila Mahkamah Konstitusi diperbolehkan menguji Perpu tentu UUD 1945 menyebut secara eksplisit kewenangan tersebut, sebab secara formal UUD 1945 membedakan dan menempatkan secara berbeda penyebutan atau pengaturan antara undang-undang dan Perpu. Undang-undang diatur dalam Pasal 20 sedangkan Perpu diatur dalam Pasal 22.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa yang dimaksud dengan undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 yang berisikan kewenangan DPR membentuk undang-undang dengan persetujuan Presiden. Ini berarti yang dimaksud dengan undang-undang dari dua ketentuan ini merupakan undang-undang dalam arti yang sempit atau “legislative act”. Yaitu akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif.

Sedangkan Perpu itu sendiri merupakan undang-undang dalam arti materiil (wet in materiil zin) yang dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah dalam keadaan yang mendesak dan perlu mendapatkan persetujuan DPR pada persidangan yang berikutnya, sehingga Perpu tidak termasuk undang-undang seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 20 UUD 1945 maupun Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Dengan demikian, undang-undang yang dapat diujikan ke Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) adalah undang-undang seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 20 UUD 1945 maupun Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga jelaslah bahwa Perpu bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya.

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, undang-undang dan Perpu mempunyai kedudukan yang sederajat. Menurut ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, materi sebuah Perpu itu sama dengan materi undang-undang. Artinya, isi Perpu itu sebenarnya adalah materi undang-undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya merupakan hak subjektif Presiden. Tetapi karena dibuat dalam keadaan genting itulah UUD 1945 melalui Pasal 22 menyatakan bahwa “Perpu itu harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya,” yang “apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu itu harus dicabut atau dibatalkan,” tetapi “apabila DPR menyetujuinya maka Perpu itu ditetapkan menjadi Undang-Undang.”

Jadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Perpu yang memang bermaterikan Undang-Undang itu hanya dapat dilakukan apabila sudah diuji, dinilai, dibahas dalam forum politik di DPR (political review) dan DPR menyetujuinya menjadi undang-undang. Jika DPR tidak menyetujui maka Perpu itu dicabut tetapi jika DPR menyetujui maka Perpu itu ditetapkan menjadi undang-undang dan setelah menjadi undang-undang inilah Mahkamah Konstitusi baru dapat melakukan judicial review atasnya.

Jimly Asshiddiqie adalah pakar hukum yang setidaknya pernah berada pada pandangan bahwa dilihat dari bentuknya Perpu adalah tidak sama dengan undang-

Page 18: 4. isi makalah

18

undang. Jimly meyakini bahwa jika ditinjau dari segi bentuknya, Perpu adalah peraturan di bawah undang-undang dan karena itu lembaga yang berwenang melakukan pengujian adalah Mahkamah Agung. Selain itu, dari namanya Jimly meyakini bahwa jelas Perpu adalah suatu peraturan pemerintah, kendati Jimly juga mengakui bahwa dari isinya sebuah Perpu sesungguhnya adalah undang-undang, sehingga sama halnya Jimly berpendapat bahwa Perpu menjadi domain kewenangan DPR untuk melakukan kontrol. Jimly Asshiddiqie juga mengatakan bahwa:

Kalaupun ada sekelompok warga negara yang menentang pemberlakuan Perpu dimaksud, maka penolakan tersebut dapat diajukan saja kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang memang sedang bekerja menjalankan tugasnya untuk mengawasi penuangan norma bersangkutan ke dalam bentuk Perpu dan kemungkinan pembahasannya dalam persidangan berikutnya untuk mendapatkan persetujuan DPR. Kalaupun DPR, misalnya sedang masa reses dan tidak dapat menjalankan tugas pengawasan sebagaimana mestinya, kontroversi atas pemberlakuan Perpu tersebut sudah pasti menempatkan DPR dan para anggotanya dalam posisi yang selalu siap untuk menyerang, sehingga dapat dikatakan pemberlakuan suatu Perpu sudah dengan sendirinya akan dan harus menjadi objek pengawasan oleh DPR dan para anggota DPR. Dengan demikian, untuk mengajukan persoalan Perpu ini menjadi perkara pengujian baik ke Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi dapat dianggap tidak tepat. Perkara pengujian terhadapnya baru dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi apabila Perpu tersebut telah resmi mendapat persetujuan DPR dan disahkan menjadi undang-undang.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD juga pernah menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak akan menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Mahfud mengatakan bahwa Perpu hanya boleh diuji melalui political review (uji politik) di Dewan Perwakilan Rakyat dan bukan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi terhadap ketentuan Perpu tersebut baru bisa dilaksanakan bila sudah menjadi undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ini senada dengan pendapat Staf Khusus Presiden bidang Hukum, Denny Indrayana, yang menyatakan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang tidak dapat diuji materilkan ke Mahkamah Konstitusi namun ke DPR. Denny menjelaskan, uji materiil baru dapat dilakukan jika anggota DPR nantinya sepakat mengubah Perpu menjadi undang-undang, maka baru bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi.

Di sinilah letak imbangan bagi “keadaan genting” itu. Artinya karena Perpu berisi Undang-Undang tetapi dibuat dalam keadaan genting maka DPR harus memberi penilaian atau melakukan pengujian politik (political review) lebih dulu, apakah akan disetujui menjadi undang-undang atau tidak. Kalau sudah menjadi undang-undang barulah dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

Page 19: 4. isi makalah

19

Sedangkan pengujian Perpu menurut Prof. Bagir Manan, tidak dapat dilakukan oleh lembaga peradilan apapun (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi). Hal ini terjadi dikarenakan perpu dikeluarkan dalam keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa (keadaan tidak normal) sehingga sesuatu keadaan yang tidak normal tidak dapat diuji oleh lembaga peradilan dalam keadaan yang normal. Jika terjadi pengujian maka ketidakadilanlah yang terjadi. Menurut pendapat Prof. Bagir Manan:

Perpu merupakan produk peraturan yang dikeluarkan pada keadaaan kegentingan yang memaksa atau dapat dikatakan dibuat menyimpangi keadaan yang normal karena keadaan darurat, sehingga peradilan atau hakim tidak dapat mengujinya. Mekanisme pengujian perpu oleh Mahkamah Konstitusi jelas melangkahi teori hukum yang ada.

Oleh sebab itu menjadi wajar jika ada gagasan agar ada amandemen UUD dan/atau amandemen atas UU Mahkamah Konstitusi yang dapat membatasi kewenangan dan dapat mengontrol Mahkamah Konstitusi. Dalam melakukan pengujian UU atas UUD misalnya, Mahkamah Konstitusi harus tetap dijaga agar dalam melaksanakan kewenangannya itu selalu sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU dan isi UUD yang dijadikan dasar pengujian. Dengan demikian dalam memeriksa dan memutus perkara Mahkamah Konstitusi harus berpijak dan mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama atau maksud yang sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah disepakati oleh lembaga yang membuatnya. Harus diingat bahwa, seperti dikemukakan oleh KC Wheare, konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial, politik, dan ekonomi pada waktu dibuat. Artinya ada kesepakatan-kesepakatan tertentu dari setiap isi konstitusi yang harus dijadikan pegangan oleh hakim konstitusi jika ada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya sehingga Mahkamah Konstitusi harus melakukan pengujian. Relevan dengan ini, Thomas Paine juga mengatakan bahwa lahirnya konstitusi itu bukanlah tindakan pemerintah melainkan tindakan rakyat untuk mengatur pemerintahan negaranya dan pemerintahan tanpa konstitusi adalah kekuasaan yang tanpa hak. Sehingga pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi juga harus berdasar pada kesepakatan yang menjadi aturan tentang tindakan rakyat itu.

Dapat juga dirujuk di sini pendapat Carl J. Friedrich yang mengatakan bahwa Konstitusi di dalam pemikiran politik modern sangatlah khas karena ia merupakan proses pengendalian aktivitas pemerintahan secara efisien. Sehingga pengujian undang-undang itu harus juga berpedoman pada original intent UUD yang merupakan dasar untuk mengendalikan tindakan-tindakan pemerintah, termasuk dalam membuat undang-undang tersebut. Oleh sebab itu, tidak boleh ada kegiatan pemerintahan, termasuk dalam pembuatan undang-undang, yang berada di luar kendali konstitusi.

Oleh karena itu, di dalam melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya boleh menafsirkan isi UUD sesuai dengan original intent yang dibuat melalui perdebatan oleh lembaga yang berwenang menetapkannya.

Page 20: 4. isi makalah

20

Yakni kewenangan yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Artinya, segala kegiatan kenegaraan harus berdasarkan UUD 1945. Kewenangan yang diberikan oleh yang berdaulat, harus dilaksanakan sesuai dengan UUD, tidak boleh menyimpang dari UUD 1945.

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil perubahan tersebut harus dipahami sebagai perwujudan konkret dari doktrin negara berdasarkan hukum yang mencakup pengertian pembatasan-pembatasan penyelenggaraan kekuasaan negara, tidak terkecuali pelaksana kedaulatan rakyat itu sendiri. Dalam menyelenggarakan kedaulatan rakyat itu, masing-masing lembaga negara dibatasi oleh Undang-Undang Dasar. Artinya, kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar adalah kedaulatan yang digariskan secara jelas mengenai batas-batasnya oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar sebenarnya dapat dipahami terdiri dari rangkaian kaidah-kaidah normatif sebagai seperangkat aturan yang secara teknis disebut controlling arrangements of law.

Di dalam Undang-Undang Dasar ditentukan kelembagaan negara serta kewenangannya, baik kewenangan antar lembaga negara secara horizontal, maupun secara vertikal yaitu yang berkaitan dengan penggunaan wewenang tersebut kepada rakyat. Sesuai dengan azas negara hukum, maka setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitasnya.

Pasal 24C UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang satu diantaranya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya Mahkamah Konstitusi sudah memiliki batas-batas kewenangan yang telah diatur tegas di dalam UUD 1945 yakni hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, tidak untuk menguji peraturan lain termasuk Perpu. Apabila Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian perpu, maka Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya yang diatur UUD 1945 yang merupakan supremasi tertinggi di Indonesia.

Di dalam UUD 1945, Perpu diatur di dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII tentang DPR. Di dalam hubungannya dengan materi yang diatur dalam Bab VII ketentuan Pasal 22 sangat erat hubungannya dengan kewenangan DPR dalam pembuatan undang-undang.

Pasal 22 UUD 1945 berisikan tiga hal, yaitu:1) Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perpu; 2) Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat keadaan genting dan

memaksa; dan 3) Perpu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya.

DPR harus secara aktif mengawasi baik penetapan maupun pelaksanaan Perpu itu di lapangan jangan sampai bersifat eksesif dan bertentangan dengan tujuan awal yang melatarbelakanginya.

Suatu Perpu bersifat sementara sampai DPR menyetujui dan jika disetujui maka selanjutnya membentuk undang-undang untuk menetapkan Perpu sebagai undang-undang. Jika ditolak maka Perpu itu dinyatakan tidak berlaku, dan Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan Perpu

Page 21: 4. isi makalah

21

tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.. Persetujuan DPR itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Di dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 disebutkan yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses. Ini berarti bahwa Perpu itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk rancangan undang-undang pada masa sidang DPR yang hanya diantarai satu masa reses. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses. Jadi, waktu antara dikeluarkannya suatu Perpu dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasan waktunya dan waktu itu begitu singkat.

Dengan demikian, Perpu itu harus dijadikan sebagai objek pengawasan yang sangat ketat oleh DPR sesuai dengan tugasnya di bidang pengawasan. Jadi, selama produk hukum tersebut masih berbentuk Perpu, belum menjadi undang-undang, maka meskipun kedudukannya sederajat dengan undang-undang, upaya kontrol hukum (norm control) terhadap Perpu itu masih merupakan urusan DPR, belum menjadi urusan Mahkamah Konstitusi. Pasal 22 UUD 1945 memberi hak kepada DPR untuk menilai sebuah Perpu pada persidangan berikutnya, apakah Perpu itu akan disetujui menjadi undang-undang ataukah tidak. Kesamaan level isi antara undang-undang dan Perpu tetap tidak dapat dijadikan alasan bagi lembaga selain DPR untuk menguji konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945, terlebih kesamaan isi itu hanya karena Perpu diartikan sebagai undang-undang dalam arti materiil. Akan tetapi kelak, apabila DPR telah menyatakan persetujuannya dan kemudian Perpu itu berubah status menjadi undang-undang, barulah Perpu yang telah menjadi undang-undang tersebut dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan1. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan disahkannya Pasal 24 ayat

(2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi bagian dari perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang salah satu kewenangannya antara lain menguji undang-undang terhadap UUD;

2. Bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam menguji Perpu karena sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) butir a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 29 ayat (1) butir a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas hanya menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang dalam menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Walaupun dari segi substansinya, Perpu sebenarnya merupakan undang-undang dalam arti materiel (wet in materiele zin) dan mempunyai kedudukan yang sederajat dengan undang-undang

Page 22: 4. isi makalah

22

berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun undang-undang yang menjadi objek pengujian Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) adalah undang-undang seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 20 UUD 1945 dan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yakni peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden. Sehingga Perpu tidak termasuk undang-undang seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 20 UUD 1945 maupun Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. Akan tetapi, apabila Perpu telah disetujui DPR menjadi undang-undang, barulah Mahkamah Konstitusi dapat menguji konstitusionalitasnya;

3. Bahwa Perpu dalam pembentukannya merupakan hak subjektif Presiden yang berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 dibuat karena adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya, jika tidak mendapat persetujuan maka perpu tersebut harus dicabut. Artinya, Perpu tersebut hanya bersifat sementara. Dengan demikian, selama produk hukum tersebut masih berbentuk Perpu, maka meskipun kedudukannya sederajat dengan undang-undang, upaya kontrol hukum terhadap Perpu itu masih merupakan urusan DPR dan menjadi kewenangan DPR untuk melakukan legislative review.

B. SaranBerdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang penulis ajukan adalah:

1. Agar Mahkamah Konstitusi dapat menguji Perpu, maka perlu adanya amandemen UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan kewenangan untuk menguji Perpu, termasuk perubahan di dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang secara eksplisit menyatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu;

2. Untuk jangka panjang perlu juga dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan dibawah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian peradilan atas sistem hukum dan peraturan perundang-undangan diletakkan dibawah pengawasan Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak ada lagi batas-batas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji peraturan perundang-undangan;

3. Perlu adanya suatu undang-undang tertentu yang mengatur mengenai Perpu, karena kurangnya pengaturan Perpu baik di dalam konstitusi maupun undang-undang. Sehingga ada batasan-batasan mengenai keadaan genting yang memaksa sebagai persyaratan dikeluarkannya Perpu dan Perpu yang dikeluarkan hendaknya diberikan batas waktu secara tegas, misalnya perpu tersebut hanya dapat berlaku selama-lamanya 1 tahun yaitu selama 1 tahun itu sudah harus mendapatkan persetujuan dari DPR.

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: 4. isi makalah

23

Buku - buku :

Asshiddiqqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.

________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Asshiddiqqie, Jimly dan M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.

Fatmawati. 2006. Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hadi, Nurudin. 2007. Wewenang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustakaraya

Mahkamah Konstitusi RI. 2004. Menjaga Denyut Konstitusi, Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.

Modeong, Supardan. 2005. Teknik Perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: PT. Perca.

Ridwan, HR. 2007. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sihombing, Herman. 1996. Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.

Sutiyoso, Bambang. 2009. Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII Press.

Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press