36785073 kertas kebijakan uu perikanan

Upload: wanwan-kurniawan

Post on 18-Jul-2015

280 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) adalah wadah perjuangan nelayan tradisional Indonesia guna mewujudkan cita-cita kebangsaan yang telah dirampas oleh pemerintah dan pemodal lewat serangkaian produk hukum yang menepikan eksistensi dan hak-hak konstitusi mereka. KNTI lahir pada tanggal 15 Mei 2009 di Hotel Kolongan Beach Indah, Manado, Sulawesi Utara. Kelahiran KNTI dibidani oleh lebih dari 13 organisasi nelayan tradisional dan organisasi masyarakat sipil. Sebagai wadah gerakan nelayan tradisional, KNTI diharapkan mampu mendorong diejawantahkannya kesejahteraan nelayan sebagaimana tercantum dalam naskah Proklamasi dan UUD 1945.

Membenahi Kegiatan PerikananUndang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebelumnya merupakan revisi dari UU No. 9 Tahun 1985. UU Perikanan tersebut sudah diimplementasikan dalam 5 tahun terakhir. Namun, pada prakteknya belum mampu mengatasi permasalahan pada kegiatan perikanan secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan, masih maraknya aktivitas pencurian ikan, tangkapan yang tidak dilaporkan, tangkapan yang tidak diatur, penggunaan alat tangkap merusak, upaya tangkap lebih hingga masih terjadinya berbagai pencemaran di laut. Secara substansial, pasal-pasal di dalamnya masih dominan berorientasi industri, belum mengakomodir kepentingan nelayan tradisional. Bahkan, masih ditemukan berbagai benturan antarpasal. Untuk itu, inisiatif DPR RI melakukan revisi terhadap UU Perikanan di tahun 2009 adalah tepat, meski dinilai cukup terlambat. Dari sinilah pentingnya melibatkan banyak pihak, khususnya masyarakat nelayan tradisional Indonesia yang selama ini diabaikan dalam proses penyusunan kebijakan perikanan terdahulu. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerjasama dengan Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (COMMITs) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) memandang perlu dibukanya ruang publik yang lebih luas dalam memberikan masukan agar produk revisi UU Perikanan nantinya tidak mengulangi kesalahan yang sama, yakni tiadanya kepekaan dalam merespons permasalahan terkini di tingkat lokal, nasional maupun global. Inisiatif untuk menghadirkan forum diskusi di Jakarta, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara, belum memadai guna merangkum seluruh kepentingan dan perhatian masyarakat perikanan tradisional. Namun, upaya ini diharapkan dapat mendorong terbentuknya sebuah bangunan demokrasi yang lebih kokoh untuk menghadirkan kebijakan negara yang mampu menjawab hak-hak konstitusi warga negara, seperti nelayan tradisional, yang kerap diabaikan. Hasil dari diskusi tersebut tentu tidak boleh diabaikan, karena cukup dekat dengan realita krisis perikanan terkini. Untuk itu, kami menyiapkannya dalam bentuk Kertas Kebijakan Revisi UU Perikanan. Harapannya, melalui sumbangsih ini, cita-cita bersama untuk Membenahi Kegiatan Perikanan Nasional terejawantahkan di bumi pertiwi.

Kata Pengantar

Manado, 15 Mei 2009

M. Riza Damanik Sekjen KIARA

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

1

Kata Pengantar Membenahi Kegiatan Perikanan M. Riza Damanik Pendahuluan Isu/ Permasalahan FGD Jakarta FGD Kalimantan Barat FGD Sumatera Utara Kongres Nelayan Sulawesi Utara Isu dan Permasalahan Perikanan Lain Analisis Analisis Urgensi Revisi Analisis Karakteristik UU No. 31 Tahun 2004 Rekomendasi Perubahan Kepustakaan LAMPIRAN

1 2 11

Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) atau Center for Ocean Development and Maritime Civilization (COMMITs) adalah organisasi masyarakat sipil yang didirikan untuk mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya kelautan demi kesejahteraan rakyat yang berperadaban maritim dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keberanian, keterbukaan, pluralisme, dan egalitarian.

Center for Ocean Development and Maritime Civilization (COMMITs)

27

Dalam menjalankan cita-cita pendiriannya, PK2PM melakukan penelitian dan kajian ilmiah; mengembangkan pelatihan-pelatihan advokasi, pengembangan masyarakat dan metode penelitian ilmiah. Di samping itu, PK2PM juga menerbitkan jurnal, buku; menggelar dialog dan diskusi, seminar, dan lokakarya. Untuk membantu tugas-tugas keorganisasiannya, PK2Pm juga melibatkan media massa, baik cetak maupun elektronik.

32 37

Daftar GambarGambar 1.1. Gambar 1.2. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Laut Indonesia Periode 1950-2007 (Sumber: dianalisis dari Fishstat 2008) (4) Perkembangan Persentase Produksi Perikanan Tangkap Dan Budidaya Terhadap Produksi Perikanan Nasional Periode 1950-2007 (Sumber : dianalisis dari Fishstat 2008) (6) Kerangka Pendekatan Penyusunan Kertas Kebijakan Revisi UU Perikanan (10) Perkembangan Produksi, Volume Ekspor dan Volume Impor Ikan Tuna Nasional Periode 1989-2007 (Sumber: Dianalisis dari FAO 2009 dan UN 2009) (23)

DAFTAR ISI

Gambar 1-3 Gambar 2.1.

Daftar TabelTabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 3.1 Hasil FGD Sumatera Utara dari Aspek Penegakan Hukum (19) Jumlah Perahu Pelintas Batas yang Tertangkap di Perairan Australia (26) Aspekaspek yang Perlu mendapatkan Perhatian dalam Revisi UU No.31 Tahun 2004. (30)

CENTRE FOROCEAN DEVELOPMENT ANDMARITIME CIVILIZATION STUDIES

2

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

KIARA - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) atau Fishery Justice Coalition adalah organisasi non-pemerintah yang berdiri pada tahun 2003. Sejak awal berdiri, KIARA berkomitmen untuk memperkuat kelompok nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar memperoleh perlindungan dan kesejahteraan hidup yang layak dari Pemerintah Republik Indonesia. Wilayah kajian dan kerja-kerja KIARA terfokus pada: (1) Perempuan dan Perikanan; (2) Industri Pertambakan Udang; (3) Perdagangan dan Perikanan; dan (4) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat (Community-Based Coastal Resources Management/CBCRM). Dalam perkembangannya, KIARA melihat bahwa persoalan kelautan dan perikanan bukanlah perkara domestik semata, melainkan sudah menjadi urusan global. Oleh karena itu, dalam mendukung kinerjanya, KIARA berupaya mendorong reformasi kebijakan yang tidak selaras dengan letak Kepulauan Indonesia yang terdiri belasan ribuan pulau besar dan kecil dengan garis pantai lebih dari 95.000 km, serta luas laut 5,8 juta km2. Di samping itu, KIARA juga melakukan kampanye dan pendidikan publik di sektor kelautan dan perikanan dengan dukungan riset dan publikasi yang akuntabel. Sejak kelahirannya, KIARA telah diakui sebagai organisasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang tertarik untuk mendalami isu kelautan dan perikanan, serta menjadi salah satu organisasi terkemuka di Indonesia.

1.1 Latar BelakangOrde Baru menandai babak baru perpolitikan di Indonesia. Di masa ini pula, pertumbuhan ekonomi menjadi acuan utama pembangunan nasional. Tak terkecuali kegiatan ekonomi di sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap, yang bermunculan di era 1970-an. Arah pembangunan ini melahirkan pelbagai kebijakan modernisasi perikanan yang bertujuan untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut. Kebijakan itu antara lain: pertama, modernisasi perikanan melalui program motorisasi dan teknologi alat tangkap modern; kedua, kebijakan ini didukung dengan pemberian fasilitas kredit, seperti kredit usaha (KIK dan KMKP), mesin-mesin, perahu-perahu, dan peralatan penting lainnya kepada para nelayan; dan ketiga, pembangunan infrastruktur yang mendukung kegiatan perikanan laut agar menjamin efektivitas dan peningkatan produksi, seperti pelabuhan perikanan, ruang pendingin (cold storage), tempat pengeringan ikan, tempat pelelangan ikan atau TPI (Sidarto dan Atmowasono, 1977). Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1985 yang menjadi instrumen kelembagaan dari kebijakan modernisasi perikanan itu.Dampak dari kebijakan pemerintah tersebut adalah terjadinya kemajuan dalam peningkatan produksi perikanan laut. Jika pada periode 1963-1967 jumlah produksi perikanan hanya mencapai 650 ribu ton, maka pada tahun 1969/1970 meningkat menjadi 898 ribu ton. Produksi ini terus mengalami peningkatan secara signifikan, terbukti bahwa pada tahun 1970/1971 mencapai 1.003.000 ton dan tahun 1971/1972 mencapai 1.085.000 ton. Selanjutnya pada tahun 1972/1973 jumlah produksi perikanan laut meningkat sebesar 1.200.000 ton, sedangkan tahun 1973/1974 mencapai 1.831.000 ton. Dengan demikian, dalam kurun waktu antara 1969-1974 produksi perikanan laut mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 8,6% per tahun (Tindjabate, 2001). Bahkan, pada tahun 2007 produksi perikanan laut telah mencapai 4,96 juta ton. Secara lengkap perkembangan produksi perikanan laut (tangkap) dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Lebih ambisius lagi, ketika kebijakan revolusi biru tidak hanya terjadi pada perikanan tangkap, tetapi juga sektor perikanan budidaya, khususnya pertambakan udang yang dimulai sejak tahun 1980-an, meskipun tidak berlangsung lama. Awal 1990-an, masa kejayaan pertambakan udang berangsur berakhir, khususnya di sepanjang Pantai Pulau Jawa.

PENDAHULUAN

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

3

PENDAhULUAN

Gambar 1.1. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Laut Indonesia Periode 1950-2007 (Sumber: dianalisis dari Fishstat 2008)

4

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

65

Dokumentasi Kegiatan

Hasilnya, kerusakan hutan mangrove sulit dihindari, bahkan terjadi kegagalan pengembangan peran rakyat dalam memanfaatkan sumber daya alam pesisir secara lestari. Saat itu, kebijakan pertambakan udang adalah perluasan areal pertambakan mulai dari sistem tradisional, semi intensif, dan intensif. Dalam empat tahun terakhir, produksi perikanan budidaya mengalami peningkatan rata-rata 7,04 % per tahun. Jika pada tahun 1999 hanya 0,994 juta ton, maka pada tahun 2003 menjadi 1,22 juta ton. Peningkatan juga terlihat dari konsumsi ikan dalam negeri dari rata-rata 21,57 kg per tahun per kapita tahun 2000 menjadi 24,67 kg per kapita per tahun pada tahun 2003. Bahkan pada kisaran 26-29 kg per kapita pada kurun waktu 3 tahun terakhir. Secara keseluruhan, produksi perikanan nasional (tangkap dan budidaya) sampai akhir tahun 1970-an masih didominasi oleh produksi perikanan tangkap. Namun demikian, sejak awal tahun 1980-an sampai saat ini produksi perikanan tangkap cenderung menurun sementara sumbangan produksi dari perikanan budidaya cenderung meningkat tajam.

PENDAHULUAN

Hal ini seiring dengan terus menjamurnya lahan-lahan budidaya dan menurunnya stok sumberdaya ikan di laut. Bahkan pada dua tahun terakhir, yaitu tahun 2006 dan 2007 persentase produksi perikanan budidaya sudah lebih dari 50 % dari total produksi perikanan nasional. Secara lengkap perkembangan persentase produksi perikanan tangkap dan budidaya terhadap produksi perikanan nasional dapat dilihat pada gambar 1 berikut. Berdasarkan gambaran data tersebut sejak tahun 1950-2007 peningkatan produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya cukup fantastis. Hal ini dikarenakan modernisasi sektor perikanan yang didukung oleh unit-unit usaha berskala besar dan padat modal. Dengan demikian, dapat dijustifikasi bahwa dalam modernisasi perikanan telah terjadi penetrasi kapital dan masyarakat kecil tersisih dalam persaingan. Hal ini menjadi tak terbantahkan, ketika dihubungkan dengan kondisi sebagaian besar nelayan yang belum memiliki kemampuan untuk mengadopsi sistem teknologi modern yang diformulasikan melalui kebijakan modernisasi teknologi penangkapan ikan. Modernisasi di sektor perikanan tangkap justru membuka peluang terjadinya kemiskinan struktural di kalangan nelayan, khususnya nelayan buruh. Kondisi ini sejalan dengan pemikiran Damanhuri (1996) yang menyatakan bahwa kemiskinan struktural karena korban pembangunan dalam kerangka ideologi developmentalisme. Contoh teranyar, penggusuran dalam kasus reklamasi Teluk

Dokumentasi Kegiatan

64

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

5

No

Nama Zainal Supardi Sulastriwati Rosmiwati Hafizal Rustam Effendi Wariono M. Khairul Rizal Jumiati Suhana Tris Zamansyah Ahmad Yani Hasri Abdillah Ruben Tambunan Edward E Rumapea Nurkholiyah Johannes Sitanggang Mahyul Asri M. Lambok Silalahi Hendri Dunand Onrizal Alex Muhrizal Syahputra Syahrul M. Riza Damanik Dewan

Lembaga SNSU FSNN SPNSU SPNSU SNI Sumut - Belawan Ipanjar Langkat Ipanjar Langkat ESP USAID SPNSU Bogor SNSU P3MN YAI/SRI LBH Medan YAI/SRI LBH Medan LBH Medan Pengadilan Perikanan Medan Diskanla Prov. Sumut JALA Dosen FP USU LBH Medan Walhi SU Walhi SU KIARA YLL

DAFTAR PESERTA FGD: Tinjauan Daerah atas UU Perikanan 30 Maret 2009, Medan-Sumut

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

6

Gambar 1.2. Perkembangan Perkembangan Persentase Produksi Perikanan Tangkap Dan Budidaya Terhadap Produksi Perikanan Nasional Periode 1950-2007 (Sumber : dianalisis dari Fishstat 2008)Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

PENDAhULUAN

Mhd. Awal Kurniawan Pasaribu LBH Medan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

63

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

Setelah Tampubolon, Bpk. Ridwan melanjutkan dengan menyoroti persoalan peletakan konsiderans hukum dalam upaya revisi UU No. 31 Tahun 2004. Ridwan mengatakan bahwa peraturan sejati ada di Kepmen. No. 6 Tahun 2008. Ridwan juga mengatakan bahwa pluralisme hukum juga baik untuk diterapkan. Kemudian dia menegaskan kembali tentang konsiderans hukum yang mana akan dipakai untuk upaya revisi ini. Apakah Pasal 33 UUD'45 yang pelaksanaannya lebih oleh negara, atau Pasal 18 UUD'45 yang merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah. Ridwan mengakhiri pemaparan pemikirannya dengan mengatakan agar upaya revisi ini merujuk pada konsiderans yang jelas dan benar, agar jangan sampai terjadi upaya revisi yang seharusnya tidak melanggar konsitusi, malah melanggar konstitusi atau bertentangan dengan UU. Di akhir penghujung acara, Bpk. Lambok Silalahi dari DKP Sumut menyampaikan pemikirannya tentang perbandingan antara UU No. 8 Tahun 1985 dengan UU No. 31 Tahun 2004. Dia mengatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1985 sangat tidak baik untuk dipakai. Hal ini disebabkan proses pelaksanaan hukum dalam upaya mencapai hasil putusan persidangan yang dapat menyita waktu hingga bertahun-tahun. Sementara dengan UU No. 31 Tahun 2004, rentang waktu dalam menghasilkan putusan persidangan dibatasi hanya selama 90 hari (30 hari di kejaksaan, 30 hari persidangan oleh Hakim Ad Hoc, dan 30 hari sampai putusan pengadilan tingkat I). Setelah Silalahi mengakhiri kesempatan penyampaian pemikirannya seputar tentang UU No. 31 Tahun 2004 dan peluang revisinya, acara kembali dibawa oleh Leo yang kemudian menutup dengan pernyataan yang juga berupa pertanyaan; apakah hasil diskusi dari acara ini sudah cukup untuk dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan tambahan terhadap upaya revisi UU No. 31 Tahun 2004 dalam waktu dekat? Atau apakah masih diperlukan diskusi selanjutnya yang lebih luas dan mendalam lagi seputar peluang revisi UU No. 31 Tahun 2004 ini.

Jakarta dan golongan tertentu yang tidak memiliki akses kegiatan ekonomi produksi akibat pola institusional yang diberlakukan. Proses modernisasi perikanan yang berlangsung kurang lebih tiga dasawarsa mengorbankan nelayan tradisional yang dilakukan oleh negara secara institusional. Bukan hanya itu, hampir seluruh wilayah perikanan tangkap Indonesia mengalami kelebihan tangkap yang angkanya di atas 80%. Potret ini mewakili sejumlah dampak dari kebijakan modernisasi perikanan. Secara sederhana, pilihan atas kebijakan modernisasi perikanan selama ini berimplikasi pada 2 hal, yakni: 1. Akibat kebijakan modernisasi perikanan yang hanya terkonsentrasi untuk meningkatkan produksi hasil tangkapan sumber daya laut (ikan, dan hasil laut lainnya) dan bukannya nilai tambah, justru menyebabkan daya dukung lingkungan rusak dan kerusakan ekosistem laut. 2. Modernisasi perikanan yang hanya melihat sisi peningkatan modernisasi teknologi penangkapan, malah menyebabkan terjadinya ketimpangan kelas yang lebar antara pemilik kapal dan buruh nelayan. Modernisasi perikanan dalam perkembangannya hanya dapat diakses oleh segelintir nelayan kaya yang memiliki modal dan pengetahuan, sementara nelayan tradisional (buruh) yang tidak mampu mengikuti perkembangan modernisasi terperangkap dalam jebakan kemiskinan yang cukup parah. Nelayan malah dikelompokkan sebagai the poorest of the poor, quo vadis revolusi biru Indonesia?

PENDAHULUAN

Selain melakukan intervensi terhadap pengembangan nelayan dalam hal modernisasi alat tangkap, pemerintah juga mengeluarkan regulasi, misalnya Keputusan Presiden No.39 Tahun 1980 yang melarang pengoperasian jaring trawl (pukat harimau). Pukat harimau dilarang penggunaannya karena selain merusak lingkungan, alat ini juga menimbulkan konflik horisontal antara nelayan tradisional dan pengusaha kapal pukat harimau. Namun, implementasi dari kebijakan ini jauh dari harapan, karena masih banyak pelanggaran yang sebagian besar disebabkan oleh adanya perlindungan aparat atau bahkan tindak pembiaran (by omission). Kebijakan keliru revolusi biru terus berlangsung hingga kini. Pada tahun 1998, misalnya, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan Protekan 20031 yang berisikan peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya. Pemerintah bahkan menargetkan penerimaan negara sebesar US$ 10 miliar dari sektor perikanan tangkap dan budidaya pada tahun 2003 yang juga belum terealisasi. Kebijakan ini juga berlanjut lagi pada tahun 2004 dengan dikeluarkannya paket kebijakan Gerakan Pembangunan Mina Bahari (Gerbang Mina Bahari) yang targetnya tidak jauh berbeda dengan Protekan 2003.

62

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

7

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

Bahkan pada tahun 2004, pemerintah bermaksud mengundang pihak asing untuk mengembangkan industri perikanan di Indonesia, merencanakan mengizinkan trawl kembali beroperasi di perairan perbatasan negara. Anehnya, kebijakan itu semakin kuat tatkala UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memberikan peluang besar bagi kapal asing untuk beroperasi di perairan Indonesia. Kini pemerintah justru mengeluarkan kebijakan fatal dengan memberikan izin pengoperasian trawl di perairan Kalimantan Timur, khususnya di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Pertanyaannya, apakah kebijakan-kebijakan tersebut akan mencapai tujuan utama, yakni menyejahterakan masyarakat nelayan tradisional dan pembudidaya ikan yang sudah lama terpuruk? Akankah kebijakan yang ada akan memberikan perlindungan terhadap perairan tangkap nelayan tradisional yang selama ini kerap dicemari, dikuasai oleh kapal-kapal besar, atau bahkan kapal asing? Atau, mungkinkah kebijakan yan ada tersebut mampu menengahi carut-marut kebijakan perikanan kita? Atau justru menambah inkonsistensi kebijakan negara? Praktis, selama kurang lebih lima tahun UU No. 31 Tahun 2004 diimplementasikan dirasa tidak mampu menjawab tiga pertanyaan tersebut, sehingga muncullah gagasan untuk melakukan revisi UU No. 31 Tahun 2004. Dalam rangka menjembatani gap kebijakan perikanan yang ada, KIARA, COMMITs, dan KNTI mengeluarkan kertas kebijakan guna memperkaya khazanah revisi UU Perikanan.

ataupun alat tangkap ikan yang ukurannya sangat besar, untuk didatangkan di PN Medan dan kemudian dihadirkan di ruang persidangan. Tentunya hal ini membutuhkan modal yang cukup besar dan juga konsekuensi resiko yang cukup besar pula. Dia juga menambahkan alasan rentang waktu persidangan yang cukup singkat, juga menjadi faktor ketidakefektifan penaganan kasus kejahatan perikanan yang lokasi pelanggaran hukumnya berasal dari luar Kota Medan. Selanjutnya Tomas menanggapi pertanyaan Supardi dengan menjelaskan bahwa pihak PN Medan (Hakim Ad Hoc) tidak memutus terdakwa terhadap dakwaan yang tidak terdapat pada kapasitas PN Medan (Hakim Ad Hoc). Dia kemudian juga mengatakan, bahwa meskipun sanksi terhadap pelaku kejahatan oleh nelayan asing masih tergolong cukup ringan, akan tetapi mereka menambahkan sanksi dalam bentuk lain yang tentunya menambah berat sanksi bagi para pelaku kejahatan, yakni dengan merampas kapal tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan asing tersebut. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan nilai tebus kapal rampasan tersebut, yang mana apabila pihak pemilik berkeinginan untuk melepas kapal dan mendapatkan kapal mereka kembali, tentunya mereka harus membayar dengan jumlah yang besar. Meskipun demikian, Tomas tetap merasa kecewa dengan tahap lanjutan dari apa yang telah mereka kerjakan. Hal ini berkaitan dengan ketidakjelasan keberadaan kapal ketika dilakukan rampasan, dan juga ketidakjelasan atas berapa sebenarnya harga lelang dari setiap kapal rampasan yang dilelang oleh pemerintah, dan kepada siapa kapal rampasan itu dilelang juga merupakan hal yang perlu ditelusuri kebenarannya. Setelah Tomas, Bpk. Bangun dari DKP melanjutkan dengan menanggapi apa yang disampaikan oleh Hafizal. Bangun mengatakan bahwa memang kalau dengan mengacu kepada kebijakan makro yang terdapat pada acuan kerja DKP, maka perhatian terhadap nelayan kecil sangat kurang. Dia juga menambahkan dengan memaparkan pengalaman pemberian bantuan kepada nelayan kecil yang juga sering bias. Tampubolon yang merupakan perwakilan dari nelayan (FSNN) meminta kesempatan untuk berbicara setelah Henri menyampaikan pemikirannya. Tampubolon menyampaikan kekesalannya tentang siapa pelaku kejahatan perikanan yang sebenarnya, dan juga persoalan tidak adanya perhatian pemerintah dalam bentuk tunjangan kematian kepada nelayan yang mati akibat kapal tenggelam karena cuaca, kerusakan kapal, konflik dengan bentrokan fisik antar nelayan yang telah berlangsung cukup lama. Tampubolon mengakhiri perkataannya dengan mengatakan bahwa musuh dari nelayan kecil bukan hanya nelayan dengan kapal-kapal besar, nelayan asing, dan cuaca, akan tetapi pemerintah menurut dia selama ini juga merupakan musuh mereka yang merupakan para nelayan kecil.

PENDAhULUAN

1 Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan tahun 2003 atau disingkat Protekan 2003. Dengan latar belakang kondisi di atas, Program ini masih mengundang kontroversi pro-kontra. Pemerintah melalui Protekan 2003 mencanangkan program jangka menengah sub sektor perikanan untuk meningkatkan penerimaan devisa negara, pendapatan petani nelayan, dan penyerapan tenaga kerja. Secara spesifik, Protekan 2003 menargetkan beberapa hal antara lain: 1) Penerimaan devisa negara US$ 10 miliar meliputi: ? Ekspor komoditas hasil penangkapan US$ 2,64 miliar ? Ekspor komoditas udang hasil budi daya US$ 6,78 miliar ? Ekspor komoditas lainnya seperti rumput laut, kakap putih, kerapu, mutiara dll. US$ 0,58 miliar 2) Total produksi perikanan mencapai 6,06 juta ton meliputi: ? Usaha penangkapan 4,95 juta ton terdiri atas 0,48 juta ton tuna / cakalang, 0,07 juta ton udang, 1,43 juta ton ikan demersal, 2,60 juta ton ikan pelagis kecil, ikan lainnya 0,38 juta ton. Sebanyak 1,47 juta ton akan diekspor sedangkan sisanya untuk bahan baku tepung ikan dan konsumsi dalam negeri. ? Usaha budi daya 1,1 juta ton (budi daya air payau dan air laut). 3) Intensifikasi 212.600 ha lahan budi daya tambak yang akan tersebar di 17 Propinsi, yakni DI Aceh (30.205 ha), Sumut (3.200 ha), Sumsel (2.012 ha), Lampung (12.650 ha), Jabar (26.795 ha), Jateng (21.511 ha), Jatim (30.670 ha), Bali (350 ha), NTB (3.584 ha), Kalbar (300 ha), Kalsel (1.250 ha), Kaltim (9.580 ha), Kalteng (250 ha), Sulsel (59.300 ha), Sultra (7.494 ha), Sulteng (3.750 ha), dan Sulut (300 ha). 4) Penyediaan sarana faktor produksi berupa: ? Benur 55,9 miliar ekor berasal dari 395 unit pembenihan dan 6.564 unit HSRT. ? Pakan udang 1,1 juta ton, pestisida 57.180 ton, pupuk 141.380 ton, kapur 831.602 ton, bahan bakar minyak 2.944,5 juta liter dan oli 87,6 juta liter ? Induk 467.000 ekor dengan kebutuhan artemia 280 ton dan pakan 280 ton. Sumber: http://suharjawanasuria.tripod.com/pertambakan_01.htm

8

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

61

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

Hafizal dari SNI melanjutkan dengan menyoroti persoalan sistem bagi hasil tangkapan ikan yang tidak ada diatur di dalam UU No. 31 Tahun 2004. Dia juga mengatakan bahwa apa yang terjadi sekarang ini dalam kegiatan perikanan adalah suatu kondisi yang dapat dikatakan menyerupai industri. Dengan arti kata, bahwa mereka yang ikut menangkap ikan di laut dan kemudian melakukan pengolahan terhadap hasil tangkapan adalah pekerja yang mendapatkan upah seperti gaji yang telah disepakati bersama dengan pihak pemilik kapal atau toke mereka. Maka dari itu, dia beranggapan bahwa sudah perlu ada dibentuk aturan perUUan yang memberi perlindungan hukum terhadap pekerja perikanan ini, yang bentuk perlindungan hukumnya mirip dengan Jamsostek yang berlaku pada tenaga-tenaga kerja di berbagai bidang lainnya di luar bidang perikanan. Dimana aturan itu dicantumkan bukan menjadi persoalan, yang penting aturan itu ada dibentuk dan dilaksanakan. Setelah Hafizal, saudara Supardi dari FSNN kemudian menyampaikan tanggapannya. Dia menyoroti persoalan alat tangkap ikan yang merusak itu seperti apa sebenarnya. Kemudian dia juga mempersoalkan Pasal 9 poin a tentang alat tangkap ikan yang disebut di dalam SIPI, yang pada kenyataannya kebanyakan adalah alat tangkap yang merusak dan tidak sesuai dengan apa yang disebut di dalam SIPI. Supardi juga mempersoalkan kenapa sanksi pidana dalam suatu tindak kejahatan perikanan cukup ringan. Setelah Supardi selesai dengan penyampaian tanggapannya, acara kembali dibawa oleh Leo yang kemudian juga mempersilahkan kembali para narasumber untuk menanggapi atas apa yang telah disampaikan oleh para peserta tadi. Tanggapan awal dari narasumber diawali oleh Tomas dari pihak Hakim Ad Hoc. Tomas menanggapi apa yang disampaikan oleh Riza tentang alat tangkap ikan. Tomas mengatakan bahwa alat tangkap yang merusak secara prinsip adalah sama, dan yang pasti alat seperti trawl dan peledak itu adalah alat yang merusak. Secara ringkas Tomas menjelaskan pula, bahwa yang dimaksud dengan trawl adalah setiap alat tangkap yang pengoperasiannya itu ditarik oleh kapal. Kemudian Tomas juga menyampaikan pemikirannya, dengan mengatakan bahwa pelaku kejahatan dalam kasus kejahatan perikanan, adalah pemilik kapal kalau diteliti dengan benar. Tomas selanjutnya menanggapi pertanyaan dari Alex tentang cara menangani persoalan hukum di PTUN yang apa tidak mungkin untuk diterapkan dalam peradilan perikanan. Tomas mengatakan bahwa mereka juga ada melakukan penanganan kasus perikanan dengan cara seperti apa yang diterapkan di PTUN. Pihak Hakim Ad Hoc pernah memimpin sidang suatu kasus yang lokasi kejadian pelanggaran hukum atau kejahatan perikanan adalah di luar Kota Medan. Tetapi, dia mengatakan sebaiknya wilayah kerja dari peradilan perikanan juga didelegasikan ke setiap daerah. Dia mengatakan demikian dengan alasan kendala yang sering dihadapi ketika lokasi pelanggaran hukum itu di luar Kota Medan, adalah bagaimana mungkin membawa alat bukti seperti kapal

1.2 TujuanTujuan dari penulisan kertas kebijakan (policy paper) ini adalah: a) b) Mengonsolidasikan pandangan-pandangan para pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan perikanan nasional. Memberikan kontribusi untuk perbaikan substansi dari UU No.31 Tahun 2004 sehingga mampu menjawab permasalah perikanan aktual, guna menghindari sejumlah krisis yang melanda kegiatan perikanan nasional.

1.3 KeluaranKeluaran yang diharapkan adalah: a) Terjadinya perubahan mendasar atas arah kebijakan perikanan nasional guna mengakomodir kepentingan pengelolaan sumber daya perikanan yang konstitusional. Terjadinya perubahan mendasar atas kebijakan perikanan nasional guna memfasilitasi harmonisasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan nasional. Meningkatnya peran partisipasi masyarakat sipil dalam perubahan/revisi peraturan perundangan, khususnya UU No.31 Tahun 2004, sebagai syarat mutlak lahirnya kebijakan perikanan yang pro kepada nelayan tradisional dan keberlanjutan daya dukung lingkungan hidup.

PENDAHULUAN

b)

c)

1.4 PendekatanPenyusunan kertas kebijakan revisi uu perikanan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analitik di mana input-proses-output merupakan kerangka pendekatan utama yang digunakan. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1-1, input utama dari kertas kebijakan ini adalah desk study yang dilakukan dengan basis literature survey yang intensif tentang revisi UU Perikanan. Selanjutnya, sebuah Focus Group Discussions yang dilakukan di 3 lokasi, yaitu Jakarta, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara. Peserta FGD di setiap lokasi maksimal 25 orang untuk menjaring pemikiran tentang revisi UU dimaksud. Hasil FGD ini kemudian digabung dengan hasil desk study dan dianalisa dengan menggunakan analisis prospektif. Selanjutnya, hasil analisis prospektif dideskripsikan dalam bentuk sintesis yang dituangkan sebagai sebuah kertas kebijakan.

60

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

9

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

menawarkan model desentralisasi asimetris yang mirip dengan Otsus Papua sebagai bentuk tawaran grand desain. Apabila mengadopsi model desentralisasi asimetris, maka propinsi sebagai institusi subsideriti, dimana berfungsi melaksanakan hal-hal yang daerah kabupaten/kota tidak dapat atau tidak mau melaksanakannya. Setelah Ridwan menyampaikan akhir tanggapannya, acara kembali dipimpin oleh Leo dengan menyampaikan kepada seluruh yang hadir, bahwa sesi tanggapan kedua dari peserta akan dilakukan, dan dipersilahkan untuk mengambil hidangan coffebreak untuk dinikmati sembari tetap melanjutkan sesi tanggapan selanjutnya. Di sesi tanggapan ini, ada 4 orang dari peserta yang salah satunya juga merupakan bagian dari penyelenggara acara. Mereka adalah saudara Tris di baris kiri yang merupakan perwakilan dari SNSU, saudara Alex di baris kanan yang merupakan perwakilan dari LBH Medan, Hafizal di baris tengah yang merupakan perwakilan dari SNI, Supardi yang juga duduk di baris tengah dan juga merupakan perwakilan dari FSNN, dan saudara Riza Damanik yang berada di baris kiri sebagai Sekjen KIARA. Sesi tanggapan ini dimulai oleh Riza dengan diawal memaparkan tentang sejarah kebijakan perikanan nasional yang terkait dengan kebijakan-kebijakan di daerah. Kemudian Riza melanjutkan dengan mengatakan bahwa pengaturan alat tangkap harus disesuaikan dengan konteks daerah dan komunitasnya. Selanjutnya Riza berdasarkan pernyataan Ridwan tentang keberadaan UU No. 27 Tahun 2007 yang sudah baik dan benar, mempertanyakan apakah yang dimaksud sudah baik dan benar oleh Ridwan itu adalah persoalan substansinya, atau ruh konstitusi OTDA dan juga UUD'45 yang diamanahkan pada UU ini. Hal ini ditanyakan oleh Riza, karena menurut dia dua hal yang dipertanyakannya merupakan dua hal yang berbeda. Setelah Riza, saudara Tris melanjutkan dengan menyampaikan tanggapan yang berupa pertanyaan kepada Ridwan tentang bagaimana caranya agar model desentralisasi asimetris yang ditawarkan oleh Ridwan dapat dipakai atau direalisasikan keberadaannya. Tris kemudian melanjutkan dengan bertanya kepada pihak Hakim Ad Hoc, tentang bagaimana cara menangani kasus-kasus yang terjadi di luar wilayah Kota Medan. Setelah Tris, saudara Alex dari LBH Medan mengajukan pertanyaan kepada pihak Hakim Ad Hoc. Alex bertanya tentang kasus perikanan yang terjadi di luar Medan tidak dapat diterapkan seperti cara yang terdapat pada PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Gambar 1-3. Kerangka Pendekatan Penyusunan Kertas Kebijakan Revisi UU Perikanan

PENDAhULUAN

10

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

59

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

ISU/ Permasalahan

Tomas juga melanjutkan dengan mencoba menjelaskan bahwa UU perikanan termasuk kategori lex specialis. Pengertian istilah kategori ini dia coba jelaskan dengan mengatakan bahwa hukum acara yang terekam dalam UU perikanan akan digunakan, tetapi yang tidak ada, maka akan menggunakan KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana). Kemudian Tomas juga mengatakan bahwa rentang waktu proses pelaksanaan hukum pada suatu kasus, bukan hanya masa 30 hari persidangan sebagaimana yang dikatakan oleh Henri, akan tetapi ada 30 hari lagi yang merupakan rentang waktu prosesi hukum di kejaksaan. Tomas mengatakan keprihatinannya terhadap persoalan persidangan yang seringkali hanya melibatkan para nahkoda kapal ataupun ABK, sementara para pemilik kapal tidak pernah menjadi terdakwa atau dilibatkan dalam proses persidangan. Maka dari itu, untuk dapat melibatkan pemilik kapal dalam proses peradilan ataupun persidangan, mereka akan lakukan suatu upaya hukum yang sifatnya dapat menghasilkan suatu tindakan untuk melakukan perampasan kapal. Sehingga dengan upaya ini tentunya akan membuat pemilik kapal turut disibukkan untuk mengurusi kapal mereka yang dirampas pemerintah, dan mau tidak mau mereka akan terlibat di dalam proses peradilan ataupun proses persidangan tersebut. Setelah Tomas menyampaikan tanggapannya, tanggapan selanjutnya dari narasumber adalah Ridwan Rangkuti yang langsung mengawalinya dengan menanggapi apa yang disampaikan oleh Henri tentang sistem perUUan yang masih jauh dari harapan. Ridwan mengatakan bahwa sistem dan juga bentuk perUUan di Indonesia masih seringkali dipengaruhi oleh sistem politik ataupun kepentingan yang bernuansa politis dari berbagai pihak. Maka dari itu, Ridwan juga menyampaikan pemikirannya tentang pentingnya penataan kelembagaan pemerintah dan juga perilaku dari pelaku kelembagaan tersebut untuk mewujudkan suatu pelaksanaan hukum yang baik dan benar. Kemudian Ridwan melanjutkan dengan menyatakan bahwa hal terpenting yang menjadi pertanyaan sebenarnya adalah; apa sebenarnya motif desain terhadap pembentukan UU?. Dia lanjutkan lagi dengan mengatakan bahwa UU No. 31 Tahun 2004 kalau dikaitkan dengan UUD'45, maka UU ini batal demi konstitusi. Selain itu Ridwan juga mempersoalkan relevansi UU yang dibentuk untuk kepentingan daerah yang masih dipengaruhi oleh domain kementrian. Dengan pengertian bahwa apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan di daerah, masih sering merupakan apa yang dianggap penting atau dibutuhkan daerah berdasarkan pemikiran atau cara pandang dari menteri yang bersangkutan dengan kepentingan ataupun kebutuhan tersebut.

Dalam proses penyusunan Policy Paper ini dilakukan serangkaian Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara (FebruariMaret 2009). Hal ini diperlukan untuk mengidentifikasi isu/permasalahan yang berkembang akibat implementasi UU No. 31 Tahun 2004. Diperkaya dengan informasi yang diperoleh dari hasil pertemuan lainnya, seperti Kongres Nelayan Tradisional se-Sulawesi Utara (Maret-April 2009), Kongres Nelayan Tradisional IKesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (Mei, 2009), serta sumber-sumber relevan lainnya.

2.1 FGD di JakartaFGD yang telah dilakukan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 2009 mampu mengidentifikasi pelbagai permasalahan sebagai berikut: a) Definisi dan pemaknaan yang rancu. (i) Definisi perikanan. Dalam UU ini defenisi Perikanan dibatasi hanya pada makna bisnis perikanan semata. Akibatnya, sumber daya perikanan Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Tak mengherankan, jika selanjutnya UU Perikanan ini abai terhadap nelayan tradisional. Parahnya, ada kesenjangan antara permasalahan dengan solusi yang ditawarkan. (ii) Masih terkait definisi, di mana definisi nelayan dan nelayan kecil secara khusus masih menghambat upaya negara melakukan tanggungjawabnya dalam menyejahterakan nelayan kecil. Lebih dari itu, definisi yang ada telah salah memaknai kegiatan keseharian nelayan, yakni hanya sebatas menangkap ikan. Hasilnya, terminologi nelayan yang dimaknai UU justru abai terhadap peran perempuan dalam kegiatan perikanan. Definisi dan pemaknaan yang rancu. (i) Definisi perikanan. Dalam UU ini defenisi Perikanan dibatasi hanya pada makna bisnis perikanan semata. Akibatnya, sumber daya perikanan Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Tak mengherankan, jika selanjutnya UU Perikanan ini abai terhadap nelayan tradisional. Parahnya, ada kesenjangan antara permasalahan dengan solusi yang ditawarkan. (ii) Masih terkait definisi, di mana definisi nelayan dan nelayan kecil secara khusus masih menghambat upaya negara melakukan tanggungjawabnya dalam menyejahterakan nelayan kecil. Lebih dari itu, definisi yang ada telah salah memaknai kegiatan keseharian nelayan, yakni hanya sebatas menangkap ikan. Hasilnya, terminologi nelayan yang dimaknai UU justru abai terhadap peran perempuan dalam kegiatan perikanan. Ketidakjelasan jenis alat tangkap merusak. Ketidaktegasan UU Perikanan (termasuk dalam penjelasannya) dalam menyebut sejumlah alat tangkap yang merusak, telah menyebabkan terhambatnya proses penegakan hukum di laut. Misalnya, mengenai alat tangkap trawl tidak secara tegas disebutkan di dalam UU, akibatnya trawl masih tetap beroperasi dengan varian

b)

b)

Sekali lagi Ridwan mengatakan tentang hal terpenting itu adalah grand desain terhadap pembentukan UU yang harus disesuaikan dengan UUD'45. Ridwan

58

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

11

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

penamaan dan modifikasi fisik. Masalah trawl di antaranya berupa adanya hasil tangkapan sampingannya (by catch), yang kerapkali dibuang karena sasaran utamanya udang. Hal ini membahayakan stok perikanan nasional Indonesia. Ancaman lainnya: (i) trawl yang beroperasi di Indonesia khususnya di perbatasan IndonesiaMalaysia (Kalimantan Timur) adalah kapal milik pengusaha Malaysia, yang di antaranya merupakan kapal-kapal yang sudah diusir dari perairan Malaysia. Artinya, trawl sejak awal sudah ditentang oleh nelayan di Malaysia. Di dalam negeri, Perhimpunan Nelayan Kecil Kalimantan Timur dengan tegas menolak pengoperasian trawl, dengan alasan mengganggu kegiatan perikanan tradisional sekaligus menurunkan pendapatan nelayan setempat. (ii) Kepmen No. 6 Tahun 2008 yang memperbolehkan pengoperasioan trawl secara terbatas di perbatasan Kalimantan Timur dan Malaysia telah menjadi preseden hukum bagi propinsi di luar Kalimantan Timur. Di perairan Serdang Bedagai, Sumatera Utara, misalnya, pengoperasian trawl kembali marak dengan menggunakan logika hukum yang sama, yakni merupakan wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Hal hasil, konflik nelayan dengan trawl hingga tindakan pembakaran kembali mencuat di tahun 2009. c) Miskin visi keadilan dan kesejahteraan. Undang-undang Perikanan belum secara utuh memasukkan unsur keadilan, kesejahteraan, dan kepastian hukum dalam setiap pasalnya. Semisal, dalam hal pengolahan hasil perikanan, seolah hanya menjadi domain industri, dan tidak boleh dilakukan nelayan. Hal lainnya, UU juga belum mengakui dan melindungi hak-hak nelayan tradisional (ruang kelola). Hal ini dapat terlihat pada (i) pasal 29 ayat 2 yang memberi akses pihak asing menangkap ikan di perairan Indonesia; (ii) pasal 36 tentang persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal. Pemberlakukan pasal ini telah memakan korban nelayan tradisional di Kabupaten Biak Numfor yang ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas, dan (ii) pasal 37 tentang ketidakjelasan daerah dan jalur penangkapan ikan. Pasal ini berpotensi menimbulkan tindakan penyerobotan wilayah penangkapan perikanan pantai/perikanan tradisional oleh kapal ikan asing maupun domestik yang modern. Dominasi unsur pengawasan. UU Perikanan ini juga memberi kesan lebih menonjolkan aspek pengawasan ketimbang unsur keadilan maupun kesejahteraan. Masalah perizinan. UU Perikanan menimbulkan masalah perizinan. Perizinan kerapkali memberikan konsekuensi yang rumit bagi nelayan tradisional dan buruh, namun tidak demikian halnya bagi pengusaha (industri). Hal ini dapat dilihat dalam beberapa konteks, di antaranya: (i) Penegakan hukum. Pada prinsipnya pemegang izin kapal adalah pemilik. Namun, proses penegakan hukum hampir tidak mampu meminta pertanggung-jawaban pemegang izin, tapi justru hanya menjangkau

Hendri melanjutkan respon dengan menyampaikan beberapa hal yang menurut dia juga penting untuk dicermati, yakni:? 31 Tahun 2004 masih dapat ditolak apabila dikaitkan dengan UU No.

UUD' 45. ? DKP yang masih berwajah orde baru. ? Implementasi lanjutan dari pemerintah daerah terhadap UU No. 31 Tahun 2004 sebaiknya adalah dengan dibuatnya Perda (Peraturan Daerah). ? Law Enforcement, bahwa pengaturan hukum acara Hakim Ad Hoc tidak jelas diatur dimana. Kemudian jumlah Hakim Ad Hoc dalam persidangan yang cuma 2 orang, yang menurut dia tidak lazim dalam setiap kebiasaan di lingkungan peradilan, dan juga akan menyebabkan bias putusan bila pengambilan keputusan adalah dengan cara voting. Kemudian juga jumlah hari persidangan yang sangat minim. Setelah Hendri menyampaikan pemikirannya dengan 4 hal yang dia anggap penting, saudara Suhana melanjutkan tanggapan dengan memaparkan secara umum tentang persoalan-persoalan perikanan yang terjadi di daerah Sumatera Utara sembari dengan mengajukan pertanyaan ringkas tentang apa sebenarnya yang menjadi faktor utama dalam terjadinya berbagai kasus-kasus kejahatan ikan menurut Hakim Ad Hoc. Bangun (DKP) mencoba menanggapi apa yang disampaikan oleh saudara Dewan terhadap dirinya tentang persoalan pernyataan UU bukan segala-galanya dan juga terkait pengaturan keberlanjutan SDA. Bangun mengatakan bahwa yang dimaksud dengan UU bukan segala-galanya dalam persoalan perikanan adalah terkait dengan pelaksanaan aktivitas perikanan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Dia mengatakan bahwa ada aturan lain selain UU yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kegiatan perikanan, yang dia maksud dalam hal ini adalah Kearifan Lokal. Seperti di Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan misalkan, terdapat suatu sistem pengaturan keberlanjutan SDA yang bukan merupakan produk perundang-undangan, tetapi dapat mengatur kegiatan perikanan yang tidak menyebabkan situasi dan kondisi yang tidak baik antar warga, dan juga dapat mengatur keberlanjutan SDA dengan baik. Sistem pengaturan (kearifan lokal) yang dia maksud adalah Lubuk Larangan. Tanggapan dari narasumber selanjutnya adalah oleh Tomas yang mencoba menanggapi apa yang telah disampaikan oleh Henri. Tomas mengatakan bahwa keanggotaan majelis hakim yang dikomentari oleh Henri itu tidak benar. Dia mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 78 Ayat (2), susunan majelis hakim adalah; 1 orang hakim karir dan 2 orang Hakim Ad Hoc. Dengan demikian anggota majelis hakim dalam sidang peradilan perikanan adalah 3 orang, sehingga tidak perlu khawatir atas terjadinya bias dalam proses pengambilan keputusan yang apabila dilakukan dengan cara voting.

ISU/ Permasalahan

d)

e)

12

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

57

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

masa sidang selama 30 hari (masa sidang) di peradilan + 2 hari (masa tahanan) di kepolisian. Tomas juga mengatakan agar kiranya akan ada insentif bagi aparat penegak hukum perikanan, yang untuk sekarang ini belum terbit disebabkan tidak adanya keterlibatan menteri keuangan untuk memberikan insentif, karena tidak mungkin akan ada insentif kalau menteri keuangan dengan tanda tangannya untuk pertanggungjawaban pemberian insentif tidak ada. Tomas juga mengatakan bahwa penegakan hukum bidang perikanan yang dimulai dari pengawasan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan sudah cukup berhasil. Kemudian Tomas mengakhiri pemaparannya dengan mengatakan bahwa khusus untuk kasus perikanan yang terdakwanya adalah warga asing atau berasal dari negara lain, yang sering menjadi kendala adalah persoalan penterjemah yang sulit untuk dihadirkan bila menghadapi proses pemeriksaan. Sesi tanggapan dimulai oleh saudara Dewan yang merupakan perwakilan dari Yayasan Leuser Lestari, kemudian saudara Hendri Dunand dari baris tengah yang juga merupakan salah seorang anggota Presidium JALA, dan kemudian saudara Suhana dari baris kanan yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Pusat Kajian Pembedayaan Kelautan dan Peradaban Maritim. Dewan yang diberi kesempatan untuk mengawali respon dari peserta, langsung memulainya dengan sedikit mengkritik pernyataan dari Bpk. Bangun (DKP) yang mengatakan bahwa UU bukan segala-galanya. Menurut Dewan UU adalah segala-galanya. Dia katakan demikian karena menurut dia UU merupakan bentuk aturan yang digunakan sebagai acuan dalam bertindak dan berperilaku, meskipun dia juga menyadari bahwa UU itu belum sepenuhnya baik, karena belum dapat mengakomodir kepentingan penegakan hukum. Kemudian Dewan melanjutkan dengan menyampaikan beberapa hal yang dia anggap penting untuk dibahas lebih lanjut, yakni: 1. 2. 3. 4. Bahwa substansi UU lebih mengatur tentang kelangsungan produksi, dan tidak ada tentang keberlanjutan SDA tersebut. Definisi nelayan kecil yang tidak jelas disebutkan dalam UU. UU sangat sentralistis. Pasal 6 yang berbicara tentang keberadaan hukum adat yang hanya dipakai sebatas bahan pertimbangan saja (tidak ada dipakai sebagai sumber hukum dalam pengambilan keputusan mengenai persoalan perikanan). Persoalan perijinan yang digabung (digenarilisir) antara nelayan besar dan nelayan kecil. PP tentang penggunaan bahan peledak untuk kepentingan penelitian sudah ada atau tidak.

operator lapangan, yakni nelayan buruh; (ii) mekanisme perizinan juga sering menimbulkan ketimpangan bagi masyarakat di pulau-pulau kecil. Umpamanya, nelayan di daerah terpencil akibat sulitnya akses informasi dan transportasi, selalu sulit menjangkau perizinan secara cepat. f) Akses masyarakat lokal terabaikan. Dalam UU Perikanan ini, akses masyarakat lokal terabaikan, sama halnya dengan yang ditetapkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil (PWP-PPK) yang mengatur pasal tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Artinya, terbukanya pengusahaan swasta pada kegiatan perikanan maupun di luar sektor perikanan akan menjadi hambatan dalam membenahi kegiatan perikanan tradisional. Ancaman krisis ikan. UU Perikanan, dengan dominasi pasal berorientasi industri, telah abai mencermati terus meningkatnya kebutuhan ikan untuk konsumsi domestik. Jika orientasi ini tidak diubah, maka ancaman krisis ikan akan menjadi masalah serius ke depannya, bahkan diperkirakan dapat terjadi pada tahun 2015. Apalagi dalam situasi pemberantasan kejahatan perikanan oleh kapal-kapal asing yang belum mampu diatasi. Masalah ketidakmenentuan iklim. Iklim yang tidak menentu yang ditandai curah hujan yang tinggi, cuaca buruk, dan gelombang yang tingginya (>4m) menyebabkan tingginya angka nelayan tradisional yang urung melaut dan menganggur. Di Teluk Jakarta didapati fakta bahwa 4 dari 10 perahu nelayan tidak lagi beroperasi. Aspek peradilan perikanan. 1) Administrasi & Organisasi Permasalahannya yaitu: a. Pemindahan hakim karir tidak terintegrasi dengan jumlah hakim ad hoc yang ada, sehingga masalah bermunculan saat proses pembentukan majelis hakim. Hal ini juga terjadi pada jajaran Jaksa Penuntut Umum dalam bidang perikanan. b. Adanya kemungkinan perbedaan pemutusan perkara perikanan pada lokasi yang memiliki hakim ad hoc perikanan dengan yang belum ada pengadilan perikanannya. c. Belum adanya hakim ad hoc perikanan pada tingkat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (Kontinuitas Prosedur Hukum). d. Masalah kemampuan dan kemauan penyidik. e. Barang bukti hasil sitaan tak jelas statusnya, apakah akan dilelang atau dijual. f. Perlu pengkajian ulang pemberlakukan UU Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

ISU/ Permasalahan

g)

h)

I)

5. 6.

56

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

13

2)

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

Implementasi Pengadilan Perikanan Permasalahannya yaitu: a) Sampai saat ini masih terbatas pada masalah perikanan tangkap menyangkut (i) Asing; tidak memiliki SIUP, SIPI, SIKPI (Loc PNJU) dan menggunakan alat tangkap yang terlarang; (ii) Lokal; merubah alat tangkap menjadi yang terlarang (tak sesuai SIPI). Fakta ini terjadi dalam wilayah kerja PNJU. b) Jangka waktu penyelesaian perkara selama 30 hari pada kasus nelayan asing yang terdakwanya tidak ditahan dan adakalanya terjadi melebihi waktu yang ditentukan. Waktu ini terlalu pendek sehingga mengancam tahanan terlepas. c) Terbitan tuntutan dari JPU kerapkali terlambat sehingga proses persidangan selanjutnya tertunda d) Jumlah saksi yang dihadirkan tidak sesuai dengan BAP e) Penerapan UNCLOS Pasal 73 belum sepenuhnya dipahami oleh Jajaran Jaksa Penuntut Umum, bahwa terdakwa tidak boleh dikenakan hukum badan (Pasal 102 UU No. 31 Tahun 2004). Terkait dengan hal ini, pencantuman denda sesuai UU ini tidak memiliki kekuatan untuk dipatuhi dan terdakwa tidak ditahan. Makanya, perlu memperjelas tentang penahanan. Biasanya hal ini terkait dengan tersangka lokal (Orang Indonesia). f) Pasalpasal pelanggaran dan kejahatan merupakan tantangan bagi hakim terkait dengan ancaman hukuman dan denda. Denda yang termaktub dalam UU ini kurang berat sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

negara. Selanjutnya Tomas mengatakan bahwa resume persidangan kasus perikanan yang dia sampaikan adalah bukti signifikansi dari keberadaan peradilan perikanan dan juga mereka sebagai Hakim Ad Hoc. Maka dengan ini dia menyampaikan harapannya, bahwa penting bila dalam revisi UU No. 31 Tahun 2004 nantinya tetap ada diatur tentang peradilan khusus yang dipimpin oleh Hakim Ad Hoc, yang dalam hal ini adalah terkait masalah perikanan tentunya. Tomas kemudian melanjutkan pemaparannya tentang kasus yang melibatkan kapal asing. Dia katakan bahwa ketika dalam upaya menentukan putusan terhadap mereka yang merupakan warga asing dengan penggunaan kapal yang juga berasal dari negara mereka, Tomas beserta anggota majelis hakim lainnya akan berupaya untuk mengarahkan hasil putusan kepada bentuk kategori kejahatan. Hal ini dia katakan demikian, karena bila mereka tidak melakukan upaya pengarahan putusan seperti itu, bisa saja hasil putusan itu adalah dalam kategori pelanggaran, sementara diketahui bahwa perbuatan dalam kasus perikanan yang hanya merupakan kategori pelanggaran, kapal yang digunakan tidak dapat dirampas, dan sebaliknya bila perbuatannya adalah dalam kategori kejahatan, maka kapal akan dirampas, atau dengan kata lain bahwa pemerintah/negara dapat menyita kapal asing tersebut. Selain itu Tomas juga menyoroti persoalan dalam sidang peradilan perikanan, yang seringkali hanya nahkoda kapal saja yang dlibatkan, sementara pemilik kapal tidak pernah dapat diadili. Selanjutnya Tomas menyinggung persoalan daerah hukum perikanan yang sebaiknya diperluas. Selama ini wilayah hukum peradilan hanya ada di Pengadilan Negeri Medan, kalau ada kasus di luar Kota Medan (Sumut), hanya disidangkan di Peradilan Umum dengan hakim yang memimpin adalah hakim umum yang tentunya kurang atau tidak menguasai secara benar persoalan hukum perikanan. Selain itu persoalan keberadaan Hakim Ad Hoc di tingkat banding dan kasasi yang belum ada, dan persoalan keterlambatan rencana tuntutan (rentut) dari Kejaksaan Agung. Masa penyusunan rencana tuntutan yang begitu singkat (30 hari) dan lokasi keberadaan antar instansi yang jauh (antar pulau), Tomas katakan sangat tidak efektif. Hal ini disebabkan sulitnya mereka untuk mengikuti atau mengawasi sejauh mana perkembangan rentut yang disusun oleh Kejagung. Maka dari itu, sebaiknya rentut didelegasikan kepada Kejaksaan Tinggi di setiap daerah saja. Tomas kemudian melanjutkan dengan persoalan terdakwa tindak pidana perikanan yang merupakan warga asing yang tidak dapat ditahan, sulit disidangkan karena tidak adanya perjanjian dengan negara lain yang merupakan negara asal terdakwa. Kemudian juga persoalan tindak pidana yang ringan juga sulit untuk disidangkan karena terdakwa tidak ditahan dan tidak terikat dengan

ISU/ Permasalahan

2.2 FGD Kalimantan BaratFGD yang dilakukan di Pontianak Kalimantan Barat menghasilkan pelbagai isu/permasalahan sebagai berikut: a) UU Perikanan terlalu Perikanan Laut Sentris sehingga kurang mengakomodir perikanan darat, khususnya danau dan sungai. UU ini kurang mengakomodasi perikanan darat, terutama kasus pencemaran di Danau Sentarum dan Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Harusnya UU Perikanan tidak saja mengakomodir kegiatan penangkapan semata, melainkan juga kegiatan budidaya perikanan daratan. Misalnya, kasus perkebunan sawit yang dilakukan Perusahaan Sinar Mas dan pertambangan yang membuang limbah ke danau dan sungai belum terakomodir dalam UU Perikanan, sehingga belum jelas proses pengadilannya. Apakah di Pengadilan Perikanan atau di Pengadilan Umum? b) Adanya pencemaran logam berat di perairan pesisir. Hasil penelitian WALHI Kalimantan Barat (Kalbar) menunjukkan bahwa ikan kembung sudah terkontaminasi logam berat, khususnya Hg yang tinggi.

14

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

55

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

Kemudian Tampubolon menyampaikan empat poin yang dianggapnya penting untuk dibahas lebih lanjut, sekaligus mengakhiri kesempatan pemaparan pemikiran awal yang diberikan padanya. Empat poin penting itu adalah: 1. Ketidakjelasan pengaturan alat tangkap. 2. UU yang dibentuk tidak pernah menyoroti persoalan? dan nelayan kecil. 3. Pengaturan peran pengawasan oleh masyarakat yang tidak jelas. 4. Peristiwa konflik pada nelayan yang tidak pernah diselesaikan secara benar melalui lembaga peradilan. Poin yang terakhir itu merupakan poin yang dia pikir begitu memprihatinkan. Hal ini dia katakan karena begitu banyak nelayan yang tewas akibat konflik yang terjadi diantara mereka, yang dia anggap mereka yang tewas ini adalah orangorang yang mati sia-sia, karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan persoalan konflik, yang sepertinya sangat sulit untuk diredam bila tidak ada keterlibatan pemerintah dalam menangani persoalan konflik ini. Pembicara selanjutnya kepada perwakilan dari Pengadilan Negeri Medan, yakni Hakim Ad Hoc Perikanan; Bpk. Tomas Wikliat. Tomas langung mengawali pemaparannya dengan terlebih dahulu mengomentari apa yang dikatakan oleh Tampubolon tentang peristiwa konflik yang tidak pernah diselesaikan secara benar melalui lembaga peradilan. Tomas mengatakan bahwa proses peradilan tidak dapat dilakukan apabila terdakwa sejak awal tidak dapat dihadirkan. Artinya adalah, bahwa sejak awal tidak ada dilakukan proses hukum terhadap terdakwa, baik itu yang bersifat penyelidikan, penyidikan, dan prosesi-prosesi selanjutnya. Sehingga bagaimana mungkin dapat dilakukan proses persidangan, sementara terdakwa sejak awal tidak dapat dihadirkan atau tidak diketahui keberadaannya. Tomas kemudian melanjutkan pemaparannya dengan menyampaikan resume realisasi tindak pidana perikanan di Pengadilan Perikanan Medan sejak tanggal 8 oktober 2007 s/d 27 Maret 2009. Berdasarkan resume ini dia katakan, bahwa ada terdapat 26 macam kasus dengan 21 kasus telah putus dan 5 kasus lainnya masih menunggu jawaban rentut (rencana tuntutan) dari Kejaksaan Agung RI, dan dari 21 kasus yang telah memiliki hasil putusan; 17 kasus adalah kasus yang melibatkan kapal asing, dan 16 kapal asing dari 17 kasus itu telah disita oleh

ISU/ Permasalahan

Tampubolon juga mengatakan, bahwa yang seringkali menjadi alasan penyebab terjadinya bentrok fisik atau konflik pada nelayan adalah persoalan alat tangkap (trawl) yang tidak pernah disebutkan dalam pasal-pasal, yang kemudian memunculkan ragam persepsi tentang seperti apa bentuk alat tangkap yang tidak benar dan baik tersebut. Tampubolon juga mempersoalkan tentang wacana keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan perikanan yang ternyata tidak jelas pengaturannya dalam UU, tentang sejauh mana tahapan pengawasan yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

c)

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Perlunya pelibatan pengambilan keputusan secara partisipasi dari masyarakat dalam revisi UU No. 31 Tahun 2004, sehingga tak terkesan hanya elite Jakarta (DPR RI) dan eksekutif saja, melainkan masyarakat lokal dan adat juga perlu dilibatkan karena mereka juga memiliki aturanaturan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan di darat maupun laut, termasuk partisipasi perempuan dalam diversifikasi produk perikanan, karena kegiatan pengolahan komoditas perikanan melibatkan kaum perempuan. Keppres No. 39 Tahun 1985 tentang trawl yang sanksinya menggunakan denda dengan mata uang Belanda, Golden. Padahal mata uang Belanda saat ini sudah menggunakan Euro sebagai mata uang bersama masyarakat ekonomi Eropa. Terdapatnya sejumlah definisi yang tak jelas, yaitu (i) definisi alat tangkap yang dilarang tak jelas sehingga menimbulkan masalah di lapangan; (ii) juga definisi mengenai nelayan kecil. Terjadinya masalah dalam aspek penyidikan. Petugas penyidikan menurut Pasal 37 UU No. 31 Tahun 2004 adalah TNI-AL, Polairud, dan PPNS. Padahal pelanggaran pencurian ikan adalah tindakan Pidana Khusus sehingga penyidiknya harusnya polisi. Adanya modus baru terkait pengoperasian kapal asing di Kalimantan Barat. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan Kerjasama Operasional (KSO) dengan model kapal impor dari Thailand dan Korea Selatan seperti yang diamanatkan dalam Kepmen No. 05 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan, di mana salah satu syarat kapal asing beroperasi di perairan Indonesia adalah, dengan kewajiban membangun kegiatan perikanan terpadu. Namun pada pelaksanaannya tidak ditemukan. Misalnya, SIUP/SIPI mengisyaratkan pendaratan ikan harus dilakukan di pelabuhan perikanan (UU Perikanan). Kenyataannya, masih terdapat transhipment di tengah laut dengan model kapal impor ini. Anehnya, pada saat docking untuk memperbaiki kapal tersebut kembali ke Thailand dan nyatanya tak pernah kembali ke Indonesia lagi. Hal ini diakali lagi dengan syarat anak buah kapal (ABK). ABK kapal ikan asing (menurut UU No. 13 Tahun 2001) tentang Ketenagakerjaan pasal 44, 45) yang boleh memegang pimpinan di atas kapal bukan orang asing, tapi harusnya orang Indonesia. Dalam modus operandi baru ini semuanya dilanggar. Untuk mengelabui aturan ini model kapal impor mempekerjakan orang Indonesia hanya 1 orang, demi memenuhi tuntutan peraturan UU ketenagakerjaan. Tumpang tindih kewenangan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kasusnya adalah Kewenangan Gubernur dan

d)

e)

f)

g)

h)

54

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

15

Bupati dalam membangun UPT semuanya berasal dari pusat, sehingga fungsi pengawasan antara pusat dan daerah menjadi tumpang tindih. i) UU Perikanan belum berpihak kepada kepentingan pemberdayaan ekonomi nelayan. Sekalipun UU Perikanan lebih berorientasi industri, namun faktanya di Kalimantan Barat, tidak ada relasi antara investasi (perikanan & kelautan) dengan PAD. Konflik perebutan wilayah fishing ground. Kasus terjadinya tembakmenembak antara nelayan tradisional (alat tangkap pasif) dengan nelayan trawl (alat tangkap aktif) di daerah Sambas (Tahun 2006) membuktikan bahwa UU No. 31 Tahun 2004 masih menyisakan celah hukum yang menimbulkan konflik dalam perebutan fishing ground. Inilah dampak dari peraturan yang dibuat negara yang jelas tidak berpihak kepada rakyat kecil. Bahkan di tingkat daerah, APBD di tingkat lokal (Kalbar) amat kecil mengalokasikan subsidi untuk rakyat kecil termasuk nelayan. Hal ini disebabkan semua produk UU yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pengusaha besar dan mengabaikan kepentingan nelayan tradisional. UU Perikanan No. 31 Tahun 2004 dan UU No. 27 Tahun 2007 yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan adalah fakta empiris. UU Perikanan belum mampu mengakomodasi keterkaitan pengelolaan pesisir dan DAS. Sungai Kapuas sebagai suatu mata rantai penyebar bahan pencemar dari hulu sampai ke laut melalui daerah aliran sungai sehingga model perlindungan sepatutnya tidak hanya di kawasan pesisir, tetapi juga masyarakat di sepanjang DAS. Oleh karena itu, revisi UU Perikanan No. 31 Tahun 2004 harus memasukkan pengelolaan aspek ekologis dan ekonomis yang terintegrasi antara DAS dan wilayah pesisir. Minim mengakomodasi unsur keadilan dan penyelamatan sumber kehidupan masyarakat dalam penyusunan sebuah UU, termasuk UU Perikanan. Pasalnya, apabila hal ini terabaikan, UU itu justru menciptakan masalah bukan menyelesaikan masalah. Maria SW Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM (2009) menyatakan terdapat tujuh tolak ukur dalam pengkajian sebuah UU, yaitu (1) orientasi; (2) akses memanfaatkan (3) hubungan negara dengan obyek; (4) pelaksanaan kewenangan negara; (5) hubungan orang dengan obyek (6) hak asasi manusia dan (7) tata pemerintahan yang baik (good governance)2. Sekalipun semua UU, termasuk UU No. 31 Tahun 2004 merujuk pada pasal 33 UUD 1945, namun faktanya (i) Pada aspek orientasi ada yang pro rakyat, pro kapital atau mengkombinasikan keduanya; (ii) Semangatnya pun ada yang konservasionisme, eksploitatif atau mengkombinasikan keduanya.Dikutip dari Kompas, 24 Maret 2009 yang berjudul Pengelolaan Sumberdaya Alam: UU Soal SDA tak Konsisten.

kesempatan pemaparannya dengan mengatakan bahwa harapannya di dalam revisi UU No. 31 Tahun 2004 ini nantinya, akan ada diatur tentang sistem bagi hasil tersebut, dan juga dengan ada dilakukan pertimbangan sesuai situasi dan kondisi daerah masing-masing.

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

j)

Bpk. Ridwan Rangkuti yang merupakan salah seorang staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa UU No. 31 Tahun 2004 masih 'Resentralisasi' (besarnya wewenang pusat) dalam mengurusi persoalan perikanan di daerah. Kemudian dia mengatakan bahwa dalam upaya revisi UU No. 31 Tahun 2004 ini haruslah terlebih dahulu merevisi UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini dia katakan berkaitan dengan adanya wacana yang berkembang tentang arah revisi UU No. 32 Tahun 2004 yang akan menjadikan wilayah daerah sebagai daerah konsentrasi yang memiliki pengertian sama dengan 'Sentralisasi'. Arah revisi ini juga dia katakan masih dalam wajah Pemerintah Pusat. Selanjutnya Ridwan mengatakan bahwa sebaiknya Pemerintah Pusat hanya mengatur beberapa hal pokok utama, yakni: 1. NSPK: Norma Standar Prosedur dan Kriteria. 2. SPM: Standar Pelayanan Minimal. Setelah memaparkan beberapa hal sebelumnya, kemudian Ridwan mengakhiri pemaparan awal pemikirannya dengan menyebutkan tiga poin penting dalam memahami upaya revisi UU No. 31 Tahun 2004 ini, yakni: Bahwa perlu dipahami terlebih dahulu tentang arah revisi UU No. 32 Tahun 2004, yang tentunya merupakan salah satu acuan atau pedoman mendasar dalam upaya revisi UU No. 31 Tahun 2004 terkait dengan situasi dan kondisi di setiap daerah otonomi di Indonesia. Penawaran pemberlakuan konsep desentralisasi asimetris. Penerapan propinsi sebagai institusi subsideriti.

ISU/ Permasalahan

k)

l)

-

Perwakilan dari pihak nelayan adalah Bpk. Lamhuddin Tampubolon, yang juga merupakan Ketua Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN). Di awal pemaparannya, Tampubolon langsung mengangkat persoalan konflik yang seringkali terjadi pada masyarakat nelayan. Beberapa wilayah di Sumatera Utara yang rawan sebagai wilayah konflik adalah seperti Kabupaten Asahan, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya Tampubolon menyikapi keberadaan UU No. 31 Tahun 2004 yang belum sama sekali menunjukkan tanda-tanda kepedulian terhadap nelayan kecil. Hal ini dia katakan demikian disebabkan tidak adanya definisi yang jelas tentang seperti apa sebenarnya yang dimaksud dengan nelayan kecil, dan kemudian dia juga mengatakan bahwa aktivitas subsistensi yang dilakoni oleh nelayan kecil, seakanakan bukan merupakan pelaku dari UU No. 31 Tahun 2004 tersebut.

2

16

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

53

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

berdasarkan wilayah yang merupakan wilayah administratif pemerintahan. Sementara untuk persoalan izin penangkapan, dia mengatakan agar izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah propinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. Selanjutnya Bangun berbicara tentang persoalan pengaturan jalur penangkapan yang dianggapnya kurang baik dan dapat menciptakan kondisi yang tidak baik bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perikanan. Hal ini ditegaskan dengan perbedaan pengaturan jalur penangkapan yang diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian RI No. 392/kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan, dan kewenangan Kabupaten/Kota dalam hal jalur penangkapan yang diatur dalam UU No. 32/2004. Selain tentang jalur penangkapan ikan, Bangun juga mempersoalkan tentang potensi jumlah tangkapan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan. Komisi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh menteri dan beranggotakan para ahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait. Maka dalam hal ini yang dipersoalkan oleh Bangun adalah tentang Dewan Maritim Indonesia yang telah diganti atau diperbaharui dengan Dewan Kelautan Indonesia adalah sama dengan Komisi Nasional, dan apakah institusi ini kemudian dapat memberi kontribusi yang efektif dan fungsional atau tidak. Setelah berbicara tentang jalur penangkapan, Bangun melanjutkan pemaparannya tentang persoalan tempat pelabuhan perikanan. Pada pasal 41 ayat (2) butir e, ada berbunyi tentang penetapan pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada petunjuk tentang pelabuhan yang tidak dibangun oleh pemerintah. Sementara diketahui bahwa di Sumatera Utara terdapat ratusan tangkahan baik besar maupun yang kecil yang dijadikan sebagai tempat pendaratan ikan. Selanjutnya dia mempersoalkan pasal 41 ayat (3) dan (4) tentang sanksi yang akan diberlakukan terhadap aktivitas bongkar muat ikan yang tidak dilakukan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Sementara diketahui banyak terdapat tempat pendaratan ikan ilegal (pelabuhan swasta) yang tidak memiliki penjelasan yang menetapkan apakah tempat-tempat ini merupakan pelabuhan perikanan yang sebenarnya dan telah ada penetapan. Beberapa hal lain yang sedikit disinggung oleh Bangun adalah tentang Surat Izin Berlayar, Perikanan Budidaya, Kawasan Budidaya; yang seringkali merupakan kawasan dengan luasannya yang di atas 12 mil, Pengelolaan Pesisir dan PPK, Perlindungan Nelayan Kecil; yang menurut mereka sekarang ini tidak ada lagi nelayan murni, melainkan buruh nelayan dan hal ini merupakan hal baru harus dilindungi, dan kemudian Sistem Bagi Hasil; yang tidak ada diatur dalam UU No. 9 Tahun 1985 dan UU No. 31 Tahun 2004. Kemudian Bangun mengakhiri

Selanjutkan dikatakan bahwa beberapa produk UU yang dihasilkan justru jauh dari memakmurkan rakyat, meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, pro-pemodal besar, dan tidak sepenuhnya menunjung hak asasi manusia. Contohnya, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

ISU/ Permasalahan

m)

Masalah Syahbandar. Masalah syahbandar perikanan dan syahbandar umum yang merepotkan nelayan tradisional. Oleh karenanya perlu mengkaji kembali pasal 43; 26, 27 dari UU Perikanan No.31 Tahun 2004 yang mengatur tentang hal ini. Aspek penuntutan dalam UU No.31 Tahun 2004 kurang adil. Nelayan kecil yang menggunakan kapal 5 GT dan kapal asing yang menggunakan trawl tuntutannya sama. Pasa 61 dan Pasal 102 (suatu negara asing yang menjalin kerjasama dengan pihak Indonesia) dan pasal 104 tidak jelas. Ketidakjelasan alat tangkap yang dilarang dalam UU No. 31 Tahun 2004 (termasuk trawl). Masalahnya (i) Ketidakjelasan defenisi dan kriteria alat tangkap yang dilarang baik dari jenis dan ukuran messize-nya. Terkait trawl, perlu diperjelas definisi dan spesifikasinya. Misalnya, apakah Fish Net itu trawl atau bukan? Jangan sampai hanya akal-akalan pengusaha saja. Makanya, Pasal 9 UU No. 31 harus memberikan penjelasan yang lebih jelas dalam proses revisinya (Alat tangkap yang dilarang), termasuk tuntutannya yang tertuang dalam pasal 85 UU No.31 Tahun 2004. Dalam UU Perikanan belum mengatur tentang Unreported dan Unregulated Fishing. Olehnya, kejahatan perikanan model ini harus diakomodir dalam revisi UU Perikanan.

n)

o)

p)

2.3 FGD Sumatera UtaraHasil FGD Sumatera Utara adalah: 1. Adanya keresahan nelayan dan organisasi nelayan di Indonesia atas tingginya sanksi pidana dan denda dalam UU No. 31 Tahun 2004. 2. Mengingat bahwa pengadilan perikanan yang sudah terbentuk baru di 5 lokasi yang daerah hukumnya sama dengan pengadilan negeri setempat (pasal 71 ayat (4)), disarankan agar daerah hukum pengadilan perikanan dapat diperluas menjadi per wilayah, sehingga perkara tindak pidana perikanan di berbagai daerah dapat diperiksa oleh hakim perikanan. Bila perlu jumlah hakim ad hoc perikanannya ditambah. Pertimbangannya, menambah jumlah pengadilan perikanan (institusi) jauh lebih sulit dan memerlukan biaya yang lebih besar bila dibanding dengan menambah jumlah hakim ad hoc.

52

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

17

3.

Mengingat bahwa hakim ad hoc perikanan di tingkat banding dan tingkat kasasi belum ada, disarankan untuk dapat diadakan agar perkara-perkara tindak pidana perikanan dapat ditangani oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Keterlambatan turunnya Rencana Tuntutan (Rentut) dari Kejaksaan Agung sering menghambat pembacaan tuntutan dan pengambilan putusan pada persidangan tindak pidana perikanan yang dibatasi hanya 30 hari. Diharapkan agar rencana tuntutan jangan lagi dari Kejaksaan Agung, melainkan cukup dari Kejaksaan Tinggi setempat saja. Sampai saat ini Peraturan Menteri tentang pemberian insentif bagi aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugas dengan baik (pasal 105 ayat (2) dan (3)) belum terbit, sehingga sampai saat ini belum ada pihak penegak hukum yang mendapatkan insentif dari kegiatan penyelesaian tindak pidana perikanan, padahal sudah cukup banyak kasus-kasus yang sudah diselesaikan. Ketidakjelasan dalam proses hukum tindak pidana perikanan bukan terletak pada Pengadilan Perikanan yang sudah terbentuk, tapi pada pengadilan umum yang menyidangkan perkara tindak pidana perikanan. Perlu diingat bahwa keberhasilan penegakan hukum bidang perikanan ditentukan mulai dari pengawasan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Untuk perkara tindak pidana perikanan yang terdakwanya tidak ditahan, seperti nakhoda kapal ikan asing yang tertangkap di ZEEI dan kapal ikan Indonesia yang melakukan pelanggaran ringan, jaksa penuntut umum sering mengalami kesulitan untuk menghadirkan terdakwa di persidangan sesuai jadwal sidang yang ditetapkan oleh Ketua Majelis Hakim. Oleh karena itu, untuk kelancaran pemeriksaan di persidangan, disarankan agar setiap terdakwa perkara tindak pidana perikanan dapat ditahan, mengingat masa persidangan tindak pidana perikanan dibatasi waktu 30 hari (pasal 80 ayat (1)). Proses pemeriksaan di persidangan terhadap terdakwa warga negara asing (umumnya Thailand dan Myanmar) ada kalanya terkendala akibat ketergantungan terhadap penerjemah yang kadang-kadang sulit untuk menghadirkannya. Eksekusi terhadap barang bukti (terutama kapal ikan beserta peralatannya) tidak berhasil dipantau oleh hakim ad hoc maupun hakim karir yang menyidangkannya, karena sulitnya mendapat informasi tentang waktu eksekusi dan harga pelelangan barang bukti. Batas waktu pemrosesan di bidang tindak pidana perikanan sesuai UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

4.

Lampiran 3. Risalah Pertemuan Medan, Sumatera Utara

Tinjauan daerah berikutnya dilakasanakan di Medan, Sumut, 30 Maret 2009. Acara dibuka oleh saudari Noor Aida selaku Direktur Eksekutif JALA dan salah satu pihak penyelenggara. Kemudian dilanjutkan oleh saudara Riza Damanik yang juga merupakan bagian dari pihak penyelenggara, dan juga sebagai Sekjen. KIARA. Riza membuka acara dengan salam pembukaan yang umum dilakukan dalam acara formal, dan kemudian dia mewacanakan seputar hasil dari acaraacara FGD yang telah dilakukan di kota-kota lain di berbagai propinsi. Setelah acara dibuka, sebagai moderator yang membawa acara dan memimpin diskusi adalah saudara Leo Marbun yang merupakan Dir. Eksekutif Lembaga P3MN. Leo memulai diskusi dengan mewacanakan topik pembicaraan yang bertema Peluang Revisi UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Bpk. Matius Bangun sebagai perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara dipersilahkan untuk menyampaikan pemikirannya tentang peluang revisi UU No. 31 Tahun 2004. Bapak Matius Bangun mengawali kesempatan berbicara yang diberikan padanya dengan memperkenalkan diri terlebih dulu, dan kemudian dilanjutkannya dengan menyampaikan paradoks yang berkembang dalam persoalan perikanan di Indonesia, yakni: 1. Potensi sumber daya ikan dengan jumlah 6,39 juta ton/tahun (2005) dan potensi budidaya yang berjumlah 57,7 juta/tahun berhadapan dengan persoalan gizi buruk di Indonesia. Produksi perikanan di dalam negeri yang mencapai angka 90 %, berhadapan dengan persoalan industri yang kekurangan bahan baku dan impor untuk bahan baku dan juga konsumsi yang meningkat. Potensi pasar dan penduduk besar berhadapan dengan tingkat konsumsi rendah dan industri belum berkembang.

ISU/ Permasalahan

5.

6.

7.

2.

3.

8.

9.

Setelah memaparkan paradoks tersebut, Bangun kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa UU itu bukan segala-galanya, tetapi yang selalu atau seringkali menjadi kendala adalah Law Enforcement sebagai bentuk pelaksanaan UU tersebut. Dia kemudian melanjutkan lagi dengan menyoroti persoalan penangkapan ikan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 Pasal 1 butir 5 sudah cukup baik. Dia mengatakan demikian karena setelah hadirnya UU ini, maka antara kegiatan menangkap ikan dengan pengolahan hasil perikanan tidak lagi digabung, melainkan telah ada pemisahan dalam pengaturan kedua kegiatan perikanan tersebut. Pemikiran selanjutnya yang disampaikan oleh Bangun adalah persoalan daerah penangkapan ikan dan juga izin penangkapan ikan. Dia mengatakan bahwa sebaiknya dalam usulan revisi UU No. 31 Tahun 2004 ini nantinya, daerah penangkapan ikan didasarkan pada wilayah pengelolaan perikanan, bukan

10.

18

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

51

DAFTAR PESERTA FGD: Tinjauan Daerah atas UU Perikanan 19 Maret 2009, Pontianak-Kalbar

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

HALIFAH RIZA DAMANIK NGILAH M. KARIM M. SYAMSURI POIJAN ROSIDA. A DEWI. P DAVID. A DUNASTA YONAS DEMAN HURI DEDY. A JULIA SUJARNI ALLOY SABAN SETIAWAN ENDANG BAMBANG M LEONARDO OBRASIUS HR ELIA ICHA SAK

MAPALA UNTAN KIARA RIAK BUMI COMMIT PRCF INDONESIA DKP DKP POLINEP CASSIA LESTARI LBBT LPS-AIR PRCF INDONESIA WALHI KALBAR AMAN KALBAR WALHI KALBAR WALHI KALBAR WALHI KALBAR MAHASISWA MAHASISWA MAHASISWA WALHI KALBAR

ISU/ Permasalahan

No

Nama

Lembaga

50

Tabel 2.1 Hasil FGD Sumatera Utara dari Aspek Penegakan Hukum

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

19

Lampiran 2. Risalah Pertemuan Kalimantan Barat

(Lanjutan) Tabel 2.1 Hasil FGD Sumatera Utara dari Aspek Penegakan Hukum

2004. Nelayan hanya salah satu bagian. Bagian bagian mana yang belum dibahas. Nelayan skala kecil dan skala besar. Alat: nelayan tradisional. UU 32 Pasal 18 kewenangan daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. Turunan UU No. 31 Tahun 2004, diatur dalam Permen. Perubahan yang diinginkan dari UU No. 31 Tahun 2004.

ISU/ Permasalahan

1. Sanksi tindak pidana perikanan yang dianggap sama antara nelayan skala besar dan kecil, padahal UU yang lama berbeda 2. Pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan (Stok ikan) 3. Pukat Hela di Kaltim. 4. Uji coba trawl di Kalbar dan Kaltim. 5. Perlu mengkaji dulu stok ikan yang ada di suatu wilayah dengan menggunakan alat tangkap tertentu. UU No. 31 Tahun 2004. Masalah sahbandar perikanan dan sahbandar umum yang merepotkan nelayan. Oleh karenanya perlu mengkaji kembali pasal 43; 26, 27 UU No. 31 Tahun 2004. Nelayan kecil yang menggunakan kapal 5 GT dan kapal asing yang menggunakan trawl penuntutannya sama. Pasa 61 dan Pasal 102 (suatu negara asing yang menjalin kerjasama dengan pihak Indonesia) dan pasal 104 tak jelas. Subsider belum ada. Dendanya belum dibayar sudah melakukan subsider. UU Perikanan bahkan belum mampu memayungi perikanan nasional, termasuk perikanan darat. Komunitas yang hidup di sekitar Danau Sentarum, didiami oleh 99% komunitas nelayan atau para pencari ikan. Selain merupakan area Taman Nasional, area itu berhadapan dengan rencana pengembangan perkebunan sawit. Sawit dikhawatirkan akan mengancam mata pencaharian mereka. Dedi dari PRCF Indonesia melihatnya sebagai perebutan atas sumberdaya alam. Hak-hak dan kontrol nelayan tradisional atas wilayah kelola, dan keberadaan perempuan nelayan Kalimantan Barat belum diakui pemerintah dan undangundang. Belum adanya pengakuan dan aturan yang rigid dan tegas memunculkan konflik. Apalagi dibarengi dengan belum jelasnya defenisi alat tangkap merusak, sehingga penggunaan trawl menjadi permisif.

20

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

49

Lampiran 2. Risalah Pertemuan Kalimantan Barat

ISU/ Permasalahan

Potensi kelautan dan perikanan Kalimantan Barat (Kalbar) 10 triliun per tahun yang dimaksudkan adalah perairan Laut Cina Selatan (Tribune Pontianak, 20 Maret 2009). Di Kalbar isu perikanan belum menjadi isu utama, karena masih dominan dengan masalah kehutanan. Padahal, sumber daya perikanan di perairan umum seperti danau Sentarum dan sungai sungai amat terancam akibat adanya pembukaan lahan perkebunan sawit dan aktivitas pertambangan mineral. Daya dukung wilayah menunjukkan kerentanan dengan kerusakan hutan mangrove hampir di sekitar garis pantai di Kalimantan Barat, sehingga mengurangi asupan nutrisi ikan-ikan. Aktifitas berburu paus masih berlangsung. Kondisi ini menjadi rumit dengan peraturan yang mengatur kewenangan antar pemerintah masih saja belum sinkron satu sama lain. Problemnya, UU Perikanan No. 31 Tahun 2004 sekalipun sudah dibahas di dalamnya belum mengakomodasinya dalam proses hukum terutama pengadilan perikanan. Akibatnya, sumber penghidupan masyarakat di sekitarnya terancam. Dinas Kelautan dan Perikanan diwakili oleh Rosida mengakui belum dipahami sejauh mana kewenangan mereka dalam pengawasan. Selain itu, trawl merupakan alat tangkap dominan. Trawl, sebagai alat tangkap menuai banyak kontroversi dalam penggunaan dan peraturan. Kontra argumen antar nelayan lokal ada yang memandang trawl bermanfaat meningkatkan hasil tangkapan dan sebagai alat tangkap merusak. Sementara pada tataran peraturan, terjadi penunggangan aturan. Larangan penggunaan trawl diatur dalam Keputusan Presiden No. 39/ 1980 tentang Pelarangan Pengoperasian Trawl, kemudian trawl diperbolehkan kembali melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER 06/ MEN/ 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara. Ukuran kapal yang dijelaskan dalam peraturan itu di antaranya: Ukuran 1-5 GT (tanpa izin) Ukuran 5-10 GT (izin kecamatan/ kota) Ukuran 10-30 GT (izin provinsi) Ukuran >30 GT (izin pusat) Identifikasinya menemukan bahwa trawl udang di Indonesia membuang sekitar 95% dari total hts (hasil tangkapan sampingan), sehingga perlu alat pereduksi ikan-api (by cactch reduction devices/ brds) atau pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah hts. Dari pihak Dinas Kelautan dan Perikanan, Rosida menjelaskan bahwa trawl adalah alat tangkap lokal yang dominan dan biasanya digunakan oleh kapal dengan kapasitas kurang dari 5GT. Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan terbatas oleh wilayah kelola 10-12 mil. UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan selain berbenturan dengan UU No. 32 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah juga peraturan pemerintah. Konsekuensinya adalah pada penerapan kewenangan pemerintah daerah, kabupaten, propinsi hingga pusat. Fokus tentang Perubahan UU No. 31 Tahun

2.4 Hasil Kongres Nelayan Sulawesi UtaraDalam dokumen ini juga dicantumkan beberapa substansi yang berkaitan dengan hasil Kongres Nelayan Tradisional Sulawesi Utara. Hal Ini dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya nelayan tradisional yang kurang mendapatkan tempat dalam UU Perikanan No. 31 Tahun 2004. Isu-isu potensial yang muncul: a) Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut Secara Berkelanjutan ? Revisi aturan yang diberlakukan Taman Nasional Bunaken, harus berpihak pada kepentingan rakyat (nelayan), ? Pengaturan pemanfaatan wilayah tangkap nelayan tradisional, pengusaha perikanan dengan rumpon, ? Mengurangi kerusakan lingkungan dengan merehabilitasi mangrove, ? penegakan hukum terhadap penangkapan ikan yang Perlunya menggunakan bahan yang merusak (bom, potasium), ? Pentingnya sarana alternatif usaha bagi nelayan, ? membentuk organisasi nelayan tingkat desa, Perlunya ? membangun sistem pengawasan masyarakat terhadap pesisir Perlunya dan laut (mangrove, karang, dan penangkapan ikan yang merusak), ? Melestarikan kearifan lokal pengelolaan pesisir (contoh: seke, mane'e), ? Revisi Peraturan Daerah No. 38 tahun 2003 tentang Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat, ? Revisi Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2002 ? Mendorong adanya daerah tangkap tradisional yang menggantikan daerah perlindungan laut ? beroperasinya perusahaan tambang karena berdampak pada Penolakan meningkatnya polusi di lautan ? kegiatan reklamasi pantai yang menggusur nelayan dan juga Menolak merubah struktur komunitas ekosistem ? pengalihan fungsi atau konversi lahan mangrove, Menolak ? menyosialisasikan peraturan perundangan (hukum) yang Perlunya berkaitan dengan pesisir dan laut, ? Mensosialisasikan dampak limbah rumah tangga terhadap lingkungan perairan. Kebijakan Perikanan dan Sistem Pasar (Ekonomi Perikanan) Permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh nelayan tradisional Sulawesi Utara, yaitu: a. Dukungan permodalan b. Sistem pasar yang sulit, sehingga nelayan tak menjadi penentu harga ikan, melaikan lebih ditentukan pengumpul dan kerapkali dipermainkan c. Kebijakan perikanan yang tidak berpihak kepada nelayan tradisional

b)

48

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

21

2.5 Isu dan Permasalahan Perikanan LainnyaIsu dan permasalahan umum lainnya yang muncul berkaitan dengan UU No. 31 Tahun 2004 adalah: a) Ketidakjelasan produksi ikan tuna nasional. Merujuk data FAO (2009) dan UN (2009) tersebut menunjukkan setiap tahunnya ikan tuna yang tidak jelas keberadaannya mencapai 433.512,39 ton per tahun dengan nilai sebesar 471.571,19 US $. Data FAO (2009) menunjukan bahwa produksi ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2006 mengalami pertumbuhan sebesar 4,74 persen per tahun. Sementara itu produksi ikan tuna nasional yang berasal dari impor dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 1.799 persen per tahun. Alhasil total produksi tuna nasional sudah ditambah 3 volume imporpada tahun 2006 sebesar 575.087,85 ton (Suhana, 2009) . Selanjutnya, dikatakan bahwa data UN (2009) menunjukan bahwa volume ekspor ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 5,21 persen per tahun. Total volume ekspor ikan tuna tahun 2006 sebesar 35.459,96 ton. Artinya, kalau dilihat dengan total produksi nasional, total produksi ikan tuna yang diekspor tahun 2006 hanya sebesar 6,17 persennya saja. Atau dengan kata lain dari data tersebut menunjukan bahwa sekitar 93,83 persen produksi ikan tuna nasional belum terserap oleh pasar ekspor. Data UN (2009) dan FAO (2009) menunjukan bawah total produksi ikan tuna nasional yang tidak diserap oleh pasar ekspor tersebut dalam kurun waktu 1989-2007 rata-rata mencapai 91,43 persen per tahun (Lihat Gambar). Inilah yang menambah kecurigaan penulis, karena dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pasca kenaikan harga BBM banyak perusahaan-perusahaan pengalengan tuna nasional yang kekurangan bahan baku. Padahal kalau melihat data yang ada justru setiap tahunnya produksi bahan baku ikan tuna nasional sangat melimpah. Sehingga pertanyaannya adalah ke mana larinya produksi ikan tuna 4 nasional?

No 1 2 2 3 4 5 6

Nama Dara Aisyah Karman Suhana Leonardo M Midaria Novawanty A Imron Pandu Meilaka Nanang Hari M Karim Suraji Aji Sularso Asep Yunan F Dedy Ramanta M Teguh Surya Tiarom Suryadipura Liawatimena Takhwin Oesman Soehartono Semuel Littik M. Riza Damanik Usep Setiawan Lina Yunani Sumikati Ninik Donny Harso Rizky Andriati

Lembaga DPR RI LBH Semarang COMMIT P3MN KIARA IHCS Majalah TROBOS Bina Desa COMMIT SNI DKP HuMA KPPNI WALHI KPPNI BINUS PNJU PNJU USNI KIARA KPA KPI KPI PNJU PNJU PNJU Jurnal Nasional

ISU/ Permasalahan

DAFTAR PESERTA FGD: Peluang Revisi UU Perikanan 18 Februari 2009, Jakarta

7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

3 4

Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana, Ke Mana Larinya Ikan Tuna Kita? Opini Sinar Harapan, 30 Maret 2009

22

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

47

Lampiran 1. Risalah Pertemuan Jakarta

Secara strategis dapat diambil langkah sebagai berikut: a) Perlu adanya sanksi kepada aparat yang tidak menjalankan kewajibannya; b) Dalam penanganan overfishing, perlu ada kebijakan optimalisasi perikanan tangkap setiap tahun Pungutan perikanan harus dikembalikan ke sektor perikanan 20 persen ke pemerintah pusat dan 80 persen ke pemerintah daerah yang mengelola sumber daya alam. Berkaitan dengan: Pasal 7 ayat 6 : Pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional Pasal 36 : Persyaratan kelengkapan pendaftaran kapal Pasal 71 : Memperjelas sistem peradilan perikanan. Peradilan belum merata, hanya ada di lima tempat. Pasal 73 : Penyidikan oleh TNI AL. Harus diperjelas tentang pengaturan pendapatan

46

ISU/ Permasalahan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Kertas Kebijakan untuk Revisi UU Perikanan

Gambar 2.1. Perkembangan Produksi, Volume Ekspor dan Volume Impor Ikan Tuna Nasional Periode 1989-2007 (Sumber: Dianalisis dari FAO 2009 dan UN 2009)

23

b)

Kapal Perikanan Yang Tidak Berizin. Data Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (2009) menunjukan bahwa 17.811 unit atau 87,37 persen kapal perikanan yang ada di setiap pelabuhan perikanan di seluruh wilayah Indonesia ternyata tidak atau belum memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Data tersebut juga menunjukkan bahwa 5.218 unit atau 88,05 persen kapal perikanan dengan ukuran diatas 10-30 GT tidak memiliki SIPI dan kapal di atas 30 GT yang tidak memiliki SIPI mencapai 5.079 unit atau 74,15 persen. Padahal kapal perikanan tersebut sangat jelas disebutkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan diwajibkan untuk memiliki SIPI. Selain itu juga dalam Permen Kelautan dan Perikanan No. 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap juga disebutkan bahwa kapal perikanan diwajibkan untuk memiliki SIPI. Banyaknya kapal perikanan yang sampai saat ini belum memiliki SIPI tersebut menunjukkan bahwa sistem pengelolaan perikanan nasional masih sangat jauh dari perilaku bertanggungjawab dan berkelanjutan. Dan apabila hal ini masih berlanjut dalam pengelolaan sumberdaya ikan ke depan, dikhawatirkan pengelolaan sumber daya ikan nasional akan semakin terpuruk. Dampak besarnya kapal perikanan yang belum mendapatkan izin tersebut adalah: pertama, mendorong aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan (Unreported Fishing). Hasil studi penulis di wilayah Pesisir Sumatera Utara menunjukan bahwa aktivitas perikanan yang tidak dilaporkan sangat dominan dilakukan oleh para pengusaha perikanan di wilayah tersebut dengan cara mendaratkan ikan di tangkahan atau pelabuhan swasta. Padahal dalam Pasal 69 Permen Kelautan dan Perikanan No.5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap disebutkan bahwa Ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam rangka penanaman modal wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI dan/atau SIKPI. Hasil pengamatan penulis di lapangan setiap tangkahan ketika musim ikan dapat mempoduksi ikan sebesar 5-10 ton per hari. Artinya bahwa dengan mengambil asumsi harga ikan di wilayah Sumatera Utara rata-rata Rp. 12.000 per Kg, maka kerugian ekonomi dar