3482

42
STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN SKRIPSI PENGARUH PIJAT REFLEKSI TERHADAP INSOMNIA PADA LANSIA DI DESA LEYANGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG OLEH : PUTU ADITYA SUKARENDRA 010109A108 1

Upload: astry-yona

Post on 07-Feb-2016

64 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: 3482

STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN

SKRIPSI

PENGARUH PIJAT REFLEKSI TERHADAP INSOMNIA PADA LANSIA DI DESA

LEYANGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR

KABUPATEN SEMARANG

OLEH :

PUTU ADITYA SUKARENDRA

010109A108

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO

UNGARAN

2013

1

Page 2: 3482

2

Ngudi Waluyo School of Health UngaranNursing Science Study Program Final Assignment, October 2013Putu Aditya Sukarendra(010109a108)

The Influence of Reflection Massage toward Insomnia of the Elderly people at Leyangan Village East Ungaran Sub-district Semarang Regency(xix + 91 pages + 9 tables + 1 picture + 9 appendices)

ABSTRACT

Long-term insomnia can lead to various diseases, and it can be overcomed with reflection massage. The pressure on the soles can give relaxed feeling. This can reduce the stimulus to the reticular activation system and spread to bulbar synchronizing region that lead to sleep. This study aims to analyze the influence of the reflection massage toward insomnia at Leyangan Village East Ungaran Sub-district Semarang Regency.

This study used a quantitative approach with quasi-experimental method and used non-equivalent control group design. The population in this study was 187 elderly people. The samples were 36 respondents divided into two groups: the control and the intervention groups where each group consists of 18 respondents sampled by using the purposive sampling technique. Data collected used questionnaires of the modified Pittsburgh insomnia with the rating scale of 20. Data analysis used the parametric statistical tests.

The results of this study indicate that there is a difference of insomnia levels in the elderly people before and after being given the reflection massage in the intervention group with p-value of (0.000) <α (0.05), there is no difference of insomnia levels in the elderly people before and after being given the treatment in the control group with p-value of (0.286)> α (0,05). And, there is a significant influence of reflection massage toward insomnia in the elderly people at Leyangan Village East Ungaran Sub-district Semarang Regency with p-value of (0.007) <α (0,05).

These results could be adopted for the consideration in selecting the reflection massage as the method in relieving and treating insomnia.

Keywords : Reflection massage, Insomnia, Elderly peopleBibliographies : 28 (2002-2013)

Page 3: 3482

3

KATA PENGANTAROm Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat dan anugarah-Nya, penulis memuji-Nya dengan pujian orang-orang yang bersyukur yang menyadari anugerah-Nya, kemurahan-Nya dan nikmat yang tak pernah terhitung. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Keperawatan di Progam Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran. Penulis menyadari bahwa dalam proses pelaksanaan penyusunan Skripsi ini melibatkan banyak pihak, untuk itu perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak H. Asaat Pitoyo, S.Kp.M.Kes, selaku Ketua STIKES Ngudi Waluyo Ungaran.

2. Ibu Rosalina S.Kp., M.Kes. Selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo

3. Bapak Ns. Priyanto, M. Kep.,Ns.Sp.Kep.MB, selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam membimbing, mengarahkan penulis dari awal hingga akhir Skripsi.

4. Ibu Fiki Wijayanti, S. Kep., Ns. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan, kritik dan saran sehingga terselesainya Skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen dan Staf STIKES Ngudi Waluyo Ungaran yang telah banyak membantu dalam kelancaran Skripsi ini.

6. Kepala Desa beserta seluruh staf yang ada di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur kabupaten Semarang.

7. Kedua orang tua saya, Bapak I Wayan Kastama dan Ibu Ni Ketut Sriniti, dan adikku serta kakak-kakak saya Terimakasih yang tak terhingga atas segala sesuatu dan Doa yang telah kalian berikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi ini.

8. Buat adik dan kakak saya dirumah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan doanya.

9. Buat Sahabatku ( Donal, Katoz, Eka, Mehox, Gus de (Kriting), Uking (Eroor), Bli Kencul,walchot, Tu Ceng, Sudir, Sarif, Latif, Bowo, jony, Nita, Dewi, Putri, DLL yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu) terimakasih atas kegilaan kalian yang menjadikan motivasi bagi saya.

10. Teman-teman PSIK angkatan 2009 yang selalu memberikan semangat. Kebersamaan kita takan terlupakan sampai kapanpun.

Akhirnya peneliti berharap Skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukan atau membutuhkannya.

Om Santih, Santih, Santih OmUngaran, Agustus 2013

Peneliti

Page 4: 3482

4

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangAgeing process (proses menua)

adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang di derita. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara ilmiah. Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama cepatnya dan sangat individual. Banyak faktor yang mempengaruhi penuaan seseorang seperti genetik (keturunan), asupan gizi, kondisi mental, pola hidup, lingkungan, dan pekerjaan sehari – hari (Azizah, 2011).

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental

dan social secara bertahap. Lanjut usia berdasarkan usia kronologis/ biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) usia 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Azizah, 2011).

Pertambahan jumlah lansia di beberapa negara, salah satunya Indonesia, telah mengubah profil kependudukan baik nasional maupun dunia. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18,57 juta jiwa, meningkat sekitar 7,93 % dari tahun 2000 yang sebanyak 14,44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan sekitar 43 juta jiwa (badan pusat statistik dalam Iriadi, 2012). Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter (Mau A, 2012).

Semakin bertambahnya umur manusia maka akan terjadi proses penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-

Page 5: 3482

5

perubahan diri manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual. Perubahan secara fisik misalnya sistem indra. Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan presbiopi. Lensa kehilangan elastisitas dan kaku. Sistem saraf, sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal (Azizah, 2011).

Secara umum menjadi tua atau menua (ageing process), ditandai oleh kemunduran-kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik dan kemunduran kognitif yang sering kali menimbulkan masalah. Masalah fisik yang sehari-hari sering ditemukan pada lansia seperti mudah jatuh, mudah lelah, berat badan menurun, sukar menahan buang air besar, gangguan pada ketajaman penglihatan (Azizah, 2011), nyeri dada, sesak nafas pada waktu melakukan kerja fisik, berdebar-debar, gangguan pada pendengaran, gangguan tidur (sukar tidur) (Bandiyah, 2009). Pada lansia penyakit yang sering dijumpai yakni hipertensi, diabetes militus, osteoartritis, gout artritis (Azizah, 2011).

Gangguan tidur merupakan penderitaan bagi para usia lanjut karena berhubungan dengan rasa

kenikmatan, kebahagiaan dan kualitas hidupnya. Pola tidur pada usia lanjut yang berbeda dengan orang dewasa perlu mendapat perhatian dari para petugas kesehatan. Perubahan struktur tidur juga berbeda pada usia lajut sehingga umumnya kurang dapat menikmati tidur tidur nyenyak dari pada orang muda (Prayitno, 2002). Gangguan tidur telah diklasifikasikan menjadi 4 kategori utama yaitu insomnia, apnea tidur, deprivasi tidur, parasomnia (Perry & Potter, 2006). Insomnia adalah gejala yang dialami oleh klien yang mengalami kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur, dan tidur singkat atau tidur nonrestoratife (Perry & Potter, 2006).

Insomnia merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai disemua lingkungan, baik pada negara maju maupun negara berkembang. Penderita insomnia pun tidak terbatas pada kisaran umur tertentu. Semua usia rawan terkena insomnia, baik pada bayi, anak – anak remaja, dewasa, maupun usia lanjut. Pada penderita insomnia, umumnya tidak bangun tidur dalam keadaan fresh atau segar. Mereka justru merasa lemas, loyo, kurang bersemangat, masih mengantuk, dan perasaan tidak enak lainnya. Kondisi ini juga menguras energi emosional. Perasaan atau suasana hati menjadi sangat terganggu atau tidak menentu. Tentunya ini akan mengganggu kesehatan, kinerja, dan kualitas hidup. Terdapat banyak penyebab insomnia seperti faktor psikoligi, problem psikiatri, sakit fisik, faktor lingkungan, gaya hidup, tidur siang berlebihan (Susilo, 2011).

Page 6: 3482

6

Tidur yang normal melibatkan dua fase Nonrapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Selama NREM seorang yang tidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama siklus tidur yang tipikal 90 menit. Kualitas tidur dari tahap 1 sampai tahap 4 bertambah dalam. Tidur yang dangkal merupakan karakteristik dari tahap 1 dan 2 seseorang lebih mudah terbangun. Tahap 3 dan 4 melibatkan tidur yang dalam, disebut tidur gelombang rendah dan seseorang sulit terbangun. Tidur REM merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 meni. Konsolidasi dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini. Pada lansia episode tidur REM cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM 3 dan 4, beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap 4 atau tidur yang dalam. Seorang lansia lebih sering terbangun pada malam hari dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur. Perubahan pola tidur pada lansia disebabkan perubahan SSP yang mempengaruhi pengaturan tidur. Kerusakan sensorik, umum dengan penuaan, dapat mengurangi sensitivitas terhadap waktu yang mempertahankan irama sirkandian (Perry & Potter, 2006).

Dalam mengobati gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular activating system diotak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang menekan susunan

saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti depress. Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari berikutnya (long ecting) sehingga mengganggu aktiritas sehari-hari. Begitu pula bila pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan overdosis dan ketergantungan obat. Sebelum penggunaan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis gangguan tidur misalnya apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM) gangguan pendek, bangun terlebih dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam hari, adanya perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primer (Japardi, 2002). Terapi terhadap insomnia dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti CBT (cognitive behavioral therapy), sleep restriction therapy, stimulus control therapy, cognitive therapy, imageri training dan relaxation therapy (Susilo, 2011). Banyak cara-cara praktis dalam terapi relaksasi yang bermanfaat untuk mengembalikan fungsi anggota tubuh ke posisi yang normal, yang paling umum adalah dengan pemijatan (Hadibroto & Alam dalam Triyadini, 2010). selain terapi dan pengobatan secara medis, ada juga pengobatan insomnia yang dapat ditempuh yaitu dengan pengobatan herbal atau obat tradisional (Susilo, 2011).

Terapi komplementer merupakan terapi tambahan di luar terapi utama dan berfungsi sebagai

Page 7: 3482

7

terapi pendukung untuk mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup dan berkontribusi terhadap penatalaksanaan pasien secara keseluruhan. Menurut national institute of Health (NIH), terapi komplementer dikatagorikan menjadi 5 yaitu 1.) Biological Based Practice : herbal, vitamin dan suplemen lain. 2.) Mind body techniques : meditasi. 3.) Manipulative and body based practice : pijat refleksi . 4.) Energy therapies : terapi medan magnet. 5.) Ancient medical systems : obat tradisional chinese, ayurvedic, akupuntur (Suardi, 2011).

Pijat refleksi adalah pijat dengan melakukan penekanan pada titik syaraf di kaki atau di tangan untuk memberikan rangsangan bioelektrik pada organ tubuh tertentu yang dapat memberikan perasaan rileks dan segar karena aliran darah dalam tubuh menjadi lancar. merangsang titik – titik dengan tekanan jari kita dapat mengobati atau menjaga kesehatan di organ – organ dan kelenjar melalui jalur energi tubuh. Penjelasan ilmiah manfaat tekanan pada pijat refleksi adalah dengan mengirim sinyal yang menyeimbangkan sistem syaraf atau melepaskan bahan kimia seperti endorphin yang mengurangi rasa sakit dan stress (Trionggo, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Nugroho, (2012), efektifitas pijat refleksi kaki dan hipnoterapi terhadap penurunaan tekanan darah pada pasien hipertensi. Pijat refleksi kaki dapat menurunkan tekanan darah, dari 60 responden di dapat nilai penurunan tekanan darah systole sebesar 23,5 mmHg dan

diastole sebesar 8,42 mmHg. Terdapat perbedaan keefektifan pengaruh pijat refleksi kaki dan hipnoterapi terhadap penurunan tekanan darah, hal ini terbukti dengan didapatkannya nilai signifikasi (p) < 0,05.

Pada pemijatan refleksi, sensor syaraf di kaki memberikan sinyal langsung ke otak, organ dalam, dan bagian tubuh lainnya karena kebutuhan primitif tubuh untuk mempertahankan diri. Kaki kita melakukannya dengan cara memproses informasi dari lingkungan yang dikumpulkan oleh sensor tekanan di telapak kaki, membantu tubuh menentukan tingkat bahan bakar dan oksigen yang optimal. Jumlah bahan bakar dan oksigen berbeda dengan kaki yang bertarung. Maka sinyal – sinyal tekanan dari telapak kaki menyampaikan kepada otak dan membantunya memastikan gula darah, kontraksi otot dan relaksasi yang dibutuhkan sudah dipenuhi. memijat suatu titik di dalam zona, tangan dan kaki dapat melepaskan ketegangan dan memulihkan keseimbangan ke seluruh zona dan keseluruh tubuh ( Barbara & Kevin K, 2012). Tekanan pada telapak kaki memberikan rangsangan bioelektrik pada organ tubuh yang berhubungan dengan titik saraf telapak kaki. Rangsangan biolektrik memperlancar aliran darah dan cairan tubuh hasilnya sirkulasi penyaluran nutrisi dan oksigen ke sel-sel tubuh menjadi lancar tanpa ada hambatan sedikitpun. Sirkulasi aliran darah yang lancar itu akan memberikan efek relaksasi dan kesegaran pada seluruh anggota

Page 8: 3482

8

tubuh (Gunawan, 2011). Posisi rileks inilah yang menurunkan stimulus ke sistem aktivasi reticular (SAR), dimana (SAR) yang berlokasi pada batang otak teratas yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. Dengan demikian akan diambil alih oleh batang otak yang lain yang disebut bulbar synchronizing region (BSR) yang fungsinya berkebalikan dengan SAR, sehingga bisa menyebabkan tidur yang diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas tidur (Perry & Potter dalam Kurnia, 2009).

Pijat refleksi kaki adalah aplikasi yang paling kuat dari terapi ini. tekanan pada titik refleksi kaki merangsang jalur saraf dan organ lebih kuat dari pada ditangan (Trionggo, 2013). Pada penderita insomnia dilakukan pemijatan di area reflek solar pleksus di kedua belah kaki bertujuan menguatkan kinerja otot dan jaringan saraf yang terlibat dalam respirasi. Langkah ini berkaitan dengan paru – paru dan bagian tubuh lainnya yang berhubungan dengan pernapasan dan pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh. Juga refleks kepala dan otak hingga beberapa baris pijatan area refleks batang otak agar rileks. Saraf ini menimbulkan efek relaksasi ( Barbara & Kevin K, 2012).

Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Leyangan kecamatan Ungaran Timur kabupaten Semarang, terdapat 187 lansia dan ada 5 lansia mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan tidur. Mereka mengeluh sulit untuk tidur, sering terbangun pada malam hari, sering mengantuk pada pagi hari, merasa lemas/lelah setelah bangun

pagi, sering menguap waktu ngobrol dengan orang lain, mudah marah ketika jumlah jam tidurnya kurang dan merasa malas untuk beraktifitas. Selama ini lansia yang ada disana belum mengetahui tentang pijat refleksi. Mereka hanya mengkonsumsi obat – obatan untuk dapat tidur seperti obat lelap.

Berdasarkan hal di atas, penulis ingin meneliti tentang “Pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia pada lansia“ guna mengetahui seberapa jauh pengaruh pijat refleksi ini dalam gangguan tidur : insomnia pada lansia dan hal ini merupakan kompetensi perawat untuk melakukan tindakan keperawatan.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di

atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Adakah pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia pada lansia di Desa Leyangan kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang ?”

C. Tujuan Penelitian1. Tujuan Umum

Menganalisa pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia pada lansia di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.

2. Tujuan Khususa.Mengetahui gambaran

insomnia lansia sebelum dilakukan pijat refleksi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang pada kelompok intervensi dan kontrol.

b. Menganalisa gambaran insomnia lansia sesudah

Page 9: 3482

9

dilakukan pijat refleksi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang pada kelompok intervensi dan kontrol.

c.Menganalisa perbedaan insomnia pada lansia sebelum dan sesudah dilakukan pijat refleksi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang pada kelompok intervensi.

d. Menganalisa perbedaan insomnia pada lansia sebelum dan sesudah dilakukan pijat refleksi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang pada kelompok kontrol.

e.Menganalisis pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia pada lansia di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.

D. Manfaat Penelitian1. Bagi Lansia dan Masyarakat

Membantu lansia dan masyarakat yang mengalami gangguan tidur agar secara mandiri atau dibantu keluarga dalam melakukan pijat refleksi.

2. Bagi Ilmu Keperawatan Hasil penelitian dapat

digunakan sebagai bukti dan acuan dalam penurunan insomnia dengan menggunakan pijat refleksi. Mengembangkan ilmu dan ketrampilan dalam merawat pasien lansia yang mengalami gangguan tidur.

3. Bagi Perawat dan Tenaga Kesehatan

Sebagai lahan bagi tenaga kesehatan untuk dapat

memberikan pelayanan kesehatan secara komprehensif dalam penatalaksanaan terapi komplementer bagi penderita penyakit insomnia dalam pengaturan kualitas tidur.

4. Bagi Peneliti Dasar engembangan bagi

penelitian selanjutnya tentang pengaruh pijat refleksi terhadap penurunan insomnia pada lansia dalam keperawatan lansia dan rencana penatalaksanaan dan Sebagai suatu pengalaman penelitian dan pengembangan wawasan terhadap bidang keperawatan serta melengkapi tugas akhir pembelajaran.

METODOLOGI PENELITIANA. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, metode yang digunakan adalah quasy experiment design atau eksperimen semu. Penelitian quasy experiment design merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari “sesuatu” yang dikenakan pada subyek selidik (Notoatmodjo, 2010).

Jenis desain dalam penelitian ini berbentuk Pretest-Posttest With Control Group Desain quasi experiment dapat digambarkan sebagai berikut :

Tabel 4.1 Non Equivalent (Pretest dan Posttest) Control Grup Design

Page 10: 3482

10

Keterangan : Kelompok 1 : Kelompok intervensi

(pijat refleksi)Kelompok 2: Kelompok kontrol

(tidak dilakukan apa-apa)X : Treatment yang

diberikan pada kelompok intervensi

- : Treatmen yang diberikan pada kelompok kontrol

01 : Nilai pretest pada kelompok intervensi

02 : Nilai postest pada kelompok intervensi

A : Nilai pretest pada kelompok kontrol

B : Nilai postest pada kelompok kontrol

B. Populasi Dan Sampel1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2007). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia yang ada di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang yang berjumlah 187 orang.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi. Sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (Sugiyono, 2007).

Menurut Zainudin dalam Nursalam (2011) penentuan besar sampel dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: jika besar populasi ≥1000, maka sampel bisa diambil 20-30%; sedangkan, jika besar populasi <1000, maka dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

n= N . z2 p . qd ( N−1 )+ z . p .q

n=187(1,96)2 .0,5 . 0,5

( 0,05 ) (187−1 )+(1,96)2 . 0,5 .0,5

n=179,594810,2604

=17,50

Dibulatkan menjadi = 18

Keterangan:n : Perkiraan jumlah sampelN : Perkiraan besar populasiz : Nilai standar normal untuk α

= 0,05 (1,96)p : Perkiraan proporsi, jika tidak

diketahui dianggap 50%q : 1 – p (100% - p)d : Tingkat kesalahan yang

dipilih (d = 0,05)Berdasarkan hasil perhitungan

diatas maka diperoleh jumlah sampel minimum yaitu 18 orang. Yaitu 18 pada kelompok intervensi dan 18 pada kelompok kontrol jadi semua berjumlah 36.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik pengambilan sampel jenis non random sampling merupakan teknik pengambilan sampel dari populasi

Pretest

Perlakuan

Postest

Kelompok intervensi (1)

01 X 02

Kelompok kontrol 2)

A - E

Page 11: 3482

11

dimana setiap anggota populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk di ambil sebagai sampel. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Riyanto, 2011).1) Kriteria inklusi dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:a) Lansia laki-laki atau

perempuan dengan insomnia yang berumur 60-74 tahun di Desa Leyangan.

b) Mampu berkomunikasi secara verbal.

c) Bersedia menjadi responden.d) Tidak mengkonsumsi obat

yang berefek sedasi.2) Kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:a) Lansia yang mengalami

ganguan mental/ kejiwaan.b) Lansia yang mengalami lukac) Lansia dengan penyakit

kronis yaitu hipertensi, asma dan diabetes mellitus.

Proses pembagian sampelSampel dibagi menjadi 2

kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan cara sistematik berdasarkan angka yaitu lansia yang mempunyai angka ganjil menjadi kelompok intervensi dan yang mempunyai angka genap menjadi kelompok kontrol.

C. Tempat Dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan dari tanggal 29 Juli - 7 Agustus 2013 di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.

D. Alat Pengumpulan DataMenurut Saryono (2011),

instrument penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik sehingga lebih mudah diolah. Kuesioner untuk mengukur insomnia adalah dengan menggunakan alat ukur (instrumen) Pittsburgh Insomnia Rating Scale 20 yang terdiri dari 20 setiap jawaban diberi penilaian antara 0-3 dengan penilaian yaitu 0 : sama sekali tidak terganggu/ baik sekali, 1 : sedikit terganggu/baik. 2 : cukup terganggu/cukup, 3: sangat terganggu/buruk sehingga skor maksimum dari pertanyaan item tersebut adalah 60 dan skor minimum 0 dan hasil penghitungan sebagai berikut:

Tabel 4.2 Kategori Skor Derajat Insomnia

Kategori Skor

Tidak insomnia

Insomnia ringan

Insomnia sedang

Insomnia berat

0-15

16-30

31-45

46-60

E. Proses Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

Page 12: 3482

12

1. Peneliti mengurus surat pengantar ijin penelitian dari institusi

2. Mengajukan surat ijin penelitian kepada kepala Kantor KESBANGPOL untuk diberikan surat rekomendasi

3. Menyampaikan surat ijin penelitian dari KESBANGPOL kepada kepala desa Leyangan.

4. Penetapan sampela. Peneliti mempersiapkan semua

keperluan penelitian yaitu alat bantu pijat, minyak kayu putih dan 1 handuk.

b. Mengajarkan kepada 2 orang asisten penelitian tentang alur penelitian.

c. Peneliti dan asisten menentukan lansia dengan insomnia yang menjadi responden yaitu sebanyak 36 lansia sebelum penelitian dimulai yaitu pada tanggal 29 Juli 2013.

d. Penentuan sampel dilakukan dengan mendatangi semua lansia yang ada di desa Leyangan dengan memberikan koesioner pratest yang ada di desa leyangan.

e. Didapatkan 37 lansia dengan insomnia, namun yang dipakai adalah 36 karena 1 lansia yang gugur menjadi responden karena terdapat luka pada kakinya.

f. Dari 36 lansia, peneliti kemudian membagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan cara sistematik berdasarkan angka yaitu lansia yang mempunyai angka ganjil menjadi kelompok intervensi dan yang mempunyai angka

genap menjadi kelompok kontrol.

g. Sebagian besar lansia didampingi keluarga saat akan dilakukan penelitian.

h. Peneliti dan 2 asisten menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian kepada masing-masing responden.

5. Kelompok intervensiPeneliti membuat kesepakatan

kepada responden dan keluarga yaitu dengan menandatangani lembar informed consent oleh lansia yang bersedia menjadi responden. Memberikan kuesioner untuk mengidentifikasi derajat insomnia untuk pretest kepada masing-masing responden kelompok intervensi pada tanggal 29 juli 2013 untuk diisi oleh peneliti berdasarkan jawaban dari responden. Kelompok intervensi diberikan perlakuan yaitu dengan melakukan pijat refleksi pada saraf, dilakukan penekanan selama 5 menit. Pada kaki yang ditekan ada 2 saraf yaitu saraf solar pleksus dan saraf kepala dan otak jadi pemijatan selama 20 menit pada 2 kaki yang dilakukan 3 hari setiap sore sebelum lansia tidur yaitu dari tanggal 30 Juli – 1 Agustus 2013, kemudian memberikan kuesioner kepada responden dan diisi peneliti sesuai jawaban dari responden pada pagi hari tanggal 2 Agustus 2013 sebagai postest untuk mengetahui hasil dari perlakuan pijat refleksi kepada kelompok intervensi.

6. Kelompok kontrolPada kelompok kontrol, di

berikan koesioner pretest bersamaan dengan kelompok

Page 13: 3482

13

intervensi yaitu tanggal 29 juli 2013 responden pada kelompok intervensi tidak dilakukan apa-apa selama 3 hari karena sebagai pembanding dengan kelompok intervensi. Setelah dibandingkan dengan kelompok intervensi pada kelompok kontrol dilakukan pijat refleksi mulai tanggal 3 - 6 Agustus 2013 dan di berikan koesioner postest pada tanggal 6 Agustus.

7. Setelah penelitian, data diolah dengan SPSS untuk memperoleh hasil uji.

F. Etika PenelitianDalam melaksanakan

penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada lembaga tempat peneliti melalui rekomendasi dari institusi pendidikan (STIKES Ngudi Waluyo Ungaran). Selanjutnya pengajuan kuesioner kepada responden dengan menekankan kepada etika-etika penelitian. Etika-etika penelitian menurut Hidayat (2008) dan Nursalam (2008) adalah sebagai berikut:1. Prinsip Manfaat

a.Bebas dari penderitaanPenelitan dilaksanakan

tanpa mengakibatkan penderitaan kepada responden, dan responden tidak merasa tersakiti dari perlakuan yang diberikan. Pijat refleksi ini hanya memberikan kenyamanan dan tidak memberikan rasa sakit.

b. Bebas dari eksploitasiPeneliti menghindarkan

responden dari keadaan yang tidak mengutungkan. Peneliti

juga menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan tidak digunakan untuk hal yang merugikan. Peneliti meminimalkan keadaan yang tidak diinginkan.

c.Resiko (benefits ratio)Peneliti melakukan

perlakuan dengan hati-hati serta mempertimbangkan resiko dan keuntungan bagi responden yaitu dengan melakukan pijat refleksi sesuai dengan prosedur. Jika ada hal yang tidak di inginkan peneliti akan bertanggung jawab.

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Concent)

Informed consent diberikan sebelum melakukan penelitian. Pemberian Informed consent kepada responden yaitu dengan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden bagi lansia yang bersedia menjadi responden dan peneliti tidak memaksakan bagi lansia yang tidak bersedia menjadi responden. Penelitian ini tidak ada unsur paksaan dari peneliti, untuk responden harus ikut penelitian.

3. Tanpa Nama (Anonimity) Peneliti tidak

mencantumkan nama responden, peneliti hanya menggunakan initial dan kode responden pada proses penelitian dengan tujuan untuk menghormati privasi masing-masing responden. Dalam penelitian ini identits data yang di ambil dari responden hanya menggunakan initial saja misalnya Ny A, dan yang lainnya.

Page 14: 3482

14

4. Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi

tentang responden dijamin oleh peneliti, hanya data tertentu yang dilaporkan dalam hasil penelitian. Dalam penelitian ini Informasi lain yang tidak diperlukan tidak akan disampaikan kepada orang lain atau siapapun.

5. Prinsip keadilan (right to justice)

Responden diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah keikutsertaannya dalam penelitian ini tanpa adanya diskriminasi. Pada penelitian ini yaitu pada kelompok kontrol, peneliti melakukan pijat refleksi setelah penelitian selama 3 hari seperti kelompok intervensi.

G. Pengolahan DataLangkah-langkah dalam

pengolahan data menurut Notoatmodjo (2010) adalah sebagai berikut:1. Pemeriksaan Data (Editing)

Editing dilakukan untuk mengetahui apakah data sudah diisi dengan benar sesuai petunjuk pengisian. Pada tahap ini semua data diperiksa pada saat peneliti mengisi kuesioner berdasarkan jawaban dari responden yaitu dengan cara memeriksa ulang apakah kuesioner sudah diisi dengan jelas oleh peneliti.

2. SkoringSkoring merupakan langkah

untuk memberikan skor untuk

kategori hasil dari coding yaitu dengan memberikan memberikan skor insomnia yaitu 0 : sama sekali tidak terganggu, 1: sedikit terganggu, 2 : cukup terganggu, 3 : sangat terganggu.

3. Pengkodean Data (Coding)Coding dilakukan untuk

mempermudah proses pengolahan data, maka peneliti memberikan kode pada data yang diperoleh untuk mempermudah dalam pengelompokan dan klasifikasi data. 1.) tidak ada keluhan insomnia; 2.) insomnia ringan; 3.) insomnia sedang; 4.) insomnia berat.

4. Menyusun Data (Tabulating)Tabulating dilakukan dengan

penyusunan data sehingga data dapat disusun dan dijumlahkan dengan mudah.

5. Memasukkan Data (Entry data)Entry data dilakukan dengan

memasukan data kedalam komputer dan selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan program SPSS (Statistical Pacgage For Social Science).

6. CleansingCleansing dilakukan dengan

memastikan bahwa seluruh data yang dimasukkan kedalam program pengolah data sesuai dengan yang sebenarnya atau untuk mencari ada kesalahan atau tidak pada data yang sudah di entry.

H. Analisis Data1. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.

Page 15: 3482

15

Umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).

Bentuk analisis univariat data katagori digunakan nilai distribusi frekuensi. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah derajat insomnia pada kelompok intervensi dan kontrol sebelum dan sesudah diberikan pijat refleksi.

2. Analisa BivariatAnalisis ini dilakukan

dengan tujuan untuk menguji variabel-variabel penelitian yaitu variabel independen dengan variabel dependen. Hal ini berguna untuk membuktikan atau menguji hipotesis yang telah dibuat. Menguji hipotesis komparatif rata-rata dua sampel apabila datanya berbentuk interval atau ratio maka menggunakan uji statistik parametrik (Sugiyono, 2010). Uji yang digunakan untuk menguji normalitas data yaitu menggunakan uji Shapiro-Wilk untuk jumlah sampel kecil (≤50) dan bila (p value > 0,05) terbukti data berdistribusi normal.

Tabel 4.3 Uji Normalitas Data

Berdasarkan uji normalitas Saphiro Wilk, didapatkan p-value

untuk tingkat insomnia pretest pada kelompok kontrol dan intervensi masing-masing sebesar 0,364 dan 0,127. Untuk tingkat insomnia posttest pada kelompok kontrol dan intervensi masing-masing sebesar 0,354 dan 0,708. Oleh karena semua p-value tersebut lebih besar dari (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa data-data tersebut dinyatakan berdistribusi normal maka menggunakan uji statistik parametrik.

Uji homogenitas (kesetaraan) untuk mengetahui kesetaraan variabel. Uji homogenitas dilakukan pada variabel kontrol dan intervensi, keduanya dinyatakan setara atau homogen dengan ketentuan nilai kemaknaan α = 0,05 atau sesuai t tabelnya. p value > α, maka kedua variabel dinyatakan setara atau homogen. Setelah variabel dinyatakan setara, maka dapat dilakukan analisis selanjutnya.Tabel 4.4 Uji Kesetaraan

Tingkat Insomnia Lansia Sebelum Dilakukan Pijat Refleksi antara Kelompok Intervensi dan Kontrol pada di Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang, 2013

VariabelKelompok

N Mean SD Tp-value

Derajat Insomnia

IntervensiKontrol

1515

28,6029,40

3,1123,979

-0,613

0,545

Berdasarkan tabel 4.3, rata-rata skor insomnia lansia kelompok intervensi sebelum dilakukan pijat refleksi sebesar

Variabel Kelompok Statistic p-valu

e

Keterangan

Insomnia Pretest

Insomnia Posttest

IntervensiKontrolIntervensiKontrol

0,9460,9200,9450,965

0,3640,1270,3540,708

NormalNormalNormalNormal

Page 16: 3482

16

30,50, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 30,28. Ini dapat diartikan bahwa skor insomnia lansia sebelum dilakukan pijat refleksi tidak jauh berbeda.

Berdasarkan uji t independent, didapatkan nilai t hitung = 0,158 dengan p-value 0,875. Oleh karena p-value 0,875 > (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat insomnia lansia sebelum dilakukan pijat refleksi antara kelompok intervensi dan kontrol di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang. Ini menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pijat refleksi kedua kelompok dapat dinyatakan setara atau homogen.

Kesimpulan apakah hipotesa yang diajukan diterima atau ditolak dengan ketentuan nilai kemaknaan α = 0,05. Jika p value < α, maka Ho ditolak, artinya ada pengaruh pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia di Desa Leyangan, sedangkan jika p value > α, maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tentang pengaruh pijat refleksi terhadap insomnia pada lansia di Desa Leyangan Kecamatan

Ungaran Timur Kabupaten Semarang yang telah dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 36 yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 18 untuk kelompok intervensi dan 18 untuk kelompok kontrol dengan hasil yang diperoleh akan dibahas sebagai berikut :A. Gambaran tingkat insomnia

pada lansia sebelum dilakukan pijat refleksi pada kelompok intervensi dan kontrol

Berdasarkan hasil penelitian, derajat insomnia pada lansia sebelum diberikan pijat refleksi pada kelompok intervensi ditemukan 7 lansia (38,9%) mengalami insomnia ringan dan 11 lansia (61,1%) mengalami insomnia sedang, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan 8 lansia (44,4%) mengalami insomnia ringan dan 10 lansia (55,6%) mengalami insomnia sedang.

Tingkat insomnia terbanyak pada responden sebelum diberikan pijat refleksi adalah insomnia sedang karena sebagian besar lansia lebih banyak beraktivitas dirumah dari pada diluar. Lansia yang menjadi responden juga tidak pernah mencoba untuk mengobati insomnia yang dialami baik dengan obat-obatan farmakologi maupun nonfarmakologi. Dari semua responden tidak ada lansia yang mengalami insomnia berat, salah satu faktor pendukungnya adalah lingkungan di Desa Leyangan yang masih merupakan lingkungan pedesaan yang tidak ramai seperti di kota. Menurut Susilo & Wulandari (2011),

Page 17: 3482

17

lingkungan memegang peranan besar terhadap terjadinya insomnia. Lingkungan yang bising seperti lingkungan lintasan pesawat terbang, lintasan kereta api, pabrik dengan mesin-mesin yang terus beroperasi sepanjang malam atau suara televisi yang keras dapat menjadi faktor penyebab insomnia. Perubahan lingkungan juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia misalnya seseorang yang mulanya tinggal di daerah panas kemudian tinggal di daerah dingin, perubahan suhu tersebut akan mempengaruhi pola tidur.

Proses penuaan pada lansia terjadi proses-proses degeneratif, menurut Azizah (2009) perubahan yang terjadi pada lansia dibagi adalah 1) Perubahan fisik, yaitu penurunan pada sistem indera, penurunan pada sistem kardiovaskuler, penurunan pada sistem respirasi, penurunan pada sistem pencernaan dan metabolisme, penurunan pada sistem perkemihan, peurunan pada siatem saraf yang mengakibatkan penurunan persepsi sensori, 2) Perubahan kognitif, yaitu penurunan daya ingat, perubahan pada informasi matematika serta penurunan IQ, 3) Perubahan spiritual yang dapat dilihat dari cara berpikir dan bertindak sehari-hari, 4) Perubahan psikososial yaitu pada lansia biasanya terjadi kehilangan kontak kerja yang menyebabkan kekosongan pada lansia, 5) Penurunan fungsi dan potensi seksual yang biasanya

berhubungan dengan gangguan fisik, gangguan metabilisme (seperti diabetes mellitus) dan post operasi prostatektomi sedangkan pada wanita erat kaitannya dengan maenopouse.

Pada lansia juga terjadi perubahan tidur yaitu gangguan tidur yang berupa insomnia karena penurunan produksi hormon melatonin, dimana fungsi hormon melatonin adalah menyebabkan kantuk dan tidur maka dengan penurunan sekresi hormon melatonin pada lansia menyebabkan perubahan pola tidur yaitu insomnia (Sudoyo, 2007). Menurut Prasadja (2009) perubahan pola tidur pada usia lanjut banyak disebabkan oleh kemampuan fisik usia lanjut yang semakin menurun. Kemapuan fisik menurun terkait oleh kemampuan organ dalam tubuh yang menurun juga, seperti jantung, paru-paru, dan ginjal. Penurunan tersebut mengakibatkan daya tahan tubuh dan kekebalan turut berpengaruh. Pada usia lanjut biasanya insomnia lebih sering menyerang. Hal ini terjadi sebagai efek samping (sekunder) dari penyakit lain, seperti nyeri sendi, osteoporosis, payah jantung, parkinson atau depresi.

B. Perbedaan tingkat insomnia pada lansia sesudah dilakukan pijat refleksi pada kelompok intervensi

Berdasarkan hasil penelitian, derajat insomnia pada lansia di Desa Leyangan setelah diberikan

Page 18: 3482

18

pijat refleksi pada kelompok intervensi didapatkan 1 lansia (5,6%) tidak mengalami insomnia, 15 lansia (83,3%) mengalami insomnia ringan dan 2 lansia (11,1%) mengalami insomnia sedang,

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara derajat insomnia lansia sebelum dan sesudah diberikan pijat refleksi pada kelompok intervensi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang dengan p-value (0,000) < α (0,05), dengan penurun sejumlah 5, 667 point dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian juga menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dari pijat refleksi terhadap tingkat insomnia pada lansia di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang dengan p-value (0,007) < α (0,05) dengan perbedaan sejumlah -4,722 dibandingkan kelompok kontrol .

Hasil penelitian derajat insomnia pada lansia di Desa Leyangan sebelum diberikan pijat refleksi pada kelompok intervensi, lansia yang mengalami insomnia sedang lebih banyak dari pada lansia yang mengalami insomnia ringan dan setelah diberikan pijat refleksi, lansia lansia yang mengalami insomnia sedang sebagian besar turun menjadi insomnia ringan dan dari insomnia ringan ada yang menjadi tidak insomnia,

Responden kelompok intervensi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang diberikan perlakuan yaitu diberikan pijat refleksi. Manfaat tekanan pada pijat refleksi adalah dengan mengirim sinyal yang menyeimbangkan sistem syaraf atau melepaskan bahan kimia seperti endorphin yang mengurangi rasa sakit dan stress (Trionggo, 2013).

Sensor syaraf di kaki pada pemijatan refleksi memberikan sinyal langsung ke otak, organ dalam, dan bagian tubuh lainnya karena kebutuhan primitif tubuh untuk mempertahankan diri. Kaki kita melakukannya dengan cara memproses informasi dari lingkungan yang dikumpulkan oleh sensor tekanan di telapak kaki, membantu tubuh menentukan tingkat bahan bakar dan oksigen yang optimal. Jumlah bahan bakar dan oksigen berbeda dengan kaki yang bertarung. Maka sinyal – sinyal tekanan dari telapak kaki menyampaikan kepada otak dan membantunya memastikan gula darah, kontraksi otot dan relaksasi yang dibutuhkan sudah dipenuhi. memijat suatu titik di dalam zona, tangan dan kaki dapat melepaskan ketegangan dan memulihkan keseimbangan ke seluruh zona dan keseluruh tubuh ( Barbara & Kevin Kunz, 2012). Tekanan pada telapak kaki memberikan rangsangan bioelektrik pada organ tubuh yang berhubungan dengan titik saraf telapak kaki. Rangsangan

Page 19: 3482

19

biolektrik memperlancar aliran darah dan cairan tubuh hasilnya sirkulasi penyaluran nutrisi dan oksigen ke sel-sel tubuh menjadi lancar tanpa ada hambatan sedikitpun. Sirkulasi aliran darah yang lancar itu akan memberikan efek relaksasi dan kesegaran pada seluruh anggota tubuh (Gunawan, 2011). Posisi rileks inilah yang menurunkan stimulus ke sistem aktivasi reticular (SAR), dimana (SAR) yang berlokasi pada batang otak teratas yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. Dengan demikian akan diambil alih oleh batang otak yang lain yang disebut bulbar synchronizing region (BSR) yang fungsinya berkebalikan dengan SAR, sehingga bisa menyebabkan tidur yang diharapkan akan dapat meningkatkan kualitas tidur (Perry & Potter dalam Kurnia, 2009).

Sebuah studi yang dilakukan bari-baru ini di University of Ulster mengatakan bahwa refleksiologi dapat membantu mereka yang menderita insomnia tidur lebih nyenyak. Untuk meredakan stress dan ketegangan sebelum waktu tidur, beri tekanan teradap solar plekus dan untuk membantu menyeimbangkan siklus tidur/ bangun, cobalah teknik refleksiologi mandiri ini. Teknik ini menstimulasi kelenjar pineal, yang memproduksi hormon tidur melatonin. Dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk. Beri tekanan pada area lunak yang

terletak pada posisi dua pertiga dari ujung tumit menuju ibu jari kaki selama beberapa menit. Lakukan hal ini satu jam sebelum waktu tidur (Green, 2009). Juga rambatkan ibu jari di area reflek kepala dan otak hingga beberapa baris pijatan area reflek batang otak agar rileks. Saraf ini menimbulkan efek relaksasi (Barbara & Kevin K, 2012).

Pemijatannya dilakukan sebagai upaya pemeliharaan. Tiap zona sebaiknya dipijat sekitar 5 menit. Setiap hari lamanya sekitar 30 menit untuk membantu kesehatan. Pijat refleksi untuk orang sakit, orang yang sudah tua atau sangat muda sebaiknya dilakukan tidak lebih dari 30 menit (Trionggo, 2013).

Pijat refleksi kaki memiliki keunggulan dibandingkan pijat refleksi tangan. Lebih mudah menemukan zona refleksi pada organ dikaki di bandingkan dengan tangan. Hal ini karena telapak kaki mempunyai wilayah permukaan yang lebih besar dari pada tangan sehingga porsinya menjadi lebih besar pula terhadap organ-organ dalam tubuh. Daerah refleksi untuk tangan memiliki lokasi agak sulit serta letaknya agak dalam pada bagian tangan. Di butuhkan kekuatan yang lebih besar untuk bias mencapainya.

Insomnia pada lansia terjadi akibat perubahan pola tidur akibat bertambahnya usia yang menyebabkan efisiensi tidur semakin berkurang. Efisiensi tidur diartikan sebagai jumlah waktu tidur berbaring dengan

Page 20: 3482

20

waktu berbaring di tempat tidur. Penurunan kebutuhan tidur diakibatkan oleh dorongan homeostatik yang semakin berkurang. Pada lanjut usia, wanita lebih banyak mengalami insomnia dibandingkan dengan pria yang lebih banyak menderita sleep epnea atau kandisi medis lain yang dapat mengganggu tidur (Prasadja, 2009).

Faktor resiko terjadinya insomnia menurut Susilo & Wulandari (2011) adalah : 1) Faktor psikologi, stress yang berkepanjangan paling sering menjadi resik dan penyebab dari insomnia kronis. Tingkat tuntutan yang tinggi atau keinginan yang tercapai, hingga berita-berita kegagalan sering memicu terjadinya insomnia transient. Orang-orang yang memiliki masalah-masalah stress, seringkali mengalami insomnia. 2) Problem psikiatri, depresi paling sering ditemukan di kehidupan masa kini. Banyak pola hidup instan yang memicu depresi. Tuntutan prestasi yang semakin tinggi dan gaya hidup yang tidak sehat akan membuat setiap orang terus-menerus berpikir yang akan menyebabkan gangguan tidur yang biasanya ditandai dengan bangun lebih pagi dari biasanya pada kondisi yang tidak diinginkan yang merupakan gejala paling umum dari awal depresi. 3) Sakit fisik, pada saat seseorang mengalami sakit fisik, metabolisme dan kinerja dalam tubuh tidak berjalan normal atau terjadi gangguan yang akan

menyebabkan tidak dapat tidur dengan nyenyak dan sering kurang tidur. Selama penyebab fisik atau sakit fisik tersebut belum dapat diatasi dengan baik, gangguan tidur akan tetap terjadi. 4) Faktor lingkungan, lingkungan memegang peranan besar terhadap terjadinya insomnia. Lingkungan yang bising, seperti lingkungan lintasan pesawat terbang, lintasan kereta api, pabrik dengan mesin-mesin yang terus beroperasi sepanjang malam atau suara televisi yang keras dapat menjadi faktor penyebab insomnia. Perubahan lingkungan juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia misalnya seseorang yang semula tinggal di daerah panas kemudian tinggal di daerah dingin, perubahan suhu tersebut akan mempengaruhi pola tidur. 5) Gaya hidup, gaya hidup yang tidak sehat juga memicu munculnya insomnia. Kebiasaan mengonsumsi alkohol, rokok, kopi (kafein), obat penurunan berat badan, jam kerja yang tidak teratur, juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur. 6) Tidur siang berlebihan, kebiasaan tidur siang setiap hari pada lansia biasanya hanya sebentar-sebentar, tidur pada siang hari inilah yang akan menyebabkan sulit tidur pada malam hari.

C. Perbedaan tingkat insomnia lansia sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol

Page 21: 3482

21

Pada kelompok kontrol derajat insomnia pada lansia yang tidak dilakukan apa-apa didapatkan 9 lansia (50,0%) mengalami insomnia ringan dan sisanya 9 lansia (50,0%) mengalami insomnia sedang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat insomnia lansia sebelum dan sesudah penelitian yang tidak dilakukan apa-apa pada kelompok kontrol di Desa Leyangan, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang dengan p-value (0,286) > (0,05).

Pada kelompok kontrol, yang tidak dilakukan apa-apa sebagian besar lansia tetap mengalami insomnia sedang. Insomnia sedang pada kelompok kontrol disebabkan oleh faktor lain seperti aktivitas lansia yang lebih banyak dilakukan di rumah dan biasanya lansia sering tidur siang yang menjadi pemicu terjadinya insomnia dan lansia dengan insomnia pada kelompok kontrol juga tidak mengkonsumsi obat yang berefek sedatif baik obat-obatan farmakologi maupun nonfarmakologi. Faktor resiko terjadinya insomnia menurut Susilo & Wulandari (2011) adalah Faktor psikologi, Problem psikiatri, Sakit fisik, Faktor lingkungan, Gaya hidup, Tidur siang berlebihan.

Proses degeneratif pada lansia yang salah satunya adalah berkurangnya hormon melatonin yang berpengaruh terhadap tidur menyebabkan terjadinya insomnia. Berkurangnya

kemampuan adaptasi lansia terhadap perubahan- perubahan merupakan hal yang normal terjadi pada lansia. Perubahan- perubahan ini bersamaan dengan perubahan fisik yang lain. Pada lansia, umumnya dorongan homeostatik untuk tidur lebih dulu menurun, baru diikuti oleh dorongan irama sirkadian untuk terjaga. Selain hal di atas, ritmik sirkadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu, jam biologik lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Gangguan ritmik sirkadian tidur ini dapat berpengaruh terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan melatonin. Hormon-hormon tersebut disekresikan pada saat tidur dalam terutama pada malam hari, sehingga penurunan kadar hormon ini akan menyebabkan lansia sulit untuk mempertahankan tidur. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia tersebut merupakan suatu hal yang normal, tetapi kebutuhan tidur tidak hanya dilihat dari aspek kuantitas saja karena setiap orang kebutuhan untuk tidur itu berbeda. Masa neonatus sekitar 50% waktu tidur total adalah tidur REM. Lama tidur sekitar 18 jam. Pada usia satu tahun lama tidur sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur REM. Waktu tidur menurun dengan tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. Kebutuhan ini

Page 22: 3482

22

menetap sampai batas lansia (Potter & Perry, 2005).

Beberapa hal yang menjadi penyebab insomnia pada lansia menurut Association of Sleep Disorder Centers pada tahun 1990 dalam Prayitno (2002) adalah: 1) apnea tidur. 2) mioklonus yang berhubungan dengan tidur berjalan, tungkai kaku waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan besi. 3) yang berhubungan dengan tidur berjalan, gerakan mendadak pada tingkat yang berulang, stereotipik, unilateral atau bilateral, keluhan berupa “tungkai gelisah” (restless leg), tungkai kaku waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan besi. 4) Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali menimbulkan bangun terlalu pagi dan dapat bermanifestasi sebagai insomnia dan hipersomnia. 5) Keluhan penyakit-penyakit organik, misalnya nyeri karena arthritis, penyakit keganasan, nokturia, penyakit hati atau ginjal dan sesak napas dapat mengakibatkan bangun berulang pada tidur malam. 6) Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan insomnia.

Menurut Susilo (2011), Insomnia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Yang paling banyak menjadi penyebab insomnia adalah masalah psikologi. Oleh karena itu yang paling penting dalam penanganan insomnia adalah melihat latar

belakang penderita dan riwayat kesehatannya. Beberapa faktor yang merupakan penyebab insomnia. 1.) Faktor psikologi, Stress yang berkepanjangan paling sering menjadi penyebab dari insomnia kronis. 2.) Sakit fisik, Pada saat seseorang mengalami sakit fisik sebenarnya proses metabolism dan kinerja di dalam tubuh tidak berjalan normal atau terjadi gangguan. Banyak orang yang sakit , otomatis tidak dapat tidur dengan nyenyak dan sering kurang tidur. 3.) Faktor lingkungan, Lingkungan memegang peranan besar terhadap terjadinya insomnia seseorang. Lingkungan yang bising. 4.) Gaya hidup, Gaya hidup yang tidak sehat juga dapat memicu munculnya insomnia. Kebiasaan mengkonsumni alcohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam kerja yang tidak teratur juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur.5.) Tidur siang berlebihan, Banyak oarng terbiasa dengan tidur siang setiap harinya. Mungkin mereka memang memerlukan istirahat total sekitar 10-30 menit dengan tidur siang hal ini bisa disebut normal atau wajar. Mungkin karena kelelahan bekerja sehingga butuh waktu tidur siang sejenak. Mereka tidur berlebihan di siang hari sehingga akhirnya mereka mengalami kesulitan tidur pada malam hari.

D. Keterbatasan Penelitian

Page 23: 3482

23

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah peneliti tidak dapat mengendalikan penyebab lain dari insomnia seperti stress, pengaruh lingkungan, aktivitas sehari-hari lansia dan masalah yang berbeda-beda dari setiap responden.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan1. Pada kelompok intervensi,

sebelum dilakukan pijat refleksi yang mengalami insomnia ringan, yaitu sejumlah 7 orang (38,9%) dan yang mengalami insomnia sedang, yaitu sejumlah 11 orang (61,1%) sedangkan pada kelompok kontrol, sebelum dilakukan pijat refleksi yang mengalami insomnia ringan, yaitu sejumlah 8 orang (44,4%) dan yang mengalami insomnia sedang, yaitu sejumlah 10 orang (55,6%)

2. Pada kelompok intervensi, setelah dilakukan pijat refleksi yang tidak mengalami insomnia, yaitu sejumlah 1 orang (5,6%), yang mengalami insomnia ringan, yaitu sejumlah 15 orang (83,3%) dan yang mengalami insomnia sedang, yaitu sejumlah 2 orang (11,1%) sedangkan pada kelompok kontrol yang mengalami insomnia ringan, yaitu sejumlah 9 orang (50,0%) dan yang mengalami insomnia sedang, yaitu sejumlah 9 orang (50,0%)

3. Ada perbedaan yang signifikan antara derajat insomnia lansia sebelum dan sesudah diberikan

pijat refleksi pada kelompok intervensi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang (p-value (0,000) < (0,05)) dengan penurun sejumlah 5,667 point dibandingkan dengan kelompok kontrol.

4. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara derajat insomnia lansia sebelum dan sesudah penelitian yang tidak dilakukan apa-apa pada kelompok kontrol di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang (p-value (0,286) > (0,05)) dengan perbedaan sejumlah 0,722 pada kelompok intervensi.

5. Ada pengaruh yang signifikan pijat refleksi terhadap tingkat insomnia pada lansia di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang (p-value 0,007 < (0,05)) dengan perbedaan sejumlah -4,722 dibandingkan kelompok kontrol.

B. Saran1. Bagi Lansia dan Masyarakat

Terapi ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk memilih pijat refleksi untuk meringankan dan mengobati insomnia. Mengingat manfaat pijat refleksi yang besar maka diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan pijat refleksi ini untuk mengobati insomnia dengan cara melakukan pemijatan pada kaki.

2. Bagi Perawat dan Profesi Keperawatan

Pijat refleksi dapat dijadikan sebagai salah satu alternative

Page 24: 3482

24

intervensi yang dapat dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat komunitas untuk digunakan sebagai terapi komplementer atau penatalaksanaan nonfarmakologi untuk mengatasi insomnia.

3. Bagi Institusi PendidikanHasil penelitian dapat

meningkatkan pengetahuan tentang keperawatan komunitas yaitu tentang terapi komplementer dengan menggunakan pijat refleksi dalam mengobati insomnia untuk diterapkan dalam praktik.

4. Bagi Peneliti LainMengingat masih adanya

kekurangan dari penelitian yang telah dilakukan, maka diharapkan penelitian lebih lanjut dapat melakukan dengan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKAAzizah, L. M. (2011). Keperawatan

lanjut usia. Yogyakarta: graha ilmu.

Bandiyah, S (2009). Lanjut usia dan keperawatan gerontik. Yogyakarta: nuha medika.

Barbara & K (2012). Pijat refleksi sehat melalui pijatan jari. Jakarta: PT Gaya Favorit Press. Terjemahan Mirdiarta R. R.

Firdaus, I (2011). Terapi pijat untuk kesehatan, kecerdasan otak &kegiatan daya ingat. Jogjakarta : Buku Biru

Gunawan, D. 2011. Sembuh Dengan Pijat Alternative Hentakan Kaki. Yogyakarta: MedPress.

Grenn, W (2009). 50 hal yang bias anda lakukan hari ini untuk mengatasi insomnia. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.

Iriandi (2012). Pengaruh motivasi diri, perasaan dan emosi serta dukungan keluarga terhadap pola makan lansia di UPT pelayanan lanjut usia. Sumatra.

Japardi, I (2002). Gangguan Tidur. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Sumatra Utara.

Kurnia, A. W., Wardhani, V,. & Rusca, K. T. (2009). Lavender Aromatherapy Improve Quality Of Sleep In Eldery People. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Mau, A (2012). Pengaruh penerapan relaksasi benson terhadap gangguan tidur (insomnia pada lansia di UPT Panti Penyantunan Lanjut Usia Budi Agung Kupang). Stikes maranatha Kupang.

Muel (2012). Pittsburgh Insomnia Rating Scale. University of Pittsburgh.

Nugroho I. A. (2012). Efektifitas pijat refleksi kaki dan hipnoterapi terhadap penurunan tekanan darah pada pasien

Page 25: 3482

25

hipertensi. Poltekes Kemenkes Semarang.

Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan, Edisi II. Jakarta : Salemba Medika.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarata : Rineka Cipta.

Perry & potter (2006). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan prektik E/4, vol 2. Jakarta EGC. Terjemahan Komalasari R dkk.

Prayitno A (2002). Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut dan penatalaksanaannya. J Kedokteran Trisakti.

Prasadja, A. (2009). Ayo bangun dengan bugar karena tidur yang benar. Jakarta : Hikmah

Riyanto, A (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Nuba Medika

Sudoyo, Aru W. (2007). Ilmu penyakit dalam Jilid III. Jakarta : FKUI

Sastroasmoro, S (2002). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi ke-2. jakarta

Susilo Y & Wulandari A (2011). Cara jitu mengatasi insomnia.

Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.

Suardi, D (2011). Peran dan dampat terapi komplementer/ alternatife bagi pasien kangker. Pusat Perhimpunan Onkologi Indonesia

Sumedi, T (2010). Pengaruh senam lansia terhadap penurunan skala insomnia pada lanjut usia di panti werdha dewanata cilicap. Poltekes Depkes Purwokerto.

Sugiyono. (2007). Statistika untuk penelitian. Bandung : CV Alfabeta

Saryono. (2011). Metodologi penelitian kesehatan. Jogjakarta : Mitra Cendikia

Triyadini dkk (2012). Efektifitas terapi massage dengan terapi mandi air hangat terhadap penurunan insomnia. Jurnal Keperawatan Soedirman.

Trionggo I & Ghofar A (2013). Panduan sehat sembuhkan penyakit dengan pijat dan herbal. Yogyakarta: Indoliterasi.

Widya, G. (2010). Mengatasi insomnia. Jogjakarta : Kata Hati