3459

26
PENDAHULUAN Berdasarkan data WHO diperkirakan 171 juta penduduk seluruh dunia menderita diabetes mellitus pada tahun 2000 dan akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2030. Indonesia menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes mellitus terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Secara garis besar terdapat 2 jenis tipe diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe I (Diabetes mellitus yang tergantung insulin) dan diabetes mellitus tipe II (Diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin). Diabetes mellitus tipe II banyak ditemukan (90-95%) dibandingkan dengan diabetes mellitus tipe I. Diabetes mellitus tipe II biasanya ditemukan pada orang yang berusia di atas 40 tahun, dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Nabyl, 2012). Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Gangguan metabolisme secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Faktor pencetus penyakit diabetes mellitus, antara lain faktor keturunan, obesitas (kegemukan), mengkonsumsi makanan instan, terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat, merokok dan stres, kerusakan pada sel pankreas, dan kelainan

Upload: niki-agustin

Post on 27-Sep-2015

10 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

gfhjhfhfhk

TRANSCRIPT

PENDAHULUANBerdasarkan data WHO diperkirakan 171 juta penduduk seluruh dunia menderita diabetes mellitus pada tahun 2000 dan akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2030. Indonesia menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes mellitus terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India.Secara garis besar terdapat 2 jenis tipe diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe I (Diabetes mellitus yang tergantung insulin) dan diabetes mellitus tipe II (Diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin). Diabetes mellitus tipe II banyak ditemukan (90-95%) dibandingkan dengan diabetes mellitus tipe I. Diabetes mellitus tipe II biasanya ditemukan pada orang yang berusia di atas 40 tahun, dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Nabyl, 2012).Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Gangguan metabolisme secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Faktor pencetus penyakit diabetes mellitus, antara lain faktor keturunan, obesitas (kegemukan), mengkonsumsi makanan instan, terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat, merokok dan stres, kerusakan pada sel pankreas, dan kelainan hormonal (Smeltzer and Bare, 2008). Diabetes milletus tipe II sering tidak menunjukkan gejala yang khas pada awalnya, sehingga diagnosis baru ditegakkan ketika pasien berobat untuk keluhan penyakit lain yang sebenarnya merupakan komplikasi dari diebetes miletus tersebut ( Suyono dalam soegondo, et al, 2009). Lebih lanjut Soegondo (2009) mengatakan secara epidemiologis diabetes milletus tipe II sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadi diabetes miletus adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbilitas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini.Komplikasi kronik pada pasien diabetes milletus tipe II seperti retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati diabetik ini yang mengindikasikan pasien harus menjalani perawatan dirumah sakit untuk pengelolaan kadar glukosa dan keluhan lain yang ditimbulkan oleh penyakit yang menyertainya. Kondisi seperti ini sering kali membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat, sehingga hormon stres seperti Adrenalin, Norephnephryne dan kortisol dapat meningkatkan kadar glukosa darah ( Price & Wilson, 2006).Stres yang menetap menimbulkan respon stres berupa aktivasi sistem saraf simpatis dan peningkatan hormon kortisol. Kortisol ini akan meningkatkan konversi asam amino, laktat, dan piruvat dihati menjadi glukosa melalui proses glukoneugenesis, dengan demikian stres akan meningkatkan kadar glukosa darah. Konsep psikoneuroimunologis menyatakan bahwa kondisi stress akan menyebabkan sakit atau merusak fungsi otak. Peyebab utamanya karena kadar glukokortikoid naik. Pada pasien yang mengalami stress, saraf otonom akan distimulasi, khususnya saraf simpatis (Johnson at al., 1992). Aktivitas saraf simpatis akan mensekresi katekolamin seperti adrenalin dan noradrenalin sehingga organ yang diatur oleh saraf otonom akan bekerja sesuai dengan kadar hormon yang diproduksi. Katekolamin akan menstimulasi suprarenal untuk mengeluarkan kortisol. Kortisol berfungsi dalam metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Kortisol yang tinggi akan menyebabkan peningkatan gula darah. Stres yang berkelanjutan menyebabkan aktivitas aksis HPA meningkat, sehingga kadar kortisol meningkat yang diiringi oleh peningkatan glukosa di sirkulasi, dilain pihak kortisol juga mempengaruhi fungsi insulin terkait dalam hal sensitivitas, produksi dan reseptor, sehingga glukosa darah tidak bisa diseimbangkan. Dilain pihak peristiwa kehidupan yang penuh stres telah dikaitkan perawatan diri yang buruk pada penderita diabetes milletus seperti pola makan, latihan, dan penggunaan obat-obatan (Smeltzer and Bare, 2008). Mekanisme dasar kelainan diabetes milletus tipe II adalah terdapatnya faktor genetik, resistensi insulin, dan insufisiensi sel pangkreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar tersebut harus tercermin pada langkah pengelolaan. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam pengelolaan diabetes milletus adalah pengelolaan non farmakologis berupa perencanaan makan dan latihan jasmani. Apabila dengan cara ini sasaran pengendalian kadar glukosa darah belum tercapai, maka dapat dilanjutkan dengan pengelolaan farmakologis dengan penggunaan obat berkhasiat hipoglikemia (Waspadji, 2009).Menurut (Smeltzer and Bare, 2008) dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini asuhan keperawatan pasien diabetes milletus tipe II dilakukan dalam konteks kolaborasi farmakologi. Padahal perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan secara mandiri dalam nonfarmakologi (Dochterman & Bulechek, 2004 ). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan non farmakologis diantaranya relaksasi merupakan intervensi yang dapat dilakukan pada pasien DM (Smeltzer and Bare, 2008).Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind body therapy dalam terapi komplementer dan alternatif complementary and Alternatuve Therapy (CAM) (Moyad & Hawks, 2009 ). CAM didefisinikan oleh the national centre for complementary and alternative medicine (NCCAM) sebagai sekelompok intervensi pendamping yang bukan merupakan bagian dari pengobatan konvensional. Terapi alternatif dan terapi komplementer adalah dua intervensi yang berbeda dimana terapi komplementer digunakan bersamaan dengan pengobatan konvensional dibawah bimbingan dan pengawasan dokter, perawat maupun terapist dan psikologist. Sedangkan terapi alternatif sebagai pengganti pengobatan konvensioanal. Integrasi antara pengobatan konvensional dan CAM akan meningkatkan kualitas hidup dan keselamatan hidup klien (Snyder & Lindquist, 2002).Terapi relaksasi ini bermacam macam, salah satunya adalah relaksasi otogenik. Relaksasi otogenik adalah relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek atau pikiran yang bisa membuat pikiran tentram. Otogenik adalah pengaturan diri atau pembentukan diri sendiri. Istilah otogenik secara spesifik menyiratkan bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengendalikan beragam fungsi tubuh, seperti frekuensi jantung, aliran darah dan tekanan darah (Greenberg, 2002). Teknik relaksasi dengan gerakan dan instruksi yang lebih sederhana dengan waktu yang efisien dari pada teknik relaksasi lainnya adalah relaksasi otogenik dimana hanya memerlukan waktu 15-20 menit (Greenberg, 2002).Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 30 Maret 2013 di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur didapatkan data dari Bidan Desa Leyangan terdapat 52 kasus Diabetes Mellitus dalam kurun waktu bulan Februari 2012 sampai januari 2013, dan data dari puskesmas sebanyak 170 kasus dari Februari 2012 sampai januari 2013 yang merupakan data dari keseluruhan desa dimana masyarakat yang berobat tidak hanya masyarakat desa leyangan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan 5 orang penderita diabetes mellitus di Desa Leyangan yang sebelumnya dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, dengan hasil pemeriksaan adalah 172 mg/dl 256 mg/dl mengatakan, tidak pernah menggunakan relaksasi terutama relaksasi otogenik karena mereka mengatakan baru mendengarnya, selama ini pengobatan hanya menggunakan daun sukun, biji rambutan dan rebusan daun jambu biji, mereka mengatakan melakukan terapi itu berdasarkan informasi penelitian yang dilakukuan sebelumnya, selain itu mereka juga mengatakan terkadang mengkonsumsi obat dari puskesmas yang diberikan ketika periksa, seperti sufoneluera. Dari hasil wawancara dengan 5 penderita diabetes milletus yang sudah menggunakan terapi daun sukun, biji rambutan serta rebusan daun jambu biji, empat dari mereka mengatakan belum merasakan perubahan tentang kadar glukosa darahnya ketika periksa ke pelayanan kesehatan setempat. Mereka mengatakan hasil glukosa darahnya ketika memeriksakan diri masih tinggi sama seperti ketika belum meminum terapi tersebut, mereka mengatakan menggunakan terapi daun sukun, biji rambutan serta rebusan daun jambu biji hanya digunakan sesaat karena merasa males ketika mau melakukan atau memproses pembuatan terapi tersebut. Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh relaksasi otogenik terhadap kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur.METODE PENELITIANVariabelKelompokMean(mg/dl)Std Deviasi(mg/dl)

Kadar glukosadarah IntervensiKontrol294,21311,3553,33344,555

Desain penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah rancangan eksperimen semu (Quasi Experimental) dengan jenis desain non equivalent control group design. Jenis desain non equivalent control group design dipilih oleh peneliti berdasarkan tujuan penelitian, kemampuan peneliti dan data yang tersedia maka desain ini yang paling tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Populasi pada penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang yang berjumlah 52 orang berdasarkan data dari bidan desa pada bulan Februari 2012 - April 2013. Sedangkan tehnik pengambil sampel dalam penelitian ini adalah porposive sampling berdasarkan rumus Zainudin dalam Nursalam (2011) dimana dari 52 responden tersebut didapatkan 28 responden masing-masing kelompok kontrol dan intervensiHASIL PENELITIANAnalisis Univariat1. Gambaran kadar glukosa darah sebelum diberikan relaksasi otogenik pada kelompok intervensi dan kontrolBerdasarkan Tabel 5.1, dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi rata-rata kadar glukosa darah penderita Diabetes Mellitus tipe II sebelum diberikan relaksasi otogenik sebesar 294,21 mg/dl dengan standar deviasi 53,333 mg/dl, dan pada kelompok kontrol rata-rata kadar glukosa darah sebesar 311,35 mg/dl dengan standar deviasi 44,555 mg/dlGambaran kadar glukosa darah sesudah diberikan relaksasi otogenik pada kelompok intervensi dan kontrol.VariabelKelompokMean(mg/dl)Std Deviasi(mg/dl)

Kadar glukosaDarahIntervensiKontrol197,50312,3550,57440,636

VariabelPerlakuanNMeanSDtp-value

Kadar glukosa darahSebelum Sesudah1414294,21197,5053,33350,57411,9390,000

Berdasarkan Tabel 5.2, dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi rata-rata kadar glukosa darah penderita Diabetes Mellitus tipe II sesudah diberikan relaksasi otogenik rata-rata kadar glukosa darah responden sebesar 197,50 mg/dl dengan standar deviasi sebesar 50,574 mg/dl dan pada kelompok kontrol sebesar 312,35 mg/dl dengan standar deviasi sebesar 40,636 mg/dl.Analisis Bivariat1. Uji kesetaraan kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus tipe II sebelum diberikan relaksasi otogenik antara kelompok intervensi dan kontrol VariabelKelompokNMeanSDtp-value

Kadar glukosa darahIntervensiKontrol1414294,21311,3553,33344,555-9230,365

Berdasarkan Tabel 5.3, dapat diketahui bahwa sebelum diberikan relaksasi otogenik, rata-rata kadar glukosa darah responden kelompok intervensi sebesar 294,21 mg/dl, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 311,35 mg/dl.Berdasarkan uji t indepeden, didapatkan nilai t hitung sebesar -923 dengan p-value 0,365. Oleh karena kedua p-value 0,365 > (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus tipe II sebelum diberikan relaksasi otogenik antara kelompok intervensi dan kontrol di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang. Ini juga menunjukkan bahwa kedua kelompok dapat dinyatakan setara atau sebanding.2. Perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah diberikan relaksasi otogenik pada kelompok intervensiBerdasarkan Tabel 5.4, dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi, rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum diberikan relaksasi otogenik sebesar 294,21 mg/dl, kemudian berkurang menjadi 197,50 mg/dl setelah diberikan relaksasi otogenik.Berdasarkan uji t dependen, didapatkan nilai t hitung sebesar 11,939 dengan p-value sebesar 0,000. Terlihat bahwa p-value 0,000 < (0,05), ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah diberikan relaksasi otogenik pada kelompok intervensi pada penderita diabetes milletus tipe II di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang3. Perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah pre dan post pada kelompok controlVariabelPerlakuanNMeanSDtp-value

Kadar glukosa darahSebelum Sesudah1414311,35312,3544,55540,636-1430.888

Berdasarkan Tabel 5.5, dapat diketahui bahwa pada kelompok kontrol, rata-rata kadar glukosa darah responden sebelum perlakuan sebesar 311,35 mg/dl, kemudian sedikit meningkat menjadi 312,35 mg/dl setelah perlakuan.Berdasarkan uji t dependen, didapatkan nilai t hitung sebesar -143 dengan p-value sebesar 0,888. Terlihat bahwa p-value 0,888 > (0,05), ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang.Pengaruh relaksasi otogenik terhadap kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus tipe II pada kelompok intervensi dan kelompok kontrolBerdasarkan Tabel 5.6, rata-rata kadar glukosa darah responden kelompok intervensi sesudah diberikan relaksasi otogenik sebesar 197,50 mg/dl, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 312,35 mg/dl, dari rata-rata tersebut kadar glukosa darah kelompok intervensi sesudah diberikan relaksasi otogenik lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan uji t independen, didapatkan nilai t hitung sebesar -6,624 dengan p-value sebesar 0,000. Oleh karena p-value 0,000 < (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah sesudah diberikan relaksasi otogenik antara kelompok intervensi dan kontrol pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang. Ini juga berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan pemberian relaksasi otogenik terhadap kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang.PEMBAHASANA. Analisis Univariat1. Gambaran kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus tipe II sebelum diberikan relaksasi otogenik pada kelompok intervensi dan kontrol di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang.VariabelKelompokNMeanSDTp-value

Kadar Glukosa DarahIntervensiKontrol1414197,50312,3550,57440,636-6,6240,000

Dilihat dari rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum diberikan terapi relaksasi otogenik pada kedua kelompok menghasilkan rata-rata perbedaan yang tidak bermakna. Dapat diartikan bahwa pada kelompok intervensi dan kontrol yang tinggal di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang mengalami diabetes mellitus dengan hiperglikemia. Diabetes mellitus dapat didefinisikan sebagai sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabakan defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Smeltzer & Bare, 2008) Berdasarkan hasil penelitian setelah dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa pretest semua responden baik kelompok intervensi dan kontrol mengalami kadar glukosa puasa yang tinggi yaitu melebihi rata-rata kadar glukosa puasa 126 mg/dl. Berdasarkan hasil wawancara para responden mengatakan sebelum dilakukan pemeriksaan dalam kesehariannya mereka tidak bisa mengontrol pola makannya, mereka mengatakan sangat sering minum minuman yang manis seperti teh manis, bronies dan makanan karbohidrat yang tinggi. Dalam hal ini live style yang dilakukan responden memicu terjadinya peningkatan kadar glukosa darah ( hiperglikemia ) (Fox & Kilvert, 2010).Gambaran glukosa darah penderita diabetes mellitus tipe II setelah diberikan relaksasi otogenik pada kelompok intervensi di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang.Dilihat dari nilai rata-rata kadar glukosa darah puasa setelah diberikan terapi relaksasi otogenik pada kelompok intervensi menghasilkan nilai rata-rata kadar glukosa darah yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan kadar glukosa darah puasa yang normalnya berkisar 126 mg/dl. Hal ini dapat diartikan bahwa rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok intervensi setelah diberikan terapi relaksasi otogenik dalam kondisi hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah responden, diantaranya terdapat faktor makanan atau diet yang berpengaruh langsung terhadap kadar glukosa darah.Gambaran glukosa darah penderita diabetes mellitus tipe II setelah post test pada kelompok kontrol di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. SemarangDilihat dari nilai rata-rata kadar glukosa darah puasa setelah diberikan perlakuan pada kelompok kontrol menghasilkan nilai rata-rata kadar glukosa darah yang sangat jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar glukosa darah puasa yang normalnya berkisar 126 mg/dl. Hal ini dapat diartikan bahwa rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan dalam kondisi hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah responden, diantaranya terdapat faktor makanan atau diet yang berpengaruh langsung terhadap kadar glukosa darah. Berdasarkan hasil post test pada kelompok kontrol yang berjumlah 14 responden, 13 responden dari mereka mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa dan 1 responden mengalami penurunan kadar glukosa darah puasa, adanya perbedaan ini menurut peneliti diakibatkan beberapa faktor pada responden salah satunya kemungkinan responden tidak patuh terhadap apa yang sudah disarankan oleh peneliti sebelum penelitian dan tidak diberikannya terapi yang dapat menurunkan glukosa darah selama penelitian. B. Analisis Bivariat1. Perbedaan glukosa darah sebelum dan setelah pemberian terapi relaksasi otogenik pada kelompok intervensi di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang.Hasil penelitian ini menemukan bahwa pada kelompok intervensi ada perbedaan bermakna kadar glukosa darah sebelum dan setelah diberikan relaksasi otogenik. Sesuai pernyataan Jablon et al (2007) adanya perbedaan kadar glukosa yang bermakna pada kelompok intervensi bisa terjadi karena relaksasi otogenik mempengaruhi hipotalamus untuk menurunkan produksi kortikosteroid sehingga menurunkan aktivitas glukoneogenesis. Beberapa penelitian telah mengungkapkan manfaat relaksasi otogenik ini antara lain menurunkan stress fisiologis, meningkatkan konsentrasi, menyeimbangkan homeostasis, restrukturisasi kognitif, meningkatkan penerimaan terhadap perubahan status kesehatan (Farne & Gnugnoli, 2000 dalam Naylor, 2008).2. Perbedaan glukosa darah sebelum dan setelah pemberian terapi air putih pada kelompok kontrol di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang.Pada kelompok kontrol yang menderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang setelah diberikan suatu perlakuan tidak mengalami penurunan glukosa darah puasa. Kelompok kontrol yaitu kelompok yang menderita diabetes mellitus tipe II namun tidak diberikan terapi relaksasi otogenik hanya diberikan perlakuan yang tidak memberikan efek untuk glukosa darah puasa. Menurut Susilo & Wulandari (2011) penatalaksanaan terapi untuk mengelola diabetes mellitus terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi dilakukan dengan mengubah gaya hidup, diantaranya yaitu diet, olah raga, manajemen stress dan banyak lainnya. Mengingat mekanisme dasar kelainan diabetes mellitus tipe II adalah terdapatnya faktor genetik, resistensi insulin dan insufisiensi sel pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan kelainan dasar tersebut harus tercermin pada langkah pengelolaan, dalam pengelolaan diabetes mellitus langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis. Terapi farmakologi diberikan bila ternyata perubahan gaya hidup tidak atau kurang efektif untuk mengontrol glukosa darah dalam kondisi normal.Pengaruh pemberian terapi relaksasi otogenik terhadap penurunan glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. SemarangBerdasarkan uji t-test independent didapatkan hasil ada pengaruh yang signifikan terapi relaksasi otogenik terhadap kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.Menurut Kahn (1995) dalam Nugroho (2006) dikatakan diabetes mellitus tipe II secara patologi disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resisten insulin, dan (2) penurunan kemampuan sel pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar diabetes mellitus tipe II diawali dengan kegemukan karena kelebihan makan atau pola makan yang salah. Sebagai kompensasi, sel pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resisten insulin. Pada resisten insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemik).Temuan bahwa relaksasi ini memiliki pengaruh untuk menurunkan kadar glukosa darah, maka relaksasi otogenik ini akan sangat bermanfaat jika diterapkan dalam setting perkualihan keperawatan medikal bedah khususnya sistem endokrin. Relaksasi otogenik ini disebut pula relaksasi psikofisiologi yang telah terbukti melalui beberapa penelitian akan mempengaruhi cara berpikir dan proses tubuh. Beberapa penelitian telah mengungkapkan manfaat relaksasi otogenik ini antara lain menurunkan stress fisiologis, meningkatkan konsentrasi, menyeimbangkan homeostasis, restrukturisasi kognitif, meningkatkan penerimaan terhadap perubahan status kesehatan (Farne & Gnugnoli, 2000 dalam Naylor, 2008). Menurut National Safety Council (2004), relaksasi otogenik secara spesifik berperan meningkatkan aliran darah ke otot, jantung dan paru-paru. Tujuan relaksasi otogenik untuk memberikan perasaan nyaman atau rileks, mengurangi stress ringan, memberikan ketenangan dan mengurangi ketegangan. Akhirnya respon rileks tersebut dapat memicu respon hipotalamus, yang disebut dengan respon ergotropik. Hess (1957, dalam Jacobs, 2001) menyebutnya sebagai respon relaksasi.Jacobs, 2001) menyebutnya sebagai respon relaksasi.Dari pernyataan-pernyataan diatas dan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa relaksasi otogenik memunculkan kondisi rileks. Pada kondisi rileks terjadi perubahan impuls syaraf pada jalur aferen ke otak dimana aktivasi menjadi inhibisi. Perubahan impuls syaraf ini menyebabkan perasaan tenang baik secara fisik maupun mental seperti berkurangnya denyut jantung, menurunnya kecepatan metabolisme tubuh dalam hal ini mencegah peningkatan glukosa darah (Smeltzer & Bare, 2008). Hipofisis anterior juga diinhibisi sehingga ACTH yang mensekresi kortisol menurun sehingga proses glukoneogenesis, katabolisme protein dan lemak yang berperan dalam peningkatan glukosa darah menurun (Sudoyo, et al, 2007).Kesimpulan1. Gambaran kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes mellitus tipe II sebelum diberikan terapi relaksasi otogenik pada kelompok intervensi rata-rata 294,21 mg/dl dan pada kelompok control rata-rata 311,35 mg/dl. 2. Gambaran kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes mellitus tipe II setelah diberikan terapi relaksasi otogenik pada kelompok intervensi rata-rata 197,50 mg/dl dan pada kelompok kontrol rata-rata 312,35 mg/dl setelah post test.3. Ada perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah puasa pada kelompok intervensi sebelum dan setelah diberikan terapi relaksasi otogenik pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang ( p-value 0,000 < (0,005).4. Tidak ada perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah puasa pada kelompok kontrol pre test dan post test pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang ( p-value 0,888 > (0,005).5. Ada pengaruh pemberian terapi relaksasi otogenik terhadap kadar glukosa darah puasa pada penderita diabetes mellitus tipe II di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. Semarang ( p-value 0,000 < (0,005).Saran 1. Penderita diabetes mellitus tipe II dan masyarakat di Desa Leyangan Kec. Ungaran Timur Kab. SemarangHasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II, sehingga terapi relaksasi otogenik sebagai salah satu alternatif untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus tipe II.2. Institusi Pendidikan Bagi institusi pendidikan diharapkan pada keperawatan keluarga dalam keperawatan komunitas sebagai salah satu terapi komplementer (relaksasi otogenik) untuk mengatasi penyakit diabetes mellitus.3. Peneliti SelanjutnyaPenelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemberian relaksasi otogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan terhadap faktor-faktor yang menentukan dan membantu pengendalian glukosa darah puasa diantaranya adalah faktor diet, stress, aktivitas, dan waktu pengukuran glukosa darah dapat dilakukan dengan tepat,DAFTAR PUSTAKAAnonim. (2006). Indonesia Urutan ke-4 Penderita Kencing Manis (diabetes melitus/DM), diakses tanggal 3 April 2013.Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.Aziz, A.H. (2003). Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.Dahlan, M. S. (2011). Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Edisi 5.Jakarta: Salemba Medika.Davis, M., Eshelman, E.R., & McKay, M. (1995). Panduan relaksasi dan reduksi stres (Achir Yani S. Hamid & Budi Anna Keliat, Penerjemah.). Jakarta : EGC.Di Nardo, M.M. (2009). Mind-bodies therapy in diabetes management. Diabetes spectrum, Maret 20, 2013. http://proquest.umi.com/ pqdweb? Dochterman, J.M., dan Bulechek, G.M. (2004). Nursing intervention classification, (4 the ed). St. Louis, Missouri : Mosby.Dunning, T. (2003). Care of people with diabetes : A manual nursing practice. Melbourne : Blackwell Publishing.Fox, C., & Kilvert, A. (2010). Bersahabat dengan diabetes tipe 2 Depok : Penebar Plus.Greenberg, J.S. (2002). Comprehensive stress management (7th ed). New York: The McGraw-Hill Companies.Hidayat, A. A. (2007). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data. Jakarta: Salemba medika.Ilyas, E. I. (2009). Olahraga bagi diabetesi, dalam Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. Ed. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu (hlm 69-110). Jakarta : FKUI.Jablon, (2007). Effects of relaxation training on glucose tolerance and diabetic control in type II diabetes. Applied Psychophysiology and Biofeedback, 22(3). Maret 3, 2013. Juliano, J. (2003). When diabetes complicates your life : Controlling diabetes and related complication. New York : John Wiley & Sons.Junaidi, Iskandar. (2009). Kencing Manis (Pengenalan, pencegahan, dan pengobatannya. Jakarta: Gramedia.Katzung, B. G. (2001). Farmakologi dasar dan klinik, Oleh Sjabana D., Isbandiati E., Dan Basori A. Edisi 8. Jakarta : Salemba Medika.Manaf, A. (2006). Insulin : Mekanisme sekresi dan aspek metabolisme, dalam Sudoyo, A. W., Setyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. Buku ajar ilmu penyakit dalam (4Th ed) (hlm 1890-1891). Jakarta : Pusat Penerbit Departemen Penyakit Dalam FK-UI.Mayes PA, murray RK, Gramner DK, 2000, Harpers Biochemis try, 25th edition, New York : Mc Graw-Hill.pp 7,8,10.Moyad, M., dan Hawks, J.H. (2009). Complementary and alternative therapies, dalam Black, J.M., & Hawks, J.H. Medical-Surgical Nursing; Clinical Management for Positive Outcomes, (8th edition). Elsevier Saunders.Murray, R. K., Granner, D. K., Mayes, P. A., Rodwell, V. W. (2003). Biokimia harper. Edisi 25. Penerjemah : Andi Hartoko. Jakarta : EGC.National Safety Council. (2004). Manajemen stress. Jakarta : EGCNabyl R,A. (2012). Panduan hidup sehat mencegah dan mengobati diabetes mellitus. Yogyakarta: Aulia Publishing.Narbuko, A dan Achmadi, A. (2002). Metodologi penelitian. Jakarta : PT. Bumi Aksara.Naylor, R.T. (2008, October). Autogenic training, cathartic autogenic, buddhistpsychology. Paper presented at 2nd Asian cognitive behaviour therapy conference.Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan, Edisi II. Jakarta : Salemba Medika. Nurrahmani, Ulfa. (2011). Stop Diabetes. Yogyakarta: FamiliaNugroho, agung Endro.(2006). Review Hewan Percobaan Diabetes Mellitus: Patologi Dan Mekanisme aksi Diabetogenik. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian klinis. Jakarta : EGC.Perkeni. (2006). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di indonesia. Jakarta : Perkeni.Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses penyakit, Edisi 6. Jakarta : EGC.Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. (2010). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV Sagung Seto.Saunders, S. (2002). Autogenic therapy : Short term therapy for long term gain. Februari 7, 2010. British Autogenic Society, Chairman. http://www.autogenictherapy. org.Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Bare. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarh. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Sherwood, L. (2001). Fisiologi kedokteran: dari sel ke sistem. Jakarta : EGC.Snyder, M., & Lindquist, R. (2002). Complementary/ alternative therapies in nursing (4th ed). New York : Springer Publishing Company.Soegondo, S. (2009). Prinsip penanganan diabetes, insulin dan obat oral hipoglikemik oral Jakarta : FKUI.Subekti, I. (2009). Apa itu diabetes: patofisiologi, gejala dan tanda, (materi penyuluhan 1) Jakarta : FKUI.Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kulaitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.Sukardji, K. (2009). Bagaimanakah perencanaan makan pada penyandang diabetes, Jakarta : FKUI.Sutanto, P.H. (2007). Basic data analysis for health research training. Analisis data kesehatan. Depok : UI.Suyono, S. (2007). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: FKUIY, Susilo & Wulandari A.(2011). Cara Jitu Mengatasi Kencing Manis. Yogyakarta: CV. Andi. Tandra, H. (2008). Diabetes . Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama.Tjay, T. H., Rahardja, K. (2007). Obat-obat penting : khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya. Edisi VI. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.Waspadji, S. (2009). Diabetes melitus : Mekanisme dasar dan pengelolaannya yang rasional Jakarta : FKUI.