3 published by artsociates © 2015, artsociates, bandung ... eddy susanto...eksistensi eddy susanto...

100

Upload: dotruc

Post on 05-Aug-2019

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 2: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 3: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

CuratorAsmudjo Jono Irianto

Dinni Tresnadewi NfSuwarno Wisetrotomo

Narrative Eddy Susanto

TranslatorElly Kent

HennyRolan

Graphic DesignerEddy Susanto

PhotographyArtist's documentation

Kemala MontessaEddy Susanto

ISBN 978-602-14347-4-1

First Edition September 20151000 copies

Printed in Yogyakarta, Cahaya Timur O�set

LawangwangiCretive Space: Jl. Dago Giri 99, WarungCaringin, Mekarwangi, Bandung, Indonesia,

Ph +62 22 250 4065, Fax +62 22 250 4105, [email protected]

Published by ArtSociates© 2015, ArtSociates, Bandung

Published in conjunction with the exhibition:

JavaScriptNational Gallery of IndonesiaDate: 4 - 12 September 2015

All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted, in any form or by any means, electronic, mechanical,

photocopying or otherwise, without prior permission of the copyright holder. Copyright of artwork images belong to ArtSociates and their respective artists, and essays to the

respective authors.

3

Page 4: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Galeri Nasional Indonesia�Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan�menyambut baik penyelenggaraan Pameran Tunggal Eddy Susanto �JavaScript� yang diinisiasi oleh LawangwangiCreative Space bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia. Pameran ini tentu akan menjadi pengalaman dan kesempatan berharga bagi Eddy Susanto untuk mempresentasikan pikiran, pandangan, dan ketertarikannya terhadap literasi budaya melalui media ekspresi senirupa.

Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi tersendiri. Selama ini ia mengemas karya-karyanya dalam konsep linguistik mendalam dengan menyuguhkan korelasi kontemporer antara aksara�bahasa Jawa (Javanese script) dan bahasa pemograman (JavaScript).Salah satu karyanya yang berjudul Nagara Kertagama telah dikoleksi negara dan dipamerkan di Museum Kepresidenan �Balai Kirti�, Bogor. Secara keseluruhan, karya-karyanya tampak menunjukkan transformasi dan ekspresi sebagai seorang perupa yang intens berkarya.Dengan diselenggarakannya pameran ini, diharapkan bisa meningkatkan perluasan apresiasi masyarakat dalam mengenali berbagai hasil kreativitas para perupa Indonesia.Selain itu, pameran ini juga diharapkan bisa menjadi cara baru untuk memberikan inspirasi, motivasi, dan edukasi di bidang seni rupa agar tetap tumbuh rasa dan sikap kepedulian, serta kecintaan terhadap karya budaya bangsa, khususnya kekayaan literasi budaya Indonesia.

Kami ucapkan terima kasih dan selamat kepada Eddy Susanto, LawangwangiCreative Space, para kurator, serta berbagai pihak yang telah bekerja sama dengan baik dan turut mendukung terselenggaranya pameran ini. Selamat berpameran dan selamat mengapresiasi!

Jakarta, Agustus 2015Tubagus 'Andre' Sukmana

The National Gallery of Indonesia - the Ministry for Education and Culture - welcomes organisers of Eddy Susanto's Solo Exhibition Javascript, initiated by Lawangwangi Creative Space in co-operation with the National Gallery of Indonesia. This exhibition will certainly be a valuable experience and an opportunity for Eddy Susanto to present his thoughts, perspectives and interests in cultural literacy through visual art as a medium of expression.

Eddy Susanto's presence in recent developments in Indonesian art has garnered singular creative space and appreciation. His work is packaged in linguistic concepts through his treatment of contemporary correlations between Javanese script and programming language (JavaScript). One of his works, titled Nagara Kertagama, was collected by the state and exhibited in the Presidential Museum �Balai Kirti� in Bogor. As a whole, his work seems to reveal the transformations and expressions of an intensely prolific artist. By hosting this exhibition, we hope to broaden appreciation of the diverse creative output of Indonesian artists. We also hope the exhibition will be a new way to inspire, motivate and educate within the art world so that it will continue to develop a concern and love for national culture, especially the wealth of Indonesian literature.We express our thanks and congratulations to Eddy Susanto, Lawangwangi Creative Space, the curators, and all those who worked so well together to support the organisation of this exhibition. We hope you enjoy and appreciate it!

Jakarta, August, 2015Tubagus 'Andre' Sukmana

sambutan kepala galeri nasional indonesia _greetings from the head of the national gallery of indonesia _

4

Page 5: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

Tahun 1989 bisa dikatakan menjadi salah satu cekpoin penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan persoalan diskursus poskolonial dan debat multikultur di tengah gerak globalisasi yang kian meluas. Kala itu di Pompidou Center, Paris, digelar pameran �Les Magicien De La Terre� yang melibatkan praktisi seni rupa kontemporer, dengan komposisi 50 % seniman Barat dan 50 % sisanya berasal dari wilayah non-Barat. Penyelenggaraan pameran yang berangkat dari pertanyaan kritis menyoal penyelenggaraan format biennial Paris�yang dianggap hanya melibatkan 20 % dari praktisi seni rupa kontemporer global�ini, di luar dugaan justru menuai bermacam kritikan dan perdebatan. Hal ini terjadi karena cara penyelenggara pameran menampilkan karya-karya seniman yang berasal dari negara-negara non-Amerika Serikat dan Eropa ini, cenderung menyeret sikap orientalis dan menempatkan para seniman dan corak berkaryanya sebagai the others yang sarat dengan aspek mistis dan primitif. Terlebih lagi partisipan dari negara-negara non-Barat yang terlibat bukanlah praktisi yang aktif terlibat dalam diskursus seni rupa kala itu, melainkan �gur-�gur dari budaya tradisional lokal.

Dalam perkembangan selanjutnya�terutama setelah wacana poskolonialisme di masa pos-modern menjadi oposan yang menyeimbangkan pandangan bias orientalisme�hadir jargon �hibrid� di medan seni rupa global. Hibrid yang merupakan amalgamasi antar berbagai elemen kebudayaan tanpa adanya hierarki yang menunjuk mana kultur subjek dan kultur objek ini, tak lantas mengaburkan identitas nasion dan lokalitas para pelaku seni rupa dalam tataran global. Konsep hibriditas memang lahir sebagai implikasi dari kondisi dunia yang kian multikultural dan ada dalam satu kesatuan yang beragam (diverse). Namun demikian kondisi saling lebur antar ragam kebudayaan ini, di sisi lain juga mengakibatkan terjadinya penyeragaman pola pikir, karena semakin intensenya pergaulan antar kebudayaan yang terjadi dalam tataran global.

Dengan demikian, saat ini kita berbagi subjektivitas dalam ruang pergaulan antar kultur yang kian terbuka. Dalam kondisi global village ini, hadir sensibilitas akan bercampurnya segala bentuk pengkutuban. Marsha Meskimon secara khusus melontarkan konsep cosmopolitan imagination,sebagai abstraksi dari kondisi serba lebur ini.

�Cosmopolitan imagination generates conversations in a �eld of �esh, fully sensory, embodied processes of interrogation, critique and dialogue that can enable us to think of our homes and ourselves as open to change and alterity. Understanding ourselves as wholly embedded within the world, we can imagine people and things beyond our immediate experience and develop our ability to respond to very di�erent spaces, meanings and others.�

Saat sekat lokalitas meluruh, pertemuan antar segmen kebudayaan memicu terjadinya pembandingan tata nilai yang berlaku antara tiap kelompok kebudayaan, meskipun tak bisa dina�kan jika budaya global tetap menginduk pada kultur Barat sebagai generator nilai yang diadopsi secara universal. Logika perbandingan ini dilakukan juga oleh Eddy Susanto, saat ia mengambil berbagai elemen kebudayaan lokal yang ia sandingkan (juktaposisi) dengan elemen-elemen dari kebudayaan lainnya dalam pameran �Java Script�.

Dalam pameran ini, Eddy tak hanya membandingkan kebudayaan berdasarkan perbedaan lokasi saja (Barat dan Timur/Jawa), namun juga berdasarkan perbedaan dimensi waktu (Masa lalu dan masa kini), pola produksi (sainti�k/teknologi dan religius), karakter visual (teks dan pictorial), dan seterusnya. Namun yang menarik dari pembandingan ini, Eddy juga mengoperasikan aspek persamaan di antara dua elemen gagasan yang saling berbeda. Hal ini dapat dilihat misalnya saat Eddy membandingkan naskah-naskah kuno keagamaan dari dua kultur berbeda, antara teks religius Western (book of hours)

5

Page 6: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

dengan teks keagamaan kultur Jawa seperti naskah kitab Negara Kartagama, Ramayana, Serat Chentini, dst. Eddy juga banyak menempatkan dua produk kebudayaan dari dimensi waktu yang berbeda, seperti yang bisa dilihat pada salah satu karya yang mengetengahkan pun (permainan kemiripan kata) antara javascript (bahasa pemrograman komputer) dengan aksara Jawa (Javanese text).

Di sini Eddy mengaktivasi komponen teks sebagai instrumen utama karya-karyanya. Tak seperti karya Teks-Art lainnya yang lebih mengoperasikan teks dalam tataran konseptual yang kental, di pameran ini Eddy justru sering menggunakan teks (:aksara Jawa) sebagai modal piktorial kala mengkomposisikan berbagai citraan di atas bidang dua dimensi. Dan perlu disadari juga, meskipun penyajian aksara Jawa ini kentara masih mempertimbangkan aspek artistik-visual dengan proses kerja yang penuh dengan pertimbangan teknis, namun dalam tataran cerebral, Eddy juga melakukan upaya riset sebagai preliminary dalam menentukan cara kerja karyanya di tataran abstrak. Karenanya pemirsa pameran akan menemui banyak kelindan makna antar berbagai objek tekstual dalam karya-karya Eddy. Dengan demikian, pemirsa pameran sedikit banyak akan dituntut untuk melakukan penelusuran intelektual yang cukup rumit untuk mendapatkan korelasi yang koheren.

Melakukan kilas balik terhadap sejarah penggunaan teks dalam seni rupa sendiri, kita akan menemukan banyaknya trajektori dan metode saat seniman memfungsikan teks sebagai instrumen berkarya. Satu hal yang pasti, penggunaan teks dalam praktik seni rupa pada mulanya berangkat dari kejenuhan modernisme, sehingga seniman-seniman di periode tahun 1960-an mulai mempertanyakan aspek gagasan (idea) karya, alih-alih melanjutkan penggalian esensialis karya di ranah formalisme. Dengan demikian penggunaan teks, yang ditandai dengan lahirnya Seni Konseptual, bisa dilihat sebagai representasi dari praktik berkarya rupa yang lebih mempertimbangkan kedalaman berpikir dengan moda intelektualitas yang lebih signi�kan daripada corak berkarya yang selama ini bersifat visual dan piktorial. Jargon �linguistic turn� yang berkembang kala itu menjadi tawaran yang masuk akal bagi metode penelusuran karya rupa baru, karena meskipun seni rupa pada hakikatnya bergulat di ranah visual, namun sebagai moda pemroduksi pengetahuan, seni juga tetap menghasilkan pemikiran yang erat kaitannya dengan aspek bahasa dan teks. Namun demikian posisi �Art as Idea� ini tak lantas menggeser fungsi Art sebagai produsen objek kebudayaan yang menimbang sensibilitas artistik dan estetik. Kondisi �linguistic turn� ini justru membuka kemungkinan baru dalam tubuh Seni untuk memiliki aspek diskursif yang lebih mendalam.

�Indeed, the potential for an artwork to be established through the tought processes and notional forms of linguistic metodhology not only challenge the formalist processes of modernist art , but invested art with anew potential: An openness, discursiveness, and currency in which art was something to be thought about, imagined, theorised, rather than explained away.�

Eddy Susanto mungkin tak memberlakukan teks secara rigour layaknya para seniman konseptual di tahun 60-an bereksperimen dengan potensi linguistik seni dalam mengenerate gagasan. Namun tetap hadir logika �linguistic turn� dalam karya-karya Eddy. Pelibatan berbagai teks kuno yang berisi pengetahuan dan kebijakan religius, sedikit banyak memancing para pemirsa karya-karyanya untuk sekadar mengenal hakikat dan historisitas dari naskah yang ia angkat. Namun penggunaan aksara Jawa juga memberikan attitude tersendiri bagi karya Eddy. Sebagai sistem bahasa tulis yang tak terlampau dikenal oleh kalangan umum, aksara Jawa yang ia ketengahkan tak lantas melaksanakan fungsinya secara linguistik. Eddy di satu sisi, sebagaimana bisa ditemui pada karya-karya sebelumnya, justru mengoperasikan aksara jawa lebih

6

Page 7: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

pada tataran piktorial dan visual. Teks dan tradisi piktorial memang memiliki mekanisme komunikasi yang benar-benar berbeda. Teks dioperasikan melalui konstruksi kultural yang disepakati secara umum, sedangkan tradisi piktorial berangkat dari potensi kognisi manusia yang paling primal: visual cognition. Meskipun keduanya tentu saja merupakan instrumen perepresentasi gagasan manusia, namun keduanya berasal dari genus berpikir yang benar-benar berlainan. Eddy dalam hal ini tak terlalu mengindahkan aspek teks Jawa sebagai sistem pertandaan yang dapat dipahami (: dibaca) secara frontal oleh pemirsanya�meski tetap harus diingat Eddy tetap berupaya untuk menginformasikan perihal isi dan makna dari teks kanon yang angkat. Hal ini tentunya dilakukan sebagai indikator bagi kehadiran jalinan makna yang ia susun saat teks berelasi dengan teks/aspek lainnya yang hadir pada karya.

Mengenai pengoperasian teks Jawa sebagai komponen piktorial (sebagaimana yang ia hadirkan di karya-karya lamanya), Eddy sedikit banyak turut mengangkat gagasan Stefan Themerson mengenai esensi teks yang lebih rapuh dibandingkan dengan gambar sebagai intrumen perepresentasi pikiran manusia. Themerson berpendapat bahwa ketika suatu teks diolah sedemikian rupa sehingga memiliki formasi piktorial tertentu, ia akan menghadirkan kontradiksi kompleks antara representasi visual dengan deskripsi linguistik teks, dan akan menyadarkan kita bahwa bahasa merupakan konstruksi yang rapuh dan tak logis, yang terikat pada subjeknya hanya oleh kesepakatan kultural semata. Meskipun dalam aplikasinya kita lebih sering taken for granted dalam mengkorelasikan suatu kata dengan makna yang ada di baliknya, harus disadari bahwa korelasi ini bukanlah berdasarkan kesamaan aktual (secara visual maupun perseptual) antara penanda dan petanda. Menengok penggunaaan aksara Jawa pada karya Eddy kita juga akan menamui kondisi serupa. Jalinan segmen demi segmen abugida Jawa yang hadir di kanvas Eddy cukup dapat dipastikan tak banyak yang dapat memahaminya secara frontal di ruang pamer, namun demikian ia dapat dioperasikan ke dalam beberapa fungsi. Sebagai komponen yang paling menonjol di pameran ini, Aksara Jawa bisa menjadi penanda bagi bagi identitas lokal Eddy sendiri. Berangkat dari kenyataan ini, Eddy memang dengan asyik memadu-padankan aksara Jawa dengan berbagai elemen kebudayaan lain, yang ia upayakan formulasi juktaposisinya sehingga memiliki benang merah yang masuk akal. Relasi yang kemudian terbentuk dari esensi aksara Jawa sebagai penanda corak dan tabiat kebudayaan Jawa ini menghasilkan efek tertentu, yang tentunya hendak disasar sang empu karya sedari awal. Salah satu contoh efek yang kentara dapat dirasakan pemirsa adalah saat Eddy mempermainkan logika pun (permainan kemiripan kata) antara Java Script dan Aksara Jawa. Yang disebut pertama adalah bahasa pemrograman komputer yang sering digunakan dalam pengaplikasian perangkat lunak browser. Dalam hemat Eddy, baik dalam Java Script maupun aksara Jawa, beroperasi mekanisme linguistik antara langue (bahasa) dan parole (makna), meskipun manifestasinya berbeda. Di luar konstruksi linguistik yang mirip, Eddy juga menghadirkan perbandingan kultural antara dua teks ini dalam karyanya. Setiap karya yang ditampilkan dengan elemen iluminasi�yang merupakan penggayaan visual bagi kitab-kitab religius di masa lalu�dikomposisikan sedemikian rupa sehingga termaktub beberapa indikator akan ciri khas halaman-halaman web ternama, seperti google.com, facebook, Baidu, dan lainnya. Familiaritas yang didapati para pemirsa saat melihat penggunaan warna, bentuk font, dan ikon-ikon tertentu yang memang ditemui mereka di kenyataan saat meggunakan browser, kian menjadikan posisi aksara Jawa sebagai objek tekstual yang semakin asing. Eddy dalam perkara ini tampaknya secara subtil hendak mengusung isu kritikal akan tabiat masyarakat kontemporer yang tak terlampau menaruh minat pada penggalian

7

Page 8: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

kebijakan lokal dari kebudayaan di masalalu, dan lebih akrab dengan elemen visual asing yang didapat dari penggunaan teknologi informasi.

Re�eksi kritis terhadap sikap masyarakat kontemporer pada kebijakan lokal dan masa lalu juga dapat ditemui pada karya Hymns of Dystopia. Yang menarik dari karya ini adalah hadirnya teks non verbal dalam bentuk simbol-simbol yang diwakili beberapa objek bertuah khas budaya Jawa. Eddy menampilkan patung seorang sinden yang tengah bersimpuh, yang terbuat dari pahatan batu merapi, dilengkapi dengan cukilan naskah Ronggowarsito pada sebilah kayu winong, dan sebuah mikrofon tua yang menembangkan syair-syair dalam bahasa Jawa. Eddy menyatakan bahwa karya ini secara tersirat hendak mengingatkan kita pada sejarah perkembangan khasanah sastra Jawa di masa lalu yang menggeser tradisi kakawin dalam bahasa Jawa Kawi menjadi kidung dalam bahasa Jawa Tengahan. Perkembangan ini menyiratkan optimisme akan kemajuan peradaban dan kehidupan. Namun pada kenyataannya ada kecanggungan antara cara pandang pengetahuan baru (terutama terlihat dalam pengaplikasian teknologi dalam tataran keseharian) dengan narasi budaya tradisional. Eddy memandang kenyataan ini sebagai sebuah kondisi dystopic, karenanya komposisi keseluruhan karya menyiratkan irama yang pesimistik dan ironis.

Menyoal sorotan karya akan identitas Eddy Susanto sebagai bagian dari suku Jawa, kita akan menyadari bahwa tiap individu yang hidup di kawasan negara Indonesia�tak seperti mereka yang berasal dari negara yang lebih bercorak monokultural�memiliki dual identitas yang menunjukkan identitas lokus kultur dan nasion tempat kita tinggal. Kenyataan ini kentara terasa saat menyimak karya Eddy yang berjudul �De�ning the Nation�. Pada karya ini Eddy tak lagi menghadirkan komponen aksara Jawa, namun alih-alih justru menggunakan abjad latin sebagai elemen tekstual karya. Karya yang disusun dengan mencukil permukaaan kayu, sedemikian rupa, sehingga menghasilkan sisa cukilan berupa serpihan-serpihan abjad latin yang berserakan di lantai ini, menampilakan beberapa gambar �gur tokoh-tokoh nasional yang memiliki peranan signi�kan dalam pembentukan bangsa dan negara Indonesia. Figur-�gur yang muncul (Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, dan Kartini) sengaja Eddy pilih untuk menghadirkan gagasan mengenai besarnya implikasi dari tulisan seseorang terhadap pembentukan karakter bangsa dan negara.

Menyoroti persoalan dual identitas yang telah disebutkan sebelumnya, melalui pameran Eddy Susanto ini kita dapat memahami jika kondisi bangsa yang tampak krisis identitas�terutama saat berhadapan dengan derasnya transaksi budaya, yang lebih berpihak pada budaya dominan (: Barat)�kita dapat bre�eksi pada kenyataan bahwa kita secara given memang telah mengantungi ketidakjelasan jati diri sebagai bangsa multikultur yang terangkum dalam satu identitas nasion. Bisa dibilang ketidakakraban kita pada penggunaan aksara Jawa merupakan akibat dari keharusan untuk menggunakan langgam bahasa pemersatu bangsa, alih-alih penggunaan bahasa daerah. Melalui karya Eddy, setidaknya kita dapat menyadari bahwa warisan budaya lokal (salah satunya teks-teks kuna berbahasa Jawa) sesungguhnya memiliki potensi pendalaman yang bisa digali pemaknaannya.

Menengok bagaimana karya seni diproduksi dalam trayektori seni rupa kontemporer, sejak penyelenggaraan pameran-pameran seperti �Le Magicien De La Terre� (Paris, 1989) atau pameran �Primitivism in 21st century Art: A�nities of the Modern and the Tribal� (New York 1989), kesadaran akan identitas seniman memang mengalami pergeseran nilai. Implikasi awal dari kedua pameran yang cukup banyak menerima kritikan ini, adalah berkembangnya hibriditas sebagai identitas baru. Untuk memahami konsep hibrid ini, de�nisi yang ditelurkan oleh Rohini Malik dan Gavin Jantjes ini dapat memberikan pemahaman

8

Page 9: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: korespondensi antar teks, bahasa, budaya, dan sejarah _

yang cukup jernih: ��a state of being, arrive at through the innovative mixing and borrowing of ideas, languages and modes of practices.� Aktivitas mencampurkan dan meminjam secara inovatif ini dapat ditemui pada salah satu karya Eddy Susanto yang secara cermat menemukan kesamaan antara kebiasaan masyarakat kelas atas Eropa di tahun 1600an dengan praktik bangsawan Jawa di masa lalu. Kebiasaan yang dimaksud adalah kegemaran untuk menyimpan dan mengkoleksi berbagai benda yang dianggap memiliki nilai pengetahuan, sejarah, atau emosional bagi si pemiliknya. Karya yang berjudul Cabinet of Curiosity ini, diinspirasi oleh kebiasaan masyarakat Eropa untuk mengkoleksi berbagai benda�sebagian bahkan berupa benda organik yang diawetkan�dalam suatu museum pribadi. Di masyarakat Jawa masa lalu kebiasaan menyimpan objek klangenan memiliki dimensi spiritual yang berbeda dengan intensi orang eropa saat menyusun Cabinet of Curiosity. Namun praktik pengkoleksian ini berakar dari impuls manusiawi yang sama, yakni kebutuhan untuk mengawetkan ingatan dan pengalaman, yang diwakili oleh artefak atau benda-benda berharga.

Menyimak kembali satu demi satu karya Eddy Susanto dalam pameran Java Script ini, sudah barang tentu ditemui beragam anasir yang terlibat di dalamnya. Namun demikian, kalaupun aspek bahasa dan teks menjadi pusat gagasan dan menjadi mesin abstrak yang lantas mengenerate sub-sub gagasan Eddy yang terjawantahkan secara artistik, namun para pemirsa pasti akan merasakan kehadiran satu tema besar yang menandai pameran ini secara kentara. Tema besar yang dimaksud adalah persoalan identitas, yang justru kian mengemuka saat pelbagai komponen kebudayaan saling silang bertransaksi dalam karya Eddy, dan menghasilkan simpulan-simpulan baru yang menarik untuk disimak dan disintesakan. Salah satunya adalah hadirnya harmonisasi antara identitas global dan identitas lokal. Java Script, meskipun secara metode melalui trayektori yang umum dilalui oleh para seniman kontemporer(seperti penggunaan new media, komposisi karya dalam bentuk instalasi, dst.), namun bisa dibilang menguarkan karakter yang cukup berbeda jika dibandingkan karya-karya perupa kontemporer lainnya. Persinggahan Eddy Susanto dengan berbagai elemen kebudayaan�di luar diskursus seni rupa kontemporer�menjadikan corak berkaryanya tidak terperosok dalam jebakan stereotipikal para praktisi seni rupa kontemporer kebanyakan. Trend wacana dan jargon tertentu, seperti urban lifestyle, isu LGBT, atau persoalan gender, yang belakangan menjadi isu sentral yang dianggap penting, tidak Eddy gubris dan malah menyibukkan diri dalam keasyikan menelusuri kemungkinan baru saat mengkorelasikan aspek teks, bahasa, budaya, dan sejarah. Melalui relasi-relasi yang Eddy susun inilah pemirsa pameran dapat memperoleh ketersadaran baru mengenai kemungkinan tanpa batas yang bisa didapat, saat komunikasi antar budaya dapat terjalin secara harmonis.

Asmudjo Jono IriantoDinni Tresnadewi Nf

9

Page 10: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

The year 1989 can be considered as an important milestone in the development of contemporary art, especially in relations to post-colonial discourses and multi-cultural debates within a burgeoning globalization. That year, at Pompidou Center in Paris, the exhibition Les Magiciens de la Terre, displayed works by a number of contemporary artists�half from Western countries and half from non-Western countries. The exhibition that began as a critical inquiry questioning the format of the earlier Paris Biennale�where non-Western artists only accounted for 20% of participating artists�unexpectedly sparked debates and counter-critiques, mostly against the way the organizers had presented works by non-American and non-European artists. Many saw the style of presentation as too Orientalist, placing non-Western artists and their works (and their working style) in the role of 'the Other', shrouding them in the mystical and the primitive. To compound it further, the invited non-Western participants had not been active participants of prevailing art discourses. Rather, they were practitioners of local traditions. In later developments�especially in the post-modern era where post-colonialism became the Opposition that balanced Orientalism�we were introduced to the term/jargon of �hybrid� in the global art world. That is, an amalgamation of various cultural elements without a hierarchy to identify either this subject's culture or that object's culture, which doesn't obscure the artist's national or locational identities on a global level. The concept of hybridity was born as an implication of an increasingly multicultural world, one that exists within a diverse union. On the other hand, a merging of cultures has, led to greater uniformity of viewpoints, especially as intercultural conversations become more intense on a global scale. Today, we share subjectivity within an increasingly-open transcultural conversation. In a global village, sensibilities comingle with all sorts of polarities. Marsha Meskimmon especially o�ers a concept of 'cosmopolitan imagination' as an abstraction of this condition. �Cosmopolitan imagination generates conversations in a �eld of �esh, fully sensory, embodied processes of interrogation, critique and dialogue that can enable us to think of our homes and ourselves as open to change and alterity. Understanding ourselves as wholly embedded within the world, we can imagine people and things beyond our immediate experience and develop our ability to respond to very di�erent spaces, meanings and others.�

When localities fade away, encounters between various cultural segments may trigger a desire to make comparisons between the value systems at work in each of the cultural groups; although we cannot deny the fact that global culture is still greatly rooted in Western culture as generator of universally-adopted values. Eddy Susanto also practices a 'logic of comparison', by taking a local culture (in this case Javanese culture) and juxtaposing it against elements of other cultures. He presents them in the exhibition, Java Script.

In this exhibition, Eddy is not merely comparing cultures based on localities (West and East/Java), but also based on temporal dimensions (past and present), production patterns (scienti�c and/or technological and religious), visual characters (text and pictorial), etc. Interestingly, Eddy is also making comparisons that draw on the similarities between two disparate elements. For instance, Eddy compares old religious texts of two cultures�the Book of Hours that represent Western culture, and Javanese texts such as Nagarakertagama, Ramayana, Serat Centhini, etc. Eddy also juxtaposes cultural products from di�erent eras/periods against one another�for instance, the pun-�lled example of javascript vs. Java's script.

Here, Eddy is able to activate textual components and make them into the main instruments of his work. Unlike other Text Art

10

Page 11: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

works that use (or operate) text on a dense conceptual level, in this exhibition, Eddy uses text (in this case Javanese script) as a pictorial capital with which, or through which, he can compose his various images on two-dimensional media. We must also realize that although his presentation of Javanese script clearly demonstrates artistic-visual aspects of a highly technical working process, on a cerebral level, it is clear that Eddy has done preliminary research to formulate his working process on an abstract level as well. Because of this, the audience and visitors can discover interwoven meanings amongst the various textual objects in Eddy's works. In this way, the audience will also be required to conduct intellectual explorations that can be quite complicated at times. This is only so that they will be able to arrive at a coherent correlation. By �ashing back through the history of text as art, we can learn about the many trajectories and methods through which artists have used text as their creative instrument. One thing for sure, the use of text in art practice �rst began with a disillusionment with modernism, where artists in the 1960s began looking at the idea of art (works), rather than agonizing about an art's essence within formalist frameworks. In this way, the use of text, marked by the birth of Conceptual Art, can be seen as a representation of an artistic practice that values intellectual thinking that is deeper and more signi�cant than visual and pictorial artistic practice. The term/jargon �linguistic turn� that developed during this period became a sensible alternative that one can use to explore new works. It is true that art is essentially working on a visual �eld, but on the other hand, as a method of knowledge production, art also produces ideas that are strongly connected to language and text. Yet, the position of �art as idea� does not automatically remove art's function as a producer of cultural objects that considers artistic and aesthetic sensibilities. �Linguistic turn�, in fact, serves to open up new possibilities for art to achieve greater discursiveness. �Indeed, the potential for an artwork to be established through the thought processes and notional forms of linguistic methodology not only challenge the formalist processes of modernist art , but invested art with a new potential: An openness, discursiveness, and currency in which art was something to be thought about, imagined, theorised, rather than explained away.�

Eddy Susanto does not, perhaps, work with, or operate, text as rigorously as the conceptual artists of the 1960s did, when they experimented with art's linguistic potential to generate ideas. However, the logic of a �linguistic turn� is still evident in Eddy's works. The use of old texts, which contain religious knowledge and wisdom, will help the audience recognize the nature and historicity behind those texts. However, the use of Javanese alphabet or script also lends a singularity�or a singular attitude�to Eddy's works. As a relatively unknown/unfamiliar writing system, Javanese script does not immediately ful�ll its linguistic function. On the one hand�and exempli�ed in his past works�Eddy operates Javanese script more on a pictorial and visual state. Pictorial traditions and texts have disparate mechanisms for communication. Text works through a generally-accepted cultural construction. Pictorial tradition, however, stems from the most primal kind of cognitive potential: visual cognition. Although both of them are instruments used to represent human ideas, they come from di�erent poles. In this case, Eddy is not too concerned (or not too preoccupied) with Javanese text as symbolisms that the audience can understand (:read)�although it is worth noting that Eddy is still very much determined to inform his audience about the contents and meaning of the texts he has highlighted. The aims is, of course, to indicate the presence of an interconnection of meanings that have been constructed using texts in relations to other texts or aspects as presented in Eddy's works.

java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

11

Page 12: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

On how he operates Javanese texts as pictorial components (as seen in his earlier works), Eddy has, more or less, highlighted the idea �rst o�ered by Stefan Themerson regarding the fragility of text, especially when compared to pictures (or images) as instruments that represent the human mind. Themerson is of the opinion that if text is processed in such a way as to assume a particular pictorial formation, then it will present a complex contradiction between the text's linguistic description and its visual representation. It will open us to the knowledge that language is a fragile and illogical construction, which is only tied to its subjects through a cultural construction or agreement. Although, in reality, we tend to take a word and its meaning for granted, we must realize that the correlation is not based on actual (visual or perceptual) parallels between the signi�ers and the things being signi�ed. Looking at the use of Javanese script in Eddy's works, we will discover a similar condition. A large number of visitors will not have a frontal understanding of the linguistic connections woven through the Javanese abugida segments on Eddy's canvases; but they will still be able to see them as being connected on di�erent functions or levels. As the most visible component of the exhibition, Javanese script can be used as reference to Eddy's own local identity. Based on this reality, Eddy seems to be enjoying the practice of drawing correspondences between Javanese script and elements from other cultures. There's a clear e�ort to juxtapose these di�erent elements so that they do look like they have sensible and rational connections�the proverbial red thread. The relationships that follow out of the essence of Javanese script�as signi�er of the Javanese cultural attitudes and motifs�produce certain e�ects, which are what he wants.

One of the most noticeable e�ects can be seen in the pun that Eddy draws out from the words/concepts of javascript and Java['s] script. The former is, as we know, a computer programming language that is a familiar feature in a browser. Eddy sees that both javascript and Java's script embody a linguistic mechanism that connects langue (language) and parole (meaning), although in di�erent manifestations. Outside of the similarities between their linguistic constructions, Eddy presents a series of cultural comparisons between the two texts in his works. Each work is presented as an 'illuminated' work�a visual element found especially in Western religious texts of the Middle Ages. Eddy has composed them in such a way as to show the de�ning characteristics of well-known websites such as google.com, facebook, Baidu, etc. The familiar colors, fonts, and icons of the things we often encounter when we browse the web have simultaneously placed the Javanese script as an increasingly unfamiliar textual object. In this instance, it seems that Eddy is trying to subtly discuss contemporary society's neglect of local or ancestral wisdoms, even as they draw themselves much closer to foreign visual elements through the use of information technology. A critical re�ection against the attitudes of contemporary society toward local policies and ancestral wisdoms can also be found in Hymns of Dystopia. This work becomes interesting through the presence of non-verbal texts, in the forms of symbols represented by Javanese sacred objects. Eddy presents an image of a kneeling sinden (traditional verse singer) carved from volcanic rock, complete with Ronggowarsito's verses carved on a piece of winong wood, and an old microphone letting out verses in Javanese language. Eddy stated that this work tries to remind us of the development of Javanese literature that evolved from from Jawa Kawi-based kakawin (narrative poems using Sanskrit meters) to Central Javanese-based kidung (traditional poetry using Javanese meters). This development implies an optimism concerning the progress made by civilizations and life. Yet there is an awkwardness that belies the way new knowledge (especially in terms of the application of technology in daily life) views traditional cultural narratives. Eddy sees this reality as a dystopic condition, and it is evident in how his work implies pessimistic and ironic rhythms.

12

Page 13: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

Through works that highlight Eddy Susanto's identity as part of the Javanese tribe, we are also made aware that each person living in Indonesia�unlike those who live in monocultural countries�has a dual identity: one that highlights their cultural locus and another that emphasizes upon the nation they live in. This reality is evident when we look at Eddy's De�ning the Nation. He doesn't use Javanese script in this particular work. Instead, he has chosen to use Latin script as the textual element. He has created a woodcut�whose cut fragments lie as pieces of Latin alphabets strewn on the �oor�that shows several people who played signi�cant roles in de�ning Indonesia as a country and as a nation. The �gures�Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, and Kartini�have been deliberately chosen to convey the idea that a person's writings may have great implications on the creation and de�nition of a nation. Concerning dual identities, through Eddy Susanto's exhibition, we can begin to see or understand ourselves as a country struggling with its identity�especially when we enter into a Western-dominated cultural transaction. We can re�ect in the fact that our ambiguous identity is a given, seeing that we are actually existing as people of greatly diverse cultures encapsulated within one unifying national identity. We can say that our unfamiliarity with the Javanese script is also due to a need to use a unifying language that, in turn, supersedes our own need (or desire?) to use our regional language. Through Eddy's works, we can at least come to an understanding that local traditional heritage (one of them being old or classical Javanese texts) do have a deep potential for meaning making. As we look at how art is produced within the contemporary art trajectory�beginning with exhibitions such as Les Magiciens de la Terre (Paris, 1989) or Primitivism in 21st Century Art: A�nities of the Modern and the Tribal (New York, 1989)�we can clearly see the shift in the general awareness over an artist's identity. Those heavily-scrutinized exhibitions had led to a development of hybridity as a new identity. To understand this concept, we look to Rohini Malik and Gavin Jantjes, who de�ne hybridity as ��a state of being, arrived at through the innovative mixing and borrowing of ideas, languages, and modes of practices.� And so, the act of mixing and borrowing ideas [in an innovative way] can be found in one of Eddy Susanto's work that identi�es a similarity in the habits of 17th century European upper crust and Old Javanese aristocrats. The habit in question is the 'hobby' of keeping and/or collecting curios and other objects considered to have educational, historical, or emotional values. The work, Cabinet of Curiosity, is inspired by the European habit of collecting objects�even preserved organic objects�in a personal museum. The Old Javanese too had the habit of keeping klangenan, objects with a spiritual dimension. Despite the di�erence of intentions behind their respective 'cabinets of curiosities', the practice of collecting objects amongst the Europeans and Old Javanese is rooted in the same human impulse, i.e. the need to preserve memories and experiences, represented in tangible artefacts and precious items. Looking at each work shown here, at Java Script exhibition, we will de�nitely �nd various elements at play. Although we might not fully understand the linguistic- or textual aspects that are the main idea and motor of this exhibition�that also generates artistically-manifested sub-ideas�we may still discover an overarching theme that marks this exhibition in a noticeable way. The theme in question is 'identity', one that continues to push to the surface as various cultural components complete their transactions within 'the con�nes of' Eddy's works to create new connections that are interesting for us to see and synthesize. One example is: the harmonization between global- and local-identities. Despite methodologically travelling the same trajectory as most contemporary artists (such as through the use of new media, installation-style compositions, etc) Java Script is in possession of a unique characteristic that sets itself apart from those of

13

Page 14: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

java script: a correspondence between text, language, culture, and history _

other contemporary artists. Eddy Susanto's forays into elements of diverse cultures�outside of contemporary art discourse�have led his artistic practices away from stereotypical contemporary art themes that we often see as of late. Common trends and jargons�e.g. urban lifestyle, LGBT issues, gender issues�that are considered important and central in recent years, seem to have escaped Eddy's attention. Instead, he seems happily preoccupied with his exploration of new possibilities that he has discovered through correlating texts, languages, cultures, and histories. Through the relationships and connections that he has constructed, visitors of the exhibition may discover a new understanding or awareness about the endless possibilities that can be obtained from a harmonious transcultural communication.

1 Abugida: a writing system where consonants and vowels are written as a woven unit.

i Marsha Meskimmon, Contemporary Art and the Cosmopolitan Imagination (Abingdon, Oxon: Routledge, 2011), 8.ii Aimee Selby, Ed. Art and Text (London: Black Dog Publishing, 2009), 7.iii Selby, 7.iv Will Hill, �The Schwitters Legacy: Language and Art in the Early Twentieth Century�in Art and Text, ed. Aimee Selby (London: Black Dog Publishing, 2009), 11.v Hal Foster et al., Art Since 1900: Modernism, Anti Modernism, Postmodernism (London: Thames & Hudson, 2011), 66.vi Jean Robertson and Craig Macdaniel, Themes of Contemporary Art: Visual Art after 1980 (New York: Oxford University Press, 2010), 48.

14

Page 15: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

Ungkapan �masa lalu selalu aktual� oleh P. Swantoro, dan sekaligus dijadikan judul bukunya (Penerbit Buku Kompas, 2007), sangat penting dan relevan di sepanjang waktu. Mengapa relevan, karena pada setiap peristiwa, kapanpun, memiliki makna bagi apapun dan siapapun. Sebuah peristiwa menjadi pengalaman, sementara pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan. Setiap penggal waktu selalu terdapat tokoh/sosok yang mewariskan nilai-nilai berupa pemikiran, perenungan, pencarian, atau tindakan, yang menginspirasi generasi berikutnya. �Dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang kita juga mendapati apa yang akan datang� kata P. Swantoro seperti dikutip Sindhunata dalam Kata Pengantar buku tersebut. Namun demikian warisan semacam itu nyaris tak berkesinambungan, karena perubahan dan perkembangan teknologi informasi, gaya hidup, sosial budaya, yang memengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat pada setiap penggal waktu.

Teknologi informasi, teknologi media dalam ragam komunikasi yang ringkas dan cepat seperti media sosial dalam segala bentuknya, memiliki andil besar dalam kemungkinan melupakan warisan berharga itu. Keserbamudahan dalam segala urusan kehidupan yang difasilitasi oleh teknologi, berpotensi membuat kehidupan serba pragmatis dan berpeluang pula mendorong cara berpikir, bersikap, serta bertindak serba dangkal. Menonton dan mendengar yang lebih mudah, bersifat instan, cepat dan mudah (hanya bermodalkan piranti gadget, digital, remote control dengan pilihan 'menu' yang bervariasi), berpotensi menggusur aktivitas membaca yang membutuhkan konsentrasi serta kerja otak lebih berat untuk memahami deretan kalimat, paragraf, dan keseluruhan teks/buku.

Dampak dari ketiga aktivitas itu (menonton, mendengar, membaca) sudah bisa dibayangkan, atau bahkan kini sudah bisa dilihat di sekitar kita. Kedangkalan berpikir, wawasan, dan bertindak sebagian masyarakat, terlebih pada sebagian kaum muda, semakin menggejala. Ketekunan membaca, ketahanan meneliti, kesuntukan menguji di laboratorium yang melahirkan tawaran-tawaran pemikiran semakin jauh dari harapan atau bahkan dijauhi. Bahkan gejala yang sama juga terjadi di dunia akademi/ perguruan tinggi. Tak terkecuali realitas semacam itu juga melanda kehidupan seni rupa kita, yang berakibat terjadinya pendangkalan pemikiran dan kualitas karya seni rupa. Kesemuanya itu akan berujung pada pendangkalan kebudayaan.

Di tengah situasi semacam itu, kerja kreatif perupa Eddy Susanto pantas diamati dan dicatat dengan seksama. Dalam konteks hari ini, Eddy Susanto adalah perupa dengan sejumlah anomali; berkarya dengan mengandalkan ketrampilan teknik yang optimal, bekerjasama (menggunakan) dengan tim riset, yang hasilnya dijadikan tumpuan dalam berkarya. Dengan modus semacam itu, maka karya-karyanya tidak berhenti pada persoalan artistik atau daya pukau semata. Akan tetapi di balik pesona visualnya, terdapat tawaran kemungkinan kepada publik/penonton untuk partisipasi dalam bentuk seperti mendengarkan 'sesuatu' (musik, suara, mantra, kata-kata) menggunakan head set speaker, dengan cara meraba, atau menggerakkan. Karya-karya Eddy juga memiliki kekuatan daya ganggu yang menggugah kesadaran intelektualitas, kesadaran identitas, dan kepekaan jiwa publik penontonnya sebagai warga global di tengah pergaulan antarbangsa.

Empat Penjuru dan Satu Titik Pusat Kiblat Papat Limo Pancer � Empat Penjuru/Arah, Satu Titik Pusat � merupakan kosmogoni dalam agama Hindu. Bumi atau semesta di seluruh penjurunya (arah mata angin) dijaga oleh Dewa-Dewi, yang dalam masyarakat Bali disebut dengan istilah Dewata Nawa Sanga atau Pangider Bhuwana. Para Dewa penjaga di lima arah yang disebut Panca Dewata atau Panca Warna; masing-masing arah utara dijaga oleh Dewa Wisnu (dengan simbol warna hitam), arah selatan oleh Dewa Brahma (warna

15

Page 16: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

merah), arah barat oleh Dewa Mahadewa (warna kuning), arah timur oleh Dewa Iswara (warna putih), penjaga tengah (pusat) oleh Dewa Syiwa (warna brumbun; terdiri atas keempat warna, dari hitam, putih, merah, dan kuning). Kemudian arah timur laut oleh Dewa Sambhu (dengan simbol warna abu-abu), arah tenggara oleh Dewa Maheswara (warna pink), arah barat daya oleh Dewa Rudra/Ludra (warna orange), dan arah barat laut oleh Dewa Sangkara (warna wilis atau hijau). Dalam kosmogoni Hindu, tidak hanya empat penjuru angin, tetapi delapan penjuru arah dan satu titik pusat. Jagad semesta menjadi seimbang karena masing-masing sudut bumi dijaga oleh para Dewa. Syiwa berada di pusat sebagai penjaga keseimbangan. Kosmogoni Hindu, terutama dalam masyarakat Bali menunjukkan pada kita, bagaimana dalam setiap titik semesta memiliki kesalingterhubungan, saling mengisi, saling menjaga, dan saling menciptakan keseimbangan.

Kiblat Papat Limo Pancer dalam kaitan catatan ini saya maksudkan untuk menandai upaya Eddy Susanto dalam menggali dan merumuskan gagasan-gagasan untuk karya-karyanya. Eddy menjelajahi, menengarai, dan memaknai sumber-sumber dari empat arah (wilayah/spasial) penjuru mata angin; utara, selatan, barat, timur, sebagai penanda tempat tumbuh dan berpusatnya peradaban. Dalam percakapan sehari-hari di masyarakat atau oleh para elite, terkait ekonomi, politik, dan kebudayaan, utara dan selatan adalah penanda geo-politik, geo-sosial, geo-ekonomi, dan geo-budaya. Karena itu �utara� identik dengan negara-negara belahan Barat (Eropa, Amerika), dan �selatan� identik dengan gugusan Timur (Asia, Asia Pasi�k). Kita ingat misalnya aktivitas ekonomi, politik, dan kebudayaan yang mengatakan �pentingnya dialog utara-selatan, atau dialog selatan-selatan� dengan maksud pentingnya membangun komunikasi antara negara Barat dan wilayah Asia, dengan tujuan mempertegas kebedaan (distinction) sekaligus mencari peluang titik temu dan kerjasamanya.

Dalam realitas sehari-hari, ketidakmampuan mencari kebedaan, akan berakibat terjadinya relasi yang tidak seimbang. Perspektif 'Barat� yang memosisikan dirinya lebih maju, dan melihat �Timur� sebagai yang sedang berkembang (mungkin terbelakang), yang mengondisikan Barat merasa superior, dan sebaliknya Timur menjadi inferior. Dalam dunia pasar bebas misalnya, akibat dari realitas dan psikologi semacam itu, akan terjadi peneguhan; yang Barat menjadi produsen, dan yang Timur menjadi konsumen. Setidaknya muncul stigma, bahwa Timur hanya sebagai pengguna, bukan pencipta.

Dalam kaitan itu, Eddy Susanto berupaya melawan dan menumbangkan stigma tersebut. Ia mengerahkan daya kreatif sekaligus daya intelektualitasnya, melalui karya seni rupa yang berbasis riset terhadap manuskrip dan artefak-artefak lama, dan mencari relasinya dengan kehidupan masa kini. Tak sekadar memahami manuskrip-manuskrip tersebut, Eddy Susanto berupaya menemukan titik sambung dengan realitas hari ini. Eddy melihat bahwa manuskrip-manuskrip itu saling terhubung, dan menentukan di mana dan siapa yang berada sebagai titik pusat. Titik pusat dalam konteks penjelajahan Eddy Susanto adalah Jawa. Ia melihat persilangan sekaligus relasi pengetahuan antara �empat arah wilayah� dengan �titik pusat�. Titik pusat tersimpan dalam manuskrip-manuskrip Jawa dalam bentuk seperti Babad, Kakawin, Kidung, Serat, atau Suluk yang diposisikan sedemikian penting oleh masyarakat Jawa karena dianggap sebagai sumber pengetahuan dan panduan untuk meniti kehidupan yang baik dan benar. Dalam Babad Diponegoro misalnya, kita dapat mengikuti narasi panjang pengalaman seorang manusia yang melawan kesewenang-wenangan kolonialisme, yang akhirnya ditangkap oleh sang penjajah dan diasingkan, yang ditulis oleh sang pelaku (Pangeran Diponegoro). Dari babad itu dapat diserap dinamika pengalaman kemanusiaan dan spiritual seorang Pangeran yang berani. Bisa disebut lagi sebagai contoh, misalnya dalam Serat Wulangreh (Pakubuwana IV) penuh dengan ajaran kearifan hidup; Serat Wedhatama (KGPAA Mangkunegara IV) berisi ajaran kebaikan hidup; atau Serat Wirid Hidayat Jati (R. Ng. Ronggowarsito) yang berisi ajaran

16

Page 17: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

tentang �lsafat hidup dan kehidupan.Karya-karya Eddy Susanto menyodorkan berbagai pertemuan budaya (manuskrip) dengan memesona; manuskrip Arjunawiwaha dipertemukan dengan karya klasik Albrecht Durer (1471-1528) �The Promenade�, karya kidung Asmaradana dipertemukan dengan karya Lambert Hopfer �The Conversion of St. Paul�, kitab Baratayudha dipertemukan dengan karya Albrecht Durer �The Four Horsemen of the Apocalypse�, kitab Nagarakertagama dipertemukan dengan karya Christoph Weigel �Biblia Ectypa�, kitab Pararaton dipertemkuakn dengan karya Albrecht Durer �Saint Anthony Reading�, termasuk kitab Joyoboyo, kitab Wedhatama, atau kitab Sutasoma. Kanvas Eddy dicitrakan seperti kitab yang tengah dibuka, terdiri dua halaman kanan dan kiri; halaman kiri digambar ulang karya-karya yang dianggap cocok dengan manuskrip yang diolah (karya Albrecht Durer, Christoph Weigel, Martin Schaongauer), sementara halaman kanan merupakan kutipan manuskrip-manuskrip (Arjunawiwaha, Baratayudha, Pararaton, Joyoboyo, Wedhatama, dan lain-lain) dalam huruf Jawa Kuno. Dilengkapi pula pada tepian halaman, ornamentasi khas kitab-kitab iluminasi (illuminations).

Tak hanya menggunakan kanvas, Eddy juga menggunakan lembaran-lembaran kayu (akar) yang mencitrakan watak arkaik. Keindahan ornamentasi tidak menjadi perangkap hiasan yang genit, tetapi menjadi bagian penting yang harus hadir di atas kanvas. Karya-karya Eddy Susanto membuka sejumlah kesadaran baru; Pertama, kanvas cat, dan elemen-elemen lainnya kembali menemukan kekuatan dan konteksnya yang aktual serta relevan dengan persoalan sepanjang waktu. Eddy tak sekadar bekerja secara stereotipe, atau sekadar bersemangat mendaur ulang. Material dan elemen-elemen lainnya boleh 'usang', tetapi tetap aktual pesan-pesannya. Kedua, huruf/tipogra�, ornamentasi, potret, dan sejenisnya menghadirkan makna baru serta konteksnya yang baru, karena kekuatan tafsir dan upayanya mempertemukan dengan dengan anasir budaya serta teknologi dari ranah yang berbeda. Karya Potret Soekarno, Kartini, Bung Hatta, misalnya, yang dibentuk dari sekumpulan huruf, mengisyaratkan kekuatan sekaligus kelemahan narasi (historis) terhadap sosok-sosok penting dan istimewa tersebut. Ketiga, dalam pandangan saya, bahwa berkarya seni memerlukan sikap mental asketik, keteguhan total dalam menyelami dan menyusuri tema hingga ke substansinya, kemudian mencari relasinya dengan kehidupan hari ini. Karena itu karya-karya Eddy Susanto menghadirkan daya pukau sekaligus daya ganggu yang menantang pemaknaan lebih luas dan dalam. Manuskrip, data historis, data visual, imajinasi, menjadi kesatuan yang memikat dan memanggul pesan yang kuat.

Karya-karya Eddy Susanto memancarkan watak historisnya dengan kuat, sekaligus mendorong kesadaran terhadap identitas. Yang lokal menjadi global dan menjadi universal, serta memiliki potensi menginspirasi dunia. Jika selama ini kita � bangsa Indonesia � gelisah dengan sejumlah pertanyaan mendasar; �apa sumbangan kita, bangsa Indonesia, terhadap peradaban dan kebudayaan dunia?�, saya akan mengatakan bahwa karya-karya Eddy Susanto berpotensi memberikan jawaban dengan tepat. Eddy Susanto menunjukkan kandungan 'isyarat' atau 'sanepo' dalam sejumlah kitab atau manuskrip; seperti Wedhatama, Kalatidha, Sutasoma, Jayabaya, Arjunawiwaha, Negarakertagama, atau Centhini yang � dalam penelitian Eddy dan timnya, yang kemudian mewujud dalam karya-karya yang penuh daya itu � memiliki kode-kode yang bersambungan dengan teknologi komunikasi masa kini. Dengan kata lain, Eddy Susanto menunjukkan (sekaligus membangun kesadaran) bahwa kita � Indonesia � memiliki sejarah panjang dan kisah sukses, yang tertera dalam sejumlah artefak maha penting dalam bentuk manuksrip-manuskrip atau sejumlah benda lainnya. Pemahaman, pemaknaan, dan pembacaan yang belum banyak dilakukan, mengakibatkan sumber-sumber historis itu seperti mengalami pembekuan (dibekukan). Eddy Susanto melalui karya-karyanya seperti mengatakan

17

Page 18: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

kiblat papat, limo pancer(persilangan dan visualisasi manuskrip dalam karya-karya eddy susanto) _

dengan pelan, tegas, dan indah, �bacalah, mengertilah, dan maknailah� setiap manuskrip, untuk menemukan pengetahuan yang tersembunyi, dan agar kita semua dapat berkontribusi pada dunia. Tuhan Yang Maha Esa juga ber�rman, �Iqra� (Bacalah; Iqra' Bismirobikalladhi kholaq � Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan; QS: 96) Yogyakarta, 17 Agustus 2015Suwarno WisetrotomoKurator/ Dosen di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana ISI Yogyakarta

18

Page 19: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

four directions, one centre point(intersections and visualisations of manuscripts in eddy susanto's artwork) _

P. Swantoro's expression, �the past is always real,� which is also the title of his book (published by Kompas Books, 2007), remains important and relevant across time. It is relevant because every event, whenever it occurs, can have meaning for anything and anyone. An event becomes an experience, and experience is the best teacher in life. Every period of time has �gures who impart values in the form of concepts, contemplation, quests or actions, inspiring subsequent generations. �In our present day we have a past, in the present we also have a future," said P. Swantoro, as quoted by Sindhunata in the foreword to the book. However, these kinds of inheritances are almost unsustainable, because of changes and development in information technology, lifestyles and socio-cultural contexts which in�uences the thoughts and behaviour of society in each era. Information technology, condensed and rapid forms of communication technology, such as all manner of social media, plays an enormous role in enabling us to forget these inheritances from times past. All these conveniences of life, facilitated by technology, have the potential to make our existence pragmatic, encouraging shallow thinking, attitudes, and actions. Watching and listening is easier, almost instant, fast and simple (requiring only a digital gadget, a remote control, and all their various 'menus'), potentially displacing reading, which requires concentration and weightier thinking to understand a string of sentences, paragraphs or a whole text/book. The impact of these three activities (watching, listening, and reading) is fathomable, and even now is evident around us. Shallow thinking, discourse and action in society, especially amongst young people, is increasingly evident. We no longer expect persistent reading, continual research or comprehensive laboratory testing to generate new ideas, or we avoid it altogether. The same symptoms even occur in the world of academia and tertiary education. The existence of the art world is no exception, resulting in shallow thinking and poor quality art work. All of this leads eventually to a shallow culture. In the midst of this situation, Eddy Susanto's creative work deserves close attention. In today's context, Eddy Susanto's practice is anomalous; his work relies on optimal technical skill and cooperation with a research team. The results are the basis of his work. Through this method, his work does not stop at mere artistry or attraction. Rather, behind the visual impressions, there is the possibility for the public/viewer to participate by listening to 'something' (music, vocals, mantras, words) using a headset, or through touch or movement. Eddy's work has the power to disturb and inspire the audience's intellectuality, self-awareness, and sensitivity as global citizens in the midst of international relations.

Four Corners and One Centre Point Kiblat Papat Limo Pancer � Four Directions, One Centre Point - is a Hindu cosmogony theory. The world, or the universe and all its directions (the cardinal points) are guarded by the deities, who are known as Dewata Nawa Sanga or Pangider Bhuwana in Balinese culture. The deities who protect the �ve directions, which are called the Panca Dewata or the Panca Warna, are as follows: the north is protected by Vishnu (symbolised by the colour black), the south by Brahma (red), the west by Mahadewa (yellow), the east by Iswara (white), the centre by Shiva (a colour comprised of four colours, black, white, red and yellow). North-east is protected by Sambhun (symbolised by grey), south-east Maheswara (pink), south-west by Rudra/Ludra (orange), and north-west by Sangkara (teal or green). In Hindu cosmogony, there are not four cardinal points, but rather eight and a central point. The universe is balanced because every corner of the earth is protected by a deity. Shiva is in the centre as the protector of balance. Hindu cosmogony, especially amongst the Balinese, shows us how every point of the universe is mutually connected, and creates balance.

19

Page 20: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

four directions, one centre point(intersections and visualisations of manuscripts in eddy susanto's artwork) _

I describe to Kiblat Papat Limo Pancer here in order to point to Eddy Susanto's e�orts in mining and formulating concepts for his work. Eddy explores, implies and imparts meaning to sources from the four cardinal (spatial/area) points � north, south, west, east � as symbols of the growth and centre of civilisation. In everyday conversation among the community or the elite, in discussions of the economy, politics, or culture, north and south are geo-political, geo-social, geo-economic and geo-cultural signs. Hence �north" is identi�ed with Western countries (Europe, America) and "south" with the Eastern group (Asia, Asia-Paci�c). We might note, for instance, political, economic and cultural activity which declares �the importance of north-south dialogue, or south-south dialogue". This refers to the importance of opening up communication between the West and the Asian region, with the goal of emphasising distinction and seeking meeting points for cooperation.

In everyday reality, the inability to �nd these distinctions will result in unequal relationships. The �Western� perspective, which positions itself as more advanced and sees the �East� as under development (perhaps backwards), which conditions the West to feel superior and the East to feel inferior. There is con�rmation of this in the world of the free market, for example where consequently the West is the producer, the East is the consumer. There is at least a stigma that the East is a user, not a creator. In relation to this, Eddy Susanto attempts to resist and subvert this stigma. He directs his creative and intellectual energies to the research of old manuscripts and artefacts, and seeks out their relationship to present day life. Rather than merely understanding those manuscripts, Eddy Susanto attempts to �nd a connection with today. Eddy sees these manuscripts as mutually connected, and determines where and who is the central focus. The central point in the context of Eddy Susanto's exploration is Java. He sees intersections and relational knowledge between the "four directions" and the "central point." The central point is found in Javanese manuscripts such as histories, poems, songs, chronicles or mysticism, which are so important to Javanese society because they are seen to be the source of understanding and guidance in living a good and proper life. In the Diponegoro Histories, for example, we can follow the long narrative of one man's resistance to colonial authority, and his eventual arrest and exile by the colonisers, as written by himself (Prince Diponegoro). From these histories we can absorb the dynamics of human experience and the spirituality of a brave Prince. There are other examples we could give, for instance in the Wulangreh Chronicle (Pakubuwana IV), which is �lled with teachings for a wise life; the Wedhatama Chronicles (KGPAA Mangkunegara IV) contain teachings for a self-improvement, the Wirid Hidayat Jati Chronicle (R. Ng. Ronggowarsito) includes lessons in philosophy of life and existence.

Eddy Susanto's work foregrounds several charming assemblies of culture (manuscripts); the Arjunawiwaha manuscript is brought together with Albrecht Durer's classic work The Promenade (1471-1528), the Asmaranda ballad is introduced to Lambert Hopfer's work The Conversation of St Paul, the book of the Baratayudha meets Albrecht Durer's The Four Horsemen of the Apocalypse, the Pararaton texts encounter Durer's Saint Anthony Reading, including Joyoboyo, the Wedhatama, or the Sutasoma tomes. Eddy's canvases are created like an open book, consisting of left and right pages; the left hand page is redrawn with artworks that �t with the manuscript at hand (the works of Albrecht Durer, Christopher Weigel, Martin Schaongauer), whilst the right hand page is formed with quotes from manuscripts (Arjunawiwaha, Baratayudha, Pararaton, Joyoboyo, Wedhatama and so on), in Ancient Javanese Script. This is complemented by ornamental illumination around the edges of the page. Eddy does not only use canvas, but sheets of wood (from roots) which imparts an archaic character. The beauty of the ornamentation is not mere decoration, but an important and integral part of the canvas.

20

Page 21: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

four directions, one centre point(intersections and visualisations of manuscripts in eddy susanto's artwork) _

Eddy Susanto's work opens up new consciousness. Firstly, the paint and other elements are returned to authority, actual contexts and relevance to timeless issues. Eddy doesn't only work with stereotypes, or with the spirit of recycling. The materials and other elements might be 'obsolete', but they still carry actual messages. Secondly, letters/typography, ornamentation, portraits and the like bring new meaning and new contexts, because of the power of the interpretations and the work to bring together cultural and technological elements from di�erent worlds. The portraits of Soekarno, Kartini and Bung Hatta for instance, which are shaped with a collection of letters, hint at the power and weaknesses of (historical) narratives about these important and exceptional �gures. Thirdly, in my opinion, these works demand an aesthetic attitude, complete consistency in exploration through the theme and its substance, then a quest for its relationship to every day life. Because of this, Eddy Susanto's work has mesmerising and disturbing power which demands broader and deeper interpretation. Manuscripts, historical data, visual data and imagination are united to carry a strong and enticing message. Eddy Susanto's work exudes strong characteristics of historicity as well as encouraging consciousness around identity. The local becomes global and universal, with the potential to inspire the world. If all this time we � the Indonesian people � have been anxious about a number of basic questions; "what is our contribution to civilisation and world culture?" I would say that Eddy Susanto's work has the potential to provide the answer. Eddy Susanto reveals signs and allegories from numerous books or manuscripts; such as the Wedhatama, Kalatidha, Sutasoma, Jayabaya, Arjunawiwaha, Negarakertagama, and Centhini which � according to the research of Eddy and his team, and who later manifested this in these powerful works � carry codes that relate to current communications technology. In other words, Eddy Susanto shows how (as well as building awareness) we � Indonesia � are in possession of a long history and many success stories, which appear in a number of the most important artefacts, in manuscripts or other objects. A lack of understanding, interpretation and reading means these historical sources appear frozen. Through his work Eddy Susanto seems to be saying, slowly, clearly and beautifully, �read, understand and interpret� every manuscript, to �nd the hidden knowledge, so that we can all contribute to the world. The Almighty Lord also said �Iqra� (Read; Iqra' Bismirobikalladhi kholaq � Read and say the name of your God the creator; QS: 96) Yogyakarta, 17 August, 2015Suwarno WisetrotomoCurator/ Lecturer in the Faculty of Visual Arts and Postgraduate Studies, ISI Yogyakarta

21

Page 22: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 23: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Aksara-bahasa menjadi salah satu media penyampai gagasan manusia, dibentuk oleh konstruksi sosial budaya, diawetkan dan langgeng oleh manusia beserta kebudayaan yang menopangnya. Aksara-bahasa mengalami perubahan berdasarkan kesepakatan serta pergantiannya bisa terjadi secara cepat dan singkat atau lama. Dan yang pasti memiliki fungsi sosio-kulturalnya. Menjadi kode dinamis, berkembang dan dikembangkan oleh sebuah komunitas. Aksara-bahasa Jawa menjadi contohnya. Dua hal itu (aksara dan bahasa Jawa) saling berkelindan, menyatu, meski tak selalu berjalan beriringan. Bermula dari Palawa dan Sanskerta yang sering termaktub dalam prasasti kuno. Tetapi penanda (signifier) tekstual lisan brahmin ini mulai dirubah di Jawadwipa. Fase arkais paling mula hilangnya aksara Palawa (di Jawa) – seperti catatan de Casparis dalam Indonesian Paleography – ditandai dengan adanya prasasti Plumpungan di Salatiga milik baginda raja Bhanu. Bongkahan batu andesit itu bertarik 750 Masehi dan telah menggunakan aksara Kawi (Jawa kuno). Sementara bahasa Kawi muncul paling mula dengan anggun – seperti catatan Zoetmulder dalam Kalangwan – pada nukilan sejarah sederhana tentang upacara yang dipimpin Ki Dhari dari Calanggi yang berhubungan dengan sebuah bendungan di sungai Harinjing. Catatan ini dikenal dalam inskripsi Sukabumi bertarik 804 Masehi dan ditemukan di Pare Kediri. Semua masih dalam bentuk prasasti batu atau juga pelat logam.

Aksara dan bahasa Kawi mungkin menyatu dalam kalangon (sastra yang memperlihatkan keindahan) pada masa Dharmawangsa Teguh di Kadiri di akhir abad 10 Masehi. Kolofon dalam Wirataparwa Kawi mengabarkannya bahwa Duli baginda Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa pada tahun 918 penanggalan Saka (996 Masehi) menitahkan untuk menyalin epos Mahabharata ke dalam Jawa kuno. Kala itu, pujangga dan prabu Dharmawangsa memang bersepakat untuk menerjemahkan parwa-parwa Mahabharata dalam aksara dan bahasa Kawi. Peristiwa ini menjadi penanda penting bahwa aksara-bahasa Jawi dipakai secara sistematis, penanda lisan tulisan itu diupacarai dan disepakati bersama. Catatan parwa itu juga telah tertulis dalam lontar-lontar pujangga keraton. Aksara dan bahasa terus berkembang, perubahan dan kesepakatan baru muncul. Kakawin-kakawin telah bergeser menjadi kidung-kidung, dimana bahasa Kawi telah berganti dengan bahasa Jawa Tengahan, aksara Kawi juga perlahan-lahan bergerak ke arah Jawa Baru. Negara-kerajaan Majapahit (abad 13-14 Masehi) menjadi lokus penting berkembangnya bahasa Jawa Tengahan. Tetapi kesepakatan aksara-bahasa secara kultural kembali berubah kala serat, babad dan primbon, yang mencapai titik kulminasi masa Mataram Islam (abad 17-18 Masehi), telah mewujud dalam aksara-bahasa Jawa baru. Aksara-bahasa baru ini lalu dikenal dengan aksara bahasa carakan (Hanacaraka). Aksara-bahasa Jawa yang mengalami perkembangan dan perubahan ini telah membentuk satu makna: bahwa perubahan itu bertaliaan erat dengan perubahan budaya masyarakat. Dalam perubahan-perubahan itu, tentu saja juga menunjukkan bagaimana tradisi menulis sesungguhnya lekat dengan orang-orang Jawa.

illuminations of javascript _

23

Page 24: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of javascript _

Aksara-bahasa Jawa sebagai sebuah sistem tanda, layaknya aksara-bahasa lainnya, memiliki – apa yang disebut Saussure sebagai – �langue� dan �parole�. Tentang kaidah dan praktik bertutur dalam bahasa. Dalam paradigma ini maka karya Illumitaions of JavaScript menampilkan korelasi kontemporer atas pelbagai portal website terkenal di dunia – amazon.com, baidu.com, facebook.com, google.com, linkedin.com, live.com, qq.com, taobao.com, tmall.com, twitter.com, wikipedia.com, yahoo.com, youtube.com.

Satu sisi berbentuk teks �siklus aksara-bahasa Jawa� – berkembang dari Palawa-Sansekerta, aksara-bahasa Jawi, hingga aksara-bahasa carakan – dan dituliskan dalam bentuk prasasti (media batu hingga plat logam), kakawin dan kidung (dalam media lontar) hingga serat babad atau primbon (dalam media kertas), di sisi lain dalam teks aksara-bahasa JavaScript dalam bahasa program digital yang ditempelkan pada kode HTML, bahasa ini digunakan untuk mengubah halaman website statis menjadi halaman dinamis dan interaktif. Meskipun satu sisi berkembang teraplikasi dalam dunia nyata dan satu sisi dalam dunia maya (internet), namun keduanya memiliki siklus pola pikir yang hampir sama dalam proses keberadaannya.

Pada awal mulanya lahir dan dimanfaatkannya internet, terkenal suatu istilah semacam virtual world atau cyber world untuk menggambarkannya. Dunia maya ini dianggap sebagai sebuah arena interaksi antara mereka yang memiliki �hak eksklusif� penggunaan sistem komputer yang terhubung dalam sebuah jejaring raksasa (seperti halnya sakralitas naskah-naskah Jawa kuno). Peristiwa historis tersebut secara tidak langsung mewarnai pola pikir manusia di masa-masa awal perkembangan internet, yang mendikotomikan antara dunia nyata dengan dunia maya.

Dalam konteks dikotomi inilah kemudian terbentuk suatu opini bahwa tidak adanya hubungan yang jelas dan tegas antara dua dunia ini. Masing-masing berdiri sendiri dan tidak saling mempengaruhi.

Fenomena tersebut mengandung arti bahwa apa yang terjadi di dunia maya, tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kenyataan di dunia nyata, mengingat terjadinya kecenderungan keberhimpitan kedua dunia tersebut yang menampakkan irisan semakin lama semakin bertambah besar.

JavaScript, layaknya aksara-bahasa Jawa, memiliki �langgage� (langue dan parole). Korelasi aksara-bahasa Jawa dan JavaScript menjadi sebuah sistem yang memiliki penanda atas petanda, yang lahir dari analogi pola pikir yang sama, satu sisi berkembang dalam dunia nyata dan satu sisi berkembang dalam dunia maya, tetapi keduanya (Javanese script dan JavaScript) menyatu dalam ikatan kata yang sama �JAVA� dan �aksara-bahasa�.

24

Page 25: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Scripts are a media for the expression of human ideas, formed through socio-cultural constructions, preserved and maintained by people and the cultures they sustain. Scripts experience change based on agreements and exchanges that can occur quickly or over time. This certainly has a socio-cultural function. It is a dynamic code, developed and grown by a community.

Javanese script is an example of this. These two matters (Javanese script and language) are both linked, unified although they don't always run alongside each other. Beginning with Palawa and Sanskrit that are often contained in ancient inscriptions. But the oral textual signifiers of the Brahmin were changed in Jawadwipa. The earliest archaic phase to lose the Palawa script (in Java) - as Casparis recorded in Indonesian Paleography � was signified by the presence of the Plumpungan inscription in Salatiga, owned by King Bhanu. Pieces of andesite stone were pulled up in 750 A.D and inscribed with Kawi script (Ancient Javanese). Meanwhile Kawi language first emerged with grace � as Zoetmulder recorded in Kalangwan � in simple descriptions of history, and ceremonies led by Ki Dhari from Calanggi, which were concerned with a dam in the Harinjing river. These records are found in the Sukabumi inscription, made in 804 A.D and found in Pare Kediri. All this is still in the form of stone inscription or even on metal plates.

Kawi script and language were perhaps fused in the kalangon (literature that reveals beauty) in the Dharmawangsa Teguh in Kadiri at the end of the 10th century A.D. The colophone in the Wirataparwa stated that Duli Sir Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa was ordered to transcribe the Mahabarata into Ancient Javanese in 918 A.D. At the time, the poet and King Dharmawangsa agreed to translate the verses of the Mahabharata into Kawi script and language. This event was an important signal that Jawi script was used systematically, the written oral markers were formalised and agreed on together. These recorded verses were also written on lontar paper sheets by palace poets.

The script and language developed continuously, change and agreements emerged. Literature shifted towards ballads, where Kawi language was replaced by Central Javanese language, Kawi script also slowly shifted towards New Javanese. The kingdom-states of Majapahit (13th and 14th century A.D) became an important focus for the development of the central Javaese language. But the agreement on script again shifted culturally when the chronicles, histories and almanacs, which were the culminating point for the Islamic Mataram era (17-18 century A.D) manifested in New Javanese script. This new script was then known as the carakan language (Hanacaraka).

The Javanese script that developed and changed then shaped meaning: that change (in language) was associated closely with change in society's culture. Within these changes, there were also, of course, indications of how written traditions were closely adherent to the Javanese.

illuminations of javascript _

25

Page 26: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of javascript _

The Javanese scripts, as a system of signs like other scripts, had what Saussure would call �langue� and �parole� with regards to the rules and practices in the spoken language. Within this paradigm the work Illuminations of the Java Script shows contemporary correlations with many well known website portals in the world (amazon.com, baidu.com, facebook.com, google.com, linkedin.com, live.com, qq.com, taobao.com, tmall.com, twitter.com, wikipedia.com, yahoo.com, youtube.com).On the one hand they form a "Javanese script cycle" (developing out of Palawa-Sanskrit, Jawi script, and then carakan), written in the form of inscriptions (stone or metal plates), literature and ballads (on lontar palm sheets) through to historical chronicles or almanacs (on paper). On the other hand, the JavaScript language for digital programming that appears in HTML code is used to make websites more dynamic and interactive. Although one side of these developments is applied to the real world and the other to cyberspace (the internet), both have almost the same cycles of thinking in their processes.

At its emergence and early application the phrases virtual world or cyber world were used to describe the internet. This cyberspace was seen as an arena for interaction amongst those who had "exclusive rights" to the use of a computer system that was connected to a giant network (as were the sacred manuscripts of ancient Java). Historical events indirectly coloured people's thinking at the beginning of the internet, dichotomising the real world and the cyber world.

In this dichotomous context there formed an opinion that there was no clear or firm connection between these two worlds. Each stood separately and weren't mutually influential.

This phenomena meant that what happened in the cyber world could not easily be separated from the real world, remembering the tendency for these worlds to collide, revealing increasingly large slices.

JavaScript, like Javanese script, has "langage� (langue and parole). The correlation between Javanese and JavaScript is a system of signifiers, which are born from analogies between similar patterns of thinking, one developing in the real world and the other in the cyberspace, but both (Javanese script and JavaScript) united through the linking words "JAVA" and "script".

26

Page 27: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.amazon.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

27

Page 28: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.baidu.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

28

Page 29: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.facebook.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

29

Page 30: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.google.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

30

Page 31: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.linkedin.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

31

Page 32: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.live.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

32

Page 33: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.qq.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

33

Page 34: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.taobao.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

34

Page 35: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.tmall.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

35

Page 36: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.twitter.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

36

Page 37: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.wikipedia.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

37

Page 38: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.yahoo.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

38

Page 39: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

illuminations of www.youtube.com _ acrylic on canvas, hemp rope, mini monitor _ 2014 _180 x 291 cm

39

Page 40: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 41: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Syair menjadi sebuah fenomena identitas diri, yang dikirim melalui berbagai bentuk dan keberadaannya di berbagai media. Salah satu bentuk paling umum dalam penggunaan identitas untuk mengungkapkan apa yang mungkin dapat digambarkan sebagai sebuah perasaan pengalaman bersama, yang memungkinkan pemirsa untuk membayangkan pengalaman dan emosi narasi tanpa banyak kendala.

Bagai sebuah keajaiban, identitas syair yang digunakan untuk menentukan dirinya, juga menunjukkan kapasitasnya yang hampir merevolusi dalam setiap periode sejarah. Bahkan di Eropa barat munculnya budaya kontemplasi telah merevolusi selama lima belas abad. Kebudayaan ini tentang pengabdian pada kesedihan, untuk mendekatkan manusia dalam keilahian yang terkait dengan emosi dan dapat diakses melalui meditasi.

Pada perkembangannya, diterbitkanlah kitab-kitab sebagai buku panduan perenungan (Book of Hours) yang digunakan individu secara pribadi untuk mengaktifkan emosi, dengan kata lain, memungkinkan pengalaman transendensi dalam menemukan pegangan subjektivitas mereka sebagai identitas manusia. Mungkin itu adalah refleksi yang mendalam dari subyektivitas modern pada saat itu.

Di era sekarang ini, identitas sekali lagi menjadi awal sebuah gagasan besar tentang teknologi digital. Sebuah teknologi yang sangat akrab dengan kehidupan kita, salah satunya Mp3 Player (pemutar lagu digital).

Mp3 Player dan Book of Hours abad pertengahan adalah dua teknologi yang seolah berkorelasi, memiliki dampak yang sama bagi setiap orang yang menggunakannya. Sebagai budaya yang lahir dari gagasan besar yang kemudian menjadi sangat populer dalam konteks sosial di mana teknologi ini berkembang. Sebagai teknologi yang sama-sama menggunakan kode-kode, tata aksara/bahasa dan sintaks untuk memungkinkan komunikasi informasi yang tanpa batas. Memiliki kekuatan skrip di sebuah zaman revolusioner yang potensial pada masanya serta diproduksi secara massive untuk dimiliki setiap individu.

Book of Hours adalah perangkat teknologi, sebagai platform multi-media yang lahir pada abad ke-14. Teknologi komunikasi informasi yang juga menjadi sebuah literasi budaya.

Seperti halnya syair dan doa dalam Book of Hours, teknologi aksara-bahasa Jawa sebagai sebuah sistem tanda juga merupakan literasi budaya yang berkembang pada masanya. Karya ini seolah gambaran korelasi antara Books of Hours dan Mp3 Player di Eropa secara imajinatif juga terjadi di ranah sejarah nusantara khususnya Jawa. Dimana manuskrip-manuskrip jawa (babad, kakawin, kidung, serat, suluk) menjadi semacam kitab yang sakral sebagai panduan pembelajaran dan perenungan identitas. Dalam perkembangannya, disyairkan sebagai pengalaman emosi narasi.

book of hours dan mp3 player: teknologi kontemplasi _

41

Page 42: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

book of hours dan mp3 player: teknologi kontemplasi _

Dalam catatan Mankind and Mother Earth Arnold Joseph Toynbee, seluruh Itali bukanlah satu-satunya tempat tumbuhnya budaya modern karena wilayah Flanders muncul dan menjadi magnet kedua dari bersinarnya kebudayaan barat (Eropa). Bahkan di antara laut Adriatik dan laut Utara, Nuremberg juga menjadi pusat budaya.

Saat ini karya-karya besar tersebut (era renaisans) berkorelasi, diangkat kembali lalu ditafsirkan dalam sakralitas aksara, naskah – ARJUNAWIWAHA-Albrecth Durer �The Promenade�, ASMARADANA-Lambert Hopfer �The Conversion of St. Paul�, BARATHAYUDHA-Albrecth Durer �The Four Horsemen of the Apocalypse�, NAGARAKRTAGAMA-Christoph Weigel �Biblia Ectypa�, PARARATON-Albrecht Durer �Saint Anthony Reading�, RAMAYANA-Albrecth Durer �The Sea Monster�, CENTHINI-Albrecth Durer �Escape from Egypt�, JOYOBOYO- Albrecht Durer �Erasmus of Rotterdam�, KALATIDHA-Martin Schongauer �Five of the demons who tempted St. Anthony�, WEDHATAMA-�Figure de Levangeliste Sainct Matthieu� [This is an original 16th century], SUTASOMA-Albrecth Durer �St. Christopher Facing to The Right�, WANGBANG WIDEYA-Albrecth Durer �Dame with landsknecht� – dan pemahaman akan syair dalam lokalitas Jawa sehingga sakralitas Renaisans secara visual bermakna juga membuka pemahamaan makna sakralitas dalam kultur Jawa.

42

Page 43: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Poetry is a phenomenon associated with self-identity, expressed through many forms and existing in diverse media. One of the most common of these is in the use of identity to express what might be described as shared emotional experience, which allows the viewer to imagine the experience and emotion of the narrative with few obstacles.

By some miracle, the poetry of identity that is used to determine the self is also capable of undergoing a complete revolution in every period of history. Even in Western Europe there emerged a culture of contemplation that revolutionised over 15 centuries. This culture of dedication to sadness brought people closer to a divinity associated with emotion, and was accessed through meditation.

As it developed, a bible was published as a guide to contemplation (Book of Hours), which individuals used to activate emotion; in other words it enabled transcendental experience through encounters with their own subjectivity as human beings. Perhaps it was a deep reflection on modern subjectivity at the time.

In this era, identity has again become important in the discourse around digital technology. Technology is very familiar in our lives, including Mp3 players.

Mp3 players and the Book of Hours from the middle ages are technologies that seem to correlate, having similar impacts on the people who use them. Both technologies are born out of larger cultural concepts that then become very popular in the social context. Both technologies use codes, syntax scripts and language arrangements to enable limitless communication of information. They have the power of script in a revolutionary era, the potential in its time is realised on a massive scale, so every individual can possess them.

The Book of Hours technological device is a multi-media platform born in the 14th century; information communication technology that was also a form of cultural literacy.

book of hours dan mp3 player: contemplative technology _

43

Page 44: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

book of hours dan mp3 player: contemplative technology _

As with the poetry and prayers in the Book of Hours, the technology of Javanese script as a system of signs is also a kind of cultural literacy that flourished in its time. This work is a kind of imaginative description of the correlation between the Book of Hours and Mp3 players in Europe, which also occurred in the history of this archipelago's realm, especially in Java. Javanese manuscripts (histories, literature, songs, letters, poems) became a kind of sacred bible that guided study and the formulation of identity. As it developed, it was turned into a narrative of emotional experience.

In his text Mankind and Mother Earth, Arnold Joseph Toynbee wrote that Italy was not the only place that modern culture developed, because Flanders region emerged and became a secondary magnet for the glow of western (European) culture. Between the Adriatic and North Seas, Nuremberg also became a culture centre. Now the major works of literature (from the Renaissance era) correlate, and are re-invoked as an interpretation of the sacred script; the narratives –ARJUNAWIWAHA-Albrecth Durer �The Promenade�, ASMARADANA-Lambert Hopfer �The Conversion of St. Paul�, BARATHAYUDHA-Albrecth Durer �The Four Horsemen of the Apocalypse�, NAGARAKRTAGAMA-Christoph Weigel �Biblia Ectypa�, PARARATON-Albrecht Durer �Saint Anthony Reading�, RAMAYANA-Albrecth Durer �The Sea Monster�, CENTHINI-Albrecth Durer �Escape from Egypt�, JOYOBOYO- Albrecht Durer �Erasmus of Rotterdam�, KALATIDHA-Martin Schongauer �Five of the demons who tempted St. Anthony�, WEDHATAMA-�Figure de Levangeliste Sainct Matthieu� [This is an original 16th century], SUTASOMA-Albrecth Durer �St. Christopher Facing to The Right�, WANGBANG WIDEYA-Albrecth Durer �Dame with landsknecht�– and understandings of poetry in Java and the visual sacrality of the Renaissance become meaningful in opening new understanding of sacrality in Javanese culture.

44

Page 45: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of centhini _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

45

Page 46: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of panji _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

46

Page 47: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of nagarakrtagama _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

47

Page 48: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of arjunawiwaha _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

48

Page 49: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of bharatayudha _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

49

Page 50: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of jangka jayabaya _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

50

Page 51: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of sutasoma _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

51

Page 52: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of kalatidha _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

52

Page 53: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of asmaradana _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

53

Page 54: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of wedhatama _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

54

Page 55: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of pararaton _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

55

Page 56: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the book of hours of ramayana _ acrylic on canvas, wood, mp3 player _ 2014 _180 x 291 cm

56

Page 57: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 58: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Dalam bahasa Inggris, 'writing' merujuk kepada dua hal, yaitu sebagai kata benda (tulisan) dan sebagai kata kerja (menulis). Kegiatan menulis sehingga menghasilkan tulisan adalah proses pembentukan kata-kata pada sebuah media, sehingga lahirlah teks-teks.

Sejarah pun dimulai karena adanya rekaman tulisan dan keberadaan budaya manusia sebelum dikenal melalui tulisan mulai dari zaman prasejarah. Setelah itu adanya zaman sejarah diawali.

Seorang arkaelogis, Denise Schmandt Besserat, mengungkapkan bahwa ada hubungan antara koin-koin bersimbol (tokens) yang terbuat dari tanah liat – yang ditemukan pada kebudayaan kuno – dengan tulisan pertama (cuneiform). Token-token dengan simbol-simbol yang berbeda membuktikan bahwa ada kegiatan pencetakan dan tentunya membutuhkan beberapa simbol atau tanda. Oleh karena itu, bisa jadi token-token itulah prototipe pertama akan sebuah simbol teks.

Menulis, adalah salah satu bentuk budaya yang tercipta melalui proses-proses yang disebutkan. Penemuan lambang-lambang oral (huruf) yang bentuk akhirnya berupa tulisan, adalah suatu prestasi intelektual yang dicapai manusia dalam peradaban masyarakat klasik. Peralihan sistem komunikasi manusia dari tradisi oral ke tradisi menulis, sangat mempengaruhi percepatan perkembangan budaya dan perluasan informasi antar masyarakat dan antar generasi secara lebih otentik dan efektif. Akibat dari semua itu, tentunya – secara tidak langsung – akan merubah tatanan budaya-budaya lainnya ke bentuk yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Dengan demikian penemuan budaya tulisan dalam sistem budaya suatu masyarakat, tidak hanya akan menawarkan peningkatan dalam lapangan komunikasi saja, akan tetapi lebih jauh akan mempengaruhi aspek-aspek budaya manusia itu secara keseluruhan.

Dapat dikatakan bahwa versi �formal� dari suatu sejarah adalah apa yang tertuliskan, meskipun terkadang apa yang masih lisan adalah yang lebih benar. Tulisan, terutama tulisan sejarah, adalah media yang penting untuk pembentukan identitas bangsa.

Tulisan, sangat terkait dengan Bahasa, dan Bahasa menunjukan Bangsa. Berdasar The New Oxford American Dictionary, definisi sebuah bangsa adalah sekelompok orang yang memiliki sejarah, budaya, bahasa, etnis bersama dan bisa diperdebatkan.

Satu hal yang dimiliki bersama oleh Indonesia adalah bahasa. Situasi geographis Indonesia yang menyebabkan sulitnya untuk terjadi percampuran budaya dan etnis, pengalaman sejarah pun tidak dirasakan bersama antar kelompok etnis. Bahasa Indonesia, yang dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia, bisa menjadi kendaraan dalam pembentukan identitas bersama bangsa.

Seperti perkembangan masanya, teks/tulisan diciptakan pada prosesnya melahirkan figur-figur perekam peristiwa yang permanen. Seperti dalam karya Defining the Nation ini, tiga tokoh Nasional mewakili masa dan konteksnya sebagai pembentuk identitas bangsa. R.A. Kartini sebagai pembawa pesan emansipasi perempuan, Soekarno sebagai tokoh pergerakan, dan Pramoedya Ananta Toer sebagai tokoh sastra. Mereka besar dari dan melahirkan teks/tulisan sebagai penanda atas petanda. Secara kebetulan tiga tokoh tersebut berasal dari Jawa, aikon pembangun peradaban melalui budaya menulis.

defining the nation _

58

Page 59: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

defining the nation _

In English, 'writing' can refer to either a noun or a verb. The action of writing that produces writing is a process of forming words through a media, creating texts.

History begins because of written records and the existence of previous human cultures are known through their writing, beginning from pre-historical eras. After this the historical era began.

An archaeologist, Denise Schmandt Bessarat, expressed that there was a connection between symbolic coins (tokens) made from clay � found in ancient cultures � and the first forms of writing (cunieform). Tokens with different symbols prove the existence of printing technologies and of course require a variety of symbols or signs. Because of this, these tokens may well be the first prototypes for symbolic texts.

Writing is one cultural form that has been created through these processes. The discovery of oral emblems (letters) which eventually became writing is among the intellectual achievements made by humans in the classical period of human civilisation. The shift in human communication systems from oral to written traditions was most influential on the speed of cultural development and the more authentic and effective dissemination of information between societies and generations. As a result of all of this, of course � indirectly � there were improvements in other cultural orders from one era to the next. Thus the discovery of writing in the cultural systems of a society not only offers an enhanced communication field, but furthermore influences all aspects of the entire culture.

We could say that the �formal" version of history is that which is written, although sometimes what is recorded orally is more correct. Writing, especially history writing, is an important media for forming the identity of a nation.

Writing is closely associated with Language, and Language indicates Nation. The New Oxford American Dictionary definition of a nation as a group of people with the same history, culture, language and ethnicity, is debatable. One thing that is shared across Indonesia is language. Indonesia's geographic situation causes difficulty through the mixing of culture and ethnicity, even history was not experienced the same way by different ethnic groups. The Indonesian Language, used by all Indonesian people, can be a vehicle for the formation of a national identity.

In line with the development of time, text/writing created through the process of writing has given birth to permanent historical figures who have recorded events. As in this work, Defining the Nation, three national figures represent time and their context in forming national identity. R.A. Kartini brought the message of women's emancipation, Soekarno as a figure in the (independence) movement, and Pramoedya Ananta Toer as literary figure. They grew from and created text and writing as a sign of the sign. Coincidently these three figures originate from Java, icons of the development of civilisation through written culture.

59

Page 60: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

defining the nation (#kartini) _ acrylic on wood _ 2014 _200 x 150 cm

60

Page 61: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

defining the nation (#soekarno) _ acrylic on wood _ 2014 _200 x 150 cm

61

Page 62: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

defining the nation (#pramoedya) _ acrylic on wood _ 2014 _200 x 150 cm

62

Page 63: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 64: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

hymns of dystopia _

Ini tentang sentimen manusia akan kehidupan yang berakhir menjadi terlalu utopis untuk realitas, atau terlalu dystopian bagi mereka yang cukup beruntung memiliki dunia. Tentang sebuah �naskah� yang menjelma sebagai hymne pesimis akan sebuah dunia dalam mencapai tahap kematangan teknologi yang hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri. Karena kemajuan yang terjadi hanya dalam hal teknologi, tapi tidak pada kapasitas moral umat manusianya.

Adalah klise untuk mengatakan bahwa di antara masalah terbesar yang kita hadapi tentang kemajuan moral atau etis manusia belum sejalan dengan kemajuan teknologi dan pemikiran ilmiah. Karena kecemasan sejarah yang mendalam adalah bahwa pemisahan antara kapasitas teknologi dan moral merupakan bahaya terbesar yang didefinisikan sebagai masalah. Meskipun kecemasan tersebut hanyalah sebuah kecemasan berdasarkan pada masa depan yang diproyeksikan.

Semua budaya memiliki mitos keangkuhan atau peringatan tentang rasa ingin tahu yang tak terkendali. Dan itu adalah kecemasan kuno, yang meledak ke dalam kesadaran dengan semangat baru. Karena selama munculnya ilmu pengetahuan modern, suatu peristiwa yang terjadi pada saat yang sama merupakan kebangkitan. Sebuah kontradiksi yang banyak dialami para pemikir dunia modern pada awal revolusi ilmiah.

Jawa, adalah juga sebuah tradisi tulisnya (aksara dan bahasa) yang telah banyak memberikan nilai-nilai dengan falsafah tentang proyeksi masa depan yang optimis. Tentang seni, budaya, ritual, sikap, filosofi, juga teknologi. Setidaknya sejak abad ke-9 dan ke-10 masyarakatnya bisa mempertahankan dan terhubung dengan tradisi tersebut. Mengalami perkembangan dan perubahan yang membentuk satu makna bahwa perubahan itu bertaliaan erat dengan perubahan budaya masyarakat. Dalam perubahan-perubahan itu, tentu saja juga menunjukkan bagaimana tradisi menulis sesungguhnya lekat dengan orang-orang Jawa. Tersirat dalam naskah-naskah yang terpahat dalam prasasti dan tertulis dalam manuskrip-manuskrip untuk diawetkan sebagai bagian regalia suci. Terkandung pesan moral untuk disampaikan pada dunia sebagai bagian penting dari aktivitas kreatif dan intelektual pada saat itu (dan mungkin juga untuk saat ini).

Hari ini, naskah-naskah tersebut menjadi hymne yang bertranformasi dengan teknologi. Dilagukan sebagai syair oleh aikon sinden yang terpahat dari batu andesit Merapi, sebagai simbol suara dari kebesaran masa lalu. Dibentengi kayu bertuah Winong (menurut kepercayaan Jawa, kayu Winong tempat bersemayam ruh ghaib penolak bala, pemberi kebijaksanaan dan keselamatan) serta dipahatkan penggalan Serat Kalatidha karya R. Ng. Ronggowarsito, karya satra Jawa yang mencerminkan kearifan masyarakat orang Jawa dalam menghadapi perkembangan dan globalisasi, sebagai jaman edan atau jaman kalabendu, jaman yang penuh bebendu. Orang bisa berbuat apa saja semaunya karena aturan sudah tidak ada fungsinya, rurah pangrehing ukara, dan tidak ada keteladanan pemuka dan pimpinan masyarakat, karana tanpa palupi.

64

Page 65: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

hymns of dystopia _

Karya ini juga hendak merayakan kembali era Majapahit (abad 13-14 Masehi) saat ketika perubahan dan kesepakatan baru muncul. Kakawin-kakawin yang bergeser menjadi kidung-kidung, dimana bahasa Kawi telah berganti dengan bahasa Jawa Tengahan, aksara Kawi juga perlahan-lahan bergerak ke arah Jawa Baru, selain berusaha membawa pesan moral akan dystopia teknologi itu sendiri, dalam Hymns of Dystopia. Kontradiksi antara cara pandang pengetahuan baru dan narasi budaya tradisional. Sebagai jawaban bahwa moral kemanusiaan harusnya menjadi penyangga kebangkitan pengetahuan yang digunakan untuk �the improvement of man's estate�, dan sebagai alat berbudaya. Meskipun seperti yang pernah dikatakan Karl Marx, sejarah selalu berulang entah sebagai tragedi atau sebagai lelucon. Karena kadang sejarah seperti tak jauh berbeda dengan dongeng. Bedanya, dongeng menggambarkan kebesaran bangsa nusantara, sementara sejarah menggambarkan lebih pada kegagalan bangsa ini. Dongeng bercerita tentang keperkasaan. Sangkuriang menendang perahu menjadi gunung, Bandung Bandawasa murka menjadi Prambanan, Gajahmada bersumpah nusantara menjadi kuat.

Bayangkan dengan sejarah kerajaan yang berujung pada kehancuran akibat pertikaian, korupsi, skandal dan hilang tanpa jejak. Kemana bukti kebesarannya, menjadi tanda tanya besar. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi, bahwa kebenaran dari kisah Mahabharata adalah potret kekuatan keserakahan dan kebencian manusia, bagaimana mereka menyamarkan diri mereka sebagai pembenaran diri dan menyebabkan perang yang merusak tanpa ada pemenang, dan yang selamat hanya mewarisi kehampaan.

Pertanyaannya kemudian, apa, jika ada, yang bisa kita lakukan? Tapi mungkin kita akan terkendala pada asumsi di balik klaim bahwa pengetahuan teknologi telah maju sementara sifat moral kita tetap intractable. Asumsi yang menyatakan bahwa proyek pencerahan reformasi sifat manusia telah gagal.

65

Page 66: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

This is about how human sentiments about life are, in the end, too utopic for reality, or too dystopic for those who are lucky enough to own the world. It is about a �manuscript� that is reincarnated as a pessimistic hymn for a world that has reached the stage of technological advance that only serves to destroy itself. This is because progress has occurred in technology, but not in the moral capacity of humankind.

It is a cliché to say that among the biggest problems we face is that human morals or ethics are not yet in line with technological advances and scientific thinking. History's deeper concern is that there is a separation between moral and technological capacity and this problem is defined as the biggest danger. Even though this concern is only based on a projected future.

All cultures have myths around arrogance or warnings about uncontrolled curiosity; that is an ancient worry, which has exploded into consciousness with renewed enthusiasm. One event that has occurred simultaneously with the emergence of modern science has been awakening; a contradiction often experienced by modern world thinkers at the beginning of the scientific revolution.

Java also has a written tradition (script and language) that has provided philosophical values that project a positive future for art, culture, ritual, attitudes, philosophy and technology. At least since the 9th and 10th centuries the people have been able to preserve and connect through these traditions, experiencing growth and change that shaped the interpretation that change is closely connected to cultural change in society. This change, of course, also indicates that written traditions are closely tied to the Javanese, implicit in engraved inscriptions and written in manuscripts to be preserved as part of holy regalia. They carry moral messages for the world, as an important part of the creative and intellectual activity of the time (and probably for the present).

Today, these manuscripts have become hymns that are transformed by technology. They are turned into songs and poetry by sinden icons that are inscribed in the andesite stone of Merapi, a symbol of voices from the greatness of the past. Surrounded by the lucky wood of the Winong (according to Javanese belief, Winong wood is the abode of magical spirits who repel enemies, granting wisdom and safety) as well as being inscribed in the Serat Kalatidha, by R. Ng. Ronggowarsito, a work of Javanese literature that reflects the wisdom of a Javanese society facing development and globalisation, the mad times or the wrathful times. People can do whatever they want because the rules no longer have any function, rurah pangrehing ukara, and there are no exemplary leaders in society, karana tanpa palupi.

hymns of dystopia _

66

Page 67: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

hymns of dystopia _

This work also intends to celebrate again the Majapahit era (13-14 century A.D) when change and deals had just emerged. Literature shifted into ballads, the Kawi language was replaced by Central Javanese language, the Kawi script also slowly shifted to New Javanese, as well as attempting to express moral messages about the technological dystopia itself, in Hymns of Dystopia. (There are) contradictions between new knowledge perspectives and narratives of traditional culture. In response, humankind's morals need to be a stepping stone to awakening of knowledge used for "the improvement of man's estate," and as a cultural tool. In spite of this, as Marx said, history always repeats, whether it be tragedy or comedy. Sometimes history is not very different from fiction. The difference is fiction describes the greatness of the archipelagic nation, whilst history describes the failure of that same nation. Fiction speaks of power. Sangkuriang kicks over a boat and turns it into a mountain, Bandung Bandawasa's wrath becomes Prambanan, and Gajahmada swears the archipelago will be powerful.

Imagine, the history of these kingdoms ends in destruction as a result of conflict, corruption and scandal, and is lost without a trace. Where did this evidence of greatness go, that is the big question? As Mahatma Ghandi said, the truth of the Mahabharata story is that it portrays the power of human greed and hatred, how they disguise their true selves and cause wars that destroy all without winners, and those who are saved only inherit the void.

The next question is what, if anything, can we do? But perhaps we will be impeded by the assumption behind the claim that technological knowledge has advanced while our morals remain intractable. This assumption declares the enlightening project of human reformation has failed.

67

Page 68: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

hymns of dystopia _ merapi stone, winong wood, metal _ 200 x 150 x 200 cm

68

Page 69: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 70: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Pawukon, sebagai kalender Jawa yang perhitungannya didasarkan secara matematis, menjadi salah satu simtem penanggalan masa lalu yang masih digunakan hingga saat ini. Sebuah sistem penanggalan yang disepakati untuk menandai elemen waktu. Meskipun perhitungannya tidak semata didasarkan pada revolusi Bumi mengelilingi Matahari seperti kalender solar atau revolusi Bulan mengelilingi Bumi seperti kalender lunar, keabsahan kalender Jawa dianggap memiliki keistimewaan. Karena memadukan sistem penanggalan Islam, penanggalan Hindu, dan penanggalan Julian yang identik dengan Gregorian.

Sistem ini pada awalnya digunakan oleh Kesultanan Mataram sesuai dekrit Sultan Agung. Namun pada tahun 1855 Masehi masih dianggap tidak memadai sebagai kriteria sistem tanam pertanian, maka kalender yang berdasarkan konstelasi bintang di musim tanam yang disebut sebagai 'Pranata Mangsa', regulasi musim, pernah dimodifikasi dan disempurnakan oleh Sri Mangkunegara IV untuk digunakan secara resmi.

Dalam pemaknaan Jawa, bahwa tidak ada hari-hari penting seperti kelahiran, perkawinan dan kematian terjadi secara kebetulan. Sebab-akibat atas hukum alam akan sangat mempengaruhinya. Kesimpulan tersebut didasarkan pada perhitungan dan pengamatan pada 35 kombinasi posisi Matahari dan Bulan, waktu 35 hari itu disebut "Selapan". Kemudian dari intuisi dan pengamatan jangka panjang, prediksi tentang karakter potensi manusia berdasarkan hari lahir disebut "Weton�.

Selain peristiwa alam, mitologi juga dianggap mempengaruhi karakter sifat dan watak manusia. Seperti adanya kepercayaan bahwa karakter manusia berdasarkan 'Weton' juga dapat dirubah hanya jika seseorang percaya dapat mengubahnya. Astronomi modern yang mengatakan bahwa ada fenomena alam yang disebut presesi ekuinoks, dalam mitologi Jawa, tokoh Bhisma (dalam wiracarita Mahabaratha) meninggal pada saat Matahari terbit, pada saat musim semi Equinox, di konstelasi Taurus. Bhisma sengaja menunggu momen dalam kematiannya. Makna dari peristiwa ini bahwa ada saat yang baik untuk mati dan sebagai akibatnya, namun ada juga saat yang baik untuk lahir. Hukum sebab-akibat, jika kita sadar, kita bahkan bisa merubahnya.

Pada aplikasinya, sejarah Penanggalan Jawa selalu terkait dengan Aksara Jawa. Selain dari hasil pengamatan dan perhitungan matematis, juga berlandaskan pada falsafah hidup atas hubungan manusia dengan alam. Jika Penanggalan Jawa berdasarkan �Sangkan Dumadining Bawana� atau asal-muasal terciptanya alam semesta (makrokosmos dan mikrokosmos), sedangkan Aksara Jawa berdasarkan �Sangkan Paraning Dumadi� atau asal-muasal terjadinya hidup dan kehidupan. Keberadaan falsafah hidup sebagai Spirit of Java telah mewariskan metode penyajian kasus yang menarik dalam berinteraksi dengan masyarakat, budaya, agama, tradisi dan sebagainya, seperti dicontohkan dalam sistem penanggalan yang pada akhirnya digunakan di seluruh wilayah nusantara. Hal ini menjadi bukti yang luar biasa untuk sebuah adaptasi. Penanggalan Jawa menjadi warisan tradisi intlektual dan sistem penanggalan seumur hidup yang sistematis, matematis serta diakui. Bahkan mengilhami pengembangan dan menjadi platform penciptaan software penanggalan teknologi digital di dunia maya.

Karya ini menyajikan bentuk manual instalasi interaktif sistem penanggalan Jawa seumur hidup. Terpahat dari recycle kayu jati tua sisa-sisa joglo dan furniture tempo dulu, sebagai perlambang kemewahan strata dan karakter serta menjadi monumen ingatan masa silam.

the javanese calendar life time _

70

Page 71: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the javanese calendar life time _

Pawukom, a Javanese calendar that counts the days on a mathematical basis, is one calendar system from the past that continues to be used today. This calendar system was agreed to as a signifier of time. However its calculations are not only based on the revolutions of the earth around the sun, as in a solar calendar, or the revolutions of the moon around the earth, as in a lunar calendar. The legitimacy of the Javanese calendar is seen to hold special properties, because it refers to the Islamic calendar system, the Hindu calendar system, and the Julian calendar system which is the same as the Gregorian calendar.

This system was originally used by the Mataram Sultanate in accordance with the Great Sultan's decree. However in 1855 A.D it was still thought insufficient as a system for agricultural planting, so the calendar based on the constellations during the planting season, called the �Pranata Mangsa�, a regulation of the seasons, was modified and perfected by Sri Mangkunegara IV for official use.

In the Javanese understanding, no important events such as births, marriages and deaths occur by chance, because the laws of nature are so influential. This is based on calculations and observation of 35 combinations of positions of the sun and moon, and those 35 days were known as �Selapan�. Then through intuition and long-term observations, predictions of the character and potential of people based on their date of birth are made, called "Weton.�

Apart from natural events, mythology is also seen as influential on the characteristics of people, such as in the belief that the people's weton characteristics can only be changed if a person believes they can be changed. Modern astronomy recognises the natural phenomena of the precession of the equinox; in Javanese mythology, Bisma (in the Mahabharata epic) dies when the sun rises, during the spring equinox, in the Taurus constellation. Bisma deliberately waited for that moment for his death. The connotation of these events is there is a time for death and consequently, there is also a time to be born. If we are conscious enough, we can even change the laws of cause and effect.

In its application the Javanese calendar has historically always been associated with Javanese script. Apart from the results of observations and mathematical calculations, it is also based on a life philosophy regarding relations between humans and nature. If the Javanese calendar is based on �Sangkan Dumadining Bawana,� or the origins of the universe's creation (the macrocosm and the microcosm), then Javanese script is based on "Sangan Paranin Dumadi," or the origins of life and existence. The existence of life philosophies such as the Spirit of Java bequeath a method with which to present interesting cases in interactions with society, culture, religion, tradition and so on, as in the example of the calendar system that was eventually used across the archipelago. This is extraordinary evidence of adaptation. The Javanese calendar is a traditional intellectual inheritance and a life-long calendar system that is systematic, mathematical and recognised. It has even inspired development and become a platform for the creation of digital calendar technology in cyberspace.

This work presents an interactive manual system for a life-long Javanese calendar. Carved from recycled teak wood left over from joglo (Javanese pavilions) and vintage furniture, it is a sign of the wealth of strata and character and a monument commemorating the past.

71

Page 72: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the javanese calendar life time _ old teak wood, metal _ 200 x 50 x 200 cm

72

Page 73: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 74: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the javanese cabinets of curiosities _

Cabinets of curiosities, yang juga dikenal sebagai 'wonder rooms', berisi koleksi kecil benda-benda yang luar biasa, layaknya sebagai museum, berusaha untuk mengkategorikan dan menceritakan kembali tentang keajaiban dan keunikan kehidupan yang pernah ada di alam ini. Tersusun seolah bercerita tentang masa lalu yang pernah hidup, mewakili tema atau ide tertentu, sebagai gambaran bahwa kehidupan ini suatu saat akan berakhir. Cabinets of curiosities menjadi monumen untuk mengawetkan gairah kekaguman manusia akan kehidupan selama ribuan tahun.

Dalam hal ini tubuh menjadi metafora (atau simbol) untuk menceritakan kembali dan merangkumnya dalam sebuah ide tertentu. Objek yang seolah bernyawa menjadi sesuatu yang sangat bernilai. Kematian adalah re-animasi yang seolah menjadi bagian dari sebuah cerita drama yang dipentaskan. Sementara sekarang ini kita melihatnya sebagai suatu bentuk hiburan yang mengerikan, karenanya penting untuk merefleksikan cara pandang yang berbeda bahwa di budaya dan era sebelumnya, mereka telah melihat kematian.

Pada akhir tahun 1600-an, di dataran Inggris, berkat kemajuan dalam teknik pengawetan kimiawi, mulai marak kecenderungan mengoleksi dan memamerkan spesimen bagian tubuh. Baik pengawetan dengan alkohol, resin atau lilin dalam bentuk yang dikeringkan. Kehidupan dan kematian tampak dalam proses reanimated yang artistik.

Masa inilah sebagai periode berkembangnya ide Cabinets of Curiosities yang kemudian menjadi benda koleksi berharga bagi para kolektor-kolektor seni sebagai museum kecil pribadi dirumah. Pameran kecil yang menampilkan koleksi-koleksi dari masa silam tentang benda-benda langka, indah dan unik. Kerang eksotis, perhiasan, boneka, binatang, tubuh yang diawetkan, jam dan instrumen ilmiah lain yang disertai dengan mitologi-mitologi dongeng.

Cabinets of Curiosities seolah menjadi jembatan antara mitos atavistik dan kenyataan ilmiah, antara ilmu pengetahuan dan seni. Bahkan, dalam dunia senirupa kontemporer mencoba untuk meniru daya tarik eksotisnya seperti apa yang terjadi di benua Eropa, di mana para kurator memiliki beberapa karya paling terkenal tentang tema ini. Kemudian tiga ratus tahun setelahnya, pameran monumental oleh seniman kontemporer kelahiran Madrid � Spanyol, Miguel Angel Blanco, yang berusaha memprovokasi "proses alkemis" dalam karya-karyanya sebagai tren modern untuk tema tersebut.

Dunia literasi juga memberikan peran penting terhadap perkembangan ide Cabinets of Curiosities. Gambar-gambar ilustrasi hewan, tumbuhan dan konstelasi, pada buku Caspar Henderson, sebuah buku ringkasan ilmiah yang fantastis, A 21st Century bestiary. Menjadi gambaran relevansi kontemporer dari tema-tema tersebut.

74

Page 75: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the javanese cabinets of curiosities _

Dalam mitologi Jawa, semua hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia digambarkan dalam satu simbol filosofi kehidupan. Bahkan sejak beberapa abad lampau menjadi warisan budaya leluhur. Salah satunya mengenai 'Klangenan' (bahasa jawa asal kata kangen). Klangenan dapat diartikan dengan sesuatu yang bisa menjadikan seseorang merasa kangen (rindu) kepada sesuatu. Klangenan dapat berupa benda apa saja, bahkan benda yang dianggap keramat atau bersejarah, tetapi lumrahnya objek klangenan adalah sesuatu yang memiliki nilai atau sekedar untuk kepuasan.

Sebagaimana sebutannya, klangenan selalu saja menumbuhkan rasa rindu pemiliknya. Entah itu rindu pada nilai gunanya atau rindu pada keindahannya, bahkan pada masa lalunya. Lelaki Jawa jaman dulu umumnya memiliki klangenan yang dijadikan simbol status sosial seseorang. Orang yang memiliki klangenan biasanya rela melakukan apapun atau menghabiskan biaya berapapun untuk mengoleksinya. Hal ini menggambarkan gairah masyarakat Jawa akan sebuah pemikiran, ide-ide, gagasan ataupun nilai-nilai yang berkembang pada masa lalu sebagai salah satu wujud kebudayaan. Pola pikir yang terus berkembang dan mendorong munculnya berbagai tindakan masyarakat dalam mengawetkan warisan leluhur.

Benda-benda klangenan yang tersimpan dari masa lalu, yang oleh para Ksatria – julukan lelaki jawa yang telah memiliki lima tolak ukur keberhasilan hidup: wisma (rumah), curiga (senjata), turangga (kuda), kukila (burung) dan wanita (perempuan) – tersimpan sebagai koleksi kebanggaan simbol status sosial, sesuatu yang bisa dipamerkan, seperti halnya ide Cabinets of Curiosities di Eropa. Bahkan lebih dari itu, benda-benda koleksi tersebut mengandung nilai dan dimaknai keberadaannya. Seperti pada karya instalasi The Javanese Cabinets of Curiosities, pemaknaan pada sebuah benda sebagai metafora diawetkan, diceritakan kembali sebagai re-animasi kearifan lokal masa lalu. Rekonstruksi imajinatif dengan menyusun kembali tulang belulang binatang imajiner, sebagai simbol kukila, di dalam 20 sangkar wonder room yang mewakili jumlah aksara Jawa, berbentuk puncak joglo, dalam pahatan filosofinya yang sarat akan nilai-nilai falsafah hidup hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya.

75

Page 76: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the javanese cabinets of curiosities _

Cabinets of curiosities, also known as 'wonder rooms,' contain collections of small, extraordinary objects, like museums; an attempt to categorise and retell stories of miraculous and unique aspects of nature. Arranged as if to speak of the once-living past, representing themes or particular ideas, describing this life which will eventually end, the cabinets of curiosities become a monument to preserve the passionate awe humans have for these thousands of years of life.

Here the body becomes a metaphor (or a symbol) to re-describe and embrace a particular idea. Objects that seem to have life are highly valued. Death is reanimated so that it seems to be a part of a drama being performed. Now we see this as a form of thrilling entertainment, but it is important to reflect different perspectives from which death was viewed in cultures and in earlier periods.

At the end of the 1600s, on English soil, blessed with technical advances in chemical preservation, a trend emerged for the collection and display of body parts. Preservation was conducted with alcohol, resin and wax in dried form. Life and death seemed to be reanimated in an artistic process.

This was the period in which the idea for cabinets of curiosities emerged, and later they were prized by art collectors as tiny personal museums for their homes. The little exhibitions that showed these collections from the past focussed on rare, beautiful and unique objects. Exotic shells, jewellery, dolls, animals, preserved carcasses, clocks and other scientific instruments were accompanied by mythologies and stories.

These cabinets of curiosities seemed to bridge atavistic myths and scientific reality, science and art. Even the contemporary art world tried to imitate this exotic attraction, as we have seen in Europe where curators have several well known works on this theme. Three hundred years later, a monumental exhibition by a contemporary artist from Madrid, Spain � Miguel Angel Blanco � appeared. He attempted to provoke an 'alchemical process� in his work; part of the modern trend towards this theme.The world of literature has an important role in developing the idea of cabinets of curiosities. The illustrations of animals, plants and constellations, in Caspar Henderson's book, a summary of fantastic science called A 21st Century Bestiary, are relevant contemporary descriptions of these themes.

76

Page 77: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

the javanese cabinets of curiosities _

In Javanese mythology, all things connected to human life are described in one symbol of the philosophy of existence. Even centuries later this heritage is passed down. One of these is 'klangenan' (Javanese based on the word for longing). Klangenan can be interpreted as something that makes one feel longing for something. Klangenan could be any kind of object, even objects regarded to be talismanic or historical, but normally it would something that has value or is merely for satisfaction.

No matter what it is, klangenan always brings up feelings of longing for its owner. Whether that is longing for its functionality or longing for its beauty, or even just for the past. Javanese men in the past generally had klangenan that were used as symbols of a person's social status. People who have klangenan will usually do anything for, and spend any amount, on their collection. This shows Javanese culture's passion for the thinking, ideas and concept, or values, which developed in the past as manifestations of culture. Patterns of thinking that continue to develop and encourage the emergence of various acts by society to preserve their inheritance from their ancestors.

Klangenan objects that have carried over from the past and the ksatria � the name for Javanese men who have five benchmarks for a successful life � include: wisma (house), curiga (weapon), turangga (horse), kukila (bird) and wanita (woman). These are kept proudly as a collection of social status symbols, to be exhibited, just as in the cabinets of curiosities in Europe. Furthermore, the objects in these collections carried value and imparted meaning to their existence. In the installation work The Javanese Cabinets of Curiosities, the meaning of an object as a metaphor is preserved, retold as a reanimation of local wisdoms from the past. Imaginative reconstructions reassemble the skeletons of imaginary animals, as a symbol of kukila, and present them in 20 wonder room cages that represent the total number of Javanese letters. This forms the peak of a joglo (a Javanese pavilion), representing the philosophy that values living relations between human beings, humans and nature, and humans and their God.

77

Page 78: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 79: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

79

the javanese cabinets of curiosities (#ha)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#na)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 80: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

80

the javanese cabinets of curiosities (#ca)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#ra)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 81: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

81

the javanese cabinets of curiosities (#ka)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#da)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 82: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

82

the javanese cabinets of curiosities (#ta)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#sa)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 83: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

83

the javanese cabinets of curiosities (#wa)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#la)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 84: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 85: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

85

the javanese cabinets of curiosities (#pa)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#dha)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 86: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

86

the javanese cabinets of curiosities (#ja)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#ya)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 87: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

87

the javanese cabinets of curiosities (#nya)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#ma)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 88: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

88

the javanese cabinets of curiosities (#ga)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#ba)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 89: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

89

the javanese cabinets of curiosities (#tha)bamboo, teak wood, animal bones

50 x 50 x 100 cm

the javanese cabinets of curiosities (#nga)bamboo, teak wood, animal bones 50 x 50 x 100 cm

Page 90: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 91: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

Dalam catatan Mankind and Mother Earth Toynbee, seluruh Itali bukanlah satu-satunya loka tumbuhnya budaya modern karena wilayah Flanders muncul dan menjadi magnet kedua dari bersinarnya kebudayaan barat (Eropa). Salah satunya, di antara laut Adriatik dan laut Utara, Nuremberg menjadi pusat budaya. Di sanalah, Albrecht Durer berkarya sejaman dengan Michelangelo dan Raphael. Ia memang menjadi seniman besar yang menjadi tandingan seniman-seniman Itali . Durer menjadi seniman Renaisans Utara yang (juga) memberikan nuansa religius serta misterius dalam karya-karyanya layaknya Leonardo da Vinci. Karya-karya (Durer) ini diangkat kembali lalu ditafsirkan dalam sakralitas aksara, naskah (Babad Tanah Jawi) dan pemahaman akan angka dalam lokalitas Jawa sehingga tampilan sakralitas Durer secara visual bermakna juga membuka pemahamaan makna sakralitas dalam kultur Jawa.

Durer�dalam perkembangan Renaisans�memang tidak sekedar menampilkan sakralitas kristianitas tetapi juga memunculkan misteri angka dalam satu karyanya yang terkenal Melencolia I. Sakralitas angka memang mengundang kekaguman banyak orang. Dalam sebuah ilustrasi Amsal 11:21, yang termaktub dalam Alkitab berbahasa Perancis abad 13 Masehi, Sang Pencipta mengukur dunia menurut besar, jumlah dan beratnya dalam angka. Santo Agustinus�dalam buku kedua De Libero Arbitrio�juga mewartakan pelajaran bahwa �Semua makhluk mempunyai bentuk karena mereka memiliki angka. Jika engkau mengambil angka-angka ini dari mereka, maka mereka tak ada artinya. Angkalah yang menjadi inti dari makhluk. Angka-angka merupakan esensi yang bisa diukur.�

Melencolia I memang penuh simbol rahasia. Wajah-wajah saturnine (sedih) dalam karya ini mencerminkan sebuah titik balik dalam kehidupan Durer. Durer juga membuat kotak terkenal dalam karya ini, sebuah magic square yang disebut dengan kotak Yupiter. Sebuah kotak berisikan 16 kotak kecil. Angka sentral dikolom terbawah berjumlah 1514, menunjukkan tahun pembuatan etsa itu. Inilah kotak Yupiter sesungguhnya karena memiliki angka Yupiter�34�di seluruh baris horizontal, vertikal dan diagonal. Angka 34 juga menjadi jumlah angka dipojok-pojoknya dan jumlah angka dari angka-angka di kotak tengahnya. Magic square ini penting dalam Melencolia I. Kotak itu menjadi semacam katarsis. Kehadirannya�seperti catatan Clifford A. Pickover�dipercaya oleh para astrolog Renaisans mampu mengalahkan melankolia yang asalnya dari Saturnus . Maka tepat kiranya bahwa karya Java of Durer#2 menjadi penanda perayaan 500 tahun Melencolia I. Java of Durer#2 mencoba menarik korelasi antara Renaisans Eropa�terutama terkait dengan simbol-simbol enigmatis Durer (Durer code) dalam Melencolia I�dengan kultur Jawa. Dalam Melencolia I terdapat dua kategori simbol yang penting: simbol angka dalam magic square dan bentuk-bentuk benda ikonik (termasuk cupid, malaikat hingga tulisan Melencolia I). Kedua bentuk simbol itu diabadikan dalam sebuah kubus rubik. Setiap sisi rubik ini memuat 64 kotak kecil yang berisikan angka-angka dalam magic square dan juga bentuk-bentuk benda ikonik dalam Melencolia I secara acak. Mulai angka 1 hingga 16 serta 31 ikon (lonceng, tangga, kelelawar, Anjing, palu, jangka/kompas, timbangan, jam pasir, mahkota bunga, roda, benda geometrik, catut/tang, bola/globe, paku, pisau gergaji, pasah, malaikat, cupid, komet, tas, kunci, pelangi, dupa, rumah, buku, papan kayu, kota, lampu, alat serutan, wadah tempa baja besi/cor, tulisan caelo limine ). Setiap angka dan ikon memiliki makna. Dalam kultur Jawa, angka terkadang disembunyikan dalam dua model sengkalan (kronogram). Pertama, tulisan-tulisan dalam serat dan babad selalu menyertakan sengkalan kalimat atau yang disebut dengan sengkalan lamba. Babad Tanah Jawi memuat sengkalan lamba ini untuk menyatakan angka-angka. Kedua, terkadang angka-angka mewujud dalam sengkalan memet, sebuah sengkalan dalam bentuk benda-benda ikonik yang juga berfungsi untuk mengartikulasikan angka-angka .

melencolia i (java of durer #2) _

91

Page 92: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

melencolia i (java of durer #2) _

Dalam tradisi sengkalan memet, maka benda-benda ikonik dalam rubik bisa ditafsirkan memuat angka-angka dalam kotak Yupiter Durer. Ikon bentuk-bentuk tunggal dan bulat bermakna angka 1, bentuk-bentuk benda yang berjumlah dua seperti mata, tangan, sayap, telinga, atau kaki bermakna angka 2, sementara sebagian dari ikon-ikon lain yang mengandung api seperti dupa dan lampu bermakna angka 3, kota (sesuatu yang besar) dan malaikat (sesuatu yang suci) melambangkan angka 7, air melambangkan angka 4, roda bermakna angka 5, kayu untuk makna angka 6, bintang komet untuk makna angka 8, ikon benda berlubang untuk angka 9, dan kelelawar yang terbang tinggi bermakna angka 10 .

Sementara teks Babad tanah Jawi dalam aksara bahasa Jawa yang membentuk lukisan Melencolia I dalam kanvas mencoba memaknai korelasi kultural Renaisans di awal abad 16 Masehi dengan apa yang terjadi Jawa di abad yang sama. Dalam The Mistery of Numbers, Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa Melencolia I sesungguhnya ingin menunjukkan nuansa Eropa dibawah kuasa Maximilian I. Schimmel menyebutkan Melencolia I merupakan refleksi akan sosok Maximilian sebagai �Saturnus yang menakutkan� . Secara luas, penyebutan ini tentu saja berhubungan dengan kuasa Maximilian I atas negeri Romawi Suci yang berpusat di Eropa Tengah dengan negeri-negeri lain di sekelilingnya. Eropa telah terpecah-pecah dalam fragmentasi politik, terkadang mengarah pada despotisme di beberapa wilayah. Tetapi secara kultural�terutama budaya Renaisans�mereka terpolarisasi dalam dua kutub yang terkadang dikotomis: Utara-Selatan, meski terkadang samar. Dalam titik ini, paling tidak Babad Tanah Jawi mengabarkan hal yang serupa. Jawa di abad 16 Masehi telah terfragmentasi dalam beberapa kuasa yang menunjukkan polarisasi antara pesisiran dan pedalaman yang dikotomis, yang juga merujuk pada arah yang sama: Utara-Selatan.

Kuasa Maximilian di masa Durer di Eropa adalah masa Dipati Unus dan Trenggono di pesisir utara Jawa serta�dalam catatan Tome Pires�Pate Udara di pedalaman Jawa (Daha/Majapahit). Babad Tanah Jawi mengabarkan sosok Pate Udara, Unus (pangeran Sabrang Ler) dan Trenggono sebagai para penguasa pedalaman-pesisiran yang mencoba melebarkan kekuasaannya seperti halnya Maximilian I melalui perang dan pernikahan. Munculnya relasi kerjasama (pernikahan eksogami) dan persaingan (perang)�dalam pandangan struktural W.H. Rassers�telah menunjukkan konsep hubungan dua phratrie. Phratrie atau moiety merupakan paroh masyarakat yang terbagi dalam dua kelompok besar yang mempunyai hubungan pertukaran, yang mengintegrasikannya dalam satu masyarakat atau komunitas . Teks Babad Tanah Jawi telah menunjukkan struktur masyarakat (phratrie) seperti ini dimana hubungan dua paroh masyarakat (negeri-negeri) begitu fluktuatif, terkadang menjadi lentur atau berubah kaku. Mereka bisa saling bekerjasama tetapi juga bisa saling bersaing. Pandangan tentang dua phratrie ini tepat untuk meneropong�seperti halnya keyakinan Rassers�tidak hanya untuk Jawa tetapi juga Eropa di masa Durer, di abad 16 Masehi.

Perang hingga pernikahan politik memang menjadi alat legitimasi yang dilakukan oleh Maximilian I serta para penguasa pesisiran-pedalaman Jawa. Tentu saja tindakan-tindakan itu mampu�dalam kondisi yang paling negatif�merubah Eropa dan Jawa dalam apa yang digambarkan Durer�seperti yang tertuang dalam Melencolia I�sebagai wajah-wajah saturnine, wajah-wajah kesedihan dan kemurungan.

92

Page 93: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

melencolia i (java of durer #2) _

In his text Mankind and Mother Earth, Toynbee wrote that Italy was not the only place that modern culture developed, because the Flanders region emerged and became a secondary centre for western (European) culture. Even between the Adriatic and North Seas, Nuremberg became a cultural centre. There, Albrecht Durer worked in the same era as Michelangelo and Raphael. Indeed, he became one of the biggest artists to challenge the Italians. Durer became the artist of the Northern Renaissance who (also) featured religious and mysterious nuances in his work, in the same way Leonardo da Vinci did. Durer's work is reinterpreted through the sacredness of script, manuscripts (the History of the Land of Jawi) and the meaning of numbers in Javanese locations to visualise Durer's sacredness is also intended to open up understandings of the meaning of sacredness in Javanese culture.

Durer � in the flourishing Renaissance � certainly did not only utilise Christian sacredness but also displayed the mysteriousness of numbers in his well known work Melencolia I. The sacredness of numbers impressed many. In an illustration titled for Proverbs 11:21, which was included in a French language Bible in the 13th century A.D, the Creator measures the world's size, aggregate and weight in numbers. Saint Augustine � in his second book De Libero Arbitrio � also proclaimed the lesson that �All creatures have form because they have numbers.� If you take numbers from them, they have no meaning. Numbers are the essence of creatures. Numbers are the essence that we can measure.�

Melencolia I is certainly full of secret symbols. The saturnine faces in his work reflect a turning point in Durer's life. Durer also made a famous box from this work, a magic square known as the Jupiter box. A box filled by 16 smaller boxes. The central number in the column is 1514, the year the etching was made. This is actually called the Jupiter box because it has Jupiter's number - 34 - on all of its horizontal, vertical and diagonal edges. The number 34 is also the total of the numbers in the corners and the total of the numbers in the central boxes. The Magic Square is important in Melencolia I. This box is a kind of catharsis. Its existence � according to Clifford A. Picker records � was believed by Renaissance astrologers to be able to defeat melancholy originating from Saturn. Thus it seems right that the work Java of Durer#2 celebrates 500 years of Melancholia I. Java of Durer #2 tries to draw a correlation between Renaissance Europe � mainly through (Durer's) enigmatic symbols (the Durer Code) in Melencolia I � with Javanese culture. In Melencolia I we find two important categories of symbols: Numeric symbols in the magic square and forms from iconic elements (including cupid, an angel and the text Melencolia I). A dedication to these two forms exists in the rubix cube. Each side of the rubix cube contains 64 smaller boxes that contains the numbers of the magic square and also random iconic objects in Melencolia I. Beginning from number 1 to 16 along with 31 icons (bells, stairs, bats, dogs, hammer, compass, scales, hourglass, crown of flowers, wheel, geometric objects, pliers, sphere, nails, a saw blade, a plane, angels, Cupid, comet, bags, key, rainbow, incense, house, books, wooden boards, city, lights, cast iron box, the text of the caelo limine) Every number and icon had meaning. In Javanese culture, numbers are sometimes hidden in two models of chronogram. Firstly, writing in letters and histories is always accompanied by chronogram sentence or what is known as a sengkalan lamba. The History of the Land of Jawi contained a sengkalan lamba to express the numbers. Secondly, sometimes numbers appear in the sengkalan memet, a chronogram in the form of iconic objects that also function to articulate numbers.

93

Page 94: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

melencolia i (java of durer #2) _

In the sengkalan memet, the iconic objects in the rubix can be interpreted to contain the numbers of Durer's Jupiter box. Icons with singular, round forms mean the number 1, paired objects such as eyes, hands, wings, ears or feet mean the number 2, some of the other icons that contain flames such as incense and lanterns mean number 3, cities (big things) and angels (holy things) refer to the number 7, water means number 4, wheels mean number 5, wood is for number 6, shooting stars mean number 9, icons an objects with holes are for number 9, and high-flying bats mean number 10.

Meanwhile the text for the History of the Land of Jawi in the Javanese script, which shape the Melencolia I painting on canvas, attempts to give meaning to the correlation between Renaissance culture at the beginning of the 16th century A.D with what was occurring in Java at the same time. In the Mystery of Numbers, Annemarie Schimmel says that Melencolia I actually intends to reveal the nuances of Europe under the power of Maximilian I. Schimmel says that Melencolia I is a reflection of Maximilian as "Frightening Saturn.� Broadly, this statement is certainly connected to Maximilian I's power over the Holy Roman state that was centred in Central Europe, with other states around it. Europe was shattered by political fragmentation, sometimes leading to despotism in several areas. But culturally � especially in Renaissance culture � they were polarised into two, sometimes dichotomous, poles, North-South, although this was sometimes cryptic. At least at this point, the History of The Land of Jawi speaks of something similar. In Java in the 16th century A.D there was fragmentation within several powers that showed dichotomous polarisation between the coast and the interior, which also referred to the same directions: North-South.

Maximilian's power during Durer's era in Europe was the era of Dipati Unus and Trenggono on the Northern coast of Java and � in the records of Tome Pires � Pate Udara in the Javanese interior (Daha/Majapahit). The History of the Land of Jawi describes the figurehead of Pate Udara, Unus (the prince of Sabrang Ler) and Trenggono as the masters of the interior and coast who attempted to broaden their authority as Maximilian I did, through war and marriage. Cooperative relations (exogamous marriage) and contestations (war) emerged � in W.H. Rasser's structural perspective � which indicated the concept of two phratrie (fraternal groups). Phratrie or moiety is a part of society that is divided into two large groups that have exchange relations, and are integrated into one society or community. The History of the Land of Jawi shows a social structure (phratrie) like this where the relations between the two halves of society (states) fluctuates, sometimes flexible and sometimes rigid. They can work together but are also mutually opposed. This perspective on two phratrie is appropriate for observing not only Java� as Rassers did � but also Europe in Durer's time, in the 16th century A.D.

War and political marriage did indeed become tools of legitimation for Maximilian I and the authorities in coastal-interior Java. Of course these actions are capable � in the most negative of conditions � of changing Europe and Java in what Durer depicted in Melencolia I: as saturnine faces, faces of sadness and melancholy.

94

Page 95: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

melencolia i ( java of durer #2) _ acrylic, drawing pen on canvas _ 2014 _ 300 x 200 cm

95

Page 96: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

magic square of durer ( java of durer #2) _ resin, scotlite _ 2014 _ 200 x 200 x 230 cm

96

Page 97: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi
Page 98: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

curriculum vitae _

Eddy Susanto

Born : Jakarta 12/05/75

Add : Jogjakarta

Education:1994 Studied Graphic Design, Modern School of Design, Yogyakarta.1996 Studied Graphic Design, Indonesia Institute of Art (ISI), Yogyakarta.

Solo Exhibition:2007 Seabad Pers Kebangsaan "Re-Design Front Page Newspaper" (350 panels

digital print on canvas), Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.2008 Seabad Pers Kebangsaan "Re-Design Front Page Newspaper" (350 panels

digital print on canvas), Gedung Juang, Semarang.2008 Seabad Pers Kebangsaan "Re-Design Front Page Newspaper" (350 panels

digital print on canvas), Newseum Indonesia, Jakarta.2008 "TANDA/NDATA", Domus Art Space, Jakarta.2008 "Abad Partai Indonesia", Newseum Indonesia, Jakarta.2009 "The Alphabet", Blora Institute, Jakarta.2009 "Pandu Bangsa Pandu Negara", Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.2010 "10 Bapak Bangsa 10 Ibu Bangsa", Domus Art Space, Jakarta.2010 "Newseum for Cup of World", Newseum Indonesia, Jakarta.2010 "Indonesia Menggugat", Gedung Kesenian Jakarta.2011 "Newseum Soccer", Kitabuku Art Space, Sanur-Bali.

2012 �Soekarno Project for Ende Flores�, Kota Kasablanka Mall, Jakarta.2012 �Matahari Centini�, Lawangwangi, Bandung2013 �Panji: Encounter World Stories�, Rumah Topeng dan Wayang, Setia Darma,

Gianyar, Bali2014 �Albrecht Durer and the Old Testament of Java�, Galerie Michael Janssen,

Singapore. 2014 �The Passage of Panji - Memory, Journey and Desire�, Lawangwangi Creative

Space, Bandung. 2015 �JavaScript�, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.

98

Page 99: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

curriculum vitae _

Selected Group Exhibition:2008 "G8", Bale Black Box Laboratory, Yogyakarta.2009 "FKY", Yogyakarta.2010 Collaboration with Galam Zulki�i, Tramendum, Galeri Nasional, Jakarta.2011 Bandung Contemporary Art Award, Lawangwangi, Bandung.2011 E(art)H Project: Sin City, Galeri Nasional Jakarta.2011 ArtJog, Yogyakarta.2012 Bandung Contemporary Art Award (BaCAA #02), Bandung.2012 UOB Painting #2, Jakarta.2012 ArtJog, Looking East, Yogyakarta.2012 Dharmawangsa Award, Nyoman Gunarsa Museum, Bali.2013 ArtJog, Maritime, Yogyakarta.2013 Indonesia Art Award 2013, Galeri Nasional, Jakarta.2014 Southeast Asia Platform, Art Stage Singapore, Singapore.

Awards:2011 Finalist Bandung Contemporary Art Award, Bandung.

2012 Winner Bandung Contemporary Art Award (BaCAA #02), Bandung.2012 Finalist UOB Painting #2, Jakarta.

2012 Winner Dharmawangsa Award, Nyoman Gunarsa Museum, Bali.2013 Finalist Indonesia Art Award 2013 (IAA 2013), Jakarta.2014 Indonesian Presidential Museum Collections, Bogor.

99

Page 100: 3 Published by ArtSociates © 2015, ArtSociates, Bandung ... Eddy Susanto...Eksistensi Eddy Susanto dalam perkembangan senirupa Indonesia mutakhir, memiliki ruang kreativitas dan apresiasi

potoku