3 pendekatan seluler dan molekuler untuk pembuktian khasiat obat bahan alam

16
PENDEKATAN SELULER DAN MOLEKULER UNTUK PEMBUKTIAN KHASIAT OBAT BAHAN ALAM Okid Parama Astirin Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta E-mail: [email protected] Indonesia memiliki kekayaan hayati (biodiversity) terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Luas wilayah negara Indonesia hanya 3% dari luas daratan di muka bumi, akan tetapi sebagian besar keanekaragaman hayati di dunia terdapat di Indonesia, yaitu 10% tumbuhan berbunga dunia, 12% jumlah spesies hewan di dunia, 16% jumlah reptil dan amfibi di dunia, 17% jumlah spesies burung di dunia, 25% spesies ikan di dunia (Achmad, 2007). Berdasarkan hal itu sudah sewajarnya kalau Indonesia mengembangkan penelitian pada sektor yang berbasis keanekaragaman hayati. Obat-obatan yang terbuat dari tanaman dan bahan alami dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, sedangkan obat herbal yang terstandar adalah yang sudah lulus uji pra klinis. Sementara fitofarmaka adalah obat herbal yang sudah lulus uji klinis. Jumlah terbesarnya memang adalah jamu. Obat herbal terstandar hanya sekitar 20, sedangkan jumlah fitofarmaka di Indonesia baru ada lima, karena biaya untuk melakukan uji klinis sehingga boleh didaftarkan sebagai fitofarmaka cukup besar. Sedikitnya ada empat tahap yang mesti dilalui untuk menjadi fitofarmaka, yaitu standarisasi bahan baku dari tanaman, pembuktian terbebas dari bahan cemaran, uji praklinik, dan uji klinik terhadap khasiat dan keamanannya. Fitofarmaka yang telah melalui serangkaian uji praklinis dan uji klinis siap digunakan dalam sistem pengobatan modern sejajar dengan obat-obat kimia. Para dokter biasanya akan yakin merekomendasikan suatu jenis obat baru apabila telah ada uji klinisnya. Menurut WHO hingga 65 % dari penduduk negara maju dan 80 % penduduk dari negara berkembang telah menggunakan obat herbal (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik Seminar Nasional Biologi 2010 Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 20

Upload: zaidan-failasufa

Post on 26-Oct-2015

90 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

PENDEKATAN SELULER DAN MOLEKULER UNTUK PEMBUKTIAN KHASIAT OBAT BAHAN ALAM

Okid Parama Astirin Jurusan Biologi FMIPA

Universitas Sebelas Maret, Surakarta E-mail: [email protected]

Indonesia memiliki kekayaan hayati (biodiversity) terbesar kedua di dunia

setelah Brasil. Luas wilayah negara Indonesia hanya 3% dari luas daratan di muka

bumi, akan tetapi sebagian besar keanekaragaman hayati di dunia terdapat di

Indonesia, yaitu 10% tumbuhan berbunga dunia, 12% jumlah spesies hewan di

dunia, 16% jumlah reptil dan amfibi di dunia, 17% jumlah spesies burung di

dunia, 25% spesies ikan di dunia (Achmad, 2007). Berdasarkan hal itu sudah

sewajarnya kalau Indonesia mengembangkan penelitian pada sektor yang berbasis

keanekaragaman hayati.

Obat-obatan yang terbuat dari tanaman dan bahan alami dapat

dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.

Jamu adalah ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, sedangkan obat

herbal yang terstandar adalah yang sudah lulus uji pra klinis. Sementara

fitofarmaka adalah obat herbal yang sudah lulus uji klinis. Jumlah terbesarnya

memang adalah jamu. Obat herbal terstandar hanya sekitar 20, sedangkan jumlah

fitofarmaka di Indonesia baru ada lima, karena biaya untuk melakukan uji klinis

sehingga boleh didaftarkan sebagai fitofarmaka cukup besar. Sedikitnya ada

empat tahap yang mesti dilalui untuk menjadi fitofarmaka, yaitu standarisasi

bahan baku dari tanaman, pembuktian terbebas dari bahan cemaran, uji praklinik,

dan uji klinik terhadap khasiat dan keamanannya. Fitofarmaka yang telah melalui

serangkaian uji praklinis dan uji klinis siap digunakan dalam sistem pengobatan

modern sejajar dengan obat-obat kimia. Para dokter biasanya akan yakin

merekomendasikan suatu jenis obat baru apabila telah ada uji klinisnya.

Menurut WHO hingga 65 % dari penduduk negara maju dan 80 %

penduduk dari negara berkembang telah menggunakan obat herbal (WHO, 2003).

Faktor pendorong terjadinya penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia

harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201020

meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu

diantaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di

seluruh dunia (Sukandar , 2006).

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal

dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,

terutama untuk kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukan

dukungan WHO untuk back to nature yang dalam hal yang lebih menguntungkan

(WHO, 2003).

Peran tumbuhan bagi masyarakat tradisional hampir tidak tergantikan oleh

obat-obatan modern kimiawi. Sejak lama bangsa Indonesia mengenal khasiat

berbagai macam jenis tanaman sebagai sarana perawatan kesehatan, pengobatan

serta untuk mempercantik diri yang selama ini dikenal sebagai jamu. Berbagai

produk alami yang berasal dari tumbuhan telah menjadi komoditi komersial dan

menarik bagi para pengusaha bahan alam. Bahkan pasar dalam negeri untuk

produk herbal telah mengalami peningkatan dari sekitar Rp 1 trilyun pada tahun

2000 menjadi Rp 2 trilyun pada tahun 2002. Dalam perkiraan angka ini akan terus

mengalami peningkatan mencapai Rp 6 trilyun pada tahun 2010. Menurut

Wahyuningsih (2010) kondisi tersebut diatas dapat terwujud karena ketersediaan

sumber daya hayati tumbuhan obat di hutan Indonesia sangat melimpah.

Diperkirakan sekitar 30.000 spesies tumbuhan dapat dijumpai di Indonesia,

sementara sekitar 9600 spesies diantaranya berkhasiat sebagai obat. Dari jumlah

tersebut baru sekitar 300 jenis spesies yang telah dimanfaatkan untuk keperluan

industri obat dan jamu.

Sekitar 400 spesies tanaman dalam 315 genus dan 97 famili mempunyai

aktivitas sebagai penghambat tumor (Farnsworth, 1996). Berbagai zat fitokimia

yang berkhasiat sebagai antikanker dari beberapa tanaman telah berhasil diisolasi

oleh Mc Laughlin dkk, dimana pencarian senyawa bioaktif tersebut dilakukan

setelah dalam praskrining aktivitas terhadap ekstrak tanaman menunjukkan hasil

positif atau aktif (Mc Laughlin, 1991). Saat ini menurut Rusmarilin (2003),

teridentifikasi ada sekitar 400 ribu tumbuhan obat, 60% diantaranya berpotensi

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 21

sebagai antikanker; 75% berpotensi antiinfeksi. Sekitar 107 spesies tanaman yang

diuji sebagai antitumor berasal dari famili zingiberaceae dan umbelliferae.

Pengembangan Obat Anti Kanker

Obat antikanker yang ada saat ini selain bersifat antiproliferatif terhadap

sel kanker juga terhadap sel normal. Masalah utama yang dihadapi dalam

kemoterapi adalah selektivitas yang rendah dari obat anti-kanker (Valeriote et al.,

2002; Kinghorn et al., 2003). Tahun 1991 sekitar 28.000 sampel tumbuhan dari

seluruh dunia telah dikoleksi karena memiliki aktivitas antikanker. Sekitar 62%

dari 87 jenis obat antikanker berasal dari bahan alam (Cragg, 1993). Tumbuhan

memiliki komponen pencegah tumor berupa senyawa fitokimia atau dikenal

dengan cancer chemoprevention. Pencegahan kanker menggunakan senyawa

fitokimia adalah salah satu upaya menggunakan bahan kimia alam yang

diharapkan dapat mencegah tahap awal dari suatu karsinogenesis, sebelum terjadi

penyebaran lebih jauh. Senyawa kanker pada tanaman diantaranya indol

isothiosianat, dithiolthion dan organo sulfur yang banyak pada crucifera

(Rusmarilin, 2003).

Menurut Wahyuningsih (2010), obat antikanker menimbulkan kematian

sel kanker melalui beberapa mekanisme kerja. Diantaranya memacu apoptosis

karena program apoptosis dapat dimanipulasi untuk memacu kematian sel maka

gen dan protein berperan di dalamnya dan dapat menjadi target pengembangan

antikanker. Selain itu mampu mengatur siklus sel dan mengendalikan checkpoint.

Obat dalam golongan ini mengganggu siklus sel dengan mempengaruhi RNA,

DNA dan protein-protein lain yang terlihat dalam siklus sel sehingga dapat

menghambat proliferasi dan memicu apoptosis pada sel tumor yang sensitif.

Selain itu penggunaan terapi radiasi, kemoterapi dan terapi hormon,

banyak menimbulkan efek pada jaringan sehat non target ditandai dengan

rontoknya rambut, dan kulit yang menghitam (Jiang et al., 2004). Hal ini

mengakibatkan banyak dijumpai cara-cara pengobatan alternatif antara lain

dengan obat tradisional (Sugiyanto et al., 2003). Laporan berbagai lembaga riset

penelitian kanker di Indonesia menyatakan prevelensi penyakit kanker di

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201022

Indonesia cenderung meningkat. Insiden kanker di Indonesia diperkirakan 100 per

100.000 penduduk per tahun atau sekitar 200.000 penduduk per tahun (Puspitasari

et al. 2003).

Metabolisme Obat Bahan Alam

Obat bahan alam, selayaknya bahan kimia, akan mengalami proses

kinetik, berupa proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Absorpsi

merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian masuk ke sirkulasi

sistemik. Distribusi sendiri merupakan proses perdaran obat ke seluruh cairan

tubuh baik kedalam cairan antar sel (interstitial) maupun ke dalam sel

(intracellular). Pada wanita hamil, obat dapat pula terdistribusi ke dalam janin.

Melalui proses distribusi, obat akan sampai ke organ target tempat obat bekerja.

Proses metabolisme ini bisa terjadi diseluruh jaringan tubuh, dimana hati

merupakan organ metabolime obat yang paling utama. Sementara ekskresi adalah

proses pengularan obat dari tubuh, baik dalam bentuk senyawa aktif maupun

senyawa tidak aktif. Berkurangnya senyawa aktif, menyebabkan berkurang efek

obat tersebut. Organ yang paling berperan dalam proses ekskresi adalah ginjal. Di

samping itu, proses ekskresi juga dapat terjadi melalui empedu, sekresi cairan

intestinal, keringat, saliva, dan air susu ibu.

Pembelahan sel

Pembelahan sel adalah proses pembagian genom yang telah digandakan

oleh sel ke dua sel identik yang sering disebut mitosis, yang merupakan bagian

dari daur sel dan hanya mencakup 5-10% dari daur sel. Diferensiasi sel normal

diatur secara ketat oleh sejumlah proto-onkogen yang merangsang pertumbuhan

dan berbagai anti-onkogen atau gen supresor (tumor suppressor genes) yang

menghambat pertumbuhan (David dan Shivdasani, 2001; King, 2000). Aktivasi

proto-onkogen secara berlebihan dapat terjadi melalui perubahan struktur dalam

gen, translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen atau mutasi. Mutasi

demikian sering tampak pada sel-sel yang berproliferasi secara aktif. Proliferasi

berlebihan dicegah oleh gen supresor yang menghambat pertumbuhan, namun

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 23

mutasi gen supresor menyebabkan hilangnya fungsi supresi pertumbuhan.

Amplifikasi onkogen dan atau inaktivasi gen supresor yang terlibat dalam regulasi

pertumbuhan sel mengakibatkan hilangnya kontrol pertumbuhan dengan risiko

terjadinya kanker. Asam laurat asal VCO (Virgin Coconut Oil) telah terbukti

mampu menekan proliferasi sel kanker payudara (T47D) (Budiyani, Astirin dan

Wibowo, 2007).

Daur Sel

Kegiatan yang terjadi dari satu pembelahan ke pembelahan sel berikutnya

disebut daur hidup sel (Reksoatmojo, 1993; Lewis et al., 2007). Daur sel secara

normal terbagi dalam 4 fase, yaitu: G1, S, G2, M, dan diselingi fase istirahat yaitu

G0 (Reksoatmojo, 1993; King, 2000; De Vita et al., 1997; MacDonald et

al.,1997). Fase awal dimulai dengan G1, pada fase ini sel mulai mempersiapkan

untuk melakukan sintesa DNA dan juga melakukan biosintesa RNA dan protein

(David and Shivdasani, 2001; King, 2004). Kemudian dilanjutkan dengan fase S,

dimana fase ini terjadi replikasi DNA. Pada akhir fase ini telah berisi DNA ganda

dan kromosom telah mengalami replikasi (De Vita et al., 1997; MacDonald et

al.,1997; David dan Shivdasani, 2001; King, 2000). Setelah fase S berakhir sel

masuk dalam fase pra mitosis (G2) dengan ciri: sel berbentuk tetraploid,

mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel pada fase lain dan masih

berlangsungnya sintesis RNA dan protein (McDonald dan Ford, 1997). Sewaktu

mitosis berlangsung (Fase M) sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba

dan terjadi pembelahan menjadi 2 sel. Setelah itu sel memasuki fase istirahat

(G0), sel dalam fase G0 yang masih potensial untuk berproliferasi disebut sel

induk (stem cell) (De Vita et al., 1997).

Perubahan dari satu fase ke fase berikutnya pada daur sel diatur oleh

beberapa checkpoint. Pengaturan checkpoint berfungsi untuk memastikan bahwa

kromosom utuh degradasi cyclin, aktivitas cyclin dependen kinase (CDKs), cyclin

dan tahap-tahap kritis sel telah sempurna sebelum memasuki tahap selajutnya

(David dan Shivdasani, 2001). Pengaturan checkpoint tersebut melibatkan

aktivitas dan dependent kinase inhibition (CDKIs). Interaksi antara ketiga kelas

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201024

protein tersebut berperan mengendalikan berbagai tahapan daur sel, mencegah sel

ketahap selanjutnya jika terjadi kerusakan DNA melalui mekanisme checkpoint

dan deregulasi proses ini berperan dalam kejadian kanker (King, 2004; McDonald

dan Ford, 1997).

Terjadinya peristiwa penambahan jumlah sel kanker ialah sel dalam daur

proliferasi. Setelah itu sel memasuki fase istirahat (G0). Sel dalam fase G0 yang

masih potensial untuk berproliferasi disebut sel klonogenik atau sel induk (stem

cell) (De Vita et al., 1997; King, 2004). Gen p53 mutan pada sel T47D

menyebabkan terjadinya kegagalan penghambatan daur sel (Goddard and Blank,

2002). Sel kanker menjadi tidak mampu melakukan pengaturan checkpoint

sehingga mengakibatkan respon yang menyimpang apabila terjadi kerusakan

seluler. Sebagai contoh apabila terjadi kerusakan DNA pada fase G1 akan

menyebabkan berhentinya daur sel atau terjadi apoptosis, sehingga sel tidak

memasuki fase S karena dihentikan pada fase G1 (De Vita et al., 1997).

Ketidakmampuan control checkpoint menyebabkan inisiasi fase S atau mitosis

tetap berlangsung meskipun ada kerusakan seluler dan ketidakstabilan genetik

yang selanjutnya timbul clone maligna (De Vita et al., 1997; McDonald dan

Ford, 1997).

Beberapa penelitian membuktikan adanya penghambatan pertumbuhan sel

kanker melalui kontrol pada daur sel. Telah dilaporkan oleh Rusmarilin, (2003)

dari 107 species tanaman yang diuji sebagai antitumor berasal dari family

Zingiberaceae dan Umbelliferae. Eksrak lengkuas mengandung ACA (1’asetoksi

khavikol asetat), memiliki potensi mengambat semua jenis alur sel kanker dan sel

kanker primer manusia. Aktivitas antikanker ekstrak lengkuas adalah pada sel

kanker paru-paru, leukimia, melanoma primer, melanoma metastase dan kanker

serviks (Rusmarilin, 2003). Menurut Sarjono (2004). Geneistein pada dosis 37

mM mampu menghambat aktivitas tirosin kinase, konsenterasi 20 mM

menghambat proliferasi sel dan sel MCF-7 (sel kanker payudara). Daun, buah dan

kulit batang tumbuhan mengandung senyawa golongan flavonoid dan polifenol.

Sukardiman et al. (1995) telah melakukan penelitian efek antikanker isolat

flavonoid dari herba benalu Mangga (Dendrophtoe petandra).

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 25

Abnormalitas kontrol pembelahan sel

Pada sel normal, kadar atau ekspresi dari p53 berada pada level yang

rendah. Kerusakan DNA dan berbagai sinyal stres akan merupakan pemicu

kenaikan tingkat ekspresi p53, dimana perannya ada tiga fungsi mayor yaitu,

growth arrest, repair DNA, dan apoptosis. Growth arrest akan menghentikan

perputaran dari daur sel, mencegah replikasi dari DNA yang rusak. Selama

growth arrest, p53 akan mengaktifkan berbagai protein yang berperan dalam

repair DNA. Apoptosis adalah jalan terakhir untuk menghentikan proliferasi dari

sel yang kerusakan DNA-nya gagal diperbaiki (Pecorino, 2004). Ketika terjadi

kerusakan DNA maka p53 akan teraktivasi dan mengaktifkan p21 yaitu suatu Cdk

Inhibitor (De Vita et al., 1997; King, 2004). Jika kerusakan DNA berat dan tidak

dapat direparasi maka sel akan memasuki jalur apoptosis (De Vita et al.,1997).

Gen p53 dikenal juga sebagai Tp53 atau tumor protein adalah sebuah gen

yang berperan dalam regulasi daur sel dan termasuk golongan tumor suppressor

gen. Sedemikian pentingnya peran tersebut bagi organisme multisel untuk

mencegah keganasan sehingga dia dijuluki “the guardian of the genome”,

sehubungan dengan perannya dalam menjaga stabilitas sel dan mencegah mutasi

genome (Pecorino, 2004). Pada tahun 1979, gen p53 ditemukan berupa

fosfoprotein dengan berat molekul 53 kD.

Mutasi dari protein P53 menyebabkan proliferasi dan transformasi sel

menjadi kehilangan kendali (Darma et al., 2008). Protein P53 normal mampu

mencegah replikasi DNA yang rusak dan mendorong penghancuran sendiri dari

sel yang mengandung DNA yang tidak normal tersebut.

Pemahaman terhadap proses apoptosis mendasari upaya kemoterapi

melalui induksi kematian sel kanker (Ghobrial et al., 2005). Proses apoptosis

dapat terjadi melalui beberapa jalur. Salah satu jalur yang mempunyai berkaitan

erat dengan kanker adalah melalui induksi apoptosis oleh protein p53. Protein

p53 merespon kerusakan DNA atau stress sel yang lain dengan menghambat daur

sel atau dengan menginduksi apoptosis (Alberts et al., 2002). Pada sel kanker

mekanisme ini tidak bekerja secara normal. Metode cepat dengan TUNEL

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201026

(terminal deoxynucleotidil transferase-mediated dUTP nick end-labelling) dapat

digunakan untuk identifikasi dan mengetahui kuantitas sel yang mengalami

apoptosis pada perlakuan sel yang dikultur (Fertig, 1999 cit. Wyllie, 2000).

Fakta menunjukkan bahwa sekitar 55% sel tumor pada manusia

disebabkan oleh mutasi p53-tumor-suppresor, salah satu protein pemicu proses

apoptosis. Pemulihan fungsi p53 termutasi dapat menghilangkan sel tumor dengan

mengaktifkan kembali proses apoptosis. Penelitian terhadap beberapa jenis

senyawa reaktivator fungsi p53 menunjukkan efek anti-tumor dari senyawa-

senyawa tersebut. Efek samping dari kemoterapi dapat dihindari dengan target

obat yang bersifat spesifik.

Astirin et al. (2009) dengan menggunakan ekstrak campuran buah kuning

(Pandanus conoideus Lamb) dan asam laurat membuktikan bahwa ekspresi

apoptosis dengan menggunakan TUNEL enzymatic assay menunjukkan bahwa

toksisitas asam laurat lebih tinggi daripada ekstrak Pandanus conoideus Lamb var

buah kuning. Potensi asam laurat ketika dicampur dengan ekstrak P. conoideus

Lamb var buah kuning semakin toksik (efek potensiasi).

Sekitar 55% dari sel tumor pada manusia kehilangan fungsi p53 akibat

mutasi pada protein tersebut. Hilangnya fungsi p53-wtp, sehingga akan

menghalangi proses apoptosis. Astirin et al. (2007) membuktikan adanya potensi

dari ekstrak buah merah (P. conoideus Lamb.) sebagai kandidat anti kanker

nasopharyng yang disebabkan oleh infeksi EBV (Eppstein Barr Virus).

Pengembalian fungsi p53 yang mengalami mutasi berpotensi memicu

apoptosis masal yang dapat mematikan sel tumor secara efektif (Bykov et al.,

2002a). Hasil penelitian Astirin et al. (2010) menunjukkan fraksi aktif P.

conoideus Lam. varietas buah kuning 0.078125 µl/mL mampu meningkatkan

kemampuan apoptosis sel Raji. Penelitian dengan memanfaatkan ekstrak yang

sama membuktikan kemampuan menurunkan tingkat ekspresi gen p53 mutan

pada sel HT29 secara in vitro ditunjukkan dengan penurunan kemampuan mitosis

seiring dengan peningkatan konsentrasi (Astirin et al., 2009). membuktikan

bahwa ekstrak herba P. conoideus var buah merah dan asam laurat mempunyai

potensi menghambat pertumbuhan sel kanker melalui apoptosis. Meskipun

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 27

demikian masih belum dapat dipastikan bahwa senyawa pada ekstrak herba dapat

mereaktivasi p53 termutasi, mengingat proses apoptosis juga teramati pada sel

HeLa yang tidak mengandung p53 termutasi.

Apoptosis,

Apoptosis adalah kematian sel terprogram yang merupakan proses penting

dalam pengaturan homeostasis normal. Proses ini menghasilkan keseimbangan

jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak, sehingga dapat

memelihara agar jaringan berfungsi dengan normal (Naim, 2006). Apoptosis juga

sangat dibutuhkan untuk mengatur jumlah sel yang dibutuhkan dalam tubuh, agar

seluruhnya bersifat fungsional dan menempati tempat yang tepat dan dalam umur

tertentu. Bila telah melewati masa hidupnya, sel-sel normal (non-kanker) akan

mati dengan sendirinya tanpa ada efek peradangan (inflamasi). Sel kanker bersifat

menyimpang dari karakteristik normal tersebut. Sel kanker akan terus hidup meski

seharusnya mati (immortal) (Darma et al., 2008). Apoptosis berlangsung melalui

serangkaian perubahan struktural sebagai hasil dari rangsangan fisiologis atau

patologis. Ciri morfologi apoptosis adalah pengerutan sel, kerusakan pada plasma

membrane, penonjolan membran (membrane blebbing), kondensasi kromatin, dan

fragmentasi inti sel (Suryadi dkk, 2004).

Pemahaman terhadap proses apoptosis memberikan dasar untuk

kemoterapi melalui induksi kematian sel kanker (Ghobrial et al., 2005). Proses

apoptosis dapat terjadi melalui beberapa jalur. Salah satu jalur yang mempunyai

kaitan erat dengan kanker adalah melalui induksi apoptosis oleh protein p53.

Protein p53 merespon kerusakan DNA atau stress sel yang lain dengan

menghambat siklus sel atau dengan menginduksi apoptosis (Alberts et al., 2002).

Pada sel kanker mekanisme ini tidak bekerja secara normal.

P53 dalam sel normal sangat tidak stabil dan hanya ada dalam konsentrasi

yang sangat rendah. Hal ini terjadi karena interaksinya dengan protein Mdm2.

Protein ini akan menyebabkan degradasi p53 pada kondisi normal, sehingga

proses apoptosis tidak berlangsung (Moll dan Petrenko, 2003). Hilangnya fungsi

p53, menyebabkan kerusakan DNA atau cacat sel yang lain tidak diikuti dengan

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201028

penghentian penggandaan dan/atau proses apoptosis, meskipun terjadi kenaikan

konsentrasi p53. Pengembalian fungsi p53 yang mengalami mutasi berpotensi

memicu apoptosis masal yang dapat mematikan sel tumor secara efektif (Bykov et

al., 2002a).

Dalam kaitannya dengan pengendalian tumorigenesis, maka apoptosis

merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami

kerusakan DNA, sehingga sel dengan lesi DNA tersebut tidak lagi menggandakan

diri. Dalam hal ini apoptosis berfungsi sebagai salah satu kontrol checkpoint

dalam daur sel. Kegagalan sel-sel tumor untuk melaksanakan proses apoptosis

merupakan salah satu penyebab pertumbuhan tumor, instabilitas genetik sel-sel

dan resistensi terhadap kemoterapi (Martin, 1996; Weinberg and Hanahan, 1996).

Kadar protein P53 tipe wild dalam inti sel relative sangat sedikit, bersifat

labil dan mempunyai waktu paruh pendek sehingga tidak terdeteksi dengan teknik

pewarnaan immunositokimia. Protein ini berperan menghambat proliferasi sel,

transkripsi sel, reparasi DNA, dan apoptosis. Sebaliknya protein P53 tipe mutan

berperan menghambat protein P53 tipe wild sehingga proliferasi sel kehilangan

hambatannya (Brock, 1993). Terjadinya p53 mutan menyebabkan terganggunya

fungsi kontrol apabila terjadi kerusakan DNA sehingga mengakibatkan tidak

teraktivasinya jalur caspase (Hanahan dan Weinberg, 2000).

Pemahaman terhadap proses apoptosis memberikan dasar untuk

kemoterapi melalui induksi kematian sel kanker (Ghobrial et al., 2005). Proses

apoptosis dapat terjadi melalui beberapa jalur. Salah satu jalur yang mempunyai

kaitan erat dengan kanker adalah melalui induksi apoptosis oleh protein p53.

Protein p53 merespon kerusakan DNA atau stress sel yang lain dengan

menghambat siklus sel atau dengan menginduksi apoptosis (Alberts et al., 2002).

Pada sel kanker mekanisme ini tidak bekerja secara normal.

P53 dalam sel normal sangat tidak stabil dan hanya ada dalam konsentrasi

yang sangat rendah. Hal ini terjadi karena interaksinya dengan protein Mdm2.

Protein ini akan menyebabkan degradasi p53 pada kondisi normal, sehingga

proses apoptosis tidak berlangsung (Moll dan Petrenko, 2003). Kira-kira 55% dari

sel tumor pada manusia kehilangan fungsi p53 akibat mutasi pada protein

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 29

tersebut. Hilangnya fungsi p53, menyebabkan kerusakan DNA atau cacat sel yang

lain tidak diikuti dengan penghentian penggandaan dan/atau proses apoptosis,

meskipun terjadi kenaikan konsentrasi p53. Pengembalian fungsi p53 yang

mengalami mutasi berpotensi memicu apoptosis masal yang dapat mematikan sel

tumor secara efektif (Bykov et al., 2002a).

Pemodelan molekul metode docking

Penelitian terhadap beberapa jenis senyawa reaktivator fungsi p53

menunjukkan efek anti-tumor dari senyawa-senyawa herbal. Pemahaman tentang

interaksi spesifik antara senyawa-senyawa reaktivator p53 dengan p53 termutasi

dan wild-type p53, akan memberikan sumbangan yang cukup besar dalam

pengembangan obat anti-kanker. Sehingga potensi penghambatan terhadap sel

kanker secara spesifik dapat. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan dengan

kombinasi studi teoritis (pemodelan molekuler) dengan bantuan komputer dan

eksperimental laboratorium.

Beberapa penelitian untuk mengembalikan fungsi p53 termutasi dengan

menggunakan molekul kecil melalui metode docking telah dilakukan. Bukti-bukti

menunjukkan bahwa fungsi p53 dapat dikembalikan dengan mengatur konformasi

mutan p53 sehingga menyerupai wild-type p53.

Problema interaksi spesifik tersebut dapat diselesaikan dengan melihat

kemungkinan-kemungkinan interaksi antara molekul kecil dengan makromolekul.

Proses pencarian kemungkinan-kemungkinan interaksi tersebut dilakukan dengan

menempatkan molekul kecil pada makromolekul secara sistematis yang dikenal

sebagai metode docking (Morris et al., 1998). Metode docking telah cukup banyak

digunakan untuk hal-hal seperti ini. Dengan metode ini pula upaya pencarian

molekul baru yang dapat digunakan untuk tujuan yang sama dapat dipercepat dan

diturunkan biayanya.

Wibowo, Astirin dan Budiyani (2007) dengan pemodelan molekul telah

membuktikan bahwa pengembalikan fungsi p53 termutasi dapat dilakukan dengan

jalan menggabungkan molekul kecil melalui interaksi spesifik. Molekul kecil

tersebut adalah PRIMA-1(p53 reactivation and induction of massive apoptosis),

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201030

turunan maleimida (MIRA: mutant-p53-dependent induction of rapid apoptosis).

Interaksi spesifik tersebut, diharapkan dapat dilakukan oleh senyawa yang

terkandung dalam P. conoideus var. buah merah yang telah terbukti secara

eksperimental dapat mengembalikan fungsi p53. Pembuktian ini sangat menarik

karena membuka peluang untuk mengkaji interaksi spesifik dari senyawa yang

terkandung dalam P. conoideus var. buah merah dengan protein P53 termutasi.

Astirin et al. (2008) membuktikan bahwa ekstrak buah merah (P. conoideus,

Lam.) mampu menekan proliferasi sel kanker payudara T47D.

Hasil evaluasi sementara oleh Wibowo, Astirin dan Budiyani (2009)

terhadap pola interaksi reaktivator dengan p53 menunjukkan bahwa pola interaksi

dipengaruhi oleh mutasi pada p53 dan struktur senyawa reaktivator yang

digunakan. Uji sitotoksisitas VCO dan buah merah menunjukkan bahwa baik

VCO maupun buah merah mempunyai potensi menghambat pertumbuhan sel

kanker dengan tingkat selektivitas teramati. VCO dan buah merah dalam

menghambat pertumbuhan sel kanker dapat melalui proses induksi apoptosis.

Pemodelan dengan metode docking dilanjutkan dengan simulasi dinamika-

molekuler akan memberikan gambaran proses pengembalian fungsi p53 termutasi.

Gambaran yang diperoleh akan dikonfrontir dengan data-data penelitian

eksperimental laboratorium.

Pemodelan interaksi senyawa-senyawa kandidat reaktivator yang

merupakan komponen yang terdapat dalam VCO dan buah merah telah dilakukan

berdasarkan peta interaksi. Interaksi terutama terjadi pada 4 titik yang berbeda

yaitu disekitar residu no. 249, 268, 273 dan 282.

Penutup

Perlu diupayakan peningkatan kemanfaatan obat bahan alam dengan

berbagai pengujian praklinik maupun klinik secara terpadu antar bidang untuk

memperoleh suatu pembuktian yang lebih akurat. Pendekatan seluler dan

pemodelan molekul dapat dikembangkan untuk memperoleh gambaran efek

penghambatan berbagai senyawa aktif bahan alam.

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 31

Pustaka Acuan Achmad S.A. 2007. Fitokimia Tumbuhan Obat Indonesia Jilid I. Bandung:

Penerbit ITB. Alberts, B., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Roberts, K., 2002, Molecular

biology of the cell, 4th ed., Garland Science, New York Astirin O.P, Budiyani R.D, Wibowo, F.R, 2007, Cytotoxicity, proliferation

activity and P53 expression on Raji cells affected red fruit (Pandanus conoideus, Lam) treatment as anticancer candidate, Paper on International Conference on Molecular Biology of Life Sciences at, Brawijaya University, November 19-21, 2007

Astirin O.P, Harini M dan Handajani N.S, 2009, Ekspresi Apoptosis sel kanker payudara (T47D) Setelah Perlakuan dengan Ekstrak Pandanus conoideus, Lamb. var buah kuning, Journal of Biological Diversity Terakreditasi No 55/DIKTI/Kep/2005, January 2009

Astirin O.P., D.R Budiyani, F.R Wibowo, 2009, Sitotoksisitas sel kanker HT-29 setelah pemberian sari buah merah (Pandanus conoideus Lamb.), Pemakalah oral dalam Seminar Nasional LPPM, UNS Surakarta, 25 Maret 2009

Astirin O.P., Handayani N., Dinar Sari C.W, 2010, Apoptosis kultur sel Kanker Terinfeksi EBV (Epstein Bar Virus) oleh Fraksi Teraktif Ekstrak Pandanus conoideus Lamb var buah kuning, Makalah Pada SemNas Biologi “Pembelajaran Sains dan Perkembangan Biologi di Era Molekuler”, UNNES Semarang, 27 Februari 2010

Brock, D.H.J. 1993. Molecular Genetic for The Clinician. Cambridge University press

Budiani D.R, O.P Astirin, F.R Wibowo, 2007, Component Of Virgin Coconut Oil As Anti-cancer Compound to Apoptosis Target On P53, Poster on International Conference on Molecular Biology of Life Sciences at Brawijaya University, November 19-21, 2007

Bykov, V. J., Issaeva, N., Selivanova, G. dan Wiman, K. G., 2002a, Mutant p53-dependent growth suppression distinguishes PRIMA-1from known anticancer drugs: a statistical analysis of information in the National Cancer Institute database., Carcinogenesis, 23(12): pp. 2011–2018

Bykov, V. J., Issaeva, N., Shilov, A., Hultcrantz, M., Pugacheva, E., 2002b, Restoration of the tumor suppressor function to mutant p53 by a low-molecular-weight compound., Nat Med, 8(3):pp. 282–288

Bykov, V. J., Issaeva, N., Zache, N., Shilov, A., Hultcrantz, M.,2005, Reactivation of mutant p53 and induction of apoptosis in human tumor cells by maleimide analogs., J Biol Chem, 280(34): pp. 30384–30391

Cragg GM, Suffness M. 1993. Cancer in Human Medicinal Agents from Plants. Di dalam: Kinghorn AD, Balandrin MF, editor. ACS Symposium Series 534, pp. 81- 95

Darma, A.P., Pratama, R.H., dan Sukamdi, D.P. 2008. Mengungkap Potensi Tersembunyi Kedelai Sebagai Agen Kemopreventif yang Potensial. KKTM. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201032

David, M.L., dan Shivdasani, R. 2001. Toward Mechanism. Based Cancer Care Research Opportunities For Spesifik disease and Disondens. JAMA Vol. 285. No. 5 PP 588-9

De Vita, V.T., Helman, S., dan Rosenberg, S.A. 1997. Cancer Principles and Pranchise of Oncology. 5th Edition. Vol 1, Lippincott. Roven, Philadelphia.

Farnsworth NR. 1996. Biological and Phytochemical Screening of Plant. Journal of Pharmaceutical Sciences, 5:225-236.

Ghobrial, I. M., Witzig, T. E., dan Adjei, A. A., 2005, Targeting Apoptosis Pathways in Cancer Therapy, Cancer J Clin, 55: pp. 178--194

Goddard, G. Z. M. D, and Blank, M. 2002. ‘Apoptosis and Autoimmunity’. IMAJ. 4:722-724

Hanahan, D., dan Weinberg, R. 2000. The Hallmark of Cancer. Cell 100:57-70. Jiang, Q. Wong J., Fyrst H., Saba J.D., Ames B.N. 2004. . ‘γ-Tocopherol or

Combinations of Vitamin E Forms Induce Cell Death in Human Prostate Cancer Cells by Interrupting Sphingolipid Synthesis’. PNAS 101 (51):17825-17830

King, M.W. 2004. Tumor Suppressor and Cancer, 14 School of Medicine. Sengio Merchesini, P1-11.Malto :mking@medecine. indstate.com

King, R.J.B. 2000. Cancer Biology 2nd ed. Pearson Education Limited, London Kinghorn, A. D, N.R. Farnsworth, D.D. Soejarto, G.A. Cordell, S.M.

Swanson, J.M. Pezzuto, M.C. Wani, M.E. Wall, N.H. Oberlies, D.J. Kroll, R.A. Kramer, W.C. Rose, G.D. Vite, C.R. Fairchild, R.W. Peterson, R. Wild. 2003. ‘Novel Strategies for the Discovery of Plant-Derived Anticancer Agents’. Pharmaceutical Biology 41: 53-67, Issue 1 Supplement 1 2003

Lewis, R., Gaffin, D., Hoefnagels, M., dan Parker, B. 2007. The Life of a Cell: Cell Division, Cell Maturation, and Cell death (Apoptosis). http://www.life.uiuc.edu/ bio100/lectures/ f06lects/09f06-cell reprocycle.html. [19 Agustus 2008]

Lusia Oktora Ruma Kumala Sari, 2006, Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat Dan keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.1, April 2006, 01 - 07

MacDonald, F. and C.H.J Ford. 1997. Molecular Biology of Cancer. College of American Pathologist Consensus Statement 1999. Clinical Pathology Laboratory Medicine, 124, p 966-78

Martin, GR. 1981. "Isolation of a Pluripotent Cell Line from Early Mouse Embryos Cultured in Medium Conditions by Teratocarcinoma Stem Cells". Proc Natl Acad Sci USA. 78: 7634-7638 (abstr).

Mc Laughlin JL. 1991. Crown Gall Tumours on Potato Disc and Brine Shrimp Lethality: Two Simple Bioassay for Higher Plant Screening and Fractination, Di dalam: Hostettman K, editor, Methods in Plants Biochemistry, Academic Press, 6, p. 1-32.

Moll, U. M. dan Petrenko, O., 2003, The MDM2-p53 interaction., Mol Cancer Res, 1(14): pp. 1001–1008

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 33

Morris, G. M., Goodsell, D. S., Halliday, R.S., Huey, R., 1998, Automated Docking Using a Lamarckian Genetic Algorithm and and Empirical Binding Free Energy Function, J. Computational Chemistry, 19: pp. 1639-1662

Muhtadi, Andi Suhendi dan Shoim Dasuki, 2008, Sosialisasi pengobatan herbal dengan strategi peningkatan pemahaman dan pelayanan terapi Secara langsung bagi warga di windan desa makamhaji kecamatan kartasura kabupaten sukoharjo, WARTA, Vol .11, No. 2, September 2008: 138 – 149

Naim, R. 2006. Penyakit yang Berhubungan dengan Penghambatan Apoptosis Cermin Dunia Kedokteran No. 153:36-38.

Pecorino, L. 2004. Molecular Biology of Cancer, Mechanism, Targets and Therapeutics. Oxford University press

Puspitasari HP, Sukardiman, Widyawayuranti. 2003. Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Metanol Herba Ageratum conyzoides L. Pada Kultur Sel Mieloma Mencit. Majalah Farmasi Airlangga 3:93-95.

Reksoatmodjo, S.M.I. 1993. Biologi Sel. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Tinggi, Yogyakarta .

Rusmarilin H. 2003. Aktivitas Anti-Kanker Ekstrak Rimpang Lengkuas Lokal (Alpinia galanga (L) Sw ) Pada Galur Sel Kanker Manusia Serta Mencit Yang Ditransplantasi Dengan Sel Tumor Primer. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sarjono PAR. 2004. Potensi Isoflavon Asal Limbah Tahu Sebagai Antikanker Dalam Penghambatannya Terhadap Enzim Tirosin Kinase. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sugiyanto, B., Sudarto, Edy, M., dan Agung, E. N. 2003. ‘Aktivitas Antikarsinogenik Senyawa Yang Berasal Dari Tumbuhan’. Majalah Farmasi Indonesia. 14(3):132–141

Sukandar E. Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB, http://itb.ac.id/ focus/focus_file/ orasi-ilmiah-dies-45.pdf, diakses Januari 2006.

Sukardiman, Santa IGP, Rahmaday. 1995. Efek antikanker isolat flavonoid dari herba benalu mangga (Dendeophytoe petandra). Cermin Dunia Kedokteran 122:5-8

Suryadi, H., S. G. Malik, H. Sudoyo, S. Marzuki. 2004. Mitochondrial Medicine. Eijkmann Lecture Series 2. Jakarta: Lembaga Eijkmann h: 145-64

Valeriote F, Grieshaber, C. K., Media, J., Pietraszkewics, H., Hoffmann, J., Pan, M., McLaughlin, S. 2002. ‘Discovery and Development of Anticancer Agents From Plants’. Journal of Experimental Therapeutics and Oncology 2:228-236

Wahyuningsih, M.S.H. 2010, Potensi Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia Untuk Penyakit Kanker: Tantangan dan Harapan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM.

Wang, W., Rastinejad, F. dan El-Deiry, W. S., 2003, Restoring p53-dependent tumor suppression., Cancer Biol Ther, 2(4 Suppl 1): pp. S55–S63

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 201034

Weinberg RA and Hanahan D., 1996. The molecular pathogenesis of cancer. In: BishopJM and Weinberg RA (eds). Molecular oncology. New York, Scientific American; 179-204

WHO, 2003, Traditional medicine, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/, diakses Januari 2006.

Wibowo F.R, Astirin O.P, D.R Budiyani, 2008, Penapisan Komponen Virgin Coconut Oil Dan Buah Merah Sebagai Senyawa Anti-Kanker Dengan Target Apoptosis Jalur P53, Laporan Program Insentif Riset Dasar, 2007-2008

Wibowo F.R, Y. Hidayat, Astirin O.P, D.R Budiyani, 2008, “Potensi Asam Laurat dalam Induksi Apoptosis Sel Kanker”, Makalah dalam Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia tanggal 22 Nopember 2008 di FMIPA, UNS

Seminar Nasional Biologi 2010

Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September 2010 35