29935434 rhinitis alergi

19
RINITIS ALERGI I.1 Definisi Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa hidung. I.2 Epidemiologi Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek samping obat- obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain fungsi fisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi, bahkan kesehatan mental. I.3 Prevalensi Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar amerika pertahun. 1

Upload: ratusweethella-intan-yudagrahania-puspita

Post on 24-Jul-2015

30 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 29935434 Rhinitis Alergi

RINITIS ALERGI

I.1 Definisi

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang

terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa

hidung.

I.2 Epidemiologi

Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan

alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di

Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun

dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek samping obat-

obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain fungsi fisik,

problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi, bahkan

kesehatan mental.

I.3 Prevalensi

Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di

seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin

meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta

produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara langsung maupun

tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar amerika pertahun.

Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis alergi

atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi sekitar 15%

pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini mungkin

diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda

tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi.

Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa kanak-

kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa dewasa

prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset rinitis alergi

umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda. Dilaporkan

bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-laki terjadi antara

onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi pada semua umur.

1

Page 2: 29935434 Rhinitis Alergi

I.4 Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi

genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat

berperan pada ekspresi rinitis alergi.

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan

ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti

urtikaria dan gangguan pencernaan.

Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa

pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi

musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang

tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu

Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang

peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk terpaparnya debu

tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor

kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk

tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke pegunungan membantu

identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor

nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau

merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.

I.5 Klasifikasi

Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi rinitis

alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja (occasional).

Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat musim. Alergen

penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala ketiganya hampir

sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun

timbul terus menerus atau intermiten.

Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan

kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala ≤4 hari

perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4

minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat

tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan

2

Page 3: 29935434 Rhinitis Alergi

gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan

lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih

gangguan tersebut di atas.

Intermiten

Gejala

≤ 4 hari per minggu

atau ≤ 4 minggu

Persisten

Gejala

> 4 hari per minggu

dan > 4 minggu

Ringan

tidur normal

aktivitas sehari-hari, saat olah

raga dan santai normal

bekerja dan sekolah normal

tidak ada keluhan yang

mengganggu

Sedang-Berat

Satu atau lebih gejala

tidur terganggu

aktivitas sehari-hari, saat olah

raga dan santai terganggu

masalah dalam sekolah dan

bekerja

ada keluhan yang mengganggu

Gambar 1. Klasifikasi Rinitis Alergi

I.6 Patofisiologi

Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan

alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau sel

dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen presenting cell/sel

APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel pada

permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari antigen

terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung

dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek peptida-MHC-II ini

akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T cells (TH0). Apabila sel

TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut,

maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.

Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan

mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3, IL-4,

3

Page 4: 29935434 Rhinitis Alergi

IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan limfosit-B,

akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE.

Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan

ditangkap eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka akan

terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergis.Mediator

yang terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar mukosa dan goblet

mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek lainnya berupa gatal hidung,

bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan

akibat pembengkakan mukosa sehingga terjadi gejala sumbatan hidung.

Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi

alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan

alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga

melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic

factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil chemotactic factor of anaphylatic).

Kedua molekul tersebut menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di

organ sasaran.

Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase

lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah

terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yangberakumulasi di

jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konstan

bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi

dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.

I.7 Penilaian Klinis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1.7.1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan adanya trias

gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung, ditambah gatal hidung.

Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi

konjungtiva, dan lain sebagainya).

1.7.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan

wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.

4

Page 5: 29935434 Rhinitis Alergi

a. Wajah

- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan

dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung

- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui

setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung

keatas dengan tangan.

b. Hidung

- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi

spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi

- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat,

disertai adanya sekret encer yang banyak.

- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi

mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan

dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna

dapat timbul pada rinitis alergi.

- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum

yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit

granulomatus.

- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan

tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai.

Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan

mukosa hidung akan menyusut.

c. Telinga, mata dan orofaring

- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-

fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani

dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan

tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi

tuba eustachius dan otitis media sekunder.

- Pada pemeriksaan mata

- Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral

yang disertai dengan produksi air mata.

d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati

e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asmaf. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.

5

Page 6: 29935434 Rhinitis Alergi

1.7.3. Pemeriksaan sitologi hidung.

Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan

alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika

ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

1.7.4. Hitung eosinofil dalam darah tepi.

Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan

pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila tanda alergi

pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma

bronkial atau urtikaria.

1.7.5. Uji kulit.

Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara, yaitu

uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

Titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit

yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk

alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang

bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab, juga derajat

alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

1.7.6. Tes penunjang lainnya

Yng lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesifik

dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme linked immuno

assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergen –alergen dengan tingkat skor 1+ s/d

4+.

1.8 Ko-Morbiditas

Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai

komorbiditas telah diketahui berhubungan dengan rinitis.

1.8.1. Asma

- Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan

- Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan

hipereaktivitas bronkus yang non-spesifi

- Banyak penderita rinitis juga menderita asma

6

Page 7: 29935434 Rhinitis Alergi

- Saluran nafas atas dan bawah diduga diepngaruhi oleh suatu proses

inflamasi yang serupa yang mungkin dapat menetap dan diperberat

oleh mekanisme yang saling berhubungan ini.

- Penyakit alergi dapat bersifat sistemik.Provokasi bronkial

menyebabkan inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan

inflamasi bronkial.

1.8.2. Sinusitis dan konjungtivitis

1.8.3. Hubungan antara rinitis alergi, polip nasal dan otitis media belum dipahami

dengan baik.

1.9 Penatalaksanaan

Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :

a. Penghindaran alergen.

Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk

mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga

degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun,

dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen tersebut.

Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan

penghindaran alergen.

b. Pengobatan medikamentosa

Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau

menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi

alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat

dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan

intranasal atau oral.

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara

inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis

alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif

untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi

tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat.

7

Page 8: 29935434 Rhinitis Alergi

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase

lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran

protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena

aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru

lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti

IgE, DNA rekombinan.

Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya

pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

c. Imunoterapi spesifik

Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi

subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan.

Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label

dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal

untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi

subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau

selama 20 menit setelah pemberian subkutan.

Indikasi imunoterapi spesifik subkutan

- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi

konvensional

- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan

antihistamin H1 dan farmakoterapi

- Prnderita yang tidak menginginkan farmakoterapi

- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang

tidak diinginkan

- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka

panjang.

8

Page 9: 29935434 Rhinitis Alergi

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik

oral

- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih

besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.

- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak

imunoterapi subkutan

- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan

Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak

direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5

tahun.

d. Imunoterapi non-spesifik

Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama

seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-

sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek

biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada

di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan

mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya

menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.

e. Edukasi

Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui

berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya

terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada

penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme imunopsikoneurologis.

f. Operatif

Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa

penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka

inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

9

Page 10: 29935434 Rhinitis Alergi

Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA

Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit)

Penghindaran allergen

Intermitten Persisten/menetap

Ringan Sedang/berat Ringan Sedang/berat

KS topical

Evaluasi setelah 2-4 minggu

10

-AH oral/topical atau

- AH + dekongestan

oral atau- KS topical atau- Na kromoglikat

↓Gejala persisten

↓Evaluasi setelah

2-4 minggu↓

Jika gagal: maju 1 langkah

Jika th/ berhasil:

- AH oral/ topical atau

- AH + dekongestan oral

Membaik↓

Th/ Mundur 1 langkah

dan th/ diteruskan

Tidak ada↓

- salah diagnosis- nilai kepatuhan

pasien- komplikasi/

infeksi- factor kelainan

Tingkatkan dosis

intranasal KS

Rinore menetap

↓Ipratroprium bromida

Sumbatan hidung

menetap↓

Dekongestan (3-5 hari) atau

KS oral (jangka pendek)

↓Gagal

Bersin/Gatal

hidung↓

Tambahkan H1

Jika ada conjungtivitis :- Oral H1-blocker atau- Intraocilar H1-blocker atau- Intraocular chromone

*pertimbangkan imunoterapi

Page 11: 29935434 Rhinitis Alergi

1.10. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu

faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi

utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia

sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis : inspisited

mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-

lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan

metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4

dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi alergis.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat

edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia

menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan

penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara

rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama

bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya

fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-

mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis

akan semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan

obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan

reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka

pengobatab rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi,

antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

11

Page 12: 29935434 Rhinitis Alergi

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke

lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

2. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.

3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.

McGrawl-Hill. 2003.

4. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi ke

dua. Thieme. New York:1994.

5. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck

Surgery-Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams &

Wilkins. Philadelphia. 273-9. 2000.

6. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis,

Clinical Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.

7. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M.

Jennifer. Allergy and Immunology, An Otolaryngic Approach. Lippincott

Williams&Wilkins. USA. 209-219. 2002.

8. Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan

Rinitis Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.

2000.

9. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001.

10. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).

12