27-29 - unesa.ac.id
TRANSCRIPT
PROSIDING
UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR
& ANNUAL CONFERENCE 2015
“PERAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM PERSAINGAN GLOBAL”
Editor:
Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si
Dr. Marthinus Mandagi, M.Si
27-29
September
2015
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2015
ISBN 978-602-73770-1-1
P R O S I D I N G
“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN
GLOBAL”
KERJASAMA PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
NEGARA FIS UNIMA DAN INDONESIAN ASSOCIATION FOR
PUBLIC ADMINISTRATION (IAPA)
Editor:
Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si
Dr. Marthinus Mandagi, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2015
“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN
GLOBAL”
© Penulis
Reviewer:
Linna Miftahul Jannah
M. R. Khairul Muluk
Falih Suaedi
Sintaningrum
Perancang Sampul:
Jesica Karouw
Penata Letak:
Jeane Mantiri
Diterbitkan atas kerjasama:
Program Studi Ilmu Administrasi Negara FIS UNIMA dan Indonesian
Association For Public Administration (IAPA)
ISBN 978-602-73770-1-1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Administrasi Negara/Publik menjadi salah satu jurusan yang saat ini popular dan tersorot. Kami
yang berada di Program Studi Universitas Negeri Manado mempromosikan Program Studi kami
dengan membuat Seminar Internasional, kami juga menjadi tuan rumah dalam konfrensi tahunan
Indonesian Association for Public Administration (IAPA).
“Peran Pemerintah Dalam Persaingan Global” menjadi tema dari seminar ini, kami
menghadirkan Dr. James Cullin (Humber Bussinness School Canada), Mary Heather White
(Manager SEDS Field), Prof. Samrit Yossomsakdi, Ph.D (Vice President PAAT Thailand), and
Erica Larson (Boston University) serta Roberta dan Naomi (Napoli University Itali) sebagai
pembica utama dalam seminar ini.
Dari tema diatas, kami membuat pokok-pokok atau sub tema yang akan dibahas:
1. Enhancing Public Trust dan Ethics
2. Developing Local Competitiveness
3. Developing Innovative Public Service
4. Integration Of Public Policy
Kami juga menghadirkan beberapa pembahasan khusus oleh PSPA dan IAPA yaitu Comparative
Village Between Indonesian and the Philippines and Comparative Disaster Management
between Indonesia and the Philippines.
Seminar ini dipersiapkan atau kerjasama dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan
Anggota IAPA.
Hormat Kami,
Panitia UNIMA IAPA International
Seminar & Annual Conference 2015
PENGANTAR EDITOR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perkenan-Nya sehingga penyusunan
Prosiding Seminar International kerja sama Indonesian Association for Public Administration
(IAPA) dengan dengan tema: “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global.” dapat
diselesaikan dengan baik. Seminar International ini diselenggarakan pada tanggal 27 – 29
September 2015.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
paling dalam kepada para penulis/kontributor yang telah memberikan sumbangsih pikiran yang
dituangkan dalam artikel, sehingga memungkinkan prosiding ini dapat dirampungkan dengan
baik. Diucapkan terima kasih pula kepada jajaran Panitia UNIMA IAPA International Seminar &
Annual Conference 2015, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu
dan sumbangan pemikirannya.
Besar harapan kami, kiranya proceeding ini, terutama tulisan-tulisannya dapat memberikan
sumbangan pemikiran yang kreatif dan kritis ke depan bagi perkembangan Ilmu Administrasi
Publik, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang sama-sama kita
cintai.
Kami sangat menantikan sumbangan saran atau kritik yang membangun bagi
penyempurnaan prosiding ini, akhirnya, kami mengucapkan terima kasih atas segala saran dan
masukan yang diberikan.
Selamat membaca.
Tondano, September 2015
Editor,
Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si.
Dr. Marthinus Mandagi, M.Si.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………………….....
i
Pengantar Editor ………………………………………………………………………….....
ii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………...
iii
Otonomi Daerah: Kajian Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan Penerapan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Galih W. Pradana, Trenda Aktiva Oktariyanda……………………………………………..
1
Legislasi Desa: Tantangan dan Peluang Pembuatan Kebijakan Desa Pasca Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Muhammad Yasin……………………………………………………………………………
11
Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.
Petrus Kase…………………………………………………………………………………..
21
Menentukan Pemimpin Daerah yang Berintegritas
Devie S. R. Siwij……………………………………………………………………………..
35
Developing Local Competitiveness through Developing City Branding (Case Study Binjai
City, North Sumatera).
Septiana Dwiputrianti………………………………………………………………………..
44
Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan
Jalan Umum Dan Jalan Khusus Di Provinsi Riau.
Febri Yuliani……………………………………………………………………………….
63
Evaluasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) Di Kecamatan Bolaang
Timur Kabupaten Bolaang Mongondow
Abdul Rahman Dilapanga………………………………………………………………….
68
Kinerja Aparatur Pemerintah Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara
Jeane Mantiri………………………………………………………………………………..
76
Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Desa
Penfui Timur, Kabupaten Kupang.
iv “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Petrus Kase…………………………………………………………………………………..
86
Integrasi Kebijakan UMKM Guna Meningkatkan Daya Saing Lokal (Kemitraan UMKM
Provinsi Jawa Timur).
Noviyanti……………………………………………………………………………………
99
Kebijakan Perspektif Gender Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia Unggul (Strategi
Pemerintah Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean)
Yuni Lestari…………………………………………………………………………………..
119
Efektivitas Hubungan Kerjasama Antar Pemerintahan (Studi Kasus Kebijakan Pendidikan
Gratis Pada Pendidikan dasar dan Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan).
Sangkala……………………………………………………………………………………...
134
Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Insiatif Publik: Antara Optimis dan Utopis.
Muhammad Ichsan Kabullah………………………………………………………………...
147
Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Studi Kebijakan Publik Pada
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Di Kota Kotamubagu Provinsi Sulawesi Utara)
Fitri Herawati Mamonto……………………………………………………………………..
169
Lahir Procot Pulang Bawa Akta: Inovasi Layanan Publik sebagai Pemenuhan Hak Anak di
Kabupaten Banyuwangi.
Lina Miftahul Jannah………………………………………………………………………..
179
Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta.
Rizki Pratiwi, Endang Sutarti Mardiana, Arsid……………………………………………..
189
Konstruksi Model Perilaku Pelayanan Street-Level Birokrasi Pada Puskesmas Di Kota
Makassar
Abdul Mahsyar…………………………………………………………………………........
197
Mengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kualitas
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Perkotaan: Studi di Puskesmas Kota Surabaya.
Falih Suaedi………………………………………………………………………………….
215
Optimalisasi Outcome Anggaran untuk Menciptakan Trust dalam Pengalokasian Belanja
Pelayanan Publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Hendri Koeswara…………………………………………………………………………….
224
Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” v
Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan, Weni Rosdiana, Agung
Listiadi………………………………………………………………………………………
242
Pembentukan City Branding Di Kota Tangerang Selatan
Izzatusholekha……………………………………………………………………………….
289
Inovasi Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Melalui Pengembangan Ekonomi
Kreatif Di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau
Mustiqowati Ummul Fithriyyah…………………………………………………………….
302
Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di
Provinsi Gorontalo.
Asna Aneta dan Yulianto Kadji…………………………………………………………….
313
Mewujudkan Governance Networks melalui Program The Sunan Giri Award di Kabupaten
Gresik.
Muhammad Farid Ma‟ruf, Tauran, Yuni Siti Aisah………………………………………...
324
Mewujudkan Administrator Publik Yang Beretika Dalam Perspektif Administrasi Islam
Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (Studi Kasus Di Kantor Badan Promosi dan
Pelayanan Terpadu)
Afrinaldy Rustam, Rodi Wahyudi…………………………………………………………..
336
Penerapan ‗Good Governance‘ dalam Penempatan Pekerja Migran Perempuan Antar
Bangsa.
Lely Indah Mindarti................................................................................................................
352
E-Governance Sebagai Alternatif Solusi Menghilangkan Konflik Sengketa Tumpang
Tindih Lahan Pertambangan Batu Bara Di Provinsi Kalimantan Timur
Himawan Nuryahya dan Secilia Fammy Rukhamah………………………………………...
376
Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Perindustrian
Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penanaman Modal Kota
Gorontalo.
Zuchri Abdussamad…………………………………………………………………………..
406
Meningkatkan Kemampuan Kelembagaan Untuk Menyongsong Asean Economic
Community: Suatu Perspektif Administrasi Negara
Roza Liesmana……………………………………………………………………………….
411
vi “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Membangun Kepercayaan Publik Pada Birokrasi.
Desna Aromatica……………………………………………………………………………..
418
242 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal
Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur
Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan,
Weni Rosdiana, Agung Listiadi
Universitas Negeri Surabaya
HP.081330109556
Abstrak: Dalam rangka mewujudakan good governance yang terkait dengan pelayanan publik, maka
pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang pelayanan
publik. Pelaksanaan pelayanan publik tentunya tak lepas dari keluhan-keluhan dan pengaduan masyarakat
yang merasa tidak/belum puas atas pelayanan pemerintah. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi
Pelayanan Publik ( KPP ).
Setelah melakukan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa,KPP berperan dalam penanganan
pengaduan sekaligus sebagai tugas utama KPP dimana dari tahun ketahun peran ini berjalan dengan baik.
KPP berupaya melakukan kerjasama dengan 34 lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota menjadi langkah
strategis dalam optimalisasi peran KPP dalam menjalankan tugasnya.
Beberapa rekomendasi dari Tim Peneliti yaitu, supaya Gubernur menghimbau Bupati/Walikota
membuat Perda tentang lembaga pengaduan ( bagi yang belum ada ), perlu pembaharuan MoU yang pernah
dibuat tahun 2006, keberadaan KPP perlu dipublikasikan lebih luas, perlu MIS ( Manajemen Informasi Sistem )
dalam pengelolaan pengaduan,dan yang tidak kalah penting adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa
Timur untuk mengoptimalkan peran KPP.
Kategori :Public Administration Sciences
Kata Kunci: lembaga pengawas, pelayaan publik
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi perkembangan yang luar biasa di bidang pelayanan
publik, baik perkembangan yang terjadi pada tataran perumusan kebijakan atau peraturan perundangan tentang
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 243
pelayanan publik, implementasi kebijakan tentang pelayanan publik dan/atau penyelenggaraan pelayanan
publik, kualitas dan kuantitas yang menjadi substansi pelayanan publik, kelembagaan pelayanan publik, tuntutan
atau harapan publik akan pelayanan publik yang dapat memenuhi kebutuhannya, standar pelayanan publik,
sampai dengan pengawasan pelayanan publik bahkan sengketa pelayanan publik.
Pada saat yang sama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diikuti dengan kian
ketatnya kompetisi di segala bidang membawa konsekuensi terjadinya perubahan di berbagai bidang. Kondisi
ini selanjutnya diikuti dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Imbasnya, peran
organisasi terutama organisasi pemerintah dituntut untuk dapat mewujudkan kehidupan masa depan yang lebih
baik, maka reformasi tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi wacana yang menarik.
Sebagai langkah konkrit pemerintah untuk mewujudkan good gavernance yang terkait dengan
pelayanan publik di daerah, maka pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang
mengatur tentang pelayanan publik diantaranya dengan ditetapkannya : (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, (2) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Keterbukaan
Informasi Pulik, (3) Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara,
dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal maupun terhadap sejumlah Pedoman Teknis lainnya.
Bahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah sebagai tindak lanjut
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, maka Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia mengeluarkan instruksi kepada semua Gubernur, Ketua
DPRD dan Bupati/Wali Kota di seluruh Indonesia untuk segera membentuk Peraturan Daerah yang mengatur
tentang Pelayanan Publik di daerah dengan surat Nomor : B/988/M-PAN/5/2005 tanggal 25 Mei 2005 perihal
Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik.
Sebagai respon atas Inpres tersebut, Jawa Timur selanjutnya membuat Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Hadirnya Perda 11 Tahun 2005 ini
merupakan babakan baru bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur. Menariknya lagi,
hadirnya Perda 11 Tahun 2005 mendahului langkah pemerintah pusat yang saat itu belum memiliki Undang
Undang yang mengatur tentang pelayanan publik. Kehadiran perda 11 tahun 2005 ini terbukti ampuh dalam ikut
serta mendorong semua pihak untuk melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik
masing-masing. Keberadaan Komisi Pelayanan Publik yang merupakan amanah dari Perda 11 Tahun 2005
seolah telah menjadi ikon baru bagi Jawa Timur dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, suatu lembaga yang mempunyai kewenangan
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, maka menjadi konsekuensi logis dan yuridis untuk dilakukannya perubahan Perda Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pelayanan Publik. Maka pada tahun 2001 lahirlah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang merupakan revisi terhadap Peraturan Daerah Nonor 11 Tahun
2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur.
244 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentunya
masih membutuhkan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang terkait dengan teknis maupun pedoman
pelaksanaannya. Apalagi penyelenggaraan tata pemerintahan yang terkait dengan pelayanan publik.
Kebutuhan pengaturan tersebut pada tingkat pemerintah daerah dapat diwujudkan dengan pembentukan
Perda. Pembentukan Perda Nonor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur ini,
kemudian menjadi sangat penting karena salah satu indikator kesiapan daerah dalam merespon otonomi daerah,
adalah ketika daerah mampu merumuskan dan membentuk kebijakan dan atau Perda. Dalam konteks ini,
keterlibatan dan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan fungsi legislasinya sangat
dibutuhkan. Karena DPRD sebagai representative fungtion, diharapkan dapat lebih aspiratif dan berpihak pada
kepentingan rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan mencerminkan komitmen keberpihakan kepada
kepentingan orang banyak melalui proses yang partisipatif dengan melibatkan stakeholder yang terkait.
Keluhan muncul karena sesuatu yang alami, semata-mata adalah sintestis dari masalah pelayanan.
Beberapa hal yang menyebabkan keluhan antara lain: (1) organisasi pelayanan gagal mewujudkan kinerja yang
dijanjikan, (2) pelayanan yang tidak efisien, (3) pelayanan yang diberikan secara kasar atau tidak membantu, (4)
gagal menyampaikan info perubahan kepada pelanggan, (5) banyaknya pelayanan yang tertunda, (6) ketidak-
sopanan/ketidak-ramahan aparat pelayanan, (7) pelayanan yang tidak layak/tidak wajar, (8) aparat pelayanan
yang tidak kompeten, (9) aparat pelayanan yang apatis/tidak adanya atensi, (10) Organisasi pelayanan tidak
responsif terhadap kebutuhan dan keinginan serta harapan pelanggan.
Dalam rangka merespon pengaduan atau keluhan inilah kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2011 (dulu
Perda Nomor 11 Tahun 2005) tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya
lembaga baru yang bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP).
Komisi Pelayanan Publik yang selanjutnya disingkat KPP adalah lembaga yang dibentuk
berdasarkan peraturan daerah yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal atas
penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, baik yang
dilakukan pemerintah daerah, korporasi dan pihak-pihak lain yang mendapat dukungan dana
sebagian atau seluruhnya dari APBD (Pasal 1 Ayat 13 Perda 8/2011).
Kebijakan awal yang membidani lahirnya KPP adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2008 lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI), baru pada tahun 2009 disahkan Undang-Undang Nomor 25
tentang Pelayanan Publik.
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 245
Meskipun keluhan yang diungkapkan masyarakat sering dijumpai, namun pada Laporan Tahunan
Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur yang disampaikan oleh Ketua KPP Jatim M.M. Khoirul Anwar,
menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timur masih takut mengadu pada saat dilayani secara tidak baik oleh
sebuah instansi pemerintah. Hal ini terbukti dari kecilnya jumlah pengaduan ke KPP Jatim. Selama tahun
2010 jumlah pengaduan ke KPP Jatim hanya 176 laporan, dengan rincian sebagai berikut; laporan pelayanan
di bidang pertanahan 53 aduan (30%), laporan Pelayanan Kependudukan 33 aduan (18%), laporan
Administrasi Pemerintahan 14 aduan (14%), laporan Pelayanan lain-lain rata-rata 3-7 aduan. Berdasarkan
wilayah tempat pelapor; Surabaya sebanyak 81 pelapor (46%), Sidoarjo 9 pelapor (5%), Bondowoso 8
pelapor (5%), dan daerah lain 2-4 pelapor (Laporan SCBD Provinsi Jawa Timur, 2011).
Ada dugaan bahwa belum terjadi keseimbangan antara jumlah anggota masyarakat yang memiliki
keluhan akan pelayanan publik, dengan jumlan anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan kepada KPP.
Akibatnya KPP tidak mengetahui bahwa ada keluhan dan atau KPP tidak menjalankan peran sebagai mediator
penyelesaian keluhan publik. Hal ini berimplikasi pada tidak/belum optimalnya peran KPP dalam menjalankan
tugas sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur.
Sementara itu dapat diketahui bahwa KPP relatif memiliki semangat untuk berkinerja terbaik, berusaha
merangkul sejumlah pemangku kepentingan, serta berusaha untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian atas
pengaduan yang ada. Semangat KPP yang demikian belum cukup menjadi faktor katalis terjadinya optimalisasi
pelaksanaan tugas KPP jika masyarakat tidak memberikan dukungan maksimal. Semangat KPP yang demikian
dapat dilihat dari kutipan pemberitaan berikut ini.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di penghujung 2013 ini Komisi Pelayanan Publik
(KPP) Jawa Timur, Kembali melaksanakan kegiatan Sosialisasi dan Laporan Kinerja
akhir Tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan kinerja lembaga yang
dibentuk berdasarkan Perda Jatim No. 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik ini,
mendesain acara yang bersifat tematik. “Membangun Sinergi Mewujudkan Pelayanan
Publik Prima di Jawa Timur” merupakan tema yang diimplementasikan dalam berbagai
bentuk kegiatan yang dihelat sejak selasa (16/12/2013) hingga Jumat ini (20/12/2013).
Beberapa acara yang dihelat selain laporan akhir tahun adalah Focus Disscusion Group
(FGD) yang melibatkan unsur penyelenggara dan pemangku kepentingan lain dalam
pelayanan publik, audiensi ke Gubernur dan DPRD Jawa Timur serta Publikasi laporan
kepada masyarakat melalui beberapa media dan instrumen.
Yang menarik, dalam rangka kebersamaan dan jejaring dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan publik di Jawa Timur, acara FGD tersebut juga disertai dengan
penandatanganan “Komitmen bersama dalam mewujudkan pelayanan publik prima di
Jawa Timur. Penanda tanganan ini sendiri dilakukan di kertas berpigura. Secara terpisah
peserta kedua FGD akan menanda tangani dokumen yang telah disediakan panitia.
“Tujuan dari diselenggarakannya ketiga rangkaian acara tersebut adalah untuk
memperoleh gambaran tentang kondisi pelayanan publik di Jatim dari berbagai perspektif,
untuk melakukan pemetaan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
pelayanan publik di Jatim dan untuk mengetahui best practice dan inovasi yang telah
246 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
dilakukan sebagai bahan rujukan dan replikasi pelaksaan pelayanan publik di Jatim,”
papar Hardly Stefano Ketua KPP Jatim kepada Brainmetro.com, Selasa (17/12/2013).
Selain itu, Hardly menambahkan tujuan dari diselenggarakannya acara tersebut adalah
untuk merumuskan rencana aksi mendorong peningkatan kualitas penyelenggaraan
pelayanan publik di Jatim sekaligus sebagai momentum awal adanya pembangunan
sinergitas berkelanjutan antar pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkaitan
dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang diharapkan
masyarakat (Brainmetro.com, 2013).
Pada saat yang sama dalam pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), ada kecenderungan
anggota masyarakat selaku konsumen kurang diberi ruang untuk memberikan masukan program yang
seharusnya disusun untuk meningkatkan pelayanan publik. Pelibatan masyarakat dapat dilakukan dengan
berbagai hal, salah satunya adalah melalui survey kepuasan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
Disebutkan bahwa untuk membandingkan indeks kinerja unit pelayanan secara berkala diperlukan survei
secara periodik dan berkesinambungan. Dengan demikian dapat diketahui perubahan tingkat kepuasan
masyarakat dalam menerima pelayanan publik. Jangka waktu survei antara periode yang satu ke periode
berikutnya dapat dilakukan 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan atau sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
sekali.
Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam mengevaluasi pelayanan yang diberikan pemerintah, jelas akan
mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara pelayanan yang diterima dan harapan masyarakat. Akibatnya
stigma pelayanan yang buruk masih akan tetap melekat karena ketidaktanggapan pemerintah.
Maksud dan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut adalah untuk mengetahui tingkat kinerja unit
pelayanan secara berkala sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas
pelayanan publik selanjutnya. Bagi masyarakat, Indeks Kepuasan Masyarakat dapat digunakan sebagai
gambaran tentang kinerja pelayanan unit yang bersangkutan.
Namun jika mempelajari hasil pengukuran sejumlah lembaga penyelenggara pelayanan publik terhadap
IKM-nya, maka hampir pasti hasil pengukuran mencapai nilai yang relatif tinggi, artinya kepuasan masyarakat
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik juga rekatif tinggi. Ironinya, keluhan publik juga masih
mengemuka. Pada kasus demikian dapat diduga bahwa pengukuran IKM tidak dapat menjadi instrument andal
untuk menjadi alat pengawasan pelayanan publik, sebab bisa jadi proses pengukurannya mengalami kekeliruan
dan/atau ketidaktepatan.
Ketika IKM tidak dapat menjadi instrument pengukuran yang efektif, dan ketika KPP relatif belum
dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga engawas eksternal, maka masa depan penyelenggaraan pelayanan
publik sungguh mencemaskan. Dalam kerangka inilah dipandang perlu melakukan penelitian dengan judul :
Kajian Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Komisi Pelayanan Publik (KPP) sebagai Lembaga Pengawas Eksternal
Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Jawa Timur.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 247
1.2 Rumusan Masalah
Suatu penelitian hendaknya menfokuskan perhatian pada upaya menjawab pertanyaan penelitian yang
diajukan. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian atau permasalahan
penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal ?
2. Apa faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi KPP dalam pelaksanaan tugas dalam hal :
a. menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik;
b. membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat
non litigasi;
c. melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik;
dan
d. menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara
langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.
3. Apa saran publik dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur? Meliputi :
a. Pengguna pelayanan publik
b. Penyelenggara pelayanan publik
c. Anggota KPP
d. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur
e. Pengamat Pelayanan Publik
4. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam rangka
melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur?
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Penelitian Terdahulu
Berikut ini disajikan tentang hasil sejumlah penelitian terdahulu yang menjadi pijakan atau referensi
atas dilaksanakannya penelitian ini, yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk topik yang relevan.
a. Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-
Complaint) (SCBD Jawa Timur, 2011)
Setidaknya terdapat tiga langkah penyelesaian complain yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yaitu: (1) semua complain yang masuk dicatat, dikelompokkan, dan dianalisis menurut frekuensi
dan keseriusannya, (2) kepada pelanggan ditanyakan tentang komplan yang dapat memberi dampak terbesar
bagi mereka, (3) dapat ditemukan complain yang paling penting dan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Manajamen complain yang efektif memiliki arti strategis bagi organisasi dalam upaya membangun
hubungan yang memuaskan dan menguntungkan dengan komsumen. Namun demikian, manajemen tidak selalu
248 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
dengan mudah dapat mengetahui tanggapan pelanggan atas pelayanannya. Organisasi tidak bisa mengukur
respons pelanggannya hanya dari data-data formal. Pelanggan juga bisa enggan untuk melakukan pengaduan
secara resmi ke organisasi. Keengganan pelanggan untuk melakukan complain dipengaruhi oleh berbagai factor
baik yang bersifat personal maupun yang berasal dari system organisasi.
Organisasi dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan berbagai cara antara lain dengan:
1. Menetapkan dan mengimplementaskan standar kinerja yang dikomunikasikan kepada pelanggan.
2. Mengkomunikasikan betapa pentingnya pemulihan layanan ini kepada seluruh jajaran organisasi mulai
dari CEO sampai karyawan lini depan.
3. Melatih pelanggan mengenai cara menyampaikan complain baik melalui brosur, pamphlet maupun
semacam buku petunjuk khusus berisi informasi lengkap mengenai prosedur penyampaian dan penanganan
complain.
4. Memanfaatkan dukungan teknologi seperti customer call centers dan internet untuk memberikan
kemudahan dan akses 24 jam yang cepat serta relative murah bagi setiap pelanggan.
Mengukur Efektivitas Manajemen Komplain. Penilaian atas suatu manajemen komplain yang efektif
didasarkan pada karakteristik karakteristik utama berikut:
1. Komitmen: pihak manajemen dan semua anggota organisasi lainnya memiliki komitmen yang tinggi untuk
m endengarkan dan menyelesaikan masalah komplain dalam rangka peningkatan kualitas produk dan jasa.
2. Visible: manajemen menginformasikan secara jelas dan akurat kepada pelanggan dan karyawan tentang
cara penyampaian komplain dan pihak-pihak yang dapat dihubungi.
3. Accessible: perusahaan menjamin bahwa pelanggan secara bebas, mudah, dan murah dapat menyampaikan
komplain, misalnya dengan menyediakan saluran telepon bebas pulsa atau amplop berperangko.
4. Kesederhanaan: prosedur komplain sederhana dan mudah dipahami pelanggan.
5. Kecepatan: setiap komplain ditangani secepat mungkin. Rentang waktu penyelesaian yang realistis
diinformasikan kepada pelanggan. Selain itu, setiap perkembangan atau kemajuan dalam penanganan
komplain yang sedang diselesaikan senantiasa dikomunikasikan kepada pelanggan yang bersangkutan.
6. Fairness: setiap komplain mendapatkan perlakuan sama atau adil, tanpa membeda-bedakan pelanggan.
7. Konfidensial: keinginan pelanggan akan privasi dan kerahasiaan dihargai dan dijaga.
8. Records: data mengenai komplain disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan setiap upaya perbaikan
berkesinambungan.
9. Sumber daya: perusahaan mengalokasikan sumber daya dan infrastruktur yang memadai untuk
pengembangan dan penyempurnaan sistem penanganan komplain, termasuk di dalamnya adalah pelatihan
karyawan.
10. Remedy: pemecahan dan penyelesaian yang tepat (seperti permohonan maaf, hadiah, ganti rugi, refund)
untuk setiap komplain ditetapkan dan diimplementasikan secara konsekuen.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 249
Pada akhirnya penelitian research-action ini merekomendasikan diberlakukannya SIM Keluhan
Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini mempunyai kelebihan:
1. Masyarakat dapat mengajukan keluhan secara online
2. Data keluhan dapat dikelola secara lebih terintegrasi dan lintas sektoral
3. Data dan laporan yang disediakan telah memenuhi kebutuhan tentang informasi pelayanan publik, dalam
hal ini pelayanan terhadap keluhan masyarakat.
Untuk dapat menjalankan SIM Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini secara lebih
baik, maka diperlukan pembenahan dalam hal komitmen serta payung hukum untuk memperlancar pelaksanaan
sistem informasi ini.
b. Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Terpadu di Provinsi Jawa Timur (LPPM Universitas Negeri
Surabaya, 2011)
Penelitian ini adalah penelitian institusional yang dilakukan di empat (4) tempat atau institusi, yakni di
UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan.
Permasalahan yang dicarikan jawabannya dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah ―Aspek-aspek apakah
yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota
Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan dalam kaitannya dengan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan
Perizinan Terpadu?‖.
Berdasarkan hasil analisis data sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1. Ke empat sampel dan/atau tempat daerah penelitian ini sudah membentuk Unit Pelayanan Perizinan
Terpadu, dengan nama (nomenklatur lembaga) yang berbeda-beda, dimana Provinsi Jawa Timur
membentuk Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu (UPT-P2T) berdasarkan Peraturan
Gubernur; Kota Malang membentuk Badan Pelayanan Perizinan terpadu (BP2T) berdasarkan
Peraturan Daerah; serta Kota Madiun dan Kabupaten Pemekasan membentuk Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu (KP2T) berdasarkan Peraturan Daerah.
2. Ke empat sampel dan/atau daerah tempat penelitian ini sudah memiliki komitmen yang kuat untuk
memberikan Pelayanan Perizinan Terpadu. Ini terbukti dari jumlah jenis izin yang sudah dilayani
penerbitannya oleh sampel dan/atau tempat penelitian ini, yakni sebagai berikut: UPT-P2T Provinsi
Jawa Timur melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 205 jenis izin; BP2T Kota Malang melakukan
pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin; KP2T Kota Madiun melakukan pelayanan Perizinan
sebanyak 18 jenis izin dan 5 izin diantaranya penerbitan izinnya harus mendapat rekomendasi
Walikota; dan KP2T Kabupaten Pamekasan melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin.
Dinamika atau perbedaan jumlah perizinan yang dilayani oleh masing-masing daerah ini dipengaruhi
oleh kebutuhan publik akan perizinan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain,
disamping oleh kewenangan yang ada sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3. Tugas, Fungsi, dan kewenangan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota
Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah disesuaikan dengan PERMENDAGRI Nomor 20
250 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di
Daerah.
4. Struktur Oragnisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan
KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan Lampiran PERMENDAGRI Nomor 20
Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).
5. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T
Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan PERMENPAN Nomor:
PER/21/M.PAN/11/2008 Pedoman Penyusunan Standar Operational Prosedur (SOP) Administrasi
Pemerintahan (lihat Lampiran 3-2).
6. Ketersediaan sumber daya (Sarana & Prasarana, SDM, dan Dana) di UPT-P2T Provinsi Jawa Timur,
BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah cukup memadai
dan/atau tidak pernah sampai mengganggu proses pelaksanaan tugas dan fungsi instansi yang
dimaksud.
7. Keberadaan keberadaan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan
KP2T Kabupaten Pamekasan adalah sangat mempermudah dan/atau memperpendek waktu proses
penerbitan izin, karena menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan,
dan kepastian secara optimal, serta mendapat dukungan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
terkait.
8. Strategi dan kebijakan pelayanan yang diterapkan pada UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota
Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan adalah masih diorientasikan pada
upaya meningkatkan kualitas pelayanan prima, sebagaimana yang dimaksud dalam PERDA Provnsi
Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 dan Peraturan Pelaksanaannya.
Sejalan dengan kesimpulan di depan, Tim Peneliti merekomendasikan bahwa UPT-P2T Provinsi Jawa
Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan perlu melakukan tindakan
penguatan kelembagaan, yakni sebagai berikut:
1. Provinsi Jawa Timur perlu meninjau ulang Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2010 tertanggal
27 September 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Penanaman
Modal Provinsi Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu (lihat Lampiran 3-3 dan Lampiran 3-4). Dalam
arti, menurut PERMENDAGRI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata
Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu Di Daerah, lembaga penyelenggara pelayanan perizinan
terpadu semestinya berbentuk Badan dan atau Kantor, bukan UPT yang berada di bawah suatu
SKPD (Lihat Lampiran 3-1. Status kelembagaan ini memiliki implikasi pada status atau
eselonering kepemimpinan dan posisi koordinatif di lingkungan Pemerintah Daerah. Dalam
peninjauan ulang ini juga dipandang perlu untuk meningkatkan status hukum Peraturan
Gubernur yang memayungi keberadaan lembaga P2T tersebut menjadi Peraturan Daerah.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 251
2. Struktur Organisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun,
dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau disempurkan atau disesuaikan
dengan Lampiran PERMENDAG RI Nomor 20 Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).
3. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang,
KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau
disempurnakan atau disesuaikan dengan Permenpan Nomor : PER/21/M.PAN/11/2008 (lihat
Lampiran 3-2).
4. Adalah sangat bijak, bilamana Pemerintah: Provinsi Jawa Timur, Kota Malang, Kota Madiun,
dan Kebupaten Pamekasan tidak memaknai Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 dan Permenpan
No: PER/21/M.PAN/11/2008 sebagai himbauan, tetapi memaknainya sebagai peraturan
perundangan yang harus ditaati.
5. Adalah sangat bijak, bilamana: Pemerintah dan/atau UPT-P2T Provinsi Jawa Timur; Pemerintah
Daerah dan/atau BP2T Kota Malang; Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kota Madiun; dan
Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kebupaten Pamekasan juga menerapkan alternatif strategi
dan kebijakan.
Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan dan pengaturan dari rakyat bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Posisi negara adalah
sebagai pelayan rakyat (publik servant) atau pemberi layanan, sedangkan rakyat memiliki hak-hak atas
pelayanan negara pemerintah.
Pengejawantahan hal tersebut dapat dilihat dengan pemberian otonomi kepada daerah. Hakikat
penyelenggaraan otonomi daerah, bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Implementasi
hal tersebut, termanifestasikan dengan perubahan paradigma tata pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi
dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada DPRD sebagai lembaga perwakilan dan penerima mandat
kedaulatan rakyat untuk mewakili dan memperjuangkan segala kepentingan rakyat.
2.2. Pengertian Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial
yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan
harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar
dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. (
Friedman, M, 1998 : 286 ) Pengertian
2.3. Institutional and Attitudinal Reform
Abad 21 ditandai dengan globalisasi yang merambah hampir semua aspek kehidupan manusia.
Revolusi dalam bidang teknologi informasi semakin mempercepat kecenderungan ini. Dunia kita menjadi begitu
kecil. Manusia menjadi terkoneksi secara global, melintasi batas ruang dan waktu. Namun globalisasi itu tidak
berlangsung begitu saja. Dia membawa perubahan besar dalam pola kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam
252 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
manajemen pemerintahan. Globalisasi tak lepas dari kompetisi dunia global yang makin keras, yang
mensyaratkan peningkatan daya saing.
Di tengah kondisi demikian, birokrasi kita bukannya menutup mata dan tak bergeming dari realita itu.
Beragam inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan guna meningkatkan kinerja pelayanan mereka. Anehnya,
meskipun reformasi telah bergulir selama tiga belas tahun, citra tentang birokrasi ambtenaar masih belum juga
berubah. Alhasil, carut marut birokrasi yang terus berkembang mengantarkan kita pada satu kesimpulan ada
yang kurang pas dengan reformasi birokrasi.
Salah satu kelemahan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara (Caiden, 1982) adalah ketika
pembaharuan itu hanya bersifat institusional, misalnya pembaharuan undang-undang dan peraturan,
pembaharuan struktur kelembagaan, pembaharuan sarana dan prasarana, pembaharuan sistem dan prosedur
kerja; sementara pada saat yang sama tidak dilakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari para pelaksana.
Menurut Caiden, keadaan demikian akan mengarah pada ketidakefektifan tujuan pembaharuan; dan secara
ekstrim ia menyebutnya sebagai malapraktik pembaharuan. Kasus demikian, menurut hasil kajiannya terutama
terjadi pada organisasi-organisasi di sejumlah negara berkembang.
Lebih lanjut Caiden menegaskan bahwa tujuan utama pembaharuan adalah melakukan perubahan
secara terencana menuju keadaan yang lebih baik dari semula. Karenanya, pembaharuan disebut efektif jika
pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan yang lebih baik benar-benar terjadi. Sebaliknya, pembaharuan
disebut mengalami kegagalan apabila pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan tetap seperti sedia kala dan
atau bahkan keadaan menjadi lebih buruk dari sebelum diselenggarakannya pembaharuan.
Pada tataran ini, lahirnya peraturan perundangan yang baru, dalam perspektif pembaharuan relevan
disebut sebagai pembaharuan kelembagaan (institutional reform), yang perlu diikuti dengan pembaharuan
sikap/perilaku (attitudinal reform) jika pembaharuan dikehendaki dapat mencapai efektifitasnya. Salah satu
persoalan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah di berbagai belahan dunia dalam mengelola organisasi
birokrasinya seiring upaya menjalankan perannya sebagai penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara
pelayanan publik adalah persoalan krisis sumber daya. Persoalan tersebut, dapat dilihat (diantaranya) dari
munculnya sejumlah istilah berikut : kelangkaan sumber daya, menipisnya sumber daya, keterbatasan sumber
daya, dan sebagainya. Persoalan ini pada akhir tahun 1980-an sempat menjadi bahan diskusi hangat di kalangan
para akademisi maupun pembuat kebijakan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya memegang peran
vital bagi perjalanan suatu negara, bahkan bagi keberlanjutan kehidupan manusia di planet bumi ini.
Dalam kerangka ini pada tahun 1992 Osborne & Gaebler (melalui karya besarnya : Reinventing
Government), menawarkan konsepnya yang revolusioner, tentang mewirausahakan birokrasi, sebagai upaya
melakukan transformasi semangat wirausaha ke dalam organisasi publik. Tidak lain dan tidak bukan konsep
tersebut ditujukan untuk mencapai dua hal sekaligus : (1) meningkatkan kinerja birokrasi dalam menjalankan
peran pelayanan publik (publik service), (2) menciptakan efisiensi birokrasi, yang ditujukan (diantaranya) untuk
mengatasi krisis sumber daya yang sedang dihadapi pemerintah.
Gagasan Osborne & Gaebler tersebut menjadi tonggak sejarah terjadinya perubahan paradigma
pemerintahan sekaligus perubahan paradigma kebijakan publik yang dilahirkannya. Implikasinya, wajah baru
kebijakan publik pun bermunculan, adalah kebijakan publik yang berbasis kewirausahaan, adalah kebijakan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 253
publik yang tidak semata-mata melahirkan konsekuensi pemerintah untuk berperilaku ―membelanjakan‖, namun
juga ―menghasilkan‖.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara konvensional-ortodoks, kebijakan publik lebih terformat ke dalam
konvensi kegiatan yang menghabiskan sumber daya ketimbang menghasilkan atau memproduk sumber daya.
Konvensi inilah nampaknya yang menjadi pemicu fenomena kelangkaan atau menipisnya atau krisis sumber
daya yang terjadi pada organisasi pemerintah.
Kesepakatan terhadap ajakan Osborne & Gaebler kini menjadi fenomena baru kebijakan publik yang
dibuat oleh pemerintahan negara-negara di berbagai belahan dunia. Hakekatnya : pembuat kebijakan dituntut
untuk berparadigma ganda dalam membuat kebijakan publik. Artinya kebijakan yang dibuat sejauh mungkin
diusahakan untuk memiliki dua perspektif secara bersamaan, yaitu perspektif sosial (social heavy) dan ekonomi
(economic heavy).
Perspektif sosial diarahkan agar pemerintah tetap dapat menjalankan peran sosialnya, misalnya sebagai
penyedia pelayanan publik, pencipta kesejahteraan dan pemerataan, agen perubahan, dan fungsi-fungsi sosial
lainnya. Pada saat yang sama peran pemerintah dalam perspektif ekonomi juga berjalan, ditunjukkan oleh
kemampuan pemerintah untuk menciptakan unit-unit kegiatan ekonomi produktif yang menghasilkan, sebagai
―nafas‖ yang dapat menghidupi berjalannya peran sosial yang harus dimainkan. Berjalannya peran pemerintah
dalam perspektif ganda ini bersifat solutif terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan keterbatasan
sumber daya. Inilah tantangan baru bagi para pembuat kebijakan publik di abad ini.
Mengadopsi dua gagasan, yakni gagasan Osborne & Gaebler tentang perlunya mewirausahakan
birokrasi, dan gagasan Caiden akan perlunya dua pilar simultan dalam pembaharuan administrasi publik; dapat
disimpulkan bahwa jika pelayanan publik (sesuai standar pelayanan prima) oleh birokrasi pemerintah memang
dikehendaki tercipta, maka tidak ada pilihan lain kecuali : ada pembaharuan sikap/perilaku para pelaksana
pelayanan, dengan menggunakan sejumlah konsep pelayanan (misalnya) konsep pelayanan yang selama ini
telah diimplementasikan oleh kalangan pelaksana pelayanan pada organisasi privat.
Pengalaman Caiden menunjukkan bahwa salah satu penyebab kegagalan gerakan pembaharuan
terhadap kinerja organisasi pemerintah di berbagai negara terutama disebabkan oleh gagalnya pemerintah di
negara tersebut untuk melakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari segenap sumber daya manusia (SDM)
yang terlibat dalam institusi pemerintah tersebut.
Salah satu penyebab lemahnya kinerja pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita tenggelam dalam
paradigma pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru cenderung mengabaikan aspirasi publik sebagai
obyek pelayanan itu sendiri. Padahal, belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang
paripurna berakibat pada minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Selain itu, kemiskinan yang
terus melembaga juga tak dapat dilepaskan dari terhambatnya akses pelayanan yang seharusnya ikut dinikmati
dan dimanfaatkan oleh warga yang berdiam di kantong-kantong kemiskinan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama, masalah kelembagaan dan
manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta
kriterianya. Akibatnya, terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi pemerintah. Inefisiensi,
254 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang tinggi, serta ketidakpastian
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi fenomena umum.
Kedua, masalah profesionalisme dalam sikap, manajerial, teknis dan administratif. Masalah-masalah ini
berdampak pada perilaku aparat yang lambat, terutama dalam mengikuti perkembangan teknologi, e-
governement, paperless, efisiensi kerja, serta pola kerja yang kompetitif. Pemerintah pun cenderung sulit untuk
menggerakkan partisipasi masyarakat serta menciptakan iklim yang kondusif guna merangsang peran swasta
dalam penyediaan pelayanan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh pemerintah.
Ketiga, masalah keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan sumber pendapatan dalam
membiayai pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh. Pemerintah pun dipaksa untuk mencari solusi
alternatif. Salah satunya melalui peningkatan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengadaan
pelayanan. Untuk itu dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif dan bukannya reaktif, yang masih merupakan
kecenderungan perilaku birokrasi saat ini.
Keempat, masalah radius pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan, terutama di kota/daerah yang sulit
dibatasi secara administrasi pemerintahan, pada akhirnya menyulitkan administrasi pelayanan dan koordinasi
pembangunan. Untuk itu diperlukan kerjasama antar daerah dalam rangka pengelolaan berbagai pelayanan yang
ada sehingga manfaatnya bisa dirasakan bersama.
Dalam praktiknya, empat masalah di atas dapat diantisipasi melalui reaktualisasi pemerintahan,
utamanya di tingkat daerah, dengan strategi penguatan pemerintah daerah yang tepat. Strategi penguatan
tersebut bermanfaat dalam mempercepat proses sustainabilitas pemerintah daerah itu sendiri, yang mengurangi
ketergantungan daerah pada bantuan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Strategi ini dijalankan melalui
reaktualisasi kewenangan daerah, restrukturisasi kelembagaan pemerintah, reposisi dan relokasi personil yang
cermat, penataan manajemen keuangan, pemberdayaan DPRD sebagai fungsi kontrol eksekutif, dan perbaikan
manajemen pelayanan. Dalam kerangka demikian, perampingan kelembagaan pemerintah menjadi keniscayaan,
meskipun reformasi kelembagaan itu bukan pekerjaan mudah. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu
melakukan evaluasi kelembagaan berdasarkan tugas-tugas yang diemban oleh dinas-dinas terkait. Evaluasi ini
diarahkan untuk melihat permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugas kelembagaan tersebut.
Beberapa permasalahan itu di antaranya: pertama, adanya beberapa penugasan yang tumpang tindih,
baik antar organisasi, maupun antara satuan tugas organisasi. Kedua, terdapat ketimpangan antara volume kerja
dengan besaran struktur organisasi; ketiga, terdapat beberapa satuan organisasi yang kurang didukung oleh
sumber daya (aparat, anggaran dan sarana) yang sesuai kebutuhan; dan keempat, koordinasi pelaksanaan tugas
kurang optimal karena belum adanya mekanisme kerja yang baku.
Berangkat dari empat permasalahan tersebut, penataan kelembagaan yang dikembangkan oleh
pemerintah daerah harus diletakkan dalam kerangka peran pemerintah, yang terdiri atas fungsi pengaturan,
pelayanan publik, dan pemberdayaan, guna meningkatkan profesionalitas lembaga dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model subsidiarity, di mana masyarkat
dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, penataan kelembagaan dilaksanakan
juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan
kemampuan potensi daerah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap penataan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 255
kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur semata, melainkan juga sebagai pelembagaan
jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam persoalan demokrasi. Model pemerintahan yang birokratis
dan kaku disingkirkan. Di samping mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif
terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Tindak lanjut dari keseluruhan hal di atas adalah penataan lembaga itu sendiri. Perhatian utama
diletakkan pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut ketimpangan antara volume kerja dengan
besaran struktur organisasi. Karenanya, perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau
sedikit adalah sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi seksi. Namun, tidak menutup
kemungkinan adanya pengembangan organisasi, misalnya dari kantor menjadi badan. Selain itu, satuan
organisasi yang lebih efisien berdiri sendiri dapat dikembangkan menjadi organisasi perangkat daerah, seperti
dari sub dinas menjadi kantor. Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika memang
terdapat tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah.
Pada akhirnya, keseluruhan penataan kelembagaan tersebut ditujukan untuk membangun organisasi
pemerintah daerah yang fleksibel, tahan banting dan adjustable atas setiap perubahan situasi yang berkembang
di masyarakat. Organisasi itu nantinya diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai tantangan
dan permasalahan yang muncul kemudian, sekaligus mampu melakukan lompatan ke depan untuk menjawab
berbagai dinamika tersebut dan mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, aspiratif dan efisien.
Di sisi lain, reformasi kelembagaan tersebut berjalan beriringan dengan keharusan untuk membangun
ukuran kinerja birokrasi itu sendiri. Komitmen serta dukungan yang tinggi dari para pengambil keputusan serta
pembuat kebijakan di tubuh birokrasi menjadi prasyarat mutlak. Dedikasi ini dilaksanakan secara bertahap, yang
dimulai dari institusi yang sudah cukup stabil, dalam arti tidak sedang dalam proses perubahan ataupun
pergantian personil. Transparansi pun diperlukan sebagai jembatan informasi kepada seluruh stakeholder
birokrasi, baik internal, apalagi khalayak eksternal.
Partisipasi masyarakat tak boleh dikesampingkan. Setelah penguatan internal dilakukan, birokrat perlu
berdialog dengan masyarakat guna menyusun indikator masing masing jenis layanan. Indikator ini tidak lepas
dari faktor pembiayaan yang dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah ini ditindaklanjuti dengan sosialisasi
indikator secara mendetail hingga dipahami oleh publik. Tentu aja tolok ukur penilaian kinerja itu harus yang
tepat dan mudah dioperasionalkan. Semakin sederhana alat ukurnya, semakin mudah pula implementasi dan
evaluasinya. Pemerintah pun secara transparan dan berkala harus menginformasikan hasil implementasinya
kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menyampaikan komplainnya dengan terarah dan tepat
sasaran.
2.4.Reformasi Birokrasi dan Good Governance
Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang
selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang
bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim
terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa.
Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah, serta era anti institusi.
256 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Implikasi nyata dari fenomena semakin rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah ini, berujung pada
posisi administrasi publik yang sulit serta tidak menguntungkan. (Edelman dalam Wibowo 2004:5).
Good governance sudah lama menjadi mimpi bagi banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman
mereka mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian besar dari mereka setidaknya
membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih
baik. Banyak diantara mereka yang membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance maka
kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semkin rendah, dan pemerintahan
semakin peduli dengan kepentingan warga.
Mengingat pengembangan good governance memiliki kompleksitas yang tinggi dan kendala yang
besar maka diperlukan sebuah langkah yang strategis untuk memulai praktik good governance. Agus Dwiyanto
menyarankan praktik governance sebaiknya dimulai dari sektor pelayanan publik (Dwiyanto 2005:3). Pelayanan
publik dipilih sebagai penggerak utama karna upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik
governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan lebih nyata dan mudah. Nilai-nilai seperti
efesiensi, partisipasi dan akuntabilitas dapat diterjemahkan secara relatif lebih mudah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good
governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki
kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi
bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia.
Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah ,
warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan
interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance
diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik.
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya
prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi
sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi
pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan
melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping
permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan
martabatnya sebagai warga negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat
birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi
karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah
kepada budaya kekuasaan. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima
sebab pelayanan publik merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh pejabat
publik.
Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip Good Governance,
yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 257
yang berkualitas merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara diharapkan
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien. Diharapkan dengan penerapan Good
Governance dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu
penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan
menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat
dari segi fungsional, aspek governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan
efesien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau justru sebaliknya dimana pemerintahan tidak
berfungsi secara efektif dan efesien. Penekanan baru dari konsep governance adalah pemaknaannya yang tidak
lagi menunjuk penggunaan kekuasan secara eksklusif pada pemerintahan, tetapi juga merujuk pada penggunaan
kekuasaan pada institusi atau organisasi yang berada diluar pemerintahan. Selain itu defenisi governance juga
memberikan penekanan pada fungsi yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga aktor-aktor lain
yaitu civil society, dan pasar atau sektor privat. Governance merupakan sebuah bentuk mekanisme, proses,
hubungan dan jaringan institusi yang kompleks, dimana warga negara dan kelompok-kelompok yang ada
mengartikulasikan kepentingannya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa hampir semua organisasi, asosiasi, atau
lembaga dalam masyarakat mempunyai pengaruh dan juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi governance.
Governance menurut defenisi dari World Bank adalah ―the way state power is used in managing
economic and social resources for devolepment and society”. Suatu cara digunakan didalam mengatur sumber
daya sosial dan ekonomi untuk pembangunan dan masyarakat". Sementara UNDP (United Nation Development
Program) mendefenisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to
manage a nation‟s affair at all levels”. Latihan dari politis, ekonomi, dan otoritas administratif untuk mengatur
suatu urusan bangsa pada semua tingkat". Berdasarkan defenisi terakhir, governance mempunyai tiga kaki,
yaitu:
1. Economic governance (Penguasaan ekonomi) meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi
terhadap equity (Kekayaan), proverty (properti), dan quality of live ( Kualitas hidup).
2. Political governance (Penguasaan politik) adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan.
3. Administrative governance (Penguasaan administrasi) adalah sistem implementasi proses kebijakan
(Sedarmayanti 2003:4-5).
Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah),
private sector (sektor swasta), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya
masing-masing. State berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector
menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi,
politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial,
dan politik.
Selain itu, OECD (Organization for Economic Coorporated Development) yaitu organisasi untuk
kerjasama ekonomi pembangunan dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang
efesien, penghindaran korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
258 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
penciptaan legal and political frameworks (undang-undang dan kerangka politik) bagi tumbuhnya aktivitas
kewiraswastaan (Sedarmayanti 2003:7).
Good governance menurut UNDP didefenisikan sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di
antara Negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan defenisi tersebut, UNDP kemudian
mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Adapun
prinsip-prinsip tersebut adalah partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun
konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggung jawab dan visi yang strategik (Suhady 2005).
Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:
1. Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan
memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing
2. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat
madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada
stakeholders.
3. Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan,
ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi.
Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
5. Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani
berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6. Berorientasi konsensus (Consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah
bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi
kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan
masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7. Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki
maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
8. Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan
untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-
baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9. Visi strategis (Strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka
panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
2.5.Pelayanan Publik, Kepentingan Publik, Kualitas Pelayanan Publik
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar
seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Sampara dalam
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 259
Sinambela 2006). Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara atau
hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman;
menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan).
Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
publik.
Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa inggris publik yang berarti umum, masyarakat, negara.
Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum,
orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat
sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat. Oleh
karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah
manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Inu dalam Sinambela
2006).
Ijan Poltak Sinambela (2006) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok
yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada
penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi
berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.
Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau
pelayanan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62 tahun
2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :
1. Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-
belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan yang mencakup : Rincian biaya atau tarif pelayanan publik. Prosedur/tata cara umum, baik
teknis maupun administratif.
3. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan.
4. Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau
oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
5. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan
santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
260 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
6. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk
penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.
Kualitas pelayanan berhasil dibangun apabila yang diberikan kepada masyarakat atau pelanggan
mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan ini bukan dari aparatur tetapi dari
masyarakat/pelanggan. Dengan adanya tata cara pelayanan yang jelas dan terbuka, maka masyarakat dalam
pengurusan kepentingan dapat dengan mudah mengetahui prosedur ataupun tata cara pelayanan yang harus
dilalui. Sehingga pelayanan itu sendiri akan dapat memuaskan masyarakat.
Pelayanan yang dapat memberikan kepuasan pada para pelanggan sekurang-kurangnya mengandung
tiga unsur pokok yaitu :
1. Terdapatnya pelayanan yang merata dan sama, yaitu dalam pelaksanaannya tidak ada diskriminasi yang
diberikan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat. Pelayanan tidak menganaktirikan dan
menganakemaskan keluarga, pangkat, suku, agama dan tanpa memandang status ekonomi. Hal ini
membutuhkan kejujuran dan tenggang rasa para pemberi pelayanan tersebut.
2. Pelayanan yang diberikan harus tepat pada waktunya Pelayanan oleh aparat pemerintah dengan mengulur
waktu dengan berbagai alasan merupakan tindakan yang dapat mengecewakan masyarakat. Mereka yang
membutuhkan secepat mungkin diselesaikan akan mengeluh kalau tidak segera dilayani. Lagipula jika
mereka mengulur waktu tentunya merupakan beban untuk tahap selanjutnya karena berbarengan dengan
semakin banyaknya tugas yang harus diselesaikan.
3. Pelayanan harus merupakan pelayanan yang berkesinambungan
Dalam hal ini aparat pemerintah harus selalu siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
yang membutuhkan bantuan pelayanan. Meminjam model dari Valerie A. Zeithaml dkk (2000:45) maka ada
beberapa dimensi yang sangat penting diperhatikan dalam mengukur pelayanan yang bekualitas yaitu:
1. Tangibility : dapat berupa tampilan fisik, peralatan, dan penggunaan alat Bantu yang
dimiliki pemberi pelayanan. Hal ini sangat penting sekali mengingat masyarakat akan
merasa lebih nyaman berada dalam sarana fisik yang bersih, rapi dan nyaman serta mudah
dalam mengidentifikasikan antara pembeli pelayanan dengan orang lain.
2. Reability : kesesuaian antara kenyataan layanan yang diberikan dengan pelayanan yang
dijanjikan. Hal ini penting karena akan mempengaruhi perencanaan usaha dan kepastian dari
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan.
3. Responsiveness : kemampuan dalam pemberian pelayanan secara tepat dan cepat. Pemberi
pelayanan harus bertanggung jawab dalam memberikan penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat atau pelanggan.
4. Assurance : keahlian yang diperlukan dalam memberikan pelayanan sehingga pelanggan
atau masyarakat merasa terbebas dari resiko atau kerugian karena gagalnya pelayanan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 261
5. Empathy : adanya kedekatan dan pemahaman baik antara pemberi pelayanan dengan
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memuat akses komunikasi yang dapat
memudahkan komunikasi antara pemberi pelayanan dapat mengenal
masyarakat/pelanggannya dengan baik dan keinginan masyarakat dalam proses pelayanan
dapat dimengerti.
Komitmen dan semangat untuk melakukan penataan terhadap sistem governance di bidang
pemerintahan terus meningkat. Penyebabnya, selain karena masih banyaknya organisasi yang memiliki kinerja
yang kurang baik, juga disebabkan tidak efektifnya perangkat hukum dan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan organisasi berdampak pada tidak terciptanya kinerja pelayanan publik yang baik, hal tersebut tidak
hanya berdampak pada profit organisasi akan tetapi juga berdampak pada non-profit organisasi termasuk
institusi pemerintah. Kesalahan-kesalahan inilah yang menjadi titik perhatian akademisi, pemerintah dan praktisi
untuk melakukan penataan terhadap system governance.
Penyelenggaraan tata pemerintahan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pelayananan publik, selama ini dianggap kurang memenuhi harapan dalam penerapannya karena tidak
memenuhi prinsip, norma, efisiensi, partisipasi, transparasi dan akuntabilitas. Sementara pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, berkeadilan dan persamaan perlakuan
di muka hukum menjadi kebutuhan masyarakat yang amat mendesak.
Pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat merupakan salah
satu fungsi penting pemerintah, selain fungsi distribusi, regulasi maupun proteksi. Fungsi pelayanan publik
tersebut merupakan aktualisasi riil kontrak sosial yang diberikan masyarakat kepada pemerintah, dalam konteks
hubungan principal-agent. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, pemerintah selanjutnya melakukan proses
pengaturan alokasi sumber daya publik dengan cara menyeimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran untuk
memaksimalkan penyediaan kebutuhan pelayanan kolektif.
Pelaksana kontrak sosial yang digariskan sebelumnya oleh pemerintah seringkali menimbulkan banyak
masalah bagi publik, sehingga pemerintah kemudian mendapatkan berbagai stigma negatif dan salah satu di
antaranya adalah stigma jauh dari ―menjadi bagian dari solusi‖ (a part of solution), pemerintah justru menjadi
―bagian dari masalah‖ (a part of problem) bahkan menjadi masalah utama dalam proses penyelenggaraan
pelayanan publik.
Indikator hal tersebut dapat kita lihat pada fenomena malpraktik pelayanan publik yang sudah menjadi
bagian integral dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka bukan hal yang tidak mungkin jika stigma
negatif itu dilontarkan, hal ini dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik yang kurang memenuhi harapan
masyarakat, misalnya bertele-tele, cenderung birokratis, tidak transparan, banyak pungutan tambahan, perilaku
aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat dan pelayanan yang diskriminatif.
Indikasi lain yang terkait dengan pelayanan publik adalah teridentifikasinya ―budaya negatif‖ di dalam
lingkungan organisasi pemerintah yang merugikan kepentingan publik seperti mendahulukan kepentingan
pribadi, golongan, kelompok, termasuk kepentingan atasannya. Adanya perilaku malas dalam mengambil
inisiatif di luar peraturan (lebih banyak sembunyi di balik aturan atau petunjuk atasan), sikap acuh terhadap
262 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
keluhan masyarakat, lamban dalam memberikan pelayanan serta sederetan persoalan-persoalan lainnya yang
merupakan gambaran perilaku lainnya yang tidak simpatik dan kurang mengenakkan.
Untuk mewujudkan Good Governance, maka penyelenggaraan pemerintahan harus mencakup prinsip –
prinsip, sebagaimana yang digunakan oleh berbagai lembaga international seperti UNDP, World Bank, dan
meliputi : (1) partisipasi, (2) Efisiensi dan efektivitas, (3) Keadilan, (4) Akuntabilitas, (5) Transparasi, (6)
responsivitas, (7) Kesamaan dan (8) kepastian hukum (Dwiyanto, 2003). Selain itu, konsep pelayanan prima
juga menjadi model yang harus diterapkan guna meningkatkan kualitas pelayanan
Strategi pelayanan prima yang dikemas dalam bentuk layanan terpadu, adalah pola pelayanan publik
yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi yang bersangkutan sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Penerapan layanan terpadu pada dasarnya ditujukan antar fungsi terkait, maka
dengan demikian pelayanan terpadu bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau
(Sedarmayanti, 2004).
Suatu sistem pelayanan publik dalam merespons dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara
tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan Kemampuan dijadikan
sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Birokrasi publik diIndonesia sering
kali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi-fungsi dan aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi itu
cenderung semakin meluas, bahkan mungkin menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk
birokrasi itu. Perluasan misi birokrasi ini sering kali tidak didorong oleh keinginan birokrasi itu agar dapat
membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya, tetapi didorong oleh keinginan
birorasi untuk memperluas aksesnya terhadap kekuasaandan anggaran.
Dalam situasi yang fragmentasi birokrasi amat tinggi, maka kecenderungan semacam ini tidak hanya
akan membengkakkan birokrasi publik, tetapi juga menghasilkan duplikasi dan konflik kegiatan dan kebijakan
antar kementrian dan berbagai non kementrian. Dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik, konflik
kebijakan antar departemen dan lembaga non departemen bukan hanya melahirkan inefisiaensi, tetapi juga
membingungkan masyarakat pengguna jasa birokrasi.
Ketidakpastian misi juga membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan peraturan
menjadi amat tinggi. Apalagi dalam birokrasi publik di Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan
peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong para pejabat birokrasi publik
menggunakan prosedur dan peraturan sebagai kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan. Para pejabat
birokrasi sering mengabaikan perubahan yang terjadidalam lingkungan dan alternatif cara pelayanan yang
mungkin bisa mempermudah para pengguna layanan untuk bisa mengakses pelayanan secara lebih mudah dan
murah. Ketaatan dan kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan menjadi indikator kinerja yang dominan
sehingga keberanian untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitas dalam merespon perubahan
yang terjadi dalam masyarakat menjadi amat rendah.
Rutinitas dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan benar dalam penyelengaraan pelayanan publik.
Birorasi yang seperti ini tentu amat sulit menghadapi dinamika yang amat tinggi, yang muncul sebagai akibat
dari krisis ekonomi dan politik yang sekarang ini terjadi di Indonesia. Krisis ini mengajarkan kepada kita betapa
rapuhnya sistem birokrasi publik diIndonesia dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam
lingkungannya. Tentunya kegagalan birokrasi dalam merespons krisis ekonomi dan politik secara baik juga
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 263
amat ditentukan oleh bagaimana sistem kekuasaan, akuntabilitas, intensif dan budaya yang berkembang dalam
birokrasi selama ini.
Uraian diatas menjelaskan bahwa kemampuan pemerintah dan birokrasinya dalam menyelenggarakan
pelayanan publik amat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk
memahami kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik, tentu tidak cukup hanya dengan
menganalisisnya dari satu aspek yang sempit, tetapi harus bersifat menyeluruh dengan memperhatikan semua
dimensi persoalan yang dihadapi oleh birorasi serta keterkaitan sati dengan yang lainnya. Dengan cara pandang
seperti ini, maka informasi tepat dan lengkap mengenai kinerja birokrasi dapat diperoleh dan kebijakan
reformasi birokrasi yang holistik dan efektif bisa dirumuskan dengan mudah. Dengan melaksanakan kebijakan
seperti ini, maka diharapkan perbaikan kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik akan bisa
segera dinikmati oleh masyarakat luas.
METODE PENELITIAN
3.1.Jenis/Pendekatan Penelitian
Jenis/pendekatan penelitian yang digunakan dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah kombinasi
antara penjajagan (exploratory) dan deskriptif (descriptive). Penelitian eksploratori (exploratory–dalam istilah
―lama‖ disebut penelitian eksploratif), merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian (kadang disebut pula
dengan desain penelitian. Penyebutan penelitian eksploratori sebagai salah satu pendekatan penelitian antara
lain ditemukan dalam blog KnowThis.com (blog tentang pemasaran) yang menjelaskan penelitian eksploratori
(dalam pemasaran, tentunya) sebagai berikut.
Pendekatan eksploratori berupaya menemukan informasi umum mengenai sesuatu
topik/masalah yang belum dipahami sepenuhnya oleh seseorang petugas pemasaran (bisa
kita ganti sebutannya dengan yang lebih umum : peneliti). Sebagai contoh, seorang
petugas pemasaran (peneliti) telah mendengar berita tentang adanya teknologi internet
baru yang bisa membantu pihak-pihak yang berkompetisi di dunia pemasaran, tetapi si
petugas pemasaran tersebut belum akrab (kenal, paham) benar dengan peralatan
teknologi tersebut dan berkeinginan untuk melakukan penelitian guna mengenal lebih
jauh mengenainya (Tatang, 2009).
Penelitian ini, oleh karena obyeknya adalah implementasi kebjakan, maka secara substantif juga bisa
disebut sebagai penelitian kebijakan. Dalam pandangan Rahayu (2010), penelitian kebijakan (policy research)
secara spesifik ditujukan untuk membantu pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun rencana
kebijakan, dengan jalan memberikan pendapat atau informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan
masalah yang kita hadapi sehari-hari. Dengan demikian, penelitian kebijakan merupakan rangkaian aktifitas
yang diawali dengan persiapan peneliti untuk mengadakan penelitian atau kajian, pelaksanaan penelitian, dan
diakhiri dengan penyusunan rekomendasi.
Penelitian kebijakan memiliki sifat yang sangat khas. Kekhasan penelitian ini terletak pada fokusnya.
Danim (2005) menjelaskan fokus penelitian kebijakan secara umum adalah: berorientasi kepada tindakan untuk
memecahkan masalah sosial yang unik, yang jika tidak dipecahkan akan memberi efek negatif yang sangat luas.
Tidak ada ukuran pasti mengenai luas atau sempitnya suatu masalah sosial. Setiap jenis penelitian tentu
264 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
memiliki karakteristik masing-masing. Demikian juga dengan penelitian kebijakan. Kekhususan karakteristik
penelitian kebijakan terutama pada proses kerjanya. Menurut Ann Majchrzak sebagaimana yang dikutip Danim
(2005), karakteristik penelitian kebijakan adalah: (1) Fokus penelitian bersifat multidimensional atau banyak
dimensi, (2) Orientasi penelitian bersifat empiris-induktif, (3) Menggabungkan dimensi masa depan dan masa
kini, (4) Merespon kebutuhan pemakai hasil studi, (5) Menonjolkan dimensi kerja sama secara eksplisit.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa nilai spesial karakteristik penelitian kebijakan adalah pada
penekanan-penekanan khusus dari masing-masing karakteristik tersebut serta kepaduannya dalam melihat
masalah secara multi dimensi dan dikedepankannya hasil penelitian yang dapat memberikan kontribusi bagi
upaya memperbaiki kebijakan public, baik dalam tataran formulasi, implementasi maupun evaluasi.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga
disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka
langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (Mc Millan & Schumacher, 2003). Penelitian
kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Sekalipun demikian, data yang
dikumpulkan dari penelitian kualitatif memungkinkan untuk dianalisis melalui suatu penghitungan. Penelitian
kualitatif (Qualitative research) bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu
berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial (a shared social eperience) yang
diinterpretasikan oleh individu-individu.
Sementara itu, menurut (Sugiono, 2009:15), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositifsime, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai
lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sample sumber dan
data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi
(gabungan) analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada
makna daripada generalisasi.
Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek yang alamiah maksudnya, objek yang
berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi
dinamika pada objek tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang
atau peneliti itu sendiri (humane instrument). Untuk dapat menjadi instrumen maka peneliti harus memiliki
bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi situasi sosial
yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna. Berikut ini karakteristiknya:
1. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data :
2. Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik : data yang diperoleh seperti hasil pengamatan,
hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di
lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka.
3. Tekanan penelitian kualitatif ada pada proses bukan pada hasil. Data dan informasi yang
diperlukan berkenaan dengan pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana untuk mengungkap
proses bukan hasil suatu kegiatan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 265
4. Penelitian kualitatif sifatnya induktif. Penelitian kualitatif tidak dimulai dari deduksi teori, tetapi
dimulai dari lapangan yakni fakta empiris. Peneliti terjun ke lapangan, mempelajari suatu proses
atau penemuan yang tenjadi secara alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan dan melaporkan
serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari proses tersebut.
5. Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap berkisar pada persepsi orang
mengenai suatu peristiwa. (Apipah, 2012)
3.2.Lokasi Penelitian
Secara teritori populasi penelitian ini adalah Provinsi Jawa Timur, dan secara substantif populasi
penelitian ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan obyek maupun subyek pelayanan publik,
khususnya tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, Namun
dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu, biaya dan kapasitas untuk melakukan penelitian ini, maka
secara teritori penelitian ini memilih 5 kabupaten sebagai sampel penelitian ini dengan pertimbangan lima
daerah tersebut dalam catatan Komisi Pelayanan Publik terdapat jumlah pengaduan dalam ranking tertinggi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ditentukan 5 daerah yang menjadi sampel penelitian ini, meliputi :
1. Kabupaten Sidoarjo
2. Kabupaten Banyuwangi
3. Kabupaten Lamongan
4. Kota Blitar
5. Kabupaten Kediri
3.3.Teknik Pengambilan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualiatas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi,
populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam lainnya. Populasi juga bukan sekedar
banyaknya objek/subjek yang diteliti, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek atau
objek tersebut.
Sampel adalah perwakilan dari kelompok yang telah diseleksi dari populasi target sehingga peneliti dapat
mengeneralisasikan hasil penelitian yang diperoleh ke dalam populasi target. Sampel adalah bagian dari jumlah
dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Jadi, sampel merupakan perwakilan/bagian dari jumlah kelompok
dengan karakteristik tertentu yang dimiliki oleh populasi.
Populasi dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial (objek yang ingin dipahami secara mendalam).
Sampel dalam penelitian ini berupa partisipan, atau narasumber atau informan. Sampel dalam penelitian kualitatif
didasarkan atas informasi yang maksimum (bukan statistik). Teknik pengambilan sampel yang dipilih dalah
purposive dan snowball. Kegiatan eksplorasi penelitian diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan telaah
dokumen. Dilakukan saat mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung (emergent sampling
design). Peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data yang lebih
lengkap. Apabila penentuan unit sampel (partisipan/informan) dianggap telah memadai (redundansi), data telah
jenuh maka tidak perlu lagi menambahkan sampel sebagai informasi yang baru.
266 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Teknik sampling yang dipilih adalah teknik sampling penelitian kualitatif purposive sampling. Prosedur
dimana peneliti mengidentifikasi informan kunci: orang-orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang topik
yang sedang diselidiki. Misalnya, Penelitian tentang fenomena penyampaian gugatan atau keluhan pelanggan.
3.4.Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk
pengumpulan data. Teknik dalam menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi
hanya dapat dilihat penggunaannya melalui : angket, wawancara, pengamatan, ujian (tes), dokumentasi, dan
lain-lain. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan teknik tergantung dari masalah yang dihadapi
atau yang diteliti.
Dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan
data kualitatif, yaitu; 1) wawancara, 2) observasi, 3) dokumentasi, dan 4) diskusi terfokus (Focus Group
Discussion). Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan
terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data mana
yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat data yang valid dan reliable, meliputi:
1. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, karena peneliti
telah mengetahui informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara,
peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan wawancara
terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya. Dalam
melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka
pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur dan material lain
yang dapat membantu pelaksanaan wawancara berjalan lancar.
2. Observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini.
Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan,
penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah
penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan
perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau
kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian (Guba dan Lincoln, 1981). Bungin (2007) mengemukakan
beberapa bentuk observasi, yaitu: 1) Observasi partisipasi, 2) observasi tidak terstruktur, dan 3) observasi
kelompok. Berikut penjelasannya:
a. Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti
terlibat dalam keseharian informan.
b. Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi,
sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di
lapangan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 267
c. Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah
isu yang diangkat menjadi objek penelitian.
3. Studi Dokumen : selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang
tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan
sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa
silam.
3.5.Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama
dilapangan, dan setelah selesai dilapangan. Dalam hal ini Nasution (1988) menyatakan ‖Analisis telah mulai
sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan berlangsung terus sampai
penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin,
teori grounded”. Namun dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses dilapangan
bersamaan dengan pengumpulan data.
1. Analisis Sebelum di Lapangan : penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti
memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data skunder, yang
akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat
sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama dilapangan.
2. Analisis Selama di Lapangan: analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara
peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai
setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaannya lagi sampai
tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles and Huberman (2984) mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display dan conclusion
drawing/ferification.
3. Data reduction (reduksi data) : data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu
dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan makin lama peneliti di lapangan, maka jumlah
data akan makinbanyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segers dilakuakan analissi data melalui
reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum , memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-
hal yang penting, dicari tema dan polanya dan memebuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memepermudah peneliti untuk
melakuakan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinyan bila diperlukan. dan pengembangan teori
yang segnifikan.
4. Data display (penyajian data): setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya adalh mendisplaykan data.
Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakuakan dalam bentuk table, grafik,
pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersususn dalam
pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini
268 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Miles and Huberman (1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data maka akan
memedahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang
telah dipahami tersebut. Miles and Huberman (1984). Selanjutkan disarangkan, dalam melakukan dispalay
data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network dan chart. Untuk mengecek
apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, maka perlu dijawab pertayaan berikut, apakah
anda tahu apa isi yang didisplaykan.
5. Conclusion Drawing/verification : kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya. Tetapi apabila data kesimpulan data yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh
kembali bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian kesimpulan dalam
penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi
mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada dilapangan.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya
belum pernah ada. Temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih
remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.
Sebagai penyempurna penelitian ini juga digunakan confirming finding analysis (analisis memastikan
temuan) yang akan dipakai untuk memastikan apakah temuan dalam penelitian ini memiliki kebenaran. Teknik
confirming finding analysis akan dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi dengan bantuan wawancara
terstruktur dengan informan kunci serta dengan observasi pada obyek-obyek yang spesifik dan relevan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Gambaran Umum Komisi Pelayanan Publik (KPP)
a.Kelembagaan KPP
Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga yang dibentuk pertama kalinya
pada tahun 2006. KPP hadir sebagai bentuk implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) Jatim No. 11 Tahun
2005 Tentang Pelayanan Publik.
Dalam peraturan daerah yang merupakan amanat bagi pelaksanaan pelayanan publik prima di Jawa
Timur tersebut, diamanatkan tentang berdirinya KPP selaku lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan
pelayanan publik. Lembaga ini memiki fungsi sebagai pengawas eksternal pelayanan publik dengan tugas utama
menangani pengaduan masyarakat.
Seiring dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan publik, dimana pemerintah pusat mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, Tentang Pelayanan Publik, Jawa Timur melalui DPRD melakukan
penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan oleh Komisi A DPRD Jawa Timur tersebut menghadirkan Perda
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 269
Jatim Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik. Perda ni sendiri sebenarnya merupakan revisi dari Perda
No. 11 Tahun 2005 sebagai akibat dari terbitnya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Ada perbedaan yang signifikan antara Perda No. 11/2005 dengan Perda No. 8 Tahun 2011 yang
berkaitan dengan KPP. Perbedaan itu diantaranya masa jabatan yang sebelumnya 5 Tahun menjadi 4 tahun.
Selain itu jumlah anggota yang sebelumnya berjumlah 5 orang kini menjadi 7 orang Sebagaimana Perda No. 11
Tahun 2005, Dalam Perda No. 8 Tahun 2012 inipun juga mengamanatkan tentang keberadaan Komisi
Pelayanan Publik (KPP). Dalam Perda ini secara rinci diatur bagian mengenai Komisi Pelayanan Publik. Hal ini
terdapat dalam pasal 44 hingga pasal 53 Perda tersebut.
Sebagaimana diamanatkan Perda No. 8 Tahun 2011, KPP dihadirkan dengan serangkaian tugas pokok,
fungsi dan tanggung jawab dalam hal pengawasan pelaksanaan pelayanan publik. Tugas tersebut terutama
berkaitan dengan penanganan pengaduan seputar pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi di wilayah Jawa
Timur. Tugas ini akan menjadi hal yang harus dilaksanakan oleh Tugas tersebut haruslah menjadi hal mendasar
yang harus dikerjakan oleh ketujuh anggota KPP yang diperoleh melalui proses penjaringan dan penyaringan
yang cukup ketat oleh panitia dan Komisi A DPRD Jawa Timur dan telah dilantik pada tanggal 9 April 2012.
(Sumber KPP Jatim)
b. Kedudukan KPP :
KPP berkedudukan di Ibukota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi
penyelenggara pelayanan publik di lingkungan Pemerintah Provinsi.
KPP merupakan lembaga pengawas eksternal yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bersifat
independen bebas dari pengaruh siapapun.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dapat menjalin kerjasama kemitraan dengan
Ombusdman maupun dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan instansi lainnya.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dibantu oleh staf Sekretariat.
Staf Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pegawai negeri sipil yang kompeten berdasarkan
penugasan dari Pemerintah Provinsi.
c.Struktur KPP
Sebagaimana telah dipaparkan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur terdiri dari 7
orang anggota (Perda No. 8/2011 Pasal Ayat). Ketujuh anggota ini sesuai dengan pasal XX ayat XX secara
struktural terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu orang wakil ketua merangkap anggota dan lima
orang anggota. Adapun susunan organisasi KPP sebagai berikut :
Ketua merangkap anggota : Deni wicaksono, S.Sos
Wakil Ketua merangkap anggota : Dr.wahidahwati, SE,M.Si, AK
Anggota :
1. Suprapto, SH, MH,M.Psi
270 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
2. Nuning Rodiyah,S.Pd.I, M.Pd.I
3. Immanuel Yosua T, S.Th, MACE
4. Hardly Fenelon S,SE
5. Assistriadi W, ST.MM
d.Rekruitmen KPP (Normatif dan Empirik)
Persyaratan Keanggotaan KPP
Syarat-syarat untuk menjadi anggota KPP adalah sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Jawa Timur;
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun dan maksimal 60 (enam puluh) tahun serta sehat jasmani dan
rohani;
d. Berpengalaman dibidang pelayanan publik, komunikasi dan informatika, kebijakan publik, politik, hukum
dan advokasi masyarakat;
e. Independen dan bukan anggota atau pengurus partai politik maupun organisasi yang berafiliasi pada partai
politik;
f. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
g. Tidak sedang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Jumlah dan Masa Keanggotaan
1. KPP beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua merangkap
anggota serta 5 (lima) orang anggota;
2. Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat
dari dan oleh anggota;
3. Ketua, Wakil Ketua dan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sanggup bekerjasama;
Masa keanggotaan KPP selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa keanggotaan 1 (satu)
periode berikutnya.
Penetapan dan Pelantikan Anggota KPP
1. Anggota KPP ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas usulan dari DPRD setelah melalui proses
penjaringan, penyaringan serta uji kemampuan dan kelayakan bersama dengan Tim Independen;
2. Anggota KPP yang diusulkan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan
DPRD;
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 271
3. Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 12 (dua belas)
hari kerja sejak diterimanya usulan dari DPRD;
4. Pelantikan anggota KPP dilakukan oleh Gubernur setelah diterbitkannya Keputusan Gubernur.
Pemberhentian, Pemberhentian Sementara dan Penggantian Antar Waktu
1. Masa Keanggotaan KPP berakhir, karena: berhenti dari jabatannya, dan/atau diberhentikan dari jabatannya;
2. Anggota KPP yang berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, karena: masa
jabatannya berakhir; mengundurkan diri secara sukarela; dan/atau meninggal dunia;
Anggota KPP yang diberhentikan dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena:
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; tidak lagi
memenuhi persyaratan.
3. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; dan berhalangan secara kumulatif lebih dari 46 (empat puluh
enam) hari dalam 1 (satu) tahun;
4. Anggota KPP yang sedang menjalani proses hukum dan telah ditetapkan sebagai terdakwa dengan
ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberhentikan sementara sampai ada putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. Pemberhentian dan Pemberhentian sementara Anggota KPP dari jabatannya berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur;
6. Pada saat pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), anggota KPP hanya menerima
50% (lima puluh perseratus) dari honorarium yang seharusnya diterima.
e.Tugas dan Kewajiban KPP
Tugas KPP
Sebagai pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik KPP bertugas :
a. Menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik;
b. Membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non
litigasi;
c. Melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik;
d. Menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung oleh masyarakat.
Kewajiban KPP
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada tugas KPP berkewajiban:
a. Meminta informasi dari penyelenggara dan/atau pelaksana pelayanan publik;
b. Melakukan konfirmasi kepada pengadu dan/atau instansi terkait bahwa persoalan yang disampaikan
belum diadukan atau tidak sedang diproses Ombudsman maupun oleh Pengadilan;
c. Menghadirkan pihak-pihak untuk kepentingan konsultasi maupun mediasi;
272 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
d. Meminta informasi pada organisasi penyelenggara dan/atau pelaksana tentang pengajuan keberatan
dari masyarakat dan tindak lanjut yang telah dilakukan;
e. Memberi saran atau masukan baik diminta ataupun tidak kepada Gubernur melalui DPRD dalam
rangka memperbaiki kinerja pelayanan.
4.2 Hasil dan Pembahasan
A.Peran dan Pelaksanaan Tugas KPP
Merujuk pasal 45 Peraturan Daerah Nomor Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Pelayanan Publik, bahwa Komisi Pelayanan Publik (KPP) bertugas sebagai 1.Pengawas eksternal terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik.
Tugas tersebut meliputi: (a) menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan
publik; (b) membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non
litigasi; (c) melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik; dan
(d) menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung oleh masyarakat.
Secara kelembagaan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga independen
yang berfungsi untuk menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa pelayanan publik. Salah satu daerah
yang membentuk suatu lembaga/komisi yang memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dari
penyelenggara pelayanan publik yang kurang baik dan propesional dalam memberikan pelayanan publik
terhadap masyarakat adalah daerah Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur membentuk suatu komisi yang
memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal pelayanan publik pada tahun 2005
melalui Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang
dinamakan Komisi Pelayanan Publik (KPP), yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur
Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 11 tahun 2005 tersebut, serta
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2007 tentang Sekretariat Komisi Pelayanan Publik (KPP)
Provinsi Jawa Timur; dan pada akhirya lahir Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 20011
tentang Pelayanan Publik, sebagai bentuk adaptasi Perda 11/2005 terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, disamping karena adaptasi terhadap perubahan kebutuhan publik akan kualitas
pelayanan.
KPP berkedudukan di Ibu kota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi
penyelenggara pelayanan publik di lingkungan pemerintah provinsi (pasal 44 Perda Nomor 8 Tahun 2011).
Namun melalui Kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten/Kota maka
KPP direkomendasikan untuk juga menjadi lembaga pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan
publik di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
Sejumlah sub bab berikut ini menyajikan data tentang pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga
pengawasan eksternal atas penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur (tidak hanya di lingkungan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 273
a.Penanganan Pengaduan
Deputi Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menegaskan, tidak adanya
pengaduan jangan dipahami bahwa pelayanan publik baik-baik saja. Justru semakin banyaknya pengaduan,
semakin bagus pelayanan publik dan partisipasi masyarakat ―Pengaduan itu tanda cinta dari masyarakat yang
peduli terhadap pelayanan publik‖. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pelayanan publik sangat
penting bagi pelaksanaan program pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Bentuk
partisipasi tersebut berupa pengawasan standar pelayanan, apabila pelayanan tidak sesuai dengan standar.
Masyarakat dihimbau agar dapat melapor kalau pelayanan tidak sesuai prosedur, kemudian didiskusikan dengan
penyelenggara layanan untuk perbaikan dan menemukan solusinya. Sistem pengaduan memang belum berjalan
dengan baik. Selain menerapkan sesuai standar, masyarakat juga harus diberi pemahaman bagaimana cara
melapor sesuai Pasal 19 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Masyarakat harus
berpartisispasi aktif dengan mematuhi dan memenuhi ketentuan dalam standar, dan menjaga sarana dan
prasarana layanan publik.
Berdasar data ini dapat diketahui bahwa Kota Surabaya menduduki jumlah tertinggi (38,89%).
Pada tahun 2013 jumlah pengaduan meningkat secara tajam, dari 207 di tahun 2012 menjadi 802 di tahun
di tahun 2013 (meningkat 288,89%). Ini menjadi salah satu indikasi akan meningkatnya popularitas KPP
sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
2.Pengembangan Kelembagaan Internal
Secara internal terdapat sejumlah langkah strategis yang telah dilakukan oleh KPP dalam rangka
melakukan optimalisasi pelaksanaan tugasnya, diantaranya adalah dengan melakukan pengembangan
kelembagaan secara internal. Strategi itu diantaranya adalah :
Pembagian Wilayah Koordinasi
Dilandasi keberadaan Jawa Timur yang cukup luas, Rapat Pleno KPP memutuskan untuk membagi
wilayah kerja menjadi 7 wilayah koordinasi untuk 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Ketujuh wilayah yang
telah terbagi ini dikoordinir oleh ketujuh anggota/Komisioner KPP. Adapun wilayah tersebut adalah:
1) Korwil I meliputi wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sampang,
Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan dengan koordinator wilayah Deni Wicaksono,
S.Sos
2) Korwil II meliputi wilayah Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan,
Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bangkalan dengan koordinator wilayah Suprapto, SH,
MH, M.Si
3) Korwil III meliputi wilayah Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Malang, Kabupaten
Malang, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo dengan koordinator wilayah Dr.
Wahidahwati, SE, M.Si.Ak
4) Korwil IV meliputi wilayah Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang,
Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kota Madiun dengan koordinator wilayah
274 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Assistriadi Widjiseno, ST
5) Korwil V meliputi wilayah Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Blitar, Kota Blitar,
Kabupaten Tulungagung, Kota Batu dengan koordinator wilayah Immanuel Yosua, S.Th,
MACE.
6) Korwil VI meliputi wilayah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten
Situbondo, Kabupaten Jember, Kota Jember, Kabupaten Banyuwangi dengan koordinator
wilayah Hardly Stefano Fenelon Palela, SE
7) Korwil VII meliputi Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan,
Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo dengan koordinator wilayah Nuning Rodiyah,
S.Pd.I, M.Pd.I
Dalam perspektif institutional arrangement, pembagian korwil sebagaimana tersebut di atas menjadi
bagian penting dari upaya untuk melakukan peningkatan efektifitas pelaksanaan kerja komisioner. Sebab
sekurang-kurangnya pembagian korwil itu berimplikasi pada :
1) Pelaksanaan tugas yang makin terfokus
2) Peningkatan tanggungjawab pada korwil masing-masing
3) Peningkatan hubungan psiologisantara coordinator wilayah dengan lembaga penyelenggara
pelayanan publik dan masyarakat yang ada di wilayah itu lengkap dengan segala permasalahan
pelayanan publik yang ada; serta sejumlah manfaat lain.
1. Pembagian Konsentrasi Divisi
Dalam rangka optimalisasi kinerja, ketujuh anggota KPP membagi diri menjadi 5 (lima) divisi dengan
rincian sebagai berikut:
1. Divisi Penanganan Pengaduan yang berkonsentrasi pada proses manajerial pengaduan yang masuk ke
KPP. Divisi ini dibawah koordinasi Nuning Rodiyah, S.Pd.I, M.Pd
2. Divisi Hubungan Antar Lembaga yang berkonsentrasi pada jejaring dan interaksi KPP dengan masyarakat
dan lembaga non pemerintah yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan pelayanan publik di Jawa Timur.
Divisi ini di bawah koordinasi Deni Wicaksono, S.Sos
3. Divisi Sistem Informasi yang berkonsentrasi pada pengembangan sistem informasi pelayanan publik
terutama yang dikelola KPP. Divisi ini di bawah koordinasi Assistriadi Widjiseno, ST., M.MT
4. Divisi Sosialisasi dan Publikasi yang berkonsentrasi pada sosialisasi dan publikasi KPP dalam rangka
optimalisasi peran KPP. Divisi ini dibawah Koordinasi Immanuel Yosua, S.Th, MACE
5. Divisi Penelitian dan Pengembangan yang berkonsentrasi pada penelitian dan pengembangan kelembagaan
serta inovasi berkaitan dengan optimalisasi pelayanan publik. Divisi ini dibawah koordinasi Dr.
Wahidahwati, SE, M.Si.Ak
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 275
Pembagian divisi tersebut menjadi bagian dari inovasi KPP dalam melakukan pengembangan
kelembagaan ke dalam, yang karenanya (idealnya) memang berimplikasi pada peningkatan volume kegiatan
dan/atau program, sesuai dengan divisi yang dibentuk. Dalam kerangka inilah dukungan sumberdaya amat
diperlukan; dan oleh karena KPP menjadi bagian dari Pemerintah provinsi Jawa Timur, maka penyediaan
sumberdaya pendukung (oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur) sebagai konsekuensi atas dilakukannya
pengembangan kelembagaan dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP menjadi amat diperlukan.
3.Pengembangan Kelembagaan Eksternal
Pos Pelayanan Pengaduan KPP di Kabupaten/Kota
Salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh KPP dalam melakukan optimalisasi pelaksanaan
tugasnya adalah dengan membangun kerjasama dengan sejumlah lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota di
wilayah Provinsi Jawa Timur. Lembaga yang bekerjasama tersebut berperan sebagai Pos Pengaduan Komisi
Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.
Konsep yang dikembangkan dalam program ini adalah mendekatkan secara fisik letak Pos Pengaduan
dengan masyarakat. Selain itu kerjasama yang dibangun dengan 34 lembaga (sebagaimana terdapat pada tabel di
bawah ini) dapat dimaknai sebagai langkah terobosan dalam rangka pengembangan kelembagaan/organisasi
yang
KPP melakukan pengembangan kelembagaan/organisasi dalam rangka dalam rangka optimalisasi
pelaksanaan tugasnya. Pengembangan Organisasi/PO (Organizational Development/OD) pada prinsipnya
merupakan suatu proses di mana pengetahuan, konsep-konsep, dan praktek-praktek yang berkaitan dengan
(perilaku) organisasi digunakan secara efektif untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Proses ini
juga termasuk bagaimana meningkatkan kualitas kinerja organisasi dan sekaligus meningkatkan produktivitas
(anggota) organisasi. Pengembangan organisasi pada dasarnya berbeda dengan berbagai upaya perubahan
organisasi yang dilakukan secara terencana, seperti upaya perubahan dengan melakukan pembelian peralatan
baru, atau merancang ulang sebuah desain, ataupun menyusun ulang suatu kerjasama. Ini berpeluang punya
pengaruh positif dalam rangka peningkatan kemampuan organisasi untuk dapat mengetahui dan memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan demikian, pengembangan organisasi pada kenyataannya berorientasi pada peningkatan atau
kemajuan (kinerja) sistem; di mana organisasi sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang terdapat di
dalamnya, dapat mempengaruhi atau memberi dampak (positif) dalam interaksinya dengan lingkungan yang
lebih luas lagi, yaitu lingkungan di luar organisasi.
Pengembangan organisasi memang merujuk kepada konsep pengembangan yang prosesnya terjadi
secara perlahan dan memerlukan waktu yang (sangat) panjang. Jadi dapat, dikatakan bersifat evolutif. Hal ini
terjadi karena kegiatan pengembangan organisasi itu sangat bervariasi dan menyangkut aspek-aspek organisasi.
Aspek lain, dapat juga mengenai hal-hal yang menyangkut perubahan structural, dapat juga tentang peningkatan
kualifikasi anggota suatu organisasi melalui berbagaimlangkah.
276 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Studi mengenai pengembangan organisasi juga sebenarnya merupakan upaya untuk mengatasi berbagai
isu yang timbul, atau berbagai masalah yang muncul, termasuk masalah-masalah yang muncul sebagai dampak
dari berbagai perubahan yang dilakukan.
Meskipun banyak sekali konsep-konsep mengenai pengembangan organisasi sekarang ini, yang
mungkin akan saling tumpang tindih, barangkali definisi yang dikemukakan oleh Cummings (1996) akan
membantu kita untuk dapat lebih memahami konsep pengembangan organisasi yang dilakukan oleh KPP.
Menurut Cummings (1989), pengembangan organisasi adalah suatu aplikasi konsep atau teori dengan
menggunakan suatu sistem di mana konsep-konsep ilmu pengetahuan digunakan untuk mengembangkan
organisasi secara terencana dan dengan menggunakan semua strategi yang dimiliki organisasi untuk
meningkatkan efektivitas kinerja organisasi. Selanjutnya, Cummings (1989) juga menyatakan bahwa konsep
(ilmu pengetahuan) di dalam pengembangan organisasi itu pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang
membedakan pengembangan organisasi dengan pendekatan lain dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja
organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:
1) Pengembangan organisasi dapat diaplikasikan pada semua sistem, seperti pada
perusahaan, atau pada satu bidang usaha saja dari perusahaan yang memiliki banyak
bidang usaha. Ia juga dapat diterpkan pada satu bagian dari sebuah kelompok usaha.
Hal ini berbeda dengan berbagai pendekatan yang umumnya memfokuskan pada satu
atau sebagian kecil aspek saja dari sebuah sistem, seperti sistem informasi
manajemen/MIS (Management Information SystemSIM) atau bagian konsultasi
pegawai misalnya. Terobosan KPP mengembangkan sayap dengan menambah jumlah
titik pengaduan sungguh merupakan langkah strategis.
2) Pengembangan organisasi juga didasarkan pada praktek-praktek dan ilmu pengetahuan
(mengenai perilaku) seperti kepemimpinan, dinamika kelompok, desain pekerjaan,
serta berkaitan juga dengan berbagai pendekatan yang sifatnya makro seperti strategi
organisasi, struktur organisasi, dan hubungan lingkungan dengan organisasi.
3) Meskipun pengembangan organisasi itu terfokus pada perubahan yang direncanakan,
namun sebenarnya pengembangan organisasi bukanlah sesuatu yang sifatnya kaku
(rigid), formal, yang biasanya dikaitkan dengan perencanaan bisnis. Di sini, strategi
pengembangan organisasi cenderung lebih adaptif dalam hal perencanaan dan dalam
hal aplikasinya. Oleh karenanya, pengembangan organisasi bukanlah sekedar sebuah
rancang bangun (blue-print) belaka yang menyangkut mengenai bagaimana agar
sesuatu itu dapat dikerjakan. Jadi pengembangan organisasi pada dasarnya melibatkan
perencanaan mengenai bagaimana mendiagnosa masalah-masalah yang dihadapi
organisasi dan bagaimana memberikan solusinya. Hanya saja, di dalam pengembangan
organisasi, perencanaan semacam itu sifatnya fleksibel dan mudah direvisi, diubah
sesuai kebutuhan, berkaitan dengan informasi baru yang berisi mengenai bagaimana
program-program perubahan dilaksanakan.
4) Pengembangan organisasi juga diawali dari implementasi program-program perubahan
untuk jangka panjang yang fokusnya menyangkut stabilisasi dan pelembagaan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 277
perubahan di dalam organisasi. Fokus berikutnya dapat saja mengenai faktor-faktor
yang dapat menjamin bahwa organisasi itu tetap dapat memberikan kebebasan kepada
pemangku kepentingan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja organisasi.
5) Pengembangan organisasi sangat memperhatikan mengenai strategi, struktur, dan
proses perubahan. Program perubahan bertujuan untuk memodifikasi strategi
organisasi. Contohnya, program perubahan yang difokuskan pada bagaimana
organisasi itu berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas; bagaimana hubungan
itu dapat dipelihara dan ditingkatkan. Hal ini juga termasuk perubahan baik pada
kelompok orang di dalam mengerjakan tugas-tugas (aspek struktur); juga dalam
metode-metode komunikasi dan cara-cara memecahkan masalah (aspek proses), yang
kesemuanya diterapkan untuk mendukung perubahan strategi secara keseluruhan.
Sejalan dengan tersebut, program-program pengembangan organisasi juga ditujukan
untuk membantu tim manajemen agar kinerjanya menjadi lebih efektif dalam
memfokuskan pada berbagai interaksi dan proses-proses pemecahan masalah di dalam
kelompok. Harapannya adalah bahwa dengan upaya tersebut kemampuan tim
manajemen untuk memecahkan masalah-masalah atau kendala-kendala yang muncul di
dalam organisasi dapat ditingkatkan secara optimal.
6) Pengembangan organisasi juga berorientasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi.
Atas hal ini ada dua asumsi dasar yang dikemukakan, pertama, organisasi yang efektif
akan mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Jadi
pengembangan organisasi sebenarnya menolong (para) anggota organisasi untuk
mendapatkan kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam memecahkan
masalah-masalah dimaksud. Kedua, organisasi yang efektif memiliki kualitas kerja dan
produktivitas yang sangat tinggi. Hal ini akan menarik minat sekaligus akan
memotivasi para pegawai untuk bekerja secara efektif. Tambahan lagi, organisasi akan
sangat responsif, akan lebih tanggap, atas berbagai kebutuhan dari kelompok-kelompok
eksternal (para pemegang saham, para pelanggan, para pemasok, dan jawatan
pemerintah) yang menyediakan berbagai kemudahan atau fasilitas serta sumber daya
bagi organisasi.
7) Tanpa melihat itu semua, suatu perubahan pada dasrnya memang memberikan
pengaruh terhadap orang-orang dan terhadap hubungan mereka di dalam organisasi.
Oleh karena itu, perubahan tersebut akan membawa konsekuensi sosial yang
signifikan. Dapat saja, misalnya, perubahan itu ditolak, atau diimplementasikan dengan
semaunya, atau bahkan disabotase oleh para anggota organisasi. Di balik itu semua,
sesungguhnya, berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku (organisasi)
telah mengembangkan konsep-konsep dan metode-metode yang sangat berguna untuk
membantu organisasi dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, seperti yang
telah disebutkan di atas. Pos Pengaduan Pelayanan yang Dibentuk Pemerintah
Kabupaten/Kota
278 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Hasil studi lapangan menunjukkan bahwa sejumlah Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk lembaga
atau Unit Pelayanan Pengaduan atas penyelenggaraan pelayanan publik:
1) Di Kabupaten Sidoarja lembaga ini bernama P3M : Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat. Lembaga
tersebut kurang diketahui oleh masyarakat, meskipun ada masyarakat yang menyampaikan pengaduan
kepada lembaga tersebut. Pengaduan masyarakat kabupaten Sidoarjo lebih menyampaikan pengaduan
kepada lembaga penyelenggara playanan (Studi di : Dinas Catatan Kependudukan dan Catatan Sipil,
Rumah Sakit umum, dan Dinas Pertanahan).
Profil Penyelenggara Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo. Pusat Pelayanan
Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo beralamat di Jl. Sultan Agung No. 1 Sidoarjo, Telepon
031-8957004 Fax 031-8957009.
Latar Belakang
Misi Kabupaten Sidoarjo : memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional. Tujuan
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo : meningkatkan kualitas layanan masyarakat. Adanya perintisan
manajemen pelayanan berstandar ISO 9001 - 2000 di Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kabupaten
Sidoarjo. Standar Internasional (ISO 9001 - 9004) tentang pelayanan yang baik menyatakan bahwa untuk
mengukur keberhasilan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat adalah senantiasa mendengar keluhan-
keluhan / pengaduan dari masyrakat (feedback from the customer).
Kebutuhan terhadap wadah komunikasi dua arah antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan
masyarakat guna menghindari terjadinya kebuntuan informasi dan komunikasi masyarakat membutuhkan
wadah yang tepat sebagai tempat mengadukan berbagai permasalahan yang timbul sekaligus memperoleh
jawaban yang dibutuhkan.
Tujuan
a. Terciptanya wadah Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) yang terpadu, yang dapat
menampung semua aspirasi dan keinginan seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Sidoarjo.
b. Merubah kultur birokrasi
Target
a. Tersedianya sarana komunikasi yang memadai antara Pemerintah dengan masyarakat, antar Dinas
dan Instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dengan dukungan Teknologi
Informasi.
b. Sosialisasi fungsi dan peranan Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) melalui Radio, media
cetak dan elektronik serta penyuluhan ke 18 Kecamatan se Kabupaten Sidoarjo dengan menghadirkan
Stakeholders (LSM) di tingkat kecamatan.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 279
c. Penyebaran brosur, pamflet tentang keberadaan P3M kepada sekolah setingkat SLTA, Universitas,
Pondok Pesantren, serta Instansi Pemerintah yang berkaitan langsung dengan pelayanan masyarakat.
d. Pelatihan komputerisasi dan pengenalan perangkat lunak P3M bagi para Bako Humas, dan para
operator di lingkungan Dinas, Badan, Kantor.
e. Sosialisasi teknis sistim prosedur P3M untuk Bako Humas, dan para operator di lingkungan Dinas,
Badan, Kantor.
f. Expose transparansi permasalahan disertai solusi kepada masyarakat melalui Radio, buku dan internet
yang sangat mudah diakses masyarakat luas.
Tolok Ukur Keberhasilan
a. Terpasangnya jalur komunikasi antar dinas/kantor dengan P3M yang berbasis Teknologi Informasi.
b. Terbangunnya sistem yang berbasis Teknologi Informasi dalam ruangan P3M
c. Terciptanya Pusat Pengaduan Masyarakat yang terpadu
d. Meningkatnya koordinasi antar dinas, kantor dan instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten
Sidoarjo
e. Meningkatnya manajemen pelayanan Pemerintah kepada masyarakat
f. Terciptanya tranparansi Pemerintahan
g. Meningkatnya kinerja aparat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
h. Meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia dilingkungan Dinas Informasi dan Komunikasi, Dinas/
Kantor khususnya dibidang Teknologi Informasi
i. Adanya standar sistem kualitas yang telah terdokumentasi secara baku.
Komponen P3M
Sumber Daya Manusia, terdiri dari :
a. Managemet, terdiri dari Manager dan Wakil Manager P3M, Kepala Sub Dinas di Lingkungan
Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Sidoarjo.
b. Operator. Petugas P3M yang berfungsi untuk menerima, mengolah dan mendistribusikan data
pengaduan masyarakat ke semua dinas serta memberikan respon keluhan yang diperoleh dari
instansi teknis kepada masyarakat.
c. Bakohumas. Merupakan agen di setiap instansi yang betugas memberikan respon, baik berupa
jawaban lisan/tertulis dan tindakan nyata atas permasalahan yang timbul.
d. Administrator. Berperan dalam pengendalian sistem P3M secara keseluruhan agar P3M dapat
tetap menjalankan fungsinya dengan baik. Disamping itu juga berperan sebagai system backup
guna menjaga keberlangsungan P3M. Fungsi ini dijalankan KPDE Kabupaten Sidoarjo selaku
pengendali Teknologi Informasi di Kabupaten Sidoarjo.
Perangkat Keras Komputer, terdiri dari
a. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di Sekretariat P3M
b. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di setiap Dinas/Kantor/Badan
c. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di KPDE dan Sekretariat Kabupaten Sidoarjo
d. Intranet yang menghubungkan Sekretariat P3M dan seluruh instans
280 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
e. Komunikasi intranet dilakukan dengan mengkombinasikan media kabel dan saluran telepon
Perangkat Lunak. Perangkat lunak P3M diwujudkan dalam bentuk Sistem Informasi Berbasis Computer /
Computer Based Information System (CBIS) yang bersifat semi tertutup. Sistem ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari Sistem Informasi Manajemen Daerah Kabupaten Sidoarjo yang dibangun secara bertahap.
Sistem ini dibagi menjadi beberapa aplikasi, antara lain :
a. Aplikasi induk yang berada di Sekretariat P3M. Aplikasi ini menjadi pusat Sistem Informasi P3M
karena disinilah data pengaduan masyarakat direkam, diolah, didistribusikan dan dipublikasikan.
b. Aplikasi Agen P3M. Aplikasi ini merupakan aplikasi berbasis web ( Web Based Application ) yang
digunakan oleh Bakohumas untuk memberikan respon atas keluhan masyarakat.
c. Pengaduan On Line. Aplikasi ini merupakan bagian dari situs www.sidoarjo.go.id, dan dapat diakses
secara luas oleh masyarakat. Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat menyampaikan keluhannya
sekaligus melihat respon Pemerintah Daerah atas keluhan yang disampaikan
Perangkat Pendukung. Perangkat pendukung yang dimaksudkan disini adalah
Perda atau SK Bupati Sidoarjo yang melegalisikan keberadaan lembaga P3M
a. Dukungan dana
b. Ketersediaan peralatan dan mesin kantor
c. Media Pengaduan
d. Masyarakat dapat meyampaikan keluhannya melalui beberapa media, antara lain
e. Formulir Pengaduan, disediakan di Kantor Sekretariat P3M
f. Surat
g. Email
h. Telepon / Fax
i. Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dll)
j. Media Elektronik ( Radio dan Televisi )
k. Form pengaduan pada aplikasi pengaduan masyarakat pada situs www.sidoarjo.go.id
Media Respon
Sedangkan untuk melihat jawaban atas keluhan yang disampaikan, dapat dilihat di : Papan pengumuman
yang tersedia di Kantor Sekretariat P3M dan Kantor instansi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dan tempat
lainnya
a. Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid)
b. Radio
c. Aplikasi pengaduan masyarakat di situs www.sidoarjokab.go.id
Perbedaan Jumlah Pengaduan dan Jumlah Pengaduan Didistribusikan (diterima) terjadi karena tidak
semua pengaduan mencantumkan identitas pengirim pengaduan secara jelas sehingga tidak dapat didistribusikan
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 281
ke satuan kerja yang bertangggungjawab. Jumlah Publikasi Respon dihitung berdasarkan jumlah respon
pengaduan yang dipublikasikan pada bulan bersangkutan, bukan tanggal pengaduan diterima.
2) Di Kabupaten Banyuwangi Layanan Pengaduan Masyarakat relatif dipercaya masyarakat, ini dapat
diketahui dari jumlah pengaduan yang masuk tiap tahunnya relatif tinggi.
3) Di Kota Blitar terdapat lembaga yang secara khusus menangani pengaduan, bernama ULPIM : Unit
Layanan Pengaduan dan Informasi Masyarakat. Lembagaini eksis dan memiliki sejumlah agenda,
tidak saja menerima pengaduan tetapi juga peningkatan kapasitas pelayanan publik. Jumlah
pengaduan yang masuk memng relative tkidak tinggi, namun eksistensinya dan/atau citranya di mata
masyarakat sangat baik dan dikenal luas.
4) Di Kabupaten Lamongan layanan pengaduan dikelola oleh Bagian Organisasi. Dan masing-masing
SKPD dan/atau penyelenggara pelayanan publik.
5) Di Kabupaten Kediri serta di sejumlah kabupaten lain yang yang menjadi lokasi kajian ini,
penyelenggara pelayanan publik otomatis merangkap sebagai tempat penyampaian pengaduan
masyarakat. Kotak saran, menjadi media utama yang dikembangkan sebagai media apenyampaian
pengaduan.
B. Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Tugas KPP
Pertimbangan yang digunakan untuk memperbaiki menajemen pengaduan masyarakat untuk pelayanan
publik adalah masih lemahnya kondisi aktual elemen manajemen komplain yang dimiliki oleh instansi
penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Hal-hal yang dianggap lemah adalah: masih banyak instansi
belum memiliki SOP penanganan komplain; tim atau bagian penanganan komplain belum tercantum dalam
struktur organisasi ; koordinasi dan sinergi belum kuat sdm menangani kegiatan penanganan pengaduan juga
menangani kegiatan lain; belum ada fasilitasi merit system; sebagaian besar sarana dan infrastruktur yang
dimiliki masih terbatas pada kotak saran dan hotline; pencatatan data pengaduan yang masuk sudah dilakukan
tapi pelaporan penanganan keluhan masih belum dicatat; pendanaan operasional masih terbatas; dan kesadaran
masyarakat akan hak mengadu masih kurang. Secara umum masyarakat memahami bahwa keberadaan
pelayanan pengaduan atas layanan, diindikasikan dengan adanya kotak saran. Secara umum masyarakat Belem
banyak memahami saluran pengaduan baik internal maupun eksternal. Disamping itu sebagian besar masyarakat
maih a priori bahwa pengaduan tidak akan ditindak lanjuti.
Pengelolaan keluhan di sektor publik sendiri sebenarnya bukan merupakan isu baru. Negara-negara
skandinvia selama ratusan tahun telah memiliki lembaga yang dibentuk sebagai sarana untuk menyalurkan
keluhan bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan pelayanan pemerintah.
Mekanisme tersebut telah dilembagakan melalui ombudsman. Lembaga Ombudsman ini pada awalnya
lahir di Swedia pada tahun 1809. Kata ―ombudsman‖ itu sendiri berasal dari bahasa Swedia yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris berarti ―keluhan orang‖. Dalam terminologi lain, ombudsman biasa disebut
ombudsperson, ombudservice, yang berarti seorang pegawai yang bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Tujuannya adalah membantu orang secara memuaskan untuk memecahkan masalah.
Munculnya kesadaran institusi pemerintah untuk mengelola keluhan dengan baik juga tidak terlepas dari
pergeseran cara pandang dalam melihat keluhan itu sendiri. Keluhan yang selama ini dilihat sebagai sesuatu
yang negatif saat ini justru dipandang sebagai sesuatu yang positif karena dianggap mampu memberikan
282 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
kontribusi terhadap perbaikan terhadap kinerja birokrasi pelayanan publik. Pengaduan yang dikelola dengan
baik akan mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi organisasi yang dikomplain, antara lain:
1. Organisasi semakin tahu akan kelemahan atau kekurangannya dalam memberikan pelayanan kepada
pelanggan;
2. Sebagai alat introspeksi diri organisasi untuk senantiasa responsif dan mau memperhatikan „suara‟ dan
„pilihan‟ pelanggan;
3. Mempermudah organisasi mencari jalan keluar untuk meningkatkan mutu pelayanannya;
4. Bila segera ditangani, pelanggan merasa kepentingan dan harapannya diperhatikan;
5. Dapat mempertebal rasa percaya dan kesetiaan pelanggan kepada organisasi pelayanan;
6. Penanganan komplain yang benar dan berhasil bisa meningkatkan kepuasan pelanggan.
Berdasarkan catatan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Hingga saat ini, di Indonesia
paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang perintah pembentukannya berikut kewenangannya
berdasarkan UU yakni : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), Komisi Kepolisian Nasional,
Komisi Kejaksaan, Dewan Pers dan dewan Pendidikan. Jumlah ini tentu saja bersifat sementara karena ada
kemungkinan terus bertambah di masa mendatang.
Sedangkan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewenangannya diberikan oleh
Keputusan Presiden setidaknya berjumlah sepuluh lembaga, yaitu: Komisi Ombudsman Nasional (KON),
Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan),
Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN),Dewan Pengembangan Usaha Nasional
(DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional
(DBN), dan lembaga-lembaga non-departemen. Menyusul pembentukan komisi-komisi negara di tingkat pusat,
maka seiring dengan penerapan otonomi daerah, di berbagai daerah telah dibentuk komisi-komisi independen.
Salah satu komisi tersebut adalah Komisi Pelayanan Publik (KPP).
KPP diharapkan menjadi aktor utama yang dapat memastikan bahwa pelayanan publik di Jawa Timur
berjalan sebagaimana mestinya. Komisi dituntut dapat merubah kerangka pikir birokrat bahwa mereka
merupakan pelayan publik dan pelayanan publik yang baik merupakan Hak asasi manusia. Namun kehadiran
lembaga ini disikapi dengan ragu dan sikap pesimistis masyarakat akibat buruknya kinerja komisi-komisi yang
ada di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya. Kelahiran KPP yang dibidani Komisi A Jawa
Timur membuat masyarakat tidak yakin KPP bisa bergerak sebagai lembaga Independen. Berdasarkan
wawancara dengan KPP, berbagai elemen masyarakat, akademisi dan Pers maka terdapat kendala/hambatan
KPP dalam mewujudkan pelayanan publik yang berbasis tata pemerintahan yang baik. Hambatan-hambatan
yang dihadapi KPP dalam melakukan Pengawasan eksternal, serta faktor pendukung pelaksanaaan tugas KPP,
dirangkum melalui berbagai sumber pendapat; dan secara khusus disajikan pada baab VI laporan ini
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 283
C. Saran Publik dalam rangka Optimalisasi Peran KPP
Berangkat dari dua landasan konstitusional tentang pelayanan publik, dapat kita kemukakan beberapa
wacana solutif atas kompleksitas problematika dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pertama, Masiffitas
sosialisasi peraturan tentang pelayanan publik, baik bagi penyelenggara pelayanan publik (Dinas, Kecamatan,
Desa, Kepolisian, dan instansi publik lainnya), maupun terhadap masyarakat itu sendiri. Disatu sisi hal ini agar
penyelenggara pelayanan publik mampu secara optimal mengimplementasikan aturan yang ada, disisi lain
masyarakat bisa melakukan evaluasi, dan juga memberikan saran perbaikkan untuk selanjutnya. Kedua, Adanya
pendidikan dan pelatihan mengenai pelayanan publik bagi petugas pelayanan publik. Ini bukan sebatas
ditekankan pada aspek intelektualitas, profesionalitas, apalagi formalitas teknis standar pelayanan publik
semata, melainkan lebih substansial adalah mengenai perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik
di era reformasi saat ini sangat beda jauh dengan era Orde Baru (dari dilayani menjadi pelayan). Apalagi jika
ditambah dengan pendekatan emosional dan spiritual, sebagaimana yang trend saat ini (ESQ). Sehingga
melayani publik bukan semata untuk mencari rezki, yang bersifat materiil, tuntutan jabatan/tugas, yang lebih
berorientasi duniawi, tapi lebih bermakna adalah bagaimana berbagai tugas tersebut merupakan ibadah mulia
(aspek transcendental), yang juga berorientasi ukhrawi, melalui kepuasan publik. Selain dalam rangka
―mensukseskan‖ tugas, ada kemungkinan terjadinya produktifitas kinerja. Ketiga, Sistem evaluasi yang
sistemik. Hal ini bisa dengan pendekatan fungsional, maupun struktural. Pendekatan fungsional menekankan
pada fungsi system evaluasi yang dalam tata kerjanya bisa secara langsung ditangani oleh instansi yang telah
ada (tugas suplementatif). Dalam hal pelayanan publik ini, misal pengaduan langsung kepada DPRD (salah satu
komisi yang berkaitan). Kelebihan pendekatan ini tidak harus membentuk institusi baru, tapi kelemahannya
terletak konsentrasi yang terbagi-bagi. Sedang pendekatan structural adalah dengan cara membuat regulasi
aturan dan membentuk institusi baru yang memang keberadaannya untuk mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik (Perda tentang Pelayanan Publik). Kelebihan pendekatan ini terletak pada konsentrasi dan
tugas, serta tanggungjawab yang jelas (spesifik), sehingga memudahkan masyarakat untuk melakukan
pengaduan. Tapi kelemahannya pada penambahan personil dan anggaran. Pendekatan structural ini sebagaimana
telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan dibentuknnya Komisi Pelayaanan Publik (KPP)
yang dilantik tahun lalu. Keempat, Partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat dituntut partisipasi aktifnya
terhadap prosesi penyelenggaraan pelayanan publik. Agar kekurangan yang terjadi dalam pelayanan publik
sesegera mungkin untuk dibenahi, dan berbagai aspirasinya menyangkut perbaikkan system dan budaya
pelayanan publik dapat diakomodir. Disinilah kelompok-kelompok masyarakat (Asosiasi, LSM, Forum,
Lembaga Profesi, Perguruan Tinggi, Mahasiswa, Pelajar, dst) menemukan relevansinya untuk menjadi
katalisator, maupun pelopor, khususnya dalam hal partisipasi peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena
penyelenggara pelayanan publik bukanlah ‖Dewa‖, yang ‖maksum‖ atas kesalahan dan kekurangan. Bukan pula
pemakan ‖gaji buta‖, yang berlindung kehidupan di bawah absensi dan SK!. Disinilah perintah agama untuk
saling memperingatkan dalam kebaikkan menemukan urgensi dan relevansinya.
Sejumlah saran dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP dari berbagai kalangan
diidentifikasi dan dirangkum, meliputi :
1. Pengguna Pelayanan Publik
2. Penyelenggara Pelayanan Publik
3. Komisioner KPP
284 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
4. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur
5. Pengamat Pelayanan Publik
KESIMPULAN
A.Peran,Pelaksanaan Tugas KPP
1.Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal
Tugas Utama (Penanganan Pengaduan), yang terdiri atas : menerima pengaduan, membuat pengaturan
prosedur pelayanan sengketa, melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa, dan
menindaklanjuti keluhan, baik yang diminta maupun tidak diminta; dari tahun ke tahun berjalan dengan baik,
meliputi :
a. Jumlah pengaduan dari tahun mengalami peningkatan
b. Keterlibatan KPP dalam sejuamlah even yang berintikan peningkatan kualitas pelayanan public
makin bertambah, misalnya keterlibatan dalam melakukan pengawasan pada seleksi Calon Pegawai
Negeri Sipil dan seleksi anggota POLRI.
c. Penyelesaian pengaduan yang diterima kpp memang tidak bisa 100%, karena memenagterdapat
sejumlah masalah yang berkaitan dengan keadaan dan sikap pihak pemyelenggara pelayanan public
dan pihak pengadu
2. Pengembangan Kelembagaan secara Internal
Secara internal KPP berupaya melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas dengan melakukan
pengembangan kelembagaan secara internal. Dua program utama yang memiliki peran penting dalam
melakukan optimalisasi plaksanaan tugas KPP adalah dengan melakukan pembagian divisi menjadi 5
divisi dengan focus tugas pokok yang berbeda dan pembagian korwil menjadi 7 korwil.
3. Pengembangan Kelembagaan secara Eksternal
Kerjasama dengan 34 lembaga yang kemudian dijadikan Pos Pelayanan Pangaduan KPP yang terletak di
Kabupaten/Kota menjadu langkah strategis dalam optimalisasi pelaksanaan tugas, meskipun disadari
sepenuhnya bahwa kordinasi antara KPP dengan sejumlah Pois/Unit Pelayanan Peengaduan yang
dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota abelum dapat dilakukan secara optimum. Namun prinsipnya
keberadaan dua jenis lembaga tersebut diharapkan dapat saling melengkapi.
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran KPP
Faktor Pendukung :
a. Menerima pengaduan;masyarakat semakin kritis,ketersediaan IT
b. SOP yang ada mempermudah penyelesian sengketa
c. Keterbukaan menerima pengaduan dan komitmen meningkatkan kualitas layanan
d. Keberadaan lembaga maupun media massa yang memotret keluhan publik
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 285
Faktor Penghambat :
a. Sikap pesimis masyarakat dan proporsi masyarakat masih kecil yg mengetahui KPP serta respon balik
KPP tidak dapat diketahui secara cepat
b. Masih ada penyelenggara pelayanan publik yang belum memiliki SOP.
c. Tidak mudah menata waktu bertemu pihak yang bersengketa, stigma negatif lembaga apabila banyak
pengaduan, Beberapa penyeleseian sengketa
d. Ketidakcukupan data dlm menindaklanjuti pengaduan, keterbatsan SDM dan sumberdaya pendukung
C.Saran Rekomendasi
Rekomendasi yang dituangkan pada sub bab ini difokuskan pada sejumlah hal yang merupakan upaya
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penelitian nomor 3-4, yaitu : apa saran publik dalam rangka
optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik di Jawa Timur? Dan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur
dalam rangka melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur. Sejumlah hal tersebut meliputi :
1. Gubenur perlu menghimbau Bupati/Wali Kota untuk mengajukan rancangan peraturan perundangan
(Peraturan Daerah) tentang Pelayanan Publik (bagi Kabupaten/Kota yang belum memiliki). Dalam
Peraturan Daerah tersebut juga mengatur tentang keberadaan lembaga pengaduan (apapun namanya, baik
lembaga independen maupun lembaga yang menjadi bagian dari Pemerintah Daerah) yang bertugas
sebagai Unit Pengaduan Pelayanan Publik, yang selanjutnya lembaga tersebut memiiki hugungan kerja
fungsional-koordinatif dengan Komisi Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.
2. Perlu dilakukan pembaharuan Memorandum of Understanding (MoU) antara Gubernur Jawa Timur
dengan Bupati/Wali Kota se Jawa Timur tentang pengelolaan pengaduan pelayanan publik yang pernah
dibuat pada tahun 2006, agar MoU baru dapat mengakomodasi sejumlah perubahan yang terjadi terkait
dengan penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk perubahan kepentingan publik dan juga perubahan
dan/atau lahirnya sejumlah kebijakan publik yang baru.
3. Publikasi tentang keberadaan dan peran KPP perlu ditingkatkan dan dilakukan secara terus-menerus,
disamping menggunakan media publikasi yang telah digunakan selama ini, juga perlu melakukan
penambahan penggunaan jenis media publikasi, terutama media yang memiliki daya jangkau luas
dan/atau dapat menjangkau masyarakat umum yang luas, misalnya iklan layanan sosial stasiun televisi,
media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain.
4. Perlu penggunaan sistem manajemen pengaduan yang berbasis teknologi (e-Complain) sehingga
penyampaian pengaduan oleh masyarakat dapat dilakukan dengan mudah, murah, efektif dan
bertanggungjawab; serta dapat diverifikasi dan ditindaklanjuti oleh KPP dengan sistematis, cepat dan
tepat. Catatan : Pemerintah Provinsi Jawa Timur (dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah) pada tahun 2011 pernah memproduksi software e-Complain yang didukung oleh Direktorat
Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dan disponsori oleh Asian Development Bank.
286 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Berdasarkan berbagai pertimbangan, produk itu saat ini belum digunakan (dioperasikan). Jika saja
program e-Complain ini dioperasikan, berpeluang dapat mengoptimumkan pelaksanaan tugas KPP.
5. Pembentukan tim pengendali mutu di tiap unit penyelenggara pelayanan publik, yang bekerjanya
berbasis teknologi, yang setiap saat dapat saling berkoordinasi dengan KPP, sekaligus menjadi mitra KPP
dalam penggunaan e-Complain perlu dilakukan. Untuk itu pengadaan sarana-prasarana yang mendukung
dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang sesuai kebutuhan, perlu menjadi agenda.
6. Semua komisioner KPP, perlu berupaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja
mereka, termasuk meningkatkan daya kreatifitas sehingga melahirkan sejumlah inovasi dalam rangka
mengoptimalkan pelaksanaan tugas KPP, seiring dengan perubahan kebutuhan publik akan pelayanan
publik yang terus terjadi secara konsisten.
7. Pemeliharaan dan peningkatan kiordinasi antara KPP dengan lembaga pengawas pelayanan publik yang
lain perlu dilakukan, misalnya : dengan Ombudsman Republik .
8. Jika kuantitas pengaduan yang disampaikan kepada KPP mengalami lonjakan tajam akibat penggunaan
teknologi (e-Compalin) dan akibat meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi
mereka dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, maka diperlukan tenaga
fungsional dalam tubuh KPP, yang terdiri dari sejumlah ahli, misalnya : ahli pelayanan kesehatan, ahli
pelayanan perizinan, ahli pelayanan kependudukan, ahli pelayanan pendidikan, ahli pelayanan
perhubungan, dan sebagainya. Untuk merealisirnya perlu diawali oleh diterbitkannya Peraturan Gubernur
tentang Tenaga Fungsional dalam kelembagaan KPP.
9. Menambah jumlah lembaga yang bermitra dengan KPP yang selama ini berperan sebagai Pos Pengaduan
KPP yang terletak di Kabupaten/Kota (saat ini berjumlah = 34 lembaga), perlu menjadi agenda di tahun-
tahun mendatang.
10. Keberadaan SOP dari tiap-tiap produk pelayanan menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan, tidak saja
bagi optimalisasi pelaksanaan tugas KPP, tetapi juga bagi upaya meningkatan kualitas pelayanan public,
terlebih peningkatan kualitas penanganan pengaduan dan/atau penyelesaian jika terdapat sengketa
pelayanan publik.
11. Semua pihak perlu memahami bahwa tingginya angka pengaduan tidak selalu menjadi cermin atas
buruknya playanan publik yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penyelenggara pelayanan publik.
Akan tetapi bisa jadi merupakan tingginya angka partisipasi publik dalam upaya memperbaiki kualitas
pelayanan. Dengan modal asumsi ini maka diharapkan semua pihak dapat menjadikan pengaduan sebagai
―mutiara‘ yang dapat menjadi media terjadinya peningkatan kualitas pelayanan publik secara terus-
menerus serta media untuk mengurangi kesenjangan antara jenis dan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh penyelenggara pelayanan publik dengan jenis dan kualitas pelayanan publik yang senyatanya
diperlukan dan/atau menjadi kepentingan pengguna pelayanan publik.
12. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk
mengoptimalkan peran KPP, yang diukur dari diakomodasintya sejumlah pengajuan program, inovasi,
pengembangan kelembagaan, dan lain-lain, yang sudah barang tentu hal tersebut memiliki ilmplikasi
pada diperlukannya daya dukung; misalnya penambahan SDM pendukung, sarana-prasarana, anggaran,
dan sumberdaya lain sesuai kebutuhan riil.
“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 287
REFERENSI
Apipah, 2012, Pengertian Penelitian Kualitatif, dalam http://www.diaryapipah.com/2012/05/pengertian-
penelitian-kualitatif.html
Arikunto, Suharsimi , 2009, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta.
Brainmetro.com, (2013), Komisi Pelayanan Publik Laporkan Kinerja,
Caiden,Gerald,2000. The Essence of Public Service Professionalism; On Promoting Ethics in the Public
Service, United Nations, New York.
Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B., 2007. The New Public Service, Serving Not Steering, Expanded
Edition, Armonk, New York, London, England: M.E.Sharpe.
Department of Economic and Social Affairs,2000. Promoting Ethics in the Public Service, United Nations, New
York.
Dwiyanto,Agus,2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
--------------------,2011. Manajemen Pelayanan Publik, Peduli, Inklusif dan Kolaboratif, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, Edisi kedua,.
Gaventa,John, 2002. Making Rights Real: Exploring Citizenship, Participation and accounta-bility, Brighton,
Inggris: Institute of Development Studies Bulletin Volume 33 No.2.
Hyasintus. 2012, Kontekstualisasi Paradigma New Public Service Dalam Implementasi Pelayanan Publik Di
Indonesia, dalam http://hyasintus.blogspot.com/2012/11/kontekstualisasi-paradigma-new-
public_15.html, (Diakses 6 Februari 2014)
Meyer, Robert. R, dkk (1980), Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Pustekom Dikbud & CV Rajawali,
Jakarta.
Miles B. Mathew dan A. Michall Huberman. (1992), Analisa Data Kualitatif, Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta.
Ratminto.(1999). ―Otonomi Daerah dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik‖. Makalah Seminar Nasional
Otonomi Daerah Antara Harapan dan Kenyataan yang diselenggarakan oleh Yayasan PERCIK
dan The Ford Foundation, Salatiga, 3 November 1999.
Ratminto dan Winarsih. (2005). Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen‟
s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robbins, Stephen P., R. Bergman & I. Stagg. (1997). Management. Sydney: Prentice Hall of Australia.
288 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”
Tatang M. Amirin; (2009), Penelitian Eksploratori (Eksploratif),
http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/05/04/penelitian-eksploratorieksploratif/
SCBD Jawa Timur, (2011), Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik
(e-Complaint), kerjasama Asian Developmen Bank, Kementerian dalam Negeri dan Pemerintah
Provinsi Jawa Timur
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia nomor 63/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan.
Surat Gubernur Jawa Timur Nomor : 065/4670/041/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Pelayanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4558);
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4899);
Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur sebagai perubahan
dari Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005.