27-29 - unesa.ac.id

57
PROSIDING UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR & ANNUAL CONFERENCE 2015 PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN GLOBALEditor: Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si Dr. Marthinus Mandagi, M.Si 27-29 September 2015 PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2015 ISBN 978-602-73770-1-1

Upload: others

Post on 03-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 27-29 - unesa.ac.id

PROSIDING

UNIMA IAPA INTERNATIONAL SEMINAR

& ANNUAL CONFERENCE 2015

“PERAN PEMERINTAH DAERAH

DALAM PERSAINGAN GLOBAL”

Editor:

Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si

Dr. Marthinus Mandagi, M.Si

27-29

September

2015

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2015

ISBN 978-602-73770-1-1

Page 2: 27-29 - unesa.ac.id

P R O S I D I N G

“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN

GLOBAL”

KERJASAMA PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI

NEGARA FIS UNIMA DAN INDONESIAN ASSOCIATION FOR

PUBLIC ADMINISTRATION (IAPA)

Editor:

Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si

Dr. Marthinus Mandagi, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MANADO 2015

Page 3: 27-29 - unesa.ac.id

“PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERSAINGAN

GLOBAL”

© Penulis

Reviewer:

Linna Miftahul Jannah

M. R. Khairul Muluk

Falih Suaedi

Sintaningrum

Perancang Sampul:

Jesica Karouw

Penata Letak:

Jeane Mantiri

Diterbitkan atas kerjasama:

Program Studi Ilmu Administrasi Negara FIS UNIMA dan Indonesian

Association For Public Administration (IAPA)

ISBN 978-602-73770-1-1

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2 :

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan

atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa

mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72 :

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing

paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima

milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum

suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud

Page 4: 27-29 - unesa.ac.id

pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 5: 27-29 - unesa.ac.id

KATA PENGANTAR

Administrasi Negara/Publik menjadi salah satu jurusan yang saat ini popular dan tersorot. Kami

yang berada di Program Studi Universitas Negeri Manado mempromosikan Program Studi kami

dengan membuat Seminar Internasional, kami juga menjadi tuan rumah dalam konfrensi tahunan

Indonesian Association for Public Administration (IAPA).

“Peran Pemerintah Dalam Persaingan Global” menjadi tema dari seminar ini, kami

menghadirkan Dr. James Cullin (Humber Bussinness School Canada), Mary Heather White

(Manager SEDS Field), Prof. Samrit Yossomsakdi, Ph.D (Vice President PAAT Thailand), and

Erica Larson (Boston University) serta Roberta dan Naomi (Napoli University Itali) sebagai

pembica utama dalam seminar ini.

Dari tema diatas, kami membuat pokok-pokok atau sub tema yang akan dibahas:

1. Enhancing Public Trust dan Ethics

2. Developing Local Competitiveness

3. Developing Innovative Public Service

4. Integration Of Public Policy

Kami juga menghadirkan beberapa pembahasan khusus oleh PSPA dan IAPA yaitu Comparative

Village Between Indonesian and the Philippines and Comparative Disaster Management

between Indonesia and the Philippines.

Seminar ini dipersiapkan atau kerjasama dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan

Anggota IAPA.

Hormat Kami,

Panitia UNIMA IAPA International

Seminar & Annual Conference 2015

Page 6: 27-29 - unesa.ac.id

PENGANTAR EDITOR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perkenan-Nya sehingga penyusunan

Prosiding Seminar International kerja sama Indonesian Association for Public Administration

(IAPA) dengan dengan tema: “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global.” dapat

diselesaikan dengan baik. Seminar International ini diselenggarakan pada tanggal 27 – 29

September 2015.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

paling dalam kepada para penulis/kontributor yang telah memberikan sumbangsih pikiran yang

dituangkan dalam artikel, sehingga memungkinkan prosiding ini dapat dirampungkan dengan

baik. Diucapkan terima kasih pula kepada jajaran Panitia UNIMA IAPA International Seminar &

Annual Conference 2015, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu

dan sumbangan pemikirannya.

Besar harapan kami, kiranya proceeding ini, terutama tulisan-tulisannya dapat memberikan

sumbangan pemikiran yang kreatif dan kritis ke depan bagi perkembangan Ilmu Administrasi

Publik, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang sama-sama kita

cintai.

Kami sangat menantikan sumbangan saran atau kritik yang membangun bagi

penyempurnaan prosiding ini, akhirnya, kami mengucapkan terima kasih atas segala saran dan

masukan yang diberikan.

Selamat membaca.

Tondano, September 2015

Editor,

Dr. Sisca B. Kairupan, M.Si.

Dr. Marthinus Mandagi, M.Si.

Page 7: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………….....

i

Pengantar Editor ………………………………………………………………………….....

ii

Daftar Isi……………………………………………………………………………………...

iii

Otonomi Daerah: Kajian Perspektif Desentralisasi Fiskal Dan Penerapan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Galih W. Pradana, Trenda Aktiva Oktariyanda……………………………………………..

1

Legislasi Desa: Tantangan dan Peluang Pembuatan Kebijakan Desa Pasca Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Muhammad Yasin……………………………………………………………………………

11

Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.

Petrus Kase…………………………………………………………………………………..

21

Menentukan Pemimpin Daerah yang Berintegritas

Devie S. R. Siwij……………………………………………………………………………..

35

Developing Local Competitiveness through Developing City Branding (Case Study Binjai

City, North Sumatera).

Septiana Dwiputrianti………………………………………………………………………..

44

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pengaturan Penggunaan

Jalan Umum Dan Jalan Khusus Di Provinsi Riau.

Febri Yuliani……………………………………………………………………………….

63

Evaluasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) Di Kecamatan Bolaang

Timur Kabupaten Bolaang Mongondow

Abdul Rahman Dilapanga………………………………………………………………….

68

Kinerja Aparatur Pemerintah Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Minahasa Tenggara

Jeane Mantiri………………………………………………………………………………..

76

Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Desa

Penfui Timur, Kabupaten Kupang.

Page 8: 27-29 - unesa.ac.id

iv “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Petrus Kase…………………………………………………………………………………..

86

Integrasi Kebijakan UMKM Guna Meningkatkan Daya Saing Lokal (Kemitraan UMKM

Provinsi Jawa Timur).

Noviyanti……………………………………………………………………………………

99

Kebijakan Perspektif Gender Dalam Mewujudkan Sumber Daya Manusia Unggul (Strategi

Pemerintah Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean)

Yuni Lestari…………………………………………………………………………………..

119

Efektivitas Hubungan Kerjasama Antar Pemerintahan (Studi Kasus Kebijakan Pendidikan

Gratis Pada Pendidikan dasar dan Menengah di Provinsi Sulawesi Selatan).

Sangkala……………………………………………………………………………………...

134

Mengembalikan Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Insiatif Publik: Antara Optimis dan Utopis.

Muhammad Ichsan Kabullah………………………………………………………………...

147

Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Studi Kebijakan Publik Pada

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Di Kota Kotamubagu Provinsi Sulawesi Utara)

Fitri Herawati Mamonto……………………………………………………………………..

169

Lahir Procot Pulang Bawa Akta: Inovasi Layanan Publik sebagai Pemenuhan Hak Anak di

Kabupaten Banyuwangi.

Lina Miftahul Jannah………………………………………………………………………..

179

Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta.

Rizki Pratiwi, Endang Sutarti Mardiana, Arsid……………………………………………..

189

Konstruksi Model Perilaku Pelayanan Street-Level Birokrasi Pada Puskesmas Di Kota

Makassar

Abdul Mahsyar…………………………………………………………………………........

197

Mengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Untuk Meningkatkan Kualitas

Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Perkotaan: Studi di Puskesmas Kota Surabaya.

Falih Suaedi………………………………………………………………………………….

215

Optimalisasi Outcome Anggaran untuk Menciptakan Trust dalam Pengalokasian Belanja

Pelayanan Publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Hendri Koeswara…………………………………………………………………………….

224

Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap

Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur.

Page 9: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” v

Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan, Weni Rosdiana, Agung

Listiadi………………………………………………………………………………………

242

Pembentukan City Branding Di Kota Tangerang Selatan

Izzatusholekha……………………………………………………………………………….

289

Inovasi Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Melalui Pengembangan Ekonomi

Kreatif Di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau

Mustiqowati Ummul Fithriyyah…………………………………………………………….

302

Rekonstruksi Model Penilaian Kinerja Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di

Provinsi Gorontalo.

Asna Aneta dan Yulianto Kadji…………………………………………………………….

313

Mewujudkan Governance Networks melalui Program The Sunan Giri Award di Kabupaten

Gresik.

Muhammad Farid Ma‟ruf, Tauran, Yuni Siti Aisah………………………………………...

324

Mewujudkan Administrator Publik Yang Beretika Dalam Perspektif Administrasi Islam

Di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau (Studi Kasus Di Kantor Badan Promosi dan

Pelayanan Terpadu)

Afrinaldy Rustam, Rodi Wahyudi…………………………………………………………..

336

Penerapan ‗Good Governance‘ dalam Penempatan Pekerja Migran Perempuan Antar

Bangsa.

Lely Indah Mindarti................................................................................................................

352

E-Governance Sebagai Alternatif Solusi Menghilangkan Konflik Sengketa Tumpang

Tindih Lahan Pertambangan Batu Bara Di Provinsi Kalimantan Timur

Himawan Nuryahya dan Secilia Fammy Rukhamah………………………………………...

376

Pengaruh Iklim Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Perindustrian

Perdagangan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penanaman Modal Kota

Gorontalo.

Zuchri Abdussamad…………………………………………………………………………..

406

Meningkatkan Kemampuan Kelembagaan Untuk Menyongsong Asean Economic

Community: Suatu Perspektif Administrasi Negara

Roza Liesmana……………………………………………………………………………….

411

Page 10: 27-29 - unesa.ac.id

vi “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Membangun Kepercayaan Publik Pada Birokrasi.

Desna Aromatica……………………………………………………………………………..

418

Page 11: 27-29 - unesa.ac.id

242 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Peran Komisi Pelayanan Publik ( KPP ) Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal

Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Jawa Timur

Dian Arlupi Utami, Prasetyo Isbandono, Agus Prasetyawan,

Weni Rosdiana, Agung Listiadi

Universitas Negeri Surabaya

[email protected]

HP.081330109556

Abstrak: Dalam rangka mewujudakan good governance yang terkait dengan pelayanan publik, maka

pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang pelayanan

publik. Pelaksanaan pelayanan publik tentunya tak lepas dari keluhan-keluhan dan pengaduan masyarakat

yang merasa tidak/belum puas atas pelayanan pemerintah. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi

Pelayanan Publik ( KPP ).

Setelah melakukan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa,KPP berperan dalam penanganan

pengaduan sekaligus sebagai tugas utama KPP dimana dari tahun ketahun peran ini berjalan dengan baik.

KPP berupaya melakukan kerjasama dengan 34 lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota menjadi langkah

strategis dalam optimalisasi peran KPP dalam menjalankan tugasnya.

Beberapa rekomendasi dari Tim Peneliti yaitu, supaya Gubernur menghimbau Bupati/Walikota

membuat Perda tentang lembaga pengaduan ( bagi yang belum ada ), perlu pembaharuan MoU yang pernah

dibuat tahun 2006, keberadaan KPP perlu dipublikasikan lebih luas, perlu MIS ( Manajemen Informasi Sistem )

dalam pengelolaan pengaduan,dan yang tidak kalah penting adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa

Timur untuk mengoptimalkan peran KPP.

Kategori :Public Administration Sciences

Kata Kunci: lembaga pengawas, pelayaan publik

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi perkembangan yang luar biasa di bidang pelayanan

publik, baik perkembangan yang terjadi pada tataran perumusan kebijakan atau peraturan perundangan tentang

Page 12: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 243

pelayanan publik, implementasi kebijakan tentang pelayanan publik dan/atau penyelenggaraan pelayanan

publik, kualitas dan kuantitas yang menjadi substansi pelayanan publik, kelembagaan pelayanan publik, tuntutan

atau harapan publik akan pelayanan publik yang dapat memenuhi kebutuhannya, standar pelayanan publik,

sampai dengan pengawasan pelayanan publik bahkan sengketa pelayanan publik.

Pada saat yang sama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diikuti dengan kian

ketatnya kompetisi di segala bidang membawa konsekuensi terjadinya perubahan di berbagai bidang. Kondisi

ini selanjutnya diikuti dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Imbasnya, peran

organisasi terutama organisasi pemerintah dituntut untuk dapat mewujudkan kehidupan masa depan yang lebih

baik, maka reformasi tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi wacana yang menarik.

Sebagai langkah konkrit pemerintah untuk mewujudkan good gavernance yang terkait dengan

pelayanan publik di daerah, maka pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang

mengatur tentang pelayanan publik diantaranya dengan ditetapkannya : (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, (2) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Keterbukaan

Informasi Pulik, (3) Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, (4) Peraturan Pemerintah

Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara,

dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar

Pelayanan Minimal maupun terhadap sejumlah Pedoman Teknis lainnya.

Bahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah sebagai tindak lanjut

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, maka Menteri

Pemberdayaan Aparatur Negara Republik Indonesia mengeluarkan instruksi kepada semua Gubernur, Ketua

DPRD dan Bupati/Wali Kota di seluruh Indonesia untuk segera membentuk Peraturan Daerah yang mengatur

tentang Pelayanan Publik di daerah dengan surat Nomor : B/988/M-PAN/5/2005 tanggal 25 Mei 2005 perihal

Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik.

Sebagai respon atas Inpres tersebut, Jawa Timur selanjutnya membuat Peraturan Daerah (Perda)

Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Hadirnya Perda 11 Tahun 2005 ini

merupakan babakan baru bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur. Menariknya lagi,

hadirnya Perda 11 Tahun 2005 mendahului langkah pemerintah pusat yang saat itu belum memiliki Undang

Undang yang mengatur tentang pelayanan publik. Kehadiran perda 11 tahun 2005 ini terbukti ampuh dalam ikut

serta mendorong semua pihak untuk melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas pelayanan publik

masing-masing. Keberadaan Komisi Pelayanan Publik yang merupakan amanah dari Perda 11 Tahun 2005

seolah telah menjadi ikon baru bagi Jawa Timur dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, suatu lembaga yang mempunyai kewenangan

mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik, maka menjadi konsekuensi logis dan yuridis untuk dilakukannya perubahan Perda Nomor 11 Tahun

2005 tentang Pelayanan Publik. Maka pada tahun 2001 lahirlah Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang merupakan revisi terhadap Peraturan Daerah Nonor 11 Tahun

2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur.

Page 13: 27-29 - unesa.ac.id

244 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentunya

masih membutuhkan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang terkait dengan teknis maupun pedoman

pelaksanaannya. Apalagi penyelenggaraan tata pemerintahan yang terkait dengan pelayanan publik.

Kebutuhan pengaturan tersebut pada tingkat pemerintah daerah dapat diwujudkan dengan pembentukan

Perda. Pembentukan Perda Nonor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur ini,

kemudian menjadi sangat penting karena salah satu indikator kesiapan daerah dalam merespon otonomi daerah,

adalah ketika daerah mampu merumuskan dan membentuk kebijakan dan atau Perda. Dalam konteks ini,

keterlibatan dan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan fungsi legislasinya sangat

dibutuhkan. Karena DPRD sebagai representative fungtion, diharapkan dapat lebih aspiratif dan berpihak pada

kepentingan rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan mencerminkan komitmen keberpihakan kepada

kepentingan orang banyak melalui proses yang partisipatif dengan melibatkan stakeholder yang terkait.

Keluhan muncul karena sesuatu yang alami, semata-mata adalah sintestis dari masalah pelayanan.

Beberapa hal yang menyebabkan keluhan antara lain: (1) organisasi pelayanan gagal mewujudkan kinerja yang

dijanjikan, (2) pelayanan yang tidak efisien, (3) pelayanan yang diberikan secara kasar atau tidak membantu, (4)

gagal menyampaikan info perubahan kepada pelanggan, (5) banyaknya pelayanan yang tertunda, (6) ketidak-

sopanan/ketidak-ramahan aparat pelayanan, (7) pelayanan yang tidak layak/tidak wajar, (8) aparat pelayanan

yang tidak kompeten, (9) aparat pelayanan yang apatis/tidak adanya atensi, (10) Organisasi pelayanan tidak

responsif terhadap kebutuhan dan keinginan serta harapan pelanggan.

Dalam rangka merespon pengaduan atau keluhan inilah kemudian Perda Nomor 8 Tahun 2011 (dulu

Perda Nomor 11 Tahun 2005) tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur menjadi pijakan bagi lahirnya

lembaga baru yang bernama Komisi Pelayanan Publik (KPP).

Komisi Pelayanan Publik yang selanjutnya disingkat KPP adalah lembaga yang dibentuk

berdasarkan peraturan daerah yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal atas

penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, baik yang

dilakukan pemerintah daerah, korporasi dan pihak-pihak lain yang mendapat dukungan dana

sebagian atau seluruhnya dari APBD (Pasal 1 Ayat 13 Perda 8/2011).

Kebijakan awal yang membidani lahirnya KPP adalah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang

Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2008 lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008

tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI), baru pada tahun 2009 disahkan Undang-Undang Nomor 25

tentang Pelayanan Publik.

Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi

penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara

dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan

usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun

perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian

atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau

anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).

Page 14: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 245

Meskipun keluhan yang diungkapkan masyarakat sering dijumpai, namun pada Laporan Tahunan

Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur yang disampaikan oleh Ketua KPP Jatim M.M. Khoirul Anwar,

menyatakan bahwa masyarakat Jawa Timur masih takut mengadu pada saat dilayani secara tidak baik oleh

sebuah instansi pemerintah. Hal ini terbukti dari kecilnya jumlah pengaduan ke KPP Jatim. Selama tahun

2010 jumlah pengaduan ke KPP Jatim hanya 176 laporan, dengan rincian sebagai berikut; laporan pelayanan

di bidang pertanahan 53 aduan (30%), laporan Pelayanan Kependudukan 33 aduan (18%), laporan

Administrasi Pemerintahan 14 aduan (14%), laporan Pelayanan lain-lain rata-rata 3-7 aduan. Berdasarkan

wilayah tempat pelapor; Surabaya sebanyak 81 pelapor (46%), Sidoarjo 9 pelapor (5%), Bondowoso 8

pelapor (5%), dan daerah lain 2-4 pelapor (Laporan SCBD Provinsi Jawa Timur, 2011).

Ada dugaan bahwa belum terjadi keseimbangan antara jumlah anggota masyarakat yang memiliki

keluhan akan pelayanan publik, dengan jumlan anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan kepada KPP.

Akibatnya KPP tidak mengetahui bahwa ada keluhan dan atau KPP tidak menjalankan peran sebagai mediator

penyelesaian keluhan publik. Hal ini berimplikasi pada tidak/belum optimalnya peran KPP dalam menjalankan

tugas sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur.

Sementara itu dapat diketahui bahwa KPP relatif memiliki semangat untuk berkinerja terbaik, berusaha

merangkul sejumlah pemangku kepentingan, serta berusaha untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian atas

pengaduan yang ada. Semangat KPP yang demikian belum cukup menjadi faktor katalis terjadinya optimalisasi

pelaksanaan tugas KPP jika masyarakat tidak memberikan dukungan maksimal. Semangat KPP yang demikian

dapat dilihat dari kutipan pemberitaan berikut ini.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, di penghujung 2013 ini Komisi Pelayanan Publik

(KPP) Jawa Timur, Kembali melaksanakan kegiatan Sosialisasi dan Laporan Kinerja

akhir Tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan kinerja lembaga yang

dibentuk berdasarkan Perda Jatim No. 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik ini,

mendesain acara yang bersifat tematik. “Membangun Sinergi Mewujudkan Pelayanan

Publik Prima di Jawa Timur” merupakan tema yang diimplementasikan dalam berbagai

bentuk kegiatan yang dihelat sejak selasa (16/12/2013) hingga Jumat ini (20/12/2013).

Beberapa acara yang dihelat selain laporan akhir tahun adalah Focus Disscusion Group

(FGD) yang melibatkan unsur penyelenggara dan pemangku kepentingan lain dalam

pelayanan publik, audiensi ke Gubernur dan DPRD Jawa Timur serta Publikasi laporan

kepada masyarakat melalui beberapa media dan instrumen.

Yang menarik, dalam rangka kebersamaan dan jejaring dalam rangka peningkatan

kualitas pelayanan publik di Jawa Timur, acara FGD tersebut juga disertai dengan

penandatanganan “Komitmen bersama dalam mewujudkan pelayanan publik prima di

Jawa Timur. Penanda tanganan ini sendiri dilakukan di kertas berpigura. Secara terpisah

peserta kedua FGD akan menanda tangani dokumen yang telah disediakan panitia.

“Tujuan dari diselenggarakannya ketiga rangkaian acara tersebut adalah untuk

memperoleh gambaran tentang kondisi pelayanan publik di Jatim dari berbagai perspektif,

untuk melakukan pemetaan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan

pelayanan publik di Jatim dan untuk mengetahui best practice dan inovasi yang telah

Page 15: 27-29 - unesa.ac.id

246 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

dilakukan sebagai bahan rujukan dan replikasi pelaksaan pelayanan publik di Jatim,”

papar Hardly Stefano Ketua KPP Jatim kepada Brainmetro.com, Selasa (17/12/2013).

Selain itu, Hardly menambahkan tujuan dari diselenggarakannya acara tersebut adalah

untuk merumuskan rencana aksi mendorong peningkatan kualitas penyelenggaraan

pelayanan publik di Jatim sekaligus sebagai momentum awal adanya pembangunan

sinergitas berkelanjutan antar pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkaitan

dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang diharapkan

masyarakat (Brainmetro.com, 2013).

Pada saat yang sama dalam pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), ada kecenderungan

anggota masyarakat selaku konsumen kurang diberi ruang untuk memberikan masukan program yang

seharusnya disusun untuk meningkatkan pelayanan publik. Pelibatan masyarakat dapat dilakukan dengan

berbagai hal, salah satunya adalah melalui survey kepuasan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum

Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Disebutkan bahwa untuk membandingkan indeks kinerja unit pelayanan secara berkala diperlukan survei

secara periodik dan berkesinambungan. Dengan demikian dapat diketahui perubahan tingkat kepuasan

masyarakat dalam menerima pelayanan publik. Jangka waktu survei antara periode yang satu ke periode

berikutnya dapat dilakukan 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan atau sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun

sekali.

Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam mengevaluasi pelayanan yang diberikan pemerintah, jelas akan

mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara pelayanan yang diterima dan harapan masyarakat. Akibatnya

stigma pelayanan yang buruk masih akan tetap melekat karena ketidaktanggapan pemerintah.

Maksud dan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut adalah untuk mengetahui tingkat kinerja unit

pelayanan secara berkala sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka peningkatan kualitas

pelayanan publik selanjutnya. Bagi masyarakat, Indeks Kepuasan Masyarakat dapat digunakan sebagai

gambaran tentang kinerja pelayanan unit yang bersangkutan.

Namun jika mempelajari hasil pengukuran sejumlah lembaga penyelenggara pelayanan publik terhadap

IKM-nya, maka hampir pasti hasil pengukuran mencapai nilai yang relatif tinggi, artinya kepuasan masyarakat

terhadap penyelenggaraan pelayanan publik juga rekatif tinggi. Ironinya, keluhan publik juga masih

mengemuka. Pada kasus demikian dapat diduga bahwa pengukuran IKM tidak dapat menjadi instrument andal

untuk menjadi alat pengawasan pelayanan publik, sebab bisa jadi proses pengukurannya mengalami kekeliruan

dan/atau ketidaktepatan.

Ketika IKM tidak dapat menjadi instrument pengukuran yang efektif, dan ketika KPP relatif belum

dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga engawas eksternal, maka masa depan penyelenggaraan pelayanan

publik sungguh mencemaskan. Dalam kerangka inilah dipandang perlu melakukan penelitian dengan judul :

Kajian Optimalisasi Pelaksanaan Tugas Komisi Pelayanan Publik (KPP) sebagai Lembaga Pengawas Eksternal

Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Jawa Timur.

Page 16: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 247

1.2 Rumusan Masalah

Suatu penelitian hendaknya menfokuskan perhatian pada upaya menjawab pertanyaan penelitian yang

diajukan. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penelitian atau permasalahan

penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal ?

2. Apa faktor penghambat dan faktor pendukung yang dihadapi KPP dalam pelaksanaan tugas dalam hal :

a. menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik;

b. membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat

non litigasi;

c. melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik;

dan

d. menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara

langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.

3. Apa saran publik dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal

terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur? Meliputi :

a. Pengguna pelayanan publik

b. Penyelenggara pelayanan publik

c. Anggota KPP

d. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur

e. Pengamat Pelayanan Publik

4. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam rangka

melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap

penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur?

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Penelitian Terdahulu

Berikut ini disajikan tentang hasil sejumlah penelitian terdahulu yang menjadi pijakan atau referensi

atas dilaksanakannya penelitian ini, yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk topik yang relevan.

a. Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-

Complaint) (SCBD Jawa Timur, 2011)

Setidaknya terdapat tiga langkah penyelesaian complain yang diharapkan dapat menyelesaikan

permasalahan yaitu: (1) semua complain yang masuk dicatat, dikelompokkan, dan dianalisis menurut frekuensi

dan keseriusannya, (2) kepada pelanggan ditanyakan tentang komplan yang dapat memberi dampak terbesar

bagi mereka, (3) dapat ditemukan complain yang paling penting dan solusi yang tepat untuk mengatasinya.

Manajamen complain yang efektif memiliki arti strategis bagi organisasi dalam upaya membangun

hubungan yang memuaskan dan menguntungkan dengan komsumen. Namun demikian, manajemen tidak selalu

Page 17: 27-29 - unesa.ac.id

248 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

dengan mudah dapat mengetahui tanggapan pelanggan atas pelayanannya. Organisasi tidak bisa mengukur

respons pelanggannya hanya dari data-data formal. Pelanggan juga bisa enggan untuk melakukan pengaduan

secara resmi ke organisasi. Keengganan pelanggan untuk melakukan complain dipengaruhi oleh berbagai factor

baik yang bersifat personal maupun yang berasal dari system organisasi.

Organisasi dapat mengatasi hambatan-hambatan dengan berbagai cara antara lain dengan:

1. Menetapkan dan mengimplementaskan standar kinerja yang dikomunikasikan kepada pelanggan.

2. Mengkomunikasikan betapa pentingnya pemulihan layanan ini kepada seluruh jajaran organisasi mulai

dari CEO sampai karyawan lini depan.

3. Melatih pelanggan mengenai cara menyampaikan complain baik melalui brosur, pamphlet maupun

semacam buku petunjuk khusus berisi informasi lengkap mengenai prosedur penyampaian dan penanganan

complain.

4. Memanfaatkan dukungan teknologi seperti customer call centers dan internet untuk memberikan

kemudahan dan akses 24 jam yang cepat serta relative murah bagi setiap pelanggan.

Mengukur Efektivitas Manajemen Komplain. Penilaian atas suatu manajemen komplain yang efektif

didasarkan pada karakteristik karakteristik utama berikut:

1. Komitmen: pihak manajemen dan semua anggota organisasi lainnya memiliki komitmen yang tinggi untuk

m endengarkan dan menyelesaikan masalah komplain dalam rangka peningkatan kualitas produk dan jasa.

2. Visible: manajemen menginformasikan secara jelas dan akurat kepada pelanggan dan karyawan tentang

cara penyampaian komplain dan pihak-pihak yang dapat dihubungi.

3. Accessible: perusahaan menjamin bahwa pelanggan secara bebas, mudah, dan murah dapat menyampaikan

komplain, misalnya dengan menyediakan saluran telepon bebas pulsa atau amplop berperangko.

4. Kesederhanaan: prosedur komplain sederhana dan mudah dipahami pelanggan.

5. Kecepatan: setiap komplain ditangani secepat mungkin. Rentang waktu penyelesaian yang realistis

diinformasikan kepada pelanggan. Selain itu, setiap perkembangan atau kemajuan dalam penanganan

komplain yang sedang diselesaikan senantiasa dikomunikasikan kepada pelanggan yang bersangkutan.

6. Fairness: setiap komplain mendapatkan perlakuan sama atau adil, tanpa membeda-bedakan pelanggan.

7. Konfidensial: keinginan pelanggan akan privasi dan kerahasiaan dihargai dan dijaga.

8. Records: data mengenai komplain disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan setiap upaya perbaikan

berkesinambungan.

9. Sumber daya: perusahaan mengalokasikan sumber daya dan infrastruktur yang memadai untuk

pengembangan dan penyempurnaan sistem penanganan komplain, termasuk di dalamnya adalah pelatihan

karyawan.

10. Remedy: pemecahan dan penyelesaian yang tepat (seperti permohonan maaf, hadiah, ganti rugi, refund)

untuk setiap komplain ditetapkan dan diimplementasikan secara konsekuen.

Page 18: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 249

Pada akhirnya penelitian research-action ini merekomendasikan diberlakukannya SIM Keluhan

Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini mempunyai kelebihan:

1. Masyarakat dapat mengajukan keluhan secara online

2. Data keluhan dapat dikelola secara lebih terintegrasi dan lintas sektoral

3. Data dan laporan yang disediakan telah memenuhi kebutuhan tentang informasi pelayanan publik, dalam

hal ini pelayanan terhadap keluhan masyarakat.

Untuk dapat menjalankan SIM Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik (e-Complaint) ini secara lebih

baik, maka diperlukan pembenahan dalam hal komitmen serta payung hukum untuk memperlancar pelaksanaan

sistem informasi ini.

b. Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Terpadu di Provinsi Jawa Timur (LPPM Universitas Negeri

Surabaya, 2011)

Penelitian ini adalah penelitian institusional yang dilakukan di empat (4) tempat atau institusi, yakni di

UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan.

Permasalahan yang dicarikan jawabannya dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah ―Aspek-aspek apakah

yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota

Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan dalam kaitannya dengan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam

Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan

Perizinan Terpadu?‖.

Berdasarkan hasil analisis data sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan, bahwa:

1. Ke empat sampel dan/atau tempat daerah penelitian ini sudah membentuk Unit Pelayanan Perizinan

Terpadu, dengan nama (nomenklatur lembaga) yang berbeda-beda, dimana Provinsi Jawa Timur

membentuk Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu (UPT-P2T) berdasarkan Peraturan

Gubernur; Kota Malang membentuk Badan Pelayanan Perizinan terpadu (BP2T) berdasarkan

Peraturan Daerah; serta Kota Madiun dan Kabupaten Pemekasan membentuk Kantor Pelayanan

Perizinan Terpadu (KP2T) berdasarkan Peraturan Daerah.

2. Ke empat sampel dan/atau daerah tempat penelitian ini sudah memiliki komitmen yang kuat untuk

memberikan Pelayanan Perizinan Terpadu. Ini terbukti dari jumlah jenis izin yang sudah dilayani

penerbitannya oleh sampel dan/atau tempat penelitian ini, yakni sebagai berikut: UPT-P2T Provinsi

Jawa Timur melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 205 jenis izin; BP2T Kota Malang melakukan

pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin; KP2T Kota Madiun melakukan pelayanan Perizinan

sebanyak 18 jenis izin dan 5 izin diantaranya penerbitan izinnya harus mendapat rekomendasi

Walikota; dan KP2T Kabupaten Pamekasan melakukan pelayanan Perizinan sebanyak 15 jenis izin.

Dinamika atau perbedaan jumlah perizinan yang dilayani oleh masing-masing daerah ini dipengaruhi

oleh kebutuhan publik akan perizinan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain,

disamping oleh kewenangan yang ada sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

3. Tugas, Fungsi, dan kewenangan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota

Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah disesuaikan dengan PERMENDAGRI Nomor 20

Page 19: 27-29 - unesa.ac.id

250 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di

Daerah.

4. Struktur Oragnisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan

KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan Lampiran PERMENDAGRI Nomor 20

Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).

5. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T

Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan belum disesuaikan dengan PERMENPAN Nomor:

PER/21/M.PAN/11/2008 Pedoman Penyusunan Standar Operational Prosedur (SOP) Administrasi

Pemerintahan (lihat Lampiran 3-2).

6. Ketersediaan sumber daya (Sarana & Prasarana, SDM, dan Dana) di UPT-P2T Provinsi Jawa Timur,

BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan sudah cukup memadai

dan/atau tidak pernah sampai mengganggu proses pelaksanaan tugas dan fungsi instansi yang

dimaksud.

7. Keberadaan keberadaan UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun, dan

KP2T Kabupaten Pamekasan adalah sangat mempermudah dan/atau memperpendek waktu proses

penerbitan izin, karena menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan,

dan kepastian secara optimal, serta mendapat dukungan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang

terkait.

8. Strategi dan kebijakan pelayanan yang diterapkan pada UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota

Malang, KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan adalah masih diorientasikan pada

upaya meningkatkan kualitas pelayanan prima, sebagaimana yang dimaksud dalam PERDA Provnsi

Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 dan Peraturan Pelaksanaannya.

Sejalan dengan kesimpulan di depan, Tim Peneliti merekomendasikan bahwa UPT-P2T Provinsi Jawa

Timur, BPPT Kota Malang, KPPT Kota Madiun, dan KPPT Kabupaten Pamekasan perlu melakukan tindakan

penguatan kelembagaan, yakni sebagai berikut:

1. Provinsi Jawa Timur perlu meninjau ulang Peraturan Gubernur Nomor 71 Tahun 2010 tertanggal

27 September 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Badan Penanaman

Modal Provinsi Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2010 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu (lihat Lampiran 3-3 dan Lampiran 3-4). Dalam

arti, menurut PERMENDAGRI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata

Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu Di Daerah, lembaga penyelenggara pelayanan perizinan

terpadu semestinya berbentuk Badan dan atau Kantor, bukan UPT yang berada di bawah suatu

SKPD (Lihat Lampiran 3-1. Status kelembagaan ini memiliki implikasi pada status atau

eselonering kepemimpinan dan posisi koordinatif di lingkungan Pemerintah Daerah. Dalam

peninjauan ulang ini juga dipandang perlu untuk meningkatkan status hukum Peraturan

Gubernur yang memayungi keberadaan lembaga P2T tersebut menjadi Peraturan Daerah.

Page 20: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 251

2. Struktur Organisasi UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang, KP2T Kota Madiun,

dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau disempurkan atau disesuaikan

dengan Lampiran PERMENDAG RI Nomor 20 Tahun 2008 (Lihat Lampiran 3-1).

3. Standard Operating Procedure (SOP) UPT-P2T Provinsi Jawa Timur, BP2T Kota Malang,

KP2T Kota Madiun, dan KP2T Kabupaten Pamekasan perlu ditinjau ulang dan/atau

disempurnakan atau disesuaikan dengan Permenpan Nomor : PER/21/M.PAN/11/2008 (lihat

Lampiran 3-2).

4. Adalah sangat bijak, bilamana Pemerintah: Provinsi Jawa Timur, Kota Malang, Kota Madiun,

dan Kebupaten Pamekasan tidak memaknai Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 dan Permenpan

No: PER/21/M.PAN/11/2008 sebagai himbauan, tetapi memaknainya sebagai peraturan

perundangan yang harus ditaati.

5. Adalah sangat bijak, bilamana: Pemerintah dan/atau UPT-P2T Provinsi Jawa Timur; Pemerintah

Daerah dan/atau BP2T Kota Malang; Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kota Madiun; dan

Pemerintah Daerah dan/atau KP2T Kebupaten Pamekasan juga menerapkan alternatif strategi

dan kebijakan.

Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan dan pengaturan dari rakyat bertanggung jawab untuk

menyelenggarakan pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Posisi negara adalah

sebagai pelayan rakyat (publik servant) atau pemberi layanan, sedangkan rakyat memiliki hak-hak atas

pelayanan negara pemerintah.

Pengejawantahan hal tersebut dapat dilihat dengan pemberian otonomi kepada daerah. Hakikat

penyelenggaraan otonomi daerah, bertujuan untuk mendekatkan rakyat dengan pemerintahnya. Implementasi

hal tersebut, termanifestasikan dengan perubahan paradigma tata pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi

dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada DPRD sebagai lembaga perwakilan dan penerima mandat

kedaulatan rakyat untuk mewakili dan memperjuangkan segala kepentingan rakyat.

2.2. Pengertian Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial

yang diberikan baik secara formal maupun secara informal. Peran didasarkan pada preskripsi ( ketentuan ) dan

harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar

dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut. (

Friedman, M, 1998 : 286 ) Pengertian

2.3. Institutional and Attitudinal Reform

Abad 21 ditandai dengan globalisasi yang merambah hampir semua aspek kehidupan manusia.

Revolusi dalam bidang teknologi informasi semakin mempercepat kecenderungan ini. Dunia kita menjadi begitu

kecil. Manusia menjadi terkoneksi secara global, melintasi batas ruang dan waktu. Namun globalisasi itu tidak

berlangsung begitu saja. Dia membawa perubahan besar dalam pola kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam

Page 21: 27-29 - unesa.ac.id

252 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

manajemen pemerintahan. Globalisasi tak lepas dari kompetisi dunia global yang makin keras, yang

mensyaratkan peningkatan daya saing.

Di tengah kondisi demikian, birokrasi kita bukannya menutup mata dan tak bergeming dari realita itu.

Beragam inovasi dan kebijakan telah pula dihasilkan guna meningkatkan kinerja pelayanan mereka. Anehnya,

meskipun reformasi telah bergulir selama tiga belas tahun, citra tentang birokrasi ambtenaar masih belum juga

berubah. Alhasil, carut marut birokrasi yang terus berkembang mengantarkan kita pada satu kesimpulan ada

yang kurang pas dengan reformasi birokrasi.

Salah satu kelemahan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara (Caiden, 1982) adalah ketika

pembaharuan itu hanya bersifat institusional, misalnya pembaharuan undang-undang dan peraturan,

pembaharuan struktur kelembagaan, pembaharuan sarana dan prasarana, pembaharuan sistem dan prosedur

kerja; sementara pada saat yang sama tidak dilakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari para pelaksana.

Menurut Caiden, keadaan demikian akan mengarah pada ketidakefektifan tujuan pembaharuan; dan secara

ekstrim ia menyebutnya sebagai malapraktik pembaharuan. Kasus demikian, menurut hasil kajiannya terutama

terjadi pada organisasi-organisasi di sejumlah negara berkembang.

Lebih lanjut Caiden menegaskan bahwa tujuan utama pembaharuan adalah melakukan perubahan

secara terencana menuju keadaan yang lebih baik dari semula. Karenanya, pembaharuan disebut efektif jika

pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan yang lebih baik benar-benar terjadi. Sebaliknya, pembaharuan

disebut mengalami kegagalan apabila pada kurun waktu yang direncanakan, keadaan tetap seperti sedia kala dan

atau bahkan keadaan menjadi lebih buruk dari sebelum diselenggarakannya pembaharuan.

Pada tataran ini, lahirnya peraturan perundangan yang baru, dalam perspektif pembaharuan relevan

disebut sebagai pembaharuan kelembagaan (institutional reform), yang perlu diikuti dengan pembaharuan

sikap/perilaku (attitudinal reform) jika pembaharuan dikehendaki dapat mencapai efektifitasnya. Salah satu

persoalan mendasar yang dihadapi oleh pemerintah di berbagai belahan dunia dalam mengelola organisasi

birokrasinya seiring upaya menjalankan perannya sebagai penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara

pelayanan publik adalah persoalan krisis sumber daya. Persoalan tersebut, dapat dilihat (diantaranya) dari

munculnya sejumlah istilah berikut : kelangkaan sumber daya, menipisnya sumber daya, keterbatasan sumber

daya, dan sebagainya. Persoalan ini pada akhir tahun 1980-an sempat menjadi bahan diskusi hangat di kalangan

para akademisi maupun pembuat kebijakan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya memegang peran

vital bagi perjalanan suatu negara, bahkan bagi keberlanjutan kehidupan manusia di planet bumi ini.

Dalam kerangka ini pada tahun 1992 Osborne & Gaebler (melalui karya besarnya : Reinventing

Government), menawarkan konsepnya yang revolusioner, tentang mewirausahakan birokrasi, sebagai upaya

melakukan transformasi semangat wirausaha ke dalam organisasi publik. Tidak lain dan tidak bukan konsep

tersebut ditujukan untuk mencapai dua hal sekaligus : (1) meningkatkan kinerja birokrasi dalam menjalankan

peran pelayanan publik (publik service), (2) menciptakan efisiensi birokrasi, yang ditujukan (diantaranya) untuk

mengatasi krisis sumber daya yang sedang dihadapi pemerintah.

Gagasan Osborne & Gaebler tersebut menjadi tonggak sejarah terjadinya perubahan paradigma

pemerintahan sekaligus perubahan paradigma kebijakan publik yang dilahirkannya. Implikasinya, wajah baru

kebijakan publik pun bermunculan, adalah kebijakan publik yang berbasis kewirausahaan, adalah kebijakan

Page 22: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 253

publik yang tidak semata-mata melahirkan konsekuensi pemerintah untuk berperilaku ―membelanjakan‖, namun

juga ―menghasilkan‖.

Tidak dapat dipungkiri bahwa secara konvensional-ortodoks, kebijakan publik lebih terformat ke dalam

konvensi kegiatan yang menghabiskan sumber daya ketimbang menghasilkan atau memproduk sumber daya.

Konvensi inilah nampaknya yang menjadi pemicu fenomena kelangkaan atau menipisnya atau krisis sumber

daya yang terjadi pada organisasi pemerintah.

Kesepakatan terhadap ajakan Osborne & Gaebler kini menjadi fenomena baru kebijakan publik yang

dibuat oleh pemerintahan negara-negara di berbagai belahan dunia. Hakekatnya : pembuat kebijakan dituntut

untuk berparadigma ganda dalam membuat kebijakan publik. Artinya kebijakan yang dibuat sejauh mungkin

diusahakan untuk memiliki dua perspektif secara bersamaan, yaitu perspektif sosial (social heavy) dan ekonomi

(economic heavy).

Perspektif sosial diarahkan agar pemerintah tetap dapat menjalankan peran sosialnya, misalnya sebagai

penyedia pelayanan publik, pencipta kesejahteraan dan pemerataan, agen perubahan, dan fungsi-fungsi sosial

lainnya. Pada saat yang sama peran pemerintah dalam perspektif ekonomi juga berjalan, ditunjukkan oleh

kemampuan pemerintah untuk menciptakan unit-unit kegiatan ekonomi produktif yang menghasilkan, sebagai

―nafas‖ yang dapat menghidupi berjalannya peran sosial yang harus dimainkan. Berjalannya peran pemerintah

dalam perspektif ganda ini bersifat solutif terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan keterbatasan

sumber daya. Inilah tantangan baru bagi para pembuat kebijakan publik di abad ini.

Mengadopsi dua gagasan, yakni gagasan Osborne & Gaebler tentang perlunya mewirausahakan

birokrasi, dan gagasan Caiden akan perlunya dua pilar simultan dalam pembaharuan administrasi publik; dapat

disimpulkan bahwa jika pelayanan publik (sesuai standar pelayanan prima) oleh birokrasi pemerintah memang

dikehendaki tercipta, maka tidak ada pilihan lain kecuali : ada pembaharuan sikap/perilaku para pelaksana

pelayanan, dengan menggunakan sejumlah konsep pelayanan (misalnya) konsep pelayanan yang selama ini

telah diimplementasikan oleh kalangan pelaksana pelayanan pada organisasi privat.

Pengalaman Caiden menunjukkan bahwa salah satu penyebab kegagalan gerakan pembaharuan

terhadap kinerja organisasi pemerintah di berbagai negara terutama disebabkan oleh gagalnya pemerintah di

negara tersebut untuk melakukan pembaharuan sikap dan perilaku dari segenap sumber daya manusia (SDM)

yang terlibat dalam institusi pemerintah tersebut.

Salah satu penyebab lemahnya kinerja pelayanan publik terjadi karena birokrasi kita tenggelam dalam

paradigma pelayanan yang mereka buat sendiri, yang justru cenderung mengabaikan aspirasi publik sebagai

obyek pelayanan itu sendiri. Padahal, belum optimalnya peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang

paripurna berakibat pada minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Selain itu, kemiskinan yang

terus melembaga juga tak dapat dilepaskan dari terhambatnya akses pelayanan yang seharusnya ikut dinikmati

dan dimanfaatkan oleh warga yang berdiam di kantong-kantong kemiskinan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya kondisi ini. Pertama, masalah kelembagaan dan

manajemen pelayanan. Sampai sejauh ini, belum ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta

kriterianya. Akibatnya, terjadi kekaburan tugas dan tanggung jawab instansi pemerintah. Inefisiensi,

Page 23: 27-29 - unesa.ac.id

254 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

kelambatan, ketidakmerataan pelayanan dan fasilitas sosial, overhead cost yang tinggi, serta ketidakpastian

biaya yang harus dikeluarkan masyarakat menjadi fenomena umum.

Kedua, masalah profesionalisme dalam sikap, manajerial, teknis dan administratif. Masalah-masalah ini

berdampak pada perilaku aparat yang lambat, terutama dalam mengikuti perkembangan teknologi, e-

governement, paperless, efisiensi kerja, serta pola kerja yang kompetitif. Pemerintah pun cenderung sulit untuk

menggerakkan partisipasi masyarakat serta menciptakan iklim yang kondusif guna merangsang peran swasta

dalam penyediaan pelayanan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh pemerintah.

Ketiga, masalah keuangan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan sumber pendapatan dalam

membiayai pelayanan dan pembangunan secara menyeluruh. Pemerintah pun dipaksa untuk mencari solusi

alternatif. Salah satunya melalui peningkatan partisipasi dan kerjasama dengan pihak swasta dalam pengadaan

pelayanan. Untuk itu dibutuhkan sikap birokrasi yang proaktif dan bukannya reaktif, yang masih merupakan

kecenderungan perilaku birokrasi saat ini.

Keempat, masalah radius pelayanan. Banyaknya jenis pelayanan, terutama di kota/daerah yang sulit

dibatasi secara administrasi pemerintahan, pada akhirnya menyulitkan administrasi pelayanan dan koordinasi

pembangunan. Untuk itu diperlukan kerjasama antar daerah dalam rangka pengelolaan berbagai pelayanan yang

ada sehingga manfaatnya bisa dirasakan bersama.

Dalam praktiknya, empat masalah di atas dapat diantisipasi melalui reaktualisasi pemerintahan,

utamanya di tingkat daerah, dengan strategi penguatan pemerintah daerah yang tepat. Strategi penguatan

tersebut bermanfaat dalam mempercepat proses sustainabilitas pemerintah daerah itu sendiri, yang mengurangi

ketergantungan daerah pada bantuan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Strategi ini dijalankan melalui

reaktualisasi kewenangan daerah, restrukturisasi kelembagaan pemerintah, reposisi dan relokasi personil yang

cermat, penataan manajemen keuangan, pemberdayaan DPRD sebagai fungsi kontrol eksekutif, dan perbaikan

manajemen pelayanan. Dalam kerangka demikian, perampingan kelembagaan pemerintah menjadi keniscayaan,

meskipun reformasi kelembagaan itu bukan pekerjaan mudah. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu

melakukan evaluasi kelembagaan berdasarkan tugas-tugas yang diemban oleh dinas-dinas terkait. Evaluasi ini

diarahkan untuk melihat permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan tugas kelembagaan tersebut.

Beberapa permasalahan itu di antaranya: pertama, adanya beberapa penugasan yang tumpang tindih,

baik antar organisasi, maupun antara satuan tugas organisasi. Kedua, terdapat ketimpangan antara volume kerja

dengan besaran struktur organisasi; ketiga, terdapat beberapa satuan organisasi yang kurang didukung oleh

sumber daya (aparat, anggaran dan sarana) yang sesuai kebutuhan; dan keempat, koordinasi pelaksanaan tugas

kurang optimal karena belum adanya mekanisme kerja yang baku.

Berangkat dari empat permasalahan tersebut, penataan kelembagaan yang dikembangkan oleh

pemerintah daerah harus diletakkan dalam kerangka peran pemerintah, yang terdiri atas fungsi pengaturan,

pelayanan publik, dan pemberdayaan, guna meningkatkan profesionalitas lembaga dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Penataan tersebut juga diwujudkan dalam model subsidiarity, di mana masyarkat

dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, penataan kelembagaan dilaksanakan

juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan kewenangan pemerintah, dengan memperhatikan

kemampuan potensi daerah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman pemerintah terhadap penataan

Page 24: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 255

kelembagaan yang tidak dipahami sebatas penataan struktur semata, melainkan juga sebagai pelembagaan

jaringan kerjasama (networking) yang adaptif dalam persoalan demokrasi. Model pemerintahan yang birokratis

dan kaku disingkirkan. Di samping mempermudah koordinasi, pemerintah daerah juga akan menjadi responsif

terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Tindak lanjut dari keseluruhan hal di atas adalah penataan lembaga itu sendiri. Perhatian utama

diletakkan pada signifikansi tugas yang diemban organisasi berikut ketimpangan antara volume kerja dengan

besaran struktur organisasi. Karenanya, perampingan bagi satuan organisasi yang volume kerjanya terlampau

sedikit adalah sebuah tuntutan logis, misalnya dari sub dinas menjadi seksi. Namun, tidak menutup

kemungkinan adanya pengembangan organisasi, misalnya dari kantor menjadi badan. Selain itu, satuan

organisasi yang lebih efisien berdiri sendiri dapat dikembangkan menjadi organisasi perangkat daerah, seperti

dari sub dinas menjadi kantor. Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk membentuk organisasi baru jika memang

terdapat tuntutan pelayanan fungsi baru dari pemerintah.

Pada akhirnya, keseluruhan penataan kelembagaan tersebut ditujukan untuk membangun organisasi

pemerintah daerah yang fleksibel, tahan banting dan adjustable atas setiap perubahan situasi yang berkembang

di masyarakat. Organisasi itu nantinya diharapkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai tantangan

dan permasalahan yang muncul kemudian, sekaligus mampu melakukan lompatan ke depan untuk menjawab

berbagai dinamika tersebut dan mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, aspiratif dan efisien.

Di sisi lain, reformasi kelembagaan tersebut berjalan beriringan dengan keharusan untuk membangun

ukuran kinerja birokrasi itu sendiri. Komitmen serta dukungan yang tinggi dari para pengambil keputusan serta

pembuat kebijakan di tubuh birokrasi menjadi prasyarat mutlak. Dedikasi ini dilaksanakan secara bertahap, yang

dimulai dari institusi yang sudah cukup stabil, dalam arti tidak sedang dalam proses perubahan ataupun

pergantian personil. Transparansi pun diperlukan sebagai jembatan informasi kepada seluruh stakeholder

birokrasi, baik internal, apalagi khalayak eksternal.

Partisipasi masyarakat tak boleh dikesampingkan. Setelah penguatan internal dilakukan, birokrat perlu

berdialog dengan masyarakat guna menyusun indikator masing masing jenis layanan. Indikator ini tidak lepas

dari faktor pembiayaan yang dibutuhkan berikut sumber dana itu. Langkah ini ditindaklanjuti dengan sosialisasi

indikator secara mendetail hingga dipahami oleh publik. Tentu aja tolok ukur penilaian kinerja itu harus yang

tepat dan mudah dioperasionalkan. Semakin sederhana alat ukurnya, semakin mudah pula implementasi dan

evaluasinya. Pemerintah pun secara transparan dan berkala harus menginformasikan hasil implementasinya

kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menyampaikan komplainnya dengan terarah dan tepat

sasaran.

2.4.Reformasi Birokrasi dan Good Governance

Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang

selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang

bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim

terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa.

Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah, serta era anti institusi.

Page 25: 27-29 - unesa.ac.id

256 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Implikasi nyata dari fenomena semakin rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah ini, berujung pada

posisi administrasi publik yang sulit serta tidak menguntungkan. (Edelman dalam Wibowo 2004:5).

Good governance sudah lama menjadi mimpi bagi banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman

mereka mengenai good governance berbeda-beda, namun sebagian besar dari mereka setidaknya

membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih

baik. Banyak diantara mereka yang membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance maka

kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semkin rendah, dan pemerintahan

semakin peduli dengan kepentingan warga.

Mengingat pengembangan good governance memiliki kompleksitas yang tinggi dan kendala yang

besar maka diperlukan sebuah langkah yang strategis untuk memulai praktik good governance. Agus Dwiyanto

menyarankan praktik governance sebaiknya dimulai dari sektor pelayanan publik (Dwiyanto 2005:3). Pelayanan

publik dipilih sebagai penggerak utama karna upaya mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik

governance yang baik dalam pelayanan publik dapat dilakukan lebih nyata dan mudah. Nilai-nilai seperti

efesiensi, partisipasi dan akuntabilitas dapat diterjemahkan secara relatif lebih mudah dalam penyelenggaraan

pelayanan publik.

Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good

governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki

kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi

bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia.

Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah ,

warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan

interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance

diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik.

Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya

prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi

sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi

pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan

melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping

permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan

martabatnya sebagai warga negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat

birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi

karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah

kepada budaya kekuasaan. Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas

penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima

sebab pelayanan publik merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh pejabat

publik.

Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip Good Governance,

yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik

Page 26: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 257

yang berkualitas merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara diharapkan

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien. Diharapkan dengan penerapan Good

Governance dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu

penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan

menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat

dari segi fungsional, aspek governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan

efesien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau justru sebaliknya dimana pemerintahan tidak

berfungsi secara efektif dan efesien. Penekanan baru dari konsep governance adalah pemaknaannya yang tidak

lagi menunjuk penggunaan kekuasan secara eksklusif pada pemerintahan, tetapi juga merujuk pada penggunaan

kekuasaan pada institusi atau organisasi yang berada diluar pemerintahan. Selain itu defenisi governance juga

memberikan penekanan pada fungsi yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga aktor-aktor lain

yaitu civil society, dan pasar atau sektor privat. Governance merupakan sebuah bentuk mekanisme, proses,

hubungan dan jaringan institusi yang kompleks, dimana warga negara dan kelompok-kelompok yang ada

mengartikulasikan kepentingannya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa hampir semua organisasi, asosiasi, atau

lembaga dalam masyarakat mempunyai pengaruh dan juga dipengaruhi oleh fungsi-fungsi governance.

Governance menurut defenisi dari World Bank adalah ―the way state power is used in managing

economic and social resources for devolepment and society”. Suatu cara digunakan didalam mengatur sumber

daya sosial dan ekonomi untuk pembangunan dan masyarakat". Sementara UNDP (United Nation Development

Program) mendefenisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to

manage a nation‟s affair at all levels”. Latihan dari politis, ekonomi, dan otoritas administratif untuk mengatur

suatu urusan bangsa pada semua tingkat". Berdasarkan defenisi terakhir, governance mempunyai tiga kaki,

yaitu:

1. Economic governance (Penguasaan ekonomi) meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi

terhadap equity (Kekayaan), proverty (properti), dan quality of live ( Kualitas hidup).

2. Political governance (Penguasaan politik) adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan.

3. Administrative governance (Penguasaan administrasi) adalah sistem implementasi proses kebijakan

(Sedarmayanti 2003:4-5).

Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah),

private sector (sektor swasta), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya

masing-masing. State berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector

menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi,

politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial,

dan politik.

Selain itu, OECD (Organization for Economic Coorporated Development) yaitu organisasi untuk

kerjasama ekonomi pembangunan dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan

manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang

efesien, penghindaran korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta

Page 27: 27-29 - unesa.ac.id

258 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

penciptaan legal and political frameworks (undang-undang dan kerangka politik) bagi tumbuhnya aktivitas

kewiraswastaan (Sedarmayanti 2003:7).

Good governance menurut UNDP didefenisikan sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di

antara Negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan defenisi tersebut, UNDP kemudian

mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Adapun

prinsip-prinsip tersebut adalah partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun

konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggung jawab dan visi yang strategik (Suhady 2005).

Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktik penyelenggaraan

kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:

1. Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan

memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui

lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing

2. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat

madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada

stakeholders.

3. Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan,

ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.

4. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi.

Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

5. Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani

berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).

6. Berorientasi konsensus (Consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah

bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi

kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan

masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

7. Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki

maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

8. Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan

untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-

baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.

9. Visi strategis (Strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka

panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan

dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

2.5.Pelayanan Publik, Kepentingan Publik, Kualitas Pelayanan Publik

Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar

seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Sampara dalam

Page 28: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 259

Sinambela 2006). Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara atau

hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman;

menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan).

Menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian

dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga

negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara

publik.

Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa inggris publik yang berarti umum, masyarakat, negara.

Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum,

orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat

sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat. Oleh

karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah

manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan

menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Inu dalam Sinambela

2006).

Ijan Poltak Sinambela (2006) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani)

keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok

yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada

penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi

berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.

Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau

pelayanan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan

dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62 tahun

2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :

1. Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-

belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan yang mencakup : Rincian biaya atau tarif pelayanan publik. Prosedur/tata cara umum, baik

teknis maupun administratif.

3. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang

telah ditentukan.

4. Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau

oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.

5. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan

santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

Page 29: 27-29 - unesa.ac.id

260 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

6. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk

penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.

Kualitas pelayanan berhasil dibangun apabila yang diberikan kepada masyarakat atau pelanggan

mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan ini bukan dari aparatur tetapi dari

masyarakat/pelanggan. Dengan adanya tata cara pelayanan yang jelas dan terbuka, maka masyarakat dalam

pengurusan kepentingan dapat dengan mudah mengetahui prosedur ataupun tata cara pelayanan yang harus

dilalui. Sehingga pelayanan itu sendiri akan dapat memuaskan masyarakat.

Pelayanan yang dapat memberikan kepuasan pada para pelanggan sekurang-kurangnya mengandung

tiga unsur pokok yaitu :

1. Terdapatnya pelayanan yang merata dan sama, yaitu dalam pelaksanaannya tidak ada diskriminasi yang

diberikan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat. Pelayanan tidak menganaktirikan dan

menganakemaskan keluarga, pangkat, suku, agama dan tanpa memandang status ekonomi. Hal ini

membutuhkan kejujuran dan tenggang rasa para pemberi pelayanan tersebut.

2. Pelayanan yang diberikan harus tepat pada waktunya Pelayanan oleh aparat pemerintah dengan mengulur

waktu dengan berbagai alasan merupakan tindakan yang dapat mengecewakan masyarakat. Mereka yang

membutuhkan secepat mungkin diselesaikan akan mengeluh kalau tidak segera dilayani. Lagipula jika

mereka mengulur waktu tentunya merupakan beban untuk tahap selanjutnya karena berbarengan dengan

semakin banyaknya tugas yang harus diselesaikan.

3. Pelayanan harus merupakan pelayanan yang berkesinambungan

Dalam hal ini aparat pemerintah harus selalu siap untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat

yang membutuhkan bantuan pelayanan. Meminjam model dari Valerie A. Zeithaml dkk (2000:45) maka ada

beberapa dimensi yang sangat penting diperhatikan dalam mengukur pelayanan yang bekualitas yaitu:

1. Tangibility : dapat berupa tampilan fisik, peralatan, dan penggunaan alat Bantu yang

dimiliki pemberi pelayanan. Hal ini sangat penting sekali mengingat masyarakat akan

merasa lebih nyaman berada dalam sarana fisik yang bersih, rapi dan nyaman serta mudah

dalam mengidentifikasikan antara pembeli pelayanan dengan orang lain.

2. Reability : kesesuaian antara kenyataan layanan yang diberikan dengan pelayanan yang

dijanjikan. Hal ini penting karena akan mempengaruhi perencanaan usaha dan kepastian dari

masyarakat dalam mendapatkan pelayanan.

3. Responsiveness : kemampuan dalam pemberian pelayanan secara tepat dan cepat. Pemberi

pelayanan harus bertanggung jawab dalam memberikan penyelesaian masalah-masalah yang

dihadapi masyarakat atau pelanggan.

4. Assurance : keahlian yang diperlukan dalam memberikan pelayanan sehingga pelanggan

atau masyarakat merasa terbebas dari resiko atau kerugian karena gagalnya pelayanan.

Page 30: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 261

5. Empathy : adanya kedekatan dan pemahaman baik antara pemberi pelayanan dengan

masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memuat akses komunikasi yang dapat

memudahkan komunikasi antara pemberi pelayanan dapat mengenal

masyarakat/pelanggannya dengan baik dan keinginan masyarakat dalam proses pelayanan

dapat dimengerti.

Komitmen dan semangat untuk melakukan penataan terhadap sistem governance di bidang

pemerintahan terus meningkat. Penyebabnya, selain karena masih banyaknya organisasi yang memiliki kinerja

yang kurang baik, juga disebabkan tidak efektifnya perangkat hukum dan peraturan-peraturan yang berkaitan

dengan organisasi berdampak pada tidak terciptanya kinerja pelayanan publik yang baik, hal tersebut tidak

hanya berdampak pada profit organisasi akan tetapi juga berdampak pada non-profit organisasi termasuk

institusi pemerintah. Kesalahan-kesalahan inilah yang menjadi titik perhatian akademisi, pemerintah dan praktisi

untuk melakukan penataan terhadap system governance.

Penyelenggaraan tata pemerintahan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pelayananan publik, selama ini dianggap kurang memenuhi harapan dalam penerapannya karena tidak

memenuhi prinsip, norma, efisiensi, partisipasi, transparasi dan akuntabilitas. Sementara pemenuhan kebutuhan

dasar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, berkeadilan dan persamaan perlakuan

di muka hukum menjadi kebutuhan masyarakat yang amat mendesak.

Pelayanan publik sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat merupakan salah

satu fungsi penting pemerintah, selain fungsi distribusi, regulasi maupun proteksi. Fungsi pelayanan publik

tersebut merupakan aktualisasi riil kontrak sosial yang diberikan masyarakat kepada pemerintah, dalam konteks

hubungan principal-agent. Berdasarkan kerangka kerja tersebut, pemerintah selanjutnya melakukan proses

pengaturan alokasi sumber daya publik dengan cara menyeimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran untuk

memaksimalkan penyediaan kebutuhan pelayanan kolektif.

Pelaksana kontrak sosial yang digariskan sebelumnya oleh pemerintah seringkali menimbulkan banyak

masalah bagi publik, sehingga pemerintah kemudian mendapatkan berbagai stigma negatif dan salah satu di

antaranya adalah stigma jauh dari ―menjadi bagian dari solusi‖ (a part of solution), pemerintah justru menjadi

―bagian dari masalah‖ (a part of problem) bahkan menjadi masalah utama dalam proses penyelenggaraan

pelayanan publik.

Indikator hal tersebut dapat kita lihat pada fenomena malpraktik pelayanan publik yang sudah menjadi

bagian integral dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka bukan hal yang tidak mungkin jika stigma

negatif itu dilontarkan, hal ini dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik yang kurang memenuhi harapan

masyarakat, misalnya bertele-tele, cenderung birokratis, tidak transparan, banyak pungutan tambahan, perilaku

aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat dan pelayanan yang diskriminatif.

Indikasi lain yang terkait dengan pelayanan publik adalah teridentifikasinya ―budaya negatif‖ di dalam

lingkungan organisasi pemerintah yang merugikan kepentingan publik seperti mendahulukan kepentingan

pribadi, golongan, kelompok, termasuk kepentingan atasannya. Adanya perilaku malas dalam mengambil

inisiatif di luar peraturan (lebih banyak sembunyi di balik aturan atau petunjuk atasan), sikap acuh terhadap

Page 31: 27-29 - unesa.ac.id

262 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

keluhan masyarakat, lamban dalam memberikan pelayanan serta sederetan persoalan-persoalan lainnya yang

merupakan gambaran perilaku lainnya yang tidak simpatik dan kurang mengenakkan.

Untuk mewujudkan Good Governance, maka penyelenggaraan pemerintahan harus mencakup prinsip –

prinsip, sebagaimana yang digunakan oleh berbagai lembaga international seperti UNDP, World Bank, dan

meliputi : (1) partisipasi, (2) Efisiensi dan efektivitas, (3) Keadilan, (4) Akuntabilitas, (5) Transparasi, (6)

responsivitas, (7) Kesamaan dan (8) kepastian hukum (Dwiyanto, 2003). Selain itu, konsep pelayanan prima

juga menjadi model yang harus diterapkan guna meningkatkan kualitas pelayanan

Strategi pelayanan prima yang dikemas dalam bentuk layanan terpadu, adalah pola pelayanan publik

yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi yang bersangkutan sesuai dengan

kewenangan masing-masing. Penerapan layanan terpadu pada dasarnya ditujukan antar fungsi terkait, maka

dengan demikian pelayanan terpadu bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau

(Sedarmayanti, 2004).

Suatu sistem pelayanan publik dalam merespons dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya secara

tepat dan efisien akan sangat ditentukan oleh bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan Kemampuan dijadikan

sebagai basis dan kriteria dalam pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu. Birokrasi publik diIndonesia sering

kali tidak memiliki misi yang jelas sehingga fungsi-fungsi dan aktifitas yang dilakukan oleh birokrasi itu

cenderung semakin meluas, bahkan mungkin menjadi semakin jauh dari tujuan yang dimiliki ketika membentuk

birokrasi itu. Perluasan misi birokrasi ini sering kali tidak didorong oleh keinginan birokrasi itu agar dapat

membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya, tetapi didorong oleh keinginan

birorasi untuk memperluas aksesnya terhadap kekuasaandan anggaran.

Dalam situasi yang fragmentasi birokrasi amat tinggi, maka kecenderungan semacam ini tidak hanya

akan membengkakkan birokrasi publik, tetapi juga menghasilkan duplikasi dan konflik kegiatan dan kebijakan

antar kementrian dan berbagai non kementrian. Dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik, konflik

kebijakan antar departemen dan lembaga non departemen bukan hanya melahirkan inefisiaensi, tetapi juga

membingungkan masyarakat pengguna jasa birokrasi.

Ketidakpastian misi juga membuat orientasi birokrasi dan pejabatnya pada prosedur dan peraturan

menjadi amat tinggi. Apalagi dalam birokrasi publik di Indonesia yang cenderung menjadikan prosedur dan

peraturan sebagai panglima, maka ketidakjelasan misi birokrasi publik mendorong para pejabat birokrasi publik

menggunakan prosedur dan peraturan sebagai kriteria utama dalam penyelenggaraan pelayanan. Para pejabat

birokrasi sering mengabaikan perubahan yang terjadidalam lingkungan dan alternatif cara pelayanan yang

mungkin bisa mempermudah para pengguna layanan untuk bisa mengakses pelayanan secara lebih mudah dan

murah. Ketaatan dan kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan menjadi indikator kinerja yang dominan

sehingga keberanian untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitas dalam merespon perubahan

yang terjadi dalam masyarakat menjadi amat rendah.

Rutinitas dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan benar dalam penyelengaraan pelayanan publik.

Birorasi yang seperti ini tentu amat sulit menghadapi dinamika yang amat tinggi, yang muncul sebagai akibat

dari krisis ekonomi dan politik yang sekarang ini terjadi di Indonesia. Krisis ini mengajarkan kepada kita betapa

rapuhnya sistem birokrasi publik diIndonesia dalam menghadapi perubahan-perubahan yang cepat dalam

lingkungannya. Tentunya kegagalan birokrasi dalam merespons krisis ekonomi dan politik secara baik juga

Page 32: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 263

amat ditentukan oleh bagaimana sistem kekuasaan, akuntabilitas, intensif dan budaya yang berkembang dalam

birokrasi selama ini.

Uraian diatas menjelaskan bahwa kemampuan pemerintah dan birokrasinya dalam menyelenggarakan

pelayanan publik amat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk

memahami kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik, tentu tidak cukup hanya dengan

menganalisisnya dari satu aspek yang sempit, tetapi harus bersifat menyeluruh dengan memperhatikan semua

dimensi persoalan yang dihadapi oleh birorasi serta keterkaitan sati dengan yang lainnya. Dengan cara pandang

seperti ini, maka informasi tepat dan lengkap mengenai kinerja birokrasi dapat diperoleh dan kebijakan

reformasi birokrasi yang holistik dan efektif bisa dirumuskan dengan mudah. Dengan melaksanakan kebijakan

seperti ini, maka diharapkan perbaikan kinerja birokrasi dalam penyelengaraan pelayanan publik akan bisa

segera dinikmati oleh masyarakat luas.

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis/Pendekatan Penelitian

Jenis/pendekatan penelitian yang digunakan dalam penyelenggaraan penelitian ini adalah kombinasi

antara penjajagan (exploratory) dan deskriptif (descriptive). Penelitian eksploratori (exploratory–dalam istilah

―lama‖ disebut penelitian eksploratif), merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian (kadang disebut pula

dengan desain penelitian. Penyebutan penelitian eksploratori sebagai salah satu pendekatan penelitian antara

lain ditemukan dalam blog KnowThis.com (blog tentang pemasaran) yang menjelaskan penelitian eksploratori

(dalam pemasaran, tentunya) sebagai berikut.

Pendekatan eksploratori berupaya menemukan informasi umum mengenai sesuatu

topik/masalah yang belum dipahami sepenuhnya oleh seseorang petugas pemasaran (bisa

kita ganti sebutannya dengan yang lebih umum : peneliti). Sebagai contoh, seorang

petugas pemasaran (peneliti) telah mendengar berita tentang adanya teknologi internet

baru yang bisa membantu pihak-pihak yang berkompetisi di dunia pemasaran, tetapi si

petugas pemasaran tersebut belum akrab (kenal, paham) benar dengan peralatan

teknologi tersebut dan berkeinginan untuk melakukan penelitian guna mengenal lebih

jauh mengenainya (Tatang, 2009).

Penelitian ini, oleh karena obyeknya adalah implementasi kebjakan, maka secara substantif juga bisa

disebut sebagai penelitian kebijakan. Dalam pandangan Rahayu (2010), penelitian kebijakan (policy research)

secara spesifik ditujukan untuk membantu pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun rencana

kebijakan, dengan jalan memberikan pendapat atau informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan

masalah yang kita hadapi sehari-hari. Dengan demikian, penelitian kebijakan merupakan rangkaian aktifitas

yang diawali dengan persiapan peneliti untuk mengadakan penelitian atau kajian, pelaksanaan penelitian, dan

diakhiri dengan penyusunan rekomendasi.

Penelitian kebijakan memiliki sifat yang sangat khas. Kekhasan penelitian ini terletak pada fokusnya.

Danim (2005) menjelaskan fokus penelitian kebijakan secara umum adalah: berorientasi kepada tindakan untuk

memecahkan masalah sosial yang unik, yang jika tidak dipecahkan akan memberi efek negatif yang sangat luas.

Tidak ada ukuran pasti mengenai luas atau sempitnya suatu masalah sosial. Setiap jenis penelitian tentu

Page 33: 27-29 - unesa.ac.id

264 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

memiliki karakteristik masing-masing. Demikian juga dengan penelitian kebijakan. Kekhususan karakteristik

penelitian kebijakan terutama pada proses kerjanya. Menurut Ann Majchrzak sebagaimana yang dikutip Danim

(2005), karakteristik penelitian kebijakan adalah: (1) Fokus penelitian bersifat multidimensional atau banyak

dimensi, (2) Orientasi penelitian bersifat empiris-induktif, (3) Menggabungkan dimensi masa depan dan masa

kini, (4) Merespon kebutuhan pemakai hasil studi, (5) Menonjolkan dimensi kerja sama secara eksplisit.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa nilai spesial karakteristik penelitian kebijakan adalah pada

penekanan-penekanan khusus dari masing-masing karakteristik tersebut serta kepaduannya dalam melihat

masalah secara multi dimensi dan dikedepankannya hasil penelitian yang dapat memberikan kontribusi bagi

upaya memperbaiki kebijakan public, baik dalam tataran formulasi, implementasi maupun evaluasi.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga

disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka

langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (Mc Millan & Schumacher, 2003). Penelitian

kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui

prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Sekalipun demikian, data yang

dikumpulkan dari penelitian kualitatif memungkinkan untuk dianalisis melalui suatu penghitungan. Penelitian

kualitatif (Qualitative research) bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu

berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial (a shared social eperience) yang

diinterpretasikan oleh individu-individu.

Sementara itu, menurut (Sugiono, 2009:15), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat postpositifsime, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai

lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sample sumber dan

data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi

(gabungan) analisis data bersifat induktif / kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada

makna daripada generalisasi.

Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek yang alamiah maksudnya, objek yang

berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi

dinamika pada objek tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah orang

atau peneliti itu sendiri (humane instrument). Untuk dapat menjadi instrumen maka peneliti harus memiliki

bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi situasi sosial

yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna. Berikut ini karakteristiknya:

1. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data :

2. Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik : data yang diperoleh seperti hasil pengamatan,

hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di

lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka.

3. Tekanan penelitian kualitatif ada pada proses bukan pada hasil. Data dan informasi yang

diperlukan berkenaan dengan pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana untuk mengungkap

proses bukan hasil suatu kegiatan.

Page 34: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 265

4. Penelitian kualitatif sifatnya induktif. Penelitian kualitatif tidak dimulai dari deduksi teori, tetapi

dimulai dari lapangan yakni fakta empiris. Peneliti terjun ke lapangan, mempelajari suatu proses

atau penemuan yang tenjadi secara alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan dan melaporkan

serta menarik kesimpulan-kesimpulan dari proses tersebut.

5. Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap berkisar pada persepsi orang

mengenai suatu peristiwa. (Apipah, 2012)

3.2.Lokasi Penelitian

Secara teritori populasi penelitian ini adalah Provinsi Jawa Timur, dan secara substantif populasi

penelitian ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan obyek maupun subyek pelayanan publik,

khususnya tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, Namun

dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu, biaya dan kapasitas untuk melakukan penelitian ini, maka

secara teritori penelitian ini memilih 5 kabupaten sebagai sampel penelitian ini dengan pertimbangan lima

daerah tersebut dalam catatan Komisi Pelayanan Publik terdapat jumlah pengaduan dalam ranking tertinggi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, ditentukan 5 daerah yang menjadi sampel penelitian ini, meliputi :

1. Kabupaten Sidoarjo

2. Kabupaten Banyuwangi

3. Kabupaten Lamongan

4. Kota Blitar

5. Kabupaten Kediri

3.3.Teknik Pengambilan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualiatas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi,

populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan benda-benda alam lainnya. Populasi juga bukan sekedar

banyaknya objek/subjek yang diteliti, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek atau

objek tersebut.

Sampel adalah perwakilan dari kelompok yang telah diseleksi dari populasi target sehingga peneliti dapat

mengeneralisasikan hasil penelitian yang diperoleh ke dalam populasi target. Sampel adalah bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Jadi, sampel merupakan perwakilan/bagian dari jumlah kelompok

dengan karakteristik tertentu yang dimiliki oleh populasi.

Populasi dalam penelitian kualitatif dinamakan situasi sosial (objek yang ingin dipahami secara mendalam).

Sampel dalam penelitian ini berupa partisipan, atau narasumber atau informan. Sampel dalam penelitian kualitatif

didasarkan atas informasi yang maksimum (bukan statistik). Teknik pengambilan sampel yang dipilih dalah

purposive dan snowball. Kegiatan eksplorasi penelitian diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan telaah

dokumen. Dilakukan saat mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung (emergent sampling

design). Peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data yang lebih

lengkap. Apabila penentuan unit sampel (partisipan/informan) dianggap telah memadai (redundansi), data telah

jenuh maka tidak perlu lagi menambahkan sampel sebagai informasi yang baru.

Page 35: 27-29 - unesa.ac.id

266 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Teknik sampling yang dipilih adalah teknik sampling penelitian kualitatif purposive sampling. Prosedur

dimana peneliti mengidentifikasi informan kunci: orang-orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang topik

yang sedang diselidiki. Misalnya, Penelitian tentang fenomena penyampaian gugatan atau keluhan pelanggan.

3.4.Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk

pengumpulan data. Teknik dalam menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi

hanya dapat dilihat penggunaannya melalui : angket, wawancara, pengamatan, ujian (tes), dokumentasi, dan

lain-lain. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan teknik tergantung dari masalah yang dihadapi

atau yang diteliti.

Dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan

data kualitatif, yaitu; 1) wawancara, 2) observasi, 3) dokumentasi, dan 4) diskusi terfokus (Focus Group

Discussion). Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan

terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data mana

yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat data yang valid dan reliable, meliputi:

1. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, karena peneliti

telah mengetahui informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara,

peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan wawancara

terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya. Dalam

melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka

pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur dan material lain

yang dapat membantu pelaksanaan wawancara berjalan lancar.

2. Observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini.

Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan,

penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah

penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan

perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau

kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian (Guba dan Lincoln, 1981). Bungin (2007) mengemukakan

beberapa bentuk observasi, yaitu: 1) Observasi partisipasi, 2) observasi tidak terstruktur, dan 3) observasi

kelompok. Berikut penjelasannya:

a. Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang

digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti

terlibat dalam keseharian informan.

b. Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi,

sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di

lapangan.

Page 36: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 267

c. Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah

isu yang diangkat menjadi objek penelitian.

3. Studi Dokumen : selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang

tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan

sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa

silam.

3.5.Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama

dilapangan, dan setelah selesai dilapangan. Dalam hal ini Nasution (1988) menyatakan ‖Analisis telah mulai

sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan berlangsung terus sampai

penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin,

teori grounded”. Namun dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses dilapangan

bersamaan dengan pengumpulan data.

1. Analisis Sebelum di Lapangan : penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti

memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data skunder, yang

akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat

sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama dilapangan.

2. Analisis Selama di Lapangan: analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan

data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara

peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai

setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaannya lagi sampai

tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles and Huberman (2984) mengemukakan bahwa

aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus

sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display dan conclusion

drawing/ferification.

3. Data reduction (reduksi data) : data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu

dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan makin lama peneliti di lapangan, maka jumlah

data akan makinbanyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segers dilakuakan analissi data melalui

reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum , memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-

hal yang penting, dicari tema dan polanya dan memebuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang

telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memepermudah peneliti untuk

melakuakan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinyan bila diperlukan. dan pengembangan teori

yang segnifikan.

4. Data display (penyajian data): setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya adalh mendisplaykan data.

Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakuakan dalam bentuk table, grafik,

pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersususn dalam

pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa

dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini

Page 37: 27-29 - unesa.ac.id

268 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Miles and Huberman (1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data maka akan

memedahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang

telah dipahami tersebut. Miles and Huberman (1984). Selanjutkan disarangkan, dalam melakukan dispalay

data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network dan chart. Untuk mengecek

apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, maka perlu dijawab pertayaan berikut, apakah

anda tahu apa isi yang didisplaykan.

5. Conclusion Drawing/verification : kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan

berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data

berikutnya. Tetapi apabila data kesimpulan data yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh

kembali bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka

kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Dengan demikian kesimpulan dalam

penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi

mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam

penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada dilapangan.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya

belum pernah ada. Temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih

remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas.

Sebagai penyempurna penelitian ini juga digunakan confirming finding analysis (analisis memastikan

temuan) yang akan dipakai untuk memastikan apakah temuan dalam penelitian ini memiliki kebenaran. Teknik

confirming finding analysis akan dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi dengan bantuan wawancara

terstruktur dengan informan kunci serta dengan observasi pada obyek-obyek yang spesifik dan relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Gambaran Umum Komisi Pelayanan Publik (KPP)

a.Kelembagaan KPP

Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga yang dibentuk pertama kalinya

pada tahun 2006. KPP hadir sebagai bentuk implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) Jatim No. 11 Tahun

2005 Tentang Pelayanan Publik.

Dalam peraturan daerah yang merupakan amanat bagi pelaksanaan pelayanan publik prima di Jawa

Timur tersebut, diamanatkan tentang berdirinya KPP selaku lembaga independen yang mengawasi pelaksanaan

pelayanan publik. Lembaga ini memiki fungsi sebagai pengawas eksternal pelayanan publik dengan tugas utama

menangani pengaduan masyarakat.

Seiring dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan publik, dimana pemerintah pusat mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, Tentang Pelayanan Publik, Jawa Timur melalui DPRD melakukan

penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan oleh Komisi A DPRD Jawa Timur tersebut menghadirkan Perda

Page 38: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 269

Jatim Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pelayanan Publik. Perda ni sendiri sebenarnya merupakan revisi dari Perda

No. 11 Tahun 2005 sebagai akibat dari terbitnya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Ada perbedaan yang signifikan antara Perda No. 11/2005 dengan Perda No. 8 Tahun 2011 yang

berkaitan dengan KPP. Perbedaan itu diantaranya masa jabatan yang sebelumnya 5 Tahun menjadi 4 tahun.

Selain itu jumlah anggota yang sebelumnya berjumlah 5 orang kini menjadi 7 orang Sebagaimana Perda No. 11

Tahun 2005, Dalam Perda No. 8 Tahun 2012 inipun juga mengamanatkan tentang keberadaan Komisi

Pelayanan Publik (KPP). Dalam Perda ini secara rinci diatur bagian mengenai Komisi Pelayanan Publik. Hal ini

terdapat dalam pasal 44 hingga pasal 53 Perda tersebut.

Sebagaimana diamanatkan Perda No. 8 Tahun 2011, KPP dihadirkan dengan serangkaian tugas pokok,

fungsi dan tanggung jawab dalam hal pengawasan pelaksanaan pelayanan publik. Tugas tersebut terutama

berkaitan dengan penanganan pengaduan seputar pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi di wilayah Jawa

Timur. Tugas ini akan menjadi hal yang harus dilaksanakan oleh Tugas tersebut haruslah menjadi hal mendasar

yang harus dikerjakan oleh ketujuh anggota KPP yang diperoleh melalui proses penjaringan dan penyaringan

yang cukup ketat oleh panitia dan Komisi A DPRD Jawa Timur dan telah dilantik pada tanggal 9 April 2012.

(Sumber KPP Jatim)

b. Kedudukan KPP :

KPP berkedudukan di Ibukota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi

penyelenggara pelayanan publik di lingkungan Pemerintah Provinsi.

KPP merupakan lembaga pengawas eksternal yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bersifat

independen bebas dari pengaruh siapapun.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dapat menjalin kerjasama kemitraan dengan

Ombusdman maupun dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan instansi lainnya.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPP dibantu oleh staf Sekretariat.

Staf Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pegawai negeri sipil yang kompeten berdasarkan

penugasan dari Pemerintah Provinsi.

c.Struktur KPP

Sebagaimana telah dipaparkan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur terdiri dari 7

orang anggota (Perda No. 8/2011 Pasal Ayat). Ketujuh anggota ini sesuai dengan pasal XX ayat XX secara

struktural terdiri dari satu orang ketua merangkap anggota, satu orang wakil ketua merangkap anggota dan lima

orang anggota. Adapun susunan organisasi KPP sebagai berikut :

Ketua merangkap anggota : Deni wicaksono, S.Sos

Wakil Ketua merangkap anggota : Dr.wahidahwati, SE,M.Si, AK

Anggota :

1. Suprapto, SH, MH,M.Psi

Page 39: 27-29 - unesa.ac.id

270 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

2. Nuning Rodiyah,S.Pd.I, M.Pd.I

3. Immanuel Yosua T, S.Th, MACE

4. Hardly Fenelon S,SE

5. Assistriadi W, ST.MM

d.Rekruitmen KPP (Normatif dan Empirik)

Persyaratan Keanggotaan KPP

Syarat-syarat untuk menjadi anggota KPP adalah sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Jawa Timur;

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun dan maksimal 60 (enam puluh) tahun serta sehat jasmani dan

rohani;

d. Berpengalaman dibidang pelayanan publik, komunikasi dan informatika, kebijakan publik, politik, hukum

dan advokasi masyarakat;

e. Independen dan bukan anggota atau pengurus partai politik maupun organisasi yang berafiliasi pada partai

politik;

f. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan

g. Tidak sedang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Jumlah dan Masa Keanggotaan

1. KPP beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua merangkap

anggota serta 5 (lima) orang anggota;

2. Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat

dari dan oleh anggota;

3. Ketua, Wakil Ketua dan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sanggup bekerjasama;

Masa keanggotaan KPP selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa keanggotaan 1 (satu)

periode berikutnya.

Penetapan dan Pelantikan Anggota KPP

1. Anggota KPP ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas usulan dari DPRD setelah melalui proses

penjaringan, penyaringan serta uji kemampuan dan kelayakan bersama dengan Tim Independen;

2. Anggota KPP yang diusulkan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan

DPRD;

Page 40: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 271

3. Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan selambat-lambatnya 12 (dua belas)

hari kerja sejak diterimanya usulan dari DPRD;

4. Pelantikan anggota KPP dilakukan oleh Gubernur setelah diterbitkannya Keputusan Gubernur.

Pemberhentian, Pemberhentian Sementara dan Penggantian Antar Waktu

1. Masa Keanggotaan KPP berakhir, karena: berhenti dari jabatannya, dan/atau diberhentikan dari jabatannya;

2. Anggota KPP yang berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, karena: masa

jabatannya berakhir; mengundurkan diri secara sukarela; dan/atau meninggal dunia;

Anggota KPP yang diberhentikan dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, karena:

dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; tidak lagi

memenuhi persyaratan.

3. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; dan berhalangan secara kumulatif lebih dari 46 (empat puluh

enam) hari dalam 1 (satu) tahun;

4. Anggota KPP yang sedang menjalani proses hukum dan telah ditetapkan sebagai terdakwa dengan

ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberhentikan sementara sampai ada putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap;

5. Pemberhentian dan Pemberhentian sementara Anggota KPP dari jabatannya berdasarkan ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur;

6. Pada saat pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), anggota KPP hanya menerima

50% (lima puluh perseratus) dari honorarium yang seharusnya diterima.

e.Tugas dan Kewajiban KPP

Tugas KPP

Sebagai pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan publik KPP bertugas :

a. Menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik;

b. Membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non

litigasi;

c. Melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik;

d. Menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung

maupun tidak langsung oleh masyarakat.

Kewajiban KPP

Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada tugas KPP berkewajiban:

a. Meminta informasi dari penyelenggara dan/atau pelaksana pelayanan publik;

b. Melakukan konfirmasi kepada pengadu dan/atau instansi terkait bahwa persoalan yang disampaikan

belum diadukan atau tidak sedang diproses Ombudsman maupun oleh Pengadilan;

c. Menghadirkan pihak-pihak untuk kepentingan konsultasi maupun mediasi;

Page 41: 27-29 - unesa.ac.id

272 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

d. Meminta informasi pada organisasi penyelenggara dan/atau pelaksana tentang pengajuan keberatan

dari masyarakat dan tindak lanjut yang telah dilakukan;

e. Memberi saran atau masukan baik diminta ataupun tidak kepada Gubernur melalui DPRD dalam

rangka memperbaiki kinerja pelayanan.

4.2 Hasil dan Pembahasan

A.Peran dan Pelaksanaan Tugas KPP

Merujuk pasal 45 Peraturan Daerah Nomor Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Pelayanan Publik, bahwa Komisi Pelayanan Publik (KPP) bertugas sebagai 1.Pengawas eksternal terhadap

penyelenggaraan pelayanan publik.

Tugas tersebut meliputi: (a) menerima pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan

publik; (b) membuat pengaturan mengenai prosedur penyelesaian sengketa pelayanan publik yang bersifat non

litigasi; (c) melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa dalam pelayanan publik; dan

(d) menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik, baik yang disampaikan secara langsung

maupun tidak langsung oleh masyarakat.

Secara kelembagaan Komisi Pelayanan Publik (KPP) Provinsi Jawa Timur adalah lembaga independen

yang berfungsi untuk menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa pelayanan publik. Salah satu daerah

yang membentuk suatu lembaga/komisi yang memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dari

penyelenggara pelayanan publik yang kurang baik dan propesional dalam memberikan pelayanan publik

terhadap masyarakat adalah daerah Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur membentuk suatu komisi yang

memiliki kewenangan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam hal pelayanan publik pada tahun 2005

melalui Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur yang

dinamakan Komisi Pelayanan Publik (KPP), yang selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur

Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 11 tahun 2005 tersebut, serta

Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2007 tentang Sekretariat Komisi Pelayanan Publik (KPP)

Provinsi Jawa Timur; dan pada akhirya lahir Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 20011

tentang Pelayanan Publik, sebagai bentuk adaptasi Perda 11/2005 terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik, disamping karena adaptasi terhadap perubahan kebutuhan publik akan kualitas

pelayanan.

KPP berkedudukan di Ibu kota provinsi dengan cakupan kerja meliputi seluruh organisasi

penyelenggara pelayanan publik di lingkungan pemerintah provinsi (pasal 44 Perda Nomor 8 Tahun 2011).

Namun melalui Kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Kabupaten/Kota maka

KPP direkomendasikan untuk juga menjadi lembaga pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan

publik di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.

Sejumlah sub bab berikut ini menyajikan data tentang pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga

pengawasan eksternal atas penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur (tidak hanya di lingkungan

Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Page 42: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 273

a.Penanganan Pengaduan

Deputi Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menegaskan, tidak adanya

pengaduan jangan dipahami bahwa pelayanan publik baik-baik saja. Justru semakin banyaknya pengaduan,

semakin bagus pelayanan publik dan partisipasi masyarakat ―Pengaduan itu tanda cinta dari masyarakat yang

peduli terhadap pelayanan publik‖. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pelayanan publik sangat

penting bagi pelaksanaan program pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Bentuk

partisipasi tersebut berupa pengawasan standar pelayanan, apabila pelayanan tidak sesuai dengan standar.

Masyarakat dihimbau agar dapat melapor kalau pelayanan tidak sesuai prosedur, kemudian didiskusikan dengan

penyelenggara layanan untuk perbaikan dan menemukan solusinya. Sistem pengaduan memang belum berjalan

dengan baik. Selain menerapkan sesuai standar, masyarakat juga harus diberi pemahaman bagaimana cara

melapor sesuai Pasal 19 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Masyarakat harus

berpartisispasi aktif dengan mematuhi dan memenuhi ketentuan dalam standar, dan menjaga sarana dan

prasarana layanan publik.

Berdasar data ini dapat diketahui bahwa Kota Surabaya menduduki jumlah tertinggi (38,89%).

Pada tahun 2013 jumlah pengaduan meningkat secara tajam, dari 207 di tahun 2012 menjadi 802 di tahun

di tahun 2013 (meningkat 288,89%). Ini menjadi salah satu indikasi akan meningkatnya popularitas KPP

sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

2.Pengembangan Kelembagaan Internal

Secara internal terdapat sejumlah langkah strategis yang telah dilakukan oleh KPP dalam rangka

melakukan optimalisasi pelaksanaan tugasnya, diantaranya adalah dengan melakukan pengembangan

kelembagaan secara internal. Strategi itu diantaranya adalah :

Pembagian Wilayah Koordinasi

Dilandasi keberadaan Jawa Timur yang cukup luas, Rapat Pleno KPP memutuskan untuk membagi

wilayah kerja menjadi 7 wilayah koordinasi untuk 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Ketujuh wilayah yang

telah terbagi ini dikoordinir oleh ketujuh anggota/Komisioner KPP. Adapun wilayah tersebut adalah:

1) Korwil I meliputi wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sampang,

Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan dengan koordinator wilayah Deni Wicaksono,

S.Sos

2) Korwil II meliputi wilayah Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan,

Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bangkalan dengan koordinator wilayah Suprapto, SH,

MH, M.Si

3) Korwil III meliputi wilayah Kota Pasuruan, Kabupaten Pasuruan, Kota Malang, Kabupaten

Malang, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo dengan koordinator wilayah Dr.

Wahidahwati, SE, M.Si.Ak

4) Korwil IV meliputi wilayah Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang,

Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kota Madiun dengan koordinator wilayah

Page 43: 27-29 - unesa.ac.id

274 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Assistriadi Widjiseno, ST

5) Korwil V meliputi wilayah Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Blitar, Kota Blitar,

Kabupaten Tulungagung, Kota Batu dengan koordinator wilayah Immanuel Yosua, S.Th,

MACE.

6) Korwil VI meliputi wilayah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten

Situbondo, Kabupaten Jember, Kota Jember, Kabupaten Banyuwangi dengan koordinator

wilayah Hardly Stefano Fenelon Palela, SE

7) Korwil VII meliputi Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan,

Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo dengan koordinator wilayah Nuning Rodiyah,

S.Pd.I, M.Pd.I

Dalam perspektif institutional arrangement, pembagian korwil sebagaimana tersebut di atas menjadi

bagian penting dari upaya untuk melakukan peningkatan efektifitas pelaksanaan kerja komisioner. Sebab

sekurang-kurangnya pembagian korwil itu berimplikasi pada :

1) Pelaksanaan tugas yang makin terfokus

2) Peningkatan tanggungjawab pada korwil masing-masing

3) Peningkatan hubungan psiologisantara coordinator wilayah dengan lembaga penyelenggara

pelayanan publik dan masyarakat yang ada di wilayah itu lengkap dengan segala permasalahan

pelayanan publik yang ada; serta sejumlah manfaat lain.

1. Pembagian Konsentrasi Divisi

Dalam rangka optimalisasi kinerja, ketujuh anggota KPP membagi diri menjadi 5 (lima) divisi dengan

rincian sebagai berikut:

1. Divisi Penanganan Pengaduan yang berkonsentrasi pada proses manajerial pengaduan yang masuk ke

KPP. Divisi ini dibawah koordinasi Nuning Rodiyah, S.Pd.I, M.Pd

2. Divisi Hubungan Antar Lembaga yang berkonsentrasi pada jejaring dan interaksi KPP dengan masyarakat

dan lembaga non pemerintah yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan pelayanan publik di Jawa Timur.

Divisi ini di bawah koordinasi Deni Wicaksono, S.Sos

3. Divisi Sistem Informasi yang berkonsentrasi pada pengembangan sistem informasi pelayanan publik

terutama yang dikelola KPP. Divisi ini di bawah koordinasi Assistriadi Widjiseno, ST., M.MT

4. Divisi Sosialisasi dan Publikasi yang berkonsentrasi pada sosialisasi dan publikasi KPP dalam rangka

optimalisasi peran KPP. Divisi ini dibawah Koordinasi Immanuel Yosua, S.Th, MACE

5. Divisi Penelitian dan Pengembangan yang berkonsentrasi pada penelitian dan pengembangan kelembagaan

serta inovasi berkaitan dengan optimalisasi pelayanan publik. Divisi ini dibawah koordinasi Dr.

Wahidahwati, SE, M.Si.Ak

Page 44: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 275

Pembagian divisi tersebut menjadi bagian dari inovasi KPP dalam melakukan pengembangan

kelembagaan ke dalam, yang karenanya (idealnya) memang berimplikasi pada peningkatan volume kegiatan

dan/atau program, sesuai dengan divisi yang dibentuk. Dalam kerangka inilah dukungan sumberdaya amat

diperlukan; dan oleh karena KPP menjadi bagian dari Pemerintah provinsi Jawa Timur, maka penyediaan

sumberdaya pendukung (oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur) sebagai konsekuensi atas dilakukannya

pengembangan kelembagaan dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP menjadi amat diperlukan.

3.Pengembangan Kelembagaan Eksternal

Pos Pelayanan Pengaduan KPP di Kabupaten/Kota

Salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh KPP dalam melakukan optimalisasi pelaksanaan

tugasnya adalah dengan membangun kerjasama dengan sejumlah lembaga yang terletak di Kabupaten/Kota di

wilayah Provinsi Jawa Timur. Lembaga yang bekerjasama tersebut berperan sebagai Pos Pengaduan Komisi

Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.

Konsep yang dikembangkan dalam program ini adalah mendekatkan secara fisik letak Pos Pengaduan

dengan masyarakat. Selain itu kerjasama yang dibangun dengan 34 lembaga (sebagaimana terdapat pada tabel di

bawah ini) dapat dimaknai sebagai langkah terobosan dalam rangka pengembangan kelembagaan/organisasi

yang

KPP melakukan pengembangan kelembagaan/organisasi dalam rangka dalam rangka optimalisasi

pelaksanaan tugasnya. Pengembangan Organisasi/PO (Organizational Development/OD) pada prinsipnya

merupakan suatu proses di mana pengetahuan, konsep-konsep, dan praktek-praktek yang berkaitan dengan

(perilaku) organisasi digunakan secara efektif untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Proses ini

juga termasuk bagaimana meningkatkan kualitas kinerja organisasi dan sekaligus meningkatkan produktivitas

(anggota) organisasi. Pengembangan organisasi pada dasarnya berbeda dengan berbagai upaya perubahan

organisasi yang dilakukan secara terencana, seperti upaya perubahan dengan melakukan pembelian peralatan

baru, atau merancang ulang sebuah desain, ataupun menyusun ulang suatu kerjasama. Ini berpeluang punya

pengaruh positif dalam rangka peningkatan kemampuan organisasi untuk dapat mengetahui dan memecahkan

berbagai masalah yang dihadapi.

Dengan demikian, pengembangan organisasi pada kenyataannya berorientasi pada peningkatan atau

kemajuan (kinerja) sistem; di mana organisasi sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang terdapat di

dalamnya, dapat mempengaruhi atau memberi dampak (positif) dalam interaksinya dengan lingkungan yang

lebih luas lagi, yaitu lingkungan di luar organisasi.

Pengembangan organisasi memang merujuk kepada konsep pengembangan yang prosesnya terjadi

secara perlahan dan memerlukan waktu yang (sangat) panjang. Jadi dapat, dikatakan bersifat evolutif. Hal ini

terjadi karena kegiatan pengembangan organisasi itu sangat bervariasi dan menyangkut aspek-aspek organisasi.

Aspek lain, dapat juga mengenai hal-hal yang menyangkut perubahan structural, dapat juga tentang peningkatan

kualifikasi anggota suatu organisasi melalui berbagaimlangkah.

Page 45: 27-29 - unesa.ac.id

276 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Studi mengenai pengembangan organisasi juga sebenarnya merupakan upaya untuk mengatasi berbagai

isu yang timbul, atau berbagai masalah yang muncul, termasuk masalah-masalah yang muncul sebagai dampak

dari berbagai perubahan yang dilakukan.

Meskipun banyak sekali konsep-konsep mengenai pengembangan organisasi sekarang ini, yang

mungkin akan saling tumpang tindih, barangkali definisi yang dikemukakan oleh Cummings (1996) akan

membantu kita untuk dapat lebih memahami konsep pengembangan organisasi yang dilakukan oleh KPP.

Menurut Cummings (1989), pengembangan organisasi adalah suatu aplikasi konsep atau teori dengan

menggunakan suatu sistem di mana konsep-konsep ilmu pengetahuan digunakan untuk mengembangkan

organisasi secara terencana dan dengan menggunakan semua strategi yang dimiliki organisasi untuk

meningkatkan efektivitas kinerja organisasi. Selanjutnya, Cummings (1989) juga menyatakan bahwa konsep

(ilmu pengetahuan) di dalam pengembangan organisasi itu pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang

membedakan pengembangan organisasi dengan pendekatan lain dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja

organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:

1) Pengembangan organisasi dapat diaplikasikan pada semua sistem, seperti pada

perusahaan, atau pada satu bidang usaha saja dari perusahaan yang memiliki banyak

bidang usaha. Ia juga dapat diterpkan pada satu bagian dari sebuah kelompok usaha.

Hal ini berbeda dengan berbagai pendekatan yang umumnya memfokuskan pada satu

atau sebagian kecil aspek saja dari sebuah sistem, seperti sistem informasi

manajemen/MIS (Management Information SystemSIM) atau bagian konsultasi

pegawai misalnya. Terobosan KPP mengembangkan sayap dengan menambah jumlah

titik pengaduan sungguh merupakan langkah strategis.

2) Pengembangan organisasi juga didasarkan pada praktek-praktek dan ilmu pengetahuan

(mengenai perilaku) seperti kepemimpinan, dinamika kelompok, desain pekerjaan,

serta berkaitan juga dengan berbagai pendekatan yang sifatnya makro seperti strategi

organisasi, struktur organisasi, dan hubungan lingkungan dengan organisasi.

3) Meskipun pengembangan organisasi itu terfokus pada perubahan yang direncanakan,

namun sebenarnya pengembangan organisasi bukanlah sesuatu yang sifatnya kaku

(rigid), formal, yang biasanya dikaitkan dengan perencanaan bisnis. Di sini, strategi

pengembangan organisasi cenderung lebih adaptif dalam hal perencanaan dan dalam

hal aplikasinya. Oleh karenanya, pengembangan organisasi bukanlah sekedar sebuah

rancang bangun (blue-print) belaka yang menyangkut mengenai bagaimana agar

sesuatu itu dapat dikerjakan. Jadi pengembangan organisasi pada dasarnya melibatkan

perencanaan mengenai bagaimana mendiagnosa masalah-masalah yang dihadapi

organisasi dan bagaimana memberikan solusinya. Hanya saja, di dalam pengembangan

organisasi, perencanaan semacam itu sifatnya fleksibel dan mudah direvisi, diubah

sesuai kebutuhan, berkaitan dengan informasi baru yang berisi mengenai bagaimana

program-program perubahan dilaksanakan.

4) Pengembangan organisasi juga diawali dari implementasi program-program perubahan

untuk jangka panjang yang fokusnya menyangkut stabilisasi dan pelembagaan

Page 46: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 277

perubahan di dalam organisasi. Fokus berikutnya dapat saja mengenai faktor-faktor

yang dapat menjamin bahwa organisasi itu tetap dapat memberikan kebebasan kepada

pemangku kepentingan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja organisasi.

5) Pengembangan organisasi sangat memperhatikan mengenai strategi, struktur, dan

proses perubahan. Program perubahan bertujuan untuk memodifikasi strategi

organisasi. Contohnya, program perubahan yang difokuskan pada bagaimana

organisasi itu berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas; bagaimana hubungan

itu dapat dipelihara dan ditingkatkan. Hal ini juga termasuk perubahan baik pada

kelompok orang di dalam mengerjakan tugas-tugas (aspek struktur); juga dalam

metode-metode komunikasi dan cara-cara memecahkan masalah (aspek proses), yang

kesemuanya diterapkan untuk mendukung perubahan strategi secara keseluruhan.

Sejalan dengan tersebut, program-program pengembangan organisasi juga ditujukan

untuk membantu tim manajemen agar kinerjanya menjadi lebih efektif dalam

memfokuskan pada berbagai interaksi dan proses-proses pemecahan masalah di dalam

kelompok. Harapannya adalah bahwa dengan upaya tersebut kemampuan tim

manajemen untuk memecahkan masalah-masalah atau kendala-kendala yang muncul di

dalam organisasi dapat ditingkatkan secara optimal.

6) Pengembangan organisasi juga berorientasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi.

Atas hal ini ada dua asumsi dasar yang dikemukakan, pertama, organisasi yang efektif

akan mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Jadi

pengembangan organisasi sebenarnya menolong (para) anggota organisasi untuk

mendapatkan kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam memecahkan

masalah-masalah dimaksud. Kedua, organisasi yang efektif memiliki kualitas kerja dan

produktivitas yang sangat tinggi. Hal ini akan menarik minat sekaligus akan

memotivasi para pegawai untuk bekerja secara efektif. Tambahan lagi, organisasi akan

sangat responsif, akan lebih tanggap, atas berbagai kebutuhan dari kelompok-kelompok

eksternal (para pemegang saham, para pelanggan, para pemasok, dan jawatan

pemerintah) yang menyediakan berbagai kemudahan atau fasilitas serta sumber daya

bagi organisasi.

7) Tanpa melihat itu semua, suatu perubahan pada dasrnya memang memberikan

pengaruh terhadap orang-orang dan terhadap hubungan mereka di dalam organisasi.

Oleh karena itu, perubahan tersebut akan membawa konsekuensi sosial yang

signifikan. Dapat saja, misalnya, perubahan itu ditolak, atau diimplementasikan dengan

semaunya, atau bahkan disabotase oleh para anggota organisasi. Di balik itu semua,

sesungguhnya, berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perilaku (organisasi)

telah mengembangkan konsep-konsep dan metode-metode yang sangat berguna untuk

membantu organisasi dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, seperti yang

telah disebutkan di atas. Pos Pengaduan Pelayanan yang Dibentuk Pemerintah

Kabupaten/Kota

Page 47: 27-29 - unesa.ac.id

278 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Hasil studi lapangan menunjukkan bahwa sejumlah Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk lembaga

atau Unit Pelayanan Pengaduan atas penyelenggaraan pelayanan publik:

1) Di Kabupaten Sidoarja lembaga ini bernama P3M : Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat. Lembaga

tersebut kurang diketahui oleh masyarakat, meskipun ada masyarakat yang menyampaikan pengaduan

kepada lembaga tersebut. Pengaduan masyarakat kabupaten Sidoarjo lebih menyampaikan pengaduan

kepada lembaga penyelenggara playanan (Studi di : Dinas Catatan Kependudukan dan Catatan Sipil,

Rumah Sakit umum, dan Dinas Pertanahan).

Profil Penyelenggara Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo. Pusat Pelayanan

Pengaduan Masyarakat (P3M) Kabupaten Sidoarjo beralamat di Jl. Sultan Agung No. 1 Sidoarjo, Telepon

031-8957004 Fax 031-8957009.

Latar Belakang

Misi Kabupaten Sidoarjo : memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional. Tujuan

Pemerintah Kabupaten Sidoarjo : meningkatkan kualitas layanan masyarakat. Adanya perintisan

manajemen pelayanan berstandar ISO 9001 - 2000 di Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kabupaten

Sidoarjo. Standar Internasional (ISO 9001 - 9004) tentang pelayanan yang baik menyatakan bahwa untuk

mengukur keberhasilan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat adalah senantiasa mendengar keluhan-

keluhan / pengaduan dari masyrakat (feedback from the customer).

Kebutuhan terhadap wadah komunikasi dua arah antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan

masyarakat guna menghindari terjadinya kebuntuan informasi dan komunikasi masyarakat membutuhkan

wadah yang tepat sebagai tempat mengadukan berbagai permasalahan yang timbul sekaligus memperoleh

jawaban yang dibutuhkan.

Tujuan

a. Terciptanya wadah Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) yang terpadu, yang dapat

menampung semua aspirasi dan keinginan seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Sidoarjo.

b. Merubah kultur birokrasi

Target

a. Tersedianya sarana komunikasi yang memadai antara Pemerintah dengan masyarakat, antar Dinas

dan Instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dengan dukungan Teknologi

Informasi.

b. Sosialisasi fungsi dan peranan Pusat Pelayanan Pengaduan Masyarakat ( P3M ) melalui Radio, media

cetak dan elektronik serta penyuluhan ke 18 Kecamatan se Kabupaten Sidoarjo dengan menghadirkan

Stakeholders (LSM) di tingkat kecamatan.

Page 48: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 279

c. Penyebaran brosur, pamflet tentang keberadaan P3M kepada sekolah setingkat SLTA, Universitas,

Pondok Pesantren, serta Instansi Pemerintah yang berkaitan langsung dengan pelayanan masyarakat.

d. Pelatihan komputerisasi dan pengenalan perangkat lunak P3M bagi para Bako Humas, dan para

operator di lingkungan Dinas, Badan, Kantor.

e. Sosialisasi teknis sistim prosedur P3M untuk Bako Humas, dan para operator di lingkungan Dinas,

Badan, Kantor.

f. Expose transparansi permasalahan disertai solusi kepada masyarakat melalui Radio, buku dan internet

yang sangat mudah diakses masyarakat luas.

Tolok Ukur Keberhasilan

a. Terpasangnya jalur komunikasi antar dinas/kantor dengan P3M yang berbasis Teknologi Informasi.

b. Terbangunnya sistem yang berbasis Teknologi Informasi dalam ruangan P3M

c. Terciptanya Pusat Pengaduan Masyarakat yang terpadu

d. Meningkatnya koordinasi antar dinas, kantor dan instansi terkait dilingkungan Pemerintah Kabupaten

Sidoarjo

e. Meningkatnya manajemen pelayanan Pemerintah kepada masyarakat

f. Terciptanya tranparansi Pemerintahan

g. Meningkatnya kinerja aparat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

h. Meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia dilingkungan Dinas Informasi dan Komunikasi, Dinas/

Kantor khususnya dibidang Teknologi Informasi

i. Adanya standar sistem kualitas yang telah terdokumentasi secara baku.

Komponen P3M

Sumber Daya Manusia, terdiri dari :

a. Managemet, terdiri dari Manager dan Wakil Manager P3M, Kepala Sub Dinas di Lingkungan

Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Sidoarjo.

b. Operator. Petugas P3M yang berfungsi untuk menerima, mengolah dan mendistribusikan data

pengaduan masyarakat ke semua dinas serta memberikan respon keluhan yang diperoleh dari

instansi teknis kepada masyarakat.

c. Bakohumas. Merupakan agen di setiap instansi yang betugas memberikan respon, baik berupa

jawaban lisan/tertulis dan tindakan nyata atas permasalahan yang timbul.

d. Administrator. Berperan dalam pengendalian sistem P3M secara keseluruhan agar P3M dapat

tetap menjalankan fungsinya dengan baik. Disamping itu juga berperan sebagai system backup

guna menjaga keberlangsungan P3M. Fungsi ini dijalankan KPDE Kabupaten Sidoarjo selaku

pengendali Teknologi Informasi di Kabupaten Sidoarjo.

Perangkat Keras Komputer, terdiri dari

a. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di Sekretariat P3M

b. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di setiap Dinas/Kantor/Badan

c. Perangkat Komputer dan Jaringan Lokal di KPDE dan Sekretariat Kabupaten Sidoarjo

d. Intranet yang menghubungkan Sekretariat P3M dan seluruh instans

Page 49: 27-29 - unesa.ac.id

280 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

e. Komunikasi intranet dilakukan dengan mengkombinasikan media kabel dan saluran telepon

Perangkat Lunak. Perangkat lunak P3M diwujudkan dalam bentuk Sistem Informasi Berbasis Computer /

Computer Based Information System (CBIS) yang bersifat semi tertutup. Sistem ini merupakan bagian tak

terpisahkan dari Sistem Informasi Manajemen Daerah Kabupaten Sidoarjo yang dibangun secara bertahap.

Sistem ini dibagi menjadi beberapa aplikasi, antara lain :

a. Aplikasi induk yang berada di Sekretariat P3M. Aplikasi ini menjadi pusat Sistem Informasi P3M

karena disinilah data pengaduan masyarakat direkam, diolah, didistribusikan dan dipublikasikan.

b. Aplikasi Agen P3M. Aplikasi ini merupakan aplikasi berbasis web ( Web Based Application ) yang

digunakan oleh Bakohumas untuk memberikan respon atas keluhan masyarakat.

c. Pengaduan On Line. Aplikasi ini merupakan bagian dari situs www.sidoarjo.go.id, dan dapat diakses

secara luas oleh masyarakat. Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat menyampaikan keluhannya

sekaligus melihat respon Pemerintah Daerah atas keluhan yang disampaikan

Perangkat Pendukung. Perangkat pendukung yang dimaksudkan disini adalah

Perda atau SK Bupati Sidoarjo yang melegalisikan keberadaan lembaga P3M

a. Dukungan dana

b. Ketersediaan peralatan dan mesin kantor

c. Media Pengaduan

d. Masyarakat dapat meyampaikan keluhannya melalui beberapa media, antara lain

e. Formulir Pengaduan, disediakan di Kantor Sekretariat P3M

f. Surat

g. Email

h. Telepon / Fax

i. Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dll)

j. Media Elektronik ( Radio dan Televisi )

k. Form pengaduan pada aplikasi pengaduan masyarakat pada situs www.sidoarjo.go.id

Media Respon

Sedangkan untuk melihat jawaban atas keluhan yang disampaikan, dapat dilihat di : Papan pengumuman

yang tersedia di Kantor Sekretariat P3M dan Kantor instansi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, dan tempat

lainnya

a. Media Cetak (surat kabar, majalah, tabloid)

b. Radio

c. Aplikasi pengaduan masyarakat di situs www.sidoarjokab.go.id

Perbedaan Jumlah Pengaduan dan Jumlah Pengaduan Didistribusikan (diterima) terjadi karena tidak

semua pengaduan mencantumkan identitas pengirim pengaduan secara jelas sehingga tidak dapat didistribusikan

Page 50: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 281

ke satuan kerja yang bertangggungjawab. Jumlah Publikasi Respon dihitung berdasarkan jumlah respon

pengaduan yang dipublikasikan pada bulan bersangkutan, bukan tanggal pengaduan diterima.

2) Di Kabupaten Banyuwangi Layanan Pengaduan Masyarakat relatif dipercaya masyarakat, ini dapat

diketahui dari jumlah pengaduan yang masuk tiap tahunnya relatif tinggi.

3) Di Kota Blitar terdapat lembaga yang secara khusus menangani pengaduan, bernama ULPIM : Unit

Layanan Pengaduan dan Informasi Masyarakat. Lembagaini eksis dan memiliki sejumlah agenda,

tidak saja menerima pengaduan tetapi juga peningkatan kapasitas pelayanan publik. Jumlah

pengaduan yang masuk memng relative tkidak tinggi, namun eksistensinya dan/atau citranya di mata

masyarakat sangat baik dan dikenal luas.

4) Di Kabupaten Lamongan layanan pengaduan dikelola oleh Bagian Organisasi. Dan masing-masing

SKPD dan/atau penyelenggara pelayanan publik.

5) Di Kabupaten Kediri serta di sejumlah kabupaten lain yang yang menjadi lokasi kajian ini,

penyelenggara pelayanan publik otomatis merangkap sebagai tempat penyampaian pengaduan

masyarakat. Kotak saran, menjadi media utama yang dikembangkan sebagai media apenyampaian

pengaduan.

B. Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Tugas KPP

Pertimbangan yang digunakan untuk memperbaiki menajemen pengaduan masyarakat untuk pelayanan

publik adalah masih lemahnya kondisi aktual elemen manajemen komplain yang dimiliki oleh instansi

penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Hal-hal yang dianggap lemah adalah: masih banyak instansi

belum memiliki SOP penanganan komplain; tim atau bagian penanganan komplain belum tercantum dalam

struktur organisasi ; koordinasi dan sinergi belum kuat sdm menangani kegiatan penanganan pengaduan juga

menangani kegiatan lain; belum ada fasilitasi merit system; sebagaian besar sarana dan infrastruktur yang

dimiliki masih terbatas pada kotak saran dan hotline; pencatatan data pengaduan yang masuk sudah dilakukan

tapi pelaporan penanganan keluhan masih belum dicatat; pendanaan operasional masih terbatas; dan kesadaran

masyarakat akan hak mengadu masih kurang. Secara umum masyarakat memahami bahwa keberadaan

pelayanan pengaduan atas layanan, diindikasikan dengan adanya kotak saran. Secara umum masyarakat Belem

banyak memahami saluran pengaduan baik internal maupun eksternal. Disamping itu sebagian besar masyarakat

maih a priori bahwa pengaduan tidak akan ditindak lanjuti.

Pengelolaan keluhan di sektor publik sendiri sebenarnya bukan merupakan isu baru. Negara-negara

skandinvia selama ratusan tahun telah memiliki lembaga yang dibentuk sebagai sarana untuk menyalurkan

keluhan bagi masyarakat yang merasa tidak puas dengan pelayanan pemerintah.

Mekanisme tersebut telah dilembagakan melalui ombudsman. Lembaga Ombudsman ini pada awalnya

lahir di Swedia pada tahun 1809. Kata ―ombudsman‖ itu sendiri berasal dari bahasa Swedia yang diterjemahkan

ke dalam bahasa Inggris berarti ―keluhan orang‖. Dalam terminologi lain, ombudsman biasa disebut

ombudsperson, ombudservice, yang berarti seorang pegawai yang bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Tujuannya adalah membantu orang secara memuaskan untuk memecahkan masalah.

Munculnya kesadaran institusi pemerintah untuk mengelola keluhan dengan baik juga tidak terlepas dari

pergeseran cara pandang dalam melihat keluhan itu sendiri. Keluhan yang selama ini dilihat sebagai sesuatu

yang negatif saat ini justru dipandang sebagai sesuatu yang positif karena dianggap mampu memberikan

Page 51: 27-29 - unesa.ac.id

282 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

kontribusi terhadap perbaikan terhadap kinerja birokrasi pelayanan publik. Pengaduan yang dikelola dengan

baik akan mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi organisasi yang dikomplain, antara lain:

1. Organisasi semakin tahu akan kelemahan atau kekurangannya dalam memberikan pelayanan kepada

pelanggan;

2. Sebagai alat introspeksi diri organisasi untuk senantiasa responsif dan mau memperhatikan „suara‟ dan

„pilihan‟ pelanggan;

3. Mempermudah organisasi mencari jalan keluar untuk meningkatkan mutu pelayanannya;

4. Bila segera ditangani, pelanggan merasa kepentingan dan harapannya diperhatikan;

5. Dapat mempertebal rasa percaya dan kesetiaan pelanggan kepada organisasi pelayanan;

6. Penanganan komplain yang benar dan berhasil bisa meningkatkan kepuasan pelanggan.

Berdasarkan catatan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Hingga saat ini, di Indonesia

paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang perintah pembentukannya berikut kewenangannya

berdasarkan UU yakni : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak), Komisi Kepolisian Nasional,

Komisi Kejaksaan, Dewan Pers dan dewan Pendidikan. Jumlah ini tentu saja bersifat sementara karena ada

kemungkinan terus bertambah di masa mendatang.

Sedangkan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewenangannya diberikan oleh

Keputusan Presiden setidaknya berjumlah sepuluh lembaga, yaitu: Komisi Ombudsman Nasional (KON),

Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan),

Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN),Dewan Pengembangan Usaha Nasional

(DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional

(DBN), dan lembaga-lembaga non-departemen. Menyusul pembentukan komisi-komisi negara di tingkat pusat,

maka seiring dengan penerapan otonomi daerah, di berbagai daerah telah dibentuk komisi-komisi independen.

Salah satu komisi tersebut adalah Komisi Pelayanan Publik (KPP).

KPP diharapkan menjadi aktor utama yang dapat memastikan bahwa pelayanan publik di Jawa Timur

berjalan sebagaimana mestinya. Komisi dituntut dapat merubah kerangka pikir birokrat bahwa mereka

merupakan pelayan publik dan pelayanan publik yang baik merupakan Hak asasi manusia. Namun kehadiran

lembaga ini disikapi dengan ragu dan sikap pesimistis masyarakat akibat buruknya kinerja komisi-komisi yang

ada di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya. Kelahiran KPP yang dibidani Komisi A Jawa

Timur membuat masyarakat tidak yakin KPP bisa bergerak sebagai lembaga Independen. Berdasarkan

wawancara dengan KPP, berbagai elemen masyarakat, akademisi dan Pers maka terdapat kendala/hambatan

KPP dalam mewujudkan pelayanan publik yang berbasis tata pemerintahan yang baik. Hambatan-hambatan

yang dihadapi KPP dalam melakukan Pengawasan eksternal, serta faktor pendukung pelaksanaaan tugas KPP,

dirangkum melalui berbagai sumber pendapat; dan secara khusus disajikan pada baab VI laporan ini

Page 52: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 283

C. Saran Publik dalam rangka Optimalisasi Peran KPP

Berangkat dari dua landasan konstitusional tentang pelayanan publik, dapat kita kemukakan beberapa

wacana solutif atas kompleksitas problematika dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pertama, Masiffitas

sosialisasi peraturan tentang pelayanan publik, baik bagi penyelenggara pelayanan publik (Dinas, Kecamatan,

Desa, Kepolisian, dan instansi publik lainnya), maupun terhadap masyarakat itu sendiri. Disatu sisi hal ini agar

penyelenggara pelayanan publik mampu secara optimal mengimplementasikan aturan yang ada, disisi lain

masyarakat bisa melakukan evaluasi, dan juga memberikan saran perbaikkan untuk selanjutnya. Kedua, Adanya

pendidikan dan pelatihan mengenai pelayanan publik bagi petugas pelayanan publik. Ini bukan sebatas

ditekankan pada aspek intelektualitas, profesionalitas, apalagi formalitas teknis standar pelayanan publik

semata, melainkan lebih substansial adalah mengenai perubahan paradigma penyelenggaraan pelayanan publik

di era reformasi saat ini sangat beda jauh dengan era Orde Baru (dari dilayani menjadi pelayan). Apalagi jika

ditambah dengan pendekatan emosional dan spiritual, sebagaimana yang trend saat ini (ESQ). Sehingga

melayani publik bukan semata untuk mencari rezki, yang bersifat materiil, tuntutan jabatan/tugas, yang lebih

berorientasi duniawi, tapi lebih bermakna adalah bagaimana berbagai tugas tersebut merupakan ibadah mulia

(aspek transcendental), yang juga berorientasi ukhrawi, melalui kepuasan publik. Selain dalam rangka

―mensukseskan‖ tugas, ada kemungkinan terjadinya produktifitas kinerja. Ketiga, Sistem evaluasi yang

sistemik. Hal ini bisa dengan pendekatan fungsional, maupun struktural. Pendekatan fungsional menekankan

pada fungsi system evaluasi yang dalam tata kerjanya bisa secara langsung ditangani oleh instansi yang telah

ada (tugas suplementatif). Dalam hal pelayanan publik ini, misal pengaduan langsung kepada DPRD (salah satu

komisi yang berkaitan). Kelebihan pendekatan ini tidak harus membentuk institusi baru, tapi kelemahannya

terletak konsentrasi yang terbagi-bagi. Sedang pendekatan structural adalah dengan cara membuat regulasi

aturan dan membentuk institusi baru yang memang keberadaannya untuk mengawasi penyelenggaraan

pelayanan publik (Perda tentang Pelayanan Publik). Kelebihan pendekatan ini terletak pada konsentrasi dan

tugas, serta tanggungjawab yang jelas (spesifik), sehingga memudahkan masyarakat untuk melakukan

pengaduan. Tapi kelemahannya pada penambahan personil dan anggaran. Pendekatan structural ini sebagaimana

telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan dibentuknnya Komisi Pelayaanan Publik (KPP)

yang dilantik tahun lalu. Keempat, Partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat dituntut partisipasi aktifnya

terhadap prosesi penyelenggaraan pelayanan publik. Agar kekurangan yang terjadi dalam pelayanan publik

sesegera mungkin untuk dibenahi, dan berbagai aspirasinya menyangkut perbaikkan system dan budaya

pelayanan publik dapat diakomodir. Disinilah kelompok-kelompok masyarakat (Asosiasi, LSM, Forum,

Lembaga Profesi, Perguruan Tinggi, Mahasiswa, Pelajar, dst) menemukan relevansinya untuk menjadi

katalisator, maupun pelopor, khususnya dalam hal partisipasi peningkatan kualitas pelayanan publik. Karena

penyelenggara pelayanan publik bukanlah ‖Dewa‖, yang ‖maksum‖ atas kesalahan dan kekurangan. Bukan pula

pemakan ‖gaji buta‖, yang berlindung kehidupan di bawah absensi dan SK!. Disinilah perintah agama untuk

saling memperingatkan dalam kebaikkan menemukan urgensi dan relevansinya.

Sejumlah saran dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tugas KPP dari berbagai kalangan

diidentifikasi dan dirangkum, meliputi :

1. Pengguna Pelayanan Publik

2. Penyelenggara Pelayanan Publik

3. Komisioner KPP

Page 53: 27-29 - unesa.ac.id

284 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

4. Anggota Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur

5. Pengamat Pelayanan Publik

KESIMPULAN

A.Peran,Pelaksanaan Tugas KPP

1.Sebagai Lembaga Pengawas Eksternal

Tugas Utama (Penanganan Pengaduan), yang terdiri atas : menerima pengaduan, membuat pengaturan

prosedur pelayanan sengketa, melakukan verifikasi dan mediasi antara para pihak yang bersengketa, dan

menindaklanjuti keluhan, baik yang diminta maupun tidak diminta; dari tahun ke tahun berjalan dengan baik,

meliputi :

a. Jumlah pengaduan dari tahun mengalami peningkatan

b. Keterlibatan KPP dalam sejuamlah even yang berintikan peningkatan kualitas pelayanan public

makin bertambah, misalnya keterlibatan dalam melakukan pengawasan pada seleksi Calon Pegawai

Negeri Sipil dan seleksi anggota POLRI.

c. Penyelesaian pengaduan yang diterima kpp memang tidak bisa 100%, karena memenagterdapat

sejumlah masalah yang berkaitan dengan keadaan dan sikap pihak pemyelenggara pelayanan public

dan pihak pengadu

2. Pengembangan Kelembagaan secara Internal

Secara internal KPP berupaya melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas dengan melakukan

pengembangan kelembagaan secara internal. Dua program utama yang memiliki peran penting dalam

melakukan optimalisasi plaksanaan tugas KPP adalah dengan melakukan pembagian divisi menjadi 5

divisi dengan focus tugas pokok yang berbeda dan pembagian korwil menjadi 7 korwil.

3. Pengembangan Kelembagaan secara Eksternal

Kerjasama dengan 34 lembaga yang kemudian dijadikan Pos Pelayanan Pangaduan KPP yang terletak di

Kabupaten/Kota menjadu langkah strategis dalam optimalisasi pelaksanaan tugas, meskipun disadari

sepenuhnya bahwa kordinasi antara KPP dengan sejumlah Pois/Unit Pelayanan Peengaduan yang

dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota abelum dapat dilakukan secara optimum. Namun prinsipnya

keberadaan dua jenis lembaga tersebut diharapkan dapat saling melengkapi.

B. Faktor Pendukung dan Penghambat Peran KPP

Faktor Pendukung :

a. Menerima pengaduan;masyarakat semakin kritis,ketersediaan IT

b. SOP yang ada mempermudah penyelesian sengketa

c. Keterbukaan menerima pengaduan dan komitmen meningkatkan kualitas layanan

d. Keberadaan lembaga maupun media massa yang memotret keluhan publik

Page 54: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 285

Faktor Penghambat :

a. Sikap pesimis masyarakat dan proporsi masyarakat masih kecil yg mengetahui KPP serta respon balik

KPP tidak dapat diketahui secara cepat

b. Masih ada penyelenggara pelayanan publik yang belum memiliki SOP.

c. Tidak mudah menata waktu bertemu pihak yang bersengketa, stigma negatif lembaga apabila banyak

pengaduan, Beberapa penyeleseian sengketa

d. Ketidakcukupan data dlm menindaklanjuti pengaduan, keterbatsan SDM dan sumberdaya pendukung

C.Saran Rekomendasi

Rekomendasi yang dituangkan pada sub bab ini difokuskan pada sejumlah hal yang merupakan upaya

untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penelitian nomor 3-4, yaitu : apa saran publik dalam rangka

optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan pelayanan

publik di Jawa Timur? Dan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur

dalam rangka melakukan optimalisasi pelaksanaan tugas KPP sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap

penyelenggaraan pelayanan publik di Jawa Timur. Sejumlah hal tersebut meliputi :

1. Gubenur perlu menghimbau Bupati/Wali Kota untuk mengajukan rancangan peraturan perundangan

(Peraturan Daerah) tentang Pelayanan Publik (bagi Kabupaten/Kota yang belum memiliki). Dalam

Peraturan Daerah tersebut juga mengatur tentang keberadaan lembaga pengaduan (apapun namanya, baik

lembaga independen maupun lembaga yang menjadi bagian dari Pemerintah Daerah) yang bertugas

sebagai Unit Pengaduan Pelayanan Publik, yang selanjutnya lembaga tersebut memiiki hugungan kerja

fungsional-koordinatif dengan Komisi Pelayanan Publik Provinsi Jawa Timur.

2. Perlu dilakukan pembaharuan Memorandum of Understanding (MoU) antara Gubernur Jawa Timur

dengan Bupati/Wali Kota se Jawa Timur tentang pengelolaan pengaduan pelayanan publik yang pernah

dibuat pada tahun 2006, agar MoU baru dapat mengakomodasi sejumlah perubahan yang terjadi terkait

dengan penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk perubahan kepentingan publik dan juga perubahan

dan/atau lahirnya sejumlah kebijakan publik yang baru.

3. Publikasi tentang keberadaan dan peran KPP perlu ditingkatkan dan dilakukan secara terus-menerus,

disamping menggunakan media publikasi yang telah digunakan selama ini, juga perlu melakukan

penambahan penggunaan jenis media publikasi, terutama media yang memiliki daya jangkau luas

dan/atau dapat menjangkau masyarakat umum yang luas, misalnya iklan layanan sosial stasiun televisi,

media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain.

4. Perlu penggunaan sistem manajemen pengaduan yang berbasis teknologi (e-Complain) sehingga

penyampaian pengaduan oleh masyarakat dapat dilakukan dengan mudah, murah, efektif dan

bertanggungjawab; serta dapat diverifikasi dan ditindaklanjuti oleh KPP dengan sistematis, cepat dan

tepat. Catatan : Pemerintah Provinsi Jawa Timur (dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah) pada tahun 2011 pernah memproduksi software e-Complain yang didukung oleh Direktorat

Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dan disponsori oleh Asian Development Bank.

Page 55: 27-29 - unesa.ac.id

286 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Berdasarkan berbagai pertimbangan, produk itu saat ini belum digunakan (dioperasikan). Jika saja

program e-Complain ini dioperasikan, berpeluang dapat mengoptimumkan pelaksanaan tugas KPP.

5. Pembentukan tim pengendali mutu di tiap unit penyelenggara pelayanan publik, yang bekerjanya

berbasis teknologi, yang setiap saat dapat saling berkoordinasi dengan KPP, sekaligus menjadi mitra KPP

dalam penggunaan e-Complain perlu dilakukan. Untuk itu pengadaan sarana-prasarana yang mendukung

dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang sesuai kebutuhan, perlu menjadi agenda.

6. Semua komisioner KPP, perlu berupaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja

mereka, termasuk meningkatkan daya kreatifitas sehingga melahirkan sejumlah inovasi dalam rangka

mengoptimalkan pelaksanaan tugas KPP, seiring dengan perubahan kebutuhan publik akan pelayanan

publik yang terus terjadi secara konsisten.

7. Pemeliharaan dan peningkatan kiordinasi antara KPP dengan lembaga pengawas pelayanan publik yang

lain perlu dilakukan, misalnya : dengan Ombudsman Republik .

8. Jika kuantitas pengaduan yang disampaikan kepada KPP mengalami lonjakan tajam akibat penggunaan

teknologi (e-Compalin) dan akibat meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi

mereka dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, maka diperlukan tenaga

fungsional dalam tubuh KPP, yang terdiri dari sejumlah ahli, misalnya : ahli pelayanan kesehatan, ahli

pelayanan perizinan, ahli pelayanan kependudukan, ahli pelayanan pendidikan, ahli pelayanan

perhubungan, dan sebagainya. Untuk merealisirnya perlu diawali oleh diterbitkannya Peraturan Gubernur

tentang Tenaga Fungsional dalam kelembagaan KPP.

9. Menambah jumlah lembaga yang bermitra dengan KPP yang selama ini berperan sebagai Pos Pengaduan

KPP yang terletak di Kabupaten/Kota (saat ini berjumlah = 34 lembaga), perlu menjadi agenda di tahun-

tahun mendatang.

10. Keberadaan SOP dari tiap-tiap produk pelayanan menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan, tidak saja

bagi optimalisasi pelaksanaan tugas KPP, tetapi juga bagi upaya meningkatan kualitas pelayanan public,

terlebih peningkatan kualitas penanganan pengaduan dan/atau penyelesaian jika terdapat sengketa

pelayanan publik.

11. Semua pihak perlu memahami bahwa tingginya angka pengaduan tidak selalu menjadi cermin atas

buruknya playanan publik yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penyelenggara pelayanan publik.

Akan tetapi bisa jadi merupakan tingginya angka partisipasi publik dalam upaya memperbaiki kualitas

pelayanan. Dengan modal asumsi ini maka diharapkan semua pihak dapat menjadikan pengaduan sebagai

―mutiara‘ yang dapat menjadi media terjadinya peningkatan kualitas pelayanan publik secara terus-

menerus serta media untuk mengurangi kesenjangan antara jenis dan kualitas pelayanan yang diberikan

oleh penyelenggara pelayanan publik dengan jenis dan kualitas pelayanan publik yang senyatanya

diperlukan dan/atau menjadi kepentingan pengguna pelayanan publik.

12. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk

mengoptimalkan peran KPP, yang diukur dari diakomodasintya sejumlah pengajuan program, inovasi,

pengembangan kelembagaan, dan lain-lain, yang sudah barang tentu hal tersebut memiliki ilmplikasi

pada diperlukannya daya dukung; misalnya penambahan SDM pendukung, sarana-prasarana, anggaran,

dan sumberdaya lain sesuai kebutuhan riil.

Page 56: 27-29 - unesa.ac.id

“Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global” 287

REFERENSI

Apipah, 2012, Pengertian Penelitian Kualitatif, dalam http://www.diaryapipah.com/2012/05/pengertian-

penelitian-kualitatif.html

Arikunto, Suharsimi , 2009, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta.

Brainmetro.com, (2013), Komisi Pelayanan Publik Laporkan Kinerja,

Caiden,Gerald,2000. The Essence of Public Service Professionalism; On Promoting Ethics in the Public

Service, United Nations, New York.

Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B., 2007. The New Public Service, Serving Not Steering, Expanded

Edition, Armonk, New York, London, England: M.E.Sharpe.

Department of Economic and Social Affairs,2000. Promoting Ethics in the Public Service, United Nations, New

York.

Dwiyanto,Agus,2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

--------------------,2011. Manajemen Pelayanan Publik, Peduli, Inklusif dan Kolaboratif, Yogyakarta: Gajah

Mada University Press, Edisi kedua,.

Gaventa,John, 2002. Making Rights Real: Exploring Citizenship, Participation and accounta-bility, Brighton,

Inggris: Institute of Development Studies Bulletin Volume 33 No.2.

Hyasintus. 2012, Kontekstualisasi Paradigma New Public Service Dalam Implementasi Pelayanan Publik Di

Indonesia, dalam http://hyasintus.blogspot.com/2012/11/kontekstualisasi-paradigma-new-

public_15.html, (Diakses 6 Februari 2014)

Meyer, Robert. R, dkk (1980), Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Pustekom Dikbud & CV Rajawali,

Jakarta.

Miles B. Mathew dan A. Michall Huberman. (1992), Analisa Data Kualitatif, Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press), Jakarta.

Ratminto.(1999). ―Otonomi Daerah dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik‖. Makalah Seminar Nasional

Otonomi Daerah Antara Harapan dan Kenyataan yang diselenggarakan oleh Yayasan PERCIK

dan The Ford Foundation, Salatiga, 3 November 1999.

Ratminto dan Winarsih. (2005). Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen‟

s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robbins, Stephen P., R. Bergman & I. Stagg. (1997). Management. Sydney: Prentice Hall of Australia.

Page 57: 27-29 - unesa.ac.id

288 “Peran Pemerintah Daerah Dalam Persaingan Global”

Tatang M. Amirin; (2009), Penelitian Eksploratori (Eksploratif),

http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/05/04/penelitian-eksploratorieksploratif/

SCBD Jawa Timur, (2011), Penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keluhan Masyarakat Berbasis Elektronik

(e-Complaint), kerjasama Asian Developmen Bank, Kementerian dalam Negeri dan Pemerintah

Provinsi Jawa Timur

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia nomor 63/2003 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pelayanan.

Surat Gubernur Jawa Timur Nomor : 065/4670/041/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Pelayanan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844);

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on

Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak

Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil

and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4558);

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4899);

Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik di Provinsi Jawa Timur sebagai perubahan

dari Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005.