23-34-1-sm.pdf

8

Click here to load reader

Upload: syafrina-iin

Post on 18-Nov-2015

26 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • 364

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    2. Besral, Nurmiati. Pengaruh durasi pemberian ASI terhadap ketahanan

    hidup bayi di Indonesia. Jurnal Makara Kesehatan UI. 2008; 12(2): 47-

    52 [diakses tanggal 3 Agustus 2012]. Availble from: URL: http://jour-

    nal.ui.ac.id/upload/artikel/01.

    3. Utami R. Bayi sehat berkat ASI eksklusif. Jakarta: Gramedia; 2010.

    4. MacDorman, Fay M, Eugene D. Cesarean birth in United States: epi-

    demiologi, trends, and outcomes. Clinics and Perinatology Journal.

    2008; 35(2): 293-307.

    5. Betran AP, Gulmezoglu AM, Robson M, Merialdi M, Souza JP, Wojdyla D.

    WHO global survey on maternal and perinatal health in Latin America:

    classifying caesarean sections. Reproductive Health. 2009; 6: 18.

    6. Worden J. Too posh too push. 2011 [cited 2012 Jan 3]. Available from:

    URL:http://www.netdoctor.co.uk/health_advice/facts/pregnancy_too_

    posh.

    7. Zhang J, Liu Y, Meikle S, Zheng J, Sun W, Li Z. Cesarean delivery on

    maternal request in Southeast China. Obstetrics Gynecology. 2008; 111:

    1077-82.

    8. Meiyetriani E, Utomo B, Besral, Santoso BI, Salmah S. Peran dokter ahli

    kebidanan dan kandungan. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat

    Nasional. 2012; 7(1): 37-43.

    9. Afifah DN. Faktor yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian

    ASI eksklusif (Studi kualitatif). Semarang: Universitas Diponegoro;

    2007 [diakses tanggal 6 Desember 2011]. Available from: http://

    eprints.undip.ac.id/1034/1/ARTIKEL_ASI.pdf.

    10. Desmawati. Perbedaan waktu pengeluaran ASI ibu post sectio caesarea

    dengan post partum normal. Jurnal Bina Widya Universitas

    Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. 2010; 22(1): 11-6.

    11. Bobak, Irene M. Buku ajar keperawatan maternitas. 4th ed. Wijayarini.

    MA, editor. Jakarta: Penerbit EGC; 2005.

    12. Desmawati, Christie. Pengaruh terapi hipnotis terhadap penurunan ny-

    eri pada klien post operasi. Jurnal Bina Widya Universitas Pembangunan

    Nasional Veteran Jakarta. 2009; 20(4): 149-53.

    13. Ria K, Desmawati. Terapi musik media penurun nyeri pada pasien post

    sectio caesarea di Rumah Sakit Marinir [skripsi]. Jakarta: 2009.

    14. Dumphy D. The breastfeeding surgical patient. AORN journal. 2008;

    87(4): 759-64.

    15. Ancheta RS. Efektifitas mobilisasi dini terhadap penyembuhan pasien

    post seksio sesarea [monograph on the internet]. Medan: Universitas

    Sumatera Utara; 2005 [cited 2005 Feb 15]. Available from:

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27943/4/Chapter%2

    0II.pdf.

    16. Wenner L. Care of the breastfeeding mother in medical surgical areas.

    Medical Surgical Nursing Journal. 2007; 16(2): 101.

    17. Arifah IN. Perbedaan waktu keberhasilan inisiasi menyusui dini antara

    persalinan normal 2009. Semarang: Universitas Diponegoro; 2009 [cit-

    ed 2010 Des 15]. Available from: URL: http://eprints.undip.ac.id

    /10501/1/artikel.pdf.

    18. Desmawati. Pengaruh areola massage and rolling massage terhadap pen-

    geluaran ASI secara dini pada ibu post partum normal. Jurnal Bina

    Widya Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. 2010; 21(1):

    24-9.

    20. Ortiz AP, Rios NP, Valencia GR. Caesarean delivery as a barrier for

    breastfeeding initiation. The Puerto Rican Experience. Journal of Human

    Lactation. 2008; 24(3): 293.

    365

    Artikel Penelitian

    AbstrakUndang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang kesehatandan peraturan pemerintah No. 51 tahun 2009 menyatakan bahwa tenagakesehatan harus mempunyai kualifikasi minimum yang ditetapkan oleh pe-merintah. Studi kualitatif secara potong lintang pada tahun 2010 untukmengidentifikasi kualifikasi apoteker rumah sakit dalam memenuhi per-syaratan tersebut di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Data dikumpulkandengan wawancara mendalam terhadap 10 orang apoteker dari enamrumah sakit dan empat orang direktur/wakil direktur rumah sakit, masing-masing satu orang apoteker dari enam perguruan tinggi farmasi, tiga peng-urus Ikatan Apoteker Indonesia, tiga dinas kesehatan provinsi dan kabu-paten/kota. Observasi praktek kefarmasian dengan menggunakan daftartilik dilakukan pada tiap rumah sakit dan data sekunder terkait dokumentasipemantauan dan evaluasi obat, kepuasan pasien, standar operasionalprosedur dan kurikulum perguruan tinggi farmasi juga dikumpulkan.Analisis dilakukan dengan metode triangulasi dan hasil menunjukkanbahwa pengelolaan obat dalam hal pengadaan, distribusi dan penyimpanandilaksanakan dengan baik oleh apoteker rumah sakit. Praktek farmasi klinikdan keselamatan pasien masih sangat terbatas karena alasan sumber dayamanusia dan dokumentasi yang memadai. Informasi obat dan konselingkadang dilakukan tanpa fasilitas yang cukup dan apoteker juga terlibatdalam berbagai tim di rumah sakit seperti penanggulangan infeksi noso-komial dan komite farmasi dan terapi. Kata kunci: Apoteker, praktek kefarmasian, rumah sakit

    AbstractThe Indonesian Health Law No. 36 in 2009 and the Government RegulationNo. 51 in 2009 state that health-care providers, including pharmacist, shallhave minimum qualification set by the government. A qualitative cross sec-tional was conducted to to identify hospital pharmacist qualification as healthcare professionals in meeting the requirements was done in 2010 inBandung, Yogyakarta and Surabaya. Data were collected through indepth

    Kajian Praktik Kefarmasian Apoteker pada TatananRumah Sakit

    Analysis of Pharmacy Practice by Pharmacist in Hospital Setting

    Max Joseph Herman* Rini Sasanti Handayani* Selma Arsit Siahaan**

    *Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, **PusatHumaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

    interviews with pharmacists involving ten hospital pharmacists and four hos-pital directors/vice directors, six pharmacy colleges, three regional pharma-cist associations, three provincial health offices and district health officesand observation of pharmacy practices using check list in each hospital wasalso conducted. Secondary data concerning documentation of drug moni-toring and evaluation, patient satisfaction, standard operating procedureand pharmacy college curricula were collected too. Qualitative analysis wasdone descriptively using triangulation method. The study shows that drugprocurement, distribution and storage, was well-managed by pharmacist.Practice in clinical pharmacy and patient safety was still limited for thereason of human resources and appropriate documentation. Drug infor-mation and counseling was sometimes conducted without adequate facili-ties and pharmacist was involved in various hospital teams like nosocomialinfection control and pharmacy and therapy committee.Keywords: Pharmacist, pharmacy practice, hospital

    PendahuluanPeningkatan jumlah kebutuhan obat, inovasi pro-

    duksi massal, kompetisi dagang, inovasi obat baru,dan berbagai penyakit baru memicu perkembanganperubahan mendasar konsep meracik obat. Peranapoteker meracik obat diambil alih oleh industri dandalam evaluasi penggunaan obat memunculkanbanyak masalah. Hal tersebut mengubah arah orientasiapoteker dari semula kepada obat (drug-oriented) men-jadi kepada pasien (patient-oriented). Peran apotekertidak hanya menjual obat tetapi lebih kepada menjaminketersediaan obat berkualitas yang cukup, aman, tepa

    Alamat Korespondensi: Max Joseph Herman, Pusat Teknologi Intervensi KesehatanMasyarakat Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI, Jl. Percetakan Negara 29,Jakarta 10560, Hp. 0816713525, e-mail: [email protected]

  • 366

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    dengan harga terjangkau serta informasi yang memadaiserta pemantauan dan evaluasi penggunaan.

    Menurut Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 ten-tang kesehatan, pemerintah bertanggung jawab terhadapketersediaan sumber daya kesehatan dan ketersediaanakses serta fasilitas pelayanan kesehatan untuk memeli-hara derajat kesehatan setinggi-tingginya.1Pelayanan difasilitas kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan yangkompeten serta perencanaan, pendayagunaan, pembina-an dan pengawasan mutu tenaga kesehatan diatur olehpemerintah.2

    Salah satu jenis tenaga kesehatan adalah tenaga ke-farmasian antara lain apoteker yang oleh FederasiFarmasi Internasional (FIP) didefinisikan sebagai ke-mauan individu apoteker untuk melakukan praktekkefarmasian sesuai dengan aturan yang berlaku sertamemenuhi syarat kompetensi dan etik kefarmasian.3Setiap tindakan apoteker mempunyai liability yang diper-tanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum. Apotekermelakukan praktek kefarmasian di fasilitas pelayanan ke-farmasian seperti rumah sakit, puskesmas, apotek, tokoobat atau praktek bersama.4

    Perkembangan teknologi farmasi dan kedokteranserta perubahan gaya hidup mengubah tuntutanmasyarakat terhadap pelayanan kefarmasian yang lebihmenekankan praktek pengobatan yang aman, pencegah-an kesalahan pengobatan, pelaporan dan pencegahanefek samping, evaluasi dan tindak lanjut pengobatan,pemberian informasi klinis praktis dan pelayanan kerumah pasien. Advokasi terhadap masyarakat tidak ter-batas pada swamedikasi, melainkan juga pada saat sakitdan harus ditolong di tempat pelayanan kesehatan.

    Undang-Undang RI No. 44 tahun 2009 tentangrumah sakit yang diterbitkan hampir bersamaan waktu-nya dan melengkapi Undang-Undang RI No. 36 tahun2009 tentang kesehatan, Undang-Undang RI No. 35tahun 2009 tentang narkotika dan peraturan pemerintahNo. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasianmendefinisikan rumah sakit sebagai bentuk pelayanankesehatan terintegrasi yang melibatkan banyak profesitermasuk apoteker.5,6 Landasan hukum tersebut men-empatkan status hukum farmasi dalam berbagai peng-aturan pelayanan kesehatan. Apoteker di rumah sakitmenjalankan praktek kefarmasian seperti profesi ke-sehatan lain meliputi dokter dan perawat serta harusmempunyai kompetensi yang disyaratkan. MenurutWorld Health Organization (WHO) ada empat unsurutama praktek kefarmasian yang baik (good pharmacypractice) yang harus dilaksanakan, meliputi promosi ke-sehatan dan pencegahan penyakit, pengadaan dan peng-gunaan sediaan farmasi, swamedikasi serta faktor penga-ruh preskripsi dan penggunaan obat yang tiap unsurmembutuhkan standar nasional yang mencakup prosesdan fasilitas.7

    Sampai saat ini ada lebih dari 60 perguruan tinggi far-masi di Indonesia memiliki berbagai tingkat akreditasidan sarana, prasarana serta proses pendidikan profesiapoteker yang sangat bervariasi sehingga kualitas kelulus-an bervariasi.8 Penelitian yg berjudul Kesiapan TenagaFarmasi Menghadapi Era Globalisasi menunjukkanbahwa standar pelayanan farmasi di rumah sakit belumdapat terlaksana sepenuhnya karena keterbatasan kom-petensi dan bekal ilmu yang masih umum.9 Studi inibertujuan mengidentifikasi kualifikasi apoteker sebagaitenaga kesehatan di rumah sakit dalam rangka memenuhiketentuan Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009.

    MetodePenelitian kualitatif deskriptif dilakukan pada tahun

    2010 di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Informanadalah 10 orang apoteker bagian farmasi rumah sakit danempat orang direktur/wakil direktur penunjang medisrumah sakit, enam apoteker bagian kurikulum perguru-an tinggi farmasi, tiga apoteker Badan Pengurus DaerahIkatan Apoteker Indonesia (IAI), tiga apoteker dinkesprovinsi dan tiga apoteker dinkes kota.

    Data kompetensi apoteker dan pokok materi untukpelatihan bersertifikasi dikumpulkan melalui wawancaramendalam. Observasi juga dilakukan di unit pelayananfarmasi rumah sakit menggunakan pedoman wawancaradan daftar tilik. Data sekunder yang dikumpulkan beru-pa dokumentasi monitoring dan evaluasi penggunaanobat, survei kepuasan pasien, standar operasional prose-dur (SOP) yang dilaksanakan dan kurikulum perguruantinggi farmasi. Analisis data secara deskriptif dan kuali-tatif dengan metode triangulasi menggunakan berbagaisumber data dan metode pengumpulan data.

    Hasil Kualifikasi Apoteker

    Fokus utama pelayanan kefarmasian adalah pelayananobat dengan orientasi pasien dan meliputi kegiatanperencanaan, pelayanan dan pengajian resep, pemantau-an efek samping obat, bimbingan mahasiswa praktekyang kadang juga dilibatkan dalam konseling dan infor-masi obat. Instalasi farmasi rumah sakit mengelola obat,bahan habis pakai dan bahan baku serta telah memilikiSOP untuk tiap kegiatan meskipun ada yang hanya untuksyarat akreditasi, peran pengadaan (bulanan) dan pe-ngelolaan sediaan farmasi, tidak termasuk alat medis.Perencanaan menggunakan kombinasi metode konsumsidan epidemiologi dengan memerhatikan anggaran, priori-tas, formularium, pola penyakit, data yang lalu dan sisastok. Pengadaan melalui satu pintu. Penyimpananberdasarkan bentuk sediaan atau indeks farmakoterapi,secara alfabetis, berdasarkan penyakit khusus dengandistribusi kombinasi sentralisasi-desentralisasi, atau re-sep individual harian karena keterbatasan jumlah pera-

  • 366

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    dengan harga terjangkau serta informasi yang memadaiserta pemantauan dan evaluasi penggunaan.

    Menurut Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 ten-tang kesehatan, pemerintah bertanggung jawab terhadapketersediaan sumber daya kesehatan dan ketersediaanakses serta fasilitas pelayanan kesehatan untuk memeli-hara derajat kesehatan setinggi-tingginya.1Pelayanan difasilitas kesehatan diberikan oleh tenaga kesehatan yangkompeten serta perencanaan, pendayagunaan, pembina-an dan pengawasan mutu tenaga kesehatan diatur olehpemerintah.2

    Salah satu jenis tenaga kesehatan adalah tenaga ke-farmasian antara lain apoteker yang oleh FederasiFarmasi Internasional (FIP) didefinisikan sebagai ke-mauan individu apoteker untuk melakukan praktekkefarmasian sesuai dengan aturan yang berlaku sertamemenuhi syarat kompetensi dan etik kefarmasian.3Setiap tindakan apoteker mempunyai liability yang diper-tanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum. Apotekermelakukan praktek kefarmasian di fasilitas pelayanan ke-farmasian seperti rumah sakit, puskesmas, apotek, tokoobat atau praktek bersama.4

    Perkembangan teknologi farmasi dan kedokteranserta perubahan gaya hidup mengubah tuntutanmasyarakat terhadap pelayanan kefarmasian yang lebihmenekankan praktek pengobatan yang aman, pencegah-an kesalahan pengobatan, pelaporan dan pencegahanefek samping, evaluasi dan tindak lanjut pengobatan,pemberian informasi klinis praktis dan pelayanan kerumah pasien. Advokasi terhadap masyarakat tidak ter-batas pada swamedikasi, melainkan juga pada saat sakitdan harus ditolong di tempat pelayanan kesehatan.

    Undang-Undang RI No. 44 tahun 2009 tentangrumah sakit yang diterbitkan hampir bersamaan waktu-nya dan melengkapi Undang-Undang RI No. 36 tahun2009 tentang kesehatan, Undang-Undang RI No. 35tahun 2009 tentang narkotika dan peraturan pemerintahNo. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasianmendefinisikan rumah sakit sebagai bentuk pelayanankesehatan terintegrasi yang melibatkan banyak profesitermasuk apoteker.5,6 Landasan hukum tersebut men-empatkan status hukum farmasi dalam berbagai peng-aturan pelayanan kesehatan. Apoteker di rumah sakitmenjalankan praktek kefarmasian seperti profesi ke-sehatan lain meliputi dokter dan perawat serta harusmempunyai kompetensi yang disyaratkan. MenurutWorld Health Organization (WHO) ada empat unsurutama praktek kefarmasian yang baik (good pharmacypractice) yang harus dilaksanakan, meliputi promosi ke-sehatan dan pencegahan penyakit, pengadaan dan peng-gunaan sediaan farmasi, swamedikasi serta faktor penga-ruh preskripsi dan penggunaan obat yang tiap unsurmembutuhkan standar nasional yang mencakup prosesdan fasilitas.7

    Sampai saat ini ada lebih dari 60 perguruan tinggi far-masi di Indonesia memiliki berbagai tingkat akreditasidan sarana, prasarana serta proses pendidikan profesiapoteker yang sangat bervariasi sehingga kualitas kelulus-an bervariasi.8 Penelitian yg berjudul Kesiapan TenagaFarmasi Menghadapi Era Globalisasi menunjukkanbahwa standar pelayanan farmasi di rumah sakit belumdapat terlaksana sepenuhnya karena keterbatasan kom-petensi dan bekal ilmu yang masih umum.9 Studi inibertujuan mengidentifikasi kualifikasi apoteker sebagaitenaga kesehatan di rumah sakit dalam rangka memenuhiketentuan Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009.

    MetodePenelitian kualitatif deskriptif dilakukan pada tahun

    2010 di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Informanadalah 10 orang apoteker bagian farmasi rumah sakit danempat orang direktur/wakil direktur penunjang medisrumah sakit, enam apoteker bagian kurikulum perguru-an tinggi farmasi, tiga apoteker Badan Pengurus DaerahIkatan Apoteker Indonesia (IAI), tiga apoteker dinkesprovinsi dan tiga apoteker dinkes kota.

    Data kompetensi apoteker dan pokok materi untukpelatihan bersertifikasi dikumpulkan melalui wawancaramendalam. Observasi juga dilakukan di unit pelayananfarmasi rumah sakit menggunakan pedoman wawancaradan daftar tilik. Data sekunder yang dikumpulkan beru-pa dokumentasi monitoring dan evaluasi penggunaanobat, survei kepuasan pasien, standar operasional prose-dur (SOP) yang dilaksanakan dan kurikulum perguruantinggi farmasi. Analisis data secara deskriptif dan kuali-tatif dengan metode triangulasi menggunakan berbagaisumber data dan metode pengumpulan data.

    Hasil Kualifikasi Apoteker

    Fokus utama pelayanan kefarmasian adalah pelayananobat dengan orientasi pasien dan meliputi kegiatanperencanaan, pelayanan dan pengajian resep, pemantau-an efek samping obat, bimbingan mahasiswa praktekyang kadang juga dilibatkan dalam konseling dan infor-masi obat. Instalasi farmasi rumah sakit mengelola obat,bahan habis pakai dan bahan baku serta telah memilikiSOP untuk tiap kegiatan meskipun ada yang hanya untuksyarat akreditasi, peran pengadaan (bulanan) dan pe-ngelolaan sediaan farmasi, tidak termasuk alat medis.Perencanaan menggunakan kombinasi metode konsumsidan epidemiologi dengan memerhatikan anggaran, priori-tas, formularium, pola penyakit, data yang lalu dan sisastok. Pengadaan melalui satu pintu. Penyimpananberdasarkan bentuk sediaan atau indeks farmakoterapi,secara alfabetis, berdasarkan penyakit khusus dengandistribusi kombinasi sentralisasi-desentralisasi, atau re-sep individual harian karena keterbatasan jumlah pera-

    367

    Herman, Handayani & Siahaan, Kajian Praktek Kefarmasian Apoteker pada Tatanan Rumah Sakit

    wat. Pengeluaran obat berdasarkan asas FIFO-FEFO(first in first out first expired first out) serta dilakukanmonitoring dan evaluasi triwulanan.

    Pengendalian mutu pelayanan mempertimbangkanunsur input, proses, lingkungan, dan standar pelayananmelalui peningkatan pelayanan farmasi yang ada, kuali-tas sumber daya manusia, sarana dan prasarana yangada, percepatan waktu tunggu (ada yang dengan resepelektronik), menerima kotak saran dan survei kepuasanberkala. Masih ada rumah sakit yang program pe-ngendalian mutu farmasinya menjadi satu dengan rumahsakit melalui unit pengembangan rumah sakit yangmelakukan evaluasi dua kali setahun. Ada instalasi far-masi rumah sakit yang mengevaluasi kepuasan denganmelakukan sampling lima pasien per hari dari unit rawatjalan dan rawat inap dan melakukan evaluasi triwulanbersama manajemen rumah sakit.

    Komite farmasi dan terapi atau panitia farmasi danterapi, yang meliputi dokter, farmasis dan perawat ber-tugas menetapkan formularium. Namun, ada rumahsakit yang tidak menggunakan dan belum melakukanevaluasi kepatuhan atau hanya terbatas untuk jam-kesmas, dengan jumlah sesuai rencana tahunan danbulanan melalui banyak pedagang besar farmasi denganpenunjukan rekanan. Apoteker sebagai sekretaris bekerjasama dengan ketua komite farmasi dan terapi denganrapat rutin dan berada di bawah direktur ataupun komitemedis.

    Informasi obat oleh apoteker di sebagian rumah sakittelah berjalan secara aktif atau pasif melalui telepon,leaflet, buletin, label, konseling dan kadang seminar,khusus untuk pasien rujukan dokter, penyakit kronis,geriatri dan pediatri, polifarmasi serta pasien yang maupulang. Namun, ruangan khusus kadang belum tersediadan masih ada yang dilakukan oleh perawat. Doku-mentasi kadang-kadang tidak ada, terutama pasien rawatinap, meskipun struktur pelayanan informasi obat adadalam informasi tentang indikasi, kontra-indikasi, efeksamping obat, stroke, puasa biasanya disampaikanbersama dengan obat. Kendala yang dihadapi adalahsarana informasi dan tenaga, keilmuan dan pendidikanberkelanjutan.

    Rasionalisasi penggunaan obat umumnya telah adameskipun belum semua rumah sakit melaksanakan.Skrining resep dilakukan baik secara administratif, far-masetik dan klinis meskipun kadang oleh asisten apo-teker atau bahkan hanya untuk keabsahan resep, belummemerhatikan rasionalitas. Irasionalitas yang sering di-jumpai antara lain polifarmasi, indikasi dan cara pakaiobat, kombinasi antibiotika.

    Program farmasi klinis masih ada yang belum ber-jalan sebagaimana mestinya atau sedang diupayakankarena kendala kapasitas sumber daya manusia danbeban pekerjaan. Sementara itu, kegiatan kunjungan ke

    pasien belum dilaksanakan dan status obat belum ada,meskipun dalam struktur telah ada farmasi klinis danapoteker sebagai koordinator. Farmasi klinis yang telahberjalan dan ada apoteker yang bertanggung jawab an-tara lain melakukan informasi obat, konseling, kunjung-an mandiri untuk pasien ginjal, hati dan pada peng-gunaan obat dengan indeks terapi sempit, ward pharma-cist (baru sebagian kecil), drug utilization review, pe-nanganan sitostatika, monitoring efek Samping obattelah sampai laporan ke Badan Pengawas Obat danMakanan (BPOM).

    Kegiatan farmasi klinis telah didokumentasikan,meskipun ada yang belum atau kurang tertib dan di-evaluasi setiap tiga bulan. Evaluasi meliputi efek sampingobat. Data yang dievaluasi oleh panitia farmasi dan terapisebagai masukan untuk periode berikutnya, misalnyapemberian ketoprofen ke pasien. Jika timbul alergi, akandidiskusikan dalam forum. Di samping itu, secarainternal setiap dua minggu dipresentasikan kasus untukdipelajari, juga kasus menarik dari sisi manajemen,dievaluasi dan mengacu pada jurnal terbaru. Kegiatankunjungan pasien telah dilakukan oleh apoteker, misalkunjungan pasien stroke, intensive care unit, jamkesmas.Contoh kasus yang pernah dihadapi adalah pemberianklopidogrel untuk pasien stroke dengan empat dosis,ternyata menurut jurnal terbaru belum terbukti. Sepertihalnya pemberian angkak untuk menaikkan trombositpasien dengue high fever (DHF), pemberian simvastatinpada pasien kolesterol selama satu minggu, kolesterolmalah naik; Efek samping obat terutama pada pemakaianobat injeksi seperti kasus melepuh pada pasien yang di-suntik injeksi natrium bikarbonat atau polifarmasi.

    Program patient safety baru dilakukan dalam jumlahkecil dan biasanya setelah akreditasi. Ada yang masihdalam proses meskipun ada komite lengkap denganpetunjuk teknis dan prosedur tetap dan apoteker tidaktermasuk di dalamnya. Rapat rutin tentang kesalahanmedis pasien jatuh, mati/padam listrik, resep salah, salahpasien atau dosis dilakukan dan dilaporkan ke kelompokkerja lalu ke komite patient safety nasional.

    Selain di instalasi farmasi rumah sakit dan komitefarmasi dan terapi, apoteker terlibat dalam panitia pe-ningkatan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit, timpengendalian infeksi nosokomial, tim penanggulanganAcquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), SevereAcute Respiratory Syndrome (SARS), flu burung, demamberdarah, dan rehabilitasi narkoba, tetapi tidak ditemu-kan di seluruh rumah sakit. Di samping itu, apotekerjuga terlibat dalam tim pengadaan, tim penerimaan, unitCentral Sterile Supply Deparment (CSSD), tetapi adajuga apoteker rumah sakit yang tidak mempunyai peranlain. Apoteker yang terlibat berbagai tim lain meliputitim stroke, trauma, akreditasi, mutu, patient safety,pengembangan, International Standarization Organ-

  • 368

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    ization (ISO), multi systemic therapy, dan asupan gizi,bagian sistem pengawasan internal.

    Menurut beberapa apoteker di instalasi farmasirumah sakit, yang penting untuk bekerja di rumah sakitadalah kemampuan komunikasi secara profesional,hubungan antar profesi, manajemen finansial mulai daripenganggaran sampai target yang akan dicapai, peng-ambil keputusan di lapangan, peduli pasien, farmasi kli-nis, sikap dan karakter yang sopan dan ulet, moral yangbaik, dan tuntutan mengembangkan ilmu pengetahuan.Pelatihan yang pernah diikuti cukup banyak antaralain farmasi klinis, pelayanan informasi obat, finansialdan program kunjungan, pencampuran obat steril, pa-tient safety, manajemen, komunikasi profesi, seminarmengenai off label drug dan seminar sistem farmasisatu pintu, di samping pengenalan alat kesehatan,pelayanan persalinan, manajerial dan birokrasi.

    Praktek Kefarmasian di Pelayanan Rumah SakitBerdasarkan hasil pengamatan praktek kefarmasian

    dan data sekunder di fasilitas pelayanan kefarmasianrumah sakit, berbagai kegiatan yang tidak dilakukanantara lain dokumentasi pemantauan dan evaluasi peng-elolaan sediaan farmasi, wawancara riwayat obat secararutin dan terdokumentasi, dokumentasi survei kepuasanpasien dalam pelayanan obat, dispensing khusus,kunjungan secara rutin dan terdokumentasi dalam sistemdispensing khusus (obat steril, sitostatika) dan kunjung-an, pemantauan terapi obat dan monitoring efek sampingobat secara rutin, kajian penggunaan obat secara rutindan terdokumentasi, laporan evaluasi kepatuhan ter-hadap formularium, pemantauan kadar obat dalam darahdalam pemantauan dan evaluasi, konseling pasien rawatinap maupun rawat jalan secara rutin terjadwal dan ter-dokumentasi, ruang khusus untuk konseling dan infor-masi obat, serta dokumentasi dan laporan evaluasi kon-seling dan informasi obat dalam konseling dan informasiobat. Secara ringkas kualifikasi dan pelaksaan apotekerdi rumah sakit terdapat pada Tabel 1.

    Pendapat Institusi TerkaitDalam aspek pengelolaan/administrasi obat dan far-

    masi, apoteker telah mempunyai pengetahuan yang baikdan mampu melakukan fungsi penyimpanan dan dis-tribusi obat serta pengendalian mutu obat, tetapi dalampengetahuan dan pelaksanaan farmasi klinis terutamamengenai konsep drug related problem interaksi obat danfarmako-kinetika klinik, therapeutic drug monitoring, to-tal parenteral nutrition dan analisa data laboratoriumserta drug safety masih harus banyak ditingkatkan.

    Ada sedikit perbedaan ekspektasi antara manajemenrumah sakit dan apoteker. Manajemen rumah sakitberpendapat pelayanan obat ke pasien cepat dan baikadalah yang utama, apabila hal tersebut telah berjalan

    baik, baru menjalankan program farmasi klinis danpelayanan informasi obat. Manajemen rumah sakit jugaberharap apoteker mempunyai pengetahuan manajemenrumah sakit dan tidak hanya terfokus pada pekerjaan far-masi. Sementara, apoteker masih fokus pada pelaksanaanpelayanan kefarmasian yang seharusnya termasukpelayanan farmasi klinis dan tidak direpotkan oleh urus-an administrasi rumah sakit.

    Hasil wawancara mendalam dengan perguruan tinggifarmasi menunjukkan beberapa materi telah sesuai de-ngan kebutuhan, khususnya pada perguruan tinggi negeriyang terakreditasi A, program sarjana telah terpisahuntuk peminatan industri dan rumah sakit. Perusahaanfarmasi tertentu memisahkan secara lebih tegas programsarjana dan apoteker untuk farmasi komunitas dan klinis,farmasi industri dan farmasi bahan alam sehinggahampir seluruh materi yang diberikan telah mengacukepada peminatan tersebut. Apabila mereka memilihprogram studi farmasi klinik dan komunitas, materi yangdiberikan sudah spesifik, contohnya: farmakoterapisistem saraf, sistem renal, sistem kardiovaskuler, sistemhormon dan endokrin, sistem pencernaan dan perna-pasan, nutrisi, konseling dan lain sebagainya. Kemudianmereka melanjutkan ke program profesi apoteker denganmateri yang seluruhnya terkait farmasi klinik dan komu-nitas dan tidak ada materi terkait industri atau bahanalam. Pada perguruan tinggi farmasi lain, pemisahanbaru terjadi pada tugas akhir.

    Proses pengendalian mutu pelayanan farmasi padaumumnya belum berjalan rutin dan sebagian masihmelekat pada program rumah sakit. Umumnya surveikepuasan pelanggan rumah sakit termasuk di instalasifarmasi rumah sakit mencakup waktu tunggu, kenyaman-an, keramahan dan kejelasan informasi. Aspek ketepatanpemberian obat, kesalahan racik atau aspek kesalahanmedis masih sangat kurang. Secara ringkas, pendapatberbagai institusi terkait tentang kualifikasi apotekeryang melakukan praktek kefarmasian di fasilitas pe-layanan kefarmasian rumah sakit dapat dilihat dalamTabel 2.

    PembahasanFarmasi klinis di rumah sakit belum berjalan baik

    atau bahkan belum berjalan di sebagian rumah sakitkarena fokus utama pihak manajemen rumah sakit masihpada pelayanan kefarmasian secara umum meliputipelayanan resep, obat tersedia dan percepatan waktutunggu. Padahal, farmasi klinis bermanfaat untukkepuasan pasien. Pasien pulang setelah konseling, ke-amanan dan hasil terapi lebih baik, masalah dapat di-pantau dan diantisipasi serta rasionalisasi harga obat.Kepuasan pasien akan meningkatkan jumlah pasien dancakupan resep mungkin naik menjadi 100% bahkanlebih karena ada salinan resep. Di samping itu, kapasitas

    368

  • 368

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    ization (ISO), multi systemic therapy, dan asupan gizi,bagian sistem pengawasan internal.

    Menurut beberapa apoteker di instalasi farmasirumah sakit, yang penting untuk bekerja di rumah sakitadalah kemampuan komunikasi secara profesional,hubungan antar profesi, manajemen finansial mulai daripenganggaran sampai target yang akan dicapai, peng-ambil keputusan di lapangan, peduli pasien, farmasi kli-nis, sikap dan karakter yang sopan dan ulet, moral yangbaik, dan tuntutan mengembangkan ilmu pengetahuan.Pelatihan yang pernah diikuti cukup banyak antaralain farmasi klinis, pelayanan informasi obat, finansialdan program kunjungan, pencampuran obat steril, pa-tient safety, manajemen, komunikasi profesi, seminarmengenai off label drug dan seminar sistem farmasisatu pintu, di samping pengenalan alat kesehatan,pelayanan persalinan, manajerial dan birokrasi.

    Praktek Kefarmasian di Pelayanan Rumah SakitBerdasarkan hasil pengamatan praktek kefarmasian

    dan data sekunder di fasilitas pelayanan kefarmasianrumah sakit, berbagai kegiatan yang tidak dilakukanantara lain dokumentasi pemantauan dan evaluasi peng-elolaan sediaan farmasi, wawancara riwayat obat secararutin dan terdokumentasi, dokumentasi survei kepuasanpasien dalam pelayanan obat, dispensing khusus,kunjungan secara rutin dan terdokumentasi dalam sistemdispensing khusus (obat steril, sitostatika) dan kunjung-an, pemantauan terapi obat dan monitoring efek sampingobat secara rutin, kajian penggunaan obat secara rutindan terdokumentasi, laporan evaluasi kepatuhan ter-hadap formularium, pemantauan kadar obat dalam darahdalam pemantauan dan evaluasi, konseling pasien rawatinap maupun rawat jalan secara rutin terjadwal dan ter-dokumentasi, ruang khusus untuk konseling dan infor-masi obat, serta dokumentasi dan laporan evaluasi kon-seling dan informasi obat dalam konseling dan informasiobat. Secara ringkas kualifikasi dan pelaksaan apotekerdi rumah sakit terdapat pada Tabel 1.

    Pendapat Institusi TerkaitDalam aspek pengelolaan/administrasi obat dan far-

    masi, apoteker telah mempunyai pengetahuan yang baikdan mampu melakukan fungsi penyimpanan dan dis-tribusi obat serta pengendalian mutu obat, tetapi dalampengetahuan dan pelaksanaan farmasi klinis terutamamengenai konsep drug related problem interaksi obat danfarmako-kinetika klinik, therapeutic drug monitoring, to-tal parenteral nutrition dan analisa data laboratoriumserta drug safety masih harus banyak ditingkatkan.

    Ada sedikit perbedaan ekspektasi antara manajemenrumah sakit dan apoteker. Manajemen rumah sakitberpendapat pelayanan obat ke pasien cepat dan baikadalah yang utama, apabila hal tersebut telah berjalan

    baik, baru menjalankan program farmasi klinis danpelayanan informasi obat. Manajemen rumah sakit jugaberharap apoteker mempunyai pengetahuan manajemenrumah sakit dan tidak hanya terfokus pada pekerjaan far-masi. Sementara, apoteker masih fokus pada pelaksanaanpelayanan kefarmasian yang seharusnya termasukpelayanan farmasi klinis dan tidak direpotkan oleh urus-an administrasi rumah sakit.

    Hasil wawancara mendalam dengan perguruan tinggifarmasi menunjukkan beberapa materi telah sesuai de-ngan kebutuhan, khususnya pada perguruan tinggi negeriyang terakreditasi A, program sarjana telah terpisahuntuk peminatan industri dan rumah sakit. Perusahaanfarmasi tertentu memisahkan secara lebih tegas programsarjana dan apoteker untuk farmasi komunitas dan klinis,farmasi industri dan farmasi bahan alam sehinggahampir seluruh materi yang diberikan telah mengacukepada peminatan tersebut. Apabila mereka memilihprogram studi farmasi klinik dan komunitas, materi yangdiberikan sudah spesifik, contohnya: farmakoterapisistem saraf, sistem renal, sistem kardiovaskuler, sistemhormon dan endokrin, sistem pencernaan dan perna-pasan, nutrisi, konseling dan lain sebagainya. Kemudianmereka melanjutkan ke program profesi apoteker denganmateri yang seluruhnya terkait farmasi klinik dan komu-nitas dan tidak ada materi terkait industri atau bahanalam. Pada perguruan tinggi farmasi lain, pemisahanbaru terjadi pada tugas akhir.

    Proses pengendalian mutu pelayanan farmasi padaumumnya belum berjalan rutin dan sebagian masihmelekat pada program rumah sakit. Umumnya surveikepuasan pelanggan rumah sakit termasuk di instalasifarmasi rumah sakit mencakup waktu tunggu, kenyaman-an, keramahan dan kejelasan informasi. Aspek ketepatanpemberian obat, kesalahan racik atau aspek kesalahanmedis masih sangat kurang. Secara ringkas, pendapatberbagai institusi terkait tentang kualifikasi apotekeryang melakukan praktek kefarmasian di fasilitas pe-layanan kefarmasian rumah sakit dapat dilihat dalamTabel 2.

    PembahasanFarmasi klinis di rumah sakit belum berjalan baik

    atau bahkan belum berjalan di sebagian rumah sakitkarena fokus utama pihak manajemen rumah sakit masihpada pelayanan kefarmasian secara umum meliputipelayanan resep, obat tersedia dan percepatan waktutunggu. Padahal, farmasi klinis bermanfaat untukkepuasan pasien. Pasien pulang setelah konseling, ke-amanan dan hasil terapi lebih baik, masalah dapat di-pantau dan diantisipasi serta rasionalisasi harga obat.Kepuasan pasien akan meningkatkan jumlah pasien dancakupan resep mungkin naik menjadi 100% bahkanlebih karena ada salinan resep. Di samping itu, kapasitas

    368 369

    Herman, Handayani & Siahaan, Kajian Praktek Kefarmasian Apoteker pada Tatanan Rumah Sakit

    pelayanan kesehatan primer menemukan bahwa konsul-tasi oleh apoteker yang mencerminkan penerimaanpasien dapat meningkatkan efisiensi peresepan danmerupakan umpan balik informasi yang penting bagianggota tim kesehatan lain untuk memahami persepsipasien yang pada gilirannya dapat memfasilitasi manaje-men pasien.10 Studi lain pada pelayanan kesehatanprimer menunjukkan bahwa perawatan langsung pasiendengan penekanan pada manajemen kebutuhan pasienyang terkait dengan medikasi merupakan fokus utamaapoteker pada pelayanan kesehatan primer yang mem-butuhkan kemampuan komunikasi, kolaborasi, dan profesionalisme.11

    Masih banyak kegiatan yang belum dilaksanakandalam praktek kefarmasian antara lain dokumentasimonitoring dan evaluasi, wawancara riwayat obat secararutin, dokumentasi survei kepuasan pasien, dispensingkhusus, kunjungan secara rutin dan terdokumentasi, pe-mantauan terapi obat dan monitoring efek samping obatsecara rutin, kajian penggunaan obat, evaluasi kepatuhanterhadap formularium, pemantauan obat dalam darah,konseling yang terjadwal dan rutin. Hal ini menunjukkanstandar pelayanan farmasi di rumah sakit yang dikeluar-kan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun2007 belum dapat dilaksanakan secara penuh.

    Standar pelayanan minimal pelayanan kesehatankhususnya yang berkaitan dengan pengadaan obat ter-

    369

    apoteker di bidang farmasi klinis juga masih terbatas,mengingat kurikulum farmasi klinis baru diberikan/diperkenalkan perguruan tinggi dalam beberapa tahunterakhir.

    Suatu penelitian terhadap apoteker yang bekerja pada

    Tabel1. Praktik Kefarmasian di Rumah Sakit

    Kualifikasi Apoteker Pelaksanaan Kualifikasi Materi Pengembangan

    Pengelolaan (pengadaan, penyimpanan, Apoteker telah mengelola sediaan farmasi Komunikasi antarprofesi, distribusi) serta pengendalian kualitas termasuk penyimpanan dan distribusi dengan manajemen finansial, farma-obat dan perbekalan kesehatan lain. baik meskipun ada standar operasional prosedur si klinis, patient safety, farmasi

    yang hanya untuk akreditasi dan dokumentasi analisis, manajemen logistik,kurang tertib. Kendali mutu obat terbatas global logistic properties, organoleptis, mutu pelayanan telah ada meskipun peraturan perundang-kadang tidak mandiri. undangan

    Farmasi klinik : Farmasi klinis seperti pusat informasi obat, DRP, interaksi obat terutamaPartisipasi dalam pengambilan keputusan konseling, dankunjungan belum semua melakukan parenteral, dokumentasi riwa-pemberian obat pada penderita, pemilihan karena kendala kapasitas sumber daya manusia yat pengobatan pasien, farma-obat yang tepat, pemberian dan penyediaan dan dokumentasi yang kurang tertib. Rasionalisasi obat, pemantauan efek obat,dan pendidikan penderita obat dan patient safety baru sebagian kecil. kokinetika klinik, patofisiologi,

    Theurapeutic drug monitoring belum ada yang analisis data lab, theurapeu-melaksanakan tic drug monitoring, total

    parenteral nutrtion, dan studi kasus

    Konsultasi, informasi dan edukasi yang Informasi obat telah berjalan meski kadang Komunikasi, farmakoterapi,berkaitan dengan pengunaan obat tanpa ruangan khusus dan dokumentasi evaluasi sumber literatur, psi-

    kurang tertib dan tanpa laporan evaluasi. kologipusat informasi obat berjalan dengan kendala sarana, sumber daya manusia, pendidikan, kadang pasif

    Partisipasi dan kontribusi dalam penelitian Apoteker terlibat dalam berbagai tim seperti Ilmu kefarmasian, toksikologiyang dilakukan di rumah sakit. Pengendalian infeksi nosokomial dan penyakit

    tertentu, peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, penanggulangan keracunan

    Peran dalam komite farmasi dan terapi Fungsi komite farmasi dan terapi telah berjalan, Farmasi klinik, komunikasinamun kepatuhan formularium ada yang belum dilakukan

    Tabel 2. Pendapat Institusi Terkait Kualifikasi Apoteker di Rumah Sakit

    Informan Kualifikasi Apoteker Materi Pengembangan

    Perguruan Tinggi Praktek kefarmasian oleh Farmasi klinis, komitmenFarmasi apoteker bervariasi antar diri, pembagian peminatan

    rumah sakit terutama dalam farmasi rumah sakit, farfarmasi klinis, sekarang masih makoterapi,humaniora, dalam masa transisi komunikasi personal, il-

    mu perilaku, manaje-men

    Badan Pengurus Sesuai dengan Peraturan Pelatihan asuhan kefar-Daerah Ikatan Pemerintah No. 51, kuali- masian, koordinasi him-Apoteker Indonesia tas baik, perlu penyesuaian punan seminat, standar

    sinkronisasi dengan kebutuh- kompetensi, sertifikasi an pengguna berkala

    Dinkes provinsi Apoteker telah melakukan Sosialisasi pembinaanpraktek pelayanan kefarma- dan pengawasan Per-sian dengan baik, tetapi apo- aturan Pemerintah No. teker belum mendapat penga- 51, kerja sama dengan kuan organisasi profesi, far-

    masi klinisDinkes kota Apoteker telah melakukan t Farmakologi obat, farmasi

    praktek pelayanan kefarmasi- klinisan sesuai Peraturan Peme-rintah No. 51

  • 370

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    masuk penyimpanan sebagian belum terpenuhi di rumahsakit umum daerah dan dibutuhkan pelatihan pengelola-an obat yang lebih intensif.12 Di Pakistan, meskipun pro-fesi farmasi terus berkembang, sistem pelayanan kesehat-an belum mengenal peran apoteker. Hal ini disebabkanoleh interaksi apoteker dengan publik yang kurang danhanya mementingkan peran profesional dalam sistempelayanan kesehatan. Masalah utama adalah kekuranganjumlah apoteker di instalasi farmasi/apotek danpelayanan lebih mengutamakan manajemen daripadapasien.13 Di dua puluh enam kabupaten di Indonesia, se-lain prasarana terbatas, juga ditemukan kekurangantenaga kefarmasian apoteker atau asisten apoteker padaunit pengelola obat publik.14 Pelayanan informasi obat diapotek belum berjalan sebagaimana mestinya dan ana-lisis Strength Weakness Opportunity Threat (SWOT)menunjukkan komunikasi, informasi dan edukasi pasienmerupakan titik terlemah.15 Sebaliknya, di negara majuseperti Amerika Serikat, suatu survei terhadap direkturfarmasi dari 1.364 rumah sakit di Amerika Serikat me-nunjukkan bahwa farmasis sangat terlibat dalam moni-toring terapi obat dan kurang terlibat dalam kegiatanpendidikan, praktek kefarmasian rumah sakit makin ter-integrasi dan farmasis terlibat dalam peran distribusijuga klinis.16

    Penurunan kejadian kesalahan medis serius dari se-belumnya (29 per 1.000 pasien hari) di intensive careunit menjadi 6 per 1.000 pasien hari dengan menem-patkan apoteker klinis unit base di bangsal, sedangkanapoteker paruh waktu di bagian umum tidak menurun-kan kejadian kesalahan.17 Di Indonesia, rata-rata duadrug related problem per pasien yang sebagian besarmelibatkan anti infeksi. Apoteker paling mungkinmelakukan intervensi pada kasus drug related problem,meskipun kadang usul intervensi tidak disetujui penulisresep.18 Kejadian kesalahan pelayanan obat di rumahsakit, terutama yang menyangkut peresepan yang tidakmencantumkan usia pasien atau berat badan, kesalahanaturan pakai dan dosis, peracikan dan penyerahan obat,sesungguhnya dapat dicegah apabila apoteker melakukanpenilaian pasien dengan menggali keterangan tentangnama, usia, berat badan, keadaan hamil, riwayat alergi,riwayat penyakit, dan kontrasepsi bila ada.19

    Kualitas apoteker berhubungan erat dengan bebankerja apoteker di rumah sakit. Apabila di rumah sakit,apoteker bekerja terlalu banyak dan waktu tersita untukmengurusi aspek administrasi rumah sakit, kemampuanapoteker untuk pekerjaan pelayanan kefarmasian yangberhubungan dengan farmasi klinis dan drug safety ku-rang berkembang. Sebaiknya, standar pelayanan ke-farmasian rumah sakit yang dikeluarkan oleh kementeri-an kesehatan yang mensyaratkan satu apoteker untuktiga puluh tempat tidur supaya diikuti. Pada kenyataan-nya, hal tersebut belum berjalan akibat keterbatasan

    jumlah sumber daya manusia sebagai apoteker. Tiap negara membutuhkan tenaga kefarmasian untuk

    pelayanan dan pendampingan preskripsi obat dan peng-gunaan obat yang rasional, manajemen unit farmasi danformularium untuk menjamin akses terhadap obat,pengembangan pedoman klinis dan pelayanan informasiserta konseling. Komposisi, kompetensi dan ukuran pe-tugas yang dibutuhkan untuk tiap peran berbeda-bedabergantung kebutuhan. Pedoman kebijakan sangat ku-rang dan masa depan farmasi rumah sakit bergantungpada kemampuan profesi untuk memberikan bukti nyataperencanaan tenaga farmasi rumah sakit yang ber-kesinambungan dan terintegrasi yang penting.20 Disamping itu, kapasitas apoteker di bidang farmasi klinisjuga masih terbatas, mengingat kurikulum farmasi klinisbaru diberikan/diperkenalkan perguruan tinggi dalambeberapa tahun terakhir sehingga apoteker-apotekerlulusan lama belum menguasai ilmu tersebut. Konse-kuensinya apoteker masih memerlukan pendidikanberkelanjutan yang mengacu kepada kebutuhan lapang-an seperti farmasi klinis dan drug safety.

    International Pharmaceutical Federation menyatakanapoteker akan tetap berperan penting dalam penyediaaninformasi obat yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan baik lisan maupun tertulis kepada pasien.Dengan akses informasi dari internet yang makinmeningkat, apoteker dapat bertindak sebagai pemandudan penerjemah. Penjelasan lisan tetap menjadi prioritasbagi pasien, tetapi harus terkait erat dengan informasi ter-tulis. Keduanya harus mencerminkan pemahaman ke-sehatan pasien dan perawat. Harus dipastikan bahwa in-formasi tertulis bukanlah substitusi diskusi dan pasien di-dorong untuk menggunakan informasi tertulis sertamengajukan pertanyaan yang timbul. Apoteker jugaharus bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain untukmenjamin pasien menerima informasi yang memadai,tepat dan konsisten. Lebih jauh lagi apoteker dapatmemberikan dokumen tertulis bersama obat sebagaipengingat untuk mendukung informasi lisan yangdiberikan.21 Manajemen penyakit kronis yang efektifharus melibatkan pastisipasi aktif pasien karena peranapoteker tidak dibatasi pada obat dan perlu diperluasdalam sistem pelayanan kesehatan primer. Lebih jauh,dibutuhkan dukungan pemerintah dengan meningkat-kan peran apoteker dalam pelayanan kesehatan danpengembangan kerjasama pemerintah dan swasta de-ngan apoteker komunitas.22

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun2009, apoteker berkewajiban untuk menyerahkan obatlangsung kepada pasien. Suatu penelitian terhadap pe-ngunjung apotek di kota Depok menunjukkan bahwakonsumen membutuhkan pelayanan informasi obatmeskipun mereka kurang mengetahui siapa yang berhakmemberikan informasi obat tersebut.23 Ternyata di

  • 370

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    masuk penyimpanan sebagian belum terpenuhi di rumahsakit umum daerah dan dibutuhkan pelatihan pengelola-an obat yang lebih intensif.12 Di Pakistan, meskipun pro-fesi farmasi terus berkembang, sistem pelayanan kesehat-an belum mengenal peran apoteker. Hal ini disebabkanoleh interaksi apoteker dengan publik yang kurang danhanya mementingkan peran profesional dalam sistempelayanan kesehatan. Masalah utama adalah kekuranganjumlah apoteker di instalasi farmasi/apotek danpelayanan lebih mengutamakan manajemen daripadapasien.13 Di dua puluh enam kabupaten di Indonesia, se-lain prasarana terbatas, juga ditemukan kekurangantenaga kefarmasian apoteker atau asisten apoteker padaunit pengelola obat publik.14 Pelayanan informasi obat diapotek belum berjalan sebagaimana mestinya dan ana-lisis Strength Weakness Opportunity Threat (SWOT)menunjukkan komunikasi, informasi dan edukasi pasienmerupakan titik terlemah.15 Sebaliknya, di negara majuseperti Amerika Serikat, suatu survei terhadap direkturfarmasi dari 1.364 rumah sakit di Amerika Serikat me-nunjukkan bahwa farmasis sangat terlibat dalam moni-toring terapi obat dan kurang terlibat dalam kegiatanpendidikan, praktek kefarmasian rumah sakit makin ter-integrasi dan farmasis terlibat dalam peran distribusijuga klinis.16

    Penurunan kejadian kesalahan medis serius dari se-belumnya (29 per 1.000 pasien hari) di intensive careunit menjadi 6 per 1.000 pasien hari dengan menem-patkan apoteker klinis unit base di bangsal, sedangkanapoteker paruh waktu di bagian umum tidak menurun-kan kejadian kesalahan.17 Di Indonesia, rata-rata duadrug related problem per pasien yang sebagian besarmelibatkan anti infeksi. Apoteker paling mungkinmelakukan intervensi pada kasus drug related problem,meskipun kadang usul intervensi tidak disetujui penulisresep.18 Kejadian kesalahan pelayanan obat di rumahsakit, terutama yang menyangkut peresepan yang tidakmencantumkan usia pasien atau berat badan, kesalahanaturan pakai dan dosis, peracikan dan penyerahan obat,sesungguhnya dapat dicegah apabila apoteker melakukanpenilaian pasien dengan menggali keterangan tentangnama, usia, berat badan, keadaan hamil, riwayat alergi,riwayat penyakit, dan kontrasepsi bila ada.19

    Kualitas apoteker berhubungan erat dengan bebankerja apoteker di rumah sakit. Apabila di rumah sakit,apoteker bekerja terlalu banyak dan waktu tersita untukmengurusi aspek administrasi rumah sakit, kemampuanapoteker untuk pekerjaan pelayanan kefarmasian yangberhubungan dengan farmasi klinis dan drug safety ku-rang berkembang. Sebaiknya, standar pelayanan ke-farmasian rumah sakit yang dikeluarkan oleh kementeri-an kesehatan yang mensyaratkan satu apoteker untuktiga puluh tempat tidur supaya diikuti. Pada kenyataan-nya, hal tersebut belum berjalan akibat keterbatasan

    jumlah sumber daya manusia sebagai apoteker. Tiap negara membutuhkan tenaga kefarmasian untuk

    pelayanan dan pendampingan preskripsi obat dan peng-gunaan obat yang rasional, manajemen unit farmasi danformularium untuk menjamin akses terhadap obat,pengembangan pedoman klinis dan pelayanan informasiserta konseling. Komposisi, kompetensi dan ukuran pe-tugas yang dibutuhkan untuk tiap peran berbeda-bedabergantung kebutuhan. Pedoman kebijakan sangat ku-rang dan masa depan farmasi rumah sakit bergantungpada kemampuan profesi untuk memberikan bukti nyataperencanaan tenaga farmasi rumah sakit yang ber-kesinambungan dan terintegrasi yang penting.20 Disamping itu, kapasitas apoteker di bidang farmasi klinisjuga masih terbatas, mengingat kurikulum farmasi klinisbaru diberikan/diperkenalkan perguruan tinggi dalambeberapa tahun terakhir sehingga apoteker-apotekerlulusan lama belum menguasai ilmu tersebut. Konse-kuensinya apoteker masih memerlukan pendidikanberkelanjutan yang mengacu kepada kebutuhan lapang-an seperti farmasi klinis dan drug safety.

    International Pharmaceutical Federation menyatakanapoteker akan tetap berperan penting dalam penyediaaninformasi obat yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan baik lisan maupun tertulis kepada pasien.Dengan akses informasi dari internet yang makinmeningkat, apoteker dapat bertindak sebagai pemandudan penerjemah. Penjelasan lisan tetap menjadi prioritasbagi pasien, tetapi harus terkait erat dengan informasi ter-tulis. Keduanya harus mencerminkan pemahaman ke-sehatan pasien dan perawat. Harus dipastikan bahwa in-formasi tertulis bukanlah substitusi diskusi dan pasien di-dorong untuk menggunakan informasi tertulis sertamengajukan pertanyaan yang timbul. Apoteker jugaharus bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain untukmenjamin pasien menerima informasi yang memadai,tepat dan konsisten. Lebih jauh lagi apoteker dapatmemberikan dokumen tertulis bersama obat sebagaipengingat untuk mendukung informasi lisan yangdiberikan.21 Manajemen penyakit kronis yang efektifharus melibatkan pastisipasi aktif pasien karena peranapoteker tidak dibatasi pada obat dan perlu diperluasdalam sistem pelayanan kesehatan primer. Lebih jauh,dibutuhkan dukungan pemerintah dengan meningkat-kan peran apoteker dalam pelayanan kesehatan danpengembangan kerjasama pemerintah dan swasta de-ngan apoteker komunitas.22

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun2009, apoteker berkewajiban untuk menyerahkan obatlangsung kepada pasien. Suatu penelitian terhadap pe-ngunjung apotek di kota Depok menunjukkan bahwakonsumen membutuhkan pelayanan informasi obatmeskipun mereka kurang mengetahui siapa yang berhakmemberikan informasi obat tersebut.23 Ternyata di

    371

    Herman, Handayani & Siahaan, Kajian Praktek Kefarmasian Apoteker pada Tatanan Rumah Sakit

    rumah sakit pun hal ini masih belum berjalan sepenuh-nya. Hal tersebut mungkin terjadi, apoteker rumah sakitharus rela menyerahkan pekerjaan administrasi yangdapat dilimpahkan kepada tenaga nonfarmasi, misalnyapembelian dan pembiayaan sehingga dapat konsentrasipenuh pada pelayanan farmasi.

    Kurikulum pendidikan sarjana farmasi dan apotekeryang memenuhi kebutuhan pekerjaan kefarmasian dirumah sakit perlu dikaji. Sebaiknya perusahaan farmasimelakukan pemisahan secepat mungkin agar materi yangdiberikan dapat lebih fokus terhadap peminatan yangsesuai agar apoteker yang dihasilkan siap untuk bekerjadi rumah sakit. Surat Keputusan Kementerian KesehatanNo.1197/Menkes/SK/IX/2004 tentang StandarPelayanan Farmasi di Rumah Sakit harus direvisi denganPeraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009. Sebaiknya,standar tersebut lebih rinci dan menyebutkan bahwa be-berapa perbedaan kompetensi pada jenis rumah sakit,misalnya pelayanan total parenteral nutrisi dibutuhkanuntuk rumah sakit kelas A dan B yang mempunyai fasi-litas ruangan produksi steril. Penentuan kadar obatdalam darah juga perlu dipertimbangkan apakah masihperlu dilakukan oleh apoteker rumah sakit atau tidak, se-lain hal tersebut membutuhkan keahlian yang spesifik,dalam penelitian ini tidak dijumpai satupun adanyapraktik tersebut di rumah sakit. Perlu ada pembagiankompetensi pelayanan kefarmasian antara rumah sakitkelas A, B, C dan rumah sakit khusus.

    Keberadaan apoteker pada unit CSSD juga masihperlu dikaji ulang. Pada umumnya, unit CSSD di rumahsakit merupakan unit terpisah dari instalasi farmasi dankepala CSSD umumnya juga apoteker. PelaksanaanPeraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 belum berjalansepenuhnya karena fokus pekerjaan apoteker masihterbagi. Oleh sebab itu, lebih baik seluruh apoteker yangada di rumah sakit diutamakan pada unit farmasi agarpelayanan kefarmasian dapat berjalan baik. Apabilapelayanan farmasi telah baik dan jumlah serta kualitasapotekernya telah lebih dari cukup baru mengurusCSSD.

    Akreditasi rumah sakit juga mendukung kelangsung-an pelayanan farmasi rumah sakit yang baik, tetapi kon-sep akreditasi sering hanya berjalan pada waktu seputarpenilaian akreditasi. Setelah lulus akreditasi, pola lamayang kurang baik berjalan lagi. Dalam upaya peningkatanpelaksanaan fungsi farmasi klinis dan patient safetyserta komunikasi, informasi dan edukasi dibutuhkan pe-ningkatan pengetahuan farmakoterapi, farmasi klinis ter-masuk konsep drug related problem, patofisiologi dananalisa data laboratorium, komunikasi, farmakokinetikklinik dan interaksi obat, theurapeutic drug monitoringdan total parenteral nutrition serta studi kasus-kasusnya.Peningkatan pengetahuan dapat dilakukan melalui ce-ramah interaktif, diskusi kelompok maupun studi kasus.

    Sebaliknya, apoteker tidak terlalu dibebani dengan fungsiadministratif dan kuantitasnya ditambah sesuai denganbeban kerja kefarmasian di rumah sakit.

    KesimpulanDalam aspek pengelolaan/administrasi obat dan

    sediaan farmasi, apoteker yang melakukan praktek ke-farmasian di rumah sakit telah mempunyai pengetahuanyang baik, tetapi dalam hal pengetahuan mengenai far-masi klinis dan patient safety masih harus banyak di-tingkatkan. Apoteker khususnya lulusan lama masihperlu pendidikan lebih lanjut yang mengacu kepada ke-butuhan lapangan seperti farmasi klinis dan patient safe-ty. Pelaksanaan fungsi farmasi klinis dan patient safetyserta komunikasi, informasi dan edukasi oleh apotekermembutuhkan peningkatan pengetahuan farmakoterapi,farmasi klinis termasuk drug related problem, pato-fisiologi dan komunikasi, dokumentasi riwayat peng-obatan pasien, farmakokinetik klinik dan interaksi obat,theurapeutic drug monitoring, dan total parenteral nutri-tion serta studi kasusnya. Peningkatan pengetahuandapat dilakukan melalui ceramah interaktif, diskusikelompok ataupun studi kasus. Apoteker juga jangan ter-lalu dibebani dengan fungsi administratif dan kuantitas-nya ditambah sesuai dengan beban kerja kefarmasian dirumah sakit.

    SaranBerdasarkan hal-hal tersebut, pendidikan minimal yang

    dicapai kepala instalasi farmasi rumah sakit sebaiknya yangmemiliki jenjang pendidikan magister farmasi klinis ataurumah sakit agar dapat menjalankan program-programpelayanan farmasi rumah sakit dengan baik.

    Daftar Pustaka1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Undang-Undang Republik

    Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Jakarta: Sekretariat

    Negara Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik

    Indonesia; 2010.

    2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri

    Kesehatan Republik Indonesia No. 161/Menkes/Per/I/2010 tentang

    registrasi tenaga kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik

    Indonesia; 2010.

    3. International Pharmaceutical Federation. Federation of International

    Pharmaceutical reference guide on good pharmacy practice in commu-

    nity and hospital settings. 1st ed. The Hague (The Netherlands):

    Federation of International Pharmaceutical; 2009.

    4. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 51

    tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Jakarta: Keseketariatan

    Negara Republik Indonesia; 2009.

    5. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik

    Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, 2009. Jakarta:

    Keseketariatan Negara Republik Indonesia; 2009.

    6. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik

  • 372

    Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 8, Maret 2013

    Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang narkotika. Jakarta: Sekretariat

    Negara Republik Indonesia; 2009.

    7. World Health Organization. Good pharmacy practice in community and

    hospital pharmacy settings, 1996 [cited 2010 Jan 5]. Available from:

    whqlibdoc.who.int/hq/1996/WHO_PHARM_DAP_96.1.pdf.

    8. Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia. Keputusan Majelis

    Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia No. 13/APTFI/MA/2010

    tentang standar praktik kerja profesi apoteker. Jakarta: Asosiasi

    Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia; 2010.

    9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri

    Kesehatan Republik Indonesia No. 1197/MENKES/SK/X/2004 ten-

    tang standar pelayanan farmasi di rumah sakit. Jakarta: Departemen

    Kesehatan Republik Indonesia; 2004.

    10. Chen J, Britten N. Strong medicine: an analysis of pharmacist consulta-

    tions in primary care. Family Practice. 2000; 17: 480-3.

    11. Kennie-Kaulbach N, Farrel B, Ward N, Johnston S, Gubbels A, Equale

    T, et al. Pharmacist provision of primary health care: a modified Delphi

    validation of pharmacists competencies. BMC Family Practice. 2012;

    13: 27.

    12. Herman MJ, Handayani RS, Yuniar Y. Drug management reviews in

    district drug management unit and general hospital. Makara Seri

    Kesehatan. 2009; 13(2): 59-62.

    13. Azhar S, Hassali MA, Ibrahim MI, Ahmad M, Masood I, Shafie AA. The

    role of pharmacists in developing countries: the current scenario in

    Pakistan. Human Resources for Health [serial on the Internet]. 2009; 7:

    54 [cited 2010 Jun 5]. Available from: http://www.human-resources-

    health.com/content/7/1/54.

    14. Herman MJ, Sasanti R. Eksistensi unit pengelola obat public di bebera-

    pa kabupaten/kota suatu analisis paska desentralisasi. Jurnal

    Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2009; 12(4): 209-17.

    15. Herman MJ, Sasanti R, Raharni, Siahaan S. Analisis faktor internal dan

    eksternal yang terkait dengan model pelayanan prima di apotek. Buletin

    Penelitian Sistem Kesehatan. 2008; 11(2): 145-55.

    16. Pedersen CA, Schneider PJ, Scheckelhoff DJ. ASHP national survey of

    pharmacy practice in hospital settings: monitoring and patient educa-

    tion-2009. American Journal of Health System Pharmacy. 2010; 67; 542-

    58.

    17. Kaushal R, Bates DW, Abramson EL, Soukup JR, Goldmann DA. Unit-

    based clinical pharmacists prevention of serious medication errors in

    pediatric inpatients. American Journal of Health System Pharmacy.

    2008; 65: 1254-60.

    18. Herman MJ, Sari ID. Analisys of drug related problem in five hospital

    conducted in 2010. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 2012; 10(2):

    163-9.

    19. Purba AV, Soleha M, Sari ID. Kesalahan dalam pelayanan obat (me-

    dication error) dan usaha pencegahannya. Bulletin Penelitian Sistem

    Kesehatan. 2007; 10(1): 31-6.

    20. Wuliji T. Current status of human resources and training in hospital

    pharmacy. American Journal of Health System Pharmacy. 2009; 66(5):

    S56-60.

    21. International Pharmaceutical Federation. Federation of International

    Pharmaceutical statement of policy medicines information for patients,

    2008. The Hague (The Netherlands): Federation of International

    Pharmaceutical; 2008.

    22. Wong FY, Chan FW, You JH, Wong EL, Yeoh EK. Patient self-

    management and pharmacist-led patient self-management in Hong

    Kong: a focus group study from different healthcare professionals per-

    spectives. BMC Health Services Research. 2011; 11: 121.