2 urgensi an korban kejahatan
TRANSCRIPT
�������������������
������ ���������
�
Antara Norma dan Realita �
�
�
�
�
�
�
�
�
Oleh::Oleh::Oleh::Oleh::
Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MHDrs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MHDrs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MHDrs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MH Elisatris Gultom, SH., MHElisatris Gultom, SH., MHElisatris Gultom, SH., MHElisatris Gultom, SH., MH
�
PENGANTAR
Sejak diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perhatian terhadap kedudukan pelaku
kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin
memperoleh perhatian utama. Hal ini muncul karena di masa lalu, khususnya
sebelum berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, muncul berbagai kritikan terhadap
proses pemeriksaan pelaku kejahatan yang dianggap banyak melanggar Hak
Asasi Manusia.
Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang
perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang
diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai.
Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan
dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan
sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum
(equality before the law).
Esensi dari buku ini adalah mencoba menelusuri sejauhmana perundang-
undangan nasional mengatur tentang perlindungan korban kejahatan serta
bagaimana perlindungan itu diterapkan dalam praktiknya, sehingga kita dapat
mengetahui seberapa besar perlindungan terhadap korban kejahatan telah
diberikan.
Dalam penulisan buku ini kami menyadari banyak kekurangan, sebagaimana
peribahasa “tiada gading yang tak retak”. Karena itu, berbagai masukan dan
kritikan sangat kami harapkan, agar buku ini dapat semakin memadai untuk
dijadikan bahan bacaan bagi para pemerhati hukum.
Akhirnya kami mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada
Rajawali Pers yang berkenan untuk menerbitkan buku ini.
Bandung, Agustus 2006
Dikdik M. Arief Mansur
Elisatris Gultom
RIWAYAT HIDUP
� Dikdik M. Arief Mansur
� Magister Hukum dari Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung
� Pernah mengikuti beberapa kursus/pelatihan di dalam dan luar
negeri, di antaranya: Kriminalische Grund Ausbildung (Dasar)
dan Weitere Ausbildung von Raushgift Bekanfung (Lanjutan) di
Jerman, Commercial Law Course di Faculty of Commerce and
Economic, The University of New South Wales, Sydney
Australia.
� Jabatan yang pernah diduduki, antara lain: Instruktur di Pusat
Pendidikan Reserse Megamendung, Jawa Barat, Kapolres
Jakarta Timur, Direktur Reserse Kriminal Polda Jawa Barat,
Kakoorspri Kapolri, Wakapolda Kalimantan Selatan.
� Menulis buku Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi.
� Elisatris Gultom
� Magister Hukum dari Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
� Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.
� Sekretaris Jurnal Padjadjaran serta anggota tim penyusun
beberapa Rancangan Undang-undang (RUU), di antaranya:
RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi (Cyber Law),
RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
� Pernah mengikuti Commercial Law Course di Faculty of
Commerce and Economic, The University of New South Wales,
Sydney Australia.
� Menulis buku:
a. Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi,
b. Cyber Law, Suatu Pengantar, dengan Tim dari Pusat Studi
Cyber Law Fakutas Hukum UNPAD Bandung,
c. Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,
Buku I dan II (Editor)
SINOPSIS
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya
belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-
hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan
nasional.
Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan
pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari
asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,
sebagai landasan konstitusional.
Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku
kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada
saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat
demikian tidak sepenuhnya benar.
Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional,
penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan
memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional
selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam
beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban
kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak
berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.
Buku ini mencoba untuk menguraikan berbagai hal berkaitan dengan
pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai, yang
di dalamnya akan memuat antara lain: dasar filosofis pentingnya korban
kejahatan memperoleh perlindungan, kaitan antara penegakan hukum
dengan perlindungan korban, hak dan kewajiban korban, pengaturan korban
dalam hukum nasional dan internasional, dan diakhiri dengan uraian
sejauhmana perlindungan korban kejahatan di Indonesia telah diterapkan.
1
Bagian 1
PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI KONKRITISASI
DARI UPAYA PENEGAKAN HUKUM
A. Hukum Dan Negara
Negara merupakan sebuah entiti (kesatuan wilayah) dari unsur-unsur
pembentukan negara,1 yang di dalamnya terdapat berbagai hubungan
kepentingan dari sebuah komuniti (masyarakat setempat) yang berlangsung
secara timbal balik dan terikat oleh Kesatuan Wilayah.2
Komuniti atau masyarakat setempat adalah penduduk yang masing-
masing anggotanya baik pribadi maupun kelompok saling mengadakan
hubungan karena adanya naluri untuk hidup bersama dengan orang lain
untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya.
Seorang manusia tidak dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa alat
fisik yang memadai (cukup) untuk hidup sendiri, karena itu manusia harus
selalu berhubungan (berkawan) dengan manusia-manusia lain yang dapat
mendatangkan kepuasan bagi jiwanya.
Wadah yang dipergunakan manusia dalam mewujudkan interaksinya
satu sama lain sangat beragam, mulai dari yang kecil yaitu keluarga hingga
yang paling besar yaitu negara.
Negara sering dikatakan sebagai “kesatuan wilayah” karena wilayah
bagi sebuah negara merupakan unsur mutlak sekaligus tempat
1 Unsur-unsur Pembentuk Negara mengacu kepada “Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 26 December 1933 atau “Konvensi Montevideo 1933” dalam Pasal 1 (Article 1) yaitu: “The state as a person of international law should posses the following qualification: (a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into relations with other states; Lihat Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Global, Bandung: PT. Alumni, 2001: Cetakan Kedua, hlm. 17: Unsur-unsur pembentukan Negara menurut Boer Mauna adalah unsur-unsur Konstitutif yaitu (1) penduduk; (2) wilayah tertentu; (3) Pemerintah; dan (4) Kedaulatan; Lihat Parry and Grant, Encyclopedic Dictionary of International Law, New York: Oceanna Publications, 1986, hlm. 375. 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Agustus 1990: Edisi Baru Keempat – Cetakan Keduabelas, hlm. 129.
2
bermukimnya penduduk,3 dan tempat bagi efektifitas fungsi sosiologis dan
politis suatu negara.
Ketika suatu negara mampu melaksanakan kekuasaan dan wewenang
di wilayahnya, artinya negara tersebut telah memiliki sebuah “Kedaulatan
Wilayah” (Territorial Sovereignty) yaitu otoritas khusus untuk melaksanakan
kekuasaan dan wewenang di wilayahnya yang merupakan kewenangan
tertinggi (highest authority)4 yang merdeka (independence)5 dan bebas
(independent)6 dari pengaruh kekuasaan asing (atau negara lain), khusus
untuk wilayahnya.
Agar hubungan komuniti di wilayahnya dapat berjalan dengan efektif,
tentu diperlukan peran serta pemerintah untuk mewujudkan kekuasaan
negara tersebut. Pemerintah dengan kewenangan yang diberikan oleh
negara diberi tugas untuk mengorganisir penduduk di wilayahnya, karena
tidak ada negara dengan penduduk yang disorganised hidup berdampingan
dengan pemerintahan yang terorganisir.7 Selain itu, melalui pemerintahan
yang ada, suatu negara dapat memberikan perlindungan pada penduduknya
dan memenuhi kepentingan-kepentingan penduduknya.
Guna menjamin kesinambungan antara pelaksanaan perintah dan
kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh pemerintahnya serta menjaga
keseimbangan hubungan kepentingan di wilayahnya, maka negara
memerlukan suatu instrumen/sarana yang dapat menjamin agar hubungan
antara pemerintah dan penduduknya dapat berjalan harmonis, dan
instrumen/sarana yang dimaksud adalah Hukum.
3 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2002: Cetakan Ketiga – Edisi Revisi, hlm. 3. 4 Hans Kelsen, Principles of International Law, New York – Chicago – San Francisco – Toronto – London: Holt, Reinhart and Winston Inc., February 1967, Revised and Edited By Robert W. Tucker, hlm. 189. 5 Michael Akehurst, Modern Introduction to International Law, London – Boston – Sydney: George Allen and University, 1982: 4th Edition, hlm. 16. 6 James Crawford, The Creation of States in International Law, Oxford at Claderon Press,1979 , hlm. 40: Crawford menggambarkan sebuah wilayah Negara berdaulat sebagai “an independent territorial unit”. 7 Huala Adolf, op.cit., hlm. 3.
3
Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang
dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan
perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar wilayahnya.
Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya
yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna
untuk menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam
sebuah wilayah negara yang berdaulat, mengembangkan dan menegakan
kebudayaan nasional yang serasi agar terdapat kehidupan bangsa dan
masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur.8
Kekuasaan suatu negara terhadap wilayah (teritorinya) dan terhadap
masyarakat yang berada di dalamnya, tidak lepas dari asal mula
terbentuknya ”negara” itu sendiri. Telah diakui bersama akan disebut
sebuah negara, apabila memenuhi persyaratan yang telah diakui secara
umum, yaitu:
1. Memiliki wilayah tertentu,
2. Memiliki rakyat, serta
3. Memiliki pemerintahan yang berdaulat.
Walaupun ada keharusan untuk dipenuhinya persyaratan de jure yaitu
adanya pengakuan dari dunia internasional, akan tetapi apabila telah
terpenuhi ketiga persyaratan di atas, maka secara de facto telah dapat
disebut sebagai “negara”.
Bila kita mundur lebih jauh pada awal masa penciptaan manusia,
serta pada awal manusia baru mulai hidup secara berkelompok, akan
muncul beberapa pertanyaan, seperti bagaimanakah “negara” tersebut
dapat terbentuk? bagaimanakah hingga terciptanya suatu kelompok yang
dinamakan pemimpin atau aparatur pemimpin atau pemerintahan dapat
terbentuk untuk mengatur kehidupan kelompok orang lainnya yang disebut
sebagai rakyat? 8 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, Juni 1988: Cetakan Kesembilan (Revisi), hlm. 12.
4
Para ahli Ilmu Negara pun sesungguhnya sulit menjelaskan jika
ditanya bagaimana sesungguhnya negara atau suatu pemerintahan dapat
terbentuk pada awal mulanya. Banyak muncul pembicaraan yang
membahas mengenai permasalahan tersebut yang kesemuanya bermuara
pada adanya keinginan untuk mengetahui asal usul terbentuknya negara.
Karena itulah, dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan teori-
teori yang menjelaskan mengenai asal mula negara.
Secara garis besar, terdapat 9 (sembilan) teori mengenai asal mula
terbentuknya negara, yakni9
1. Teori Perjanjian Masyarakat,
2. Teori KeTuhanan,
3. Teori Kekuatan,
4. Teori Patriarkhal atau Matriarkhal,
5. Teori Organis,
6. Teori Daluwarsa,
7. Teori Alamiah,
8. Teori Idealis, dan
9. Teori Historis.
Kesembilan teori tersebut didukung oleh para ahli yang berbeda-
beda, dan karena teori-teori tersebut merupakan teori yang bersifat
spekulatif, maka teori tersebut mengedepankan dasar yang berbeda pula
mengenai bagaimana asal mula terbentuknya negara.
Walaupun demikian, terdapat satu benang merah yang
menghubungkan kesembilan teori tersebut, yaitu tidak akan ada suatu
negara yang akan terbentuk apabila tidak ada kelompok masyarakat untuk
dipimpin.
9 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Putra A Bardin, Bandung, April 1999: Cetakan Kesembilan, hal 136-161
5
Dari beberapa teori yang disebutkan di atas, hanya satu teori yang
akan dibahas secara mendalam, yaitu Teori Perjanjian Masyarakat yang
kami anggap paling relevan dengan tema buku ini.
Dalam Teori Perjanjian Masyarakat disebutkan bahwa pada awal
mulanya, masyarakat di suatu wilayah berada dalam keadaan alamiah10
dimana orang-orang yang saling berinteraksi menimbulkan sebab dan akibat
satu sama lainnya, yang mana hasil interaksi tersebut tidak selalu saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pada saat itu, satu-satunya aturan
yang berlaku adalah hukum rimba atau juga disebut hukum ikan (fish law).11
Karena itu, individu-individu merasa perlu adanya pihak ketiga yang dapat
menerbitkan aturan-aturan dalam kehidupan sosial mereka sehingga
sekalipun terjadi konflik atau pertentangan di antara mereka, maka telah ada
aturan ataupun pihak yang dapat menyelesaikannya.
Dengan berbekal pemikiran inilah, maka kelompok masyarakat
tersebut menunjuk seorang atau sekelompok orang untuk memimpin
mereka serta mengadakan aturan-aturan yang melindungi kepentingan -
kepentingan mereka serta memelihara keamanan dan ketertiban kelompok
masyarakat tesebut. Sebagai timbal baliknya atas penunjukkan orang atau
sekelompok orang tersebut, kelompok masyarakat itu harus mematuhi dan
menghormati keputusan-keputusan serta aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh orang atau sekelompok orang yang telah ditunjuk. Selain
itu, kelompok masyarakat tadi harus memberikan sebuah bentuk imbal jasa
atas tugas orang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur
10 Keadaan alamiah ini diterjemahkan secara berbeda oleh berbagai ahli. Dua pemikiran utama mengenai keadaan alamiah ini diutarakan oleh John Locke dan Thomas Hobbes. Apabila John Locke mengatakan bahwa keadaan alamiah ini adalah keadaan dimana suatu masyarakat masih kacau balau, tidak mengenal aturan, ganas, kejam dan keji, maka sebaliknya Hobbes mengatakan bahwa keadaan alamiah ini bagaikan berada di taman firdaus. Akan tetapi, keduanya bersepaham bahwa keadaan tersebut tidak boleh dilanjutkan. Karenanya masyarakat mengadakan perjanjian masyarakat, dan memasuki masa atau zaman bermasyarakat. Ibid., hal.140 11 Hukum Ikan atau Fish Law lahir dari perumpamaan dimana pada masa tanpa pemerintahan, masyarakat saling serang menyerang satu sama lain, sama seperti keadaan di laut dimana ikan besar memakan ikan yang kecil.
6
serta melindungi mereka. Imbal jasa tersebut pada zaman dahulu kita kenal
dengan istilah “upeti” atau hampir sama dengan pajak kepada penguasa.
Teori perjanjian masyarakat merupakan teori asal usul negara yang
paling tua yang pernah dikemukakan dalam catatan sejarah manusia.12
Selain itu, teori perjanjian masyarakat juga dikenal sebagai teori mengenai
asal usul negara yang paling bersifat universal karena teori ini dapat
dijumpai baik dalam budaya barat maupun budaya timur, serta dapat juga
ditemui dalam hukum Islam maupun hukum Nasrani.
Universalitas dari teori ini disebabkan karena kesederhanaannya,
karena secara logika, pemerintahan dan hukum lahir dari sebuah kelompok
individu (masyarakat) seperti yang dikatakan dalam adagium ubi societes ibi
ius. Dari adagium tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum lahir
dari masyarakat (ataupun bagian dari masyarakat yang berwenang
mengenainya) dan ditetapkan atas persetujuan anggota-anggotanya.
Persetujuan itu dapat diberikan secara tegas (expressed) atau dianggap
telah diberikan secara diam-diam (tacitly assumed).13
Persetujuan diberikan oleh masyarakat dalam rangka mendapatkan
perlindungan terhadap hak-hak individu dan personal mereka pula. Hal
tersebut membawa pada fungsi dan tujuan negara pada umumnya, yaitu
menjalankan pemerintahan atau kepemimpinan dengan baik serta
melindungi kesejahteraan dan ketertiban masyarakatnya.
Terhadap fungsi dan tujuan negara pun, banyak ahli yang
mengemukakan pendapatnya. Terdapat beberapa kelompok ahli yang
mengemukakan bahwa sesungguhnya fungsi negara adalah untuk
12 Naskah tertua yang dapat ditemui dalam peradaban barat yang membahas mengenai teori perjanjian masyarakat ini ditemukan di Yunani yaitu merupakan naskah Plato yang ditulis antara tahun 428 – 347 Sebelum Masehi, sedangkan naskah tertua di budaya timur ditemukan di India yang ditulis oleh Kautilya yang ditulis antara tahun 321 – 300 Sebelum Masehi. 13 F. ISjwara, Op.cit., hal. 136
7
memberikan kesejahteraan materiil dan kebahagiaan bagi setiap
individunya. Aliran ini didukung oleh pemikiran dari James Wilford Garner.14
Selain pemikiran di atas, terdapat pula pendapat yang mengatakan
bahwa tujuan dan fungsi negara adalah untuk melindungi dan memberikan
perasaan aman kepada masyarakatnya. Pemikiran ini antara lain didukung
oleh:
a. Jacobson dan Lipman: menurut mereka, selain mengatakan bahwa
negara memiliki fungsi jasa dan fungsi perniagaan,15 negara juga
memiliki fungsi essensil yaitu fungsi yang diperlukan demi kelanjutan
negara dan melindungi antara lain pemeliharaan angkatan perang untuk
pertahanan terhadap serangan dari luar atau untuk menindas pergolakan
dalam negeri, pemeliharaan angkatan kepolisian untuk menindas
kejahatan dan penjahat, pemeliharaan pengadilan untuk mengadili
pelanggar hukum, mengadakan perhubungan luar negeri dan lain
sebagainya,
b. Charles E. Merriam, mengatakan bahwa tujuan-tujuan negara adalah:
1. Keamanan ekstern, yaitu perlindungan negara terhadap serangan-
serangan dari luar terhadap kelompok sendiri,
2. Ketertiban intern, yaitu untuk mewujudkan ketertiban dalam bidang
sosial serta menetapkan pembagian kerja dan tanggungjawab atas
pelaksanaan perturan-peraturan pada segenap fungsionaris negara,
3. Keadilan (justice), yang terwujud dalam sistem dimana terdapat
saling pengertian dan prosedur-prosedur yang memberikan kepada
setiap orang apa yang telah disetujui dan dianggap patut, 14 Garner mengatakan bahwa negara memiliki tiga tujuan yakni: Tujuan Negara yang Asli dimana fungsi negara adalah mengutamakan kebahagiaan individu, Tujuan Negara Sekunder yang mengatakan bahwa fungsi negara adalah mensejahterakan warganegara secara kolektif, dan Tujuan Peradaban yang bertujuan memajukan peradaban negara. Ibid., Hal. 174. Lihat juga J.W. Garner, Politicxal Science and Government, hal. 69-73. 15 Fungsi jasa adalah fungsi negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarana kehidupan dan pembangunan, sedangkan fungsi perniagaan adalah fungsi negara untuk memeri peluang bagi masyarakatnya untuk mendapatkan manfaat bekonomi malalui jalur perniagaan.
8
4. Kesejahteraan, pengertian kesejahteraan ini meliput keamanan,
ketertiban, keadilan dan kebebasan,
5. Kebebasan, yakni kesempatan untuk mengembangkan dengan
bebas hasrat-hasrat individu akan ekspresi kepribadiannya yang
harus disesuaikan dengan gagasan kemakmuran umum.
c. Leslie Lipton. Menurut Lipton, fungsi negara yang asli dan tertua adalah
perlindungan karena negara dibentuk oleh individu-individu untuk
memperoleh perlindungan dan negara terus dipertahankan untuk
memelihara tujuan tersebut. Selain menginginkan perlindungan fisik dari
negaranya, individu juga mengharapkan adanya perlindungan pula
dalam berbagai bidang, seperti perlindungan dalam menjalankan
usahanya. Dengan adanya tuntutan seperti itu terjadilah pergeseran
dalam tujuan negara. Perlindungan diperluas dengan ketertiban (order):
“it is order that is able to grow, after protection has been firmly planted,
and it is an order by way of use that government seeks to nurture”
d. L.V. Ballard. Menurut Ballard, tujuan negara terutama adalah untuk
memelihara ketertiban dan peradaban, sedangkan fungsi negara adalah
untuk menciptakan syarat-syarat dan perhubungan-perhubungan yang
memuaskan dan konstruktif bagi semua warga negara.
Dari pemikiran-pemikiran di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
berdasarkan sifat alaminya, negara memiliki fungsi untuk selalu melindungi
dan mensejahterakan warga negaranya (dalam arti luas). Hal ini sejalan
dengan teori asal usul terbentuknya negara, dimana pada hakikatnya
masyarakatlah yang memberi mandat kepada para pemimpinnya untuk
menjalankan pemerintahan dan mengadakan pengaturan kepada
masyarakatnya.
Hal yang sama tercermin dalam pemerintahan Indonesia. Dimana para
pemimpin yang bertugas untuk mengatur dan menjamin kesejahteraan dan
ketertiban masyarakat, dipilih oleh masyarakat Indonesia (baik secara
langsung maupun tidak langsung), sebagai timbal balik dari kepercayaan
9
tersebut, sudah selayaknya apabila pemimpin, dalam hal ini pemerintah,
memberikan perlindungan secara maksimal, baik terhadap kesejahteraan
masyarakatnya secara material maupun spiritual.
Adanya jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap masyarakat
harus berlaku secara meluas, baik dari ancaman yang berasal dari luar
wilayah Indonesia, maupun dari dalam wilayah Indonesia. Di samping itu,
perlindungan ini harus pula diberikan baik dari serangan terhadap
masyarakat Indonesia secara keseluruhan, maupun terhadap individu
masing-masing.
Salah satu konkritisasi dari tanggung jawab pemerintah untuk
memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakatnya (warga negara)
adalah pemerintah berkewajiban untuk melindungi masyarakatnya dari
segala bentuk kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya
yang mungkin dialami.
Apabila negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warga
negaranya dalam keadaan biasa, maka sudah sewajarnya apabila negara
memberikan perhatian lebih kepada para korban kejahatan, yang mungkin
mengalami penderitaan secara ekonomis, fisik maupun secara psikis.
Di samping itu, sebagai konsekwensi dari dianutnya model negara
kesejahteraan, maka negara mempunyai tanggung jawab untuk memberikan
kesejahteraan pada masyarakatnya (warga negaranya), sehingga pada saat
anggota masyarakat mengalami kejadian/peristiwa yang mengakibatkan
kesejahteraannya terusik, misalnya warga negara menjadi korban
kejahatan, sudah sewajarnya apabila negara bertanggung jawab untuk
memulihkan kesejahteraan warga negaranya, mengingat negara telah gagal
dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
10
B. Penegakan Hukum Bagi Negara
Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup,16 sedangkan Black’s Law
Dictionary, mendefinisikan law enforcement (penegakan hukum), yaitu:
“The detection and punishment of violations of the law. This term is not limited to the enforcement of criminal law. For example, the freedom of Information Act contain an exemption from disclosure for information complied for law enforcement purpose and furnished in confidence. The examption of a variety of noncriminal (such as national security laws)”.17
Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai tujuan hukum, melalui
penegakan hukum, diharapkan tujuan hukum dapat tercapai, sehingga
hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Fungsi hukum di bagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu:18
1. Fungsi Hukum secara Tradisional atau Klasik;
2. Fungsi Hukum secara Modern.
Fungsi Hukum secara Tradisional atau Klasik di bagi menjadi dua yaitu:19
1. Keadilan,
2. Ketertiban.
Keadilan sebagai tujuan hukum didasarkan pada kenyataan bahwa
dalam suatu masyarakat atau negara, kepentingan perseorangan dan 16 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 3. terhadap inti dan arti penegakan hukum ini, Soerjono Soekanto lebih lanjut mengatakan, konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit. 17 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minn. : West Group: 1999: 7th Edition – 2nd Book, Editor in Chief: Bryan A. Garner, hlm. 891. 18 Lili Rasjidi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia, dalam: Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, 2005: Volume 1 No. 1, hlm. 8. 19 Ibid.
11
kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama
lain. Pertentangan inilah yang menyebabkan pertikaian bahkan peperangan.
Hukum mempertahankan perdamaian dan menimbang kepentingan yang
bertentangan secara teliti dengan mengusahakan terjadinya suatu
keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan tersebut, sehingga hukum
dapat mencapai tujuan adil dengan adanya keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi bagi setiap orang untuk
memperoleh bagiannya melalui peraturan yang memuat kesinambungan
kepentingan-kepentingan yang dalam Bahasa Latinnya adalah: “ius suum
cuique tribuere”.20
Takaran keadilan itu sendiri adalah relatif. Definisi tentang apa yang
disebut dengan adil akan berbeda-beda bagi setiap individu. Tidak
berlebihan apabila keadilan itu susuatu yang sukar untuk didefinisikan, tetapi
bisa dirasakan dan merupakan unsur yang tidak bisa tidak harus ada dan
tidak dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang
menjamin adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam
masyarakat.21
Nilai keadilan sifatnya relatif, sehingga tidak mungkin untuk
menemukan sebuah keadilan yang mutlak (absolute justice). Terkait dengan
hal itu, Aristoteles mengemukakan teori realis yang berusaha untuk
membedakan keadilan menjadi22:
a. keadilan kumulatif, dimana keadilan itu terjadi dalam hal setiap orang
mendapatkan bagian yang sama, tidak didasarkan pada prestasi;
20 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996: Cetakan Kedupuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino. 21 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 52-53. Selanjutnya disebutkan suatu sistem hukum positif yang berarti tidak bisa tidak harus berdasarkan keadilan. Walaupun arti atau makna keadilan itu bisa berbeda-beda dari suatu sistem nilai ke sistem nilai yang lain, namun suatu sistem hukum tak dapat bertahan lama apabila tidak dirasakan adil oleh masyarakat yang diatur oleh hukum itu. 22 ibid., hlm.10.
12
b. keadilan distributif, dimana tercipta adil apabila setiap individu
mendapatkan bagian sesuai dengan peran dan kontribusi masing-
masing;
c. keadilan vindikatif, dimana dikatakan adil apabila suatu hukuman itu
setimpal dengan kejahatan;
d. keadilan kreatif, dimana harus ada perlindungan kepada orang yang
kreatif (pencipta);
e. keadilan protektif, yang berbicara mengenai suatu perlindungan bagi
tiap individu;
f. keadilan legalis, bahwa keadilan itu tersirat dalam Undang-undang.
Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan adalah landasan
daripada tujuan negara. Adanya negara ditujukan untuk kepentingan umum,
berlandaskan keadilan yang merupakan keseimbangan kepentingan di atas
daun neraca Themis (dewi keadilan dalam mitologi Yunani).23
Dengan demikian, melalui peraturan yang berkesinambungan,
diharapkan dapat tercapai suatu keadilan melalui keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Walaupun cita
keadilan itu tetap relatif, dapat ditetapkan suatu batasan apa itu adil menurut
hukum.
Tujuan hukum lainnya adalah Ketertiban yang dalam hal ini adalah
perdamaian manusia yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta
benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.24
Tujuan Hukum Modern yaitu sebagai sarana pembaharuan
masyarakat.25 Hukum nasional sebuah negara dalam fungsi ini adalah selain
sebagai mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana
23 Sjachran Basah, Ilmu Negara, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992: Cetakan keenam, hlm.100. 24 L.J van Apeldorrn, op.cit., hlm. 11. 25 Lili Rasjidi, op.cit., hlm. 8.
13
pembaharuan masyarakat, agar perubahan (pembangunan) itu dilakukan
dengan teratur dan tertib.26
Roscoe Pound di lain pihak, merumuskan tujuan hukum adalah untuk
ketertiban, guna mencapai keadilan, dan hukum sebagai alat pembaharuan
masyarakat (law as a tool of social engineering).27
C. Penegakan Hukum Bagi Pembangunan Nasional
Salah satu ciri dari suatu negara adalah “a degree of civilization”, yaitu
tingkat peradaban negara yang diwujudkan dalam pembangunan nasional,
sedangkan Pembangunan Nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan
kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata serta
mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang
maju dan demokratis berdasarkan Pancasila, sebagai wujud pengamalan
semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.28
Melalui kegiatan pembangunan diharapkan kualitas hidup masyarakat
Indonesia dapat ditingkatkan.
Pembangunan menghendaki adanya cara baru dan suasana baru yang
sejalan dengan irama pembangunan, tentunya hal ini akan membawa
konsekuensi pada perlunya ditinggalkan cara-cara lama yang sudah
ketinggalan jaman dan tidak perlu dipertahankan lagi, karena itu
pembangunan yang hanya berorientasi pada aspek fisik semata harus
tidaklah cukup apabila tidak disertai dengan pembangunan pada aspek non-
fisik, seperti perubahan pada cara berfikir dan bekerja.
Untuk mencapai tingkat pencapaian pembangunan nasional yang
relatif ideal, maka disinilah pentingnya peranan hukum sebagai sarana
perubahan sosial yang diciptakan guna menggerakkan masyarakat agar
26 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,: Suatu Uraian Tentang Lndasan Pikiran , Pola dan mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Bandung: CV. Putra A. Bardin, Oktober 2000: Cetakan Keempat, hlm. 13. 27 H.R. Otje Salman S., op.cit. hlm.29. 28 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES, 1996, hlm. 26.
14
bertingkah laku sesuai dengan irama dan tuntutan pembangunan dalam
segala aspek kehidupannya. Mengenai hal ini Mochtar Kusumaatmadja
berpendapat: Di Indonesia, fungsi hukum dalam pembangunan adalah
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada
anggapan, bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu
yang dipandang penting dan diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata
kaidah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-
kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan
terencana itu.29
Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan
menetapkan apa yang diharuskan, apa yang dibolehkan dan/atau
sebaliknya30. Dengan demikian, hukum menarik garis antara apa yang
sesuai dengan hukum dan apa yang melawan hukum.31 Dibandingkan
dengan apa yang hukum (yang secara normatif diartikan sebagai apa yang
seharusnya), hal melawan hukum inilah yang justru lebih menjadi perhatian
dari penegakan hukum itu sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
penegakan hukum (khususnya hukum pidana) merupakan reaksi terhadap
suatu perbuatan melawan hukum. Upaya aparat perlengkapan negara
dalam menyikapi suatu perbuatan melawan hukum, dan menyikapi masalah-
masalah penegakan hukum lainnya, inilah yang menjadi inti pembahasan
dari penegakan hukum.
Apabila dilihat secara fungsionil, sistem penegakan hukum itu
merupakan suatu sistem aksi.32 Dikatakan sebagai sistem aksi, karena di
dalamnya terdapat sekian banyak aktivitas yang dilakukan alat
perlengkapan negara dalam rangka penegakan hukum, diantaranya
29 Mochtar Kusumaatmadja, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat: Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, BPHN-LIPI, Jakarta, 1976, hlm. 9 30 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, Cetakan Kedua, hlm.111. 31 ibid, hal.111. 32. Ibid, hlm.112
15
kepolisian, pembentuk undang-undang, instansi pemerintah (bestuur), serta
aparat eksekusi.33
Jadi, penegakan hukum dilakukan sejak tahap pembentukan undang-
undang (guna mencegah onrecht in potentie), dan juga mencegah onrecht in
actu oleh aparatur penegakan hukum. Dengan demikian, fungsi hukum
sebagai sarana untuk tertib, mencapai keadilan, dan juga sarana
pembaharuan masyarakat juga merupakan suatu sistem aksi, dimana sejak
tatanan pembentukan perundang-undangan sampai dengan penegakan
hukum, aparat negara memberikan aksi dan reaksi yang diperlukan untuk
tercapainya tujuan-tujuan hukum tersebut.
Muladi, secara jelas menggambarkan hubungan antara penegakan
hukum dan pembangunan nasional, dikatakan tujuan akhir dari politik
kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama
Kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian penegakan hukum pidana
yang merupakan bagian dari politik kriminal, pada hakekatnya juga
merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat,
maka wajarlah bila dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan
(termasuk usaha penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral dari
rencana pembangunan nasional.34
Oleh karena itu, untuk terciptanya pelaksanaan pembangunan
nasional yang terencana dan terarah tentunya perlu didukung oleh peran
serta secara aktif dari semua lapisan masyarakat serta aksi dan reaksi dari
aparat pemerintah dalam kerangka penegakan hukum dengan kata lain
pembangunan nasional dapat terwujud salah satunya melalui proses
pengintegrasian antara upaya penegakan hukum dengan keseluruhan
kebijakan sosial.
33 Ibid, hlm.112 34 Muladi, ibid, hlm. 8-9
16
D. Penegakan Hukum sebagai Wujud Perlindungan Hukum Bagi Pelaku
Kejahatan
Perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan (tersangka atau terdakwa)
dalam sistem hukum pidana nasional banyak diatur dalam KUHAP.
Beberapa bentuk perlindungan terhadap pelaku kejahatan yang dapat
ditemukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, antara lain:
a. Hak untuk mengetahui dasar/alasan penangkapan, penahanan
dan atau penjatuhan pidana terhadap dirinya. Hak-hak ini dapat
dilihat pada Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 59 KUHAP;
b. Hak untuk memperoleh ganti kerugian maupun rehabilitasi,
apabila penangkapan, penahanan ataupun penjatuhan pidana
terhadap dirinya tidak berdasarkan hukum. Hak ini dapat
ditemukan dalam Pasal 95, Pasal 97 KUHAP;
c. Hak untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun
tulisan. Hak ini dapat dilihat pada Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62;
d. Hak unmtuk tidak mengeluarkan pernyataan (hak untuk diam).
Hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 52 KUHAP;
e. Hak untuk diperlakukan sama (tanpa diskriminasi). Hak ini dapat
dilihat pada Pasal 153, Pasal 158
f. Hak untuk didampingi oleh penasihat hukum. Hak ini dapat
dilihat pada Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58
dan seterusnya.
Menurut Kansil, dalam KUHAP pelaku kejahatan diberikan hak:35
a. Hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan atau
didakwakan;
b. Hak untuk menerima kunjungan dokter pribadinya selama
penahanan untuk kepentingan;
35 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN> balai Pustaka, 1984: Cetakan Keenam, hlm. 371-374.
17
c. Berhak untuk menerima kunjungan keluarga untuk mendapat
jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha
mendapatkan bantuan hukum ataupun untuk kepentingan
pekerjaan atau kepentingan kekeluargaan;
d. Berhak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari
rohaniawan;
e. Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum;
f. Tidak dibebankan kewajiban pembuktian.
Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai
pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia
dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas
perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan pelaku
bersalah (asas praduga tidak bersalah).
Tujuan diberikannya perlidungan hukum bagi pelaku kejahatan
adalah untuk menghormati hak asasi si pelaku kejahatan agar nasibnya
tidak terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si Pelaku serta
menghindari perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar.36
Selama ini banyak berkembang pemikiran bahwa dengan telah
diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku menjalani hukuman,
maka perlindungan hukum terhadap korban dianggap telah sepenuhnya
diberikan. Akibatnya, ketika korban kemudian menuntut adanya pemberian
ganti kerugian hal tersebut merupakan tindakan yang berlebihan.
Untuk itu, guna mengetahui kaitan antara pemidanaan dengan
perlindungan korban, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan beberapa
teori tentang tujuan pemidanaan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan pemidanaan adalah untuk
memenuhi rasa keadilan.37
36 C.S.T Kansil, op.cit., hlm. 371. 37 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, Mei 2005: Cetakan Pertama, hlm. 4.
18
Ada juga yang mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan dapat
dilihat melalui 2 (dua) teori mengenai alasan-alasan yang membenarkan
(justification) penjatuhan hukuman (sanksi) yaitu Teori Absolut
(Vergeldingstheorie) dan Teori Relatif atau Doeltheorie.38
Menurut Teori Absolut (Vergeldingstheorie), tujuan pemidanaan
sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan
kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau
anggota masyarakat, sedangkan Roeslan Saleh mengatakan sebagai
reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja
ditimpakan negara kepada pembuat delik39.
Menurut Teori Relatif (Doeltheorie), tujuan pemidanaan adalah:40
a. Menjerakan, agar si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak
mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat
umum agar mengertahui jika melakukan perbuatan yang sama, akan
mengalami hukuman yang serupa atau disebut pula general preventie.
b. Memperbaiki pribadi si terpidana, berdasarkan perlakuan dan pendidikan
selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal dan tidak akan
mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebgai orang
baik dan berguna.
c. Membinasakan (menjatuhkan hukuman mati) atau membuat terpidana
tidak berdaya dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.
Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan
bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzonderesanctierecht), sebab
dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana difungsikan untuk
menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan.
Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua sarjana menyetujui
maksud diadakannya pidana seperti itu (sebagai suatu nestapa), karena
muncul pendapat bahwa di samping pidana ditujukan untuk memberikan
38 Leden Marpaung, Asas – Teori – Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, Mei 2005: Cetakan Pertama, hlm. 4. 39 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 5 40 Leden Marpaung, op.cit., hlm. 4.
19
penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, pemidanaan juga
bertujuan agar pelaku dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana
mestinya.
Alasan yang paling menonjol terhadap upaya perubahan tersebut
adalah dengan memperhatikan sisi kemanusiaan, yang memandang bahwa
sekalipun tersangka telah melakukan kesalahan ia tetap berkedudukan
sebagai manusia utuh yang harus tetap diperlakukan sama dengan manusia
lainnya, dan dilindungi hak asasi manusianya. Karena itu, pidana penjara
saat ini sedang mengalami “masa krisis”, karena termasuk jenis pidana yang
kurang disukai. Banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana
perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektifitasnya maupun
dilihat dari akibat-akibat lainnya menyertai atau berhubungan dengan
dirampasnya kemerdekaan seseorang.”41
Banyaknya kritik yang diarahkan pada bentuk pemidanaan berupa
perampasan kemerdekaan (yang ditujukan untuk membuat jera pelaku),
sehingga berkembanglah bentuk pemidanaan lain yang dianggap lebih
manusiawi yaitu penjatuhan pidana berupa denda atau pemberian ganti
kerugian kepada korban.
Pemberian ganti kerugian pada awalnya merupakan konsep
keperdataan, seperti halnya dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yang mewajibkan setiap orang yang menyebabkan orang
lain menderita kerugian untuk membayar ganti rugi. Dalam
perkembangannya konsep ini diterapkan pula dalam Hukum Pidana,
mengingat akibat yang ditimbulkan pada korban tindak pidana akan selalu
disertai dengan kerugian, baik mental, fisik maupun material, sehingga
sangat wajar apabila korban pun menuntut ganti kerugian pada pelaku guna
memulihkan derita yang dialaminya.
41 Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan menurut Konsep KUHP Baru dan Latar Belakang Pemikirannya, Bahan Penataran Hukum Pidana, FH. Undana Kupang, 31 Juli-12 Agustus 1989
20
Dengan memperhatikan pada beberapa teori klasik tentang tujuan
pemidanaan, dapat disimpulkan bahwa penjatuhan pidana lebih banyak
ditujukan untuk “kepentingan” pelaku, dengan kata lain, tujuan pemidanaan
hanya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari pelaku kejahatan, agar
tidak mengulangi lagi perbuatannya, sedangkan kepentingan korban sama
sekali diabaikan.
E. Penegakan Hukum sebagai Wujud Perlindungan Hukum Bagi
Korban Kejahatan
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara
memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh
karena itu masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Masalah
pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius,
dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa,
sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Itali,
September 1985, yang mana dalam salah satu rekomendasinya
menyebutkan:
Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the restoration of rights.
Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang
diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan pada korban
kejahatan (victims of crime ), tetapi juga perlindungan terhadap korban
akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
21
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan
penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang
sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan
masyarakat menujukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh
perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam
Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah
perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting
sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak
asasi dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan.
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling
menderita dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh
perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku
kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi
pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan
sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi
manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga
korban kejahatan.
Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum
(polisi, jaksa) seringkali diperhadapkan pada kewajiban untuk melindungi
dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan
korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena
telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material), dan
kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah tetapi dia tetap
sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar.
Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang
menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu pelaku harus dianggap
sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).
22
Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu
mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban
diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam
membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak
asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan
dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para
korban”.42
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban
kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik
perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis
berpendapat: “to much attention has been paid to offenders and their rights,
to neglect of the victims”.43 Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti
yang memberi keterangan44 yaitu hanya sebagai saksi, sehingga
kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam
memperjuangkan haknya adalah kecil.45
Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara pidana
dikemukakan pula oleh Prassell yang menyatakan:
“Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault, robbery, theft, and other offences were ignored while police, courts, and academicians concentrated on known violators”.46
Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif
dalam proses penyidikan dan persidangan, sehingga ia kehilangan
kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya
akibat suatu kejahatan.47 Sebagai contoh apabila seorang pelaku tindak
42 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, 1986, hlm.33. 43 Gilbert Geis, “Victims and Witness Assistance Program”, dalam: Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983: Volume 4, hlm. 1600. 44 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1989: Edisi Pertama – Cetakan Kedua, hlm. 94. 45 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama, hlm. 47. 46 Frank R. Prassel, Criminal Law, Justice, and Society, Santa Monica – California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979, hlm. 65. 47 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 49.
23
pidana kejahatan pencurian mobil berhasil ditangkap aparat kepolisian dan
selanjutnya diproses secara pidana. Pada saat pelaku ditangkap ternyata
mobil hasil kejahatannya telah dijual dan hasilnya telah habis dipakai untuk
berfoya-foya bersama teman-temannya. Dengan ditangkapnya pelaku
tentunya membawa kegembiraan bagi korban, tetapi pada saat korban tahu
bahwa mobil yang dicuri itu telah dijual dan uangnya sudah habis, tentu
dengan ditangkapnya pelaku tidak memiliki arti apapun bagi korban, karena
bagi korban yang lebih penting adalah bagaimana mobil itu dapat kembali
dimiliki, persoalan pelaku kejahatan berhasil ditangkap oleh aparat
kepolisian tidak secara langsung berpengaruh terhadap dirinya.
Ketika mobil yang dicuri telah diasuransikan oleh pemiliknya, maka
kerugian yang diderita korban sedikit banyak dapat teratasi oleh
pembayaran klaim dari perusahaan asuransi. Namun, hal yang berbeda
akan terjadi pada kasus kejahatan kekerasan terhadap wanita, yang mana
penderitaannya sangat beragam, tidak saja penderitaan secara ekonomi,
tetapi juga secara medis dan psikis.
Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, seringkali korban
hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian48 sebagai pelapor dalam
proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu
kunci penyelesaian perkara.49 Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat
memenuhi kewajibannya sebagai saksi di persidangan, ia dikenakan sanksi
sebagaimana Geis berpendapat:
“If Victims complain that they cannot afford the loss of wages or work time to keep returning to court, prosecutors may threaten with fine or jail”.50
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak
asasi yang menderita. Menderitanya korban bisa disebabkan murni karena
48 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 96. 49 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 51. 50 Gilbert Geis, op.cit., hlm. 1600.
24
pihak lain, tetapi tidak menutup kemungkinan timbul karena keterlibatan
korban di dalamnya, misalnya kedudukan korban dalam tindak pidana
narkotika, perjudian, prostitusi.
Namun demikian secara umum korban merupakan individu atau
kelompok yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan
kejahatan,51 bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan jika
ia melaporkan perbuatan pelaku dan memberikan kesaksian yang
memberatkan pelaku di pengadilan.52 Perhatikan pemeriksaan terhadap
pelaku (terdakwa) kasus Timor-Timur. Para korban banyak yang mengalami
ketakutan segera setelah memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku.
Bahkan, ada beberapa korban (saksi) yang tidak berani untuk memberikan
kesaksian karena adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu.
Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil (KUHAP) lebih
menitikberatkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan)
daripada korban, seolah-olah terdapat suatu perbedaan atau pemisahan
yang tajam antara si pembuat korban dengan si korban, walaupun keduanya
memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana.53
Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan
pencari keadilan.54 Bahkan Geis berpendapat: “Tend to be treated like
pieces of evidence than like human beings”.55
Sebagaimana dikemukakan di atas, korban kejahatan umumnya akan
mengalami berbagai penderitaan, sebagai contoh wanita korban perkosaan.
Seorang wanita korban perkosaan selain menderita secara fisik, juga
mengalami tekanan batin yang hebat akibat perkosaan, seperti perasaan
kotor, berdosa dan tidak punya masa depan, serta terkadang mendapat
51 Lihat Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspekif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atma Jaya, 2001: Edisi Pertama: Cetakan Pertama, hlm. 135. 52 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 48. 53 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 93. 54 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 49. 55 Gilbert Geis, op.cit., hlm. 1600.
25
perlakuan tidak adil dari masyarakat akibat budaya tabu terhadap hubungan
seks di luar nikah.56
Korban perkosaan seringkali menjadi korban ganda, ketika harus ke
rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri biaya
transportasi dan perawatan rumah sakit,57 sedangkan pelaku apabila terluka
dan membutuhkan perawatan, mendapat perlakuan khusus sebagaimana
dikatakan Geis:
“Criminals are taken care of by the state. Offenders who have been wounded by the police while being apprehended receive free hospital care. Victims on other hand, generally have to cover costs from their own resource for injuries sustained”.58
Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan hingga
pemeriksaan dilalui korban jika ingin memperjuangkan hak perlindungan
hukum, yang mana proses pemeriksaan tersebut menambah daftar
penderitaannya.59 Seringkali proses ini harus dilalui oleh korban sebelum
kesehatannya benar-benar pulih. Belum lagi jika korban perkosaan
mengalami kehamilan akibat pemerkosaan, yang biasanya memicu
terjadinya pengguguran kandungan .
Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian
kebenaran materiil yaitu sebagai saksi.60 Dalam tahap pemeriksaan, seperti
halnya korban perkosaan, tidak sedikit yang mengabaikan hak-hak asasi
korban, misalnya, korban diperiksa tanpa didampingi oleh tenaga medis,
ditanya dengan mempergunakan kalimat-kalimat yang terkesan vulgar, dan
sebagainya, sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hakim, korban
dikecewakan dengan putusan pidana karena putusan yang dijatuhkan pada
pelaku relatif ringan, tidak sebanding dengan penderitaan yang harus
ditanggung oleh korban.
56 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 135. 57 Ibid., hlm. 136. 58 Gilbert Geis, op.cit., hlm. 1600. 59 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlidungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: PT. Refika Aditama, 2001, hlm. 75. 60 Lihat Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 47-48..
26
Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti
rugi bagi korban perkosaan, sehingga posisi wanita tetap berada di posisi
yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan.61
Lidya Suryani dan Sri Werdani berpendapat bahwa KUHAP kurang
memberikan perhatian terhadap korban kejahatan, khususnya korban
kejahtan perkosaan sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga
membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar. 62
Dalam penegakan Hukum Pidana Nasional (baik KUHP maupun
KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan Hukum Pidana
Nasional tersebut yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan
kedudukan dan kepentingan korban, ternyata hingga sekarang hanyalah
sebuah regularitas yang bersifat “rutin” namun ‘tanpa makna” ketika harus
berhadapan dengan pentingnya perlindungan hukum korban kejahatan.63
Jikalau Hukum Pidana Nasional berlaku secara umum untuk seluruh wilayah
Indonesia, muncul pertanyaan, berlaku untuk siapa ketentuan tersebut jika
tidak memperhatikan kepentingan para korban kejahatan. Baik KUHP
maupun KUHAP seolah-olah layaknya sebuah hyperealitas hukum, yaitu
undang-undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan pelaksana
undang-undang berubah menjadi mayat hidup, robot dan mesin dengan
remote control yang pada akhirnya realitas undang-undang menopengi
kebenaran dan undang-undanglah kejahatan.64
61 Ibid., hlm. 74. 62 Lihat Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit., hlm. 77. 63 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmoderisme, Bandung: Pustaka Mizan, Juni 1998: Cetakan Kedua, hlm. 15: Fraktal: perkembangbiakan regular dalam keacakan fisika atau matematika. Secara analogis, perkembangan nilai di dalam masyarakat psmodern – nilai-nilai diproduksi secara berlimpah ruah, tetapi hanya menghasilkan regularitas yaitu kehampaan nilai; Baudrillard menyoroti perubahan-perubahan nilai denganmenekankan aspek regularitas dalam kerangka pelipatgandaan nilai-nilai yang tanpa batas, bergati dari hari ke hari, akan tetapi hasilnya akan selalu hal yang sama selalu regular, yaitu kehampaan nilai (Lihat Yasraf Amir Piliang, op.cit., hlm. 121n). 64 Lihat R. Otje Salman S Dan Anthion F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, Desember 2005: Cetakan Kedua, hlm. 137.
27
Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting, karena
masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau
bahkan sebagai pelaku kejahatan.
Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari
perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,
seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayan medis, bantuan
hukum.
Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah
saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang
mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban
sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum
(equality before the law). Perhatian kepada korban dalam penanganan
perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat
atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).65
.
65 Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 107. Pandangan ini lahir mengingat terlalu banyaknya instrumen HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku tindak pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang seharusnya dilakukan seolah-olah dilupakan atau paling tidak kurang diperhatikan.
28
Bagian 2
VIKTIMOLOGI DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
A. Pengertian Viktimologi
Apabila hendak menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang tepat,
maka cara pandang kita sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal
berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang
efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan, namun hal lain yang
tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban kejahatan itu
sendiri, yang dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menjadi pemicu
munculnya kejahatan.
Pada saat berbicara tentang korban kejahatan, maka cara pandang
kita tidak dapat dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat
diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti: faktor
penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat menjadi
korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban
korban kejahatan.
Viktimologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang relatif baru jika
dibandingkan dengan cabang ilmu lain, seperti sosiologi dan kriminologi.
Sekalipun usianya relatif muda, namun peran viktimologi tidak lebih rendah
dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu yang lain, dalam kaitan
pembahasan mengenai fenomena sosial.
Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan
logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi
yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-
akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu
kenyataan sosial.
Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas, karena tidak
hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian tetapi
juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang
29
dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan
terhadap korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung
atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.
Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas
kejahatan dikarenakan korban seringkali memiliki peranan yang sangat
penting bagi terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang
luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat
memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang
pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kuantitas dan kualitas
kejahatan.
Sejalan dengan semakin berkembangnya viktimologi, sebagai cabang
ilmu baru, berkembang pula berbagai rumusan tentang viktimologi. Kondisi
ini hendaknya tidak dipandang sebagai pertanda tidak adanya pemahaman
yang seragam mengenai ruang lingkup viktimologi, tetapi harus dipandang
sebagai bukti bahwa viktimologi akan selalu berkembang sejalan dengan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang
mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan
manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Melalui perumusan ini
membawa akibat perlunya suatu pemahaman, sebagai berikut:
a. sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang
sebenarnya secara dimensional;
b. sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;
c. sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur
struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.66
Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban
kejahatan (viktimologi), tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pemikiran-
66 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 40
30
pemikiran brilian dari Hans von Hentig, seorang ahli kriminologi pada tahun
1941 serta Mendelsohn, pada tahun 1947. Pemikiran dari kedua ahli ini
sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi.
Perkembangan viktimologi hingga sampai pada keadaan seperti
sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami
berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) fase.
Pada tahap pertama viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan
saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal or special victimology”.
Sementara itu, pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah
korban kejahatan tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini
disebut sebagai “general victimology”. Fase ketiga. Viktimologi sudah
berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena
penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan
sebagai “new victimology’.67
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa yang menjadi obyek
pengkajian dari viktimologi, diantaranya: pihak-pihak mana saja yang
terlibat/mempengaruhi terjadinya suatu viktimisasi kriminal, bagaimanakah
respon terhadap suatu viktimisasi kriminal, faktor penyebab terjadinya
viktimisasi kriminal, bagaimanakah upaya penanggulangannya, dan
sebagainya.
B. Viktimologi Dalam Perkembangan
Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang paling banyak
disoroti adalah si pelaku. Padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang
paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi,
sedikit sekali hukum-hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang
dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan
terhadapnya.68
67 Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm. 200 68 Lihat Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II, LKUI, Jakarta, 1994:, hal 81 yang mengatakan, ” Sistem peradilan pidana sekarang ini berlaku
31
Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak mengatakan
bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan
memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Hal yang
mana juga disebutkan oleh Reif: “The problem of crime, always get reduced
to what can be done about criminal. Nobody asks what can be done about
victim? Everyone assumes the best way to help the victim is to catch
criminal as though the offender is the only source of the victims trouble”.
Padahal apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan secara
komprehensif, maka kita tidak boleh mengabaikan peranan korban dalam
terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memperhatikan pada aspek pencarian
kebenaran materiil sebagai tujuan yang akan dicapai dalam pemeriksaan
suatu kejahatan, peranan korban pun sangat strategis, sehingga sedikit
banyak dapat menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh
hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.
Tidak berlebihan apabila selama ini berkembang pendapat yang
menyebutkan bahwa korban merupakan aset yang penting dalam upaya
menghukum pelaku kejahatan.
Pada sebagian besar kasus-kasus kejahatan, korban sekaligus
merupakan saksi penting yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan.
terlalu difokuskan pada pelaku (menyidik, menangkap, mengadili dan menghukum pelau) dan kurang sekali memperhatikan korban, Yang acapkali terjadi adalah bahwa terlibatnya korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan rasa ketidakberdayaannya serta frustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup. Sistem peradilan pidana dewasa ini memang terlalu ”offender centered”, sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi korban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan simbolik” Lihat juga Andrew Karmen, Deviants, Victim or Victimizer, Sage Publication, London, 1983, hal. 245 “ A major concern of victimologist has been to assess the quality of service delivered to victims by the criminal justice system. Victims of rape have been studied most extensively. The finding of these inquiries have led to be concepts of the second wound. Victims are harmed twice, once by the offender and again by the criminal justice system official who heap additional abuse upon them. The major source affrications between all kinds of victims and the police revolve around the inability first did in the immediate aftermath of the incidents, the tendency of detectives to unfound the complaints of certain victims for certain crimes, the pattern of law arrest rates for particular offences, even when the victims cooperate fully and the pattern of law recovery rates for returning stolen property. Victims are in conflict with prosecutors over the dropping of charges and over the defense attorney to resolve cases by allowing accused person to plead guilty to less charges”
32
Sayangnya, dalam kerangka pemeriksaan suatu perkara di mana korban
merupakan saksi bagi pengungkapan suatu kejahatan, korban hanya
diposisikan sebagai instrumen dalam rangka membantu aparat penegak
hukum untuk menghukum si pelaku, dan tidak pernah berlanjut pada apa
yang dapat negara serta aparat penegak hukum lakukan untuk si korban,
sehingga penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan
seperti keadaan sebelum terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya.
Apabila dikaji, dilupakannya persoalan korban tersebut disebabkan
antara lain karena:69
a. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang
sebenarnya secara multi dimensional;
b. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang tidak
didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi kriminal;
c. Kurangnya pemahaman bahwa masalah kejahatan merupakan masalah
kemanusiaan, demikian pula masalah korban.
Perhatian kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada
saat Hans von Hentig pada tahun 1941 menulis sebuah makalah yang
berjudul “Remark on the interaction of perperator and victim”. Tujuh tahun
kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul “The criminal and his
victim” yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang
menentukan dalam timbulnya kejahatan,70 yang mempelajari hubungan
antara pelaku dan korban (victim-offender relationship) dari aspek
penderitaan korban dan aspek korban sebagai pemicu dan mengakibatkan
kejahatan.71
69 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif ViktimoloGI, Kriminologi dan Hukum Pidanan, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hal. 173 70 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1989: Edisi Pertama – Cetakan Kedua, hlm. 78. 71 Lihat Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama, 21.
33
Dalam bukunya yang berjudul The criminal and his victim tersebut, von
Hentig membagi 6 (enam) kategori korban di lihat dari keadaan psikologis
masing-masing, yaitu:
1. The depressed, who are weak and submissive;
2. The acquasitive, who succumb to confidence games and racketeers;
3. The wanton, who seek escapimin forbidden vices;
4. The lonesome and heartbroken, who are susceptible to theft and fraud;
5. The termentors, who provoke violence, and;
6. The blocked and fightings, who are unable to take normal defensive
measures.72
Pada tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit,
Mendelhson menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial
horizons: Victomology”. Pada saat inilah Benjamin Mendelhson, seorang
pengacara di Jerusalem dianggap orang yang pertama kali mempergunakan
istilah victimology dalam bukunya yang berjudul “Revue Internationale de
Criminologie et de Police Technique”.73
Pembahasan mengenai Korban oleh von Hentig dan Mendelhson
kemudian hari diikuti pula oleh sarjana-sarjana lain diantaranya seperti
Ellenberger (1954), yang melakukan suatu studi tentang hubungan
psikologis antara penjahat dengan korban, bersama dengan H. Mainheim
(1965), Schafer (1968) dan Fiseler (1978).74
Kemudian pada tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan berbagai
pengamatan mengenai subyek ini dalam tulisannya berjudul “de Criminaliteit
van Oss, Groningen”. Dan sepuluh tahun kemudian dapat dikatakan
viktimologi menjadi isu yang menarik dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
72 Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society, Santa Monica – California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979, hlm. 66. 73 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Op. Cit., hal. 22. 74 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, Op. Cit., hlm. 174.
34
Pada tahun 1959 P. Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar lagi dari kriminologi
dan viktimologi harus diperhatikan dalam membuat kebijakan kriminal dan
juga dalam pembinaan para pelaku kejahatan.75 Baik Cornil maupun Nagel
memperluas wilayah bahasan kriminologi sampai masalah korban.76
Perhatian terhadap korban kejahatan akhirnya diwujudkan dalam suatu
simposium internasional di Jerusalem pada tanggal 5-6 September 1973.
Dalam simposium di Jerusalem ini berhasil dirumuskan beberapa
kesimpulan, yaitu: viktimologi dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah
mengenai para korban, dan kriminologi telah diperkaya dengan suatu
orientasi viktimologi.
Simposium kedua diadakan di Boston, pada tanggal 5-9 September
1976. Victimologi dianggap penting karena dapat membantu menambah
kecerahan dalam menghadapi penjahat dan korbannya.77 Studi lebih lanjut
tentang viktimologi juga telah dilakukan dalam bentuk Postgraduate Course
on the Victim of Crime in The Criminal Justice System juga telah dua kali
dilakukan di Dubrovnick, Yugoslavia. Setelah mengalami berbagai kesulitan
pada saat diselenggarakannya simposium yang kedua di Boston, maka
pada tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of
Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin.78 Perjalanan
panjang untuk menghasilkan suatu prinsip-prinsip dasar tentang
perlindungan korban memang sangat terasa, sekalipun demikian cita-cita
tersebut akhirnya dapat terwujud pada saat diadakan kongres di Milan, Italia
pada tanggal 26 Agustus sampai dengan 6 September 1985 dengan nama
75 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 78. 76 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 174. 77 Lihat Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 78. 78 Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 108. Pada tahap ini viktimologi diartikan sebagai suatu studi ilmiah tentang tingkat, hakikat dan kausa kriminal, konsekwensinya terjadap orang-orang yang terlibat dan reaksi yang ditimbulkan melalui masyarakat, khususnya polisi dan sistem peradilan pidana maupun para pekerja sosial dan profesional. Lihat Muladi, dalam KKR dan Keadilan Restoratif, Kompas 21 April 2005
35
Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang
menghasilkan beberapa prinsip-prinsip dasar tentang korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan, yang selanjutnya di adopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi
yang dinamakan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power.79
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa viktimologi pada
mulanya berwawasan sempit sebagaimana dikemukakan oleh von Hentig
dan Mendelson. Wawasan yang lebih luas kemudian dikembangkan oleh
Mendelsohn. Viktimologi yang berinklusif wawasan hak-hak asasi manusia
(juga disebut the new victimology) dikembangkan oleh Elias. Yang kemudian
memperluas wawasan viktimologi sehingga mencakup penderitaan manusia
(kemanusiaan) adalah Separovic.80
New Victimology ini bertujuan untuk:81
(1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban,
(2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebaba musabab terjadinya
viktimisasi, dan
(3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan
manusia.
Sejak dimulainya studi tentang kepribadian korban yang dilakukan oleh
Benyamin Mendelsohn pada tahun 1937, viktimologi sebagai applied
science bagi hukum pidana dan kriminologi terus berkembang. Bahkan
sampai saat ini telah dilakukan lima kali simposium internasional tentang
79 Menurut Muladi, pemahaman victimologi tahap pertama (penal victimology) yang cenderung bersifat ilmiah maupun victimologi tahap kedua (assistance-oriented victimology) yang cendrung merupakan tindakan pelayanan atau kebijakan yang berorientasi pada korban merupakan penggerak diadopsinya UN General Assembly’s Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power pada tahun 1987 beserta panduan pelaksanannya bagi pengambil kebijakan. 80 J.E. Sahetapi, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm. V. 81 Dr. Muladi, SH disampaikan pada seminar Viktimologi di Universitas Airlangga Surabaya, tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Prof. Muladi, SH, Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 76
36
Viktimologi dan terakhir di Zagreb, Yugoslavia pada tahun 1985, di samping
pertemuan-pertemuan ilmiah lain yang diselenggarakan di pelbagai
negara.82
Memang harus diakui bahwa kajian mengenai viktimologi relatif
kurang diminati dikalangan praktisi hukum sehingga dari waktu ke waktu
perkembangannya jauh tertinggal dibandingkan dengan kajian lainnya
seperti kriminologi, penintensier, dan sebagainya. Terbukti bidang
viktimologi miskin dengan literatur serta kajian-kajian ilmiah lainnya. Hal ini
dikarenakan dalam penangan perkara pidana perhatian yang diberikan
kepada pelaku lebih banyak daripada korban sebagaimana Prassell
berpenpadat:
“Victim was a forgotten figure in the study of crime. Victims of
assaults, robbery, theft, and other offenceses were ignored while
police, courts, and academicians concentrated on known violators”.83
Sekalipun demikian tidak berarti bahwa viktimologi merupakan bidang
yang tidak memerlukan perhatian yang serius dibandingkan dengan bidang
kajian lainnya, karena melalui viktimologi akan dapat diperoleh masukan
dalam menghadapi dan menanggulangi masalah kejahatan yang semakin
hari semakin meningkat.
C. Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada
terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya
posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana.84 Selain
itu, menurut Muladi viktimologi merupakan suatu studi yang bertujuan untuk:
1. Menganalisa pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
82 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Uiversitas Dipenogoro, Semarang, 2002, hlm. 65 83 Frank R. Prassel. op.cit., hlm. 65. 84 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 174.
37
2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya
viktimasi
3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan
manusia.85
Menurut J..E Sahetapy ruang lingkup Viktimologi meliputi bagaimana
seseorang (dapat) menjadi korban, yang ditentukan oleh suatu victimity
yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, 86 termasuk pula
korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan
penyalah gunaan kekuasan.87 Namun dalam perkembangannya di tahun
1985, dipelopori oleh Separovic yang mempelopori pemikiran agar
Viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan penyalah
gunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau
bencana alam, karena korban bencana alam di luar kemauan manusia (out
of man’s will).88
Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai objek kajian daripada
Viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di Geneva tahun
1975 Kongres Keenam Tahun 1980 di Caracas yang meminta perhatian
bahwa korban kejahatan dalam cakupan Viktimologi bukan hanya kejahatan
konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan dan lainnya,
tetapi juga kejahatan inkonvensional, seperti terorisme, pembajakan, dan
kejahatan kerah putih.89
Dalam Kongres PBB Kelima di Geneva tahun 1975 dihasilkan
kesepakatan untuk memperhatikan kejahatan yang disebut sebagai crime as
business yaitu kejahatan yang bertujuan mendaatkan keuntungan materiil
melalui kegiatan dalam bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan
secara terorganisir dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai 85 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 176. 86 Ibid., hlm. 176. 87 Lihat Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Op.Cit., hlm. 108. 88 Ibid., hlm. 109. 89 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 177-178.
38
kedudukan terpandang dalam masyarakat, seperti pencemaran lingkungan,
perlindungan konsumen, perbankan dan kejahatan-kejahatan lain yang
biasa dikenal sebagai organized crime, white collar crime90 dan korupsi.
Dalam Kongres PBB Keenam Tahun 1980 di Caracas dinyatakan bahwa
kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan merugikan bukan
hanya kejahatan-kejahatan terhadap nyawa, orang, dan harta benda, tetapi
juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse power), sedangkan dalam Kongres
PBB Ketujuh Tahun 1985, menghasilkan kesepakatan untuk memperhatikan
kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap atau dipandang
membahayakan seperti economic crime, environmental offences. illegal
trafficking in drugs, terrorism, apartheid dan industrial crime.91
D. Korban dan Kejahatan
1. Korban
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini
adalah untuk sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas-
batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh
kesamaan cara pandang.
Korban dari suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu
atau orang perorangan, akan tetapi bisa juga berupa kelompok orang,
masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu,
korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti
tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita
90 White Collar Crime sebagaimana dikatakan oleh Edwin Sutherland (1939) pada awalnya hanya dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku “terhormat” dengan status sosial yang cukup tinggi, walau terjadi perluasan maksa bahwa perbuatan itu juga menghindari adanya physical violence and force (oleh Chamber of Commerce USA, 1974), baru terakhir terjadi perubahan makna yang lebih luas. Selengkapnya lihat Indriyanto Seno Adjie, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korupsi Perbankan, Modul Kuliah “Kejahatan Bisnis”, Program Pascasarjana, Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Jakarta, 2002. 91 Ibid, hlm 117
39
temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahaan ini,
korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk didalamnya.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan, baik oleh para ahli
maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas
mengeai korban kejahatan, sebagian di antaranya adalah:
1. Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah ” mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.92
2. Ralph de Sola
Korban (victim) adalah ”... person who has injured mental or physical
suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted
criminal offense committed by another...”93
3. Cohen
Korban (victim) adalah ”... whose pain and suffering have been neglected
by the state while it spends immense resources to hunt down and punish
the offender who responsible for that pain and suffering:94
4. Z.P. Separovic
Korban (victim) adalah ” ... the person who are threatened, injured or
destroyed by an actor or omission of another (mean, structure,
organization, or institution) and consequently; a victim would be anyone
who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only
criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic
offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be
92 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Op.Cit., hal.63 93 Ralph de Sola, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, 1998, hal. 188 94 Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, tanpa tahun, hal.9
40
caused by another man or another structure, where people are also
involved”95
5. Muladi
Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau
mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-
haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar
hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan
kekuasaan.96
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
7. Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian
ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.
95 Z.P. Separovic, Victimology, Op. cit., hal. 29 96 Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, op.cit., hlm. 108.
41
9. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power 1985
Korban (victims) means persons who, individually or collectively, have
suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering,
economic loss or substantial impairment of their fundamental rights,
through acts or omission of criminal laws operative within Member
States, including those laws proscribing criminal abuse of power”……
through acts or omissions that do not yet constitute violations of national
criminal laws but of internationally recognized norms relating to human
rights.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, maka
dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan
atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-
perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya,
bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau
tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami
kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk
mencegah viktimisasi.
Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian
korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian
karena menjadi korban kejahatan, akan tetapi kerugian atas terjadinya
pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya
suatu pekerjaan, yang mana walaupun yang disebut terakhir lebih banyak
merupakan persoalan perdata, akan tetapi pihak yang dirugikan tetap saja
termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara
materiil maupun secara mental.
2. Tipologi Korban
42
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk
lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga
kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu: 97
a. Nonparticipating victims yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan;
b. Latent victims yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu
sehingga cenderung menjadi korban;
c. Procative victims yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya
kejahatan;
d. Participating victims yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban;
e. False victims yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang
dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan
dengan tipologi korban yang diindentifikasi menurut keadaan dan status
korban, yaitu:
a. Unrelated victims yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus
ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
b. Provocative victims yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya
menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga
sebagai pelaku,
c. Participating victims yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi;
d. Biologically weak victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi;
97 Ibid, hlm. 42.
43
e. Socially weak victims yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang
lemah yang menyebabkan ia menjadi;
f. Self victimizing victims yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi,
aborsi, prostitusi.98
Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu:
a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan
(bukan kelompok),
b. Secondary victimization yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum,
c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas,
d. No victimization yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen
Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe korban, yaitu:
a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi
korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.
b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini,
korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan,
sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban,
c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-
anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin,
golongan minoritas dan sebagainya adalah orang-orang yang mudah
menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan pelaku,
tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
98 Schafer dalam Separovic sebagaimana dikutip dari Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 42, Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS, dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 176-177.
44
d. Korban karena ia sendiri adalah pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai
kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zinah, adalah beberapa
kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Yang bersalah adalah
korban karena ia juga sebagai pelaku.
3. Hak-hak Korban
Setiap hari, masyarakat banyak memperoleh informasi tentang
berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai mass media
cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit
menimbulkan berbagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga
keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam
beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulangi baik
melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun represif, dan
semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga
yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga
yang khusus menanganinya.99 Namun, untuk tahap awal perlu disampaikan
terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja
yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari
mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang
menimpa dirinya.
99 Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seperti di Michigan, telah ada suatu lembaga yang didirikan khusus untuk membantu korban kejahatan dan orang-orang yang membantu korban, yang bukan karena kesalahannya, telah menderita kerugian sebagai akibat dari suatu kejahatan. Lembaga ini dinamakan The Crime Victim’s Compensation Board. Bantuan yang disediakan adalah bantuan untuk pelayanan kesehatan, atau pelayanan-pelayanan lain yang diperlukan, seperti biaya pemakaman, bantuan karena kehilangan penghasilan, dan sebagainya. Untuk memperoleh bantuan ini, maka klaim harus diajukan kepada The Crime Victim’s Compensation Board, P.O.Box 30026, Lansing, Michigan 48909, biasanya dalam jangka waktu 30 hari sesudah terjadinya kejahatan, atau 90 hari setelah kematian korban.
45
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa
diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang
mempengaruhi korban, baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan (fisik,
mental, atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak
mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai
alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari masyarakat menjadi tahu
kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi
dirinya maupun keluarganya), sehingga lebih baik korban
menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan ganti
kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang
dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang
berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya
mempergunakan hak-hak yang telah disediakan baginya. Oleh karena itu,
adanya beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga
korban kejahatan, yang meliputi:
1. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya.
Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak
lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk
menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan.100
2. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis
100 Konsep restitusi dan kompensasi berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah restitusi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kejahatan terhadap korban, sedangkan kompensasi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara.
46
7. Hak untuk diberitahu bilamana pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari
tahanan sementara, atau bilamana pelaku buron dari tahanan.101
8. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan
dengan kejahatan yang menimpa korban;
9. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan
nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), korban
berhak mendapatkan:
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantyuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. pelayanan bimbingan rohani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/A/Res/34 Tahun 1985
juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih udah
memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
a. Compassion, respect and recognition;
b. Receive information and explanation about the progress of the case;
c. Provide information;
d. Providing proper assistance;
101 Hak ini sudah diterapkan di Australia, khususnya di negara bagian New South Wales, dilakukan dengan cara korban mengisi nama pada formulir Daftar Korban pada departemen/lembaga yang bertanggung jawab atas penahanan seseorang yang telah melakukan tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.
47
e. Protection of privacy and physical safety;
f. Restitution and compensation;
g. To access to the mechanism of justice system.
4. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai,
mulai dari hak atas bantuan keuangan (finasial) hingga hak atas pelayanan
medis dan bantuan hukum, tetapi tidak berarti kewajiban dari korban
kejahatan diabaikan eksistensinya, karena melalui peran korban dan
keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara
signifikan.
Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan,
antara lain:
h. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas
dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
i. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan
terulangnya tindak pidana;
j. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
k. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan
kepada pelaku;
l. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa
dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
m. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam
upaya penanggulangan kejahatan;
n. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak
menjadi korban lagi.
48
5. Kejahatan
Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada definisi
baku yang di dalamnya mencakup semua aspek kejahatan secara
komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dilihat dari aspek
yuridis, sosiologis maupun kriminologis.
Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan
perspektif orang dalam memandang kejahatan sangat beragam, di samping
tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis
kejahatan yang akan dirumuskan. Sebagai contoh pengertian kejahatan
korporasi (corporate crime), jenis kejahatan ini acapkali digunakan dalam
pelbagai konteks dan penamaan. Tidaklah mengherankan kalau di Amerika
Serikat, di mana setiap negara bagian menyusun perundang-undangannya,
terdapat lebih kurang 20 perumusan yang bertalian dengan kejahatan
korporasi.102
Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan merupakan suatu
perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan
paling tidak disukai oleh rakyat.103
Black menyatakan bahwa crime is a social harm that the law makes
punishable; the breach of a legal duty treated as the subject-matter of a
criminal proceeding”,104 sedangkan Huge D. Barlow, sebagaimana dikutip
102 Van Duyne, 1990, sebagaimana dikutip oleh J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Refika, 2002, hlm. 1. Lebih lanjut disebutkan: Dalam pada itu perlu dicatat bahwa istilah kejahatan korporasi (corporate crime) acapkali digunakan dalam konteks white-collar crime, organizational crime, organized crime, geoganiseerde misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crimes of business (business crime), syndicate crime. 103 Abdul Wahid, et,al, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, 2004, hlm. 52 104 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul – Minnesota: West Group Publishing Co., 1999: 7th Edition, Editor in Chief: Bryan A. Garner, hlm. 380.
49
oleh Topo Santoso dan Eva A. Zulfa, menyebutkan Kejahatan adalah a
human act that violates the criminal law105
Van Bemmelen merumuskan Kejahatan adalah tiap kelakuan yang
tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak
ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu
berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu
dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan
tersebut.106
Jikalau dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka perumusan kejahatan menurut
Kitab Undang-undag Hukum Pidana adalah semua bentuk-bentuk perbuatan
yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Sekalipun perumusan kejahatan sangat beragam namun pada intinya
memiliki kesamaan unsur, dengan mengacu pada pendapat Kimball, maka
unsur-unsur (elemen) kejahatan adalah:107
1. An actor;
2. With a guilty mind (mens rea);
3. Who causes;
4. Harm;
5. In particular way or setting, and;
6. A lawmaker who has decreed that these circumstances expose the
actor to imposition of fine, imprisonment, or death as a penalty.
Meskipun banyak definisi yang dikemukakan para ahli mengenai
kejahatan, pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang
105 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafisindo, 2002, hlm. 13 106 Simanjuntak, dalam Abdul Wahid, et, al, ibid, hlm. 52 107 Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime”, dalam: Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983: Volume 1, hlm. 302..
50
diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak
atau bertentangan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga ukuran untuk menentukan apakah suatu
perbuatan merupakan kejahatan atau bukan adalah “apakah masyarakat
secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis serta perbuatan
tersebut secara psikologis merugikan sehingga dimasyarakat muncul rasa
tidak aman dan melukai perasaan?”
Karena ukuran pertama dalam menentukan apakah suatu perbuatan
merupakan kejahatan atau bukan adalah norma-norma yang hidup dan
dianut oleh masyarakat setempat, tentunya sukar untuk menggolongkan
jenis-jenis perbuatan mana saja yang dapat disebut dengan kejahatan.
Kesukaran ini muncul sebagai dampak dari adanya keberagaman suku dan
budaya. Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin merupakan sebuah
kejahatan, tetapi di daerah lain kejahatan tersebut bisa saja tidak dianggap
sebagai kejahatan. Contoh dalam budaya Madura, membunuh orang
sebagai bentuk balas dendam yang lajim dikenal dengan sebutan carok,
tentunya lebih merupakan sebuah upaya membela harkat dan martabat
keluarga dari pada disebut sebagai upaya pembunuhan, sehingga ketika
carok dilakukan oleh seseorang, maka pihak keluarga pelaku menganggap
tindakan tersebut sebagai sebuah sikap “pahlawan”.
Namun kita tidak boleh digiring kearah pendikotomian antara budaya
dan kejahatan. Kejahatan tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan dengan
mengatasnamakan adat dan budaya, karena kejahatan tetap saja
merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh aksi kejahatan yang selalu
menimbulkan korban, baik secara finansial atau materiil, secara fisik
maupun psikis, nampak jelas digambarkan oleh Von Hentig dalam bukunya
”Crime, Causes and Conditions” (1947), dikatakan bahwa pada tahun 1941
saja, kerugian secara materiil diderita oleh 28.500.000 penduduk dari 231
kota di Amerika Serikat bisa mencapai 13.000.000. Kerugian ini pun hanya
51
merupakan angka dari 3 jenis kejahatan saja, yaitu perampokan, pencurian
dengan kekerasan, serta pencurian biasa. Angka ini belum lagi ditambah
dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai tugas kepolisian,
kejaksanaan serta kehakiman beserta aparatur lainnya yang
berhubungan.108
Sebagai perbandingan, di Indonesia akibat dari terjadinya kasus
peledakan Bom di Legian Bali pada 12 Oktober Tahun 2002 ( Bom Bali I),
kerugian yang diderita adalah korban jiwa lebih kurang 192 (seratus
sembilan puluh dua) orang, korban luka-luka sebanyak kurang lebih 161
(seratus enam puluh satu) orang, menghancurkan bangunan Sari Club dan
Paddy’s Pub dan merusakkan bangunan lainnya berjumlah kurang lebih 422
(empat ratus dua puluh dua) unit dan atau merusak fasilitas publik atau
fasilitas umum berupa kerusakan jaringan telepon, listrik dan saluran air
PDAM.109 Kerugian ini belum termasuk pembatalan paket-paket wisata
asing dan domestik yang akan berkunjung ke Bali dan ke daerah-daerah
Indonesia lainnya serta perekonomian nasional yang mengalami
penurunan secara drastis.
Di samping kejahatan-kejahatan sebagaimana diuraikan di atas, dalam
kriminologi dikenal pula apa yang disebut dengan kejahatan tanpa korban
(Victimless crime). Menurut Black, victimless crime adalah: “A crime is
considered to have no direct victim, because only consenting adults are
involved. Examples are possession of drugs, deviant sexual intercourse
between consenting adults, and prostitution”.
Victimless crime tidak menimbulkan keluhan di masyarakat kecuali
pihak penegak hukum seperti polisi, sebagaimana dikatakan Frase:”
“The practical arguments against Victimless crime appear to derive
from three attributes of these offenses: 108. W. A. Bonger dan G.H. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, , Pengantar Tentang Kriminologi, P.T. Pembangungan, Jakarta, 1995:Cetakan ketujuh, hal.23 109 dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus peledakan bom di Legian Bali dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan.
52
1. Most involve no complaining parties other than police officers
2. Many involve the exchange of prohibited goods or services that
are strongly desired by the participants; and
3. All seek to prevent individual or sosial harms that are widely
believed to be less serious than the harms involved in crimes with
victims.”110
Kejahatan tanpa korban (victimless crime) biasanya terjadi pada tindak
pidana narkotika, perjudian, prostitusi, pornografi, di mana hubungan antara
pelaku dan korban tidak kelihatan akibatnya. Tidak ada sasaran korban
sebab semua pihak adalah terlibat dalam kejahatan tersebut. Namun
demikian, jika dikaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban
(victimless crime) ini sebetulnya tidak tepat karena semua perbuatan yang
masuk ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik
secara langsung maupun tidak langsung, atau dalam bahasa agamanya
perbuatan-perbuatan yang dilakukan ini lebih banyak mudharatnya daripada
manfaatnya.111
6. Hubungan Korban Kejahatan Dan Pelaku Kejahatan
Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu
kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi
korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa hubungan
antara korban dan pelaku adalah hubungan sebab akibat. Akibat dari
perbuatan pelaku yaitu suatu kejahatan dan korban yang menjadi objek
110 Richard Frase, “Victimless Crime”, dalam: Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983: Volume 4, hlm. 1608. 111 Tutty Alawiyah, A.S, kata sambutan dalam buku Tindak Pidana Narkotika dari Moh Taufik Makarao, et.al, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. vii. Tutty Alawiah lebih lanjut mengatakan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut lebih tepat disebut dengan istilah kejahatan yang disepakati (concensual crimes)
53
sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita karena
kejahatan.112
Kerugian yang dialami oleh korban akibat terjadinya suatu kejahatan
tidak selalu berupa kerugian materiil, atau penderitaan fisik saja, akan tetapi
yang paling besar pengaruhnya adalah kerugian atau dampak psikologis.
Korban kejahatan bisa terus merasa dibayang-bayangi oleh kejahatan yang
telah menimpanya yang mana dapat menghalanginya untuk beraktivitas
dalam kehidupannya sehari-hari.
Secara sosiologis dikatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat,
semua warganegara berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang
sebagai sebuah sistem kepercayaan yang melembaga (system of
institutionalized trust). Tanpa kepercayaan ini maka kehidupan sosial tidak
mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam
bertingkah laku. Kepercayaan terpadu melalui norma-norma yang
diekspresikan di dalam struktur organisasional.
Bagi korban kejahatan, dengan terjadinya kejahatan yang menimpa
dirinya tentu akan menghancurkan sistem kepercayaan tersebut, dengan
kata lain dapat merupakan suatu bentuk trauma kehilangan kepercayaan
terhadap masyarakat dan ketertiban umum, yang berwujud munculnya
gejala-gejala rasa takut, gelisah, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian dan
berbagai perilaku penghindaran yang lain. Contoh wanita korban kekerasan
dalam rumah tangga, khususnya yang mengalami kekerasan dalam
hubungan intim. Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi
korban. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai
segala tindak-tanduknya. Bahkan, ketakutan dapat mengganggu pola
tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur
dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan obat
penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya. Bahkan,
112 Samuel Walker, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide, Monterey – California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985, hlm. 145.
54
akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut, atau
bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu.113
Kadang kala, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan sering kali
bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai jenis kejahatan yang
melibatkan keluarga atau yang terjadi dalam rumah tangga. Pada jenis
kejahatan semacam ini, seringnya terjadi kontak dengan pelaku akan
semakin menambah ketakutan dari si korban untuk mengambil tindakan.
Apabila korban mengambil tindakan dengan cara melaporkan kepada pihak
lain tentunya akan mengundang kemarahan tidak hanya kemarahan si
pelaku tetapi juga dari pihak lainnya.
Karena itulah, perlindungan terhadap korban sangat diperlukan, tidak
hanya dari si pelaku itu sendiri, melainkan juga dari pihak-pihak yang
cenderung tidak menyukai korban maupun perbuatan si korban dengan
melaporkan si pelaku.114
Menurut E. Kristi Poerwandari,115 Dalam kekerasan terhadap
perempuan hubungan antara pelaku dengan korban sangat beragam:
Pelaku, dapat berupa:
Orang asing/saling tidak kenal; suami; pasangan hubungan intim lain (pacar,
tunangan, bekas suami, dll.); kenalan/teman; anggota keluarga initi dan/atau
luas; teman kerja
Orang dengan posisi otoritas: Atasan kerja/majukan; guru/dosen/pengajar;
pemberi jasa tertentu (konselor, dokter, pekerja sosial dll).
Negara dan/atau wakilnya: Polisi/anggota militer; dan pejabat (individu
dalam kedudukan sebagai pejabat).
113 E. Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi Feministik, dalam Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Penyunting, Achie Sudiarti Luhulima, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 33-34. 114 Kondisi yang hampir serupa terjadi pada korban kejahatan HAM, di mana pada saat korban melaporkan kepada pihak berwajib dan berujung pada diadilinya pelaku (contoh, pelakunya adalah kalangan petinggi militer), korban/pelapor sering menghadapi ancaman/teror dari pihak-pihak yang tidak menyukai komandannya dijadikan terdakwa. 115 Ibid, hlm. 12-13
55
Untuk kejahatan-kejahatan di luar kekerasan dalam rumah tangga
hubungan pelaku dengan korban sangat beragam, tetapi pada umumnya
antara pelaku dan korban tidak memiliki relasi secara langsung atau tidak
saling mengenal.
E. Manfaat Viktimologi
Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan
merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan ilmu
itu sendiri, sehingga apabila suatu ilmu pengetahuan dalam
pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis
maupun teoretis, maka sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari dan
dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat mempelajari
viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan akan banyak
manfaat yang diperoleh.
Arif Gosita, menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan
mempelajari viktimologi, yaitu:116
1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan
korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang
terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat dari pemahaman itu, maka akan
diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi
mengenai usaha-usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam
menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan;
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang
korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental,
fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban,
tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai
116 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 41-43
56
kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku
serta pihak lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan
terhadap berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan
meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak
langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.
3. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai
hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang
dihadapinya berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama
dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban
struktural atau non struktural. Tujuannya, bukan untuk menakut-nakuti,
tetapi untuk memberikan pengetian yang baik dan agar waspada.
Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi
pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi
bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.
4. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak
langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat
penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada
setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik
dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam
pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan
menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu
kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi), mengatasi
akibat-akibat merusak, dan mencegah pelanggaran, kejahatan lebih
lanjut (diagnosa viktimologis);
5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian
viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam
keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap
pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan
kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi
manusia.
57
Manfaat Viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama
dalam mempelajari manfaat studi korban yaitu:
a. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan
perlindungan hukum;
b. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu
tindak pidana,
c. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya
korban.117
Manfaat dari Viktimologi ini dapat memahami kedudukan korban
sebagai sebab dan dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran
dalam usaha mencari kebenaran dalam usaha mengerti akan permasalahan
kejahatan, delikuensi dan deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya
secara dimensional,118 selain sebagai alasan peringanan pemidanaan,
pemberian kompensasi dan restitusi dan mengurangi penderitaan korban,
yang didasarkan atas belas kasihan dan hormat atas martabat korban
(compassion and respect for their dignity). 119
Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi
korban sebagai manusia, anggota masyarakat dan sebagai warga Negara
yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.
Di samping itu, viktimologi juga bermanfaat bagi kinerja aparatur
Penegak Hukum, seperti aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman.
Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya
penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar
belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan
korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang
117 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 8. 118 Lihat Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1989: Edisi Pertama – Cetakan Kedua, hlm. 74. 119 Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, op.cit., hlm. 107-108
58
biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek-
aspek lainnya yang terkait.
Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara
pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan
diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai
korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.
Bagi Kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai organ pengadilan yang
dianggap memahami hukum yang menjalankan tugas luhurnya yaitu
menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia,120 dengan adanya
viktimologi, hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam
persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan
dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana,
sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit
banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim. Hakim dapat
mempertimbangkan berat ringan hukuman yang akan dijatuhkan pada
terdakwa dengan melihat pada seberapa besar penderitaan yang dialami
oleh korban pada terjadinya kejahatan, misalnya hakim akan
mempertimbangkan hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan
melihat pada penderitaan yang di alami oleh korban akibat perbuatan
terdakwa, misalnya korban menderita cacat seumur hidup, korban
kehilangan penghasilan, korban kehilangan orang yang selama ini menjadi
tumpuan ekonomi keluarga, seperti dikemukakan oleh Soerjono Koesoemo,
bahwa hakim yang besar adalah yang putusannya merupakan pancaran hati
nuraninya, yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu
120 Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
59
hukum, yang dapat dipahami dan diterima para pencari keadilan pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya.121
Akhirnya, viktimologi dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
upaya memperbaiki berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama
ini terkesan kurang memperhatikan aspek perlindungan korban.
F. Viktimologi Dan Kriminologi
Secara etimologis, kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti
kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
Secara sempit, kriminologi diartikan sebagai ilmu yang membahas
mengenai kejahatan.
Jika diperhatikan secara lebih luas, dapat kita ambil contoh
pengertian kriminologi yang dikemukakan oleh Sutherland dan Cressey
yang menyebutkan bahwa Kriminologi adalah ”the body of knowledge
regarding crime as a social phenomenon”. Termasuk dalam pengertian
kriminologi tersebut adalah proses pembuatan undang-undang, pelanggaran
hukum dan reaksi terhadap pelanggaran hukum tersebut.
Secara umum, kriminologi bertujuan untuk mempelajari kejahatan
dari berbagai aspek, sehingga diharapkan dapat diperoleh pemahaman
tentang fenomena kejahatan yang lebih baik.122
Menurut antropolog Perancis P. Topinard (1839-1911), Kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan
seluas-luasnya (kriminologi teoritis/murni). Kriminologi teoritis adalah ilmu
pengetahun yang berdasarkan pengalaman seperti ilmu pengetahuan
lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan mencoba menyelidiki
sebab-sebab dari gejala-gejala tersebut (aetiologi) dengan cara-cara yang
ada padanya.123
121 Soerjono Koesoemo, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum: Indonesia Menunggu Kelahiran (Kembali) ”Hakim Yang Besar”, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1991 122 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto PS, G. Widiarta, Op.Cit., hal. 187 123 P. Topinard dalam Prof. Mr. WA. Bonger dan Dr. G.H.Th. Kempe ditermahkan oleh R.R. Koesnoen, Op. Cit., hal. 19
60
Jadi pada pokoknya, kriminologi merupakan ilmu yang menyelidiki
kejahatan, serta aspek-aspek yang menyertai kejahatan tersebut, yakni
selain mengenai pokok-pokok kejahatan yang dilakukan, juga orang-orang
yang melakukan kejahatan tersebut. Akan tetapi, kriminologi tidak
menyelidiki kejahatan dari segi yuridisnya ataupun perumusan jenis-jenis
kejahatan tersebut. Bahasan yang terakhir disebutkan merupakan bahasan
dari bidang hukum pidana.
Kriminologi merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang usianya
relatif muda. Kriminologi baru muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan
lahirnya sosiologi. Hal ini disebabkan karena perhatian khusus mengenai
kejahatan hanyalah disinggung sepintas lalu dalam buku-buku karangan
para sarjana terdahulu, seperti pada buku karangan Van Kan ”Les Causes
Economiques de la Criminalite” (1903), yang mengemukakan pendapatnya
tentang sebab musabab ekonomis daripada kejahatan. Kemudian Havelock
Ellis dalam bukunya ”The Criminal” (1889), Maro dalam bukunya ”I Caratteri
dei Delinquenti” (1887) dan G. Antonini dalam bukunya ” I Precuri di
Lombroso” (1909) yang mencari pendapat tentang kejahatan menurut
antropologi, tapi hasilnya sangat kecil. Begitu pula halnya dengan hasil
karya Plato dan Aristoteles yang membahas mengenai kejahatan dalam
hubungannya dengan kehidupan suatu negara.124
Lahirnya kriminologi ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan
menentang pemerintahan yang dianggap sewenang-wenang dalam
menerapkan hukum pidana serta hukum acara pidananya, dimana pada
waktu itu hukum pidana diterapkan dengan tujuan untuk menakut-nakuti
masyarakatnya dengan menerapkan hukuman penganiayaan yang
mengerikan.
Proses pemeriksaan orang yang disangkakan melakukan kejahatan
pun sama tidak berperikemanusiaan. Pemeriksaan tersebut hanya bersifat
formalitas saja. Dan tata cara pemeriksaannya pun tergantung bagaimana
124 Ibid., hal. 42
61
keinginan si pemeriksa serta dilakukan secara rahasia. Ketika itu,
pengakuan dari si tertuduh dipandang sebagai syarat pembuktian yang
utama.
Gerakan penentangan semacam ini muncul menjelang revolusi
Perancis dimana pada saat itu kekuasaan raja sangat absolut.125 Pada
masa itu, orang-orang yang disinyalir melakukan penentangan terhadap
kekuasaan raja langsung dijebloskan ke dalam penjara Bastille.
Penentangan-penentangan semacam ini dikeluarkan oleh tokoh-tokoh
Perancis seperti Montesquieu, Rosseau dan Voltaire. Ketiganya
menyatakan penentangan kepada tindakan sewenang-wenang, hukuman
yang kejam serta banyaknya hukuman yang dijatuhkan.
Selain ketiga tokoh tersebut, mulai bermunculan pula pemikiran-
pemikiran tokoh yang menyuarakan penentangan terhadap hukuman yang
berlaku pada saat itu, yang berlaku kejam terhadap penjahat. Pada tahun
1777 oleh ”Oeconomische Gesellschaft” di Bern diadakan sayembara untuk
merencakan suatu hukum pidana yang baik. Pesertanya diantaranya adalah
J.P. Marat (1774-1793) dengan karangannya ”iPlan de Legislation
Criminelle” (1780), J.P. Bnrissot de Warville (1745-1793) ”Theorie des lois
Criminelles” (1781) dan juga C. Beccaria (1738-1794),dengan karangannya
”Del Delitti e Delle Pene” (1764).
Hasil dari perjuangan para tokoh tersebut kemudian melahirkan hasil
yang baik. Dimana pada tahun 1780 di Perancis penganiayaan dihapuskan,
setelah sebelumnya pada tahun 1740, Frederik Agung sudah
menghapuskannya lebih dahulu. Namun, adalah jasa yang sangat besar
dari John Howard (1726-1790) dalam bukunya ”The State of The Prisons”
(1777), terutama mengenai rumah penjara di Inggris dan dalam cetakan
125 Pada jaman itu sistem politik adalah monarki absolut ketuhanan. Raja mendapatkan tahtanya hanya dari Tuhan dan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Wewenangnya tidak dapat dikontrol atau dibatasi oleh siapapun. Dengan demikian kewajiban utama rakyat jelata hanyalah mematuhi perintah raja. Selengkapnya lihat, A. Malet & J. Isaac, Revolusi Perancis, 1789-1799, Rramedia, Jakarta, 1989
62
yang belakangan mengenai kepenjaraan di negara lain, menunjukkan
keadaan yang menyedihkan baik dari segi kesehatan maupun kesusilaan.
Sekitar tahun 1880 di Amerika karena pengaruh golongan Quaker
didirikan perkumpulan-perkumpulan yang memperhatikan masalah
kepenjaraan, dengan tujuan memberantas akibat-akibat yang sangat
mendesak. yang timbul dari adanya penutupan bersama dalam rumah
penjara. Penutupan tersendiri, yang akan memberi kesempatan pada
penjahat untuk memeriksa diri sendiri (dan karenanya menyesal), akan
menggantikan penutupan bersama. Pada tahun 1786 hukuman mati di
Pennsylvania dihapuskan. 126
Setelah berakhirnya masa penentangan terhadap hukum pidana dan
juga hukum acara pidana, barulah fokus terhadap kejahatan serta pelakunya
dapat terealisasi. Mulailah para ahli meneliti mengenai kejahatan serta
pelaku-pelakunya, hingga lahirnya banyak pemikiran mengenai kejahatan.
Dalam ilmu kriminologi modern dikenal 3 (tiga) aliran pemikiran untuk
menjelaskan gejala kejahatan:127
1. Kriminologi Klasik
Dalam hal ini, gambaran tentang kejahatan dan penjahat pada umumnya
dipandang dari sudut hukum, kejahatan diartikan sebagai perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang pidana dan penjahat adalah orang
yang melakukan kejahatan. Orang melakukan kejahatan sebagai pilihan
bebas masing-masing individu dengan menilai untung ruginya. Untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka kerugian atau
resiko yang harus ditanggung oleh pelaku harus ditingkatkan (misalnya
dengan ancaman sanksi yang berat atau tinggi). Dengan demikian,
perimbangan antara kerugian atau resiko dengan keuntungan atau
kenikmatan yang akan diperoleh dari kejahatan akan lebih besar pada
126 Ibid., hal. 48 127 Suryono Ekotama, Op. Cit., hal.189
63
resikonya. Dalam kaitan ini, maka tugas kriminologi adalah membuat
pola dan menguji sistem hukumannya akan meminimalkan kejahatan.
2. Kriminologi Positivis
Aliran pemikiran ini bertolak dari pandangan bahwa –perilaku manusia
ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik berupa faktor
biologis maupun kultural. Dengan demikian manusia tidak bebas untuk
menentukan perbuatannya, karena dibatasi dan ditentukan oleh situasi
biologis atau kulturalnya. Aliran positivis ini mengarahkan fokusnya pada
usaha untuk menganalisa sebab-sebab terjadinya kejahatannya melalui
studi ilmiah terhadap ciri-ciri pelaku dari aspek fisik, sosial dan kultural.
3. Kriminologi Kritis
Aliran pemikiran ini mulai berkembang setelah tahun 1960-an sebagai
pengaruh dari semakin populernya perspektif labeling. Aliran ini tidak
mempersoalkan apakah perilaku manusia itu bebas atau dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain, tetapi lebih mengarahkan pada proses-proses
yang terjadi. Dengan demikian aliran ini mempelajari proses-proses dan
kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan atau pendefinisian
kejahatan pada perbuatan-perbuatan tertentu, orang-orang tertentu,
pada waktu dan tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini
dapat dibedakan antara pendekatan interaksionis dan pendekatan
konflik.
Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa
viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan
kalimat lain viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup
dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena
munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.
Akan tetapi mengenai pentingnya dibentuk ilmu viktimologi secara
terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu:128
128 Ibid., hal. 175
64
a. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari
kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul
Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu
pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala
aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian melalui penelitiannya,
kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban
dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya,
b. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi,
diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi
merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam
kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi
juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
Khusus mengenai hubungan antara Kriminologi dan Hukum Pidana
dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang
saling melengkapi, karena orang akan mengerti dengan baik tentang
penggunaan hukum terhadap penjahat maupun tentang pengertian
mengenai timbulnya kejahatan maupun mengenai timbulnya kejahatan dan
cara-cara pemberantasannya, sehingga memudahkan penentuan adanya
kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan
pelaku kejahatannya.129 Hukum Pidana hanya mempelajari delik sebagai
suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik
merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala sosial adalah
kriminologi.130
Menurut pendekatan kriminologi, ada beberapa alasan perlunya
korban kejahatan mendapatkan perhatian, yaitu:131
1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberikan
perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan
129 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, Mei 1993: Cetakan Kelima, hlm. 15. 130 Utrecht, E., Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958, hlm. 136. 131 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Persepektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Bandung, 1996, hlm. 17
65
(offender-centered). Bukti konkret dari pandangan ini adalah hanya
beberapa pasal di dalam KUHAP yang mencerminkan perlindungan
terhadap korban. Pasal-pasal tersebut antara lain:
a. Pasal 80 KUHAP
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
pengehentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh
Penyidik atau Jaksa Penuntut Umum atau Pihak Ketiga yang
berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebut alasannya
b. Pasal 108 ayat (1)
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau
menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak
untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik
atau Penyidik baik lisan maupun tertulis.
c. Pasal 133 ayat (1)
Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.
d. Pasal 134 ayat (1)
Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, Penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban
e. Pasal160 ayat (1b)
Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang
menjadi saksi.
66
2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas
dan melengkapi penafsiran atas statistik kriminal (terutama statistik
yang terdapat pada kepolisian yang dilakukan melalui survey tentang
korban kejahatan);
3. Masyarakat yang berkembang akan semakin menyadari bahwa
disamping korban kejahatan konvensional (kejahatan jalanan/street
crime) tdak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada
korban kejahatan non-konvensional maupun korban dari
penyalahgunaan kekuasaan.
Dewasa ini, terdapat kecenderungan bahwa masalah korban dibahas
secara tersendiri dan terperinci dalam ilmu viktimologi dan bukan
merupakan cabang ilmu dari kriminologi melainkan membentuk cabang ilmu
tersendiri. Akan tetapi antara Viktimologi dan Kriminologi, akan selalu
terdapat hubungan yang kesinambungan dan saling mempengaruhi.
Menurut von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil antara kriminologi
merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan
segala aspeknya, termasuk korban.132 Selain itu viktimologi tidak hanya
terfokus kepada korban itu sendiri, tetapi juga melihat kedudukan kejahatan
sebagai penyebab timbulnya korban, dan kejahatan hanya ada dalam kajian
kriminologi. Dengan demikian anatara Viktimologi dan Kriminologi terdapat
hubungan erat sebagaimana dihasilkan dalam Symposium Internasional
tahun 1973 di Jerusalem yang merumuskan kesimpulan mengenai
hubungan antara Viktimologi dan Kriminologi adalah:133
a. Bahwa viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi ilmiah
mengenai para korban, dan
b. Bahwa kriminologi telah diperkaya dengan suatu orientasi viktimologi.
Dengan menolak adanya viktimologi dan hanya memusatkan
perhatian kepada pelaku kejahatan dengan kejahatannya adalah merupakan
132 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm.175. 133 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, hlm. 80.
67
penolakan terhadap Viktimologi, sebab antara pelaku dan korban adalah
satu kesatuan akan terjadinya sebuah kejahatan.134
G. Viktimologi Dan Ilmu Hukum
Secara terminology menurut Hugo Reading, Viktimologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-
akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu
kenyataan sosial.135
Ilmu Hukum adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu Negara
atau masyarakat tertentu, dan hukum dalam hal ini adalah hukum positif (ius
constitutum).136 Hukum yang menjadi kajian daripada Ilmu Hukum adalah
hukum yang bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.137
Kehidupan masyarakat dalam hal ini adalah proses sosial ,tempat terjadinya
pengaruh timbal balik antar berbagai segi kehidupan (politik, ekonomi, ,
agama, dan sebagainya) sebagai sebuah interaksi yang dapat berlansung
dalam bentuk komunikasi, konflik, kompetisi, akomodasi, asimilasi, dan
kooperasi.138 Aspek kehidupan yang digunakan dalam hal hubungan antara
Ilmu Hukum dan Viktimologi adalah “konflik”, di mana terdapat konflik, terjadi
pertentangan, dan dalam pertentangan pasti terdapat sebuah viktimasi
kriminal, yang berlaku menyeimbangkan dan mempertahankan
perdamaian.139 Sedangkan bagi Viktimologi, dalam masyarakat terdapat
134 Lihat Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 79. 135 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 1. 136 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000: Edisi Pertama: Buku I, hlm. 1. 137 Ibid., hlm. 2. 138 Zen Zanibar M.Z., “Wilayah Kajiam Ilmun Hukum”, dalam: Lex Jurnalica, Transformasi Ide dan Obyektivitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia Esa Tunggal, No. 1 / 2004, hlm. 44. 139 Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996: Cetakan Kedupuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino, hlm. 11.
68
yang dapat menyebabkan timbulnya korban serta akibat-akibat korban yang
merupakan kenyataan sosial.140
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa kriminologi menaruh
perhatian terhadap masalah kejahatan serta segala aspek yang ada di
dalamnya, seperti pelaku yang telah diputus oleh pengadilan, perilaku yang
perlu didekriminalisasi, populasi pelaku yang ditahan, perbuatan yang
melanggar norma141. Perhatian yang diberikan oleh kriminologi ini tentunya
tidak akan memberikan manfaat yang signifikan bagi upaya
penanggulangan kejahatan apabila kriminologi berdiri sendiri tanpa dikaitkan
dengan aspek lain, seperti masalah korban sebagai sasaran dari kejahatan
karena itu, korban sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya
berbagai aksi kejahatan. Disinilah peran viktimologi untuk mengisi
kekosongan-kekosongan yang tidak dapat dipenuhi oleh kriminologi.
140 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 1. 141 Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 16
69
Bagian 3
PENGATURAN PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN
BERDASARKAN HUKUM NASIONAL
Dalam pengaturan Hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang
paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian
akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun
psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa
disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya
sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan,
mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah
menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik di
tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.
Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika
dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa
peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan ”hak
istimewa” kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban.
Pada saat seseorang diduga melakukan kejahatan, sejak saat yang
bersangkutan dimintai keterangan hingga vonis dijatuhkan oleh hakim,
perlindungan hukum terhadap tersangka (terdakwa) senantiasa melekat.
Pada saat orang tersebut ditangkap, maka harus disertai dengan surat
penangkapan sekaligus menyebutkan kejahatan apa yang dituduhkan,
ketika dalam proses penyidikan tersangka diperkenankan didampingi oleh
penasihat hukum, begitu pula pada saat tersangka ditahan, maka masa
penahanannya dibatasi untuk jangka waktu tertentu. Bahkan, setelah orang
tersebut (terdakwa) divonis oleh hakim, masih diberi kesempatan untuk
mengajukan upaya hukum lain, seperti banding, kasasi dan peninjauan
kembali.
Kondisi ini sangat berbeda dengan korban. Ketika korban dimintai
keterangannya sebagai saksi di tingkat penyidikan maupun pengadilan,
sering dijumpai korban harus datang sendiri tanpa memperoleh
70
pengamanan/pengawalan yang memadai dari aparat keamanan. Keadaan
ini tidak hanya terjadi pada kasus-kasus ”kecil”, dalam kasus ”besar” pun
(kasus yang menjadi perhatian publik) seperti kasus pembunuhan,
terorisme, kejahatan/pelanggaran HAM, korban sering harus datang sendiri
ke pengadilan. Padahal, potensi terjadinya kekerasan terhadap saksi
(korban) sangat tinggi, terlebih apabila pelaku divonis hukuman maksimal
oleh pengadilan.
Pada saat korban dimintai keterangan di pengadilan, terkesan korban
hanya sekedar dijadikan sebagai alat untuk menguatkan apa yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Setelah korban memberikan
kesaksiannya tidak ada upaya untuk memberikan perlindungan kepada
saksi (korban), dan korban dbiarkan pulang begitu saja tanpa memperoleh
perlindungan. Bahkan, dalam beberapa kasus sering dijumpai korban harus
menempuh perjalanan panjang agar dapat hadir memberikan kesaksian di
pengadilan tanpa dibekali uang yang cukup sehingga harus meminjam uang
karena apabila korban tidak hadir di pengadilan padahal sudah dipanggil
secara resmi, maka yang bersangkutan dapat dikenai sanksi.
Sebagai contoh, pada kasus Teungku Bantaqiah di Aceh yang
menjadi korban kekerasan dari oknum aparat keamanan pada saat
pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) beberapa waktu yang lalu,
keluarga almarhum Teungku Bantaqiah meminta kepada pengadilan
koneksitas untuk tidak melanjutkan persidangan karena saksi (korban)
sering menerima ancaman teror, setiap akan memberikan keterangan di
pengadilan. Bahkan, pernah terjadi seseorang yang tidak dikenal
melemparkan granat ke halaman rumahnya yang mencederai 17 orang,
pada hari ketiga persidangan. Akibat munculnya berbagai ancaman (teror)
yang ditujukan kepada keluarga Teungku Bantaqiah, tidak berlebihan
apabila muncul keinginan untuk menghentikan proses persidangan.
Dalam beberapa kasus kejahatan, seringkali wujud perlindungan
hukum yang diberikan kepada korban hanya terbatas pada aspek materiil
saja, misalnya korban diberi hak untuk menuntut ganti kerugian kepada
71
pelaku. Harapannya, setelah ganti rugi diberikan permasalahan
(penderitaan) yang dihadapi oleh korban akan selesai. Padahal, sejatinya
akibat yang diderita oleh seseorang sebagai akibat dari kejahatan
(kekerasan) yang menimpanya sangat kompleks, tidak hanya kerugian
secara materiil tetapi juga fisik dan psikis. Sebagai contoh, wanita yang
pernah menjadi korban pemerkosaan, tidak saja akan menderita secara
materiil seperti, hilangnya pekerjaannya (di PHK), karena korban dirawat di
rumah sakit dalam jangka waktu lama sehingga tidak dapat bekerja
sebagaimana mestinya, tetapi lebih dari itu, korban bisa menderita secara
medis seperti mengalami pendarahan yang cukup lama atau harus
menanggung penyakit yang ditularkan oleh pelaku.
Penderitaan secara psikis juga banyak membayangi korban
pemerkosaan, dan ini yang paling berat, karena akibatnya bisa berlangsung
dalam jangka waktu lama, seperti merasa dirinya kotor dan tidak suci lagi,
dikucilkan dari pergaulan di masyarakat, merasa harga dirinya terinjak-injak.
Dalam beberapa kasus, dijumpai korban perkosaan memilih untuk
mengakhiri hidupnya (bunuh diri) karena merasa dirinya sudah tidak
berharga lagi.
Di samping alasan-alasan di atas, belum memadainya perlindungan
hukum yang diberikan kepada korban hanya dari aspek ganti rugi,
disebabkan ada kemungkinan pelaku tidak memiliki kemampuan secara
finansial untuk memberikan ganti kerugian kepada korban. Bukankah
latabelakang pelaku melakukan kejahatan karena pelaku tidak mempunyai
uang? misalnya pelaku mencuri mobil, motor atau harta benda lainnya. Bisa
juga terjadi pelaku melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui,
sehingga sukar bagi korban untuk meminta pertanggung jawaban kepada
pelaku secara finasial.
Terlebih lagi, hukum nasional kita seakan tidak akan bisa menyentuh
oknum penegak hukum yang justru melakukan kejahatan. Misalkan, apabila
seseorang menjadi korban atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh
oknum polisi, kemana ia harus melapor? Apakah ia harus melapor ke polisi,
72
yang notabene merupakan rekan sejawat orang yang melakukan pelecehan
seksual tersebut. Apabila kita melaporkan tindakan pelecehan kepada
atasan si pelaku, namun tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup,
kondisi yang sebaliknya bisa menimpa si pelapor, yaitu dituduh melakukan
pencemaran nama baik.
Maka dari itu, dirasakan pentingnya segera disusun suatu perundang-
undangan yang khusus mengatur mengenai perlindungan korban kejahatan,
yang di dalamnya akan diatur perihal perlindungan korban kejahatan secara
komprehensif, seperti perlindungan fisik, finansial, psikis, maupun medis.
Yang terpenting dari undang-undang ini adalah perlindungan tidak hanya
ditujukan pada korban kejahatan yang menyita perhatian publik, seperti
korban kejahatan HAM atau Terorisme, namun semua jenis kejahatan.
Khusus untuk usulan perlunya segera diundangkan Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban,142 ada beberapa alasan yang
melatarbelakanginya, yaitu:
1. Undang-undang mengenai perlindungan saksi dan korban merupakan
amanat TAP MPR No. VIII tahun 2001 tentang Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
2. RUU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan RUU usulan inisiatif
DPR RI. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut di atas, maka Badan
Legislasi DPR RI telah mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban
pada tanggal 27 Juni 2002 dan ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari
berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR,
3. Kesediaan bahan dan mitra kerja dalam pembahasan RUU sudah
banyak. Selain RUU usul inisiatif DPR, sudah ada tiga RUU
Perlindungan Saksi dan Korban yang dibuat oleh pemerintah, Sentra
HAM UI-ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi. Adanya beberapa alternatif 142 Sejauh ini, perlindungan saksi dan korban baru diatur dalam Undang-undang No. 26 tahun 2002 tentang Pengadilan HAM dan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat.
73
RUU ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pembahasan
RUU di DPR. Mitra kerja dalam pembahasan RUU Perlindungan Saksi
dan Korban di DPR tidak saja dari pemerintah karena Koalisi
Perlindungan Saksi maupun beberapa elemen masyarakat telah
menyatakan kesediaannya untuk menjadi mitra kerja dalam pembahasan
RUU tersebut. Koalisi Perlindungan Saksi terdiri dari beberapa NGO
(Non-Governmental Organization) yang mengkhususkan pada beberapa
isu, seperti perempuan, anak, korupsi, lingkungan, anak, pers, buruh
migran dan Hak Asasi Manusia. Keterlibatan NGO tersebut diharapkan
dapat memperkaya pengkajian sehingga akan diperoleh hasil yang lebih
komprehensif.
4. Sudah banyaknya korban yang berjatuhan karena tidak adanya jaminan
yang diberikan terhadap korban maupun saksi dari suatu kejahatan. Hal
ini menjadikan saksi maupun korban enggan untuk bersedia memberikan
kesaksian. Bahkan korban ataupun saksi yang melaporkan mengenai
suatu kejahatan kerap menjadi objek dari kejahatan lainnya seperti teror
maupun intimidasi fisik. Atau kadang juga si pelapor seringkali
mengalami kriminalisasi atau tuntutan hukum atas kesaksian atau
laporan yang diberikannya sehingga akhirnya ia menjadi tersangka atau
bahkan terdakwa, seperti yang dialami Endin Wahyudin ketika
melaporkan beberapa hakim agung yang mencoba memerasnya justru
akhirnya divonis karena melakukan pencemaran nama baik. Begitu pula
Khairiansyah Salman, seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), yang melaporkan adanya upaya penyuapan terhadap dirinya oleh
anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah, justru
harus berakhir dengan status tersangka dalam kasus Dana Abadi Umat.
Perlindungan hukum bagi korban dan saksi dalam perkara pidana
sama sekali bukan hal yang mudah untuk dirumuskan, utamanya apabila
berkenaan dengan:
74
a. Keterangan yang dimiliki oleh seorang saksi dan korban mungkin saja
memberatkan dirinya sendiri, akan tetapi sebagai saksi ia tak mempunyai
hak tolak,
b. Dalam hal saksi/korban tersebut melakukan perbuatan pidana tersebut
bersama-sama dengan si pelaku, keterangan yang diberikan
saksi/korban akan memberatkan terdakwa yang merupakan ”partner in
crime”-nya,
c. Keterangan yang dimiliki saksi/korban akan memberatkan terdakwa,
padahal saksi sama sekali tidak memiliki landasan hukum untuk
memperoleh perlindungan dari kemungkinan dilakukannya intimidasi,
terror dan sebagainya oleh terdakwa atau kelompoknya,
d. Dalam prakteknya, saksi/korban juga tidak memperoleh penggantian
apapun dari negara atas upayanya memberikan keterangan di
persidangan atau di tempat lain (seperti dalam tingkat penyidikan),
sekalipun ada dana penggantian hal tersebut merupakan inisiatif dari
aparat penegak hukum dan jumlahnya sangat terbatas,
e. Perlakukan yang dikenakan pada saksi/korban oleh penegak hukum
tidak jarang membuat saksi justru merasa terancam.
Dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan,
secara mendasar dikenal dua model, yaitu:143
(1) Model Hak-hak Prosedural (The Procedural Rights Model)
Pada model ini, penekanan diberikan pada dimungkinkannya si
korban untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau di
dalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi
hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau
hak untuk dihadirkan dan didengar di setiap tingkatan sidang pengadilan di
mana kepentingannya terkait di dalamnya, termasuk hak untuk diminta
konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat 143 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 79
75
dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan
perdata. Di Perancis, hal ini disebut partie civile model (civil action systems).
Pendekatan semacam ini melihat si korban sebagai seorang subjek yang
harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar
kepentingan-kepentingannya.
Keuntungan dari model semacam ini adalah bahwa model ini
dianggap dapat memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun
masyarakat. Selain itu, keterlibatan si korban seperti ini akan memungkin
sikorban untuk memperoleh kembali rasa percaya diri dan harga diri.
Kemudian, hak-hak yang diberikan pada korban kejahatan untuk
mencampuri proses peradilan secara aktif tersebut dapat merupakan
imbangan terhadap tindakan-tindakan yang dimungkinkan terjadi dalam
tugas-tugas kejaksaan misalnya dalam hal menyusun rekuisitur yang
dianggap terlalu ringan atau menyampingkan perkara demi kepentingan
umum.
Model ini juga dianggap dapat meningkatkan arus informasi yang
berkualitas kepada hakim, sebab biasanya arus informasi ini didominasi oleh
si terdakwa yang melalui kuasa hukumnya justru dapat menekan si korban
(saksi korban) dalam persidangan.
Akan tetapi, model ini juga memiliki kelemahan dan kerugian yang
cukup berarti. Model ini dianggap dapat menciptakan konflik antara
kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Dengan partisipasi si korban
dalam administrasi peradilan pidana, dapat menempatkan kepentingan
umum di bawah kepentingan pribadi. Padahal sistem peradilan pidana harus
berlandaskan pada kepentingan umum. Disamping itu, dapat terjadi
timbulnya beban berlebihan bagi administrasi peradilan pidana, yang
bertentangan dengan usaha untuk lebih menyederhanakannya.
Kerugian lainnya adalah kemungkinan hak-hak yang diberikan pada
si korban tersebut justru dapat menimbulkan beban mental bagi yang
bersangkutan dan membuka peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran
76
tindakan-tindakan yang bersifat menekan dari si pelaku tindak pidana, dan
bahkan pada gilirannya dapat menjadikan sebagai korban yang kedua
kalinya (risk of secondary victimization).
Secara psikologis, praktis dan finansial hal ini kadang-kadang
dianggap juga tidak menguntungkan. Kegelisahan, depresi dan sikap masa
bodoh si koban tidak memungkinkan baginya berbuat secara wajar, terlebih
lagi bila pendidikannya rendah. Jadwal persidangan yang ketat dan berkali-
kali akan mengganggunya baik secara praktis maupun finansial. Selain itu,
dapat juga dikatakan bahwa suasana peradilan yang bebas yang dilandasi
asas praduga tidak bersalah dapat terganggu oleh pendapat korban tentang
pemidanaan yang akan dijatuhkan dan hal ini pasti didasarkan atas
pemikiran yang emosional dalam rangka pembalasan.
(2) Model Pelayanan (The Services Model)
Penekanannya diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar
baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi,
misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban
dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian
kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak
pernyataan-pernyataan korban selbelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini
melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam
kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.
Keuntungan dari model ini adalah bahwa model ini dapat digunakan
sebagai sarana pengembalian apa yang dinamakan Integrity of the system
of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif komunal. Si korban akan
merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang
adil. Suasana tertib, terkendali dan saling mempercayai dapat diciptakan
kembali. Model ini dianggap pula dapat menghemat biaya, sebab dengan
bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan
kerugian-kerugian yang diderita oleh si korban dalam rangka menentukan
kompensasi bagi si korban.
77
Kelemahan dari model semacam ini atara lain adalah bahwa
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan
untuk selalu melakukan tidankan-tindakan tertentu kepada korban, dianggap
akan membebani aparat penegak hukum, karena semuanya didasarkan
atas sarana dan prasarana yang sama. Efisiensi dianggap juga akan
terganggu, sebab pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin
digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu
efisiensi.
A. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Guna mengurangi semakin meningkatnya kejahatan (tindak pidana), baik
secara kualitas maupun kuantitas, selama ini fokus perhatian sering hanya
tertuju pada upaya-upaya yang sifatnya teknis, misalnya bagaimana
menemukan metode penjatuhan sanksi yang lebih tegas agar menghasilkan
efek jera pada pelaku kejahatan atau mencegah orang untuk melakukan
kejahatan, peningkatan sarana-prasarana pendukung, penambahan
anggaran operasional. Akibatnya, fokus perhatian pada korban kejahatan
sering diabaikan, padahal dalam beberapa kasus kejahatan, peranan
korban sangat penting bagi munculnya suatu kejahatan (victim precipitation).
Korban dapat menjadi faktor penting bagi timbulnya suatu kejahatan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana dikemukakan
oleh Mulyana W. Kusumah ketika mengutip pendapat dari Sheperd yang
menyatakan: dalam studi tentang kejahatan kekerasan terungkap bahwa
acapkali korban memainkan peran kunci dalam interaksi kekerasan, bahkan
tak jarang melakukan tindakan provokasi terhadap orang lain ataupun balas
dendam dengan pola kekerasan yang sering pula mengakibatkan luka atau
bahkan kematian.144
144 Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung, 1986, hlm. 47
78
Dalam kasus pemerkosaan, ketika pelaku ditangkap dan menjalani
pemeriksaan, sering terungkap bahwa salah satu faktor pendorong pelaku
melakukan pemerkosaan adalah korban sering berpenampilan “menantang”
(baik disengaja maupun tidak disengaja) sehingga pelaku terdorong untuk
melakukan pemerkosaan. Sekalipun faktor lain pun pada dasarnya tidak
dapat diabaikan, seperti pelaku sedang dalam pengaruh minuman keras,
pelaku sering menonton film porno atau lingkungan dimana kejahatan terjadi
sangat mendukung, misalnya dalam keadaan sepi.
Adanya pandangan bahwa korban kejahatan hanya berperan sebagai
instrumen pendukung/pelengkap dalam pengungkapan kebenaran materiil,
misalnya ketika korban diposisikan hanya sebagai saksi dalam suatu kasus
pidana, sudah saatnya untuk ditinggalkan. Begitu pula, pandangan yang
menyebutkan bahwa dengan telah dipidananya pelaku, maka korban
kejahatan sudah cukup memperoleh perlindungan hukum, tidak dapat
dipertahankan lagi.
Kedudukan korban seakan telah di”diskriminasi”kan oleh hukum
pidana, padahal dalam konteks perbuatan pidana, korban pada dasarnya
merupakan pihak yang paling dirugikan. Karena itu, mulai berkembang
pemikiran yang menyuarakan agar orientasi hukum pidana Indonesia yang
selama ini lebih bersifat offender oriented, yang mana si pelaku kejahatan
merupakan fokus utama dari hukum pidana, agar segera diubah.
Perkembangan pemikiran dan perlunya perhatian terhadap korban didasari
oleh dua arus pemikiran, pertama, pemikiran bahwa negara ikut bersalah
dalam hal terjadinya korban dan selayaknya negara ikut bertanggung jawab
dalam bentuk pemberian kompensasi atau restitusi. Kedua, adanya aliran
pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivis
ke arah kriminologi kritis.145
Sebenarnya, penggantian kerugian berupa materi (barang atau uang)
merupakan salah satu bentuk sistem pemidanaan tertua yang pernah
145 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Grhadhika Press, Jakarta, 2004, hlm. 45-46
79
dikenal dalam peradaban manusia. Setiap kelompok masyarakat di dunia
mengenal ganti kerugian berupa materi, tidak terkecuali di Indonesia.
Mulai dari zaman kerajaan dahulu hingga sekarang, khususnya di
lingkungan masyarakat adat, sistem ganti kerugian sebagai salah satu
bentuk sistem pemidanaan, masih diakui eksistensinya.
Contoh ketentuan yang mengatur mengenai penjatuhan pidana
berupa pembayaran ganti kerugian, tercantum dalam perundang-undangan
Majapahit, misalnya: 146
Fasal 56: Jika seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus
pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa
kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian (panglicawa) kepada orang
yang kena curi dengan cara dikembalikan segala milik yang diambilnya dua
lipat.
Fasal 242: “Barang siapa naik pedati, kuda atau kendaraan apapun, jika
melanggar atau menginjak orang hingga mati, ia sendiri atau saisnya
dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, ditambah uang ganti
kerugian (pamidara) sebanyak delapan tali kepada pemilik orang yang
terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang yang mati itu.
Fasal 19: Barang siapa membunuh wanita yang tidak berdosa, harus
membayar untuk wanita yang bersangkutan dua lipat dan dikenakan uang
ganti kerugian (patukucawa) empat kali.
Dalam perundang-undangan Majapahit di atas dinyatakan secara
jelas bahwa apabila seseorang berkeinginan agar kejahatannya diampuni,
maka ia harus memberikan penggantian kerugian berupa harta kepada
orang yang terlanggar (korban) sebanyak beberapa kali lipat. Pasal tersebut
di atas juga menyebutkan mengenai pembayaran denda kepada penguasa.
Hukum (pidana) adat Indonesia banyak mengungkap bentuk-bentuk
pemidanaan yang diwujudkan dalam pemberian materi kepada korban 146 Slamet Mulyana, Perundang-undangan Majapahit dalam Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.183
80
kejahatan, salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Indriyanto Seno
Adjie dengan mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro, “terdapat perkara
adat “tatam fani benas” di Timor Timur (yang tidak ada ekuivalensinya
dengan KUHP), dimana seorang lelaki menghamili wanita yang dijanjikan
untuk dinikahinya, ternyata si wanita ditinggal pergi begitu saja. Mahkamah
Agung dengan putusannya No. 3898 K/Pdt/1989 telah menghukum si lelaki
dengan ganti rugi sejumlah ekor sapi dan sejumlah uang”.147
Hal yang sama terdapat pula dalam Pasal 359 Kitab Adi Agama yang
menurut terjemahan I Made Widyana adalah sebagai berikut: “Lagi Logika
Sanggraha misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan
cintanya, karena takut akan dipermasalahkan maka mencari daya upaya,
syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya
dipaksa disetubuhi dan silaki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh si
wanita, kalau demikian halnya sepatutnyalah diusut kejelasannya, dan kalau
benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukumdenda sebesar 24.000 uang
keping.148
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ketentuan yang mengatur
tentang perlindungan korban kejahatan melalui penggantian kerugian dapat
dilihat pada Pasal 14c Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang pada
intinya menyatakan: dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat, maka
hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti
kerugian baik semua atau sebagian yang timbul akibat dari tindak pidana
yang dilakukan.
Hukum Pidana materiil mengatur juga mengenai upaya perlindungan
korban kejahatan melalui pemberian ganti rugi materi. Menurut Pasal 14 c
KUHP, hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk
mengganti kerugian baik semua atau sebagian yang timbul akibat dari tindak
147 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, dalam Indriyanto Seno Adjie, Prospek Hukum Pidana Indonesia Pada Masyarakat Yang Mengalami Perubahan, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Pada Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 19 Pebruari 200h, hlm. 5 148 ibid, hlm 6
81
pidana yang dilakukannya. Menurut Barda Nawawi Arief, ketentuan ini tidak
luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu:
a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi
yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, jadi hanya sebagai “syarat
khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninya pidana pokok yang
dijatuhkan kepada terpidana;
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat
diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau
pidana kurungan;
c. Syarat khusus berupa ganti rugi inipun menurut Kitab Undang-undang
Hukum Pidana hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.149
B. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Sebelum berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara (Lembaran Negara Tahun 1981 No. 76, Tambahan Lembaran
Negara No. 3209, tanggal 31 Desember 1981), hukum acara pidana yang
dipergunakan sebagai pedoman dalam pemeriksaan di peradilan umum
mengacu pada HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) Stb. 1941 No. 44
yang merupakan produk hukum pemerintahan kolonial Belanda.
HIR pada dasarnya merupakan produk pemerintahan penjajah,
tentunya falsafah yang terkandung dalam setiap ketentuan HIR dapat
dipastikan lebih didominasi oleh falsafah kaum penjajah dibandingkan
falsafah bangsa Indonesia. Akibatnya, di dalam ketentuan HIR terkandung
banyak pasal yang menguntungkan kaum penjajah dibandingkan dengan
kaum pribumi, terlebih dari aspek perlindungan hak asasi manusia. Karena
itu, dipandang perlu HIR segera diubah dan disesuaikan dengan semangat
nasionalis serta kepribadian bangsa Indonesia, sebagaimana tampak dari 149 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana, artikel dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. 1, 1998, hlm. 17
82
salah satu konsideran menimbang Undang-undang No. 8 Tahun 1981
khususnya huruf d, yang menyatakan: Bahwa hukum acara pidana sebagai
yang termuat dalam Het Herziene Indlandsch (Indonesisch) Reglement
(Staatsblad Tahun 1941 No. 44) dihubungkan dengan Undang Undang-
undang No. 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 No. 9,
Tambahan Lembaran Negara No. 81) serta semua peraturan pelaksanannya
dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang
hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena sudah tidak
sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Adanya keinginan agar KUHAP lebih banyak dipengaruhi oleh
falsafah dan kepribadian bangsa Indonesia tampak dalam Penjelasan
Umum angka 3 yang dengan tegas menyatakan bahwa undang-undang ini
yang mengatur tentang hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan
pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah
seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin
perlindungan terhadap hak asasi manusia...”
Sekalipun KUHAP disebut-sebut sebagai karya agung dan
merupakan salah satu pencapaian tertinggi bangsa Indonesia di bidang
hukum, mengingat KUHAP sangat memperhatikan hak asasi seseorang
yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di
pengadilan, penjatuhan hukuman sampai pelaksanaan putusan. Namun
dibalik itu semua, tersimpan satu persoalan yang memerlukan perhatian
serius dari berbagai pihak terkait yaitu KUHAP belum memberikan
pengaturan yang memadai mengenai perlindungan korban kejahatan.
Sebagaimana diketahui, di dalam KUHAP, ketentuan yang mengatur
mengenai perlindungan tersangka/terdakwa lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan perlindungan terhadap korban kejahatan. Akibatnya,
hak-hak korban kejahatan kurang memperoleh perhatian.
Bagi pelaku kejahatan, sejak awal sudah sudah dilingkupi oleh
berbagai bentuk perlindungan hukum, seperti memperoleh bantuan hukum,
memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan
83
tentang kejahatan yang dituduhkan kepadanya, diberi hak untuk
mengajukan ganti kerugian dan rehabilitasi apabila ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang .
Selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan dengan telah
diperiksa dan diadilinya tersangka/terdakwa, secara tidak langsung telah
melindungi korban kejahatan, karena pelaku (terpidana) tidak akan lagi
mengganggu korban (masyarakat). Padahal, pelaku tidak cukup hanya
bertanggung jawab secara pidana (dihukum), tetapi juga bertanggung jawab
secara keperdataan supaya semakin menambah efek jera sekaligus
bertanggung jawab secara pribadi kepada korban.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, diatur beberapa
hak yang dapat digunakan oleh korban kejahatan dalam suatu proses
peradilan pidana, yakni:150
a. hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum,
yaitu hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian
penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak
ketiga yang berkepentingan (Pasal 77 jo 80 KUHAP). Hal ini penting
untuk diberikan guna menghindarkan adanya upaya dari pihak-pihak
tertentu dengan berbagai motif, yang bermaksud menghentikan proses
pemeriksaan;
b. hak korban berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi, yaitu hak
untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP) Kesaksian
(saksi) korban sangat penting untuk diperoleh dalam rangka mencapai
suatu kebenaran materiil. Oleh karena itu, untuk mencegah korban
mengundurkan diri sebagai saksi, diperlukan sikap proaktif dari aparat
penegak hukum untuk memberikan jaminan keamanan bagi korban dan
keluarganya pada saat mengajukan diri sebagai saksi;
150 selengkapnya lihat Theo, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensasi, dalam Teropong (Media Hukum dan Keadilan) Vol. II, No. 9, Juni 2003, hlm. 31-32.
84
c. hak untuk menuntut ganti kerugian akibat suatu tindak pidana/kejahatan
yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata
dengan perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101). Hak ini
diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti kerugian pada
tersangka/terdakwa. Permintaan penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut
umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir
maka permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan. Penggabungan gugatan ganti kerugian dapat
diajukan apabila pihak yang dirugikan mengajukan penggabungan ganti
kerugian terhadap si terdakwa dalam kasus yang didakwakan
kepadanya. Penggabungan gugatan ganti kerugian dilaksanakan
berdasarkan hukum acara perdata dan harus diajukan pada tingkat
banding;
d. hak bagi keluarga korban untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi
melakukan otopsi (Pasal 134-136 KUHAP). Mengijinkan atau tidak
mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi juga merupakan suatu bentuk
perlindungan korban kejahatan, mengingat masalah otopsi ini bagi
beberapa kalangan sangat erat kaitannya dengan masalah agama, adat
istiadat, serta aspek kesusilaan/kesopanan lainnya.
Berkaitan dengan hak korban untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian
melalui cara penggabungan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 98
sampai dengan 101 KUHAP, pihak-pihak yang berkepentingan perlu
memperhatikan beberapa hal, yaitu:
1. Kerugian yang terjadi harus ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri;
2. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang lain yang
menderita kerugian (korban) sebagai akibat langsung dari tindak pidana
tersebut;
3. Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tadi ditujukan
kepada “si pelaku tindak pidana” (terdakwa);
85
4. Dan, tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tadi
digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan pada
pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada
terdakwa dan dalam bentuk satu putusan.151
C. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Apabila dipandang dari sudut viktimologi, korban dalam undang-undang ini
merupakan self-victimizing victims yaitu seseorang yang menjadi korban
karena perbuatannya sendiri. Namun ada juga yang mengelompokkannya
dalam victimless crime atau kejahatan tanpa korban karena dalam
kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak adalah
terlibat.
Kejahatan lain yang dapat dikelompokkan dalam victimless crime
adalah perjudian, prostitusi, pornografi. Jenis kejahatan ini telah diorganisir
oleh sebuah jaringan kejahatan internasional (Transnational Organized
Crime) sehingga sukar untuk diberantas.
Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, tidak
memberikan gambaran jelas bagaimana cara perlindungan dan perlakuan
terhadap korban penyalahgunaan psikotropika. Sebagaimana undang-
undang lain pada umumnya, fokus utama dari undang-undang ini adalah
dari sisi pelaku kejahatan bukan sisi korban kejahatan.
Sekalipun demikian, ada ketentuan yang secara khusus
memerintahkan kepada pelaku (korban) penyalahgunaan psikotropika untuk
mengikuti program rehabilitasi ketergantungan terhadap obat-obatan
terlarang, seperti tercantum dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1997 Tentang Psikotropika, yang menyatakan:
151 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti
Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 83
86
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma
ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam
pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi152.
Ketentuan tentang rehabilitasi bagi pengguna psikotropika di atur
dalam Pasal 39 yang menyatakan:
(1) Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita
sindroma ketergantungan dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi
yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial,
(3) Penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan
atas dasar izin dari Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rehabilitasi
dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud dengan rehabilitasi medis adalah suatu proses
kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan
medis dan sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma
ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal
mungkin, sedangkan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan
dan pengembangan baik fisik, mental, maupun sosial agar pengguna
psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melaksanakan
fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat.153
152 Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya. (Pasal 38 Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika). 153 Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahu 1997 tentang Psikotropika
87
Selama ini, program rehabilitasi terhadap korban hanya terfokus pada
rehabilitasi secara medis, sedangkan rehabilitasi sosial sering diabaikan.
Padahal, rehabilitasi sosial memegang peranan yang sama pentingnya
dengan rehabilitas medis. Sekalipun rehabilitasi medis telah berhasil
menghilangkan kecanduan seseorang terhadap psikotropika namun jika
tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, maka orang tersebut akan dengan
mudah kembali ke lingkungan lamanya dan kemudian akan kembali menjadi
pecandu obat-obat terlarang.
Kelemahan lain dari praktik rehabilitasi yang selama ini terjadi di
Indonesia adalah banyaknya ditemukan pusat-pusat rehabilitasi yang
menawarkan beragam metode rehabilitasi, mulai dari rehabilitasi yang
bersifat rasional seperti detoksifikasi154, hingga program rehabilitasi yang
sifatnya mistis, tanpa disertai dengan ijin.
Yang dikhawatirkan dengan bermunculannya pusat-pusat rehabilitasi
tanpa ijin dari instansi terkait adalah tidak adanya pengawasan terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan. Jangan sampai muncul kasus dimana
korban (pecandu) yang tadinya diharapkan sembuh dari ketergantungan,
setelah mengikuti program rehabilitasi justru semakin menderita, seperti
yang pernah terjadi pada sebuah pusat rehabilitasi, dimana setelah korban
masuk ke pusat rehabilitasi justru yang bersangkutan menjadi gila bahkan
hingga meninggal dunia.
D. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Pada awalnya, narkotika155 digunakan untuk kepentingan umat manusia,
khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan
154 Program detoksifikasi ini juga mengundang banyak pro dan kontra karena metode ini menggunakan pemberian metadon secara teratur. Seperti yang diketahui, metadon sendiri merupakan salah satu jenis obat yang juga sering disalahgunakan oleh para pecandu. Akan tetapi pusat rehabilitasi yang menggunakan metode ini bersikeras bahwa dengan cara ini pasien akan tetap dapat beraktifitas selagi terus mengikuti program-program rehabilitasi 155 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
88
semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, peruntukan
narkotika mengalami perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif.
Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam
proses pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat di dalam narkotika
terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran serta
kesadaran pasien.
Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan umat manusia, maka peredarannya harus diawasi
secara ketat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang No.
22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang menyebutkan: Pengaturan narkotika
bertujuan untuk:
a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu penegtahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat dikarenakan
saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu,
melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran
narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah di Indonesia hingga
ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh
peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran
narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap
barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk
dilepaskan ketergantungannya.
Harus diakui bersama, masalah penyalahgunaan narkotika
merupakan salah satu persoalan yang tidak mudah untuk ditemukan
solusinya. Kondisi ini tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
89
Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti, Amerika Serikat,
Australia dan negara-negara di benua Eropa.
Peredaran narkotika secara illegal harus segera ditanggulangi
mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya
tetapi juga bagi keluarga, komunitas hingga bangsa dan negara.
Sebelum lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1997, Narkotika
diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1966 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan
Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3086), namun undang-undang
ini tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya karena adanya
perkembangan kualitas kejahatan narkotika yang sudah menjadi ancaman
serius bagi kehidupan umat manusia.
Pengguna narkotika sangat beragam dan menjangkau semua lapisan
masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, orang awam
hingga artis bahkan hingga pejabat publik.
Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika secara
berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat
menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik
maupun psikis. Bahkan tidak jarang, penggunaan narkotika dapat memicu
terjadinya berbagai tindak pidana. Karena itu, untuk mencegah semakin
meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika,
maka pengawasan tidak hanya terbatas pada peredaran narkotika tetapi
juga pada mereka yang menjadi korban, misalnya seseorang yang
menderita ketergantungan narkotika (pecandu)
Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim
atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, maka untuk memberikan
kesempatan pada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya,
maka hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Begitu pula, apabila pecandu
narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan melakukan tindak pidana
90
narkotika, maka hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalanai pengobatan dan/atau perawatan.
Pengobatan dan perawatan terhadap pecandu narkotika dilakukan
melalui fasilitas rehabilitasi. Rehabilitasi medis dan sosial yang diberikan
kepada pecandu dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan
kemampuan fisik, mental dan sosialnya.
Selain pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi medis, proses
penyembuhan pecandu narkotika dapat dilaksanakan oleh masyarakat
melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Sebagai contoh, di Pakem,
Sleman, Yogyakarta telah didirikan suatu klinik atau Pusat Rehabilitasi
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat-zat Adiktif lainnya
(NAPZA) Terpadu yang didirikan atas kerjasama Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
diresmikan pada tanggal 7 Desember 2005.
Tujuan umum pendirian pusat rehabilitasi terpadu ini adalah untuk
memberikan jaminan penanganan paripurna kepada korban
penyalahgunaan Napza melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial,
aspek spiritual serta pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang
NAPZA secara terpadu, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Terhindarnya korban dan institusi dan penetrasi pengedar;
2. Terhindarnya kerusakan mental dan masa depan para penyalahguna
Napza yang akan membunuh potensi pengembangan mereka;
3. Terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit-penyakit
seperti Hepatitis, HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya;
4. Terwujudnya penanganan huklum yang selaras dengan pelayanan
rehabilitasi medik/sosial;
5. Terwujudnya proses pengembangan penanganan korban NAPZA dan
aspek ilmiah serta keilmuan yang dinamis, sesuai perkembangan zaman
sebagai pusat jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis
91
penanganan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bagi
daerah sekitarnya maupun nasional.
Pemberian perlindungan kepada korban narkotika, tentu tidak dapat
dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah, peran serta masyarakat pun
diharapkan ada salah satunya diterimanya kembali mantan para pengguna
dalam lingkungannya tanpa melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya
diskriminatif bahkan dengan memposisikan mereka sebagai warga kelas
dua yang harus dijauhi.
E. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Indonesia sebagai salah satu negara yang dianugerahi Tuhan Yang Maha
Esa dengan kekayaan alam yang melimpah seharusnya mampu
mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya bagi
tercapainya percepatan pembangunan guna terwujudnya masyarakat adil
dan makmur. Ironisnya, kekayaan alam ini justru sering menjadi pemicu
munculnya berbagai konflik dan bencana.
Alam, sejak dulu hingga kini, memegang peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Alam menyediakan berbagai kebutuhan
penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk, maka tekanan akan kebutuhan terhadap alam pun
semakin meningkat.
Jika sumber daya alam yang tersedia terus-menerus dibiarkan
pengelolaannya tanpa memperhatikan aspek pelestariannya, dikhawatirkan
kualitas sumber daya alam semakin lama semakin menurun, yang pada
akhirnya akan bermuara pada timbulnya kesengsaran bagi umat manusia.
Pentingnya pengelolaan sumber daya alam dengan tetap
memmerhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup, telah memperoleh
dasar pijakan yang kuat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 dari Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang menyebutkan: Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah:
92
a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
manusia dan lingkungan hidup;
b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap
dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang
menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Agar pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan kemanfaatan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaannya harus
tetap memperhatikan rambu-rambu hukum, baik yang sifatnya lokal (hukum
adat), nasional maupun internasional.
Oleh karena itu, Undang-undang Lingkungan Hidup No. 23 Tahun
1997 tentang Lingkungan Hidup telah menetapkan bahwa setiap orang
mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta
menanggulangi kerusakan dan pencemarannya, serta mempunyai hak dan
kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan.
Salah satu instrumen hukum yang disediakan guna menjaga agar
pengelolaan lingkungan hidup dapat terselenggara secara bertanggung
jawab adalah instrumen sanksi, yang terdiri dari sanksi administrasi, sanksi
perdata, dan sanksi pidana.
Apabila lingkungan hidup tidak dikelola secara baik dan benar tentu
akan membawa dampak negatif tidak saja pada lingkungan hidup itu sendiri
tetapi juga makhluk hidup yang ada disekitarnya, seperti binatang, manusia.
Khusus untuk korban manusia, akibat yang ditimbulkan dari adanya
pengelolaan lingkungan hidup yang tidak bertanggung jawab, bisa berwujud
93
cacad sementara, cacad permanen atau meninggal dunia, seperti yang
terjadi pada beberapa kasus perusakan lingkungan di wilayah Nangroe
Aceh Darusalam, Papua, dan Sulawesi Utara, sedangkan kerugian terhadap
lingkungan alam dapat berwujud hilangnya berbagai spesies flora dan
fauna, kekeringan, tercemarnya sumber daya air.
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pokoknya lebih
mengutamakan upaya pencegahan timbulnya korban (preventif), baik
korban manusia maupun lingkungan atau alam. Karena itu dalam Undang-
undang Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat beberapa instrumen hukum
sebagai pencegah dari kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup
seperti, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Apabila akibat dari pengelolaan lingkungan hidup yang tidak
bertanggung jawab menimbulkan korban, maka upaya preventif tidak efektif
untuk dipergunakan, sehingga terbuka kemungkinan penyelesaian dilakukan
melalui gugatan perdata dan pidana melalui jalur pengadilan, sekalipun
dibuka kemungkinan penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan
(Alternative Disputes Resolution).
Perlindungan yang diberikan kepada korban pencemaran lingkungan
hidup dapat diberikan dalam bentuk, antara lain:
a. Segera melakukan evakuasi korban ke tempat yang lebih layak tinggal
guna mencegah dampak perusakan lingkungan yang semakin
memperparah kondisi korban,
b. Memberikan bantuan medis kepada korban, sampai korban sembuh.
c. Pemberian santunan (kompensasi dan restitusi) oleh pelaku dan/atau
negara kepada keluarga korban yang meninggal,
d. Penataan kembali lingkungan agar layak untuk ditinggali.
Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan tegas membebankan kewajiban
untuk membayar ganti kerugian dan tindakan-tindakan tertentu kepada
94
pihak-pihak yang telah melakukan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup, sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup.
Perlindungan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 34 di atas, pada
dasarnya merupakan realisasi dari ”asas pencemar membayar ganti rugi”. Di
samping itu, pencemar dan perusak lingkungan hidup dapat dibebani oleh
hakim untuk melakukan tindakan tertentu, seperti:
a. Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan.
b. Memulihkan fungsi lingkungan hidup.
c. Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 34 tentang ganti rugi, dan Pasal 35 tentang
tanggung jawab pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, tercakup dua
segi perlindungan, yaitu perlindungan korban yang diderita oleh perorangan
dan perlindungan terhadap negara yang menjadi korban pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup. Ganti rugi terhadap korban dapat dibedakan
menjadi dua, yakni ganti rugi yang diberikan kepada korban yang dibayar
oleh pihak yang menyelenggarakan usaha dan atau kegiatan lingkungan
tersebut. Serta ganti rugi kepada negara dalam wujud melakukan tindakan
hukum tertentu sesuai perintah hukum yang ditetapkan oleh hakim.156
Terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup dapat pula dibebani
pembayaran atau uang paksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2)
yang menyatakan: Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan
pembayaran atau uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian
tindak tertentu tersebut.
156 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 130-131
95
Pembebanan uang paksa di bebankan atas setiap keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sanksi uang paksa ini
sebagai alternatif terhadap sanksi administratif (sanksi pengendalian
perbuatan terlarang).
Selain hak korban untuk menuntut ganti kerugian kepada individu
atau badan hukum atau penguasa yang melakukan pencemaran (right of
defense atau Abwehrfunktion), seseorang yang haknya atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat dilanggar, mempunyai pula hak untuk menuntut
diadakannya suatu tindakan agar lingkungannya pulih kembali (right of
performance / Leistungfunktion).
F. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Telekomunikasi merupakan salah satu sarana paling penting dalam
menunjang kemajuan pembangunan. Dengan alat komunikasi yng
memadai, kita dapat mempersingkat jarak dari berjuta-juta kilometer hingga
hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari tangan kita. Karena sifatnya
yang sangat penting itulah maka dunia telekomuniasi berkembang dengan
kecepatan yang luar biasa hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Tidak hanya menunjang kemajuan pembangunan, keberadaan sistem
telekomunikasi pun kini sudah menjadi komoditas perdagangan tersendiri.
Terutama sejak penandatanganan General Agreement on Trade and
Services (GATS) di Marakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994, yang
telah diratifikasi dengan Undang-undang No.7 tahun 1994, penyelenggaraan
telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
perdagangan global.157
Karena itulah, cara pandang masyarakatpun berubah terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi. Maka masyarakatpun mulai berlomba-
lomba untuk mengeksplorasi bidang-bidang telekomunikasi dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Keadaan inilah yang kemudian
157 Penjelasan Umum Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
96
membuat pemerintah merasakan perlu diadakannya suatu regulasi khusus
untuk mengatur permasalahan ini. Dengan berbekalkan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya158 dikuasai oleh negara, maka
pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.3 tahun 1989 tentang
Telekomunikasi yang kemudian digantikan oleh Undang-undang No. 36
tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Mengenai perlindungan korban kejahatan menurut Undang-undang
Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 15
yang berbunyi: Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara
telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang
dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara
telekomunikasi.
Atas kelalaian dan kesalahannya, Penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalainannya. Ketentuan
mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Tipe korban menurut ketentuan ini adalah Tertiary victimization, yaitu
korban masyarakat luas. Sedangkan asas perlindungan korban dalam
ketentuan ini adalah asas manfaat yang ditujukan bagi tercapainya
kemanfaatan (baik material maupun spiritual) bagi korban kejahatan dan
masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak
pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.
158 Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya diartikan juga termasuk udara serta spektrum frekwensi radio dan juga orbit satelit
97
G. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia
Penegakan hak asasi manusia baik di Indonesia maupun di dunia
internasional masih merupakan hal yang baru. Walaupun ada beberapa
traktat dan perjanjian internasional yang dapat dijumpai sebelum Perang
Dunia II, namun kepedulian dunia internasional terhadap penegakan Hak
Asasi Manusia baru mulai secara pasti pada saat lahirnya Piagam PBB pada
tahun 1945.
Lahirnya pengakuan terhadap hak asasi manusia berawal dari
revolusi Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Walaupun Magna Carta
(1215), sering dikatakan sebagai awal mula lahirnya hak asasi manusia,
namun sesungguhnya hanyalah merupakan kompromi pembagian
kekuasaan antara Raja John dan para bangsawannya.159
Hampir sama dengan pergolakan revolusi di Inggris, Amerika Serikat
juga mengalami hal yang sama. Hal ini ditandai dengan lahirnya Deklarasi
Kemerdekaan Amerika (1776) yang disusun oleh Thomas Jefferson.
Cita-cita tersebut sebelumnya dituangkan dalam bentuk Deklarasi
Hak Asasi Virginia (The Virginia Declaration of Rights). Akan tetapi baru
pada tahun 1791 Amerika Serikat mengadopsi The Bill of Rights yang
dilakukan dengan serangkaian amandemen terhadap konstitusi mereka.160
Meskipun sejarah perkembangan hak asasi manusia sudah dapat
ditelusuri sejak zaman dahulu, dan bahkan sudah terdapat pengakuan
internasional dengan Piagam PBB, Indonesia masih tergolong salah satu
negara yang paling akhir mengimplementasikan penegakan hak asasi
manusia, walaupun hak-hak tersebut sudah dicantumkan dalam Undang-
undang Dasar 1945.
159 Scott Davidson diterjemahkan oleh A. Hadayaka Pudjaatmamaka, Hak Asai Manusi: Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal.2 160 Ibid, hal. 5
98
Di dalam Undang-undang Dasar 1945 (sebelum dilakukannya
beberapa kali amandemen), jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia
dirumuskan dalam beberapa pasal, antara lain:
1. Pasal 27
1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu, dengan tidak ada kecuali.
2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak untuk diperlakukan
sama tanpa diskriminasi serta hak atas kesejahteraan
2. Pasal 28 yang menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak atas kebebasan pribadi
dan hak untuk berpendapat.
3. Pasal 29
1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak beragama.
4. Pasal 31
1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran
2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sati sistem
pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang.
99
Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak untuk mengembangkan
diri.
Selama pemerintahan Orde Baru, ditengarai banyak terjadi
berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mengakibatkan munculnya
kritikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Mengingat isu-isu Hak Asasi Manusia sering dijadikan sebagai alat
untuk menekan Indonesia di forum internasional, bahkan tidak sedikit
bantuan finasial yang akan diterima Indonesia terhambat karena Indonesia
dianggap tidak memberikan tempat bagi tumbuh suburnya Hak Asasi
Manusia, maka segera setelah era reformasi bergulir keluarlah Ketetapan
MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998, tanggal 13 Nopember 1998 tentang Hak
Asasi Manusia yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara
dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia kepada
seluruh masyarakat (Pasal 1). Disamping itu, menugaskan kepada Presiden
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk
meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 2).
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia memberikan penjelasan tentang Hak Asasi Manusia yaitu
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Sekalipun Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia sejak lahir sehingga eksistensinya harus
senantiasa dilindungi, dihormati, dipertahankan dan dihargai oleh siapapun,
namun dalam praktiknya tidak mudah untuk ditegakkan karena masih
100
banyak dijumpai bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang
sifatnya vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau
sebaliknya) maupun horizontal (antar warganegara dengan warga negara)
mulai dari yang sifatnya “kecil”, misalnya diskriminasi dalam memperoleh
pelayanan hukum dan pemerintahan, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda
Penduduk (KTP), di mana masih dijumpai adanya perlakuan diskriminatif
terhadap kelompok masyarakat tertentu (biaya pembuatan lebih tinggi,
persyaratan yang lebih rumit dibandingkan dengan kelompok lainnya, jangka
waktu pembuatan lebih lama, dan sebagainya) hingga pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang sifatnya “besar”, seperti, kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Timor Timur (menjelang berpisah dari Indonesia), dimana
banyak terjadi tindak kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa
dikalangan masyarakat tertentu yang diduga dilakukan oleh warga sipil
maupun aparat keamanan.
Di dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia, dikenal adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
yang meliputi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.161
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
di dalam kelompok; atau
161 Pasal 7 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
101
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.162
Kejahatan genosida pernah terjadi pada saat timbul konflik di wilayah bekas
Negara Yugoslavia. Dalam peristiwa tersebut diperkirakan 800.000 orang
telah menjadi korban. Atas terjadinya kejahatan tersebut, kemudian
Peradilan Internasional dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
827 Tahun 1993 tanggal 25 Mei 1993. Untuk mengadili para pelaku
kejahatan tersebut, Dewan Keamanan PB mengeluarkan Statute of the
International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious
Violations of International Humanitarian Law Commited in the Territory of the
Former Yugoslavia since 1991 (disingkat ICTY).
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum intenasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
162 Pasal 8 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
102
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara unuiversal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.163
Rujukan Internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity) adalah Statuta Roma yang disahkan pada tanggal
17 Juli 1998. Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan muncul kembali pada
tahun 1946, sebagai salah satu bentuk/kategori kejahatan di samping
Kejahatan Perang (war crimes) dan Kejahatan terhadap Perdamaian
(crimes against peace) yang berada di bawah yurisdiksi ICTN (International
Criminal Tribunal Nurenberg), untuk mengadili para enjahat perang tentara
NAZI Jerman.164
Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok,
Lampung, Timor Timur. Khusus untuk kasus Timor Timur telah selesai
diperiksa di pengadilan bahkan beberapa pelakunya telah dijatuhi hukuman
pidana dan pelaku lainnya memperoleh vonis bebas.
Secara teoretis, Undang-undang No. 29 Tahun 2000 mengakui
pentingnya aspek perlindungan korban dalam proses peradilan kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat
(1) yang menyebutkan setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak
asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari
163 Pasal 9 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 164 Joko Setiyono, Kebijakan Legislatif Indonesia, Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat, artikel dalam Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 129 Lebih lanjut Joko Setiyono menyatakan muncul pemahaman bahwa pemidanaan bagi para pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan mensyaratkan (nexus) adanya hubungan antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dengan Kejahatan Perang. Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan kembar siam (siamese twin) dari Kejahatan Perang.
103
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Namun
secara praktis, amanat tersebut masih jauh dari harapan, mengingat hingga
sekarang wujud perlindungan terhadap korban belum diatur secara khusus
dalam undang-undang.
Secara internasional, mekanisme perlindungan saksi dan korban
dalam proses peradilan kasus kejahatan HAM telah diakui. Statuta Roma
1998 yang merupakan landasan berdirinya International Criminal Court
(ICC)165 telah mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban
serta keikutsertaannya di dalam persidangan, khususnya Artikel 68. Begitu
pula, Mahkamah Pidana Internasional Ad-hoc untuk kejahatan HAM di
bekas negara Yugoslavia166 secara eksplisit telah menyebutkan perihal
perlindungan terhadap korban dan saksi, sebagaimana tercantum dalam
Article 22 Statute of The International Tribunal Yugoslavia yang
menyebutkan: The international Tribunal shall provide in its rules of
procedure and evidence for the protection of victims and witnesses. Such
protection measures shall include, but shall not be limited to, the conduct of
in camera proceedings and the protection of the victim’s identity. Hal yang
sama dapat dijumpai dalam Article 21 Statute of The International Tribunal
for Rwanda.167
Sekalipun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.
2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi
165 International Criminal Court dibentuk sebagai pengadilan pidana internasional yang permanen, menggantikan praktik pembentukan pengadilan internasional pidana khusus (ad hoc) yang sifatnya sementara. Pengadilan internasional ini dibentuk khusus untuk mengadili para pelaku yang didakwa melakukan kejahatan onternasional. Dengan dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional (ICC) diharapkan proses peradilan bagi pelaku kejahatan kemanusiaan yang berat dapat dilakukan dengan efektif, efisien, dan murah. 166 Peradilan Internasional untuk kejahatan HAM di bekas negara Yugoslavia (International Tribunal for The Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in The Territory of The Former Yugoslavia Since 1991 (ICTY) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 827 Tahun 1993 tanggal 25 Mei 1993, untuk menghukum para pelaku kejahatan perang, genosida dan kejahatan kemanusiaan, yang terjadi sejak 1 Januari 1991 di wilayah bekas Negara Yugoslavia. 167 Peradilan Internasional untuk mengadili pelaku utama kejahatan kemanusiaan dan kejahatan berat lainnya di Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) yang berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1994 hingga 31 Desember 1994, dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 955 Tahun 1994.
104
dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, namun isi dari peraturan
pemerintah tersebut belum dilengkapi dengan aturan mengenai prosedur
teknis pemberian perlindungan dan/atau pengaman saksi dan korban yang
baku. Akibatnya, perlindungan hukum kepada korban tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Misalnya, sejak bulan Februari 2002,
Pengadilan HAM mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan
kemanusiaan di Timor Leste. Bulan Mei 2002, persidangan kasus-kasus ini
sampai pada tahap pembuktian, yakni mendengarkan keterangan saksi dan
memeriksa alat bukti lainnya. Berdasarkan pengamatan, pengadilan sangat
timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan perlindungan saksi dan
korban selama persidangan. Sejak awal Juni 2002, setidaknya 3 orang saksi
korban atau keluarga korban yang batal hadir dengan alasan tidak adanya
jaminan keamanan bagi para saksi. Jika pun ada yang hadir dalam
persidangan, saksi mengalami kesulitan untuk memberikan keterangan
dengan leluasa karena persidangan dihadiri oleh jajaran pimpinan teras TNI
lengkap dengan seragam dan tongkat komandonya. Selain itu, pengunjung
sidang sering berteriak-teriak mencemooh selama saksi memberikan
keterangannya, sementara di luar pengadilan ada berbagai kelompok yang
berunjuk rasa.168
Mengenai hal ini, Harkristuti Harkrisnowo, berpendapat: dalam kasus
pelanggaran HAM yang berat seharusnya hak-hak korban dan saksi lebih
diperhatikan hal ini berkenaan dengan para tersangka yang umumnya
berasal dari kelompok yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan
memiliki akses pada senjata.169
Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi dapat diberikan
pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum dan
aparat keamanan dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban.
168 Tempo Interaktif, 17 Juni 2004 169 Harkristuti Harkrisnowo, Urgensi Pengaturan Perlindungan Korban dan Saksi, makalah disampaikan pada Roundtable Discussion, Jakarta, 2002, 54.
105
Permohonan perlindungan ini dapat ditujukan pada instansi-instansi
yang berbeda-beda pada setiap tingkatan, misalnya: dalam tingkatan
penyelidikan permohonan ditujukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, dalam tingkatan penyidikan dan penuntutan diajukan kepada
Kejaksaan, dan dalam tingkatan pemeriksaan ditujukan kepada Pengadilan.
Selain proses pemeriksaan terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat dilakukan melalui Pengadilan HAM sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 1 angka 3, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pun
dapat menjadi alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat yang
dilakukan di luar pengadilan, hanya saja pelanggaran HAM berat yang
dimaksud harus terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,170 sebagaimana diketahui
berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mempunyai tugas:
1. Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga
korban (ahli warisnya);
2. Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran berat HAM;
3. Memberi rekomendasi kepada Presiden dalam hal permohonan
amnesti;
4. Menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian
kompensasi dan/atau rehabilitasi;
5. Menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan
tugas dan wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya
kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan
kepada Mahkamah Agung.171
Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
mempunyai kewenangan:
170 Pasal 47 ayat (1) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 171 Pasal 6 Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
106
1. Melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, pelaku dan/atau
pihak lain di dalam maupun di luar negeri;
3. Meminta dan mendapatkan dokumen resmi dari instansi sipil atau
militer serta badan lain, baik yang ada di dalam maupun luar negeri;
4. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait, baik di dalam maupun di
luar negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi,
pelapor, pelaku, dan barang bukti;
5. Memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan
kesaksian;
6. Mumutuskan pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi; dan172
7. Menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti
apabila perkara sudah didaftar di Pengadilan Hak Asasi Manusia.173
Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada korban
adalah melalui pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksanaannya.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tidak dijelaskan
tentang bagaimana kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dimohonkan,
hanya disebutkan harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak (Pasal
2 ayat (2) PP. No. 2 Tahun 2002). Begitu pula, dalam peraturan pemerintah
ini tidak diatur perihal adanya beberapa hak yang penting bagi korban,
seperti hak relokasi, hak untuk mendapat informasi, hak untuk memperoleh
172 Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia memiliki 3 (tiga) sub Komisi, salah satunya adalah Subkomisi Kompensasi, Retitusi dan Rehabilitasi yang berwenang untuk: 1. Membuat pedoman pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban atau keluarganya (ahli waris) 2. Melakukan klarifikasi kepada korban dan memeriksa kelengkapan syarat-syarat permohonan dalam rangka pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban atau keluarganya (ahli waris) 3. Mengusulkan kepada Komisi bentuk-bentuk pemberian konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang bersifat umum untuk memulihkan hak dan martabat korban dan atau keluarganya (ahli waris). 173 Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
107
identitas baru yang sangat penting guna menghindarkan korban dari
berbagai bentuk ancaman.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang
Berat, dibentuk sebagai amanat dari Pasal 34 Undang-undang No. 26
Tahun 2000 yang menyatakan:
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan
secara cuma-sema.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban
dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah No.
2 Tahun 2002 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 meliputi:
a. perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari
ancaman fisik dan mental.
b. perahasiaan identitas korban atau saksi.
c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
H. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada anak-anak di
Indonesia mulai menuai sorotan keras dari berbagai kalangan pada saat
banyak stasiun televisi swasta menayangkannya secara vulgar pada
program kriminal, seperti: kasus perkosaan yang dilakukan oleh keluarga
korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi, perdagangan anak
untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersil hingga pembunuhan.
108
Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia dianggap
sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak.
Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat
membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung.
Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai
kritik dari berbagai elemen masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan
adalah sejauhmana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan
(hukum) pada anak sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas
kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi
manusia. Padahal, berdasarkan Pasal 20 Undang-undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.
Adanya kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak ditegaskan dalam Pasal 21
sampai Pasal 25 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yang meliputi kewajiban dan tanggung jawab:
1. menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental
(Pasal 21);
2. memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
3. menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang
secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi
penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
4. menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).
109
Hukum Internasional melalui pembentukan Konvensi Hak Anak
(Convention on the Right of the Children) telah memposisikan anak sebagai
subjek hukum yang memerlukan perlindungan atas hak-hak yang
dimilikinya. Negara-negara peserta konvensi (contracting parties) memiliki
kewajiban untuk menyepakati isi konvensi tersebut dan melaksanakannya,
terutama dalam hal jaminan terhadap kepentingan hak-hak anak.
Ada 31 (tiga puluh satu) hak anak yang disebutkan Konvensi Hak
Anak untuk diberikan perlindungan, diantaranya: Hak untuk mendapatkan
perlindungan khusus jika anak mengalami konflik dengan hukum, Hak untuk
mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi sebagai
pekerja anak, Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak
mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan, Hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum jika anak mengalami eksploitasi seksual
dan penyalahgunaan seksual, Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus
dari penculikan, penjualan dan perdagangan anak-anak.
Konvensi Hak Anak lahir berdasarkan beberapa prinsip, yaitu:
1. Prinsip Non diskriminasi
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Anak menyatakan: Negara-
negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan
dalam konvensi ini terhadap setiap anak dalam wilayah hukum mereka
tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun tanpa memandang ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa,
suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain
dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum.
2. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child)
Prinsip umum kedua dari Konvensi Hak Anak adalah yang terbaik bagi anak
(best interest of the child). Prinsip ini tergambar dalam Pasal 3 ayat (1) yang
menyatakan: Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta,
110
lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.
3. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak
Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak adalah sebuah
konsep hidup anak yang sangat strategis dan harus dipandang secara
menyeluruh demi masa depan anak itu sendiri.
Berangkat dari hal ini pulalah Konvensi Hak Anak memandang
pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup
dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa
”Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang
melekat atas kehidupan (inherent right to life)”, serta ayat (2) bahwa
“Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan
hidup dan perkembangan anak (survival and development of the child)”.
4. Menghargai pandangan anak
Prinsip ini merupakan prinsip dasar sekaligus landasan terkokoh bagi
interpretasi (penafsiran) serta pelaksanaan keseluruhan isi konvensi.
Artinya, setiap pandangan anak perlu diperhatikan dalam setiap
pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan anak. Itulah sebabnya, Pasal 12 ayat (1) konvensi
menyatakan bahwa “Negara-negara peserta akan menjamin bahwa anak-
anak yang memiliki pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk
menyatakan pandangan-pandangan mereka secara bebas dalam semua hal
yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai
dengan usia dan kematangan anak.
Dalam hukum nasional, perlindungan anak telah memperoleh dasar
pijakan yuridis di antaranya Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan
konstitusional serta Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
111
Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas
menyebutkan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, sedangkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif
tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk
memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi
Dalam Pasal 59 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan lembaga negara lainnya, untuk memberikan perlindungan
khusus kepada:
1. Anak dalam situasi darurat;
2. Anak yang berhadapan dengan hukum;
3. Anak dari kelom[pok minoritas dan terisolasi;
4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
5. Anak yang diperdagangkan;
6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza);
7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;
8. Anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental;
9. Anak yang menyandang cacat; dan
10. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Pasal
64 ayat (1) UU Perlindungan Anak, diarahkan pada anak-anak yang
berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Berdasarkan
112
Pasal 64 ayat (2) UU Perlindungan Anak, perlindungan bagi anak yang
berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak;
b. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
c. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini;
d. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum;
e. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga; dan
f. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
Sedangkan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban
tindak pidana dilaksanakan melalui :
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental, maupun sosial; dan
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Untuk anak-anak korban perdagangan manusia, mengingat
karakteristik kejahatannya sangat khas, maka perlu diberikan perlindungan
secara khusus, antara lain:
a. Perlindungan berkaitan dengan identitas diri korban, terutama selama
proses persidangan. Tujuan perlindungan ini adalah agar korban
terhindar dari berbagai ancaman atau intimidasi dari pelaku yang
mungkin terjadi selama proses persidangan berlangsung;
113
b. Jaminan keselamatan dari aparat berwenang. Korban harus diperlakukan
dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar keselamatannya
terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian;
c. Bantuan medis, psikolgis, hukum, dan sosial, terutama untuk
mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikan kepada
keluarga dan komunitasnya;
d. Kompensasi dan restitusi. Korban memperoleh kompensasi dan restitusi
karena penderitaan korban juga merupakan tanggung jawab negara.
Upaya perlindungan hukum terhadap anak perlu secara terus
menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak
mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu
bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya
memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-
orang yang berusia dewasa, mengingat setiap orang memiliki kedudukan
yang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu, negara bersama-sama dengan segenap anggota
masyarakat lainnya, perlu bahu membahu memberikan perlindungan yang
memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, agar anak
sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam
memasuki kehidupan yang semakin keras di masa-masa yang akan datang.
I. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Terorisme
Momentum pemberantasan terorisme semakin gencar dilakukan
segera setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001, pada saat gedung
pencakar langit, World Trade Center (WTC) New York, yang merupakan
salah satu gedung tertinggi di dunia sekaligus simbol adidaya Amerika
Serikat, hancur berantakan setelah ditabrak pesawat terbang komersial yang
dilakukan oleh para teroris.
114
Belum pulih keterkejutan masyarakat dunia dari serangan teror di
Gedung WTC, New York, dunia internasional dikejutkan dengan terjadinya
aksi peledakan bom di Legian, Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, yang
mengakibatkan korban jiwa lebih kurang 192 (seratus sembilan puluh dua)
orang, korban luka-luka sebanyak kurang lebih 161 (seratus enam puluh
satu) orang, menghancurkan bangunan Sari Club dan Paddy’s Pub dan
merusakan bangunan lainnya berjumlah kurang lebih 422 (empat ratus dua
puluh dua) unit dan atau merusak fasilitas publik atau fasilitas umum berupa
kerusakan jaringan telepon, listrik dan saluran air PDAM.174 Keterkejutan
semakin bertambah pada saat muncul tuduhan bahwa Indonesia disinyalir
sebagai salah satu bagian dari jaringan terorisme Internasional yang
memiliki hubungan dengan organisasi teroris internasional terkemuka, yaitu
Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Tragedi 11 September di Gedung WTC Amerika Serikat dan tragedi
12 Oktober di Legian Bali seakan mengingatkan akan adanya ancaman
terorisme terhadap perdamaian dan keamanan dunia yang bisa muncul
setiap saat tanpa dapat diprediksi. Terorisme bukan hanya kejahatan yang
mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu bangsa dan
negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat
internasional. Harmonisasi global dapat terkoyak karena bisa jadi masing-
masing negara saling mencurigai dan mengecam negara yang lain, karena
ada di antara tersangka atau pelakunya berasal dari negara tersebut.175
Aksi terorisme dapat terjadi kapanpun, dimanapun dan menimpa
siapapun tanpa pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi
terorisme sangat besar. Indriyanto Seno Adjie menyatakan: terorisme sudah
menjadi bagian dari extra ordinary crimes yang berarti suatu kejahatan
kekerasan yang berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan
174 Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus peledakan bom di Legian Bali dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan. 175 Abdul Hamid, et, al, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 13
115
kekerasan lainnya yang sering disebut kejahatan kebiadaban dalam era
keberadaban karena kejahatan itu mengorbankan manusia/orang-orang
yang tidak berdosa.176
Setelah terjadinya peristiwa peledakan Bom Bali I tahun 2002, muncul
desakan pada pemerintah agar segera menyusun peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme, karena selama ini ketentuan yang dipergunakan untuk
menjerat para pelaku peledakan bom adalah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Mengingat kondisi saat itu sangat mendesak, sementara untuk
menyusun undang-undang memerlukan waktu yang relatif lama, maka
pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Dalam perkembangan berikutnya, Perpu No.1 Tahun 2001 telah
diubah menjadi Undang-undang No. 15 Tahun 2003.
Sebagaimana diketahui bersama, aksi-aksi terorisme yang selama ini
terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban,
mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, warga sipil hingga aparat
keamanan, bahkan dalam beberapa peristiwa peledakan bom, korban harus
mengalami cacat seumur hidup serta gangguan psikis lainnya yang sifatnya
menahun. Oleh karena itu, guna mengurangi dan/atau memulihkan keadaan
korban (keluarganya), maka perlu diupayakan bentuk-bentuk perlindungan
yang sifatnya komprehensif.
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme memberikan pengaturan tentang perlindungan korban dan
ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme. Bentuk perlindungan yang
diberikan meliputi pemberian kompensasi atau restitusi, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 36 ayat (1) bahwa setiap korban atau ahli warisnya
176 Kompas, 29 Oktober 2002
116
akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau
restitusi.
Kompensasi, pembiayaannya dibebankan kepada negara yang
dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan restitusi merupakan ganti
kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya177. Patut
disayangkan, sampai sekarang belum ada lembaga pemerintah yang secara
khusus dibentuk untuk menjalankan tugas dalam mengelola masalah ini.
Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi kepada
korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari welfare
state, yang mana pemerintah berkewajiban untuk memberikan
kesejahteraan bagi warga negaranya, dan apabila negara tidak mampu
untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya (dalam hal ini
melindungi warga negaranya dari aksi-aski terorisme), maka pemerintah
harus bertanggungjawab untuk memulihkannya.
J. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia.
Dalam keluarga manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain.
Karena itulah, umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam
lingkungan keluarga.
Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna
menumbuh kembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam
kenyataannya keluarga seringkali menjadi wadah bagi munculnya berbagai
kasus penyimpangan atau aktivitas illegal lain, sehingga menimbulkan
kesengsaraan atau penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga satu
terhadap anggota keluarga lainnya, seperti penganiayaan, pemerkosaan,
177 menurut Penjelasan Pasal 36 ayat (3) yang dimaksud dengan “ahli waris” adalah ayah, ibu, istri/suami, dan anak
117
pembunuhan. Situasi inilah yang lajim disebut dengan istilah Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.178
Pada umumnya, dalam struktur kekerabatan di Indonesia, kaum laki-
laki ditempatkan pada posisi dominan, yakni sebagai kepala keluarga,
sehingga bukan hal yang aneh apabila kemudian anggota keluarga lainnya
menjadi sangat tergantung kepada kaum laki-laki.
Posisi laki-laki yang demikian superior seringkali menyebabkan
dirinya menjadi sangat berkuasa ditengah-tengah lingkungan keluarga.
Bahkan, pada saat laki-laki melakukan berbagai penyimpangan (kekerasan)
terhadap anggota keluarga lainnya (misalnya: anak, isteri) tidak ada
seorangpun dapat menghalanginya. Lebih parah lagi, perilaku laki-laki
tersebut dianggap sebagai hak istimewa (privilege) yang secara kodrati
melekat pada diri laki-laki (kepala keluarga).
Adanya sikap tradisional bahwa perempuan dianggap sebagai
subordinasi laki-laki, pembakuan peran-peran stereotipe, disertai dengan
sikap tradisional perempuan seperti kebergantungan sosial dan ekonomi
pada suami dan keluarga serta rasa takut dan keengganan perempuan
korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan, merupakan sebab-sebab
utama di antara sekian sebab lainnya yang menyebabkan bahwa tindak
kekerasan dalam rumah tangga tidak terungkap atau tidak di atasi.179
Sekalipun kaum laki-laki terkesan aktor yang paling banyak
melakukan kekerasan dalam rumah tangga, namun tidak berarti kekerasan
dalam rumah tangga tidak pernah dilakukan oleh kaum wanita (ibu)
terhadap anggota keluarga lainnya. 178 Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mendefinisikan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 179 Achie Sudiarti Luhulima dan Kunthi Tridewiyanti, Pola Tingkah Laku Sosial Budaya dan Kekeradan Terhadap Perempuan, makalah pada Pelatihan Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Suatu Tinjauan Hukum), diselenggarakan oleh Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, Jakarta, 27-29 September 1999.
118
Kekerasan dalam rumah tangga tidak melulu harus diartikan dalam
bentuk tindakan fisik (memukul, menjambak), termasuk juga kekerasan
dalam bentuk psikis, seperti terus menerus ditekan atau dipojokkan oleh
keluarganya. Bahkan suatu bentakan atau kata-kata kasar atau memelototi,
sudah dianggap sebagai bentuk kekerasan.
Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-undang No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan
dalam rumah tangga dapat berwujud:
a. kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat;180
b. kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan/atau penderiotaan psikis berat pada
seseorang;181
c. kekerasan seksual yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu;182
d. penelataran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
180 Pasal 6 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 181 Pasal 7 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 182 Pasal 8 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
119
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.183
Adat istiadat memegang peranan yang cukup penting dalam
memunculkan aksi-aksi kekerasan dalam rumah tangga. Dalam banyak
budaya di Indonesia, lajim ditekankan bahwa istri harus menurut kepada
suami seperti halnya anak harus selalu menurut kepada orang tua atau
orang yang lebih tua daripada mereka. Ketika hal ini tidak terpenuhi, aksi
kekerasanlah yang menjadi pelampiasannya, seperti memukul, mencubit
atau menjewer (anak).
Dalam praktiknya, kasus-kasus kekerasan dalan rumah tangga
banyak terjadi ditengah-tengah keluarga, melebihi data resmi yang
dikeluarkan oleh beberapa lembaga baik pemerintah maupun swasta.
Banyak faktor yang menyebabkan korban kekerasan dalam rumah
tangga tidak melaporkan penderitaan yang menimpanya, antara lain:
Pertama, si pelaku dengan si korban memiliki hubungan keluarga atau
hubungan karena perkawinan. Hal ini biasanya menyulitkan karena
keengganan korban untuk melaporkan mengenai apa yang telah terjadi
kepada mereka. Pemikiran yang juga ikut mendasari alasan ini adalah rasa
takut pada diri si korban karena si pelaku biasanya tinggal satu atap dengan
meraka sehingga apabila korban mengadukan apa yang telah terjadi
kepadanya pada pihak yang berwajib, si korban akan mendapatkan
perlakuan yang lebih parah dari di pelaku ketika korban pulang atau ketika
mereka bertemu kembali.
Kedua, keengganan korban mengadukan kekerasan yang telah
menimpanya dapat juga disebabkan masih dipertahankannya pola pikir
bahwa apa yang terjadi di dalam keluarga, sekalipun itu perbuatan-
perbuatan kekerasan, sepenuhnya merupakan permasalahan rumah
tangga pribadi, sehingga melaporkan hal tersebut atau bahkan hanya
membicarakannya saja, sudah dianggap membuka aib keluarga. 183 Pasal 9 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
120
Ketiga, kurang percayanya masyarakat kepada sistem hukum
Indonesia, sehingga mereka tidak memiliki pegangan atau kepastian bahwa
mereka akan berhasil keluar dari cengkeraman si pelaku. Sebelum lahirnya
Undang-undang mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ada banyak
laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak dilanjutkan ketahap
penyidikan dengan alasan pelaku dan korban pelapor tinggal seatap
sehingga hanya dianggap sebagai perselisihan atau percekcokan rumah
tangga biasa.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, adanya non-reporting of crime
dalam kasus tindak kekerasan merupakan suatu fenomena universal, yang
dijumpai juga di negara-negara lain. Adanya non-reporting ini disebabkan
hal, antara lain:
(a) si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya, baik
secara fisik, psikologis maupun sosiologis;
(b) si korban merasa berkewajiban melindungi nama baik keluarganya,
terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri;
(c) si korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini
belum tentu dapat membuat dipidananya pelaku;
(d) si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa
cemar yang lebih tinggi lagi pada dirinya (misalnya melalui publikasi
media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yang dirasanya
membuat makin terluka);
(e) si korban khawatir akan retaliasi atau pembalasan dari pelaku
(terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya);
(f) lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban, membuatnya
enggan melapor;
(g) keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan
mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum;
121
(h) ketaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinya
merupakan suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan.184
Setelah keluarnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diundangkan pada
tanggal 22 September Tahun 2004, muncul kesadaran dari korban untuk
melaporkan ke pihak berwajib apabila terjadi aksi kekerasan dalam rumah
tangga.
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud
dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau
ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga185. Korban menurut
undang-undang ini adalah socially weak victims yaitu mereka yang memiliki
kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami
penderitaan/kerugian yang sangat beragam, seperti materiil, fisik, maupun
psikis, sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus
beragam pula.
Tidak sedikit korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami
penderitaan secara beruntun pada waktu bersamaan. Karena itu, guna
mengurangi beban penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam
184 Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan Terjadap Perempuan, makalah pada Pelatihan Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Suatu Tinjauan Hukum), diselenggarakan oleh Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, Jakarta, 27-29 September 1999. Selanjutnya, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, tidak dilaporkannya atau tidak diprosesnya tindak kekerasan terhadap perempuan membawa konsekwensi bahwa pelaku masih bebas berkeliaran di masyarakat, dengan kemungkinan ia akan mengulangi lagi kejahatan, baik terhadap korban pertama itu sendiri (yang dapat sajja merupakan pembalasan dendam) maupun terhadap potential victims yang lain. 185 Yang dimaksud dengan lingkup Rumah Tangga meliputi: a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
122
rumah tangga, undang-undang memberikan hak kepada korban kekerasan
dalam rumah tangga, untuk mendapatkan:186
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga mengatur tentang perlindungan
sementara yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian
dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat
penting untuk segera diberikan pada korban karena jikalau korban harus
menunggu turunnya penetapan pengadilan yang berisikan perintah
perlindungan, dikhawatirkan prosesnya lama sementara korban
membutuhkan perlindungan dalam waktu relatif cepat.
Perlindungan sementara wajib segera diberikan oleh kepolisian
kepada korban dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak mengetahui atau menerima laporan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga dan pemberian perlindungan sementara ini diberikan kepada korban
paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
Agar perlindungan sementara ini dapat segera dinaikkan “statusnya”
menjadi perlindungan, maka dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
186 Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
123
jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Apabila korban kekerasan dalam rumah tangga memperoleh
perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan, maka berdasarkan Pasal
21 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tenaga kesehatan harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti.
Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pekerja sosial
yang akan memberikan pelayanan kepada korban diharuskan untuk:
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial
yang dibutuhkan korban.
Untuk pelayanan yang sifatnya rohani, berdasarkan Pasal 24
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, pembimbing rohani diharuskan untuk memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan
taqwa kepada korban.
124
Khusus untuk upaya pemulihan korban, pelayanan yang diberikan
dapat diperoleh dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping;
dan/atau pembimbing rohani.
Pemberitahuan perihal perkembangan kasus yang sedang ditangani
oleh kepolisian kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku, juga merupakan wujud dari pemberian
perlindungan kepada korban, sekalipun seringkali tindakan ini oleh korban
dianggap hanya suatu pelayanan rutin dari pihak kepolisian.
Langkah ini penting untuk dilakukan guna menghindarkan adanya
upaya dari pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk menghentikan proses
pemeriksaan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, apabila pelaku tindak pidana
karena alasan-alasan tertentu ditangguhkan penahanannya, upaya
pemberitahuan kepada korban atau keluarganya mengenai adanya
penangguhan penahanan sangat penting untuk dilakukan, salah satunya
untuk menjamin keamanan dari korban itu sendiri.
Sebagai perbandingan, di negara bagian New South Wales, Australia,
setiap korban kejahatan memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang
penyidikan polisi mengenai kejahatan yang dilakukan terhadap korban,
penuntutan terhadap terdakwa, dan proses pengadilannya lewat Polisi atau
Kantor Jaksa Penuntut Umum. Informasi ini dapat diperoleh korban atau
keluarganya, kecuali apabila informasi yang dimaksud dapat mengakibatkan
terhambatnya/kesulitan pada jalannya perkara. Begitu pula, informasi akan
segera diberikan oleh pihak kepolisian apabila pelaku kejahatan akan
dikeluarkan dari tahanan untuk sementara waktu (penangguhan) atau
apabila pelaku melarikan diri (buron) dari tahanan. 187
Untuk hal yang terakhir ini sangat wajar apabila korban diberitahukan,
guna menghindarkan adanya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap korban
kejahatan, seperti upaya balas dendam dari pelaku kejahatan.
187 Upaya pihak kepolisian untuk memberitahuan kepada korban atau keluarganya perihal akan dikeluarkannya pelaku dari tahanan untuk sementara waktu telah banyak dilakukan oleh pihak Polri
125
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan,
khususnya yang dialami oleh wanita dan anak-anak, di beberapa kantor
kepolisian resort telah dibentuk suatu unit penanganan terhadap kejahatan
yang menimpa wanita dan anak-anak, yang disebut dengan Ruang
Pelayanan Khusus (RPK). Kasus-kasus yang biasanya ditangani oleh unit
Ruang Pelayan Khusus ini adalah pemerkosaan, penganiayaan di
lingkungan keluarga, pelecehan seksual (kejahatan kesusilaan).
Ide pembentukan Ruang Pelayanan Khusus ini adalah berawal dari
adanya kekhawatiran dari aparat kepolisian, bahwa korban (wanita dan
anak-anak) yang telah mengalami tindakan kekerasan tidak bersedia untuk
memberikan keterangan berkaitan dengan kekerasan yang menimpa dirinya
karena proses pemeriksaan dilakukan ditempat terbuka seperti yang
dilakukan pada korban-korban kejahatan lainnya, sedangkan pada kasus
yang menimpa korban (wanita dan anak-anak) faktor kerahasiaan sangat
penting untuk tetap dijaga (menyangkut aspek privacy dari korban).
Akibatnya, dengan munculnya rasa enggan dari korban untuk melaporkan
kejahatan/tindak pidana yang menimpa dirinya, akan berdampak pada
sulitnya aparat kepolisian dalam mengungkap kasus kekerasan dalam
rumah tangga (domestic violence).
Oleh karena itu, guna menghindarkan munculnya berbagai kendala
dalam pemeriksaan pada korban kejahatan sekaligus sebagai salah satu
upaya perlindungan hukum bagi korban, khususnya yang menimpa wanita
dan anak-anak, maka dibentuklah Ruang Pelayanan Khusus.188
Dalam melaksanakan tugasnya, anggota kepolisian wanita ini dibantu
oleh petugas yang berasal dari rumah sakit, atau lembaga swadaya
masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah korban kekerasan
dalam rumah tangga. Dalam pelayanan ini, pihak rumah sakit dilibatkan 188 Anggota kepolisian yang ditempatkan pada Ruang Pelayanan Khusus berasal dari anggota polisi wanita (polwan) yang telah memperoleh berbagai pelatihan khusus berkaitan dengan masalah-masalah keluarga. Dengan ditempatkannya anggota polwan dalam pemeriksaan ini diharapkan kendala komunikasi antara korban dan aparat kepolisian dapat dikurangi.
126
khususnya apabila korban mengalami kekerasan secara fisik (seksual)
sehingga memerlukan perawatan secara khusus.
Pada umumnya antara institusi kepolisian (khususnya di tingkat
lepolisian Ressort) telah dibuat suatu Memorandum of Understanding (MoU)
dengan pihak Rumah Sakit Umum setempat menyangkut penanganan
kasus-kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, bahkan dalam
salah satu butir kesepakatan disebutkan apabila korban (wanita atau anak-
anak) tidak melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya ke pihak
kepolisian, tetapi hanya sekedar memeriksakan kondisi fisiknya ke rumah
sakit, maka pihak rumah sakit dapat melaporkan kekerasan yang menimpa
korban ke pihak kepolisian atau laporan korban ke pihak rumah sakit (pada
saat korban memeriksa kondisi kesehatannya), dianggap sebagai laporan
ke kepolisian, akibatnya pihak kepolisian dapat melakukan penyelidikan
lanjutan.
Upaya ini dilakukan karena sering ditemukan pihak korban menolak
untuk melaporkan kekerasan/kejahatan yang menimpa dirinya pada pihak
yang berwajib, baik disebabkan perasaan takut maupun perasaan malu.
Hal yang lain yang menunjukkan adanya perlindungan terhadap
korban kejahatan, khususnya dalam kaitan dengan kekerasan dalam rumah
tangga adalah adanya suatu kesepakatan antara pihak kepolisian dengan
pihak rumah sakit untuk senantiasa memprioritaskan pemeriksaan dan
perawatan pasien korban kejahatan dalam runah tangga pada saat korban
di bawa ke rumah sakit.
Dengan telah diberikannya berbagai bentuk perlindungan pada
korban kekerasan dalam rumah tangga, diharapkan segala bentuk
kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga secara perlahan dapat
dihapuskan.
K. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran
127
Ditengah gencarnya upaya pemerintah dalam mendukung
peningkatan sumber daya manusia, khususnya melalui sektor kesehatan,
ternyata masih sering dijumpai adanya bentuk-bentuk pemberian pelayanan
kesehatan masyarakat yang belum memadai, baik diberikan oleh
pemerintah maupun swasta. Padahal, berbagai kebijakan pemerintah yang
mengatur tentang pentingnya masyarakat memperoleh pelayanan
kesehatan yang memadai, termasuk di dalamnya perlindungan masyarakat
yang menjadi korban kesalahan pelayanan medis (malpraktik), telah banyak
dikeluarkan, seperti tertuang dalam konsideran menimbang huruf b.
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang
dengan tegas menyatakan bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia
harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan
kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan
kesehatan189 yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Berkaitan dengan kasus malpraktik,190 akhir-akhir ini dunia
kedokteran banyak memperoleh sorotan “negatif” dari berbagai elemen
masyarakat, mengingat banyaknya berita yang memuat terjadinya
malpraktik yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya. Sebagai mana
pernah dilansir sebuah media elektronik yang menyebutkan keluarga Darwin
Lubis, telah melaporkan dua orang dokter Rumah Sakit Fatmawati yang
telah mengoperasi anaknya. Kedua dokter itu adalah dr. Lukti Gatam dan
Prof. Dr. Subroto Sapardan. Menurut dia, pada September 1999 anak
perempuannya, Celli Wine Carlina menjalani operasi di RS Fatmawati.
“Dokter menganalisa anak saya terkena penyakit scoliosos,” kata Darwis.
189 Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 190 Istilah “Medical malpractice” menurut Black Law Dictionary adalah “unskillfull management or treatment, particularly applied to the neglact unskillfull management of a physician, surgeon or apothecacy, sedangkan World Medical Association/WMA memberikan definisi mengenai malpraktek sebagai berikut: “Medical malpractice involves the physicion’s failure to conform to the standard of care for treatment of a patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.
128
Saat itu, korban Celli yang masih berumur 16 tahun, tulang belakangnya
dipasangi kurang lebih 12 mur dengan panjang 30 sentimeter. Korban
sempat dirawat sebulan untuk persiapan dan sebulan lagi untuk pemulihan.
Awalnya, menurut Darwis, kondisi Celli telah normal seperti orang-orang
pada umumnya. Namun, kelainan mulai tampak pada tahun 2000. “Saya
tanya ke dokter kenapa (tulang punggung) anak saya bengkok. Dokter
hanya menjawab karena bergeser, “jelas Darwis. Akan tetapi tidak ada
penanganan dari pihak rumah sakit. Darwis kemudian membawa anaknya
ke tukang pres (pembuat alat penahan tulang agar tidak berubah setelah
dioperasi), tetapi Hadi tukang pres tersebut, mengatakan sudah terlambat
melakukan pres terhadap Celli. Darwis mengaku mendatangi Prof dr.
Subroto Sapardan untuk melaporkan kondisi putrinya. Namun, menurut
Darwis, dokter tersebut menjawab, “potong aja bagian yang menonjol itu,”
paparnya. Akibat dari kejadian ini, Darwis dan putrinya dengan didampingi
kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum, melaporkan kedua dokter
tersebut ke Polda Metro Jaya. Kedua dokter itu bisa dikenai pelanggaran
terhadap Pasal 360 tentang kelalaian yang menyebabkan cacat.191
Sebenarnya, peristiwa malpraktik tidak hanya terjadi Indonesia. Di
beberapa negara baik yang maju, terlebih negara berkembang kasus ini
sering terjadi. Di India, dengan tingkat pelayanan kesehatan sedikit lebih
baik dari Indonesia, pernah terjadi peristiwa malpraktik yang menimpa
seorang pria yang mengalami kecelakaan lalu lintas, sehingga salah satu
kakinya remuk dan harus diamputasi. Tetapi bukan kaki yang remuk
tersebut yang diamputasi oleh dokter, melainkan kaki sebelahnya yang
masih sehat dan tidak mengalami gangguan.
Secara umum, munculnya sengketa antara dokter dan pasien
(sengketa medik) lebih banyak diakibatkan adanya ketidakpuasan dari diri
pasien/keluarganya terhadap pelayanan yang diberikan oleh dokter atau
tenaga kesehatan. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan adanya dugaan
191 Tempo Interaktif, 18 Pebruari 2005
129
kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi yang menyebabkan
kerugian dipihak pasien.
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
pengertian sengketa medik tidak dinyatakan secara eksplisit. Berbeda
dengan undang-undang Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, yang menyebutkan bahwa sengketa medik adalah
sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan
dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktek kedokteran. Dengan
demikian, sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara
pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini
pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan.
Karakteristik sengketa yang dapat timbul antara dokter dengan pasien
meliputi:
1. Sengketa terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien.
2. Objek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.
3. Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa adalah pasien, baik
kerugian berupa luka/cacat, maupun kematian.
4. Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya dugaan
kelalaian/kesalahan dari dokter yang disebut dengan malpraktik medik.
Istilah malpraktik dalam hukum kedokteran mengandung arti praktik
dokter yang buruk atau melakukan tindakan medik yang salah, atau ia
tidak/tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the
patient by giving not or not enough care to the patient), 192 sedangkan World
Medical Association/WMA memberikan menyebutkan Medical malpractice
involves the physicion’s failure to conform to the standard of care for
treatment of a patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing
care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.
192Fred Amelyn, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Grafikatama Jaya, Cet I, 1991, hlm. 83.
130
Hukum kedokteran mengenal empat unsur malpraktek medik yaitu193:
1. Adanya kewajiban yang harus dilaksanakan;
2. Adanya penyimpangan kewajiban;
3. Terjadinya kerugian;
4. Terbuktinya direct casual relationship (berkaitan langsung) antara
pelanggaran kewajiiban dengan kerugian.
Hubungan antara dokter dan pasien yang selama ini dibangun atas
dasar kepercayaan (trust fiduciary relationship) sedikit demi sedikit telah
berubah menjadi suatu hubungan yang dilandasi pada tindakan mekanis,
sehingga dokter memandang pasien tidak lagi sebagai mitra namun sekedar
obyek yang harus disembuhkan layaknya mesin rusak yang harus
diperbaiki.
Setiap orang yang akan memperoleh pelayanan kesehatan (pasien),
pada dasarnya mengharapkan beberapa hal dari pelayan kesehatan (dokter
atau rumah sakit), yaitu:194
a. Reliability (Kehandalan): Pemberi pelayanan yang dijanjikan dengan
segera dan memuaskan;
b. Responsiveness (daya tanggap): membantu dan memberikan
pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan unsur SARA (Suku,
Agama, Ras dan Golongan ) pasien;
c. Assurance (jaminan): Jaminan keamanan, keselamatan,
kenyamanan;
d. Emphaty (empati): komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan
konsumen/pasien.
Namun akibat kurang terciptanya komunikasi yang mendalam antara
dokter dan pasien pada saat melakukan pemeriksaan/pengobatan, sehingga
193Ibid. 194 MedikKonsumen, 20 Oktober 2004
131
mengakibatkan munculnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan
pemberian obat yang mengakibatkan pasien menderita.
Hukum di Indonesia telah mengeluarkan seperangkat peraturan
perundang-undangan yang pada intinya hendak memberikan perlindungan
hukum kepada korban (pasien) malpraktik guna terciptanya kepastian
hukum dan keseimbangan hukum bagi dokter dan pasien, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Praktik Kedokteran yang
menegaskan perihal tujuan dari pengaturan praktik kedokteran yaitu untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien.
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Jaminan terhadap pasien yang dirugikan akibat kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya (malpraktik) diberikan
dengan adanya tanggung jawab hukum dari dokter.
Pasien korban malpraktik dapat mengajukan gugatan terhadap
tindakan dokter yang dinilai melakukan malpraktik medis. Gugatan dapat
diajukan secara perdata maupun pidana.
Apabila mengacu pada berbagai perundang-undangan yang ada,
bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pasien
korban malpraktik dapat dirinci sebagai berikut, di antaranya:
1. Perlindungan hukum dalam bentuk gugatan perdata
Gugatan perdata terhadap dokter dapat dilakukan oleh pasien korban
malpraktik atas dasar wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur
dalam Pasal 1239 KUHPerdata atau berdasarkan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
132
Pertanggungjawaban hukum perdata pada dasarnya bertujuan untuk
memberikan kompensasi /ganti rugi kepada pasien atas kerugian yang
dideritanya disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan.
Dasar gugatan wanprestasi yang dilakukan oleh dokter tentunya
harus mengacu pada adanya suatu hubungan hukum antara dokter dengan
pasien berdasarkan kontrak terapeutik. Dalam gugatan ini korban harus
dapat membuktikan telah terjadinya pemberikan pelayanan kesehatan yang
tidak patut dengan menyalahi tujuan kontrak terapeutik, sehingga pasien
menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.
Dalam gugatan malpraktik, korban pada umumnya akan mengajukan
berbagai tuntutan. Tuntutan yang banyak diajukan oleh pasien korban
malpraktik adalah tuntutan ganti kerugian.
Ilmu hukum memberi kriteria mengenai ganti rugi yang dirumuskan
sebagai berikut195:
a. Pada asasnya, ganti rugi hanya diwajibkan kalau pada saat terjadinya
perbuatan melawan hukum, yang menjadi dasar pertanggungjawaban
ganti rugi tersebut dengan memperhatikan kadar kemungkinan yang
dapat diduga merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut.
b. Kewajiban untuk membayar ganti rugi hanya meliputi ganti rugi pada
waktu melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperhatikan
kadar kemungkinannya merupakan akibat perbuatan melawan hukum.
2. Perlindungan hukum dalam bentuk Gugatan Pidana
Dalam hukum pidana, hilangnya nyawa seseorang bukan merupakan
delik aduan, tetapi delik biasa. Ada perbedaan penting antara tindak pidana
biasa dengan tindak pidana medik. Pada tindak pidana biasa yang terutama
diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan dalam tindakan medik yang
195Bahder Johan Nasution, hlm. 67-68.
133
penting adalah causa/penyebabnya. Walaupun akibatnya fatal, tetapi
apabila tidak ada unsur kesalahan atau kelalaian maka dokter tidak dapat
dipersalahkan.
Apabila terdapat unsur kesengajaan dari dokter sehingga
menimbulkan kerugian bagi pasien, maka dokter bertanggung jawab secara
pidana. Dalam suatu tindakan medis yang merugikan pasien, untuk
membuktikan adanya unsur kesengajaan sangat sulit karena dalam setiap
tindakan medis telah terdapat resiko yang memang melekat pada tindakan
medis tersebut dan kemungkinannya telah diperhitungkan sebelumnya.
Dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
maka ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka,
tidak lagi hanya mengacu pada ketentuan Pasal 359, Pasal 360, dan Pasal
361 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, karena di dalam Undang-undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah dirumuskan ancaman
pidananya. Ancaman tersebut dimuat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf (a) UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang menyebutkan “.......barang
siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan
pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (4), “........ dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan
atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah.”
Ketentuan yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat (4) di atas, bermaksud
untuk melindungi pasien dari tindakan dokter yang tidak mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk melakukan perawatan sehingga
menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pasien. Pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut diancam dengan hukuman pidana sesuai dengan
maksud Pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, apabila pasien
menderita cacat hukumannya ditambah seperempat dan apabila meninggal
dunia hukumannya ditambah sepertiganya.
134
Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada pasien
korban malpraktik selain melalui cara-cara di atas dapat pula diberikan
dalam bentuk rehabilitasi. Rehabilitasi ini biasanya dilakukan terhadap
pasien yang mengalami cacat sementara sehingga melalui upaya
rehabilitasi ini diharapkan pasien memperoleh derajat kesehatan yang
optimal.
Di samping itu, pembebasan dari biaya perawatan kesehatan
seringkali dapat dipakai sebagai salah satu perwujudan dari perlindungan
hukum terhadap korban yang dilakukan di luar proses pengadilan.
L. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-
undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan
korban, akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan
diberlakukan.
Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih harus
dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan,196 namun berlakunya undang-
undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban
kejahatan.
Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur
perlindungan korban kejahatan (dan saksi) untuk segera disusun, dengan
jelas dapat dilihat pada bagian menimbang dari undang-undang ini, yang
antara lain menyebutkan: penegak hukum sering mengalami kesukaran
dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang
196 Beberapa ketentuan yang masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanannya, di antaranya: pengaturan tentang Pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Susunan panitan seleksi, Kedudukan, susunan, organisasi, tugas dan tanggung jawab Sekretariat LPSK; Tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK,
135
dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau
korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak
tertentu. Padahal, kita ketahui bahwa peran saksi (korban) dalam suatu
proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Bukan hal yang aneh apabila di Indonesia, tindakan teror atau
ancaman, baik fisik maupun psikis banyak menimpa orang-orang yang akan
memberikan kesaksian dalam suatu proses peradilan pidana, terlebih
apabila kesaksian yang akan diberikan dapat memberatkan orang yang
dituduh melakukan tindak pidana.
Dalam suatu proses peradilan pidana saksi (korban) memegang
peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil, tidak
berlebihan apabila dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi
ditempatkan pada urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan tentunya
harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut
sebelum, pada saat dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting
untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan
benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan
(pressure) dari pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan dengan pengertian dari
saksi itu sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 26 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang
suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
(huruf miring dari penulis).
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut pengertian korban
dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya
secara fisik atau mental atau ekonomi saja tetapi bisa juga kombinasi di
antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006, yang menyebutkan korban adalah seseorang yang
136
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, mengatur
beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapatkan identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh pennggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l. mendapatkan nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak
pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penjelasan dari Pasal 5 ayat (2)
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”, antara
lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak
pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi
dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
137
Jelaslah, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006, tidak setiap saksi atau korban yang memberikan
keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana, secara
otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam undang-
undang ini.
Khusus untuk korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, tidak hanya
berhak atas perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5, tetapi
juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi
psiko-sosial, yaitu bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban
yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulkihkan
kembali kondisi kejiwaan korban (Penjelasan Pasal 6 huruf b).
Dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak
menutup kemungkinan bagi korban untuk menuntut hak atas kompensasi
dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat (1))
Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi atau korban
dalam suatu proses peradilan pidana, meliputi:
a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat
perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah ada ijin dari hakim (Pasal
9 ayat (1)).197
b. Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung
jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi
dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
197 Kesaksian tanpa kehadiran saksi atau korban secara fisik di pengadilan dapat
diberikan baik secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dengan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksiannya maupun secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
138
(LPSK). Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri dan berkedudukan
di ibu kota Negara Republik Indonesia, namun memiliki perwakilan di daerah
sesuai dengan keperluan.
Anggota LPSK terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur
professional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan,
pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia,
kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.
135
Bagian 4
IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Prinsip-prinsip Dasar Perlindungan Korban Kejahatan
Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan
hidupnya apabila ia berada bersama-sama dengan manusia lainnya,
sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia itu sebagai
mahluk sosial.
Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial tentunya membawa
konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara
manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan
melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa di antara
mereka terkandung adanya hak dan kewajiban.
Karena itu, keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya
masing-masing, tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat
sehingga dapat mempertahankan hak serta kewajibannya secara mutlak,
melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum
pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat, dan hidup terikat oleh
masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu
timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus
diselaraskan dengan kepentingan umum masyarakat pula.193
Manusia dilahirkan ke muka bumi dengan membawa hak-hak dasar
yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau lajim disebut dengan hak asasi
manusia. Hak asasi manusia diberikan kepada setiap individu di dunia
tanpa memandang suku, ras, warna kulit, asal usul, golongan dan
perbedaan-perbedaan lainnya. Hak ini tidak akan pernah lepas dan selalu
melekat seumur hidup. 193 St. Harum Pudjiarto, RS, Hak Asasi Manusia, Kajian Filosofis dan Implemetasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, UAJ Yogyakarta, 1999, hlm. 3
136
Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu,
sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai dan dilindungi, di
antaranya melalui berbagai produk perundang-undangan.
Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu
membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap
hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang
dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya
maupun oleh pemerintah.
Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan
bahwa Indonesia adalah negara hukum (rectstaat) dan bukan negara
kekuasan (machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai negara hukum
(rechtstaat) ada berbagai konsekwensi yang melekat padanya,
sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa konsepsi
rechtstaat maupun konsepsi the rule of law, menempatkan hak asasi
manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara yang disebut rechtstaat
atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu negara demokrasi
pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia merupakan
salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.194
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat perihal
perlindungan hak asasi manusia telah banyak disusun, baik dalam
perundang-undangan nasional maupun internasional, di antaranya: dalam
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-
undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, Declaration of Human Rights, Convention on The
Elimination of Violence Against Women (1993).
194 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 21
137
Sebelum keluarnya beberapa perundang-undangan nasional yang
mengatur tentang Hak Asasi Manusia, sebenarnya bangsa Indonesia sudah
memahami pentingnya perlindungan hak asasi manusia. Pengalaman
dijajah selama 350 tahun oleh pemerintah kolonial Belanda serta 3,5 tahun
oleh Jepang, menjadi bukti beratnya penderitaan yang harus ditanggung
oleh penduduk yang hak asasinya diinjak-injak oleh penjajah.
Pada masa penjajahan, harga diri sebagai manusia dengan
berbagai atribut kemanusiaannya tidak lagi memiliki arti. Kebebasan
berpendapat dihambat, adanya perlakuan diskriminatif dalam memperoleh
kesempatan bekerja dan berusaha, terbatasnya kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, terlebih semuanya dilakukan di tanah air sendiri.
Pada masa penjajahan banyak lahir berbagai pergerakan
kemerdekaan, baik yang bersifat kedaerahan maupun nasional, dengan
tujuan sama yaitu membebaskan diri dari penindasan kaum penjajah.
Berbagai pergerakan ini sebenarnya merupakan bentuk pembelajaran
perihal bagaimanakah sejatinya hak asasi manusia harus dilindungi.
Karena itulah, ketika pada akhirnya Bangsa Indonesia dapat
memperoleh kemerdekaannya, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, di
dalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional,
dicantumkan berbagai wujud pengakuan terhadap eksistensi hak asasi
manusia, seperti hak untuk mengemukakan pendapat, hak untuk
memperoleh pendidikan, hak untuk memeluk agama, hak untuk
memperoleh kesamaan di hadapan hukum.
Atas dasar pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan
pemberian/anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak seorang pun atau
lembaga apapun, yang dapat mencabut/mengurangi hak asasi seseorang
terkecuali ada alasan yang dapat dibenarkan, misalnya undang-undang
membolehkan atau memerintahkan. Seorang hakim menjatuhkan vonis
pidana mati kepada seseorang karena yang bersangkutan melakukan suatu
tindak pidana tertentu. Vonis hakim yang menjatuhkan pidana mati pada
138
terdakwa pada hakikatnya merupakan suatu bentuk pencabutan/peniadaan
hak asasi seseorang, dalam hal ini hak untuk hidup. Namun, karena
tindakan hakim didasarkan pada perintah undang-undang, maka tindakan
hakim tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Begitu pula, pada saat
seorang dokter melakukan tindakan aborsi terhadap pasiennya atas dasar
pertimbangan medis atau pertimbangan lain yang dibenarkan oleh undang-
undang, maka tindakan dokter tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran
hak asasi manusia.
Apabila memperhatikan kehidupan nyata, apa yang diharapkan
sangat berbeda dengan kenyataan. Kita sering menyaksikan bagaimana hak
asasi manusia seseorang dilanggar, baik oleh perorangan, kelompok
maupun negara. Akibat terjadinya pelanggaran tentu mengakibatkan
munculnya ketidakseimbangan dalam diri korban (keluarganya), seperti
ketidakseimbangan dari aspek finansial, apabila korban adalah kepala
keluarga dan tumpuan hidup keluarga, aspek fisik yang mengakibatkan
korban berhenti beraktivitas, aspek psikis, yang berwujud munculnya
kegoncangan/ketidakstabilan psikis baik temporer maupun permanen dari
korban. Karena itu, untuk menyeimbangkan kondisi korban (keluarga)
sehingga dapat pulih kembali pada keadaan semula, maka harus ditempuh
berbagai upaya pemulihan, seperti pemulihan secara finansial, medis,
psikis.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya
upaya preventif maupun represif yang dilakukan baik oleh masyarakat
maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat
membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis maupun hukum
secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap
pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari
perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang. Disinilah
dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan (keluarganya)
memperoleh perlindungan.
139
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya
menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat
dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: Korban kejahatan perlu
dilindungi karena Pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud
sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust).
Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam
struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna
penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum
pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai
sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya
argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh
dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan
melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika
terdapat korban kejahatan, maka negara harus memperhatikan kebutuhan
korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak.
Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu
tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian
konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.195
Apabila konsep Hak Asasi Manusia dipandang sebagai hak hukum,
maka mempunyai 2 (dua) konsekwensi normatif, yaitu:
1. Kewajiban bagi penanggung jawab (pihak yang dibebani kewajiban)
untuk menghormati/tidak melanggar hak atau memenuhi klaim yang
timbul dari hak; dan
2. Reparasi jika kewajiban tersebut dilanggar/tidak dipenuhi.196
195 Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: sebagaimana dimuat dalam kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang, 1997, hlm. 172 196 Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 29, selanjutnya menurut Titon, dengan mengutip dari Ian Brownlie, Priciples of Public International Law, London: Oxford dan ELBS,
140
Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban
kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan,
maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa
teori, di antaranya:
a. Teori utilitas, yang menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar
bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada
korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan
kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak
diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan tetapi
juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan;
b. Teori tanggung jawab, pada hakikatnya subyek hukum (orang maupun
kelompok) adalah bertanggung jawab terhadap segala perbuatan
hukum yang dilakukannya, sehingga apabila seseorang melakukan
suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita
kerugian (dalam arti luas), maka orang tersebut harus bertanggung
jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang
membebaskannya.
c. Teori ganti kerugian, sebagai perwujudan tanggung jawab karena
kesalahannya terhadap orang lain, maka pelaku tindak pidana dibebani
kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli
warisnya.
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,
terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian, karena
dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik
hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan
pidana.197
1987, hal. 457, konsep reparasi dalam sistem tanggung gugat internasional mengacu pada semua tindakan yang penggugat harapkan supaya dilakukan oleh negara tergugat dalam bentuk, antara lain: kompensasi (compensation), restitusi (restitution), permintaan maaf, hukuman terhadap individu yang bertanggung jawab, pengambilan langkah-langkah untuk mencegah terulangnya pelanggaran, dan berbagai bentuk satisfaksi (satisfaction) yang lain. 197Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 50
141
Adapun asas-asas yang dimaksud adalah:
a. asas manfaat, artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi
tercapainya kemanfaatan (baik material maupun spiritual) bagi korban
kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas,
khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta
menciptakan ketertiban masyarakat;
b. asas keadilan, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi
korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh
rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan;
c. asas keseimbangan, oleh karena tujuan hukum di samping
memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan
manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat
yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in
integrum), maka asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting
dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
d. asas kepastian hukum, asas ini dapat memberikan dasar pijakan
hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban
kejahatan. Untuk memperoleh dasar pijakan yuridis yang memadai,
penulis berpendapat bahwa konsep pemberian perlindungan hukum
pada korban kejahatan sebaiknya ditambahkan dalam Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum (Acara) Pidana atau bila memungkinkan
dibentuk sebuah undang-undang baru yang secara khusus mengatur
tentang perlindungan korban kejahatan (secara umum).198
198 Selama ini pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan diatur tersebar di beberapa perundang-undangan, sehingga perlindungan korban kejahatan hanya berlaku secara khusus pada tindak pidana/kejahatan tertentu dan tidak dapat diterapkan untuk korban kejahatan pada tindak pidana yang berbeda. Misalnya pengaturan tentang Restitusi dan Kompensasi yang terdapat dalam Undang-undang Terorisme tidak dapat diterapkan untuk korban kejahatan dalam tindak pindana/kejahatan Hak Asasi Manusia.
142
B. Bentuk-bentuk Perlindungan Korban Kejahatan
Setiap terjadi kejahatan, mulai dari kejahatan ringan sampai dengan
kejahatan berat, pastilah korban akan mengalami penderitaan, baik yang
bersifat materiil maupun imateriil. Penderitaan yang dialami oleh korban dan
keluarganya tentu tidak akan berakhir dengan ditangkap dan diadilinya
pelaku kejahatan, terlebih apabila penderitaan itu berakibat korban
menderita cacat seumur hidup atau meninggal dunia.
Apabila pelaku kejahatan masih hidup dan dapat diadili, maka korban
masih dapat mengharapkan dalam bentuk penerimaan ganti rugi dari pelaku
(apabila dalam amar putusannya, hakim memerintahkan pelaku untuk
membayar ganti rugi kepada korban atau keluarganya). Namun, yang
menjadi pertanyaan bagaimanakah perlindungan terhadap korban kejahatan
dapat diberikan apabila pelaku kejahatan karena berbagai alasan telah
meninggal dunia, siapakah yang akan menanggung kerugian yang dialami
oleh korban dan keluarganya?
Masalah ini tentunya bukanlah hal yang mudah untuk ditemukan jalan
keluarnya, mengingat sistem hukum di Indonesia belum secara
komprehensif mengatur perlindungan bagi korban kejahatan.
Secara teoretis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan
dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada
penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk
kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam
bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya
pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita
kerugian secara materiil (seperti, harta bendanya hilang) pelayanan yang
sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan
yang pernah terjadi, maka ada beberapa bentuk perlindungan terhadap
korban kejahatan yang lajim diberikan, antara lain:
1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi
143
Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power
memberikan penjelasan berkaitan dengan Restitution sebagai berikut:
Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where
appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants.
Such restitution should include the return of property or payment for the
harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the
victimization, the provision of services and the restoration of rights.
Penjelasan Pasal 35 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 memberikan
pengertian kompensasi yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara,
karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi yaitu: Ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Restitusi dapat berupa:
a. Pengembalian harta milik;
b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau
c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Pengertian kompensasi dalam Penjelasan Pasal 35 dari Undang-
undang No. 26 Tahun 2000 memiliki kemiripan dengan pengertian dalam
Basic Principles of Justice for victim of Crime and Abuse of Power, yang
menyatakan: When compensation is not fully available from the offender or
other sources, States should endeavour to provide financial compensation.
Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan istilah yang dalam
penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun
menurut Stephen Schafer, perbedaan atara kedua istilah itu adalah bahwa
kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan
korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk
pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the
society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan
144
pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud
pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender).199
Lebih lanjut Schafer menyatakan terdapat lima sistem pemberian
restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan:
a. ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui
proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban
dari proses pidana;
b. kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses
pidana;
c. restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana,
diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap
bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya.
Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda
kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban
yang bernilai uang” (monetary obligation) yang dikenakan kepada
terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban
di samping pidana yang seharusnya diberikan;
d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana
dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini
kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun
diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan
lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau
menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan
kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah
gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah
terjadinya kejahatan200.
Sampai sekarang di Indonesia belum ada suatu lembaga yang secara
khusus menangani masalah pemberian kompensasi tehadap korban
199 Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968, hal.112 200 op.cit., hlm. 105-109
145
kejahatan, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju. Contoh, di
Amerika Serikat ada suatu lembaga yang bernama The Crime Victim’s
Compensation Board, lembaga ini dibentuk untuk menangani pemberian
bantuan finansial kepada korban kejahatan berupa penggantian biaya
pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan, dan sebagainya.
Adanya lembaga semacam The Crime Victim’s Compensation Board
sangat diperlukan guna membantu korban kejahatan yang menderita
kerugian secara finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu
membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat menderitanya
korban akibat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran
ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem
pemberian ganti kerugian dilaksanakan dengan sederhana dan singkat
sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila
jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan pembayaran ganti
kerugian ini membutuhkan waktu yang lama dikhawatirkan konsep
perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan
terabaikan.
2. Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai
akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak
pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan
kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti
pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan.
Sebagai contoh dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga
atau kasus pemerkosaan yang menimbulkan trauma yang berkepanjangan
pada korban, pada umumnya korban menderita secara fisik, mental dan
sosial. Selain menderita secara fisik, korban juga mengalami tekanan secara
batin misalnya karena merasa dirinya kotor, berdosa, dan tidak punya masa
depan lagi. Lebih parah lagi sering kali ditemukan korban perkosaan
146
memperoleh pengucilan dari masyarakat karena dianggap membawa aib
bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dengan memperhatikan kondisi
korban seperti di atas, tentunya bentuk pendampingan atau bantuan
(konseling) yang sifatnya psikis relatif lebih cocok diberikan kepada korban
dari pada hanya ganti kerugian dalam bentuk uang.
Dibeberapa negara bantuan disediakan oleh negara atau lembaga
independen yang mempunyai kegiatan khusus dalam menangani korban-
korban kejahatan.
Di Jakarta sekarang ini telah dibentuk suatu Lembaga Swadaya
Masyarakat yang mengkhususkan aktivitasnya di bidang pemberdayaan
dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan yaitu Mitra Perempuan,
sedangkan di Yogyakarta terdapat Rifka Annisa Womens Crisis Centre.
Rifka Annisa Womens Crisis Centre, menyediakan berbagai layanan untuk
membantu korban kekerasan dalam rumah tangga seperti home visit,
mediasi, konseling medis, shelter, dan support group. Home visit merupakan
layanan berupa kunjungan ke rumah oleh pendamping dari Rifka Annisa
apabila korban tidak memungkinkan untuk ke luar rumah. Kemudian,
mediasi adalah layanan untuk menjembatani penyelesaian masalah yang
terjadi antara korban dan pelaku yang dilakukan oleh Rifka Annisa, dengan
catatan apabila hal tersebut diminta oleh korban. Selanjutnya, konseling
medis dilakukan apabila korban mengalami siksaan fisik sehingga perlu
penanganan tenaga medis. Shelter merupakan tempat khusus yang
disediakan oleh Rifka Annisa untuk meindungi korban apabila lkeselamatan
jiwa korban terancam. Kemudian, support group adalah forum berbagi
pengalaman dari pada korban untuk saling mendukung. 201
3. Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu
tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan
kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang 201 Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 85
147
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis
ini diperlukan terutama apabila kejahatan yang menimpa korban sampai
pada tingkat pemeriksaan di pengadilan.
4. Bantuan Hukum
Merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan.
Di Indonesia bantuan ini lebih banyak diberikan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), misalnya pada kasus Trisakti 1998, kasus Tanjung Priok,
dan sebagainya. Penggunaan bantuan hukum yang disediakan oleh
pemerintah jarang dipergunakan oleh korban kejahatan, karena masih
banyak masyarakat yang meragukan kredibilitas bantuan hukum yang
disediakan oleh pemerintah.
Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah
diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting
untuk dilakukan mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari
sebagian besar korban yang menderita kekerasan ini. Sikap membiarkan
korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat
berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan.
5. Pemberian informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan
dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami
oleh korban. Pemberian informasi ini memegang peranan yang sangat
penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat
kepolisian, karena melalui informasi inilah diharapkan fungsi kontrol
masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian dalam
memberikan informasi kepada korban atau keluarganya adalah melalui
pembuatan web sites di beberapa kantor kepolisian yang di dalamnya tersaji
secara lengkap kegiatan kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun
operasional. Begitu pula, pemberitahuan tentang perkembangan penyidikan
suatu tindak pidana dan informasi tentang penemuan benda-benda hasil
148
tindak pidana (seperti kendaraan bermotor yang dicuri) dapat dimasukan
dalam kelompok ini.
Di atas semuanya yang terpenting adalah segera dibentuk lembaga
perlindungan korban kejahatan sebagaimana yang telah banyak dilakukan di
negara-negara maju. Melalui lembaga ini diharapkan perlindungan terhadap
korban kejahatan akan lebih memadai, guna mendukung terciptanya proses
penegakan hukum yang fair. Lembaga ini hendaknya dibangun berdasarkan
perspektif korban dengan menjadikan faktor keamanan sebagai prioritas,
mengingat dalam kenyataannya, faktor ini sering menjadi penghambat bagi
korban untuk memberikan kesaksian atas terjadinya suatu tindak pidana.
C. Faktor penyebab Korban Kejahatan Belum Memperoleh
Perlindungan secara Memadai
Apabila memperhatikan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan pada dasarnya
sudah diberikan pada saat pelaku (tersangka) ditangkap atau ditahan, yaitu
dalam bentuk pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum
(pendampingan selama dalam pemeriksaan) bahkan dengan
diperlihatkannya surat tugas serta surat perintah penangkapan yang di
dalamnya mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
dilakukannya penangkapan serta uraian singkat kejahatan yang
disangkakan kepada pelaku/tersangka, maka pemberian perlindungan
hukum kepada tersangka/pelaku sudah mulai diberikan.
Pemberian perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan tidaklah
berhenti setelah selesainya pemeriksaan terhadap pelaku di tingkat
penyidikan, tetapi masih terus diberikan sampai dengan diperiksa dan
diadilinya pelaku/tersangka di pengadilan, yang diwujudkan dalam bentuk
kesempatan untuk mengajukan pembelaan yang dapat dilakukan oleh
pelaku sendiri maupun diwakili oleh kuasa hukumnya, diberikannya hak
kepada pelaku/tersangka untuk mengajukan berbagai upaya hukum (seperti:
149
banding, kasasi, dan peninjauan kembali) atas suatu putusan pengadilan,
dan sebagainya.
Jelaslah, dengan memperhatikan beberapa contoh perlindungan
hukum yang diberikan pada pelaku kejahatan/tindak pidana selama proses
pemeriksaan sampai dengan divonisnya tersangka, memunculkan kesan
bahwa perlindungan terhadap pelaku kejahatan memperoleh porsi lebih
besar dibandingkan dengan korban kejahatan.
Apabila diperhatikan secara lebih komprehensif, muncul kesan bahwa
korban kejahatan belum memperoleh perlindungan yang memadai,
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
1. Faktor Undang-Undang
Keberadaan suatu perundang-undangan dalam suatu sistem hukum
merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya suatu tertib
hukum, karena untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya undang-undang,
terlebih lagi undang-undang merupakan sumber hukum yang terutama, yang
mana kaidah-kaidah hukum yang banyak itu memang berasal dari
pengundang-undang, yang menuliskan hukum dalam berbagai undang-
undang dan membukukannya dalam kitab undang-undang.202
Banyak contoh dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat,
bagaimana praktik penegakan hukum menjadi tidak berdaya disebabkan
undang-undang yang seharusnya menjadi landasan yuridis belum terbentuk.
Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh ketidakberdayaan penegakan
hukum akibat belum terbentuknya undang-undang adalah perkara tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa Tjandra Sugiono terhadap PT. Mustika
Ratu, berkaitan dengan penggunaan nama domain Mustika Ratu oleh
terdakwa atau lajim disebut kasus Mustika Ratu. com.203
202 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 147 203 Kasus persengketaan antara Tjandra Sugiono dan PT. Mustika Ratu diawali dengan pendaftaran nama domain Mustika Ratu ke Network Solution Inc, di Amerika Serikat. Pada saat itu Tjandra Sugiono menjabat Manajer Umum Pemasaran Internasional PT. Martina
150
Dalam kasus ini sangat jelas terlihat, bagaimana ketiadaan undang-
undang yang khusus mengatur mengenai kejahatan Internet (cybercrime)
mengakibatkan kesukaran bagi jaksa penuntut umum untuk menjerat
terdakwa. Untuk menghindarkan terdakwa lolos dari dakwaan, jaksa
penuntut umum harus menjeratnya dengan pasal-pasal yang biasa
dipergunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana/kejahatan konvensional.
Akibatnya, hukuman pidana yang dijatuhakn kepada terdakwa tidak
maksimal.
Kondisi yang hampir serupa terjadi pula pada upaya pemberian
perlindungan terhadap korban kejahatan. Sampai sekarang Indonesia belum
memiliki perangkat undang-undang yang khusus mengatur mengenai
perlindungan terhadap korban kejahatan.
Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan korban
kejahatan yang selama ini ada masih bersifat parsial dan keberadaannya
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga hanya
berlaku bagi kejahatan-kejahatan tertentu. Sebagai contoh adalah Pasal 35
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang memberikan hak
kepada korban atau ahli warisnya untuk memperoleh Kompensasi, Restitusi
dan Rehabilitasi, berkaitan dengan penderitaan yang dialaminya sebagai
akibat terjadinya tindak pidana terorisme.
Pemberian hak kepada korban atau ahli warisnya sebagaimana
diatur dalam undang-undang di atas tentu tidak dapat diterapkan pada
kejahatan-kejahatan lain, seperti kejahatan konvensional (street crime)
padahal akibat yang diderita oleh korban kejahatan (apapun jenis
kejahatannya) adalah sama yaitu timbulnya kerugian baik yang sifatnya
materiil maupun immateriil.
Bertho, produsen jamu dan kosmetika Sari Ayu, yang tidak lain adalah pesaing PT. Mustika Ratu dalam industri jamu dan kosmetika. Oleh karena itu, dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa telah melakukan suatu bentuk persaingan curang.
151
Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila pemberian perlindungan
pada korban kejahatan selama ini menghadapi kendala akibat ketiadaan
undang-undang.
Di samping, faktor ketiadaan undang-undang yang menjadi faktor
penyebab belum terlidunginya korban kejahatan, ternyata ketersediaan
undang-undang pun belum menjamin terlindunginya korban, mengingat
dalam praktiknya amanat undang-undang tentang perlindungan korban
kejahatan belum didukung dengan peraturan pelaksanaannya.
2. Kesadaran Hukum Korban
Dalam penerapan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,
khususnya korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence),
banyak dijumpai korban atau keluarganya menolak untuk melaporkan
kekerasan yang menimpanya dengan berbagai alasan, seperti takut adanya
ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan
menimbulkan aib bagi korban maupun keluarganya. Padahal dari segi
yuridis sikap pembiaran ini dapat merugikan korban sendiri, berupa
penderitaan yang berkepanjangan. Begitu pula, tiadanya laporan atau
pengaduan dari korban atau keluarganya akan membuat proses peradilan
pidana terhadap pelaku kekerasan tidak akan berjalan. Hal yang sama
dapat ditemukan pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,
di mana pada saat korban (keluarga) akan memberikan laporan pengaduan
pada pihak berwajib atau akan bersaksi di pengadilan, ancaman dan teror
baik fisik maupun psikis, kerap menyelimuti korban dan keluarganya, yang
pada akhirnya menyebabkan korban (keluarga) enggan untuk
melaporkannya atau bersaksi.
Khusus untuk kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga, sikap
pembiaran terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akan
berdampak pada munculnya sikap yang memandang kekerasan dalam
rumah tangga merupakan kondisi yang wajar dihadapi dalam rumah tangga
sehingga pihak lain tidak perlu ikut campur tangan di dalamnya.
152
Sekalipun aparat penegak hukum (kepolisian) telah mengupayakan
berbagai cara guna mengatasi kendala ini, seperti dengan dibentuknya
Ruang Pelayanan Khusus, di hampir setiap kepolisian ressor (Polres), atau
menjalin kerjasama dengan pihak rumak sakit, tetapi jumlah korban
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melapor ke pihak kepolisian
tetap sedikit, walaupun dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah
tangga ini semakin hari semakin menunjukkan angka peningkatan.
Hal serupa ditemui pada kejahatan-kejahatan lainnya, seperti
penganiayaan, pencurian, dan sebagainya. Munculnya perasaan takut
terjadi upaya balas dendam dari pelaku menjadi penyebab korban tidak
mau melapor ke pihak kepolisian, terlebih apabila pelaku sudah memberikan
biaya ganti kerugian kepada korban atau keluarganya, maka perkara
dianggap sudah selesai.
3. Fasilitas Pendukung
Kurangnya sarana dan prasarana pendukung dalam upaya perlindungan
korban kejahatan yang paling nyata dirasakan adalah pada perlindungan
korban akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagai contoh:
untuk dapat memenuhi standar minimal suatu Ruang Pelayanan Khusus,
perlu adanya beberapa fasilitas pendukung, seperti:
a. ruangan pelayanan khusus ini letaknya harus terpisah dari ruang
pemeriksaan yang biasa dipergunakan untuk pemeriksaan
kejahatan-kejahatan pada umumnya, sekalipun letaknya masih
dalam kompleks kantor kepolisian setempat;
b. ruangan pelayanan khusus harus terasa nyaman dan familiar,
tidak seperti ruangan pemeriksaan untuk kejahatan-kejahatan
pada umumnya, sehingga pada saat korban diperiksa atau
dimintai keterangan oleh petugas tidak seperti sedang diperiksa di
kantor polisi melainkan seperti di rumahnya sendiri;
153
c. harus memiliki ruangan relaksasi yang dapat dipergunakan oleh
korban untuk beristirahat guna memulihkan kondisi fisik dan
mentalnya, sehingga pada tahap berikutnya korban siap untuk
dimintai keterangan berkaitan dengan kekerasan yang menimpa
dirinya.
Dalam kasus narkotika, kendala belum tersedianya sarana prasarana yang
memadai juga sering terjadi. Pada saat korban akan mengikuti program
rehabilitasi, di samping masih sedikitnya pusat-pusat rehabilitasi, sarana
prasarana pendukung yang representatif pun belum tersedia secara
memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sehingga tidak
berlebihan apabila sekarang banyak muncul pusat-pusat rehabilitasi yang
menawarkan pengobatan secara alternatif.
4. Sumber Daya Manusia
Keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun
kualitas turut mempengaruhi kualitas pemberian perlindungan hukum
terhadap korban kejahatan. Sebagai contoh di lingkungan institusi
kepolisian, terdapatnya kesenjangan yang sangat lebar antara aparat
kepolisian dengan masyarakat berdampak pula pada kualitas pelayanan
yang diberikan oleh aparat kepolisian kepada korban, apalagi jumlah
personil ini dikaitkan dengan jumlah (kuantitas) personil polisi wanita.
Masalah kurangnya personil polisi wanita dinyatakan pula oleh
Satjipto Rahardjo, dengan mengutip pernyataan dari Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia: kekuatan Polwan apabila dibandingkan
dengan kebutuhan tugas Kepolisian Republik Indonesia baik di bidang
operasional maupun pengembangan relatif masih dirasakan kurang,
khususnya dalam rangka penugasan-penugasan yang memerlukan
pendekatan secara kejiwaan/sosio-psikologis.204 (huruf miring dari penulis)
204 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas 2002, hlm. 109
154
Di samping jumlah personil yang masih kurang, dari segi kualitas
(keahlian) dirasakan masih memprihatinkan, hal ini dapat diperhatikan pada
kualitas aparat polisi wanita yang ditugaskan pada unit Ruang Pelayanan
Khusus (RPK), sangat jarang anggota polisi wanita yang memiliki kualifikasi
sebagai dokter atau psikiater/psikolog, yang ditempatkan pada unit ini.
Oleh karena itu, salah satu upaya yang ditempuh untuk mengatasi
kendala ini adalah dengan mengirimkan anggota polisi wanita untuk ikut
terlibat dalam berbagai bentuk pelatihan atau keterampilan berkaitan
dengan masalah-masalah keluarga/rumah tangga, seperti pelatihan tentang
pemberdayaan perempuan, psikologi pekembangan anak, kekerasan dalam
rumah tangga, dan sebagainya.
D. Penerapan Perlindungan Korban Kejahatan di Indonesia
Pada bagian ini penulis akan memberikan gambaran beberapa putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, mulai dari putusan
pengadilan tingkat pertama hingga ke tingkat kasasi (Mahkamah Agung),
berkaitan dengan kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Narkotika,
Kekerasan terhadap Anak, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan
Malpraktik.
Hasil dari penggambaran ini selanjutnya akan dianalisis untuk
mengetahui sejauhmana putusan pengadilan telah mencantumkan upaya
perlindungan hukum kepada korban.
1. Perlindungan Korban dalam kasus Tindak Pidana Lingkungan
Hidup
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 122/Pid/B/19088/PN. Sda, tanggal
6 Mei 1989 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1479.K/Pid/1989 tanggal 20
Maret 1993 perihal kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan
oleh Oei Ling Gwat alias Bambang Gunawan, Direktur PT. Sidomakmur dan
PT. Sidomulyo.
155
Kasus posisinya sebagai berikut::
Oei Ling Gwat (Bambang) adalah seorang pengusaha yang juga
Direktur Perusahaan Makanan Tahu dengan nama PT. Sidomakmur. Di
samping itu ia juga pengusaha dibidang peternakan Babi dengan nama PT.
Sidomulyo. Kedua perusahaan ini berlokasi pada satu areal tanah yang
terletak di Krian, Sidoarjo, Jawa Timur.
Makanan tahu yang diproduksi oleh PT. Sidomakmur tersebut
menggunakan bahan baku kacang kedelai yang diolah sedemikian. Air kotor
limbah dalam proses produksi makanan tahu tersebut, dialirkan ke tempat
bak penampungan/septitank, yang kemudian dialirkan keluar melalui
selokan dan dibuang ke Kali Surabaya.
Demikian pula peternakan 250 ekor babi yang diusahakan oleh Oei
Ling Gwat. Pabrik mengambil dan menyedot air dari Kali Surabaya. Air ini
dipergunakan untuk memandikan 250 ekor babi dan membersihkan kotoran
ternak babi yang ada di kandangnya. Air kotor limbah ini lalu dialirkan
melalui selokan dan dibuang ke Kali Surabaya.
Air kotor limbah dari sisa produksi makanan tahu dan air kotor dari
peternakan babi tersebut, yang karena bak penampungannya (septitank)
terlalu kecil, sehingga tidak dapat menampung air kotor limbah tersebut.
Akibatnya, air kotor meluap dan langsung mengalir keluar menuju ke Kali
Surabaya.
Pemerintah Daerah memperingatkan Perusahaan milik Oei Ling Gwat
atas mengalirnya air limbah ke Kali Surabaya. Perbaikan telah dilakukan
oleh perusahaan tersebut.
Pada saat itu, Juni 1988, perusahaan menugaskan karyawannya
untuk mengambil sample air kotor limbah produksi perusahaan untuk dibawa
ke Balai Penelitian dan Pengembangan Kanwil Departemen Perindustrian di
Surabaya. Hasil uji Laboratorium dari BPP Kanwil Perindustrian
menunjukkan bahwa air kotor limbah dari pabrik mengandung:
156
a. B.O.D = Biological Oxigen Demand = 17,34 mg/l.
b. C.O.D = Chemical Oxigen Demand = 68,58 mg/l.
Keduanya masih di bawah ambang batas pencemaran.
Sebulan kemudian, Tim Khusus KPPLH mengadakan pemantauan ke
Kali Surabaya. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengeluh karena air
kali sulit diproses menjadi air bersih (air minum) di Surabaya dan ikan di Kali
mati semua.
Pada Juli 1998, saat itu juga diadakan pemeriksaan di pabrik
makanan tahu dan peternakan babi milik Oei Ling Gwat. Para petugas
KPPLH mengambil sample kotor (limbah) dari kedua perusahaan ini untuk
diteliti di laboratorium KPPLH. Hasil penelitian air limbah dari kedua
perusahaan tersebut, sebagai berikut:
a. B.O.D = 462,3 mg/l.
b. C.O.D = 1802,9 mg/l.
Angka ini melebihi ambang batas yang diizinkan, sehingga
ikan/kehidupan di Kali Surabaya menjadi mati dan air kali tidak dapat
diproses menjadi air minum.
Berpegang pada hasil penelitian laboratorium KPPLH ini, selanjutnya
dipakai sebagai bukti untuk mengadakan penuntutan pidana terhadap
pemilik perusahaan PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo.
Jaksa Penuntut Umum mengajukan pemilik kedua perusahaan, yaitu
Pabrik makanan tahu dan Peternakan babi, ke Pengadilan Negeri Sidoarjo
Jawa Timur dengan dakwaan sebagai berikut:
1. Dakwaan Primair, ex Pasal 22 (1) Undang-undang No. 4 Tahun
1982 tentang Lingkungan Hidup ”Dengan sengaja melakukan
perbuatan yang menyebabkan rusaknya Lingkungan Hidup atau
tercamarnya Lingkungan Hidup, yaitu:
157
a. Terdakwa sebagai Pengusaha/Direktur PT. Sidomakmur
yang memproduksi makanan tahu, sengaja membuang
limbah tahu ke Kali Surabaya yang menganduing B.O.D
3095 mg/l dan C.O.D 12293 mg/l;
b. Terdakwa sebagai Pengusaha/Direktur PT. Sidomulyo yang
mengusahakan peternakan 250 ekor babi, dengan sengaja
membuang air kotor, limbah kotoran babi ke Kali
Surabaya, yang mengandung kadar B.O.D = 462,3 mg/l
dan C.O.D = 1802,9 mg/l
Pembuangan air kotor limbah tersebut mengakibatkan
menurunnya kwalitas air Kali Surabaya yang menyebabkan pula
air kali tersebut kekurangan oxygen, sehingga matinya kehidupan
dalam air kali, serta sulit diproses menjadi air bersih (air minum)
yang dibuat oleh PDAM untuk kebutuhan minum masyarakat luas.
2. Dakwaan Subsidair, ex Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No. 4
Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, yaitu Karena kelalaiannya
telah menyebabkan rusaknya Lingkungan Hidup atau tercemarnya
Lingkungan Hidup dengan cara-cara seperti yang diuraikan dalam
Dakwaan Primair di atas.
Jaksa Penuntut Umum dalam requisitoirnya mengajukan tuntutan hukum,
agar Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 22
ayat (2) dari Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup,
Dakwaan Subsidair dan dituntuty pula hendaknya oleh Hakim untuk
memberi hukuman 6 bulan kurungan dengan masa percobaan satu tahun
dan denda Rp. 1.000.000, subsidair 6 bulan kurungan
Hakim tingkat Pertama memberikan putusan sebagai berikut:
Mengadili:
- Menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan membuang air
limbah industri ke Kali Surabaya, akan tetapi perbuatan itu tidak
158
merupakan suatu tindak pidana yaitu tidak menyebabkan
tercemarnya Lingkungan Hidup.
- Melepaskan terdakwa dari segala Tuntutan Hukum. (Ontslag van
Rechtsvervolging).
- dst............dst...........dst.
Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menolak putusan hakim
tingkat pertama dan mengajukan pemeriksaan kasasi.
Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI memberikan putusan sebagai
berikut:
Mengadili:
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo
Mengadili Sendiri:
- Menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan kejahatan dalam
Dakwaan Primair dan membebaskan terdakwa dari dakwaan ini.
- Menyatakan terdakwa Oei Ling Gwat terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan kejahatan ”Karena kelalaiannya,
melakukan perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan
hidup;
- Menghukum terdakwa dengan pidana kurungan selama 3 bulan
- Memberikan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali kalau
dikemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas
alasan bahwa terdakwa sebelum waktu percobaan selama 6 (enam)
bulan berakhir, telah bersalah melakukan suatu tindak pidana
- Menghukum terdakwa lagi dengan pidana denda Rp. 1.000.000
- Dst............dst.
2. Perlindungan Korban dalam kasus Tindak Pidana Narkotika
Putusan Pengadilan Negeri No. 75/Pid.B/1999/PN. Tegal mengenai
kasus kepemilikan Narkotika Golongan I oleh Terdakwa Agus Salim.
159
Kasus posisinya sebagai berikut:
Hari Selasa tanggal 6 Juli 1999, Abdullah, Taskuri, dan terdakwa
duduk di depan rumah Abdul Gofar pada sekitar pukul 01.30 WIB. Abdul
Gofar mengajak jalan-jalan ke Pantai Alam Indah Kodya Tegal, setelah itu
berangkatlah terdakwa dan teman-temannya menggunakan mobil Panther
No. Pol. E-977-AB yang dikemudikan Abdul Gofar, tak lama kemudian
terdakwa dan teman-temannya singgah di warung makan depan Balai Desa
Bandung Kimpling untuk minum teh poci.
Sewaktu Abdul Gofar, Taskuri dan Si Dul minum teh poci di dalam
warung, terdakwa, Agus Salim berada di luar warung sedang bercakap-
cakap dengan Sugeng (masih dalam pengejaran) dan saat itulah terdakwa
diberi ganja oleh Sugeng.
Setelah selesai minum teh poci, terdakwa dan temannya yaitu
Abdullah, Abdul Gofar dan Taskuri, meneruskan perjalanan menuju Pantai
Alam Indah Kodya Tegal, mobil yang dinaikinya diberhentikan oleh petugas
operasi gabungan dari Polresta Tegal, setelah dilakukan penggeledahan
ditemukan bungkusan rokok Jarum Super yang berisi 2 (dua) bungkus kecil
daun ganja kering yang disimpan di bagian belakang di atas ban serep dan
diakui milik terdakwa, yang sesuai hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium
Forensik Polri Labfor Cabang Semarang berdasarkan Berita Acara
Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti ganja No.
Lab.193/KNF/VII/199 tanggal 23 Juli 1999 dengan kesimpulan barang bukti
berupa daun, biji dan batang (B.187/193/KNF/VII/199 dan B.
188/193/KNF/VII/199): Positif Ganja (Caunabis Sativam, termasuk Narkotika
Golongan I), yang dimaksud sebagai persediaan untuk dipergunakan
terdakwa sendiri tanpa memiliki surat izin/surat izin khusus dari Menteri
Kesehatan atau Pejabat yang berwenang.
Jaksa Penuntut Umum mengajukan terdakwa, Agus Salim bin Sobirin ke
pengadilan dengan dakwaan sebagai berikut:
Primair:
160
Agus Salim bin Sobirin umur 20 th jenis kelamin laki-laki bertempat
tinggal di Desa Kaligangsa, RT. 03/04 Kecamatan Margadana, Kotamadya
Tegal, Pada hari Rabu tanggal 7 Juli 1999 sekitar pukul 03.00 WIB atau
setidak-tidaknya dalam tahun 1999, bertempat di Jalan Dipenogoro depan
Bank BCA, tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara,
menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a Undang-undang
No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Subsidair
Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I
bagi diri sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf a Undang-
undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Lebih Subsidair
Pecandu Narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak
melaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah atau pejabat
yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-
undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Putusan Hakim dalam kasus di atas adalah:
- Menyatakan Agus Salim bin Sobirin tersebut di atas, terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Tanpa Hak
dan melawan hukum memiliki atau menguasai Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman;
- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp.
2.000.000 (dua juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersenut
tidak dibayar haruslah diganti dengan pidana kurungan selama 2
(dua) bulan;
161
- Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Memerintahkan barang bukti berupa:
1. 2 (dua) bungkus ganja, masing-masing 0,60 gram dan 0,40
gram di dalam sebuah bungkus rokok Jarum Super, supaya
dirampas untuk dimusnahkan;
2. 1 (satu) unit mobil Isuzu Panther No. Pol. E-977-AB, supaya
dikembalikan kepada pemiliknya sdr. Achmad Sutiono melalui
kuasa hukumnya Eddie Praptono, SH.
- Menetapkan terdakwa tetap ditahan di dalam Rumah Tahanan
Negara (RUTAN);
- Membebani terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah)
3. Perlindungan Korban dalam Kasus Tindak Pidana Kekerasan
terhadap Anak
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 6/Pid.B./1985/PN. Kab. Mn, dan
Putusan Mahkamah Agung No. 785K./Pid./1985 mengenai kasus perbuatan
cabul terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh Samiran.
Kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Terdakwa Samiran, pada hari dan tanggal yang tidak dapat
ditentukan dengan pasti dalam bulan September 1983 dan pada hari-hari
162
lain sampai dengan bulan April 1984, di rumah Sawi (korban) di Desa
Gandul, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun, dalam
kedudukannya sebagai Kepala Desa telah dengan sengaja mempergunakan
pengaruhnya untuk membujuk korban untuk diajak tidur dan berbuat cabul,
yang mana korban (Sawi) belum dewasa karena baru berusia 20 tahun.
Terdakwa membujuk korban dengan janji akan membelikan seuntai kalung
emas bila korban mau diajak tidur, sehingga dengan janji tersebut korban
(Sawi) mau menuruti kemauan terdakwa untuk melakukan hubungan suami
isteri, dan perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang.
Pada bulan Maret 1984, Sawi merasa hamil dan minta kawin, karena
terdakwa tidak mau mengawini, sehingga pada tanggal 9 Mei 1984 korban
membuat surat pengaduan di atas kertas bermaterai dan ditandatangi
sendiri.
Jaksa Penuntut umum telah mendakwa Samiran karena melakukan
perbuatan pidana ex Pasal 293 (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan materi perbuatan yang intinya: Sebagai Kepala Desa yang
mempunyai pengaruh besar terhadap rakyatnya serta bekas majikan
korban, dengan memakai pengaruhnya yang berlebih-lebihan, sengaja
membujuk seorang gadis (Sawi) yang masih di bawah umur dengan janji
akan diberikan perhiasan dengan menanggung semua akibat, dan mengajak
si gadis untuk tidur bersama. Perbuatan terdakwa dilakukan berulang kali
hingga gadis tersebut hamil dan meminta pertanggung jawaban terdakwa
akan tetapi terdakwa menolak.
Hakim tingkat pertama memberikan putusan sebagai berikut:
- Menyatakan bahwa terdakwa Samiran tidak terbukti bersalah
melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya, ex Pasal
293 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan membebaskan terdakwa
dari segala dakwaan.
Putusan ini didasari alasan hukum:
163
a. Bahwa pengertian menyalahgunakan wibawa atau kekuasaan
dalam delict tersebut, bukanlah diartikan sebagai kewibawaan
atau kekuasaan yang diperoleh karena jabatan formal serta
kepala desa;
b. Bahwa menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, untuk dapat menikah wanita harus berumur 16 tahun,
sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan
bahwa wanita di bawah umur adalah berumur 16 tahun. Karena
korban telah berumur 20 Tahun, maka ia bukan termasuk wanita
yang belum cukup umur
Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
a. Hakim tingkat pertama telah salah menafsirkan unsur-unsur
perbuatan pidana ex Pasal 293 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yaitu mengenai unsur kekuasaan yang timbul dari
hubungan keadaan dan unsur wanita/gadis di bawah umur.
b. Bahwa kedudukan terdakwa selaku Kepala Desa ditambah lagi
sebagai bekas majikan korban, jelas memenuhi unsur Pasal 293
Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. Bahwa meskipun gadis tersebut sudah berumur 20 tahun dan
belum kawin, maka dengan berpegang pada Stb. 1931/No. 54,
Mahkamah Agung berpendirian bahwa gadis ini masih di bawah
umur.
Akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan sebagai berikut:
Mengadili:
- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri di Madiun
- Membatalkan Putusan Pengadilan negeri Kabupaten Madiun tanggal 11
April 1985 No.6/Pid.B/PN.Kab.Mn
164
Mengadili sendiri:
- Menyatakan terdakwa Samiran tersebut terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan kejahatan: “membujuk orang yang
belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul dengan pengaruh
kekuasaan yang timbul dari hubungan keadaan”
- Menghukum terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) bulan
- Menghukum termohon kasasi terdakwa tersebut untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkatan peradilan yang dalam tingkat pertama
sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) dan dalam tingkat kasasi ditetapkan
sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah)
4. Perlindungan Korban dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 83/Pid.S/2002/PN. YK, mengenai
kasus penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa As terhadap korban Ny.
Mun.
Kasus posisinya adalah sebagai berikut::
Terdakwa As, jenis kelamin laki-laki, lahir di Surabaya tanggal 4
Agustus 1951, 50 tahun, agama Kristen, wiraswasta, kebangsaan Indonesia,
tempat tinggal di Yogyakarta, pada hari minggu tanggal 9 Desember 2001
sekitar jan 12.00 WIB atau pada waktu lain setidak-tidaknya dalam daerah
hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta, telah melakukan penganiayaan
terhadap saksi/korban, yaitu Ny. Mun yang mengakibatkan saksi korban
mengalami kesakitan/terganggu kesehatannya sebagaimana diterangkan
dalam hasil pemeriksaan visum et repertum No. 133-12-2001 dari Rumah
Sakit Panti Rapih 274767 atas nama penderita saksi korban Ny. Mun.
Dari peristiwa di atas, terdakwa As, dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum,
yaitu:
165
- Menyatakan terdakwa melakukan Tindak Pidana penganiayaan
menurut Pasal 351 ayat (1) jo. Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-
undang Hukum Pidana;
- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Agis Suwito dengan pidana
penjara selama tujuh bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
- Menetapkan agar terdakwa, jika ternyata dipersalahkan dan dijatuhi
pidana supaya ia dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 500
(lima ratus rupiah).
Putusan Hakim atas kasus di atas adalah:
- Menyatakan bahwa terdakwa As di atas telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan.
- Menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena kesalahannya tersebut
dengan pidana penjara selama 4 bulan;
- Membebani biaya perkara kepada terdakwa Rp. 500 (lima ratus rupiah)
- Memerintahkan agar terdakwa tetap pada tahanan.
5. Perlindungan Korban dalam Kasus Malpraktik
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 78/Pid/S/2002/PN. BB, mengenai
kasus dugaan terjadinya Malpraktik dalam Penanganan Operasi Tumor di
Klinik Pengobatan YAPPENI MITRA SEHAT di Kabupaten Bandung dengan
tersangka Breifman Tampubolon bin Makdin.
Kasus posisinya adalah sebagai berikut:
Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Agustus 2002 sekitar jam 15.00 WIB
bertempat di Klinik Pengobatan YAPPERNI MITRA SEHAT Kp. Centeng
166
RT.05/07 Desa Cihanjuang Kec. Parongpong Kab. Bandung, terdakwa
Briefman Tampubolon yang merupakan seorang perawat tanpa keahlian
dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan dan atau
perawatan terhadap Didin yang menimbulkan/mengakibatkan korban
meninggal dunia. Terdakwa tanpa keahlian dan kewenangan untuk
mengoperasi penyakit korban tersebut telah melakukan operasi terhadap
korban dengan cara melakukan sedotan kearah tumor korban dengan
menggunakan jarum suntik, karena leher korban mengalami
pembengkakan/pendarahan, terdakwa lalu melakukan sayatan sepanjang 4
cm dan dalam 2 mm tepat di tengah-tengah tumor korban dengan maksud
untuk menghentikan pembengkakan/pendarahan, namun karena sayatan
tersebut dilakukan terdakwa tanpa keahlian sehingga sayatan tersebut
melukai pembuluh darah di leher korban yang mengakibatkan korban
mengalami pendarahan secara terus menerus. Selanjutnya korban dilarikan
ke Rumah Sakit Bina Sehat Dayeuhkolot untuk mendapatkan perawatan
dari dokter spesialis bedah, namun karena korban mengalami pendarahan
terus menerus, korban akhirnya meninggal dunia.
Dari peristiwa di atas, Jaksa Penuntut umum mendakwa Briefman
Tampubolon melakukan Tindak Pidana Tanpa Keahlian dan Kewenangan
Melakukan Pengobatan dan atau Perawatan. Perbuatan terdakwa diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a Jo. Pasal 83 Undang-
undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Fakta yang mendukung bahwa tindakan yang dilakukan oleh
terdakwa Briefman Tampubolon merupakan sebuah malpraktik adalah
terdakwa melakukan tindakan operasi (medis) terhadap pasien (sdr. Didin)
tanpa dibekali keahlian dan kewenangan untuk bertindak dan hal ini diakui
oleh terdakwa sendiri dengan dikuatkan oleh keterangan dari saksi-saksi
lainnya, sebagaimana diketahui bahwa malpraktik medik akan terjadi salah
satunya apabila dalam menjalankan profesinya dokter tersebut tidak
memenuhi Standar Profesi Kedokteran.
167
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa dengan
menghadirkan beberapa saksi dan bukti-bukti pendukung, Majelis Hakim
mengadili terdakwa:
- Menyatakan bahwa Terdakwa Briefman Tampubolon secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa keahlian dan
kewenangannya melakukan pengobatan dan atau perawatan;
- Memidana Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) bulan
- Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah stetoskop, 1 (satu)
buah tensimeter, 1 (satu) buak lampu duduk/belajar, 1 (satu) buah
vinset dirampas untuk dimusnahkan;
- Menetapkan supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan;
- Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
500 (lima ratus rupiah)
Dari beberapa kasus yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam hal telah terbuktinya pelaku (terdakwa) melakukan suatu tindak
pidana, ternyata putusan yang dijatuhkan oleh hakim lebih banyak terfokus
pada pemberian sanksi pidana kepada terdakwa, baik berupa hukuman
penjara maupun denda, sedangkan perlindungan kepada korban tidak
memperoleh perhatian sama sekali.
Untuk kasus-kasus di atas, hakim sama sekali tidak menjatuhkan hukuman
tambahan berupa pemberian ganti kerugian oleh pelaku kepada korban.,
atau perlunya diberikan pelayanan/konseling kepada korban atau pemulihan
lingkungan yang sudah tercemar. Padahal, secara jelas terlihat korban
menderita kerugian, bai secara ekonomis, fisik maupun psikis.
Dalam kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan oleh terdakwa
Samiran, korban (Sawi) mengalami kehamilan. Dalam kasus pencemaran
168
lingkungan, akibat limbah industri dari PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo,
air Kali Surabaya menjadi sulit untuk diproses menjadi air bersih (air minum)
dan ikan di kali menjadi mati semua. Dalam kasus Malpraktik, yang
dilakukan oleh terdakwa Briefman Tampubolon, korban (Didin) meninggal
dunia, sedangkan dalam kasus kekerasan rumah tangga, korban
kesehatannya mengalami gangguan.
Munculnya putusan pengadilan demikian seakan hendak membenarkan
pendapat yang selama ini berkembang, bahwa dengan telah dipidananya
pelaku (terdakwa), dengan sendirinya perlindungan terhadap korban telah
diberikan.