2 urgensi an korban kejahatan

176
Antara Norma dan Realita Oleh:: Oleh:: Oleh:: Oleh:: Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MH Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MH Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MH Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MH Elisatris Gultom, SH., MH Elisatris Gultom, SH., MH Elisatris Gultom, SH., MH Elisatris Gultom, SH., MH

Upload: agustaadikara

Post on 24-Jun-2015

2.653 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

�������������������

������ ���������

Antara Norma dan Realita �

Oleh::Oleh::Oleh::Oleh::

Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MHDrs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MHDrs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MHDrs. Dikdik M. Arief Mansur, SH., MH Elisatris Gultom, SH., MHElisatris Gultom, SH., MHElisatris Gultom, SH., MHElisatris Gultom, SH., MH

PENGANTAR

Sejak diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, perhatian terhadap kedudukan pelaku

kejahatan sebagai individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin

memperoleh perhatian utama. Hal ini muncul karena di masa lalu, khususnya

sebelum berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana, muncul berbagai kritikan terhadap

proses pemeriksaan pelaku kejahatan yang dianggap banyak melanggar Hak

Asasi Manusia.

Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang

perlindungan pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang

diberikan kepada korban kejahatan terkesan menjadi tidak memadai.

Padahal, sejatinya perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan

dan pelaku kejahatan adalah seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan

sebagaimana asas setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum

(equality before the law).

Esensi dari buku ini adalah mencoba menelusuri sejauhmana perundang-

undangan nasional mengatur tentang perlindungan korban kejahatan serta

bagaimana perlindungan itu diterapkan dalam praktiknya, sehingga kita dapat

mengetahui seberapa besar perlindungan terhadap korban kejahatan telah

diberikan.

Dalam penulisan buku ini kami menyadari banyak kekurangan, sebagaimana

peribahasa “tiada gading yang tak retak”. Karena itu, berbagai masukan dan

kritikan sangat kami harapkan, agar buku ini dapat semakin memadai untuk

dijadikan bahan bacaan bagi para pemerhati hukum.

Akhirnya kami mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada

Rajawali Pers yang berkenan untuk menerbitkan buku ini.

Bandung, Agustus 2006

Dikdik M. Arief Mansur

Elisatris Gultom

RIWAYAT HIDUP

� Dikdik M. Arief Mansur

� Magister Hukum dari Program Pascasarjana Universitas

Padjadjaran, Bandung

� Pernah mengikuti beberapa kursus/pelatihan di dalam dan luar

negeri, di antaranya: Kriminalische Grund Ausbildung (Dasar)

dan Weitere Ausbildung von Raushgift Bekanfung (Lanjutan) di

Jerman, Commercial Law Course di Faculty of Commerce and

Economic, The University of New South Wales, Sydney

Australia.

� Jabatan yang pernah diduduki, antara lain: Instruktur di Pusat

Pendidikan Reserse Megamendung, Jawa Barat, Kapolres

Jakarta Timur, Direktur Reserse Kriminal Polda Jawa Barat,

Kakoorspri Kapolri, Wakapolda Kalimantan Selatan.

� Menulis buku Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi.

� Elisatris Gultom

� Magister Hukum dari Program Pascasarjana Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

� Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

� Sekretaris Jurnal Padjadjaran serta anggota tim penyusun

beberapa Rancangan Undang-undang (RUU), di antaranya:

RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi (Cyber Law),

RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

� Pernah mengikuti Commercial Law Course di Faculty of

Commerce and Economic, The University of New South Wales,

Sydney Australia.

� Menulis buku:

a. Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi,

b. Cyber Law, Suatu Pengantar, dengan Tim dari Pusat Studi

Cyber Law Fakutas Hukum UNPAD Bandung,

c. Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,

Buku I dan II (Editor)

SINOPSIS

Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya

belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-

hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan

nasional.

Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan

pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari

asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,

sebagai landasan konstitusional.

Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku

kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada

saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat

demikian tidak sepenuhnya benar.

Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional,

penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan

memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional

selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam

beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban

kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak

berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan.

Buku ini mencoba untuk menguraikan berbagai hal berkaitan dengan

pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai, yang

di dalamnya akan memuat antara lain: dasar filosofis pentingnya korban

kejahatan memperoleh perlindungan, kaitan antara penegakan hukum

dengan perlindungan korban, hak dan kewajiban korban, pengaturan korban

dalam hukum nasional dan internasional, dan diakhiri dengan uraian

sejauhmana perlindungan korban kejahatan di Indonesia telah diterapkan.

1

Bagian 1

PERLINDUNGAN HUKUM SEBAGAI KONKRITISASI

DARI UPAYA PENEGAKAN HUKUM

A. Hukum Dan Negara

Negara merupakan sebuah entiti (kesatuan wilayah) dari unsur-unsur

pembentukan negara,1 yang di dalamnya terdapat berbagai hubungan

kepentingan dari sebuah komuniti (masyarakat setempat) yang berlangsung

secara timbal balik dan terikat oleh Kesatuan Wilayah.2

Komuniti atau masyarakat setempat adalah penduduk yang masing-

masing anggotanya baik pribadi maupun kelompok saling mengadakan

hubungan karena adanya naluri untuk hidup bersama dengan orang lain

untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya.

Seorang manusia tidak dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa alat

fisik yang memadai (cukup) untuk hidup sendiri, karena itu manusia harus

selalu berhubungan (berkawan) dengan manusia-manusia lain yang dapat

mendatangkan kepuasan bagi jiwanya.

Wadah yang dipergunakan manusia dalam mewujudkan interaksinya

satu sama lain sangat beragam, mulai dari yang kecil yaitu keluarga hingga

yang paling besar yaitu negara.

Negara sering dikatakan sebagai “kesatuan wilayah” karena wilayah

bagi sebuah negara merupakan unsur mutlak sekaligus tempat

1 Unsur-unsur Pembentuk Negara mengacu kepada “Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 26 December 1933 atau “Konvensi Montevideo 1933” dalam Pasal 1 (Article 1) yaitu: “The state as a person of international law should posses the following qualification: (a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into relations with other states; Lihat Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Global, Bandung: PT. Alumni, 2001: Cetakan Kedua, hlm. 17: Unsur-unsur pembentukan Negara menurut Boer Mauna adalah unsur-unsur Konstitutif yaitu (1) penduduk; (2) wilayah tertentu; (3) Pemerintah; dan (4) Kedaulatan; Lihat Parry and Grant, Encyclopedic Dictionary of International Law, New York: Oceanna Publications, 1986, hlm. 375. 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Agustus 1990: Edisi Baru Keempat – Cetakan Keduabelas, hlm. 129.

2

bermukimnya penduduk,3 dan tempat bagi efektifitas fungsi sosiologis dan

politis suatu negara.

Ketika suatu negara mampu melaksanakan kekuasaan dan wewenang

di wilayahnya, artinya negara tersebut telah memiliki sebuah “Kedaulatan

Wilayah” (Territorial Sovereignty) yaitu otoritas khusus untuk melaksanakan

kekuasaan dan wewenang di wilayahnya yang merupakan kewenangan

tertinggi (highest authority)4 yang merdeka (independence)5 dan bebas

(independent)6 dari pengaruh kekuasaan asing (atau negara lain), khusus

untuk wilayahnya.

Agar hubungan komuniti di wilayahnya dapat berjalan dengan efektif,

tentu diperlukan peran serta pemerintah untuk mewujudkan kekuasaan

negara tersebut. Pemerintah dengan kewenangan yang diberikan oleh

negara diberi tugas untuk mengorganisir penduduk di wilayahnya, karena

tidak ada negara dengan penduduk yang disorganised hidup berdampingan

dengan pemerintahan yang terorganisir.7 Selain itu, melalui pemerintahan

yang ada, suatu negara dapat memberikan perlindungan pada penduduknya

dan memenuhi kepentingan-kepentingan penduduknya.

Guna menjamin kesinambungan antara pelaksanaan perintah dan

kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh pemerintahnya serta menjaga

keseimbangan hubungan kepentingan di wilayahnya, maka negara

memerlukan suatu instrumen/sarana yang dapat menjamin agar hubungan

antara pemerintah dan penduduknya dapat berjalan harmonis, dan

instrumen/sarana yang dimaksud adalah Hukum.

3 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2002: Cetakan Ketiga – Edisi Revisi, hlm. 3. 4 Hans Kelsen, Principles of International Law, New York – Chicago – San Francisco – Toronto – London: Holt, Reinhart and Winston Inc., February 1967, Revised and Edited By Robert W. Tucker, hlm. 189. 5 Michael Akehurst, Modern Introduction to International Law, London – Boston – Sydney: George Allen and University, 1982: 4th Edition, hlm. 16. 6 James Crawford, The Creation of States in International Law, Oxford at Claderon Press,1979 , hlm. 40: Crawford menggambarkan sebuah wilayah Negara berdaulat sebagai “an independent territorial unit”. 7 Huala Adolf, op.cit., hlm. 3.

3

Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang

dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan

perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar wilayahnya.

Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan tugasnya

yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna

untuk menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam

sebuah wilayah negara yang berdaulat, mengembangkan dan menegakan

kebudayaan nasional yang serasi agar terdapat kehidupan bangsa dan

masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur.8

Kekuasaan suatu negara terhadap wilayah (teritorinya) dan terhadap

masyarakat yang berada di dalamnya, tidak lepas dari asal mula

terbentuknya ”negara” itu sendiri. Telah diakui bersama akan disebut

sebuah negara, apabila memenuhi persyaratan yang telah diakui secara

umum, yaitu:

1. Memiliki wilayah tertentu,

2. Memiliki rakyat, serta

3. Memiliki pemerintahan yang berdaulat.

Walaupun ada keharusan untuk dipenuhinya persyaratan de jure yaitu

adanya pengakuan dari dunia internasional, akan tetapi apabila telah

terpenuhi ketiga persyaratan di atas, maka secara de facto telah dapat

disebut sebagai “negara”.

Bila kita mundur lebih jauh pada awal masa penciptaan manusia,

serta pada awal manusia baru mulai hidup secara berkelompok, akan

muncul beberapa pertanyaan, seperti bagaimanakah “negara” tersebut

dapat terbentuk? bagaimanakah hingga terciptanya suatu kelompok yang

dinamakan pemimpin atau aparatur pemimpin atau pemerintahan dapat

terbentuk untuk mengatur kehidupan kelompok orang lainnya yang disebut

sebagai rakyat? 8 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, Juni 1988: Cetakan Kesembilan (Revisi), hlm. 12.

4

Para ahli Ilmu Negara pun sesungguhnya sulit menjelaskan jika

ditanya bagaimana sesungguhnya negara atau suatu pemerintahan dapat

terbentuk pada awal mulanya. Banyak muncul pembicaraan yang

membahas mengenai permasalahan tersebut yang kesemuanya bermuara

pada adanya keinginan untuk mengetahui asal usul terbentuknya negara.

Karena itulah, dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan teori-

teori yang menjelaskan mengenai asal mula negara.

Secara garis besar, terdapat 9 (sembilan) teori mengenai asal mula

terbentuknya negara, yakni9

1. Teori Perjanjian Masyarakat,

2. Teori KeTuhanan,

3. Teori Kekuatan,

4. Teori Patriarkhal atau Matriarkhal,

5. Teori Organis,

6. Teori Daluwarsa,

7. Teori Alamiah,

8. Teori Idealis, dan

9. Teori Historis.

Kesembilan teori tersebut didukung oleh para ahli yang berbeda-

beda, dan karena teori-teori tersebut merupakan teori yang bersifat

spekulatif, maka teori tersebut mengedepankan dasar yang berbeda pula

mengenai bagaimana asal mula terbentuknya negara.

Walaupun demikian, terdapat satu benang merah yang

menghubungkan kesembilan teori tersebut, yaitu tidak akan ada suatu

negara yang akan terbentuk apabila tidak ada kelompok masyarakat untuk

dipimpin.

9 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Putra A Bardin, Bandung, April 1999: Cetakan Kesembilan, hal 136-161

5

Dari beberapa teori yang disebutkan di atas, hanya satu teori yang

akan dibahas secara mendalam, yaitu Teori Perjanjian Masyarakat yang

kami anggap paling relevan dengan tema buku ini.

Dalam Teori Perjanjian Masyarakat disebutkan bahwa pada awal

mulanya, masyarakat di suatu wilayah berada dalam keadaan alamiah10

dimana orang-orang yang saling berinteraksi menimbulkan sebab dan akibat

satu sama lainnya, yang mana hasil interaksi tersebut tidak selalu saling

menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pada saat itu, satu-satunya aturan

yang berlaku adalah hukum rimba atau juga disebut hukum ikan (fish law).11

Karena itu, individu-individu merasa perlu adanya pihak ketiga yang dapat

menerbitkan aturan-aturan dalam kehidupan sosial mereka sehingga

sekalipun terjadi konflik atau pertentangan di antara mereka, maka telah ada

aturan ataupun pihak yang dapat menyelesaikannya.

Dengan berbekal pemikiran inilah, maka kelompok masyarakat

tersebut menunjuk seorang atau sekelompok orang untuk memimpin

mereka serta mengadakan aturan-aturan yang melindungi kepentingan -

kepentingan mereka serta memelihara keamanan dan ketertiban kelompok

masyarakat tesebut. Sebagai timbal baliknya atas penunjukkan orang atau

sekelompok orang tersebut, kelompok masyarakat itu harus mematuhi dan

menghormati keputusan-keputusan serta aturan-aturan yang telah

ditetapkan oleh orang atau sekelompok orang yang telah ditunjuk. Selain

itu, kelompok masyarakat tadi harus memberikan sebuah bentuk imbal jasa

atas tugas orang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur

10 Keadaan alamiah ini diterjemahkan secara berbeda oleh berbagai ahli. Dua pemikiran utama mengenai keadaan alamiah ini diutarakan oleh John Locke dan Thomas Hobbes. Apabila John Locke mengatakan bahwa keadaan alamiah ini adalah keadaan dimana suatu masyarakat masih kacau balau, tidak mengenal aturan, ganas, kejam dan keji, maka sebaliknya Hobbes mengatakan bahwa keadaan alamiah ini bagaikan berada di taman firdaus. Akan tetapi, keduanya bersepaham bahwa keadaan tersebut tidak boleh dilanjutkan. Karenanya masyarakat mengadakan perjanjian masyarakat, dan memasuki masa atau zaman bermasyarakat. Ibid., hal.140 11 Hukum Ikan atau Fish Law lahir dari perumpamaan dimana pada masa tanpa pemerintahan, masyarakat saling serang menyerang satu sama lain, sama seperti keadaan di laut dimana ikan besar memakan ikan yang kecil.

6

serta melindungi mereka. Imbal jasa tersebut pada zaman dahulu kita kenal

dengan istilah “upeti” atau hampir sama dengan pajak kepada penguasa.

Teori perjanjian masyarakat merupakan teori asal usul negara yang

paling tua yang pernah dikemukakan dalam catatan sejarah manusia.12

Selain itu, teori perjanjian masyarakat juga dikenal sebagai teori mengenai

asal usul negara yang paling bersifat universal karena teori ini dapat

dijumpai baik dalam budaya barat maupun budaya timur, serta dapat juga

ditemui dalam hukum Islam maupun hukum Nasrani.

Universalitas dari teori ini disebabkan karena kesederhanaannya,

karena secara logika, pemerintahan dan hukum lahir dari sebuah kelompok

individu (masyarakat) seperti yang dikatakan dalam adagium ubi societes ibi

ius. Dari adagium tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum lahir

dari masyarakat (ataupun bagian dari masyarakat yang berwenang

mengenainya) dan ditetapkan atas persetujuan anggota-anggotanya.

Persetujuan itu dapat diberikan secara tegas (expressed) atau dianggap

telah diberikan secara diam-diam (tacitly assumed).13

Persetujuan diberikan oleh masyarakat dalam rangka mendapatkan

perlindungan terhadap hak-hak individu dan personal mereka pula. Hal

tersebut membawa pada fungsi dan tujuan negara pada umumnya, yaitu

menjalankan pemerintahan atau kepemimpinan dengan baik serta

melindungi kesejahteraan dan ketertiban masyarakatnya.

Terhadap fungsi dan tujuan negara pun, banyak ahli yang

mengemukakan pendapatnya. Terdapat beberapa kelompok ahli yang

mengemukakan bahwa sesungguhnya fungsi negara adalah untuk

12 Naskah tertua yang dapat ditemui dalam peradaban barat yang membahas mengenai teori perjanjian masyarakat ini ditemukan di Yunani yaitu merupakan naskah Plato yang ditulis antara tahun 428 – 347 Sebelum Masehi, sedangkan naskah tertua di budaya timur ditemukan di India yang ditulis oleh Kautilya yang ditulis antara tahun 321 – 300 Sebelum Masehi. 13 F. ISjwara, Op.cit., hal. 136

7

memberikan kesejahteraan materiil dan kebahagiaan bagi setiap

individunya. Aliran ini didukung oleh pemikiran dari James Wilford Garner.14

Selain pemikiran di atas, terdapat pula pendapat yang mengatakan

bahwa tujuan dan fungsi negara adalah untuk melindungi dan memberikan

perasaan aman kepada masyarakatnya. Pemikiran ini antara lain didukung

oleh:

a. Jacobson dan Lipman: menurut mereka, selain mengatakan bahwa

negara memiliki fungsi jasa dan fungsi perniagaan,15 negara juga

memiliki fungsi essensil yaitu fungsi yang diperlukan demi kelanjutan

negara dan melindungi antara lain pemeliharaan angkatan perang untuk

pertahanan terhadap serangan dari luar atau untuk menindas pergolakan

dalam negeri, pemeliharaan angkatan kepolisian untuk menindas

kejahatan dan penjahat, pemeliharaan pengadilan untuk mengadili

pelanggar hukum, mengadakan perhubungan luar negeri dan lain

sebagainya,

b. Charles E. Merriam, mengatakan bahwa tujuan-tujuan negara adalah:

1. Keamanan ekstern, yaitu perlindungan negara terhadap serangan-

serangan dari luar terhadap kelompok sendiri,

2. Ketertiban intern, yaitu untuk mewujudkan ketertiban dalam bidang

sosial serta menetapkan pembagian kerja dan tanggungjawab atas

pelaksanaan perturan-peraturan pada segenap fungsionaris negara,

3. Keadilan (justice), yang terwujud dalam sistem dimana terdapat

saling pengertian dan prosedur-prosedur yang memberikan kepada

setiap orang apa yang telah disetujui dan dianggap patut, 14 Garner mengatakan bahwa negara memiliki tiga tujuan yakni: Tujuan Negara yang Asli dimana fungsi negara adalah mengutamakan kebahagiaan individu, Tujuan Negara Sekunder yang mengatakan bahwa fungsi negara adalah mensejahterakan warganegara secara kolektif, dan Tujuan Peradaban yang bertujuan memajukan peradaban negara. Ibid., Hal. 174. Lihat juga J.W. Garner, Politicxal Science and Government, hal. 69-73. 15 Fungsi jasa adalah fungsi negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarana kehidupan dan pembangunan, sedangkan fungsi perniagaan adalah fungsi negara untuk memeri peluang bagi masyarakatnya untuk mendapatkan manfaat bekonomi malalui jalur perniagaan.

8

4. Kesejahteraan, pengertian kesejahteraan ini meliput keamanan,

ketertiban, keadilan dan kebebasan,

5. Kebebasan, yakni kesempatan untuk mengembangkan dengan

bebas hasrat-hasrat individu akan ekspresi kepribadiannya yang

harus disesuaikan dengan gagasan kemakmuran umum.

c. Leslie Lipton. Menurut Lipton, fungsi negara yang asli dan tertua adalah

perlindungan karena negara dibentuk oleh individu-individu untuk

memperoleh perlindungan dan negara terus dipertahankan untuk

memelihara tujuan tersebut. Selain menginginkan perlindungan fisik dari

negaranya, individu juga mengharapkan adanya perlindungan pula

dalam berbagai bidang, seperti perlindungan dalam menjalankan

usahanya. Dengan adanya tuntutan seperti itu terjadilah pergeseran

dalam tujuan negara. Perlindungan diperluas dengan ketertiban (order):

“it is order that is able to grow, after protection has been firmly planted,

and it is an order by way of use that government seeks to nurture”

d. L.V. Ballard. Menurut Ballard, tujuan negara terutama adalah untuk

memelihara ketertiban dan peradaban, sedangkan fungsi negara adalah

untuk menciptakan syarat-syarat dan perhubungan-perhubungan yang

memuaskan dan konstruktif bagi semua warga negara.

Dari pemikiran-pemikiran di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa

berdasarkan sifat alaminya, negara memiliki fungsi untuk selalu melindungi

dan mensejahterakan warga negaranya (dalam arti luas). Hal ini sejalan

dengan teori asal usul terbentuknya negara, dimana pada hakikatnya

masyarakatlah yang memberi mandat kepada para pemimpinnya untuk

menjalankan pemerintahan dan mengadakan pengaturan kepada

masyarakatnya.

Hal yang sama tercermin dalam pemerintahan Indonesia. Dimana para

pemimpin yang bertugas untuk mengatur dan menjamin kesejahteraan dan

ketertiban masyarakat, dipilih oleh masyarakat Indonesia (baik secara

langsung maupun tidak langsung), sebagai timbal balik dari kepercayaan

9

tersebut, sudah selayaknya apabila pemimpin, dalam hal ini pemerintah,

memberikan perlindungan secara maksimal, baik terhadap kesejahteraan

masyarakatnya secara material maupun spiritual.

Adanya jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap masyarakat

harus berlaku secara meluas, baik dari ancaman yang berasal dari luar

wilayah Indonesia, maupun dari dalam wilayah Indonesia. Di samping itu,

perlindungan ini harus pula diberikan baik dari serangan terhadap

masyarakat Indonesia secara keseluruhan, maupun terhadap individu

masing-masing.

Salah satu konkritisasi dari tanggung jawab pemerintah untuk

memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakatnya (warga negara)

adalah pemerintah berkewajiban untuk melindungi masyarakatnya dari

segala bentuk kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya

yang mungkin dialami.

Apabila negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warga

negaranya dalam keadaan biasa, maka sudah sewajarnya apabila negara

memberikan perhatian lebih kepada para korban kejahatan, yang mungkin

mengalami penderitaan secara ekonomis, fisik maupun secara psikis.

Di samping itu, sebagai konsekwensi dari dianutnya model negara

kesejahteraan, maka negara mempunyai tanggung jawab untuk memberikan

kesejahteraan pada masyarakatnya (warga negaranya), sehingga pada saat

anggota masyarakat mengalami kejadian/peristiwa yang mengakibatkan

kesejahteraannya terusik, misalnya warga negara menjadi korban

kejahatan, sudah sewajarnya apabila negara bertanggung jawab untuk

memulihkan kesejahteraan warga negaranya, mengingat negara telah gagal

dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

10

B. Penegakan Hukum Bagi Negara

Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah

yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup,16 sedangkan Black’s Law

Dictionary, mendefinisikan law enforcement (penegakan hukum), yaitu:

“The detection and punishment of violations of the law. This term is not limited to the enforcement of criminal law. For example, the freedom of Information Act contain an exemption from disclosure for information complied for law enforcement purpose and furnished in confidence. The examption of a variety of noncriminal (such as national security laws)”.17

Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai tujuan hukum, melalui

penegakan hukum, diharapkan tujuan hukum dapat tercapai, sehingga

hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Fungsi hukum di bagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu:18

1. Fungsi Hukum secara Tradisional atau Klasik;

2. Fungsi Hukum secara Modern.

Fungsi Hukum secara Tradisional atau Klasik di bagi menjadi dua yaitu:19

1. Keadilan,

2. Ketertiban.

Keadilan sebagai tujuan hukum didasarkan pada kenyataan bahwa

dalam suatu masyarakat atau negara, kepentingan perseorangan dan 16 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 3. terhadap inti dan arti penegakan hukum ini, Soerjono Soekanto lebih lanjut mengatakan, konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit. 17 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minn. : West Group: 1999: 7th Edition – 2nd Book, Editor in Chief: Bryan A. Garner, hlm. 891. 18 Lili Rasjidi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia, dalam: Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, 2005: Volume 1 No. 1, hlm. 8. 19 Ibid.

11

kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama

lain. Pertentangan inilah yang menyebabkan pertikaian bahkan peperangan.

Hukum mempertahankan perdamaian dan menimbang kepentingan yang

bertentangan secara teliti dengan mengusahakan terjadinya suatu

keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan tersebut, sehingga hukum

dapat mencapai tujuan adil dengan adanya keseimbangan antara

kepentingan-kepentingan yang dilindungi bagi setiap orang untuk

memperoleh bagiannya melalui peraturan yang memuat kesinambungan

kepentingan-kepentingan yang dalam Bahasa Latinnya adalah: “ius suum

cuique tribuere”.20

Takaran keadilan itu sendiri adalah relatif. Definisi tentang apa yang

disebut dengan adil akan berbeda-beda bagi setiap individu. Tidak

berlebihan apabila keadilan itu susuatu yang sukar untuk didefinisikan, tetapi

bisa dirasakan dan merupakan unsur yang tidak bisa tidak harus ada dan

tidak dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang

menjamin adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam

masyarakat.21

Nilai keadilan sifatnya relatif, sehingga tidak mungkin untuk

menemukan sebuah keadilan yang mutlak (absolute justice). Terkait dengan

hal itu, Aristoteles mengemukakan teori realis yang berusaha untuk

membedakan keadilan menjadi22:

a. keadilan kumulatif, dimana keadilan itu terjadi dalam hal setiap orang

mendapatkan bagian yang sama, tidak didasarkan pada prestasi;

20 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996: Cetakan Kedupuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino. 21 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 52-53. Selanjutnya disebutkan suatu sistem hukum positif yang berarti tidak bisa tidak harus berdasarkan keadilan. Walaupun arti atau makna keadilan itu bisa berbeda-beda dari suatu sistem nilai ke sistem nilai yang lain, namun suatu sistem hukum tak dapat bertahan lama apabila tidak dirasakan adil oleh masyarakat yang diatur oleh hukum itu. 22 ibid., hlm.10.

12

b. keadilan distributif, dimana tercipta adil apabila setiap individu

mendapatkan bagian sesuai dengan peran dan kontribusi masing-

masing;

c. keadilan vindikatif, dimana dikatakan adil apabila suatu hukuman itu

setimpal dengan kejahatan;

d. keadilan kreatif, dimana harus ada perlindungan kepada orang yang

kreatif (pencipta);

e. keadilan protektif, yang berbicara mengenai suatu perlindungan bagi

tiap individu;

f. keadilan legalis, bahwa keadilan itu tersirat dalam Undang-undang.

Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan adalah landasan

daripada tujuan negara. Adanya negara ditujukan untuk kepentingan umum,

berlandaskan keadilan yang merupakan keseimbangan kepentingan di atas

daun neraca Themis (dewi keadilan dalam mitologi Yunani).23

Dengan demikian, melalui peraturan yang berkesinambungan,

diharapkan dapat tercapai suatu keadilan melalui keseimbangan antara

kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Walaupun cita

keadilan itu tetap relatif, dapat ditetapkan suatu batasan apa itu adil menurut

hukum.

Tujuan hukum lainnya adalah Ketertiban yang dalam hal ini adalah

perdamaian manusia yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi

kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta

benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya.24

Tujuan Hukum Modern yaitu sebagai sarana pembaharuan

masyarakat.25 Hukum nasional sebuah negara dalam fungsi ini adalah selain

sebagai mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana

23 Sjachran Basah, Ilmu Negara, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992: Cetakan keenam, hlm.100. 24 L.J van Apeldorrn, op.cit., hlm. 11. 25 Lili Rasjidi, op.cit., hlm. 8.

13

pembaharuan masyarakat, agar perubahan (pembangunan) itu dilakukan

dengan teratur dan tertib.26

Roscoe Pound di lain pihak, merumuskan tujuan hukum adalah untuk

ketertiban, guna mencapai keadilan, dan hukum sebagai alat pembaharuan

masyarakat (law as a tool of social engineering).27

C. Penegakan Hukum Bagi Pembangunan Nasional

Salah satu ciri dari suatu negara adalah “a degree of civilization”, yaitu

tingkat peradaban negara yang diwujudkan dalam pembangunan nasional,

sedangkan Pembangunan Nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan

kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata serta

mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang

maju dan demokratis berdasarkan Pancasila, sebagai wujud pengamalan

semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.28

Melalui kegiatan pembangunan diharapkan kualitas hidup masyarakat

Indonesia dapat ditingkatkan.

Pembangunan menghendaki adanya cara baru dan suasana baru yang

sejalan dengan irama pembangunan, tentunya hal ini akan membawa

konsekuensi pada perlunya ditinggalkan cara-cara lama yang sudah

ketinggalan jaman dan tidak perlu dipertahankan lagi, karena itu

pembangunan yang hanya berorientasi pada aspek fisik semata harus

tidaklah cukup apabila tidak disertai dengan pembangunan pada aspek non-

fisik, seperti perubahan pada cara berfikir dan bekerja.

Untuk mencapai tingkat pencapaian pembangunan nasional yang

relatif ideal, maka disinilah pentingnya peranan hukum sebagai sarana

perubahan sosial yang diciptakan guna menggerakkan masyarakat agar

26 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,: Suatu Uraian Tentang Lndasan Pikiran , Pola dan mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Bandung: CV. Putra A. Bardin, Oktober 2000: Cetakan Keempat, hlm. 13. 27 H.R. Otje Salman S., op.cit. hlm.29. 28 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES, 1996, hlm. 26.

14

bertingkah laku sesuai dengan irama dan tuntutan pembangunan dalam

segala aspek kehidupannya. Mengenai hal ini Mochtar Kusumaatmadja

berpendapat: Di Indonesia, fungsi hukum dalam pembangunan adalah

sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada

anggapan, bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu

yang dipandang penting dan diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata

kaidah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-

kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan

terencana itu.29

Hukum mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat dengan

menetapkan apa yang diharuskan, apa yang dibolehkan dan/atau

sebaliknya30. Dengan demikian, hukum menarik garis antara apa yang

sesuai dengan hukum dan apa yang melawan hukum.31 Dibandingkan

dengan apa yang hukum (yang secara normatif diartikan sebagai apa yang

seharusnya), hal melawan hukum inilah yang justru lebih menjadi perhatian

dari penegakan hukum itu sendiri. Karena itu, dapat dikatakan bahwa

penegakan hukum (khususnya hukum pidana) merupakan reaksi terhadap

suatu perbuatan melawan hukum. Upaya aparat perlengkapan negara

dalam menyikapi suatu perbuatan melawan hukum, dan menyikapi masalah-

masalah penegakan hukum lainnya, inilah yang menjadi inti pembahasan

dari penegakan hukum.

Apabila dilihat secara fungsionil, sistem penegakan hukum itu

merupakan suatu sistem aksi.32 Dikatakan sebagai sistem aksi, karena di

dalamnya terdapat sekian banyak aktivitas yang dilakukan alat

perlengkapan negara dalam rangka penegakan hukum, diantaranya

29 Mochtar Kusumaatmadja, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat: Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, BPHN-LIPI, Jakarta, 1976, hlm. 9 30 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, Cetakan Kedua, hlm.111. 31 ibid, hal.111. 32. Ibid, hlm.112

15

kepolisian, pembentuk undang-undang, instansi pemerintah (bestuur), serta

aparat eksekusi.33

Jadi, penegakan hukum dilakukan sejak tahap pembentukan undang-

undang (guna mencegah onrecht in potentie), dan juga mencegah onrecht in

actu oleh aparatur penegakan hukum. Dengan demikian, fungsi hukum

sebagai sarana untuk tertib, mencapai keadilan, dan juga sarana

pembaharuan masyarakat juga merupakan suatu sistem aksi, dimana sejak

tatanan pembentukan perundang-undangan sampai dengan penegakan

hukum, aparat negara memberikan aksi dan reaksi yang diperlukan untuk

tercapainya tujuan-tujuan hukum tersebut.

Muladi, secara jelas menggambarkan hubungan antara penegakan

hukum dan pembangunan nasional, dikatakan tujuan akhir dari politik

kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama

Kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian penegakan hukum pidana

yang merupakan bagian dari politik kriminal, pada hakekatnya juga

merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari

keseluruhan kebijakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat,

maka wajarlah bila dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan

(termasuk usaha penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral dari

rencana pembangunan nasional.34

Oleh karena itu, untuk terciptanya pelaksanaan pembangunan

nasional yang terencana dan terarah tentunya perlu didukung oleh peran

serta secara aktif dari semua lapisan masyarakat serta aksi dan reaksi dari

aparat pemerintah dalam kerangka penegakan hukum dengan kata lain

pembangunan nasional dapat terwujud salah satunya melalui proses

pengintegrasian antara upaya penegakan hukum dengan keseluruhan

kebijakan sosial.

33 Ibid, hlm.112 34 Muladi, ibid, hlm. 8-9

16

D. Penegakan Hukum sebagai Wujud Perlindungan Hukum Bagi Pelaku

Kejahatan

Perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan (tersangka atau terdakwa)

dalam sistem hukum pidana nasional banyak diatur dalam KUHAP.

Beberapa bentuk perlindungan terhadap pelaku kejahatan yang dapat

ditemukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, antara lain:

a. Hak untuk mengetahui dasar/alasan penangkapan, penahanan

dan atau penjatuhan pidana terhadap dirinya. Hak-hak ini dapat

dilihat pada Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 59 KUHAP;

b. Hak untuk memperoleh ganti kerugian maupun rehabilitasi,

apabila penangkapan, penahanan ataupun penjatuhan pidana

terhadap dirinya tidak berdasarkan hukum. Hak ini dapat

ditemukan dalam Pasal 95, Pasal 97 KUHAP;

c. Hak untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun

tulisan. Hak ini dapat dilihat pada Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62;

d. Hak unmtuk tidak mengeluarkan pernyataan (hak untuk diam).

Hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 52 KUHAP;

e. Hak untuk diperlakukan sama (tanpa diskriminasi). Hak ini dapat

dilihat pada Pasal 153, Pasal 158

f. Hak untuk didampingi oleh penasihat hukum. Hak ini dapat

dilihat pada Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58

dan seterusnya.

Menurut Kansil, dalam KUHAP pelaku kejahatan diberikan hak:35

a. Hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan atau

didakwakan;

b. Hak untuk menerima kunjungan dokter pribadinya selama

penahanan untuk kepentingan;

35 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN> balai Pustaka, 1984: Cetakan Keenam, hlm. 371-374.

17

c. Berhak untuk menerima kunjungan keluarga untuk mendapat

jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha

mendapatkan bantuan hukum ataupun untuk kepentingan

pekerjaan atau kepentingan kekeluargaan;

d. Berhak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari

rohaniawan;

e. Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk

umum;

f. Tidak dibebankan kewajiban pembuktian.

Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai

pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia

dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas

perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan pelaku

bersalah (asas praduga tidak bersalah).

Tujuan diberikannya perlidungan hukum bagi pelaku kejahatan

adalah untuk menghormati hak asasi si pelaku kejahatan agar nasibnya

tidak terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si Pelaku serta

menghindari perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar.36

Selama ini banyak berkembang pemikiran bahwa dengan telah

diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku menjalani hukuman,

maka perlindungan hukum terhadap korban dianggap telah sepenuhnya

diberikan. Akibatnya, ketika korban kemudian menuntut adanya pemberian

ganti kerugian hal tersebut merupakan tindakan yang berlebihan.

Untuk itu, guna mengetahui kaitan antara pemidanaan dengan

perlindungan korban, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan beberapa

teori tentang tujuan pemidanaan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan pemidanaan adalah untuk

memenuhi rasa keadilan.37

36 C.S.T Kansil, op.cit., hlm. 371. 37 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, Mei 2005: Cetakan Pertama, hlm. 4.

18

Ada juga yang mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan dapat

dilihat melalui 2 (dua) teori mengenai alasan-alasan yang membenarkan

(justification) penjatuhan hukuman (sanksi) yaitu Teori Absolut

(Vergeldingstheorie) dan Teori Relatif atau Doeltheorie.38

Menurut Teori Absolut (Vergeldingstheorie), tujuan pemidanaan

sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan

kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau

anggota masyarakat, sedangkan Roeslan Saleh mengatakan sebagai

reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja

ditimpakan negara kepada pembuat delik39.

Menurut Teori Relatif (Doeltheorie), tujuan pemidanaan adalah:40

a. Menjerakan, agar si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak

mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat

umum agar mengertahui jika melakukan perbuatan yang sama, akan

mengalami hukuman yang serupa atau disebut pula general preventie.

b. Memperbaiki pribadi si terpidana, berdasarkan perlakuan dan pendidikan

selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal dan tidak akan

mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebgai orang

baik dan berguna.

c. Membinasakan (menjatuhkan hukuman mati) atau membuat terpidana

tidak berdaya dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.

Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan

bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzonderesanctierecht), sebab

dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana difungsikan untuk

menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan.

Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua sarjana menyetujui

maksud diadakannya pidana seperti itu (sebagai suatu nestapa), karena

muncul pendapat bahwa di samping pidana ditujukan untuk memberikan

38 Leden Marpaung, Asas – Teori – Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, Mei 2005: Cetakan Pertama, hlm. 4. 39 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 5 40 Leden Marpaung, op.cit., hlm. 4.

19

penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, pemidanaan juga

bertujuan agar pelaku dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana

mestinya.

Alasan yang paling menonjol terhadap upaya perubahan tersebut

adalah dengan memperhatikan sisi kemanusiaan, yang memandang bahwa

sekalipun tersangka telah melakukan kesalahan ia tetap berkedudukan

sebagai manusia utuh yang harus tetap diperlakukan sama dengan manusia

lainnya, dan dilindungi hak asasi manusianya. Karena itu, pidana penjara

saat ini sedang mengalami “masa krisis”, karena termasuk jenis pidana yang

kurang disukai. Banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana

perampasan kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektifitasnya maupun

dilihat dari akibat-akibat lainnya menyertai atau berhubungan dengan

dirampasnya kemerdekaan seseorang.”41

Banyaknya kritik yang diarahkan pada bentuk pemidanaan berupa

perampasan kemerdekaan (yang ditujukan untuk membuat jera pelaku),

sehingga berkembanglah bentuk pemidanaan lain yang dianggap lebih

manusiawi yaitu penjatuhan pidana berupa denda atau pemberian ganti

kerugian kepada korban.

Pemberian ganti kerugian pada awalnya merupakan konsep

keperdataan, seperti halnya dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, yang mewajibkan setiap orang yang menyebabkan orang

lain menderita kerugian untuk membayar ganti rugi. Dalam

perkembangannya konsep ini diterapkan pula dalam Hukum Pidana,

mengingat akibat yang ditimbulkan pada korban tindak pidana akan selalu

disertai dengan kerugian, baik mental, fisik maupun material, sehingga

sangat wajar apabila korban pun menuntut ganti kerugian pada pelaku guna

memulihkan derita yang dialaminya.

41 Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan menurut Konsep KUHP Baru dan Latar Belakang Pemikirannya, Bahan Penataran Hukum Pidana, FH. Undana Kupang, 31 Juli-12 Agustus 1989

20

Dengan memperhatikan pada beberapa teori klasik tentang tujuan

pemidanaan, dapat disimpulkan bahwa penjatuhan pidana lebih banyak

ditujukan untuk “kepentingan” pelaku, dengan kata lain, tujuan pemidanaan

hanya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari pelaku kejahatan, agar

tidak mengulangi lagi perbuatannya, sedangkan kepentingan korban sama

sekali diabaikan.

E. Penegakan Hukum sebagai Wujud Perlindungan Hukum Bagi

Korban Kejahatan

Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara

memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh

karena itu masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Masalah

pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius,

dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa,

sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Itali,

September 1985, yang mana dalam salah satu rekomendasinya

menyebutkan:

Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the restoration of rights.

Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang

diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan pada korban

kejahatan (victims of crime ), tetapi juga perlindungan terhadap korban

akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

21

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan

penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang

sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan

masyarakat menujukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh

perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam

Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah

perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting

sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak

asasi dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan.

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling

menderita dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh

perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku

kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi

pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan

sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi

manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga

korban kejahatan.

Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum

(polisi, jaksa) seringkali diperhadapkan pada kewajiban untuk melindungi

dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan

korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena

telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material), dan

kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah tetapi dia tetap

sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar.

Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang

menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu pelaku harus dianggap

sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).

22

Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu

mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban

diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam

membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak

asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan

dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para

korban”.42

Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban

kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik

perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis

berpendapat: “to much attention has been paid to offenders and their rights,

to neglect of the victims”.43 Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti

yang memberi keterangan44 yaitu hanya sebagai saksi, sehingga

kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam

memperjuangkan haknya adalah kecil.45

Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara pidana

dikemukakan pula oleh Prassell yang menyatakan:

“Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault, robbery, theft, and other offences were ignored while police, courts, and academicians concentrated on known violators”.46

Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif

dalam proses penyidikan dan persidangan, sehingga ia kehilangan

kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya

akibat suatu kejahatan.47 Sebagai contoh apabila seorang pelaku tindak

42 Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, 1986, hlm.33. 43 Gilbert Geis, “Victims and Witness Assistance Program”, dalam: Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983: Volume 4, hlm. 1600. 44 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1989: Edisi Pertama – Cetakan Kedua, hlm. 94. 45 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama, hlm. 47. 46 Frank R. Prassel, Criminal Law, Justice, and Society, Santa Monica – California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979, hlm. 65. 47 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 49.

23

pidana kejahatan pencurian mobil berhasil ditangkap aparat kepolisian dan

selanjutnya diproses secara pidana. Pada saat pelaku ditangkap ternyata

mobil hasil kejahatannya telah dijual dan hasilnya telah habis dipakai untuk

berfoya-foya bersama teman-temannya. Dengan ditangkapnya pelaku

tentunya membawa kegembiraan bagi korban, tetapi pada saat korban tahu

bahwa mobil yang dicuri itu telah dijual dan uangnya sudah habis, tentu

dengan ditangkapnya pelaku tidak memiliki arti apapun bagi korban, karena

bagi korban yang lebih penting adalah bagaimana mobil itu dapat kembali

dimiliki, persoalan pelaku kejahatan berhasil ditangkap oleh aparat

kepolisian tidak secara langsung berpengaruh terhadap dirinya.

Ketika mobil yang dicuri telah diasuransikan oleh pemiliknya, maka

kerugian yang diderita korban sedikit banyak dapat teratasi oleh

pembayaran klaim dari perusahaan asuransi. Namun, hal yang berbeda

akan terjadi pada kasus kejahatan kekerasan terhadap wanita, yang mana

penderitaannya sangat beragam, tidak saja penderitaan secara ekonomi,

tetapi juga secara medis dan psikis.

Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, seringkali korban

hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian48 sebagai pelapor dalam

proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu

kunci penyelesaian perkara.49 Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat

memenuhi kewajibannya sebagai saksi di persidangan, ia dikenakan sanksi

sebagaimana Geis berpendapat:

“If Victims complain that they cannot afford the loss of wages or work time to keep returning to court, prosecutors may threaten with fine or jail”.50

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan

diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak

asasi yang menderita. Menderitanya korban bisa disebabkan murni karena

48 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 96. 49 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 51. 50 Gilbert Geis, op.cit., hlm. 1600.

24

pihak lain, tetapi tidak menutup kemungkinan timbul karena keterlibatan

korban di dalamnya, misalnya kedudukan korban dalam tindak pidana

narkotika, perjudian, prostitusi.

Namun demikian secara umum korban merupakan individu atau

kelompok yang menderita secara fisik, mental dan sosial karena tindakan

kejahatan,51 bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan jika

ia melaporkan perbuatan pelaku dan memberikan kesaksian yang

memberatkan pelaku di pengadilan.52 Perhatikan pemeriksaan terhadap

pelaku (terdakwa) kasus Timor-Timur. Para korban banyak yang mengalami

ketakutan segera setelah memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku.

Bahkan, ada beberapa korban (saksi) yang tidak berani untuk memberikan

kesaksian karena adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu.

Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil (KUHAP) lebih

menitikberatkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan)

daripada korban, seolah-olah terdapat suatu perbedaan atau pemisahan

yang tajam antara si pembuat korban dengan si korban, walaupun keduanya

memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana.53

Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan

pencari keadilan.54 Bahkan Geis berpendapat: “Tend to be treated like

pieces of evidence than like human beings”.55

Sebagaimana dikemukakan di atas, korban kejahatan umumnya akan

mengalami berbagai penderitaan, sebagai contoh wanita korban perkosaan.

Seorang wanita korban perkosaan selain menderita secara fisik, juga

mengalami tekanan batin yang hebat akibat perkosaan, seperti perasaan

kotor, berdosa dan tidak punya masa depan, serta terkadang mendapat

51 Lihat Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspekif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atma Jaya, 2001: Edisi Pertama: Cetakan Pertama, hlm. 135. 52 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 48. 53 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 93. 54 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 49. 55 Gilbert Geis, op.cit., hlm. 1600.

25

perlakuan tidak adil dari masyarakat akibat budaya tabu terhadap hubungan

seks di luar nikah.56

Korban perkosaan seringkali menjadi korban ganda, ketika harus ke

rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri biaya

transportasi dan perawatan rumah sakit,57 sedangkan pelaku apabila terluka

dan membutuhkan perawatan, mendapat perlakuan khusus sebagaimana

dikatakan Geis:

“Criminals are taken care of by the state. Offenders who have been wounded by the police while being apprehended receive free hospital care. Victims on other hand, generally have to cover costs from their own resource for injuries sustained”.58

Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan hingga

pemeriksaan dilalui korban jika ingin memperjuangkan hak perlindungan

hukum, yang mana proses pemeriksaan tersebut menambah daftar

penderitaannya.59 Seringkali proses ini harus dilalui oleh korban sebelum

kesehatannya benar-benar pulih. Belum lagi jika korban perkosaan

mengalami kehamilan akibat pemerkosaan, yang biasanya memicu

terjadinya pengguguran kandungan .

Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian

kebenaran materiil yaitu sebagai saksi.60 Dalam tahap pemeriksaan, seperti

halnya korban perkosaan, tidak sedikit yang mengabaikan hak-hak asasi

korban, misalnya, korban diperiksa tanpa didampingi oleh tenaga medis,

ditanya dengan mempergunakan kalimat-kalimat yang terkesan vulgar, dan

sebagainya, sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hakim, korban

dikecewakan dengan putusan pidana karena putusan yang dijatuhkan pada

pelaku relatif ringan, tidak sebanding dengan penderitaan yang harus

ditanggung oleh korban.

56 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 135. 57 Ibid., hlm. 136. 58 Gilbert Geis, op.cit., hlm. 1600. 59 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlidungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: PT. Refika Aditama, 2001, hlm. 75. 60 Lihat Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 47-48..

26

Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti

rugi bagi korban perkosaan, sehingga posisi wanita tetap berada di posisi

yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan.61

Lidya Suryani dan Sri Werdani berpendapat bahwa KUHAP kurang

memberikan perhatian terhadap korban kejahatan, khususnya korban

kejahtan perkosaan sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga

membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar. 62

Dalam penegakan Hukum Pidana Nasional (baik KUHP maupun

KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan Hukum Pidana

Nasional tersebut yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan

kedudukan dan kepentingan korban, ternyata hingga sekarang hanyalah

sebuah regularitas yang bersifat “rutin” namun ‘tanpa makna” ketika harus

berhadapan dengan pentingnya perlindungan hukum korban kejahatan.63

Jikalau Hukum Pidana Nasional berlaku secara umum untuk seluruh wilayah

Indonesia, muncul pertanyaan, berlaku untuk siapa ketentuan tersebut jika

tidak memperhatikan kepentingan para korban kejahatan. Baik KUHP

maupun KUHAP seolah-olah layaknya sebuah hyperealitas hukum, yaitu

undang-undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan pelaksana

undang-undang berubah menjadi mayat hidup, robot dan mesin dengan

remote control yang pada akhirnya realitas undang-undang menopengi

kebenaran dan undang-undanglah kejahatan.64

61 Ibid., hlm. 74. 62 Lihat Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit., hlm. 77. 63 Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmoderisme, Bandung: Pustaka Mizan, Juni 1998: Cetakan Kedua, hlm. 15: Fraktal: perkembangbiakan regular dalam keacakan fisika atau matematika. Secara analogis, perkembangan nilai di dalam masyarakat psmodern – nilai-nilai diproduksi secara berlimpah ruah, tetapi hanya menghasilkan regularitas yaitu kehampaan nilai; Baudrillard menyoroti perubahan-perubahan nilai denganmenekankan aspek regularitas dalam kerangka pelipatgandaan nilai-nilai yang tanpa batas, bergati dari hari ke hari, akan tetapi hasilnya akan selalu hal yang sama selalu regular, yaitu kehampaan nilai (Lihat Yasraf Amir Piliang, op.cit., hlm. 121n). 64 Lihat R. Otje Salman S Dan Anthion F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, Desember 2005: Cetakan Kedua, hlm. 137.

27

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting, karena

masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau

bahkan sebagai pelaku kejahatan.

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,

seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayan medis, bantuan

hukum.

Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah

saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang

mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban

sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum

(equality before the law). Perhatian kepada korban dalam penanganan

perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat

atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).65

.

65 Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 107. Pandangan ini lahir mengingat terlalu banyaknya instrumen HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku tindak pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang seharusnya dilakukan seolah-olah dilupakan atau paling tidak kurang diperhatikan.

28

Bagian 2

VIKTIMOLOGI DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN

A. Pengertian Viktimologi

Apabila hendak menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang tepat,

maka cara pandang kita sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal

berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang

efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan, namun hal lain yang

tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban kejahatan itu

sendiri, yang dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menjadi pemicu

munculnya kejahatan.

Pada saat berbicara tentang korban kejahatan, maka cara pandang

kita tidak dapat dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat

diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti: faktor

penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat menjadi

korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban

korban kejahatan.

Viktimologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang relatif baru jika

dibandingkan dengan cabang ilmu lain, seperti sosiologi dan kriminologi.

Sekalipun usianya relatif muda, namun peran viktimologi tidak lebih rendah

dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu yang lain, dalam kaitan

pembahasan mengenai fenomena sosial.

Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan

logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi

yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-

akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu

kenyataan sosial.

Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang luas, karena tidak

hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian tetapi

juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang

29

dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan

terhadap korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung

atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.

Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas

kejahatan dikarenakan korban seringkali memiliki peranan yang sangat

penting bagi terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang

luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat

memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang

pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kuantitas dan kualitas

kejahatan.

Sejalan dengan semakin berkembangnya viktimologi, sebagai cabang

ilmu baru, berkembang pula berbagai rumusan tentang viktimologi. Kondisi

ini hendaknya tidak dipandang sebagai pertanda tidak adanya pemahaman

yang seragam mengenai ruang lingkup viktimologi, tetapi harus dipandang

sebagai bukti bahwa viktimologi akan selalu berkembang sejalan dengan

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang

mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan

manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Melalui perumusan ini

membawa akibat perlunya suatu pemahaman, sebagai berikut:

a. sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang

sebenarnya secara dimensional;

b. sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara

fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;

c. sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur

struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.66

Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban

kejahatan (viktimologi), tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pemikiran-

66 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 40

30

pemikiran brilian dari Hans von Hentig, seorang ahli kriminologi pada tahun

1941 serta Mendelsohn, pada tahun 1947. Pemikiran dari kedua ahli ini

sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi.

Perkembangan viktimologi hingga sampai pada keadaan seperti

sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami

berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) fase.

Pada tahap pertama viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan

saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal or special victimology”.

Sementara itu, pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah

korban kejahatan tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini

disebut sebagai “general victimology”. Fase ketiga. Viktimologi sudah

berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena

penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan

sebagai “new victimology’.67

Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa yang menjadi obyek

pengkajian dari viktimologi, diantaranya: pihak-pihak mana saja yang

terlibat/mempengaruhi terjadinya suatu viktimisasi kriminal, bagaimanakah

respon terhadap suatu viktimisasi kriminal, faktor penyebab terjadinya

viktimisasi kriminal, bagaimanakah upaya penanggulangannya, dan

sebagainya.

B. Viktimologi Dalam Perkembangan

Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang paling banyak

disoroti adalah si pelaku. Padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang

paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi,

sedikit sekali hukum-hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang

dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan

terhadapnya.68

67 Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm. 200 68 Lihat Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II, LKUI, Jakarta, 1994:, hal 81 yang mengatakan, ” Sistem peradilan pidana sekarang ini berlaku

31

Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak mengatakan

bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan

memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Hal yang

mana juga disebutkan oleh Reif: “The problem of crime, always get reduced

to what can be done about criminal. Nobody asks what can be done about

victim? Everyone assumes the best way to help the victim is to catch

criminal as though the offender is the only source of the victims trouble”.

Padahal apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan secara

komprehensif, maka kita tidak boleh mengabaikan peranan korban dalam

terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memperhatikan pada aspek pencarian

kebenaran materiil sebagai tujuan yang akan dicapai dalam pemeriksaan

suatu kejahatan, peranan korban pun sangat strategis, sehingga sedikit

banyak dapat menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh

hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.

Tidak berlebihan apabila selama ini berkembang pendapat yang

menyebutkan bahwa korban merupakan aset yang penting dalam upaya

menghukum pelaku kejahatan.

Pada sebagian besar kasus-kasus kejahatan, korban sekaligus

merupakan saksi penting yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan.

terlalu difokuskan pada pelaku (menyidik, menangkap, mengadili dan menghukum pelau) dan kurang sekali memperhatikan korban, Yang acapkali terjadi adalah bahwa terlibatnya korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan rasa ketidakberdayaannya serta frustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup. Sistem peradilan pidana dewasa ini memang terlalu ”offender centered”, sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi korban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan simbolik” Lihat juga Andrew Karmen, Deviants, Victim or Victimizer, Sage Publication, London, 1983, hal. 245 “ A major concern of victimologist has been to assess the quality of service delivered to victims by the criminal justice system. Victims of rape have been studied most extensively. The finding of these inquiries have led to be concepts of the second wound. Victims are harmed twice, once by the offender and again by the criminal justice system official who heap additional abuse upon them. The major source affrications between all kinds of victims and the police revolve around the inability first did in the immediate aftermath of the incidents, the tendency of detectives to unfound the complaints of certain victims for certain crimes, the pattern of law arrest rates for particular offences, even when the victims cooperate fully and the pattern of law recovery rates for returning stolen property. Victims are in conflict with prosecutors over the dropping of charges and over the defense attorney to resolve cases by allowing accused person to plead guilty to less charges”

32

Sayangnya, dalam kerangka pemeriksaan suatu perkara di mana korban

merupakan saksi bagi pengungkapan suatu kejahatan, korban hanya

diposisikan sebagai instrumen dalam rangka membantu aparat penegak

hukum untuk menghukum si pelaku, dan tidak pernah berlanjut pada apa

yang dapat negara serta aparat penegak hukum lakukan untuk si korban,

sehingga penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan

seperti keadaan sebelum terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya.

Apabila dikaji, dilupakannya persoalan korban tersebut disebabkan

antara lain karena:69

a. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang

sebenarnya secara multi dimensional;

b. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang tidak

didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi kriminal;

c. Kurangnya pemahaman bahwa masalah kejahatan merupakan masalah

kemanusiaan, demikian pula masalah korban.

Perhatian kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada

saat Hans von Hentig pada tahun 1941 menulis sebuah makalah yang

berjudul “Remark on the interaction of perperator and victim”. Tujuh tahun

kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul “The criminal and his

victim” yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang

menentukan dalam timbulnya kejahatan,70 yang mempelajari hubungan

antara pelaku dan korban (victim-offender relationship) dari aspek

penderitaan korban dan aspek korban sebagai pemicu dan mengakibatkan

kejahatan.71

69 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif ViktimoloGI, Kriminologi dan Hukum Pidanan, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hal. 173 70 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1989: Edisi Pertama – Cetakan Kedua, hlm. 78. 71 Lihat Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama, 21.

33

Dalam bukunya yang berjudul The criminal and his victim tersebut, von

Hentig membagi 6 (enam) kategori korban di lihat dari keadaan psikologis

masing-masing, yaitu:

1. The depressed, who are weak and submissive;

2. The acquasitive, who succumb to confidence games and racketeers;

3. The wanton, who seek escapimin forbidden vices;

4. The lonesome and heartbroken, who are susceptible to theft and fraud;

5. The termentors, who provoke violence, and;

6. The blocked and fightings, who are unable to take normal defensive

measures.72

Pada tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit,

Mendelhson menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial

horizons: Victomology”. Pada saat inilah Benjamin Mendelhson, seorang

pengacara di Jerusalem dianggap orang yang pertama kali mempergunakan

istilah victimology dalam bukunya yang berjudul “Revue Internationale de

Criminologie et de Police Technique”.73

Pembahasan mengenai Korban oleh von Hentig dan Mendelhson

kemudian hari diikuti pula oleh sarjana-sarjana lain diantaranya seperti

Ellenberger (1954), yang melakukan suatu studi tentang hubungan

psikologis antara penjahat dengan korban, bersama dengan H. Mainheim

(1965), Schafer (1968) dan Fiseler (1978).74

Kemudian pada tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan berbagai

pengamatan mengenai subyek ini dalam tulisannya berjudul “de Criminaliteit

van Oss, Groningen”. Dan sepuluh tahun kemudian dapat dikatakan

viktimologi menjadi isu yang menarik dalam perkembangan ilmu

pengetahuan.

72 Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society, Santa Monica – California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979, hlm. 66. 73 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Op. Cit., hal. 22. 74 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, Op. Cit., hlm. 174.

34

Pada tahun 1959 P. Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar lagi dari kriminologi

dan viktimologi harus diperhatikan dalam membuat kebijakan kriminal dan

juga dalam pembinaan para pelaku kejahatan.75 Baik Cornil maupun Nagel

memperluas wilayah bahasan kriminologi sampai masalah korban.76

Perhatian terhadap korban kejahatan akhirnya diwujudkan dalam suatu

simposium internasional di Jerusalem pada tanggal 5-6 September 1973.

Dalam simposium di Jerusalem ini berhasil dirumuskan beberapa

kesimpulan, yaitu: viktimologi dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah

mengenai para korban, dan kriminologi telah diperkaya dengan suatu

orientasi viktimologi.

Simposium kedua diadakan di Boston, pada tanggal 5-9 September

1976. Victimologi dianggap penting karena dapat membantu menambah

kecerahan dalam menghadapi penjahat dan korbannya.77 Studi lebih lanjut

tentang viktimologi juga telah dilakukan dalam bentuk Postgraduate Course

on the Victim of Crime in The Criminal Justice System juga telah dua kali

dilakukan di Dubrovnick, Yugoslavia. Setelah mengalami berbagai kesulitan

pada saat diselenggarakannya simposium yang kedua di Boston, maka

pada tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of

Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin.78 Perjalanan

panjang untuk menghasilkan suatu prinsip-prinsip dasar tentang

perlindungan korban memang sangat terasa, sekalipun demikian cita-cita

tersebut akhirnya dapat terwujud pada saat diadakan kongres di Milan, Italia

pada tanggal 26 Agustus sampai dengan 6 September 1985 dengan nama

75 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 78. 76 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 174. 77 Lihat Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 78. 78 Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 108. Pada tahap ini viktimologi diartikan sebagai suatu studi ilmiah tentang tingkat, hakikat dan kausa kriminal, konsekwensinya terjadap orang-orang yang terlibat dan reaksi yang ditimbulkan melalui masyarakat, khususnya polisi dan sistem peradilan pidana maupun para pekerja sosial dan profesional. Lihat Muladi, dalam KKR dan Keadilan Restoratif, Kompas 21 April 2005

35

Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang

menghasilkan beberapa prinsip-prinsip dasar tentang korban kejahatan dan

penyalahgunaan kekuasaan, yang selanjutnya di adopsi oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi

yang dinamakan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of

Crime and Abuse of Power.79

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa viktimologi pada

mulanya berwawasan sempit sebagaimana dikemukakan oleh von Hentig

dan Mendelson. Wawasan yang lebih luas kemudian dikembangkan oleh

Mendelsohn. Viktimologi yang berinklusif wawasan hak-hak asasi manusia

(juga disebut the new victimology) dikembangkan oleh Elias. Yang kemudian

memperluas wawasan viktimologi sehingga mencakup penderitaan manusia

(kemanusiaan) adalah Separovic.80

New Victimology ini bertujuan untuk:81

(1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban,

(2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebaba musabab terjadinya

viktimisasi, dan

(3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan

manusia.

Sejak dimulainya studi tentang kepribadian korban yang dilakukan oleh

Benyamin Mendelsohn pada tahun 1937, viktimologi sebagai applied

science bagi hukum pidana dan kriminologi terus berkembang. Bahkan

sampai saat ini telah dilakukan lima kali simposium internasional tentang

79 Menurut Muladi, pemahaman victimologi tahap pertama (penal victimology) yang cenderung bersifat ilmiah maupun victimologi tahap kedua (assistance-oriented victimology) yang cendrung merupakan tindakan pelayanan atau kebijakan yang berorientasi pada korban merupakan penggerak diadopsinya UN General Assembly’s Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power pada tahun 1987 beserta panduan pelaksanannya bagi pengambil kebijakan. 80 J.E. Sahetapi, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm. V. 81 Dr. Muladi, SH disampaikan pada seminar Viktimologi di Universitas Airlangga Surabaya, tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Prof. Muladi, SH, Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 76

36

Viktimologi dan terakhir di Zagreb, Yugoslavia pada tahun 1985, di samping

pertemuan-pertemuan ilmiah lain yang diselenggarakan di pelbagai

negara.82

Memang harus diakui bahwa kajian mengenai viktimologi relatif

kurang diminati dikalangan praktisi hukum sehingga dari waktu ke waktu

perkembangannya jauh tertinggal dibandingkan dengan kajian lainnya

seperti kriminologi, penintensier, dan sebagainya. Terbukti bidang

viktimologi miskin dengan literatur serta kajian-kajian ilmiah lainnya. Hal ini

dikarenakan dalam penangan perkara pidana perhatian yang diberikan

kepada pelaku lebih banyak daripada korban sebagaimana Prassell

berpenpadat:

“Victim was a forgotten figure in the study of crime. Victims of

assaults, robbery, theft, and other offenceses were ignored while

police, courts, and academicians concentrated on known violators”.83

Sekalipun demikian tidak berarti bahwa viktimologi merupakan bidang

yang tidak memerlukan perhatian yang serius dibandingkan dengan bidang

kajian lainnya, karena melalui viktimologi akan dapat diperoleh masukan

dalam menghadapi dan menanggulangi masalah kejahatan yang semakin

hari semakin meningkat.

C. Ruang Lingkup Viktimologi

Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada

terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya

posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana.84 Selain

itu, menurut Muladi viktimologi merupakan suatu studi yang bertujuan untuk:

1. Menganalisa pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

82 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Uiversitas Dipenogoro, Semarang, 2002, hlm. 65 83 Frank R. Prassel. op.cit., hlm. 65. 84 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 174.

37

2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya

viktimasi

3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan

manusia.85

Menurut J..E Sahetapy ruang lingkup Viktimologi meliputi bagaimana

seseorang (dapat) menjadi korban, yang ditentukan oleh suatu victimity

yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, 86 termasuk pula

korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan

penyalah gunaan kekuasan.87 Namun dalam perkembangannya di tahun

1985, dipelopori oleh Separovic yang mempelopori pemikiran agar

Viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan penyalah

gunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau

bencana alam, karena korban bencana alam di luar kemauan manusia (out

of man’s will).88

Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai objek kajian daripada

Viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di Geneva tahun

1975 Kongres Keenam Tahun 1980 di Caracas yang meminta perhatian

bahwa korban kejahatan dalam cakupan Viktimologi bukan hanya kejahatan

konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan dan lainnya,

tetapi juga kejahatan inkonvensional, seperti terorisme, pembajakan, dan

kejahatan kerah putih.89

Dalam Kongres PBB Kelima di Geneva tahun 1975 dihasilkan

kesepakatan untuk memperhatikan kejahatan yang disebut sebagai crime as

business yaitu kejahatan yang bertujuan mendaatkan keuntungan materiil

melalui kegiatan dalam bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan

secara terorganisir dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai 85 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 176. 86 Ibid., hlm. 176. 87 Lihat Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, dalam: Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Op.Cit., hlm. 108. 88 Ibid., hlm. 109. 89 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 177-178.

38

kedudukan terpandang dalam masyarakat, seperti pencemaran lingkungan,

perlindungan konsumen, perbankan dan kejahatan-kejahatan lain yang

biasa dikenal sebagai organized crime, white collar crime90 dan korupsi.

Dalam Kongres PBB Keenam Tahun 1980 di Caracas dinyatakan bahwa

kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan merugikan bukan

hanya kejahatan-kejahatan terhadap nyawa, orang, dan harta benda, tetapi

juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse power), sedangkan dalam Kongres

PBB Ketujuh Tahun 1985, menghasilkan kesepakatan untuk memperhatikan

kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap atau dipandang

membahayakan seperti economic crime, environmental offences. illegal

trafficking in drugs, terrorism, apartheid dan industrial crime.91

D. Korban dan Kejahatan

1. Korban

Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini

adalah untuk sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas-

batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh

kesamaan cara pandang.

Korban dari suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu

atau orang perorangan, akan tetapi bisa juga berupa kelompok orang,

masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu,

korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti

tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita

90 White Collar Crime sebagaimana dikatakan oleh Edwin Sutherland (1939) pada awalnya hanya dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku “terhormat” dengan status sosial yang cukup tinggi, walau terjadi perluasan maksa bahwa perbuatan itu juga menghindari adanya physical violence and force (oleh Chamber of Commerce USA, 1974), baru terakhir terjadi perubahan makna yang lebih luas. Selengkapnya lihat Indriyanto Seno Adjie, Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korupsi Perbankan, Modul Kuliah “Kejahatan Bisnis”, Program Pascasarjana, Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Jakarta, 2002. 91 Ibid, hlm 117

39

temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahaan ini,

korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk didalamnya.

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan, baik oleh para ahli

maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas

mengeai korban kejahatan, sebagian di antaranya adalah:

1. Arief Gosita

Menurutnya, korban adalah ” mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.92

2. Ralph de Sola

Korban (victim) adalah ”... person who has injured mental or physical

suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted

criminal offense committed by another...”93

3. Cohen

Korban (victim) adalah ”... whose pain and suffering have been neglected

by the state while it spends immense resources to hunt down and punish

the offender who responsible for that pain and suffering:94

4. Z.P. Separovic

Korban (victim) adalah ” ... the person who are threatened, injured or

destroyed by an actor or omission of another (mean, structure,

organization, or institution) and consequently; a victim would be anyone

who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only

criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic

offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be

92 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Op.Cit., hal.63 93 Ralph de Sola, Crime Dictionary, Facts on File Publication, New York, 1998, hal. 188 94 Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, tanpa tahun, hal.9

40

caused by another man or another structure, where people are also

involved”95

5. Muladi

Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual

maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau

mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-

haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar

hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan

kekuasaan.96

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman

kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

7. Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian

ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan

hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang

berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang Berat

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang

mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia

yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari

ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.

95 Z.P. Separovic, Victimology, Op. cit., hal. 29 96 Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, op.cit., hlm. 108.

41

9. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power 1985

Korban (victims) means persons who, individually or collectively, have

suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering,

economic loss or substantial impairment of their fundamental rights,

through acts or omission of criminal laws operative within Member

States, including those laws proscribing criminal abuse of power”……

through acts or omissions that do not yet constitute violations of national

criminal laws but of internationally recognized norms relating to human

rights.

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, maka

dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan

atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-

perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya,

bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau

tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami

kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk

mencegah viktimisasi.

Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian

korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian

karena menjadi korban kejahatan, akan tetapi kerugian atas terjadinya

pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya

suatu pekerjaan, yang mana walaupun yang disebut terakhir lebih banyak

merupakan persoalan perdata, akan tetapi pihak yang dirugikan tetap saja

termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara

materiil maupun secara mental.

2. Tipologi Korban

42

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk

lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga

kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu: 97

a. Nonparticipating victims yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya

penanggulangan kejahatan;

b. Latent victims yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu

sehingga cenderung menjadi korban;

c. Procative victims yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya

kejahatan;

d. Participating victims yaitu mereka yang dengan perilakunya

memudahkan dirinya menjadi korban;

e. False victims yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang

dibuatnya sendiri.

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan

dengan tipologi korban yang diindentifikasi menurut keadaan dan status

korban, yaitu:

a. Unrelated victims yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali

dengan korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus

ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.

b. Provocative victims yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya

menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga

sebagai pelaku,

c. Participating victims yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi

dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi;

d. Biologically weak victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki

kelemahan yang menyebabkan ia menjadi;

97 Ibid, hlm. 42.

43

e. Socially weak victims yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang

lemah yang menyebabkan ia menjadi;

f. Self victimizing victims yaitu mereka yang menjadi korban karena

kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi,

aborsi, prostitusi.98

Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu:

a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan

(bukan kelompok),

b. Secondary victimization yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum,

c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas,

d. No victimization yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya

konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen

Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe korban, yaitu:

a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi

korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.

b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang

merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini,

korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan,

sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban,

c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-

anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin,

golongan minoritas dan sebagainya adalah orang-orang yang mudah

menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan pelaku,

tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

98 Schafer dalam Separovic sebagaimana dikutip dari Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 42, Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS, dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 176-177.

44

d. Korban karena ia sendiri adalah pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai

kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zinah, adalah beberapa

kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Yang bersalah adalah

korban karena ia juga sebagai pelaku.

3. Hak-hak Korban

Setiap hari, masyarakat banyak memperoleh informasi tentang

berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai mass media

cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit

menimbulkan berbagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga

keluarganya.

Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam

beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulangi baik

melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun represif, dan

semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga

yang berkompeten.

Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga

yang khusus menanganinya.99 Namun, untuk tahap awal perlu disampaikan

terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja

yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari

mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang

menimpa dirinya.

99 Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, seperti di Michigan, telah ada suatu lembaga yang didirikan khusus untuk membantu korban kejahatan dan orang-orang yang membantu korban, yang bukan karena kesalahannya, telah menderita kerugian sebagai akibat dari suatu kejahatan. Lembaga ini dinamakan The Crime Victim’s Compensation Board. Bantuan yang disediakan adalah bantuan untuk pelayanan kesehatan, atau pelayanan-pelayanan lain yang diperlukan, seperti biaya pemakaman, bantuan karena kehilangan penghasilan, dan sebagainya. Untuk memperoleh bantuan ini, maka klaim harus diajukan kepada The Crime Victim’s Compensation Board, P.O.Box 30026, Lansing, Michigan 48909, biasanya dalam jangka waktu 30 hari sesudah terjadinya kejahatan, atau 90 hari setelah kematian korban.

45

Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa

diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang

mempengaruhi korban, baik yang sifatnya internal maupun eksternal.

Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan (fisik,

mental, atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak

mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai

alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari masyarakat menjadi tahu

kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi

dirinya maupun keluarganya), sehingga lebih baik korban

menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan ganti

kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang

dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang

berkepanjangan.

Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya

mempergunakan hak-hak yang telah disediakan baginya. Oleh karena itu,

adanya beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga

korban kejahatan, yang meliputi:

1. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya.

Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak

lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk

menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan.100

2. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;

3. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;

4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

5. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;

6. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis

100 Konsep restitusi dan kompensasi berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah restitusi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kejahatan terhadap korban, sedangkan kompensasi sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara.

46

7. Hak untuk diberitahu bilamana pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari

tahanan sementara, atau bilamana pelaku buron dari tahanan.101

8. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan

dengan kejahatan yang menimpa korban;

9. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan

nomor telepon atau identitas korban lainnya.

Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-undang No. 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), korban

berhak mendapatkan:

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantyuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

e. pelayanan bimbingan rohani.

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/A/Res/34 Tahun 1985

juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih udah

memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu:

a. Compassion, respect and recognition;

b. Receive information and explanation about the progress of the case;

c. Provide information;

d. Providing proper assistance;

101 Hak ini sudah diterapkan di Australia, khususnya di negara bagian New South Wales, dilakukan dengan cara korban mengisi nama pada formulir Daftar Korban pada departemen/lembaga yang bertanggung jawab atas penahanan seseorang yang telah melakukan tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.

47

e. Protection of privacy and physical safety;

f. Restitution and compensation;

g. To access to the mechanism of justice system.

4. Kewajiban Korban

Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai,

mulai dari hak atas bantuan keuangan (finasial) hingga hak atas pelayanan

medis dan bantuan hukum, tetapi tidak berarti kewajiban dari korban

kejahatan diabaikan eksistensinya, karena melalui peran korban dan

keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara

signifikan.

Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan,

antara lain:

h. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas

dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);

i. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan

terulangnya tindak pidana;

j. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai

terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;

k. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan

kepada pelaku;

l. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa

dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;

m. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam

upaya penanggulangan kejahatan;

n. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak

menjadi korban lagi.

48

5. Kejahatan

Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada definisi

baku yang di dalamnya mencakup semua aspek kejahatan secara

komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dilihat dari aspek

yuridis, sosiologis maupun kriminologis.

Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan

perspektif orang dalam memandang kejahatan sangat beragam, di samping

tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis

kejahatan yang akan dirumuskan. Sebagai contoh pengertian kejahatan

korporasi (corporate crime), jenis kejahatan ini acapkali digunakan dalam

pelbagai konteks dan penamaan. Tidaklah mengherankan kalau di Amerika

Serikat, di mana setiap negara bagian menyusun perundang-undangannya,

terdapat lebih kurang 20 perumusan yang bertalian dengan kejahatan

korporasi.102

Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang

bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan merupakan suatu

perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan

paling tidak disukai oleh rakyat.103

Black menyatakan bahwa crime is a social harm that the law makes

punishable; the breach of a legal duty treated as the subject-matter of a

criminal proceeding”,104 sedangkan Huge D. Barlow, sebagaimana dikutip

102 Van Duyne, 1990, sebagaimana dikutip oleh J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Refika, 2002, hlm. 1. Lebih lanjut disebutkan: Dalam pada itu perlu dicatat bahwa istilah kejahatan korporasi (corporate crime) acapkali digunakan dalam konteks white-collar crime, organizational crime, organized crime, geoganiseerde misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crimes of business (business crime), syndicate crime. 103 Abdul Wahid, et,al, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, 2004, hlm. 52 104 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul – Minnesota: West Group Publishing Co., 1999: 7th Edition, Editor in Chief: Bryan A. Garner, hlm. 380.

49

oleh Topo Santoso dan Eva A. Zulfa, menyebutkan Kejahatan adalah a

human act that violates the criminal law105

Van Bemmelen merumuskan Kejahatan adalah tiap kelakuan yang

tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak

ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu

berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu

dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan

tersebut.106

Jikalau dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka perumusan kejahatan menurut

Kitab Undang-undag Hukum Pidana adalah semua bentuk-bentuk perbuatan

yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana.

Sekalipun perumusan kejahatan sangat beragam namun pada intinya

memiliki kesamaan unsur, dengan mengacu pada pendapat Kimball, maka

unsur-unsur (elemen) kejahatan adalah:107

1. An actor;

2. With a guilty mind (mens rea);

3. Who causes;

4. Harm;

5. In particular way or setting, and;

6. A lawmaker who has decreed that these circumstances expose the

actor to imposition of fine, imprisonment, or death as a penalty.

Meskipun banyak definisi yang dikemukakan para ahli mengenai

kejahatan, pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang

105 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafisindo, 2002, hlm. 13 106 Simanjuntak, dalam Abdul Wahid, et, al, ibid, hlm. 52 107 Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime”, dalam: Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983: Volume 1, hlm. 302..

50

diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak

atau bertentangan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku

dalam masyarakat, sehingga ukuran untuk menentukan apakah suatu

perbuatan merupakan kejahatan atau bukan adalah “apakah masyarakat

secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis serta perbuatan

tersebut secara psikologis merugikan sehingga dimasyarakat muncul rasa

tidak aman dan melukai perasaan?”

Karena ukuran pertama dalam menentukan apakah suatu perbuatan

merupakan kejahatan atau bukan adalah norma-norma yang hidup dan

dianut oleh masyarakat setempat, tentunya sukar untuk menggolongkan

jenis-jenis perbuatan mana saja yang dapat disebut dengan kejahatan.

Kesukaran ini muncul sebagai dampak dari adanya keberagaman suku dan

budaya. Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin merupakan sebuah

kejahatan, tetapi di daerah lain kejahatan tersebut bisa saja tidak dianggap

sebagai kejahatan. Contoh dalam budaya Madura, membunuh orang

sebagai bentuk balas dendam yang lajim dikenal dengan sebutan carok,

tentunya lebih merupakan sebuah upaya membela harkat dan martabat

keluarga dari pada disebut sebagai upaya pembunuhan, sehingga ketika

carok dilakukan oleh seseorang, maka pihak keluarga pelaku menganggap

tindakan tersebut sebagai sebuah sikap “pahlawan”.

Namun kita tidak boleh digiring kearah pendikotomian antara budaya

dan kejahatan. Kejahatan tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan dengan

mengatasnamakan adat dan budaya, karena kejahatan tetap saja

merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi

masyarakat.

Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh aksi kejahatan yang selalu

menimbulkan korban, baik secara finansial atau materiil, secara fisik

maupun psikis, nampak jelas digambarkan oleh Von Hentig dalam bukunya

”Crime, Causes and Conditions” (1947), dikatakan bahwa pada tahun 1941

saja, kerugian secara materiil diderita oleh 28.500.000 penduduk dari 231

kota di Amerika Serikat bisa mencapai 13.000.000. Kerugian ini pun hanya

51

merupakan angka dari 3 jenis kejahatan saja, yaitu perampokan, pencurian

dengan kekerasan, serta pencurian biasa. Angka ini belum lagi ditambah

dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai tugas kepolisian,

kejaksanaan serta kehakiman beserta aparatur lainnya yang

berhubungan.108

Sebagai perbandingan, di Indonesia akibat dari terjadinya kasus

peledakan Bom di Legian Bali pada 12 Oktober Tahun 2002 ( Bom Bali I),

kerugian yang diderita adalah korban jiwa lebih kurang 192 (seratus

sembilan puluh dua) orang, korban luka-luka sebanyak kurang lebih 161

(seratus enam puluh satu) orang, menghancurkan bangunan Sari Club dan

Paddy’s Pub dan merusakkan bangunan lainnya berjumlah kurang lebih 422

(empat ratus dua puluh dua) unit dan atau merusak fasilitas publik atau

fasilitas umum berupa kerusakan jaringan telepon, listrik dan saluran air

PDAM.109 Kerugian ini belum termasuk pembatalan paket-paket wisata

asing dan domestik yang akan berkunjung ke Bali dan ke daerah-daerah

Indonesia lainnya serta perekonomian nasional yang mengalami

penurunan secara drastis.

Di samping kejahatan-kejahatan sebagaimana diuraikan di atas, dalam

kriminologi dikenal pula apa yang disebut dengan kejahatan tanpa korban

(Victimless crime). Menurut Black, victimless crime adalah: “A crime is

considered to have no direct victim, because only consenting adults are

involved. Examples are possession of drugs, deviant sexual intercourse

between consenting adults, and prostitution”.

Victimless crime tidak menimbulkan keluhan di masyarakat kecuali

pihak penegak hukum seperti polisi, sebagaimana dikatakan Frase:”

“The practical arguments against Victimless crime appear to derive

from three attributes of these offenses: 108. W. A. Bonger dan G.H. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, , Pengantar Tentang Kriminologi, P.T. Pembangungan, Jakarta, 1995:Cetakan ketujuh, hal.23 109 dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus peledakan bom di Legian Bali dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan.

52

1. Most involve no complaining parties other than police officers

2. Many involve the exchange of prohibited goods or services that

are strongly desired by the participants; and

3. All seek to prevent individual or sosial harms that are widely

believed to be less serious than the harms involved in crimes with

victims.”110

Kejahatan tanpa korban (victimless crime) biasanya terjadi pada tindak

pidana narkotika, perjudian, prostitusi, pornografi, di mana hubungan antara

pelaku dan korban tidak kelihatan akibatnya. Tidak ada sasaran korban

sebab semua pihak adalah terlibat dalam kejahatan tersebut. Namun

demikian, jika dikaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban

(victimless crime) ini sebetulnya tidak tepat karena semua perbuatan yang

masuk ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik

secara langsung maupun tidak langsung, atau dalam bahasa agamanya

perbuatan-perbuatan yang dilakukan ini lebih banyak mudharatnya daripada

manfaatnya.111

6. Hubungan Korban Kejahatan Dan Pelaku Kejahatan

Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu

kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi

korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa hubungan

antara korban dan pelaku adalah hubungan sebab akibat. Akibat dari

perbuatan pelaku yaitu suatu kejahatan dan korban yang menjadi objek

110 Richard Frase, “Victimless Crime”, dalam: Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983: Volume 4, hlm. 1608. 111 Tutty Alawiyah, A.S, kata sambutan dalam buku Tindak Pidana Narkotika dari Moh Taufik Makarao, et.al, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. vii. Tutty Alawiah lebih lanjut mengatakan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut lebih tepat disebut dengan istilah kejahatan yang disepakati (concensual crimes)

53

sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita karena

kejahatan.112

Kerugian yang dialami oleh korban akibat terjadinya suatu kejahatan

tidak selalu berupa kerugian materiil, atau penderitaan fisik saja, akan tetapi

yang paling besar pengaruhnya adalah kerugian atau dampak psikologis.

Korban kejahatan bisa terus merasa dibayang-bayangi oleh kejahatan yang

telah menimpanya yang mana dapat menghalanginya untuk beraktivitas

dalam kehidupannya sehari-hari.

Secara sosiologis dikatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat,

semua warganegara berpartisipasi penuh, sebab masyarakat dipandang

sebagai sebuah sistem kepercayaan yang melembaga (system of

institutionalized trust). Tanpa kepercayaan ini maka kehidupan sosial tidak

mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam

bertingkah laku. Kepercayaan terpadu melalui norma-norma yang

diekspresikan di dalam struktur organisasional.

Bagi korban kejahatan, dengan terjadinya kejahatan yang menimpa

dirinya tentu akan menghancurkan sistem kepercayaan tersebut, dengan

kata lain dapat merupakan suatu bentuk trauma kehilangan kepercayaan

terhadap masyarakat dan ketertiban umum, yang berwujud munculnya

gejala-gejala rasa takut, gelisah, rasa curiga, sinisme, depresi, kesepian dan

berbagai perilaku penghindaran yang lain. Contoh wanita korban kekerasan

dalam rumah tangga, khususnya yang mengalami kekerasan dalam

hubungan intim. Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi

korban. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai

segala tindak-tanduknya. Bahkan, ketakutan dapat mengganggu pola

tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur

dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan obat

penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya. Bahkan,

112 Samuel Walker, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide, Monterey – California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985, hlm. 145.

54

akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut, atau

bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu.113

Kadang kala, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan sering kali

bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai jenis kejahatan yang

melibatkan keluarga atau yang terjadi dalam rumah tangga. Pada jenis

kejahatan semacam ini, seringnya terjadi kontak dengan pelaku akan

semakin menambah ketakutan dari si korban untuk mengambil tindakan.

Apabila korban mengambil tindakan dengan cara melaporkan kepada pihak

lain tentunya akan mengundang kemarahan tidak hanya kemarahan si

pelaku tetapi juga dari pihak lainnya.

Karena itulah, perlindungan terhadap korban sangat diperlukan, tidak

hanya dari si pelaku itu sendiri, melainkan juga dari pihak-pihak yang

cenderung tidak menyukai korban maupun perbuatan si korban dengan

melaporkan si pelaku.114

Menurut E. Kristi Poerwandari,115 Dalam kekerasan terhadap

perempuan hubungan antara pelaku dengan korban sangat beragam:

Pelaku, dapat berupa:

Orang asing/saling tidak kenal; suami; pasangan hubungan intim lain (pacar,

tunangan, bekas suami, dll.); kenalan/teman; anggota keluarga initi dan/atau

luas; teman kerja

Orang dengan posisi otoritas: Atasan kerja/majukan; guru/dosen/pengajar;

pemberi jasa tertentu (konselor, dokter, pekerja sosial dll).

Negara dan/atau wakilnya: Polisi/anggota militer; dan pejabat (individu

dalam kedudukan sebagai pejabat).

113 E. Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi Feministik, dalam Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Penyunting, Achie Sudiarti Luhulima, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 33-34. 114 Kondisi yang hampir serupa terjadi pada korban kejahatan HAM, di mana pada saat korban melaporkan kepada pihak berwajib dan berujung pada diadilinya pelaku (contoh, pelakunya adalah kalangan petinggi militer), korban/pelapor sering menghadapi ancaman/teror dari pihak-pihak yang tidak menyukai komandannya dijadikan terdakwa. 115 Ibid, hlm. 12-13

55

Untuk kejahatan-kejahatan di luar kekerasan dalam rumah tangga

hubungan pelaku dengan korban sangat beragam, tetapi pada umumnya

antara pelaku dan korban tidak memiliki relasi secara langsung atau tidak

saling mengenal.

E. Manfaat Viktimologi

Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan

merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan ilmu

itu sendiri, sehingga apabila suatu ilmu pengetahuan dalam

pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis

maupun teoretis, maka sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari dan

dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat mempelajari

viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan akan banyak

manfaat yang diperoleh.

Arif Gosita, menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan

mempelajari viktimologi, yaitu:116

1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan

korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang

terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat dari pemahaman itu, maka akan

diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi

mengenai usaha-usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam

menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di

berbagai bidang kehidupan dan penghidupan;

2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang

korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental,

fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban,

tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai

116 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 41-43

56

kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku

serta pihak lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan

terhadap berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan

meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak

langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.

3. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai

hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang

dihadapinya berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama

dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban

struktural atau non struktural. Tujuannya, bukan untuk menakut-nakuti,

tetapi untuk memberikan pengetian yang baik dan agar waspada.

Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi

pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi

bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.

4. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak

langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat

penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada

setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik

dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam

pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan

menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu

kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi), mengatasi

akibat-akibat merusak, dan mencegah pelanggaran, kejahatan lebih

lanjut (diagnosa viktimologis);

5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian

viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam

keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap

pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan

kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi

manusia.

57

Manfaat Viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama

dalam mempelajari manfaat studi korban yaitu:

a. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan

perlindungan hukum;

b. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu

tindak pidana,

c. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya

korban.117

Manfaat dari Viktimologi ini dapat memahami kedudukan korban

sebagai sebab dan dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran

dalam usaha mencari kebenaran dalam usaha mengerti akan permasalahan

kejahatan, delikuensi dan deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya

secara dimensional,118 selain sebagai alasan peringanan pemidanaan,

pemberian kompensasi dan restitusi dan mengurangi penderitaan korban,

yang didasarkan atas belas kasihan dan hormat atas martabat korban

(compassion and respect for their dignity). 119

Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi

korban sebagai manusia, anggota masyarakat dan sebagai warga Negara

yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang

kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.

Di samping itu, viktimologi juga bermanfaat bagi kinerja aparatur

Penegak Hukum, seperti aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman.

Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya

penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar

belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan

korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang

117 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 8. 118 Lihat Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1989: Edisi Pertama – Cetakan Kedua, hlm. 74. 119 Muladi, “HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, op.cit., hlm. 107-108

58

biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek-

aspek lainnya yang terkait.

Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara

pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan

diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai

korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.

Bagi Kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai organ pengadilan yang

dianggap memahami hukum yang menjalankan tugas luhurnya yaitu

menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia,120 dengan adanya

viktimologi, hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam

persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan

dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana,

sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit

banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim. Hakim dapat

mempertimbangkan berat ringan hukuman yang akan dijatuhkan pada

terdakwa dengan melihat pada seberapa besar penderitaan yang dialami

oleh korban pada terjadinya kejahatan, misalnya hakim akan

mempertimbangkan hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan

melihat pada penderitaan yang di alami oleh korban akibat perbuatan

terdakwa, misalnya korban menderita cacat seumur hidup, korban

kehilangan penghasilan, korban kehilangan orang yang selama ini menjadi

tumpuan ekonomi keluarga, seperti dikemukakan oleh Soerjono Koesoemo,

bahwa hakim yang besar adalah yang putusannya merupakan pancaran hati

nuraninya, yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu

120 Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

59

hukum, yang dapat dipahami dan diterima para pencari keadilan pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya.121

Akhirnya, viktimologi dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam

upaya memperbaiki berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama

ini terkesan kurang memperhatikan aspek perlindungan korban.

F. Viktimologi Dan Kriminologi

Secara etimologis, kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti

kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan.

Secara sempit, kriminologi diartikan sebagai ilmu yang membahas

mengenai kejahatan.

Jika diperhatikan secara lebih luas, dapat kita ambil contoh

pengertian kriminologi yang dikemukakan oleh Sutherland dan Cressey

yang menyebutkan bahwa Kriminologi adalah ”the body of knowledge

regarding crime as a social phenomenon”. Termasuk dalam pengertian

kriminologi tersebut adalah proses pembuatan undang-undang, pelanggaran

hukum dan reaksi terhadap pelanggaran hukum tersebut.

Secara umum, kriminologi bertujuan untuk mempelajari kejahatan

dari berbagai aspek, sehingga diharapkan dapat diperoleh pemahaman

tentang fenomena kejahatan yang lebih baik.122

Menurut antropolog Perancis P. Topinard (1839-1911), Kriminologi

adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan

seluas-luasnya (kriminologi teoritis/murni). Kriminologi teoritis adalah ilmu

pengetahun yang berdasarkan pengalaman seperti ilmu pengetahuan

lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan mencoba menyelidiki

sebab-sebab dari gejala-gejala tersebut (aetiologi) dengan cara-cara yang

ada padanya.123

121 Soerjono Koesoemo, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum: Indonesia Menunggu Kelahiran (Kembali) ”Hakim Yang Besar”, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1991 122 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto PS, G. Widiarta, Op.Cit., hal. 187 123 P. Topinard dalam Prof. Mr. WA. Bonger dan Dr. G.H.Th. Kempe ditermahkan oleh R.R. Koesnoen, Op. Cit., hal. 19

60

Jadi pada pokoknya, kriminologi merupakan ilmu yang menyelidiki

kejahatan, serta aspek-aspek yang menyertai kejahatan tersebut, yakni

selain mengenai pokok-pokok kejahatan yang dilakukan, juga orang-orang

yang melakukan kejahatan tersebut. Akan tetapi, kriminologi tidak

menyelidiki kejahatan dari segi yuridisnya ataupun perumusan jenis-jenis

kejahatan tersebut. Bahasan yang terakhir disebutkan merupakan bahasan

dari bidang hukum pidana.

Kriminologi merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang usianya

relatif muda. Kriminologi baru muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan

lahirnya sosiologi. Hal ini disebabkan karena perhatian khusus mengenai

kejahatan hanyalah disinggung sepintas lalu dalam buku-buku karangan

para sarjana terdahulu, seperti pada buku karangan Van Kan ”Les Causes

Economiques de la Criminalite” (1903), yang mengemukakan pendapatnya

tentang sebab musabab ekonomis daripada kejahatan. Kemudian Havelock

Ellis dalam bukunya ”The Criminal” (1889), Maro dalam bukunya ”I Caratteri

dei Delinquenti” (1887) dan G. Antonini dalam bukunya ” I Precuri di

Lombroso” (1909) yang mencari pendapat tentang kejahatan menurut

antropologi, tapi hasilnya sangat kecil. Begitu pula halnya dengan hasil

karya Plato dan Aristoteles yang membahas mengenai kejahatan dalam

hubungannya dengan kehidupan suatu negara.124

Lahirnya kriminologi ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan

menentang pemerintahan yang dianggap sewenang-wenang dalam

menerapkan hukum pidana serta hukum acara pidananya, dimana pada

waktu itu hukum pidana diterapkan dengan tujuan untuk menakut-nakuti

masyarakatnya dengan menerapkan hukuman penganiayaan yang

mengerikan.

Proses pemeriksaan orang yang disangkakan melakukan kejahatan

pun sama tidak berperikemanusiaan. Pemeriksaan tersebut hanya bersifat

formalitas saja. Dan tata cara pemeriksaannya pun tergantung bagaimana

124 Ibid., hal. 42

61

keinginan si pemeriksa serta dilakukan secara rahasia. Ketika itu,

pengakuan dari si tertuduh dipandang sebagai syarat pembuktian yang

utama.

Gerakan penentangan semacam ini muncul menjelang revolusi

Perancis dimana pada saat itu kekuasaan raja sangat absolut.125 Pada

masa itu, orang-orang yang disinyalir melakukan penentangan terhadap

kekuasaan raja langsung dijebloskan ke dalam penjara Bastille.

Penentangan-penentangan semacam ini dikeluarkan oleh tokoh-tokoh

Perancis seperti Montesquieu, Rosseau dan Voltaire. Ketiganya

menyatakan penentangan kepada tindakan sewenang-wenang, hukuman

yang kejam serta banyaknya hukuman yang dijatuhkan.

Selain ketiga tokoh tersebut, mulai bermunculan pula pemikiran-

pemikiran tokoh yang menyuarakan penentangan terhadap hukuman yang

berlaku pada saat itu, yang berlaku kejam terhadap penjahat. Pada tahun

1777 oleh ”Oeconomische Gesellschaft” di Bern diadakan sayembara untuk

merencakan suatu hukum pidana yang baik. Pesertanya diantaranya adalah

J.P. Marat (1774-1793) dengan karangannya ”iPlan de Legislation

Criminelle” (1780), J.P. Bnrissot de Warville (1745-1793) ”Theorie des lois

Criminelles” (1781) dan juga C. Beccaria (1738-1794),dengan karangannya

”Del Delitti e Delle Pene” (1764).

Hasil dari perjuangan para tokoh tersebut kemudian melahirkan hasil

yang baik. Dimana pada tahun 1780 di Perancis penganiayaan dihapuskan,

setelah sebelumnya pada tahun 1740, Frederik Agung sudah

menghapuskannya lebih dahulu. Namun, adalah jasa yang sangat besar

dari John Howard (1726-1790) dalam bukunya ”The State of The Prisons”

(1777), terutama mengenai rumah penjara di Inggris dan dalam cetakan

125 Pada jaman itu sistem politik adalah monarki absolut ketuhanan. Raja mendapatkan tahtanya hanya dari Tuhan dan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Wewenangnya tidak dapat dikontrol atau dibatasi oleh siapapun. Dengan demikian kewajiban utama rakyat jelata hanyalah mematuhi perintah raja. Selengkapnya lihat, A. Malet & J. Isaac, Revolusi Perancis, 1789-1799, Rramedia, Jakarta, 1989

62

yang belakangan mengenai kepenjaraan di negara lain, menunjukkan

keadaan yang menyedihkan baik dari segi kesehatan maupun kesusilaan.

Sekitar tahun 1880 di Amerika karena pengaruh golongan Quaker

didirikan perkumpulan-perkumpulan yang memperhatikan masalah

kepenjaraan, dengan tujuan memberantas akibat-akibat yang sangat

mendesak. yang timbul dari adanya penutupan bersama dalam rumah

penjara. Penutupan tersendiri, yang akan memberi kesempatan pada

penjahat untuk memeriksa diri sendiri (dan karenanya menyesal), akan

menggantikan penutupan bersama. Pada tahun 1786 hukuman mati di

Pennsylvania dihapuskan. 126

Setelah berakhirnya masa penentangan terhadap hukum pidana dan

juga hukum acara pidana, barulah fokus terhadap kejahatan serta pelakunya

dapat terealisasi. Mulailah para ahli meneliti mengenai kejahatan serta

pelaku-pelakunya, hingga lahirnya banyak pemikiran mengenai kejahatan.

Dalam ilmu kriminologi modern dikenal 3 (tiga) aliran pemikiran untuk

menjelaskan gejala kejahatan:127

1. Kriminologi Klasik

Dalam hal ini, gambaran tentang kejahatan dan penjahat pada umumnya

dipandang dari sudut hukum, kejahatan diartikan sebagai perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang pidana dan penjahat adalah orang

yang melakukan kejahatan. Orang melakukan kejahatan sebagai pilihan

bebas masing-masing individu dengan menilai untung ruginya. Untuk

mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka kerugian atau

resiko yang harus ditanggung oleh pelaku harus ditingkatkan (misalnya

dengan ancaman sanksi yang berat atau tinggi). Dengan demikian,

perimbangan antara kerugian atau resiko dengan keuntungan atau

kenikmatan yang akan diperoleh dari kejahatan akan lebih besar pada

126 Ibid., hal. 48 127 Suryono Ekotama, Op. Cit., hal.189

63

resikonya. Dalam kaitan ini, maka tugas kriminologi adalah membuat

pola dan menguji sistem hukumannya akan meminimalkan kejahatan.

2. Kriminologi Positivis

Aliran pemikiran ini bertolak dari pandangan bahwa –perilaku manusia

ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik berupa faktor

biologis maupun kultural. Dengan demikian manusia tidak bebas untuk

menentukan perbuatannya, karena dibatasi dan ditentukan oleh situasi

biologis atau kulturalnya. Aliran positivis ini mengarahkan fokusnya pada

usaha untuk menganalisa sebab-sebab terjadinya kejahatannya melalui

studi ilmiah terhadap ciri-ciri pelaku dari aspek fisik, sosial dan kultural.

3. Kriminologi Kritis

Aliran pemikiran ini mulai berkembang setelah tahun 1960-an sebagai

pengaruh dari semakin populernya perspektif labeling. Aliran ini tidak

mempersoalkan apakah perilaku manusia itu bebas atau dipengaruhi

oleh faktor-faktor lain, tetapi lebih mengarahkan pada proses-proses

yang terjadi. Dengan demikian aliran ini mempelajari proses-proses dan

kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan atau pendefinisian

kejahatan pada perbuatan-perbuatan tertentu, orang-orang tertentu,

pada waktu dan tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini

dapat dibedakan antara pendekatan interaksionis dan pendekatan

konflik.

Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa

viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan

kalimat lain viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup

dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena

munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.

Akan tetapi mengenai pentingnya dibentuk ilmu viktimologi secara

terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu:128

128 Ibid., hal. 175

64

a. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari

kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul

Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu

pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala

aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian melalui penelitiannya,

kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban

dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya,

b. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi,

diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi

merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam

kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi

juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.

Khusus mengenai hubungan antara Kriminologi dan Hukum Pidana

dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang

saling melengkapi, karena orang akan mengerti dengan baik tentang

penggunaan hukum terhadap penjahat maupun tentang pengertian

mengenai timbulnya kejahatan maupun mengenai timbulnya kejahatan dan

cara-cara pemberantasannya, sehingga memudahkan penentuan adanya

kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan

pelaku kejahatannya.129 Hukum Pidana hanya mempelajari delik sebagai

suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik

merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala sosial adalah

kriminologi.130

Menurut pendekatan kriminologi, ada beberapa alasan perlunya

korban kejahatan mendapatkan perhatian, yaitu:131

1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberikan

perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan

129 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, Mei 1993: Cetakan Kelima, hlm. 15. 130 Utrecht, E., Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958, hlm. 136. 131 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Persepektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Bandung, 1996, hlm. 17

65

(offender-centered). Bukti konkret dari pandangan ini adalah hanya

beberapa pasal di dalam KUHAP yang mencerminkan perlindungan

terhadap korban. Pasal-pasal tersebut antara lain:

a. Pasal 80 KUHAP

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu

pengehentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh

Penyidik atau Jaksa Penuntut Umum atau Pihak Ketiga yang

berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan

menyebut alasannya

b. Pasal 108 ayat (1)

Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau

menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak

untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyelidik

atau Penyidik baik lisan maupun tertulis.

c. Pasal 133 ayat (1)

Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan menangani

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang

mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran

kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.

d. Pasal 134 ayat (1)

Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan bedah

mayat tidak mungkin lagi dihindari, Penyidik wajib

memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban

e. Pasal160 ayat (1b)

Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang

menjadi saksi.

66

2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas

dan melengkapi penafsiran atas statistik kriminal (terutama statistik

yang terdapat pada kepolisian yang dilakukan melalui survey tentang

korban kejahatan);

3. Masyarakat yang berkembang akan semakin menyadari bahwa

disamping korban kejahatan konvensional (kejahatan jalanan/street

crime) tdak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada

korban kejahatan non-konvensional maupun korban dari

penyalahgunaan kekuasaan.

Dewasa ini, terdapat kecenderungan bahwa masalah korban dibahas

secara tersendiri dan terperinci dalam ilmu viktimologi dan bukan

merupakan cabang ilmu dari kriminologi melainkan membentuk cabang ilmu

tersendiri. Akan tetapi antara Viktimologi dan Kriminologi, akan selalu

terdapat hubungan yang kesinambungan dan saling mempengaruhi.

Menurut von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil antara kriminologi

merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan

segala aspeknya, termasuk korban.132 Selain itu viktimologi tidak hanya

terfokus kepada korban itu sendiri, tetapi juga melihat kedudukan kejahatan

sebagai penyebab timbulnya korban, dan kejahatan hanya ada dalam kajian

kriminologi. Dengan demikian anatara Viktimologi dan Kriminologi terdapat

hubungan erat sebagaimana dihasilkan dalam Symposium Internasional

tahun 1973 di Jerusalem yang merumuskan kesimpulan mengenai

hubungan antara Viktimologi dan Kriminologi adalah:133

a. Bahwa viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi ilmiah

mengenai para korban, dan

b. Bahwa kriminologi telah diperkaya dengan suatu orientasi viktimologi.

Dengan menolak adanya viktimologi dan hanya memusatkan

perhatian kepada pelaku kejahatan dengan kejahatannya adalah merupakan

132 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm.175. 133 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, hlm. 80.

67

penolakan terhadap Viktimologi, sebab antara pelaku dan korban adalah

satu kesatuan akan terjadinya sebuah kejahatan.134

G. Viktimologi Dan Ilmu Hukum

Secara terminology menurut Hugo Reading, Viktimologi adalah ilmu

yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-

akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu

kenyataan sosial.135

Ilmu Hukum adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu Negara

atau masyarakat tertentu, dan hukum dalam hal ini adalah hukum positif (ius

constitutum).136 Hukum yang menjadi kajian daripada Ilmu Hukum adalah

hukum yang bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.137

Kehidupan masyarakat dalam hal ini adalah proses sosial ,tempat terjadinya

pengaruh timbal balik antar berbagai segi kehidupan (politik, ekonomi, ,

agama, dan sebagainya) sebagai sebuah interaksi yang dapat berlansung

dalam bentuk komunikasi, konflik, kompetisi, akomodasi, asimilasi, dan

kooperasi.138 Aspek kehidupan yang digunakan dalam hal hubungan antara

Ilmu Hukum dan Viktimologi adalah “konflik”, di mana terdapat konflik, terjadi

pertentangan, dan dalam pertentangan pasti terdapat sebuah viktimasi

kriminal, yang berlaku menyeimbangkan dan mempertahankan

perdamaian.139 Sedangkan bagi Viktimologi, dalam masyarakat terdapat

134 Lihat Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, op.cit., hlm. 79. 135 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 1. 136 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000: Edisi Pertama: Buku I, hlm. 1. 137 Ibid., hlm. 2. 138 Zen Zanibar M.Z., “Wilayah Kajiam Ilmun Hukum”, dalam: Lex Jurnalica, Transformasi Ide dan Obyektivitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia Esa Tunggal, No. 1 / 2004, hlm. 44. 139 Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996: Cetakan Kedupuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino, hlm. 11.

68

yang dapat menyebabkan timbulnya korban serta akibat-akibat korban yang

merupakan kenyataan sosial.140

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa kriminologi menaruh

perhatian terhadap masalah kejahatan serta segala aspek yang ada di

dalamnya, seperti pelaku yang telah diputus oleh pengadilan, perilaku yang

perlu didekriminalisasi, populasi pelaku yang ditahan, perbuatan yang

melanggar norma141. Perhatian yang diberikan oleh kriminologi ini tentunya

tidak akan memberikan manfaat yang signifikan bagi upaya

penanggulangan kejahatan apabila kriminologi berdiri sendiri tanpa dikaitkan

dengan aspek lain, seperti masalah korban sebagai sasaran dari kejahatan

karena itu, korban sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya

berbagai aksi kejahatan. Disinilah peran viktimologi untuk mengisi

kekosongan-kekosongan yang tidak dapat dipenuhi oleh kriminologi.

140 Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 1. 141 Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 16

69

Bagian 3

PENGATURAN PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN

BERDASARKAN HUKUM NASIONAL

Dalam pengaturan Hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang

paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian

akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun

psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa

disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya

sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan,

mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah

menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik di

tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.

Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika

dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa

peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan ”hak

istimewa” kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban.

Pada saat seseorang diduga melakukan kejahatan, sejak saat yang

bersangkutan dimintai keterangan hingga vonis dijatuhkan oleh hakim,

perlindungan hukum terhadap tersangka (terdakwa) senantiasa melekat.

Pada saat orang tersebut ditangkap, maka harus disertai dengan surat

penangkapan sekaligus menyebutkan kejahatan apa yang dituduhkan,

ketika dalam proses penyidikan tersangka diperkenankan didampingi oleh

penasihat hukum, begitu pula pada saat tersangka ditahan, maka masa

penahanannya dibatasi untuk jangka waktu tertentu. Bahkan, setelah orang

tersebut (terdakwa) divonis oleh hakim, masih diberi kesempatan untuk

mengajukan upaya hukum lain, seperti banding, kasasi dan peninjauan

kembali.

Kondisi ini sangat berbeda dengan korban. Ketika korban dimintai

keterangannya sebagai saksi di tingkat penyidikan maupun pengadilan,

sering dijumpai korban harus datang sendiri tanpa memperoleh

70

pengamanan/pengawalan yang memadai dari aparat keamanan. Keadaan

ini tidak hanya terjadi pada kasus-kasus ”kecil”, dalam kasus ”besar” pun

(kasus yang menjadi perhatian publik) seperti kasus pembunuhan,

terorisme, kejahatan/pelanggaran HAM, korban sering harus datang sendiri

ke pengadilan. Padahal, potensi terjadinya kekerasan terhadap saksi

(korban) sangat tinggi, terlebih apabila pelaku divonis hukuman maksimal

oleh pengadilan.

Pada saat korban dimintai keterangan di pengadilan, terkesan korban

hanya sekedar dijadikan sebagai alat untuk menguatkan apa yang

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Setelah korban memberikan

kesaksiannya tidak ada upaya untuk memberikan perlindungan kepada

saksi (korban), dan korban dbiarkan pulang begitu saja tanpa memperoleh

perlindungan. Bahkan, dalam beberapa kasus sering dijumpai korban harus

menempuh perjalanan panjang agar dapat hadir memberikan kesaksian di

pengadilan tanpa dibekali uang yang cukup sehingga harus meminjam uang

karena apabila korban tidak hadir di pengadilan padahal sudah dipanggil

secara resmi, maka yang bersangkutan dapat dikenai sanksi.

Sebagai contoh, pada kasus Teungku Bantaqiah di Aceh yang

menjadi korban kekerasan dari oknum aparat keamanan pada saat

pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) beberapa waktu yang lalu,

keluarga almarhum Teungku Bantaqiah meminta kepada pengadilan

koneksitas untuk tidak melanjutkan persidangan karena saksi (korban)

sering menerima ancaman teror, setiap akan memberikan keterangan di

pengadilan. Bahkan, pernah terjadi seseorang yang tidak dikenal

melemparkan granat ke halaman rumahnya yang mencederai 17 orang,

pada hari ketiga persidangan. Akibat munculnya berbagai ancaman (teror)

yang ditujukan kepada keluarga Teungku Bantaqiah, tidak berlebihan

apabila muncul keinginan untuk menghentikan proses persidangan.

Dalam beberapa kasus kejahatan, seringkali wujud perlindungan

hukum yang diberikan kepada korban hanya terbatas pada aspek materiil

saja, misalnya korban diberi hak untuk menuntut ganti kerugian kepada

71

pelaku. Harapannya, setelah ganti rugi diberikan permasalahan

(penderitaan) yang dihadapi oleh korban akan selesai. Padahal, sejatinya

akibat yang diderita oleh seseorang sebagai akibat dari kejahatan

(kekerasan) yang menimpanya sangat kompleks, tidak hanya kerugian

secara materiil tetapi juga fisik dan psikis. Sebagai contoh, wanita yang

pernah menjadi korban pemerkosaan, tidak saja akan menderita secara

materiil seperti, hilangnya pekerjaannya (di PHK), karena korban dirawat di

rumah sakit dalam jangka waktu lama sehingga tidak dapat bekerja

sebagaimana mestinya, tetapi lebih dari itu, korban bisa menderita secara

medis seperti mengalami pendarahan yang cukup lama atau harus

menanggung penyakit yang ditularkan oleh pelaku.

Penderitaan secara psikis juga banyak membayangi korban

pemerkosaan, dan ini yang paling berat, karena akibatnya bisa berlangsung

dalam jangka waktu lama, seperti merasa dirinya kotor dan tidak suci lagi,

dikucilkan dari pergaulan di masyarakat, merasa harga dirinya terinjak-injak.

Dalam beberapa kasus, dijumpai korban perkosaan memilih untuk

mengakhiri hidupnya (bunuh diri) karena merasa dirinya sudah tidak

berharga lagi.

Di samping alasan-alasan di atas, belum memadainya perlindungan

hukum yang diberikan kepada korban hanya dari aspek ganti rugi,

disebabkan ada kemungkinan pelaku tidak memiliki kemampuan secara

finansial untuk memberikan ganti kerugian kepada korban. Bukankah

latabelakang pelaku melakukan kejahatan karena pelaku tidak mempunyai

uang? misalnya pelaku mencuri mobil, motor atau harta benda lainnya. Bisa

juga terjadi pelaku melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui,

sehingga sukar bagi korban untuk meminta pertanggung jawaban kepada

pelaku secara finasial.

Terlebih lagi, hukum nasional kita seakan tidak akan bisa menyentuh

oknum penegak hukum yang justru melakukan kejahatan. Misalkan, apabila

seseorang menjadi korban atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh

oknum polisi, kemana ia harus melapor? Apakah ia harus melapor ke polisi,

72

yang notabene merupakan rekan sejawat orang yang melakukan pelecehan

seksual tersebut. Apabila kita melaporkan tindakan pelecehan kepada

atasan si pelaku, namun tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup,

kondisi yang sebaliknya bisa menimpa si pelapor, yaitu dituduh melakukan

pencemaran nama baik.

Maka dari itu, dirasakan pentingnya segera disusun suatu perundang-

undangan yang khusus mengatur mengenai perlindungan korban kejahatan,

yang di dalamnya akan diatur perihal perlindungan korban kejahatan secara

komprehensif, seperti perlindungan fisik, finansial, psikis, maupun medis.

Yang terpenting dari undang-undang ini adalah perlindungan tidak hanya

ditujukan pada korban kejahatan yang menyita perhatian publik, seperti

korban kejahatan HAM atau Terorisme, namun semua jenis kejahatan.

Khusus untuk usulan perlunya segera diundangkan Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban,142 ada beberapa alasan yang

melatarbelakanginya, yaitu:

1. Undang-undang mengenai perlindungan saksi dan korban merupakan

amanat TAP MPR No. VIII tahun 2001 tentang Arah Kebijakan

Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,

2. RUU Perlindungan Saksi dan Korban merupakan RUU usulan inisiatif

DPR RI. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut di atas, maka Badan

Legislasi DPR RI telah mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban

pada tanggal 27 Juni 2002 dan ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari

berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR,

3. Kesediaan bahan dan mitra kerja dalam pembahasan RUU sudah

banyak. Selain RUU usul inisiatif DPR, sudah ada tiga RUU

Perlindungan Saksi dan Korban yang dibuat oleh pemerintah, Sentra

HAM UI-ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi. Adanya beberapa alternatif 142 Sejauh ini, perlindungan saksi dan korban baru diatur dalam Undang-undang No. 26 tahun 2002 tentang Pengadilan HAM dan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat.

73

RUU ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pembahasan

RUU di DPR. Mitra kerja dalam pembahasan RUU Perlindungan Saksi

dan Korban di DPR tidak saja dari pemerintah karena Koalisi

Perlindungan Saksi maupun beberapa elemen masyarakat telah

menyatakan kesediaannya untuk menjadi mitra kerja dalam pembahasan

RUU tersebut. Koalisi Perlindungan Saksi terdiri dari beberapa NGO

(Non-Governmental Organization) yang mengkhususkan pada beberapa

isu, seperti perempuan, anak, korupsi, lingkungan, anak, pers, buruh

migran dan Hak Asasi Manusia. Keterlibatan NGO tersebut diharapkan

dapat memperkaya pengkajian sehingga akan diperoleh hasil yang lebih

komprehensif.

4. Sudah banyaknya korban yang berjatuhan karena tidak adanya jaminan

yang diberikan terhadap korban maupun saksi dari suatu kejahatan. Hal

ini menjadikan saksi maupun korban enggan untuk bersedia memberikan

kesaksian. Bahkan korban ataupun saksi yang melaporkan mengenai

suatu kejahatan kerap menjadi objek dari kejahatan lainnya seperti teror

maupun intimidasi fisik. Atau kadang juga si pelapor seringkali

mengalami kriminalisasi atau tuntutan hukum atas kesaksian atau

laporan yang diberikannya sehingga akhirnya ia menjadi tersangka atau

bahkan terdakwa, seperti yang dialami Endin Wahyudin ketika

melaporkan beberapa hakim agung yang mencoba memerasnya justru

akhirnya divonis karena melakukan pencemaran nama baik. Begitu pula

Khairiansyah Salman, seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK), yang melaporkan adanya upaya penyuapan terhadap dirinya oleh

anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah, justru

harus berakhir dengan status tersangka dalam kasus Dana Abadi Umat.

Perlindungan hukum bagi korban dan saksi dalam perkara pidana

sama sekali bukan hal yang mudah untuk dirumuskan, utamanya apabila

berkenaan dengan:

74

a. Keterangan yang dimiliki oleh seorang saksi dan korban mungkin saja

memberatkan dirinya sendiri, akan tetapi sebagai saksi ia tak mempunyai

hak tolak,

b. Dalam hal saksi/korban tersebut melakukan perbuatan pidana tersebut

bersama-sama dengan si pelaku, keterangan yang diberikan

saksi/korban akan memberatkan terdakwa yang merupakan ”partner in

crime”-nya,

c. Keterangan yang dimiliki saksi/korban akan memberatkan terdakwa,

padahal saksi sama sekali tidak memiliki landasan hukum untuk

memperoleh perlindungan dari kemungkinan dilakukannya intimidasi,

terror dan sebagainya oleh terdakwa atau kelompoknya,

d. Dalam prakteknya, saksi/korban juga tidak memperoleh penggantian

apapun dari negara atas upayanya memberikan keterangan di

persidangan atau di tempat lain (seperti dalam tingkat penyidikan),

sekalipun ada dana penggantian hal tersebut merupakan inisiatif dari

aparat penegak hukum dan jumlahnya sangat terbatas,

e. Perlakukan yang dikenakan pada saksi/korban oleh penegak hukum

tidak jarang membuat saksi justru merasa terancam.

Dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan,

secara mendasar dikenal dua model, yaitu:143

(1) Model Hak-hak Prosedural (The Procedural Rights Model)

Pada model ini, penekanan diberikan pada dimungkinkannya si

korban untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau di

dalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan diberi

hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau

hak untuk dihadirkan dan didengar di setiap tingkatan sidang pengadilan di

mana kepentingannya terkait di dalamnya, termasuk hak untuk diminta

konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat 143 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 79

75

dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan

perdata. Di Perancis, hal ini disebut partie civile model (civil action systems).

Pendekatan semacam ini melihat si korban sebagai seorang subjek yang

harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar

kepentingan-kepentingannya.

Keuntungan dari model semacam ini adalah bahwa model ini

dianggap dapat memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun

masyarakat. Selain itu, keterlibatan si korban seperti ini akan memungkin

sikorban untuk memperoleh kembali rasa percaya diri dan harga diri.

Kemudian, hak-hak yang diberikan pada korban kejahatan untuk

mencampuri proses peradilan secara aktif tersebut dapat merupakan

imbangan terhadap tindakan-tindakan yang dimungkinkan terjadi dalam

tugas-tugas kejaksaan misalnya dalam hal menyusun rekuisitur yang

dianggap terlalu ringan atau menyampingkan perkara demi kepentingan

umum.

Model ini juga dianggap dapat meningkatkan arus informasi yang

berkualitas kepada hakim, sebab biasanya arus informasi ini didominasi oleh

si terdakwa yang melalui kuasa hukumnya justru dapat menekan si korban

(saksi korban) dalam persidangan.

Akan tetapi, model ini juga memiliki kelemahan dan kerugian yang

cukup berarti. Model ini dianggap dapat menciptakan konflik antara

kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Dengan partisipasi si korban

dalam administrasi peradilan pidana, dapat menempatkan kepentingan

umum di bawah kepentingan pribadi. Padahal sistem peradilan pidana harus

berlandaskan pada kepentingan umum. Disamping itu, dapat terjadi

timbulnya beban berlebihan bagi administrasi peradilan pidana, yang

bertentangan dengan usaha untuk lebih menyederhanakannya.

Kerugian lainnya adalah kemungkinan hak-hak yang diberikan pada

si korban tersebut justru dapat menimbulkan beban mental bagi yang

bersangkutan dan membuka peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran

76

tindakan-tindakan yang bersifat menekan dari si pelaku tindak pidana, dan

bahkan pada gilirannya dapat menjadikan sebagai korban yang kedua

kalinya (risk of secondary victimization).

Secara psikologis, praktis dan finansial hal ini kadang-kadang

dianggap juga tidak menguntungkan. Kegelisahan, depresi dan sikap masa

bodoh si koban tidak memungkinkan baginya berbuat secara wajar, terlebih

lagi bila pendidikannya rendah. Jadwal persidangan yang ketat dan berkali-

kali akan mengganggunya baik secara praktis maupun finansial. Selain itu,

dapat juga dikatakan bahwa suasana peradilan yang bebas yang dilandasi

asas praduga tidak bersalah dapat terganggu oleh pendapat korban tentang

pemidanaan yang akan dijatuhkan dan hal ini pasti didasarkan atas

pemikiran yang emosional dalam rangka pembalasan.

(2) Model Pelayanan (The Services Model)

Penekanannya diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar

baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi,

misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban

dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian

kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak

pernyataan-pernyataan korban selbelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini

melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam

kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain.

Keuntungan dari model ini adalah bahwa model ini dapat digunakan

sebagai sarana pengembalian apa yang dinamakan Integrity of the system

of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif komunal. Si korban akan

merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang

adil. Suasana tertib, terkendali dan saling mempercayai dapat diciptakan

kembali. Model ini dianggap pula dapat menghemat biaya, sebab dengan

bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan

kerugian-kerugian yang diderita oleh si korban dalam rangka menentukan

kompensasi bagi si korban.

77

Kelemahan dari model semacam ini atara lain adalah bahwa

kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan

untuk selalu melakukan tidankan-tindakan tertentu kepada korban, dianggap

akan membebani aparat penegak hukum, karena semuanya didasarkan

atas sarana dan prasarana yang sama. Efisiensi dianggap juga akan

terganggu, sebab pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin

digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu

efisiensi.

A. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Guna mengurangi semakin meningkatnya kejahatan (tindak pidana), baik

secara kualitas maupun kuantitas, selama ini fokus perhatian sering hanya

tertuju pada upaya-upaya yang sifatnya teknis, misalnya bagaimana

menemukan metode penjatuhan sanksi yang lebih tegas agar menghasilkan

efek jera pada pelaku kejahatan atau mencegah orang untuk melakukan

kejahatan, peningkatan sarana-prasarana pendukung, penambahan

anggaran operasional. Akibatnya, fokus perhatian pada korban kejahatan

sering diabaikan, padahal dalam beberapa kasus kejahatan, peranan

korban sangat penting bagi munculnya suatu kejahatan (victim precipitation).

Korban dapat menjadi faktor penting bagi timbulnya suatu kejahatan,

baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana dikemukakan

oleh Mulyana W. Kusumah ketika mengutip pendapat dari Sheperd yang

menyatakan: dalam studi tentang kejahatan kekerasan terungkap bahwa

acapkali korban memainkan peran kunci dalam interaksi kekerasan, bahkan

tak jarang melakukan tindakan provokasi terhadap orang lain ataupun balas

dendam dengan pola kekerasan yang sering pula mengakibatkan luka atau

bahkan kematian.144

144 Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung, 1986, hlm. 47

78

Dalam kasus pemerkosaan, ketika pelaku ditangkap dan menjalani

pemeriksaan, sering terungkap bahwa salah satu faktor pendorong pelaku

melakukan pemerkosaan adalah korban sering berpenampilan “menantang”

(baik disengaja maupun tidak disengaja) sehingga pelaku terdorong untuk

melakukan pemerkosaan. Sekalipun faktor lain pun pada dasarnya tidak

dapat diabaikan, seperti pelaku sedang dalam pengaruh minuman keras,

pelaku sering menonton film porno atau lingkungan dimana kejahatan terjadi

sangat mendukung, misalnya dalam keadaan sepi.

Adanya pandangan bahwa korban kejahatan hanya berperan sebagai

instrumen pendukung/pelengkap dalam pengungkapan kebenaran materiil,

misalnya ketika korban diposisikan hanya sebagai saksi dalam suatu kasus

pidana, sudah saatnya untuk ditinggalkan. Begitu pula, pandangan yang

menyebutkan bahwa dengan telah dipidananya pelaku, maka korban

kejahatan sudah cukup memperoleh perlindungan hukum, tidak dapat

dipertahankan lagi.

Kedudukan korban seakan telah di”diskriminasi”kan oleh hukum

pidana, padahal dalam konteks perbuatan pidana, korban pada dasarnya

merupakan pihak yang paling dirugikan. Karena itu, mulai berkembang

pemikiran yang menyuarakan agar orientasi hukum pidana Indonesia yang

selama ini lebih bersifat offender oriented, yang mana si pelaku kejahatan

merupakan fokus utama dari hukum pidana, agar segera diubah.

Perkembangan pemikiran dan perlunya perhatian terhadap korban didasari

oleh dua arus pemikiran, pertama, pemikiran bahwa negara ikut bersalah

dalam hal terjadinya korban dan selayaknya negara ikut bertanggung jawab

dalam bentuk pemberian kompensasi atau restitusi. Kedua, adanya aliran

pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivis

ke arah kriminologi kritis.145

Sebenarnya, penggantian kerugian berupa materi (barang atau uang)

merupakan salah satu bentuk sistem pemidanaan tertua yang pernah

145 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Grhadhika Press, Jakarta, 2004, hlm. 45-46

79

dikenal dalam peradaban manusia. Setiap kelompok masyarakat di dunia

mengenal ganti kerugian berupa materi, tidak terkecuali di Indonesia.

Mulai dari zaman kerajaan dahulu hingga sekarang, khususnya di

lingkungan masyarakat adat, sistem ganti kerugian sebagai salah satu

bentuk sistem pemidanaan, masih diakui eksistensinya.

Contoh ketentuan yang mengatur mengenai penjatuhan pidana

berupa pembayaran ganti kerugian, tercantum dalam perundang-undangan

Majapahit, misalnya: 146

Fasal 56: Jika seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus

pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa

kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian (panglicawa) kepada orang

yang kena curi dengan cara dikembalikan segala milik yang diambilnya dua

lipat.

Fasal 242: “Barang siapa naik pedati, kuda atau kendaraan apapun, jika

melanggar atau menginjak orang hingga mati, ia sendiri atau saisnya

dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, ditambah uang ganti

kerugian (pamidara) sebanyak delapan tali kepada pemilik orang yang

terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang yang mati itu.

Fasal 19: Barang siapa membunuh wanita yang tidak berdosa, harus

membayar untuk wanita yang bersangkutan dua lipat dan dikenakan uang

ganti kerugian (patukucawa) empat kali.

Dalam perundang-undangan Majapahit di atas dinyatakan secara

jelas bahwa apabila seseorang berkeinginan agar kejahatannya diampuni,

maka ia harus memberikan penggantian kerugian berupa harta kepada

orang yang terlanggar (korban) sebanyak beberapa kali lipat. Pasal tersebut

di atas juga menyebutkan mengenai pembayaran denda kepada penguasa.

Hukum (pidana) adat Indonesia banyak mengungkap bentuk-bentuk

pemidanaan yang diwujudkan dalam pemberian materi kepada korban 146 Slamet Mulyana, Perundang-undangan Majapahit dalam Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.183

80

kejahatan, salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Indriyanto Seno

Adjie dengan mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro, “terdapat perkara

adat “tatam fani benas” di Timor Timur (yang tidak ada ekuivalensinya

dengan KUHP), dimana seorang lelaki menghamili wanita yang dijanjikan

untuk dinikahinya, ternyata si wanita ditinggal pergi begitu saja. Mahkamah

Agung dengan putusannya No. 3898 K/Pdt/1989 telah menghukum si lelaki

dengan ganti rugi sejumlah ekor sapi dan sejumlah uang”.147

Hal yang sama terdapat pula dalam Pasal 359 Kitab Adi Agama yang

menurut terjemahan I Made Widyana adalah sebagai berikut: “Lagi Logika

Sanggraha misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan

cintanya, karena takut akan dipermasalahkan maka mencari daya upaya,

syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya

dipaksa disetubuhi dan silaki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh si

wanita, kalau demikian halnya sepatutnyalah diusut kejelasannya, dan kalau

benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukumdenda sebesar 24.000 uang

keping.148

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ketentuan yang mengatur

tentang perlindungan korban kejahatan melalui penggantian kerugian dapat

dilihat pada Pasal 14c Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang pada

intinya menyatakan: dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat, maka

hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti

kerugian baik semua atau sebagian yang timbul akibat dari tindak pidana

yang dilakukan.

Hukum Pidana materiil mengatur juga mengenai upaya perlindungan

korban kejahatan melalui pemberian ganti rugi materi. Menurut Pasal 14 c

KUHP, hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk

mengganti kerugian baik semua atau sebagian yang timbul akibat dari tindak

147 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, dalam Indriyanto Seno Adjie, Prospek Hukum Pidana Indonesia Pada Masyarakat Yang Mengalami Perubahan, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Pada Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 19 Pebruari 200h, hlm. 5 148 ibid, hlm 6

81

pidana yang dilakukannya. Menurut Barda Nawawi Arief, ketentuan ini tidak

luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu:

a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi

yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, jadi hanya sebagai “syarat

khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninya pidana pokok yang

dijatuhkan kepada terpidana;

b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat

diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau

pidana kurungan;

c. Syarat khusus berupa ganti rugi inipun menurut Kitab Undang-undang

Hukum Pidana hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.149

B. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Sebelum berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara (Lembaran Negara Tahun 1981 No. 76, Tambahan Lembaran

Negara No. 3209, tanggal 31 Desember 1981), hukum acara pidana yang

dipergunakan sebagai pedoman dalam pemeriksaan di peradilan umum

mengacu pada HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) Stb. 1941 No. 44

yang merupakan produk hukum pemerintahan kolonial Belanda.

HIR pada dasarnya merupakan produk pemerintahan penjajah,

tentunya falsafah yang terkandung dalam setiap ketentuan HIR dapat

dipastikan lebih didominasi oleh falsafah kaum penjajah dibandingkan

falsafah bangsa Indonesia. Akibatnya, di dalam ketentuan HIR terkandung

banyak pasal yang menguntungkan kaum penjajah dibandingkan dengan

kaum pribumi, terlebih dari aspek perlindungan hak asasi manusia. Karena

itu, dipandang perlu HIR segera diubah dan disesuaikan dengan semangat

nasionalis serta kepribadian bangsa Indonesia, sebagaimana tampak dari 149 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana, artikel dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. 1, 1998, hlm. 17

82

salah satu konsideran menimbang Undang-undang No. 8 Tahun 1981

khususnya huruf d, yang menyatakan: Bahwa hukum acara pidana sebagai

yang termuat dalam Het Herziene Indlandsch (Indonesisch) Reglement

(Staatsblad Tahun 1941 No. 44) dihubungkan dengan Undang Undang-

undang No. 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 No. 9,

Tambahan Lembaran Negara No. 81) serta semua peraturan pelaksanannya

dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang

hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena sudah tidak

sesuai dengan cita-cita hukum nasional.

Adanya keinginan agar KUHAP lebih banyak dipengaruhi oleh

falsafah dan kepribadian bangsa Indonesia tampak dalam Penjelasan

Umum angka 3 yang dengan tegas menyatakan bahwa undang-undang ini

yang mengatur tentang hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan

pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah

seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin

perlindungan terhadap hak asasi manusia...”

Sekalipun KUHAP disebut-sebut sebagai karya agung dan

merupakan salah satu pencapaian tertinggi bangsa Indonesia di bidang

hukum, mengingat KUHAP sangat memperhatikan hak asasi seseorang

yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di

pengadilan, penjatuhan hukuman sampai pelaksanaan putusan. Namun

dibalik itu semua, tersimpan satu persoalan yang memerlukan perhatian

serius dari berbagai pihak terkait yaitu KUHAP belum memberikan

pengaturan yang memadai mengenai perlindungan korban kejahatan.

Sebagaimana diketahui, di dalam KUHAP, ketentuan yang mengatur

mengenai perlindungan tersangka/terdakwa lebih banyak jumlahnya

dibandingkan dengan perlindungan terhadap korban kejahatan. Akibatnya,

hak-hak korban kejahatan kurang memperoleh perhatian.

Bagi pelaku kejahatan, sejak awal sudah sudah dilingkupi oleh

berbagai bentuk perlindungan hukum, seperti memperoleh bantuan hukum,

memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan

83

tentang kejahatan yang dituduhkan kepadanya, diberi hak untuk

mengajukan ganti kerugian dan rehabilitasi apabila ditangkap, ditahan,

dituntut ataupun diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang .

Selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan dengan telah

diperiksa dan diadilinya tersangka/terdakwa, secara tidak langsung telah

melindungi korban kejahatan, karena pelaku (terpidana) tidak akan lagi

mengganggu korban (masyarakat). Padahal, pelaku tidak cukup hanya

bertanggung jawab secara pidana (dihukum), tetapi juga bertanggung jawab

secara keperdataan supaya semakin menambah efek jera sekaligus

bertanggung jawab secara pribadi kepada korban.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, diatur beberapa

hak yang dapat digunakan oleh korban kejahatan dalam suatu proses

peradilan pidana, yakni:150

a. hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum,

yaitu hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian

penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak

ketiga yang berkepentingan (Pasal 77 jo 80 KUHAP). Hal ini penting

untuk diberikan guna menghindarkan adanya upaya dari pihak-pihak

tertentu dengan berbagai motif, yang bermaksud menghentikan proses

pemeriksaan;

b. hak korban berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi, yaitu hak

untuk mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP) Kesaksian

(saksi) korban sangat penting untuk diperoleh dalam rangka mencapai

suatu kebenaran materiil. Oleh karena itu, untuk mencegah korban

mengundurkan diri sebagai saksi, diperlukan sikap proaktif dari aparat

penegak hukum untuk memberikan jaminan keamanan bagi korban dan

keluarganya pada saat mengajukan diri sebagai saksi;

150 selengkapnya lihat Theo, Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensasi, dalam Teropong (Media Hukum dan Keadilan) Vol. II, No. 9, Juni 2003, hlm. 31-32.

84

c. hak untuk menuntut ganti kerugian akibat suatu tindak pidana/kejahatan

yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata

dengan perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101). Hak ini

diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti kerugian pada

tersangka/terdakwa. Permintaan penggabungan perkara gugatan ganti

kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut

umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir

maka permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim

menjatuhkan putusan. Penggabungan gugatan ganti kerugian dapat

diajukan apabila pihak yang dirugikan mengajukan penggabungan ganti

kerugian terhadap si terdakwa dalam kasus yang didakwakan

kepadanya. Penggabungan gugatan ganti kerugian dilaksanakan

berdasarkan hukum acara perdata dan harus diajukan pada tingkat

banding;

d. hak bagi keluarga korban untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi

melakukan otopsi (Pasal 134-136 KUHAP). Mengijinkan atau tidak

mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi juga merupakan suatu bentuk

perlindungan korban kejahatan, mengingat masalah otopsi ini bagi

beberapa kalangan sangat erat kaitannya dengan masalah agama, adat

istiadat, serta aspek kesusilaan/kesopanan lainnya.

Berkaitan dengan hak korban untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian

melalui cara penggabungan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 98

sampai dengan 101 KUHAP, pihak-pihak yang berkepentingan perlu

memperhatikan beberapa hal, yaitu:

1. Kerugian yang terjadi harus ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri;

2. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang lain yang

menderita kerugian (korban) sebagai akibat langsung dari tindak pidana

tersebut;

3. Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana tadi ditujukan

kepada “si pelaku tindak pidana” (terdakwa);

85

4. Dan, tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tadi

digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan pada

pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada

terdakwa dan dalam bentuk satu putusan.151

C. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Apabila dipandang dari sudut viktimologi, korban dalam undang-undang ini

merupakan self-victimizing victims yaitu seseorang yang menjadi korban

karena perbuatannya sendiri. Namun ada juga yang mengelompokkannya

dalam victimless crime atau kejahatan tanpa korban karena dalam

kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak adalah

terlibat.

Kejahatan lain yang dapat dikelompokkan dalam victimless crime

adalah perjudian, prostitusi, pornografi. Jenis kejahatan ini telah diorganisir

oleh sebuah jaringan kejahatan internasional (Transnational Organized

Crime) sehingga sukar untuk diberantas.

Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, tidak

memberikan gambaran jelas bagaimana cara perlindungan dan perlakuan

terhadap korban penyalahgunaan psikotropika. Sebagaimana undang-

undang lain pada umumnya, fokus utama dari undang-undang ini adalah

dari sisi pelaku kejahatan bukan sisi korban kejahatan.

Sekalipun demikian, ada ketentuan yang secara khusus

memerintahkan kepada pelaku (korban) penyalahgunaan psikotropika untuk

mengikuti program rehabilitasi ketergantungan terhadap obat-obatan

terlarang, seperti tercantum dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 5

Tahun 1997 Tentang Psikotropika, yang menyatakan:

151 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti

Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 83

86

(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma

ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam

pengobatan dan/atau perawatan.

(2) Pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi152.

Ketentuan tentang rehabilitasi bagi pengguna psikotropika di atur

dalam Pasal 39 yang menyatakan:

(1) Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita

sindroma ketergantungan dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi

yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial,

(3) Penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan

atas dasar izin dari Menteri.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rehabilitasi

dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)

dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Yang dimaksud dengan rehabilitasi medis adalah suatu proses

kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan

medis dan sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma

ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional semaksimal

mungkin, sedangkan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan

dan pengembangan baik fisik, mental, maupun sosial agar pengguna

psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melaksanakan

fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat.153

152 Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya. (Pasal 38 Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika). 153 Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahu 1997 tentang Psikotropika

87

Selama ini, program rehabilitasi terhadap korban hanya terfokus pada

rehabilitasi secara medis, sedangkan rehabilitasi sosial sering diabaikan.

Padahal, rehabilitasi sosial memegang peranan yang sama pentingnya

dengan rehabilitas medis. Sekalipun rehabilitasi medis telah berhasil

menghilangkan kecanduan seseorang terhadap psikotropika namun jika

tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, maka orang tersebut akan dengan

mudah kembali ke lingkungan lamanya dan kemudian akan kembali menjadi

pecandu obat-obat terlarang.

Kelemahan lain dari praktik rehabilitasi yang selama ini terjadi di

Indonesia adalah banyaknya ditemukan pusat-pusat rehabilitasi yang

menawarkan beragam metode rehabilitasi, mulai dari rehabilitasi yang

bersifat rasional seperti detoksifikasi154, hingga program rehabilitasi yang

sifatnya mistis, tanpa disertai dengan ijin.

Yang dikhawatirkan dengan bermunculannya pusat-pusat rehabilitasi

tanpa ijin dari instansi terkait adalah tidak adanya pengawasan terhadap

kualitas pelayanan yang diberikan. Jangan sampai muncul kasus dimana

korban (pecandu) yang tadinya diharapkan sembuh dari ketergantungan,

setelah mengikuti program rehabilitasi justru semakin menderita, seperti

yang pernah terjadi pada sebuah pusat rehabilitasi, dimana setelah korban

masuk ke pusat rehabilitasi justru yang bersangkutan menjadi gila bahkan

hingga meninggal dunia.

D. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Pada awalnya, narkotika155 digunakan untuk kepentingan umat manusia,

khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan

154 Program detoksifikasi ini juga mengundang banyak pro dan kontra karena metode ini menggunakan pemberian metadon secara teratur. Seperti yang diketahui, metadon sendiri merupakan salah satu jenis obat yang juga sering disalahgunakan oleh para pecandu. Akan tetapi pusat rehabilitasi yang menggunakan metode ini bersikeras bahwa dengan cara ini pasien akan tetap dapat beraktifitas selagi terus mengikuti program-program rehabilitasi 155 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

88

semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, peruntukan

narkotika mengalami perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif.

Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam

proses pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat di dalam narkotika

terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran serta

kesadaran pasien.

Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan

manfaat bagi kehidupan umat manusia, maka peredarannya harus diawasi

secara ketat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang No.

22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang menyebutkan: Pengaturan narkotika

bertujuan untuk:

a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu penegtahuan;

b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan

c. memberantas peredaran gelap narkotika.

Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat dikarenakan

saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu,

melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran

narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah di Indonesia hingga

ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh

peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran

narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap

barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk

dilepaskan ketergantungannya.

Harus diakui bersama, masalah penyalahgunaan narkotika

merupakan salah satu persoalan yang tidak mudah untuk ditemukan

solusinya. Kondisi ini tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

89

Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti, Amerika Serikat,

Australia dan negara-negara di benua Eropa.

Peredaran narkotika secara illegal harus segera ditanggulangi

mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya

tetapi juga bagi keluarga, komunitas hingga bangsa dan negara.

Sebelum lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1997, Narkotika

diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1966 tentang Narkotika

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan

Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3086), namun undang-undang

ini tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya karena adanya

perkembangan kualitas kejahatan narkotika yang sudah menjadi ancaman

serius bagi kehidupan umat manusia.

Pengguna narkotika sangat beragam dan menjangkau semua lapisan

masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, orang awam

hingga artis bahkan hingga pejabat publik.

Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkotika secara

berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat

menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik

maupun psikis. Bahkan tidak jarang, penggunaan narkotika dapat memicu

terjadinya berbagai tindak pidana. Karena itu, untuk mencegah semakin

meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan narkotika,

maka pengawasan tidak hanya terbatas pada peredaran narkotika tetapi

juga pada mereka yang menjadi korban, misalnya seseorang yang

menderita ketergantungan narkotika (pecandu)

Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim

atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, maka untuk memberikan

kesempatan pada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya,

maka hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan

menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Begitu pula, apabila pecandu

narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan melakukan tindak pidana

90

narkotika, maka hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang

bersangkutan menjalanai pengobatan dan/atau perawatan.

Pengobatan dan perawatan terhadap pecandu narkotika dilakukan

melalui fasilitas rehabilitasi. Rehabilitasi medis dan sosial yang diberikan

kepada pecandu dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan

kemampuan fisik, mental dan sosialnya.

Selain pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi medis, proses

penyembuhan pecandu narkotika dapat dilaksanakan oleh masyarakat

melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Sebagai contoh, di Pakem,

Sleman, Yogyakarta telah didirikan suatu klinik atau Pusat Rehabilitasi

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat-zat Adiktif lainnya

(NAPZA) Terpadu yang didirikan atas kerjasama Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang

diresmikan pada tanggal 7 Desember 2005.

Tujuan umum pendirian pusat rehabilitasi terpadu ini adalah untuk

memberikan jaminan penanganan paripurna kepada korban

penyalahgunaan Napza melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial,

aspek spiritual serta pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang

NAPZA secara terpadu, sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. Terhindarnya korban dan institusi dan penetrasi pengedar;

2. Terhindarnya kerusakan mental dan masa depan para penyalahguna

Napza yang akan membunuh potensi pengembangan mereka;

3. Terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit-penyakit

seperti Hepatitis, HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya;

4. Terwujudnya penanganan huklum yang selaras dengan pelayanan

rehabilitasi medik/sosial;

5. Terwujudnya proses pengembangan penanganan korban NAPZA dan

aspek ilmiah serta keilmuan yang dinamis, sesuai perkembangan zaman

sebagai pusat jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis

91

penanganan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bagi

daerah sekitarnya maupun nasional.

Pemberian perlindungan kepada korban narkotika, tentu tidak dapat

dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah, peran serta masyarakat pun

diharapkan ada salah satunya diterimanya kembali mantan para pengguna

dalam lingkungannya tanpa melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya

diskriminatif bahkan dengan memposisikan mereka sebagai warga kelas

dua yang harus dijauhi.

E. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Indonesia sebagai salah satu negara yang dianugerahi Tuhan Yang Maha

Esa dengan kekayaan alam yang melimpah seharusnya mampu

mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya bagi

tercapainya percepatan pembangunan guna terwujudnya masyarakat adil

dan makmur. Ironisnya, kekayaan alam ini justru sering menjadi pemicu

munculnya berbagai konflik dan bencana.

Alam, sejak dulu hingga kini, memegang peranan yang sangat

penting dalam kehidupan manusia. Alam menyediakan berbagai kebutuhan

penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Seiring dengan bertambahnya

jumlah penduduk, maka tekanan akan kebutuhan terhadap alam pun

semakin meningkat.

Jika sumber daya alam yang tersedia terus-menerus dibiarkan

pengelolaannya tanpa memperhatikan aspek pelestariannya, dikhawatirkan

kualitas sumber daya alam semakin lama semakin menurun, yang pada

akhirnya akan bermuara pada timbulnya kesengsaran bagi umat manusia.

Pentingnya pengelolaan sumber daya alam dengan tetap

memmerhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup, telah memperoleh

dasar pijakan yang kuat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 dari Undang-

undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

yang menyebutkan: Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah:

92

a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara

manusia dan lingkungan hidup;

b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang

memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;

c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa

depan;

d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;

f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap

dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang

menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Agar pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan kemanfaatan

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaannya harus

tetap memperhatikan rambu-rambu hukum, baik yang sifatnya lokal (hukum

adat), nasional maupun internasional.

Oleh karena itu, Undang-undang Lingkungan Hidup No. 23 Tahun

1997 tentang Lingkungan Hidup telah menetapkan bahwa setiap orang

mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta

menanggulangi kerusakan dan pencemarannya, serta mempunyai hak dan

kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan.

Salah satu instrumen hukum yang disediakan guna menjaga agar

pengelolaan lingkungan hidup dapat terselenggara secara bertanggung

jawab adalah instrumen sanksi, yang terdiri dari sanksi administrasi, sanksi

perdata, dan sanksi pidana.

Apabila lingkungan hidup tidak dikelola secara baik dan benar tentu

akan membawa dampak negatif tidak saja pada lingkungan hidup itu sendiri

tetapi juga makhluk hidup yang ada disekitarnya, seperti binatang, manusia.

Khusus untuk korban manusia, akibat yang ditimbulkan dari adanya

pengelolaan lingkungan hidup yang tidak bertanggung jawab, bisa berwujud

93

cacad sementara, cacad permanen atau meninggal dunia, seperti yang

terjadi pada beberapa kasus perusakan lingkungan di wilayah Nangroe

Aceh Darusalam, Papua, dan Sulawesi Utara, sedangkan kerugian terhadap

lingkungan alam dapat berwujud hilangnya berbagai spesies flora dan

fauna, kekeringan, tercemarnya sumber daya air.

Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pokoknya lebih

mengutamakan upaya pencegahan timbulnya korban (preventif), baik

korban manusia maupun lingkungan atau alam. Karena itu dalam Undang-

undang Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat beberapa instrumen hukum

sebagai pencegah dari kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup

seperti, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Apabila akibat dari pengelolaan lingkungan hidup yang tidak

bertanggung jawab menimbulkan korban, maka upaya preventif tidak efektif

untuk dipergunakan, sehingga terbuka kemungkinan penyelesaian dilakukan

melalui gugatan perdata dan pidana melalui jalur pengadilan, sekalipun

dibuka kemungkinan penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan

(Alternative Disputes Resolution).

Perlindungan yang diberikan kepada korban pencemaran lingkungan

hidup dapat diberikan dalam bentuk, antara lain:

a. Segera melakukan evakuasi korban ke tempat yang lebih layak tinggal

guna mencegah dampak perusakan lingkungan yang semakin

memperparah kondisi korban,

b. Memberikan bantuan medis kepada korban, sampai korban sembuh.

c. Pemberian santunan (kompensasi dan restitusi) oleh pelaku dan/atau

negara kepada keluarga korban yang meninggal,

d. Penataan kembali lingkungan agar layak untuk ditinggali.

Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan tegas membebankan kewajiban

untuk membayar ganti kerugian dan tindakan-tindakan tertentu kepada

94

pihak-pihak yang telah melakukan pencemaran dan atau perusakan

lingkungan hidup, sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain atau

lingkungan hidup.

Perlindungan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 34 di atas, pada

dasarnya merupakan realisasi dari ”asas pencemar membayar ganti rugi”. Di

samping itu, pencemar dan perusak lingkungan hidup dapat dibebani oleh

hakim untuk melakukan tindakan tertentu, seperti:

a. Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah

sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan.

b. Memulihkan fungsi lingkungan hidup.

c. Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran

dan perusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan Pasal 34 tentang ganti rugi, dan Pasal 35 tentang

tanggung jawab pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, tercakup dua

segi perlindungan, yaitu perlindungan korban yang diderita oleh perorangan

dan perlindungan terhadap negara yang menjadi korban pencemaran atau

perusakan lingkungan hidup. Ganti rugi terhadap korban dapat dibedakan

menjadi dua, yakni ganti rugi yang diberikan kepada korban yang dibayar

oleh pihak yang menyelenggarakan usaha dan atau kegiatan lingkungan

tersebut. Serta ganti rugi kepada negara dalam wujud melakukan tindakan

hukum tertentu sesuai perintah hukum yang ditetapkan oleh hakim.156

Terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup dapat pula dibebani

pembayaran atau uang paksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2)

yang menyatakan: Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan

pembayaran atau uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian

tindak tertentu tersebut.

156 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 130-131

95

Pembebanan uang paksa di bebankan atas setiap keterlambatan

pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan yang

dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sanksi uang paksa ini

sebagai alternatif terhadap sanksi administratif (sanksi pengendalian

perbuatan terlarang).

Selain hak korban untuk menuntut ganti kerugian kepada individu

atau badan hukum atau penguasa yang melakukan pencemaran (right of

defense atau Abwehrfunktion), seseorang yang haknya atas lingkungan

hidup yang baik dan sehat dilanggar, mempunyai pula hak untuk menuntut

diadakannya suatu tindakan agar lingkungannya pulih kembali (right of

performance / Leistungfunktion).

F. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

Telekomunikasi merupakan salah satu sarana paling penting dalam

menunjang kemajuan pembangunan. Dengan alat komunikasi yng

memadai, kita dapat mempersingkat jarak dari berjuta-juta kilometer hingga

hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari tangan kita. Karena sifatnya

yang sangat penting itulah maka dunia telekomuniasi berkembang dengan

kecepatan yang luar biasa hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Tidak hanya menunjang kemajuan pembangunan, keberadaan sistem

telekomunikasi pun kini sudah menjadi komoditas perdagangan tersendiri.

Terutama sejak penandatanganan General Agreement on Trade and

Services (GATS) di Marakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994, yang

telah diratifikasi dengan Undang-undang No.7 tahun 1994, penyelenggaraan

telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

perdagangan global.157

Karena itulah, cara pandang masyarakatpun berubah terhadap

penyelenggaraan telekomunikasi. Maka masyarakatpun mulai berlomba-

lomba untuk mengeksplorasi bidang-bidang telekomunikasi dengan tujuan

untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Keadaan inilah yang kemudian

157 Penjelasan Umum Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi

96

membuat pemerintah merasakan perlu diadakannya suatu regulasi khusus

untuk mengatur permasalahan ini. Dengan berbekalkan Pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan

kekayaan yang terkandung di dalamnya158 dikuasai oleh negara, maka

pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.3 tahun 1989 tentang

Telekomunikasi yang kemudian digantikan oleh Undang-undang No. 36

tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Mengenai perlindungan korban kejahatan menurut Undang-undang

Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 15

yang berbunyi: Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara

telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang

dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara

telekomunikasi.

Atas kelalaian dan kesalahannya, Penyelenggara telekomunikasi

wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali

penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut

bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalainannya. Ketentuan

mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tipe korban menurut ketentuan ini adalah Tertiary victimization, yaitu

korban masyarakat luas. Sedangkan asas perlindungan korban dalam

ketentuan ini adalah asas manfaat yang ditujukan bagi tercapainya

kemanfaatan (baik material maupun spiritual) bagi korban kejahatan dan

masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak

pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

158 Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya diartikan juga termasuk udara serta spektrum frekwensi radio dan juga orbit satelit

97

G. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia

Penegakan hak asasi manusia baik di Indonesia maupun di dunia

internasional masih merupakan hal yang baru. Walaupun ada beberapa

traktat dan perjanjian internasional yang dapat dijumpai sebelum Perang

Dunia II, namun kepedulian dunia internasional terhadap penegakan Hak

Asasi Manusia baru mulai secara pasti pada saat lahirnya Piagam PBB pada

tahun 1945.

Lahirnya pengakuan terhadap hak asasi manusia berawal dari

revolusi Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Walaupun Magna Carta

(1215), sering dikatakan sebagai awal mula lahirnya hak asasi manusia,

namun sesungguhnya hanyalah merupakan kompromi pembagian

kekuasaan antara Raja John dan para bangsawannya.159

Hampir sama dengan pergolakan revolusi di Inggris, Amerika Serikat

juga mengalami hal yang sama. Hal ini ditandai dengan lahirnya Deklarasi

Kemerdekaan Amerika (1776) yang disusun oleh Thomas Jefferson.

Cita-cita tersebut sebelumnya dituangkan dalam bentuk Deklarasi

Hak Asasi Virginia (The Virginia Declaration of Rights). Akan tetapi baru

pada tahun 1791 Amerika Serikat mengadopsi The Bill of Rights yang

dilakukan dengan serangkaian amandemen terhadap konstitusi mereka.160

Meskipun sejarah perkembangan hak asasi manusia sudah dapat

ditelusuri sejak zaman dahulu, dan bahkan sudah terdapat pengakuan

internasional dengan Piagam PBB, Indonesia masih tergolong salah satu

negara yang paling akhir mengimplementasikan penegakan hak asasi

manusia, walaupun hak-hak tersebut sudah dicantumkan dalam Undang-

undang Dasar 1945.

159 Scott Davidson diterjemahkan oleh A. Hadayaka Pudjaatmamaka, Hak Asai Manusi: Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal.2 160 Ibid, hal. 5

98

Di dalam Undang-undang Dasar 1945 (sebelum dilakukannya

beberapa kali amandemen), jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia

dirumuskan dalam beberapa pasal, antara lain:

1. Pasal 27

1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu, dengan tidak ada kecuali.

2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak untuk diperlakukan

sama tanpa diskriminasi serta hak atas kesejahteraan

2. Pasal 28 yang menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

ditetapkan dengan Undang-undang.

Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak atas kebebasan pribadi

dan hak untuk berpendapat.

3. Pasal 29

1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa

2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak beragama.

4. Pasal 31

1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran

2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sati sistem

pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang.

99

Pasal ini menggambarkan adanya perlindungan hak untuk mengembangkan

diri.

Selama pemerintahan Orde Baru, ditengarai banyak terjadi

berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mengakibatkan munculnya

kritikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Mengingat isu-isu Hak Asasi Manusia sering dijadikan sebagai alat

untuk menekan Indonesia di forum internasional, bahkan tidak sedikit

bantuan finasial yang akan diterima Indonesia terhambat karena Indonesia

dianggap tidak memberikan tempat bagi tumbuh suburnya Hak Asasi

Manusia, maka segera setelah era reformasi bergulir keluarlah Ketetapan

MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998, tanggal 13 Nopember 1998 tentang Hak

Asasi Manusia yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara

dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan

menyebarluaskan pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia kepada

seluruh masyarakat (Pasal 1). Disamping itu, menugaskan kepada Presiden

Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk

meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak

Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 2).

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia memberikan penjelasan tentang Hak Asasi Manusia yaitu

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,

pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia.

Sekalipun Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara

kodrati melekat pada diri manusia sejak lahir sehingga eksistensinya harus

senantiasa dilindungi, dihormati, dipertahankan dan dihargai oleh siapapun,

namun dalam praktiknya tidak mudah untuk ditegakkan karena masih

100

banyak dijumpai bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia baik yang

sifatnya vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau

sebaliknya) maupun horizontal (antar warganegara dengan warga negara)

mulai dari yang sifatnya “kecil”, misalnya diskriminasi dalam memperoleh

pelayanan hukum dan pemerintahan, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda

Penduduk (KTP), di mana masih dijumpai adanya perlakuan diskriminatif

terhadap kelompok masyarakat tertentu (biaya pembuatan lebih tinggi,

persyaratan yang lebih rumit dibandingkan dengan kelompok lainnya, jangka

waktu pembuatan lebih lama, dan sebagainya) hingga pelanggaran Hak

Asasi Manusia yang sifatnya “besar”, seperti, kasus pelanggaran Hak Asasi

Manusia di Timor Timur (menjelang berpisah dari Indonesia), dimana

banyak terjadi tindak kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa

dikalangan masyarakat tertentu yang diduga dilakukan oleh warga sipil

maupun aparat keamanan.

Di dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

Hak Asasi Manusia, dikenal adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia berat

yang meliputi: kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.161

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan

maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian

kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota-anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran

di dalam kelompok; atau

161 Pasal 7 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

101

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke

kelompok lain.162

Kejahatan genosida pernah terjadi pada saat timbul konflik di wilayah bekas

Negara Yugoslavia. Dalam peristiwa tersebut diperkirakan 800.000 orang

telah menjadi korban. Atas terjadinya kejahatan tersebut, kemudian

Peradilan Internasional dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan

827 Tahun 1993 tanggal 25 Mei 1993. Untuk mengadili para pelaku

kejahatan tersebut, Dewan Keamanan PB mengeluarkan Statute of the

International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious

Violations of International Humanitarian Law Commited in the Territory of the

Former Yugoslavia since 1991 (disingkat ICTY).

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang

dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil berupa:

a. pembunuhan;

b. pemusnahan;

c. perbudakan;

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain

secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan

pokok hukum intenasional;

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,

pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa

atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

162 Pasal 8 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

102

h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan

yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,

budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui

secara unuiversal sebagai hal yang dilarang menurut hukum

internasional;

i. penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.163

Rujukan Internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan

(crimes against humanity) adalah Statuta Roma yang disahkan pada tanggal

17 Juli 1998. Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan muncul kembali pada

tahun 1946, sebagai salah satu bentuk/kategori kejahatan di samping

Kejahatan Perang (war crimes) dan Kejahatan terhadap Perdamaian

(crimes against peace) yang berada di bawah yurisdiksi ICTN (International

Criminal Tribunal Nurenberg), untuk mengadili para enjahat perang tentara

NAZI Jerman.164

Untuk Indonesia, kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai

kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, antara lain: peristiwa Tanjung Priok,

Lampung, Timor Timur. Khusus untuk kasus Timor Timur telah selesai

diperiksa di pengadilan bahkan beberapa pelakunya telah dijatuhi hukuman

pidana dan pelaku lainnya memperoleh vonis bebas.

Secara teoretis, Undang-undang No. 29 Tahun 2000 mengakui

pentingnya aspek perlindungan korban dalam proses peradilan kasus-kasus

pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat

(1) yang menyebutkan setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak

asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari

163 Pasal 9 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 164 Joko Setiyono, Kebijakan Legislatif Indonesia, Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat, artikel dalam Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 129 Lebih lanjut Joko Setiyono menyatakan muncul pemahaman bahwa pemidanaan bagi para pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan mensyaratkan (nexus) adanya hubungan antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dengan Kejahatan Perang. Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan kembar siam (siamese twin) dari Kejahatan Perang.

103

ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Namun

secara praktis, amanat tersebut masih jauh dari harapan, mengingat hingga

sekarang wujud perlindungan terhadap korban belum diatur secara khusus

dalam undang-undang.

Secara internasional, mekanisme perlindungan saksi dan korban

dalam proses peradilan kasus kejahatan HAM telah diakui. Statuta Roma

1998 yang merupakan landasan berdirinya International Criminal Court

(ICC)165 telah mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban

serta keikutsertaannya di dalam persidangan, khususnya Artikel 68. Begitu

pula, Mahkamah Pidana Internasional Ad-hoc untuk kejahatan HAM di

bekas negara Yugoslavia166 secara eksplisit telah menyebutkan perihal

perlindungan terhadap korban dan saksi, sebagaimana tercantum dalam

Article 22 Statute of The International Tribunal Yugoslavia yang

menyebutkan: The international Tribunal shall provide in its rules of

procedure and evidence for the protection of victims and witnesses. Such

protection measures shall include, but shall not be limited to, the conduct of

in camera proceedings and the protection of the victim’s identity. Hal yang

sama dapat dijumpai dalam Article 21 Statute of The International Tribunal

for Rwanda.167

Sekalipun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.

2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi

165 International Criminal Court dibentuk sebagai pengadilan pidana internasional yang permanen, menggantikan praktik pembentukan pengadilan internasional pidana khusus (ad hoc) yang sifatnya sementara. Pengadilan internasional ini dibentuk khusus untuk mengadili para pelaku yang didakwa melakukan kejahatan onternasional. Dengan dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional (ICC) diharapkan proses peradilan bagi pelaku kejahatan kemanusiaan yang berat dapat dilakukan dengan efektif, efisien, dan murah. 166 Peradilan Internasional untuk kejahatan HAM di bekas negara Yugoslavia (International Tribunal for The Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in The Territory of The Former Yugoslavia Since 1991 (ICTY) dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 827 Tahun 1993 tanggal 25 Mei 1993, untuk menghukum para pelaku kejahatan perang, genosida dan kejahatan kemanusiaan, yang terjadi sejak 1 Januari 1991 di wilayah bekas Negara Yugoslavia. 167 Peradilan Internasional untuk mengadili pelaku utama kejahatan kemanusiaan dan kejahatan berat lainnya di Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) yang berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1994 hingga 31 Desember 1994, dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 955 Tahun 1994.

104

dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, namun isi dari peraturan

pemerintah tersebut belum dilengkapi dengan aturan mengenai prosedur

teknis pemberian perlindungan dan/atau pengaman saksi dan korban yang

baku. Akibatnya, perlindungan hukum kepada korban tidak berjalan

sebagaimana yang diharapkan. Misalnya, sejak bulan Februari 2002,

Pengadilan HAM mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahatan

kemanusiaan di Timor Leste. Bulan Mei 2002, persidangan kasus-kasus ini

sampai pada tahap pembuktian, yakni mendengarkan keterangan saksi dan

memeriksa alat bukti lainnya. Berdasarkan pengamatan, pengadilan sangat

timpang akibat tidak mampu memberikan jaminan perlindungan saksi dan

korban selama persidangan. Sejak awal Juni 2002, setidaknya 3 orang saksi

korban atau keluarga korban yang batal hadir dengan alasan tidak adanya

jaminan keamanan bagi para saksi. Jika pun ada yang hadir dalam

persidangan, saksi mengalami kesulitan untuk memberikan keterangan

dengan leluasa karena persidangan dihadiri oleh jajaran pimpinan teras TNI

lengkap dengan seragam dan tongkat komandonya. Selain itu, pengunjung

sidang sering berteriak-teriak mencemooh selama saksi memberikan

keterangannya, sementara di luar pengadilan ada berbagai kelompok yang

berunjuk rasa.168

Mengenai hal ini, Harkristuti Harkrisnowo, berpendapat: dalam kasus

pelanggaran HAM yang berat seharusnya hak-hak korban dan saksi lebih

diperhatikan hal ini berkenaan dengan para tersangka yang umumnya

berasal dari kelompok yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan

memiliki akses pada senjata.169

Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi dapat diberikan

pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di

sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum dan

aparat keamanan dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban.

168 Tempo Interaktif, 17 Juni 2004 169 Harkristuti Harkrisnowo, Urgensi Pengaturan Perlindungan Korban dan Saksi, makalah disampaikan pada Roundtable Discussion, Jakarta, 2002, 54.

105

Permohonan perlindungan ini dapat ditujukan pada instansi-instansi

yang berbeda-beda pada setiap tingkatan, misalnya: dalam tingkatan

penyelidikan permohonan ditujukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia, dalam tingkatan penyidikan dan penuntutan diajukan kepada

Kejaksaan, dan dalam tingkatan pemeriksaan ditujukan kepada Pengadilan.

Selain proses pemeriksaan terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang berat dilakukan melalui Pengadilan HAM sebagaimana

diamanatkan oleh Pasal 1 angka 3, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pun

dapat menjadi alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat yang

dilakukan di luar pengadilan, hanya saja pelanggaran HAM berat yang

dimaksud harus terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,170 sebagaimana diketahui

berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mempunyai tugas:

1. Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga

korban (ahli warisnya);

2. Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran berat HAM;

3. Memberi rekomendasi kepada Presiden dalam hal permohonan

amnesti;

4. Menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal pemberian

kompensasi dan/atau rehabilitasi;

5. Menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan

tugas dan wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya

kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan

kepada Mahkamah Agung.171

Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

mempunyai kewenangan:

170 Pasal 47 ayat (1) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 171 Pasal 6 Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

106

1. Melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

2. Meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, pelaku dan/atau

pihak lain di dalam maupun di luar negeri;

3. Meminta dan mendapatkan dokumen resmi dari instansi sipil atau

militer serta badan lain, baik yang ada di dalam maupun luar negeri;

4. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait, baik di dalam maupun di

luar negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi,

pelapor, pelaku, dan barang bukti;

5. Memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan

kesaksian;

6. Mumutuskan pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi; dan172

7. Menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti

apabila perkara sudah didaftar di Pengadilan Hak Asasi Manusia.173

Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada korban

adalah melalui pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 35 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2

Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksanaannya.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tidak dijelaskan

tentang bagaimana kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dimohonkan,

hanya disebutkan harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak (Pasal

2 ayat (2) PP. No. 2 Tahun 2002). Begitu pula, dalam peraturan pemerintah

ini tidak diatur perihal adanya beberapa hak yang penting bagi korban,

seperti hak relokasi, hak untuk mendapat informasi, hak untuk memperoleh

172 Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia memiliki 3 (tiga) sub Komisi, salah satunya adalah Subkomisi Kompensasi, Retitusi dan Rehabilitasi yang berwenang untuk: 1. Membuat pedoman pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban atau keluarganya (ahli waris) 2. Melakukan klarifikasi kepada korban dan memeriksa kelengkapan syarat-syarat permohonan dalam rangka pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban atau keluarganya (ahli waris) 3. Mengusulkan kepada Komisi bentuk-bentuk pemberian konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang bersifat umum untuk memulihkan hak dan martabat korban dan atau keluarganya (ahli waris). 173 Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

107

identitas baru yang sangat penting guna menghindarkan korban dari

berbagai bentuk ancaman.

Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang

Berat, dibentuk sebagai amanat dari Pasal 34 Undang-undang No. 26

Tahun 2000 yang menyatakan:

(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia

yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari

ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan

secara cuma-sema.

(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban

dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah No.

2 Tahun 2002 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 meliputi:

a. perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari

ancaman fisik dan mental.

b. perahasiaan identitas korban atau saksi.

c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang

pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

H. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak

Fenomena tindak kekerasan yang terjadi pada anak-anak di

Indonesia mulai menuai sorotan keras dari berbagai kalangan pada saat

banyak stasiun televisi swasta menayangkannya secara vulgar pada

program kriminal, seperti: kasus perkosaan yang dilakukan oleh keluarga

korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi, perdagangan anak

untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersil hingga pembunuhan.

108

Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia dianggap

sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak.

Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat

membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung.

Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai

kritik dari berbagai elemen masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan

adalah sejauhmana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan

(hukum) pada anak sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas

kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi

manusia. Padahal, berdasarkan Pasal 20 Undang-undang No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung

jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara,

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.

Adanya kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah

terhadap penyelenggaraan perlindungan anak ditegaskan dalam Pasal 21

sampai Pasal 25 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, yang meliputi kewajiban dan tanggung jawab:

1. menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan

suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,

status anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental

(Pasal 21);

2. memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan

perlindungan anak (Pasal 22);

3. menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan

memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang

secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi

penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);

4. menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan

pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).

109

Hukum Internasional melalui pembentukan Konvensi Hak Anak

(Convention on the Right of the Children) telah memposisikan anak sebagai

subjek hukum yang memerlukan perlindungan atas hak-hak yang

dimilikinya. Negara-negara peserta konvensi (contracting parties) memiliki

kewajiban untuk menyepakati isi konvensi tersebut dan melaksanakannya,

terutama dalam hal jaminan terhadap kepentingan hak-hak anak.

Ada 31 (tiga puluh satu) hak anak yang disebutkan Konvensi Hak

Anak untuk diberikan perlindungan, diantaranya: Hak untuk mendapatkan

perlindungan khusus jika anak mengalami konflik dengan hukum, Hak untuk

mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi sebagai

pekerja anak, Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak

mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan, Hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum jika anak mengalami eksploitasi seksual

dan penyalahgunaan seksual, Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus

dari penculikan, penjualan dan perdagangan anak-anak.

Konvensi Hak Anak lahir berdasarkan beberapa prinsip, yaitu:

1. Prinsip Non diskriminasi

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Anak menyatakan: Negara-

negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan

dalam konvensi ini terhadap setiap anak dalam wilayah hukum mereka

tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun tanpa memandang ras, warna

kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa,

suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain

dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum.

2. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child)

Prinsip umum kedua dari Konvensi Hak Anak adalah yang terbaik bagi anak

(best interest of the child). Prinsip ini tergambar dalam Pasal 3 ayat (1) yang

menyatakan: Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan

oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta,

110

lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan

yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.

3. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak

Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak adalah sebuah

konsep hidup anak yang sangat strategis dan harus dipandang secara

menyeluruh demi masa depan anak itu sendiri.

Berangkat dari hal ini pulalah Konvensi Hak Anak memandang

pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan hidup

dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa

”Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang

melekat atas kehidupan (inherent right to life)”, serta ayat (2) bahwa

“Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan

hidup dan perkembangan anak (survival and development of the child)”.

4. Menghargai pandangan anak

Prinsip ini merupakan prinsip dasar sekaligus landasan terkokoh bagi

interpretasi (penafsiran) serta pelaksanaan keseluruhan isi konvensi.

Artinya, setiap pandangan anak perlu diperhatikan dalam setiap

pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan dan

perkembangan anak. Itulah sebabnya, Pasal 12 ayat (1) konvensi

menyatakan bahwa “Negara-negara peserta akan menjamin bahwa anak-

anak yang memiliki pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk

menyatakan pandangan-pandangan mereka secara bebas dalam semua hal

yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai

dengan usia dan kematangan anak.

Dalam hukum nasional, perlindungan anak telah memperoleh dasar

pijakan yuridis di antaranya Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan

konstitusional serta Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

111

Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas

menyebutkan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, sedangkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif

tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk

memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi

Dalam Pasal 59 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah dan lembaga negara lainnya, untuk memberikan perlindungan

khusus kepada:

1. Anak dalam situasi darurat;

2. Anak yang berhadapan dengan hukum;

3. Anak dari kelom[pok minoritas dan terisolasi;

4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

5. Anak yang diperdagangkan;

6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,

alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza);

7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;

8. Anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental;

9. Anak yang menyandang cacat; dan

10. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Pasal

64 ayat (1) UU Perlindungan Anak, diarahkan pada anak-anak yang

berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Berdasarkan

112

Pasal 64 ayat (2) UU Perlindungan Anak, perlindungan bagi anak yang

berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui :

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan

hak-hak anak;

b. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;

c. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini;

d. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan

anak yang berhadapan dengan hukum;

e. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua

atau keluarga; dan

f. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk

menghindari labelisasi.

Sedangkan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban

tindak pidana dilaksanakan melalui :

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik

fisik, mental, maupun sosial; dan

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.

Untuk anak-anak korban perdagangan manusia, mengingat

karakteristik kejahatannya sangat khas, maka perlu diberikan perlindungan

secara khusus, antara lain:

a. Perlindungan berkaitan dengan identitas diri korban, terutama selama

proses persidangan. Tujuan perlindungan ini adalah agar korban

terhindar dari berbagai ancaman atau intimidasi dari pelaku yang

mungkin terjadi selama proses persidangan berlangsung;

113

b. Jaminan keselamatan dari aparat berwenang. Korban harus diperlakukan

dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar keselamatannya

terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian;

c. Bantuan medis, psikolgis, hukum, dan sosial, terutama untuk

mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikan kepada

keluarga dan komunitasnya;

d. Kompensasi dan restitusi. Korban memperoleh kompensasi dan restitusi

karena penderitaan korban juga merupakan tanggung jawab negara.

Upaya perlindungan hukum terhadap anak perlu secara terus

menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak

mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu

bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya

memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-

orang yang berusia dewasa, mengingat setiap orang memiliki kedudukan

yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Oleh karena itu, negara bersama-sama dengan segenap anggota

masyarakat lainnya, perlu bahu membahu memberikan perlindungan yang

memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi

yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, agar anak

sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam

memasuki kehidupan yang semakin keras di masa-masa yang akan datang.

I. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana

Terorisme

Momentum pemberantasan terorisme semakin gencar dilakukan

segera setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001, pada saat gedung

pencakar langit, World Trade Center (WTC) New York, yang merupakan

salah satu gedung tertinggi di dunia sekaligus simbol adidaya Amerika

Serikat, hancur berantakan setelah ditabrak pesawat terbang komersial yang

dilakukan oleh para teroris.

114

Belum pulih keterkejutan masyarakat dunia dari serangan teror di

Gedung WTC, New York, dunia internasional dikejutkan dengan terjadinya

aksi peledakan bom di Legian, Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, yang

mengakibatkan korban jiwa lebih kurang 192 (seratus sembilan puluh dua)

orang, korban luka-luka sebanyak kurang lebih 161 (seratus enam puluh

satu) orang, menghancurkan bangunan Sari Club dan Paddy’s Pub dan

merusakan bangunan lainnya berjumlah kurang lebih 422 (empat ratus dua

puluh dua) unit dan atau merusak fasilitas publik atau fasilitas umum berupa

kerusakan jaringan telepon, listrik dan saluran air PDAM.174 Keterkejutan

semakin bertambah pada saat muncul tuduhan bahwa Indonesia disinyalir

sebagai salah satu bagian dari jaringan terorisme Internasional yang

memiliki hubungan dengan organisasi teroris internasional terkemuka, yaitu

Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Tragedi 11 September di Gedung WTC Amerika Serikat dan tragedi

12 Oktober di Legian Bali seakan mengingatkan akan adanya ancaman

terorisme terhadap perdamaian dan keamanan dunia yang bisa muncul

setiap saat tanpa dapat diprediksi. Terorisme bukan hanya kejahatan yang

mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu bangsa dan

negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat

internasional. Harmonisasi global dapat terkoyak karena bisa jadi masing-

masing negara saling mencurigai dan mengecam negara yang lain, karena

ada di antara tersangka atau pelakunya berasal dari negara tersebut.175

Aksi terorisme dapat terjadi kapanpun, dimanapun dan menimpa

siapapun tanpa pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan oleh aksi

terorisme sangat besar. Indriyanto Seno Adjie menyatakan: terorisme sudah

menjadi bagian dari extra ordinary crimes yang berarti suatu kejahatan

kekerasan yang berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan

174 Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus peledakan bom di Legian Bali dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan. 175 Abdul Hamid, et, al, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 13

115

kekerasan lainnya yang sering disebut kejahatan kebiadaban dalam era

keberadaban karena kejahatan itu mengorbankan manusia/orang-orang

yang tidak berdosa.176

Setelah terjadinya peristiwa peledakan Bom Bali I tahun 2002, muncul

desakan pada pemerintah agar segera menyusun peraturan perundang-

undangan yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak

pidana terorisme, karena selama ini ketentuan yang dipergunakan untuk

menjerat para pelaku peledakan bom adalah Kitab Undang-undang Hukum

Pidana.

Mengingat kondisi saat itu sangat mendesak, sementara untuk

menyusun undang-undang memerlukan waktu yang relatif lama, maka

pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Dalam perkembangan berikutnya, Perpu No.1 Tahun 2001 telah

diubah menjadi Undang-undang No. 15 Tahun 2003.

Sebagaimana diketahui bersama, aksi-aksi terorisme yang selama ini

terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban,

mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, warga sipil hingga aparat

keamanan, bahkan dalam beberapa peristiwa peledakan bom, korban harus

mengalami cacat seumur hidup serta gangguan psikis lainnya yang sifatnya

menahun. Oleh karena itu, guna mengurangi dan/atau memulihkan keadaan

korban (keluarganya), maka perlu diupayakan bentuk-bentuk perlindungan

yang sifatnya komprehensif.

Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme memberikan pengaturan tentang perlindungan korban dan

ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme. Bentuk perlindungan yang

diberikan meliputi pemberian kompensasi atau restitusi, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 36 ayat (1) bahwa setiap korban atau ahli warisnya

176 Kompas, 29 Oktober 2002

116

akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau

restitusi.

Kompensasi, pembiayaannya dibebankan kepada negara yang

dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan restitusi merupakan ganti

kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya177. Patut

disayangkan, sampai sekarang belum ada lembaga pemerintah yang secara

khusus dibentuk untuk menjalankan tugas dalam mengelola masalah ini.

Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi kepada

korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari welfare

state, yang mana pemerintah berkewajiban untuk memberikan

kesejahteraan bagi warga negaranya, dan apabila negara tidak mampu

untuk memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya (dalam hal ini

melindungi warga negaranya dari aksi-aski terorisme), maka pemerintah

harus bertanggungjawab untuk memulihkannya.

J. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia.

Dalam keluarga manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain.

Karena itulah, umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam

lingkungan keluarga.

Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna

menumbuh kembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam

kenyataannya keluarga seringkali menjadi wadah bagi munculnya berbagai

kasus penyimpangan atau aktivitas illegal lain, sehingga menimbulkan

kesengsaraan atau penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga satu

terhadap anggota keluarga lainnya, seperti penganiayaan, pemerkosaan,

177 menurut Penjelasan Pasal 36 ayat (3) yang dimaksud dengan “ahli waris” adalah ayah, ibu, istri/suami, dan anak

117

pembunuhan. Situasi inilah yang lajim disebut dengan istilah Kekerasan

Dalam Rumah Tangga.178

Pada umumnya, dalam struktur kekerabatan di Indonesia, kaum laki-

laki ditempatkan pada posisi dominan, yakni sebagai kepala keluarga,

sehingga bukan hal yang aneh apabila kemudian anggota keluarga lainnya

menjadi sangat tergantung kepada kaum laki-laki.

Posisi laki-laki yang demikian superior seringkali menyebabkan

dirinya menjadi sangat berkuasa ditengah-tengah lingkungan keluarga.

Bahkan, pada saat laki-laki melakukan berbagai penyimpangan (kekerasan)

terhadap anggota keluarga lainnya (misalnya: anak, isteri) tidak ada

seorangpun dapat menghalanginya. Lebih parah lagi, perilaku laki-laki

tersebut dianggap sebagai hak istimewa (privilege) yang secara kodrati

melekat pada diri laki-laki (kepala keluarga).

Adanya sikap tradisional bahwa perempuan dianggap sebagai

subordinasi laki-laki, pembakuan peran-peran stereotipe, disertai dengan

sikap tradisional perempuan seperti kebergantungan sosial dan ekonomi

pada suami dan keluarga serta rasa takut dan keengganan perempuan

korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan, merupakan sebab-sebab

utama di antara sekian sebab lainnya yang menyebabkan bahwa tindak

kekerasan dalam rumah tangga tidak terungkap atau tidak di atasi.179

Sekalipun kaum laki-laki terkesan aktor yang paling banyak

melakukan kekerasan dalam rumah tangga, namun tidak berarti kekerasan

dalam rumah tangga tidak pernah dilakukan oleh kaum wanita (ibu)

terhadap anggota keluarga lainnya. 178 Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mendefinisikan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 179 Achie Sudiarti Luhulima dan Kunthi Tridewiyanti, Pola Tingkah Laku Sosial Budaya dan Kekeradan Terhadap Perempuan, makalah pada Pelatihan Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Suatu Tinjauan Hukum), diselenggarakan oleh Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, Jakarta, 27-29 September 1999.

118

Kekerasan dalam rumah tangga tidak melulu harus diartikan dalam

bentuk tindakan fisik (memukul, menjambak), termasuk juga kekerasan

dalam bentuk psikis, seperti terus menerus ditekan atau dipojokkan oleh

keluarganya. Bahkan suatu bentakan atau kata-kata kasar atau memelototi,

sudah dianggap sebagai bentuk kekerasan.

Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-undang No. 23 tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan

dalam rumah tangga dapat berwujud:

a. kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit atau luka berat;180

b. kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,

rasa tidak berdaya, dan/atau penderiotaan psikis berat pada

seseorang;181

c. kekerasan seksual yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang

dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah

tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu;182

d. penelataran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan

orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib

memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang

tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap

orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam

180 Pasal 6 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 181 Pasal 7 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 182 Pasal 8 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

119

atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang

tersebut.183

Adat istiadat memegang peranan yang cukup penting dalam

memunculkan aksi-aksi kekerasan dalam rumah tangga. Dalam banyak

budaya di Indonesia, lajim ditekankan bahwa istri harus menurut kepada

suami seperti halnya anak harus selalu menurut kepada orang tua atau

orang yang lebih tua daripada mereka. Ketika hal ini tidak terpenuhi, aksi

kekerasanlah yang menjadi pelampiasannya, seperti memukul, mencubit

atau menjewer (anak).

Dalam praktiknya, kasus-kasus kekerasan dalan rumah tangga

banyak terjadi ditengah-tengah keluarga, melebihi data resmi yang

dikeluarkan oleh beberapa lembaga baik pemerintah maupun swasta.

Banyak faktor yang menyebabkan korban kekerasan dalam rumah

tangga tidak melaporkan penderitaan yang menimpanya, antara lain:

Pertama, si pelaku dengan si korban memiliki hubungan keluarga atau

hubungan karena perkawinan. Hal ini biasanya menyulitkan karena

keengganan korban untuk melaporkan mengenai apa yang telah terjadi

kepada mereka. Pemikiran yang juga ikut mendasari alasan ini adalah rasa

takut pada diri si korban karena si pelaku biasanya tinggal satu atap dengan

meraka sehingga apabila korban mengadukan apa yang telah terjadi

kepadanya pada pihak yang berwajib, si korban akan mendapatkan

perlakuan yang lebih parah dari di pelaku ketika korban pulang atau ketika

mereka bertemu kembali.

Kedua, keengganan korban mengadukan kekerasan yang telah

menimpanya dapat juga disebabkan masih dipertahankannya pola pikir

bahwa apa yang terjadi di dalam keluarga, sekalipun itu perbuatan-

perbuatan kekerasan, sepenuhnya merupakan permasalahan rumah

tangga pribadi, sehingga melaporkan hal tersebut atau bahkan hanya

membicarakannya saja, sudah dianggap membuka aib keluarga. 183 Pasal 9 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

120

Ketiga, kurang percayanya masyarakat kepada sistem hukum

Indonesia, sehingga mereka tidak memiliki pegangan atau kepastian bahwa

mereka akan berhasil keluar dari cengkeraman si pelaku. Sebelum lahirnya

Undang-undang mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ada banyak

laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak dilanjutkan ketahap

penyidikan dengan alasan pelaku dan korban pelapor tinggal seatap

sehingga hanya dianggap sebagai perselisihan atau percekcokan rumah

tangga biasa.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, adanya non-reporting of crime

dalam kasus tindak kekerasan merupakan suatu fenomena universal, yang

dijumpai juga di negara-negara lain. Adanya non-reporting ini disebabkan

hal, antara lain:

(a) si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya, baik

secara fisik, psikologis maupun sosiologis;

(b) si korban merasa berkewajiban melindungi nama baik keluarganya,

terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri;

(c) si korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini

belum tentu dapat membuat dipidananya pelaku;

(d) si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa

cemar yang lebih tinggi lagi pada dirinya (misalnya melalui publikasi

media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yang dirasanya

membuat makin terluka);

(e) si korban khawatir akan retaliasi atau pembalasan dari pelaku

(terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya);

(f) lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban, membuatnya

enggan melapor;

(g) keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan

mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum;

121

(h) ketaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinya

merupakan suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan.184

Setelah keluarnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diundangkan pada

tanggal 22 September Tahun 2004, muncul kesadaran dari korban untuk

melaporkan ke pihak berwajib apabila terjadi aksi kekerasan dalam rumah

tangga.

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud

dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau

ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga185. Korban menurut

undang-undang ini adalah socially weak victims yaitu mereka yang memiliki

kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami

penderitaan/kerugian yang sangat beragam, seperti materiil, fisik, maupun

psikis, sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus

beragam pula.

Tidak sedikit korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami

penderitaan secara beruntun pada waktu bersamaan. Karena itu, guna

mengurangi beban penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam

184 Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan Terjadap Perempuan, makalah pada Pelatihan Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Suatu Tinjauan Hukum), diselenggarakan oleh Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, Jakarta, 27-29 September 1999. Selanjutnya, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, tidak dilaporkannya atau tidak diprosesnya tindak kekerasan terhadap perempuan membawa konsekwensi bahwa pelaku masih bebas berkeliaran di masyarakat, dengan kemungkinan ia akan mengulangi lagi kejahatan, baik terhadap korban pertama itu sendiri (yang dapat sajja merupakan pembalasan dendam) maupun terhadap potential victims yang lain. 185 Yang dimaksud dengan lingkup Rumah Tangga meliputi: a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

122

rumah tangga, undang-undang memberikan hak kepada korban kekerasan

dalam rumah tangga, untuk mendapatkan:186

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; dan

e. pelayanan bimbingan rohani.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga mengatur tentang perlindungan

sementara yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian

dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan

perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat

penting untuk segera diberikan pada korban karena jikalau korban harus

menunggu turunnya penetapan pengadilan yang berisikan perintah

perlindungan, dikhawatirkan prosesnya lama sementara korban

membutuhkan perlindungan dalam waktu relatif cepat.

Perlindungan sementara wajib segera diberikan oleh kepolisian

kepada korban dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung

sejak mengetahui atau menerima laporan terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga dan pemberian perlindungan sementara ini diberikan kepada korban

paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.

Agar perlindungan sementara ini dapat segera dinaikkan “statusnya”

menjadi perlindungan, maka dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)

186 Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

123

jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib

meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Apabila korban kekerasan dalam rumah tangga memperoleh

perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan, maka berdasarkan Pasal

21 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tenaga kesehatan harus:

a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan

visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat

keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai

alat bukti.

Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pekerja sosial

yang akan memberikan pelayanan kepada korban diharuskan untuk:

a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman

bagi korban;

b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan

perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan

dari pengadilan;

c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;

dan

d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan

kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial

yang dibutuhkan korban.

Untuk pelayanan yang sifatnya rohani, berdasarkan Pasal 24

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga, pembimbing rohani diharuskan untuk memberikan

penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan

taqwa kepada korban.

124

Khusus untuk upaya pemulihan korban, pelayanan yang diberikan

dapat diperoleh dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping;

dan/atau pembimbing rohani.

Pemberitahuan perihal perkembangan kasus yang sedang ditangani

oleh kepolisian kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku, juga merupakan wujud dari pemberian

perlindungan kepada korban, sekalipun seringkali tindakan ini oleh korban

dianggap hanya suatu pelayanan rutin dari pihak kepolisian.

Langkah ini penting untuk dilakukan guna menghindarkan adanya

upaya dari pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk menghentikan proses

pemeriksaan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, apabila pelaku tindak pidana

karena alasan-alasan tertentu ditangguhkan penahanannya, upaya

pemberitahuan kepada korban atau keluarganya mengenai adanya

penangguhan penahanan sangat penting untuk dilakukan, salah satunya

untuk menjamin keamanan dari korban itu sendiri.

Sebagai perbandingan, di negara bagian New South Wales, Australia,

setiap korban kejahatan memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang

penyidikan polisi mengenai kejahatan yang dilakukan terhadap korban,

penuntutan terhadap terdakwa, dan proses pengadilannya lewat Polisi atau

Kantor Jaksa Penuntut Umum. Informasi ini dapat diperoleh korban atau

keluarganya, kecuali apabila informasi yang dimaksud dapat mengakibatkan

terhambatnya/kesulitan pada jalannya perkara. Begitu pula, informasi akan

segera diberikan oleh pihak kepolisian apabila pelaku kejahatan akan

dikeluarkan dari tahanan untuk sementara waktu (penangguhan) atau

apabila pelaku melarikan diri (buron) dari tahanan. 187

Untuk hal yang terakhir ini sangat wajar apabila korban diberitahukan,

guna menghindarkan adanya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap korban

kejahatan, seperti upaya balas dendam dari pelaku kejahatan.

187 Upaya pihak kepolisian untuk memberitahuan kepada korban atau keluarganya perihal akan dikeluarkannya pelaku dari tahanan untuk sementara waktu telah banyak dilakukan oleh pihak Polri

125

Untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan,

khususnya yang dialami oleh wanita dan anak-anak, di beberapa kantor

kepolisian resort telah dibentuk suatu unit penanganan terhadap kejahatan

yang menimpa wanita dan anak-anak, yang disebut dengan Ruang

Pelayanan Khusus (RPK). Kasus-kasus yang biasanya ditangani oleh unit

Ruang Pelayan Khusus ini adalah pemerkosaan, penganiayaan di

lingkungan keluarga, pelecehan seksual (kejahatan kesusilaan).

Ide pembentukan Ruang Pelayanan Khusus ini adalah berawal dari

adanya kekhawatiran dari aparat kepolisian, bahwa korban (wanita dan

anak-anak) yang telah mengalami tindakan kekerasan tidak bersedia untuk

memberikan keterangan berkaitan dengan kekerasan yang menimpa dirinya

karena proses pemeriksaan dilakukan ditempat terbuka seperti yang

dilakukan pada korban-korban kejahatan lainnya, sedangkan pada kasus

yang menimpa korban (wanita dan anak-anak) faktor kerahasiaan sangat

penting untuk tetap dijaga (menyangkut aspek privacy dari korban).

Akibatnya, dengan munculnya rasa enggan dari korban untuk melaporkan

kejahatan/tindak pidana yang menimpa dirinya, akan berdampak pada

sulitnya aparat kepolisian dalam mengungkap kasus kekerasan dalam

rumah tangga (domestic violence).

Oleh karena itu, guna menghindarkan munculnya berbagai kendala

dalam pemeriksaan pada korban kejahatan sekaligus sebagai salah satu

upaya perlindungan hukum bagi korban, khususnya yang menimpa wanita

dan anak-anak, maka dibentuklah Ruang Pelayanan Khusus.188

Dalam melaksanakan tugasnya, anggota kepolisian wanita ini dibantu

oleh petugas yang berasal dari rumah sakit, atau lembaga swadaya

masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah korban kekerasan

dalam rumah tangga. Dalam pelayanan ini, pihak rumah sakit dilibatkan 188 Anggota kepolisian yang ditempatkan pada Ruang Pelayanan Khusus berasal dari anggota polisi wanita (polwan) yang telah memperoleh berbagai pelatihan khusus berkaitan dengan masalah-masalah keluarga. Dengan ditempatkannya anggota polwan dalam pemeriksaan ini diharapkan kendala komunikasi antara korban dan aparat kepolisian dapat dikurangi.

126

khususnya apabila korban mengalami kekerasan secara fisik (seksual)

sehingga memerlukan perawatan secara khusus.

Pada umumnya antara institusi kepolisian (khususnya di tingkat

lepolisian Ressort) telah dibuat suatu Memorandum of Understanding (MoU)

dengan pihak Rumah Sakit Umum setempat menyangkut penanganan

kasus-kasus kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, bahkan dalam

salah satu butir kesepakatan disebutkan apabila korban (wanita atau anak-

anak) tidak melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya ke pihak

kepolisian, tetapi hanya sekedar memeriksakan kondisi fisiknya ke rumah

sakit, maka pihak rumah sakit dapat melaporkan kekerasan yang menimpa

korban ke pihak kepolisian atau laporan korban ke pihak rumah sakit (pada

saat korban memeriksa kondisi kesehatannya), dianggap sebagai laporan

ke kepolisian, akibatnya pihak kepolisian dapat melakukan penyelidikan

lanjutan.

Upaya ini dilakukan karena sering ditemukan pihak korban menolak

untuk melaporkan kekerasan/kejahatan yang menimpa dirinya pada pihak

yang berwajib, baik disebabkan perasaan takut maupun perasaan malu.

Hal yang lain yang menunjukkan adanya perlindungan terhadap

korban kejahatan, khususnya dalam kaitan dengan kekerasan dalam rumah

tangga adalah adanya suatu kesepakatan antara pihak kepolisian dengan

pihak rumah sakit untuk senantiasa memprioritaskan pemeriksaan dan

perawatan pasien korban kejahatan dalam runah tangga pada saat korban

di bawa ke rumah sakit.

Dengan telah diberikannya berbagai bentuk perlindungan pada

korban kekerasan dalam rumah tangga, diharapkan segala bentuk

kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga secara perlahan dapat

dihapuskan.

K. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek

Kedokteran

127

Ditengah gencarnya upaya pemerintah dalam mendukung

peningkatan sumber daya manusia, khususnya melalui sektor kesehatan,

ternyata masih sering dijumpai adanya bentuk-bentuk pemberian pelayanan

kesehatan masyarakat yang belum memadai, baik diberikan oleh

pemerintah maupun swasta. Padahal, berbagai kebijakan pemerintah yang

mengatur tentang pentingnya masyarakat memperoleh pelayanan

kesehatan yang memadai, termasuk di dalamnya perlindungan masyarakat

yang menjadi korban kesalahan pelayanan medis (malpraktik), telah banyak

dikeluarkan, seperti tertuang dalam konsideran menimbang huruf b.

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang

dengan tegas menyatakan bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia

harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan

kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan

kesehatan189 yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.

Berkaitan dengan kasus malpraktik,190 akhir-akhir ini dunia

kedokteran banyak memperoleh sorotan “negatif” dari berbagai elemen

masyarakat, mengingat banyaknya berita yang memuat terjadinya

malpraktik yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya. Sebagai mana

pernah dilansir sebuah media elektronik yang menyebutkan keluarga Darwin

Lubis, telah melaporkan dua orang dokter Rumah Sakit Fatmawati yang

telah mengoperasi anaknya. Kedua dokter itu adalah dr. Lukti Gatam dan

Prof. Dr. Subroto Sapardan. Menurut dia, pada September 1999 anak

perempuannya, Celli Wine Carlina menjalani operasi di RS Fatmawati.

“Dokter menganalisa anak saya terkena penyakit scoliosos,” kata Darwis.

189 Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 190 Istilah “Medical malpractice” menurut Black Law Dictionary adalah “unskillfull management or treatment, particularly applied to the neglact unskillfull management of a physician, surgeon or apothecacy, sedangkan World Medical Association/WMA memberikan definisi mengenai malpraktek sebagai berikut: “Medical malpractice involves the physicion’s failure to conform to the standard of care for treatment of a patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.

128

Saat itu, korban Celli yang masih berumur 16 tahun, tulang belakangnya

dipasangi kurang lebih 12 mur dengan panjang 30 sentimeter. Korban

sempat dirawat sebulan untuk persiapan dan sebulan lagi untuk pemulihan.

Awalnya, menurut Darwis, kondisi Celli telah normal seperti orang-orang

pada umumnya. Namun, kelainan mulai tampak pada tahun 2000. “Saya

tanya ke dokter kenapa (tulang punggung) anak saya bengkok. Dokter

hanya menjawab karena bergeser, “jelas Darwis. Akan tetapi tidak ada

penanganan dari pihak rumah sakit. Darwis kemudian membawa anaknya

ke tukang pres (pembuat alat penahan tulang agar tidak berubah setelah

dioperasi), tetapi Hadi tukang pres tersebut, mengatakan sudah terlambat

melakukan pres terhadap Celli. Darwis mengaku mendatangi Prof dr.

Subroto Sapardan untuk melaporkan kondisi putrinya. Namun, menurut

Darwis, dokter tersebut menjawab, “potong aja bagian yang menonjol itu,”

paparnya. Akibat dari kejadian ini, Darwis dan putrinya dengan didampingi

kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum, melaporkan kedua dokter

tersebut ke Polda Metro Jaya. Kedua dokter itu bisa dikenai pelanggaran

terhadap Pasal 360 tentang kelalaian yang menyebabkan cacat.191

Sebenarnya, peristiwa malpraktik tidak hanya terjadi Indonesia. Di

beberapa negara baik yang maju, terlebih negara berkembang kasus ini

sering terjadi. Di India, dengan tingkat pelayanan kesehatan sedikit lebih

baik dari Indonesia, pernah terjadi peristiwa malpraktik yang menimpa

seorang pria yang mengalami kecelakaan lalu lintas, sehingga salah satu

kakinya remuk dan harus diamputasi. Tetapi bukan kaki yang remuk

tersebut yang diamputasi oleh dokter, melainkan kaki sebelahnya yang

masih sehat dan tidak mengalami gangguan.

Secara umum, munculnya sengketa antara dokter dan pasien

(sengketa medik) lebih banyak diakibatkan adanya ketidakpuasan dari diri

pasien/keluarganya terhadap pelayanan yang diberikan oleh dokter atau

tenaga kesehatan. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan adanya dugaan

191 Tempo Interaktif, 18 Pebruari 2005

129

kesalahan/kelalaian dalam melaksanakan profesi yang menyebabkan

kerugian dipihak pasien.

Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

pengertian sengketa medik tidak dinyatakan secara eksplisit. Berbeda

dengan undang-undang Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, yang menyebutkan bahwa sengketa medik adalah

sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan

dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktek kedokteran. Dengan

demikian, sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara

pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini

pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan.

Karakteristik sengketa yang dapat timbul antara dokter dengan pasien

meliputi:

1. Sengketa terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien.

2. Objek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.

3. Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa adalah pasien, baik

kerugian berupa luka/cacat, maupun kematian.

4. Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya dugaan

kelalaian/kesalahan dari dokter yang disebut dengan malpraktik medik.

Istilah malpraktik dalam hukum kedokteran mengandung arti praktik

dokter yang buruk atau melakukan tindakan medik yang salah, atau ia

tidak/tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the

patient by giving not or not enough care to the patient), 192 sedangkan World

Medical Association/WMA memberikan menyebutkan Medical malpractice

involves the physicion’s failure to conform to the standard of care for

treatment of a patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing

care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.

192Fred Amelyn, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Grafikatama Jaya, Cet I, 1991, hlm. 83.

130

Hukum kedokteran mengenal empat unsur malpraktek medik yaitu193:

1. Adanya kewajiban yang harus dilaksanakan;

2. Adanya penyimpangan kewajiban;

3. Terjadinya kerugian;

4. Terbuktinya direct casual relationship (berkaitan langsung) antara

pelanggaran kewajiiban dengan kerugian.

Hubungan antara dokter dan pasien yang selama ini dibangun atas

dasar kepercayaan (trust fiduciary relationship) sedikit demi sedikit telah

berubah menjadi suatu hubungan yang dilandasi pada tindakan mekanis,

sehingga dokter memandang pasien tidak lagi sebagai mitra namun sekedar

obyek yang harus disembuhkan layaknya mesin rusak yang harus

diperbaiki.

Setiap orang yang akan memperoleh pelayanan kesehatan (pasien),

pada dasarnya mengharapkan beberapa hal dari pelayan kesehatan (dokter

atau rumah sakit), yaitu:194

a. Reliability (Kehandalan): Pemberi pelayanan yang dijanjikan dengan

segera dan memuaskan;

b. Responsiveness (daya tanggap): membantu dan memberikan

pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan unsur SARA (Suku,

Agama, Ras dan Golongan ) pasien;

c. Assurance (jaminan): Jaminan keamanan, keselamatan,

kenyamanan;

d. Emphaty (empati): komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan

konsumen/pasien.

Namun akibat kurang terciptanya komunikasi yang mendalam antara

dokter dan pasien pada saat melakukan pemeriksaan/pengobatan, sehingga

193Ibid. 194 MedikKonsumen, 20 Oktober 2004

131

mengakibatkan munculnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan

pemberian obat yang mengakibatkan pasien menderita.

Hukum di Indonesia telah mengeluarkan seperangkat peraturan

perundang-undangan yang pada intinya hendak memberikan perlindungan

hukum kepada korban (pasien) malpraktik guna terciptanya kepastian

hukum dan keseimbangan hukum bagi dokter dan pasien, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Praktik Kedokteran yang

menegaskan perihal tujuan dari pengaturan praktik kedokteran yaitu untuk:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien.

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang

diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan

c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.

Jaminan terhadap pasien yang dirugikan akibat kesalahan atau

kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya (malpraktik) diberikan

dengan adanya tanggung jawab hukum dari dokter.

Pasien korban malpraktik dapat mengajukan gugatan terhadap

tindakan dokter yang dinilai melakukan malpraktik medis. Gugatan dapat

diajukan secara perdata maupun pidana.

Apabila mengacu pada berbagai perundang-undangan yang ada,

bentuk-bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pasien

korban malpraktik dapat dirinci sebagai berikut, di antaranya:

1. Perlindungan hukum dalam bentuk gugatan perdata

Gugatan perdata terhadap dokter dapat dilakukan oleh pasien korban

malpraktik atas dasar wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur

dalam Pasal 1239 KUHPerdata atau berdasarkan perbuatan melawan

hukum (onrechtmatigedaad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

132

Pertanggungjawaban hukum perdata pada dasarnya bertujuan untuk

memberikan kompensasi /ganti rugi kepada pasien atas kerugian yang

dideritanya disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak

diinginkan.

Dasar gugatan wanprestasi yang dilakukan oleh dokter tentunya

harus mengacu pada adanya suatu hubungan hukum antara dokter dengan

pasien berdasarkan kontrak terapeutik. Dalam gugatan ini korban harus

dapat membuktikan telah terjadinya pemberikan pelayanan kesehatan yang

tidak patut dengan menyalahi tujuan kontrak terapeutik, sehingga pasien

menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.

Dalam gugatan malpraktik, korban pada umumnya akan mengajukan

berbagai tuntutan. Tuntutan yang banyak diajukan oleh pasien korban

malpraktik adalah tuntutan ganti kerugian.

Ilmu hukum memberi kriteria mengenai ganti rugi yang dirumuskan

sebagai berikut195:

a. Pada asasnya, ganti rugi hanya diwajibkan kalau pada saat terjadinya

perbuatan melawan hukum, yang menjadi dasar pertanggungjawaban

ganti rugi tersebut dengan memperhatikan kadar kemungkinan yang

dapat diduga merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut.

b. Kewajiban untuk membayar ganti rugi hanya meliputi ganti rugi pada

waktu melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperhatikan

kadar kemungkinannya merupakan akibat perbuatan melawan hukum.

2. Perlindungan hukum dalam bentuk Gugatan Pidana

Dalam hukum pidana, hilangnya nyawa seseorang bukan merupakan

delik aduan, tetapi delik biasa. Ada perbedaan penting antara tindak pidana

biasa dengan tindak pidana medik. Pada tindak pidana biasa yang terutama

diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan dalam tindakan medik yang

195Bahder Johan Nasution, hlm. 67-68.

133

penting adalah causa/penyebabnya. Walaupun akibatnya fatal, tetapi

apabila tidak ada unsur kesalahan atau kelalaian maka dokter tidak dapat

dipersalahkan.

Apabila terdapat unsur kesengajaan dari dokter sehingga

menimbulkan kerugian bagi pasien, maka dokter bertanggung jawab secara

pidana. Dalam suatu tindakan medis yang merugikan pasien, untuk

membuktikan adanya unsur kesengajaan sangat sulit karena dalam setiap

tindakan medis telah terdapat resiko yang memang melekat pada tindakan

medis tersebut dan kemungkinannya telah diperhitungkan sebelumnya.

Dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

maka ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan

oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka,

tidak lagi hanya mengacu pada ketentuan Pasal 359, Pasal 360, dan Pasal

361 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, karena di dalam Undang-undang

No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah dirumuskan ancaman

pidananya. Ancaman tersebut dimuat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf (a) UU

No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang menyebutkan “.......barang

siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan

pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32

ayat (4), “........ dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan

atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah.”

Ketentuan yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat (4) di atas, bermaksud

untuk melindungi pasien dari tindakan dokter yang tidak mempunyai

keahlian dan kewenangan untuk melakukan perawatan sehingga

menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pasien. Pelanggaran terhadap

ketentuan tersebut diancam dengan hukuman pidana sesuai dengan

maksud Pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, apabila pasien

menderita cacat hukumannya ditambah seperempat dan apabila meninggal

dunia hukumannya ditambah sepertiganya.

134

Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada pasien

korban malpraktik selain melalui cara-cara di atas dapat pula diberikan

dalam bentuk rehabilitasi. Rehabilitasi ini biasanya dilakukan terhadap

pasien yang mengalami cacat sementara sehingga melalui upaya

rehabilitasi ini diharapkan pasien memperoleh derajat kesehatan yang

optimal.

Di samping itu, pembebasan dari biaya perawatan kesehatan

seringkali dapat dipakai sebagai salah satu perwujudan dari perlindungan

hukum terhadap korban yang dilakukan di luar proses pengadilan.

L. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-

undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan

korban, akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan

diberlakukan.

Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih harus

dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan,196 namun berlakunya undang-

undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban

kejahatan.

Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur

perlindungan korban kejahatan (dan saksi) untuk segera disusun, dengan

jelas dapat dilihat pada bagian menimbang dari undang-undang ini, yang

antara lain menyebutkan: penegak hukum sering mengalami kesukaran

dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang

196 Beberapa ketentuan yang masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanannya, di antaranya: pengaturan tentang Pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Susunan panitan seleksi, Kedudukan, susunan, organisasi, tugas dan tanggung jawab Sekretariat LPSK; Tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK,

135

dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau

korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak

tertentu. Padahal, kita ketahui bahwa peran saksi (korban) dalam suatu

proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan

menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Bukan hal yang aneh apabila di Indonesia, tindakan teror atau

ancaman, baik fisik maupun psikis banyak menimpa orang-orang yang akan

memberikan kesaksian dalam suatu proses peradilan pidana, terlebih

apabila kesaksian yang akan diberikan dapat memberatkan orang yang

dituduh melakukan tindak pidana.

Dalam suatu proses peradilan pidana saksi (korban) memegang

peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil, tidak

berlebihan apabila dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi

ditempatkan pada urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan

ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan tentunya

harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut

sebelum, pada saat dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting

untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan

benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan

(pressure) dari pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan dengan pengertian dari

saksi itu sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir 26 Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang

suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

(huruf miring dari penulis).

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut pengertian korban

dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya

secara fisik atau mental atau ekonomi saja tetapi bisa juga kombinasi di

antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2006, yang menyebutkan korban adalah seseorang yang

136

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, mengatur

beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan

kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk

perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. mendapatkan identitas baru;

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh pennggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan;

l. mendapatkan nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak

pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penjelasan dari Pasal 5 ayat (2)

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”, antara

lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak

pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi

dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

137

Jelaslah, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2006, tidak setiap saksi atau korban yang memberikan

keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana, secara

otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam undang-

undang ini.

Khusus untuk korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, tidak hanya

berhak atas perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5, tetapi

juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi

psiko-sosial, yaitu bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban

yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulkihkan

kembali kondisi kejiwaan korban (Penjelasan Pasal 6 huruf b).

Dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak

menutup kemungkinan bagi korban untuk menuntut hak atas kompensasi

dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat (1))

Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi atau korban

dalam suatu proses peradilan pidana, meliputi:

a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat

perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah ada ijin dari hakim (Pasal

9 ayat (1)).197

b. Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik

pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang,

atau telah diberikannya.

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung

jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi

dan korban, yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

197 Kesaksian tanpa kehadiran saksi atau korban secara fisik di pengadilan dapat

diberikan baik secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dengan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksiannya maupun secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

138

(LPSK). Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri dan berkedudukan

di ibu kota Negara Republik Indonesia, namun memiliki perwakilan di daerah

sesuai dengan keperluan.

Anggota LPSK terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur

professional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan,

pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia,

kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,

akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.

135

Bagian 4

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN KORBAN KEJAHATAN DALAM

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Prinsip-prinsip Dasar Perlindungan Korban Kejahatan

Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan

hidupnya apabila ia berada bersama-sama dengan manusia lainnya,

sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia itu sebagai

mahluk sosial.

Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial tentunya membawa

konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara

manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan

melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa di antara

mereka terkandung adanya hak dan kewajiban.

Karena itu, keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya

masing-masing, tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat

sehingga dapat mempertahankan hak serta kewajibannya secara mutlak,

melainkan haruslah dipandang sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum

pribadi sosial yang dibina oleh masyarakat, dan hidup terikat oleh

masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu

timbul karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus

diselaraskan dengan kepentingan umum masyarakat pula.193

Manusia dilahirkan ke muka bumi dengan membawa hak-hak dasar

yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau lajim disebut dengan hak asasi

manusia. Hak asasi manusia diberikan kepada setiap individu di dunia

tanpa memandang suku, ras, warna kulit, asal usul, golongan dan

perbedaan-perbedaan lainnya. Hak ini tidak akan pernah lepas dan selalu

melekat seumur hidup. 193 St. Harum Pudjiarto, RS, Hak Asasi Manusia, Kajian Filosofis dan Implemetasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, UAJ Yogyakarta, 1999, hlm. 3

136

Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu,

sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai dan dilindungi, di

antaranya melalui berbagai produk perundang-undangan.

Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu

membawa konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap

hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang

dapat merugikan manusia itu sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya

maupun oleh pemerintah.

Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan

bahwa Indonesia adalah negara hukum (rectstaat) dan bukan negara

kekuasan (machtstaat). Dengan keberadaannya sebagai negara hukum

(rechtstaat) ada berbagai konsekwensi yang melekat padanya,

sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa konsepsi

rechtstaat maupun konsepsi the rule of law, menempatkan hak asasi

manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara yang disebut rechtstaat

atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu negara demokrasi

pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia merupakan

salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.194

Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat perihal

perlindungan hak asasi manusia telah banyak disusun, baik dalam

perundang-undangan nasional maupun internasional, di antaranya: dalam

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-

undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,

Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum, Declaration of Human Rights, Convention on The

Elimination of Violence Against Women (1993).

194 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 21

137

Sebelum keluarnya beberapa perundang-undangan nasional yang

mengatur tentang Hak Asasi Manusia, sebenarnya bangsa Indonesia sudah

memahami pentingnya perlindungan hak asasi manusia. Pengalaman

dijajah selama 350 tahun oleh pemerintah kolonial Belanda serta 3,5 tahun

oleh Jepang, menjadi bukti beratnya penderitaan yang harus ditanggung

oleh penduduk yang hak asasinya diinjak-injak oleh penjajah.

Pada masa penjajahan, harga diri sebagai manusia dengan

berbagai atribut kemanusiaannya tidak lagi memiliki arti. Kebebasan

berpendapat dihambat, adanya perlakuan diskriminatif dalam memperoleh

kesempatan bekerja dan berusaha, terbatasnya kesempatan untuk

memperoleh pendidikan, terlebih semuanya dilakukan di tanah air sendiri.

Pada masa penjajahan banyak lahir berbagai pergerakan

kemerdekaan, baik yang bersifat kedaerahan maupun nasional, dengan

tujuan sama yaitu membebaskan diri dari penindasan kaum penjajah.

Berbagai pergerakan ini sebenarnya merupakan bentuk pembelajaran

perihal bagaimanakah sejatinya hak asasi manusia harus dilindungi.

Karena itulah, ketika pada akhirnya Bangsa Indonesia dapat

memperoleh kemerdekaannya, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, di

dalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional,

dicantumkan berbagai wujud pengakuan terhadap eksistensi hak asasi

manusia, seperti hak untuk mengemukakan pendapat, hak untuk

memperoleh pendidikan, hak untuk memeluk agama, hak untuk

memperoleh kesamaan di hadapan hukum.

Atas dasar pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan

pemberian/anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak seorang pun atau

lembaga apapun, yang dapat mencabut/mengurangi hak asasi seseorang

terkecuali ada alasan yang dapat dibenarkan, misalnya undang-undang

membolehkan atau memerintahkan. Seorang hakim menjatuhkan vonis

pidana mati kepada seseorang karena yang bersangkutan melakukan suatu

tindak pidana tertentu. Vonis hakim yang menjatuhkan pidana mati pada

138

terdakwa pada hakikatnya merupakan suatu bentuk pencabutan/peniadaan

hak asasi seseorang, dalam hal ini hak untuk hidup. Namun, karena

tindakan hakim didasarkan pada perintah undang-undang, maka tindakan

hakim tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Begitu pula, pada saat

seorang dokter melakukan tindakan aborsi terhadap pasiennya atas dasar

pertimbangan medis atau pertimbangan lain yang dibenarkan oleh undang-

undang, maka tindakan dokter tidak dianggap sebagai sebuah pelanggaran

hak asasi manusia.

Apabila memperhatikan kehidupan nyata, apa yang diharapkan

sangat berbeda dengan kenyataan. Kita sering menyaksikan bagaimana hak

asasi manusia seseorang dilanggar, baik oleh perorangan, kelompok

maupun negara. Akibat terjadinya pelanggaran tentu mengakibatkan

munculnya ketidakseimbangan dalam diri korban (keluarganya), seperti

ketidakseimbangan dari aspek finansial, apabila korban adalah kepala

keluarga dan tumpuan hidup keluarga, aspek fisik yang mengakibatkan

korban berhenti beraktivitas, aspek psikis, yang berwujud munculnya

kegoncangan/ketidakstabilan psikis baik temporer maupun permanen dari

korban. Karena itu, untuk menyeimbangkan kondisi korban (keluarga)

sehingga dapat pulih kembali pada keadaan semula, maka harus ditempuh

berbagai upaya pemulihan, seperti pemulihan secara finansial, medis,

psikis.

Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya

upaya preventif maupun represif yang dilakukan baik oleh masyarakat

maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian

perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat

membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis maupun hukum

secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap

pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari

perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang. Disinilah

dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan (keluarganya)

memperoleh perlindungan.

139

Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya

menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat

dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: Korban kejahatan perlu

dilindungi karena Pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud

sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust).

Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam

struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna

penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum

pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai

sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya

argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh

dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan

melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika

terdapat korban kejahatan, maka negara harus memperhatikan kebutuhan

korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak.

Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu

tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian

konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.195

Apabila konsep Hak Asasi Manusia dipandang sebagai hak hukum,

maka mempunyai 2 (dua) konsekwensi normatif, yaitu:

1. Kewajiban bagi penanggung jawab (pihak yang dibebani kewajiban)

untuk menghormati/tidak melanggar hak atau memenuhi klaim yang

timbul dari hak; dan

2. Reparasi jika kewajiban tersebut dilanggar/tidak dipenuhi.196

195 Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: sebagaimana dimuat dalam kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang, 1997, hlm. 172 196 Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 29, selanjutnya menurut Titon, dengan mengutip dari Ian Brownlie, Priciples of Public International Law, London: Oxford dan ELBS,

140

Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban

kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan,

maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa

teori, di antaranya:

a. Teori utilitas, yang menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar

bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada

korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan

kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak

diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan tetapi

juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan;

b. Teori tanggung jawab, pada hakikatnya subyek hukum (orang maupun

kelompok) adalah bertanggung jawab terhadap segala perbuatan

hukum yang dilakukannya, sehingga apabila seseorang melakukan

suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita

kerugian (dalam arti luas), maka orang tersebut harus bertanggung

jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang

membebaskannya.

c. Teori ganti kerugian, sebagai perwujudan tanggung jawab karena

kesalahannya terhadap orang lain, maka pelaku tindak pidana dibebani

kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli

warisnya.

Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,

terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian, karena

dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik

hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan

pidana.197

1987, hal. 457, konsep reparasi dalam sistem tanggung gugat internasional mengacu pada semua tindakan yang penggugat harapkan supaya dilakukan oleh negara tergugat dalam bentuk, antara lain: kompensasi (compensation), restitusi (restitution), permintaan maaf, hukuman terhadap individu yang bertanggung jawab, pengambilan langkah-langkah untuk mencegah terulangnya pelanggaran, dan berbagai bentuk satisfaksi (satisfaction) yang lain. 197Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hlm. 50

141

Adapun asas-asas yang dimaksud adalah:

a. asas manfaat, artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi

tercapainya kemanfaatan (baik material maupun spiritual) bagi korban

kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas,

khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta

menciptakan ketertiban masyarakat;

b. asas keadilan, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi

korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh

rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan;

c. asas keseimbangan, oleh karena tujuan hukum di samping

memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan

manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat

yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in

integrum), maka asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting

dalam upaya pemulihan hak-hak korban.

d. asas kepastian hukum, asas ini dapat memberikan dasar pijakan

hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban

kejahatan. Untuk memperoleh dasar pijakan yuridis yang memadai,

penulis berpendapat bahwa konsep pemberian perlindungan hukum

pada korban kejahatan sebaiknya ditambahkan dalam Rancangan

Kitab Undang-undang Hukum (Acara) Pidana atau bila memungkinkan

dibentuk sebuah undang-undang baru yang secara khusus mengatur

tentang perlindungan korban kejahatan (secara umum).198

198 Selama ini pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan diatur tersebar di beberapa perundang-undangan, sehingga perlindungan korban kejahatan hanya berlaku secara khusus pada tindak pidana/kejahatan tertentu dan tidak dapat diterapkan untuk korban kejahatan pada tindak pidana yang berbeda. Misalnya pengaturan tentang Restitusi dan Kompensasi yang terdapat dalam Undang-undang Terorisme tidak dapat diterapkan untuk korban kejahatan dalam tindak pindana/kejahatan Hak Asasi Manusia.

142

B. Bentuk-bentuk Perlindungan Korban Kejahatan

Setiap terjadi kejahatan, mulai dari kejahatan ringan sampai dengan

kejahatan berat, pastilah korban akan mengalami penderitaan, baik yang

bersifat materiil maupun imateriil. Penderitaan yang dialami oleh korban dan

keluarganya tentu tidak akan berakhir dengan ditangkap dan diadilinya

pelaku kejahatan, terlebih apabila penderitaan itu berakibat korban

menderita cacat seumur hidup atau meninggal dunia.

Apabila pelaku kejahatan masih hidup dan dapat diadili, maka korban

masih dapat mengharapkan dalam bentuk penerimaan ganti rugi dari pelaku

(apabila dalam amar putusannya, hakim memerintahkan pelaku untuk

membayar ganti rugi kepada korban atau keluarganya). Namun, yang

menjadi pertanyaan bagaimanakah perlindungan terhadap korban kejahatan

dapat diberikan apabila pelaku kejahatan karena berbagai alasan telah

meninggal dunia, siapakah yang akan menanggung kerugian yang dialami

oleh korban dan keluarganya?

Masalah ini tentunya bukanlah hal yang mudah untuk ditemukan jalan

keluarnya, mengingat sistem hukum di Indonesia belum secara

komprehensif mengatur perlindungan bagi korban kejahatan.

Secara teoretis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan

dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada

penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk

kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam

bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya

pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita

kerugian secara materiil (seperti, harta bendanya hilang) pelayanan yang

sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan

yang pernah terjadi, maka ada beberapa bentuk perlindungan terhadap

korban kejahatan yang lajim diberikan, antara lain:

1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi

143

Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power

memberikan penjelasan berkaitan dengan Restitution sebagai berikut:

Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where

appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants.

Such restitution should include the return of property or payment for the

harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the

victimization, the provision of services and the restoration of rights.

Penjelasan Pasal 35 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 memberikan

pengertian kompensasi yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara,

karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang

menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi yaitu: Ganti kerugian yang

diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Restitusi dapat berupa:

a. Pengembalian harta milik;

b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau

c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Pengertian kompensasi dalam Penjelasan Pasal 35 dari Undang-

undang No. 26 Tahun 2000 memiliki kemiripan dengan pengertian dalam

Basic Principles of Justice for victim of Crime and Abuse of Power, yang

menyatakan: When compensation is not fully available from the offender or

other sources, States should endeavour to provide financial compensation.

Pengertian Restitusi dan Kompensasi merupakan istilah yang dalam

penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun

menurut Stephen Schafer, perbedaan atara kedua istilah itu adalah bahwa

kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan

korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk

pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the

society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan

144

pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud

pertanggungjawaban terpidana (the responsibility of the offender).199

Lebih lanjut Schafer menyatakan terdapat lima sistem pemberian

restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan:

a. ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui

proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban

dari proses pidana;

b. kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses

pidana;

c. restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana,

diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap

bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya.

Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah “denda

kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban

yang bernilai uang” (monetary obligation) yang dikenakan kepada

terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban

di samping pidana yang seharusnya diberikan;

d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana

dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini

kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun

diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan

lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau

menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan

kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah

gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah

terjadinya kejahatan200.

Sampai sekarang di Indonesia belum ada suatu lembaga yang secara

khusus menangani masalah pemberian kompensasi tehadap korban

199 Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968, hal.112 200 op.cit., hlm. 105-109

145

kejahatan, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju. Contoh, di

Amerika Serikat ada suatu lembaga yang bernama The Crime Victim’s

Compensation Board, lembaga ini dibentuk untuk menangani pemberian

bantuan finansial kepada korban kejahatan berupa penggantian biaya

pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan, dan sebagainya.

Adanya lembaga semacam The Crime Victim’s Compensation Board

sangat diperlukan guna membantu korban kejahatan yang menderita

kerugian secara finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu

membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat menderitanya

korban akibat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran

ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem

pemberian ganti kerugian dilaksanakan dengan sederhana dan singkat

sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila

jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan pembayaran ganti

kerugian ini membutuhkan waktu yang lama dikhawatirkan konsep

perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan

terabaikan.

2. Konseling

Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai

akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak

pidana. Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan

kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti

pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan.

Sebagai contoh dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga

atau kasus pemerkosaan yang menimbulkan trauma yang berkepanjangan

pada korban, pada umumnya korban menderita secara fisik, mental dan

sosial. Selain menderita secara fisik, korban juga mengalami tekanan secara

batin misalnya karena merasa dirinya kotor, berdosa, dan tidak punya masa

depan lagi. Lebih parah lagi sering kali ditemukan korban perkosaan

146

memperoleh pengucilan dari masyarakat karena dianggap membawa aib

bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dengan memperhatikan kondisi

korban seperti di atas, tentunya bentuk pendampingan atau bantuan

(konseling) yang sifatnya psikis relatif lebih cocok diberikan kepada korban

dari pada hanya ganti kerugian dalam bentuk uang.

Dibeberapa negara bantuan disediakan oleh negara atau lembaga

independen yang mempunyai kegiatan khusus dalam menangani korban-

korban kejahatan.

Di Jakarta sekarang ini telah dibentuk suatu Lembaga Swadaya

Masyarakat yang mengkhususkan aktivitasnya di bidang pemberdayaan

dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan yaitu Mitra Perempuan,

sedangkan di Yogyakarta terdapat Rifka Annisa Womens Crisis Centre.

Rifka Annisa Womens Crisis Centre, menyediakan berbagai layanan untuk

membantu korban kekerasan dalam rumah tangga seperti home visit,

mediasi, konseling medis, shelter, dan support group. Home visit merupakan

layanan berupa kunjungan ke rumah oleh pendamping dari Rifka Annisa

apabila korban tidak memungkinkan untuk ke luar rumah. Kemudian,

mediasi adalah layanan untuk menjembatani penyelesaian masalah yang

terjadi antara korban dan pelaku yang dilakukan oleh Rifka Annisa, dengan

catatan apabila hal tersebut diminta oleh korban. Selanjutnya, konseling

medis dilakukan apabila korban mengalami siksaan fisik sehingga perlu

penanganan tenaga medis. Shelter merupakan tempat khusus yang

disediakan oleh Rifka Annisa untuk meindungi korban apabila lkeselamatan

jiwa korban terancam. Kemudian, support group adalah forum berbagi

pengalaman dari pada korban untuk saling mendukung. 201

3. Pelayanan/Bantuan Medis

Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu

tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan

kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang 201 Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 85

147

memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis

ini diperlukan terutama apabila kejahatan yang menimpa korban sampai

pada tingkat pemeriksaan di pengadilan.

4. Bantuan Hukum

Merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan.

Di Indonesia bantuan ini lebih banyak diberikan oleh Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM), misalnya pada kasus Trisakti 1998, kasus Tanjung Priok,

dan sebagainya. Penggunaan bantuan hukum yang disediakan oleh

pemerintah jarang dipergunakan oleh korban kejahatan, karena masih

banyak masyarakat yang meragukan kredibilitas bantuan hukum yang

disediakan oleh pemerintah.

Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah

diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini penting

untuk dilakukan mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari

sebagian besar korban yang menderita kekerasan ini. Sikap membiarkan

korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat

berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan.

5. Pemberian informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan

dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami

oleh korban. Pemberian informasi ini memegang peranan yang sangat

penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat

kepolisian, karena melalui informasi inilah diharapkan fungsi kontrol

masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh kepolisian dalam

memberikan informasi kepada korban atau keluarganya adalah melalui

pembuatan web sites di beberapa kantor kepolisian yang di dalamnya tersaji

secara lengkap kegiatan kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun

operasional. Begitu pula, pemberitahuan tentang perkembangan penyidikan

suatu tindak pidana dan informasi tentang penemuan benda-benda hasil

148

tindak pidana (seperti kendaraan bermotor yang dicuri) dapat dimasukan

dalam kelompok ini.

Di atas semuanya yang terpenting adalah segera dibentuk lembaga

perlindungan korban kejahatan sebagaimana yang telah banyak dilakukan di

negara-negara maju. Melalui lembaga ini diharapkan perlindungan terhadap

korban kejahatan akan lebih memadai, guna mendukung terciptanya proses

penegakan hukum yang fair. Lembaga ini hendaknya dibangun berdasarkan

perspektif korban dengan menjadikan faktor keamanan sebagai prioritas,

mengingat dalam kenyataannya, faktor ini sering menjadi penghambat bagi

korban untuk memberikan kesaksian atas terjadinya suatu tindak pidana.

C. Faktor penyebab Korban Kejahatan Belum Memperoleh

Perlindungan secara Memadai

Apabila memperhatikan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan pada dasarnya

sudah diberikan pada saat pelaku (tersangka) ditangkap atau ditahan, yaitu

dalam bentuk pemberian bantuan hukum oleh penasihat hukum

(pendampingan selama dalam pemeriksaan) bahkan dengan

diperlihatkannya surat tugas serta surat perintah penangkapan yang di

dalamnya mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan

dilakukannya penangkapan serta uraian singkat kejahatan yang

disangkakan kepada pelaku/tersangka, maka pemberian perlindungan

hukum kepada tersangka/pelaku sudah mulai diberikan.

Pemberian perlindungan hukum kepada pelaku kejahatan tidaklah

berhenti setelah selesainya pemeriksaan terhadap pelaku di tingkat

penyidikan, tetapi masih terus diberikan sampai dengan diperiksa dan

diadilinya pelaku/tersangka di pengadilan, yang diwujudkan dalam bentuk

kesempatan untuk mengajukan pembelaan yang dapat dilakukan oleh

pelaku sendiri maupun diwakili oleh kuasa hukumnya, diberikannya hak

kepada pelaku/tersangka untuk mengajukan berbagai upaya hukum (seperti:

149

banding, kasasi, dan peninjauan kembali) atas suatu putusan pengadilan,

dan sebagainya.

Jelaslah, dengan memperhatikan beberapa contoh perlindungan

hukum yang diberikan pada pelaku kejahatan/tindak pidana selama proses

pemeriksaan sampai dengan divonisnya tersangka, memunculkan kesan

bahwa perlindungan terhadap pelaku kejahatan memperoleh porsi lebih

besar dibandingkan dengan korban kejahatan.

Apabila diperhatikan secara lebih komprehensif, muncul kesan bahwa

korban kejahatan belum memperoleh perlindungan yang memadai,

dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:

1. Faktor Undang-Undang

Keberadaan suatu perundang-undangan dalam suatu sistem hukum

merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya suatu tertib

hukum, karena untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya undang-undang,

terlebih lagi undang-undang merupakan sumber hukum yang terutama, yang

mana kaidah-kaidah hukum yang banyak itu memang berasal dari

pengundang-undang, yang menuliskan hukum dalam berbagai undang-

undang dan membukukannya dalam kitab undang-undang.202

Banyak contoh dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat,

bagaimana praktik penegakan hukum menjadi tidak berdaya disebabkan

undang-undang yang seharusnya menjadi landasan yuridis belum terbentuk.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh ketidakberdayaan penegakan

hukum akibat belum terbentuknya undang-undang adalah perkara tindak

pidana yang dilakukan oleh terdakwa Tjandra Sugiono terhadap PT. Mustika

Ratu, berkaitan dengan penggunaan nama domain Mustika Ratu oleh

terdakwa atau lajim disebut kasus Mustika Ratu. com.203

202 J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 147 203 Kasus persengketaan antara Tjandra Sugiono dan PT. Mustika Ratu diawali dengan pendaftaran nama domain Mustika Ratu ke Network Solution Inc, di Amerika Serikat. Pada saat itu Tjandra Sugiono menjabat Manajer Umum Pemasaran Internasional PT. Martina

150

Dalam kasus ini sangat jelas terlihat, bagaimana ketiadaan undang-

undang yang khusus mengatur mengenai kejahatan Internet (cybercrime)

mengakibatkan kesukaran bagi jaksa penuntut umum untuk menjerat

terdakwa. Untuk menghindarkan terdakwa lolos dari dakwaan, jaksa

penuntut umum harus menjeratnya dengan pasal-pasal yang biasa

dipergunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana/kejahatan konvensional.

Akibatnya, hukuman pidana yang dijatuhakn kepada terdakwa tidak

maksimal.

Kondisi yang hampir serupa terjadi pula pada upaya pemberian

perlindungan terhadap korban kejahatan. Sampai sekarang Indonesia belum

memiliki perangkat undang-undang yang khusus mengatur mengenai

perlindungan terhadap korban kejahatan.

Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan korban

kejahatan yang selama ini ada masih bersifat parsial dan keberadaannya

tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga hanya

berlaku bagi kejahatan-kejahatan tertentu. Sebagai contoh adalah Pasal 35

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang memberikan hak

kepada korban atau ahli warisnya untuk memperoleh Kompensasi, Restitusi

dan Rehabilitasi, berkaitan dengan penderitaan yang dialaminya sebagai

akibat terjadinya tindak pidana terorisme.

Pemberian hak kepada korban atau ahli warisnya sebagaimana

diatur dalam undang-undang di atas tentu tidak dapat diterapkan pada

kejahatan-kejahatan lain, seperti kejahatan konvensional (street crime)

padahal akibat yang diderita oleh korban kejahatan (apapun jenis

kejahatannya) adalah sama yaitu timbulnya kerugian baik yang sifatnya

materiil maupun immateriil.

Bertho, produsen jamu dan kosmetika Sari Ayu, yang tidak lain adalah pesaing PT. Mustika Ratu dalam industri jamu dan kosmetika. Oleh karena itu, dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa telah melakukan suatu bentuk persaingan curang.

151

Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila pemberian perlindungan

pada korban kejahatan selama ini menghadapi kendala akibat ketiadaan

undang-undang.

Di samping, faktor ketiadaan undang-undang yang menjadi faktor

penyebab belum terlidunginya korban kejahatan, ternyata ketersediaan

undang-undang pun belum menjamin terlindunginya korban, mengingat

dalam praktiknya amanat undang-undang tentang perlindungan korban

kejahatan belum didukung dengan peraturan pelaksanaannya.

2. Kesadaran Hukum Korban

Dalam penerapan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,

khususnya korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence),

banyak dijumpai korban atau keluarganya menolak untuk melaporkan

kekerasan yang menimpanya dengan berbagai alasan, seperti takut adanya

ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan

menimbulkan aib bagi korban maupun keluarganya. Padahal dari segi

yuridis sikap pembiaran ini dapat merugikan korban sendiri, berupa

penderitaan yang berkepanjangan. Begitu pula, tiadanya laporan atau

pengaduan dari korban atau keluarganya akan membuat proses peradilan

pidana terhadap pelaku kekerasan tidak akan berjalan. Hal yang sama

dapat ditemukan pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,

di mana pada saat korban (keluarga) akan memberikan laporan pengaduan

pada pihak berwajib atau akan bersaksi di pengadilan, ancaman dan teror

baik fisik maupun psikis, kerap menyelimuti korban dan keluarganya, yang

pada akhirnya menyebabkan korban (keluarga) enggan untuk

melaporkannya atau bersaksi.

Khusus untuk kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga, sikap

pembiaran terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akan

berdampak pada munculnya sikap yang memandang kekerasan dalam

rumah tangga merupakan kondisi yang wajar dihadapi dalam rumah tangga

sehingga pihak lain tidak perlu ikut campur tangan di dalamnya.

152

Sekalipun aparat penegak hukum (kepolisian) telah mengupayakan

berbagai cara guna mengatasi kendala ini, seperti dengan dibentuknya

Ruang Pelayanan Khusus, di hampir setiap kepolisian ressor (Polres), atau

menjalin kerjasama dengan pihak rumak sakit, tetapi jumlah korban

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melapor ke pihak kepolisian

tetap sedikit, walaupun dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah

tangga ini semakin hari semakin menunjukkan angka peningkatan.

Hal serupa ditemui pada kejahatan-kejahatan lainnya, seperti

penganiayaan, pencurian, dan sebagainya. Munculnya perasaan takut

terjadi upaya balas dendam dari pelaku menjadi penyebab korban tidak

mau melapor ke pihak kepolisian, terlebih apabila pelaku sudah memberikan

biaya ganti kerugian kepada korban atau keluarganya, maka perkara

dianggap sudah selesai.

3. Fasilitas Pendukung

Kurangnya sarana dan prasarana pendukung dalam upaya perlindungan

korban kejahatan yang paling nyata dirasakan adalah pada perlindungan

korban akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagai contoh:

untuk dapat memenuhi standar minimal suatu Ruang Pelayanan Khusus,

perlu adanya beberapa fasilitas pendukung, seperti:

a. ruangan pelayanan khusus ini letaknya harus terpisah dari ruang

pemeriksaan yang biasa dipergunakan untuk pemeriksaan

kejahatan-kejahatan pada umumnya, sekalipun letaknya masih

dalam kompleks kantor kepolisian setempat;

b. ruangan pelayanan khusus harus terasa nyaman dan familiar,

tidak seperti ruangan pemeriksaan untuk kejahatan-kejahatan

pada umumnya, sehingga pada saat korban diperiksa atau

dimintai keterangan oleh petugas tidak seperti sedang diperiksa di

kantor polisi melainkan seperti di rumahnya sendiri;

153

c. harus memiliki ruangan relaksasi yang dapat dipergunakan oleh

korban untuk beristirahat guna memulihkan kondisi fisik dan

mentalnya, sehingga pada tahap berikutnya korban siap untuk

dimintai keterangan berkaitan dengan kekerasan yang menimpa

dirinya.

Dalam kasus narkotika, kendala belum tersedianya sarana prasarana yang

memadai juga sering terjadi. Pada saat korban akan mengikuti program

rehabilitasi, di samping masih sedikitnya pusat-pusat rehabilitasi, sarana

prasarana pendukung yang representatif pun belum tersedia secara

memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sehingga tidak

berlebihan apabila sekarang banyak muncul pusat-pusat rehabilitasi yang

menawarkan pengobatan secara alternatif.

4. Sumber Daya Manusia

Keterbatasan sumber daya manusia baik secara kuantitas maupun

kualitas turut mempengaruhi kualitas pemberian perlindungan hukum

terhadap korban kejahatan. Sebagai contoh di lingkungan institusi

kepolisian, terdapatnya kesenjangan yang sangat lebar antara aparat

kepolisian dengan masyarakat berdampak pula pada kualitas pelayanan

yang diberikan oleh aparat kepolisian kepada korban, apalagi jumlah

personil ini dikaitkan dengan jumlah (kuantitas) personil polisi wanita.

Masalah kurangnya personil polisi wanita dinyatakan pula oleh

Satjipto Rahardjo, dengan mengutip pernyataan dari Markas Besar

Kepolisian Republik Indonesia: kekuatan Polwan apabila dibandingkan

dengan kebutuhan tugas Kepolisian Republik Indonesia baik di bidang

operasional maupun pengembangan relatif masih dirasakan kurang,

khususnya dalam rangka penugasan-penugasan yang memerlukan

pendekatan secara kejiwaan/sosio-psikologis.204 (huruf miring dari penulis)

204 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas 2002, hlm. 109

154

Di samping jumlah personil yang masih kurang, dari segi kualitas

(keahlian) dirasakan masih memprihatinkan, hal ini dapat diperhatikan pada

kualitas aparat polisi wanita yang ditugaskan pada unit Ruang Pelayanan

Khusus (RPK), sangat jarang anggota polisi wanita yang memiliki kualifikasi

sebagai dokter atau psikiater/psikolog, yang ditempatkan pada unit ini.

Oleh karena itu, salah satu upaya yang ditempuh untuk mengatasi

kendala ini adalah dengan mengirimkan anggota polisi wanita untuk ikut

terlibat dalam berbagai bentuk pelatihan atau keterampilan berkaitan

dengan masalah-masalah keluarga/rumah tangga, seperti pelatihan tentang

pemberdayaan perempuan, psikologi pekembangan anak, kekerasan dalam

rumah tangga, dan sebagainya.

D. Penerapan Perlindungan Korban Kejahatan di Indonesia

Pada bagian ini penulis akan memberikan gambaran beberapa putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, mulai dari putusan

pengadilan tingkat pertama hingga ke tingkat kasasi (Mahkamah Agung),

berkaitan dengan kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Narkotika,

Kekerasan terhadap Anak, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan

Malpraktik.

Hasil dari penggambaran ini selanjutnya akan dianalisis untuk

mengetahui sejauhmana putusan pengadilan telah mencantumkan upaya

perlindungan hukum kepada korban.

1. Perlindungan Korban dalam kasus Tindak Pidana Lingkungan

Hidup

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 122/Pid/B/19088/PN. Sda, tanggal

6 Mei 1989 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1479.K/Pid/1989 tanggal 20

Maret 1993 perihal kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan

oleh Oei Ling Gwat alias Bambang Gunawan, Direktur PT. Sidomakmur dan

PT. Sidomulyo.

155

Kasus posisinya sebagai berikut::

Oei Ling Gwat (Bambang) adalah seorang pengusaha yang juga

Direktur Perusahaan Makanan Tahu dengan nama PT. Sidomakmur. Di

samping itu ia juga pengusaha dibidang peternakan Babi dengan nama PT.

Sidomulyo. Kedua perusahaan ini berlokasi pada satu areal tanah yang

terletak di Krian, Sidoarjo, Jawa Timur.

Makanan tahu yang diproduksi oleh PT. Sidomakmur tersebut

menggunakan bahan baku kacang kedelai yang diolah sedemikian. Air kotor

limbah dalam proses produksi makanan tahu tersebut, dialirkan ke tempat

bak penampungan/septitank, yang kemudian dialirkan keluar melalui

selokan dan dibuang ke Kali Surabaya.

Demikian pula peternakan 250 ekor babi yang diusahakan oleh Oei

Ling Gwat. Pabrik mengambil dan menyedot air dari Kali Surabaya. Air ini

dipergunakan untuk memandikan 250 ekor babi dan membersihkan kotoran

ternak babi yang ada di kandangnya. Air kotor limbah ini lalu dialirkan

melalui selokan dan dibuang ke Kali Surabaya.

Air kotor limbah dari sisa produksi makanan tahu dan air kotor dari

peternakan babi tersebut, yang karena bak penampungannya (septitank)

terlalu kecil, sehingga tidak dapat menampung air kotor limbah tersebut.

Akibatnya, air kotor meluap dan langsung mengalir keluar menuju ke Kali

Surabaya.

Pemerintah Daerah memperingatkan Perusahaan milik Oei Ling Gwat

atas mengalirnya air limbah ke Kali Surabaya. Perbaikan telah dilakukan

oleh perusahaan tersebut.

Pada saat itu, Juni 1988, perusahaan menugaskan karyawannya

untuk mengambil sample air kotor limbah produksi perusahaan untuk dibawa

ke Balai Penelitian dan Pengembangan Kanwil Departemen Perindustrian di

Surabaya. Hasil uji Laboratorium dari BPP Kanwil Perindustrian

menunjukkan bahwa air kotor limbah dari pabrik mengandung:

156

a. B.O.D = Biological Oxigen Demand = 17,34 mg/l.

b. C.O.D = Chemical Oxigen Demand = 68,58 mg/l.

Keduanya masih di bawah ambang batas pencemaran.

Sebulan kemudian, Tim Khusus KPPLH mengadakan pemantauan ke

Kali Surabaya. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengeluh karena air

kali sulit diproses menjadi air bersih (air minum) di Surabaya dan ikan di Kali

mati semua.

Pada Juli 1998, saat itu juga diadakan pemeriksaan di pabrik

makanan tahu dan peternakan babi milik Oei Ling Gwat. Para petugas

KPPLH mengambil sample kotor (limbah) dari kedua perusahaan ini untuk

diteliti di laboratorium KPPLH. Hasil penelitian air limbah dari kedua

perusahaan tersebut, sebagai berikut:

a. B.O.D = 462,3 mg/l.

b. C.O.D = 1802,9 mg/l.

Angka ini melebihi ambang batas yang diizinkan, sehingga

ikan/kehidupan di Kali Surabaya menjadi mati dan air kali tidak dapat

diproses menjadi air minum.

Berpegang pada hasil penelitian laboratorium KPPLH ini, selanjutnya

dipakai sebagai bukti untuk mengadakan penuntutan pidana terhadap

pemilik perusahaan PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo.

Jaksa Penuntut Umum mengajukan pemilik kedua perusahaan, yaitu

Pabrik makanan tahu dan Peternakan babi, ke Pengadilan Negeri Sidoarjo

Jawa Timur dengan dakwaan sebagai berikut:

1. Dakwaan Primair, ex Pasal 22 (1) Undang-undang No. 4 Tahun

1982 tentang Lingkungan Hidup ”Dengan sengaja melakukan

perbuatan yang menyebabkan rusaknya Lingkungan Hidup atau

tercamarnya Lingkungan Hidup, yaitu:

157

a. Terdakwa sebagai Pengusaha/Direktur PT. Sidomakmur

yang memproduksi makanan tahu, sengaja membuang

limbah tahu ke Kali Surabaya yang menganduing B.O.D

3095 mg/l dan C.O.D 12293 mg/l;

b. Terdakwa sebagai Pengusaha/Direktur PT. Sidomulyo yang

mengusahakan peternakan 250 ekor babi, dengan sengaja

membuang air kotor, limbah kotoran babi ke Kali

Surabaya, yang mengandung kadar B.O.D = 462,3 mg/l

dan C.O.D = 1802,9 mg/l

Pembuangan air kotor limbah tersebut mengakibatkan

menurunnya kwalitas air Kali Surabaya yang menyebabkan pula

air kali tersebut kekurangan oxygen, sehingga matinya kehidupan

dalam air kali, serta sulit diproses menjadi air bersih (air minum)

yang dibuat oleh PDAM untuk kebutuhan minum masyarakat luas.

2. Dakwaan Subsidair, ex Pasal 22 ayat (2) Undang-undang No. 4

Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, yaitu Karena kelalaiannya

telah menyebabkan rusaknya Lingkungan Hidup atau tercemarnya

Lingkungan Hidup dengan cara-cara seperti yang diuraikan dalam

Dakwaan Primair di atas.

Jaksa Penuntut Umum dalam requisitoirnya mengajukan tuntutan hukum,

agar Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 22

ayat (2) dari Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup,

Dakwaan Subsidair dan dituntuty pula hendaknya oleh Hakim untuk

memberi hukuman 6 bulan kurungan dengan masa percobaan satu tahun

dan denda Rp. 1.000.000, subsidair 6 bulan kurungan

Hakim tingkat Pertama memberikan putusan sebagai berikut:

Mengadili:

- Menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan membuang air

limbah industri ke Kali Surabaya, akan tetapi perbuatan itu tidak

158

merupakan suatu tindak pidana yaitu tidak menyebabkan

tercemarnya Lingkungan Hidup.

- Melepaskan terdakwa dari segala Tuntutan Hukum. (Ontslag van

Rechtsvervolging).

- dst............dst...........dst.

Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menolak putusan hakim

tingkat pertama dan mengajukan pemeriksaan kasasi.

Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI memberikan putusan sebagai

berikut:

Mengadili:

- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo

Mengadili Sendiri:

- Menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan kejahatan dalam

Dakwaan Primair dan membebaskan terdakwa dari dakwaan ini.

- Menyatakan terdakwa Oei Ling Gwat terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan kejahatan ”Karena kelalaiannya,

melakukan perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan

hidup;

- Menghukum terdakwa dengan pidana kurungan selama 3 bulan

- Memberikan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali kalau

dikemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas

alasan bahwa terdakwa sebelum waktu percobaan selama 6 (enam)

bulan berakhir, telah bersalah melakukan suatu tindak pidana

- Menghukum terdakwa lagi dengan pidana denda Rp. 1.000.000

- Dst............dst.

2. Perlindungan Korban dalam kasus Tindak Pidana Narkotika

Putusan Pengadilan Negeri No. 75/Pid.B/1999/PN. Tegal mengenai

kasus kepemilikan Narkotika Golongan I oleh Terdakwa Agus Salim.

159

Kasus posisinya sebagai berikut:

Hari Selasa tanggal 6 Juli 1999, Abdullah, Taskuri, dan terdakwa

duduk di depan rumah Abdul Gofar pada sekitar pukul 01.30 WIB. Abdul

Gofar mengajak jalan-jalan ke Pantai Alam Indah Kodya Tegal, setelah itu

berangkatlah terdakwa dan teman-temannya menggunakan mobil Panther

No. Pol. E-977-AB yang dikemudikan Abdul Gofar, tak lama kemudian

terdakwa dan teman-temannya singgah di warung makan depan Balai Desa

Bandung Kimpling untuk minum teh poci.

Sewaktu Abdul Gofar, Taskuri dan Si Dul minum teh poci di dalam

warung, terdakwa, Agus Salim berada di luar warung sedang bercakap-

cakap dengan Sugeng (masih dalam pengejaran) dan saat itulah terdakwa

diberi ganja oleh Sugeng.

Setelah selesai minum teh poci, terdakwa dan temannya yaitu

Abdullah, Abdul Gofar dan Taskuri, meneruskan perjalanan menuju Pantai

Alam Indah Kodya Tegal, mobil yang dinaikinya diberhentikan oleh petugas

operasi gabungan dari Polresta Tegal, setelah dilakukan penggeledahan

ditemukan bungkusan rokok Jarum Super yang berisi 2 (dua) bungkus kecil

daun ganja kering yang disimpan di bagian belakang di atas ban serep dan

diakui milik terdakwa, yang sesuai hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium

Forensik Polri Labfor Cabang Semarang berdasarkan Berita Acara

Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti ganja No.

Lab.193/KNF/VII/199 tanggal 23 Juli 1999 dengan kesimpulan barang bukti

berupa daun, biji dan batang (B.187/193/KNF/VII/199 dan B.

188/193/KNF/VII/199): Positif Ganja (Caunabis Sativam, termasuk Narkotika

Golongan I), yang dimaksud sebagai persediaan untuk dipergunakan

terdakwa sendiri tanpa memiliki surat izin/surat izin khusus dari Menteri

Kesehatan atau Pejabat yang berwenang.

Jaksa Penuntut Umum mengajukan terdakwa, Agus Salim bin Sobirin ke

pengadilan dengan dakwaan sebagai berikut:

Primair:

160

Agus Salim bin Sobirin umur 20 th jenis kelamin laki-laki bertempat

tinggal di Desa Kaligangsa, RT. 03/04 Kecamatan Margadana, Kotamadya

Tegal, Pada hari Rabu tanggal 7 Juli 1999 sekitar pukul 03.00 WIB atau

setidak-tidaknya dalam tahun 1999, bertempat di Jalan Dipenogoro depan

Bank BCA, tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara,

menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a Undang-undang

No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Subsidair

Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika Golongan I

bagi diri sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf a Undang-

undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Lebih Subsidair

Pecandu Narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak

melaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah atau pejabat

yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-

undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Putusan Hakim dalam kasus di atas adalah:

- Menyatakan Agus Salim bin Sobirin tersebut di atas, terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Tanpa Hak

dan melawan hukum memiliki atau menguasai Narkotika Golongan I

dalam bentuk tanaman;

- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp.

2.000.000 (dua juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersenut

tidak dibayar haruslah diganti dengan pidana kurungan selama 2

(dua) bulan;

161

- Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

- Memerintahkan barang bukti berupa:

1. 2 (dua) bungkus ganja, masing-masing 0,60 gram dan 0,40

gram di dalam sebuah bungkus rokok Jarum Super, supaya

dirampas untuk dimusnahkan;

2. 1 (satu) unit mobil Isuzu Panther No. Pol. E-977-AB, supaya

dikembalikan kepada pemiliknya sdr. Achmad Sutiono melalui

kuasa hukumnya Eddie Praptono, SH.

- Menetapkan terdakwa tetap ditahan di dalam Rumah Tahanan

Negara (RUTAN);

- Membebani terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara ini

sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah)

3. Perlindungan Korban dalam Kasus Tindak Pidana Kekerasan

terhadap Anak

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 6/Pid.B./1985/PN. Kab. Mn, dan

Putusan Mahkamah Agung No. 785K./Pid./1985 mengenai kasus perbuatan

cabul terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh Samiran.

Kasus posisinya adalah sebagai berikut:

Terdakwa Samiran, pada hari dan tanggal yang tidak dapat

ditentukan dengan pasti dalam bulan September 1983 dan pada hari-hari

162

lain sampai dengan bulan April 1984, di rumah Sawi (korban) di Desa

Gandul, Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun, dalam

kedudukannya sebagai Kepala Desa telah dengan sengaja mempergunakan

pengaruhnya untuk membujuk korban untuk diajak tidur dan berbuat cabul,

yang mana korban (Sawi) belum dewasa karena baru berusia 20 tahun.

Terdakwa membujuk korban dengan janji akan membelikan seuntai kalung

emas bila korban mau diajak tidur, sehingga dengan janji tersebut korban

(Sawi) mau menuruti kemauan terdakwa untuk melakukan hubungan suami

isteri, dan perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang.

Pada bulan Maret 1984, Sawi merasa hamil dan minta kawin, karena

terdakwa tidak mau mengawini, sehingga pada tanggal 9 Mei 1984 korban

membuat surat pengaduan di atas kertas bermaterai dan ditandatangi

sendiri.

Jaksa Penuntut umum telah mendakwa Samiran karena melakukan

perbuatan pidana ex Pasal 293 (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana dengan materi perbuatan yang intinya: Sebagai Kepala Desa yang

mempunyai pengaruh besar terhadap rakyatnya serta bekas majikan

korban, dengan memakai pengaruhnya yang berlebih-lebihan, sengaja

membujuk seorang gadis (Sawi) yang masih di bawah umur dengan janji

akan diberikan perhiasan dengan menanggung semua akibat, dan mengajak

si gadis untuk tidur bersama. Perbuatan terdakwa dilakukan berulang kali

hingga gadis tersebut hamil dan meminta pertanggung jawaban terdakwa

akan tetapi terdakwa menolak.

Hakim tingkat pertama memberikan putusan sebagai berikut:

- Menyatakan bahwa terdakwa Samiran tidak terbukti bersalah

melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya, ex Pasal

293 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan membebaskan terdakwa

dari segala dakwaan.

Putusan ini didasari alasan hukum:

163

a. Bahwa pengertian menyalahgunakan wibawa atau kekuasaan

dalam delict tersebut, bukanlah diartikan sebagai kewibawaan

atau kekuasaan yang diperoleh karena jabatan formal serta

kepala desa;

b. Bahwa menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, untuk dapat menikah wanita harus berumur 16 tahun,

sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan

bahwa wanita di bawah umur adalah berumur 16 tahun. Karena

korban telah berumur 20 Tahun, maka ia bukan termasuk wanita

yang belum cukup umur

Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai

berikut:

a. Hakim tingkat pertama telah salah menafsirkan unsur-unsur

perbuatan pidana ex Pasal 293 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana yaitu mengenai unsur kekuasaan yang timbul dari

hubungan keadaan dan unsur wanita/gadis di bawah umur.

b. Bahwa kedudukan terdakwa selaku Kepala Desa ditambah lagi

sebagai bekas majikan korban, jelas memenuhi unsur Pasal 293

Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

c. Bahwa meskipun gadis tersebut sudah berumur 20 tahun dan

belum kawin, maka dengan berpegang pada Stb. 1931/No. 54,

Mahkamah Agung berpendirian bahwa gadis ini masih di bawah

umur.

Akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan sebagai berikut:

Mengadili:

- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri di Madiun

- Membatalkan Putusan Pengadilan negeri Kabupaten Madiun tanggal 11

April 1985 No.6/Pid.B/PN.Kab.Mn

164

Mengadili sendiri:

- Menyatakan terdakwa Samiran tersebut terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan kejahatan: “membujuk orang yang

belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul dengan pengaruh

kekuasaan yang timbul dari hubungan keadaan”

- Menghukum terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 3 (tiga) bulan

- Menghukum termohon kasasi terdakwa tersebut untuk membayar biaya

perkara dalam semua tingkatan peradilan yang dalam tingkat pertama

sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah) dan dalam tingkat kasasi ditetapkan

sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah)

4. Perlindungan Korban dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 83/Pid.S/2002/PN. YK, mengenai

kasus penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa As terhadap korban Ny.

Mun.

Kasus posisinya adalah sebagai berikut::

Terdakwa As, jenis kelamin laki-laki, lahir di Surabaya tanggal 4

Agustus 1951, 50 tahun, agama Kristen, wiraswasta, kebangsaan Indonesia,

tempat tinggal di Yogyakarta, pada hari minggu tanggal 9 Desember 2001

sekitar jan 12.00 WIB atau pada waktu lain setidak-tidaknya dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta, telah melakukan penganiayaan

terhadap saksi/korban, yaitu Ny. Mun yang mengakibatkan saksi korban

mengalami kesakitan/terganggu kesehatannya sebagaimana diterangkan

dalam hasil pemeriksaan visum et repertum No. 133-12-2001 dari Rumah

Sakit Panti Rapih 274767 atas nama penderita saksi korban Ny. Mun.

Dari peristiwa di atas, terdakwa As, dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum,

yaitu:

165

- Menyatakan terdakwa melakukan Tindak Pidana penganiayaan

menurut Pasal 351 ayat (1) jo. Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-

undang Hukum Pidana;

- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Agis Suwito dengan pidana

penjara selama tujuh bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam

tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan;

- Menetapkan agar terdakwa, jika ternyata dipersalahkan dan dijatuhi

pidana supaya ia dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 500

(lima ratus rupiah).

Putusan Hakim atas kasus di atas adalah:

- Menyatakan bahwa terdakwa As di atas telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan.

- Menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena kesalahannya tersebut

dengan pidana penjara selama 4 bulan;

- Membebani biaya perkara kepada terdakwa Rp. 500 (lima ratus rupiah)

- Memerintahkan agar terdakwa tetap pada tahanan.

5. Perlindungan Korban dalam Kasus Malpraktik

Putusan Pengadilan Negeri Nomor 78/Pid/S/2002/PN. BB, mengenai

kasus dugaan terjadinya Malpraktik dalam Penanganan Operasi Tumor di

Klinik Pengobatan YAPPENI MITRA SEHAT di Kabupaten Bandung dengan

tersangka Breifman Tampubolon bin Makdin.

Kasus posisinya adalah sebagai berikut:

Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Agustus 2002 sekitar jam 15.00 WIB

bertempat di Klinik Pengobatan YAPPERNI MITRA SEHAT Kp. Centeng

166

RT.05/07 Desa Cihanjuang Kec. Parongpong Kab. Bandung, terdakwa

Briefman Tampubolon yang merupakan seorang perawat tanpa keahlian

dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan dan atau

perawatan terhadap Didin yang menimbulkan/mengakibatkan korban

meninggal dunia. Terdakwa tanpa keahlian dan kewenangan untuk

mengoperasi penyakit korban tersebut telah melakukan operasi terhadap

korban dengan cara melakukan sedotan kearah tumor korban dengan

menggunakan jarum suntik, karena leher korban mengalami

pembengkakan/pendarahan, terdakwa lalu melakukan sayatan sepanjang 4

cm dan dalam 2 mm tepat di tengah-tengah tumor korban dengan maksud

untuk menghentikan pembengkakan/pendarahan, namun karena sayatan

tersebut dilakukan terdakwa tanpa keahlian sehingga sayatan tersebut

melukai pembuluh darah di leher korban yang mengakibatkan korban

mengalami pendarahan secara terus menerus. Selanjutnya korban dilarikan

ke Rumah Sakit Bina Sehat Dayeuhkolot untuk mendapatkan perawatan

dari dokter spesialis bedah, namun karena korban mengalami pendarahan

terus menerus, korban akhirnya meninggal dunia.

Dari peristiwa di atas, Jaksa Penuntut umum mendakwa Briefman

Tampubolon melakukan Tindak Pidana Tanpa Keahlian dan Kewenangan

Melakukan Pengobatan dan atau Perawatan. Perbuatan terdakwa diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a Jo. Pasal 83 Undang-

undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Fakta yang mendukung bahwa tindakan yang dilakukan oleh

terdakwa Briefman Tampubolon merupakan sebuah malpraktik adalah

terdakwa melakukan tindakan operasi (medis) terhadap pasien (sdr. Didin)

tanpa dibekali keahlian dan kewenangan untuk bertindak dan hal ini diakui

oleh terdakwa sendiri dengan dikuatkan oleh keterangan dari saksi-saksi

lainnya, sebagaimana diketahui bahwa malpraktik medik akan terjadi salah

satunya apabila dalam menjalankan profesinya dokter tersebut tidak

memenuhi Standar Profesi Kedokteran.

167

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa dengan

menghadirkan beberapa saksi dan bukti-bukti pendukung, Majelis Hakim

mengadili terdakwa:

- Menyatakan bahwa Terdakwa Briefman Tampubolon secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa keahlian dan

kewenangannya melakukan pengobatan dan atau perawatan;

- Memidana Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 3 (tiga) bulan

- Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

- Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah stetoskop, 1 (satu)

buah tensimeter, 1 (satu) buak lampu duduk/belajar, 1 (satu) buah

vinset dirampas untuk dimusnahkan;

- Menetapkan supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan;

- Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.

500 (lima ratus rupiah)

Dari beberapa kasus yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa

dalam hal telah terbuktinya pelaku (terdakwa) melakukan suatu tindak

pidana, ternyata putusan yang dijatuhkan oleh hakim lebih banyak terfokus

pada pemberian sanksi pidana kepada terdakwa, baik berupa hukuman

penjara maupun denda, sedangkan perlindungan kepada korban tidak

memperoleh perhatian sama sekali.

Untuk kasus-kasus di atas, hakim sama sekali tidak menjatuhkan hukuman

tambahan berupa pemberian ganti kerugian oleh pelaku kepada korban.,

atau perlunya diberikan pelayanan/konseling kepada korban atau pemulihan

lingkungan yang sudah tercemar. Padahal, secara jelas terlihat korban

menderita kerugian, bai secara ekonomis, fisik maupun psikis.

Dalam kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan oleh terdakwa

Samiran, korban (Sawi) mengalami kehamilan. Dalam kasus pencemaran

168

lingkungan, akibat limbah industri dari PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo,

air Kali Surabaya menjadi sulit untuk diproses menjadi air bersih (air minum)

dan ikan di kali menjadi mati semua. Dalam kasus Malpraktik, yang

dilakukan oleh terdakwa Briefman Tampubolon, korban (Didin) meninggal

dunia, sedangkan dalam kasus kekerasan rumah tangga, korban

kesehatannya mengalami gangguan.

Munculnya putusan pengadilan demikian seakan hendak membenarkan

pendapat yang selama ini berkembang, bahwa dengan telah dipidananya

pelaku (terdakwa), dengan sendirinya perlindungan terhadap korban telah

diberikan.