2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · mil dari garis pantai; dan (3) segi perencanaan, suatu...
TRANSCRIPT
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelabuhan dan Angkutan Laut
Pengertian atau definisi tentang pelabuhan di Indonesia berkembang sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, maka pelabuhan diartikan sebagai
“tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi”.Pelabuhan
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang
dan/atau bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antar moda
transportasi dan terminal bagi kapal-kapal utama yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan. Terminal adalah fasilitas
pelabuhan yang terdiri dari kolam sandar dan terdapat kapal bersandar dan tambat,
tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau
bongkar muat barang. Pelabuhan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
ekonomi, karena fungsinya sebagai penunjang bagi perkembangan industri,
perdagangan dan pelayaran. Pelabuhan laut dapat mempengaruhi pembangunan
ekonomi dan sebaliknya pembangunan ekonomi dapat pula mempengaruhi
peningkatan aktivitas pelabuhan laut (UNCTAD dan Ditjen Perhubungan Laut,
2000). Pelabuhan adalah pusat aktifitas ekonomi kelautan, sehingga keberadaannya
mampu melancarkan arus bongkar muat barang dan pelayanan penumpang dengan
tingkat kenyamanan, keamanan dan biaya yang kompetitif (Kusumastanto, 2002).
Selain itu pelabuhan dapat menghela pertumbuhan ekonomi wilayah, di mana
pelabuhan merupakan titik sentral yang menghubungkan perpindahan muatan
barang-barang, berupa barang-barang produk kebutuhan dalam negeri dan barang-
barang ekspor. Kegiatan pelabuhan, angkutan laut dan angkutan darat merupakan
bagian dari ekonomi nasional, regional dan lokal (Kramadibrata, 1982). Dua hal
yang disumbangkan oleh pelabuhan untuk meningkatkan perekonomian adalah
yang bersifat terukur dan tidak terukur. Hal-hal yang terukur seperti pajak-pajak,
dividen dan retribusi, sedang yang tidak terukur adalah kesempatan kerja dan
tumbuhnya usaha-usaha di sekitar pelabuhan, sebagai efek ganda kegiatan
20
kepelabuhanan yang akan memberikan nilai tambah ekonomi pada daerah sekitar
pelabuhan. Pelabuhan laut berperan penting terhadap pembangunan ekonomi,
oleh sebab itu dalam perencanaan lokasi pelabuhan laut harus dipadukan dengan
tujuan pembangunan nasional dan daerah, dan pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi baru. Pelabuhan mempunyai tiga fungsi pokok, diantaranya
yaitu:
1) Fungsi interface, dalam arti pelabuhan menyediakan fasilitas dan pelayanan
jasa atau infrastruktur yang dibutuhkan untuk memindahkan barang-barang
dari kapal ke angkutan darat atau sebaliknya dan atau memindahkan barang-
barang dari angkutan laut (laut) yang satu ke kapal lainnya (transhipment).
2) Fungsi link, yaitu pelabuhan dilihat sebagai salah satu mata rantai dalam
proses transportasi, mulai dari tempat asal barang maupun ketempat tujuan.
3) Fungsi gateway, yaitu sebagai pintu gerbang dari suatu negara atau daerah.
Konsep sebagai gateway dilatarbelakangi pendekatan peraturan dan
prosedur yang harus dikaji oleh setiap yang menyinggahi pelabuhan.
(Baudelaire, 1972)
Sesuai Undang-Undang tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah
tentang Kepelabuhanan, maka menurut jenisnya pelabuhan dibedakan atas dua
jenis, yaitu pelabuhan laut dan pelabuhan sungai dan danau. Pelabuhan laut
mempunyai hierarkhi terdiri dari: (a) Pelabuhan utama, (b) Pelabuhan pengumpul,
(c) Pelabuhan pengumpan. Hierarkhi ini berbeda dengan hierarkhi pelabuhan sesuai
peraturan perundang-undangan lama, yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 1991
tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1992 tentang
Kepelabuhanan yaitu dibedakan atas: (a) Pelabuhan internasional, (b) Pelabuhan
nasional, (c) Pelabuhan regional, dan (d) Pelabuhan lokal. Berdasarkan
pengelompokan tersebut, maka Pelabuhan Tanjung Priok dimasukkan sebagai
pelabuhan laut dalam hierarkhi pelabuhan utama. Di dalam peraturan perundang-
undangan baru, maka disebutkan ada 6 (enam) peran pelabuhan, yaitu :
1) Simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkhinya,
2) Pintu gerbang kegiatan perekonomian,
3) Tempat kegiatan alih moda transportasi,
4) Penunjang kegiatan industri, jasa, dan/atau perdagangan,
21
5) Tempat produksi, distribusi dan konsolidasi muatan barang,
6) Menjadikan Wawasan Nusantara dan Kedaulatan Negara,
Pelabuhan Tanjung Priok memiliki keenam peran pelabuhan tersebut, yaitu
sebagai simpul jaringan transportasi, pintu gerbang kegiatan perekonomian
nasional, simpul moda tranportasi laut dan darat, penunjang kegiatan industri, jasa,
dan/atau perdagangan, pusat distribusi dan konsolidasi barang-barang ekspor-impor
dan menjadikan Wawasan Nusantara dan Kedaulatan Negara.
Kelengkapan pelabuhan laut terdiri dari infrastruktur berupa kolam
pelabuhan, breakwater, alur pelabuhan dan dermaga, superstrukturberupa bangunan
gudang, kantor, jalan serta lapangan penumpukan, danequipmentberupa crane, RTG
dan headtruck.Kelengkapan pelabuhan laut lainnya adalah tempat kegiatan
pemerintahan daerah belakang pelayanannya (hinterland).
Untuk pengembangan suatu pelabuhan laut ditinjau dari aspek geografis dan
teknis kepelabuhanan, dibutuhkan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1) Lokasi sedekat mungkin dengan lokasi asal dan tujuan barang.
2) Mampu memberikan perlindungan terhadap kapal dari cuaca buruk sewaktu
berada di pelabuhan.
3) Memiliki kedalaman perairan yang cukup, sehingga kapal tetap dapat
terapung saat air laut surut.
4) Tersedia fasilitas-fasilitas yang digunakan untuk penanganan barang dan
penumpang.
Pelabuhan laut sebagai prasarana transportasi laut tidak terlepas kaitannya
dari sektor angkutan laut, di manaangkutan laut merupakan salah satu sektor
pembangunan kelautan. Ketersediaan infrastruktur dan sarana angkutan laut
(perkapalan) untuk kelancaran masuknya arus barang dan jasa di suatu daerah,
sangat tergantung dari intensitas, kapasitas dan kualitas pelayanan jasa angkutan
laut. Kurang berkembangnya angkutan laut dalam sektor kelautan merupakan
problemstruktural (Kusumastanto, 2002). Di dalam perkembangan ekonomi global,
sektor angkutan khususnya angkutan laut merupakan salah satu faktor penentu
pertumbuhan ekonomi, karena kecepatan pelayanan melalui angkutan laut
merupakan pilihan utama. Pertimbangannya karena dari sisi biaya dan sistem
transportasi,maka angkutan laut telah berkembang tidak lagi sekedar angkutan
22
barang dan penumpang, akan tetapi telah menjadi elemen jaringan logistik (logistic
chain). Pola angkutan laut telah berubah dari perspektif satu jenis moda transportasi
menjadi multi moda transportasi. Mengikuti pertumbuhan ekonomi dan angkutan
barang yang diangkut oleh kapal, maka ukuran dan kapasitas kapal juga
berkembang pesat.Perkembangan ini disebabkan oleh volume perdagangan melalui
laut meningkat terus tiap tahun dan general cargo berubah dari bentuk break-bulk
menjadi kontainer dan super container. Kapal-kapal kecil dan tradisional dengan
volume kecil berkembang menjadi kapal-kapal barang besar (container dan super
container) dan kapal-kapal barang spesifik yang mengangkut crude oil, produk-
produk berbagai bahan kimia, gas dan dry bulk.
Pada tahun 2020 diperkirakan dari sembilan puluh persen (90%) kapal
barang yang ada di seluruh dunia diperkirakan sudah menjadi kapal kontainer dan
pada setiap pelabuhan kontainer diperkirakan akan dibongkar dan dimuat barang-
barang dengan jumlah tonase naik dua kali lipat. Apabila tingkat pertumbuhan
barang yang melalui pelabuhan kontainer naik enam sampai tujuh persen (6%-7%)
per tahun, maka pelabuhan kontainer harus menangani 700 juta TEUs tahun 2020
(Casaca, 2007). Di sisi lain perkembangan pesat sektor angkutan laut potensial
untuk menimbulkan pencemaran udara kawasan pelabuhan, baik dari pembuangan
gas emisi CO2, maupun dari pencemaran perairan dari kawasan pelabuhan dan
limbah pabrik serta dari kapal yang keluar masuk pelabuhan.
Kondisi kepelabuhanan dan angkutan laut di Indonesia perlu dipersiapkan
secara baik untuk mengantisipasi perkembangan pesat sektor pelabuhan dan
angkutan laut dunia. Pada saat ini kondisi pelabuhan di Indonesia rata-rata belum
mengantisipasi perkembangan pesat sektor angkutan laut internasional. Pelabuhan
Tanjung Priok sebagai pelabuhan internasional terbaik di Indonesia belum
sebanding dengan pelabuhan-pelabuhan internasional di negara-negara lain, seperti
Singapura dan Malaysia. Kondisi angkutan laut di Indonesia yang mengangkut
barang-barang untuk tujuan antar pulau dan tujuan ekspor/impor masih didominasi
oleh kapal-kapal asing. Pangsa pasar sektor angkutan laut ekspor/impor di
Indonesia saat ini masih di bawah sepuluh persen (10%) yang dikuasai oleh
pelayaran lokal (nasional), sedangkan pangsa pasar domestik masih sekitar 55
persen (55%), sisanya 45 persen (45%) masih dikuasai kapal-kapal asing.
23
Sehubungan dengan hal di atas, maka kebijakan sektor angkutan laut Indonesia
dengan menggunakan azas “cabotage” (mengutamakan kapal-kapal dalam negeri)
diarahkan untuk : (1) meningkatkan kapasitas, jumlah, jangkauan dan kemampuan
Armada Nasional untuk angkutan barang dan jasa, (2) mengembangkan kebijakan
yang mampu mendorong lembaga keuangan perbankkan dan non bank untuk
membiayai pengembangan angkutan laut secara nasional dan (3) menciptakan
kemudahan dalam proses perizinan pemilikan kapal dan prosedur kepelabuhanan
secara nasional, terutama dikaitkan dengan era otonomi daerah (Kusumastanto,
2002).
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kebijakan pengembangan
pelabuhan laut, dengan sektor angkutan laut merupakan satu kesatuan terpadu.
Antara pengembangan pelabuhan laut, lengkap dengan sarana/prasarana pelabuhan
dengan pengembangan sektor angkutan laut sebagai sarana penunjang pelabuhan
tidak terlepas peranannya satu dengan lainnya.
2.2 Pengembangan Pelabuhan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Pelabuhan laut adalah salah satu sumber daya pesisir yang memiliki peran
strategis.Mengacu kepada Undang-Undang No.27 tahun 2007 Bab I Pasal 1 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka pelabuhan laut yang
terletak di wilayah pesisir, dipengaruhi oleh ekosistem darat dan ekosistem laut.
Pelabuhan laut sebagai bagian dari wilayah pesisir merupakan gabungan antara
kawasan di darat dan perairan laut. Wilayah pesisir sesuai pengertian umum yang
telah disepakati adalah suatu peralihan antara daratan dan lautan. Menurut
Ketchum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai hubungan keterikatan antara
daratan dengan ruang laut yang bersebelahan, dimana proses daratan mempengaruhi
proses lautan (Ketchum, 1992). Oleh Robert Kay dan Jacquline Alder definisi
wilayah pesisir didasarkan atas kesamaan ciri-ciri fisik, biologi atau administrasi
lokal suatu kawasan (Kay Robert, Alder J., 1999). Batas-batas ke daerah darat (1)
secara ekologis adalah kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut
seperti pasang surut, instrusi air laut dan percikan gelombang; (2) secara
administratif, batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara
arbiter (2 km, 20 km dan >20 km dari garis pantai); (3) secara perencanaan,
24
bergantung pada permasalahan yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir,
misalnya pencemaran dan sedimentasi atau hutan mangrove. Batas ke arah laut (1)
secara ekologis, kawasan laut yang masih dipengaruhi proses-proses alamiah dan
kegiatan manusia di daratan seperti aliran sungai, limpahan air permukaan,
sedimentasi dan bahan pencemar; (2) secara administratif jarak 4 mil, 8 mil, dan 12
mil dari garis pantai; dan (3) segi perencanaan, suatu kawasan yang bergantung
pada permasalahannya yaitu kawasan yang masih dipengaruhi oleh dampak
pencemaran atau sedimentasi, atau proses-proses ekologi lainnya (Bengen, 2001).
Pelabuhan laut sebagai jasa pendukung kehidupan, merupakan salah satu
fungsi pokok kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip ekosistem pesisir dan laut.
Fungsi pokok lain ekosistem pesisir dan laut adalah sebagai penyedia sumber daya
alam, sebagai penerima limbah, dan sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan
(amenity). Pengembangan pelabuhan tidak terlepas kaitannya dengan pengelolaan
wilayah pesisir. Di wilayah pesisir dan lautan terdapat bebagai sumber daya alam
dan sumber daya jasa-jasa kelautan lainnya. Sumber daya pesisir dan kelautan ini
ada yang bisa diperdagangkan dan ada yang tidak bisa diperdagangkan kegiatan
jasa kepelabuhanan termasuk sumber daya yang bisa diperdagangkan, sedangkan
ekosistim mangrove, terumbu karang dan ekosistim lainnya tidak bisa
diperdagangkan. Kedua komponen ini sama-sama memiliki nilai ekonomis yang
harus diperhitungkan dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah bagaimana
menilai menilai suatu sumber daya alam secara komprehensif. Dalam hal ini tidak
saja marketvalue dari barang yang dihasilkan oleh suatu sumber daya, melainkan
dari jasa yang ditimbulkan oleh sumber daya tersebut (Fauzi, 1999). Kesulitan
penilaian ekonomi tersebut lebih nyata pada suatu wilayah, khususnya barang dan
jasa diwilayah pesisir yang tidak diperdagangkan di pasar, sehingga aplikasi dari
penilaian sumber daya yang tidak dipasarkan (non market valuation)perlu
dilakukan, agar trade off pemanfaatan dari barang dan jasa yang disediakan oleh
lingkungan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk
pengelolaan wilayah pesisir secara lestari (Kusumastanto, 1999).
Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan wilayah pesisir, termasuk
pengelolaan kepelabuhanan dan aktivitas-aktivitas lainnya beragam.Dengan
25
terbitnya Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran, makapengelolaan wilayah pesisir, termasuk kawasan pelabuhan akan
terpadu satu dengan yang lainnya. Di dalam Undang-Undang No.27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Bab I Pasal 1, terdapat
beberapa pengaturan yang ada kaitannya dengan “pengembangan kepelabuhanan
dalam hal berwawasan lingkungan”, yaitu:
1) Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung peri kehidupan
manusia dan makhluk hidup lain. Pelabuhan sebagai salah satu sumber daya
pesisir harus mampu mendukung kehidupan masyarakat wilayah pesisir.
2) Pengembangan pelabuhan erat kaitannya dengan reklamasi. Reklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang, dalam rangka meningkatkan
manfaat sumber daya lahan, ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial
ekonomi dengan cara pengurugan dan pengeringan lahan atau drainase.
3) Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat
adanya kegiatan orang, sehingga kualitas lingkungan wilayah pesisir dan
lautan turun sampai ke tingkat tertentu. Penurunan kualitas lingkungan
wilayah pesisir dan lautan menyebabkan kegiatan di bagian wilayah ini
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peranannya. Salah satu penyebab
pencemaran wilayah pesisir dan lautan adalah tingginya kegiatan pelabuhan,
tanpa diimbangi dengan pengelolaan dan pengendalian lingkungan yang
baik. Pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok berwawasan lingkungan
dalam konteks pembangunan harus memenuhi dimensi lingkungan/ekologi
yaitu meliputi kesesuaian kualitas lingkungan perairan, udara dan daratan
sesuai dengan standar Batas Ambang Mutu (BAM) yang ditetapkan,
dimensi sosial yaitu peningkatan kualitas lingkungan sosial masyarakat
pekerja di dalam kawasan pelabuhan dan kawasan penyangga, dimensi
ekonomi yaitu ketersediaan ruang pelabuhan menampung pertumbuhan
barang dan keterpaduan kebijakan pengembangan, pengelolaan dan
26
pengoperasian pelabuhan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah dan Institusi Pengelola Pelabuhan.
2.3 Pelabuhan Berwawasan Lingkungan(Ecoport)
2.3.1 Definisi Ecoport dan Perkembangannya
Pencemaran laut, kebisingan, pencemaran udara dan kecelakaan kerja
merupakan wajah umum di berbagai pelabuhan puluhan tahun lalu, dikarenakan
pengiriman setiap tahunnya berjuta-juta kargo yang dilakukan melalui perairan/laut
dan sekitar separuhnya tergolong bahan-bahan yang berbahaya. Dampak dari
keberadaan dan kegiatan pelabuhan terhadap lingkungan kawasan pelabuhan pada
umumnya adalah :
1) Pencemaran lingkungan, oleh limbah-limbah padat dan cair, di antaranya
limbah beracun dan barang berbahaya (hazards cargous), yang dapat
mengancam kesehatan dan keselamatan kerja dan kecelakaan.
2) Perkembangan teknologi di pelabuhan yang semakin besar memerlukan
biaya pemeliharaan tinggi. Pada umumnya untuk kepentingan pengelolaan
lingkungan hanya sedikit biaya terhadap perbaikan dan efisiensi, sehingga
banyak pelabuhan secara umum meminimumkan biaya untuk lingkungan.
3) Pengoperasian dan pengembangan pelabuhan.
Kegiatan-kegiatan yang terjadi pada saat pelabuhan beroperasi terdiri dari :
(1) angkutan barang, manusia, dan hewan, (2) kegiatan bongkar/muat, (3)
pemanfaatan dan keberadaan fasilitas pelabuhan (alur dan kolam, dermaga,
dock yard/perbaikan kapal), (4) lalu lintas kapal dan moda darat, dan (5)
kegiatan pelabuhan yang menghasilkan limbah/sampah seperti port related
facilities (commercial & bussines district), port related industry, kegiatan
perdagangan dan kegiatan rekreasi.
Sedang kegiatan pada saat pengembangan/pembangunan pelabuhan
diantaranya: (a) pembangunan dan pengembangan infrastruktur (dermaga dan
penahanan gelombang), alur pelayaran, danreklamasi perairan. (b) capital dredging,
maintenance dredging, (c) perubahan bentang alam (hidrogafi dantopografi) dan (d)
kerusakan habitat fauna dan flora.
27
Kegiatan pengoperasian dan pengembangan pelabuhan selain membawa
banyak manfaat, tetapi juga dapat membawa dampak negatif, seperti terjadinya
abrasi, pendangkalan kolam pelabuhan akibat sedimentasi, buangan dari kapal,
buangan dari bahan industri, bongkar muat barang dan aktifitas pelabuhan lainnya.
Potensi dampak negatif dari pengembangan pelabuhan dapat berupa polusi terhadap
air, kontaminasi endapan dasar perairan, hilangnya habitat dasar perairan, kerusakan
ekologi marina, erosi pantai, perubahan pola arus, buangan limbah, bocoran dan
limpahan BBM, emisi material berbahaya, polusi udara kebisingan, getaran, polusi
tampilan dan dampak pada sosial budaya.
Anggota IMO (International Maritime Organization) menghasilkan
konsensus yang dikenal sebagai Konvensi MARPOL 73/78. Konvensi tersebut
terdiri dari 5 Annex yaitu tentang polusi di laut terhadap minyak, bahan cair
beracun, bahan berbahaya, limbah kotoran, dan sampah serta yang terakhir
ditambah Annex VI tentang Pencemaran udara dari kapal. Strategi pengelolaan
pencemaran dan kerusakan yang berasal dari daratan (land based pollution) dan dari
laut (sea based pollution) dikembangkan dengan beberapa pendekatan, di antaranya
meliputi pengelolaan limbah (waste management). Pengelolaan Limbah itu terdiri
atas limbah padat (solid waste), limbah padat/sampah dari kegiatan kepelabuhanan
dan dari kegiatan di darat lainnya, penanganan limbah/sampah dari kegiatan
pelayaran/kapal berdasarkan MARPOL Annex V (MARPOL 73/78), limbah
industri (industrial waste), limbah minyak, limbah gas, debu, dan kebisingan.
Jenis pencemar pada umumnya berbeda-beda pada setiap kawasan
pelabuhan, tergantung dari jenis kegiatan yang berlangsung dan juga lingkungan di
sekitar pelabuhan, seperti limbah sampah, limbah cair, industri, minyak dan oli,
curah padat, sedimentasi dan sanitasi. Sumber pencemaran yang biasa terdapat di
kawasan pelabuhan terbagi menjadi 2 (dua) :
1) Land Based Activities : limbah pemukiman, limbah pertanian dan limbah
industri.
2) Sea Based Activities : kegiatan industri perkapalan, pertambangan, minyak
lepas pantai dan pelayaran (kapal-kapal).
Pencemaran yang bersumber dari kegiatan perkapalan berasal dari
pengoperasian kapal dan kecelakaan kapal.Akibat yang didapat dari pengoperasian
28
kapal adalah berupa tumpahan pembongkaran muatan, buangan air yang masih
bercampur minyak dari sisa air ballast dan sisa air pencucian, serta pencemaran
udara dari gas pembuangan yang berada dari dalam kapal. Akibat dari kecelakaan
kapalyang menyebabkan kandasnya kapaldapat menimbulkan terjadinya tumpahan
minyak buangan dari kapal yang bisa berjangka panjang dan sifatnya permanen.
Meningkatnya gelombang kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan di berbagai pelosok dunia sejak dua puluh lima (25) tahun terakhir,
tanpa terkecuali juga telah melanda wilayah kawasan pelabuhan. Keinginan untuk
mewujudkan pelabuhan yang berwawasan lingkungan itu telah membangkitkan
perhatian dan kepedulian berbagai pihak antara lain Administratur Pelabuhan,
Pemerintah Daerah dan Pengelola Bisnis Pelabuhan.Pada saat penulisan, beberapa
pengelola pelabuhan di dunia sedang gencar-gencarnya mengenalkan pelabuhan
berwawasan lingkungan (ecoport), dengan berbagai istilah seperti environmental
friendly port, enviromental policy, coastal zone port management, a clean
sustainable port, dan mega floating port. Kegiatan program ecoport di Eropa
didukung oleh ESPO (Environmental Committee of The European Sea Port
Organisation) dan Komisi Eropa.ESPO adalah salah satu perusahaan internasional
yang menangani manajemen pelabuhan yang berwawasan lingkungan. Kegiatan
terkait ecoport diawali dengan penyelenggaraan riset bersama oleh enam (6)
pelabuhan. Harapan yang ingin dikaji dari skim (scheme) ecoport di Eropa ini
adalah bahwa masing-masing pelabuhan dapat melakukan pembenahan, penataan
dan perbaikan kondisi lingkungan hidup secara otonom dan secara kerjasama.
Berdasarkan isu lingkungan yang dihadapi di setiap pelabuhan, setiap pelabuhan
selanjutnya secara sistematis melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencegah dan
mengendalikan isu-isu lingkungan yang timbul di wilayahnya.
Sejak 1994, tema “ecoport” memang menginovasikan berbagai ilmu dan
pengalaman di antara para profesional terkait untuk membuat jejaring antar
pelabuhan. Bekerjasama dengan berbagai sektor seperti universitas, ESPO
menciptakan pula manajeman pelabuhan yang berwawasan lingkungan dengan
suatu program yang disebut eco-program dengan unsur :
1) Piranti ecoports yang mapan yang terkait dengan ketersediaan akses internet
dan website sebagai media komunikasi
29
2) Self Diagnosis Method (SDM) yaitu metodologi untuk mengindentifikasi
risiko lingkungan dan penetapan aksi untuk memperkecil risiko tersebut.
3) Port Environmental Review System (PERS) secara khusus dirancang untuk
membantu pelabuhan melalui organisasi fungsional yang diperlukan untuk
mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan
Di dalam kerangka kerja untuk administrasi pelabuhan yang berwawasan
lingkungan, ESPO memberikan rekomendasi pedoman:
1) Pengembangan pelabuhan. Di dalam rencana administrasi pelabuhan, perlu
adanya sosialisasi dan penerimaan opini bagi publik terkait Amdal.
Pelabuhan juga harus menetapkan area lindung untuk mengurangi beban
pencemaran yang ditimbulkan.
2) Pengerukan dan pembuangan bahan kerukan. Tiap pelabuhan harus
meminimalkan dampak dari kegiatan pengerukan dan harus memahami
kondisi tanah yang digunakan sebagai pelabuhan.
3) Pencemaran tanah. Penyusunan kebijakan tanah yang jelas dan konsisten
mampu mencegah risiko terkait lingkungan dan pembiayaan. Selain itu
identifikasi pula sejak awal sumber-sumber yang dapat menyebabkan
pencemaran tanah di dalam pelabuhan.
4) Pengelolaan kebisingan. Untuk mengurangi dampak kebisingan yang perlu
dbuat peta kebisingan dan rencana aksi.
5) Pengelolaan limbah pelabuhan. Menurut Pengelolaan limbah dapat
dilakukan dengan cara pencegahan limbah, pemulihan limbah, dan
pembuangan limbah.
6) Pengolahan dan kualitas air. Penentuan batas badan air yang ada di kawasan
pelabuhan penting untuk perlindungan lingkungan dan pemenuhan
kebutuhan air bagi kegiatan-kegiatan yang ada. Selain itu rencana
pengelolaan daerah aliran sungai perlu dibuat sehingga dapat mengontrol
kualitas air yang masuk ke laut.
7) Pengolahan dan kualitas udara. Untuk menjaga kualitas udara, perlu diambil
langkah yang tepat dalam rangka memenuhi nilai-nilai batas emisi yang
berlaku untuk tiap instalasi yang terpasang di dalam pelabuhan. Selain itu
30
perlu ada dialog dnegan warga lokal untuk memperoleh pemahaman dari
mereka atas dampak kebisingan yang dihasilkan oleh pelabuhan.
8) Pemantauan lingkungan pelabuhan dan pelaporannya. Pemantauan
dilakukan dengan mengidentifikasi indikator kinerja terkait isu lingkungan
di kawasan pelabuhan. Berdasarkan hasil identifikasi lalu disusun laporan
tahunan kondisi lingkungan pelabuhan.
9) Kesiapan pelabuhan dan potensi perencanaan. Rencana disusun berdasarkan
koordinasi dengan pemerintah kota dan nasional serta potensi pelabuhan.
(Environmental Code of Practise-European Sea Port Organisation, 2003)
Masalah-masalah polusi dan perubahan iklim di kawasan pelabuhan telah
dibahas pada konferensi “The First Harbours and Air Quality” Genoa, Italia tahun
2005 dan pada “The 2nd
Harbours and Air Quality” di Rotterdam Belanda, Mei
2008. Pada konferensi lanjutan yaitu pada “The C40 World Ports Climate
Conference” di Rotterdam pada Juli 2008 (yang dihadiri penulis) telah
dipublikasikan deklarasi bersama untuk mengurangi gas emisi CO2 di dalam
pengoperasian pelabuhan yang ditandatangani oleh Otorita Pengelola Kota dan
Pelabuhan-Pelabuhan besar di 40 (empat puluh) negara. Selanjutnya “The
International Association of Port and Harbours (IAPH) telah mendeklarasikan
“IAPH Tool Box for Port Clean Air Programs”. Tool Box menyampaikan
informasi dan isu-isu tentang kualitas udara dan fokus terhadap kegiatan-kegiatan
kemaritiman dan strategi mengurangi gas emisi. Sarana untuk menerapkan
pengetahuan tentang proses clean air progres dan strategi-strategi untuk udara
bersih melalui pengawetan kembali mesin-mesin tua, teknologi yang efektif
mengurangi gas emisi, pemakaian energi alternatif yang lebih bersih untuk kegiatan
operasional kemaritiman, seperti untuk truk-truk kontainer, kapal-kapal besar
dengan peralatan penanganan kargo atau cargo handling. Tindak lanjut dari
Deklarasi tersebut adalah dengan dibentuknya sebuah asosiasi yaitu “Board
Harbord Home Comicioners” yang beranggotakan lebih dari 50 perusahaan
pelayaran dan telah berpartisipasi dalam mengurangi polusi udara, di mana pada
tahun 2007 telah berhasil menurunkan 620 ton polusi udara (Mongelluzzo, 2008).
Selain mengenai pengurangan gas emisi CO2, maka tidak kalah pentingnya adalah
pengelolaan limbah di kawasan pelabuhan (reception facilities).
31
Salah satu usaha dan kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran
dan kerusakan lingkungan hidup di kawasan pelabuhan adalah kegiatan rutin
operasional kapal dan kegiatan penunjang pelabuhan yang menghasilkan limbah.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2009
tentang Pengelolaan Limbah di Pelabuhan, maka untuk mencegah terjadinya
pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup, maka limbah yang dihasilkan
dari kegiatan rutin operasionil kapal dan kegiatan penunjang pelabuhan perlu
dikelola. Berdasarkan hasil penelitian studi dari Deputi Bidang Pengelolaan B3 dan
Limbah B3 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, masih terdapat adanya
pengeloaan limbah B3 yang illegal di pelabuhan. Tujuan pengelolan limbah di
pelabuhan ini adalah untuk meminimalisasi terkontaminasinya media lingkungan
pesisir, pantai dan perairan oleh limbah B3, memudahkan pengawasan
transboundary movement limbah di pelabuhan, serta pendataan dan legalitas
pengeloaan limbah di kawasan pelabuhan di Indonesia (Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, 2009).
2.3.2 Kebijakan Pengembangan Ecoportdi Indonesia
Dalam rangka menindaklanjuti komitmenPemerintah Republik Indonesia
atas hasil-hasil Johannesburg Summit tentang Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development), maka Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tahun 2004 telah menerapkan kebijakan
pengelolaan pelabuhan yang berwawasan lingkungan (ecoport), dengan
menerbitkan Pedoman Teknis Pelabuhan Berwawasan Lingkungan (ecoport).
Ecoportmerupakan label generik yang dikenakan pada pelabuhan yang menerapkan
upaya-upaya, dan cara-cara yang sistemik dan bersifat ramah lingkungan atau
environmental friendly dalam pembangunan, pengembangan dan pengoperasian
pelabuhan (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan,
2004). Di dalam suatu pelabuhan berwawasan lingkungan(ecoport), semua pihak
yang berkecimpung di dalamnya dan berkepentingan dengan kegiatan
kepelabuhanan didorong dan diajak untuk terlibat secara sukarela (voluntary) untuk
menciptakan pelabuhan yang ramah lingkungan. Melalui ecoport berbagai masalah
atau isu lingkungan hidup di pelabuhan, seperti misalnya rendahnya mutu udara dan
kebisingan, rusaknya keanekaragaman hayati, cagar budaya, serta tingginya resiko
32
“
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja karyawan pelabuhan, secara sistematis
dirancang untuk diatasi, diimplementasikan, dipantau, dikaji ulang, dan kemudian
diimplementasikan kembali oleh manajemen pelabuhan. Demikian seterusnya
dilakukan secara berulang-ulang sehingga terbangun siklus kegiatan yang bersifat
tanpa henti (never ending process) untuk perbaikan mutu lingkungan hidup
pelabuhan. Itulah sebenarnya yang menjadi esensi penerapan ecoport, yaitu agar
berbagai masalah atau isu lingkungan di pelabuhan secara sistemik dirancang,
diimplementasikan, dan dipantau oleh pengelola pelabuhan termasuk stakeholder
tanpa henti. Apabila tercapai kelestarian fungsi lingkungan pelabuhan, maka terjadi
hubungan yang serasi, seimbang, dan selaras antara manusia dan lingkungannya di
dalam kawasan pelabuhan serta akan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan
mengemukakan bahwa untuk pembangunan pelabuhan baru, dan penataan
pelabuhan lama, harus mengakomodasi aspek lingkungan, mulai dari tahap
perencanaan, perancangan, pembangunan dan pengoperasian.Tujuan dari
mengakomodasi aspek lingkungan tersebut adalah :
1) Membangun kebersamaan dan keterpaduan seluruh stakeholder dalam
pengelolaan pelabuhan berwawasan lingkungan.
2) Menerapkan prinsip good environmental governance (tata praja lingkungan)
secara konsisten dengan memperhatikan tata ruang, kemampuan
sumberdaya manusia serta sarana dan prasarana dan kapasitas kelembagaan.
3) Mencegah dan mengendalikan sumber pencemaran lingkungan sehingga
lingkungan pelabuhan bebas dari sampah, minyak dan jenis limbah lainnya.
4) Meningkatkan koordinasi antara instansi terkait dan semua stakeholder,
sehingga terwujud hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara
manusia dan lingkungannya, mendukung pembangunan berkelanjutan di
lingkungan kawasan pelabuhan atau daerah lingkungan kerja pelabuhan.
Sesuai topik penulisan disertasi, maka pengembangan Pelabuhan Tanjung
Priok berwawasan lingkungan menjamin kelanjutan pengembangan pelabuhan
dalam jangka panjangsebagai bagian dari penerapan kebijakan pembangunan
berkelanjutan. Pelabuhan berwawasan lingkungan sebagai bagian komitmen
deklarasi pembangunan berkelanjutan sudah menjadi kebutuhan nyata setiap negara
33
maritim. Hal ini diakibatkan tingginya pencemaran laut yang salah satunya
diakibatkan aktivitas pelabuhan laut, yang menimbulkan dampak negatif secara
spesifik terhadap keselamatan pelayaran dan pencemaran laut. Pencemaran laut
pada umumnya diakibatkan oleh masuknya zat-zat pencemar ke perairan laut, baik
yang berasal dari laut maupun dari darat. Bertambahnya bahan pencemaran akibat
kegiatan di darat maupun di perairan akan berpengaruh terhadap ekosistem
organisme yang hidup di perairan tersebut. Setiap organisme mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam menyesuaikan dirinya dengan kondisi perairan,
tetapi suatu konsentrasi dari bahan pencemaran dapat menyebabkan kematian, dan
menghambat pertumbuhan suatu organisme. Demikian pula kandungan bahan
tertentu yang berlebihan juga dapat menimbulkan adanya salah satu golongan
berkembang sangat cepat, sehingga kondisi ini tidak menguntungkan bagi kondisi
perairan tersebut. Pada suatu perairan yang belum tercemar, biasanya dihuni oleh
komunitas biota, yang terdiri dari banyak jenis dengan populasi kecil atau sedang
dan sebaliknya dalam perairan yang tercemar, komunitas biotanya hanya terdiri dari
sedikit jenis dengan populasi yang besar. Sebagai dasar penilaian terhadap adanya
pengaruh atau dampak lingkungan berupa pencemaran laut yang telah terjadi di
perairan pelabuhan dapat dilihat dari hasil pemantauan lingkungan dengan
menggunakan Nilai Ambang Batas (NAB), yang merupakan kriteria baku mutu air
untuk biota laut (sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor Kep-02/MENLH/1998).
Pengaturan mengenai laut secara umum diatur dalam UNCLOS (United
Nations Convention on The Law of Sea 1982/UNCLOS, 1982) yang diratifikasi
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 dan dikenal dengan Hukum Laut
(Law of The Sea-1982). Secara umum negara-negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan ekologi laut, serta harus mengambil semua
tindakan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran laut dari
sumber apapun. Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, termasuk di
dalamnya pengembangan pelabuhan, akan terjadi benturan kepentingan antara
pembangunan dari sisi ekonomi disatu sisi, dengan pelestarian lingkungan disisi
lain. Benturan dari dua kepentingan tersebut menimbulkan dampak positif maupun
negatif. Pengembangan pelabuhan berwawasan lingkungan (ecoport) diharapkan
34
akan memberi solusi untuk mengatasi dampak negatif dari pembangunan pesat di
kawasan pelabuhan. Pelabuhan berwawasan lingkungan merupakan salah bentuk
komitmen Pemerintah Indonesia mendukung kesepakatan internasional pada
Deklarasi Johannesburg Summit dan Deklarasi World Ocean Converence di
Manado tahun 2009 tentang pembangunan berkelanjutan di bidang kelautan.
Indonesia telah memiliki program dan strategi pembangunan berkelanjutan di
bidang kelautan yang dituangkan ke dalam Agenda 21 Nasional. Di dalam program
tersebut termasuk pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan, di antaranya
kegiatan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian pelabuhan dan kegiatan
terkait lainnya.
Pengembangan pelabuhan berwawasan lingkungan tidak terlepas dari
pengoperasian pelabuhan yang ramah lingkungan. Aspek teknologi dari
pembangunan berkelanjutan dicerminkan oleh seberapa jauh pengembangan dan
pengoperasian kegiatan utama di kawasan pelabuhan dapat meningkatkan
pelayanan dan kualitas lingkungan pelabuhan, sehingga dapat meminimumkan
dampak negatif akibat dari kegiatan kepelabuhanan tersebut. Teknologi ramah
lingkungan diterapkan dalam pengurangan gas emisi CO2 dan pengelolaan limbah
dalam kegiatan pelabuhan, pemeliharaan infrastruktur, penghijauan lingkungan.
Terdapat dua elemen utama pelabuhan, yaitu (i) elemen sarana pelabuhan
atau kapal laut dan (ii) elemen prasarana dan fasilitas pelabuhan atau terminal laut.
Antara sarana dan prasarana pelabuhan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di
mana perkembangan teknologi sarana angkutan laut sedapat mungkin diimbangi
dengan perkembangan teknologi prasarana pelabuhan. Hal ini merupakan
konsekuensi dari timbulnya dimensi kecepatan dan keamanan dalam transportasi
laut. Pesatnya pertumbuhan sarana dan prasarana pelabuhan, termasuk alat
transportasi laut (perkapalan) dan transportasi darat (angkutan kontainer) serta
peralatan angkutan bongkar-muat barang menyebabkan penggunaan energi dalam
volume yang tinggi dan akan mengeluarkan gas emisi CO2 yang mencemari udara
kawasan pelabuhan. Hal tersebut di atas disadari menjadi salah satu penyebab
terjadinya perubahan iklim (climate change). Oleh sebab itu para pengelola
pelabuhan di dunia menyepakati untuk mempersyaratkan pengoperasian pelabuhan
dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan (environmentally port).
35
2.3.3 Program dan PedomanTeknis Pengembangan Ecoport di Indonesia
Program pengembangan pelabuhan berwawasan lingkungan merupakan
salah satu program dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan yangdinamai Program Bandar Indah (Ecoport). Program Bandar
Indah (Ecoport) adalah dalam rangka mengatasi berbagai masalah atau isu
lingkungan hidup di pelabuhan (misalnya penurunan kualitas air laut, pencemaran
udara dan kebisingan, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan kesehatan dan
keselamatan kerja). Program Bandar Indah secara sistemik dirancang dan
diimplementasikan oleh penyelenggara dan pengelola pelabuhan termasuk
stakeholder.
Sasaran Program Bandar Indah(Ecoport)adalah terwujudnya kompetensi di
bidang lingkungan bagi para pengelola dan penyelenggara pelabuhan, sehingga
mampu melakukan pengelolaan lingkungan pelabuhan, diantaranya :
1) Peningkatan kualitas kebersihan daratan dan perairan kolam daerah
lingkungan pelabuhan dengan cara menurunkan pencemaran yang masuk ke
pelabuhan, terutama limbah cair, sampah, sedimen, sanitary, dan limbah B3
(termasuk minyak).
2) Peningkatan tingkat kebersihan, keteduhan, dan keasrian lingkungan dalam
kawasan pelabuhan.
3) Peningkatan sarana pelayanan, keamanan, ketertiban, dan keselamatan
umum.
4) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia
pengelolalingkungan di kawasan pelabuhan.
5) Peningkatan kinerja pelayanan dan keselamatan kerja di pelabuhan.
6) Mengimplementasikan Peraturan dan Pedoman Teknis yang mendukung
pengelolaan lingkungan pelabuhan untuk terwujudnya kepastian hukum.
7) Meningkatkan peran aktif stakeholders dalam mewujudkan pelabuhan yang
berwawasan lingkungan.
Dalam perwujudan pelabuhan berwawasan lingkungan, Ditjen Perhubungan
Laut melakukan penilaian terhadap pengelolaan Pelabuhan Umum dan Pelabuhan
Khusus. Terkait dengan studi kasus Pelabuhan Tanjung Priok dirumuskan Pedoman
Teknis Pelabuhan Berwawasan Lingkungan dari Ditejen Perhubungan Laut tahun
2004 yang disajikan pada Tabel 2.
36
Tabel 2 Pedoman Teknis Pelabuhan Berwawasan Lingkungan
Komponen Lokasi Kriteria
a. Kondisi fisik air a. Muara sungai
b. Kolam pelabuhan
1. Tingkat kekeruhan
2. Lapisan minyak
3. Biotis perairan
4. Gulma air
5. Baku mutu kualitas perairan
b. Sampah 1. Volume
2. Jenis
c. Aktivitas di pinggiran
(industri/pemukiman)
1. Tempat buangan limbah domestik
2. Penataan baku mutu limbah
(industri/domestik)
d. Prasarana pelayanan umum
antara lain:
1. Tempat sampah
2. Selokan
3. Penataan
kios/toko/sarana publik
4. toilet
Pelabuhan/terminal
penumpang a.l: tempat jual
tiket, ruang tunggu, ruang
tunggu antar jemput,
perkantoran, restoran, toko,
toilet, dan prasarana umum
1. Jumlah tempat sampah
2. Jenis, volume
3. Kondisi kebersihan
4. Kondisi drainase pembuangan
e. Prasarana kegiatan
pelabuhan meliputi:
1. Tempat sampah
2. Peralatan pencegahan
pencemaran
3. Selokan
Tempat parkir, garasi/pool
kendaraan, pencucian
kendaraan dan peralatan
pengisian BBM, bengkel,
bongkar muat, gudang dan
prasarana pembantu kegiatan
pelabuhan
1. Jenis pencemar
2. Jumlah pencemar
3. Tingkat kelancaran aliran drainase
4. Ketersediaan peralatan pencegahan
pencemaran
f. Aktivitas pengerukan dan
penempatan bahan/hasil
pengerukan (reklamasi)
Lokasi pengerukan
Lokasi penempatan hasil keruk
1. Dokumen lingkungan
2. Dokumen risiko lingkungan
3. Penataan peraturan
g. Aktivitas penghancuran
kapal tua, penyimpanan
logam bekas, perbaikan dan
pemeliharaan kapal
Lokasi penanganan
penyimpanan dan
penghancuran kapal tua/besi
tua
Tipe/jumlah bahan pencemar, misal
cat pelarut, logam berat, asbestos,
minyak, sedimen, BBM, atau bahan
padat lainnya.
h. Aktivitas pengisian BBM
untuk kapal, kendaraan
bermotor, peralatan bongkar
muat
Lokasi pompa pengisian untuk
kapal, kendaraan bermotor,
dan peralatan bongkar muat
1. Kebocoran/rembesan
2. Jenis bahan pencemar
3. Volume kebocoran
4. Frekuensi/aktivitas pengisian BBM
i. Aktivitas perawatan kapal
dan peralatan kapal
Lokasi tempat perawatan dan
peralatan yang berkatan
perawatan kapal
1. Frekuansi perawatan kapal
2. Dokumen perawatan kapal
3. Tersedianya SOP baku atau
penataan peraturan terkait
j. Aktivitas pembangunan
dermaga, gudang, lapangan
penumpukan dan galangan
Lokasi pembangunan fasilitas
pelabuhan
1. Dokumen pembangunan fasilitas
2. Pola garis kedalaman
3. Besaran pendangkalan
4. Penataan peraturan terkait
k. Aktivitas operasional
fasilitas pelabuhan
Emisi udara dari kapal dan
udara di kawasan pelabuhan
1. Baku mutu kualitas udara di
kawasan pelabuhan
2. Penataan peraturan terkait l. Aktivitas operasional
fasilitas pelabuhan
1. Dermaga bongkar muat
2. Gudang
3. Lapangan penumpukan
1. Jumlah sampah/bahan pencemar
lainnya
2. Penataan baku mutu udara &
kebisingan
m. Fasilitas pengendalian
pencemaran
1. Lokasi Reception
Facilities (RF)
2. Lokasi fasilitas
penanggulangan tumpahan
minyak yang sifatnya
darurat
3. Lokasi peralatan
pengelolaan air ballast
1. Kondisi dan penanganan RF
2. Pemanfaatan RF
3. Pemeliharaan RF
4. Ketersediaan tempat pengumpulan
limbah padat dan cair
5. Ketersediaan oil boom dispresent,
oil skimmer pompa minyak dan
peralatan lain
37
Komponen Lokasi Kriteria
6. Adanya tumpahan minyak ke
perairan, atau pembuangan air ballast
kapal yang mengandung minyak
cukup banyak, serta adanya
organism tertentu yang dapat
menganggu perairan setempat
n. Fasilitas limbah tinja dan
IPAL
Lokasi limbah tinja dan IPAL 1. Kondisi
2. Pemanfaatan
3. Pemeliharaan
o. Kawasan perkantoran yang
berada di daerah lingkungan
kerja pelabuhan
Lokasi gedung kantor,
halaman kantor, jalan, selokan,
ruang terbuka hijau/taman
pelabuhan
1. Volume sampah lingkungan
2. Tersedianya tempat sampah
3. Jumlah pohon peneduh
4. Luas areal penghijauan
p. Estetika pelabuhan secara
umum, antara lain papan
nama, reklame, poster,
lampu penerangan, marka
jalan, ruang terbuka hjau,
tampilan ciri khas
Lokasi penempatan penunjang
keindangan dan keamanan
kawasan pelabuhan
1. Tata letak
2. Bentuk tampilan
3. Pemeliharaan
q. Sarana dan prasarana
keamanan dan keselamatan
umum
Lokasi pos keamanan, fasilitas
informasi keselamatan, rambu,
dan marka jalan
1. Kondisi terawat atau tidak terawat
2. Dimanfaatkan atau tidak
r. Sarana dan prasarana jalan Lokasi jalan utama, jalan
penghubung, dan jalan lokal
1. Jumlah sampah
2. Penanganan sampah
3. Tanaman penghijauan
4. Ketersediaan drainase
s. Sistem drainase meliputi
kondisi fisik, air, sampah,
dan fasilitas umum yang
menggunakan drainase
Semua lokasi fasilitas
pelabuhan yang menggunakan
sistem drainase
1. Tingkat kebersihan
2. Kondisi drainase
t. Kawasan industri yang
berada di daerah lingkungan
pelabuhan
Lokasi masing-masing industri
dalam kawasan pelabuhan
1. Volume/jenis limbah industri
2. Tingkat kelancaran drainase
3. Penataan peraturan terkait baku
mutu limbah cair, padat, atau B3
u. Perlindungan mamalia lat
dan habitat laut yang peka
Lokasi olah gerak kapal 1. Dokumentasi/laporan adanya
dampak pelayaran terhadap
mamalia/habitat yang peka
2. Jumlah personil yang mengikuti
training
3. Aktivitas kegiatan konservasi laut
yang terkait dampak pelayaran
(Sumber: Diolah dari Pedoman Teknis Pelabuhan Berwawasan Lingkungan (Ecoport),Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, 2004. (2011)
Pedoman pengumpulan data untuk penilaian Pelabuhan-pelabuhan di
Indonesia sebagai pelabuhan berwawasan lingkungan (ecoport) disajikan pada
Lampiran 1. Agar siklus ini tetap dapat berjalan dengan baik, manajemen
pelabuhan memilih pola manajemen yang efektif untuk menangani isu lingkungan
hidup seperti Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 atau Eco Management
and Adult Scheme (EMAS) atas Audit Lingkungan.Sistem Manajemen Lingkungan.
ISO 14001 adalah alat pengelolaan yang memungkinkan tiap organisasi untuk:
1) Identifikasi dan mengendalikan dampak lingkungan dari tiap kegiatan, hasil,
dan pelayanan dari setiap unit organisasi.
2) Meningkatkan kinerja bagian lingkungan secara berkelanjutan.
38
3) Implementasi pendekatan secara sistematis untuk mengatur tujuan dan
target dari organisasi.
Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan ProgramEcoport
yang diusulkan Ditjen Perhubungan Laut dengan istilah Bandar Indah, terbagi atas
aspek kelembagaan, aspek hukum, aspek pembiayaan dan aspek teknis
operasional.Keberhasilan programecoport di kawasan pelabuhan dapat melalui
tolok ukur penurunan beban pencemaran akibat limbah sampah, sanitary, dan B3
(termasuk minyak) dan terbentuknya kelembagaan yang kuat bagi pengendalian
pencemaran di lingkungan pelabuhan.
Manfaat positif yang dapat dirasakan dari keberhasilan
programecoportadalah manfaat ekonomi,perbaikan estetika,Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3),konservasi ekologi,integrasi dengan masyarakat lokal,dan
tercapainya keseimbangan ekonomi, sosial dan ekologi.Untuk itu diperlukan
penerapan secara bertahap, yaitumembangun jaringan kerja dan media pertukaran
informasi dengan pelabuhan lain, meningkatkan kepedulian lingkungan,
mensosialisasikan sistem manajemen, meningkatkan kompetensi untuk
menjalankan sistem, mengimplementasikan sistem manajemen lingkungan yang
dipilih, dan melakukan kegiatan pemantauan lingkungan secara berkala. Fasilitas
pengelolaanlingkungan di kawasan pelabuhan dalam pelaksanaan program
ecoportadalah:
1) Fasilitas pencegahan pencemaran : Alur/kanal untuk membersihkan air yang
terkontaminasi, zona pembatas (buffer zone) untuk pencegahan polusi, dan
fasilitas lain untuk pencegahan polusi di pelabuhan.
2) Fasilitas pembuangan limbah : kanal di areal pembuangan, fasilitas
pembungan limbah (padat dan cair), incinerator/carbonizer limbah,
penghancur limbah padat, fasilitas pembuangan limbah cair (minyak,
limbah sanitasi, dll), juga fasilitas lain untuk limbah-limbah lainnya.
3) Fasilitas perlindungan lingkungan : pantai yang bersih, tempat terbuka,
daerah hijau, landskap, ruang / tempat buang air, serta fasilitas lingkungan
lainnya.
4) Fasilitas kenyamanan : toilet, tempat singgah sementara, klinik kesehatan,
fasilitas rekreasi dan fasilitas lain untuk anak buah kapal dan pekerja
pelabuhan.
39
5) Fasilitas perkantoran pelabuhan : kantor pelabuhan, kantor untuk pengguna
jasa, fasilitas perkantoran lainnya.
Untuk pengelolaan lingkungan pelabuhan ecoport,maka Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut menetapkan standar program pengelolaan lingkungan pelabuhan
terlihat pada Bagan Alir yang disajikan padaGambar 4.
Standar program pengelolaan lingkungan pelabuhan pada Bagan Alir
tersebut di atas, selanjutnya dapat diterjemahkan pada sasarandan standarecoportdi
Indonesia yang dirumuskan pada Pedoman Teknis Ecoport di Indonesia
sebagaimana disajikan Tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3. Sasaran dan Standar Pelabuhan Berwawasan Lingkungan di Indonesia
No. Sasaran Standar
1 Peningkatan kualitas kebersihan daratan
dan perairan kolam pelabuhan
Kualitas lingkungan pelabuhan di
BawahAmbang Mutu (BAM) dan di bawah
standar Indeks Pencemaran (IP)
2 Peningkatan kebersihan, keteduhan dan
keasrian lingkungan kawasan pelabuhan
a. Penghijauan memenuhi standar
b. Kondisi fisik baik, teduh, nyaman, asri,
teratur dan tidak berisik
c. Rencana Tata Ruang sesuai Master Plan
Pelabuhan dan RTRW setempat
3
Peningkatan sarana pelayanan
lingkungan, keamanan, kebersihan dan
keselamatan umum
Sarana dan prasarana fisik terpenuhi, sehingga
pelayanan angkutan barang dan penumpang
lancar
4
Peningkatan kapasitas kelembagaan
pengelolaan lingkungan kawasan
pelabuhan
Kelembagaan terkoordinasi secara baik
termasuk dalam pengelolaan dan pengendalian
lingkungan
5
Peningkatan kinerja pelayanan,
keamanan dan keselamatan kerja di
pelabuhan
Kecelakaan seminimal mungkin
Sumber : Diolah dari Pedoman Teknis Ecoport di Indonesia, Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut Kementerian Perhubungan RI, 2004.(2011)
Program Pengelolaan Pelabuhan
Program Pengelolaan Lingkungan
Pelabuhan
Program Ecoport
Sarana dan Tolok Ukur Aspek Program
Terkait
dengan
Operasional
Pembiayaan
Kegiatan
Lingkungan
- Hukum
Ketentuan
Pelaksanaan
- Penegakan
Hukum
- Peningkatan
Kebersihan,
Kenyamana,
Kesehatan,
Keselamatan,
di pelabuhan
- Berkurangnya
Dampak
Lingkungan
di Pelabuhan
- Kelembagaa
n dan
Personil
- Peningkatan
Partisipasi
Stakeholder
yang terlibat
dalam
Pengelolaan
Lingkungan
- PeningkatanK
apasitas
Kelembagaan
Bidang
Lingkungan
Gambar 4. Bagan Alir Standar Pengelolaan Lingkungan Pelabuhan
(Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pedoman Teknis Ecoport di Indonesia, 2004)
40
Sebagai sasaran awal penerapan programecoportyang disebut progam
Bandar Indahadalah pada 20 pelabuhan di Indonesia,dan salah satu di antaranya
untuk pelabuhan umumadalah untuk Pelabuhan Tanjung Priokdan untuk pelabuhan
khusus adalah pelabuhan Pertamina di Balongan dan Bontang.
2.4 Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Arus Barang
Pengembangan pelabuhan sangat terkait dengan kebijakan pembangunan
ekonomi regional, khususnya pertumbuhan ekonomi regional. Pertumbuhan eknomi
regional adalah pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
pertumbuhan pendapatan regional. Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah
nilai tambah bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di wilayah
tersebut. Pendapatan regional adalah produk domestik regional netto atas dasar
biaya faktor dikurangi aliran dana yang keluar ditambah aliran dana yang mengalir
masuk. Perhitungan pendapatan regional dilakukan dengan metode langsung dan
metode tidak langsung. Metode langsung adalah dengan menggunakan data daerah
atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data
yang ada di daerah regional itu sendiri. Metode tidak langsung menggunakan data
dari sumber nasional yang dialokasikan ke masing-masing daerah (Tarigan, 2004).
Di dalam studiJapan International Cooperation Agency (JICA)tentang
pengembangan pelabuhan di kota Metropolitan Jakarta yaituThe Study for
Development of the Greater Jakarta Metropolis Port in the Republic of Indonesia,
untuk menghitung proyeksipertumbuhan arus barang melalui Pelabuhan Tanjung
Priok dilakukan pendekatan dengan teori basis ekonomi ekspor (JICA, 2003). Teori
basis ekonomi ekspor (economic export base theory)menyatakan bahwa laju
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor
atau pertumbuhan arus barang yang diangkut dan dikeluarkan dari wilayah tersebut.
Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah arus barang/produk/jasa ke luar
wilayah lain dalam negara itu, maupun ke luar negeri.Kegiatan basis yang dibagi
atas pendapatan dan lapangan kerja adalah fungsi dari permintaan yang bersifat
exogenous, atau tidak tergantung pada kekuatan intern permintaan lokasi
perekonomian wilayah, sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan
lainnya (Tarigan, 2004).Proyeksipertumbuhan arus barang dari dan ke pelabuhan
merupakan pertimbangan utama dalam merencanakan pengembangan suatu
41
pelabuhan. Proyeksipertumbuhan arus barang dari dan ke Pelabuhan Tanjung Priok
dicerminkan oleh pertumbuhan ekonomi daerah belakangnya. Pertumbuhan
ekonomi daerah belakang Pelabuhan Tanjung Priok sendiri tercermin dari
pertumbuhan kegiatan perdagangan dan jasa serta pertumbuhan kegiatan industri di
dalam dandi luar kawasan industri.
2.5 Aspek Sosial Pertumbuhan Pelabuhan
Aspek sosial ekonomi pelabuhan dan kawasan penyangga meliputi kondisi
aspek sosial pekerja di kawasan pelabuhan dan aspek sosial ekonomi masyarakat
kawasan penyangga pelabuhan. Aspek sosial di kawasan pelabuhan adalah aspek
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) para pekerja di pelabuhan dan kondisi
keamanan pelabuhan. Semakin sedikit tindak kecelakaan di pelabuhan berarti
semakin tinggi aspek sosialnya. Menurut The International Save and Port Facility
Security Code (ISPS Code, 2005), tiap pelabuhan wajib meminimalkan gangguan
dan penundaan bagi para penumpang, kapal, pengunjung dan personil kapal,
barang-barang, dan jasa. Di dalam penilaian keamanan fasilitas pelabuhan terdapat
beberapa unsur, yaitu:
1) Identifikasi dan evaluasi tentang infrastruktur dan aset penting yang harus
dilindungi
2) Identifikasi tentang kemungkinan ancaman terhadap aset dan infrastruktur
dan memprioritaskan tindakan keamanan
3) Identifikasi pemilihan dan prioritas tindakan balik, pertahanan, dan
perubahan prosedur dalam mengurangi sifat rentan terhadap serangan
4) Identifikasi kelemahan termasuk faktor manusia di dalam infrastruktur
kebijakan dan prosedur
Keberadaan dan pertumbuhan pelabuhan memberikan dampak sosial
ekonomi terhadap masyarakat di kawasan sekitar pelabuhan sebagai kawasan
penyangga pelabuhan. Dampak sosial ekonomidari pertumbuhan pelabuhan
terhadap eksistensi masyarakat meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan
daya absorbsi masyarakat. Eksistensi masyarakat diukur dari standar perilaku
masyarakat di kawasan sekitar pelabuhan, dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan
pelabuhan, berupa aturan yang harus ditaati anggota masyarakat, baik antara
individu dengan individu, antar individu dengan kelompok, maupun antar
42
kelompok dengan kelompok lain. Aturan di dalam masyarakat dimaksud di atas
dapat berbentuk nilai, norma, hukum, dan aturan-aturan khusus. Kondisi sosial
ekonomi masyarakat disekitar kawasan pelabuhan yang dipengaruhi keberadaan
dan pertumbuhan ekonomi pelabuhanadalah berupa pertumbuhan kesempatan kerja
di berbagai sektor pelabuhan dan non pelabuhan, pertumbuhan tingkat pendapatan
masyarakat dan peningkatan kondisi kesehatan masyarakat di kawasan sekitar
pelabuhan. Pertumbuhan pelabuhan juga mempengaruhi daya absorbsi masyarakat.
Asumsi bahwa suatu lingkungan masyarakat mempunyai suatu daya absorbsi, yaitu
daya serap atau peredam terhadap gejolak sosial yang dapat menimbulkan
goncangan akibat adanya perubahan dan pertumbuhan yang sangat cepat (1985).
Perubahan dan pertumbuhan kawasan yang sangat cepat di sekitar kawasan
pelabuhan besar seperti Pelabuhan Tanjung Priok, dapat menimbulkan gejolak
sosial masyarakat sekitar pelabuhan. Akan tetapi gejolak sosial masyarakat itu
dapat diredam oleh daya absorsi dari masyarakat di lingkungan setempat, walaupun
masyarakat tersebut terdiri dari berbagai kelompok dan golongan atau merupakan
masyarakat heterogen. Kondisi dan situasi masyarakat disekitar kawasan Pelabuhan
Tanjung Priok merupakan salah satu subjek penelitian studi dari analisis dampak
sosial ekonomi pengembangan Pelabuhan Tanjung Priokyang berwawasan
lingkungan.
2.6 Penataan Ruang Kawasan Pelabuhan
Batas kawasan pelabuhan yang ditetapkan sesuai PP No.61 tahun 2009
tentang Kepelabuhanan adalahBatas-Batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah
Lingkungan Kepentingan Pelabuhan berdasarkan Rencana Induk yang telah
disahkan. Batas-batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan
Kepentingan Pelabuhan pada umumnya ditetapkan dengan koordinat geografi untuk
menjamin keselamatan pelayaran. Daerah Lingkungan Kerja Daratan Pelabuhan
digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan fasilitas pokok
seperti dermaga, gudang, terminal, lapangan penumpukan dan lain-lain serta
fasilitas penunjang seperti perkantoran, pengembangan pelabuhan, dan
perdagangan. Daerah Lingkungan Kerja Perairan Pelabuhan digunakan untuk
kegiatan alur pelayaran, perairan tempat labuh, perairan untuk tempat alih muat
antar kapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal,
43
kegiatan tempat perbaikan kapal dan lain-lain. Daerah Lingkungan Kepentingan
Pelabuhan merupakan perairan pelabuhan di luar daerah lingkungan kerja perairan,
yang digunakan untuk alur pelayaran dari dan ke pelabuhan, keperluan keadaan
darurat, pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan kapal mati,
kegiatan pemanduan dan fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal. Kawasan
pelabuhan sesuai batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan
Kepentingan Pelabuhan memerlukan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana
Rinci Tata Ruang Kawasan.
Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mendefinisikan tata ruang sebagai wujud struktur ruang dan pola ruang. Ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk
lain hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Untuk evaluasi
perencanaan tata ruang laut termasuk kawasan pelabuhan tidak bisa dilihat ruang
per ruang sebagai satu per satu wilayah geografis, melainkan sebagai satu kesatuan
yang saling terkait satu sama lain atau memiliki keterpaduan. Isu pembangunan
berkelanjutan sejak Agenda 21 mengharuskan penataan ruang untuk
mempertimbangkan dasar-dasar pendekatan area kelautan terintegrasi.
Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030 pasal 80,
dibuat salah satu rencana, yaitu pengembangan kawasan khusus. Penetapan
kawasan khusus ini didasarkan pada kedudukan, peran dan fungsi Jakarta sebagai
Ibukota Negara Republik Indonesia dan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Penataan ruang kawasan khusus
diselenggarakan guna optimalisasi fungsi-fungsi khusus kawasan-kawasan tertentu
yang mempunyai peran dan fungsi mendukung Jakarta sebagai Ibukota Negara RI.
Pengelolaan kawasan khusus dapat langsung dilakukan oleh Pemerintah atau dapat
dikelola bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Salah
satu kawasan khusus di DKI Jakarta adalah Tanjung Priok yang ditetapkan sebagai
kawasan khusus pelabuhan.
44
Sistem penataan ruang daratan hendaknya terintegrasi dengan sistem
penataan ruang laut untuk menjamin terpadunya pengelolaan darat dan lautan.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir, maka Tata Ruang Laut dalam definisinya dapat diartikan sebagai sebuah
rencana strategis mengenai pengaturan, pengelolaan, dan perlindungan lingkungan
laut dari berbagai kepentingan kumulatif, yang berpotensi akan menimbulkan
konflik di area penggunaan laut. Perencanaan tata ruang kawasan pelabuhan sebagai
salah satu bagian dari wilayah pesisir memerlukan ketersediaan data dan informasi
yang akurat, obyektif dan siap dipakai serta mudah diakses dalam bentuk Sistem
Informasi Geografis. Untuk perencanaan pengembangan suatu kawasan, termasuk
kawasan pelabuhan diperlukan analisis kesesuaian pemanfaatan ruang fungsi-fungsi
eksisting dengan Rencana Tata Ruang yang ada dengan metode Sistem Informasi
Geografis. Berdasarkan SK Menteri Perhubungan No. PM 42 Tahun 2011, rencana
pengembangan Pelabuhan Tanjung Priok dilakukan berdasarkan tahapan, yaitu:
1) Jangka pendek, dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015
2) Jangka menengah, dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2020
3) Jangka panjang, dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2030
Rencana penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk di kawasan ini adalah
untuk keperluan peningkatan pelayanan jasa kepelabuhanan, pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan kegiatan ekonomi lainnya serta pengembangan Pelabuhan
Tanjung Priok dan sekitarnya.
2.7 Kelembagaan Kepelabuhanan
Kelembagaaan merupakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Kelembagaan
dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-
anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik
yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar (Rutherford,
1994).Kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni :
1) Aturan formal (formal institusions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan
seluruh regulasi pemerintah lainnya.
45
2) Aturan informal (informal institusions), meliputi pengalaman, nilai-nilai
tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi
subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka,
3) Mekanisme penegakan hukum (enforcement mechanism).
Kelembagaan menyangkut kepelabuhanan mengalami berkali-kali perubahan,
terakhir dengan diterbitkannya UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, pengganti
UU No.21 tahun 1992 tentang Pelayaran yang lama dan PP Nomor 61 tahun 2009
tentang Kepelabuhanan pengganti PP Nomor 69 tahun 2001 tentang Kepelabuhanan
lama. Terdapat perubahan yang mendasar dari aspek kelembagan di dalam
pengelolaan kepelabuhanan, yaitu dipisahkannya antara fungsi regulator(pengaturan)
dengan fungsi operator(pengoperasian), termasuk diantaranya pemisahan dalam
fungsi pengambilan kebijakan dan fungsi operasional pengelolaan dan pengendalian
lingkungan di kawasan pelabuhan di Indonesia. Di berbagai negara terdapat berbagai
status dan bentuk kelembagaan pengelolaan pelabuhan.Pengelolaan pelabuhan ada
yang dikelola Pemerintah Pusat dan ada yang dikelola Pemerintah Daerah atau Kota
dan ada yang dikelola Badan Usaha, baik itu Badan Usaha Milik Negara maupun
Badan Usaha Milik Swasta, dan ada yang dikelola berupa bentuk Otorita. Beberapa
pelabuhan besar di dunia seperti Pelabuhan Rotterdam dikelola oleh Pemerintah
Daerah/Kota Rotterdam dengan membentuk Otorita, yaitu RotterdamPort Of
Authority, dan pelabuhan Singapura dikelola oleh Pemerintah Pusat merangkap
Pemerintah Kota, karena Singapura selaku sebuah negara sekaligus sebuah kota,
dengan membentuk Otorita yaitu Port of Singapore Authority.
Untuk kelembagaan pelabuhan di Indonesia dengan diterbitkannya Undang-
Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah No 61 Tahun
2009 tentang Kepelabuhanan, telah dilakukan pemisahan antara Otoritas Pelabuhan
sebagai regulator dan PT Pelindo (Persero), Badan Usaha Pelabuhan dan Unit
Penyelenggara Pelabuhan (UPP) sebagai terminal operator di lingkungan pelabuhan
di seluruh Indonesia. Khusus untuk Pelabuhan Tanjung Priok telah dibentuk Otoritas
Pelabuhan Tanjung Priok sesuai dengan dengan Keputusan Menteri Perhubungan
No. PM 63/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Otoritas
PelabuhanTanjung Priok, sehingga telah ada pemisahan fungsi regulator di
Pelabuhan Tanjung Priok dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok dan PT
Pelindo II (Persero) berfungsi hanya sebagai terminal operator.