1979-pp-032-pemberhentian pegawai negeri sipil · penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi di ......
TRANSCRIPT
SALINAN
MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2016
TENTANG
STATUTA UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan acuan pengelolaan dan
penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi di
lingkungan Universitas Lambung Mangkurat, perlu
menetapkan Statuta Universitas Lambung Mangkurat;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 29
ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan Perguruan Tinggi, perlu menetapkan Statuta
Universitas Lambung Mangkurat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi tentang Statuta Universitas Lambung Mangkurat;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5336);
- 2 -
2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan
Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5500);
3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 14);
4. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 mengenai
Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri
Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019;
5. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
139 Tahun 2014 tentang Pedoman Statuta dan
Organisasi Perguruan Tinggi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1670);
6. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan
Tinggi Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 1) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan Dan
Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur Pada Perguruan
Tinggi Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 3);
7. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Nomor 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi 2016 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 889);
8. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Nomor 42 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Universitas Lambung Mangkurat (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2078);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN
PENDIDIKAN TINGGI TENTANG STATUTA UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Universitas Lambung Mangkurat, yang selanjutnya dalam
Peraturan Menteri ini disebut UNLAM adalah perguruan
tinggi negeri yang menyelenggarakan program pendidikan
akademik dan dapat menyelenggarakan program
pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun ilmu
pengetahuan dan/atau teknologi, serta jika memenuhi
syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.
2. Statuta Universitas Lambung Mangkurat yang
selanjutnya disebut Statuta adalah peraturan dasar
pengelolaan UNLAM yang digunakan sebagai landasan
penyusunan peraturan dan prosedur operasional di
UNLAM.
3. Pendidikan Akademik adalah pendidikan tinggi program
sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan
pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4. Pendidikan Vokasi adalah pendidikan tinggi program
diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan
dengan keahlian terapan tertentu sampai program
sarjana terapan.
5. Pendidikan Profesi adalah pendidikan tinggi setelah
program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam
pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian
khusus.
6. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang
terdiri atas dosen dan mahasiswa.
- 4 -
7. Senat adalah Senat UNLAM sebagai unsur penyusun
kebijakan yang menjalankan fungsi penetapan,
pengawasan dan pertimbangan pelaksanaan kebijakan di
bidang akademik.
8. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
9. Warga Kampus adalah dosen, tenaga kependidikan, dan
mahasiswa yang memiliki kewajiban menjunjung tinggi
etika keilmuan dan profesi, berdisiplin serta memiliki
integritas kepribadian dalam melaksanakan tugas.
10. Rektor adalah Rektor UNLAM.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan tinggi.
BAB II
IDENTITAS
Pasal 2
(1) UNLAM merupakan perguruan tinggi negeri di
lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi yang berkedudukan di Kota Banjarmasin dan Kota
Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
(2) Kampus UNLAM berada di Kota Banjarmasin dan Kota
Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
(3) UNLAM berasal dari perguruan tinggi swasta yang
bernama Universitas Lambung Mangkurat yang didirikan
pada tanggal 21 September 1958 oleh Panitia Persiapan
Pembentukan Universitas Lambung Mangkurat yang
kemudian diserahterimakan kepada Yayasan Perguruan
Tinggi Lambung Mangkurat yang didirikan dengan Akte
Notaris No. 57 tanggal 12 Februari 1959.
- 5 -
(4) UNLAM dinegerikan pada tanggal 1 November 1960
dengan nama Universitas Lambung Mangkurat
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1960 tanggal 29 Oktober 1960 tentang Pendirian
Universitas Lambung Mangkurat.
Pasal 3
(1) UNLAM mempunyai lambang berbentuk segilima
berwarna dasar kuning keemasan yang didalamnya
terdapat lingkaran berwarna merah yang bertuliskan
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT berwarna putih
dan di dalam lingkaran terdapat gambar burung enggang
berwarna hitam kebiruan berparuh merah dan bersayap
putih, dengan bulu leher berjumlah 21 (dua puluh satu)
lembar, bulu ekor berjumlah 9 (sembilan) lembar, bulu
sayap dan dada berjumlah 58 (lima puluh delapan)
lembar, dikelilingi sinar dengan paduan warna putih dan
kuning keemasan, serta di bawah gambar burung
terdapat gambar gong yang didalamnya terdapat lipan
berwarna putih dan merah.
(2) Lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
makna:
a. segilima bermakna lima dasar Pancasila yang
menjadi falsafah hidup berbangsa dan bertanah air
Indonesia;
b. lingkaran bermakna kebahagiaan di dunia dan
akhirat;
c. burung enggang melambangkan kekuasaan, prinsip,
dan tanggung jawab;
d. bulu leher berjumlah 21 (dua puluh satu) lembar
melambangkan tanggal berdirinya UNLAM;
e. bulu ekor berjumlah 9 (sembilan) lembar
melambangkan bulan kelahiran UNLAM;
f. bulu sayap dan dada berjumlah 58 (lima puluh
delapan) lembar melambangkan tahun kelahiran
UNLAM;
g. gong bermakna pembawa pesan kehidupan;
- 6 -
h. lipan bermakna kejayaan sampai akhir masa;
i. sinar bermakna cahaya penerang kehidupan;
j. warna merah dan putih bermakna nasionalisme;
k. warna kuning keemasan bermakna kemegahan; dan
l. warna hitam kebiruan bermakna keteguhan jiwa.
(3) Warna dan kode warna lambang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai berikut:
No Lambang Warna Kode Warna/RGB
(Red-Green-Blue)
1. segilima kuning
keemasan
255-215-00
2. lingkaran merah darah 255-00-00
3. tulisan
Universitas
Lambung
Mangkurat
putih 255-255-255
4. burung enggang hitam
kebiruan
00-00-139
(4) Lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai
berikut:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan
lambang diatur dalam Peraturan Rektor.
Pasal 4
(1) UNLAM memiliki bendera berbentuk empat persegi
panjang dengan ukuran panjang berbanding lebar 3:2
(tiga banding dua) berwarna dasar kuning dengan kode
warna RGB CF FA 07 dan ditengahnya terdapat lambang
UNLAM.
- 7 -
(2) Bendera UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebagai berikut:
(3) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan bendera
UNLAM diatur dalam Peraturan Rektor.
Pasal 5
(1) Fakultas dan Pascasarjana memiliki bendera berbentuk
empat persegi panjang dengan ukuran panjang
berbanding lebar 3:2 (tiga banding dua) dengan warna
dasar yang berbeda pada masing-masing Fakultas, dan
ditengahnya terdapat lambang UNLAM serta di bawah
lambang UNLAM terdapat tulisan sesuai dengan nama
Fakultas atau Pascasarjana.
(2) Bendera Fakultas dan Pascasarjana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. bendera Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
berwarna dasar ungu dan warna hijau dengan
gambar sebagai berikut:
- 8 -
b. bendera Fakultas Hukum berwarna dasar merah
dengan gambar sebagai berikut:
c. bendera Fakultas Ekonomi dan Bisnis berwarna
dasar abu-abu dengan gambar sebagai berikut:
d. bendera Fakultas Ilmu Sosial dan Politik berwarna
dasar oranye dengan gambar sebagai berikut:
e. bendera Fakultas Pertanian berwarna dasar dark
magenta, hijau tua, dan biru dengan gambar sebagai
berikut:
- 9 -
f. bendera Fakultas Kehutanan berwarna dasar biru
tua, merah keungu-unguan, hijau laut medium
dengan gambar sebagai berikut:
g. bendera Fakultas Perikanan dan Kelautan berwarna
dasar ungu, merah keungu-unguan, dan biru langit
dengan gambar sebagai berikut:
h. bendera Fakultas Teknik berwarna dasar biru tua
dengan gambar sebagai berikut:
i. bendera Fakultas Kedokteran berwarna dasar hijau
dengan gambar sebagai berikut:
j. bendera
Fakultas
- 10 -
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam berwarna
dasar putih dengan gambar sebagai berikut:
k. bendara Fakultas Kedokteran Gigi berwarna dasar
medium orchid dengan gambar sebagai berikut:
l. bendera Pascasarjana berwarna dasar merah bata
dan warna biru dengan gambar sebagai berikut:
(3) Warna dasar bendera Fakultas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sebagai berikut:
Fakultas Warna Kode Warna/RGB
(Red-Green-Blue)
Fakultas Keguruan
dan Ilmu
Pendidikan
ungu 128-0-128
hijau 0-128-0
Fakultas Hukum merah 255-00-00
Fakultas Ekonomi
dan Bisnis abu-abu 128-128-128
Fakultas Ilmu oranye 255-69-00
- 11 -
Sosial dan Politik
Fakultas Pertanian
dark
magenta 139-0-139
hijau tua 00-100-00
biru 0-191-255
Fakultas
Kehutanan
biru tua 25-25-112
ungu tua 86-00-86
hijau laut
medium 60-179-113
Fakultas Perikanan
dan Kelautan
ungu 128-0-128
ungu tua 86-00-86
biru
langit 30-144-255
Fakultas Teknik biru tua 25-25-112
Fakultas
Kedokteran Hijau 00-80-00
Fakultas
Matematika dan
Ilmu Pengetahuan
Alam
putih 255-255-255
Fakultas
Kedokteran Gigi
medium
orchid 186-85-211
Pascasarjana
merah
bata 178-34-34
biru 0-191-255
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bendera
diatur dalam Peraturan Rektor.
- 12 -
Pasal 6
(1) UNLAM memiliki himne dan mars.
(2) Himne UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebagai berikut:
- 13 -
(3) Mars UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebagai berikut:
(4) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan Himne dan
Mars UNLAM diatur dalam Peraturan Rektor.
- 14 -
Pasal 7
(1) UNLAM memiliki busana akademik dan busana
almamater.
(2) Busana akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa toga, topi, kalung, dan atribut lainnya.
(3) Busana almamater sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa jaket berwarna kuning dan di bagian dada kiri
terdapat lambang UNLAM.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
penggunaan busana akademik dan busana almamater
diatur dalam Peraturan Rektor.
BAB III
PENYELENGGARAAN TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI
Bagian Kesatu
Pendidikan
Pasal 8
(1) UNLAM menyelenggarakan Pendidikan Akademik,
Pendidikan Vokasi, dan Pendidikan Profesi.
(2) Pendidikan Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi program sarjana, program magister, dan
program doktor.
(3) Pendidikan Vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi program diploma dan/atau sarjana terapan.
(4) Pendidikan Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi program profesi dan/atau program spesialis.
Pasal 9
(1) Tahun akademik UNLAM dimulai pada bulan September
dan berakhir pada bulan Agustus tahun berikutnya.
(2) Tahun akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. semester gasal; dan
b. semester genap.
- 15 -
(3) Semester gasal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dimulai pada minggu pertama bulan September
dan berakhir pada minggu terakhir bulan Februari tahun
berikutnya.
(4) Semester genap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dimulai pada minggu pertama bulan Maret tahun
berikutnya dan berakhir pada minggu terakhir bulan
Agustus.
(5) Ketentuan mengenai pelaksanaan tahun akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) diatur dalam Peraturan Rektor setelah mendapat
pertimbangan Senat.
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan pendidikan di UNLAM dilaksanakan
dengan sistem kredit semester (SKS).
(2) Sistem kredit semester (SKS) merupakan satuan sistem
penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan
satuan kredit semester (sks) untuk menyatakan beban
studi mahasiswa, beban kerja dosen, pengalaman belajar,
dan beban penyelenggaraan program.
(3) Program pendidikan vokasi dan profesi dapat
menerapkan sistem kredit semester (SKS) atau sistem
paket sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaran
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Rektor setelah mendapat
pertimbangan Senat.
Pasal 11
(1) Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan belajar
dan pembelajaran disusun sesuai dengan kebutuhan
serta ruang lingkup disiplin ilmu dalam program studi
yang terkait dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
- 16 -
(2) Kurikulum UNLAM dikembangkan dan dilaksanakan
berbasis kompetensi.
(3) Kurikulum terdiri atas bahan kajian/mata kuliah yang
disusun sesuai dengan ruang lingkup program studi.
(4) Kurikulum disusun dan dikembangkan oleh masing-
masing program studi sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni yang mengacu standar
nasional pendidikan tinggi.
(5) Kurikulum ditinjau secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
kurikulum diatur dalam Peraturan Rektor setelah
mendapat pertimbangan Senat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Perkuliahan diselenggarakan sesuai dengan jadwal
perkuliahan yang ditetapkan setiap semester.
(2) Bentuk perkuliahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. kuliah;
b. responsi dan tutorial;
c. seminar; dan
d. praktikum, praktik studio, praktik bengkel, atau
praktik lapangan.
(3) Perkuliahan dapat berbentuk pembelajaran di kampus,
pembelajaran jarak jauh, pembelajaran elektronik,
dan/atau pembelajaran inovatif lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan perkuliahan diatur dalam Peraturan
Rektor setelah mendapat pertimbangan Senat.
Pasal 13
(1) UNLAM dapat menyelenggarakan pendidikan jarak jauh.
(2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan
- 17 -
secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media
komunikasi.
(3) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan:
a. memberikan layanan pendidikan tinggi kepada
kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti
pendidikan secara tatap muka atau reguler; dan
b. memperluas akses serta mempermudah layanan
pendidikan tinggi dalam pendidikan dan
pembelajaran.
(4) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai
bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana
dan layanan belajar serta sistem penilaian yang
menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan Tinggi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Rektor
setelah mendapat pertimbangan Senat.
Pasal 14
(1) Penilaian hasil belajar merupakan proses evaluasi
terhadap kemajuan belajar mahasiswa dan untuk
mengetahui taraf pencapaian kompetensi mahasiswa
yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas penilaian proses dan penilaian hasil belajar.
(3) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara berkala, menyeluruh, dan berkesinambungan
dalam bentuk ujian, pelaksanaan tugas, dan/atau
bentuk penilaian lainnya.
(4) Ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
melalui ujian tengah semester, ujian akhir semester, dan
ujian tugas akhir.
(5) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan melalui tugas terstruktur, mandiri, dan/atau
kelompok.
- 18 -
(6) Pemberian nilai hasil belajar dinyatakan dengan huruf A,
B+, B, C+, C, D, dan E yang masing-masing bernilai 4
(empat), 3,5 (tiga koma lima), 3 (tiga), 2,5 (dua koma
lima), 2 (dua), 1 (satu), dan 0 (nol).
(7) Hasil belajar mahasiswa dalam suatu semester
dinyatakan dengan Indeks Prestasi (IP).
(8) Hasil belajar mahasiswa dalam suatu masa studi
dinyatakan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).
(9) Penghargaan akademik dengan pujian (cumlaude) dapat
diberikan kepada lulusan dengan IPK > 3,50 (tiga koma
lima nol) dengan masa studi tepat waktu.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian hasil belajar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(9) diatur dalam Peraturan Rektor setelah mendapat
pertimbangan Senat.
Pasal 15
(1) Mahasiswa dinyatakan lulus pada suatu jenjang
pendidikan setelah menempuh mata kuliah yang
dipersyaratkan, berhasil mempertahankan karya akhir
studi yang berupa tugas akhir, dan persyaratan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan lain kelulusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Rektor setelah mendapat pertimbangan Senat.
Pasal 16
(1) Pada akhir penyelenggaraan program pendidikan
akademik diadakan upacara wisuda.
(2) Pada akhir penyelenggaraan pendidikan profesi diadakan
pengucapan sumpah profesi.
(3) Upacara wisuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dalam rangka pengukuhan lulusan dan
penyerahan ijazah.
- 19 -
(4) Upacara wisuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan apabila jumlah peserta wisudawan
mencapai jumlah tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wisuda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan (4) diatur dalam
Peraturan Rektor setelah mendapat pertimbangan Senat.
Pasal 17
(1) Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar
dalam penyelenggaraan pendidikan di lingkungan
UNLAM.
(2) Bahasa Inggris, bahasa asing lainnya dan bahasa daerah
dapat digunakan sebagai bahasa pengantar, baik dalam
penyelenggaraan pendidikan maupun dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau pelatihan
keterampilan tertentu untuk lebih meningkatkan daya
guna dan hasil guna proses pembelajaran.
Pasal 18
(1) Mahasiswa UNLAM merupakan peserta didik pada jenjang
pendidikan tinggi di UNLAM.
(2) UNLAM dapat menerima mahasiswa berwarga negara
asing paling banyak 10% (sepuluh persen) pada Program
Studi Pendidikan Dokter (PSPD) dan paling banyak 20%
(dua puluh persen) pada program studi di luar Studi
Pendidikan Dokter (PSPD) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penerimaan mahasiswa baru di UNLAM diselenggarakan
melalui jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru dan
penelusuran minat dan/atau kemampuan lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penerimaan mahasiswa baru di UNLAM diselenggarakan
dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku,
ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi
dan dilakukan tetap memperhatikan kekhususan di
lingkungan UNLAM.
- 20 -
(5) UNLAM dapat menerima mahasiswa berkebutuhan
khusus sesuai dengan sarana dan prasarana yang
tersedia.
(6) UNLAM menerima mahasiswa baru lulusan Sekolah
Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah
Kejuruan, dan/atau satuan pendidikan lain yang
sederajat.
(7) UNLAM dapat menerima mahasiswa pindahan dari satu
program studi ke program studi lain di dalam UNLAM
atau dari perguruan tinggi lain yang terakreditasi sesuai
dengan persyaratan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan mahasiswa
UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Rektor setelah
mendapat pertimbangan Senat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
UNLAM berupaya mencari dan menjaring calon mahasiswa
yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu
secara ekonomi dan calon mahasiswa daerah terdepan,
terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan
tersebar pada semua program studi.
Bagian Kedua
Penelitian
Pasal 20
(1) Kegiatan penelitian di UNLAM merupakan kegiatan
terpadu untuk menunjang kegiatan pendidikan,
pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Kegiatan penelitian yang diselenggarakan di UNLAM
mencakup penelitian dasar, penelitian terapan, penelitian
pengembangan, penelitian kebijakan, dan/atau penelitian
industri.
- 21 -
(3) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengikuti kaidah dan etika keilmuan
pada bidang yang ditekuni.
(4) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dosen, tenaga kependidikan, dan dapat
melibatkan mahasiswa.
(5) Mahasiswa dapat melaksanakan penelitian dalam rangka
proses pembelajaran di bawah bimbingan dosen.
(6) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui kerja sama dengan institusi lain
dan/atau masyarakat, baik secara kelompok maupun
perorangan.
(7) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, menunjang
pembangunan daerah, serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
(8) Hasil penelitian UNLAM diarahkan untuk mendapatkan
hak kekayaan intelektual (HKI).
(9) Hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara
diseminarkan, dipublikasikan, dan/atau dipatenkan.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penelitian
diatur dalam Peraturan Rektor setelah mendapat
pertimbangan Senat.
Bagian Ketiga
Pengabdian kepada Masyarakat
Pasal 21
(1) Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan
sivitas akademika dalam mengamalkan dan menerapkan
hasil penelitian.
(2) Pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan
oleh UNLAM bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat.
- 22 -
(3) Mahasiswa UNLAM dapat melaksanakan pengabdian
kepada masyarakat dalam rangka proses pembelajaran di
bawah bimbingan dosen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
kegiatan pengabdian kepada masyarakat diatur dalam
Peraturan Rektor setelah mendapat pertimbangan Senat.
Bagian Keempat
Kode Etik dan Etika Akademik
Pasal 22
(1) Warga kampus UNLAM menjunjung tinggi kode etik yang
memuat nilai moral, kesusilaan, kejujuran, kaidah
keilmuan, dan profesi serta memiliki disiplin dan
integritas kepribadian dalam melaksanakan tugas.
(2) Sivitas akademika UNLAM wajib menjunjung tinggi etika
akademik dan etika profesi.
(3) Etika akademik merupakan panduan perilaku yang
dianut UNLAM dituangkan dalam suatu kode etik untuk
seluruh warga kampus.
(4) Warga kampus UNLAM yang melakukan kegiatan atas
nama pribadi atau kelompok bertanggung jawab atas
kegiatan tersebut secara pribadi atau kelompok.
(5) Warga kampus UNLAM yang melakukan kegiatan
mengatasnamakan UNLAM di luar kampus harus
mendapatkan izin dari Rektor.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Rektor.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai etika akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Rektor setelah mendapat pertimbangan Senat.
- 23 -
Bagian Kelima
Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik, dan
Otonomi Keilmuan
Pasal 23
(1) UNLAM menjunjung tinggi kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
(2) UNLAM menjamin agar setiap anggota sivitas akademika
dapat melaksanakan kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan dalam rangka
pelaksanaan tugas dan fungsinya secara
bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan dan
dilandasi oleh etika dan norma/kaidah keilmuan.
(3) Kebebasan akademik merupakan kebebasan untuk
memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan melalui
penelitian atau penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni sesuai norma dan kaidah keilmuan.
(4) Kebebasan mimbar akademik merupakan kebebasan
mengemukakan pendapat dalam pertemuan ilmiah yang
berbentuk ceramah, seminar, simposium, diskusi panel,
ujian, dan kegiatan ilmiah lainnya dalam rangka
pelaksanaan pendidikan.
(5) Otonomi keilmuan merupakan kegiatan akademik dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan/atau seni yang berpedoman pada norma dan kaidah
keilmuan.
(6) Pelaksanaan kebebasan mimbar akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4):
a. merupakan tanggung jawab setiap anggota sivitas
akademika yang terlibat;
b. menjadi tanggung jawab UNLAM, apabila
universitas, atau unit organisasi di dalamnya secara
resmi terlibat dalam pelaksanaannya; dan
c. dilandasi etika dan norma/kaidah keilmuan serta
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 24 -
(7) Kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik
dimanfaatkan oleh UNLAM untuk:
a. melindungi dan mempertahankan hak kekayaan
intelektual;
b. melindungi dan mempertahankan kekayaan dan
keragaman alami, hayati, sosial, dan budaya bangsa
dan negara Indonesia;
c. menambah mutu kekayaan intelektual bangsa dan
negara Indonesia;
d. memperkuat daya saing bangsa dan negara
Indonesia.
(8) Ketentuan mengenai pelaksanaan kebebasan akademik,
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(7) diatur dalam Peraturan Rektor dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Keenam
Gelar dan Penghargaan
Pasal 24
UNLAM memberikan ijazah, gelar, surat keterangan
pendamping ijazah, sertifikat kompetensi, dan/atau sertifikat
profesi kepada mahasiswa yang berhasil menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 25
(1) Gelar diberikan kepada mahasiswa yang telah
menyelesaikan semua persyaratan yang dibebankan
dalam mengikuti suatu program studi dan dinyatakan
lulus sesuai dengan rumpun ilmu yang tercantum dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai penulisan dan penggunaan gelar
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 25 -
Pasal 26
(1) Ijazah diberikan kepada lulusan UNLAM disertai dengan
transkrip akademik dan surat keterangan pendamping
ijazah.
(2) Ijazah dan transkrip akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ijazah, transkrip
akademik, dan surat keterangan pendamping ijazah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
(1) UNLAM dapat memberikan gelar Doktor Kehormatan
(Doctor Honoris Causa).
(2) Gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada setiap individu yang layak
memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa
yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan,
dan seni dan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Prosedur pengusulan, pemberian, dan penggunaan gelar
Doktor Kehormatan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Rektor setelah mendapat
persetujuan Senat.
Pasal 28
(1) UNLAM dapat memberikan penghargaan kepada anggota
masyarakat, sivitas akademika, atau unsur organisasi
yang telah berjasa terhadap pembangunan UNLAM.
- 26 -
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Rektor setelah mendapat persetujuan Senat
dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
SISTEM PENGELOLAAN
Bagian Kesatu
Visi, Misi, dan Tujuan
Pasal 29
Visi UNLAM: Terwujudnya UNLAM sebagai universitas
terkemuka dan berdaya saing di bidang pengelolaan
lingkungan lahan basah.
Pasal 30
Misi UNLAM:
a. menyelenggarakan tridharma perguruan tinggi yang
berkeadilan, berkesetaraan, berkualitas, dan relevan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni (IPTEKS) yang berfokus pada program unggulan
pengelolaan lingkungan lahan basah;
b. menyelenggarakan penguatan tata kelola universitas
berdasarkan tata kelola universitas yang baik (good
governance), mengembangkan kelembagaan,
meningkatkan kualitas SDM dan sarana prasarana;
c. menyelenggarakan pendidikan yang berbasis karakter
waja sampai kaputing atau wasaka (tetap bersemangat
dan kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir) dan
berdaya saing internasional; dan
d. menyelenggarakan kerja sama dengan berbagai perguruan
tinggi dalam dan luar negeri, pemerintah pusat dan
daerah, dunia usaha dan industri, serta pemangku
kepentingan lainnya pada tingkat nasional dan
internasional.
- 27 -
Pasal 31
UNLAM bertujuan:
a. terwujudnya tridharma perguruan tinggi yang berkeadilan,
berkesetaraan, berkualitas, dan relevan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(IPTEKS) yang berfokus pada program unggulan
pengelolaan lahan basah;
b. terwujudnya penguatan tata kelola universitas
berdasarkan tata kelola universitas yang baik (good
governance), mengembangkan kelembagaan,
meningkatkan kualitas SDM dan sarana prasarana;
c. menghasilkan lulusan yang berkarakter waja sampai
kaputing (wasaka) dan memiliki kompetensi yang mampu
bersaing di dunia internasional; dan
d. terwujudnya kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi
dalam dan luar negeri, pemerintah pusat dan daerah,
dunia usaha dan industri, serta pemangku kepentingan
lainnya pada tingkat nasional dan internasional.
Pasal 32
(1) Untuk mencapai Visi, Misi, dan Tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31,
UNLAM menyusun rencana arah pengembangan yang
meliputi:
a. Rencana Pengembangan Jangka Panjang yang
memuat rencana dan program pengembangan 25
(dua puluh lima) tahun;
b. Rencana Pengembangan Jangka Menengah (Rencana
Strategis) yang memuat rencana dan program
pengembangan 5 (lima) tahun; dan
c. Rencana Operasional yang memuat rencana
program, kegiatan, dan anggaran selama 1 (satu)
tahun.
- 28 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana Pengembangan
Jangka Panjang, Rencana Pengembangan Jangka
Menengah (Rencana Strategis), dan Rencana Operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
dan huruf c diatur dalam Peraturan Rektor.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi UNLAM
Paragraf 1
Umum
Pasal 33
Organ UNLAM terdiri atas:
a. Rektor;
b. Senat;
c. Satuan Pengawasan Internal; dan
d. Dewan Penyantun.
Paragraf 2
Rektor
Pasal 34
Rektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a
sebagai organ pengelola pendidikan pada UNLAM terdiri atas:
a. Rektor dan Wakil Rektor;
b. Biro;
c. Fakultas dan Pascasarjana;
d. Lembaga; dan
e. Unit Pelaksana Teknis.
Pasal 35
(1) Rektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
menjalankan fungsi penetapan kebijakan akademik, non-
akademik dan pengelolaan UNLAM untuk dan atas nama
Menteri.
- 29 -
(2) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Rektor mempunyai tugas dan wewenang:
a. menyusun statuta beserta perubahannya untuk
diusulkan kepada Menteri;
b. menyusun dan/atau mengubah rencana
pengembangan jangka panjang 25 (dua puluh lima)
tahun UNLAM;
c. menyusun dan/atau mengubah rencana strategis 5
(lima) tahun UNLAM;
d. menyusun dan/atau mengubah rencana program,
kegiatan, dan anggaran tahunan (rencana
operasional) UNLAM;
e. mengelola pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat sesuai dengan rencana kerja
dan anggaran tahunan UNLAM;
f. mengangkat dan/atau memberhentikan pimpinan
unit kerja di bawah pemimpin perguruan tinggi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
g. menjatuhkan sanksi kepada sivitas akademika dan
tenaga kependidikan yang melakukan pelanggaran
terhadap norma, etika, dan/atau peraturan
akademik berdasarkan rekomendasi Senat;
h. menjatuhkan sanksi kepada dosen dan tenaga
kependidikan yang melakukan pelanggaran sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. membina dan mengembangkan kompetensi pendidik
dan tenaga kependidikan;
j. menerima, membina, mengembangkan, dan
memberhentikan mahasiswa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. mengelola anggaran sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
l. menyelenggarakan sistem informasi manajemen
berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang
handal untuk mendukung pengelolaan tridharma
- 30 -
perguruan tinggi, akuntansi dan keuangan,
kepersonaliaan, kemahasiswaan, dan kealumnian;
m. menyusun dan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penyelenggaraan tridharma
kepada Menteri;
n. mengusulkan pengangkatan profesor kepada
Menteri;
o. membina dan mengembangkan hubungan dengan
alumni, pemerintah pusat, pemerintah daerah,
pengguna hasil kegiatan tridharma perguruan tinggi,
dan masyarakat; dan
p. memelihara keamanan, keselamatan, kesehatan,
dan ketertiban kampus serta kenyamanan kerja
untuk menjamin kelancaran kegiatan tridharma
perguruan tinggi.
Pasal 36
(1) Susunan organisasi, tugas, dan fungsi unit organisasi di
bawah organ Rektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Nomor 42 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Universitas Lambung Mangkurat.
(2) UNLAM dapat mengusulkan perubahan unit organisasi di
bawah organ Rektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan kebutuhan kepada Menteri.
(3) Perubahan unit organisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat
persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.
- 31 -
Paragraf 3
Senat
Pasal 37
(1) Senat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b
merupakan organ yang menjalankan fungsi penetapan
dan pertimbangan pelaksanaan kebijakan akademik.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Senat mempunyai tugas dan wewenang:
a. penetapan kebijakan, norma, dan kode etik
akademik;
b. pengawasan terhadap:
1. penerapan norma akademik dan kode etik
sivitas akademika;
2. penerapan ketentuan akademik;
3. pelaksanaan penjaminan mutu perguruan
tinggi paling sedikit mengacu pada standar
nasional pendidikan tinggi;
4. pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan;
5. pelaksanaan tata tertib akademik;
6. pelaksanaan kebijakan penilaian kinerja dosen;
dan
7. pelaksanaan proses pembelajaran, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat.
c. pemberian pertimbangan dan usul perbaikan proses
pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat kepada pemimpin perguruan tinggi;
d. pemberian pertimbangan kepada Rektor dalam
pembukaan dan penutupan program studi;
e. pemberian pertimbangan terhadap pemberian atau
pencabutan gelar dan penghargaan akademik;
f. pemberian pertimbangan kepada Rektor dalam
pengusulan profesor; dan
g. pemberian rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap
pelanggaran norma, etika, dan peraturan akademik
oleh sivitas akademika kepada Rektor.
- 32 -
(3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Senat menyusun laporan hasil
pengawasan dan menyampaikan kepada Rektor untuk
ditindaklanjuti.
Pasal 38
(1) Senat UNLAM dipimpin oleh seorang ketua dan dibantu
oleh seorang sekretaris.
(2) Susunan keanggotaan Senat UNLAM, terdiri atas:
a. Wakil dosen dari setiap fakultas;
b. Rektor;
c. Wakil Rektor;
d. Dekan;
e. Direktur Pascasarjana; dan
f. Ketua Lembaga.
(3) Anggota senat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f secara
otomatis menjadi anggota senat.
(4) Anggota senat yang berasal dari wakil dosen dari setiap
fakultas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
terdiri dari wakil dosen yang profesor dan wakil dosen
yang bukan profesor.
(5) Perimbangan jumlah anggota senat dari wakil dosen yang
profesor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun
secara proporsional dengan ketentuan sebagai berikut:
a. fakultas yang memiliki 1 (satu) orang profesor
diwakili oleh satu orang profesor;
b. fakultas yang memiliki 2 (dua) orang profesor sampai
6 (enam) orang profesor diwakili oleh 2 (dua) orang
profesor;
c. fakultas yang memiliki 7 (tujuh) orang profesor
sampai 11 (sebelas) orang profesor diwakili oleh 3
(tiga) orang profesor;
d. fakultas yang memiliki 12 (dua belas) orang profesor
sampai 16 (enam belas) orang profesor diwakili oleh
4 (empat) orang profesor; dan
- 33 -
e. fakultas yang memiliki 17 (tujuh belas) orang
professor atau lebih diwakili oleh 5 (lima) orang
profesor.
(6) Keanggotaan senat yang berasal dari wakil dosen yang
bukan profesor sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sebanyak 2 (dua) orang dari setiap fakultas.
(7) Anggota Senat yang berasal dari wakil dosen yang bukan
profesor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dipilih oleh
seluruh dosen pada fakultas pengusul dan diusulkan
oleh Dekan kepada Rektor.
(8) Anggota senat wakil dosen yang bukan profesor
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menjabat
sebagai pimpinan fakultas.
(9) Senat terdiri atas:
a. Ketua merangkap anggota;
b. Sekretaris merangkap anggota; dan
c. Anggota.
(10) Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) ditetapkan oleh Rektor.
(11) Ketua dan Sekretaris Senat sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) huruf a dan huruf b dijabat oleh anggota yang
bukan Rektor.
(12) Masa jabatan anggota Senat selama 4 (empat) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(13) Senat dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk
komisi/badan pekerja.
(14) Komisi/badan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(13) dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan ditetapkan
oleh Ketua Senat.
(15) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan,
pengangkatan, dan pemberhentian anggota Senat yang
berasal dari wakil dosen dari setiap fakultas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dalam Peraturan
Senat.
- 34 -
Pasal 39
(1) Senat bersidang paling sedikit 2 (dua) kali dalam
setahun, di luar sidang yang diadakan untuk
pengelenggaraan upacara pengukuhan profesor, wisuda,
dan dies natalis.
(2) Sidang Senat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan apabila dihadiri paling sedikit 2/3 (dua
per tiga) dari seluruh anggota Senat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan rapat atau sidang Senat diatur dalam
Peraturan Senat.
Pasal 40
(1) Senat Fakultas merupakan unsur fakultas yang
menjalankan fungsi pemberian pertimbangan dan
pengawasan terhadap Dekan dalam pelaksanaan
akademik di lingkungan fakultas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Senat Fakultas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Rektor.
Paragraf 4
Satuan Pengawasan Internal
Pasal 41
(1) Satuan Pengawasan Internal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 huruf c merupakan organ UNLAM yang
menjalankan fungsi pengawasan di bidang non-
akademik.
(2) Dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Satuan Pengawasan Internal
memiliki tugas dan wewenang:
a. penetapan kebijakan program pengawasan internal
bidang non-akademik;
b. pengawasan internal terhadap pengelolaan
pendidikan bidang non-akademik;
c. penyusunan laporan hasil pengawasan internal; dan
- 35 -
d. pemberian saran dan/atau pertimbangan mengenai
perbaikan pengelolaan kegiatan non-akademik pada
pemimpin perguruan tinggi atas dasar hasil
pengawasan internal.
(3) Satuan Pengawasan Internal terdiri atas:
a. Ketua merangkap anggota;
b. Sekretaris merangkap anggota; dan
c. Anggota.
(4) Ketua, Sekretaris, dan anggota Satuan Pengawasan
Internal ditetapkan oleh Rektor.
(5) Masa jabatan anggota Satuan Pengawasan Internal
selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 42
(1) Anggota Satuan Pengawasan Internal berjumlah gasal
dan paling sedikit 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur
dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan UNLAM
dengan komposisi kemampuan/keahlian di bidang:
a. akuntansi/keuangan;
b. manajemen sumber daya manusia;
c. manajemen aset;
d. hukum; dan
e. ketatalaksanaan.
(2) Persyaratan anggota Satuan Pengawasan Internal:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. berpendidikan paling rendah Sarjana;
d. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada
saat diangkat;
e. mempunyai moral yang baik dan integritas yang
tinggi; dan
f. memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap
masa depan UNLAM.
- 36 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Ketua, Sekretaris, dan anggota
Satuan Pengawasan Internal diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Rektor.
Paragraf 5
Dewan Penyantun
Pasal 43
(1) Dewan Penyantun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf d merupakan organ UNLAM yang menjalankan
fungsi pertimbangan non-akademik dan membantu
pengembangan UNLAM.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Dewan Penyantun mempunyai tugas dan
wewenang:
a. memberi pertimbangan terhadap kebijakan Rektor di
bidang non-akademik;
b. merumuskan saran/pendapat terhadap kebijakan
Rektor di bidang non-akademik;
c. memberi pertimbangan kepada Rektor dalam
mengelola UNLAM; dan
d. menggalang dana untuk membantu pembangunan
UNLAM.
(3) Dewan Penyantun berjumlah gasal dan paling sedikit
memiliki 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur:
a. pemerintah provinsi;
b. tokoh masyarakat;
c. pakar pendidikan;
d. alumni; dan
e. purna bakti Universitas.
(4) Dewan Penyantun terdiri atas:
a. Ketua merangkap anggota;
b. Sekretaris merangkap anggota; dan
c. Anggota.
(5) Anggota Dewan Penyantun diangkat dan diberhentikan
oleh Rektor.
- 37 -
(6) Masa jabatan anggota Dewan Penyantun 4 (empat) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Ketua, Sekretaris, dan anggota
Dewan Penyantun diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Rektor.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Pimpinan Organ Pengelola, Senat, Satuan Pengawasan
Internal, dan Dewan Penyantun
Paragraf 1
Umum
Pasal 44
(1) Dosen di lingkungan UNLAM dapat diberi tugas
tambahan sebagai Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil
Dekan, Direktur Pascasarjana, Wakil Direktur
Pascasarjana, Ketua Lembaga, Sekretaris Lembaga, Ketua
Jurusan/Bagian, Sekretaris Jurusan/Bagian, dan Kepala
Unit Pelaksana Teknis (UPT).
(2) Kepala UPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Kepala UPT yang melaksanakan tugas dan
fungsi di bidang akademik.
(3) Pemberian tugas tambahan dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila terdapat
lowongan jabatan.
(4) Lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disebabkan:
a. masa jabatan berakhir; dan/atau
b. perubahan organisasi UNLAM.
(5) Masa jabatan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a meliputi:
a. berhalangan tetap;
b. permohonan sendiri;
- 38 -
c. diangkat dalam jabatan negeri yang lain;
d. dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan perbuatan yang diancam pidana
kurungan;
e. diberhentikan sementara dari jabatan negeri;
f. menjalani tugas belajar atau izin belajar lebih dari 6
(enam) bulan dalam rangka studi lanjut yang
meninggalkan tugas tridharma perguruan tinggi;
g. dibebaskan dari tugas jabatan dosen; dan/atau
h. cuti di luar tanggungan negara.
(6) Berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf a meliputi:
a. meninggal dunia;
b. sakit yang tidak dapat disembuhkan yang
menyebabkan tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya, dibuktikan dengan Berita Acara
Majelis Pemeriksa Kesehatan Pegawai Negeri Sipil
atau surat keterangan dari pejabat yang berwenang;
dan/atau
c. berhenti dari aparatur sipil negara atas permohonan
sendiri.
(7) Perubahan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf b meliputi:
a. penambahan unit baru; atau
b. perubahan bentuk UNLAM.
Pasal 45
(1) Untuk dapat diangkat sebagai Rektor, seorang dosen
harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk dapat diangkat sebagai Wakil Rektor, Dekan,
Wakil Dekan, Direktur Pascasarjana, Wakil Direktur
Pascasarjana, Ketua Lembaga, Sekretaris Lembaga, Ketua
Jurusan, Sekretaris Jurusan, Kepala Pusat, Kepala
Laboratorium/Bengkel/Studio, dan Kepala UPT, seorang
dosen harus memenuhi persyaratan:
- 39 -
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa;
b. berstatus pegawai negeri sipil bagi pejabat pengelola
keuangan, kepegawaian, dan barang milik negara
dan berstatus aparatur sipil negara bagi jabatan
lainnya;
c. berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada
saat diangkat sebagai Wakil Rektor, Dekan, Wakil
Dekan, Direktur Pascasarjana, Wakil Direktur
Pascasarjana, Ketua dan Sekretaris Jurusan, Ketua
dan Sekretaris Lembaga, Kepala Pusat, Kepala
Laboratorium/Bengkel/Studio, dan Kepala UPT;
d. memiliki pengalaman manajerial paling rendah
sebagai Ketua Jurusan/Kepala Pusat atau sebutan
lain di lingkungan perguruan tinggi paling sedikit 2
(dua) tahun bagi Wakil Rektor;
e. berpendidikan paling rendah:
1. Doktor (S3) bagi calon Wakil Rektor, Dekan,
Direktur Pascasarjana, Wakil Direktur
Pascasarjana, dan Ketua Lembaga; dan
2. Magister (S2) bagi Wakil Dekan, Sekretaris
Lembaga, Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan,
Kepala Laboratorium/Bengkel/Studio, dan
Kepala Unit Pelaksana Teknis.
f. menduduki jabatan paling rendah:
1. Lektor Kepala bagi calon Wakil Rektor, Dekan,
Direktur Pascasarjana, dan Ketua Lembaga;
2. Lektor bagi calon Wakil Dekan, Sekretaris
Lembaga, Wakil Direktur Pascasarjana, Ketua
dan Sekretaris Jurusan, dan Kepala Unit
Pelaksana Teknis; dan
3. Asisten Ahli bagi calon Kepala
Laboratorium/Bengkel/Studio.
g. setiap unsur penilaian prestasi kerja pegawai paling
rendah bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
h. tidak sedang menjalani tugas belajar atau izin
belajar lebih dari 6 (enam) bulan dalam rangka studi
- 40 -
lanjut yang meninggalkan tugas tridharma
perguruan tinggi;
i. tidak sedang menjalani hukuman disiplin tingkat
sedang atau berat;
j. tidak pernah dipidana berdasarkan keputusan
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan perbuatan yang diancam pidana
paling rendah pidana kurungan;
k. bersedia dicalonkan yang dinyatakan secara tertulis;
l. tidak pernah melakukan plagiat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
m. memiliki pengalaman manajerial di lingkungan
perguruan tinggi untuk jabatan Wakil Rektor,
Dekan, Wakil Dekan, Ketua Lembaga, Direktur dan
Wakil Direktur Pascasarjana paling rendah sebagai
Sekretaris Jurusan/Bagian sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun secara kumulatif;
n. lulus sertifikasi dosen dan dinyatakan sebagai
dosen profesional, bagi calon Wakil Rektor, Ketua
Lembaga, Sekretaris Lembaga, Dekan, Wakil Dekan,
Direktur Pascasarjana, dan Wakil Direktur
Pascasarjana; dan
o. membuat rancangan program kerja sesuai dengan
jabatan yang akan diembannya.
Pasal 46
(1) Tenaga kependidikan di lingkungan UNLAM dapat
diangkat sebagai pejabat struktural, pimpinan unsur
pelaksana administrasi, atau pimpinan unit pelaksana
teknis.
(2) Pengangkatan pejabat struktural, pimpinan unsur
pelaksana administrasi, atau pimpinan unit pelaksana
teknis dilakukan apabila terdapat lowongan jabatan.
(3) Lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disebabkan:
a. masa jabatan berakhir; dan/atau
b. perubahan organisasi.
- 41 -
(4) Masa jabatan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a meliputi:
a. berhalangan tetap;
b. permohonan sendiri;
c. diangkat dalam jabatan negeri yang lain;
d. dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan perbuatan yang diancam pidana
kurungan;
e. diberhentikan sementara dari jabatan negeri;
f. menjalani tugas belajar atau izin belajar lebih dari 6
(enam) bulan dalam rangka studi lanjut yang
meninggalkan tugas tridharma perguruan tinggi;
g. dibebaskan dari tugas jabatan dosen; dan/atau
h. cuti di luar tanggungan negara.
(5) Berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a meliputi:
a. meninggal dunia;
b. sakit yang tidak dapat disembuhkan yang
menyebabkan tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya, dibuktikan dengan Berita Acara
Majelis Pemeriksa Kesehatan Pegawai Negeri Sipil
atau surat keterangan dari pejabat yang berwenang;
dan/atau
c. berhenti dari aparatur sipil negara atas permohonan
sendiri.
(6) Perubahan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b meliputi:
a. penambahan unit baru; atau
b. perubahan bentuk UNLAM.
(7) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat struktural atau
pimpinan unsur pelaksana administrasi seorang tenaga
kependidikan harus memenuhi persyaratan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 42 -
Paragraf 2
Rektor
Pasal 47
(1) Rektor merupakan dosen pegawai negeri sipil yang diberi
tugas tambahan sebagai pemimpin UNLAM.
(2) Masa jabatan Rektor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Rektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 48
Pengangkatan Rektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (3) dilakukan melalui tahap:
a. penjaringan bakal calon;
b. penyaringan calon;
c. pemilihan calon; dan
d. pengangkatan.
Pasal 49
(1) Tahap penjaringan bakal calon Rektor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Senat membentuk Panitia Pemilihan Rektor paling
lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa
jabatan Rektor yang sedang menjabat;
b. Panitia Pemilihan Rektor mengumumkan
pendaftaran dan persyaratan bakal calon Rektor;
c. dosen yang berminat dan memenuhi persyaratan
bakal calon Rektor dapat mendaftarkan diri pada
Panitia Pemilihan Rektor;
d. masa pendaftaran bakal calon Rektor selama 17
(tujuh belas) hari sejak pengumuman pendaftaran;
e. Panitia Pemilihan Rektor memverifikasi kelengkapan
persyaratan bakal calon Rektor paling lambat 7
(tujuh) hari sejak ditutupnya masa pendaftaran;
- 43 -
f. Panitia Pemilihan Rektor menyampaikan nama bakal
calon Rektor paling sedikit 4 (empat) orang bakal
calon Rektor kepada Senat paling lambat 3 (tiga) hari
setelah selesai verifikasi kelengkapan;
g. Senat menetapkan bakal calon Rektor yang
memenuhi syarat paling sedikit 4 (empat) bakal
calon Rektor;
h. apabila bakal calon Rektor yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada huruf g kurang dari 4
(empat) orang, Panitia Pemilihan Rektor
memperpanjang masa pendaftaran bakal calon
Rektor;
i. apabila dalam masa perpanjangan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada huruf h bakal calon
Rektor kurang dari 4 (empat) orang, Ketua Senat
dengan persetujuan Anggota Senat menunjuk dosen
yang memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai
bakal calon Rektor; dan
j. Panitia Pemilihan Rektor mengumumkan nama
bakal calon Rektor yang memenuhi persyaratan
setelah mendapatkan persetujuan Senat.
Pasal 50
Tahap penyaringan calon Rektor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 huruf b dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. penyaringan calon Rektor dilakukan paling lambat 7
(tujuh) hari setelah Ketua Senat menerima hasil
penjaringan dalam rapat Senat yang diselenggarakan
khusus untuk penyaringan calon Rektor;
b. rapat Senat sebagaimana dimaksud pada huruf a
dinyatakan sah apabila dihadiri paling sedikit 2/3 (dua
pertiga) jumlah anggota Senat;
c. rapat Senat sebagaimana dimaksud pada huruf a
diselenggarakan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum
masa tugas Rektor berakhir;
- 44 -
d. setiap bakal calon Rektor menyampaikan visi, misi dan
rencana program kerja pada rapat Senat terbuka;
e. Senat melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap
bakal calon Rektor;
f. Senat menetapkan 3 (tiga) calon Rektor dengan cara
musyawarah untuk mufakat;
g. apabila musyawarah untuk mencapai mufakat tidak
tercapai, dilakukan pemungutan suara dengan ketentuan
setiap anggota Senat memiliki 1 (satu) hak suara;
h. dalam hal belum diperoleh 3 (tiga) orang calon Rektor,
dilakukan pemungutan suara pada hari yang sama untuk
calon Rektor yang mendapatkan suara yang sama; dan
i. Senat menyampaikan 3 (tiga) orang calon Rektor hasil
penyaringan beserta daftar riwayat hidup dan program
kerja kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
berakhirnya masa jabatan Rektor yang sedang menjabat.
Pasal 51
Tahap pemilihan calon dan pengangkatan Rektor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c dan huruf d
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Paragraf 3
Wakil Rektor
Pasal 52
(1) Wakil Rektor merupakan dosen yang diberi tugas
tambahan sebagai pimpinan UNLAM.
(2) Masa jabatan Wakil Rektor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
- 45 -
Pasal 53
(1) Wakil Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Rektor.
(2) Rektor memilih dan menunjuk 1 (satu) orang dosen yang
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal
45 ayat (2) sebagai Wakil Rektor.
(3) Wakil Rektor diangkat oleh Rektor setelah yang
bersangkutan menandatangani kontrak kinerja.
(4) Masa jabatan Wakil Rektor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berakhir paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya masa jabatan Rektor.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan
pemberhentikan Wakil Rektor diatur dalam Peraturan
Rektor.
Paragraf 4
Dekan dan Wakil Dekan
Pasal 54
(1) Dekan adalah dosen yang diberi tugas tambahan sebagai
pemimpin fakultas.
(2) Dekan diangkat dan diberhentikan oleh Rektor.
(3) Dekan diangkat oleh Rektor setelah yang bersangkutan
menandatangani kontrak kinerja.
(4) Masa jabatan Dekan adalah 4 (empat) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 55
Pengangkatan Dekan Fakultas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (2) dilakukan melalui tahap sebagai berikut:
a. tahap penjaringan bakal calon Dekan;
b. tahap penyaringan calon Dekan;
c. tahap pemilihan calon Dekan; dan
d. tahap pengangkatan.
- 46 -
Pasal 56
Tahap penjaringan bakal calon Dekan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 huruf a, dilakukan dengan cara:
a. Senat Fakultas membentuk Panitia Pemilihan Dekan
paling lambat 5 (lima) bulan sebelum berakhirnya masa
jabatan Dekan yang sedang menjabat;
b. Panitia Pemilihan Dekan mengumumkan pendaftaran dan
persyaratan bakal calon Dekan;
c. dosen yang berminat dan memenuhi persyaratan bakal
calon Dekan dapat mendaftarkan diri pada Panitia
Pemilihan Dekan;
d. Panitia Pemilihan Dekan melakukan seleksi administratif
untuk mendapatkan nama-nama dosen yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2);
e. Panitia Pemilihan Dekan menyampaikan nama bakal
calon Dekan yang telah memenuhi persyaratan paling
sedikit 3 (tiga) orang bakal calon Dekan kepada Senat
Fakultas untuk ditetapkan sebagai bakal calon Dekan;
f. Apabila bakal calon Dekan sebagaimana dimaksud pada
huruf e kurang dari 3 (tiga) orang, Rektor menunjuk
dosen yang memenuhi syarat untuk ikut didaftarkan
sebagai bakal calon Dekan; dan
g. Panitia Pemilihan Dekan mengumumkan nama bakal
calon Dekan.
Pasal 57
Tahap penyaringan calon Dekan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 huruf b dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. penyaringan calon Dekan dilakukan oleh Senat Fakultas
dalam rapat yang khusus dilakukan untuk maksud
tersebut;
b. rapat Senat Fakultas sebagaimana dimaksud pada huruf
a dinyatakan sah apabila dihadiri paling sedikit 2/3 (dua
per tiga) jumlah anggota Senat Fakultas;
- 47 -
c. setiap bakal calon Dekan menyampaikan visi, misi, dan
rencana program kerja Fakultas;
d. Senat Fakultas melakukan uji kelayakan dan kepatutan
terhadap bakal calon Dekan;
e. Senat Fakultas menetapkan 2 (dua) nama calon Dekan
dengan cara musyawarah untuk mufakat;
f. apabila musyawarah untuk mencapai mufakat tidak
tercapai, dilakukan pemungutan suara dengan ketentuan
setiap anggota Senat memiliki 1 (satu) hak suara;
g. dalam hal belum diperoleh 2 (dua) orang calon Dekan,
dilakukan pemungutan suara pada hari yang sama untuk
calon Dekan yang mendapatkan suara yang sama; dan
h. Senat Fakultas menyampaikan 2 (dua) orang calon Dekan
hasil penyaringan yang mendapatkan suara terbanyak
kepada Rektor beserta dokumen pendukung.
Pasal 58
Tahap pemilihan calon Dekan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 huruf c dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Rektor dan Senat Fakultas melakukan pemilihan Dekan
dalam sidang Senat Fakultas yang khusus
diselenggarakan untuk maksud tersebut;
b. pemilihan Dekan dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan Dekan yang sedang
menjabat;
c. pemilihan Dekan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dilakukan melalui pemungutan suara untuk
mendapatkan 2 (dua) orang calon Dekan;
d. pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada huruf c
dilakukan dengan ketentuan 1 (satu) orang anggota Senat
memiliki 1 (satu) hak suara;
e. rapat Senat Fakultas sebagaimana dimaksud pada huruf
a dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3
(dua per tiga) jumlah anggota Senat Fakultas;
f. apabila syarat kehadiran anggota Senat Fakultas
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak terpenuhi,
maka rapat ditunda dalam tempo 1 (satu) kali 24 jam
- 48 -
untuk memenuhi syarat kehadiran anggota Senat
Fakultas; dan
g. Rektor menetapkan salah satu dari 2 (dua) orang calon
Dekan yang diusulkan dari hasil pemilihan Senat
Fakultas sebagai Dekan.
Pasal 59
Tahap pengangkatan Dekan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 huruf d dilakukan oleh Rektor kepada Dekan terpilih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf g.
Pasal 60
(1) Wakil Dekan adalah dosen yang diberi tugas tambahan
sebagai pimpinan fakultas.
(2) Wakil Dekan diangkat oleh Rektor atas usul Dekan.
(3) Dekan menyeleksi dosen yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) untuk
diusulkan kepada Rektor sebagai calon Wakil Dekan.
(4) Dekan mengusulkan minimal 2 (dua) orang calon Wakil
Dekan pada setiap jabatan Wakil Dekan kepada Rektor
untuk ditetapkan.
(5) Nama calon Wakil Dekan disampaikan oleh Dekan
kepada Rektor untuk ditetapkan dan diangkat sebagai
Wakil Dekan.
(6) Wakil Dekan diangkat oleh Rektor setelah yang
bersangkutan menandatangani kontrak kinerja.
(7) Masa jabatan Wakil Dekan paling lama 4 (empat) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(8) Masa jabatan Wakil Dekan berakhir 3 (tiga) bulan setelah
masa jabatan Dekan berakhir.
- 49 -
Pasal 61
(1) Ketua Jurusan/Bagian dan Sekretaris
Jurusan/Bagian diangkat dan diberhentikan oleh Rektor.
(2) Masa jabatan Ketua dan Sekretaris Jurusan/Bagian
paling lama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 62
(1) Ketua dan Sekretaris Jurusan/Bagian dipilih secara
langsung dari dan oleh dosen di Jurusan/Bagian yang
bersangkutan.
(2) Pemilihan Ketua dan Sekretaris Jurusan/Bagian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pemungutan suara untuk memperoleh suara terbanyak
dengan ketentuan setiap 1 (satu) orang dosen memiliki 1
(satu) hak suara.
(3) Calon Ketua dan Sekretaris Jurusan/Bagian harus
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal
45 ayat (2).
(4) Calon Ketua dan Sekretaris Jurusan/Bagian terpilih
merupakan calon Ketua dan Sekretaris Jurusan/Bagian
yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dekan mengusulkan Ketua dan Sekretaris
Jurusan/Bagian terpilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) kepada Rektor untuk ditetapkan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
Ketua dan Sekretaris Jurusan/Bagian diatur dalam
Peraturan Rektor.
Pasal 63
(1) Kepala Laboratorium/Bengkel/Studio diangkat dan
diberhentikan oleh Rektor atas usul Dekan.
(2) Dekan memilih dan menunjuk 1 (satu) orang dosen yang
memenuhi persyaratan sebagai Kepala Laboratorium/
Bengkel/ Studio sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat
(2) untuk diusulkan kepada Rektor.
- 50 -
(3) Masa jabatan Kepala Laboratorium/Bengkel/Studio
paling lama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Kepala Laboratorium/ Bengkel/
Studio diatur dalam Peraturan Rektor.
Paragraf 5
Pimpinan Pascasarjana
Pasal 64
(1) Pimpinan Pascasarjana terdiri atas:
a. Direktur; dan
b. Wakil Direktur.
(2) Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana diangkat dan
diberhentikan oleh Rektor.
(3) Rektor memilih dan menunjuk masing-masing 1 (satu)
orang dosen yang memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 45 ayat (2) untuk diangkat sebagai
Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana.
(4) Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana diangkat oleh
Rektor setelah yang bersangkutan menandatangani
kontrak kinerja.
(5) Masa jabatan Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana
paling lama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Direktur dan Wakil Direktur
Pascasarjana diatur dalam Peraturan Rektor.
Paragraf 6
Lembaga
Pasal 65
(1) Pimpinan Lembaga terdiri atas Ketua dan Sekretaris
Lembaga.
(2) Ketua dan Sekretaris Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Rektor.
- 51 -
(3) Calon Ketua dan Sekretaris Lembaga harus memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2).
(4) Masa jabatan Ketua dan Sekretaris paling lama 4 (empat)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
(5) Ketua dan Sekretaris diangkat oleh Rektor setelah yang
bersangkutan menandatangani kontrak kinerja.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Ketua dan Sekretaris Lembaga diatur
dalam Peraturan Rektor.
Paragraf 7
Pimpinan UPT
Pasal 66
(1) Kepala UPT diangkat dan diberhentikan oleh Rektor.
(2) Masa jabatan Kepala UPT paling lama 4 (empat) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(3) Calon Kepala UPT harus memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Kepala UPT diatur dalam Peraturan
Rektor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Paragraf 8
Unsur Pelaksana Administrasi
Pasal 67
(1) Pelaksana administrasi terdiri atas Biro, Bagian, dan
Subbagian.
(2) Biro, Bagian, dan Subbagian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala.
(3) Kepala Biro, Kepala Bagian, dan Kepala Subbagian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jabatan
struktural.
- 52 -
(4) Kepala Biro, Kepala Bagian, dan Kepala Subbagian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Rektor sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 9
Senat
Pasal 68
(1) Ketua Senat dipilih dari dan oleh anggota Senat.
(2) Pemilihan Ketua Senat dilakukan dalam rapat Senat yang
diselenggarakan khusus untuk maksud tersebut.
(3) Rapat pemilihan Ketua Senat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dipimpin oleh anggota Senat tertua dan
didampingi oleh anggota Senat termuda.
(4) Rapat Senat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3
(dua per tiga) dari seluruh anggota Senat.
(5) Pimpinan rapat menjaring paling sedikit 2 (dua) nama
calon Ketua Senat dari anggota Senat yang hadir.
(6) Pemilihan Ketua Senat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(7) Apabila musyawarah untuk mencapai mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dicapai,
dilakukan pemungutan suara dengan ketentuan setiap
anggota Senat memiliki 1 (satu) hak suara.
(8) Calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan
sebagai Ketua Senat terpilih.
(9) Ketua Senat terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
menunjuk salah satu anggota Senat sebagai Sekretaris
Senat.
(10) Ketua Senat terpilih dan Sekretaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) ditetapkan oleh
Rektor.
- 53 -
(11) Masa jabatan Ketua dan Sekretaris Senat selama 4
(empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pemilihan Ketua Senat diatur dalam Peraturan
Senat.
Paragraf 10
Senat Fakultas
Pasal 69
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemilihan
Ketua Senat Fakultas diatur dengan Peraturan Senat.
Paragraf 11
Satuan Pengawasan Internal
Pasal 70
(1) Satuan Pengawasan Internal terdiri atas:
a. Ketua;
b. Sekretaris; dan
c. anggota.
(2) Ketua Satuan Pengawasan Internal dipilih dari dan oleh
anggota.
(3) Pemilihan Ketua Satuan Pengawasan Internal dilakukan
dalam Rapat Satuan Pengawasan Internal yang
diselenggarakan khusus untuk maksud tersebut.
(4) Pemilihan Ketua Satuan Pengawasan Internal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(5) Apabila musyawarah untuk mencapai mufakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dicapai,
dilakukan pemungutan suara dengan ketentuan setiap
anggota Satuan Pengawasan Internal memiliki 1 (satu)
hak suara.
(6) Calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan
sebagai Ketua Satuan Pengawasan Internal terpilih.
- 54 -
(7) Ketua Satuan Pengawasan Internal terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menunjuk salah satu anggota
Satuan Pengawasan Internal sebagai Sekretaris.
(8) Ketua Satuan Pengawasan Internal terpilih dan
Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat
(7) ditetapkan oleh Rektor.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
Ketua Satuan Pengawasan Internal diatur dalam
Peraturan Rektor.
Paragraf 12
Dewan Penyantun
Pasal 71
(1) Ketua Dewan Penyantun dipilih dari dan oleh anggota.
(2) Ketua Dewan Penyantun terpilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menunjuk salah satu anggota Dewan
Penyantun sebagai Sekretaris.
(3) Ketua dan Sekretaris Dewan Penyantun ditetapkan oleh
Rektor.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan
Ketua Dewan Penyantun diatur dalam Peraturan Rektor.
Paragraf 13
Pemberhentian
Pasal 72
(1) Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Direktur
Pascasarjana, Wakil Direktur Pascasarjana, Ketua
Jurusan/Bagian, Sekretaris Jurusan/Bagian, Ketua
Lembaga, Sekretaris Lembaga, Kepala Pusat, Kepala UPT,
dan Kepala Laboratorium/Bengkel/Studio diberhentikan
dari jabatannya karena masa jabatannya berakhir.
(2) Rektor dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya
berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- 55 -
(3) Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Direktur
Pascasarjana, Wakil Direktur Pascasarjana, Ketua
Jurusan/Bagian, Sekretaris Jurusan/Bagian, Ketua
Lembaga, Sekretaris Lembaga, Kepala Pusat, Kepala UPT,
dan Kepala Laboratorium/Bengkel/Studio sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberhentikan sebelum
masa jabatan berakhir karena:
a. telah berusia 65 (enam puluh lima) tahun;
b. berhalangan tetap;
c. permohonan sendiri;
d. diangkat dalam jabatan negeri yang lain;
e. dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
perbuatan yang diancam pidana kurungan;
f. diberhentikan sementara dari jabatan negeri;
g. dibebaskan dari tugas-tugas jabatan dosen;
h. menjalani tugas belajar atau izin belajar lebih dari 6
(enam) bulan dalam rangka studi lanjut yang
meninggalkan tugas tridharma perguruan tinggi;
dan/atau
i. cuti di luar tanggungan Negara.
(4) Berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b meliputi:
a. meninggal dunia;
b. sakit yang tidak dapat disembuhkan yang
menyebabkan tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya, dibuktikan dengan Berita Acara
Majelis Pemeriksa Kesehatan Pegawai Negeri Sipil
atau surat keterangan dari pejabat yang berwenang;
atau
c. berhenti dari aparatur sipil negara atas permohonan
sendiri.
(5) Pemberhentian Rektor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan oleh Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pemberhentian Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan,
Direktur Pascasarjana, Wakil Direktur Pascasarjana,
- 56 -
Ketua Jurusan/Bagian, Sekretaris Jurusan/Bagian,
Ketua Lembaga, Sekretaris Lembaga, Kepala Pusat,
Kepala UPT, dan Kepala Laboratorium/Bengkel/Studio
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
dilakukan oleh Rektor sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 73
Apabila terjadi pemberhentian Rektor sebelum masa
jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
ayat (2), Menteri menetapkan Rektor yang baru sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
(1) Apabila terjadi pemberhentian Wakil Rektor sebelum
masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (2), Rektor mengangkat dan menetapkan
Wakil Rektor definitif.
(2) Pengangkatan dan penetapan Wakil Rektor definitif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53.
(3) Wakil Rektor yang meneruskan sisa masa jabatan lebih
dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1 (satu) masa
jabatan.
Pasal 75
(1) Apabila terjadi pemberhentian Dekan sebelum masa
jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 ayat (2), Rektor mengangkat dan menetapkan salah
satu Wakil Dekan sebagai Dekan definitif.
(2) Pengangkatan dan penetapan Dekan definitif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55.
(3) Dekan yang meneruskan sisa masa jabatan lebih dari 2
(dua) tahun, dihitung sebagai 1 (satu) masa jabatan.
- 57 -
Pasal 76
(1) Apabila terjadi pemberhentian Wakil Dekan sebelum
masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (2), Rektor mengangkat dan menetapkan
Wakil Dekan definitif.
(2) Pengangkatan dan penetapan Wakil Dekan definitif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60.
(3) Wakil Dekan yang meneruskan sisa masa jabatan lebih
dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1 (satu) masa
jabatan.
Pasal 77
(1) Apabila terjadi pemberhentian Direktur Pascasarjana
sebelum masa jabatannya berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), Rektor mengangkat
dan menetapkan salah satu Wakil Direktur sebagai
Direktur Pascasarjana definitif.
(2) Pengangkatan dan penetapan Direktur Pascasarjana
definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64.
(3) Direktur Pascasarjana yang meneruskan sisa masa
jabatan lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1 (satu)
masa jabatan.
Pasal 78
(1) Apabila terjadi pemberhentian Wakil Direktur
Pascasarjana sebelum masa jabatannya berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), Rektor
mengangkat dan menetapkan Wakil Direktur
Pascasarjana definitif atas usul Direktur Pascasarjana.
(2) Pengangkatan dan penetapan Wakil Direktur
Pascasarjana definitif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64.
- 58 -
(3) Wakil Direktur Pascasarjana yang meneruskan sisa masa
jabatan lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1 (satu)
masa jabatan.
Pasal 79
(1) Apabila terjadi pemberhentian Ketua Jurusan/Bagian
sebelum masa jabatannya berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), Rektor mengangkat
dan menetapkan Sekretaris Jurusan/Bagian sebagai
Ketua Jurusan/Bagian definitif melanjutkan sisa masa
jabatan Ketua Jurusan.
(2) Dalam hal sisa masa jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1
(satu) masa jabatan.
Pasal 80
(1) Apabila terjadi pemberhentian Sekretaris
Jurusan/Bagian sebelum masa jabatannya berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), Rektor
mengangkat dan menetapkan salah satu dosen sebagai
Sekretaris Jurusan/Bagian definitif.
(2) Pengangkatan dan penetapan Sekretaris Jurusan/Bagian
definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62.
(3) Sekretaris Jurusan yang meneruskan sisa masa jabatan
lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1 (satu) masa
jabatan.
Pasal 81
(1) Apabila terjadi pemberhentian Ketua Lembaga sebelum
masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (2), Rektor mengangkat dan menetapkan
Ketua Lembaga definitif untuk melanjutkan sisa masa
jabatan Ketua Lembaga sebelumnya.
(2) Pengangkatan dan penetapan Ketua Lembaga definitif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
- 59 -
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65.
(3) Dalam hal sisa masa jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1
(satu) masa jabatan.
Pasal 82
(1) Apabila terjadi pemberhentian Sekretaris Lembaga
sebelum masa jabatannya berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), Rektor mengangkat
dan menetapkan Sekretaris Lembaga definitif untuk
melanjutkan sisa masa jabatan Sekretaris Lembaga
sebelumnya.
(2) Pengangkatan dan penetapan Sekretaris Lembaga
definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65.
(3) Sekretaris Lembaga yang meneruskan sisa masa jabatan
lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1 (satu) masa
jabatan.
Pasal 83
(1) Apabila terjadi pemberhentian Kepala Pusat sebelum
masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (2), Rektor mengangkat dan menetapkan
Kepala Pusat definitif untuk melanjutkan sisa masa
jabatan Kepala Pusat sebelumnya.
(2) Dalam hal sisa masa jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1
(satu) masa jabatan.
Pasal 84
(1) Apabila terjadi pemberhentian Kepala UPT sebelum masa
jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 ayat (2), Rektor mengangkat dan menetapkan Kepala
UPT untuk melanjutkan sisa masa jabatan Kepala UPT
sebelumnya.
- 60 -
(2) Dalam hal sisa masa jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) lebih dari 2 (dua) tahun, dihitung sebagai 1
(satu) masa jabatan.
Pasal 85
(1) Apabila terjadi pemberhentian Kepala
Laboratorium/Bengkel/Studio sebelum masa jabatannya
berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2),
Rektor mengangkat dan menetapkan Kepala
Laboratorium/Bengkel/Studio definitif atas usul Dekan.
(2) Pengangkatan dan penetapan Kepala
Laboratorium/Bengkel/Studio definitif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
Pasal 86
(1) Apabila terjadi pemberhentian Kepala Biro, Kepala
Bagian, dan Kepala Subbagian sebelum masa jabatannya
berakhir, Rektor mengangkat Kepala Biro, Kepala Bagian,
dan Kepala Subbagian definitif.
(2) Pengangkatan Kepala Biro, Kepala Bagian, dan Kepala
Subbagian definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 87
(1) Ketua dan Sekretaris Senat, Satuan Pengawasan Internal,
dan Dewan Penyantun diberhentikan dari jabatannya
karena masa jabatannya berakhir.
(2) Ketua dan Sekretaris Senat dan Satuan Pengawasan
Internal dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya
berakhir karena:
a. permohonan sendiri;
b. berhalangan tetap;
c. dikenakan hukuman disiplin tingkat berat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. diberhentikan dari tugas-tugas jabatan dosen;
- 61 -
e. dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
perbuatan yang diancam pidana kurungan;
f. sedang menjalani tugas belajar atau tugas lain lebih
dari 6 (enam) bulan; dan
g. cuti di luar tanggungan negara.
(3) Ketua dan Sekretaris Dewan Penyantun diberhentikan
sebelum masa jabatannya berakhir karena:
a. permohonan sendiri;
b. berhalangan tetap;
c. dikenakan hukuman disiplin tingkat berat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; dan
d. dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
perbuatan yang diancam pidana kurungan.
(4) Berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dan ayat (3) huruf b meliputi:
a. meninggal dunia; atau
b. sakit yang tidak dapat disembuhkan yang
menyebabkan tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya, dibuktikan dengan surat keterangan
dari pejabat yang berwenang.
Pasal 88
(1) Apabila terjadi pemberhentian Ketua Senat sebelum
masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 ayat (2), dilakukan pemilihan Ketua Senat yang
baru.
(2) Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38.
- 62 -
Pasal 89
Apabila terjadi pemberhentian Sekretaris Senat sebelum masa
jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
ayat (2), Ketua Senat menunjuk Sekretaris Senat yang baru.
Pasal 90
Apabila terjadi pemberhentian Ketua dan Sekretaris Satuan
Pengawas Internal sebelum masa jabatannya berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2), Rektor
mengangkat dan menetapkan Ketua dan Sekretaris Satuan
Pengawas Internal yang baru.
Pasal 91
Apabila terjadi pemberhentian Ketua dan Sekretaris Dewan
Penyantun sebelum masa jabatannya berakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 ayat (3), Rektor mengangkat dan
menetapkan Ketua dan Sekretaris Dewan Penyantun yang
baru.
Bagian Keempat
Sistem Pengendalian dan Pengawasan Internal
Pasal 92
(1) Untuk meningkatkan mutu dan efisiensi dalam
penyelenggaraan pendidikan, dilakukan pengendalian
dan pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Sistem Pengendalian dan Pengawasan Internal UNLAM
merupakan proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh
pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan
keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi
melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan
pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
(3) Ruang lingkup Sistem Pengendalian dan Pengawasan
Internal UNLAM terdiri atas:
- 63 -
a. pengelolaan sumber daya manusia;
b. pengelolaan keuangan;
c. pengelolaan sarana dan prasarana (aset);
d. pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi;
dan
e. bidang lainnya yang diperlukan.
(4) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan internal, Satuan
Pengawasan Internal mendapatkan akses secara penuh
terhadap unit kerja di lingkungan UNLAM, aktivitas,
catatan-catatan, dokumen, personel, aset, serta informasi
relevan lainnya sesuai dengan tugas yang ditetapkan oleh
Rektor.
(5) Dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan
internal, Satuan Pengawasan Internal dapat melakukan
audit rutin dan/atau audit investigasi.
(6) Audit rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam
satu tahun akademik.
(7) Audit investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilaksanakan atas permintaan pemimpin universitas,
civitas akademika, atau masyarakat umum dengan
terlebih dahulu melaporkan secara tertulis kepada
Satuan Pengawasan Internal.
(8) Dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan
internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan
Pengawasan Internal dapat meminta bantuan dari tenaga
ahli, baik dari dalam maupun luar UNLAM.
(9) Satuan Pengawasan Internal melaporan hasil
pelaksanaan pengendalian dan pengawasan internal yang
terdiri atas:
a. audit atas penyeleggaraan keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. penilaian tentang daya guna dan kehematan
penggunaan sarana dan prasarana Universitas;
c. penilaian tentang manfaat suatu kegiatan sesuai
dengan perencanaan masing-masing unit-unit di
lingkungan UNLAM;
- 64 -
d. penilaian atas pendayagunaan dan pengembangan
sumber daya manusia di universitas;
e. melakukan kajian terhadap kecukupan pelaksanaan
manajemen risiko di lingkungan universitas.
(10) Satuan Pengawasan Internal menyampaikan laporan
hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (9) beserta
rekomendasi yang diusulkan secara tertulis kepada
Rektor.
(11) Satuan Pengawasan Internal memantau dan
mengevaluasi tindak lanjut atas rekomendasi hasil audit
yang telah disetujui oleh Rektor.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Pengendalian
dan Pengawasan Internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (11) diatur dalam Peraturan
Rektor.
Bagian Kelima
Dosen dan Tenaga Kependidikan
Pasal 93
(1) Dosen terdiri atas:
a. dosen tetap; dan
b. dosen tidak tetap.
(2) Dosen tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan dosen yang bekerja penuh waktu yang
berstatus sebagai pendidik tetap di UNLAM.
(3) Dosen tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan dosen yang bekerja paruh waktu di
UNLAM yang diangkat oleh Rektor atas usul Dekan
Fakultas sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 94
(1) Jenjang jabatan akademik dosen terdiri atas:
a. asisten ahli;
b. lektor;
c. lektor kepala; dan
d. profesor.
- 65 -
(2) Pengangkatan dan pemberhentian jabatan akademik
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undang.
Pasal 95
(1) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen UNLAM
meliputi pembinaan, pengembangan profesi, dan karir.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen UNLAM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen UNLAM
dilakukan melalui jabatan fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen UNLAM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 96
Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian
dosen dilaksanakan oleh Rektor sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 97
(1) Tenaga kependidikan di lingkungan UNLAM terdiri atas
jabatan fungsional tertentu dan jabatan fungsional
umum.
(2) Jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian tenaga kependidikan
dilakukan oleh Rektor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 66 -
Bagian Keenam
Mahasiswa dan Alumni
Pasal 98
(1) Setiap mahasiswa UNLAM mempunyai hak dan
kewajiban.
(2) Hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebagai berikut:
a. menggunakan kebebasan akademik dengan
mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta
bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik;
b. memperoleh layanan pendidikan sesuai dengan
minat, bakat, kegemaran, dan kemampuan;
c. memanfaatkan fasilitas UNLAM dalam rangka
kelancaran proses belajar;
d. mendapat bimbingan dari dosen yang
bertanggungjawab atas program studi yang
diikutinya;
e. memperoleh layanan informasi yang berkaitan
dengan program studi yang diikuti serta hasil
belajar;
f. menyelesaikan studi lebih cepat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh pelayanan kesejahteraan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan;
h. pindah ke perguruan tinggi atau program studi lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
i. ikut serta dalam organisasi kemahasiswaan di
lingkungan UNLAM; dan
j. memperoleh pelayanan khusus bagi mahasiswa
berkebutuhan khusus.
(3) Kewajiban mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebagai berikut:
a. mengembangkan potensi diri agar memiliki
kemampuan akademis sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan Tinggi.
- 67 -
b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan
kecuali bagi mahasiwa yang dibebaskan dari
kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. menjaga etika dan norma akademik;
d. mematuhi semua peraturan/ketentuan yang berlaku
di UNLAM;
e. ikut memelihara sarana dan prasarana serta
kebersihan, ketertiban dan keamanan UNLAM;
f. menjaga kewibawaan dan nama baik UNLAM; dan
g. menjunjung tinggi kebudayaan nasional dan daerah.
(4) Mahasiswa yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikenai
sanksi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban
mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) serta sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dalam Peraturan Rektor.
Pasal 99
Status sebagai mahasiswa UNLAM dinyatakan berakhir
apabila:
a. telah menyelesaikan program pendidikan;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. tidak memenuhi persyaratan akademik yang telah
ditetapkan oleh Rektor;
d. melewati batas waktu yang ditentukan untuk
menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. terbukti terlibat dalam tindak pidana kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap; dan/atau
f. terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap
peraturan dan ketentuan yang berlaku di UNLAM.
- 68 -
Pasal 100
(1) UNLAM melaksanakan usaha pengembangan pribadi,
wawasan, dan kreativitas mahasiswa melalui kegiatan
ekstrakurikuler.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan
ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Rektor.
Pasal 101
(1) Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan.
(2) Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk untuk melaksanakan peningkatan
kepemimpinan, organisasi, penalaran, minat dan bakat,
pengabdian kepada masyarakat, dan kesejahteraan
mahasiswa.
(3) Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berada di tingkat universitas, fakultas, dan
Jurusan/Bagian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi
kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Rektor.
Pasal 102
(1) Kegiatan mahasiswa di dalam kampus yang
mengatasnamakan Fakultas/Jurusan/Bagian harus
mendapatkan izin Dekan.
(2) Kegiatan mahasiswa di luar kampus yang
mengatasnamakan UNLAM harus mendapatkan izin
Rektor.
(3) Kegiatan mahasiswa atas nama pribadi atau kelompok
menjadi tanggung jawab pribadi atau kelompok yang
bersangkutan.
- 69 -
Pasal 103
(1) Alumni UNLAM adalah semua orang yang pernah
menempuh program akademik, vokasi, profesi dan
spesialis di UNLAM.
(2) Alumni UNLAM dapat membentuk organisasi alumni
yang bertujuan untuk membina hubungan dengan
UNLAM, masyarakat ilmiah, dan dunia kerja dalam
upaya untuk menunjang pencapaian tujuan pendidikan
tinggi.
(3) Alumni maupun organisasi alumni dapat memberi
masukan dan bantuan lain dalam rangka pengembangan
UNLAM.
(4) Organisasi alumni UNLAM diatur dalam anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga organisasi alumni UNLAM.
Bagian Ketujuh
Sarana dan Prasarana
Pasal 104
UNLAM menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi
dan kecerdasan mahasiswa.
Pasal 105
(1) Sarana dan prasarana UNLAM merupakan semua
fasilitas utama dan penunjang penyelenggaraan
tridharma perguruan tinggi.
(2) Sarana dan prasarana yang dikuasai UNLAM merupakan
barang milik negara yang berada di bawah pengawasan
dan tanggung jawab Rektor.
(3) Pengelolaan sarana dan prasarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang diperoleh dari sumber dana
pemerintah, dana masyarakat, dan sumber lainnya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Setiap anggota sivitas akademika dan tenaga
kependidikan memiliki kewajiban untuk memelihara dan
- 70 -
menggunakan sarana dan prasarana UNLAM secara
bertanggung jawab, berdayaguna, dan berhasil guna.
(5) Pengelolaan sarana dan prasarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam sistem
informasi pelaporan barang milik negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Pengelolaan Anggaran
Pasal 106
(1) Pengelolaan anggaran meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan.
(2) Rencana anggaran pendapatan dan belanja UNLAM
disusun oleh Rektor setiap tahun berdasarkan rencana
kegiatan dari setiap unit dan diusulkan kepada Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pelaksanaan anggaran dilakukan sesuai dengan petunjuk
operasional anggaran pendapatan dan belanja UNLAM.
(4) Pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan dengan menerapkan prinsip akuntabilitas,
skala prioritas, efisiensi, dan efektivitas.
(5) Pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Laporan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran
UNLAM direviu oleh Satuan Pengawasan Internal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 71 -
Pasal 107
(1) Pendapatan UNLAM diperoleh dari pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, hasil usaha yang sah,
dan pihak lain yang tidak mengikat, baik dari dalam
maupun luar negeri.
(2) Pendapatan yang diperoleh dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. uang Kuliah Tunggal (UKT) atau dengan sebutan
lain;
b. hasil kerja sama antara UNLAM dan pihak lain; dan
c. pendapatan lain-lain yang sah.
(3) Penggunaan pendapatan UNLAM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 108
Pengelolaan dana kontribusi Penyelenggaraan Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat diatur dalam Peraturan
Rektor setelah mendapat pertimbangan Senat.
Bagian Kesembilan
Kerja Sama
Pasal 109
(1) Untuk meningkatkan mutu kegiatan tridharma
perguruan tinggi, UNLAM dapat melakukan kerja sama
bidang akademik dan/atau bidang non-akademik dengan
perguruan tinggi lain, dunia usaha, atau pihak lain baik
dalam maupun luar negeri.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan meningkatkan efektivitas, efisiensi,
produktivitas, kreavitas, inovasi, dan relevansi
penyelenggaraan kegiatan pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat serta kegiatan kerja
sama lainnya dalam rangka pengembangan program dan
institusi perguruan tinggi.
- 72 -
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasaskan kemitraan, persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memberikan kontribusi kepada
masyarakat.
(4) Kerja sama UNLAM dilaksanakan dengan prinsip:
a. mengutamakan kepentingan pembangunan
nasional;
b. menghargai kesetaraan mutu;
c. saling menghormati;
d. menghasilkan peningkatan mutu pendidikan;
e. berkelanjutan; dan
f. mempertimbangkan keberagaman kultur yang
bersifat lintas daerah, nasional, dan/atau
internasional.
Pasal 110
(1) Kerja sama akademik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 105 ayat (1) dapat berbentuk:
a. penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat;
b. program kembaran;
c. pengalihan dan/atau pemerolehan angka kredit
dan/atau satuan lain yang sejenis;
d. penugasan dosen senior sebagai pembina pada
perguruan tinggi yang membutuhkan pembinaan;
e. pertukaran dosen dan/atau mahasiswa;
f. pemanfaatan bersama berbagai sumber daya;
g. pemagangan;
h. penerbitan terbitan berkala ilmiah;
i. penyelenggaraan seminar bersama; dan/atau
j. bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu.
(2) Kerja sama non-akademik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 105 ayat (1) dapat berbentuk:
a. pendayagunaan aset;
b. penggalangan dana;
c. jasa dan royalti hak kekayaan intelektual; dan/atau
d. bentuk lain yang dianggap perlu.
- 73 -
(3) Kerja sama bidang akademik dan bidang non akademik,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
mencakup beberapa bentuk kerja sama yang dimuat
dalam 1 (satu) perjanjian kerja sama atau lebih.
(4) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) paling sedikit memuat:
a. waktu penandatanganan kerja sama;
b. identitas para pihak yang membuat kerja sama;
c. ruang lingkup kerja sama;
d. hak dan kewajiban masing-masing pihak secara
timbal balik;
e. jangka waktu kerja sama;
f. keadaan kahar (force majeur);
g. penyelesaian sengketa para pihak dalam kerja sama;
dan
h. sanksi atas kerja sama.
(5) Perjanjian kerja sama yang menggunakan dan/atau
menghasilkan hak kekayaan intelektual dan/atau aset
negara wajib memuat pengaturan tentang hak kekayaan
intelektual (HKI) dan aset negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian kerja sama
adalah pihak asing, perjanjian kerja sama harus dibuat
dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Rektor setelah
mendapat persetujuan Senat dan dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 74 -
BAB V
SISTEM PENJAMINAN MUTU INTERNAL
Pasal 111
(1) Sistem Penjaminan Mutu Internal UNLAM merupakan
kegiatan sistemik penjaminan mutu pendidikan tinggi
oleh UNLAM secara otonom untuk mengendalikan dan
meningkatkan penyelenggaraan pendidikan tinggi secara
berencana dan berkelanjutan.
(2) Tujuan Sistem Penjaminan Mutu Internal UNLAM:
a. menjamin setiap layanan akademik kepada
mahasiswa dilakukan sesuai standar nasional
pendidikan tinggi;
b. mewujudkan tranparansi dan akuntabilitas kepada
masyarakat khususnya orang tua/wali mahasiswa
mengenai penyelenggaraan pendidikan sesuai
dengan standar nasional pendidikan tinggi; dan
c. mendorong semua pihak/unit di UNLAM untuk
bekerja mencapai tujuan dengan berdasarkan pada
standar nasional pendidikan tinggi dan secara
berkelanjutan berupaya meningkatkan mutu.
(3) Sistem Penjaminan Mutu Internal UNLAM dilaksanakan
dengan berpedoman pada prinsip:
a. berorientasi kepada pemangku kepentingan internal
dan eksternal;
b. mengutamakan kebenaran;
c. tanggung jawab sosial;
d. pengembangan kompetensi personal;
e. partisipatif dan kolegial;
f. keseragaman metode; dan
g. inovasi, belajar, dan perbaikan secara berkelanjutan.
(4) Ruang lingkup Sistem Penjaminan Mutu Internal UNLAM
terdiri atas:
a. pengembangan standar mutu dan audit di bidang
pendidikan;
b. pengembangan standar mutu dan audit di bidang
penelitian;
- 75 -
c. pengembangan standar mutu dan audit di bidang
pengabdian kepada masyarakat; dan
d. pengembangan standar mutu dan audit di bidang
kemahasiswaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Penjaminan
Mutu Internal UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Rektor.
Pasal 112
(1) Untuk menjamin mutu penyelenggaraan pendidikan
dilakukan akreditasi.
(2) Akreditasi dilaksanakan untuk menentukan kelayakan
program studi dan/atau institusi UNLAM.
(3) Akreditasi merupakan tanggung jawab semua unsur
untuk memperoleh kepercayaan masyarakat dan
menunjukkan kemampuan untuk menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Pelaksanaan proses akreditasi program studi
dikoordinasikan oleh Dekan/Direktur
Pascasarjana/Ketua Jurusan dan pelaksanaan akreditasi
institusi dikoordinasikan oleh Rektor sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Akreditasi institusi dilakukan oleh Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau lembaga
mandiri lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(6) Pelaksanaan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VI
BENTUK DAN TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN
Pasal 113
(1) Bentuk dan hirarki peraturan di lingkungan UNLAM
sebagai berikut:
a. peraturan perundang-undangan;
b. peraturan Senat;
- 76 -
c. peraturan Rektor; dan
d. keputusan Rektor.
(2) Tata cara penetapan peraturan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENDANAAN DAN KEKAYAAN
Pasal 114
(1) Sumber pendanaan UNLAM bersumber dari:
a. pemerintah pusat;
b. pemerintah daerah;
c. penerimaan negara bukan pajak;
d. pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
e. hibah/donasi/kerja sama dengan mitra baik dari
dalam maupun luar negeri, baik perorangan
maupun kelompok;
f. hasil penjualan produk yang diperoleh dari
penyelenggaraan pendidikan tinggi; dan/atau
g. pendapatan dan sumber lain yang sah dan tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c terdiri atas: penerimaan dari sewa
gedung/bangunan dan bus, parkir, Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M), Lembaga
Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3),
Lembaga Penjaminan Mutu (LPM), Unit Pelaksana Teknis
(UPT), dan Laboratorium.
(3) Penggunaan dana yang berasal dari sumber pendanaan
UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
- 77 -
Pasal 115
(1) Kekayaan UNLAM meliputi benda bergerak dan tidak
bergerak.
(2) Kekayaan UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimanfaatkan untuk penyelenggaraan tridharma
perguruan tinggi dan pengembangan UNLAM.
(3) Dana yang diperoleh dari pemanfaatan kekayaan UNLAM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penerimaan negara bukan pajak.
(4) Kekayaan UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat dipindahtangankan atau dijaminkan kepada
pihak lain.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 116
(1) Perubahan Statuta UNLAM dilakukan dalam rapat yang
dihadiri oleh wakil dari organ UNLAM.
(2) Wakil organ UNLAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. Ketua, Sekretaris, dan anggota Senat;
b. Pemimpin UNLAM terdiri dari Rektor dan Wakil
Rektor;
c. Satuan Pengawasan Internal; dan
d. Dewan Penyantun.
(3) Pengambilan keputusan perubahan statuta UNLAM
dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat
dan apabila musyawarah untuk mufakat tidak dapat
dicapai, pengambilan keputusan dilakukan melalui
pemungutan suara.
(4) Perubahan statuta UNLAM yang sudah disetujui dalam
rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Menteri untuk ditetapkan.
- 78 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 117
(1) Senat dan Dewan Penyantun yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 028/0/2003 Tahun 2003 tentang Statuta
Universitas Lambung Mangkurat masih tetap
menjalankan tugas dan fungsinya sampai dibentuknya
organ UNLAM sesuai dengan peraturan Menteri ini.
(2) Pembentukan organ UNLAM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan
sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
Pasal 118
(1) Semua penyelenggaraan kegiatan akademik dan non-
akademik sebagai pelaksanaan dari ketentuan
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
028/0/2003 Tahun 2003 tentang Statuta Universitas
Lambung Mangkurat masih tetap dilaksanakan sampai
dengan disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua
ketentuan yang mengatur mengenai Statuta Universitas
Lambung Mangkurat yang telah ada sebelumnya, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 120
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 79 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Agustus 2016
MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN
PENDIDIKAN TINGGI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
MOHAMAD NASIR
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Agustus 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
TTD.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 1204
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,
Ani Nurdiani Azizah NIP. 195812011985032001
. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1979 TENTANG
PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang sekarang berlaku, dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini, oleh sebab itu perlu ditinjau kembali dan disempurnakan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041);
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERHENTIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : a. pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan
kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil; b. pemberhentian dari Jabatan Negeri adalah pemberhentian yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak bekerja
lagi pada suatu satuan organisasi Negara, tetapi masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil; c. hilang adalah suatu keadaan bahwa seseorang di luar kemauan dan kemampuannya tidak diketahui tempatnya
berada dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau telah meninggal dunia; d. batas usia pensiun adalah batas usia Pegawai Negeri Sipil harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
BAB II PEMBERHENTIAN
Bagian Pertama Pemberhentian Atas Permintaan Sendiri
Pasal 2
(1) Pegawai Negeri Sipil yang meminta berhenti, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. (2) Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun,
apabila ada kepentingan dinas yang mendesak. (3) Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat ditolak apabila Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan masih terikat dalam keharusan bekerja pada Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pemberhentian Karena Mencapai Batas Usia Pensiun
Pasal 3 (1) Pegawai Negeri Sipil yang telah mencapai batas usia pensiun, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai
Negeri Sipil. (2) Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 56 (lima puluh enam) tahun.
Pasal 4 (1) Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dapat diperpanjang bagi Pegawai Negeri Sipil yang
memangku jabatan tertentu. (2) Perpanjangan batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sampai dengan
a. 65 (enam puluh lima) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan : 1. Ahli Peneliti dan Peneliti yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian; 2. Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi; 3. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden;
b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan : 1. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung; 2. Jaksa Agung; 3. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 4. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
5. Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen; 6. Eselon I dalam jabatan strukturil yang tidak termasuk dalam angka 2, 3 dan 4. 7. Eselon II dalam jabatan strukturil; 8. Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya; 9. Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; 10. Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama; 11. Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama; 12. Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Dasar; 13. Jabatan lain yang ditentukan oleh
Presiden; c. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan :
1. Hakim pada Mahkamah Pelayaran; 2. Hakim pada Pengadilan Tinggi; 3. Hakim pada Pengadilan Negeri; 4. Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding; 5. Hakim Agama pada Pengadilan Agama; 6. Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden.
Pasal 5 Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena mencapai batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, diberitahukan kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan 1 (satu) tahun sebelum ia mencapai batas usia pensiun tersebut.
Bagian Ketiga Pembehentian Karena Adanya
Penyederhanaan Organisasi
Pasal 6 Apabila ada penyederhaan suatu satuan organisasi Negara yang mengakibatkan adanya kelebihan Pegawai Negeri Sipil, maka Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu disalurkan kepada satuan organisasi lainnya.
Pasal 7 Apabila penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak mungkin dilaksanakan, maka Pegawai Negeri Sipil yang kelebihan itu diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau dari Jabatan Negeri dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundag-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat Pemberhentian Karena Melakukan
Pelanggaran/Tindak/Penyelewengan
Pasal 8 Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena : a. melanggar Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri atau Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil; atau b. dihukum penjara, berdasarkan keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
karena dengan sengaja melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih berat.
Pasal 9
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena : a. melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan; atau b. melakukan suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 161
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 10 Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila ternyata melakukan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat dalam gerakan atau melakukan kegiatan yang menentang Negara dan atau Pemerintah.
Bagian Kelima Pemberhentian Karena Tidak Cakap Jasmani Atau Rohani
Pasal 11
Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila berdasarkan surat keterangan Team Penguji Kesehatan dinyatakan a. tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri karena kesehatannya; atau
b. menderita penyakit atau kelainan yang berbahaya bagi dirinya sendiri dan atau lingkungan kerjanya; atau c. setelah berakhirnya cuti sakit, belum mampu bekerja kembali.
Bagian Keenam Pemberhentian Karena Meninggalkan Tugas
Pasal 12
(1) Pegawai Negeri Sipil yang meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu 2 (dua) bulan terusmenerus, diberhentikan pembayaran gajinya mulai bulan ketiga.
(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) yang dalam waktu kurang dari 6 (enam) bulan melaporkan diri kepada pimpinan instansinya, dapat : a. ditugaskan kembali apabila ketidak hadirannya itu karena ada alasan-alasan yang dapat diterima; atau b. diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai Negeri Sipil, apabila ketidak hadirannya itu adalah karena
kelalaian Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan menurut pendapat pejabat yang berwenang akan mengganggu.suasana kerja, jika ia ditugaskan kembali.
(3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dalam waktu 6 (enam) bulan terus menerus meninggalkan tugasnya secara tidak sah, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Bagian Ketujuh
Pemberhentian Karena Meninggal Dunia Atau Hilang
Pasal 13 Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 14 (1) Pegawai Negeri Sipil yang hilang, dianggap telah meninggal dunia pada akhir bulan ke 12 (dua belas) sejak ia
dinyatakan hilang. (2) Pernyataan hilang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
surat keterangan atau berita acara dari pejabat yang berwajib. (3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang kemudian diketemukan kembali dan masih
hidup, diangkat kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan gajinya dibayar penuh terhitung sejak dianggap meninggal dunia dengan memperhitungkan hak-hak kepegawaian yang telah diterima oleh keluarganya.
Bagian Kedelapan
Pemberhentian Karena Hal-hal Lain
Pasal 15 (1) Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaporkan diri kembali kepada instansi induknya setelah habis menjalankan
cuti di luar tanggungan Negara, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. (2) Pegawai Negeri Sipil yang melaporkan diri kepada instansi induknya setelah habis masa menjalankan cuti di
luar tanggungan Negara, tetapi tidak dapat dipekerjakan kembali karena tidak ada lowongan, diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
HAK-HAK KEPEGAWAIAN
Bagian Pertama Hak-hak Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Dengan Hormat
Pasal 16
Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, diberikan hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17 (1) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 11 huruf b dan huruf c, dan Pasal 15 ayat (2)
: a. diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun, apabila telah mencapai
usia sekurang-kurangnya (lima puluh) tahun dan memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
b. diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri dengan mendapat uang tunggu, apabila belum memenuhi syarat-syarat usia dan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun : a. tanpa terikat pada masa kerja pensiun, apabila oleh Team Penguji Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja
lagi dalam semua Jabatan Negeri, karena kesehatannya yang disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatan;
b. jika telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun, apabila oleh Team Penguji Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri, karena kesehatannya yang bukan disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatan.
Pasal 18
Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena mencapai batas usia pensiun, berhak atas pensiun apabila ia memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.
Bagian Kedua Uang Tunggu
Pasal 19
(1) Uang tunggu diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang tiap-tiap kali paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Pemberian uang tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh lebih lama dari 5 (lima) tahun.
Pasal 20 (1) Besarnya uang tunggu adalah :
a. 80% (delapan puluh persen) dari gaji pokok untuk tahun pertama; b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari gaji pokok untuk tahun-tahun selanjutnya.
(2) Uang tunggu diberikan mulai bulan berikutnya, dari bulan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri.
Pasal 21
Kepada Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu, diberikan kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 22 Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu diwajibkan : a. melaporkan diri kepada pejabat yang berwenang, setiap kali selambat-lambatnya sebulan sebelum berakhirnya
pemberian uang tunggu; b. senantiasa bersedia diangkat kembali pada suatu Jabatan Negeri. c. meminta izin lebih dahulu kepada pimpinan instansinya, apabila mau pindah alamat di luar wilayah
pembayaran.
Pasal 23 (1) Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu, diangkat kembali dalam suatu Jabatan Negeri apabila ada
lowongan. (2) Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu yang menolak untuk diangkat kembali dalam suatu Jabatan
Negeri, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada akhir bulan yang bersangkutan menolak untuk diangkat kembali.
Pasal 24
Pegawai Negeri Sipil yang menerima uang tunggu yang diangkat kembali dalam suatu Jabatan Negeri, dicabut pemberian uang tunggunya terhitung sejak menerima penghasilan penuh kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 25 Pejabat yang berwenang memberikan dan mencabut uang tunggu, adalah pejabat yang berwenang mengangkat dalam dan memberhentikan dari jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 26
Pegawai Negeri Sipil yang akan mencapai usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, sebelum diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun, dapat dibebaskan dari jabatannya untuk paling lama 1 (satu) tahun dengan mendapat penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27 (1) Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara, pada saat ia mencapai batas usia pensiun,
diberhentikan pembayaran gajinya. (2) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ternyata tidak bersalah berdasarkan
keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
(3) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak
pindana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, apabila diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
(4) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung sejak akhir bulan dicapainya batas usia pensiun.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena dipidana penjara berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 28
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Pejabat Negara dan dibebaskan dari jabatan organiknya, pada saat ia mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 29 Setiap pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, berlaku terhitung sejak akhir bulan pemberhentian yang bersangkutan.
Pasal 30 Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun atau lebih, tetapi belum dikeluarkan surat keputusan pemberhentiannya sebagai Pegawai Negeri Sipil dan tidak dibebaskan dari jabatannya, maka ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi mereka.
BAB V KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 32 Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Pasal 33 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tidak berlaku lagi : a. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1951 tentang Peraturan Yang Mengatur Penghasilan Pegawai Negeri
Warga Negara Yang Tidak Atas Kemauan Sendiri Diberhentikan Dengan Hormat Dari Pekerjaannya (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 27. Tambahan Lembaran Negara Nomor 93);
b. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1958 tentang Peremajaan Alat-alat Negara (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1686);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 239 Tahun 1961 tentang Pemberian Penghasilan Kepada Pegawai-pegawai Negeri Yang Berhubung Dengan "Retooling" Diberhentikan Dengan Hormat Dari Jabatannya/Jabatan Negeri (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 305, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2364);
d. Segala peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 September 1979 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 September 1979 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1979 NOMOR : 47
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1979
TENTANG PEGAWAI NEGERI SIPIL
UMUM Ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang sekarang berlaku, diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan materinyapun ada yang tidak sesuai dengan keadaan dewasa ini, oleh sebab itu perlu disederhanakan dan disempurnakan. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur berbagai ketentuan tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan jiwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka syarat-syarat dan cara-cara pemberhentian Pegawai Negeri Sipil menjadi lebih jelas dan seragam, sehingga memudahkan pelaksanaan tugas para pejabat yang berwenang. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pada prinsipnya Pegawai Negeri Sipil yang meminta berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ayat (2) Penundaan atas permintaan berhenti dari seorang Pegawai Negeri Sipil, hanyalah didasarkan semata-mata untuk kepentingan dinas yang mendesak, umpamanya dengan berhentinya Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan sangat mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas. Permintaan berhenti yang dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun antara lain adalah permintaan berhenti dari Pegawai Negeri Sipil yang sedang melaksanakan tugas yang penting. Penundaan ini dilakukan untuk paling lama 1 (satu) tahun, sehingga dengan demikian pimpinan instansi yang bersangkutan dapat mempersiapkan penggantinya. Ayat (3) Permintaan berhenti yang dapat ditolak, antara lain adalah permintaan berhenti dari seorang Pegawai Negeri Sipil yang sedang menjalankan ikatan dinas, wajib militer, dan lain-lain yang serupa dengan itu. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ditinjau dari sudut fisik, pada umumnya usia 56 (lima puluh enam) tahun adalah merupakan batas usia seorang Pegawai Negeri Sipil mampu melaksanakan tugasnya secara berdayaguna dan berhasilguna. Pasal 4 Ayat (1) Bagi jabatan-jabatan tertentu, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keahlian dan pengalaman yang matang. Pegawai Negeri Sipil yang demikian pada umumnya sangat terbatas jumlahnya, dan sebahagian terdiri dari mereka yang telah berusia 56 (lima puluh enam) tahun atau lebih. Berhubung dengan itu maka untuk kelancaran pelaksanaan tugas, batas usia pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan tertentu itu dapat diperpanjang dengan memperhatikan keadaan kesehatannya. Ayat (2) Pegawai Negeri Sipil yang tidak lagi memangku jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dan tidak ada rencana untuk diangkat lagi dalam jabatan yang sama atau jabatan yang lebih tinggi, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pasal 5 Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, dilakukan secara tertulis oleh pimpinan instansi dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk semua golongan jangka waktu 1 (satu) tahun itu dipandang cukup bagi Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya. Dalam waktu 1 (satu) tahun itu, pimpinan instansi yang bersangkutan harus sudah menyelesaikan segala sesuatu yang menyangkut tata usaha kepegawaian, sehingga Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat menerima hak-haknya tepat pada waktunya. Pasal 6 Organisasi bukan tujuan, tetapi organisasi adalah alat dalam melaksanakan tugas pokok, oleh sebab itu susunan suatu satuan organisasi harus disesuaikan dengan perkembangan tugas pokok, sehingga dengan demikian dapat dicapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya. Perubahan satuan organisasi Negara adakalanya mengakibatkan kelebihan Pegawai Negeri Sipil. Apabila terjadi hal yang sedemikian, maka Pegawai Negeri Sipil yang lebih itu disalurkan pada satuan organisasi Negara yang lainnya. Pasal 7 Cukup jelas
Pasal 8 Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat, satu dan lain hal tergantung pada pertimbangan pejabat yang berwenang atas berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan dan besar atau kecilnya akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu. a. Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri,dan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
wajib ditaati oleh setiap Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang telah ternyata melanggar sumpah/janji atau melanggar Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang berat dan menurut pertimbangan atasan yang berwenang tidak dapat diperbaiki lagi, dapat diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
b. Pada dasarnya, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau diancam dengan pidana yang lebih berat adalah merupakan tindak pidana kejahatan yang berat.
Meskipun maksimum ancaman pidana terhadap suatu tindak pidana telah ditetapkan, namun pidana yang dijatuhkan/diputuskan oleh Hakim terhadap jenis tindak pidana itu dapat berbeda-beda sehubungan dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan dan atau besar kecilnya akibat yang ditimbulkannya. Berhubung dengan itu, maka dalam mempertimbangkan apakah Pegawai Negeri Sipil yang telah melakukan tindak pidana kejahatan itu akan diberhentikan atau tidak, atau apakah akan diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat, haruslah dipertimbangkan faktor-faktor yang mendorong Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan itu, serta harus pula dipertimbangkan berat ringannya keputusan Pengadilan yang dijatuhkan. Pasal 9 Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi pidana penjara, atau kurungan, berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan sesuatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, harus diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ketentuan ini tidak berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang hanya dijatuhi pidana percobaan. Huruf a Pada dasarnya jabatan yang diberikan kepada seorang Pegawai Sipil adalah merupakan kepercayaan dari Negara yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dipidana penjara atau kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan atau pekerjaannya, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan harus diberhentikan tidak dengan hormat karena telah menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tindak pidana kejahatan jabatan yang dimaksud, antara lain adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 sampai dengan Pasal 436 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Huruf b Tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 161 KUHP, adalah tindak pidana kejahatan yang berat, karena tindak pidana kejahatan itu, adalah tindak pidana kejahatan terhadap keamanan Negara, kejahatan yang melanggar martabat Presiden dan Wakil Presiden, kejahatan terhadap Negara dan Kepala Negara/Wakil Kepala Negara sahabat, kejahatan mengenai perlakuan kewajiban Negara, hak-hak Negara, dan kejahatan terhadap ketertiban umum. Berhubung dengan itu, maka Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana tersebut harus diberhentikan tidak dengan hormat. Pasal 10 Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang ternyata telah melakukan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar 1945,atau terlibat dengan gerakan atau melakukan kegiatan yang menentang Negara dan atau Pemerintah sudah menyalahi sumpahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Olah karena itu Pegawai Negeri Sipil yang demikian harus diberhentikan dengan tidak hormat. Usaha atau kegiatan mana yang merupakan usaha atau kegiatan yang bertujuan mengubah Pancasila dan atau Undang-Undang Dasar 1945, serta kegiatan atau gerakan mana yang merupakan kegiatan atau gerakan yang menentang Negara dan atau Pemerintah, diputuskan oleh Presiden. Pasal 11 Huruf a Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan bahwa keadaan jasmani dan atau rohani yang bersangkutan sudah sedemikian rupa, sehingga tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan Negeri. Huruf b Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan bahwa yang bersangkutan menderita penyakit atau kelainan yang sedemikian rupa, sehingga apabila ia dipekerjakan terus dapat membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, umpamanya seorang Pegawai Negeri Sipil yang menderita penyakit jiwa yang berbahaya. Huruf c Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, adalah Pegawai Negeri Sipil yang setelah berakhirnya cuti sakit belum mampu bekerja kembali, yang dinyatakan dengan surat keterangan Team Penguji Kesehatan. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan meninggalkan tugas secara tidak sah adalah meninggalkan tugas tanpa izin dari pejabat yang berwenang memberikan cuti. Ayat (2)
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dapat ditugaskan kembali atau dapat pula diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Huruf a Apabila alasan-alasan meninggalkan tugas secara tidak sah itu dapat diterima oleh pejabat yang berwenang, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat ditugaskan kembali setelah lebih dahulu dijatuhi hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Apabila alasan-alasan meninggalkan tugas secara tidak sah itu tidak dapat diterima oleh pejabat yang berwenang, atau apabila menurut pendapat pejabat yang berwenang akan mungkin mengganggu suasana atau disiplin kerja apabila Pegawai negeri Sipil yang bersangkutan ditugaskan kembali, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil mulai pada bulan dihentikan pembayaran gajinya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Untuk kelengkapan tata usaha kepegawaian, maka pimpinan instansi yang bersangkutan membuat surat keterangan meninggal dunia. Pasal 14 Ayat (1) Pegawai Negeri Sipil yang hilang selama 12 (dua belas) bulan, dianggap sebagai Pegawai Negeri Sipil yang masih tetap bekerja, oleh sebab itu gaji dan penghasilan lainnya yang berhak diterimanya diterimakan kepada keluarganya. Yaitu istri, suami, atau anak yang sah. Apabila setelah jangka waktu masa 12 (dua belas) bulan Pegawai Negeri Sipil yang hilang itu belum juga diketemukan, maka ia dianggap telah meninggal dunia pada akhir bulan kedua belas dan kepada keluarganya diberikan uang duka wafat atau uang duka tewas dan hak-hak kepegawaian lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Hak-hak kepegawaian yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, tidak termasuk uang duka wafat atau uang duka tewas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan instansi induk, adalah Departemen, Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Daerah Otonom, dan instansi lain yang ditentukan oleh Presiden. Ayat (2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dapat berupa pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pemberhentian dengan hormat dari Jabatan Negeri. Selanjutnya lihat penjelasan Pasal 17. Pasal 16 cukup jelas Pasal 17 Huruf a cukup jelas Huruf b Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu,Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan hak pensiun. Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu,Pegawai Negeri Sipil tersebut telah memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, tetapi belum mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pemberian pensiunnya ditetapkan pada saat ia mencapai usia 50(lima puluh) tahun. Apabila pada waktu berakhirnya masa pemberian uang tunggu,Pegawai Negeri Sipil tersebut belum memiliki masa kerja pensiun sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil tanpa hak pensiun. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, pemberian uang tunggu setiap kali ditetapkan untuk paling lama 1 (satu)tahun. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas
Pasal 21 Penerima uang tunggu masih tetap berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil oleh sebab itu kepadanya diberikan kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penilaian pelaksanaan pekerjaan yang digunakan sebagai dasar untuk pemberian kenaikan gaji berkala, adalah penilaian pelaksanaan pekerjaan terakhir sebelum Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatan Negeri.Gaji pokok terakhir setelah mendapat kenaikan gaji berkala digunakan sebagai dasar pemberian uang tunggu. Pasal 22 Huruf a Pelapor diri sebagaimana dimaksud dalam huruf ini, dilakukan melalui saluran hierarki. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dilakukan dengan memperhatikan keahlian, pengalaman, dan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, adalah semua penghasilan sebagai Pegawai Negeri Sipil, kecuali tunjangan jabatan. Pasal 27 Ayat (1) Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian sementara,adalah karena dituduh melakukan sesuatu tindak pidana, oleh sebab itu belum dapat dipastikan apakah ia bersalah atau tidak. Selama Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dikenakan pemberhentian sementara, ia menerima bahagian gajinya. Apabila pada waktu sedang menjalani pemberhentian sementara ia mencapai batas usia pensiun, maka pembayaran bahagian gajinya dihentikan, sehingga dengan demikian dapat dihindarkan kemungkinan kerugian terhadap keuangan Negara. Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan setelah ada keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR : 3149
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 53 TAHUN 2010
TENTANG
DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sudah
tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
keadaan;
b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal
30 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, perlu mengganti
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
MEMUTUSKAN: . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 - MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DISIPLIN PEGAWAI
NEGERI SIPIL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan
Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan
menghindari larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan dan/atau
peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
2. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS
adalah PNS Pusat dan PNS Daerah.
3. Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan,
atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban
dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin
PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar
jam kerja.
4. Hukuman disiplin adalah hukuman yang
dijatuhkan kepada PNS karena melanggar
peraturan disiplin PNS.
5. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Pejabat
Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi, dan Pejabat
Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota
adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur wewenang
pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
PNS.
6. Upaya . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
6. Upaya administratif adalah prosedur yang dapat
ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap
hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya
berupa keberatan atau banding administratif.
7. Keberatan adalah upaya administratif yang dapat
ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap
hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat
yang berwenang menghukum kepada atasan pejabat
yang berwenang menghukum.
8. Banding administratif adalah upaya administratif
yang dapat ditempuh oleh PNS yang tidak puas
terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS
yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang
menghukum, kepada Badan Pertimbangan
Kepegawaian.
Pasal 2
Ketentuan Peraturan Pemerintah ini berlaku juga bagi
calon PNS.
BAB II
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 3
Setiap PNS wajib:
1. mengucapkan sumpah/janji PNS;
2. mengucapkan sumpah/janji jabatan;
3. setia . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Pemerintah;
4. menaati segala ketentuan peraturan perundang-
undangan;
5. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan
kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran,
dan tanggung jawab;
6. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah,
dan martabat PNS;
7. mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan;
8. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya
atau menurut perintah harus dirahasiakan;
9. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan
bersemangat untuk kepentingan negara;
10. melaporkan dengan segera kepada atasannya
apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara atau
Pemerintah terutama di bidang keamanan,
keuangan, dan materiil;
11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;
12. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan;
13. menggunakan dan memelihara barang-barang milik
negara dengan sebaik-baiknya;
14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat;
15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas;
16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk
mengembangkan karier; dan
17. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang.
Bagian Kedua . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 4
Setiap PNS dilarang:
1. menyalahgunakan wewenang;
2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan
kewenangan orang lain;
3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja
untuk negara lain dan/atau lembaga atau
organisasi internasional;
4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing,
atau lembaga swadaya masyarakat asing;
5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan,
menyewakan, atau meminjamkan barang-barang
baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau
surat berharga milik negara secara tidak sah;
6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman
sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam
maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak
lain, yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan negara;
7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu
kepada siapapun baik secara langsung atau tidak
langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat
dalam jabatan;
8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja
dari siapapun juga yang berhubungan dengan
jabatan dan/atau pekerjaannya;
9. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. melakukan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan
suatu tindakan yang dapat menghalangi atau
mempersulit salah satu pihak yang dilayani
sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang
dilayani;
11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12. memberikan dukungan kepada calon
Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara:
a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b. menjadi peserta kampanye dengan
menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
c. sebagai peserta kampanye dengan
mengerahkan PNS lain; dan/atau
d. sebagai peserta kampanye dengan
menggunakan fasilitas negara;
13. memberikan dukungan kepada calon
Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye;
dan/atau
b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap pasangan calon yang
menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,
ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian
barang kepada PNS dalam lingkungan unit
kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. memberikan dukungan kepada calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara
memberikan surat dukungan disertai foto kopi
Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan
Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-
undangan; dan
15. memberikan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
15. memberikan dukungan kepada calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk
mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah;
b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatan dalam kegiatan kampanye;
c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye;
dan/atau
d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap pasangan calon yang
menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,
ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian
barang kepada PNS dalam lingkungan unit
kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
BAB III
HUKUMAN DISIPLIN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
PNS yang tidak menaati ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dijatuhi
hukuman disiplin.
Pasal 6 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 - Pasal 6
Dengan tidak mengesampingkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan pidana, PNS yang
melakukan pelangggaran disiplin dijatuhi hukuman
disiplin.
Bagian Kedua
Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin
Pasal 7
(1) Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
(2) Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan
c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
(3) Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:
a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1
(satu) tahun;
b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu)
tahun; dan
c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama 1 (satu) tahun.
(4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan
setingkat lebih rendah;
c. pembebasan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 - c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai PNS; dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
PNS.
Bagian Ketiga
Pelanggaran dan Jenis Hukuman
Paragraf 1
Pelanggaran Terhadap Kewajiban
Pasal 8
Hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap
kewajiban:
1. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 3, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada unit kerja;
2. menaati segala peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 4,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja;
3. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan
kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran,
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada unit kerja;
4. menjunjung . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
4. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah,
dan martabat PNS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada unit kerja;
5. mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 7,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja;
6. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya
atau menurut perintah harus dirahasiakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 8,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja;
7. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan
bersemangat untuk kepentingan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja;
8. melaporkan dengan segera kepada atasannya
apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara atau
pemerintah terutama di bidang keamanan,
keuangan, dan materiil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada unit kerja;
9. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 11
berupa:
a. teguran lisan bagi PNS yang tidak masuk kerja
tanpa alasan yang sah selama 5 (lima) hari
kerja;
b. teguran tertulis bagi PNS yang tidak masuk
kerja tanpa alasan yang sah selama 6 (enam)
sampai dengan 10 (sepuluh) hari kerja; dan
c. pernyataan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
c. pernyataan tidak puas secara tertulis bagi PNS
yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah
selama 11 (sebelas) sampai dengan 15 (lima
belas) hari kerja;
10. menggunakan dan memelihara barang-barang milik
negara dengan sebaik-baiknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 13, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja;
11. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 14, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
12. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 15,
apabila pelanggaran dilakukan dengan tidak
sengaja;
13. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk
mengembangkan karier sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 16, apabila pelanggaran
dilakukan dengan tidak sengaja; dan
14. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 17, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada unit kerja.
Pasal 9
Hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap
kewajiban:
1. mengucapkan sumpah/janji PNS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 1, apabila
pelanggaran dilakukan tanpa alasan yang sah;
2. mengucapkan. . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
2. mengucapkan sumpah/janji jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 2, apabila
pelanggaran dilakukan tanpa alasan yang sah;
3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 angka 3, apabila pelanggaran berdampak negatif
bagi instansi yang bersangkutan;
4. menaati segala peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 4,
apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi
yang bersangkutan;
5. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan
kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran,
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak
negatif bagi instansi yang bersangkutan;
6. menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah,
dan martabat PNS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran berdampak
negatif bagi instansi yang bersangkutan;
7. mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 7,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
instansi yang bersangkutan;
8. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya
atau menurut perintah harus dirahasiakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 8,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
instansi yang bersangkutan;
9. bekerja . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
9. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan
bersemangat untuk kepentingan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9,
apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi
yang bersangkutan;
10. melaporkan dengan segera kepada atasannya
apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara atau
Pemerintah terutama di bidang keamanan,
keuangan, dan materiil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan;
11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 11
berupa:
a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1
(satu) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja
tanpa alasan yang sah selama 16 (enam belas)
sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja;
b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu)
tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa
alasan yang sah selama 21 (dua puluh satu)
sampai dengan 25 (dua puluh lima) hari kerja;
dan
c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama 1 (satu) tahun bagi PNS yang tidak
masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 26
(dua puluh enam) sampai dengan 30 (tiga
puluh) hari kerja;
12. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 12,
apabila pencapaian sasaran kerja pada akhir tahun
hanya mencapai 25% (dua puluh lima persen)
sampai dengan 50% (lima puluh persen);
13. menggunakan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
13. menggunakan dan memelihara barang-barang milik
negara dengan sebaik-baiknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 13, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan;
14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 14, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 15,
apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja;
16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk
mengembangkan karier sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 16, apabila pelanggaran
dilakukan dengan sengaja; dan
17. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 17, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada instansi yang
bersangkutan.
Pasal 10
Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap
kewajiban:
1. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 3, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada pemerintah dan/atau negara;
2. menaati . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
2. menaati segala ketentuan peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 4, apabila pelanggaran berdampak negatif
pada pemerintah dan/atau negara;
3. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan
kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran,
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada pemerintah dan/atau negara;
4. menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah,
dan martabat PNS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran berdampak
negatif pada pemerintah dan/atau negara;
5. mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 7,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
6. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya
atau menurut perintah harus dirahasiakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 8,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
7. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan
bersemangat untuk kepentingan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
8. melaporkan dengan segera kepada atasannya
apabila mengetahui ada hal yang dapat
membahayakan atau merugikan negara atau
Pemerintah terutama di bidang keamanan,
keuangan, dan materiil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada pemerintah dan/atau
negara; 9. masuk . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
9. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 11
berupa:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama 3 (tiga) tahun bagi PNS yang tidak
masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 31
(tiga puluh satu) sampai dengan 35 (tiga puluh
lima) hari kerja;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan
setingkat lebih rendah bagi PNS yang
menduduki jabatan struktural atau fungsional
tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan
yang sah selama 36 (tiga puluh enam) sampai
dengan 40 (empat puluh) hari kerja;
c. pembebasan dari jabatan bagi PNS yang
menduduki jabatan struktural atau fungsional
tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan
yang sah selama 41 (empat puluh satu) sampai
dengan 45 (empat puluh lima) hari kerja; dan
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri atau pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang
tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah
selama 46 (empat puluh enam) hari kerja atau
lebih;
10. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 12,
apabila pencapaian sasaran kerja pegawai pada
akhir tahun kurang dari 25% (dua puluh lima
persen);
11. menggunakan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 - 11. menggunakan dan memelihara barang-barang milik
negara dengan sebaik-baiknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 angka 13, apabila
pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah
dan/atau negara;
12. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
angka 14, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
13. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 angka 17, apabila pelanggaran
berdampak negatif pada pemerintah dan/atau
negara.
Paragraf 2
Pelanggaran Terhadap Larangan
Pasal 11
Hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap
larangan:
1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan,
menyewakan, atau meminjamkan barang-barang
baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau
surat berharga milik negara, secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja;
2. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman
sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun
di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka
6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja;
3. bertindak . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
3. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 9,
apabila pelanggaran dilakukan dengan tidak
sengaja;
4. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan
suatu tindakan yang dapat menghalangi atau
mempersulit salah satu pihak yang dilayani
sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
5. menghalangi berjalannya tugas kedinasan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit
kerja.
Pasal 12
Hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap
larangan:
1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan,
menyewakan, atau meminjamkan barang-barang
baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau
surat berharga milik negara secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
instansi yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman
sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun
di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka
6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada
instansi yang bersangkutan;
3. bertindak . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
3. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 9,
apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja;
4. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan
suatu tindakan yang dapat menghalangi atau
mempersulit salah satu pihak yang dilayani
sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
5. menghalangi berjalannya tugas kedinasan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11,
apabila pelanggaran berdampak negatif bagi
instansi;
6. memberikan dukungan kepada calon
Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai
pelaksana kampanye, menjadi peserta kampanye
dengan menggunakan atribut partai atau atribut
PNS, sebagai peserta kampanye dengan
mengerahkan PNS lain, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 12 huruf a, huruf b, dan huruf
c;
7. memberikan dukungan kepada calon
Presiden/Wakil Presiden dengan cara mengadakan
kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan
terhadap pasangan calon yang menjadi peserta
pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa
kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan,
seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam
lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 13 huruf b;
8. memberikan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
8. memberikan dukungan kepada calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara
memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu
Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda
Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14;
dan
9. memberikan dukungan kepada calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat
dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap pasangan calon yang
menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan,
ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang
kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan
huruf d.
Pasal 13
Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap
larangan:
1. menyalahgunakan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 1;
2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan
kewenangan orang lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 angka 2;
3. tanpa . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja
untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 3;
4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing,
atau lembaga swadaya masyarakat asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 4;
5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan,
menyewakan, atau meminjamkan barang-barang
baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau
surat berharga milik negara secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman
sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun
di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka
6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu
kepada siapapun baik secara langsung atau tidak
langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat
dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 angka 7;
8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja
dari siapapun juga yang berhubungan dengan
jabatan dan/atau pekerjaannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 8;
9. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan
suatu tindakan yang dapat menghalangi atau
mempersulit salah satu pihak yang dilayani
sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
10. menghalangi . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
10. menghalangi berjalannya tugas kedinasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11,
apabila pelanggaran berdampak negatif pada
pemerintah dan/atau negara;
11. memberikan dukungan kepada calon
Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara sebagai peserta
kampanye dengan menggunakan fasilitas negara,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12
huruf d;
12. memberikan dukungan kepada calon
Presiden/Wakil Presiden dengan cara membuat
keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 13 huruf a; dan
13. memberikan dukungan kepada calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara
menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan
dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat
keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c.
Pasal 14
Pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan
menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 angka 9, Pasal 9 angka 11, dan Pasal 10
angka 9 dihitung secara kumulatif sampai dengan akhir
tahun berjalan.
Bagian Keempat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
Bagian Keempat
Pejabat yang Berwenang Menghukum
Pasal 15
(1) Presiden menetapkan penjatuhan hukuman disiplin
bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon
I dan jabatan lain yang pengangkatan dan
pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden
untuk jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e.
(2) Penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
usul dari Pejabat Pembina Kepegawaian.
Pasal 16
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan
penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon I di lingkungannya
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a;
2. fungsional tertentu jenjang Utama di
lingkungannya untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e di lingkungannya
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, huruf d,
dan huruf e;
4. struktural . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 -
4. struktural eselon II dan fungsional
tertentu jenjang Madya dan Penyelia di
lingkungannya untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4);
5. struktural eselon II di lingkungan instansi
vertikal dan pejabat yang setara yang
berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4);
6. fungsional umum golongan ruang IV/a
sampai dengan golongan ruang IV/c di
lingkungannya untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf a, huruf
d, dan huruf e;
7. struktural eselon III ke bawah, fungsional
tertentu jenjang Muda dan Penyelia ke
bawah di lingkungannya untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c dan ayat (4);
dan
8. fungsional umum golongan ruang III/d ke
bawah di lingkungannya untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c dan ayat (4)
huruf a, huruf d, dan huruf e.
b. PNS yang dipekerjakan di lingkungannya yang
menduduki jabatan:
1. struktural eselon I untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2);
2. fungsional . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
2. fungsional tertentu jenjang Utama untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat
(4) huruf b dan huruf c;
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
4. struktural eselon II ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Madya dan
Penyelia ke bawah untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) huruf b dan huruf c;
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon I untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
huruf a;
2. fungsional tertentu jenjang Utama untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf
c;
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) huruf a;
4. struktural eselon II dan fungsional
tertentu jenjang Madya untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf
a, huruf b, dan huruf c;
5. fungsional . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 26 -
5. fungsional umum golongan ruang IV/a
sampai dengan golongan ruang IV/c untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat
(4) huruf a;
6. struktural eselon III ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Muda dan
Penyelia ke bawah untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) huruf c dan ayat (4) huruf
a, huruf b, dan huruf c; dan
7. fungsional umum golongan ruang III/d ke
bawah untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf c dan ayat (4) huruf a;
d. PNS yang dipekerjakan ke luar instansi
induknya yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon I untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf a;
2. struktural eselon II ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Utama ke
bawah untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan
huruf e; dan
3. fungsional umum golongan ruang IV/e ke
bawah untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan
huruf e;
e. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 27 -
e. PNS yang diperbantukan ke luar instansi
induknya yang menduduki jabatan struktural
eselon II ke bawah, jabatan fungsional tertentu
jenjang Utama ke bawah, dan jabatan
fungsional umum golongan ruang IV/e ke
bawah, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
huruf d dan huruf e;
f. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan
pada Perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan huruf e; dan
g. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan
pada negara lain atau badan internasional,
atau tugas di luar negeri, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, huruf d,
dan huruf e.
(2) Pejabat struktural eselon I dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon II, fungsional tertentu
jenjang Madya, dan fungsional umum
golongan ruang IV/a sampai dengan
golongan ruang IV/c di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2); dan
2. struktural eselon III, fungsional tertentu
jenjang Muda dan Penyelia, dan fungsional
umum golongan ruang III/b sampai
dengan III/d di lingkungannya, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a
dan huruf b;
b. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 28 -
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon II, jabatan fungsional tertentu
jenjang Madya, dan jabatan fungsional umum
golongan ruang IV/a sampai dengan golongan
ruang IV/c untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon III,
jabatan fungsional tertentu jenjang Muda dan
Penyelia, dan jabatan fungsional umum
golongan ruang III/b sampai dengan golongan
ruang III/d untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(3) Pejabat struktural eselon II dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon III, fungsional tertentu
jenjang Muda dan Penyelia, dan fungsional
umum golongan ruang III/c dan golongan
ruang III/d di lingkungannya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
2. struktural eselon IV, fungsional tertentu
jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan fungsional umum golongan ruang II/c
sampai dengan golongan ruang III/b di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b;
b. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 29 -
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon III, jabatan fungsional
tertentu jenjang Muda dan Penyelia, dan
jabatan fungsional umum golongan ruang III/c
dan golongan ruang III/d untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2); dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon IV,
jabatan fungsional tertentu jenjang Pertama
dan Pelaksana Lanjutan, dan jabatan
fungsional umum golongan ruang II/c sampai
dengan golongan ruang III/b untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b.
(4) Pejabat struktural eselon II yang atasan
langsungnya:
a. Pejabat Pembina Kepegawaian; dan
b. Pejabat struktural eselon I yang bukan Pejabat
Pembina Kepegawaian,
selain menetapkan penjatuhan hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga
berwenang menetapkan penjatuhan hukuman
disiplin bagi PNS yang menduduki jabatan
struktural eselon IV ke bawah, jabatan fungsional
tertentu jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan jabatan fungsional umum golongan ruang III/d
ke bawah di lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf c.
(5) Pejabat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 30 -
(5) Pejabat struktural eselon III dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon IV, fungsional tertentu
jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan fungsional umum golongan ruang II/c
sampai dengan golongan ruang III/b di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2); dan
2. struktural eselon V, fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula,
dan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf a dan huruf b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon IV, jabatan fungsional
tertentu jenjang Pertama dan Pelaksana
Lanjutan, dan jabatan fungsional umum
golongan ruang II/c sampai dengan golongan
ruang III/b untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon V,
jabatan fungsional tertentu jenjang Pelaksana
dan Pelaksana Pemula, dan jabatan fungsional
umum golongan ruang II/a dan golongan ruang
II/b untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(6) Pejabat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 31 -
(6) Pejabat struktural eselon IV dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon V, fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula,
dan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2); dan
2. fungsional umum golongan ruang I/a
sampai dengan golongan ruang I/d untuk
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf
b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon V, jabatan fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula, dan
jabatan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2); dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan fungsional umum
golongan ruang I/a sampai dengan golongan
ruang I/d untuk hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(7) Pejabat struktural eselon V dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan fungsional
umum golongan ruang I/a sampai dengan
golongan ruang I/d di lingkungannya, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
b. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 32 -
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
fungsional umum golongan ruang I/a sampai
dengan golongan ruang I/d untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 17
Kepala Perwakilan Republik Indonesia menetapkan
penjatuhan hukuman disiplin bagi PNS yang
dipekerjakan atau diperbantukan pada Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
dan ayat (4) huruf b dan huruf c.
Pasal 18
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Provinsi
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS Daerah Provinsi yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon I di lingkungannya
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a;
2. fungsional tertentu jenjang Utama di
lingkungannya untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e di lingkungannya
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, huruf d,
dan huruf e;
4. struktural . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 33 -
4. struktural eselon II dan fungsional
tertentu jenjang Madya dan Penyelia di
lingkungannya untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4);
5. fungsional umum golongan ruang IV/a
sampai dengan golongan ruang IV/c di
lingkungannya untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf a, huruf
d, dan huruf e;
6. struktural eselon III ke bawah, fungsional
tertentu jenjang Muda dan Penyelia ke
bawah di lingkungannya untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c dan ayat (4);
dan
7. fungsional umum golongan ruang III/d ke
bawah di lingkungannya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf c dan ayat (4)
huruf a, huruf d, dan huruf e;
b. PNS yang dipekerjakan di lingkungannya yang
menduduki jabatan:
1. struktural eselon I untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2);
2. fungsional tertentu jenjang Utama untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat
(4) huruf b dan huruf c;
3. fungsional . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 34 -
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
4. struktural eselon II ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Madya dan
Penyelia ke bawah untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) huruf b dan huruf c;
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon I, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
huruf a;
2. fungsional tertentu jenjang Utama, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf
c;
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) huruf a;
4. struktural eselon II dan fungsional
tertentu jenjang Madya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf
a, huruf b, dan huruf c;
5. fungsional umum golongan ruang IV/a
sampai dengan golongan ruang IV/c,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4) huruf a;
6. struktural . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 35 -
6. struktural eselon III ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Muda dan
Penyelia ke bawah, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) huruf c dan ayat (4) huruf
a, huruf b, dan huruf c; dan
7. fungsional umum golongan ruang III/d ke
bawah, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf c dan ayat (4) huruf a;
d. PNS yang dipekerjakan ke luar instansi
induknya yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon I, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf a;
2. struktural eselon II ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Utama ke
bawah, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan
huruf e; dan
3. fungsional umum golongan ruang IV/e ke
bawah, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan
huruf e;
e. PNS yang diperbantukan ke luar instansi
induknya yang menduduki jabatan struktural
eselon II ke bawah, jabatan fungsional tertentu
jenjang Utama ke bawah, dan jabatan
fungsional umum golongan ruang IV/e ke
bawah, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
huruf d dan huruf e;
f. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 36 -
f. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan
pada Perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan huruf e; dan
g. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan
pada negara lain atau badan internasional,
atau tugas di luar negeri, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, huruf d,
dan huruf e.
(2) Pejabat struktural eselon I menetapkan penjatuhan
hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon II, fungsional tertentu
jenjang Madya, dan fungsional umum
golongan ruang IV/a sampai dengan
golongan ruang IV/c di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2); dan
2. struktural eselon III, fungsional tertentu
jenjang Muda dan Penyelia, dan fungsional
umum golongan ruang III/b sampai
dengan III/d di lingkungannya, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a
dan huruf b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon II, jabatan fungsional tertentu
jenjang Madya, dan jabatan fungsional umum
golongan ruang IV/a sampai dengan golongan
ruang IV/c, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
dan
c. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 37 -
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon III,
jabatan fungsional tertentu jenjang Muda dan
Penyelia, dan jabatan fungsional umum
golongan ruang III/b sampai dengan golongan
ruang III/d, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(3) Pejabat struktural eselon II menetapkan penjatuhan
hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon III, fungsional tertentu
jenjang Muda dan Penyelia, dan fungsional
umum golongan ruang III/c dan golongan
ruang III/d di lingkungannya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
2. struktural eselon IV, fungsional tertentu
jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan fungsional umum golongan ruang II/c
sampai dengan golongan ruang III/b di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon III, jabatan fungsional
tertentu jenjang Muda dan Penyelia, dan
jabatan fungsional umum golongan ruang III/c
dan golongan ruang III/d, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
c. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 38 -
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon IV,
jabatan fungsional tertentu jenjang Pertama
dan Pelaksana Lanjutan, dan jabatan
fungsional umum golongan ruang II/c sampai
dengan golongan ruang III/b, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b.
(4) Pejabat struktural eselon III menetapkan
penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon IV, fungsional tertentu
jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan fungsional umum golongan ruang II/c
sampai dengan golongan ruang III/b di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2); dan
2. struktural eselon V, fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula,
dan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf a dan huruf b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon IV, jabatan fungsional
tertentu jenjang Pertama dan Pelaksana
Lanjutan, dan jabatan fungsional umum
golongan ruang II/c sampai dengan golongan
ruang III/b, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
dan
c. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 39 -
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon V,
jabatan fungsional tertentu jenjang Pelaksana
dan Pelaksana Pemula, dan jabatan fungsional
umum golongan ruang II/a dan golongan ruang
II/b, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(5) Pejabat struktural eselon IV dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon V, fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula,
dan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2); dan
2. fungsional umum golongan ruang I/a
sampai dengan golongan ruang I/d, untuk
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf
b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya, yang menduduki jabatan
struktural eselon V, jabatan fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula, dan
jabatan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2); dan
c. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 40 -
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan fungsional umum
golongan ruang I/a sampai dengan golongan
ruang I/d, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(6) Pejabat struktural eselon V dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan fungsional
umum golongan ruang I/a sampai dengan
golongan ruang I/d di lingkungannya, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
fungsional umum golongan ruang I/a sampai
dengan golongan ruang I/d, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 19
Gubernur selaku wakil Pemerintah menetapkan
penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS Daerah Kabupaten/Kota dan PNS Daerah
Kabupaten/Kota yang dipekerjakan atau
diperbantukan pada Kabupaten/Kota lain dalam
satu provinsi yang menduduki jabatan Sekretaris
Daerah Kabupaten/Kota, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(4) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e; dan
b. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 41 -
b. PNS Daerah Kabupaten/Kota dari provinsi lain yang
dipekerjakan atau diperbantukan pada
Kabupaten/Kota di provinsinya yang menduduki
jabatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4) huruf b dan huruf c.
Pasal 20
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah
Kabupaten/Kota menetapkan penjatuhan hukuman
disiplin bagi:
a. PNS Daerah Kabupaten/Kota yang menduduki
jabatan:
1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
huruf a;
2. fungsional tertentu jenjang Utama di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) huruf a, huruf d, dan huruf e;
4. struktural eselon II dan fungsional
tertentu jenjang Madya dan Penyelia di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
5. fungsional . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 42 -
5. fungsional umum golongan ruang IV/a
sampai dengan golongan ruang IV/c di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf a, huruf
d, dan huruf e;
6. struktural eselon III ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Muda dan
Penyelia ke bawah di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4); dan
7. fungsional umum golongan ruang III/d ke
bawah di lingkungannya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf
a, huruf d, dan huruf e;
b. PNS yang dipekerjakan di lingkungannya yang
menduduki jabatan:
1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
2. fungsional tertentu jenjang Utama, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat
(4) huruf b dan huruf c;
3. fungsional umum golongan ruang IV/d
dan golongan ruang IV/e, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
4. struktural eselon II ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Madya dan
Penyelia ke bawah, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan
huruf c;
c. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 43 -
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan:
1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) huruf a;
2. fungsional tertentu jenjang Utama, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf
c;
3. fungsional umum golongan ruang IV/a
sampai dengan golongan ruang IV/e,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a;
4. struktural eselon II dan fungsional
tertentu jenjang Madya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) huruf a, huruf b, dan huruf c;
5. struktural eselon III ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Muda dan
Penyelia ke bawah, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf a, huruf
b, dan huruf c; dan
6. fungsional umum golongan ruang III/c
dan golongan ruang III/d, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) huruf
a;
d. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 44 -
d. PNS yang dipekerjakan ke luar instansi
induknya yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon II ke bawah dan
fungsional tertentu jenjang Utama ke
bawah untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan
huruf e; dan
2. fungsional umum golongan ruang IV/e ke
bawah untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan
huruf e;
e. PNS yang diperbantukan ke luar instansi
induknya yang menduduki jabatan struktural
eselon II ke bawah dan jabatan fungsional
tertentu jenjang Utama ke bawah serta jabatan
fungsional umum golongan IV/e ke bawah,
untuk jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan
huruf e;
f. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan
pada Perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
dan ayat (4) huruf a, huruf d, dan huruf e; dan
g. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan
pada negara lain atau badan internasional,
atau tugas di luar negeri, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, huruf d,
dan huruf e.
(2) Sekretaris . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 45 -
(2) Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, menetapkan
penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon II di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2);
2. struktural eselon III, fungsional tertentu
jenjang Muda dan Penyelia, dan fungsional
umum golongan ruang III/c dan golongan
ruang III/d di lingkungannya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
3. struktural eselon IV, fungsional tertentu
jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan fungsional umum golongan ruang II/c
sampai dengan golongan ruang III/b di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon III, jabatan fungsional
tertentu jenjang Muda dan Penyelia, dan
jabatan fungsional umum golongan ruang III/c
dan golongan ruang III/d, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon IV,
jabatan fungsional tertentu jenjang Pertama
dan Pelaksana Lanjutan, dan jabatan
fungsional umum golongan ruang II/c sampai
dengan golongan ruang III/b, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b.
(3) Pejabat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 46 -
(3) Pejabat struktural eselon II menetapkan penjatuhan
hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon III, fungsional tertentu
jenjang Muda dan Penyelia, dan fungsional
umum golongan ruang III/c dan golongan
ruang III/d di lingkungannya, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
2. struktural eselon IV, fungsional tertentu
jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan fungsional umum golongan ruang II/c
sampai dengan golongan ruang III/b di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon III, jabatan fungsional
tertentu jenjang Muda dan Penyelia, dan
jabatan fungsional umum golongan ruang III/c
dan golongan ruang III/d, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon IV,
jabatan fungsional tertentu jenjang Pertama
dan Pelaksana Lanjutan, dan jabatan
fungsional umum golongan ruang II/c sampai
dengan golongan ruang III/b, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b.
(4) Pejabat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 47 -
(4) Pejabat struktural eselon III menetapkan
penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon IV, fungsional tertentu
jenjang Pertama dan Pelaksana Lanjutan,
dan fungsional umum golongan ruang II/c
sampai dengan golongan ruang III/b di
lingkungannya, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2); dan
2. struktural eselon V, fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula,
dan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf a dan huruf b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon IV, jabatan fungsional
tertentu jenjang Pertama dan Pelaksana
Lanjutan, dan jabatan fungsional umum
golongan ruang II/c sampai dengan golongan
ruang III/b, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan struktural eselon V,
jabatan fungsional tertentu jenjang Pelaksana
dan Pelaksana Pemula, dan jabatan fungsional
umum golongan ruang II/a dan golongan ruang
II/b, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(5) Pejabat . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 48 -
(5) Pejabat struktural eselon IV dan pejabat yang
setara menetapkan penjatuhan hukuman disiplin
bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan:
1. struktural eselon V, fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula,
dan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b di lingkungannya,
untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2); dan
2. fungsional umum golongan ruang I/a
sampai dengan golongan ruang I/d, untuk
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf
b;
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
struktural eselon V, fungsional tertentu
jenjang Pelaksana dan Pelaksana Pemula, dan
jabatan fungsional umum golongan ruang II/a
dan golongan ruang II/b, untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2); dan
c. PNS yang diperbantukan di lingkungannya
yang menduduki jabatan fungsional umum
golongan ruang I/a sampai dengan golongan
ruang I/d, untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
huruf a dan huruf b.
(6) Pejabat struktural eselon V dan pejabat yang setara
menetapkan penjatuhan hukuman disiplin bagi:
a. PNS yang menduduki jabatan fungsional
umum golongan ruang I/a sampai dengan
golongan ruang I/d di lingkungannya, untuk
jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2); dan b. PNS . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 49 -
b. PNS yang dipekerjakan atau diperbantukan di
lingkungannya yang menduduki jabatan
fungsional umum golongan ruang I/a sampai
dengan golongan ruang I/d, untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2).
Pasal 21
(1) Pejabat yang berwenang menghukum wajib
menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS yang
melakukan pelanggaran disiplin.
(2) Apabila Pejabat yang berwenang menghukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS yang
melakukan pelanggaran disiplin, pejabat tersebut
dijatuhi hukuman disiplin oleh atasannya.
(3) Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sama dengan jenis hukuman disiplin yang
seharusnya dijatuhkan kepada PNS yang
melakukan pelanggaran disiplin.
(4) Atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga
menjatuhkan hukuman disiplin terhadap PNS yang
melakukan pelanggaran disiplin.
Pasal 22
Apabila tidak terdapat pejabat yang berwenang
menghukum, maka kewenangan menjatuhkan hukuman
disiplin menjadi kewenangan pejabat yang lebih tinggi.
Bagian Kelima . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 50 -
Bagian Kelima
Tata Cara Pemanggilan, Pemeriksaan, Penjatuhan, dan
Penyampaian Keputusan Hukuman Disiplin
Pasal 23
(1) PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin
dipanggil secara tertulis oleh atasan langsung untuk
dilakukan pemeriksaan.
(2) Pemanggilan kepada PNS yang diduga melakukan
pelanggaran disiplin dilakukan paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sebelum tanggal pemeriksaan.
(3) Apabila pada tanggal yang seharusnya yang
bersangkutan diperiksa tidak hadir, maka
dilakukan pemanggilan kedua paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal seharusnya yang
bersangkutan diperiksa pada pemanggilan pertama.
(4) Apabila pada tanggal pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) PNS yang bersangkutan
tidak hadir juga maka pejabat yang berwenang
menghukum menjatuhkan hukuman disiplin
berdasarkan alat bukti dan keterangan yang ada
tanpa dilakukan pemeriksaan.
Pasal 24
(1) Sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin setiap
atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu
PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan
dalam bentuk berita acara pemeriksaan.
(3) Apabila . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 51 - (3) Apabila menurut hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kewenangan untuk
menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS
tersebut merupakan kewenangan:
a. atasan langsung yang bersangkutan maka
atasan langsung tersebut wajib menjatuhkan
hukuman disiplin;
b. pejabat yang lebih tinggi maka atasan langsung
tersebut wajib melaporkan secara hierarki
disertai berita acara pemeriksaan.
Pasal 25
(1) Khusus untuk pelanggaran disiplin yang ancaman
hukumannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (3) dan ayat (4) dapat dibentuk Tim Pemeriksa.
(2) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari atasan langsung, unsur pengawasan,
dan unsur kepegawaian atau pejabat lain yang
ditunjuk.
(3) Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau
pejabat lain yang ditunjuk.
Pasal 26
Apabila diperlukan, atasan langsung, Tim Pemeriksa
atau pejabat yang berwenang menghukum dapat
meminta keterangan dari orang lain.
Pasal 27 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 52 - Pasal 27
(1) Dalam rangka kelancaran pemeriksaan, PNS yang
diduga melakukan pelanggaran disiplin dan
kemungkinan akan dijatuhi hukuman disiplin
tingkat berat, dapat dibebaskan sementara dari
tugas jabatannya oleh atasan langsung sejak yang
bersangkutan diperiksa.
(2) Pembebasan sementara dari tugas jabatannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sampai dengan ditetapkannya keputusan hukuman
disiplin.
(3) PNS yang dibebaskan sementara dari tugas
jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal atasan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak ada, maka pembebasan
sementara dari jabatannya dilakukan oleh pejabat
yang lebih tinggi.
Pasal 28
(1) Berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2) harus ditandatangani oleh
pejabat yang memeriksa dan PNS yang diperiksa.
(2) Dalam hal PNS yang diperiksa tidak bersedia
menandatangani berita acara pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berita acara
pemeriksaan tersebut tetap dijadikan sebagai dasar
untuk menjatuhkan hukuman disiplin.
(3) PNS yang diperiksa berhak mendapat foto kopi
berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 29 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 53 - Pasal 29
(1) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 pejabat yang
berwenang menghukum menjatuhkan hukuman
disiplin.
(2) Dalam keputusan hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disebutkan
pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh PNS yang
bersangkutan.
Pasal 30
(1) PNS yang berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata
melakukan beberapa pelanggaran disiplin,
terhadapnya hanya dapat dijatuhi satu jenis
hukuman disiplin yang terberat setelah
mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan.
(2) PNS yang pernah dijatuhi hukuman disiplin
kemudian melakukan pelanggaran disiplin yang
sifatnya sama, kepadanya dijatuhi jenis hukuman
disiplin yang lebih berat dari hukuman disiplin
terakhir yang pernah dijatuhkan.
(3) PNS tidak dapat dijatuhi hukuman disiplin dua kali
atau lebih untuk satu pelanggaran disiplin.
(4) Dalam hal PNS yang dipekerjakan atau
diperbantukan di lingkungannya akan dijatuhi
hukuman disiplin yang bukan menjadi
kewenangannya, Pimpinan instansi atau Kepala
Perwakilan mengusulkan penjatuhan hukuman
disiplin kepada pejabat pembina kepegawaian
instansi induknya disertai berita acara
pemeriksaan.
Pasal 31 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 54 - Pasal 31
(1) Setiap penjatuhan hukuman disiplin ditetapkan
dengan keputusan pejabat yang berwenang
menghukum.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertutup oleh pejabat yang
berwenang menghukum atau pejabat lain yang
ditunjuk kepada PNS yang bersangkutan serta
tembusannya disampaikan kepada pejabat instansi
terkait.
(3) Penyampaian keputusan hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
keputusan ditetapkan.
(4) Dalam hal PNS yang dijatuhi hukuman disiplin
tidak hadir pada saat penyampaian keputusan
hukuman disiplin, keputusan dikirim kepada yang
bersangkutan.
BAB IV
UPAYA ADMINISTRATIF
Pasal 32
Upaya administratif terdiri dari keberatan dan banding
administratif.
Pasal 33
Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh:
a. Presiden;
b. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, huruf
b, dan huruf c;
c. Gubernur . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 55 -
c. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) huruf b dan huruf c;
d. Kepala Perwakilan Republik Indonesia; dan
e. Pejabat yang berwenang menghukum untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2),
tidak dapat diajukan upaya administratif.
Pasal 34
(1) Hukuman disiplin yang dapat diajukan keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 yaitu jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b yang
dijatuhkan oleh:
a. Pejabat struktural eselon I dan pejabat yang
setara ke bawah;
b. Sekretaris Daerah/Pejabat struktural eselon II
Kabupaten/Kota ke bawah/Pejabat yang setara
ke bawah;
c. Pejabat struktural eselon II ke bawah di
lingkungan instansi vertikal dan unit dengan
sebutan lain yang atasan langsungnya Pejabat
struktural eselon I yang bukan Pejabat
Pembina Kepegawaian; dan
d. Pejabat struktural eselon II ke bawah di
lingkungan instansi vertikal dan Kantor
Perwakilan Provinsi dan unit setara dengan
sebutan lain yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Pejabat Pembina
Kepegawaian.
(2) Hukuman . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 56 -
(2) Hukuman disiplin yang dapat diajukan banding
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 yaitu hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh:
a. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan huruf e; dan
b. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan huruf e.
Pasal 35
(1) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1), diajukan secara tertulis kepada atasan
pejabat yang berwenang menghukum dengan
memuat alasan keberatan dan tembusannya
disampaikan kepada pejabat yang berwenang
menghukum.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari,
terhitung mulai tanggal yang bersangkutan
menerima keputusan hukuman disiplin.
Pasal 36
(1) Pejabat yang berwenang menghukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), harus
memberikan tanggapan atas keberatan yang
diajukan oleh PNS yang bersangkutan.
(2) Tanggapan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 57 -
(2) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis kepada atasan Pejabat
yang berwenang menghukum, dalam jangka waktu
6 (enam) hari kerja terhitung mulai tanggal yang
bersangkutan menerima tembusan surat keberatan.
(3) Atasan pejabat yang berwenang menghukum wajib
mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan
oleh PNS yang bersangkutan dalam jangka waktu
21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung mulai
tanggal yang bersangkutan menerima surat
keberatan.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pejabat yang berwenang menghukum
tidak memberikan tanggapan atas keberatan maka
atasan pejabat yang berwenang menghukum
mengambil keputusan berdasarkan data yang ada.
(5) Atasan pejabat yang berwenang menghukum dapat
memanggil dan/atau meminta keterangan dari
pejabat yang berwenang menghukum, PNS yang
dijatuhi hukuman disiplin, dan/atau pihak lain
yang dianggap perlu.
Pasal 37
(1) Atasan Pejabat yang berwenang menghukum dapat
memperkuat, memperingan, memperberat, atau
membatalkan hukuman disiplin yang dijatuhkan
oleh pejabat yang berwenang menghukum.
(2) Penguatan, peringanan, pemberatan, atau
pembatalan hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Atasan Pejabat yang berwenang
menghukum.
(3) Keputusan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 58 -
(3) Keputusan Atasan Pejabat yang berwenang
menghukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bersifat final dan mengikat.
(4) Apabila dalam waktu lebih 21 (dua puluh satu) hari
kerja Atasan Pejabat yang berwenang menghukum
tidak mengambil keputusan atas keberatan maka
keputusan pejabat yang berwenang menghukum
batal demi hukum.
Pasal 38
(1) PNS yang dijatuhi hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dapat
mengajukan banding administratif kepada Badan
Pertimbangan Kepegawaian.
(2) Ketentuan mengenai banding administratif diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang Badan Pertimbangan
Kepegawaian.
Pasal 39
(1) Dalam hal PNS yang dijatuhi hukuman disiplin:
a. mengajukan banding administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 maka
gajinya tetap dibayarkan sepanjang yang
bersangkutan tetap melaksanakan tugas;
b. tidak mengajukan banding administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 maka
pembayaran gajinya dihentikan terhitung mulai
bulan berikutnya sejak hari ke 15 (lima belas)
keputusan hukuman disiplin diterima.
(2) Penentuan . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 59 - (2) Penentuan dapat atau tidaknya PNS melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
menjadi kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian
dengan mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan kerja.
Pasal 40
(1) PNS yang meninggal dunia sebelum ada keputusan
atas upaya administratif, diberhentikan dengan
hormat sebagai PNS dan diberikan hak-hak
kepegawaiannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) PNS yang mencapai batas usia pensiun sebelum ada
keputusan atas:
a. keberatan, dianggap telah selesai menjalani
hukuman disiplin dan diberhentikan dengan
hormat sebagai PNS serta diberikan hak-hak
kepegawaiannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. banding administratif, dihentikan pembayaran
gajinya sampai dengan ditetapkannya
keputusan banding administratif.
(3) Dalam hal PNS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) huruf b meninggal dunia,
diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak-
hak kepegawaiannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 41
(1) PNS yang mengajukan keberatan kepada atasan
Pejabat yang berwenang menghukum atau banding
administratif kepada Badan Pertimbangan
Kepegawaian, tidak diberikan kenaikan pangkat
dan/atau kenaikan gaji berkala sampai dengan
ditetapkannya keputusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(2) Apabila . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 60 -
(2) Apabila keputusan pejabat yang berwenang
menghukum dibatalkan maka PNS yang
bersangkutan dapat dipertimbangkan kenaikan
pangkat dan/atau kenaikan gaji berkala sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42
PNS yang sedang dalam proses pemeriksaan karena
diduga melakukan pelanggaran disiplin atau sedang
mengajukan upaya administratif tidak dapat disetujui
untuk pindah instansi.
BAB V
BERLAKUNYA HUKUMAN DISIPLIN
DAN PENDOKUMENTASIAN
KEPUTUSAN HUKUMAN DISIPLIN
Bagian Kesatu
Berlakunya Hukuman Disiplin
Pasal 43
Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh:
a. Presiden;
b. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, huruf
b, dan huruf c;
c. Gubernur . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 61 -
c. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4) huruf b dan huruf c;
d. Kepala Perwakilan Republik Indonesia; dan
e. Pejabat yang berwenang menghukum untuk jenis
hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2),
mulai berlaku sejak tanggal keputusan ditetapkan.
Pasal 44
(1) Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,
apabila tidak diajukan keberatan maka mulai
berlaku pada hari ke 15 (lima belas) setelah
keputusan hukuman disiplin diterima.
(2) Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,
apabila diajukan keberatan maka mulai berlaku
pada tanggal ditetapkannya keputusan atas
keberatan.
Pasal 45
(1) Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian atau Gubernur selaku wakil
pemerintah untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf
d dan huruf e, apabila tidak diajukan banding
administratif maka mulai berlaku pada hari ke 15
(lima belas) setelah keputusan hukuman disiplin
diterima.
(2) Hukuman . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 62 -
(2) Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian atau Gubernur selaku wakil
pemerintah untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf
d dan huruf e, apabila diajukan banding
administratif maka mulai berlaku pada tanggal
ditetapkannya keputusan banding administratif.
Pasal 46
Apabila PNS yang dijatuhi hukuman disiplin tidak hadir
pada waktu penyampaian keputusan hukuman disiplin
maka hukuman disiplin berlaku pada hari ke 15 (lima
belas) sejak tanggal yang ditentukan untuk penyampaian
keputusan hukuman disiplin.
Bagian Kedua
Pendokumentasian Keputusan Hukuman Disiplin
Pasal 47
(1) Keputusan hukuman disiplin wajib
didokumentasikan oleh pejabat pengelola
kepegawaian di instansi yang bersangkutan.
(2) Dokumen keputusan hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai salah satu bahan penilaian dalam
pembinaan PNS yang bersangkutan.
BAB VI . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 63 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
(1) Hukuman disiplin yang telah dijatuhkan sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan sedang
dijalani oleh PNS yang bersangkutan dinyatakan
tetap berlaku.
(2) Keberatan yang diajukan kepada atasan pejabat
yang berwenang menghukum atau banding
administratif kepada Badan Pertimbangan
Kepegawaian sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini diselesaikan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin PNS beserta peraturan
pelaksanaannya.
(3) Apabila terjadi pelanggaran disiplin dan telah
dilakukan pemeriksaan sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini maka hasil pemeriksaan
tetap berlaku dan proses selanjutnya berlaku
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(4) Apabila terjadi pelanggaran disiplin sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan belum
dilakukan pemeriksaan maka berlaku ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur
lebih lanjut oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Pasal 50 . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 64 -
Pasal 50
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
1. Ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1979 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3149) sebagaimana telah
dua kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 141),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3176), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
3. Ketentuan pelaksanaan mengenai disiplin PNS yang
ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diubah berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 51
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 65 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal .6 Juni 2010.......
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 74
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 53 TAHUN 2010
TENTANG
DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL
I. UMUM
Dalam rangka mewujudkan PNS yang handal, profesional, dan
bermoral sebagai penyelenggara pemerintahan yang menerapkan
prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), maka
PNS sebagai unsur aparatur negara dituntut untuk setia kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah, bersikap
disiplin, jujur, adil, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan
tugas.
Untuk menumbuhkan sikap disiplin PNS, pasal 30 Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
mengamanatkan ditetapkannya peraturan pemerintah mengenai
disiplin PNS. Selama ini ketentuan mengenai disiplin PNS telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Namun demikian peraturan pemerintah
tersebut perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan,
karena tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi saat ini.
Untuk mewujudkan PNS yang handal, profesional, dan bermoral
tersebut, mutlak diperlukan peraturan disiplin PNS yang dapat
dijadikan pedoman dalam menegakkan disiplin, sehingga dapat
menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas
serta dapat mendorong PNS untuk lebih produktif berdasarkan sistem
karier dan sistem prestasi kerja.
Peraturan . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
Peraturan Pemerintah tentang disiplin PNS ini antara lain
memuat kewajiban, larangan, dan hukuman disiplin yang dapat
dijatuhkan kepada PNS yang telah terbukti melakukan pelanggaran.
Penjatuhan hukuman disiplin dimaksudkan untuk membina PNS yang
telah melakukan pelanggaran, agar yang bersangkutan mempunyai
sikap menyesal dan berusaha tidak mengulangi dan memperbaiki diri
pada masa yang akan datang.
Dalam Peraturan Pemerintah ini secara tegas disebutkan jenis
hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan terhadap suatu pelanggaran
disiplin. Hal ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi pejabat yang
berwenang menghukum serta memberikan kepastian dalam
menjatuhkan hukuman disiplin. Demikian juga dengan batasan
kewenangan bagi pejabat yang berwenang menghukum telah
ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Penjatuhan hukuman berupa jenis hukuman disiplin ringan,
sedang, atau berat sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang
dilakukan oleh PNS yang bersangkutan, dengan mempertimbangkan
latar belakang dan dampak dari pelanggaran yang dilakukan.
Kewenangan untuk menetapkan keputusan pemberhentian bagi
PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dilakukan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Selain hal tersebut di atas, bagi PNS yang dijatuhi hukuman
disiplin diberikan hak untuk membela diri melalui upaya administratif,
sehingga dapat dihindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam
penjatuhan hukuman disiplin.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
Pasal 3
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Pemerintah” adalah setiap PNS di samping taat juga
berkewajiban melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kebijakan
negara dan Pemerintah serta tidak mempermasalahkan
dan/atau menentang Pancasila, dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “tugas kedinasan” adalah tugas yang
diberikan oleh atasan yang berwenang dan berhubungan
dengan:
a. perintah kedinasan;
b. peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian
atau peraturan yang berkaitan dengan kepegawaian;
c. peraturan kedinasan;
d. tata tertib di lingkungan kantor; atau
e. standar prosedur kerja (Standar Operating Procedure atau
SOP).
Angka 6 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Yang dimaksud dengan “menurut sifatnya” dan “menurut
perintah” adalah didasarkan pada peraturan perundang-
undangan, perintah kedinasan, dan/atau kepatutan.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Yang dimaksud dengan kewajiban untuk “masuk kerja dan
menaati ketentuan jam kerja” adalah setiap PNS wajib
datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan
jam kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena
dinas. Apabila berhalangan hadir wajib memberitahukan
kepada pejabat yang berwenang.
Keterlambatan masuk kerja dan/atau pulang cepat dihitung
secara kumulatif dan dikonversi 7 ½ (tujuh setengah) jam
sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk kerja.
Angka 12
Yang dimaksud dengan “sasaran kerja pegawai” adalah
rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang
pegawai yang disusun dan disepakati bersama antara
pegawai dengan atasan pegawai.
Angka 13 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Yang dimaksud dengan “memberikan pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat” adalah memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang berkualitas, cepat, mudah,
terjangkau, dan terukur, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Angka 15
Cukup jelas.
Angka 16
Yang dimaksud dengan “memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk mengembangkan karier” adalah memberi
kesempatan kepada bawahan untuk meningkatkan
kemampuan dalam rangka pengembangan karier, antara lain
memberi kesempatan mengikuti rapat, seminar, diklat, dan
pendidikan formal lanjutan.
Angka 17
Cukup jelas.
Pasal 4
Angka 1
Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan wewenang”
adalah menggunakan kewenangannya untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan pihak lain yang tidak sesuai
dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut.
Angka 2
Contoh:
Seorang PNS yang tidak memiliki wewenang di bidang
perizinan membantu mengurus perizinan bagi orang lain
dengan memperoleh imbalan.
Angka 3 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “memiliki, menjual, membeli,
menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-
barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau
surat berharga milik negara secara tidak sah” adalah
perbuatan yang dilakukan tidak atas dasar ketentuan
termasuk tata cara maupun kualifikasi barang, dokumen,
atau benda lain yang dapat dipindahtangankan.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Yang dimaksud dengan “jabatan” adalah jabatan struktural
dan jabatan fungsional tertentu.
Angka 8
PNS dilarang menerima hadiah, padahal diketahui dan patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.
Angka 9
Yang dimaksud dengan “bertindak sewenang-wenang” adalah
setiap tindakan atasan kepada bawahan yang tidak sesuai
dengan peraturan kedinasan seperti tidak memberikan tugas
atau pekerjaan kepada bawahan, atau memberikan nilai
hasil pekerjaan (Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai) tidak
berdasarkan norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan.
Angka 10 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Yang dimaksud dengan “menghalangi berjalannya tugas
kedinasan” adalah perbuatan yang mengakibatkan tugas
kedinasan menjadi tidak lancar atau tidak mencapai hasil
yang harus dipenuhi.
Contoh:
PNS yang tidak memberikan dukungan dalam hal diperlukan
koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi dalam tugas
kedinasan.
Angka 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
PNS sebagai peserta kampanye hadir untuk mendengar,
menyimak visi, misi, dan program yang ditawarkan
peserta pemilu, tanpa menggunakan atribut Partai atau
PNS.
Yang dimaksud dengan “menggunakan atribut partai”
adalah dengan menggunakan dan/atau memanfaatkan
pakaian, kendaraan, atau media lain yang bergambar
partai politik dan/atau calon anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan/atau calon Presiden/Wakil Presiden
dalam masa kampanye.
Yang dimaksud dengan “menggunakan atribut PNS”
adalah seperti menggunakan seragam Korpri, seragam
dinas, kendaraan dinas, dan lain-lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Huruf a
Yang dimaksud dengan “terlibat dalam kegiatan
kampanye” adalah seperti PNS bertindak sebagai
pelaksana kampanye, petugas kampanye/tim sukses,
tenaga ahli, penyandang dana, pencari dana, dan lain-
lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
PNS yang melanggar ketentuan disiplin PNS dijatuhi hukuman
disiplin dan apabila perbuatan tersebut terdapat unsur pidana
maka terhadap PNS tersebut tidak tertutup kemungkinan dapat
dikenakan hukuman pidana.
Pasal 7 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Hukuman disiplin yang berupa teguran lisan dinyatakan
dan disampaikan secara lisan oleh pejabat yang
berwenang menghukum kepada PNS yang melakukan
pelanggaran disiplin.
Apabila seorang atasan menegur bawahannya tetapi
tidak dinyatakan secara tegas sebagai hukuman
disiplin, bukan hukuman disiplin.
Huruf b
Hukuman disiplin yang berupa teguran tertulis
dinyatakan dan disampaikan secara tertulis oleh pejabat
yang berwenang menghukum kepada PNS yang
melakukan pelanggaran.
Huruf c
Hukuman disiplin yang berupa pernyataan tidak puas
secara tertulis dinyatakan dan disampaikan secara
tertulis oleh pejabat yang berwenang menghukum
kepada PNS yang melakukan pelanggaran.
Ayat (3)
Huruf a
Masa penundaan kenaikan gaji berkala tersebut
dihitung penuh untuk kenaikan gaji berkala berikutnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat
lebih rendah dengan memperhatikan jabatan yang
lowong dan persyaratan jabatan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jabatan” adalah jabatan
struktural dan fungsional tertentu.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 8
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Yang dimaksud dengan “tanpa alasan yang sah” adalah
bahwa alasan ketidakhadirannya tidak dapat diterima akal
sehat.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Jenis hukuman disiplin terhadap pelanggaran ketentuan ini
mengacu antara lain pada peraturan perundang-undangan
tentang pelayanan publik.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Pasal 9
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Lihat penjelasan Pasal 8 angka 9.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Angka 14
Lihat penjelasan Pasal 8 angka 11.
Angka 15
Cukup jelas.
Angka 16
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Pasal 10
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Angka 9
Lihat penjelasan Pasal 8 angka 9.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Lihat penjelasan Pasal 8 angka 11.
Angka 13
Cukup jelas.
Pasal 11
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Lihat penjelasan Pasal 8 angka 11
Angka 5
Cukup jelas.
Pasal 12
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Lihat penjelasan Pasal 8 angka 11.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Pasal 13
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Lihat penjelasan Pasal 8 angka 11.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “dihitung secara kumulatif sampai
dengan akhir tahun berjalan” adalah bahwa pelanggaran yang
dilakukan dihitung mulai bulan Januari sampai dengan bulan
Desember tahun yang bersangkutan.
Contoh: . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
Contoh:
Seorang PNS dari bulan Januari sampai dengan bulan Maret
2011 tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari maka yang
bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran lisan.
Selanjutnya, pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011 yang
bersangkutan tidak masuk kerja selama 2 (dua) hari, sehingga
jumlahnya menjadi 7 (tujuh) hari. Dalam hal demikian, maka
yang bersangkutan dijatuhi hukuman disiplin berupa teguran
tertulis.
Selanjutnya, pada bulan September sampai dengan bulan
Nopember 2011 yang bersangkutan tidak masuk kerja selama 5
(lima) hari, sehingga jumlahnya menjadi 12 (dua belas) hari.
Dalam hal demikian, maka yang bersangkutan dijatuhi hukuman
disiplin berupa pernyataan tidak puas secara tertulis.
Pasal 15
Ayat (1)
Pejabat struktural eselon I yang diturunkan jabatannya
menjadi pejabat struktural eselon II maka untuk
pengangkatan dalam jabatan struktural eselon II ditetapkan
oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Yang dimaksud dengan “jabatan lain yang pengangkatan dan
pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden” antara lain
Panitera Mahkamah Agung dan Panitera Mahkamah
Konstitusi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan “pejabat struktural eselon
II” antara lain adalah:
a. Pejabat struktural eselon II di lingkungan
Direktorat Jenderal atau Badan atau
Sekretariat Jenderal, seperti Direktur, Kepala
Pusat, Kepala Biro;
b. Pejabat struktural eselon II di lingkungan
instansi vertikal yang atasan langsungnya
Pejabat struktural eselon I yang Bukan Pejabat
Pembina Kepegawaian, seperti Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai;
c. Pejabat struktural eselon II b di lingkungan Unit Pelaksana Teknis, seperti Kepala Balai
Besar.
Angka 5
Yang dimaksud dengan “pejabat struktural eselon
II” adalah Pejabat struktural eselon II di
lingkungan instansi vertikal dan Kepala Kantor
Perwakilan Provinsi atau Kepala unit setara
dengan sebutan lain yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Pejabat Pembina
Kepegawaian, seperti Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Kepala Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa
Keuangan, Kepala Kantor Regional Badan
Kepegawaian Negara, dan Kepala Kejaksaan
Tinggi.
Angka 6 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang setara” adalah PNS
yang diberi tugas tambahan untuk memimpin satuan unit
kerja tertentu, antara lain Rektor dan Dekan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang setara” adalah PNS
yang diberi tugas tambahan untuk memimpin satuan unit
kerja tertentu, antara lain Ketua Pengadilan Tinggi.
Ayat (4) . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
Ayat (4)
Lihat penjelasan ayat (1) angka 4 dan angka 5.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang setara” adalah PNS
yang diberi tugas tambahan untuk memimpin satuan unit
kerja tertentu, antara lain Ketua Pengadilan Negeri, Direktur
Akademi.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang setara” adalah PNS
yang diberi tugas tambahan untuk memimpin satuan unit
kerja tertentu, antara lain Kepala Sekolah Menengah Atas,
Kepala Sekolah Menengah Pertama.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang setara” adalah PNS
yang diberi tugas tambahan untuk memimpin satuan unit
kerja tertentu, antara lain Kepala Sekolah Dasar, Kepala
Taman Kanak-Kanak.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Jabatan struktural eselon I di Provinsi adalah
jabatan Sekretaris Daerah Provinsi.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (6).
Ayat (6)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (7).
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Jabatan struktural eselon II antara lain adalah
Kepala Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
Angka 7
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1
Jabatan struktural eselon II adalah Asisten di
lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 24 -
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (6).
Ayat (6)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (7).
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan penjatuhan hukuman disiplin oleh atasan kepada
pejabat yang seharusnya menghukum berlaku juga bagi
atasan dari atasan secara berjenjang.
Penjatuhan hukuman disiplin oleh atasan kepada pejabat
yang tidak menjatuhkan hukuman disiplin, dilakukan
setelah mendengar keterangannya, dan tidak perlu
dilakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara
pemeriksaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pejabat yang berwenang
menghukum” adalah terdapat satuan organisasi yang pejabatnya
lowong, antara lain karena berhalangan tetap, atau tidak terdapat
dalam struktur organisasi.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam menentukan tanggal pemeriksaan berikutnya harus
pula diperhatikan waktu yang diperlukan untuk
menyampaikan surat panggilan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Tujuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini,
adalah untuk mengetahui apakah PNS yang bersangkutan
benar atau tidak melakukan pelanggaran disiplin, serta
untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong atau
menyebabkan ia melakukan pelanggaran disiplin.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan teliti dan obyektif,
sehingga dengan demikian pejabat yang berwenang
menghukum dapat mempertimbangkan dengan seadil-
adilnya tentang jenis hukuman disiplin yang akan
dijatuhkan.
Ayat (2) . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 26 -
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan secara tertutup”
adalah pemeriksaan hanya dihadiri oleh PNS yang diduga
melakukan pelanggaran disiplin dan pemeriksa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Tim Pemeriksa bersifat temporer (Ad Hoc).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pembebasan sementara dari tugas jabatannya dimaksudkan
untuk kelancaran pemeriksaan dan pelaksanaan tugas-
tugasnya.
Selama PNS yang bersangkutan dibebaskan sementara dari
tugas jabatannya, diangkat pejabat pelaksana harian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 27 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara tertutup” adalah bahwa
penyampaian surat keputusan hanya diketahui PNS yang
bersangkutan dan pejabat yang menyampaikan keputusan
serta pejabat lain yang terkait, dengan ketentuan bahwa
pejabat terkait dimaksud jabatan dan pangkatnya tidak
boleh lebih rendah dari PNS yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 28 -
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (1) angka 4 huruf b dan
huruf c.
Huruf d
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (1) angka 5.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “final dan mengikat” adalah
terhadap keputusan penguatan, peringanan, pemberatan,
atau pembatalan hukuman disiplin tidak dapat diajukan
keberatan dan wajib dilaksanakan.
Ayat (4) . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 29 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal PNS yang bersangkutan sebelumnya dijatuhkan
hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan
hormat maka keputusan pemberhentiannya ditinjau kembali
oleh pejabat yang berwenang menjadi pemberhentian dengan
hormat.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keputusan yang dibatalkan” adalah
bahwa berdasarkan keputusan atasan pejabat yang
berwenang menghukum atau Badan Pertimbangan
Kepegawaian, PNS yang bersangkutan dinyatakan tidak
bersalah.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43 . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 30 -
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5135