18 februari 2018

16
46 | | 18 FEBRUARI 2018 Dua anak dari Kampung Warse, Distrik Jetsy, menunggu perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Agats, Kabupaten Asmat, Papua, 22 Januari 2018. —ANTARA/M AGUNG RAJASA

Upload: others

Post on 27-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

46 | | 18 FEBRUARI 2018

Dua anak dari Kampung Warse, Distrik Jetsy, menunggu perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Agats, Kabupaten Asmat, Papua, 22 Januari 2018. —ANTARA/M AGUNG RAJASA

18 FEBRUARI 2018 | | 47

Anggaran Hilang, Gizi Buruk TerbilangKematian 72 penduduk Kabupaten Asmat menguak persoalan laten kesehatan di Provinsi Papua. Puluhan triliun rupiah anggaran yang diguyurkan pemerintah pusat tiap tahun ternyata tak menambah kualitas kesehatan penduduk daerah tersebut. Kasus gizi buruk bayi masih terus muncul tiap tahun. Angka kematian pasien lima kali lipat di atas rata-rata nasional.

Tempo menelusuri pelayanan kesehatan di sejumlah kabupaten lain di Papua sejak Agustus tahun lalu dan menemukan banyak penyimpangan yang ditengarai terjadi dari tahun ke tahun. Investigasi ini terselenggara atas kerja sama majalah Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.

48 | | 18 FEBRUARI 2018

TEMPURUNG kelapa muda menjadi menu makan siang Fransis-ca Patatcot dan anak lelakinya pada Sabtu dua pekan lalu. Duduk bersebelahan di teras kayu Gereja Santo Pet- rus Paulus, Distrik Pu-

lau Tiga, Kabupaten Asmat, Papua, mereka asyik mengudap potongan tempurung. Ke-tika tempurung habis, ia menggantinya de-ngan menyantap sabut kelapa. ”Yang pen-ting kenyang, toh,” kata perempuan 45 ta-hun itu kepada Tempo sambil memangku anak lelakinya yang lain yang juga terlihat kurus.

Gereja Santo Petrus Paulus berada di an-tara Kampung As dan Atat. Kampung ini ter-letak di tepi Sungai Mamat dan dikepung

di Asmat sejak 9 Januari lalu. Kampung As dan Atat paling disorot karena warganya menjadi korban meninggal terbanyak, yak-ni 31 jiwa. Dua hari setelah kunjungan Hen-drik, 6 Februari, Bupati mencabut status KLB itu. ”Kasusnya sudah jauh menurun,” kata Elisa Kambu kepada Tempo di Agats, Senin pekan lalu. Kematian massal itu ter-ungkap pertama kali oleh Keuskupan Agats saat berkunjung ke sana pada akhir Desem-ber 2017.

Hendrik bersama Keuskupan Agats dan petugas kesehatan lain datang untuk me-meriksa kesehatan 71 anak kampung sela-ma dua hari. Saat diperiksa, bocah-bocah

hamparan rawa-rawa. Butuh sekitar tiga jam mengendarai perahu cepat dari Agats—ibu kota Kabupaten Asmat—untuk menjang-kau kampung itu. Menyantap tempurung kelapa menjadi kebiasaan baru di Asmat. ”Sebelumnya tak pernah ada yang makan itu,” ujar Hendrik Mengga, yang juga berada di gereja itu bersama Fransisca.

Hendrik sehari-hari bertugas seba-gai dokter spesialis bedah di Rumah Sa-kit Umum Daerah Agats. Kementerian Ke-sehatan mengutus Hendrik ke sana untuk memeriksa kondisi 150 anak berusia di ba-wah lima tahun yang tinggal di kedua kam-pung itu. Ada 651 orang mengidap campak dan 223 orang menderita gizi buruk di Ka-bupaten Asmat sejak September tahun lalu. Sebanyak 72 di antaranya meninggal.

Bupati Asmat Elisa Kambu menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk

Seorang anak mengkonsumsi tempurung kelapa muda di gereja di Kampung As dan Atat, Asmat.

18 FEBRUARI 2018 | | 49

GIZI BURUK PAPUA

yang berusia di bawah lima tahun itu tam-pak ceking dan buncit. Meski jumlah pen-derita gizi buruk dan campak sudah berku-rang jauh dari sebelumnya, petugas kese-hatan masih menemukan penderita kedua-nya. Ada juga yang mengidap hernia, tumor, serta jamur kulit.

Saat anak-anak itu dikumpulkan, tubuh mereka mengeluarkan bau apak. Di anta-ra mereka terdapat anak yang kulitnya di-penuhi jamur hingga membentuk motif se-perti kain batik. ”Ini karena mandi di kali yang kotor dan tak memakai sabun,” ujar Hendrik.

Kedatangan tim medis ini disambut gem-bira Victor Paya, 56 tahun, Kepala Kam-pung As. Ia mengaku sudah lama kam-pungnya tak mendapat pelayanan kese-hatan. Kondisi itu mengakibatkan banyak anak dan bayi yang sakit dan kemudian mati tanpa sempat mendapat perawatan medis. Padahal di sana terdapat pusat kese-hatan masyarakat (puskesmas) pembantu. ”Tapi sudah setahun kosong karena diting-galkan petugasnya,” kata Victor.

l l l

PINTU rumah berdinding papan dan ber-kelir putih itu tertutup rapat dan terkunci. Letaknya persis di sebelah Gereja Santo Pet rus Paulus, Kampung As. Ilalang meme-nuhi halaman rumah. Dari celah kaca jen-dela, di dalam rumah hanya terlihat bang-sal tanpa kasur. Rumah itu adalah Puskes-mas Pembantu Kampung As dan Atat. Me-nurut Victor, tak ada satu pun penduduk yang melihat petugas puskesmas pemban-tu itu pergi.

Bupati Asmat Elisa Kambu menyebutkan banyak puskesmas pembantu yang diting-galkan petugasnya. Ia mengaku sulit meng-hukum para petugas yang kabur. Ia me-maklumi alasan kaburnya para pegawai itu. Mereka kesal karena sering dijadikan sasaran kemarahan keluarga pasien yang panik di tengah kerabatnya yang sakit. ”Ini yang membuat kami menolerir kaburnya para petugas itu,” ujar Elisa.

Menghadapi penduduk ternyata bukan persoalan utama para petugas itu. Yakob Kono, pegawai kesehatan di RSUD Agats, mengatakan para petugas yang ditempat-kan di puskesmas pembantu tak menda-patkan upah yang layak. Perawat di pus-kesmas pembantu yang bertitel diploma

hanya digaji Rp 3 juta per bulan. ”Tak ada tambahan insentif dan biaya operasional,” ujarnya. Yakob menganggap jumlah itu ter-lalu kecil jika dibandingkan dengan beban dan rute yang harus mereka hadapi selama di puskesmas pembantu.

Kabupaten Asmat adalah daerah berme-dan berat. Perkampungannya hanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu. Jaraknya pun berjauhan. Penumpang pe-sawat di Bandar Udara Ewer, misalnya, ha-rus menggunakan perahu cepat sekitar 20 menit untuk mencapai Agats. Untuk menu-ju kampung lain, waktu tempuhnya bisa berjam-jam. Harga sewa perahu di Asmat mencapai sekitar Rp 5 juta untuk sekali perjalanan.

Kepala Dinas Kesehatan Asmat Pieter Pa-jalla tak membantah soal jumlah gaji pe-rawat lulusan diploma seperti yang dise-butkan Yakob. Ia juga merasa aneh karena upah petugas kesehatan bergelar sarjana justru lebih kecil, yakni Rp 2,2 juta. ”Saya tidak tahu kenapa lebih kecil karena ini su-dah ditetapkan dari dulu,” ujar Pieter. Ta-hun ini, kata dia, pemerintah daerah As-mat sudah menambah gaji semua petugas kesehatan sebesar Rp 1 juta.

Minimnya tenaga kesehatan bukan satu-satunya faktor meluasnya penderita cam-pak dan gizi buruk di Asmat. Hendrik ber-sama tim keuskupan menyimpulkan virus campak meluas karena asupan gizi anak-anak Asmat yang sangat sedikit. Mereka se-benarnya bisa memperoleh gizi dan kar-bohidrat dengan mengkonsumsi sagu dan ikan, seperti yang dilakukan nenek mo-yang mereka selama ratusan tahun. Na-mun masyarakat sudah sangat jarang per-gi mengail ikan dan hanya sesekali menca-ri sagu.

Selama dua hari Tempo berada di Kam-pung Kapi, As, dan Atat, hanya ada lima penduduk yang terlihat mencari ikan. Tak semua keluarga memiliki perahu. Warga di sana juga jarang pergi ke hutan menca-ri sagu. Kebanyakan penduduk memilih berdiam diri di dalam rumah. ”Mereka le-bih suka menunggu bantuan makanan ke-timbang mencari ikan dan sagu,” ujar Heri Ola, pastor di Keuskupan Agats.

Sebenarnya ikan dan sagu juga bisa memperburuk kesehatan mereka karena kesalahan cara mengolahnya. Masyara-kat terbiasa membakar sagu bersama ikan

yang dicuci dengan air keruh. Telur-telur cacing yang menempel dari air keruh tak mati karena ikan dan sagu sering disajikan setengah matang. Untuk mencegah anak-anak menderita cacingan, Pieter Pajalla mengklaim tiap bulan rutin mengirim obat cacing ke kampung-kampung. Klaim ini di-bantah penduduk. ”Tidak ada,” ujar Pau-lus Patar, warga Kampung Atat.

Penduduk Asmat sangat mengandalkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Air sungai sudah tak layak dikonsumsi karena sangat keruh. Hendrik Hada, pastor lain di Keuskupan Agats, menuturkan pihaknya pernah mencoba mengebor sumur, tapi ga-gal karena payau dan terlalu keruh. Men-teri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek me-ngatakan cacing ini turut menggerogoti gizi anak-anak Asmat. ”Perut anak-anak di sana buncit-buncit, tapi isinya cacing,” ka-tanya Kamis pekan lalu.

Tiap tahun, ratusan miliar rupiah uang negara mengalir ke Papua. Tahun ini, mi-salnya, Papua menerima Rp 44,68 triliun dari berbagai pos anggaran, seperti dana otonomi khusus dan dana alokasi khusus. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2017, Kabupaten Asmat mengang-garkan Rp 173 miliar untuk dana kesehat-an. Bupati Elisa Kambu mengatakan salah satu penggunaan anggaran itu adalah pem-berian makanan tambahan untuk anak-anak dan ibu hamil. Bantuan itu disebar-kan ke 13 puskesmas di 23 distrik Kabupa-ten Asmat. ”Tapi masyarakat tak meman-faatkan program ini karena mereka terlalu jauh tinggal di hutan,” ujar Elisa.

Bantuan makanan, obat-obatan, serta te-naga medis terus mengalir deras ke Asmat pasca-penetapan status KLB gizi buruk dan campak. Berton-ton makanan masuk ke Agats dari Timika melalui jalur udara dan laut. Bantuan ditempatkan di gudang milik Dinas Sosial Kabupaten Agats di dekat pela-buhan dan di tengah Kota Agats serta di gu-dang keuskupan. Saat Tempo melongok ke salah satu gudang, kardus-kardus itu berisi mi instan, susu, biskuit, dan bubur sereal. ”Bantuan makanan mulai melimpah saat KLB ditetapkan,” kata Heri Ola.

Kementerian Kesehatan pun sudah me-miliki program pemberian makanan tam-bahan untuk warga Papua. Bantuan ber-bentuk biskuit itu dikhususkan kepada pe-rempuan hamil dan anak-anak. Bantuan TE

MP

O/E

RW

AN H

ERM

AWAN

50 | | 18 FEBRUARI 2018

ANTA

RA/

M AG

UNG R

AJAS

A, TE

MPO

/ERW

AN H

ERM

AWAN

itu disebut sudah berjalan sejak Oktober ta-hun lalu. Direktur Jenderal Kesehatan Ma-syarakat Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan bantuan itu ke-rap terhambat karena pemerintah Papua tak menyalurkannya ke daerah. ”Mereka (Pemerintah Provinsi Papua) tidak cepat merespons,” ujarnya.

Sebaliknya, Bupati Elisa mengaku baru mendapat biskuit tersebut ketika peme-rintah menetapkan kasus campak dan gizi buruk itu sebagai KLB. Pengakuan seru-pa muncul dari Victor Paya, Kepala Kam-pung As. Ia mengklaim tak pernah mene-rima bantuan makanan sebelum penetap-an KLB. Makanan tambahan untuk warga kampung, kata dia, berasal dari dana desa yang ia kelola. Ia menghabiskan Rp 20 juta sebulan untuk membeli biskuit bagi anak-anak dan ibu hamil. Heri Ola turut mem-bantah ada pembagian bantuan makanan dari pemerintah kabupaten. ”Saya juga tak pernah tahu ada kepala kampung memba-gikan makanan tambahan kepada pendu-duk,” ujarnya.

l l l

KETIKA wabah campak datang, Bupati Elisa Kambu justru menyalahkan pendu-duk yang tak mau ikut imunisasi. Ia mem-persoalkan kebiasaan masyarakat yang pergi ke hutan untuk mencari makanan sambil membawa anaknya. ”Mereka tak punya kesadaran untuk datang ke puskes-mas,” katanya.

Paulus Patar, penduduk Kampung Atat, menyangkal tuduhan itu. Dia mengaku tak pernah melihat ada petugas kesehatan yang mengimunisasi anak-anak. Pemberi-an imunisasi baru dilakukan setelah ada penetapan status KLB.

Anak Asmat yang divaksinasi saat KLB berjumlah 17.337 orang. Tapi tak semua penduduk ikut imunisasi. Tempo bertemu dengan penduduk Kampung As dan Atat yang menggendong anaknya ke keuskupan untuk mendapatkan imunisasi, Sabtu dua pekan lalu. Namun mereka terlambat kare-

na pekan imunisasi sudah berlalu. Mereka telat menerima kabar ada imunisasi massal karena berhari-hari menginap di bivak—tempat persinggahan saat mencari makan-an di hutan.

Pemerintah Provinsi Papua sebenar-nya memiliki program Kartu Papua Sehat (KPS) untuk jaminan pelayanan kesehat-an penduduk. Namun tiga penduduk yang ditemui di Kampung Kapi dan As mengaku tak memiliki KPS. Margaretha Bee, misal-nya, menggeleng saat ditanyai soal KPS. Ia

TIM INVESTIGASI PENANGGUNG JAWAB: Setri Yasra KEPALA PROYEK: Mustafa Silalahi PENYUNTING: Setri Yasra, Mustafa Silalahi, Stefanus Pramono PENULIS: Erwan Hermawan, Mustafa Silalahi, Benny Mawel, Stefanus Pramono, Istman M.P., Nur Alfiyah

PENYUMBANG BAHAN: Benny Mawel (Jayapura, Abepura, Wamena), Erwan Hermawan (Asmat), Mustafa Silalahi (Jayapura, Abepura), Stefanus Pramono, Istman M.P., Angelina Anjar, Nur Alfiyah (Jakarta)

DESAIN: Eko Punto Pambudi FOTO: Jati Mahatmaji BAHASA: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Heru Yulistiyan

Perawatan di dalam garasi mobil Rumah Sakit Umum Daerah Agats, Kabupaten Asmat, 22 Januari 2018.

Pemeriksaan kesehatan oleh tim dari Kementerian Kesehatan di gereja Kampung As dan Atat, Asmat (bawah).

18 FEBRUARI 2018 | | 51

GIZI BURUK PAPUA

ANTA

RA/

M AG

UNG R

AJAS

A

malah menunjukkan Kartu Indonesia Se-hat yang diterimanya saat menetap di Dis-trik Sawaerma. Menurut Kepala Dinas Ke-sehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai, ma-syarakat yang belum memiliki KPS itu ka-rena belum sempat bertemu dengan petu-gas pembagi kartu.

Pemerintah Provinsi Papua juga menja-lankan program Kijang, yang merupakan singkatan dari kaki telanjang. Kijang ada-lah program pelayanan kesehatan ke pelo-sok-pelosok permukiman. Disebut kaki te-lanjang karena petugas berjalan kaki tiap kali mengunjungi daerah-daerah yang akan dilayani. Aloysius mengatakan prog-ram Kijang sempat dijalankan di Asmat pada 2016. Program ini berhenti karena medan Asmat yang terlalu berat. ”Petugas-nya memang sedikit,” katanya.

Gizi buruk juga akan selalu mengancam

Papua. Kantor Staf Presiden mencatat ha-nya Kota Jayapura dan Merauke yang masuk ”kawasan kuning” gizi buruk di Provinsi Pa-pua. Artinya, kedua daerah ini masih diang-gap aman dari kasus gizi buruk. Daerah lain, khususnya pegunungan, diberi warna me-rah atau masuk kategori rawan gizi buruk.

KLB mereda setelah berbagai instan-si pemerintah menggempur bantuan ke-sehatan ke Papua. Jumlah penderita cam-pak dan gizi buruk kini tinggal sedikit. Se-jak pekan lalu, satu per satu korban gizi bu-ruk dipulangkan setelah berhari-hari dira-wat di RSUD Agats. Rumah sakit itu sebe-lumnya dipadati penderita gizi buruk dan campak. Senin pekan lalu, pasien yang di-rawat tinggal 12 orang.

Anak laki-laki Elias Paok yang berusia tiga tahun salah satu pasien yang masih dirawat di sana. Warga Kampung Yawun,

Distrik Joerat, itu sudah berminggu-ming-gu dirawat di RSUD Agats. Tubuh anak itu sangat kurus. Tulang-tulangnya terlihat sa-ngat menonjol. Slang infus masih melekat di tubuhnya.

Elias Paok mengatakan kondisi putranya itu tak kunjung membaik sejak awal dirawat. ”Anak saya masih sangat lemas,” ujarnya. Lelaki 37 tahun ini mengaku sangat khawatir karena, dari sebelas anak yang dilahirkannya, enam meninggal akibat penyakit kurang gizi. Elias berharap putranya itu bisa bertahan dan memutus ”kutukan” gizi buruk yang merenggut nyawa buah hatinya. l

Perjalanan menuju pemeriksaan dan perawatan kesehatan di RSUD Agats.

52 | | 18 FEBRUARI 2018

Vonis Mabuk di Ruangan MautAngka kematian pasien di rumah sakit Papua tertinggi di Indonesia. Anggaran berlimpah, tapi pelayanan tenaga kesehatan dan fasilitas rumah sakit buruk.

18 FEBRUARI 2018 | | 53

GIZI BURUK PAPUA

WAJAH Sepi Boma tam-pak kuyu. Ia mengaku baru beberapa jam ti-dur sejak sepekan sebe-lumnya. Selama itu, pe-

lajar 18 tahun ini sendirian menjaga Simon Boma, 23 tahun, kakaknya yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Abepura. Saat didatangi Tempo di kamar jenazah RSUD Abepura pada awal Oktober tahun lalu itu, Simon sudah terbujur kaku di peti mati. Sepi sesekali mondar-mandir ke bagian ad-ministrasi mengurus dokumen kepulang-an mereka ke Kabupaten Wamena.

Sepi masih tak paham akan penyakit ka-kaknya. Dokter hanya mengatakan kakak-nya kekurangan darah, tanpa menyebut-kan penyebabnya. Selama dirawat hingga meninggal, kakaknya hanya diberi para-setamol, obat pereda sakit kepala dan pe-nurun demam. ”Obatnya itu-itu saja,” ka-tanya sambil terus menunduk. Padahal na-pas Simon sudah tersengal dan sering bu-ang air di celana.

Sepi menyisakan perasaan bersalah. Si-mon sempat mengalami perdarahan saat in-fusnya terlepas. Darahnya mengucur hing-ga ke lantai. Petugas mengatakan stok darah habis, lalu menyuruh Sepi mengambil da-rah di RSUD Dok II Jayapura, yang berjarak sekitar 10 kilometer. Namun dia tidak bisa pergi karena hanya sendirian. Petugas ru-mah sakit tak ada yang bersedia mengambil-kan kantong darah. ”Sejak itu, saya tak per-nah pergi sampai melihat kakak meninggal di tempat tidur,” ujar Sepi terbata-bata.

Simon adalah salah satu potret buruk-nya pelayanan kesehatan di Papua. Angka kematian di RSUD Abepura salah satu yang tertinggi di Tanah Air. Pada 2016, angka kematian di sana mencapai 372 jiwa. Jum-lah ini tak jauh berbeda dengan angka ta-hun sebelumnya, yakni 329 jiwa. ”Ini ma-sih tinggi karena rata-rata kematian di ru-mah sakit se-Indonesia itu hanya 120 orang per tahun,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai, Desember tahun lalu. Kematian itu terbanyak terjadi di instalasi gawat darurat (IGD).

Jumlah kematian di RSUD diperkirakan lebih tinggi daripada yang tercatat. Banyak pasien yang dimasukkan ke kamar jenazah tak tercatat karena langsung dibawa pu-lang keluarganya. ”Saat bertugas di IGD, saya bisa membuat dua surat kematian da-

lam satu malam,” kata Anggie, dokter yang bertugas di RSUD Abepura. Surat itu dia buat di tengah kesibukan melayani pasien lain yang tiap hari memenuhi rumah sakit.

IGD rumah sakit itu rata-rata dikunjungi 15 pasien tiap malam. RSUD Abepura ha-nya memiliki 26 dokter umum dan 27 dok-ter spesialis. Perbandingannya, satu dokter menangani hingga 50 pasien. Pasien sering terpaksa ditempatkan di kursi roda karena kehabisan kasur. Di ruang-ruang inap RSUD Abepura yang dikunjungi Tempo pada De-sember tahun lalu, memang terlihat pasien memenuhi semua kasur. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan diperparah dengan mi-nimnya peralatan medis. ”Ini yang membu-at sering kedodoran dan terjadi human er-ror saat melayani pasien,” ujar Anggie.

Menanggapi keluhan atas layanan yang buruk, Kepala Seksi Pelayanan RSUD Abe-pura Dr Lilya Wildhanie menyatakan keluh-an itu wajar. Sebab, menurut dia, RSUD Abe-pura dalam proses perubahan. ”Pelayanan publik sarat dengan tidak puas,” ucapnya.

Pengalaman buruk juga pernah di- alami Soleman Wantik, 42 tahun. Pada akhir 2015, ia membawa pamannya, Yan-ce Lengkah, 50 tahun, yang sakit parah se-pulang dari Kabupaten Wamena, ke RSUD Abepura. Mereka tiba sekitar pukul 20.00 dan langsung menuju IGD. Soleman ma-sih ingat betul saat itu petugas tidak berta-nya tentang keluhan pasien. ”Mereka jus-tru menuduh Bapa Yance sedang mabuk,” kata Soleman.

Tuduhan itu nyaris membuat Soleman naik pitam. Yance adalah pendeta yang se-ring keluar-masuk kampung melayani je-maat. Alih-alih memeriksa keluhan Yan-ce, dokter dan para petugas rumah sakit langsung pergi setelah memasang alat ban-tu pernapasan. Dia dibiarkan di ruang IGD tanpa kontrol sama sekali dari dokter dan perawat. ”Kami cuma menonton sampai Bapa Yance meninggal dua jam kemudian,” ujar Soleman. Hingga kini, ia tak pernah tahu apa penyakit yang diderita Yance.

l l l

BAU pesing menyeruak di selasar RSUD Dok II Jayapura, pertengahan Desember tahun lalu. Di salah satu sudut beranda, ter-lihat ceceran cairan berwarna kuning me-menuhi parit. Beberapa meter dari parit itu, terdapat loket pengambilan obat yang AN

TAR

A/M

AGUN

G RAJ

ASA

Rumah Sakit Umum Daerah Agats, Asmat,

Papua, 27 Januari 2018.

54 | | 18 FEBRUARI 2018

dipenuhi antrean keluarga dan pasien. Suasana serupa terlihat di toilet pengun-jung dan bangsal rawat inap kelas III.

RSUD Jayapura adalah rumah sakit ru-jukan utama di Provinsi Papua. Namun pe-layanannya tak lebih baik daripada rumah sakit lain di Papua. RSUD ini mencatatkan angka kematian tertinggi di Tanah Air. Rata-rata 600 pasien meninggal di rumah sakit ini atau lima kali lebih tinggi dari rata-rata nasional. Seperti di RSUD Abepura, ke-matian di RSUD Jayapura rata-rata terja-di di IGD yang ala kadarnya. Ruangan IGD RSUD Jayapura hanya berisi jejeran kasur. Tak terlihat perlengkapan kesehatan lain saat Tempo melongok ke ruangan itu.

Peralatan minim itu diperparah dengan perilaku tenaga kesehatannya. Dokter An-ton Motte, mantan Wakil Direktur RSUD Ja-yapura, menyebutkan masih banyak dok-ter dan perawat yang cuek saat mela yani pasien. Mereka sering memvonis pasien yang masuk IGD sebagai orang yang ma-buk minuman keras. Akibatnya, IGD dicap sebagai ruangan maut dan ruang bertaruh nyawa. ”Saya pernah memecat dua tena-ga kesehatan karena mereka bekerja asal-asalan saat melayani pasien yang mereka tuduh mabuk,” ujarnya.

Perlengkapan juga menjadi halangan. Anton mengaku pernah susah tidur ber-minggu-minggu karena merasa bersalah saat bertugas di IGD pada 2015. Pasien yang ditangani di ruang IGD meninggal karena semua alat pompa pernapasan dan kerong-kongan milik RSUD Jayapura rusak. Pasien itu kehabisan napas karena paru-paru dan kerongkongan dibanjiri muntahannya sen-diri. ”Ia mungkin bisa diselamatkan jika alat pompa bekerja,” katanya.

RSUD Jayapura mendapat anggaran Rp 168 miliar pada 2017, plus bantuan dari ber-bagai instansi, seperti Kementerian Kese-hatan. Dengan anggaran sebesar itu, fasi-litas dan stok obat di RSUD Jayapura seha-rusnya memadai. Marcelina Matuan, 22 ta-hun, mengisahkan bahwa tantenya, Yulia-na Lagowan, meninggal di RSUD Jayapura setelah mereka tak berhasil mendapatkan obat Octaplex yang diresepkan dokter.

Yuliana pingsan berhari-hari karena per-darahan di otak. Octaplex tak tersedia di Ja-yapura, bahkan di provinsi tetangga. Obat itu hanya bisa didapat di Pulau Jawa. Har-ganya pun mencapai Rp 5 juta. ”Kami su-

dah pesan, tapi obat itu tidak datang ber-hari-hari sampai akhirnya Tante mening-gal di rumah sakit tanpa ada penanganan serius dari dokter,” tutur Marcelina kepada Tempo sambil menunjukkan resep-resep dan surat kematian Yuliana.

Meski berlimpah anggaran, RSUD Abepu-ra dan Jayapura berkali-kali mendapat catat-an miring dari audit Badan Pemeriksa Ke-uangan. RSUD Jayapura bahkan mendapat catatan merah dalam Anggaran Pendapat-an dan Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Papua Tahun 2016 karena tak bisa memper-tanggungjawabkan penggunaan uang Kartu Papua Sehat (KPS) senilai Rp 1,67 miliar. KPS adalah jaminan pelayanan kesehatan khu-sus orang asli Papua. BPK juga menyebut-kan ada transaksi fiktif senilai Rp 1,2 miliar.

RSUD Abepura setali tiga uang dalam mengelola anggaran. Audit BPK untuk ang-garan APBD 2015 menemukan kesalahan penggunaan anggaran senilai Rp 2,8 mili-ar. Pembelian treadmill senilai Rp 677 juta, misalnya, malah menggunakan anggar-an Jaminan Kesehatan Masyarakat. RSUD Abepura kerap pula disorot karena masa-lah fasilitas yang sering rusak. ”RSUD Abe-pura juga masih belum punya alat pende-teksi jantung dan CT scan, yang membuat dokter sulit sekali menganalisis sakit pasi-en,” kata Anggie.

Masalah minimnya peralatan turut me-nimpa RSUD Wamena. Mantan Direktur RSUD Wamena, Charles C. Ratulangi, awal Ja-nuari lalu sempat mengalami masalah kare-na alat sterilisasi rusak. Kerusakan ini mem-buat proses operasi makin lama. ”Pasien juga terinfeksi karena alatnya tidak bagus,”

ujarnya saat ditemui di RSUD Wamena.Gubernur Papua Lukas Enembe tak mem-

bantah soal minimnya kepedulian para te-naga kesehatan itu. Penyimpangan ini su-dah terjadi selama bertahun-tahun. ”Orang Papua banyak mati karena itu (pelayan-an minim),” katanya kepada Tempo, perte-ngahan Desember tahun lalu. Menurut Ke-pala Dinas Kesehatan Papua Aloysius Giyai, yang kini merangkap jabatan sebagai Direk-tur RSUD Jayapura, tingginya angka kema-tian itu karena banyak orang Papua yang datang ke rumah sakit sudah dalam keada-an kritis. ”Masyarakat sudah napas terakhir baru datang ke rumah sakit,” ujarnya.

Aloysius menyebutkan saat ini tenaga ke-sehatan Papua berjumlah 12 ribu orang. Te-naga yang mereka butuhkan seharusnya berjumlah 36 ribu. Itu sebabnya, kata dia, banyak pusat kesehatan masyarakat (pus-kesmas) yang kosong padahal petugasnya sudah digaji Rp 10-20 juta per bulan. ”Di-tinggal pergi begitu saja sama mereka,” ujarnya. Tempo menemukan banyak pus-kesmas dan puskesmas pembantu di Jaya-pura kosong. Misalnya puskesmas pem-bantu di Kelurahan Yabansai, Distrik He-ram, Kota Jayapura. Gerbangnya tertutup rapat dan halamannya dipenuhi sampah. Padahal saat itu hari masih siang.

Kacaunya pelayanan tenaga kesehatan inilah yang meninggalkan banyak pertanya-an di benak Benyamin Lagowan, 27 tahun. Sepupunya, Alex Lolama, 27 tahun, mening-gal pada 29 Agustus 2017 setelah terkatung-katung sepekan di RSUD Jayapura. Alex tak digubris meski mulai mengeluarkan ko-toran lewat mulut. ”Mereka hanya pasang slang yang dilakukan tenaga honorer,” kata Benyamin. Napasnya terlihat sesak, tapi ru-mah sakit itu tak punya stok oksigen.

Alex divonis gagal ginjal, tapi tak pernah diperiksa dokter spesialis. Ketika Alex su-dah di dalam peti mati pun, keluarganya direpotkan urusan birokrasi yang selama ini tak pernah mereka hadapi. Mereka di-minta membuat surat pengantar dari Wa-mena, yang hanya bisa ditempuh dengan pesawat terbang. Jenazah Alex akhirnya dapat dipulangkan setelah seorang kera-bat mereka membantu mengirimkan foto surat pengantar itu lewat Facebook. ”Kami serahkan semuanya kepada Tuhan,” ujar Benyamin.

l

RSUD Jayapura bahkan tak bisa mempertang-gungjawabkan penggunaan uang Kartu Papua Sehat senilai Rp 1,67 miliar.

18 FEBRUARI 2018 | | 55

GIZI BURUK PAPUA

Asmat yang SekaratPENDUDUK Asmat meyakini mereka berasal dari patung-patung kayu yang menjadi hidup setelah Fumeripits, Sang Pencipta, menabuh tifa. Fumeripits sempat terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan diselamatkan sekelompok burung. Dengan beragam masalah kesehatan di sana, penduduk setempat pun terancam bernasib seperti Fumeripits: sekarat di tanah Asmat.

Luas : 23.746 kilometer persegi (7,44 persen luas Papua)

Ketinggian : 0-100 meter dari permukaan lautKondisi tanah : + 70 persen aluvial atau tanah endapan Kondisi air : Dilintasi tujuh sungai, Asmat hampir tak

memiliki air tanahJumlah penduduk : > 94 ribu (2014)Jumlah distrik : 23, dengan 223 kampung

FASILITAS KESEHATANl Tak ada petugas, obat-obatan,

dan peralatan medis di sebagian puskesmas pembantu.

l Pelayanan kesehatan sulit berjalan karena minimnya transportasi dan beratnya kondisi geografis.

l Gaji perawat dan bidan bergelar diploma Rp 3 juta, tenaga kesehatan yang sarjana Rp 2,2 juta.

SANITASIl Penduduk sulit mengakses air bersih,

hanya mengandalkan air hujan.l Tempat tinggal di atas rawa,

kebanyakan kotor dan berbau tak sedap.

l Tak ada sarana mandi, cuci, dan kakus.l Mandi dan buang hajat di sungai,

minum pun dari air kali.

PERILAKU MASYARAKATl Makanan tak higienis, misalnya sagu

dicuci dengan air kali.l Penduduk menjual tempat

penampungan air bersih yang diberikan pemerintah.

l Anak-anak dan orang dewasa gemar mengkonsumsi mi instan tanpa dimasak.

l Penduduk memilih mencari makan di hutan ketimbang mengantar anak untuk vaksinasi.

BERAGAM MASALAH KESEHATANSejak awal Februari lalu, Tempo menelusuri sejumlah distrik di Asmat. Terdapat berbagai masalah kesehatan di sana.

SUM

BER:

BADA

N PE

MER

IKSA

KEUA

NGA

N, B

ADAN

PUSA

T STA

TIST

IK, B

ADAN

PUSA

T STA

TIST

IK K

ABUP

ATEN

ASM

AT, IK

ATAN

DOKT

ER IN

DON

ESIA

, KEM

ENTE

RIAN

KESE

HAT

AN, P

EMER

INTA

H KAB

UPAT

EN AS

MAT

, WOR

LD HE

ALTH

ORGA

NIZ

ATIO

N

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Akses penduduk terhadap hasil pembangunan berupa penghasilan, kesehatan, dan pendidikan:

Angka harapan hidup Indonesia periode 2010-2015: 70,1 tahun

201420152016

ASMAT45,9146,6247,31

INDONESIA68,9069,5570,18

ANGKA HARAPAN HIDUP (dalam tahun) 2013: 54,912014: 55,002015: 55,50

l Anak divaksinasi : 17.337l Pasien campak : 651l Suspect campak : 25l Komplikasi campak : 11l Pasien gizi buruk : 223

Meninggall Penderita campak : 66l Gizi buruk : 6l Total : 72

Jumlah Dokter di Asmat : 21 l RSUD Agats : 12l Dinas Kesehatan : 3 l Tugas Distrik : 5

KONDISI (per 4 Februari 2018)

2015 2016 2017

TREN GIZI BURUK

22,2%25,5% 23,5%

16,5%

24,1%

16,8%

30,3%25,9%

28,8%

n Kurang gizi n Kerdil/stunting n Kurus

56 | | 18 FEBRUARI 2018

Gizi Buruk di Mana-manaHAMPIR setengah abad resmi menjadi bagian dari Indonesia, Provinsi Papua terus menghadapi masalah kesehatan yang berulang. Fasilitas kesehatan serta program pemerintah pusat dan daerah tak mampu membendung arus penyakit dan kematian yang tinggi di Bumi Cenderawasih. Sejak Agustus 2017, Tempo mengunjungi tiga rumah sakit besar di Papua, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Abepura, dan Wamena, serta sejumlah pusat kesehatan masyarakat. Tempo juga mewawancarai keluarga pasien dan dokter. Hasilnya, pelayanan kesehatan di sana masih cukup memprihatinkan.

FASILITAS KESEHATANl Rumah sakit kekurangan ruang inap dan

ranjang.l Unit gawat darurat hanya berisi kasur, tak

dilengkapi peralatan kesehatan.l Kebersihan rumah sakit tak terjaga, tercium

bau kotoran manusia.l Sejumlah puskesmas pembantu kosong.

PERALATAN DAN OBATl Sejumlah alat penunjang, seperti pompa

pernapasan, rusak.l Pasien rentan terinfeksi karena alat sterilisasi

rusak.l Stok obat minim, bisa berhari-hari baru tiba.l Stok darah jauh dari cukup.

TENAGA KESEHATANl Satu dokter bisa menangani hingga 50

pasien.l Dokter dan perawat tak rutin memeriksa

pasien.l Diagnosis dokter kadang serampangan,

pasien sakit dianggap mabuk.l Pemberian obat tak sesuai, pasien

kekurangan darah hanya diberi obat penurun panas.

KARTU PAPUA SEHATMenjadi program andalan Gubernur Papua Lukas Enembe, KPS berlaku sejak 2014. l KPS untuk orang Papua yang tak punya

nomor induk kependudukan dan tak terlayani Jaminan Kesehatan Nasional.

l Pasien mendapat fasilitas rawat inap kelas III gratis.

l Pemerintah daerah juga membiayai ongkos transportasi pasien dan pendampingnya.

l Bisa juga digunakan untuk membeli peti mati.

l Diperkirakan menjangkau 1,17 juta penduduk Papua di tahun 2014.

TEMUAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN SEJUMLAH DOKTERl KPS berjalan tanpa rencana dan tak memiliki

petunjuk resmi.l Pendataan peserta KPS lemah, hanya

melihat fisik.l Distribusi tak merata dan tak diawasi.l Tak ada database peserta yang bisa diuji

validitasnya.l KPS salah sasaran, penduduk dari provinsi

lain bisa mendapatkannya.l KPS digunakan untuk menggelar lokakarya

atau kegiatan rumah sakit dan pegawainya.l Pendamping pasien bisa sampai satu

keluarga.

200555 warga Kabupaten Yahukimo tewas aki-bat busung lapar

2008156 warga Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai, mati akibat kolera dan muntaber

201040 warga Kampung Maya, Mapa, Sa-nepa, dan Bilay di In-tan Jaya, Papua, me-ninggal aki-bat wabah malaria tro-pika

201361 warga Kabupaten Yahukimo meninggal karena wa-bah yang menimbul-kan sakit perut

201541 anak ba-lita di Dis-trik Mbu-wa, Nduga, meninggal karena pe-nyakit sa-luran per-napasan.

AKHIR 2017-201872 orang meninggal di Asmat karena wa-bah cam-pak dan gizi buruk

TERUS BERULANG

ANGKA KEMATIAN PASIEN DI RUMAH SAKIT Menjadi indikator kinerja pelayanan kesehatan

2017

2016

2015

2014

2013

2017

2016

2015

2014

2013

2017

2016

2015

2014

2013

Rumah Sakit Jayapura (provinsi)

Rumah Sakit Abepura

Rumah Sakit Wamena

578 60

3tid

ak ad

a dat

a

tidak

ada d

ata

558 65

3

128

372

329

237

193

402

336

285

176

SUM

BER:

BADA

N PE

MER

IKSA

KEUA

NGA

N, D

INAS

KESE

HAT

AN PA

PUA,

IKAT

AN DO

KTER

INDO

NES

IA, K

ANTO

R STA

F PRE

SIDE

N, K

EMEN

TERI

AN KE

SEH

ATAN

, REP

ORTA

SE TE

MPO

, WAW

ANCA

RA D

ENGA

N SE

JUM

LAH D

OKTE

R DI P

APUA

Peringkat ke-1 se-Indonesia untuk: l Malaria: 28,6%l Diare: 14,7%

Peringkat ke-2 se-Indonesia untuk:l ISPA: 31,1%l Pneumonia: 8,2%l Tuberkulosis: 0,6%l Hepatitis: 2,9%

Peringkat ke-3 se-Indonesia untuk:l Kasus infeksi

HIV: 16.051 kasus (1987-September 2014)

PREVALENSI PENYAKIT

18 FEBRUARI 2018 | | 53

POTENSI GIZI BURUK

12

3

456

78

9

10

11

12

1314

PRIORITAS 1 (sangat rentan kekurangan pangan dan gizi)

1 Pegunungan Bintang 2 Yahukimo3 Yalimo4 Mamberamo Tengah5 Tolikara 5 Puncak Jaya 7 Puncak8 Intan Jaya9 Lanny Jaya

10 Nduga 11 Asmat 12 Mamberamo Raya13 Deiyai14 Dogiyai

PRIORITAS 2 (rentan Kekurangan pangan dan gizi, tapi produksi pangan berjalan)

1 Keerom 2 Boven Digoel 3 Mappi 4 Jaya Wijaya 5 Sarmi 6 Waropen7 Paniai8 Nabire 9 Mimika

10 Kaimana11 Wondama12 Yapen13 Biak Numfor 14 Supiori 15 Manokwari16 Sorong17 Sorong Selatan18 Teluk Bintuni19 Raja Ampat

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

1314

15

17

16

18

19

PRIORITAS 3 (kurang rentan kekurangan pangan dan gizi)

1 Merauke 2 Jayapura

1

2

PRIORITAS 5 (tidak rentan kekurangan pangan dan gizi)Fakfak

PRIORITAS 4 (terjadi peningkatan prioritas pangan)Tidak ada

PapuaPapua Barat

RUMAH SAKIT41 rumah sakit di Papual Kelas A: 0l Kelas B: 2l Kelas C: 10l Kelas D: 10l Belum ditetapkan: 19

PUSKESMASl 365 puskesmasl 847 puskesmas pembantul 826 puskesmas kelilingl 3.085 posyandu

DOKTER DAN TENAGA MEDIS l Dokter umum: 592l Dokter gigi: 124l Dokter spesialis: 124l Tenaga medis: 802l Perawat: 4.383l Bidan: 1.841

”Uang KPS tidak dikelola dengan bertanggung jawab.”—Mantan Wakil Direktur RSUD Jayapura, Anton Motte

58 | | 18 FEBRUARI 2018

Kartu Berlimpah Anggaran

KESIMPULAN itu berkali-kali muncul dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemerik-sa Keuangan. Laporan tersebut merupakan ha-sil audit lembaga auditor negara itu pada 2017 terhadap pengelolaan dana otonomi khusus

Papua bidang infrastruktur dan kesehatan tahun anggaran 2015 dan 2016. ”Pemerintah Provinsi Papua tidak melakukan moni toring yang tepat terhadap distribusi Kartu Papua Sehat (KPS),” demikian bunyi kesimpulan itu.

Dampak minimnya pengawasan itu melebar ke mana-mana. BPK menyebutkan program ini tak tepat sasaran kare-na Pemerintah Provinsi Papua tak memiliki data soal jumlah orang asli Papua. Anggarannya pun bocor ke mana-mana. Ke-pala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai mengakui KPS memi-liki kelemahan, tapi sudah sangat ba-nyak membantu masyarakat. ”Kami bahkan menampung pasien dari pro-vinsi tetangga,” ujar Aloysius, perte-ngahan Desember 2017, di Abepura.

KPS adalah salah satu realisasi janji politik Gubernur Papua Lukas Enem-be, yang terpilih pada 2013. Program ini tertuang dalam Peraturan Guber-nur Papua Nomor 6 Tahun 2014 ten-tang Jaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Papua. Ada se-kitar 1,17 juta penduduk Papua yang sudah memiliki KPS pada 2014. Prog-ram ini dikhususkan bagi penduduk pedalaman Papua yang tidak memiliki nomor induk kependudukan. Mereka berhak mendapat fasilitas pelayanan kesehatan kelas III secara gratis.

Sejak program itu diluncurkan tiga tahun lalu, Aloysius menyebutkan, Pe-merintah Provinsi Papua sudah meng-habiskan Rp 800 miliar. Selain un-tuk membiayai pengobatan, anggar-an KPS yang melimpah digunakan buat membayar ongkos transportasi pasien dan pendampingnya hingga membiayai pembelian peti mati. Namun tak semua kabupaten memain-kan irama kendang yang sama. Alih-alih membantu pasien tak mampu, sejumlah pemerintah kabupaten malah mema-kai anggaran KPS untuk menggelar lokakarya atau kegiatan lain rumah sakit dan pegawai. ”Banyak penggunaan anggar-an yang tak tepat,” katanya.

Mantan Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Jaya-pura, Anton Motte, mengaku berkali-kali menemukan kasus pasien yang diabaikan oleh rumah sakit di kabupaten. ”Uang KPS tidak dikelola dengan bertanggung jawab,” ujarnya di Ja-yapura. KPS juga menyediakan anggaran untuk kampanye hi-dup sehat dan asupan gizi anak-anak. ”KPS adalah dana oto-nomi khusus yang juga digunakan untuk program penam-bahan gizi masyarakat,” katanya.

Laporan BPK turut menyebutkan KPS berjalan tanpa ren-cana dan tak memiliki petunjuk resmi tentang cara menge-lolanya. Maka pembagian kartu ini dilakukan hanya dengan memotret fisik calon penerima KPS. Laporan BPK itu menye-butkan penduduk yang berambut keriting dan berkulit hitam akan otomatis menerima KPS. Kartu ini belum menjangkau jauh ke pedalaman. Masih banyak penduduk yang baru me-nerima KPS setelah mendatangi rumah sakit. Itu pun umum-nya sudah terlambat, ditambah penyakit yang semakin pa-rah, saat mereka mengurus KPS.

Prosesnya juga masih berbelit. Belum ada standar prose-dur yang jelas. Anton Motte memastikan tak ada pembedaan pasien KPS dan swasta. ”Kalaupun ada, sedikit sekali,” ujar-nya. Namun KPS belum menjangkau semua orang asli Papua. Frans Towar, penduduk di Kampung As, Kabupaten Asmat, mengaku tak memiliki KPS. ”Di daerah kami tak pernah ada pembagian KPS,” katanya.

l

Kartu Papua Sehat.

TAB

LOID

JU

BI/

RO

Y R

ATU

MAK

I

18 FEBRUARI 2018 | | 59

GIZI BURUK PAPUA

TEM

PO

/TO

NY

HAR

TAW

AN

GUBERNUR Papua Lukas Enembe membenarkan ka-bar tentang buruknya pela-yanan kesehatan di wilayah-nya. Politikus Partai Demo-

krat yang menjabat gubernur sejak 2013 itu menuding para dokter di rumah sakit ber-peran dalam tingginya angka kematian di rumah sakit. ”Ada motivasi bisnis menge-lola rumah sakit,” kata Lukas saat ditemui di rumah dinasnya pada pertengahan De-sember tahun lalu. Wawancara ini dileng-kapi oleh Kepala Dinas Kesehatan Provin-si Papua Aloysius Giyai, yang diwawanca-rai dalam dua kesempatan.

Kami menemukan angka kematian pendu-duk Papua di rumah sakit sangat tinggi.

Ini memang terjadi di Papua dan secara sistematis sudah terjadi bertahun-tahun. Orang Papua banyak yang mati di sana. Mi-salnya saat persalinan ibu hamil. Sistem pelayanan persalinan dipaksakan mela-lui operasi caesar. Setiap kali orang Papua mau melahirkan secara normal, dibilang tidak bisa. Ini terjadi hampir setiap hari.Aloysius: Angka kematian memang

tinggi. Memang ada tenaga kesehatan yang bekerja kurang cepat, tidak sigap, yang akhirnya mempengaruhi pelayanan kese-hatan.

Kenapa ini bisa terjadi?Lukas: Ada motivasi bisnis dalam me-

ngelola rumah sakit. Pelayanannya menja-di tidak bagus. Dokter sebenarnya banyak, tapi jiwa untuk mengasihi orang Papua ku-rang. Waktu kerja mereka juga kerap tidak sesuai, masuk lebih lambat. Kami banyak membangun, tapi kalau petugasnya tidak melayani dengan hati, ya tidak bisa berja-lan. Ada juga yang ”bermain” dengan pi-hak ketiga saat pengadaan barang dan jasa.Aloysius: Ada pemahaman orang asli

Papua yang keliru tentang sakit. Misalnya, mereka masih percaya dukun. Perempuan yang sedang mengalami menstruasi disu-

ruh ke luar rumah. Untuk melahirkan pun harus ada gubuk sendiri. Masih ada yang percaya sakit itu karena dosa turun-temu-run. Ini budaya yang keliru dan perlu diko-reksi. Masyarakat baru ke rumah sakit saat tinggal napas terakhir.

Benarkah stok obat di rumah sakit mi-nim, yang membuat banyak pasien kesulitan mendapatkan obat? Aloysius: Obat-obatan ada dan cukup.

Cuma, manajerialnya tidak ada. Distribu-sinya lemah, tenaga yang mengatur obat-nya lemah.

Apa yang sudah Anda lakukan untuk memperbaiki hal itu?Lukas: Sudah saya tegur. Beberapa kali

ini bolak-balik urus rumah sakit. Tidak ha-nya menegur, beberapa kali saya meng-

ganti direkturnya.Kementerian Kesehatan menilai

koordinasi dengan dinas terkait tak berjalan baik saat wabah campak dan gizi buruk terjadi di Asmat.Aloysius: Ya, itu benar juga me-

nurut saya, terutama dari kabupa-ten. Kalau kabupaten tidak membe-rikan informasi, kami yang di pro-vinsi pun susah mau melapor ke pu-sat. Soal kejadian luar biasa (KLB) campak itu, masak, dari kabupaten enggak ada informasi sama sekali ke kami. Kami tahu dari media sosial, dari wartawan. Itu harus diperbaiki.

Dana kesehatan di Papua cukup besar. Tahun 2016 saja Rp 830,96 miliar. Dipakai untuk apa saja dana itu?Lukas: Kalau dana, memang ba-

nyak. Kami segera melengkapi alat-alat di Rumah Sakit Dok II (Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura). Kami juga punya Kartu Papua Sehat. Tapi dananya tidak tepat sasaran. Ba-nyak dokter menikmatinya. Dengan Kartu Papua Sehat saja, satu dokter bisa mendapat Rp 200 juta. Tapi be-

nar tidak mereka mengabdi untuk orang Papua? Aloysius: Dana itu cukup jika dikelola

dengan baik. Jaminan Kesehatan Nasional belum menjangkau semua warga Papua. Sekitar 70 persen orang Papua tak punya nomor induk kependudukan sehingga ti-dak bisa memakai Jaminan Kesehatan Na-sional. Mereka dilayani dengan Kartu Pa-pua Sehat.

Dengan kondisi itu, apa yang harus dila-kukan? Lukas: Saya pikir kami perlu

membangun rumah sakit khusus orang Papua. Anak-anak Papua yang menjadi dokter bekerja melayani orang Papua. Kami butuh orang yang punya hati, jiwa, untuk melayani orang Papua. l

Lukas Enembe, Gubernur Papua:

Dana Kesehatan Banyak yang Salah Sasaran

60 | | 18 FEBRUARI 2018

KEMENTERIAN Kesehatan mendapat sorotan akibat me-rebaknya wabah campak dan gizi buruk di Kabupaten As-mat, Papua. Sejumlah pihak

menuding Kementerian lamban bertindak sehingga 72 orang warga Asmat meninggal.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyara-kat Kementerian Kesehatan Anung Sugih-antono membantah lamban mengantisipa-si tragedi di kabupaten di Papua bagian se-latan tersebut. ”Pada Oktober 2017, kami sudah memberikan data 183 anak di Asmat yang berpotensi gizi buruk kepada Dinas Kesehatan Provinsi Papua,” kata Anung di kantornya, Kamis pekan lalu. Kepada Tem-po, magister kesehatan Universitas Gadjah Mada ini membeberkan soal kejadian di As-mat dan kabupaten lain di Papua.

Kasus campak terjadi di Asmat pada Sep-tember 2017. Tapi pemerintah baru berge-rak pada Januari lalu.

Kami tidak mendapat laporan kasus itu. Bupatinya saja tidak tahu. Sebelum Na-tal, kami mengumpulkan dinas kesehat-an provinsi untuk mengevaluasi program. Dari Papua juga datang kepala dinasnya, tapi tidak ada cerita soal campak dan gizi buruk. Kalau tidak ada laporan, kami tidak bisa merespons.

(Bupati Asmat Elisa Kambu mengaku baru mendapat informasi soal wabah campak pada akhir Desember 2017. Dia mengatakan mulai awal Januari lalu menurunkan petu-gas untuk pengobatannya dan menemukan kasus gizi buruk serta korban berjatuhan.)

Kenapa pemerintah pusat tidak tahu ke-jadian itu?

Kementerian Kesehatan berwenang atas kebijakan penganggaran dan pengelola-an program. Operasionalisasinya ada di provinsi dan kabupaten/kota. Kalau tidak mendapat laporan, kami tidak tahu ada ke-jadian itu atau tidak.

Kasus gizi buruk sering terjadi di Papua. Bu-

Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat:

Pemerintah Daerah Harus Ikut Bertanggung Jawab

18 FEBRUARI 2018 | | 61

GIZI BURUK PAPUA

kankah ini bisa diantisipasi sebelum terjadi?Gizi buruk tidak hanya terjadi di Papua.

Di sana jumlahnya memang lebih banyak. Prevalensinya tinggi. Tapi di semua daerah juga selalu berulang. Sebenarnya, pada Oktober 2017, kami sudah memberikan data 183 anak di Asmat yang berpotensi gizi buruk kepada Dinas Kesehatan Provin-si Papua. Datanya by name dan by address. Kami juga mengirim biskuit sebagai ma-kanan tambahan. Tapi dinas kesehatan provinsi tidak mengirimnya ke daerah.

Seberapa sering bantuan dari pemerintah pusat ke Papua tak sampai ke tujuan?

Pada 2016, makanan tambahan masih terdistribusi. Dalam kasus Asmat kali ini, distribusi logistiknya tidak keruan. Kami memindahkan lokasi pengiriman yang se-mula di Jayapura ke Timika karena di Jaya-pura tidak jalan.

Anda kecewa terhadap respons pemerin-tah provinsi?

Bagi saya, tidak hanya mengecewakan. Ini tanggung jawabnya bagaimana? Tapi kan, dengan adanya kejadian ini, kami ha-rus memikirkan masyarakatnya, bukan memikirkan dinas kesehatan.

Komunikasi dengan daerah soal ini kena-pa begitu buruk?

Itu yang terjadi. Mungkin gelombang-nya masih belum sama. Saya AM, mere-ka FM. Kami tidak bisa memaksa karena dia bukan bawahan saya. Dinas kesehat-an itu kan ada di bawah kendali pemerin-tah daerah.

Di Asmat dan juga Papua, jarak antarkam-pung relatif berjauhan. Kenapa campak bisa datang bersamaan?

Jika saya kena campak di Jawa dan kebe-tulan daya tahan tubuh saya tinggi, saya te-tap membawa kuman campak. Kalau saya ke Papua, saya bisa menularkannya kepada orang di sana. Sejauh ini, kami belum men-cari soal penularannya dari mana. Kami ber-fokus pada penanganan kondisi darurat.

Bukankah itu bisa dihindari dengan vak-sinasi?

Kami sudah menghitung kebutuhan vaksin nasional dan mengirimkannya ke provinsi dan kabupaten/kota. Kita berada di era otonomi daerah. Pengendalian dila-kukan secara berjenjang. Kami bertumpu pada pemerintah provinsi untuk memerik-sa apakah pelayanan kesehatan di kabupa-ten/kota sudah berjalan.

Faktanya?Kalau saya jujur, tidak sepenuhnya ber-

jalan. Kalau berjalan, tidak mungkin ada kejadian seperti ini. Sebenarnya cakupan vaksinasi di Papua di atas 80 persen. Tapi, kalau per kabupaten, saya tidak tahu.

Jika imunitas rendah, pemerintah daerah yang salah?

Dalam perspektif saya, logistik sudah kami cukupi, sistem sudah kami berikan, pembiayaan sudah relatif kami cukupi. Pe-ran kami lebih pada kebijakan pengang-garan dan pengelolaan program. Opera-sionalisasinya ada di daerah. Tapi, kalau itu kemudian tidak bisa menjangkau ke sana-kemari, pemerintah daerah juga ha-rus bertanggung jawab.

Ada perubahan pola makan penduduk As-mat dari sagu menjadi beras dan makanan instan. Apakah itu berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mereka?

Iya. Itu didukung studi etnografi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan selama lebih dari enam bulan. Barangkali sagu memang co-cok untuk genetik mereka.

Apakah ini terjadi sejak adanya otonomi khusus di Papua?

Saya tidak tahu. Memang, di beberapa wilayah, kami meyakini persoalan otono-mi masih menimbulkan kesulitan untuk menemukan dan mengenali masalah se-jak awal. Ada kepala dinas kesehatan yang bukan merupakan tenaga kesehatan. Dulu kami bisa mengaturnya, sekarang tidak.

Bukan hanya gizi buruk dan campak, kus-ta sempat mewabah di Asmat. Sebenarnya ada masalah apa di sana?

Ada empat faktor yang mempengaruhi, yaitu genetik, pelayanan kesehatan, ling-kungan, dan perilaku. Belajar dari perso-alan Asmat, ini masalah perilaku yang ber-kaitan dengan kultur. Di sana, laki-laki tinggal di rumah panjang yang berbeda de-ngan perempuan. Di sana tidak ada air ber-sih. Penyakit seperti kusta erat kaitannya dengan air bersih. Kalau mereka tinggal di satu rumah, penularan kusta, apalagi yang tipe MB (multibacillary atau tipe basah), akan lebih cepat.

Pelayanan kesehatan di Asmat dan dae-rah lain di Papua masih minim. Kami mene-mukan sejumlah puskesmas pembantu tak dikunjungi dokter.

Di Asmat, hanya ada 13 puskesmas, de-

ngan jarak yang relatif jauh. Kunjungan masyarakat ke puskesmas pun rendah. Te-naga kesehatan yang menjangkau masya-rakat relatif terbatas. Dokter dan perawat-nya kurang. Untuk melayani masyarakat, biayanya juga besar. Sekali jalan ke Dis-trik Unir Sirau, kapal bisa menghabiskan 400 liter solar. Biayanya mahal sekali un-tuk menjangkau komunitas yang terdiri atas 50-100 orang. Papua itu persoalannya geografis, kultur, dan jangkauan pelayan-an sosial dasar. Pelayanan itu bukan ha-nya kesehatan, melainkan juga pendidik-an dan pangan.

Dana yang dialokasikan pemerintah dae-rah tidak cukup banyak?

Berdasarkan Undang-Undang Kesehat-an, pemerintah wajib mengalokasikan 5 persen Anggaran Pendapatan dan Belan-ja Negara untuk bidang kesehatan. Kewa-jiban pemerintah daerah mencapai 10 per-sen. Tapi ternyata, di beberapa daerah, proporsi sekitar 80 persen anggaran kese-hatannya berasal dari pemerintah pusat. Memang, secara administrasi, pemerintah daerah tak melanggar aturan. Tapi prak-tis dana dari pemerintah pusat untuk ke-sehatan lebih besar ketimbang dana dari APBD.

Ikatan Dokter Indonesia mengatakan ha-nya sedikit dokter yang mau ditugasi ke Pa-pua. Bagaimana solusinya?

Sekarang ini repot. Dulu melalui in-struksi presiden, ada wajib kerja. Setelah lulus, para dokter punya kewajiban beker-ja di daerah. Tapi sekarang, kalau memak-sa sedikit, dianggap melanggar hak asasi manusia. Wajib kerja untuk dokter spesia-lis yang sudah diatur dalam peraturan pre-siden saja masih ada yang menggugat.

Angka kematian di rumah sakit di Papua cukup tinggi. Di Jayapura saja bisa 500-600 kematian per tahun.

Pelayanan di unit tanggung jawabnya ada di pemerintah daerah. Saya pernah melihat kondisi beberapa puskesmas di Pa-pua. Memang, fasilitas, sistem pelayanan kesehatan, dan lain-lain tak sesuai dengan standar operasional prosedur.

Gubernur Papua menuding tingginya ang-ka kematian merupakan upaya pembunuhan secara sistematis terhadap orang asli Papua.

Apa kami tega? Masak iya kami memberikan pelayanan untuk membunuh? Tidaklah. lTE

MPO

/FAK

HRI H

ERM

ANSY

AH