16 ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · permukaan tanah, sehingga cara penambangannya...
TRANSCRIPT
16
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Pasca Tambang Batubara.
Lahan pasca tambang batubara, selalu terkait dengan bagaimana cara
mineral tersebut di tambang, hal tersebut tergantung letak deposit batubara yang
tersedia dari permukaan tanah. Menurut Arnold (2001) terdapat dua klasifikasi
letak deposit mineral batubara. Pertama, letak deposit batubara jauh dibawah
permukaan tanah, sehingga cara penambangannya biasa dikenal dengan sub-
surface mining atau deep mining, atau biasa disebut penambangan dalam. Untuk
mendapatkan mineral batubara yang letaknya jauh dari permukaan tanah, biasanya
dilakukan dengan peralatan melalui terowongan. Pada awal pembuatan
terowongan, tanah bagian atas yang subur tidak banyak terganggu. Dalam kondisi
tertentu, menggunakan tanah-tanah yang subur dapat dihindarkan sewaktu
pelaksanaan pembuatan terowongan. Pertambangan batubara dengan cara ini
banyak dilakukan di daratan Cina, karena deposit batubara yang ada jauh terletak
dibawah permukaan tanah Kedua, letak deposit mineral batubara tidak jauh dari
permukaan tanah (antara 5 s/ d 25 meter dibawah permukaan tanah). Untuk
mendapatkan mineral ini, biasa dikenal dengan pertambangan permukaan,
surface mining atau shallow mining. Eksploitasi batubara dengan cara tersebut
banyak mengganggu sebagian permukaan tanah yang subur, sehingga
meninggalkan berbagai permasalahan baik secara teknis maupun non teknis
terhadap lahan yang bersangkutan.
Deposit batubara di Indonesia khususnya di Pulau Kalimantan, dalam
pelaksanaan eksploitasinya tidak dilakukan dengan cara deep mining melainkan
shallow mining. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak dibahas lahan pasca
tambang deep mining. Lahan menurut Hardjowigeno (1995) adalah suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana
faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya, termasuk
didalamnya akibat kegiatan manusia yang dilakukan sekarang maupun diwaktu
yang lalu. Aktifitas eksploitasi penambangan terbuka merupakan kegiatan
manusia yang dapat mempengaruhi potensi penggunaan lahan.
17
Lahan pasca tambang batubara terbuka pada umumnya mengalami
perubahan karakteristik dari aslinya. Apabila tidak dikelola dengan baik akan
menjadi lahan kritis.
Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang batubara yang
termasuk kategori lahan kritis secara fisik, kimia dan secara hidro-orologis, dapat
diuraikan sebagai berikut : secara fisik, lahan telah mengalami kerusakan, ciri
yang menonjol dan dapat dilihat di lapangan, adalah kedalaman efektip tanah
sangat dangkal. Terdapat berbagai lapisan penghambat pertumbuhan tanaman
seperti pasir, kerikil, lapisan sisa-sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat
pula terlihat lapisan cadas. Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis
sangat ekstrem, yaitu antara permukaan tanah yang berkontur dengan nilai rendah
dan berkontur dengan nilai tinggi pada jarak pendek bedanya sangat menonjol,
Dengan kata lain terdapat perbedaan kemiringan tanah yang sangat mencolok
pada jarak pendek. Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan
positif terhadap penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Secara hidro-
orologis, lahan pasca tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya
sebagai pengatur tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan lahan
untuk menahan, menyerap air dan menyimpan air, karena tidak ada vegetasi atau
tanaman penutup lahan. (Sitorus,2003).
Hasil penelitian pada lahan pasca tambang yang dilakukan Val dan Gil
(1996) dan Lorenzo et al.(1996) menunjukan terdapat karakteristik lahan pasca
tambang, khususnya dilahan pasca tambang batubara terbuka dimana terjadi
perubahan kenampakkan permukaan tanah dari aslinya, perubahan sifat-sifat fisik
dan kimia tanah serta kondisi vegetasi.
2.1.1. Perubahan Kenampakan Permukaan Tanah
Untuk mendapatkan batubara yang terletak di kedalaman antara 5 meter
hingga 20 meter dibawah permukaan tanah, tahapan kegiatan dimulai dari
pembersihan vegetasi, pengelupasan tanah bagian atas dan penyingkapan batuan
yang menutupi mineral batubara. Aktifitas tersebut diatas biasanya menggunakan
alat-alat berat. Menurut Ripley et al.(1996) aktifitas kegiatan eksploitasi untuk
mendapatkan mineral batubara secara terbuka dikaitkan dengan sumberdaya lahan
adalah suatu proses erosi yang dibuat oleh manusia atau menurut lazimnya disebut
18
sedang terjadi proses erosi yang dipercepat. Karena aktifitas alat-alat berat
disamping menimbulkan kebisingan yang dapat mengusir satwa, selama
berlangsungnya kegiatan penambangan terbuka hampir seluruh kenampakan
permukaan tanah termasuk vegetasi hilang, bentuk sebagian permukaan bumi juga
berubah (Harun,et al.,2002).
Kenampakan yang terlihat di lapangan, lahan menjadi gundul tidak ada
vegetasi yang mempunyai fungsi sebagai penutup topsoil. Perubahan yang paling
kelihatan secara visual, adalah bentuk topografi permukaan bumi/ sebagian muka
tanah tidak sesuai dengan aslinya. Hal ini ditandai dengan perubahan kemiringan
lereng dari bentuk awal kemiringan 2% s/d 6% menjadi 45% s/d 90% , dapat pula
terlihat munculnya gundukan dan cekungan berdiameter antara 300 meter s/d 700
meter (Wajidi, 2005). Contoh perubahan permukaan tanah pasca tambang dapat
dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Perubahan Permukaan Tanah Pasca Tambang
Bentuk lereng seperti diuraikan tersebut diatas akan sulit untuk dapat
menahan gerusan air permukaan (run off), begitu juga pada dasar cekungan yang
landai akan terjadi genangan air. Apabila kondisi seperti tersebut terjadi dalam
waktu lama, maka dapat mengakibatkan tanah menjadi rusak. (Tobert dan Burger,
1996).
2.1.2. Sifat Kimia dan Sifat Fisik Tanah di Lahan Pasca Tambang.
Menurut hasil penelitian Qomariah (2003) pada lahan pasca tambang
batubara, yang ditinggalkan tanpa ada perlakuan reklamasi (derelict land), di tiga
19
lokasi dalam kurun waktu yang berbeda, terdapat perubahan sifat-sifat tanah , baik
sifat fisik maupun sifat kimia tanah. Perubahan pada sifat kimia tanah
menunjukkan pH di lahan pasca tambang mengalami penurunan hingga tergolong
luar biasa masam (pH 3,5). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
Val dan Gil (1996) di bekas tambang batubara di propinsi La Coruna Spanyol,
yang menunjukkan pH turun sampai dengan 4,1. Kasus turunnya pH di lahan
pasca tambang batubara terbuka menurut Hoss dan Hossner (1980) salah satu
penyebabnya adalah debu tailing hasil perombakan struktur batuan yang
dilakukan dengan alat-alat berat, sebagian besar didominasi oleh pyrite ( FeS2 ),
bilamana terkena oksigen dan air akan membentuk asam. Pada lahan pasca
tambang yang dapat menampung air hujan, dan air tidak pernah kering, sehingga
terjadi genangan yang cukup lama dapat mengakibatkan pH tanah menjadi
masam. Aktifitas eksploitasi dengan perombakan tersebut, juga dapat menaikan
konsentrasi kadar Al, Fe, dan Mn. Proses kenaikan konsentrasi itu dapat mengikat
unsur hara yang ada dalam tanah, dan berakibat unsur hara semakin miskin
(Kustiawan,2001)
Penelitian Qomariah (2003) menemukan perubahan pada sifat fisik tanah
pada lahan pasca tambang batubara terbuka, yaitu dengan membandingkan sifat
fisik tanah dari lahan pertanian / perkebunan pada jarak 500 meter dari aktifitas
eksploitasi dengan tanah dilahan pasca tambang. Hasil analisis menunjukan fraksi
pasir lebih dominan pada lahan pasca tambang. Nilai tengah kadar pasir di lahan
pasca tambang sebesar 32% dan nilai tengah kadar pasir di tanah asli yang
berjarak 500 meter sebesar 16%. Untuk kadar debu, pada lahan pasca tambang
nilai tengah sebesar 34%, dan tanah asli yang berjarak 500 meter nilai tengah
kadar debu sebesar 49%. Kadar liat di lahan pasca tambang nilai tengahnya
sebesar 34% dan dilahan asli yang jaraknya 500 meter sebesar 35%.
Mencermati data tersebut di atas, fraksi pasir sangat menonjol pada lahan
pasca tambang, dibandingkan dengan di lahan / tanah yang berjarak 500 meter
dari aktifitas pertambangan. Kondisi seperti itu karena terdapat proses erosi di
permukaan pada saat hujan, yang berakibat terjadinya proses pencucian tanah
yang halus (Morgan,1986). Fraksi pasir dilahan pasca tambang menurut Qomariah
(2003) berbanding lurus dengan waktu lamanya lahan ditinggalkan setelah
20
penambangan. Pada lahan pasca tambang yang ditinggalkan selama satu tahun
akan berbeda dengan lahan yang ditinggalkan dengan umur empat (4) tahun.
begitu juga pada lahan yang ditinggalkan 7 tahun. Qomariah (2003) juga
menyimpulkan, besarnya nilai tengah kadar debu di lahan tanah asli
dibandingkan dengan di lahan pasca tambang. Hal ini terjadi karena saat
pembalikan lahan pada tanah kering dengan alat-alat berat fraksi debu mudah
terbawa angin kearah lahan yang tidak dalam proses eksploitasi. Menurut Charles
et al.(2001) pada tanah kering akan mudah terjadi pelepasan partikel-partikel
tanah secara individual dari massa tanah. Nilai tengah kadar liat hampir
mempunyai nilai yang seimbang, karena pada saat aktifitas penyingkapan
permukaan tanah sampai dengan lapisan dibawahnya, muncul bahan induk
kepermukaan yang berupa liat (Charles et a,. 2001).
Tanah dalam kondisi / keadaan basah yang terjadi sebalik-nya, aktifitas
alat-alat berat pada saat eksploitasi akan menekan tanah, sehingga tanah menjadi
padat. Hal ini berakibat berat volume tanah meningkat, jumlah pori-pori tanah
menurun sampai 30% - 40 %. Tanah dalam kondisi seperti tersebut dapat
memperkecil konsentrasi oksigen, air tanah yang tersedia, laju infiltrasi, daya
pegang, dan penetrasi air terganggu (Notohadiprawiro,1999). Kondisi tanah
seperti yang diuraikan diatas, disebut susunan komponen utama tanah tidak
seimbang (Lal et al.1998). Menurut Soegiman, (1982) keseimbangan komponen
utama tanah terjadi, apabila didalam tanah terdapat 25% ruang pori udara, 25%
ruang pori air, 45% bahan mineral, dan 5% bahan organik, seperti pada Gambar 9.
`
Gambar 9. Komponen Penentu Sifat Fisik Tanah
25%
45%
5%
25%
udara
mineral
organik
air
21
Kondisi ideal seperti teori yang diuraikan seperti tersebut diatas, tidak
akan terjadi apabila terdapat proses erosi yang dipercepat (accelerated erosion),
seperti pada lahan pasca tambang batubara yang tidak dilakukan rehabilitasi.
Kerusakan struktur tanah akibat erosi yang dipercepat dapat menyebabkan
kemerosotan produktivitas tanah, dan jika terjadi pada waktu yang lama dapat
menyebabkan tanah menjadi marginal, bahkan tidak dapat digunakan untuk
berproduksi (Sitorus, 2003).
2.1.3. Kondisi Vegetasi.
Deposit batubara di Pulau Kalimantan pada umumnya terdapat dalam
kawasan hutan. Hasil riset Tropical Forest Research Center (TFRC) Universitas
Mulawarman dengan JICA tahun 1999, menunjukan hutan di Indonesia termasuk
kategori hutan hujan tropis. Melakukan aktifitas eksploitasi batubara didalam
kawasan hutan hujan tropis sudah pasti membabat hutan tersebut. Menurut Ogawa
et al.(2000) aktifitas menghilangkan hutan hujan tropis sampai keakar-akarnya,
merupakan kegiatan yang mendatangkan masalah serius, karena hutan tersebut
mempunyai fungsi menjaga kesuburan tanah, mengatur tata air dan menjadi
tempat tinggal fauna dan flora serta mengatur siklus iklim setempat. Apabila
ditebang habis sampai keakar-akarnya, maka keaneragaman hayati (biodiversity)
sebagai sumber plasma nuftah akan hilang. Kondisi hutan seperti yang diuraikan
diatas, apabila terjadi hujan terus menerus di daerah hulu, maka didaerah hilir
akan terjadi banjir besar. Tidak sedikit peristiwa seperti tersebut akan dapat
mendatangkan bencana dan korban jiwa. Hal ini karena vegetasi sebagai penutup
tanah dan penahan air hujan agar air dapat meresap ketanah secara perlahan-lahan
sudah tidak terdapat di hulu kawasan tersebut.
Dalam ekosistem alam vegetasi termasuk komponen biotik yang
mempunyai fungsi antara lain sebagai pelindung permukaan tanah dari daya
perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan dapat menahan derasnya aliran
permukaan (Barrow,1991).Vegetasi juga dapat berfungsi untuk memperbaiki
kapasitas infiltrasi tanah. Vegetasi dapat juga mengubah sifat fisik tanah melalui
aktifitas biologi yang dilakukan bakteri, jamur /cendawan, insekta dan cacing
tanah yang dapat memperbaiki porositas dan kemantapan agregat tanah
(Adisoemato.1994).
22
Hasil penelitian Qomariah (2003) menyimpulkan bahwa, kondisi tanah
/lahan setelah penambangan batubara secara terbuka yang tidak diikuti dengan
perlakuan rehabilitasi lahan sampai dengan tahun ke sepuluh menunjukan hampir
tidak ada tanda-tanda vegetasi dapat tumbuh. Dilokasi dimana terdapat lahan
bekas tambang secara terbuka dengan tidak ada perlakuan reklamasi lahan jenis-
jenis tumbuhan akan sulit hidup. Penelitian yang dilakukan Lorenzo et al,. (1996)
ditiga lokasi lahan pasca tambang yang berada di Pocos de Caldas, Spanyol
setelah ditinggalkan 50 tahun vegetasi baru tumbuh dengan ketinggian 0,59 meter
dengan jumlah spesies 30, didalam area 45,37 m2 terdapat 32 pohon, sehingga
rata-rata tiap m2 hanya 0,3 pohon (tidak terdapat satu pohon ). Dalam proses
rehabilitasi lahan unsur vegetasi sangat diperlukan, karena selain fungsinya
mengamankan permukaan tanah dari erosi juga berfungsi sebagai sumber unsur
hara.
2.2. Reklamasi Lahan
Reklamasi lahan pasca tambang di Negara-negara maju diatur dalam
Undang-Undang. Pelaksanaannya dikontrol sangat ketat oleh warga negara /
masyarakat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, yang dilakukan di negara
bagian Illinois USA. Pemerintah atas nama negara mengamankan sumberdaya
lahan agar tidak rusak pada aktifitas eksploitasi tambang batubara terbuka.
Supervisi reklamasi lahan dilakukan oleh pemerintah daerah yang didukung
dengan Undang-Undang tentang perlindungan sumberdaya lahan dengan
perangkat aturan pelaksanaannya (Arnold.2001).
Reklamasi lahan dampak negatif dari aktifitas tambang terbuka menurut
Sitorus (2003) adalah alat strategis untuk memperbaiki kerusakan akibat
penambangan permukaan dengan mengembalikan sisa hasil penambangan
kedalam lubang-lubang tambang, dan menanam kembali vegetasi dengan
memperhatikan sisa galian (tailing) yang mengandung bahan beracun.
Pada lahan pasca tambang batubara, reklamasi lahan adalah usaha / upaya
menciptakan agar permukaan tanah dapat stabil, dapat menopang sendiri secara
keberlanjutan (self-sustaining) dan dapat digunakan untuk berproduksi, dimulai
dari hubungan antara tanah dan vegetasi, sebagai titik awal membangun ekosistem
baru (Val dan Gil, 1996). Reklamasi lahan pasca tambang batubara yang dikaitkan
23
dengan vegetasi pada dasarnya adalah untuk mengatasi berlanjutnya kerusakan
lahan dan menciptakan proses pembentukan unsur hara melalui pelapukan serasah
daun yang jatuh. Aktifitas tersebut diharapkan dapat secara berkelanjutan dan
dapat membentuk ekosistem baru.
Menurut Grant (1998) terdapat empat langkah / prosedur untuk
melakukan rehabilitasi. Pertama, berusaha mengetahui/mengumpulkan data atau
dokumen ekologi sebelum ekosistem rusak. Kedua, identifikasi kenapa ekosistem
rusak. Ketiga melakukan identifikasi atau mengenali faktor-faktor yang paling
dominan terhadap kerusakan ekosistem. Keempat, memonitor terhadap
perkembangan / pertumbuhan rehabilitasi. Terkait dengan reklamasi lahan pasca
tambang batubara terbuka menurut Grant (1998) yang perlu diperhatikan pada
waktu aktifitas reklamasi dilakukan adalah merancang bentuk lereng / kemiringan
tanah sesuai dengan tujuan untuk apa reklamasi dilakukan. Tabel Grant (1998)
adalah tabel kemiringan dengan panjang antara dua titik awal dan akhir
kemiringan lereng (back-slope) yang dikaitkan dengan drainase dan erosi yang
diperbolehkan, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jarak Maksimum Antara Dua Titik Dengan Sudut Miring Yang Ditoleransikan
No Kemiringan lereng Maksimum jarak antara dua titik (m)
1
2
3
4
5
6
< 7
> 7 - 9
> 9 – 11
> 11 – 13
> 13 – 17
> 17 – 21
Nol
100
80
60
40
30
Sumber: Ecosystem rehabilitation book B (Grant,1998).
Terdapat kemiringan ideal dalam disain permukaan tanah terkait reklamasi
lahan yang mempertimbangkan konservasi tanah, seperti terlihat pada Gambar 10
(a) dan Gambar 10 (b).
24
(a) slope kemiringan ideal (b) Disain profil kemiringan jika space terbatas
Gambar 10. Kemiringan ideal dalam reklamasi dan Disain profil kemiringan jika space terbatas (Grant, 1998).
Gambar 10 (b) adalah disain pada kondisi ruang (space) yang tersedia
sangat terbatas di lapangan maka disainnya harus ada back-slope, yaitu jarak
landai antara dua titik slope untuk menjawab masalah erosi.
Reklamasi lahan pasca tambang batubara terbuka secara teknis, menurut
hasil penelitian KPC (2003) harus diupayakan adanya lapisan penghalang pyrit
,zat yang sewaktu-waktu dapat sebagai racun bagi tanaman, kedua terdapat
lapisan pembatas sebelum subsoil. Baru kemudian dibuat lapisan subsoil dan
topsoil sebagai tempat akar berjangkar. Terdapat 3 (tiga) konfigurasi secara teknis
yang saat ini dilakukan di PT. KPC dengan ukuran dan bentuk seperti pada
Gambar 11.
Dalam penelitian ini reklamasi lahan pasca tambang batubara open pit
tidak hanya memperhatikan ketentuan teknis saja, tetapi masalah-masalah non
teknis juga mendapatkan porsi yang sama untuk dipertimbangkan, antara lain
inspirasi atau kemauan masyarakat setempat / need assesment dari stakeholders
terhadap lahan pasca tambang batubara terbuka dan menampung kebiasaan-
kebiasaan masyarakat setempat dalam hal mengolah lahan. Kebiasaan yang
dimaksud adalah dalam hal memanfaatkan lahan secara tumpang sari atau
berbagai jenis tanaman yang bermanfaat secara ekonomi.
Sudut kemiringan ideall dan penggunaan lahan kurang dari 20°
Jarak landai (lebar sekitar 4 m) dibangun dengan kemiringan 3° atau kurang sepanjang kontur
Cekung Cembung
Sudut kemiringan ideal dan penggunaan lahan kurang dari 20°
20 – 30 % 70 – 80 %
25
Sumber : PT.KPC (Kaltim Prima Coal)
Gambar 11. Spesifikasi Disain Penutup Lapisan Batuan Yang Mengandung Pyrite.
Model reklamasi dengan melibatkan pelaku sistem, dimaksudkan untuk
memberdayakan potensi masyarakat untuk terlibat dalam menjaga kelestarian
sumberdaya alam, sebagai salah satu kunci pembangunan berlanjutan. Model
reklamasi dengan ketentuan seperti tersebut, diharapkan dapat membangun
ekosistem alam baru dan bermanfaat secara ekonomi. Aktifitas rehabilitasi lahan
dengan melibatkan swadaya masyarakat serta memperhatikan unsur budaya
Topsoil Batuan NAF tidak dipadatkan Batuan NAF dipadatkan
Batuan NAF
Batuan NAF
Batuan NAF tidak dipadatkan
Topsoil
Topsoil Batuan NAF tidak dipadatkan Tanah liat dipadatkan
Batuan NAF
10 m – 20 m (ditentukan dalam rencana
timbunan yang disetujui)
1 m
1 m
2 m
2 m
1 m
2 m
1 m
26
setempat disertai kegiatan penggunaan lahan dengan berbagai jenis tumbuhan
atau lebih populer disebut sistem penggunaan lahan berbasis agroforestri.
Agroforestri selain berfungsi secara biologi yaitu tempat berlangsungnya proses
pembentukan unsur hara, sarana satwa berkembang biak, secara ekonomi dapat
untuk meningkatkan pendapatan penduduk setempat dengan penanaman secara
tumpang sari.
2.3. Agroforestri
Menurut Foresta, et al.(2000) penggunaan lahan dengan sistem
agroforestri, adalah perpaduan antara tanaman pohon yang memiliki peran
ekonomi penting atau memiliki peran ekologi (seperti kelapa, karet, cengkeh,
jambu mete atau tanaman pohon) dan sebuah unsur tanaman musiman seperti
jagung, padi, kacang-kacangan, sayur mayur, atau jenis tanaman lain seperti
pisang, kopi, coklat adalah sistem agroforestri sederhana. Menurut Vergara (1982)
agroforestri adalah semua pola tata guna lahan yang berkesinambungan atau
lestari, yang dapat mempertahankan dan meningkatkan hasil optimal panen
keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman pangan tahunan dan tanaman
pohon, yang bernilai ekonomi dengan atau tanpa ternak atau ikan piaraan. Pola
tataguna lahan tersebut pada lahan dan waktu yang bersamaan, atau waktu yang
bergiliran dengan metode pengelolaan yang praktis. Metode yang dimaksud
adalah yang sesuai dengan keadaan sosial dan budaya penduduk setempat, serta
keadaan ekonomi dan ekologi daerah tersebut.
Berbagai penelitian yang pernah dilakukan menyimpulkan bahwa
agroforestri sebenarnya merupakan sistem tata guna lahan yang sudah dipraktekan
ribuan tahun lalu. Sebagai contoh, penelitian Blanford tahun 1958 di Burma
menemukan sistem taungnya sudah ada sejak tahun 1856, di Jawa dikenal dengan
pola penggunaan lahan tumpang sari (Riswan et al.1995). Menurut Nair (1982),
Riswan dan Hartati (1993) dalam Riswan et al. (1995) secara filosofi agroforestri
adalah suatu cara penggunaan lahan/tataguna lahan yang terpadu untuk daerah-
daerah marginal, dengan sistem masukan atau investasi yang rendah dengan dasar
pemikiran dan konsep pada dua faktor biologi dan sosial-ekonomi.
Dasar pemikiran biologis meliputi semua keuntungan yang diperoleh
dengan adanya unsur pohon, maka keuntungan yang diperoleh tanah adalah
27
terbentuknya siklus hara yang efisien karena sebagian muka tanah tertutup. Hal itu
juga sebagai sarana untuk pengendalian aliran permukaan (run-off) dan erosi
tanah, sehingga terjadi aktifitas alami perbaikan kondisi fisik tanah. Terhadap
lingkungan, dengan proses perbaikan unsur lahan dan vegetasi tersebut akan
terbentuk kestabilan iklim mikro, sehingga siklus hidrologi normal kembali.
Faktor sosial ekonomi, karena petani diberi alternatif menggunakan
pengelolaan lahan untuk keperluan pangan / tanaman pertanian yang dipadukan
dengan tanaman-tanaman yang memberikan fungsi pelindung, dan konservasi,
agar proses rehabilitasi lahan tercapai. Disamping itu terdapat hal yang penting
secara ekonomi, yaitu dapat meningkatkan pendapatan penduduk setempat, karena
masih ada ruang untuk tumpang sari atau tanaman yang bernilai ekonomi,
misalnya tanaman yang dapat menghasilkan bahan papan untuk bangunan dan
kayu bakar. Secara budaya mengajari masyarakat untuk menjaga alam
lingkungannya, dengan teknologi sederhana yang mudah diterapkan di lapangan.
Gambar 12 menunjukkan kebun campuran antara tanaman pohon yaitu
kelapa, kakao, ubi kayu, gamal sebagai pelindung dan cabe.
Sumber:Koleksi foto Meine Van Noordwijk dalam Agroforestri Khas Indonesia Gambar 12. Kebun Campuran Milik Petani di Lampung
Konsep dasar pemikiran tersebut merupakan upaya menciptakan
ekosistem alam baru yang berkesinambungan dengan model tataguna lahan
agroforestri. Menurut Djogo (1995) model agroforestri juga sangat sesuai
diterapkan pada lahan-lahan yang diterlantarkan atau mendekati lahan kritis.
28
Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestry seperti disampaikan diatas sudah
berjalan sangat lama di Indonesia terutama dipedesaan Pulau Jawa dan Pulau
Sumatera.
2.4. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem menurut Reichle (1970) adalah suatu cara untuk
mengerti dan mengenali proses-proses yang terjadi dalam ekosistem, karena
komponen-komponen dalam ekosistem saling berhubungan. Melakukan analisis
dari setiap komponen dalam sistem dengan pendekatan sistem menurut Patten
(1972) adalah: (1) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang
merupakan perwujudan karena adanya interaksi didalam dan diantara
subsistemnya. (2) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh
terhadap sistem secara keseluruhan yang diakibatkan karena adanya berbagai
masukan.(3) menduga dan meramal apa yang mungkin terjadi pada sistem apabila
beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah. Apabila dihubungkan dengan
persoalan yang terjadi dalam ekosistem yang komplek, maka menurut Jeffer
(1978) pendekatan sistem adalah alat strategi penelitian yang secara luas
menggunakan beberapa konsep dan teknik matematik, secara sistematis dan
ilmiah untuk memecahkan permasalahan yang komplek. Oleh karena itu, metode
pendekatan sistem dapat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk memecahkan
permasalahan yang rumit, seperti kompleksitas permasalahan ekosistem alam.
Sebagai contoh, dalam menyelesaikan permasalahan eksploitasi tambang batubara
secara terbuka yang tidak menggunakan kaidah-kaidah pembangunan yang
berkelanjutan, dan berdampak terhadap biofisik lingkungan, terhadap sosial
ekonomi dan terhadap sosial budaya.
Tiga dampak tersebut mempunyai hubungan saling terkait dengan
berbagai permasalahan yang sangat komplek. Sebagai contoh, dampak negatif
terhadap biofisik lingkungan. Menurut Burger, et al.( 1996) sejak aktifitas
eksploitasi pengambilan bahan mineral batubara dimulai, sumberdaya alam
lainnya seperti lahan telah menunjukan perubahan relief dan sifat fisik dan sifat
kimia tanahnya. Aktifitas eksploitasi di kawasan hutan, yang membabat hutan
menunjukan hilangnya hutan hujan tropis yang berdampak terhadap perubahan
iklim regional. Perubahan iklim regional tersebut akan berakibat terhadap
29
kegiatan atau jadual sektor pertanian, karena akan terjadi pergeseran aktifitas pada
musim tanam dan panen dengan segala konsekwensinya, seperti serangan hama
yang berakibat pada penurunan produksi disektor pertanian, sehingga secara
ekonomi terdapat kerugian. Selain kerugian secara ekonomi tersebut diatas
terdapat kerugian lain seperti yang dirasakan masyarakat lokal / adat dirasakan
yaitu berkurangnya pendapatan mereka dari hasil alam hutan dan pendapatan yang
berbasis lahan, karena hasil hutan seperti lebah madu, rotan dan hasil hutan
lainnya tidak dapat lagi mereka petik, karena lahan garapan sebagai tempat
bercocok tanam luasannya berkurang (Koesnaryo, 2004).
Dampak negatif paling serius adalah pada saat akan dilakukan kegiatan
eksploitasi, terutama yang berkaitan ganti rugi lahan dan tanam tumbuh. Apabila
tidak ada kecocokan harga, dapat mengundang terjadinya tambang liar. Kondisi
ini terjadi karena mereka / mayarakat telah mengetahui bahwa di lahannya
terdapat deposit batubara (Koesnaryo, 2004). Dampak negatif terhadap kehidupan
sosial budaya, antara lain setelah eksploitasi tambang selesai sering terjadinya
konflik antar penduduk atau suku adat. Pemicu konflik paling dominan adalah
status lahan pasca penambangan, berhubung lahan pasca penambangan selalu
mengalami perubahan bentuk, atau kenampakan relief sebagian muka bumi
berubah, maka batas-batas kepemilikan lahan adat atau perorangan juga berubah.
Sengketa tanah seperti ini menurut penelitian Wajidi (2005) pada lokasi-lokasi
pasca tambang batubara di Kalimantan Selatan, biasanya tidak secara cepat dapat
diselesaikan, akibatnya lahan pada kondisi demikian mempercepat proses
degradasi lahan karena tidak terurus dan lahan menjadi kritis tidak produktif.
Selain dampak negatif yang diuraikan tersebut diatas, terdapat dampak
positif secara langsung bagi masyarakat sekitar kegiatan penambangan, karena
terserap-nya jumlah angkatan kerja, dan tumbuhnya aktifitas ekonomi lokal
karena arus barang yang masuk kelokasi pertambangan dan wilayah sekitar-nya
dalam jumlah yang cukup banyak. Begitu tingginya kompleksitas permasalahan
seperti yang diuraikan tersebut diatas, maka untuk penanganan terhadap unsur-
unsur yang saling terkait, dinamis dan komplek, perlu dilakukan penyederhanaan
terhadap kerumitan dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang saling
mempengaruhi, yang membentuk unjuk kerja sistem secara keseluruhan.
30
Terdapat dua jenis kerumitan yang perlu disederhanakan. Pertama,
kerumitan rinci(detail complexity), yaitu menyangkut ciri dan cara bekerja unsur-
unsur yang terlibat dalam sistem yang diamati dalam mengisi kesenjangan.
Kedua, kerumitan dinamis (dynamic complexity), yang menyangkut proses
kecepatan / kelambanan waktu yang diperlukan sistem dalam mengisi
kesenjangan. Untuk menyelesaikan permasalahan dengan kondisi demikian
diperlukan keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh dan
menyeluruh tentang hal-hal yang terkait. Metode yang paling sesuai dan tepat
adalah kerangka fikir yang dapat menjembatani antara keseluruhan disiplin ilmu
dan pengetahuan sosial yang biasa disebut dengan pendekatan sistem / system
approach. Apabila cara fikir pendekatan sistem dikaitkan dengan tujuan maka
menurut Eriyatno (1998) pendekatan sistem diartikan sebagai metode pengkajian
permasalahan yang dimulai dari penentuan tujuan, kemudian dilakukan analisis
kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu model operasional dari sistem
tersebut. Lebih lanjut menurut Eriyatno (2003) pendekatan sistem adalah cara
penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap
adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu
operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai
dengan dua hal, yaitu : (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam
mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) membuat
satu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.
Penelitian ini berkaitan dengan data kuantitatif dan aspek kualitatip yang
akan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan, sehingga metode pendekatan
sistem merupakan basis / sarana untuk mengembangkan kerangka dasar analisis.
Setiap komponen yang terkait, akan dianalisis secara lengkap agar lebih mampu
menampilkan gambaran yang mendekati kondisi riil di lapangan. Hal itu
dilakukan agar permasalahan yang komplek tetap dapat diurai, tetapi kerangka
awal penelitian dengan basis tujuan dengan pendekatan sistem akan tetap terjaga,
karena terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui.
Menurut Eriyatno (2003) pemecahan permasalahan berbasis tujuan dengan
pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa tahap proses antara lain analisis
rekayasa model, implementasi rancangan dan operasi sistem. Untuk mendapatkan
31
hasil yang dapat dipertanggung jawabkan maka setiap proses diikuti oleh suatu
evaluasi yang berulang, sebelum melanjutkan pada tahap berikutnya. Hal ini
dimaksudkan agar sistem yang diperoleh sesuai dengan tujuan (goal).
2.4.1. Sistem
Sistem adalah suatu agregasi atau kumpulan obyek-obyek yang terangkai
dalam interaksi dan saling bergantungan yang teratur. Definisi tersebut
disempurnakan Jeffer (1978) yang menyatakan sistem sebagai suatu kumpulan
dari elemen yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan dalam interaksi
yang kuat maupun lemah dengan pembatas sistem yang jelas seperti Gambar 13.
Gambar 13. Rangkaian Sistem (Muhammadi et,al, 2001)
Setelah memasukan aspek tujuan, Muhammadi et al. (2001) memberikan
pengertian tentang sistem sebagai sekumpulan elemen-elemen yang berada dalam
keadaan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut
Eriyatno (2003) sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek
dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai tujuan.
Dari beberapa definisi diatas, terkandung adanya kesamaan pengertian
tentang sistem, yaitu suatu sistem adalah seperangkat elemen yang saling
berinteraksi membentuk kegiatan atau suatu prosedur yang mencari pencapaian
suatu tujuan bersama.
Batas
Unsur A Unsur B
Unsur C
Unsur E
Unsur F
Unsur D
Ling
kung
an
Sistem
32
Dalam kaitan penyelesaikan permasalahan yang sangat komplek,
penjelasan sistem dapat juga sampai pada level-level yang lebih rinci menjadi
subsistem-subsistem yang saling berinteraksi, demikian seterusnya sampai pada
elemen-elemen yang mendukung subsistem. Sebagai contoh, seperti pada
permasalahan lahan pasca tambang batubara, permasalahan teknis dan non teknis
berkembang dinamis dengan variabel yang dapat berubah setiap saat dan menjadi
permasalahan yang komplek, maka sistemnya perlu diurai menjadi beberapa
subsistem.
Dalam sebuah sistem biasanya jumlah elemen yang terlibat banyak sekali,
untuk membatasi elemen yang tidak diperlukan, dirancang batasan sistem.
Menurut Eriyatno (2003) terdapat terminologi penyelesaian permasalahan dengan
pendekatan sistem, sebelum pada tahap rekayasa, yaitu : (1) analisis kebutuhan,
(2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem,
(5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan
ekonomi dan keuangan.
2.4.2. Model
Untuk melakukan penghayatan atau menggambarkan tentang apa yang
tersirat dalam suatu sistem perlu dibuat model. Menurut Manetch dan Park (1977)
model adalah merupakan abstraksi dari keadaan yang sebenarnya atau dengan
perkataan lain merupakan penyederhanaan dari suatu sistem dunia nyata yang
mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Menurut
Muhammadi, et al.(2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk
menirukan suatu gejala atau proses. Model yang dapat menirukan kondisi
sebenarnya, tanpa harus ada perbedaan dengan hasil pengukuran adalah model
yang mendekati kebenaran dari unsur-unsur yang penting dari perilaku dalam
dunia nyata. Model yang demikian disebut model yang sesuai dengan kondisi
sebenarnya (the real mode).
Oleh karena itu, sebelum model diaplikasikan harus melalui tahap validasi
yang dapat dilakukan melalui berbagai cara. Menurut Hartrisari dan Handoko
(2004) validasi model merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan
permodelan. Secara ilmiah validasi identik dengan pengujian hipotesis. Dalam
hal ini, model itu sendiri merupakan hipotesisnya. Terdapat bermacam cara
33
validasi, mulai yang bersifat deskriptif, misalnya melalui perbandingan secara
grafis atau pengujian secara kuantitatif, yang dilakukan melalui uji statistik.
Menurut Eriyatno (2003) terdapat tiga kelompok model. Pertama, model
Ikonik (model fisik) yaitu model yang mempersentasikan bentuk fisik dari model
yang diwakilinya, tetapi pada skala yang berbeda. Model jenis ini dapat
berdimensi dua seperti peta, foto, atau cetak biru, dan dapat pula dalam tiga
demensi seperti prototip dari mesin-mesin. Kedua, model analog (diagrammatic
model), yaitu model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik yang
menyatakan hubungan antar unsur. Ketiga, model simbolik (model matematik)
model ini merupakan perwakilan realitas yang dikaji, format model ini dapat
berupa angka-angka, simbol dan rumus-rumus matematik atau rumus-rumus
komputer. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah persamaan (equation).
Tiga kelompok model tersebut diatas, oleh Hartrisari dan Handoko (2004) dibagi
menjadi 10 bentuk, meskipun bentuk model tersebut dapat merupakan bagian dari
model dinamis, mekanistik atau numerik. Ke-10 bentuk yang saling berlawanan
tersebut adalah (1) model fisik dan model mental (2) model deskriptif dan model
numerik (3) model empirik dan model mekanistik (4) model deterministik dan
model stokastik (5) model statis dan model dinamis.
Pada kasus-kasus yang akan di teliti, pemilihan model tergantung pada
tujuan dari pengkajian sistem, yang terlihat dan formulasi permasalahan. Sebagai
contoh, model yang mendasarkan pada teknik peluang dan memperhitungkan
adanya ketidak menentuan (uncertainty), karena masalah yang dikaji umumnya
mengandung keputusan yang tidak menentu atau terdapat beberapa pilihan, seperti
sifat-sifat probabilistik. Model yang sesuai untuk kondisi tersebut adalah model
stokastik tetapi dinamis. Sebaliknya, yang tidak memperhatikan peluang kejadian
dikenal model deterministik.
Secara tegas tujuan model menurut Hartrisari dan Handoko (2004) dibagi
menjadi tiga: Pertama, untuk pemahaman proses, model tersebut harus mampu
menjelaskan mekanisme yang terjadi, bukan hanya sekedar hubungan kausal
antara input dengan output seperti pada model empirik, walaupun pengamatan
empirik sangat penting untuk keperluan validasi; Kedua, untuk prediksi, model
numerik mempunyai kemampuan prediksi yang sangat bagus untuk kasus-kasus
34
lingkungan dengan kondisi tertentu,tetapi akan mempunyai kesalahan yang
signifikan apabila diaplikasikan pada kondisi yang berbeda. Terdapat model yang
mempunyai kemampuan prediksi yang baik seperti pada kasus diatas yaitu model
mekanistik dan model empirik juga dapat untuk tujuan prediksi. Ketiga, model
untuk keperluan manajemen. Tujuan nomor 3 (tiga) terahir tersebut harus
mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari dua tujuan sebelumnya dan harus
berkemampuan memprediksi, juga dituntut kecerdasan dalam perencanaan agar
model mampu menjelaskan suatu proses yang sedang terjadi, hal tersebut karena
sangat diperlukan dalam manajemen.
Sehubungan dengan proses penambangan batubara dengan berbagai
dampak yang ditimbulkannya terhadap biofisik, sosial budaya dan sosial ekonomi
adalah merupakan permasalahan yang komplek. Maka untuk memecahkan
permasalahan tersebut diperlukan suatu metode yang dalam memandang
permasalahan secara holistik, komprehensip dan sistematik. Metode paling sesuai
untuk kasus tersebut adalah dengan pendekatan sistem yang mempunyai konsep
model untuk keperluan manajemen seperti yang diutarakan diatas.
Konsep model untuk keperluan manajemen dalam pelaksanaannya sering
menggunakan simulasi dengan model dinamik. Menurut Muhammadi et al. (2001)
model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel yang saling mempengaruhi
antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu. Setiap variabel
berkorespondensi dengan suatu besaran yang dibuat sediri dan memiliki nilai
numerik. Model dinamik tersebut apabila disimulasikan dengan perangkat lunak
(software) maka variabel-variabel tersebut akan saling berhubungan membentuk
suatu sistem.
Untuk membuat model dinamik secara formal digunakan diagram sebab
akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram tersebut dibuat
dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem, dan
menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, apabila
keduanya saling mempengaruhi maka garis panah akan berlaku dua arah.
Menurut Muhammadi et al.(2001) pembentukan model seperti diatas
adalah untuk memahami struktur dan perilaku sistem. Diagram sebab akibat pada
sistem dinamis digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir sebagai
35
sarana untuk simulasi untuk membangun sebuah model. Input data yang
diperlukan melalui sebuah program perangkat lunak yang secara cepat dan tepat
menggambarkan model.
2.4.3. Simulasi
Simulasi merupakan salah satu kegiatan dalam analisis sistem yang
berguna dalam pendekatan masalah berdasarkan model-model, dan merupakan
sarana untuk mengevaluasi dan merancang kemudian menetapkan suatu sistem.
Simulasi juga bertujuan untuk memahami, membuat analisis dan peramalan
perilaku gejala dalam proses untuk masa yang akan datang. Menurut Soerianegara
(1978) terdapat beberapa keuntungan dengan simulasi. Simulasi dapat
menciptakan sistem baru yang diduga akan lebih baik dari keadaan sistem
sesungguhnya yang sedang diteliti, dan apabila eksperimentasi tidak dapat
dilakukan karena sesuatu hal misalnya sangat rumit dan membutuhkan waktu
singkat, biaya yang tersedia terbatas, tetapi dibutuhkan model, maka dengan
mendapatkan beberapa data yang penting dapat diperoleh model yang dikehendaki
melalui simulasi. Apabila hasil yang dikehendaki merupakan kebutuhan untuk
menentukan beberapa pilihan kebijakan, maka menurut Eriyatno (2003) definisi
simulasi adalah suatu aktifitas, dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan-
kesimpulan tentang perilaku dari sistem, melalui penelaahan perilaku model yang
selaras, dimana hubungan sebab dan akibatnya sama dengan atau seperti yang ada
pada sistem yang sebenarnya.
Tahapan untuk melakukan simulasi menurut Muhammadi et al. (2001)
adalah (1) Penyusunan konsep, (2) Pembuatan model, (3) Memasukan data dalam
program komputer, (4) Validasi / pengujian model.
Penyusunan konsep terkait erat dengan masalah yang akan disimulasikan,
harus dengan jelas, termasuk ruang lingkup dan menelaah masalah yang penting
yang terkait dengan model yang akan dibuat.
Identifikasi dari variabel-variabel yang berperan dalam sistem yang dapat
menimbulkan gejala atau proses dan saling berinteraksi, saling ber-ketergantungan
harus betul-betul sudah didapat dan dikenali. Hal ini penting karena model
tersebut harus mewakili sistem yang nyata tetapi harus tetap dalam ruang lingkup
yang telah didefinisikan dan yang akan disimulasikan dengan menggunakan
36
bantuan komputer. Gambar 14 menunjukkan adalah Skema tahapan Simulasi
menurut Soerianegara (1978) terdiri atas tiga tahap yaitu; (a) merumuskan
batasan masalah/spesifikasi masalah secara kualitatif; (b) proses pengumpulan
data dan memberikan spesifikasi kuantitatif dari sistem setelah dilakukan analisis;
(c) sintesis sistem, yaitu proses pemecahan masalah.
Gambar 14. Skema Tahapan Kerja Simulasi (Soerianegara, 1978).
Simulasi dilakukan dengan kaidah telaahan hubungan sebab akibat antar
variabel, yang dapat menimbulkan perilaku gejala dalam model yang didisain.
Kesimpulan Rekomendasi
Spesifikasi masalah dan
tujuan, menentukan batas
Simulasi
Apakah Data Cukup ?
Pengumpulan data tentang sistem yang diteliti
Penyusunan Arsitektur
Model (simulasi)
Apakah Simulasi Cukup ?
Pengumpulan data untuk mencoba model
(informasi display)
Tidak
Pengambilan kelengkapan data
Tidak
37
Langkah berikutnya adalah melakukan validasi, yang bertujuan untuk
mencocokan / menganalisis hasil simulasi dengan kenyataan yang ditirukan.
Jika simpangan / kesalahan hasil simulasi terhadap proses / gejala yang
sedang diamati sangat kecil, maka dikatakan model yang digunakan sudah tepat,
tetapi jika yang terjadi sebaliknya maka perlu ada revisi dan pembenaran data-nya
di lapangan.
2.5. Tinjauan hasil-hasil penelitian terdahulu berkaitan dengan reklamasi lahan pasca tambang.
Berbagai hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan lahan pasca
tambang yang telah dilakukan, baik di dalam negeri maupun diluar negeri, antara
lain sebagai berikut : penelitian lahan pasca tambang pada galian pasir di desa
Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang
dilakukan Rani (2004). Metode yang dilakukan dengan mencampur tanah asli
yang berasal dari daerah sekitar dengan pupuk kandang dari hewan kambing
dengan perbandingan yang ditentukan. Hasil penelitian dengan pencampuran
tanah asli dan bahan-bahan dengan perbandingan yang telah ditetapkan, terbentuk
kualitas tanah untuk tumbuhnya tanaman hijauan makanan ternak sebagai sarana
rehabilitasi lahan.
Penelitian untuk maksud rehabilitasi lahan pasca tambang timah
dilakukan oleh Kusumastuti (2005) di Pulau Bangka. Penelitian dilakukan dengan
pemberian amelioran campuran bahan organik dan tanah mineral untuk tanaman
jati sebagai indikator. Percobaan dilakukan dirumah kaca dengan cara melakukan
inkubasi tailing dari berbagai tingkatan umur dari lahan pasca tambang. Hasilnya
tanaman jenis jati dapat tumbuh pada media hasil pencampuran antara bahan
organik/ kompos, kapur/rock fosfat dan tanah mineral. Penelitian lain yang terkait
dengan lahan pasca tambang dilakukan dilahan pasca tambang timah oleh Badri
(2003). dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik lahan untuk suatu
pertumbuhan vegetasi. Teknik rehabilitasi tanah dilakukan di rumah kaca dengan
analisis tanah di laboratorium. Percobaan pertama dilakukan terhadap media
tumbuh berupa tailing yang dicampur dengan pupuk kompos dengan
perbandingan 9:1, dengan perbandingan yang sama tailing dicampur dengan
pupuk kandang. Percobaan kedua dilakukan pada media tumbuh campuran antara
38
tailing dengan mikoriza dengan pebandingan 9:1 dan tidak menggunakan
mikoriza. Tanaman yang digunakan adalah akasia, sengon, gamal dan lamtoro.
Hasil penelitian, menunjukkan karakteristik lahan pasca tambang akan berbeda
terhadap pertumbuhan tanaman tergantung jenis / bahan pencampurnya.
Penelitian yang dilakukan PT. INCO di lahan pasca tambang nikel
dilakukan dengan cara melakukan percobaan penanaman pohon dilubang (in-
hole) yang ditentukan setelah dilakukan pemupukan yang dicampur dengan
mikoriza. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mencari formula yang
sesuai untuk suatu jenis tanaman tertentu. Hasilnya cukup baik untuk
pertumbuhan tanaman (Ambodo, 2004). Perusahaan timah PT KOBATIN salah
satu perusahaan besar di Indonesia melakukan penelitian lahan pasca tambang
timah dengan cara pemanfaatan lahan bekas tambang (lubang-lubang bekas
galian tambang) untuk keperluan budidaya air tawar, dengan terlebih dahulu
menguji keasaman air dalam lubang bekas tambang timah. Uji coba penelitian
tersebut telah dilakukan di kecamatan Koba, Bangka Belitung. Hasil penelitian
menunjukkan ikan tawar dapat hidup dilahan bekas tambang setelah lebih dahulu
dilakukan proses menghilangkan zat asam dalam air dengan pemberian kapur
(Koba Tin, 2004).
Penelitian di lahan pasca tambang batubara yang dilakukan oleh Qomariah
(2003) di Kalimantan Selatan pada lahan pasca tambang batubara yang
ditinggalkan, menitik beratkan pada karakteristik sifat-sifat fisik tanah dan sifat
kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan sifat fisik tanah
dan sifat kimia tanah tergantung dari waktu lamanya lahan ditinggalkan. Val dan
Gil (1996) dan Lorenzo et al.(1996) melakukan penelitian lahan pasca tambang di
Pocas de Caldas di Spanyol. Penelitian tersebut menitik beratkan pada
pertumbuhan vegetasi dilahan pasca tambang batubara. Hasil penelitian
menunjukan terdapat beberapa karakteristik lahan pasca tambang batubara yang
terkait dengan pertumbuhan tanaman. Penelitian yang dilakukan Syarif dan
Munawar (2005) dilahan pasca tambang batubara di lokasi UPT Tanjung Enim,
dalam kawasan tambang batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk, khusus tentang
Air Asam Tambang (AAT) di lahan pasca tambang dengan pemberian kapur
tohor pada saluran-saluran drainase dan kolam-kolam pengendapannya. Hasil
39
penelitian menunjukkan pemberian kapur tohor dapat meningkatkan pH, dan
mampu menurunkan konsentrasi unsur-unsur logam seperti Fe dan Mn sampai
pada tingkat baku mutu, tetapi membutuhkan jumlah kapur yang sangat besar.
Hasil-hasil penelitian yang diuraikan diatas disajikan seperti terlihat pada Tabel 2
Tabel 2. Telaahan Hasil Penelitian di Bidang Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang
No Topik dan
Lokasi Metoda Hasil
Peneliti dan Tahun Penelitian
1 Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang Galian Pasir, di Desa Ciberium Wetan ,Sumedang Jawa Barat
Mencampur tanah asli yang berasal dari sekitar lahan penelitian dengan dengan pupuk / kotoran kambing dengan berbagai perbandingan
Lahan pasca tambang pasir dapat sebagai media tumbuh tanaman
Rani , Tahun
Penelitian
2004
2 Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang Timah.
Pemberian amelioran camuran bahan organik dan tanah mineral pada lahan pasca tambang, dengan berbagai ukuran tertentu pada berbagai umur lahan pasca tambang dan sebagai indikator adalah tanaman jati
Tanaman pohon jati dapat tumbuh, di lahan pasca tambang dengan komposisi campuran
Kusumastuti Tahun penelitian 2005
3 Mengetahui Karakteristik lahan pasca Tambang Timah.
Mencampur lahan pasca tambang/ tailling; a) dengan pupuk kompos (perbandingan 9:1) b) dengan pupuk kandang (perbandingan 9:1) c) dengan mikoriza dan tanpa mikoriza. Tanaman yang digunakan lamtoro ,akasia,senon dan gamal.
Hasil penelitian, menunjukkan karakteristik lahan pasca tambang akan berbeda terhadap pertumbuhan tanaman tergantung jenis / bahan pencampurnya.
Badri tahun
penelitian
2003
4
Rehabilitasi Lahan Pasca Tambang Timah
Menanam pohon akasia di lubang yang telah diberi pupuk kandang dan mikoriza
Pohon tumbuh dengan baik PT INCO tahun penelitian 2004
40
N0 Topik dan
Lokasi Metoda Hasil
Peneliti dan Tahun Penelitian
5 Karakteristik lahan pasca tambang batubara di Kalimantan Selatan
Melakukan analisis sampel tanah di laboratorium
Terdapat perubahan sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah dilahan pasca tambang batubara dan berpengaruh terhadap tanah dilahan yang tidak ditambang pada jarak 500 m.
Qomariah tahun penelitian 2003
6 Mengetahui hubungan pertumbuhan vegetasi di lahan psca tambang batubara, di Pocas de Caldas di Spanyol
Mengukur pertumbuhan vegetasi di setiap lahan pasca tambang yang ditinggalkan dengan waktu lamanya ditinggalkan
Lahan pasca tambang yang tidak dilakukan rehabilitasi baru akan ada pertumbuhan vegetasi antara 25 s/ d 50 tahun .
Val dan Gil (1996) dan Lorenzo et al.(1996)
7 Pemanfaatan lahan pasca tambang batubara untuk keperluan budidaya ikan tawar, di lokasi tanjung enim Sumatera selatan
Air Asam Tambang (AAT) di lahan pasca tambang dengan pemberian kapur tohor pada saluran-saluran drainase dan kolam-kolam pengendapannya.
Hasil penelitian pemberian kapur tohor dapat meningkatkan pH, dan mampu menurunkan konsentrasi unsur-unsur logam seperti Fe dan Mn sampai pada tingkat baku mutu,tetapi membutuhkan jumlah kapur yang sangat besar.
Syarif dan Munawar pada tahun 2005
8 Perencanaan Pembangunan Pasca Tambang Untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus PT.KPC di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur)
Focus Group Discustion (FGD). Proses Hirarhi Analysis (PHA). Analysis Kompotitip. Model dynamik.
1. Terdapat faktor dominan dalam perencanaan yaitu perlindungan kelestarian fungsi lingkungan.
2. Alternatif pembangunan perkebunan kelapa sawit perkebunan karet atau kehutanan, tetapi pada daerah yang luas termasuk diluar kawasan tambang dengan modal dari daerah sebesar 40% yang diperoleh dari hasil tambang.
Soemarno Witoro Soelarno Tahun Penelitian 2007.
Sumber; Telaahan hasil penelitian 2004-2006.
Disamping penelitian yang seperti yang diuraikan diatas terdapat percobaan-
percobaan yang telah dilakukan sehubungan bagaimana melakukan reklamasi lahan atau
melakukan rehabilitasi lahan pasca tambang seperti yang dilakukan Reeve pada Tahun
1970. Reeve melakukan reklamasi lahan dengan metode yang sangat
konvensional, yaitu dengan memperhatikan jadwal musim hujan dan kemarau.
Tabel 2 (Lanjutan)
41
Hal ini perlu karena sangat berpengaruh terhadap plastisitas tanah. Tanah pada
musim hujan akan menjadi basah atau lembab. Demikian sebaliknya, dimusim
kemarau tanah akan menjadi kering. Penentuan waktu atau musim tersebut pada
dasarnya menghidari terhadap kerusakan tanah saat pengambilan tanah bagian
atas (topsoil). Penelitian Reeve (1970) tersebut dilakukan di atas lahan yang di
bawahnya terdapat mineral batubara yang akan segera dilakukan penambangan.
Aktifitas pertama adalah memilih tanah yang sesuai untuk keperluan pertanian.
Tanah kering tersebut digali lebih dahulu dan disimpan (in-sterilize), kemudian
disebarkan kembali pada saat restorasi / pada saat aktifitas eksploitasi selesai.
Lahan pasca tambang ditimbun kembali dengan tanah aslinya. Hasilnya 90 %
berhasil dihijaukan kembali, dan dapat berfungsi untuk keperluan pertanian
seperti sebelum di lakukan kegiatan eksploitasi.
Cara yang dilakukan Reeve di-implementasi-kan di Inggris dan Wales
pada tahun 1982 s/d tahun 1988 yaitu pada suatu proyek restorasi lahan seluas
2000 Ha setiap tahun (Reeve, 1994). Di Indonesia, reklamasi lahan tambang
batubara oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Kaltim Prima Coal (KPC) di
Sanggata, Kalimantan Timur dan PT Arutmin Indonesia di Kalimantan Selatan
hampir sama seperti hasil penelitian yang dilakukan Reeve. Dari semua penelitian
dan percobaan-percobaan yang disebut dan diuraikan diatas adalah dalam rangka
bagaimana melakukan rehabilitasi lahan yang bersifat teknis. Menurut Sitorus
(2003) rehabilitasi lahan yang menitik beratkan pada aspek pemulihan lahan kritis
lebih banyak menyangkut permasalahan yang bersifat teknis yang dapat
memanipulasi faktor-faktor biofisik sedemikian rupa, dengan pemilihan metode
tertentu, biasanya dilakukan dengan suatu eksperimen dengan hitungan data-data
teknis, sehingga terwujud suatu kondisi yang menguntungkan untuk suatu
keperluan.
Tambang batubara terbuka di Pulau Kalimantan, dimana depositnya
kebanyakan dilahan tanah-tanah adat, tanah dengan pemilikan pribadi, tanah
dikuasai negara dalam hutan tropis baik sekundeir maupun primer. Sewaktu
melakukan eksploitasinya tidak dengan kaidah-kaidah pembangunan
berkelanjutan, maka lahan pasca tambang tersebut meninggalkan berbagai
persoalan yang komplek. Menurut Eriyatno (2003) penyelesaian permasalahan
42
yang komplek dan rumit salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan
pendekatan sistem. Penelitian ini akan menggunakan metode pendekatan sistem,
dimana akan dikaji aspek-aspek biofisik, sosial budaya, aspek ekonomi secara
bersamaan. Sumber data aspek teknis diambil secara langsung dari obyek di
lapangan, data lain yang diperlukan juga diperoleh dari stakeholders di lapangan.
Oleh karena itu penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya seperti terlihat
dari hasil-hasil penelitian terdahulu.