1.2tujuan - web viewmenyiapkan materi mata ... pengelolaan kawasan pertanian ... kondisi...
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses penataan ruang merupakan rangkaian kegiatan yang perlu mendapat
perhatian sebagai salah satu aspek dalam pelaksanaan pembangunan dan dalam rangka
percepatan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mewujudkan penataan ruang yang
meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang diperlukan berbagai perangkat lunak berupa Norma, Standar, Prosedur dan
Manual (NSPM) sebagai acuan pelaksanaan penataan ruang. Kurangnya NSPM dalam
penataan ruang menyebabkan kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang
sehingga implementasi penataan ruang tidak berjalan optimal. Definisi dari Norma,
Standar, Prosedur, dan Manual itu sendiri menurut Kamus besar bahasa Indonesia ialah:
Norma, yaitu Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok
masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang
sesuai
Standar, yaitu Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan
Prosedur, yaitu Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode
langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem
Manual, yaitu buku petunjuk praktis tentang suatu jenis pekerjaan atau tentang
cara kerja suatu alat atau peranti tertentu
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa NSPM dapat dijadikan
sebagai standar mutu terutama dalam bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah.
Dalam merencanakan suatu kawasan yang berkelanjutan, diperlukan suatu standar
dalam pengelolaannya. Hal ini perlu dilakukan karena mengingat bahwa setiap kegiatan
memiliki karakteristik khusus dan memerlukan penanganan yang berbeda, agar
pembangunan di kawasan tersebut tidak memberikan dampak buruk untuk kawasan itu
sendiri. Oleh sebab itu NSPM memiliki peran penting dalam Pengembangan Wilayah
sebagai modal awal perencanaan tata ruang yang baik dan berkualitas serta berdaya
dukung lingkungan.
1
1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah untuk :
a. Menyiapkan materi mata kuliah Perencanaan Pengembangan Wilayah.
b. Mengemukakan permasalahan pengelolaan kawasan pertanian, perkebunan,
pertambangan, pegunungan, dan pesisir terhadap kawasan pemukiman
c. Mengemukakan strategi pengembangan wilayah untuk berbagai kawasan
d. Mengemukakan strategi menyusun NSPM berbagai kawasan dalam
melakukan Perencanaan Pengembangan Wilayah.
1.3 Sistematika Penulisan
BAB 1 PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, tujuan, batasan masalah, serta
sistematika penulisan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tentang tinjauan pustaka.
BAB 3 ANALISIS MASALAH
Berisi tentang uraian soal yang akan dianalisis dan pembahasan
mengenai kasus yang diangkat menjadi masalah
BAB 4 KESIMPULAN
Berisi tentang kesimpulan, menyajikan hasil-hasil analisis dalam bab
sebelumnya dalam bentuk ringkas, padat dan jelas sehingga diperoleh
susunan rangkaian yang sistematis dan mudah dipahami.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGEMBANGAN WILAYAH
Pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya
perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komperhensif
mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya (Misra R.P, 1982). Pada dasarnya
pendekatan pengembangan wilayah ini digunakan untuk lebih mengefisiensikan
pembangunan dan konsepsi ini tersus berkembang disesuaikan dengan tuntutan waktu,
teknologi dan kondisi wilayahnya.
2.1.1 Pengertian WilayahBerdasarkan Undang – Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Pasal 1 disebutkan definisi wilayah dalam tata ruang, yaitu Wilayah: adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Adapun beberapa pengertian yang hampir sama tentang wilayah yaitu kawasan,
dan daerah adalah sebagai berikut :
Kawasan, adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah, yakni adanya karakteristik
hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah,
sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.
Daerah, umum dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif. Dalam
UU no.32 tahun 2004, daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
Maka dari itu jelas sekali perbedaan antara wilayah, kawasan dan daerah dalam
ilmu tata ruang berdasarkan masing-masing pengertian. Namun secara teoritik tidak ada
perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara
umum dapat disatukan dalam satu istilah yang lebih umum yaitu wilayah (region),
dimana setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi khusus yang tentunya
3
memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan
tersebut.
Beberapa definisi wilayah secara teoriti yang di jelaskan oleh beberapa pakar
adalah sebagai berikut :
Murty (2000): Wilayah adalah suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat
berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten), dan
perdesaan.
Isard (1975): Wilayah adalah areal dengan batas-batas tertentu yang memiliki arti
(meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya, khususnya karena
menyangkut permasalahan sosial.
Nasoetion (1990): wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-
batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah)
satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional.
2.1.2 Konsep WilayahDikarenakan tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima secara luas,
maka para ahli cenderung melepaskan perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan
fokus masalah dan tujuan pengembangan wilayah tersebut.
1) Konsep Pewilayahan (Zoning)
Zoning adalah metode perencanaan penggunaan tanah yang digunakan oleh
pemerintah lokal di sebagian besar negara maju . Pemintakatan bisa dilakukan
berdasarkan penggunaan yang diizinkan untuk suatu lahan atau berdasarkan aturan
lain seperti tinggi bangunan yang diperkenankan untuk suatu kawasan tertentu.
Sistem zoning dilakukan untuk mempermudah pembagian kawasan : kawasan
industri, kawasan pemukinan, kawasan komersial, kawasan perkantoran, kawasan
rekreasi dan hiburan dan kawasan konservasi.
4
Gambar 1. Contoh Pemetakan (Zoning) Suatu Kota Dengan Memberikan Berbagai Warna Bagi Masing-Masing Peruntukan Zona
2) Zonasi tata ruang di atur dalam Undang – Undang No.26 Tahun 2007 tentang Tata
Ruang , Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi :
3) Rencana tata ruang nasional memuat (langsung ke huruf f) – arahan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem
nasional, arahan perizinan, arahan intensif dan disintesif serta arahan sanksi. Maka dari
itu tujuan Penyusunan Peraturan zonasi adalah :
a) Mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, mengatur
keseimbangan dan keserasian peruntukan tanah dan menentukan tindak atas
suatu ruang.
b) Melindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
c) Mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai
serta meningkatkan kualitas hidup.
d) Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan.
e) Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil
guna serta mendorong peran serta masyarakat.
5
2.1.3 Konsep Pengembangan WilayahYang menjadi konsep pengembangan wilayah adalah :
1) Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif
yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-
pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis.
Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan
penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang
yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu
pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan
di Indonesia.
2) Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia,
terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya.
Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang
mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama
pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya.
Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori
polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa
perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced
development).
Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan
hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan
menggunakan istilah backwash and spread effect.
Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada
pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem
pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan.
Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya
model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam
pengembangan wilayah.
3) Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah diatas
kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran
cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an)
dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk
mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam akan mampu
6
mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi)
memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki
prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era
1980-an) yang memperkenalkan konsep Pola dan Struktur Ruang yang
bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang
Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional
Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sitem
kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah
nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya
konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT)
sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan
peran kota yang diarahkan dalam SNPP.
4) Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris diatas, maka
secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan
sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan
berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan
nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar
kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan
ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan
dalam wadah NKRI.
Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya
memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh
melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :
Pertama, proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana
tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions”
RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi,
selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta
kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development
sustainability).
Kedua, proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi
rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
7
Ketiga, proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai
dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan
pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki
landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.
2.2 PENGERTIAN NORMA, STANDAR, PROSEDUR, MANUAL (NSPM)
Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) adalah perangkat aturan-aturan
yang merupakan kebijakan Departemen (sekarang Kementrian) yang terus
dikembangkan untuk menunjang operasional Direktorat Jenderal dan lainnya yang
terkait dengan kegiatan pembangunan infrastruktur Indonesia. NSPM diterapkan dalam
upaya mengoptimalkan kinerja pelaksanaan, mulai dari pra konstruksi, masa konstruksi
sampai pasca konstruksi, sehingga prasarana dan sarana atau infrastruktur yang
dibanguna dapat dimanfaatkan sesuai dengan rencana bagi kepentingan masyarakat.
(http://www.pustran.go.id/NSPM-Setba-2001-2002.htm)
Ditetapkannya NSPM bertujuan untuk memberikan panduan dan kemudahan
bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam bidang pekerjaan konstruksi untuk
melaksanakan kegiatan pembangunan prasarana dan sarana guna mempertahankan mutu
pekerjaan atau bahkan dalam skala tertentu untuk menjaga kepentingan masyarakat agar
tidak dirugikan akibat dampak pembangunan di bidang pekerjaan konstruksi (ke PU
an).
Norma : Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai
sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai.
Standar : Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan.
Prosedur : Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode langkah
demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem.
Manual : Buku petunjuk praktis tentang suatu jenis pekerjaan atau tentang cara kerja
suatu alat atau peranti tertentu.
2.2.1 NSPM Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah
8
Ditetapkannya NSPM dimaksudkan untuk memberikan panduan dan kemudahan
bagi yang berkepentingan dalam bidang pekerjaan konstruksi (ke PU an) untuk
melaksanakan kegiatan pembangunan guna mempertahankan mutu pekerjaan
atau bahkan dalam skala tertentu untuk menjaga kepentingan masyarakat agar
tidak dirugikan akibat dampak pembangunan di bidang pekerjaan konstruksi.
2.2.2 Urgensi NSPM dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
1) Dimulai tahun 1980-an sebagai kritik terhadap sistem pemerintahan
sentralistik yang mengakibatkan ketidakefisienan pembangunan
2) Dikenalkannya desentralisasi perencanaan, untuk mendukung proses ini,
Departemen PU menetapkan PP No.14 Tahun 1987 tentang “Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidan ke-PU-an kepada Daerah”, termasuk
penyerahan urursan rencana tata ruang yang merupakan bagian bidang Cipta
Karya (Ruchyat Deni, 2003). Pada saat itulah dibuat NSPM dalam kegiatan
perencanaan dan pembangunan.
3) Kurangnya NSPM bidang penataan ruang selama ini telah disadari sebagai
satu kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Bagaimanapun juga, desentralisasi mempunyai dampak dalam pelaksanaannya.
Pengaruh desentralisasi terhadap wilayah yang belum siap menjadi bumerang terhadap
wilayah tersebut dan sekitar. Implementasi dari Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah yang buruk dinilai sebagai faktor utama dari banyak wilayah seharusnya
berkembang menjadi tidak berkembang sehingga mengakibatkan kemiskinan, kerusakan
lingkungan dan buruknya tata ruang dan tata guna lahan wilayah tersebut.
Sebagai contoh ketidaksesuaian NSPM terhadap implemetasinya dalam
perencanaan dan pengembangan wilayah adalah Waduk Pluit yang mengalami
pendangkalan akibat lahan yang seharusnya digunakan untuk RTH digunakan sebagai
permukiman. (Sumber: http://www.indopos.co.id/index.php/berita-utama/1660-banjir-
di-pluit-yang-paling-susah-hilang)
Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam
Kesepakatan Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan pada 2 Januari 2004, sebagai
bagian Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan yang mencantumkan Tujuan
Pembangunan Milenium negara (Tantangan Tata Kelola Lingkungan, 2010).
9
Untuk mewujudkan hal tersebut, haruslah dibuat Perencanaan Pengembangan
Wilayah kembali yang disesuaikan dengan keadaan sekarang (karena sudah mengalami
perubahan lingkungan).
NSPM perencanaan tata ruang ditujukan untuk menjamin produk rencana tata
ruang yang berkualitas, yang disusun dengan berdasarkan pada daya dukung
lingkungan, kebutuhan pelayanan prasarana dan sarana, dan kebutuhan pengembangan
kegiatan masyarakat yang terus berkembang, serta melalui proses partisipatif
memperhatkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan.
2.3 KARAKTERISTIK SETIAP KAWASAN
2.3.1 Kawasan Pertanian
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan
manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber
energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya (Wikipedia). Menurut
Hadisapoetro (1975), pertanian diartikan sebagai setiap campur tangan tenaga
manusia dalam perkembangan tanam-tanaman maupun hewan agar diperoleh
manfaat yang lebih baik daripada tanpa campur tangan tenaga manusia. Mosher
(1966) memberi definisi pertanian sebagai sejenis proses produksi yang khas yang
didasarkan proses pertumbuhan tanaman dan hewan yang dilakukan oleh petani
dalam suatu usaha tani sebagai suatu perusahaan. Dengan demikian unsur
pertanian terdiri dari proses produksi, petani, usaha tani, dan usaha tani sebagai
perusahaan.
Gambar 2 Sawah di Indonesia
10
2.3.2 Penggunaan Lahan Pertanian Di IndonesiaPenggunaan Lahan Di Daerah Pedesaan Agraris Pada Umumnya Digunakan
Untuk pertanian. Lahan pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu, lahan
basah (sawah) dan lahan kering. Perbedaan kedua lahan tersebut terletak pada
ketersediaan air untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Secara umum lahan pertanian di Indonesia dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1) Pertanian lahan basah (sawah)
Tujuan utama pemanfaatan lahan pesawahan untuk bercocok tanam padi. Di
daerah yang sudah maju, biasanya sawah sering ditanami palawija dan ikan
secara bergiliran. Pergiliran tersebut biasanya disebabkan oleh ketersediaan
air, musim dan keadaan di pasaran. Menurut Djamari (1985: 587 – 588),
dilihat dari ketersediaan air terdapat beberapa jenis sawah, di antaranya:
a. Sawah tadah hujan, yaitu sawah dengan sistem irigasinya tergantung pada
curah hujan. Biasanya ditanami pada setiap tahun sekali. Namun di
beberapa daerah dilakukan gogo rancah, dengan demikian sawah tadah
hujan dapat ditanami dua kali setiap tahun.
b. Sawah kemarau, yaitu sawah yang berbatasan dengan wilayah rawa,
misalnya terdapat di daerah hulu sungai di Kalimantan. Pada musim
penghujan sawah tergenang air, pada musim kemarau air surut dan sawah
mulai ditanami.
c. Sawah irigasi, yaitu sawah yang menggunakan irigasi (pengairan teknis).
Biasanya ditanami padi 2-3 kali setiap tahun, atau diselingi dengan
ditanami palawija dan beternak ikan.
d. Sawah pasang surut, yaitu sawah yang dilakukan di sekitar muara sungai
besar, di daratan pantai landai dan berawa. Sistem pengairannya ada pada
waktu air laut pasang mendorong/ menghambat aliran sungai, sehingga
permukaan air sungai naik, kemudian dialirkan ke daerah sekitar sungai
itu melalui saluran yang sengaja dibuat oleh penduduk.
e. Sawah lebak, yaitu sawah yang dilakukan di pematang sungai, karena di
belakang pematang-pematang sungai terdapat tanah rendah dan
tergenang air sehingga dibuatlah sawah lebak.
11
2) Pertanian lahan kering
Menurut Sandy (1985: 132-135) berdasarkan jenis tanaman atau usaha yang
diselenggarakan lahan kering dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pekarangan, merupakan lahan usaha tani yang biasa dipakai sebagai
tempat mendirikan bangunan-bangunan usaha tani seperti rumah keluarga
petani, kandang ternak, dan lumbung penyimpanan hasil usaha tani.
Sebagian lagi dari lahan ini ada juga yang ditanami berbagai macam
holtikultura seperti buah-buahan, kelapa, sayuran, tanaman hias, palawija
dan lain-lain.
b. Ladang atau tegalan, adalah lahan usaha yang digunakan untuk bercocok
tanam. Jenis tanaman yang diusahakan umumnya berumur pendek seperti
jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian.
c. Perkebunan, dapat dikelompokkan menjadi perkebunan rakyat dan
perkebunan besar. Perkebunan rakyat memiliki ciri-ciri, yaitu:
Luas lahan relatif sempit
Modal kecil
Produktifikas rendah
Pemeliharaan dan pengolahan sederhana
Perkebunan besar memiliki ciri-ciri, yaitu:
Modal besar
Teknologi pertanian tinggi
Luas lahan tiap unit besar
Produktivitas tinggi
Ditangani oleh perusahaan swasta atau pemerintah
d. Kebun campuran, yaitu lahan pertanian pekarangan dengan aneka ragam
tanaman budidaya yang diusahakan secara tumpang sari, hanya letaknya
di luar wilayah pekarangan.
Dari kedua jenis pertanian tersebut, lahan pertanian basah lebih banyak terdapat
di daerah dataran sedangkan lahan pertanian kering lebih banyak terdapat di
daerah lahan miring, termasuk daerah sekitar hutan.
12
2.2.4 Permasalahan Pertanian di IndonesiaSecara lebih detail, ada beberapa permasalahan yang dihadapi lahan pertanian.
Yang utama adalah pertambahan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1,3 sampai dengan
1,5 % per tahun. Dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi ini,
diperkirakan pada tahun 2035 penduduk Indonesia akan mencapai 440 juta jiwa.
Masalah lainnya adalah kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor
yang semakin ketat dan rencana alihfungsi lahan sawah yang sangat dasyat berdasarkan
RTRW kabupaten/kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah menjadi
permukiman, perindustrian, dan lain-lain (BPS, 2004). Meningkatnya pertambahan
jumlah penduduk dan dukungan dinamika dan kebutuhan pembangunan di setiap daerah
secara langsung atau tidak langsung ‘memaksa’ terjadinya perubahan penggunaan
lahan-lahan pertanian, khususnya sawah, semakin tinggi. Selain itu, lahan sawah itu
sendiri memiliki masalah, yaitu tingkat produktivitas yang mendekati levelling off
sehingga ada tendensi total produksi relatif stagnan jika tidak diimbangi dengan
teknologi. Tiap tahun, terjadi intensifikasi dan kapasitas perluasan areal sawah sekitar
40.000 ha.
Konversi sawah menjadi lahan nonpertanian dari tahun 1999 – 2002 mencapai
563.159 ha atau rata-rata 187.719,7 ha pertahun. Sebenarnya neraca pertambahan luas
lahan sawah sempat naik antara tahun 1981 – 1999, yaitu seluas 1,6 juta ha. Namun
antara tahun 1999– 2002 terjadi penciutan luas lahan seluas 141.285 ha per tahun. Data
dari Biro Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa besaran laju alih fungsi lahan
pertanian dari lahan sawah ke nonsawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian
alih fungsi ke nonpertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian
lainnya sebesar 77.556 ha per tahun. Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke
nonpertanian sebesar 9.152 ha per tahun. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 1.2.
Konversi
lahan pertanian
terutama lahan
sawah tidak hanya
13
menyebabkan kapasitas produksi pangan turun, tetapi merupakan salah satu bentuk
kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan budaya pertanian, dan
menyebabkan semakin sempitnya luas garapan usaha tani.
Hal ini merupakan salah satu sebab turunnya kesejahteraan petani karena
kegiatan usaha tani tidak lagi dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak bagi petani.
Tantangan untuk menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana
melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata
ruang, meningkatkan optimalisasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan, meningkatkan
produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk.
Di lain pihak, secara sistematis pemerintah daerah melalui Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota akan merencanakan alih fungsi lahan pertanian menjadi
peruntukan lain yang sangat dahsyat. Fenomena ini terlihat di ketujuh pulau besar di
Indonesia. Seluas 3 juta ha dari total luas lahan sawah yaitu ± 8,9 juta ha (42,4% total
luas lahan sawah) akan diubah peruntukannya, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.3.
2.2.5 Kebijakan Nasional PertanianKebijakan strategi perencanaan perluasan areal pertanian disusun dari hasil
analisis situasi dan kondisi obyektif atas target yang ingin dicapai berdasarkan potensi
yang tersedia. Namun, harus mempertimbangkan secara seksama kendala, isu‐isu, dan
permasalahan empiris yang dihadapi. Dalam analisis, fokus bahasan diarahkan pada
simpul‐simpul strategis yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam
perencanaan perluasan areal pertanian. Hal ini mencakup sejumlah aspek dan suatu
14
kombinasi beberapa pendekatan yang secara implisit merupakan konsekuensi logis dari
keragaman situasi dan kondisi obyektif yang terjadi di lapangan.
1) Target Perluasan
Pemerintah telah menetapkan bahwa selama periode 2010 – 2014 dapat
dilakukan perluasan areal pertanian seluas 2 juta hektar. Luasan tersebut adalah untuk
pertanian rakyat dan mencakup lahan sawah dan areal pertanian lahan kering yang
meliputi lahan kering untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, serta hijauan
makanan ternak dan padang penggembalaan.
2) Simpul Strategis
o Status tanah tersedia
Secara teoritis, perluasan areal pertanian dapat dilakukan dengan membuka
hutan, mendayagunakan bekas kawasan hutan yang dapat dikonversi menjadi kawasan
pertanian, memanfaatkan lahan terlantar, memanfaatkan lahan bekas transmigrasi yang
ditinggalkan pemiliknya, dan sebagainya. Sesuai dengan:
hasil kajian terhadap sejumlah kebijakan dan program pemerintah yang terkait
dengan pendayagunaan sumberdaya lahan dalam rangka ketahanan pangan dan
revitalisasi pertanian,
serangkaian hasil FGD, maka diperoleh kesimpulan bahwa pilihan paling layak
adalah lahan terlantar, lahan bekas transmigrasi,
dari (sebagian kecil) lahan bekas kawasan hutan konversi.
Dari sudut pandang luasannya, dari ketiga kategori tersebut yang diharapkan
menjadi tumpuan harapan adalah pendayagunaan tanah (lahan). Sudah barang tentu
yang dimaksud adalah yang secara teknis, sosial budaya, ekonomi, dan yuridis
memenuhi persyaratan.
o Unsur-unsur Dalam Perencanaan
Pada dasarnya perluasan areal pertanian merupakan salah satu bentuk dari
pendayagunaan sumberdaya lahan. Proses perencanaan dan implementasinya tergantung
pada tiga unsur pokok, yaitu : Pertama, pihak‐pihak yang berkepentingan dan hal ini
terkait dengan sifat multifungsi lahan. Kedua, bahwa kualitas atau keterbatasan setiap
komponen unit lahan untuk penggunaan yang berbeda berimplikasi pada tahapan yang
diperlukan dalam perencanaan. Ketiga, bahwa opsi‐opsi pemanfaatan yang layak di
wilayah yang bersangkutan harus selalu dikaitkan dengan aspek keberlanjutan. Selain
15
itu, perlu pula diperhatikan adanya faktor‐faktor teknis lain yang perlu dipetimbangkan
dalam perencanaan, antara lain:
luasan yang tersedia dan penguasaannya;
kualitas, potensi produktivitas dan kesesuaian lahannya;
tingkat teknologi yang dipakai untuk mendayagunakan sumberdaya lahan
tersebut;
kepadatan penduduk;
kebutuhan dan standard kehidupan masyarakat. Setiap faktor tersebut saling
berinteraksi satu sama lain.
o Database pendukung Rangka Kerja dan Pengambilan Keputusan
Perencanaan yang baik sulit diwujudkan jika tidak ditunjang oleh ketersediaan
database yang memadai. Namun, sistem database pertanahan yang tersedia di negeri ini
masih sangat kurang apabila dibandingkan dengan yang diperlukan. Kurangnya
ketersediaan database disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
belum terbentuknya suatu sistem database yang terintegrasi yang secara
konsisten diremajakan (di‐up date) dari waktu ke waktu,
masih lemahnya sistem koordinasi antar lembaga/instansi terkait dalam aktivitas
pengumpulan, kompilasi, dan penyimpanan database yang sesuai dengan
prinsip‐prinsip database management,
sangat terbatasnya anggaran dan sumberdaya manusia yang tersedia (relatif
terhadap luas wilayah, konfigurasi daratan, dan keragaman kondisi sosial
ekonomi, dan kebutuhan untuk pembangunan)
Database pertananahan yang sangat diperlukan untuk mendukung perluasan
areal pertanian khususnya dan pendayagunaan sumberdaya lahan untuk pertanian pada
dasarnya mencakup database sosial ekonomi dan database sumberdaya alam
o Keterpaduan Pertanian dan Kelembagaan Lokal
Pembangunan pertanian tidak akan mencapai sasaran yang diharapkan apabila
perencanaan dan pelaksanaannya tidak dipadukan dengan pembangunan perdesaan.
Hubungan sinergis pertanian dan perdesaan terbentuk dari sifat komplementaritas
faktor‐faktor strategis yang mencakup aspek teknologi, kependudukan dan
ketenagakerjaan, struktur penguasaan tanah, infrastruktur, permodalan, dan sosial‐budaya. Keterpaduannya semakin tampak pada perdesaan‐perdesaan agraris, yakni
16
sebagian besar penduduknya menggantungkan nafkahnya dari pertanian dan
kelembagaan hubungan kerja pertanian merupakan salah satu inti dari kelembagaan
sosial masyarakat desa tersebut.
o Azas: Efisiensi – Keadilan – Kelestarian Lingkungan
Lahan adalah sumberdaya strategis yang sangat langka. Terkait karakteristik
intrinsiknya dan sifat multi fungsi sumberdaya ini, setiap aktivitas pendayagunaannya
(land use change) akan berdampak bukan saja pada viabilitas ekonomi pada aktivitas itu
sendiri tetapi juga berdampak pada keseluruhan sektor ekonomi, bahkan sosial budaya
dan politik. Oleh karena itu strategi pendayagunaannya harus berbasis pada azas
efisiensi – keadilan – kelestarian lingkungan secara holistik dan terpadu.
Dalam penerapan azas efisiensi, perlu dipahami secara komprehensif bahwa
viabilitas ekonomi usaha tani sangat ditentukan oleh keberhasilan memadukan prinsip-
prinsip agronomi dan ekonomi dalam proses produksi pertanian. Pilihan jenis
komoditas, skala usaha, teknik pengolahan lahan, penggunaan variates, pengelolaan air,
pengendalian organisme pengganggu tanaman, pemupukan, serta pengelolaan
pengadaan input dan pemasaran output adalah kunci‐kunci pokok yang menentukan
viabilitas finansial usaha tani. Namun, tentunya proses produksi usaha tani tidak dapat
dilepaskan dari karakteristik intrinsik proses pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman, sehingga usaha tani prinsip‐prinsip “managed ecosystem” tidak dapat
dihindari karena hal ini sangat menentukan bukan saja efisiensi tetapi juga
keberlanjutan sistem usaha tani.
Dalam komunitas agraris, kaitan antara distribusi penguasaan tanah dengan
keadilan sangat erat. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa distribusi
pendapatan di perdesaan agraris berkorelasi positif dan nyata dengan distribusi
penguasaan lahan.
Dalam level makro, konflik pertanahan dan hubungannya dengan aspek keadilan
juga terkait dengan fakta bahwa sampai saat ini di beberapa wilayah di Indonesia masih
terdapat dualisme kerangka hukum (legal framework) di bidang pertanahan. Meskipun
dalam Undang‐Undang Pokok Agraria (UUPA) eksistensi hukum adat diakui dan
diakomodasikan, namun pada kasus‐kasus tertentu nilai‐nilai budaya lokal yang
menjadi basis kelembagaan pengelolaan sumberdaya lahan di lokasi itu tidak
compatible dengan nilai‐nilai yang dijadikan landasan penyusunan peraturan formal
17
yang berlaku secara nasional. Persoalan ini perlu dicermati dalam membuat
perencanaan dan strategi pelaksanaannya.
o Infrastruktur sebagai Faktor Kunci
Ketersediaan infrastruktur sangat mempengaruhi viablilitas ekonomi usaha tani
dan bahkan keberlanjutannya. Apabila didekomposisi, pengaruh keberadaan
infrastruktur pertanian/perdesaan terhadap perkembangan dan keberlanjutan usaha tani
dapat dipilah menjadi dua kategori:
efek langsung, dan
efek kombinasi.
Efek langsung berupa pengaruh ketersediaan masing‐masing jenis infrastruktur
tersebut, sedangkan efek kombinasi terbentuk melalui sinergi yang terbentuk dari
keberadaan dua atau lebih jenis infrastruktur yang sifatnya komplemen
o Determinan Usaha tani Sebagai Basis Pemahaman Pendekatan Terpadu
Sasaran perluasan areal pertanian dapat dicapai jika perencanaannya dilakukan
melalui pendekatan terpadu. Basis pendekatan terpadu adalah determinan usaha tani
karena usaha tani adalah core business pertanian, sedangkan perluasan areal pertanian
pada dasarnya adalah means dalam rangka pengembangan pertanian.
Kinerja sistem usaha tani dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal petani dapat dipilah menjadi dua yaitu:
Faktor A yakni kondisi agroekosistem. Ini terdiri dari dua komponen yaitu:
- yang sifatnya alamiah (jenis, topografi, dan sebagainya), dan
- hasil buatan manusia (irigasi, jalan usaha tani, dan sebagainya).
Faktor B (internal) mencakup karakteristik rumah tangga petani.
Ini mencakup jumlah dan komposisi anggota rumah tangga menurut umur dan
jenis kelamin, tingkat pendidikan, keterampilan manajerial,
kepemilikan/penguasaan sumberdaya produktif (lahan pertanian, ternak,
peralatan dan mesin pertanian, dan sebagainya), akses petani terhadap modal,
akses petani terhadap pasar masukan maupun keluaran pertanian, sikap/perilaku
dan tujuan petani dalam berusaha tani, dan sebagainya.
Faktor C yakni faktor sosial ekonomi lingkungan yang mempengaruhi keputusan
petani dalam berusaha tani.
18
Termasuk dalam faktor ini adalah kebijakan pemerintah (harga, perkreditan,
tataniaga, tarif, subsidi, dan sebagainya), kondisi infrastruktur fisik maupun non
fisik (pendidikan/latihan, penyuluhan, penelitian, pengangkutan, fasilitas
pemasaran), kelembagaan (undang‐undang agraria dan peraturan / perundang-
undangan terkait lainnya, kelembagaan hubungan kerja, dan sebagainya),
struktur perekonomian (kaitan sektoral sektor pertanian dengan sektor lainnya,
kesempatan kerja, dinamika nilai tukar, inflasi, dan sebagainya).
o Strategi
Strategi yang dapat ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut mencakup dua
kategori. Pertama, perluasan lahan pertanian baru dengan cara langsung yaitu melalui
proyek perluasan areal pertanian. Ini merupakan cara paling populer untuk mencapai
sasaran sebagian besar perluasan areal baru yang selama ini ditempuh. Kedua, cara tidak
langsung yaitu dengan menciptakan insentif bagi petani di wilayah potensial untuk
melakukan perluasan areal pertanian.
o Transmigrasi Sebagai Andalan Strategi Perluasan Lahan Pertanian Baru Jangka
Menengah dan Jangka Panjang
Untuk jangka menengah dan jangka panjang, perluasan areal pertanian yang
terintegrasi dengan program transmigrasi merupakan pendekatan yang paling layak. Hal
ini merupakan konsekuensi logis dari fakta bahwa sebagian besar sumberdaya lahan
yang tersedia untuk pengembangan kawasan pertanian baru terletak di Luar Pulau Jawa,
utamanya di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Terutama di
Kalimantan dan Papua, sumberdaya lahan yang tersedia masih sangat banyak tetapi
jumlah penduduknya sangat sedikit, sementara itu kawasan hutan yang layak
didayagunakan untuk pertanian masih sangat banyak. Di sisi lain, Pulau Jawa yang
luasnya hanya sepertujuh dari luas daratan Indonesia dihuni oleh separuh penduduk
Indonesia.
Pengembangan kawasan pertanian baru melalui transmigrasi dari P. Jawa dan
Bali ke wilayah‐wilayah berkepadatan penduduk rendah di Pulau‐Pulau besar tersebut
tidak hanya memperbaiki distribusi spatial penduduk tetapi juga lebih menjamin
keberlanjutan kawasan pertanian penghasil pangan (utamanya padi) di lokasi tersebut.
Hal ini disebabkan keberlanjutan sistem usaha tani padi tak lepas dari aspek sosio –
19
budaya, sedangkan secara relatif sejarah perkembangan budaya bercocok tanam padi di
Indonesia yang paling menonjol adalah di kalangan masyarakat Jawa dan Bali.
Seiring dengan perubahan tata nilai dan sistem politik yang terjadi sejak
Reformasi, kebijakan dan program transmigrasi membutuhkan pendekatan yang
berbeda. Pendekatan bottom‐up dalam perumusan kebijakan, perumusan program, dan
koordinasi; baik koordinasi lintas sektor maupun koordinasi Pusat – Daerah harus diberi
bobot yang lebih besar.
Adalah fakta bahwa pelaksanaan program transmigrasi yang telah dilakukan
selama empat puluh tahun terakhir cukup berhasil meskipun kasus‐kasus kegagalan juga
ditemukan. Sudah barang tentu dari kisah sukses dan kegagalan tersebut terdapat
pembelajaran yang dapat digunakan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan
program dengan pendekatan baru.
2.3.2 Kawasan Perkebunan
Ekosistem hutan memegang peran penting dalam siklus karbon global. Sekitar
80% dari cadangan karbon atas tanah (above ground) dan 40 % bawah tanah (below
ground) ada di hutan. Hutan pun memegang peranan sebagai penyerap karbon (yang ada
di atmosfir) terbesar. Hutan, yang merupakan kumpulan dari banyak pohon, menjalankan
proses fotosintesis (yang merupakan salah satu bagian dari siklus karbon) yang menyerap
karbondioksida di atmosfer dan kemudian disimpan dalam bentuk biomassa berupa daun,
batang, akar, maupun buah, serta menghasilkan oksigen ke udara yang akan dipergunakan
oleh manusia, hewan, dan tumbuhan dalam melakukan respirasi. Proses fotosintesis yang
dijalankan oleh pohon-pohon dalam hutan tersebut sangat berguna dalam mengurangi
dampak perubahan iklim global (global climate change mitigation) karena dapat
mengurangi jumlah karbon di udara sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global
(global warming).
20
Gambar 2.1 Hutan Sebagai Penyerap KarbonSumber: http://ghinaghufrona.blogspot.com/2011/10/fungsi-hutan-tropika-secara-ekologis.html
Hutan merupakan salah satu penyerap karbon (carbon sink) terbesar dan teraman.
Namun, kerusakan yang terjadi pada hutan akan menyebabkan laut berperan sebagai
penyerap utama karbon tersebut.
Peneliti pada Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian Institution
Washington Amerika, Nancy Knowlton mengatakan potensi penyerapan karbon
(carbon sink) oleh laut memang besar akan tetapi hal tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya kehidupan biota laut. Laut memang menyimpan potensi penyerapan karbon
besar tetapi dampaknya bisa mengakibatkan kadar air laut menjadi asam (asidifikasi)
yang bisa menyebabkan kerusakan biota laut”.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa emisi karbon berperan dalam
terjadinya efek gas rumah kaca (GBK) yang mempunyai peran penting dalam
perubahan iklim dunia. Gas ini terdiri dari CO2, methan, Nitrouse Oxide dan ozone.
Ketika sinar matahari mencapai permukaan bumi, sebagian di serap oleh bumi, ini
menyebabkan suhu permukaan meningkat. Disamping itu, permukaan bumi melepas
radiasi gelombang panjang (long wave). Sebagian dari radiasi ini diserap oleh GRK.
GRK kemudian melepas emisi baik ke luar bumi maupun ke arah dalam. Emisi yang
kembali dilepas ke bumi akan menyebabkan pemanasan bumi. Inilah yang dikenal
dengan fenomena GRK. Ketika jumlah GRK meningkat, maka temperatur permukaan
bumi akan otomatis naik.
21
Carbon dioxide (CO2) atau lebih sering disebut carbon, adalah komponen
penyusun GRK antropogenik terbesar. Jumlahnya mencapai 72 % dari total GRK, yang
berperan 9-26% dari fenomena GRK. Selama 20 tahun terakhir, emisi karbon
didominasi oleh pembakaran bahan bakar fosil melalui proses konversi fosil ke gas.
Sisanya 10-30 % berasal dari perubahan lahan dan deforestasi. Dimana perubahan lahan
dan deforestasi tersebut disebabkan oleh pembukaan lahan baru untuk perkebunan dan
pemukiman.
Gambar 2.2 Deforestasi Akibat Alih Fungsi Hutan Menjadi PerkebunanSumber:http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-ton-karbon-
antara-1990-2010/
1) Kawasan Peruntukan Perkebunan
Menurut UU No. 18 Tahun 2004, Perkebunan adalah segala kegiatan yang
mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam
ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman
tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Menurut UU No. 18 Tahun 2004, perkebunan diselenggarakan dengan tujuan :
a. Meningkatkan pendapatan masyarakat.
b. Meningkatkan penerimaan negara.
c. Meningkatkan penerimaan devisa negara.
d. Menyediakan lapangan kerja.
e. Meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing.
f. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.
g. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
22
Menurut UU No. 18 Tahun 2004, Ruang lingkup pengaturan perkebunan meliputi
a. Perencanaan.
b. Penggunaan tanah.
c. Pemberdayaan dan pengelolaan usaha.
d. Pengolahan dan pemasaran hasil.
e. Penelitian dan pengembangan.
f. Pengembangan sumber daya manusia.
g. Pembiayaan.
h. Pembinaan dan pengawasan.
Untuk mencapai tujuan diselengaranya perkebunan, maka dibutuhkan
perencanaan di bidang perkebunan. Menurut UU No. 18 Tahun 2004, Perencanaan
perkebunan mencakup :
a. Wilayah.
b. Tanaman perkebunan.
c. Sumber daya manusia.
d. Kelembagaan.
e. Keterkaitan dan keterpaduan hulu-hilir.
f. Saran dan prasaran.
g. Pembiayaan.
Perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkan :
a. Rencana pembangunan nasional.
b. Rencana tata ruang wilayah.
c. Kesesuaian tanah dan iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan.
d. Kinerja pembangunan.
e. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
f. Sosial budaya.
g. Lingkungan hidup.
h. Kepentingan dan masyarakat.
i. Pasar.
j. Aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara.
23
2) Urgensi Perkembangan Perkebunan
Emisi Gas Karbon Indonesia
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO telah merilis statistik emisi karbon
secara global akibat dari deforestasi, pertanian dan berbagai bentuk lain dari
penggunaan lahan antara tahun 1990 hingga 2010 silam.
Seluruh data ini, menjadi bagian dari database statistik FAO yang tergabung
dalam FAOSTAT, berbasis pada perkiraan biomassa hutan, deforestasi, dan tutupan
pohon. Data ini diurutkan berdasarkan negara dan wilayah.
Data dari FAOSTAT menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca (GHG)
menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami deforestasi tinggi menghasilkan
emisi yang besar akibat dari hilangnya hutan dalam kurun waktu 20 tahun tersebut.
Secara umum konversi lahan di Brasil mengakibatkan lepasnya 25,8 miliar metrik ton
ekuivalen karbon dioksida (CO2e) antara tahun 1990 hingga 2010. Sementara, negeri
kita Indonesia melepas 13,1 miliar metrik ton karbon, Nigeria 3,8 miliar ton karbon,
Republik Demokratik Kongo 3 miliar ton karbon dan Venezuela 2,6 miliar ton karbon.
Gambar 2.3 Diagram Emisi GRK Negara yang Mengalami DeforestasiSumber: http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-ton-karbon-
antara-1990-2010/
24
Gambar 2.4 Diagram Emisi CO2 dari Berbagai Negara Akibat Perubahan Tata Guna Lahan
Sumber:http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-ton-karbon-antara-1990-2010/
Di sisi lain, Cina yang mengalami penambahan luasan hutan lewat upaya
penanaman kembali, dan pemulihan 5,2 juta hektar hutan telah berhasil menambah
simpanan karbon sebanyak 5,7 miliar ton karbon. Sementara AS menambah cadangan
karbon sebanyak 1,9 miliar ton karbon dan Vietnam 1,2 miliar ton karbon.
Data yang dirilis oleh FAO ini juga mencatat emisi yang ditimbulkan akibat dari
ekspansi lahan pertanian. Indonesia memimpin di urutan pertama dengan hilangnya 5,6
miliar ton karbon ke udara, disusul oleh AS dengan 1,4 miliar ton karbon, lalu Papua
Nugini dengan 816 juta ton karbon, Malaysia 690 juta ton karbon, dan Bangladesh 612
juta ton karbon. Emisi di Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia terutama terkait dengan
tingginya konversi hutan rawa gambut yang menyimpan cadangan karbon sangat tinggi.
Dampak dari Perluasan Perkebunan
Perluasan perkebunan yang sangat ekspansif ternyata membawa berbagai dampak
positif dan negatif. Berdasarkan Wawan Kurniawan dalam tulisannya berjudul “Urgensi
Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit Berkelanjutan Untuk Mengurangi Pemanasan
Global” dapat disimpulkan beberapa dampak negatif dari pengembangan perkebunan,
antara lain :
25
Penggunaan lahan gambut untuk lahan perkebunan yang salah, ternyata sangat
besar pengaruhnya terhadap pemanasan global.
Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi
sumber penangkap karbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap
karbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca).
Terganggunya Keseimbangan ekologis. Hilangnya berbagai flora dan fauna yang
khas dan unik menyebabkan keseimbangan menjadi terganggu.
Kebutuhan tanaman seperti kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.
Beberapa dampak negatif inilah yang antara lain menjadi alasan berbagai pihak
yang menuding perluasan perkebunan terutama pada saat pembukaan lahan baru sangat
mempengaruhi pemanasan global. Dimana konsep pembukaan lahan harus dilakukan
tanpa proses bakar (zero burning). Pelaksanaanya harus diawasi dengan benar melalui
penegakan hukum dengan sanksi yang mengikat. Umumnya, para petani tradisional
masih menggunakan metode pembukaan lahan melalui proses pembakaran. Proses
pembakaran bahan organik adalah proses pematangan tanah dengan paling murah,
walaupun bila dilakukan dalam skala besar (perkebunan skala besar) dapat
meningkatkan emisi gas karbon monoksida dan mempengaruhi iklim global.
2.3.3 Kawasan Pertambangan
1) Masalah Sektor Pertambangan Secara Umum
Pertambangan di Indonesia dimulai berabad-abad lalu. Namun pertambangan komersial
baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda, diawali dengan pertambangan batubara di
Pengaron-Kalimantan Timur (1849) dan pertambangan timah di Pulau Bilitun (1850).
Sementara pertambangan emas modern dimulai pada tahun 1899 di Bengkulu–Sumatera.
Pada awal abad ke- 20, pertambangan-pertambangan emas mulai dilakukan di lokasi-
lokasi lainnya di Pulau Sumatera. Pada tahun 1928, Belanda mulai melakukan
penambangan Bauksit di Pulau Bintan dan tahun 1935 mulai menambang nikel di
Pomalaa-Sulawesi.
Setelah masa Perang Dunia II (1950-1966), produksi pertambangan Indonesia
mengalami penurunan. Baru menjelang tahun 1967, pemerintah Indonesia merumuskan
kontrak karya (KK). KK pertama diberikan kepada PT. Freeport Sulphure (sekarang PT.
26
Freeport Indonesia). Berdasarkan jenis mineralnya, pertambangan di Indonesia terbagi
menjadi tiga kategori, yaitu:
Pertambangan Golongan A, meliputi mineral-mineral strategis seperti: minyak,
gas alam, bitumen, aspal, natural wax, antrasit, batu bara, uranium dan bahan radioaktif
lainnya, nikel dan cobalt. Pertambangan Golongan B, meliputi mineral-mineral vital,
seperti: emas, perak, intan, tembaga, bauksit, timbal, seng dan besi. Pertambangan
Golongan C, umumnya mineral-mineral yang dianggap memiliki tingkat kepentingan
lebih rendah daripada kedua golongan pertambangan lainnya. meliputi berbagai jenis
batu, limestone, dan lain-lain.
Eksploitasi mineral golongan A dilakukan Perusahaan Negara, sedang perusahaan
asing hanya dapat terlibat sebagai partner. Sementara eksploitasi mineral golongan B
dapat dilakukan baik oleh perusahaan asing maupun Indonesia. Eksploitasi mineral
golongan C dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia maupun perusahaan perorangan.
Adapun pelaku pertambangan di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu
Negara, Kontraktor dan Pemegang KP (Kuasa Pertambangan). Selanjutnya beberapa
isu-isu penting permasalahan pada pertambangan, adalah ketidakpastian kebijakan,
penambangan liar, konflik dengan masyarakat lokal, konflik sektor pertambangan
dengan sektor lainnya.
2) Ketidakpastian Kebijakan
Hal ini mengakibatkan tidak adanya jaminan hukum dan kebijakan yang dapat
menarik para investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Menurut
Pricewaterwaterhouse Coopers (PwC), dalam laporan Indonesian Mining Industry
Survey 2002, kekurangpercayaan investor terlihat dari penurunan eksplorasi dan
kelayakan, serta pengeluaran untuk pengembangan dan aktiva. Tahun 2001,
pengeluaran menurun 42% dibanding tahun 2000, sedangkan pengeluaran untuk aktiva
dan pengembangan tahun 2001 hanya 15% dibanding rata-rata pengeluaran periode
1996-1999. Pengeluaran untuk eksplorasi dan kelayakan tahun 2001 menurun dari rata-
rata pengeluaran tahun 1996-1999, sebesar US$ 434,3 juta menjadi US$ 37,9. 3
27
3) Penambangan Liar
Antara lain hal ini disebabkan oleh lemahnya penerapan hukum dan kurang
baiknya sistem perekonomian, sehingga mendorong masyarakat mencari mata
pencaharian yang cepat menghasilkan. Salah satu bentuk penambangan liar yang sering
dibicarakan adalah PETI (Pertambangan Emas Tanpa Ijin). Pertambangan seperti ini
banyak ditemui di pedalaman Kalimantan. Di sana masyarakat setempat mendulang
emas di sepanjang tepian sungai dengan peralatan tradisional. Salah satu sungai yang
ramai oleh pertambangan emas masyarakat adalah Sungai Kahayan. Kegiatan PETI
berdampak cukup serius, seperti pendangkalan sungai, terganggunya alur pelayaran
kapal oleh pasir gusung, pencemaran air sungai oleh merkuri, dan berkurangnya sumber
protein bagi masyarakat (ikan).
4) Sulitnya Mengakomodasi Kegiatan Pertambangan kedalam Penataan Ruang.
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya terminologi land use dan land cover dalam
penataan ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi lahan berdasarkan
fungsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan sebagainya.
Sementara land cover merupakan alokasi lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti
sawah, semak, lahan terbangun, lahan terbuka, dan sebagainya. Pertambangan tidak
termasuk ke dalam keduanya, karena kegiatan sektor pertambangan baru dapat
berlangsung jika ditemukan kandungan potensi mineral di bawah permukaan tanah pada
kedalaman tertentu. Meskipun diketahui memiliki kandungan potensi mineral, belum
tentu dapat dieksploitasi seluruhnya, karena terkait dengan besaran dan nilai ekonomis
kandungan mineral tersebut. Proses penetapan kawasan pertambangan yang
membutuhkan lahan di atas permukaan tanah membutuhkan waktu lebih lama
dibandingkan dengan proses penataan ruang itu sendiri.
2.3.4 Kawasan Pegunungan
Penggunaan lahan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan lahan. Saat ini
banyak dijumpai penggunaan-penggunaan lahan yang kurang sesuai sehingga terjadi alih
fungsi lahan, misalnya adalah perubahan lahan RTH dan Hutan Lindung pada
pegunungan menjadi permukiman atau industri.
28
Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi dalam acara diskusi yang digelar
oleh Forum Jabodetabek Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
(P4W) Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, di Kampus
Baranangsiang, Kota Bogor, menyatakan bahwa Tata ruang kawasan Puncak, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat tidak konsisten (inkonsisten) dengan daya dukung lahan yang ada.
40% kawasan Puncak tidak sesuai dengan tata ruang. Sejumlah kawasan tidak sesuai
dengan peruntukannya, seperti wilayah hutan konservasi berubah menjadi perkebunan.
Sementara itu, lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan perumahan, vila dan
bangunan lainnya. Disebutkan bahwa untuk kawasan pegunungan, tata guna lahan
kawasan ini utamanya ialah daerah resapan air dan hutan lindung. Pembangunan di
kawasan puncak memang boleh dilakukan namun harus memperhatikan peraturan yang
ada. Berikut aturan peruntukan lahan berdasarkan kemiringan lereng dan kondisi geologi:
Tabel 2.3 Peruntukan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng
29
Tabel 2.4 Kaitan Kondisi Geologi dengan Tata Guna Lahan
Pembangunan di lahan berkontur tinggi seperti pegunungan harus memenuhi patokan:
Pertama, Membangun hanya pada daerah yang pergerakan masa tanahnya cukup stabil
untuk mengurangi bahaya geologi dan kerugian sumber daya manusia dan alam yang
akhirnya tidak ekonomis lagi.
Kedua, Kemiringan lereng disesuaikan dengan fungsi yang sebaiknya ditampung seperti
pada Tabel 2.3
Ketiga, Kegiatan pengolahan tanah “pelandaian lereng” dengan cara timbun gali
sebaiknya dibatasi dan disarankan sebaiknya :
- Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real estate/perumnas
pada umumnya mengingat system tersebut akan banyak memerlukan jaringan
jalan yang berarti meningkatkan jumlah pelandaian lereng dan mengakibatkan
ketidakstabilan tanah.
- Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang
mmemperhitungkan kemiringan lereng.
- Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur
lahan.
- Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari bahaya
longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu kestabilan
tanah.
30
Tabel 2.5 Luas Lahan dengan Kemiringan Lahan
Keempat, Ketinggian lahan memperngaruhi tata guna lahan, sebagai contoh Ketinggian
lahan di Wilayah Bandung Utara relative tinggi dari permukaan laut (diatas 750 m dpl)
dengan bentuk permukaan lahan yang tidak rata, termasuk wilayah pegunungan. Akibat
ketinggian dan bentuk morfologinya, Wilayah Bandung Utara merupakan wilayah
konservasi air sehingga memerlukan penataan yang khisus. Ketentuan penataan ruang
berdasarkan ketinggian lahan di Wilayah Bandung Utara dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.6 Peruntukan Lahan berdasarkan Ketinggian Lahan
Kawasan Bandung Utara (750m dpl)
31
1) Pemasalahan Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan
Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan telah banyak menyalahi tata
guna lahan. Contohnya saja kawasan pegunungan Cyclops, Papua dimana perumahan
masih didirikan diatas ketinggian 1700 m yang diperuntukan sebagai cagar alam
pegunungan Cyclops, tidak hanya Papua, bahkan wilayah terdekat ibu kota, yaitu
kawasan Puncak, Bogor dan Bandung, Sebanyak 250 pemukiman menyalahi aturan tata
ruang serta 12 bangunan tanpa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Semua bangunan
mewah milik pejabat dan mantan jenderal ini berdiri di atas kawasan Hutan Lindung.
Gambar 2.4 Pembukaan Lahan Pegunungan untuk Perumahan dan Apartemen
32
Bupati Bogor Rahmat Yasin sendiri tidak menampik adanya bangunan-bangunan
yang tidak sesuai dengan peruntukannya dikawasan tersebut. Beberapa waktu lalu
Wakil Bupati. Kabupaten Bogor, Karyawan Faturah menyatakan sulitnya menertibkan
bangunan yang berada di Puncak, karena sebagain besar pemilik bangunan tersebut atas
kepemilikan sebagaian warga Jakarta dan membutuhkan bantuan dari pemerintah
Jakarta untuk menertibkannya dikarenakan pemiliknya merupakan orang berpengaruh
dipemerintahan.
Tabel 2.7 Jumlah Villa Tak Berizin di Kawasan Puncak Bogor 2009-2010
Tahun Jumlah Bangunan2009 1122010 1632011 127
Sumber Data: Dinas Tata Bangunan dan Permukiman
Setiap vila memiliki luas bervariasi dari sekitar 1.000 meter persegi hingga 1-2
hektar. Dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tahun 2010 jumlah villa menurun setelah diadakan
pembongkaran dan hingga akhir tahun 2011 belum lagi ada pembongkaran.(Sumber:
http://m.poskota.co.id/berita-terkini/2011/12/11/250-bangunan-di-puncak-menyalahi-
tata-ruang)
2) Konversi Penggunaan Lahan Kawasan Pegunungan
Konversi penggunaan lahan pegunungan menjadi kawasan permukiman dan
produksi tanpa memperhatikan kawasan lindung dikawasan Puncak, Bogor bukan
hanya kesalahan para pengguna lahan, tetapi juga kesalahan pemerintah Bogor dalam
pemberian izin serta Perda yang salah. PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur
menjadi dasar dalam penetapan Puncak sebagai kawasan lindung. Anehnya, Perda
Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 mengubah peruntukan
kawasan di Puncak menjadi kawasan produksi. Selama ini, aturan rencana tata ruang
Kabupaten Bogor tidak bertentangan dengan PP Nomor 54 tahun 2008. Namun
belakangan aturan ini berupaya direvisi menyesuaikan Perda Penataan Ruang Provinsi
Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010.
(Sumber: http://www.mongabay.co.id/2012/08/10/kehancuran-kawasan-puncak-
pemerintah-diminta-bertanggungjawab/#ixzz2LVdfTP1b)
33
Gambar 2.5 Perubahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak Bogor
(Sumber: http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2012/07/30/puncak-
mengancam-jakarta/)
Selain puncak Bogor, pembangunan tak terkendali kawasan Bandung Utara juga
dikarenakan kesalahan peraturan. Kawasan Punclut, berketinggian 800-1100 m yang
diperuntukan sebagai RTH melalui Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 dengan
KDB 2% diubah Walikota menjadi Kawasan Zona 3 dengan KDB 20% melalui
Peraturan Nomor 981 Tahun 2006 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)
Wilayah Pengembangan Cibeunying dan Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004.
Gambar 2.6 Kawasan Punclut yang Menjadi Kuning
(Perumahan Kepadatan Rendah)
(Sumber : www.envirozer.blogspot.com, 2008)
34
2.3.5 Kawasan Pesisir
Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat
laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut
meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di
darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri
et al, 2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu,
Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan
sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah
darat batas administrasi kabupaten/kota.
Kay dan Alder (1999) “The band of dry land adjancent ocean space (water dan
submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic
processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah
yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana
proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses
dan fungsi kelautan.
Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional adalah
merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah
yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut
meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Dahuri, dkk, 2001).
Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara
daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut,
angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup
bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di
darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
35
Gambar 2.1 Batas Wilayah Pesisir
Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa
wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran
antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada
umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar.
1) Karakteristik Kawasan Pesisir
a. Karakteristik Fisik Lingkungan
Karateristik pantai secara geomorfologi menurut Hantoro
(http://sim.nilim.go.jp/GE/SEMI3/PROSIDING/01-WAHYU.doc, 2004) adalah :
Pantai curam singkapan batuan
Jenis pantai ini umumnya ditemukan di pesisir yang menghadap ke laut
lepas dan merupakan bagian jalur tunjaman/tumbukan, berupa pantai curm
singkapan batu volkanik, terobosan, malihan atau sedimen.
Pantai landai atau dataran
Pesisir datar hingga landai menempati bagian mintakat kraton stabil atau
cekungan belakang. Pembentukan pantai dikendalikan oleh proses eksogen
cuaca.
Pantai dataran endapan lumpur
36
Estuari lebar menandai muara dengan tutupan tebal bakau. Bagian pesisir
dalam ditandai dataran rawa atau lahan basah. Sedimentasi kuat terjadi di
perairan bila di hulu mengalami erosi. Progradasi pantai atau pembentukan
delta sangat lazim. Kompaksi sedimen diiringi penurunan permukaan
tanah, sementara air tanah tawar sulit ditemukan.
Pantai dengan bukit atau paparan pasir
Pantai menghadap perairan bergelombang dan angin kuat dengan asupan
sedimen sungai cukup, umumnya membentuk rataan dan perbukitan pasir.
Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar.
Pantai tepian samudra dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki
sejumlah muara kecil berjajar padanya dengan asupan sedimen, dapat
membentuk garis lurus dan panjang pantai berpasir.
Pantai dataran tebing karang.
Bentang pantai ini ditemukan di berbagai mintakat berbeda, yaitu di jalur
tumbukan/tunjaman, jalur volkanik, pulau-pulau sisa tinggian di paparan
tepi kontinen, jalur busur luar atau jalur tektonik geser. Terjalnya tebing
pantai dan kuatnya agitasi gelombang meniadakan peluang terumbu karang
tumbuh, demikian halnya dengan bakau. Tutupan tumbuhan masih mampu
tumbuh di lapukan batuan, terutama di kawasan dengan curah hujan
memadai.
Pantai erosi
Jenis pantai seperti ini terdapat dibeberapa tempat yang menghadap
perairan dengan agitasi gelombang kuat.
Pantai akresi
Proses akresi terjadi di pesisir yang menerima asupan sedimen lebih dari
jumlah yang kemudian dierosi oleh laut. Akresi pantai oleh sedimen halus
sering diikuti tumbuhnya bakau yang berfungsi kemudian sebagai penguat
endapan baru dari erosi atau longsor.
b. Karakteristik Ekosistem Pesisir
Ekosistem di perairan laut dangkal pada umumnya seperti terumbu karang,
padang lamun, dan hutan mangrove pada dasarnya dilindungi seperti pada tertera
di dalam UU No.4/1982 dan UU No. 5/1990.
37
Ekosistem Estuaria
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas
dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur
dengan air tawar (Pritchard dalam Supriharyono, 2002: 12).
Ekosistem Mangrove/ Komunitas Hutan Bakau
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang-surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies
(Macnae dalam Supriharyono, 2007: 40).
Ekosistem Padang Lamun
Padang lamun (seagrass beds) juga merupakan salah satu ekosistem yang
terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal. Keunikan dari
tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya adalah adanya perakaran yang
ekstensif dan sistem rhizome. Karena tipe perakaran ini menyebabkan
daun-daun tumbuhan lamun menjadi lebat, dan ini besar manfaatnya dalam
menopang keproduktifan ekosistem padang lamun (Supriharyono, 2007:
72).
Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang
hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang
cukup kuat menahan gaya gelombang laut (Dawes dalam Supriharyono,
2002: 62).
2) Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
Berikut ini adalah sepuluh elemen potensi bencana alam di wilayah pesisir,
(enam elemen adalah penyebab bencana alam, angin kencang/putting beliung,
gempa bumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah, empat
elemen adalah sebagai akibat bencana yaitu abrasi, akresi, wrosi dan intrusi air
laut). yaitu :
Angin Kencang/Putting Beliung
Gelombang Laut.
Tsunami
Abrasi
38
Erosi
Gerakan Tanah
Gempa Bumi
Banjir
Akresi
Intrusi Air Laut
3) Permasalahan Pemanfaatan Dan Pengelolaan Pesisir
Permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan
perundang-ungan yang jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan sesuatu kebijakan.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral,
sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama
lain.
Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep
daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh
wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan
konflik kepentingan antar daerah.
Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara
komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan
setiap sector timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda
dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
4) Isu-isu Penting
Menurut APKASI isu-isu penting yang perlu segera diluruskan dalam
pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
Adanya kesan bahwa sebagian daerah melakukan pengkaplingan wilayah
laut dan pantainya. Utuk itu perlu diterapkan oleh pusat pedoman bagi
pelaksanaan kewenangan daerah di bidang kelautan.
Pemanfaatan daearah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan
ekosistem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif
pemerintahan.
39
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara alami dan berkelanjutan.
5) Langkah Strategis Pengembangan Wilayah Pesisir Terpadu Berkelanjutan
Pada dasarnya pengembangan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu
proses yang bersifat siklikal. Untuk mencapai keterpaduan dalam pengelolaan wilayah
pesisir yang berkelanjutan, beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain :
Mengembangkan kajian-kajian penelitian dan teknologi pengelolaan
wilayah pesisir yang ramah lingkungan.
Mengembangkan system informasi manajemen di wilayah pesisir dan
meningkatkan keterampilan masyarakat.
Memberdayakan masyarakat pesisir melalui pengembangan usaha-usaha
yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir.
Melakukan penataan ruang wilayah pesisir sesuai dengan status dan fungsi
wilayah tersebut.
Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya
alam pesisir agar tidak melampaui ambang batas.
6) Langkah Strategis Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
Sebagai kegiatan yang sifatnya rutin dan berkelanjutan, mitigasi bencana
hendaknya merupakan system dan prosedur yang sederhana (Coburn et al., 1994).
Prosedur yang sederhana ini akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
memahaminya, dan diharapkan akan cepat memiliki kemampuan untuk dapat
melakukan secara mandiri. Berkaitan dengan hal tersebut beberapa langkah strategis
yang dapat dilakukan antara lain :
Meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak terkait termasuk kerjasama
internasional sesuai dengan UU 22/1999 dan UU 24/2007.
Memberdayakan masyarakat pesisir dalam bidang penanggulangan bencana.
Merevisi RTRW Pesisir dan peraturannya dengan mempertimbangkan aspek
mitigasi bencana alam.
Mempersiapkan data dan peta rawan bencana alam serta prakiraan risiko
bencana yang akan terjadi.
Mempersiapkan NSPM (norm standard procedure manual) bangunan
rumah, bangunan gedung dan bangunan air di wilayah rawan bencana.
Menyederhanakan SOP mitigasi bencana dengan SMART.
40
7) Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wilayah Pesisir
a. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Membatasi perluasan areal pembangunan akibat perkembangan kegiatan
kota, terutama perkembangan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir.
Pembangunan di wilayah pesisir kota dibatasi sampai kawasan sempadan
pantai, misalnya melalui upaya penempatan green belt dan pelestarian
kawasan lindung.
Kegiatan pembangunan di wilayah darat kota pesisir harus
memperhitungkan dampak terhadap kondisi lingkungan di wilayah pesisir
dan laut (integrasi pembangunan antara wilayah darat dan wilayah laut).
Pembangunan di wilayah darat maupun pesisir dan laut kota pesisir metro
harus menghindari kemungkinan terjadinya bencana dan perusakan
lingkungan serta habitat dan ekosistem di wilayah pesisir dan laut, seperti
banjir, pencemaran air laut, intrusi air laut, sedimentasi, kerusakan terumbu
karang, punahnya ekosistem/biota pesisir dan laut, dll. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan adalah penyediaan waste water treatment yang
memadai untuk aktivitas kota pesisir metro akibat buangan limbah industri
maupun rumah tangga.
Menghindari perkembangan lingkungan kumuh di wilayah pesisir dan laut.
Kegiatan pembangunan yang biasanya cenderung menciptakan lingkungan
kumuh diantaranya adalah perkampungan nelayan, pelabuhan perikanan
serta kegiatan wisata bahari yang bersifat massal. Pendekatan yang dapat
dilakukan adalah melalui upaya pengawasan secara rutin serta mempertegas
proses perijinan, dan upaya pembelajaran pola hidup bersih.
Melestarikan ekosistem pesisir dan laut, biota laut, seperti hutan
mangrove, terumbu karang, dll di wilayah pesisir dan laut kota pesisir
metro. Upaya ini bertujuan untuk mempertahankan dan melestarikan
tempat-tempat pemijahan ikan serta dapat pula difungsikan sebagai upaya
pencegahan abrasi pantai dan menstabilkan kualitas dan kuantitas
penyediaan air.
41
b. Pelestarian Keindahan Pemandangan (View/Vistas) serta Peninggalan
Bersejarah
Bangunan di sepanjang wilayah pesisir memanfaatkan potensi keindahan
atau pandangan yang menghadap ke arah laut. Laut dimanfaatkan sebagai
halaman depan bangunan yang dibangun di wilayah pesisir dan laut kota
pesisir metro.
Menyediakan akses pandang langsung dari darat ke arah pantai atau laut.
Minimal ada point akses pandangan dari wilayah darat ke wilayah pantai
atau laut, misalnya melalui penyediaan akses jalan yang linier (vertikal atau
horizontal dari wilayah darat).
Melestarikan keberadaan bangunan peninggalan bersejarah yang terdapat di
wilayah pesisir dan laut, misalnya kapal karam, bangunan-bangunan
bersejarah.
c. Laut Merupakan Common Goods (Eksosbud)
Mengembangkan sektor kegiatan kelautan dan perikanan sebagai leading
sector, (misalnya : perikanan, wisata bahari, jasa-jasa industri kelautan, dll).
Masyarakat pesisir harus terlibat secara langsung maupun tidak langsung,
khususnya dalam kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut
(misalnya : pengawasan pembangunan, pembangunan swadaya masyarakat)
Gambar 3.25 Pemanfaatan Ruang Laut
42
Keseimbangan kepemilikan lahan di wilayah pesisir. Biasanya kepemilikan
di wilayah pesisir di dominasi oleh kepemilikan private. Oleh karena itu
harus ada upaya pembatasan kepemilikan secara seimbang. Pantai yang
landai sebaiknya menjadi dominasi kepemilikan publik.
Menyediakan lokasi interaksi masyarakat umum (ruang publik) atau tempat
rekreasi, misalnya promenade, sport centre, sepeda dan jogging track,
taman, playground, dll.
Kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dan laut
merupakan upaya peningkatan kesempatan kerja, khususnya masyarakat
lokal pesisir dan laut.
Kawasan rekreasi wisata bahari, perlu dilengkapi dengan ketersediaan pos
pengawas keselamatan (lifeguard).
Untuk kota pesisir metro yang memiliki wilayah laut sebagai wilayah
perbatasan negara, perlu menempatkan pos-pos pengaman di wilayah
perbatasan laut.
d. Memiliki Jatidiri
Menghidupkan akses melalui pesisir dan laut. Hal ini dapat direalisasikan
melalui pengembangan pintu gerbang laut yang terpadu dengan akses
transportasi darat.
Design bangunan kota pesisir metro, sedapat mungkin melestarikan design
bangunan tradisional setempat atau mengembangkan design bangunan yang
dapat menciptakan jatidiri suatu kota pesisir.
Mempertahankan bangunan-bangunan dan objek bersejarah atau
mengembangkan biota laut yang merupakan jati diri suatu kota pesisir
metro.
2.3.6 Kawasan Permukiman
1) Teori Pemukiman
Permukiman sebagai produk tata ruang mengandung arti tidak sekedar fisik saja
tetapi juga menyangkut hal-hal kehidupan. Permukiman pada dasarnya merupakan suatu
bagian wilayah tempat dimana penduduk/pemukim tinggal, berkiprah dalam kegiatan
kerja dan kegiatan usaha, berhubungan dengan sesame pemukim sebagai suatu
masyarakat serta memenuhi berbagai kegiatan kehidupan.
43
Menurut Doxiadis (1974), permukiman merupakan totalitas lingkungan yang
terbentuk oleh 5 (lima) unsur utama yaitu :
- Alam (nature), lingkungan biotik maupun abiotik. Permukiman akan sangat
ditentukan oleh adanya alam baik sebagai lingkungan hidup maupun sebagai
sumber daya seperti unsur fisik dasar.
- Manusia (antropos), Permukiman dipengaruhi oleh dinamika dan kinerja
manusia.
- Masyarakat (society), hakekatnya dibentuk karena adanya manusia sebagai
kelompok masyarakat. Aspek-aspek dalam masyarakat yang mempengaruhi
permukiman antara lain : kepadatan dan komposisi penduduk, stratifikasi
sosial, struktur budaya, perkembangan ekonomi, tingkat pendidikan,
kesejahteraan, kesehatan dan hukum.
- Ruang kehidupan (shell), ruang kehidupan menyangkut berbagai unsur
dimana manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok
masyarakat melaksanakan kiprah kehidupannya.
- Jaringan (network), yang menunjang kehidupan (jaringan jalan, jaringan air
bersih, jaringan drainase, telekomunikasi, listrik dan sebagainya).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan pola permukiman :
- Geografi dan alam ;
Topografi, iklim, dan ketersediaan bahan bangunan.
- Buatan manusia ;
Kekuatan utama yang mempengaruhi bentuk kota (kegiatan perdagangan,
kekuatan sosial politik dan keagamaan) ; berbagai faktor yang terkait dengan
perkembangan masyarakatdan teknologi; dan faktor yang besar pengaruhnya
(antara lain infrastruktur kota, pola jaringan jalan, peraturan dan
perundangundangan).
- Faktor lokasi
o Permukiman yang timbul secara organik
Ketersediaan sumber daya alam
Permukiman yang potensial untuk petahanan
Faktor lokasi pasar (lokasi strategis dekat persimpangan jalan, dekat
sarana transportasi pelabuhan, terminal, bandara dan muara sungai).
44
o Permukiman yang terencana
Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menentukan lokasi yang akan
direncanakan untuk mengembangkanpermukiman sama dengan faktor-
faktor yang menentukan pertumbuhan permukiman secara organik.
Faktor-faktor lain (sosial, politik, religi) antara lain strategi, peluang
pengembangan ekonomi dan pertanian, keberadaaan sumberdaya
mineral dan alasan-alasannya.
o Kesesuaian dengan fungsi kota sebagai pusat pemerintahan,
perdagangan, kebudayaan, agama, pertahanan, produksi, kesehatan,
rekreasi dan campuran.
2) Kriteria Kawasan Pemukiman
Kawasan Permukiman harus dibangun dilahan yang sesuai dengan daya dukung
lahannya agar penggunaan lahan lebih produktif. Penilaian kesesuaian lahan
permukiman berdasarkan tapak/topografi permukiman dapat dilihat pada Tabel 2.7
berikut:
Tabel 2.7 Penilaian Kesesuaian Kawasan Permukiman Berdasarkan Tapak
Permukiman
Selain disesuaikan dengan ketentuan diatas, beberapa kriteria pembangunan
permukiman harus memperhatikan hal-hal terkait dengan Cakupan Kawasan
Permukiman, yaitu :
a. Kawasan Permukiman Perkotaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah,
pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
45
b. Kawasan Permukiman Perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan
utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah,
sosial dan ekonomi.
3) Karakteristik Kawasan Permukiman ialah Kawasan yang terletak pada lahan
yang bermorfologi datar-landai dengan kemiringan lahan 0-8% tanpa rekayasa
teknis, atau kemiringan 8-15% dengan rekayasa teknis.
4) Ketentuan Teknis Permukiman :
a. Ketentuan penataan ruang di Kawasan Permukiman Perkotaan sebagai berikut :
Pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada penataan
bangunan dan lingkungan yang serasi dan seimbang, yang meliputi system
drainase, air bersih, air kotor, persampahan, jalan lingkungan, tata ruang dan
perumahan.
Pengembangan permukiman perlu pengaturan ruang untuk fasilitas
lingkungan seperti ruang terbuka hijau, taman dan fasilitas umum lainnya.
Kepadatan bangunan dan koefisien dasar bangunan yang dapat menunjang
fungsi konservasi/peresapan air dan pengendalian air limpasan permukaan.
Untuk pembangunan perumahan dalam skala besar diwajibkan untuk
menyediakan lahan kuburan, minimal 5% dari luas areal.
Perlu menyediakan lahan secara bersama (iuran) oleh para pengembang yang
membangun perumahan pada radius
b. Ketentuan penataan ruang di Kawasan Permukiman Perdesaan sebagai berikut :
Bangunan yang diperkenankan dikawasan permukiman desa hanya bangunan
usaha tani, kepadatan maks 5 rumah/Ha, dengan koefisien dasar bangunan
(KDB) maks 5%.
Perlu dibatasi agar permukiman perdesaan tidak berubah menjadi permukiman
perkotaan, agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan, serta
konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan dengan baik.
c. Kemiringan lereng atau topografi suatu Kawasan ikut berpengaruh terhadap
peruntukan lahan seperti system perencanaan jaringan jalan, drainase, dll.
Kawasan dengan kemiringan diatas >30% tidak boleh dibangun permukiman,
46
kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan penyangga seperti yang
diterangkan Tabel 2.3.
d. Pertimbangan Geologi Kawasan mempunyai keterkaitan dengan penggunaan
lahan. Geologi Kawasan yang dimaksud di sini adalah :
Sifat disik tanah dan batuan.
Kestabilan lereng termasuk potensial longsoran, rayapan dan robohan.
Kehadiran sesar aktif atau yang mungkin aktif dan pusat episentrum yang
ada dengan skala magnitude dan intensitas.
Kontur muka air tanah atau keadaan muka air tanah dan potensial air
permukaan.
Ketebalan tanah atau kedalaman hingga mencapai batuan.
Penyebaran luas setiap daerah banjir, longsoran dan ablasan, gunung api
dengan penyebaran produk, dan batasan-batasan penyebaran banjir
gelombang pasang.
e. Ketinggian lahan. Sebagai contoh membangun dikawasan pegunungan seperti
Bandung Utara ketinggian yang tepat menurut Tabel 2.6 ialah ketinggian 750-
1000 m.
f. Pertimbangan Konservasi air.
g. Pertimbangan Penetapan Intensitas Pemanfaatan Ruang
h. Pertimbangan Aliran Run Off/ Air Permukaan
i. Pertimbangan Jenis Tanah(Sumber:http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/
197812312005012-BETA_PARAMITA/Petunjuk_Teknis_KBU.pdf)
BAB 3
47
NSPM KAWASAN PERTANIAN, PERKEBUNAN,
PEGUNUNGAN, PESISIR DAN PERTAMBANGAN
3.1 NSPM (Norma, Standart. Pedoman, dan Manual) Kawasan Pertanian
3.1.1. Normatif
UU 45 pasal 33 Kekayaan Alam sebesar-besarnya untuk Kemakmuran Rakyat
Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan menyebutkan
bahwa pangan merupakan hak asasi bagi setiap individu di Indonesia. Oleh karena
itu terpenuhinya kebutuhan pangan di dalam suatu negara merupakan hal yang
mutlak harus dipenuhi. ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap
individu dan rumahtangga memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan
pangan yang cukup, aman, serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai
dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat.
Konsep ketahanan pangan dijelaskan sebagai berikut :
- Ketersediaan pangan yang mencangkup produksi, cadangan dan
pemasukan
- Distribusi atau aksesibilitas yang menunjang mencakup fisik dan
ekonomi
- Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu
Elemen untuk mencapai ketahanan pangan, yaitu :
- Tersedianya pangan yang cukup yang sebagian besar berasal dari
produksi sendiri
- Stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, tanpa pengaruh musim
- Akses atau keterjangkauan terhadap pangan yang dipengaruhi oleh akses
fisik dan ekonomi terhadap pangan
- Kualitas konsumsi pangan serta keamanan pangan.
Dasar Hukum Pelaksanaan Program Ketahanan Pangan :
- Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan
- Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan
48
- Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota
- Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
- Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat.
- Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan.
- Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006 Tentang Dewan Ketahanan
Pangan
- Peraturan Menteri Pertanian No. 06/Permentan/SR.130/2/2011 tentang
Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi
- Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementrian Negara
- Peraturan Presiden No. 47 tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi
Kementrian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon 1
Kementrian Pertanian.
- InInstruksi Presiden No. 5 tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi
Beras Nasional Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim
- Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2009 tentang Kebijakan Perberasan
- Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan No.
05/Permentan/PP.200/2/2011 tentang Pedoman Harga Pembelian
Pemerintah Untuk Gabah dan Beras di Luar Kualitas
- Peraturan Menteri Keuangan No. 94/PMK.02/2011 tentang Tata Cara
Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran dan
Pertanggungjawaban Subsidi Pupuk.
- Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.010/2006 tentang Perubahan
Kelima Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 110/PMK.010/2006
49
tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea
Masuk Atas Barang Impor
- Peraturan Menteri Pertanian No. 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan
Kabupaten/Kota
- Peraturan Menteri Pertanian No. 15/Permentan/RC.110/1/2010 tentang
Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014
- Peraturan Presiden No. 15 tahun 2011 tentang perubahan Peraturan
Presiden No. 77 tahun 2005 tentang penetapan Pupuk Bersubsidi sebagai
Barang dalam Pengawasan.
- Peraturan Menteri Perdagangan No. 07/M-DAG/PER/2/2009 tentang
perubahan Peraturan Menteri Perdagangan No. 21/M-DAG/PER/6/2008
tentang Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor
pertanian.
- Peraturan Menteri Pertanian No.22/Permentan/SR.130/4/2011 tentang
perubahan Peraturan Menteri pertanian No. 06/Permentan/SR.130/2/2011
tentang kebutuhan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk
Sektor Pertanian TA 2011
- Peraturan Menteri Keuangan No.129/PMK.02/2010 tentang Tata Cara
Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dan Subsidi Benih Padi
Non Hibrida, Jagung Komposit, Jagung Hibrida, dan Kedelai
Bersertifikat.
- Peraturan Menteri Keuagan No. 167/PMK.02/2010 tentang Tata Cara
Penyediaan, Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Benih
Nasional dan Bantuan Langsung Benih Unggul.
- Peraturan Menteri Pertanian No.16/Permentan/SR.130/3/2011 tentang
Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk 2011
- Surat Menteri Perindustrian No. 15/M-IND/1/2011 Usul Penurunan Tarif
Bea Masuk Bahan Baku Pupuk.
- Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jendral Tanaman
Pangan No. 44/KPA/SK.310/C/3/2011 Perubahan Lampiran Keputusan
Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jendral Tanaman Pangan No.
50
36/KPA/SK.310/C/3/2011 tentang Pengangkatan Tim Penyususun
Refernesi Harga Kegiatan Subsidi Benih, Cadangan Benih Nasional
(CBN) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Dirjen Tanaman
Pangan TA 2011.
- Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan No. 44/KPA/SK.310/C/3/2011 Perubahan Lampiran Keputusan
Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Jenderal Tanaman Pangan No.
36/KPA/SK.310/C/3/2011 tentang Pengangkatan Tim Penyususun
Referensi Harga Kegiatan Subsidi Benih, Cadangan Benih Nasional
(CBN), dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) Direktorat
Jenderal Tahun Anggaran 2011
- Rencana Strategis Badan ketahanan Pangan 2010-2014
1) Melaksanakan Kemandirian Pangan
Undang- Undang No 18 Tahun 2012 menjelaskan kemandirian pangan adalah
kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup
sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi,
namum dinilai belum mencukupi (necessary but not sufficient) dalam konteks
ketahanan pangan, karena masih banyak variabel yang berpenngaruh untuk
mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Oleh karena itu,
berbagai upaya dilakukan oleh pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri. Bila terjadi kelebihan pangan tersebut haruslah di perdagangkan antar
wilayah, terutama bagi wilayah yang mengalami defisit pangan dan ekspor.
Begitupun dalam sebaliknya, bila terjadi kekurangan (defisit) sebagian pangan untuk
konsumsi dalam negeri dapat dipenuhi dari pasar luar negeri atau impor.
2) Melakukan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai
gerakan mendukung Swasembada Pangan
51
UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dan SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994 Mempertahankan Sawah
Irigasi Teknis untuk mendukung Swasembada Pangan, merupakan beberapa
peraturan yang membahas perihal konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian
yang merupakan masalah utama bagi pengembangan pertanian.
Dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya
yang terkait dengan pengembangan pertanian dalam arti luas maka diupayakan suatu
pendekatan melalui produk pengaturan yang berupa pedoman pengelolaan ruang
kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah. Hal ini dilakukan dengan
pengelolaan ruang dengan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang yang
diperuntukan bagi ertanian, perkebunan, perternakan, perikanan dan usaha berbasis
agribisnis dalam skala nasional, tercantum PP No.15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang mengatur masalah lahan pertanian berkelanjutan.
3.1.2. Standard
1) Kawasan Peruntukan Pertanian
a. Ketentuan Umum
Kegiatan kawasan peruntukan pertanian meliputi pertanian tanaman pangan
perkebunan-tanaman keras, peternakan, perikanan air tawar, dan perikanan laut.
Fungsi Utama :
Kawasan peruntukan pertanian memiliki fungsi antara lain:
- Menghasilkan bahan pangan, palawija, tanaman keras, hasil peternakan dan
perikanan;
- Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya;
- Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Kriteria Umum dan Kaidah Perencanaan
- Ketentuan pokok tentang perencanaan dan penyelenggaraan budidaya
tanaman; serta tata ruang dan tata guna tanah budidaya tanaman mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman;
- Ketentuan pokok tentang kegiatan perencanaan perkebunan; penggunaan
tanah untuk usaha perkebunan; serta pemberdayaan dan pengelolaan usaha
52
perkebunan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan;
- Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan pertanian harus diperuntukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara
sumber dayatersebut sebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan
tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup;
- Ketentuan pokok tentang pemakaian tanah dan air untuk usaha peternakan;
serta penertiban dan keseimbangan tanah untuk ternak mengacu kepada
Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan;
- Ketentuan pokok tentang wilayah pengelolaan perikanan; pengelolaan
perikanan; dan usaha perikanan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan;
- Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman harus memanfaatkan
potensi tanah yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi dan wajib
memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah
kerusakannya;
- Kawasan pertanian tanaman lahan basah dengan irigasi teknis tidak boleh
dialihfungsikan;
- Kawasan pertanian tanaman lahan kering tidak produktif dapat
dialihfungsikan dengan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh pemerintah
daerah setempat dan atau oleh Departemen Pertanian;
- Wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik lokasi
dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang;
- Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan
indikasi geografis dilarang dialihfungsikan;
- Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan), baik
yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harus terlebih
dahulu memiliki kajian studi Amdal;
- Penanganan limbah pertanian tanaman (kadar pupuk dan pestisida yang
terlarut dalam air drainase) dan polusi industri pertanian (udara-bau dan asap,
53
limbah cair) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKL yang
disertakan dalam dokumen Amdal;
- Penanganan limbah peternakan (kotoran ternak, bangkai ternak, kulit ternak,
bulu unggas, dsb) dan polusi (udara-bau, limbah cair) yang dihasilkan harus
disusun dalam RPL dan RKL yang disertakan dalam dokumen Amdal;
- Penanganan limbah perikanan (ikan busuk, kulit ikan/udang/kerang) dan
polusi (udara-bau) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKL yang
disertakan dalam dokumen Amdal;
- Pengolahan limbah dilakukan pada setiap kegiatan pertanian pra-panen,
panen, pasca panen, dan pasca pengolahan.
- Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan), harus
diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat;
- Pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian
lahan;
- Upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering tidak
produktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain harus
dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.
b. Ketentuan Teknis
Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan
Karakteristik kawasan peruntukan pertanian terdiri dari pertanian lahan basah,
pertanian lahan kering dan pertanian tanaman tahunan. Masing-masing
karateristik kawasan peruntukan pertanian tersebut memiliki kriteria teknis
seperti ditunjukkan pada Tabel Karakteristik Kawasan Peruntukan Pertanian.
Kriteria teknis:
- Pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian
lahan;
- Upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering tidak
produktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain harus
dilakukan secara selektif tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat;
Kawasan pertanian lahan basah mencakup:
- Pola tanam: monokultur, tumpangsari, campuran tumpang gilir;
54
- Tindakan konservasi berkaitan dengan:
o Vegetatif: pola tanam sepanjang tahun, penanaman tanaman panen atas air
tersedia dengan jumlah dan mutu yang memadai yaitu 5-20 L/detik/ha
untuk mina padi, mutu air bebas polusi, suhu 23-30ºC, oksigen larut 3-7
ppm, amoniak 0.1 ppm dan pH 5-7;
o Mekanik: pembuatan pematang, teras, dan saluran drainase.
Kawasan pertanian lahan kering mencakup:
- Kemiringan 0-6%: tindakan konservasi secara vegetatif ringan, tanpa
tindakan konservasi secara mekanik;
- Kemiringan 8-15%:
o Tindakan konservasi secara vegetatif ringan sampai berat yaitu pergiliran
tanaman, penanaman menurut kontur, pupuk hijau, pengembalian bahan
organik, tanaman penguat keras;
o Tindakan konservasi secara mekanik (ringan), teras gulud disertai tanaman
penguat keras;
o Tindakan konservasi secara mekanik (berat), teras gulud dengan interval
tinggi 0.75-1.5 m dilengkapi tanaman penguat, dan saluran pembuang air
ditanami rumput.
- Kemiringan 15-40%:
o Tindakan konservasi secara vegetatif (berat), pergiliran tanaman,
penanaman menurut kontur, pemberian mulsa sisa tanaman, pupuk
kandang, pupuk hijau, sisipan tanaman tahunan atau batu penguat teras dan
rokrak;
o Tindakan konservasi secara mekanik (berat), teras bangku yang dilengkapi
tanaman atau batu penguat teras dan rokrak, saluran pembuangan air
ditanami rumput.
Kawasan pertanian tanaman tahunan mencakup:
- Kemiringan 0-6%: pola tanam monokultur, tumpang sari, interkultur atau
campuran. Tindakan konservasi, vegetatif tanaman penutup tanah,
penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimum. Tanpa tindakan konservasi
secara mekanik;
- Kemiringan 8-15%:
55
o Pola tanam, monokultur, tumpang sari, interkultur atau campuran;
o Tindakan konservasi secara vegetatif, tanaman penutup tanah,
penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimal;
o Tindakan konservasi secara mekanik, saluran drainase, rokrak teras
bangku, diperkuat dengan tanaman penguat atau rumput.
- Kemiringan 25-40%:
o Pola tanam, monokultur, interkultur atau campuran;
o Tindakan konservasi secara vegetatif, tanaman penutup tanah,
penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimal;
o Tindakan konservasi secara mekanik, saluran drainase, rokrak teras
individu.
Kawasan perikanan mencakup luas lahan untuk kegiatan budi daya tambak
udang/ ikan dengan atau tanpa unit pengolahannya adalah G 25 Ha, budi daya
perikanan terapung di air tawar luas G 2,5 Ha atau jumlah G 500 unit;
Pemanfaatan dan penggunaan lahan untuk usaha perkebunan, luas maksimum
dan luas minimumnya ditetapkan oleh Menteri dengan berpedoman pada jenis
tanaman, ketersediaan tanah yang sesuai secara agroklimat, modal, kapasitas
pabrik, tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi
geografis dan perkembangan teknologi;
Hak guna usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling
lama 35 (tiga puluh lima) tahun;
Lahan perkebunan besar swasta yang terlantar (kelas V) yang tidak berupaya
untuk melakukan perbaikan usaha setelah dilakukan pembinaan, pemanfaatan
lahannya dapat dialihkan untuk kegiatan non perkebunan.
Penggunaan aplikasi konsep agronomi dalam mencapai produksi maksimum
dengan bantuan teknologi.
Pencapaian hasil produksi tanam yang maksimum dengan menggunakan konsep
agronomi dilakukan dengan 3 hal :
- Pola tanam
Merupakan sub-sistem budidaya tanam dengan memanfaatkan dan
meningkatkan efisien sumber daya dengan optimal untuk memperoleh
produksi maksimal dan meningkatkan produktifitas lahan.
56
- Intensifikasi
Meningkatkan produksi hasil tanam per satuan luas tertentu dengan
teknologi yang dapat diterima oleh petani, yaitu dengan penerapan sapta
usaha tani.
- Diversifikasi
Upaya mengoptimalkan sumberdaya lahan dan tenaga dalam suatu lahan
usaha tani melalui teknologi hemat lahan (keanekaragaman budidaya
tanaman pangan dan holtikultura)
- Ekstensifikasi.
Kegiatan memperluas lahan usaha tani ke daerah usaha tani baru dengan
membuka areal potensi.
57
3.1.3. Prosedur
1) Budidaya Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering
a. Dilakukan pada unit lahan yang mempunyai nilai kesesuaian lahan sangat sesuai
sampai sesuai marginal (Kemampuan lahan Kelas I – Kelas IV) (Lampiran I).
b. Kemiringan lahan maksimum 45% harus dan telah dilakukan tindakan
pengelolaan/pencegahan erosi yang memadai.
c. Untuk lahan dengan tingkat kesesuaian lahan marginal atau di bawah marginal
terlebih dahulu harus dilakukan upaya pemulihan kemampuan lahan seperti
penanaman tanaman pionir, pupuk hijau atau penambahan bahan organik dan
anorganik yang diizinkan untuk pertanian organik.
d. Pengelolaan tanah dilakukan dengan menerapkan upaya-upaya konservasi sesuai
standar teknis dalam panduan ini (Lampiran 2, Tabel 1), dan menjaga kesuburan
tanah dalam jangka panjang sesuai dengan cara-cara yang diizinkan untuk
budidaya pertanian organik, sehingga terjadi perubahan kelas kesesuaian lahan
e. Mempertahankan tanaman tahunan dalam jumlah yang diperlukan dalam rangka
menjaga kelestarian sumber daya lahan dan air.
f. Mengendalikan perkembangan permukiman dan bangunan lainnya yang bukan
penunjang usaha pertanian.
58
2) Budidaya Tanaman Pangan Lahan Basah
a. Dilakukan pada unit lahan yang mempunyai nilai kesesuaian lahan sangat sesuai
sampai cukup sesuai.
b. Kemiringan lahan 0 – 30 %, pada areal yang telah atau akan dibangun sarana
irigasi atau sarana drainase.
c. Pengelolaan lahan dan tanah dilakukan dengan menerapkan upaya-upaya
konservasi sesuai standar teknis dan menjaga kesuburan tanah dalam jangka
panjang sesuai dengan cara-cara yang diizinkan untuk budidaya pertanian.
d. Sumber air dikendalikan agar tetap terhindar dari pencemaran
e. Pengendalian mutu air yang sesuai untuk pertanian organik.
f. Mengendalikan perkembangan permukiman, bangunan dan budidaya lainnya.
3) Budidaya Pertanian Tanaman Tahunan
a. Dilakukan pada lahan yang mempunyai nilai kesesuaian lahan sesuai sampai
sesuai marginal
b. Kemiringan lahan 0 – 45 %, kecuali untuk perkebunan teh atau pengembangan
Kawasan Penyangga Kawasan Lindung diperkenankan pada kemiringan lahan
lebih 45 % dengan pengaturan khusus
c. Pengelolaan lahan dan tanah dilakukan dengan menerapkan upaya-upaya
konservasi sesuai standar teknis dan menjaga kesuburan tanah dalam jangka
panjang sesuai dengan cara-cara yang diizinkan untuk budidaya pertanian
d. Pemeliharaan sumber air pengendalian mutu air yang sesuai
e. Mengendalikan perkembangan permukiman, bangunan dan budidaya lainnya.
4) Konversi Lahan
a. Lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus bebas dari bahan
kimia sintetis.
b. Jika lahan yang akan digunakan untuk pertanian organik berasal dari lahan yang
sebelumnya digunakan untuk produksi pertanian non organik, maka lahan
tersebut harus dilakukan konversi dengan ketentuan sebagai berikut:
59
Untuk tanaman semusim diperlukan masa konversi minimal 2 (dua) tahun,
sedangkan untuk tanaman tahunan (tidak termasuk padang rumput) diperlukan
masa konversi minimal 3 (tiga) tahun. Bergantung pada situasi dan kondisi
yang ada, masa konversi bisa diperpanjang atau diperpendek, namun tidak
boleh kurang dari 12 bulan. Keputusan penambahan atau pengurangan masa
konversi tersebut dibuat oleh Lembaga Sertifikasi dengan mengacu pada
ketetapan Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) berdasar masukan dari
pakar yang kompeten.
Prinsip-prinsip budidaya pertanian organik seperti tercantum dalam SNI Sistem
Pangan Organik harus telah diterapkan pada lahan yang sedang dalam periode
konversi. Selama masa konversi tersebut dianjurkan tanah tetap diusahakan
untuk budidaya tanaman
Lahan yang telah atau sedang dikonversi ke lahan untuk produksi pertanian
organik tidak diperbolehkan untuk diubah bolak-balik antara lahan pertanian
organik dan non organik (konvensional)
Jika lahan pertanian tidak dapat dikonversi secara bersamaan, maka perlu
adanya batas yang tegas dan cukup antara lahan yang dalam konversi dengan
lahan lainnya sehingga terhindar dari kontaminasi.
Perlu adanya batasan yang jelas mengenai lahan yang diusahakan secara
organik dan lahan non organik (konvensional).
5) Pemanenan
Dalam penanganan pasca panen tidak digunakan bahan-bahan yang dapat
merusak, seperti fumigasi, dan sejenisnya.
Pemanenan atau pemungutan hasil produksi pertanian harus dilakukan pada
masa yang tepat dan sesuai dengan kaidah-kaidah untuk memperoleh mutu
produk yang baik secara konsisten.
Pemanenan atau pemungutan hasil produksi pertanian harus dilakukan dengan
cara/teknik yang tepat agar tidak menimbulkan kerusakan pada tanaman atau
memungkinkan dapat timbul penyakit pada tanaman atau menimbulkan
kerusakan pada produk yang dipanen atau membahayakan bagi pekerja yang
melakukan pemanenan.
60
3.1.4. Manual
1) Ketentuan Pengelolaan
Kegiatan yang diperkenankan dalam mengelola kawasan pertanian sebagai
kawasan budidaya, adalah sebagai berikut :
a. Pada kawasan pertanian lahan basah adalah persawahan teknis
b. Pada kawasan pertanian lahan kering adalah tanaman pangan dan hortikultura,
perternakan, dan perikanan serta sawah tadah hujan
c. Pada kawasan perkebunan atau tanaman tahunan adalah berbagai perkebunan
besar atau rakyat
2) Ketentuan Pengawasan Dan Pengendalian
Pengawasan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian sebaigai kawasan
budidaya adala sebaga berikut :
a. Pengkajian dampak lingkungan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dalam pengembangan berbagai usaha dan/atau kegiatan
terutama yang berskala besar.
b. Pengawasan terhadap proses pelaksanaan berbagai usaha dan/atau kegiatan
berdasarkan prosedur dan tata cara pemanfaatan ruang kawasan budidaya
agar terlaksana keserasian antar kegiatan pemanfaatan ruang di kawasan
budidaya tersebut, baik kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan.
c. Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan penelitian eksploitasi mineral dan
air tanah serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam
di kawasan budidaya agar tetap terjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup,
keamanan dan berkelanjutan usaha dan/atau kegiatan budidaya lainnya.
d. Pengawasan ruang agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pemberian hak
pengelolaan pada suatu kawasan.
e. Pemanfaatan dan evaluasi secara berkala dalam pemanfaatan ruang kawasan
budidaya.
f. Penertiban pemanfaatan ruang di kawasan budidaya meliputi kegiatan:
61
Penegakan prosedur perijinan pemanfaatan ruang untuk menjamin bahwa
ruang yang akan dibangun telah sesuai dengan rencana peruntukkan ruang,
ketentuan teknik dan kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Dalam pemberian ijin mendirikan bangunan pemerintah daerah harus
memperhatikan prosedur dan ketentuan peraturan undang-undangan yang
berlaku.
3) Pemanfaatan Ruang Untuk Kawasan Pertaniana. Sawah Irigasi dan Tadah Hujan
Pemanfaatan Ruang :
- Pembatasan perkembangan permukiman agar fungsi utama tidak berubah
menjadi permukiman perdesaan /perkotaan dengan tujuan agar lahan
pertanian produktif tetap dapat dipertahankan serta konservasi tanah dan air
dapat terjaga dengan baik.
- Pertanian lahan basah (sawah irigasi) dapat ditanami padi, palawija,
sayuran, bunga-bungaan dan ikan.
- Garis sempadan irigasi 1 m dari kaki luar tanggul dan yang melewati
permukiman ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknik dan sosio
ekonomi.
- Mempertahankan hutan lindung dan wisata alam yang ada di blok kawasan.
- Atas pembangunan tertentu dan untuk menjamin agar kawasan pertanian
tidak berubah fungsi, maka kawasan pertanian pada lokasi-lokasi tertentu
ditetapkan sebagai kawasan pertanian abadi.
b. Syarat
- Kawasan pertanian lahan basah dengan irigasi teknis dan memungkinkan
untuk dikembangkan sistem irigasi tidak dapat dialihfungsikan.
- Pertanian lahan basah dengan irigasi teknis dapat dikembangkan pada
wilayah dengan ketinggian kurang dari 1000 m dpl, kemiringan kurang dari
40% dan kedalaman efektif tanah lebih dari 30 cm
- Areal sawah tadah hujan/lahan kering dapat dikembangkan di wilayah
dengan kemiringan < 40%, kedalaman efektif tanah > 30 cm
- Pengembangan jalan sesuai dengan kebutuhan usaha pertanian lahan basah
62
- Perternakan, perikanan dan wisata paling luas 2% dari luas blok dan tidak
mengganggu fungsi pertanian lahan basah maupun fungsi lindung.
c. Larangan
- Membuat galian yang membahayakan irigasi.
- Membongkar, menambah dan mendirikan bangunan di sekitar jaringan
irigasi tanpa ijin.
- Konversi budidaya dari tanaman pangan seperti padi sawah sebagai
komoditas utama ke budidaya lainnya.
- Mengalihkan pertanian lahan basah menjadi pertanian lahan kering.
- Mengalihkan pertanian lahan basah menjadi perkebunan.
- Mengalihkan pertanian lahan basah menjadi permukiman.
- Mengalihkan pertanian lahan basah menjadi perkotaan.
4) Ketentuan Intensitas
- Kawasan Wilayah Terbangun (KWT) : Maksimum 7%
- Kawasan Wilayah Hijau (KWH) : 91%
- Kepadatan bangunan maksimum 3 rumah/ha
5) Ketentuan Pengendalian
- Pemanfaatan ruang yang sesuai aturan tapi tidak berizin harus segera
mengurus perizinan.
- Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai aturan, tapi telah mempunyai izin dapat
tetap dipertahankan asal tidak ada pengembangan bangunan.
- Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai aturan dan/atau tidak mempunyai izin
ditertibkan dengan pencabutan izin dan pembongkaran bangunan.
6) Ketentuan Pengelolaan
- Pengembangan infrastruktur yang mendukung seperti jalan, jaringan irigasi
dan agroindustri dengan fungsi yang didasarkan pada potensi pertanian lahan
basah.
- Pengembangan perusahaan pengumpul dan distribusi bagi pertanian lahan
basah dengan memperhatikan jarak minimum yang mudah dijangkau.
- Pembangunan prasarana irigasi bagi pengembangan pertanian lahan basah
agar tidak tergantung pada musim.
63
- Pengembangan agroindustri dengan fungsi yang didasarkan pada potensi
pertanian wilayah pinggiran pada lahan basah dan pengembangan pusat
pengumpul dan distribusi dengan memperhatikan jarak minimum yang
mudah dijangkau.
Penataan Bangunan
1. Ketentuan Intensitas
- Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Maks. 7%
- Koefisien Dasar Hijau (KDH) 91 %
- Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Maks. 0.14
2. Ketentuan Bangunan
- Dianjurkan luas petak lahan minimum : 8000m2.
- Tinggi bangunan maksimum 2 lantai.
- Jarak bebas samping dan belakang bangunan minimum 2 lt – 5 m, 3 lt – 6
m, 4lt – 7 m.
- Garis sempadan bangunan setengah daerah milik jalan ditambah 1 m jika
lebar daerah milik jalan lebih dari 8 m.
3. Ketentuan Pengendalian
- Bangunan yang sesuai aturan tetapi tidak berizin, harus segera mengurus
perizinan.
- Bangunan yang tidak sesuai aturan, tetapi telah berizin dapat dipertahankan
asal tidak ada pengembangan bangunan.
- Bangunan yang tidak sesuai aturan dan/atau tidak berizin dapat ditertibkan
dengan pencabutan izin, pembongkaran bangunan.
2. Pertanian Lahan Kering
Pemanfaatan Ruang
1. Fungsi utama pertanian yang sifatnya produksi atau untuk kepentingan subsistem
2. Pembatasan perkembangan pemukiman agar fungsi utama tidak berubah dengan
tujuan agar lahan pertanian produktif tetap dapat dipertahankan
Perizininan
1. Pertanian lahan kering dapat ditanami tanaman pangan, hortikultura dan bunga
64
2. Bangunan yang berkenaan hanya bangunan penunjang usaha tani atau sawah
tadah hujan atau bangunan pelayanan lingkungan
Perizinan Dengan Syarat
1. Peralihan untuk areal untuk komoditas pertanian lahan kering menjadi komoditas
lain hanya dimungkinkan untuk pemanfaatan dengan fungsi sosio-ekonomi dan
estetika yang lebih baik dari komoditas pertanian lahan kering yang ada.
2. Perkebunan dengan tanaman pendukung fungsi lindung dan tidak mengganggu
fungsi hidrologi
3. Pertanian lahan basah jika memungkinkan dibuat irigasi
4. Kegiatan lain yang mendukung kegiatan pertanianlaha kering
5. Industri kecil atau rumah yang berkaitan dengan pertanian lahan kering
6. Peternakan dan pariwisata yang tidak mengganggu fungsi utaa pertanian lahan
kering
7. Pemikiman perdesaan bagi masyarakat yang terkait langsung dengan usaha
pertanian lahan kering
Larangan
1. Pemanfaatan runag yang mengganggu fungsi
2. Pemukiman perkotaan
3. Pengembangan industri menengah sampai besar
Ketentuan Intensitas
1. Kawasan Wilayah Terbangun (KWT) maksimum 2%
2. Kawasan Wilayah Hijau (KWH) 98%
3. Kepadaan Bangunan maksimum 5 rumah/ha
Pengendalian
1. Pemanfaatan ruang yang sesusai aturan tetapi tidak berizin harus segera
mengurus perizinan
2. Pemanfaatan runga yang tidak sesuai aturan, tetapi telah berizin dapat tetap
dipertahankan asalh tidak ada pengembangan bangunan
3. Pemanfaatan ruag yang tidak sesuai aturan dan tidak berizin dapat ditertibkan
dengan pencabutan izin, pembongkaran bangunan
4. Pemanfaatan air tanah dalam harus mendapat izin
Penataan Bangunan
65
1. Ketentuan Intensitas
- Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Maksimum 15%
- Koefisien Dasar Hijau (KDH) 82%
- Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Maksimum 0.3
2. Ketentuan Bangunan
- Dianjurkan luas petak lahan minimum : 6000 m2.
- Tinggi bangunan maksimum 2 lantai.
- Jarak bebas samping dan belakang bangunan minimum 2 lt – 5 m, 3 lt – 6 m,
4lt – 7 m.
- Garis sempadan bangunan setengah daerah milik jalan ditambah satu meter
jika lebar daerah milik jalan lebih dari 8 m.
3. Ketentuan Pengendalian
- Pemanfaatan ruang yang sesuai peraturan tetapi tidak berizin harus segera
mengurus perizinan.
- Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peraturan, tetapi telah berizin dapat
tetap dipertahankan asal tidak ada pengembangan bangunan.
- Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peraturan dan tidak berizin dapat
ditertibkan dengan pencabutan izin, pembongkaran bangunan.
4. Peraturan
- Pengembangan sawah irigasi teknis atau pencetakan sawah baru dilakukan
dengan memprioritaskan perubahan dari sawah tadah hujan menjadi sawah
irigasi.
- Perubahan kawasan pertanian harus tetap memperhatikan luas kawasan yang
dipertahankan.
5. Ketentuan Pengawasan dan Pengendalian
- Pengawasan dan pengendalian pada setiap kegiatan pertanian di luar kawasan
peruntukkannya, dilakukan dengan cara memberikan sanksi dan disinsentif.
- Pengawasan dan pengendalian pada setiap kegiatan pertanian yang
memanfaatkan fasilitas prasarana irigasi dilakukan dengan cara inventarisasi
pengguna prasarana irigasi dan besaran kebutuhan. Bagi pengguna yang
memanfaatkan pengairan tidak sesuai dengan peraturan maka diberikan
sanksi dan disinsentif.
66
6. Ketentuan Pengelolaan
- Pertanian lahan kering dikembangkan di setiap kecamatan.
- Pengembangan agroindustri dengan fungsi yang didasarkan pada potensi
pertanian lahan kering dan pengembangan pusat pengumpul dan distribusi
bagi pertanian lahan kering dengan memperhatikan jarak minimum yang
mudah dijangkau.
-
3.2 NSPM (Norma, Standart. Pedoman, dan Manual) Kawasan Perkebunan
3.2.1.Normatif
1) Merupakan komoditas ekspor Indonesia yang dapat diperbaharui.
Komoditas terbesar Indonesia pada tahun 2011 berasal dari sektor industri non
migas yang menyumbang US$ 122 miliar atau sebesar 60 persen dari total nilai
ekspor.
Tabel 3.1Hasil Komoditas Ekspor Indonesia Tahun 2011
Komoditas Nilai Persentase
Hasil Industri non migas US$ 122 miliar 60%
Industri Migas US$ 41 miliar 20,43%
Pertambangan non migas US$ 34 miliar 17,02%
Pertanian US$3,1 miliar 2,54%
Sumber :http://www.tempo.co/read/news/2012/02/01/090381010/Krisis-Ekspor-Malah-Naik-24-Persen
Berdasarkan tabel hasil komoditas ekspor Indonesia, walaupun persentase hasil
pertanian adalah 2,54% yang menyumbang US$3,1 miliar, namun komoditas pertanian
merupakan satu-satunya komoditas yang dapat diperbaharui (renewable)
sehinggakomoditas tersebut tidak akan habis asalkan tidak ada alih guna lahan
pertanian.
Penyumbang terbesar untuk pertanian pada tabel tersebut adalah dari hasil
perkebunan yaitu kopi, karet, kakao dan kelapa sawit, (sumber : tempo).
2) Menjaga kelestarian hutan untuk mencegah terjadinya globalisasi.
67
Dalam pelaksanaan ISO 14000, semua aspek yang terlibat dalam industri kelapa
sawit, mulai dari pembukaan lahan sampai dengan pengolahan dan pembungan limbah
harus terbukti ramah lingkungan. Akhir-akhir tersedia teknologi baru hasil dari PPKS
maupun dari institusi penelitian dalam dan luar negeri di bidang budidaya dan
pengolahan kelapa sawit yang lebih ramah lingkungan. Beberapa teknologi tersebut
antara lain:
- Pembukaan lahan tanpa bakar
- Peningkatan biodiversitas
- Peningkatan efisiensi penggunaan energi
- Pencegahan erosi tanah
- Daur ulang unsur hara
- Pengendalian hama dan penyakit secara biologis.
3) Mengamalkan pasal 33 UU 1945 yaitu Bumi, tanah, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
4) Pengembangan Kawasan Perkebunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW)
Perluasan areal perkebunan yang dapat dilakukan melalui pembukaan lahan baru
dan atau pemanfaatan lahan yang sementara tidak diusahakan guna meningkatkan
produksi perkebunan, sehingga menjadi pengembangan Kawasan Perkebunan yang
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
5) Berlandaskan hukum :
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
- PP No. 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk
Perkebunan Spesifik Lokasi
- PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN
- PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman
- PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
- Perda tentang RTRW di tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota
68
- Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
39/Permentan/OT.140/6/2010 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya
Tanaman Pangan
- Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
19/Permentan/OT.140/3/2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO)
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 41/ Permentan/OT.140/9/2009 Tentang
Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 36/ Permentan/OT.140/7/2009 Tentang
Persyaratan Penilai Usaha Perkebunan
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 33/ Permentan/OT.140/7/2006 Tentang
Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 14/ Permentan/PL.110/2/2009 Tentang
Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit
- Pedoman Umum Pengembangan kawasan Agropolitan dan Pedoman Operasional
Pengembangan Kawasan Agropolitan Departemen Pertanian
3.2.2.Standar
1) Standar Pengembangan Lahan Perkebunan
Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Ruang Agropolitan, Suatu wilayah dapat
dikembangkan menjadi suatu kawasan bidang perkebunan harus dapat memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk
mengembangkan komoditi pertanian khususnya pangan, yang dapat dipasarkan
atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan).
b. Memiliki prasarana dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung
pengembangan sistem
c. Memiliki sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan
kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) khususnya bidang perkebunan
secara mandiri.
69
d. Konservasi alam dan kelestarian lingkungan hidup bagi kelestarian sumberdaya
alam, kelestarian sosial budaya maupun ekosistem secara keseluruhan.
Gambar 3.1 Kedudukan Agropolitan Dalam Kota-Kota Besar
Sumber : Pedoman Pengelolaan Ruang Agropolitan
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2004, Luas lahan usaha budidaya
perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan ditetapkan sebagai berikut :
a. Luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 hektar dalam satu
Propinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia, kecuali usaha perkebunan
tebu.
b. Luas maksimum lahan usaha perkebunan tebu adalah 60.000 hektar dalam satu
Propinsi atau 150.000 hektar untuk seluruh Indonesia.
Berdasarkan pedoman teknis perluasan areal perkebunan, Standar teknis perluasan
areal pada kawasan perkebunan adalah sebagai berikut :
a. Komoditas yang dikembangkan diprioritaskan untuk komodita sunggulan nasional
(kakao, karet, kopi, pala dan lada) serta unggulan lokal yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi.
b. Bibit tanaman perkebunan harus bersertifikat dari instansi yang berwenang.
c. Pembukaan lahan perkebunan diarahkan pada Kawasan Perkebunan dengan luas
hamparan minimal 10 ha untuk Pulau Jawa dan 25 ha per kelompok untuk Luar
Pulau Jawa.
Kriteria perluasan areal pada kawasan perkebunan berdasarkan pedoman teknis
perluasan areal perkebunan adalah :
a. Kriteria Lokasi
b. Lokasi disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
70
c. Merupakan daerah pengembangan kawasan perkebunan.
d. Dimungkinkan menggunakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sesuai dengan
peraturan dan perundangan yang berlaku.
e. Telah mendapatkan persetujuan dari Kepala Dinas lingkup pertanian melalui SK
Penetapan Lokasi.
f. Bebas banjir dan atau bisa dilakukan pengendalian banjir secara mudah dan
murah.
g. Diusahakan untuk tidak membuka Hutan Primer sekalipun masuk dalam Areal
Penggunaan Lain (APL).
h. Mempunyai aksesibilitas yang baik.
i. Mempunyai status kepemilikan yang jelas dan tidak dalam sengketa.
j. Tidak tumpang tindih dengan program dan kegiatan proyek lain yang sejenis.
k. Diutamakan yang mempunyai vegetasi ringan (semak belukar,alang-alang dan
hutan ringan).
l. Kesesuaian lahan sesuai untuk pertumbuhan komoditas perkebunan.
m. Faktor iklim (curah hujan, angin, kelembaban dan suhu) yangsesuai.
n. Tersedianya sumber air (sungai, danau, dam, air tanah dangkal dan air tanah
dalam).
o. Berada dalam wilayah binaan Petugas Penyuluh Lapang (PPL).
Kriteria Petani
a. Belum pernah menerima kegiatan yang sama/sejenis pada tahun sebelumnya.
b. Bersedia mengikuti pelaksanaan kegiatan yang dinyatakan dengan ”surat
pernyataan kesanggupan” sebagai peserta.
c. Pemilik penggarap dan atau penggarap (ada bukti tertulis sebagai penggarap).
Petani penggarap agar membuat perjanjian kerjasama dengan pemilik lahan
minimal selama 10 (sepuluh) tahun.
d. Kepemilikan lahan usaha tani maksimal 1 ha (untuk di Pulau Jawa) dan maksimal
2 ha (untuk di luar Pulau Jawa).
e. Bersedia membentuk suatu kelompok (wadah) untuk bekerjasama dalam
melakukan kegiatan perluasan areal perkebunan, diutamakan pada kelompok tani
yang mempunyai respon dan partisipasi yang tinggi.
71
f. Bersedia menerima bimbingan dan segala ketentuan teknologi pembukaan lahan
dan budidaya dalam kegiatan perluasan arealperkebunan.
g. Bersedia memberikan kontribusi, antara lain dalam bentuk tenaga mulai dari
kegiatan konstruksi, penanaman danpemeliharaan.
h. Memiliki dedikasi yang baik dan bersedia memelihara lahan dan tanaman secara
berkelanjutan.
i. Tidak menuntut ganti rugi apabila dilakukan pembangunan infrastruktur pada
lahannya.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, kawasan perkebunan
termasuk kedalam kawasan peruntukan pertanian yang ditetapkan dengan kriteria :
a. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian;
b. Ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi;
c. Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
d. Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian disusun dengan
memperhatikan :
a. Pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; dan
b. Ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana utama.
72
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 41/Permentan/OT. 140/9/2009,
kawasan perkebunan termasuk kedalam kawasan peruntukan pertanian yang ditetapkan
dengan kriteria :
a. Kesesuaian Lahan untuk Pertanian
Tabel 3.2Tipologi Lahan Kawasan Berdasarkan Kesesuaian Lahan Dan Persyaratan
Agroklirnat
Sumber : 41/Permentan/OT. 140/9/2009
Berdasarkan tabel tipologi lahan kawasan berdasarkan kesesuaian lahan dan
persyaratan agroklirnat, kesesuaian lahan yang cocok untuk kawasan perkebunan adalah
dataran rendah dan dataran tinggi, dengan bentuk Iahan datar sampai berbukit,
kesesuaian lahan tergolong lahan sangat sesuai, lahan cukup sesuai atau sesuai marjinal
dan untuk syarat agroklimat disesualkan dengan komoditas yang dikembangkan sesuai
dengan agropedoklimat setempat.
Syarat Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Budidaya Perkebunan
a. Kawasan perkebunan yang diusahakan pada lahan basah, terutama lahan rawa dan
gambut mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
73
b. Kawasan peruntukan perkebunan yang diusahakan pada lahan kering di dataran
rendah dan atau dataran tinggi mengacu pada kesesuaian lahan yang diterbitkan
oleh Departemen Pertanian.
c. Kawasan peruntukan komoditas spesifik dan dilindungi yang diusahakan pada
lahan basah atau lahan kering mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sesuai SK Mentan No. 392/Kpts/OT.210/6/2002 standar yang ingin dicapai
dibedakan dalam 2 sasaran standar yakni :
2) Standar Minimal, dengan syarat adanya :
a. Kawasan Budidaya
Kawasan Budidaya meliputi aspek potensi kawasan, penetaspan kawasan dan
unsure pendorong dalam kawasan. Standar minimal potensi kawasan ditentukan
berdasarkan skala ekonomis yang berlaku sesuai dengan kapasitas unit
pengelolaan hasil (UPH) yang ada,. Standar komoditi diarahkan untuk
mendukung secara ekonomis kapasitas 1 (satu) UPH, contoh :
- Kelapa sawit lebih besar/sama dengan 1.500 ha, 6.000 ha dan 24.000 ha
(equivalent kapasitas PKS 30 ton TBS/jam), 80.000 ton CPO/tahun;
- Karet lebih besar/sama dengan 6.000 ha (equivalent) kapasitas pabrik karet
eremah 40 ton/hari;
- Kelapa hybrida lebih besar/sama dengan 6.000 ha (equivalent kapasitas pabrik
Cco 40 ton daging/hari);
- Kakao lebih besar/sama dengan 2.000 ha (equivalent kapasitas pabrik
pengeringan/fermentasi 50 ton biji kering/hari);
- Teh lebih besar/ sama dengan 1.000 ha (equivalent kapasitas pabrik 1.500
ton/tahun;
- Tebu (luar jawa) lebih besar / sama dengan 25.000 ha (equivalent kapasitas
pabrik 8.000 TDC);.
- Tebu (Jawa) lebih besar / sama dengan 6.000 ha (equivalent kapasitas pabrik
2.000 TDC);
- Kopi lebih besar/ sama dengan 2.000 ha (equivalent kapasitas pabrik
pengupas/pengering 2.000 ton biji kering/ tahun;
74
- Jambu mete lebih besar/ sama dengan 4.000 ha (equivalent kapasitas pabrik
30.000 ton mete gelondong/ tahun).
Penetapan kawasan dilakukan oleh Pemerintah Daerah sekaligus memuat wadah
organisasi penggerak serta penetapan pengembangan jangka pendek, menengah
dan jangka panjang.
Unsur pendorong dalam kawasan berupa koordinasi untuk mendukung
pengembangan perkebunan antara lain kegiatan penyediaan sarana jalan,
pelabuhan, pergudangan, outlet pemasaran, sarana pengolahan, listrik, pengairan,
komunikasi dan sebagainya.
b. Petani pekebun.
Standar minimal petani pekeun ditentukan berdasrkan jumlah penduduk yang
sebagian besar bergerak di bidang usaha tani perkebunan.
c. Kemitraan antar pelaku usaha
Standar minimal kemitraan didasrkan pada adanya jalinan kerjasama usaha untuk
peningkatan produktivitas antara petani dalam kelompok maupun antara
kelompok.
3) Standar Keberhasilan
Sebagai tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan perkebunan digunakan standar
penilaian yang didasrkan pada kondisi usaha perkebunan yang dicapai dalam
setiap tahap pengembangannya. Penilaian dilakukan berdasarkan skoring terhadap
komponenkomponen dasar dalm aspek teknis, aspek ekonomis, aspek
kelembagaan, aspek penunjang dan aspek ekologi.
Berdasarkan Kriteria teknis kawasan budidaya, Standarisasi untuk perkebunan
digunakan dalam pertanian yaitu pertanian lahan kering dan pertanian tanaman
tahunan seperti yang telah dijelaskan dalam kriteria teknis pertanian.
4) Standar Tata Ruang Dalam Perkebunan
Merencanakan tata ruang dalam kebun dan departemen yang terbagi, tahun tanam,
material tanaman, blok, pembibitan, jaringan jalan, saluran air, lokasi pabrik,
75
kantor, perumahan, bangunan sosial, sarana olah raga yang digambarkan dalam
peta induk (ploting design).
Tabel 3.4Standar Penataan Kebun dan Afdeling
Tabel 3.5Alokasi Areal Per Hektar (%) Secara Umum Untuk Kebun Besar
76
Tabel 3.6Intensitas Penataan Ruang dan Penataan Bangunan di Kawasan Perkebunan
Ketentuan KeteranganKoefisien Wilayah Terbangun (KWT) Max. 2%Kawasan Wilayah Hijau (KWH) Max. 98%Kepadatan Bangunan Max. 5 rumah/haKoefisien Dasar Bangunan (KDB) Max. 15%Koefisien Dasar Hijau (KDH) Max. 82%Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Max. 0,3Luas Petak Lahan Min. 6000 m2
Tinggi Bangunan Max. 2 lantaiJarak bebas samping dan belakang bangunan Min. 2 lt – 5 m, 3 lt – 6 m, 4lt – 7 m
Sumber : http://www.temanggungkab.go.id/files/prod_hukum/tabelzonasi.pdf
Dimana :
a. Koefisien Wilayah Terbangun yang selanjutnya disebut KWT adalah
perbandingan antara luas wilayah terbangun dengan luas seluruh wilayah.
b. Koefisien Wilayah Hijau adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan
antara luas lahan terbuka untuk penanaman tanaman dan atau peresapan air
terhadap luas persil yang dikuasai.
c. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disebut KDB adalah angka
persentase berdasarkan perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan
dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
Contoh :
Jika lahan 1 ha = 10.000 m2 dan KDB yang ditentukan max. 15%, maka area
yang dapat kita bangun hanya 15% x 10.000 m2 = 1500 m2. Jika lebih
dari 1500 m2 artinya kita melebihi KDB yang ditentukan. Kurangi lagi ruangan
yang dianggap tidak terlalu perlu. Sisa lahannya digunakan untuk ruang terbuka
hijau yang berfungsi sebagai area resapan air.
d. Koefisien Dasar Hijau yang selanjutnya disebut KDH adalah angka persentase
perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang
diperuntukan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah
perencanan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan
dan lingkungan.
77
e. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disebut KLB adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang
dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
Contoh :
Setelah kita menghitung luas lantai dasar beserta lantai atasnya ternyata
luasannya 200 m2. Kalau lahannya 200 m2, maka nilai KLB bangunan kita
adalah 1.0. Kalau ditentukan KLB di rumah kita 1.2, maka nilai KLB kita
masuk. Yang tidak boleh adalah melebihi dari yang ditentukan.
f. Tinggi bangunan adalah tinggi suatu bangunan atau bagian bangunan, yang
diukur dari rata-rata permukaan tanah sampai setengah ketinggian atap miring
atau sampai puncak dinding atau parapet, dipilih yang tertinggi.
g. Jarak bangunan adalah jarak yang terkecil, diukur di antara permukaan-
permukaan denah dari bangunan-bangunan atau jarak antara dinding terluar
yang berhadapan antara dua bangunan.
3.2.3. Pedoman
1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat dan
pembinaan perumahan dan permukiman nasional mengacu kepada Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan Surat
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor
217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan
Permukiman (KSNPP);
2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harus sesuai dengan
daya dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan lingkungan yang
sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup
yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan terjangkau
oleh sarana tranportasi umum;
4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus didukung
oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat perdagangan dan
78
jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan, penanganan limbah dan
drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan, agama);
5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
7) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba),
penetapan lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraan pengelolaan; dan
pembinaannya diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999
tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri
Sendiri.
3.2.4. Manual
Tahapan-tahapan dalam pengembangan lahan perkebunan adalah sebagai berikut
1) Menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis
Pedoman teknis kegiatan perluasan areal perkebunan dijabarkan lebih lanjut
dalam Petunjuk Pelaksanaan yang dibuat oleh Dinas Perkebunan Provinsi dan
Petunjuk Teknis yang dibuat oleh Dinas lingkup pertanian yang menangani
perluasan areal perkebunan Kabupaten/Kota.
2) Menyusun Jadwal Kegiatan
Dinas Pekebunan Kabupaten/ Kota wajib menyusun jadwal pelaksanaan
kegiatan sesuai dengan tahapan kegiatan yang ada dilapangan. Jadwal
pelaksanaan kegiatan dituangkan dalam “Jadwal Palang”. Selanjutnya jadwal
tersebut disampaikan kepada Dinas Perkebunan Provinsi dengan tembusan
kepada Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian.
3) Koordinasi
Koordinasi dilakukan dengan instansi terkait antara lain ; instansi lingkup
pertanian yang menangani perkebunan, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan,
Dinas PU dan Pemda serta masyarakat luas untuk memperoleh dukungan dan
kemudahan dalam pelaksanaan kegiatan.
4) Identifikasi Calon Petani dan Calon Lokasi (CPCL)
Kegiatan identifikasi CPCL adalah kegiatan pengumpulan data calon kelompok
peternak penerima kegiatan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas
79
Pertanian/Peternakan kabupaten (tim teknis) ke koordinasi dengan instansi
terkait.
5) Penetapan Petani dan Lokasi
Hasil identifikasi CPCL yang memenuhi syarat dan kriteria yangtelah
ditentukan, selanjutnya ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas
Pekebunan Kabupaten/Kota.
6) Sosialisasi Kegiatan
Sosialisasi bertujuan agar seluruh anggota kelompok tani penerima manfaat
mengetahui dengan jelas tentang rencana kegiatan yang akan dilaksanakan,
sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
7) Rancangan sederhana (RS) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Rancangan sederhana ini digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan
dan dibuat dengan memperhatikan kondisi lapangan, kebutuhan lapangan,
kecukupan dana, kesediaan bahan-bahan setempat. Rancangan sederhana dibuat
oleh Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota dengan melibatkan kelompok tani.
8) Output Rancangan sederhana terdiri dari :
- Sketsa lokasi yang menggambarkan keberadaan calon lokasi perluasan areal
tebu dan digambar pada peta desa. Sketsa lokasi dibuat dengan menggunakan
Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui titik koordinat lokasi dan
luas areal.
- Batas lokasi perluasan areal tebu dan batas kepemilikan lahan masing-masing
petani peserta.
- Gambar tata letak tanaman tebu dibuat sesuai dengan kemiringan lahan dan
searah dengan garis kontur.
- Daftar definitif peternak dan luas kepemilikan lahan yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas.
- Rencana Anggaran Biaya (RAB)
- RAB merupakan rincian kegiatan dan biaya yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan kegiatan perluasan areal tebu.
- Penyusunan RUKK
Rencana Usulan Kegiatan Kelompok (RUKK) disusun berdasarkan
kesepakatan di dalam kelompok tani bersama-sama dengan petugas lapangan
80
yang merupakan penjabaran dari RAB. Selanjutnya RUKK harus mendapat
persetujuan dari Tim Teknis Dinas Perkebunan Kabupaten/ Kota. RUKK
sekurang-kurangnya berisi rincian kegiatan, waktu pelaksanaan, kebutuhan
dan sumber pembiayaan.
- Pembuatan Perjanjian Kerjasama
Pembuatan perjanjian kerjasama dilakukan antara Ketua kelompok tani
dengan Kepala Dinas Perkebunan selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
9) Konstruksi
Kegiatan konstruksi perluasan areal tebu dilaksanakan secara gotong royong oleh
kelompok petani penerima manfaat. Dimungkinkan kelompok petani menyewa
alat yang diperlukan untuk kegiatan konstruksi.
Komponen kegiatan konstruksi adalah sebagai berikut :
a. Land clearing (pembukaan/pembersihan lahan), besaran biaya land clearing
harus disesuaikan dengan jenis/tipe vegetasi yangada pada calon lokasi. Calon
lokasi diutamakan yang mempunyai vegetasi ringan (semak alang-alang/belukar
dan hutan ringan). Pembersihan lahan dilakukan dengan cara mengumpulkan
pohon dan semak belukar ”tanpa pembakaran” (zero burning).
b. Pembuatan bangunan konservasi disesuaikan dengan kemiringan lahan. Hal ini
untuk mencegah terjadinya erosi dan untuk mempertahankan kesuburan lahan.
Jenis bangunan konservasi berupa teras bangku, teras individu/kredit, gulu dan,
Saluran Pembuangan Air (SPA), dan lain-lain. Pembuatan teras atau terasering
terutama pada lahan dengan kemiringan 15-40 % memotong lereng (sejajar garis
kontur). Pada lahan rawa diperlukan pembuatan surjan/tabukan.
c. Pengolahan tanah, dilakukan sampai siap tanam.
3.3 Norma, Standar, Prosedur, dan Manual (NSPM) Kawasan Pertambangan
3.3.1.NORMA
Dalam proses mendirikan dan/atau mengoperasikan pertambangan dalam suatu
area atau wilayah tambang maka perlu memperhatikan norma-norma hukum berikut ini.
1) UUD 1945 pasal 33 ayat 3
81
"Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Proses pertambangan dan/atau eksploitasi bahan tambang harus bermanfaat dan
berkontribusi pada kemakmuran rakyat Indonesia.
2) UU No 11 Tahun 1967 ttg Pertambangan Umum
Tiap-tiap pertambangan umum yang terbuka di Indonesia harus mematuhi norma
hukum dalam pembukaan, pengelolaan, pengoperasian, penambangan, dan
pemanfaatan barang tambang Indonesia dengan menuruti prosedur dan ketentuan
pada UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum.
3) UU Nomor 32 Tahun 2009 ttg pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
(PPLH)
Tiap-tiap pertambangan yang dibuka, harus mengolah limbah yang dihasilkan dari
proses pertambangan agar tidak merusak lingkungan hidup yang ada di sekitar
wilayah pertambangan.
4) PP No 22 Th 2010 ttg Wilayah Pertambangan
"Wilayah Tambang adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang."
5) PP No 22 Th 2010 ttg Wilayah Pertambangan
"Wilayah penambangan adalah Wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau
batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang
merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional"
3.3.2.STANDARD
Untuk menentukan kelayakan penambangan suatu deposit bahan tambang,
terlebih dahulu perlu dilakukan kajian yang mencakup berbagai aspek di sekitar serta
mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang sifatnya lintas
sektoral. Aspek-aspek yang perlu dikaji adalah:
1) Aspek penggunaan lahan pada dan di suatu lokasi deposit bahan
tambang: dalam rangka harmonisasi pemanfaatan ruang, sebelum bahan tambang
82
diusulkan untuk ditambang, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu peruntukan
lahan dimana bahan tambang tersebut berada. Apabila terletak pada peruntukan
lahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ataupun fungsinya tidak
boleh untuk kawasan budi daya, maka bahan tambang tersebut tidak boleh/tidak
layak untuk ditambang.
2) Aspek geologi: kajian aspek geologi dilakukan setelah selesai kegiatan eksplorasi
bahan tambang dimana jenis, sebaran, kuantitas dan kualitasnya sudah diketahui.
3) Topografi: Kajian ini mendapatkan gambaran mengenai letak atau lokasi deposit
bahan tambang. Apakah terdapat di daerah pedataran, perbukitan bergelombang
atau landai (kemiringan lereng antara 0o dan 17o), terjal (kemiringan lereng antara
17o dan 36o) atau sangat terjal (kemiringan lereng >36o). Lereng yang sangat terjal
dan curam akan mempersulit teknik penambangannya, terutama untuk sistem
tambang terbuka (open-pit mining).
4) Tanah penutup Ketebalan tanah yang menutupi deposit bahan tambang sangat
bervariasi, tipis (beberapa cm), sedang (beberapa cm hingga 1 m), dan tebal (lebih
dari 1 m). Mengetahui ketebalan tanah penutup ini penting karena menyangkut
masalah teknik penambangannya, terutama mengenai penempatan tanah penutup
tersebut.
5) Sifat fisik dan keteknikan tanah/batuan Kajian sifat fisik tanah/batuan antara
lain meliputi warna, tekstur, dan kondisi batuan apakah padat, berongga, keras
atau bercelah. Sifat keteknikan meliputi kuat tekan/daya dukung batuan,
ketahanan lapuk, daya kohesi, dan besaran sudut geser tanah. Sifat keteknikan
tanah/batuan dapat dipergunakan untuk menganalisis desain tambang, terutama
besaran sudut lereng tambang dalam kaitannya dengan kestabilan lereng.
6) Hidrogeologi Hal penting dari kajian hidrogeologi adalah apakah deposit bahan
tambang terletak di daerah imbuhan air tanah atau dekat dengan mata air yang
penting. Juga perlu diperhatikan kondisi air tanah di sekitarnya apakah bahan
tambang tersebut terdapat pada alur sungai yang merupakan salah satu sumber
daya alam yang berfungsi serbaguna.
7) Kebencanaan geologi Kajian ini untuk mengetahui apakah lokasi bahan tambang
apakah terletak pada atau di dekat daerah rawan gerakan tanah, jalur gempa bumi,
83
daerah bahaya gunung api, daerah rawan banjir, daerah mudah tererosi, dan
sebagainya.
8) Kawasan lindung geologi Kajian ini untuk melihat apakah lokasi bahan tambang
apakah terletak pada Kawasan Lindung Geologi atau tidak. Kawasan Lindung
Geologi adalah suatu daerah yang memiliki ciri/fenomena kegeologian yang unik,
langka dan khas sebagai akibat dari hasil proses geologi masa lalu dan atau yang
sedang berjalan yang tidak boleh dirusak dan atau diganggu,sehingga perlu
dilestarikan, terutama untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
pariwisata. Fenomena kegeologian tersebut antara lain berupa keunikan batuan
dan fosil,keunikan bentang alam (misalnya kaldera, kawah, gumuk vulkanik,
gumuk pasir, kubah, dan bentang alam karst), dan keunikan proses geologi
(misalnya mud-volcano dan sumber api alami).
9) Aspek Sosekbud : kajian ini antara lain meliputi jumlah dan letak pemukiman
penduduk di sekitar lokasi penambangan, adat-istiadat dan cagar/situs budaya
(termasuk daerah yang dikeramatkan).
Selain itu, untuk menghindari atau menekan sekecil mungkin dampak negatif
terhadap lingkungan akibat kegiatan penambangan, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan lebih lanjut adalah:
10) Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah resapan atau
pada akuifer sehingga tidak akan mengganggu kelestarian air tanah di daerah
sekitarnya.
11) Lokasi penambangan sebaiknya terletak agak jauh dari pemukiman penduduk
sehingga suara bising ataupun debu yang timbul akibat kegiatan penambangan
tidak akan mengganggu penduduk.
12) Lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air penting sehingga tidak
akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air dari mata air tersebut, juga untuk
menghindari hilangnya mata air.
13) Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah aliran sungai
bagian hulu (terutama tambang batuan) untuk menghindari terjadinya pelumpuran
sungai yang dampaknya bisa sampai ke daerah hilir yang akhirnya dapat
menyebabkan banjir akibat pendangkalan sungai. Hal ini harus lebih diperhatikan
84
terutama di kota-kota besar dimana banyak sungai yang mengalir dan bermuara di
wilayah kota besar tersebut.
14) Lokasi penambangan tidak terletak di kawasan lindung (cagar alam, taman
nasional, dsb.).
15) Lokasi penambangan hendaknya dekat dengan konsumen untuk menghindari
biaya transportasi yang tinggi sehingga harga jual material tidak menjadi mahal.
16) Lokasi penambangan tidak terletak dekat dengan bangunan infrastruktur penting,
misalnya jembatan dan menara listrik tegangan tinggi. Juga sedapat mungkin
letaknya tidak dekat dengan gedung sekolah sehingga tidak akan mengganggu
proses belajar dan mengajar.
Hasil kajian dari berbagai aspek tersebut, digabung dengan aspek peraturan perundang-
undangan, kemudian di analisis untuk menentukan kelayakan penambangan suatu
deposit bahan tambang. Hasil analisis kelayakan menghasilkan 2 (dua) kategori, yaitu
layak tambang dan tidak layak tambang.
Layak tambang bukan berarti seenaknya saja ditambang, melainkan harus mengikuti
kaidah-kaidah penambangan yang berlaku agar dampak negatif terhadap lingkungan
akibat adanya kegiatan penambangan dapat dihindari atau ditekan sekecil mungkin.
Selain itu, konflik/tumpang tindih kepentingan penggunaan lahan juga dapat dihindari.
85
3.3.3.PROSEDUR
Dalam suatu kegiatan penambangan biasanya terdiri dari beberapa tahapan, yaitu
tahap persiapan, tahap eksploitasi dan terakhir, yang merupakan bagian tak terpisahkan,
adalah tahap reklamasi/rehabilitasi lahan pasca penambangan.
1) Tahap Persiapan
Tahap persiapan biasanya didahului dengan kegiatan pengangkutan berbagai jenis
peralatan tambang, termasuk bahan-bahan bangunan untuk pembuatan perkantoran,
gudang, perumahan (jika ada) dan fasilitas-fasilitas tambang yang lain, pembukaan
lahan (land-clearing), dan selanjutnya adalah pembuatan/pembukaan jalan tambang.
Dalam hal pengangkutan peralatan tambang dan bahan-bahan bangunan, yang perlu
diperhatikan adalah jalan yang akan dilalui. Perlu diperhitungkan berapa meter lebar
jalan, jalan apakah melewati jembatan (bagaimana kondisinya), apakah melewati
pemukiman penduduk, berapa frekuensi lalu-lalang dan jenis maupun tonase truk
pengangkut, dan sebagainya. Hal-hal tersebut perlu diperhitungkan secara matang agar
tidak terjadi dampak negatif terhadap lingkungan di sepanjang jalan yang akan dilalui,
baik terhadap manusia maupun fisik alam itu sendiri. Beberapa contoh dampak negatif
yang dapat ditimbulkan oleh adanya kegiatan pengangkutan ini apabila tidak dikelola
dengan baik, antara lain adalah jalan menjadi rusak (banyak lubang, becek di musim
hujan), kecelakaan lalu-lintas (karena jalan terlalu sempit, atau kondisi jembatan kurang
memenuhi syarat), debu bertebaran yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
(karena jalan berupa tanah dan dilalui kendaraan pada musim kemarau), dan ganggunan
kebisingan.
Pada kegiatan pembukaan lahan perlu diperhatikan kemiringan dan kestabilan
lereng, bahaya erosi dan sedimentasi (karena penebangan pepohonan, terutama saat
musim hujan), serta hindari penempatan hasil pembukaan lahan terhadap sistem
drainase alam yang ada. Demikian pula pada saat pembuatan jalan tambang. Lokasi
pembuatan fasilitas tambang, seperti perkantoran, gudang, dan perumahan perlu
memperhatikan kondisi tanah/batuan dan kemiringan lerengnya.Sedapat mungkin
hindari lokasi yang berlereng terjal dan kemungkinan rawan longsor. Jika diperlukan
pembuatan kolam pengendapan, letakkan pada lokasi yang sifat batuannya kedap air,
misalnya batu lempung, dan tidak pada batuan yang banyak kekar-kekarnya. Hal ini
untuk menghindari terjadinya kebocoran. Bila kondisi batuan tidak memungkinkan,
86
maka kolam pengendapan bisa dibuat dari beton, walaupun memerlukan tambahan
biaya.
2) Tahap Eksploitasi
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini utamanya berupa
penambangan/penggalian bahan tambang dengan jenis dan keterdapatan bahan tambang
yang berbeda-beda. Dengan demikian teknik/tata cara penambangannya berbeda-beda
pula. Bahan tambang yang terdapat di daerah perbukitan, walaupun jenisnya sama,
misalnya pasir, teknik penambangannya akan berbeda dengan deposit pasir yang
terdapat di daerah pedataran, apalagi yang terdapat di dalam alur sungai. Tulisan ini
tidak akan membahas berbagai teknik penambangan tersebut, tetapi akan dibahas secara
umum tentang hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan pada tahap eksploitasi dalam
kaitannya dengan pengelolaan pertambangan yang berwawasan lingkungan. Hal-hal
yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:
a. Jenis, sebaran dan susunan perlapisan batuan yang terdapat di sekitar deposit
bahan tambang, termasuk ketebalan lapisan tanah penutup.
b. Sifat fisik dan keteknikan tanah/batuan.
c. Kondisi hidrogeologi (kedalaman muka air tanah dangkal dan/dalam, pola aliran
air tanah, sifat fisika dan kimia air tanah dan air permukaan, letak mata air dan
besaran debitnya, letak dan pola aliran sungai berikut peruntukannya, sistem
drainase alam).
d. Topografi/kemiringan lereng.
e. Kebencanaan geologi (kerawanan gerakan tanah, bahaya letusan gunung api,
banjir, kegempaan).
f. Kandungan unsus-unsur mineral yang terdapat dalam batuan yang terdapat di
sekitar deposit bahan tambang, misalnya pirit
Dengan mengetahui dan kemudian memperhitungkan seluruh data-data tersebut, maka
dapat ditentukan teknik penambangan yang sesuai, sehingga dampak negatif terhadap
lingkungan akibat kegiatan penambangan dapat dihindari atau ditekan sekecil mungkin.
87
3) Tahap Reklamasi
Kegiatan reklamasi tidak harus menunggu sampai seluruh kegiatan penambangan
berakhir, terutama pada lahan penambangan yang luas. Reklamasi sebaiknya dilakukan
secepat mungkin pada lahan bekas penambangan yang telah selesai dieksploitasi,
walaupun kegiatan penambangan tersebut secara keseluruhan belum selesai karena
masih terdapat deposit bahan tambang yang belum ditambang. Sasaran akhir dari
reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman,
stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan pada tahap reklamasi adalah sebagai
berikut:
a. Rencana reklamasi sebaiknya dipersiapkan sebelum pelaksanaan penambangan
b. Luas areal yang direklamasi sama dengan luas areal penambangan
c. Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur
sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi
d. Mengembalikan/memperbaiki pola drainase alam yang rusak
e. Menghilangkan/memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun (jika ada) sampai
ke tingkat yang aman sebelum dibuang ke suatu tempat pembuangan
f. Mengembalikan lahan seperti semula atau sesuai dengan tujuan penggunaan
g. Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi
h. Memindahkan seluruh peralatan yang sudah tidak digunakan lagi ke tempat yang
dianggap aman
i. Permukaan tanah yang padat harus digemburkan, atau ditanami dengan tanaman
pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras
j. Jenis tanaman yang akan dipergunakan untuk revegetasi harus sesuai dengan
rencana rehabilitasi (dapat berkonsultasi dahulu dengan dinas terkait)
k. Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya
l. Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Dalam beberapa kasus, lahan bekas penambangan tidak harus seluruhnya
direvegetasi, namun dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain, seperti misalnya menjadi
kolam persediaan air, padang golf, perumahan, dan sebagainya apabila dinilai lebih
bermanfaat atau sesuai dengan rencana tata ruang.
88
3.3.4.MANUAL
1) Persyaratan Daerah Kerja (Restricted Area) – Termasuk Induction Training
Daerah tambang adalah daerah terbatas yang terlarang untuk umum. Kep Men
555K/26/M.PE/1995 secara tegas menyatakan bahwa dilarang untuk memasuki suatu
lokasi kegiatan usaha pertambangan, kecuali mereka yang bekerja atau mendapat izin
(Pasal 3). Untuk itu perlu:
a. Papan peringatan atau rambu-rambu yang menyatakan batas wilayah
pertambangan, bila perlu dipasang pagar pembatas (pengaman) untuk memisahkan
daerah tambang dari wilayah umum.
b. Menyediakan jalan khusus untuk umum jika tidak ada jalan lain yang
memungkinkan untuk umum.
c. Induksi (pengenalan) tentang keselamatan & berbagai aturan yang berlaku di
tempat kerja kepada orang/pekerja sebelum memasuki area pertambangan. Induksi
diberikan oleh safety officer atau orang yang ditunjuk sebelum pekerja atau tamu
memasuki area
Isi induksi:
Kebijakan dasar perusahaan tentang K3 & lingkungan
Bahaya-bahaya yang ada di tempat kerja
Ketentuan K3L yang berlaku
2) Pengelolaan Surat Izin Bekerja
Sebelum melakukan pembersihan lahan (pemotongan pohon dsb) harus mendapat
izin kerja yang ditandatangani oleh Kepala Teknik Tambang. Izin dikeluarkan dalam
bentuk tanda pengenal yang harus dikenakan oleh semua pekerja saat berada dalam
wilayah tambang. Tanda pengenal bisa berfungsi sebagai pengenal terhadap izin-izin
mengemudi dan mengoperasikan alat.
Izin kerja khusus:
- Hot work permit
- Safe work permit
- Lock-out/Tag-out
- Confined space permit
89
3) Pengelolaan & Persyaratan Kendaraan & Alat Berat Serta Operatornya
(Izin Operasi Alat)
Kendaraan yang digunakan di tambang harus memiliki sistem pemeriksaaan harian
atau sistem lainnya yang dianggap perlu (sesuai identifikasi bahaya & penilaian risiko).
Perusahaan harus menetapkan tanda-tanda identifikasi untuk:
- Kendaraan ringan
- Alat berat beroda
- Alat berat dengan rantai (track link)
- Peralatan lain.
Tanda pengenal biasa berupa:
- Tongkat & bendera
- Lampu (fixed & rotary)
- Warna kendaraan
- Pemberian nomor/tanda identifikasi lain
4) Pengelolaan & Persyaratan Bengkel (workshop)
- Ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
- Washbays, lighting, lay out, screening/partisi, housekeeping
- Harus dilengkapi dengan oil trap dan sediment trap (untuk menangkap
pasir & Lumpur agar tidak masuk ke oil trap).
- Lantai bengkel permanen (bukan field workshop) harus terbuat dari bahan
yang kedap (diperkeras) untuk mencegah pencemaran oli ke tanah
- Harus memiliki fasilitas: kamar mandi, toilet & cuci, locker untuk ganti
mekanik, kantor untuk kegiatan administrative, pencucian unit sebelum ke
bengkel
- Tangki – tangki solar (BBM) & hidrokarbon lainnya di atas 200 liter harus
dilengkapi tanggul untuk mencegah pencemaran jika terjadi tumpahan.
Halaman & tempat penyimpanan harus dijaga kebersihannya.
- Sedapat mungkin dilakukan penghijauan untuk menjaga estetika bengkel &
mempertahankan semangat kerja karyawan
- Penerangan yang memadai
- Layout tertata sedemikian rupa sehingga meminimasi kemungkinan
kecelakaan & meningkatkan produktifitas
90
- Partisi/screening dipasang untuk setiap pekerjaan pengelasan (hot work)
untuk mencegah loncatan bunga api mengenai bahan mudah terbakar yang
mungkin ada.
5) Pengelolaan & Persyaratan Stacking, Storage & Material Handling
Perusahaan harus menetapkan pengelolaan & persyaratan untuk Penumpukan,
Penyimpanan, dan Penanganan semua jenis material yang ada di site seperti:
- Bulk storage of hazardous chemical substances-warehouse
- Fuel tanks
- Bunding of storage areas
- Semua bahan kimia berbahaya yang mungkin digunakan (misal: solar,
bensin, oli, dll)
b. Penggunaan Warehouse
1. Penggunaannya adalah untuk material-material padat, spareparts dan bahan yang
sering digunakan lainnya.
2. Bensin dan thinner tidak boleh ditempatkan di ruang tertutup tanpa ventilasi
(titik uapnya rendah <0 derajat C). Keduanya mudah menguap sehingga tidak
dianjurkan untuk ditempatkan dalam wadah plastic yang mudah rusak
3. Penempatan drum & tangki harus mengikuti aturan penyimpanan hidrokarbon (>
200 liter dilengkapi tanggul pencegah kebocoran & tumpahan)
4. Penumpukan drum di luar WH harus dengan rapih (bisa horizontal atau tegak),
dengan syarat mudah dijangkau & tidak menimbulkan bahaya kecelakaan saat
pengangkutan atau pemindahan.
5. Drum isi sebaiknya ditumpuk tegak & yang kosong boleh diletakkan
horizontal. Penggunaan palet adalah wajib, khususnya untuk transportasi
menggunakan forklift.
6. Semua bahan kimia yang digunakan harus tersedia MSDSnya (harus menjadi
pra-syarat bagi supplier).
MSDS akan menentukan bagaimana pengelolaannya:
a. Penyimpanan (jumlah besar / kecil)
b. Pemakaian
c. Mengatasi tumpahan
d. Cara membuangnya
91
Perusahaan harus menetapkan prosedur yang sesuai dengan MSDS tersebut
7. Penyimpanan besar (bulk storage) adalah penyimpanan dengan kapasitas > 500
liter (fixed maupun mobile).
8. Tanggul harus memenuhi syarat 110% dari kapasitas tangki terbesar
c. Pengelolaan Alat/Fasilitas Listrik & Peralatan Listrik Portabel
1. Semua fasilitas & bangunan yg ada di tambang ( termasuk pemasangan
grounding, pembatas arus listrik, earth leakage protection & penyalur petir)
harus dilengkapi dengan grounding dan penangkal petir (maks tahanan 5 ohm)
untuk mencegah kerusakan alat & elektostatik yang muncul.
2. Untuk transfer bahan bakar & mudah terbakar lainnya, diperlukan bonding
untuk mencegah penumpukan listrik static yang rawan kebakaran & ledakan.
3. Pencegah arus berlebih (circuit breaker) harus dipasang utk mencegah kebakaran
akibat arus berlebih ataupun hubungan singkat (short circuit).
4. Semua sambungan listrik harus dalam keadaan rapih & permanent (tidak ada
sambungan/kawat sementara yang bias menimbulkan panas).
5. Sebisa mungkin kabel yang bersliweran harus dimasukan dalam pembungkus
atau tray.
6. Earth leakage protection adl system yang memutuskan hubungan listrik bila
sambungan mengenai manusia (>5 mA), dikenal baik di Australia.
7. Alat-alat listrik yang digunakan di areal tambang harus tercatat dan diberikan
tanda identifikasi yang jelas (serta tanggal pemeriksaannya). Dilakukan dengan
memberi tag pada kabel atau alat tersebut.
8. Alat listrik portable (gerinda tangan,bor,dll) harus ditetapkan jadwal waktu
pemeriksaannya. Alat tsb disarankan mempunyai dobel insulasi yang mencegah
penggunanya untuk kontak dengan arus listrik.
d. Pengelolaan Kesehatan Karyawan
Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum kerja, berkala (setahun sekali, kecuali
atas rekomendasi khusus dokter kesja), dan sesudah keluar untuk memastikan bahwa
pekerja sehat sebelum, selama dan tidak ada penyakit yang dibawa sesudah bekerja di
perusahaan.
Pemeriksaan kesehatan khusus meliputi:
92
1. Pemeriksaan paru-paru terhadap gejala silicosis & pneumoconiosis akibat debu
batubara
2. Pemeriksaan audiometric (utk operator alat berat & mekanik)
3. Pemeriksaan mata (rabun jauh, dekat & gelap) khususnya untuk para pengemudi
& opr. Alat.
e. Pengelolaan Perumahan & Sanitasi
Perumahan
1. Harus memiliki sarana MCK yang bersih, memadai & memenuhi syarat hygiene
2. Pemeriksaan MCK dilakukan khusus (wet area check)
3. Dapur harus memiliki system pembuangan limbah domestic yang memadai
1. Perusahaan harus menetapkan sarana pemeriksaan hygiene & pengendalian
penyakit di lingkungan perumahan.
Workshop
1. Harus memiliki sarana MCK
2. Harus disediakan sarana locker yang memadai & tempat makan yang bersih
f. Pengelolaan & Persiapan Keadaan Darurat (Emergency Preparedness Plan –
EPP)
EPP minimal meliputi:
1. Persiapan menghadapi kecelakaan kerja
2. Persiapan menghadapi kebakaran
3. Persiapan menghadapi bencana alam (termasuk tanah longsor)
4. Persiapan menghadapi huru-hara/demonstrasi (amuk massa)
5. Penanggulangan keamanan (security check points)
Perusahaan menetapkan pengendali keadaan darurat (commander) dan seksi-seksi
khusus yang diperlukan di dalamnya, minimal meliputi:
1. Seksi pemadaman (penanggulangan keadaan darurat)
2. Seksi pertolongan pertama (P3K)
3. Seksi Evakuasi
4. Seksi keamanan
5. Seksi komunikasi
1. Perusahaan harus menetapkan sistem informasi yang sesuai dengan kondisi
lapangan untuk mengatasi keadaan darurat.
93
2. Commander (ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang) akan menetapkan kondisi
darurat dalam status tertentu (siaga 1, 2 atau 3) sesuai dengan kesepakatan di site
& akan melakukan kendali dalam fase-fase keadaan darurat.
3. Semua karyawan harus mengikuti pelatihan & simulasi keadaan darurat yang
dilakukan secara berkala (minimal setahun sekali).
4. Semua karyawan, tamu, sub-con wajib dijelaskan mengenai EPP yang berlaku
5. Seksi komunikasi bertugas sbg juru bicara dari pengendali commander (baik
internal maupun eksternal) untuk mengumumkan fase-fase keadaan darurat &
menjelaskan kepada pihak umum tentang situasi yang terjadi.
g. Persyaratan Pengapalan
1. Pemindahan komoditi dari port ke ponton atau kapal harus mengikuti prosedur
yang aman dan telah ditetapkan oleh perusahaan (Kepala Teknik Tambang)
dalam hal: spillage control, loading process & loading capacity.
2. Harus ada regu untuk mengatasi tumpahan
3. Semua pemindahan barang harus menggunakan prosedur yang aman dan
dilakukan identifikasi bahaya & penilaian resiko sebelum menetapkan
prosedurnya.
4. Dalam setiap pemindahan komoditi atau peralatan harus ada regu yang siap
bertindak jika terjadi keadaan darurat (kapal tenggelam, peralatan jatuh ke
laut/sungai, dsb).
h. Persyaratan Komunikasi
Perusahaan harus menetapkan sarana komunikasi yang tepat, seperti:
1. Radio communication, Merupakan sarana yang vital, harus ditetapkan
berdasarkan ketentuan kepala teknik tambang. Harus ada jalur komunikasi
khusus yang hanya digunakan saat keadaan darurat.
2. Pertemuan P2K3 yang merupakan hal yang wajib di tambang, terdiri dari unsur
manajemen & wakil karyawan. Pertemuan minimal 1 X sebulan. Notulen
pertemuan harus tercantum di papan informasi K3LH.
3. Papan informasi K3LH
4. Safety talk (sarana informasi 2 arah yang disampaikan oleh supervisor atau
safety officer), dll
94
M. Umum
1. Persyaratan Kode Warna
Kode warna yang dipakai adalah kode warna internasional
2. Persyaratan Ladders, Stairs & walkways
Sususan tangga harus berwarna kuning, dengan tinggi susuran minimum 80 cm,
maksimum 120 cm. Tangga portable harus selalu diperiksa & dalam keadaan
baik
3. Persyaratan Perancah
4. Persyaratan alat & peralatan angkat
Harus diperiksa minimum 3 bulan sekali. Hook & sling harus diberi kode &
metode identifikasi pemeriksaan.
95
No. Daerah / Penggunaan Warna1 Demarkasi, pelindung mesin, tangga, susuran tangga, lemari
cairan mudah terbakarKuning
2 Daerah jalan (clear walk way) Hijau3 Tempat meletakan barang Abu-abu4 Daerah kerja Biru5 Daerah bebas (keep clear areas) Merah6 Peralatan kebakaran Strip Merah-putih7 Peralatan safety (K3) Strip Hijau-Putih8 Identifikasi bahaya (atap rendah, ruang sempit,cekungan) Strip Hitam-Kuning9 Distribusi listrik, peralatan berputar Oranye10 Tempat sampah standar Hijau gelap, tulisan
putih11 Tempat sampah metal Biru muda, tulisan
hitam12 Tempat sampah karet Hitam, tulisan putih13 Tempat sampah bahan mudah terbakar Kuning, tutup hitam14 Tempat sampah Asbestos Merah muda (pink)
Jalur Perpipaan15 Air Hijau16 Uap Perak - abu-abu17 Oli, solar, minyak sawit, cairan lain mudah terbakar Coklat18 Gas, LPG, bahan uap lain yang ditransportasi Kuning tua19 Asam & basa Ungu20 Udara Biru muda21 Cairan lain (termasuk drainase) Hitam22 Pemadam api (hidran, alat lain) Merah23 Jasa berbahaya Kuning24 Listrik Oranye muda25 Komunikasi Putih
5. Persyaratan machine guarding
Harus memenuhi regulasi standar, khususnya yang tertera pada Permenaker No.
4 tahun 1985.
6. APD
Yang digunakan harus senantiasa dalam keadaan baik. Pembeliannya harus
melibatkan wakil karyawan & diuji coba sebelumnya untuk mengetahui
kenyamanan & keamanan dari pemakainya.
3.4 Norma, Standar, Prosedur, dan Manual (NSPM) Kawasan Pegunungan
1. Norma
Norma yang dijadikan acuan dalam kebijakan dan strategi penataan ruang
kawasan pegunungan ialah:
a) UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang
b) PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN
c) PP No.68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat
dalam Penataan Ruang
d) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (sebagai
acuan penataan ruang kawasan puncak lainnya)
e) PP No.16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah
f) UU No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
g) PP No.24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan
h) PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan
i) Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Ekosistem Pegunungan yang
ditebitkan Deputi VI KLH
j) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor
217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan
Permukiman.
2. Standar
a) Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
96
1) Topografi datar sampai bergelombang dengan kelerengan lahan 0 - 25%
(Tabel 2.3);
2) Ketinggian minimum pembangunan permukiman ditanah berkontur tinggi
dan perbukitan yaitu 300 m dpl
3) Ketinggian maksimum boleh dibangun 1000 m dpl (Tabel 2.6)
4) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh
penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air
antara 60 L/org/hari - 100 liter/org/hari;
5) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi);
untuk daerah pegunungan daerah yang memiliki problem erosi tinggi ialah
kemiringan lereng 15-25%, dalam pembangunannya biasanya dilakukan
pelandaian lereng.
6) Drainase baik sampai sedang;
7) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata
air/saluran pengairan
8) Tidak berada pada kawasan lindung;
9) Tidak terletak pada kawasan budidaya pertanian/penyangga;
10) Menghindari sawah irigasi teknis.
b) Kriteria dan batasan teknis:
1) Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60% dari
luas lahan yang ada, di kemiringan lereng gunung yang diperbolehkan
dibangun antara kemiringan 15-25% harus menyisakan lahan yang tidak
boleh diganggu sebasar 30-40% (Tabel 2.5)
2) Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan
tidak bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan
utilitas umum yang memadai;
3) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan
peruntukan permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan yang
sehat dan aman dari bencana alam (longsor, letusan gunung berapi,
kebakaran hutan) serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi
pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi
lingkungan hidup;
97
4) Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan:
a. Sistem pembuangan air limbah yang memenuhi SNI 03-1733-2004
tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan;
b. Sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang
cukup. Direncanakan berdasarkan frekuensi intensitas curah hujan 5
tahunan dan daya resap tanah. Dilengkapi juga dengan sumur resapan air
hujan mengikuti SNI 03-2453-2002 tentang Tata Cara
PerencanaanSumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan dan
dilengkapi dengan penanaman pohon;
c. Prasarana air bersih yang memenuhi syarat, baik kuantitas maupun
kualitasnya. Kapasitas minimum sambungan rumah tangga 60
liter/orang/hari dan sambungan kran umum 30 liter/orang/hari;
d. Sistem pembuangan sampah mengikuti ketentuan SNI 03-3242-1994
tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman.
5) Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan di kawasan peruntukan
permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah
penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian,
serta lokasi.
6) Penyediaan kebutuhan sarana kesehatan di kawasan peruntukan permukiman
yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk
pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta
lokasi dan penyelesaian;
7) Penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman, dan lapangan olah raga
di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana
yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lahan minimal, radius
pencapaian, dan kriteria lokasi dan penyelesaian;
8) Penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga di kawasan peruntukan
permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah
penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian,
serta lokasi dan penyelesaian secara lebih rinci ditunjukkan pada Tabel 8;
9) Pemanfaatan kawasan perumahan merujuk pada SNI 03-1733-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, serta Peraturan
98
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana
Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada
Pemerintah Daerah;
10) Dalam rangka mewujudkan kawasan perkotaan yang tertata dengan baik,
perlu dilakukan peremajaan permukiman kumuh yang mengacu pada
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kampung
Kota.
11) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun
(lisiba), penetapan lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraan
pengelolaan; dan pembinaannya diatur di dalam Petunjuk Teknis Kawasan
Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri yang
diterbitkan Menpera tahun 2005 berdasarkan PP No.80 Tahun 1999.
3. Prosedur Pembangunan Permukiman di Kawasan Pegunungan
Prosedur/pedoman pembangunan kawasan Permukiman di pegunungan dan
Kawasan Lindung melaui Kriteria Umum Pembangunan Permukiman sebagai
berikut:
1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat dan
pembinaan perumahan dan permukiman nasional mengacu kepada Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan Surat
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor
217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan
Permukiman (KSNPP);
2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harus sesuai dengan
daya dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan lingkungan yang
sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup
yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan terjangkau
oleh sarana tranportasi umum;
4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus didukung
oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat perdagangan dan
99
jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan, penanganan limbah dan
drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan, agama);
5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
4. Manual
Seperti yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya yaitu subbab 2.2 dan 2.3
serta Tabel 2.3 hingga Tabel 2.6, Pembangunan kawasan permukiman dibangun
dikelandaian 0-15%. Di pegunungan yang memiliki kemiringan yang lebih besar,
harus disesuaikan dengan kondisi lahan. Kemiringan 15-25% memiliki problem
erosi yang tinggi, diperlukan Pelandaian lereng. Kegiatan pengolahan tanah
“pelandaian lereng” dengan cara timbun gali sebaiknya dibatasi. Manual atau
petunjuk pelandaian lereng dalam pembangunan perumahan:
a) Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real
estate/perumnas pada umumnya mengingat system tersebut akan banyak
memerlukan jaringan jalan yang berarti meningkatkan jumlah pelandaian
lereng dan mengakibatkan ketidakstabilan tanah.
b) Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang
memperhitungkan kemiringan lereng.
c) Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur
lahan.
d) Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari
bahaya longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu
kestabilan tanah seperti rumput vetiver yang mampu menahan erosi karena
akarnya yang mampu menjangkau kedalaman 3 meter dan budidayanya
mudah.
3.5 Norma, Standar, Prosedur, dan Manual (NSPM) Kawasan Pesisir
1. Normatif
100
Pengembangan wilayah (regional development) secara normatif dapat didekati
dari penetapan arah/tujuan pengembangan di satu pihak, dan komponen
pengembangan di lain pihak. Secara ilustratif pola fikir tentang hubungan atau
kaitan keduanya dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Ilustrasi Pola Fikir Hubungan Antara Arah/Tujuan/Sasaran Pengembangan Dan Komponen Pengembangan Wilayah
Selaras dengan arah/tujuan pengembangan wilayah tersebut, maka dapat
diidentifikasikan paling tidak ada 7 komponen pengembangan, yaitu:
Kegiatan ekonomi/produksi primer
Kegiatan ekonomi/produksi sekunder
Kegiatan ekonomi tersier
Sistem pusat wilayah (pusat pelayanan, pusat pertumbuhan)
Prasarana wilayah
Sarana/fasilitas pelayanan
Partisipasi masyarakat.
101
Gambar 3.20 Tujuan Atau Arah Pengembangan Wilayah Pesisir
Gambar 3.21 Indikasi Perkembangan Wilayah/Negara Integrasi Perkembangan
Ekonomi Dan Lingkungan
2. Standard
102
MASYARAKAT PESISIR SEJAHTERA
TUJUAN ATAU ARAH
PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
Standard Penetapan Batas Sempadan Pantai
Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil, disebutkan bahwa sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian
yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Pemerintah Daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan
karakteristik topografi, biografi, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi
dan budaya, serta ketentuan lain.
Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. Perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami
b. Perlindungan pantai dari erosi atau abrasi
c. Perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir dan
bencana alam lainnya.
d. Perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove,
terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta
e. Pengaturan akses publik
f. Pengaturan untuk saluran air dan limbah.
Gambar 3.22 Wilayah Pesisir
Standard Bangunan Pesisir
103
Mengatur ketinggian bangunan. Kota pesisir sebaiknya melestarikan akses
pandang langsung dari wilayah darat ke wilayah pantai dan laut. Ketinggian
bangunan di wilayah pantai tidak menghalangi pandangan dari wilayah
darat, misalnya bangunan di pusat kota lebih tinggi dari bangunan di
dekat pantai.
Gambar 3.23 Ketinggian Bangunan
Konstruksi bangunan di wilayah pesisir dan laut menggunakan bahan-bahan
yang tidak merusak kelestarian sumberdaya alam yang ada, misalnya
kerusakan terumbu karang atau punahnya ekosistem/biota pesisir dan laut.
Selain ini, teknologi kontruksi bangunan di wilayah pesisir dan laut juga
harus memperhatikan pelestarian sumber daya alam yang ada.
Bangunan di sepanjang wilayah pantai menghadap ke muka laut (laut
sebagai halaman depan)
Gambar 3.24 Penataan Tampak Bangunan
3. Prosedur
104
Dengan mengacu kepada arah/tujuan pengembangan wilayah secara normatif,
serta corak perencanaan (planning styles) yang mungkin diterapkan, maka
Prosedur pengembangan wilayah Pesisir secara umum dapat dikemukakan
sebagai berikut ini :
a. Peningkatan Produksi
Prosedur untuk peningkatan produksi yang menonjol adalah:
Optimalisasi manfaat (nilai ekonomi) dari kegiatan ekonomi/produksi
sektor primer yang ada, dan rehabilitasi terhadap lahan-lahan pertanian
yang mengalami kerusakan dan/atau penurunan produktivitas;
Meningkatkan kegiatan ekonomi/produksi sektor sekunder (industri
pengolahan) yang berbasis pada sumber bahan mentah dari kegiatan
primer yang ada;
Meningkatkan kegiatan ekonomi/produksi sektor tersier, yang melayani
kebutuhan masyarakat, baik dalam rangka pemasaran produksi maupun
pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan;
Mencari peluang bagi pengembangan kegiatan ekonomi/produksi yang
baru baik pada sektor primer, sekunder, maupun tersier, baik yang
berbasis pada sumber daya alam maupun keuntungan lokasi yang strategis,
termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan.
b. Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat
Prosedur untuk peningkatan taraf hidup masyarakat yang menonjol adalah:
Mengembangkan kegiatan ekonomi/produksi yang secara langsung
diperani oleh masyarakat;
Menautkan kegiatan ekonomi/produksi skala besar dengan ekonomi
masyarakat dengan perimbangan pendapatan yang lebih adil;
Upaya mengurangi pengeluaran masyarakat dengan ”mendekatkan”
dan/atau ”melancarkan” pelayanan terhadap masyarakat;
Merangsang budaya ”menabung” masyarakat, dan seiring dengan itu akan
merangsang budaya ”berinvestasi”.
c. Pengurangan Kesenjangan Antarbagian Wilayah
Prosedur untuk pengurangan kesenjangan antarbagian wilayah yang
menonjol adalah:
105
Mengembangkan prasarana transportasi dan komunikasi yang efektif
menghubungkan bagian wilayah maju dengan bagian wilayah kurang
maju/terbelakang; (Infrastruktur)
Merangsang dan mendorong pengembangan kegiatan ekonomi/produksi di
bagian wilayah yang kurang maju dengan penerapan insentif dan
keberpihakan terutama yang berkaitan dengan investasi publik (social
overhead capital/SOC) yang pada gilirannya diharapkan akan menarik
invesatsi sektor privat (directly productive activity/DPA);
Mengembangkan sarana/fasilitas yang dapat merangsang fenomena
”inward looking” secara selektif, guna mengurangi ketergantungan kepada
bagian wilayah yang maju dan menumbuhkan ”kebanggaan” terhadap
perkembangan bagian wilayah tersebut.
d. Prosedur untuk Menjaga Keberlanjutan
Prosedur untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) yang menonjol
adalah:
Memfasilitasi peran serta atau partisipasi masyarakat dalam langkah-
langkah pengembangan wilayah dan ”menikmati” hasil-hasil
pengembangan wilayah, sehingga terbangun semangat untuk menjaga
keberlanjutan pengembangan,baik sari sudut kelestarian lingkungan
maupun kelangsungan kegiatan yang diperani;
Merehabilitasi komponen-komponen lingkungan hidup/alam yang
mengalami kerusakan atau penurunan kualitas layanan alamnya;
Menerapkan prinsip mitigasi bencana dalam pengembangan wilayah;
Penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran ataupun
bahkan kejahatan yang berkenaan dengan penurunan kualitas lingkungan
hidup.
106
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengembangan wilayah ini digunakan untuk lebih mengefisiensikan
pembangunan. Konsepsi ini terus berkembang disesuaikan dengan tuntutan waktu,
teknologi dan kondisi wilayahnya. Begitu pula dalam pengembangan wilayah untuk
kawasan pertanian, perkebunan, pegunungan, pesisir, dan pertambangan dimana ada
aturan yang harus dilaksanakan dan terpenuhi agar kawasan tersebut terekelola dengan
baik.
Dalam merencanakan suatu kawasan yang sustainable diperlukan standar
pengelolaannya maka penyusunan NSPM disini berfungsi sebagai modal awal dalam
melakukan zonasi atau pemetaan wilayah untuk masing – masing bidang tersebut.
NSPM dapat dijadikan sebagai standar mutu terutama dalam bidang perencanaan
pengembangan wilayah.. Hal ini perlu dilakukan karena mengingat bahwa setiap
kegiatan memiliki karakteristik khusus dan memerlukan penanganan yang berbeda, agar
pembangunan di kawasan tersebut tidak memberikan dampak buruk untuk kawasan itu
sendiri.
Dari tahun ketahun Sumber Daya Alam Indonesia mengalami penurunan yang
diakibatkan dari ekploitasi berlebihan tanpa adanya kegiatan pengembalian atau
peremajaan dan tidak sesuainya pembangunan yang dilakukan terhadap karakteristik
wilayah yang di bangun tersebut. Pemerintahan sendiri sudah sejak lama mencanangkan
pembangunan yang berkelanjutan tanpa mengakibatkan kerusakan dalam menanggapi
permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa setiap wilayah atau
kawasan memiliki karakteristik yang berbeda agar perencanaan pembangunan pada
setiap wilayah tersebut pun dilakukan dengan cara dan proses yang berbeda pula. Maka
dari itu jika ingin dilakukan pembangunan yang berkelanjutan haruslah memperhatikan
karakteristik dari kawasan tersebut sehingga pembangunan yang telah dilaksanakan pun
berdaya dukung lingkungan dan mampu memberikan manfaat yang optimal kepada kita
sebagai pengelola (manusia).
107
DAFTAR PUSTAKA
Issabel Baun, Paula. 2008. Tesis. Kajian Pengembangan Pemanfaatan Ruang
Terbangun Di Kawasan Pesisir Kota Kupang. Universitas Diponogoro : Semarang
Ruswandi. 2009. Disertasi. Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir
Yang Berkelanjutan Dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam Di Pesisir
Indramayu Dan Ciamais. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Novita, Fenti. 2003. Tesis. Pengaruh Perkembangan Ekonomi Kota Bandar
Lampung Terhadap Perkembangan Kawasan Pesisir. Universitas Diponegoro :
Semarang.
Kriteria Teknis Kawasan Budidaya.
Paramita, Beta. 2010. Petunjuk Teknis Kawasan Permukiman Bandung Utara.
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/19781
2312005012-BETA_PARAMITA/Petunjuk_Teknis_KBU.pdf diakses tanggal 19
Februari 2013
Purnomo, Hadi. 2010. Konservasi Sumberdaya Lahan dan Strategi Manajemen
Wilayah dikawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Jayapura,
Provinsi Papua, diunduh dari
http://blog.ub.ac.id/kapttenhadi/files/2012/09/Tugas-1-TKSDL-19911.docx
tanggal 21 Februari 2013
Dept. PU. Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah di Kawasan
Pengembangan Baru (Provinsi: NTT; Maluku; Maluku Utara; Irjabar dan
Papua). Diunduh dari http://penataanruang.pu.go.id/kpb/Jakstra_REKAP.htm
tanggal 20 Februari 2013
AP. Fedrik, A. Roland, & Daniel,. 2010. Jurnal: Faktor-Faktor Penyebab
Kerusakan Hutan dan Strategi Pengendaliannya (Studi Kasus Pada Cagar Alam
Pegunungan Cycloops) kabupaten Jayapura Provinsi Papua.
W. Hastanti, B., & Nurapriyanto, I., 2003. Jurnal: Kajian Sosial Ekonomi dan
Budaya Masyarakat Suku MOI disekitar C.A. Peg. Cycloops di Jayapura.
108
Kurniawan, Wawan. Urgensi Pembangunan Agroindustri Kelapa Sawit
Berkelanjutan Untuk Mengurangi Pemanasan Global. Jurnal Teknik Industri :
Universitas Trisakti.
Mutiarawati, tino. 2007. Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian. Fakuktas
Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung
Panduan Penyususnan Cara Budidaya Yang Baik, Direktorat Pengolahan Hasil
Pertanian. Departemen Pertanian. 2007
Basuki, Imam. 2011. Formulasi Pemantauan Partisipatif Kualitas Lahan dan Air
Untuk Program Penatagunaan Lahan Di Laos. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rencana Kebijakan Strategis Perluasan Areal Pertanian Baru Dalam Rangka
Mendukung Prioritas Nasional Ketahanan Pangan. Direktorat Pangan Dan
Pertanian. BAPPEDA. 2010
Kriteria Teknis Penataan Ruang Kawasan Budidaya. Departemen Pekerjaan
Umum
Pedoman Pelaksanaan Program Kerja dan Anggaran Badan Ketahanan Pangan.
2012
Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Dewan Ketahanan Pangan.
Jakarta, 2009
Ishak, Marenda S, SP., MT. 2008. Penentuan Pemanfaat Lahan, Kajian Land Use
Planning dalam Pemanfaatan Lahan Untuk Pertanian. Universitas Padjajaran.
Bandung
UU No.18 Tahun 2012 Tentang Pangan
Supriyadi, Herman. 2008. Strategi Kebijakan Pembangunan Pertanian Di Papua
Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Apriyana, Nana. 2011. Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian dalam
Rangka Mempertahankan Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional. Jakarta
Dr. Ir. A Dardak, Hermanto M. Sc. 2005. Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana
Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup Yang Nyaman, Produktif
dan Berkelanjutan. Departemen Pekerjaan umum. Jakarta
Pedoman Pengelolaan Ruang Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional dan
Daerah (Agropolitan).
109
Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 41/ Permentan/OT.140/9/2009 Tentang
Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
19/Permentan/OT.140/3/2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO)
PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan
PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman
PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN
PP No. 31 Tahun 2009 tentang Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk
Perkebunan Spesifik Lokasi
UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
http://andrew.staff.ugm.ac.id/2012/08/24/penerapan-teknologi-inovatif-dalam-
industri-kelapa-sawit-ramah-lingkungan.xhtml
http://membangunkebunkelapasawit.webs.com/blokingdanperencanaan.htm
http://sikumtaru.penataanruang.net/file/produkhukum/Perpres%20No
%20%2087%20Thn%20%202011%202097f3c2b6181b5b5a4e07a6961f5107.pdf
http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-
ton-karbon-antara-1990-2010/
http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-
ton-karbon-antara-1990-2010/
http://www.sasak.org/tulisan-anda/grk-hutan-dan-laut-kita/26-05-2009
http://www.pustran.go.id/NSPM-Setba-2001-2002.htm l
http://www.pip2bdiy.org/nspm/nspm.php
www. nspm-bintek.net
www.pusair-pu.go.id
110