10 bab ii - sinta.unud.ac.id 2.pdf13 pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pengetahuan masyarakat tentang Bali lebih banyak dikonstruksi oleh
orang asing, seperti dari karya Krause Bali 1912, berupa kumpulan Foto dan
dilengkapi teks yang banyak memberikan inspirasi penulis berikutnya. Seperti
disebutkan Wijaya sebagai berikut.
Karya klasik Miguel Covarrubias Island of Bali (1937); Gregory Bateson danMargaret Mead, Balinese Character: A Photographic Analysis (1942); J.L.Swellengrebel (et al.), Bali Studies in Life, Thougth and Ritual (1962); KaryaVicki Baum yang menulis A Tale from Bali (1973); dan James A. Boon, TheAnthropological Romance of Bali, 1597-1972: Dynamic Perspectives inMarriage and Caste, Politics and Religion (1977). Gambaran Bali lainnyajuga ditulis oleh penulis asal Amerika Ni Luh Tantri, dalam bukunya, Revoltin Paradise (1960); Fred B. Eiseman, Jr. yang menulis Bali: Sekala andNiskala (cf. Wijaya, 2009).
Demikian banyaknya Bali telah ditulis oleh orang asing tidak ada yang khusus
membahas Baliseering, namun semua karya di atas sangat berharga karena
memberikan data dan inspirasi dalam penelitian ini.
Karya Miguel Covarrubias ( 1937) Island of Bali/ diterjemahkan menjadi
“Pulau Bali:Temuan Yang Menakjubkan” (2013) oleh Sunaryo Basuki.
Merupakan karya klasik ilustrator Meksiko ini banyak menyumbangkan
“wawasan sejarah dan budaya Bali karya seorang orientalis di tahun 1930-an.
Terutama dalam membahas Yayasan Pita Maha dan seni modern di Bali, berbeda
dengan penelitian ini. Budaya Bali dikaji sebagai simbolik dan ekspresif
kehidupan, ditulis Adrian Vikers buku Bali: A Paradise Created (1989) dan
10
11
Travelling to Bali, Four Hundred Years of Journeys (1994). Penelitian ini
memperluas pemitosan Bali sampai ke seluruh dunia, bahwa Pulau Bali sebagai
surga terakhir. Karya Vikers dilanjutkan oleh Michel Picard (2006) Bali
Parwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, (KPG-Forum Jakarta-Paris: Jakarta).
Buku ini mengawali pembahasan melalui asal-usul munculnya gagasan pariwisata
dengan program “Museum Hidup” yang dijadikan latar pariwisata budaya Bali.
Berbagai mitos dibahas tentang proyek Balinisasi, bagaimana kolonial Belanda
membangun “proyek mesin dollarnya” dengan membuka Bali sebagai daerah
wisata budaya eksotik, melalui kapitalisme dalam dunia pariwisata telah
merambah dan menghancurkan sumber daya alam Bali. Secara kultural Bali
makin kehilangan jati dirinya, karena budaya Bali bukan lagi menjadi tuan rumah
di negeri sendiri, tetapi telah dikuasai oleh sistem ekonomi neoliberalis, terutama
terlihat dalam kepemilikan sarana dan prasarana pariwisata. Tidak dibahas jejak-
jejak Baliseering di Bali Utara, walaupun banyak memberikan data dalam
membahas Balinisasi terkait dengan kebudayaan. Peneliti mengkaji jejak-jejak
Baliseering di Bali Utara dan masalah pendidikan Baliseering yang berbeda
dengan karya ini, sehingga dapat melengkapi kekurangannya.
Karya Henk Schulte Nordolt, Spell of Power: A History of Balinese Politics1650-1940 (2006) membahas dinamika kerajaan Mengwi. Dan Karya DarmaPutra, A Literary Mirror: Balinese Reflection on Modernity and Identity inthe Twentienth Century (2003), dengan pendekatan budaya (Wijaya, 2009).Melalui studi berbagai bidang ilmu, Bali mendapat identitas, seperti; “TheIsland of God”, “The Island of Thousands Tempels”, “The Paradise Island”,“The last Paradise”. Odyle Knight, dalam novelnya Bali Moon: A SpiritualOdyssey, menyebut Bali sebagai “The Mystical Island” (Burhanuddin, 2009:51).
12
Karya Gepffrey Robinson (2006), “Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah
Kekerasan Politik”, mengulas tentang cengkraman kekuasaan kolonial yang
“membentuk Bali” dimulai tahun 1920-an dengan adanya sebuah monumen
puncak kekuasaan di Bali yang dibangun dengan “dominasi politik” di seluruh
kerajaan di Bali, dikukuhkan dengan jatuhnya Klungkung tahun 1908.
Membuktikan bahwa Bali tidak seperti dimitoskan orang, karena banyak terjadi
konflik dan kekerasan, namun tidak diekspos ke permukaan. Karya ini banyak
menginspirasi bahwa primodialisme di Bali sangat kuat dalam mengendalikan
konflik yang muncul, sehingga konflik itu menjadi bersifat laten.
Sarjana dalam negeri lebih banyak menulis menggunakan sumber
penulisan asing, dengan kata lain reaksi baru muncul kemudian setelah sarjana
asing menuliskannya menjadi sebuah karya ilmiah. Seperti kajian Sidemen (1983)
tentang “Baliseering dan pengaruhnya terhadap Pariwisata Budaya di Bali”,
memberikan inspirasi untuk mengambil tema Baliseering ini, namun dalam
perpektif meragukan wacana kolonial dalam Baliseering itu. Hasil penelitian
Sidemen ini memberikan gambaran konseptual tentang Baliseering. Karya ini
ditulis dalam perpsektif sosial politik secara struktural fungsional, sehingga sangat
menarik untuk dikembangkan dalam perpsktif cultural studies. Gambaran
Buleleng sebagai masyarakat maboya dikaitkan dengan ketahanan nasional
dengan, sikap meboya terhadap tradisi yang menguntungkan elite tradisional
(ascribed status) dimiliki oleh masyarakat Bali Utara (Wingarta, 2009:54).
Konflik kasta di Bali Utara dibahas Putra Agung (2001). Sedangkan secara kultur
tahun 1930-an masyarakat Bali dipandang sangat gugon tuwon, dan penuh
13
pengabdian pada rajanya yang feodalistik sehingga dipandang tidak mendukung
“ide zaman kemajuan” yang dicita-citakan oleh golongan elite terpelajar di Bali
ketika itu. Pandangan Agung (2001) ini perlu dikaji ulang dengan teori kritis,
dengan mengaitkan relasi kuasa di dalamnya (Foucaultan).
Implikasi konflik laten di Bali Utara dapat dipahami dari kekerasan yang
mewarnai masyarakat pascakemerdekaan di Bali Utara, seperti hasil kajian
Ngurah Suryawan (2010) “Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara
di Bali Utara” (Prenada: Jakarta), yang memberikan petunjuk masih banyak
subaltern di Bali Utara perlu dikaji secara akademik. Karya Nengah Bawa
Atmadja, 2010.“Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi”
(Penerbit LkiS, Yogyakarta), membahas identitas kultural “Ajeg Bali”, dengan
pendekatan kajian budaya, menguraikan dan menganalisis fenomena kontemporer
yang terjadi di Bali. Kesimpulannya bahwa Ajeg Bali merupakan usaha
etnosentrisme orang Bali untuk pemertahanan budaya Bali dari pengaruh luar,
dengan tantangan di arahkan pada orang luar Bali yang datang ke Bali. Tidak
menguraikan jejak Baliseering di dalamnya, karena tidak membahas dalam
konteks pendidikan. Disertasi Suda (2009) berjudul Merkantilisme Pengetahuan
dalam Bidang Pendidikan (Kasus SD Sukma Melati Denpasar), (Surabaya:
Penerbit Paramita). Merupakan karya kajian budaya, memberikan pembahasan
secara kritis dalam bidang pendidikan, kasusnya di Bali Selatan, memberikan
gambaran kontemporer di Bali Selatan. Sekolah telah dijadikan merkantilisme
kapitalis dengan berbagai alasan penggunaan teknologi canggih, aneka jenis
pembelajaran, namun ujung-ujungnya ada ideologi kapital (moneytheism), karena
14
mekanisme kerja sekolah sama dengan mekanisme kerja pasar, terjadi simplikasi
pendidikan, dimana diberlakukan sebagai komoditas ekonomis. Disertasi Wijaya
(2009), “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan
Bali 1910-2007”, merupakan karya koprehensif (703 hal.). Penulisan
menggunakan metode regresif dalam penggambaran situasi dan kondisi budaya
Bali dari tahun 2007 ke belakang sampai tahun 1910. Karya ini ditulis
menggunakan teori Foucault (wacana relasi kuasa dan pengetahuan), Laclau dan
Hobart, juga menggunakan teori Gramsci dalam mengartikulasikan budaya Bali
kontemporer. Kritiknya sangat tajam terutama dalam mengkritisi kehidupan
budaya Bali yang feodalistik, kurang berorientasi ke masa depan, terutama dalam
mengantar kebebasan generasi muda, dari belenggu feodalisme, kasta, dan adat
yang penuh relasi kuasa dari golongan triwangsa yang hegemonik, dinilai kurang
cerdas, perlu dikaji lebih jauh dilihat dari sejarah pendidikan untuk
melengkapinya.
Banyak kalangan baik akademisi maupun birokrat mengakui dan
menerima konsep-konsep yang diurai sarjana asing dengan apa adanya, tanpa
dianalisis secara kritis makna yang terkandung didalamnya. Seperti sambutan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pada saat pembukaan Pesta Kesenian Bali
(PKB) ke-30 pada Sabtu, 14 Juni 2008, memperkuat identitas Bali tersebut
dengan menyebutkan, sebagai berikut.
Bali sebagai “…the best island in the world” dan “The Island of the God”;“Bali adalah pulau yang alamnya sangat indah, yang tinggi budayanya,dan kuat agama dan spiritualnya” (Bali Post, 15 Juni, 2008:hal.1).
15
Pandangan ini secara akademis sangatlah meragukan, karena sangat hegemonik
dan sarat dengan kepentingan politis, terkait dengan maraknya komodifikasi Bali
melalui industri pariwisata. Pemitosan Budaya Bali oleh sarjana dalam dan luar
negeri inilah yang mengakibatkan Bali menjadi sangat terkenal walaupun
“nyatanya tidak seindah yang dicitrakan dalam berbagai media dan karya
akademik barat dan pidato kenegaraan tersebut”. Dari kajian pustaka di atas tidak
ada yang meneliti pendidikan Baliseering, sehingga posisi penelitian ini menjadi
sangat otentik, di antara hasil penelitian sebelumnya.
2.2 Penjelasan Konsep
Beberapa konsep yang perlu dijelaskan yang digunakan dalam judul
penelitian ini adalah: (1) Genealogi Pengetahuan, (2) Membongkar
(Dekonstruksi), (3) Ideologi Pendidikan Kolonial, (4) Pendidikan Baliseering, (5)
Implikasi Era Globalisasi.
2.2.1 Genealogi Pengetahuan
Konsep genealogi pengetahuan dikembangkan oleh Michel Foucault,
sebuah konsep yang dikembangkan dalam melihat relasi asal-usul sebuah
diskursus dengan kekuasaan. Sebuah wacana memiliki asal-usul yang berelasi
dengan produksi kebenaran, sehingga menjadi sebuah arkeologi, pengetahuan
memahami asal-usul arkeologi itu dengan kekuasaan menjadi “genealogi
pengetahuan”. Inilah konsep yang dikembangkan oleh Foucault (1969), yang
kemudian berkembang menjadi salah satu metodologi dalam karya kajian budaya
(cf. Martono, 2014:36; Parchiano, 2012:163). Dengan demikian genealogi adalah
teoretisasi dari Michel Foucault, digunakan untuk membongkar kebijakan
16
Baliseering dan wacana modernitas, terutama operasi dari relasi kuasa dan
pengetahuan di dalam diskursus berkaitan dengan Baliseering itu. Karena
kebenaran dapat dikonstruksi oleh penguasa, ada hubungan antara pengetahuan
dengan kekuasaan, disebut dengan “genealogi pengetahuan” oleh Foucault
(Martono, 2014). Genealogi dapat diartikulasikan makna sebuah wacana atau
arkeologi, dengan demikian metode Foucault adalah memahami relasi kuasa
dalam arkeologi. Kemudian dalam arkeologi itu dicari asal-usulnya disebut
geneologi pengetahuan, yang tersimpan dalam wacana yang diyakini benar
menjadi pengetahuan masyarakat secara permanen yang disebut episteme dalam
konsep Foucault (1969).
Genealogi dalam penelitian ini adalah membongkar kebenaran apreori
(episteme) dari fakta sejarah, berupa cerita sejarah, relief, praktek budaya dalam
pendidikan Baliseering, khususnya dalam artikulasi budaya dalam dunia
pendidikan, dengan berbagai bentuk kebijakan rebalinisasi, dan implikasinya.
Kajian diskursus orientalisme memiliki peranan penting dalam melakukan
sistematis keilmuan barat, bahkan “menciptakan dunia Timur secara politis,
sosiologis, militer, ideologis, ilmiah, dan imajinatif selama masa pencerahan”
(Said, 2012:4).
2.2.2 Membongkar
Membongkar dalam karya ini mengacu pada konsep dekonstruksi Derrida
(1967:85). Dekonstruksi menurutnya bukanlah program sistematis, melainkan
cara membaca teks yang menunjukkan pengaruh dan ketergelincirannya berupa
detail-detail kecil yang terlampaui, yang kemudian menyugestikan pandangan lain
17
dan tafsiran lain yang lebih memungkinkan, secara argumentatif sehingga dapat
mengantar pluralisme kritis dalam pengetahuan. Oleh karena itu, bagi Derrida
dekonstruksi bersifat positif, yaitu menggoyang, menjungkir balikkan,
mencemaskan, tetapi mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang
membangun hal-hal baru dan menunda makna yang sudah ada dengan
menemukan makna baru dari artikulasi budaya yang salah kaprah, karena ada
relasi kuasa di dalamnya, dan membuka pikiran masyarakat yang tertutup,
menjadi terbuka (Sumaryono, 2013:115). Dekonstruksi bagi Derrida adalah
sebuah metode penelitian dengan memperbaiki sistem yang rusak dari dalam
sistem itu (O’Donnell, 2009:58). Derrida melihat peran bahasa yang menurutnya
bukan hanya sekadar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga
melihat bahwa lembaga sosial tidak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tidak
mampu memaksa orang. Akibatnya sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan
memaksa yang menurut pandangan teoretisi strukturalis justru memaksa. Oleh
karena itu mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang
mendasari bahasa. Kritik pasangan-pasangan atau oposisi biner strukturalisme
dengan mempertanyakan dasar pasangan-pasangan itu, Montefiore menyebut
sebagai berikut.
Saya yakin bahwa setiap kemajuan konseptual akan sama hakikinya denganperubahan konsep ke usaha memperburuk hubungan yang diakui sah, antarasebuah kata dengan sebuah konsep, antara kiasan dengan sesuatupenggunaannya sudah tidak akan diubah lagi, lazim ditetapkan orang.Semua pengelompokan ini ada di bawah pengertian deconstruction, gambartentang diferrence (pemisahan karena berbeda), tentang kesan, unsurtambahan, dan sebagainya (Montefiore, 1983) dalam Sumaryono,1993:120).
18
Untuk menemukan makna yang tersembunyi orang harus membuka selubungnya,
membuang semua hubungan yang ada dalam sebuah kata dengan konsep. Jadi
dikonstruksi merupakan sebuah cara untuk memberikan penjelasan baru makna
dari sebuah diskursus. Derrida lebih jauh mengatakan dalam Sumaryono (2013)
bahwa:
Yang menjadi primordial (yang asli, mula-mula) mestinya gagasandidasarkan atas jejak, dan bukan sebaliknya. Proto-writing ini mulai bekerjasebagai asal-usul arti. Karena bersifat sementara di alam ini, arti tidak pernahtampil begitu saja; tetapi selalu dalam keadaan terbawa dalam ‘gerak’ jejak,yaitu dimaksudkan sebagai “yang memberi arti” (Derrida, 1967:85).
Membongkar di dalam judul karya ini mengacu pada pandangan Derrida
yaitu menunda sebuah makna dari sebuah jejak-jejak sejarah yang telah diberikan
makna berbeda dengan makna baru yang didapatkan dari hasil penelitian ini.
Tujuan pembongkaran lebih tegas dapat ditafsirkan agar dapat menemukan
asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika dan ’titik-titik tersembunyi’ dari sebuah
ideologi dalam diskursus jejak sejarah dalam pendidikan nonformal atau formal
dalam Baliseering, seperti jejak berupa relief, teks orientalis, hegemoni dan
implikasi artikulasi budaya dalam pendidikan di Bali Utara.
2.2.3 Ideologi Pendidikan
Preire mengolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kesadaran, yaitu
kesadaran magis, kesadaran naïf dan kesadaran kritis. (a) Kesadaran magis adalah
kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor
lainnya. Semua peristiwa dikaitkan dengan faktor yang ada di luar manusia
(kekuatan supranatural).
19
(b) Kesadaran naïf adalah lebih melihat “aspek manusia” yang menjadi akar
permasalahan di masyarakat. Pada tingkat kesadaran ini “masalah etika,
kreativitas, ‘need for acheivement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial.
Satu-satunya diharapkan sebagai pemicu perubahan adalah penguasa “man power
to be all development in a society life”. Tugas pendidikan adalah mengarahkan
peserta didik agar masuk sekolah dan beradaptasi dengan sistem yang sudah ada.
(c) Kesadaran kritis/radikal adalah lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Kesadaran ketiga ini dijadikan dasar pembahasan di Bali Utara.
Ideologi dalam praktik pendidikan sangat terkait, karena mempengaruhi
cara berpikir, bertindak, bersikap, dan berbuat seseorang. Ideologi Pendidikan
Baliseering dapat mempengaruhi berbagai hal terkait dengan praktik pendidikan
di Bali, seperti dalam masalah kurikulum, metode, sarana-prasarana pendukung,
pendidikan sebagai berikut (Tabel 2.1).
Tabel 2.1: Paradigma Pendidikan dan Implikasi Kesadaran
Paradigma/Metode Konservatif Liberal Radikal Implikasi
Sentralistik 1 2 3 MagisPartisipatif 4 5 6 NaifEgaliter 7 8 9 Kritis
Sumber: Topasang, dkk. (2005) dalam Nanang Martono, Pendidikan Bukan Tanpa Masalah:Mengungkap Problematik dari Perspektif Sosiologis (Yogyakarta: 2010:42).
Pendidikan sentralistik diberikan pada peserta didik usia dini, pendekatan
partisipatif antara guru dan murid sudah sejajar, pendekatan egaliter pendekatan
kesetaraan digunakan pada peserta didik yang sudah dapat belajar mandiri.
Ideologi pendidikan zaman kolonial memiliki keterkaitan dengan praktik
pendidikan lihat Bagan 2.1 berikut.
20
Gambar 2.1: Hubungan Ideologi Pendidikan dengan Praktik Pendidikan dalam PerspektifSosiologis Kolonial
Bagi Althussers (2010) ideologi lebih merupakan partisipasi segenap kelas sosial,
terhadap kelas sosial lainnya. Roger Eatwell (2004:3) menjelaskan lebih jauh,
bahwa ideologi cenderung menjadi istilah negatif terutama digunakan untuk
mengelompokkan ide-ide yang bias atau ekstrim, dapat diklasifikasi menjadi: (1)
kategori ideologi sebagai pemikiran politik, (2) ideologi sebagai kepercayaan dan
norma, (3) ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos, serta (4) ideologi sebagai
kekuasaan elite.
Fakta bahwa segenap kelas berpartisipasi di dalam praktik tersebut tidakberarti bahwa praktik tersebut sendiri tidak lagi melayani kepentingan kelassosial dominan. Yang dimaksudkan oleh Althussers adalah ideologi bersifatlebih efektif dibandingkan apa yang dijelaskan oleh Marx, karena ideologibekerja dari dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam menginspirasikancara berpikir dan cara hidup tertentu pada segenap kelas (Althussers,2010:ix).
Model ideologi bekerja dalam masyarakat dapat dipahami dari pandangan
John B. Thompson (2015) menyatakan:
Model–model cara kerja ideologi dibagi ke dalam model umum sepertiadanya legitimasi, penipuan, unifikasi, fragmentasi, dan reifikasi.Legitimasi dengan bentuk strategi konstruksi simbol disebutkan“rasionalisasi, universalisasi, narativikasi’; penipuan dengan bentukpemindahan, eufemisasi, kisan (sinekdot, etomini, metafora); unifikasidengan bentuk standardisasi, simbolisasi dari kesatuan; fragmentasi dengan
Ideologi Pendidikan Praktik Pendidikan
Perspektif SosiologisPendidikan Kolonial
21
bentuk diferensiasi, ekspurgasi yang lain; reifikasi dengan bentuknaturalisasi, eternalisasi, nominalisasi/pasivikasi (Thompson, 2015:84).
Demikian luasnya pengertian ideologi, terkait dengan tulisan ini ideologi
kapitalis lebih didominasi oleh ideologi pasar dalam tulisannya Nyoman Dhana
(2010) menyebutkan ideologi pasar atau disebut pula agama pasar mengacu pada
gagasan yang tidak saja berbeda tetapi sekaligus bertolak belakang dengan
karakteristik Agama Hindu (2010:29), terutama digunakan dalam menilai
materialisasi gagasan mitologi timur dalam relief dan catus pata. Di samping itu
digunakan konsep ideologi bervariasi disesuaikan dengan topik yang dikaji dalam
tulisan ini.
2.2.4 Pendidikan Baliseering
Pendidikan Baliseering Kolonial Belanda adalah usaha sadar dari kolonial
Belanda dalam menyelenggarakan pendidikan modern untuk pegawai rendahan
dalam birokrasi modern yang diterapkan di Bali. Dengan melakukan pendidikan
memuseumkan Bali, melaksanakan pendidikan dengan filosofis konservatif agar
Bali tidak berubah. Karena Bali dirancang untuk menjadi “mesin dollar” dalam
wisata budaya eksotis. Namun sistem pendidikan barat tetap dilaksanakan dengan
membatasi pengembangan intelektual peserta didiknya, dengan melakukan
dominasi dan hegemoni dalam pendidikan. Pendidikan Baliseering, baik
pendidikan formal maupun nonformal, terutama kolonisasi melalui hegemoni
pada masyarakat Bali dengan memasukkan ideologi barat dalam inti budaya dan
pendidikan formal seperti yang pemerintah kolonial Belanda inginkan.
22
Pendidikan di masyarakat, dalam konteks animal educandum diperlukan
adanya: (a) transformasi dari organisme biologis ke organisme yang berbudaya;
(b) transmisi budaya; (c) internalisasi budaya; (d) kontrol sosial untuk pelestarian
budaya; (e) pendidikan sama dengan personalisasi peran sosial budaya/
personalisasi peradaban. Pendidikan sebagai “usaha sadar terstruktur dalam kultur
dan ideologis penyelengaranya” dengan kata lain adalah pembentukan, rekayasa
pola tingkah laku, internalisasi, dan pembiasaan pada generasi yang lebih muda
untuk dapat menjadi manusia dewasa, bertanggung jawab pada diri, keluarga, dan
masyarakat, bangsa dan negara (Mudyahardjo, 2009:2001). Sistem Pendidikan
Nasional dalam UU No. 20 tahun 2003 dijelaskan,
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan,membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangkamencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensipeserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri danmenjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Sardiman,2010:86).
Rumusan tujuan pendidikan di atas sangat ideal, lengkap tetapi
implementasinya dalam dunia pendidikan, melalui kurikulum sekolah yang sering
berubah terkesan sangat semerawut, bahkan citranya “ganti mentri ganti
krikulum”. Kurikulum 2013 dengan menggunakan perbedaan standar terkesan
penuh dengan hegemoni modal asing, sulit diterapkan dalam pendidikan secara
rial, sehingga terjadi tarik-ulur penerapannya.
2.2.5 Implikasi Era Globalisasi
Implikasi dalam KBBI disebutkan “(1) keterlibatan atau keadaan terlibat; (2)
yang termasuk atau tersimpul; yang disugestikan tetapi tidak dinyatakan”
23
(1977:374). Sejalan dengan Keraf (1985) seperti dikutif oleh Nyoman Dhana
menyebutkan:
bahwa implikasi berarti melibat atau merangkum, yaitu sesuatu dianggap adakarena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri. Istilahimplikasi diartikan sebagai “keterlibatan atau keadaan terlibat; yang termasukatau tersimpul, tetapi tidak dinyatakan” (2010:251).
Pembahasan implikasi ideologi Baliseering dipilih yang memiliki
keterkaitan dengan apa yang secara tersembunyi dikembangkan dalam pendidikan
Baliseering pada akhir zaman kolonial Belanda di tahun 1920-an, namun rentang
durasi yang agak panjang didasari oleh pemahaman bahwa keberhasilan dalam
sebuah pendidikan baru tampak setelah 1-2 generasi berikutnya. Karena sebuah
ideologi beroperasi tersembunyi di bawah alam sadar masyarakat, di era
globalisasi secara tidak sadar muncul kembali implikasinya di era globalisasi.
Jadi implikasi terkait dengan penelitian ini, dimaksudkan adalah hal yang
tersimpul, terangkum tidak tersurat tetapi tersirat dalam bukti yang ditunjukkan
dalam dari makna ideologis dalam pendidikan Baliseering yang dilaksanakan oleh
kolonial Belanda di tahun 1920-an, dan secara tersirat secara kontemporer yang
secara tidak sadar ideologi yang dikembangkan zaman kolonial kembali
menampakan diri dalam makna ideologi kolonialis di era globalisasi ini.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Poststrukturalisme, Postmodernisme, dan Globalisme
Strukturalisme itu dikembangkan dari linguistik (Saussrean), bahwa
hubungan ‘penanda-petanda’ yang disebut ‘Langage dan Parole’ menghasilkan
makna yang jelas dengan deskriptif bersifat stabil dan ajeg. Pandangan struktural
24
itu dikritik habis-habisan oleh kelompok poststrukturalis yang memandang bahwa
hubungan dualisme itu menghasilkan makna yang tidak tetap bahkan berkembang
deskripsi liar dan dinamis di masyarakat (Piliang, 2010 dan 2003:53). Istilah
“poststrukturalisme” berarti “setelah strukturalisme”, yaitu menyangkut
penerimaan dan kritik. Maksudnya dalam penerimaan dilanjutkan dengan
melakukan kritik di dalamnya, terutama terhadap produk teks (arsip, buku, dan
jurnal), seperti disebutkan R. Barthers dalam C. Barker (2004:75):
Teks bukanlah sebatas kata yang membebaskan makna “teologi tunggal(wahyu dari Tuhan sebagai pengarang), melainkan suatu ruang multidimensidalam berbagai ragam tulisan, yang satupun tidak ada yang asli, namunmelebur dan berbenturan. Teks adalah isu tulisan yang diambil dari pusatkebudayaan yang tiada batas.
Jadi poststrukturalisme muncul akibat ketidakpuasan atau ketidaksetujuan
pada pemikiran sebelumnya, yang termasuk sebagai tokoh-tokoh
poststruktturalisme adalah Michel Foucault, J. Derrida, Gilles Deleuze, Jean-
Francois Lyotard, Roland barthes, J. Lacan, Louis Althussers, Jean Budrillard,
Ernesto Laclau, Julia Kristeva, Chantal Mouffe, Judith Butler, Helene Cixous, dll.
(Wikipedia, diunduh 23 Agustus 2015).
Poststrukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan.
Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai
kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Singkatnya,
poststrukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna
melalui oposisi biner. Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu
tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks
tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antarteks. Sama seperti
25
pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek
manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
Salah satunya ialah filsuf poststrukturalisme J. Lacan. Konsep alam-
bawah-sadar, ego, ketakutan akan kastrasi oleh ayah, dan proses identifikasi dari
Freud mendasari buah pemikiran Lacan. Dalam upaya meninjau kembali teori
tentang subjektivitas yang diturunkan dari karya Sigmund Freud, Lacan membaca
ulang Freud untuk memperjelas dan menghidupkan sekumpulan konsep,
khususnya konsep ketidaksadaran. Teori tentang ego dalam diri manusia yang
memunculkan ketidaksadaran manusia itu meluas ke berbagai bidang sosial dan
kemanusiaan. Pada masa setelah perang besar, gerakan humanism menjadi
penting, dan muncul pemahaman betapa pentingnya kesadaran manusia, suatu
keyakinan bahwa ego itu, baik maupun buruk- berada di pusat kehidupan
psikologis manusia.
Jean-Francois Lyotard (1924-1998) pemikir postmodernisme kontemporer,
menyebutkan, bahwa postmodernisme merupakan kelanjutan dari zaman modern.
Bagi Lyotard ada dua alasan dalam pengkajian postmodernisme:
(1) mengkaji status keilmuan dari postmodernisme dalam karyanya“Postmodern Condition: A Report on Knowledge”, Lyotard memfokuskan diripada keilmuan postmodern dan tema-tema yang dibahas di dalamnya. (2)Pemeriksaan atas modernitas yang berhubungan erat dengan zamanpencerahan (Aufklarung) pada abad pertengahan di Eropa (Sarup, 2011:201).
Pemahaman posisi modernitas dan postmodernisme memiliki sedikit
perbedaan di antara para teoretisi ilmu sosial-budaya; (1) pembahasan
postmodernisme harus dikaitkan dengan modernitas, karena postmodernisme
mengacu pada hal-hal prasis dalam tatanan kemasyarakatan, politik, dan ekonomi
26
mutakhir sebagai kelanjutan dari modernisme. (2) Berbeda dengan Rosenberg
menyebut dunia postmodern menempati posisi yang tidak jelas, karena
menawarkan segala-galanya atau tidak menawarkan apa-apa (nothing) dalam
Ritzer (2011). (3) Menurut Drucker, postmodern akan menyaksikan berakhirnya
kelaparan dan kebodohan, kemorosotan negara bangsa, berakhirnya ideologi, dan
proses modernisasi dunia secara luas. (4) Sementara Wright Mill melakukan
kritik terhadap modernisme yang menawarkan kebebasan yang lebih tinggi lagi,
namun tidak dapat dipercaya karena keyakinan modernisme bahwa realitas tertata
melalui hukum-hukum yang sepenuhnya dapat dipahami oleh akal-budi manusia.
(5) Tahun 1971 George Steiner menunjukkan situasi dan realitas sosial yang
ditandai oleh berakhirnya struktur pencerahan dan kultur modernitas. Dalam
tulisan ini lebih memilih bahwa postmodern itu kelanjutan dari modernism atau di
sisi lain melihat sebagai dialektik darinya.
Kritik postmodernisme terhadap modernism memiliki ciri-ciri utama: (1)
kesangsian terhadap optimisme modernisme; (2) cara pandang holistik, terhadap
kegala kemampuan manusia yang mengintegrasikan emosi dan intuisi manusia ke
dalamnya; (3) gagasan kebenaran yang menyebar, penolakan terhadap kebenaran
tunggal; (4) penolakan terhadap universalisme dan totalisme, menghargai
perbedaan, partikularitas, lokalitas, dan fragmentasi realitas; (5) penolakan atas
metafisika dan fundamentalisme, penolakan terhadap pemaknaan realitas bersifat
tunggal dan tetap; (6) perspektif organis penekanan pada relasionalitas dan proses.
Hal ini dijadikan solusi dalam difrensiasi, diskontinuitas, dari cara pandang
dualistik kekhasan modernisme, realitas adalah saling berhubungan satu sama lain
27
secara egaliter ; (7) cara pandang terhadap alam menawarkan model kooperatif
terhadap alam, alam bukan untuk dikuasai (dieksploitasi), alam memiliki nilai
intrinsik, bukan nilai diintrumentalisasikan dan dimanipulasikan; (8) kebangkitan
kembali spiritualitas dan relegiositas, hidup akan terjamin kalau nilai-nilai ini
mendapat perhatian umat manusia (Gaut, 2011:28-40).
Globalisasi menurut Arjun Appandurai dalam karyanya “Modernity at
Large: Cultural Dimentions of Globalization (1996:33) dalam Ritzer (2011)
menyebutkan ada lima arus Lanskap utama globalisasi, antara lain: (1)
Ethnoscapes, berpindahnya aktor dari satu tempat ke tempat lain; (2)
Tecnhoscape, arus teknologi; (3) Finanscape, arus modal dan finansial; (4)
Mediascape, arus media cetak dan elektronik; dan (5) Ideoscape, arus ideologi.
Titik ekstrim, globalisasi dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode
dan praktik bersama (homoginitas) atau terjadi saling mempengaruhi antara
budaya lokal dan global, sehingga muncul semacam pencangkokan kultur yang
sering disingkat budaya glocalization atau Robertson menyebut keragaman
budaya, dan Friedman (1994) menyebutnya percampuran budaya (pastiche
cultural) (Ritzer dan Goodman, 2011:588). Menurut Babha dan Loomba
menyebutnya budaya hibrid, mimikri, dan sama sekali tercipta budaya baru, tetapi
budaya campuran yang sangat samar bentuk aslinya. Richard Osborne dan Borin
van Loon (2005:125) menjelaskan aspek-aspek kunci globalisasi antara lain: (1)
saling keterkaitan seluruh masyarakat; (2) perusahan transnasional dalam ekonomi
global; (3) integrasi ekonomi internasional, produksi global; (4) sistem media
transnasional; (5) konsumerisme dan budaya global; (6) tourisme global.
28
Globalisasi juga berimplikasi pada munculnya bentuk/ragam budaya di daerah
koloni, seperti yang diteorikan oleh pemikir postkolonial. Edward Said memang
bukan satu-satunya pemikir poskolonial, sebelumnya terkenal tokoh Aime Cesaire
dan Frantz Fanon melakukan hal yang sama dalam bukunya From Discurse on
Colonialism (1955) dan The Fact of Blackness (1952), hanya saja Saidlah yang
melakukan kritik terhadap ideologi kolonial adalah buku Orientalisme. Seperti
disebutkan oleh Achmad Fawaid, sebagai berikut.
Bagi Said, hanya dengan mengkaji teks-teks orientalis melalui operasidiskursif yang berlangsung di dalamnya, penulis bisa menyingkap relasiideologi yang terdapat dalam orientalisme, tidak sedikit “pewaris Said”yang memberikan aplaus. Sebut misalnya Homi K. Bhaba lewatkonsepnya mimikri dan ambivalensi, dan Gayatri Sivak lewat gagasansubaltern-nya (2012:ix).
Relasi ini beroperasi menurut Said, mengikuti model ideologi yang dikonsepkan
oleh Antonio Gramsci yang disebut hegemoni – pandangan bahwa gagasan
tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu
menjadi dominan dari kebudayaan lain. Sehingga orientalisme lebih merupakan
“legitimasi” atas superior barat (Fawaid, 2012:x). Jejak sejarah di Bali Utara
dicoba juga dalam beberapa hal dilihat dalam konteks ini.
2.3.2 Genealogi Pengetahuan Michel Foucault
Michel Foucault adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori
poststrukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori
poststrukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh
dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah universal, yang tergantung
pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan)
29
bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda.
Menurut Foucault aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi
modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu berada dalam ranah ekonomi
kapitalis (seperti Marx) atau suatu bentuk baru solidaritas atau bersikap rasional
(seperti Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang
tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan
kehidupan modern. Salah satu karya Foucault adalah 'Archeology of Knowledge'
yang merupakan tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan
modus dari diskursus. Ia mempertentangkan arekeologi dengan sejarah atau
sejarah ide-ide. Foucault juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan
maupun tertulis sehingga dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan
sebuah diskursus bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucault adalah Arkeologi,
genealogi, dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis
yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis
yang merupakan jaringan diskursus, dimana diskursus dikaitkan dengan relasi
kuasa di dalamnya.
Foucault kembali pada tahun 1969 menerbitkan buku berjudul
“L’archeologie du Savoir” (Arkeologi Pengetahuan) yang dialih-bahasakan ke
Bahasa Inggris menjadi “The Archeology of Knowledge” (1972). Dari karyanya
inilah muncul metode pengujian arkeologi kemungkinannya untuk berubah, dan
faktor-faktor penyebab yang mungkin dapat menyebabkan berubah dan
mengembangkan ide-idenya.Tahun 1970 dia diangkat menjadi Profesor Sejarah
dengan karya monumentalnya berjudul “ Sejarah Sistem Pemikiran”.
30
Sejarah dalam pandangan Foucault bukanlah seperti dipahami bersama, diamemiliki pandangan bahwa sejarah tidak seperti sejarah konvensionalumumnya. Dalam menjelaskan sejarah digunakan konsep “diskontinuite,rupture, seuil, limite, serie, and transformation” (diskontinuitas, patahan,ambang, batas, seri, dan transformasi) (Martono, 2014: 36).
Konsep ini juga dijadikan dasar pembahasan jejak sejarah dalam tulisan ini tidak
kawatir kalau melanggar kronologis yang menjadi tradisi dalam penulisan sejarah
konvensional.
Metodologi Foucault disebut genealogi pengetahuan, yaitu setiap
pengetahuan yang sudah dianggap final kebenarannya (disebut Episteme) dan
telah menjadi sebuah arkeologi memiliki relasi dengan kekuasaan dalam
produksinya, sehingga memiliki potensi untuk dibongkar relasi kebenaran dari
sebuah pengetahuan itu, dengan menemukan genealogi pengetahuan, relasinya
dengan kekuasaan. Metodologi foucault berhasil mengembangkan metodologi
sejarah yang dinamakan arkeologi dan genealogi. Foucault (1969) melihat
masalah pendidikan di masyarakatnya dengan mengaitkan realitas sejarah untuk
menjelaskan praktik pendidikan. Hal ini didukung oleh pemikirannya yang
filosofis, modernis, neokonservatif, strukturalis, rasionalis, dan kritis (Allen, 2012
dalam Martono, 2014:3).
Subyek pendidikan seperti siswa, guru dan sebagainya, dalam Foucaultan
adalah merupakan subyek sejarah dan investigasi geneologi, sehingga
memungkinkan bagi pengkaji untuk memahami implikasi pendidikan dan
pengajaran sebagai disiplin dan praktik, dengan demikian praktik pendidikan
dalam pandangan Foucault adalah sebuah pedagogik kritis (cf. Widja, 2012).
31
Foucault menyatakan budaya adalah artikulasi yang sangat kuat. Teori
analisis kekuasaan Foucault menyatakan setiap wacana menyatu operasi relasi
kuasa yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan produk dari praktik
kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan dengan demikian dalam wacana
pengetahuan sangat penting untuk dilihat bagaimana relasi kuasa yang terkandung
di baliknya. Perhatian Foucault terpusat pada bagaimana pengetahuan dihasilkan
dan digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kekuasaan dan wacana berelasi
dengan pengetahuan.
Perspektif pendidikan kritis perlu dilakukan, sejalan dengan pandangan
Michel Foucault, untuk melihat wacana sebagai produksi pengetahuan dalam
kaitannya dengan praktik cultural dan struktural di Bali Utara. Panggilan utama
kajian budaya kritis adalah menjawab tantangan untuk mengurai atau
menganalisis hubungan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran dalam wacana
pendidikan. Orang tidak akan terbungkam oleh tradisi, norma, aturan yang
cenderung menghambat perubahan menuju pluralisme masyarakat sipil. Hanya
dalam kebebasan kekuasaan yang tersembunyi di dalamnya dapat diketahui dan
digunakan untuk mengadakan perlawanan, karena banyak terselubung di balik
tradisi di masyarakat. Ilmuan harus jeli melihat bagaimana kekuasaan bergeser
menggunakan cara-cara baru yang dikembangkan untuk mencapai, menembus dan
mengontrol orang. Institusi agama, keluarga, dan pendidikan terangsang untuk
berbicara, berjuang karena kepentingannya. Dengan demikian cenderung memiliki
efek produksi wacana kemunafikan dan kebohongan, karena dalam wacananya
juga terungkap menjadi penopang dan intrumen kekuasaan, sehingga perlu
32
diartikulasikan secara seksama dan hati-hati. Jadi arkeologi adalah metodologi
sejarah pemikiran khas Foucault yang bersifat diskursip, lokal, kontemporer,
dalam mencari relasi episteme (pengetahuan apreori) dengan kekuasaan
(genealogi pengetahuan). Paradigma ini sedapat mungkin dijadikan dasar dalam
pembahasan pendidikan kritis.
2.3.3 Teori Hegemoni Anthonio Gramsci
Hegemoni sebagai sebuah konsep pertama dicetuskan oleh Plakanov
seorang Marxis Rusia pada tahun 1880. Hegemoni dalam pandangan Plakanov
mengacu pada pengertian kepemimpinan hegemonik kelas proletariat,
kepemimpinan aliansi dengan kelompok lain, seperti kelompok borjuis kritis,
buruh, petani dan golongan intelektual yang sama-sama memiliki visi untuk
menjatuhkan pemerintah diktator Tsar Nicolas di Rusia ketika itu (Suda,
2009:34). Hegemoni dalam bahasa Yunani Kuno disebut eugemonia dipahami
sebagai dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (Cities State)
secara individual, seperti Polis Athena dan Sparta, terhadap negara-negara
saingannya (Hendarto, 1993:73). Inilah secara genealogi awal munculnya istilah
hegemoni Gramsci, yang intinya mengatakan bahwa suatu kelas dan anggotanya
menjalankan kekuasaan terhadap kelas di bawahnya tidak dengan cara kekerasan,
tetapi dengan cara persuasif, persetujuan (Fakih, 2013:19; Suda, 2009:35).
Dengan rumusan lain, hegemoni adalah bentuk supremasi dengan memakai
kepemimpinan moral dan intelektual, sehingga sampai pada konsensus dimana
yang dikuasai ikut memperjuangkan kekuasaan itu, dan tidak merasa dirinya
dikuasai.
33
Konsep hegemoni Antonio Gramsci ditempatkan pada dialektik atau
dikotomi pemikiran politik Italia (Mechavellian), dan beberapa bagian lainnya
dari Lenin. Konsep Macheavelli diadopsi dari konsep kekuasaan (force) dan
persetujuan (concern) atau konsensus kelas dominan dengan yang didominasi.
Bagi Gramsci kelas sosial yang berkuasa memiliki keunggulan (supremasi)
melalui dua cara, yaitu: (1) cara dominasi (domination) atau paksaan (coercion);
dan (2) hegemoni yaitu melalui kepemimpinan intelektual dan moral, bahkan
membuat konsensus kesepakatan-kesepakatan dengan kelas yang dikuasai, sampai
mereka tidak sadar dikuasai bahkan ikut menguatkan hegemoni itu, di luar
kesadarannya.
Sumbangan Gramsci dalam pendidikan menekankan pendekatan pluralis,
menghindari tendensi reduksionaisme dalam supersruktur ideologi, politik,
pendidikan, sosial-budaya, seperti Marxisme, karena hal ini dipandang
memungkinkan terabaikannya gerakan civil society, and new social movement
(Simon,2004:xiv). Sumbangan terbesarnya melawan pendidikan politik
indoktrinasi, yaitu pendidikan sebagai sarana penindasan dan tidak membebaskan
dalam pandangan Paulo Preire. Gagasan lain dalam pendidikan, mengembangkan
populer educationand participatory training (1970-an). Dengan:
metodologi pendidikan dialogis, pendidikan penyadaran kritis, danpaticypatory research. Pendidikan war of position and war of manuver,counter hegemony merupakan “aksi kultural” terhadap kultur dan strukturdominan untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat (critics civilconsciousness) terhadap sistem, struktur, kultur dominan yang menindas,eksploitatif, relasi gender, struktur kelas, rasisme, tidak adil, dan sebagainya.
Pengorganisiran superstruktur ideologi itu ada pada golongan intelektual,
yang dikategorikan menjadi dua (1) intelektual tradisional dan (2) intelektual
34
organik. Yang terakhir dipilah menjadi intelektual hegemonik dan intelektual
kontra-hegemonik. Melalui berbagai sarana intelektual organik dan kontra
hegemonik, memastikan bahwa ideologi yang ditanamkan telah dapat diterima,
kalau ada kelompok kecil yang belum menerima dilakukan operasional
organisasional agar tidak berkembang. Jadi bentuk perebutan kekuasaan
merupakan perebutan terhadap tatanan pandangan-pandangan dunia (world view)
di masyarakat.
2.3.4 Teori Pendidikan Kritis
Pierre Boudieu sangat populer dalam pengembangan pemikiran
pendidikan kritis. Bourdieu dilahirkan di kota kecil Prancis pada tahun 1930.
Bourdieu banyak mendapat pengaruh dari Levi-Strauss di College de France dan
menjadi asisten dari Raymon Aron, ketika Raymon Aron pensiun dia menjadi
penggantinya tahun 1981, sejak itu Bourdieu memegang peranan kunci di
Sosiologi Perancis.
Sumbangan terbesar dari Bourdieu terhadap sosiologi pendidikan adalah:idenya tentang kapital hubungannya dengan pendidikan. Bourdieu melihatbahwa terdapat hubungan antara pendidikan dan kapital budaya dan simbolik.Kedua kapital ini direproduksi dan dilanjutkan melalui sekolah (Harker, et al.,1990: 9).
Budaya merupakan pokok yang sangat penting dalam pikiran Bourdieu.
Dari budaya menuju dunia pengetahuan, ide, objek-objek dasar dari aktivitas
manusia, termasuk di dalamnya adalah budaya pendidikan di sekolah.
Digambarkan adanya dua tradisi dalam kebudayaan: (1) Tradisi struktural,
kebudayaan merupakan instrumen komunikasi dan ilmu pengetahuan. (2) Tradisi
fungsionalisme, tradisi yang melihat kebudayaan sebagai kekuatan-kekuatan
35
biologis atau politis (power) dalam memaksakan suatu keteraturan sosial (social
order). Bourdieu melakukan kritik terhadap kedua tradisi itu. Bourdieu
selanjutnya mengembangkan teori baru yaitu teori praksis (theory of practice)
dalam mengatasi dikotomi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Dengan
mengembangkan konsep habitus, field, dan modal budaya.
Habitus merupakan tindakan manusia dialektik antara pemikiran, dengan
aktivitas pada dunia objektif. Hubungan dialektik ini merupakan hubungan
habitus dengan lapangan/field/ ranah. Terkenal dengan rumusnya “Habitus X
Modal + Ranah= Praktik” (Harker, et al., 1990:19). Habitus mengimplikasikan
adanya pengalaman masa lalu sebagai makhluk menyejarah, yang di dalamnya
ditemukan adanya bentuk-bentuk skema persepsi, pemikiran , dan perbuatan yang
menjamin adanya ketepatan dari praksis dalam waktu. Habitus mengonstruksi
memproduksi secara bebas berbagai persepsi, pemikiran dan tindakan dalam
kondisi-kondisi tertentu. Jadi inti dari habitus adalah struktur. Struktur, kemudian
merupakan penghubung antara objektivitas dan subjektivitas, dalam hal ini
individu melupakan pelaku dari tindakan-tindakan praksis individu dalam habitus
tertentu yang diaktualisasikan dalam lapangan objektif. Habitus merupakan sistem
kebiasaan yang tahan lama berisi disposisi-disposisi yang berubah-ubah, dan
struktur-struktur yang menstruktur (structure-structuring) dalam praktik atau
tindakan. Habitus dapat tampak dalam hal-hal berikut: (1) gaya hidup (life style),
(2) motivasi/preferensi/citarasa dan emosi, (3) prilaku yang sudah mendarah
daging, (4) kosmologi, (5) keterampilan dan kemampuan sosial praktis, (6)
aspirasi-aspirasi berkaitan dengan perubahan hidup serta karya seseorang. Ranah
36
(Lapangan/field) merupakan adalah wilayah kehidupan sosial seperti industri,
hukum, seni, pendidikan, pasar, dan sebagainya, dalam bidang-bidang tersebut
pelaku berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status quo.
Bourdieu menguraikan ada tiga jenis modal yang sangat menentukan
kekuasaan dan ketidaksetaraan sosial, yaitu modal capital atau ekonomi; modal
sosial berupa hubungan-hubungan sosial seperti industri, hukum, seni; dan modal
kultur, kemudian bertransformasi menjadi modal simbolik yang dalam pendidikan
ditunjukkan dengan gelar kesarjanaan, dan keintelektualan yang diakui oleh
budaya dominan.
Tokoh pendidikan kritis lainnya adalah Paulo Preire (1921-1977),
memiliki pendekatan baru dalam pendidikan, yang dikenal dengan pedagogik
transformatif, kiprahnya di dunia pendidikan sangat terkenal di kancah
internasional, dengan konsep pendidikan pembebasan. Slogannya adalah
“pendidikan untuk orang tertindas adalah pendidikan yang harus dilaksanakan
dengan baik untuk keseluruhan kaum tertindas, dan merupakan perjuangan tanpa
henti untuk memperoleh kembali kemanusiaan, kebebasan (liberalization) mereka
yang terpinggirkan, untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakatnya. Menurut
Paulo Preire pendidikan modern barat disebut pendidikan tradisional telah
mengungkung perkembangan pribadi manusia. Untuk membebaskan peserta didik
dari berbagai tekanan luar itu maka perlu adanya kesadaran dari dalam diri
manusia akan kebebasannya. Proses penyadaran terhadap otonomi individu,
menyadarkan hak-haknya, dan menyadarkan dirinya sebagai bagian dari
masyarakatnya, karena manusia tidak dapat lepas dari masyarakatnya yang
37
membedakan dari pendidikan liberalisme sebelumnya. Sistem pendidikan Paulo
Preire lahir dalam keadaan sosial masyarakat kolonialis, yaitu masyarakat dalam
keadaan pemerintahan otoriter, kemiskinan, kebodohan yang menimpa rakyat
Brazil pada saat itu. Kondisi ini hampir sama dengan keadaan Bali awal abad ke-
20, dimana individu tidak menyadari hak-haknya termasuk hak-hak istimewanya
yang dikuasai oleh kelompok kecil elite politik.
Paulo Preire memandang perubahan dan pendidikan dalam dunia modern
tidak dapat dihindari, dan tidak dapat menyembunyikan diri dari perubahan
terutama di era globalisasi ini. Namun diharapkan perubahan tersebut haruslah di
arahkan pada perubahan untuk meningkatkan seluruh kehidupan rakyat, dengan
memberikan hak-hak dan kewajiban dari warga negaranya untuk berbuat demi
kepentingan umum dan dirinya. Konsep pendidikan Paulo Priere “mengetahui”
bukanlah mengumpulkan fakta dan informasi sebanyak-banyaknya, seperti
nasabah menyimpan uangnya sebanyak-banyaknya seperti “Sistem Banking”,
untuk mendapatkan untung berupa bunga (rentsecking) (Atmadja, 2010b).
Tegasnya mengetahui adalah menjadikan subjek didik sebagai subjek dan aktif di
dunia pendidikan. Pesertadidik mengalami masalah hidup dan ikut terlibat di
dalamnya adalah suatu keniscayaan. Proses selanjutnya “mengetahui” berarti
manusia sedang menjalankan tugas untuk melakukan analisis yang cukup panjang,
lama, dan kritis terhadap konstruksi masyarakat yang sedang terbentuk maupun
dibentuk oleh lingkungannya, baik disadari maupun tidak disadari dalam
masyarakat. Jadi pendidikan adalah pembebasan terhadap belenggu kekuasaan,
38
politik, ideologi, dan perubahan zaman yang tidak dapat dipungkiri di era
globalisasi ini (Knight, 2007; Kartodirdjo, 1996).
39
2.4 Model Penelitian
IMPLIKASI PENDIDIKANBALISEERING ERA
GLOBALISASI
PRAKTEK DOMINASI DANHEGEMONI KEBIJAKAN
BALISEERING DIBALI UTARA
LATAR BELAKANGIDEOLOGI PENDIDIKAN
BALISEERING
PROSES PENDIDIKANBALISEERING DI
BALI UTARA
TEORIPOSTSTRUKTURALISME,POSTMODERNISME DAN
GLOBALISME
TEORI DOMINASIDAN HEGEMONI
TEORI ENDIDIKANKRITIS
PEMERINTAHKOLONIAL BELANDA DI
BALI UTARA