1 · web viewdalam model pembelajaran resolusi konflik terhadap materi pembelajaran yang akan...
TRANSCRIPT
METODE
- RESOLUSI KONFLIK
1. Model Resolusi Konflik
Model resolusi konflik (MRK) merupakan suatu model pembelajaran yang
didasari oleh suatu pandangan bahwa ada hubungan kausalitas antara fenomena
sosial, budaya, dan kemampuan serta tanggungjawab sosial individu bagi kehidupan
masyarakat secara siklus yang pada akhirnya membuat kehidupan manusia lebih baik
dan mapan di tengah-tengah keharmonian (Montgomery, 2000).
Masyarakat dan kebudayaan (dimensi sosial) merupakan dua dimensi yang
memiliki kaitan yang bersifat kausal namun mandiri. Kebudayaan tidak pernah
berpisah dari masyarakat, sehingga untuk memahami kebudayaan sebagai suatu
kesatuan konsep atau prinsip berarti memisahkan kebudayaan dari masyarakat tempat
tumbuh dan berkembangnya kebudayaan itu sendiri (Wincoff, 1988). Dalam konteks
ini tampak bahwa kebudayaan (perasaan, cipta, dan karya) yang telah dipelajarinya
pada bangku sekolah hendaknya dapat diaplikasikan dalam kehidupan riil peserta
didik sehari-hari. Individu sebagai bagian integral dari masyarakat memiliki
tanggungjawab moral untuk menemukan berbagai alternatif terhadap berbagai
fenomena sosial yang ada dan berkembang di masyarakatnya.
Pemahaman yang memadai tentang kebudayaan dan seperangkat konflik yang
ada di masyarakat merupakan sebuah kewajiban bagi kehidupan mannsia, baik yang
diperoleh di sekolah maupun dari interaksi sosial, akan dapat melatih peserta didik
untuk bersikap dan berperilaku yang antisipatif terhadap dampak negatif yang timbul
dalam kehidupan bennasyarakat. Hal ini didasari oleh rasional, bahwa fenomena
sosial dan kebudayaan dewasa ini telah memasuki hampir setiap aspek kehidupan
1
umat manusia termasuk dalam bidang pendidikan, untuk ini pendidikan hendaknya
diposisikan dalam konteks sosial budaya, agar tidak terjadi benturan-benturan yang
mengarah pada terjadinya turbulensi sosial, yang pada akhirnya menyebabkan
penderitaan bagi masyarakat yang berkepanjangan. Dimensi konflik yang dimaksud
dalam konteks ini adalah dinamika sosial-budaya yang tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan manusia di masyarakat yang kadangkala melahirkan berbagai
konflik yang dapat mengancam keutuhan dari masyarakat itn sendiri. Masyarakat dan
seperangkat aturan hidup yang ada dan diadakan di tengah-tengah masyarakat
merupakan sumber dari pembelajaran civic.
Sebagai salah satu disiplin dalam tataran keilmuan dalam nimpun ilmu-ilmu
sosial, civic pada hakikatnya adalah disiplin yang memfokuskan kajiannya pada nilai-
nilai Pancasila, sosial-budaya bangsa Indonesia, hukum, politik, dan pendidikan
kewarganegaraan. Melalui pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila dan tata aturan
bernegara, dengan berbagai fenomenanya, peserta didik diharapkan terampil dalam
mencermati berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya
dalam bingkaian nilai, moral, prinsip, dalil, dan teori-teori pendidikan
kewarganegaraan (civic), sehingga mereka manipu memecahkan berbagai persoalan
yang dihadapinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebudayaan berperan dalam menjadikan kehidupan manusia dalam
masyarakat lebih baik, baik dalam kapasitasnya sebagai makhluk individu maupun
sebagai makhluk sosial, sehingga pengembangan kebudayaan secara substansial
diarahkan pada upaya perbaikan piranti-piranti kehidupan masyarakat secara
menyeluruh. Model Resolusi Konflik (MRK) sebagai sebuah model pembelajaran
2
pada dasarnya merupakan suatu gerakan revolutif yang interdisipliner dalam
pembelajaran civic yang dikembangkan untuk menstimulasi dan eksplorasi hubungan
antara masa lain, sekarang, dan masa yang akan datang dalam balutan konflik yang
multidimensi sehingga setiap orang berkewajiban memiliki pengetahuan dan
keterampilan menyelesaikan konflik yang ada di masyarakatnya bagi kesejahteraan
umat manusia (NCSS, 2000).
Asumsi yang mendasari pengembangan dan aplikasi model resolusi konflik
dalam konteks pembelajaran di dalam jenjang pendidikan formal adalah:
a. Paham dan sadar (literasi) terhadap dinamika dan problema hidup merupakan
keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang termasuk peserta didik dalam
kehidupannya di masyarakat agar mereka mampu mengantisipasi sedini mungkin
dampak dinamika kultural bagi masyarakatnya,
b. Revolusi teknologi yang merupakan buah cipta kebudayaan, mengakibatkan
perubahan-perubahan yang dramatis dalam cara hidup manusia sehari-hari, cara
kerja, cara berpikir, cara merasakan, sebagaimana halnya dengan sistem
kepercayaan dan nilai hidup yang mendasar,
c. Inovasi-inovasi teknologi yang tiada terbendung dapat membawa ketakutan bagi
umat manusia; di mana teknologi telah meracuni nilai-nilai original masyarakat,
sehingga menimbulkan berbagai benturan sosial yang merusak tatanan
berkehidupan yang telah tumbuh dan tebina di masyarakat,
d. Kini manusia memiliki hak, tanggungjawab dan kesempatan untuk berdebat dan
membentuk jenis masyarakat di mana kita dan anak-anak kita hidup; kesempatan
3
semacam ini dapat berhenti untuk berada di masa datang yang dekat dan tepat jika
kita memiliki conflict literation yang visible,
e. Orang yang tidak paham dan sadar terhadap konflik hidup dan hidup dalam
konflik takut akan ketidaktahuannya dan dapat dengan mudah dimanipulasi serta
tersesat, sementara orang yang paham dan sadar dengan konflik hidup dan tetap
berpegang pada sistem nilai-etika yang baik mereaksi secara logis dan menilai
situasi-situasi dengan ukuran bahwa: data + nilai = respon sosial dan moral secara
etis serta tersosialisasikan,
f. Kita sedang berada dalam proses menjadi dua masyarakat, yaitu humanis dan
teknologis, di mana jurang di antara keduanya makin lebar; sehingga melalui
model MRK diharapkan jurang tersebut tidak menjadi lebih lebar dan berbahaya,
dimana setiap individu telah mahir dalam menyikapi dan menyelesaikan konflik
yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya.
Menurut NCSS (2003), tujuan MRK pada dasarnya dimaksudkan membantu
peserta didik untuk:
a. Menyadari hubungan-hubungan yang kompleks yang ada di antara manusia dan
masyarakat serta fenomena alamiah, khususnya konsekuensi-konsekuensi jangka
pendek dan jangka panjang dan meluas dan kompleksnya konflik sosial lokal,
regional, nasional, dan global.
b. Memahami dan mengadaptasi secara lebih baik perubahan-perubahan besar yang
terjadi sebagai akibat dari benturan sosial-budaya di masyarakat, di mana
keduanya berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan manusia merupakan
4
sesuatu yang telah menjadi kebutuhan setiap insan di muka bumi, sehingga wajib
hukumnya sekolah membelajarkan hal tersebut.
c. Mengetahui dengan baik dan terampil dalam mengambil keputusan-keputusan
sosial dan moral yang berkaitan dengan pemanfaatan unsur hudaya dalam
kehidupan masyarakat, karena hal tersebut berkenaan dengan berbagai
permasalahan utama yang dihadapi oleh masyarakat, seperti pencemaran
lingkungan, transportasi, abrasi moral-budaya, nilai hidup, nilai-nilai
transendental, dan pengembangan masyarakat,
d. Secara realistik dapat memproyeksikan (memperhitungkan) masa depan alternatif
dan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi positif dan negatifhya
berdasarkan nilai-nilai luhur kebudayaan, filosofi bangsa, dan konvensi nilai
global.
e. Dapat bekerja sesuai dengan masa depan yang diinginkan dan adil bagi semua
manusia dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebudayaan yang luhur serta dibekali
dengan seperangkat kemampuan dan keterampilan dalam menyikapi dan
menyelesaikan konflik-konflik sosial di masyarakat.
Di sisi lain, National Commission of Social Studies (NCSS).di USA
mendefinisikan MRK sebagai "the teaching and learning of Civic Education in the
context of real societies" (NCSS, 2000). NCSS mengajukan 10 (sepuluh) ciri model
tersebut dalam konteks pembelajaran yaini:
a. Peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah sosial-budaya kemasyarakatan di
daerahnya masing-masing yang ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat.
5
b. Pelibatan peserta didik secara aktif dalam mencari dan memformulasikan
informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang ada di
lingkungan sosial masyarakatnya.
c. Menggunakan media elektronik dan media masa lokal, regional, dan nasional
untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan unluk memecahkan masalah-
masalah sosial dan budaya di masyarakat.
d. Memfokuskan pengaruh informasi tentang sosial-budaya kepada peserta didik.
e. Perluasan batas dan waktu pembelajaran peserta didik yang melampaui batas-
batas kelas dan lingkungan sekolah (broad and deepen instructional)
Berdasarkan prosedur pembelajaran sebagaimana tampak dalam bagan di atas,
maka dalam pelaksanaan pembelajaran PPKn (Civic Education), langkah-langkah
tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
Pertama, tahap identifikasi, terdiri dari kegiatan: 1) menjelaskan tujuan
pembelajaran sesuai dengan topik dan sub pokok bahasan yang telah diformulasikan
dalam rencana pembelajaran, 2) identifikasi dan penggalian konsep awal siswa
melalui tanya jawab mengenai materi yang akan dibahas, khususnya yang berkaitan
6
dengan isu atau masalah sosial-budaya terhadap kehidupan masyarakat yang
berhubungan dengan materi pelajaran yang sedang dibahas atau disajikan, 3)
memberikan contoh isu atau masalah untiik menunjukkan kepada pesena didik apa
dan hagaimana menemukan isu atau masalah (konflik), 4) klarifikasi konsep dan nilai
personal, khususnya yang berkaitan dengan posisi nilai peserta didik terhadap konflik
sosial kemasyarakatan yang ada di masyarakat, 5) kegiatan tanya jawab untuk
menemukan dan memformulasikan konflik secara bersama-sama dengan peserta
didik, sambil melatih keterampilan berpikir mereka dalam mengidentifikasi dan
mendefinisikan konflik atau masalah sosial-kemasyarakatan yang ada di masyarakat
yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas.
Kedua, tahap eksplorasi, yang terdiri dan kegiatan: 1) penyajian pokok-pokok
materi pelajaran secara klasikal, termasuk di dalamnya mengidentifikasi konsep
utama dan konflik sosial-budaya yang berkaitan dengan materi yang disajikan, 2)
mengecek dan mengumpulkan data atau fakta yang tersedia dari berbagai sumber
untuk mendukung pemecahan masalah yang akan dibahas, di mana guru bertindak
sebagai fasilitator atau mediator pembelajaran, 3) melalui diskusi kelas, guru
mengajak siswa menginventarisir kaitan antara berbagai pihak yang dipandang
bertanggungjawab terhadap timbulnya masalah atau isu yang ada di masyarakat, 4)
pengenalan cara atau prosedur menganalisis konflik/masalah termasuk konsep-konsep
yang berkaitan dengan materi yang sedang diajarkan. Hal ini bertjuan untuk
mengaitkan konflik/masalah sosial-budaya dengan konsep atau pemahaman peserta
didik terhadap materi pelajaran yang sedang dibahas atau mengikuti pembelajaran.
7
Ketiga, tahap eksplanasi, yang terdiri dari kegiatan: 1) pada fase ini, dalam
posisinya sebagai pembimbing atau fasilitator, guru mengarahkan peserta didik untuk
merumuskan hipotesis tentang konflik/masalah yang ada, dan menemukan pihak atau
lembaga yang paling bertanggungjawab atau berwenang untuk menangani
konflik/masalah yang ada di masyarakat, 2) guru melakukan klarifikasi ulang
terhadap konsep-konsep utama dari materi dan konflik/masalah sosial-budaya yang
telah dibahas untuk memperkuat struktur kognitif peserta didik mengenai materi dan
masalah yang telah dibahas, 3) guru membimbing peserta didik untuk membentuk tim
kerja atau kelompok untuk membahas konflik/masalah sosial-budaya dan
implikasinya bagi kehidupan inasyarakat, berdasarkan hipotesis yang telah
diformulasikan, termasuk menjelaskan tugas/cara kerja kepada setiap tim kerja atau
kelompok, 4) guru membimbing peserta didik untuk menguji hipotesis yang telah
diformulasikan berdasarkan data yang telah dikumpulkan melalui diskusi kelompok
dan/atau diskusi kelas.
Keempat, tahap negosiasi konflik, yang terdiri dari kegiatan: 1) pada fase ini,
guru membimbing dan mengawasi jalannya diskusi peserta didik dalam membahas
dan menguji hipotesis mengenai konflik/masalah dalam tim kerja atau kelompoknya
masing-masing. Hal ini bertujuan untuk melatih keterampilan berpikir dan
keterampilan sosial peserta didik, 2) guru membimbing peserta didik dalam
mencetuskan ide-ide, konsep, dan alternatif yang dimiliki untuk memecahkan
konflik/masalah sosial-budaya di masyarakat, 3) membantu peserta didik dalam
mengumpulkan data/informasi yang dibutuhkan untuk mendukung pengambilan
keputusan terhadap konflik/masalah yang sedang dibahas. Hal ini bertujuan untuk
8
memperkaya dan memperluas wawasan peserta didik terhadap konflik/masalah
sosial-budaya yang sedang dibahas, 4) penyajian laporan oleh masing-masing tim
kerja dalam bentuk diskusi kelas, di mana guru bertindak sebagai fasilitator dan
mediator pembelajaran yang aktif-kreatif, 5) penyimpulan hasil diskusi kelas oleh
guru bersama-sama siswa secara demokratis.
Kelima, tahap resolusi konflik, yang terdiri dari kegiatan: 1) pada fase ini,
peserta didik diberikan kesempatan yang leluasa untuk menentukan tindakan atau
sikap yang akan dilakukan berkaitan konflik yang ada dan telah dibahas secara
bersama-sama di kelas. Hal ini brrtujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman
dan keterampilan peserta didik terhadap pemecahan konflik/masalah sosial-budaya
yang telah diputuskan, 2) membimbing dan mengawasi peserta didik dalam
melakukan perumusan atau mengambil keputusan terhadap konflik yang telah
dinegosiasikan, baik dalam kelompok maupun secara klasikal. Hal ini bertujuan
untuk mengembangkan dan melatih keterampilan serta ketertanggapan sosial-budaya
peserta didik dalam mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dipelajarinya, 3)
merumuskan secara definitif keputusan yang diambil berkaitan dengan
konflik/masalah yang telah dibahas, serta merumuskan rekomendasi kepada berbagai
pihak yang dipandang berkompeten menangani dan bertanggungjawab terhadap
konflik yang ada di tengah-tengah masyarakat (NCSS, 2000:12-22). Berdasarkan
rasional, tujuan, dan tahapan pembelajaran dengan model resolusi konflik di atas,
maka dapat diformulasikan ciri dan karakteristik dari model tersebut sebagai berikut.
Ciri-ciri Model Resolusi Konflik dalam Pembelajaran PPKn (Civic)
9
01. Peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah sosial-budaya kemasyarakatan
di daerahnya masing-masing yang ada kaitannya dengan materi yang akan
mengikuti pembelajaran.
02. Pelibatan peserta didik secara aktif dalam mencari dan memformulasikan
informasi yang dapat digunakan unruk bernegosiasi dan memecahkan konflik
yang ada di lingkungan sosial masyarakatnya.
03. Menggunakan media elektronik dan media masa lokal, regional, dan nasional
untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan konflik.
04. Memfokuskan pengaruh informasi tentang sosial-budaya kepada peserta didik.
05. Perluasan batas dan waktu pembelajaran peserta didik yang melampaui batas-
batas kelas dan lingkungan sekolah (broad and deepen instructional).
06. Berorientasi bahwa materi pelajaran bukan sebatas fakta, konsep, dan
generalisasi yang harus dikuasai oleh peserta didik.
07. Menekankan pada keterampilan proses yang dapat digunakan oleh peserta didik
untuk bernegosiasi dan memecahkan maasalah kehidupan sehari-hari.
08. Memberi kesempatan yang optimal kepada peserta didik untuk memerankan
dirinya sebagai warga masyarakat, negara/dan bangsa bilamana telah mampu
mengidentifikasi dan memformulasikan konflik sosial yang dihadapinya.
09. Menekankan pada otonomi peserta didik dalam proses pembelajaran dalam
kapasitasnya sebagai individu (personal ability).
10. Menekankan pada kemampuan dan keterampilan identifikasi peserta didik
terhadap konflik-konflik sosial-budaya kemasyarakatan dalam kehidupan di
masa mendatang (future life).
10
11. Mampu membuat keputusan atau tindakan yang akurat dan komprehensif
mengenai konflik-konflik sosial-budaya yang ada di masyarakat
Dalam model pembelajaran resolusi konflik terhadap materi pembelajaran
yang akan dikomunikasikan kepada siswa, ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut: tahap identifikasi, tahap eksplorasi, tahap eksplanasi, tahap negosiasi konflik,
dan tahap resolusi konflik.
2. Pengetahuan Awal dalam Pembelajaran
Harlen (dalam Dahar, 1988) membedakan antara pengetahuan "pribadi"
(personal knowledge) dan pengetahuan "umum" (public knowledge). Pengetahuan
"pribadi" merupakan pemahaman seseorang terhadap sesuatu atau keadaan sekitar
menurut perspektiftnya yang diperlihatkan dalam wujud tindakan nyata. Sebagian
dari pengetahuan tersebut dapat berupa pengetahuan ilmiah (secientific knowledge)
dan sebagian lainnya berupa pengetahuan sehari-hari (everyday knowledge). Makna
dari preposisi ini bahwa pengetahuan tersebut tidak dipertanyakan dan tidak diuji
berdasarkan realita yang ada. Pengetalnian "umum" adalah pengetahuan eksternal dan
dimiliki oleh masyarakat. Pengetahuan ini pun sebagaian dapat berupa pengetahuan
ilmiah dan sebagaian dapat berupa pengetahuan sehari-hari.
Sebelum anak-anak memperoleh pengetahuan di sekolah, mereka sudah
mempunyai gagasan-gagasan tentang peristiwa-peristiwa ilmiah.
11
DAFTAR PUSTAKA
Andi H. Nasution. 1991. Kurikulum Pendidikan PPKn dan Struktur Pendidikan Kewarganegaraan. Surabaya: Gema Kliping Service.
Ault, Charles R. 1999. Teacher's Reaction to a Change Teaching-Learning Strategy. Journal of Science Education. Vol 99. No. IV (October 1999): 45.
Berghoff, Beth, and Kathryn Egawa. 1998. Social Life and Multicultural Values in Our Class. Inquiry Approachs to Give Students Control of Their Learning. The Reading Teacher 45 (April 1998): 536-541.
Best, D.S. 1981. Research in Education. New York. MacMillan
Dahar, Ratna Willis. 1988. "Konstruktivisme dalam Belajar dan Mengajar". Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Pada FPMIPA IKIP Bandung.
Danim, Sudarwan. 1994. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen P dan K. RI. 1994 Pedoman Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar di SMU. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dooly, M. 1992. Statistic in Social Research. Arkansas, Sydney, Singapore: Dolphin, Co.
Dunkin, Michael J. and Bruce J. Biddle. 1974. The Study of Teaching. Masachusset: Holy, Rinehart and Winston, Inc.
Eggen, Shirley H. 1990. Vulues-Possing-Problem in Our Class: Theory and Practice. NY: Me Milland, Co.
Fraenkel, Jack R. and Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education. Second Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Gredler, Margaret E. 1999. Learning and Instruction: Theory into Practice. Journal of Education. Vol. 9 (July 1999)17-19. http://olam.asu.edu/epaa
Gregory, Robert J. 2000. Psychological Testing: History, Principles, and Applications. Boston: Allyn and Bacon.
12
Hasan, Hamid. 1993. Tujuan Kurikulum Pengetahuan Sosial. Junial Pendidikan Ilmu Sosial, Nomor Perdana, 92-101.
Hasan, Hamid. 1995. Inovasi dalan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah.Bandung: PPS IKIP Bandung.
Hasan, S.H. 2003. Membedah Peranan Pendidikan Nasional di Era Global. Bandung: Rosdakarya.
Joyce, Bruce and Marsha Weil. 1986. Models of Teaching (Third Edition). Englewood Cliffs. New York: Prentice-Hall, Inc.
Kagan, R.H and James. Bubba. 1999. Learning Revolution: New Paradigm in Teaching Secondary Students. Journal of Education. No. 101. Vol. 10 January 2000. http://kagan.olam.asu.edu/epaa
Lasmawan, W. 2003. Pengembangan Model Jurisprudensi Sosial dalam Pembelajaran PPKn di SMU Negeri 1 Bangli. (laporan penelitian) Tidak Diterbitkan. Singaraja: Lemlit IKIP Negeri Singaraja.
Maba, Wayan. 2002. Evaluasi Pembelajaran. Makalah yang Disajikan dalam Penataran PBM Dosen Kopertis Wilayah VIII, Tanggal 27-30 Oktober 2002.
Martha E. Ruddel. D. Rosalind Hammond, and Ted W. Preeman. 1999. Theory and Research in Social Education (Vol. 4). NCSS(fl)aol.net.edu
Montgomery, R. 2000. "Revolution of Learning": How We Enhance Students Achievement. Journal a/Scientific Education. Vol. 19 (February 2000): 45-51. http://kagan.olam.asu.edu/epaa
Michaelis, J. U. 1976. Social Studies for Children in A Democracy. New Jesey, USA: Prentice-Hall, Inc.
Murwani, R. Santosa. 1999. Statistika Terapan (Teknik Analisis Data). Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Myers, L.H. 1992. STS and Science Concepts. In Yager, R.E. (Ed.). (1992). The Status of Science-Technology-Society Reform Efforts Around the Worlds. Virginia: ICASE Yearbook.
National Council for the Social Studies. 1997. Science-Technology-Society. Social Studies Education for the 1990s. Washington DC: NCSS.
National Council for the Social Studies. 1999. Canceling Science, Technology and Education of Citizen. Washungton D.C.: NCSS.
13
National Council for tlie Social Studies. 2000. Science-Technology-Society (STS) in Social Studies: Position Paper. Washington DC: NCSS.
National Council for the Social Studies. 2003. Guidelines for Teaching, About Science technology Society in Social Studies” Education for Citizenship in the 2 1st Century: http://www. uow.edu.au/sts/ness/pubs/00nvt.html.
NCSS/SCC. 2001. "Guidelines for Teaching Science-Related Societal Issues". Social Education" (47). April/May. (1983): 258-261.
Nitko, Anthony J. 1990. Educational Tests and Measurement: An Introduction. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Nur, Mohamad dan Prima Retno Wikandari. 1999. "Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran". Dalam Teori Belajar. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Press.
O, Louglilin, M. 1992. Rethinking Science Beyond Piagetian Constructivism Toward a Socioculture: Model of Teaching and Learning. (Ed). Journal of Research in Science Teaching, 29 (8).
Pudjiadi, A. 2002. Konstruktivisme dan Pendekatan S-T-M: Sebuah Alternatif Pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. (Makalah). Disampaikan pada Lokakarya Pembelajaan MIPA Berbasis Kompetensi di Bandung tanggal 24 Juli 2002. Bandung: Fakultas Matematika dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia.
Rosemary, Nocole. 1999. New Learning Model. Journal of Scientific Education. Vol. 19 (February 2000): 45-51. . http://Rose.olam.asu.edu/epaa
Rubba, A. P. 1996. "Issue Investigation and Action Skills: Neccesary Components of Precolleges STS Education". Bulletin of Science, Technology & Society. Vol. 6, Number 2 & 3.
Sadia, W. I. 1999. Pengembangan Buku Ajar SLTP yang Berwawasan STM. Singaraja: (Lembaga Penelitian) STKIP Negeri Singaraja.
Schuncke, G. M. 1988. Elementary Social Studies: Knowing, Doing, Caring. America, Canada: MacMillan Publishing Company.
Shaver, J. P.(Ed). 1991. Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning: A Project of the National Council for the Social Studies. New York, Toronto: MacMillan Publishing Company.
14
Skeel, D. J. 1995. Elementary Social Studies: Challenges for Tomorow's World. Orlando, Florida: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Sleiman, S. 2000. T'he Concept of "Interactivity" through the Science and Technology Exibitions: htp://[email protected]
Soetomo. 1993. Dasar-Daxar Inleraksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional.
Soewarno, Bambang. 1987. Metode Kuantitatif dalam Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan. Jakarta: P2LPTK.
Sudijono, Anas. 2000. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
——. 2001. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sukadi 1999. Iklim Konstruktivis dalam Pembelajaran Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran. (Laporan Penelitian RIl Bacth IV). Dirjen Dikti RI. Singaraja: Puslit STK1P Negeri Singaraja.
Suwarma Al Muchtar, 1992. Pengembangan Kemampuan Berfikir dan Nilai dalam Pembelajaran PPKn (Disertasi) Tidak Diterbitkan. Bandung.
Tye, A. K. (Ed). 1990. Global Education: From Thought to Action. USA: Edwards Brothers.
Universitas Pendidikan Indonesia. 2000. Pokok-pokok Pikiran: Membangun Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Baru. Bandung: DPI, Maret 2000.
Uno, B. H., el at. 2001. Pengembangan Instrumen untuk Penelitian. Jakarta: Dilema Press.
Ury, J. 1999. "When Things Strike Back a Possible Contribution of Science Studies . to the Social Sciences". (Special Millenium Issues). British Journal of Sociology. Vol. 51, No. 1 pp. 105-123.
Van Der Veer, R. and Jaan V, 1996. The Vygotsky Reader. Oxford UK and Cambridge USA: Blackweel Publishers Ltd.
Vygotsky, L. S. 1962. Thought and language. (E. Hauufmann and G. Vakar, trans.). Cambridge: MIT Press.
Wahab, A. A. 1987. Stralegi Pengajaran IPS. Jakarta: Universitas Terbuka.
15
Wahab, A. A. 1999. Butir-butir Permasalahan Pengelolaan Pendidikan dalam Konteks Desentralisasi Pendidikan. (Makalah) Disajikan pada Pekan Seminar Mutu Pendidikan di LP IKIP Bandung, 11-15 Oktober 1999.
Wahab, Azis. 1999. Paradigma Baru Pembelajaran PPKn. Bandung: Rosdakarya.
Wahab, Aris. 1989. Evaluasi Pengajaran PMP: Bandung: Lab. PMPKN IKIP Bandung.
Wahab, Azis. 1986. Metodologi Pengajaran PPKn. Jakarta: P2LPTK
Wahab, A. A. 2000. Meningkatkan Belajar Melalui Pemantapan Budaya Akademik Organisasi Perguruan Tinggi Sebagai Kunci Memasuki Milenium Ketiga. (Orasi Ilmiah). Disampaikan dalam Rangka Dies Natalis dan Wisuda S FKIP Pasundan Cimahi Tanggal 29 April 2000.
Welton and Mallan. 1996. Children & Their World: Strategies for Teaching Social Studies (fifth edition). USA: Houghton Mifflin Company.
White, P. E. 1992. Women and minorities in science and engineering: An update. Washington, D.C.: National Science Foundation.
Wiesenmayer, R. 1988. The effects of three levels of STS instruction and Traditional life science Instruction on the Over Citizenship Behavior of Seventh Grade Students. The Pennsylvania State University: University Press.
William F. W. 1996. "The Rationality of Technological Literacy: Introduction to Section on Concepts and Measures". Bulletin of Science, Technology & Society. Vol. 6, Number 2 & 3.
Yager, R. E. and Penick, J. E. 1991. "Using science as a connector for the reformed school curriculum". NASSP Bulletin, 76 (547), 56-68.
Yager, R. E. 1991. "The constructivist learning model: Towards real reform in science education". The Science Teacher, 58 (6), 52-57.
Zoller, U. 1992. "The technology/education interface: STES education for all". Canadian Journal of Education, 17(1), 86-91.
16