1 bab i pendahuluan a. latar belakang penelitian...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Masalah Penelitian Negara Indonesia adalah negara berkembang, bagi Indonesia berada dalam arti yang sebenarnya, karena Indonesia masih banyak yang tertinggal dibandingkan negara-negara yang disebut maju. Secara khusus ketertinggalan itu dalam bidang pendidikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja negara sudah memberikan anggaran sebesar 20% dari anggaran secara keseluruhan untuk mengatasi kualitas pendidikan di Indonesia. Anggaran tersebut bertujuan untuk membangun fasilitas sekolah yang baru meningkatkan kualitas guru dan memberikan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang diberikan pada siswa setiap bulannya. Apabila ditanyakan hasilnya, pasti tidak dapat menjawab serta hanya menunduk, membayangkan pendidikan di negara-negara lain yang semakin maju, sementara pendidikan di Indonesia yang semakin tertinggal. Kualitas pendidikan nasional jauh tertinggal dari kualitas pendidikan di negara maju. Bahkan kalah dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN , kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia dan Muangthai ( Saksono, 2010: 78).

Upload: vuongthu

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Masalah Penelitian

Negara Indonesia adalah negara berkembang, bagi Indonesia berada dalam arti

yang sebenarnya, karena Indonesia masih banyak yang tertinggal dibandingkan

negara-negara yang disebut maju. Secara khusus ketertinggalan itu dalam bidang

pendidikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja negara sudah memberikan

anggaran sebesar 20% dari anggaran secara keseluruhan untuk mengatasi kualitas

pendidikan di Indonesia.

Anggaran tersebut bertujuan untuk membangun fasilitas sekolah yang baru

meningkatkan kualitas guru dan memberikan dana BOS (Biaya Operasional

Sekolah) yang diberikan pada siswa setiap bulannya. Apabila ditanyakan hasilnya,

pasti tidak dapat menjawab serta hanya menunduk, membayangkan pendidikan di

negara-negara lain yang semakin maju, sementara pendidikan di Indonesia yang

semakin tertinggal.

Kualitas pendidikan nasional jauh tertinggal dari kualitas pendidikan di negara

maju. Bahkan kalah dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN ,

kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia dan

Muangthai ( Saksono, 2010: 78).

2

Lebih memprihatinkan adalah besarnya kesenjangan relevansi antara lulusan

dengan kebutuhan masyarakat. Kesenjangan tersebut terjadi karena lulusan

pendidikan tidak dibekali pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan

kebutuhan industri, ini terjadi karena lemahnya perencanaan tenaga kerja

nasional. Besarnya kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan

masyarakat terjadi karena sistem pendidikan belum didesain selaras dengan

kebutuhan tenaga kerja nasional. Akibatnya terjadi mismatch antara lulusan

lembaga pendidikan dengan lapangan kerja pada masyarakat khususnya industri.

Biaya pendidikan yang mahal merupakan faktor lain ketertinggalan pendidikan

di Indonesia. Pendidikan berkualitas itu mahal harganya, kalimat ini sering

muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat

untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman

Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin

tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Indonesia sedang

menggalakkan wajib belajar 12 tahun tetapi negara lain sudah menggalakkan

wajib belajar 12 tahun sudah 5 sampai 10 tahun yang lalu.

Globalisasi yang dipengaruhi oleh semangat fundamentalisme pasar,

menyebabkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya

mencerdaskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia tetapi mulai bergeser

menuju pendidikan sebagai komuditas (Saksono, 2010: 76 ).

Pengaruh globalisasi yang sedang dan akan berlangsung akan berpengaruh

secara terus menerus sampai waktu yang tidak dapat ditentukan, hal ini semakin

sulit diatasi. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam masa-

3

masa yang akan datang, rasanya sangat berat. Bangsa Indonesia harus secara

serius menangani masalah ini.

Globalisasi berarti menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh

dunia. Globalisasi berarti bahwa kerusuhan yang terjadi di suatu tempat tidak

dapat kita sembunyikan, tetapi secara serta merta diketahui oleh seluruh dunia.

“Rap music“ yang mula-mula hanya disukai oleh anak-anak muda berkulit

hitam di bagian-bagian kumuh dari kota-kota di Amerika Serikat, dengan sangat

cepat menjadi kesukaan anak-anak muda di Jakarta dan kota-kota besar di

Indonesia (Buchori, 2001 : 46 ).

Globalisasi membawa implikasi untuk pendidikan diantaranya : istilah melek

huruf tidak lagi hanya berarti bisa baca, tulis dan hitung; melainkan kemampuan

berpikir, merasa dan bertindak dalam idiom kultural dan teknologi global.

Cukup mudah membuat anak didik fasih dalam skills teknis, tetapi jika hanya

itu saja, pendidikan sekolah lalu tidak lebih dari sekedar kursus ketrampilan

teknis pertukangan. Oleh karena itu pendidikan tidak lebih sekedar memproduksi

anak yang pintar cari kerja, tetapi belum tentu mampu melihat banyak

permasalahan yang terlibat dalam globalisasi dewasa ini apalagi

mempertanyakan. Jika demikian berarti pendidikan juga hanya memproduksi

lulusan yang “hidup untuk dirinya sendiri “, dan tidak pernah mampu menjadi

“orang yang peduli pada persoalan masyarakatnya”. Semakin dalam memasukkan

anak didik ke kultur global, semakin besar-sebagai imbangan-urgensi untuk

mendidik aspek “ afektif ” pada anak didik.

4

Disadari atau tidak bahwa globalisasi bukan hanya suatu proses yang bersifat

satu arah. Globalisasi merupakan suatu proses yang bersifat dua arah, karena

globalisasi mengandung arti melokalnya hal-hal yang datang dari luar. Bisa

dicontohkan bahwa makan ayam goreng di restoran Mc. Donald atau di Kentucky

Fried Chicken (KFC) merasa lebih enak dan lebih bergengsi daripada makan di

restoran Mbok Berek atau Nyonya Suharti. Pandangan semacam ini berarti

merupakan suatu proses melokalnya suatu kebiasaan yang datang dari Amerika

pindah ke Yogyakarta. Nonton di bioskop minum coca cola sambil makan

popcorn banyak juga dilakukan anak-anak muda Yogyakarta ini juga

menunjukkan proses melokalnya kebiasaan anak-anak muda Amerika di

Yogyakarta.

Melokalnya budaya yang datang dari luar Negeri tersebut di atas bukan satu-

satunya budaya yang disukai anak-anak muda Indonesia, tetapi peneliti juga

mengamati meluasnya budaya internet. Fenomena ini juga merupakan bagian dari

proses globalisasi, sekarang orang yang tidak dapat mengoperasikan komputer

akan dipandang sebagai orang Indonesia yang ketinggalan zaman atau gagap

teknologi.

Upaya dalam menghadapi kenyataan ini, ada dua pilihan yang harus dilakukan

yaitu membiarkan masyarakat Indonesia terseret oleh proses globalisasi atau

memanfaatkan proses globalisasi untuk pembangunan bangsa dan negara

Indonesia. Penulis yakin bahwa masyarakat Indonesia akan memilih globalisasi

sebagai pembangunan bangsa dan negara. Sebagai suatu bangsa tentu saja tidak

5

ingin terperangkap dalam nasionalisme yang statis, melainkan nasionalisme yang

dinamis dan maju.

Karena globalisasi maka tujuan pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar

sampai tingkat tinggi tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi

lebih berfokus untuk menghasilkan lulusan yang menguasai scientia, walaupun

belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan bangsa, tetapi kurang membekali

peserta didiknya dengan semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial, serta

sifat-sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara (Saksono, 2010 :

76). Model pendidikan ini jelas mengarahkan anak didik kepada hasil yang

bersifat pragmatis dan materialistik.

Untuk menangkal model pendidikan semacam itu maka konsep-konsep

pendidikan Ki Hadjar Dewatara ditawarkan sebagai solusi terhadap distorsi-

distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini.

Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter yang cukup

memprihatinkan. Demoralisasi mulai merambah di dunia pendidikan antara lain

ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan diri, dan kurangnya tanggung

jawab sosial, hilangnya sikap ramah tamah dan sopan santun (Cakrawala

Pendidikan, 2010 : 42).

Bergaul dengan kebudayaan-kebudayaan asing adalah jalan menuju ke arah

kemajuan bangsa dan negara. Oleh karena itu hendaknya bangsa Indonesia harus

memiliki metode tertentu untuk mencapai kemajuan tetapi tetap didasari

kepribadian Indonesia. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha

kemajuan ditempuh melalui petunjuk “trikon“ yaitu kontinyu dengan alam

6

masyarakat Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu

dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun

tetap mempunyai kepribadian sendiri (Dewantara, 1994: 371 ).

Pendidikan merupakan suatu fenomena fundamental atau asasi dalam

kehidupan manusia. Dapat dikatakan dimanapun ada kehidupan manusia, maka

disitu akan terdapat pendidikan. Dalam sejarah kehidupan manusia pendidikan

sudah ada dalam masyarakat primitif sampai masyarakat modern dewasa ini.

Masyarakat primitif melakukan pendidikan dalam hidup bersama dalam

kelompok. Driyarkara mengatakan pendidikan itu terjadinya dengan dan dalam

ada dan hidup bersama. Di situ ada perbuatan-perbuatan dan hal-hal yang dengan

sengaja atau tidak sengaja, disadari atau tidak disadari memasukkan manusia

muda ke dalam alam atau dunia manusia (Driyarkara, 2006: 270). Selanjutnya

Driyarkara mengatakan mendidik adalah pertolongan atau pengaruh yang

diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak supaya anak menjadi

dewasa (Driyarkara, 2006: 414). Taman Siswa adalah suatu perguruan yang

berbeda dengan sekolah-sekolah yang ada pada masa penjajahan bahkan mungkin

sampai saat ini berbeda dengan sekolah umumnya. Penentangan terhadap

pendidikan masa penjajahan yang mengagungkan intelektualisme dilawan dengan

pendidikan Taman Siswa yang menggunakan kebudayaan lokal sebagai bagian

dari alat pendidikan.

Pestalozzi, Frőbel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh pendidikan yang

berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan kebudayaan dalam kurikulum

pendidikan. Mulai dari Taman Kanak-kanak (Taman Indria) sampai sekolah

7

menengah unsur-unsur kebudayaan lokal di masukkan dalam kurikulum untuk

melatih pancaindera jasmani, kecerdasan dan utamannya adalah kehalusan budi

pekerti. Pelajaran yang diberikan di Taman Indria mulai dari dolanan anak,

ndongeng, sariswara yaitu menggabungkan antara lagu, cerita dan sastra. Nilai-

nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik rasa, pikiran dan budi pekerti.

Anak-anak yang sudah agak besar misalnya di Sekolah Menengah Pertama

(Taman Dewasa) dan Sekolah Menengah Atas (Sekolah Menengah Madya) para

siswa diberikan pelajaran olah gendhing. Ki Hadjar Dewantara mengatakan

bahwa olah gendhingdan seni tari adalah untuk memperkuat dan memperdalam

rasa kebangsaan (Dewantara, 2011: 344). Tari Bedoyo dan Tari Serimpi diberikan

kepada anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang

mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian, dan rasa keindahan. Gadis-gadis

keraton zaman dulu diwajibkan mempelajari Tari Serimpi. Sandiwara atau drama

yang dalam istilah Jawa disebut Tonil, misalnya Srandul, Reog, Kethoprak,

Wayang Wong, Langendriyan, Langen Wanara, Langen Asmara Suci dan lain-

lain.

Anak didik dimasukkan ke dalam kebudayaan dan memasukkan kebudayaan

dalam diri anak didik, adalah untuk memberikan segala nilai-nilai kebatinan

kepada setiap turunan baru (penyerahan kultur) tidak hanya berupa “

pemeliharaan “akan tetapi dengan maksud “memajukan” serta

“memperkembangkan” kebudayaan menuju kearah keluhuran hidup kemanusiaan.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu kurikulum. Karena

kurikulum mengacu pada karakteristik peserta didik, perkembangan ilmu dan

8

teknologi pada zamannya serta mengacu kepada kebutuhan-kebutuhan

masyarakat. Penyusunan kurikulum atas dasar acuan keadaan masyarakat disebut

“kurikulum muatan lokal”. Keberadaan kurikulum muatan lokal di Indonesia telah

dikuatkan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik

Indonesia dengan nomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Sedang

pelaksanaannya telah dijabarkan dalam keputusan Direktur Jendral Pendidikan

Dasar Dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober 1987.

Menurut surat keputusan tersebut yang dimaksud dengan kurikulum muatan

lokal ialah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan

dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya sarta kebutuhan daerah dan wajib

dipelajari oleh murid di daerah tersebut. Menurut Dirjen Kurikulum Muatan Lokal

adalah kurikulum yang diperkaya dengan materi pelajaran yang ada di lingkungan

setempat. Menurut kurikulum 1994 kurikulum muatan lokal adalah materi

pelajaran yang diajarkan secara terpisah menjadi kajian tersendiri.

Menurut Soewardi kurikulum muatan lokal adalah materi pelajaran dan

pengenalan berbagai ciri khas daerah tertentu, bukan saja yang terdidi dari

keterampilan, kerajinan, tetapi juga manifestasi kebudayaan daerah, legenda,

sertaadat istiadat. Secara umum tujuan program pendidikan muatan lokal adalah

mempersiapkan murid agar meraka memiliki wawasan yang mantap tentang

lingkungannya serta sikap dan perilaku bersedia melestarikan dan

mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosisal dan kebudayaan yang

mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat.

9

Jadi pada perinsipnya kurikulum muatan lokal adalah program pendidikan

yang di isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam,

lingkungan budaya dan kebutuhan daerah serta wajib dipelajari oleh murid di

daerah tersebut. Kurikulum muatan lokal diberikan dengan tujuan untuk mencapai

tujuan pendidikan nasional.

Menurut Sutiyono pendidikan seni dapat digunakan sebagai basis pendidikan

karakter, yang dapat menghasilkan kompetensi lulusan yang berkarakter mulia.

Proses pembelajaran seni seperti pada program studi seni tari Universitas Negeri

Yogyakarta diajarkan materi tari-tarian dari berbagai daerah budaya di Indonesia.

Tari-tarian itu berupa tari dasar dan tari budaya lain tari dasar meliputi tari Jawa

Yogyakarta, Surakarta sedangkan tari budaya lain meliputi tari Bali tari Sunda tari

Sumatera tari Kalimantan dan tari Sulawesi. Di samping itu pendidikan seni

dalam arti sebagai pembelajaran iringan tari misalnya tari Jawa dengan karawitan

Jawa maupun music pengiring dari tarian dari suku-suku lain (Sutiyono, 2010:

161-169)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut:

a. Apa hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara ?

b. Apa filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara ?

c. Apa sumbangan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan

bagi pelaksanaan pendidikan Indonesia ?

10

3. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara sudah banyak

dilakukan oleh para mahasiswa di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta. Tetapi menurut peneliti belum ada penilitian baik yang

di lakukan mahasiswa S1 dalam bentuk skripsi maupun penelitian mahasiswa S2

dalam bentuk tesis yang membahas atau mengkaji dengan judul yang sama seperti

yang peneliti ajukan ini yaitu: “ Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia ”. Judul-judul penelitian yang telah

dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Filsafat antara lain :

a. Runi Hariantati, 1981, “Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang

Kemerdekaan diri sebagai Dasar Pendidikan Keluarga”, Skripsi,

Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya bagi

Ki Hadjar Dewantara “kemerdekaan diri” merupakan unsur mutlak

yang harus ada dan diutamakan dalam pendidikan anak karena dapat

memberkan suatu pertumbuhan yang tidak terhlang untuk mencapai

arah kebesarannya. Pendidikan sebagai usaha untuk menuntun potensi

anak lahir dan batin. Pendidikan keluarga di mana orang tua sangat

berperan dalam mendidik yakni menentukan dan mengarahkan anak-

anaknya sehingga kemerdekaan diri merupakan dasar paling tepat

dalam mendidik anak-anaknya. Dasar kemerdekaan diri terlukis di

dalam sistem pendidikan yang di kenal dengan sistem among.

Kemerdekaan diri menjamin tujuan hidup manusia dan mempertinggi

derajat dan keluhuran kemanusiaan.

11

b. Margiyono, 1984, “Sumbangan Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Tentang Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Skripsi, Fakultas

Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya hak asasi manusia itu

sifatnya universal, selalu diperjuangkan sejak dahulu sampai sekarang

oleh setiap bangsa. Bangsa Indonesia sejak dahulu telah

memperjuangkan dan melaksanakan hak-hak asasi manusia. Di antara

para pemimpin pejuang bangsa itu ialah Ki Hadjar Dewantara. Setelah

Indonesia merdeka Tamansiswa merasa berkewajiban secara moral

untuk berperan serta sepenuhnya membantu pemerintah Republik

Indonesia khususnya dalam pelaksanaan Pendidikan Nasional.

c. Muh Khambali, 1984, “Tinjauan Filosofis Terhadap Konsepsi Ki

Hajar Dewantara (1889-1959) tentang Dinamika, Skripsi, Fakultas

Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya kebudayaan nasional

Indonesia adalah buah budi manusia yang menurut kejadiannya

merupakan hasil perjuangan hidup manusia terhadap pengaruh alam

dan zaman. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan

pengkhususan kebudayaan universal. Sebagai bagian alam

kemanusiaan bangsa Indonesia tidak boleh melanggar dasar-dasar peri

kemanusiaan manusia dan bangsa-bangsa lain. Dinamika kebudayaan

Nasional Indonesia sebagai suatu keharusan untuk selalu mengingat

asal Tri Kon dan SBII. Dinamika kebudayaan Nasinal Indonesia tidak

boleh lepas dari pangkal asalnya tetapi diperkaya bangsa lain dengan

tetap berkepribadian Indonesia.

12

d. Andhika Mudji W., 1986, “Aspek Kosmologi Pada Kodrat Alam

Dalam Konsep Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara”, Skripsi,

Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya Ki Hadjar

Dewantara berpendirian bahwa pendidikan merupakan usaha

penyerahan kebudayaan, maka pendidikan nasional harus berdasar

pada kebudayaan nasionalnya atau berorientasi kepada kebudayaan

sendiri. Kosmologi sebagai ilmu dapat dipergunakan untuk memahami

alam semesta, agar hidup manusia tidak terlepas dari keselarasan

dengan alam semesta. Apabila manusia dapat menyelaraskan dirinya

dengan kodrat alamnya, yaitu manusia yang selalu menempatkan

dirinya pada tatanan alam yang selaras, menempatkan dirinya sesuai

dengan sifat kodratnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial

dan menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukan kodratnya, yaitu

sebagai diri pribadi dan sebagai makhluk Tuhan. Aspek kosmologis

pada kodrat alam nampak pada pengakuannya terhadap manusia

adalah bagian dari alam mesta. Dasar kodrat alam selain

menempatakan masusia secara vertikal yaitu dalam hubungannya

dengan Tuhan juga menempatkan manusia pada hubungan

horisontalnya dengan alam sekitar dan lingkungan hidupnya. Sehingga

manusia sebagai mikro kosmos dapat selaras dengan alam dunia

sebagai makro kosmos. Kodrat alam merupakan pedoman untuk

pembinaan hidup sesuai dengan lingkungan budayanya sehingga dapat

terjadi keseimbangan antara unsur “dasar” yaitu kodrat atau

13

pembawaan manusia dengan unsur “ajar” atau unsur yang berasal dari

lingkungan yang terdapat diluar dirinya. Berarti terjadi keselarasan

antara manusia dengan tatanan alam sekitarnya. Kodrat alam selalu

mengutamanakan adanya keserasian dan keseimbangan yang meliputi

keseimbangan hidup sosial maupun keseimbangan hidup manusia

sebagai makhluk Tuhan. Pertumbuhan anak secara kodrati ialah

pertumbuhan yang sesuai dengan hukum alam, yang berarti selaras

dengan keadaan di dalam dan di luar dirinya.

e. Sunardi , 1988, “Relevansi Ajaran-Ajaran Ki Hadjar Dewantara

Terhadap Pendidikan Nasional Indonesia”, Skripsi, Fakultas Filsafat,

Universitas Gadjah Mada. Intinya Ki Hadjar Dewantara memilih jalan

usaha pendidikan nasional berasarkan kebudayaan dan kepribadian

berdasarkan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk anak-anak

bangsa Indonesia. Tujuan pendidikan Taman Siswa ialah ingin

membangun anak didik menjadi manusia yang taqwa, merdeka lahir

batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi angota

masyarakat yang berguna dan bertanggungjawab atas kesejahteraan

bangsa tanah air, serta manusia pada umumnya. Untuk mencapai

tujuan tersebut diperlukan landasan bagi pelaksanaannya antara lain

Asas Taman Siswa yang terdiri dari tujuh pasal yang kemudian

dipertegas dalam Pancadarma yaitu kodrat alam, kemerdekaan

kebudayaan kebangsaan dan kemanusiaan. Dasar ini mengandung

pengertian nasional dan sistem among untuk mencapai tujuannya

14

maka Taman Siswa melaksanakan Tri Pusat Pendidikan yaitu lin

kungan keluarga, lingkungan perguruan dan lingkungan masyarakat

atau pemuda. Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan menurut system

among ialah suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan

bersendikan kodrat alam dan kemerdekan, system tersebut menurut

cara berlakunya disebut sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini

pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan harus

melaksanakan Tutwuri Handayani Ingmadya Mangun Karsa dan Ing

Ngarsa Sung Thulada.

f. Pitujo Budiono, 1990, “ Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang

Sejarah “, Skripsi, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang sejarah secara eksplisit tidak

ada, manun secara implisit dapat ditelusuri dari berbagai karyanya.

Untuk mendalami pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang sejarah

ternyata dapat ditelusuri pemikirannnya tentang pendidikandan

kebudayaan serta komentar-komentar yang berhubungan dengan

pemikirannya. Pesatnya perkembangnan pendidikan, berarti semakin

tinggi tingkat kualitas dan kuantitas manusia yang, membawa

konsekuwensi pesatnya perkembangan masyarakat. Melalui

pendidikan, perkembangan masyarakat lebih terarah dan terkendali.

Pendidikan dapat mempercepat perkembangan masyarakat, sehingga

pendidikan merupakan motor penggerak proses sejarah. Pemikiran Ki

Hadjar Dewantara tentang sejarah bercorak linier dan bersifat

15

progresif, karena proses perkembangan yang terjadi , identik dengan

proses pendidikan. Proses perkembangan masyarakat menuruut Ki

Hadjar Dewantara mempunyai arah dan tujuan, yaitu usaha terus

menerus untuk mencapai kesejahteraan yang tercermin dalam

kebahagiaan setiap individu. Proses kemajuan merupakan tema

penting dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang sejarah.

g. Widayati Pujiastuti, 1998, “Konsep Manusia Sebagai Pamong

Menurut Ki Hadjar Dewantara” Tesis Fakultas Filsafat Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya pamong dalam kedudukannya dan

peran sebagai profesi diruntut berbagai kecakapan atau keahlian

khusus yaitu mempunyai wawasan keilmuan yang mantap sehingga

mampu mendidik, meneruskan, dan mengembangkan nilai-nilai hidup

termasuk nilai moral dan keimanan. Di bidang kemanusiaan seorang

pamong dituntut untuk mampu berperan sebagai orang tua ke dua

menjadikan dirinya sebagai idola peserta didik. Di bidang

kemasyarakatan, pamong pada hakikatnya merupakan komponen

strategis dan memiliki peran yang amat penting dalam gerak majunya

kehidupan bangsa. Pamong sebagai Satria Pinandhita dituntut untuk

mampu membina kehidupan bathin (rohani religi) keagamaan, mental,

moral, adab, kesucian dan keluhuran budi.

h. Runi Hariantati, 2002, Konsep Kemerdekaan Diri Dalam Pendidikan

Demokratis Menurut Ki Hadjar Dewantara Tesis pada Fakultas

Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya pemikiran Ki

16

Hadjar Dewantara tentang kemerdekaan diri sebagai dasar dan tujuan

pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalan yaitu alam

perguruan saja tetapi ketiga pusat penidikan lainnya yaitu keluarga

dan masyarakat harus berhubungan serapat-rapatnya secara harmonis

dan dinamis. Kemerdekaan diri bukanlah kemerdekaan yang tak

terbatas namun kemerdekaan yang di batasi oleh kemerdekaan orang

lain di luar dirinya. Asas kemerdekaan diri mengharuskan pamong

memiliki sikap dan laku yang dapat menjadi manusia budaya,

berintegritas tinggi yaitu jujur, dapat dipercaya, membina rasa harga

diri, berjiwa merdeka, konsekuwen dan konsisten dalam kata dan

perbuatan, wajar proporsional dalam segala prilaku positif.

Menerapkan Trilogi Kepemimpinan yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha

Ing Madya Magun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan tentang filsafat pendidikan di Indonesia, khususnya

filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dalam diskusi-

diskusi untuk memahami filsafat pendidikan di Indonesia

disamping filsafat pendidikan Pancasila.

17

b. Bagi Pembangunan Bangsa

1) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam pembentukan

jiwa merdeka untuk membangun sumber daya manusia yang

berkualitas, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam

membentuk karakter bangsa dengan pendidikan sebagai faktor

utamanya.

2) Penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan bangsa Indonesia

bahwa untuk menanamkan jiwa merdeka pada generasi muda harus

melalui sistem tri pusat pendidikan yaitu pendidikan keluarga,

pendidikan di sekolah, dan pendidikan dalam masyarakat.

c. Bagi Penelitian

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

pengetahuan tentang filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara

khususnya dan pengetahuan filsafat pendidikan di Indonesia pada

umumnya.

2) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk lebih

memahami konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara terutama

filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai salah satu filsafat

pendidikan di Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memahami dan menjelasan :

1. Apa hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara ?

18

2. Apa filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara ?

3. Apa sumbangan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan

bagi pendidikan Indonesia ?

C. Tinjauan Pustaka

Pengertian pandangan dan teori yang dikemukakan orang mengenai pendidikan

membentuk perkembangan peradaban manusia. Pengertian-pengertian,

pandangan-pandangan dan teori-teori tersebut terumus berbeda-beda. Meskipun

demikian, pendidikan berlangsung terus tanpa menunggu adanya keseragaman

arti dan teori pendidikan.

Konsep metode-metode pendidikan dari berbagai tokoh tersebut sudah

diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan, tetapi hasilnya masih jauh dari tujuan

pendidikan nasional, karena pendidikan nasional bukanlah semata-mata

mentransfer illmu pengetahuan dan teknologi tetapi lebih dari itu tugas pendidikan

adalah mentransfer nilai-nilai luhur bangsa, menanamkan semangat kebangsaan,

menanamkan identitas bangsa dan melestarikan serta mengembangkan budaya

bangsa terutama pada pendidikan dasar dan menengah (Saksono, 2008: 124).

Berikut ini akan dikemukakan pengertian-pengertian tentang pendidikan, yang

dikemukakan oleh beberapa ahli. Dengan mempelajari pengertian-pengertian

berikut, kita akan menjadi jelas, bahwa pendidikan itu bukan hanya sekedar

pewarisan budaya atau hasil peradaban manusia.

Ki Hadjar Dewantara mengatakan pendidikan umumnya berarti daya upaya

untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran

19

(intellect) dan tubuh anak (Ki Hadjar Dewantara, 2011: 14). Dalam mendidik anak

bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan supaya pendidik dapat memajukan

kesempurnaan hidup anak didiknya yaitu kehidupan anak-anak didik yang selaras

dengan dunianya. Disamping itu melalui metode among yang mengandung

pengertian bahwa para guru adalah pemimpin murid dalam proses belajar

mengajar, tidak otoriter tetapi demokratis dialogis. Driyarkara dengan mengolah

Serat Wedatama mengatakan bahwa orang muda harus mulad laku utama

(mengikuti tingkah laku yang baik), karena mendidik adalah memanusiakan

manusia muda. Anita Lie mengatakan sebaiknya pendidikan menggunakan

metode pembelajaran, peneladanan, pembiasaan pembudayaan dan perubahan

(Saksono, 2008: 47-82).

Langeveld mengatakan, pendidikan diartikan sebagai pemberian bimbingan

dan pertolongan rohani dari orang dewasa kepada mereka yang masih

memerlukannya (Soetopo, 1982: 10). Pendidikan berlangsung dalam suatu

pergaulan antara pendidik dan anak didik. Pendidik adalah orang dewasa yang

berusaha memberikan pengaruh, perlindungan dan pertolongan yang tertuju

kepada pendewasaan anak didiknya. Tugas pendidik ialah membantu atau

menolong anak didik agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri atas

tanggung jawabnya sendiri. Pertolongan tersebut bersifat rohani, karena berupa

bimbingan terhadap fungsi-fungsi rohani anak didik, misalnya akal, ingatan dan

emosi anak.

Tamansiswa sebagai suatu sekolah nasional berdasarkan kebudayaan sendiri,

bukan hanya mendidik intelektualisme yang menjadi pengajaran melainkan

20

mendidik manusia pribadi yang insaf akan dirinya sebagai anggota masyarakat

(Hatta, 198: 23). Pernyataan Moh Hatta ini berarti merupakan penentangan Ki

Hadjar Dewantara terhadap sistem pendidikan barat yang semata-mata

mementingkan intelektualisme dengan mengesampingkan nilai-nilai moral

maupun nilai-nilai budaya lokal. Walaupun Ki Hadjar Dewantara tidak anti

budaya asing, tetapi nilai suatu budaya harus berakar dari budaya sendiri

sedangkan nilai budaya asing harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya sendiri.

Pengajaran dan pendidikan adalah sarana penyebarluasan benih hidup

merdeka di kalangan rakyat. Perjuangan dan pengabdian Tamansiswa kepada

rakyat Indonesia selama dalam kekuasaan penjajahan (1922-1945) selalu sejalan

dengan pergerakan rakyat dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia.

Sikap pengabdian Tamansiswa dalam melaksanakan perjuangan itu bertolak

dari landasan asas-asasnya yang disebut “Asas Tamansiswa 1922” disahkan pada

tahun 1923 sebagai alat perjuangan Tamansiswa mencapai cita-citanya, yang pada

garis besarnya dapat diartikan sebagai berikut :

1. Hak mengatur diri sendiri dengan memperhatikan ketertiban umum.

Bertujuan membangun masyarakat tertib damai. Menggunakan sistem

among di dalam pendidikan.

2. Tujuan pendidikan ialah membangun anak didik menjadi manusia

merdeka lahir batin. Mendidik anak didik mencari sendiri tambahan

pengetahuannya yang berguna. Pengetahuan yang berguna ialah yang

manfaat bagi dirinya dan masyarakatnya.

21

3. Melaksanakan pendidikan nasional sebagai usaha kebudayaan yang

bersumber pada kebudayaan bangsa sendiri, mencapai masyarakat

yang berkebudayaan. Mengembangkan kebudayaan selaras dengan

kemajuan alam (masyarakat) dan zaman.

4. Mengutamakan pemerataan pengajaran daripada meninggikannya, bila

usaha meninggikan pengajaran itu menghambat pemerataannya.

Kekuatan bangsa dan negara terletak pada jumlah kekuatan masing-

masing warganya.

5. Bekerja menurut kekuatan sendiri (mandiri) dan menolak tiap bantuan

yang mengikat. Tidak terikat atau tergantung kepada bantuan orang

lain.

6. Melaksanakan hidup berdikari dengan hidup hemat dan sederhana.

7. Bekerja tulus-ikhlas mengabdi (berdekatan) dengan sang anak, tanpa

pamrih (keuntungan materi pribadi) (Wiryosentono, 1982: 6).

“Asas Tamansiswa 1922” tersebut pada Konggres V Tamansiswa tahun 1947

dirumuskan menjadi lima dasar, yang disebut: “Dasar Tamansiswa 1947 ” atau

“Dasar Pancadarma Tamansiswa”, ialah :

1. Kodrat alam

2. Kemerdekaan

3. Kebudayaan

4. Kebangsaan

5. Kemanusiaan (Wiryosentono, 1982: 9).

Dasar-dasar Pancadarma Tamansiswa dijelaskan, sebagai berikut :

22

1. Dasar kodrat alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan, mengandung

arti, bahwa pada hakekatnya manusia sebagai makhluk Tuhan, adalah

satu dengan alam semesta ini, karena itu manusia tidak dapat lepas dari

kehendak hukum-hukum kodrat alam. Bahkan manusia akan

mengalami kebahagiaan, jika ia dapat menyatukan diri dengan kodrat

alam yang mengandung segala hukum kemajuan.

2. Dasar kemerdekaan mengandung arti, bahwa kemerdekaan sebagai

karunia Tuhan kepada semua makhluk (manusia) yang memberikan

kepadanya “hak untuk mengatur hidupnya sendiri“ dengan selalu

mengingat syarat-syarat tertib-damai hidup bersama dalam masyarakat.

Karena itu kemerdekaan diri harus diartikan “swadisiplin” atas dasar

nilai-nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun

sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk

mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana

perimbangan dan keselarasan dengan masyarakat.

3. Dasar kebudayaan mengandung arti keharusan memelihara nilai-nilai

dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional. Dalam memelihara

kebudayaan nasional itu, yang pertama dan terutama ialah membawa

kebudayaan nasional ke arah kemajuan sesuai dengan kecerdasan

zaman dan kemajuan dunia, guna kepentingan hidup rakyat lahir batin

dan tiap zaman dan keadaannya.

4. Dasar kebangsaan mengandung arti adanya rasa satu bersama bangsa

sendiri dalam suka dan duka, dan dalam kehendak mencapai

23

kebahagiaan hidup lahir batin seluruh bangsa. Dasar kebangsaan tidak

boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan, bahkan harus menjadi

sifat, bentuk dan laku kemanusiaan yang nyata, dan karenanya tidak

mengandung rasa permusuhan terhadap bangsa-bangsa lain.

5. Dasar kemanusiaan mengandung arti, bahkan kemanusiaan itu ialah

darma tiap-tiap manusia yang timbul dari keluhuran akal budinya.

Keluhuran akal budi menimbulkan rasa dan laku cinta kasih terhadap

sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya yang bersifat

keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam

semesta. Karena itu rasa laku cinta kasih itu harus tampak pula

sebagai kesimpulan untuk berjuang melawan segala sesuatu yang

merintangi kemajuan yang selaras dengan kehendak alam.

Asas Tamansiswa yang diumumkan pada tanggal 3 Juli 1922, disahkan dalam

Konperensi I Tamansiswa 20-22 Oktober 1923 dan dinyatakan dalam Kongres I

Tamansiswa 6-13 Agustus 1030 sebagai “Piagam Perjanjian Pendirian” yang

menegaskan bahwa asas Tamansiswa tersebut harus tetap hidup sebagai pokok

yang tak boleh berubah, tak boleh disangkal dan tidak boleh dikurangi oleh suatu

peraturan atau adat dalam kalangan Tamansiswa, selama nama Tamansiswa hidup

masih akan terpakai. Piagam tersebut merupakan naskah penyerahan pengelolaan

Tamansiswa dari pendirinya Ki Hadjar Dewantara kepada Majelis Luhur sebagai

pimpinan Persatuan Tamansiswa pada tanggal 7 Agustus 1930.

24

D. Landasan Teori

Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan

kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang

wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat

menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Berhubung dengan itu

progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik

yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang (Barnadib, 1982:

28 ).

Progresivisme berpendapat selaras dengan pengertian yang terkandung dalam

among metode menyatakan hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelf

beschikkingssrecht) dengan mengingat tertibnya persatuan, dalam peri kehidupan

umum (maatschappelijk saamhoorighrid).

Tertib dan damai (Orde en Vrede) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya.

Tidak adalah “ketertiban” terdapat, kalau tak bersandar pada “kedamaian“.

Sebaliknya tidak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala

syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei) itulah perlu

sekali untuk segala kemajuan dan harus dimerdekakan seluasnya. Maka dari itu

pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (regeering-

tucht-en orde), ini perkataan dalam ilmu pendidikan) kita anggap memperkosa

hidup kebatinan anak yang kita pakai sebagai alat pendidikan ialah pemeliharaan

dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir batin

menurut kodratnya sendiri (Dewantara, 2011: 48).

25

“Kemerdekaan adalah kesadaran dan kemampuan seseorang untuk

mengendalikan diri, karena kemerdekaan individu selalu dibatasi oleh tertib

damainya hidup bersama (Suratman, 1987: 12). Kemerdekaan sebagai karunia

Tuhan kepada manusia merupakan hak untuk mengatur hidupnya sendiri, namun

demikia harus selalu mengingat tertib damainya hidup bersama dalam masyarakat.

Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan

untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan

memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam

proses pendidikan. Padahal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia

dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.

Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme,

maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan

dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan.

Menurut pernyataan asas Tamansiswa (beginsel-verklaring) sebagai reaksi

terhadap sistem pendidikan yang memaksakan kultur asing sebagai landasannya,

sehingga proses dan hasilnya tidak sesuai dengan kodrat anak Indonesia ditentang

oleh Tamansiswa yang menegaskan: “Yang kita pakai sebagai alat pendidikan,

yaitu pemeliharaan dengan sebesar-besar perhatian (toewijdende zorg) untuk

mendapatkan tumbuh kembangnya kehidupan anak lahir batin, menurut kodratnya

sendiri” (Soeratman, 1990: 9).

Ditinjau dari segi nilai-nilai yang akan dikembangkan pasti juga akan

menyimpang dari nilai-nilai budaya bangsanya. Hal demikian tidak mungkin

digunakan untuk keperluan membentuk watak dan kepribadian bangsa. Anak-anak

26

tersebut akan terasing dari kehidupan bangsanya dan tidak akan peka terhadap

aspirasi dan penderitaan rakyatnya.

Mudah dimengerti kiranya, bahwa dasar kodrat alam digunakan dalam arti

edukatif dan dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar (Soeratman, 1990:

9-10).

Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan pendidikan yang

berbeda dengan progresivisme. Kalau progresivisme menganggap pandangan

bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu

berubah dan berkembang, essensialisme mengangngap bahwa dasar pijak

semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk,

dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan

yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1982: 38 ).

Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat

menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu

pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan

kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud dan nilai-nilai tersebut nilai-nilai perlu

dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-

nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang

korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman

Resanisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal.

Puncak refleksi dari gagaan ini adalah pada pertengahan kedua abad kesembilan

belas.

27

Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang

mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan

kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang

membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan

lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman

memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat

bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas

yang pertama-tama dari filsafat pendidikan (Barnadib, 1982: 59).

Bagi Ki Hadjar Dewantara pendidikan memang bukan kembali ke budaya abad

pertengahan tetapi sesuai dengan kodrat alam sebagai metode pendidikan anak

didik agar dimasukkan ke dalam budaya lokal sesuai dengan kodrat anak melalui

keluarga, sekolah dan masyarakat lingkungannya.

Aliran Reconstructionisme dalam satu prinsip sependapat dengan

Perennialisme : bahwa ada satu kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan

kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang, yang sekarang mengalami

ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi tidak sependapat dengan cara

dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat Perennislisme yang memilih jalan

kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan, maka Rekonstruksionisme

berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang

tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia (Noor Syam, 1983: 340).

Ki Hadjar Dewantara pada bagian lain mengatakan bahwa Tamansiswa selain

merupakan “badan perjuangan“ juga mempunyai sifat sebagai badan

pembangunan. Bukankah mendirikan perguruan bagi anak-anak itu sudah berarti

28

membangun secara positif. Membangun masyarakat dan kebudayaan bukan satu-

satunya tugas Tamansiswa karena Tamansiswa juga bertujuan mewujudkan

sistem pendidikan dan pengajaran yang nasional. Tamansiswa berarti dalam cita-

citanya juga memasukkan kepentingan baik yang lahir mengenai penghidupannya

maupun yang batin dan bertalian dengan penghidupannya (30 Tahun Taman

Siswa, 1981: 17).

Pepatah lama mengatakan pengalaman adalah guru yang paling baik, seperti

yang dikatakan oleh John L Childs berpendapat bahwa nilai yang paling

fundamental dalam filsafat eksperimental adalah metodenya yakni metode

pengalaman yang bersifat empiris radikal (Sardy, 1985 : 28). Indonesia sudah

merdeka selama 67 tahun lebih, berarti sudah selama 67 tahun memiliki

pengalaman dalam proses belajar mengajar.

Pernyataan tersebut jelas bahwa kodrat anak Indonesia perlu diperhatikan

dalam memberikan bimbingan pada pertumbuhan jiwa-raganya. Kodrat anak

Indonesia memerlukan perlakuan berdasarkan garis hidup atau kultur bangsanya.

Jika tidak demikian maka melandaskan pendidikannya kepada kultur asing adalah

bertentangan dengan kodrat anak tersebut. Dengan memberikan pendidikan yang

bertentangan dengan kodrat alam anak, maka proses belajar-mengajar pasti akan

mengalami banyak hambatan, tidak berjalan lancar dan tidak akan mencapai

tujuan.

John Dewey mengatakan, pendidikan adalah suatu proses pengalaman

(Soemanto, Soetopo, 1982: 11). Setiap manusia menempuh kehidupan, baik pisik

maupun rohani karena kehidupan adalah pertumbuhan, maka pendidikan

29

merupakan proses yang membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia.

Proses pertumbuhan merupakan proses penyesuaian pada tiap-tiap phase.

Pertumbuhan anak didik menghasilkan perkembangan pribadinya.

E. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Obyek material dalam penelitian ini adalah konsepsi Ki Hadjar

Dewantara tentang pendidikan dan yang menjadi obyek formal

penelitian ini adalah filsafat pendidikan. Tipe penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan.

2. Bahan atau Data Penelitian

a. Data Primer

Data primer dari obyek penelitian yang berupa tulisan-tulisan Ki

Hadjar Dewantara dan buku-buku Ki Hadjar Dewantara antara

lain:

1) Buku I karya Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan tahun

2011.

2) Buku II karya Ki Hadjar Dewantara tentang kebudayaan tahun

1994.

b. Data sekunder

Buku-buku jurnal pendidikan, artikel-artikel yang mengkaji

konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara .

3. Langkah-langkah Penelitian

30

Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai

berikut :

a. Pengumpulan data.

Langkah awal penelitian ini adalah mengumpulkan data

sebanyak mungkin berkaitan dengan pandangan-pandangan

pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

b. Penentuan kategori data.

Data yang sudah terkumpul untuk selanjutya diklasifikasi. Tujuan

klasifikasi ini untuk membuat data sehingga tampak jelas

perbedaan antara data primer dan data sekunder. Kategori data

juga berkaitan dengan daftar isi di dalam setiap bab atau sub bab.

c. Analisis data primer dan data sekunder dengan menggunakan

metode hermeneutika.

d. Menyusun draf hasil penelitian.

e. Menyusun laporan hasil penelitian.

4. Analisis Hasil Penelitian

Sebagai sebuah penelitian bidang filsafat yang menggunakan obyek

material yang berupa pemikiran-pemikiran pendidikan, maka

penelitian ini akan menggunakan metode analisis sebagai berikut:

a. Historis.

Metode ini digunakan untuk melukiskan sejarah yang menyangkut

tentang apa, siapa, kapan, bagaimana dan dimana peristiwa sejarah

itu terjadi (Kartodirjo dalam Kaelan, 2005: 91).

31

b. Hermeneutika

Hermeneutika adalah sistem tafsir untuk mengungkapkan makna

yang “tersembunyi” di balik teks (Richard R. Palmer, 2005: 41).

Metode hermeneutika digunakan untuk menangkap makna esensial,

sesuai dengan konteknya. Penangkapan makna esensial diterapkan

pada waktu proses pengumpulan. Setelah data terkumpul lalu

dilakukan analisis dengan melalui interpretasi terhadap data, sehingga

esensi data dapat ditangkap dan dipahami sesuai konteks waktu

sekarang (Kaelan, 2005: 252-253).

Jadi dengan metode hermeneutika peneliti ingin :

1) Mencari makna esensial dari obyek material penelitian.

2) Mencari relevansi atau konteks antara makna esensial yang

diperoleh dengan kondisi yang ada sekarang.

F. Sistematika Penelitian

Bab I merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian

yang terdiri atas masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian,

manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

yang terdiri atas obyek penelitian, bahan atau data penelitian, langkah-langkah

penelitian, analisis penelitian.

Bab II berisi uraian tentang pengertian filsafat pendidikan, problem-problem

filsafat pendidikan, aliran-aliran filsafat pendidikan progresivisme, filsafat

32

pendidikan essensialisme, filsafat pendidikan perenialisme dan filsafat pendidikan

reconstructionisme.

Bab III merupakan bagian yang menjelaskan riwayat hidup Ki Hadjar

Dewantara. Menjelaskan karya-karya Ki Hadjar Dewantara antara lain Tri Pusat

Pendidikan, Trilogi Kepemimpinan, Ngerti Ngroso lan Nglakoni (Tri Nga), Tri

Pantangan Metode Among, dan Pendidikan Nasional.

Bab IV merupakan bagian yang menjelaskan konsepsi pendidikan Ki Hadjar

Dewantara dalam tinjauan filsafat pendidikan progressivisme dan filsafat

pendidikan essensialisme serta sumbangan filsafat pendidikan Ki Hadjar

Dewantara bagi pendidikan Indonesia.

Bab V merupakan bagian penutup yang berisi mengenai kesimpulan

penelitian yang dilakukan, dan saran-saran yang ditujukan untuk penelitian yang

akan datang.