1 bab i pendahuluan a. latar belakang penelitian...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
1. Masalah Penelitian
Negara Indonesia adalah negara berkembang, bagi Indonesia berada dalam arti
yang sebenarnya, karena Indonesia masih banyak yang tertinggal dibandingkan
negara-negara yang disebut maju. Secara khusus ketertinggalan itu dalam bidang
pendidikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja negara sudah memberikan
anggaran sebesar 20% dari anggaran secara keseluruhan untuk mengatasi kualitas
pendidikan di Indonesia.
Anggaran tersebut bertujuan untuk membangun fasilitas sekolah yang baru
meningkatkan kualitas guru dan memberikan dana BOS (Biaya Operasional
Sekolah) yang diberikan pada siswa setiap bulannya. Apabila ditanyakan hasilnya,
pasti tidak dapat menjawab serta hanya menunduk, membayangkan pendidikan di
negara-negara lain yang semakin maju, sementara pendidikan di Indonesia yang
semakin tertinggal.
Kualitas pendidikan nasional jauh tertinggal dari kualitas pendidikan di negara
maju. Bahkan kalah dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN ,
kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia dan
Muangthai ( Saksono, 2010: 78).
2
Lebih memprihatinkan adalah besarnya kesenjangan relevansi antara lulusan
dengan kebutuhan masyarakat. Kesenjangan tersebut terjadi karena lulusan
pendidikan tidak dibekali pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan
kebutuhan industri, ini terjadi karena lemahnya perencanaan tenaga kerja
nasional. Besarnya kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat terjadi karena sistem pendidikan belum didesain selaras dengan
kebutuhan tenaga kerja nasional. Akibatnya terjadi mismatch antara lulusan
lembaga pendidikan dengan lapangan kerja pada masyarakat khususnya industri.
Biaya pendidikan yang mahal merupakan faktor lain ketertinggalan pendidikan
di Indonesia. Pendidikan berkualitas itu mahal harganya, kalimat ini sering
muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Indonesia sedang
menggalakkan wajib belajar 12 tahun tetapi negara lain sudah menggalakkan
wajib belajar 12 tahun sudah 5 sampai 10 tahun yang lalu.
Globalisasi yang dipengaruhi oleh semangat fundamentalisme pasar,
menyebabkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya
mencerdaskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia tetapi mulai bergeser
menuju pendidikan sebagai komuditas (Saksono, 2010: 76 ).
Pengaruh globalisasi yang sedang dan akan berlangsung akan berpengaruh
secara terus menerus sampai waktu yang tidak dapat ditentukan, hal ini semakin
sulit diatasi. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam masa-
3
masa yang akan datang, rasanya sangat berat. Bangsa Indonesia harus secara
serius menangani masalah ini.
Globalisasi berarti menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh
dunia. Globalisasi berarti bahwa kerusuhan yang terjadi di suatu tempat tidak
dapat kita sembunyikan, tetapi secara serta merta diketahui oleh seluruh dunia.
“Rap music“ yang mula-mula hanya disukai oleh anak-anak muda berkulit
hitam di bagian-bagian kumuh dari kota-kota di Amerika Serikat, dengan sangat
cepat menjadi kesukaan anak-anak muda di Jakarta dan kota-kota besar di
Indonesia (Buchori, 2001 : 46 ).
Globalisasi membawa implikasi untuk pendidikan diantaranya : istilah melek
huruf tidak lagi hanya berarti bisa baca, tulis dan hitung; melainkan kemampuan
berpikir, merasa dan bertindak dalam idiom kultural dan teknologi global.
Cukup mudah membuat anak didik fasih dalam skills teknis, tetapi jika hanya
itu saja, pendidikan sekolah lalu tidak lebih dari sekedar kursus ketrampilan
teknis pertukangan. Oleh karena itu pendidikan tidak lebih sekedar memproduksi
anak yang pintar cari kerja, tetapi belum tentu mampu melihat banyak
permasalahan yang terlibat dalam globalisasi dewasa ini apalagi
mempertanyakan. Jika demikian berarti pendidikan juga hanya memproduksi
lulusan yang “hidup untuk dirinya sendiri “, dan tidak pernah mampu menjadi
“orang yang peduli pada persoalan masyarakatnya”. Semakin dalam memasukkan
anak didik ke kultur global, semakin besar-sebagai imbangan-urgensi untuk
mendidik aspek “ afektif ” pada anak didik.
4
Disadari atau tidak bahwa globalisasi bukan hanya suatu proses yang bersifat
satu arah. Globalisasi merupakan suatu proses yang bersifat dua arah, karena
globalisasi mengandung arti melokalnya hal-hal yang datang dari luar. Bisa
dicontohkan bahwa makan ayam goreng di restoran Mc. Donald atau di Kentucky
Fried Chicken (KFC) merasa lebih enak dan lebih bergengsi daripada makan di
restoran Mbok Berek atau Nyonya Suharti. Pandangan semacam ini berarti
merupakan suatu proses melokalnya suatu kebiasaan yang datang dari Amerika
pindah ke Yogyakarta. Nonton di bioskop minum coca cola sambil makan
popcorn banyak juga dilakukan anak-anak muda Yogyakarta ini juga
menunjukkan proses melokalnya kebiasaan anak-anak muda Amerika di
Yogyakarta.
Melokalnya budaya yang datang dari luar Negeri tersebut di atas bukan satu-
satunya budaya yang disukai anak-anak muda Indonesia, tetapi peneliti juga
mengamati meluasnya budaya internet. Fenomena ini juga merupakan bagian dari
proses globalisasi, sekarang orang yang tidak dapat mengoperasikan komputer
akan dipandang sebagai orang Indonesia yang ketinggalan zaman atau gagap
teknologi.
Upaya dalam menghadapi kenyataan ini, ada dua pilihan yang harus dilakukan
yaitu membiarkan masyarakat Indonesia terseret oleh proses globalisasi atau
memanfaatkan proses globalisasi untuk pembangunan bangsa dan negara
Indonesia. Penulis yakin bahwa masyarakat Indonesia akan memilih globalisasi
sebagai pembangunan bangsa dan negara. Sebagai suatu bangsa tentu saja tidak
5
ingin terperangkap dalam nasionalisme yang statis, melainkan nasionalisme yang
dinamis dan maju.
Karena globalisasi maka tujuan pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar
sampai tingkat tinggi tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi
lebih berfokus untuk menghasilkan lulusan yang menguasai scientia, walaupun
belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan bangsa, tetapi kurang membekali
peserta didiknya dengan semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial, serta
sifat-sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara (Saksono, 2010 :
76). Model pendidikan ini jelas mengarahkan anak didik kepada hasil yang
bersifat pragmatis dan materialistik.
Untuk menangkal model pendidikan semacam itu maka konsep-konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewatara ditawarkan sebagai solusi terhadap distorsi-
distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini.
Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter yang cukup
memprihatinkan. Demoralisasi mulai merambah di dunia pendidikan antara lain
ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan diri, dan kurangnya tanggung
jawab sosial, hilangnya sikap ramah tamah dan sopan santun (Cakrawala
Pendidikan, 2010 : 42).
Bergaul dengan kebudayaan-kebudayaan asing adalah jalan menuju ke arah
kemajuan bangsa dan negara. Oleh karena itu hendaknya bangsa Indonesia harus
memiliki metode tertentu untuk mencapai kemajuan tetapi tetap didasari
kepribadian Indonesia. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha
kemajuan ditempuh melalui petunjuk “trikon“ yaitu kontinyu dengan alam
6
masyarakat Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu
dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun
tetap mempunyai kepribadian sendiri (Dewantara, 1994: 371 ).
Pendidikan merupakan suatu fenomena fundamental atau asasi dalam
kehidupan manusia. Dapat dikatakan dimanapun ada kehidupan manusia, maka
disitu akan terdapat pendidikan. Dalam sejarah kehidupan manusia pendidikan
sudah ada dalam masyarakat primitif sampai masyarakat modern dewasa ini.
Masyarakat primitif melakukan pendidikan dalam hidup bersama dalam
kelompok. Driyarkara mengatakan pendidikan itu terjadinya dengan dan dalam
ada dan hidup bersama. Di situ ada perbuatan-perbuatan dan hal-hal yang dengan
sengaja atau tidak sengaja, disadari atau tidak disadari memasukkan manusia
muda ke dalam alam atau dunia manusia (Driyarkara, 2006: 270). Selanjutnya
Driyarkara mengatakan mendidik adalah pertolongan atau pengaruh yang
diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak supaya anak menjadi
dewasa (Driyarkara, 2006: 414). Taman Siswa adalah suatu perguruan yang
berbeda dengan sekolah-sekolah yang ada pada masa penjajahan bahkan mungkin
sampai saat ini berbeda dengan sekolah umumnya. Penentangan terhadap
pendidikan masa penjajahan yang mengagungkan intelektualisme dilawan dengan
pendidikan Taman Siswa yang menggunakan kebudayaan lokal sebagai bagian
dari alat pendidikan.
Pestalozzi, Frőbel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh pendidikan yang
berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan kebudayaan dalam kurikulum
pendidikan. Mulai dari Taman Kanak-kanak (Taman Indria) sampai sekolah
7
menengah unsur-unsur kebudayaan lokal di masukkan dalam kurikulum untuk
melatih pancaindera jasmani, kecerdasan dan utamannya adalah kehalusan budi
pekerti. Pelajaran yang diberikan di Taman Indria mulai dari dolanan anak,
ndongeng, sariswara yaitu menggabungkan antara lagu, cerita dan sastra. Nilai-
nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik rasa, pikiran dan budi pekerti.
Anak-anak yang sudah agak besar misalnya di Sekolah Menengah Pertama
(Taman Dewasa) dan Sekolah Menengah Atas (Sekolah Menengah Madya) para
siswa diberikan pelajaran olah gendhing. Ki Hadjar Dewantara mengatakan
bahwa olah gendhingdan seni tari adalah untuk memperkuat dan memperdalam
rasa kebangsaan (Dewantara, 2011: 344). Tari Bedoyo dan Tari Serimpi diberikan
kepada anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang
mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian, dan rasa keindahan. Gadis-gadis
keraton zaman dulu diwajibkan mempelajari Tari Serimpi. Sandiwara atau drama
yang dalam istilah Jawa disebut Tonil, misalnya Srandul, Reog, Kethoprak,
Wayang Wong, Langendriyan, Langen Wanara, Langen Asmara Suci dan lain-
lain.
Anak didik dimasukkan ke dalam kebudayaan dan memasukkan kebudayaan
dalam diri anak didik, adalah untuk memberikan segala nilai-nilai kebatinan
kepada setiap turunan baru (penyerahan kultur) tidak hanya berupa “
pemeliharaan “akan tetapi dengan maksud “memajukan” serta
“memperkembangkan” kebudayaan menuju kearah keluhuran hidup kemanusiaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu kurikulum. Karena
kurikulum mengacu pada karakteristik peserta didik, perkembangan ilmu dan
8
teknologi pada zamannya serta mengacu kepada kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Penyusunan kurikulum atas dasar acuan keadaan masyarakat disebut
“kurikulum muatan lokal”. Keberadaan kurikulum muatan lokal di Indonesia telah
dikuatkan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia dengan nomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Sedang
pelaksanaannya telah dijabarkan dalam keputusan Direktur Jendral Pendidikan
Dasar Dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober 1987.
Menurut surat keputusan tersebut yang dimaksud dengan kurikulum muatan
lokal ialah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan
dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya sarta kebutuhan daerah dan wajib
dipelajari oleh murid di daerah tersebut. Menurut Dirjen Kurikulum Muatan Lokal
adalah kurikulum yang diperkaya dengan materi pelajaran yang ada di lingkungan
setempat. Menurut kurikulum 1994 kurikulum muatan lokal adalah materi
pelajaran yang diajarkan secara terpisah menjadi kajian tersendiri.
Menurut Soewardi kurikulum muatan lokal adalah materi pelajaran dan
pengenalan berbagai ciri khas daerah tertentu, bukan saja yang terdidi dari
keterampilan, kerajinan, tetapi juga manifestasi kebudayaan daerah, legenda,
sertaadat istiadat. Secara umum tujuan program pendidikan muatan lokal adalah
mempersiapkan murid agar meraka memiliki wawasan yang mantap tentang
lingkungannya serta sikap dan perilaku bersedia melestarikan dan
mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosisal dan kebudayaan yang
mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat.
9
Jadi pada perinsipnya kurikulum muatan lokal adalah program pendidikan
yang di isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam,
lingkungan budaya dan kebutuhan daerah serta wajib dipelajari oleh murid di
daerah tersebut. Kurikulum muatan lokal diberikan dengan tujuan untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional.
Menurut Sutiyono pendidikan seni dapat digunakan sebagai basis pendidikan
karakter, yang dapat menghasilkan kompetensi lulusan yang berkarakter mulia.
Proses pembelajaran seni seperti pada program studi seni tari Universitas Negeri
Yogyakarta diajarkan materi tari-tarian dari berbagai daerah budaya di Indonesia.
Tari-tarian itu berupa tari dasar dan tari budaya lain tari dasar meliputi tari Jawa
Yogyakarta, Surakarta sedangkan tari budaya lain meliputi tari Bali tari Sunda tari
Sumatera tari Kalimantan dan tari Sulawesi. Di samping itu pendidikan seni
dalam arti sebagai pembelajaran iringan tari misalnya tari Jawa dengan karawitan
Jawa maupun music pengiring dari tarian dari suku-suku lain (Sutiyono, 2010:
161-169)
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
a. Apa hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara ?
b. Apa filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara ?
c. Apa sumbangan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan
bagi pelaksanaan pendidikan Indonesia ?
10
3. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara sudah banyak
dilakukan oleh para mahasiswa di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Tetapi menurut peneliti belum ada penilitian baik yang
di lakukan mahasiswa S1 dalam bentuk skripsi maupun penelitian mahasiswa S2
dalam bentuk tesis yang membahas atau mengkaji dengan judul yang sama seperti
yang peneliti ajukan ini yaitu: “ Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia ”. Judul-judul penelitian yang telah
dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Filsafat antara lain :
a. Runi Hariantati, 1981, “Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang
Kemerdekaan diri sebagai Dasar Pendidikan Keluarga”, Skripsi,
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya bagi
Ki Hadjar Dewantara “kemerdekaan diri” merupakan unsur mutlak
yang harus ada dan diutamakan dalam pendidikan anak karena dapat
memberkan suatu pertumbuhan yang tidak terhlang untuk mencapai
arah kebesarannya. Pendidikan sebagai usaha untuk menuntun potensi
anak lahir dan batin. Pendidikan keluarga di mana orang tua sangat
berperan dalam mendidik yakni menentukan dan mengarahkan anak-
anaknya sehingga kemerdekaan diri merupakan dasar paling tepat
dalam mendidik anak-anaknya. Dasar kemerdekaan diri terlukis di
dalam sistem pendidikan yang di kenal dengan sistem among.
Kemerdekaan diri menjamin tujuan hidup manusia dan mempertinggi
derajat dan keluhuran kemanusiaan.
11
b. Margiyono, 1984, “Sumbangan Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Tentang Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Skripsi, Fakultas
Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya hak asasi manusia itu
sifatnya universal, selalu diperjuangkan sejak dahulu sampai sekarang
oleh setiap bangsa. Bangsa Indonesia sejak dahulu telah
memperjuangkan dan melaksanakan hak-hak asasi manusia. Di antara
para pemimpin pejuang bangsa itu ialah Ki Hadjar Dewantara. Setelah
Indonesia merdeka Tamansiswa merasa berkewajiban secara moral
untuk berperan serta sepenuhnya membantu pemerintah Republik
Indonesia khususnya dalam pelaksanaan Pendidikan Nasional.
c. Muh Khambali, 1984, “Tinjauan Filosofis Terhadap Konsepsi Ki
Hajar Dewantara (1889-1959) tentang Dinamika, Skripsi, Fakultas
Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya kebudayaan nasional
Indonesia adalah buah budi manusia yang menurut kejadiannya
merupakan hasil perjuangan hidup manusia terhadap pengaruh alam
dan zaman. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan
pengkhususan kebudayaan universal. Sebagai bagian alam
kemanusiaan bangsa Indonesia tidak boleh melanggar dasar-dasar peri
kemanusiaan manusia dan bangsa-bangsa lain. Dinamika kebudayaan
Nasional Indonesia sebagai suatu keharusan untuk selalu mengingat
asal Tri Kon dan SBII. Dinamika kebudayaan Nasinal Indonesia tidak
boleh lepas dari pangkal asalnya tetapi diperkaya bangsa lain dengan
tetap berkepribadian Indonesia.
12
d. Andhika Mudji W., 1986, “Aspek Kosmologi Pada Kodrat Alam
Dalam Konsep Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara”, Skripsi,
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya Ki Hadjar
Dewantara berpendirian bahwa pendidikan merupakan usaha
penyerahan kebudayaan, maka pendidikan nasional harus berdasar
pada kebudayaan nasionalnya atau berorientasi kepada kebudayaan
sendiri. Kosmologi sebagai ilmu dapat dipergunakan untuk memahami
alam semesta, agar hidup manusia tidak terlepas dari keselarasan
dengan alam semesta. Apabila manusia dapat menyelaraskan dirinya
dengan kodrat alamnya, yaitu manusia yang selalu menempatkan
dirinya pada tatanan alam yang selaras, menempatkan dirinya sesuai
dengan sifat kodratnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
dan menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukan kodratnya, yaitu
sebagai diri pribadi dan sebagai makhluk Tuhan. Aspek kosmologis
pada kodrat alam nampak pada pengakuannya terhadap manusia
adalah bagian dari alam mesta. Dasar kodrat alam selain
menempatakan masusia secara vertikal yaitu dalam hubungannya
dengan Tuhan juga menempatkan manusia pada hubungan
horisontalnya dengan alam sekitar dan lingkungan hidupnya. Sehingga
manusia sebagai mikro kosmos dapat selaras dengan alam dunia
sebagai makro kosmos. Kodrat alam merupakan pedoman untuk
pembinaan hidup sesuai dengan lingkungan budayanya sehingga dapat
terjadi keseimbangan antara unsur “dasar” yaitu kodrat atau
13
pembawaan manusia dengan unsur “ajar” atau unsur yang berasal dari
lingkungan yang terdapat diluar dirinya. Berarti terjadi keselarasan
antara manusia dengan tatanan alam sekitarnya. Kodrat alam selalu
mengutamanakan adanya keserasian dan keseimbangan yang meliputi
keseimbangan hidup sosial maupun keseimbangan hidup manusia
sebagai makhluk Tuhan. Pertumbuhan anak secara kodrati ialah
pertumbuhan yang sesuai dengan hukum alam, yang berarti selaras
dengan keadaan di dalam dan di luar dirinya.
e. Sunardi , 1988, “Relevansi Ajaran-Ajaran Ki Hadjar Dewantara
Terhadap Pendidikan Nasional Indonesia”, Skripsi, Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada. Intinya Ki Hadjar Dewantara memilih jalan
usaha pendidikan nasional berasarkan kebudayaan dan kepribadian
berdasarkan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk anak-anak
bangsa Indonesia. Tujuan pendidikan Taman Siswa ialah ingin
membangun anak didik menjadi manusia yang taqwa, merdeka lahir
batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi angota
masyarakat yang berguna dan bertanggungjawab atas kesejahteraan
bangsa tanah air, serta manusia pada umumnya. Untuk mencapai
tujuan tersebut diperlukan landasan bagi pelaksanaannya antara lain
Asas Taman Siswa yang terdiri dari tujuh pasal yang kemudian
dipertegas dalam Pancadarma yaitu kodrat alam, kemerdekaan
kebudayaan kebangsaan dan kemanusiaan. Dasar ini mengandung
pengertian nasional dan sistem among untuk mencapai tujuannya
14
maka Taman Siswa melaksanakan Tri Pusat Pendidikan yaitu lin
kungan keluarga, lingkungan perguruan dan lingkungan masyarakat
atau pemuda. Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan menurut system
among ialah suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan
bersendikan kodrat alam dan kemerdekan, system tersebut menurut
cara berlakunya disebut sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini
pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan harus
melaksanakan Tutwuri Handayani Ingmadya Mangun Karsa dan Ing
Ngarsa Sung Thulada.
f. Pitujo Budiono, 1990, “ Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang
Sejarah “, Skripsi, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Intinya
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang sejarah secara eksplisit tidak
ada, manun secara implisit dapat ditelusuri dari berbagai karyanya.
Untuk mendalami pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang sejarah
ternyata dapat ditelusuri pemikirannnya tentang pendidikandan
kebudayaan serta komentar-komentar yang berhubungan dengan
pemikirannya. Pesatnya perkembangnan pendidikan, berarti semakin
tinggi tingkat kualitas dan kuantitas manusia yang, membawa
konsekuwensi pesatnya perkembangan masyarakat. Melalui
pendidikan, perkembangan masyarakat lebih terarah dan terkendali.
Pendidikan dapat mempercepat perkembangan masyarakat, sehingga
pendidikan merupakan motor penggerak proses sejarah. Pemikiran Ki
Hadjar Dewantara tentang sejarah bercorak linier dan bersifat
15
progresif, karena proses perkembangan yang terjadi , identik dengan
proses pendidikan. Proses perkembangan masyarakat menuruut Ki
Hadjar Dewantara mempunyai arah dan tujuan, yaitu usaha terus
menerus untuk mencapai kesejahteraan yang tercermin dalam
kebahagiaan setiap individu. Proses kemajuan merupakan tema
penting dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang sejarah.
g. Widayati Pujiastuti, 1998, “Konsep Manusia Sebagai Pamong
Menurut Ki Hadjar Dewantara” Tesis Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya pamong dalam kedudukannya dan
peran sebagai profesi diruntut berbagai kecakapan atau keahlian
khusus yaitu mempunyai wawasan keilmuan yang mantap sehingga
mampu mendidik, meneruskan, dan mengembangkan nilai-nilai hidup
termasuk nilai moral dan keimanan. Di bidang kemanusiaan seorang
pamong dituntut untuk mampu berperan sebagai orang tua ke dua
menjadikan dirinya sebagai idola peserta didik. Di bidang
kemasyarakatan, pamong pada hakikatnya merupakan komponen
strategis dan memiliki peran yang amat penting dalam gerak majunya
kehidupan bangsa. Pamong sebagai Satria Pinandhita dituntut untuk
mampu membina kehidupan bathin (rohani religi) keagamaan, mental,
moral, adab, kesucian dan keluhuran budi.
h. Runi Hariantati, 2002, Konsep Kemerdekaan Diri Dalam Pendidikan
Demokratis Menurut Ki Hadjar Dewantara Tesis pada Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya pemikiran Ki
16
Hadjar Dewantara tentang kemerdekaan diri sebagai dasar dan tujuan
pendidikan tidak mungkin tercapai melalui satu jalan yaitu alam
perguruan saja tetapi ketiga pusat penidikan lainnya yaitu keluarga
dan masyarakat harus berhubungan serapat-rapatnya secara harmonis
dan dinamis. Kemerdekaan diri bukanlah kemerdekaan yang tak
terbatas namun kemerdekaan yang di batasi oleh kemerdekaan orang
lain di luar dirinya. Asas kemerdekaan diri mengharuskan pamong
memiliki sikap dan laku yang dapat menjadi manusia budaya,
berintegritas tinggi yaitu jujur, dapat dipercaya, membina rasa harga
diri, berjiwa merdeka, konsekuwen dan konsisten dalam kata dan
perbuatan, wajar proporsional dalam segala prilaku positif.
Menerapkan Trilogi Kepemimpinan yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing Madya Magun Karsa dan Tut Wuri Handayani.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan tentang filsafat pendidikan di Indonesia, khususnya
filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dalam diskusi-
diskusi untuk memahami filsafat pendidikan di Indonesia
disamping filsafat pendidikan Pancasila.
17
b. Bagi Pembangunan Bangsa
1) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam pembentukan
jiwa merdeka untuk membangun sumber daya manusia yang
berkualitas, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam
membentuk karakter bangsa dengan pendidikan sebagai faktor
utamanya.
2) Penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan bangsa Indonesia
bahwa untuk menanamkan jiwa merdeka pada generasi muda harus
melalui sistem tri pusat pendidikan yaitu pendidikan keluarga,
pendidikan di sekolah, dan pendidikan dalam masyarakat.
c. Bagi Penelitian
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara
khususnya dan pengetahuan filsafat pendidikan di Indonesia pada
umumnya.
2) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk lebih
memahami konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara terutama
filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai salah satu filsafat
pendidikan di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memahami dan menjelasan :
1. Apa hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara ?
18
2. Apa filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara ?
3. Apa sumbangan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan
bagi pendidikan Indonesia ?
C. Tinjauan Pustaka
Pengertian pandangan dan teori yang dikemukakan orang mengenai pendidikan
membentuk perkembangan peradaban manusia. Pengertian-pengertian,
pandangan-pandangan dan teori-teori tersebut terumus berbeda-beda. Meskipun
demikian, pendidikan berlangsung terus tanpa menunggu adanya keseragaman
arti dan teori pendidikan.
Konsep metode-metode pendidikan dari berbagai tokoh tersebut sudah
diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan, tetapi hasilnya masih jauh dari tujuan
pendidikan nasional, karena pendidikan nasional bukanlah semata-mata
mentransfer illmu pengetahuan dan teknologi tetapi lebih dari itu tugas pendidikan
adalah mentransfer nilai-nilai luhur bangsa, menanamkan semangat kebangsaan,
menanamkan identitas bangsa dan melestarikan serta mengembangkan budaya
bangsa terutama pada pendidikan dasar dan menengah (Saksono, 2008: 124).
Berikut ini akan dikemukakan pengertian-pengertian tentang pendidikan, yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Dengan mempelajari pengertian-pengertian
berikut, kita akan menjadi jelas, bahwa pendidikan itu bukan hanya sekedar
pewarisan budaya atau hasil peradaban manusia.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan pendidikan umumnya berarti daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran
19
(intellect) dan tubuh anak (Ki Hadjar Dewantara, 2011: 14). Dalam mendidik anak
bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan supaya pendidik dapat memajukan
kesempurnaan hidup anak didiknya yaitu kehidupan anak-anak didik yang selaras
dengan dunianya. Disamping itu melalui metode among yang mengandung
pengertian bahwa para guru adalah pemimpin murid dalam proses belajar
mengajar, tidak otoriter tetapi demokratis dialogis. Driyarkara dengan mengolah
Serat Wedatama mengatakan bahwa orang muda harus mulad laku utama
(mengikuti tingkah laku yang baik), karena mendidik adalah memanusiakan
manusia muda. Anita Lie mengatakan sebaiknya pendidikan menggunakan
metode pembelajaran, peneladanan, pembiasaan pembudayaan dan perubahan
(Saksono, 2008: 47-82).
Langeveld mengatakan, pendidikan diartikan sebagai pemberian bimbingan
dan pertolongan rohani dari orang dewasa kepada mereka yang masih
memerlukannya (Soetopo, 1982: 10). Pendidikan berlangsung dalam suatu
pergaulan antara pendidik dan anak didik. Pendidik adalah orang dewasa yang
berusaha memberikan pengaruh, perlindungan dan pertolongan yang tertuju
kepada pendewasaan anak didiknya. Tugas pendidik ialah membantu atau
menolong anak didik agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri atas
tanggung jawabnya sendiri. Pertolongan tersebut bersifat rohani, karena berupa
bimbingan terhadap fungsi-fungsi rohani anak didik, misalnya akal, ingatan dan
emosi anak.
Tamansiswa sebagai suatu sekolah nasional berdasarkan kebudayaan sendiri,
bukan hanya mendidik intelektualisme yang menjadi pengajaran melainkan
20
mendidik manusia pribadi yang insaf akan dirinya sebagai anggota masyarakat
(Hatta, 198: 23). Pernyataan Moh Hatta ini berarti merupakan penentangan Ki
Hadjar Dewantara terhadap sistem pendidikan barat yang semata-mata
mementingkan intelektualisme dengan mengesampingkan nilai-nilai moral
maupun nilai-nilai budaya lokal. Walaupun Ki Hadjar Dewantara tidak anti
budaya asing, tetapi nilai suatu budaya harus berakar dari budaya sendiri
sedangkan nilai budaya asing harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya sendiri.
Pengajaran dan pendidikan adalah sarana penyebarluasan benih hidup
merdeka di kalangan rakyat. Perjuangan dan pengabdian Tamansiswa kepada
rakyat Indonesia selama dalam kekuasaan penjajahan (1922-1945) selalu sejalan
dengan pergerakan rakyat dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Sikap pengabdian Tamansiswa dalam melaksanakan perjuangan itu bertolak
dari landasan asas-asasnya yang disebut “Asas Tamansiswa 1922” disahkan pada
tahun 1923 sebagai alat perjuangan Tamansiswa mencapai cita-citanya, yang pada
garis besarnya dapat diartikan sebagai berikut :
1. Hak mengatur diri sendiri dengan memperhatikan ketertiban umum.
Bertujuan membangun masyarakat tertib damai. Menggunakan sistem
among di dalam pendidikan.
2. Tujuan pendidikan ialah membangun anak didik menjadi manusia
merdeka lahir batin. Mendidik anak didik mencari sendiri tambahan
pengetahuannya yang berguna. Pengetahuan yang berguna ialah yang
manfaat bagi dirinya dan masyarakatnya.
21
3. Melaksanakan pendidikan nasional sebagai usaha kebudayaan yang
bersumber pada kebudayaan bangsa sendiri, mencapai masyarakat
yang berkebudayaan. Mengembangkan kebudayaan selaras dengan
kemajuan alam (masyarakat) dan zaman.
4. Mengutamakan pemerataan pengajaran daripada meninggikannya, bila
usaha meninggikan pengajaran itu menghambat pemerataannya.
Kekuatan bangsa dan negara terletak pada jumlah kekuatan masing-
masing warganya.
5. Bekerja menurut kekuatan sendiri (mandiri) dan menolak tiap bantuan
yang mengikat. Tidak terikat atau tergantung kepada bantuan orang
lain.
6. Melaksanakan hidup berdikari dengan hidup hemat dan sederhana.
7. Bekerja tulus-ikhlas mengabdi (berdekatan) dengan sang anak, tanpa
pamrih (keuntungan materi pribadi) (Wiryosentono, 1982: 6).
“Asas Tamansiswa 1922” tersebut pada Konggres V Tamansiswa tahun 1947
dirumuskan menjadi lima dasar, yang disebut: “Dasar Tamansiswa 1947 ” atau
“Dasar Pancadarma Tamansiswa”, ialah :
1. Kodrat alam
2. Kemerdekaan
3. Kebudayaan
4. Kebangsaan
5. Kemanusiaan (Wiryosentono, 1982: 9).
Dasar-dasar Pancadarma Tamansiswa dijelaskan, sebagai berikut :
22
1. Dasar kodrat alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan, mengandung
arti, bahwa pada hakekatnya manusia sebagai makhluk Tuhan, adalah
satu dengan alam semesta ini, karena itu manusia tidak dapat lepas dari
kehendak hukum-hukum kodrat alam. Bahkan manusia akan
mengalami kebahagiaan, jika ia dapat menyatukan diri dengan kodrat
alam yang mengandung segala hukum kemajuan.
2. Dasar kemerdekaan mengandung arti, bahwa kemerdekaan sebagai
karunia Tuhan kepada semua makhluk (manusia) yang memberikan
kepadanya “hak untuk mengatur hidupnya sendiri“ dengan selalu
mengingat syarat-syarat tertib-damai hidup bersama dalam masyarakat.
Karena itu kemerdekaan diri harus diartikan “swadisiplin” atas dasar
nilai-nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk
mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana
perimbangan dan keselarasan dengan masyarakat.
3. Dasar kebudayaan mengandung arti keharusan memelihara nilai-nilai
dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional. Dalam memelihara
kebudayaan nasional itu, yang pertama dan terutama ialah membawa
kebudayaan nasional ke arah kemajuan sesuai dengan kecerdasan
zaman dan kemajuan dunia, guna kepentingan hidup rakyat lahir batin
dan tiap zaman dan keadaannya.
4. Dasar kebangsaan mengandung arti adanya rasa satu bersama bangsa
sendiri dalam suka dan duka, dan dalam kehendak mencapai
23
kebahagiaan hidup lahir batin seluruh bangsa. Dasar kebangsaan tidak
boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan, bahkan harus menjadi
sifat, bentuk dan laku kemanusiaan yang nyata, dan karenanya tidak
mengandung rasa permusuhan terhadap bangsa-bangsa lain.
5. Dasar kemanusiaan mengandung arti, bahkan kemanusiaan itu ialah
darma tiap-tiap manusia yang timbul dari keluhuran akal budinya.
Keluhuran akal budi menimbulkan rasa dan laku cinta kasih terhadap
sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya yang bersifat
keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam
semesta. Karena itu rasa laku cinta kasih itu harus tampak pula
sebagai kesimpulan untuk berjuang melawan segala sesuatu yang
merintangi kemajuan yang selaras dengan kehendak alam.
Asas Tamansiswa yang diumumkan pada tanggal 3 Juli 1922, disahkan dalam
Konperensi I Tamansiswa 20-22 Oktober 1923 dan dinyatakan dalam Kongres I
Tamansiswa 6-13 Agustus 1030 sebagai “Piagam Perjanjian Pendirian” yang
menegaskan bahwa asas Tamansiswa tersebut harus tetap hidup sebagai pokok
yang tak boleh berubah, tak boleh disangkal dan tidak boleh dikurangi oleh suatu
peraturan atau adat dalam kalangan Tamansiswa, selama nama Tamansiswa hidup
masih akan terpakai. Piagam tersebut merupakan naskah penyerahan pengelolaan
Tamansiswa dari pendirinya Ki Hadjar Dewantara kepada Majelis Luhur sebagai
pimpinan Persatuan Tamansiswa pada tanggal 7 Agustus 1930.
24
D. Landasan Teori
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan
kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang
wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat
menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Berhubung dengan itu
progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik
yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang (Barnadib, 1982:
28 ).
Progresivisme berpendapat selaras dengan pengertian yang terkandung dalam
among metode menyatakan hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelf
beschikkingssrecht) dengan mengingat tertibnya persatuan, dalam peri kehidupan
umum (maatschappelijk saamhoorighrid).
Tertib dan damai (Orde en Vrede) itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya.
Tidak adalah “ketertiban” terdapat, kalau tak bersandar pada “kedamaian“.
Sebaliknya tidak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala
syarat kehidupannya. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei) itulah perlu
sekali untuk segala kemajuan dan harus dimerdekakan seluasnya. Maka dari itu
pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukuman-ketertiban” (regeering-
tucht-en orde), ini perkataan dalam ilmu pendidikan) kita anggap memperkosa
hidup kebatinan anak yang kita pakai sebagai alat pendidikan ialah pemeliharaan
dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir batin
menurut kodratnya sendiri (Dewantara, 2011: 48).
25
“Kemerdekaan adalah kesadaran dan kemampuan seseorang untuk
mengendalikan diri, karena kemerdekaan individu selalu dibatasi oleh tertib
damainya hidup bersama (Suratman, 1987: 12). Kemerdekaan sebagai karunia
Tuhan kepada manusia merupakan hak untuk mengatur hidupnya sendiri, namun
demikia harus selalu mengingat tertib damainya hidup bersama dalam masyarakat.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan
untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan
memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam
proses pendidikan. Padahal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia
dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme,
maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan
dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan.
Menurut pernyataan asas Tamansiswa (beginsel-verklaring) sebagai reaksi
terhadap sistem pendidikan yang memaksakan kultur asing sebagai landasannya,
sehingga proses dan hasilnya tidak sesuai dengan kodrat anak Indonesia ditentang
oleh Tamansiswa yang menegaskan: “Yang kita pakai sebagai alat pendidikan,
yaitu pemeliharaan dengan sebesar-besar perhatian (toewijdende zorg) untuk
mendapatkan tumbuh kembangnya kehidupan anak lahir batin, menurut kodratnya
sendiri” (Soeratman, 1990: 9).
Ditinjau dari segi nilai-nilai yang akan dikembangkan pasti juga akan
menyimpang dari nilai-nilai budaya bangsanya. Hal demikian tidak mungkin
digunakan untuk keperluan membentuk watak dan kepribadian bangsa. Anak-anak
26
tersebut akan terasing dari kehidupan bangsanya dan tidak akan peka terhadap
aspirasi dan penderitaan rakyatnya.
Mudah dimengerti kiranya, bahwa dasar kodrat alam digunakan dalam arti
edukatif dan dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar (Soeratman, 1990:
9-10).
Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan pendidikan yang
berbeda dengan progresivisme. Kalau progresivisme menganggap pandangan
bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu
berubah dan berkembang, essensialisme mengangngap bahwa dasar pijak
semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk,
dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan
yang kurang stabil dan tidak menentu (Barnadib, 1982: 38 ).
Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat
menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu
pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud dan nilai-nilai tersebut nilai-nilai perlu
dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Nilai-
nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman
Resanisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal.
Puncak refleksi dari gagaan ini adalah pada pertengahan kedua abad kesembilan
belas.
27
Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan
kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang
membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan
lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman
memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat
bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas
yang pertama-tama dari filsafat pendidikan (Barnadib, 1982: 59).
Bagi Ki Hadjar Dewantara pendidikan memang bukan kembali ke budaya abad
pertengahan tetapi sesuai dengan kodrat alam sebagai metode pendidikan anak
didik agar dimasukkan ke dalam budaya lokal sesuai dengan kodrat anak melalui
keluarga, sekolah dan masyarakat lingkungannya.
Aliran Reconstructionisme dalam satu prinsip sependapat dengan
Perennialisme : bahwa ada satu kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan
kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang, yang sekarang mengalami
ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi tidak sependapat dengan cara
dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat Perennislisme yang memilih jalan
kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan, maka Rekonstruksionisme
berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang
tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia (Noor Syam, 1983: 340).
Ki Hadjar Dewantara pada bagian lain mengatakan bahwa Tamansiswa selain
merupakan “badan perjuangan“ juga mempunyai sifat sebagai badan
pembangunan. Bukankah mendirikan perguruan bagi anak-anak itu sudah berarti
28
membangun secara positif. Membangun masyarakat dan kebudayaan bukan satu-
satunya tugas Tamansiswa karena Tamansiswa juga bertujuan mewujudkan
sistem pendidikan dan pengajaran yang nasional. Tamansiswa berarti dalam cita-
citanya juga memasukkan kepentingan baik yang lahir mengenai penghidupannya
maupun yang batin dan bertalian dengan penghidupannya (30 Tahun Taman
Siswa, 1981: 17).
Pepatah lama mengatakan pengalaman adalah guru yang paling baik, seperti
yang dikatakan oleh John L Childs berpendapat bahwa nilai yang paling
fundamental dalam filsafat eksperimental adalah metodenya yakni metode
pengalaman yang bersifat empiris radikal (Sardy, 1985 : 28). Indonesia sudah
merdeka selama 67 tahun lebih, berarti sudah selama 67 tahun memiliki
pengalaman dalam proses belajar mengajar.
Pernyataan tersebut jelas bahwa kodrat anak Indonesia perlu diperhatikan
dalam memberikan bimbingan pada pertumbuhan jiwa-raganya. Kodrat anak
Indonesia memerlukan perlakuan berdasarkan garis hidup atau kultur bangsanya.
Jika tidak demikian maka melandaskan pendidikannya kepada kultur asing adalah
bertentangan dengan kodrat anak tersebut. Dengan memberikan pendidikan yang
bertentangan dengan kodrat alam anak, maka proses belajar-mengajar pasti akan
mengalami banyak hambatan, tidak berjalan lancar dan tidak akan mencapai
tujuan.
John Dewey mengatakan, pendidikan adalah suatu proses pengalaman
(Soemanto, Soetopo, 1982: 11). Setiap manusia menempuh kehidupan, baik pisik
maupun rohani karena kehidupan adalah pertumbuhan, maka pendidikan
29
merupakan proses yang membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia.
Proses pertumbuhan merupakan proses penyesuaian pada tiap-tiap phase.
Pertumbuhan anak didik menghasilkan perkembangan pribadinya.
E. Metode Penelitian
1. Obyek Penelitian
Obyek material dalam penelitian ini adalah konsepsi Ki Hadjar
Dewantara tentang pendidikan dan yang menjadi obyek formal
penelitian ini adalah filsafat pendidikan. Tipe penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan.
2. Bahan atau Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer dari obyek penelitian yang berupa tulisan-tulisan Ki
Hadjar Dewantara dan buku-buku Ki Hadjar Dewantara antara
lain:
1) Buku I karya Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan tahun
2011.
2) Buku II karya Ki Hadjar Dewantara tentang kebudayaan tahun
1994.
b. Data sekunder
Buku-buku jurnal pendidikan, artikel-artikel yang mengkaji
konsepsi pendidikan Ki Hadjar Dewantara .
3. Langkah-langkah Penelitian
30
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Pengumpulan data.
Langkah awal penelitian ini adalah mengumpulkan data
sebanyak mungkin berkaitan dengan pandangan-pandangan
pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
b. Penentuan kategori data.
Data yang sudah terkumpul untuk selanjutya diklasifikasi. Tujuan
klasifikasi ini untuk membuat data sehingga tampak jelas
perbedaan antara data primer dan data sekunder. Kategori data
juga berkaitan dengan daftar isi di dalam setiap bab atau sub bab.
c. Analisis data primer dan data sekunder dengan menggunakan
metode hermeneutika.
d. Menyusun draf hasil penelitian.
e. Menyusun laporan hasil penelitian.
4. Analisis Hasil Penelitian
Sebagai sebuah penelitian bidang filsafat yang menggunakan obyek
material yang berupa pemikiran-pemikiran pendidikan, maka
penelitian ini akan menggunakan metode analisis sebagai berikut:
a. Historis.
Metode ini digunakan untuk melukiskan sejarah yang menyangkut
tentang apa, siapa, kapan, bagaimana dan dimana peristiwa sejarah
itu terjadi (Kartodirjo dalam Kaelan, 2005: 91).
31
b. Hermeneutika
Hermeneutika adalah sistem tafsir untuk mengungkapkan makna
yang “tersembunyi” di balik teks (Richard R. Palmer, 2005: 41).
Metode hermeneutika digunakan untuk menangkap makna esensial,
sesuai dengan konteknya. Penangkapan makna esensial diterapkan
pada waktu proses pengumpulan. Setelah data terkumpul lalu
dilakukan analisis dengan melalui interpretasi terhadap data, sehingga
esensi data dapat ditangkap dan dipahami sesuai konteks waktu
sekarang (Kaelan, 2005: 252-253).
Jadi dengan metode hermeneutika peneliti ingin :
1) Mencari makna esensial dari obyek material penelitian.
2) Mencari relevansi atau konteks antara makna esensial yang
diperoleh dengan kondisi yang ada sekarang.
F. Sistematika Penelitian
Bab I merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian
yang terdiri atas masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian,
manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
yang terdiri atas obyek penelitian, bahan atau data penelitian, langkah-langkah
penelitian, analisis penelitian.
Bab II berisi uraian tentang pengertian filsafat pendidikan, problem-problem
filsafat pendidikan, aliran-aliran filsafat pendidikan progresivisme, filsafat
32
pendidikan essensialisme, filsafat pendidikan perenialisme dan filsafat pendidikan
reconstructionisme.
Bab III merupakan bagian yang menjelaskan riwayat hidup Ki Hadjar
Dewantara. Menjelaskan karya-karya Ki Hadjar Dewantara antara lain Tri Pusat
Pendidikan, Trilogi Kepemimpinan, Ngerti Ngroso lan Nglakoni (Tri Nga), Tri
Pantangan Metode Among, dan Pendidikan Nasional.
Bab IV merupakan bagian yang menjelaskan konsepsi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara dalam tinjauan filsafat pendidikan progressivisme dan filsafat
pendidikan essensialisme serta sumbangan filsafat pendidikan Ki Hadjar
Dewantara bagi pendidikan Indonesia.
Bab V merupakan bagian penutup yang berisi mengenai kesimpulan
penelitian yang dilakukan, dan saran-saran yang ditujukan untuk penelitian yang
akan datang.