1 bab 3 pembahasaneprints.umm.ac.id/65836/4/bab iii.pdf · 2020. 9. 1. · refraksi yang tidak...
TRANSCRIPT
-
36
1 BAB 3
PEMBAHASAN
Kelainan refraksi merupakan sebagai suatu keadaan di mana sistem optik pada
mata yang tidak berakomodasi, tidak dapat meneruskan sinar paralel untuk
difokuskan pada retina, sehingga objek akan diproyeksikan akan menjadi tidak
jelas. Kelainan refraksi diperkirakan dialami oleh 123,7 juta orang di seluruh
dunia pada penelitian yang dilakukan oleh Fricke pada tahun 2018. Kelainan
refraksi yang tidak terkoreksi menjadi penyebab utama gangguan visual secara
global. Jumlah ini meningkat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bourne
(2013) yang memperkirakan kelainan refraksi dialami oleh 107,8 juta penderita.
Kelainan refraksi dapat dibagi menjadi 4, yaitu miopia, hiperopia,
astigmatisma, dan presbiopia. Pembagian ini didasarkan pada bagaimana objek
diproyeksikan pada mata dan faktor fisiologis lain. Jenis-jenis kelainan refraksi ini
memiliki etiologi dan patogenesis yang berbeda.
3.1 Etiologi dan Patogenesis Kelainan Refraksi
1. Miopia
Kelainan refraksi dikategorikan sebagai miopia jika objek yang jauh dari mata
difokuskan tidak tepat di retina, namun jatuh di depan retina pada keaadaan mata
yang tidak berakomodasi. Keadaan ini dapat disebabkan karena terjadinya
ketidaksesuaian antara kekuatan optik dan panjang aksial bola mata. Tideman
(2017) menyebutkan dalam penelitiannya peningkatan panjang aksial bola mata
yang berlebihan pada masa anak-anak setiap tahunnya akan menambah risiko
-
37
terjadinya miopia pada saat dewasa. Peningkatan panjang aksial bola mata dapat
terjadi karena adanya mutasi dari gen.
Penelitian Verhoeven menemukan adanya hubungan antara LAMA2 dan
miopia, dimana LAMA2 memiliki peran dalam perubahan susunan matriks
ekstraseluler. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan
Lin (2016) tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara LAMA2
dengan miopia tinggi. Ketidakkonsistenan hasil uji dapat terjadi karena perbedaan
latar belakang genetik dalam populasi etnis yang berbeda serta metodologi
penelitian yang berbeda. Lin juga menjelaskan perbedaan ini dapat terjadi karena
kompleksitas pemetaan gen miopia.
Pada penelitian yang dilakukan Mordechai (2011) mutasi yang terjadi pada
LEPREL1 (leprecan-like 1) juga mempengaruhi panjang aksial bola mata.
LEPREL1 menginaktivasi P3H2 (prolyl 3-hydroxylase 2) yang menyebabkan
kelemahan membran pembatas bagian dalam retina dan menyebabkan
pertumbuhan mata yang berlebihan, sehingga menjadikan penyebab terjadinya
miopia. Feng (2017) juga mengidentifikasi LEPREL1 sebagai kandidat gen
penyebab miopia tinggi pada populasi di Cina.
Penelitian GWAS dan NRQ telah menambahkan daftar kandidat gen lain yang
diyakini memiliki peran dalam perkembangan miopia. Penelitian yang dilakuan
oleh Liao (2017) menemukan gen KCNQ5 (potassium voltage-gated channel
subfamily q member 5) berhubungan dengan terjadinya miopia derajat tinggi pada
populasi Cina Selatan. KCNQ5 diidentifikasi sebagai gen yang berhubungan
dengan miopia bertugas untuk mengkodekan saluran kalium yang ditemukan
-
38
dalam epitel pigmen retina (RPE) dan retina saraf. Gen KCNQ5 diyakini
berpartisipasi dalam pengangkutan ion kalium dari retina ke koroid dan
mempengaruhi fungsi fotoreseptor pada sel cone dan sel rod yang terkait dengan
miopia. Pada penelitian yang lebih baru yang dilakukan oleh Li (2015) tidak
didapatkan bukti yang mendukung adanya hubungan gen KCNQ5 dan miopia. Li
menjelaskan hal ini dimungkinkan karena jumlah sampel penelitian terbatas
untuk mendeteksi varian langka dan beberapa varian frekuensi rendah.
Kandidat gen lain yang berhubungan dengan terjadinya miopia adalah APLP2
(amyloid-like protein 2). Tkatchenko (2015) mengidentifikasi APLP2 sebagai
salah satu gen miopia setelah dilakukan percobaan. APLP2 mempengaruhi
perkembangan miopia dengan memodulasi fungsi sel amakrin. Keterlibatan
APLP2 dalam regulasi pemprosesan retina pada tingkat sel amakrin lebih jauh
dikuatkan oleh temuan dalam penelitian bahwa APLP2 diekspresikan dalam sel
amakrin glikinergik retina, yang memberikan penghambatan penerusan sinyal dan
umpan balik di retina dan memainkan peran penting dalam pemrosesan kontras.
Pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa APLP2 dapat memberikan
kerentanan terhadap miopia hanya pada anak-anak yang cenderung membaca
lebih banyak, yang memberikan kepastian baru untuk hipotesis lama hubungan
antara pekerjaan yang membutuhkan fokus lebih dekat dengan gen yang
mendasari miopia. Peran APLP2 lebih spesifik pada retina dijelaskan dalam
penelitian Dinet (2016), APLP2 memainkan fungsi adhesi sinaptik seperti
SynCAM1 pada sinaptogenesis lapisan plexiform luar di retina.
-
39
Lim (2018) mendukung teori Lee tentang faktor genetik yang dapat
meningkatkan risiko miopia pada anak. Penelitian Lim mengungkapkan anak-
anak dengan dua orang tua yang mengalami miopia akan memiliki risiko lebih
besar daripada anak-anak yang memiliki satu orang tua dengan miopia. Pada
penelitian
Etiologi miopia lain dijelaskan oleh Chakraborty (2020) dalam penelitiannya
menjelaskan teori pemahaman tentang pertumbuhan mata dan mekanisme
potensial yang mengarah pada miopia. Teori dari penelitian yang dilakukan pada
hewan uji menunjukkan bahwa lingkungan visual (kualitas dan fokus benda pada
retina) mempengaruhi pertumbuhan okular dan perkembangan refraksi.
Hashemi (2018) tentang epidemiologi miopia, di Eropa, peran faktor genetik
dan etnis lebih penting daripada faktor lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan
prevalensi miopia yang lebih besar pada anak-anak dibandingkan dengan dewasa
Namun, pada negara-negara Asia Tenggara terlihat prevalensi miopia pada anak-
anak lebih rendah daripada miopia pada dewasa.
Miopia yang dapat terbagi menjadi miopia ringan, miopia sedang dan miopia
berat terjadi karena mutasi gen yang menyebabkan pemanjangan aksial bola mata
serta perubahan fisiologis lain pada mata. Pemanjangan aksial bola mata ini
menyebabkan titik fokus yang seharusnya jatuh tepat pada retina menjadi jatuh di
depan retina.
Mutasi gen yang menyebabkan miopia dipengaruhi oleh faktor aktivitas
individu seperti terlalu lama pekerjaan yang membutuhkan fokus benda dalam
jarak yang dekat. Aktivitas luar ruangan yang kurang juga mempengaruhi
-
40
perkembangan miopia. Berdasarkan uraian dari penelitian yang telah dijabarkan
dapat disimpukan bahwa faktor lingkungan memiliki peran yang lebih menonjol
daripada faktor genetik dan etnis dalam perkembangan miopia pada individu.
2. Hiperopia
Hiperopia merupakan suatu kondisi dimana sinar sejajar cahaya yang
memasuki mata mencapai titik fokus di belakang retina pada mata yang tidak
berakomodasi. Panjang aksial bola mata, sama halnya seperti miopia, juga
menjadi penyebab terjadinya hiperopia. Gen phosphodiesterase 11A (PDE11A)
diidentifikasi dalam penelitian Simpson (2014) menunjukkan bukti hubungannya
dengan hiperopia. PDE11A memainkan peran penting dalam konduksi sinyal
dalam proses pertumbuhan mata. Mutasi pada gen ini dapat menyebabkan proses
pertumbuhan mata terhambat. Pada penelitian Simpson tersebut ditemukan juga 2
gen yang yaitu 30A (TTC30A) dan alkylglycerone phosphate synthase (AGPS)
yang juga berperan penting dalam konduksi sinyal antara neuron bersama dengan
PDE11A.
Teori yang dikemukan oleh Jiang (2019) menyebutkan anak-anak dengan
riwayat keluarga strabismus dan ibu yang merokok selama masa kehamilan
memiliki risiko lebih besar untuk menderita hiperopia sedang hingga tinggi.
Castagno (2015) menyebutkan dalam penelitiannya keturunan, tingkat ekonomi,
bermain di luar, berolahraga, menonton TV, bermain komputer atau video games
dan membaca tidak terkait dengan hiperopia sedang. Usia berbanding terbalik
dengan hiperopia sedang, hal ini mengapa perbandingan prevalensi hiperopia
-
41
lebih banyak pada anak-anak. Emmetropisasi mungkin memainkan peran dalam
hal ini.
Hashemi (2018) menunjukkan bahwa prevalensi hiperopia pada anak-anak di
Amerika adalah yang tertinggi dibandingkan wilayah Asia Tenggara, sedangkan
prevalensi hiperopia pada dewasa tertinggi terdapat dikawasan Afrika. Hal ini
menambah teori baru bahwa etnis dan genetik, perbedaan dalam komputerisasi,
dan perubahan gaya hidup mungkin telah berkontribusi pada peningkatan
prevalensi hiperopia di wilayah Afrika dan Amerika dibandingkan dengan bagian
lain di dunia.
Hiperopia yang dapat terbagi menjadi hiperopia laten dan manifest ini juga
terjadi karena ketidaksesuaian panjang aksial bola mata dengan kekuatan optic
sama seperti miopia. Perbedaannya adalah jika pada miopia panjang aksial bola
mata melebihi normal, maka pada hiperopia panjang aksial bola mata kurang dari
normal. Sehingga menyebabkan titik fokus jatuh dibelakang retina.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan
hiperopia dapat terjadi karena mutasi gen, lingkungan intra-uterin, aktivitas
sehari-hari serta kemungkinan perkembangan mata yang tidak sempurna sehingga
menyebabkan hiperopia lebih banyak pada anak-anak dibandingkan dengan orang
dewasa. Mutasi gen yang menjadi penyebab hiperopia hanya berperan dalam
perkembangan mata terutama dalam menentukan panjang aksial bola mata.
3. Astigmatisma
Astigmatisma adalah kelainan refraksi di mana sinar sejajar cahaya yang
memasuki mata tidak difokuskan pada satu titik yang sama melainkan pada dua
-
42
titik yang berbeda, terjadi karena kornea yang tidak teratur atau bentuk lensa yang
tidak beraturan. Lopes (2013) mencoba untuk meneliti varian genetik yang dapat
mendukung perkembangan astigmatisma. Pada penelitian tersebut, diidentifikasi
VAX2 yang merupakan kandidat gen yang memiliki kerentanan terhadap
astigmatisma. VAX2 adalah gen homeobox khusus mata yang memiliki peran
penting dalam perkembangan sumbu dorsoventral mata.
Kandidat gen lain yang berperan dalam astigmatisma adalah PDGFRA. Fan
(2011) mengungkapkan penelitian varian genetik pada gen PDGFRA pada
kromosom 4q12 secara signifikan terkait dengan astigmatisma kornea. PDGFRA
adalah reseptor untuk faktor pertumbuhan turunan trombosit, yang diekspresikan
dalam banyak jaringan retina di mata dan tampaknya berkontribusi terhadap
perkembangan okular serta peran dalam regulasi biometrik kornea.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa astigmatisma yang
dapat terbagi menjadi astigmatisma reguler dan ireguler ini dapat terjadi karena
mutasi gen yang mempengaruhi perkembangan mata. Mutasi gen ini
menyebabkan ketidakseimbangan pada bentuk kornea dan lensa mata. Sehingga
fokus tidak hanya berada pada satu titik melainkan pada dua titik yang berbeda.
4. Presbiopia
Presbiopia merupakan hasil perkembangan penglihatan alami yang merupakan
hasil dari kegagalan fisiologis akomodasi akibat penuaan dimana terjadi
berkurangnya kemampuan mata untuk berakomodasi secara bertahap. Presbiopia
terjadi karena sinar cahaya yang memancar dari jarak baca 33,3cm tidak sejajar.
-
43
Heys (2007) mengungkapkan presbiopia mungkin merupakan akibat dari
hilangnya alpha-crystallin yang dipadukan dengan denaturasi protein struktural
progresif yang diinduksi panas dalam lensa selama lima dekade pertama
kehidupan. Alpha-crystallin pada lensa manusia bertindak sebagai protein heat
shock kecil dan membantu menjaga fleksibilitas lensa. Nandi (2020) menguatkan
pernyataan ini dengan mengungkap mekanisme ikatan silang protein dalam lensa
dan menyatakan bahwa ikatan silang yang dimediasi oleh advanced glycation end
products (AGEs) dari kompleks alpha-crystallin dapat berkontribusi pada
penuaan lensa dan presbiopia.
Andualem (2017) menambahkan dalam analisis multivariatnya yang dilakukan
pada guru-guru sekolah, peningkatan usia, penghasilan, pengalaman kerja,
merokok, riwayat kehamilan, dan riwayat penderita kelainan refraksi lain secara
positif dan signifikan dapat dikaitkan dengan presbiopia. Rozanova (2018)
memberikan teori yang berbeda dari teori sebelumnya, dimana penelitiannya
tersebut menjelaskan pembentukan presbiopia ditandai oleh perubahan anatomi
intraokular, optik, pemrosesan visual, dan binokularitas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa presbiopia dapat
terjadi akibat dari hilangnya alpha-crystallin yang bertugas menjga fleksibilitas
lensa sehingga akomodasi pada mata berkurang secara bertahap. Selain itu faktor
lain seperti perubahan anatomi intraokular, optik, pemrosesan visual, faktor
kebiasaan, dan lingkungan juga dapat mempecepat dan menyebabkan munculnya
presbiopia.
-
44
3.2 Komplikasi Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi yang tidak segera ditangani dan tidak ditangani dengan baik
dapat menyebabkan permasalahan lain, yaitu ambliopia dan strabismus.
Ambliopia merupakan gangguan penglihatan kortikal yang didefinisikan secara
klinis sebagai penurunan ketajaman visual (VA) unilateral atau bilateral yang
tidak dapat dikaitkan dengan abnormalitas struktural mata atau jalur visual. Rajavi
(2015) mengungkapkan dalam penelitiannya ambliopia lebih banyak dialami pada
anak-anak yang mengalami hiperopia dan anisometropia yang tinggi yang tidak
terkoreksi dengan baik. Hal serupa diungkapkan oleh Al-Tamimi (2015) sebagian
besar anak yang mengalami ambliopia merupakan penderita hiperopia preskripsi
dioptri tinggi yang tidak terkoreksi, diikuti oleh sebagian kecil penderita
astigmatisma dan tidak ada penderita miopia yang mengalami ambliopia.
Strabismus atau biasa disebut mata juling merupakan ketidakselarasan pada
kedua mata. Strabismus memiliki banyak jenis, tetapi secara garis besar
strabismus dapat dibagi menjadi esotropias, exotropias, hipertropias, hipotropias,
dan paralytic strabismus Anak-anak yang hiperopia pada masa bayi telah
ditemukan lebih cenderung menjadi strabismus. Al-Tamimi (2015)
mengungkapkan pada kelainan refraksi hiperopia lebih berisiko mengalami
strabismus dibandingkan dengan miopia. Pada miopia, penderita cenderung
mengalami strabismus tipe eksotropia. Sebaliknya, pada hiperopia penderita
cenderung mengalami strabismus tipe esotropia. Zhu (2015) mengungkapkan
kelainan refraksi yang berisiko menyebabkan esotropia adalah anisometropia 0,50
D atau lebih dan hiperopia 2,00 D atau lebih. Sedangkan faktor risiko pada
-
45
eksotropia yaitu, miopia dan hiperopia dari 1,00 D hingga 5,00 D, astigmatisma
dari 0,50 D hingga 1,00 D.
Peneliti menyimpulkan komplikasi dari kelainan refraksi yang tidak terkoreksi
maupun terkoreksi dengan tidak sesuai dapat menyebabkan ambliopia dan
strabismus dimana dalam perkembangannya penderita yang mengalami hiperopia
dan anisometropia sejak masih anak-anak lebih rentan mengalami komplikasi
tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan kelainan refraksi seperti miopia
dan astigmatisma yang tidak terkoreksi juga dapat berkembang menjadi ambliopia
maupun strabismus. Pemantauan dan kesadaran sejak dini dari orang tua dapat
mencegah komplikasi ini berkembang pada anak-anak.
3.3 Penatalaksanaan Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi dapat diperbaiki dengan beberapa cara. Cara yang paling
umum dilakukan adalah dengan menggunakan kacamata dan lensa kontak. Bedah
refraktif juga dapat dilakukan dengan indikasi dan komplikasi yang berbeda satu
sama lainnya. Contoh bedah refraktif yang saat ini umum dilakukan adalah
LASIK (laser-assisted in-situ keratomileusis), PRK (photorefractive
keratectomy), LASEK (laser-assisted subepithelial keratomileusis), PIOL (phakic
intraocular lens , dan RLE (refractive lens exchange).
Penatalaksaan refraksi telah mengalami perkembangan dalam beberapa tahun,
walaupun perkembangan tersebut sedikit terhambat dalam beberapa tahun ini.
Small incision lenticule extraction (SMILE), dan laser-induced refractive index
change (LIRIC) merupakan hasil dari perkembangan penatalaksaan dalam
kelainan refraksi tersebut.
-
46
1. Kacamata
Kacamata merupakan sepasang kaca yang berangka yang dipergunakan pada
mata guna menormalkan dan mempertajam penglihatan. Kacamata memiliki
beberapa bagian yaitu frame front yang terdiri dari; rims; endpieces; bridge; lensa;
nosepad; hinges, dan temples.
Kacamata terbukti mampu mengatasi kelainan refraksi. Barria (2018)
mengatakan penderita pengguna kacamata sebagian besar memiliki penglihatan
normal. Meskipun demikian kesadaran untuk memakai kacamata masih sangat
rendah. Semayenzi (2015) membenarkan teori ini dimana kurangnya kesadaran
masih menjadi faktor utama tidak mengenakan kacamata diikuti oleh harga yang
mahal. Alswailmi (2018) menambahkan alasan penderita kelainan refraksi tidak
mengenakan kacamata, 65% dari total peserta tidak setuju bahwa kacamata secara
kosmetik tidak dapat diterima dan memalukan di depan umum, 42,2% setuju
bahwa kacamata menyebabkan ketergantungan dan memburuknya penglihatan,
42,4% berpikir bahwa kacamata dapat merusak mata. Permasalahan lain yang
sering terjadi pada pengguna kacamata adalah asthenopia karena preskripsi dioptri
lensa yang tidak sesuai.
Vilela (2015) menyatakan bahwa 60% asthenopia dapat dikaitkan dengan
penggunaan kacamata. Ilhan (2015) menyatakan keluhan asthenopia terjadi karena
adanya sejumlah kecil penyimpangan sumbu pada saat pemasangan lensa ke
bingkai. Kesalahan dioptri dalam kacamata karena preskripsi dioptri yang tidak
sesuai memiliki kemungkinan terjadi yang cukup rendah.
-
47
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kacamata adalah
pilihan aman dan mampu memperbaiki dan mempertajam penglihatan sebagian
besar pengguna hingga mencapai penglihatan normal. Kacamata dapat dikenakan
oleh penderita kelainan refraksi baik miopia, hiperopia, astigmatisma, maupun
presbiopia. Kacamata juga tidak memiliki indikasi khusus jika ingin
menggunakannya. Namun, kurangnya kesadaran dalam penggunaan kacamata
sebagian besar disebabkan faktor kosmetik, kurangnya pemahaman dalam
perawatan dalam menggunakan kacamata serta kesalahan petugas optik dalam
pemasangan lensa ke bingkai yang dapat menyebabkan keluhan lain seperti
asthenopia. Perawatan dan pemahaman yang tepat dari pengguna serta kerjasama
dari petugas optik akan mengurangi timbulnya permasalahan dari penggunaan
kacamata.
2. Lensa Kontak
Lensa kontak adalah kaca atau plastik yang langsung diaplikasikan pada
permukaan mata. Lensa kontak dapat terbagi menjadi RGP, yang diaplikasikan
kedalam kornea, dan soft contact lenses, yang diaplikasikan di permukaan mata.
Uzunel (2016) mengungkapkan mengenakan lensa kontak lebih disukai daripada
kacamata di sebagian besar kegiatan sehari-hari pada individu dengan miopia
ringan hingga miopia sedang dan miopia dengan astigmatisma. Lensa kontak
dapat meningkatkan kualitas hidup lebih jauh pada individu dengan miopia
dengan astigmatisma.
Chandrakar (2017) mengungkapkan penggunaan lensa kontak baik RGP dan
soft contact lens dapat menyebabkan penipisan kornea. Penipisan kornea ini
-
48
terjadi karena keausan lensa kontak termasuk hilangnya keratosit, yang
menyintesis kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan yang membentuk sebagian
besar jaringan stroma. Komplikasi lain dari pemakaian lensa kontak yang paling
sering terjadi adalah neovaskularisasi kornea.
Teori ini diperkuat dengan temuan Ammer (2016) ketika ditemukan
neovaskularisasi pada 38% pengguna lensa kontak yang juga dipengaruhi karena
alasan pemakaian lensa kontak jangka panjang menyebabkan hipoksia dan
kekeringan pada mata yang menyebabkan perubahan kornea.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lensa kontak
sebagai pilihan koreksi lain yang mudah dan cukup aman dikenakan penderita
kelainan refraksi manapun. Seperti halnya kacamata, lensa kontak mudah
diaplikasikan pada permukaan mata serta tidak memiliki indikasi khusus dalam
penggunaannya. Bentuknya yang sederhana, membuat lensa kontak lebih diminati
oleh penderita kelainan refraksi pada saat melakukan aktivitas sehari-hari
dibandingkan dengan kacamata. Walaupun demikian, pemakaian lensa kontak
yang tidak sesuai akan menimbulkan komplikasi seperti penipisan kornea dan
neovaskularisasi kornea. Perawatan yang tepat pada lensa kontak yang digunakan,
konsultasi rutin serta tidak mengenakan lensa kontak pada jangka waktu yang
panjang dapat mengatasi dan menghindari komplikasi yang tidak diinginkan
tersebut.
3. LASIK (laser-assisted in-situ keratomileusis)
LASIK merupakan prosedur bedah refraktif yang paling sering dilakukan
untuk mengurangi ketergantungan mengenakan kacamata dan lensa kontak.
-
49
Prosedur ini menggunakan pisau mikrokeratom atau laser femtosecond untuk
membuat flap lalu menggunakan laser excimer untuk mengubah fokus pada mata.
Pembuatan flap menggunakan mikrokeratom atau laser femtosecond yang
dilakukan pada prosedur LASIK ini dinilai memiliki kelebihan dan kelemahannya
tersendiri. Indikasi seperti usia minimal 21 tahun dengan tidak adanya perubahan
preskripsi lebih dari 0,5 D selama 2 tahun terakhir dan ketebalan kornea yang
sesuai menjadi suatu keharusan agar dapat dijalankan prosedur LASIK.
Secara umum, Tucker (2019) mengungkapkan bahwa pembuatan flap memiliki
keterkaitan dengan komplikasi yang sering terjadi setelah dilakukan prosedur
LASIK yaitu, dry eye disease. Hal ini terjadi karena pada saat pembuatan flap
sangat mungkin terjadi kerusakan saraf sensorik, berkurangnya produksi air mata,
hingga kerusakan sel goblet. Pembuatan flap dengan menggunakan laser
femtosecond dinilai lebih baik daripada proses pembuatan flap dengan
mikrokeratom. Tucker (2019) mengungkapkan penggunaan laser femtosecond
telah menurunkan beberapa komplikasi yang menonjol dengan penggunaan
mikrokeratom (buttonholes, incomplete flap, erosi epitel), namun penggunaan
laser ini juga menimbulkan masalah baru seperti rainbow glare yang disebabkan
karena berhamburannya difraksi cahaya dan terjadi penyimpangan pada
permukaan lamellar yang diciptakan oleh laser.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa LASIK dapat
menjadi pilihan bagi penderita kelainan refraksi yang tidak ingin terus memakai
kacamata maupun lensa kontak. LASIK dapat mengatasi kelainan refraksi yang
tidak mengalami perubahan dioptri yang signifikan setiap tahunnya. Namun,
-
50
terlepas dari alat yang digunakan untuk membuat flap, LASIK dapat
menimbulkan komplikasi yang cukup sering terjadi yaitu dry eye disease. Pilihan
penggunaan alat pada pembuatan flap juga dapat menimbulkan komplikasi lain
seperti erosi epitel atau rainbow glare. Konsultasi rutin dapat mengurangi hingga
mengatasi timbulnya komplikasi ini.
4. PRK (photorefractive keratectomy)
PRK merupakan bedah refraktif dengan menghilangkan lapisan epitel,
kemudian digunakan laser excimer untuk melakukan ablasi yang dapat dilakukan
pada penderita miopia, hiperopia dan astigmatisma. Hasil PRK akan lebih baik
jika dilakukan pada pasien yang memiliki preskripsi dioptri dalam rentang rendah
untuk mengurangi risiko terjadinya regresi dan kabut kornea. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Mohammadi (2015) mengatakan regresi setelah prosedur PRK
juga dapat terjadi karena usia yang tua dan paparan sinar matahari. Naderi (2018)
menambahkan regresi dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, jenis kelainan
refraksi, serta keahlian ahli bedah PRK.
Kabut kornea akan lebih berisiko jika dilakukan pada pasien hiperopia dan
pasien miopia atau astigmatisma dengan preskripsi dioptri yang tinggi, hal ini
disampaikan oleh Kaiserman (2017). Pembentukan kabut kornea berkorelasi
dengan beberapa faktor termasuk kedalaman ablasi dan integritas pascaoperasi
stroma, integritas fungsional dan struktural regenerasi membran basement epitel
(EBM), aktivasi keratosit dan transformasi mereka ke dalam mikroblas yang
berpartisipasi dalam pembentukan matriks ekstraseluler yang abnormal sebagai
bagian dari proses penyembuhan luka kornea. Ang (2016) mengungkapkan
-
51
miopia dan astigmatisma dikaitkan dengan peningkatan keparahan kabut, dan usia
yang lebih tua adalah faktor pelindung terhadap pengembangan kabut kornea awal
setelah PRK dalam populasi Asia.
Penggunaan mitomycin-C pada pasien pasca perawatan prosedur PRK dinilai
aman dan efektif dalam mencegah pembentukan kabut pada mata yang memiliki
PRK dengan kedalaman ablasi kurang dari 65 μm. Arranz-Marquez (2019) juga
mengungkapkan mitomycin-C yang diterapkan secara topikal dalam bedah
refraktif permukaan, efektif dalam mencegah dan mengobati kabut subepitel.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa prosedur PRK lebih aman
dan efektif sebagai koreksi jangka panjang dibandingkan dengan LASIK karena
PRK tidak meninggalkan flap pada mata yang dapat menimbulkan komplikasi lain
yang ditimbulkan dari pembuatan flap. PRK juga dapat dilakukan pada penderita
miopia, hiperopia, dan astigmatisma dengan preskripsi dioptri yang rendah guna
mengurangi terjadinya regresi dan kabut kornea pascaoperasi. Usia yang lebih tua
pada saat dilakukannya prosedur bedah juga menjadi penyebab regresi dan kabut
kornea. Penggunaan mitomycin-C pascaoperasi dapat mencegah dan mengobati
kabut kornea.
5. LASEK (laser-assisted subepithelial keratomileusis)
LASEK merupakan modifikasi dari PRK dengan tujuan agar proses
penyembuhan berjalan lebih cepat. Hal ini disampaikan oleh Li (2016) dimana
pasien yang menjalani prosedur LASEK mengalami proses penyembuhan lebih
cepat dibandingkan dengan PRK. Berbeda dari PRK, LASEK dilakukan dengan
membuat flap tipis dengan menggunakan alcoholic solution cone agar kedalaman
-
52
epitel dan diameter lebih terkontrol. Alkohol juga diperlukan pada saat
meregangkan epitel. Penggunaan alkohol sangat berperan dalam de-epitalisasi
pada kornea. Penelitian yang dilakukan Spadea (2015) mengungkapkan LASEK
dengan de-epitalisasi mekanik tanpa menggunakan larutan alkohol adalah teknik
yang aman dan efektif untuk memperbaiki miopia rendah hingga sedang.
LASEK dapat dilakukan pada pasien yang tidak dianjurkan melakukan
prosedur LASIK. Penelitian Hashemi (2004) mengonfirmasi pada pengobatan
miopia rendah hingga sedang dengan menggunakan prosedur LASEK,
menunjukkan bahwa metode ini adalah teknik yang efektif dan aman untuk
mengobati miopia pada pasien dengan kornea tipis. Hal ini berkaitan dengan
prosedurnya flap epitel yang dibuat lebih tipis, yang dapat mengurangi risiko
ektasia kornea dan komplikasi terkait flap yang sering terjadi pada LASIK. Akan
tetapi, Li (2016) mengungkapkan flap yang lebih tipis yang digunakan dalam
LASEK menimbulkan risiko potensial displacement pascaoperasi, yang dapat
menyebabkan rasa sakit yang lebih besar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa LASEK
merupakan teknik yang aman dan efektif dilakukan pada penderita kelainan
refraksi dengan kornea yang tipis. Prosedur LASEK juga terbukti membutuhkan
waktu yang lebih cepat dalam pemulihan dibandingkan dengan pasien yang
menjalani prosedur PRK. Walaupun demikian, prosedur LASEK masih kurang
diminati karena dapat menyebabkan rasa sakit yang lebih besar akibat bergesernya
flap tipis yang dibuat sebelumnya. Kehati-hatian dari penderita pascaoperasi
-
53
sangat diharapkan dalam pencegahan komplikasi ini. Konsultasi yang rutin juga
dapat mencegah dan mengatasi masalah ini.
6. PIOL (phakic intraocular lens)
PIOL merupakan prosedur menanamkan lensa tanpa melepaskan lensa alami.
PIOL dapat dilakukan pada mereka yang memiliki kontraindikasi terhadap
prosedur bedah refraksi yang lain. Keuntungannya adalah implantasi PIOL
mempertahankan akomodasi dan bersifat reversibel. Phakic IOL terdiri dari 3
jenis: angle-supported anterior chamber, iris-claw anterior chamber, and
posterior chamber yang memiliki indikasi, keunggulan dan kelemahannya
masing-masing. PIOL juga dapat dilakukan pada pasien presbiopia tanpa katarak
dengan usia 40 hingga 55 tahun. Namun, Pineda (2016) menjelaskan belum ada
hasil jangka panjang pasca dilakukannya prosedur untuk membuktikan
kemanjurannya.
Sebelum melakukan prosedur PIOL, pemeriksaan hitung sel endotel harus
dilakukan karena PIOL cenderung mempengaruhi sel endotel setelah prosedur
dilakukan Jonker (2018) menjelaskan kedalaman anterior chamber yang lebih
kecil dan jarak antara tepi lensa PIOL dan endotel yang lebih kecil akan
meningkatkan risiko hilangnya sel endotel. Oleh karena itu, pemeriksaan
kedalaman anterior chamber juga perlu dilakukan sebelum menjalani prosedur.
Kohnen (2016) melakukan penelitian dengan menggunakan teknik angle-
supported anterior chamber yang menyatakan pada pasien dengan miopia sedang
hingga tinggi, PIOL memberikan koreksi refraktif yang sangat baik hingga 5
tahun setelah implantasi, dengan tingkat kehilangan sel endotel sentral rata-rata
-
54
yang rendah. Pemilihan pasien yang cermat diperlukan untuk mencapai hasil
pasca bedah optimal. Al-Qahtani (2018) menambahkan PIOL teknik angle-
supported anterior chamber memberikan hasil visual yang baik, tidak ada mata
yang berkembang menjadi katarak, ablasi retina, atau distorsi pupil. Namun,
kehilangan sel endotel harus dipantau karena teknik ini dekat dengan kornea, sel
memiliki risiko kerusakan yang lebih tinggi.
Lee (2015) melakukan penelitian PIOL dengan teknik posterior chamber,
ditemukan rata-rata kehilangan sel endotel secara signifikan yaitu 7,8% pada
kunjungan terakhir pascaoperasi. Berbeda dengan Lee, Kamiya (2017) yang
mengungkapkan tidak ada komplikasi yang mengancam penglihatan seperti
kehilangan sel endotel yang signifikan terjadi dalam kasus apa pun, bahkan di
mata dengan kedalaman anterior chamber
-
55
menyebabkan hilangnya sel endotel sejak awal. Hal ini termasuk manipulasi
bedah, teknik implantasi, ukuran luka, proses inclavation lensa atau pembukaan
lensa, kemungkinan kontak antara lensa implan dan endotelium, perdarahan
intraoperatif, dan peningkatan ketegangan okular pascaoperasi. Secara umum,
lensa iris-claw, menginduksi lebih banyak kehilangan sel endotel pada awal tiga
bulan pascaoperasi (10,6%), sedangkan lensa posterior chamber menunjukkan
paling sedikit kehilangan sel endotel (3,5%). Penyebab terjadinya hal ini mungkin
karena jaringan mata dan bentuk kornea kurang terganggu selama implantasi pada
teknik posterior chamber.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prosedur PIOL
dapat digunakan pada kelainan refraksi baik miopia, hiperopia, astigmatisma
maupun presbiopia walaupun dengan catatan belum ada bukti kemanjuran
prosedur ini dengan jangka waktu yang panjang pada pasien presbiopia. Sifatnya
yang dapat mempertahankan akomodasi dapat membuat prosedur ini menjadi
alternatif pilihan yang baik untuk mengoreksi kelainan refraksi. Terlepas dari
keunggulan yang telah diberikan PIOL dapat menyebabkan hilangnya sel endotel
pascaoperasi dengan besar rata-rata yang berbeda tergantung pada kedalaman
anterior chamber dan teknik pemasangan yang digunakan. Oleh karena itu,
konsultasi sebelum dan sesudah operasi penting dilakukan untuk menilai apakah
penderita kelainan refraksi dapat menjalani prosedur PIOL ini.
7. RLE (refractive lens exchange)
RLE merupakan prosedur penggantian lensa yang dapat dilakukan pada pasien
dengan preskripsi dioptri refraksi yang tinggi karena adanya anatomi mata yang
-
56
abnormal. Penelitian yang dilakuan oleh Srinivasan (2016) mengungkapkan
pertukaran lensa bias adalah pilihan yang efektif dan aman untuk mengoreksi
miopia tinggi dan secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup pada
pasien tertentu. Menurut Scallhorn (2017) RLE dapat digunakan pada pasien
presbiopia untk mencegah timbulnya katarak. RLE juga dapat dilakukan pada
pasien yang lebih muda yang berusia mulai 45 tahun. RLE dapat dilakukan untuk
mengatasi RLE dapat menyebabkan hilangnya akomodasi, maka prosedur akan
lebih baik dihindari jika lensa masih berfungsi. Namun pada buku yang ditulis
Henderson (2016) dijelaskan terdapat lensa akomodasi yang dapat meniru fungsi
lensa pada mata.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa RLE merupakan
pilihan yang baik pada kelainan refraksi dengan preskripsi dioptri yang tinggi
serta dapat mencegah timbulnya katarak pada pasien presbiopia yang sudah lanjut
usia. Namun perlu diperhatikan, RLE adalah prosedur penggantian lensa,
sehingga disarankan untuk tidak melakukan prosedur ini jika lensa mata masih
berfungsi dengan baik.
8. SMILE (small incision lenticule extraction)
SMILE merupakan prosedur dengan cara mengatasi kelainan refraksi dengan
melibatkan pembuatan lenticule intrastromal dan sayatan perifer menggunakan
laser femtosecond, diikuti oleh diseksi dan pelepasan lenticule stromal.
Prosedur SMILE yang dilakukan pada pasien yang mengalami hiperopia dan
presbiopia dilaporkan efektif untuk mengoreksi kelainan refraksi yang dialami.
Hasil refraksi dan visual 12 bulan setelah SMILE untuk hiperopia sangat
-
57
menjanjikan, mengingat tingginya tingkat hiperopia yang diperbaiki dan relatif
berkurangnya CDVA pada populasi yang dilakukan dalam penelitian. Ada
stabilitas refraksi dan topografi yang baik antara 3 dan 12 bulan. (Pradhan, 2019)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kim (2018), mengevaluasi hasil klinis dari
monovision yang dimodifikasi menggunakan SMILE pada pasien presbiopia
miopia hingga 6 bulan pascaoperasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa
pendekatan SMILE efektif dalam menghilangkan gejala presbiopik ketika pasien
yang diskrining dengan tepat.
Pada penelitian diatas SMILE telah menunjukkan efikasi yang tinggi,
keamanan, dan prediktabilitas, namun dalam beberapa penelitian SMILE
dilaporkan ada kecenderungan hasil undercorrection jika dilakukan pada pasien
astigmatima. Penelitian yang dilakukan oleh Ivarsen (2014) terlihat secara
signifikan undercorrection pada mata yang mengalami astigmastima dan risiko
meningkat pada upaya koreksi pada astigmatisma yang lebih tinggi. Rata-rata,
undercorrection adalah 13% per diopter dari percobaan perbaikan silinder dalam
astigmatik rendah dan 16% per diopter di mata yang sangat astigmatik.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pedersen (2017)
yang melaporkan undercorrection astigmatik sekitar 11%.
Prosedur SMILE yang telah banyak dilakukan uji pada penderita kelainan
refraksi memiliki kemungkinan untuk menjadi pilihan utama sebagai metode
bedah refraktif untuk saat ini. Namun, dapat disimpulkan perlu adanya penelitian
tambahan untuk mengatasi masalah undercorrection yang beberapa kali terjadi
pada pasien astigmatisma dengan preskripsi dioptri tinggi. Selain itu, perlu follow
-
58
up yang lebih lama pada pasien yang sudah menjalani prosedur SMILE untuk
mengetahui stabilitas prosedur ini.
9. LIRIC (laser-induced refractive index correction)
LIRIC merupakan prosedur non-invasif yang menggunakan femtosecond laser
untuk memperbaiki kelainan refraksi. LIRIC bekerja dengan mengubah indeks
bias pada jaringan kornea untuk memperbaiki penglihatan. Prosedur LIRIC yang
diharapkan dapat memberikan keunggulan baru pada dunia bedah refraktif saat ini
telah dilakukan uji coba pada kornea hewan uji dan manusia yang diambil dengan
metode post mortem. Penelitian Xu (2011) yang dilakukan pada uji coba kornea
kucing segar yang diperoleh secara post mortem menunjukkan adanya perubahan
indeks bias berkisar antara 0,037, 0,030, dan 0,021 pada kecepatan pemindai 5
mm/s, 10mm/s, dan 15 mm/s.
Perubahan indeks bias yang terjadi pada prosedur LIRIC sangat berkaitan erat
dengan kecepatan pemindaian dan daya laser. Hal ini disampaikan oleh Wozniak
(2017) dengan membandingkan hasil penelitian sebelumnya. Uji coba dilakukan
pada kornea kucing dan kornea manusia yang diambil secara post mortem
Wozniak menambahkan perubahan fase yang terukur dapat dicapai dengan andal
dalam jaringan kornea manusia pada kecepatan yang sebanding dan daya laser
seperti pada kornea kucing, sehingga memberikan keyakinan bahwa prosedur
LIRIC dapat berhasil ditingkatkan (daya lebih tinggi, kecepatan pindai lebih
cepat, dan pola yang sesuai) untuk membuat struktur bias acak yang diperlukan
untuk koreksi refraksi pada manusia. Pada penelitian tersebut juga dijelaskan tidak
ada perubahan yang signifikan secara statistik terhadap kelengkungan atau
-
59
ketebalan kornea yang diamati selama 1 bulan pascaoperasi, yang menunjukkan
bahwa LIRIC tidak menyebabkan perubahan struktural utama pada kornea.
Prosedur LIRIC tidak hanya dapat dilakukan untuk mengatasi kelainan
refraksi, namun juga katarak. Zheleznyak pada tahun 2019 melakukan penelitian
pada 5 subjek pasien pseudophakia untuk membuktikan keamanan prosedur jika
dilakukan pada manusia. Hasil menunjukkan bahwa prosedur berhasil dilakukan
pada kelima pasien. Tidak ada bukti peradangan kornea atau konjungtiva, jaringan
parut, atau kekeruhan. Pola LIRIC terlihat dengan lampu celah dan optical
coherence tomography OCT. Hasil lebih khusus menunjukkan tidak ada
perubahan signifikan pada kelengkungan kornea anterior dan posterior serta
ketebalan kornea sentral setelah diamati selama 1 minggu pascaoperasi.
Metode LIRIC yang terbilang sangat baru masih perlu dilakukan banyak
penelitian untuk menguji dampak setelah dilakukan LIRIC pada kornea mata serta
menguji stabilitas, daya tahan, dan efikasi LIRIC pada kornea pasien setelah
difollow up dalam jangka waktu yang cukup lama. Meskipun begitu, hasil
penelitian yang telah dilakukan cukup menjanjikan untuk menjadi metode
teranyar yang dapat digunakan dan diperkenalkan kepada khalayak di masa yang
akan datang.
3.3 Perkembangan Penatalaksanaan Pada Kelainan Refraksi
Kehadiran prosedur tatalaksana baru seperti SMILE dan LIRIC memberikan
keunggulan yang sebelumnya tidak dapat diberikan oleh tatalaksana lain. Namun,
tidak seperti SMILE, LIRIC masih belum dapat dilakukan pada penderita kelainan
refraksi secara luas.
-
60
SMILE menghasilkan hasil yang lebih stabil dan dapat diprediksi jika
dibandingkan dengan LASEK. Dou (2015) mengasumsikan prosedur SMILE juga
bahwa reaksi penyembuhan luka pascaoperasi SMILE lebih baik dibandingkan
dengan LASEK. Zhu (2017) juga mengungkapkan SMILE dan LASEK memiliki
hasil yang aman dan efektif untuk mengatasi miopia. Namun, setelah 1 tahun
pascaoperasi SMILE memiliki induksi higher-order aberration (HOA) dan
spherical aberration (SA) yang lebih rendah. Dapat diartikan LASEK dapat
menimbulkan penglihatan ganda, kabur, halos, kehilangan kontras dan
penglihatan malam yang buruk 1 tahun pascaoperasi.
Doane (2018) mengungkapkan prosedur SMILE terbukti memiliki efikasi,
keamanan, kepastian, dan stabilitas yang sama dengan opsi bedah saat ini, seperti
LASIK, tetapi telah mendapatkan popularitas karena lebih sedikit kemungkinan
komplikasi yang terjadi, seperti insiden dry eyes dan stabilitas biomekanis yang
lebih besar, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Hal ini dibuktikan dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Xia (2017) yang membandingkan hasil
bedah refraktif SMILE dan Femto-LASIK setelah 3 tahun pada pasien miopia
berat dan miopia dengan astigmatisma. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
permukaan mata yang diobati dengan SMILE terlihat lebih sehat daripada mata
yang menjalani prosedur operasi FS-LASIK karena SMILE menggunakan sistem
laser femtosecond sebagai perangkat all-in-one untuk pembuatan lenticule dan
penggantian flap kornea dengan membuat insisi kecil. Pemulihan yang lebih cepat
juga terjadi pada mata yang dilakukan prosedur SMILE hal ini terjadi karena
kaitannya dengan sedikitnya kerusakan saraf kornea dan permukaan kornea yang
-
61
lebih teratur selama dilakukan teknik baru SMILE yang tidak memerlukan
pembuatan flap. Penelitian yang dilakukan Blum (2019) pada pasien yang telah
melakukan prosedur SMILE dan di-follow up selama 10 tahun juga mendukung
teori penelitian sebelumnya.
Prosedur SMILE hanya membutuhkan sedikit sayatan dan tidak membutuhkan
pembuatan flap seperti LASIK yang menyebabkan banyak komplikasi atau
prosedur PRK yang dapat menyebabkan regresi. Seharusnya jika dianalisis
berdasarkan teori- teori yang telah diberikan. SMILE dapat menjadi pilihan yang
baik digunakan untuk mengoreksi kelainan refraksi. Namun dalam
pelaksanaannya di masyarakat prosedur LASIK dan PRK masih menjadi
primadona dalam bidang bedah refraktif untuk mengoreksi kelainan refraksi
ringan hingga sedang. Pernyataan ini disampaikan oleh Doroodgar (2019) yang
menjelaskan SMILE memang memiliki hasil yang sama baiknya dengan LASIK
dan PRK. Hal ini disebabkan karena SMILE memberikan tantangan intraoperative
yang lebih besar seperti pada saat melakukan sayatan. Konsentrasi dari ahli bedah
sangat dibutuhkan agar proses ini berjalan dengan sempurna. Kerjasama dengan
pasien pada saat melakukan docking juga membantu proses ini berjalan dengan
baik.
Hasil prosedur SMILE juga dapat dikatakan kurang setara dengan hasil yang
diberikan oleh penggunaan prosedur PIOL pada pasien kelainan refraksi dengan
preskripsi dioptri yang tinggi. Qin (2019) menyampaikan kualitas visual pasca
operasi setelah implantasi PIOL dengan teknik posterior chamber sedikit lebih
baik dari SMILE pada pasien dengan miopia - 6.25 hingga - 10.0 D.
-
62
SMILE terbukti dapat digunakan pada orang yang mengalami kelainan refraksi
yang ingin terbebas dari kacamata. Kuesioner yang dilakukan pada penderita
miopia sedang hingga berat yang telah menjalani prosedur SMILE dan di follow
up selama 4 tahun menunjukkan bahwa mereka memiliki kualitas hidup terkait
kelainan refraksi yang lebih baik dan membawa manfaat ekonomi serta
kenyamanan bagi masing-masing individu. Sisi positif lain setelah dilakukan
prosedur, SMILE tetap menunjukkan prediktabilitas dan stabilitasnya selama
masa follow up. (Han, 2016)
Prosedur bedah refraktif yang hanya dilakukan sekali tanpa perlu pemakaian
alat koreksi berulang seperti kacamata dan lensa kontak sebenarnya memberikan
kualitas hidup yang lebih baik pada penderita kelainan refraksi. Hal ini diteliti
oleh Sham (2015) dimana bedah refraksi memberikan kualitas hidup seperti,
kejelasan penglihatan, harapan, penglihatan dekat, penglihatan jauh, diurnal
fluktuasi, batasan aktivitas, gejala, ketergantungan pada koreksi, kekhawatiran,
penampilan, kepuasan dengan koreksi, dan koreksi suboptimal yang signifikan
dan lebih baik dibandingkan dengan penggunaan alat koreksi kacamata dan lensa
kontak. Walaupun kualitas hidup mereka yang menjalani bedah refrakif itu
memang masih lebih rendah daripada mereka yang mempunyai mata emmetropia.
Matsuguma (2018) menemukan bahwa prosedur bedah refraktif seperti LASIK
tidak hanya dapat mencapai kepuasan tinggi dengan prosedurnya, tetapi juga
dapat meningkatkan kebahagiaan subyektif pascaoperasi pada pasien yang telah
lama menggunakan kacamata dan lensa kontak.
-
63
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prosedur bedah
refraktif menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita kelainan
refraksi dibandingkan dengan menggunakan kacamata atau lensa kontak. Namun,
fakta yang ada menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang prosedur
bedah refraktif masih kurang. Sebagian besar masyarakat belum mengetahui
adanya cara lain selain kacamata dan lensa kontak untuk mengoreksi kelainan
refraksi. Pernyataan ini dijelaskan oleh Kumari (2020), bahkan pada mahasiswa
kesehatan pengetahuan tentang bedah refratif masih belum dipahami dengan jelas
dan lengkap. Pernyataan ini disetujui oleh Giri (2020) di mana hanya 43% orang
yang mengetahui tentang bedah refraktif. Hal ini membuat kacamata lebih disukai
oleh sebagian besar masyarakat untuk mengoreksi kelainan refraksi.
Kelemahan lain dengan prosedur bedah refraktif adalah kemauan pasien untuk
melakukan kunjungan rutin pascaoperasi. Hal ini disampaikan oleh López-
Montemayor (2016) dimana ada kecenderungan pasien yang telah menjalani
prosedur bedah reraktif hanya melakukan satu kunjungan rutin pascaoperasi.
Dijelaskan bahwa hal ini kemungkinan terjadi karena pengetahuan tentang
pentingnya kunjungan rutin pascaoperasi masih belum dipahami.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penatalaksanaan yang baru
pada kelainan refraksi sebenarnya memberikan hasil yang memuaskan yang dapat
memperbaiki kekurangan pada sebagian besar penatalaksanaan kelainan refraksi
yang telah ada. Namun, kelemahannya seperti dibutuhkan keahlian dan
konsentrasi yang bagus dari ahli bedah serta kurangnya pengetahuan tentang
-
64
prosedur ini diantara masyarakat membuat penatalaksanaan kelainan refraksi yang
baru ini menjadi kurang diminati.
Ketidakadaannya data mengenai perbandingan hasil prosedur antara LIRIC dan
penetalaksanaan pada kelainan refraksi membuat penulisan tugas akhir ini
menjadi sulit. Penulis hanya dapat membandingkan prosedur SMILE dengan
prosedur tatalaksana sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari penelitian-
penelitian yang telah dijabarkan bahwa kelainan refraksi yang terbagi menjadi
miopia, hiperopia, astigmatisma dan presbiopia dapat diatasi dengan beberapa
cara tergantung jenis kelainan refraksinya dan faktor lain seperti preferensi dan
kecocokkan masing-masing individu.
Penderita yang mengalami miopia, hiperopia, astigatisma dan presbiopia dapat
dengan mudah mengatasi kelainan refraksinya dengan menggunakan kacamata
dan lensa kontak karena kedua alat koreksi ini sangat mudah dalam
mengaplikasikannya dan tidak memiliki indikasi khusus untuk dapat
menggunakannya. Namun, tentu masih ada kekurangan dari kedua alat koreksi
seperti timbulnya keluhan asthenopia bagi pengguna kacamata dan
neovaskularisasi kornea bagi para pengguna lensa kontak jangka panjang.
Penderita kelainan refraksi berusia lebih dari 21 tahun yang enggan
menggunakan kacamata dan lensa kontak karena alasan ketergantungan dalam
pemakaiannya dan alasan lain seperti kosmetik. Dapat mengatasi kelainan
refraksinya dengan salah satu bedah refraktif yang cukup sering dipilih karena
alasan tersebut yaitu LASIK yang sangat cocok dipilih untuk menghindari
-
65
pemakaian kacamata dan lensa kontak setiap saat. Namun, LASIK juga bukan
suatu prosedur tanpa komplikasi. LASIK dapat menyebabkan dry eye disease
serta rainbow glare pascaoperasi. Selain itu LASIK bukan pilihan yang tepat bagi
penderita kelainan refraksi yang memiliki kornea yang tipis.
Penderita kelainan refraksi dengan kornea yang tipis dapat mencoba pilihan
lain seperti PRK dan LASEK. PRK sendiri tidak memerlukan pembuatan flap
yang tebal seperti LASIK yang dapat menimbulkan komplikasi lain pada
prosedurnya. Untuk LASEK, walaupun juga dilakukan pembuatan flap tipis pada
prosedurnya, hal ini justru menjadi kelebihan LASEK dibandingkan dengan PRK
karena proses penyembuhannya yang lebih cepat. Namun, pembuatan flap pada
LASEK mungkin juga menjadi kekurangan prosedur ini karena ada risiko flap
tersebut bergeser sehingga menimbulkan rasa sakit yang lebih besar. Hal ini
mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa prosedur PRK lebih populer di
antara ahli bedah dunia. Walaupun demikian, hasil PRK akan lebih baik jika
penderita kelainan refraksi dengan preskripsi dioptri yang rendah guna
menghindari regresi dan kabut kornea.
Penderita kelainan refraksi yang memiliki preskripsi dioptri yang tinggi dapat
mencoba pilihan bedah refraktif yang menggunakan lensa intraokular seperti
PIOL dan RLE. Selain itu, kedua prosedur bedah ini dapat dilakukan dengan
aman pada penderita presbiopia. PIOL juga dapat mempertahankan akomodasi,
sedangkan RLE dapat meniru akomodasi dari lensa mata. Namun, prosedur PIOL
memiliki kekurangan dimana dapat terjadi hilangnya sel endotel pada mata.
Kekurangan pada prosedur RLE yaitu dihindari bagi penderita yang memiliki
-
66
lensa alami yang masih berfungsi karena prosedur ini menggantikan lensa alami
dengan lensa buatan.
Metode bedah refraktif lain seperti SMILE dapat memberikan pilihan lain
kepada penderita kelainan refraksi karena SMILE hanya membutuhkan prosedur
invasif yang minimal pada prosesnya. SMILE juga dipercaya memiliki
kemungkinan komplikasi yang lebih kecil bila dibandingkan dengan prosedur
bedah refraktif yang lebih populer seperti LASIK. Namun, dalam beberapa
penelitian dijelaskan prosedur SMILE tidak dapat memberikan hasil yang
diinginkan pada penderita astigmatisma. Dilaporkan ada kecenderungan
undercorrection pada kelainan refraksi jenis ini.
Penemuan yang lebih terbaru dalam mengatasi kelainan refraksi adalah LIRIC.
LIRIC memberikan angin baru dalam perkembangan penatalaksanaan kelainan
refraksi yang telah lama tidak berkembang dengan baik. LIRIC merupakan
prosedur non-invasif yang dipercaya dapat mengatasi kelainan refraksi dengan
baik. Walaupun, belum secara langsung diuji coba pada pasien dengan kelainan
refraksi karena penemuannya yang masih sangat baru. Penulis meyakini prosedur
ini nantinya dapat memberikan pilihan lain untuk mengoreksi kelainan refraksi.
Penatalaksanaan yang telah dijabarkan sebelumnya mempunyai keuntungan,
kerugian, dan indikasinya masing-masing. Penulis berharap karya tulis akhir yang
ditulis ini dapat memberikan informasi kepada penderita kelainan refraksi dan
praktisi kesehatan dalam memilih dan menginformasikan penatalaksanaan
kelainan refraksi yang tepat bagi masing-masing individu. Konsultasi sebelum dan
-
67
sesudah dilakukannya penatalaksanaan kelainan refraksi menjadi kunci penting
bagi keberhasilannya.