rofistera.files.wordpress.com · web viewzuhair bin syarif fiqh, 28 juni 2003, 11:00:57 untuk...

21
Sujud Syukur Dan Sujud Tilawah Penulis: Ust. Zuhair bin Syarif Fiqh, 28 Juni 2003, 11:00:57 Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja. a. Sujud Tilawah Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu : Artinya : Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi) Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu 'anha : Artinya : "Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim) Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Artinya : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus … ."(Al Bayyinah : 5)

Upload: vanlien

Post on 01-May-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Sujud Syukur Dan Sujud TilawahPenulis: Ust. Zuhair bin SyarifFiqh, 28 Juni 2003, 11:00:57

Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja.

a. Sujud Tilawah

Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :Artinya : Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku. (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)

Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Taala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu 'anha :Artinya : "Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim)

Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :Artinya : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus ."(Al Bayyinah : 5)

Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :Artinya : "Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)

Definisi Sujud TilawahSecara bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.

Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya

Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafii dan Imam Nawawi.

Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :

1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata :Artinya : "Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas samaun syaqqat) dan (iqra bismi rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasai dalam Sunan-nya juga 2/161)

2. Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu 'anhu bersabda :Artinya : "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm." (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)

Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Umar radhiallahu 'anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jumat. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.

Pada hari Jumat setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :Artinya : "Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau. ] (HR. Bukhari)

Perbuatan Umar radhiallahu 'anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.

Syaikh Abdurrahman As Sadi menyatakan : Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Quran, hadits, ijma, maupun qiyas . (Taudlihul Ahkam, halaman 167)

Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :Artinya : "Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)

Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika dibacakan ayat Al Quran tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di depan. Wallahu Alam.

Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :Artinya : "Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm. (HR. Bukhari)

Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :Artinya : "Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kadang-kadang bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca --dalam hal ini Zaid bin Tsabit-- tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.

Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu 'anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau radhiallahu 'anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.

Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah

Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Quran yang mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shanani dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403 :

1. Pendapat Madzhab Syafii

Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).

2. Pendapat Madzhab Hanafi

Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.

3. Pendapat Madzhab Hanbali

Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.

Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah. (HR. Abu Dawud, 1403)

Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : Hadits ini dlaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin Ubaid. Haditsnya tidak dipakai. Imam Ahmad berkata : Abu Qudamah haditsnya goncang. Yahya bin Main berkata : Dia dlaif. An Nasai berkata : Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar. Abu Hatim berkata : Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).

Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya.

Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk surat-surat mufashal).

Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah. Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu Alam. (Zadul Maad, juz 1 halaman 273)

Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al Araaf, Ar Rad, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.

Abu Dawud berkata : Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.

Pendapat kedua terbantah dengan hadits Amr bin Ash : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj. (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)

Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.

Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru, lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu Alam. (Tamamul Minnah, halaman 270)

Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :

1. Al Araf ayat 206.2. Ar Rad ayat 15.3. An Nahl ayat 50.4. Maryam ayat 58.5. Al Isra ayat 109.6. Al Hajj ayat 18.7. Al Hajj ayat 77.8. Al Furqan ayat 60.9. An Naml ayat 26.10. As Sajdah ayat 15.11. Shad ayat 24.12. An Najm ayat 62.13. Fushilat ayat 38.14. Al Insyiqaq ayat 21.15. Al Alaq ayat 19.

Tata Cara Sujud Tilawah

Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Said bin Jubair, beliau berkata : Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu. Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.

Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci. Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir) . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : Seorang musyrik itu najis.

Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau gangguan wudlu.

Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang tidak. Wallahu Alam.

Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun yang tidak.

Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam.

Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq : Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.

Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : Sanadnya shahih.

Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Maad, juz 1 halaman 272. Wallahu Alam.

Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud tilawah :

1. Tidak diharuskan berwudlu.

2. Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.

3. Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqaha.

Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani yang berbunyi : Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)

Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.

4. Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang membaca sujud dan tidak bila tidak.

6. Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring) seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.

7. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :Artinya : "Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasai 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)

Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al Albani.

b. Sujud Syukur

Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Maad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.

Hukum Sujud Syukur

Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah :

a. Hadits dari Abi Bakrah :

Artinya : "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)

b. Hadits :Artinya : "Bahwasanya Ali radhiallahu 'anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan. (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa 2/226)

c. Hadits Anas bin Malik :

Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahiah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya.

d. Hadits Abdurrahman bin Auf :Artinya : "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya. Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)

Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai berikut : Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu 'anhum.

Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :

1. Sujud Ali radhiallahu 'anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.

2. Sujud Kaab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim 8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.

Menanggapi atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : Oleh karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya sujud syukur.

Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bidah, maka janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini. (Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)

Bagaimana syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?

Imam Shanani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di atas : Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan sucinya pakaian dan tempat.

Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul Abbas, Al Muayyid Billah, An Nakhai, dan sebagian pengikut Syafii berpendapat bahwa syarat sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.

Imam Yahya mengatakan pula : Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.

Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul Authar, juz 3 halaman 106)

Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat. Wallahu Alam.

Kesimpulan

Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.

2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.

3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.

4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.

6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudlu terlebih dahulu.

Wallahu Alam.

Keutamaan Sujud

Dari Madan bin Abi Thalhah Al-Yamuri dia berkata: : Aku bertemu Tsauban, maula Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, lalu aku bertanya, Kabarkanlah kepadaku dengan suatu amal yang jika kukerjakan niscaya Allah akan memasukkanku ke dalam surga disebabkan amal tersebut, -atau dia berkata, aku berkata, Dengan amalan yang paling disukai Allah-, maka dia diam. Kemudian aku bertanya lagi kepadanya, tapi dia diam. Kemudian aku bertanya kepadanya untuk yang ketiga kalinya, maka dia menjawab, Aku telah menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, maka beliau menjawab, Hendaklah kamu memperbanyak sujud kepada Allah. Karena tidaklah kamu bersujud kepada Allah dengan satu sujud melainkan Allah akan mengangkatmu satu derajat dengannya, dan menghapuskan satu kesalahan darimu dengannya. Madan berkata: Kemudian aku bertemu Abu Ad-Darda, lalu aku bertanya kepadanya, maka dia menjawabku seperti jawaban yang dikatakan Tsauban kepadaku. (HR. Muslim no. 488)Dari Rabiah bin Kaab Al-Aslami -radhiallahu anhu- dia berkata: Saya bermalam bersama Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, lalu aku membawakan air wudhunya dan air untuk hajatnya. Maka beliau bersabda kepadaku, Mintalah kepadaku. Maka aku berkata, Aku meminta kepadamu agar aku menjadi teman dekatmu di surga. Nabi ( bersabda, Bukan permintaan yang lain?. Aku menjawab, Bukan, itu saja. Maka beliau menjawab, Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud. (HR. Muslim no. 489)Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda: Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang untuk membaca Al-Quran dalam keadaan ruku atau sujud. Adapun saat ruku maka agungkanlah Rabb Azza wa Jalla padanya, sedangkan saat sujud maka bersungguh-sungguhlah dalam doa, karena saat itu sangat layak dikabulkan untukmu. (HR. Muslim no. 479)

Penjelasan ringkas:Sujud termasuk dari ibadah yang teragung karena di dalamnya terkandung kesempurnaan penghinaan dan perendahan diri kepada Allah Taala. Karenanya barangsiapa yang bersujud kepada selain Allah Taala walaupun dalam keadaan bercanda maka sungguh dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan yang membahayakan keislamannya.

Tatkala dia merupakan ibadah yang mulia, maka Allah Taala juga menyediakan baginya pahala yang mulia, di antaranya:a. Setiap sujud yang dilakukan untuk Allah Taala, maka itu akan menghapuskan kesalahan dan akan mengangkat derajat.b. Orang yang paling dekat dengan Nabi -alaihishshalatu wassalam- pada hari kiamat adalah mereka yang paling banyak bersujud kepada Allah Taala.c. Waktu sujud merupakan waktu dikabulkannya doa, bahkan dia merupakan saat dimana hamba menjadi paling dekat dengan Allah Taala.

Keutamaan ini berlaku pada semua jenis sujud kepada Allah berdasarkan keumuman dalil-dalil di atas, baik itu sujud dalam shalat wajib, sujud dalam shalat sunnah, sujud tilawah, sujud sahwi, sujud syukur, atau sekedar bersujud karena dia mau bersujud untuk Allah Taala.

Maka lihatlah -semoga Allah merahmati kita semua- betapa mudahnya semua pahala itu diraih, yaitu hanya dengan sekedar bersujud kepada Allah Taala tapi tentunya harus diikuti dengan bersujudnya hati, dalam artian hatinya merendah kepada Allah dan mengagungkan-Nya.

HUKUM SUJUD TILAWAH, SUJUD SAHWI, SHALAT FARDHU DAN NAFILAH PADA SATU TEMPAT

OlehSyaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

HUKUM SUJUD TILAWAH

Pertanyaan.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Jika saya membaca ayat sajdah, wajibkah saya sujud atau tidak ..?"

Jawaban.Sujud tilawah adalah sunnat mu'akkad, tak pantas ditinggalkan. Jika seseorang membaca ayat sajdah, baik dalam mushaf atau dalam hati, di dalam shalat atau di luar shalat, hendaklah ia sujud.

Sujud tilawah tidaklah wajib dan tidak pula berdosa bila tertinggal, sebab terdapat keterangan bahwa ketika Umar bin Khattab berada di atas mimbar, ia membaca ayat sajdah dalam surat al-Nahl, lalu ia turun dan sujud. Tetapi pada Jum'at yang lainnya ia tidak sujud walau membaca ayat sajdah. Lantas ia berkata : "Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kita agar bersujud kecuali jika mau". Hal ini disampaikan di hadapan para sahabat.

Juga diterangkan bahwa Zaid bin Tsabit membacakan ayat sajdah dalam surat al-Najm di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam namun ia tidak sujud, tentu Zaid akan disuruh sujud oleh Nabi jika hal itu wajib. Dengan demikian, sujud tilawah adalah sunnat mu'akkad, yakni jangan sampai ditinggalkan walau terjadi pada waktu yang dilarang, setelah Fajar umpamanya, atau ba'da Ashar, sebab sujud tilawah, termasuk sujud yang punya sebab, sama halnya dengan shalat tahiyyatul mesjid atau lainnya.

Tambahan dari admin.Ayat-ayat Sajdah di dalam Al Quran, antara lain :

1. Surat Al-ARaaf Ayat 2062. Surat Ar-Rad Ayat 153. Surat An-Nahl Ayat 504. Surat Al-Israa Ayat 1095. Surat Maryam Ayat 586. Surat Al-Hajj Ayat 187. Surat Al-Hajj Ayat 778. Surat Al-Furqaan Ayat 609. Surat An-Naml Ayat 2610. Surat As-Sajdah Ayat 1511. Surat As-Saad Ayat 2412. Surat Fussilat Ayat 3813. Surat An-Najm Ayat 6214. Surat Al-Insyiqaq Ayat 2115. Surat Al-Alaq Ayat 19

SUJUD SAHWI

Pertanyaan.Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Kapan wajibnya sujud sahwi, sebelum atau sesudah salam..?"

Jawaban.Sujud sahwi adalah dua kali sujud yang dilakukan orang shalat untuk menambal kekurangsempurnaan shalatnya lantaran terkena lupa. Sebab kelupaan ada tiga ; kelebihan, kekurangan dan keraguan.

Kelebihan (tambah) : Jika yang shalat sengaja menambahkan berdiri, duduk, ruku' atau sujud, batal-lah shalatnya.

Jika ia lupa akan kelebihannya dan baru sadar ketika sudah selesai, maka ia wajib sujud sahwi. Jika sadarnya itu terjadi di tengah-tengah shalat, hendaklah ia kembali ke shalatnya lalu sujud sahwi. Contohnya, jika ia lupa shalat Zuhur lima raka'at dan baru ingat sedang tasyahud, hendaklah ia sujud sahwi dan salam. Jika ingatnya itu di tengah-tengah raka'at kelima, hendaklah langsung duduk tasyahud dan salam. setelah itu sujud sahwi dan salam.

Cara di atas bersumber kepada hadits dari Abdullah bin Mas'ud yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah shalat Zhuhur lima rakaat. Lalu ditanyakan apakah ia menambahkan raka'at shalat .? Maka setelah para sahabat menjelaskan bahwa beliau shalat lima raka'at, beliau langsung bersujud dua kali setelah salam (shalat). Riwayat lain menjelaskan bahwa ketika itu beliau berdiri membelahkan kedua kakinya sambil menghadap kiblat lalu sujud dua kali dan salam.

Sujud sahwi terkadang dilakukan sebelum salam dalam dua tempat :

[1] Jika seseorang kekurangan dalam shalatnya, berdasarkan hadits Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sujud sahwi sebelum salam ketika lupa tasyahud awal.

[2] Ketika yang shalat ragu-ragu atas dua hal dan tak mampu mengambil yang lebih diyakininya, seperti yang dijelaskan oleh hadits Abi Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu tentang orang yang ragu-ragu dalam shalatnya, apakah tiga atau empat raka'at. Ketika itu, orang tersebut disuruh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar sujud dua kali sebelum salam. Hadits-hadits yang barusan telah dikemukakan lafaznya dalam bahasan sebelumnya.

Sedangkan sujud sahwi sesudah salam, dilakukan dalam dua hal :

[1] Ketika kelebihan sesuatu dalam shalat sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Mas'ud tentang shalat Zuhur lima raka'at yang dialami Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau sujud sahwi dua kali ketika sudah diberitahu oleh para sahabat. Ketika itu beliau tidak menjelaskan bahwa sujud sahwinya dilakukan setelah salam (selesai) karena beliau tidak tahu kelebihan. Maka hal ini menunjukkan bahwa sujud sahwi karena kelebihan dalam shalat dilaksanakan setelah salam shalat, baik kelebihannya itu diketahui sebelum atau sesudah salam. Contoh lain, jika orang lupa membaca salam padahal shalatnya belum sempurna, lalu ia sadar dan menyempurnakannya, berarti ia telah menambahkan salam di tengah-tengah shalatnya. Karena itu, ia wajib sujud sahwi setelah salam berdasarkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Zuhur atau Ashar sebanyak dua raka'at. Maka setelah diberitahukan, beliau menyempurnakan shalatnya dan salam. Dan setelah itu sujud sahwi dan salam.

[2] Jika ragu-ragu atas dua hal namun salah satunya diyakini. Hal ini telah dicontohkan dalam hadits Ibnu Mas'ud sebelumnya.

Jika terjadi dua kelupaan, yang satu terjadi sebelum salam dan yang kedua sesudah salam, maka menurut ulama yang terjadi sebelum salamlah yang diperhatikan lalu sujud sahwi sebelum salam.

Contohnya, umpamanya seseorang shalat Zuhur lalu berdiri menuju raka'at ketiga tanpa tasyahud awal. Kemudian pada raka'at ketiga itu ia duduk tasyahud karena dikiranya raka'at kedua dan ketika itu ia baru ingat bahwa ia berada pada raka'at ketiga, maka hendaklah ia bediri menambah satu rakaat lagi, lalu sujud sahwi serta salam.

Yakni dari contoh di atas diketahui bahwa lelaki tersebut telah tertinggal tasyahud awal dan sujud sebelum salam. Ia-pun kelebihan duduk pada raka'at ketiga dan hendaknya sujud (sahwi) sesudah salam. Oleh sebab itu, apa yang terjadi sebelum salam diunggulkan. Wallahu 'alam

SHALAT FARDHU DAN NAFILAH PAFA SATU TEMPAT

Pertanyaan:Syaikh Muhammad bin Sahalih Al-utsaimin ditanya : "Bagaimana hukumnya seseorang shalat fardhu pada satu tempat lalu ia melakukan shalat sunnat (nafilah) pada tempat itu sendiri .?"

Jawaban:Masalah diatas tidak jadi suatu penghalang. Tetapi para ulama berpendapat bahwa jika seseorang shalat fardhu pada suatu tempat, sebaiknya di pindah tempat bila mau shalat sunnat berdasarkan keterangan hadits Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan agar shalat jangan disambung dengan shalat lainnya hingga yang melakukannya keluar dulu atau berkata-kata".

Hal ini diperhatikan karena syari'at sangat menjaga batas pemisah antara shalat fardhu dengan nafilah, kecuali jika shaf shalat penuh berdesakan, maka hal itu tak perlu dilakukan sebab dapat menggangu yang ada. Karena itu, sebaiknya shalat sunnat dilakukan di rumah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah kecuali shalat fardhu".Nabi-pun tak pernah melakukan shalat nafilah kecuali di rumahnya.

[Disalin dari buku Fatawa Syekh Muhammad Al-Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-'Ustaimin, oelh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Pres, hal. 136-137,146-148 dan 158-159 alih bahasa Prof.Drs.KH Masdar Helmy]